Status ontologis (eksistensi) kejahatan on. word

10
Status Ontologis (Eksistensi) Kejahatan (Kritik Agustinus atas Ajaran Manikheisme dan Pandangannya Mengenai Eksistensi Kejahatan) Dalam kehidupan di dunia ini manusia mengenal adanya kebaikan dan kejahatan. Keduanya sering disebut sebagai nilai-nilai moral yang berlaku secara universal. Perdebatan akan nilai-nilai moral mulai muncul dewasa ini. Ada yang menganggapnya sebagai nilai-nilai yang bersifat universal, relatif, dan ada pula yang berpendapat bahwa nilai-nilai moral tersebut hanyalah bentukan dari konsensus belaka. Perdebatan tersebut merupakan perdebatan dalam tataran logika manusia. Dalam sudut pandang agama, kebaikan dipandang sebagai ciri khas sifat dari Allah. Maka dari itu segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai baik, merupakan manifestasi dari sifat Allah tersebut. Perdebatan akan nilai-nilai moral tersebut telah dimulai sejak abad ke-4 SM. Dimana para filsuf Yunani telah mulai memperbincangkannya dan mulai mencari prinsip-prinsip dasar atas moralitas tersebut. 1

Transcript of Status ontologis (eksistensi) kejahatan on. word

Page 1: Status ontologis (eksistensi) kejahatan on. word

Status Ontologis

(Eksistensi) Kejahatan

(Kritik Agustinus atas Ajaran Manikheisme

dan Pandangannya Mengenai Eksistensi

Kejahatan)

Dalam kehidupan di dunia ini manusia mengenal adanya

kebaikan dan kejahatan. Keduanya sering disebut sebagai nilai-

nilai moral yang berlaku secara universal. Perdebatan akan

nilai-nilai moral mulai muncul dewasa ini. Ada yang

menganggapnya sebagai nilai-nilai yang bersifat universal,

relatif, dan ada pula yang berpendapat bahwa nilai-nilai moral

tersebut hanyalah bentukan dari konsensus belaka. Perdebatan

tersebut merupakan perdebatan dalam tataran logika manusia.

Dalam sudut pandang agama, kebaikan dipandang sebagai ciri

khas sifat dari Allah. Maka dari itu segala sesuatu yang

dipandang memiliki nilai baik, merupakan manifestasi dari sifat

Allah tersebut.

Perdebatan akan nilai-nilai moral tersebut telah dimulai

sejak abad ke-4 SM. Dimana para filsuf Yunani telah mulai

memperbincangkannya dan mulai mencari prinsip-prinsip dasar

atas moralitas tersebut. Persoalan mengenai nilai-nilai moral itu

berlangsung hingga zaman kita sekarang. Dan mungkin akan

terus menjadi salah satu tema menarik yang diperdebatkan

sepanjang masa.

Tulisan ini menampilkan perdebatan akan nilai-nilai moral

tersebut yang terjadi pada abad ke-4, dimana Agustinus hidup

1

Page 2: Status ontologis (eksistensi) kejahatan on. word

pada zaman itu. Isi tulisan ini hendak memaparkan perdebatan

nilai-nilai moral yang terjadi antara kaum Manikheisme dengan

Agustinus. Tekanan dari tulisan ini adalah sanggahan Agustinus

pada ajaran kaum Manikheisme tentang eksistensi kejahatan.

Dengan segala daya dan upayanya, Agustinus berusaha mencari

status dari adanya kejahatan.

Sistematika tulisan ini adalah pertama-tama penulis akan

memaparkan pergulatan batin Agustinus dalam usahanya

mencari status keberadaan dari kejahatan. Alasan penulis

menyertakan pergulatan batin Agustinus adalah bahwa proses

pencarian tersebut bukanlah suatu hal yang mudah. Agustinus

bahkan sampai pada titik kecemasan yang tidak membawa hasil.

Namun dari kecemasan itu, Agustinus justr mampu menemukan

jawab atas pencariannya itu. Setelah memaparkan pergulatan

batin Agustinus, penulis akan mulai memaparkan ajaran kaum

Manikheisme yang ditentang oleh Agustinus. Setelah itu penulis

baru akan memaparkan pemikiran atau pendapat Agustinus

secara pribadi mengenai status keberadaan kejahatan. Berikut

penulis akan mulai memaparkan pergulatan batin Agustinus

dalam mencari hakekat kejahatan.

Perguatan Batin Agustinus

Dalam Confessiones kitab VII pasal 3.4 mulai ditampakkan

pergulatan Agustinus akan eksistensi kejahatan. Perulatan itu

tampak jelas dalam wujud pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

Agustinus mengenai hakikat kejahatan. Berikut merupakan

kutipan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh

Agustinus:

“Akan tetapi, aku lalu berkata lagi, “Siapakah yang telah membuatku?

Bukankah Allahku yang tidak hanya baik, tetapi yang merupakan

kebaikan itu sendiri? Dari mana lalu di dalam diriku yang jahat dan

tidak kukehendaki yang baik? Apakah supaya ada alasan untuk

2

Page 3: Status ontologis (eksistensi) kejahatan on. word

hukuman yang kutanggung dengan adilnya? Siapakah yang

menempatkannya dalam diriku dan menanam dalam diriku

persemaian kegetiran itu, sedangkan aku dibuat seutuhnya oleh

Allahku yang sangat manis? Seandainya iblislah pelakunya, dari mana

iblis itu? Jika dia pun, karena kemauan yang sesat, dari malaikat baik

menjadi iblis, dari manakah dalam dirinya pula kehendak jahat yang

kemudian membatnya iblis, sebab ia dijadikan malaikat seutuhnya

oleh Pencipta yang sangat baik itu?”1

Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, nampaknya

mustahil bagi manusia untuk sampai pada jawaban yang

memuaskan tentang hakikat kejahatan. Jawaban atas

pertanyaan-pertanyaan tersebut terkesan menjadi misteri bagi

manusia yang sulit untuk dipecahkan. Hal itulah yang memang

dialami oleh Agustinus. Ia pun juga sampai pada tahap

kecemasan mencari jawab atas permasalahan tersebut. Pada

Confessiones kitab VII pasal 7.11, Agustinus dengan jelas

menyatakan kegelisahannya dalam usaha pencarian yang

tampaknya tak berujung itu:

“jadi, sementara semua pasal itu tersimpan dengan aman kuat tak

terguncangkan dalam batinku, aku mencari dengan gelisah dari mana

yang jahat itu. Betapa besar siksaan yang diderita hatiku yang sedang

melahirkan! Betapa keluhnya! Telinga-Mu ada, tetapi aku tak tahu.”2

Dari kutipan di atas dengan jelas menyatakan bahwa

Agustinus sampai pada titik batas pencariannya akan eksistensi

kejahatan yang tak kunjung usai. Ia pun tampaknya mulai

merasa lelah dan mulai putus asa. Dari titik ini, suatu lompatan

terjadi. Kecemasan tersebut ternyata membawa suatu pengaruh

yang menyelamatkan. Pandangannya mengenai kejahatan mulai

mendapat suatu titik cerah. Ia lalu mulai membaca tulisan-

tulisan para filsuf Neo-Platonis. Setelah membaca tulisan-tulisan

1 Agustinus: Pengakuan-pengakuan, (diterjemahkan dari buku Confessiones oleh Winarsih Arifin dan Dr. Th. Van den End), Yogyakarta: Kanisius, 1997, hal. 183-184.

2 Ibid, hal. 191.

3

Page 4: Status ontologis (eksistensi) kejahatan on. word

para filsuf Neo-Platonis, Agustinus mulai mendapatkan suatu

pencerahan/titik terang akan permasalahan yang sedang

dipecahkannya. Tulisan-tulisan para Neo-Platonis pun pada

akhirnya juga mempengaruhi gaya berfilsafatnya.

Argument Agustinus mengenai eksistensi kejahatan akan

dibahas setelah penulis memaparkan ajaran-ajaran dari kaum

Manikheisme. Guna mendapatkan pemahaman yang lebih

mendalam tentang pemikiran Agustinus mengenai status

ontologis kejahatan, kita harus lebih dulu mengenal ajaran kaum

Manikheisme. Ajaran tentang status ontologis kejahatan kaum

Manikheisme menjadi titik tolak pemahaman barunya akan

status eksistensi kejahatan.

Aaran Kaum Manikheisme Mengenai Eksistensi

Kejahatan

Sebelum memasuki ajaran Manikheisme tentang

eksistensi kejahatan, penulis akan memperkenalkan terlebih

dahulu apa itu Manikheisme. Manikheisme adalah sebuah

agama. Agama Manikheis didirikan oleh Mani (216-277).

Manikheisme adalah agama kitab. Menurut ajaran itu, pada

awal mula ada dua zat atau kerajaan yang masing-masing terdiri

dari lima bagian. Yang satu adalah zat atau kerajaan terang,

yang baik. Dan yang bertentangan dengannya adalah zat atau

kerajaan kegelapan, yang jahat. Diceritakan terjadi peperangan

antara kedua kerajaan itu. Dalam peperangan ituunusr-unsur

terang (Allah) tercampur dengan zat kegelapan, artinya diserap

oleh materi, oleh kegelapan.

Peristiwa tersebut sebenarnya hendak menjelaskan

kenyataan dunia ini, dimana yang baik, tercampur oleh yang

jahat. Manusia menjadi medan laga pertempuran itu. Dan dalam

keadaan itu, manusia diwajibkan membantu pihak terang,

dengan cara membebaskan unsur-unsur terang yang tertawan

4

Page 5: Status ontologis (eksistensi) kejahatan on. word

dalam dirinya. Usaha pembebasan itu dilakukan dengan

melakukan pertarakan diantaranya pantang makan daging,

menjauhi ketidakjujuran, sumpah dan juga kehidupan mewah.

Setelah mengenal apa itu Manikheisme, pada bagian berikutnya

penulis akan mulai memaparkan ajaran kaum Manikheisme

mengenai eksistensi kejahatan.

Sebagaimana telah diungkapkan di atas, ajaran

Manikheisme mengenai eksisensi kejahatan berlandaskan pada

ajaran utamanya mengenai dua kerajaan (terang dan gelap)

yang membentuk realitas. Kerajaan terang dipimpin oleh Allah

yang baik, sedangkan kerajaan kegelapan dipimpin oleh Allah

yang jahat. Dengan demikian, Manikheisme menganggap bahwa

ada dua Allah yang membentuk realitas.

Bagi kaum Manikheisme kebaikan bersumber dari Allah

yang baik, sedangkan kejahatan bersumber dari Allah yang

jahat. Latar belakang pemikiran ini adalah pandangan kaum

Manikheisme yang begitu materialistis. Kejahatan dan kebaikan

dianggap sebagai suatu substansi. Substansi kebaikan dan

substansi kejahatan saling bertempur dalam diri manusia.

Manusia diwajibkan untuk membantu kerajaan terang dengan

cara membebaskan unsur-unsur terang yang tertawan dalam

dirinya. Demikianlah usaha kaum Manikheisme untuk

menjelaskan adanya kebaikan dan kejahatan yang ada dalam

dunia ini. Pada bagian berikutnya penulis akan mulai masuk

pada pemikiran Agustinus mengenai eksistensi kejahatan.

Pandangan Agustinus Mengenai Eksistensi

Kejahatan

Pandangan Agustinus mengenai eksistensi kejahatan,

dimulai dengan kritiknya atas ajaran kaum Manikheisme.

Tanggapan Agustinus atas ajaran kaum Manikheisme banyak

didasari oleh pandangan Kitab Suci. Agustinus menolak ajaran

5

Page 6: Status ontologis (eksistensi) kejahatan on. word

kaum Manikheisme bahwa kejahatan hanyalah sebuah

substansi. Agustinus berpendapat bahwa: jika kejahatan

hanyalah sebuah substansi maka kejahatan itu pada hakikatnya

adalah baik. Argumen Agustinus ini bertitik tolak dari ajaran

Kitab Suci bahwa Allah merupakan pencipta dari segala

substansi yang ada. Pandangan Kitab Suci menyatakan bahwa

segala sesuatu yang ada adalah baik adanya. Dengan demikian,

jika yang jahat itu adalah sebuah substansi maka yang jahat itu

pada hakikatnya adalah baik adanya.

Mengenai masalah eksistensi kejahatan, Agustinus

menyatakan bahwa kejahatan sebenarnya tidak memiliki

eksistensi (tidak ada). Bagi Agustinus kejahatan hanyalah the

absence of the good that should be there. (ketiadaan kebaikan

yang seharusnya ada). Pandangan ini tentu juga berdasar atas

pandangan Kitab Suci, yaitu bahwa segala sesuatu yang ada

adalah baik adanya. Dengan demikian yang ada hanyalah

kebaikan, karena eksistensi kebaikan berasal dari Allah sendiri

yang menciptakan segala sesuatu. Kejahatan tidak memiliki

dasar eksistensinya, dengan demikian kejahatan dinilai tidak

bereksistensi (tidak ada). Kejahatan hanyalah pengurangan

kebaikan yang bersumber dari kehendak bebas manusia.

Bagi Agustinus asal muasal kejahatan adalah adanya

kehendak bebas dalam diri manusia. Dengan adanya kehendak

bebas, manusia bisa menentukan sendiri arah hidupnya. Ingin

mengarahkan diri pada kebaikan (Allah) atau berpaling dari

Allah ke hal-hal yang bersifat duniawi. Bagi Agustinus, inilah

patokan atas baik dan buruk, yaitu Allah sendiri. Segala sesuatu

dikatakan baik jika semakin mendekati Allah, dan sebaliknya,

segala sesuatu dikatakan buruk jika semakin jauh dari Allah

yang menjadi sumber dari segala sesuatu.

6

Page 7: Status ontologis (eksistensi) kejahatan on. word

Agustinus mengkategorikan kejahatan ke dalam dua

bagian, yaitu: kejahatan moral dan kejahatan fisik. Kejahatan

moral berkaitan erat dengan kehendak bebas manusia. Disebut

sebagai kejahatan karena manusia, dengan kebebasannya, lebih

memilih menjauhkan diri dari kehendak Allah dan cenderung

mengikatkan diri pada hal-hal duniawi.

Dalam artian yang lain, kejahatan moral adalah

ketidaktaatan kehendak bebas pada Natural Law (hukum

kodrat). Kehendak bebas pada dasarnya harus diatur oleh akal

budi manusia yang merupakan manifestasi dari hukum abadi

(hukum Tuhan). Hukum kodrat mendorong manusia untuk

melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan. Dengan

demikian kehendak bebas hendaknya diarahkan pada kebaikan

(Tuhan). Dengan adanya pengaturan akal budi atas kehendak

bebas, menjadikan manusia sebagai inividu yang lebih

bertanggung jawab atas kebebasannya.

Kejahatan fisik menurut Agustinus adalah ketiadaan

secara material dari sesuatu yang seharusnya ada pada suatu

benda atau individu. Sebagai contohnya adalah orang buta.

Kebutaan dianggap sebagai kejahatan, karena adanya

kekurangan dari sesuatu yang seharusnya ada, yaitu

penglihatan. Contoh lain adalah orang yang tidak memiliki

tangan (cacat). Keadaan fisiknya yang tidak punya tangan juga

dinilai sebagai kejahatan, karena adanya kekurangan dari

sesuatu yang seharusnya ada, yaitu tangan manusia. Kejahatan

fisik sebenarnya berhubungan erat dengan term harmoni.

Dimana segala sesuatu yang harmonis harus berada pada fungsi

dan perannya. Kejahatan fisik mengandaikan ketiadaan harmoni

dalam suatu benda atau individu yang memiliki kekurangan

(kejahatan fisik).

7

Page 8: Status ontologis (eksistensi) kejahatan on. word

Dari dua bentuk kejahatan yang dikemukakan di atas

(kejahatan moral dan kejahatan fisik), yang dianggap Agustinus

sebagai murni jahat adalah kejahatan moral. Dianggap sebagai

kejahatan karena dilakukan secara aktif oleh manusia. Manusia

menggunakan kehendak bebasnya untuk menolak taat pada

kehendak Tuhan dan lebih suka memalingkan diri kepada hal-

hal yang lebih bersifat duniawi dan materialistis.

Kesimpulan

Evil doesn’t exist. (kejahatan itu tidak ada). Kejahatan

hanya dimaknai sebagai kekurangan dari kebaikan. Kejahatan

yang merupakan kekurangan dari kebaikan berasal dari

kehendak bebas manusia. Kejahatan diklasifikasikan menjadi

dua bagian yaitu kejahatan moral dan kejahatan fisik. Namun

demikian yang merupakan murni kejahatan adalah kejahatan

moral. Adanya kejahatan moral disebabkan kehendak bebas

yang tidak taat pada Natural Law (Hukum Kodrat).

David Jones Simanungkalit

8