SP-Andini Aswar.pdf

78

Click here to load reader

Transcript of SP-Andini Aswar.pdf

Page 1: SP-Andini Aswar.pdf

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EPILEPSI

LOBUS TEMPORAL POTENSIAL RESISTEN OBAT

TESIS

ANDINI ASWAR

0906647154

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI

JAKARTA

JANUARI 2015

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 2: SP-Andini Aswar.pdf

i

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EPILEPSI

LOBUS TEMPORAL POTENSIAL RESISTEN OBAT

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SPESIALIS-1 NEUROLOGI

ANDINI ASWAR

0906647154

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI

JAKARTA

JANUARI 2015

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 3: SP-Andini Aswar.pdf

ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Andini Aswar

NPM : 0906647154

Tanda Tangan :

Tanggal : 16 Januari 2015

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 4: SP-Andini Aswar.pdf

iii

HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh :

Nama : Andini Aswar

NPM : 0906647154

Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi

Judul Tesis : Faktor-faktor yang mempengaruhi epilepsi lobus

temporal potensial resisten obat

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima

sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar

Spesialis-1 Neurologi pada Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis

Neurologi Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : dr. Fitri Octaviana, Sp.S(K), M.Pd.Ked ( )

Pembimbing II : dr. Astri Budikayanti, Sp.S(K) ( )

Pembimbing III : DR. dr. Joedo Prihartono, MPH ( )

Penguji I : dr. Zakiah Syeban, Sp.S(K) ( )

Penguji II : Dr. dr. Tiara Aninditha, Sp.S(K) ( )

Penguji III : Dr. dr. Yetty Ramli, Sp.S(K) ( )

Moderator : dr. Luh Ari Indrawati, Sp.S ( )

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : 16 Januari 2015

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 5: SP-Andini Aswar.pdf

iv

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EPILEPSI

LOBUS TEMPORAL POTENSIAL RESISTEN OBAT

Mengetahui

Kepala Departemen

dr. Diatri Nari Lastri, Sp.S(K)

Ketua Program Studi

dr. Eva Dewati, Sp.S(K)

Koordinator Penelitian

Dr. dr. Tiara Aninditha, Sp.S(K)

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 6: SP-Andini Aswar.pdf

v

UCAPAN TERIMAKASIH

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur yang tak terhingga saya panjatkan kehadirat Allah SWT,

karena atas rahmat dan nikmat yang dilimpahkan-Nya sehingga saya dapat

menyelesaikan tesis ini dan seluruh tahapan pendidikan saya di Departemen

Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Shalawat dan salam saya

sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga,

sahabat, dan pengikutnya.

Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat

kelulusan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis-I Departemen Neurologi

FKUI/RSCM. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai

pihak, selama menjalani proses pendidikan di Departemen Neurologi Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia sampai dengan penyusunan tesis ini, sangatlah

sulit bagi saya untuk dapat menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, dalam

kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada:

(1) Rektor Universitas Indonesia, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto

Mangunkusumo, Koordinator Pendidikan Dokter Spesialis FKUI/RSCM

beserta seluruh jajarannya, saya mengucapkan terima kasih atas kesempatan

dan sarana yang telah diberikan kepada saya untuk menempuh pendidikan

spesialis di Departemen Neurologi FKUI/RSCM.

(2) Ketua Departemen Neurologi dr. Diatri Nari Lastri, Sp.S(K), saya

menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas kesempatan, bimbingan,

bantuan, dan kemudahan yang diberikan kepada saya selama mengenyam

pendidikan dokter spesialis neurologi.

(3) Ketua Program Studi PPDS Neurologi dr. Eva Dewati, SpS(K), saya

mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan perhatian yang diberikan

kepada saya selama menjalani masa studi di Departemen Neurologi

FKUI/RSCM. Tak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada para Staf

Program Studi dan Koordinator Pendidikan, seluruh Ketua Divisi dan Staf

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 7: SP-Andini Aswar.pdf

vi

Pengajar dilingkungan Departemen Neurologi FKUI/RSCM yang telah

memberikan dukungan, sarana dan prasarana selama proses pendidikan saya.

(4) Para pembimbing sekaligus guru saya, yang telah memperkenalkan dan

mengajarkan ilmu epilepsi kepada saya, dr. Fitri Octaviana, Sp.S(K),

M.Pd.Ked terima kasih atas kesempatan, bimbingan, perhatian,dan motivasi

yang diberikan kepada saya selama proses penelitian sehingga saya dapat

menyelesaikan tesis ini. Terima kasih atas segala kesabaran dan juga nasihat

yang dokter berikan; dr. Astri Budikayanti, SpS(K), terima kasih atas

semua bimbingan, kepercayaan, masukan, perhatian, dan dukungan selama

proses penelitian berlangsung. Terima kasih atas waktu dan kesabaran yang

diberikan hingga saya dapat menyelesaikan tesis ini; Dr. dr. Joedo

Prihartono, MPH, selaku pembimbing statistik, saya menyampaikan rasa

hormat dan terima kasih karena tidak pernah bosan meluangkan waktu dan

pikiran dalam membantu saya selama proses penelitian. Kepada moderator

dr. Luh Ari Indrawati Sp.S, terima kasih atas masukkan dan bantuan yang

diberikan kepada saya selama penyusunan tesis. Semoga Allah SWT

memberikan balasan atas segala kebaikkan mereka.

(5) Para penguji saya: dr. Zakiah Syeban, Sp.S(K), Dr. dr. Tiara Aninditha,

Sp.S(K), Dr.dr. Yetty Ramli, Sp.S(K), terima kasih atas semua saran,

pemikiran, dan perbaikkan yang telah diberikan dalam tiap tahap ujian tesis

ini. Semoga Allah SWT memberikan kelimpahan rahmat kepada mereka.

(6) Sekali lagi saya ucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Tiara Aninditha

Sp.S(K) sebagai koordinator penelitian, untuk inspirasi, bimbingan dan

arahan dalam penyusunan tesis ini.

(7) Kepala ruangan, perawat serta staf Instalasi Rawat Jalan Departemen

Neurologi, Kepala unit rekam medis beserta staf, serta seluruh pihak yang

telah membantu saya dalam usaha memperoleh data yang saya perlukan.

(8) Dosen pembimbing akademik saya Dr. dr. Al Rasyid, SpS(K), saya

menyampaikan salam hormat dan ungkapan terima kasih atas segala

bimbingan, dukungan, dan dorongan yang diberikan kepada saya selama

proses pendidikan.

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 8: SP-Andini Aswar.pdf

vii

(9) Seluruh guru saya di Departemen Neurologi FKUI, saya mengucapkan terima

kasih dan penghargaan atas semua ilmu, teladan, dan pengalaman yang telah

diberikan selama saya menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis

Neurologi, semoga ilmu yang saya miliki dapat saya terapkan dengan sebaik-

baiknya dalam kehidupan profesi saya, memberikan manfaat bagi

masyarakat, dan kemajuan bidang neurologi.

(10) Kepada seluruh perawat dan pegawai ruang rawat Neurologi di lantai 5

Gedung A RSCM, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama proses

pendidikan saya berlangsung.

(11) Kepada pegawai departemen neurologi yang sangat banyak membantu saya

selama menjalani pendidikan di neurologi, terima kasih yang setulus-

tulusnya.

(12) Kedua orang tua saya, dr. Aswar Aboet, SpOG, K-Fer dan Dra. Rina

Fauzia, terimakasih atas kasih sayang, dorongan, dukungan, nasehat, serta

doa yang tiada putus-putusnya kepada saya. Sungguh saya belum dapat

membalas semua yang telah mereka berikan selama ini. Semoga Allah

melimpahi rahmat, rezeki, kesehatan, serta umur yang bermanfaat kepada

mereka.

(13) Kepada abang dan adik saya, dr. Andri Putranda Aswar, SpOG, dr.

Andra Aswar SpPD, Andru Aswar, terimakasih atas dukungan, saran, dan

doa yang diberikan kepada saya selama pendidikan. Tak lupa juga saya

ucapkan terima kasih kepada kakak ipar dan keponakkan saya tercinta yang

telah memberikan keceriaan dalam keluarga saya.

(14) Kepada kakek dan nenek saya, H. Zainuddin dan Alm. Hj. Djusmanidar.

Saya ucapkan banyak terima kasih atas bantuan, nasihat, serta didikan yang

diberikan sampai saat ini. Mohon maaf atas segala kekurangan saya selama

masa pendidikan yang telah banyak menyita waktu saya. Semoga Allah SWT

senantiasa memberikan rahmat serta ganjaran surga untuk mereka berdua.

(15) Sahabat dan rekan satu angkatan: dr. Meidianie Camelia Sp.S, dr. Donna

Octaviani Sp.S, dr. Norma Mediciani Sp.S, dr. Weirna, dr. Henry

Riyanto Sofyan, terima kasih atas kerjasama, dukungan, dan kebersamaan

kita selama ini. Rekan-rekan OSCE Makassar September 2014: dr. Hadet

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 9: SP-Andini Aswar.pdf

viii

Prisdhiany, dr. Yudhisman Imran, dan dr. M. Arief Rachman, terima

kasih atas kerjasama yang luar biasa. Terima kasih juga kepada dr. Ni

Nengah Rida Ariarini Sp.S atas semua bantuan yang diberikan selama saya

pendidikan. Tak lupa juga ucapan terima kasih saya ucapkan kepada seluruh

rekan-rekan junior, dan senior kerukunan PPDS Neurologi, terima kasih atas

persahabatan, persaudaraan, serta bantuannya.

(16) Teman saya dr. Rahmi Ulfah, dr. Mutiara Annisa dan dr. Vina

Tri Septiana, terimakasih atas bantuan dari awal proses pendidikan dan

selama penyusunan tesis saya.

Akhir kata, kepada semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu

persatu yang telah membantu saya menyelesaikan pendidikan spesialis dan

penerbitan tesis ini, setulus hati saya ucapkan terima kasih dan penghargaan.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikkan Bapak, Ibu, Saudara, Saudari

dengan pahala yang berlipat ganda. Semoga tesis ini dapat membawa manfaat

bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan dunia kesehatan.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, Januari 2015

Penulis

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 10: SP-Andini Aswar.pdf

ix

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

bawah ini:

Nama : Andini Aswar

NPM : 0906647154

Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi

Departemen : Neurologi

Fakultas : Kedokteran

Jenis Karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-exclusive

Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EPILEPSI

LOBUS TEMPORAL POTENSIAL RESISTEN OBAT

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-

Eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,

mengalihmedia/formatkan, mengolah dalam bentuk pangkalan data (database),

merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan

nama saya sebagai penulis/ pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada tanggal : 16 Januari 2015

Yang menyatakan

(Andini Aswar)

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 11: SP-Andini Aswar.pdf

x

Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Andini Aswar

Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi

Judul : Faktor-faktor yang mempengaruhi epilepsi lobus temporal

potensial resisten obat

Latar Belakang. Tatalaksana epilepsi bertujuan untuk mencapai keadaan bebas

bangkitan tanpa efek samping obat, sehingga tercapai kualitas hidup optimal

untuk penderita epilepsi. Saat ini tatalaksana farmakologis masih menjadi pilihan

terapi yang banyak digunakan namun diduga sekitar 30% pasien akan resisten

terhadap pengobatan. Epilepsi lobus temporal (ELT) merupakan epilepsi fokal

yang paling sering resisten terhadap pengobatan. Kegagalan dalam merespons

obat antiepilepsi (OAE) merupakan suatu masalah klinis penting. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi epilepsi

lobus temporal potensial resisten obat.

Metode. Desain penelitian adalah potong lintang pada pasien ELT di Poliklinik

Epilepsi RSCM. Subjek dikelompokkan menjadi potensial resisten obat dan tidak

potensial resisten obat. Dilakukan wawancara dan pencatatan rekam medis

mencakup usia saat onset epilepsi, frekuensi bangkitan awal, respons terhadap

pengobatan pertama, etiologi epilepsi, riwayat status epileptikus, riwayat kejang

demam, riwayat keluarga dengan epilepsi, gambaran CT-Scan/MRI Kepala, dan

gambaran EEG.

Hasil. Didapatkan 71 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Sebanyak 60

(84,51%) subjek potensial resisten obat. Pada analisis bivariat didapatkan

hubungan bermakna antara frekuensi bangkitan awal ≥ 1x/bulan dan tidak respons

terhadap pengobatan pertama dengan ELT potensial resisten obat. Pada analisis

multivariat adanya riwayat status epileptikus dan tidak respons terhadap

pengobatan pertama merupakan faktor yang berpengaruh secara independen

terhadap ELT potensial resisten obat, sedangkan usia saat onset < 15 tahun,

frekuensi bangkitan awal ≥ 1x/bulan, dan adanya riwayat kejang demam tidak

secara independen berpengaruh terhadap ELT potensial resisten obat.

Simpulan. Faktor yang mempengaruhi ELT potensial resisten obat adalah riwayat

status epileptikus dan tidak respons terhadap pengobatan pertama sehingga perlu

dievaluasi pada semua pasien ELT.

Kata Kunci. Epilepsi lobus temporal, potensial resisten obat, obat antiepilepsi.

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 12: SP-Andini Aswar.pdf

xi

Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Andini Aswar

Study Program: Neurology Specialization Educational Programme

Title : Factors influencing potential drug resistant temporal lobe epilepsy

Background. The goal of management patients with epilepsy is to achieve

seizure-free without medication side effects, in order to reach optimal quality of

life for people with epilepsy. Currently antiepileptic drugs (AEDs) are widely

used as a therapeutic option, nevertheless approximately 30% of patients are

thought to be resistant to drug treatment. Temporal lobe epilepsy (TLE) is the

most common type of epilepsy which is prone to be drug resistant. Failure to

respond to AEDs is a problematic clinical issue. The objective of this study is to

determine the factors influencing potential drug resistant temporal lobe epilepsy.

Method. This was a cross sectional study involving patients with TLE in Epilepsy

Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital. Subjects were grouped into potential drug

resistant and non potential drug resistant. Data obtained from interviews and

medical records were age of onset, initial seizure frequency, response to the first

AED, etiology of epilepsy, history of status epilepticus, history of febrile seizures,

family history of epilepsy, head CT Scan/MRI features, and EEG features.

Result. There were 71 eligible subjects. Potential drug resistant was found in 60

subjects (84,51%). In bivariate analysis there was a significant association

between initial seizure frequency of ≥ 1x/month and no response to first AED

with potential drug resistant TLE. In multivariate analysis, history of status

epilepticus and no response to first AED are independent factors influencing

potential drug resistant TLE, while age at onset < 15 years, initial seizure

frequency ≥ 1x/month, and history of febrile seizures did not independently

influence potential drug resistant TLE.

Conclusion. Factors influencing potential drug resistant TLE are history of status

epilepticus and no response to first AED and need to be evaluated in TLE

patients.

Keywords. Antiepileptic drugs, potential drug resistant, temporal lobe epilepsy.

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 13: SP-Andini Aswar.pdf

xii

Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii

UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................. v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................... ix

ABSTRAK ....................................................................................................... x

ABSTRACK .................................................................................................... xi

DAFTAR ISI .................................................................................................... xii

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv

DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xv

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah ................................................................ 1

1.2 Rumusan masalah ......................................................................... 3

1.3 Tujuan penelitian .......................................................................... 3

1.4 Manfaat penelitian ........................................................................ 4

1.4.1 Bidang penelitian ................................................................. 4

1.4.2 Bidang pendidikan ............................................................... 4

1.4.3 Bidang pelayanan masyarakat ............................................. 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi ............................................................................... 5

2.2 Epilepsi lobus temporal .............................................................. 6

2.2.1 Definisi ............................................................................ 6

2.2.2 Gejala klinis ................................................................... 6

2.2.3 Pemeriksaan penunjang .................................................. 8

2.3 Epilepsi resisten obat .................................................................. 11

2.3.1 Definisi ............................................................................ 11

2.3.2 Mekanisme selular dan molekular epilepsi resisten

obat .................................................................................. 12

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi epilepsi resisten

obat .................................................................................. 13

2.3.4 Pola epilepsi resisten obat ............................................... 23

2.3.5 Tatalaksana...................................................................... 24

2.4 Kerangka teori ............................................................................. 28

2.5 Kerangka konsep ......................................................................... 29

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain penelitian ......................................................................... 30

3.2 Tempat dan waktu penelitian ...................................................... 30

3.3 Populasi dan sampel .................................................................... 30

3.4 Teknik pengambilan sampel ....................................................... 30

3.5 Kriteria penelitian ....................................................................... 31

3.5.1 Kriteria inklusi ................................................................... 31

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 14: SP-Andini Aswar.pdf

xiii

Universitas Indonesia

3.5.2 Kriteria ekslusi ................................................................... 31

3.6 Cara kerja .................................................................................... 32

3.7 Identifikasi variabel .................................................................... 33

3.8. Definisi operasional .................................................................... 34

3.9. Pengolahan dan analisa data ....................................................... 37

3.10 Kerangka operasional................................................................. 38

BAB 4. HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik demografi .............................................................. 39

4.2 Karakteristik medik ..................................................................... 40

4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi epilepsi lobus temporal

potensial resisten obat ................................................................ 41

BAB 5. PEMBAHASAN ................................................................................ 45

BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 50

6.1 Simpulan ...................................................................................... 50

6.2 Saran ............................................................................................ 50

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 51

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 15: SP-Andini Aswar.pdf

xiv

Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Gambaran semiologi epilepsi lobus temporal-nilai

lateralisasi atau lokalisasi ............................................................. 7

Tabel 2.2 Faktor risiko epilepsi lobus temporal resisten obat ....................... 23

Tabel 2.3 Dosis OAE untuk orang dewasa .................................................... 25

Tabel 4.1 Sebaran subjek menurut karakteristik demografi .......................... 39

Tabel 4.2.1 Sebaran subjek menurut karekteristik medik .............................. 40

Tabel 4.2.2 Frekuensi epilepsi lobus temporal potensial resisten obat ........... 41

Tabel 4.3.1 Hubungan faktor penentu dengan ELT potensial resisten

obat .............................................................................................. 42

Tabel 4.3.2 Analisa Logistik Regresi terhadap ELT potensial resisten

obat .............................................................................................. 43

Tabel 4.3.3 Sebaran subjek berdasarkan gambaran atrofi hipokampus

dan epilepsi potensial resisten obat ............................................. 44

Tabel 4.3.4 Sebaran subjek berdasarkan jumlah terapi dan epilepsi

potensial resisten obat ................................................................ 44

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 16: SP-Andini Aswar.pdf

xv

Universitas Indonesia

DAFTAR SINGKATAN

ELT : Epilepsi lobus temporal

mTLE : Mesial temporal lobe epilepsy

ILAE : International League Against Epilepsy

OAE : Obat anti epilepsi

EEG : Electroencephalography

PDA : Polymorphic Delta Activity

TIRDA : Temporal Intermitten Rhytmic Delta Activity

PLEDs : Periodic-Lateralized Epileptiform Discharge

GABA : Gamma-Aminobutyric acid

NAA : N-Asetil Aspartat

MCD : Malformation of Cortical Development

MRI : Magnetic Resonance Imaging

MRS : Magnetic Resonance Spectroscopy

SPECT : Single Photon Emission Computed Tomography

FDG-PET : Fluorodeoxyglucose Positron Emission Tomography

P-gp : P-glycoprotein

ABC : Adenosine triphosphate (ATP)-Binding Cassete

MDR : Multiple Drug Resistance

ADPEAF : Autosomal dominant epilepsy with auditory features

FTLE : Familial temporal lobe epilepsy

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 17: SP-Andini Aswar.pdf

xvi

Universitas Indonesia

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Formulir data pasien ..................................................................... 55

Lampiran 2 Jadwal penelitian .......................................................................... 58

Lampiran 3 Anggaran penelitian ...................................................................... 59

Lampiran 4 Surat keterangan lolos kaji etik .................................................... 60

Lampiran 5 Surat keterangan persetujuan izin penelitian ................................ 61

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 18: SP-Andini Aswar.pdf

1

Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Tatalaksana epilepsi bertujuan untuk mencapai keadaan bebas bangkitan

tanpa efek samping obat, sehingga tercapai kualitas hidup optimal untuk penderita

epilepsi.1 Saat ini tatalaksana farmakologis masih menjadi pilihan terapi yang

banyak digunakan. Akan tetapi diduga sekitar 30% pasien akan mengalami

epilepsi resisten obat dan tetap mengalami bangkitan meskipun telah

menggunakan politerapi dengan dosis optimal.2

Epilepsi Lobus Temporal (ELT) merupakan bentuk epilepsi fokal yang

paling sering ditemukan dengan prevalensi mencapai 30-40% dari seluruh

epilepsi.3 ELT adalah epilepsi fokal yang paling sering resisten terhadap

pengobatan. 4

Kegagalan dalam merespons obat antiepilepsi (OAE) ini merupakan

suatu masalah klinis penting yang dapat menimbulkan konsekuensi dibidang

medis, sosial, dan ekonomi.5 Risiko kematian pada pasien epilepsi resisten obat

dapat mencapai 2-10 kali lebih besar dibandingkan populasi umum dimana bentuk

kematian tiba-tiba yang tidak diharapkan (sudden unexpected death in epilepsy)

merupakan bentuk kematian yang paling sering ditemukan.6 Bangkitan yang tidak

terkontrol berhubungan dengan meningkatnya risiko efek samping obat,

menimbulkan komplikasi psikiatri seperti depresi, gangguan kognitif,

meningkatkan penggunaan layanan dan biaya kesehatan, menyebabkan

pembatasan lapangan kerja dan sosial, menimbulkan luka fisik, serta kematian.5

Penelitian oleh Wiratman (2012) di RSCM melaporkan sebanyak 68,3%

pasien ELT mengalami bangkitan yang menetap dimana 20,9% diantaranya telah

menggunakan politerapi.7 Kemungkinan penyebab tidak terkontrolnya bangkitan

pada sebagian pasien ELT ini salah satunya karena telah terjadi resistensi terhadap

OAE yang digunakan dan epilepsi telah berkembang menjadi epilepsi resisten

obat. Epilepsi resisten obat menurut International League Against Epilepsy

(ILAE) adalah kegagalan penggunaan dua (atau lebih) OAE yang adekuat, dapat

1

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 19: SP-Andini Aswar.pdf

2

Universitas Indonesia

ditoleransi, dipilih secara tepat, menggunakan jadwal pemberian OAE baik

sebagai terapi tunggal maupun kombinasi untuk mencapai keadaan bebas

bangkitan.8

Untuk kepentingan klinis terdapat skala resistensi yang

mengklasifikasikan epilepsi resisten obat menjadi potensial, probable, dan definit.

Potensial resisten obat yaitu apabila tidak tercapai bebas bangkitan dengan

penggunaan OAE kurang dari 1 tahun, dan terdapatnya faktor prediktor resistensi

obat. Probable resisten obat adalah jika tidak ditemukan bebas bangkitan selama

lebih dari 1 tahun dengan penggunaan minimal dua macam OAE. Sedangkan

definit resisten obat yaitu jika tidak ditemukan bebas bangkitan selama lebih dari

1 tahun setelah 5 tahun pengobatan dengan minimal 3 macam OAE.9

Evaluasi sedini mungkin adanya epilepsi resisten obat perlu dilakukan

untuk menghindari akibat-akibat yang mungkin terjadi karena tidak terkontrolnya

bangkitan pada pasien epilepsi. Dengan demikian dapat diambil langkah-langkah

yang tepat dalam tatalaksana penyakit. Pada pasien epilepsi apabila dengan dua

atau lebih regimen OAE tidak dapat mencapai kondisi bebas bangkitan, maka

diagnosis epilepsi harus dievaluasi kembali. Dalam hal ini jika kemudian

diagnosis epilepsi resisten obat ditegakkan maka harus dipertimbangkan

kemungkinan dilakukannya tatalaksana nonmedikamentosa seperti pembedahan

maupun terapi paliatif lainnya.9 Penelitian terhadap operasi epilepsi telah banyak

dilakukan dan sebagian besar pada pasien ELT. Dari penelitian-penelitian ini

didapatkan keluaran jangka panjang berupa tercapainya keadaan bebas bangkitan

pada pasien ELT pascaoperasi lebih baik dibandingkan epilepsi ekstratemporal.10

Untuk memudahkan dalam deteksi dini kelainan ini, beberapa studi mengevaluasi

faktor risiko yang berperan dalam terjadinya epilepsi resisten obat. Kwan dkk

(2000) menyebutkan frekuensi bangkitan awal yang tinggi dan respons yang tidak

adekuat terhadap pengobatan pertama merupakan faktor risiko terjadinya epilepsi

resisten obat.2

Pittau dkk (2009) melaporkan kejang demam, sklerosis temporal

mesial, usia dini saat onset bangkitan, dan gambaran EEG yang abnormal

merupakan faktor risiko terjadinya epilepsi resisten obat.11

Wassenaar dkk (2013)

dalam sebuah systematic review melaporkan usia muda saat onset bangkitan,

penyebab simtomatik, frekuensi bangkitan awal yang tinggi, riwayat medis seperti

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 20: SP-Andini Aswar.pdf

3

Universitas Indonesia

kejang demam dan status epileptikus, gambaran EEG (Electroencephalography)

yang abnormal, dan kegagalan penggunaan OAE sebelumnya merupakan faktor

prognostik independen terjadinya epilepsi resisten obat pada minimal 2 dari 11

penelitian.12

Mengetahui faktor risiko epilepsi resisten obat merupakan suatu keharusan

dalam tatalaksana epilepsi dan perlu dievaluasi pada semua pasien.9

Dengan

mengetahui faktor-faktor ini diharapkan dapat dilakukan identifikasi awal pasien

yang berisiko mengalami epilepsi resisten obat, diberikan tatalaksana yang sesuai,

sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat tidak terkontrolnya

bangkitan, menghindari penggunaan OAE yang tidak efektif, dan memungkinkan

dilakukannya konseling lebih awal mengenai pilihan pengobatan, termasuk

operasi epilepsi sebagai pengobatan yang berpotensi kuratif.5,13

Di Poliklinik

Epilepsi RSCM belum terdapat data mengenai prevalensi epilepsi lobus temporal

resisten obat pada orang dewasa. Berdasarkan penelitian Wiratman (2012)

sebagian besar pasien dengan bangkitan tidak terkontrol masih menggunakan

monoterapi sedangkan pasien yang menggunakan politerapi hanya 20,6%. Oleh

sebab itu sebagai gambaran awal penulis ingin mengetahui proporsi epilepsi lobus

temporal yang potensial resisten obat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka dirumuskan masalah sebagai

berikut:

1. Berapa proporsi epilepsi lobus temporal potensial resisten obat

2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi epilepsi lobus temporal potensial

resisten obat

1.3 Tujuan penelitian

1. Mengetahui proporsi pasien epilepsi lobus temporal potensial resisten obat

di Poliklinik Epilepsi RSCM.

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 21: SP-Andini Aswar.pdf

4

Universitas Indonesia

2. Mengetahui faktor-faktor berupa usia onset epilepsi, frekuensi bangkitan

awal, respons terhadap OAE pertama, etiologi epilepsi, gambaran CT

scan/MRI kepala, gambaran EEG, riwayat status epileptikus, riwayat

kejang demam, dan riwayat keluarga dengan epilepsi yang mempengaruhi

epilepsi lobus temporal potensial resisten obat.

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Bidang penelitian

Hasil penelitian ini dapat dipakai untuk mengetahui faktor-faktor yamg

mempengaruhi epilepsi lobus temporal potensial resisten obat dan menjadi

acuan bagi penelitian selanjutnya.

1.4.2 Bidang pendidikan

Penelitian ini merupakan sarana untuk berlatih melakukan penelitian

sesuai dengan metodologi penelitian.

1.4.3 Bidang pelayanan masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dokter untuk deteksi dini

epilepsi lobus temporal potensial resisten obat dengan mengetahui faktor-

faktor yang mempengaruhinya yang dapat menjadi suatu tanda awal

terjadinya epilepsi resisten obat dikemudian hari. Sehingga dapat

dipertimbangkan untuk tatalaksana nonmedikamentosa.

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 22: SP-Andini Aswar.pdf

5

Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi

Prevalensi epilepsi di negara maju bervariasi dari 4-10 kasus per 1000

orang. Di negara berkembang jumlah ini meningkat dengan rata-rata 14-57 kasus

per 1000 orang. Epilepsi parsial dapat ditemukan pada 60% kasus epilepsi dan

ELT merupakan bentuk epilepsi parsial yang paling banyak ditemukan dengan

prevalensi mencapai 30-40% dari seluruh epilepsi.3,14

Pada penelitian berbasis rumah sakit oleh Semah dilaporkan dari 2200

pasien dengan epilepsi sebanyak 62,2% merupakan epilepsi parsial. Dari kasus ini

sebanyak 66% adalah epilepsi lobus temporal, 25% epilepsi frontal, 3% oksipital,

2% parietal, dan 3% multilobar.4 Penelitian lain pada pasien epilepsi yang

menjalani operasi didapatkan sebanyak 73% adalah epilepsi lobus temporal dan

27% ekstratemporal. Pada penelitian yang berbeda dilaporkan dari 100 pasien

yang menjalani reseksi, sebanyak 76% adalah epilepsi lobus temporal, 23%

frontal, dan 1% parietal.15

Epilepsi resisten obat dapat ditemukan pada 30-40% pasien epilepsi.9

Kurang lebih 60% pasien dengan epilepsi parsial memiliki bangkitan yang sulit

terkontrol. ELT merupakan epilepsi parsial yang paling sering resisten obat.16

Semah melaporkan hanya 20% dari pasien dengan ELT yang mengalami bebas

bangkitan.4 Penelitian lain oleh Pittau melaporkan pada ELT mesial sebanyak

79,4% pasien resisten terhadap pengobatan.11

Pada penelitian dengan skala yang

lebih kecil oleh Wiratman didapatkan sebanyak 68,3% pasien ELT memiliki

bangkitan yang tidak terkontrol.7

5

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 23: SP-Andini Aswar.pdf

6

Universitas Indonesia

2.2 Epilepsi Lobus Temporal

2.2.1 Definisi

Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi

berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan

yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinik yang

disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari

sekelompok neuron. Epilepsi lobus temporal berdasarkan klasifikasi ILAE 1989

termasuk dalam localized-related symptomatic epilepsy.1 Pada ELT bangkitan

dapat berasal dari lobus temporal baik struktur mesial dan/atau neokortikal.

Definisi ini didasari oleh gambaran klinis ditambah dengan gambaran EEG.

Selain itu juga disarankan penggunaan beberapa pemeriksaan tambahan untuk

menunjang diagnosis seperti pemeriksaan pencitraan (imaging).14

2.2.2 Gejala Klinis

Bangkitan yang berasal dari lobus temporal memiliki onset yang lebih

bertahap, gejala dapat berkembang dalam waktu lebih dari satu menit, dengan

durasi bangkitan yang lebih panjang dan terdapat periode pascaiktal. Beberapa

pasien akan mengalami gejala preiktal yang berlangsung beberapa menit, jam,

hingga hari dapat berupa sakit kepala, perubahan kepribadian, mudah marah,

cemas, atau gugup. Gejala ini dapat dikenali oleh keluarga dan teman tapi bukan

oleh pasien.15,16

Pada ELT bangkitan seringkali didahului oleh aura, dapat berupa aura

viseral, sefalik, pengecapan, penciuman, dan pendengaran. Aura dapat terjadi

beberapa detik hingga 1-2 menit sebelum hilangnya kesadaran. Pada ELT mesial,

aura epigastrik merupakan bentuk yang paling sering ditemukan, yaitu berupa

rasa tidak nyaman di derah epigastrium yang berhubungan dengan gejala otonom

(warna kulit, denyut nadi, tekanan darah, diameter pupil, piloereksi). Aura

eksperiental dan psikis seperti deja-vu (perasaan terbiasa/akrab) sering ditemukan

pada benign familial TLE syndrome. Kedua tipe aura ini lebih sering ditemukan

pada ELT dengan fokus temporal kanan, sedangkan pada ELT kiri dapat berupa

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 24: SP-Andini Aswar.pdf

7

Universitas Indonesia

menggigil dan merinding. Aura pendengaran menunjukkan fokus pada lobus

temporal lateral. Halusinasi penciuman atau pengecapan jarang ditemukan, namun

biasanya berhubungan dengan keterlibatan dari kortek entorhinal atau

insula.15,16,17

Mengikuti aura, bangkitan dapat berkembang menjadi bangkitan parsial

kompleks. Bangkitan parsial kompleks lobus temporal mesial dapat berupa motor

arrest, oroalimentary automatisms (lip smacking, mengunyah, menelan), atau

automatisme ekstremitas seperti membuka kancing, mengusap-usap, dan lain-lain.

Automatisme dapat dibagi dua yaitu de novo dan preservatif. Automatisme de

novo dapat terjadi spontan, berupa fenomena “release” yaitu aksi yang secara

normal dihambat atau fenomena “reaktif” apabila terjadi sebagai reaksi terhadap

stimulus eksternal. Contoh pasien minum dari gelas yang diletakkan di tangan

atau mengunyah permen karet yang diletakkan dimulut. Automatisme preservatif

berupa kelanjutan dari tindakkan motor kompleks yang dimulai sebelum onset

bangkitan, misalnya membuka dan menutup pintu berulang kali. Automatisme

ditemukan pada hampir 2/3 bangkitan parsial kompleks yang berasal dari lobus

temporal mesial. 15,16,17

Bangkitan lobus temporal biasanya ditandai oleh fese

pascaiktal yang lebih panjang dan konfusi. 15,16

Tabel 2.1 Gambaran semiologi epilepsi lobus temporal- nilai lateralisasi atau

lokalisasi16

Semiologi Lokasi

Automatisme

Automatisme ekstremitas unilateral

Automatisme oral

Kedipan mata unilateral

Batuk postiktal

Menyeka hidung postiktal (nose

wiping)

Meludah atau minum (iktal)

Tertawa (Gelastic seizure)

Menangis (Dacrystic seizure)

Bersiul

Ipsilateral fokus

Lobus temporal (mesial)

Ipsilateral fokus

Lobus temporal

Ipsilateral lobus temporal

Fokus Lobus temporal (Kanan)

Temporal (m), hipotalamus, frontal

(singulata)

Temporal (m), hipotalamus

Lobus temporal

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 25: SP-Andini Aswar.pdf

8

Universitas Indonesia

Otonom

Muntah iktal

Dorongan berkemih

Piloereksi

Fokus lobus temporal (Kanan)

Fokus lobus temporal (Kanan)

Fokus lobus temporal (Kiri)

Motor

Kepala menoleh diawal tanpa paksaan

Late version

Mata deviasi

Sentakan klonik fokal

Asymmetrical clonic ending

Fencing

Bentuk 4

Sikap tonik ekstremitas

Paresis iktal unilateral

Todd’s paresis postiktal

Ipsilateral fokus

Kontralateral fokus

Kontralateral fokus

Fokus perirolandik kontralateral

Fokus ipsilateral

Kontralateral (supplementary motor)

Kontralateral fokus

Kontralateral fokus

Kontralateral fokus

Kontralateral fokus

Speech

Ictal speech arrest

Ictal speech preservation

Afasia postiktal

Lobus temporal (hemisfer dominan)

Lobus temporal (nondominan)

Lobus temporal (hemisfer dominan)

2.2.3 Pemeriksaan Penunjang

Electroencephalographic (EEG)

Gambaran EEG interiktal pada pasien ELT dapat menunjukkan adanya

perlambatan fokal, gelombang epileptiform ipsilateral (gelombang tajam dan

gelombang paku) atau dapat normal. Penggunaan elektroda anterior temporal

(T1,T2) atau elektroda invasif sfenoid untuk melengkapi perekaman EEG standar

dapat meningkatkan sensitivitas untuk mendeteksi aktivitas epileptiform temporal

mesial. Aktivitas epileptiform dapat unilateral atau bilateral.15

Focal polymorphic delta activity (PDA) sering ditemukan pada pasien

epilepsi parsial. Gambaran ini dapat berhubungan dengan adanya kelainan

struktural, dan nilai prediksinya untuk epilepsi rendah. Namun, apabila tidak ada

kelainan struktural yang dapat menjelaskan perlambatan fokal yang terus-

menerus, maka PDA berhubungan dengan terjadinya bangkitan pada 50% pasien.

Temporal intermittent rhythmical delta activity (TIRDA) merupakan bentuk

perlambatan lain yang dapat ditemukan dan sangat erat kaitannya dengan ELT.

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 26: SP-Andini Aswar.pdf

9

Universitas Indonesia

Gambaran ini dapat berlangsung 3-20 detik dan sering ditemukan bersama dengan

gelombang epileptiform interiktal. Periodic Lateralized Epileptiform Discharge

(PLEDs) merupakan gelombang tajam dengan amplitudo sedang-tinggi dan

frekuensi 0.5-2 Hz. PLEDs sering ditemukan pada lesi destruktif akut dan

biasanya perbaikan dalam beberapa hari-minggu. Gambaran ini berhubungan

dengan adanya bangkitan klinis yang selanjutnuya dapat berkembang menjadi

epilepsi. Sebanyak 70-80% pasien dengan PLEDs pada gambaran EEG

menunjukkan bangkitan klinis yang jelas, dimana 3%-66% dapat berkembang

menjadi epilepsi.18

Gambaran EEG iktal pada bangkitan parsial menunjukkan onset, evolusi,

dan akhir yang jelas. Gambaran awal seringkali tidak spesifik apakah fokal atau

desinkronisasi umum, voltase rendah aktivitas cepat, fokal iregular atau aktivitas

delta bilateral. Gambaran onset EEG iktal yang khas berupa aktivitas ritmik 5-9

Hz pada regio temporal atau penekanan fokal aktivitas latar belakang yang

berhubungan dengan aktivitas cepat voltase rendah diikuti oleh aktivitas 5-9 Hz,

atau gelombang tajam. Saat terjadi evolusi bangkitan, gambaran EEG

menunjukkan perubahan dari amplitudo rendah aktivitas cepat menjadi aktivitas

dengan amplitudo tinggi dan frekuensi lebih lambat. Apabila bangkitan berakhir

maka terlihat aktivitas lambat yang kurang berirama dibanding saat iktal.18

Pada pasien dengan epilepsi lobus temporal mesial (MTLE), gambaran

EEG interiktal sering memperlihatkan adanya gelombang paku pada temporal

anterior. Sebuah penelitian menyebutkan irama 5-9 Hz selama lebih dari 5 detik

menunjukkan onset pada lobus temporal mesial. Sedangkan irama 2-5 Hz yang

dapat berkembang menjadi 5-9Hz menunjukkan onset pada daerah neokortikal

lateral.15

Aktivitas perlambatan fokal pascaiktal ditemukan pada 70% bangkitan

dan gambaran ini secara konsisten menunjukkan dengan tepat sisi onset bangkitan

pada 90% pasien. Pada epilepsi lobus temporal neokortikal aktivitas epileptiform

interiktal dan aktivitas iktal terdistribusi lebih luas dan menyebar hingga daerah

parasagital. Aktivitas iktal lebih lambat, dan amplitudo seringkali lebih tinggi

pada daerah parasagital.18

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 27: SP-Andini Aswar.pdf

10

Universitas Indonesia

Perekaman EEG juga dapat dilakukan dengan long-term video EEG

monitoring. Video dan EEG monitoring merupakan pemeriksaan yang perlu

dilakukan pada pasien epilepsi yang direncanakan untuk intervensi bedah. Pada

pasien epilepsi resisten obat dengan beberapa bangkitan dalam sehari maka

sebelum pemeriksaan biasanya obat antiepilepsi akan tetap dilanjutkan, akan

tetapi apabila jumlah bangkitan lebih sedikit maka obat antiepilepsi akan

diturunkan atau bahkan dihentikan selama perawatan sehingga memungkinkan

terjadinya bangkitan secara terkendali. Data EEG iktal dan interiktal yang

memadai dapat membantu menentukan lokasi bangkitan pada localized related-

epilepsy. Neurologis dapat mengevaluasi apakah terdapat satu fokus, banyak

fokus, atau bangkitan umum. 19

Pencitraan (neuroimaging)

Pemeriksaan pencitraan otak diperlukan untuk mengevaluasi adanya

kelainan struktural. MRI (Magnetic Resonance Imaging) merupakan salah satu

pemeriksaan yang dapat dilakukan. Direkomendasikan pemeriksaan MRI 1,5T

atau 3T. Pemberian kontras tidak selalu diperlukan kecuali terdapat indikasi

seperti pada kasus-kasus tumor otak.19

Protokol rutin MRI yang harus dilakukan

termasuk sekuens T1 dan T2 weighted, proton density dan fluid attenuated

inversion recovery (FLAIR). Indikasi pemeriksaan MRI pada pasien epilepsi

menurut ILAE tahun1997 yaitu bangkitan fokal, bangkitan umum atau tidak dapat

diklasifikasikan pada usia ≤ 1 tahun atau pada usia dewasa, terdapat defisit

neurologis atau neuropsikologis pada pemeriksaan, kesulitan mencapai kontrol

bangkitan dengan OAE lini pertama, bangkitan tidak terkontrol atau perubahan

pola bangkitan. Di negara maju, kelainan struktural yang paling sering ditemukan

pada pasien epilepsi resisten obat adalah sklerosis hipokampus dan malformation

of cortical development (MCD). Setelah itu diikuti oleh malformasi vaskular,

tumor, paska trauma, lesi inflamasi atau iskemik.20

Pemeriksaan pencitraan lainnya berupa magnetic resonance spectroscopy

(MRS). MRS dapat mengukur metabolit tertentu di otak berupa N-asetilaspartat

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 28: SP-Andini Aswar.pdf

11

Universitas Indonesia

(NAA), kolin, kreatinin, laktat, GABA, dan glutamat. Pada pasien ELT, MRS

dapat menilai lateralisasi fokus bangkitan hingga 80-90%.20

Pencitraan single photon emission computed tomography (SPECT)

mengukur perubahan aliran darah otak pada daerah dengan aktivitas epileptiform.

Pemeriksaan pada saat iktal atau segera setelah fase pascaiktal menunjukkan area

hiperperfusi akut, sedangkan pada saat interiktal menunjukkan area hipoperfusi.

Gambaran SPECT pada saat iktal memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi

dalam melokalisasi onset bangkitan pada ELT resisten obat. Pada bangkitan

parsial kompleks pemeriksaan ini dapat melokalisasi fokus bangkitan dengan

tepat pada lebih dari 90% pasien ELT. Pada saat pascaiktal sensitivitas dan

spesifisitas berkurang dimana ketepatan lokalisasi fokus bangkitan hanya

ditemukan pada 70% pasien ELT, dan lebih rendah lagi pada saat interiktal (40-

50%). Namun, penelitian menunjukkan bahwa modalitas ini sangat bermanfaat

pada bangkitan lobus temporal. Penting diketahui bahwa hiperperfusi yang terlihat

pada SPECT setelah bangkitan melibatkan seluruh area yang terlibat dalam

bangkitan, tidak hanya fokus bangkitan. Kelemahannya adalah pemeriksaan ini

tidak bermanfaat pada pasien dengan fokus multipel atau bilateral karena hanya

akan memperlihatkan fokus bangkitan yang aktif pada saat pemeriksaan.19,20

Pencitraan dengan fluorodeoxyglucose positron emission tomography

(FDG-PET) juga bermanfaat untuk mengevaluasi fokus bangkitan. Metode ini

menunjukkan area hipometabolisme dan hipermetabolisme glukosa pada jaringan

otak. Pada ELT saat interiktal terlihat hipometabolisme gkukosa ipsilateral

dengan fokus bangkitan pada 60-90% pasien. FDG-PET lebih bermanfaat dalam

melateralisasi dibandingkan melokalisasi fokus bangkitan.19,20

2.3 Epilepsi Resisten Obat

2.3.1 Definisi

Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE), epilepsi

resisten obat adalah kegagalan penggunaan dua (atau lebih) obat antiepilepsi

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 29: SP-Andini Aswar.pdf

12

Universitas Indonesia

(OAE) adekuat, dapat ditoleransi, dipilih secara tepat, menggunakan jadwal

pemberian OAE (baik sebagai terapi tunggal atau kombinasi) untuk mencapai

keadaan bebas bangkitan. Epilepsi resisten obat juga dikenal sebagai epilepsi

refrakter, intraktabel atau farmakoresisten.8

Bebas bangkitan atau responsif obat adalah bebas dari semua bentuk

bangkitan termasuk aura selama minimal 12 bulan atau selama tiga kali interval

antar bangkitan terpanjang sebelum pengobatan. Jika terjadi bangkitan berulang

setelah diberikan pengobatan yang adekuat maka terjadi kegagalan pengobatan.8

Pengobatan adekuat adalah pengobatan dengan dosis yang efektif secara

klinis dalam jangka waktu yang cukup panjang. Tepat dalam hal ini adalah

sebelumnya telah terbukti efektif, terutama melalui randomized controlled studies,

dengan level of evidance tertinggi.8

Untuk kepentingan klinis berdasarkan durasi epilepsi dan pengobatan, kontrol

bangkitan, serta jumlah obat antiepilepsi yang digunakan, terdapat skala resistensi

yang mengklasifikasikan epilepsi menjadi:9

1. Potensial

Tidak ditemukan bebas bangkitan dengan penggunaan OAE kurang dari 1

tahun, dan terdapat faktor prediktor terjadinya resisten obat.

2. Probable

Tidak ditemukan bebas bangkitan selama lebih dari 1 tahun dengan

minimal dua macam OAE.

3. Definit

Tidak ditemukan bebas bangkitan selama lebih dari 1 tahun setelah 5

tahun pengobatan dengan minimal 3 macam OAE.

2.3.2 Mekanisme selular dan molekular epilepsi resisten obat

Salah satu mekanisme yang mendasari terjadinya epilepsi resisten obat

adalah terdapatnya gangguan penetrasi obat ke dalam otak yang disebabkan oleh

adanya transporter effluks. Salah satu dari transporter effluks ini adalah P-

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 30: SP-Andini Aswar.pdf

13

Universitas Indonesia

glycoprotein (P-gp). P-gp merupakan pompa effluks aktif yang berasal dari

superfamili protein adenosine triphosphate (ATP)-binding cassete (ABC). P-gp di

kode oleh dua gen yaitu multiple drug resistance 1 (MDR-1) dan multiple drug

resistance 2 (MDR 2) yang berlokasi di kromosom 7q21.1. Protein yang terletak

pada sel endotel kapiler ini bekerja sebagai pompa effluks mengembalikan obat

yang masuk ke dalam sel kembali ke darah. P-gp dan transporter obat lainnya

kemudian ditemukan pada lobus temporal pasien epilepsi resisten obat yang

menjalani temporal lobektomi. Overekspresi dari P-gp dan transporter effluks

lainnya di sekitar fokus epileptik dapat menyebabkan epilepsi resisten obat.21,22

Teori lain yang mendasari ELT resisten obat adalah hilangnya sensitivitas

OAE pada target obat tertentu. Beberapa penelitian menyebutkan hilangnya

farmakosensitivitas obat yang bekerja pada kanal natrium (Na) dapat ditemukan

pada hewan coba maupun pasien dengan ELT resisten obat. Selain kanal Na target

obat lain yang mungkin berubah pada ELT resisten obat adalah gamma

aminobutyric acid (GABA)A. Reorganisasi reseptor GABAA dapat ditemukan

pada hipokampus pasien ELT, menyebabkan berkurangnya potensi OAE yang

bekerja meningkatkan inhibisi GABAergik via reseptor GABA.21

2.3.3 Faktor –faktor yang mempengaruhi epilepsi resisten obat

Etiologi epilepsi

Penelitian menunjukkan terdapat beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi terjadinya epilepsi resisten obat. Salah satu faktor yang penting

adalah etiologi epilepsi. Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam 3 kategori yaitu

idiopatik, kriptogenik, simtomatik. Penelitian jangka panjang selama 30 tahun

pada anak dengan epilepsi menunjukkan hanya 13% pasien dengan epilepsi umum

idiopatik dan tidak ada kasus pasien dengan epilepsi fokal idiopatik yang menjadi

resisten obat. Di lain pihak pada kasus yang lebih jarang sebanyak 78% pasien

dengan epilepsi umum simtomatik tidak mengalami remisi dan pada kasus yang

lebih sering sebanyak 49% pasien dengan epilepsi parsial simtomatik juga tidak

mengalami remisi. Hal ini menunjukkan bahwa epilepsi idiopatik memiliki

prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan epilepsi simtomatik. Pada

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 31: SP-Andini Aswar.pdf

14

Universitas Indonesia

penelitian lainnya disebutkan 82% pasien dengan bangkitan umum idiopatik

mengalami 1 tahun bebas bangkitan dibandingkan dengan hanya 35% pasien

dengan epilepsi parsial simtomatik dan 45% pasien dengan epilepsi parsial

kriptogenik.9,23

Ada tidaknya penyebab simtomatik merupakan faktor prognosis penting

terjadinya remisi yang telah dibuktikan melalui banyak penelitian. Penyebab

simtomatik dari epilepsi baik bawaan atau didapat merupakan kondisi yang dapat

mempengaruhi dan menyebabkan kerusakkan otak hingga meningkatkan risiko

epilepsi. Kasus epilepsi umum resisten obat pada anak dapat berupa sindrom

Ohtahara, sindrom West, sindrom Dravet, dan sindrom Lennox-Gastaut. Pada

epilepsi fokal, sklerosis hipokampus, kortikal displasia, dan perdarahan seringkali

berkaitan dengan epilepsi resisten obat. Lokasi dari zona epileptogenik juga

berperan dalam terjadinya epilepsi resisten obat. Lobus temporal mungkin

merupakan area yang paling epileptogenik dan merupakan epilepsi fokal yang

paling sering ditemukan. 9

Penyebab simtomatik

Seiring dengan perkembangan pemeriksaan MRI, beberapa penelitian

memperlihatkan hubungan antara penyebab epilepsi dengan kontrol bangkitan.

Sebuah penelitian menyebutkan epilepsi resisten obat dapat ditemukan pada 97%

pasien dengan sklerosis hipokampus dan malformasi perkembangan kortikal (dual

patologi) di lobus temporal, 89% pasien dengan sklerosis hipokampus saja, 76%

pasien dengan malformasi perkembangan kortikal saja, 65% pasien dengan cedera

otak, 50% pasien dengan malformasi vaskular, dan hanya 46% pasien dengan

epilepsi pascastroke. Penelitian lain menemukan bahwa sklerosis temporal mesial

dan kortikal displasia memiliki prognosis yang buruk, dengan rata-rata masing-

masing 58% dan 46% tidak mengalami bebas bangkitan, diikuti oleh tumor

(37%), stroke (33%), dan malformasi arteriovenous (22%). Epilepsi pascastroke

memiliki rata-rata remisi yang lebih baik dibandingkan pasien dengan tumor otak.

Sebuah penelitian menyebutkan kebanyakkan epilepsi pascastroke akan

mengalami bebas bangkitan, hanya 2% pasien yang mengalami bangkitan

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 32: SP-Andini Aswar.pdf

15

Universitas Indonesia

berulang ketika dalam pengobatan.24

Penelitian lain melaporkan risiko terjadinya

bangkitan pascastroke adalah 4,1% setelah infark serebri, 18,2% setelah

perdarahan intraserebri, dan 27,8% setelah perdarahan subarachnoid.25

Sklerosis hipokampus merupakan kelainan yang banyak ditemukan pada

pasien ELT resisten obat, sehingga seringkali diduga bahwa sklerosis hipokampus

berperan dalam mekanisme terjadinya epilepsi ini. Di hipokampus, girus dentate

biasanya berfungsi sebagai gerbang resistensi tinggi atau filter yang mencegah

penyebaran aktivitas sinkron yang berasal dari kortek entorhinal ke daerah

hipokampus yang rentan terjadi bangkitan. Pada pasien dengan ELT dan hewan

coba dengan ELT hilus GABAergik interneuron hilang, sehingga sel-sel granul

dentate membentuk jaringan sinaps yang saling berhubungan menyebabkan fungsi

girus dentate sebagai filter atau gerbang terganggu. Diduga hilangnya neuron pada

hilus girus dentate berkaitan dengan terjadinya disinhibisi sel granul dan

hipereksitabilitas yang mendasari terjadinya fokus bangkitan pada daerah

hipokampus. Sebuah penelitian dilakukan untuk melihat apakah perubahan

morfologi hipokampus berkaitan dengan resistensi terhadap OAE. Penelitian ini

membandingkan kerusakkan hipokampus pada tikus percobaan dengan epilepsi

yang respon atau tidak dengan fenobarbital. Dari penelitian ini didapatkan

hilangnya neuron yang signifikan pada CA1, CA3c/CA4 dan hilus dentate paling

banyak ditemukan pada kelompok nonresponders (>90%), sedangnya pada

sebagian besar responders (>90%) tidak berbeda dengan kontrol nonepilepsi. Hal

ini memperlihatkan perbedaan yang signifikan antara farmakoresisten dan

farmakoresponsif epilepsi. Berdasarkan hasil observasi ini, perubahan fungsional

pada girus dentate sebagai respons terhadap hilangnya sel hilus berperan dalam

terjadinya resistensi obat antiepilepsi. Perubahan struktural dan fungsional

jaringan ini juga dapat mempengaruhi target obat antiepilepsi. Hal ini kemudian

mendasari timbulnya hipotesis jaringan pada mekanisme terjadinya epilepsi

resisten obat. 26

Epilepsi juga dapat terjadi pascatrauma kepala. Penelitian menyebutkan

cedera ringan tanpa adanya fraktur tulang kepala, dan dengan amnesia

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 33: SP-Andini Aswar.pdf

16

Universitas Indonesia

pascatrauma kurang dari 30 menit tidak meningkatkan risiko terjadinya epilepsi

dibandingkan dengan cedera kepala yang lebih berat. Sekitar 75% pasien akan

mengalami bangkitan pertama kalinya 1 tahun pascatrauma. Tidak ditemukan

perbedaan yang signifikan antara bangkitan yang terjadi dalam minggu pertama

dengan bangkitan yang terjadi kemudian sebagai faktor risiko terjadinya

bangkitan berulang. Bangkitan yang terjadi segera setelah cedera kepala

(immediately) tidak memberi prognosis buruk untuk terjadinya kejang berulang.

Penelian menyebutkan 25% pasien dengan early seizure (bangkitan yang terjadi

dalam 7 hari setelah trauma) akan mengalami epilepsi dikemudian hari

dibandingkan dengan hanya 3% pasien tanpa early seizure. Ketika faktor risiko

lain seperti adanya fraktur impresi tulang kepala dan perdarahan otak di ekslusi

maka didapatkan epilepsi hanya terjadi pada 1,2% pasien yang tidak mengalami

early seizure dibandingkan dengan 51% pasien dengan early seizure. Faktor

lainnya yang meningkatkan risiko terjadinya epilepsi pascatrauma adalah adanya

perdarahan intrakranial (31%) dan fraktur impresi (15%). Pada pasien tanpa

gambaran ini post traumatic amnesia yang lebih lama meningkatkan risiko

terjadinya epilepsi. Prognosis epilepsi pascatrauma lebih buruk dibandingkan

dengan epilepsi tanpa ada penyebab yang ditemukan. Penelitian menyebutkan

rata-rata remisi hanya 50%. Prognosis yang lebih buruk ditemukan pada

bangkitan yang berasal dari lobus temporal.25

Tumor merupakan penyebab epilepsi yang jarang ditemukan. Diagnosis

tumor sebagai penyebab epilepsi biasanya didasari oleh adanya gejala defisit

neurologis fokal, gambaran EEG fokal yang abnormal, dan dari gambaran

neuroimaging. Pasien-pasien dengan tumor jinak lebih besar kemungkinan untuk

mengalami epilepsi. Epilepsi juga dapat terjadi setelah infeksi otak. Risiko

terjadinya epilepsi setelah ensefalitis viral diperkirakan mencapai 10-25%, dan 3-

10% setelah meningitis bakterial, terutama apabila ditemukan defisit neurologis

yang menetap.25

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 34: SP-Andini Aswar.pdf

17

Universitas Indonesia

Genetik

Adanya polimorfisme gen diduga berperan dalam terjadinya epilepsi

resisten obat. Hal ini menjelaskan kenapa suatu lesi otak yang serupa dapat

menyebabkan resistensi obat pada beberapa pasien tapi tidak pada sebagian

lainnya. Obat-obatan epilepsi juga memiliki efektifitas yang tidak dapat

diprediksi, reaksi efek samping dan dosis optimal yang berbeda untuk masing-

masing individu pasien sehingga hal ini dianggap sebagai konsekuensi dari variasi

genetik. Semakin jelas bahwa polimorfisme genetik berperan dalam variasi

farmakokinetik dan farmakodinamik obat-obat antiepilepsi. Polimorfisme

nukleotida tunggal yaitu variasi pada satu sisi DNA merupakan bentuk variasi

genom yang paling sering ditemukan dan dapat mempengaruhi efektifitas,

tolerabilitas, dan durasi kerja obat-obat antiepilepsi. Target obat dan transporter

obat juga dapat dipengaruhi oleh variasi genetik. Dua polimorfisme gen

dikaitkan dengan resistensi OAE yaitu reseptor GABAB dan glikoprotein P170

(Pgp atau MDR 1 untuk multi drug resistance protein 1). Sehubungan dengan

reseptor GABAB, polimorfisme A/G pada posisi 1465 berperan dalam substitusi

Gly489Ser pada reseptor, yang dapat mengganggu fungsional. Sebuah penelitian

melaporkan sebanyak 17% pasien dengan epilepsi lobus temporal memiliki

genotip A/G dibandingkan hanya 0,5% pada populasi normal. Pada penelitian ini

genotip A/G menunjukkan odds rasio 6,47 untuk berkembang menjadi resistensi

obat. Meskipun demikian ternyata temuan ini tidak ditemukan pada penelitian

lainnya.24

Berkaitan dengan gen P-gp atau gen ABCB1 (ATP binding cassette

subfamily B 1 gene), banyak studi fokus pada polimorfisme 3435C-T, meskipun

varian genetik lainnya juga dijelaskan (1236C-T, 2677G-T). Polimorfisme 3435C-

T berhubungan dengan ekspresi P-gp yang tinggi pada beberapa sel. Penelitian

pada pasien yang mendapat obat antiepilepsi tunggal (fenitoin atau fenobarbital)

yang ditransport oleh P-gp menunjukkan bahwa farmakoresisten akan lebih sering

terlihat pada pasien dengan genotip CC pada polimorfisme MDR1 C3435T.

Penelitian lebih lanjut menyebutkan bahwa genotip CC berhubungan dengan

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 35: SP-Andini Aswar.pdf

18

Universitas Indonesia

rendahnya kadar fenobarbital pada cairan serebrospinal dibandingkan dengan

genotip CT atau TT. Genotip CC pada posisi 3435 berhubungan dengan

meningkatnya risiko resistensi obat. Penelitian mengenai variasi gen ini kemudian

dalam mekanisme terjadinya epilepsi resisten obat dikenal dengan hipotesis

variasi gen.26

Beberapa penelitian menyebutkan adanya riwayat keluarga dengan

epilepsi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya epilepsi resisten obat.

Terkait genetik, pada klasifikasi ILAE 2010 berdasarkan usia saat onset epilepsi

pada saat remaja dan dewasa, ELT dapat dibagi menjadi autosomal dominant

epilepsy with auditory features (ADPEAF) dan familial temporal lobe epilepsies

(FTLE). ADPEAF merupakan sindrom epilepsi fokal idiopatik dengan

manifestasi iktal berupa gejala auditorik dan atau afasia reseptif.. Diagnosis

ADPEAF didasari oleh klinis, riwayat keluarga, sedangkan gambaran imaging

biasanya normal. Pada sekitar 1/3 keluarga yang menderita kelainan ini

diidentifikasi adanya mutasi dari LGI1. Pemberian OAE pada kelainan ini

menunjukkan respon yang baik dan kontrol bangkitan dapat tercapai dengan terapi

medikamentosa. FTLE merupakan sindrom epilepsi yang diwariskan secara

autosomal dominan. Kelainan ini dapat dibagi dua menjadi Mesial familial

temporal lobe epilepsy (MFTLE) dan Lateral familial temporal lobe epilepsy

(LFTLE). LFTLE merupakan kelainan yang sama dengan autosomal dominant

epilepsy with auditory features seperti yang disebutkan sebelumnya. Pada MFTLE

bangkitan biasanya jarang, dan terkontrol baik dengan OAE. Bangkitan parsial

sederhana lebih sering ditemukan dibandingkan dengan bangkitan parsial

kompleks (90% vs 66%). Manifestasi iktal dapat berupa deja’vu, halusinasi

dengan atau tanpa gejala otonom, gejala emosional seperti panik dan takut, ilusi

visual dan auditorik, serta gejala somatosensori difus. Gejala epigastrium biasanya

tidak ditemukan pada kelainan ini. Meskipun diduga terdapat mutasi genetik pada

MFTLE, namun sampai saat ini belum ada mutasi gen yang berhasil

diidentifikasi.27

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 36: SP-Andini Aswar.pdf

19

Universitas Indonesia

Frekuensi bangkitan awal

Frekuensi bangkitan awal yang tinggi sebelum pengobatan merupakan

faktor prediktor terjadinya epilepsi resisten obat yang telah dibuktikan melalui

beberapa penelitian. Namun dalam literatur dikatakan faktor ini tidak berdiri

sendiri dan terdapat faktor lain yang ikut berperan. Dalam sebuah penelitian pada

hewan percobaan dengan epilepsi lobus temporal, ditemukan adanya resistensi

terhadap fenobarbital pada semua hewan coba dengan frekuensi bangkitan yang

tinggi sebelum pengobatan. Namun dalam penelitian ini juga disebutkan frekuensi

bangkitan yang tinggi hanya ditemukan pada 46% kelompok nonresponden,

sementara 54% lainnya tidak berbeda dengan kelompok responden. Hal ini

mendukung bahwa frekuensi bangkitan yang tinggi merupakan faktor prediktor

kuat terjadinya resisten obat, akan tetapi ada faktor lain yang juga terlibat dalam

resistensi obat dalam model ini. Berdasarkan penelitian sebelumnya disebutkan

bahwa pada kelompok nonresponden terhadap fenobarbital, sebagian besar

menunjukkan kerusakkan hipokampus (90%) dibandingkan hanya 7% pada

kelompok responden, dan penelitian lain menyebutkan selain kerusakkan

hipokampus, terdapat perbedaan dalam peningkatan ekspresi transporter P-gp di

otak dan ekspresi subunit dan karakteristik reseptor GABAA antara kelompok

responden dan nonresponden.28

Bangkitan dapat menyebabkan peningkatan P-gp. Sebuah penelitian yang

dapat menjelaskan mekanisme ini yaitu, studi pada hewan percobaan dengan

epilepsi lobus temporal menyebutkan setelah bangkitan dapat ditemukan ekspresi

berlebih dari P-gp pada sel endotel kapiler otak, astroglia, dan neuron. P-gp

merupakan salah satu transporter efluks yang berperan untuk mengeluarkan obat-

obat dari sistem saraf pusat sehingga membatasi pengambilannya oleh otak. Salah

satu mekanisme yang mendasari terjadinya epilepsi lobus temporal resisten obat

adalah gangguan penetrasi obat ke otak akibat adanya transporter effluks. Hal ini

mendasari timbulnya hipotesis transporter obat dalam mekanisme terjadinya

epilepsi resisten obat. Dalam hipotesis transporter obat disebutkan kegagalan obat

antiepilepsi dalam mengontrol bangkitan disebabkan karena kadar subterapeutik

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 37: SP-Andini Aswar.pdf

20

Universitas Indonesia

obat tersebut pada daerah kerjanya yang disebabkan oleh adanya aktivitas dari

transporter obat.26,29

Frekuensi bangkitan lebih dari 1 per bulan yang terjadi segera setelah

diagnosis epilepsi baik sebelum atau setelah pengobatan, berkaitan dengan

resisten obat untuk jangka pendek (2-4 tahun) dan jangka panjang (30-35 tahun).9

Tripathy melaporkan frekuensi bangkitan yang tinggi lebih dari 1 kali perbulan

merupakan faktor prediktor terjadinya epilepsi resisten obat.30

Status epileptikus

Status epileptikus merupakan salah satu faktor prediktor epilepsi resisten

obat pada beberapa penelitian. Pada status epileptikus dapat terbentuk sinaps

eksitasi baru pada sel granul fasia dentate yang beroperasi melalui reseptor kainate

(bagian dari reseptor glutamat) yang tidak ditemukan pada sel granul naive.

Bangkitan berulang pada daerah limbik yang dihasilkan oleh aktivasi reseptor

kainate ini kemudian menyebabkan pembentukan sinaps baru yang memfasilitasi

munculnya bangkitan lebih lanjut. Bangkitan dapat mencetuskan bangkitan

melalui kaskade peristiwa meliputi kerusakkan neuron, pertumbuhan serabut-

serabut saraf, dan terbentuknya sinaps baru yang bergantung pada sinyal yang

berbeda dengan sel naive dan berperan dalam epileptogenesis. Serabut saraf mossy

tumbuh dan membentuk sinaps baru yang hanya dapat dilihat pada jaringan

epilepsi.31

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya peningkatan ekspresi P-gp

dapat mempengaruhi kadar obat diotak. Sebuah penelitian memperlihatkan

adanya peningkatan ekspresi P-gp pada daerah epileptogenik yang telah direseksi

(lobus temporal) pada pasien epilepsi. Selain itu terjadi penurunan akumulasi

fenitoin pada kultur buatan sel yang mengekspresikan P-gp dibandingkan dengan

yang tidak. Peningkatan ekspresi P-gp ini dapat membatasi akses obat antiepilepsi

ke jaringan otak. Penelitian lain melaporkan bahwa setelah bangkitan, mdr1

mRNA (gen yang mengkode P-gp) mengalami ekspresi berlebihan pada daerah

hipokampus tikus percobaan. Ketika fenitoin diberikan secara sistemik pada tikus

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 38: SP-Andini Aswar.pdf

21

Universitas Indonesia

ini maka rasio plasma-otak obat ini 30% lebih rendah dibandingkan dengan tikus

yang tidak mengalami bangkitan, yang menunjukkan berkurangnya konsentrasi

obat di otak. Perubahan konsentrasi fenitoin diotak ini dapat mempengaruhi

efektifitasnya. Peningkatan P-gp pada daerah otak yang epileptogenik dapat

menurunkan konsentrasi OAE yang merupakan substrat P-gp didaerah otak

tersebut menyebabkan OAE tidak efektif.26,29

Usia saat onset bangkitan

Usia muda saat onset epilepsi merupakan salah satu faktor prediktor

epilespsi resisten obat. Bangkitan pada otak imatur dari seorang anak berperan

terhadap tingginya jumlah gap junction yang menyebabkan konektivitas abnormal

pada kortek.9 Gap junction pada sistem saraf pusat berperan dalam komunikasi

cepat, nonsinaptik antara sel-sel yang berdekatan. Gap junction diyakini

mendasari sinkronisasi aktivitas epileptiform dan berkontribusi terhadap osilasi

frekuensi tinggi (300-400 Hz) yang mendahului timbulnya cetusan iktal pada

epilepsi lobus temporal.32

Penelitian oleh Ohtsuka dkk (2000) di Jepang mendapatkan usia < 1 tahun

saat onset bangkitan epilepsi merupakan faktor prediktor terjadinya epilepsi

resisten obat yang signifikan.33

Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh

Casetta dkk (1999).34

Penelitian Gilioli pada pasien dewasa dengan epilepsi fokal

membagi onset bangkitan menjadi kurang dan lebih dari 15 tahun. Pada

penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara onset bangkitan

dengan kejadian epilepsi resisten obat.35

Studi MRI kualitatif menunjukkan pada

pasien dengan hipokampus normal onset bangkitan terjadi pada usia yang lebih

tua dibanding pasien dengan kerusakkan hipokampus. Peneliti lain menyebutkan

pula bahwa pasien epilepsi lobus temporal resisten obat dengan atrofi hipokampus

mengalami onset epilepsi pada usia muda dibandingkan pasien dengan

hipokampus normal. Disebutkan juga bahwa onset bangkitan awal merupakan

salah satu faktor penentu terjadinya kerusakkan hipokampus pada epilepsi lobus

temporal kronik.36

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 39: SP-Andini Aswar.pdf

22

Universitas Indonesia

Respons terhadap obat antiepilepsi pertama

Salah satu faktor prediktor terjadinya epilepsi resisten obat adalah respons

awal pada penggunaan OAE pertama. Kontrol bangkitan yang tidak adekuat

setelah pengobatan awal dapat memberikan prognosis yang buruk. Disebutkan

penambahan obat antiepilepsi baru pada pasien yang telah mendapat 2-5 obat

antiepilepsi sebelumnya tidak bermanfaat dan resistensi obat akan tetap berlanjut.

Rata-rata bebas bangkitan akan menurun dari 61,8% pada penggunaan obat

antiepilepsi pertama menjadi 41,7% hingga 16,6% setelah penggunaan 2-5 obat

antiepilepsi yang tidak efektif. Setelah penggunaan 6 obat antiepilepsi dapat

terjadi resistensi absolut (bebas kejang 0%). Probabilitas terjadinya remisi

bangkitan berkurang secara signifikan setiap kali terjadinya kegagalan

pengobatan.9

Terdapat peranan dari multiple drug resistance gene (MDR-1) yang

menyebabkan berkurangnya sensitivitas terhadap OAE. MDR-1 mengekspresikan

P-gp yang dapat mengeluarkan obat keluar dari sel. Apabila obat tidak dapat

mencapat target, maka efektifitasnya akan berkurang. Overekspresi dari MDR-1

ini ditemukan pada fokus bangkitan pasien epilepsi resisten obat.37

Kejang demam

Kejang demam diduga merupakan salah satu penyebab terjadinya sklerosis

hipokampus, dimana kelainan ini banyak ditemukan pada epilepsi lobus temporal

dan pada kasus resistensi obat. Beberapa studi menunjukkan korelasi antara

kejang demam dengan kerusakkan hipokampus.36,38

Gambaran EEG

Gambaran EEG merupakan salah satu faktor prediktor terjadinya epilepsi

resisten obat. Penelitian oleh Yilmaz dkk menyebutkan abnormalitas EEG

merupakan faktor prediktor epilepsi resisten obat. Pada penelitian oleh Yilmaz

dkk ini gelombang paku baik fokal maupun multifokal merupakan kelainan yang

paling banyak ditemukan pada kedua kelompok baik resisten obat maupun tidak,

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 40: SP-Andini Aswar.pdf

23

Universitas Indonesia

akan tetapi kelainan ini secara signifikan lebih sering pada kelompok dengan

epilepsi resisten obat.39

Tabel 2.2 Faktor risiko epilepsi lobus temporal resisten obat

Faktor risiko Epilepsi resisten obat

Etiologi epilepsi Epilepsi simtomatik

Penyebab simtomatik/Imaging Terdapat abnormalitas/adanya lesi

Frekuensi bangkitan awal >1 bangkitan perbulan

Status epileptikus Terdapat riwayat status epileptikus

Usia saat onset bangkitan <1 tahun

Respon awal terhadap OAE pertama Tidak bebas bangkitan dengan OAE

pertama

Kejang demam Terdapat riwayat kejang demam

Gambaran EEG

Riwayat keluarga dengan epilepsi

Perlambatan, aktivitas epileptiform

Terdapat riwayat keluarga dengan

epilepsi

2.3.4 Pola epilepsi resisten obat

De novo

Teori ini menyebutkan pada beberapa pasien resistensi obat telah

berkembang sepenuhnya pada onset bangkitan pertama sebelum dimulai

pemberian obat antiepilepsi. Yang mendukung studi ini adalah karena

ditemukannya pasien-pasien yang gagal menunjukkan respons pada penggunaan

obat antiepilepsi pertama. Pada sebuah penelitian disebutkan pasien yang gagal

pada penggunaan obat antiepilepsi pertama karena kurangnya efektifitas (bukan

karena efek samping obat atau sebab lainnya), hanya 11% yang mengalami remisi

12 bulan kemudian dengan obat antiepilepsi lainnya. Penelitian lain menyebutkan

bahwa respons terhadap obat antiepilepsi pertama merupakan faktor prediktor

keluaran. Pasien yang gagal mengontrol bangkitan pada penggunaan obat

antiepilepsi pertama akan mengalami resistensi pada hampir semua obat

antiepilepsi.6,29

Resistensi obat progresif

Pada beberapa pasien epilepsi pada awalnya dapat dikontrol kemudian

secara bertahap menjadi resisten obat. Pola ini dapat dilihat sebagai contoh pada

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 41: SP-Andini Aswar.pdf

24

Universitas Indonesia

epilepsi dengan sklerosis hipokampus. Sebuah penelitian melaporkan pasien yang

baru terdiagnosis epilepsi dapat mengalami epilepsi resisten obat meskipun

sebelumnya menunjukkan respons awal yang bagus terhadap obat antiepilepsi.

Penelitian lainnya melaporkan pasien epilepsi resisten obat yang merupakan

kandidat untuk pembedahan sebelumnya mengalami remisi selama > 5 tahun.

Resisten obat dapat terjadi dalam beberapa tahun bahkan sampai > 10 tahun.29

Diperkirakan 7-9% pasien yang bebas bangkitan dan direncanakan untuk

menghentikan pengobatan antiepilepsi gagal mencapai remisi kembali dan

mengalami epilepsi resisten obat. Sekitar 50% pasien membutuhkan waktu

bertahun-tahun untuk mencapai remisi setelah menghentikan obat antiepilepsi.6,29

Resistensi waxing dan waning

Pada beberapa pasien, epilepsi mempunyai pola waxing dan waning yaitu

berubah dari remisi (farmakoresponsif) dan relaps (farmakoresisten). Pasien

dengan epilepsi resisten obat dapat bebas bangkitan ketika diberikan obat

antiepilepsi jenis lainnya. Sebuah penelitian menyebutkan penambahan obat

antiepilepsi baru dapat mengurangi bangkitan pada pasien dengan epilepsi

resisten obat.6,29

2.3.5 Tatalaksana

Medikamentosa

Pada pasien epilepsi resisten obat terdapat tiga strategi pengobatan yang

dapat dilakukan yaitu dengan monoterapi sekuensial, politerapi, atau

mengoptimalkan OAE yang diberikan. Monoterapi sekuensial, yaitu mengganti

regimen obat pasien dari satu atau banyak OAE menjadi OAE tunggal yang belum

pernah didapat pasien sebelumnya. Politerapi yaitu merubah regimen obat pasien

menjadi beberapa OAE yang berbeda yang diberikan secara bersamaan.

Mengoptimalkan OAE yang diberikan yaitu mengubah dosis, minimal satu obat

pada regimen obat pasien dengan mengganti dosis total harian, frekuensi

pemberian, dan sediaan obat (seperti menggunakan sediaan lepas lambat) atau

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 42: SP-Andini Aswar.pdf

25

Universitas Indonesia

mengurangi jumlah total obat. Belum terdapat penelitian yang membandingkan

efektifitas dari ketiga strategi pengobatan ini.40

Tabel 2.3 Dosis OAE untuk orang dewasa1

OAE Dosis Awal

(mg/hari)

Dosis Rumatan

(mg/hari)

Jumlah dosis per

hari

Carbamazepin 400-600 400-1600 2-3x

(untuk CR 2x)

Phenytoin 200-300 200-400 1-2X

Asam Valproat 500-1000 500-2500 2-3X

(untuk CR 1-2X)

Phenobarbital 50-100 50-200 1

Clonazepam 1 4 1 atau 2

Clobazam 10 10-30 1-2X

Oxcarbazepine 600-900 600-3000 2-3X

Levetiracetam 1000-2000 1000-3000 2X

Topiramat 100 100-400 2X

Gabapentin 900-1800 900-3600 2-3X

Lamotrigine 50-100 50-200 1-2X

Zonisamid 100-200 100-400 1-2X

Pregabalin 50-75 50-600 2-3X

CR: Controlled release

Pembedahan

Berdasarkan tujuannya, pembedahan pada epilepsi dapat diklasifikasikan

menjadi prosedur kuratif atau paliatif. Yang termasuk prosedur kuratif adalah

lobektomi, lesionektomi, dan pembedahan multilobar atau hemisfer

(hemisferektomi). Lobektomi temporal anterior dan hipokampektomi merupakan

prosedur yang sering dilakukan pada pembedahan epilepsi (>50%). Pasien dengan

bangkitan yang disebabkan oleh adanya lesi struktural di otak dapat mengalami

bebas bangkitan setelah dilakukan reseksi pada lesi tersebut (lesionektomi) atau

meluas hingga ke lobus (lobektomi). Epilepsi lobus temporal mesial dengan

sklerosis hipokampus adalah epilepsi fokal yang sering ditemukan, dimana

prognosisnya buruk, namun menunjukkan respon yang baik dengan pembedahan.

Apabila bangkitan berasal dari area yang luas atau multifokal pada satu hemisfer,

dapat dilakukan reseksi multilobar atau hemisferektomi.6

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 43: SP-Andini Aswar.pdf

26

Universitas Indonesia

Tidak seperti pada prosedur kuratif, prosedur paliatif jarang dapat

menghentikan bangkitan secara keseluruhan. Sangat penting dapat menentukan

bahwa pasien bukan merupakan kandidat prosedur kuratif sebelum memutuskan

untuk melakukan prosedur paliatif seperti corpus callosotomy, transeksi subpial

multipel, atau vagus nerve stimulation. Corpus callosotomy dilakukan pada

sekelompok kecil pasien dengan tipe bangkitan yang dengan cepat menjadi umum

atau serangan yang dapat melukai pasien dan bukan merupakan kandidat untuk

reseksi fokal. Prosedur ini bertujuan untuk mencegah penyebaran cepat cetusan

bangkitan interhemisfer dengan memutuskan hubungan antara kedua hemisfer.

Transeksi subpial multipel dilakukan pada bangkitan yang berasal dari kortek

eloquent atau dari daerah yang tidak dapat diangkat tanpa menimbulkan defisit

neurologis. Oleh sebab itu ahli bedah hanya melakukan transeksi secara vertikal

sehingga mengganggu hubungan kortek horizontal tanpa reseksi. Pendekatan ini

dianggap dapat mengganggu penyebaran cetusan dengan mempertahankan fungsi

fisiologis.6

Ketogenik Diet

Ketogenik Diet merupakan salah satu alternatif pengobatan

nonfarmakologi pada pasien usia muda dengan bangkitan yang tidak terkontrol.

Pada diet ini terjadi perubahan biokimia yang mirip dengan perubahan yang

terjadi pada saat kelaparan dimana tubuh akan mulai memetabolisme lemak

sebagai ganti glukosa. Komposisi yang digunakan adalah tinggi lemak, rendah

karbohidrat dan protein yang adekuat dengan rasio 4:1 atau 3:1 pada remaja dan

anak-anak. Penggunaan terapi ini harus dengan pemantauan ketat dari ahli gizi.

Mengingat efek samping jangka panjang pada pertumbuhan dan kesehatan secara

keseluruhan, ketogenik diet biasanya hanya digunakan pada kelompok kecil

pasien usia muda dengan epilepsi intraktabel dan jarang digunakan dalam jangka

waktu panjang.6

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 44: SP-Andini Aswar.pdf

27

Universitas Indonesia

Vagus nerve stimulation

Vagus nerve stimulation merupakan alternatif pengobatan nonfarmakologi

untuk orang dewasa atau remaja dengan usia lebih dari 12 tahun, bangkitan fokal

yang resisten obat, dan bukan merupakan kandidat yang tepat untuk pembedahan.

Efektifitasnya pada pasien yang lebih muda dan pasien dengan bangkitan umum

yang resisten obat masih belum jelas, meskipun beberapa penelitian melaporkan

manfaatnya dalam hal berkurangnya frekuensi bangkitan dan kualitas hidup yang

lebih baik. Vagus nerve stimulation terdiri dari generator yang ditanamkan

subkutaneus pada prekordium dan kawat timah ditanam dibawah kulit dan

melekat pada nervus vagus kiri.6

Efek samping yang sering ditemukan berupa batuk, perubahan suara, suara

serak, yang biasanya tergantung pada stimulasi dan cenderung berkurang seiring

waktu. Vagus nerve stimulation tidak mempunyai efek samping terhadap fungsi

kognitif seperti yang dapat ditemukan akibat peningkatan dosis obat antiepilepsi.

Kurang lebih 1/3 dari pasien yang mendapat pengobatan ini memberikan respons

dengan berkurangnya frekuensi bangkitan sebanyak 50% atau lebih, dan hanya

beberapa yang mengalami bebas bangkitan. Terapi ini termasuk tatalaksana

paliatif dan dilakukan pada pasien yang bukan kandidat untuk prosedur bedah

atau mereka yang gagal pada prosedur bedah.6

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 45: SP-Andini Aswar.pdf

28

Universitas Indonesia

2.4 Kerangka Teori 21,22,26

Potensial resisten obat Tidak potensial resisten obat

Epilepsi lobus temporal

e Struktural Fungsional

Riw. keluarga

dengan epilepsi

Perubahan

target obat

Perubahan

sirkuit

jaringan

(network)

Kanal Na+

Reseptor

GABA

Perubahan komposisi subunit

Na+

/ reseptor GABAA

↓ sensitifitas obat

Genetik

Overekspresi

transporter obat

Gangguan proses

pengambilan OAE di otak

↓ efektifitas

obat

Riwayat

status

epileptikus

Respons

terhadap OAE

pertama

Riw. Kejang

demam

Frek. bangkitan

awal

Usia

muda saat

onset

epilepsi

Hiper-

eksitabi

litas

neuron

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 46: SP-Andini Aswar.pdf

29

Universitas Indonesia

2.5 Kerangka konsep

Keterangan

Variabel bebas

Variabel tergantung

Potensial resisten obat Tidak potensial resisten obat

Pasien epilepsi lobus temporal

Usia saat onset epilepsi

Riwayat kejang demam

Gambaran CT Scan/MRI

Kepala

Etiologi epilepsi

Riwayat keluarga dengan

epilepsi

Respons terhadap OAE pertama

Riwayat status epileptikus

Gambaran EEG

Frekuensi bangkitan awal

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 47: SP-Andini Aswar.pdf

30

Universitas Indonesia

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi observasional potong lintang.

3.2. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Epilepsi RSCM Jakarta setelah

mendapat persetujuan oleh komite etik (november 2014) sampai dengan desember

2014.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien epilepsi lobus

temporal yang berobat ke Poliklinik Epilepsi RSCM Jakarta. Sampel adalah

populasi terjangkau yang memenuhi kriteria penelitian.

3.4. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan metode consecutive

sampling yaitu semua pasien epilepsi lobus temporal yang sedang menjalani

pengobatan di poliklinik Epilepsi RSCM akan di evaluasi. Pasien yang memenuhi

kriteria inklusi dan ekslusi akan dimintai persetujuan untuk ikut serta dalam

penelitian, kemudian dilakukan wawancara dengan menggunakan kuisioner dan

evaluasi rekam medis.

Estimasi Besar Sampel

Untuk menentukan besar sampel digunakan rumus sebagai berikut:

n = Zα2PQ

d2

n = jumlah subjek minimal

30

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 48: SP-Andini Aswar.pdf

31

Universitas Indonesia

zα = nilai konversi pada kurva normal = 1,96

P = proporsi = 68,3% (proporsi pasien epilepsi lobus temporal dengan

bangkitan yang tidak terkontrol pada penelitian Wiratman, 2012)

Q = 100% - P = 100 – 68,3% = 31,7%

d = tingkat ketepatan absolut = 10%

maka besar subjek minimal untuk penelitian ini adalah:

n = (1,96)2

x 0,68 x 0,32 = 84

0,12

3.5. Kriteria Penelitian

3.5.1. Kriteria Inklusi

1. Usia ≥ 18 tahun

2. Pasien yang sudah ditegakkan diagnosis epilepsi lobus temporal

3. Telah mendapat pengobatan epilepsi dengan dosis rumatan baik

monoterapi atau politerapi di Poliklinik Epilepsi RSCM selama

minimal 1 tahun dan masih berobat pada waktu pengambilan sampel.

3.5.2. Kriteria Eksklusi

1. Pasien dengan kepatuhan minum obat yang buruk (poor compliance)

pada saat pengambilan sampel

2. Pasien dengan bangkitan menetap pada penggunaan OAE dengan dosis

kurang dari dosis terapi pada saat pengambilan sampel.

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 49: SP-Andini Aswar.pdf

32

Universitas Indonesia

3.6. Cara Kerja

Dilakukan wawancara terhadap pasien atau keluarga melalui kuisioner dan

pencatatan data rekam medis pasien epilepsi lobus temporal yang memenuhi

kriteria inklusi. Data yang dikumpulkan mencakup:

1. Nama dan nomor rekam medis

2. Data demografi (usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan)

3. Usia saat onset epilepsi (< atau ≥ 15 tahun)

4. Frekuensi bangkitan awal (< atau ≥ 1x/bulan kali)

5. Respons terhadap pengobatan pertama

Dilakukan pencatatan terhadap frekuensi bangkitan setelah mendapat OAE

pertama. Termasuk jenis obat, dosis dan frekuensi pemberian, lama

penggunaan obat, efek samping, dan kepatuhan minum obat (compliance).

6. Etiologi epilepsi (idiopatik, kriptogenik, atau simtomatik)

7. Riwayat status epileptikus

8. Riwayat kejang demam

9. Riwayat keluarga dengan epilepsi (first degree relative)

10. Gambaran CT scan/MRI kepala

Dilakukan pencatatan terhadap kelainan yang ditemukan pada lobus

temporal melalui kesimpulan atau laporan pemeriksaan CT scan atau MRI

kepala. Kelainan pada CT scan/ MRI kepala diluar daerah tersebut diatas

juga dicatat.

11. Gambaran EEG

Dilakukan pencatatan terhadap kelainan yang ditemukan melalui

kesimpulan atau laporan pemeriksaan EEG.

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 50: SP-Andini Aswar.pdf

33

Universitas Indonesia

12. Pengobatan

Dilakukan pencatatan terhadap OAE yang pernah atau saat ini masih

dikonsumsi pasien, tidak termasuk OAE yang dihentikan karena efek

samping obat atau diberikan dengan dosis yang tidak jelas dan tidak

diminum sesuai dosis yang dianjurkan. Data yang dikumpulkan mencakup

nama obat, dosis dan frekuensi pemberian, lama penggunaan obat,

frekuensi bangkitan sebelum dan setelah mendapat obat dengan dosis

terapi, efek samping obat selama penggunaan, serta alasan menghentikan

pengobatan.

13. Frekuensi bangkitan saat ini

Dilakukan pencatatan terhadap frekuensi bangkitan dalam 1 tahun terakhir

sebelum pemeriksaan. Bangkitan yang terjadi akibat pengaruh faktor

eksternal seperti demam, deprivasi tidur, menstruasi tetap dianggap

sebagai kontrol bangkitan yang tidak adekuat. Bangkitan yang timbul

karena withdrawal obat tidak dihitung, dimana bangkitan tidak berulang

setelah pemberian kembali obat tersebut.

14. Dilakukan tabulasi data sesuai dummy table

15. Dilakukan analisis data

3.7. Identifikasi Variabel

Variabel yang digunakan adalah:

1. Variabel tergantung: epilepsi potensial resisten obat/tidak potensial

resisten obat

2. Variabel bebas:

a. Etiologi epilepsi

b. Penyebab simtomatik/gambaran CT scan/MRI kepala

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 51: SP-Andini Aswar.pdf

34

Universitas Indonesia

c. Usia saat onset epilepsi

d. Frekuensi bangkitan awal

e. Respons terhadap pengobatan pertama

f. Gambaran EEG

g. Riwayat status epileptikus

h. Riwayat kejang demam

i. Riwayat keluarga dengan epilepsi (first degree relative)

3.8. Definisi Operasional

1. Pasien epilepsi lobus temporal adalah pasien dengan klinis bangkitan

berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi dengan

semiologi menunjukkan onset lobus temporal disertai gambaran EEG iktal

atau interiktal menunjukkan aktivitas epileptiform di lobus temporal.

2. Epilepsi potensial resisten obat adalah kegagalan penggunaan OAE baik

monoterapi maupun politerapi yang dipilih secara tepat dan diberikan

dalam dosis rumatan untuk mencapai keadaan bebas bangkitan.

3. Bebas bangkitan adalah bebas dari semua bentuk bangkitan termasuk aura

minimal selama 1 tahun atau 3 kali interval antarbangkitan terpanjang jika

bangkitan jarang terjadi.

4. Usia pasien : Dinyatakan dalam tahun, jika belum genap satu tahun dan

diatas enam bulan, maka dibulatkan menjadi tahun berikutnya. Dibagi

menjadi 1)<20 tahun, 2) 21-39 tahun 3) ≥ 40 tahun

5. Jenis kelamin : Jenis kelamin pasien epilepsi lobus temporal dan tercatat

dalam rekam medis. Dibagi menjadi 1)laki-laki, 2)perempuan

6. Pendidikan: Pendidikan terakhir pasien epilepsi lobus temporal. Apabila

pasien belum menyelesaikan pendidikan di kelompokkan dalam jenjang

pendidikan sebelumnya. Dibagi menjadi 1) tidak sekolah, 2) Dasar (SD

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 52: SP-Andini Aswar.pdf

35

Universitas Indonesia

dan SMP), 3) Menengah (SMA), 4) Tinggi (Akademi dan Perguruan

Tinggi)

7. Pekerjaan: Pekerjaaan pasien epilepsi lobus temporal saat ini. Dibagi

menjadi 1) Tidak bekerja, 2) Bekerja

8. Etiologi epilepsi dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu: idiopatik, simtomatik,

dan kriptogenik.

9. Idiopatik yaitu penyebab epilepsi tidak diketahui, tidak terdapat lesi

struktural di otak atau defisit neurologis. Diperkirakan mempunyai

predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia. Pasien

dengan gambaran CT scan/MRI kepala normal atau pasien tanpa

pemeriksaan CT scan/MRI kepala namun tidak memiliki defisit neurologis

fokal atau global pada pemeriksaan fisik dan memiliki riwayat keluarga

dengan epilepsi dimasukkan dalam kelompok idiopatik.

10. Kriptogenik yaitu dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum

diketahui. Pasien dengan gambaran CT scan/MRI kepala normal atau

pasien tanpa pemeriksaan CT scan/MRI kepala namun tidak memiliki

defisit neurologis fokal atau global pada pemeriksaan fisik serta tidak

memiliki riwayat keluarga dengan epilepsi dimasukkan dalam kelompok

kriptogenik.

11. Simtomatik yaitu bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi

struktural pada otak. Dalam hal ini berupa kelainan sistem saraf pusat

dengan abnormalitas fokal yang jelas pada CT scan/MRI kepala atau dapat

berupa mental retardasi dan atau serebral palsi, maupun pasien dengan

defisit neurologis fokal atau global pada pemeriksaan fisik.

12. Pemeriksaan CT scan/MRI kepala adalah pemeriksaan pencitraan otak

yang dilakukan untuk mengetahui penyebab simtomatik epilepsi lobus

temporal dengan hasil kesimpulan yang dinyatakan oleh spesialis radiologi

dapat berupa tumor, lesi paska stroke (perdarahan/iskemik), trauma

kepala (perdarahan, fraktur impresi), infeksi, atrofi /sklerosis hipokampus.

13. Usia saat onset epilepsi adalah usia saat terjadi bangkitan tanpa provokasi

pertama kali. Dibagi menjadi 1) < 15 tahun 2) ≥ 15 tahun

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 53: SP-Andini Aswar.pdf

36

Universitas Indonesia

14. Frekuensi bangkitan awal adalah jumlah bangkitan dalam 1 tahun pertama

onset epilepsi 1) ≥ 1x/bulan 2) < 1x/bulan

15. Respons terhadap pengobatan pertama yaitu kontrol bangkitan dalam 1

tahun setelah mendapat OAE pertama dengan dosis terapi. Apabila

tercapai keadaan bebas bangkitan setelah penggunaan OAE pertama maka

dikatakan pengobatan berhasil (respons). Jika tidak tercapai keadaan bebas

bangkitan maka pengobatan tidak berhasil (tidak respons).

16. EEG: Pemeriksaan untuk merekam aktifitas listrik otak dan membuktikan

adanya epilepsi lobus temporal.

17. Abnormalitas gelombang EEG: Gelombang abnormal yang terekam

melalui elektroda dikulit kepala, dapat berupa gelombang epileptiform dan

gelombang lambat fokal.

18. Perlambatan fokal: Gambaran gelombang lambat 4-7 Hz (theta) atau 1-3

Hz (delta) yang muncul secara intermitten atau persisten, unilateral, dan

bilateral dengan dominasi salah satu hemisfer yang terlihat pada gambaran

EEG.

19. Gelombang epileptiform: Gelombang paku (durasi 20-70 ms) dan tajam

(durasi 70-200 ms) dengan polaritas negatif dan sering diikuti oleh

gelombang lambat yang terlihat melalui pemeriksaan EEG, yang terekam

pada saat pasien mengantuk dan tidur non-rapid eye movement (REM)

(tidur stadium I dan II)

20. Status epileptikus adalah bangkitan berulang lebih dari 30 menit atau

adanya dua bangkitan atau lebih dimana di antara bangkitan-bangkitan tadi

tidak terdapat pemulihan kesadaran atau pasien pernah didiagnosis status

epileptikus dari catatan rekam medis.

21. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang ditemukan pada masa anak

>1bulan sampai 5 tahun, berhubungan dengan kenaikkan suhu tubuh dan

tidak disebabkan infeksi intrakranial maupun kejadian simtomatik akut

lainnya atau pasien pernah didiagnosis kejang demam baik dari anamnesis

maupun catatan rekam medis.

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 54: SP-Andini Aswar.pdf

37

Universitas Indonesia

22. Riwayat keluarga dengan epilepsi yaitu kerabat tingkat pertama yang

menderita epilepsi (first degree relatives).

23. Compliance adalah kepatuhan minum obat pasien sesuai dengan aturan

yang diberikan dokter. Compliance di katakan jelek apabila jumlah oba/t

yang diminum dalam waktu tertentu (1 bulan) dibandingkan dengan

jumlah obat yang diresepkan ≤ 80%.

24. Dosis terapi adalah rentang dosis rumatan OAE yang efektif yang biasa

digunakan untuk terapi epilepsi pada orang dewasa sesuai dengan

pedoman tatalaksana epilepsi

25. Dosis maksimal yang dapat ditoleransi/dosis optimal adalah dosis terapi

yang tidak menimbulkan efek samping obat.

26. Efek samping obat adalah reaksi yang tidak diinginkan yang timbul akibat

penggunaan obat dengan dosis yang biasa digunakan pada manusia.

3.9. Pengolahan dan Analisa Data

Pengumpulan data dilakukan secara manual melalui wawancara

dan data rekam medis. Data penelitian dicatat dalam formulir penelitian.

Setelah melalui proses editing dan koding,. data disimpan dalam cakram

keras penyimpan (hard disk) komputer dengan back up data di flash disk.

Data yang telah diuji keabsahannya akan diolah dan disusun dalam bentuk

tabel distribusi frekuensi maupun tabel silang sesuai dengan tujuan

penelitian menggunakan program SPSS versi 11.5.

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 55: SP-Andini Aswar.pdf

38

Universitas Indonesia

3.10 Kerangka Operasional

Pasien Epilepsi lobus temporal yang berobat di Poliklinik EEG

dan Epilepsi RSCM

Kriteria Inklusi

Dilakukan wawancara dan evaluasi rekam medis medis

Pengumpulan data

Pengolahan data

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 56: SP-Andini Aswar.pdf

39

Universitas Indonesia

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Poliklinik Epilepsi RSCM sejak bulan November

hingga awal Desember 2014. Pada penelitian ini didapatkan 71 subjek yang

memenuhi kriteria inklusi.

4.1. Karakteristik Demografi

Pada penelitian ini didapatkan 71 subjek yang sebagian besar adalah laki-

laki (63,4%). Rerata usia adalah 35,2 ± 12,4 tahun. Sebagian besar pasien dengan

tingkat pendidikan menengah (52,1%) dan tidak bekerja (56,3%). Gambaran

karakteristik demografi dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Sebaran subjek menurut karakteristik demografi (n=71)

Karakteristik Jumlah (%)

Jenis Kelamin

a. Laki-laki

b. Perempuan

45 (63.4%)

26 (36,6%)

Usia (tahun)

a. ≤ 20 tahun

b. 21-39 tahun

c. ≥ 40 tahun

8 (11,3)

39 (54,9)

24 (33.8)

Pendidikan

a. Tidak sekolah

b. Dasar (SD, SLTP)

c. Menengah (SLTA)

d. Tinggi (Akademi, Perguruan Tinggi)

4(5,6)

19(26,8)

37(52,1)

11(15,5)

Pekerjaan

a. Bekerja

b. Tidak Bekerja

31 (43,7)

40 (56,3)

39

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 57: SP-Andini Aswar.pdf

40

Universitas Indonesia

4.2 Karakteristik Medik

Pada penelitian ini, dari 71 subjek didapatkan rerata usia saat onset

epilepsi adalah 17,4 ± 13,6 tahun.

Tabel 4.2.1 Sebaran subjek menurut karakteristik medik

Ket: *)persentase dari abnormalitas CT scan/MRI Kepala

Karakteristik Jumlah (%)

Usia saat onset epilepsi

a. <15 tahun

b. ≥15 tahun

34 (47,9)

37 (52,1)

Frekuensi bangkitan awal pengobatan

a. ≥1x/bulan

b. <1x/bulan

62 (87,3)

9(12,7)

Respons terhadap OAE I

a. Tidak respons

b. Respons

60 (84,5)

11 (15,5)

Etiologi

a. Simtomatik

b. Kriptogenik

c. Idiopatik

47 (66,3)

22 (30,6)

2(2,8)

Gambaran CT scan/MRI Kepala (n=61)

a. Normal

b. Abnormal

- Atrofi hipokampus

- Lain-lain

c. Tidak ada CT scan/MRI Kepala

14 (19,7)

47 (66,2)

38 (80,85)*

9 (19,1)*

10 (14,9)

Gambaran EEG

a. Aktivitas epileptiform

b. Perlambatan

c. Aktivitas epileptiform+Perlambatan

34 (47,9)

6 (8,5)

31 (43,7)

Riwayat status epileptikus

a. Ya

b. Tidak

11 (15,5)

60 (84,5)

Riwayat kejang demam

a. Ya

b. Tidak

31 (43,7)

40 (56,3)

Riwayat keluarga dengan epilepsi

a. Ya

b. Tidak

6 (8,5)

65 (91,5)

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 58: SP-Andini Aswar.pdf

41

Universitas Indonesia

Sebanyak 61 subjek melakukan pemeriksaan CT scan/MRI kepala dan

kelainan struktural pada CT scan/MRI dapat ditemukan pada 47 subjek (66,2%).

Diantara subjek dengan kelainan struktural sebagian besar (80,9%) berupa atrofi

hipokampus, sedangkan sisanya berupa kortikal displasia, infark serebri, tumor,

kista, kalsifikasi, dan kelainan kongenital. Dari keseluruhan subjek dengan

kelainan struktural pada pemeriksaan imaging, 1 subjek tidak menunjukkan

kelainan pada lobus temporal. Epilepsi simtomatik dapat ditemukan pada 47

subjek (66,3%) dimana pada kelompok ini ditemukan adanya kelainan pada CT

scan/MRI kepala baik ditemporal maupun ekstratemporal. Subjek dengan

gambaran pencitraan normal atau yang tidak melakukan pemeriksaan CT

scan/MRI kepala, tidak ditemukan defisit neurologis fokal maupun global pada

pemeriksaan fisik serta tidak mempunyai riwayat keluarga dengan epilepsi

dikelompokkan sebagai epilepsi kriptogenik (n= 22 (30,6%)). Dua subjek (2,8%)

didiagnosis sebagai idiopatik epilepsi karena tidak menunjukkan kelainan

struktural pada gambaran imaging dan terdapat riwayat keluarga dengan epilepsi.

Gambaran karakteristik medik dapat dilihat pada tabel 4.2.1

Dari penelitian ini didapatkan hampir semua subjek dengan epilepsi lobus

temporal potensial resisten obat (tabel 4.2.2)

Tabel 4.2.2 Frekuensi epilepsi lobus temporal potensial resisten obat

Potensial resisten obat Jumlah (%)

Ya 60 (84,51)

Tidak 11 (15,49)

4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi epilepsi lobus temporal potensial

resisten obat

Pada analisis bivariat didapatkan adanya hubungan antara frekuensi

bangkitan awal ≥ 1x/bulan dengan ELT potensial resisten obat dengan nilai

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 59: SP-Andini Aswar.pdf

42

Universitas Indonesia

p=0,027 [OR 6.29 (CI 95% 1.36-29.09)]. Selain itu tidak respons terhadap

pengobotan pertama juga berhubungan bermakna dengan ELT potensial resisten

obat dengan nilai p=0,001 [OR 13.20 (CI 95% 2.949-59.09)]. Data hubungan

antara epilepsi lobus temporal potensial resisten obat dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya dapat dilihat pada tabel 4.3.1

Tabel 4.3.1 Hubungan faktor penentu dengan ELT potensial resisten obat.

Ket: *) Uji Fisher exact

Faktor penentu Pot. Resistensi

p OR 95% CI

Ya Tidak Low High

Usia saat onset epilepsi

< 15 tahun

≥ 15 tahun

31

29

3

8

0.137

2.85

0.69

11.79

Frek. bangkitan awal *)

≥1x/bulan

< 1x/bulan

55

5

7

4

0.027

6.286

1.36

29.09

Respons OAE I *)

Tidak Responsif

Responsif

55

5

5

6

0.001

13.20

2.949

59.09

Etiologi epilepsi *)

Simptomatik

Kriptogenik

Idiopatik

41

17

2

6

5

0

0.310

2.010

0.54

7.483

CT Scan/MRI (n=61) *)

Abnormal

Normal

41

12

6

2

1.000

1.139

0.20

6.39

Gambaran EEG

Akt. Epileptiform *)

Perlambatan

55

5

10

1

1.000

1.10

0.12

10.44

Riw. St. epileptikus *)

Ya

Tidak

11

50

0

11

0.194

5.343

0.64

44.8

Riw. Kejang demam*)

Ya

Tidak

29

31

2

9

0.098

4,2

0.84

21.14

Riw. Epl keluarga *)

Ya

Tidak

5

55

1

10

1.000

0.91

0.96

8,63

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 60: SP-Andini Aswar.pdf

43

Universitas Indonesia

Pada analisa bivariat didapatkan lima variabel yang berpengaruh terhadap

ELT potensial resisten obat. Dari kelima variabel tersebut, pada analisis

multivariat didapatkan adanya riwayat status epileptikus {p=0.194 [OR 5.34 (CI

95% 0.64-44.80)]} dan tidak respons terhadap pengobatan pertama {p=0.001 [OR

13.20 (CI 95% 2.95-5.93)]} berpengaruh secara independen terhadap ELT

potensial resisten obat (tabel 4.3.2).

Tabel 4.3.2 Analisa logistik regresi terhadap epilepsi lobus temporal potensial

resisten obat

Variabel penentu (enter) p OR 95% CI

Low High

Onset bangkitan < 15 tahun

Frekuensi bangkitan awal

≥1x/bulan

0.376

0.545

2,12

1.81

0,40

0.26

11,24

12.40

Tidak respons terhadap pengobatan

pertama

Ada riwayat status epileptikus

Ada riwayat kejang demam

0,016

0.194

0.553

8.64

5.34

1.74

1.49

0.64

0.28

50.08

44.80

10.73

Backward stepwise

Ada riwayat status epileptikus

Tidak respons terhadap pengobatan

pertama

0.194

0.001

5.34

13.20

0.64

2.95

44.80

5.93

Pada penelitian ini didapatkan gambaran abnormalitas CT scan/MRI

kepala tidak berhubungan bermakna dengan epilepsi lobus temporal potensial

resisten obat (tabel 4.3.1). Namun dari 47 subjek dengan kelainan struktural pada

pencitraan didapatkan atrofi hipokampus merupakan bentuk kelainan yang paling

banyak ditemukan (74,47%) dan kelainan ini paling banyak ditemukan pada

subjek dengan ELT potensial resisten obat. {tabel 4.3.3}

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 61: SP-Andini Aswar.pdf

44

Universitas Indonesia

Tabel 4.3.3 Sebaran subjek berdasarkan gambaran Atrofi hipokampus dan epilepsi

potensial resisten obat

Atrofi hipokampus Potensial Resisten Obat

Ya Tidak

Ya 35 (74,47) 3(6.38)

Tidak 6(12,77) 3(6,38)

Total 41(87,23) 6 (12,77)

Pada penelitian ini terlihat hampir semua subjek dengan politerapi

potensial resisten obat, hanya 1 subjek dengan politerapi yang tidak potensial

resisten obat (tabel 4.3.4)

Tabel 4.3.4 Sebaran subjek berdasarkan terapi dan epilepsi potensial resisten obat

Terapi Potensial Resisten Obat

Ya Tidak

Monoterapi 22 (36,67)* 10 90,91)

Politerapi 38 (63,33)* 1 9,09)

Total 60 (84,51) 11 (15,49)

Ket:*)persentase terhadap total subjek dengan epilepsi potensial resisten obat

)persentase terhadap total subjek dengan epilepsi tidak potensial resisten

obat

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 62: SP-Andini Aswar.pdf

45

Universitas Indonesia

BAB 5

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini didapatkan sebagian besar pasien dengan ELT

potensial resisten obat, dimana keadaan bebas bangkitan tidak tercapai meskipun

telah menggunakan OAE yang tepat baik monoterapi maupun politerapi.

Penelitian oleh Wiratman tahun 2012 di rumah sakit yang sama menemukan

sebanyak 68,3% pasien ELT tidak bebas bangkitan.7 Pada penelitian ini

didapatkan 84,51% pasien dengan ELT potensial resisten obat dan mengalami

bangkitan yang menetap. Hal ini menunjukkan bahwa kontrol bangkitan sulit

dicapai pada mayoritas pasien ELT. Dari sebaran demografi didapatkan sebagian

besar pasien berpendidikan menengah dan tinggi, meskipun demikian lebih dari

50% pasien dengan ELT berstatus tidak bekerja.

Pada penelitian ini didapatkan adanya riwayat status epileptikus dan tidak

respons terhadap OAE pertama merupakan dua faktor yang berpengaruh secara

independen terhadap ELT potensial resisten obat. Status epileptikus dapat

menyebabkan perubahan pada subunit reseptor GABAA sehingga mengurangi

efektifitas kerja obat terutama yang bekerja pada reseptor GABA.29

Riwayat

status epileptikus pada beberapa penelitian dikatakan berhubungan dengan

epilepsi resisten obat.33,39

Selain riwayat status epileptikus, respons terhadap

pengobatan pertama juga berpengaruh secara independen dengan ELT potensial

resisten obat. Penelitian oleh Tripathi dkk menemukan bahwa respon terhadap

pengobatan awal merupakan faktor prognostik penting terjadinya epilepsi resisten

obat.30

Berdasarkan penelitian retrospektif kohor pada anak oleh Dlugos diketahui

bahwa kegagalan pengobatan awal dapat memprediksi terjadinya ELT resisten

obat dalam 2 tahun setelah onset.41

Hasil ini mendukung teori resistensi obat de

novo dimana dalam teori ini disebutkan pada beberapa pasien resistensi obat telah

berkembang sepenuhnya pada onset bangkitan pertama sebelum dimulai

pemberian obat antiepilepsi.6 Pasien yang gagal mengontrol bangkitan pada

penggunaan OAE pertama akan mengalami resistensi pada hampir semua obat

antiepilepsi. Diketahui terdapat peranan dari MDR-1 yang mengekspresikan P-gp

45

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 63: SP-Andini Aswar.pdf

46

Universitas Indonesia

yang dapat mengeluarkan obat keluar sel kembali ke sawar darah otak sehingga

efektivitasnya berkurang. Overekspresi dari MDR-1 ini ditemukan pada fokus

epileptik beberapa pasien dengan epilepsi resisten obat. Hal ini menjelaskan

kegagalan berulang pasien dalam merespons obat.37

Pada penelitian ini didapatkan onset bangkitan < 15 tahun, frekuensi

bangkitan awal ≥ 1x/bulan, dan riwayat kejang demam merupakan faktor yang

juga berpengaruh pada ELT potensial resisten obat. Akan tetapi ketiga faktor ini

tidak berpengaruh secara independen dimana harus ditemukan juga faktor-faktor

lainnya yang ikut berperan pada ELT potensial resisten obat. Dalam literatur

disebutkan usia saat onset epilepsi merupakan salah satu faktor prediktor penting

terjadinya epilepsi resisten obat, dimana semakin awal onset bangkitan merupakan

predisposisi proses epileptogenesis pada jaringan otak. Bangkitan pada otak

immature dapat menyebabkan perubahan dalam proses pembentukkan sinaps

otak yang bersifat ireversibel. Perubahan konektivitas neuron normal ini

menyebabkan konsekuensi rentan terjadinya bangkitan.42

Penelitian ini membagi

usia onset menjadi <15 tahun dan ≥15 tahun berdasarkan studi yang dilakukan

oleh Gilioli dkk sebelumnya pada pasien-pasien epilepsi fokal dewasa. Penelitian

oleh Gilioli dkk tidak menemukan hubungan bermakna antara usia saat onset

epilepsi dengan resistensi obat. Pada penelitian ini juga tidak ditemukan hubungan

yang bermakna antara keduanya.35

Frekuensi bangkitan yang sering dapat menyebabkan overekspresi

transporter P-gp di otak yang berperan sebagai transporter effluks dan

mengganggu penetrasi obat ke otak. Beberapa penelitian kemudian dilakukan

untuk melihat hubungan antara frekuensi bangkitan awal yang sering dengan

kejadian epilepsi resisten obat, diantaranya yaitu penelitian oleh Yilmaz dkk

menyebutkan frekuensi bangkitan awal secara signifikan lebih sering pada

epilepsi resisten obat.39

Tripathi dkk melaporkan frekuensi bangkitan yang tinggi

lebih dari 1x perbulan merupakan faktor prediktor terjadinya epilepsi resisten

obat.30

Pada penelitian ini juga didapatkan frekuensi bangkitan awal ≥ 1x/bulan

berhubungan bermakna dengan ELT potensial resisten obat.

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 64: SP-Andini Aswar.pdf

47

Universitas Indonesia

Salah satu faktor risiko lain yang diduga berperan terhadap epilepsi

resisten obat adalah riwayat kejang demam. Beberapa studi telah meneliti

hubungan antara riwayat kejang demam dengan epilepsi resisten obat. Beberapa

diantaranya tidak menemukan hubungan antara keduanya13,45

. Namun beberapa

penelitian lain menemukan adanya hubungan antara riwayat kejang demam

dengan epilepsi resisten obat. Salah satunya yang dilakukan oleh Tripathi dkk,

menemukan bahwa kejang demam merupakan faktor prediktor independen yang

berhubungan dengan epilepsi resisten obat.30

Yilmaz dkk mendukung dengan

menyebutkan bahwa riwayat kejang demam lebih banyak ditemukan pada pasien

dengan epilepsi resisten obat.39

Pada penelitian ini adanya riwayat kejang demam

tidak berhubungan dengan ELT potensial resisten obat. Kaitan kejang demam

dengan epilepsi resisten obat sendiri diduga karena gejala ini sering ditemukan

pada kasus-kasus sklerosis hipokampus, dimana kelainan ini banyak ditemukan

pada ELT dan pada kasus resistensi obat.36,38

Pittau dkk menemukan riwayat

kejang demam pada pasien sklerosis hipokampus lebih banyak dibanding pasien

tanpa sklerosis hipokampus. Meskipun demikian, studi oleh Pittau dkk ini tidak

sependapat dengan peranan kejang demam dalam etiopatogenesis sklerosis

hipokampus.11

Salah satu faktor prediktor epilepsi resisten obat lainnya adalah ada atau

tidaknya penyebab simtomatik. Yilmaz dkk menyebutkan penyebab simtomatik

ditemukan pada 41% pasien dengan epilepsi resisten obat dibandingkan dengan

18,3% pada kelompok yang responsif obat, dan penyebab simtomatik ini

merupakan faktor prediktor independen epilepsi resisten obat.39

Hasil yang

berbeda didapatkan pada penelitian ini dimana penyebab simtomatik tidak

berhubungan bermakna dengan ELT potensial resisten obat. Selain itu juga tidak

ditemukan hubungan yang signifikan antara abnormalitas CT scan/MRI kepala

dengan ELT potensial resisten obat. Hasil serupa juga didapatkan oleh Zhang dkk,

yang menyebutkan abnormalitas neuroimaging tidak mempengaruhi keluaran

pada pasien epilepsi.43

Meskipun pada penelitian ini penyebab simtomatik dan

abnormalitas CT Scan/MRI kepala tidak berhubungan bermakna dengan ELT

potensial resisten obat, namun terlihat hampir semua pasien dengan atrofi

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 65: SP-Andini Aswar.pdf

48

Universitas Indonesia

hipokampus potensial resisten terhadap pengobatan. Dalam literatur disebutkan

bahwa penyebab paling sering localization-related epilepsy resisten obat pada

orang dewasa adalah sklerosis hipokampus. Semah dkk menemukan bahwa

sklerosis hipokampus pada ELT merupakan faktor prognostik penting dimana

pasien dengan kelainan ini hanya sedikit yang mengalami bebas bangkitan

dibandingkan ELT tanpa sklerosis hipokampus.4

Dari penelitian ini juga tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara

gelombang epileptiform maupun perlambatan pada EEG terhadap ELT potensial

resisten obat. Penelitian oleh Zhang dkk juga tidak menemukan hubungan yang

bermakna antara abnormalitas EEG baik gelombang epileptiform maupun

perlambatan dengan epilepsi resisten obat.43

Hasil berbeda di dapatkan oleh

Yilmaz dan ohtsuka, dimana disebutkan gelombang epileptiform lebih banyak

ditemukan pada epilepsi resisten obat.33,39

Faktor lain yang juga tidak

memperlihatkan hubungan yang signifikan dengan ELT potensial resisten obat

adalah adanya riwayat keluarga dengan epilepsi. Beberapa penelitian menilai

hubungan antara riwayat keluarga dengan epilepsi dengan kejadian epilepsi

resisten obat dan sebagian besar tidak menemukan hubungan antara keduanya.

Pada penelitian ini juga tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara riwayat

keluarga dengan epilepsi dan ELT potensial resisten obat.

Dari penelitian ini didapatkan adanya riwayat status epileptikus dan tidak

respons terhadap OAE awal merupakan faktor yang berpengaruh secara

independen terhadap ELT potensial obat. Dengan demikian adanya kedua faktor

ini harus dievaluasi pada pasien-pasien ELT. Dengan demikian adanya ELT

potesial resisten obat dapat diketahui lebih awal, sehingga memungkinkan

dilakukannya konseling dan tatalaksana yang tepat pada pasien. Tatalaksana yang

baik dari ELT potensial resisten obat ini dapat mencegah pengaruh buruk yang

mungkin terjadi akibat kurangnya kontrol bangkitan. Kelemahan penelitian ini

adalah penelitian dalam bentuk retrospektif, beberapa data tidak ditemukan secara

lengkap. Jumlah subjek yang diperoleh 71 orang, namun hal ini hanya

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 66: SP-Andini Aswar.pdf

49

Universitas Indonesia

menyebabkan perubahan akurasi sebesar 0,8%. Penelitian juga dilakukan dirumah

sakit rujukan dimana kasus-kasus potensial resisten obat lebih banyak ditemukan.

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 67: SP-Andini Aswar.pdf

50

Universitas Indonesia

BAB 6

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 84,51% subjek dengan ELT

potensial resisten obat, dimana riwayat status epileptikus dan tidak respons

terhadap pengobatan pertama merupakan faktor yang berpengaruh secara

independen terhadap ELT potensial resisten obat. Usia onset < 15 tahun, frekuensi

bangkitan awal ≥ 1x/bulan, dan riwayat kejang demam merupakan faktor yang

tidak secara independen berpengaruh terhadap ELT potensial resisten obat.

Pada penelitian ini etiologi simtomatik serta gambaran CT scan/MRI

kepala tidak berhubungan bermakna dengan ELT potensial resisten obat,

meskipun demikian hampir semua pasien dengan atrofi hipokampus potensial

resisten obat. Gambaran EEG dan riwayat keluarga dengan epilepsi juga tidak

berhubungan bermakna dengan ELT potensial resisten obat.

6.2 Saran

Riwayat status epileptikus dan tidak respons terhadap pengobatan pertama

perlu diketahui pada setiap pasien ELT untuk deteksi dini kemungkinan terjadinya

ELT potensial resisten obat, sehingga tatalaksana yang tepat dapat segera

diberikan. Selanjutnya perlu dilakukan studi kohort prospektif terhadap pasien

ELT dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk mengetahui faktor risiko

potensial resisten obat selain riwayat status epileptikus dan tidak respons terhadap

pengobatan pertama.

50

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 68: SP-Andini Aswar.pdf

51

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S, editor. Pedoman tatalaksana

epilepsi. 4th ed.Jakarta:PERDOSSI:2012:3-19.

2. Kwan P. Brodie MJ. Early identification of refractory epilepsy. N Eng J

Med. 2000;342(5):314-319.

3. Hwang SK, Hirose S. Genetics of temporal lobe epilepsy. Review article.

Brain & Development.2012;34:609-616.

4. Semah F, Picot MC, Adam C, Broqlin D, Arzimanoglou A, Brazin B, et al.

Is the underlying cause of epilepsy a major prognostic factor for

reccurence?. Neurology. 1998; 51(5):1256-1262.

5. Perucca P, Hesdorffer DC, Gilliam FG. Response to first antiepileptic drug

trial predict health outcome in epilepsy. Epilepsia.2011;52(12):2209-2215.

6. Pati S, Alexopoulus A. Pharmacoresistant epilepsy: From pathogenesis to

current and emerging therapies. Cleveland Clinic Journal of

Medicine.2010;77(7):457-466.

7. Wiratman W. Keberhasilan pengobatan epilepsi lobus temporal di RSCM

periode juni 2010-mei 2011. Neurona.2012;29(3):35-37.

8. Kwan P, Arzimanoglou A, Berg AT, Brodie MJ, Hauser WA, Mathern G,

et al. Definition of drug resistant epilepsy:Consensus proposal by the ad

hoc Task Force of the ILAE Commission on Therapeutic Strategies.

Epilepsia. 2010;51(6):1069-1077.

9. Beleza P. Refractory Epilepsy: A clinically oriented review. Eur

Neurol.2009;62:65-71.

10. Zenteno-Tellez JF, Dhar Rah, Wiebe S. Long-term seizure outcomes

following surgery: a systematic review and meta-analysis. Brain.

2005;128:1188-1198.

11. Pittau F, Biisulli F, Mai Roberto, Fares JE, Vignatelli L, Labete A, et al.

Prognostic factors in patient with mesial temporal lobe epilepsy.

Epilepsia.2009;50(Suppl. 1):41-44.

51

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 69: SP-Andini Aswar.pdf

52

Universitas Indonesia

12. Wassenaar M, Leijten FS, Egbert TC, Moons KG, Uijl SG. Prognostic

factors for medically intractable epilepsy: A systematic review. Epilepsy

Research.2013;106:301-310.

13. Moinuddin AKM, Rahman MM, Sakhter, Kawser CA. Predictors of

childhood intractable epilepsy-a retrospective study in a tertiary care

hospital. Bangladesh J Child Health.2009;33(1):6-15.

14. Zenteno JF, Ronquillo LH. A review of the epidemiology of temporal lobe

epilepsy. Epilepsy research and treatment.2012:1-5.

15. Chiosa V, Seeck M, Vulliemoz S. Temporal lobe epilepsy: From electro-

clinical semiology to surgical outcome. Epileptologie. 2010;27:94-100.

16. Blair RD. Temporal lobe epilepsy semiology. Article review. Hindawi

Publishing Corporation. Epilepsy research and treatment. 2012:1-10.

17. Abou-Khalil BW. Semiology of temporal lobe epilepsies. Neurosciences.

2003;8(3): 139-142.

18. Verma A, Radtke R. EEG of partial seizure. Journal of Clinical

Neurophysiology. 2006;23(6):333-339

19. Kelly KM, Chung SS. Surgical treatment for refractory epilepsy: Review of

patient evaluation and surgical options. Epilepsy research and treatment.

2011:1-10.

20. Salmenpera TM, Duncan JS. Imaging in epilepsy. Diakses dari

www.jnnp.com. 5 Desember 2014.

21. Chayasirisobhon S. The mechanisms of medically refractory temporal lobe

epilepsy. Acta Neurol Taiwan. 2009;18:155-160

22. Elger CE. Pharmacoresistance: Modern concept and basic data derived

from human brain tissue. Epilepsia. 2003;44(suppl. 5):9-15.

23. Neligan A, Sender Jw. The long-term prognosis of epilepsy. Diakses dari

http://discovery.ucl.ac.uk/1336066/1/1336066.pdf. 20 September 2014.

24. Semah F, Ryvlin P. Can we predict refractory epilepsy at the time of

diagnosis?. Epileptic Disord. 2005;7(suppl. 1):s10-s13..

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 70: SP-Andini Aswar.pdf

53

Universitas Indonesia

25. Gunn Rugg FJ. Adult onset epilepsy. Diakses dari

http://www.epilepsysociety.org.uk/sites/default/files/attachments/Chapter1

2Rugg-Gunn.pdf. 15 Desember 2014

26. Loscher W. Current knowledge on basic mechanism of drug resistance. In

Kahane P, Berg A, Loscher W, Nordli D, Perucca E, editors. Drug-

Resistant Epilepsies. United Kingdom: John Libbey Eurotext: 2008. p.47-

57.

27. R.Ottman. Autosomal dominant partial epilepsy with auditory features.

Diakses dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books. 8 Agustus 2015.

28. Loscher W, Brandt C. High seizure frequency prior to antiepileptic

treatment is a predictor of pharmacoresistant epilepsy in a rat model of

temporal lobe epilepsy. Epilepsia. 2010;51(1):89-97.

29. Loscher W, Schmidt D. Drug resistance in epilepsy: Putative neurobiologic

and clinical mechanism. Critical Review;Epilepsia.2005;46(6):858-877.

30. Tripathi M, Padhy UP, Vibha D, Bhatia R, Srivastava MV, Singh MB, et

al. Predictors of refractory epilepsy in North India: A case-control study.

Seizure.2011;20:779-783.

31. Ari YB, Crepel V, Represa A. Seizure beget seizure in temporal lobe

epilepsies: the boomerang effects of newly formed abberant kainatergic

synapses. Epilepsy currents. 2008;8(3):68-72.

32. Sills GJ. Molecular targets of antiepileptic drugs. In Kahane P, Berg A,

Loscher W, Nordli D, Perucca E, editors. Drug-Resistant Epilepsies. United

Kingdom: John Libbey Eurotext: 2008. p.85-105.

33. Ohtsuka Y, Yoshinaga H, Kobayashi K. Refractory childhood epilepsy and

factors related to refractoriness. Epilepsia.2000;41(suppl. 9):14-17.

34. Casetta I, Granieri E, Monetti VC, Gilli G, Tola MR, Paolino E, et al. Early

predictors of intractability in childhood epilepsy: a community-based case-

control study in Copparo, Italy. Acta Neurol Scand. 1999;99:329-333.

35. Gilioli I, Vignoli A, Visani E, Casazza M, Canafoglia L, Chiesa V, et al.

Focal epilepsies in adult patients attending two epilepsy centers:

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 71: SP-Andini Aswar.pdf

54

Universitas Indonesia

Classification of drug-resistance, assessment of risk factors, and usefullness

of “new” antiepileptic drugs. Epilepsia.2012;53(4):733-740.

36. Kalviainen R, Salmenpera T. Do recurrent seizures cause neuronal

damage? A series of studies with MRI volumetry in adults with partial

epilepsy. Progress in Brain Research. 2002;135:279-295.

37. French JA. Response to early AED therapy and its prognostic implication.

Epilepsy Currents. 2002;2(3):69-71.

38. Regesta G, Tanganelli P. Clinical aspects and biological bases of drug-

resistant epilepsies. Epilepsy Research. 1999;34:109-122.

39. Yilmaz BS, Okuyaz C, Komur M. Predictors of Intractable Childhood

Epilepsy. Pediatric Neurology. 2013;48:52-55.

40. US Department of health and human services. Management of treatment

resistant epilepsy. Diakses dari http://archive.ahrq.gov/ clinic/epcsums/

epilsum.htm. 14 November 2014.

41. Dlugos DJ.Sammel MD, Strom BL, Farrar JT. Response to first drug trial

predicts outcome in childhood temporal lobe epilepsy. Neurology.

2001:2259-2264.

42. Holmes GL, Ben-Ari Y. The neurobiology and consequences of epilepsy in

the developing brain. Pediatric research. 2001;49(3):320-324.

43. Zhang Y. Yu N, Su L, Di Q. A prospective cohort study of prognosis for

newly diagnosed epilepsy in east china. BMC Neurology. 2013;13:2-8.

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 72: SP-Andini Aswar.pdf

55

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 1

FORMULIR DATA PASIEN

1. No. Register/ RM :

2. Nama :

3. Tanggal Lahir/Usia :

4. Berat badan :

5. Alamat dan No Telp :

6. Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan

7. Pendidikan : 1. SD 2. SLTP 3. SLTA 4. Akademi

5. Perguruan Tinggi 6. Tidak sekolah

8. Pekerjaan : 1. PNS 2. Swasta

3. Dagang 4. Tidak bekerja

5. Lain-lain

9. Anamnesis : ...............................................................

10. Usia saat onset bangkitan : 1. < 15 tahun 2. ≥ 15 tahun

11. Jumlah bangkitan awal : .........................................

1. ≥ 1x sehari 2. 2-6x /minggu 3. 1-4x/bulan 4. < 1x/bulan

12. Respon terhadap pengobatan pertama

a. Nama obat :

b. Dosis dan frekuensi pemberian :

c. Lama penggunaan obat :

d. Frekuensi bangkitan setelah pengobatan :

13. Riwayat status epileptikus: 1. Ya 2. Tidak

14. Riwayat kejang demam : 1. Ya 2. Tidak

15. Riwayat keluarga dengan epilepsi : 1. Ya 2. Tidak

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 73: SP-Andini Aswar.pdf

56

Universitas Indonesia

16. CT Scan/MRI kepala :

1. Lobus temporal: a. Normal b.abnormal,

jenis........................

2. Kelainan ekstra temporal: a. Lokasi................. b.

Jenis.......................................

17. Gambaran EEG : 1. aktivitas epileptiform 2. Perlambatan

18. Etiologi epilepsi : 1.Idiopatik 2.Kriptogenik

3. Simtomatik

19. Obat antiepilepsi :

I. a. Jenis obat :

b. Dosis dan frekuensi pemberian :

c. Lama pengobatan :

d. Frekuensi bangkitan sebelum penggunaan obat :

e. Frekuensi bangkitan setelah penggunaan obat :

f. alasan tidak menaikkan dosis obat :

II. a. Jenis obat :

b. Dosis dan frekuensi pemberian :

c. Lama pengobatan :

d. Frekuensi bangkitan sebelum penggunaan obat :

e. Frekuensi bangkitan setelah penggunaan obat :

f. alasan tidak menaikkan dosis obat :

III. a. Jenis obat :

b.Dosis dan frekuensi pemberian :

c. Lama pengobatan :

d. Frekuensi bangkitan sebelum penggunaan obat :

e. Frekuensi bangkitan setelah penggunaan obat :

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 74: SP-Andini Aswar.pdf

57

Universitas Indonesia

g. alasan tidak menaikkan dosis obat :

20. Frekuensi bangkitan saat ini :......................................................

a. ≥ 1x sehari b. 2-6x /minggu c. 1-4x/bulan d. < 1x/bulan

e. Bebas bangkitan: 1. Ya, lama.....................

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 75: SP-Andini Aswar.pdf

58

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 2

JADWAL PENELITIAN

Bulan Januari

2014

Maret

2014

Juli

2014

Oktober

2014

November

2014

Desember

2014

Januari

2014

Refrat

Penelitian

Inisiasi

rencana

penelitian

Proposal

penelitian

Pengurusan

etik

penelitian

Pengumpulan

data

Pengolahan

data

Seminar hasil

penelitian

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 76: SP-Andini Aswar.pdf

59

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 3

Anggaran Penelitian

1. Pencarian literatur (internet, jurnal bebayar, penggandaan) Rp. 500.000

2. Penggandaan referat penelitian 30 eks @ Rp. 5.000 Rp. 150.000

3. Penggandaan praproposal penelitian 10 eks @ Rp. 10.000 Rp. 100.000

4. Penggandaan proposal penelitian 10 eks @ Rp. 10.000 Rp. 100.000

5. Penggandaan hasil penelitian 10 eks @ Rp. 20.000 Rp. 200.000

6. Penggandaan tesis dengan hard cover 10 eks @ Rp. 50.000 Rp. 500.000

7. Penggandaan formulir isian penelitian 90 eks @ Rp. 1.000 Rp. 90.000

8. Administrasi dan penggandaan untuk perizinan komite etik Rp. 250.000

9. Biaya pencarian rekam medis 80 status @ Rp. 1.000 Rp. 80.000

10. Biaya presentasi referat penelitian Rp. 100.000

11. Biaya presentasi praproposal penelitian Rp. 700.000

12. Biaya presentasi proposal penelitian Rp. 700.000

13. Biaya presentasi seminar hasil penelitian Rp. 1.200.000

14. Biaya konsultasi ahli statistik Rp. 4.000.000

Total Rp. 8.670.000

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 77: SP-Andini Aswar.pdf

60

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 4

LAMPIRAN 5

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015

Page 78: SP-Andini Aswar.pdf

61

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 5

Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015