Skripsi Strategi pemolisian pencegahan kejahatan penipuan elektronik
Transcript of Skripsi Strategi pemolisian pencegahan kejahatan penipuan elektronik
STRATEGI PEMOLISIAN PENCEGAHAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK
DI POLRES METRO JAKARTA PUSAT
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Ilmu Kepolisian
Oleh:
TIKSNARTO ANDARU RAHUTOMO NO MAHASISWA : 15688956
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN JAKARTA
2016
iii
Disetujui untuk dipertahankan :
Jakarta, Mei 2016
Pembimbing Materi
SURYA DHARMA MPA, Ph.D
iv
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : TIKSNARTO ANDARU RAHUTOMO
No. Mhs. : 15688956
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan
sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga lain.
Jika dikemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka
saya bersedia diberikan sanksi akademis sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Jakarta, Mei 2016
Penulis
TIKSNARTO ANDARU RAHUTOMO
NOMOR MAHASISWA 15688956
v
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, atas berkat dan
rahmat-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini tepat
waktu dan tidak ada kendala apapun.
Penyusunan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam memperoleh gelar kesarjanaan Sekolah Tinggi Ilmu
Kepolisian di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, dengan judul skripsi “STRATEGI
PEMOLISIAN PENCEGAHAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI MEDIA
ELEKTRONIK DI POLRES METRO JAKARTA PUSAT”. Penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan
dikarenakan terbatasnya waktu, pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh
karena itu penulis mengharapkan mendapat kritik, saran dan masukan yang
bermanfaat untuk menyempurnakan skripsi ini.
Tidak lupa, pada kesempatan yang baik ini perkenankan penulis
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Irjen. Pol. Dr. H. Rycko Amelza Dahniel, M.Si, selaku Ketua STIK yang
telah memberikan kesempatan, bimbingan dan arahan kepada penulis
dalam menempuh studi di PTIK. Beliau adalah sosok yang konsisten dan
tidak pernah bosan untuk mengembangkan STIK-PTIK sebagai pelopor
ilmu kepolisian di Indonesia.
2. Bapak Surya Dharma, MPA, Ph.D selaku dosen pembimbing yang
senantiasa memberikan perhatian dan pengorbanan waktu untuk
memberikan bimbingan, arahan, petunjuk serta semangat bagi penulis.
Selama penulis melaksanakan pengerjaan skripsi, beliau selalu
menjawab keresahan dan ketidaktahuan penulis dalam situasi apapun
dengan ketulusan seorang bapak. Dedikasi beliau untuk dunia
pendidikan adalah hal yang sudah selayaknya ditorehkan dalam tinta
emas dan menjadi pembelajaran bagi kami generasi muda.
3. Kombes Pol. Drs. Eko Para Setyo Siswanto, M.Si Selaku Kepala
Korps Mahasiswa STIK yang telah membimbing, mengarahkan, dan
vi
membina serta mendampingi mulai awal hingga akhir penyelesaian
skripsi dan pendidikan di STIK-PTIK.
4. Kombes Pol. Hendro Pandowo, SIK, M.Si. Selaku Kapolres Metro
Jakarta Pusat beserta staf dan jajarannya yang telah membantu dan
memfasilitasi kami dalam melaksanakan penelitian di Polres Metro
Jakarta Pusat.
5. Seluruh dosen pengajar PTIK dan staf PTIK yang tidak bisa saya
sebutkan satu per satu, terima kasih atas segala ilmu dan pengetahuan
yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan di STIK.
6. Ibuku tercinta Titik Sumartini yang mungkin saat ini sedang melihatku
dari surga. Terimakasih atas segala bimbingan, ilmu, kasih, dan semua
yang tak terucap tapi sangat terasa. Terimakasih untuk selalu terlihat
kuat di depanku. Dan terimakasih atas senyum keikhlasan penuh rasa
bangga di pertemuan terakhir kita.
7. Bapakku dan kedua mertuaku yang selalu sabar memberikan
bimbingan dalam menjalani hidup. Terima kasih telah menerima segala
kekuranganku dan selalu menjadi orang tua terbaik. Terimakasih atas
doa da dukungan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini
tanpa kendala yang berarti.
8. Istriku Sarastika dan jagoanku Dhinata Abimanyu Rahutomo,
terimakasih untuk selalu mendampingi di sisiku dan di dalam hatiku.
Kalian adalah motivasi terbesar dalam menyambut tantangan dan
meraih harapan masa depan. Bagiku, kalian layaknya bintang dan
purnama bagi malam, yang tanpa kedua malam hanyalah sekedar
luasan sisi bumi yang gelap.
9. Rekan-rekan PJJ Polda Metro Jaya, terimakasih atas 8 bulan yang
penuh kenangan. Tanpa kalian tentu 8 bulan akan terasa bagaikan
sewindu lamanya.
10. Rekan-rekan mahasiswa STIK angkatan 68 yang tidak dapat kami
sebutkan satu-persatu. Terimakasih atas petuah, bimbingan, dan saran
yang sangat membantu penulis memperbaiki diri sehingga dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.
vii
11. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu semoga
kebaikan mereka mendapatkan limpahan rahmat dari Allah SWT.
Pada akhirnya, penulis berharap bahwa segala sesuatu yang telah ditulis
dan disampaikan dalam skripsi ini dapat memberi manfaat kepada diri kami
pribadi, masyarakat, dan juga lembaga PTIK. Amin Ya Robbal Allamin.
Jakarta, Mei 2016
Penulis
viii
Motto :
” Ngunduh wohing pakarti “
Skripsi ini didedikasikan untuk :
• Polri yang memberikan kesempatan bagiku untuk berbakti kepada bangsa dan Negara.
• Almamater tercinta Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, yang telah mendidikku menjadi Polri yang siap mengemban tugas negara di masyarakat.
• Akademi Kepolisian yang telah mengantarkanku menjadi seorang perwira Polri.
• Kedua orang tua dan mertuaku, anak, dan istriku tercinta yang selalu memberikan doa dan dukungan terbaiknya.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. iii LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iv KATA PENGANTAR ........................................................................................... v MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................................ viii DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix DAFTAR TABEL ................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xv ABSTRAK ......................................................................................................... xvi BAB I. PENDAHULAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah Penelitian ......................................................... 10 1.3 Pertanyaan Penelitian .................................................................... 11 1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................ 11 1.5 Ruang Lingkup Penelitian .............................................................. 12 1.6 Manfaat Penelitian .......................................................................... 12 1.7 Sistematika Penulisan .................................................................... 13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Penelitian ................................................................. 15 2.1.1 Skripsi ......................................................................................... 15 2.1.2 Jurnal Penelitian ......................................................................... 16 2.2 Kepustakaan Konseptual ............................................................... 19
2.2.1 Konsep Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik ....... 19 2.2.1.1 Media Elektronik ............................................................ 19 2.2.1.2 Tindak Pidana Penipuan ................................................ 20 2.2.1.3 Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik .............. 23
2.2.2 Ilmu Kepolisian ..................................................................... 25 2.2.2.1 Konsep Ilmu Kepolisian ................................................. 25 2.2.2.2 Teori Gunung Es Kepolisian Pro Aktif ........................... 27 2.2.2.3 Teori Pemolisian Masyarakat ........................................ 30
2.2.3 Teori Manajemen Strategik .................................................. 35 2.2.4 Teori Analisis SWOT ............................................................ 39 2.2.5 Teori Aktivitas Rutin ............................................................ 43 2.2.6 Teori Pencegahan Kejahatan ............................................. 45
2.2.6.1 Pencegahan Kejahatan ................................................. 45 2.2.6.2 Teori Pilihan Rasional .................................................... 48 2.2.6.3 Teori Pencegahan Kejahatan Situasional ...................... 50
2.3 Kerangka Berpikir ........................................................................... 58
x
BAB III. RANCANGAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ............................................... 59 3.2 Sumber Data dan Informasi ........................................................... 60 3.3 Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 62 3.4 Teknik Analisis Data ....................................................................... 63
BAB IV. TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Kejahatan Penipuan Melalui Media elektronik di Wilayah Hukum Polres Metro Jakarta Pusat .................................. 66 4.1.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian .................................... 66
4.1.1.1 Gambaran Umum Kota Administrasi Jakarta Pusat ...... 66 4.1.1.2 Gambaran Umum Polres Metro Jakarta Pusat .............. 73
4.1.2 Karakteristik Kejahatan Penipuan Melalui Media elektronik . 78 4.1.2.1 Perkembangan Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik ...................................................................... 78 4.1.2.2 Karakteristik Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik ...................................................................... 84 4.1.2.3 Modus-Modus Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik ...................................................................... 98 4.2 Faktor-Faktor yang Berkontribusi Terhadap Implementasi
Strategi Pemolisian dalam Pencegahan Kejahatan Melalui Media Elektronik di Polres Metro Jakarta Pusat .......................... 124 4.2.1 Strategi Pemolisian dalam Pencegahan Kejahatan Media
Elektronik di Polres Metro Jakarta Pusat Saat Ini ............... 124 4.2.2 Faktor-Faktor yang Berkontribusi Terhadap Implementasi
Strategi Pemolisian dalam Pencegahan Kejahatan Melalui Media Elektronik di Polres Metro Jakarta Pusat ..... 142
4.3 Strategi Pemolisian Pencegahan Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik di Polres Metro Jakarta Pusat .......................... 155 4.3.1 Pencegahan Kejahatan Situasional (Situstional Crime
Prevention) Terhadap Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik ............................................................................. 155
4.3.2 Strategi Pemolisian dalam Pencegahan Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik ..................................... 168
BAB V. PENUTUP
6.1 Kesimpulan ................................................................................... 186 6.2 Saran ............................................................................................ 190
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 192 LAMPIRAN ...................................................................................................... 196
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 : Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik .................. 2
Tabel 2.1 : 25 (dua puluh lima) Teknik Pencegahan Kejahatan Situasional .. 51
Tabel 4.1 : Jumlah Crime Total dan Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik Tahun 2013-2015 di Polres Metro Jakarta Pusat ........ 79
Tabel 4.2 : Perbandingan Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik dan Kejahatan Konvensional ...................................... 82
Tabel 4.3 : Jumlah Modus Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik
Tahun 2013-2014 ......................................................................... 99
Tabel 4.4 : Matriks Analisis SWOT Strategi Pemolisian Pencegahan
Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik di Polres Metro
Jakarta Pusat ............................................................................. 155
Tabel 4.5 : Langkah Pencegahan Kejahatan Situasional Terhadap
Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik ........................... 157
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 : Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik ........................................................................... 2
Gambar 1.2 : Bagan Penyelesaian Perkara Sat Reskrim Tahun
2014 .................................................................................. 3
Gambar 1.3 : Grafik Jumlah dan Penetrasi Pengguna Internet di
Indonesia ........................................................................... 5
Gambar 2.1 : Gambar Bagan Teori Gunung Es Kepolisian Proaktif ... 30
Gambar 2.2 : Alur Manajemen Strategik ............................................. 35
Gambar 2.3 : Alur Manajemen Strategik dan Komponennya .............. 39
Gambar 2.4 : Matriks SWOT ............................................................... 42
Gambar 2.5 : Bagan Kerangka Berpikir .............................................. 58
Gambar 4.1 : Peta Kota Administrasi Jakarta Pusat ........................... 68
Gambar 4.2: Struktur Organisasi Polres Metro Jakarta Pusat ............ 75
Gambar 4.3 : Grafik Crime Total Tahun 2013-2015 ............................ 80
Gambar 4.4 : Grafik Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik
Tahun 2013-2015 ............................................................ 81
Gambar 4.5 : Grafik Perbandingan Jumlah Kejahatan Penipuan
Melalui Media Elektronik dan Kejahatan Konvensional .. 83
Gambar 4.6 : Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik Berdasarkan Tingkat Keaktivan Pelaku .......... 88
xiii
Gambar 4.7 : Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik Berdasarkan Proses Pencurian Informasi
Identitas ........................................................................... 92
Gambar 4.8 : Pengelompokan Modus Kejahatan Penipuan Melalui
Media Elektronik Berdasarkan Sarana yang
Digunakan ....................................................................... 97
Gambar 4.9 : Grafik Penetrasi Penggunaan Internet dan Telepon
Sebagai Media Melakukan Kejahatan Penipuan ............. 98
Gambar 4.10 : Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik Modus Menjual Barang ................................ 102
Gambar 4.11 : Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik Modus Agen Pulsa ...................................... 103
Gambar 4.12 : Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik Modus Agen Travel ..................................... 105
Gambar 4.13 : Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik Modus Menawarkan Pekerjaan ................... 107
Gambar 4.14 : Contoh SMS Penulasan Pembayaran Palsu yang
Dikirim oleh Pelaku Kejahatan ...................................... 108
Gambar 4.15 : Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik Modus SMS Pelunasan Pembayaran .......... 109
Gambar 4.16 : Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik Modus Mengaku Teman / Saudara ............. 112
Gambar 4.17 : Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik Modus Mengaku Atasan .............................. 113
xiv
Gambar 4.18 : Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik Modus Menawarkan Dana Pensiun ............. 115
Gambar 4.19 : Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik Modus Mengaku Polisi ................................ 118
Gambar 4.20 : Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik Modus Berpura-pura Keluarga Kecelakaan 120
Gambar 4.21 : Contoh SMS Undian Berhadiah Palsu yang Dikirim
oleh Pelaku Kejahatan .................................................. 122
Gambar 4.22 : Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik Modus Undian Berhadiah ............................ 123
Gambar 4.23 : Bagan Alur Identifikasi Permasalahan Polres Metro
Jakarta Pusat ................................................................ 132
Gambar 4.24 : Bagan Peran Stakeholder dalam Strategi Pemolisian
Pencegahan Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik ....................................................................... 172
Gambar 4.25 : Bagan Aktualisasi Strategi Pemolisian Pencegahan
Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik .............. 179
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Pedoman Pengumpulan Data
Lampiran 2 : Pedoman Wawancara
Lampiran 3 : Lembar Persetujuan Penelitian
Lampiran 4 : Surat Jalan
Lampiran 5 : Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian
Lampiran 6 : Lembar Pergantian Judul Skripsi
Lampiran 7 : Lembar Kontrol Bimbingan Skripsi
Lampiran 8 : Dokumentasi Penelitian
xvi
ABSTRAK
Judul Skripsi : Strategi Pemolisian Pencegahan Kejahatan
Penipuan Melalui Media Elektronik di Polres Metro Jakarta Pusat
Nama Mahasiswa : Tiksnarto Andaru Rahutomo Nomor Mahasiswa : 15688956 Isi Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi strategi pemolisian yang dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Pusat dalam pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik. Fenomena ini akan dikaji menggunakan perspektif: Teori Manajemen Strategik (Wheelen dan Hunger, 2012), Teori SWOT (Wheelen dan Hunger, 2012), Teori Gunung Es Kepolisian Proaktif (Rycko Amelza Dahniel, 2015), Teori Community Policing (Community Policing Consortium, 1994), Teori Aktivitas Rutin (Cohen dan Felson, 1979), dan Teori Pencegahan Kejahatan Situasional (Clarke,2003). Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengkaji fenomena yang menjadi fokus penelitian. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara,dan studi dokumen. Teknik analisis data menggunakan teknik reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan.
Penelitian ini menunjukan bahwa Polres Metro Jakarta Pusat belum melaksanakan strategi pemolisian sesuai dengan konsep dan teori yang digunakan dalam penulisan ini. Terjadinya kejahatan penipuan melalui media elektronik dipengaruhi oleh desain keamanan produk dan jasa, pengetahuan calon korban akan modus kejahatan, serta pola perilaku calon korban. Penelitian ini juga menemukan adanya kelemahan hubungan kemitraan dalam hal pembagian peran dan tanggung jawab diantara stakeholder yang berkaitan dengan fenomena ini.
Dengan demikian perlu dikembangkan kemitraan yang lebih efektif diantara para stakeholder untuk mencapai pola pencegahan kejahatan yang komprehensif. Perubahan paradigma kepolisian proaktif yang mengedepankan polisi sebagai leading sector akan menyegerakan pencegahan kejahatan ini. Strategi pemolisian pencegahan kejahatan tersebut perlu diaktualisasikan ke dalam tataran fundamental, instrumental, dan implementasi secara stimultan.
Kata kunci: strategi pemolisian, pencegahan kejahatan, penipuan melalui
media elektronik.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi strategi pemolisian
dalam pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik. Fokus
penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran yang mendalam terhadap
karakteristik kejahatan penipuan melalui media elektronik, faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap implementasi strategi pemolisian dalam pencegahan
kejahatan tersebut di Polres Metro Jakarta Pusat, serta strategi pemolisian
yang ideal dalam mencegahan kejahatan tersebut.
Permasalahan kejahatan penipuan melalui media elektronik yang
diangkat dalam penelitian ini di inspirasi oleh pengalaman empirik peneliti
sebagai penyidik di Polres Metro Jakarta Pusat. Indikasi pertama terlihat dalam
fakta bahwa jumlah kejahatan penipuan melalui media elektronik ini jumlahnya
terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013, jumlah kejahatan
penipuan melalui media elektronik adalah sebanyak 164 perkara atau sebanyak
9,02 % dari total perkara yang ditangani. Jumlahnya terus meningkat di tahun
2014 menjadi sebanyak 276 kasus atau sebanyak 13,29 % dari total perkara.
Peningkatakn kuantitas masih terjadi di tahun 2015 yaitu menjadi sebanyak 304
kasus atau mencapai 14,57 % dari total jumlah kejahatan secara keseluruhan
2
di Polres Metro Jakarta Pusat. Untuk lebih jelasnya, peneliti merincikan ke
dalam tabel dan grafik berikut ini:
Tabel 1.1 Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik
Sumber: Sat Reskrim Polres Metro Jakpus, diolah peneliti.
Gambar 1.1 Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik
Sumber: Sat Reskrim Polres Metro Jakpus, diolah peneliti.
Salah satu contoh kasus kejahatan penipuan melalui media elektronik
yang ramai diperbincangkan adalah penipuan "mama minta pulsa" yang dialami
oleh kebanyakan masyarakat yang memiliki telepon genggam. Tindak
3
kejahatan yang seperti ini telah banyak dikeluhkan masyarakat dan diberitakan
dalam media elektronik sejak tahun 2013.
Indikasi kedua yang memperkuat alasan penulis mengangkat
permasalahan ini adalah jumlah penyelesaian perkara kejahatan penipuan
mealui media elektronik yang ditangani oleh Satreskrim Polres Metro Jakarta
Pusat. Pada tahun 2014, jumlah perkara keseluruhan yang ditangani oleh Sat
Reskrim adalah sebanyak 2077 kasus. Sebanyak 276 kasus atau sejumlah
13,3 % dari total seluruh kejahatan adalah kejahatan penipuan melalui media
elektronik. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah fakta bahwa dari 276 kasus
penipuan melalui media elektronik tersebut, tidak ada satupun yang dapat
diungkap oleh Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat. Penyelesaian perkara
secara keseluruhan pada tahun 2014 oleh Sat Reskrim Polres Metro Jakarta
Pusat adalah sebanyak 761 perkara atau sebanyak 36,6 % dari total perkara
keseluruhan. Dari 761 kasus yang telah diselesaikan tersebut, tidak ada
satupun diantaranya yang merupakan kasus kejahatan penipuan melalui media
elektronik.
Gambar 1.2 Bagan Penyelesaian Perkara Sat Reskrim Tahun 2014
Sumber : Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah penulis.
4
Dari ilustrasi di atas terlihat bahwa ketidakmampuan penyidik dalam
mengungkap kejahatan penipuan melalui media elektronik turut berkontribusi
kepada banyaknya tunggakan perkara yang harus diselesaikan oleh Polres
Metro Jakarta Pusat. Munculnya fenomena ini mengindikasikan perlunya
strategi pencegahan kejahatan melalui media elektronik karena tindakan
represif tidak dapat dilakukan secara maksimal. Faktor yang berkontribusi
terhadap rendahnya pengungkapan kejahatan penipuan melalui media
elektronik adalah karena dalam pengungkapan kejahatan tersebut memerlukan
biaya yang relatif tinggi, waktu dan tenaga penyidik yang banyak serta
peralatan yang canggih dan memadai. Fenomena ini juga mengindikasikan
bahwa penanganan tindak kejahatan melalui media elektronik merupakan corak
kejahatan modern yang menuntut cara penanganan yang lebih canggih dan
kompetensi penyidik yang lebih profesional dalam menangani perkembangan
kejahatan yang tergolong sebagai “cyber-crime” di era digital yang makin maju.
Fenomena ini merupakan fenomena kejahatan yang dirasakan sangat
sulit diungkap oleh anggota polisi dilapangan mengingat tindak kejahatan ini
bukan merupakan modus penipuan yang konvensional. Kejahatan penipuan
melalui media elektronik biasanya dilakukan oleh pelaku yang belum diketahui
identitas jelasnya, dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa orang, dan
dilakukan dari lokasi yang sangat jauh dari Jakarta Pusat. Selain karakter
kejahatan yang memang tergolong sulit untuk diungkap, keterbatasan personil,
peralatan, dan anggaran yang tersedia juga menjadi salah satu alasan penyidik
untuk mengesampingkan penanganan kejahatan penipuan melalui media
elektronik ini.
5
Kejahatan penipuan melalui media elektronik merupakan fenomena yang
menarik untuk dikaji karena hal ini merupakan fenomena kejahatan baru yang
memanfatkan perkembangan teknologi sebagai sarana untuk melakukan tindak
kejahatan dan telah banyak meresahkan kehidupan masyarakat. Sejumlah data
peningkatan penggunaan internet oleh masyarakat Indonesia menambah
kekhawatiran sekaligus menambah keperluan permasalahan ini untuk diangkat.
Pada tahun 2010 pengguna internet di Indonesia adalah sebanyak 42 juta jiwa.
Artinya bahwa 17,6 % penduduk di Indonesia saat itu menggunakan internet
sebagai bagian dari kehidupannya. Namun pada tahun 2014 jumlah pengguna
internet di Indonesia meningkat dua kali lipat menjadi 88,1 juta pengguna.
Fakta ini menunjukkan bahwa apabila kejahatan penipuan ini tidak tertangani
dengan baik maka ada sebanyak 88,1 juta masyarakat yang rentan menjadi
korban kejahatan penipuan melalui media elektronik karena sarana bertemunya
korban dan pelaku menjadi semakin banyak.
Gambar 1.3 Grafik Jumlah dan Penetrasi Pengguna Internet di Indonesia
Sumber : Puskakom UI.2015. Profil Pengguna Internet Indonesia 2014. Jakarta:Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
6
Berdasarkan beberapa fakta di atas, penelitian ini berfokus kepada
pencegahan kejahatan karena sejalan dengan paradigma kepolisian yang telah
bergeser dari paradigma “reactive policing” menuju “proactive policing".
Paradigma pemolisian yang proaktif seyogianya dapat mendorong lembaga
kepolisian untuk merumuskan dan mengembangkan program-program yang
berorientasi kepada kebutuhan masyarakat. Salah satu bentuk pemolisian yang
mendekatakan intensitas hubungan antara polisi dan masyarakat dalam
pencegahan kejahatan disebut dengan pemolisian masyarakat (David
Weisburd, 2007). Jenny Coquilhat (2008) mengatakan bahwa community
policing is considered a popular contemporary policing approach responding to
the decline in public confidence in police; and growing evidence that police
forces could not fight crime by themselves. Artinya bahwa pemolisian
masyarakat merupakan pendekatan kepolisian kontemporer yang sangat
diperlukan untuk menjaga eksistensi kepolisian di masyarakat karena makin
disadari bahwa kepolisian tidak bisa menyelesaikan penanggulangan dan
pencegahan kejahatan oleh kepolisian sendiri.
Karenanya, penulis merasa perlu adanya pergeseran paradigma
penegakkan hukum yang semula mengutamakan strategi represif yang reaktif
menjadi kepada strategi pencegahan yang proaktif. Strategi pemolisian yang
mengedepankan pendekatan pencegahan merupakan usaha yang dapat
dianalogikan dengan pencegahan dalam dunia kesehatan untuk menjaga agar
masyarakat tidak terserang oleh penyakit dan dapat hidup sehat. Menurut
Rycko A. Dahniel (2015) dalam buku Ilmu Kepolisian bahwa pendekatan
pencegahan merupakan semua usaha dan kegiatan untuk memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, memelihara keselamatan manusia,
7
benda dan barang termasuk memberikan perlindungan dan bantuan sehingga
mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa makna
pencegahan tersebut merupakan usaha untuk mengurangi atau menghindari
munculnya niat dan kesempatan melakukan kejahatan melalui kehadiran polisi
atau pengamanan oleh masyarakat, perbaikan infrastruktur yang dapat
mengurangi potensi kejahatan, sosialisasi atau himbauan kepada masyarakat
dan pemasangan alat teknologi pengamanan yang ada.
Oleh sebab itu selain perspektif pemolisian yang berfokus kepada
pencegahan tersebut, penelitian ini juga menggunakan perspektif pencegahan
kejahatan situational yang banyak digunakan dalam literatur kriminologi.
Pencegahan Kejahatan Situasional (Situasional Crime Prevention) merupakan
suatu strategi untuk mengurangi meningkatnya resiko kejahatan (Clarke,1995).
Pendekatan ini didasarkan atas teori penyebab kejahatan yang berasumsi
bahwa pelanggar hukum membuat pilihan rasional untung-rugi dalam
melakukan tindak kejahatan. Oleh sebab itu, dengan melakukan analisis
terhadap pola kejahatan di dalam masyarakat dan dalam konteks sosial
kejadian kejahatan, suatu desain situasi dapat dirubah dan diperbaiki agar
mengurangi niat seseorang melakukan kejahatan. Pendekatan dan strategi
situasional harus secara sistematik dimasukkan dalam rencana strategi untuk
mengurangi kejahatan dan korban secara komprehensif. Menanggapi metode
pencegahan kejahatan situasional ini, Rick Linden (2007) menyatakan bahwa
perspektif pencegahan kejahatan situasional yang telah dilakukan secara
empiris, telah mendapat dukungan yang kuat dibandingkan strategi
pencegahan lainnya.
8
Dalam menganalisa karakter kejahatan penipuan melalui media
elektronik penulis akan menggunakan perspektif Routine Activity Theory (Teori
Aktivitas Rutin). Dalam perspektif Routine Activity Theory, Cohen dan Felson
(1979) mengatakan bahwa seseorang melakukan tindak kejahatan apabila
terdapat 3 unsur yaitu (1) adanya target kejahatan yang cocok; (2) tidak adanya
penjaga yang mampu mengawasi dan melindungi; dan (3) pelaku kejahatan
yang termotivasi melakukan kejahatan. Menurut teori aktivitas rutin ketiga faktor
tersebut dapat memfasilitasi terjadinya kejahatan jika ketiganya bertemu di
suatu tempat dan waktu yang bersamaan. Penilaian terhadap suatu situasi
akan menentukan apakah suatu tindak kejahatan akan terjadi. Perspektif teori
ini cukup relevan untuk diterapkan pada kejahatan terhadap benda apapun
termasuk dalam kasus permasalahan penelitian ini karena kejahatan itu dapat
terjadi selama ada kesempatan untuk berbuat kejahatan. Kesempatan
merupakan penyebab suatu kejahatan dan menjadi akar penyebab terjadinya
suatu kejahatan. Bagi kejahatan “cyber”, peluang untuk melakukan sebuah
kejahatan sangat terbuka karena kejahatan tersebut tidak dibatasi oleh lokasi
tertentu (Bossler and Holt,2009).
Program pencegahan kejahatan masyarakat merupakan bentuk
pencegahan yang mencakup keterlibatan masyarakat dalam menjaga
keamanan di wilayahnya sehingga masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam
menjaga keamanan dilingkungannya. Program administratif/ legislatif
merupakan program perubahan dalam berbagai peraturan dan program
pemerintahan yang dapat membantu mencegah terjadinya kejahatan. Misalnya
program-program pemerintah terhadap pengaturan hunian daerah kumuh dan
padat penduduk sehingga dapat mengurangi potensi tindak kejahatan di suatu
9
daerah perkotaan. Program pemolisian yang mendorong polisi untuk bekerja
secara proaktif untuk mencegah kejahatan. Misalnya melakukan patroli
didaerah rawan kejahatan, penindakan yang keras terhadap pelaku kejahatan,
melakukan penerangan melalui media elektronik dan media cetak terhadap
motif-motif kejahatan dalam masyarakat, dan sebagainya.
Berdasarkan pada argumentasi dan deskrispsi latar belakang penelitian
diatas, penelitian ini berfokus kepada kajian tentang strategi pemolisian dalam
pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik di Polres Metro
Jakarta Pusat. Perspektif teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
ilmu kepolisian terutama kepada perspektif strategi pemolisian yang preventif
seperti yang digambarkan dalam strategi simultan terhadap masalah sosial
yang ditulis oleh Rycko A. Dahniel (2015). Pandangan teori pemolisian ini akan
diperkaya oleh perspektif teori pemolisian masyarakat dan konsep problem
oriented policing (Goldstein, 1979) yang sangat terkait dan relevan dengan
strategi pencegahan yang mengedepankan nilai-nilai preemtif dan deteksi dini
dalam pemolisian. Perspektif teori pencegahan kejahatan termasuk pendekatan
“situational crime prevention” merupakan perspektif yang digunakan dalam
menganalisis permasalahan penelitian ini. Begitu pula berbagai teknik
pencegahan kejahatan yang dikembangkan oleh Cornish dan Clark (2003)
merupakan perspektif yang mewarnai pembahasan dan analisis dalam
merumuskan strategi pemolisian dalam pencegahan kejahatan penipuan
melalui media elektronik seperti yang menjadi fokus penelitian ini.
Berdasarkan latar belakang fenomena di atas, demi mewujudkan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penulis merasa perlu pengembangan
berbagai pendekatan atau strategi pencegahan kejahatan yang menggunakan
10
kombinasi dari berbagai bentuk strategi tersebut diatas. Oleh karena itu, penulis
merasa tertarik untuk membahas masalah strategi pemolisian pencegahan
kejahatan penipuan melalui media elektronik di Polres Metro Jakarta
Pusat.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan permasalahan dalam latar belakang penelitian tergambar
bahwa pola penegakkan hukum secara represif yang dilakukan oleh Polres
Metro Jakarta Pusat tidak efektif dalam menangani kejahatan penipuan melalui
media elektronik. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya kasus kejahatan
penipuan melalui media elektronik yang dapat diungkap oleh Polres Metro
Jakarta Pusat. Ketidakefektivan penanganan kejahatan ini disebabkan antara
lain karena karakter kejahatan yang menggunakan media elektronik, identitas
pelaku yang tidak diketahui, lokasi pelaku yang jauh, keterbatasan kemampuan
personil di bidang teknologi informasi, sarana prasarana teknologi yang kurang
mendukung, serta keterbatasan anggaran.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pola penanganan secara represif
tidak efektif dalam menangani kejahatan penipuan melalui media elektronik.
sehingga perlu perubahan pola penanganan kejahatan secara preventif dengan
mengedepankan pencegahan kejahatan. Berdasarkan latar belakang
permasalahan yang telah diuraikan tersebut diatas, serta dengan
mengkonstruksikan kerangka teori terkait dengan penelitian ini dirumuskan
permasalahan penelitian yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu
strategi pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik yang
11
dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Pusat belum optimal dan belum mampu
mencegah terjadinya kejahatan penipuan melalui media elektronik.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan argumentasi rasionalisasi permasalahan yang tertuang
dalam latar belakang penelitian diatas, pertanyaan penelitian akan dijawab
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana karakteristik kejahatan penipuan melalui media elektronik di
Polres Metro Jakarta Pusat?
b. Apa saja faktor-faktor yang berkontribusi terhadap implementasi strategi
pemolisian dalam pencegahan kejahatan melalui media elektronik di
Polres Metro Jakarta Pusat?
c. Bagaimana strategi pemolisian yang ideal dalam pencegahan kejahatan
penipuan melalui media elektronik di Polres Metro Jakarta Pusat?
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji:
a. Karakteristik kejahatan penipuan melalui media elektronik di Polres
Metro Jakarta Pusat.
b. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap implementasi strategi
pemolisian dalam pencegahan kejahatan penipuan melalui media
elektronik.
c. Strategi pemolisian yang ideal dalam pencegahan kejahatan penipuan
melalui media elektronik di Polres Metro Jakarta Pusat.
12
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berfokus kepada fenomena strategi pemolisian dalam
pencegahan kejahatan penipuan yang terjadi melalui media elektronik berupa
telepon dan internet oleh Polres Metro Jakarta Pusat pada kurun waktu tahun
2013 sampai 2015. Fenomena kejahatan media elektronik merupakan
fenomena yang dapat terjadi dimana saja tanpa memperhatikan batas wilayah
(borderless), namun dalam penelitian ini studi kasus dilakukan di Polres Metro
Jakarta Pusat dikarenakan tingginya angka kejahatan tersebut di Polres Metro
Jakarta Pusat. Penelitian ini menfokuskan kepada strategi pemolisan dalam
pencegahan kejahatan dan bukan kepada tahapan penanganan kejahatan
lainnya.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam menambah
atau memperkaya ilmu pengetahuan dibidang kepolisian terutama pada aspek
pemolisian yang sejalan dengan paradigma “proactive policing” yang
mengedepankan kedekatan hubungan antara polisi dan masyarakat dalam
melakukan fungsi pencegahan kejahatan. Penelitian ini diharapkan dapat
memperkaya strategi pemolisian dalam pencegahan kejahatan yang
bersumber dari pembuktian empiris di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan
dapat memperkaya wacana ilmu pengetahuan yang terkait dengan konsep
pencegahan dalam bidang ilmu kriminologi dan kepolisian.
13
1.6.2 Praktis
Secara praktis penelitian ini memberikan masukan atau saran kepada
pimpinan dan anggota kepolisian di Polres Metro Jakarta Pusat dalam
memahami strategi pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik.
Rumusan strategi yang akan dijadikan rekomendasi dalam penelitian ini
diharapkan dapat memperkaya Polres Metro Jakarta Pusat khususnya di dalam
menangani kejahatan yang menggunakan teknologi. Strategi yang akan
dirumuskan dalam penelitian ini merupakan sumbangan praktis yang dapat
dikembangkan dan di tindak lanjuti oleh pengambil keputusan.
1.7 Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari 6 (enam) bab, Sistematika penulisan
yang digunakan dalam penulisan penelitian ini berdasarkan Buku Petunjuk
Teknis Penyusunan dan Pembimbingan Skripsi Mahasiswa STIK -PTIK sesuai
Keputusan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian Nomor: KEP/65/IX/2012
tanggal 25 September 2012 yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan latar belakang permasalahan, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II : TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Bab ini memuat tinjauan pustaka yang terkait dengan masalah,
beberapa pendapat yang dijadikan landasan atau acuan dalam
14
pembahasan masalah penelitian ini, kerangka berpikir dan
rumusan hipotesis.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini membahas tentang pendekatan dan metode penelitian,
sumber data/informasi, teknik pengumpulan data, dan teknik
analisis data yang digunakan.
BAB IV : TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan bagian mengenai hasil penelitan yang
menyajikan gambaran umum daerah penelitian, dan data-data
serta informasi yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan,
dengan menggunakan teknik-teknik pengumpulan data yang
telah ditentukan sebelumnya, dianalisis, serta dibah
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisikan tentang kesimpulan sebagai suatu rangkuman
dari hasil penelitian yang telah dibahas dan dianalisis sehingga
menjadi suatu kesatuan yang utuh, serta selanjutnya dibuat
suatu saran sebagai rekomendasi dari hasil penulisan ke arah
yang diharapkan.
15
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Kepustakaan Penelitian
Kepustakaan penelitian adalah literatur yang menyajikan informasi
tentang hasil penelitian terdahulu. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan referensi kepustakaan beberapa penelitian terdahulu. Beberapa
penelitian yang dijadikan literatur oleh peneliti adalah :
2.1.1 Skripsi
Kepustakaan yang dijadikan pembanding dan referensi dalam
penelitian ini adalah hasil penelitian Andi Mohamad Akbar Mekuo mahasiswa
Sekolah Tinggi ilmu Kepolisian tahun 2015 berjudul Implementasi Strategi
Pencegahan Kejahatan Pencurian dengan Kekerasan, Pencurian dengan
Pemberatan, dan Pencurian Kendaraan Bermotor (3C) di Wilayah Polres
Purwakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi
pencegahan kejahatan 3C, faktor yang mempengaruhi implementasi
pencegahan kejahatan 3C, dan langkah optimalisasi strategi pencegahan
kejahatan 3C di wilayah Polres Purwakarta. Keterkaitan skripsi ini dengan
penelitian yang sedang dilakukan adalah kesamaan teori yang digunakan
dalam menganalisa pembahasan permasalahan yang diambil oleh peneliti.
Beberapa teori tersebut antara lain teori pencegahan kejahatan, teori
16
16
manajemen strategi, dan teori SWOT. Perbedaannya yaitu dalam hal objek
penelitian dimana skripsi ini meneliti strategi pencegahan kejahatan 3C
sedangkan penelitian yang penulis lakukan bertujuan meneliti strategi
pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik.
Menurut penulis, penelitian yang dilakukan Andi Mohamad Akbar
Mekuo berfokus kepada pencegahan kejahatan tradisional yaitu kejahatan 3C
dimana sudah banyak terdapat penelitian mengenai pencegahan kejahatan 3C
sebelumnya. Dengan melakukan penelitian ini, penulis bermaksud untuk
mengeksplorasi paradigma pencegahan kejahatan kontemporer seperti
penipuan melalui media elektronik sehingga pada akhirnya menambah
khasanah ilmu tentang pencegahan kejahatan terhadap jenis kejahatan yang
berbeda.
2.1.2 Jurnal Penelitian
Peneliti menjadikan beberapa jurnal sebagai referensi dalam penelitian
ini yaitu:
a. Jurnal Trends & Issues in Crime and Criminal Justice, No.42 yang
diterbitkan oleh Australian Institute of Criminology bulan Agustus 2011 yang
berjudul "Risk factors for advance fee fraud victimization " yang ditulis oleh
Stuart Ross dan Russell G Smith. Penelitian dilakukan di Australia tepatnya
di negara bagian Victoria menggunakan metode studi kasus dengan
menganalisis transaksi keuangan korban dan wawancara terhadap korban.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa faktor-faktor yang memperbesar
kemungkinan terjadinya penipuan internet bermodus pemberian bonus atas
jasa. Diharapkan dengan dianalisanya faktor-faktor pendorong tersebut
maka diharapkan dapat membantu penyusunan langkah pencegahan
17
17
kejahatan penipuan dengan modus pemberian bonus atas jasa. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa: (1) 40% korban penipuan adalah
penduduk berusia di atas 55 tahun; (2) hasil kejahatan penipuan banyak
dikirimkan ke rekening bank di Nigeria; (3) perbuatan permulaan kejahatan
tersebut dimulai dari perkenalan dalam situs perkencanan dan sosial media
tertentu. Penelitian tersebut juga merekomendasikan model pencegahan
kejahatan yaitu dengan: (1) mengawasi transaksi keuangan menuju negara
yang sering menjadi tujuan kejahatan tersebut; (2) melakukan pengawasan
terhadap situs perkencanan dan sosial media yang dianggap memberikan
kontribusi terhadap kejahatan penipuan bermodus pemberian bonus jasa;
(3) memberikan informasi modus kejahatan tersebut kepada warga
Australia. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama
menggunakan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Selain itu
penelitian ini juga meneliti tentang pencegahan kejahatan yang dilakukan
melalui media elektronik. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada
lokasi penelitian dimana penelitian ini dilakukan di negara Australia
sedangkan penelitian penulis dilakukan di wilayah Jakarta Pusat. Objek
penelitian yang akan diteliti oleh penulis juga lebih luas yaitu penipuan
melalui media elektronik secara luas, sedangkan penelitian ini meneliti
mengenai salah satu modus kejahatan penipuan melalui media elektronik
yaitu penipuan bermodus iming-iming pemberian imbalan atas jasa
pengiriman uang. Kegunaan penelitian ini adalah sebagai pembanding
bagaimana menganalisa suatu kasus dan bagaimana cara merumuskan
rekomendasi langkah dalam menangani kejahatan penipuan melalui media
18
18
elektronik. Oleh karena itu peneliti menganggap kepustakaan penelitian ini
mempunyai keterkaitan dengan penelitian penulis.
b. Jurnal Crime Prevention Studies, volume 12, pp. 133-151 diterbitkan oleh
National Institute of Justice Washington DC berjudul "Personal Fraud: The
Victims and The Scams" yang ditulis oleh Richard M. Titus dan Angela R.
Gover. Jurnal ini membahas hasil penelitian mereka sebelumnya yang
mencoba memetakan kejahatan penipuan yang terjadi di negara Amerika
dengan cara melakukan survey terhadap 1.246 responden. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa penipuan mempunyai sedikit
kemungkinan berhasil jika: (1) penelepon adalah orang yang tidak dikenal;
(2) kontak yang digunakan adalah melalui telefon dan email; (3) calon
korban pernah mendengar tentang jenis penipuan ini sebelumnya; (4) calon
korban mencoba untuk mencaritahu kebenaran informasi sebelum
merespon. Penelitian ini menyarankan agar dilakukan upaya kampanye
untuk meningkatkan daya tangkal korban terhadap kejahatan penipuan.
Selain itu penelitian ini juga merekomendasikan pembentukan himpunan
data kejahatan penipuan yang aktual sehingga dapat digunakan dalam
upaya pencegahan berbagai modus kejahatan penipuan. Keterkaitan
kepustakaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah kesamaan
objek yang diteliti yaitu penipuan. Kepustakaan penelitian ini membahas
tentang karakter kejahatan penipuan, modus kejahatan, karakteristik
korban, dan kondisi yang mendukung terjadinya kejahatan penipuan.
Penelitian ini juga bertujuan untuk menemukan pola pencegahan kejahatan
penipuan yang ideal untuk diaplikasikan. Perbedaan dengan penelitian ini
terletak pada jenis penipuan yang diteliti dimana kepustakaan penelitian ini
19
19
meneliti penipuan secara umum dengan berbagai modus sedangkan
penelitian penulis meneliti tentang penipuan melalui media elektronik.
Kegunaan kepustakaan penelitian ini adalah sebagai bahan pembanding
dalam memahami karakteristik kejahatan penipuan. Oleh karena itu peneliti
menganggap kepustakaan penelitian ini mempunyai keterkaitan dengan
penelitian penulis.
2.2 Kepustakaan Konseptual
Kepustakaan konseptual yang digunakan berdasarkan teori atau berasal
dari pendapat dan konsep para pakar yang memiliki relevansi dengan judul dan
permasalahan yang diteliti. Kepustakaan konseptual digunakan untuk
menentukan dan menyamakan persepsi atau pemahaman antara penulis dan
pembaca tentang permasalahan yang akan dijawab pada penelitian ini. Konsep
yang memegang peranan penting dalam penulisan ini adalah teori pemolisian
masyarakat (community policing theory), teori gunung es kepolisian pro aktif,
teori pencegahan kejahatan situasional (situational crime prevention), teori
aktivitas rutin (routine activity theory) , teori manajemen strategik, dan teori
SWOT.
2.2.1 Konsep Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik
2.2.1.1 Media Elektronik
Menurut Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (2005 : 726) dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, media diartikan sebagai perantara/
penghubung yang terletak antara dua pihak, atau sarana komunikasi seperti
koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk. Sedangkan elektronik
20
20
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai alat yang dibuat
berdasarkan prinsip elektronika atau benda yang menggunakan alat-alat yang
dibentuk atau bekerja atas dasar elektronika (Tim Penyusun Kamus Pusat
Bahasa, 2005 : 294).
Menurut Mc Luhan dalam Morissan (2003 : 490) media elektronik
memiliki ciri sebagaimana pecakapan lisan yang bersifat segera dan singkat
yang berarti penerimaan informasi dan reaksi yang diberikan bersifat segera
dan singkat. Namun perbedaannya terletak pada tempat dimana pada era
elektronik tidak terikat pada tempat karena pesan dapat dikirimkan secara
elektronis. Contoh pemanfaatan media elektronik bagi komunikasi adalah
penggunaan televisi, radio, kaset rekaman, gambar foto, mesin penjawab,
telepon, blog, dan email.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat dimengerti bahwa
media elektronik merupakan sarana penghubung/ perantara yang dibuat
menggunakan prinsip elektronika, yang terletak diantara dua pihak, yang dapat
digunakan untuk menyalurkan informasi diantara kedua pihak tersebut dengan
karakteristik penyampaian informasi dan reaksi yang singkat. Adapun yang
termasuk dalam media elektronik adalah komputer, televisi, telefon genggam,
radio, laptop, dan lain-lain. Koran, majalah, dan spanduk tidak termasuk ke
dalam kelompok media elektronik karena ketiga media tersebut tidak dibuat
berdasarkan prinsip elektronika seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
2.2.1.2 Tindak Pidana Penipuan
Istilah tindak pidana berasal dari bahasa Belanda yaitu strafbaarfeit,
namun demikian belum ada konsep yang secara utuh menjelaskan definisi
strafbaarfeit. Oleh karenanya masing-masing para ahli hukum memberikan arti
21
21
terhadap istilah strafbaarfeit menurut persepsi dan sudut pandang mereka
masing-masing.
Menurut Moeljatno (1987 : 54) tindak pidana (strafbaar feit) adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang
melanggar aturan tersebut. Selanjutnya Sesilo Soesilo (1984:6) mendefinisikan
bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang atau diwajibkan oleh
undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang
melakukan atau mengabaikan akan diancam dengan pidana.
Selanjutnya Tresna (1959) menyatakan walaupun sangat sulit untuk
merumuskan atau memberi definisi yang tepat perihal peristiwa pidana, namun
Tresna menarik suatu definisi yang menyatakan bahwa, “peristiwa pidana itu
adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan
dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap
perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman”
Selanjutnya Simmons dalam Tresna (1959) mengungkapkan bahwa
tindak pidana harus memiliki beberapa unsur antara lain:
1. Harus ada perbuatan manusia. 2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan
umum. 3. Harus terbukti adanya dosa pada orang yang berbuat, yaitu orangnya
harus dapat dipertanggung jawabkan. 4. Perbuatan itu harus melawan hukum. 5. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya didalam
undang-undang.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, maka tindak pidana
dapat dimaknai sebagai suatu perbuatan yang melanggar suatu aturan hukum
yang berlaku dimana dengan melakukan pelanggaran terhadap aturan hukum
tersebut pelaku dapat dikenakan sanksi. Di dalam sistem hukum Indonesia,
22
22
perbuatan yang termasuk sebagai tindak pidana harus dinyatakan sebelumnya
oleh undang-undang yang sah. Untuk dapat menjatuhkan pidana pada orang
yang telah melakukan perbuatan pidana, maka sebelumnya harus terdapat
peraturan yang melarang perbuatan pidana tersebut. Perlakuan tersebut
disebut sebagai asas legalitas yang terdapat dalam pasal 1 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: ”Suatu peristiwa pidana tidak
dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan pertentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada di KUHP".
Asas legalitas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam
perundang-undangan, biasanya asas ini lebih dikenal dalam bahasa latin
nullum delictum nulla poena sine praevia lege punalle (tidak ada delik, tidak ada
pidana tanpa peraturan lebih dahulu). Ucapan tersebut berasal dari Von
Feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Selain itu yang perlu diperhatikan
adalah bahwasanya tidak semua perbuatan melanggar aturan hukum pidana
karena ada ranah aturan hukum lainnya seperti hukum perdata, hukum
ketatanegaraan dan hukum tata usaha pemerintah.
Berkaitan dengan penelitian ini maka tindak pidana yang dimaksud
adalah tindak pidana penipuan melalui media elektronik. Penipuan berasal dari
kata tipu. Kamus Besar Bahsa Indonesia menjelaskan tipu sebagai perbuatan
atau perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu, dan sebagainya) dengan
maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untung. Seseorang yang
melakukan suatu tindakan dengan mengatakan yang tidak sebenarnya kepada
orang lain tentang suatu berita, kejadian, pesan dan lain-lain yang dengan
23
23
maksud-maksud tertentu yang ingin dicapainya berarti telah melakukan
tindakan penipuan.
Tindak pidana penipuan tercantum dalam pasal 378 KUHP berbunyi:
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hak, mempergunakan nama palsu atau sifat palsu ataupun mempergunakan tipu muslihat atau susunan kata-kata bohong, menggerakan orang lain untuk menyerahkan suatu benda atau mengadakan suatu perjanjian hutang atau meniadakan suatu piutang, karena salah telah melakukan penipuan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
Mengenai tindak pidana penipuan pada Pasal 378 KUHP, Soesilo
kemudian merumuskan beberapa hal terkait penipuan sebagai berikut :
1. Kejahatan dalam pasal 378 KUHP dinamakan sebagai kejahatan penipuan. Penipu itu pekerjaannya : a. Membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang
atau menghapuskan piutang. b. Maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri
sendiri atau orang lain dengan melawan hak. c. Membujuknya itu dengan memakai :
1) Nama palsu atau keadaan palsu 2) Akal cerdik (tipu muslihat) atau 3) Karangan perkataan bohong
2. Membujuk yaitu melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang, sehingga orang itu menurutnya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, ia tidak akan berbuat demikian itu.
3. Tentang barang tidak disebutkan pembatasan, bahwa barang itu harus kepunyaan orang lain, jadi membujuk orang untuk menyerahkan barang sendiri, juga dapat masuk penipuan, asal elemen-elemen lain dipenuhinya.
Tindak pidana penipuan yang dimaksud dalam pasal 378 KUHP
tersebut masih merupakan tindak pidana penipuan secara umum dan dalam
pasal tersebut tidak terdapat pembatasan penggunaaan perangkat tertentu
dalam melaksanakan perbuatannya.
2.2.1.3 Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik
Berdasarkan dua pengertian media elektronik dan tindak pidana
penipuan di atas, maka kita dapat memahami bahwa kejahatan penipuan
24
24
melalui media elektronik adalah sebuah kejahatan, yang mempergunakan
nama palsu atau sifat palsu ataupun mempergunakan tipu muslihat atau
susunan kata-kata bohong, untuk menggerakan orang lain untuk menyerahkan
suatu benda atau mengadakan suatu perjanjian hutang atau meniadakan suatu
piutang, yang mempergunakan media elektronik sebagai sarana komunikasi
antara pelaku dan korban.
Salah satu kejahatan penipuan melalui media elektronik adalah
penipuan menggunakan internet. Dijelaskan dalam jurnal internasional Travis
C. Pratt, Kristy Holtfreter , dan Michael D. Reisig pada tahun 2010 yang
berjudul Routine Online Activity and Internet Fraud Targeting: Extending the
Generality of Routine Activity Theory bahwa The Federal Investigation Bureau
(FBI) (2001) mendefinisikan penipuan internet sebagai:
...any fraudulent scheme in which one or more components of the Internet, such as web sites, chat rooms, and e-mail, play a significant role in offering non-existent goods or services to consumers, communicating false or fraudulent representations about the schemes to consumers, or transmitting victims’ funds, access devices, or other items of value to the control of the scheme’s perpetrators. sebuah skema penipuan di dalam satu atau lebih komponen internet, seperti situs internet, ruang obrolan, dan email, memberikan peran yang penting dalam menawarkan barang atau jasa yang sebenarnya tidak ada kepada konsumen, berkomunikasi secara tidak benar atau mengandung bentuk tipu muslihat kepada konsumen, atau memindahkan dana korban, alat pengakses, atau barang lainnya ke dalam penguasaan dari pelaku.
Dari definisi di atas, penipuan internet mempunyai pengertian yang
tidak jauh berbeda dengan penipuan biasa, hanya saja penipuan internet
menggunakan satu atau lebih komponen internet, seperti situs internet, ruang
obrolan, atau email.
25
25
2.2.2 Ilmu Kepolisian
2.2.2.1 Konsep Ilmu Kepolisian
Ilmu kepolisian merupakan ilmu yang mempelajari masalah-masalah
sosial dan penanganannya (Parsudi Suparlan,2008). Konsep ilmu kepolisian
tersebut kemudian dimaknai lebih dalam oleh Rycko Amelza Dahniel (2015)
sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari fungsi dan
lembaga kepolisian dalam mengelola masalah-masalah sosial guna
mewujudkan keteraturan sosial.
Menurut Parsudi Suparlan (2008) bahwa implikasi dari pengertian ilmu
kepolisian tersebut terdapat 2 dimensi penting yang saling berkaitan dan saling
mempengaruhi yaitu (1) permasalahan sosial dan (2) penanganannya.
Masalah sosial merupakan potensi permasalahan yang akan muncul
dan terjadi sebagai akibat kehidupan manusia sebagai mahluk sosial.
Permasalahan sosial dapat terjadi dalam suatu kelompok masyarakat,
komunitas, organisasi sebagai pranata sosial dan masyarakat secara luas.
Masalah sosial dapat berakibat kepada gangguan keamanan ketertiban
masyarakat, merugikan, merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat dan
organisasi. Permasalahan sosial dapat berimplikasi kepada ketidak teraturan
sosial (social disorder) dan mengganggu keamanan masyarakat sehingga
memerlukan penanganan secara profesional oleh lembaga kepolisian sesuai
dengan amanah yang diberikan oleh peraturan perundangan yang ditetapkan
pemerintah.
Konsep pemolisian pada dasarnya sangat dekat dengan kontrol sosial
seperti yang diuraikan diatas dan mempunyai fenomena yang sama dari
berbagai pandangan yang berbeda dalam penggunaan dan interpretasinya.
26
26
Menurut C.Wilson (1993) pemolisian di definisikan sebagai “ policing as the
function of maintaining social control in society” yang berarti bahwa pemolisian
merupakan fungsi dalam menjaga kontrol sosial dalam komunitas. Namun
demikian, penggunaan kontrol sosial secara luas, pengertian pemolisian dapat
di interpretasikan dan dilaksanakan sebagai sesuatu yang tidak mempunyai
bentuk yang jelas. Hal ini karena dapat kehilangan konsep yang spesifik
sebagai proses kontrol sosial. Dengan demikian “punishment” secara jelas
merupakan aspek kontrol sosial, tetapi biasanya merupakan sesuatu tindakan
yang terpisah dari pemolisian, walalupun setiap interfensi polisi bisa saja
memberikan hukuman kepada mereka yang melanggar hukum.
Kegiatan pemolisian ditujukan untuk memelihara ketertiban dan
keteraturan sosial serta bagaimana efektivitas hubungan pemolisian terkait
dengan unsur-unsur penciptaan keteraturan sosial dalam masyarakat.
Pemolisian tidak berarti diarahkan untuk semua kegiatan dalam mencapai
keteraturan sosial, tetapi merujuk kepada aspek pengawasan yang spesifik,
bukan yang menyangkut penghukuman, kemisikinan, keharmonisan keluarga,
agama dan sebagainya. Kegiatan pemolisian yang spesifik bagi kepolisian
adalah melakukan pencegahan dan pengawasan terhadap berbagai
penyimpangan dan tindak kejahatan yang mengganggu keamanan dan
ketertiban masyarakat.
Menurut Spitzer dan Shearing, konsep yang esensial dari pemolisian
adalah untuk memelihara keamanan melalui pengawasan dan pemberian
sanksi terhadap ancaman (Reiner, 2000:3). Pemolisian berarti seperangkat
aktivitas yang bertujuan untuk menjaga sebuah keteraturan sosial baik secara
umum atau khusus. Robert Reiner (2000) lebih lanjut menjelaskan bahwa
27
27
keteraturan sosial tersebut dapat dicapai berdasarkan sebuah kesepakatan
diantara kelompok sosial yang secara hierarki berada pada tingkatan
kepentingan yang berbeda atau mungkin sebuah hubungan yang kompleks
diantara keduanya.
Pemahaman ini telah diperkuat dengan keberadaan “ilmu kepolisian”
yang telah menjadi gerakan internasional secara luas di abad 19 dan 20 yang
bertujuan untuk menjaga dan menciptakan kebahagian dan kualitas kehidupan
masyarakat (Robert Reiner, 2000). Di Inggris misalnya, pemolisian dapat
dilakukan oleh orang-orang profesional yang diberi mandat oleh pemerintah
untuk melakukan kegiatan pemolisian seperti “The British Transport Police” dan
lain sejenisnya. Namun dalam penelitian ini pengertian dan esensi pemolisian
adalah pemolisian yang dilakukan oleh lembaga kepolisian seperti yang di
amanahkan oleh peraturan perundangan yang berlaku.
2.2.2.2 Teori Gunung Es Kepolisian Pro Aktif
Dalam memandang fenomena kejahatan penipuan melalui media
elektronik, penulis menggunakan teori gunung es kepolisian proaktif untuk
dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai hakekat
masalah dan akar penyebab yang mendasari masalah tersebut. Teori gunung
es kepolisian proaktif adalah kumpulan dari 3 (tiga) strategi kepolisian dalam
rangka mengelola masalah-masalah sosial yang dilaksanakan secara simultan
dan dalam intensitas yang berbeda-beda sesuai dengan eskalasi dan intensitas
masalah sosial yang dihadapi. Tingkatan atau eskalasi masalah-masalah sosial
dapat digambarkan sebagai sebuah gunung es yang tidak bergerak dalam satu
garis yang kontinum. Ketiga strategi ini merupakan rangkaian kegiatan fungsi
28
28
kepolisian yang proaktif terhadap permasalahan sosial atau gangguan
kamtibmas (Rycko Ahmelza Dahniel, 2015).
Labih lanjut Dr. H. Rycko Ahmelza Dahniel (2015) menjelaskan bahwa
terdapat dua sisi yang dibahas dalam teori gunung es proaktif ini :
a. Pertama
Pada sisi yang pertama, teori gunung es menunjukkan bahwa ketiga
strategi ini efektif digunakan untuk menjawab secara proaktif terhadap
masalah sosial atau gangguan kamtibmas yang dibedakan atas 3 (tiga)
eskalasi atau tingkatan ancamannya. Tiga strategi ini bekerja secara
simultan dengan intensitas yang berbeda menurut kebutuhan dan eskalasi
masalah sosial yang terjadi, sehingga tidak bergerak dalam satu garis yang
kontinum, atau dengan kata lain ketiga strategi ini dilaksanakan secara
bersama-sama, saling berhubungan, dan saling mendukung satu dengan
yang lainnya. Tidak ada satu strategi yang paling tepat untuk menghadapi
semua situasi, dan tidak ada tidak ada satu situasi yang hanya dapat
dikelolanya secara efektif dengan satu strategi saja. Bisa saja semua strategi
dilaksanakan secara bersama-sama untuk mengelola satu situasi sesuai
dengan intensitas dan kadar masalah sosial yang terjadi, masing-masing
strategi memusatkan perhatiannya untuk mengelola setiap kadar eskalasi
situasi yang menjadi fokus perhatiannya, bisa juga masing-masing strategi
saling memberi informasi dan saling mendukung. Tiga strategi ini meliputi
strategi pada fungsi deteksi dini dan pre-emtif, strategi fungsi preventif, dan
strategi fungsi represif-investigatif.
1. Strategi deteksi dini dan pre-emtif efektif untuk menjawab ketika
masalah sosial masih tersimpan dalam setiap aspek kehidupan
29
29
manusia, masih terwujud dalam bentuk-bentuk potensi gangguan atau
faktor-faktor korelatif kriminogen, dan belum muncul ke permukaan
dalam bentuk gangguan.
2. Strategi pada fungsi preventif utamanya dititkberatkan kepada
seperangkat kegiatan proaktif. Strategi ini efektif dilakukan ketika
masalah sosial dinilai pada tingkatan ambang gangguan atau police
hazard. Fungsi preventif dilakukan melalui seperangkat tindakan
pencegahan agar tidak terjadi gangguan, ketidak-teraturan,
pelanggaran, dan kejahatan.
3. Strategi pada fungsi represif-investigatif diperlukan untuk menjawab
ketika eskalasi masalah sosial telah muncul ke permukaan dan
terwujud sebagai gangguan yang nyata atau disebut sebagai ancaman
faktual. Pada tahapan ini dilakukan serangkaian upaya penegakkan
hukum (represif), termasuk upaya-upaya penyelidikan dalam rangka
pengumpulan data dan informasi (investigatif).
b. Kedua
Pada sisi kedua, teori gunung es menunjukkan bahwa ketiga strategi
simultan itu juga dapat dipandang dari segi proses aktualisasinya. Masing-
masing strategi akan bergerak secara kesisteman, dimulai dari tataran
fundamental, instrumental, sampai kepada praktek atau implementasinya.
1. Tataran fundamental menunjuk kepada pentingnya membangun
sebuah kesadaran bersama, membangun sinergi para pemangku
kepentingan menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat untuk bersama-
sama mengidentifikasi, memetakan, membangun kesadaran, membuat
opsi dan membangun solusinya.
30
30
2. Tataran instrumental disini merupakan proses aktualisasi dari
kesepahaman dan berbagai opsi yang telah dibangun pada tahap
sebelumnya, dengan merumuskan berbagai aturan main yang dapat
diterima, sesuai kemampuan sumber daya yang dimiliki, dan tingkat
kewenangan semua pemangku kepentingan.
3. Tataran proses puncak atau praktek atau implementasi merupakan aksi
nyata yang dilakukan secara bersama-sama secara sinergi dengan
senantiasa memperhatikan peluang dan ancaman serta kekuatan dan
kelemahan atas tindakan yang akan dilakukan.
Gambar 2.1 Bagan Teori Gunung Es Kepolisian Proaktif
Sumber : Rycko Amelza Dahniel, 2015
2.2.2.3 Teori Pemolisian Masyarakat (Community Policing)
Pemolisian masyarakat (community policing) adalah sebuah usaha
kolaboratif antara polisi dan komunitas yang mengidentifikasi permasalahan
dari pelanggaran dan kejahatan dengan melibatkan semua elemen dari
masyarakat untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut. Pemolisian
31
31
masyarakat berangkat dari adagium bahwa polisi tidak dapat sendirian
mengontrol kejahatan dan pelanggaran serta meningkatkan kualitas hidup
masyarakat (Community Policing Consortium, 1994).
Community Policing Consortium (1994: 4) lebih lanjut menjelaskan
bahwa pemolisian masyarakat juga memperluas peran polisi lebih luas dari
hanya sekedar membasmi kejahatan, menuju kepada menjaga ketertiban dan
mengusahakan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Tujuan dari pemolisian
masyarakat adalah untuk mengurangi kejahatan dan pelanggaran,
meningkatkan kualitas hidup masyarakat, mengurangi rasa ketakutan akan
kejahatan (fear of crime), dan meningkatkan hubungan antara polisi dan
masyarakat.
Community Policing Consortium (1994) mengatakan bahwa pemolisian
masyarakat terdiri dari dua komponen utama yaitu kemitraan dan pemecahan
masalah. Dijelaskan lebih lanjut dua komponen pokok tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Kemitraan
Kemitraan polisi dan masyarakat berangkat dari perkataan Sir
Robert Peel yang mengatakan bahwa "polisi adalah masyarakat dan
masyarakat adalah polisi" (Braiden, 1992). Pernyataan ini merefleksikan
kunci dari pemolisian masyarakat itu sendiri dimana polisi tidak seharusnya
terpisah dari masyarakat, namun bergabung sebagai mitra masyarakat.
Gagasan utamanya adalah bahwa polisi tidak dapat sendirian melakukan
tugas mengontrol kejahatan dan pelanggaran. Dengan adanya pemolisian
masyarakat, polisi dan masyarakat diharapkan dapat saling bekerjasama
menghasilkan masyarakat yang aman dan sehat (Parks, 1981). Karenanya,
32
32
hubungan kemitraan itu harus dan dapat mendorong masyarakat untuk ikut
merasa bertanggung jawab dengan lingkungannya.
Mewujudkan dan memelihara kepercayaan antara polisi dan
masyarakat adalah tujuan utama kemitraan dalam pemolisian masyarakat.
Untuk mengembangkan kemitraan, polisi harus mengembangkan
hubungan yang baik dengan masyarakat, harus mengikutsertakan
komunitas dalam tugas menjaga dan mengontrol kejahatan, dan harus
menyatukan sumber dayanya dengan masyarakat untuk mengatasi
masalah yang dianggap paling penting oleh komunitas (Community Policing
Consortium, 1994: 13).
Langkah-langkah tersebut akan membantu mengembangkan
kepercayaan antara polisi dan masyarakat. Kemudian dari kepercayaan
tersebut polisi akan mendapatkan akses yang lebih besar kepada informasi
berharga dari masyarakat yang dapat berkontribusi kepada pencegahan
kejahatan, dapat memberikan bantuan yang diperlukan dalam proses
pengontrolan kejahatan, serta membuka kesempatan kepada petugas
untuk mewujudkan hubungan kerja dengan masyarakat. Community
Policing Consortium (1994) lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam
community policing, polisi berperan sebagai pendorong dan fasilitator
dalam pengembangan masyarakat. Karena itu, hubungan kolaboratif antara
polisi dan masyarakat harus selalu dijaga untuk mendorong dan menjaga
kedamaian dan kesejahteraan masyarakat.
b. Pemecahan masalah
Komponen utama kedua dari community policing adalah sebuah
pemecahan masalah yang dilakukan secara bersama-sama. Menurut
33
33
Community Policing Consortium (1994:13) pemecahan masalah dalam
pemolisian masyarakat adalah sebuah proses yang dimulai dengan
mengidentifikasi permasalahan komunitas yang utama kemudian mencari
solusi dari masalah tersebut.
Herman Goldstein, bapak dari problem-oriented policing (POP)
menjelaskan:
Smarter policing in this country requires a sustained effort within policing to research substantive problems, to make use of the mass of information and data on specific problems accumulated by individual police agencies, to experiment with different alternative responses, to evaluate these efforts and to share the results of these evaluations with police across the nation. Artinya bahwa langkah pemolisian yang tepat di negeri ini membutuhkan sebuah usaha pemolisian yang berkelanjutan untuk mencari permasalahan substansial, menggunakan media informasi massal dan data spesifik atas permasalahan yang dikumpulkan oleh institusi kepolisian, untuk diaplikasikan kepada beberapa alternatif penyelesaian masalah, kemudian mengevaluasi hasilnya dan kemudian membagi hasilnya kepada jajaran kepolisian di seluruh negeri. (Goldstein, 1993: 5)
Langkah-langkah POP yang diajarkan oleh Goldstein tersebut
kemudian dikenal dengan 4 (empat) langkah scanning, analysis, respons,
dan assessment (Eck and Spelman, 1987).
1) Scanning merupakan tahap menentukan fenomena mana yang menjadi
permasalahan di masyarakat. Goldstein (1990 : 66) lebih lanjut
menjelaskan bahwa permasalahan tidak dipandang sebagai sebuah
insiden tunggal namun lebih kepada sekelompok insiden yang sejenis,
terkait, atau pengulangan insiden yang menjadi perhatian masyarakat
atau unit kerja kepolisian tertentu.
2) Analysis adalah langkah yang dilakukan oleh kepolisian dan
masyarakat untuk menganalisa secara mendalam sampai kepada akar
34
34
permasalahan. Analisa ini dilakukan secara mendalam yang mencakup
lokasi, karakter pelaku, dan penyebab permasalahan tersebut Goldstein
(1990 : 98).
3) Respons adalah upaya yang dilakukan setelah permasalahan telah
secara jelas ditentukan dan dianalisis. Langkah ini terdiri dari
penentuan alternatif tindakan solutif terbaik yang didasarkan pada hasil
analisis sebelumnya. Langkah respons diikuti dengan menentukan
target yang akan dicapai dalam penyelesaian masalah dan tindakan
selanjutnya dari alternatif yang telah diambil.
4) Assesment yaitu langkah evaluasi terhadap proses dan hasil
implementasi langkah penanganan. Evaluasi proses berarti
menganalisa apakah langkah respon yang dilakukan sesuai dengan
yang telah direncanakan, sedangkan evaluasi hasil berarti menilai
apakah langkah respon tersebut efektif untuk mengatasi permasalahan
yang terjadi (Eck, 2002).
Pemecahan masalah yang dimaksudkan di dalam pemolisian
masyarakat bukan hanya sekedar merespon terjadinya kejahatan pada
masyarakat, namun menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya terjadi
yang mendasari terjadinya insiden. Perlu dipahami bahwa insiden berbeda
dengan permasalahan. Sebuah insiden timbul akibat tidak terselesaikannya
masalah di dalam masyarakat. Pemecahan masalah sangat penting
dilakukan untuk mencapai pencegahan kejahatan yang efektif. Dengan
sarana ini maka polisi tidak akan selalu merespon kepada kejadian di
tempat yang sama secara berulang-ulang karena mereka menekan atau
menyelesaikan permasalahan yang berada di balik kejadian tersebut.
35
35
Kemampuan polisi untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat
inipun meningkat apabila polisi bekerjasama dengan masyarakat,
komunitas, dan lembaga swadaya lainnya. Masyarakat dapat membantu
mengumpulkan informasi penting untuk menentukan lingkup permasalahan
yang harus mendapat prioritas penanganan (Eck dan Spelman 1987).
Masyarakat kemudian ikut dalam berusaha bersama polisi untuk
mengidentifikasi dan mengimplementasikan alternatif penyelesaian
masalah yang cocok.
2.2.3 Teori Manajemen Strategik.
Wheelen dan Hunger (2012: 5) mendefinisikan manajemen strategik
sebagai seperangkat keputusan dan aksi manajemen yang menentukan
tindakan organisasi dalam jangka panjang. Proses ini terdiri dari empat elemen
dasar yaitu (1) enviromental scanning, (2) strategy formulation, (3) strategy
implementation, dan (4) strategy evaluation.
Gambar 2.2 Alur Manajemen Strategik
Sumber: Wheelen, T.L. dan Hunger.2012.Strategic Management and Business Policy: Achieveing Sustainability,13th ed, Harlow: Pearson Prentice Hall.
Wheelen dan Hunger (2012 : 16) kemudian menjelaskan lebih lanjut
mengenai empat elemen dasar manajenen strategik yaitu:
36
36
a. Environmental scanning adalah proses memonitor, mengevaluasi, dan
menyebarkan informasi dari lingkungan baik internal maupun eksternal
kepada orang-orang penting dalam organisasi. Tujuannya adalah untuk
mengidentifikasi faktor strategik baik internal dan eksternal yang akan
menetunkan masa depan organisasi. Cara paling sederhana untuk
melakukan identifikasi lingkungan ini adalah dengan menggunakan
analisis SWOT. Melalui analisis SWOT ini organisasi dapat
mengidentifikasi faktor internal yang terdiri dari kekuatan dan kelemahan
serta faktor eksternal yang terdiri kesempatan, dan ancaman. Faktor
eksternal adalah beberapa faktor di luar organisasi yang tidak dapat
dikontrol oleh manajer tingkat atas.
b. Strategy formulation adalah pengembangan rencana jangka panjang
untuk membuat sebuah tata kelola manajemen yang efektiv dari peluang
dan ancaman dengan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan
organisasi. Hal ini termasuk pada langkah menentukan misi organisasi,
target spesifik, mengembangkan strategi, dan menentukan panduan
dalam pembuatan kebijakan.
1. Misi organisasi adalah tujuan atau alasan bagi eksistensi sebuah
organisasi. Misi menceritakan tentang kontribusi organisasi terhadap
masyarakat, apakah hal itu berupa sebuah pelayanan atau berupa
barang yang dapat dinikmati. Sebuah pernyataan misi yang baik dapat
mendefinisikan tujuan pokok organisasi dan membedakannya dengan
organisasi lainnya dan juga dapat mengidentifikasi lingkup atau
cakupan keluaran organisasi.
37
37
2. Target organisasi adalah hasil akhir dari perencanaan aktivitas. Target
harus dinyatakan ke dalam sebuah kata kerja dan menjelaskan apa
yang harus dicapai dalam rentang waktu tertentu. Pernyataan target
juga harus menyatakan ukuran keberhasilan secara kuantitas jika
memungkinkan. Pencapaian target organisasi harus bertujuan pada
pemenuhan misi organisasi. Target organisasi berbeda dengan tujuan
organisasi. Tujuan merupakan bentuk sebuah pernyataan terbuka
yang menyatakan hal yang ingin dicapai oleh organisasi tanpa
perhitungan kuantitas mengenai apa yang harus dicapai dalam kurun
waktu tertentu. Sebagai contoh, pernyataan "meningkatkan
keuntungan perusahaan" adalah sebuah tujuan, bukan merupakan
target organisasi karena pernyataan tersebut tidak menyatakan
berpaa banyak keuntungan yang diinginkan oleh perusahaan dalam
kurun waktu satu tahun. Contoh sebuah penyataan yang dapat
dijadikan sebagai target organisasi adalah "untuk meningkatkan laba
perusahaan sebanyak 10 % di tahun 2010".
3. Peran strategi dalam sebuah organisasi adalah membangun sebuah
perencanaan yang komprehensif yang menyatakan bagaimana
organisasi akan memenuhi misi dan targetnya. Strategi dapat
digunakan untuk memaksimalkan keuntungan dan mengurangi
kerugian. Karena kebanyakan dari organisasi tidak memiliki target
yang tertulis secara formal, maka banyak organisasi mempunyai
strategi yang tidak tertulis sehingga tidak dapat terartikulasi dan
teranalisa dengan jelas. Cara untuk mengetahui strategi yang tidak
tertulis tersebut adalah dengan melihat apa yang dilakukan oleh
38
38
komponen manajerial dalam organisasi. Strategi sebuah organisasi
dapat terlihat dari kebijakan perusahaan, kegiatan yang dilaksanakan,
dan alokasi penggunaan dana.
4. Kebijakan adalah sebuah panduan untuk pengambilan kebijakan
yang berhubungan dengan pembuatan kebijakan dan
implementasinya. Perusahaan membuat sebuah kebijakan untuk
memastikan pekerjanya membuat keputusan dan melakukan tindakan
yang mendukung misi, target, dan strategi organisasi.
c. Strategy implementation adalah sebuah proses dimana strategi dan
kebijakan diletakkan dalam serangkaian aksi melalui pengembangan
program, anggaran dan prosedur. Proses ini dapat melalui perubahan
budaya, struktur, atau sistem manajerial keseluruhan organisasi. Kecuali
saat perubahan drastis keseluruhan organisasi sangat dibutuhkan, maka
implementasi strategi ini dilaksanakan oleh komponen manajerial tingkat
bawah dan menengah, namun tentunya dengan pengawasan manajer
tingkat atas.
d. Evaluation and control adalah sebuah proses dimana aktivitas dan
pencapaian hasil organisasi dimonitor sehingga hasil yang dicapai dapat
dibandingkan dengan hasil yang diharapkan. Keseluruhan pimpinan
manajerial menggunakan informasi yang diperoleh untuk mengambil
langkah perbaikan dan menyelesaikan masalah. Proses evaluasi dan
kontrol merupakan elemen dasar terakhir dari langkah manajemen
strategik, proses ini juga dapat mengetahui kelemahan dalam rencana
strategik yang telah diimplementasikan sebelumnya dan mendorong
keseluruhan proses untuk dimulai kembali.
39
39
Teori ini digunakan untuk membahas implementasi strategi pemolisian
pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik yang dilaksanakan
oleh Polres Metro Jakarta Pusat. Selain itu teori ini juga digunakan untuk
menyusun strategi pemolisian yang ideal dalam mengoptimalkan upaya
pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik di Polres Metro
Jakarta Pusat.
Gambar 2.3 Alur Manajemen Strategik dan Komponennya
Sumber: Wheelen, T.L. dan Hunger.2012.Strategic Management and Business Policy: Achieveing Sustainability,13th ed, Harlow: Pearson Prentice Hall.
2.2.4 Teori Analisis SWOT
Teori SWOT (Strengths- Weaknesses- Opportunities- Threats) menurut
Wheelen dan Hunger (2012: 16) merupakan sebuah langkah untuk dapat
mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap
40
40
pencapaian tujuan organisasi. Lingkungan eksternal berisi variabel peluang dan
ancaman (oppoturnities and threats) yang berada di luar organisasi dan bukan
merupakan hal yang dapat dikontrol oleh pimpinan organisasi dalam jangka
waktu dekat. Lingkungan internal organisasi terdiri dari variabel kekuatan dan
kelemahan (strenghts and weaknesses) yang berada dalam tubuh organisasi
itu sendiri dan biasanya tidak dalam kontrol pimpinan organisasi dalam waktu
dekat. Yang termasuk dalam variabel ini adalah struktur, budaya, dan sumber
daya organisasi.
Heinz Weihrich (1982) menjelaskan bahwa matriks SWOT (Strengths-
Weaknesses-Opportunities-Threats) adalah sebuah alat yang sangat penting
dalam membantu manajer untuk mengembangkan empat strategi : strategi SO
(strengths-opportunities), strategi WO (weaknesses-opportunities), strategi ST
(strengths-threats), dan strategi WT (weaknesses-threats). Lebih lanjut Fred R.
David (2011: 178) menjelaskan bahwa mencocokkan faktor internal dan
eksternal adalah hal yang paling sulit dalam membuat matriks SWOT karena
membutuhkan penilaian yang baik.
Strategi SO menggunakan kekuatan internal yang dimiliki untuk
mengambil manfaat dari peluang lingkungan yang ada. Semua manajer pasti
ingin organisasinya dapat memanfaatkan dengan baik peluang yang ada
dengan menggunakan kemampuan yang dimiliki. Organisasi pada umumnya
akan berusaha memenuhi strategi WO, ST, atau WT untuk menciptakan situasi
dimana mereka dapat menerapkan strategi SO. Ketika sebuah organisasi
mempunyai kelemahan utama, maka organisasi tersebut akan berusaha
mengatasinya dan membuatnya menjadi lebih kuat. Begitu juga ketika
41
41
organisasi menghadapi ancaman yang besar, maka sebuah organisasi akan
menghindarinya dan berkonsentrasi kepada peluang.
Strategi WO bertujuan untuk meningkatkan kelemahan internal dengan
mengambil manfaat dari peluang yang ada. Terkadang organisasi menemukan
sebuah peluang, namun kelemahan organisasi mencegah untuk dapat
memanfaatkan peluang tersebut. Contohnya adalah ketika Polres mengetahui
identitas dan lokasi pelaku penipuan, namun karena jarak yang jauh dan
kurangnya biaya pelaku menjadi tidak dapat ditangkap. Salah satu strategi WO
yang dapat diterapkan adalah dengan meminta bantuan kepada Polres di lokasi
pelaku kejahatan untuk membantu melakukan penangkapan terhadap pelaku
tersebut. Dengan begitu peluang untuk menangkap pelaku kejahatan tetap
dapat dimanfaatkan.
Strategi ST menggunakan kekuatan organisasi untuk mengurangi
dampak dari ancaman yang berasal dari luar organisasi. Ini bukan berarti
sebuah organisasi yang kuat harus selalu bertemu dengan ancaman secara
langsung. Contoh strategi ini adalah penggunaan undang-undang pencucian
uang (strenghts) untuk mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan
akibat tindak pidana korupsi (threats). Korupsi merupakan sebuah ancaman
yang menghambat pembangunan nasional serta merugikan keuangan negara.
Strategi WT adalah sebuah strategi bertahan untuk mengurangi
kelemahan dan menghindari ancaman yang berasal dari luar lingkungan
organisasi. Sebuah organisasi yang menghadapi banyak ancaman dari
lingkungan luar dan memiliki banyak kelemahan mungkin berada dalam posisi
yang tidak pasti. Pada kenyataannya organisasi tersebut harus berjuang untuk
bertahan dan tetap eksis dalam sebuah lingkungan organisasi.
42
42
Gambar 2.4 Matriks SWOT
Sumber : David, Fred R. 2011. Strategic Management: Concepts and Cases,13th ed, New Jersey: Prentice Hall.
Fred R. David (2011: 179) kemudian menjelaskan delapan langkah
dalam menyusun matriks SWOT:
1. Identifikasi peluang eksternal organisasi.
2. Identifikasi ancaman eksternal organisasi.
3. Identifikasi kekuatan internal organisasi.
4. Identifikasi kelemahan internal organisasi.
5. Cocokkan kekuatan internal dan peluang eksternal kemudian catat
hasilnya sebagai strategi SO dalam kolom yang sesuai.
6. Cocokkan kelemahan internal dan peluang eksternal kemudian catat
hasilnya sebagai strategi WO dalam kolom yang sesuai.
43
43
7. Cocokkan kekuatan internal dan ancaman eksternal kemudian catat
hasilnya sebagai strategi ST dalam kolom yang sesuai.
8. Cocokkan kelemahan internal dan ancaman eksternal kemudian catat
hasilnya sebagai strategi WT dalam kolom yang sesuai.
2.2.5 Teori Aktivitas Rutin ( Routine Activity Theory )
Karena kejahatan penipuan melalui media elektronik adalah kejahatan
yang berkaitan dengan properti, maka peneliti akan menggunakan Routine
Activity Theory dalam menjelaskan terjadinya kejahatan tersebut.
Cohen dan Marcus Felson (1979) berpendapat bahwa perubahan
struktural dalam pola aktivitas rutin mempengaruhi tingkat kejahatan dengan
bertemunya dalam ruang dan waktu yang sama tiga unsur utama yaitu: (1)
pelaku yang termotivasi (motivated offenders), (2) target yang sesuai (suitable
target), dan (3) ketiadaan pengamanan yang memadai (absence of capable
guardians). Menurut mereka ketiadaan dari salah satu faktor tersebut akan
dapat mencegah terlaksananya suatu kejahatan. Selain itu bertemunya target
yang sesuai dan ketiadaan pengamanan yang memadai dalam waktu dan
tempat yang bersamaan akan meningkatkan kondisi struktural yang mendorong
seseorang untuk berbuat jahat. Jika pelaku yang termotivasi dan target yang
sesuai berada dalam jumlah yang konstan di tempat dan waktu yang sama,
maka hal itu akan menambah peluang terjadinya kejahatan. Apabila
pengamanan berkurang maka hal itu akan dapat meningkatkan jumlah
kejahatan yang terjadi (Cohen dan Marcus Felson,1979).
Dalam teori ini, jika asumsi jumlah pelaku yang termotivasi adalah sama,
maka fokus pembahasan akan berada pada tingkah laku, kegiatan, dan situasi
44
44
tempat yang berpotensi menjadi target viktimisasi. Dalam penelitian mengenai
kejahatan jalanan, routine activity theory telah memberikan terhadap proses
pengambilan kebijakan publik, terutama dengan mengembangkan strategi
pencegahan kejahatan situasional melalui penambahan jumlah penjagaan
(Clarke, 1995). Aplikasi yang paling awal dari model ini adalah mengidentifikasi
karakter orang yang memungkinkan menjadi korban seperti wanita dan anak-
anak.
Menurut Cohen dan Felson (1979) perkembangan desain teknologi
dapat mempengaruhi perkembangan alami dari viktimisasi. Lebih jauh lagi,
Cohen dan Felson berpendapat bahwa perubahan cara penjualan barang
menjadi faktor yang berkontribusi dalam meningkatnya peluang kejahatan.
Kehadiran internet ke dalam gaya hidup konsumen memperlihatkan kunci
perubahan struktur yang cocok dengan target dari penipuan berdasarkan
analisa routine activity theory.
Newman and Clarke (2003:78) berpendapat bahwa internet dan situs
pembelanjaan online membawa peluang terjadinya kejahatan yang banyak.
Walaupun pendapat routine activity theory mengatakan bahwa semakin jauh
seseorang berada dari rumah maka akan semakin besar kemungkinan orang
tersebut menjadi korban kejahatan, namun hal ini tidak berlaku pada kejahatan
internet. Walaupun secara fisik seseorang berada di rumah, namun orang
tersebut tetap dapat berbelanja dan mengakses internet. Perilaku inilah yang
kemudian membuat seseorang menjadi sasaran potensial dari pelaku
kejahatan.
45
45
2.2.6 Teori Pencegahan Kejahatan
2.2.6.1 Pencegahan Kejahatan
Pencegahan kejahatan berbeda dengan pengendalian kejahatan.
Pengendalian kejahatan berkaitan dengan pemeliharaan jumlah perilaku yang
berkaitan dengan kejahatan tersebut. Sedangkan pencegahan kejahatan
menurut Steven P. Lab merupakan sebuah tindakan yang dilakukan untuk
menghilangkan kejahatan atau mencegah kejahatan tersebut berkembang lebih
jauh (Lab, 2013: 31). Pencegahan kejahatan memerlukan serangkaian langkah
yang terencana sehingga upaya pencegahan dapat terlaksana dan dapat
mengurangi tingkat kejahatan serta ketakutan masyarakat akan kejahatan (fear
of crime). Fear of crime disini diartikan sebagai sebuah perasaan yang
ditimbulkan akibat dari timbulnya kejahatan dimana perasaan takut akan
menjadi korban kejahatan tersebut lebih besar daripada tingkat viktimisasi
yang sebenarnya (Lab, 2013:25).
Menurut Steven P. Lab terdapat tiga model pendekatan pencegahan
kejahatan yaitu pendekatan pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan
pencegahan tersier (Lab, 2013: 32).
a. Pencegahan kejahatan primer, adalah upaya pencegahan kejahatan yang
berhubungan dengan penyingkiran pengaruh lingkungan fisik dan sosial
yang memudahkan terjadinya perilaku menyimpang. Pendekatan
pencegahan primer tidak menyasar pada orang yang berpotensi
melakukan kejahatan namun justru mengupayakan kondisi fisik dan sosial
sehingga mempersempit peluang pelaku untuk berbuat jahat. Kondisi fisik
dan sosial yang terkait dalam pendekatan ini adalah mengenai tata ruang
lingkungan, pengawasan lingkungan oleh masyarakat, pencegahan
46
46
umum, pendidikan masyarakat akan pencegahan kejahatan, dan standar
kemananan pribadi. Kesuksesan pendekatan pencegahan kejahatan
primer ini sangatlah tergantung pada partisipasi masyarakat.
b. Pencegahan kejahatan sekunder, yang merupakan upaya pencegahan
kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat dan aparat penegak hukum
dengan fokus mengidentifikasi potensi penyimpangan dan sumber
perilaku menyimpang serta identifikasi situasi dan tendensi seseorang
yang berhubungan dengan perilaku menyimpang. Berdasarkan hasil
identifikasi tersebut dilakukanlah upaya intervensi kepada situasi dan
kelompok rentan sehingga pada akhirnya kejahatan tidak akan terjadi.
Beberapa program pencegahan kejahatan sekunder ini berhubungan
dengan program pengalihan dan penjauhan kelompok rentan dari
kemungkinan melakukan kejahatan. Contoh dari pendekatan ini adalah
upaya sekolah memberikan program olahraga dan ekstrakurikuler lainnya
untuk menjauhkan anak muda dari keinginan berbuat jahat.
c. Pencegahan kejahatan tersier, merupakan upaya pencegahan kejahatan
yang berhubungan dengan aparat sistem peradilan pidana. Kegiatan
aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana melalui tindakan
penangkapan, penuntutan, penahanan, dan rehabilitasi termasuk ke
dalam pencegahan kejahatan primer. Prinsip dari pendekatan ini adalah
menjauhkan para pelaku kejahatan dari masyarakat sehingga dia tidak
dapat melakukan perbuatan jahat kembali. Pencegahan kejahatan tersier
sering diabaikan dalam diskusi pencegahan kejahatan karena dianggap
sebagai pendekatan tradisional.
47
47
Lebih lanjut National Crime Prevention Institute (NCPI) mengartikan
pencegahan kejahatan sebagai sebuah pendekatan yang langsung dan
sederhana yang melindungi calon korban dari kejahatan dengan
mengantisipasi kemungkinan dari kejahatan serta menghilangkan atau
mengurangi kesempatan kejahatan untuk terjadi (NCPI,1986:1). Fokus studi
pencegahan kejahatan yang dilakukan oleh NCPI ini lebih kepada
menghilangkan kesempatan berbuat jahat. Pencegahan kejahatan merupakan
sebuah metode kontrol yang langsung, berbeda dari metode-metode
pengurangan kejahatan yang lainnya, seperti pelatihan kerja, pendidikan
remedial, pengawasan polisi, penangkapan polisi, proses pengadilan, penjara,
masa percobaan dan pembebasan bersyarat, yang masuk ke dalam metode
kontrol kejahatan secara tidak langsung (indirect control). Pencegahan
kejahatan, secara operasional, juga dapat dijelaskan sebagai sebuah praktek
manajemen risiko kejahatan. Manajemen risiko kejahatan melibatkan
pengembangan pendekatan sistematis untuk pengurangan risiko kejahatan
yang hemat biaya dan yang mempromosikan baik keamanan dan
kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi korban potensial (NCPI, 1986: 2)
Dalam perkembangannya, terdapat tiga pendekatan yang dikenal dalam
strategi pencegahan kejahatan. Tiga pendekatan itu ialah pendekatan secara
sosial (social crime prevention), pendekatan situasional (situtational crime
prevention), dan pencegahan kejahatan berdasarkan komunitas/masyarakat
(community based crime prevention).
a. Social Crime Prevention, yaitu pendekatan pencegahan kejahatan yang
menitikberatkan pada akar masalah dari kejahatan, terutama faktor-faktor
yang berkontribusi pada penyimpangan. Berangkat dari sebuah adagium
48
48
bahwa kejahatan disebabkan oleh tidak berjalannya sistem sosial
sebagaimana mestinya, pendekatan social crime prevention berfokus
pada pengembangan program dan kebijakan untuk meningkatkan taraf
kesehatan, kehidupan, pendidikan, pemukiman, kesempatan kerja dan
kegiatan lingkungan dari orang yang berpotensi melakukan kejahatan
(Rosenbaum, D. P., Lurigio, A.J. and Davis, R. C, 1998:201).
b. Situational Crime Prevention, yaitu pencegahan kejahatan yang berfokus
untuk mengurangi kesempatan kategori kejahatan tertentu dengan
meningkatkan resiko (bagi pelaku) yang terkait, meningkatkan kesulitan
dan mengurangi penghargaan (Clarke, 1997).
c. Community Based Crime Prevention, yaitu pencegahan kejahatan yang
dilakukan dengan cara memberdayakan kelompok atau komunitas dalam
masyarakat untuk proaktif bersama dengan lembaga pemerintahan
setempat mengatasi permasalahan yang berpotensi mengakibatkan
kejahatan. Yang termasuk ke dalam pencegahan kejahatan ini adalah
program community policing, neighbourhood watch, Forum Komunikasi
Polisi Masyarakat (FKPM), dan lain-lain.
2.2.6.2 Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory)
Teori kriminologi ini mengadopsi pemikiran ekonomi yang
mengatakan bahwa manusia adalah sebuah makhluk yang rasional dalam
membuat keputusan dengan mempertimbangkan biaya dan usaha yang harus
dibutuhkan untuk memperoleh kemanfaatan hasil yang dinginkan (Clarke,
1997). Pendekatan rasional ini digunakan oleh Clarke dalam menyusun sebuah
strategi pencegahan kejahatan situasional. Pendekatan ini berasumsi bahwa
49
49
kejahatan adalah sebuah perilaku yang secara sadar dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan pelanggar seperti uang, status, hasrat seksual, dan
aktualisasi diri. Dalam proses memenuhi kebutuhan tersebut pelaku terkadang
bahkan sering untuk menimbang secara rasional dan mengambil keputusan
berdasarkan keterbatasan, kemampuan diri, dan ketersedian informasi yang
terkait dengan target (Clarke, 1997). Pandangan ini berpendapat bahwa ada
dasarnya semua manusia mempunyai kodrat yang sama yaitu selalu
mempertimbangkan untung-rugi keputusannya berdasarkan informasi yang
diperolehnya untuk mencapai tujuan yang dinginkan, tidak terkecuali dengan
para pelaku kejahatan.
Asumsi dasar dalam teori pilihan rasional dijelaskan oleh Keel (1997)
dalam beberapa poin pokok antara lain:
a. Manusia ada sebuah subjek yang rasional,
b. Rasionalitas termasuk kalkulasi pada tujuan atau cara,
c. Manusia bebas untuk memilih perilakunya baik patuh atau melanggar,
berdasarkan atas pertimbangan yang rasional,
d. Elemen yang paling penting dari pertimbangan tersebut meliputi analisa
keuntungan dan kerugian, kesenangan dibandingankan dengan derita
atau pertimbangan ekonomi,
e. Pilihan, apabila diasumsikan bahwa kondisi lainnya adalah sama, akan
diarahka pada kemanfaatan maksimal yang dapat diperoleh individu,
f. Pilihan dapat dikontrol melalui persepsi dan pengetahuan akan resiko
derita dan hukuman yang menyertai suatu perbuatan yang melanggar
norma sosial,
50
50
g. Negara bertanggungjawab dalam menjaga ketertiban dan memelihara
nilai-nilai yang dianggap baik melalui sistem penegakkan hukum (sistem
tersebut merupakan artikulasi dari sistem kontrol sosial),
h. Kecepatan, kesegeraan, dan kepastian penegakkan hukum adalah
elemen kunci dalam memaksimalkan kemampuan hukum untuk
mengontrol perilaku individu.
Ketika paham kriminologi tradisional cenderung melihat pelaku kejahatan
didorong oleh kondisi diri dan lingkungannya, maka beberapa teori kriminologi
yang mengadopsi prinsip ekonomi memandang mereka sebagai sebuah pihak
yang mempunyai pertimbangan rasional dengan mempertimbangkan resiko
tertangkap dan kemanfaatan jika berhasil dalam mencapai suatu keputusan
untuk berbuat jahat. Karenanya pelaku kejahatan juga melakukan cost benefit
analysis (analisa untung rugi). (Piquero & Hickman, 2002)
2.2.6.3 Teori Pencegahan Kejahatan Situasional (Situational Crime
Prevention)
Karena penelitian ini akan membahas strategi pencegahan kejahatan
penipuan melalui media elektronik, maka penulis merasa perlu membahas
pendekatan situational crime prevention secara lebih mendalam. Situational
crime prevention pada dasarnya lebih menekankan bagaimana caranya
mengurangi kesempatan bagi pelaku untuk melakukan kejahatan, terutama
pada situasi, tempat, dan waktu tertentu. Pendekatan ini mencoba melakukan
pencegahan kejahatan dengan cara membuat target menjadi kurang memiliki
nilai serta meningkatkan resiko dan usaha untuk melakukan kejahatan. Dengan
51
51
demikian, seorang pencegah kejahatan harus memahami pikiran rasional dari
para pelaku.
Pendekatan ini memiliki tiga indikator untuk menentukan definisinya,
yaitu:
1. Diarahkan pada bentuk-bentuk kejahatan yang spesifik.
2. Melibatkan manajemen, desain atau manipulasi keadaan lingkungan
sekitar dengan cara yang sistematis.
3. Menjadikan kejahatan sebagai suatu hal yang sulit untuk terjadi,
mengkondisikan bahwa kejahatan yang dilakukan akan kurang
menguntungkan bagi pelaku. (Clarke, 1997)
Alih-alih melakukan pencegahan kejahatan secara global,
pendekatan ini memilih untuk menfokuskan pendekatannya kepada situasi
tertentu yang berpotensi mendukung terjadinya kejahatan. Clarke kemudian
mengembangan beberapa penelitian tentang situational crime prevention
disertai dengan penyajian data yang sistematis untuk melengkapi penelitiannya.
Sejalan dengan perkembangannya, dewasa ini setidaknya ada 25 kategori
pendekatan situtional crime prevention dan mungkin lebih dari 200 kasus
penelitian (Cornish & Clarke, 2003).
Situational crime prevention pada dasarnya mencari cara yang
sederhana untuk mengurangi kejahatan melalui tiga langkah umum:
1. Membuat desain keamanan,
2. Mengorganisasi prosedur yang efektif, yaitu melalui serangkaian upaya
perencanaan dan penggunaan prinsip-prinsip manajemen,
3. Mengembangkan produk yang aman, yaitu menciptakan produk yang
sulit dicuri atau disalahgunakan. (Clarke & Newman, 2005)
52
52
Cornish dan Clarke, R. V. kemudian mengembangkan 25 teknik
pencegahan melalui pengurangan kesempatan berbuat kejahatan. Teknik ini
diarahkan untuk mencegah kejahatan yang lebih spesifik daripada mencegah
kejahatan secara umum.
Semua 25 teknik tersebut tidak semuanya cocok untuk berbagai
situasi kejahatan. Kerangka teknik ini harus digunakan disesuaikan dengan
jenis kejahatan yang ingin dicegah melalui identifikasi karakter dan situasi yang
berpengaruh. Berangkat dari identifikasi karakter kejahatan dan situasi yang
mendukung, upaya pencegahan kejahatan secara situsional bertujuan untuk
menciptakan suatu desain kondisi yang dapat menangkal kejahatan. Desain
penangkalan kejahatan terkadang hanya berkaitan dengan pemikiran
sederhana tentang "target hardening" , namun lebih luas lagi mencakup
beberapa teknik yang dapat mereduksi faktor-faktor pendukung terjadinya
kejahatan.
Tabel 2.1 25 (dua puluh lima) Teknik Pencegahan Kejahatan Situsional
Sumber: Cornish, D. B. and Clarke, R. V. (2003), Opportunities, precipitators and criminal decisions: A reply to Wortley’s critique of situational crime prevention, in Smith, M. and Cornish, D. B. (eds) Theory for Situational Crime
53
53
Prevention, Crime Prevention Studies Vol. 16, Criminal Justice Press, Monsey, New York.
a. Meningkatkan usaha (Increase the effort) yang meliputi serangkaian upaya
yang harus dilakukan sehingga meningkatkan usaha yang diperlukan
pelaku untuk melakukan suatu kejahatan. Tujuannya adalah agar pelaku
tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk berbuat jahat atau
mempersempit waktu yang memungkinkan untuk berbuat kejahatan.
Ilustrasinya, apabila kejahatan meretas sistem perbankan adalah sesuatu
yang mudah maka semua orang akan dapat melakukannya.
1. Memperkuat sasaran (target hardening) yang berarti memasukkan
penghalang fisik, teknik, dan administratif pada objek sebelum
kejahatan itu terjadi. Dengan memberikan beberapa lapisan
penghalang sebelum mencapai target, maka kejahatan akan semakin
sulit dilakukan.
2. Mengendalikan akses menuju fasilitas (control access to facilities)
termasuk juga ke dalam jaringan atau sumber daya yang dapat menjadi
target kejahatan. Contohnya adalah penggunaan CCTV, pemasangan
pagar, dan mengadakan penjaga.
3. Mengawasi pintu keluar (screen exits) dari setiap subjek yang telah
memasuki fasilitas atau jaringan. Ilustrasi adalah sesederhana dengan
mempunyai penjaga di pintu keluar ruangan.
4. Menjauhkan pelaku dari target (deflect offender) dengan mengurangi
intensitas pelaku dan target bertemu dalam situasi yang memungkinkan
terjadinya kejahatan yang sama. Contohnya adalah memisahkan kamar
mandi laki-laki dan perempuan.
54
54
5. Mengendalikan peralatan / senjata yang digunakan pelaku (control
tools/weapons). Contohnya adalah dengan memberikan identitas dalam
nomor panggilan sehingga dapat mengarah kepada pengurangan
kejahatan yang berhubungan dengan telefon.
b. Meningkatkan resiko (increase the risk) dalam berbuat jahat. Resiko disini
termasuk resiko untuk tertangkap, resiko kegagalan, resiko kehilangan
barang yang didapatkan dari kejahatan, dan resiko lainnya. Resiko untuk
dapat terdeteksi sebagai pelaku kejahatan juga termasuk, contohnya
adalah pengenalan identitas pengaksesan internet, identitas telfon pelaku,
lokasi GPS, dan identitas lainnya. Lebih jauh lagi resiko ini dapat
ditingkatkan dengan langkah-langkah pengawasan baik secara terbuka
ataupun tertutup oleh penjaga.
1. Memperluas penjagaan (extend guardianship) dari objek yang dilindungi.
Menyediakan sistem alarm yang otomatis menghubungi polisi adalah
salah satu contohnya.
2. Membantu pengawasan alamiah (assist natural surveillance), contohnya
melalui metode CPTED (Crime Prevention Through Environmental
Design). Dalam kejahatan melalui media elektronik, pengelolaan
lingkungan ini dapat diterjemahkan dengan merancang desain sistem
akses yang dapat dipercaya, menampilkan identitas produk, pola
transaksi yang dapat dimonitor, dan keamanan jaringan yang baik.
3. Mengurangi anonimitas (reduce anonymity) dari pelaku kejahatan.
Anonimitas memang merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindari
dalam penggunaan internet secara luas. Namun hal itu dapat disiasati
55
55
dengan memberikan identitas pada barang atau identitas pada penjual
barang yang menggunakan sarana internet.
4. Memberdayakan manajer lokasi (utilize place managers) yang
bertanggungjawab dalam hal pengawasan. Pemilik dari sistem
komunikasi dapat diberikan tanggungjawab untuk menyediakan fungsi
pengawasan dalam sistemnya.
5. Memperkuat pengawasan formal (strengthen formal surveillance) oleh
polisi, penjaga keamanan, dan pihak yang bertanggungjawab dalam
keamanan jaringan komunikasi. Hal ini dapat dilakukan melalui beberapa
cara seperti CCTV, perangkat lunak yang memiliki algoritma
pendeteksian kejahatan, dan instrumen lainnya.
c. Mengurangi imbalan (reduce the rewards) yang didapat sebagai hasil
melakukan kejahatan. Misalnya dengan menciptakan desain telefon
genggam yang dapat dimatikan secara permanen apabila barang tersebut
hilang dicuri. Hal ini akan menurunkan kemanfaatan dari berbuat jahat,
karena jika barang tersebut yang tidak bisa digunakan maka nilai dari
barang tersebut akan otomatis berkurang.
1. Menyembunyikan target (conceal targets) dapat mengurangi
kemanfaatan dari pelaku. Produk harus dapat dengan mudah digunakan
dan diakses oleh konsumen, namun tidak memberikan banyak informasi
bagi calon pelaku untuk melakukan kejahatan.
2. Memindahkan target (remove target) dari tempat yang memungkinkan
terjadinya kejahatan. Hal ini bukan berarti menyembunyikan target
secara seluruhnya, namun hanya menyediakan produk tersebut pada
waktu yang seharusnya.
56
56
3. Memberikan identitas pada benda (identify property). Identifikasi yang
baik terhadap produk dapat mempermudah pengawas untuk melacak
produk, melacak lokasi pelaku kejahatan, dan juga meningkatkan
kesadaran pemilik akan barang yang dimilikinya.
4. Mengganggu pasar (disrupt markets) yang digunakan untuk menjual
barang hasil kejahatan untuk mengurangi kemanfaatannya dan juga
meningkatkan resikonya.
5. Mencegah keuntungan yang akan diperoleh pelaku (deny benefits).
Produk dan pelayanan yang sulit dijual dalam pasar akan mengurangi
kemanfaatan dari aktivitas kejahatan.
d. Mengurangi provokasi (reduce provocations) yang langkah-langkahnya
meliputi:
1. Mengurangi frustasi dan stres (reduce frustrations and stress) yang
merupakan faktor utama penyebab kejahatan yang berhubungan
dengan kekerasan.
2. Mencegah munculnya pertengkaran (avoid disputes) diantara subjek.
3. Mengurangi rangsangan emosional (reduce emotional arousal) yang
berujung pada terjadinya kejahatan.
4. Menetralisir tekanan rekan (neutralize peer pressure) yang berujung
pada kerjasama atau mendorong individu untuk berbuat jahat.
5. Mencegah imitasi (discourage imitation). Publikasi dapat
mempengaruhi seseorang untuk meniru kejahatan.
e. Menghilangkan alasan (remove excuses) yang melegalkan orang untuk
berbuat jahat. Hal ini dapat dilakukan secara sederhana yaitu dengan
mengingatkan bahwa beberapa tindak merupakan tindakan yang dilarang
57
57
oleh hukum. Contohnya adalah kata-kata yang terdapat pada halaman awal
buku yang menyatakan bahwa pembajakan merupakan sesuatu yang ilegal
dan dilarang oleh hukum.
1. Membuat aturan (set rules) tentang perilaku yang diperbolehkan dan
juga pemberitahuan bahwa pelanggaran terhadap peraturan akan
mendapat konsekwensi hukum yang sepadan.
2. Menempatkan rambu-rambu larangan maupun perintah (post
instruction) yang memberitahukan dengan jelas perbuatan yang
diperbolehkan dan dilarang oleh hukum yang berlaku. Membuat
seseorang paham akan dilarangnya suatu tindakan akan mendorong
mereka untuk tidak berbuat salah.
3. Meningkatkan kesadaran (alert conscience) akan fakta bahwa suatu
perbuatan merupakan perbuatan yang dilarang.
4. Membantu mewujudkan kepatuhan (assist compliance) dengan cara
membantu seseorang untuk menemukan jalan untuk memenuhi
kebutuhan mereka secara legal sehingga mereka tidak mencari jalan
alternatif dengan cara melanggar peraturan.
5. Mengendalikan peredaran narkoba dan alkohol (controlling drugs and
alcohol). (Cornish dan Clarke, 2003)
Penulis menggunakan teori situational crime prevention dari Clarke
untuk menganalisa strategi pencegahan kejahatan penipuan melalui media
elektornik yang dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Pusat dan selanjutnya
memberikan rekomendasi strategi pencegahan kejahatan yang ideal
berdasarkan 25 teknik pencegahan kejahatan dari Clarke.
58
58
2.3 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan melalui
bagan sebagai berikut.
Gambar 2.4 Bagan Kerangka Berpikir
59
BAB III
RANCANGAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN
Rancangan Penelitian (Research Design) merupakan strategi peneliti
untuk mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.
Dalam rancangan penelitian ini, penulis menjelaskan tentang pendekatan dan
metode yang digunakan dalam mengumpulkan data, sumber data atau
informasi, teknik pengumpulan data, teknik analisis data serta jadwal penelitian.
3.1. Pendekatan dan Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana pada
penelitian ini ingin mengeksplorasi hal-hal yang berkaitan dengan strategi
pemolisian pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik di Polres
Metro Jakarta Pusat. Menurut John W Cresswell (2013) penelitian kualitatif
merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang
oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah
sosial atau kemanusiaan. Metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan perilaku yang dapat diamati.
Penulis menggunakan metode tersebut karena dengan metode ini
penulis dapat lebih dekat dengan responden sehingga informasi yang didapat
dapat lebih objektif dan mendalam. Penulis menilai metode ini lebih peka dan
60
lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama
pola-pola nilai yang dihadapi sehingga informasi yang diperoleh lebih
mengungkap secara mendalam atas fenomena yang ada.
Ada berbagai metodelogi penelitian salah satunya adalah studi kasus,
yaitu suatu gambaran hasil penelitian yang mendalam, dan lengkap sehingga
nantinya informasi yang disampaikan tampak hidup sebagaimana adanya
karena penelitian berdasarkan kenyataan yang terdapat di lapangan ( Burhan
Ashofa, 2003). Pada penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian
studi kasus, artinya peneliti mempelajari secara langsung dan utuh strategi
pemolisian pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik di Polres
Metro Jakarta Pusat sehingga dapat mengetahui fenomena yang terjadi secara
utuh dan mendalam di Polres Metro Jakarta Pusat. Penelitian ini bertujuan
memperoleh gambaran dan wawasan secara mendalam berdasarkan data-data
yang dikumpulkan seperti karakteristik Polres Metro Jakarta Pusat, karakteristik
kejahatan penipuan melalui media elektronik, dan faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kejahatan tersebut. Data-data itu kemudian dianalisis
dan diinterpretasikan sehingga diperoleh alternatif startegi pemolisian
pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik yang relevan dengan
situasi yang ada di Polres Metro Jakarta Pusat.
3.2 Sumber Data atau informasi
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber
data/informasi primer dan sekunder. Menurut Sugiyono (2014 : 225) sumber
primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung
61
memberikan data kepada pengumpul data, misalnya melalui orang lain atau
melalui dokumen. Kedua sumber tersebut adalah:
1. Sumber primer diperoleh melalui:
a. Wawancara kepada orang-orang yang penulis tentukan guna
memperolah data-data atau keterangan secara langsung. Adapun
sumber informasi yang penulis wawancara adalah:
1) Kapolres Metro Jakarta Pusat
2) Kabag Perencanaan Polres Metro Jakarta Pusat
3) Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat
4) Kasat Binmas Polres Metro Jakarta Pusat
5) Kanit Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat
6) Anggota Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat
7) Bhabinkamtibmas Polres Metro Jakarta Pusat
8) Korban kejahatan penipuan melalui media elektronik
9) Petugas bank yang membidangi jual-beli online
b. Observasi terhadap karakteristik wilayah hukum Polres Metro Jakarta
Pusat serta langkah pencegahan kejahatan penipuan melalui media
elektronik yang dilaksanakan oleh personil Polres Metro Jakarta Pusat.
2. Sumber sekunder diperoleh penulis melalui studi dokumen tentang
permasalahan penelitian seperti dokumen rencana kerja tahunan Polres
Metro Jakarta Pusat, dokumen penggunaan anggaran di Polres Metro
Jakarta Pusat, dokumen intel dasar Polres Metro Jakarta Pusat, dokumen
Rencana Kerja Tahun 2015 Polres Metro Jakarta Pusat, daftar jumlah
penyidik pada Satuan Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, daftar perkara
yang ditangani Satuan Reskrim, laporan hasil pelaksanaan tugas fungsi
62
binmas, daftar inventaris sarana dan prasarana, dan berbagai literatur
lainnya yang berkaitan dengan masalah penelitian.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi menurut John W Cresswell ( 2013: 267) adalah suatu
pengamatan yang dimana di dalammnya peneliti langsung turun ke
lapangan untuk mengamati individu-individu di lokasi penelitian. Untuk
melakukan pengamatan terhadap langkah pencegahan kejahatan
penipuan melalui media elektronik di Polres Metro Jakarta Pusat peneliti
menggunakan teknik observasi partisipatif (participant observation).
Peneliti melakukan pengamatan langsung, merekam , melakukan
pencatatan dengan terstruktur ataupun tidak terhadap aktivitas-aktivitas
dalam lokasi penelitian, pengamatan langsung peneliti di lokasi penelitian
yaitu tentang langkah pencegahan kejahatan penipuan melalui media
elektronik.
b. Wawancara
Wawancara menurut John W Cresswell ( 2013: 267) adalah
tehnik pengumpulan data dengan melakukan wawancara secara
berhadapan dengan partisipan ataupun bisa menggunakan wawancara
kelompok dengan pertanyaan yang bersifat terbuka sehingga bisa
mengungkapkan pandangan dan opini dari partisipan. Wawancara dalam
hal ini dilakukan oleh peneliti terhadap sumber data dengan pedoman
wawancara yang telah dibuat sebelumnya sehingga memperoleh
gambaran tentang strategi pencegahan kejahatan penipuan melalui media
elektronik di Polres Metro Jakarta Pusat.
63
c. Penelitian dokumen
Penelitian dokumen menurut menurut John W Cresswell (2013:
267) adalah mengumpulkan dokumen kualitatif bisa berupa dokumen
public seperti Koran, makalah laporan kantor ataupun dokumen privat
seperti buku harian, surat. Dalam hal ini dokumen yang diteliti oleh
peneliti antara lain dokumen rencana kerja tahunan Polres Metro Jakarta
Pusat, dokumen penggunaan anggaran di Polres Metro Jakarta Pusat,
dokumen intel dasar Polres Metro Jakarta Pusat, daftar jumlah penyidik
pada Satuan Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, daftar perkara yang
ditangani Satuan Reskrim, laporan hasil pelaksanaan tugas fungsi
binmas, serta daftar inventaris sarana dan prasarana.
d. Materi audio dan visual
Teknik pengumpulan data kualitatif yang terakhir menurut John
W Cresswell ( 2013: 267) adalah meteri audio dan visual, data diperoleh
berupa foto, obyek-obyek seni, videotape atau segala jenis suara atau
bunyi. Materi audio dan visual diperoleh peneliti dengan dokumentasi
langsung kegiatan ataupun yang dokumentasi yang telah ada di Polres
Metro Jakarta Pusat.
3.4 Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses berkelanjutan yang membutuhkan
refleksi terus menerus terhadap data , mengajukan pertanyaan-pertanyaan
analitis dan menulis catatan singkat sepanjang penelitian. Tehnik analisis data
melibatkan proses pengumpulan data , interpretasi data dan pelaporan hasil
(Cresswell, 2013: 274).
64
Dalam penelitian ini penulis berpedoman pada analisis data kualitatif
menurut Miles dan Hubermann (1985) yang dikutip oleh Farouk Muhammad
(2005 : 30) bahwa ada tiga unsur utama dalam proses penelitian kualitatif
yaitu: reduksi data, sajian data (data display) dan penarikan
kesimpulan/verifikasi meliputi :
a. Reduksi data yang peneliti lakukan adalah menyeleksi sumber data
berupa hasil wawancara dengan sumber informasi, hasil observasi
lapangan, dokumen rencana kerja tahunan Polres Metro Jakarta Pusat,
dokumen penggunaan anggaran di Polres Metro Jakarta Pusat, dokumen
intel dasar Polres Metro Jakarta Pusat, dokumen Rencana Kerja Tahun
2015 Polres Metro Jakarta Pusat, daftar jumlah penyidik pada Satuan
Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, daftar perkara yang ditangani Satuan
Reskrim, laporan hasil pelaksanaan tugas fungsi binmas, serta daftar
inventaris sarana dan prasarana. Kemudian data tersebut disederhanakan
dengan cara memilah data yang relevan dengan permasalahan penelitian
sehingga dapat menjawab pertanyaan terkait strategi pemolisian
pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik di Polres Metro
Jakarta Pusat.
b. Sajian data yang telah direduksi kemudian disajikan dalam bentuk gambar
peta wilayah, skema struktur organisasi Polres Metro Jakarta Pusat, tabel
jumlah kejahatan penipuan melalui media elektronik yang ditangani Polres
Metro Jakarta Pusat, tabel jumlah kejahatan penipuan melalui media
elektronik yang ditangani Polres Metro Jakarta Pusat, tabel jumlah
kejahatan penipuan melalui media elektronik setiap bulan, gambar
sebaran modus kejahatan penipuan melalui media elektronik, dan grafik
65
sebaran media elektronik yang menjadi sarana kejahatan penipuan.
Sajian data ini dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap jumlah
laporan polisi tentang tindak pidana penipuan melalui media elektronik
yang terjadi diantara tahun 2013 sampai 2015, tujuan sajian data
dirancang untuk menggambarkan suatu informasi secara sistematik dan
mudah dilihat serta dipahami dalam bentuk keseluruhan sajiannya.
c. Penarikan kesimpulan atau verifikasi dilakukan setelah proses
pengumpulan data di lapangan berakhir. Setelah melakukan proses
pengumpulan data yang relevan dengan penelitian, kemudan data yang
diperoleh melalui kegiatan penelitian dianalisis secara kualitatif kemudian
di sajikan secara deskripsi, dan terakhir ditarik kesimpulan.
66
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik di
Wilayah Hukum Polres Metro Jakarta Pusat
4.1.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian
4.1.1.1 Gambaran Umum Wilayah Kota Administrasi Jakarta Pusat
Berdasarkan hasil analisa data sekunder terhadap dokumen intel dasar
di ruang data Bagian Operasional Polres Metro Jakarta Pusat serta hasil
observasi, diperoleh gambaran umum Kota Administrasi Jakarta Pusat sebagai
berikut:
a. Geografi
Kota Administrasi Jakarta Pusat secara geografis terletak diantara
1060 58'18" Bujur Timur dan 50 19'12" Lintang Selatan sampai dengan
6023'54" Lintang Selatan, dengan ketinggian 4 M di atas permukaan laut,
berada di tengah-tengah provensi DKI Jakarta Luas wilayah Kota
Administrasi Jakarta Pusat berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI
Jakarta Nomor 171 Tahun 2007 tentang Penataan, Penetapan Batas dan
Luas Wilayah Kelurahan di Provinsi DKI Jakarta adalah ± 4.813,22 Ha
merupakan kota administrasi yang paling kecil bagian dari Provensi DKI
Jakarta yang terdiri dari :
67
1. Kecamatan Gambir dengan luas wilayah 6,88 (KM2)
2. Kecamatan Sawah Besar dengan luas wilayah 5,96 (KM2)
3. Kecamatan. Kemayoran dengan luas wilayah 7,19 (KM2)
4. Kecamatan Senen dengan luas wilayah 4.22 (KM2)
5. Kecamatan Cempaka Putih dengan luas wilayah 4,69 (KM2)
6. Kecamatan Menteng dengan luas wilayah 6,51 (KM2)
7. Kecamatan Tanah Abang dengan luas wilayah 9,30 (KM2)
8. Kecamatan Johar Baru dengan luas wilayah 2,37 (KM2)
Di wilayah Kota Administrasi Jakarta Pusat banyak terdapat kantor
pemerintahan seperti Istana Negara, kantor kementrian, gedung DPR/MPR,
kantor MK, kantor KPU, dan kantor Gubernur DKI Jakarta. Wilayah Kota
Administrasi Jakarta Pusat berada di tengah provinsi DKI Jakarta dengan
perbatasan wilayah sebagai berikut :
1. Batas Timur : Kota administrasi Jakarta Timur , Jl. Jendral
Achmad Yani
2. Batas Selatan :Kota adminstrasi Jakarta Selatan, Jl. Pramuka, Kali
Ciliwung/Banjir Kanal, Jl. Jendral Sudirman
3. Batas Barat : Kota administrasi Jakarta Barat, Jl. Pal Merah, Jl.
Aipda KS.Tubun
4. Batas Utara : Kota administrasi Jakarta Utara, Jl. KH Zainal
Arifin, Jl. Ketapang
68
Gambar 4.1 Peta Kota Adminstrasi Jakarta Pusat
Sumber : Bag Ops Polres Metro Jakarta Pusat
b. Demografi
Sebagai daerah pusat aktivitas warga Jakarta mulai dari pusat
perdagangan, pusat bisnis, dan pusat pemerintahan maka Kota
Administrasi Jakarta Pusat jumlah penghuni yang berbeda antara siang
dan malam hari. Pada siang hari jumlah penduduk Kota Administrasi
Jakarta Pusat berlipat ganda dibandingkan dengan kondisi malam hari
karena banyak penduduk yang tinggal di luar Kota Administrasi Jakarta
Pusat berkerja dan beraktivitas di wilayah Kota Administrasi Jakarta Pusat.
Secara administratif wilayah Kota Administrasi Jakarta Pusat terdiri dari 8
Kecamatan, 44 Kelurahan, 393 Rukun Warga dan 4.646 Rukun Tetangga
Sementara Jumlah Penduduk resmi Kota administrasi Jakarta Pusat
1.063.651 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki sejumlah 539.207Jiwa dan
penduduk wanita sejumlah 524.444 Jiwa.
69
Jumlah warga yang tercatat sebagai penduduk resmi Kota
Administrasi Jakarta Pusat adalah sebanyak 1.063.651 jiwa, terdiri dari
539.207 jiwa penduduk laki-laki dan 524.444 jiwa penduduk wanita.
Kepadatan penduduk di Kota Administrasi Jakarta Pusat berdasarkan situs
remi pemerintah Kota Administrasi Jakarta Pusat adalah 17.161,97
jiwa/km2. Jumlah dan komposisi penduduk Kota Adminstrasi Jakarta Pusat
perkecamatan sampai dengan akhir Desember 2014 antara lain :
1. Kecamatan Gambir jumlah penduduk 97.056 jiwa (laki-laki 49.292
jiwa, perempuan 47.764 jiwa )
2. Kecamatan Sawah Besar jumlah penduduk 128.285 jiwa (laki-laki
64.637 jiwa, perempuan 63.648 jiwa)
3. Kecamatan Kemayoran jumlah penduduk 238.363 jiwa (laki-laki
120.755 jiwa, perempuan 177.608 jiwa)
4. Kecamatan Senen jumlah penduduk 120.868 jiwa (laki-laki 61.563
jiwa, perempuan 59.305 jiwa)
5. Kecamatan Cempaka Putih jumlah penduduk 92.006 jiwa (laki-laki
46.126 jiwa, perempuan 45.880 jiwa)
6. Kecamatan Menteng jumlah penduduk 85.465 jiwa (laki-laki 42.953
jiwa, perempuan 42.512 jiwa)
7. Kecamatan Tanah Abang jumlah penduduk 167.406 jiwa (laki-laki
85.667 jiwa, perempuan 81.739 jiwa)
8. Kecamatan Johar Baru jumlah penduduk 133.523 jiwa(laki-laki 68.214
jiwa, perempuan 65.309 jiwa)
Wilayah Kota Administrasi Jakarta Pusat tidak memiliki sumber
daya alam yang bisa diolah serta tidak mempunyai wilayah industri.
70
Perekonomian di Kota Administrasi Jakarta Pusat didominasi oleh sektor
perdagangan. Banyak pusat perdagangan yang berskala nasional terdapat
di Kota Administrasi Jakarta Pusat seperti Pasar Tanah Abang, Pasar
Senen, ITC Roxy Mas, dan ITC Cempaka Mas. Selain itu di Kota
Administrasi Jakarta Pusat juga terdapat banyak perusahan berskala
internasional yang banyak berkantor di sekitar Jalan Jenderal Sudirman.
Masyarakat Jakarta Pusat banyak menjalankan aktivitasnya dan
menggantungkan hidupnya sebagai karyawan di perusahaan-perusahaan
tersebut.
Berdasarkan aspek ideologi pada umumnya masyarakat Kota
Administrasi Jakarta Pusat mengakui Pancasila sebagai dasar dan falsafah
hidup bangsa Indonesia. Di wilayah Kota Administrasi Jakarta Pusat tidak
terdapat kelompok separatis yang mempunyai paham berbeda tentang
negara Indonesia. Situasi politik di wilayah Kota Administrasi Jakarta Pusat
cenderung stabil karena kepada pemerintahan kota dipilih dan diangkat
oleh Gubernur DKI Jakarta. Namun apabila ada gejolak politik di tingkat
provinsi dan negara maka wilayah Jakarta Pusat akan terkena dampaknya
karena di wilayah Kota Administrasi Jakarta Pusat terdapat Istana Negara
dan Kantor Gubernur DKI Jakarta. Di wilayah Kota Administrasi Jakarta
Pusat sering terjadi aksi unjuk rasa dalam rangka menyampaikan aspirasi
masyarakat, namun perserta unjuk rasa berasa dari wilayah luar Jakarta
Pusat. Unjuk yang sering terjadi antara adalah unjuk rasa buruh, unjuk rasa
kenaikan BBM, unjuk rasa guru bantu, unjuk rasa kepala desa, serta unjuk
rasa mahasiswa menyikapi kebijakan pemerintah.
71
Aspek sosial budaya di wilayah Kota Administrasi Jakarta Pusat
sangatlah beragam karena di Jakarta Pusat terdapat berbagai macam suku
bangsa yang berasal dari seluruh Indonesia. Golongan penduduk Kota
Administrasi Jakarta Pusat meliputi golongan pribumi, pendatang dan orang
asing. Penduduk pribumi adalah suku Betawi, sedangkan golongan
pendatang dan orang asing terdiri dari semua penduduk yang berasal dari
berbagai wilayah Indonesia serta warga negara asing (WNA) yang berada
dari luar Indonesia mengingat Jakarta Pusat merupakan pusat
pemerintahan dan pusat perekonomian di Indonesia sehingga banyak
penduduk yang datang ke ibukota untuk bekerja di wilayah Kota
Administrasi Jakarta Pusat. Pada umumnya para pendatang hidup dengan
damai secara berdampingan namun secara tidak langsung terjadi
pengelompokan diantara suku bangsa tersebut.
c. Pola Perilaku Masyarakat
Masyarakat di wilayah Kota Administrasi Jakarta Pusat pada
kesehariaannya sudah memanfaatkan media elektronik baik itu telepon dan
internet secara aktif. Pemanfaatan internet dilakukan melaui komputer,
tablet, dan telepon, namun porsi pengaksesan internet yang lebih besar
dilakukan menggunakan telepon. Masyarakat menggunakan telepon
utamanya untuk berkomunikasi baik itu melalui panggilan dan pesan
singkat, sedangkan masyarakat menggunakan internet utama untuk
mengakses media sosial, berkomunikasi melalui instan messaging, mencari
informasi (browsing), video streaming, mengunduh file, berkomunikasi
menggunakan email, serta melakukan transaksi jual beli.
72
Dalam menggunakan media sosial, masyarakat juga
mencantumkan data pribadinya seperti alamat rumah, nomor telepon atau
kontak sosial media, identitas saudara, dan kegiatan sehari-harinya.
Sedangkan alasan masyarakat menggunakan internet dalam transaksi jual
beli adalah karena kemudahan pencarian barang, harga yang murah, serta
tidak perlu datang menuju toko tempat barang yang diinginkan. Fakta
tersebut didapatkan dari hasil wawancara terhadap salah satu korban
kejahatan penipuan melalui media elektronik bernama Khalid yang
mengatakan:
Kalau saya menggunakan HP hampir untuk apa saja pak, dari telepon, SMS, email, beli barang, streaming youtube, download MP3, browsing, yah macem-macem lah pak. Tapi paling sering saya pake buat akses sosial media kaya Facebook, Path, sama instagram. Lagian kan sekarang udah banyak platform instan messaging kaya LINE, BBM, WA (Whats App). Itu bisa lebih hemat sih pak. Nah di sosial media itu kan ada yang jual-jualan juga itu pak, sering juga saya beli barang dari sana. Lebih gampang sih ya pak, karena saya ga perlu datang ke toko, pilihan barangnya banyak, dan juga murah-murah dibandingin yang ada di toko. Eh, pas beli yang ke beberapa kali malah ketipu pak... ...ya kalau di facebook atau instagram saya cantumin nama, kontak bbm, kontak LINE sama WA, alamat rumah, macem-macem lah pak. Seringnya sih saya posting kegiatan saya sehari-hari pak, namanya juga sosial media, buat nambah temen pak.(wawancara, 10 April 2016)
Masyarakat yang beraktivitas di wilayah Kota Administrasi Jakarta
Pusat juga memiliki sifat tidak mau repot, ingin mendapatkan uang dengan
cara yang mudah, serta mudah tergiur dan percaya terhadap orang lain
tanpa mengecek kebenaran informasi yang dikatakan orang tersebut. Fakta
tersebut didapatkan dari hasil wawancara terhadap Bripka Ranches
Manurung, SH yang mengatakan:
Masyarakat di Jakarta Pusat ini gampang sekali diiming-imingi menang undian, padahal kalau secara logika mana ada sih
73
komandan orang yang tiba-tiba mau ngasih kita duit cuma-cuma hanya gara-gara nomor HP kita bagus. Nah itu yang saya ga habis pikir. Selain itu masyarakat kalau belanja online selalu gampang milih harga yang murah. Ya bukan masalah murahnya ndan, tapi kalau harga barangnya murah banget kan harusnya curiga. Nah sebagian besar korban ini gampang banget tergiur sama postingan jualan yang harganya murah setengah harga. Apalagi kalau dibilang itu barang BM (Black Market), seneng bener mereka. (wawancara, 4 April 2016)
4.1.1.2 Gambaran Umum Polres Metro Jakarta Pusat
Polres Metro Jakarta Pusat merupakan satuan kerja Polri yang
berkedudukan di Kota Administrasi Jakarta Pusat. Wilayah hukum Polres
Metro Jakarta Pusat meliputi seluruh wilayah Kota Administrasi Jakarta Pusat.
Sebagai sebuah kesatuan yang membawahi pusat perdagangan, pusat bisnis,
dan pusat pemerintahan, Polres Metro Jakarta Pusat mempunyai tugas
tambahan, bukan hanya menjaga keamanan warga yang tinggal di wilayah
Kota Administrasi Jakarta Pusat namun juga seluruh warga yang sedang
beraktivitas di wilayah hukum Polres Metro Jakarta Pusat. Dalam wilayah
hukum Polres Metro Jakarta Pusat terdapat 233 objek vital, yang terdiri dari 36
kedutaan besar, 7 rumah duta besar, 24 kantor partai politik, 12 sentra
ekonomi, 149 hotel, 1 istana, gedung DPR/MPR, gedung DPRD, Bank
Indonesia, dan 11 kantor kementrian.
Polres Metro Jakarta Pusat bertugas dan bertanggungjawab
menjalankan tugas pokok Polri yaitu: (1) memelihara Keamanan dan
Ketertiban masyarakat; (2) menegakkan hukum; dan (3) memberikan
perlindungan dan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam
wilayah hukum Polres Metro Jakarta Pusat. Dalam melaksanakan tugasnya,
Polres Metro Jakarta Pusat dan jajaran mengacu kepada Peraturan Kapolri
74
Nomor 23 tahun 2010 tanggal 30 September 2010 tentang Susunan Organisasi
Dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort.
Kepolisian Resort Metro Jakarta Pusat dipimpin oleh seorang Kepala
Kepolisian Resort (Kapolres) berpangkat Komisaris Besar Polisi. Dalam
melaksanakan tugasnya Kapolres dibantu seorang wakil yang berpangkat Ajun
Komisaris Besar Polisi. Kapolres juga dibantu oleh unsur pengawas dan
pembantu pimpinan sebanyak 3 Kepala Bagian yang berpangkat Ajun
Komisaris Besar Polisi yaitu Kabag Ops, Kabag Sumda , Kabag Ren dan 4
Kepala Seksi yang berpangkat Komisaris Polisi antara lain Kasie Pengawasan,
Kasie Propam, Kasie Keuangan dan Kasie Urusan Umum. Dalam menjalankan
tugas fungsional kepolisian sehari-hari terdapat 6 orang Kepala Satuan (Kasat)
yang berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi yaitu Kasat Intelkam , Kasat
Reskrim, Kasat Narkoba, Kasat Binmas, Kasat Sabhara, Kasat Lantas, dan
tiga orang unsur pendukung yaitu Kepala SPK, Kasat Tahti, dan Kasie TIpol
yang berpangkat Komisaris Polisi.
Kapolres Metro Jakarta Pusat juga dibantu oleh unsur pendukung
kewilayahan yaitu 8 ( delapan ) Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) yang
berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi dan Komisaris Polisi serta 44 Kepala
Polisi Subsektor (Kapolsubsektor). Kapolsek yang dimaksud sebelumnya
antara lain Kapolsek Gambir, Kapolsek Menteng, Kapolsek Tanah Abang,
Kapolsek Sawah Besar, Kapolsek Kemayoran, Kapolsek cempaka Putih,
Kapolsek Senen, Kapolsek Johar Baru.
75
Gambar 4.2 Struktur Organisasi Polres Metro Jakarta Pusat
Sumber : Bag. Ops Polres Metro Jakarta Pusat
Sejak tanggal 5 April 2014 sampai dengan hari ini, Kapolres Metro
Jakarta Pusat dijabat oleh Komisaris Besar Polisi Drs. Hendro Pandowo
M.Si. Jumlah Personil Polres Metro Jakarta Pusat sejumlah 2475 personil
Polri terdiri dari 1761 Personil Polres dan 714 Personil Polsek Jajaran.
Polres Metro Jakarta Pusat mempunyai 33 orang personil PNS dimana
sebanyak 19 personil berdinas di kantor Polres dan 14 personil berdinas di
kantor Polsek.
Anggota Polres Metro Jakarta Pusat memiliki etos kerja tinggi yang
dapat dilihat dari pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Selain melaksanakan
76
tugas rutin sesuai dengan fungsinya masing-masing, anggota tersebut
masih harus melaksanakan tugas pengamanan tambahan, baik itu
pengamanan unjuk rasa, pengamanan kegiatan masyarakat, maupun
pengamanan acara kenegaraan lainnya. Tambahan tugas tersebut ada
karena Kota Administrasi Jakarta Pusat merupakan pusat pemerintahan
baik provinsi maupun negara. Berdasarkan hasil observasi ditemukan
bahwa anggota Reserse, Binmas, Narkoba, dan anggota fungsi lainnya
secara bergantian melakukan pengamanan unjuk rasa dan kegiatan
masyarakat sesuai dengan surat perintah Kapolres. Walaupun
pengamanan sering dilaksanakan melebihi jam kerja atau juga pada hari-
hari libur, anggota Polres Metro Jakarta Pusat selalu melaksanakan dengan
baik.
Alokasi anggaran Polres Metropolitan Jakarta Pusat berdasarkan
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2015,
sebesar Rp. 144.680.540.000,- (seratus empat puluh empat miliar enam
ratus delapan puluh juta lima ratus empat puluh ribu rupiah ) dengan rincian
sebagai berikut :
1. Program Dukungan Manajemen Dan Pelaksanaan Tugas Teknis
Lainnya Polri dengan alokasi anggaran sebesar Rp.
127.529.646.000,- digunakan untuk mendukung kegiatan :
a) Dukungan Pelayanan Internal perkantoran Polri sebesar Rp.
127.529.646.000,-
2. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur Polri dengan
alokasi anggaran sebesar Rp. 5.169.931.000,- digunakan untuk
mendukung kegiatan :
77
a) Pengembangan sarana dan Prasarana Kewilayahan sebesar
Rp. 5.169.931.000,-
3. Program pengawasan dan Peningkatan Akuntabilitas Aparatur Polri
dengan alokasi angaran sebesar Rp. 104.000.000,- digunakan
untuk mendukung kegiatan :
a) Penyelenggaraan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur
Kewilayahan sebesar Rp. 10.000.000,-
b) Penyelenggaraan Propam Kewilayahan sebesar Rp
94.000.000,-
4. Program pengembangan strategi keamanan dan ketertiban dengan
alokasi anggaran sebesar Rp. 749.316.000,- digunakan untuk
mendukung kegiatan :
a) Strategi keamanan dan ketertiban kewilayahan sebesar Rp.
749.316.000,-.
5. Program pemberdayaan potensi keamanan dengan alokasi
anggaran sebesar Rp. 1.220.628.000,- digunakan untuk mendukung
kegiatan :
a) Pembinaan Potensi Keamanan sebesar Rp. 1.220.628.000,-
6. Program pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat
dengan alokasi anggaran sebesar Rp. 4.710.512.000,- digunakan
untuk mendukung kegiatan:
a) Pembinaan pemeliharaan keamanan dan ketertiban
kewilayahan sebesar Rp. 4.710.512.000,-
78
7. Program penyelidikan dan penyidikan tindak pidana dengan alokasi
anggaran sebesar Rp. 5.186.507.000,- digunakan untuk mendukung
kegiatan :
a) Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana kewilayahan sebesar
Rp. 1.171.094.000,-
b) Dukungan Manajemen dan Teknis Penyelidikan dan Penyidikan
Tindak Pidana sebesar 348.525.000,-
c) Penindakan Tindak Pidana Umum 2.308.165.000,-
d) Penindakan Tindak Pidana Narkoba 734.510.000,-
e) Penindakan Tindak Pidana Korupsi 624.213.000,-
8. Program Pengembangan Hukum Kepolisian dengan alokasi anggaran
sebesar Rp. 10.000.000,- digunakan untuk mendukung kegiatan :
a) Penyusunan dan Penyuluhan Hukum sebesar Rp. 10.000.000,-
4.1.2 Karakteristik Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik di
Wilayah Hukum Polres Metro Jakarta Pusat
4.1.2.1 Perkembangan Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik
Tindak kriminalitas di wilayah hukum Polres Metro Jakarta Pusat
bervariasi dari mulai kejahatan jalanan (blue collar crime) sampai kepada
kejahatan kerah putih (white colllar crime). Kejahatan jalanan terdiri dari
penganiayaan berat, pencurian dengan pemberatan, pencurian dengan
kekerasan, pembunuhan , pencurian biasa, pengunaan senjata api dan senjata
tajam , serta penganiayaan ringan. Sedangkan kejahatan kerah putih terdiri dari
penghinaan, pencemaran nama baik, pembajakan, pemalsuan merek,
pencucian uang, sampai kepada penipuan. Khusus kejahatan penipuan melalui
79
media elektronik, jumlah kejahatan ini selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Terbukti dari data Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat diperoleh fakta
bahwa pada tahun 2013 terdapat sebanyak 164 kasus kejahatan penipuan
melalui media elektronik yang ditangani atau sebesar 9,02 % dari jumlah crime
total (CT) kejahatan yang ada di Jakarta Pusat. Jumlahnya kemudian
meningkat di tahun berikutnya menjadi sebanyak 276 kasus atau sebesar
13,29 % dari total perkara yaitu sebanyak 2077 perkara di tahun 2014.
Kemudian peningkatan kejahatan penipuan melalui media elektronik masih
terjadi pada tahun 2015 yaitu sebanyak 304 kasus atau sebesar 14,57 % dari
total perkara keseluruhan sebesar 2087 tindak kriminalitas. Persebaran
kejahatan penipuan tersebut setiap bulannya selama tahun 2013 sampai 2015
akan digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel 4.1 Jumlah Crime Total dan Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik Tahun 2013-2015 di Polres Metro Jakarta Pusat
Sumber : Sat Reskrim Polres Metro Jakpus, diolah oleh peneliti.
80
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa kejahatan penipuan melalui
media elektronik mengalami peningkatan presentase jika dibandingkan dengan
jumlah total kejahatan yang terjadi di Polres Metro Jakarta Pusat. Hal ini karena
terjadi peningkatan jumlah yang signifikan terhadap jumlah kejahatan penipuan
melalui media elektronik sedangkan secara keseluruhan kejahatan tidak
mengalami peningkatan yang berarti. Perbandingan kedua fenomena tersebut
dapat terlihat dalam grafik jumlah crime total dan kejahatan penipuan melalui
media elektronik.
Dapat dari tabel di atas terlihat bahwa setiap bulannya jumlah kejahatan
yang ditangani Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat bervariasi namun
cenderung stabil dan tidak mengalami kenaikan atau penurunan yang berarti.
Pola kenaikan dan penurunan jumlah kejahatan yang ditangani oleh Polres
akan digambarkan dengan lebih jelas melalui grafik berikut ini:
Gambar 4.3 Grafik Crime Total Tahun 2013-2015
Sumber : Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah peneliti.
Pola pada grafik di atas akan berbeda dengan pola grafik jumlah
kejahatan penipuan melalui media elektronik setiap bulannya dari tahun
81
2013 sampai tahun 2015. Pada bulan Desember tahun 2015 terdapat 26
kasus kejahatan penipuan melalui media elektronik. Jumlah kejahatan
tersebut meningkat dua kali lipat jika dibandingkan dengan bulan Januari
2013 dimana pada saat itu terdapat 13 kasus kejahatan penipuan melalui
media elektronik. Diantara tahun 2013 sampai 2015, jumlah kasus
kejahatan penipuan melalui media elektronik paling banyak terjadi pada
bulan Juni tahun 2015 yaitu sebanyak 31 kasus. Sedangkan jumlah
kejadian kejahatan penipuan melalui media elektronik terendah terjadi
pada bulan September 2013 yaitu sebanyak 6 kasus. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat dalam grafik jumlah kejahatan penipuan melalui media
elektronik berikut ini:
Gambar 4.4 Grafik Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik Tahun 2013-2015
Sumber : Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah peneliti.
Kedua pola grafik yang berbeda tersebut mengindikasikan adanya
pergeseran tindak kejahatan. Pada jumlah crime total yang cenderung stabil,
dengan meningkatnya jumlah kejahatan penipuan melalui media elektronik,
82
maka dapat dimaknai bahwa telah terjadi penurunan jenis kejahatan lainnya.
Gambaran lebih jelas akan terlihat dalam perbandingan antara kejahatan
penipuan melalui media elektronik dengan kejahatan konvensional lainnya.
Kejahatan konvensional yang dimaksud disini adalah kejahatan yang
banyak melibatkan penggunaan kontak fisik sebagai sarana utama
melaksanakan kejahatan. Kejahatan konvensional atau kejahatan jalanan ini
sering menjadi target operasi Polri karena keberadaannya dinilai meresahkan
banyak masyarakat. Berikut adalah perbandingan jumlah 3 jenis kejahatan
konvensional yaitu pencurian dengan pemberatan, pencurian dengan
kekerasan, dan penganiayaan dengan kejahatan penipuan melalui media
elektronik.
Tabel 4.2 Perbandingan Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik dan Kejahatan Konvensional
Sumber: Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah peneliti.
83
Gambar 4.5 Grafik Perbandingan Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik dan Kejahatan Konvensional
Sumber: Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah peneliti.
Dengan melihat tabel dan grafik di atas, dapat terlihat bahwa semua
kejahatan konvensional mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Namun hal
itu bertolak belakang dengan kejahatan penipuan melalui media elektronik
yang jumlahnya justru semakin bertambah. Fakta tersebut memperlihatkan
kepada kita bahwa benar telah terjadi pergeseran modus kejahatan dari
konvensional menuju kejahatan kontemporer yang memanfaatkan teknologi.
Hal senada juga disampaikan oleh Kasat Reskrim Polres Metro Jakpus
Kompol Tahan Marpaung (wawancara, 4 April 2016) yang mengatakan bahwa:
Berdasarkan pengalaman yang saya mas, yang saya alami selama berdinas, modus kejahatan sekarang sudah bergeser dari kejahatan konvensional kepada kejahatan modern yang pake teknologi karena kejahatan yang menggunakan teknologi seperti kejahatan penipuan melalui media elektronik ini punya resiko tertangkap yang lebih sedikit dibandingkan dengan kejahatan konvensional. Kalau di kejahatan konvensional, pelaku harus bertemu dengan korban di tempat yang sama. Tapi kalau di kejahatan modern seperti penipuan melalui media elektronik ini, pelaku ga harus bertemu dengan korban dan cukup berhubungan menggunakan media komunikasi yang tersedia. Saya rasa sebuah hal
84
yang wajar jika pelaku kejahatan mulai berpindah ke modus yang lebih aman.
Baik data kejahatan yang ada di Sat Reskrim maupun pengalaman
Kompol Tahan Marpaung yang disampaikan dalam wawancara menyatakan
bahwa telah terjadi pergeseran modus kejahatan dari konvensional menuju
konemporer yang memanfaatkan teknologi. Sebagai salah satu kejahatan
kontemporer, penipuan melalui media elektronik di wilayah hukum Polres Metro
Jakarta Pusat juga mengalami peningkatan dalam hal kuantitas.
4.1.2.2 Karakteristik Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik
Menurut perspektif Routine Activities Theory (Cohen dan Felson, 1979)
perubahan struktural dalam pola aktivitas rutin mempengaruhi tingkat
kejahatan dengan bertemunya dalam ruang dan waktu yang sama tiga unsur
utama yaitu: (1) pelaku yang termotivasi (motivated offenders), (2) target yang
sesuai (suitable target), dan (3) ketiadaan pengamanan yang memadai
(absence of capable guardians). Menurut Cohen dan Felson (1979)
perkembangan desain teknologi dapat mempengaruhi perkembangan alami
dari viktimisasi.
Pada kejahatan penipuan melalui media elektronik ini, bertemunya
ketiga faktor tersebut tidak harus tempat yang sama. Pelaku yang berjarak jauh
dari korban dapat bertemu dengan korban menggunakan sarana media
komunikasi elektronik. Jadi untuk mengetahui karater kejahatan penipuan
melalui media elektronik ada empat atribut yang harus diketahui secara
mendalam yaitu: (1) pelaku, (2) korban, (3) penjaga, dan (4) media elektronik.
85
a. Pelaku
Pelaku yang melaksanakan kejahatan penipuan melalui media
elektornik ini berkarakter berbeda dengan kejahatan kekerasan
konvensional. Pelaku kejahatan ini pada umumnya bersikap ramah dan
sopan kepada korban serta pandai dalam berbicara untuk meyakinkan
korban. Kecuali pada modus berpura-pura sebagai polisi dan mengaku
sebagai atasan pelaku bersikap tegas dan mengintimidasi korban. Pada
beberapa modus kejahatan menggunakan media telepon, pelaku berusaha
mencuri informasi tentang identitas korban dengan mengarahkan
pertanyaan. Identitas pelaku pada kejahatan ini juga pada umumnya tidak
diketahui oleh korban, dan kalaupun pelaku menyebutkan identitas hal itu
belum dapat diketahui kebenarannya.
Fakta tersebut didapatkan peneliti dari hasil wawancara terhadap
korban serta wawancara terhadap Kanit Krimsus IPTU Tika Pusvita Sari,SH
yang mengatakan:
Pelaku kejahatan penipuan melalui media elektronik ini pada umumnya tidak ditahui identitasnya. Hampir semua korban tidak mengetahui identitas asli dari pelaku, dan rekening bank yang dijadikan penampungan hasil penipuan juga tidak menggunakan nama asli dari pelaku. Apabila kami mengecek posisi nomor HP yang digunakan oleh pelaku, maka hampir semua lokasinya berada di luar Jakarta. Lokasi yang sering diketahui dari hasil cekpos adalah di sekitar kota Sidrap Sulsel dan Kota Asahan. Beberapa informasi juga saya dapatkan bahwa di Sidrap ada komplotan spesialis penipuan menggunakan media elektronik. Pelaku pada modus kejahatan ini biasanya ramah dan sopan untuk menimbulkan kepercayaan korban. Namun ada juga pelaku yang bernada biacara tegas dan kadang mengintimidasi, biasanya yang menggunakan modus mengaku atasan atau mengaku polisi. Pada awal pelaku melepon terjadi pencurian identitas dengan cara menanyakan pertanyaan yang memancing korban. Misalnya, "Siapa saja yang ada di rumah bu? coba sebutkan satu-satu karena saya tidak tahu nama anak ibu ini". Korban secara tidak sadar memberikan informasi tentang identitas korban kepada pelaku. (wawancara, 4 April 2016)
86
Berdasarkan hasil observasi, analisa data sekunder, dan hasil
wawancara terhadap informan peneliti menemukan bahwa terdapat 3 (tiga)
tingkat keaktivan pelaku dalam melakukan kejahatan penipuan melalui
media elektronik yaitu: (1) pelaku pasif, (2) pelaku aktif terbatas, (3) pelaku
aktif. Setiap tingkat keaktivan ini mempunyai perbedaan yang berkaitan
dengan karakteristik pelaku, karakteristik korban,dan media elektronik yang
digunakan. Lebih lanjut faktor-faktor tersebut akan berpengaruh terhadap
formulasi kebijakan pencegahan kejahatan yang seharusnya diambil.
1. Pelaku pasif. Pelaku dalam tingkat keaktivan ini melaksanakan
kejahatan penipuan dengan cara menyediakan sebuah desain
perangkap bagi korban dan menunggu korban masuk ke dalam
perangkap pelaku. Desain yang disiapkan pelaku berupa sebuah situs
palsu yang menyatakan seolah-olah pelaku mempunyai sebuah bisnis
legal tertentu. Pelaku dengan tingkat keaktivan pasif ini
memanfaatkan media yang sering digunakan oleh masyarakat
dengan memperhatikan kebiasaan masyarakat. Contoh media yang
digunakan oleh pelaku adalah situs-situs jual-beli online, sosial media,
atau situs yang sengaja disiapkan pribadi oleh pelaku. Pelaku sengaja
membuat akun jual-beli yang seolah-olah legal dan menunggu korban
untuk menghubungi mereka. Dalam akun atau situsnya pelaku
sengaja memberikan harga produk yang lebih murah di bawah harga
pasaran sehingga korban tertarik. Begitu korban menghubungi
mereka, maka dengan sikap yang sopan dan ramah pelaku mulai
melaksanakan bujuk rayunya untuk memperoleh harta milik korban.
87
Pelaku yang bersifat pasif ini melaksanakan kejahatannya dengan
modus menjual barang dan berpura-pura sebagai agen travel.
2. Pelaku aktif terbatas. Pelaku dengan tingkat keaktivan ini pertama kali
menyiapkan sebuah desain situs atau akun yang palsu sama seperti
modus pelaku pasif di atas, bedanya pelaku dengan tingkat keaktivan
terbatas juga menyebarkan alamat situs palsunya kepada masyarakat
secara acak. Penyebarannya dapat dilakukan melalui pesan singkat
atau email. Bujuk rayu pelaku dimulai ketika korban mulai membuka
alamat situs dan menghubungi kontak pelaku yang tertera di dalam
situs. Pelaku dengan tingkat keaktivan terbatas ini biasanya
melakukan kejahatannya dengan modus kejahatan menyediakan
lowongan pekerjaan, menyebarkan SMS pelunasan pembayaran, dan
agen pulsa palsu.
3. Pelaku aktif. Pelaku dengan tingkat keaktivan aktif ini secara
langsung berhubungan dengan calon korbannya melalui telepon.
Pelaku tidak menyiapkan sebuah desain situs atau akun di media
internet seperti dalam tingkat keaktivan sebelumnya. Pada tingkat
keaktivan ini, cara pelaku berbicara kepada korban sangatlah
berpengaruh kepada keberhasilan mereka melaksanakan kejahatan.
Pada awal pelaku berbicara dengan korban selalu ada proses
pencurian identitas korban yang diperolehnya dari hasil
bekromunikasi dengan korban. Pada tingkatan ini, tindakan korban
untuk mengecek kebenaran informasi yang dikatakan pelaku dalam
komunikasi juga akan menetukan terjadi atau tidaknya kejahatan
penipuan. Pelaku dengan tingkat keaktivan ini biasanya
88
melaksanakan kejahatannya dengan menggunakan modus mengaku
sebagai polisi, menawarkan dana pensiun, berpura-pura keluarga
kecelakaan, mengaku teman/ keluarga, mengaku atasan, dan undian
berhadiah.
Gambar 4.6 Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik Berdasarkan Tingkat Keaktivan Pelaku
Sumber: Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah peneliti.
Dari grafik di atas dapat terlihat bahwa pelaku dengan tingkat
keaktivan pasif mempunyai porsi yang lebih besar daripada jenis lainnya dan
jumlahnya pun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun
2013 jumlah golongan ini sebanyak 88 kasus dan meningkat hampir dua kali
lipat di tahun 2014 yaitu sejumlah 161 kasus. Pada tahun 2015 jumlahnya
hanya turun sedikit menjadi 153 kasus. Pelaku dengan tingkat keaktifan aktif
terbatas jumlahnya cenderung stabil jika dibandingkan dengan tingkatan
89
lainnya. Pada tahun 2013 tercatat 18 kasus kemudian meningkat menjadi 33
kasus di tahun berikutnya, namun jumlahnya kembali turun di tahun 2015
menjadi 24 kasus kejahatan. Pelaku yang bersifat aktif menghubungi
korbannya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun secara signifikan.
Pada tahun 2013 sejumlah 58 kasus kejahatan dan meningkat menjadi 82
kasus di tahun berikutnya. Jumlahnya kembali meningkat signifikan di tahun
2015 menjadi 127 kasus kejahatan. Dapat terlihat bahwa semakin hari
pelaku semakin aktif dalam mencari korban kejahatan. Jika melihat pada
karakter pelaku kejahatan penipuan golongan ini, maka hal ini perlu
dikhawatirkan karena pelaku dengan karakter aktif sering kali menimbulkan
ketakutan pada korban. Jika tidak ditangani dengan baik maka akan timbul
kondisi fear of crime di masyarakat terhadap kejahatan penipuan melalui
media elektronik ini.
b. Korban
Korban kejahatan penipuan melalui media elektronik ini bervariasi
dari segi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi. Korban
sangat bervariasi dari mulai pengangguran sampai kepada dokter, juga anak
muda dan orang tua. Pengetahuan calon korban terhadap modus kejahatan
penipuan akan berpengaruh terhadap selesainya kejahatan ini. Korban yang
mengetahui modus kejahatan penipuan sebelumnya akan lebih waspada
dan berusaha untuk mengecek kebenaran informasi yang diberikan oleh
pelaku sehingga calon korban akan terhindar menjadi korban kejahatan.
Fakta tersebut didapatkan peneliti dari hasil analisa terhadap data sekunder
berupa rekap laporan polisi, hasil wawancara terhadap korban, serta
pengalaman pribadi Kasat Binmas yang juga hampir pernah menjadi korban
90
kejahatan tersebut. Selain itu, menambahkan perihal karakteristik korban,
Kanit Krimsus IPTU Tika Pusvita Sari mengatakan:
Kalau melihat korban tentunya sangat bervariasi. Namun pada umumnya korban kejahatan penipuan melalui media elektronik ini sangat beragam dalam hal tingkat pendidikan, dari yang menganggur sampai kepada dokter bahkan pejabat, tergantung modusnya juga. Kalau modus jual-beli online siapa saja bisa tertipu karena hampir sedikit perbedaanya. Secara umum tingkat sosial dan tingkat pendidikan tidak berpengaruh menurut saya, yang berpengaruh adalah apakah korban pernah mendengar modus kejahatan tersebut sebelumnya. Rata-rata korban yang datang melapor kesini tidak pernah mendengar modus kejahatan tersebut sebelumnya.... ....Ada sikap korban yang menentukan bahwa kejahatan akan terjadi atau tidak. Korban yang mengecek kebenaran informasi dari tipu muslihat pelaku akan terhindar dari kejahatan penipuan tersebut. Apabila korban sempat mengecek kebenaran informasi sebelum melakukan transfer, maka kejahatan penipuan tersebut tidak akan selesai dilaksanakan. Makanya, biasanya untuk pelaku yang langsung menelepon korbannya, pelaku selalu mengupayakan untuk terus mendesak korban untuk mentransfer dan tidak memeberikan ruang untuk berfikir. Saya rasa ini merupakan permasalahan perilaku/ kebiasaan masyarakat untuk waspada. (wawancara, 4 April 2016)
Dari hasil wawancara tersebut juga didapatkan informasi bahwa
sikap korban akan menentukan apakah perbuatan kejahatan penipuan
tersebut akan selesai dilaksanakan. Calon korban yang mengecek
kebenaran informasi yang dikatakan oleh pelaku akan mungkin terhindar
menjadi korban kejahatan.
Di dalam proses terjadinya kejahatan penipuan melalui media
elektronik dengan modus tertentu, juga terjadi proses pencurian informasi
terhadap korban. Pencurian informasi ini maksudnya adalah informasi yang
terkait dengan diri korban, seperti nama anggota keluarga, teman, saudara,
atasan, atau lokasi tempat tinggal korban. Korban sengaja dijebak dengan
pertanyaan pelaku sehingga secara tidak sadar sebenarnya korban sedang
memberikan informasi kepada pelaku. Dengan diperolehya informasi
91
tentang diri korban maka pelaku akan semakin mudah meyakinkan korban
untuk menyerahkan hartanya. Fakta tersebut sesuai juga dengan hasil
wawancara terhadap Kanit Krimsus IPTU Tika Pusvitasari, SH yang
mengatakan bahwa:
Menurut pengalaman saya, korban juga berkontribusi terhadap terjadinya kejahatan itu. Bagi kejahatan penipuan yang menggunakan media telepon, pada awal kali korban dan pelaku berkomunikasi, selalu akan terjadi proses pencurian informasi mengenai identitas korban. Misalnya adalah pertanyaan "Siapa saja bu yang ada di rumah, coba ibu sebutkan siapa saja yang tidak ada?" Sebenernya itu adalah proses screening pelaku untuk memperoleh informasi tentang diri korban. Gunanya adalah untuk melancarkan aksinya, mengarang cerita supaya korban yakin.
Berdasarkan hasil observasi, analisa data sekunder, dan hasil
wawancara terhadap informan yang telah dicantumkan sebelumnya, peneliti
menemukan bahwa terdapat 2 (dua) kelompok modus kejahatan penipuan
melalui media elektronik terkait proses pencurian informasi tentang korban.
Pertama adalah kelompok yang tidak melibatkan proses pencurian
informasi terhadap korban. Modus kejahatan dalam kelompok ini tidak
memerlukan informasi pribadi korban sebagai pendukung terjadinya
kejahatan penipuan tersebut. Di sisi lain pelaku sudah menyiapkan sebuah
sarana atau situasi yang dapat meyakinkan korban. Sarana tersebut
misalnya adalah sebuah situs internet yang di dalamnya menjelaskan
identitas palsu pelaku. Di dalam sarana tersebut pelaku dengan sengaja
membuat desain yang membuat korban yakin akan samaran pelaku tanpa
perlu membuat bujuk rayu lebih lanjut. Modus kejahatan yang tidak
memerlukan proses pencurian informasi identitas antara lain modus
92
kejahatan menjual barang, agen travel, menawarkan pekerjaan, SMS
pelunasan pembayaran, dan berpura-pura sebagai agen pulsa.
Kelompok kedua adalah modus kejahatan yang memerlukan proses
pencurian informasi untuk mendukung kelancaran kejahatan penipuan.
Modus kejahatan seperti ini memanfaatkan informasi yang diperoleh dari
korban sebagai bahan untuk meyakinkan korban sehingga seolah-olah ada
keterkaitan antara pelaku dan korban. Dengan dasar adanya asumsi korban
bahwa ada keterkaitan antara pelaku dan dirinya, maka korban akan
sukarela mengirimkan harta miliknya. Modus kejahatan penipuan yang
melibatkan pencurian informasi identitas korban adalah modus kejahatan
menawarkan dana pensiun, mengaku sebagai polisi, mengaku sebagai
atasan, mengaku teman/ saudara, berpura-pura keluarga kecelakaan, dan
modus undian berhadiah. Jumlah kejahatan penipuan elektronik
berdasarkan terjadinya proses pencurian informasi identitas lebih jelasnya
akan digambarkan dalam grafik berikut ini:
Gambar 4.7 Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik Berdasarkan Proses Pencurian Informasi Identitas
Sumber: Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah peneliti.
93
Dari grafik di atas terlihat bahwa jumlah kejahatan penipuan melalui
media elektronik yang tidak menggunakan aktivitas pencurian informasi
identitas pada tahun 2013 terjadi sebanyak 105 kasus. Jumlah kembali
meningkat di tahun 2014 menjadi sebanyak 194 kasus dan kembali turun di
tahun 2015 menjadi sebanyak 177 kasus. Sedangkan kasus kejahatan
penipuan yang melibatkan proses pencurian data jumlahnya selalu
meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2013 tercatat sebanyak 59 kasus
dan meningkat menjadi 82 kasus di tahun berikutnya. Jumlahnya kembali
meningkat menjadi sebanyak 127 kasus di tahun 2015.
c. Penjaga
Kejahatan penipuan melalui media elektronik ini memiliki
karakteristik yang berbeda dengan kejahatan konvensional. Jika pada
kejahatan konvensional pelaku dan korban bertemu secara langsung dalam
tempat dan waktu yang sama, maka pada kejahatan penipuan melalui
media elektronik pelaku dan korban tidak harus bertemu secara langsung
melainkan cukup menggunakan media elektronik sebagai media komunikasi.
Di dunia maya, keberadaan penjaga tidak dapat serta merta langsung
menangkap pelaku yang sedang dalam proses melancarkan aksinya karena
identitas dan posisi pelaku sendiri juga belum diketahui. Selain itu kejahatan
penipuan tersebut berlangsung hanya beberapa saat setelah korban
berkomunikasi dengan pelaku. Hal ini berbeda dengan kejahatan
konvensional dimana pelaku, korban, dan penjaga dapat berada dalam
suatu tempat yang sama.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara peneliti terhadap
informan, peran penjaga dalam pencegahan kejahatan penipuan melalui
94
media elektronik dilakukan oleh fungsi pengawas yang berada dalam
organisasi-organisasi bisnis yang berkaitan dengan aktivitas jual-beli.
Pengawasan tersebut dapat dilakukan oleh bank dalam bentuk pengawasan
terhadap identitas pemilik rekening bank. Petugas bank dalam hal ini
petugas CSO (Customer Service Officer) yang bertugas melayani
pembukaan rekening bank telah melakukan pengawasan terhadap
pembukaan rekening bank yang bertujuan untuk menampung hasil
kejahatan.
Beberapa bank sudah menggunakan sistem yang terintegrasi
dengan data KTP di Kelurahan untuk mendeteksi adanya KTP palsu.
Beberapa bank lain juga menggunakan sistem pengecekan terhadap alamat
pembuka rekening dengan cara mengirimkan surat atau menelpon ke nomor
telepon di rumah atau kantor calon pemilik rekening. Namun kebijakan
sistem pengecekan tersebut akan berbeda antara bank satu dan yang
lainnya karena tidak ada peraturan yang mewajibkannya. Karenanya, masih
ada juga bank yang masih mengandalkan intuisi pribadi CSO dalam menilai
sikap calon pemilik rekening kemudian memberikan justifikasi apakah orang
tersebut akan menggunakan rekeningnya untuk kejahatan.
Hal tersebut sesuai dengan wawancara terhadap Ekkyta
Haryakesuma, SE, Penyelia Bagian E -Commerce dan Kartu Kredit Kantor
Pusat Bank Mandiri. Dalam wawancaranya Ekkyta mengatakan bahwa:
Kalau kita sih sebenernya tau ya mas gerak-gerik orang yang niatnya jahat, karena memang kita sering banget ketemu bermacem-macem orang yang mau buka rekening. Jadi palingan kalo kita curiga itu ya, kita tahan dulu gitu ATM nya ga kita kasihin sambil mengecek alamatnya bener atau ga. Biasanya tuh kita liat dari nomor KTP aja, kan ada bedanya itu nomor KTP cowok sama cewek. Nah kalo ternyata yang buka cowok dan nomor KTP nya nomor cewek, ya kita
95
tahan buku rekening sama ATM, jadi ga bisa dipake buat nampung hasil kejahatan gitu.
Nah kalau setauku di bank BRI itu malah mereka udah punya data dari dukcapil dan scanner E-KTP, jadi bisa tau mana KTP palsu atau ga. Kalau di Bank BCa itu mereka pasti minta alamat sama nomor telepon yang fixed. Maksudnya itu nomor telepon yang kabel baik di rumah atau kantor. Mereka juga ga mau buka rekening yang ga sesuai dengan wilayah tempat tinggalnya. Misalnya ni, alamat di Jakarta Pusat kok bukanya di Depok? Nah itu mereka biasanya memepersulit mas. Tapi ya itu tadi, kalau buat kami sih orang buka rekening pasti ya diterima-terima aja ya mas. Karena memang dari segi bisnis yang kaya gitu tu ga merugikan kita. Pengecekan hanya sebatas kebijakan perusahaan sebagai komitmen moral perusahaan aja. (wawancara, 15 April 2016)
Selain di bank, keberadaan penjaga yang bertugas mengawasi dan
mencegah kejahatan juga dimiliki oleh vendor yang menjalankan bisnis
dalam jual-beli online. Beberapa vendor yang bisnisnya berkaitan dengan
jual-beli online melakukan tahap verifikasi identitas penjual yang akan
berdagang dalam portal jual-belinya. Proses verifikasi tersebut dilakukan
dengan cara mengecek kebenaran alamat email dan identitas calon penjual.
Selain itu, vendor tersebut juga melakukan pengawasan dalam proses jual-
beli antara calon pembeli dan penjual. Beberapa vendor sementara
menyimpan uang calon pembeli dan tidak mengirimkannya ke penjual
sampai mendapat konfirmasi bahwa barang telah sampai kepada pembeli.
Proses tersebut memberikan ruang bagi vendor untuk melakukan
pengawasan terhadap keamanan transaksi antara penjual dan pembeli.
Fakta tersebut didapatkan dari hasil observasi dan juga wawancara
terhadap Ekkyta Haryakesuma, SE yang mengatakan bahwa:
Kalau pengalamanku sih cocok banget sama kerjaanku sekarang. Jadi gini, dulu kan aku pernah juga mau buka akun di Tokopedia, itu tu aku harus daftar dulu dan isi identitas macem-macem. Dan ga langsung diterima saat itu juga mas. Prosesnya lama juga itu, waktu itu ada semingguan lebih. Nah setelah sekarang aku pindah di bagian e-
96
commerce aku jadi paham kalo mereka tuh bener-bener aware sama keamanan transaksi. Karena ada ya fungsi mereka sendiri yang tugasnya mencatet komplain atau refund dari transaksi mereka. Semakin banyak refund maka semakin jelek performa kerja mereka. Jadi ya otomatis mereka memperketat proses verifikasi pembukaan akun mereka. Nah kalo yang aku lihat ni sekarang jarang deh vendor jual-beli gitu dipake buat media penipuan, karena memang ketat sistemnya. Beda cerita sama vendor sosial media sama vendor iklan baris. Soalnya mereka ga ada urusannya sama bisnis jual-beli, yang penting mereka banyak pengunjungnya dan mereka bisa masang tempat buat iklan. Nah dari situ mereka dapat duitnya. Contohnya nih kaya facebook sama Toko bagus. Makanya banyak kan mas penipuan jual-beli yang pake situs itu. Oiya, di instagram banyak juga itu. (wawancara, 15 April 2016)
d. Media elektronik
Secara keseluruhan, berdasarkan data sekunder rekapan laporan
polisi yang dikumpulkan oleh peneliti dan hasil wawancara terhadap
informan, kejahatan penipuan dapat digolongkan menjadi tiga kelompok
berdasarkan media elektronik yang digunakan untuk melakukan kejahatan:
(1) menggunakan internet, (2) menggunakan telepon, (3) kombinasi antara
telepon dan internet.
Modus kejahatan menjual barang, agen travel palsu, dan
menawarkan pekerjaan menggunakan sarana internet untuk melaksanakan
aksinya. Modus kejahatan lain seperti SMS pelunasan pembayaran,
berpura-pura sebagai polisi, menawarkan dana pensiun, mengaku saudara
kecelakaan, mengaku sebagai saudara / teman, dan mengaku sebagai
atasan menggunakan sarana telepon dalam melakukan aksinya. Dan
modus kejahatan lainnya seperti undian berhadiah dan agen pulsa palsu
menggunakan kombinasi dua media elektronik baik internet maupun
telepon. Peneliti mengelompokkan modus kejahatan berdasarkan media
yang digunakan karena dalam perspektif situational crime prevention media
97
melakukan kejahatan akan menentukan perbedaan cara pencegahan
kejahatan. Gambaran pembagian modus kejahatan berdasarkan sarana
yang digunakan lebih lanjut dijelaskan dalam gambar berikut:
Gambar 4.8 Pengelompokan Modus Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik Berdasarkan Sarana yang Digunakan
Sumber: Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah peneliti.
Pada tahun 2013, dari total keseluruhan jumlah kejahatan penipuan
melalui media elektronik tercatat sebanyak 55 % kejahatan menggunakan
internet sebagai media melakukan kejahatan. Berikutnya sebanyak 29%
kejahatan tersebut dilakukan menggunakan telepon dan sisanya yaitu
sebesar 16 % menggunakan kombinasi kedua media baik internet dan
telepon dalam melakukan kejahatan penipuan melalui media elektronik.
Pada tahun 2014, dari total keseluruhan jumlah kejahatan penipuan melalui
media elektronik, penggunaan internet oleh pelaku kejahatan meningkat
porsinya yaitu sebanyak 65 % dari total kejahatan penipuan yang terjadi.
98
Sisanya sebanyak 28% pelaku menggunakan telepon dan sebanyak 9 %
kejahatan penipuan melalui media elektronik menggunakan kombinasi
kedua media tersebut. Pada tahun 2015, dari keseluruhan jumlah kejahatan
penipuan melalui media elektronik, 55 % nya masih menggunakan internet
sebagai sarana melakukan kejahatan. Sebanyak 37 % lainnya
menggunakan telepon dalam melakukan kejahatan dan sisa 9 % nya
menggunakan kombinasi antara kedua media tersebut. Ilustrasi tersebut
dapat dilihat dalam grafik berikut ini:
Gambar 4.9 Grafik Penetrasi Penggunaan Internet dan Telepon Sebagai Media Melakukan Kejahatan Penipuan
Sumber: Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah peneliti.
4.1.2.3 Modus-Modus Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik
Agar kejahatan penipuan dapat berhasil dilaksanakan, maka tipu
muslihat yang digunakan pelaku harus benar-benar dipercaya oleh korban
sehingga korban dengan sukarela menyerahkan harta atau benda miliknya.
Begitu juga dengan kejahatan penipuan melalui media elektronik, pelaku
99
melakukan aksinya dengan berbagai modus dengan harapan salah satu
modus tersebut dapat dipercaya oleh korban. Berdasarkan data sekunder yang
diperoleh dan hasil wawancara dengan beberapa informan dalam penelitian,
diperoleh data bahwa terdapat 11 (sebelas) modus kejahatan penipuan melalui
media elektronik yang terjadi di Polres Metro Jakarta Pusat. Modus kejahatan
tersebut antara lain: (a) menjual barang, (b) agen pulsa palsu, (c) agen travel
palsu, (d) menawarkan pekerjaan, (e) SMS pelunasan pembayaran,
(f)mengaku teman atau saudara, (g) mengaku atasan, (h) menawarkan dana
pensiun, (i) mengaku polisi, (j) berpura-pura keluarga kecelakaan, (k) undian
berhadiah.
Tabel 4.3 Jumlah Modus Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik Tahun 2013-2014
Sumber: Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah peneliti.
100
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa jumlah kejahatan sesuai dengan
modusnya bervariasi dari tahun ke tahun, ada yang mengalami peningkatan
juga ada yang mengalami penurunan. Tren modus kejahatan penipuan melalui
media elektronik juga berbeda setiap waktunya.
a. Menjual barang
Modus kejahatan ini dilaksanakan pelaku dengan cara berpura-
pura sebagai penjual di portal jual-beli di internet. Situs internet yang
digunakan pelaku diantara Facebook, Toko Bagus, KasKus, dan beberapa
blog jual-beli palsu yang dikelola oleh pelaku. Pelaku biasanya menjual
barang dengan harga yang jauh dibawah harga pasaran supaya korban
tertarik. Barang-barang yang ditampilkan dalam website biasanya adalah
barang-barang elektronik yang sedang digandrungi seperti telepon
genggam dan kamera. Pelaku cukup mengiklankan barang fiktifnya di
internet kemudian korban akan dengan sendirinya menghubungi pelaku
untuk menanyakan barang tersebut. Setelah korban merasa percaya maka
terjadilan perpindahan uang antara korban kepada pelaku melalui sebuah
rekening bank. Rekening bank yang digunakan untuk melakukan kejahatan
biasanya bukan atas nama pelaku.
Hal tersebut selaras dengan hasil analisa terhadap data sekunder
berupa laporan polisi dan hasil wawancara terhadap korban kejahatan
penipuan melalui media elektronik bermodus menjual barang. Korban
DRG. ELOK AULIYAH FITRI, SKG (wawancara, 11 April 2016)
mengatakan:
Respon saya ketika beromunikasi dengan pelaku awalnya biasa saja karena beranggapan pelaku menawarkan barang sama seperti penjual barang seperti biasanya, ramah dan meyakinkan. Setelah setuju dengan harga yang disepakati, saya kemudian mentransfer
101
uang ke rekening yang disepakati. Namun setelah beberapa hari barang tidak kunjung datang dan pelaku tidak bisa dihubungi.
Dari hasil wawancara di atas diketahui bahwa korban merasa
percaya karena pelaku bersikap ramah layaknya penjual pada umumnya
serta pelaku menyediakan barang yang diminati oleh korban. Korban tidak
merasa curiga dan baru sadar tertipu setelah beberapa hari barang yang
dipesan tidak kunjung datang nomor kontak pelaku sudah tidak bisa
dihubungi kembali.
Jika melihat karakteristik korban kejahatan, maka setiap orang
tanpa melihat status dan tingkat pendidikan dapat menjadi korban dengan
modus menjual barang ini. Buktinya informan yang merupakan dokter gigi
juga dapat menjadi korban kejahatan penipuan ini. Hal ini senada dengan
yang dikatakan oleh Bripka Ranches Manurung (wawancara, 4 April 2016)
yang mengatakan:
Korban yang pelakunya berpura-pura menjadi penjual barang biasanya orang yang mau barang lebih murah dan tidak mau repot ke toko. Korban tergiur dengan harga barang yang murah jauh di bawah harga pasaran. Umur, pendidikan dan status sosial korban kejahatan ini biasanya beragam dan tidak dapat dijadikan patokan.
Modus kejahatan yang hampir tidak ada bedanya dengan transaksi
jual-beli barang pada umumnya ini menyebabkan modus kejahatan ini
mengalami peningkatan kuantitas. Jumlah kejahatan penipuan melalui
media elektronik mengalami peningkatan signifikan dari tahun 2013 ke
tahun 2014. Pada tahun 2013 kejahatan penipuan elektronik dengan
modus ini hanya berjumlah 77 kasus dan jumlahnya meningkat menjadi
sebanyak 146 kasus di tahun 2014. Pada tahun 2015 jumlah kejahatan
penipuan dengan modus ini tidak berbeda jauh dengan tahun sebelumnya
102
yaitu sebanyak 143 kasus. Peningkatan jumlah kejahatan tersebut lebih
lanjut digambarkan dalam grafik jumlah kejahatan penipuan melalui media
elektronik dengan modus menjual barang berikut ini:
Gambar 4.10 Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik Modus Menjual Barang
Sumber: Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah peneliti.
b. Agen pulsa palsu
Modus kejahatan ini dilaksanakan pelaku dengan cara berpura-
pura sebagai distibutor pulsa di sebuah situs internet yang sengaja
dibuatnya. Di dalam halaman situs tersebut pelaku mencantumkan
persyaratan menjadi agen pulsa serta menawarkan beberapa paket
penjualan pulsa. Terkadang untuk lebih menjaring banyak korban, pelaku
sengaja mengirimkan SMS secara acak kepada nomor-nomor calon
korban. Masyarakat yang tertarik dengan bisnis pulsa tersebut kemudian
berkomunikasi dengan pelaku dan setelah terjadi kesepakatan korban
mentransfer sejumlah uang kepada pelaku. Setelah beberapa hari barulah
103
korban sadar karena korban tidak bisa menjalankan bisnis sebagai agen
pulsa.
Fakta tersebut didapatkan dari hasil analisa terhadap laporan polisi
yang tercatat pada Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat dan dikuatkan
oleh hasil wawancara Bripka Ranches Manurung (wawancara, 4 April
2016) yang mengatakan bahwa:
Pada modus berpura-pura sebagai distributor pulsa ini, pelaku memanfaatkan keinginan masyarakat untuk mencari penghasilan tambahan dengan cara berbisnis pulsa. Caranya, pelaku menyebarkan SMS yang isinya menawarkan paket penjualan pulsa dengan harga murah. Di dalam SMS tersebut juga mencantumkan alamat situs yang sudah dengan sengaja dipersiapkan oleh pelaku. Kalau tertarik ini komandan, maka korban akan berhubungan dengan pelaku dan terjadilah transfer uang. Korban biasanya baru sadar kalau dirinya tertipu setelah paket pulsa tidak diterima dan pelaku sudah tidak bisa dihubungi kembali.
Gambar 4.11 Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik Modus Agen Pulsa
Sumber: Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah peneliti.
104
Dari grafik di atas dapat terlihat bahwa jumlah kejahatan penipuan
dengan modus sebagai agen pulsa ini tidak mengalami perubahan dari
tahun ke tahun. Dari segi kuantitas, kejahatan ini juga tidak banyak
dilaporkan masyarakat yaitu hanya sebanyak 3 kasus baik di tahun 2013,
2014 atau 2015.
c. Agen travel palsu
Modus kejahatan ini dilaksanakan pelaku dengan cara berpura-
pura sebagai agen travel palsu di sebuah situs internet yang sengaja
dibuatnya. Sebagai sebuah agen travel yang palsu, pelaku melengkapi
situsnya dengan beragam tiket perjalanan fiktif yang lengkap mulai dari
tiket kereta sampai tiket pesawat. Dalam situsnya, pelaku mencantumkan
harga yang murah di bawah harga pasaran sehingga calon korban tertarik
untuk membeli. Setelah tertarik, calon korban pun berhubungan dengan
pelaku menggunakan nomor kontak yang disediakan oleh pelaku di
halaman situs. Setelah terjadi kesepakatan korban mentransfer sejumlah
uang kepada pelaku melalui rekening bank. Korban baru sadar bahwa
dirinya menjadi korban penipuan setelah beberapa hari karena kode
booking tiket tidak kunjung diterima oleh korban. Beberapa korban sadar
bahwa dirinya telah ditipu bahkan saat korban telah berada di stasiun atau
bandara.
Fakta tersebut didapatkan dari hasil analisa terhadap laporan polisi
yang tercatat pada Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat dan dikuatkan
oleh hasil wawancara Bripka Ranches Manurung (wawancara, 4 April
2016) yang mengatakan bahwa:
Pelaku yang menggunakan modus agen travel palsu ini biasanya menyiapkan sebuah situs palsu yang isinya menyatakan bahwa
105
pelaku adalah sebuah agen travel yang menjual berbagai tiket perjalanan. Cirinya adalah pelaku sengaja memberikan harga tiket yang sangat murah di bawah harga pasaran dengan alasan sedang ada promo. Korban biasanya percaya dan tertarik atas penawaran tersebut dan akhirnya setuju untuk melakukan pembelian dan transfer sejumlah uang ke rekening yang disiapkan oleh pelaku. Korban baru sadar kalau dirinya tertipu ketika kode booking tidak kunjung diterima. Beberapa korban bahkan baru sadar tertipu saat di bandara/ stasiun korban tidak bisa masuk karena kode booking tersebut dinyatakan tidak terdaftar.
Pada tahun 2013 terdapat 10 kasus kejahatan penipuan dengan
modus agen travel palsu ini, namun jumlahnya meningkat pada tahun 2014
yaitu sebanyak 15 kasus kejahatan. Jumlah tersebut kemudian kembali
mengalami peurunan di tahun 2015 yaitu sebanyak 10 kasus kejahatan.
Gambar 4.12 Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik Modus Agen Travel
Sumber: Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah peneliti.
d. Menawarkan pekerjaan
Pada modus kejahatan ini, pelaku menguhubungi korbannya
dengan cara mengirim email yang berisi tawaran lowongan pekerjaan dari
106
perusahaan-perusahaan ternama di Indonesia atau luar negeri. Di dalam
email tersebut terdapat kontak dari seseorang yang berperan sebagai
panitia seleksi pelamar kerja dan juga di sediakan alamat halaman situs
penerimaan yang palsu. Tentunya pelaku sudah menyiapkan halaman
situs palsu sebelumnya. Setelah adanya kontak dengan pelaku, para
pelamar diarahkan untuk memesan tiket dan akomodasi pada salah satu
jasa travel dengan iming-iming uang pelamar akan diganti perusahaan
setelah tes selesai. Jika pelamar percaya dengan tipu muslihat pelaku,
pelamar kemudian menghubungi agen travel palsu tersebut dan
pelamar diarahkan untuk mentransfer sejumlah uang ke nomor rekening
pribadi bukan atas nama perusahaan. Jika pelamar mentransfer, maka
pelamar tersebut telah menjadi korban penipuan karena tiket,
akomodasi,dan pekerjaan yang dimaksud tidak pernah ada.
Fakta tersebut didapatkan dari hasil analisa terhadap laporan polisi
yang tercatat pada Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat dan dikuatkan
oleh hasil wawancara terhadap Kanit Krimsus IPTU Tika Pusvita
(wawancara, 4 April 2016) yang mengatakan bahwa:
Pada modus ini pelaku menguhubungi korbannya dengan cara mengirim email yang berisi tawaran lowongan pekerjaan, didalemnya ada kontak dari seseorang yang berperan sebagai panitia seleksi. Ga cuman itu, ada juga alamat situs yang sudah disiapkan pelaku untuk melengkapi aksinya. Setelah ada kontak dengan pelaku, para pelamar diarahkan untuk memesan tiket dan akomodasi pada salah satu jasa travel dengan iming-iming uang pelamar akan diganti perusahaan setelah tes selesai. Kalau percaya, korban kemudian menghubungi agen travel palsu tersebut dan diarahkan untuk mentransfer sejumlah uang ke nomor rekening pribadi bukan atas nama perusahaan. Kalau pelamar mentransfer, maka pelamar itu sudah menjadi korban penipuan karena tiket, akomodasi,dan pekerjaan yang dimaksud tidak pernah ada.
107
Kejahatan penipuan menggunakan modus ini mempunyai kuantitas
yang cenderung sama di setiap tahunnya. Pada tahun 2013 di Jakarta
Pusat jumlah kejahatan ini tercatat terjadi sebanyak 13 kasus, sedangkan
pada tahun berikutnya terjadi sebanyak 12 kasus kejahatan. Begitu juga
pada tahun 2015, tercatat sebanyak 12 kasus kejahatan penipuan
menggunakan modus menawarkan pekerjaan.
Gambar 4.13 Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik Modus Menawarkan Pekerjaan
Sumber: Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah peneliti.
e. SMS pelunasan pembayaran
Pelaku kejahatan penipuan dengan modus ini memanfaatkan
kelengahan korban dan ketidakcermatan korban. Pelaku secara acak
mengirimkan SMS yang berisi instruksi untuk mengirimkan sejumlah uang
kepada nomor rekening tertentu. Contoh bunyi kata-kata dalam SMS
pelunasan pembayaran palsu tersebut adalah "Transfernya ke rekening ini
108
aja, bank BTN:0017301500155679 A/N:KANIA WIJAYANTI kode bank
200". Jika kondisi yang dialami korban hampir sama dengan kata-kata
yang ditulis pelaku dalam SMS nya, korban akan menganggap SMS itu
dari rekanannya sehingga kemudian korban mentransfer sejumlah uang
kepada pelaku. Korban baru sadar beberapa saat setelah mengetahui
bahwa pihak yang ditransfernya adalah bukan rekanannya melainkan
penipu.
Fakta tersebut di dapatkan dari hasil analisa terhadap laporan
polisi yang tercatat pada Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat dan
dikuatkan oleh hasil wawancara Bripka Ranches Manurung (wawancara, 4
April 2016) yang mengatakan bahwa:
Pelaku kejahatan dalam modus pelunasan pembayaran palsu ini memanfaatkan kelengahan korban. Korban biasanya adalah kalangan pedagang, atau orang yang sering bertransaksi menggunakan sarana transfer untuk pembayarannya. Pelaku ngacak menyebarkan SMS yang isinya menginformasikan alamat rekening untuk pembayaran transaksi. Tujuannya buat mengecoh korban. Korban yang lengah dan mengira SMS itu dari temennya/ kenalannya akan segera transfer. Korban biasanya baru merasa tertipu waktu tahu kalau nomor rekening tersebut bukan merupakan nomor temannya.
Gambar 4.14 Contoh SMS Penulasan Pembayaran Palsu yang Dikirim oleh Pelaku Kejahatan
Sumber : Observasi peneliti
109
Kejahatan modus ini menjadi tren dan banyak menimbulkan korban
pada tahun 2014 terbukti dengan tercatat sebanyak 18 kasus kejahatan
penipuan yang terjadi di Jakarta Pusat. Pada tahun sebelumnya yaitu
tahun 2013, kejahatan penipuan dengan modus seperti ini belum banyak
terjadi dan hanya tercatat sebanyak 2 kasus kejahatan. Data ini
menunjukkan adanya peningkatan yang cukup signifikan dari tahun 2013
ke tahun 2014. Jumlah kejahatan tersebut kembali kemudian turun menjadi
9 kasus pada tahun 2015.
Gambar 4.15 Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik Modus SMS Pelunasan Pembayaran
Sumber: Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah peneliti.
f. Mengaku teman atau saudara
Modus kejahatan ini sangat membutuhkan keahlian pelaku dalam
berbicara dan membangun hubungan yang terkesan familiar dengan
korban. Awalnya pelaku menelfon calon korbannya dengan sapaan yang
110
ramah seolah-olah teman lama atau saudara jauh. Pelaku tidak
menyebutkan namanya secara langsung, tapi menginstruksikan kepada
korban untuk menebak siapa sosok yang dikenal oleh korban. Jika korban
menyebut salah satu nama yang dikenalnya, maka sejak saat itulah pelaku
mulai melaksanakan penetrasinya dengan agresif. Pelaku memposisikan
dirinya seolah-olah dia adalah orang yang namanya disebutkan oleh
korban.
Pelaku yang menggunakan modus ini tidak memberikan ruang
kepada korban untuk bertanya lebih jauh tentang kabar atau identitas
pelaku lebih jauh. Pelaku dengan segera memberikan pertanyaan kepada
korban tentang hal-hal pribadinya secara bertubi-tubi. Setelah itu, pelaku
dengan segera bercerita tentang keadaan sedihnya bahwa dia sedang
membutuhkan biaya untuk pengobatan, pindahan rumah, mencari
pekerjaan, atau untuk membayar hutang. Pelaku juga terkadang
menawarkan korban untuk membeli barang yang dimilikinya dengan harga
murah. Dengan memanfaatkan rasa iba dan rasa percaya korban, maka
pelaku segera meminta korban untuk mentransfer uang ke rekening yang
telah disiapkan. Korban baru sadar bahwa dirinya menjadi korban
penipuan ketika menghubungi orang yang sebenarnya dikenal.
Fakta tersebut peneliti dapatkan dari hasil analisa terhadap laporan
polisi yang tercatat pada Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat dan
dikuatkan oleh hasil wawancara terhadap korban penipuan bernama
Tikwan (wawancara, 11 April 2016) yang mengatakan bahwa:
Kejadian awalnya saya ditelpon seseorang dan mengaku sebagai teman saya yang bekerja sebagai polisi. Setelah itu saya diarahkan untuk mengingat dan menyebutkan nama teman saya yang bekerja sebagai polisi. Saya kira dia benar teman saya, makanya saya coba
111
tebak aja, daripada dikira sombong pak. Kemudian saat saya sebut aja nama teman saya yang bekerja sebagai polisi. Nah pelaku langsung aja bilang "nah iya betul". Pelaku lalu menawarkan mobil CVR tahun 2015 dengan harga Rp. 150.000.000.- namun orang tersebut kemudian meminta uang muka terlebih dahulu sebesar Rp. 20.000.000. Katanya barang lelangan gitu pak mobilnya. Pelaku bilang kalau mobil akan dikirimkan kerumah dan sisanya pembayaran. Karena tertarik dan saya kenal dengan orang tersebut maka saya mengirimkan uang muka tapi sampai sekarang mobil tersebut tidak kunjung dikirim. Akhirnya saya telfon lagi tapi nomornya ga aktif. Saya coba cari nomornya dari temen-temen ternyata teman saya yang polisi tidak pernah menghubungi dan tidak pernah menawarkan mobil kepada saya.
Dari hasil wawancara tersebut juga dapat diketahui bahwa terdapat
sebuah proses pencurian identitas yang dilakukan oleh pelaku. Pelaku
mencoba mengetahui informasi tentang korban dengan pertanyaan yang
mendorong korban menyebutkan salah satu nama temannya. Pada proses
ini, korban juga turut berkontribusi dalam selesainya kejahatan penipuan.
Pengetahuan korban akan modus kejahatan penipuan sebelumnya akan
berpengaruh kepada respon korban terhadap perkataan pelaku.
Modus kejahatan penipuan yang mengaku sebagai teman ini
masih menjadi tren di tahun 2015. Dalam tiga tahun terakhir, modus
kejahatan ini masih belum menunjukkan adanya penurunan secara
kuantitas. Jumlah kejahatan penipuan dengan menggunakan modus ini
selalu meningkat dari tahun ke tahun dengan jumlah yang cukup signifikan.
Pada tahun 2013 di Jakarta Pusat tercatat terjadi 20 kasus penipuan
dengan modus ini dan jumlahnya kembali meningkat pada tahun 2014
yaitu sebanyak 39 kasus. Peningkatan ini pun masih terjadi di tahun
berikutnya yaitu sebanyak 55 kasus kejahatan.
Untuk lebih jelasnya peneliti akan menggambarkan kenaikan
tersebut ke dalam grafik berikut:
112
Gambar 4.16 Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik Modus Mengaku Teman / Saudara
Sumber: Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah peneliti.
g. Mengaku atasan
Dalam modus kejahatan ini, calon korban telah diketahui
identitasnya sebelumnya oleh pelaku melalui data-data perusahaan.
Dengan adanya aturan keterbukaan informasi publik, data tersebut dapat
diambil dari situs internet atau sarana humas lainnya yang mencantumkan
nomor kontak pejabat perusahaan. Berbeda dengan sosok teman atau
saudara yang ramah, pelaku yang menggunakan modus berperan sebagai
atasan ini bersikap tegas, galak, dan memerintah kepada korban. Pelaku
juga tidak banyak berbicara yang tidak perlu serta tidak memberikan ruang
kepada korban untuk bertanya kepada pelaku. Pelaku hanya
memerintahkan untuk mentrasfer uang untuk kepentingan dinas ke nomor
rekening yang telah disiapkan. Biasanya korban dari modus kejahatan ini
adalah orang yang mempunyai jabatan di sebuah perusahaan atau kantor
pemerintahan.
113
Fakta tersebut peneliti dapatkan dari hasil analisa terhadap laporan
polisi yang tercatat pada Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat dan
dikuatkan oleh hasil wawancara Bripka Ranches Manurung yang
mengatakan bahwa:
Pelaku dengan modus berpura-pura sebagai atasan bernada galak, tegas, dan berwibawa. Pelaku dengan modus ini sedikit berbeda dengan modus kejahatan lainnya karena di modus lain pelaku bersikap ramah dengan korbannya. Pelaku secara cepat dan tidak memberikan kesempatan berfikir kepada korban, meminta sejumlah uang dengan alasan untuk keperluan dinas. Pada modus ini korban tidak berkontribusi kepada pencurian informasi yang dilakukan pelaku. Pelaku biasanya mendapatkan kontak korban dari dokumen-dokumen kantor atau produk lainnya sebagai akibat dari keterbukaan informasi kepada publik. Kalau berdasarkan pengamatan saya, pelaku sudah benar-benar menguasai iklim kerja dari korban sehingga bisa lancar berbicara dengan korban. (wawancara, 4 April 2016)
Gambar 4.17 Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik Modus Mengaku Atasan
Sumber: Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah peneliti.
114
Dari grafik di atas dapat terlihat bahwa kejahatan penipuan dengan
modus ini sudah ada pada tahun 2013 yaitu sebanyak 4 kasus. Pada tahun
berikutnya jumlah kejahatan tersebut masih sama yaitu sebanyak 4 kasus
kejahatan. Namun peningkatan yang signifikan terjadi pada tahun 2015
dimana tercatat sebanyak 14 kasus kejahatan penipuan dengan modus
mengaku sebagai atasan.
h. Menawarkan dana pensiun
Sasaran modus kejahatan ini biasanya adalah orang-orang yang
sudah berhenti bekerja. Pelaku secara aktif menelfon korban kejahatan
kemudian dengan gaya bahasa yang ramah menanyakan kegiatan korban
saat ini. Begitu korban menyebutkan bahwa yang bersangkutan sudah
tidak bekerja, pelaku kemudian menanyakan informasi-informasi terkait
tempat bekerja korban sebelumnya. Pada proses komunikasi ini korban
tidak sadar bahwa sebenarnya pelaku sedang mengambil informasi terkait
diri korban untuk tujuan memperlancar aksi penipuan yang akan dilakukan.
Pelaku menawarkan kepada korban sejumlah tambahan dana pensiun
yang bisa iambil jika korban menyerahkan sejumlah uang sebagai biaya
administrasi. Begitu korban setuju untuk mengirimkan sejumlah uang maka
pelaku segera memandu korban untuk mengirimkan uang ke rekening
yang telah disiapkan.
Fakta tersebut peneliti dapatkan dari hasil analisa terhadap laporan
polisi yang tercatat pada Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat dan
dikuatkan oleh hasil wawancara terhadap Kanit Krimsus Polres Metro
Jakpus IPTU Tika Pusvita, SH (wawancara, 4 April 2016) yang
mengatakan bahwa:
115
Pelaku yang menggunakan modus kejahatan ini secara aktif menelfon korban kejahatan kemudian dengan gaya bahasa yang ramah menanyakan kegiatan korban saat ini. Proses ini juga merupakan salah satu cara mengambil informasi dari korban sehingga pelaku dapat menggunakannya sebagai bahan untuk menciptakan cover story. Begitu korban menyebutkan bahwa yang bersangkutan sudah tidak bekerja, pelaku kemudian menanyakan informasi-informasi terkait tempat bekerja korban sebelumnya. Pelaku kemudian menawarkan kepada korban sejumlah tambahan dana pensiun yang bisa diambil jika korban menyerahkan sejumlah uang sebagai biaya administrasi. Begitu korban setuju untuk mengirimkan sejumlah uang maka pelaku segera memandu korban untuk mengirimkan uang ke rekening yang telah disiapkan.
Berikut ini adalah grafik perkembangan jumlah kejahatan penipuan
melalui media elektronik dari tahun 2013-2015.
Gambar 4.18 Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik Modus Menawarkan Dana Pensiun
Sumber: Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah peneliti
Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa modus kejahatan
penipuan ini jumlah tidak banyak jika dibandingkan dengan modus
kejahatan penipuan lainnya namun. Pada tahun 2013 tercatat di Jakarta
Pusat terjadi sebanyak 3 kasus kejahatan dan pada tahun berikutnya turun
menjadi sebanyak 1 kasus kejahatan penipuan yang terjadi. Modus
116
kejahatan tersebut kembali meningkat secara kuantitas pada tahun 2015
yaitu sebanyak 3 kasus kejahatan penipuan.
i. Mengaku polisi
Pelaku yang menggunakan modus kejahatan ini masih
menggunakan keahliannya dalam berkomunikasi. Kali ini pelaku berbicara
dengan nada seorang polisi arogan yang seolah-olah sedang menangkap
keluarganya. Pertama kali pelaku menanyakan siapa saja anggota
keluarga yang ada di rumah dan yang tidak ada di rumah. Ini merupakan
langkah awal pelaku untuk mengidentifikasi informasi yang ada di sekitar
korban. Apabila ada salah satu anggota keluarga yang belum ada maka
pelaku segera mengatakan kalau pelaku, yang saat itu berperan sebagai
polisi, telah menangkap anggota keluarga tersebut karena tersangkut
kasus narkoba. Pelaku terkadang melengkapi aksinya dengan
memperdengarkan suara anak yang menangis untuk membuat korban
yakin.
Apabila korban bereaksi dengan panik maka pelaku segera
melaksanakan langkah berikutnya yaitu mengancam akan memenjarakan
keluarga korban. Namun pelaku kemudian menawarkan kasus tersebut
tidak akan diproses secara hukum apabila korban bersedia mengirimkan
sejumlah uang sebagai gantinya. Pada tahap ini pelaku secara intens
menekan korban untuk segera melakukan transfer ke rekening tertentu
tanpa memberikan ruang korban untuk berfikir. Pelaku tidak memberikan
ruang kepada korban untuk berfikir rasional dengan secara terus-menerus
mengancam akan memproses keluarga korban. Apabila korban dapat
berfikir rasional dan mengecek kebenaran informasi tersebut kepada
117
keluarga yang bersangkutan, maka penipuan ini dapat digagalkan, namun
apabila korban tidak mengecek ke anggota keluarga tersebut maka
kejahatan penipuan tersebut akan terlaksana secara lengkap. Korban
kemudian mengikuti perintah pelaku untuk mentransfer sejumlah uang ke
rekening pelaku. Korban baru sadar bahwa dia tertipu setelah mendapat
kabar dari anggota keluarga yang dimaksud bahwa tidak ada kejadian
penangkapan tersebut.
Fakta tersebut didapatkan peneliti dari hasil analisa terhadap data
sekunder rekap laporan polisi di Sat Reskrim serta dari hasil wawancara
dengan anggota Sat Reskrim. Selain itu fakta tersebut didapatkan dari hasil
wawancara terhadap Kasat Binmas Polres Metro Jakpus AKBP Yulia
Hutasuhut, SH yang juga pernah mengalami kejadian yang serupa. Kasat
Binmas mengatakan bahwa:
Saya juga ingin berbagi pengalaman tentang kejahatan penipuan ini. Kejadian dialami oleh saya sendiri saat berada di rumah. Saat itu ibu saya ditelpon oleh seseorang yang mengaku sebagai polisi dan memberitahukan kalau anak saya ditangkap karena kepemilikan narkoba. Orang tua saya awalnya ditelepon pelaku kemudian pelaku menanyakan untuk menyebutkan siapa saja anggota keluarga di rumah dan siapa yang tidak ada. Begitu orang tua saya menyebutkan bahwa anak saya tidak ada di rumah maka pelaku langsung menyebutkan kalau anak saya ditangkap polisi karena terlibat narkoba. Orang tua saya sudah panik dan takut kalau cucunya ditangkap polisi. Setelah itu pelaku menawarkan kepada orang tua saya untuk mengirimkan sejumlah uang sebagai ganti anak saya supaya dilepaskan dan tidak dipenjara. Beruntung saat itu saya sudah pulang kerja dan orang tua saya segera menyerahkan telepon itu ke saya. Karena saya seorang polisi dan mengetahui modus kejahatan itu maka saya segera mengecek ke nomor HP anak saya dan ternyata hal itu bohong. Saya kemudian memberitahukan kepada pelaku bahwa saya polisi dan mengatakan kalau anak saya baik-baik saja. Kemudian pelaku marah-marah dengan saya dan emosi, saya rasa pelaku kesal karena tidak dapat menipu saya. (wawancara, 5 April 2016)
118
Kejahatan penipuan dengan modus mengaku polisi meningkat dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2013 kejahatan dengan modus ini terjadi
sebanyak 8 kasus. Jumlahnya meningkat menjadi 10 kasus di tahun 2014
dan kembali meningkat pada tahun 2015 yaitu sebanyak 16 kasus
kejahatan penipuan. Untuk lebih jelasnya, peneliti akan
menggambarkannya ke dalam grafik berikut ini:
Gambar 4.19 Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik Modus Mengaku Polisi
Sumber: Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah peneliti.
j. Berpura-pura keluarga kecelakaan
Pada modus ini, pelaku berperan sebagai orang yang menemukan
keluarga korban yang kecelakaan dan membawanya ke UGD (Unit Gawat
Darurat) rumah sakit. Tahap awal pelaku menghubungi korban masih sama
dengan modus sebelumnya, pelaku menanyakan siapa saja anggota
keluarga yang ada di rumah dan yang tidak ada di rumah untuk
mengidentifikasi informasi yang ada di sekitar korban. Apabila ada salah
satu anggota keluarga yang belum ada maka pelaku segera mengatakan
119
kalau anggota keluarga tersebut mengalami kecelakaan dan sekarang
berada di UGD rumah sakit dan bersiap untuk operasi. Pelaku mengatakan
bahwa kondisi keluarga yang mengalami kecelakaan sangat kritis dan
membutuhkan tindakan operasi segera. Namun untuk melakukan tindakan
operasi dibutuhkan biaya awal sehingga operasi dapat segera
dilaksanakan.
Dalam melaksanakan aksinya, pelaku bekerjasama dengan
rekannya yang berperan seolah-olah sebagai dokter di rumah sakit.
Apabila korban panik dan percaya langkah selanjutnya pelaku akan
memandu korban untuk mengirimkan sejumlah uang ke rekening pelaku.
Untuk menghilangkan rasionalitas korban, pelaku dengan sengaja tidak
memberikan korban kesempatan untuk berfikir dengan cara terus-menerus
menanyakan apakah operasi perlu dilakukan. Pelaku terus-menerus
menekankan bahwa kondisi keluarga yang mengalami kecelakaan sangat
kritis dan apabila tidak dilakukan operasi maka nyawa orang tersebut tidak
akan tertolong.
Skema kejahatan ini akan gagal apabila korban dapat
menghubungi anggota keluarga yang dimaksud dan mengkonfirmasi
kebenaran informasi tersebut. Namun apabila langkah konfirmasi tersebut
tidak dapat atau tidak dilakukan oleh korban maka korban akan mengikuti
instruksi pelaku untuk mentransfer sejumlah uang kepada pelaku. Korban
baru sadar bahwa dirinya tertipu setelah dapat mengkonfirmasi kepada
anggota keluarga yang bersangkutan bahwa tidak ada kejadian kecelakaan
yang dimaksud sebelumnya.
120
Fakta tersebut didapatkan dari hasil analisa terhadap data
sekunder yaitu rekap laporan polisi dan hasil wawancara terhadap Kanit
Krimsus IPTU Tika Pusvitasari, SH yang mengatakan bahwa:
Modus ini terjadi dengan cara pelaku menelepon korban dan mengaku bahwa telah terjadi kecelakaan yang melibatkan salah satu anggota keluarganya. Pelaku setelah itu biasanya menanyakan kepada korban siapa anggota keluarga yang tidak ada di rumah. Setelah disebutkan bahwa ada anggota keluarga yang tidak ada di rumah maka pelaku segera mengatakan bahwa dia mengalami kecelakaan. Pelaku terus meyakinkan korban bahwa keluarganya dalam kondisi yang sangat kritis dan memerlukan operasi segera, jika tidak maka nyawanya tidak akan tertolong. Dan syarat operasi harus ada jaminan berupa sejumlah uang. Pelaku juga menyiapkan pemeran pembantu yang berpura-pura sebagai dokter di ruah sakit. Pelaku modus ini terus menekan korban dan berbicara memburu-buru korban untuk mengambil segera keputusannya. Jika tidak maka tidak akan dilakukan operasi dan kemungkinan keluarga korban tidak akan selamat. Kekhawatiran itulah yang dijadikan senjata oleh pelaku. (wawancara, 4 April 2016)
Gambar 4.20 Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik Modus Berpura-pura Keluarga Kecelakaan
Sumber: Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah peneliti.
121
Dari grafik di atas dapat terlihat bahwa kejahatan penipuan dengan
modus berpura-pura keluarga kecelakaan baru ada di tahun 2014 dimana
tercatat sebanyak 5 kasus yang terjadi. Pada tahun 2015 jumlahnya
meningkat tiga kali lipat menjadi sebanyak 15 kasus kejahatan. Dapat
terlihat bahwa terjadi peningkatan yang signifikan terhadap jenis kejahatan
penipuan dengan modus ini.
k. Undian berhadiah
Modus undian berhadiah merupakan modus yang sudah lama
dilakukan oleh pelaku penipuan. Di masa yang lalu, modus undian
berhadiah dilakukan dengan langkah konvensional yaitu pelaku dengan
sengaja menjatuhkan kupon di jalan yang isinya adalah kupon pemenang
undian disertai nomor telepon pelaku yang mengaku sebagai panitia
undian berhadiah. Dewasa ini kejahatan penipuan dengan modus undian
berhadiah masih ada namun pelaksanaannya berkembang mneyesuaikan
dengan perkembangan teknologi yang ada.
Pelaku saat ini mencari korbannya dengan cara aktif menyebarkan
SMS undian berhadiah yang menyatakan bahwa korban memenangkan
seumlah uang hasil. Di dalam pesan singkat tersebut pelaku juga
mencantumkan kontak dari pelaku serta alamat situs yang sudah
dipersiapkan. Situs tersebut sengaja dipersiapkan oleh pelaku yang
menginformasikan bahwa korban merupakan pemenang dari undian. Di
dalam situs tersebut juga terdapat kontak pelaku yang mengaku sebagai
pejabat di perusahaan yang mengadakan undian.
Saat korban mulai membuka situs tersebut dan menghubungi
kontak pelaku yang ada di dalamnya, maka skema penipuan mulai terjadi.
122
Pelaku menyatakan bahwa korban berhak atas hadiah sejumlah uang
namun sebagai syarat administrasi dan pajak korban harus mengirimkan
sejumlah uang terlebih dahulu. Setelah korban percaya dengan pelaku
maka korban diarahkan pelaku untuk mentrasfer sejumlah uang ke
rekening pelaku. Korban baru sadar bahwa dirinya tertipu setelah nomor
pelaku tidak bisa dihubungi lagi.
Gambar 4.21 Contoh SMS Undian Berhadiah Palsu yang Dikirim oleh Pelaku Kejahatan
Sumber : Observasi peneliti
Hal tersebut senada dengan pengalaman korban kejahatan
penipuan melalui media elektronik dengan modus undian berhadiah ERNI
PANCA WARDANI (wawancara,11 April 2016) yang mengatakan bahwa:
Awalnya pelaku menelepon ke nomor telkomsel saya 082111824821 dengan menggunakan nomor 081252872907 dan mengaku dari Karyawan Telkomsel dan mengatakan kepada saya bahwa “ SELAMAT ANDA MENDAPATKAN HADIAH SEBESAR 8 JUTA RUPIAH DAN PULSA SEBESAR 500 RIBU RUPIAH “ karena saya menggunakan nomor Telkomsel saya percaya kepada pelaku kemudian pelaku menyuruh saya untuk mengecek ke ATM BNI dengan alasan hadiah tersebut ditransfer lewat ATM BNI.... .....saya percaya akan kata – kata yang di ucapkan oleh pelaku meyakinkan kepada saya bahwa hadiah yang saya terima dalam
123
bentuk uang akan ditansfer hari ini juga oleh pelaku sehingga saya mengikiuti kemauan pelaku untuk pergi ke mesin ATM, namun uang saya yang malah terkuras.
Dari hasil wawancara tersebut terlihat bagaimana pelaku
menelepon korban dan memeberitahukan bahwa korban mendapatkan
hadiah dari Telkomsel. Korban percaya karena korban juga menggunakan
provider dari Telkomsel. Selain itu pelaku melakukan bujuk rayunya
dengan mengatakan bahwa hadiah tersebut akan segera ditransfer ke
rekening korban sehingga korban percaya dengan kata-kata pelaku.
Gambar 4.22 Grafik Jumlah Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik Modus Undian Berhadiah
Sumber: Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, diolah peneliti.
Kejahatan penipuan melalui media elektronik dengan modus undian
berhadiah mempunyai kuantitas yang cukup banyak dan stabil setiap
tahunnya. Dari grafik di atas dapat terlihat jumlah kejahatan penipuan dengan
modus ini tidak mengalami penurunan yang berarti dari tahun ke tahun. Pada
tahun 2013 terjadi sebanyak 24 kasus, tahun 2014 sebanyak 23 kasus, dan
124
tahun 2015 sebanyak 24 kasus. Jumlah tersebut menunjukkan bahwa tingkat
keberhasilan modus kejahatan tersebut dalam memikat korban masih sama.
4.2 Faktor-Faktor yang Berkontribusi Terhadap Implementasi Strategi
Pemolisian dalam Pencegahan Kejahatan Melalui Media Elektronik
di Polres Metro Jakarta Pusat
4.2.1 Strategi Pemolisian dalam Pencegahan Kejahatan Media Elektronik
di Polres Metro Jakarta Pusat Saat Ini
Strategi dalam kerangka konsep manajemen strategik didefinisikan oleh
Wheelen dan Hunger (2012: 5) sebagai seperangkat keputusan dan aksi
manajemen yang menentukan tindakan organisasi dalam jangka panjang.
Proses ini terdiri dari empat elemen dasar yaitu (1) enviromental scanning, (2)
strategy formulation, (3) strategy implementation, dan (4) strategy evaluation.
Keempat langkah ini harus dilaksanakan dalam sebuah garis kontinum
sehingga pelaksanaan strategi tersebut dapat memberikan efektivitas dan
efisiensi kerja.
Menurut Wheelen dan Hunger (2012: 5) strategi pertama kali harus
dirumuskan dengan pertama kali melakukan pengidentifikasian terhadap
lingkungan organisasi. Proses identifikasi tersebut didapat dengan cara
memonitor, mengevaluasi, dan menyebarkan informasi dari lingkungan baik
internal maupun eksternal kepada orang-orang penting dalam organisasi.
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi faktor strategik baik internal dan
eksternal yang akan menetunkan masa depan organisasi. Cara paling
sederhana untuk melakukan identifikasi lingkungan ini adalah dengan
menggunakan analisis SWOT.
125
Langkah selanjutnya setelah lingkungan teridentifikasi adalah
melakukan perumusan strategi (strategy formulation) yaitu dengan
mengembangan rencana jangka panjang untuk membuat sebuah tata kelola
manajemen yang efektif berdasarkan peluang dan ancaman dengan
mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan organisasi. Produk tahap ini
termasuk pada menentukan misi organisasi, menentukan target spesifik yang
dapat dicapai, menyusun strategi, dan menentukan panduan dalam pembuatan
kebijakan.
Langkah selanjutnya adalah mengimplementasikan strategi (strategy
implementation) yaitu sebuah meletakkan strategi dan kebijakan dalam
serangkaian aksi melalui pengembangan program, anggaran dan prosedur.
Proses ini dapat melalui perubahan budaya, struktur, atau sistem manajerial
keseluruhan organisasi. Kecuali saat perubahan drastis keseluruhan organisasi
sangat dibutuhkan, maka implementasi strategi ini dilaksanakan oleh
komponen manajerial tingkat bawah dan menengah, namun tentunya dengan
pengawasan manajer tingkat atas.
Langkah terakhir adalah proses evaluasi dan kontrol dimana aktivitas
dan pencapaian hasil organisasi dimonitor sehingga hasil yang dicapai dapat
dibandingkan dengan hasil yang diharapkan. Keseluruhan pimpinan manajerial
menggunakan informasi yang diperoleh untuk mengambil langkah perbaikan
dan menyelesaikan masalah. Proses evaluasi dan kontrol merupakan elemen
dasar terakhir dari langkah manajemen strategik, proses ini juga dapat
mengetahui kelemahan dalam rencana strategik yang telah diimplementasikan
sebelumnya dan mendorong keseluruhan proses untuk dimulai kembali.
126
Mengacu pada pengertian strategi di atas maka penelitian ini
menunjukkan bahwa Polres Metro Jakarta Pusat sudah mempunyai langkah
strategik dalam menangani permasalahan sosial namun belum sesuai dengan
kaidah manajemen strategik khususnya dalam mengatasi kejahatan penipuan
melalui media elektronik. Hal ini didapat dari hasil analisa terhadap data
sekunder rencana kerja tahunan Polres Metro Jakarta Pusat dan hasil
wawancara kepada informan antara lain sebagai berikut:
a. Identifikasi Lingkungan (enviromental scanning)
Polres Metro Jakarta Pusat sudah melakukan langkah identifikasi
lingkungan menggunakan analisa SWOT yang tercantum dalam Rencana
Kerja Tahunan 2015 yaitu "Beberapa faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan tugas Polres Metro Jakarta Pusat dalam rangka melaksanakan
fungsi keamanan dianalisa dari faktor – faktor baik dari lingkungan intern
maupun ekstern melalui analisa SWOT, yaitu.."(Polres Metro Jakarta Pusat,
2015: 5). Di dalamnya Polres Metro Jakarta Pusat telah mengidentifikasi
kekuatan dan kelemahan internal organisasi mulai dari jumlah personil,
sarana prasarana, anggaran, rasio jumlah polisi dan masyarakat. Sejalan
dengan paradigma pemolisian masyarakat, Polres Metro Jakarta Pusat juga
telah mencantumkan potensi masyarakat sebagai salah satu peluang yang
dapat digunakan dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam
Rencana Kerja Tahun 2015 yang berbunyi:
Semakin tingginya pasrtisipasi dan peran serta masyarakat dalam mendukung tugas operasiona Polres Metro Jakarta Pusat dalam menciptakan keamanan dilingkungkan Polres Metro Jakarta Pusat melalui strategi Pemolisian Masyarakat (Polmas) termasuk kesediaan memecahkan masalah dalam mengungkap perkara. (Polres Metro Jakarta Pusat, 2015: 7)
127
Polres Metro Jakarta Pusat juga telah mengidentifikasi
permasalahan yang harus diselesaikan ke dalam beberapa poin
permasalahan dan dicantumkan ke dalam rencana kerja tahunan. Kejahatan
penipuan melalui media elektronik ini juga telah teridentifikasi ke dalam salah
satu permasalahan yang harus di selesaikan dalam rencana kerja tahunan
yaitu "Terjadinya kejahatan yang meresahkan masyarakat terutama
terorisme, Narkoba, Cyber crime, perdagangan manusia, kejahatan terhadap
perempuan dan anak, penyelundupan dan korupsi serta masih lemahnya
Sinergi Polisi dengan instansi terkait" (Polres Metro Jakarta Pusat, 2015: 8).
Dari rencana kerja tahunan tersebut telah tergambar bahwa
kejahatan penipuan melalui media elektronik, yang merupakan salah satu
bagian dari cyber crime, merupakan kejahatan yang meresahkan
masyarakat. Namun Polres Metro Jakarta Pusat belum melakukan analisa
terhadap kejahatan secara komprehensif sesuai dengan teori yang ada
serta memandang sebuah permasalahan sebagai sebuah insiden yang
muncul di masyarakat.
Mengacu kepada pendapat Goldstein (1990 : 66) bahwa
permasalahan tidak dipandang sebagai sebuah insiden tunggal namun lebih
kepada sekelompok insiden yang sejenis, terkait, atau pengulangan insiden
yang menjadi perhatian masyarakat atau unit kerja kepolisian tertentu. Jika
polisi salah mengidentifikasi insiden yang nampak di permukaan sebagai
sebuah permasalahan maka permasalahan tersebut akan terus berulang
karena akar dari permasalahan tersebut tidak terselesaikan dengan baik.
Dalam pengidentifikasian masalah yang tercantum dalam rencana
kerja tahunan tersebut, Polres Metro Jakarta Pusat hanya melakukannya
128
sendiri tanpa dibantu oleh pihak-pihak terkait lainnya. Hal ini menyebabkan
permasalahan tidak teridentifikasi dengan sebenar-benarnya dan menyentuh
akar permasalahan. Hal itu didapatkan dari hasil wawancara terhadap AKBP
Rustamaji, SH Kepala Bagian Perencanaan Polres Metro Jakarta Pusat yang
mengatakan bahwa:
Rencana Kerja dirumuskan berdasarkan pada kebijakan satuan tingkat atas, identifikasi lingkungan internal dan eksternal Polres, serta usulan dari satuan kerja tingkat bawah. Kebijakan utama tetap mengacu kepada Polda / Mabes mas, namun satker apabila perlu dapat memberikan masukan mengenai rencana kepada Bagian Perencanaan dan akan dicantumkan dalam rencana kerja, tentunya dengan persetujuan Kapolres. (wawancara, 5 April 2016)
Dari hasil wawancara tersebut terlihat bahwa proses pengidentifikasi
permasalahan yang akan dijadikan sebagai sasaran pelaksanaan tugas
masih dilakukan oleh Polri sendiri dan tidak menyertakan masukan
masyarakat yang juga merupakan pihak yang sangat terkait dengan
pelaksanaan tugas Polri. Fakta tersebut tidak sesuai dengan prinsip
pemecahan masalah dalam pemolisian masyarakat yang diikatakan oleh Eck
dan Spelman (1987) dimana masyarakat dapat membantu mengumpulkan
informasi penting untuk menentukan lingkup permasalahan yang harus
mendapat prioritas penanganan.
Prinsip identifikasi permasalahan secara bersama-sama dalam
pemolisian masyarakat tersebut juga sejalan dengan Teori Gunung Es
dimana dalam tataran fundamental strategi pemolisian menunjuk kepada
pentingnya membangun sebuah kesadaran bersama, membangun sinergi
para pemangku kepentingan menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat untuk
bersama-sama mengidentifikasi, memetakan, membangun kesadaran,
membuat opsi dan membangun solusinya (Rycko Amelza Dahniel, 2015).
129
Lebih lanjut, proses identifikasi masalah yang dilakukan oleh Polres
Metro Jakarta Pusat masih belum komprehensif dalam hal memandang
sebuah kejahatan. Menurut Cohen dan Marcus Felson (1979) perubahan
struktural dalam pola aktivitas rutin mempengaruhi tingkat kejahatan dengan
bertemunya dalam ruang dan waktu yang sama tiga unsur utama yaitu: (1)
pelaku yang termotivasi (motivated offenders), (2) target yang sesuai
(suitable target), dan (3) ketiadaan pengamanan yang memadai (absence of
capable guardians). Menurut mereka ketiadaan dari salah satu faktor
tersebut akan dapat mencegah terlaksananya suatu kejahatan. Dalam teori
ini, jika asumsi jumlah pelaku yang termotivasi adalah sama, maka fokus
pembahasan akan berada pada tingkah laku, kegiatan, dan situasi tempat
yang berpotensi menjadi target viktimisasi.
Di dalam rencana kerja tahunan Polres Metro Jakarta Pusat tidak
ditemukan proses analisa komprehensif terhadap karakter kejahatan yang
menjadi prioritas serta faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan
tersebut. Identifikasi hanya berkaitan dengan kondisi wilayah secara umum
dan tidak secara mendalam mengidentifikasi pada tingkah laku, kegiatan,
dan situasi tempat yang berpotensi menjadi target viktimisasi. Lingkungan
eksternal organisasi hanya dianalisa pada bidang sosial budaya, ekonomi,
politik, agama, dan keamanan (Polres Metro Jakarta Pusat, 2015:2).
Di dalam rencana kerja tidak tercantum penjelasan komprehensif tentang
aspek pendidikan masyarakat yang berada di wilayah hukum Polres Metro
Jakarta Pusat.
Polres Metro Jakarta Pusat belum mengidentifikasi perilaku beresiko
masyarakat dan teknologi sebagai salah satu aspek yang berkontribusi
130
dalam menciptakan permasalahan sosial. Hal tersebut bertentangan dengan
teori aktivitas rutin yang dijelaskan oleh Cohen dan Felson (1979)
perkembangan bahwa desain teknologi dapat mempengaruhi perkembangan
alami dari viktimisasi serta perubahan cara penjualan barang menjadi faktor
yang berkontribusi dalam meningkatnya peluang kejahatan. Kehadiran
internet ke dalam gaya hidup masyarakat tidak dipandang oleh Polres Metro
Jakarta Pusat sebagai kunci perubahan struktur yang cocok dengan target
dari penipuan berdasarkan analisa routine activity theory. Internet dan situs
pembelanjaan online dikatakan dapat membawa peluang meningkatnya
kejahatan karena walaupun secara fisik seseorang berada di rumah, namun
orang tersebut tetap dapat berbelanja dan mengakses internet. Perilaku
inilah yang kemudian membuat seseorang menjadi sasaran potensial dari
pelaku kejahatan.
Berdasarkan wawancara kepada Kasat Reskrim, Kanit Krimsus, dan
penyidik Sat Reskrim yang dicantumkan dalam sub bab sebelumnya tentang
karakteristik kejahatan penipuan melalui media elektronik, diketahui bahwa
personil Sat Reskrim telah dapat mengetahui karakteristik kejahatan
penipuan melalui media elektornik ini dengan cukup baik. Namun proses
identifikasi dalam mengalisa karakter dan faktor yang mempengaruhi
kejahatan tersebut belum dapat dilaksanakan dengan maksimal. Hal ini akan
berpengaruh terhadap perumusan kebijakan pencegahan kejahatan
penipuan melalui media elektronik ini.
Pada kenyataannya, pengetahuan personil akan karakteristik
kejahatan penipuan melalui media elektronik ini juga tidak diikutkan dalam
proses identifikasi masalah yang harus diselesaikan oleh Polres Metro
131
Jakarta Pusat sebagai sebuah target. Pengetahuan personil Sat Reskrim
hanya digunakan sebagai bahan Sat Reskrim untuk melakukan langkah
pencegahan kejahatan penipuan terhadap media elektronik sebagai sebuah
satuan kerja mandiri, bukan sebagai bagian dari organisasi Polres yang lebih
luas. Langkah tersebut diantaranya dilakukan dengan menerbitkan himbauan
kepada masyarakat berupa poster tentang modus kejahatan penipuan
melalui media elektornik yang diletakkan di ruang penyidikan Sat Reskrim.
Hal ini menyebabkan proses pengidentifikasian masalah yang dilakukan oleh
Polres Metro Jakarta Pusat tidak komprehensif, karena putusnya jalur
komunikasi antara Sat Reskrim dalam Bagian Perencanaan dalam
menyusun sebuah produk identifikasi masalah.
Sat Reskrim sudah menyadari bahwa korban memberikan kontribusi
terhadap terjadinya kejahatan, namun berdasarkan teori situasional crime
prevention, langkah identifikasi kejahatan yang dilakukan oleh Sat Reskrim
tersebut masih belum karena karena hanya berfokus pada pengetahuan
korban akan modus kejahatan penipuan. Teori situational crime prevention
(Clarke, 1997) pada dasarnya lebih menekankan bagaimana caranya
mengurangi kesempatan bagi pelaku untuk melakukan kejahatan, terutama
pada situasi, tempat, dan waktu tertentu. Menurut Clarke (1997) dalam
menyusun sebuah sebuah strategi pencegahan kejahatan situasional
seharusnya menggunakan pemikiran teori pilihan rasional untuk
menganalisa pola pikir pelaku kejahatan. Pendekatan ini berasumsi bahwa
kejahatan adalah sebuah perilaku yang secara sadar dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan pelanggar seperti uang, status, hasrat seksual, dan
aktualisasi diri. Dalam proses memenuhi kebutuhan tersebut pelaku
132
terkadang bahkan sering untuk menimbang secara rasional dan mengambil
keputusan berdasarkan keterbatasan, kemampuan diri, dan ketersedian
informasi yang terkait dengan target. Pendekatan ini mencoba melakukan
pencegahan kejahatan dengan cara membuat target menjadi kurang
memiliki nilai serta meningkatkan resiko dan usaha untuk melakukan
kejahatan.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara baik kepada Kasat
Binmas dan Kasat Reskrim, tidak ditemukan sebuah pola analisa
berdasarkan kerangka teori pilihan rasional terhadap karakteristik kejahatan
penipuan melalui media elektronik. Hal itu menyebabkan strategi
pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik yang dilaksanakan
tidak sejalan dengan prinsip teori situasional crime prevention.
Gambar 4.23 Bagan Alur Identifikasi Permasalahan Polres Metro Jakarta Pusat
133
b. Formulasi Startegi (strategi formulation)
Menurut Wheelen dan Hunger (2012: 16), formulasi strategi (strategy
formulation) adalah pengembangan rencana jangka panjang untuk membuat
sebuah tata kelola manajemen yang efektiv dari peluang dan ancaman
dengan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan organisasi. Hal ini
termasuk pada langkah menentukan misi organisasi, target spesifik,
mengembangkan strategi, dan menentukan panduan dalam pembuatan
kebijakan.
1. Misi organisasi adalah tujuan atau alasan bagi eksistensi sebuah
organisasi. Misi menceritakan tentang kontribusi organisasi terhadap
masyarakat, apakah hal itu berupa sebuah pelayanan atau berupa
barang yang dapat dinikmati. Sebuah pernyataan misi yang baik dapat
mendefinisikan tujuan pokok organisasi dan membedakannya dengan
organisasi lainnya dan juga dapat mengidentifikasi lingkup atau
cakupan keluaran organisasi.
2. Target organisasi adalah hasil akhir dari perencanaan aktivitas. Target
harus dinyatakan ke dalam sebuah kata kerja dan menjelaskan apa
yang harus dicapai dalam rentang waktu tertentu. Pernyataan target
juga harus menyatakan ukuran keberhasilan secara kuantitas jika
memungkinkan. Pencapaian target organisasi harus bertujuan pada
pemenuhan misi organisasi. Target organisasi berbeda dengan tujuan
organisasi. Tujuan merupakan bentuk sebuah pernyataan terbuka
yang menyatakan hal yang ingin dicapai oleh organisasi tanpa
perhitungan kuantitas mengenai apa yang harus dicapai dalam kurun
waktu tertentu. Sebagai contoh, pernyataan "meningkatkan
134
keuntungan perusahaan" adalah sebuah tujuan, bukan merupakan
target organisasi karena pernyataan tersebut tidak menyatakan
berpaa banyak keuntungan yang diinginkan oleh perusahaan dalam
kurun waktu satu tahun. Contoh sebuah penyataan yang dapat
dijadikan sebagai target organisasi adalah "untuk meningkatkan laba
perusahaan sebanyak 10 % di tahun 2010".
3. Peran strategi dalam sebuah organisasi adalah membangun sebuah
perencanaan yang komprehensif yang menyatakan bagaimana
organisasi akan memenuhi misi dan targetnya. Strategi dapat
digunakan untuk memaksimalkan keuntungan dan mengurangi
kerugian. Karena kebanyakan dari organisasi tidak memiliki target
yang tertulis secara formal, maka banyak organisasi mempunyai
strategi yang tidak tertulis sehingga tidak dapat terartikulasi dan
teranalisa dengan jelas. Cara untuk mengetahui strategi yang tidak
tertulis tersebut adalah dengan melihat apa yang dilakukan oleh
komponen manajerial dalam organisasi. Strategi sebuah organisasi
dapat terlihat dari kebijakan perusahaan, kegiatan yang dilaksanakan,
dan alokasi penggunaan dana.
4. Kebijakan adalah sebuah panduan untuk pengambilan kebijakan
yang berhubungan dengan pembuatan kebijakan dan
implementasinya. Perusahaan membuat sebuah kebijakan untuk
memastikan pekerjanya membuat keputusan dan melakukan tindakan
yang mendukung misi, target, dan strategi organisasi.
Dalam penelitian, berdasarkan hasil analisa terhadap data sekunder
dan observasi lapangan ditemukan bahwa Polres Metro Jakarta Pusat sudah
135
melaksanakan langkah formulasi strategi namun tahapan tersebut tidak
dapat dilaksanakan dengan maksimal karena tahapan proses identifikasi
lingkungan sebelumnya tidak dilakukan sesuai dengan kaidah manajemen
strategik. Proses formulasi strategi yang dilakukan oleh Polres Metro Jakarta
Pusat hanya terbatas pada tahap penentuan misi organisasi yang
menyatakan kontribusi Polres Metro Jakarta Pusat kepada masyarakat.
Penentuan misi organisasi yang berkaitan dengan strategi pemolisian
pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik ditemukan dalam
dokumen Rencana Kerja Polres Metro Jakarta Pusat Tahun 2015 sub bab
Visi Organisasi yang berbunyi "Terwujudnya pelayanan Kamtibmas
Prima,tegaknya hukum dan kemanan di wilayah hukum Polres Metro Jakarta
Pusat yang mantap serta terjalinnya sinergi polisional yang proaktif (Polres
Metro Jakarta Pusat, 2015: 9).
Selain itu misi organisasi juga tertuang dalam sub bab Misi Polres
Metro Jakarta Pusat pasal d, e, f, dan g yang berbunyi:
d. Mengembangkan falsafah dan strategi Perpolisian Masyarakat (Polmas) secara bertahap dan berlanjut guna membangun hubungan polisi dengan masyarakat yang lebih dekat dan interaktif dalam upaya mewujudkan masyarakat patuh hukum. e. Memberdayakan seluruh kekuatan dan kemampuan organisasi pengemban fungsi penyelidikan dan penyidikan baik sarana maupun prasarana dalam upaya mewujudkan Polri sebagai penegak hukum terdepan. f. Meningkatkan Kinerja Polres Metro Jakarta Pusat secara profesional , transparan dan akuntabel guna mendukung pelaksanaan tugas Kepolisian dalam memelihara Kamtibmas di wilayah hukum Polres Metro Jakarta Pusat. g. Membangun sistem sinergi Polisional interdepartemen maupun komponen masyarakat dalam rangka membangun kemitraan oleh jejaring kerja (partnership building/networking). (Polres Metro Jakarta Pusat, 2015: 10)
136
Dari dokumen rencana kerja tersebut di atas dapat terlihat bahwa
visi dan misi Polres Metro jakarta Pusat telah sejalan dengan prinsip teori
gunung es kepolisian pro aktif dan prinsip pemolisian masyarakat. Pada teori
gunung es kepolisian pro aktif, aktualisasi strategi pemolisian harus dimulai
pada tataran fundamental yang menunjuk kepada pentingnya membangun
sebuah kesadaran bersama, membangun sinergi para pemangku
kepentingan menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat untuk bersama-sama
mengidentifikasi, memetakan, membangun kesadaran, membuat opsi dan
membangun solusinya (Rycko Amelza Dahniel, 2015). Berdasarkan rencana
kerja di atas, Polres Metro Jakarta Pusat terlihat telah menempatkan
sinergitas dan kesadaran bersama antara polisi dan komponen masyarakat
sebagai sebuah misi yang harus dicapai oleh organisasi. Hal ini
menunjukkan bahwa Polres Metro Jakarta Pusat berusaha mewujudkan
aktualisasi strategi pemolisian pada tataran fundamental. Polres menyadari
bahwa polisi, masyarakat, dan instansi lainnya harus mewujudkan sebuah
sinergitas agar masalah-masalah sosial dapat teratasi dengan baik.
Misi tersebut juga sejalan dengan komponen utama pemolisian
masyarakat yaitu kemitraan dan pemecahan masalah. Community Policing
Consortium (1994) menjelaskan bahwa dalam pemolisian masyarakat, polisi
berperan sebagai pendorong dan fasilitator dalam pengembangan
masyarakat. Karena itu, hubungan kolaboratif antara polisi dan masyarakat
harus selalu dijaga untuk mendorong dan menjaga kedamaian dan
kesejahteraan masyarakat. Dari fakta di atas, dapat terlihat bahwa pemikiran
yang mendasari perumusan misi Polres Metro Jakarta Pusat sudah sejalan
dengan prinsip pemolisian masyarakat yang mengedepankan sinergitas dan
137
usaha kolaboratif antara polisi dan masyarakat dalam menjaga ketertiban
dengan cara menyelesaikan permasalahan sosial di masyarakat.
Membahas aspek selanjutnya dari tahapan formulasi strategi yaitu
penyusunan target, ditemukan bahwa Polres Metro Jakarta Pusat tidak
mempunyai target pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik.
Fakta tersebut didapatkan dari Rencana Kerja Polres Metro Jakarta Pusat
Tahun 2015 sub bab Tujuan Jangka Menengah yang berbunyi:
Tertanggulanginya trend perkembangan kejahatan, serta meningkatnya penuntasan kasus kriminalitas mencakup 4 (empat) golongan jenis kejahatan yaitu kejahatan konvensional,transnasional,terhadap kekayaan negara dan yang berimpilkasi kontijensi di wilayah hukum Polres Metro Jakarta Pusat. (Polres Metro Jakarta Pusat, 2015: 11)
Dari fakta tersebut dapat terlihat bahwa Polres Metro Jakarta Pusat
tidak menempatkan kejahatan penipuan melalui media elektronik sebagai target
permasalahan sosial yang harus ditangani. Permasalahan sosial yang menjadi
target Polres Metro Jakarta Pusat adalah yang berkaitan kasus kriminalitas
kejahatan konvensional, transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara,
dan kejahatan yang berimplikasi kontijensi.
Dengan tidak diletakkannya kejahatan penipuan sebagai target
permasalahan yang harus diselesaikan, maka juga tidak ada kebijakan khusus
dari Polres Metro Jakarta Pusat dalam menangani permasalahan kejahatan
penipuan melalui media elektronik ini.
c. Implementasi Strategi (strategi implementation)
Implementasi strategi (strategy implementation) menurut Wheelen
dan Hunger (2012: 21) adalah sebuah proses dimana strategi dan kebijakan
138
diletakkan dalam serangkaian aksi melalui pengembangan program,
anggaran dan prosedur. Proses ini dapat melalui perubahan budaya,
struktur, atau sistem manajerial keseluruhan organisasi. Kecuali saat
perubahan drastis keseluruhan organisasi sangat dibutuhkan, maka
implementasi strategi ini dilaksanakan oleh komponen manajerial tingkat
bawah dan menengah, namun tentunya dengan pengawasan manajer
tingkat atas.
Jika melihat pada konsep implementasi strategi di atas maka
berdasarkan hasil observasi, wawancara, dan analisa dokumen dalam
penelitian ini, maka Polres Metro jakarta Pusat tidak melakukan langkah
implementasi strategi kepolisian yang bertujuan secara khusus untuk
menangani kejahatan penipuan melalui media elektronik. Hal itu terlihat dari
tidak adanya program, anggaran, dan prosedur yang bertujuan untuk
menangani permasalahan kejahatan penipuan melalui media elektornik.
Namun, jika mengacu kepada pengertian implementasi strategi
dalam arti sempit, maka terdapat beberapa upaya yang dilakukan oleh
Polres Metro Jakarta Pusat dalam menangani kejahatan penipuan melalui
media elektronik ini. Diantaranya adalah upaya yang dilakukan oleh Satuan
Binmas dengan cara memberikan wawasan kepada masyarakat tentang
modus-modus kejahatan penipuan melalui media elektronik dan selalu
mengingatkan masarakat untuk waspada dengan tawaran-tawaran yang
mencurigakan. Dalam melaksanakan tugasnya, Sat Binmas juga telah
bersinergi dengan komponen masyarakat lainnya sehingga upaya
penanganan kejahatan penipuan melalui media elektronik itu juga dilakukan
oleh komponen masyarakat. Upaya tersebut dilakukan dengan cara
139
memberikan penyuluhan dan sosialisasi dengan metode door to door sistem,
sosialisasi dengan masyarakat di balai-balai pertemuan warga, juga saat
sosialisasi ke sekolah-sekolah kepada anak SMA. Sat Binmas dalam
melaksanakan tugasnya bersinergi dengan satpam kompleks apartemen,
perumahan, dan pertokoan sehingga mereka dapat menjadi perpanjangan
tangan polisi dalam menyampaikan informasi terkait kejahatan penipuan
melalui media elektronik.
Fakta tersebut didapatkan dari hasil wawancara terhadap Kasat
Binmas AKBP Yulia Hutasushut, SH yang mengatakan bahwa:
Sesuai dengan tugas Binmas, saya dan jajaran sudah melaksanakan upaya pencegahan kejahatan tersebut melalui penyuluhan dan sosialisasi. Sosialisasi itu dilaksanakan saat sambang dengan metode door to door sistem, sosialisasi dengan masyarakat di balai-balai pertemuan warga, juga saat sosialisasi ke sekolah-sekolah kepada anak SMA. Disana kami memberitahukan bagaimana modus-modus kejahatan penipuan seperti telfon yang mengaku sebagai polisi, mengaku anak kecelakaan, jual-beli, dan lain-lain. Kami mewanti-wanti masyarakat supaya tidak mudah tergiur dengan iming-iming harga yang murah, serta waspada dengan telepon yang mengaku orang yang dikenal. Selain itu kami juga membagi informasi ini ke satpam-satpam di lingkungan kompleks apartemen/ perumahan/ pertokoan. Maksud kami dengan menyebarkan informasi itu kepada satpam maka mereka dapat menyebarkannya kepada warga di wilayahnya. Jadi mereka sebagai perpanjangan tangan polisi di lingkungan mereka. (wawancara, 5 April 2016)
Langkah pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik
juga dilakukan oleh Sat Reskrim. Langkah pencegahan kejahatan tersebut
juga dilakukan dengan membuat poster yang bertuliskan modus-modus
kejahatan penipuan melalui media elektronik serta himbauan agar
masyarakat tidak mudah tergiur oleh modus tersebut. Poster tersebut
ditempelkan di dinding ruang penyidikan Sat Reskrim dengan harapan setiap
masyarakat yang datang ke kantor Sat Reskrim dapat melihatnya sehingga
140
masyarakat dapat mengetahui modus-modus kejahatan penipuan melalui
media elektronik dan waspada terhadapnya.
Fakta tersebut didapatkan dari hasil wawancara terhadap Kasat
Reskrim Kompol Tahan Marpaung, SH yang mengatakan bahwa:
Kalau dari kami mas, kami perupaya supaya masyarakat itu tahu bagaimana modus-modus kejahatan penipuan melalui media elektornik. Harapannya supaya masyarakat lebih waspada dengan adanya tawaran, iming-iming, dan telepon mencurigakan. Bagaimana mereka mau waspada sedangkan mereka saja tidak tau apa saja modusnya. Makanya kami buat itu mas poster-poster terus taruh di dinding-dinding ruangan, jadi mereka bisa liat disana. Syukur-syukur mereka nanti bisa cerita ke keluarga atau teman-temannya. Saya denger juga kanit krimsus pernah manggil pihak Toko Bagus karena situs itu sering banget dipakai pelaku buat melakukan kejahatan. Lebih jelasnya coba tanya bu Tika, karena waktu itu dia yang ketemu sama orangnya. (wawncara, 4 April 2016)
Langkah pencegahan kedua yang dilakukan oleh Sat Reskrim
adalah dengan memanggil salah satu vendor penyedia jasa jual-beli online
yang banyak digunakan oleh pelaku kejahatan dan berdiskusi untuk mencari
kesepahaman bersama dalam mendukung upaya pencegahan kejahatan
penipuan melalui media elektronik tersebut. Fakta tersebut didapatkan dari
hasil wawancara terhadap Kanit Krimsus IPTU Tika Pusvita Sari, SH yang
mengatakan bahwa:
Selain membuat poster hibauan, saya juga pernah memanggil pihak dari Toko Bagus untuk disksusi, karena dari sekian banyak kasus penipuan melalui media elektronik, situs Toko Bagus menjadi favorit para pelaku untuk melakukan aksinya dan berpura-pura sebagai pedagang palsu. Maksud saya supaya ketemu cara bagaimana mencegah kejahatan penipuan dengan modus menjual barang itu terjadi lagi, minimal mengurangilah. Dari diskusi tersebut pihak Toko Bagus sebenarnya sudah melakukan upaya scanning terhadap transaksi akun-akun yang dianggap fiktif. Cuman ya itu, begitu satu akun di banned, mereka bisa buat lagi yang baru dengan mudah. Hasil diskusi kmaren sih memang peraturan mereka memudahkan pembuatan akun penjual. Dan kita ga bisa maksa juga, karena memang tidak peraturan mengikat tentang sistem jual-beli yang dipakai oleh vendor jual-beli online. (wawancara, 4 April 2016)
141
Dari hasil wawancara tersebut diketahui bahwa belum tercapai
kesepahaman dalam diskusi tentang bagaimana langkah yang akan
diterapkan oleh Polres Metro Jakarta Pusat yang diwakili oleh Kanit Krimsus
dan pihak perwakilan perusahaan jual-beli online Toko Bagus. Berdasarkan
teori gunung es kepolisian pro akttif, jika pada tataran fundamental
kesepahaman bersama itu tidak tercapai, maka tataran instrumental dan
tataran praktis aktualisasi strategi kepolisian juga tidak akan dapat
dilaksanakan.
Penelitian ini juga menemukan bahwa tidak adanya kemitraan dan
kesepahaman antara Polres Metro Jakpus dan Kemenkominfo dalam hal
pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik. Fakta tersebut
didapatkan dari hasil wawancara terhadap Kanit Krimsus IPTU Tika Pusvita
Sari, SH yang mengatakan bahwa:
Memang sih lokasi kemenkominfo di daerah Jakarta Pusat juga, tapi untuk sementara ini belum ada kerjasama dengan Kemenkominfo. Apalagi kerjasama untuk pemblokiran atau pengawasan situs. Mungkin satuan yang lebih tinggi ya bang, seperti Polda atau Mabes. (wawancara, 4 April 2016)
Sebagai stakeholder yang membidangi masalah komunikasi, tidak
adanya hubungan kemitraan yang baik antara Polres Metro Jakpus dengan
Kemenkominfo tidak sejala dengan prinsip community policing.
d. Evaluasi Strategi (strategi evaluation)
Menurut Wheelen dan Hunger (2012: 22) evaluasi strategi (strategy
eveluation) adalah sebuah proses dimana aktivitas dan pencapaian hasil
organisasi dimonitor sehingga hasil yang dicapai dapat dibandingkan dengan
hasil yang diharapkan. Keseluruhan pimpinan manajerial menggunakan
142
informasi yang diperoleh untuk mengambil langkah perbaikan dan
menyelesaikan masalah. Proses evaluasi dan kontrol merupakan elemen
dasar terakhir dari langkah manajemen strategik, proses ini juga dapat
mengetahui kelemahan dalam rencana strategik yang telah
diimplementasikan sebelumnya dan mendorong keseluruhan proses untuk
dimulai kembali.
Penelitian ini mendapatkan fakta bahwa tidak ada langkah evaluasi
yang dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Pusat terhadap strategi pencegahan
kejahatan penipuan melalui media elektronik. Hal ini dikarenakan proses
manajemen strategik hanya berhenti pada tahapan formulasi kebijakan. Lebih
lanjut, tahapan formulasi kebijakan yang dilakukan oleh Polres Metro Jakarta
Pusat tidak meletakkan upaya pencegahan kejahatan penipuan melalui media
elektronik sebagai sebuah target kinerja.
4.2.2 Faktor-Faktor yang Berkontribusi Terhadap Implementasi Strategi
Pemolisian dalam Pencegahan Kejahatan Melalui Media Elektronik
di Polres Metro Jakarta Pusat
Berdasarkan temuan penelitian, terlihat bahwa Polres Metro Jakarta
Pusat sudah memiliki strategi dalam menangani kejahatan penipuan melalui
media elektronik namun dalam pelaksanaannya tidak mengikuti kaidah dalam
teori manajemen strategik. Karenanya strategi pemolisian yang dilaksanakan
oleh Polres Metro Jakarta Pusat tidak efektif dalam mencegah kejahatan
penipuan melalui media elektronik. Adapun faktor-faktor yang berkontribusi
terhadap implementasi strategi pemolisian pencegahan kejahatan penipuan
melalui media elektronik yang dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Pusat
datang dari lingkungan internal dan eksternal organisasi dimana kondisi
143
tersebut akan menentukan strategi pencegahan kejahatan yang ideal untuk
diterapkan di Polres Metro Jakarta Pusat.
Menurut Wheelen dan Hunger (2012: 16) penggunaan teori SWOT
merupakan sebuah langkah yang tepat untuk mengidentifikasi faktor internal
dan eksternal yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan organisasi.
Lingkungan eksternal berisi variabel peluang dan ancaman (oppoturnities and
threats) yang berada di luar organisasi dan bukan merupakan hal yang dapat
dikontrol oleh pimpinan organisasi dalam jangka waktu dekat. Lingkungan
internal organisasi terdiri dari variabel kekuatan dan kelemahan (strenghts and
weaknesses) yang berada dalam tubuh organisasi itu sendiri dan biasanya
tidak dalam kontrol pimpinan organisasi dalam waktu dekat. Yang termasuk
dalam variabel ini adalah struktur, budaya, dan sumber daya organisasi.
Adapun faktor-faktor yang berkontribusi dalam implementasi strategi
pemolisian pencegahan kejahatan penipuan di Polres Metro Jakarta Pusat saat
ini antara lain:
a. Kekuatan (Strengths)
1. Struktur Organisasi Tata Kerja (SOTK) Polres Metro Jakarta Pusat yang
lengkap sampai pada level terkecil. Sistem hierarki komando yang jelas
di Polres Metro Jakarta Pusat akan membawa kepada pelaksanaan
kebijakan pimpinan secara penuh oleh seluruh anggota. Selain itu,
dengan adanya struktur organisasi yang lengkap sampai pada level
Polsubsektor maka Polres Metro Jakarta Pusat dapat menyentuh
masyarakat secara langsung. Hal ini mengakibatkan interaksi antara
polisi dan masyarakat dapat semakin sering sehingga hubungan antara
polisi dan masyarakat semakin bagus. Dengan terciptanya kemitraan
144
yang baik maka langkah pemolisian dalam mencegahan kejahatan
penipuan melalui media elektronik dapat dimaksimalkan. Terjalinnya
hubungan yang baik ini akan bermanfaat dalam tahapan aktualisasi
strategi pemolisian dalam tataran fundamental, instrumental, dan tataran
praktis.
2. Etos kerja anggota yang tinggi. Anggota Polres Metro Jakarta Pusat
seringkali bekerja melebihi waktu kerjanya dan menyelesaikan tugas
yang menjadi tanggungjawabnya dengan baik. Hal itu dapat dijadikan
modal yang baik dalam mewujudkan strategi pemolisian pencegahan
kejahatan kejahatan penipuan di Polres Metro Jakarta Pusat.
3. Perubahan paradigma menuju kepada paradigma kepolisian pro aktif.
Perubahan paradigma kepolisian yang lebih mengutamakan langkah
pencegahan daripada langkah penindakan ini dapat mencegah
timbulnya korban yang tidak perlu. Paradigma proaktif ini juga dapat
menyelesaikan permasalahan sampai kepada akarnya sehingga tidak
akan terjadi pengulangan insiden yang serupa.
4. Paradigma pemolisian masyarakat yang gencar digalakkan. Paradigma
pemolisian masyarakat yang mensyaratkan seluruh anggota polisi agar
dapat menjadi katalisator bagi masyarakat dalam mewujudkan kualitas
hidup yang lebih baik dapat lebih memaksimalkan pelaksanaan strategi
pencegahan kejahatan yang diformulasikan. Paradigma pemolisian
masyarakat memperluas ruang lingkup fungsi pembinaan masyarakat
sehingga tidak hanya dilakukan oleh fungsi binmas saja. Paradigma ini
juga dapat mengatasi permasalahan keterbatasan personil dan
145
anggaran dengan cara memanfaatkan potensi masyarakat yang ada di
wilayah Jakarta Pusat.
5. Jumlah anggota yang memadai. Jumlah anggota Polres Metro Jakarta
Pusat yang cukup banyak dapat dijadikan sebagai modal untuk
melaksanakan strategi pemolisian pencegahan kejahatan penipuan
melalui media elektronik yang telah dirumuskan. Persebaran anggota
yang terdapat di dalam berbagai satuan dan fungsi juga dapat digunakan
untuk mendukung pelaksanaan strategi yang terdiri dari bermacam-
macam langkah yang berbebeda. Apabila keseluruhan langkah
pencegahan dilaksanakan secara sinergi oleh seluruh anggota yang
tersebar dalam berbagai macam fungsi dan satuan maka diharapkan
strategi pemolisian pencegahan kejahatan penipuan melalui media
elektronik dapat secara efektif dilakukan oleh Polres Metro jakarta
Pusat.
b. Kelemahan (Weaknesses)
1. Kurang memadainya sarana prasarana dan teknologi yang mendukung
pelaksanaan tugas kepolisian. Dalam menghadapi perkembangan
kejahatan yang dewasa ini memanfaatkan teknologi secara massive,
maka perlu peningkatan kemampuan Polres Metro Jakarta Pusat
sehingga dapat mengatasi segala ancaman kejahatan yang timbul.
Dalam menghadapi kejahatan penipuan melalui media elektronik, Polres
Metro Jakarta Pusat masih belum memiliki sarana prasarana serta
teknologi yang mendukung sehingga upaya penanganannya menjadi
terhambat. Contohnya antara lain peralatan yang dapat mengecek posisi
146
nomor telepon, peralatan direction finder (DF), dan peralatan yang
digunakan untuk mencari alamat IP sebuah komputer.
2. Kurangnya kemampuan anggota dalam hal penyelidikan dan penyidikan
kejahatan yang berkaitan dengan teknologi informasi. Keberadaan
teknologi informasi dan perkembangan media elektronik dewasa ini juga
membuat perubahan terhadap karakteristik kejahatan yang terjadi.
Kejahatan penipuan melalui media elektronik merupakan kejahatan
penipuan yang telah beradaptasi dengan teknologi informasi sehingga
pelaku dan korban tidak harus berada dalam satu tempat yang sama
agar kejahatan itu terjadi. Mengatasi hal ini, tentunya diperlukan
penyesuaian kemampuan anggota dalam hal penguasaan terhadap
teknologi. Penelitian ini mendapatkan fakta bahwa salah satu penyebab
tidak adanya pengungkapan terhadap kejahatan penipuan melalui media
elektronik adalah karena anggota tidak menguasai teknologi informasi,
terutama dalam hal melacak keberadaan pelaku kejahatan.
3. Tidak adanya sinergi antar satuan fungsi dalam melakukan upaya
pencegahan kejahatan. Dalam penelitian ini ditemukan kurangnya
sinergitas antara satuan fungsi baik itu Reskrim, Binmas, dan Bagian
Perencanaan dalam merumuskan sebuah strategi pencegahan
kejahatan penipuan melalui media elektronik di Polres Metro Jakarta
Pusat. Sat Reskrim yang lebih paham akan karakteristik kejahatan
penipuan melalui media elektronik tidak memberikan masukan dalam
perumusan strategi pencegahan kejahatan yang dibuat oleh Polres
Metro Jakarta Pusat. Akibatnya langkah-langkah penanganan yang
147
diambil tidak dapat mengatasi kejahatan penipuan melalui media
elektronik secara efektif.
4. Dukungan anggaran yang kurang memadai. Fakta bahwa anggaran
penyidikan yang disediakan oleh pemerintah masih belum dapat
mencukupi semua kebutuhan dalam penyidikan. Dalam melakukan
penanganan terhadap kejahatan penipuan melalui media elektronik, hal
tersebut tentunya akan menjadi kendala yang cukup berarti mengingat
karakter pelaku kejahatan ini yang pada umumnya berada di luar kota
dan tidak diketahui identitasnya.
5. Kurangnya komunikasi Polres Metro Jakarta Pusat dengan komponen
masyarakat / instansi yang berkontribusi terhadap pelaksanaan
pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik. Dari hasil
penelitian terlihat bahwa tidak ada hubungan komunikasi yang baik
antara Polres Metro Jakarta Pusat dan perusahaan perbankan, vendor
jual-beli online serta kemenkominfo terkait pencegahan kejahatan
penipuan melalui media elektronik. Hal iniakan berpengaruh terhadap
strategi pencegahan kejahatan baik dari tahap formulasi strategi sampai
pada implementasinya. Dengan tidak adanya hubungan yang baik maka
proses identifikasi masalah tidak akan berjalan dengan efektif serta
potensi masyarakat yang seharusnya dapat membantu dalam mencegah
kejahatan penipuan melalui media elektronik tidak dapat dimanfaatkan.
c. Peluang (Oppoturnity)
1. Hubungan yang baik antara Polres Metro Jakarta Pusat dan kantor
media massa yang ada di wilayahnya. Terciptanya hubungan yang baik
dengan media massa dapat membantu strategi pencegahan kejahatan
148
yang dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Pusat karena pengetahuan
akan modus kejahatan penipuan melalui media elektronik ini dapat
disampaikan ke masyarakat secara luas. Karena pengetahuan korban
akan modus kejahatan akan mempengaruhi timbul atau tidaknya korban
kejahatan penipuan, maka upaya penyebaran informasi modus
kejahatan ini akan dapat mencegah timbulnya korban baru dalam
kejahatan penipuan melalui media elektronik.
2. Banyak kantor perbankan dan vendor situs jual-beli online yang berada
di Jakarta Pusat. Lokasi kantor yang berdekatan dengan lokasi Polres
akan memudahkan proses pembangunan hubungan antara polisi dan
komponen yang terkait tersebut. Dengan berlandaskan hubungan yang
terjalin baik tersebut kemudian dapat dilakukan aktualiasasi kerjasama
lebih lanjut baik pada tataran fundamental, instrumental, dan praktis
yang dapat mendukung pelaksanaan strategi pemolisian pencegahan
kejahatan penipuan melalui media elektronik.
3. Dilakukannya upaya pencegahan kejahatan oleh bank dengan
melakukan verifikasi identitas pemohon rekening. Upaya yang dilakukan
bank secara sadar ini dapat berkontribusi terhadap keberhasilan strategi
pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik karena
rekening bank merupakan elemen yang hampir selalu ada dalam setiap
modus kejahatan penipuan ini. Dengan dilakukannya pembinaan
hubungan serta kerjasama yang baik dengan pihak bank maka strategi
pencegahan kejahatan yang dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Pusat
akan berjalan dengan lebih efektif.
149
4. Adanya komunitas masyarakat dan forum komunikasi di dunia maya
yang peduli dengan keamanan. Keberadaan komunitas masyarakat
peduli keamanan dapat dijadikan sebagai perpanjangan tangan polisi
dalam menyampaikan infromasi terkait kejahatan penipuan melalui
media elektronik tersebut. Tidak hanya dalam komunitas di suatu
wilayah, namun komunitas dunia maya saat ini banyak menjadi sarana
masyarakat bertukar informasi tentang berbagai hal, termasuk tentang
modus-modus kejahatan. Forum komunikasi online seperti Facebook,
Kaskus, instagram, dan lain-lain justru dapat membantu menyebarkan
informasi kepada pihak-pihak yang tidak dapat terjangkau oleh gaya
penyebaran himbauan kamtibmas konvensional.
d. Ancaman (Threats)
1. Karakter kejahatan penipuan melalui media elektronik yang berbeda
ddengan kejahatan konvensional. Seperti yang dijelaskan dalam sub bab
sebelumnya bahwa pada kejahatan penipuan melalui media elektronik,
pelaku dan koran tidak harus bertemu di dalam suatu tempat yang sama.
Hal itu menyebabkan polisi tidak dapat menerapkan pola penjagaan
daerah-daerah rawan kejahatan seperti yang dilakukan pada kejahatan
konvensional. Selain itu karakter pelaku kejahatan yang tidak diketahui
identitasnya turut berkontribusi menghambat keberhasilan strategi
pencegahan kejahatan yang dilakukan.
2. Meningkatnya penetrasi internet di masyarakat. Dengan semakin
banyaknya pengguna internet di Indonesia maka kesempatan pelaku
dan korban bertemu di dunia maya akan semakin besar. Hal ini tentunya
beprengaruh terhadap peningkatan resiko terjadinya kejahatan penipuan
150
melalui media elektronik. Lebih lanjut fakta ini akan berimplikasi terhadap
implementasi strategi pemolisian pencegahan kejahatan penipuan
melalui media elektronik.
3. Pola perilaku masyarakat yang beresiko. Dapat terlihat dari berbagai
contoh kasus dan modus-modus kejahatan penipuan melalui media
elektronik bahwa perilaku korban sangat mempengaruhi terjadinya
kejahatan penipuan tersebut. Sifat masyarakat yang gampang percaya,
mudah panik, dan gampang tergiur akan iming-iming mendapatkan uang
dengan cara yang mudah merupakan perilaku masyarakat yang beresiko
menjadi korban kejahatan penipuan melalui media elektronik. Karenanya
implementasi strategi pemolisian pencegahan kejahatan akan sangat
erat kaitannya dengan perilaku masyarakat yang beresiko ini.
Setelah mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
strategi pemolisian pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik di
Polres Metro Jakarta Pusat tersebut, langkah selanjutnya adalah
mengembangkan 4 (empat) strategi untuk memaksimalkan performa
organisasi. Heinz Weihrich (1982) menjelaskan bahwa matriks SWOT
(Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats) adalah sebuah alat yang
sangat penting dalam membantu manajer untuk mengembangkan empat
strategi : strategi SO (strengths-opportunities), strategi WO (weaknesses-
opportunities), strategi ST (strengths-threats), dan strategi WT (weaknesses-
threats).
151
a. Strategi SO (strengths-opportunities)
Strategi SO menggunakan kekuatan internal yang dimiliki untuk
mengambil manfaat dari peluang lingkungan yang ada. Semua manajer pasti
ingin organisasinya dapat memanfaatkan dengan baik peluang yang ada
dengan menggunakan kemampuan yang dimiliki. Organisasi pada umumnya
akan berusaha memenuhi strategi WO, ST, atau WT untuk menciptakan
situasi dimana mereka dapat menerapkan strategi SO. Ketika sebuah
organisasi mempunyai kelemahan utama, maka organisasi tersebut akan
berusaha mengatasinya dan membuatnya menjadi lebih kuat. Begitu juga
ketika organisasi menghadapi ancaman yang besar, maka sebuah
organisasi akan menghindarinya dan berkonsentrasi kepada peluang.
Strategi SO yang dapat dikembangan dalam mengatasi faktor
internal dan eksternal terhadap strategi pemolisian pencegahan kejahatan
penipuan melalui media elektronik di Polres Metro Jakarta Pusat adalah:
1. Membangun hubungan kemitraan yang baik dengan semua lapisan
masyarakat melalui optimalisasi bhabinkamtibmas. Struktur organisasi
yang lengkap sampai pada level terkecil masyarakat membuat Polres
Metro Jakarta Pusat dapat menyentuh semua lapisan masyarakat
dengan baik. Personil bhabinkamtibmas yang ada di Polres maupun di
Polsek jajaran dapat dimanfaatkan sebagai agen pembangun hubungan
yang baik. Kemitraan merupakan sebuah kondisi yang harus diwujudkan
dengan cara pembangunan hubungan yang berkesinambungan, karena
itu intensitas dan kualitas interaksi polisi dan masyarakat harus
ditingkatkan untuk memperoleh hubungan kemitraan yang baik.
152
2. Membangun kerjasama dengan penyedia jasa jual beli online,
perbankan, serta penyedia jasa telekomunikasi dalam mencegah
kejahatan penipuan elektronik. Kemitraan tidak hanya dibangun kepada
masyarakat yang tinggal di wilayah Kota Administrasi Jakarta Pusat saja,
dalam hal ini untuk mewujudkan sebuah pola pencegahan kejahatan
yang komprehensif maka harus dibangun hubungan kemitraan dengan
sektor swasta (private sector) yang juga berkontribusi dalam optimalisasi
strategi pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik.
3. Memberikan penghargaan bagi penyedia jasa yang menerapkan desain
sistem pencegahan kejahatan terbaik. Langkah ini merupakan sebuah
aktualisasi strategi pada tataran praktis sehingga dapat mendorong
semakin banyak pihak yang mendukung program pencegahan kejahatan
penipuan elektronik ini.
4. Mempererat hubungan kemitraan dengan media massa dalam
menyebarkan informasi terkait kejahatan penipuan. Kemitraan dengan
media massa merupakan hal yang wajib dibangun oleh Polres Metro
Jakarta Pusat karena melalui media massa informasi dapat disampaikan
kepada masyarakat secara luas. Media massa juga merupakan sarana
untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pengetahuan masyarakat,
khususnya dalam hal mencegah kejahatan penipuan elektronik.
b. Strategi WO (weaknesses-opportunities)
Strategi WO bertujuan untuk meningkatkan kelemahan internal
dengan mengambil manfaat dari peluang yang ada. Terkadang organisasi
menemukan sebuah peluang, namun kelemahan organisasi mencegah untuk
dapat memanfaatkan peluang tersebut. Strategi WO yang dapat
153
dikembangan dalam mengatasi faktor internal dan eksternal terhadap
strategi pemolisian pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik
di Polres Metro Jakarta Pusat adalah:
1. Melakukan kerjasama pelatihan dengan stakeholder untuk meningkatan
kemampuan teknologi informasi anggota. Dengan adanya kendala
anggaran yang terbatas dan kemampuan penguasaan anggota tentang
teknologi informasi yang rendah, maka pemberian pelatihan teknologi
informasi melalui kerjasama dengan stakeholder merupakan sebuah
langkah solutif. Kemampuan anggota akan meningkat namun tidak
menggunakan anggaran yang ada di Polres Metro Jakarta Pusat.
2. Membina komunitas masyarakat sebagai mitra polisi dalam mencegah
kejahatan penipuan elektronik. Dewasa ini banyak komunitas-komunitas
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Komunitas tersebut dapat dibina sehingga dapat menjadi agen-agen
yang turut mendukung kesuksesan strategi pemolisian pencegahan
kejahatan.
3. Memanfaatkan anggaran dengan baik melalui penyusunan program
yang efektif dan efisien. Karena anggaran yang dimiliki oleh Polres Metro
Jakarta Pusat terbatas, maka penyusunan program harus dievaluasi dan
diarahkan dengan baik sehingga anggaran dapat efisien digunakan dan
efektif mencapai tujuan pelaksanaannya.
c. Strategi ST (strengths-threats)
Strategi ST menggunakan kekuatan organisasi untuk mengurangi
dampak dari ancaman yang berasal dari luar organisasi. Ini bukan berarti
sebuah organisasi yang kuat harus selalu bertemu dengan ancaman secara
154
langsung. Strategi ST yang dapat dikembangan dalam mengatasi faktor
internal dan eksternal terhadap strategi pemolisian pencegahan kejahatan
penipuan melalui media elektronik di Polres Metro Jakarta Pusat adalah:
1. Mensosialiasikan modus kejahatan penipuan elektronik dan memberikan
pemahaman kepada masyarakat agar menghindari pola perilaku
beresiko. Jumlah personil yang memadai dapat dimanfaatkan oleh
Polres Metro Jakpus untuk menyampaikan informasi dan mendorong
masyarakat untuk menghindari pola-pola perilaku yang beresiko seperti
mudah percaya dengan orang asing, ceroboh, dan ingin mendapatkan
uang dengan cara yang praktis.
2. Mendorong pemerintah untuk meningkatkan pendidikan masyarakat dan
menciptakan lapangan kerja. Pola perilaku masyarakat yang beresiko
juga dapat dirubah melalui pendidikan dan penciptaan lapangan kerja.
Upaya itu dapat dilakukan oleh pemerintah daerah namun polisi harus
mendorongnya sehingga kondisi yang diharapkan dapat tercapai.
d. Strategi WT (weaknesses-threats)
Strategi WT adalah sebuah strategi bertahan untuk mengurangi
kelemahan dan menghindari ancaman yang berasal dari luar lingkungan
organisasi. Sebuah organisasi yang menghadapi banyak ancaman dari
lingkungan luar dan memiliki banyak kelemahan mungkin berada dalam
posisi yang tidak pasti. Pada kenyataannya sebuah organisasi harus
berjuang untuk bertahan dan tetap eksis dalam sebuah lingkungan
organisasi. Strategi ST yang dapat dikembangan dalam mengatasi faktor
internal dan eksternal terhadap strategi pemolisian pencegahan kejahatan
penipuan melalui media elektronik di Polres Metro Jakarta Pusat adalah
155
dengan meningkatkan sinergitas antar satuan fungsi sehingga mewujudkan
pola tindakan yang komprehensif. Mewujudkan hubungan yang baik antar
satuan fungsi adalah hal yang harus dilakukan jika ingin melaksanakan
setiap tahapan dalam strategi pencegahan kejahatan yang baik.
Tabel 4.4 Matriks Analisis SWOT Strategi Pemolisian Pencegahan Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik di Polres Metro Jakarta Pusat
4.3 Strategi Pemolisian Pencegahan Kejahatan Penipuan Melalui Media
Elektronik di Polres Metro Jakarta Pusat
4.3.1 Pencegahan Kejahatan Situasional (Situstional Crime Prevention)
Terhadap Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik
Pencegahan kejahatan situsional (situational crime prevention) pada
dasarnya lebih menekankan bagaimana caranya mengurangi kesempatan bagi
156
pelaku untuk melakukan kejahatan, terutama pada situasi, tempat, dan waktu
tertentu. Pendekatan ini mencoba melakukan pencegahan kejahatan dengan
cara membuat target menjadi kurang memiliki nilai serta meningkatkan resiko
dan usaha untuk melakukan kejahatan. Alih-alih melakukan pencegahan
kejahatan secara global, pendekatan ini memilih untuk menfokuskan
pendekatannya kepada situasi tertentu yang berpotensi mendukung terjadinya
kejahatan. (Cornish & Clarke, 2003)
Cornish dan Clarke kemudian mengembangkan 25 teknik
pencegahan melalui pengurangan kesempatan berbuat kejahatan. Teknik ini
diarahkan untuk mencegah kejahatan yang lebih spesifik daripada mencegah
kejahatan secara umum. Karena fokus penelitian ini adalah kejahatan penipuan
melalui media elektronik maka cara yang paling komprehensif untuk menyusun
langkah pencegahan kejahatan penipuan tersebut adalah menggunakan 25
teknik pencegahan kejahatan dari Cornish dan Clarke.
Cornish dan Clarke (2003) lebih lanjut mengatakan bahwa semua 25
teknik tersebut tidak semuanya cocok untuk semua situasi kejahatan. Kerangka
teknik ini harus digunakan disesuaikan dengan jenis kejahatan yang ingin
dicegah melalui identifikasi karakter dan situasi yang berpengaruh. Berangkat
dari identifikasi karakter kejahatan dan situasi yang mendukung, upaya
pencegahan kejahatan secara situsional bertujuan untuk menciptakan suatu
desain kondisi yang dapat menangkal kejahatan. Desain penangkalan
kejahatan terkadang hanya berkaitan dengan pemikiran sederhana tentang
"target hardening" , namun lebih luas lagi mencakup beberapa teknik yang
dapat mereduksi faktor-faktor pendukung terjadinya kejahatan. 25 langkah
pencegahan tersebut terdiri dari 5 kelompok yaitu: (1) meningkatkan usaha
157
(increase the efforts), (2) meningkatkan resiko (increase the risk), (3)
mengurangi imbalan (reduce the rewards), (4) mengurangi provokasi (reduce
provocations), dan (5) menghilangkan alasan (remove excuses).
Tabel 4.5 Langkah Pencegahan Kejahatan Situasional Terhadap Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik
158
Pertama, adalah upaya meningkatkan usaha (Increase the effort) yang
meliputi serangkaian upaya yang harus dilakukan sehingga meningkatkan
usaha yang diperlukan pelaku untuk melakukan suatu kejahatan. Tujuannya
adalah agar pelaku tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk berbuat jahat
atau mempersempit waktu yang memungkinkan untuk berbuat kejahatan.
a. Memperkuat sasaran (target hardening) yang berarti memasukkan
penghalang fisik, teknik, dan administratif pada objek sebelum
kejahatan itu terjadi. Tujuannya adalah membuat korban sulit untuk
menjadi korban kejahatan.
b. Mengendalikan akses menuju fasilitas (control access to facilities)
termasuk juga ke dalam jaringan atau sumber daya yang dapat menjadi
target kejahatan.
c. Mengawasi pintu keluar (screen exits) dari setiap subjek yang telah
memasuki fasilitas atau jaringan.
d. Menjauhkan pelaku dari target (deflect offender) dengan mengurangi
intensitas pelaku dan target bertemu dalam situasi yang memungkinkan
terjadinya kejahatan yang sama.
e. Mengendalikan peralatan / senjata yang digunakan pelaku (control
tools/weapons).
Langkah pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik
yang bertujuan untuk meningkatkan usaha (increase the effort) dari pelaku
kejahatan adalah:
a. Menyebarkan informasi tentang modus kejahatan penipuan melalui
media elektronik. Dengan diketahuinya modus-modus pelaku berbuat
kejahatan maka masyarakat akan semakin waspada terhadap perilaku
159
orang yang mencurigakan, khususnya yang terkait dengan kejahatan
penipuan ini. Selain itu penelitian ini juga memperoleh fakta bahwa
penipua dapat tidak terlaksana apabila calon korban sebelumnya telah
mengetahui modus kejahatan yang sedang dijalankan.
b. Merubah pola perilaku beresiko masyarakat melalui pendidikan. Perlu
diupayakan perubahan perilaku beresiko masyarakat yang gampang
percaya dan ingin mendapatkan uang banyak dengan cara mudah.
Perubahan itu perlu dan dapat dilakukan sejak dini yaitu saat
masyarakat masih dalam jenjang pendidikan formal di sekolah. Perilaku
yang tidak beresiko membuat orang semakin sulit menjadi korban
kejahatan dan otomatis meningkatkan usaha pelaku.
c. Menverifikasi setiap akun penjual dalam situs jual-beli. Tindakan ini
merupakan langkah pengawasan sehingga tidak sembarangan orang
dapat masuk ke dalam sebuah layanan situs jual-beli.
d. Melakukan verifikasi terhadap identitas pendaftaran nomor telepon.
Selama ini proses pendaftaran identitas nomor telepon masih tidak
efektif karena hanya tidak pernah ada proses verifikasi kebenaran data.
Upaya poin "c" dan "d" merupakan cara mengontrol akses (control
access) pelaku untuk masuk ke dalam area calon korban. Dengan
adanya langkah verifikasi maka akan meningkatkan usaha pelaku untuk
berbuat jahat.
e. Memberikan uang kepada pejual hanya setelah barang terkonfirmasi
diterima oleh pembeli. Langkah ini merupakan langkah pengontrolan
akses keluar (screen exits) terhadap orang di dalam sistem. Dalam
layanan situs jual-beli, memberikan uang hasil perdagangan kepada
160
penjual setelah barang terkonfirmasi telah diterima merupakan cara
yang dapat membuat aman pembeli dan sekaligus membuat enggan
pelaku kejahatan.
f. Pemblokiran terhadap situs / akun palsu milik pelaku. Beberapa pelaku
dengan sengaja membuat situs atau akun palsu untuk melakukan
aksinya. Dengan melakukan pemblokiran terhadap situs atau akun
yang digunakan untuk berbuat jahat maka dapat menjauhkan calon
korban untuk bertemu dengan pelaku di dunia maya (deflect offender).
g. Memberikan identitas pada nomor telepon. Telepon merupakan salah
satu media yang digunakan dalam melakukan kejahatan penipuan
melalui media elektronik. Pemberian identitas pada nomor telepon akan
memudahkan pengontrolan dan pengawasan terhadap penggunanya.
h. Menampilkan lokasi pengaksesan internet dari akun jual-beli. Selain
telepon, internet juga merupakan salah satu media dalam melakukan
kejahatan penipuan elektronik. Penampilan lokasi akses pada situs jual-
beli akan mempermudah pengontrolan terhadap sarana tersebut. Poin
"g" dan "h" merupakan langkah pencegahan untuk mengontrol akses
terhadap media/ sarana (control tools/ weapons) yang digunakan oleh
pelaku kejahatan sehingga dapat meningkatkan usaha pelaku untuk
berbuat jahat.
Kedua, adalah upaya meningkatkan resiko (increase the risk) dalam
berbuat jahat. Resiko disini termasuk resiko untuk tertangkap, resiko
kegagalan, resiko kehilangan barang yang didapatkan dari kejahatan, dan
resiko untuk dapat terdeteksi sebagai pelaku kejahatan juga termasuk. Adapun
langkah untuk meningkatkan resiko pelaku tersebut antara lain:
161
a. Memperluas penjagaan (extend guardianship) dari objek yang
dilindungi.
b. Membantu pengawasan alamiah (assist natural surveillance),
pengawasan ini bukan dilakukan oleh pihak yang memang bertugas
untuk melakukan pengawasan, melainkan oleh masyarakat secara
umum.
c. Mengurangi anonimitas (reduce anonymity) dari pelaku kejahatan.
d. Memberdayakan manajer lokasi (utilize place managers) yang
bertanggungjawab dalam hal pengawasan.
e. Memperkuat pengawasan formal (strengthen formal surveillance) oleh
polisi, penjaga keamanan, dan pihak yang bertanggungjawab dalam
keamanan jaringan komunikasi.
Langkah pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik
yang bertujuan untuk meningkatkan resiko (increase the risk) dari pelaku
kejahatan adalah:
a. Pelaporan kepada polisi apabila ada pengajuan pembukaan rekening
yang menggunakan identitas palsu. Rekening merupakan salah satu
pendukung terlaksananya penipuan elektronik. Dengan melakukan
pengawasan terhadap pembukaan rekening maka dapat memperluas
lingkup penjagaan yang dilakukan (extend guardianship) sehingga
dapat meningkatkan resiko tertangkapnya pelaku.
b. Membuat sistem pengumpulan informasi tentang penipuan. Sistem ini
akan memudahkan calon korban untuk mengecek dan mencari
informasi terkait kejahatan penipuan elektronik. Langkah ini dapat
meningkatkan resiko kegagalan dari kejahatan penipuan.
162
c. Menyediakan fitur pelaporan untuk akun / situs/ nomor telepon yang
melakukan penipuan. Terkadang masyarakat sering menemukan
kejahatan penipuan dalam kesehariannya. Dengan menyediakan fitur
pelaporan dalam media komunikasi, maka hal itu dapat membantu
meningkatkan sistem pengawasan secara alamiah (assist natural
surveillance) dan meningkatkan resiko bagi pelaku kejahatan.
d. Menampilkan identitas lengkap dari pemilik akun / situs / telepon.
Dengan menampilkan identitas, maka akan membuat resiko tertangkap
pelaku akan semakin besar.
e. Mengadakan penanggung jawab yang bertugas mengawasi transaksi.
Penambahan pengawas di luar polisi akan meningkatkan resiko
tertangkapnya pelaku.
f. Patroli dunia maya (cyber patrol) oleh polisi. Polisi sebagai pengawas
formal juga harus melakukan upaya patroli di dunia maya sehingga
resiko pelaku untuk melakukan kejahatan menjadi meningkat.
Ketiga, adalah upaya mengurangi kemanfaatan (reduce the rewards)
yang didapat sebagai hasil melakukan kejahatan. Hal ini akan menurunkan
kemanfaatan dari berbuat jahat, karena jika barang tersebut yang tidak bisa
digunakan maka nilai dari barang tersebut akan otomatis berkurang. Adapun
langkah untuk mengurangi imbalan tersebut antara lain:
a. Menyembunyikan target (conceal targets) dapat mengurangi
kemanfaatan dari pelaku. Produk harus dapat dengan mudah
digunakan dan diakses oleh konsumen, namun tidak memberikan
banyak informasi bagi calon pelaku untuk melakukan kejahatan.
163
b. Memindahkan target (remove target) dari tempat yang memungkinkan
terjadinya kejahatan. Hal ini bukan berarti menyembunyikan target
secara seluruhnya, namun hanya menyediakan produk tersebut pada
waktu yang seharusnya.
c. Memberikan identitas pada benda (identify property). Identifikasi yang
baik terhadap produk dapat mempermudah pengawas untuk melacak
produk, melacak lokasi pelaku kejahatan, dan juga meningkatkan
kesadaran pemilik akan barang yang dimilikinya.
d. Mengganggu pasar (disrupt markets) yang digunakan untuk menjual
barang hasil kejahatan untuk mengurangi kemanfaatannya dan juga
meningkatkan resikonya.
e. Mencegah keuntungan yang akan diperoleh pelaku (deny benefits).
Produk dan pelayanan yang sulit dijual dalam pasar akan mengurangi
kemanfaatan dari aktivitas kejahatan.
Langkah pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik
yang bertujuan untuk mengurangi kemanfaatan (reduce the reward) barang
adalah:
a. Pembuatan rekening penampungan bagi transaksi jual-beli. Rekening
penampungan berfungsi untuk menampung uang pembayaran dari
pembeli sebelum diserahkan kepada penjual. Uang baru diberikan
kepada penjual jika barang yang ditransaksikan sudah sampai kepada
pembeli. Mekanisme ini membuat uang tersembunyi dari pelaku
kejahatan (conceal the targets).
b. Hanya mengizinkan orang yang disetujui untuk berkomunikasi dalam
sosial media. Pelaku seringkali melancarkan aksinya dengan mencari
164
korban-korban yang potensial dalam sosial media. Dengan menyetting
akun sosial media tidak terbuka untuk umum, maka itu merupakan
salah satu cara menyembunyikan target (conceal the targets) dari
pelaku.
c. Mengatur batas pengambilan uang melalui ATM. Langkah ini
memberikan batasan bagi pelaku sehingga menyulitkan proses
pengambilan hasil kejahatan.
d. Membuat sistem pemantauan posisi barang atau uang, mengenai asal
pengiriman dan tujuan pengiriman. Dengan memberikan informasi
mengenai alamat asal dan tujuan barang maka akan mempermudah
pengawas untuk melacak produk, melacak lokasi pelaku kejahatan, dan
juga meningkatkan kesadaran pemilik akan barang atau uang yang
dimilikinya.
e. Melakukan pemblokiran rekening penampung hasil kejahatan. Proses
pemblokiran akan menghilangkan kemanfaatan (deny benefits) dari
pelaku karena walaupun uang ada di rekening pelaku namun tidak bisa
digunakan karena telah diblokir. Namun proses pemblokiran ini harus
cepat dilaksanakan agar uang yang ada di rekening belum digunakan
oleh pelaku.
Keempat, upaya mengurangi provokasi (reduce provocations) yang
langkah-langkahnya meliputi:
a. Mengurangi frustasi dan stres (reduce frustrations and stress) yang
merupakan faktor utama penyebab kejahatan yang berhubungan
dengan kekerasan.
b. Mencegah munculnya pertengkaran (avoid disputes) diantara subjek.
165
c. Mengurangi rangsangan emosional (reduce emotional arousal) yang
berujung pada terjadinya kejahatan.
d. Menetralisir tekanan rekan (neutralize peer pressure) yang berujung
pada kerjasama atau mendorong individu untuk berbuat jahat.
e. Mencegah imitasi (discourage imitation). Publikasi dapat
mempengaruhi seseorang untuk meniru kejahatan.
Langkah pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik
yang bertujuan untuk mengurangi provokasi (reduce provocations) kepada
pelaku adalah dengan:
a. Menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan. Berbeda dengan
kejahatan pembunuhan, motivasi pelaku kejahatan penipuan adalah
motivasi ekonomi. Dengan adanya sarana bagi masyarakat untuk
memperoleh penghasilan secara legal, maka hal itu dapat mengurangi
stres dan frustasi (reduce frustrations and stress) seseorang dalam
bidang ekonomi.
b. Mengkampanyekan bahwa kecurangan dalam transaksi jual-beli adalah
kejahatan. Langkah tersebut dapat mengurangi rangsangan emosional
untuk berbuat jahat sehingga dapat mengurangi provokasi terhadap diri
pelaku.
c. Pengawasan terhadap ruang obrolan (chatting room) yang
menyimpang. Tujuan langkah ini adalah mencegah adanya imitasi
orang lain akan perilaku menyimpang akibat adanya pembicaraan
tentang kenikmatan yang diperoleh pelaku dari pelaksanaan kejahatan
penipuan melalui media elektronik ini.
166
Kelima, adalah upaya menghilangkan alasan (remove excuses) yang
melegalkan orang untuk berbuat jahat. Hal ini dapat dilakukan secara
sederhana yaitu dengan mengingatkan bahwa beberapa tindak merupakan
tindakan yang dilarang oleh hukum. Langkah tersebut meliputi:
a. Membuat aturan (set rules) tentang perilaku yang diperbolehkan dan
juga pemberitahuan bahwa pelanggaran terhadap peraturan akan
mendapat konsekwensi hukum yang sepadan.
b. Menempatkan rambu-rambu larangan maupun perintah (post
instruction) yang memberitahukan dengan jelas perbuatan yang
diperbolehkan dan dilarang oleh hukum yang berlaku.
c. Meningkatkan kesadaran (alert conscience) akan fakta bahwa suatu
perbuatan merupakan perbuatan yang dilarang.
d. Membantu mewujudkan kepatuhan (assist compliance) dengan cara
membantu seseorang untuk menemukan jalan untuk memenuhi
kebutuhan mereka secara legal sehingga mereka tidak mencari jalan
alternatif dengan cara melanggar peraturan.
e. Mengendalikan peredaran narkoba dan alkohol (controlling drugs and
alcohol).
Langkah pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik
yang bertujuan untuk menghilangkan alasan (remove excuses) yang
melegalkan orang untuk berbuat jahat adalah dengan:
a. Menegakkan aturan tentang kejahatan penipuan dengan hukuman
yang sepadan. Pembuatan aturan (set rules) yang melarang sesorang
melakukan kejahatan penipuan dan benar-benar menegakkannya akan
menghilangkan alasan seseorang untuk berbuat jahat. Karenanya
167
peneggakkan hukum terhadap peraturan tersebut harus dilaksanakan
dengan baik sehingga memberikan efek jera baik bagi pelaku atau
orang lain yang mengetahuinya.
b. Menempatkan rambu-rambu larangan melakukan penipuan "Dilarang
melakukan penipuan". Rambu peringatan dan larangan (post
instruction) membuat seseorang paham akan dilarangnya suatu
tindakan akan mendorong mereka untuk tidak berbuat salah.
c. Meningkatkan kesadaran (alert conscience) bahwa penipuan adalah
perbuatan pidana melalui pemberitahuan. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan cara menampilkan himbauan-himbauan untuk tidak berbuat
jahat di media-media yang sering digunakan pelaku untuk
melaksanakn penipuan. Contohnya misalnya slogan yang berbunyi
"Penipuan adalah perbuatan pidana dengan ancaman hukuman 4
tahun penjara" yang diletakkan di halaman situs jual-beli.
Langkah-langkah di atas merupakan langkah yang ideal digunakan
untuk mencegah terjadinya kejahatan penipuan melalui media elektronik
berdasarkan kerangkan teori pencegahan kejahatan situsional (situational
crime prevention). Namun langkah tersebut bukan dikhususkan untuk
dilakukan oleh polisi saja, ada pihak-pihak lain yang harus berpartisipasi dalam
mewujudkan langkah pencegahan yang komprehensif karena setiap
stakeholder mempunyai kemampuan dan kapasitas yang berbeda berkaitan
dengan kewenangan yang dimiliki. Pihak-pihak tersebut antara lain
masyarakat, polisi, pemerintah selaku regulator, bank, media massa,
perusahaan telekomunikasi, dan vendor penyedia jasa jual-beli online.
168
4.3.2 Strategi Pemolisian dalam Pencegahan Kejahatan Penipuan Melalui
Media Elektronik
Membangun strategi pemolisian berarti membangun sebuah langkah
pemolisian dalam kerangka manajemen strategik. Strategi dalam kerangka
konsep manajemen strategik didefinisikan oleh Wheelen dan Hunger (2012: 5)
sebagai seperangkat keputusan dan aksi manajemen yang menentukan
tindakan organisasi dalam jangka panjang. Proses ini terdiri dari empat elemen
dasar yaitu (1) enviromental scanning, (2) strategy formulation, (3) strategy
implementation, dan (4) strategy evaluation. Keempat langkah ini harus
dilaksanakan dalam sebuah garis kontinum sehingga pelaksanaan strategi
tersebut dapat memberikan efektivitas dan efisiensi kerja.
Karena fokus penelitian ini adalah untuk mencari strategi pemolisian
pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik, maka langkah
pemolisian yang dilakukan harus mengarah kepada pencegahan kejahatan
penipuan melalui media elektronik. Agar langkah yang disusun dapat efektif
dan efisien, maka penyusunan langkah pencegahan kejahatan tersebut harus
menggunakan teori pencegahan situasional yang telah dijabarkan dalam sub
bab sebelumnya. Dari langkah-langkah yang telah teridentifikasi di atas, terlihat
bahwa perlu adanya sinergitas antara seluruh stakeholder dalam mewujudkan
pola pencegahan yang komprehensif. Sebuah hal yang tidak mungkin apabila
polisi melaksanakan semua tugas pencegahan kejahatan tersebut itu
sendirian. Peran polisi disini adalah untuk menyatukan semua stakeholder
tersebut, secara bersama-sama berkomitmen untuk mengatasi masalah
kejahatan penipuan melalui media elektronik.
169
Konsep pemolisian yang mendorong kemitraan antara polisi dan
seluruh stakeholder keamanan tersebut terdapat dalam konsep pemolisian
masyarakat (community policing) yang dikatakan oleh Community Policing
Consortium. Menurut Community Policing Consortium (1994) pemolisian
masyarakat adalah sebuah usaha kolaboratif antara polisi dan komunitas yang
mengidentifikasi permasalahan dari pelanggaran dan kejahatan dengan
melibatkan semua elemen dari masyarakat untuk mencari solusi dari
permasalahan tersebut. Paradigma pemolisian masyarakat ini berangkat dari
adagium bahwa polisi tidak dapat sendirian mengontrol kejahatan dan
pelanggaran serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Berdasarkan paradigma pemolisian masyarkaat di atas, pada dasarnya
polisi tidak perlu melakukan semua tugas menjaga kemanan secara sendirian.
Di sisi lain, polisi juga tidak dapat melaksanakan keseluruhan langkah
pencegahan kejahatan tersebut karena adanya keterbatasan anggaran,
tenaga, dan kewenangan Polri sebagai sebuah institusi pemerintah. Posisi
polisi disini adalah sebagai katalisator yang membangun kesadaran semua
stakeholder akan pentingnya menyelesaikan permasalahan kejahatan
penipuan melalui media elektronik. Menurut Community Policing Consortium
(1994), pemolisian masyarakat terdiri dari dua komponen utama yaitu
kemitraan dan pemecahan masalah.
Untuk mengembangkan kemitraan, polisi harus mengembangkan
hubungan yang baik dengan masyarakat, harus mengikutsertakan komunitas
dalam tugas menjaga dan mengontrol kejahatan, dan harus menyatukan
sumber dayanya dengan masyarakat untuk mengatasi masalah yang dianggap
paling penting oleh komunitas (Community Policing Consortium, 1994: 13).
170
Hubungan kemitraan yang dibangun tersebut pada akhirnya harus dan dapat
mendorong masyarakat untuk ikut merasa bertanggung jawab dengan
lingkungannya.
Kunci dari kemitraan adalah kepercayaan antara masing-masing pihak
yang terlibat. Kemudian dari kepercayaan tersebut polisi akan mendapatkan
akses yang lebih besar kepada informasi berharga dari masyarakat yang dapat
berkontribusi kepada pencegahan kejahatan, dapat memberikan bantuan yang
diperlukan dalam proses pengontrolan kejahatan, serta membuka kesempatan
kepada petugas untuk mewujudkan hubungan kerja dengan masyarakat.
Community Policing Consortium (1994) lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam
pemolisian masyarakat, polisi berperan sebagai pendorong dan fasilitator
dalam pengembangan masyarakat. Karena itu, hubungan kolaboratif antara
polisi dan masyarakat harus selalu dijaga untuk mendorong dan menjaga
kedamaian dan kesejahteraan masyarakat.
Mengacu kepada konsep kemitraan dalam pemolisian masyarakat
tersebut, memang tidak seharusnya polisi bekerja sendiri dalam memecahkan
masalah sosial. Justru peran polisi yang terpenting adalah sebagai pendorong
dan fasilitator dalam pengembangan masyarakat. Karenanya, dalam
mewujudkan sebuah upaya pencegahan kejahatan penipuan melalui media
elektronik yang komprehensif, polisi harus dapat membangun kemitraan
dengan semua stakeholder yang terdiri masyarakat, pemerintah selaku
regulator, bank, media massa, perusahaan telekomunikasi, dan vendor
penyedia jasa jual-beli online. Polisi dalam hal ini Polres Metro Jakarta Pusat
harus dapat mendorong agar masing-masing stakeholder menjalankan
171
perannya dengan maksimal sehingga kejahatan penipuan melalui media
elektronik dapat ditangkal.
Komponen utama kedua dari community policing adalah sebuah
pemecahan masalah yang dilakukan secara bersama-sama. Menurut
Community Policing Consortium (1994:13) pemecahan masalah dalam
pemolisian masyarakat adalah sebuah proses yang dimulai dengan
mengidentifikasi permasalahan komunitas yang utama kemudian mencari
solusi dari masalah tersebut. Kekurangan Polres Metro Jakarta Pusat yang
ditemukan sebelumnya adalah tidak dilibatkannya masyarakat dalam
mengidentifikasi permasalahan sosial yang terjadi. Hal itu tentunya tidak boleh
terulang kembali dalam penyusunan strategi pemolisian ke depan. Pelibatan
masyarakat dalam proses identifikasi dan pemecahan masalah sosial bertujuan
agar polisi tidak akan selalu merespon kepada kejadian di tempat yang sama
secara berulang-ulang karena mereka menekan atau menyelesaikan
permasalahan yang berada di balik kejadian tersebut.
Dengan keterbatasan yang dimiliki oleh Polres Metro Jakarta Pusat,
untuk dapat memformulasikan sebuah strategi pemolisian pencegahan
kejahatan penipuan melalui media elektronik yang komprehensif, maka perlu
pengimplementasian prinsip community policing dalam menyusun sebuah
strategi pemolisian yang ideal. Strategi tersebut mencakup identifikasi peran
dari masing-masing stakeholder dalam menyelesaikan permasalahan secara
komprehensif. Setelah teridentifikasi peran dari masing-masing stakeholder,
maka peran Polres Metro Jakarta Pusat adalah sebagai leading sector bagi
seluruh stakeholder sehingga upaya pencegahan yang dilaksanakan dapat
terwujud dan terlaksana secara berkesinambungan.
172
Adapun identitifkasi peran dari masing-masing stakeholder yang
disebutkan di atas adalah berdasarkan langkah pencegahan kejahatan
situsional, yang dapat dijelaskan oleh bagan berikut ini:
Gambar 4.24 Bagan Peran Stakeholder dalam Strategi Pemolisian Pencegahan Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik
a. Penyedia Jasa Jual-beli Online
Perusahaan penyedia jasa jual-beli online dapat membantu
mewujudkan program pencegahan kejahatan yang komprehensif dengan
cara:
1) Meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa penipuan adalah
perbuatan pidana yang dilarang melalui pemberitahuan dan
menempatkan rambu-rambu larangan melakukan penipuan.
173
Pemberitahuan dan rambu larangan tersebut dapat ditempatkan
dalam halaman situs jual-beli.
2) Membuat desain transaksi jual-beli yang aman sehingga dapat
meningkatkan usaha dan resiko tertangkap pelaku kejahatan. Desain
tersebut dapat dilakukan dengan membuat rekening penampungan
bersama penjual dan pembeli, menyediakan sistem pemantauan
posisi barang dan uang yang ditransaksikan, serta membuat aturan
pemberian uang kepada pejual setelah barang terkonfirmasi diterima
oleh pembeli.
3) Membuat desain pengamanan internal yang bertugas mengawasi
keamanan transaksi. Desain tersebut dapat dilakuka dengan
menempatkan penanggungjawab yang bertugas mengawasi
keamanan transaksi, menampilkan identitas lengkap dari pemilik akun
dalam situs, menyediakan fitur pelaporan untuk akun yang diduga
telah melakukan penipuan, serta menampilkan lokasi pengaksesan
internet dari akun jual-beli.
b. Bank
Perusahaan bank baik milik pemerintah maupun swasta dapat
membantu mewujudkan program pencegahan kejahatan yang komprehensif
dengan cara:
1) Mengembangkan sebuah regulasi yang dapat mempersulit pelaku
kejahatan melaksanakan aksinya. Regulasi tersebut dapat berwujud
kebijakan pengaturan batas pengambilan uang melalui ATM serta
peraturan pemblokiran rekening kejahatan.
174
2) Membuat sistem pemantauan posisi barang atau uang, mengenai asal
pengiriman dan tujuan pengiriman.
3) Meningkatkan kerjasama dengan kepolisian terkait penanganan tindak
pidana yang berkaitan dengan penipuan melalui media elektronik.
Kerjasama tersebut dapat dilakukan dengan melaporkan kepada
polisi apabila ada pengajuan pembukaan rekening yang
menggunakan identitas palsu.
c. Perusahaan Telekomunikasi
Perusahaan telekomunikasi dapat membantu mewujudkan program
pencegahan kejahatan yang komprehensif dengan cara:
1) Membuat desain produk yang menghilangkan anonimitas dengan cara
memberikan identitas pada masing-masing nomor telepon serta
melakukan verifikasi dengan cara mencocokkannya dengan data
kependudukan. Hal ini dapat mempermudah pengungkapan identitas
pelaku kejahatan serta membuat resiko pelaku untuk tertangkap
semakin tinggi.
2) Mendorong terwujudnya pola komunikasi yang aman dengan cara
menampilkan identitas penelepon di layar tujuan serta menyediakan
layanan pelaporan apabila terjadi tindak pidana penipuan yang
menggunakan produk layanannya.
d. Masyarakat
Masyarakat secara umum dapat membantu mewujudkan program
pencegahan kejahatan yang komprehensif dengan cara:
1) Melakukan pengawasan alamiah terhadap kejahatan penipuan
elektronik dengan cara melaporkannya kepada pihak yang bewenang.
175
Dengan turut dilakukannya pengawasan oleh masyarakat, maka
tindakan tersebut dapat memperluas area pengawasan terhadap
kejahatan penipuan melalui media elektronik tersebut.
2) Merubah pola perilaku dari yang beresiko menjadi pola perilaku yang
mempunyai daya tangkal terhadap kejahatan penipuan. Pola perilaku
tersebut misalnya adalah dengan tidak menyebarkan informasi yang
bersifat pribadi dalam akun sosial media kepada masyarakat umum
serta merubah pola pikir yang ingin mendapatkan banyak uang dalam
waktu yang singkat.
e. Pemerintah
Peran pemerintah dalam membantu mewujudkan program
pencegahan kejahatan yang komprehensif adalah sebagai praktisi dan
legislator. Praktisi disini berarti pemerintah melaksanakan tugasnya sebagai
lembaga eksekutif sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Legislator
disini berarti pemerintah membuat sebuah formulasi kebijakan yang
mendukung desain pencegahan kejahatan penipuan melalui media
elektronik. Langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk membantu
mewujudkan program pencegahan kejahatan yang komprehensif adalah
dengan:
1) Meningkatkan tingkat kehidupan masyarakat. Upaya peningkatan
kehidupan masyarakat ini dapat dilakukan dengan cara merubah pola
perilaku masyarakat melalui pendidikan. Selanjutnya pemerintah
dapat mendorong penciptaan lapangan pekerjaan sehingga keluaran
dari lembaga pendidikan dapat mencari pekerjaan yang sesuai
dengannya. Apabila tingkat kehidupan masyarakat meningkat dan
176
kebutuhan ekonominya tercukupi, maka keinginan untuk berbuat jahat
akan berkurang.
2) Melakukan tindakan pengawasan yang bertujuan untuk mewujudkan
desain lingkungan dunia maya yang aman. Langkah tersebut
dilakukan melalui upaya pengawasan terhadap ruang obrolan
(chatting room) yang menyimpang, membuat sistem pengumpulan
informasi tentang kejahatan penipuan elektronik, dan melakukan
pemblokiran terhadap situs-situs yang sengaja digunakan untuk
melakukan penipuan.
3) Mengkampanyekan kepada masyarakat secara berkesinambungan
bahwa kejahatan penipuan melalui media elektronik adalah sebuah
kejahatan melalui penempatan rambu-rambu larangan melakukan
penipuan.
4) Merumuskan kebijakan yang mendorong semua stakeholder yang
terkait dalam pencegahan kejahatan penipuan melalui media
elektronik untuk menjalankan perannya masing-masing dan saling
bekerjsama membentuk program pencegahan kejahatan yang
komprehensif.
f. Media Massa
Masyarakat secara umum dapat membantu mewujudkan program
pencegahan kejahatan yang komprehensif dengan cara menyebarkan
informasi tetang modus-modus kejahatan penipuan melalui media elektronik
sehingga dapat diketahui oleh masyarakat. Dengan diketahuinya modus-
modus kejahatan penipuan tersebut maka resiko kegagalan kejahatan
penipuan akan meningkat.
177
g. Polisi
Peran polisi dalam pencegahan kejahatan kejahatan penipuan
melalui media elektronik adalah sebagai leading sector bagi stakeholder
lainnya. Polisi harus membangun sebuah sinergitas dan komitmen dari
semua komponen masyarakat tersebut serta terus menjaganya agar
kemitraan tersebut selalu berkelanjutan. Dalam prosesnya, polisi harus dapat
mendorong masing-masing pihak melaksanakan perannya dengan maksimal
agar upaya pencegahan kejahatan yang dilakukan dapat efektif.
Selain berperan sebagai fasilitator dan katalisator, polisi juga
mempunyai peran tambahan yang berkaitan dengan tugas dan tanggung
jawabnya sebagai pengak hukum. Peran tersebut antara lain:
1) Menegakkan aturan tentang kejahatan penipuan dengan hukuman
yang sepadan. Penegakkan hukum memberikan efek jera kepada
pelaku kejahatan untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi serta
memberikan informasi tentang resiko tertangkap bagi pelaku yang
lainnya.
2) Patroli dunia maya (cyber patrol) oleh polisi. Upaya patroli yang
selama ini hanya dilakukan di dunia nyata harus juga disesuaikan
untuk mendukung pengawasan dalam dunia maya.
3) Membuat sistem pengumpulan informasi tentang penipuan. Sebagai
sumber informasi utama dalam mengenal modus dan karakter
kejahatan penipuan melalui media elektronik, Polres Metro Jakarta
Pusat harus membuat sistem yang mengumpulkan informasi tentang
modus dan karakter kejahatan penipuan tersebut. Beberapa informasi
dapat diumumkan kepada masyarakat luas melalui media massa.
178
Dalam kerangka pemolisian masyarakat, Polres Metro Jakarta Pusat
selain menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum juga berperan sebagai
fasilitator dan katalisator bagi semua stakeholder terkait. Pelaksanaan peran
dari masing-masing stakeholder ini tidak dapat hanya dibagi berdasarkan
perannya, namun harus dikoordinasikan sebagai sebuah kesatuan. Karenanya
sangat diperlukan upaya penyamaan komitmen dari masing-masing
stakeholder. Hal ini sesuai dengan prinsip komponen kemitraan dalam teori
community policing yang mengatakan bahwa dalam community policing, polisi
berperan sebagai pendorong dan fasilitator dalam pengembangan masyarakat,
karenanya hubungan kolaboratif antara polisi dan masyarakat harus selalu
dijaga untuk mendorong dan menjaga kedamaian dan kesejahteraan
masyarakat (Community Policing Consortium, 1994).
Dalam teori gunung es kepolisian pro aktif, Rycko Amelza Dahniel
(2015) mengatakan bahwa teori gunung es menunjukkan bahwa ketiga strategi
simultan itu juga dapat dipandang dari segi proses aktualisasinya. Masing-
masing strategi akan bergerak secara kesisteman, dimulai dari tataran
fundamental, instrumental, sampai kepada praktek atau implementasinya.
Berdasarkan teori tersebut, strategi pemolisian pencegahan kejahatan
penipuan melalui media elektronik yang ideal diterapkan di Polres Metro
Jakarta Pusat dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) tataran aktualisasi yaitu: (1)
tataran fundamental, (2) tataran instrumental, dan (3) tataran implementasi.
179
Gambar 4.25 Bagan Aktualisasi Strategi Pemolisian Pencegahan
Kejahatan Penipuan Melalui Media Elektronik
a. Tataran fundamental
Tataran fundamental menunjuk kepada pentingnya membangun
sebuah kesadaran bersama, membangun sinergi para pemangku
kepentingan menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat untuk bersama-sama
mengidentifikasi, memetakan, membangun kesadaran, membuat opsi dan
membangun solusinya (Rycko Amelza Dahniel, 2015). Pada tataran
fundamental, dalam membangun sebuah strategi pemolisian, Polres Metro
Jakarta Pusat perlu membangun sebuah kesadaran bersama dari seluruh
stakeholder yang terkait dalam memecahkan pemasalahan kejahatan
penipuan melalui media elektronik ini. Karena itu peran polisi menjadi
sangat penting disini. Polisi berperan sebagai pendorong dan fasilitator
180
dalam menyatukan semua stakeholder sehingga tercipta sinergitas yang
menjadi kekuatan dalam mengatasi masalah kejahatan penipuan melalui
media elektronik. Langkah dalam mewujudkan sinergitas dan kemitraan
tersebut dapat dilakukan dengan cara:
1. Meningkatkan komunikasi dengan masyarakat, pemerintah selaku
regulator, bank, media massa, perusahaan telekomunikasi, dan
vendor penyedia jasa jual-beli online yang merupakan stakeholder
dalam pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik.
Komunikasi ini dimaksudkan untuk membangun sebuah hubungan
yang baik dan memperoleh kepercayaan dari masing-masing pihak.
Komunikasi dan rasa saling percaya merupakan kepada perwujudan
kemitraan polisi dan stakeholder terkait.
2. Mengadakan pertemuan sebagai sarana penyamaan persepsi serta
membangun kesadaran bersama bahwa permasalahan penipuan
melalui media elektronik merupakan tanggungjawab bersama.
Langkah ini akan memberikan pondasi bagi upaya selanjutnya karena
jika para stakeholder memiliki kesadaran bahwa masalah ini juga
merupakan tanggungjawabnya, maka mereka akan dapat
mengerahkan segala daya upaya untuk mengatasinya.
3. Secara bersama-sama merumuskan langkah solutif yang dinilai efektif
dan efisien dalam mencegah kejahatan penipuan melalui media
elektronik. Dalam tahapan ini semua stakeholder mempunyai posisi
yang sama, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Dengan
kesetaraan tersebut maka proses identifikasi masalah dan perumusan
langkah solutif akan benar-benar mencapai sasarannya dengan baik.
181
4. Menjaga hubungan yang telah terjalin melalui komunikasi dan
pertemuan rutin seluruh stakeholder. Sebuah hubungan yang baik
tidak boleh hanya dibiarkan begitu saja namun juga harus selalu
dijaga secara berkesinambungan. Pertemuan rutin ini selain dapat
digunakan sebagai sarana evaluasi program pencegahan kejahatan
juga dapat digunakan sebagai sarana menjaga hubungan kemitraan
antara stakeholder.
b. Tataran instrumental
Tataran instrumental disini merupakan proses aktualisasi dari
kesepahaman dan berbagai opsi yang telah dibangun pada tahap
sebelumnya, dengan merumuskan berbagai aturan main yang dapat
diterima, sesuai kemampuan sumber daya yang dimiliki, dan tingkat
kewenangan semua pemangku kepentingan (Rycko Amelza Dahniel,
2015). Langkah strategi pemolisian dalam merumuskan aturan main
tersebut dapat dilakukan dengan cara:
1. Membagi peran dari masing-masing stakeholder sesuai dengan
kemampuan sumber daya yang dimiliki dan tingkat kewenangannya
masing-masing. Perumusan pembagian peran tersebut dapat
menggunakan perspektif pencegahan kejahatan situasional sebagai
bahan pertimbangan untuk mewujudkan langkah pencegahan
kejahatan yang komprehensif.
2. Membuat MoU (Memorandum of Undestanding) diantara semua
stakeholder yang dapat digunakan sebagai acuan aktualisasi strategi
pada tataran praktis nantinya. Kesepahaman ini harus dituangkan
secara tertulis dalam bentuk pembuatan MoU sehingga memudahkan
182
langkah koordinasi yang dilakukan oleh anggota dari masing-masing
stakeholder untuk bertindak dan memenuhi komitmen yang telah
disepakati sebelumnya. Kesepakatan kerjasama tertulis ini juga dapat
menghilangkan masalah koordinasi pada level praktis ketika para
personil dari masing-masing stakeholder bertemu.
c. Tataran implementasi
Menurut Rycko Amelza Dahniel (2015) tataran proses puncak
atau praktek atau implementasi merupakan aksi nyata yang dilakukan
secara bersama-sama secara sinergi dengan senantiasa memperhatikan
peluang dan ancaman serta kekuatan dan kelemahan atas tindakan yang
akan dilakukan.
Tahap ini merupakan langkah nyata pelaksanaan tugas Polres
Metro Jakarta Pusat dalam melaksanakan langkah solutif pemecahan
masalah terkait pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik.
Pada tataran ini, aksi nyata Polres Metro Jakarta Pusat dan seluruh
stakeholder yang dilakukan secara bersama-sama secara sinergi dengan
senantiasa memperhatikan peluang dan ancaman serta kekuatan dan dan
kelemahan atas tindakan yang akan dilakukan. Langkah nyata yang
dilakukan oleh masing-masing stakeholder adalah menjalankan perannya
masing-masing yang telah terbagi sebelumnya. Sedangkan langkah
strategi pemolisian yang dapat dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Pusat
dapat dilakukan dengan cara:
1. Menunjuk pendamping dari personil Polres Metro Jakarta Pusat yang
bertugas untuk menjaga hubungan dengan para stakeholder. Selain
itu, pendamping yang ditunjuk juga bertugas untuk mendorong dan
183
memastikan peran dari masing-masing stakeholder terlaksana dengan
baik. Kehadiran pendamping juga bertugas menyelesaikan hambatan
yang berkaitan dengan koordinasi antar stakeholder dalam
menjalankan program pencegahan kejahatan yang komprehensif.
Mengingat bahwa komunikasi merupakan hal yang sangat penting
dalam membina hubungan, maka kehadiran pendamping ini
mempunyai peran yang vital dalam mewujudkan kemitraan diantara
para stakeholder.
2. Mengadakan kerjasama pelatihan dengan stakeholder lainnya untuk
meningkatkan kemampuan anggota Polres Metro Jakarta Pusat dalam
hal teknologi informasi. Dengan adanya kendala anggaran yang
terbatas dan kemampuan penguasaan anggota tentang teknologi
informasi yang rendah, maka pemberian pelatihan teknologi informasi
melalui kerjasama dengan stakeholder merupakan sebuah langkah
solutif. Kemampuan anggota akan meningkat namun tidak
menggunakan anggaran yang ada di Polres Metro Jakarta Pusat.
3. Patroli dunia maya (cyber patrol) oleh polisi. Setelah anggota
mempunyai kemampuan yang cukup tentang teknologi informasi,
maka langkah patroli dunia maya dapat dilakukan sebagai upaya
pencegahan kejahatan kontemporer seperti kejahatan penipaun
melalui media elektronik ini. Upaya patroli yang selama ini hanya
dilakukan di dunia nyata harus juga disesuaikan untuk mendukung
pengawasan dalam dunia maya.
4. Memanfaatkan anggaran dengan baik melalui penyusunan program
yang efektif dan efisien. Salah satu program yang dapat dilaksanakan
184
adalah program pemberian penghargaan bagi penyedia jasa yang
menerapkan desain sistem pencegahan kejahatan terbaik. Kehadiran
program ini dapat memotivasi semakin banyak pihak yang mendukung
program pencegahan kejahatan penipuan elektronik ini sekaligus
memberikan reward bagi para pihak yang telah ikut mendukung
program pencegahan kejahatan tersebut.
5. Mempererat hubungan kemitraan dengan media massa dalam
menyebarkan informasi terkait kejahatan penipuan. Media massa
dapat digunakan sebagai sarana untuk mensosialiasikan modus
kejahatan penipuan elektronik dan memberikan pemahaman kepada
masyarakat agar menghindari pola perilaku beresiko.
6. Membuat sistem pengumpulan informasi tentang penipuan. Sebagai
sumber informasi utama dalam mengenal modus dan karakter
kejahatan penipuan melalui media elektronik, Polres Metro Jakarta
Pusat harus membuat sistem yang mengumpulkan informasi tentang
kejahatan penipuan melalui media elektronik. Informasi terkait
kejahatan penipuan elektronik ini dapat digunakan untuk berbagai
tujuan salah satunya untuk memberikan pemahaman bagi
masyarakat tentang perkembangan modus kejahatan penipuan
melalui media elektronik yang ada.
7. Meningkatkan sinergitas antar satuan fungsi sehingga mewujudkan
pola tindakan yang komprehensif. Mewujudkan hubungan yang baik
antar satuan fungsi adalah hal yang harus dilakukan jika ingin
melaksanakan setiap tahapan dalam strategi pencegahan kejahatan
yang baik.
185
8. Menegakkan aturan tentang kejahatan penipuan elektronik dengan
hukuman yang sepadan. Penegakkan hukum ini juga terkait kejahatan
yang mendukung terjadinya kejahatan penipuan elektronik seperti
pemalsuan identitas dalam pembukaan rekening bank. Penegakkan
hukum memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan untuk tidak
mengulangi perbuatannya lagi serta memberikan informasi tentang
resiko tertangkap bagi pelaku yang lainnya.
9. Mencantumkan hasil formulasi strategi tersebut ke dalam Rencana
Kerja Tahunan Polres Metro Jakarta Pusat sebagai sebuah langkah
perencanaan strategik. Rencana kerja tersebut harus memuat secara
rinci sasaran prioritas, target sasaran, program kegiatan, dan indikator
keberhasilannya sehingga memudahkan proses evaluasi dan kontrol
yang akan dilaksanakan. Pencantuman strategi pencegahan
kejahatan dalam dokumen rencana kerja tersebut diharapkan dapat
menjadi dasar bagi seluruh komponen Polres untuk bertindak.
186
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian mengenai kejahatan penipuan melalui media
elektronik menghasilkan kesimpulan yaitu:
a. Jumlah kejahatan penipuan melalui media elektronik meningkat setiap
tahunnya baik dari segi kuantitas ataupun presentasenya terhadap
jumlah total kejahatan secara umum (crime total). Peningkatan
presentase ini diakibatkan adanya pergeseran modus kejahatan
(displacement) dari kejahatan konvensional kepada kejahatan
kontemporer. Karakter kejahatan penipuan melalui media elektronik
dapat ditinjau dari 4 aspek yaitu: (1) pelaku, (2) korban, (3) penjaga, dan
(4) media elektronik. Adapun karakteristik kejahatan penipuan tersebut
antara lain pelaku tidak diketahui identitasnya, pelaku menyiapkan
desain lingkungan yang meyakinkan calon korban, terdapat proses
pencurian informasi pribadi korban yang dilakukan oleh pelaku untuk
mendukung keberhasilan aksinya, kejahatan penipuan melalui media
elektronik akan mempunyai sedikit kemungkinan berhasil jika calon
korban pernah mendengar tentang jenis penipuan ini sebelumnya atau
calon korban mencoba untuk mencari tahu kebenaran informasi yang
disampaikan oleh pelaku sebelum merespon, kejahatan penipuan dapat
187
dicegah oleh keberadaan pengawasan swadaya yang terdapat pada
organisasi terkait seperti bank, perusahaan telekomunikasi, dan
penyedia jasa jual beli online, serta kejahatan penipuan melalui media
elektronik di wilayah hukum Polres Metro Jakarta Pusat menggunakan
dua media utama yaitu internet dan telepon. Terdapat 11 (sebelas)
modus kejahatan penipuan melalui media elektronik yang terjadi di
Polres Metro Jakarta Pusat antara lain: (1) menjual barang, (2) agen
pulsa palsu, (3) agen travel palsu, (4) menawarkan pekerjaan, (5) SMS
pelunasan pembayaran, (6) mengaku teman atau saudara, (7) mengaku
atasan, (8) menawarkan dana pensiun, (9) mengaku polisi, (10) berpura-
pura keluarga kecelakaan, dan (11) undian berhadiah.
b. Polres Metro Jakarta Pusat sudah mempunyai langkah-langkah dalam
menangani kejahatan penipuan elektronik namun belum sesuai dengan
kaidah manajemen strategik. Proses manajemen strategik dilakukan
hanya sampai pada tahapan formulasi kebijakan. Lebih lanjut, tahapan
formulasi kebijakan yang dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Pusat
tidak meletakkan upaya pencegahan kejahatan penipuan melalui media
elektronik sebagai sebuah target kinerja. Proses identifikasi masalah
yang dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Pusat tidak mengikuti kaidah
dalam community policing dimana Polres Metro Jakarta Pusat tidak
mengikutsertakan masyarakat dalam proses identifikasi permasalahan.
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap strategi pemolisian yang
dilaksanakan oleh Polres Metro Jakarta Pusat datang dari dalam
(internal) dan luar (eksternal) organisasi. Faktor internal Polres yang
mendukung implementasi strategi pemolisian pencegahan kejahatan
188
penipuan elektronik antara lain Struktur Organisasi Tata Kerja (SOTK)
yang lengkap sampai pada level terkecil, etos kerja anggota yang tinggi,
perubahan paradigma menuju paradigma kepolisian pro aktif, paradigma
pemolisian masyarakat yang gencar digalakkan, dan jumlah anggota
yang memadai. Faktor internal Polres yang menghambat implementasi
strategi pemolisian pencegahan kejahatan penipuan elektronik antara
lain kurangnya sarana prasarana dan teknologi, kurangnya kemampuan
anggota terkait teknologi informasi, tidak adanya sinergi antar satuan
fungsi dalam melakukan upaya pencegahan kejahatan, keterbatasan
anggaran, dan kurangnya komunikasi dengan stakeholder.
c. Penyusunan strategi pemolisian pencegahan kejahatan penipuan
elektronik ke depan dilakukan dengan menerapkan pola pencegahan
kejahatan situasional dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap implementasi strategi pemolisian. Langkah
pencegahan tersebut terdiri dari serangkaian upaya meningkatkan
usaha, meningkatkan resiko, mengurangi imbalan, mengurangi
provokasi, dan menghilangkan alasan pelaku kejahatan untuk berbuat
jahat, yang dilakukan secara komprehensif oleh para stakeholder terkait.
Peran polisi dalam pencegahan kejahatan ini adalah sebagai leading
sector bagi semua stakeholder tersebut sehingga dapat secara
bersama-sama membangun kemitraan dalam mengatasi masalah
kejahatan penipuan melalui media elektronik. Rekomendasi strategi
pemolisian pencegahan kejahatan penipuan elektronik bagi Polres Metro
Jakarta Pusat dilakukan melalui 3 (tiga) tataran. Tataran fundamental
terdiri dari 4 (empat) upaya yaitu : (1) meningkatkan komunikasi dengan
189
para stakeholder dalam pencegahan kejahatan penipuan elektronik, (2)
mengadakan pertemuan untuk menyamakan persepsi serta membangun
kesadaran bersama, (3) bersama-sama merumuskan langkah solutif
yang efektif dan efisien, serta (4) menjaga hubungan yang telah terjalin
melalui komunikasi dan pertemuan rutin seluruh stakeholder. Tataran
instrumental terdiri dari 2 (dua) upaya yaitu (1) membagi peran dari
masing-masing stakeholder sesuai dengan kemampuan sumber daya
yang dimiliki dan tingkat kewenangannya masing-masing serta (2)
membuat MoU (Memorandum of Undestanding) diantara semua
stakeholder. Tataran implementasi terdiri dari 8 (delapan) upaya yaitu:
(1) menunjuk pendamping yang bertugas untuk menjaga hubungan
dengan para stakeholder, (2) mengadakan kerjasama pelatihan dengan
stakeholder lainnya untuk meningkatkan kemampuan anggota dalam hal
teknologi informasi, (3) melakukan patroli dunia maya (cyber patrol), (4)
memanfaatkan anggaran dengan baik melalui penyusunan program
yang efektif dan efisien, (5) mempererat hubungan kemitraan dengan
media massa dalam menyebarkan informasi terkait kejahatan penipuan,
(6) membuat sistem pengumpulan informasi tentang penipuan, (7)
meningkatkan sinergitas antar satuan fungsi, (8) menegakkan aturan
tentang kejahatan penipuan elektronik dengan hukuman yang sepadan,
dan (9) mencantumkan hasil formulasi strategi tersebut ke dalam
Rencana Kerja Tahunan Polres Metro Jakarta Pusat sebagai sebuah
langkah perencanaan strategik.
190
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan,
penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:
a. Agar karakteristik kejahatan penipuan elektronik oleh Polres Metro
Jakarta Pusat dapat dipahami dengan baik, perlu dibentuk sebuah
sistem penghimpunan informasi terkait perkembangan kejahatan
penipuan melalui media elektronik. Dalam sistem tersebut terhimpun
laporan masyarakat terkait jumlah kejahatan, modus operandi, jumlah
kerugian, karakteristik korban, media yang digunakan, dan informasi lain
terkait kejahatan tersebut. Ketersediaan data ini kemudian dapat
dijadikan sebagai bahan informasi dalam pengambilan keputusan
langkah penanganan yang akan dilakukan. Sistem informasi ini juga
dapat dijadikan sebagai sarana kontrol dan evaluasi terhadap program
pencegahan kejahatan yang telah dilakukan.
b. Dalam menciptakan hubungan kemitraan yang baik, penelitian ini
merekomendasikan untuk menempatkan pendamping yang berperan
sebagai penghubung bagi Polres Metro Jakarta Pusat dan para
stakeholder. Mengingat bahwa komunikasi merupakan hal yang sangat
penting dalam membina hubungan, maka penulis menyarankan agar
posisi pendamping (liaison officer) tersebut ditetapkan sebagai sebuah
bagian dari struktur organisasi Polres. Jika selama ini bhabinkamtibmas
membina hubungan dengan masyarakat secara umum, maka kehadiran
liaison officer ini bertugas membina kelompok masyarakat / stakeholder
tertentu. Diharapkan dengan adanya komunikasi yang lebih terarah
maka akan terwujud kemitraan yang lebih baik.
191
c. Kemampuan teknologi informasi yang tidak memadai dalam menangani
perkembangan kejahatan menjadi sebuah kelemahan organisasi dalam
menerapkan strategi pemolisian pencegahan kejahatan. Penulis
menyarankan agar di masa mendatang Polres Metro Jakarta Pusat
dapat meningkatkan kemampuannya dalam bidang teknologi informasi
melalui peningkatan sarana prasarana pendukung serta peningkatan
kemampuan personil. Pemenuhan sarana prasarana tersebut dapat
dilakukan dengan mengajukan rencana kebutuhan kepada Mabes Polri
atau melalui kerjasama dengan stakeholder keamanan lainnya seperti
pemerintah daerah dan perusahaan swasta. Sedangkan peningkatan
kemampuan personil dapat dilakukan melalui pelatihan ketrampilan yang
berkesinambungan melalui pendidikan kejuruan dan penambahan
personil berkemampuan khusus di bidang teknologi informasi.
192
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Akers, Ronald L.2013.Criminology Theory , Jakarta: PTIK.
Atmasasmita,Romli.2010.Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Bawengan, GW.1997. Masalah Kejahatan Dengan Sebab Akibat, Jakarta: Pradnya Paramita.
Burhan, Ashofa.2003. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta.
Clarke, Ronald R.1997. Situational Crime Prevention: Successful Case Studies, Second Edition, New York: Harrow and Heston.
Community Policing Consortium.1994. Understanding Community Policing: A Framework for Action. Washington: Bureau of Justice Assistance.
Cresswell, John W. 2013. Reaserch Design Pendekatan Kualitataif, Kuantitatif , dan Mixed, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Dahniel, Rycko Amelza. 2015. Ilmu Kepolisian. Jakarta : PTIK Press.
David, Fred R. 2011. Strategic Management: Concepts and Cases,13th ed, New Jersey: Prentice Hall.
Dellyana,Shant.1988,Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta: Liberty.
Efendi, Usman.2001.Dasar-Dasar Manajemen, Jakarta: Pradnya Paramitha.
Fridell, Lorie dan Mary Ann Wycoff.2004. Community Policing: The Past, Present, and Future, Washington : Police Executive Research Forum.
Goldstein, Herman.1990.Problem Oriented Policing.McGraw-Hill dan Temple University Press.
Kindersley, Doring.2012. The Economics Book. New York: DK Publishing.
Lab, Steven P.2013.Crime Prevention, Jakarta: PTIK.
Maguire,Edward R.2003. Organizational Structures in American Police Agencies. Albany,New York: State University of New York Press.
Manning,Peter K.1997.Police Work,2 nd Ed. Waveland : Prospect Heights.
McLuhan, Marshall, dan Quentin Fiore. The Medium is The Message. New York : Bantam Books. 1967
193
Merriam-Webster.1993. Merriam-webster’s Collegate Dictionary.10th ed. Springfield MA: Merriam-Webster.
Morissan. 2013. Teori Komunikasi : Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
Muljatno.2000. Asas-asas Hukum Pidana, Yogyakarta : Rineka Cipta.
Muhammad, Farouk dan H. Djaali. 2005. Metode Penelitian Sosial, Jakarta: PTIK Press dan Restu Agung.
Muhammad, Farouk. 2005. Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta : PTIK Press.
National Crime Prevention Institute (NCPI).1986. Understanding Crime Prevention, Butterworth : Stoneham.
Newman, Graeme R. dan Ronald V. Clarke. 2003. Superhighway Robbery: Preventing E-Commerce Crime, Devon: Willan Publishing.
Puskakom UI.2015. Profil Pengguna Internet Indonesia 2014. Jakarta: Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
ReussIanni, Elizabeth.1983. Two Cultures of Policing: Street Cops and Management Cops.New Brunswick : Transaction Books.
Robert, Reiner.2000. The Politics of the Police. Third edition. London: Oxford University Press.
Rosenbaum, dkk.1998. The Prevention of Crime: Social and Situational Strategies, Belmont: West/Wadsworth Pub.
Schafer, Joseph A. 2007.Policing 2020: Exploring the Future of Crime, Communities, and Policing. Washington: US Department of Justice.
Soesilo, R. tanpa tahun.KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politeia.
Soekanto,Soerjono.2004.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan Hukum Cetakan Kelima,Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sullivan, John L.1992. Pengantar Ilmu Kepolisian, Jakarta: PTIK.
Suparlan, Parsudi.2008. Ilmu Kepolisian. Jakarta : YPKIK.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. Jakarta: Balai Pustaka.
Tresna, R.1959. Asas-asas hukum pidana, Jakarta : Tiara Limited.
194
Trojanowicz,dkk.2002. Community Policing: A Contemporary Perspectives,3 rd Ed. Cincinnati: Anderson.
Wheelen, T.L. dan Hunger.2012.Strategic Management and Business Policy: Achieveing Sustainability,13th ed, Harlow: Pearson Prentice Hall.
B. Makalah / Jurnal
Braiden, Chris. 1992. “Enriching Traditional Police Roles.” Police Management: Issues and Perspectives. Washington, D.C.: Police Executive Research Forum, p. 108.
Bossler, Adam M. & Thomas J. Holt.2009. "Online Activities, Guardianship, Malware Infection: An Examination of Routive Activities Theory”, International Journal Of Cyber Criminology.
Rick Linden.2007. "Situational Crime Prevention: Its Role in Comprehensive Prevention Initiatives",Revue De L’IPC Review, Volume 1. Kanada: NCJRS.
Clarke, Ronald V.1995. ‘‘Situational Crime Prevention’’.Building a Safer Society: Strategic Approaches to Crime Prevention,Chicago: University of Chicago Press.
Clarke, Ronald V. 1999."Hot Products: Understanding, Anticipating and Reducing the Demand for Stolen Goods", Police Research Series Paper 98.London: Home Office.
Cohen, L.E. and M. Felson (1979). "Social Change and Crime Rate Trends: A Routine Activity Approach." American Sociological Review 44:588-608.
Coquilhat. Jenny.2008. "Community Policing: An International Literature Review". New Zealand Police.
Cornish, D. B. dan Clarke, R. V.2003."Opportunities, precipitators and criminal decisions: A reply to Wortley’s critique of situational crime prevention", Crime Prevention Studies, vol. 16, pp.41-96.
Crawford, Adam.2002. "Public Participation in Criminal Justice"
Eck,John dan William Spelman. 1987. Problem Solving: Problem-Oriented Policing in Newport News. Washington, D.C.: Police Executive Research Forum.
Eck,John.2002. "Preventing crime at places".Evidence-based crime prevention, edited by Lawrence W. Sherman, David Farrington, Brandon Welsh, and Doris Layton MacKenzie, 241-94. New York: Routledge.
Keel, RO.1997. Rational Choice and Deterrence Theory. [Online] tersedia dalam: http://www.umsl.edu/~keelr/200/ratchoc.html
195
Longe, Wada dan Danquah.2012."Understanding Cyber Criminal Behavior Using Criminoligical Theories", Journal of Internet Banking and Commerce.
Parks, Roger B dkk. 1981. “Consumers as Coproducers of Public Services.” Policy Stud- ies Journal 9 (Summer): 1001–1011.
Reisig, Michael D.2010.Journal of Research in Crime and Delinquency,47: 267.
Travis C. Pratt, Kristy Holtfreter and Michael D. Reisig. 2010."Routine Online Activity and Internet Fraud Targeting: Extending the Generality of Routine Activity Theory", Journal of Research in Crime and Delinquency 2010 47: 267.
Weihrich, Heinz.1982.“The TOWS Matrix: A Tool for Situational Analysis,” Long Range Planning 15, no. 2: 61.
C. Produk Lembaga
Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2010.Peraturan Kapolri Nomor 23 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort.
Republik Indonesia.2002.Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Republik Indonesia.2008.Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Polres Metro Jakarta Pusat.2014. Rencana Kerja Polres Metro Jakarta Pusat Tahun 2015.
PEDOMAN PENGUMPULAN DATA I. JUDUL :
STRATEGI PEMOLISIAN PENCEGAHAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK DI POLRES METRO JAKARTA PUSAT
LATAR BELAKANG MASALAH 1. Fenomena baru kejahatan yang memanfatkan perkembangan teknologi
untuk melakukan tindak kejahatan telah banyak meresahkan kehidupan
masyarakat.
2. Strategi pemolisian pencegahan kejahatan sejalan dengan paradigma
kepolisian yang telah bergeser dari paradigma “reactive policing” menuju
“proactive policing".
3. Pemolisian masyarakat sebagai strategi pencegahan kejahatan
ditujukan untuk mendorong kepada usaha pemecahan masalah
kejahatan dengan melibatkan secara aktif unsur masyarakat.
4. Permasalahan kejahatan penipuan melalui media elektronik yang
diangkat dalam penelitian ini di inspirasi oleh adanya fakta bahwa
penanganan kejahatan melalui media elektronik tersebut nampaknya
kurang mendapat perhatian serius oleh penyidik kepolisian dibandingkan
tindak kejahatan lainnya.
5. Pada tahun 2014 terdapat 276 kasus tindak pidana penipuan melalui
media elektronik namun tidak ada satupun yang diproses sampai
mendapat putusan pengadilan.
6. Berbeda dengan tindak pidana penipuan melalui media elektronik, dalam
setahun Satreskrim Polres Metro Jakarta Pusat dapat menyelesaikan
sebanyak 761 perkara.
7. Strategi pemolisian yang mengedepankan pendekatan pencegahan
merupakan strategi yang ditujukan untuk mengurangi atau menghindari
munculnya niat dan kesempatan melakukan kejahatan.
8. Menurut teori aktivitas rutin, kejahatan dapat terjadi apabila ketiga faktor
(korban, pelaku, dan ketiadaan penjaga) bertemu di suatu tempat dan
waktu yang bersamaan.
9. Demi mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat, perlu
dikembangkan berbagai pendekatan atau strategi pencegahan kejahatan
yang menggunakan kombinasi dari berbagai bentuk strategi.
10. Karenanya peneliti tertarik untuk membahas strategi pemolisian
pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik di Polres
Metro Jakarta Pusat.
II. PERMASALAHAN PENELITIAN Bagaimana strategi pemolisian pencegahan kejahatan di Polres Metro
Jakarta Pusat?
III. PERSOALAN PENELITIAN a. Bagaimana karakteristik kejahatan penipuan melalui media elektronik di
Polres Metro Jakarta Pusat?
b. Faktor-faktor apa yang menghambat dan berkontribusi terhadap strategi
pemolisian dalam pencegahan kejahatan melalui media elektronik di
Polres Metro Jakarta Pusat?
c. Bagaimana strategi pemolisian dalam pencegahan kejahatan media
elektronik di Polres Metro Jakarta Pusat?
IV. DAFTAR INFORMASI YANG AKAN DICARI a. Gambaran umum kejahatan penipuan melalui media elektronik di
wilayah hukum Polres Metro Jakarta Pusat.
1. Gambaran karakter kejahatan penipuan melalui media elektronik di
wilayah hukum Polres Metro Jakarta Pusat
2. Gambaran kondisi sosial ekonomi warga yang tinggal di Jakarta
Pusat
3. Jumlah laporan tindak pidana penipuan melalui media elektronik
selama tahun 2013 sampai tahun 2015 di Polres Metro Jakarta
Pusat
4. Gambaran umum korban kejahatan penipuan melalui media
elektronik
5. Gambaran jenis-jenis media elektronik yang digunakan sebagai
sarana untuk melakukan kejahatan
6. Modus-modus operandi pelaku dalam melakukan penipuan melalui
media elektronik
7. Kelompok pelaku yang melakukan penipuan melalui media elektronik
b. Faktor-faktor apa yang menghambat dan berkontribusi terhadap strategi
pemolisian dalam pencegahan kejahatan melalui media elektronik di
Polres Metro Jakarta Pusat.
(Faktor eksternal)
1. Gambaran karakteristik pelaku kejahatan penipuan melalui media
elektronik
2. Gambaran karakteristik korban kejahatan penipuan melalui media
elektronik
3. Gambaran karakteristik media elektronik yang digunakan masyarakat
dalam berkomunikasi
4. Gambaran karakter masyarakat dan potensinya
(Faktor eksternal)
5. Gambaran karakteristik personil yang dimiliki oleh Polres Metro
Jakarta Pusat
6. Gambaran jumlah anggaran Polres Metro Jakarta Pusat dan
peruntukannya
7. Gambaran sarana prasarana yang dimiliki oleh Polres Metro Jakarta
Pusat
c. Strategi pemolisian pencegahan kejahatan penipuan melalui media
elektronik di Polres Metro Jakarta Pusat
1. Rencana kerja tahunan Polres Metro Jakarta Pusat
2. Gambaran proses perumusan kebijakan pencegahan kejahatan
penipuan melalui media elektronik di Polres Metro Jakarta Pusat
3. Implementasi kebijakan pencegahan kejahatan penipuan melalui
media elektronik
4. Langkah pengawasan dan pengendalian terhadap upaya
pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik yang telah
dilakukan
5. Langkah evaluasi kebijakan pencegahan kejahatan penipuan melalui
media elektronik.
V. MATRIK PEDOMAN PENGUMPULAN DATA
1. Wawancara
NO INFORMAN KODE INFO
YANG DICARI
JADWAL
WAKTU
PELAKS KET
1. Kepolres Metro
Jakpus
A1,A2, B 4-7,
C1-C5
4 April
2016
2. Kabag Perencanaan
Polres Metro Jakpus
B5-7, C1-3 4 April
2016
3. Kasat Reskrim
Polres Metro Jakpus
A1-7 , B1-5,
C2-5
4 April
2016
4. Kasat Binmas Polres
Metro Jakpus
B4, B5, C2-5 4 April
2016
5. Kanit Reskrim Polres
Metro Jakpus
A1,A3-7, B1-3,
B5, C3-5
5 April
2016
6. Anggota Reskrim
Polres Metro Jakpus
A1,A3-7, B1-
3,B5-7, C3-5
5 April
2016
7. Bhabinkamtibmas
Polres Metro Jakpus
A2, B4,B5, C3-
5
5 April
2016
8. Korban Penipuan A2, A4-7, B1-3
6 April
2016
9. Perwakilan Bank
yang membidangi
jual-beli online
A5 7 April
2016
2. Observasi
NO KODE INFO
YANG DICARI
LOKASI/
OBJEK
JADWAL
WAKTU
PELAKS KET
1 A4, B5, B7, C3,
C4
Polres Metro
Jakpus
5 April 2016
2 A2, B3, B4, Wilayah hukum
Polres Metro
Jakpus
8 April 2016
3. Studi Dokumen
NO KODE INFO
YANG DICARI
LOKASI/
OBJEK
JADWAL
WAKTU
PELAKS KET
1 A1-A7, B1-3,
B6,B7, C1
Polres Metro
Jakpus
9 April 2016
4. Diskusi Kelompok Terarah
NO KODE INFO
YANG DICARI
PESERTA
DISKUSI
JADWAL
WAKTU
PELAKS KET
1 A1,A3-7, B1-7,
C3,C4,C5
penyidik sat
reskrim Polres
Metro Jakpus
5 April 2016
PEDOMAN WAWANCARA
KAPOLRES METRO JAKARTA PUSAT
Daftar Pertanyaan :
1. Bagaimana gambaran umum masyarakat, kerawanan, dan potensi
wilayah Kota Administrasi Jakarta Pusat?
2. Bagaimana gambaran umum kejahatan penipuan melalui media
elektronik di wilayah hukum Polres Metro Jakarta Pusat?
3. Berapa jumlah personil yang dimiliki oleh Polres Metro Jakarta Pusat
dan bagaimana karakter dari anggota tersebut dalam melaksanakan
tugas?
4. Berapa jumlah anggaran yang dimiliki oleh Polres Metro Jakarta Pusat
dalam setahun serta bagaimana peruntukannya?
5. Bagaimana gambaran ketersediaan sarana prasarana yang dimiliki oleh
Polres Metro Jakarta Pusat dikaitkan dengan kebutuhan dalam
pelaksanaan tugas?
6. Apa isi rencana kerja tahunan Polres Metro Jakarta Pusat, bagaimana
proses formulasinya, implementasi, serta evaluasi dari rencana kerja
tersebut?
7. Bagaimana mekanisme pengawasan kinerja yang diterapkan di Polres
Metro Jakarta Pusat?
8. Bagaimana kebijakan Kapolres terkait pencegahan kejahatan penipuan
melalui media elektronik yang dilakukan oleh Polres Metro Jakarta
Pusat?
KABAG PERENCANAAN POLRES METRO JAKARTA PUSAT
Daftar Pertanyaan :
1. Berapa jumlah personil yang dimiliki oleh Polres Metro Jakarta Pusat
dan bagaimana karakter dari anggota tersebut dalam melaksanakan
tugas?
2. Berapa jumlah anggaran yang dimiliki oleh Polres Metro Jakarta Pusat
dalam setahun serta bagaimana peruntukannya?
3. Bagaimana gambaran ketersediaan sarana prasarana yang dimiliki oleh
Polres Metro Jakarta Pusat dikaitkan dengan kebutuhan dalam
pelaksanaan tugas?
4. Apa isi rencana kerja tahunan Polres Metro Jakarta Pusat, bagaimana
proses formulasinya, implementasi, serta evaluasi dari rencana kerja
tersebut?
5. Bagaimana kebijakan Kapolres terkait pencegahan kejahatan penipuan
melalui media elektronik yang dilakukan oleh Polres Metro Jakarta
Pusat?
KASAT RESKRIM POLRES METRO JAKARTA PUSAT
Daftar Pertanyaan :
1. Bagaimana gambaran umum masyarakat, kerawanan, dan potensi
wilayah Kota Administrasi Jakarta Pusat?
2. Bagaimana gambaran umum dan modus kejahatan penipuan melalui
media elektronik yang terjadi di wilayah hukum Polres Metro Jakarta
Pusat?
3. Bagaimana gambaran umum karakter korban kejahatan penipuan
melalui media elektronik?
4. Bagaimana gambaran umum karakter pelaku kejahatan penipuan
melalui media elektronik?
5. Bagaimana gambaran umum jenis media elektronik yang sering
digunakan sebagai sarana melakukan kejahatan penipuan melalui
media elektronik?
6. Berapa jumlah personil yang dimiliki oleh Satreskrim Polres Metro
Jakarta Pusat dan bagaimana karakter dari anggota tersebut dalam
melaksanakan tugas?
7. Berapa jumlah anggaran yang diterima oleh Satreskrim Polres Metro
Jakarta Pusat dalam setahun serta bagaimana peruntukannya?
8. Bagaimana gambaran ketersediaan sarana prasarana yang dimiliki oleh
Polres Metro Jakarta Pusat dikaitkan dengan kebutuhan dalam
pelaksanaan tugas?
9. Apa isi rencana kerja tahunan Satreskrim Polres Metro Jakarta Pusat,
bagaimana proses formulasinya, implementasi, serta evaluasi dari
rencana kerja tersebut?
10. Bagaimana kebijakan Kapolres dan Satreskrim terkait pencegahan
kejahatan penipuan melalui media elektronik?
11. Bagaimana mekanisme pengawasan, pengendalian, dan evaluasi
kebijakan pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik
yang ada di Satreskrim Polres Metro Jakarta Pusat?
KASAT BINMAS POLRES METRO JAKARTA PUSAT
Daftar Pertanyaan :
1. Bagaimana gambaran umum masyarakat, kerawanan, dan potensi
wilayah Kota Administrasi Jakarta Pusat?
2. Berapa jumlah personil yang dimiliki oleh Satbinmas Polres Metro
Jakarta Pusat dan bagaimana karakter dari anggota tersebut dalam
melaksanakan tugas?
3. Berapa jumlah anggaran yang diterima oleh Satbinmas Polres Metro
Jakarta Pusat dalam setahun serta bagaimana peruntukannya?
4. Bagaimana gambaran ketersediaan sarana prasarana yang dimiliki oleh
Polres Metro Jakarta Pusat dikaitkan dengan kebutuhan dalam
pelaksanaan tugas?
5. Apa isi rencana kerja tahunan Satbinmas Polres Metro Jakarta Pusat,
bagaimana proses formulasinya, implementasi, serta evaluasi dari
rencana kerja tersebut?
6. Bagaimana kebijakan Kapolres dan Satbinmas terkait pencegahan
kejahatan penipuan melalui media elektronik?
7. Bagaimana mekanisme pengawasan, pengendalian, dan evaluasi
kebijakan pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik
yang ada di Satbinmas Polres Metro Jakarta Pusat?
KANIT RESKRIM Daftar Pertanyaan :
1. Bagaimana gambaran umum dan modus kejahatan penipuan melalui
media elektronik yang terjadi di wilayah hukum Polres Metro Jakarta
Pusat?
2. Bagaimana gambaran umum karakter korban kejahatan penipuan
melalui media elektronik?
3. Bagaimana gambaran umum karakter pelaku kejahatan penipuan
melalui media elektronik?
4. Bagaimana gambaran umum jenis media elektronik yang sering
digunakan sebagai sarana melakukan kejahatan penipuan melalui
media elektronik?
5. Bagaimana karakter dari anggota satreskrim tersebut dalam
melaksanakan tugas?
6. Berapa jumlah anggaran yang diterima oleh Unit Reskrim Polres Metro
Jakarta Pusat dalam setahun serta bagaimana peruntukannya?
7. Bagaimana gambaran ketersediaan sarana prasarana yang dimiliki oleh
Polres Metro Jakarta Pusat dikaitkan dengan kebutuhan dalam
pelaksanaan tugas?
8. Apa isi rencana kerja tahunan Satreskrim Polres Metro Jakarta Pusat,
bagaimana proses formulasinya, implementasi, serta evaluasi dari
rencana kerja tersebut?
9. Bagaimana kebijakan Kapolres dan Satreskrim terkait pencegahan
kejahatan penipuan melalui media elektronik?
10. Bagaimana mekanisme pengawasan, pengendalian, dan evaluasi
kebijakan pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik
yang ada di Polres Metro Jakarta Pusat?
ANGGOTA SAT RESKRIM Daftar Pertanyaan :
1. Bagaimana gambaran umum dan modus kejahatan penipuan melalui
media elektronik yang terjadi di wilayah hukum Polres Metro Jakarta
Pusat?
2. Bagaimana gambaran umum karakter korban kejahatan penipuan
melalui media elektronik? (kontribusi korban terhadap terjadinya
kejahatan, perilaku korban, pengetahuan korban akan modus kejahatan
penipuan)
3. Bagaimana gambaran umum karakter pelaku kejahatan penipuan
melalui media elektronik?
4. Bagaimana gambaran umum jenis media elektronik yang sering
digunakan sebagai sarana melakukan kejahatan penipuan melalui
media elektronik?
5. Bagaimana karakter dari anggota satreskrim tersebut dalam
melaksanakan tugas?
6. Berapa jumlah anggaran yang diterima oleh Unit Reskrim Polres Metro
Jakarta Pusat dalam setahun serta bagaimana peruntukannya?
7. Bagaimana gambaran ketersediaan sarana prasarana yang dimiliki oleh
Polres Metro Jakarta Pusat dikaitkan dengan kebutuhan dalam
pelaksanaan tugas?
8. Apa isi rencana kerja tahunan Satreskrim Polres Metro Jakarta Pusat,
bagaimana proses formulasinya, implementasi, serta evaluasi dari
rencana kerja tersebut?
9. Bagaimana kebijakan Kapolres dan Satreskrim terkait pencegahan
kejahatan penipuan melalui media elektronik?
10. Bagaimana mekanisme pengawasan, pengendalian, dan evaluasi
kebijakan pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik
yang ada di Polres Metro Jakarta Pusat?
ANGGOTA SAT BINMAS Daftar Pertanyaan :
1. Bagaimana gambaran umum masyarakat, kerawanan, dan potensi
wilayah Kota Administrasi Jakarta Pusat?
2. Berapa jumlah personil yang dimiliki oleh Satbinmas Polres Metro
Jakarta Pusat dan bagaimana karakter dari anggota tersebut dalam
melaksanakan tugas?
3. Berapa jumlah anggaran yang diterima oleh Satbinmas Polres Metro
Jakarta Pusat dalam setahun serta bagaimana peruntukannya?
4. Bagaimana gambaran ketersediaan sarana prasarana yang dimiliki oleh
Polres Metro Jakarta Pusat dikaitkan dengan kebutuhan dalam
pelaksanaan tugas?
5. Apa isi rencana kerja tahunan Satbinmas Polres Metro Jakarta Pusat,
bagaimana proses formulasinya, implementasi, serta evaluasi dari
rencana kerja tersebut?
6. Bagaimana kebijakan Kapolres dan Satbinmas terkait pencegahan
kejahatan penipuan melalui media elektronik?
7. Bagaimana mekanisme pengawasan, pengendalian, dan evaluasi
kebijakan pencegahan kejahatan penipuan melalui media elektronik
yang ada di Satbinmas Polres Metro Jakarta Pusat?
KORBAN PENIPUAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK Daftar Pertanyaan :
1. Bagaimana modus kejahatan penipuan melalui media elektronik yang
terjadi pernah dialami?
2. Bagaimana pengetahuan Sdr tentang modus kejahatan penipuan
melalui media elektronik?
3. Bagaimana respon Sdr ketika berkomunikasi dengan pelaku kejahatan
penipuan melalui media elektronik?
4. Mengapa Sdr percaya akan kata-kata yang diucapkan oleh pelaku?
5. Bagaimana gambaran umum karakter pelaku kejahatan penipuan
melalui media elektronik?
6. Apa jenis media elektronik yang digunakan sebagai sarana melakukan
kejahatan penipuan melalui media elektronik oleh pelaku?
7. Bagaimana karakter dari anggota satreskrim tersebut dalam
melaksanakan tugas?
PERWAKILAN BANK YANG MEMBIDANGI E-COMMERCE
Daftar Pertanyaan :
1. Bagaimana pengetahuan Sdr tentang modus kejahatan penipuan
melalui media elektronik?
2. Bagaimana sistem formulasi kebijakan pencegahan kejahatan penipuan
dalam layanan jual beli online di tempat Sdr bekerja?
3. Apakah saudara pernah bertemu dengan korban kejahatan penipuan
melalui media elektronik selama bertugas? Jelaskan!
4. Bagaimana mekanisme pegawasan pembukaan rekening di bank
saudara?
5. Apakah ada kerjasama antara bank dengan kepolisian terkait pidana
mengenai pemalsuan identitas atau kejahatan penipuan melalui media
elektronik?
6. Bagaimana sistem keamanan vendor penyedia jasa jual beli online
terkait keamanan dalam bertransaksi?
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN BIDANG AKADEMIK
LEMBAR PERSETUJUAN PENELITIAN
Setelah dilakukan pemeriksaan dan pembahasan terhadap rencana
penelitian yang diajukan dengan judul :
“STRATEGI PEMOLISIAN PENCEGAHAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK DI POLRES METRO JAKARTA PUSAT”
Diajukan oleh:
Nama : TIKSNARTO ANDARU RAHUTOMO
No. Mahasiswa : 15688956
Sindikat : X (SEPULUH)
Oleh karena itu Saya selaku Pembimbing Materi telah memberikan
persetujuan terhadap Rencana Penelitian tersebut dan selanjutnya dapat
dilaksanakan penelitian lebih lanjut.
Jakarta, April 2016 Pembimbing Materi SURYA DHARMA, MPA, Ph.D
LAMPIRAN FOTO KEGIATAN PENELITIAN
Wawancara dengan Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Pol Hendro Pandowo , S.ik, Msi.
Wawancara dengan Kabag Perencanaan Polres Metro Jakarta Pusat
Wawancara dengan Kasubbag Anggaran dan anggota bagian perencanaan Polres Metro Jakpus
Wawancara dengan Kasat Binmas Polres Metro Jakpus
Wawancara dengan Kasat Reskrim Polres Metro Jakpus
Wawancara dengan Kanit Krimsus Polres Metro Jakpus
Wawancara dengan penyidik Sat Reskrim Polres Metro Jakpus Wawancara dengan salah satu korban penipuan melalui media elektronik
Wawancara dengan salah satu korban penipuan melalui media elektronik
Wawancara dengan perwakilan bank yang membidangi e-commerce
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
PENDIDIKAN UMUM :
1. SD NEGERI MIJEN 03 SEMARANG TAHUN 2000
2. SMP NEGERI 16 SEMARANG TAHUN 2003
3. SMA NEGERI 3 SEMARANG TAHUN 2006
4. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG KARNO TAHUN 2012
POLRI : 1. AKPOL TAHUN 2009
KEJURUAN DAN PELATIHAN : 1. FINANCIAL CRIME INVESTIGATION JCLEC TAHUN 2012 2. FINANCIAL CRIME INVESTIGATION JCLEC TAHUN 2013 3. DIKBANGSPES TP LINGKUNGAN HIDUP TAHUN 2014 4. COMPUTER FORENSIK COURSE (ILEA) TAHUN 2014
RIWAYAT JABATAN : 1. KASPK POLSEK METRO TANAH ABANG
2. KASUBNIT RESKRIM POLSEK METRO TANAH ABANG
3. KASUBNIT RESMOB SATRESKRIM POLRES METRO JAKPUS
4. KASUBNIT RESKRIM POLSEK METRO GAMBIR
5. KASUBNIT KRIMSUS SATRESKRIM POLRES METRO JAKPUS
6. KANIT RESKRIM POLSEK KEMAYORAN
7. KANIT IV IDIK SATRESKRIM POLRES METRO JAKPUS
NAMA : TIKSNARTO ANDARU RAHUTOMO
PANGKAT : AKP
NRP : 89050609
TTL : SEMARANG, 2 FEBRUARI 1989
AGAMA : ISLAM