SPKG3

4
Program perbaikan gizi bertujuan untuk meningkatkan mutu konsumsi pangan dan gizi sehingga berdampak terhadap perbaikan status gizi masyarakat. Peningkatan status gizi diarahkan pada peningkatan intelektualitas, produktivitas, prestasi kerja, dan penurunan angka penyakit kekurangan dan kelebihan gizi, juga untuk pola konsumsi pangan keluarga yang beraneka ragam sesuai dengan pedoman umum gizi seimbang. Kegiatan utama program perbaikan gizi adalah penyuluhan gizi, usaha perbaikan gizi keluarga, pencegahan dan penanggulangan penyakit kekurangan gizi, usaha perbaikan gizi institusi dan peningkatan penerapan sistem kewaspadaan pangan dan gizi. Pembangunan pangan dan perbaikan gizi adalah suatu upaya pembangunan yang bersifat lintas program dan lintas sektor yang ada di dalam pokja KPG, ditujukan untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat dalam jumlah maupun mutu gizinya. Adapun upaya perbaikan gizi melalui sistem kewaspadaan pangan dan gizi lebih menekankan pentingnya perbaikan konsumsi pangan rakyat dalam jumlah dan mutu gizi yang cukup. Dalam meningkatkan cakupan program gizi banyak faktor yang mempengaruhi antara lain: Sarana dan prasarana, motivasi pimpinan dan motivasi individu, insentif, partisipasi masyarakat, kerjasama dan keterpaduan, mekanisme koordinasi yang dominan digunakan. Dari beberapa faktor yang berpengaruh dalam meningkatkan cakupan program gizi, maka penelitian ini ingin memahami mekanisme koordinasi yang dominan digunakan terutama pada pokja KPG. Pelaksanaan program gizi memerlukan koordinasi dari seksi gizi dinas kesehatan dengan lintas program dan lintas sektor. Salah satu program perbaikan gizi yang melibatkan lintas sektor adalah sistem kewaspadaan pangan dan gizi. Pemerintah Kota Gorontalo telah membentuk kelompok kerja kewaspadaan pangan dan gizi (pokja KPG), melalui SK Walikota No.444.1/634/1999 tanggal 9 Agustus 1999. Keanggotaan pokja ini terdiri dari Bappeda, Kesehatan, PKMD, Pertanian, Dolog, BKKBN, Statistik, PKK.

description

OK

Transcript of SPKG3

Page 1: SPKG3

Program perbaikan gizi bertujuan untuk meningkatkan mutu konsumsi pangan dan gizi sehingga berdampak terhadap perbaikan status gizi masyarakat. Peningkatan status gizi diarahkan pada peningkatan intelektualitas, produktivitas, prestasi kerja, dan penurunan angka penyakit kekurangan dan kelebihan gizi, juga untuk pola konsumsi pangan keluarga yang beraneka ragam sesuai dengan pedoman umum gizi seimbang. Kegiatan utama program perbaikan gizi adalah penyuluhan gizi, usaha perbaikan gizi keluarga, pencegahan dan penanggulangan penyakit kekurangan gizi, usaha perbaikan gizi institusi dan peningkatan penerapan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.

Pembangunan pangan dan perbaikan gizi adalah suatu upaya pembangunan yang bersifat lintas program dan lintas sektor yang ada di dalam pokja KPG, ditujukan untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat dalam jumlah maupun mutu gizinya. Adapun upaya  perbaikan gizi melalui sistem kewaspadaan pangan dan gizi lebih menekankan pentingnya perbaikan konsumsi pangan rakyat dalam jumlah dan mutu gizi yang cukup.

Dalam meningkatkan cakupan program gizi banyak faktor yang mempengaruhi antara lain: Sarana dan prasarana, motivasi pimpinan dan motivasi individu, insentif, partisipasi masyarakat, kerjasama dan keterpaduan, mekanisme koordinasi yang dominan digunakan. Dari beberapa faktor yang berpengaruh dalam meningkatkan cakupan program gizi, maka penelitian ini ingin memahami mekanisme koordinasi yang dominan digunakan terutama pada pokja KPG.

Pelaksanaan program gizi memerlukan koordinasi dari seksi gizi dinas kesehatan dengan lintas program dan lintas sektor. Salah satu program perbaikan gizi yang melibatkan lintas sektor adalah sistem kewaspadaan pangan dan gizi. Pemerintah Kota Gorontalo telah

membentuk kelompok kerja kewaspadaan pangan dan gizi (pokja KPG), melalui SK Walikota No.444.1/634/1999 tanggal 9 Agustus 1999. Keanggotaan pokja ini terdiri dari Bappeda, Kesehatan, PKMD, Pertanian, Dolog, BKKBN, Statistik, PKK.

Berdasarkan hasil review dan kajian secara nasional pelaksanaan SKPG setelah dilakukan revitalisasi pada tahun 1998, ternyata juga masih menghadapi berbagai masalah dan kendala. Hasil penelitian tentang SKPG di 9 daerah kabupaten/kota ditemukan permasalahan yang hampir sama yakni (1) kurang adanya kerjasama lintas sektor,

(2) kurangnya pembinaan dari tim teknis, (3) masing-masing anggota masih mementingkan sektornya sendiri-sendiri, (4) tidak ada pertemuan rutin dari anggota pokja KPG, hal ini disebabkan oleh ketiadaan koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam merumuskan kebijakan (Sumarno, 2000). Hasil evaluasi pada akhir tahun 2003, sebenarnya dalam kegiatankegiatan program gizi di Kota Gorontalo, sudah ada kerjasama dan keterpaduan lintas sektor, tetapi hal ini belum optimal. Itu disebabkan karena selama ini semua laporan kegiatan program gizi yang ada di dinas kesehatan, hanya laporan dari petugas gizi yang ada di puskesmas, belum mencerminkan hasil kerja dari pokja KPG, masing-masing sektor lebih mementingkan kegiatan rutin yang ada pada sektornya.

Berdasarkan laporan tersebut di atas bahwa SKPG belum bisa berfungsi seperti yang diharapkan. Sedangkan dari sisi pemerintah kabupaten/kota sebenarnya secara pragmatis SKPG ini sangat

Page 2: SPKG3

diperlukan sebagai wahana terhadap upaya pemantauan dan penanggulangan masalah pangan dan gizi. Untuk itu diperlukan upaya-upaya perbaikan dan penyempurnaan terhadap SKPG agar dapat berperan secara optimal.

Penelitian ini ingin melihat faktor mekanisme koordinasi. Koordinasi adalah aktifitas sengaja yang dimaksudkan pada pencapaian kesatuan dan harmonis usaha dalam mengejar tujuan bersama di dalam organisasi yang berpartisipasi dalam susunan multiorganisasional.

Koordinasi sebagai cara efektif yang terikat bersama berbagai bagian dari organisasi atau keterikatan bersama organisasi dan berkenaan dengan interpendensi, salah satu dari fungsi penting dalam manajemen (Shortell dan Kaluzny, 1996). Wijono (1997) menyatakan bahwa koordinasi bertujuan mengarahkan, menyelesaikan, mensinkronisasikan dan menyelaraskan semua kegiatan masing-masing unit sehingga tercapai tujuan bersama atau tujuan organisasi secara keseluruhan. Pedoman yang diperlukan dalam melakukan koordinasi adalah 1) perlu ditentukan secara jelas siapa/instansi mana yang secara fungsional berwewenang dan bertanggung jawab atas suatu masalah; 2) pejabat atau instansi yang secara fungsional berwewenang dan bertanggung jawab mengenai suatu masalah berkewajiban memprakarsai dan mengkoordinasikan;

3) perlu dirumuskan secara jelas wewenang, tanggung jawab dan tugas-tugas satuan kerja; 4) perlu dirumuskan program kerja organisasi yang jelas memperlihatkan keserasian kegiatan kerja di antara satuan-satuan kerja;5) perlu dikembangkan komunikasi timbal balik untuk menciptakan kesatuan bahasa dan kerjasama antara lain melalui rapat berkala, rapat kerja, dan rapat tim.

Organisasi adalah instrumen yang diciptakan untuk mencapai tujuan akhir. Ini  dicerminkan dalam nama aslinya organisasi berasal dari kata organon artinya adalah suatu instrumen atau alat (Morgan, 1986). Sementara itu Etzioni (1985), memandang organisasi sebagai suatu sistem sosial yang dengan bebas menetapkan untuk menyelesaikan beberapa tujuan terbatas, ada pembagian kerja, kekuasaan dan tanggung jawab termasuk komunikasi, ada satu atau beberapa pusat kekuasaan yang mengawasi pengendalian usaha-usaha organisasi, dan apabila diperlukan harus juga menyusun lagi pola-pola baru guna meningkatkan efisiensi.

Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan; (1) Kota Gorontalo memiliki cakupan yang bervariasi dalam program gizi. Dalam hal cakupan (N/D) sudah melebihi target yang ada. Begitu pula dengan cakupan distribusi tablet Fe pada ibu hamil, Tetapi dalam hal survey anemi gizi besi pada ibu hamil itu masih di atas standar rata-rata nasional. Untuk kegiatan pemantauan status gizi, Kota Gorontalo termasuk dalam kategori baik, namun masih terdapat kantong-kantong rawan gizi, cakupan survey konsumsi gizi untuk kebutuhan protein sudah melebihi target, dan untuk kebutuhan energi belum mencapai target. Dari lima kecamatan yang ada di Kota Gorontalo semuanya berada pada kategori resiko rendah rawan pangan dan gizi, (2) pihakpihak lain di luar sektor Kesehatan telah berperan dalam peningkatan program gizi walaupun belum terpadu, seperti sektor Pertanian dalam hal ketersediaan pangan di masyarakat melalui program peningkatan mutu intensifikasi sentra produksi dan pembinaan P2WKSS, sektor BKKBN melalui program kelangsungan hidup ibu bayi dan anak, sektor PKK berperan dalam pelaksanaan posyandu, (3) pokja kewaspadaan pangan dan gizi Kota Gorontalo sudah bekerja, hal ini dapat dilihat dalam laporan pokja yang mana semua kecamatan bebas rawan pangan dan

Page 3: SPKG3

gizi, namun dalam hal mekanisme koordinasi tampaknya belum memperlihatkan keberhasilan, meskipun terdapat koordinasi, kegiatan-kegiatan yang dilakukan masih bersifat sektoral dan belum mengandung kualitas kerja sama yang cukup dalam pelaksanaan program bersama, (4) bentuk-bentuk koordinasi yang lain juga digunakan, namun yang paling banyak digunakan adalah bentuk standarisasi proses pekerjaan.Untuk lebih meningkatkan efektivitas kelompok kerja kewaspadaan pangan dan gizi Kota Gorontalo, dimasa yang akan datang disampaikan saran sebagai bahan pertimbangan antara lain: (1) cakupan program gizi yang telah melampaui target perlu untuk dipertahankan supaya jangan sampai turun, serta diusahakan tidak terjadi peningkatan kasus kekurangan energi protein, dan untuk cakupan yang belum mencapai target perlu ditingkatkan, (2) agar koordinasi dalam pokja KPG dapat bekerja lebih optimal, sebaiknya direncanakan anggaran dana khusus untuk pokja, bukan melekat pada masing-masing sektor, juga lebih mengaktifkan pertemuan rutin, untuk mengevaluasi kegiatan serta perencanaan program kedepan. (3) dinas kesehatan diharapkan aktif dalam mensosialisasikan programgizi dan menghimpun laporan dari program-program sektor lain yang berhubungan dengan program gizi, (4) pentingnya ada komitmen politik dari kepala daerah yang bisa lebih memperkuat masing-masing sektor terkait dengan bidang gizi dan bisa memperlancar koordinasi diantara anggota pokja, atau sebaiknya anggota pokja dipilih orang yang independen (LSM).