STATUS HUKUM THALAQ DI LUAR PENGADILAN DALAM...
-
Upload
nguyenthuan -
Category
Documents
-
view
217 -
download
0
Transcript of STATUS HUKUM THALAQ DI LUAR PENGADILAN DALAM...
STATUS HUKUM THALAQ DI LUAR PENGADILAN
DALAM PERSPEKTIF FIQH, UU NO 1/1974 DAN KOMPILASI HUKUM
ISLAM
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh :
Dofir
Nim : 105044101363
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL
AS-SYAHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
STATUS HUKUM THALAQ DI LUAR PENGADILAN
DALAM PERSPEKTIF FIQH, UU NO 1/1974 DAN KHI
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Nama : Dofir
Nim : 105044101363
Di bawah bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Umar al-Haddad, MA Sri Hidayati, M. Ag
NIP : 196809041994011001 NIP : 197102151997032002
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AS-SYAHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Status Hukum Thalaq Di Luar Pengadilan Perspektif Fiqh,
UU No 1 Tahun 1974 dan KHI, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18 Maret 2010.
skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyah.
Jakarta, 18 Maret 2010
Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP : 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil. SH., MA (.............................................)
NIP : 195003061976031001
Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag., MH (.............................................)
NIP : 197202241998031003
Pembimbing I : Dr. Umar al-Haddad, MA (.............................................)
NIP : 196809041994011001
Pembimbing II : Sri Hidayati, M.Ag (.............................................)
NIP : 197102151997032002
Penguji I : Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag (.............................................)
NIP : 197112121995031001
Penguji II : Kamarusdiana, S.Ag., MH (.............................................)
: NIP : 197202241998031003
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Dofir
Nim : 105044101363
Semester/jurussan/prodi : 10/Peradilan Agama/Ahwal As-Syahsiyah
Fakultas : Syari’ah dan Hukum
Dengan ini mohon penundaan pembayaran kuliah semester sepuluh (10) yang
akan di bayarkan pada tanggal 04 Maret 2010 dengan segala dendanya.
Demikian atas perhatian dan kebijaksanaannya saya ucapkan terima kasih.
Mengetahui Jakarta 04
Maret 2010
A.N. Dekan
Pembantu dekan bidang administrasi
Dofir
105044101363
Dra. Hj. Hermawati
Nip: 150227408
Tembusan:
Yth Dekan (sebagai laporan)
��� ا ا���� ا�����
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kita kepada Allah SWT yang telah memberikan
bimbingan dan petunjuk kepada kita, sehingga penulisan skripsi yang berjudul Status
Hukum Thalaq di Luar Pengadilan Perspektif Fiqh, UU No 1/1974 dan KHI untuk
syarat mendapatkan gelar starata 1 (S1) dapat dirampungkan. Dengan skripsi ini
mudah-mudahan bermanfaat bagi kita sekalian. amin. Shalawan dan salam marilah
kita tetap haturkan kepada Nabi kita, Nabi Muhammad SAW yang telah mengenalkan
kita pada agama islam.
Dengan telah selesainya skripsi ini saya juga ucapkan banyak-banyak
terimakasih kepada semua yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik
bantuan berupa do’a tenaga harta dan fikiran saya ucapkan Jaza Kumullah Biahsanal
Jaza terutama kepada:
1. Terima ksih yang sedalam-dalamnya kepada semua gura yang telah
memberikan pengetahuan sehingga saya bisa mendapatkan gelar S1, terutama
kepada K.H. Abdul Fatah Ahmad Faqih dan Drs. K.H. Tohir Abdurrahman.
2. Terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak dan Ibu saya yang telah
membesarkan, merawat, membingbing dan membiayai saya dalam menuntut
ilmu
3. Terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada pembingbing skripsi saya Dr.
Umar al-Haddad, MA yang telah membingbing saya dalam penulisan skripsi
ini, dan trimaksih juga kepada Sri. Hidayati, S. Ag, MA selaku pembingbing
skripsi saya yang telah membingbing saya sehingga skripsi ini bisa
terselesaikan.
4. Terimaksih juga kepada seluruh pegawai Kampus Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah (UIN) dengan segala fasilitas yang diberikan.
Terakhir, kepada Allah AWT penulis mohon taufik dan hidayah-Nya, serta
memanjatkan rasa syukur atas telah selesainya penulisan skripsi ini, karena dengan
petunjuk dan lindungan-Nya jualah penulisan skripsi dapat diselesaikan. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan menjadi amal sholeh bagi penulis
disisi Allah. Amin.
Jakarta, 25 Februari 2010 M
10 Rabi’ul Awal 1431 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 6
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 6
D. Review Studi Terdahulu .............................................................. 7
E. Metode Penelitian ........................................................................ 9
F. Sistematika Penulisan .................................................................. 12
BAB II HUKUM THALAQ DALAM PERSPEKTIF FIQH ...................... 13
A. Pengertian dan Macam-macam Thalaq ........................................ 13
B. Rukun dan Syarat-syarat Thalaq .................................................. 24
C. Redaksi (sighat) Thalaq ............................................................... 27
BAB III PROSES PERCERAIAN DALAM PERSPEKTIF FIQH,
UU NO1 TAHUN 1974 DAN KHI .................................................. 30
A. Perspektif Fiqh ............................................................................. 30
B. Perspektif UU No 1 Tahun 1974................................................... 38
C. Perspektif Kompilasi Hukum Islam .............................................. 47
BAB IV THALAQ DI LUAR PENGADILAN ............................................ 62
A. Status Hukum ............................................................................. 62
B. Saksi Thalaq . ............................................................................. 70
C. Analisis Penulis .......................................................................... 72
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 77
A. Kesimpulan .................................................................................. 77
B. Saran ........................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 80
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, tapi
merupakan ikatan suci (mitsaqan ghalizha) yang terkait dengan keyakinan dan
keimanan kepada Allah sebagaimana Firman-Nya dalam surah An-Nisa’ [4] ayat 211.
Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu
perkawinan itu harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang
menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga yang sakinah
mawaddah warahmah dapat terwujud. Tapi ada saat-saat dalam kehidupan manusia
ketika tak mungkin baginya melanjutkan hubungan yang akrab dengan pasangannya,
maka apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas ditengah jalan. Syetan, musuh
yang nyata bagi manusia, memainkan peranannya pada puncak kebanggaan
peradaban manusia sehingga seringkali terjadi nasehat baik dan perundingan
bijaksana tidak berfungsi. Dalam keadaan demikian perkawinan tak mungkin lagi
dipertahankan, sehingga berpisah secara baik-baik dianggap lebih baik daripada
terseret berkepanjangan tak menentu, membuat rumah tangga dan keluarga bagaikan
neraka.
1 QS. An-Nisa’ [4] : 21: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian
kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri, dan mereka (isteri-isterimu)
telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.
Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena
makna dasar dari sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat juga dikatakan
perkawinan, pada dasarnya adalah kontrak.2 Konsekwensinya ia dapat bertahan dan
dapat pula terputus, salah satu sebab putusnya perkawinan adalah dengan jalan
thalaq.
Sebagai suatu ikatan, perkawinan harus diupayakan terjalin utuh. Dalam
keadaan yang tak dapat dihindarkan perceraian dibolehkan dengan alasan-alasan yang
diperbolehkan dan tidak bisa dihindarkan kecuali berpisah, tapi Allah sangat murka
terhadap perbuatan itu sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.
� ا���آ� (ق���� ا� ا� ال�� ا����ا���� و �3)روا$ ا�# داود وا�� م
Artinya: Perbuatan halal yang paling dimurkai Allah adalah thalaq. (HR.
Abu Daud dan Ibnu Majah dan disahehkan oleh Hakim)
Pada dasarnya putusnya sebuah perkawinan itu terjadi karena dua hal;
pertama karena kematian, dan kedua karena perceraian. Dalam hal putusnya
perkawinan karena perceraian, kemudian terdapat ketentuan perundangan di
Indonesia dan beberapa Negara muslim yang mensyaratkan adanya putusan
pengadilan. Islam menyerahkan hak cerai sepenuhnya terhadap suami, tapi Islam juga
tidak seotoriter itu, istri juga punya hak menuntut cerai terhadap suami ke pengadilan
ketika suami tidak memberikan nafkah lahir maupun batin bahkan menurut Mazhab
2 Lihat kembali Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta : Rajawali Pers, 1995,
3Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Bulughu Al-Maram Min Adillatu Al-Ahkam, (Surabaya:
Al-Hidayah) h. 223
Hanafi ketika istri bersuamikan pria yang tidak memberikan nafkah lahir dan batin
atau mempunyai penyakit cacar yang merusak kebahagian rumah tangga maka dia
punya hak cerai langsung (tanpa melalui proses gugatan).4
Menurut ketentuan hukum Islam, thalaq adalah termasuk salah satu hak
suami, Allah menjadikan hak thalaq di tangan suami, tidak menjadikan hak thalaq itu
di tangan orang lain baik orang lain itu istri, saksi, ataupun Pengadilan sebagaimana
salah satu dari Firman Allah SWT di antaranya surah Al-Ahzab [33] ayat 495
Ibnu Qayyim berkata bahwa thalaq itu menjadi hak bagi orang yang menikah,
karena itulah yang berhak menahan istri, yaitu merujuknya. Suami tidak memerlukan
persaksian untuk mempergunakan haknya. Tidak ada riwayat dari Rasulullah SAW
dan para sahabatnya sesuatu yang menjadikan dalil dan alasan disyari’atkanya
persaksian thalaq.6
Terkait dengan masalah status thalaq di luar sidang Pengadilan Agama, bahsul
masail NU dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta Tahun 1989 telah memberikan
keputusan hukum bahwa thalaq adalah hak prerogatif suami yang bisa dijatuhkan
kapanpun dan dimanapun bahkan tanpa alasan sekalipun. Oleh karena itu apabila
suami belum menjatuhkan thalaq di luar Pengadilan Agama, maka thalaq yang
4 Thahir Al-Haddad, Wanita dalam Syariat dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993,
h. 94.
5 QS. Al-Ahzab [33] : 49: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka
berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.
6 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Bogor: Kencana, 2003, h. 209.
dijatuhkan di depan Hakim Agama itu dihitung thalaq yang pertama dan sejak itu
pula dihitung iddahnya. Jika suami telah menjatuhkan thalaq di luar Pengadilan
Agama, maka thalaq yang dijatuhkan di depan Hakim Agama itu merupakan thalaq
yang kedua dan seterusnya jika masih dalam waktu 'iddah raj'iyyah.7
Sedangkan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam fatwanya yang disidangkan
pada hari Jum’at, 8 Jumadil ula 1428 H/ 25 Mei 2007 M memberikan sebuah putusan
bahwa perceraian harus dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan, cerai
thalaq dilakukan dengan cara suami mengikrarkan thalaq-nya di depan sidang
Pengadilan dan cerai gugat diputuskan oleh hakim.8 Perceraian yang dilakukan di luar
sidang Pengadilan dinyatakan tidak sah. Pandangan NU dan Muhammadiyah di atas
mencerminkan suatu hal yang kontradiktif. Masing-masing memiliki metode istimbat
sendiri-sendiri
Di dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan, hal yang sama juga di jelaskan dalam KHI
yang mengharuskan thalaq ke pengadilan. Perceraian yang dilakukan kepengadilan
mempunyai kesan adanya saksi dalam thalaq sebagaimana yang dijelasakan dalam
Pasal 16 PP No 9 Tahun 1975 bahwa pengadilan hanya memutuskan untuk
mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian, sedangkan di dalam
7 Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan jilid II, (Jakarta: Qultum Media 2004), cet, I h.
69-70.
8 Ahmad Azhar Basyir (Mantan Ketua Majelis Tarjih Muhammaddiyah), Thalaq di Luar
Pengadilan, Artikel diakses pada 26 juli 2009 dari http://blog.unila.ac.id
fiqh jumhur ulama tidak mengharuskan adanya saksi, kecuali golongan syi’ah yang
mengharuskan adanya dua saksi dalam thalaq9. Pendapat ini didasarkan pada Firman
Allah SAW dalam surah At-Thalaq [65] ayat 2.10
Dengan adanya masalah seperti tersebut di atas penulis tertarik untuk meneliti
lebih jauh tentang sah tidaknya thalaq di luar Pengadilan dan perlukah saksi
terhadapa thalaq dalam pandangan Fiqh, UU No 1/1974 dan KHI dengan mengangkat
sebuah tema "Status Hukum Thalaq di Luar Pengadilan Dalam Perspektif Fiqh, UU
No 1/1974 dan KHI", karena disatu sisi (NU) mengatakan sah thalaq diluar proses
persidangan mulai saat itu iddahnya berlaku. Sedangkan Majelis Tarjih
Muhammaddiyah mengatakan thalaq harus melalui proses persidangan dan suami
mengikrarkan thalaq-nya didepan sidang Pengadilan baru iddahnya terhitung saat itu
dan Undang-undang sendiri mempunyai kesan adanya saksi thalaq yang
mengharuskan thalaq ke pengadilan
9 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Terjemahan Masykur A.B, Afif
Muhammad Idrus Al-Khaff, (Jakarta: Lentera, 2007), cet, 6, h. 449
10 QS. At-Thalaq [65]: 2: Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah
diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa
kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk memudahkan penulis dalam penyusun skripsi ini, dengan tidak
mengurangi nilai pembahasan, maka penulis membatasi masalah dalam skripsi ini
hanya pada : “Status Hukum Thalaq di Luar Pengadilan dalam Perspektif Fiqh,
Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam”, yang dimaksud
Fiqh adalah para ulama mazhab yang empat, Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah di atas, masalah yang dibahas dalam skripsi ini, dapat
dirumuskan sebagai berikut :
a. Apakah sah thalaq yang dilakukan di luar pengadilan?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian skripsi ini
adalah :
1. Mengetahui perbedaan antara pendapat Fiqh, UU No 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai kedudukan sah tidaknya thalaq di
luar pengadilan.
3. Mengetahui tentang kekuatan hukum mengikatnya antara Fiqh, UU No 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
D. Review Studi Terdahulu
Dari sekian banyak literatur skripsi fakultas syari’ah dan hukum yang ada di
perpustakaan penulis mengambil beberapa skripsi untuk melakukan perbandinagan
antara lain:
1. Cici Indriani, dengan judul skripsi Dampak Perceraian (cerai thalaq) Diluar
Prosedur Pengadilan Agama Terhadap Nafkah Iddah Dan Nafkah Anak
(Studi Kasus Di Desa Purwadadi Barat Kec. Purwadadi Subang), pada tahun
2006. Skripsi ini menjelaskan tentang adanya nafkah iddah dan nafkah anak
itu disebabkan jatuhnya thalaq baik thalaq yang dilakukan melalui proses
pengadilan atau tidak, tapi cerai yang dilakukan di luar pengadilan tidak
mengharuskan nafkah iddah dan nafkah anak, karena tidak terikat dengan
hukum
2. Mohd. Serajuddin bin Mokhtar dengan judul skripsi Terhadap Penyelesaian
Thalaq di Luar Sidang (Studi Kasus di Peradilan Agama Daerah Sik Kedah,
Malaysiya), pada tahun 2007. Skripsi ini menjelaskan bahwa masyarakat di
daerah Sik Kedah Malaysiaya mempunyai keyakinan thalaq dianggap sah
walau tanpa kepengadilan dengan berpedoman pada fikih, karena menurut
fiqh sah thalaq yang dijatuhkan di luar pengadilan dan masyarakat disana
sangat sedikit melakukan perceraian kepengadilan, karena mereka
menganggap sah thalaq yang dilakukan di luar atau di dalam pengadilan.
3. Dede Rohyadi, dengan judul skripsi Perceraian di Luar Prosedur Peradilan
Agama di Kecamatan Sodong Hilir, Tasik Malaya dan Akibat Hukum, pada
tahun 2008. Skripsi ini menjelaskan bahwa di kecamatan sodong hilir hampir
semua perceraian di lakukan di luar pengadilan, karena mereka mengagap
perceraian adalah urusan keluarga yang harus ditutupi dan agama sendiri
memperbolehkannya.
4. M. Salman farisi, dengan judul skripsi Kedudukan Hukum Pengucapan Ikrar
Thalaq di Luar Pengadilan Agama (Studi Kasus di Pengadilan Agama
Jakarta Timur), pada tahun 2004. Skripsi menjelaskan pengucapan ikrar
thalaq di luar siding pengadilan itu sah menurut islam selama tidak
bertentangan dengan syari’at islam, tapi tidak mempunyai kekuatan hukum.
5. Ajid, dengan judul skripsi Persepsi Ulama Serang Tentang Cerai di Bawah
Tangan, pada tahun 2004. Skripsi ini memuat kesimpulan bahwa menurut
ulama cerai di luar pengadilan sah berdasarkan firman Allah SWT dalam
Surah Al-Baqarah (2) ayat 229:
�������� �� ��� � � �������� � ���� !"#$ ��% &⌧(�)*+ � �,���*-���. $
Artinya: Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
� وس-� ,�ل+� ا�� ه�ی�ة ان ر�-+ �-� ا 4 ه� 4 وه�5�6 4 ا�23�ح ث�/ س#ل ا
11)روا$ ا�#داود. (وا���ق وا�� 78
Artinya: dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “tiga perkara
kesungguhannya dipandang benar, dan main-mainnya dipandang benar pula, yaitu:
nikah, thalaq dan ruju’ (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmizi)
Sedangkan menurut pegawai pencatat nikah dan hakim pengadilan agama
tidak sah berdasarkan UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 39 ayat 1
Perbedaan skripsi hasil studi terdahulu dengan skripsi yang penulis tulis
terletak pada jenis penelitian, bahwasannya skripsi ini merupakan kajian kepustakaan
dan status hukum thalaq di luar pengadilan sedangkan skripsi hasil studi terdahulu
menggunakan kajian lapangan (studi kasus) dan membahas akibat dari thalaq di luar
pengadilan.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang di pakai penulis yaitu :
1. Jenis Penelitian
Tipe penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normative dengan
pertimbangan bahwa bahan yang digunakan adalah analisis perbandingan Fiqh
dan Hukum Positif. Kajian Fiqh dengan mengambil beberapa literatur kitab klasik
dan buku yang merupakan hasil ijtihad ulama’ salaf maupun khalaf. Sedangkan
11 Al-‘Asqalani, Bulughu Al-Maram, h. 223
kajian Hukum Positif mengacu kepada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
2. Pendekatan
Dari jenis penelitian hukum normative, maka pendekatan yang dilakukan
adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep
(conceptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach).12
Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti bagaimana ketentuan
dan hal lain mengenai thalaq. Pendekatan konsep bertujuan sebagai penjelas
pemahaman berdasar konsep-konsep mengenai thalaq baik dalam Fiqh ataupun
Hukum Positif. Pendekatan perbandingan merupakan cara untuk mengetahui
bahwa di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 thalaq harus melalui
pengadilan, sedangkan dalam Fiqh, thalaq tidak harus kepengadilan, hal inilah
yang nantinya berimplikasi terhadap status hukum thalaq itu sendiri.
3. Sumber Data
Sumber data penelitian ini terdiri dari :
12 Johnny Ibrahim., Teori dan Metodologi, Penelitian Hukum Normatif., (Malang; Bayumedia
Publishing, 2006), cet. Ke-2, h. 391
a. Sumber data primer ; yaitu data-data yang berasal dari sumber-sumber
utama masalah penelitian ; materi-materi hukum dari UU Perkawinan No 1/1974,
KHI dan pendapat-pendapat mazhab fiqh.13
b. Sumber data sekunder ; yaitu data-data yang berasal dari sember-sumber
pendukung yang terkait dengan masalah yang diteliti, seperti kitab-kitab hukum
Islam, buku teks, pendapat forum kelompok atau kajian Islam, tokoh atau sarjana
yang berkompeten dibidang hukum islam.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder14
seperti kamus
hukum, ensiklopedi, dan lain-lain.
4. Pengumpulan Data
Dari sumber data primer dan sekunder yang telah terkumpul, berdasarkan
masalah penelitian diatas, maka dikumpulkan lalu dirumuskan dan selanjutnya
dikaji secara komprehensif berdasarkan rumusan-rumusan yang diperoleh.
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Pada fase ini biasa disebut sebagai pengolahan data, yaitu kegiatan untuk
mengadakan sistematisasi terhadap data-data yang terkumpul,15
baik sistemisasi
dari penelitian studi kepustakaan, perundang-undangan, artikel dan lain
13 Peter Mahmud Marzuki., Penelitian Hukum., (Jakarta; Kencana, 2008), cet. ke-4, h. 141 14 Johnny, Teori dan Metodologi, h. 392
15 Soerjono Soekanto., Pengantar Penelitian Hukum., (Jakarta; UI Press, 1986), h. 251
sebagainya penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa guna memperoleh
penyajian yang lebih sistematis sehingga bisa menjawab permasalahan mengenai
status hukum thalaq di luar pengadilan. Pengolahan data yang dilakukan secara
deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum
terhadap permasalahan konkrit berdasarkan penelitian. Selanjutnya bahan-bahan
yang diperoleh dianalisis untuk melihat keabsahan thalaq di luar ataupun yang
melalui pengadilan dan kedudukan saksi dalam thalaq.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang penulis pakai tersistem sebagai berikut:
Kata pengantar, daftar isi dan memuat beberapa beb yaitu:
Bab I Tentang Pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Menjelaskan sekilas tentang thalaq yang berisikan tentang pengertian
thalaq, macam-macam thalaq, syarat-syarat thalaq, redaksi (sighat) thalaq
Bab III Menjelaskan proses perceraian yang berisikan tentang: Perspektif
Fiqh, UU No 1 Tahun 1974 dan KHI.
Bab IV Menjelaskan tentang hukum thalaq di luar Pengadilan yang memuat
tentang status hukum, kesaksian dalam thalaq dan analisis penulis.
Bab V Penutup yang memuat kesimpulan dan saran yang terakhir daftar
pustaka dan lampiran-lampiran.
BAB II
SEKILAS TENTANG THALAQ
A. Pengertian dan Macam-Macam Thalaq
1. Pengertian Thalaq
Kata “thalaq” secara harfiyah berarti “membuka ikatan” atau “membatalkan
perjanjian”16
jika kita hubungkan dengan putusnya perkawinan antara suami dan istri,
berarti mereka telah membuka ikatan yang pernah mengikat mereka berdua, yaitu
perkawinan atau mereka telah membatalkan perjanjian yang pernah mereka janjikan
dalam suatu perkawinan. Sedangkan secara terminologis ulama-ulama fiqh
memberikan rumusan yang berbeda–beda tapi esensinya sama. Seperti halnya Abi
Yahya Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathu al-Wahhab merumuskan:17
�< +=4ا�23�ح �->; ا���ق ون�#$
Artinya: “Melepaskan ikatan perkawinan dengan lafadz thalaq dan
sepadannya”
Imam Taqiyuddin dalam kitabnya Kifayatu al-Akhyar merumuskan:18
اس� ��< ,�4ا�23�ح
Artinya: “Nama untuk tindakan melepaskan ikatan perkawinan”
16 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997) edisi II 17 Abi Yahya Zakariya Al-Anshari, Fathu al-Wahhab bi Syarhi Minhaju at-Thullab, Beirut,
Juz II, h. 72
18 Taqiyuddin Abi Bakr Bin Muhammad Husaini, Kifayatu al-Akhyar, Beirut, Juz, II, h. 84
Dari rumusan yang di kemukakan Abi Yahya Zakariya al-Anshari dan Imam
Takiyuddin yang mewakili definisi yang diberikan kitab-kitab fiqh terdapat tiga kata
kunci yang menunjukkan hakikat dari perceraian:
Pertama: kata “melepaskan” mengandung arti bahwa thalaq itu melepaskan
sesuatu yang selama ini telah terikat, yaitu ikatan perkawinan.
Kedua: kata “ikatan perkawinan” yang mengandung arti bahwa thalaq itu
mengakhiri hubungan perkawinan yang terjadi selama ini. Bila ikatan perkawinan itu
memperbolehkan hubungan antara suami dan istri, maka dengan telah dibuka ikatan
itu status suami dan istri kembali kepada keadaan semula, yaitu haram.
Ketiga: dengan kata tha-la-qa dan sepadanya yang sama maksudnya dengan
itu mengandung arti bahwa putusnya perkawinan itu melalui suatu ucapan dan
ucapan yang digunakan itu adalah thalaq atau semaksud dengan itu, bila tidak dengan
ucapan tersebut maka putus dengan kematian.
Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tidak dikenal
adanya istilah thalaq, tapi dikenal dengan istilah yang disebut “putusnya
perkawinan”. Undang-undang No 1 Tahun 1974 ini tidak menganal istalah thalaq,
karena Undang-undang ini masih terinterpensi dengan hukum barat Burgerlijk
Wetboek yang desubut dengan BW. Berbeda dengan KHI yang masih memakai
istilah thalaq dalam urusan perceraian walaupun di permulaan Bab, yaitu Bab XVI
masih menggunakan istilah “putusnya perkawinan, karena KHI tidak sepenuhnya
mengadopsi dari kitab-kitab fiqh bahkan masih mengadopsi dari Undang-undang No
1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Di dalam KHI thalaq diartikan sebagai ikrar sumi sebagaimana yang terdapat
dalam Pasal 117
Thalaq adalah ikrar suami di depan sidang Pengadilan Agama yang menjadi
salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud
dalam pasal 129, 130 dan 131.
2. Macam-Macam Thalaq
Thalaq itu dapat dibagi-bagi dengan melihat kepada beberapa keadaan.
Dengan melihat kepada keadaan istri waktu thalaq itu diucapkan oleh suami, thalaq
itu ada dua macam:19
a. Thalaq Sunni
Abdurrahman Bin Muhammad Awad al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqhu Ala
al-Mazdahib al-Arba’ah mengatakan:20
م� آ�ن A@ زم� م��8 وآ�ن �48د م��8
Artinya: “Thalaq yang sudah ditentukan zaman dan bilangannya”
Yang dimaksud thalaq sunni adalah thalaq yang dijatuhkan suami yang sesuai
dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Yaitu seorang suami men-thalaq istrinya yang
19 Amir Syarifuddin, hukum perkawinan islam di Indonesia: antara fiqih munakahat dan
undang-undang perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), cet,I, h. 217
20 Abdurrahman Bin Muhammad Awad Al-Jaziri, al-Fiqhu Ala al-Mazahibil al-Arba’ah,
Darul Ibnu al-Haitsam, 1360-1299 Hijriyah,h. 974
pernah dicampurinya dengan sekali thalaq di masa bersih dan belum ia sentuh
kembali semasa bersihnya.21
Sebagaimana firman Allah dalam Surah At-Thalaq (65)
ayat 1.
/012�34�5( �6789:� ;�< =>@�<4� BCD��#EF�
+, GHI<#0� � � JK0M+2# #� …… Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar)22
……………..” (QS. Al-Thalaq (65) : ayat 1)
Dalam UUP No 1 Tahun 1974 tidak menjelaskan tentang thalaq sunni, akan
tetapi dalam KHI Pasal 121 menjelasankan, “Thalaq sunny adalah thalaq yang
dibolehkan yaitu thalaq yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak
dicampuri dalam waktu suci tersebut”.
b. Thalaq Bid’iy
Abdurrahman Bin Muhammad Awad al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqhu Ala
al-Mazdahib al-Arba’ah mengatakan:23
�/�/ �5=-Bء، أو�5� وه@ ���F، أون>�=-B إذا Artinya: “Ketika menthalaq istri dalam keadaan haid atau nifas atau thalaq
tiga”
21 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih Bahasa: Mohammad Thalib (Bandung: PT Alma’arif,
1980), jilid, 8, h. 42
22 Maksudnya: isteri-isteri itu hendaklah ditalak diwaktu suci sebelum dicampuri. tentang
masa iddah Lihat surat Al Baqarah ayat 228, 234 dan surat Ath Thalaaq ayat 4.
23 Al-Jaziri, al-Fiqhu, h. 975
Yang dimaksud dengan thalaq bid’iy adalah thalaq yang dijatuhkan suami
dengan menyalahi aturan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Yaitu seorang suami yang men-
thalaq istrinya dalam keadaan haid atau dalam keadaan nifas dan dalam keadaan suci
tapi digauli oleh suami dalam keadaan sucinya atau men-thalaq tiga kali dengan
sekali ucapan atau dengan secara terpisah-pisah24
sebagaimana Hadits riwayat Nasa’i,
Muslim dan Ibnu Majah.25
�-� ا : وA@ روای7 @J3-��+ Kآ�ذا�LA ،7=�-�M ،�F�ان ا�� +�، N-B ام�أة �� وه@ �
�ل=A �-وس �� . (م�$ A-��ا 58� /� ی�-=5�اذا�5Bت اووه@ ��م<: +-� �روا$ ا�3��ءوم�-� وا�� م
)وا�#دود
Artinya: Dalam sebuah riwayat dikatakan: bahwa Ibnu Umar men-thalaq
salah seorang istrinya di masa haid dengan sekali thalaq. Lalu Umar menyampaikan
hal itu kepada Nabi SAW. Maka beliu bersabda: suruhlah ia merujuknya, kemudian
bolehlah ia menthalaqnya jika telah suci atau ketika ia hamil (HR. Nasa’i, Muslim,
Ibnu Majah dan Abu Daud).
Tentang thalaq bid’i ini dapat pula ditemukan dalam KHI Pasal 122 sebagai
berikut: “Thalaq bid`i adalah thalaq yang dilarang, yaitu thalaq yang dijatuhkan pada
waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri
pada waktu suci tersebut”.
Dengan melihat kepada kemungkinan bolehnya si-suami kembali kepada
mantan istrinya, thalaq itu ada dua macam:26
1. Thalaq Raj’iy
24 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 45
25 Al-Hafidz Bin Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Toko Kitab al-Hidayah, 773
Hijriayah, h. 223 26 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h. 220
Thalaq yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya yang telah dikumpulinya
betul-betul yang ia jatuhkan bukan sebagai ganti rugi dari mahar yang
dikembalikannya dan sebelumnya belum pernah ia menjatuhkan thalaq kepadanya
sama sekali atau baru sekali saja. Di sini tidak berbeda antara thalaq yang dinyatakan
dengan terusterang dan sindiran.27
Dasar dari hukum ini adalah firman Allah SWT
dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 229:
�������� �� ��� � � �������� � ���� !"#$ ��% &⌧(�)*+ � �,���*-���.
Artinya: “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik” (QS. al-Baqarah
(2) : ayat 229)
Maksudnya thalaq yang ditetapkan Allah sekali sesudah sekali. Dan suami
berhak merujuk istrinya dengan baik sesudah thalaq pertama, dan begitu pula ia
masih berhak merujuknya dengan baik sesudah thalaq kedua kalinya.28
Dalam UUP No 1 Tahun 1974 tidak ditemukan penjelasan tentang thalaq
raj’i, akan tetapi dalam KHI Pasal 118 dijelaskan sebagai berikut: “Thalaq Raj`i
adalah thalaq kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa
iddah”.
2. Thalaq Ba’in
27 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 60
28 Ibid., h. 60
Yaitu thalaq yang ketiga kalinya, thalaq sebelum istri dikumpuli, dan thalaq
dengan tebusan oleh istri kepada suaminya.29
Dalam Bidayatu al-Mujtahid Ibnu
Rusyd berkata: Para ulama sepakat, thalaq ba’in hanya terjadi dalam thalaq sebelum
disetubuhi sebelumnya tidak pernah di-thalaq, Mereka sepakat bahwa bilangan
thalaq yang merupakan thalaq ba’in yaitu tiga kali thalaq dilakukan laki-laki
merdeka sesuai dengan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 229:
�������� �� ��� � � Artinya: “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali” (QS. al-Baqarah (2) ayat
229)
Kemudian mereka berbeda pendapat tentang thalaq tiga yang hanya
diucapkan sekali, bukan kejadiannya yang tiga kali.30
Thalaq Ba’in ini terbagi pula
kepada dua macam:31
a. Ba’in Sughra, ialah thalaq yang suami tidak boleh ruju’ kepada mantan
istrinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui muhallil.
Yang termasuk ba’in sughra itu adalah sebagai berikut:
Pertama: Thalaq yang dilakukan sebelum istri digauli oleh suami. Thalaq
dalam bentuk ini tidak memerlukan iddah. Oleh karena itu, maka tidak ada
29 Ibid., h. 68 30 Abdurrahman. Haris Abdullah, Terjemah Bidayatul Mujtahid, (Semarang: CV. Asy Syifa,
1990), cet, I, h. 478-480
31 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h. 221-222
kesempatan untuk ruju’, sebab ruju’ hanya dilakukan dalam masa iddah. Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Ahzab (33) ayat 49:
/012�34�5( 5OP#Q�D �RH:5�BC ;�< =>@ $5U
#V�!F#� �☺�� X> > +, GH�☺Y�<4� ,#� �Z[\ Q ��%
JK GH��]☺ � ]☺ � [^C$ � +,�_�`��5a *,#� b!+2# /05c�d25@ � �
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum
kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu
yang kamu minta menyempurnakannya (QS. al-Ahzab (33) ayat 49)
Kedua: Thalaq yang dilakukan dengan cara tebusan dari pihak istri atau yang
disebut khulu’. Hal ini dapat dipahami dari isyarat firman Allah dalam surah Al-
Baqarah (2) ayat 229:
�������� �� ��� � � �������� � ���� !"#$ ��% &⌧(�)*+ � �,���*-���. $ efB� dZ#5 g [^I\ � ��% ��Ch i�3 � D+☺#�
+, GH�☺@� �BC jk�h⌧� lf�< ��% D � ( g mf�% ]☺`7<( ]`��2-
kD � ��� � nCo�"pq mf�% Brh7<( ]`��2� kD e⌧ � ]]!Fs
]☺0[)��5 Brh#� *^]25Y�� t#-�. $ ]&��#� �`��2� kD e⌧ �
]G��25Y � u ,5�B� +2] 5Y5( ]`��2� kD ]&v4� �3�w3 � ^ G
5�Hr����I� Artinya: “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi
kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh isteri untuk menebus dirinya.32
Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah
kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka
Itulah orang-orang yang zalim. (QS. al-Baqarah ayat 229)
Ketiga: Perceraian melalui putusan hakim di pengadilan atau yang disebut
fasakh.
b. Ba’in Kubra, yaitu tidak memungkinkan suami ruju’ kepada mantan istrinya.
Dia hanya boleh kembali kepada istrinya setelah istrinya itu kawin dengan
laki-laki lain dan bercerai pula dengan laki-laki itu dan habis masa iddahnya.
Yang termasuk thalaq ba’in kubra adalah sebagai berikut:
Pertama: Istri yang telah di-thalaq tiga kali, atau thalaq tiga. Thalaq tiga
dalam pengertian thalaq ba’in itu yang disepakati oleh ulama adalah thalaq tiga yang
diucapkan secara terpisah dalam kesempatan yang berbeda antara satu dengan lainnya
diselingi oleh masa iddah. Termasukny thalaq tiga itu ke dalam kelompok ba’in
kubra itu adalah sebagaimana yang dikatakan Allah dalam surah Al-Baqarah (2) ayat
230:
��� � ]_ <4� e⌧ � dZ#5�� x% D y,#� �2 5. u6zn]- ]⌧p$F � Q{,�]|
x�B)[}⌧~ $ ��� � ]_ <4� e⌧ � ]]B:s D]☺0[)��5a ��%
D] ]sB)5�5( Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua),
Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang
lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi
32 Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh. Kulu' Yaitu
permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwadh
keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali. (QS. al-Baqarah
ayat 230)
Kedua: Istri yang bercerai dari suaminya melalui proses li’an. Berbeda
dengan bentuk pertama mantan istri yang di-li’an itu tidak boleh sama sekali
dinikahi, meskipun sesudah diselingi oleh adanya muhallil, menurut jumhur ulama.
Penjelasan thalaq ba’in dapat pula ditemukan dalam KHI Pasal 119 dan 120
sebagai berikut: Pasal 119 KHI
1. Thalaq Ba`in Shughraa adalah thalaq yang tidak boleh dirujuk tapi boleh
akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
2. Thalaq Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah :
a. thalaq yang terjadi qabla al dukhul;
b. thalaq dengan tebusan atahu khuluk;
c. thalaq yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Pasal 120 KHI
Thalaq Ba`in Kubraa adalah thalaq yang terjadi untuk ketiga kalinya. Thalaq
jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali
apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah degan orang
lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa
iddahnya.
Thalaq ditinjau dari segi ucapan yang digunakan terbagi kepada dua macam,
yaitu:33
33 Amir Syarifuddin, , Hukum Perkawinan Islam, h. 225
1. Thalaq Tanjiz, yaitu thalaq yang dijatuhkan suami dengan menggunakan
ucapan langsung, tanpa dikaitkan kepada waktu, baik menggunakan ucapan
sharih atau kinayah. Dalam bentuk ini thalaq terlaksana segera setelah suami
mengucapkan ucapan thalaq tersebut.
2. Thalaq Ta’liq, yaitu thalaq yang dijatuhkan suami dengan menggunakan
ucapan yang pelaksanaannya di gantungkan kepada sesuatu yang terjadi
kemudian, baik menggunakan lafaz sharih atau kinayah. Seperti ucapan
suami: “bila ayahmu pulang dari luar negeri engkau saya thalaq”. Thalaq
seperti ini baru terlaksana secara efektif setelah syarat yang digantungkan
terjadi.
Thalaq Ta’liq ini berbeda dengan taklik thalaq yang berlaku di beberapa
tempat yang diucapkan oleh suami segera setelah ijab qabul dilaksanakan. Taklik
thalaq itu adalah sebentuk perjanjian dalam perkawinan yang di dalamnya disebutkan
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suami. Jika tidak memenuhinya, maka si
istri yang tidak rela dengan itu dapat mengajukannya ke pengadilan sebagai alasan
untuk perceraian.
Thalaq dari segi siapa yang secara langsung mengucapkan thalaq itu dibagi
kepada dua macam:34
1. Thalaq Mubasyir, yaitu thalaq yang langsung diucapkan sendiri oleh suami
yang menjatuhkan thalaq, tanpa melalui perantara atau wakil.
34 Ibid., h. 226
2. Thalaq Tawakil, yaitu thalaq yang pengucapannya tidak dilakukan sendiri oleh
suami, tetapi dilakukan oleh orang lain atas nama suami. Bila thalaq itu
diwakilkan pengucapannya oleh suami kepada istrinya, seperti ucapan suami:
“saya serahkan kepadamu untuk men-thalaq dirimu”, secara khusus disebut
thalaq tafwidh (melimpahkan).
B. Rukun dan Syarat-syarta Thalaq
Rukun dan syarta thalaq ialah unsur pokok yang harus ada dalam thalaq dan
terwujudnya thalaq tergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud, rukun
thalaq ada empat sebagai berikut:35
1. Suami
Yang memiliki hak thalaq dan yang berhak menjatuhkanya, selain suami
tidak berhak menjatuhkannya oleh karena thalaq itu bersifat menghilangkan ikatan
perkawinan, maka thalaq tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad
perkawinan yang sah.
Abu Ya’la dan al-Hakim meriwayatkan Hadist dari Jibril bahwa Rasulullah
SAW bersabda:
K-48 م� Pا NQ+Pح و� )روا$ ا�# ی�BP36 .)�-8ق اP�48 ن2
35 Al-Jaziri, Al-Fiqhu, h. 968
36 Al-Asqalani, Bulughul Maram, h. 227
Artinya; Tidak ada thalaq kecuali setelah akad perkawinan dan tidak ada
pemerdekaan kecuali setelah ada pemilikan. (HR. abu Ya’la dan al-Hakim)
Untuk sahnya thalaq, suami yang menjatuhkan thalaq di syaratkan:
a. Berakal. Suami yang gila tidak sah menjatuhkan thalaq yang dimaksud
dengan gila dalam hal ini adalah hilang akal atau rusak akal karena sakit,
termasuk kedalamnya sakit pitan, hilang akal karena sakit panas atau sakit
ingatan karena rusak syaraf otaknya.
b. Baligh. Tidak dapat jatuh thalaq yang dinyatakan oleh orang yang belum
dewasa. Dalam hal ini ulama Hanabila mengataka bahwa thalaq oleh anak
yang sudah mumayyiz kendati umur anak itu kurang dari sepuluh tahun
asalkan ia telah mengenal arti thalaq dan mengetahui arti akibatnya, thalaq-
nya dipandang jatuh.
c. Atas kemauan sendiri. Yang dimaksud atas kemauan sendiri disini ialah
adanya kehendak pada diri suami untuk menjutuhkan thalaq itu dan
dijatuhkan atas pilihan sendiri, bukan dipaksa orang lain.
2. Istri.
Masing-masing suami berhak menjatuhkan thalaq terhadap istri sendiri. Tidak
dipandang jatuh thalaq yang dijatuhkan terhadap istri orang lain. Untuk sahnya
thalaq, bagi istri yang di-thalaq disyaratkan sebagai berikut:
a. Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri yang
menjalani masa iddah thalaq raj’i dari suaminya oleh hukum islam dipandang
masih berada dalam perlindungan kakuasaan suami. Bila dalam masa itu
suami menjatuhkan thalaq lagi, dipandang jatuh thalaq-nya sehingga
menambah jumlah thalaq yang dijatuhkan dan mengurangi hak thalaq yang
dimiliki suami. Dalam thalaq ba’in hal itu tidak terjadi, karena istri tidak lagi
dalam tanggungan suaminya.
b. Kedudakan istri yang di-thalaq itu harus berdasarkan atas akad perkawinan
yang sah menurut syara.
3. Sighat Thalaq
Sighiat Thalaq ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya
yang menunjukkan thalaq, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran), baik
berupa ucapan atau lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun dengan
mewakilkan pada orang lain.
4. Qashdu (Sengaja)
Qashdu ialah bahwa dengan ucapan thalaq itu memang dimaksudkan oleh
yang mengucapkannya untuk thalaq, bukan untuk maksud lain. Oleh karena itu, salah
ucap yang tidak dimaksudkan untuk thalaq dipandang tidak jatuh thalaq, seperti
suami memberikan sebuah salak kepada istrinya, tapi ia keliru mengucapkannya
seperti: “ini sebuah thalaq untukmu”, seharusnya ia mengatakan: “ini sebuah salak
untukmu”, maka tidak dipandang jatuh thalaq.
Berkenaan dengan rukun dan syarat thalaq Undang-undang tidak ada yang
mengaturnya baik UUP No 1 Tahun 1974, PP No 9 Tahun 1975 dan UUPA No 7
Tahun 1989 ataupun KHI.
C. Redaksi (sighat Thalaq)
Sighat thalaq menjadi pembicaraan luas kalangan ulama dalam hal ucapan
thalaq. Dari segi ucapan thalaq ulama membaginya menjadi dua, yaitu:
1. Lafaz Sharih, yaitu ucapan yang secara jelas digunakan untuk ucapan thalaq.
2. Lafaz Kinayah, yaitu ucapan sindirin untuk menceraikan istri.
Ulama sepakat ucapan thalaq yang mengandung lafaz sharih tidak perlu
diiringi dengan niat, artinya dengan telah keluar ucapan itu jatuhlah thalaq meskipun
dia tidak meniatkan apa-apa atau meniatkan yang lain dari thalaq dengan syarat orang
yang mengucapkan apa yang diucapkan mengerti dengan ucapan itu. Bila ucapan itu
menggunakan lafaz kinayah disyaratkan adanya niat dalam arti bila tidak disertai
dengan niat tidak terjadi thalaq.
Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan lafaz-lafaz mana yang sharih dan
lafaz-lafaz yang termasuk kinayah. Menurut ulama Syafi’iyah yang termasuk lafaz
sarih itu ada tiga, yaitu: اق، س�اح�A ،ق�B atau yang berakar kepada tiga kata
tersebut. Alasan yang digunakan oleh ulama ini adalah bahwa ketiga lafaz tersebut
digunakan dalam Al-Qur’an untuk tujuan thalaq.37
Contoh lafaz thalaq adalah
firman Allah dalam surah At-Thalaq (65) ayat 1:
/012�34�5( �6789:� ;�< =>@�<4� BCD��#EF�
+, GHI<#0� � � JK0M+2# #� …… Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar)
Contoh penggunaan lafaz firaq adalah firman Allah dalam surah An-Nisa (4)
ayat 130:
��<B� Q�}⌧"5Y5( �,�( �D ]⌧I� ,#E� t#-#Y] ]� u 5�Q⌧yB� �D
� p�jB� �☺`p$]-
Artinya: jika keduanya bercerai, Maka Allah akan memberi kecukupan
kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. dan adalah Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.
Contoh penggunaan lafaz sarih adalah firman Allah dalam surah Al-Baqarah
(2) : ayat 229:
�������� �� ��� � � �������� � ���� !"#$ ��% &⌧(�)*+ � �,���*-���.
37 Ibid., h. 987
Artinya: “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik (QS. Al-Baqarah
(2) : ayat 229
Jumhur ulama termasuk Imam Malik, ulama Hanabilah, Hanafiyah dan
lainnya berpendapat bahwa lafaz yang sharih untuk maksud thalaq hanyalah satu
yaitu lafaz tha-la-qa dan yang berakar kepadanya. Alasan mereka adalah bahwa lafaz
yang berlaku untuk thalaq dan tidak berlaku untuk lainnya hanyalah lafaz thalaq.
Sedangkan lafaz-lafaz dalam bahasa tertentu yang merupakan terjemahan dari lafaz
sharih, seperti lafaz “cerai” dalam bahasa melayu dapat menjadi ucapan sharih bagi
orang yang berbahasa melayu itu. Untuk maksud itu tidak diperlukan adanya niat.38
Adapun lafaz kinayah adalah lafaz yang selain thalaq (menurut ulam jumhur)
atau selain tiga lafaz yang dikemukakan oleh Syafi’iyah adalah lafaz kinayah, selama
lafaz itu ada kemungkinan menjangkau kepada makanan perceraian. Bila sama sekali
tidak menjangkau kepada maksud perceraian tidak dapat dijadikan ucapan thalaq
meskipun diniatkan untuk maksud thalaq, seperti ucapan “makanlah kamu”. Lebih
lanjut Imam Malik membagi kinayah kepada dua,39
yaitu: Zhahirah yang berarti
menurut lahirnya untuk tujuan perceraian, seperti lafaz fa-ra-qah dan sa-ra-ha. Dan
Kinayah Khafiyuah dengan arti ada kemungkinan digunakan untuk perceraian.
Tentang kinayah khafiyah yang tidak jelas, mrnurut Imam Malik dapat
digunakan untuk ucapan thalaq, namun untuk itu diperlukan niat, sebagaimana yang
38 Amir Syarifuddin, , Hukum Perkawinan Islam, h. 210
39 Al-Jaziri, al-Fiqhu, h. 989
berlaku dikalangn Syafi’iyah tentang lafaz kinayah zhahiriyah. Jumhur ulama
berpendapat kinayah khafiyah tidak dapat dijadikan ucapan thalaq meskipun
diniatkan.
BAB III
PROSES PERCERAIAN PERSPEKTIF FIQH, UU NO 1/1974 DAN KHI
A. Perspektif Fiqh
Ada beberapa hal yang bisa menjadi sebab putusnya perkawinan, dan hal ini
sudah pernah dibahas ulama terdahulu di dalam lembaran kitab-kitab fiqh. Menurut
Imam Malik sebab-sebab putusnya perkawinan adalah thalaq, khulu’, khiyar atau
fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’ dan zihar. Sedangkan Imam Syafi’i mengatakan sebab-
sebab putusan perkawinan adalah thalaq, khulu’, fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’, zihar
dan li’an.40
Thalaq ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya
ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya kecuali suami kembali lagi
pada mantan istrinya dan ini terjadi terhadap thalaq raj’i yaitu thalaq satu dan dua
sedangkan thalaq ba’in yaitu tiga dimana suami tidak bisa kembali lagi kecuali
mantan istrinya sudah bersuami lagi kemudian cerai dengan suaminya barulah suami
yang pertam boleh kembali lagi pada mantan istrinya (ba’in kubra) atau dengan akad
yang baru ( ba’in sughra).
40 Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asea Tenggara: Studi Terhadap Perundang-
Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysiaya, seri INIS XXXIX,
Jakarta: 2002, h. 203
Khulu’ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus
dirinya dari ikatan suami.41
Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT surah Al-
Baqarah (2) ayat 229 dan Hadits Nabi riwayat Bukhari dan Nasa’i dari Ibnu Abbas.
��� � nCo�"pq mf�% Brh7<( ]`��2� kD e⌧ � ]]!Fs
]☺0[)��5 Brh#� *^]25Y�� -�. Artinya: “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya42
(QS. Al-Baqarah (2) :
229)
R��=A �-وس ��-+ ��-� ا�- ��س��� رس#ل ا�-S �� T�, �� R���RF ام�اة / : ی� رس#ل ا�ل =A س�مPا �A�<2دی� و�32@ اآ�$ ا�Pو N-V �A ��-+ WQ+ا�� وس-� م�-+ �-� ا رس#ل ا
R���؟ ,Q=4ی� �� وس-�. ن�8: ا�Mدی� +-��-+ �-� ا �ل رس#ل ا=A : �5=-Bا��4ی=7 و >J,ا7=�-�M) .��رى وا�3�ZJروا$ ا��F(43
Artinya; Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Rasulullah SAW.
sambil berkata: “hai Rasulullah saya tidak mencela akhlak dan agamanya, tetapi aku
tidak ingin mengingkari ajaran islam”. Maka jawab Rasulullah SAW.: “maukah
kamu mengembalikan kebunnya (tsabit, suaminya)?” ia. “maka Rasulullah SAW
bersabda : “terimalah (tsabit) kebun itu dan thalaq ia satu kali.” (HR. Bukhari dan
Nasa’i)
Ketika istri ingin bercerai dengan suaminya dengan jalan khulu’ maka istri
harus mengembalikan maskawin yang pernak diberikan suami kepadanya sebagai
tebusan atas dirinya dari ikatan suami.
41 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B, Afif
Muhammad Idrus Al-Khaff, Jakarta: lentera, 2007, cet, 6, h. 456. Lihat juga Muhammad Thalib
terjemahan Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq. 42 Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh. Kulu' Yaitu
permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwadh.
43 Al-Asqalani, Bulughul Maram, h. 228
Fasakh ialah batalnya perkawinan di sebabkan rusak atau tidak sahnya
perkawinan yang dilangsungkan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah
satu rukun perkawinan, atau sebab lain yang datang kemudian setelah akad
perkawinan yang membatalkan kelangsungannya perkawinan.44
Contoh fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi dalam akad perkawinan:
1. Setelah akad nikah ternyata istri adalah saudara sepersusuan.
2. Suami-istri masih kecil diakadkan oleh selain ayah atau kakeknya,
kemudian setelah dia dewasa ia berhak untuk meneruskan ikatan
perkawinannya dahulu itu atau mengakhirinya. Khiyar ini disebut khiyar
balig. Jika yang dipilih mengakhiri ikatran suami istri, maka hal ini
disebut fasakh akad.
Contoh fasakh karena hal-hal mendatang setelah akad:
Bila salah seorang dari suami-istri murtad dari islam dan tidak mau
kembali sama sekali. Maka akadnya fasakh (batal) disebabkan kemurta-
dan yang terjadi belakangan.
Pisahnya suami-istri akibat fasakh berbeda daripada thalaq, sebab thalaq ada
thalaq raj’i dan thalaq ba’in. selain itu, pisahnya suami-istri karena thalaq dapat
mengurangi bilangan thalaq. Adapun pisahnya suami-istri karena fasakh, maka hal ni
tidak berarti mengurangi bilangan thalaq cukup dengan akad baru dan suami tetap
mempunyai kesempatan tiga kali thalaq.
44 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih Bahasa: Mohammad Thalib (Bandung: PT Alma’arif ,
1980), jilid, 8, h. 133
Syiqaq berarti perselisihan antara suami dan istri sehingga antara suami-istri
terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran yang menjadi dua pihak yang tidak
mungkin dipertemukan dan kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya. Kecuali
dengan hakam (juru damai)45
sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nisa’ (4)
ayat 35:
��<B� >@�"pq � <#� Br0���5. �H �] [. �
�☺ $]- *,#E� t#%�G�% �☺ $]-B� *,#E� D]_��G�% ��< D]2(M}(
☯ ���*{�< ��#��BH( �D D]☺0 ��`5.
Artinya: dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
Maka kirimlah seorang hakam46
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. (QS. An-Nisa’ (4) :
35)
Ayat di atas mengisyaratkan untuk mengangkat hakim (juru damai) diantara
suami-istri yang sedang berselisih, agar dapat perselisihan itu menemukan jalan yang
terbaik bagi keduanya.
Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap
suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk perintah, penyelewengan dan hal-hal
yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga47
seperti istri tidak mau diajak
45 Ibid., 122
46
Hakam ialah juru pendamai.
47 Amiur Nuruddin. Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No 1/1974 sampai KHI), Jakarta: Kencana, 2004, edisi I,
h.209
ketempat tidur. Berkenaan dengan hal ini Allah memberikan tuntunan bagaimana
mengatasi nusyuz istri yang terdapat dalam surah An-Nisa’ (4) ayat 43:
67n���B� 5�H � (�� JK G]|HI� � JK GH�I# � +, G�}I�GB� ��O
K�pse�]☺�� +, GH.�)*B� � ��� � [^I\B: �% e⌧ � �HC[& �
+,0[)��5 �⌧h�\]� Artinya: “wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,
48 Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya.49
(QS. An-Nisa’ (4) : 43)
Berangkat dari surah An-Nisa ayat 34 Al-Qur’an memberikan opsi sebagai
berikut:
a. Istri diberi nasehat dengan cara yang ma’ruf agar ia segera sadar terhadap
kekliruan yang diperbuat.
b. Pisah ranjang. Cara ini bermakna sebagai hukuman psikologis bagi istri
dan dalam kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi diri
terhadap kekliruannya.
c. Apabila dengan cara ini tidak berhasil, langkah berikutnya adalah memberi
hukuman fisik dengan cara memukulnya yang tidak membahayakan si
istri.
48 Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti
meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
49 Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya
haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur
mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak
meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan
seterusnya.
Zhihar yang berarti “punggung” maksudnya: suami berkata kepada istrinya:
“engkau seperti punggung ibuku”. Dalam kitab Fathul Bari dikatakan: khusus disebut
punggung saja dan bukan anggota badan lainnya, karena umumnya punggung tempat
tunggangan. Karena itu tempat tunggangan disebut punggung. Lalu perempuan
kemudian diserupakan dengan punggung sebab ia jadi tunggangan laki-laki.50
Dasar
hukumnya adalah firman Allah dalam surah Al-Mujaadalah (58) ayat 2:
5OP#Q�D 5��}�_� I( ^C$:#� ,#E� >�_�D���/� 9� JK G
>�_#@�]_9�w% � ��< >�_Y�]_9�w% mf�< d#k4��� >�_5U*2 �B� u [^09c�<B� 5�HC�HI<Bh � �}⌧\F� q,#E� 7�[H <�� Fd�|B�
Artinya: “orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu,
(menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu
mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan
Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar
dan dusta. (QS. Al-Mujadalah (58) : 2)
Para ulama mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali) sepakat bahwa,
apabila seoarang laki-laki menziher istrinya, maka laki-laki itu tidak halal lagi
mencampuri istrinya sampai dia memerdekakan budak. Kalau dia tidak mampu, dia
harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Kalau tidak mampu pula, maka dia harus
memberi makan enam puluh orang miskin.51
dasar hukum yang mereka ambil ialah
firman Allah dalam surah Al-Mujadalah ayat [58] 3-4:
50 Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 123
51 Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, h. 494
5OP#Q�DB� 5��}�_� I( ,#� [^07�D���/� �^ > 5���`H 5(
]☺#� �HC� Q }(M} 5Y � &/5& QBd ,#E� �Z[\ Q ��% X�D]☺5@5( u
[.C$#�j ; 1�H�I5H � t#-�. u �DB� ]☺�. 5�H �]☺ � �)}�&]q
. ,]☺ � >�� *2p_ g �Bhp� � �O�P5}[�⌧� �O�] �.5Y5@� ,#�
�Z[\ Q ��% X�D]☺5@5( � ,]☺ � >�� *�#�5Y�!� �] *�� � 5O�#�Yp� F:`p$�#� u ]&#�j ; �H:#� Y#�
kD�. t#%�DH��BdB� u 1 ��#�B� �`��2� kD $ q,(M}#"� $��#�B� �⌧h5 ~n�#��% .
Artinya: “orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka
hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang
tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-
hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (QS. Al-
Mujadalah (58) : 3-4)
Ila’ adalah sumpah seorang suami dengan nama Allah untuk tidak menggauli
istrinya.52
Dasarnya adalah firman Allah dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 226-227:
5OP#Q�#�� 5�HC� ( ,#� [^�_�D���/� ��1.5} �
#/] 5.[d�% �}0*¢�% � ��� � �£CD � 9��� � �D ⌦dHI"⌧~ �>h#-�d
. ��<B� �H�5¥5 5������� 9��� � �D ��h#"⌧¦ �>`��5a .
Artinya: “Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya53
diberi tangguh
empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka
52 Ibd., h. 498
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka
ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar
lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Baqarah (2) : 226-227)
Seluruh mazahib sepakat bahwa, ila’ dipandang jatuh manakala suami
bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya seumur hidup, atau untuk masa lebih dari
empat bulan. Apabila suami mencampuri istri dalam waktu empat bulan itu (sesudah
ia bersumpah), maka dia harus membayar kafarat, dan hilanglah untuk melanjutkan
perkawinan.. Kafarat yang dimaksud adalah memberi makan sepuluh orang miskin,
memberi pakian kepada mereka, atau memerdekakan budak, jika tidak bisa dia boleh
berpuasa selama tiga hari.54
Li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya
berbuat zina dengan mendatangkan empat saksi atau bersumpah empat kali dengan
nama Allah dan pada sumpah yang kelima ia mengucapkan bahwa ia akan dilaknat
oleh Allah kalau tuduhannya itu dusta, jika tidak bisa mendatangkan empat orang
saksi.55
sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nur (24) ayat 6-7:
5OP#Q�DB� 5�H�[}5( [^�_]sjB��|�% > �B� ,C$5( [^§¨b
£CD]2/0I¢ lf�< [^�_��I"U�% C!]2�]_5� � >#G#25��% ��5.[d�% ©^j]2�B�⌧� kD�. J x-4U�< q,#☺ �
1ª�#Q#2�X�� . /��#☺� (�«B�
53 Meng-ilaa' isteri Maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri isteri. dengan sumpah ini
seorang wanita menderita, karena tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan. dengan turunnya ayat ini, Maka suami setelah 4 bulan harus memilih antara kembali menyetubuhi isterinya lagi dengan
membayar kafarat sumpah atau menceraikan. 54 Ibib., h. 498-499
55 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Alih Bahasa: Mohammad Thalib, h. 135
9��% �VB: � kD #-�h��5 ��< 5�Q⌧y q,#� 5O��.7h� $�� .
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal
mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian
orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah
Termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah
atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta56
(QS. An-Nur (24) : 6-7)
B. Perspektif UU No 1 Tahun 1974
Putusnya perkawinan yang dalam kitab fiqh disebut thalaq diatur secara
cermat dalam UU Perkawinan, PP No 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksanaan dari
UU Perkawinan dalam Pasal 38 UU Perkawinan menjelaskan bentuk putusnya
perkawinan dengan rumusan: Perkawinan dapat putus karena: a. kematian; b.
perceraian; dan c. atas keputusan Pengadilan
Dalam Undang-undang perkawina perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang pengadilan dan perceraian dapat terjadi setelah Pengadilan Agama berusaha
dan tidak berhasil mendamaikannya, dan bila memenuhi alasan-alasan, bahwa antara
suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Hal ini juga
dijelaskan dalam UUP No 1 Tahun 1974 Pasal 39
Pasal 39 UUP
(1). Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
56 Maksud ayat 6 dan 7: orang yang menuduh Istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan
empat orang saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa Dia adalah benar dalam
tuduhannya itu. kemudian Dia bersumpah sekali lagi bahwa Dia akan kena laknat Allah jika Dia
berdusta. Masalah ini dalam fiqih dikenal dengan Li'an.
(2). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami
isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(3). Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.
Kemudian dalam PP No 9 Tahun 1975 Pasal 19 sebagai pelaksanaan dari
undang-undang No 1 Tahun 1974 sebagai berikut:
Pasal 19 PP
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
urut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Tata cara perceraian bila dilihat dari aspek subjek hukum atau pelaku yang
mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek sebagai berikut:57
57 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sniar Grafika, 2006), cet, I, h.
80
1. Cerai Thalaq (suami yang bermohon untuk perceraian)
Apabila suami mengajukan permohonan kepengadilan untuk menceraikan
istrinya, kemuadian sang istri menyetujuinya disebut cerai thalaq. Mengenai hal
pengajuan permohonan cerai thalaq kepengadilan PP No 9 Tahun 1975 mengaturnya
dalam Pasal 14.
Pasal 14 PP:
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,
yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di
tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud
menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada
Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Dalam hal tempat pengajuan gugatan perceraian yang daerah hukumnya
meliputi tempat tergugat (istri) terdapat pada Pasal 20 PP No 9 Tahun 1975 sebagai
pelaksanan dari UUP No 1 Tahun 1974.
Pasal 20 PP:
1. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
2. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau
tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.
3. Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua
Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui
Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Setelah permohonan cerai thalaq diajukan ke Pengadilan Agama, Pengadilan
Agama melakukan pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar
diajukannya permohonan tersebut.58
Hal itu diatur dalam Pasal 15 PP No 9 Tahun
1975.
Pasal 15 PP:
Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi Surat yang dimaksud dalam
Pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
memanggil pengirim Surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.
Dalam hal pemeriksaan permohonan gugatan perceraian, dilakukan dalam
sidang tertutup setelah hakim mendamaikan dan tidak dicapai perdamaian itu. Hal ini
dijelaskan dalam Pasal 33 PP No 9 Tahun 1975.
Pasal 33 PP:
Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian
dilakukan dalam sidang tertutup.
Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian. Dalam
menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian perlu
diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh
penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. Apabila tergugat bertempat kediaman
58 Ibid., h. 80
di luar negeri, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya
6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan
Pengadilan. Selanjutnya PP No 9 Tahun 1975 mengharuskan kehadiran suami atau
istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya dalam hal pemeriksaan gugatan
perceraian. Hal ini diatur dalam Pasal 30.
Pasal 30 PP:
Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang sendiri
atau mewakilkan kepada kuasanya.
Setelah permohonan gugatan perceraian di ajukan kepengadilan yang meliputi
daerah hukum tergugat dan telah diperiksa oleh hakim dan hal itu layak untuk
disidangkan maka pengadilan memanggil penggugat dan tergugat atau kuasanya
untuk melakukan sidang pengadilan. Pemanggilan penggugat dan tergugat atau
kuasanya guna diadakan sidang pengadilan diatur dalam Pasal 26 dan 27 PP No 9
Tahun 1975 sebagai berikut:
Pasal 26 PP:
1. Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan
perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan
dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.
2. Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita; bagi
Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh
Ketua Pengadilan Agama.
3. Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang
bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan melalui
Lurah atau yang dipersamakan dengan itu.
4. Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan
secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau
kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka.
5. Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan.
Pasal 27 PP:
1. Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20
ayat 2. panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada
papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu
atau beberapa surat, kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh
Pengadilan.
2. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media
tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu
satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
3. Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2)
dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
4. Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2)
dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa
hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak
beralasan.
Jika tergugat bertempat tinggal di luar negeri maka panggilan disampaikan
melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
2. Cerai Gugat (istri yang bermohon untuk bercerai)
Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan
yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama, yang kemuadian termohon (suami)
menyetujui, sehingga Pengadilan Agama mengabulkan permohonan dimaksud. Oleh
karena itu, khulu’ termasuk cerai gugat. Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas
permintaan istri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas
persetujuan suaminya.59
Cerai gugat di atur dalam Pasal 73 UUPA sebagai berikut:
Pasal 73 UUPA
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meningggalkan
tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan
perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman tergugagt.
(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri,
maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau ke Pengadilan
Agama Jakarta Pusat.
59 Ibid., h. 81
Adapun tindakan hukum selama proses perkara di pengadilan berlangsung,
menghindari berbagai kemungkinan hal-hal yang bersifat negative di antara suami
istri. Hal ini diatur pada Pasal 24 PP No 9 Tahun 1975.
Pasal 24 PP
(1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat
atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin
ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-isteri tersebut untuk
tidak tinggal dalam satu rumah.
(2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat
atau tergugat, Pengadilan dapat :
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak;
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-
barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang
yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
Gugatan tersebut gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya
putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian itu. Namun bila terjadi perdamaian,
tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah
diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai. Upaya perdamaian dimaksud
memungkinkan terjadi, mengingat ia tidak dibatasi pada sebelum pemeriksaan
perkara, namun dapat diupayakan setiap kali sidang. Lain halnya bila tidak tercapai
perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.60
60 Ibid., h. 83
Jika sidang pemeriksaan gugatan percerauan dilakakan secara tertutup,
putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum. Perceraian dianggap terjadi, beserta segala akibat hukumnya terhitung
sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu,
kehadiran pihak-pihak yang berperkara atau kuasanya menjadi factor penting demi
kelancaran pemeriksaan perkara di persidangan. Hal ini diuraikan dalam Pasal 34 PP
No 9 Tahun 1975.
Pasal 34 PP:
(1) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung
sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh
Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung
sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
Sesudah perkara perceraian diputuskan dalam sidang terbuka untuk umum,
maka salinan putusan dikirim kepada pihak-pihak yang terkait. Hal ini dijelasakan
dalam Pasal 35 PP No 9 Tahun 1975.
Pasal 35 PP:
(1) Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban
mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan sebagaimana
dimaksud Pasal 34 ayat (1) yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap/yang telah dikukuhkan, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat
ditempat perceraian itu terjadi, dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan
perceraian dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.
(2) Apabila perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan
daerah hukum Pegawai Pencatat dimana perkawinan dilangsungkan, maka
satu helai salinan putusan dimaksud ayat (1) yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap/telah dikukuhkan tanpa bermeterai dikirimkan
pula kepada Pegawai Pencatat tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh
Pegawai Pencatat tersebut dicatat pada bagian pinggir dari daftar catatan
perkawinan, dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri,
salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta.
(3) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi
tanggungjawab Panitera yang bersangkutan apabila yang demikian itu
mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya.
C. Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)
KHI juga tampaknya mengikuti alur yang digunakan oleh UUP No 1 Tahun
1974, walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukan aturan-
aturan yang lebih rinci. KHI memuat masalah Putusnya Perkawinan pada Bab XVI.
Pasal 113 dinyatakan:
Perceraian dapat putus karena:
a. Kematian,
b. Perceraian dan
c. atas putusan pengadilan.
Kemudian diuraikan dalam Pasal 114 sebagai berikut: “Putusnya perkawinan
yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena thalaq atau berdesarkan
gugatan perceraian”
Berbeda dengan UU Perkawinan yang tidak mengenal istilah thalaq, KHI
menjelaskan yang dimaksud dengan thalaq pada Pasal 117.
Pasal 117 KHI:
Thalaq adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi
salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud
dalam pasal 129, 130, dan 131.
Berkenaan dengan perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan
Agama dinyatakan pada pasal 115.
Pasal 115 KHI:
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak.
Sedangkan yang berkenaan dengan alasan-alasan terjadinya perceraian
dijelaskan secara luas pada Pasal 116.
Pasal 116 KHI:
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang
b. Salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e. Sakah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga;
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga.
Berangkat dari Pasal 116 ini, ada tambahan dua sebab perceraian dibanding
dengan Pasal 19 PP Tahun 1975, yaitu suami melanggar taklik thalaq dan murtad.
Yang dimaksud taklik thalaq KHI menjelaskan pada Pasal 1 huruf (e)
denganpenjelasan:
Taklik thalaq ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah
akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji thalaq yang
digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa
yang akan datang;
Mengenai hal pengajuan permohonan cerai thalaq (suami) kepengadilan yang
meliputi tempat tinggal tergugat (istri) KHI mengaturnya dalam Pasal 129:
Pasal 129 KHI:
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan
permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar
diadakan sidang untuk keperluan itu.
Mengenai permohonan cerai gugat yang di ajukan istri kepengadilan yang
wilayah hukumnya meliputi tempat istri terdapat dalam Pasal 132
Pasal 132:
1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan
Agama,. Yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat
kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman
2. Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan
Agama memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui
perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut,
dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi
Kompilasi Hukum Islam membedakan cerai gugat dengan khulu’. Namun
demikian, ia mempunyai kesamaan dan perbedaan di antara keduanya. Persamaannya
adalah keinginan untuk bercerai datangnya dari pihak istri. Adapun perbedaannya,
yaitu cerai gugat tidak selamanya membayar uang iwad (uang tebusan), sedangkan
khulu’ uang iwad (uang tebusan) menjadi dasar akan terjadinya khulu’ atau
perceraian. Khulu’ dimaksud, diatur dalam Pasal 148 KHI.
Pasal 148 KHI:
1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan
khuluk, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama
yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alas an atau alasan-
alasannya
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan
suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing
3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan
tentang akibat khuluk, dan memberikan nasehat-nasehatnya.
4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan,
maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi
suami untuk mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan Agama.
Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam
pasal 131 ayat (5)
6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau
iwadl Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara
biasa.
Kemudian pemeriksaan permohonan yang diajukan penggugat ataupun
tergugat dipelajari oleh Pengadilan Agama yang bersangkutan untuk mengetahui
layak tidaknya gugatan tersebut disidangkan, di atur dalam Pasal 113:
Pasal 131 KHI:
(1) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan
dimaksud Pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh
hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
(2) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak
dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang
bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga,
Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami
untuk mengikrarkan talak.
(3) Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami
mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh
istri atau kuasanya.
(4) Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan
terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak
baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hak suami untuk
mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.
(5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat
penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti
perceraian bagi bekas suami dan istri.
Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat
Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan,
helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami istri, dan helai
keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.
Selanjutnya Pasal 141 menjelaskan:
1. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat
gugatan perceraian
2. Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatian
tentang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh
penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka
3. Apabila tergughat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 116
huruf b, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-
kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkanya gugatan
perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama.
Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian. Dalam
menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatian tentang waktu
pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat
atau kuasa mereka. Apabila salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain diluar kemampuannya, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan
sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkanya gugatan
perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama.
Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang sendiri atau
mewakilkan pada kuasanya. Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk
kepentingan pemeriksaan, hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk
hadir sendiri dan dalam pemeriksaan gugatan perceraian hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak selama perkara belum diputuskan, usaha
mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang selama perkara belum diputuskan.
Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru
berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah
diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian. Hal ini di jelaskan pada
Pasal 142, 143 dan 144. Jika perdamaian yang dilakukan hakim tidak tercapai, maka
pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup
Adapun tindakan hukum selama proses perkara di pengadilan berlangsung,
menghindari berbagai kemungkinan hal-hal yang bersifat negatif di antara suami istri.
Hal ini diatur dalam Pasal 136.
Pasal 136 KHI:
1. Selama berlangsungya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau
tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan,
Penghadilan Agama dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak
tinggal dalam satu rumah.
2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat
atau tergugat, Pengadilan Agama dapat:
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-
barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang
menjadi hak suami atau barang-barang
Pasal 137 KHI menjelaskan, gugatan tersebut gugur apabila suami atau istri
meninggal sebelum adanya putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian itu.
Namun bila terjadi perdamaian, tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru
berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian
tercapai. Upaya perdamaian dimaksud memungkinkan terjadi, mengingat ia tidak
dibatasi pada sebelum pemeriksaan perkara, namun dapat diupayakan setiap kali
sidang. Lain halnya bila tidak tercapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian
dilakukan dalam sidang tertutup
Dalam setiap kali diadakan sidang Pengadilan Agama, baik penggugat
maupun tergugat, atau kuasanya akan dipanggil untuk menghadiri sidang trersebut.
Panggilan dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Agama
dengan melampirkan surat gugatan. Panggilan tersebut di lakukan secara patut dan
disampai kepada penggugat ataupun tergugat, bila tidak ditemukan disampaikan
melalui lurah atau yang sederajat. Hal ini diatur secara lengkap pada Pasal 138 dan
139
Pasal 138 KHI:
1. Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak
mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara
menempelkan gugatanpada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan
mengumumkannya melalui satu atau bebrapa surat kabar atau mass media
lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.
2. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-siurat kabar atau mass media
tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu
satu bulan antara pengumuman pertama
3. Tenggang dwaktu antara penggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sejurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
4. Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya
tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak
Pasal 139 KHI:
1. Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak
mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara
menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan Agama
dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau
messmedia lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.
2. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau massmedia
tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (2) kali dengan tenggang waktu
satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
3. Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga)
bulan.
4. Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya
tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.
Jika tergugat berada di luar negeri maka panggilan disampaikan melalui
Perwakilan Republik Indonesia setempat. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta
akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, putusan tersebut dilakukan dalam sidang
terbuka. Setelah perkara cerai itu diputus maka panitera menyampaikan salinan surat
putusan tersebut kepada suami istri, atau kuasanya, kemudian disampaikan pada
Pegawai Pencatat Nikah tampa bermaterai yang mewilayahi tempat tergugat (istri).
Dalam UUP No 1 Tahun 1974 dan PP No 9 Tahun 1975 tidak mengenal
adanya khulu’ tapi KHI menjelasakan apa yang dimaksud dengan khulu’ pada Pasal 1
huruf (i) sebagai berikut:
Pasal 148 KHI:
1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk,
menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggalnya disertai alas an atau alasan-alasannya
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan
suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing
3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan
tentang akibat khuluk, dan memberikan nasehat-nasehatnya.
4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan,
maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami
untuk mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan Agama. Terhadap
penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal
131 ayat (5)
6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau iwadl
Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa.
Permohonan crai kepengadilan berdasarkan alasan:61
1. Permohonan cerai karena melalaikan kewajiban. Menurut UUP No 1 Tahun 1974
Pasal 34 ayat (3) ada dijelaskan, jika istri melalaikan kewajiban, suami dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum
Islam seperti yang dimuat dalam Pasal 7 ayat (5) ada dinyatakan, jika suami atau istri
61 Nuruddin dan Azhari, Hukum Perdata Islam, h. 224-228
melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kapada
Pengadilan Agama.
2. Permohonan cerai dengan alasan berbuat zina atau pemadat. Berkenaan dengan
masalah ini dimuat dalam PP No 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (a) yang berbunyi,
“salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan. Senada dengan alasan di atas, Kompilasi
Hukum Islam juga menegaskan seperti terdapat dalam Pasal 116 huruf (a) yang
berbunyi, “perceraian dapat terjadi karena salah satu pihak berbuat zina atau menjadi
pemabuk, pemadat penjudi, dan lain sebagainya yang tidak dapat disembuhkan.
3. Permohonan cerai berdasarka alasan meninggalkan suami atau istri selama 2 tahun
berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah. Alasan ini dimuat dalam PP No 9
Tahun 1975 Pasal 19 huruf (b) yang menyatakan “ salah satu pihak meninggalkan
pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain tanpa alasan
yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya”. Sedangkan KHI Pasal 116
huruf (b) berbunyi, “salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di
luar kemampuannya”.
4. Permohonan cerai dengan alasan mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih.
Alasan ini dijelasakan pada PP No 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (c) yang berbunyi, “
salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung”. Selanjutnya dalam KHI Pasal 116 huruf (c)
dijelasakan, “salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung”.
5. Permohonan cerai berdasarkan alasan melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan pihak lain. Dalam PP No 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (d)
di jelaskan, “salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain”. Adapun dalam KHI Pasal 116 huruf (d) juga dijelaskan,
“salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain”.
6. Permohonan cerai berdasarkan alasan mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. Hal ini dimuat dalam PP No 9
Tahun 1975 Pasal 19 huruf (e) yang berbunyi, ”salah satu pihak mendapat cacat
badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebgai suami
istri”. Dalam KHI Pasal 16 huruf (e) dinyatakan, “salah satu pihak mendapat cacat
badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami
istri”.
7. Permohonan cerai berdasarkan alasan terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran. Berdasarkan dengan alasan ini dijelaskan pada PP No 9 Tahun 1975
Pasal 19 huruf (f) yang berbunyi, “antara suami dan istri terus-menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga”. Selanjutnya KHI Pasal 116 huruf (f) juga dijelaskan, “antara suami
dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.
8. Permohonan cerai dengan alasan murtad. Dalam KHI Pasal 116 huruf (h) dengan
tegas dinyatakan, “peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga”. Menarik untuk dianalisis lebih lanjut, UUP
No 1 Tahun 1974 tidak memuat murtad sebagai salah satu sebab atau alasan
perceraian. Ironisnya, ada kesan KHI kendati ada menyebut murtad sebagai alasan
perceraian, namun alasan tersebut dikaitan dengan adanya kalimat, “yang
menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga”.
9. Permohonan cerai dengan alasan syiqaq. Dalam UUPA No 7 Tahun 1989 Pasal 76
dijelaskan, “ apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk
mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi yang berasal dari
keluarga atau orang-orang yang dekat suami istri. Pada ayat (2) ada dinyatakan,
“Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara
suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak
ataupun orang lain untuk menjadi hakam”.
10. Permohonan cerai dengan alasan li’an. Alasan ini dapat ditemukan dalam Pasal
87 ayat (1) UUPA No 7 Tahun 1989 yang berbunyi, “Apabila permohonan atau
gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan
pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau
tergugat menyanggah alasan tersebut, dan Hakim berpendapat bahwa permohonan
atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat
bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari
termohon atau tergugat, maka Hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon
atau penggugat untuk bersumpah”.
Selanjutnya pada ayat (2), " Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan
pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama”. Berikutnya dalam
Pasal 88 ayat (1) UUPA dijelaskan, ” Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat
dilaksanakan dengan cara li'an”. Berikutnya ayat (2), “Apabila sumpah sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh istri maka penyelesaiannya
dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku”.
Penjelasan yang sama juga dapat ditemukan dalam Pasal 125 dan 126 KHI
yang berbunyi, “Li`an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk
selama-lamnya”. Pada Pasal 126, “Li`an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat
zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari
isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran”.
Selanjutnya berkenaan dengan tata cara li’an di atur dalam Pasal 127 KHI
sebagai berikut:
a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau
pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat
Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau
b. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran gtersebut dengan sumpah
empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak
benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya
:tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”;
c. Tata cara pada huruf (a) dan huruf (b) tersebut merupakan satu kesatuan
yang tak terpisahkan;
d. Apabila tata cara huruf (a) tidak diikuti dengan tata cara huruf (b) maka
dianggap tidak terjadi li`an.
BAB IV
THALAQ DI LUAR PENGADILAN
A. Status Hukum
Diskursus tentang perceraian menurut perundang-undangan di Indonesia
sebenarnya masih menimbulkan tanda tanya besar. Hal ini disebabkan oleh besarnya
peran yang dimiliki lembaga peradilan untuk menentukan putus tidaknya sebuah
perkawinan. Sebagaimanan yang telah diungkapkan di muka, baik UUP No 1 Tahun
1974, PP No 9 Tahun 1975 dan KHI begitu juga UUPA No 7 Tahun 1989 semuanya
menyatakan bahwa: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak.
Dalam kaitan hal ini Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam fatwanya yang
disidangkan pada hari Jum’at, 8 Jumadil ula 1428 H/ 25 Mei 2007 M memberikan
sebuah putusan bahwa perceraian harus dilakukan melalui proses pemeriksaan
pengadilan, cerai thalaq dilakukan dengan cara suami mengikrarkan thalaq-nya di
depan sidang Pengadilan dan cerai gugat diputuskan oleh hakim. Alasan mereka
adalah bahwa: Penjatuhan thalaq di depan sidang pengadilan bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan berupa perlindungan terhadap institusi keluarga dan
perwujudan kepastian hukum dimana perkawinan tidak dengan begitu mudah
diputuskan. Pemutusan harus didasarkan kepada penelitian apakah alasan-alasannya
sudah terpenuhi. Dengan demikian thalaq yang dijatuhkan di depan pengadilan
berarti thalaq tersebut telah melalui pemeriksaan terhadap alasan-alasannya melalui
proses sidang pengadilan.
Perceraian dapat terjadi karena permohonan suami kepada Pengadilan untuk
menyaksikan ikrar thalaq yang disebut cerai thalaq atau karena gugatan isteri yang
disebut cerai gugat. Untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang cukup.
Meskipun termasuk ke dalam wilayah hukum privat, persoalan cerai sesungguhnya
juga menyangkut kepentingan luas, yakni ketentraman rumah tangga, nasib anak-
anak yang orang tuanya bercerai, bahkan menyangkut kepentingan lebih luas lagi,
yaitu tentang kepastian dalam masyarakat apakah suatu pasangan telah berpisah atau
masih dalam ikatan perkawinan. Oleh karena itu perceraian tidak dapat dilakukan
secara serampangan. Sebaliknya harus dilakukan pengaturan sedemikian rupa agar
terwujud kemaslahatan dan ketertiban di dalam masyarakat. Dalam hadist Nabi SAW
dinyatakan bahwa perceraian itu adalah suatu hal yang halal tetapi sangat dibenci
oleh Allah. Nabi SAW bersabda,
� ا���آ� (ا��� ا���ل ا�� ا ا���ق���� و �62 )روا$ ا�#داود وا�� م
Suatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah thalaq [HR. Abu Dawud
dan al-Baihaqi].
62Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Bulughu Al-Maram Min Adillatu Al-Ahkam, (Surabaya:
Al-Hidayah) h. 223
Artinya perceraian jangan dianggap enteng dan dipermudah-mudah karena
peceraian itu sangat dibenci oleh Allah meskipun halal. Wujud dari tidak
mengenteng-entengkan perceraian itu adalah bahwa ia hanya dapat dilakukan bila
telah terpenuhi alasan-alasan hukum yang cukup untuk melakukannya. Di samping
itu harus dilakukan melalui pemeriksaan pengadilan untuk membuktikan apakah
alasannya sudah terpenuhi atau belum. Oleh karena itulah ijtihad hukum Islam
moderen, seperti tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Ps.115)
misalnya, mewajibkan prosedur perceraian itu melalui pengadilan; dan bahwa
perceraian terjadi terhitung sejak saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang
Pengadilan (KHI, Ps.123). Memang dalam fiqh klasik, suami diberi hak yang luas
untuk menjatuhkan thalaq, sehingga kapan dan di manapun ia mengucapkannya,
thalaq itu jatuh seketika. Keadaan seperti ini dipandang dari sudut pemeliharaan
kepentingan keluarga, kepastian hukum dan ketertiban masyarakat tidak mewujudkan
maslahat bahkan banyak merugikan terutama bagi kaum wanita (isteri). Oleh karena
itu demi terwujudnya kemaslahatan, maka perceraian harus diproses melalui
pengadilan. Jadi di sini memang ada perubahan hukum, yaitu dari kebolehan suami
menjatuhkan thalaq kapan dan di manapun menjadi keharusan menjatuhkannya di
depan sidang pengadilan. Perubahan hukum semacam ini adalah sah
sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
P63ی���M �23ا]�2�م ����Qا�6م�ن
63 Abdul Aziz Muhammad Azami. Qawaid al-Fiqhiyyah, Darul Hadits al-Qahirah.
Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman [Qawaid
al-Figh hlm. 19].
Ibnu al-Qayyim menyatakan64
: “Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi
menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat” ( I'lam al-
Muwaqqi'in, Juz III, hlm. 3).
K.H. Ahmad Azhar Basyir (mantan Ketua Majelis Tarjih dan Ketua PP
Muhammadiyah), mengenai masalah ini, menyatakan: Perceraian yang dilakukan di
muka pengadilan lebih menjamin persesuaiannya dengan pedoman Islam tentang
perceraian, sebab sebelum ada keputusan terlebih dulu diadakan penelitian tentang
apakah alasan-alasannya cukup kuat untuk terjadi perceraian antara suami-istri.
Kecuali itu dimungkinkan pula pengadilan bertindak sebagai hakam sebelum
mengambil keputusan bercerai antara suami dan istri. [Hukum Perkawinan Islam, h.
83-84].
Pada bagian lain dalam buku yang sama K.H. Ahmad Azhar menjelaskan
lebih lanjut, Untuk menjaga agar perceraian jangan terlalu mudah terjadi, dengan
pertimbangan maslahat mursalah tidak ada keberatannya apabila diambil ketentuan
dengan jalan Undang-undang bahwa setiap perceraian apapun bentuknya diharuskan
melalui pengadilan.65
Selain dari itu dapat pula ditegaskan bahwa penjatuhan thalaq
di luar sidang pengadilan, mengingat mudarat yang ditimbulkannya, harus dilarang
64 Abi Abdullah Muhammad Bin Abi Bakr Bin Ayyubi al-Ma’ruf Bi Ibni Qayyim Al-
jauziyah,I’lam al-Muwaqqi’in, Saudi Arabiyah, juz III
65 Ahmad Azhar Basyir (Mantan Ketua Majelis Tarjih Muhammaddiyah), Thalaq di Luar
Pengadilan, Artikel diakses pada 26 juli 2009 dari http://blog.unila.ac.id
dan dinyatakan tidak sah berdasarkan prinsip sadduz-zari'ah [menutup pintu yang
membawa kepada kemudaratan]. Dari apa yang dikemukakan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa,
- Perceraian harus dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan: cerai thalaq
dilakukan dengan cara suami mengikrarkan thalaqnya di depan sidang pengadilan,
dan cerai gugat diputuskan oleh hakim;
- Perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan dinyatakan tidak sah.
Bagi umat Islam aturan mengenai perceraian ini merupakan ganjalan yang
relatif masih besar atau sekurang-kurangnya masih menjadi tanda tanya yang belum
terjawab, karena dirasakan tidak sejalan dengan kesadaran hukum yang selama ini
berkembang, yaitu aturan fiqh. Aturan fiqh menginzinkan perceraian atas dasar
kerelaan kedua belah pihak, atau atas inisiatif suami atau juga inisiatif istri secara
sepihak, bahkan perceraian boleh dilakukan tanpa campur tangan lembaga peradilan.
Menurut ketentuan hukum islam, thalaq adalah termasuk salah satu hak
suami. Allah menjadikan hak thalaq di tangan suami, tidak menjadikan hak thalaq di
tangan orang lain baik itu istri, saksi ataupun pengadilan. Sebagaimana firman Allah
dalam surah Al-Ahzab (33) : ayat 49:
/012�34�5( 5OP#Q�D �RH:5�BC ;�< =>@ $5U
#V�!F#� �☺�� X> > +, GH�☺Y�<4�
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka (QS. al-
Ahzab (33) ayat 49)
Islam memberikan hak thalaq hanya kepada laki-laki saja. Karena ia yang
lebih bersihkeras untuk melanggengkan tali perkawinannya yang dibiayainya dengan
hartanya begitu besar, sehingga kalau dia mau cerai atau kawin lagi ia perlu
membiayainya lagi dalam jumlah yang sama atau lebih besar.
Para ulama mazhab fiqh Malik, Hanafi, Syafi’i dan Hambali sepakat bahwa
suami yang berakal, balig dan bebas memilih, dialah yang boleh menjatuhkan thalaq
dan thalaqnya di pandang sah meskipun main-main dalam pengucapan thalaqnya
berdasarkan hadits dari Abi Hurairah:
�ل, �3+ � وس-�: +� ا�� ه�ی�ة ر\� ا�-+ 4 ث 4 ه��/, ,�ل رس#ل ا \-� ا
� ا���آ� (.وا�� 78, وا���ق, ا�23�ح: وه�5�6 4���66)روا$ ا]ر�78 اP ا�3���F و
Artinya: dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “tiga perkara
kesungguhannya dipandang benar, dan main-mainnya dipandang benar pula, yaitu:
nikah, thalaq dan ruju’ (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmizi)
Mengenai hal thalaq yang dilakukan kepengadilan ulama mazhab fiqh
berbeda pendapat dalam dalam hal boleh tidaknya thalaq kepengadilan sebagaimana
yang akan dijelaskan dibawah ini67
:
Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad Ibnu Hambal membolehkan perceraian
dengan putusan pengadilan, jika istri menuntutnya, karena tidak diberikannya nafkah
pokok dan suami tidak mempunyai simpanan harta. Alasan-alasan bagi pendapat ini
sebagai berikut:
66 Al-‘Asqalani, Bulughu Al-Maram, h. 223 67 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 87-89.
1. Suami berkewajiban memelihara istrinya dengan baik atau mencerainya
dengan baik, karena Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 229:
�������� � ���� !"#$ ��% &⌧(�)*+ � �,���*-���.
Artinya: Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik
efB� +, GHC$p��C FdB)p ���25@ 5Y#�� u ,5�B� [Z] �"5(
]&#�j ; *2 < � q>�� � -���"5U
Artinya: Dan janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan,
karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka[145]. Barangsiapa berbuat
demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
2. Jika diakui bahwa pengadilan boleh menjatuhkan thalaq karena cacat suami,
maka karena alas an nafkah sebenarnya dapat dikatakan lebih membahayaka
dan menyakitkan istri dari pada cacat tersebut.
Imam Hanafi berpendapat bahwa tidak boleh pengadilan menjatuhkan thalaq
karena alasannafkah, baik dikarenakan suami tidak mau memberinya atau karena
berat dan tidak mampu. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah dalam surah Al-
Thalaq [65] ayat 7
�#"Fh#� � ; &/] ]� ,#E� t#-#@] ]� � ,5�B� Bd#2 Q #-�h��5 x- Q�|d �#"Fh�� � D+☺#� -� �BC �D u ef �#0� $( �D ���"5U mf�< D5� ]_� �BC u
Z] *�B`]� �D ]2 5. �)*+ :)*+�
Artinya: hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah
dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Dalam hal thalaq di luar pengadilan ulama NU juga mengeluarkan fatwanya
yang berbeda dari Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam bahsul masailnya yang ke-28
di Yogyakarta Tahun 1989 dengan memberikan keputusan bahwa thalaq adalah hak
progresif suami yang bisa dijatuhkan kapan dan dimanapun bahkan tanpa alasan
sekalipun. Oleh karena itu apabila suami belum menjatuhkan thalaq di luar
Pengadilan Agama, maka thalaq yang dijatuhkan di depan Hakim Agama itu dihitung
thalaq yang pertama dan sejak itu pula dihitung iddahnya. Jika suami telah
menjatuhkan thalaq di luar Pengadilan Agama, maka thalaq yang dijatuhkan di depan
Hakim Agama itu merupakan thalaq yang kedua dan seterusnya jika masih dalam
waktu 'iddah raj'iyyah.68
Mereka berpedoman pada kitab-kitab fiqh, diantaranya ialah
I’anat at-Thalibin dan Bughyatul Mustarsyidin dll.
Berdasarkan fatwa NU diatas yang mendasari fatwanya pada kitab-kitab fiqh
terdahulu thalaq itu sah walaupun tanpa melalui proses pengadilan dan memang tidak
ada suatu ayat yang mengharuskan thalaq melalui proses pengadilan, yang ada
hanyalah pengangkatan hakam untuk mendamaikan katika suami istri bersiteru
sebagaimana firman-Nya dalam surah An-Nisa [4] ayat 35
68 Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan jilid II, (Jakarta: Qultum Media 2004), cet, I h.
69-70.
��<B� >@�"pq � <#� Br0���5. �H �] [. �
�☺ $]- *,#E� t#%�G�% �☺ $]-B� *,#E� D]_��G�% ��< D]2(M}(
☯ ���*{�< ��#��BH( �D D]☺0 ��`5. $ 9��< �D 5�Q⌧y
�☺`��5 :)}�&]q �M�� Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal. QS. An-Nisa [4]: 35.
B. Saksi Thalaq
Sebagaimana yang telah diatur dalam UU Perkawinan bahwa perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah Pengadilan Agama tidak
berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan
thalaq serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga,
kemudian pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami
untuk mengikrarkan thalaq.
Terkait dengan persoalan thalaq yang mengharuskan kepengadilan
mempunyai implikasi adanya saksi dalam thalaq yaitu “pengadilan”, seperti yang
dijelaskan dalam Pasal 16 PP No 9 Tahun 1975
Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk
menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 14 apabila memang
terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan
Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang
bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Mengenai hal ini golongan ahli fiqh yang dahulu maupun yang kemudian
berpendapat bahwa thalaq sah tanpa di persaksikan dihadapan orang lain. Sebab
thalaq adalah termasuk hak suami. Ia tidak memerlukan kepada bukti untuk
menggunakan haknya ini. Dan tidak ada keterangan dari Nabi maupun para
shahabatnya yang menunjukkan adanya keperluan saksi dalam menjatuhkan thalaq,69
tetapi ahli fiqh golongan Syi’ah Imamiyah berlainan dengan pendapat diatas. Meraka
berkata: mempersaksikan thalaq itu menjadi syarat sahnya thalaq. Alasan mereka
yaitu firman Allah dalam surah At-Thalaq [65] 2
;�� � q,���5. +,�_��]s�% +, GHC$p����3 � ��} ]☺�. ��% +, GH Qd � &�} ]☺�.
���20*¢�%B� *¥B� ; �*25 >C$:#E� �H�☺`#Q�%B�
�!]2�]_©�� �D u [^I\#�j ; I�5H( t#-�. ,5� 5�Q⌧y ®K#� ( kD�.
#¯[HBh��B� M}pq@] u ,5�B� ��¢Y5( �D Z] �_ g x%�D
Q☯,5}�(⌧
Artinya: Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan
kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya
Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. QS. At-Thalaq [65] 2
69 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 33
Perintah untuk membuat persaksian ini, dikemukakan sesudah pembicaraan
tentang thalaq dan kebolehan ruju’. Maka yang tepat adalah bahwa persaksian itu
dimaksudkan bagi thalaq. Disebutnya persaksian sebagai alasan dapat memberi
nasehat bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Sebab, tampilnya para
saksi yang adil tidak akan bisa dilepaskan dari pemberian nasehat yang baik yang
ditujukan kepada suami istri, yang bisa menjadi jalan keluar dalam persoalan thalaq
yang amat dibenci Allah itu.70
Dalam kalangan sahabat yang berpendapat dalam mempersaksikan thalaq
hukumnya wajib dan merupakan syarat sahnya thalaq, adalah: Ali bin Abi Thalib
Imran bin Khusain, dan kalangan tabi’in: Muhammad Al-Baqir, Ja’far Shadiq, dan
anak-anak mereka dari tokoh-tokoh kelurga Rasulullah, Atha’, Ibnu Jurait dan Ibnu
Sirin.71
C. Analisis Penulis
Menurut analisis penulis, aturan-aturan perceraian yang terdapat dalam
perundang-undangan Indonesia seperti undang-undang PA, PP No 9 tahun 1975 dan
KHI, begitu juga UUPA masih mengandung beberapa persoalan mendasar,
kendatipun dalam penjelassan pasal-pasalnya tertulis pernyataan” cukup jelas”.
Persoalan yang cukup krusial untuk di diskusikan lebih lanjut adalah tentang posisi
70 Muhammad Jawad mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, h. 449.
71 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 34.
pengadilan agama didalam memutuskan perkawinan. Bagi penulis, mencermati pasal-
pasal yang menyangkut perceraian, maka ada delapan kesimpulan yang dapat ditarik.
Pertama, Kehadiran pengadilan adalah untuk meluruskan segala tindakan
yang melenceng untuk disesuikan dengan ajaran Islam.
Kedua, Dengan melalui proses pengadilan diharapkan penggunaan hak thalaq
agar dilakukan secara benar dan diterapkan hanya dalam kondisi darurat.
Ketiga, Pengadilan sebenarnya berfungsi sebagai hakam seperti yang
dianjurkan oleh syari’at Islam.
Keempat, Pengadilan diharapkan dapat berperan menjamin hak-hak masing-
masing pihak sebagai akibat dari perceraian, misalnya jaminan ganti rugi dalam
thalaq dan mut’ah.
Kelima, Perceraian itu dilakukan oleh pihak sendiri, dalam hal ini dengan cara
pengucapan ikrar (pernyataan) thalaq oleh suami. Pengadilan hanya berfungsi
menyaksikan dan memberi keterangan tentang telah terjadinya perceraian.
Keenam, Perceraian di pengadilan menjadikan pengadilan sebagai saksi yang
harus dilakukan di depan sidang pengadilan. Jadi penyaksian perceraian diluar sidang
pengadilan tampaknya tidak diizinkan.
Ketujuh, Secara impilisit bisa dikatakan bahwa perceraian seperti disebutkan
diatas baru boleh dan baru sah dilakukan setelah ada izin dari pengadilan.
Kedelapan, Perceraian dianggap terjadi sejak thalaq diucapakan suami di
depan pengadilan tersebut. Dari kedelapan hal ini tampaknya yang paling dominan
adalah izin (keputusan) pengadilan yang baru diberikan setelah ada keyakinan
terpenuhinya alasan-alasan perceraian.
Sedangkan mantan ketua Majelis Tarjih Muhammaddiyah KH. Ahmad Azhar
Basyir yang tidak mengesahkan thalaq di luar pengadilan menjadi taukid tersendiri
terhadap UU Perkawinan yang mengharuskan thalaq kepengadilan72
KH. Ahmad Azhar Basyir melihat masalah ini dari sudut kemaslahatan berupa
perlingdungan terhadap institusi keluarga dan perwujudan kepastian hukum baik
anak, harta dan status perkawinan mereka, apakah sudah cerai atau tidak.
Dengan kemaslahatan tersebut KH. Ahmad Azhar Basyir (mantan ketua
majelis tarjih muhammaddiyah) telah mengantisipasi terhadap kemudaratan yang bisa
ditimbulkan akibat perceraian tersebut, yaitu hal-hal yang tidak di inginkan.
Bagi penulis mencermati pendapat KH. Ahmad Azhar Basyir (mantan ketua
majelis tarjih muhammaddiyah) ada empat kesimpulan yang bisa di petik
1 Pengharusan thalaq melalui proses pengadilan hanya untuk kemaslahatan
terhadap institusi keluarga dengan kata lain status suami-istri menjadi jelas
kalau mereka sudah erpisah dengan adanya bukti akte cerai, begitu juga status
anak-anak mereka.
2 Mencegah kemudaratan yang bisa ditimbulkan setelah perceraian seperti
halnya pengasuhan anak, pembagian harta dan lain sebagainya.
3 Adanya bukti ketaan terhadap UU yang di bentuk Negara
72 Ahmad Azhar Basyir (Mantan Ketua Majelis Tarjih Muhammaddiyah), Thalaq di Luar
Pengadilan, Artikel diakses pada 26 juli 2009 dari http://blog.unila.ac.id.
4 Dengan tidak mengesahkannya thalaq di luar pengadilan, para suami tidak
semerta-merta menjatuhkan thalaq demi menjaga hak-hak wanita. Hal ini
sejalan dengan keingin terbentuknya UU Perkawinan
Sedangkan fiqh memberikan hak sepenuhnya terhadap suami untuk
menjatuhkan thalaq kapan dan dimanapun walaupun hai itu dengan main-main
sebagaimana hadits dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, Ibnu
Majah dan Tirmizi “ada tiga perkara kesungguhannya di anggap benar dan main-
mainnya juga di anggap benar yaitu Nikah, Thalaq dan Rujuk”73
Fiqh tidak memberikan sebuah institusi atau lembaga untuk menjatuhkan
thalaq, kecuali bagi istri yang menuntut haknya seperti nafkah lahir atau batin yag
tidak diberikan suami dengan mengadukannya kepada hakim, akan tetapi hak cerai
tetap hak suami
Lebih lanjut ulama NU dalam bahsul masailnya yang ke-28 di Yogyakarta
Tahun 1989 di jelaskan dalam bukunya Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan
jilid II, membolehkan (sah) thalaq diluar pengadilan, karena thalaq hak suami bukan
hak pengadilan. Jika suami mengikrarkan thalaq di pengadilan, maka di anggap jatuh
thalaq dua, jika suami telah menjatuhkan thalaq satu di luar pengadilan. Analisis
penulis terhadap pendapat ini cenderung terhadap:
1. Thalaq merupakan hak mutlak suami yang diberikan Allah kepada laki-laki
73 Al-‘Asqalani, Bulughu Al-Maram, h. 223
2. Tidak perlunya lembaga untuk menjatuhkan thalaq, karena fiqh sudah
mengaturnya, baik sebelum atau sesudah perceraian.
3. Fiqh juga tidak memperbolehkan penjatuhan thalaq dengan tanpa alasan.
4. Fiqh juga mempermudah proses perceraian ketimbang UU Perkawinan
Terkait dengan saksi thalaq, UU Perkawinan yang mengharuskan thalaq
kepengadilan mempunyai indikasi adanya saksi dimana seorang suami harus
mengikrarkan thalaqnya di depan hakim Pengadilan Agama. Hal ini menjadi
khilafiyah ulama fiqh ada ynag mengharuskan adanya saksi thalaq yaitu golongan
syi’ah, selain syi’ah tidak mengharuskan adanya saksi thalaq, karena cukup istri yang
mendengar dan memahaminya. Mengenai hal ini ada dual hal yang perlu digaris
bawahi:
1. Ulama fiqh yang memperbolehkan saksi thalaq, cenderung untuk memperkuat
terjadinya thalaq dimana si A dan si B sudah berpisah, sedangkan yang
menganggap tidak perlu adanya saksi thalaq cenderung terhadap masalah
rumah tangga yang tidak perlu di beritahukan pada orang lain.
2. Adanya saksi thalaq mengurangi kemungkinan pengingkaran terhadap
perceraian itu sendiri, jika saksi tidak ada, maka bisa terjadi pengingkaran.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang penulis kemukakan pada bab terdahulu, terkait dengan
status hukum thalaq diluar pengadilan, penulis menyimpulkan bahwa, thalaq di luar
pengadilan tidak sah menurut perspektif UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sekalipun fiqh mengatakan sah thalaq di luar
pengadilan, tapi tidak mempunyai kekuatan dalam hukum positif.
Dalam UU No 1 Tahun 1974, Kompiulasi Hukum Islam dan Fiqh dapat
diambil intisari dari beberapa penjelasan pada bab-bab terdahulu terkait dengan
thalaq sebagai berikut:
1. Thalaq hanya bisa dilakukan setelah keduanya sudah didamaikan.
2. Adanya alasan untuk menjatuhkan thalaq sebagaimana yang terdapat pada
Pasal 39 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 yang dijelaskan pada Pasal 19 PP No
9 Tahun 1975 begitu juga Kompilasi Hukum Islam yang dijelaskan pada Pasal
116 begitu juga fiqh seperti yang dijelaskan dalam KHI.
3. Undang-undang No 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh sama-
sama memberikan hak terhadap istri untuk menuntut cerai terhadap suaminya,
yang dalam istilah UU No 1 Tahun 1974 disebut cerai gugat. Sedangkan
dalam istilah Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh disebut khuluk.
4. Adanya persyaratan thalaq melalui pengadilan, terkait dengan persyaratan
saksi thalaq. Dalam hal ini mayoritas ulama berpendapat bahwa di dalam
thalaq tidak disyaratkan adanya saksi thalaq. Sedengakan UU No 1 Tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam memberikan penjelasan bahwa pengadilan
hanya menyaksikan ikrar thalaq yang diucapkan suami terhadap istrinya.
B. SARAN
1. Bagi ummat Islam janganlah sekali-kali menjatuhkan thalaq di luar pengadilan
walaupun hal itu (thalaq) yang dilakukan di luar pengadilan diperbolehkan,
tapi untuk lebih kehati-hatian dan lebih menjamin kepastian hukum thalaq itu
sendiri dan untuk mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan setelah
perceraian. Untuk itucerai harus dilakukan kepengadilan.
2. Bagi ulama yang berpendapat sah thalaq di luar pengadilan jangan sampai
menafikan atau mengenyampingkan UU perkawinan dan jangan bersifat
otoriter terhadap fatwa yang dijadikan landasan hukum sahnya thalaq di luar
pengadilan sehingga mempermudah terjadinya thalaq, karena thalaq yang
dilakukan di luar pengadilan terkesan mempermudah terjadinya thalaq.
3. Bagi aparatur pemerintah yang membuat UU, jangan jadikan UU khususnya
UU Perkawinan terkesan kurang efektif dikarenakan masih ada sebagian
ummat Islam yang melakukan thalaq di luar pengadilan. Maka dari itu
perlunya penegasan hukum seperti sanksi bagi yang melakukan thalaq di luar
pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
Abdurrahman, Haris Abdullah. Terjemah Bidayatul Mujtahid, (Semarang: CV Asy
Syifa, 1990), cet, I.
Abidin, Slamet, Aminuddin. Fiqih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999),
cet, ke-1.
Abubakar, al-Yasa. Ihwal Perceraian di Indonesia: Perkembangan Pemikiran dari
Undang-Undang Perkawinan Sampai Kompilasi Hukum Islam, (bagian
kedua) dalam Mimbar Hukum, No . 41 Tahun. X 1999, (Jakarta: Al-Hikmah
dan DITBINBAPERA Islam, 1999),
Ali, Zainuddin. Hukum Peradilan Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
cet, I.
Anshari, Al, Abi Yahya Zakariya. Fathu al-Wahhab Bisyarhi Minhaju al-
Thullab,Bairut juz II.
Asqalani, Al, al-Hafidz Ibnu Hajar. Bulughul Maram, (Surabaya: Al-Hidayah).
Azami, Abdul Aziz Muhammad. Qawaid al-Fiqhiyyah, Darul Hadits al-Qahirah.
Basyir, ahmad azhar. Thalaq di Luar Pengadilan, Artikel diakses pada 26 juli 2009
dari http://digilib.uin-suka.ac.id.
Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), cet. Ke-1.
Hadad, Al, Tahir. Wanita dalam Syariat dan Msyarakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1993).
Husaini, Taqiyuddin Abi Bakr Bin Muhammad. Kifayatu al-Akhyar, Bairut, juz II
Ibrahim, Johny. Teori dan Metodologi Hukum Normatif, (Malang: Bayu Media
Publising, 2006), cet, 2.
Jauziyah, Al, Abi Abdullah Muhammad Bin Abi Bakr Bin Ayyubi al-Ma’ruf Bi Ibni
Qayyim. I’lam al-Muwaqqi’in, Saudi Arabiyah, juz III.
Jaziry, Al, Abdurrahman Bin Muhammad Awad. Al-Fiqh ‘Ala Al-Mzahibil Al-
Arba’ah, Darul Ibnu Al-Haitsam.
KHI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Fokusmedia, 2005), cet, 1.
Kuzari, Ahmad. Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: rajawali pers, 1995).
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), cet, 4.
Masyhuri, Abdul Aziz. Masalah Keagamaan, (Jakarta: Qultum Media, 2004), jilid II,
cet, I.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab, Terjemahan A.B, Masykur,
Muhammad Afif, Al-Khaf Idrus. (Jakrta: Lentera, 2007), cet ke-6, edisi
lengkap.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pusta
Progresif, 1997), edisi II.
Nasution, Khairuddin. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-
Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia,
Seri INIS XXXIX, (Jakarta: 2002).
Nuruddin, Amiur, Tarigan, Azhari Akmal. hukum perdata islam di Indonesia, Studi
Kritis Perkembangan Hukum islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI,
(Jakarta: kencana, 2006), cet, ke-3.
Rasjidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia,
(Bandung: Alumni,1982).
Sabiq, Sayyid. Fiqh Al-Sunnah, Alih bahasa, Thalab Muhammad. (Bandung: PT.
Alma’arif, 1980), jilid 8.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Pres,1986).
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat
dan UU Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), cet, I.
Undang-Unadang No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.