Skripsi_Komplit__.
-
Upload
nawawi-dzulhaq-muchamad -
Category
Documents
-
view
52 -
download
20
description
Transcript of Skripsi_Komplit__.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Qirā’at yang sebagaimana telah disepakati dan dirumuskan oleh para
ulama sebelumnya merupakan qirā’at yang masih dalam koridor mutawātir
sampai kepada Rasulullah S.A.W. serta telah mafhum dan tidak menjadi hal yang
asing di kalangan para pengkaji qirā’at.1 Kedua aspek inilah, aspek ke-mutawātir-
an sanad yang tersambung kepada rasul dan kemasyhuran qirā’at itu sendiri di
kalangan para pengkajinya menjadi kriteria sebuah qirā’at mutawātirah yang
selanjutnya status qirā’at tersebut dicontohkan langsung oleh Allah S.W.T..
Dalam artian qirā’at tersebut memang wahyu dari Allah S.W.T. sehingga
validitasnya dapat dipertanggungjawabkan, atau qirā’at tersebut dilegalkan oleh
Allah S.W.T. lewat taqrīr atau penetapan Nabi Muhammad S.A.W..2
1
Para ulama sebelumnya telah mengkaji masalah qirā’at ini seperti ‘ulamā al-Qur’ān, ahl al-Uṣữl, ahl al-Ḥadῑṡ, dan juga ahl al-Fiqh. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Labῑb al-Sa’ῑd bahwa qirā’at diturunkan dari sisi Allah S.W.T. atau qirā’at dipraktekkan dengan seijin Allah S.W.T. atas legalitas Nabi Muhammad S.A.W. Di samping itu, mutawātir-nya suatu qirā’at harus syāmil (menyeluruh) dalam berbagai hal, baik hal yang bersifat pokok dari qirā’at, atau hal yang merupakan cabang dan turunan dari sebuah qirā’at. Dalam problematika sanad dan riwayat qirā’at, dalam hal ini sama seperti kajian sanad dan riwayat dalam keilmuan hadis (‘ulum al-Hadis) yang secara umum karakter periwayat yang diterima periwayatannya meliputi ṡiqqah-nya seorang rawi, amanah, Ḥusn al-Dīn (berkepribadian baik dalam agama), kamāl al-Dirāyah (kesempurnaan dalam keilmuan), diqqah al-Riwāyah (ketelitian dalam periwayatan). Dan puncaknya seorang rawi tersebut benar-benar muttaṣil (periwayatan yang tersambung) dengan Nabi Muhammad S.A.W. sebagai seorang yang mendapatkan wahyu berupa al-Qur’an.Lihat Labῑb al-Saῑd, Difᾱ’ ‘an al-Qirā’at al-Mutawātirah fῑ Muwᾱjahah al-Ṭabarῑ al-Mufassir (Kairo: Dār al-Ma’ᾱrif, 1978), hlm. 13.
2 Labῑb al-Saῑd, Difᾱ’ ‘an al-Qirā’at al-Mutawātirah fῑ Muwᾱjahah al-Ṭabarῑ al-Mufassir (Kairo: Dār al-Ma’ᾱrif, 1978), hlm. 13.
2
Kajian tentang qirā’at mutawātirah setelah era Rasulullah S.A.W. menjadi
sebuah diskursus yang sangat sensitif sehingga satu sama lain dari kaum muslimin
mengklaim bahwa dirinya yang sah menjadi pengusung qirā’at yang mutawātir
dari Nabi Muhammad S.A.W. sehingga selain dirinya dianggap salah dan sesat.3
Kondisi seperti inilah yang melatarbelakangi Ibn Mujahid untuk menyusun
sebuah kitab, yakni Kitab al-Sab’ah fῑ� al-Qirā’ah. Munculnya karya Ibn Mujahid
ini secara tidak langsung mempengaruhi qirā’at yang sebelumnya telah beredar.4
Konsep-konsep yang digagas oleh Ibn Mujahid dalam kitabnya ini yang
akhirnya menjadi final dan ikut andil dalam menentukan mana qirā’at yang
mutawātir dan mana qirā’at yang tidak mutawātir yang kemudian dibahasakan
olehnya sebagai qirā’at yang ṣ�aḥ�ῑ�ḥ�ah dan qirā’at yang syażżah.5 Konsep yang
diusungnya dalam menetapkan qirā’at terpatok tiga kriteria, yaitu pertama,
mutawātir. Kedua, sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Ketiga, sesuai dengan salah
3
Benih- benih perselisihan sebetulnya telah munculnya pada zaman Rasulullah S.A.W. dan semakin terus berkembang hingga puncaknya pada zaman kekhilafahan Uṡman bin Affan. Hal ini dapat dilihat sewaktu Huẑaifah bin al-Yaman menaklukan Azerbaijan. Huẑaifah melihat banyak perbedaan dalam tata cara membaca al-Qur’an yang disertai dengan pembenaran-pembenaran mutlak terhadap versi qirā’at yang mereka pegangi masing-masing adalah yang paling benar dan paling baik. Hal tersebut juga didasari atas sifat mereka yang selalu membanggakan qirā’at yang mereka pegangi sehingga memicu pelecehan dan penghinaan terhadap versi qirā’at yang lain hingga sampai tahap menyalahkan qirā’at yang lain dan menganggap bahwa hanya qirā’at-nya yang berasal dari Nabi dan yang paling sah untuk diamalkan. Inilah yang memicu satu sama lain untuk saling mengkafirkan bahkan beberapa pendapat menyatakan akan saling membunuh satu sama lain. Lihat Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Yogyakarta : fkBA, 2001), hlm. 78; ‘Alῑ al-Ṣᾱbữnῑ, al-Tibyān fῑ ‘Ulūm al-Qur’ān (Kairo : Dār al –Ma’ārif, 1992), hlm. 260.
4 ‘Abd al-Bᾱqῑ bin Abd al-Rahmᾱn, Qawāid al-Naqd al-Qirā’āt al-Qur’āniyyah Dirāsah Naẓariyyah Taṭbῑqiyyah (Riyᾱḍ: Dār Kunữz Isybiliyya, 1429 H), hlm. 151-156.
5
Ibn Mujᾱhid, al-Sab’ah fῑ al- Qirā’ah (Kairo : Dār al –Ma’ārif, 1992), hlm. 78.
3
satu mushaf uṣ�mani.6 Tiga kriteria tersebut hanya merupakan kompilasi dari
kriteria yang secara terpisah telah digunakan oleh ulama-ulama terdahulu.7
Akan tetapi di sisi lain al-Sab’ah fῑ� al-Qirā’ah-nya Ibn Mujᾱ�hid ini
menimbulkan beberapa kontroversi dari para ulama setelahnya yang mengecam
atas penetapan Ibn Mujᾱ�hid mengenai qirā’āt mutawātirah yang hanya berhenti
pada tujuh qirā’āt imam saja. Diantaranya, al-Nasyr fῑ� al-Qirā’āt al-‘Asyr karya
Ibn Jazari yang mengkritiknya dan menambah imam qirā’āt yang awal tujuh
menjadi sepuluh, yakni dengan masuknya qirā’āt Abu Ja’far, Ya’qữb, dan Khalaf
al-‘Ᾱ�syir ke dalam qirā’āt mutawātirah.8 Terlepas dari mana yang paling valid
diantara ketiga kitab tersebut, karya Ibn Mujᾱ�hid diakui oleh mayoritas sebagai
bacaan yang formal dan legal sebab didukung oleh otoritas politik pemerintah
pada waktu itu.9
6
Ibn Mujᾱhid menggabungkan beberapa teori yang telah digagas sebelumnya yang menurutnya belum komperhensif. Dari kenyataan tersebut, Ibn Mujᾱhid merasa tertarik dan tergerak untuk menyatukan teori-teori tersebut, melihat bahwa Ibn Mujᾱhid memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam ilmu qirā’āt. Lihat ‘Abd al-Bᾱqῑ bin ‘Abd al-Rahmᾱn, Qawāid al-Naqd al-Qirā’āt al-Qur’āniyyah Dirāsah Naẓariyyah Taṭbῑqiyyah (Riyᾱḍ: Dār Kunữz Isybiliyya, 1429 H), hlm. 159-163.
7 ‘Abd al-Bᾱqῑ bin ‘Abd al-Rahmᾱn, Qawāid al-Naqd al-Qirā’āt al-Qur’āniyyah Dirāsah Naẓariyyah Taṭbῑqiyyah (Riyᾱḍ: Dār Kunữz Isybiliyya, 1429 H), hlm. 164..
8 Muḥammad Tamῑm al-Za’bi, Ṭayyibah al-Nasyr fῑ al- Qirā’āt al-‘Asyr li Muḥammad bin Muḥammad bin Muḥammad al-Jazari, pdf, Muqaddimah, hlm. 3-5.9
4
Secara historis, sebelum Ibn Mujᾱ�hid dengan masterpiece-nya muncul,
sudah ada juga beberapa ulama yang konsen terhadap bidang qirā’āt. Beberapa
diantaranya al-Ṭ�abarῑ� yang semasa dengan Ibn Mujᾱ�hid10 yang mana beliau juga
memiliki kitab tentang qirā’āt yang berisi 11 jilid yang mencakup qirā’āt
masyhur dan syażżah yang berjudul ‘al-Jᾱ�mi’’.11 Al-Ṭ�abarῑ� juga membahas
berkenaan dengan qirā’āt dalam al-Jᾱ�mi’ al-Bayān berupa sisipan-sisipan
komentar yang mendukung tafsirnya terhadap ayat-ayat al-Qur’an.12
Al-Ṭ�abarῑ� dalam kapasitasnya sebagai penafsir, juga memiliki kapabilitas
dalam bidang qirā’āt yang didapatkannya dari beberapa ahli qirā’āt semasanya
seperti Sulaimᾱ�n bin ‘Abd al-Rahmᾱ�n bin Ḥ�ammᾱ�d yang sudah masyhur
dengan Ibn Khallᾱ�d13, al-‘Abbᾱ�s bin al-Walῑ�d bin Mazῑ�d14 yang muaranya
sampai kepada Ibnu Ẑ�akwan dan Hisyᾱ�m yang merupakan rawi dari Ibn ‘Ᾱ�mir,
salah satu imam qirā’āt sab’ah, serta Yữnus bin ‘Abd al-A’lᾱ� yang mengambil
qira’at hanya segi ‘arḍ�-nya15 dari imam Warsy.16
10
Tercatat bahwa al-Ṭabarῑ wafat pada tahun 310 H, sedangkan Ibn Mujᾱhid wafat pada tahun 324 H. Hal ini membuktikan bahwa memang keduanya sezaman walaupun memang dari segi usia keduanya terpaut agak jauh. Lihat Ibn al-Jazari, al-Nasyr fῑ al- Qirā’āt al-‘Asry, pdf, juz 1, hlm. 34.
11 Ibn al-Jazari, Ghāyah al-Nihāyah fῑ Ṭabaqāt al-Qurrᾱ’, pdf, jilid 2, hlm. 107.
12 al-Ṭabarῑ, al-Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wῑl ay al-Qur’ ān, juz 6, hlm. 80.13
Ibn al-Jazari, Ghāyah al-Nihāyah fῑ Ṭabaqāt al-Qurrᾱ’, jilid 2, pdf, hlm. 107.14
Ibn al-Jazari, Ghāyah al-Nihāyah fῑ Ṭabaqāt al-Qurrᾱ’, jilid 1, pdf, hlm. 355.15
Ibn al-Jazari, Ghāyah al-Nihāyah fῑ Ṭabaqāt al-Qurrᾱ’,, jilid 2, pdf, hlm. 406.16
Perlu diketahui, para ahli qirā’āt yang mengambil qirā’āt dari gurunya terbagi menjadi dua. Pertama, Qirā’āt ‘Arḍan wa Sima’an yang memang mengambil qirā’āt tersebut memang dari aspek toeritis dan praksis. Hal ini biasanya diawali dengan seorang murid menyimak bacaan seorang syaikh atau guru al-Qur’an yang muttaṣil dengan Rasulullah S.A.W. yang kemudian murid
5
Namun kemudian al-Ṭ�abarῑ� menolak pemakaian qirā’āt dalam tafsirnya
yang dianggap oleh Ibn Mujᾱ�hid sebagai qirā’āt yang mutawātirah kepada Nabi
serta mengingat bahwa kenyataannya al-Ṭ�abarῑ� adalah seseorang mengetahui
akan qirā’āt. Faktanya qirā’āt yang dinukilkan al-Ṭ�abarῑ� dalam tafsirnya bukan
qirā’āt-qirā’āt yang disepakati oleh imam qurra’ melainkan qirā’āt yang masih
rancu dan diperselisihkan.17 Realitas tersebut menunjukkan adanya suatu
pergeseran al-Ṭ�abarῑ� yang mungkin dalam pemahaman dan pengertian terhadap
qirā’āt mutawātirah baik secara teoritis maupun praksis.
Mengenai qirā’āt yang dipakai al-Ṭ�abarῑ� tafsirnya sebagai objek kajian
penelitian ini, berangkat kenyataan di atas, muncul ulama yang menunjukkan
ketidaksetujuannya terhadap sikap al-Ṭ�abarῑ� itu, yaitu Labῑ�b al-Sa’ῑ�d, seorang
ulama kontemporer dengan karyanya Difᾱ�’ ‘an al-Qirā’āt al- mutawātirah fῑ� Muwājahah al-Ṭ�abarῑ� al-Mufassir. Karya ini berisi studi kritis menggugat sikap
penolakan al-Ṭ�abarῑ� terhadap qirā’āt mutawātirah yang dia sendiri mengetahui
akan seluk beluk qirā’āt namun malah bersikap kontras dan mengingkari qirā’āt
mutawātirah itu.
itu membaca sesuai dengan yang diajarkan sedangkan gurunya pun menyimak bacaannya. Kedua, Qirā’āt‘Arḍan yang hanya mengambil qirā’āt dari aspek teoritis. Hal ini dapat dilihat sebagaimana dalam pengajaran formal dalam keilmuan-keilmuan selain ilmu qirā’āt. Seorang murid hanya mendengarkan penjelasan seorang guru tanpa adanya praktek setelah penjelasan selesai sehingga dalam Qirā’āt ‘Arḍan ini tidak ada proses check and re-check. Lihat Sya’bᾱn Muḥammad ‘Ismᾱ’ῑl, al-Qirā’āt Ahkāmuhā waMaṣdaruhā, pdf, hlm. 58.
17
Labῑb al-Saῑd, Difᾱ’ ‘an al-Qirā’āt al-Mutawātirah fῑ Muwᾱjahah al-Ṭabarῑ al-Mufassir (Kairo: Dār al-Ma’arif, 1978), hlm.12.
6
Secara garis besar, penelitian ini sebetulnya mengupas lebih dalam akan
sikap al-Ṭ�abarῑ� tersebut dari berbagai perspektif, yakni perspektif al-Ṭ�abarῑ� dalam penggunaan qirā’āt di dalam tafsir al-Jāmi’ al-Bayān dengan dihadapkan
pada qirā’āt - qirā’āt yang telah baku dalam perspektif Ibn al-Mujᾱ�hid di al-
Sab’ah fῑ� al-Qirā’ah. Dalam konteks penelitian ini tidak mengungkapkan
seluruh qirā’āt yang dipakai oleh al-Ṭ�abarῑ� dalam tafsirnya, namun hanya
membatasi pada qirā’āt - qirā’āt yang memang sangat kontra terhadap qirā’āt
yang ada, yakni mengkaji dan meneliti penolakan al-Ṭ�abarῑ� terhadap qirā’āt
mutawātirah dalam Tafsir Jāmi’ al-Bayān.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan
beberapa masalah sebagai fokus pembahasan, sebagai berikut:
1. Apa tolak ukur diterimanya qirā’at menurut al-Ṭ�abarῑ�?2. Mengapa al-Ṭ�abarῑ� menolak qirā’at mutawātirah versi ulama
qurrᾱ�’ dalam tafsirnya Jāmi’ al-Bayān dan bagaimana implikasi
qirā’at al-Ṭ�abarῑ� dalam ranah penafsiran al-Qur’an?
7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tema pembahasan yang menjadi fokus
kajian, tujuan dari penelitian ini, antara lain:
1. Mengetahui pandangan dan tolok ukur al-Ṭ�abarῑ� tentang qirā’at yang
kemudian menjadi dasar sikapnya dalam mengambil qirā’at.
2. Menjelaskan alasan al-Ṭ�abarῑ� dalam memilih qirā’at pada tafsir Jāmi’
al-Bayān.
3. Mengetahui implikasi qirā’at al-Ṭ�abarῑ� dalam penafsiran al-Qur’an.
Adapun kegunaan penelitian ini, antara lain:
1. Sebagai bentuk kontribusi dalam penelitian selanjutnya, baik dalam
studi besar ‘Ulum al-Qur’ān umumnya, lebih spesifik lagi dalam
kajian qirā’āt mutawātirah.
2. Dapat menambah sumbangan pemikiran dan wacana tentang qirā’āt
mutawātirah.
D. Telaah Pustaka
Dalam sebuah penelitian, umumnya terpilah menjadi dua objek penelitian,
yakni objek material serta objek formal. Objek formal dalam lingkup
permasalahan ini mengenai qirā’āt mutawātirah dan kajian tentang hal tersebut
yang mungkin sudah banyak ulama yang telah mengkajinya, seperti al-Sab’ah fῑ� al-Qirā’ah karya Ibn Mujᾱ�hid yang berisi himpunan qirā’āt-qirā’āt yang
8
mutawātirah.18 Kitab inilah yang kemudian dijadikan standar dan rujukan utama
terhadap qirā’āt yang mutawātirah.19
Di samping itu terdapat juga kitab al-Hujjah li al-Qurrᾱ�’ al-Sab’ah karya
Abữ ‘Alῑ� al-Fᾱ�risῑ� yang di dalamnya memuat argumen-argumen imam qirā’āt
tujuh dengan qirā’āt-nya masing-masing. Kitab ini juga memaparkan kajian
komparatif berbagai bacaan imam sehingga pembaca mudah mengetahui titik
tolak persamaan atau perbedaan antara imam qirā’āt tersebut.
Sedangkan objek materialnya memusatkan kepada kajian mengenai al-
Ṭ�abarῑ� dan qirā’āt-nya yang bisa didapati langsung dalam tafsirnya, Jāmi’ Al-
Bayān. Di samping itu juga, qirā’āt al-Ṭ�abarῑ� terdapat dalam kitab Difᾱ�’ ‘an al-
Qirā’ᾱ�t al-Mutawātirah fῑ� Muwᾱ�jahah al-Ṭ�abarῑ� al-Mufassir karya Labῑ�b al-
Sa’ῑ�d yang notabenenya kitab tersebut merupakan studi kritis terhadap al-Ṭ�abarῑ� atas qirā’āt yang diambilnya dalam tafsir Jāmi’ al-Bayān. Kitab tersebut berisi
pemaparan qirā’āt yang diambil al-Ṭ�abarῑ� yang tidak sesuai dengan qirā’āt yang
masyhur yang mutawātir kepada Rasulullah S.A.W.. Di dalamnya juga dijelaskan
asumsi al-Ṭ�abarῑ� yang lebih memilih kepada qirā’āt yang oleh para ulama
dijustifikasi sebagai yang tidak mutawātir.
18
Nama beliau Abữ Bakr Aḥmad bin Mữsᾱ bin al-‘Abbᾱs al-Tamῑmῑ al-Ḥafῑẓ, lahir pada tahun 245 H dan wafat pada tahun 324 H. Ibn Mujᾱhid inilah yang mengkodifikasikan qirā’āt sehingga kitabnya tersebut menjadi rujukan utama dalam fan qira’at. ‘Alῑ bin ‘Umar al-Muqrῑ’ berkomentar tentangnya, bahwa dalam halaqah atau majlis Ibn Mujᾱhid terdapat 84 qari’ yang mengambil bacaan darinya dan kemudian menyebarkannya kepada masyarakat. (Lihat al-Bagdᾱdῑ, Tᾱrῑkh Bagdᾱd, juz 5, hlm. 144.)
19 Lihat di Muqaddimah al-Hujjah li al-Qurrᾱ’ al-Sab’ah li Abữ ‘Alῑ al-Fᾱrisῑ
9
Dalam “Sejarah al-Qur’an” karya Muṣ�ṭ�afᾱ� Aḥ�mad dipaparkan mengenai
definisi al-Qur’an, sejarah al-Qur’an pada masa Khulafā al-Rᾱ�syidῑ�n dan masa
sesudahnya. Selanjutnya dijelaskan tentang asal-usul Tadwῑ�n al-Qur’ān
(pembukuan al-Qur’an) berupa Rasm Uṣ�mᾱ�nῑ� yang menjadi pegangan umat
Islam sampai sekarang.20
Hasanuddin AF dalam “Anatomi al-Qur’an”: Perbedaan Qirā’āt dan
Pengaruhnya terhadap Istimbat Hukum dalam al-Qur’an. Beliau mengulas lebih
dalam tentang pengrtian, macam-macam, status qirā’āt dan pengaruh perbedaan
qirā’āt lebih lanjut terhadap istinbat hukum.21
Dalam “Rekronstruksi Sejarah al-Qur’an” karya Taufik Adnan Amal.
Beliau memaparkan bagaimana historisitas al-Qur’an dan proses pengumpulannya
pada masa Nabi Muhammad S.A.W., baik dalam bentuk hafalan maupun dalam
bentuk tulisan. Taufik Adnan Amal juga menjelaskan bahwa di masa nabi sudah
muncul upaya untuk menulis al-Qur’an. Kaitannya dengan kajian ini, buku
tersebut mengkaji tentang kodifikasi al-Qur’an dari zaman Nabi sampai pada
zaman sahabat.22
20
Muṣṭafᾱ Aḥmad, Sejarah al-Qur’an (Surabaya : al-Ikhlas, 1994) , hlm. 1321
Hasanuddin AF, Anatomi al-Qur’an (Yogyakkarta : FkBA, 2001) ,hlm. 11
22 Taufik Adnan Amal, Rekonstruki Sejarah al-Qur’an (Yogyakkarta : FkBA, 2001)
10
Faik Muhammad dalam penelitiannya, “Penggunaan Qirā’āt Mutawātirah
dan Syᾱ�żżah” dalam Tafsir Jāmi’ al-Bayān telah memaparkan bagaimana qirā’āt-
qirā’āt yang dipakai al-Ṭ�abarῑ� dalam tafsirnya. Beliau juga mengkaji motif-motif
yang melatarbelakangi penggunaan qirā’āt mutawātirah dan qirā’āt syᾱ�żżah
dalam tafsir Jāmi’ al-Bayān.23
E. Metode Penelitian
Sebuah metode sangat penting dalam sebuah studi atau kajian. Metode
selain sebagai basik utama dalam sebuah karya, juga sebagai pembimbing atau
pengarah dalam penelitian yang sistematis sehingga sebuah karya bisa fokus dan
sampai kepada tujuan yang dicari. Adapun metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini adalah Library Research24. Sebuah penelitian yang
bersifat kepustakan yang menggunakan teknik atau cara pengumpulan data dan
informasi menegenai tema pembahasan. Informasi dan data yang terkait langsung
seperti karya tokoh yang diteliti atau tidak langsung dengan fokus dan tema
kajian, baik itu berupa buku, majalah, dokumen-dokumen, dan lain-lain sebagai
sumber data.
23
Faik Muhammad, Penggunaan Qirā’āt Mutawᾱtirah dan Syᾱżżah dalam tafsir Jāmi’ Al-Bayān, Skripsi Fakultas Ushuluddin, Studi Agama, dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 200524
Kartini, Pengantar Metodologi Penelitian Sosial (Bandung: Bandar Maju, 1996), hlm. 71.
11
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam.
Pertama, sumber primer adalah Tafsir Jāmi’ al-Bayān karya Ibn Jarῑ�r al-Ṭ�abarῑ� yang disamping sebagai wadah penafsiran al-Ṭ�abarῑ� juga merupakan wahana
praksis al-Ṭ�abarῑ� terhadap qirā’āt tersebut.
Sedangkan sumber sekunder adalah Difᾱ�’ ‘an al-Qirā’āt al-Mutawātirah
fῑ� Muwᾱ�jahah al-Tābarῑ� al-Mufassir karya Labῑ�b al-Sa’ῑ�d, al-Qirā’āt ‘inda ibn
Jarῑ�r al-Ṭ�abarῑ� fῑ� Ḍ�au’ al-Lugah wa al-Nahw kamā waradat fῑ� kitābihi Jāmi’
al-Bayān ‘an Ta’wῑ�l ᾱ�y al-Qur’an karya ‘Abd al-‘Azῑ�z Burhᾱ�m, al-Sab’ah fῑ� al-Qirā’ah karya Ibn al-Mujᾱ�hid, dan Tᾱ�rῑ�kh al-Qirā’āt fῑ� al-Masyriq wa al-
Magrib karya Muḥ�ammad Mukhtᾱ�r Walῑ�d Abbᾱ�h, serta ‘Ilm al-Qirā’āt,
Nasy’atuh wa Aṭ�wᾱ�ruh wa Aṣ�ᾱ�ruh fῑ� al-‘Ulūm al-Syar’iyyah karya Nabῑ�l bin
Muḥ�ammad Ibrᾱ�hῑ�m.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pertama kali, tindakan yang dilakukan dalam pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah mengumpulkan berbagai data, informasi baik itu dari sumber
primer atau sumber sekunder. Langkah selanjutnya setelah data terkumpul,
memilah-milah sesuai dengan bab atau sub bab bahasan yang ada kemudian data
yang tersedia dianalisis dengan kritis.
12
4. Analisis Data
Setelah data terkumpul, tahap selanjutnya peneliti menganalisa data
dengan dua metode, yakni deskriptif-analisis. Metode deskriptif merupakan
sebuah metode yang menggambarkan dan menjelaskan tema yang dibahas sesuai
dengan data yang tersedia, seperti situasi, pola interaksi, dan sikap tokoh yang
akan dikaji.25 Dalam hal ini adalah latar belakang kehidupan historis pemikiran al-
Thabari. Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan pengertian serta pemhaman
yang menyeluruh tentang tema yang akan dibahas dengan menyajikan objek dan
situasi secara real dan faktual.26
Sedangkan metode analisis, berupaya untuk menganalisa, mengkritisi data
yang ada, sehingga mendapatkan hasil yang dicari. Tahapan analisis ini dipakai
dalam rangka untuk menganalisis uraian deskriptif yang sudah ada secara
konseptual mengenai qirā’āt mutawātirah dan pandangan al-Ṭ�abarῑ� terhadap
qirā’āt.
5. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah historis-filosofis.
Pendekatan historis berkaitan dengan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang,
dan pelaku serta sebuah peristiwa. Dengan pendekatan ini, dimaksudkan untuk
mengungkap dan menelusuri latar belakang sosial, budaya, politik yang 25
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1982), hlm. 139.26 Anton Bakker dan Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), hlm. 54.
13
melingkupi kehidupan al-Ṭ�abarῑ�. Selain itu, meneliti dan mengkaji perkembangan
dan pergeseran qirā’āt mutawātirah, baik itu dalam konteks pengertian atau
cakupannya beserta faktor-faktor yang berpengaruh di dalamnya.
Pendekatan filosofis, sebuah bentuk pendekatan yang berupaya
menjelaskan inti, asas, dan sesuatu yang menjadi dasar. Dengan pendekatan ini,
diharapkan mampu untuk mengurai pemikiran sampai kepada landasan awal
pemikiran tersebut.27 Dalam konteks ini, berarti melakukan telaah atas landasan
pemikiran al-Ṭ�abari mengenai qirā’āt dan penukilannya atas qirā’āt dalam tafsir
Jāmi’ al-Bayān.
F. Sistematika Pembahasan
Secara umum dalam sebuah penelitian terdiri dari tiga pokok bahasan
umum, yakni pendahuluan, pembahasan, dan kesimpulan. Dalam pembagiannya
secara spesifik penelitian ini terbagi menjadi lima bab, yaitu:
Bab pertama, pendahuluan yang terdiri latar belakang masalah, merupakan
suatu kegelisahan akademik pribadi penulis yang mendorong untuk meneliti
permasalahan yang ada. Fokus permasalahan terangkum dalam sebuah rumusan
masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.
27
Anton Bakker dan Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, hlm. 61.
14
Bab kedua, tinjauan umum mengenai qirā’āt mutawātirah, terdiri dari tiga
sub bab. Pertama, pengertian qirā’āt mutawātirah. Kedua, historisitas
qirā’ātmutawātirah. Ketiga, tentang kaidah penentuan qirā’āt mutawātirah dan
sejarahnya.
Bab ketiga, ulasan tentang biografi al-Ṭ�abarῑ�, konteks sosial, latar
belakang kehidupan, karya, keahlian, beserta seluruh hal ihwalnya dalan kajian
qirā’āt. Ditambah pula tentang sekilas tentang Jāmi’ al-Bayān yang kupasannya
lebih spesifik kepada aspek qirā’āt-nya saja.
Bab keempat, merupakan inti pembahasan, yakni analisis terhadap qirā’āt
yang dipakai al-Thabari dalam tafsirnya. Di samping itu terhadap argumen yang
dijadikan dasar oleh al-Thabari atas qirā’āt yang diusungnya dalam tafsirnya
beserta implikasi-implikasi yang ditmbulkan dari qirā’āt tersebut.
Bab kelima, bab penutup, berisikan tentang kesimpulan akhir dari
penelitian yang dilakukan, serta usulan dan saran untuk penelitian berikutnya.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM QIRĀ’ĀT MUTAWĀTIRAH
A. Definisi Qirā’āt Mutawātirah
Qirā’āt Mutawātirah merupakan gabungan dari dua istilah, yakni qirā’āt (
(قراءات dan mutawātirah (متواترة) yang kemudian kedua lafadz tersebut
digabungkan dalam hubungan sifat.28 Lafadz qirā’āt (قراءات) merupakan bentuk
jama’ atau plural dari kata qirā’ah yang merupakan ( قراءة) maṣ�dar dari kata
قرأ- - قراءة 29.يقرأ
Lafadz qa-ra-a sebetulnya diambil dari bahasa orang-orang Aramia yang
diambil oleh orang-orang Arab untuk percakapan sehari-sehari. Penggunaan kata
qara’a dalam masyarakat Arab Jahiliyyah tidak dalam arti “membaca” seperti saat
ini. Hal ini dapat dibuktikan dalam perkataan mereka ” يقرأ لم اللون حجـــْا�ء
yang berarti perempuan jalang tidak dapat mengandung janin. Sehingga ,جنيــــنْا
kata قرأ di sini bermakna mengandung atau hamil.30
28
Terkadang istilah qirā’āt mutawātirah disebutkan bukan dalam hubungan sifat atau dalam gramatikal ‘Arab dikenal dengan istilah Na’at Man’ữt, melainkan dalam hubungan Iḍᾱfah (Muḍᾱf-Muḍᾱf Ilaih), yakni gabungan beberapa kata benda yang tidak saling mensifati akan tetapi berdiri sendiri dan saling berkaitan satu sama lain. Lihat Muṣṭafᾱ al-Galᾱyinῑ, Jāmi’ al-Durūs al-‘Arabiyyah, Syameela 2.11.,hlm. 143.
29Kata qirā’ah قراءة merupakan maṣdar simā’i (verbal noun) dari kata kerja يقرأ- قرأyang mengikuti kaidah ain fi’il‘) فتحتان maḍi dan muḍari’nya dibaca fathah) atau dalam al-Amṡilah al-Taṣrῑfiyyah dimasukkan dalam Taṣrῑf Isṭilāhi Bab 4. Maṣdar ini tidak mengikuti qiyās (bentuk taṣrῑf) yang baku dan diambil dari perkataan orang Arab yang kemudian menjadi terbiasa di telinga orang Arab (simā’i) sehingga kata tersebut secara tidak langsung disepakati penggunaannya. Lihat Muṣṭafᾱ al-Galᾱyinῑ, Jāmi’ al-Durūs al-‘Arabiyyah, Syameela 2.11., hlm. 65.
30
16
Apabila ditinjau dari segi kebahasaannya, kata memiliki قرأ makna
menghimpun (الضم) dan mengumpulkan Namun 31.(الجمع) kemudian dari
kandungan kedua maknatersebut, kata قرأ diasosiasikan kepada dua makna yang
berbeda juga. Kata yang memiliki قرأ kandungan makna (الجمع) digunakan
untuk istilah berkumpulnya waktu suci dan waktu haidh bagi wanita sebagaimana
yang telah disebutkan dalam al-Qur’an 32
قروء ثالثة بانفسهن يتربصن 33والمطلقات
Artinya: Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’.34
Di samping itu, kata juga قرأ mengandung makna (الضم) yang
digunakan untuk himpunan dan rangkaian huruf-huruf menjadi kata-kata dalam
ucapan dan bacaan yang terpadu.35 Dari makna قراءة yang dikonotasikan dalam
inilah yang selanjutnya berkaitan erat dengan lafadz al-Qur’an.36 (الضم)
Ṣubḥῑ al-Ṣᾱlih, Membahas ilmu-ilmua al-Qur’an. Terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999), hlm. 10. Ibn Manẓữr, Lisᾱn al-‘Arab (Beirut : Dᾱr al-Ṣadr, 1992), juz 1, hlm. 128.
31
Aḥmad bin Fᾱris bin Zakariyyᾱ, Mu’jam Maqāyis al-Lugah, pdf, hlm. 123.
32 Q.S. al-Baqarah : 228
33 Kata قروء merupakan bentuk jama’ dari kata قرأ yang merupakan maṣdar qiyāsi dari يقرأ- . قرأ
34
Terjemah Kementrian Agama Replublik Indonesia P.T. Sygma Examedia Arkanleema. 35
Al-Ragῑb al-Asfihᾱnῑ, Mu’jam Mufradᾱt li Alfᾱẓ al-Qur’ān (Lebanon : Dār al-Kutob al-‘Ilmiah, 2008), hlm. 445.
36 Muḥammad Mas’ữd ’Alῑ Ḥasan ‘Isᾱ, Aṡar al-Qirā’āt al-Qur’āniyyah fῑ Fahm al-Lugawiyyi (Kairo : Dār al-Salām, 2009), pdf. hlm. 15.
17
Selain hal itu, kata berarti قرأ juga tala ,تال yang bermakna membaca,
yakni mengucapkan atau membaca kalimat yang tertulis dalam teks. Sekilas
memang makna al-tilāwah(التالوة) merupakan sinonim (murādif) dari kata al-
qirā’āt(القراءة) tersebut namun keduanya memilki kedalaman makna dan
penggunaan yang berbeda.37 Suatu bacaan bisa dikatakan sebagai al-tilāwah
apabila membaca lebih dari dua kalimat atau lebih. Sedangkan al-qirā’āt bisa
digunakan untuk membaca kalimat walaupun hanya satu saja.38
Kata al-tilāwah yang berasal dari kata تالوة- يتلو- تال digunakan khusus
untuk mengikuti kitab Allah (al-Qur’an) baik dalam bentuk membacanya ataupun
mengikutinya dengan perilaku dan tindakan karena memang makna dasar dari
adalah تالوة ,إتبْاع yang bermakna mengikuti.39 Dalam Mu’jam al-Wāsiṭ� dijelaskan pula bahwa makna adalah , تالوة نظرا yang diartikan dengan تتبع
mengikuti sebuah pandangan dan pikiran.40
Oleh sebab itu makna al-qirā’āt lebih luas dari pada makna al-tilāwah,
dan makna al-tilāwah lebih dalam dari pada makna al-qirā’āt. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa setiap al-tilawah adalah al-qirā’āt, akan tetapi tidak setiap al-
qirā’āt dapat menjadi al-tilawah.
37
Muḥammad Murtaḍᾱ al-Ḥusainῑ al-Zᾱbidῑ, Tᾱj al-‘Urữsy min Jawāhir al-Qāmữs (Kuwait : t.t.p., 2001), juz 1, pdf. hlm. 370.
38 Abữ Hilᾱl al-‘Askarῑ, al-Fᾱrữq al-Lugawiyyah (Kairo : Dār al-‘Ilm wa al-Ṡaqāfah), pdf, hlm. 63.
39
Al-Ragῑb al-Asfihᾱni, Mu’jam Mufradᾱt li Alfᾱż al-Qur’ān (Lebanon : Dār al-Kutob al-‘Ilmiah, 2008), hlm. 97.
40 Syauqῑ Dᾱyif, Mu’jam al-W āsiṭ (t.p.: Maktabah al-Syurūq al-Daulah, 2004), pdf, hlm. 476.
18
Secara terminologi, qirā’āt memiliki banyak definisi yang telah
diungkapkan oleh beberapa ulama dengan perspektif masing-masing. Mữsᾱ� Syᾱ�hῑ�n Lᾱ�hῑ�n dalam bukunya, menyatakan;41
بالقرأن النطقق فى غيره به مخالفا اإلمة من إمام اليه يذهب مذهب والقراءة . النطق وكيفية اللهجات فى إختالف والقراءات عنه الرواية اتفاق مع الكـــريموقصر ومد وإشباع وإمالة وترقيق وتفخيم وإظهار إدغام من فقط األداء وطرق
إلخ وتليين وتخفيف .وتشديد
Artinya: Qirā’ah (mufrad) menurut istilah merupakan suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurrᾱ�’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan terhadap al-Qur’an dengan kesesuaian dengan riwayat telah diambil. Sedangkan qirā’āt (jama’) hanyalah perbedaan lahjah42, tata cara pengucapan, dan adanya jalur dari sebuah qirā’āt tersebut yang meliputi idgᾱ�m (memasukkan suatu huruf hijaiyyah kepada huruf yang lain) dan iẓ�hᾱ�r (memisahkan bacaan huruf dari huruf lain tanpa saktah), tafkhῑ�m (membaca tebal suatu huruf) dan tarqῑ�q (membaca tipis suatu huruf), imālah (mencondongkan 41
Definisi yang dipaparkan oleh Mữsᾱ Syᾱhῑn Lᾱhῑn terbagi menjadi dua bentuk kata, yakni qirā’ah (قراءة) dalam bentuk kata tunggal dan qirā’āt (قراءات) dalam bentuk kata jama’. Istilah qirā’ah diasosiasikan sebagai suatu mazhab resmi yang telah dipatenkan oleh suatu imam dalam pembacaan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber atas riwayat-riwayat yang bisa dipertanggungjawabkan. Seperti halnya dalam bidang Fiqh, seorang imam memiliki konstruksi bangunan sendiri dalam beribadah atas hasil ijtihadnya terhadap al-Qur’ᾱn dan al-Ḥadῑṡ, qirā’ah di sinipun sebagai konstruksi bangunan yang telah dibangun oleh seorang imam yang memang memilki kredibiltas atas hasil ijtihadnya terrhadap riwayat-riwayat yang diterimanya. Sedangkan istilah qirā’āt diasosiasikan sebagai sebuah perbedaan bacaan serta cara pengucapan terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga posisi qirā’āt sebagai hasil dari sebuah konstruksi bangunan yang dibangun oleh seorang imam dalam sebuah mazhab yang dinamakan qirā’ah. Dalam bahasa lain bisa dikatakan bahwa qirā’ah merupakan dasar-dasar atau pakem-pakem atau kaedah-kaedah dalam membaca ayat-ayat al-Qur’an yang sangat statis yang sudah dipatenkan oleh seorang imam qirā’ah. Sedangkan qirā’āt merupakan praktek atas sebuah kaedah dan dasar dalam membaca ayat-ayat al-Qur’an yang nantinya yang sangat dinamis dan kondisional sehingga menimbukan perbedaan-perbedaan dalam segi dialek dan cara pengucapan serta pelafalan dalam membaca al-Qur’an. Lihat Mữsᾱ Syᾱhῑn Lᾱhῑn, al-Laālῑ al-Ḥasan fῑ ‘Ulūm al-Qur’ān (Kairo : Dār al-Syurūq, 2002), hlm.85.
42 Lahjah berasal dari kata - - لهجة- لهجا يلهج yang bermakna gemar dan sangat cinta لهجterhadap sesuatu sehingga seseorang menetapkan sesuatru itu atau selalu melaksanakan sesuatu itu. Istilah lahjah ini kemudian diadopsi dalam ilmu bahasa untuk menyatakan dialek karena umumnya seseorang sangat gemar untuk mengungkapkan sesuatu dengan bahasa tutur atau perangkat komunikasi yang khusus dimiliki oleh setiap orang atau sebuah komunitas dan umumnya mereka bangga dengan dialek-dialek yang mereka miliki. Secara istilah bahasa lahjat merupakan bunyi ataupun nada yang dihasilkan oleh ujung-ujung lisan manusia dalam bercakap-cakap yang satu sama lain memiliki perbedaan yang mencolok yang didasarkan kepada aspek lingkungan dalam sebuah masyarakat. Lihat Ibnu Manẓữr, Lisᾱn al-‘Arab, Maktabah Syamilah versi 2.11., Murtaẓᾱ al-Zᾱbidῑ, Tᾱj al-‘Urữs, Maktabah Syamilah versi 2.11..
19
bacaan alif ke yᾱ�’ sehingga seolah-olah dibaca diantara bacaan fatḥ�ah dan kasrah) dan isybᾱ�’ (sempurnanaya hukum suatu bacaan dari batas minimalnya), mᾱ�d (memanjangkan suara huruf) dan qaṣ�r (memendekkan bacaan suatu huruf), tasydῑ�d (membaca suatu huruf dengan menggandakannya), takhfīf (membaca huruf kurang dari batas maksimalnya atau setengahnya) dan yang lainnya.43
Definisi di atas kemudian dikuatkan oleh definisi yang diungkap oleh al-
Zarqᾱ�nῑ� (w. 1367):44
بالقرأن النطقق فى غيره به مخالفا القراء ائمة من إمام اليه يذهب مذهب القراءةالحروف نطق فى المخالفة هذه كانت سواء عنه الطرق و الرواية اتفاق مع الكـــريم
هيئاتها نطق فى أم
Artinya: Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurrᾱ�’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an dengan
kesesuaian riwayat dan ṭ�uruq darinya, baik perbedaan tersebut dalam pengucapan
huruf-huruf atau pengucapan bentuknya.
Istilah riwayat dan ṭ�uruq inilah yang menjadi mata rantai tersebarnya
qirā’āt dari imam qirā’āt dari generasi ke generasi. Riwayat adalah bacaan yang
disandarkan kepada salah seorang perawi dari para rawi qurrᾱ�’. Sedangkan ṭ�uruq
adalah bacaan yang disandarkan kepada penukil dari pewari qurrᾱ�’ atau dapat
dikatakan ṭ�uruq merupakan bacaan yang diambil dari rawi yang dia
mengambilnya dari imam qurrᾱ�’.45
43
‘Alῑ Muḥammad al-Dabᾱ’, Al-Iḍᾱh fī Uṣữl al-Qirā’ah, pdf, hlm. 10-20.
44 Al-Zarqᾱnῑ, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Kairo : Dār al-Kitāb al-‘Arabῑ, 2006), hlm. 336.
45
‘Abd al-Qayyữm bin ‘Abd al-Ghafữr al-Sanadῑ, Ṣafaḥāt fī ‘Ulūm al-Qirā’āt (al-Su’ữdiyyah: Dᾱr al-Basyar al-Islᾱmiyyah, 2001), hlm. 17. Lihat al-Syᾱṭibῑ, Naẓm Ḥirz al-Amᾱnῑ, Maktabah Syamilah, versi 2.11., hlm.11.
20
Kedua definisi di atas mengutarakan bahwa qirā’āt merupakan sebuah
metode yang dipakai oleh imam qirā’āt untuk mengucapkan atau lebih khususnya
membaca lafadz-lafadz al-Qur’an yang satu sama lain berbeda sesuai dengan
riwayat masing-masing atau bisa dikatakan bahwa istilah qirā’āt menurut definisi
di atas bersifat metodologis praksis.
Berbeda dengan hal di atas, dalam Laṭ�āif al-Isyārᾱ�t fῑ� Funūn al-Qirā’āt,
Syihᾱ�b al-Dīn al-Qasṭ�alᾱ�ni (w. 923) mengungkapkan dengan bahasa lain:46
واإلعراب اللغة فى واختالفهم الله لكتاب الناقلين اتقان منه يعرف علم القراءةحقيقة من وغيرذلك واإليصال والحذف واإلســـكان والتحريك واإلثبات والحذف
فى واختالفهم اتفاقهم منه يعرف علم يقال أو الســــماع حيث من واإلبدال النطقالنقل حيث من والوصل والفصل واإلثبات والحذف واإلعراب اللغة
Artinya: Qirā’āt merupakan suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan penukilan (periwayatan) mengenai kitab Allah (al-Qur’an), baik dalam bahasa dan i’rᾱ�b, hażf (pembuangan huruf) dan iṣ�bᾱ�t (penetapan huruf) taḥ�rῑ�k (pemberian tanda harakat) dan iskᾱ�n (pemberian tanda sukun), hażf (memutuskan satu lafadz dengan lafadz lain) dan iṣ�ᾱ�l (menyambungkan satu lafadz dengan lafadz lain) serta selain hal tersebut berupa bentuk pengucapan dan ibdᾱ�l (penggantian huruf dengan huruf lain) selanjutnya kemudian berupa cara al-simā’.47 Atau dikatakan bahwa qirā’āt adalah suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qirā’āt tentang cara pengucapan lafadz-lafadz dari al-Qur’an, baik yang menyangkut aspek kebahasaan; i’rᾱ�b, hażf, iṣ�bᾱ�t, faṣ�l, waṣ�l, ibdᾱ�l, yang diperoleh dengan cara periwayatan.
46
Al-Qasṭalᾱni, Laṭāif al-Isyārᾱt fī Funūn al-Qirā’āt (Kairo: Lajnah Iḥyᾱ’ al-Turᾱṡ, 1972), hlm 170.
47
Dalam istilah qirā’āt, al-simā’ merupakan metode yang digunakan oleh seseorang yang belajar al-Qur’an untuk mendapatkan bacaan langsung dari muqri’ (seseorang yang mengetahui tentang ilmu qirā’āt dan memiliki legitimasi untuk mengamalkan qirā’āt tersebut) lewat mendengarkan bacaannya sehingga bacaan tersebut memang benar-benar didapatkan dari muqri’. Lihat Abữ Syᾱmah, Ibrᾱz al-Ma’ānῑ, Maktabah Syamilah, versi 2.11., hlm 12.
21
Dalam kitab Aṣ�ar al-Qirā’āt al-Qur’āniyyah fī Fahm al-Lughawiyyi,
dinyatakan bahwa:48
وجه كل عزو مع واإلختالفات القرأنية بالكلمات األداء كيفية به يعرف علملناقله
Artinya: Ilmu yang mempelajari tentang tata cara penyampaian kata-kata al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya yang disandarkan kepada orang-orang yang menukilkan.
Dalam aspek penyampaian kata-kata al-Qur’an, dikenal juga sebuah
disiplin ilmu yang bernama “tajwid”. Istilah tajwid menunjuk kepada salah satu
kajian dari ulūm al-Qur’ān yang membahas lebih spesifik tentang tata cara
penyampaian dan pelafalan hurur-huruf dari ayat-ayat al-Qur’an. Tajwid memilki
kaidah-kaidah tersendiri yang harus dipahami karena memang setiap huruf
mempunyai hubungan dengan huruf sebelumnya dan sesudahnya dalam tata cara
pengucapan oleh lisan manusia.
Mannᾱ�’ al-Qaṭ�ṭ�ᾱ�n dalam Mabāhiṣ� fī ‘Ulūm al-Qur’ān menyatakan
bahwa tajwid:49
به النطق وتلطف وأصله مخرجه إلى الحروف ورد وترتيبها حقوقها الحروف إعطاء
تكلف وال إفراط وال تعسف وال إسراف من هيئة كمال على
Artinya: Memberikan kepada huruf hak-haknya dan urutannya, mengembalikan huruf kepada makhrajnya dan asalnya, serta menghaluskan pengucapannya secara sempurna tanpa berlebih-lebihan, tergesa-gesa dan dipaksa.
48
Muḥammad Mas’ữd ’Alῑ Ḥasan ‘Ῑsᾱ, Aṡar al-Qirā’āt al-Qur’āniyyah fī Fahm al-Lughawiyyi (Kairo : Dār al-Salām, 2009), pdf. hlm. 15.
49
Mannᾱ’ al-Qaṭṭᾱn, Mabāhiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān (t.tp : Mansyūrāt al-‘Aṣr al-Ḥadῑṡ, t.th.), hlm. 188.
22
Qirā’āt dan tajwid memiliki perbedaan hanya dalam teknisnya saja.
Qirā’āt mengkaji bagaimana cara pengucapan lafaẓ�-lafaẓ� al-Qur’an berkenaan
dengan substansi lafaẓ� atau kata maupun dialek kebahasaan. Sedangkan tajwid
merupakan upaya untuk melafadzkan huruf-huruf dalam al-Qur’an sesuai dengan
makhraj dan sifatnya dalam rangka memperindah bacaan-bacaan al-Qur’an.50
Dengan demikian ilmu qirā’āt berkenaan dengan lafadz sedangkan ilmu tajwid
berkaitan dengan pengucapan huruf al-Qur’an secara tertib.51
Namun apabila tajwid dikaji ulang dari aspek fungsionalnya, maka qirā’āt
tetap memerlukan tajwid dalam rangka untuk menghindari kesalahan dalam
pelafalan huruf. Qirā’āt tanpa tajwid akan menimbulkan kesalahan dalam
pembacaan. Kesalahan yang terjadi dalam membaca al-Qur’an selanjutya berefek
kepada cedera lafaẓ�.52
50
Azyumardi Azra (ed.), Sejarah & ‘Ulum al-Qur’an (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 99.
51 Muḥammad bin ‘Alawῑ al-Mᾱliki al-Ḥasani, Mutiara Ilmu-llmu al-Qur’an: “Intisari kitab al-Itqān fῑ ‘Ulūm al-Qur’ān”. terj., (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 50.52
Muḥammad bin ‘Alawῑ al-Mᾱliki al-Ḥasani, Mutiara Ilmu-llmu al-Qur’an: “Intisari kitab al-Itqān fῑ ‘Ulūm al-Qur’ān”. terj., (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 54.
23
Adapun cedera dalam pelafalan ayat-ayat al-Qur’an terbagi menjadi dua:
a. Jaliy (jelas); Kesalahan dalam bacaan yang menimbulkan cedera pada
lafadz secara terang-terangan. Hal tersebut dapat diketahui secara umum
oleh para pembaca al-Qur’an seperti kesalahan dalam i’rᾱ�b atau ibdᾱ�l dan sebagainya.53
b. Khafiy (samar); Kesalahan dalam bacaan yang menimbulkan cedera pada
lafadz yang hanya dapat diketahui oleh ulama yang ahli dalam qirā’āt dan
para pengajar al-Qur’an yang ‘ālim yang cara membacanya diterima
langsung dari mulut para ulama ahli qirā’āt (musyᾱ�fahah) lalu kemudian
dihafalkan dengan teliti disertai dengan keterangan-keterangan tentang
kesalahan bacaan tersebut.54
53
Kesalahan pelafalan yang jelas atau cedera jaliy ini umumnya dilakukan oleh para pemula (orang awam) dalam membaca al-Qur’an yang umunya mereka belum memiliki ilmu dalam membaca al-Qur’an dan masih belum teliti dikarenakan masih beratnya mereka dalam membaca al-Qur’an . Paling sering terjadi kesalahan yang jelas atau cedera jali ini adalah masalah harakat ayat atau i’rᾱb al-Qur’an.
54
Manna’ al-Qattan, Mabāhiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān (t.tp : Mansyūrāt al-‘Asr al-Hadis, t.th.), hlm. 188. Muḥammad bin ‘Alawῑ al-Mᾱliki al-Ḥasani, Mutiara Ilmu-llmu al-Qur’an: “Intisari kitab al-Itqān fῑ ‘Ulūm al-Qur’ān”. terj., (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 54.
24
Al-Zarkasyῑ� dalam al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān menyatakan:55
تخفيف من وكيفيتها الحروف فى المذكـــور الوحى ألفاظ اختالف القراءاتوغيرها وتشديد
Artinya: Qirā’āt merupakan perbedaan lafaẓ�-lafaẓ� wahyu yang telah disebutkan (dalam al-Qur’an) yang berkaitan dengan huruf-huruf dan cara pelafalan huruf-huruf tersebut seperti takhfīf, tasydῑ�d dan lainnya.
Dalam pemaparan al-Zarkasyῑ� dan al-Qasṭ�alᾱ�nῑ� serta didukung oleh
Muḥ�ammad Mas’ữd ‘Alῑ� dalam Ᾱ�ṣ�ᾱ�r al-Qirā’āt al-Qur’āniyyah fī Fahm al-
Lughawiyyi, bahwa qirā’āt tidak memerlukan riwayat maupun ṭ�uruq. Qirā’āt
yang ada dalam pandangan mereka hanya menitikberatkan kepada perbedaan-
perbedaan dalam melafalkan al-Qur’an sehingga dapat mencakup seluruh varian
qirā’āt yang ada, seperti mutawātirah, masyhūrah, dan syᾱ�żżah.56
Selanjutnya‘Abd al-Fattᾱ�ḥ� al-Qᾱ�ḍ�ῑ� (w. 1403) mendefinisikan qirā’āt
sebagai:57
مع واختالفا اتفاقا أدائها وطريق القرأنية بالكلمة النطق كيفية به يعرف علملناقله وجه كل عزو
Artinya : Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan kata-kata al-Qur’an dan cara penyampaiannya, baik itu yang sudah disepakati ataupun yang masih diperselisihkan dengan menyandarkan masing-masing perbedaan kepada penukilnya.
55
Al-Zarkasyῑ, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Kairo : Maktabah Dār al-Turᾱṡ, 1999), juz 1, hlm. 318.
56 Nabῑl bin Muḥammad Ibrᾱhῑm, ‘Ilm al-Qirā’āt; Nasy’atuh, Aṭwaruhu, Asaruhu fī al-‘Ulūm al-Syar’iyyah (Riyadh: Maktabah al-Taubah, 2000), hlm. 27.
57
‘Abd al-Fattᾱḥ al-Qᾱḍῑ, al-Budūr al-Ẓᾱhirah fī al-Qirā’āt al-‘Asyr al-Mutawātirah (Beirut : Dār al-Kutub al-‘Arabi, 1981), hlm. 7.
25
Para pengkaji qirā’āt umumnya salah kaprah dengan istilah kalimah al-
Qur’ān. Sebagian dari mereka memaknainya dengan kalimat-kalimat yang dalam
al-Qur’an. Padahal sebetulnya tidak demikian. Adapun yang dimaksud dengan
istilah kalimah di sini adalah sebuah kata. Hal inilah yang selanjutnya melandasi
ẓ�bahwa perbedaan qirā’āt dalam al-Qur’an ada pada kata atau lafa di dalam al-
Qur’an.58
Dari definisi yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa qirā’āt
merupakan sebuah cabang ilmu dalam kajian ulūm al-Qur’ān yang digunakan
untuk mengetahui dan mempelajari cara pembacaan lafaẓ�-lafaẓ� al-Qur’an yang
telah disepakati maupun yang masih dalam perselisihan dengan tetap memiliki
sandaran kepada orang yang menukilnya. Sandaran inilah yang dimaksud dalam
ilmu qirā’āt sebagai riwayat dan ṭ�uruq yang telah dijelaskan sebelumnya. Adanya
sandaran pula mengindikasikan perlu adanya jalur penukilan riwayat qirā’āt
sampai kepada Nabi Muhammad S.A.W. sebagai otoritas pertama sehingga
qirā’āt tersebut bisa dinilai sebagai qirā’āt yang legal dan dapat
dipertanggungjawabkan nantinya.59
58
Istlah kalimat dalam bahasa Arab menunjukkan makna kata dalam bahasa Indonesia, sebagaimana telah diketahui kalimat isim dalam bahasa Arab berarti kata benda dalam bahasa Indonesia. Sedangkan istilah kalimat dalam bahasa Indonesia mengacu kepada makna jumlah dalam bahasa Arab, seperti contoh jumlah ismiyyah berarti kalimat yang diawali dengan kata benda. Lihat Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: 2008, hlm. 237. Lihat juga Ibnu Manẓữr, Lisᾱn al-‘Arab, Maktabah Syamilah, versi.2.11, hlm. 176.
59
Mữsᾱ Syᾱhῑn Lᾱhῑn, al-Laāli al-Ḥisᾱn fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Kairo: Dār al-Syurūq, 2002), hlm. 91.
26
Pandangan yang diungkapkan dalam definisi di atas hanya menghendaki
qirā’āt yang jalur periwayatannya sampai kepada Rasulullah S.A.W. karena
memang lafaẓ�-lafaẓ� yang diucapkan tersebut bukan sembarang lafaẓ� melainkan
lafaẓ�-lafaẓ� khusus yang disabdakan oleh Allah S.W.T kepada Rasulullah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa diantara sekian varian qira’at yang dapat
dipegangi adalah qirā’āt mutawātirah dan qirā’āt masyhữrah yang notabenenya
kedua qirā’āt tersebut mempunyai jalur periwayatan sampai kepada Rasulullah
S.A.W. yang menandai akan otentitas dan orisinalitas qirā’āt tersebut.60
Pemaparan-pemaparan mengenai qirā’āt di atas bermuara pada satu
kesimpulan bahwa qirā’āt merupakan sebuah kajian ‘ulūm al-Qur’ān tentang tata
cara pengujaran, pelafalan, dan pengucapan serta pembacaan terhadap ayat-ayat
al-Qur’an yang telah disepakati ataupun berbeda baik secara teoritis maupun
praksis yang bersinggungan dengan kata dalam al-Qur’an beserta hal-hal yang
terkait dalam kata seperti i’rᾱ�b, hażf, iṣ�bᾱ�t, iskᾱ�n, takhfῑ�f, tasydῑ�d, talyῑ�n dan
sebagainya disertai dengan jalur riwayat dan ṭ�uruq yang sampai kepada Nabi
Muhammad S.A.W. seabagai bukti legalitas dan pertanggungjawaban terhadap
qirā’āt tersebut.
60
Varian qirā’āt apabila ditinjau dari aspek validitas jalurnya sampai Nabi Muhammad S.A.W. terbagi menjadi enam, qirā’āt mutawātirah, qirā’āt masyhūrah, qirā’āt ahad, qirā’āt syażżah, qirā’āt mauḍu’ah, serta qirā’āt yang menyerupai hadis mudraj. Lihat Abu ‘Amr al-Dani, al-Taisir fī Qirā’āt al-Sab’ah (Lebanon : Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah) hlm. 83; Mữsᾱ Syᾱhῑn Lᾱhῑn, al-Laᾱlῑ al-Ḥisan fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Kairo: Dār al-Syurūq, 2002), hlm. 97.
27
Qirā’āt tidak bisa dilepaskan dari al-Qur’an itu sendiri. Namun di sini
masih juga diperdebatkan apakah qirā’āt masuk dalam hakekat al-Qur’an ataukah
diantara qirā’āt dan al-Qur’an ada sebuah dimensi yang memisahkan keduanya
sehingga keduanya merupakan entitas yang berbeda yang memiliki perbedaan
yang cukup signifikan.
Mengutip pendapat al-Zarkasyῑ� dalam al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān
mengungkapkan bahwa:61
. . والبيان لإلعجاز ل المنز\ هوالوحى فالقرآن \راتان متغي حقيقتان والقراءات القرآن إنوتشديد تخفيف من وكيفيتها الحروف فى المذكـــور الوحى ألفاظ اختالف القراءات
وغيرها
Artinya: al-Qur’an dan qirā’āt merupakan dua substansi yang berbeda. Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan sebagai mukjizat dan penjelas. Sedangkan qirā’āt adalah perbedaan lafaẓ�-lafaẓ� al-Qur’an , baik itu menyangkut hururf-hururfnya maupun cara pengucapannya seperti takhfῑ�f, tasydῑ�d dan lainnya.
Mayoritas ulama juga bersepakat bahwa antara al-Qur’an dan qirā’āt
bukan satu hakekat akan tetapi keduanya berbeda. Namun al-Qur’an tanpa qirā’āt
hanyalah teks bisu yang tidak bisa bersuara sendiri. Oleh sebab itu dibutuhkan
adanya qirā’āt untuk menyuara al-Qur’an lewat lisan manusia. 62
61
Al-Zarkasyῑ, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Kairo : Maktabah Dār al-Turaṡ, 1999), juz 1, hlm. 318.62
Beberapa ulama yang berpandangan bahwa qirā’āttak ubahnya sebagai wasilah atau alat untuk menyuarakan teks al-Qur’an. Sebagian ulama juga menambahkan bahwa posisi qirā’āt adalah sebagai penyambung antara dimensi ilahi al-Qur’an dengan dimensi insani manusia. Telah diketahui bahwa awal pertama al-Qur’an diturunkan adalah pada sebuah peradaban oral bukan peradaban tulis. Apabila peradaban tulis membutuhkan adanya alat tulis untuk mengembangkan peradaban yang tersimpan dalam sebuah karya tulisan, maka peradaban oralpun membutuhkan alat oral berupa lisan manusia untuk mengembangkan peradaban oral yang tersimpan dalam file memori manusia. Pemahaman ini yang penulis rangkum dari beberapa pandangan para ulama mengenai hakekat al-Qur’an dan qirā’āt, diantaranya al-Zarkasyῑ dalam al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Syihᾱb al-Dīn al-Qasṭalᾱni dalam Laṭāif al-Isyārāt, dan Aḥmad bin Muḥammad al-Banᾱ’ al-Dimyᾱṭῑ dalam Ittiḥᾱf Fuḍalᾱ’ al-Basyar bi al-Qirā’āt al-Arba’ah‘Asyr.
28
Sedangkan pendapat yang lain menyangkal hal tersebut dengan
berpandangan bahwa al-Qur’an dan qirā’āt dua hal yang hakekatnya adalah satu
melihat bahwa kata al-Qur’an berupa maṣ�dar yang merupakan satu sinonimitas
dengan kata qirā’āt. Didukung kembali dengan hadis yang menyatakan bahwa
Allah memerintahkan kepada umat Muhammad untuk membaca al-Qur’an dengan
sab’atu aḥ�ruf.63 Inilah dasar terhadap pandangan yang menyatakan bahwa al-
Qur’an dan qirā’āt merupakan wahyu dari Allah S.W.T.64
Qirā’āt adalah pelafalan manusia terhadap kalam Tuhan. Hal tersebut
menunjukkan al-Qur’an tidak bisa lepas dari qirā’āt karena ia dibaca oleh
manusia yang bervariasi bentuk lisan sehingga berbeda pula dialek dan bahasanya.
63
Pandangan tersebut didukung dengan adanya hadis Nabi Muhammad S.A.W.
أضـــــاة عند كان وسلم عليه الله صلى النبي إن ققال كعب بن أبى عن ليلى أبى ابن عن مجاهد عنالله أسأل فقال حرف على القرأن أمتك تقرأ ان يأمرك الله إن فقال جبريل فاتاه قال غفار بنيعلى القرأن أمتك تقرأ ان يأمرك الله إن فقال الثانية اتاه ثم ذلك تطيق ال أمتى وإن ومغفرته معافاتهالله إن فقال الثالثة جــــاءه ثم ذلك تطيق ال أمتى وإن ومغفرته معافاته الله أسأل فقال حرفين
تطيق ال أمتى وإن ومغفرته معافاته الله أسأل فقال حرف أ ثالثة على القرأن أمتك تقرأ ان يأمركحرف فايما حرف أ سبعة على القرأن أمتك تقرأ ان يأمرك الله إن فقال الرابعة جــــاءه ثم ذلكأصابوا فقد عليه قرؤوا
Artinya: Dari Mujᾱhid, dari Ibn Abῑ Lailᾱ, dari Ubay bin Ka’b, maka dia berkata: Sesungguhnya Nabi S.A.W. berada pada anak sungai Bani Ghifar. Maka Nabi didatangi oleh Jibril seraya berkata: Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf. Maka Nabi berkata: Aku minta perlindungan dan ampunan Allah. Dan sesungguhnya umatku tidak sanggup akan hal itu. Kemudian Jibril mendatangi Nabi untuk kedua kalinya seraya berkata: Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf. Maka Nabi berkata: Aku minta perlindungan dan ampunan Allah. Dan sesungguhnya umatku tidak sanggup akan hal itu. Kemudian Jibril mendatangi Nabi untuk ketiga kalinya seraya berkata: Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf. Maka Nabi berkata: Aku minta perlindungan dan ampunan Allah. Dan sesungguhnya umatku tidak sanggup akan hal itu. Kemudian Jibril mendatangi Nabi untuk keempat kalinya seraya berkata: Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf. Maka mana saja huruf yang dibaca oleh umatmu maka itulah yang benar. Lihat Al-Jam’u Bain al-Ṣaḥῑḥain al-Bukhᾱrῑ wa Muslim, bab Afrᾱd Muslim, Maktabah Syamilah, versi 2.11., juz I, hlm. 253.
64 Sᾱlim al-Muḥaiṣin, al-Qaul al-Sadῑd fī al-Difᾱ’ Sya’bᾱn ‘an Qirā’āt al-Qur’ān al-Majīd, (Kairo: Dār Nuhῑs, 2002), hlm. 7.
29
Namun tidak benar apabila dikatakan bahwa sumber qirā’āt adalah adanya dialek
yang berbeda dikalangan orang Arab tanpa sanad yang menghubungkan dengan
Nabi Muhammad S.A.W. (tauqῑ�fῑ�).65 Orang Arab saling berdebat yang sebagian
dari mereka inkar terhadap yang lain sampai mengkafirkan satu sama lain dalam
masalah qirā’āt. Akan tetapi para ulama berpendapat bahwa orang yang inkar
terhadap qirā’āt tidaklah dihukumi kafir ataupun fasik.66
Al-Qur’an dan qirā’āt bisa dianalogkan seperti dua sisi mata uang,
keduanya tidak mutlak berbeda serta juga tidak mutlak sama, namun berkaitan
satu sama lain. Sehingga apabila dikatakan al-Qur’an dan qirā’āt itu mutlak
berbeda, maka statement seperti itu menafikan qirā’āt mutawātirah sebagai
bagian dari al-Qur’an yang menurut jumhur ulama bahwasannya al-Qur’an itu
adalah qirā’āt yang mutawātirah, bukanlah qirā’āt yang syᾱ�żżah. Dan apabila
dikatakan juga bahwa al-Qur’an dan qirā’āt adalah sama, maka apa semua qirā’āt
yang ada, terutama qirā’āt yang syᾱ�żżah juga termasuk al-Qur’an padahal qirā’āt
syᾱ�żżah notabenenya bukanlah al-Qur’an. Dikuatkan lagi dengan sanggahan
bahwa perbedaan qirā’āt itu tidak dalam semua lafaẓ� al-Qur’an akan tetapi hanya
beberapa saja.67
65
Ṭᾱhᾱ Ḥusain, al-Adab al-Jᾱhilῑ, (Kairo : Dᾱr Nuhῑs : 1999), hlm. 46.66
‘Abd al-‘Alῑ Sᾱlim Makram, Qaḍᾱyᾱ Qur’āniyyah fi al-Ḍᾱu al-Dirāsah al-Lugāwiyyah, (ttp : Muassasah al-Risalᾱh, tth), hlm. 37.
67 ‘Abd al-‘Alῑ Sᾱlim Makram, Qaḍᾱyᾱ Qur’āniyyah fi al-Ḍᾱu al-Dirāsah al-Lugāwiyyah, (ttp : Muassasah al-Risalᾱh, tth), hlm. 37.; Sya’bᾱn Muᾱammad Ismᾱ’ῑl, al-Qirā’āt Aḥkāmuhā wa Maṣdaruhā, pdf. hlm 25.
30
Hakekat al-Qur’an merupakan teks yang tersusun dari lafaẓ�-lafaẓ� yang
berkaitan dengan Allah sebagai pewahyu Nabi Muhammad S.A.W. Sedang
qirā’āt merupakan lafaẓ� yang menghasilkan suara yang kaitannya dengan qari’.
Namun tidak semua qirā’āt itu dibaca dan dilegalkan sebagai media penyuara teks
al-Qur’an. Ada beberapa kriteria yang harus terpenuhi agar qirā’āt dapat diterima
dan digunakan sebagai alat yang sah untuk membaca ayat-ayat al-Qur’an yang
akan dijelaskan pada sub bab berikutnya. 68
Kaitannya dengan sumber qirā’āt, ada dua pandangan tentang hal ini.
Pertama, qirā’āt merupakan tauqīfῑ� atau wahyu sehingga qirā’āt merupakan
bagian dari al-Qur’an. Kedua, qirā’āt bukanlah tauqīfῑ� atau wahyu. 69
Ada beberapa kelompok yang mendukug bahwa qirā’āt bukan merupakan
tauqīfῑ� atau wahyu. Kelompok pertama menyatakan bahwa sumber qirā’āt adalah
bahasa atau lahjah Arab yang beraneka ragam. Kelompok kedua berpendapat
bahwa qirā’āt bersumber dari ijtihad para imam qurrᾱ�’. Kelompok ketiga
menganggap bahwa sumber qirā’āt adalah rasm uṣ�mani yang tanpa titik dan
tanpa harakat.70
68
Ada tiga kriteria yang harus dipenuhi sehingga qirā’āt tersebut legal dan bisa digolongkan kepada al-Qur’an: 1. Qirā’āt tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Arab. 2. Qirā’āttersebut tidak menyalahi rasm utsmani. 3. Qirā’āttersebut bersumber dari Nabi Muhammad S.A.W. berdasarkan medium transmisi (isnᾱd) yang mutawātir. Dari kriteria-kriteria di atas, dapat disimpulkan bahwa qirā’āt-qirā’āt yang tidak memenuhi kriteria tersebut maka tidak sah untuk dibaca sebagai media untuk melafalkan dan mengucapkan ayat-ayat al-Qur’an atau dengan bahasa lain tidak diakui ke-qur’an-annya. Lihat Hasanuddin AF, Anatomi al-Qur’an.........., hlm. 116-117.
69 Nabῑl bin Muḥammad Ibrᾱhῑm Ᾱlu Ismᾱ’ῑl, Ilm al- Qirā’at; Nasy’atuh Aṭwᾱruh, hlm. 50.70
31
Secara garis besar, qira’at diwujudkan dalam dua bentuk. Pertama, qira’at
yang memang yang menyatu dengan al-Qur’an yang notabenenya qira’at adalah
wadah bagi ayat-ayat al-Qur’an dari dimensi ketuhanan menjadi dimensi
kemanusian. Maka hakekat qirā’āt adalah al-Qur’an yang merupakan wahyu dari
Allah S.W.T. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.. Namun ketika
kemudiaan al-Qur’an dibaca oleh lisan manusia dengan berbagai macam karakter
bacaan yang timbul dari berbagai macam dialek serta lahjah disertai pula ijtihad
dari para ahli qurrᾱ�’ yang bersifat ra’yi, maka apakah masih bisa qirā’āt
dikatakan hakekat dari al-Qur’an dan merupakan wahyu dari Allah. Inilah bentuk
kedua dari qirā’āt yang entitasnya berbeda dengan al-Qur’an. Jadi tidak ada
pemutlakan tentang qirā’āt mengenai diskursus posisi qirā’āt terhadap al-Qur’an.
Tinggal dari perspektif apa qirā’āt dikaji.71
Sementara istilah mutawātir berasal lafadz ( (متواتر - - تواترا- يتواتر تواتر
terambil dari kataمتواترا ‘ yang bermakna ""وتر مع dخر األ إثر الواحد األشياء تتابع
Ada tiga pendapat yang menyatakan tentang sumber asli qirā’āt. Pertama, qirā’āt berasal dari lahjat Arab yang beraneka ragam. Pendapat ini merupakan pandangan al-Zarkasyῑ dan al-Zarqᾱnῑ. Kedua,berpendapat bahwa qirā’āt bersumber dari ijtihad para imam qurra’. Pendapat ini merupakan pandangan Ibnu Miqsam dan Qasim al-Khui. Sedangkan pendapat yang ketiga, menyatakan bahwa sumber qirā’āt adalah rasm uṣmani yang tanpa titik dan tanpa harakat. Umunya pendapat yang ketiga ini dilontarkan oleh para orientalis yang mengkaji al-Qur’an, terutama Ignaz Goldziher. Lihat Ṭᾱhᾱ Ḥusain, al-Adab al-Jᾱhliῑ, hlm. 50.71
Qirā’āt yang menjadi wadah transmisi al-Qur’an yang merupakan wahyu hanya ada satu dari sekian macam qirā’āt yang ada. Hal itulah yang menyatu dengan al-Qur’an sehingga qirā’āt dalam hal ini tidak ada bedanya dengan al-Qur’an karena keduanya sama-sama berdimensi ilahiyyah. Namun kemudian seiring dengan perjalanan dimensi al-Qur’an dari dimensi ilahiyyah menuju insaniyyah, dibutuhkan adanya wadah transmisi al-Qur’an yang bersifat insaniyyah berupa qirā’āt yang notabenenya berasal dari manusia (pembacaan Nabi dan para shahabat terhadap al-Qur’an) sehingga dalam hal ini entitas qirā’āt dengan al-Qur’an adalah berbeda. Sehingga tidak dapat disamakan antara keduanya. Qirā’āt dalam hal ini bersifat insani sedangkan al-Qur’an tetap berdimensi ilahi. Lihat Muhammad Mas’ữd ’Alῑ Ḥasan ‘Ῑsᾱ, Ᾱṡᾱr al-Qirā’ātal-Qur’āniyyah fī Fahm al-Lughawiyyi, (Kairo: Dār al-Salām, 2009), hlm.16.
32
االحــــق و الســــابق بين yang berarti berturut-turutnya beberapa hal yang ’فترة
salah satunya memiliki pengaruh kepada hal yang lain dengan adanya selang
waktu antara sesuatu yang satu dengan yang sesuatu yang mengikutinya. Hal ini
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an:
وجعلناهم بعضا بعضهم فأتبعنا كذبوه رسولها أمة جــاء كلما تترا رسلنا أرســـلنا ثميؤمنون ال لقوم فبعدا 72أحاديث
Artinya: Kemudian Kami utus rasul-rasul Kami berturut-turut. Setiap kali seorang rasul datang kepada suatu umat, maka mereka mendustakannya. Maka Kami silih gantikan sebagian mereka dengan sebagian yang lain (dalam kebinasaan). Dan Kami jadikan mereka sebagai bahan cerita (bagi manusia). Maka binasalah bagi kaum yang tidak beriman.73
Ibn Manẓ�ữr menegaskan bahwa istilah mutawātir ditujukan kepada
beberapa hal yang turut-turut dan bergilir akan tetapi satu sama lain memiliki
tarākhῑ� atau jenjang waktu atau celah atau mungkin berupa kekosongan keadaan
yang seakan menghambat sesuatu yang datang setelahnya untuk menyusul
sehingga hal-hal tersebut datang silih berganti dengan ketenangan dan tidak
terburu-buru. Faedah penggunaan istilah mutawātir ini sama halnya dengan
faedah penggunaan konjungsi ‘ \ثـــم ‘ dalam ilmu bahasa.74
72
Q.S. Al-Mu’minun: 44 73
Terjemah Kementrian Agama Replublik Indonesia P.T. Sygma Examedia Arkanleema.74
Dalam Lisᾱn al-‘Arab lebih detai disebutkan bahwa ada tiga istilah penting untuk menyebutkan kondisi bergilirnya suatu hal: 1. Mutawātirah: berturut-turutnya dan bergilirnya sesuatu yang satu sama lain yang datang di lain waktu serta memiliki jenjang waktu yang tidak terlalu cepat sehingga hal-hal tersebut datang silih berganti dengan ketenangan dan tidak terburu-buru. 2. Mutadārakah : berturut-turutnya dan bergilirnya sesuatu yang satu sama lain yang datang di lain waktu dan memiliki jeda waktu yang cepat sehingga seolah-olah satu sama lain datang dengan terburu-buru dan seakan datang dalam waktu yang singkat. 3. Mutatāba’ah: berturut-turutnya dan bergilirnya sesuatu yang satu sama lain datang begitu cepat sehingga seolah-olah datang dalam satu waktu dan tidak memiliki jeda waktu antara satu hal dengan hal yang lain . Lihat Ibn Manẓữr, Lisᾱn al-‘Arab, Maktabah Syamilah, verrsi 2.11., jilid 5, hlm. 273.
33
Umumnya istilah mutawātirah digunakan untuk menyatakan kondisi
sebuah khabar, berita, ataupun riwayat yang dilihat dari aspek subjek pembawa
khabar, berita, ataupun riwayat tersebut. Istilah mutawātir kemudian bergeser
menjadi istilah untuk sebuah berita yang bergerak dan bergilir dari satu orang
sebagai sumber berita menuju orang yang lain yang ada di sekelilingnya sehingga
menyebar kepada banyak orang sampai suatu batas kuantitas yang mereka semua
tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kedustaan akan berita itu. 75
Mutawātir apabila ditinjau dari aspek subjek penukilnya terbagi menjadi
dua, yaitu mutawātir ‘am serta mutawātir khas. Mutawātir ‘ᾱ�m merupakan berita
yang dinukilkan oleh banyak orang yang mereka tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta yang kesemuanya berbeda derajat (tingkat keilmuan) dan bidang
spesifikasinya. Sedangkan mutawātir khas adalah berita yang dinukilkan oleh
banyak orang yang mereka tidak mungkin untuk mendustakan berita itu dan
mereka semua berada dalam satu bidang spesifikasi dan setingkat keilmuannya. 76
75
Disebutkan dalam Tᾱj al-‘Urữs bahwa ketidak-mungkinan untuk berdusta atas sebuah berita itu adalah hal yang bersifat ‘ᾱdῑ (adat) bukan bersifat syara’. Hukum adat ini sangat bersinergi dengan lingkungan sosial di mana subjek pembawa dan penukil berita itu berada. Sehingga justifikasi dusta atau tidaknya sebuah berita dikembalikan kepada adat sebuah lingkungan sosial. Jadi seandainya ada tiga orang penerima berita (diistilahkan dengan penukil khabar) dalam suatu lingkungan dan tiga orang itu sudah dianggap cukup untuk menyatakan kebenaran sebuah berita ditambah tidak adanya peluang untuk berdusta didasarkan pada kredibitas penukil khabar tersebut, maka berita tersebut sudah masuk dalam katagori mutawātir. Namun apabila dalam suatu lingkungan mengharuskan kebenaran suatu berita dengan standar kuantitas penukil yang lebih banyak, seperti 10 orang, 15 orang, atau lebih dari itu, maka berita yang dinukil oleh tiga orang tersebut dianggap tidak mutawātir walaupun kesemuanya memiliki kredibilitas dan kualitas yang baik. Beberapa ulama menyatakan batas kuantitas mutawātirahdimulai dari tiga orang ke atas. Sebagian yang lain menyatakan dimulai dari lima orang ke atas. Lihat Muhammad Murtaḍᾱ al-Ḥusaini al-Zᾱbidi, Tᾱj al-‘Urữs min Jawāhir al-Qāmữs, Maktabah Syamilah, versi.2.11, juz 1, hlm. 10.76
Al-Wansyirῑ, al-Mi’yᾱr al-I’rᾱb, pdf, juz 1, hlm. 415.
34
Kemudian istilah mutawātir ini ditarik masuk dalam Ilm al-Qirā’āt
sehingga menjadi sebuah istilah yang berdiri sendiri, yakni ‘Qirā’āt Mutawātirah
yang memiliki arti setiap pembacaan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
dinukilkan sejumlah golongan yang mustafῑ�ḍ� (penyebar qirā’āt) yang dapat
mencegah asumsi yang menyatakan bahwa mereka bersepakat untuk berdusta dan
menyelewengkan mulai dari trasmisi awal hingga yang terakhir sampai
tersambung kepada Rasulullah S.A.W. dengan talᾱ�qῑ�, musyᾱ�fahah, dan simā’.77
Ibn Mujᾱ�hid dalam al-Sab’ah fī al-Qirā’āt menyatakan bahwa mutawātir
menunjukkan kepada sesuatu yang diterima secara talᾱ�qῑ� dari tabaqat ke tabaqat
dan telah masyhur di kalangan umat sehingga banyak sekali orang yang menukil
dan menisbatkan kepadanya.78
Dalam pemaparan di atas terdapat sebuah syarat bahwa qirā’āt adanya sisi
ke-masyhur-an yang menjadi salah satu faktor pendukung untuk bisa dikatakan
77
Ada tiga istilah penting dalam pembelajaran al-Qur’an: 1. Talᾱqi berasal dari kata – لقى - – تلقى لقاء yang يلقى berrmakna pertemuan. Adapun menurut istilah talᾱqi merupakan
pertermuan antara murid dan guru al-Qur’an secara langsung untuk mempelajari bacaan al-Qur’an baik secara teoritis dan praktis. 2. Simā’berasal dari kata – – سماع يسمع yang bermakna سمعpenginderaan telinga untuk mendengar. Sedangkan menurut istilah simā’ merupakan peran aktif seorang murid untuk mendengar dan mendapat bacaan al-Qur’an dari seorang guru al-Qur’an untuk selanjutnya mencontoh bacaan tersebut sesuai dengan bagaimana seorang guru tersebut membaca. 3. Musyāfahah berasal dari kata , – مشافهة – يشافه الفم أى شافه اإلنسان من الشفتان طبق ,الواحدة yang bermakna mengatupkan dua bibir manusia menjadi sebuah kesatuan mulut yang satu. Dalam ‘Ulūm al-Qur’ān, musyāfahahmerupakan pembacaan seorang murid kepada guru al-Qur’an untuk dikoreksi sang guru mengenai ketetapan bacaan yang dicontohkan sang guru sebelumnya. Aḥmad al-Bili, Ikhtilāf bain al-Qirā’āt, Maktabah Syamilah, versi 2.11., hlm. 70. Lihat juga al-Zarkasyῑ, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Maktabah Syamilah, versi 2.11., jilid 1, hlm. 318. Lihat juga Ibn Manẓữr, Lisᾱn al-‘Arab, Makatabah Syamilah, versi 2.11.78
Ibn Mujᾱhid, al-Sab’ah fī al-Qirā’āt, Maktabah Syamilah, versi. 2.11, hlm. 20.
35
mutawātir. Kemasyhuran inilah yang mengindikasikan bahwa adanya kesepakatan
banyak orang untuk tidak membantah qirā’āt yang sudah menyebar sehingga
benar-benar diyakini dan diamalkan.
Kemutawatiran inilah yang menjadi unsur yang sangat dasar dalam qira’at
dikarenakan al-Qur’an merupakan kitab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad secara dinukilkan dari generasi ke generasi secara mutawātir. Inilah
alasan mengapa muṣ�ḥ�af ‘Ubai bin Ka’b dan Ibn Mas’ữd tidak dapat diterima
karena dinukilkan secara aḥ�ad.79
Konsep ke-mutawātir-an riwayat secara umum dirumuskan dalam
beberapa kriteria:
1. Dari aspek kuantitas, pembawa riwayat tersebut terbilang banyak. Jumhur
ulama menetapkan standar ke-mutawātir-an riwayat mulai dari 4, 10, 40,
70, atau sampai 313 orang bahkan lebih.80
2. Dari aspek kualitas, adanya keyakinan bahwa para pembawa itu tidak
mungkin bersepakat untuk berdusta.
3. Adanya kesamaan jumlah sanad pada tiap-tiap generasinya.
79
‘Abd al-Wahῑd bin Muḥammad al-Mᾱlikῑ, al-Durr al-Naṡῑr wa al-‘Ażb al-Namῑr (Lebanon: Dār al-Kutob al-Ilmiyyah, t.th), hlm 10.
80 Dalam istilah ‘Ulūm al-Hadis pembawa riwayat ini dikenal dengan nama rawi (periwayat). Sedangkan dalam istilah Ilm al-Qirā’āt dikenal dengan nama nāqil (penukil atau pemindah riwayat). Lihat Mahmữd Ṭaḥḥᾱn, Taisῑr Muṣṭalᾱh al-Ḥadῑṡ (Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, 1998), hlm. 19.
36
4. Hal yang dinukilkan merupakan hal yang bisa ditangkap panca indera
bukan merupakan hal yang abstrak, yang kebenarannya tidak dapat
diterima oleh akal. 81
Secara umum empat kriteria inilah yang menjadi patokan untuk menilai
setiap berita, khabar, ataupun riwayat digolongkan ke dalam mutawātir.
Sebagaimana qirā’āt juga harus menetapi kriteria-kriteria tersebut sehingga dapat
digolongkan ke dalam qirā’āt yang mutawātirah. Namun ada beberapa kriteria
lain di samping kriteria di atas yang akan dijelaskan pada sub bab selanjutnya.
B. Historisitas Qirā’āt Mutawātirah
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang selalu relevan sepanjang zaman
(ṣ�ᾱ�lih li kulli zamᾱ�n) yang dapat dilihat dari petunjuk yang telah diberikan oleh
al-Qur’an dalam segala lini kehidupan.82 Sehingga usaha -usaha untuk mengkaji
al-Qur’an muncul dan berkembang sesuai denga kebutuhan dan tantangan zaman,
sebab al-Qur’an bukan suatu hal yang tiba-tiba ada dan tidaklah diturunkan dalam
suatu ruang yang hampa sejarah dan kosong budaya akan tetapi al-Qur’an
diturunkan secara bertahap dalam ruang sosio-historis selama kurang lebih 22
tahun. Hal tersebut kemudian berimbas kepada historisitas qirā’āt.83
81
Ibn al-Jazarῑ, Munjid al-Muqᾱrin wa Mursyid al-Ṭᾱlibῑn (Beirut: Dār al-Kotub al-‘Ilmiyyah, t.th), hlm. 15. Secara substansial, katagori mutawātir dalam ilmu qirā’āt sama dengan katagori mutawātir dalam ilmu Hadis. Lihat Mahmữd Ṭaḥḥᾱn, Taisῑr Muṣṭalᾱh al-Ḥadῑṡ (Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, 1998), hlm. 19.
82
Taufik Adnan Amal, Tafsir Kontekstual al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1992), hlm. 15. 83
Quraisy Syihᾱb, Membumikan al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1999), hlm. 23.
37
Mengawali tentang historisitas qirā’āt, ada dua pandangan yang
berkembang di masa awal Islam. Pendapat pertama menyatakan bahwa qirā’āt
mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an, dengan
argumen bahwa sebagian besar surat-surat di al-Qur’an adalah berupa surat
makiyyah yang di dalamnya terdapat permasalahan qirā’āt sebagaimana yang
terdapat dalam surat-surat madaniyyah. Fakta seperti ini menunjukkan bahwa
qira’at sudah mulai turun sejak di Makkah.
Pandangan kedua mengatakan bahwa qirā’āt mulai diturunkan di Madinah
sesudah peristiwa hijrah yang para waktu itu orang-orang sudah banyak masuk
Islam dan satu sama lain berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Atas
kondisi ini Allah S.W.T. memberikan keluwesan kepada umatnya untuk membaca
al-Qur’an dalam tujuh huruf. 84
Kedua pendapat yang berbeda satu sama lain ini didasari atas perbedaan
sudut pandang yang digunakan dalam memahami qirā’āt. Pandangan pertama
yang menyatakan qirā’āt sudah turun di Makkah karena memang pandangan
tersebut didasarkan kepada makna qirā’āt secara umum, yakni tidak hanya pada
perbedaan bacaan saja, melainkan juga kepada kesamaan dalam bacaan al-Qur’an.
84
Sya’bᾱn Muḥammad Ismᾱ’ῑl, Mengenal Qirā’āt al-Qur’ān, terj. Agil Husin al-Munawar dkk, (Semarang: Dina Utama, 1993), hlm 61; Sᾱlim Muḥaiin, “Fī Rihāb li al-Qur’ān al-Karīm (Kairo: al-Kullliyat al-Azhariyyah, t.th), hlm 223.
38
Sedangkan pendapat yang kedua yang memaparkan qirā’āt mulai turun di
Madinah, merujuk pada pemaknaan qirā’āt dalam arti yang sempit, yang
cakupannya hanya pada aspek perbedaan-perbedaan bacaan al-Qur’an saja.
Perbedaan ini tidak lepas dari fakta sosial masyarakat Madinah yang majemuk.
1. Masa Nabi
Nabi Muhammad S.A.W. hidup di bangsa Arab yang pada waktu telah
terjadi perbedaan-perbedaan dialek antara kabilah satu dengan kabilah yang lain.
Perbedaan lahjah atau ungkapan oral bahasa Arab ini memang timbul dari fitrah
mereka sendiri dalam ragam suara, huruf-huruf, bahkan irama khusus (intonasi)
dalam berdialek. 85
Keadaan-keadaan tersebut yang mengiringi pengajaran al-Qur’an di masa
Nabi. Nabi Muhammad yang notabenenya sudah menjadi utusan Allah S.W.T.
dan mendapatkan wahyu berupa ayat-ayat al-Qur’an kemudian membacakan ayat
tersebut kepada para shahabatnya. Mereka menerima bacaan itu, membacanya
sesuai dengan yang dicontohkan Nabi Muhammad S.A.W., menghapalkannya,
dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. 86
85
Menurut Abữ Ḥᾱtim al-Sijistᾱni, dialek-dialek tersebut adalah Quraisy, Ḥuẓail, Tamῑm, Azᾱd, Rabῑ’ah, Hawᾱzin, dan Sa’d bin Abi Bakar. Mannᾱ’ al-Qaṭṭan, Mabāhiṡ Fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Maktabah Syamilah, versi 2.11.,hlm. 158.
86
Mannᾱ’ al-Qaṭṭan, Mabāhiṡ Fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Maktabah Syamilah, versi 2.11.,hlm. 158.
39
Pembelajaran al-Qur’an pada masa Nabi tidak lepas dari talᾱ�qῑ� para
sahabat kepada Rasulullah dan masih terfokus kepada Rasulullah sebagai sumber
qirā’āt tersebut. Dari talᾱ�qῑ� inilah kemudian muncul para huffᾱ�ẓ� dan qurra’ al-
Qur’an dari kalangan shahabat itu sendiri yang untuk selanjutnya mereka menjadi
pengganti Nabi atau rujukan kedua setelah Nabi dalam hal ihwal al-Qur’an bagi
sahabat lain yang tidak sempat belajar al-Qur’an langsung kepada Nabi. Diantara
para huffᾱ�ẓ� al-Qur’an, dari golongan Muhᾱ�jirῑ�n adalah ‘Abdullᾱ�h bin Mas’ữd
dan Sᾱ�lim bin Ma’qal. Dan dari golongan Anṣ�ᾱ�r adalah Mu’ᾱ�ẓ� bin Jabal, Ubay
bin Ka’b, Zaid bin Ṡ�ᾱ�bit, Abữ Zaid bin al-Sakan, dan Abữ al-Dardᾱ�’.87
87
Ketujuh shahabat yang menjadi huffadz al-Qur’an di atas sesuai dengan kumpulan riwayat yang ṣaḥῑḥ yang dipaparkan oleh Imam Bukhᾱrῑ:
القرأن : : خذوا يقول سلم و عليه الله صلى الله رسول سمعت قال العاّص\ بن عمرو بن عبدالله عن . هما : المهاجرين من إثنان أربعة وهؤالء كعب بن أبى و معاذ و سالم و مسعود بن الله عبد أربعة من
. , أبى و معاذ هما االنصار من وإثنان سالم و مسعود بن عبدالله : : ؟ وسلم عليه الله صلى رسواللله عهد على القرأن جمع من مالك بن أنس سألت قال قتادة عن . ؟ زيد أبو من قلت زيد أبو و ثابت بن زيد و جبل بن ومعاذ كعب بن أبى االنصار من كلهم أربعة فققال
. عمومتي احد قالو : : الدرداء أبو أربعة غير القرأن يجمع لم و وسلم عليه الله صلى النبي مات قال مالك بن أنس عن
. زيد أبو و ثابت بن زيد و جبل بن معاذ
Mengenai biografi Abữ Zaid, dia adalah Qais bin al-Sakan yang masih kerabat dengan Rasulullah, yakni merupakan salah satu paman Rasulullah dari Bani ‘Adῑ bin al-Najjᾱr. Qais bin al-Sakan lebih terkenal dengan nama kunyah Abữ Zaid bin al-Sakan. Dia meninggal dan tidak meninggalkan ‘Aqiban. Lihat al-Iṣᾱbah fi Tamyῑz al-Ṣahᾱbah. pdf, jilid II, hlm. 20..
Ibnu Hajar al-‘Asqalani menambahkan Sa’ῑd bin ‘Ubaid sebagai sahabat yang hafiẓ al-Qur’an. Dalam beberapa riwayat juga disebutkan bahwa Sa’ῑd bin ‘Ubaid adalah seorang al-Qᾱri’. Lihat Imam Bukhari, Shahih Bukhari, pdf, nomer 635-655. Lihat juga al-Iṣᾱbah fi Tamyῑz al-Ṣahᾱbah, pdf, jilid II, hlm. 28.
40
Adapun para shahabat yang masuk sebagai qurrᾱ�’ al-Qur’an, dari
golongan Muhajirin adalah Abữ Bakar, Umar bin Khaṭ�ṭ�ᾱ�b, Uṣ�mᾱ�n bin ‘Affᾱ�n,
‘Alῑ� bin Abῑ� Ṭ�ᾱ�lib, Ṭ�alḥ�ah bin ‘Ubᾱ�dah, Sa’d bin Abῑ� Waqqᾱ�ṣ�, ‘Abdullᾱ�h
bin Mas’ữd, Huẓ�aifah bin al-Yaman, Sᾱ�lim, Abữ Hurairah, ‘Abdullᾱ�h al-Saib,
golongan ‘Abᾱ�dilah88, ‘Ᾱ�isyah, Hafṣ�ah, dan Ummu Salᾱ�mah. Sedangkan dari
golongan Anṣ�ᾱ�r adalah ‘Ubᾱ�dah bin al-Ṡ�ᾱ�mit, Mu’ᾱ�ẓ� Abữ Ḥ�alῑ�mah, Majma’
bin Jᾱ�riyah, Faḍ�ᾱ�lah bin ‘Ubaid, dan Maslamah bin Mukhallad.89
Para sahabat begitu semangatnya belajar al-Qur’an baik dari aspek bacaan
maupun maknanya. Lebih-lebih dari segi bacaan al-Qur’an, mereka
memperhatikan langsung bagaimana mulut Rasulullah S.A.W. mengucapkan
huruf demi huruf dari al-Qur’an untuk selanjutnya para shahabat melafalkan
sebagaimana yang dicontohkan rasulullah dengan perbedaan lughat mereka satu
sama lain dan perbedaan lughat mereka dengan lughat Nabi Muhammad S.A.W..90
88
‘Abᾱdilᾱh merupakan kumpulan empat shahabat yang terkenal sebagai orang yang ahli dalam berfatwa, yaitu ‘Abdullᾱh bin ‘Abbᾱs, ‘Abdullᾱh bin ‘Amr bin al-‘Ᾱṣ, ‘Abdullᾱh bin ‘Umar, dan ‘Abdullᾱh bin al-Zubair. Manna’ al-Qattan, Mabāhiṡ Fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Maktabah Syamilah, versi 2.11.,hlm. 158.
89 Dalam pembelajaran al-Qur’an di masa Nabi terdapat dua istilah penting, yakni Huffᾱẓ dan Qurrᾱ’. Kedua istilah ini bermuara pada satu substansi, yakni orang yang belajar al-Qur’an akan tetapi keduanya memeiliki perbedaan yang signifikan. Huffᾱẓ yang merupakan bentuk plural dari hᾱfiẓ memiliki seorang yang belajar al-Qur’an untuk kemudian dihapalkan. Sedangkan Qurra’ yang merupakan bentuk plural dari qᾱri’ adalah seorang yang belajar al-Qur’an dengan berbagai macam bacaannya untuk kemudian dipelajari lebih dalam dan lebih detail. Atau bisa dikatakan dalam bahasa lain, huffᾱẓ adalah orang yang lebih fokus kepada praksis al-Qur’an berupa menghapalkannya untuk selanjutkan diamalkan, sedangkan qurrᾱ’ adalah orang yang fokus kepada teoritis bacaan al-Qur’an dengan berbagai macam varian bacaan yang didasarkan kepada Rasulullah S.A.W. Lihat al-Bili, Ikhtilāf bain al-Qirā’āt, pdf. hlm. 43.
90 Mữsᾱ Syᾱhῑn Lᾱhῑn, Al-Laālῑ,.hlm. 87
41
Melihat realitas perbedaan dialek di antara para shahabat, Rasulullah
memiliki inisiatif untuk membacakan al-Qur’an sesuai dengan dialek mereka yang
berbeda-beda dengan tujuan untuk mempermudah setiap kabilah di tanah ‘Arab
dalam membaca al-Qur’an. 91
Jumlah dialek bahasa wahyu semula diturunkan sebanyak tujuh dialek
sebagaimana yang tertera dalam hadis, dengan tujuan agar qabilah-qabilah Arab
dapat memahaminya. Dalam hal ini, tujuh dialek bahasa Arab tersebut sangat
penting artinya bagi qabilah-qabilah ‘Arab karena memang al-Qur’an diturunkan
untuk memenuhi tuntutan masing-masing komunitas qabilah tersebut yang
kenyataannya situasi dan kondisi yang melingkupi setiap qabilah tersebut berbeda
satu sama lain. Maka strategi Nabi Muhammad S.A.W. dalam berdakwah dengan
melontarkan hadis yang berisi bahwa al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf
dirasa tepat. Dengan tujuh bahasa ini dimaksudkan agar maksud Tuhan dalam
setiap ayatnya dapat ditangkap oleh masyarakat Arab, khususnya qabilah-qabilah
Arab waktu itu yang notabenenya menjadi umat dakwah yang pertama kali bagi
Nabi Muhammad S.A.W. yang antara satu komunitas dengan komunitas lain
memiliki perbedaan situasi dan kondisi. 92
91
Ibn Mujᾱhid, al-Sab’ah fī al-Qirā’āt, hlm. 692
Al-Syῑtibi, al-Muwāfaqāt, pdf, jilid II, hlm. 56; Khalil Abdul Karim, Negara Madinah, hlm. 342-344; Aksin Wijaya , Studi Baru dalam ‘Ulum al-Qur’an, hlm, 171.
42
Inisiatif yang diambil Nabi ini cukup beralasan melihat keadaan sosio-
linguistik pada saat itu tidak mungkin dipaksakan untuk membaca al-Qur’an
sesuai teksnya. Inilah yang merupakan salah satu strategi Nabi dalam berdakwah
untuk mengakomodir kesulitan-kesulitan umat Islam saat itu. Disamping itu
adanya perbedaan pembacaan al-Qur’an pada masa Nabi ini merupakan salah satu
rukhsah (keringanan) yang diberikan oleh Allah S.W.T..93
Berangkat dari sinilah, para shahabat mendapatkan bacaan yang berbeda-
beda langsung dari Nabi. Bahkan perbedaan bacaan tersebut diajarkan oleh Nabi
bukan dalam satu majlis yang sama melainkan pada beberapa majlis yang berbeda
dengan menyesuaikan tingkat intelektualitas para shahabat yang diajar oleh Nabi.
Kondisi inilah yang menyebabkan adanya perselisihan antara ‘Umar bin Khattab
dengan Hisyam bin Hakim mengenai perberdaan bacaan dalam surat al-Furqān. 94
93
Posisi kelonggaran pembacaan al-Qur’an pada masa Nabi dengan melihat realitas masyarakat pada waktu itu merupakan salah satu rukhsah (keringanan) dari Allah S.W.T. yang memang sebelumnya diminta langsung oleh Nabi Muhammad S.A.W. lewat Jibril. Hal ini tertera dalam hadis:
كان وسلم عليه الله صلى النبــــي إن قال كعب بن أبى عن ليلى أبى ابن عن مجاهد عنفققال حرف على القرأن أمتك تقرأ أن يأمرك الله إن فقال جبريل فأتاه قال غفار بني أضاء عند
أمتك تقرأ أن يأمرك الله إن فقال الثانية أتاه ثم ذلك تطـــيق ال أمتى وإن ومغفرته معافاته الله أسألفقال الثالثة جاءه ثم ذلك تطـــيق ال أمتى وإن ومغفرته معافاته الله أسأل فقال حرفين على القرأن
ال أمتى وإن ومغفرته معافاته الله أسأل فقال أحرف ثالثة على القرأن أمتك تقرأ أن يأمرك الله إنفأيما أحرف سبعة على القرأن أمتك تقرأ أن يأمرك الله إن فقال الرابعة جــــاءه ثم ذلك تطـــيقأصابوا فقد عليه قرؤوا حرف
Lihat al-Jam’u bain al-Ṣaḥῑḥain, Bab Afrᾱd Muslim, Maktabah Syamilah, versi 2.11., Juz 1, hlm. 253.
94
حديث عن الزبير بن عروة أخبرنــــى قال الزهرى عن شعيب أخبرنا اليمان ابو حدثنايقول الخطــــاب بن عمر سمعا أنهم القارى عبد بن الرحمن وعبد الخزيمة بن سمعتالمســــور
لقراءته , . فاستمعت سلم و عليه الله صلى الله رسول حياة فى الفرققان سورة يقرأ حكيم بن هشامفى , , اساوره فكدت سلم و عليه الله صلى الله رسول يقرئنيها لم كثيرة حروف على يقرؤها هو فاذا
أقرأنيها. , قال ؟ السورة هذه أقرأك من فقلت بردائي أو بردائه لببته ثم سلم حتى فانتظرته الصالةأقرأني . . وسلم غليه صلىالله الله رسول إن فوالله كذبت له قلت وسلم عليه الله صلى الله رسول
, , يا فقلت وسلم عليه الله صلى الله رسول إلى أقوده فانطلقت تقرؤها سمعتك التي السورة هذهسورة أقرئتني وأنت تقرئنيها لم حروف على الفرقان بسورة يقرأ هذا سمعت إني الله رسول
43
Model-model pembacaan al-Qur’an pada masa Nabi tidak hanya terbatas
pada tujuh, sebagaimana yang tertera pada hadis tersebut akan tetapi lebih banyak
lagi. Penyebutan tujuh untuk menyatakan model pembacaan al-Qur’an hanyalah
salah satu bentuk taksir (menyatakan banyak) sebagaimana apa yang telah
dipaparkan oleh al-Qᾱ�ḍ�ῑ� ‘Iyᾱ�ḍ�:95
األحــــاد فى الكثرة بها المراد وإنما حقيقتها على ليست الســــبعة أن إلى ذهب أنهالمئــــات فى للكثرة والسبعمائة العشرات فى للكثرة السبعين يطلق لما
Artinya: al-Qᾱ�ḍ�ῑ� ‘Iyᾱ�ḍ� berpendapat bahwa istilah ‘tujuh’ dalam hadis Nabi tersebut bukanlah merupakan makna bilangan tujuh yang sebenarnya. Namun sesungguhnya istilah ‘tujuh’ digunakan untuk menyatakan banyak dalam hitungan satuan. Sebagaimana digunakan istilah ‘tujuh puluh’ untuk menyatakan banyak dalam hitungan puluhan dan juga istilah ‘tujuh ratus’ untuk menyatakan banyak dalam hitungan ratusan. 96
. . التي , السورة هذه فقرأ هشام يا اقرأ عمر يا أرسله سلم و عليه الله صل\ى الله رسول فقال الفرقان . . عليه الله صلى الله رسول قال ثم أنزلت هكذا سلم و عليه الله صلى الله رسول قال يقرأها سمعته
, منه تيسر ما فاقرؤوا أحرف سبعة على أنزل القرأن هذا إن سلم .و
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abu al-Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu’aib dari al-Zuhri. Dia berkata: telah menceritakan kepadaku ‘Urwah bin al-Zubair dari hadisnya al-Miswar bin al-Khuzaimah dan Abd al-Rahman bin ‘Abd al-Qari bahwasanya keduanya mendengar ‘Umar bin Khattab berkata: ‘Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat al-Furqān. Banyak huruf yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah S.A.W. kepadaku sehingga hampir-hampir saja aku melabraknya. Kemudian aku tunggu Hisyam sampai selesai shalatnya. Begitu selesai aku tarik selendangnya dan aku bertanya; siapa yang membacakan surat itu kepadamu? Lalu Hisyam menjawab; Rasulullah S.A.W. yang telah membacakannya kepadaku. Lalu aku berkata kepadanya; Dusta kamu. Kemudian Hisyam menjawab; Demi Allah, Rasulullah S.A.W. telah mengajarkanku bacaan tadi. Lalu aku membawa Hisyam ke hadapan Rasulullah S.A.W. dan aku ceritakan kejadian tadi kepada beliau. Rasulullahpun berkata; lepaskan dia wahai ‘Umar. Bacalah surat tadi wahai Hisyam. Kemudian Hisyam membacanya seperti bacaan yang telah aku dengarkan tadi darinya. Maka Rasulullah S.A.W. berkata: bacalah wahai ‘umar. Lalu aku membaca surat tadi seperti yang telah RasululahS.A.W. ajarkan kepadaku di hadapannya. Maka RasulullahS.A.W. berkata: begitulah al-Qur’an diturunkan. Kemudian beliau melanjutkannya; Sesungguhnya al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu di antaranya. Lihat al-Bukhari, Ṣaḥῑḥ al-Bukhᾱrῑ, Maktabah Syamilah, versi 2.11, nomer 4653.
95Model-model pembacaan al-Qur’an pada masa Nabi tidak hanya terbatas pada tujuh, sebagaimana yang tertera pada hadis tersebut akan tetapi lebih banyak lagi. Hal ini terbukti dengan adanya pengumpulan yang dilakukan Abữ ‘Ubaid al-Qᾱsim bin Qᾱsim bin Salᾱm yang merupakan orang yang pertama kali mengumpulkan qirā’āt hingga mencapai 25 macam. Jalᾱl al-Dīn al-Suyữṭῑ, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, hlm. 75.
96
Hal ini merupakan kebiasaan bangsa Arab pada zaman jahiliyyah. Lihat al-Zᾱbidῑ, Tᾱj al-‘Urữsy, hlm. 317; al-Zarkasyῑ, Manāhil al-‘Irfān, jilid 1, hlm. 17.
44
Kemudian setelah Nabi mengajarkan ayat al-Qur’an secara oral dan
setelah para shahabat benar-benar menerimanya atau menghapalnya, baru
kemudian Nabi memerintahkan shahabatnya yang memiliki kapasitas dan
berkualitas dalam hal penulisan untuk menulis ayat al-Qur’an.97
Beberapa shahabat yang merupakan delegasi Rasulullah untuk menulis
ayat al-Qur’an berjumlah 40, yaitu Abữ Bakar, ‘Umar bin Khaṭ�ṭ�ᾱ�b, ‘Uṣ�mᾱ�n bin
‘Affᾱ�n,’ Alῑ� bin Abῑ� Ṭ�ᾱ�lib, dan Zaid bin Ṡ�ᾱ�bit, Mu’ᾱ�wiyyah, ‘Ubay bin Ka’b,
dan Khᾱ�lid bin al-Wᾱ�lid. Kesemua shahabat tersebut menulis ayat al-Qur’an
mendapatkan bimbingan langsung dari Rasulullah S.A.W.. 98
Para penulis wahyu yang selanjutnya diistilahkan dengan “kuttāb wahyu”
diperintahkan oleh Nabi Muhammad S.A.W. untuk menuliskan wahyu yang
diterimanya dan meletakkan urutannya sesuai dengan petunjuk Nabi berdasarkan
atas instruksi Allah lewat Malaikat Jibril dan dituliskan dalam media yang
bermacam-macam, antara lain batu, tulang, kulit binatang, prelepah kurma, dan
sebagainya yang kemudian disimpan di rumah Nabi dalam keadaan yang masih
terrpencar-pencar ayat-ayatnya serta belum dihimpun dalam satu himpunan utuh.
Disamping itu, masing-masing penulis wahyu secara personal membuat naskah
dari ayat-ayat al-Qur’an tersebut sebagai duplikat untuk konsumsi pribadi.99
97 Pada waktu itu media penulisan al-Qur’an berada pada likhfah (sisi bebatuan), jurar (batu yang tajam seperti pisau), ‘ᾱsib (pelepah kurma yang terlebih dahulu dikelupas kulit luar), karnafah (ujung pelepah kurma yang sangat keras), riq’ah (kertas dari kulit binatang atau dedaunan), qaṭab (kayu yang diletakkan pada punggung unta untuk dinaiki atau dikenal dengan pelana), kataf (tulang unta atau kambing yang telah kering). Lihat Abdul Zulfidar Akaha, al-Qur’an , hlm. 129; Mannᾱ’ al-Qaṭṭᾱn, Mabāhiṡ, hlm. 123.
98
Al-Zarkasyi, Manāhil al-‘Irfān, hlm. 145; Blachere, Introduction au Coran, pdf, hlm. 79.99
45
Naskah teks-teks al-Qur’an yang telah tertulis pada beberapa media
tersebut yang telah disimpan di dalam rumah Nabi lalu diperkuat dengan naskah-
naskah al-Qur’an yang dibuat oleh para penulis wahyu untuk pribadi masing-
masing serta ditunjang dengan hapalan sejumlah shahabat yang merupakan
huffadz al-Qur’an yang tidak sedikit jumlahnya sehingga semuanya itu dapat
menjamin al-Qur’an tetap terpelihara otentisitas dan orisinalitasnya.
Apabila ditinjau dari realitas sosial masyarakat pada masa Nabi, tidak
mungkin semua shahabat belajar al-Qur’an langsung kepada rasulullah. Ada
sebagian shahabat yang belum sempat ber-talᾱ�qi kepada rasulullah bahkan
sampai beliau meninggal. Sehingga bagi para shahabat yang belum sempat belajar
langsung kepada rasulullah mereka belajar bacaan al-Qur’an kepada shahabat
yang telah belajar langsung kepada rasulullah yang memang diketahui dan
dilegalkan oleh rasulullah bahkan diperintahkan. Di samping itu, rasulullah juga
mengutus beberapa delegasi untuk mengajarkan al-Qur’an di daerah luar
Makkah.100
Pada tahap pembelajaran ṣ�ahabat kepada shahabat di zaman Nabi ini,
muncul peluang dari para ṣ�ahabat untuk mengembangkan qirā’āt yang mereka
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulum al-Qur’an, (Surabaya: Karya Abdi Utama),1997, hlm. 16.
100 Hal ini dapat dilihat pada kisah masuk Islam ‘Umar bin Khaṭṭᾱb yang awalnya mendengarkan bacaan al-Qur’an dari adiknya, Fᾱṭimah binti Khaṭṭᾱb sewaktu diajar oleh Khabbᾱb bin al-‘Arᾱt. Sedangkan yang dimaksud daerah luar Makkah adalah Madinah karena pada waktu itu Islam masih berada dalam wilayah Makkah dan Madinah belum menyebar ke daerah-daerah yang lain. Rasulullah mengutus beberapa shahabatnya untuk mengajar al-Qur’an di Madinah dalam dua gelombang. Gelombang pertama diutuslah Muṣ’ab bin al-‘Umair dan ‘Abdullah bin Umi Maktữm. Dan gelombang kedua diutuslah ‘Ammar dan Bilal bin Rabbah. ‘Abd al-Qayyữm bin ‘Abd al-Ghafữr al-Sanadῑ, Shafahāt fī ‘Ulūm al-Qirā’āt, hlm. 34.
46
terima dari rasulullah. Para ṣ�ahabat yang mengajarkan qirā’āt kepada ṣ�ahabat lain
disamping sesuai dengan apa yang diajarkan rasulullah sebelumnya juga diolah
dengan cara mereka dalam mengajar yang berasal dari ijtihad mereka melihat
tingkat intelektual para ṣ�ahabat yang jauh dari Rasulullah secara umum agak
kurang. Walaupun demikian mereka tetap memperhitungkan teks asli dan makna
yang diajarkan oleh nabi, sehingga bacaan yang dikembangkan ṣ�ahabat tersebut
tidak lepas dari koridor ayat tersebut.101
Secara substansial, para ṣ�ahabat sangat ketat dan berhati-hati dalam
mengajar al-Qur’an. Namun secara material, bacaan yang diajarkan para shahabat
tidak begitu ketat bahkan agak longgar. Kondisi seperti ini terus berkembang yang
menjadikan sebuah perbedaan bacaan hanya sebagai varian bacaan al-Qur’an
lambat laun pada masa setelah nabi wafat berubah menjadi perselisihan yang
sangat tajam satu sama lain sampai pada titik pembenaran mutlak suatu qirā’āt
yang diyakini dan pemurtadan pelaku qirā’āt yang dianggap salah. 102
2. Masa Ṡ�ahabat
Sepeninggal Nabi Muḥ�ammad S.A.W. secara aklamasi Abu Bakar
diangkat menjadi khalifah yang pertama. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar ini
101 ‘Alῑ al-Ṣᾱbữnῑ, al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, hlm. 230. ; Mữsᾱ Syᾱhῑn, Al-Laālῑ, hlm. 87.
102 Al-Bῑlῑ, al-Ikhtilāf bain al-Qirā’āt, hlm. 154.
47
terjadi banyak kekacauan oleh gerakan ahlu riddah, yaitu sebuah gerakan yang
ingin kembali kepada ajaran nenek moyang. Gerakan ini dipimpin oleh
Musailamah yang muncul karena anggapan bahwa membayar zakat adalah
kewajiban ketika Muḥ�ammad masih ada. Sepeninggal Muḥ�ammad, maka zakat
itu gugur dengan sendirinya. 103
Pendapat lain mengatakan bahwa gerakan ini muncul dikarenakan
keinginan suku-suku yang berada di wilayah Arab Tengah yang menjadi jalur
strategis untuk perdagangan yang memiliki produktifitas dagang yang tinggi dan
menjadi pasar utama untuk melepaskan diri dari kekuasaan Madinah sehingga
menjadi sebuah wilayah yang merdeka dan berdiri sendiri. Gerakan pemberontak
ini dikepalai oleh Bani Hanifah dengan misi menegakkan persemakmuran di
daerah Yamamah.104
Kondisi seperti inilah yang memaksa Abu Bakar untuk menyiapkan
pasukan guna memeranginya sehingga terjadilah peperangan sekitar tahun 12 H.
Dalam pertempuran tersebut banyak shahabat yang hapal al-Qur’an gugur dalam
medan peperangan. Menurut sebagian riwayat, bahwa sahabat yang hafal al-
Qur’an yang wafat mencapai 70 orang, bahkan riwayat yang lain menyatakan
sampai 500 orang. 105
103
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah....., hlm 147.104
M.A.Shaban, Sejarah Islam: Penafsiran Baru 600-750 (Jakarta: Rajawali Press, 1993), 27.105
Penelitian lebih lanjut menyatakan bahwa hanya ditemukan sejumlah kecil nama sahabat yang hapal al-Qur’an yang gugur saat itu. Tetapi cukup beralasan memang melihat adanya kecemasan akan gugurnya para huffaẓ tersebut menyebabkan hilangnya bagian-bagian dari al-Qur’an. Lihat Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah ...., hlm. 148.
48
Seiring dengan wafatnya shahabat yang hafal al-Qur’an, muncullah
kekhawatiran sahabat yang lain akan hilang dan musnahnya al-Qur’an, terutama
‘Umar bin Khattab. Umar mengusulkan kepada Abu Bakar, selaku khalifah waktu
itu, untuk mengumpulkan al-Qur’an dan menulisnya dalam satu mushaf.
Awalnya Abu Bakar menolak gagasan ‘Umar tersebut mengingat bahwa
rasulullah tidak pernah melakukan hal tersebut dan kekhawatiran Abu Bakar atas
tindakan yang tidak direstiu rasulullah. Namun akhirnya Abu Bakar menerima
usulan tersebut setelah menimbang tujuan dari apa yang diusulkan ‘Umar yakni
mengantisipasi memudarnya eksistensi keotentikan al-Qur’an yang tersimpan
dalam bentuk hapalan para ṣ�ahabat.106
Era kekhilafahan Abu Bakar inilah yang menjadi awal perjalanan
naturalisasi wahyu Tuhan, yakni proses pembukuan dari bahasa lisan (oral
language) ke dalam bahasa tulisan yang berwujud dan berbentuk. Dengan kata
lain ayat-ayat al-Qur’an yang awalnya berwujud abstrak kemudian
ditranformasikan bentuknya menjadi suatu yang kongkret. Perjalanan naturalisasi
wahyu ini mencapai puncaknya dan disempurnakan pada era kekhilafahan
Uṣ�mᾱ�n bin ‘Affᾱ�n sehingga menjadi suatu tulisan ayat al-Qur’an atau mushaf al-
Qur’an yang resmi. 107
106
Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.90.107
Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.91.
49
Menindak lanjuti gagasan ‘Umar tesebut, Abu Bakar mengumpulkan
sahabat yang kompeten dan memiliki kredibilitas terhadap al-Qur’an. Mereka
adalah Zaid bin Ṡ�ᾱ�bit, ‘Ubai bin Ka’b, ‘Abdullᾱ�h bin Mas’ữd, ‘Uṣ�mᾱ�n bin
‘Affᾱ�n, ‘Alῑ� bin Abῑ� Ṭ�ᾱ�lib, Ṭ�alḥ�ah, Ḥ�uẓ�aifah bin al-Yaman, Abữ Dardᾱ�’, ‘Abu Hurairah, dan Abữ Mữsᾱ� al-‘Asy’ari. Keseluruh sahabat ini dikumpulkan
dan membentuk sebuah tim yang dipimpin oleh Zaid bin Ṡ�ᾱ�bit. 108
Kemudian tim yang diketuai oleh Zaid bin Ṡ�abit tersebut menyuruh Bilal
untuk memberitahukan kepada penduduk Madinah guna mengumpulkan
penggalan tulisan yang di dalamnya terdapat tulisan ayat-ayat al-Qur’an. Tim ini
diberi mandat oleh Abu Bakar untuk menulis ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan
susunan yang dicontohkan oleh Nabi, baik dari aspek lafalnya, hurufnya, dan
bentuknya. 109
Tim yang bertugas untuk menghimpun al-Qur’an meiliki beberapa aturan
dan ketentuan. Pertama, harus berasal dari hapalan al-Qur’an shahabat dan pernah
ditulis pada zaman Nabi dan tidak di-mansukh-kan tilawahnya serta masih berlaku
setelah pemeriksaan terakhir. Kedua, tim tidak menerima dari seseorang mengenai
al-Qur’an sebelum disaksikan oleh dua orang saksi. Semua itu menunjukan bahwa 108
Keterpilihan Zaid bin Ṡᾱbit sebagai pimpinan tim memang layak daripada yang lain karena dia memang dianggap sebagai shahabat yang berkualitas dalam tulis menulis. Disamping itu Zaid bin Tsabit yang notabenenya pelaku sejarah turunnya wahyu dikarenakan dia adalah salah satu sekretaris Nabi sehingga memahami konteks dan kondisi turunnya wahyu juga termasuk dalam golongan huffaẓ al-Qur’an serta tingkat intelektualnya yang sangat bagus. Lihat Syauqῑ Ḍayῑf, Muqaddimah al-Sab’ah fī al-Qirā’ah, (Mesir : Dar al-ma’arif, 1972), hlm. 6; Mannᾱ’ al-Qaṭṭᾱn, Mabāhiṡ, hlm. 125 ; Salim al-Muhaisin, fī Rihāb al-Qur’ān..........hlm. 142.
109 Al- Bῑlῑ, Ikhtilāf bain al-Qirā’āt, hlm. 60.
50
tidak cukup hanya dengan teks (tulisan) saja, harus ada saksi yang menerima
langsung dari Nabi untuk menyatakan bahwa ayat tersebut benar-benar ayat al-
Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah S.A.W.. 110
Dari hal itulah, al-Qur’an dapat dihimpun dalam satu mushaf yang
disimpan oleh khalifah Abu Bakar sampai akhir hayatnya. Setelah Abu Bakar
meninggal dan jabatan khalifah digantikan oleh ‘Umar bin Khaṭ�ṭ�ᾱ�b atas saran
Abu Bakar, mushaf itupun berada di tangan ‘Umar. Baru sepeninggal ‘Umar,
mushaf tersebut disimpan oleh Hafsah binti ‘Umar.
Pada masa ‘Umar bin Khaṭ�ṭ�ᾱ�b, pergolakan tentang qirā’āt secara terang-
terangan mulai tumbuh dalam negeri. Suasana seperti itu makin diramaikan
dengan ekspansi Islam yang dilakukan oleh ‘Umar ke pelbagai daerah yang
umumnya bukan Arab. Hal ini juga diperparah dengan penisbatan qirā’āt tertentu
kepada shahabat yang mengamalkannya serta memiliki beberapa pengikut, seperti
qira’at Ibn Mas’ữd, qira’at ‘Ubay bin Ka’b, dan beberapa yang lainnya yang
seakan menjadi suatu kelompok qirā’āt yang berdiri sendiri dan bersaing satu
sama lain. Dari sini muncul pula diskursus tentang qirā’āt untuk menjustivikasi
mana yang fasih, dan mana yang dianggap lebih fasih. Keadaan seperti ini
berlangsung sampai meninggalnya ‘Umar bin Khaṭ�ṭ�ᾱ�b (w. 23 H).111
110
Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 95.111
Wawan Djunaidi, Sejarah Qirā’ātal-Qur’an Nusantara (Jakarta: Pustaka STAINU, 2007), hlm. 50.
51
Sepeninggal ‘Umar bin Khaṭ�ṭ�ᾱ�b, tampuk khalifah dilanjutkan oleh
‘Uṣ�mᾱ�n bin ‘Affᾱ�n yang notabenenya seseorang yang menekuni qirā’āt dan
beberapa shahabat yang lain, ‘Alῑ� bin Abῑ� Ṭ�ᾱ�lib, ‘Ubai bin Ka’b, Zaid bin
Ṡ�ᾱ�bit, ‘Abdullᾱ�h bin Mas’ữd, Abữ Dardᾱ�’, Abữ Mữsᾱ� Al-‘Asy’ari dan
sebagainya. Islam di masa ‘Uṣ�mᾱ�n bin ‘Affᾱ�n telah melakukan perluasan-
perluasan ke beberapa wilayah seperti Syam, Kufah, Baṣ�rah, dan beberapa kota
lainnya sehingga diantara mereka yang mempunyai kapasitas dalam qirā’āt tidak
lagi berdomisili di Madinah akan tetapi mereka pindah ke luar kota Madinah dan
menetap di sana serta menyebarkan dan mengajarkan al-Qur’an, terutama tentang
qirā’āt. 112
Masa ‘Uṣ�mᾱ�n ini merupakan masa transisi wacana sosial tentang varian
qirā’āt dari yang awalnya hanya sebatas fasih dan tidak fasih berubah menjadi
benar dan tidak benar serta saling menyalahkan satu sama lain bahkan sampai
mengkafirkan. Perbedaan qirā’āt semakin mencolok dan meluas, wilayah Kufah
mengikuti qirā’āt Ibn Mas’ữd, wilayah Syam meengikuti qirā’āt ‘Ubay, dan
selainnya mengikuti Abữ Mữsᾱ� al-Asy’ari. 113
Kondisi seperti itu mengalami puncaknya pada tahun 30 H, lima tahun
sebelum kekhilafahan ‘Uṣ�mᾱ�n bin ‘Affᾱ�n tumbang, yakni saat penaklukan
Azerbaijan dan Armenia yang dipimpin oleh Gubernur Syam, Ḥ�uẓ�aifah bin al-
112
Al- Bῑlῑ, Ikhtilāf bain al-Qirā’āt, hlm. 61.113
Al-Zarqᾱnῑ, Manāhil al-‘Irfān, juz 1, hlm. 207.
52
Yaman. 114 Sewaktu itu Ḥ�uẓ�aifah melihat banyak perbedaan dalam tata cara
membaca al-Qur’an yang disertai dengan pembenaran-pembenaran mutlak
terhadap versi qirā’āt yang mereka pegangi masing-masing adalah yang paling
benar dan paling baik. Hal tersebut juga didasari atas sifat mereka yang selalu
membanggakan qirā’āt yang mereka pegangi sehingga memicu pelecehan dan
penghinaan terhadap versi qirā’āt yang lain hingga sampai tahap menyalahkan
qirā’āt yang lain dan menganggap bahwa hanya qirā’āt-nya yang berasal dari
nabi dan yang paling sah untuk diamalkan. Inilah yang memicu satu sama lain
untuk saling mengkafirkan. 115
Masukan-masukan yang disampaikan Ḥ�uẓ�aifah bin al-Yaman tersebut
ditindak-lanjuti oleh ‘Uṣ�mᾱ�n bin ‘Affᾱ�n dengan mengundang para sahabat baik
dari golongan Muhajirin maupun dari golongan Anṣ�ᾱ�r untuk mencari solusi dari
permasalan tersebut. Akhirnya tercapailah suatu keputusan untuk menyalin
kembali mushaf yang ditulis pada masa Abữ Bakar menjadi beberapa mushaf
yang nantinya digunakan sebagai teks induk dalam membaca al-Qur’an. Salinan-
salinan mushaf tersebut kemudian dikirim ke berbagai kota untuk dijadikan
rujukan bagi kaum muslimin kota tersebut.116
114
Kisah selengkapnya sewaktu Huẓaifah bin al-Yaman datang kepada Usman. Waktu itu penduduk Syam bersama-sama dengan penduduk Irak yang sedang berperang menaklukan Armenia dan Azerbaijan. Tiba-tiba Huẓaifah merasa tercengang karena penyebabnya faktor perbedaan bacaan. Huzaifah berkata kepada Usman : Ya Amir al-Mu’minin ! Perhatikanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan masalah kitab sebagaimana perselisihan masalah kitab antara Yahudi dan Nasrani. Kemudian Utsman menyadari hal tersebut dan langsung bertindak untuk sekali lagi menghimpun al-Qur’an. Lihat Mannᾱ’ al-Qaṭṭᾱn, Mabāhiṡ, hlm. 128.
115
‘Alῑ al-Ṣᾱbữnῑ, al-Tibyān, hlm. 260, Lihat juga Mannᾱ’ al-Qaṭṭᾱn, Mabāhiṡ, hlm. 130116
Hasanuddin AF, Anatomi,.... .hlm. 56.
53
Demi terealisasinya misi tersebut, khalifah ‘Uṣ�mᾱ�n bin ‘Affᾱ�n membuat
sebuah tim untuk menyalin mushaf yang terdiri dari empat sahabat yang memang
menurutnya berkompeten dalam hal tersebut, yaitu Zaid bin Ṡ�ᾱ�bit, ‘Abdullᾱ�h
bin Zubair, Sa’ῑ�d bin ‘Ᾱ�ṣ�, dan ‘Abd al-Rahmᾱ�n bin al-Ḥ�ᾱ�riṣ�. 117
Sebagaimana penghimpunan di masa Abu Bakar, pada pengumpulan kali
ini memiliki beberapa aturan. Pertama, sesuai dengan mushaf induk yang telah
dihimpun pada masa Abu Bakar. Kedua, apabila terjadi perbedaan dalam al-
Qur’an maka ditulis dengan bahasa Quraisy.118Ketiga, larangan untuk tidak
menulis apapun di mushaf kecuali para shahabat telah memeriksanya dan
menyaksikan bahwa yang ditulis adalah benar-benar al-Qur’an. Keempat, sesuai
dengan pemeriksaan terakhir Nabi dan tidak dimansukh.119Kelima, apabila ayat-
ayat tersebut yang ditulis hanya memiliki satu bacaan, maka ditulis dengan satu 117
‘Alῑ al-Ṣᾱbữnῑ, al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, hlm. 60. Lihat juga al-Zarqani, Manāhil al-‘Irfān..., hlm. 257.
118 Mengenai otoritas bahasa Quraisy dalam penghimpunan ini, terlihat aspek politis Utsman yang notabenenya merupakan suku Quraisy. Namun sikap politis Utsman ini dilakukan sebagai solusi akan keadaan umat Islam yang sedang terpuruk. Di samping itu juga Nabi Muhammad S.A.W yang diturunkan al-Qur’an kepadanya juga berasal dari suku Quraisy. Hal tersebut terlihat ketika Zaid bin Ṡabit menemukan perbedaan penulisan antara kata ’التابوت‘ dengan kata .’التابوه Kata pertama digunakan oleh orang-orang Quraisy sedangkan Zaid yang bukan orang Quraisy menggunakan kata yang kedua. Masalah ini diketahui oleh Utsman dan kemudian Utsman memerintahkan untuk menulis kata yang pertama. Lihat Sᾱlim Muḥaiṣin, Tᾱrīkh al-Qur’ān al-Karīm, hlm. 146.
119 Pemeriksaan terhadap al-Qur’an (العرضة) dilakukan setiap tahun pada bulan Ramadhan oleh Malaikat Jibril terhadap bacaan Nabi. Dan pada tahun terakhir sebelum Nabi wafat, Malaikat Jibril melakukan pemeriksaan terakhir dua kali sehari selama bulan Ramadhan. Dan dari pemeriksaan tersebut terdapat ayat-ayat yang dimanshukh. Sesuai dengan adanya hadis:
الله عبد بن عبيدالله عن شهاب بن أخبرنا سعد بن إبراهيم حدثنا إسماعيل بن موسى حدثناوكان : بالخير الناس اجود وسلم عليه الله صلى النبي كان قال عنهما الله عباسرضى بن أن عتبة بن
فى ليلة كل فى يلقاه الســــالم عليه جبريل وكان جبريل يلقاه حين رمضــــأن فـــى يكون ما اجودالمرســـــلة الريح من بالخير اجود كان جبريل لقيه فاذا القرأن النبي يعرضعليه ينسلخ حتى رمضان
Lihat Sᾱlim Muḥaiṣin, Tᾱrīkh al-Qur’ān al-Karīm, hlm. 147.
54
model tulisan. Namun apabila ayat-ayat tersebut mermiliki beberapa ragam
qirā’āt yang tidak bisa diwakili dengan satu bentuk tulisan, maka semua ditulis
dalam sebuah mushaf seperti yang tercantum dalam mushaf Abu Bakar. Keenam,
ada kepastian bahwa seluruh hal yang ditulis benar-benar al-Qur’an bukan sebuah
tafsir atau penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an.120
Penyusunan masa Uṣ�man membuahkan beberapa salinan mushaf.121 Hasil
salinan dari kerja tim itu dideklarasikan sebagai mushaf resmi dari pemerintah
yang terkenal dengan “Muṣ�ḥ�af Uṣ�mᾱ�ni” atau “Muṣ�ḥ�af al-Imᾱ�m” dan dikirim
ke berbagai kota beserta qari’-nya. Sedangkan selain mushaf resmi diperintahkan
untuk dibakar. 122
Muṣ�ḥ�af yang diresmikan ‘Uṣ�mᾱ�n kemudian menjadi “Korpus Resmi
yang Tertutup”. Dikatakan ‘resmi’ karena pembukuan al-Qur’an ke dalam suatu
tulisan yang dibukukan tersebut diputuskan berdasarkan ‘dekrit’ pemegang
kekuasan formal khalifah ‘Uṣ�mᾱ�n. Dan dikatakan ‘tertutup’ disebabkan setelah
120
Sebagaimana mushaf milik Ibnu Mas’ud yang umumnya para ulama meyakini bahwa mushaf itu adalah mushaf tafsiriyyah, yakni mushaf yang telah bercampur dengan tafsirnya Ibn Mas’ữd. Lihat Abữ ‘Ubaid, Faḍāil al-Qur’ān wa Ma’ālimuh wa Adabuh, pdf, juz 2, hlm. 230.
121
Beberapa pendapat menyatakan bahwa jumlah mushaf hasil salinan tim ada empat buah yang dikirim ke Kufah, Basrah, dan Syam. Sementara satu buah disimpan oleh Khalifah Usman sebagai arsip pemerintah. Namun pendapat lain menyebutkan ada tujuh buah yang pengirimannya meliputi Kufah, Basrah, Syam, Mekkah, Yaman, dan Bahrain. Lihat Al-Zarqᾱni, Manāhil al-‘Irfān, hlm. 260
122Qᾱri’ yang dikirim adalah Zaid bin Ṡᾱbit sebagai qᾱri’ Madinah, ‘Abdullᾱh bin al-Saib, dikirim menjadi qᾱri’ Makkah, al-Mugῑrah bin Syihᾱbal-Makhzuữi sebagai qᾱri’ Syam, Abữ ‘Abd al-Rahmᾱn al-Sulamῑ dikirim di Kufah, serta ‘Amr bin ‘Abd al-Qais dikirim menjadi qᾱri’ di Baṣrah. Lihat Sᾱlim Muḥaiṣin, Tᾱrīkh al-Qur’ān al-Karīm, hlm. 151.
55
peresmian mushaf utsmani tersebut tidak boleh ada lagi campur tangan pihak
mana pun dalam penulisan dan pembacaan teks muṣ�ḥ�af.123 Pengurangan atau
penambahan kata terhadap mushaf uṣ�mani kemudian dipandang sebagai tahrῑ�f yang bertentang dengan janji Tuhan.124
Sebagai akibat dari pembukuan al-Qur’an ke dalam satu muṣ�ḥ�af tertutup
itu, minimal ada tiga implikasi yang muncul bagi al-Qur’an. Pertama, karakter
sakral dari teks tersebut diperluas pada kitab sebagai wadah material dan alat bagi
wahyu. Kedua, kitab tersebut sebagai sebuah instrumen kultural akan menjadi
dasar bagi perubahan fundamental lainnya dalam masyarakat, yaitu meningkatkan
peran, dan akhirnya lahirnya dominasi budaya terpelajar-tertulis atas budaya
rakyat-lisan. Ketiga, wacana al-Qur’an yang pada mulanya diucapkan dan
digunakan sebagai sebuah wacana lisan (oral), kini menjadi sebuah teks dengan
segala implikasinya. Tranformasinya tersebut akan membawa sejumlah perubahan
radikal yang mesti diperhitungkan ilmu linguistik dan semiotika. Inilah yang
123
Muṣḥaf ‘Uṡmᾱni diangkat pada status Korpus Resmi Tertutup menurut prosedurr-prosedur yang dikembangkan dan dibimbing oleh para sarjana-sarjana al-Qur’an.: Resmi, sebab teks-teks ini sebagai akibat dari seperangkat keputusan yang diambil oleh otoritas-otoritas yang diakui oleh komunitas muslim waktu itu: Tertutup, sebab tidak ada seorang pun diperkenankan untuk menambah ataupun mengurangi kata-kata, memodifikasi suatu bacaan dalam mushaf yang dinyatakan otentik dalam pemikiran Islam. Lihat Muhammad Arkoun, Islam Kontemporer,terj. Ruslani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001,) hlm. 120.
124 Istilah taḥrῑf ini sering kali dilabelkan pada kitab-kitab selain al-Qur’an, sementara terkait dengan kitab umat Islam diyakini masih orisinil dan otentik. Hal tersebut didasarkan pada teks yang termuat dalam mushaf. Sedangkan yang dipermasalahkan sekarang apakah taḥrῑf itu hanya terkait dengan aspek bahasa saja atau juga melibatkan aspek makna. Namun dikirimkannya para qᾱri’ tersebut untuk menanggulangi adanya taḥrῑf tersebut baik secara bahasa maupun secara makna walaupun demikian tetap saja taḥrῑf secara bahasa masih bisa terjadi. Sehingga apabila terjadi demikian maka fokus utamanya adalah menjaga terjadinya taḥrῑf makna agar tetap terjaga kelestarian substansial al-Qur’an.
56
menjadi problematika dalam bidang qirā’āt al-Qur’an yang akan dibahas
selanjutnya.125
Perampingan yang dilakukan oleh khalifah ‘Uṣ�mᾱ�n bin ‘Affᾱ�n berefek
pada pemangkasan terhadap pluralitas makna bahasa wahyu yang semula terdapat
dalam tujuh huruf yang merujuk pada tujuh bahasa sesuai dengan tujuh budaya
qabilah. Disamping itu, cakupan wacana yang diwujudkan ke dalam teks tulisan
“mushaf utsmani” akhirnya menjadi terbatas hanya sebatas pada satu realitas
budaya masyarakat Arab Quraisy.
Di sisi lain mushaf utsmani seolah-olah menjadi penjara bagi ayat-ayat al-
Qur’an. Penjara tersebut adalah hegemoni budaya Quraisy yang melingkupi al-
Qur’an dalam mushaf utsmani. Sehingga Quraisy dengan mushaf utsmani
merupakan anak kembar yang saling bersanding dan dua cabang yang berakar
sama, yang dengannya mereka mencoba menancapkan hegemoninya masing-
masing.126
Perampingan dan penyeragaman mencapai puncaknya ketika khalifah
‘Uṣ�mᾱ�n bin ‘Affᾱ�n menyensor, menghilangkan, serta memusnahkan tulisan-
tulisan ayat al-Qur’an milik individu, seperti milik Ibn Mas’ữd dan Ḥ�afṣ�ah binti
‘Umar. Kebijakan politik yang dilakukan ‘Uṣ�mᾱ�n bin ‘Affᾱ�n ini memang
bertujuan pada pemusatan pembacaan mushaf resmi sebagai standar tulisan utama
dan satu-satunya bagi ayat-ayat al-Qur’an. Hegemoni inilah yang membuat
125
Aksin Wijaya, Arah Baru Studi al-Qur’an, hlm. 94126
Khalil Abdul Karim, Negara Madinah, hlm. 350.
57
khalifah ‘Uṣ�mᾱ�n bin ‘Affᾱ�n menolak, bahkan memusnahkan dan membakar
seluruh mushaf milik pribadi yang nantinya akan membahayakan posisi mushaf
resmi dan menjadi sumber perpecahan umat.127
Namun apabila ditinjau dari aspek budaya masyarakat Arab,
penyeragaman dan perampingan tersebut telah membunuh banyak ragam budaya
selain budaya Quraisy, khususnya ragam tutur yang mempengaruhi kepada ragam
bacaan al-Qur’an yang antara beberapa komunitas masyarakat Arab berbeda.
Sehingga dengan hegemoni mushaf uṣ�mani juga, tujuh huruf yang tertera dalam
hadis nabi yang awalnya dimaknai dalam konteks yang luas kemudian
mengerucut pada makna yang sangat sempit, yakni tujuh tata cara membaca al-
Qur’an.
Dari paparan diatas, teks al-Qur’an yang notabene pesan Tuhan
mengalami proses yang bervariasi. Pertama, pesan Tuhan yang termaktub dalam
teks al-Qur’an sebagai wahyu, yaitu selama pesan itu masih berada dalam dimensi
Tuhan. Al-Qur’an pada waktu itu menggunakan bentuk bahasa yang non-ilmiah
dan belum dibahasakan dalam bahasa verbal manusia. Kedua, pesan Tuhan dalam
bentuk al-Qur’an, ketika pesan tersebut dibahasakan ke dalam bahasa verbal
manusia, khususnya bahasa Arab. Ketiga, pesan Tuhan yang semula berada dalam
dimensi verbal diwujudkan dan ditransformasikan ke dalam bentuk tulisan yang
kemudian disebut dengan muṣ�haf uṣ�mani. Dari muṣ�haf uṣ�mani inilah umat Islam
belakang mencari pesan Tuhan yang terkandung dalam sejumlah ayat yang telah
127
Khalil Abdul Karim , Negara Madinah, hlm. 349.
58
dituliskan dalam al-Qur’an dengan berbagai varian metode dan pendekatan yang
digunakan.128
3. Masa Tabi’in
Tabi’in merupakan orang yang berjumpa dengan shahabat akan tetapi
tidak berjumpa dengan nabi. Sehingga para tabi’in merupakan pewaris keilmuan
para shahabat yang notabenenya mereka adalah pewaris keilmuan nabi. 129
Pengiriman para qari’ beserta muṣ�haf uṣ�mani ke kawasan Islam
merupakan ajang promosi untuk mengenalkan satu produk mushaf pemersatu
umat Islam. Dan hal itupun kemudian membuahkan hasil dan berdampak pada
kemasyhuran mushaf utsmani di seantero negeri. Peran qari’ dari golongan
shahabat itu menjaga ketersambungan sanad yang didapatkannya dari Rasulullah
S.A.W. dan untuk kemudian disebarkannya di daerah-daerah Islam. Hal inilah
yang kemudian diteruskan oleh para tabi’in dan oleh generasi selanjutnya,
sambung menyambung yang merupakan salah satu syarat qira’at yang ‘mutawatir.
128
Walaupun ketiga term di atas menunjukkan perbedaan, penggunaannya akan selalu digunakan secara elastis dan acak sesuai dengan konteks pembahasan. Dalam artian, sesekali akan digunakan term wahyu, term al-Qur’an, serta term mushaf tertulis. Akan tetapi sewaktu hendak dikaitkan dengan upaya mengungkap dan mengkritisi teks dalam konteks kekinian, maka hal yang dimaksud adalah wahyu yang tertulis atau term Mushaf. Lihat Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.94.
129
Hal ini sesuai dengan apa yang disabdakan nabi:
خير ققال سلم و عليه الله صلى النبي أن حصين بن عمـــران عن مضرب بن زهدم عنثم ثالثة أو قرنين قرنه بعد أذكـــر أدري فال عمران قال يلونهم الذين ثم يلونهم الذين ثم قرني أمتي
فيهم يظهرون و يفون وال وينذرون يؤتمنون وال ويخونون يستشهدون وال يشهدون قوما بعدها إنالسمن
Lihat al-Jam’u bain al-Shahihain, juz 1, hlm. 212
59
Pada masa tabi’in ini sudah mulai berlaku pembedaan atas qirā’āt.130
Pembedaan atas qirā’āt tersebut didasarkan pada sesuai atau tidaknya sebuah
qirā’āt dengan muṣ�ḥ�af ‘uṣ�mᾱ�ni yang telah dijadikan standar. Secara umum para
tabi’in membagi qirā’āt menjadi dua bentuk. Pertama, qirā’āt yang masyhur,
yakni apabila sesuai dengan muṣ�ḥ�af ‘uṣ�mᾱ�ni. Kedua, qira’at yang tidak
masyhur, apabila tidak sesuai dengan muṣ�ḥ�af ‘uṣ�mᾱ�ni. 131
Qirā’āt yang masyhur di masa tabi’in inilah kemudian menjadi sebuah
qirā’āt mutawātirah dengan atas hegemoni muṣ�ḥ�af ‘uṣ�mᾱ�ni dari aspek politik di
kawasan-kawasan Islam. Dari aspek sosial, hegemoni para qᾱ�ri’ yang diutus oleh
‘Uṣ�mᾱ�n bin ‘Affᾱ�n untuk mengajarkan al-Qur’an seolah-olah mereka
merupakan wakil yang langsung menggantikan Rasulullah sehingga mereka tidak
mungkin melakukan kesalahan.132
Pengiriman para qᾱ�ri’ ke beberapa daerah melahirkan para qᾱ�ri’ di setiap
wilayah. Beberapa di antaranya:
1. Di Madinah : Mu’ᾱ�ẓ� bin al-Ḥ�ᾱ�riṣ�, Sa’ῑ�d bin al-Musayyab,
‘Urwah bin al-Zubair, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azῑ�z, ‘Aṭ�ᾱ�’ bin
130
Beberapa tabi’in masih menghapalkan qirā’āt di luar muṣḥaf uṡmᾱni. Diantaranya Mujahid bin Jabbar, Sa’id bin Zubair, al-Aswad bin Yazidi, Ubaid, bin ‘Amir. Sebagian yang lain menggunakan warna tulisan untuk membedakannya, yakni dengan warna merah atau hijau untuk membedakan mana qira’at yang masyhur dan yang tidak masyhur. Diantaranya Muqatil bin Sulaiman. Lihat Abữ ‘Umar al-Dᾱnῑ, al-Muḥkam fī Nuqt al-Maṣāḥif, (Beirut : Dār al-Fikr, 1997), hlm. 20.
131
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, hlm. 304-305. 132
Sebagaimana apa yang telah dilakukan oleh gubernur Irak, al-Hajjᾱj al-Ṡaqafi yang mencegah peredaran qirā’āt Ibn Mas’ữd. Lihat Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, hlm. 304-305.
60
Yassᾱ�r, ‘Abd al-Rahmᾱ�n al-A’raj, Ibn Syihᾱ�b al-Zuhri, Zaid bin
Aslam, Muslim bin Jundῑ� dan sebagainya.
2. Di Makkah : Mujᾱ�hid bin Jabbᾱ�r, Ṭ�awus bin Kaisᾱ�’, ‘Aṭ�ᾱ� bin Abῑ� Rabbah, Ikrimah,133 Ibn Abῑ� Mᾱ�likah, ‘Ubaid bin’Umair
dan sebagainya.
3. Di Kufah : ‘Amr bin Syarahbil, ‘Alqamah bin Qais, Masrữq
bin al-Ajdᾱ�’, Abữ ‘Abd al-Rahman al-Sulami, al-Aswad al-
Nakhᾱ�’i, Zữr bin Hubaisy, Ibrᾱ�hῑ�m al-Nakhᾱ�’i dan sebagainya.
4. Di Bashrah : al-Hasan al-Baṣ�ri, Muḥ�ammad bin Sῑ�rῑ�n,
Qatᾱ�dah bin Da’ᾱ�mah al-Sadữsi, Naṣ�r bin ‘Aṣ�ῑ�m, Jᾱ�bir bin
Zaid, Yaḥ�yᾱ� bin Ya’mữr dan sebagainya.
5. Di Syam : al-Mugῑ�rah bin Abῑ� Syihᾱ�b al-Makhzữmi, Khalῑ�fah
bin Sa’d dan sebagainya.134
4. Masa Takhassus Qirā’āt
Pada masa tabi’in, qirā’āt semakin menyebar luas dan diajarkan oleh para
qᾱ�ri’ tᾱ�bi’ῑ�n sampai keluar daerah. Di samping perkembangan qirā’āt, pada
abad ke-2 H, berkembang juga kajian-kajian linguistik Arab (gramatikal Arab atau
Nahwu) dikarenakan ekspansi Islam pada saat itu mulai meluas. Bukan hanya
133
Ikrimah merupakan budak yang dimerdekakan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas. Ibnu al-Jazari, al-Nasyr fi al-Qirā’āt, pdf, jilid 1, hlm. 8
134
Munculnya para qari’ dari golongan tabi’in ini dimulai dari pertengahan abad 1 H sampai pertengahan abad 2 H. Lihat Ibnu al-Jazari, al-Nasyr fi al-Qirā’āt, pdf, jilid 1, hlm. 8.
61
kajian linguistik, akan tetapi berbagai kajian keilmuan mulai tumbuh dan
berkembang.135
Perkembangan kajian keilmuan yang besar-besaran ini, di satu sisi
memajukan peradaban Islam. Akan tetapi di sisi lain semakin maju suatu
keilmuan semakin kompleks permasalahannya. Persinggungan qirā’āt dengan
bidang keilmuan yang lain, terutama bidang kajian kebahasaan dan linguistik
Arab menjadikan kaum muslimin hanya membaca al-Qur’an dari aspek justivikasi
bahasa sampai pada satu titik bahwa membaca al-Qur’an sudah cukup dengan
menggunakan keilmuan linguntik an sich.136 Apa bila menurut linguistik suatu
bacaan dianggap pantas, maka qirā’āt seperti itu dibenarkan. Sehingga tidak
membutuhkan adanya sanad yang diharuskan dalam belajar al-Qur’an bahkan
ditinggalkan sedikit demi sedikit. 137
Dalam kondisi seperti itu, muncullah beberapa tokoh yang masih giat
dalam qirā’āt sebagai penerus tokoh qirā’āt masa tabi’in:
135
Masa takhassus ini di mulai dari abad ke-2 H sampai abad ke-3. Pada rentang waktu tersebut, Islam berada di akhir kepemimpinan Dinasti Bani Umayyah dan kemudian dilanjutkan oleh Dinasti Bani ‘Abbasyiah.
136
Ilmu linguistik pada masa ini lebih spesifik kepada ilmu Nahwu yang pada abad ini dimulai dari Abῑ Aswad al-Dữ’ali, salah satu murid Ali bin Abi Ṭalib, dan kemudian dilanjutkan oleh Yaḥyᾱ bin Ya’mữr dan Nasr bin ‘Aṣim dengan mematenkan istilah-istilah yang digunakan dalam ilmu Nahwu. Dan puncaknya pada masa Imam Sibawaih. Lihat Syauqῑ Ḍᾱyif, al-Madᾱris al-Naḥwiyyah, pdf, hlm. 13-20. 137
Tradisi belajar al-Qur’an kepada seorang syaikh sudah mulai ditinggalkan oleh beberapa golongan kaum muslimin. Merelka lebih senang membaca al-Qur’an dengan ra’y dan didasarkan pada aspek linguistik Arab saja. Sehingga mereka tidak lagi membutuhkan adanya sanad atau riwayat dalam mendapatkan bacaan al-Qur’an. Dan beberapa orang yang ahli linguistik dijadikan sebagai guru atau syaikh yang mengajar al-Qur’an dan qirā’āt dan bacaannya dijadikan sebagai bacaan panutan karena dianggap yang shahih. Golongan yang melakukan hal tersebut adalah dari golongan Mu’tazilah dan Syi’ah Rawafidhah. Lihat ‘Abd. Al-Qayyữm al-Sanadῑ, Ṣafahāt, hlm. 37;‘Alῑ al-Ḍabᾱ, al-Ῑḍᾱh fī Uṣữl al-Qirā’āt, hlm. 71.
62
1. Di Madinah : Abῑ� Ja’far Yazῑ�d bin al-Qa’qᾱ�’, Syaibah bin
Niṣ�ᾱ�h, Nᾱ�fi’ bin Abῑ� Nu’aim dan lain sebagainya.
2. Di Makkah : ‘Abdullᾱ�h bin Kaṣ�ῑ�r, Ḥ�umaid bin Qais al-A’raj,
Muḥ�ammad bin Muḥ�aiṣ�in dan lain sebagainya.
3. Di Kufah : Yaḥ�yᾱ� bin Waṣ�ᾱ�b, ‘Ᾱ�ṣ�im bin Abῑ� al-Nujữd,
Sulaiman bin Maḥ�rᾱ�n al-A’masy, Ḥ�amzah bin Ḥ�abῑ�b al-Zayyᾱ�t, ‘Alῑ� bin Ḥ�amzah al-Kisᾱ�’i dan lain sebagainya.
4. Di Baṣ�rah : ‘Abdullᾱ�h bin Abῑ� Ishaq, Abῑ� ‘Amr bin
al-‘Alᾱ�’, ‘Ᾱ�ṣ�im al-Juḥ�dari, Ya’qữb al-Haḍ�ramῑ� dan lain
sebagainya.
5. Di Syam : ‘Abdullᾱ�h bin ‘Ᾱ�mir al-Yuḥ�ṣ�abi, ‘Aṭ�iyyah bin
Qais al-Kalabi, Yaḥ�yᾱ� al-Dimari, Syarῑ�h bin Yazid al-Haḍ�ramῑ� dan lain sebagainya.138
Para tokoh qirā’āt di atas mulai membentuk istilah-istilah penting dalam
qirā’āt sebagai langkah awal merumuskan ilmu qirā’āt untuk membendung
realita dan menjadi solusi dari problematika tersebut. Tidak hanya sekedar sesuai
dengan mushaf utsmani atau tidak, atau sekedar masyhur atau tidak di kalangan
kaum muslimin. Istilah-istlah qirā’āt ṣ�aḥ�ῑ�ḥ�ah dan syᾱ�żżah mulai mencuat
penggunaannya oleh para ulama masa ini menggantikan istilah qirā’āt di masa
tabi’in sebelumnya. Perpindahan istilah qirā’āt dari masa tabi’in ke masa
138
Munculnya para qari’ dari golongan t dari pertengahan abad 2 H sampai pertengahan abad 3 H. Lihat Ibnu al-Jazarῑ, al-Nasyr fī al-Qirā’āt, jilid 1, hlm. 8-9.
63
takahassus sebenarnya hanya sebatas transisi istilah yang tidak sampai merubah
konstruksi qirā’āt masa tabi’in.139
Istilah qirā’āt ṣ�aḥ�iḥ�ah yang merujuk pada istilah qirā’āt masyhur pada
masa tabi’in memiliki dua term:
1. Qirā’āt umum. Al-Farrᾱ�’ dalam Ma’āni al-Qur’ān sering
menggunakan istilah ini sebagai qirā’āt yang banyak dipakai dan
disepakati oleh banyak orang. Misalnya saja dalam ayat;
dونqعdمrجd ي مtمsا uرr ي dخ dوqه حqوا dرrفd rي فdل dكt tذdل فdب tهt حrمdت dرt وdب tهs الل tلrضdفt ب rلqق140
Al-Farrᾱ�’ mengomentari bacaan , فليفرحوا dengan menggunakan yā’
ḍ�amῑ�r gaib, sebagai qirā’āt yang umum. Sedangkan bacaan ,فلتفرحوا dengan
menggunakan tā’ ḍ�amir mukhāṭ�ab dinyatakan sebagai qirā’āt yang tidak
ṣ�aḥ�iḥ�ah karena asingnya bacaan ini.141
2. Qirā’āt-nya Qurra’. Istilah tersebut juga dipakai al-Farrᾱ�’ untuk
menunjukkan bahwa qirā’āt tersebut dirujukkan kepada imam
qirā’āt yang masyhur. Hal ini dapat dilihat dalam ayat:
vيٍصtحdم rنtم rلdه tد dالt rب ال فtي qوا dقsب فdن ا xشrطd ب rمqهr مtن yد dشd أ rمqه vن rرdق rنtم rمqهd rل قdب dا rن dك هrل
d أ rمd وdك142
139
Beberapa ulama yang mulai menggunakan istilah-istilah tersebut, seperti Imam Sibawaih, Imam al-Farrᾱ’, dan Imam al-Akhfasy. Lihat Maḥmữd Aḥmad al-Ṣagῑr, al-Qirā’āt al-Syᾱżżah wa Taujῑhuhᾱ, pdf, hlm. 82.
140
Q.S. Yữnus : 58 141
Al-Farrᾱ, Ma’āni al-Qur’ān, Maktabah Syamilah, versi 2.11., juz 2, hal. 469. 142
Q.S. Qāf : 36
64
Komentar al-Farrᾱ�’ mengenai ayat tersebut, bahwa , فنقبوا dengan qāf
yang dibaca fathah sebagai qirā’āt Qurra’. Sedangkan apabila qāf-nya dibaca
kasrah maka bacaan tersebut dinilai tidak ṣ�aḥ�ῑ�ḥ�ah karena berlawanan dengan
qirā’āt-nya para imam qurra’.143
Dari kedua term tersebut dapat disimpulkan bahwa qirā’āt ṣ�aḥ�ῑ�ḥ�ah harus
ditinjau dari dua kriteria. Pertama, ditinjau dari aspek ke-masyhur-an qirā’āt.
Suatu qirā’āt dinyatakan ṣ�aḥ�ῑ�ḥ�ah apabila qirā’āt tersebut masyhữr dan tidak
asing dikalangan masyarakat sehingga diamalkan banyak orang. Kedua, ditinjau
dari aspek sanad qirā’āt. Suatu qirā’āt masuk dalam kategori ṣ�aḥ�ῑ�ḥ�ah apabila
qirā’āt tersebut dibawa oleh para qurra’ yang memiliki sanad yang tersambung
dengan Rasulullah S.A.W.. Adanya sanad inilah yang menjadi sebuah qirā’āt sah
untuk dibaca walaupun terkadang masih asing di kalangan masyarakat awam.
5. Masa Pembukuan Qirā’āt
Setelah masa takhassus dianggap cukup, dengan melihat kerja keras para
tokoh qirā’āt untuk mengembalikan khiṭ�ṭ�ah qirā’āt ke asalnya yang dirasa
membuahkan hasil, maka dibutuhkan adanya kodifikasi untuk menampung
qirā’āt-qirā’āt tersebut.
Para ulama masih berselisih pendapat mengenai mulainya
pengkodifikasian qirā’āt tersebut.144 Terlepas dari perselisihan tersebut, para
143 Al-Farra’, Ma’āni al-Qur’ān, Maktabah Syamilah, versi 2.11., juz 3, hal. 79. 144
Dalam bahasan kodifikasi qirā’āt, para ulama berbeda pandangan. Pertama, ada menyatakan bahwa pembukuan qirā’āt sebenarnya sudah dimulai pada zaman shahabat. Beberapa shahabat ada yang belajar al-Qur’an sekaligus juga belajar qirā’āt dan merekapun memiliki catatan pribadi sebagaimana mereka memiliki catatan nasehat-nasehat Nabi yang kemudian
65
ulama condong kepada pendapat yang menyatakan bahwa kodifikasi qirā’āt
terjadi pada abad ke-3 H.
Pembukuan qirā’āt pada abad ini digagas oleh dua tokoh yang masyhur
pada era tersebut, yakni Abữ ‘Ubaid al-Qᾱ�sim bin Salᾱ�m (w. 223) dan Abữ
Ḥ�ᾱ�tim al-Sijistᾱ�ni (w. 250).145
Di samping kedua tokoh tersebut, kodifikasi qirā’āt ini juga dilakukan
oleh tokoh-tokoh qirā’āt sebelumnya, baik itu dari kalangan imam qirā’āt,
rawinya, bahkan muridnya:146
1. Abữ ‘Amr bin al-‘Alᾱ�’ (w. 154)
2. Ḥ�amzah bin Ḥ�abῑ�b al-Zayyᾱ�t (w. 156)
3. ‘Alῑ� bin Ḥ�amzah al-Kisᾱ�’ῑ� (w. 189)
4. Isḥ�ᾱ�q bin Yữsuf al-Azraq (w. 195)
menjadi sebuah hadis. Pendapat ini merupakan pendapat yang dilontarkan oleh Al-Sayyid Rizq al-Ṭawῑl. Kedua, ada yang menyatakan bahwa pembukuan qirā’āt dimulai pada abad ke-2 H. Hal ini ditandai dengan karya Yahya bin Ya’mur, seorang yang mensyakali al-Qur’an, diyakini sebagai orang yang pertama kali menulis karya dalam bidang qira’at sehingga Yahya bin Ya’mur adalah penggagas tadwin al-qirā’āt. Inilah pendapat ‘Abd al-Fattah Syalabi. Ketiga, memang pembukuan qirā’āt telah dimulai pada abad ke-2 H yang ditandai dengan karya Yaḥyᾱ bin Ya’mữr. Namun karya Yaḥyᾱ bin Ya’mữr sebenarnya hanya dokumentasi hasil pembelajarannya kepada guru-guru qirā’āt-nya sehingga hal tersebut belum bisa dikatakan sebuah karya dalam bidang qirā’āt karena memang hal itu hanya sebatas catatan dari hasil belajar. Benih-benih kodifikasi memang telah ada pada abad ke-2 H akan tetapi matangnya pengkodifikasian ada pada abad ke-3 H. Ini merupakan pendapat Muhammad Sᾱlim Muḥaiṣin. Lihat al-Sayyid Rizq al-Ṭawῑl, fī ‘Ulūm al-qirā’āt, pdf, hlm. 35; ‘Abd al-Fattᾱh Syalbῑ, al-Madkhal wa al-Tamhīd, pdf, hlm. 109.; Muhammad Sᾱlim Muḥaiṣin , fī Rihāb al-Qur’ān, juz 1, hlm. 485.; ‘Abd al-Qayyữm al-Sanadῑ, Ṣafaḥāt, hlm. 39.
145
Kedua tokoh itulah yang dianggap telah mapan pembukuannya karena telah sesuai dengan sistem pembukuan dan penghimpunan. Walaupun kenyataannya sebelum Abu ‘Ubaid telah ada 19 orang yang telah membuat karangan dalam ilmu qirā’āt. Sedangkan sebelum Abu Hatim sudah ada 32 orang yang juga telah membuat karangan dalam ilmu qirā’āt. Tercatat lebih dari 40 buah karya di bidang qirā’āt dimuali dari masa tadwin sampai dengan masanya Ibnu Mujahid. Lihat ‘Abd al-Qayyữm al-Sanadῑ, Ṣahafāt, hlm. 41.
146 Para tokoh yang telah disebutkan di atas adalah tokoh qirā’āt yang telah didapatkan data tentang karyanya di bidang qirā’āt. Masih banyak para tokoh yang belum teridentifikasi karyanya. Lihat al-Bannᾱ, Al-Qirā’āt al-Qur’āniyyah, hlm. 29-32.
66
5. Yaḥ�yᾱ� bin al-Mubᾱ�rak al-Yazῑ�dῑ� (w. 202)
6. Yaḥ�yᾱ� bin Ᾱ�dam (w. 203)
7. Ya’qữb bin Isḥ�ᾱ�q al-Ḥ�aḍ�ramῑ� (w. 205)
8. Khalaf bin Hisyᾱ�m al-Bazzᾱ�r (w. 229)
9. ‘Abdullᾱ�h bin Ahmad bin Ẑ�akwᾱ�n al-Dimasyqῑ� (w. 242)
10. Abữ ‘Amr Hafṣ� al-Dữri (w. 246)
11. Aḥ�mad bin Muḥ�ammad al-Bᾱ�zi al-Makki (w. 250)
Para ulama yang membukukan qirā’āt tidak serta merta menghimpun
seluruh qirā’āt yang mereka dapatkan. Mereka membatasi dan menyeleksi
qirā’āt terlebih dahulu baru kemudian membukukannya. Pembatasan seperti ini
dilakukan mengingat banyak sekali riwayat qirā’āt disertai dengan para qurra’
masing-masing.147
6. Masa Puncak Qirā’āt
Masa ini merupakan kelanjutan masa tadwῑ�n sebelumnya di mana para
ulama masih belum sepaham mengenai tolok ukur qirā’āt. Walaupun karya di
bidang qirā’āt telah menjamur pada waktu itu, namun mereka tetap saja masih
memperselisihkan mana qirā’āt yang dianggap ṣ�aḥ�iḥ�ah dan mana qirā’āt yang
tidak ṣ�aḥ�iḥ�ah.
147
Pembatasan ini sebagaimana yang dilakukan Abu ‘Ubaid bin Salam yang telah menghimpun 25 qari’. Dari jumlah tersebut, beliau hanya mengambil tujuh qari’ yang masyhur. Begitu juga Ahmad bin Jubair (w. 258) hanya mengambil lima qari’ dan menamai kitabnya dengan ‘al-Khamsah’. Di samping itu ada juga Abu Bakar al-Dajữnῑ (w. 324) hanya mengambil delapan qari’, yakni tujuh qari’ yang masyhur ditambah dengan Ya’qữb al-Ḥaḍrami. Lihat ‘Abd al-Qayyữm al-Sanadῑ, Ṣaḥafāt, hlm. 41.
67
Bertolak dari hal tersebut, muncullah beberapa ulama yang memfokuskan
diri dalam mengkaji ragam qirā’āt di mana mereka mulai membuat suatu standar
penilaian yang objektif tentang qirā’āt dalam rangka menyamakan pandangan-
pandangan mereka sehingga menemukan satu kesepakatan untuk menilai sebuah
qirā’āt yang pada masa ini sudah dihadapkan dengan rasm uṣ�mani. 148
Di antara para ulama pada masa ini yang menjadi tonggak kemajuan
qirā’āt adalah Ibn Mujᾱ�hid (w. 324)149 yang mulai berani membatasi jumlah
qirā’āt yang masyhur (ṣ�aḥ�ῑ�ḥ�ah) dan hanya mengambil tujuh qirā’āt yang paling
masyhur (ṣ�aḥ�ῑ�ḥ�ah) dan pada akhirnya menjadi qirā’āt yang diyakini ke-
ṣ�aḥ�iḥ�ah-annya serta ke-mutawātir-annya sampai sekarang. 150
Penyeleksian Ibn Mujᾱ�hid secara ketat, baik dari aspek sanad dan ke-
ḍ�abiṭ�-an rawi serta ke-ṣ�iqah-annya terhadap qirā’āt yang berkembang pada
waktu itu, membuatnya hanya memilih tujuh qirā’āt yang populer di wilayah
148
Abad ke-4 H disepakati sebagai masa puncaknya qirā’āt ditandai dengan munculnya Ibn Mujᾱhid (w. 324) yang kemudian disusul dengan kemunculan Abu Ja’far al-Nuḥᾱs (w. 338). Sebelum Ibn Mujᾱhid telah muncul Ibn Jarῑr al-Ṭabarῑ (w. 310) yang intens mengkaji qirā’āt. Dari mereka semua muncul beberapa murid yang juga mendalami qirā’āt, diantaranya Ibn al-Jinni (w. 392) dan al-Fᾱrisῑ (w. 377). Lihat al-Ibānah ‘an Ma’āni al-Qirā’āt, pdf, hlm. 63.
149
Abữ Bakar bin Mujᾱhid al-Baghdᾱdῑ (w. 324)150
Para ulama berselisih pendapat tentang term tujuh imam qirā’āt yang dibangun oleh Ibn Mujᾱhid. Apakah memang Ibn Mujᾱhid sengaja memilih tujuh qirā’āt saja dari seluruh qirā’āt, atau tidak. Sebagian ulama berpendapat bahwa Ibn Mujᾱhid tidak serta merta sengaja menciptakan term tujuh qirā’āt dengan argumen bahwa Ibn Mujᾱhid menghimpun qirā’ah-qirā’ah yang berada di setiap wilayah Islam pada waktu itu dan kemudian dari setiap wilayah tersebut diambil satu qirā’āt yang dinilainya paling ḍᾱbiṭ dan ṣᾱḥiḥ sehingga didapatinya tujuh qirā’āt yang paling ṣaḥiḥ serta disepakati oleh masyarakat. Sebagian ulama lain menyatakan bahwa Ibnu Mujᾱhid memang sengaja membuat term tujuh imam qirā’āt karena dalam pandangannya makna al-Aḥrữf al-Sab’ah adalah hakekat term tujuh qirā’āt tersebut. Menurut pendapat yang kedua ini, Ibnu Mujahid tidak menjustifikasi suatu qirā’āt sebagai qirā’āt yang mutawātir atau syażżah namun hanya mengidentifikasi qirā’āt sesuai dengan kategori dan statusnya lalu kemudian diambillah tujuh qirā’āt yang menempati strata teratas sesuai dengan paradigma awal Ibnu Mujahid. Lihat Ḥasan Ḍiyᾱ’ al-Din ‘Iṭr, al-Aḥrữf al-Sab’ah, hlm. 349-352.
68
utama Islam dan membukukannya dalam sebuah kitab yang menjadi masterpiece-
nya, yaitu Kitab al-Sab’ah fī al-Qirā’ah. Dengan penetapan ini, secara otomatis
selain dari ketujuh qirā’āt tersebut dianggap sebagai konfontrasi qirā’āt yang
masyhur. Untuk kasus qirā’āt yang tidak masyhur (syᾱ�żżah) ini, Ibn Mujᾱ�hid
juga konsisten untuk menafikannya dan menghimpunnya dalam sebuah kitab
tentang qirā’āt syᾱ�żżah.151
Pandangan dan pemikiran Ibn Mujᾱ�hid memang sangat mempengaruhi
perkembangan qirā’āt secara umum pada masa selanjutnya, yakni pembatasan
tujuh qirā’āt, dan ilmu qirā’āt secara khusus sebagaimana tolok ukur yang
digunakannya untuk standar penilaian qirā’āt dan para qurra’.152 Setidaknya ada
aspek politik yang berada di balik berkembangnya gagasan Ibn Mujahid pada
masa ini. Upaya Ibnu Mujahid dalam menyeleksi qirā’āt tersebut merupakan
151
Istilah syᾱżẑ yang digunanakan Ibn Mujahid bukan merupakan sebuah istlah dalam ilm al-Hadis yang merujuk pada sebuah hadis yang menyeleweng atau bersebrangan dengan hadis lain yang titik poinnya berada pada sanad hadis. Pada dasarnya istilah syażdalam konstruksi pemikiran Ibnu Mujahid hanya sebagai penyebutan untuk qirā’āt yang selain tujuh qirā’āt tersebut yang kepopulerannya kalah dengan kepopuleran ketujuh qirā’āt tersebut, bukan berarti qirā’āt tersebut menyeleweng dari mushaf utsmani atau tidak mutawātir. Lihat Muqaddimah Muhaqqiq, Ibn Mujᾱhid, Kitab al-Sab’ah fī al-Qirā’āt, hlm.20.; Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi al-Qur’an, hlm. 308.
152 Setidaknya Ibnu Mujahid membagi para qurra’ menjadi empat bagian. Pertama, من القران ,حملة adalah golongan yang hapal al-Qur’an yang ahli dalam bahasa, paham substansi
kalimat, dialek-dialek yang menjadi sumber perbedaan qirā’āt, mengetahui variasi dan kesalahan qirā’āt, baik dari aspek linguistik kebahasaan dan penukilan riwayatnya. Inilah strata utama qurra’ yang harus dianut( اليه يلحن ,Kedua .(مفزوع وال يعرب adalah golongan yang hapal al-Qur’an ,منyang paham dengan linguistik Arab akan tetapi tidak mengetahui dialek-dialek sehingga dia hanya bisa membaca dengan lahjah atau dialeknya sendiri serta tidak mampu untuk membaca dengan varian qirā’ātyang lain. Qirā’ātgolongan ini bisa digunakan ( عليه عنده ,Ketiga .(مطبوع ليس من
السماع بعد االداء , إال golongan yang hapal al-Qur’an namun bukan ahli bahasa dan linguistik Arab. Golongan ini hanya mendapatkan bacaan secara sima’i. Qirā’ātgolongan ini bisa dipakai (
عليه القراءات ,Keempat .(محمول يعرف وال اللغات و والمعانــــى االعـــراب يعرف merupakan ,منgolongan yang tahu tentang i’rab, substansi kata, serta ilmu bahasa akan tetapi dia tidak sama sekali tahu tentang qirā’āt. Qirā’āt-nya masih sesuai dengan aturan i’rab dan bahasa namun qirā’āttersebut belum pernah diamalkan dan ditemui sebelumnya. Qirā’ātseperti ini tidak boleh dipakai (مبتدع). Lihat Ibn Mujᾱhid, al- al-Sab’ah fī al-Qirā’āt, hlm. 45-46.; ‘ Abd al-Qayyữm, Ṣahafāt, hlm. 42.
69
sebuah upaya yang digagas oleh para tokoh politik di lingkungan dinasti Bani
‘Abbᾱ�siyyah, yakni Ibn Muqlah (w. 340) dan Ibnu Ῑ�sᾱ� (w. 346).153
Penyeleksian yang dilakukan Ibnu Mujahid membuahkan tujuh nama
qurra’ yang populer dengan istlah imām qirā’āt:154
1. Nᾱ�fi’ bin ‘Abd al-Rahmᾱ�n bin Abῑ� Nu’aim (w. 169), di Madinah
2. ‘Abdullᾱ�h bin Kaṣ�ῑ�r (w. 120), di Makkah
3. Abữ ‘Amr bin al-‘Alᾱ�’ (w. 154), di Bashrah
4. ‘Abdullᾱ�h bin ‘Ᾱ�mir al-Yuḥ�ṣ�abῑ� (w. 118), di Syam
5. ‘Ᾱ�ṣ�im bin Abῑ� al-Nujữd (w. 127), di Kufah
6. Ḥ�amzah bin Ḥ�abῑ�b al-Zayyᾱ�t (w. 156), di Kufah
7. ‘Alῑ� bin Ḥ�amzah al-Kisᾱ�’ῑ� (w. 189), di Kufah155
Perkembangan yang signifikan pada masa ini membuat qirā’āt semakin
menyebar ke daerah-daerah selain pusat-pusat Islam. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi perkembangan qirā’āt pada masa ini. Pertama, ditinjau dari aspek
153
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi al-Qur’an, hlm. 308.154
‘Abd al-Qayyữm al-Sanadῑ, Ṣaḥafāt, hlm. 43 155
Penetapan Ibnu Mujahid terhadap ketujuh imām qirā’āttersebut merupakan hasil dari ijtihadnya dalam waktu yang lama serta analisis dan telaahnya terhadap beberapa sanad para imam qurra’. Hal ini dapat dilihat bahwa Ibnu Mujahid lebih mendaulat Abữ ‘Amr al-Baṣrῑ daripada Ya’qữb al-Haḍramῑ dan Yahyᾱ al-Yazῑdῑ dikarenakan posisi Abữ ‘Amr yang lebih tinggi derajatnya dari mereka berdua dalam hal qirā’āt, ilmu bahasa, dan kepopulerannya di mata masyarakat Bashrah. Analisis Ibn Mujahid juga terlihat sewaktu beliau memilih Ibnu Katsir sebagai imam qirā’āt Makkah daripada Ibn Muḥaiṣin dengan alasan qirā’āt-nya Ibnu Muhaisin masih diperselisihkan oleh masyarakat Makkah. Hal ini dapat dilihat pada beberapa pengikut qirā’āt Ibnu Muḥaiṣin yang meninggalkan qaul ikhtiarnya. Berbeda dengan qirā’āt-nya Ibnu Katsir yang telah disepakati oleh masyarakat Makkah. Ibnu Mujahid juga meninggalkan qirā’āt-nya al-A’masy dan lebih memilih qirā’āt-nya Hamzah karena menurutnya qirā’āt al-A’masy masuk dalam kategori qirā’āt yang syᾱżẑ. Lihat al-Sab’ah fī al-Qirā’āt, hlm. 65.
70
politik. Adanya campur tangan politik dalam upaya Ibnu Mujahid menghimpun
qirā’āt. Kedua, dari aspek sosial. Realitas sosial pada waktu itu, yakni masih
beredarnya varian qirā’āt, adanya perbedaan para qurra’ dalam hal kualitas
keilmuan mereka, cara penilaian qirā’āt yang secara tidak langsung berpengaruh
pada masyarakat. 156Ketiga, dari aspek media penulisan. Aksara Arab pada masa
ini sudah dalam bentuk finalnya. Hal inilah yang menjadikan otografi rasm
utsmani berada dalam tahap akhir atau tahap penyempurnaan. Oleh karena itu,
secarra tidak langsung berpengaruh dengan perkembangan qirā’āt yang ada
karena notabenenya qirā’āt merupakan bentuk verbal dari sebuah tulisan rasm
utsmani.157Keempat, dari aspek keilmuan. Pada masa ini keilmuan hadis berada
pada puncak keilmuan sehingga berperan dalam tolok ukur penilain sebuah
qirā’āt, yakni berdasarkan sanad yang ṣ�aḥ�ῑ�ḥ�.158
7. Masa Pasca Puncak Qirā’āt
156 Maḥmữd Aḥmad al-Ṣagῑr, al-Qirā’āt al-Syażżah, hlm. 61. 157
Lihat perkembangan otografi al-Qur’an dalam Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, hlm. 265-290.
158
Pada masa sebelumnya, telah dikenal adanya sanad sebagai syarat sahnya periwayatan qirā’āt namun posisi sanad hanya sebagai embel-embel sebuah qirā’āt saja tanpa ada implikasi yang nyata terhadap qirā’āt tersebut. Sedangkan pada masa ini, atas jasa Ibnu Mujahid dan pengaruh berkembangnya keilmuan hadis, posisi sanad semakin diperhitungkan dan mempunyai intervensi serta implikasi hukum yang kuat dalam penentuan sebuah qirā’āt. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, hlm. 265-290.
71
Keterpengaruhan Ibn Mujᾱ�hid pada abad setelahnya menjadikan
pandangan-pandangannya dalam al-Sab’ah fī al-Qirā’āt sebagai standar utama
dalam penilaian qirā’āt dan keilmuan qirā’āt. Hal ini juga yang menjadikan buah
karya Ibn Mujᾱ�hid banyak dipakai sebagai rujukan utama qirā’āt pada masa itu.
Di samping itu, kritikan juga mengalir kepada Ibn Mujᾱ�hid atas
pandangan tujuh qirā’āt-nya. Di antaranya, al-Makkῑ� (w. 439) yang mengkritik
Ibn Mujᾱ�hid karena mengganti Ya’qữb bin Isḥ�ᾱ�q al-Haḍ�ramῑ� dengan ‘Alῑ� al-
Kisᾱ�’ῑ� sebagai salah satu imam dari tujuh qirā’āt.159
Muḥ�ammad bin ‘Alῑ� bin Yữsuf al-Dimasyqῑ� yang masyhur dengan Ibn
al- Jazarῑ� membuat suatu karya dalam qirā’āt, yakni al-Nasyr fī al-Qirā’āt
al-‘Asyr, yang secara akademik ditujukan untuk melawan konstruksi pemikiran
Ibnu Mujᾱ�hid dalam term tujuh qirā’āt-nya. 160
Ibn al-Jazarῑ� menyatakan beberapa poin penting dalam kitabnya, al-Nasyr
fī al-Qirā’āt al-‘Asyr. Pertama, qirā’āt yang ṣ�aḥ�iḥ�ah tidak hanya dibatasi dalam
jumlah tujuh, sepuluh, lima belas, atau yang lainnya. Akan tetapi qirā’āt dinilai
ṣ�aḥ�iḥ�ah apabila memenuhi tiga syarat, yaitu sesuai dengan bahasa Arab walau
satu bentuk, sesuai dengan salah satu mushaf uṣ�mani walau ihtimal, serta
sanadnya juga ṣ�aḥ�iḥ�ah. Sehingga apabila ada qirā’āt yang telah memenuhi
syarat, maka wajib diterima dan tidak boleh diingkari.161 Kedua, apabila ada
159
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, hlm. 318. 160
Ibn al-Jazarῑ, al-Nasyr fī al-Qirā’āt al-‘Asyr, hlm. 9. 161
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, hlm. 315-317
72
qirā’āt yang tidak sesuai dengan tiga syarat tersebut, maka qirā’āt tersebut dinilai
ḍ�ᾱ�’if, syᾱ�ż, atau bᾱ�ṭ�il. Ketiga, tidak semua qirā’āt tujuh tersebut sesuai dengan
tiga syarat yang telah sebutkan. 162
Aḥ�mad bin Muḥ�ammad bin ‘Abd al-Ghᾱ�ni al-Banᾱ� al-Dimyᾱ�ṭ�ῑ� (w.
1117) juga memiliki sebuah karya monumental. Yakni Ithāf Fuḍ�ala’ al-Basyar bi
al-Qirā’āt al-Arba’ah.163 Kitab yang memuat empat belas imam qirā’āt yang
ṣ�aḥ�iḥ�ah ditujukan untuk membantah Ibn Mujᾱ�hid dengan statemen tujuh
qirā’āt-nya.164
C. Kaidah Qirā’āt Mutawātirah
Ketentuan dalam menilai dengan qirā’āt pada dasarnya bertumpu pada
dua kriteria. Pertama, dari aspek sanad yang diharuskan ṣ�aḥ�iḥ� dan muttaṣ�il. Kedua, aspek kesesuaian. Kesesuaian dengan bahasa Arab, yakni harus fasih
dalam susunan kalimat dalam bahasa Arab. Di samping itu juga harus sesuai
dengan salah satu mushaf utsmani baik dalam dalam kemungkinannya (ihtimal)
atau hanya sebatas perkiraan (taqdir).165
162
Ibn al-Jazarῑ, al-Nasyr fī al-Qirā’āt al-‘Asyr, hlm. 9.163
Aḥmad bin Muḥammad al-Banᾱ al-Dimyᾱṭῑ, Ittihāf Fuḍala al-Basyar, pdf, hlm. 64-65.164
Kondisi seperti ini diakibatkan beberapa faktor. Diantaranya, adanya otoritas pemerintah dalam mengembangkan keilmuan qirā’āt. Disamping itu juga masih belum ada kesepakatan para ulama dalam menetukan dan menilai suatu qirā’āt.
165
Ibn Mujᾱhid, al-Sab’ah fī al-Qirā’ah, hlm. 65.
73
Secara umum perjalanan penilaian ṣ�aḥ�iḥ�ah terbagi menjadi dua. Pertama,
kaidah qirā’āt sebelum adanya muṣ�ḥ�af uṣ�mani; dan kedua, kaidah qirā’āt setelah
muṣ�ḥ�af uṣ�mani.
Setidaknya ada tiga cara penilaian yang dilakukan sebelum muṣ�ḥ�af
uṣ�mani: Pertama, kembali kepada Nabi Muhammad S.A.W. sebagai tokoh utama
dalam periwayatan al-Qur’an dan juga sebagai satu-satunya rujukan dalam qirā’āt
al-Qur’an. Kedua, belum dimansukh tilawahnya. Ketiga, sesuai dengan
pemeriksaan terakhir Nabi Muhammad S.A.W. (al-‘Urḍ�ah al-Akhῑ�rah).166
Sedangkan setelah adanya muṣ�ḥ�af uṣ�mani, penilaian qirā’āt mengalami
perkembangan dalam beberapa tahap:
1. Tahap awal
Tahap ini didominasi oleh para ulama mutaqaddimin di mana mereka
membagi strata qirā’āt menjadi dua bagian, yakni qirā’āt yang maqbul (bisa
diterima) dan gair maqbul (tidak bisa diterima). Mereka membuat tiga kriteria
dalam menilai qirā’āt yang maqbul; Pertama, memiliki satu wajah yang kuat
dalam bahasa Arab. Wajah yang kuat yang dimaksud di sini adalah adanya
kefasihan susunan dalam tata bahasa Arab. Kedua, sesuai dengan rasm uṣ�mani.
Ketiga, disepakati oleh masyarakat umum. Yang dimaksud masyarakat umum di
sini adalah ahlu Haramain (Makkah-Madinah) atau ahlu Madinah dan Kufah.167
166
‘Abd al-Bᾱqῑ bin ‘Abd al-Rahmᾱn, Qawāid al-Naqd al-Qirā’āt, hlm. 111.167
‘Abd al-Qayyữm, Ṣahafāt, hlm. 49.
74
Istilah qirā’āt maqbulah pada masa ini terkadang mengacu pada qirā’āt
yang disepakati oleh Nᾱ�fi’ bin ‘Abd al-Rahmᾱ�n dan ‘Ᾱ�ṣ�im bin Abῑ� al-Nujữd
yang keduanya mewakili masyarakat umum di wilayah Madinah dan Kufah. Di
samping argumen tersebut, qirā’āt keduanya dianggap qirā’āt yang lebih ṣ�iqah,
sanadnya lebih ṣ�aḥ�iḥ� serta dari aspek bahasa Arab menempati posisi tertinggi
diikuti dengan qirā’āt-nya Abῑ� ‘Amr dan ‘Alῑ� al-Kisᾱ�’ῑ�.168
2. Tahap Kedua
Dalam tahap kedua ini, para ulama menggunakan dua term yang berbeda
dengan sebelumnya dalam menilai sebuah qirā’āt, yakni ṣ�aḥ�iḥ�ah dan
gairuṣ�aḥ�iḥ�. Kedua trem ini didasarkan pada tiga kriteria penilaian: Pertama,
sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Kedua, sesuai dengan rasm utsmani. Ketiga,
sanad qira’at-nya harus ṣ�aḥ�iḥ�.169
Kriteria-kriteria di atas mulai mengalami perkembangan yang signifikan,
khususnya dalam aspek sanad. Para ulama mulai memasukkan sanad sebagai salah
168
Kriteria ketiga masih diperselisihkan siapa yang dimaksud umum. Sebagian menyatakan bahwa umum di sini adalah masyarakat Makkah dan Madinah yang merupakan penutur asli bahasa Arab sehingga kemampuan mereka tidak lagi diragukan. Sebagian yang lain menyatakan berbeda, yakni masyarakat Madinah dan masyarakat Kufah. Hal ini didasarkan pada realitas masyarakat Madinah yang secara praktis lebih berkembang qirā’āt-nya dari masyarakat Makkah. Sedangkan masyarakat Kufah dipilih karena dari masyarakat Kufah kaedah bahasa Arab mulai diteoritiskan, yakni lewat gagasan Abu Aswad al-Dữ’ali yang notabenenya masyarakat Kufah. Lihat Makkῑ bin Abῑ Ṭᾱlib, al-Ibānah, pdf, hlm. 65.
169
Ṣaḥiḥnya sanad ditandai dengan adil dan ḍabiṭnya rawi mulai dari perawi awal sampai perawi terakhir tanpa ada syaż (penyelewengan) dan illat. Lihat Abữ al-Qᾱsim al-Nawῑrῑ, Ṭῑbah al-Nasyr, pdf, hlm. 3
75
satu syarat dalam penilaian qirā’āt mengingat pada masa ini perkembangan ilmu
hadis mengalami puncaknya. Hal ini juga berpengaruh pada naiknya popularitas
sanad di mana dalam hadis menjadi salah satu syarat diterimanya sebuah riwayat.
3. Tahap Ketiga
Pada tahap yang ketiga ini, secara umum kriteria qirā’āt masih sama
dengan kriteria pada tahap kedua namun hanya mengalami perluasan saja.
Perluasan ini dapat dilihat pada syarat yang kedua, yakni sesuai dengan kaidah
bahasa Arab. Kesesuaian ini yang awalnya sangat ketat, dalam arti harus benar-
benar sesuai dengan tipe atau wajah bahasa Arab yang fashih, pada tahap ini
mulai longgar. Tahap ketiga ini hanya mensyaratkan satu wajah saja dari bahasa
Arab, walaupun tidak fasih.170
Begitu juga dengan syarat ketiga, yaitu sesuai dengan rasm utsmani.
Kesesuaian ini juga mengalami kelonggaran yang pada tahap ini hanya
mengsyaratkan salah satu rasm mushaf utsmani dari beberapa mushaf yang
ditetapkan oleh ‘Uṣ�mᾱ�n bin ‘Affᾱ�n. Kesesuaian ini juga tidak diprasyaratkan
harus benar-benar sesuai akan tetapi cukup dengan kemungkinan (iḥ�timᾱ�l) saja.171
4. Tahap Keempat
170
Abữ al-Qᾱsim al-Nawῑrῑ, Ṭῑbah al-Nasyr, hlm. 3.171
‘Abd al-Qayyữm al-Sanadῑ, Ṣahafāt, hlm. 50.
76
Tahap keempat ini merupakan tahap di mana kriteria qirā’āt telah
disepakati secara umum oleh para ulama. Istilah mutawātirah juga sudai mulai
populer dan digunakan pada tahap ini menggantikan istilah maqbữlah dan
ṣ�aḥ�ῑ�ḥ�ah sebelumnya. Kriteria ini dinyatakan sebagai kriteria qirā’āt yang baku
dan standar qirā’āt mutawātirah yang tidak bisa diganggu gugat serta masih
berlaku sampai sekarang.
1. Qirā’āt harus mutawātirah
Suatu qirā’āt dapat diterima dan diamalkan apabila diriwayatkan oleh
banyak orang mulai sanad yang pertama sampai dengan yang terakhir yang
mereka tercegah dari adanya asumsi untuk memalsukan dan menyelewengkan
qirā’āt.172 Tidak cukup hanya dengan ṣ�aḥ�ῑ�ḥ� sanad akan tetapi harus ada
pendukung banyak orang untuk meriwayatkan sebuah qirā’āt dalam setiap
generasi.173 Ke-mutawātir-an inilah yang menjadi syarat utama untuk dapat
diterimanya suatu qirā’āt sesuai dengan kesepakatan para ulama.174
2. Sesuai dengan salah satu segi susunan kalimat bahasa Arab175
172
Abữ al-Ḥasan al-Sanadῑ, Bahjah al-Naẓr, pdf, hlm. 14-15.173
Ibn Qudᾱmah al-Muqaddasῑ, Rauḍah al-Naẓῑr, (Makkah : Aḥmad al-Bᾱz, 1401 H), hlm. 34. 174
Sebagian ulama ada yang tidak mensyaratkan kemutawatiran qirā’āt. Diantaranya Ibnu al-Jazari dan al-Nawῑrῑ yang hanya mensyaratkan keṣaḥiḥan sanad saja dengan argumen bahwa al-Qur’an telah diriwayatkan secara mutawātir dan kemudian mengapa qirā’āt diharuskan untuk mutawātir padahal qirā’āt hanya sebagai alat untuk membaca al-Qur’an yang secara kodrati pasti satu sama lain berbeda sehingga cukup disyaratkan ṣaḥiḥ sanadnya saja. Hal ini kemudian dibantah oleh sebagian besar ulamayang masih menetapkan mutawātir sebagai salah satu syarat, diantaranya Abữ al-Qᾱsim al-Ṣafrawῑ (w. 636), al-Dᾱnῑ (w. 444), Abữ al-Qᾱsim al-Haẑalῑ (w. 465), Abữ al-Ḥasan al-Sakhᾱwῑ (w. 902), al-Gazᾱli dalam al-Mustasyfᾱ, serta al-Suyữṭῑ dalam al-Itqᾱn. Lihat Ibn Zanjalah, Ḥujjah al-Qurrᾱ’, hlm. 12., al-Zarkasyi, Manāhil al-‘Irfān, Juz 1, hlm. 431-434,; al-Ṣafaqᾱsi, Ghaiṡ al-Naf’ ‘ala Hᾱmisy Sirᾱj al-Qᾱri’, hlm. 17.
175
77
Pada kriteria ini tidak diprasyaratkan untuk sesuai dengan susunan bahasa
Arab yang fashih, namun diberi adanya kelonggaran untuk menyesuaikan
terhadap salah satu wajah saja. Sehingga apabila ada suatu qirā’āt sesuai dengan
salah satu segi susunan kalimat bahasa Arab, baik itu yang paling fashih, atau
sekedar fashih saja, atau sekedar disepakati oleh masyarakat umum, ataupun
diperselisihkan, hingga sampai yang dianggap ḍ�a’if dari aspek bahasa,
kesemuanya dapat diterima kebenarannya.176
Setidaknya ada beberapa penilaian yang berkaitan dengan bahasa Arab,
antara lain:
1. Sesuai dengan lahjat Arab yang masyhur. Kalimatسوى yang masyhur
adalah dibaca ḍ�ammah sīn-nya. Namun ada juga yang membacanya
dengan kasrah akan tetapi sangat sedikit, dan keduanya itu benar.
2. Sesuai dengan al-Qawā’id al-Nahwiyyah. Sebagaimana bacaan الله واتقوا
واالرحام به تســـــــاءلون , الذي dengan dibaca nasab dan khafaḍ�. Pembacaan nasab dengan alamat fathah dikarenakan aṭ�af pada lafadz الله,
sedangkan dibaca khafaḍ� dengan alamat kasrah karena diaṭ�afkan pada
ḍ�amir majrur به. Dan keduanya sama-sama diamalkan.
3. Sesuai dengan al-Qawā’id al-Ṡ�arfiyyah. Sebagaimana dalam lafadz
dengan fathah-nya sin atau ميســــرة ḍ�ammah-nya. Ahli Najd membaca
Pada dasarnya ketentuan ini masih diperbincangkan para ulama. Hal ini dikarenakan bahwa hakekat bahasa Arab terambil dari al-Qur’an sehingga tidak pantas untuk menilai benar atau salahnya sebuah qirā’āt sebagaimana yang telah diungkapkan oleh al-Syafaqasi. Namun kemudian atas upaya Abu al-Aswad al-Du’ali yang merumuskan kaedah bahasa Arab, kaedah tersebut menjadi tolok ukur diterimanya sebuah qirā’āt. Lihat ‘Abd al-Bᾱqῑ bin ‘Abd al-Rahmᾱn, Qawāid al-Naqd al-Qirā’ah, hlm 319-325.
176 ‘Abd al-Qayyữm, Ṣahafāt, hlm. 54.
78
lafadz tersebut dengan fathah yang merupakan bacaan yang paling fashih
daripada ahli Hijaz yang membacanya dengan kasrah. 177
3. Sesuai dengan salah satu mushaf utsmani 178
Syarat ketiga untuk dapat diterima tidak langsung begitu saja terbentuk
setelah diresmikannya mushaf usmani pada masa ‘Uṣ�mᾱ�n bin ‘Affᾱ�n. Akan
tetapi ada proses perkembangan yang juga terkait dengan bentuk final dari tulisan
bahasa Arab hingga pada akhirnya syarat qirā’āt untuk bisa diterima adalah salah
satunya dengan kesesuaian terhadap mushaf usmani.
Kesesuaian dengan mushaf utsmani terbagi menjadi dua. Pertama,
tahqῑ�qan ṣ�arῑ�ḥ�an, yakni benar-benar sesuai dengan mushaf utsmani. Kedua,
taqdῑ�ran iḥ�timᾱ�lan, yakni hanya dimungkinkan atau dikira-kirakan untuk sesuai
dengan mushaf usmani.179
Kesesuaian dengan muṣ�ḥ�af uṣ�mani pada tahap terakhir ini hanya
diprasyaratkan taqdῑ�ran iḥ�timᾱ�lan sehingga tidak harus benar-benar sesuai
dengan muṣ�ḥ�af uṣ�mani akan tetapi sudah cukup dimungkinkan atau ditakdirkan
bacaannya dengan rasm uṣ�mani.
177
Ibn al-Jinnῑ, al-Muḥtasib fī Ta’yῑn al-Wujữh, juz 1, hlm. 71.178
Syarat yang ketiga adalah sesuai dengan rasm utsmani atau mushaf utsmani. Rasm dalam bahasa bermakna bekas atau jejak. Sedangkan dalam istilah adalah tulisan atau bentuk dari sebuah kalimat dari abjad. Rasm terbagi menjadi dua: Pertam,a rasm qiyasi, yakni bentuk tulisan yang disepakati. Kedua, rasm isthilahi, bentuk tulisan yang tidak disepakati yang bisa disebabkan karena adanya ziyadah, badal, hażaf, faṣl, dan waṣl. Lihat ‘Abd al-Qayyữm, Ṣahafāt, hlm. 135.179
‘Abd al-Qayyữm, Ṣahafāt, hlm. 56
79
Kriteria penilaian di atas tidak hadir secara bersamaan namun bertahap,
satu demi satu yang pada akhirnya terkumpul menjadi satu kesatuan dalam
menilai sebuah qirā’āt. Penilaiannya ini, secara kronologi dimulai dengan term
mutawātir yang embrionya sudah terlihat pada masa imam qurra’ dan masa-masa
sebelumnya dengan pengguanaan sanad yang masih sederhana yang kemudian
dalam perjalanannya dipengaruhi juga dengan perkembangan keilmuan hadis.
Kemudian berkaitan dengan aspek bahasa Arab yang memang hal ini dijadikan
syarat semenjak berkembangnya keilmuan linguistik Arab atau keilmuan nahwu.
Dan selanjutnya berkaitan dengan rasm usmani yang dimulai sejak
diproklamirkannya mushaf utsmani pada zaman ‘Uṣ�mᾱ�n bin ‘Affᾱ�n.
Ketiga kriteria ini kemudian berkembang sampai satu sama lain mulai
mapan. Sehingga apabila dilihat dari kemapanannya, maka kaidah bahasa Arab
lebih dahulu ada, karena pada abad ke-2 H, kaidah bahasa Arab ini sudah final.
Hanya saja perbedaan mazhab para imam Nahwu (Nuḥ�ᾱ�h) menjadi salah satu
faktor perbedaan dalam menilai qirā’āt. Dilanjutkan dengan ke-mutawātir-an
qirā’āt dan rasm utsmani yang keduanya bersamaan menjadi sebuah bentuk final.
Hal ini dapat dilihat pada masa Ibn Mujahid yang mana keilmuan qirā’āt telah
mulai baku. Sedangkan rasm utsmani terkait dengan aksara Arab atau rasm al-
Qur’an, bentuk finalnya pada abad ke-3 H. Kesimpulan terakhir adalah banyaknya
ragam atau sisi penilaian yang digunakan oleh ulama walaupun masih dalam satu
tema penilaian dan tidak ada kesepakatan dalam cara atau hasil penilaiannya.
80
BAB III
AL-Ṭ�ABARῙ� DAN JᾹ�MI’ AL-BAYᾹ�NA. Riwayat Hidup Al-Ṭ�abarῑ� (840 M-923 M)
81
1. Seputar Kehidupan Al-Ṭ�abarῑ�Al-Ṭ�abarῑ� yang merupakan seorang penafsir al-Qur’an yang terkenal
mempunyai nama lengkap Abū Ja’far Muḥ�ammad bin Jarῑ�r bin Yazῑ�d bin Kaṣ�ῑ�r bin Gālib al-Ṭ�abarῑ� al-‘Amūli.180 Nama Abū Ja’far merupakan nama kunyah yang
diberikan kepadanya sebagai penghormatan atas kepribadiannya yang sesuai
dengan kebiasaan orang Arab memberi gelar kepada pemuka dan pemimpin
mereka. Gelar kehormatan inilah yang sudah mentradisi di dunia Arab dan
biasanya diberikan atau disandangkan kepada seseorang karena kebesarannya dan
keagungannya.181 Sedang nama al-Ṭ�abarῑ� dinisbatkan kepadanya sebagai
penisbatan tanah kelahirannya yang memang diambil dari nama suatu daerah di
Iran, yakni Ṭ�abaristan.182 Begitu juga nama al-‘Amūli dinisbatkan juga kepadanya
karena berasal dari Amul yang tidak lain adalah ibu kota Ṭ�abaristan yang
merupakan suatu wilayah yang masyhur dengan banyaknya ulama dan merupakan
180
Para ahli sejarah sampai saat ini telah sepakat bahwa nama al-Ṭabarῑ adalah Muḥammad bin Jarῑr bin Yazῑd bin Kasῑr bin Gālib. Nama inilah yang disebutkan oleh al-Khatῑb al-Bagdādi, Ibn Kasῑr, serta al-Ẑahabi. Ada beberapa ahli sejarah yang masih berselisih pendapat mengenai nama kakeknya, yakni antara Kaṡῑr bin Gālib dan Khālid bin Gālib. Sebagian ulama seperti Ibnu al-Nāẓῑm, Ibnu Khilikān, dan al-Safadi bersepakat bahwa nama kakeknya adalah Khalid bin Gālib. Akan tetapi beberapa ulama seperti al-Khatῑb al-Bagdādi serta al-Ẑahabi menyatakan bahwa nama kakek beliau adalah Kaṡῑr bin Gālib. Nama inilah yang lebih masyhur di kalangan ulama sampai sekarang. Lihat Ḥusain ‘Asyr, Abữ Ja’far Muḥammad ibn Jarῑr al-Ṭabarῑ wa Kitābuhū Tārῑkh al-Umam wa al-Mulūk, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), cet. 1, hlm. 51-52.
181Ḥusain ‘Asyr, Abū Ja’far Muḥammad ibn Jarῑr al-Ṭabarῑ wa Kitābuhū Tārῑkh al-Umam wa al-Mulūk, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), cet. 1, hlm. 51-52. 182
Para sejarawan menyatakan bahwa asal usul penamaan daerah tersebut dengan Ṭabaristan adalah dikarenakan letak geografisnya di sekitar pegunungan yang dihuni oleh para penduduk yang suka berperang dan memperluas kekuasaan dan wilayahnya dengan kampak (diistilahkan dengan al-ṭabar). Akan tetapi menurut Abū Ḥātim yang mendengar langsung penuturan al-Ṭabarῑ, bahwa daerah Ṭabaristan merupakan suatu wilayah yang dikelilingi oleh pepohonan yang oleh masyarakat setempat pepohonan tersebut ditebang dengan kampak (al-ṭabar) untuk bangunan hunian mereka. Lihat Muḥammad Bakr Ismā’ῑl, Ibn Jarῑr al-Ṭabarῑ wa Manhajuhữ fi al-Tafsῑr (Kairo: Dar al-Manār, 1991), hlm. 9-10. ; Al-Zabῑdῑ, Tāj al-Arūsy, juz 4, hlm. 495; Musṭafā al-Ṣāwῑ al-Juwainῑ, Manāhij fi al-Tafsῑr (Iskandariah: Mansya’āt al-Ma’ārif, tt) hlm. 301.
82
salah satu tempat berkembangnya kebudayaan Islam pada era itu. Iklim yang
seperti inilah yang secara ilmiah mendorongnya sejak kecil untuk mencintai ilmu
dan ulama sebagai sumber ilmu.183
Penisbatan al-Ṭ�abarῑ� kepada daerah Ṭ�abaristan umumnya
mengindikasikan bahwa al-Ṭ�abarῑ� bukanlah orang Arab asli. Namun asumsi ini
kemudian ditolak oleh para ulama yang bersepakat bahwa al-Ṭ�abarῑ� adalah orang
Arab asli yang terlahir di daerah Ajam.184
al-Ṭ�abarῑ� dilahirkan dikota Bahgdad pada akhir tahun 224 H awal tahun
225 H bertepatan dengan 840 M dan wafat pada tahun 310 H atau 923 M yang
Islam pada abad itu berada dalam kemajuan dan kesuksesan pemikiran.185 183
Kota Amūl merupakan ibu kota Ṭabaristan yang berbatasan dengan kota Babul dekat laut Kaspia. Lihat Musṭafā al-Ṣāwῑ al-Juwainῑ, Manāhij fi al-Tafsῑr (Iskandariah: Mansya’āt al-Ma’ārif, tt) hlm. 301.
184
Statemen tersebut juga dapat ditinjau dari beberapa hal, diantaranya:a) Pengetahuannya yang sangat luas mengenai pengetrahuan bahasa Arab dan dialek-dialek Arab yang bermacam sehingga al-Ṭabarῑ dapat menyeleksi, memilah, serta memilih qira’at-qira’at dengan berbagai kualitasnya sebagai alat bantu dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Seseorang yang paham dan menguasai secara mendalam lahjah Arab adalah orang yang asli Arab. Pendapat lain menambahkan bahwa al-Ṭabarῑ adalah orang yang sangat faṣih untuk mengeja alfabetis Arab. Pendapat ini juga mendukung statemen yang menyatakan bahwa al-Ṭabarῑ adalah orang asli Arab walaupun memang secara fisik al-Ṭabarῑ berperawakan tinggi dan memiliki warna kulit kuning kecoklat-coklatan yang umumnya merupakan ciri fisik orang Ajam. b) Gaya bahasa yang dipergunakan al-Ṭabarῑ dalam tafsir Jᾱmi’ al-Bayᾱn sangat jelas dan mudah serta tidak ada cela bahasa di dalamnya. Hal ini berbeda dengan dengan kitab tafsir Ajam lainnya. c ) Al-Ṭabarῑ tumbuh dalam lingkungan keluarga yang agamis. Orang tuanya memberikan perhatian yang lebih pada penguasaan bahasa Arab yang meruapakan bahasa al-Qur’an dan Hadis sehingga tidak heran apabila al-Ṭabarῑ hafal al-Qur’an dalam usia tujuh tahun dan menjadi imam shalat serta menulis hadis dalam usia yang tidak lebih dari sembilan tahun. Atas kecerdasan dan ketekunannya ini, al-Thabari memperoleh kepercayaan menjadi imam shalat di usia yang relatif kecil, yakni usia 8 tahun. Lihat Abū ‘Abdillah Ya’qūb bin ‘Abdillah Yāqūt, Mu’jam al-Udabā’, juz 2, hlm. 348. d) Dalam kitab tarikhnya, al-Ṭabarῑ mampu merujuk dalil-dalil klasik (Arab) sebagai indikasi keterkaitannya dengan dunia Arab. e) Nama ayah dan kakeknya adalah nama-nama Arab sebagai bukti bahwa keluarrga al-Ṭabarῑ adalah orang Arab yang melakukan ekspansi ke negara Ṭabaristan pada masa kekhilafahan ‘Uṡmᾱn bin ‘Affᾱn.Lihat Muḥammad Bakr Ismᾱ’ῑl, Ibn Jarῑr al-Ṭabarῑ wa Manhajuhữ fi al-Tafsῑr (Kairo: Dar al-Manār, 1991),hlm. 11-12.185
Para sejarawan belum bisa melacak secara pasti tahun kelahiran al-Ṭabarῑ. Sebagian menyatakan al-Ṭabarῑ lahir di akhir tahun 224 H atau awal tahun 225 H (sekitar tahun 839/840 M). Adanya ketidakpastian tahun kelahiran al-Thabari ini disebabkan oleh sistem penanggalan pada
83
Keadaan inil turut berperan dalam pembentukan karakter al-Ṭ�abarῑ� dalam
perkembangan keilmuan dan intelektualnya pada masa yang akan datang.186
Kecerdasan dan ketenaran namanya sebenarnya sudah diketahui oleh
ayahnya sewaktu al-Ṭ�abarῑ� masih kecil. Ayahnya pernah mendapatkan isyarat
lewat mimpi pada suatu malam. Mimpi tersebut berisi bahwa al-Ṭ�abarῑ� berada di
dekat Rasulullah S.A.W. yang kemudian memberikan segenggam batu. Lalu
mereka berdua melempar-lemparkan batu tersebut bersama-sama. Mimpi tersebut
diartikan bahwa kelak di masa akan datang al-Ṭ�abarῑ� akan menjadi penasehat
agama dan memelihara syari’at Rasulullah S.A.W.187
Sejak saat itu, ayahnya selalu giat mendidik, mengajar, serta melatihnya
sehingga al-Ṭ�abarῑ� tumbuh sebagai seorang yang mempunyai akhlak mulia,
berpengetahuan luas dan sangat wara’, serta lebih mementingkan pemenuhan
aspek spiritual dibanding material. Berkat didikan ayahnya juga, al-Ṭ�abarῑ� menguasai berbagai disiplin ilmu telah berkembang saat itu terutama hadis, fiqh,
tarikh, serta balaghah.
waktu itu yang masih tradisional yang mengacu pada kejadian-kejadian besar yang mengiringi bukan dengan angka. Lihat Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur Isra’iliyyat dalam Tafsir al-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), hlm. 58; Muḥammad bin Ibrāhῑm bin ‘Umar, al-Wāfῑ bin al-Wafayāt, pdf, hlm. 284.186
Al-Ṭabarῑ hidup pada era dinasti Bani ‘Abbasyiah, yakni pada akhir periode pertama (132 H /750 M – 232 H /847 M) sampai akhir periode kedua (232 H /847 M – 334 H /945 M), di kedua periode ini dinasti ‘Abbasyiah mulai terpengaruh dengan tradisi-tradisi bangsa Turki yang sebelumnya tradisi-tradisi Persia telah masuk dan berasimilasi dengan tradisi Arab. Lihat Salmān Zaghlūl, al-Adab fῑ ‘Asrῑ ‘Abbᾱsyiyyah (Beirut: Dar al-Kutob al-Ilmiyyah, 1998), hlm. 56.187
Hal ini diungkapkan langsung oleh al-Ṭabarῑ kepada Abu Bakar bin Kamil sewaktu mereka bertemu sebelum melakukan jama’ah. Lihat Abu Ja’far Muhammad bin Jarῑr al-Ṭabarῑ, Jāmi’ al-Bayān ‘an Tafsῑr ay al-Qur’an, jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hlm. 8.
84
Al-Ṭ�abari yang juga terkenal sebagai ahli fiqh yang awalnya menganut
Mazhab Syafi’i akan tetapi kemudian membentuk mazhab sendiri setelah meneliti
lebih jauh mengenai mazhab tersebut. Hal ini terjadi sekembalinya dari Mesir
setelah 10 tahun menimba ilmu di sana. Mazhab al-Ṭ�abarῑ� ini kemudian oleh
muridnya dinamakan mazhab “Jaririyah”.188 Namun mazhab bentukan al-Ṭ�abarῑ� ini lambat laun dilupakan dan ditinggalkan pengikutnya karena dianggap
bertentangan dengan Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali.189
Al-Ṭ�abarῑ� menghabiskan waktunya dalam beribadah dan menuntut ilmu.
Letak pusat pendidikan dan pengajaran ilmu yang berada jauh dari tempat
tinggalnya mengharuskan dia untuk meninggalkan tanah kelahirannya. Al-Ṭ�abarῑ� mengembara dari satu daerah ke daerah yang lain untuk mencari dan mengkaji
188
Nama “Jaririyah diambil dari nama ayahnya, yakni Jarir bin Katsir. Awalnya al-Ṭabarῑ menganut mazhab Syafi’i karena memang keluarganya merupakan penganut Syafi’iyyah. Namun tidak ada data yang jelas akan alasan al-Tabari keluar dari mazhab Syafi’i dan kemudian mendirikan mazhab Jaririyyah. Al-Suyuthi menuturkan bahwa sekembalinya al-Ṭabarῑ dari Mesir, dia mulai mengeluarkan pendapat-pendapat, beristinbat dan berijtihad sendiri, dan kemudian menentukan pilihan-pilihan sendiri. Lambat laun al-Ṭabarῑ memiliki sejumlah pengikut yang terdiri dari para muttabi’ dan para muqallid, bahkan memiliki beberapa kitab ushul dan furu’. Secara personal, al-Ṭabarῑ tidak mendeklarasikan mazhabnya sebagai saah satu mazhab dari mazhab yang lain, akan tetapi para pengikutnya yang kemudian memproklamirkan sebagai suatu mazhab resmi yang bernama ‘Mazhab Jariri’ yang diambil dari nama ayahnya Jarir yang memang sebelum masyhur dengan nama al-Ṭabarῑ, lebih masyhur dengan nama kunyah Ibnu Jarir. Dan pengikutnya disebut sebagai ‘Jaririyah’. Namun mazhab ini kehilangan pamor dan mengalami stagnansi, terlebih setelah al-Ṭabarῑ meninggal dunia hingga benar-benar hilang pada abad ke-4. Dengan berdirinya mazhab Jariri ini sebagai mazhab baru, timbullah gesekan-gesekan dengan mazhab lain yang lebih mu’tabar sampai terjadi perselisihan, terlebih dengan mazhab Hanbali yang merupakan mazhab yang ketat dan ekstrim. Sebagian riwayat ada yang menyatakan bahwa para pengikut Hanbaliah sampai melempari kediaman al-Ṭabarῑ dengan batu-batu atas dasar ketidak-sukaannya dengan mazhab al-Ṭabarῑ yang dianggap baru dan sesat karena tidak sesuai dengan para imam mazhab yang mu’tabar. Lihat al-Khatῑb al-Bagdᾱdῑ, Tᾱrῑkh Bagdᾱd, Syameela, versi 2.11, Jilid 1, hlm. 166.; Jalᾱl al-Suyữṭi, Ṭabaqᾱt al-Mufassirῑn (Beirut: Dar al-Kutob, 1999), hlm. 3.; Syams al-Dῑn al-Daurῑ, Ṭabaqᾱt al-Mufassirῑn (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm.117.
189
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat dalam Tafsir al-Ṭabarῑ dan Tafsir Ibnu Kaṡῑr, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 60.
85
ilmu hingga akhirnya wafat pada Senin, 27 Syawal 310 H bertepatan 17 Februari
tahun 923 M di Baghdad dalam usia 85 tahun dan dimakamkan di sana juga.190
2. Pendidikan dan Karir Keilmuanya
Al-Ṭ�abarῑ� memulai pendidikannya di kampung halamannya sendiri, yakni
Amul dan masih dalam asuhan ayahnya sendiri yang latar belakang agamanya
sangat kuat. Dalam asuhan ayahnya inilah al-Ṭ�abarῑ� belajar al-Qur’an, menghafal
al-Qur’an, dan menulis serta menghafal hadis sampai benar-benar mapan dalam
bidang al-Qur’an-Hadis. Di kota Amul, al-Ṭ�abari juga belajar kepada
cendekiawan muslim yang berada di sana untuk belajar ilmu-ilmu agama selain
yang didapatkan dari ayahnya.191
Setelah merasa cukup belajar di kota Amul, Al-Ṭ�abarῑ� kemudian hijrah
ke Rayy dan daerah sekitarnya.192 Al-Ṭ�abarῑ� menimba ilmu kepada Abữ Abdillᾱ�h
Muḥ�ammad bin Ḥ�umaid al-Rᾱ�zῑ� dan Muṣ�annᾱ� bin Ibrᾱ�hῑ�m al-Abῑ�lῑ� khusus
dalam bidang hadis. Di samping itu juga al-Ṭ�abarῑ� belajar sejarah kepada
Muḥ�ammad bin Aḥ�mad bin Ḥ�ammad al-Dawlabῑ�.190
Al-Khaṭῑb al-Bagdᾱdῑ mengungkapkan bahwa pada saat al-Ṭabarῑ dikebumikan, banyak sekali kaum muslimin yang berkumpul di pusaranya. Tidak ada yang tahu pasti berapa jumlahnya karena saking banyaknya pelayat. Di pusaranya, para pelayat melakukan shalat siang dan malam selama berbulan-bulan setelah kewafatannya. Kepergiannya juga ditangisi oleh para sastrawan dan cendikiawan di masanya. Mengenai hari kewafatannya, Al-Khatib menyatakan bahwa al-Ṭabarῑ meninggal bukan di hari Senin melainkan hari Sabtu, 25 Syawwal 310 H dan kemudian dikebumikan di sebuah rumah yang terletak pada tanah lapang ‘Ya’qữb’ pada esok harinya, yakni hari Ahad. Lihat Muhammad Bakr Isma’il, Ibn Jarῑr al-Ṭabarῑ wa Manhajuhū fῑ al-Tafsῑr (Kairo: Dar al-Manar, 1991), hlm. 6-7.; Mu’jam al-Udabᾱ’, juz 2, hlm. 362.
191
Jamᾱl al-Dῑn al-Qifṭῑ, Inbᾱh al-Ruwᾱh ala Anbah al-Nuḥᾱh, hlm. 452.192
Rayy merupakan kota tua yang terletak di bagian Utara Iran. Kota ini merupakan tempat kelahiran Khalifah Harun al-Rasyid dan merupakan tempat yang melahirkan banyak cendekiawan muslim, diantaranya Fakhr al-Dῑn al-Rᾱzῑ. Lihat Franz Rosenthal, The History of al-Ṭabarῑ (New York: tt, ttp), vol 1, hlm. 16.
86
Setelah belajar di Rayy, al-Ṭ�abarῑ� melanjutkan rihlah ilmiah menuju
Baghdad. al-Ṭ�abari menuju Baghdad untuk belajar kepada Ahmad bin Ḥ�anbal
(164-241 H). Namun sesampainya di Bahgdad, al-Ṭ�abarῑ� mendapatkan berita
bahwa Imam Ahmad bin Ḥ�anbal telah wafat. Kewafatan Imam Ahmad tidak
membuatnya putus asa. Kesempatannya berada di Baghdad digunakannya untuk
bertemu dan menimba ilmu kepada beberapa ulama seperti Muḥ�ammad bin
Mữsᾱ� al-Ḥ�arasy, ‘Ammᾱ�r bin Mữsᾱ� al-Qazzᾱ�z, dan lain sebagainya.
Dari Baghdad, Al-Ṭ�abarῑ� bertolak menuju Basrah. Di Bashrah al-Ṭ�abarῑ� berguru kepada Muḥ�ammad bin ‘Abd al-‘Alᾱ�’ al-San’ᾱ�ni (w. 245 / 859),
Muhammad bin Mữsᾱ� al-Ḥ�arasy (w. 248 / 862), Abữ al-‘Abbᾱ�s al-‘Aṣ�’aṣ�, Aḥ�mad bin al-Miqdᾱ�m (w. 253 / 867), dan Abu al-Jawzᾱ�’ Aḥ�mad bin Uṣ�man
(w. 246 / 860). Sewaktu di Bashrah juga, al-Ṭ�abarῑ� belajar khusus di bidang tafsir
serta kajian yang berhubungan dengan seluk beluk tafsir kepada Ḥ�umaid bin
Masy’adah dan Bisyr bin Mu’ᾱ�ẓ� al-‘Aqᾱ�di (w. 245 / 860).193
Dari Bashrah, al-Ṭ�abarῑ� melanjutkan perjalanannya menuju Kufah yang
sebelumnya telah singgah terlebih dahulu di daerah Wasit untuk belajar hadis.194
Di Kufah inilah al-Ṭ�abarῑ� belajar secara mendalam tentang ilmu hadis dan kajian-
kajian keilmuan yang berkaitan dengannya. Kota Kufah inilah yang mencetak al-
Ṭ�abarῑ� pada masa selanjutnya sebagai salah satu ulama hadis yang sangat
193
Muhammad Yusuf, “ Jᾱmi’ al-Bayᾱn fi Tafsῑr Ᾱy al-Qur’ᾱn Karya Ibnu Jarῑr al-Ṭabarῑ”, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 4, No. 1, Yogyakarta, 2003, hlm. 22.194
Rosihon Anwar, Melacak Isra’iliyyat,... hlm. 58.
87
terkenal. Banyak ulama hadis yang ditemuinya, diantaranya Ḥ�anᾱ�d bin al-Ṡ�uray,
Ismᾱ�’ῑ�l bin Mữsᾱ� al-Fazᾱ�rῑ� (w. 245), Ḥ�ammad bin al-Sirrῑ� al-Dᾱ�rῑ�mi al-Kữfῑ� (w. 243) dan beberapa ulama lainnya terlebih kepada Abữ Kurayb Ibrᾱ�hῑ�m bin
A’lᾱ� al-Ḥ�amdᾱ�nῑ� (w. 248) , seorang maestro hadis, karena dari beliaulah al-
Ṭ�abarῑ� mendapatkan lebih dari 100.000 hadis.195 Di Kufah, al-Ṭ�abarῑ� mulai
belajar qira’at dan dasar-dasarnya kepada Sulaimᾱ�n al-Ṭ�ulhῑ� bin Khallᾱ�d al-
Samῑ�rῑ� (w. 261).196
Selang beberapa waktu di Kufah, al-Ṭ�abari kembali ke Baghdad dan
menetap dalam waktu yang cukup lama. Dalam hijrahnya yang kedua kali di
Baghdad, al-Ṭ�abarῑ� melanjutkan pengembaraannya di bidang qira’at secara lebih
dalam dan komperhensif kepada Aḥ�mad bin Yữsuf al-Ṡ�a’labῑ�. Dalam singgahnya
yang kedua kalinya di Baghdad ini, al-Ṭ�abarῑ� mulai mengkaji fiqh, terlebih fiqh
Syafi’iyyah kepada al-Ḥ�assᾱ�n bin Muḥ�ammad al-Ṡ�abbᾱ�h al-Za’farᾱ�nῑ� dan Abῑ� Sa’ῑ�d al-Astakhᾱ�ri.
195
Para ulama Kufah mengagumi kecerdasan dan kekuatan hafalan al-Ṭabarῑ maka pantaslah al-Thabari mendaapatkan 100.000 hadis dari sang maestro hadis Kufah, Abu Kuraib al-Hamdani. Kecerdasannya ini pula dapat dilihat dari banyaknya buah karya yang dihasilkan oleh al-Ṭabarῑ. Al-Khatib al-Bahgdadi mendengar ‘Ali bin ‘Ubaidillah al-Lughawi al-Sanusi menyatakan bahwa al-Ṭabarῑ aktif menulis selama 40 tahun dengan perkiraan setiap harinya menulis 40 lembar. Al-Farqani menyebutkan bahwa sebagian murid al-Ṭabarῑ memperhitungkan apabila jumlah kertas yang pernah ditulisnya dibagi dengan usianya yang dihitung semenjak usia baligh sampai wafat, maka diperkirakan bahwa al-Ṭabarῑ menulis 14 lembar setiap harinya. Lihat Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Jambatan 1992), hlm. 362; Muṣṭafᾱ al-Ṣᾱwῑ al-Juwainῑ, Manᾱhij fῑ al-Tafsῑr, pdf, hlm. 309.
196
Jamᾱl al-Dῑn al-Qifṭῑ, Inbᾱh al-Ruwᾱh ala Anbah al-Nuḥᾱh, hlm. 452; Abu ‘Abdillᾱh Ya’qữb bin ‘Abdillᾱh Yᾱqữt al-Ḥamᾱwῑ, Mu’jam al-Udabᾱ’, juz 2, hlm. 348.
88
Selang beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 253 H, al-Ṭ�abarῑ� pindah ke Mesir yang pada masa itu merupakan masa awal-awal pemerintahan
Aḥ�mad bin Ṭ�ulữn. Namun sebelum sampai ke Mesir, al-Ṭ�abarῑ� singgah terlebih
dahulu di Syam197 untuk melanjutkan pembelajarannya di bidang qira’at secara
lebih dalam kepada al-‘Abbᾱ�s bin al-Wᾱ�lid dan juga mengetahui aliran-aliran
fiqh yang berkembang di sana. Barulah setelah dirasa cukup, al-Ṭ�abarῑ� bertolak
ke Mesir.198
Secara umum kehidupan al-Ṭ�abarῑ� di Mesir adalah untuk menimba
berbagai macam bidang keilmuan seperti nahwu, sastra, bahasa, serta sejarah
kepada ulama-ulama kenamaan. Namun al-Ṭ�abarῑ� lebih menitikberatkan
pendidikannya di bidang fiqh. Al-Ṭ�abarῑ� belajar fiqh Syafi’iyyah kepada al-Rabῑ�’ bin Sulaimᾱ�n al-Murᾱ�dῑ�, Ismᾱ�’ῑ�l bin Ibrᾱ�hῑ�m al-Muzannῑ�, Muḥ�ammad bin
‘Abdullᾱ�h bin al-Hakam beserta saudaranya, ‘Abd al-Rahman bin ‘Abdullah bin
al-Hakam.199 Di samping fiqh Syafi’iyyah, al-Ṭ�abarῑ� juga belajar fiqh Malikiyyah
kepada murid-murid ‘Abdullᾱ�h bin Wahb. Di Mesir ini juga, al-Ṭ�abarῑ� mendalami qira’at untuk ketiga kalinya kepada Yữnus bin ‘Abd al-A’la al-Ṡ�adafi
197
Beberapa sumber menyatakan bahwa sebelum al-Ṭabarῑ menuju Syam, dia singgah terlebih dahulu di Fustat, akan tetapi hanya sebentar saja. Sehingga beberapa ahli sejarah tidak memasukkan perjalanan al-Ṭabarῑ ke Fustat kedalam auto biografi al-Ṭabarῑ. Lihat Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta : Jambatan 1992), hlm. 362; Rosihon Anwar, Melacak Isra’iliyyat, hlm. 58.
198
Muḥammad Bakr Ismᾱ’ῑl, Ibn Jarῑr al-Ṭabarῑ wa Manhajuhū fῑ al-Tafsῑr (Kairo : Dar al-Manar, 1991), hlm. 25.
199
Sewaktu berada di Mesir, al-Ṭabarῑ memiliki kawan sejawat untuk berdebat hingga akhirnya mengakui kecerdasan dan ke’aliman al-Ṭabarῑ, yaitu Abữ al-Ḥasan ‘Alῑ al-Sirᾱjῑ al-Miṣrῑ. Lihat Ḥusein ‘Ᾱsῑ, ‘Alam Muarikh al-‘Arab wa al-Islᾱm, (Beirut : Dar al-Kutob, 1992), hlm. 93.
89
khusus qira’at Ḥ�amzah dan qira’at Warasy setelah belajar qira’at di Baghdad dan
Syam. Di Mesir ini, al-Ṭ�abarῑ� berkesempatan menimba ilmu kepada Muhammad
bin Ishaq bin Khuzaimah, yaitu seorang sejarawan Mesir dan salah seorang
pengarang kitab sirah yang kemudian dijadikan rujukan dalam karya sejarahnya
yang monumental, “Tarikh al-Umam wa al-Muluk”.200
Setelah puas menimba ilmu di Mesir, al-Ṭ�abarῑ� kembali ke Baghdad dan
menetap di sana untuk mengajar dan mengarang kitab. Di samping itu juga,
mempelajari tradisi-tradisi Arab. Selama berdomisili di Baghdad, al-Ṭ�abarῑ� menolak seluruh imbalan atas jasanya mengajar dan menulis kitab serta menolak
tawaran-tawaran untuk menduduki jabartan-jabatan penting dalam pemerintahan.
Sikapnya tersebut membuatnya lebih fokus dan konsentrasi dalam menggeluti
berbagai bidang ilmu yang tidak terbatas pada bidang sejarah, fiqh, tafsir, dan
hadis, melainkan juga dalam bidang sastra, leksikografi, tata bahasa, tradisi Arab,
logika, dan kedokteran.201
Puncaknya adalah sewaktu guru-gurunya, yakni Sufyᾱ�n bin ‘Uyainah,
Wakῑ�’ bin Jarrah, Syu’bah bin al-Hallᾱ�j, Yazῑ�d bin Hᾱ�rữn, dan Abd Ibn Hamῑ�d
mendorong dan membuka jalan bagi al-Ṭ�abarῑ� untuk menulis sebuah tafsir al-
200
Ḥusein ‘Ᾱsῑ, ‘Alam Muarikh al-‘Arab wa al-Islᾱm, (Beirut : Dar al-Kutob, 1992), hlm. 93. 201
Al-Ṭabarῑ berdomisili di Baghdad sampai akhir hayatnya tahun 923 M. Setiap tempat yang dikunjunginya dan berjumpa dengan ulama-ulama besar yang kemudian al-Ṭabarῑ menimba ilmu dari mereka. Tidak terbatas pada satu bidang tertentu, melainkan semua bidang ilmu yang memungkinkannya diberi gelar Ilmuan Ensiklopedik. Atau dapat diistilahkan Ensiklopedi berjalan. Lihat Rosihon Anwar, Melacak Isra’iliyyat, hlm 60.
90
Qur’an yang kemudian menjadi masterpeice-nya yang monumental di bidang
disiplin ilmu tafsir, yakni Jāmi’ al-Bayān fῑ� Tafsῑ�r Ay al-Qur’ān.202
3. Karya-karyanya
Al-Ṭ�abarῑ� merupakan seorang ulama yang produktif dalam karya tulis
sehingga banyak karyanya dalam berbagai bidang. Namun secara fisik tidak
semua karyanya dapat ditemukan sekarang. Diperkirakan beberapa karyanya
terutama dalam bidang hukum turut lenyap bersamaan dengan lenyapnya mazhab
al-Ṭ�abarῑ� sehingga hanya menyisakan beberapa karya yang dapat ditemukan
hingga kini.203 Di antaranya, dalam bidang tafsir al-Qur’an; “Jāmi’ al-Bayān fῑ� Tafsῑ�r Ay al-Qur’ān” yang ditulisnya pada abad ke-3, yakni pada tahun 283 H
sampai 290 H.204 Jāmi’ al-Bayān fῑ� Tafsῑ�r Ay al-Qur’ān yang terdiri dari 30 jilid
pada mulanya dianggaap hilang namun kemudian ditemukan oleh salah seorang
‘Amir Najd, yang bernama Ḥ�amad bin Abd al-Rasyid yang menjadi koleksi milik
pribadi.205
202
Ṣubhῑ al-Ṣᾱlih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 384-385. 203
Muṣṭafā al-Juwainῑ, Manāhij fῑ al-Tafsῑr, hlm. 310.204
Abū Bakar bin Balwaih adalah murid langsung al-Ṭabarῑ menyatakan bahwa kitab tersebut merupakan sumber rujukan kitab-kitab tafsir pada era setelahnya, khususnya dalam tafsir bi al-ma’ṡữr. Lihat Ṣubhῑ al-Ṣālih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 384-385.
205
Ibn Al-Subkῑ menyatakan bahwa kitab Jāmi’ al-Bayān fῑ Ta’wῑl ay al-Qur’ān terdiri dari 30.000 jilid sehingga bentuk yang sekarang hanya merupakan ringkasan dari kitab aslinya. Di samping itu, Goldziher mengungkapkan bahwa Jāmi’ al-Bayān fῑ Ta’wῑl ay al-Qur’ᾱn awalnya hanya berbentuk manuskrip yang ditemukan pada maktabah Amir pada masa kebangkitan percetakan awal abad ke-20. Lihat ‘Abd al-Mun’im al-Namr, ‘Ulūm al-Tafsῑr: Kaifa Nasyā’a wa Taṭawwar ḥattā Intahā ilā ‘Aṣrinā al-Ḥāḍir. Bandingkan dengan Depag R.I., Ensiklopedi Indonesia, Jilid IV 1987/1988, hlm. 54.
91
Dalam bidang sejarah, al-Ṭ�abarῑ� memiliki beberapa karya, antara lain;
“Tārῑ�kh al-Umam wa al-Mulk” yang merupakan kitab pertama sejarah Islam yang
lengkap. Banyak persoalan umat Islam sampai akhir abad ke-3 yang hanya
didapati dalam kitab ini yang pada bagian awal kitab ini membicarakan sejarah
Arab, Persia, serta Roma sebelum Islam. Kitab ini juga menjadi rujukan utama
para sejarawan Barat.206 Di samping itu, Al-Ṭ�abarῑ� juga memiliki kitab sejarah
yang berorientasi pada nilai-nilai positif seorang tokoh, di antaranya Kitab Faḍ�ā’il
al-‘Abbas yang menuturkan keutamaan paman nabi, yakni al-‘Abbas, Kitab
Faḍ�ā’il ‘Alῑ� bin Abῑ� Ṭ�ālib, serta Kitab Faḍ�ā’il Abū Bakar wa ‘Umar. Beberapa
tahun sebelum kewafatannya, al-Ṭ�abarῑ� juga sempat menulis kitab yang berisi
tentang riwayat para ṣ�ahābat dan para tābi’ῑ�n, yakni kitab Zayl al-Muzayl.207
Dalam bidang hadis, al-Ṭ�abarῑ� memiliki beberapa buah kitab, yakni
‘Ibārah al-Ru’yā dan al-Musnād al-Mujarrad yang keduanya merupakan kitab
hadis antologi. Ada pula kitab Faḍ�ā’il dan Tahẓ�ῑ�b al-Aṣ�al wa al-Tafsῑ�r al-Ṡ�abit
‘an Rasūlillāh fi al-Akhbār yang penulisan kedua kitab tersebut belum
sempurna.208
Dalam bidang fiqh, antara lain; Laṭ�ῑ�f al-Qawl fῑ� Aḥ�kām Syarā’i’ al-Islām
dan Basῑ�ṭ� al-Qawl fῑ� Aḥ�kām Syarā’i’ al-Islām yang menjelaskan tentang
206
Muṣṭafā al-Juwainῑ, Manāhij fῑ al-Tafsῑr, hlm. 310.207
Jamᾱl al-Dῑn al-Qifṭῑ, Inbāh al-Ruwāh alā Anbāh al-Nuḥāh, hlm. 452; Abữ ‘Abdillᾱh Ya’qữb bin ‘Abdillᾱh Yᾱqữt al-Ḥamᾱwi, Mu’jam al-Udabā’, juz 2, hlm. 348.208
Abu ‘Abdillᾱh Ya’qữb bin ‘Abdillᾱh Yᾱqữt al-Ḥamᾱwi, Mu’jam al-Udabā’, juz 2, hlm. 348.; Muṣṭafā al-Juwainῑ, Manāhij fῑ al-Tafsῑr, hlm. 311.
92
bangunan hukum-hukum Islam yang mendalam. Ikhtilāf ‘Ulūm al-Amṣ�ār fῑ� Aḥ�kᾱ�m Syarā’i’ al-Islᾱ�m yang menuturkan perbedaan-perbedaan hukum dalam
beberapa wilayah Islam sewaktu itu. Radd ‘alā bin ‘Abd al-Ḥ�akam yang
ditulisnya pada tahun 255 H. Mukhtaṣ�ar Manāsik al-Ḥ�ajj dan Mukhtaṣ�ar al-
Farā’iḍ� yang merupakan ringkasan praktek ḥ�aji dan hal iḥ�wal pembagian
warisan. Kitab Adab al-Quḍ�āh yang menjelaskan tentang syarat, kriteria,
ketentuan, dan sikap untuk menjadi seorang hakim. Al-Adar fi al-Uṣ�ūl merupakan
kitab tentang ushul fiqh serta Khafῑ�f yang proses penulisannya selama lima tahun,
yakni 291 H-296 H.209
Dalam bidang qira’āt, al-Ṭ�abarῑ� memiliki dua kitab qira’āt, yakni “Faṣ�l al-Bayān fi al- Qira’āt” dan “al-Qira’āt wa Tanzῑ�l al-Qur’ān”. Dalam kitab al-
Qira’āt wa Tanzῑ�l al-Qur’ān ini, al-Ṭ�abarῑ� banyak memaparkan perbedaan ahli
qira’āt mengenai aḥ�ruf al-Qur’ān. Kitab ini terdiri dari 18 jilid dan menerangkan
semua jenis qira’āt baik yang mutawatir, masyhur, maupun yang syaẓ�. Kitab ini
209
Abu ‘Abdillᾱh Ya’qữb bin ‘Abdillᾱh Yᾱqữt al-Ḥamᾱwi, Mu’jam al-Udabā’, juz 2, hlm. 349; Muṣṭafā al-Juwainῑ, Manāhij fῑ al-Tafsῑr, hlm. 311.
.
93
juga mengklasifikasi qira’āt menjadi kelompok Madinah, Makkah, Kufah, dan
Baṣ�rah beserta ciri-ciri bacaannya.210
Beberapa kitab al-Ṭ�abarῑ� dalam bidang teologi, antara lain, Dalālah,
Ṡ�arῑ�ḥ�, al-Radd ‘alā al-Ḥ�arqisiyyah, al-Baṣ�irah fῑ� Ma’ālim al-Dῑ�n, al-Mu’jam
serta al-Radd ‘alā ẓ�i al-Asfar yang kitab ini ditulisnya sebelum tahun 270 H. Di
samping itu, al-Ṭ�abarῑ� juga memiliki beberapa karya dalam bidang etika
keagamaan, di antaranya Adāb al-Nufūs al-Jayyidah wa al-Akhlāq al-Nafῑ�sah,
Faḍ�ā’il wa Mujāz, serta Adāb al-Tanzῑ�l yang masih berupa risalah.
4. Setting Politik dan Keilmuannya
Al-Ṭ�abarῑ� hidup pada era kekuasaan Dinasti Bani ‘Abbasiyah. Pada saat
itu Islam berada dalam masa kejayaan, baik dari aspek politik, ekonomi,
pemerintahan, serta keilmuan. Secara periodik, Dinasti Bani ‘Abbasiyah ini
terbagi menjadi lima, yakni :211 Periode pertama, masa kekuasaan dalam pengaruh
Arab dan Persia I, yakni antara 132-232 H. Periode kedua, dipengaruhi oleh Turki
I, yakni antara 232-334 H. Periode ketiga, masa kekuasaan Dinasti Buwaih atau
pengaruh Persia II, yakni antara 334-447 H. Periode keempat, masa kekuasaan
Bani Saljuk atau pengaruh Turki I, yakni antara 447-590 H. Dan terakhir, periode
210
Abu ‘Alῑ Ḥasan bin Alῑ al-Aḥwaẓῑ menilai kitab al-Qira’āt wa Tanzῑl al-Qur’ān sebagai sebuah kitab qira’āt yang lengkap. Lihat Muṣṭafā al-Juwainῑ, Manᾱhij fῑ al-Tafsῑr, hlm. 311.211
Bani ‘Abbasiyyah didirikan oleh ‘Abdullah al-Ṣaffᾱh bin Muḥammad bin ‘Alῑ bin ‘Abdullᾱh bin ‘Abbᾱs. Mulanya dinasti ini ber-ibu kota di Hamsyiyyah, dekat Kufah. Kemudian pada masa khalifah al-Manṣữr, ibu kota dipindahkan ke Baghdadi tepi barat sungai Tigris antara tahun 762 M dan 767 M. Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 49.
94
kelima, masa kekhilafahan yang bebas dari pengaruh dinasti lain, akan tetapi
kekuasaannya hanya di sekitar Baghdad antara 590-656 H. Berdasarkan kelima
periode tersebut, al-Ṭ�abarῑ� hidup dalam dua periode yang dilatar-belakangi
setting politik yang berbeda, yakni periode pertama yang dipengaruhi oleh Persia I
dan periode kedua yang dipengaruhi oleh Turki I (232-334). 212
Al-Ṭ�abarῑ� lahir sekitar tahun 225 H/ 840 M yang merupakan penghujung
masa kepemimpinan al-Mu’taṣ�im Billah (833 M-842 M) yang merupakan transisi
dari pengaruh Arab dan Persia menuju pengaruh Turki. Hal ini dapat dilihat dari
sikap al-Mu’taṣ�im yang lebih memilih tentara yang berdarah Turki dari pada
Arab. Transisi ini juga yang menjadikan teologi Mu’tazilah dan Syi’ah mulai
bergumul dengan pemerintah sampai mendapatkan dukungan dari
pemerintah.Setelah al-Mu’taṣ�im billah meninggal, jabatan khalifah dilanjutkan
oleh al-Waṣ�ῑ�q yang memerintah mulai 842 M- 847 M yang suasana politik waktu
itu masih sama seperti sebelumnya.
Kemudian dilanjutkan masa al-Mutawakkil (847-861) yang pada saat itu
bangsa Turki yang memiliki pengaruh yang kuat terhadap dinasti Abbasiyyah dan
merekalah yang memilih dan mengangkat khalifah.213 Sepeninggal al-Mutawakkil,
kekhilafahan dipegang oleh al-Musta’in (861-866), dan dilanjutkan oleh al-
Mu’tazz (866-869) dan al-Muhtadi (869-870).
212
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 62.213
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 62.
95
Pada masa kekhilafahan al-Mutawakkil dan beberapa khalifah setelahnya,
keadaan menjadi terbalik. Sunni mendapat dukungan penuh dari pemerintah yang
condong kepada aliran tekstual dengan figur Ahmad bin Hanbal. Dengan kondisi
seperti ini, maka teologi Mu’tazilah dan Syi’ah mulai disingkirkan oleh
pemerintah sehingga hanya Sunni Hanbaliah saja yang diuntungkan dan
dimanjakan oleh pemerintah. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu sebab
kajian hadis dapat berkembang dengan pesat. 214
Menetapnya al-Ṭ�abarῑ� di Baghdad setelah mengembara ke beberapa
tempat memicu konflik dengan mayoritas penduduk Hanbaliah (pengikut maẓ�hab
Imam Ahmad bin Hanbal). Iklim Baghdad yang tidak sesuai dan sepaham dengan
Al-Ṭ�abarῑ� membuatnya bersitegang dan berselisih dengan para pengikut mazhab
Hanbali. Kondisi tersebut dihadapi oleh Al-Ṭ�abarῑ� dengan keberanian moral dan
ketegasan sikap, terlebih dalam persoalan sifat al-Qur’an, paham
antropomorfisme, celaan terhadap ‘Ali, dan pembelaan terhadap fatwa-fatwa para
pendahulu. Al-Ṭ�abarῑ� yang secara vulgar mengemukakan pendapat-pendapat
untuk membantah pandangan mereka dan berupaya menunjukkan kelemahan
basic intelektual Hanbaliah sampai pada suatu tahap di mana Al-Ṭ�abarῑ� menilai
214
Di satu sisi keperbihakan pemerintah terhadap Sunni Ekstrem Kanan (Mazhab Hanbali) menjadikan kajian hadis berkembang. Hal ini dapat dilihat dari karya-karya dalam bidang hadis, terlebih dengan tersusunnya kutub al-sittah. Akan tetapi di sisi lain Sunni Ekstrem Kanan ini sangat tekstualis dengan berusaha menyamakan apa yang tidak sama hinggaa akhirnya jatuh pada pemkasaan kehendak. Hal ini dapat dilihat pada kasus penolakan al-Tabari terhadap pendapat Hanabilah yang menyatakan bahwa Nabi Muhaammad S.A.W. duduk di atas ‘arsy Tuhan bersama Tuhan yang didasarkan kepada penafsiran kata ‘maqam mahmudah’ yang terdapat dalam Q.S.al-Isra’ : 76 yang menurut al-Tabari kata ‘maqam mahmudah’ bukan suatu tempat secara tekstual melainkan hanya sebuah istilah yang merujuk kepada syafa’at Nabi Muhammad. S.A.W. pada hari qiamat. Atas penolakannya ini, al-Ṭabarῑ digugat dan dituduh sebagai seorang yang rafid, yaitu orang yang telah condong kepada Syi’ah. Lihat Fuad Mohd. Fachruddin, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam (Jakarta: Yasaguna, cet. I, 1988), hlm. 29-106.
96
bahwa Ahmad bin Hanbal hanya mempunyai otoritas dalam bidang hadis, bukan
dalam fiqh.215
Sikap Al-Ṭ�abarῑ� yang seperti itu mengakibatkannya dimaki oleh para
pendukung mazhab Hanbali sampai pada taraf penyiksaan yang dialaminya dari
tangga kekuasaan Hanbaliah yang mengisolasinya dengan melarang para tamu
dan muridnya untuk bertemu Al-Ṭ�abarῑ� atau sekadar belajar darinya. 216
B. Kitab Jᾱ�mi’ al-Bayᾱ�n fῑ� Ta’wῑ�l ᾱ�y al-Qur’ᾱ�n1. Setting Historis Kitab Jᾱ�mi’ al-Bayᾱ�n fῑ� Ta’wῑ�l ᾱ�y al-Qur’ᾱ�n
Kitab Jᾱ�mi’ al-Bayᾱ�n fῑ� Ta’wῑ�l ᾱ�y al-Qur’ᾱ�n disusun oleh al-Ṭ�abarῑ� pada abad ke-3 H yang merupakan masa pembentukan peradaban Islam untuk
mempersiapkan kekuatan dalam panggung sejarah manusia. Banyak para pemikir
dan cendekiawan muslim yang melibatkan diri dalam studi dan penelitian ilmiah
yang tersebar di berbagai wilayah, terutama di pusat-pusat peradaban umat Islam,
yaitu Mesir dan Baghdad, tempat singgah dan menetapnya al-Ṭ�abarῑ�.217
Hal tersebut juga didukung dengan berkembangnya kajian-kajian
keilmuan, terlebih kajian ilmu hadis yang menjadi satu bidang kajian yang banyak
diminati memegang peranan penting dalam munculnya berbagai disiplin ilmu
215
Rasul Ja’farian, “ al-Ṭabari dan Masa Hidupnya”, al-Hikmah, No.9. Bandung: Mizan dan Yayasan Muṭahhari, 1993, hlm. 111.
216
Yaqữt al-Ḥamᾱwῑ, Mu’jam al-Udabᾱ’, juz XVIII, hlm. 42-43.217
Rasul Ja’farian “ al-Ṭabari dan Masa Hidupnya”, al-Hikmah, No.9. Bandung, Mizan dan Yayasan Muṭahhari, 1993, hlm. 109.
97
yang masing-masing berkembang menjadi sebuah kajian yang independen.218
Lembaga-lembaga yang formal dan informal mulai dipenuhi oleh para
cendekiawan hadis yang mulai sering mengadakan rihlah ilmiah ke satu wilayah
menuju wilayah lainnya, seperti Baghdad, Rayy, Kufah, Naysabur, Syam, serta
beberapa kota lainnya dalam rangka menjaga kelangsungan kajian hadis sebagai
salah satu warisan peradaban Islam.219
Berkembangnya kajian keilmuan pada periode tersebut juga diiringi
dengan munculnya beberapa karya ilmiah di berbagai bidang yang sebelumnya
telah muncul upaya menerjemahkan berbagai literatur-literatur Yunani, Persi, dan
India ke dalam bahasa Arab yang selanjutnya hasil terjemahan tersebut dikaji dan
dijadikan rujukan dalam kajian keilmuan di lembaga-lembaga formal dan
informal.220
Pada periode ini, kajian tafsir mulai berdiri sendiri setelah sebelumnya
menjadi bagian dari kajian hadis. Istilah tafsir sebelumnya belum ada dan masih
ditulis bersamaan dengan hadis di mana kodifikasinya secara resmi pada masa
‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz.221 Perkembangan tafsir pada abad ke-3 H ini ditandai
218
Pada abad ini juga hadiṡ dijadikan alat justivikasi berbagai maẓhab sebagai alat propaganda serta memperkuat fondasi maẓhabnya. Keadaan seperti ini mendorong para pengikut maẓhab untuk saling mengumpulkan hadiṡ lebih banyak untuk membela pendapat dalam suatu maẓhab. Mereka berhasil menyusunnya dalam beberapa bentuk kompilasi hadiṡ, yakni musnad, muṣannif, sunan, ṣahih, dan yang lainnya. Rasul Ja’farian “al-Ṭabari dan Masa Hidupnya”, al-Hikmah, No.9. Bandung, Mizan dan Yayasan Muṭahhari, 1993, hlm. 111.
219
Rasul Ja’farian “al-Ṭabari dan Masa Hidupnya”, al-Hikmah, No.9. Bandung, Mizan dan Yayasan Muṭahhari, 1993, hlm. 110
220
‘ Abd al-Karῑm ‘Uṡmᾱn, Ma’ᾱlim al-Ṡaqafᾱt al-Islᾱmiyah, (Beirut: Muassasᾱt al-Risᾱlah, 1990), hlm. 350.
221
Salihun A.Nasir, Ilmu Tafsir al-Qur’an, (Surabaya : al-Ikhlas, 1987), hlm. 26.
98
dengan munculnya dua madrasah aliran tafsir, yakni tafsir bi al-Ma’ṣ�ūr dan bi al-
Ra’yi. Di samping itu orientasi dan paradigma kajian tafsir sudah mulai dikaitkan
dengan berbagai disiplin ilmu, seperti fiqh, kalam, sejarah, serta filsafat.222
Keterpisahaan kajian tafsir dari kajian hadis tidak benar-benar berdiri
sendiri dengan konsep dan paradigma sendiri. Akan tetapi kajian tafsir masih tetap
menggunakan konsep periwayatan yang memang menjadi pondasi dalam kajian
hadis. Kemudian setelah keterpisahannya dari kajian hadis, tafsir tidak serta merta
bebas menjadi suatu kajian yang independen akan tetapi tafsir mulai dihadapkan
dengan berbagai persoalan yang sangat serius, seperti munculnya varian riwayat,
dari riwayat yang ṣ�ahih sampai riwayat yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan
ataupun dipalsukan. 223
Keadaan tersebut mengakibatkan adanya pembauran riwayat ditambah
pula dengan masuknya unsur-unsur luar ke dalam Islam, yakni riwayat-
riwayatIsra’iliyyat224 yang bersumber dari Yahudi dan Nasrani yang telah masuk
222
‘Alῑ Ḥasan al-‘Arῑḍ, Sejarah dan Metodologi Tafsir, penerjemah Ahmad Akrom (Jakarta : P.T. Raja Grasindoa Persada, 1994), hlm. 48. Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur Isra’iliyyat,,,,, hlm. 56-57.
223 Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur Isra’iliyyat,... hlm. 56-57.224
Para ulama menggunakan istilah israilliyat untuk riwayat yang didapat dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, baik berupa kisah-kisah atau dongeng yang umumnya berkaitan dengan fakta-fakta sejarah, keadaan umat pada masa lampau dan berbagai hal yang pernah terjadi pada para Nabi dan Rasul, serta informasi tentang penciptaan manusia dan alam. Selanjutnya istilah israilliyat juga ditujukan untuk semua penafsiran kisah-kisah dalam al-Qur’an yang tidak diketahui sumber dan asal-usulnya, atau disebut juga al-dakhil, yang banyak terdapat di dalam kitab-kitab tafsir lama. Israiliyyat digunakan dalam penafsiran dikarenakan ada kesamaan antara al-Qur’an dengan Taurat dan Injil dalam sejumlah masalah, khususnya mengenai kisah-kisah umat terdahulu, dimana dalam al-Qur’an dikisahkan secara singkat dan ringkas (ijaz), namun di dalam kitab-kitab sebelumnya dibahas secara panjang lebar (ithnab). Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir: Berinteraksi dengan al-Qur’an Versi Imam Al-Ghazali (Bandung: Cita Pustaka Media,2007), hal. 135.
99
Islam, seperti Ka’ab al-Ahbar, Wahb bin Munabbih, Ibnu Juraij, dan
sebagainya.225
Di tengah realitas yang demikian, al-Ṭ�abarῑ� mulai tergugah untuk
membuat suatu karya tulis, khususnya dalam bidang tafsir. Oleh sebab itu, al-
Ṭ�abarῑ� berusaha menghimpun riwayat-riwayat penafsiran al-Qur’an ke dalam
sebuaah karya tafsir yaang kemudian diberi nama Jᾱ�mi’ al-Bayᾱ�n.226
2. Karakteristik Penafsiran
Tafsir Jᾱ�mi’ al-Bayᾱ�n fῑ� Ta’wῑ�l ᾱ�y al-Qur’ᾱ�n karya al-Ṭ�abarῑ� merupakan kitab tafsir pertama yang paling bernilai yang menjadi referensi utama
bagi para mufassir yang orientasinya bukan hanya kepada al-Tafsir al-Naql
(penafsiran tekstual) akan tetapi juga berorientasi kepada sebuah ittijah
(interpretasi rasional) tertentu.227
225Kondisi seperti inilah yang nantinya membuat al-Ṭabarῑ terpengaruh riwayat Isra’iliyyat dalam menafsirkan al-Qur’an dan memasukkannya dalam tafsirnya. Dari sekian banyak kisah israiliyyat yang terdapat dalam tafsir al-Ṭabarῑ terkadang memberikan komentar dan sebaliknya membiarkannya begitu saja. Sikap al-Ṭabarῑ yang terkadang kritis dikarenakan memang al-Ṭabarῑ memiliki hujjah dan bukti-bukti tentang kisah tersebut sehingga dia memberanikan diri untuk berkomentar. Sedangkan sikapnya yang terkadang diam dan membiarkan saja riwayat-riwayat karena mungkin al-Ṭabarῑ tidak memiliki data yang cukup tentang riwayat tersebut sehingga memilih untuk diam sebagai sikap kehati-hatiannya. Hal tersebut sesuai dengan sabda Nabi;
&ل%ي�ن%ْا ا (ن�ِز&َل% ا ْا م% و% ِب&ْاللِه& ن,ْا %م% ا ا ل(و� و� و%ق( ت%َك%ّذ.ِب%و(ُه(م� و%اَل% ال�َك&ت%ْاِب& ا%ُه�َل% ا و� َّد,ق( ت%َص% و%اَل%( البخْارى( “Dan janganlah kalian membenarkan ahli kitab dan jangan pula mendustakan mereka, katakanlah kami telah beriman kepada Allah dan segala yang Ia turunkan kepada kami” Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur...., hlm. 56-57. Lihat Al-Isrᾱiliyyᾱt wa al-Mauḍữ’ᾱt fῑ Kutub al-Tafsῑr oleh Muḥammad ibn Muḥammad Abữ Syuhbah, cet. 4, Kairo: Maktab al-Sunnah, 1408 H.
226 Secara umum para ulama sependapat dengan judul awal kitab tersebut, yakni Jᾱmi’ al-Bayᾱn. Namun ulama tafsir berbeda pendapat mengenai kata selanjutnya. Sebagian menyatakan fi Tafsῑr al-Qur’ān. Akan tetapi sebagian yang lain menyatakan dengan ‘an Ta’wῑl Ᾱy al-Qur’ān, bahkan ada yang hanya menyatakan dengan ‘an Ta’wῑl al-Qur’ān. Dari beberapa nama tersebut mayoritas ulama menggunakan nama Jᾱmi’ al-Bayᾱn fῑ Ta’wῑl ᾱy al-Qur’ᾱn. Lihat al-Ṭabari, Jᾱmi’ al-Bayᾱn fῑ Ta’wῑl ᾱy al-Qur’ᾱn (Beirut: Dar al-Kutob al-Ilmiyyah, 1992).
227
100
Secara umum tafsir al-Ṭ�abarῑ� bertumpu pada tiga aspek, yaitu tafsir,
tarikh, dan fiqh. Ketiga bidang inilah yang pada dasarnya mewarnai tafsirnya.
Dari sisi linguistik, al-Ṭ�abarῑ� sangat memperhatikan penggunaan bahasa Arab
sebagai pegangan dengan bertumpu pada syari-syair Arab kuno dalam
menjelaskan makna kosa kata, dan penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal
secara luas di kalangan masyarakat. Di samping itu juga penggunaan riwayat-
riwayat sebagai sumber penafsiran sangat kental yang disandarkan pada pendapat
dan pandangan para sahabat, tabi’in dan ta-bi' al ta-bi'in. 228
Aspek penting lainnya di dalam kitab tersebut adalah pemaparan qira’ah
secara variatif dan menganalisisnya lebih lanjut dengan menghubungkan makna-
makna yang berbeda-bedabaru kemudian menjatuhkan pilihan pada satu qira'ah
tertentu yang dianggap paling tepat sesuai dengan konteks ayat yang sangat
membantu untuk menggali maksud dan kandungan al-Qur’an pada masa awal
diturunkan.229
Di sisi yang lain, al-Ṭ�abarῑ� tidak terjebak dalam belenggu taqlid, terutama
Jᾱmi’ al-Bayᾱn fῑ Ta’wῑl ᾱy al-Qur’ᾱn disepakati sebagai kitab tafsir bi al-ma’ṡur pertama yang dibukukan secara lengkap dalam sejarah peradaban Islam. Apabila ada kitab tafsir yang mendahuluinya, seperti kitab Tanwῑr al-Miqbᾱs min Tafsῑr Ibnu ‘Abbᾱs yang disusun oleh Fairuzabadi, maka kitab tersebut hanya kumpulan dari beberapa penafsiran yang datang dari ṣahabat Ibnu ‘Abbas bukan merupakan koleksi tafsir yang utuh. Lihat al-Ẑahabi, al-Tafsῑr wa al-Mufassirūn, hlm. 209. 228
Mannᾱ' al-Qaṭṭᾱn, Mabāhiṡ fῑ Ulūm al-Qur'ān, (Beirut: Mansyữrᾱt al-‘Aṣr al-Ḥadῑṡ, 1393H/1973M), hlm. 363.
229
M. Quraish Shihab, "Ibn Jarῑr al-Ṭabarῑ: Guru Besar para Ahli Tafsir", dalam jurnal Ulumil Qur'an, Vol. I, No. I, 1989, hlm. 5.
101
dalam mendiskusikan persoalan-persoalan fiqh. la selalu berusaha untuk
menjelaskan ajaran-ajaran Islam (kandungan al-Qur'an) tanpa melibatkan diri
dalam perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbulkan perpecahan
melihat situasi politik yang berkembang pada waktu itu.230
Hal tersebut juga didukung dengan sikap al-Ṭ�abarῑ� yang mengupas
masalah-masalah fiqh dengan melakukan seleksi atas pernyataan para fuqaha’
mazhab tertentu daalam kaitannya dengan konsep-konsep hukum baru kemudian
kemudian memilih pendapat yang terbaik dan terjamin keabsahannya melalui
penalaran daan hipotesis ilmiahnya. 231
3. Metode Penafsiran
Al-Ṭ�abarῑ� dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an menggunakan sebuah
metode Taḥ�lῑ�lῑ�, sebuah metode analisis dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
sesuai urutan mushafi ayat dengan jalan memaparkan segala aspek yang
terkandung dalam ayat serta menerangkan makna-makna yang terkandung dalam
ayat tersebut.232 Kemudian disertakan dengan beberapa riwayat yang legalitas
230Ṣidqῑ al-‘Aṭᾱr, Muqaddimah Tafsῑr Al-Ṭabarῑ (Beirut: Dᾱr- al Fikr, 1995), hlm. 11.231
Hal ini dapat diihat dalam tafsir al-Tabari pada Q.S. al-Nahl : 8, mengenai hukum memakan daging kuda, bigal (peranakan kuda dengan keledai) dan keledai. al-Ṭabarῑ memaparkan pendapat para ulama dalam menentukan hukumnya disertai dengan penyebutan sanad hadis. Dalam konteks semacam ini biasanya al-Ṭabarῑ mengambil sikap tegas dengan menyetujui salah satu pendapat yang baginya merupakan hasil ijtihad yang dapat diterima. Ṣidqῑ al-‘Aṭᾱr, Muqaddimah Tafsῑr Al-Ṭabarῑ (Beirut: Dᾱr- al Fikr, 1995), hlm. 11.
232
Metode Tahlili merupakan sebuah metode yang menguraikan makna yang terkandung dalam al-Qur’an satu ayat demi satu ayat berlanjut pada surat demi surat sesuai dengan urutan mushaf. Urutan tersebut melibatkan berbagai aspek meliputi penjelasan kosa kata, konotasi kalimat, dan latar belakang turunnya ayat yang berkaitan dengan ayat-ayat lain dan pemaparan
102
sanadnya sampai kepada Nabi, ṣ�ahabat, maupun tabi’ῑ�n yang memang
sebelumnya telah diteliti akan status riwayat tersebut.233
Sedangkan untuk variasi penafsiran dalam satu ayat, al-Ṭ�abarῑ� mengemukakan keseluruhannya disertai dengan riwayat-riwayat yang
mendukungnya sehingga apabila satu sama lain bertentangan, al-Ṭ�abarῑ� mengambil jalan tarjῑ�h, yakni memilah-milah riwayat dan memilih satu riwayat
untuk diunggulkan yang didasarkan kepada beberapa aspek.234
Tafsir al-Ṭ�abarῑ� dikenal sebagai tafsir bi al-ma’sur 235 yang mendasarkan
penafsirannya pada riwayat-riwayat otoritas awal. Kendati demikian al-Ṭ�abarῑ� dalam menafsirkan ayat tidak semata-mata mengandalkan riwayat begitu saja
akan tetapi juga menggunakan ra’yi (nalar) serta analisis atas basic linguistik
Arabnya yang sangat berperan penting dalam menafsirkan al-Qur’an. Hal ini
pendapat-pendapat yang berkaitan dengan tafsiran ayat tersebut baik bersumber dari Nabi, shahabat, tabi’in, maupun ahli tafsir lainnya. Muḥammad al-Sayyid Jibrῑl, Madkhal ilᾱ Manᾱhij al-Mufassirῑn (Kairo: Dᾱr al-Risᾱlah, 1987), hlm. 119. Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 31.
233
Mahmud Basyuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an : Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1987), hlm. 54.
234
Al-Ṭabarῑ tidak membatasi penafsirannya pada nukilan riwayat-riwayat salaf al-Ṣᾱlih saja. Al-Ṭabarῑ berusaha keras untuk menganalisa maksud dari al-Qur’an dan memunculkan penafsiran hasil konstruksi pemikirannya. Lihat Muḥammad Bakr Ismᾱ’ῑl, Ibn Jarῑr al-Ṭabarῑ wa Manhajuhū fῑ al-Tafsῑr (Kairo : Dᾱr al-Manᾱr, 1991), hlm. 31.235
Tafsir bi al-ma’sur adalah penafsiran al-Qur’an yang menggunakan penjelasan-penjelasan al-Qur’an, sunnah-sunnah Nabi, dan riwayat-riwayat yang berasal dari sahabat atau tabi’in. Sedangkan Tafsir bi al-ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang menggunakan penjelasan-penjelasan ijtihad dengan syarat mufassir mengetahui perihal bahasa Arab, asbub al-Nuzul, Nasih Mansukh dan hal-hal lain yang diperlukan oleh seorang mufassir. Abd al-Hayy al-Farmawy, Metode Maudhu’i suatu pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 12-14.
103
dapat dilihat dalam penggunaan syair-syair Jahiliyyah pra-Islam dan sesudahnya
yang dijadikan argumentasi terhadap pemilihan makna bagi sebuah term lafadz
dalam al-Qur’an. 236
4. Sistematika Penafsiran
Sistematika penafsiran al-Ṭ�abarῑ� mengikuti tartib Mushafi. Dalam
sistematika ini, sang mufasir menguraikan penafsirannya berdasarkan urutan ayat
dan surah (tahlili) di dalam mushaf (Uṣ�mani). Sekalipun demikian, pada beberapa
bagian tertentu, ia juga menggunakan pendekatan yang semi-tematis. Pendekatan
ini terlihat ketika menguraikan penafsiran suatu ayat dengan memberikan
sejumlah ayat-ayat lain yang berhubungan sebagai penguat penafsirannya.
Namun, secara umum tidak keluar dari sistematika mushaf Uṣ�mani.237
Penafsiran al-Ṭ�abarῑ� yang paling dahulu adalah pemaparan ayat-ayat yang
akan ditafsirkan, dengan mengemukakan berbagai pendapat yang ada tentang
ta’wil (tafsir) firman Allah. Ayat tersebut kemudian ditafsirkan dengan dasar
riwayat-riwayat generasi awal Islam; para sahabat dan tabi'in, lengkap dengan
sanadnya hingga sampai Nabi S.A.W. Langkah selanjutnya adalah analisis
terhadap ayat dengan nalar kritisnya yang ditopang oleh perangkat-perangkat
penting lainnya, yang telah dikemukan pada awal pembicaraan, termasuk
linguistik. Atas dasar pemaparan terdahulu, ia merespons secara positif dan
236Maḥmữd Basyuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1987), hlm. 54-57.
237
Ṣidqῑ al-‘Aṭᾱr, Muqaddimah Tafsῑr Al-Ṭabarῑ (Beirut: Dᾱr al-Fikr, 1995), hlm. 10.
104
mengambil sikap untuk menetapkan satu pandangan yang paling tepat dan kuat.
Demikian hingga penafsiran ayat terakhir dari al-Qur'an 30 juz.238
BAB IV
ANALISIS AL-Ṭ�ABARῙ� TERHADAP QIRĀ’ĀT MUTAWĀTIRAH
A. Qirā’āt Mutawātirah menurut al-Ṭ�abarῑ�Istilah Qirā’āt Mutawātirah sebenarnya telah dilontarkan oleh para imam
qirā’āt jauh sebelum al-Ṭ�abarῑ�. Hal ini dapat dilihat dengan masyhurnya bacaan-
bacaan yang dinukilkan oleh para imam qirā’āt waktu itu yang telah memiliki
para pengamal qirā’āt yang bersumber kepada Rasulullah S.A.W. Walaupun
demikian, masih terjadi perselisihan di kalangan para ulama untuk menilai ke-
mutawātir-an sebuah qirā’āt. Akan tetapi secara umum para ulama memiliki
pandangan yang hampir sama tentang qirā’āt yang mutawātirah.239
238
Ṣidqῑ al-‘Aṭᾱr, Muqaddimah Tafsῑr Al-Ṭabarῑ (Beirut: Dᾱr al-Fikr, 1995),hlm. 11.239
Al-Ṭabarῑ sebetulnya menyadari bahwa ke-mutawātir-an qirā’āt didasarkan kepada kesepakatan kaum muslimin untuk mengambil dan mengamalkan qira’āt tersebut dan menyatakan bahwa qirā’āt tersebut merupakan suatu bacaan yang memang dicontohkan oleh Nabi Muhammad S.A.W.. Inilah yang kemudian menjadi dasar larangan untuk membaca al-Qur’an hanya berdasarkan ra’yi karena hakekat qira’āt adalah suatu sunnah yang dicontohkan Nabi dan harus diikuti. Labῑb al-Sa’ῑd, Difᾱ’ an al-Qirā’āt al-Mutawātirah, hlm. 15.
105
Mengenai masalah qirā’āt mutawātirah menurut pandangan al-Ṭ�abarῑ� tidak berbeda dengan pandangan para ulama lain. Secara umum dapat dinyatakan
sebagai berikut:
. الصحيحة باألســـــــانيد وأنه وترتيبها وأجزاءها ألصلها شامل القراءات هذه تواتر أنالدين وحسن واألمانة بالثقة المشهورين والحديث القراءة أئمة عن الصحة غاية
عليه المنزل وهو النبي بشخٍص أسانيدهم والمتصلة الرواية ودقة الدراية وكمــــــالالقران
Ke-mutawātir-an suatu qirā’āt harus menyeluruh kepada sumber qirā’āt, bagian-bagian qirā’āt serta sesuai dengan susunan qirā’āt tersebut. Dan ke-mutawātir-an itu juga harus disertai dengan mata rantai sanad yang benar-benar disandarkan kepada para imam qirā’āt dan hadis yang telah masyhur kredibilitasnya, dapat dipercaya, berkepribadian baik dalam agama, kesempurnaan dalam keilmuan, ketelitian dalam periwayatan dan juga harus benar-benar muttaṣ�il (periwayatan yang tersambung) dengan Nabi Muhammad S.A.W. sebagai seorang yang mendapatkan wahyu berupa al-Qur’an.240
Dalam menilai sebuah qirā’āt, al-Ṭ�abarῑ� memiliki tiga kriteria umum
sebagaimana yang telah disyaratkan oleh para ulama, yakni aspek ke-ṣ�ahih-an
sanad, ada kesesuaian dengan bahasa Arab, serta sesuai dengan rasm usmani.
Secara teoritis, ketiga kriteria ini tetap menjadi dasar pegangan al-Ṭ�abarῑ� untuk
menilai, mengkaji, dan mengkritisi setiap qirā’āt yang memang menurutnya tidak
sesuai. 241
Hal tersebut tertera dalam Jᾱ�mi’ al-Bayᾱ�n dalam memberikan penilaian
terhadap qirᾱ�’at Q.S. Ali ‘Imran: 195 ;242
" : ." ": : بعضهم فقرأه وقتلوا وقاتلوا قوله قراءة في القرأة واختلفت جعفر أبو قال . : " ذلك وقرأ المشركين من قتلوا من قتلوا أنهم بمعنى بالتخفيف، qوا }ل وdقqت qوا dل وdقdت
240
Labῑb al-Sa’ῑd, Difᾱ’ an al-Qirā’āt al-Mutawātirah, hlm. 13.
241Jindᾱn M. Mahdῑ al-‘Aqdῑ, al-Naqd al-Lugawῑ ‘inda al-Ṭabarῑ, hlm, 154.242
Al-Ṭabarῑ, Jᾱmi’ al-Bayᾱn, Maktabah Syameelah, versi 2.21. juz 7, hlm. 492.
106
: " " ( sلهم:( وقت المشركين قاتلوا أنهم بمعنى ، dلوا قت بتشديد qوا }ل وdقqت qوا dل وdقdات آخرون . وبعض المدينة قرأة عامة ذلك وقرأ قتل بعد وقتال بعض، بعد بعضxا المشركون،
. : ذلك:( ) وقرأ dلوا وقdت المشركين قاتلوا أنهم بمعنى بالتخفيف، qوا dل وdقdت qوا dل وdقdات الكوفيين : " ". " ": من وقاتل tل، قqت بعضهم أن بمعنى ، وقاتلوا بالتخفيف qوا tل وdقqت الكوفيين قرأة عامة
منهم .بقي
Namun dalam realitasnnya, di samping ketiga kriteria dasar tersebut, al-
Ṭ�abarῑ� juga memiliki sudut pandang yang lain berdasarkan pandangan al-Ṭ�abarῑ� yang telah disampaikan di awal untuk mendekati kajian qirā’āt, yakni dengan
perspektif linguistik karena memang hakekat qirā’āt adalah suatu bahasa oral
yang kemudian ditransmisikan dalam bentuk oral juga. Sehingga dapat dinyatakan
bahwa setiap qirā’āt memiliki argumentasi linguistik di dalamnya yang juga
sebagai variasi-variasi cara untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an.243 Maka
menurut al-Ṭ�abarῑ�, qirā’āt bukan hanya sebagai suatu sistem yang sudah
dipatenkan oleh Nabi sebagai alat bantu untuk membaca al-Qur’an, melainkan
juga sebagai jalan untuk memahami sebuah teks-teks ilahi dan mengkaji lebih
dalam apa yang sebenarnya diinginkan oleh Tuhan lewat ayat-ayat al-Qur’an. 244
B. Studi Kritis terhadap Penolakan al-Ṭ�abarῑ�243
Permasalahan perbedaan qira’āt tidak lain adalah bersumber dari perbedaan lahjat yang berkembang pada masa Rasulullah S.A.W. bahkan sebelum Rasul pun telah terjadi. Melihat realitas bangsa Arab pada waktu itu yang terdiri dari berbagai suku dan kabilah yang membuat mereka mempunyai dialek-dialek yang satu sama lain memiliki perbedaan dan berkembang sampai sekarang. Tradisi oral berupa lahjat atau dialek inilah yang mengiringi perjalanan turunnya al-Qur’an yang waktu itu masih berupa korpus yang terbuka yang selanjutnya Nabi mengakomodir beberapa dialek-dialek tersebut dalam bingkai sab’atu ahruf. Perbedaan lahjat inilah ketika al-Qur’an telah menjadi korpus yang tertutup berubah menjadi varian bacaan bagi ayat-ayat al-Qur’an atau yang biasa diistilahkan dengan qira’āt. Perjalanan qira’āt yang tidak terlepas dari aspek kebahasaannya inilah yang menjadi pertimbangan al-Ṭabarῑ untuk mengkaji qira’āt dengan menggunakan perspektif linguitik yang tujuannya untuk kepentingan tafsir yang ditulisnya. Lihat Jindᾱn M. Mahdῑ al-‘Aqdῑ, al-Naqd al-Lugawῑ ‘inda al-Ṭabarῑ,hlm, 57.
244
Jindᾱn M. Mahdῑ al-‘Aqdῑ, al-Naqd al-Lugawῑ ‘inda al-Ṭabarῑ, hlm, 57.
107
Al-Ṭ�abarῑ� menyadari bahwa ke-mutawātir-an tersebut adalah sebuah
kesepakatan kaum muslimin untuk melegalkan bacaan-bacaan al-Qur’an yang
memang telah dicontohkan oleh Rasulullah S.A.W. pada zaman awal
diturunkannya al-Qur’an, disertai dengan legalitas sanad yang sampai kepadanya.
Namun untuk memahami al-Qur’an secara utuh, tidak saja membutuhkan qirā’āt
sebagai alat bantu, akan tetapi juga membutuhkan sub ilmu lain yang memang
dibutuhkan untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an seperti linguistik dan kaidah-
kaidah bahasa. Dengan kata lain, dalam memahami al-Qur’an tidak hanya tunduk
kepada qirā’āt saja melainkan kepada linguistik dan kaidah-kaidah bahasa.245
Model al-Ṭ�abarῑ� dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an dengan
menggabungkan antara qirā’āt dan kaidah linguistik merupakan satu hal yang
sangat riskan karena menyatukan dua jalur yang memiliki perspektif yang berbeda
jauh. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana para ahli linguistik, terlebih para ulama
yang ahli dalam kajian nahwu, menolak beberapa qirā’āt yang memang tidak
sesuai dengan kaidah bahasa yang telah digagas sebelumnya. Mereka mengkritisi
setiap qirā’āt yang menurut mereka tidak sesuai dengan pakem-pakem linguistik
yang ada tanpa mempedulikan status qirā’āt tersebut sebelumnya.246
245
Labῑb al-Sa’ῑd, Difᾱ’ an al-Qirā’āt al-Mutawātirah, hlm. 13246
Al-Naysᾱbữrῑ menambahkan bahwa para ulama nahwu sering mengkritisi dengan tajam setiap qirā’āt yang tidak sesuai dengan kaedah-kaedah linguistik. Mereka menunjukkan kesalahan setiap qirā’āt sedetail mungkin tanpa mempedulikan status suatu qirā’āt. Sehingga apabila ada sebuah kesalahan dalam suatu qirā’āt, walaupun statusnya mutawatir, maka tetap saja qirā’āt tersebut dianggap salah dan tidak sesuai dengan kaidah. Pandangan seperti inilah yang menyebabkan para ulama qirā’āt menjadi geram dan menganggap bahwa para ulama nahwu telah berlebihan dan melampaui batas. Para ulama qurra’ berdalih bahwa اللغة على حجة المعجز القران
عليه حجة اللغة bahwa al-Qur’an yang memang diturunkan sebagai mu’jizat merupakan ,وليستhujjah bagi bahasa, bukan sebaliknya, bahasa adalah hujjah bagi al-Qur’an. Secara lugas dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an tidak boleh tunduk kepada ilmu nahwu yang merupakan pelayan bagi al-Qur’an.Lihat al-Naysᾱbữrῑ, Gharᾱ’ῑb al-Qur’ᾱn wa Ragᾱ’ῑb al-Furqᾱn, jilid 8, hlm. 37.;
108
Lain halnya dengan pandangan para ulama qurra’ yang memang mereka
tidak sedikit pun mendekati ayat-ayat al-Qur’an hanya dengan kajian linguistik
dan bahasa Arab. Untuk permasalahan al-Qur’an, para ulama qurra’ hanya
bersandar kepada riwayat-riwayat yang terpercaya yang tersambung kepada Nabi.
Dalam permasalahan ini mereka lebih hati-hati dalam memainkan peranan
linguistik dan kajian bahasa untuk membaca ayat-ayat al-Qur’an.247
Posisi al-Ṭ�abarῑ� yang mengkompilasikan dua bidang kajian tersebut,
kemudian membuatnya memiliki dua perspektif yang berbeda dari kedua kajian
tersebut dalam mengkaji ayat-ayat al-Qur’an. Dengan dua perspektif tersebut, al-
Ṭ�abarῑ� kemudian menghimpun seluruh perbedaan qirā’āt yang dapat
dipertanggungjawabkan riwayatnya baru kemudian mengidentifikasinya serta
mengelompokkan dalam klasifikasi yang telah ditentukannya sesuai dengan
standarisasi linguistik. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan qirā’āt yang paling
fashih di antara beberapa qirā’āt yang mutawātirah yang hasilnya kemudian
dijadikan dasar penafsiran al-Qur’an.
Labῑb al-Sa’ῑd, Difᾱ’ ‘an al-Qirā’āt al-Mutawātirah, hlm. 16.
247
Pandangan para ulama qurra’ dapat dilihat pada pernyataan Abuữ ‘Amr al-Dᾱnῑ: . ثبتت اذا والرواية العربية فى واالقيس اللغة فى االفشى على القران حروف من شيء فى تعمل ال
. . اليها والمصير قبولها يلزم متبعة سنة القراءة الن لغة فشو و قياسعربية يردها لم عنهمTidak sedikitpun boleh menggunakan keumuman bahasa untuk membaca huruf-huruf al-Qur’an, apalagi hanya dikiaskan sesuai dengan bahasa Arab. Suatu riwayat yang apabila telah disepakati kualitasnya tidak boleh tergantikan dengan kias bahasa Arab dan keumuman bahasa karena hakekat qirā’āt merupakan sunnah yang harus diikuti dan wajib diterima sebagai tempat rujukan. Dalam pandangan ini, memang dinyatakan urgensi aspek riwayat yang memang telah dinyatakan sah sebelumnya harus didahulukan daripada aspek kebahasaan qirā’āt itu sendiri. Sehingga apabila belum ada riwayat yang dianggap sah untuk melegalkan suatu bacaan, maka aspek kebahasaan pun menjadi penting untuk dijadikan pertimbangan dalam menerima qira’āt. Lihat Ibn al-Jazarῑ, al-Nasyr fi al-Qira’āt al-‘Asyr, hlm. 10-11.
109
Hal tersebut merupakan sebuah konsistensi al-Ṭ�abarῑ� dengan pandangan
yang dilontarkannya sebelumnya:
الجودة فى يتفاوت العباد كالم مثل بأن صريحا حكما جل و عز الله كالم على الحكماجود ومنه جيد .فمنه
“Hukum atas firman Allah S.W.T. telah jelas layaknya kalam manusia dalam hal الجودة فى keterpautan satu sama lain dari aspek kualitas keindahannya , التفاوت
sehingga nantinya muncul bacaan yang bagus untuk dibaca dan bacaan yang lebih bagus untuk dibaca.”248
Pandangan al-Ṭ�abarῑ� tersebut memunculkan ketegangan antara al-Ṭ�abarῑ� dengan beberapa ulama qurra’ yang menyatakan bahwa apabila ada perbedaan
antara qirā’āt mutawātirah, maka hal tersebut tidak perlu dipersoalkan karena
memang ketika suatu qirā’āt berstatus mutawātirah maka hakikatnya perbedaan
bacaan tersebut berasal dari Nabi Muhammad S.A.W. dan memang benar-benar
dicontohkan oleh beliau sehingga apabila dicari mana yang lebih cocok, lebih
bagus, ataupun lebih fashih sama halnya membanding-bandingkan bacaan Nabi
Muhammad sendiri. Padahal Nabi Muhammad telah bersabda bahwa al-Qur’an
diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah yang menurutmu itu mudah”
Ketegangan ini juga ditambah dengan sikap al-Ṭ�abarῑ� dalam tafsir-nya,
Jāmi’ al-Bayān fῑ� Ta’wῑ�l ay al-Qur’ān, sewaktu mengkritisi penggunaan
beberapa qirā’āt yang berbeda dengan qirā’āt-nya yang masih dalam level
mutawātir atau dapat diterima, dengan beberapa statemennya, هى التى والقراءة
248
Labῑb al-Sa’ῑd, Difᾱ’ ‘an al-Qira’āt al-Mutawātirah, hlm. 15; Jindᾱn M. Mahdῑ al-‘Aqdῑ, al-Naqd al-Lugawῑ ‘inda al-Ṭabarῑ, hlm, 153.
110
كذا هى ,القراءة yang dinamakan qirā’āt adalah bacaan yang seperti ini.
Statemen yang lain, استجيزها ال قراءة وهذه كذا هى استجيزها التى , والقراءة
qirā’āt yang saya memperbolehkannya untuk dibaca adalah qirā’āt ini,
sedangkan qirā’āt lainnya tidak diperbolehkan. Dan yang paling ekstrem , فمن
خطأ وظن اغفل فقد بكذا , قرأ siapa saja yang membaca qirā’āt tersebut maka
sungguh dia telah lalai dan meyakini suatu kesalahan.249
Di antara beberapa statemen tersebut dapat dilihat pada tafsir Q.S. al-
An’ᾱ�m : 137 dalam Jᾱ�mi’ al-Bayᾱ�n ;250
: : dلr قdت dينt رtك rشqمr ال dنtم vيرt dث tك ل dنs ي dز dكt dذdل وdك غيرها أستجيز ال التي والقراءة جعفر أبو قال،بفت rمqهqاؤd ك dر qش rمtهtالدrو
d عليه،وخفض ح أ زين بوقوع القتل زين،ونصب من الزايللمشركين زينوا الذين هم ألنهم بفعلهم، الشركاء ورفع إليهم، القتل بإضافة أوالدهم
التأويل من qذكرت ما على أوالدهم، dقتل . " ": عليه القرأة من الحجة إلجماع ، بغيرها القراءة أستجيز ال قلت ،وإنما
Pemilihan al-Ṭ�abarῑ� kepada qirā’āt mutawātirah ditambah dengan
komentar-komentar ekstremnya tersebut membuat para ulama qurra’ mempunyai
anggapan bahwa al-Ṭ�abarῑ� telah melewati batas. Anggapan ini mungkin cukup
beralasan apabila ditinjau dari pandangan para ulama qurra’ mengenai qirā’āt
selama ini:
Setiap qirā’āt yang apabila telah ditetapkan, baik yang diperbolehkan
dibaca atau tidak menurut kaum muslimin, ataupun yang diterima maupun ditolak
kebenarannya, hakekatnya qirā’āt tersebut adalah suatu keniscayaan sebagai dasar
utama bagi al-Qur’an untuk dapat dibaca sebagai wahyu Ilahi yang memiliki
249
Labῑb al-Sa’ῑd, Difᾱ’ ‘an al-Qira’āt al-Mutawātirah, hlm. 15250
Al-Ṭabarῑ, Jᾱmi’ al-Bayᾱn, Maktabah Syameelah, versi 2.21. juz 12, hlm. 138.
111
mu’jizat baik dari aspek lafadz maupun maknanya. Qirā’āt diturunkan satu paket
dengan al-Qur’an sehingga keduanya merupakan satu kesatuan yang di dalamnya
terdapat unsur ta’abbud apabila membacanya sehingga tidak pantas untuk
ditinggalkan.251
Apa yang telah dilakukan al-Ṭ�abarῑ� tersebut sebenarnya sudah pernah
terjadi sewaktu zaman sahabat yang memang telah ada himbauan untuk tidak
mengunggulkan satu qirā’āt dengan qirā’āt yang lain. Hal ini berdasarkan ucapan
sahabat Tsa’lab yang mengungkapkan, “Apabila terjadi perselisihan qirā’āt dari
aspek i’rabnya, maka aku tidak mengunggulkan suatu i’rab atas i’rab yang lain
pada bacaan tersebut. Maka apabila aku keluar kepada khalayak manusia, aku
unggulkan qirā’āt yang memang lebih kuat riwayatnya.”252
Berdasarkan apa yang telah dikatakan oleh shahabat Tsa’lab di atas
mengindikasikan adanya suatu himbauan untuk tidak menerima dan mengamalkan
qirā’āt dari aspek i’rabnya saja. Tolok ukur yang utama dan pertama bagi qira’āt
bukan i’rab melainkan riwayat. Sehingga apabila qirā’āt ditempatkan untuk
komsumsi masyarakat atau umum harus memang benar-benar qirā’āt yang sahih
riwayatnya. Mengenai permasalahan i’rab qirā’āt tetap bisa dijadikan tolok ukur
251
Jindᾱn M. Mahdῑ al-‘Aqdῑ, al-Naqd al-Lugawῑ ‘inda al-Ṭabarῑ, hlm, 155.252
Para tokoh shahabat sewaktu itu telah mewanti-wanti untuk tidak melakukan pengunggulan qirā’āt yang dikhawatirkan akan terjadi perpecahan satu sama lain. Abu ‘Umar al-Zᾱhid dalam kitab al-Yawᾱqῑt menukilkan ucapan Ṡa’lab sebagai berikut
الناس كالم الى خرجت فاذا اعراب على اعرابا افضل لم القراءات فى االعرابان اختلف اذا. االقوى فضلت
Lihat al-Suyữṭῑi, al-Itqān fῑ ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 1, hlm. 83.
112
namun selayaknya ditempatkan untuk konsumsi pribadi atau orang-orang yang
andil dalam kajian linguistik dan bahasa.
Al-Nuḥ�ᾱ�s juga berpendapat mengenai permasalahan tersebut:253
جميعا – – ألنهما أجود أحداهما يقال أال القراءتان صحت إذا الدين أهل عند السالمةذلك قال من فيأثم وسلم عليه الله صلى النبي عن
“Keselamatan bagi orang yang beragama apabila ada dua qirā’āt yang sahih tidak dikatakan bahwa salah satu dari keduanya adalah yang lebih bagus dan utama, karena hakekat kedua qirā’āt tersebut bersumber dari Nabi Muhammad S.A.W. maka berdosalah orang yang mengucapkan yang demikian. “
Abu Ja’far al-Nuḥ�ᾱ�s yang merupakan ulama nahwu yang terkenal tidak
berani mengkritisi qirā’āt-qirā’āt yang berada dalam status mutawātirah atau
qirā’āt-qirā’āt yang telah diriwayatkan oleh imam qurra’ yang tujuh. Begitu pula
dengan al-Farrᾱ�’ yang menyatakan, “cukup bagi kaum muslimin untuk
mempermasalahkan dan menerima qira’āt yang telah datang dari riwayat-riwayat
yang ṣ�aḥ�ῑ�ḥ�.”254
Hal ini juga didukung oleh Sῑ�bawaih dengan komentarnya pada ayat:
المصحف : . فى هى كيف درى من إال يرفعونه تميم وبنو بشرا هذا ما تعالى قوله فىتكون. وال سلم و عليه الله صلى النبي عن مروية سنة القراءة ألن كذالك كان وإنما
عنه روى ما بغير القراءة
Berbanding terbalik dengan pandangan beberapa ulama, al-Ṭ�abarῑ� mulai
bersikap kritis terhadap qirā’āt dan menempatkannya bukan dalam bingkai
sunnah muttaba’ah akan tetapi dalam sebuah bidang kajian yang pantas dikaji dan
dikritisi lebih lanjut. Kritik yang dibangunnya masih dalam taraf penggalian
253
Lᾱbῑb al-Sa’ῑd, Difᾱ’ ‘ an al-Qira’āt al-Mutawātirah, hlm. 15254
Jindᾱn M. Mahdῑ al-‘Aqdῑ, al-Naqd al-Lugawῑ ‘inda al-Ṭabarῑ, hlm, 152.
113
makna dan maksud yang dalam hal ini merupakan tujuan utama dari sebuah kajian
linguistik. 255
Kritik yang dilakukan al-Ṭ�abarῑ� ini tidak lain dipicu oleh ketidak-
setujuannya dan kekecewaannya terhadap hegemoni ulama qurra’ terhadap al-
Qur’an yang seolah-olah sah atau tidaknya suatu bacaan berada dalam tangan
mereka tanpa memperhatikan lebih lanjut makna yang terkandung dalam sebuah
ayat. Para ulama qurra’ hanya menitik-beratkan kepada permasalahan perbedaan
bacaan atau dalam redaksi lain dapat dikatakan para ulama qurra’ hanya
mementingkan fisik al-Qur’an saja tanpa memperdulikan aspek makna dan
maksud yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an sebagai dasar utama
diturunkannya al-Qur’an kepada umat manusia.256
Bertolak pada keadaan yang demikian, al-Ṭ�abarῑ� kemudian muncul
dengan suatu pandangan kritis qirā’āt yang dapat disimpulkan dengan pernyataan
sebagai berikut:
على سبعية قراءات ينكر أنه ذلك الخلط بعض يشوبه القراءات نقد فى منهجه إنبكون مبال غير السند صحيحة قراءة يرد قد لك بذ وهو اللغوي القياس أساسمتبعة سنة القراءة
Metode al-Ṭ�abarῑ� dalam kritik qirā’āt-nya memang bercampur kesalahan
karena al-Ṭ�abarῑ� menolak qirā’āt sab’ah atas dasar qiyas lughawi. Atas dasar
tersebut, al-Ṭ�abarῑ� menolak qirā’āt yang sanadnya shahih tanpa mempedulikan
bahwa qira’āt tersebut adalah suatu sunnah yang harus diikuti.
255
Jindᾱn M. Mahdῑ al-‘Aqdῑ, al-Naqd al-Lugawῑ ‘inda al-Ṭabarῑ, hlm, 152.256
Jindᾱn M. Mahdῑ al-‘Aqdῑ, al-Naqd al-Lugawῑ ‘inda al-Ṭabarῑ, hlm, 154.
114
Konsep al-Ṭ�abarῑ� untuk mengunggulkan satu di antara sekian banyak
qirā’āt mutawatirah( القراءات بين (المفاضلة sebenarnya merupakan bentuk
kemapanan dan keahlian al-Ṭ�abarῑ� dalam bidang linguistik dan keluasan
pengetahuannya dalam bidang bahasa ‘Arab. Al-Ṭ�abarῑ� yang sangat dalam
mengkaji linguistik kemudian menggunakan keahliannya tersebut untuk
mendekati beberapa qirā’āt guna untuk mendapatkan suatu qirā’āt yang
menurutnya paling fashih dan cocok dengan konteks ayat. Namun yang menjadi
permasalahan adalah status beberapa qirā’āt tersebut yang memang legal dan
bersumber dari riwayat yang shahih yang disandarkan kepada Rasulullah S.A.W.
sebagai satu-satunya orang yang mendapatkan wahyu berupa al-Qur’an. Dengaan
kata lain, Nabi sendiri pun memperbolehkan untuk membaca berbagai macam
qirā’āt yang memang telah mendapatkan legalitas darinya sehingga tidak perlu
lagi untuk mencari mana yang fashih dan mana yang lebih fashih.257
Memang apa yang dilakukan al-Ṭ�abarῑ� tersebut bukan hanya semata-mata
masalah qirā’āt saja, akan tetapi grand design yang ada di balik Tafawut al-
Qira’ah-nya al-Ṭ�abarῑ� adalah upaya kritis al-Ṭ�abarῑ� untuk menafsirkan al-
Qur’an. Dengan kata lain, tujuan utama al-Ṭ�abarῑ� adalah untuk mendapatkan
sebuah inti makna yang terkandung dalam sebuah ayat sehingga dalam perjalanan
menafsirkan al-Qur’an, al-Ṭ�abarῑ� tetap menerima qirā’āt mutawatirah sebagai
257
Hal inilah yang diungkapkan oleh Faḍl Ḥasan ‘Abbᾱs dalam bukunya:القران تعالى تيسيره من ذلك وكل واالفصح الفصيح فيها ويوجد متبعة سنــــــة القراءة
رللذكــــ ‘Qirā’āt adalah suatu sunnah yang harus diikuti dan didalamnya ada qirā’āt yang fashih
dan yang lebih fashih. Kesemuanya itu adalah sebuaah kemudahan yang diberikan oleh Allah, yakni berupa al-Qur’an sebagai pengingat. Lihat Faḍl Ḥasan ‘Abbᾱs, Syuhubᾱt ḥaul al-Qirā’āt al-Qur’āniyyah, tp : Majallᾱt Dirasᾱt, 1988, hlm. 142.
115
qirā’āt yang sah dan bersumber dari Nabi namun kemudian masih tetap
mempertimbangkan beberapa qirā’āt yang oleh para ulama telah dinyatakan ke-
mutawātiran-nya yang masih dalam koridor keilmuan yang ditekuninya guna
mendapatkan suatu penafsiran yang mendekati kebenaran. 258
Mengenai masalah statemen al-Ṭ�abarῑ� yang memang ekstrem yang
merupakan komentar-komentarnya terhadap qirā’āt yang tidak digunakan dalam
tafsirnya merupakan wujud sikap tegas al-Ṭ�abarῑ� dalam porsi ijtihadnya bukan
untuk menolak qirā’āt mutawātirah akan tetapi merupakan sebuah strategi untuk
mengukuhkan paradigmanya untuk mendapatkan satu tafsir sebagai perwujudan
maksud Tuhan yang bersumber dari satu qirā’āt yang dipilihnya dan tetap
menerima qirā’āt mutawātirah yang tidak dipakainya sebagai variasi linguistik
dalam perjalanan turunnya wahyu Tuhan.259
258
Al-Ṭabarῑ meyakini bahwa tafsir adalah produk manusia yang di dalamnya terdapat kemungkinan-kemungkinan untuk dipersalahkan. Dari sini pantas bagi al-Ṭabarῑ berupaya untuk menjadikan tafsirnya sebagai tafsir yang paling cocok terhadap maksud Tuhan sehingga menurutnya dalam porsi sebagai seorang Mufassir al-Qur’an, “Dalam menafsirkan al-Qur’an tidak bisa hanya bertaqlid kepada pendapat-pendapat para’ulama walaupun terpercaya kebenarannya. Dibutuhkan juga adanya usaha dan porsi pemikiran ( الجهد (بذل dari seorang mufassir dalam rangka ijtihad untuk mendapatkan suatu makna yang memang menjadi maksud Tuhan”. Inilah alasan mengapa al-Ṭabarῑ mengkritik qirā’āt yang kemudian dianggap sebagai sikap al-Ṭabarῑ yang menolak qirā’āt mutawātirah. Jindᾱn M. Mahdῑ al-‘Aqdῑ, al-Naqd al-Lugawῑ ‘inda al-Ṭabarῑ, hlm, 30-31; Al-Zarqᾱnῑ, Manᾱhil al-‘Irfᾱn , hlm. 30-31.259
Beberapa statemen al-Ṭabarῑ dalam tafsirnya Jāmi’al-Bayān, seperti, , , ضعيف خطاء , , استجي ال للسياق مخالف الفساد yang menurut sebagian ‘ulama sebagai statemen yang , ظاهر
ekstrim dan menolak qirā’āt mutawātirah. Namun Jindᾱn M. Mahdῑ memiliki pandangan lain tentang statemen tersebut. Menurutnya statemen-statemen tersebut secara lahiriyyah memang terkesan sebagai suatu penolakan yang sangat keras. Namun dari aspek linguistik, khususnya dalam bidang ilmu balaghah, ungkapan-ungkapan tersebut berfungsi untuk menanamkan kepada pendengar untuk fokus kepada satu pembahasan dan tidak meluber kepada pembahasan lainnya. Sehingga seolah-olah ungkapan tersebut mengagetkan pendengar dan mereka lupa kepada hal-hal lain yang menjadi lawan dari pemabahasan tersebut. Lihat Jindᾱn M. Mahdῑ al-‘Aqdῑ, al-Naqd al-Lugawῑ ‘inda al-Ṭabarῑ, hlm, 31-32; Aṡar al-Nuḥᾱh fi Baḥṡ al-Balᾱgῑ, hlm. 88.
116
C. Penolakan al-Ṭ�abarῑ� Terhadap Qira’at dan Implikasinya Terhadap
Penafsiran
Pada sub bab ini, akan dijelaskan lebih lanjut beberapa kasus qirā’āt
dalam ayat al-Qur’an yang ditolak oleh al-Ṭ�abarῑ�. Tidak kurang dari 89 ayat
dalam al-Qur’an yang di dalamnya terdapat qirā’āt mutawātirah yang
dikomentari oleh al-Ṭ�abarῑ� untuk tidak digunakan sebagi sumber panfsiran al-
Qur’an.260 Dari beberapa ayat tersebut, dalam sub bab ini hanya akan dijelaskan
perdebatan qirā’āt yang ada dalam Q.S. al-Baqarah, di antaranya; 261
1. Ayat 106 (( tهdا rل مtث rوd أ rهdا مtن vرr ي dخt ب tت
r dأ ن هdا tسr qن ن rوd أ vةd dي آ rنtم rخ dسr dن ن مdا
Para ulama qurra’ berbeda pendapat dalam membaca lafadz “ ننسها“
dalam ayat tersebut. Sebagian dari mereka seperti Ibnu Kasir dan Abu ‘Amr
membacanya ,”ننسأها“ dengan nun dan sin yang dibaca fathah yang disertai
dengan hamzah yang disukun.262 Secara linguistik, qirā’āt tersebut merupakan
bentukan dari lafadz ,’النسئ‘ yang bermakna ,’التأخــير‘ atau mengakhirkan,
menunda, dan menangguhkan.263 Hal ini dapat dilihat dalam perkataan orang Arab
dalam menggunakan lafadz ‘264; ,’النسئ
260
Labῑb al-Sa’ῑd, Difᾱ’ ‘an al-Qirā’āt al-Mutawātirah, hlm. 37.261
262 Ibn al-Jazarῑ, al-Nasyr, juz 2, hlm. 220263
Abữ Ḥayyᾱn al-Andalữsῑ, al-Baḥr al-Muḥῑṭ, juz 1, hlm. 344.264
Abữ Syᾱmah, Ibrᾱz al-Ma’ani, hlm. 239; Abữ Ḥayyᾱn al-Andalữsῑ, al-Baḥr al-Muḥῑṭ, juz 1, hlm. 344.
117
أخرها بمعنى أكثر أو يومين أو يوما ظمئها عن اإلبل أنسأ و الحوض عن اإلبل نسأت , و بها أولى هو وقت إلى إنزالها أخر بمعنى ذلك على أجلك في الله أتسأ ثم الورد عن
النــــاس أصلح
“Unta itu meninggalkan telaga tersebut dan unta itu melupakan dahaganya dalam satu hari, atau dua hari, atau lebih. Dengan kata lain, unta tersebut mengakhirkan atau menunda untuk minum. Kemudian Allah S.W.T menangguhkan ajalmu atas hal tersebut atau dengan kata lain bahwa Allah S.W.T mengakhirkan turunnya kematian sampai datangnya waktu yang itu lebih utama dan bermanfaat bagi masyarakat.”
Penggunaan lafadz dalam ”ننسأها“ ayat tersebut berimbas kepada
pemaknaannya, bahwasanya Allah tidak sedikit pun menghapus ayat-ayat yang
telah diturunkannya kepada Nabi Muhammad S.A.W. melainkan hanya
menangguhkan ayat tersebut dan kemudian berimbas juga kepada penangguhan
hukum dari ayat tersebut. Sehingga menurut ulama yang membacanya dengan
qirā’āt tersebut bahwa di dalam al-Qur’an terdapat dua tipe ayat dalam kaitannya
dengan nasikh-mansukh, yakni ayat-ayat yang memang telah dihapus baik
lafadznya maupun hukumnya dan ayat-ayat yang ditangguhkan hukumnya melihat
posisi lafadz “ننسخها” dengan “ننسأها” yang tidak dalam satu tataran makna.265
Hal tersebut menunjukkan bahwa lafadz “ننسأها” bukanlah penguat atau
taukid bagi melainkan ”ننسخها“ berdiri sendiri dalam level yang berbeda
sehingga sebenarnya ada dua istilah mengenai pembahasan tersebut, yakni Nāsikh
Mansūkh yang merujuk kepada ayat yang memang murni telah dihapus dan
direvisi hukumnya serta Nāsikh Mansūkh yang merujuk kepada ayat-ayat yang
hukumnya belum dihapus melainkan ditangguhkan untuk sementara waktu.
265
‘Abduh al-Rᾱjihῑ, Naẓariyyah al-Ma’nᾱ fῑ al-Dirᾱsah al-Nahwiyyah, pdf, hlm. 12.
118
Sedangkan para qurra selain Ibnu Kasir dan Abu ‘Amr membacanya
dengan ,”ننسها“ bermakna ,’الترك‘ atau meninggalkan, menghilangkan, atau
menghapus.266 Hal ini merujuk kepada ayat تنسى فال danسنقرئك . ربك واذكر
Dalam إذانسيت artian meninggalkan hukum dari suatu ayat atau bacaannya
bahkan bacaan serta hukumnya.267
Dalam perdebatan ini kemudian al-Ṭ�abarῑ� lebih memilih qirā’āt “ننسها”
dibandingkan “ننسأها” dan menyatakan qirā’āt “ننسها” sebagai القراءات , أولى
atau qirā’āt yang paling utama dalam ayat tersebut dengan argumen bahwa di
dalam al-Qur’an terdapat penghapusan hukum-hukum dari sebuah ayat dengan
tujuan untuk diganti dengan yang lebih baik atau lebih relevan dengan keadaan.268
Menurut al-Ṭ�abarῑ� pula, bahwa hakekatnya ”ننسأها“ mengandung dua
makna. Pertama, makna"اإلنسْاء"yang bermakna atau ”الترك“ meninggalkan
dan menghapus. Kedua, makna "الن,سْاء" yangbermakna atau”التأخير“
menangguhkan dan mengakhirkan. Sehingga posisi lafadz “ننسها” sama dengan “
“ dari segi makna dan tidak ada perbedaan antara keduanya karena lafadz ”ننسخها
269 .”ننسأها“ hanyalah sebagai penguat atau taukid dari ”ننسها
266
Abữ Ḥayyᾱn al-Andalữsῑ, al-Baḥr al-Muḥῑṭ, juz 1, pdf, hlm. 344-345.; Al-Dimyᾱṭῑ, Ittiḥᾱf Fuḍalᾱ’, hlm. 145, Ibn al-Jazarῑ, al-Nasyr, hlm. 221.267
Al-Zarqᾱnῑ, al-Burhᾱn, hlm.123.268
Al-Ṭabarῑ, Jāmi’ al-Bayān, juz 2, hlm. 478269
Al-Ṭabarῑ, Jāmi’ al-Bayān, juz 2, hlm. 479.
119
Al-Ṭ�abarῑ� juga menambahkan dengan logika sederhana mengenai
pembahasan ini, “ متروك هو ما حال على فمؤخر متروك bahwa setiap hal , ”كل
yang ditinggal hakikatnya diakhirkan atas keadaan hal yang tertinggal.
Singkatnya, menurut al-Ṭ�abarῑ� bahwa sesuatu hal yang ditunda atau ditangguhkan
sama saja halnya dengan sesuatu hal yang diakhirkan.270
2. Ayat 125 ( dيمtاه dرr tب إ t مdقdام rنtم sخtذqوا وdات xا مrنd وdأ tاسs tلن ل xةd dاب مdث dتr dي rب ال dا rن عdل dج rذt وdإ
(مqصdل�ى
Imam Nafi’ al-Madini dan Ibnu ‘Amir membaca “واqذtخs ’dengan kha “ وdات
yang dibaca fathah dengan alasan mengikuti atau athaf kepada lafadz
sebelumnya, yaitu “اd rن Dalam ayat ini seluruh kata kerja berupa .“ جdعdل fi’il madi
sehingga di dalamnya terdapat kesesuaian dari segi susunannya. Secara tekstual,
sighat dari lafadz-lafadz tersebut yang berupa fi’il madi bukan fi’il amr
memberikan faidah berupa ‘االمر’ atau perintah melainkan sebagai ‘ و التنبيه
atau peringatan dan pengingat.271 ’التذكير
Dalam kaitannya dengan qirā’āt ini, Makki bin Abi Talib menakdirkan
ayat ini:
مقام من الناس اتخذ إذ واذكر وأمنا للناس مثابة البيت جعلنا إذ محمد يا واذكرابراهيم إلى عهدنا إذ واذكر مصلى .إبراهيم
‘Ingatlah wahai Muhammad ketika Kami menjadi rumah ini sebagai tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Dan ingatlah ketika manusia mengambil Maqam Ibrahim sebagai shalat dan ingatlah ketika Kami memerintahkan kepada Ibrahim’272
270
Al-Ṭabarῑ, Jāmi’ al-Bayān, juz 2, hlm. 479.271
Labῑb al-Sa’ῑd, Difᾱ’ ‘an Qirᾱ’ᾱt, hlm 39.272
120
Berbeda dengan Nafi’ dan Ibnu ‘Amir, para Qurra’ selain mereka
membaca sخtذqوا“ dengan “ وdات kha’ yang dibaca kasrah yang merupakan sighat
amrdari lafadz “اتخذ” . Qirā’āt tersebut mengindikasikan ada suatu perintah untuk
mengambil Maqam Ibrahim sebagai tempat untuk shalat setelah melakukan
Thawaf. 273
Abu Syamah memberikan pandangannya mengenai permasalahan tersebut;
إلى موجها الفعل فيكون الناس عموم إلى يرجع الضمير الن أعم الفتح جعل إنما وناسخ يرد لم ما لنا شرع قبلنا من شرع الن لهم االتباع بطريق لنا فصار قبلنا االمم
بالمأمورين فتختٍص الكسر قراءة وأما
‘Sesungguhnya qirā’āt “واqذtخs dengan “ وdات kha’ yang fathah dalam ayat tersebut,
lebih umum karena merujuk kepada manusia secara umum melihat umat-umat
sebelumnya telah melakukan hal tersebut (menjadikan Maqam Ibrahim sebagai
tempat shalat). Sehingga kita hanya mengikuti tradisi itu atas dasar syar’u man
qablana, yakni mengikuti tuntunan umat terdahulu asalkan belum ada nasikh atau
penghapusan terhadap tuntunan tersebut. Sedangkan qirā’āt “واqذtخs dengan “ وdات
kha’ yang kasrah merupakan pengkhususan terhadap kita sebagi sebuah
perintah’.274
Abữ Syᾱmah, al-Kasyf ‘an Wujữh al-Qirᾱ’ᾱt, juz 1, hlm. 264273
Labῑb al-Sa’ῑd, Difᾱ’ ‘an Qirᾱ’ᾱt, hlm 39.274
Hal tersebut juga dikuatkan dengan pendapatnya Abữ Ḥayyᾱn al-Andalữsῑ yang menukilkan pendapat al-Zamakhsyarῑ dalam kaitannya dengan ayat tersebut:
يصلون قبلة عنده ذريته وإسكان به الهتمامه به وسم الذي ابراهيم مكان من الناس واتخذاليه
‘Orang-orang itu menjadikan maqam Ibrahim dalam sholat mereka karena begitu pentingnya Ibrahim dan penduduk dari keturunan Ibrahim sebagai pemugar dan penjaga kiblat yang mereka menghadap kepadanya.’; Lihat Abữ Syᾱmah, Ibrᾱz al-Ma’ᾱnῑ min Ḥirz al-Amᾱnῑ, hlm.244; Abữ Ḥayyᾱn, al-Baḥr al-Muḥῑṭ, hlm. 78.
121
Al-Ṭ�abarῑ� dalam tafsirnya menyatakan bahwa qirā’āt “واqذtخs dengan“ وdات
kha’ yang kasrah merupakan qirā’āt yang ’ ذلك في والقراءة القول من الصواب
.yakni sebagai pendapat yang benar dan qirā’āt yang cocok menurut kami ,’عندنا
Al-Ṭ�abarῑ� beralasan bahwa ayat tersebut sebagai pengukuhan perintah dari Allah
S.W.T. untuk menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat untuk melaksanakan
shalat berdasarkan tuntunan Nabi Muhammad S.A.W. dalam hadis:
قال، محمد بن جعفر حدثنا قال، سعيد بن يحيى حدثنا قال، حدثنا علي بن عمرو": واتخذوا قرأ وسلم عليه الله صلى الله رسول أن الله عبد بن جابر عن أبي، حدثني
مصلى إبراهيم مقام من
‘Berceritera kepada kami Amr bin ‘Ali, dia berkata, berceritera kepada kami Yahya bin Sa’id, dia berkata, berceritera kepada kami Ja’far bin Muhammad, dia berkata, berceritera kepadaku Ubay, dari Jabir bin ‘Abdillah, bahsawanya Rasulullah S.A.W. membaca ayat: “maka jadikan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.”275
3. Ayat 279 ( tهt ول qس dرdو tهs الل dنtم vب rرdحt ب qوا ذdنr فdأ qوا dفrعdل ت rمd ل rنt (فdإ
Para ulama qurra’ berselisih pendapat dalam lafadz ,”فأذtنوا“ dalam
permasalahan alif yang dibaca panjang atau pendek dan dzal yang dibaca kasrah
ataupun fathah. Sebagian besar ulama khususnya qurra’ Madinah meriwayatkan
dengan alif yang dibaca qasr atau pendek serta ẓ�al yang dibaca fathah (واq rذdن di ,(فdأ
antara mereka Nafi’, Ibnu Kasir, Abi ‘Amr, Ibnu Amir, al-Kisa’i. Lafadz ‘ qوا rذdن ’فdأ
merupakan bentuk ‘amr dari lafadz ‘أذن’, yang berarti به علم إذا بالشيئ ,“ "أذن
mengijinkan atau mengumumkan ketika mengetahui itu.276
275
Hadis tersebut telah diriwayat oleh Aṣḥᾱb al-Sittah. Al-Ṭabarῑ, Jāmi’ al-Bayān, hadis 1989, juz 2, hlm. 33
276
Ibn Mujᾱhid, al-Sab’ah fi al-Qirā’āt, hlm.192.; Ibn Al-Jazarῑ, al-Nasyr, juz 2, hlm. 236. ; Al-Bannᾱ’, al-Ittiaf, hlm.165.;Abữ Syᾱmah, Ibrᾱz al-Ma’ᾱnῑ, hlm.263.
122
Sedangkan ‘Ᾱ�ṣ�im dan Ḥ�amzah meriwayatkan qirā’āt “فآذنوا”dari Abu
Bakar r.a., yakni dengan alif yang dibaca panjang dan dzal yang dibaca kasrah.
Mereka menganggap bahwa qirā’āt tersebut bukan berasal dari ‘أذن’ seperti yang
dikemukakan di awal melainkan berasal dari ‘آذنه’, yang bemakna ‘ بالشيء آذنه
yakni mengumumkan dan memberitahu tentang suatu hal.277 ’وأعلمه
Hal tersebut sebagaimana yang telah tertera dalam al-Qur’an;
vاءdو dس عdلdى rمq qك rت ذdنd آ rلqقdف sوrا dوdل ت rنt فdإ
278
‘Maka apabila mereka berpaling, maka katakanlah (Muhammad) : ‘Aku telah mengumumkan (menyampaikan) kepadamu (ajaran) yang sama.’
Ayat tersebut bisa dijadikan pijakan bahwa kedua qirā’āt tersebut secara
qat’i berada dalam level yang utama dari aspek kebenaran serta pemakaiannya.
Namun berbeda dengan al-Ṭ�abarῑ� yang menyatakan " بالصواب االولــــــى إن
qوا rذdن فdأ qوا‘ bahwa qirā’āt yang paling benar adalah qirā’āt , قراءة rذdن �Al-Ṭ�abarῑ .’فdأjuga mekritisi qira’at ‘فآذنو’ dan menyatakan dalam qirā’āt tersebut terdapat illat
atau kesalahan yang berimbas kepada penafsiran. Statemen al-Ṭ�abarῑ� ini yang
membuat para qurra’ mengganggap al-Ṭ�abarῑ� telah menolak qirā’āt yang
mutawātirah.279
277
Ibn al-Jazarῑ, al-Nasyr, juz 2, hlm. 236. ; Al-Bannᾱ’, al-Ittihaf, hlm.165.;Abữ Syᾱmah, Ibrᾱz al-Ma’ᾱnῑ, hlm.263.
278
Q.S. al-Anbiyᾱ’ : 109279
Labῑb al-Sa’ῑd, Difᾱ’ ‘an Qirā’āt, hlm. 40.
123
Al-Ṭ�abarῑ� menyatakan pandangannya dalam Jāmi’al-Bayān; 280
" ": ذالها، وفتح ألفها بقصر فأذdنوا قرأ من قراءة ذلك في بالصواب القراءتين وأولىبذلك: لكم وجل عز الله من إذن على وكونوا واستيقنوه، ذلك اعلموا .بمعنى
‘Di antara dua qirā’at tersebut yang paling benar adalah qirā’at "نواdفأذ", yakni alif yang dibaca qasr serta dzal yang dibaca fathah. Sedangkan maknanya: ‘Ketahuilah oleh kamu sekalian akan hal itu dan yakinilah dan berlakulah kamu sesuai ijin dari Allah S.W.T.’
Al-Ṭ�abarῑ� lebih condong pada qirā’at "نواdفأذ" dari karena ”فآذنوا“
keumuman perintah tersebut kepada seluruh kaum muslimin dan hal ini
terakomodir dalam "نواdفأذ", yakni " األمر عمهم Sedangkan ."فقد hanya ”فآذنوا“
memiliki makna “ بعضا بعضكم أو hanya sebagian saja.281 ,” أنفسكم
4. Ayat 282 ( خrرdى q rاأل tحrدdاهqمdا إ dر{ qذdك فdت tحrدdاهqمdا إ sلtضd ت rن
d (أ
Ḥ�amzah al-Kữfi meriwayatkan qira’at “ تضل ,”أن dengan alif yang
dikasrah karena merupakan harf syartiyah. Ditambah juga lafadz “فتذكر”, dengan
kaf yang dibaca tasydid serta ra’ yang dibaca dammah " qر\ uذك Qirā’āt tersebut 282."فت
juga diriwayatkan oleh Ibn Kaṣ�ῑ�r, Abi ‘Amr, dan Ya’qữb, hanya saja untuk lafadz
" terbaca fathah ra’-nya dan kaf yang terbaca sukun ,”فتذكر“ dرq 283. "فتذrك
280
Al-Ṭabarῑ, Jᾱmi’ al-Bayᾱn, juz 6, hlm. 24281
Labῑb al-Sa’ῑd, Difᾱ’ ‘an Qirā’āt, hlm. 41. 282
Ibn Mujᾱhid, al-Sab’ah, hlm. 194.
283Al-Bannᾱ’, al-Ittiḥaf, hlm.166.;Ibn Mujᾱhid, al-Sab’ah, hlm. 194.
124
Para qurra’ lainnya sepakat untuk meriwayatkan qirā’āt “ تضل ,”أن
dengan alifyang dibaca fathah yang merupakan harf masdariyah yang
menasabkan fi’il setelahnya. Sedangkan ,”فتذكر“ ditasydid huruf kaf-nya dan
dibaca fathah ra’-nya karena di-ataf-kan atau diikutkan kepada “284.”تضل
Al-Ṭ�abarῑ� dalam tafsirnya lebih memilih qirā’āt “ تضل dengan alif , ”أن
yang dibaca fathah serta “فتذكر”, ditasydid huruf kaf-nya dan dibaca fathah ra’-
nya dengan maksud bahwa apabila saksi dalam transaksi mu’amalah tidak
didapati dua orang laki-laki maka dapat diganti dengan satu orang laki-laki dan
dua orang wanita yang nantinya apabila salah satu wanita melakukan kesalahan
maka wanita yang lain mengingatkannya. 285
Al-Ṭ�abarῑ� menambahkan komentarnya dalam Jāmi’ al-Bayān;286
ذلك، على والمتأخرين القرأة قqدماء من الحجة إلجماع القراءة، في ذلك اخترنا وإنما . قراءة qترك يجوز وال عنهم به انفرد بما ذلك في قراءdته قرأ ومن األعمش وانفراد " " . الكاف، بتشديد فتذكر اختيارنا وأما غيرها إلى dينهم، ب مستفيضة المسلمون بها جاء
: بأنها وتعريفها األخرى، على إحداهما من الذكر ترديد بمعنى .نسيت فإنه لتذكر ذلك، التخفيف من أولى به .فالتشديد
‘Sesungguhnya kami memilih qirā’at tersebut atas dasar kesepakatan para ulama terdahulu dan ulama belakangan kaitannya dengan ayat tersebut. Sedang al-A’masy dan beberapa ulama yang membaca sebaliknya hanya merupakan qirā’āt yang tersendiri yang tidak memiliki pendukung (qirā’at aḥ�ad). Namun demikian tetap saja qira’at yang telah tersebar di kalangan kaum muslimin (qirā’at aḥ�ad) tidak boleh ditinggalkan. Sedangkan pilihan kami terhadap qirā’t "فتذكر", dengan kaf yang tertasydid dengan maksud ’ الذكر atau ’ترديد berunglang-kali mengingatkan dari salah satu wanita terhadap wanita lain sebagai pengganti dari satu saksi laki-laki. Sehingga mana saja yang lupa maka yang lain harus
284
Abữ Syᾱmah, Ibrᾱz al-Ma’ᾱni , hlm. 264285
Al-Ṭabarῑ, Jāmi’ al-Bayān, juz 6, hlm. 65286
Al-Ṭabarῑ, Jāmi’ al-Bayān, juz 6, hlm. 65.
125
mengingatkannya. Oleh karena itu, tasydῑ�d dalam qirā’t ini lebih utama daripada takhfif (dibaca sukun).’
Hal inilah yang menjadi titik poin tafsir al-Ṭ�abarῑ� tentang ayat tersebut.
Faidah ’ الذكر yang dimaksudkan ”فتذكر“ yang terkandung dalam qirā’āt ’ترديد
al- Ṭ�abarῑ� sebagai apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat tersebut. Hal ini
dikarenakan dalam masalah mu’amalah adalah masalah yang begitu rumit
sehingga dibutuhkan ketelitian pelakunya khususnya bagi para saksi. Oleh karena
itu selayaknya saling mengingatkan satu sama lain dan hal itu bukan hanya sekali
ataupun dua kali akan tetapi berkali-kali.
5. Ayat 283 ( uةdوضq مdقrب uانdهtرdف xا tب dات ك dجtدqوا ت rمd وdل vرdف dس عdلdى rمq rت qن ك rنt (وdإ
Lafadz “ uانdهtر” dalam ayat tersebut memiliki dua versi qirā’at yang sama-
sama mutawātirah. Abu ‘Amr dan Ibnu Kasir membacanya “رهن”, yakni huruf
ra’ dan ha’ di baca dammah yang merupakan bentuk plural. Ditambahkan pula
bahwa rawi dari kedua imam tersebut membacanya dengan ha’ yang tersukun.287
Namun Nᾱ�fi’, Ibn ‘Amr, ‘Ᾱ�ṣ�im, Ḥ�amzah, dan al-Kisᾱ�’i membacanya “ uانdهtر”,
dengan kasrahnya ra’ serta tambahan alif.288
Di sini al-Ṭ�abarῑ� menyatakan ke-syuẓ�ữẓ�-an qirā’at “رهن”, ra’ dan ha’
yang terbaca dammah dan mengukuhkan qirā’at “ uانdهtر” sebagai ‘ الصواب ,’أولى
dikarenakan sighat merupakan ”فعال“ bentuk plural dari wazan ’فdعrل‘
sebagaimana " - " ," كعاب - كعب حبال yang ’فdعrل‘ Sehingga apabila terdapat ."حبل
di-jama’-kan tidak menurut shigat “فعال” maka hal tersebut tidak sesuai kaedah
287
Ibn Mujᾱhid, al-Sab’ah, hlm. 194-195.288
Al-Bannᾱ’, al-Ittiḥᾱf, hlm.264.
126
linguistik Arab dan termasuk sesuatu hal yang syadzatau tidak sesuai aturan yang
ada.289
Walaupun demikian kaitannya dengan kandungan makna tidak mengalami
perbedaan. Hanya memang tinjauan linguistik yang dipaparkan al-Ṭ�abarῑ� sebatas
perbedaan bentuk kata yang masih dalam satu koridor makna. Akan tetapi secara
umum konstruksi pemikiran al-Ṭ�abarῑ� dalam linguitik yang dijadikan sebagai alat
bedah dalam mendekati qirā’āt tetap berpengaruh dalam pengambilan
keputusannya terhadap qirā’āt itu sendiri dan berimbas kepada pemilihan makna
dari ayat-ayat al-Qur’an. 290
Beberapa contoh di atas hanya terambil dari surat al-Baqarah yang
asumsinya surat tersebut adalah surat yang memiliki ayat paling banyak. Dari
surat al-Baqarah hanya ditemukan lima ayat yang di dalamnya memuat qirā’āt
yang diperselisihkan al-Ṭ�abarῑ�. Walau hanya sedikit yang dipaparkan, namun hal
itu sudah cukup menjadi bukti bagaimana analisis al-Ṭ�abarῑ� terhadap qirā’āt
mutawātirah dari sudut pandang linguistik Arab.
289
Al-Ṭabarῑ, Jᾱmi al-Bayᾱn, juz 6, hlm. 97.290
sJindᾱn M. Mahdῑ al-‘Aqdῑ, al-Naqd al-Lugawῑ ‘inda al-Ṭabarῑ, hlm, 241.
127
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Tabari sebagai ‘ulama yang yang multi-talent juga telah memiliki
pandangannya sendiri bahwa ke-mutawātir-an suatu qirā’āt harus menyeluruh
kepada sumber qirā’āt, bagian-bagian qirā’āt serta sesuai dengan susunan qirā’āt
tersebut. Ke-mutawātir-an tersebut menurutnya juga tetap disertai dengan mata
rantai sanad yang benar-benar disandarkan kepada para imam qirā’āt dan hadis
yang telah masyhur kredibilitasnya, dapat dipercaya, berkepribadian baik dalam
agama, kesempurnaan dalam keilmuan, ketelitian dalam periwayatan dan juga
harus benar-benar muttaṣ�il (periwayatan yang tersambung) dengan Nabi
Muhammad S.A.W. sebagai seorang yang mendapatkan wahyu berupa al-Qur’an.
Al-Tabari memandang bahwa qira’at harus komperhensif atau menyeluruh
dari sisi bahwa qira’at adalah suatu sunnah dari Nabi Muhammad S.A.W. serta
sisi lain bahwa qira’at adalah satu cabang kajian lingistik ‘Arab yang tetap patuh
dan tunduk dengan kaedah-kaedah linguistik yang telah dibakukan. Sehingga
dapat dinyatakan bahwa setiap qirā’āt juga memiliki aspek kebahasaan di
dalamnya yang juga merupakan sebagai alat bantu untuk memahami ayat-ayat al-
Qur’an. Qirā’āt bukan hanya sebagai suatu sistem yang sudah dipatenkan oleh
nabi sebagai variasi-variasi cara untuk membaca al-Qur’an, melainkan juga
sebagai pertimbangan untuk memahami sebuah teks-teks ilahi dan mengkaji lebih
dalam apa yang sebenarnya diinginkan oleh Tuhan lewat ayat-ayat al-Qur’an.
128
Dari pandangan al-Tabari tersebut maka muncullah sikap al-Tabari
mengkritisi qira’at mutawatirah yang menurut ‘ulama qurra’ sebagai suatu
penolakan dan penentangan terhadap qira’at yang notabenenya bersumber dan
legal dari nabi. Al-Tabari meyakini bahwa dalam berbagai varian qira’at
mutawatirah, pasti satu sama lain memiliki perbedaan dan selisih satu sama lain
(Tafawut al-Qira’ah). Celah inilah dimanfaatkan al-Tabari untuk mendapatkan
makna yang sesuai.
Konsep Tafawut al-Qira’ah-nya al-Ṭ�abarῑ� adalah upaya kritis al-Ṭ�abarῑ� untuk menafsirkan al-Qur’an. Tujuan utama al-Ṭ�abarῑ� adalah untuk mendapatkan
sebuah inti makna yang terkandung dalam sebuah ayat sehingga dalam perjalanan
menafsirkan al-Qur’an, al-Ṭ�abarῑ� tetap menerima qirā’āt mutawatirah sebagai
qirā’āt yang sah dan bersumber dari nabi namun kemudian masih tetap
mempertimbangkan beberapa qirā’āt yang oleh para ulama telah dinyatakan ke-
mutawātirah-nya yang masih dalam koridor keilmuan yang ditekuninya guna
mendapatkan suatu penafsiran yang mendekati kebenaran.
Pilihan qirā’āt yang dilakukan al-Ṭ�abarῑ� itu bukan untuk menolak qirā’āt
mutawātirah (القراءات) akan tetapi hal tersebut lebih dimaksudkan untuk
mentarjih variasi penafsiran yang ada terhadap ayat-ayat al-Qur’an
( القرأن تفاسير بين ) karena setiap qirā’āt memiliki tafsirnya tersendiri ,(الترجيح
تفسيرها قراءة (لكل
129
Memang yang menjadi masalah adalah statemen al-Ṭ�abarῑ� yang memang
ekstrem yang merupakan komentar-komentarnya terhadap qirā’āt yang tidak
digunakan dalam tafsirnya seperti , التى والقراءة كذا هى القراءة هى التى والقراءة
خطأ , وظن اغفل فقد بكذا قرأ فمن استجيزها ال قراءة وهذه كذا هى , استجيزها
merupakan wujud sikap tegas al-Ṭ�abarῑ� dalam porsi ijtihadnya bukan untuk
menolak qirā’āt mutawātirah akan tetapi merupakan sebuah strategi untuk
mengukuhkan suatu penafsiran yang dianggap sebagai perwujudan maksud Tuhan
yang bersumber dari satu qirā’āt yang dipilihnya dan tetap menerima qirā’āt
mutawātirah yang tidak dipakainya sebagai variasi linguistik dalam perjalanan
turunnya wahyu Tuhan.
Hal tersebut dapat dilihat bagaimana Al-Ṭ�abarῑ� lebih condong pada
qirā’at "نواdفأذ" daripad “فآذنوا” dalam ayat ( tهs الل dنtم vب rرdحt ب qوا ذdنr فdأ qوا dفrعdل ت rمd ل rنt فdإ
tهt ول qس dرdو). Al-Ṭ�abarῑ� lebih memilih "فأذdنوا" atas dasar keumuman perintah
tersebut kepada seluruh kaum muslimin dan hal ini terakomodir dalam "نواdفأذ",
yakni " األمر عمهم “ hanya memiliki makna ”فآذنوا“ Sedangkan ."فقد أو أنفسكم
بعضا .hanya sebagian saja ,” بعضكم
B. Saran - Saran
Fakta di lapangan menyatakan bahwa diskusi qira’at dalam tataran
akademik khususnya dalam kaitannya dengan kajian Ilmu Qur’an-Tafsir tidak
begitu menarik. Banyak faktor yang melatar-belakanginya, di antaranya
sensitifnya diskursus ini dengan otentisitas al-Qura’n sebagai wahyu dari Allah
yang dinyatakan telah final sehingga tidak perlu dikaji untuk selanjutnya. Qira’at
130
memang berhubungan dengan al-Qur’an sehingga pasti mempunyai keterkaitan
dengan otentisitas al-Qur’an.
Walaupun diskursus qira’at ternyata tidak begitu laku, namun diskursus ini
memiliki andil yang cukup besar untuk membuka wawasan tentang realitas masa
lalu yang telah terjadi tentang perjalanan al-Qur’an dari bahasa oral menuju
bahasa verbal. Di samping itu, diskursus qira’at berhubungan juga dengan disiplin
ilmu lainnya, di antara kajian linguistik yang hal ini merupakan celah bagi kajian
al-Tabari dalam rangka menafsirkan al-Qur’an. Di sini letak ketidak –sempurnaan
peneliti dalam mengkaji lebih dalam hubungan qira’at dengan linguistik
dikarenakan memang peneliti tidak memiliki basic linguistik ‘Arab sebelumnya.
Dengan demikian diharapkan adanya himmah atau semangat terhadap
diskursus qira’at dihidupkan kembali di lingkungan akademis, khususnya di
jurusan Ilmu Qur’an-Tafsir yang mana masih minimnya tenaga pengajar serta
pengkaji yang kredibidel dan mau mendalami qira’at secara teoritis dan praktis.
131
DAFTAR PUSTAKA
AF, Hasanuddin. Anatomi al-Qur’an. Yogyakkarta: FkBA, 2001.
Aḥmad, Muṣṭafᾱ. Sejarah al-Qur’an. Surabaya : al-Ikhlas, 1994.
Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an . Yogyakarta : fkBA, 2001.
Anwar, Rosihon. Melacak Unsur-Unsur Isra’iliyyat dalam Tafsir al-Thabari danTafsir Ibnu Katsir. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Andalữsῑ, (al-) Abữ Ḥayyᾱn. al-Baḥr al-Muḥῑṭ. Kairo: Dār al-‘Ilm wa al-Ṡaqāfah, t.th.
Arkoun, Muhammad. Islam Kontemporer,terj. Ruslani. Yogyakarta: PustakaPelajar, 2001.
Azra, Azyumardi (ed.). Sejarah & ‘Ulum al-Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus,2000.
‘Abbᾱs, Faḍl Ḥasan. Syuhubᾱt ḥaul al-Qirā’āt al-Qur’āniyyah, tp : MajallᾱtDirasᾱt, 1988.
‘Aqdῑ, (al-) Jindᾱn M. Mahdῑ. al-Naqd al-Lugawῑ ‘inda al-Ṭabarῑ. Beirut : Daral-Kutob, 1992.
‘Arῑḍ, (al-) ‘Alῑ Ḥasan. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Terj. Ahmad Akrom. Jakarta : P.T. Raja Grasindoa Persada, 1994.
Asfihᾱnῑ, (al-) Al-Ragῑb. Mu’jam Mufradᾱt li Alfᾱẓ al-Qur’ān. Lebanon : Dār al-Kutob al-‘Ilmiah, 2008.
‘Ᾱsῑ, Ḥusein. ‘Alam Muarikh al-‘Arab wa al-Islᾱm. Beirut : Dar al-Kutob, 1992.
‘Askarῑ, (al-) Abữ Hilᾱl. al-Fᾱrữq al-Lugawiyyah. Kairo: Dār al-‘Ilm wa al-Ṡaqāfah, t.th.
‘Asyr, Ḥusain. Abữ Ja’far Muḥammad ibn Jarῑr al-Ṭabarῑ wa Kitābuhū Tārῑkh al-Umam wa al-Mulūk. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992.
‘Aṭᾱr, (al-) Ṣidqῑ. Muqaddimah Tafsῑr Al-Ṭabarῑ (Beirut: Dᾱr- al Fikr, 1995
132
Baidan, Nasruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: PustakaPelajar, 1998
Bagdᾱdῑ, (al-). Tᾱrῑkh Bagdᾱd. Riyᾱḍ: Maktabah Syamilah, versi 2.11., 2001Bᾱqῑ , (al-)‘Abd bin Abd al-Rahmᾱn. Qawāid al-Naqd al-Qirā’āt al-Qur’āniyyah
Dirāsah Naẓariyyah Taṭbῑqiyyah. Riyᾱḍ: Dār Kunữz Isybiliyya, 1429.
Bakker , Anton Charis Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta:Kanisius, 1990.
Bannᾱ, (al-). Al-Qirā’āt al-Qur’āniyyah. Riyᾱḍ: Dār Kunữz Isybiliyya, 1429.
Bili, (al-) Aḥmad. Ikhtilāf bain al-Qirā’āt. Lebanon : Dār al-Kutob al-‘Ilmiah, 1998.
Bukhᾱrῑ, Imam. Shahih Bukhari. Riyᾱḍ: Maktabah Syamilah, versi 2.11., 2001.
Dabᾱ’, (al-) ‘Alῑ Muḥammad. Al-Iḍᾱh fī Uṣữl al-Qirā’ah. t.p.: t.t.p, t.th.
Dani, (al-) Abu ‘Amr. al-Taisir fī Qirā’āt al-Sab’ah. Lebanon : Dār al-Kutub al‘Ilmiyyah.
------- al-Muḥkam fī Nuqt al-Maṣāḥif. Beirut : Dār al-Fikr, 1997
Daurῑ, Syams al-Dῑn. Ṭabaqᾱt al-Mufassirῑn. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Dᾱyif, Syauqῑ. Mu’jam al-W āsiṭ. t.p.: Maktabah al-Syurūq al-Daulah, 2004.
------- al-Madᾱris al-Naḥwiyyah. t.p.: Maktabah al-Syurūq al-Daulah, 2004.
Dimyᾱṭῑ, (al-) Aḥmad bin Muḥammad al-Banᾱ’. Ittiḥᾱf Fuḍalᾱ’ al-Basyar bi al-Qirā’ātal-Arba’ah‘Asyr. t.p.: t.t.p, t.th.
Djunaidi, Wawan. Sejarah Qirā’ātal-Qur’an Nusantara. Jakarta: PustakaSTAINU, 2007.
Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Jambatan 1992.
Fachruddin, Fuad Mohd.. Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam.Jakarta: Yasaguna, 1988.
Fᾱrisῑ, (al-). al-Hujjah li al-Qurrᾱ’ al-Sab’ah. t.p.: t.t.p, t.th.
Farrᾱ, (al-). Ma’āni al-Qur’ān. t.p.: Maktabah al-Syurūq al-Daulah, 2001.
133
Farmawy, (al-) ‘Abd al-Hayy. Metode Maudhu’i Suatu Pengantar. Terj. Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1996
Faudah, Mahmud Basyuni. Tafsir-tafsir al-Qur’an : Perkenalan denganMetodologi Tafsir. Bandung : Penerbit Pustaka, 1987.
Galᾱyinῑ, (al-), Muṣṭafᾱ. Jāmi’ al-Durūs al-‘Arabiyyah. t.p.: t.t.p, t.th.
Ḥasan, Muḥammad Mas’ữd ’Alῑ. Aṡar al-Qirā’āt al-Qur’āniyyah fῑ Fahmal-Lugawiyyi. Kairo : Dār al-Salām, 2009.
Ḥasani. (al-) Muḥammad bin ‘Alawῑ al-Mᾱliki al-Ḥasani, Mutiara Ilmu-llmu alQur’an: “Intisari kitab al-Itqān fῑ ‘Ulūm al-Qur’ān”. terj., Bandung:Pustaka Setia, 1999.
Ḥamᾱwῑ, (al-) Abu ‘Abdillᾱh Ya’qữb bin ‘Abdillᾱh Yᾱqữt. Mu’jam al-Udabᾱ’.t.p.: t.t.p., 1998.
Ḥusain, Ṭᾱhᾱ. al-Adab al-Jᾱhilῑ. Kairo : Dᾱr Nuhῑs, 1999
Ibrᾱhῑm, Nabῑl bin Muḥammad. ‘Ilm al-Qirā’āt; Nasy’atuh, Aṭwaruhu, Asaruhu fīal-‘Ulūm al-Syar’iyyah. Riyadh: Maktabah al-Taubah, 2000.
‘Ismā’ῑl, Muḥammad Bakr. Ibn Jarῑr al-Ṭabarῑ wa Manhajuhữ fi al-Tafsῑr. Kairo:Dar al-Manār, 1991.
‘Ismᾱ’ῑl, Sya’bᾱn Muḥammad, al-Qirā’āt Ahkāmuhā waMaṣdaruhā, t.p.: t.t.p.,2001
------- Mengenal Qirā’āt al-Qur’ān, terj. Agil Husin al-Munawar dkk. Semarang:Dina Utama, 1993.
‘Iṭr, Ḥasan Ḍiyᾱ’ al-Din. al-Aḥrữf al-Sab’ah. Riyadh: Maktabah al-Taubah, 2001.
Jazari, (al-) Ibn. al-Nasyr fῑ al- Qirā’āt al-‘Asry. t.p.: t.t.p, t.th.
------- Ghāyah al-Nihāyah fῑ Ṭabaqāt al-Qurrᾱ.. t.p.: t.t.p, t.th.
Ja’farian, Rasul. “ al-Ṭabari dan Masa Hidupnya”. Bandung: Mizan dan YayasanMuṭahhari, 1993.
Jinnῑ, (al-) Ibn. al-Muḥtasib fī Ta’yῑn al-Wujữh. Lebanon : Dār al-Kutob al-‘Ilmiah, 1998.
Jibrῑl, Muḥammad al-Sayyid. Madkhal ilᾱ Manᾱhij al-Mufassirῑn. Kairo: Dᾱr al-Risᾱlah, 1987.
134
Juwainῑ, (al-) Musṭafā al-Ṣāwῑ. Manāhij fi al-Tafsῑr. Iskandariah: Mansya’āt al-Ma’ārif, t.th.
Kartini, Pengantar Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Bandar Maju, 1996.
Karim, Khalil Abdul. Negara Madinah. Semarang: Dina Utama, 2000.
Lᾱhῑn, Mữsᾱ Syᾱhῑn. al-Laālῑ al-Ḥasan fῑ ‘Ulūm al-Qur’ān. Kairo : Dār al-Syurūq, 2002.
Makram, ‘Abd al-‘Alῑ Sᾱlim. Qaḍᾱyᾱ Qur’āniyyah fi al-Ḍᾱu al-Dirāsah alLugāwiyyah. ttp : Muassasah al-Risalᾱh, tth.
Makkῑ, (al-) bin Abῑ Ṭᾱlib. al-Ibānah ‘an Ma’ᾱnῑ al-Qirᾱ’at. Tp.: Dᾱr Nahḍah,t.th.
Mᾱlikῑ, (al-) ‘Abd al-Wahῑd bin Muḥammad. al-Durr al-Naṡῑr wa al-‘Ażb alNamῑr. Lebanon: Dār al-Kutob al-Ilmiyyah, t.th.
Manẓữr , Ibn. Lisᾱn al-‘Arab. Beirut : Dᾱr al-Ṣadr, 1992.
Muḥaiṣin, (al-) Sᾱlim. al-Qaul al-Sadῑd fī al-Difᾱ’ Sya’bᾱn ‘an Qirā’āt al-Qur’ānal-Majīd. Kairo: Dār Nuhῑs, 2002.
------- “Fī Rihāb li al-Qur’ān al-Karīm. Kairo: al-Kullliyat al-Azhariyyah, t.th.
------- Tᾱrīkh al-Qur’ān al-Karīm. Kairo: al-Kullliyat al-Azhariyyah, t.th.
Muhammad, Faik. Penggunaan Qirā’āt Mutawᾱtirah dan Syᾱżżah dalam tafsirJāmi’ Al-Bayān. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005.
Mujᾱhid, Ibn. al-Sab’ah fῑ al- Qirā’ah. Kairo : Dār al –Ma’ārif, 1992.
Muqaddasῑ, (al-) Ibn Qudᾱmah. Rauḍah al-Naẓῑr. Makkah : Aḥmad al-Bᾱz, 1401.
Naysᾱbữrῑ, (al-) Gharᾱ’ῑb al-Qur’ᾱn wa Ragᾱ’ῑb al-Furqᾱn. Kairo: al-Kullliyatal-Azhariyyah, t.th.
Namr, (al-) ‘Abd al-Mun’im. ‘Ulūm al-Tafsῑr: Kaifa Nasyā’a wa Taṭawwar ḥattāIntahᾱ ilā ‘Aṣrinā al-Ḥāḍir. Kairo: al-Kullliyat al-Azhariyyah, t.th.
Nasir, Salihun A.. Ilmu Tafsir al-Qur’an. Surabaya : al-Ikhlas, 1987.
Nawῑrῑ, (al-) Abữ al-Qᾱsim. Ṭῑbah al-Nasyr. Kairo : Dār al –Ma’ārif, 1990.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
135
Jakarta: 2008.
Qᾱḍῑ, ‘Abd al-Fattᾱḥ. al-Budūr al-Ẓᾱhirah fī al-Qirā’āt al-‘Asyr al-Mutawātirah.Beirut : Dār al-Kutub al-‘Arabi, 1981.
Qaṭṭᾱn, (al-) Mannᾱ’. Mabāhiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān. t.tp : Mansyūrāt al-‘Aṣr al-Ḥadῑṡ, t.th..
Qasṭalᾱni, (al-). Laṭāif al-Isyārᾱt fī Funūn al-Qirā’āt. Kairo: Lajnah Iḥyᾱ’ al-Turᾱṡ, 1972.
Qifṭῑ, (al-) Jamᾱl al-Dῑn. Inbᾱh al-Ruwᾱh ala Anbah al-Nuḥᾱh. Kairo: Dār al-Ma’arif, 1978.
Rᾱjihῑ, (al-) ‘Abduh. Naẓariyyah al-Ma’nᾱ fῑ al-Dirᾱsah al-Nahwiyyah. Kairo: tp,t.th.
Rosenthal, Franz. The History of al-Ṭabarῑ. New York: tp, t.th.
Ṣᾱbữnῑ , (al-)‘Alῑ, al-Tibyān fῑ ‘Ulūm al-Qur’ān. Kairo : Dār al –Ma’ārif, 1992.
Ṣagῑr, (al-) Maḥmữd Aḥmad. al-Qirā’āt al-Syᾱżżah wa Taujῑhuhᾱ. Kairo : Dār al-Ma’ārif, 1992.
Sa’ῑd (al-), Labῑb. Difᾱ’ ‘an al-Qirā’at al-Mutawātirah fῑ Muwajahah al-Ṭabarῑal-Mufassir. Kairo: Dār al-Ma’arif, 1978.
Ṣᾱlih, (al-) Ṣubḥῑ. Membahas ilmu-ilmua al-Qur’an. Terj. Tim Pustaka Firdaus,Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999.
Sanadῑ, Abữ al-Ḥasan. Bahjah al-Naẓr. Kairo: Dār al-Ma’arif, 1978.
Sanadῑ, (al-) Abd al-Qayyữm bin ‘Abd al-Ghafữr. Ṣafaḥāt fī ‘Ulūm al-Qirā’āt. AlSu’ữdiyyah: Dᾱr al-Basyar al-Islᾱmiyyah, 2001.
Ṣafaqᾱsi, (al-). Ghaiṡ al-Naf’ ‘ala Hᾱmisy Sirᾱj al-Qᾱri’. al-Su’ữdiyyah: Dᾱr al-Basyar al-Islᾱmiyyah, 2001.
Shaban, M.A.. Sejarah Islam: Penafsiran Baru 600-750. Jakarta: Rajawali Press,1993.
Suyữṭῑ, (al-) Jalᾱl al-Dīn. al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Kairo: Dār al-Ma’arif,1978.
------- Ṭabaqᾱt al-Mufassirῑn. Beirut: Dar al-Kutob, 1999.
136
Syᾱṭibῑ, (al-). Naẓm Ḥirz al-Amᾱnῑ. Kairo: Dār al-Ma’arif, 1978.
------- al-Muwāfaqāt. Kairo: Dār al-Ma’arif, 1990.
Syalbῑ, ‘Abd al-Fattᾱh Syalbῑ, al-Madkhal wa al-Tamhīd. al-Su’ữdiyyah: Dᾱr al-Basyar al-Islᾱmiyyah, 2001.
Syᾱmah, Abữ . Ibrᾱz al-Ma’ānῑ. t.p.: t.t.p, t.th.
Syihᾱb, Quraisy. Membumikan al-Qur’an. Bandung : Mizan, 1999.
Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1982.
Ṭabarῑ, (al-). al-Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wῑl ay al-Qur’ ān. t.p.: t.t.p, t.th.
Ṭaḥḥᾱn, Mahmữd. Taisῑr Muṣṭalᾱh al-Ḥadῑṡ. Surabaya: Syirkah Bungkul Indah,1998.
Ṭawῑl, (al-) al-Sayyid Rizq. fī ‘Ulūm al-Qirā’āt. t.p.: t.t.p, t.th.
Terjemah Kementrian Agama Replublik Indonesia P.T. Sygma ExamediaArkanleema.
‘Umar, Muḥammad bin Ibrāhῑm. al-Wāfῑ bin al-Wafayāt, Kairo : Dār al-Manᾱr,2005.
‘Uṡmᾱn, ‘Abd al-Karῑm. Ma’ᾱlim al-Ṡaqafᾱt al-Islᾱmiyah. Beirut: Muassasᾱt al-Risᾱlah, 1990.
Wansyirῑ, (al-). al-Mi’yᾱr al-I’rᾱb. t.p.: t.t.p, t.th.
Wijaya, Aksin. Studi Baru dalam ‘Ulum al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Yusuf, Muhammad. “ Jᾱmi’ al-Bayᾱn fi Tafsῑr Ᾱy al-Qur’ᾱn Karya Ibnu Jarῑr al-Ṭabarῑ”, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 4, No. 1,Yogyakarta, 2003.
Zᾱbidῑ, (al-) Muḥammad Murtaḍᾱ al-Ḥusainῑ. Tᾱj al-‘Urữsy min Jawāhir alQāmữs. Kuwait : t.t.p., 2001.
Za’bi, (al-), Muḥammad Tamῑm. Ṭayyibah al-Nasyr fῑ al- Qirā’āt al-‘Asyr liMuḥammad al-Jazari. t.p.: Maktabah Naẑar, t.th.
137
Zaghlūl, Salmān. al-Adab fῑ ‘Asrῑ ‘Abbᾱsyiyyah. Beirut: Dar al-Kutob al-Ilmiyyah, 1998.
Ẑahabi, (al-). al-Tafsῑr wa al-Mufassirūn. Beirut: Dar al-Kutob al-Ilmiyyah, 1998.
Zakariyyᾱ, Aḥmad bin Fᾱris. Mu’jam Maqāyis al-Lugah. t.p.: t.t.p, t.th.
Zanjalah, Ibn. Ḥujjah al-Qurrᾱ’. Kairo : Dār al-Kitāb al-‘Arabῑ, 2005.
Zarkasyῑ, (al-). al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Kairo: Maktabah Dār al-Turᾱṡ,1999.
Zarqᾱnῑ, (al-). Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Kairo : Dār al-Kitāb al-‘Arabῑ, 2006.
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ulum al-Qur’an. Surabaya: Karya Abdi Utama,1997.
Zuhri, Ahmad. Risalah Tafsir: Berinteraksi dengan al-Qur’an Versi Imam Al-Ghazali. Bandung: Cita Pustaka Media,2007.
138
CURICULUM VITAE
Nama Lengkap : Helmi Nailufar
Tempat/Tanggal Lahir : Kudus, 28 Maret 1992
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Email : [email protected]
No. Telp/HP : 085729734585
Alamat Rumah : Nganguk Mranggen, 01/V, Kota, Kudus
Domisili di Yogyakarta : P.P.P.Diponegoro, Sembego, Maguwoharjo.
ORANG TUA
Nama Ayah : Shocheh Arham
Nama Ibu : Alfiyah
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Nganguk Mranggen, 01/V, Kota, Kudus
RIWAYAT PENDIDIKAN FORMAL-NON FORMAL
1. SD NU Nawa Kartika Kudus (1998-2004)
139
2. MTs. NU Tasywiquth Thullab Salafiyyah Kudus (2004-2007)
3. MA NU Tsywiquth Thullab Salafiyyah Kudus (2007-2010)
4. UIN Sunan Kalijaga Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam (T.A. 2010-2011)
5. Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus (2007-2010)
6. Pondok Pesantren Pangran Diponegoro Sleman (2010-sekarang)
PENGALAMAN ORGANISASI
1. Koordinator Keagamaan PP/OSIS MA NU TBS Kudus (2008-2009)
2. Divisi Buletin el-Insyaeth MA NU TBS Kudus (2007-2008)
3. Anggota CSS MORA UIN Sunan Kalijaga
4. Dewan Pengasuh P.P.P.Diponegoro Sleman (2012-sekarang)
5. Ketua Bidang Kurikulum Madrasah Diniyyah Yayasan Pangeran Diponegoro (2011-sekarang)