SLB TUNAS KASIH 1 LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR · PDF fileTetapi, ketika ditanya siapa nama dan...
Transcript of SLB TUNAS KASIH 1 LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR · PDF fileTetapi, ketika ditanya siapa nama dan...
LAPORAN OBSERVASI STUDENT DIVERSITY
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
TUNAGRAHITA
SLB TUNAS KASIH 1 LEUWILIANG
KABUPATEN BOGOR
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah :
PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Dosen :
Dr. Hj. Rita Retnowati, M.S.
Disusun oleh :
Ajiz Sulaeman 072125020
Siti Khodijah 072125046
Siti Rukiyah 072125047
Titin Sumanti 072125050
UNIVERSITAS PAKUAN
PROGRAM PASCA SARJANA
JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN
BOGOR
2015
Para pendidik di SLB lebih menghargai dan
mengamati setiap perubahan kecil yang
dilakukan oleh anak ABK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat menganggap anak berkelainan adalah insan yang tidak mampu apa-
apa dan tidak berguna sehingga keberadaan mereka tidak menguntungkan, bahkan
kalau perlu dihilangkan dengan berbagai cara hingga sampai dibunuh. Tetapi
kemudian pandangan masyarakat berubah mereka mengnggap anak berkelainan
perlu dilindungi dan dikasihani, mereka mempunyai hak untuk hidup dan
memperoleh pelayanan pendidikan sebagaimana anggota masyarakat lainnya.
Tidak hanya anak normal yang membutuhkan pendidikan, akan tetapi anak
berkelainan atau anak luar biasa juga perlu memperoleh pelayanan pendidikan
yang disesuaikan. Anak luar biasa merupakan anak yang tingkat
perkembangannya menyimpang dari tingkat perkembangan anak sebayanya dalam
aspek fisik, mental, sosial dan emosional. Anak tunagrahita termasuk pada jenis
anak luar biasa. Anak-anak dengan hambatan kecerdasan seperti tunagrahita
mempunyai masalah perilaku yang berhubungan dengan hambatan proses sensori
(penginderaan).
Masalah ketidakmampuan memusatkan perhatian adalah akibat lain dari proses
sensorimotor yang berlebihan.
B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan ini adalah:
1. Memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Psikologi Pendidikan pada
program Pasca Sarjana Jurusan Administrasi Pendidikan Universitas
Pakuan.
2. Memperoleh pengetahuan tentang karakteristik dan masalah-masalah yang
dihadapi oleh anak tunagrahita
3. Memperoleh pengalaman tentang pembelajaran pada anak tunagrahita.
BAB II
PEMBAHASAN TEORITIS
A. Landasan Teori
Anak tunagrahita adalah anak yang mengalami keterbelakangan kecerdasan
dan kekurangmatangan aspek mental lainnya dan sosialnya sedemikian rupa,
yang terjadi selama masa perkembangan, sehingga untuk mencapai
perkembangan yang optimal diperlukan pelayanan dan pengajaran dengan
program khusus. Individu yang terbelakang mental (ringan, sedang, berat)
secara perlahan-lahan diganti dengan istilah hambatan perkembangan yang
kemudian dideskripsikan sebagai keterbatasan yang substansial pada fungsi-
fungsi yang dicirikan dengan fungsi intelektual yang berada di bawah rata-
rata, keterbatasan pada dua atau lebih kemampuan penggunaan perilaku
adaptif dalam berkomunikasi, merawat diri, bermasyarakat, pengendalian diri,
dan sebagainya.
Adapun beberapa karakteristik anak tunagrahita yang dapat dilihat dari segi :
karakteristik mental, karakteristik fisik, karakteristik sosial-emosi,
karakteristik akademis, dan karakteristik pekerjaan. Dari berbagai variabilitas
karakteristik anak terbelakang, baik dilihat dari segi kualitatif maupun
kuantitatifnya ternyata mempunyai pengaruh yang cukup berarti dalam
kehidupan mereka. Kemungkinan masalah-masalah yang dihadapi oleh anak
tunagrahita, yaitu: kesulitan dalam kehidupan sehari-hari bagi yang tingkat
sedang dan berat, keterbatasan kemampuan berpikirnya atau kesulitan belajar,
mengalami hambatan dalam sosialisasi dengan teman sebayanya atau
penyesuaian diri, penempatan kerja, gangguan kepribadian dan emosi, dan
anak tidak pernah memanfaatkan waktu luang dengan baik.
B. Hakikat Anak Tunagrahita
a. Definisi Anak Tunagrhita
Tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan
mental, jauh di bawah rata-rata. Gejalanya tak hanya sulit berkomunikasi,
tetapi juga sulit mengerjakan tugas-tugas akademik. Ini karena
perkembangan otak dan fungsi sarafnya tidak sempurna. Anak-anak
seperti ini lahir dari ibu kalangan menengah ke bawah. Ketika
dikandung, asupan gizi dan zat antibodi ke ibunya tidak mencukupi.
Menurut Efendi anak tunagrahita adalah “anak yang mengalami taraf
kecerdasan yang rendah sehingga untuk meniti tugas perkembangan ia
sangat membutuhkan layanan pendidikan dan bimbingan secara khusus”.
Definisi lain yang diterima secara luas dan menjadi rujukan utama ialah
definisi yang dirumuskan oleh Grossman yang secara resmi digunakan
AAMD (American Association of Mental Deficiency) yaitu
ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara
nyata (signifikan) berada di bawah rata-rata (normal) bersamaan dengan
kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian diri dan semua ini
berlangsung pada masa perkembangan.
Menurut Hj.T.Sutjihati Somantri, anak tunagrahita atau terbelakang
mental merupakan kondisi dimana perkembangan kecerdasannya
mengalami hambatan, sehingga tidak mencapai perkembangan yang
optimal. Sedangkan menurut Bratanata, seseorang dikategorikan
berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, jika anak tuna grahita
memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di bawah
normal), sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan
bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program
pendidikannya.
b. Karakteristik Anak Tunagrahita
Depdiknas (2003) mengemukakan bahwa karakteristik anak tunagrahita
yaitu penampilan fisik tidak seimbang, tidak dapat mengurus diri sendiri
sesuai dengan usianya, perkembangan bicara/bahasanya terhambat,
kurang perhatian pada lingkungan, koordinasi gerakannya kurang dan
sering mengeluarkan ludah tanpa sadar. Selain itu ada beberapa pendapat
dari orang ahli dari seluruh dunia, yaitu:
1. James D. Page yang dikutip oleh Suhaeri H.N (Amin: 1995)
menguraikan karakteristik anak tunagrahita sebagai berikut:
a. Kecerdasan. Kapasitas belajarnya sangat terbatas terutama untuk
hal-hal yang abstrak. Mereka lebih banyak belajar dengan cara
membeo (rote-learning) bukan dengan pengertian.
b. Sosial. Dalam pergaulan mereka tidak dapat mengurus,
memelihara, dan memimpin diri. Ketika masih kanak-kanak
mereka harus dibantu terus menerus, disingkirkan dari bahaya,
dan diawasi waktu bermain dengan anak lain.
c. Fungsi-fungsi mental lain. Mengalami kesukaran dalam
memusatkan perhatian, pelupa dan sukar mengungkapkan
kembali suatu ingatan. Mereka menghindari berpikir, kurang
mampu membuat asosiasi dan sukar membuat kreasi baru.
d. Dorongan dan emosi. Perkembangan dan dorongan emosi anak
tunagrahita berbeda-beda sesuai dengan tingkat ketunagrahitaan
masing-masing. Kehidupan emosinya lemah, mereka jarang
menghayati perasaan bangga, tanggung jawab dan hak sosial.
e. Organisme. Struktur dan fungsi organisme pada anak tunagrahita
umumnya kurang dari anak normal. Dapat berjalan dan berbicara
diusia yang lebih tua dari anak normal. Sikap dan gerakannya
kurang indah, bahkan di antaranya banyak yang mengalami cacat
bicara.
2. Menurut The American Association on Mental Deficiency
(AAMD, 1983):
Bahwa seseorang anak dikategorikan tunagrahita apabila memiliki
karakteristik-karakteristik sebagai berikut:
(1) fungsi intelektual umum (kecerdasannya) di bawah rata-rata
secara sigifican (jelas, nyata), ditafsirkan mempunyai tingkat
kecerdasan (IQ) 70 atau di bawahnya,
(2) mengalami hambatan dalam daptasi tingkah laku sesuai tuntutan
budaya dimana ia tiinggal, dan
(3) terjadinya selama periode perkembangan mental, yaitu sampai
usia kronologis 18 tahun. Dengan demikian, jika anak itu tidak
memiliki ketiga karakteristik tersebut atau hanya kurang sedikit dari
anak lain yang normal, maka tidak termasuk tunagrahita.
3. Menurut AAMR (1992):
Tunagrahita merujuk kepada fungsi intelektual umum yang berada di
bawah rata-rata secara signifikan (merujuk kepada hasil tes
inteligensi individu, berarti skor IQ dua standard deviasi atau lebih di
bawah rata-rata) yang berkaitan dengan hambatan dalam perilaku
adaptif (merujuk kepada: derajat dimana terpenuhi standard individu
dari independensi personal dan respansibilitas sosial yang
diharapkan dari umur dan kelompok budaya, atau merujuk kepada
10 keterampilan adaptif, yaitu: komunikasi, merawat diri, kehidupan
keseharian, keterampilan sosial, penggunaan komunitas, pengarahan
diri, kesehatan dan keamanan, akademik fungsional, waktu luang,
dan karya) yang terjadi selama periode perkembangan (dari lahir
sampai usia 18 atau 22 tahun).
c. Klasifikasi Anak Tunagrahita
Ada beberapa klasifikasi anak Tunagrahita yang di ukur melalui IQ:
1. Tunagrahita Ringan (IQ 51-70)
Anak yang tergolong dalam tunagrahita ringan memiliki banyak
kelebihan dan kemampuan. Mereka mampu dididik dan dilatih.
Misalnya, membaca, menulis, berhitung, menjahit, memasak, bahkan
berjualan. Tunagrahita ringan lebih mudah diajak berkomunikasi.
Selain itu kondisi fisik mereka tidak begitu mencolok. Mereka
mampu berlindung dari bahaya apapun. Karena itu anak tunagrahita
ringan tidak memerlukan pengawasan ekstra.
2. Tunagrahita Sedang (IQ 36-51)
Tidak jauh berbeda dengan anak tunagrahita ringan. Anak
tunagrahita sedang pun mampu diajak berkomunikasi. Namun,
kelemahannya mereka tidak begitu mahir dalam menulis, membaca,
dan berhitung. Tetapi, ketika ditanya siapa nama dan alamat
rumahnya akan dengan jelas dijawab. Mereka dapat bekerja di
lapangan namun dengan sedikit pengawasan. Begitu pula dengan
perlindungan diri dari bahaya. Sedikit perhatian dan pengawasan
dibutuhkan untuk perkembangan mental dan sosial anak tunagrahita
sedang.
3. Tunagrahita Berat (IQ dibawah 20)
Anak tunagrahita berat disebut juga idiot. karena dalam kegiatan
sehari-hari mereka membutuhkan pengawasan, perhatian, bahkan
pelayanan yang maksimal. Mereka tidak dapat mengurus dirinya
sendiri apalagi berlindung dair bahaya. Asumsi anak tunagrahita
sama dengan anak Idiot tepat digunakan jika anak tunagrahita yang
dimaksud tergolong dalam tungrahita berat.
d. Pendidikan Bagi Anak Tunagrahita
Anak tunagrahita sangat memerlukan pendidikan serta layanan khusus
yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Ada beberapa
pendidikan dan layanan khusus yang disediakan untuk anak tunagrahita,
yaitu:
1. Kelas Transisi
Kelas ini diperuntukkan bagi anak yang memerlukan layanan khusus
termasuk anak tunagrahita. Kelas transisi sedapat mungkin berada
disekolah reguler, sehingga pada saat tertentu anak dapat
bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas
persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD
dengan modifikasi sesuai kebutuhan anak.
2. Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C,C1)
Layanan pendidikan untuk anak tunagrahita model ini diberikan
pada Sekolah Luar Biasa. Dalam satu kelas maksimal 10 anak
dengan pembimbing/pengajar guru khusus dan teman sekelas yang
dianggap sama keampuannya (tunagrahita). Kegiatan belajar
mengajar sepanjang hari penuh di kelas khusus. Untuk anak
tunagrahita ringan dapat bersekolah di SLB-C, sedangkan anak
tunagrahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1.
3. Pendidikan terpadu
Layanan pendidikan pada model ini diselenggarakan di sekolah
reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler
di kelas yang sama dengan bimbingan guru reguler. Untuk
matapelajaran tertentu, jika anak mempunyai kesulitan, anak
tunagrahita akan mendapat bimbingan/remedial dari Guru
Pembimbing Khusus (GPK) dari SLB terdekat, pada ruang khusus
atau ruang sumber. Biasanya anak yang belajar di sekolah terpadu
adalah anak yang tergolong tunagrahita ringan, yang termasuk
kedalam kategori borderline yang biasanya mempunyai kesulitan-
kesulitan dalam belajar (Learning Difficulties) atau disebut dengan
lamban belajar (Slow Learner).
4. Program sekolah di rumah
Progam ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita yang tidak mampu
mengkuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya,
misalnya: sakit. Proram dilaksanakan di rumah dengan cara
mendatangkan guru PLB (GPK) atau terapis. Hal ini dilaksanakan
atas kerjasama antara orangtua, sekolah, dan masyarakat.
5. Pendidikan inklusif
Sejalan dengan perkembangan layanan pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus, terdapat kecenderungan baru yaitu model
Pendidikan Inklusif. Model ini menekankan pada keterpaduan
penuh, menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip “Education for
All”. Layanan pendidikan inklusif diselenggarakan pada sekolah
reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak
reguler, pada kelas dan guru/pembimbing yang sama. Pada kelas
inklusi, siswa dibimbing oleh 2 (dua) orang guru, satu guru reguler
dan satu lagu guru khusus. Guna guru khusus untuk memberikan
bantuan kepada siswa tunagrahita jika anak tersenut mempunyai
kesulitan di dalam kelas. Semua anak diberlakukan dan mempunyai
hak serta kewajiban yang sama. Tapi saat ini pelayanan pendidikan
inklusif masih dalam tahap rintisan
6. Panti (Griya) Rehabilitasi
Panti ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita pada tingkat berat,
yang mempunyai kemampuan pada tingkat sangat rendah, dan pada
umumnya memiliki kelainan ganda seperti penglihatan,
pendengaran, atau motorik. Program di panti lebih terfokus pada
perawatan. Pengembangan dalam panti ini terbatas dalam hal :
a. Pengenalan diri
b. Sensorimotor dan persepsi
c. Motorik kasar dan ambulasi (pindah dari satu temapt ke tempat
lain)
d. Kemampuan berbahasa dan dan komunikasi
e. Bina diri dan kemampuan sosial
C. Pendidikan Anak Tunagrahita di indonesia
Di Indonesia perkembangan pendidikan luar biasa atau pendidikan khusus
dimulai sebelum masa kemerdekaan yaitu dengan berdirinya, untuk pertama
kali, Lembaga Penyandang Cacat Tunanetra di Bandung pada tahun 1901.
Pada 1927 dibuka sekolah bagi anak tunagrahita di kota yang sama dan pada
saat yang hampir bersamaan didirikan sekolah khusus bagi anak tunarungu
pada 1930 di Bandung juga.
Tujuh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah RI mengundang-
undangkan yang pertama mengenai pendidikan khusus. Mengenai anak- anak
yang mempunyai kelainan fisik atau mental, undang–undang itu
menyebutkan pendidikan dan pengajaran luar biasa diberikan dengan khusus
untuk mereka yang membutuhkan (pasal 6 ayat 2) dan untuk itu anak-anak
tersebut (pasal 8) yang mengatakan semua anak-anak yang sudah berumur 6
tahun dan 8 tahun berhak dan diwajibkan belajar disekolah sedikitnya 6 tahun
dengan ini berlakunya undang-undang tersebut maka sekolah-sekolah baru
yang khusus bagi anak-anak penyandang cacat.
Kemudian pada tahun 2003 pemerintah mengeluarkan undang- undang no 20
tentang system pendidikan nasional (UUSPN). Dalam undang-undang
tersebut dikemukakan hal-hal yang erat hubungan dengan pendidikan bagi
anak-anak dengan kebutuhan pendidikan khusus, beberapa diantaranya
sebagai berikut :
1. Bab IV (pasal 5 ayat 1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu baik yang memiliki
kelainan fisik,emosionl,mental,intelektual atau sosial berhak memperoleh
pendidikan khusus.
2. Bab V bagian 11 Pendidikan khusus (pasal 32 ayat 1) Pendidikan khusus
bagi peserta yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik,emosional,mental,sosial atau
memiliki potensi kecerdasan.
Dan untuk anak tunagrahita, di indonesia telah ada berbagai layanan
pendidikan yang disediakan agar anak tunagrahita bisa mendapatkan
pendidikan seperti halnya anak pada umumnya. Ada berbagai macam layanan
pendidikan bagi anak tunagrahita saat ini, contohnya SLB C, sekolah inklusif
dan masih banyak lagi. Di Indonesia pendidikan yang inklusif atau menuju
inklusif pun terus digencarkan, setidaknya mulai 2001 pendidikan inklusi
telah menjadi program Direktorat Pendidikan Luar Biasa yang bertugas untuk
mengatur pelaksanaan pendidikan luar biasa tidak hanya di SLB namun juga
di sekolah-sekolah reguler, termasuk salah satunya adalah membekali para
guru di semua sekolah reguler dengan pengetahuan dan keterampilan layanan
bagi anak berkebutuhan khusus. Beberapa sekolah pun baik itu SD, SMP, dan
SMA reguler telah ditunjuk menjadi sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif. Walaupun memang dalam pelaksanaannya masih terdapat hambatan.
BAB III
PEMBAHASAN HASIL OBSERVASI
A. PROFIL SEKOLAH
Penyelenggara : Yayasan Tunas Kasih
Alamat Sekretariat : Jl. Raya Karehkel No. 9 Leuwiliang
Kabupaten Bogor 16640
Akta Notaris : Nomor 01 Tanggal 2 Mei 1988
Nama Sekolah : Sekolah Luar Biasa Tunas Kasih 1
Jenjang : 1. TK Luar Biasa
2. SD Luar Biasa
3. SMP Luar Biasa
4. SMA Luar Biasa
Didirikan pada : 2 Mei 1988
Alamat : Jl. Raya Karehkel No. 9 Leuwiliang
Kabupaten Bogor 16640
Fasilitas Sekolah
Status Gedung dan Tanah : Milik Sendiri (Yayasan)
Jumlah Ruang Belajar : 13
Luas Ruang Belajar : 9 x 10 M
Jumlah Ruang Kantor : 1
Jumlah Ruang Guru : 1
Waktu Belajar : Pagi
DATA SUMBER DAYA MANUSIA
Jumlah Guru : 9
Jumlah Petugas TU : 1
Nama Kepala Sekolah : Nunung Djumarningsih, S.Pd.,M.M.
KEADAAN SISWA
Terdapat 42 anak didik dengan klasifikasi :
Anak Tunanetra : 9 Orang anak
Anak Tunarungu : 12 Orang anak
Anak Tunagrahita Ringan : 10 Orang anak
Anak Tunagrahita Sedang : 1 Orang anak
Anak Tunadaksa : 5 Orang anak
Anak Tunalaras : 5 Orang anak
Anak Autis : 2 Orang anak
B. OBSERVER
Kelompok observer yang merupakan mahasiswa Program Pasca Sarjana
Universitas Pakuan Jurusan Administrasi Pendidikan Semester 1 :
1. Ajiz Sulaeman NPM. 072125020
2. Siti Khodijah NPM. 072125046
3. Siti Rukiyah NPM. 072125047
4. Titin Sumanti NPM. 072125050
C. WAKTU OBSERVASI
1. Hari : Kamis
2. Tanggal : 15 Oktober 2015
D. HASIL OBSERVASI
Melalui kegiatan kunjungan ke Sekolah Luar Biasa Tunas Kasih 1
Leuwiliang Kabupaten Bogor, observer memilih mengangkat tema
penanganan pada anak tunagrahita. Hal ini dilatarbelakangi adanya kasus
yang sama pada sekolah observer. Sehingga melalui kegiatan kunjungan ke
SLB para observer memiliki pemahaman tentang pengetahuan penanganan
pada anak berkebutuhan khusus tuna grahita.
Pada saat observer berkunjung ke SLB Tunas Kasih pada hari Kamis,
kegiatan pembelajaran yang berlangsung pembelajaran kesenian dan latihan
pramuka atau baris berbaris. Secara umum semua anak tunagrahita mampu
mengikuti kegiatan latihan kesenian dan baris berbaris.
Catatan hasil wawancara dengan Guru SLB Tunas Kasih 1
1. Pembelajaran anak tunagrahita cepat bosan. Guru ditutut menampilkan
strategi yang dapat merangsang anak tunagrahita untuk mau belajar dan
aktif dalam kegiatan belajar.
2. Pembelajaran tidak difokuskan pada kemampuan intelektual akademik tapi
lebih pada keterampilan praktis seperti kebiasaan kebutuhan pribadi.
3. Fokus penanganan adalah program bina diri.
4. Saat masuk ke SLB dilakukan assesment terlebih dahulu sebagai
pemeriksaan awal terkait kondisi anak dan pengklasifikasian kemampuan
dan kondisi anak.
5. Rasio guru tunagrahita sedang 1:2.
6. Anak ABK cenderung tidak mau libur karena lebih nyaman dengan
lingkungan sekolah.
7. Walaupun anak tunagrahita memiliki kekurangan dalam hal intelektual,
tapi memiliki mempunyai keistimewaan yang cenderung tidak dilakukan
anak normal. Misalnya anak tunagrahita setia mengurus orang tua yang
sakit pada masa tuanya.
8. Dua orang anak tunagrahita sudah di kelas 3 SMA dan hanya satu tahun
sekali ditengok oleh orang tuanya karena dianggap hal yang memalukan
keluarga.
9. Dalam kekurangan yang dimiliki anak cenderung sudah mandiri dan sopan
terhadap setiap yang datang berkunjung ke SLB.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hakikat dari anak tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dan
keterbelakangan mental, jauh di bawah rata-rata yang ditandai oleh
keterbatasan intelejensi dan ketidak cakapan dalam interaksi sosial sehingga
untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan
secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya.
Ada berbagai macam layanan yang dapat diberikan bagi anak tunagrahita,
diantaranya yaitu:
1. Kelas Transisi
2. Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C,C1)
3. Pendidikan Terpadu
4. Program sekolah di rumah
5. Pendidikan Inklusif
6. Panti (Griya) Rehabilitasi
Di indonesia pendidikan khusus yang ditujukan bagi anak tunagrahita sudah
banyak tersedia di berbagai tempat. Terutama sekolah-sekolah inklusif yang
mulai digencarkan mulai tahun 2001 dan saat ini telah dilakukan di seluruh
Indonesia.
Pembelajaran tunagrahita tidak menekankan pada kualitas akademik, namun
lebih pada keterampilan bina diri sebagai upaya menanam kemandirian
sebagai bekal kehidupan pribadi maupun kemampuan sosialisasi di
lingkungannya.
B. Saran
Masyarakat sebaiknya diberi penyuluhan mengenai sekolah inklusif dan
program layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, sehingga orang
tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus dapat dapat memberikan
anaknya terapi. Jadi anak yang memerlukan pendidikan khusus seperti anak
tunagrahita dapat mendapatkan pendidikan yang layak seperti anak pada
umumnya.
Pengetahuan tentang anak tunagrahita dapat dilakukan dalam sosialisasi di
lingkungan masyarakat sehingga anak tunagrahita tidak terancam dalam
pembunuhan karakter yang dilakukan oleh orang terdekatnya.