Sosial Quality
-
Upload
suyandi-sinaga -
Category
Documents
-
view
21 -
download
0
description
Transcript of Sosial Quality
-
SQ ; The Ultimate Intelligence
Sumber : http://www.duniapelajar.com/2011/01/27/demi-masa/
Dr.Ir. Dimitri Mahayana, M. Eng
Tes IQ standar mengukur intelegensia rasional- ketrampilan ketrampilan yang kita gunakan
untuk memecahkan masalah-masalah logis dan strategis. Untuk jangka waktu yang lama hasil-
hasil IQ dianggap pengukuran terbaik kecerdasan manusia dan potensi sukses. Tapi di awal 1990
an Daniel Goleman menunjukkan bahwa sukses juga tergantung pada intelegensia emosional
(EQ) keberfikiran yang memberikan kepada kita empati, kasih , dan kemampuan untuk
merespon secara tepat pada kepedihan ataupun kenikmatan. Sekarang, pada akhir abad 20,
pengarang Danah Zohar dan Dr. Ian Mirshall mengklaim bahwa terdapat suatu Q penting lain
yang harus dipertimbangakan yakni SQ, yang juga dikenal sebagai intelegensia
spiritual. Kenyataannya, penulis menjelaskan bahwa SQ adalah fondasi yang diperlukan baik
untuk IQ maupun EQ. SQ adalah intelegensia tertinggi kita. Mereka memiliki sebuah titik yang
cemerlang. Kemudian, komputer memiliki IQ yang tinggi, binatang-binatang sering memiliki EQ
yang tinggi, namun hanya manusia yang mempunyai SQ- kemampuan untuk kreatif, mengubah
aturan-aturan, mengubah situasi-situasi, dan pertanyaan kenapa kita sekarang di sini. [2]
Zohar & Marshall menuliskan; Komputer (dengan IQ-nya) maupun binatang (dengan EQ-nya)
tidak bertanya mengapa kita memiliki aturan-aturan ini atau situasi ini, atau apakah mereka dapat
menjadi berbeda ataupun lebih baik. Mereka bekerja di dalam batas-batas, memainkan suatu
permainan terbatas. SQ memungkinkan manusia untuk kreatif, mengubah aturan-aturan dan
mengubah situasi-situasi. Ia membuat kita bisa bermain dengan batas-batas, untuk memainkan
sebuah permainan tak terbatas. SQ memberi kita kemampuan untuk membedakan. Ia
memberikan kepada kita rasa moralitas, suatu kemampuan untuk memperlembut aturan-aturan
kokoh dengan pemahaman dan kasih dan suatu kemampuan yang sama untuk melihat ketika
kasih sayang dan pemahaman mencapai batas-batas mereka. [3]
Ketika IQ telah berkembang menjadi standar ukuran harapan kesuksesan seseorang, dan mulai
populer pada tahun 1950-an, dan selanjutnya Daniel Goleman berhasil meluncurkan wacana EQ
(kecerdasan emosional), sebagai suatu ukuran yang lebih menentukan harapan kesuksesan
seseorang pada tahun 1980-an, milenium baru menghendaki suatu pandangan baru yang lebih
segar dan lebih revolusioner. Zohar & Marshall , tepat pada tahun 2000 ini, meluncurkan suatu
konsep baru SQ (spirituall intelligence kecerdasan spiritual). Sebagai sesuatu yang
mengendalikan IQ maupun EQ, otomatis SQ memiliki peran sentral dalam menentukan harapan
kesuksesan seseorang
Goleman telah berhasil menunjukkan bahwa banyak aspek kesuksesan yang tidak bisa
diterangkan dengan konsep IQ. Ketika skor IQ dikorelasikan dengan tingka kinerja orang
dalam karier mereka, taksiran tertinggi untuk besarnya peran selisih IQ terhadap kinerja adalah
sekitar 25 %. Namun, dengan analisa yang saksama, angka yang lebih tepat mungkin tidak lebih
dari sepuluh persen, bahkan bisa hanya 4 persen. Ini mengandung arti bahwa IQ saja paling
sedikit tidak mampu menjelaskan 75 persen dari keberhasilan keberhasilan dalam pekerjaan,
http://www.duniapelajar.com/2011/01/27/demi-masa/#_ftn2http://www.duniapelajar.com/2011/01/27/demi-masa/#_ftn3
-
atau bahkan sampai 96 % dengan kata lain, IQ tidak menentukan apakah seseorang akan
berhasil atau gagal. Sebagai contoh, sebuah pengkajian terhadap para lulusan Harvard dalam
bidang bidang hukum, kedokteran, keguruan , dan bisnis menemukan bahwa skor skor pada
ujian masuk sebagai pengganti uji IQ mempunyai korelasi nol atau negatif dengan sukses
karier mereka pada akhirnya. [4]
Sehubungan dengan kemampuannya untuk mengintegrasikan baik kemampuan komunikasi
intrapersonal maupun interpersonal (keduanya termasuk dalam konsep EQ Daniel
Goleman), dan sehubungan dengan kemampuannya untuk mengisi gap antara diri dan yang lain,
SQ membuat ketrampilan ketrampilan emosional memiliki makna pada diri kita, memiliki akar
yang kuat dalam kepribadian kita.
Pada saat kesadaran manusia di dunia telah meningkat dengan konsep konsep intelegensia
yang lebih manusiawi, yakni EQ maupun lebih canggih lagi SQ, jelas berfokus pada ketrampilan
kognitif rasional untuk mencapai sukses bukanlah merupakan suatu tindakan yang bijaksana.
Setelah sekian lama manusia tenggelam dalam proyek proyek modernisme yang bertumpu
pada penggunaan sains rasional empiris murni dalam mengeksploitasi alam, kini manusia
mulai kembali pada harta karunnya yang hakiki. EQ dan SQ adalah harta karun yang
tersembunyi di dalam diri manusia. Sukses yang hakiki tidak pernah terwujud tanpa EQ maupun
SQ. Goleman telah membuktikan dengan gamblang bahwa EQ lah penentu sukses dalam
kehidupan bermasyarakat secara lahir. Dan dengan SQ , kesuksesan ini dapat lebih manis dan
lebih indah, SQ yang tinggi memberikan suatu integrasi kehidupan dalam diri seseorang dan
memberikan makna setiap kesuksesan secara lebih mendalam.
Saya teringat dialog terakhir dalam film Titanic, ketika tokoh utama pria akan mati tenggelam, ia
berpesan pada kekasihnya satu hal saja the spirit of life , semangat hidup. Bagaimana tokoh
utama pria tersebut berusaha memberikan suatu loncatan SQ (intelegensia spiritual) pada
kekasihnya, dengan mentransformasikan kesedihan kehilangan seseorang yang dicintai menjadi
semangat hidup yang berapi-api. Memang , dunia dengan segala tantangan dan
ketidakpastiannya, membutuhkan SQ yang tinggi, yakni :
Kemampuan untuk fleksibel
Kesadaran diri yang tinggi
Kapasitas untuk menghadapi dan menggunakan penderitaan
Kapasitas untuk menghadapi dan memaknakan kepedihan
Terinspirasi oleh visi dan nilai nilai
Kecenderungan untuk melihat ketunggalan di antara keragaman (menjadi holistik)
Mencari jawaban-jawaban yang fundamental untuk berbagai realitas yang dihadapi
Maka, sebuah pesan penting konsep SQ untuk pendidikan; Pendidikan merupakan suatu ajang
perjuangan yang serba tidak pasti dan chaotic (penuh kekacauan). Era paradox (meminjam
istilah Charles Handy) memberikan berbagai ketidakpastian kondisi dunia. Ini membuat sulit
diprediksi apa yang akan terjadi, dan pengetahuan apa yang benar-benar diperlukan untuk
menghadapi tantangan jaman. Namun seluruh tantangan hebat ini, bagi orang yang memiliki SQ
(intelegensia spiritual) yang tinggi, malah merupakan peluang luar biasa untuk mengaktualisasi
diri. Dengan SQ yang tinggi daya juang menjadi tinggi, dan seseorang jauh dari sikap sombong
http://www.duniapelajar.com/2011/01/27/demi-masa/#_ftn4
-
dan berpuas diri. SQ yang tinggi membuat seseorang mampu belajar terus menerus dan
mengubah diri dan pandangannya terus menerus demi menghadapi tantangan yang berubah-
ubah. Dengan kesadaran spiritual yang tinggi, batin seseorang selalu terhubung dengan visi visi
yang benar, yakni petunjuk Tuhan , sehingga ia bisa menentukan langkah langkahnya
selama belajar di universitas agar dapat secepat mungkin mandiri selepas dari perguruan tinggi.
Apakah dengan menekuni kewirausahaan atau bahasa asing atau teknologi informasi atau apa
pun. Di hadapan seseorang dengan kesadaran spiritual yang tinggi, sungguh seluruh tantangan
berubah menjadi nikmat.
Mungkin , untuk meningkatkan SQ, syair berikut yang merupakan saduran bebas secara
maknawi dari syair Rumi ini dapat di renungi,
Karena Cinta tembaga berubah menjadi emas
Karena Cinta ampas berubah menjadi sari murni
Karena Cinta raja berubah menjadi pengemis
Karena Cinta pedih berubah menjadi obat
Sedangkan untuk mencapai kemampuan mengubah derita menjadi energi hidup yang suka cita
Rumi memberikan resepnya, Cinta kepada Tuhan menghilangkan semua derita seperti sinar
matahari melenyapkan seluruh bayangan.
SQ, setidaknya dalam pandangan penulis-, terkait langsung dengan kesadaran diri seorang
individu mengenai Totalitas Identitas Spiritualnya, suatu hal yang memang terasa asing di abad
20. Perjalanan modernisme selama beberapa abad dengan misi materialisme humanistis yang
dialaminya membuat manusia modern mengalami beberapa hal; meningkatnya individualitas,
meningkatnya konsumerisme, meningkatnya alineasi diri, keterperangkapan pada realitas semu.
Kesemuanya jelas memperkecil SQ.
Mengenai Totalitas Identitas Spiritual, mungkin hal inilah yang diungkapkan oleh pemikir besar
DR. M. Iqbal,
Karena kehidupan di alam semesta
Terangkat dari kekuatan diri,
Hidup menjadi sebanding kekuatan ini !
Sekiranya setitik air terserapi sadar-diri
Kadarnya yang tiada harga
Akan meningkat setingkatan mutiara !
-
Pabila rerumputan menemukan daya tumbuh dalam dirinya
Tangkainya kan mengembang seluas taman.
Hanya karena Bumi mewujud kukuh dan tangguh
Tertawan Bulan dalam kitarannya nan abadi
Adapun Surya ditakdirkan lebih jaya dalam daya
Dan Bumi terpukau terpikat sorotan matanya !
Sekiranya saja Hidup mampu menimba daya
Dari lubuk dirinya sendiri
Alunan Hayat kan meluas melaut samudera ![5]
Menurup pendapat Iqbal, Khudi, (menurut penulis istilah ini terkait erat bila tidak secara
hakiki sama dengan SQ) -, merupakan suatu kesatuan yang riil, yang nyata , dan secara mantap
dan tandas. Khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan organisasi kehidupan
manusia. Banyak di antara ahli fikir, baik di bidang agama maupun di bidang filsafat, cenderung
untuk menganggap realitas diri (self) itu hanya sebagai bayangan atau ilusi dalam jiwa dan
tidak memiliki kepastian sendiri yang mantap. Bagaimana cara memperkuat khudi maupun SQ
melewati pendidikan? Untuk ini , kita bisa menggunakan pula resep Iqbal;
Ada dua corak penghayatan keagamaan :
Yang pertama, meninggikan nama Ilahi
Di keluasan langit dan bumi
Inilah yang dimanifestasikan
Insan yang sadar diri
Dan dijiwai bahana Ilahi
Yang kedua : hanya dalam bentuk memuja-muji
Sambil tak henti menghitung tasbeh
Lelap mengendap didekap bumi
Inilah agamanya para pendeta
http://www.duniapelajar.com/2011/01/27/demi-masa/#_ftn5
-
Agamanya tetumbuhan dan batuan[6]
Yang diharapkan Iqbal untuk diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan adalah penghayatan
beragama corak yang pertama, yaitu yang kehidupan menyatukan diri dalam kehidupan mulia,
disertai jiwa penjelajah, sambil terus mengumandangkan Asma Ilahi, dan sekali-kali bukan corak
kehidupan beragama yang menyanjung-puja konsepsi kependetaan yang usang-tradisional
Akan tetapi dalam pada itu Iqbal dengan hati-hati telah menghindarkan diri dari sikap mendewa-
dewakan ajaran tentang efisiensi (tambahan penulis : yakni logika mesinisme Newton ataupun
logika utilitas Drucker) yang secara membabi-buta. Ajaran ini hanya menyibukkan diri dengan
berbagai kegiatan kerdil tak berarti yang akhirnya menuju kepada pengingkaran nilai-nilai yang
meracuni perasaan dan ketenangan batin dan penghayatan yang tepat. Dalam Lectures-nya Iqbal
membedakan dengan tegas antara diri yang efisien dengan diri yang afektif. Pembedaan ini
sangat penting bagi pendidikan.[7]
Tujuan pendidikan yang dikejar Ego kata Iqbal-bukanlah sekedar emansipasi dari berbagai
keterbatasan individualitas; yang hendak dicapainya adalah penentuan individualitas yang lebih
mantap. Tujuan-akhirnya bukan sekedar kegiatan intelektual melainkan tindakan yang
memperdalam keseluruhan keberadaan Ego dan mempertegas dan mempertajam kemauannya,
disertai dengan keyakinan yang kreatif, bahwa dunia ini bukanlah sesuatu yang sekedar cukup
dilihat dan dikenal mengenai berbagai konsep pandangan tertentu, melainkan sesuatu yang harus
diciptakan dan dibuat kembali melalui kegiatan dan aktifvitas yang berkesinambungan.
Integritas khudi , yang berdampak pada kemampuannya untuk mengorganisasi aspek-aspek
intelektual dan jiwa manusia inilah; yakni tingginya SQ- merupakan satu paradigma baru yang
ditawarkan Zohar dan Marshall, lebih kurang serupa dengan apa yang telah diungkapkan oleh
Iqbal mengenai falsafah pendidikan lebih kurang seratus tahun yang lalu.
Dan Dia-lah yang lebih tahu
[1] Ucapan terima kasih khusus penulis tujukan kepada Drs. Yusuf Bakhtiar, Kepala Sekolah
SMU Plus Muthahhari Bandung, atas diskusinya mengenai SQ dan referensi yang diberikan.
[2] Editorial Review (Amazon.com) of Sq : Connecting With Our Spiritual Intelligence , by
Danah Zohar & Ian Marshall
[3] Danah Zohar & Ian Marshall, Spiritual Intelligence ; The Ultimate Intelligence, Bloomsbury
Publishing Plc., London, 2000, pp. 5..
[4] Daniel Goleman , Working with Emotional Intelligence, (terjemahan Gramedia), PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta , 1999, hal. 30.
[5] K.G. Sayidain, B.A., M.ed., (Leeds), Percikan Filsafat Iqbal mengenai Pendidikan,
(Terjemahan oleh M. I. Soelaeman), Penerbit CV. DIPONEGOROm Bandung, 1981, hal. 27.
http://www.duniapelajar.com/2011/01/27/demi-masa/#_ftn6http://www.duniapelajar.com/2011/01/27/demi-masa/#_ftn7http://www.duniapelajar.com/2011/01/27/demi-masa/#_ftnref1http://www.duniapelajar.com/2011/01/27/demi-masa/#_ftnref2http://www.duniapelajar.com/2011/01/27/demi-masa/#_ftnref3http://www.duniapelajar.com/2011/01/27/demi-masa/#_ftnref4http://www.duniapelajar.com/2011/01/27/demi-masa/#_ftnref5
-
[6] K.G. Sayidain, B.A., M.ed., (Leeds), Percikan Filsafat Iqbal mengenai Pendidikan,
(Terjemahan oleh M. I. Soelaeman), Penerbit CV. DIPONEGOROm Bandung, 1981, hal. 173.
[7] K.G. Sayidain, B.A., M.ed., (Leeds), Percikan Filsafat Iqbal mengenai Pendidikan,
(Terjemahan oleh M. I. Soelaeman), Penerbit CV. DIPONEGOROm Bandung, 1981, hal. 173-
175.
http://www.duniapelajar.com/2011/01/27/demi-masa/#_ftnref6http://www.duniapelajar.com/2011/01/27/demi-masa/#_ftnref7