SKRIPSI -...

133
TRADISI TAHLILAN DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA TEGALANGUS (ANALISIS SOSIO KULTURAL) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Oleh Muhammad Iqbal Fauzi NIM: 109015000111 JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014

Transcript of SKRIPSI -...

TRADISI TAHLILAN DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA

TEGALANGUS (ANALISIS SOSIO KULTURAL)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Strata Satu

Oleh

Muhammad Iqbal Fauzi

NIM: 109015000111

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2014

iv

ABSTRAK

Muhammad Iqbal Fauzi (NIM: 109015000111), Tradisi Tahlilan dalam

Kehidupan Masyarakat Desa Tegalangus (Analisis Sosio Kultural). Skripsi,

Jurusan Pendidikan IPS, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motivasi masyarakat desa

Tegalangus dalam menghadiri pelaksanaan tahlilan di tempat orang yang

meninggal dan untuk mengetahui nilai-nilai positif dan negatif dari tradisi tahlilan

di desa Tegalangus terhadap masyarakatnya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

kualitatif. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan wawancara,

observasi dan dokumentasi. Kemudian teknik analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Masyarakat desa Tegalangus memiliki motivasi yang berbeda-beda dalam

menghadiri pelaksanaan tahlilan di tempat orang yang meninggal, Seperti,

masyarakat akan lebih termotivasi untuk hadir dan mengikuti pelaksanaan tahlilan

jika orang yang meninggal atau keluarga yang tertimpa musibah (yang ditinggal

oleh salah satu anggota keluarganya) adalah temannya, keluarga temannya, atau

bahkan seorang tokoh masyarakat.

Tradisi tahlilan di desa Tegalangus memiliki nilai positif dan negatif bagi

masyarakatnya. Silaturrahmi, solidaritas sosial dan ceramah agama yang berisi

pengetahuan agama merupakan nilai-nilai positif dari tradisi tersebut. Selain nilai

positif tersebut, tahlilan juga memiliki nilai negatif bagi masyarakat desa

Tegalangus. Tahlilan membentuk kebiasaan masyarakat dalam menyuguhkan

aneka hidangan untuk jamaah tahlilan yang memberatkan keluarga, terutama

keluarga yang tidak mampu, tahlilan juga sering dijadikan ranah politik, banyak

yang menjual tahlilan untuk kepentingan politik, terlebih jelang pemilihan umum.

Kata Kunci: Tradisi, tahlilan, masyarakat Tegalangus.

iv

ABSTRACT

Muhammad Iqbal Fauzi (NIM: 109015000111), Tahlilan Tradition in

Society Living of Tegalangus Village (Cultural Socio Analysis). Thesis Studies

Socilogy-Antropology of Education, Department of Social Studies, Faculty of

Tarbiyah and Teaching, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta.

2014.

This research aim to know motivation of Tegalangus people to attend

realization of tahlilan in the house people who passed away and for knowing

negative and positive values from tahlilan tradition in Tegalangus village to the

society.

The method that was used in this research is qualitative descriptive method.

And the data technique collection in this research use interview, observation and

documentation. And then, the data analysis technique that was used in this

research is data reduction, presentation and interpretation of conclusion.

Tegalangus people have different motivation to attending realization of

tahlilan in the house people who passed away, start from people who want praying

seriously untill people who was only for delete the obligation.

Tahlilan tradition in Tegalangus village have positive and negative values for

people. Silaturahmi, social solidarity and religion speech which contain religion

knowledge is positive value from that tradition. Beside it, tahlilan made people

behaviour for burden family, the first for family who include in poor people,

tahlilan also was become as politic domain, many people who sold tahlilan for

politic importance, especially close general election.

Key words: Tradition, tahlilan, Tegalangus society

vi

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Syukur Alhamdulilah segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam, atas rahmat

dan karunia-Nya kepada penulis maka selesailah skripsi ini yang berjudul Tradisi

Tahlilan dalam Kehidupan Masyarakat Desa Tegalangus (Analisis Sosio Kultural).

Tak lupa sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW

yang menjadi suri tauladan bagi manusia, dan semoga kita menjadi pengikutnya

hingga nanti.

Selesainya skripsi ini tak lupa doa dan kesungguhan hati, kerja keras serta

bantuan dari berbagai pihak baik saran maupun bantuan lainnya. Tiada kata yang

dapat penulis ucapkan selain ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya atas bantuan

ini, dan lebih khusus ucapan terimakasih yang saya ucapkan kepada:

1. Nurlena Rifai MA.Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Iwan Purwanto, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan IPS Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. H. Syaripulloh, M.Si., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan IPS Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

4. Cut Dhien Nourwahida. MA., selaku Dosen pembimbing akademik, yang

telah memberikan arahan, motivasi juga dukungan kepada penulis selama

masa perkuliahan.

5. Dr. Muhammad Arif, M.Pd., sebagai pembimbing skripsi, terimakasih atas

segala bimbingan, saran, pengarahan, ilmu, waktu, serta motivasinya kepada

penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

vii

6. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan IPS, yang telah dengan sabar dan ikhlas

mendidik penulis, sehingga ilmu yang diberikan kepada kepada penulis dapat

bertambah dan bermanfaat.

7. Abah dan Umi, yang telah membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang,

kesabaran serta pengorbanan. Untaian doa penuh cinta yang selalu penulis

panjatkan untuk Abah dan Umi mudah-mudahan bisa menjadi pengganti

sebuah kebanggaan yang belum sempat penulis persembahkan untuk Abah

dan Umi.

8. Keluargaku tercinta, Mamah, Teh Enti, Mas Agus (matur nuwun Mas, atas

waktu tanya jawabe), Teh Uus, Bang Dayat, Ka Aceng, Teh Yanti, Ka Ade,

Ka Alan, Teh Yuli (thank you laptopnya), Bang Syahdan, Nunu (sory yah ga

bisa ngasih tebengan lagi), Firda, yang tak henti-hentinya mengirimkan doa,

memberikan nasihat, motivasi dan terus memberikan dukungan baik secara

materi maupun spirit bagi penulis di setiap situasi dan kondisi. Asa, Indana,

Syifa, Rahmah, Taftajani, Nashoriy, Kalzoem, Kaffah, Nuah, senyuman dan

tangisanmu selalu menjadi motivasi bagi penulis. Mak Isah, Mpo Mursiah,

terimakasih atas segala doanya.

9. Mang Edi, Ustadz Ikhwan, Ustadz Ahmad, selaku guru agama penulis, tempat

penulis bertanya tentang banyak hal, yang tak henti-hentinya memberikan

nasihat, arahan, motivasi juga dukungan kepada penulis dalam menjalani

kehidupan sebagai makhluk sosial dan hamba Allah SWT.

10. Guru-guru penulis di Yayasan Pendidikan Islam Hidayaturrohman (Hiro),

terima kasih atas segala ilmu dan doanya kepada penulis.

11. Ustadz Ikhwan Muhtarip, Ustadz Ahmad Yuarsa, Pak Achmad Zamroni, Pak

Sarip Hidayatulloh dan seluruh responden lainnya, terima kasih atas bantuan

dan kesediaanya untuk menjadi sumber dalam penulisan skripsi ini.

12. Rizquna Jersey, yang telah memberikan pelajaran tentang kehidupan,

terutama mengenai susahnya cari uang.

viii

13. Didik RJ, selaku rekan usaha dan teman, tempat penulis bertanya dan

bercerita tentang banyak hal, terima kasih atas segala dukungan dan motivasi

kepada penulis.

14. Teman-teman penulis, Furqon, Cessna, Feri, Irul, Angga, Bayu, Rahman,

Ucup, Kober, Wahyu DJ, Beles, Zaki, Gagap, Agung, Desty, Desi, Nanda,

Indah, Dkk).

15. Teman-teman dunia lain, Thile dan Usuf, yang senantiasa gentayangan

didekat penulis dan selalu mendengarkan keluh kesah penulis dalam

menjalani masa perkuliahan, meskipun penulis yakin kalau kalian berdua tak

paham apa yang penulis ceritakan. Nanang, terima kasih bos atas segala doa

dan dukungannya.

16. Pelanggan Rizquna Jersey, lewat perantara kalianlah rizqi Rizquna Jersey

Allah titipkan, semoga terus bertambah.

17. Semua teman-teman seperjuangan Jurusan IPS angkatan 2009, serta semua

pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung

dalam penulisan skripsi ini hingga selesai.

Akhir kata penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan ketidak sempurnaan

skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya, dan pembaca

umumnya. Semoga skipsi ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi dunia

pendidikan khususnya dan pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya.

AlhamdulillahirrobilAlamin

Wassalamualaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh.

Jakarta, 17 Januari 2014

Penulis

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ..................................................i

SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH .................................................ii

LEMBAR PENGESAHAN SIDANG MUNAQASAH ..................................iii

ABSTRAK .. .. ...............................................................................................iv

KATA PENGANTAR .. .. .............................................................................vi

DAFTAR ISI ......................................................................................................ix

DAFTAR TABEL .............................................................................................xii

DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................................................1

B. Identifikasi Masalah ..............................................................................6

C. Pembatasan Masalah .............................................................................7

D. Perumusan Masalah ..............................................................................7

E. Tujuan Penelitian ..................................................................................8

F. Manfaat Penelitian ................................................................................8

BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Pengertian Tradisi Tahlilan ................................................................10

a. Pengertian Tradisi ..................... 10

b. Pengertian Tahlilan .......................................................................13

c. Sejarah Tahlilan ............................................................................15

d. Pelaksanaan Tahlilan .....................................................................20

2. Masyarakat

a. Pengertian Masyarakat ...................................................................22

b. Bentuk-bentuk Masyarakat ............................................................26

1) Masyarakat Tradisional ..........................................................26

x

2) Masyarakat Modern ...............................................................29

3. Teori Fungsionalisme Struktural

a. Teori Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons .... 30

b. Teori Fungsionalsme Struktural Robert K. Merton . 32

4. Solidaritas Sosial Emile Durkheim 35

B. Hasil Penelitian Relevan ........................................................................37

C. Kerangka Berpikir ..................................................................................41

BAB III METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................43

B. Latar Penelitian (Setting) .......................................................................43

C. Metode Penelitian....................................................................................44

D. Prosedur Pengumpulan Data ..................................................................44

1. Wawancara .........................................................................................46

2. Observasi ............................................................................................48

3. Dokumentasi .......................................................................................48

E. Teknik Pengolahan Data ........................................................................59

F. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data .....................................50

G. Analisis Data ...........................................................................................51

1. Analisis Sebelum di Lapangan ...........................................................51

2. Analisis Selama di Lapangan .............................................................52

3. Reduksi Data .....................................................................................52

4. Penyajian Data ...................................................................................52

5. Penarikan Kesimpulan ........................................................................52

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Fisik dan Sosial Daerah Penelitian ..........................................54

1. Gambaran Umum Wilayah ...............................................................54

2. Kondisi Demografi............................................................................54

3. Sarana dan Prasarana .......................................................................56

B. Tradisi Tahlilan dalam Kehidupan Masyarakat Desa Tegalangus

xi

(Analisis Sosio Kultural) ......................................................................58

1. Motivasi Masyarakat Desa Tegalangus dalam Menghadiri

Pelaksanaan Tahlilan di Tempat Orang yang Meninggal .. 58

2. Nilai-nilai Positif yang Terkandung dalam Tradisi Tahlilan

di Desa Tegalangus ........ 61

3. Dampak Negatif yang Ditimbulkan dari Tradisi Tahlilan di

Desa Tegalangus Terhadap Masyarakatnya .. 63

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ...........................................................................................66

B. Saran .....................................................................................................67

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................68

LAMPIRAN-LAMPIRAN

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jenis Data, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ..................45

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan RW/RT .............................................55

Tabel 4.2 Sarana dan Prasarana Desa Tegalangus ..............................................57

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Observasi Lapangan

Lampiran 2 Hasil Observasi Lapangan

Lampiran 3 Pedoman Wawancara

Lampiran 4 Hasil Wawancara

Lampiran 5 Pedoman Studi Dokumentasi

Lampiran 6 Panduan Tahlilan

Lampiran 7 Jadwal Pembacaan Tahlil di Desa Tegalangus

Lampiran 8 Surat pengantar penelitian dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 9 Surat Keterangan Penelitian dari desa Tegalangus

Lampiran 10 Profil Desa Tegalangus

Lampiran 11 Foto-foto Pelaksanaan Tahlilan di Masjid, Mushola dan di

Masyarakat

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebelum Islam masuk ke Indonesia, agama Hindu dan Buddha telah

berkembang luas di Nusantara ini-di samping banyak yang masih menganut

animisme dan dinamisme.1 Suatu kenyataan bahwa Islam ke Indonesia dilakukan

secara damai. Berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah yang dalam

beberapa kasus disertai dengan pendudukan wilayah oleh militer Muslim. Islam

dalam batas tertentu disebarkan oleh pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para

guru agama (dai) dan pengembara sufi.2

Secara umum, dapat dikatakan bahwa proses masuknya Islam ke Nusantara

yang ditandai awal hadirnya pedagang-pedagang Arab dan Persia pada abad ke-7

Masehi, terbukti mengalami kendala sampai masuk pada pertengahan abad ke-15.

Ada rentang waktu sekitar delapan abad sejak kedatangan awal Islam, agama

Islam belum dianut secara luas oleh penduduk pribumi Nusantara. Baru pada

pertengahan abad ke-15, yaitu era dakwah Islam yang dipelopori tokoh-tokoh sufi

yang dikenal dengan sebutan Wali Songo, Islam dengan cepat diserap ke dalam

asimilasi dan sinkretisme Nusantara.3

Dalam kenyataannya, para Wali telah merumuskan strategi dakwah atau

strategi kebudayaan secara sistematis, terutama bagaimana menghadapi

kebudayaan Jawa dan Nusantara pada umumnya yang sudah sangat tua, kuat, dan

sangat mapan. Ternyata, para wali memiliki metode yang sangat bijak. Mereka

1 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran Tentang Paradigma dan

Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 197. 2 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,

2005), h. 8. 3 Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan), (Tangerang:

Transpustaka, 2011), h. 37.

2

memperkenalkan Islam tidak serta merta, tidak ada cara instan, karena itu mereka

merumuskan strategi jangka panjang.4

Strategi para Wali dalam mengembangkan ajaran Islam di bumi Nusantara

dimulai dengan beberapa langkah strategis. Pertama, tadrij (berharap). Tidak ada

ajaran yang diberlakukan secara mendadak, semua melalui proses penyesuaian.

Bahkan, tidak jarang secara lahir bertentangan dengan Islam, tapi ini hanya

strategi. Misalkan mereka dibiarkan minum tuak, makan babi, atau mempercayai

para danyang dan sanghyang. Secara bertahap, perilaku mereka itu diluruskan.

Kedua, adamul haraj (tidak menyakiti). Para Wali membawa Islam tidak dengan

mengusik tradisi mereka, bahkan tidak mengusik agama dan kepercyaan mereka,

tapi memperkuatnya dengan cara yang Islami.5

Penyebaran Islam di tanah Jawa oleh para Wali memiliki persamaan dengan

pertama kali Rasulullah SAW menyebarkan Islam di tanah Arab, yaitu kondisi

masyarakat yang telah beragama, berkeyakinan dan telah memiliki budaya dan

tradisi setempat. Di Jawa, khususnya, telah mengakar sebuah keyakinan dari

agama Hindu dan Buddha dalam banyak aspek, terlebih yang berkaitan dengan

kematian, ritual selamatan dan sebagainya. Tidak berbeda jauh dengan kondisi di

atas, Rasulullah SAW juga menghadapi sebuah kondisi masyarakat yang hampir

sama dengan mewarisi beragam tradisi dan adat istiadat dari leluhur warga Arab,

utamanya dengan keberadaan Kabah.6

Sesuai dengan metode dakwah Rasulullah ini, Wali Songo dan para penyebar

Islam terdahulu tidak serta menghilangkan dan menghapus tradisi dari agama

sebelum Islam. Mereka sangat toleran dengan tradisi lokal yang telah membudaya

dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan akidah dan hukum Islam, serta

mencoba meraih hati mereka agar masuk Islam dengan menyelipkan ajaran Islam

dalam tradisi mereka. Meski demikian, ajaran yang dimasukkan dalam tradisi

tersebut bukan hal yang terlarang dalam agama bahkan termasuk ibadah dan

4 Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan), (Tangerang:

Transpustaka, 2011), h. xi. 5 Ibid., h. xii.

6 Muhammad Maruf Khozin, Tahlilan Bidah Hasanah, (Surabaya: Muara Progresif, 2013),

h. 4.

3

pendekatan diri pada Allah, semisal dzikir, mendoakan orang mati dalam

selametan, membaca surat Yasin dan menghadirkan pahalanya kepada orang yang

telah meninggal, sedekah atas nama orang meninggal dan sebagainya.7

Di satu sisi Rasulullah SAW menghargai tradisi yang telah mengakar dalam

masyarakat, di sisi lain ketika Rasulullah SAW dihadapkan dengan tradisi yang

menyimpang maka Rasulullah SAW tidak menghapusnya, namun menggantinya

dengan hal-hal yang sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai contohnya adalah

penduduk Madinah, dimana penduduknya telah memiliki dua nama hari (Nairuz

dan Mahrajan) yang dijadikan sebagai hari perayaan dengan bersenang-senang,

persembahan pada patung dan sebagainya. Maka, kedatangan Islam tidak

menghapus tradisi berhari raya, namun dengan mengubah rangkaian ritual yang

ada di dalamnya dengan sholat dan sedekah dalam idhul fitri, juga sholat dan

ibadah haji atau qurban dalam idhul adha.8

Demikian halnya cara dakwah yang dijalankan oleh para Wali Songo

khususnya di tanah Jawa. Para Wali sangat arif dengan budaya lokal pra Islam,

seperti tingkeban saat kehamilan (mendoakan janin), 7 hari, 40 hari dan 100 hari

setelah kematian dan tradisi selamatan lainnya. Budaya ini tidaklah serta merta

dihapus oleh para penyebar Islam tersebut, tetapi diisi dengan nilai-nilai yang

sesuai ajaran Islam seperti baca al-Quran, shalawat, sedekah. Amaliah ini sama

seperti yang dilakukan Rasulullah SAW ketika mengubah isi hari raya di

Madinah.9

Kematian adalah satu kenyataan yang setiap kali disaksikan oleh manusia.

Karena itu, tidak mengherankan kalau mereka menjadi biasa dengan kematian itu,

sebagaimana mereka menghadapi musim dingin, musim panas, tenggelam dan

terbitnya matahari.10

Di kalangan masyarakat kita ada tradisi, ketika ada orang

meninggal, maka pihak keluarga mengadakan selamatan 7 hari, yang dihadiri para

tetangga, kerabat dan handai taulan dengan ritual bacaan tahlilan yang pahalanya

dihadiahkan kepada orang yang meninggal itu. Selamatan tersebut dilakukan pula

7 Ibid., h. 6-7.

8 Ibid., h. 11.

9 Ibid., h. 13.

10 Ahmad Shalaby, Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam, (Jakarta: Amzah, 2001), h. 189.

4

pada ke-40, 100 dan 1000 harinya. Lalu diadakan setiap tahunnya yang

diistilahkan dengan haul.11

Keberhasilan dakwah Wali Songo ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang

mengedepankan metode kultural atau budaya. Wali Songo tidak secara frontal

menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun

membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam.

Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga

berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang

dengan bermain judi atau mabuk-mabukan. Wali Songo tidak serta merta

membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul

namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit.12

Kehidupan masyarakat yang masih kental dengan tradisi keagamaan yang

terkait dengan perjalanan hidup manusia, seperti tujuh bulanan, aqiqah, dan

tahlilan atau tradisi keagamaan yang terkait dengan peristiwa-peristiwa penting

dalam sejarah Islam, misalnya mauludan (memperingati hari lahirnya Nabi

Muhammad SAW), rajaban (memperingati peristiwa isra miraj), nuzulul quran

(memperingati peristiwa turunnya al-Quran), muharroman (menyambut tahun

baru hijriyah) bisa dilihat dalam kehidupan masyarakat desa Tegalngus,

kecamatan Teluknaga, kabupaten Tangerang. Masyarakat desa yang menganut

agama Islam dan tergolong dalam warga nahdliyin (sebutan untuk jamaah

nadhlatul ulama) ini rutin menyelenggarakan tradisi-tradisi keagamaan tersebut.

Salah satu tradisi yang menarik dicermati dan ditelusuri lebih dalam adalah

tradisi tahlilan. Tradisi ini diselenggarakan ketika ada warga yang meninggal

dunia. Pelaksanaannya berlangsung selama tujuh hari berturut-turut yang dimulai

setelah jenazah dikebumikan atau dikuburkan sampai hari ketujuh dari prosesi

penguburan tersebut. Setelah itu, dilanjutkan dengan tahlilan 15 hari, 40 hari, 100

hari sampai satu tahun memperingati warga yang meninggal tersebut, yang lebih

dikenal dengan istilah haul. Tahlilan bagi masyarakat desa Tegalangus telah

menjadi budaya yang bersifat keharusan sehingga jika ada salah satu dari

11

Muhammad Idrus Ramli, Membedah Bidah dan Tradisi dalam Perspektif Ulama Salafi.

(Surabaya: Khalista, 2010), h. 48-49. 12

Ibid.,

5

masyarakat yang tidak melaksanakan tahlilan ketika salah satu anggota

keluarganya meninggal dunia sering disebut sebagai kelompok minoritas. Tetapi

hal demikian tidak menyebabkan kerukunan antarmasyarakat terganggu.

Berdasarkan pengamatan penulis, tradisi tahlilan di desa Tegalangus dihadiri

oleh para kerabat dan tetangga orang yang meninggal. Tradisi ini dipimpin oleh

seorang tokoh agama (kiai, ustadz, atau amil). Hal yang menarik dari tradisi

tahlilan di desa Tegalangus adalah, selain aktivitas yang berisi kesakralan dan

kekhidmatan, tradisi ini juga merupakan ruang pertemuan antarwarga. Ketika

sebelum dimulai dan saat menyantap hidangan setelah prosesi usai, warga yang

berkumpul berkomunikasi satu sama lain tentang banyak hal. Dari hal yang serius

sampai senda gurau, dari masalah pribadi sampai masalah umum, bahkan tidak

jarang dari komunikasi tersebut lahir kesepakatan untuk melakukan kegiatan

sosial.

Secara bahasa tahlilan berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya

membaca kalimat la ilaha illallah.13

Berdasarkan pengertian tahlilan tersebut dan

melihat yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, ternyata pembacaan tahlil

dilaksanakan bukan hanya ketika ada tetangga atau kerabat yang meninggal, tetapi

upacara-upacara lainnya pun sering dihiasi dengan pembacaan kalimat tauhid

tersebut. Misalnya acara pengajian, pemberian nama anak, acara khitanan, acara

maulidan, rajaban, nuzulul Quran, muharroman sampai acara ulang tahun dan

lain sebagainya. Tetapi, bagi masyarakat desa Tegalangus kecamatan Teluknaga

kabupaten Tangerang, apabila menyebut kata tahlilan maka yang dimaksud adalah

tahlilan dalam rangka mendoakan kerabat atau tetangga yang meninggal dunia.

Tahlilan sudah menjadi tradisi yang mengakar bagi masyarakat desa

Tegalangus, selain memang mayoritas masyarakatnya merupakan nahdliyin

(sebutan untuk jamaah Nahdlatul Ulama), nilai-nilai positif yang terkandung

dalam tahlilan menjadi alasan bagi masyarakat tersebut untuk melaksanakan dan

melestarikan tradisi yang oleh sebagian kelompok dianggap bidah tersebut.

13

Munawar Abdul Fattah, Tradisi Orang-orang NU, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012),

h. 276.

6

Tetapi, adanya nilai-nilai positif tersebut tidak membuat tradisi ini luput dari nilai

negatif.

Meskipun demikian, tidak dapat dielakkan adanya perbedaan motivasi atau

dorongan bagi masyarakat untuk mengikuti pelaksanaan tahlilan di kediaman

orang yang meninggal. Seperti, masyarakat akan lebih termotivasi untuk hadir dan

mengikuti pelaksanaan tahlilan jika orang yang meninggal atau keluarga yang

tertimpa musibah (yang ditinggal oleh salah satu anggota keluarganya) adalah

temannya, keluarga temannya, atau bahkan seorang tokoh masyarakat.

Disatu sisi, seiring berjalannya waktu, percampuran budaya di desa ini pun

tidak dapat dihindari. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya orang dari luar

yang tentunya berbeda budaya dengan masyarakat setempat menetap di desa ini

dengan sebab menikah dengan warga setempat, bekerja dan lain sebagainya

ataupun warga setempat yang baru kembali dari tempat rantaunya. Dengan

membawa latar belakang budaya yang berbeda itu menyebabkan bercampur dua

kebudayaan yang berbeda sehingga sedikit merubah tradisi di desa Tegalangus,

termasuk tradisi tahlilan. Intinya, ada beberapa masyarakat yang tidak

melaksanakan tahlilan dengan dalil-dalil yang mereka yakini sebagai

pelindungnya.

Berdasarkan latar belakang tersebutlah peneliti tertarik untuk meneliti tradisi

tahlilan di desa Tegalangus dengan judul Tradisi Tahlilan dalam Kehidupan

Masyarakat Desa Tegalangus (Analisis Sosio Kultural).

Sebelumnya penelitian ini juga pernah diteliti oleh Bapak Drs. H. Syaripulloh,

M.Si dalam tesisnya di Universitas Gadjah Mada pada tahun 2003 yang berjudul

Tahlilan di Kalangan Abangan: Sebagai Pencarian Ekstasi atau Keamanan

Politik, dan ide skripsi ini berangkat dari tesis tersebut.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan masalahnya

adalah:

1. Fungsi tahlilan tidak hanya untuk mendoakan kerabat yang meninggal dunia.

7

2. Adanya perbedaan motivasi masyarakat desa Tegalangus dalam menghadiri

pelaksanaan tahlilan di tempat orang yang meninggal.

3. Kurangnya pemahaman masyarakat desa Tegalangus dalam menyikapi nilai-

nilai positif yang terdapat dalam tradisi tahlilan.

4. Tradisi tahlilan di desa Tegalangus tidak lepas dari nilai negatif yang

berdampak pada masyarakatnya.

5. Adanya perbedaan pendapat dalam menyikapi tradisi tahlilan di desa

Tegalangus.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas dan keterbatasan peneliti dari segi

waktu dan biaya maka peneliti membatasi masalah-masalah yang sudah

diidentifikasi dengan tujuan agar penelitian lebih terarah dan tidak menyimpang

dari pokok penelitian. Oleh karena itu peneliti mengarahkan kepada pembahasan

atas masalah-masalah pokok yang dibatasi dalam konteks permasalahan yang

terdiri dari:

1. Adanya perbedaan motivasi masyarakat desa Tegalangus dalam menghadiri

pelaksanaan tahlilan di tempat orang yang meninggal.

2. Kurangnya pemahaman masyarakat desa Tegalangus dalam menyikapi nilai-

nilai positif yang terdapat dalam tradisi tahlilan.

3. Tradisi tahlilan di desa Tegalangus tidak lepas dari nilai negatif yang

berdampak pada masyarakatnya.

D. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah motivasi masyarakat desa Tegalangus dalam menghadiri

pelaksanaan tahlilan di tempat orang yang meninggal?

2. Seperti apakah nilai-nilai positif yang terkandung dalam tradisi tahlilan di

desa Tegalangus bagi masyarakatnya?

3. Seperti apakah dampak negatif yang ditimbulkan dari tradisi tahlilan di

desa Tegalangus terhadap masyarakatnya?

8

E. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui motivasi masyarakat dalam menghadiri dan mengikuti

tradisi tahlilan di desa Tegalangus.

2. Untuk mengetahui nilai-nilai positif yang terkandung dalam tradisi tahlilan di

desa Tegalangus bagi masyarakatnya.

3. Untuk mengetahui dampak negatif yang ditimbulkan dari pelaksanaan tahlilan

di desa Tegalangus terhadap masyarakatnya.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini memiliki dua kegunaan atau manfaat, yaitu manfaat secara

teoritik dan praktis.

1. Manfaat Teoritik. Secara teoritik, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat

memperkaya dan memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya

disiplin sosiologi agama yang kaitannya dengan sektor kebudayaan. Selain itu

dapat dijadikan sumber informasi bagi peneliti lain dengan tema sejenis.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti, penelitian ini dijadikan sebagai tambahan pengetahuan

mengenai tradisi tahlilan, khususnya tradisi tahlilan di desa Tegalangus.

Selain itu, bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat juga untuk memenuhi

syarat-syarat memperoleh gelara Stara 1 (S1) pada Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulloh

Jakarta.

b. Bagi tokoh masyarakat (ustadz dan DKM), penelitian ini dapat dijadikan

bahan informasi untuk disampaikan di majlis-masjlis talim dan tempat-

tempat ilmu lainnya agar dapat memberikan gambaran yang jelas

mengenai tradisi tahlilan.

c. Bagi Majlis Ulama Indonesia (MUI) desa Tegalangus, penelitian ini

bermanfaat untuk dijadikan rujukan dalam rangka menjelaskan masalah

hukum tahlilan yang sering menimbulkan polemik di masyarakat

9

sehingga bisa dijadikan landasan dalam mengeluarkan fatwa-fatwa terkait

masalah tahlilan.

d. Bagi masyarakat, selain berguna sebagai tambahan pengetahuan,

penelitian ini juga berguna untuk memberikan keyakinan untuk tetap

melaksanakan dan melestarikan tradisi tahlilan di desa Tegalangus.

10

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Pengertian Tradisi Tahlilan

a. Pengertian Tradisi

Tradisi adalah penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada

merupakan yang paling benar. Selain itu, diartikan pula sebagai adat kebiasaan

turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat.1

Menurut Muhammad Abed Al Jabiri, kata turats (tradisi) dalam bahasa Arab

berasal dari unsur-unsur huruf wa ra tsa, yang dalam kamus klasik

disepadankan dengan kata-kata irts, wirts, dan mirats. Semuanya merupakan

bentuk mashdar (verbal noun) yang menunjukan arti segala yang diwarisi

manusia dari kedua orang tuanya, baik berupa harta maupun pangkat atau

keningratan.2

Berbicara mengenai tradisi, hubungan antara masa lalu dengan masa kini

haruslah lebih dekat. Tradisi mencakup kelangsungan masa lalu dimasa kini

ketimbang sekadar menunjukan fakta bahwa masa kini berasal dari masa lalu.

Kelangsungan masa lalu di masa kini mempunyai dua bentuk: material dan

gagasan, atau objektif dan subjektif. Menurut arti yang lebih lengkap, tradisi

adalah keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari masa lalu

namun benar-benar masih ada hingga kini, belum dihancurkan, dirusak, dibuang

atau dilupakan. Di sini tradisi hanya berarti warisan, apa yang benar-benar tersisa

dari masa lalu. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Shils dalam Piotr

Sztompka, tradisi berarti segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari

masa lalu ke masa kini.3

1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 2008), h. 1.483. 2 Muhammad Abed Al Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: LKIS, 2000), h. 2.

3 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 69-

70.

11

Menurut Piotr Sztompka, tradisi dalam arti sempit adalah kumpulan benda

material dan gagasan yang diberi makna khusus yang berasal dari masa lalu.

Tradisi pun mengalami perubahan. Tradisi lahir disaat tertentu ketika orang

menetapkan fragmen tertentu dari warisan masa lalu sebagai tradisi. Tradisi dapat

berubah ketika orang memberikan perhatian khusus pada fragmen tradisi tertentu

dan mengabaikan fragmen yang lain. Tradisi bertahan dalam jangka waktu

tertentu dan mungkin lenyap bila benda material dibuang dan gagasan ditolak atau

dilupakan. Tradisi mungkin pula hidup dan muncul kembali setelah lama

terpendam.4 Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, penulis menyimpulkan

bahwa tradisi adalah kegiatan pada masa lalu yang masih bertahan atau dijalankan

di masa kini dan bersifat sementara. Artinya, jika kegiatan tersebut tidak

dijalankan lagi, maka tidak lagi disebut sebagai tradisi.

Tradisi lahir melalui dua cara. Cara pertama, muncul dari bawah melalui

mekanisme kemunculan secara spontan dan tak diharapkan serta melibatkan

rakyat banyak. Karena sesuatu alasan, individu tertentu menemukan warisan

historis yang menarik. Perhatian, ketakziman, kecintaan dan kekaguman yang

kemudian disebarkan melalui berbagai cara, memengaruhi rakyat banyak. Sikap

takzim tersebut berubah menjadi perilaku dalam bentuk upacara, penelitian dan

pemugaran peninggalan purbakala serta menafsir ulang keyakinan lama. Semua

perbuatan itu memperkokoh sikap. Kekaguman dan tindakan individual menjadi

milik bersama dan berubah menjadi fakta sosial sesungguhnya. Begitulah tradisi

dilahirkan. Proses kelahiran tradisi sangat mirip dengan penyebaran temuan baru.

Hanya saja dalam kasus tradisi ini lebih berarti penemuan atau penemuan kembali

sesuatu yang telah ada di masa lalu ketimbang penciptaan sesuatu yang belum

pernah ada sebelumnya.5

Cara kedua, muncul dari atas melalui mekanisme paksaan. Sesuatu yang

dianggap sebagai tradisi dipilih dan dijadikan perhatian umum atau dipaksakan

oleh individu yang berpengaruh atau berkuasa. Raja mungkin memaksakan tradisi

dinastinya kepada rakyatnya. Komandan militer menceritakan sejarah

4 Ibid., h. 71.

5 Ibid.,

12

pertempuran besar kepada pasukannya. Perancang mode terkenal menemukan

inspirasi dari masa lalu dan mendiktekan gaya kuno kepada konsumen.6

Dua jalan kelahiran tradisi tersebut tidak membedakan kadarnya.

Perbedaannya terdapat antara tradisi asli, yakni yang sudah ada di masa lalu dan

tradisi buatan, yang murni khayalan atau pemikiran masa lalu. Tradisi buatan

mungkin lahir ketika orang memahami impian masa lalu dan mampu menularkan

impian itu kepada orang banyak. Lebih sering tradisi buatan ini dipaksakan dari

atas oleh penguasa untuk mencapai tujuan politik mereka.7

Setelah terbentuk, tradisi akan mengalami perubahan, dimana perubahan itu

dapat dilihat secara kuantitaif dan kualitatif. Secara kuantitatif perubahan terlihat

dalam jumlah penganut atau pendukungnya. Rakyat dapat ditarik untuk mengikuti

tradisi tertentu yang kemudian memengaruhi seluruh rakyat dan negara.

Sedangkan secara kualitatif perubahan terlihat pada kadar tradisi. Gagasan, simbol

dan nilai tertentu ditambahkan dan yang lainnya dibuang. Perubahan tradisi juga

disebabkan banyaknya tradisi dan bentrokan antara tradisi yang satu dengan

saingannya. Benturan itu dapat terjadi antara tradisi masyarakat atau antara kultur

yang berbeda atau di dalam masyarakat tertentu.8

Dalam Piotr Sztompka, Shils menegaskan, manusia tak mampu hidup tanpa

tradisi meski mereka sering merasa tak puas terhadap tradisi mereka.

Berdasarkan itulah dapat dikatakan bahwa suatu tradisi itu memiliki fungsi bagi

masyarakat, yaitu:

1) Dalam bahasa klise dinyatakan, tradisi adalah kebijakan turun-temurun.

Tradisi seperti onggokan gagasan dan material yang dapat digunakan orang

dalam tindakan kini dan untuk membangun masa depan.

2) Memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan, pranata dan

aturan yang sudah ada.

3) Menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat

loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok. Tradisi

6 Ibid., h. 72.

7 Ibid., h. 72-73.

8 Ibid.,

13

daerah, kota dan komunitas lokal sama perannya yakni mengikat warga atau

anggotanya dalam bidang tertentu.

4) Membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, ketidakpuasan dan

kekecewaan dan kehidupan modern. Tradisi yang mengesankan masa lalu

yang lebih bahagia menyediakan sumber pengganti kebanggaan bila

masyarakat berada dalam krisis.9

b. Pengertian Tahlilan

Tahlil itu berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya membaca

kalimat La Ilaha Illallah.10

Kata tahlil merupakan kata yang disingkat dari kalimat

La Ilaha Illallah. Penyingkatan ini sama seperti takbir (dari Allahu Akbar),

hamdalah (dari Alhamdu Lillah), hauqalah (dari La Haula Wala Quwwata Illah

Billah), basmalah (dari Bismillah ar-Rahman ar-Rahim) dan sebagainya.11

Menurut Muhammad Idrus Ramli, tahlilan adalah tradisi ritual yang

komposisi bacaannya terdiri dari beberapa ayat al-Quran, tahlil, tasbih, tahmid,

sholawat dan lain-lain. Bacaan tersebut dihadiahkan kepada orang-orang yang

telah wafat. Hal tersebut kadang dilakukan secara bersama-sama (berjamaah) dan

kadang pula dilakukan sendirian.12

Biasanya acara tahlil dilaksanakan sejak

malam pertama orang meninggal sampai tujuh harinya. Lalu dilanjutkan lagi pada

hari ke -40, hari ke-100, dan hari ke-1000. Selanjtunya dilakukan setiap tahun

dengan nama khol atau haul, yang waktunya tepat pada hari kematiannya. Setelah

pembacaan doa biasanya tuan rumah menghidangkan makanan dan minuman

kepada para jamaah. Kadang masih ditambah dengan berkat (buah tangan

berbentuk makanan matang). Pada perkembangannya di beberapa daerah ada yang

mengganti berkat, bukan lagi dengan makanan matang, tetapi dengan bahan-

bahan makanan, seperti mie, beras, gula, teh, telur, dan lain-lain. Semua itu

9 Ibid., h. 74-76.

10 Munawar Abdul Fattah, Tradisi Orang-orang NU, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012),

h. 276. 11

Muhammad Maruf Khozin, Tahlilan Bidah Hasanah, (Surabaya: Muara Proresif, 2013),

h. 1. 12

Muhammad Idrus Ramli, Membedah Bidah dan Tradisi dalam Perpsektif Ahli Hadits dan

Ulama Salafi, (Surabaya: Khalista, 2010), h. 58.

14

diberikan sebagai sedekah, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah

meninggal dunia tersebut. Sekaligus sebagai manifestasi rasa cinta yang

mendalam baginya.13

Dalam konteks Indonesia, tahlil menjadi sebuah istilah untuk menyebut suatu

rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan dalam rangka mendoakan keluarga

yang sudah meninggal dunia. Sedang tahlil secara istilah ialah mengesakan Allah

dan tidak ada pengabdian yang tulus kecuali hanya kepada Allah, tidak hanya

mengakui Allah sebagai Tuhan tetapi juga untuk mengabdi, sebagimana dalam

pentafsiran kalimah thayyibah. Pada perkembangannya, tahlil diitilahkan sebagai

rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan dalam rangka mendoakan

keluarga yang sudah meninggal dunia.14

Di masyarakat NU (Nahdlatul Ulama) sendiri berkembang pemahaman

bahwa setiap pertemuan yang di dalamnya dibaca kalimat itu secara bersama-

sama disebut majlis tahlil. Majlis tahlil di masyarakat Indonesia sangat variatif,

dapat diselenggarakan kapan dan di mana saja. Bisa di masjid, mushala, rumah,

atau lapangan. Pada dasarnya majlis dizkir, hanya namanya yang berbeda.15

Dikatakan majlis dzikir sebab sejumlah orang berkumpul dzikir pada Allah,

membaca tahmid, takbir, tahlil, tasbih, shalawat dan lainnya. Dikatakan majlis

tahlil sebab sejumlah orang dzikir bersama membaca la ilaha illallah diulang-

ulang, tasbih, tahmid, takbir dan lainnya.16

Acara ini bisa saja diselenggarakan khusus tahlil, meski banyak juga acara

tahlil ini ditempatkan pada acara inti yang lain. Misalnya, setelah tahlil, yasinan

lantas tahlil, acara tasmiyah (memberi nama anak) ada tahlil, khitanan ada tahlil,

rapat-rapat ada tahlil, kumpul-kumpul ada tahlil, pengajian ada tahlil, sampai

arisan pun ada tahlil. Waktu yang digunakan untuk tahlil biasanya 15 20 menit

dan bisa diperpanjang dengan cara membaca kalimat la ilaha illallah 100 kali,

13

Muhammad Yusuf Amin Nugroho, Fiqh Al-Ikhtilaf NU-Muhamadiyah, (Wonosobo: Ebook,

2012), h. 140. 14

Ibid., h. 140-141. Menurut KH. M. Irfan Ms (salah seorang tokoh NU) 15

Munawar Abdul Fattah., op. cit. 16

Muhammad Sufyan Raji Abdullah, Bidahkah Tahlilan dan Selamatan Kematian?, (Jakarta:

Pustaka Al Riyald, 2009), h. 6.

15

200 kali, atau 700 kali. Atau diperpendek misalnya 3 kali, atau 21 kali. Semuanya

itu disesuaikan kebutuhan dan waktu.17

Semua rangkaian kalimat yang ada dalam tahlil diambil dari ayat-ayat al-

Quran dan hadits Nabi. Jadi, keliru pemahaman sebagian orang yang

menganggap tahlil buatan kiai atau ulama. Yang menyusun kalimat-kalimat baku

tahlil dulunya memang seorang ulama, tetapi kalimat-kalimat demi kalimat yang

disusunnya tak lepas dari anjuran Rasulullah.18

Dalam penjabaran mengenai pengertian tahlilan di atas, dapatlah ditarik

kesimpulan bahwa tahlilan adalah kegiatan membaca kalimat thayyibah

khususnya La Ilaha Illallah yang dilakukan seseorang atau banyak orang dalam

rangka mendoakan orang yang telah meninggal dunia.

c. Sejarah Tahlilan

Acara tahlilan yang kedengarannya tak lagi asing di telinga orang Indonesia

merupakan salah satu tradisi zaman Wali Songo yang sampai sekarang masih

diamalkan oleh sebagian besar masyarakat. Asal-usul tradisi ini sebenarnya

berasal dari kebudayaan Hindu-Buddha yang termodifikasi oleh ide-ide kreatif

para Wali Songo, penyebar agama Islam di Jawa. Awalnya tradisi tahlilan ini

belum ada, sebab masyarakat zaman dulu masih mempercayai kepada makhluk-

makhluk halus dan gaib. Oleh sebab itu, mereka berusaha meminta sesuatu kepada

makhluk-makhluk gaib tersebut berdasarkan keinginan yang dikehendakinya.

Agar keinginan itu terkabul, maka mereka membuat semacam sesajen yang

nantinya ditaruh di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti punden dan

pohon-pohon besar.19

Melihat kenyataan tersebut, selain menyebar dakwah Islam, para Wali Songo

juga bertekad ingin merubah kebiasaan mereka yang sangat kental akan nuansa

tahayyul untuk kemudian diarahkan kepada kebiasaan yang bercorak islami dan

realistik. Untuk itulah, mereka berdakwah lewat jalur budaya dan kesenian yang

17

Munawar Abdul Fattah, op. cit., h. 276-277. 18

Ibid., 19

Irfan Yudhistira: http://irfanyudhistira.wordpress.com/2012/06/01/tradisi-tahlilan/, (diakses

tanggal 08 Oktober 2013 Pukul 22.36).

http://irfanyudhistira.wordpress.com/2012/06/01/tradisi-tahlilan/

16

cukup disukai oleh masyarakat dengan sedikit memodifikasi serta membuang

unsur-unsur yang berseberangan dengan Islam. Dengan begitu, agama Islam akan

cepat berkembang di tanah Jawa dengan tidak membuang mentah-mentah tradisi

yang selama ini mereka lakukan.

Tradisi tahlilan ini memang tidak terdapat pada zaman Nabi SAW. Lebih

tepatnya tradisi ini lebih identik dengan perpaduan antara kebudayaan Jawa Kuno

dengan tradisi Islam. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang secara terang-

terangan menolak, bahkan menentang tradisi ini. Sebab, mereka meyakini bahwa

acara tahlilan merupakan amalan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW,

sehingga termasuk bidah.

Namun perlu diingat, para Wali Songo dalam berdakwah sangat

mengedepankan kehati-hatian serta strategi yang jitu dalam misinya menyebarkan

ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. Sebab, dikala itu kondisi mereka yang

masih beragama Hindu dan Buddha masih belum mampu merubah total apa yang

menjadi kebiasaan dan tradisi mereka, sehingga sangat sulit bagi para Wali

apabila langsung mengkikis kebudayaan yang mereka lakukan selama itu dalam

dakwahnya. Mereka juga tidak sembarangan membuang adat-istiadat yang mereka

lakukan serta sangat selektif dan teliti memilah-milah kebiasaan mana yang masih

dalam koridor syariat dan mana yang bertentangan. Sebab apabila para Wali

Songo bertindak gegabah dalam menjalankan misinya, maka agama Islam pun

sulit diterima oleh orang Jawa pada waktu itu. Bahkan tak jarang merekapun

semakin membenci pada Islam yang justru semakin menghambat berkembangnya

agama yang dibawa baginda Rasulullah SAW ini. Strategi Wali Songo ini

kemudian diperkuat dengan statement Imam Syafii yang dikutip dalam buku

Jami al-Ulum wa al-Hikam karangan Ibnu Rajab yang berbunyi: Bidah itu

ada dua, yaitu bidah hasanah (terpuji) dan bidah dhalalah (tercela). Bidah

hasanah berarti bidah yang selaras dengan sunnah, sedangkan bidah dhalalah

berarti bidah yang bertentangan dengan sunnah.20

20

Irfan Yudhistira: http://irfanyudhistira.wordpress.com/2012/06/01/tradisi-tahlilan/, (diakses

pada hari Selasa tanggal 08 Oktober 2013 pukul 22.36).

http://irfanyudhistira.wordpress.com/2012/06/01/tradisi-tahlilan/

17

Meskipun tradisi tahlilan di Indonesia merupakan suatu tradisi Hindu-Buddha

yang oleh Wali Songo dimodifikasi dengan nilai-nilai islami, amalan yang ada

dalam tahlilan bukan murni dari bangsa Indonesia, melainkan sudah pernah

dicontohkan sejak masa sahabat, serta pada masa tabiin dan seterusnya. Karena

sudah pernah dicontohkan inilah maka kebiasaan tersebut masih ada hingga kini.

Misalnya seperti selamatan hari ketujuh diperbolehkan dalam syariat Islam.

Sebagaimana keterangan Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi dalam kitab

karangannya yaitu kitab Al-Hawi Lil Fatawi:

Telah berkata Imam Ahmad bin Hambal RA di dalam kitabnya yang

menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Al-Asyjai

dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus (ulama besar zaman

tabiin): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari

Allah dalam kuburan mereka selama tujuh hari. Maka disunnahkan bagi

mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-

orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.21

Sementara itu, sedekah selama tujuh hari yang pahalanya diperuntukan untuk

orang yang meninggal telah berlangsung di Mekkah dan Madinah sampai

sekarang. Keterangan ini dijelaksan oleh Imam Suyuti di dalam kitabnya Al Hawi

Lil Fatawi. Berikut penjelasannya: Telah sampai kepadaku bahwasannya

kesunahan bersedekah selama tujuh hari itu telah berlangsung di Mekkah dan

Madinah hingga sekarang. Maka secara dzohir disimpulkan bahwa sedekah

tersebut tidak pernah ditinggalkan mulai dari zaman para sahabat sampai

sekarang. Para generasi terkemudian (kholaf) telah mengambilnya secara turun

temurun dari generasi terdahulu (salaf) sampai masa generasi pertama.22

Pembacaan tahlil yang dikhususkan untuk orang-orang yang telah meninggal

juga menjadi tradisi turun temurun di Hadhramaut Yaman tempat berdiamnya

para ahlul bait dzurriyah Nabi Muhammad SAW. Sejarah tersebut dapat

ditemukan dalam kitab Al-Ilmun Nibros tulisan Sayyid Al Habib Abdulloh bin

Alwi Bin Hasan Al Athos. Di kitab tersebut dijelaskan: Sebagian dari mereka

21

Abdullah Mustaghfirin: http://www.gemasholawat.com/2012/04/hukum-selamatan-hari-ke-

3-7-40-100.html (diakses pada hari Jumat tanggal 11 Oktober 2013 pukul 18.07) dari Imam

Jalaluddin As-Suyuthi, Kitab Al-Hawi Lil Fatawi, jilid 2 h. 178. 22

Karyawan FB: http://karyawanfb.mwb.im/sejarah-awal-mula-munculnya-tradisi-tahl.xhtml

(diakses pada hari Selasa tanggal 08 Oktober 2013 pukul 22.41).

http://www.gemasholawat.com/2012/04/hukum-selamatan-hari-ke-3-7-40-100.htmlhttp://www.gemasholawat.com/2012/04/hukum-selamatan-hari-ke-3-7-40-100.htmlhttp://karyawanfb.mwb.im/sejarah-awal-mula-munculnya-tradisi-tahl.xhtml

18

(ahlul bait di Hadhramaut) mengumpulkan para jamaah yang membaca tasbih

dan tahlil sebanyak 1000 kali, kemudian mereka menghadiahkan pahalanya

kepada orang-orang yang telah meninggal dunia.

Jika di Mekkah dan Madinah telah dikenal tradisi sedekah selama 7 hari, dan

di Hadhramaut telah dikenal pembacaan tahlilan, maka ulama Wali Songo yang

notabene merupakan keturunan ahlul bait dari Hadhramaut tersebut, mengingat

para ulama ahlul bait merupakan orang-orang yang sangat menjaga kemurnian

ajaran yang didapat secara turun temurun yang bermuara kepada Imam Jafar

Shodiq (putra Ali bin Abi Tahlib) sampai kepada Rasulullah SAW., dapat

dipastikan Wali Songo telah membawa tradisi itu dari sana, bukan dari Iran

tempat yang menjadi pusat syiah.

Bukti bahwasannya Wali Songo merupakan keturunan dari Hadhramaut ialah,

bahwasannya Sayyid Ahmad Rahmatulloh yang dikenal dengan sebutan Sunan

Ampel merupakan putra dari Sayyid Ibrahim Zainal Akbar bin Sayyid Husain

Zainal Akbar bin Sayyid Ahmad bin Sayyid Abdulloh bin Sayyid Abdul Malik

Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin Muhammad Sohib

Marbath bin Sayyid Alwikholi' Qosam bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin

Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al Muhajir Ilallloh bin Isa bin Muhammad

An-Naqib bin Ali Al-Uraidli bin Jafar As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin

Ali Zaenal Abidin bin Husain Bin Ali suami Fatimah Az-Zahra sampai kepada

Rasulullah SAW., dengan begitu, tradisi yang terkenal dengan tahlilan merupakan

perkawinan tradisi Mekkah dan Madinah serta Hadhramaut. Yang kebetulan

masyarakat Jawa kala itu sudah terbiasa dengan sesajen ala Hindu. Sehingga

tradisi tahlilan ini sangat mudah diterima oleh mereka setelah disampaikan oleh

para wali penyebar islam.23

Tradisi bacaan tahlil sebagaimana yang dilakukan kaum muslimin sekarang ini

tidak terdapat secara khusus pada zaman Nabi Muhammad SAW dan para

sahabatnya. Tetapi tradisi itu mulai ada sejak zaman ulama mutaakhkhirin sekitar

abad sebelas hijriyah yang mereka lakukan berdasarkan istinbath dari al-Quran

23

Karyawan FB: http://karyawanfb.mwb.im/sejarah-awal-mula-munculnya-tradisi-tahl.xhtml

(diakses pada Selasa tanggal 08 Oktober 2013 Pukul 22.41).

http://karyawanfb.mwb.im/sejarah-awal-mula-munculnya-tradisi-tahl.xhtml

19

dan hadits Nabi SAW, lalu mereka menyusun rangkaian bacaan tahlil,

mengamalkannya secara rutin dan mengajarkannya kepada kaum muslimin.24

Ulama berbeda pendapat tentang siapa yang pertamakali menyusun rangkaian

bacaan tahlil dan mentradisikannya. Sebagian mereka berpendapat, bahwa yang

pertama menyusun tahlil adalah Sayyid Jafar Al-Barzanji, dan sebagian lain

berpendapat, bahwa yang menyusun pertamakali adalah Sayyid Abdullah bin Alwi

Al-Haddad.25

Pendapat yang paling kuat dari dua pendapat yang disebut di atas adalah

pendapat bahwa orang yang menyusun tahlil pertamakali adalah Imam Sayyid

Abdullah bin Alwi Al-Haddad, karena Imam Al-Haddad yang wafat pada tahun

1132 H lebih dahulu daripada Sayyid Jafar Al-Barzanji yang wafat pada tahun

1177 H. Pendapat ini diperkuat juga oleh tulisan Sayyid Alwi bin Ahmad bin

Hasan bin Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam syarah Ratib Al-Haddad, bahwa

kebiasaan Imam Abdullah Al-Haddad sesudah membaca ratib adalah bacaan

tahlil.26

Tahlil yang dilakukan oleh kaum muslimin di Indonesia sama atau mendekati

dengan tahlil yang dilakukan oleh kaum muslimin di Yaman. Hal itu dikarenakan

tahlil yang berlaku di Indonesia ini disiarkan Wali Songo. Lima orang dari Wali

Songo itu para Habaib (keturunan Nabi SAW) dengan marga Baalawy yang

berasal dari Hadhramaut Yaman, terutama dari kota Tarim. Namun ada sedikit

perbedaan, yaitu jika di Yaman terdapat pengiriman doa kepada Wali Quthub

yang bernama Sayyid Muhammad bin Ali Baalawy yang terkenal dengan Al-

Faqih Al-Muqaddam. Sedangkan di Jawa lebih banyak menyebutkan Sayyidi As-

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.27

Kalau kita perhatikan secara cermat susunan bacaan tahlilan tidak terdapat di

dalamnya satu bacaan pun yang menyimpang dari al-Quran dan Hadits. Semua

bacaan yang ada bersumber dari keduanya. Kalaupun kemudian formatnya tidak

24

Muhammad Danial Royyan, Sejarah Tahlil, (Kendal: Lajnah Talif wan Nasyr/LTNU

Kendal dan Pustaka Amanah, 2013), h. 2. 25

Ibid., h. 3. 26

Ibid., 27

Ibid., h. 8-9.

20

diatur secara langsung di dalam al-Quran dan Hadits, hal itu tidaklah masalah,

karena ia termasuk dzikir umum yang waktu, bilangan dan bacaannya tidak diatur

secara baku oleh kedua sumber utama hukum Islam tersebut.28

d. Pelaksanaan Tahlilan

Bacaan tahlil atau tahlilan seringkali dilakukan untuk mengirim pahala kepada

mayyit pada hari ketujuh dari kematiannya. Ternyata ada hadits yang menjadi

sandaran bagi pelaksanaan tahlil, talqin dan sedekah untuk masyyit selama tujuh

hari, yaitu hadits yang berbunyi:

Sesungguhnya orang-orang mati itu akan diuji di dalam kubur mereka

selama tujuh hari.

Karena mayyit di dalam kubur, menurut hadits ini, diuji selama tujuh hari,

maka ulama Ahlissunnah Waljamaah berpendapat bahwa hukumnya sunnah untuk

didoakan, ditahlilkan, ditalqin dan disedekahi selama tujuh hari / malam.29

Hadits ini menurut Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawi Al-

Kubro Al-Fiqhiyyah termasuk hadits mursal yang diriwayatkan oleh banyak ulama

dengan sanad dari tiga ulama tingkatan tabiin yaitu Thawus, Ubaid bin Umar dan

Mujahid. Apabila hadits mursal dikuatkan oleh hadits mursal yang lain maka

dapat dijadikan dalil syari, dan hadits ini sudah memiliki tiga riwayat atau sama

dengan adanya tiga hadits mursal. Dengan demikian hadits ini tingkatannya sama

dengan hadits marfu. Terlebih lagi ada pendapat bahwa Ubaid bin Umar itu

termasuk sahabat, karena dilahirkan pada zaman Nabi SAW masih hidup, maka

hadits ini termasuk hadits marfu atau hadits muttashil.30

Hubungan tujuh hari atau malam berdasarkan hadits tersebut di atas dihitung

sejak mayyit dikuburkan, bukan sejak meninggal. Ketentuan ini mengecualikan

28

Abiza el Rinaldi, Haramkah Tahlilan, Yasinan dan Kenduri Arwah?, (Klaten: Pustaka

Wasilah, 2012), h. 20. 29

Muhammad Danial Royyan, op. cit., h. 19. 30

Ibid., h. 20.

21

mayyit yang tidak diketahui keberadaannya sehingga tidak bisa dikuburkan, maka

dihitung sejak meninggalnya.

Adapun acara lainnya seperti empat puluh hari, seratus hari atau hitungan hari

tertentu sejak kematian mayyit, maka itu merupakan adat istiadat, yang jika diisi

dengan kebaikan seperti shadaqah. Tahlilan dan amar maruf nahi munkar maka

hukumnya boleh, sebagaimana pendapat Syekh Nawawi Al-Bantani yang berkata:

shadaqah untuk mayyit dengan cara yang sesuai dengan syara itu baik, akan

tetapi tidak harus terikat dengan tujuh hari atau lebih banyak. Kalau terikat

dengan hitungan hari maka itu termasuk adat, menurut Sayyid Ahmad Zaini

Dahlan. Dan sudah ada kebiasaan dari masyarakat berupa shadaqah untuk mayyit

pada hari ketiga, hari ketujuh, hari keduapuluh, hari keempatpuluh dan hari

keseratus dari kematian mayyit. Sesudah itu dilakukan acara haul setiap tahun

tepat pada hari kematian mayyit. Jadi, yang terpenting adalah isi dari sebuah

acara, bukan kerangkanya. Meskipun kerangka itu berasal dari adat istiadat, tetapi

jika diisi dengan kebaikan, maka akan menjadi kebaikan pula, selama kerangka itu

bukan hal yang dilarang syara.31

Adapun tahlilan pada waktu setahun sesudah kematian atau peringatan haul

(setahun) dari kematian mayyit maka hal itu sebenarnya berasal dari perbuatan

Nabi SAW yang selalu mengunjungi tempat pemakaman para syuhada di gunung

Uhud setiap tahun, sebagaimana yang tertuang dalam hadits berikut ini:

31

Ibid., h. 21-22.

22

Dari Al-Waqidi, dia berkata: Nabi SAW menziarahi para syuhada di Uhud

setiap tahun (haul). Dan apabila sudah sampai (di Uhud) beliau mengeraskan

suaranya kemudian mengucapkan: Keselamatan untuk kamu (wahai syuhada

Uhud), sebab kamu telah bersabar. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan

itu. Kemudian Abu Bakar setiap tahun (haul) melakukan hal semacam itu,

kemudian Umar, kemudian Utsman. Fatimah RA mendatangi Uhud dan berdoa.

Saad bin Abi Waqqash mengucapkan salam kepada ahli Uhud, lalu menghadap

kepada teman-temannya dan berkata: Tidaklah kamu mengucapkan salamm

kepada kaum (ahli kubur di Uhud) yang menjawab ucapan salam kamu? 32

Jadi, peringatan haul itu berasal dari kebiasaan Nabi SAW dan para

sahabatnya, kemudian dilanjutkan oleh ulama mutaakhkhirin, dan pada akhirnya

menjadi kebiasaan kaum muslimin dari golongan Ahlissunnah Wal Jamaah pada

tiap periode zaman hingga sekarang. Dan karenanya tidak dapat dianggap bidah

yang sesat atau khurafat.33

2. Masyarakat

a. Pengertian Masyarakat

Istilah yang paling lazim dipakai untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup

manusia, baik dalam tulisan ilmiah maupun dalam bahasa sehari-hari, adalah

masyarakat. Dalam bahasa Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata

latin socius, yang berarti kawan. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar

kata Arab syaraka yang berarti ikut serta, berpartisipasi.34

Menurut Koentjaraningrat, masyarakat adalah memang sekumpulan manusia

yang saling bergaul, atau dengan istilah ilmiah, saling berinteraksi. Suatu

kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui apa warga-warganya dapat

saling berinteraksi. Suatu negara modern misalnya, merupakan kesatuan manusia

dengan berbagai macam prasarana, yang memungkinkan para warganya untuk

berinteraksi secara instensif, dan dengan frekuensi yang tinggi. Suatu negara

32

Ibid., h. 22. 33

Ibid., h. 24. 34

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 143-144.

23

modern mempunyai suatu jaringan komunikasi berupa jaringan perhubungan

udara, jaringan telekomunikasi, sistem radio dan TV, berbagai macam surat kabar

ditingkat nasional, suatu sistem upacara pada hari-hari raya nasional dan

sebagainya.35

Menurut Hartono dan Arnicun Aziz, masyarakat dalam arti luas ialah

keseluruhan hubungan-hubungan dalam hidup bersama dengan tidak dibatasi

oleh lingkungan, bangsa dan lain-lain atau semua keseluruhan dari semua

hubungan dalam hidup bermasyarakat. Dalam arti sempit masyarakat

dimaksud sekelompok manusia yang dibatasi oleh aspek-aspek tertentu,

umpamanya territorial, bangsa, golongan dan sebagainya. Maka ada

masyarakat Jawa, masyarakat Sunda, masyarakat Minang dan lain-lain.36

Masyarakat merupakan suatu pergaulan hidup, oleh karena manusia itu hidup

bersama. Beberapa orang sarjana telah mencoba untuk memberikan definisi

masyarakat (society), misalnya seperti berikut.

1) Mac Iver dan Page yang menyatakan bahwa masyarakat ialah suatu sistem

dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai

kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta kebebasan-

kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan

masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan masyarakat

selalu berubah.

2) Ralp Linton mengemukakan, masyarakat merupakan setiap kelompok manusia

yang telah hidup dan berkerja sama cukup lama sehingga mereka dapat

mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan

sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.

3) Selo Soemardjan menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang

hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan.37

Walaupun definisi dari sarjana-sarjana tersebut berlainan, tetapi pada dasarnya

isinya sama, yaitu masyarakat yang mencakup beberapa unsur sebagai berikut.

35

Ibid., h. 144. 36

Hartono dan Arnicun Aziz, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 89-90. 37

Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 18.

24

1) Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tak ada ukuran mutlak

ataupun angka pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus

ada. Akan tetapi, secara teoritis angka minimnya adalah dua orang yang hidup

bersama.

2) Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah

sama dengan kumpulan benda-benda mati, umpamanya kursi, meja, dan

sebagainya. Oleh karena dengan berkumpulnya manusia, maka akan timbul

manusia-manusia baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa dan

mengerti, mereka juga mempunyai keinginan-keinginan untuk menyampaikan

kesan-kesan atau perasaan-perasaannya. Sebagai akibat hidup bersama itu,

timbullah sistem komunikasi dan timbullah peraturan-peraturan yang

mengatur hubungan antarmanusia dalam kelompok tersebut.

3) Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan.

4) Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama

menimbulkan kebudayaan oleh karena setiap anggota kelompok merasa

dirinya terikat satu dengan yang lainnya.38

Kemantapan unsur-unsur masyarakat mempengaruhi struktur sosial. Dalam

hal ini struktur sosial digambarkan sebagai adanya molekul-molekul dalam

susunan yang membentuk zat, yang terdiri dari bermacam susunan hubungan

antarindividu dalam masyarakat. Maka terjadi integrasi masyarakat dimana

tindakan individu dikendalikan, dan hanya akan nampak bila diabstrakkan secara

induksi dari kenyataan hidup masyarakat yang konkret. Struktur sosial yang

berperan dalam integrasi masyarakat, hidup langsung di belakang individu yang

bergerak konkret menurut polanya. Dapat menyelami latar belakang seluruh

kehidupan suatu masyarakat, dan sebagai kriteria dalam menentukan batas-batas

suatu masyarakat melalui abstraksi dari kehidupan kekerabatan (sistemnya).39

Dalam konteks sosiologi, bahasan tentang masyarakat biasanya selalu terkait

dan tidak dapat dipisahkan dengan elemen-elemen lain yang menjadi bagian dari

38

Ibid., h. 19. 39

M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung: PT

Eresco, 1995), h. 64.

25

masyarakat itu sendiri, yakni individu, keluarga, dan kelompok. Individu adalah

satuan terkecil dari masyarakat, keluarga adalah kumpulan beberapa individu dan

bagian dari kelompok, sedangkan kelompok adalah kumpulan dari beberapa

keluarga, dan merupakan bagian dari masyarakat secara keseluruhan. Menyatunya

masing-masing elemen tersebut, terciptalah sebuah komunitas besar yang

kemudian dikatakan sebagai masyarakat.40

Untuk bisa bertahan hidup, semua masyarakat harus bisa memenuhi

kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu, yang kalangan fungsionalis menyebutnya

dengan istilah prasyarat fungsional (functional prerequisities). Kebutuhan-

kebutuhan itu diantaranya:

1) Kebutuhan subsistens. Kebutuhan subsistens adalah kebutuhan jasmaniyah,

seperti kebutuhan akan udara, makanan, air, kehangatan, tempat untuk

bernaung, dan tidur, yang kesemuanya harus dipenuhi agar bisa bertahan

hidup. Manusia juga membutuhkan kebutuhan jasmaniyah yang lainnya

seperti kebutuhan akan rasa sayang, menghindari stress, dan keikutsertaan

dalam sebuah sistem keyakinan bersama. Pemenuhan kebutuhan subsitens ini

biasanya memerlukan berbagai usaha kerja, seperti berburu, mengumpulkan

buah-buahan, atau memproduksi makanan, dan memerlukan tempat untuk

bernaung.

2) Kebutuhan distribusi. Kepemilikan kekayaan subsistens itu perlu

didistribusikan ke seluruh anggota masyarakat. Bayi dan anak kecil termasuk

orang yang membutuhkan orang lain untuk memberi mereka suplai makanan

yang cukup.

3) Kebutuhan reproduksi-biologis. Agar masyarakat tetap eksis dan survive maka

diantara anggota masyarakatnya harus melakukan reproduksi biologis.

Biasanya di kita dilakukan melalui pernikahan.

40

Rusmin Tumanggor, Sosiologi Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004),

h. 25.

26

4) Kebutuhan transmisi budaya. Masyarakat perlu mentransmisikan budaya

mereka kebiasaan, nilai-nilai, ide-ide dalam masyarakat kepada anggota baru

mereka agar kebudayaan bisa terus bertahan atau berlanjut.

5) Kebutuhan perlindungan. Anggota masyarakat perlu menghindari tindakan

yang merusak satu sama lain dan mayarakat secara keseluruhan membutuhkan

perlindungan dari ancaman luar.

6) Kebutuhan untuk komunikasi. Untuk memenuhi semua kebutuhan di atas,

maka anggota masyarakat perlu mengkomunikasikannya dengan sesama

anggota yang lainnya.41

b. Bentuk-bentuk Masyarakat

1) Masyarakat Tradisonal

Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak

dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah suatu aturan yang sudah

mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan

atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosialnya. Jadi, masyarakat tradisional

di dalam melangsungkan kehidupannya berdasarkan pada cara-cara atau

kebiasaan-kebiasaan lama yang masih diwarisi dari nenek moyangnya.

Masyarakat tradisional hidup di daerah pedesaan yang secara geografis terletak di

pedalaman yang jauh dari keramaian kota. Masyarakat ini dapat juga disebut

masyarakat pedesaan atau masyarakat desa.42

Menurut Sutardjo Kartohadikusuma dalam Elly M. Setiadi dan Usman Kolip

desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat

pemerintahan sendiri. Adapun Bintaro dalam Elly M. Setiadi dan Usman Kolip

memberikan batasan desa sebagai perwujudan atas kesatuan geografi, sosial,

ekonomi, politik, dan kultural yang terdapat di situ (suatu daerah) dalam

hubungannya dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain. Sedangkan

Paul H. Landis dalam Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, mendefinisikan desa

41

Muhammad Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, (Jakarta: UIN Jakarta

Press, 2006), h. 35-36

42 Ifzanul: http://ifzanul.blogspot.com/2010/06/masyarakat-tradisional-masyarakat.html (diakses pada hari Jumat tanggal 08 November 2013 pukul 21.40).

http://ifzanul.blogspot.com/2010/06/masyarakat-tradisional-masyarakat.html

27

sebagai wilayah yang penduduknya kurang dari 2500 jiwa, dengan ciri-ciri

sebagai berikut:

a) Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa.

b) Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan.

c) Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat

dipengaruhi alam, seperti: iklim, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang

bukan agraris yaitu bersifat sambilan.43

Ferdinand Tonies membuat batasan tentang masyarakat pedesaan sebagai

masyarakat gemeinschaft (paguyuban), dan paguyubanlah yang menyebabkan

orang-orang kota menilai sebagai masyarakat ini tenang, harmonis, rukun dan

damai dengan julukan masyarakat yang adem ayem. Akan tetapi, bukan berarti di

dalam masyarakat pedesaan tidak mengenal bermacam-macam gejala

disorganisasi sosial atau sosial disorder. Gejala seperti ini juga terdapat di dalam

struktur masyarakat pedesaan. Akan tetapi, bagaimana bentuk gejala sosial

disorder, dapat dilihat keterangan berikut ini:

a) Konflik (pertengkaran). Pertengkaran terjadi biasanya berkisar pada masalah

sehari-hari rumah tangga dan sering menjalar ke luar rumah tangga. Sedang

banyak pertengkaran ini agaknya berkisar pada masalah kedudukan dan

gengsi, perkawinan, dan sebagainya.

b) Kontroversi (pertentangan). Pertentangan ini dapat disebabkan oleh

perubahan konsep-konsep kebudayaan (adat istiadat), psikologi atau dalam

hubungannya dengan guna-guna (black magic).

c) Kompetisi (persiapan). Masyarakat pedesaan adalah manusia-manusia yang

mempunyai sifat sebagai manusia biasa dan mempunyai saingan dengan

manifestasi sebagai sifat ini. Oleh karena itu, maka wujud persaingan dapat

positif dan negatif.

d) Kegiatan pada masyarakat pedesaan. Masyarakat pedesaan memiliki

penilaian yang tinggi terhadap mereka yang dapat bekerja keras tanpa bantuan

43

Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2011), h. 838.

28

orang lain. Jadi, jelas bahwa masyarakat pedesaan bukanlah masyarakat yang

senang diam-diam tanpa aktivitas.44

Menurut Soerjono Soekanto, gemeinschaft adalah masyarakat tradisional

yang memiliki hubungan personal yang dekat pada kelompok atau komunitas

yang kecil. Di dalam gemeinschaft terdapat suatu kemauan bersama (common

will), ada suatu pengertian (understanding) serta juga kaidah-kaidah yang timbul

dengan sendirinya dari kelompok tersebut. Keadaan yang agak berbeda akan

dijumpai pada gessellschaft, di mana terdapat public life yang artinya bahwa

hubungannya bersifat untuk semua orang. Gemeinschaft sering disebut dengan

istilah paguyuban. Paguyuban memiliki beberapa tipe, yaitu:

a) Paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by blood), yaitu suatu

paguyuban yang merupakan ikatan yang didasarkan pada ikatan darah atau

keturunan, contoh: keluarga, kelompok kekerabatan.

b) Paguyuban karena tempat (gemeinschaft of place), yaitu suatu paguyuban

yang terdiri dari orang-orang yang berdekatan tempat tinggal sehingga dapat

saling tolong-menolong, contoh: rukun tetangga, rukun warga, arisan.

c) Paguyuban karena jiwa-pikiran (gemeinschaft of mind), yang merupakan suatu

paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang walaupun tak mempunyai

hubungan darah ataupun tempat tinggalnya tidak berdekatan, tetapi

mempunyai jiwa dan pikiran yang sama, ideologi yang sama. Paguyuban

semacam ini biasanya ikatannya tidaklah sekuat paguyuban karena darah atau

keturunan.45

Adapun yang menjadi ciri masyarakat desa antara lain:

a) Di dalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan

yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan

lainnya di luar batas wilayahnya.

b) Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan.

44

Ibid., h, 839. 45

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007),

h. 118.

29

c) Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian.

d) Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama,

dan adat istiadat.46

2) Masyarakat Modern

Masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya

mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban

dunia masa kini. Masyarakat modern relatif bebas dari kekuasaan adat-istiadat

lama. Karena mengalami perubahan dalam perkembangan zaman dewasa ini.

Perubahan-Perubahan itu terjadi sebagai akibat masuknya pengaruh kebudayaan

dari luar yang membawa kemajuan terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan

teknologi. Pada umumnya masyarakat modern ini disebut juga masyarakat

perkotaan atau masyarakat kota.47

Kota acap kali dipahami sebagai bentuk kehidupan masyarakat yang sangat

individual, penuh kemewahan, gedung-gedung yang menjulang tinggi, kendaraan

yang lalu lalang hingga mengundang kemacetan, perkantoran yang mewah, dan

pabrik-pabrik yang besar. Kota sering kali dianggap sebagai semua tempat tujuan

masyarakat pedesaan untuk mencari pekerjaan, sebab pusat-pusat industri dan

perpabrikan banyak berdiri di daerah perkotaan.48

Banyak kota di dunia berawal dari desa. Desa sendiri adalah lokasi

pemukiman yang penghuninya terikat dalam kehidupan pertanian, dan bergantung

pada wilayah di sekelilingnya. Dalam perjalanan waktu, karena keadaan

topografis dan lokasinya, desa ini berkembang menjadi kota. Masyarakat

perkotaan lebih dipahami sebagai kehidupan komunitas yang memiliki sifat

kehidupan dan ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan.

Menurut Elly M. Setiadi dan Usman Kolip ada beberapa ciri yang menonjol pada

masyarakat kota, yaitu:

46

Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, op. cit., h. 840. 47

Ifzanul:http://ifzanul.blogspot.com/2010/06/masyarakat-tradisional-masyarakat.html

(diakses pada hari Jumat tanggal 08 November 2013 pukul 21.40). 48

Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, op. cit., h. 852-853.

http://ifzanul.blogspot.com/2010/06/masyarakat-tradisional-masyarakat.html

30

a) Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan

keagamaan di desa.

b) Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus

bergantung pada orang lain. Yang penting disini adalah manusia perorangan

atau individu.

c) Pembagian kerja di antara warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas

yang nyata.

d) Kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh

warga kota daripada warga desa.

e) Interaksi yang terjadi lebih banyak terjadi berdasarkan pada faktor

kepentingan daripada faktor pribadi.

f) Pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk mendapat

mengejar kebutuhan individu.

g) Perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota biasanya

terbuka dalam menerima pengaruh dari luar.49

3. Teori Fungsionalisme Struktural

a. Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons

Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Dalam

teorinya, Parsons menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti

halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup.50

Bahasan tentang fungsionalisme struktural Parsons ini akan dimulai dengan

empat fungsi penting untuk semua sistem tindakan, terkenal dengan skema

AGIL. Sesudah membahas ini kita akan beralih menganalisis pemikiran Parsons

mengenai struktur dan sistem.51

Suatu fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan kearah pemenuhan

kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Dengan menggunakan definisi ini,

49

Ibid., h, 854-855. 50

Rahmad K. Dwi Susilo, 20 Tokoh Sosiologi Modern, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008),

h. 107. 51

George Ritzer, Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2010), h. 121.

31

Parsons yakin bahwa ada empat fungsi penting diperlukan semua sistem-

adaptation (A), goal attainment (G), integration (I), dan latensi (L) atau

pemeliharaan pola. Secara bersama-sama, keempat imperatif fungsional ini

dikenal sebagai skema AGIL. Agar tetap bertahan (survive), suatu sistem harus

memiliki empat fungsi ini:

1) Adaption (Adaptasi): sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal

yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan

menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.

2) Goal attainment (Pencapaian tujuan): sebuah sistem harus mendefinisikan dan

mencapai tujuan utamanya.

3) Integration (Integrasi): sebuah sistem harus mengatur antarhubungan bagian-

bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola

antarhubungan ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L).

4) Latency (Latensi atau pemeliharaan pola): sebuah sistem harus

memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual

maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.52

Parsons mendesain skema AGIL ini untuk digunakan disemua tingkat dalam

sistem teoritisnya, yaitu: Organisme perilaku ialah sistem tindakan yang

melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dengan dan mengubah

lingkungan eksternal. Sistem kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan

dengan menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk

mencapainya. Sistem sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan

mengendalikan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Terakhir, sistem

kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor

seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak.53

Dalam mengkategorikan tindakan atau menggolongkan tipe-tipe peranan

dalam sistem sosial, Parsons mengembangkan 5 buah skema yang dilihat sebagai

kerangka teoritis utama dalam analisa sistem sosial. 5 buah skema itu adalah:

52

Ibid., 53

Ibid., h. 121-122.

32

1) Affective versus Affective Neutrality, maksudnya dalam suatu hubungan sosial,

orang dapat bertindak untuk pemuasan Afeksi (kebutuhan emosional) atau

bertindak tanpa unsur tersebut (netral).

2) Self-orientation versus Collective-orientation, maksudnya, dalam

berhubungan, orientasinya hanya pada dirinya sendiri atau mengejar

kepentingan pribadi. Sedangkan dalam hubungan yang berorientasi kolektif,

kepentingan tersebut didominasi oleh kelompok.

3) Universalism versus Particularism, maksudnya, dalam hubungan yang

universalistis, para pelaku saling berhubungan menurut kriteria yang dapat

diterapkan kepada semua orang. Sedangkan dalam hubungan yang

Partikularistis, digunakan ukuran/kriteria tertentu.

4) Quality versus Performance, maksudnya variable Quality ini menunjuk

padaAscribed Status (keanggotaan kelompok berdasarkan kelahiran/bawaan

lahir). Sedangkan Performance (archievement) yang berarti prestasi yang

mana merupakan apa yang telah dicapai seseorang.

5) Specificity versus Diffusness, maksudnya dalam hubungan yang spesifik,

individu berhubungan dengan individu lain dalam situasi terbatas.54

b. Fungsionalisme Struktural Robert Merton

Meski Parsons adalah seorang fungsionalis struktural yang sangat penting,

adalah muridnya, Robert Merton, yang menulis beberapa pernyataan terpenting

tentang fungsionalisme struktural dalam sosiologi. Merton mengecam beberapa

aspek fungsionalisme struktural yang lebih ekstrem dan yang tak dapat

dipertahankan lagi. Tetapi, wawasan konseptual barunya membantu memberikan

kemanfaatan bagi kelangsungan hidup fungsionalisme struktural.55

Meski Parsons dan Merton dikaitkan dan fungsionalisme struktural, namun

ada perbedaan penting diantara keduanya. Di satu sisi, sementara Parsons

menganjurkan penciptaan teori-teori besar dan luas cakupannya, Merton

54

Margaret M.Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h.

173-174. 55

George Ritzer, Douglas J. Goodman, op. cit., h. 136.

33

menyukai teori yang terbatas, teori tingkat menengah. Dalam hal ini Merton lebih

menyukai teori Marxian. Sebenarnya Merton dan beberapa muridnya (terutama

Alvin Gouldner) dapat dipandang sebagai orang yang mendorong fungsionalisme

struktural lebih ke kiri secara politis.56

Merton mengkritik tiga postulat dasar analisis struktural seperti yang

dikembangkan oleh antropolog seperti Malinowski dan Redcliffe Brown. Pertama

adalah postulat tentang kesatuan fungsional masyarakat. Postulat ini berpendirian

bahwa semua keyakinan dan praktik kultural dan sosialn yang sudah baku adalah

fungsional untuk masyarakat sebagai satu kesatuan maupun untuk individu dan

masyarakat. Pandangan ini secara tersirat menyatakan bahwa berbagai bagian

sistem sosial pasti menunjukkan integrasi tingkat tinggi. Tetapi Merton

berpendapat bahwa, meski hal ini mungkin benar bagi masyarakat primitif yang

kecil, namun generalisasi tak dapat diperluas ke tingkat masyarakat yang lebih

luas dan kompleks.57

Postulat kedua adalah fungsionalisme universal. Artinya, dinyatakan bahwa

seluruh bentuk kultur dan sosial dan struktur yang sudah baku mempunyai fungsi

positif. Merton menyatakan postulat ini bertentangan dengan apa yang

ditemukannya dalam kehidupan nyata. Yang jelas adalah bahwa tak setiap

struktur, adat, gagasan, kepercayaan dan sebagainya mempunyai positif.58

Ketiga adalah postulat tentang indispensability. Argumennya adalah bahwa

semua aspek masyarakat yang sudah baku tak hanya mempunyai fungsi positif,

tetapi juga mencerminkan bagian-bagian yang sangat diperlukan untuk

berfungsinya masyarakat sebagai satu kesatuan. Postulat ini mengarah kepada

pemikiran bahwa semua struktrur dan fungsi secara fungsional adalah penting

untuk masyarakat. Tak ada struktur dan fungsi lain manapun yang dapat berkerja

sama baiknya dengan struktur dan fungsi yang kini ada dalam masyarakat.

Dengan mengikuti Parsons, kritik Merton adalah bahwa kita sekurang-kurangnya

56

Ibid., 57

Ibid., h. 137. 58

Ibid.,

34

tentu ingin mengakui akan adanya berbagai alternatif struktur dan fungsional yang

dapat ditemukan di dalam masyarakat.59

Merton berpendapat bahwa ketiga postulat fungsional ini berstandar pada

pernyataan nonempiris, berdasarkan sistem teoritis abstrak. Menjadi tanggung

jawab sosiolog untuk menguji setiap postulat itu secara empiris. Keyakinan

Merton bahwa bukan pernyataan teoritis melainkan pengujian empiris yang

penting untuk analisis fungsional, mendorongnya mengembangkan paradigma

analisis fungsional buatannya sendiri sebagai pedoman untuk mengintegrasikan

teori dan riset empiris.6