Skripsi Marlina

130
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah individu unik dan aset utama yang sebagian besar aktivitasnya adalah bermain. Anak merupakan generasi muda penerus cita-cita bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Pembangunan nasional bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Sumber daya manusia dapat dikembangkan sedini mungkin bahkan sejak manusia itu sendiri masih di dalam kandungan ibunya. Dalam upaya pembangunan manusia yang berkualitas tersebut faktor perkembangan anak juga menjadi perhatian khusus pemerintah. Anak menjadi potensi dan penerus cita-cita bangsa. Anak termasuk individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri 1

description

skripsi marlina

Transcript of Skripsi Marlina

BAB I

PENDAHULUANA. Latar Belakang Anak adalah individu unik dan aset utama yang sebagian besar aktivitasnya adalah bermain. Anak merupakan generasi muda penerus cita-cita bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Pembangunan nasional bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Sumber daya manusia dapat dikembangkan sedini mungkin bahkan sejak manusia itu sendiri masih di dalam kandungan ibunya. Dalam upaya pembangunan manusia yang berkualitas tersebut faktor perkembangan anak juga menjadi perhatian khusus pemerintah. Anak menjadi potensi dan penerus cita-cita bangsa. Anak termasuk individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri (Supartini, 2004). Anak yang sejahtera karena perhatian dan kasih sayang dari lingkungan sekitarnya akan bertumbuh dan berkembang menjadi manusia yang berkualitas pada masa yang akan datang. Perawatan dan pendidikan merupakan rangsangan dari lingkungan yang lebih berpengaruh dalam kehidupan anak menuju kedewasaan (Suherman, 2000). Dalam paradigma keperawatan anak, lingkungan internal dan eksternal sangat berperan dalam perubahan status kesehatan anak seperti turunan, jenis kelamin, peran orang tua, saudara, teman sebaya dan masyarakat. Apabila lingkungan di sekitar anak tidak mendukung maka status kesehatan anak tidak akan mencapai kesejahteraan dan anak cenderung mengalami sakit (Hidayat, 2008).Menurut Potter dan Perry (2005), Anak prasekolah adalah mereka yang berusia 3 sampai 6 tahun. Ketika anak memasuki masa prasekolah (3-6 tahun) kemampuan interaksi sosialnya lebih luas. Jangkauan pergaulan anak sampai di lingkungan tetangga di mana anak akan bertemu dengan anak lain dan orang dewasa. Keingintahuan mereka dan inisiatif yang berkembang mengarah pada eksplorasi aktif terhadap lingkungan, perkembangan ketrampilan baru dan memiliki teman baru. Anak prasekolah akan bekerja sama dengan anak lain dalam permainan. Penyakit dan hospitalisasi sering menjadi krisis pertama yang harus dihadapi anak. Ini disebabkan karena perawatan di rumah sakit memaksa anak berpisah dari lingkungan yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang dan menyenangkan. Umumnya pada anak yang mengalami hospitalisasi akan muncul perasaan marah, takut, sedih, cemas, menarik diri dari orang lain dan rasa bersalah. Reaksi-reaksi tersebut sangat dipengaruhi oleh usia perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang dimiliki (Wong, 2008). Pada anak usia prasekolah sering menunjukkan perilaku-perilaku menolak makan, sering bertanya, menangis, takut, perilaku menyerang, berontak, melarikan diri, ketergantungan pada orang tua, tidak mau bekerja sama dengan perawat dan dokter. Di sini diperlihatkan bahwa anak tidak bisa berinteraksi sosial dengan orang-orang di sekitarnya termasuk dengan dokter dan perawat yang memberikan pelayanan, sehingga memengaruhi proses pemberian tindakan keperawatan dan medik serta memperlambat penyembuhan anak yang pada akhirnya rencana pemulangan ditunda dan hari rawat bertambah.Salah satu fungsi perawat adalah meringankan respon hospitalisasi, dengan cara menghibur, klien dan memenuhi segala kebutuhannya, seperti memberikan suatu lingkungan yang dapat menghilangkan kecemasan yang disebabkan oleh penyakit dan lingkungan rumah sakit. Salah satu cara meminimalkan kecemasan anak yaitu dengan bermain, karena dengan bermain akan berdampak penting bagi kesehatan mental, emosional, dan sosial (Nursalam, 2005).Bermain merupakan salah satu aspek penting dari kehidupan anak dan alat paling efektif untuk mengatasi stress pada anak. Melalui bermain anak dapat mengekspresikan pikiran, perasaan, fantasi serta daya kreasi dengan tetap mengembangkan kreatifitasnya dan beradaptasi lebih efektif terhadap berbagai sumber stres. Selain itu dengan bermain juga anak dapat belajar mengungkapkan isi hati melalui kata-kata, belajar dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, obyek bermain, waktu, ruang, dan orang. Menurut Hidayat (2008), bermain dapat meningkatkan sosialisasi anak dan proses sosialisasi dapat terjadi melalui permainan. Dalam penggunaan alat permainan pada anak, usia tumbuh kembang juga perlu diperhatikan karena setiap tahap usia tumbuh kembang memiliki tugas perkembangan masing-masing. Salah satu jenis permainan yang dilakukan oleh anak usia prasekolah adalah dramatic play, di mana permainan ini akan memainkan peran sebagai orang lain melalui permainan, misalnya: berperan sebagai dokter dan perawat. Hal ini sesuai dengan perkembangan sosial anak prasekolah. Menurut Wong (2008) bermain di rumah sakit bermanfaat untuk meningkatkan interaksi dan perkembangan yang positif terhadap orang lain, sebagai alat untuk mencapai tujuan terapeutik. Bila anak yang mengalami hospitalisasi dapat berinteraksi sosial dengan temannya, pengunjung, perawat, dokter, dan petugas lainnya di rumah sakit maka semua tindakan keperawatan dan medik dapat diberikan sesuai dengan yang direncanakan serta hari rawat pasien tidak bertambah panjang.Anak mempunyai daya tahan tubuh yang sangat rendah dibandingkan orang dewasa sehingga anak sering mengalami sakit. Hampir semua rumah sakit menyediakan tempat untuk perawatan anak. Berdasarkan data yang diperoleh dari Rekam Medik RSUD Umbu Rara Meha Waingapu jumlah anak usia prasekolah (3- 6 tahun), tahun 2011 berjumlah 567 orang dan pada 6 bulan terakhir antara Januari sampai Juni 2012 berjumlah 238 orang. Hasil dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Ruangan Anggrek Rumah Sakit Umum Umbu Rara Meha Waingapu, 18-25 Agustus 2012, melalui observasi pada 10 anak umur 3-6 tahun yang pertama kali mengalami hospitalisasi, diruangan kelas 2 dan 3. Dari hasil observasi didapatkan data bahwa 5 dari 10 orang anak prasekolah semua tidak kooperatif terhadap tindakan keperawatan yang diberikan seperti pada saat pemeriksaan fisik, injeksi, pemasangan infus, pengambilan sampel laboratorium, saat perawat membawa obat, 3 orang menunjukkan persoalan ketergantungan yang sangat tinggi, 2 orang menunjukkan peersoalan ketergantungan sedang dengan orang tua atau pengasuh utama di rumah, terutama ibunya. Hal ini ditunjukkan dengan anak tidak menjawab pertanyaan perawat atau orang yang baru ditemui, anak menangis, selalu minta pulang dan rewel, anak selalu digendong dan terlihat takut pada perawat yang datang. Hal ini membuat perawat cukup kesulitan dalam melakukan tindakan keperawatan. Orang tua pasien mengatakan bahwa tidak biasa membiarkan anak bermain selama anaknya dirawat. Hal ini disebabkan alat dan tempat bermain yang dimiliki orang tua dan rumah sakit terbatas, sehingga anak cenderung diam tanpa melakukan apapun saat sakit. Orang tua juga melarang anak bermain selama sakit karena beranggapan bila beraktifitas penyakit anak semakin parah, sehingga anak tidak boleh beraktivitas karena sakit. Selain itu orang tua memiliki kebiasaan membiarkan anak bermain sendiri tanpa jelas maksud dan tujuan bermain, sedangkan usia 3-6 tahun termasuk dalam golden periode. Bila orang tua kurang memperhatikan hal tersebut akan memberikan dampak kurang baik pada anak di masa yang akan datang dalam perkembangan fisik, psikologis maupun sosialnya. Di RSUD Umbu Rara Meha Waingapu khususnya Ruangan Anggrek memiliki Ruang bermain tetapi tidak atau jarang dipergunakan, hanya digunakan bila ada mahasiswa D3 Keperawatan yang praktek saja. Berdasarkan fenomena diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian guna mengetahui Pengaruh terapi bermain dramatic play terhadap interaksi sosial anak prasekolah yang dirawat di ruangan Anggrek Rumah Sakit Umum Umbu Rara Meha Waingapu Kabupaten Sumba Timur Propinsi NTT. Dari pemikiran tersebut maka penelitian ini dilakukan pemberian terapi bermain terhadap beberapa anak prasekolah dan dilakukan observasi untuk melihat pengaruh yang ditunjukkan terhadap interaksi sosial anak tersebut. B. Rumusan MasalahBerdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah penelitian adalah; Apakah ada pengaruh terapi bermain dramatic play terhadap interaksi sosial anak prasekolah yang menjalani hospitalisasi di RSUD Umbu Rara Meha Waingapu tahun 2012?

C. Tujuan Penelitian1. Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh terapi bermain dramatic play terhadap interaksi sosial anak prasekolah yang menjalani hospitalisasi di RSUD Umbu Rara Meha Waingapu tahun 2012.2. Tujuan khusus a. Mengidentifikasi interaksi sosial anak prasekolah yang menjalani hospitalisasi sebelum diberikan terapi bermain dramatic play.b. Mengidentifikasi interaksi sosial anak prasekolah yang menjalani hospitalisasi setelah diberikan terapi bermain dramatic play. c. Menganalisa pengaruh terapi bermain dramatic play terhadap interaksi sosial anak prasekolah yang menjalani hospitalisasi sebelum diberi terapi bermain dan sesudah di beri terapi bermain dramatic play.

D. Manfaat Penelitian1. Manfaat Teoritisa. Secara umum memberikan masukan kepada rumah sakit, khususnya ruangan Anggrek dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak prasekolah dengan memberikan terapi bermain, sehingga anak dapat berinteraksi sosial dalam perawatan.b. Bahan masukan dalam memperkaya asuhan keperawatan pada anak prasekolah, apabila dengan pemberian terapi bermain, anak dapat berinteraksi sosial, sehingga diharapkan proses penyembuhan anak dapat berjalan dengan cepat dan anak dapat melanjutkan kegiatannya. c. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk memperkaya pengetahuan keperawatan khususnya bidang perawatan anak untuk mengenal masalah terhadap dampak hospitalisasi.2. Manfaat Praktisa. Bagi peneliti.Menambah pengetahuan bagi peneliti terkait terapi bermain dramatic play dan perkembangan anak prasekolah.b. Bagi institusi pelayanan kesehatan. Menjadi rekomendasi bagi perawat untuk melaksanakan terapi bermain dramatic play dalam meminimalkan dampak hospitalisasi bagi anak prasekolah.c. Bagi profesi keperawatan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi serta memperkuat teori tentang terapi bermain dan perkembangan anak dalam hal ini interaksi sosial anak prasekolah.d. Bagi masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah pengetahuan masyarakat khususnya keluarga dan anak prasekolah tentang terapi bermain dan interaksi sosial dan mampu mengaplikasikannya.

E. Keaslian Penelitian1. Lutht, Arifah (2007), Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Kecemasan Anak Prasekolah yang Dirawat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sarila Husada Sragen. Jenis penelitian pre-eksperimen menggunakan rancangan static group comparison. Jumlah sampel 20 pasien, dengan hasil (p 1 tahun sampai 3 tahun). Jenis permainan yang tepat adalah: solitary play dan parallel play. Karasteristik usia toddler adalah banyak bergerak, tidak bisa diam, mulai mengembangkan otonomi dan kemampuannya untuk dapat mandiri, rasa ingin tahu besar. Sehingga mainannya sering dibongkar bangkir.3) Usia prasekolah (>3 tahun sampai 6 tahun). Anak prasekolah mempunyai kempuan motorik halus dan kasar lebih matang. Anak lebih aktif, kreatif, dan imajinatif. Jenis permainan yang sesuai adalah asosiative play, dramatic play dan skill play.4) Usia sekolah (6 tahun sampai 12 tahun). Anak usia sekolah lebih mampu bekerja sama dengan teman sepermainannya. Mereka mulai belajar tentang norma baik atau buruk. Karakteristik permainan dibedakan menurut jenis kelamin.5) Usia remaja (13-18 tahun). Anak usia remaja berada pada masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Di masa pada usia ini mereka mengalami krisis identitas. Sehingga jenis permainan yang cocok adalah yang dapat menyalurkan minat, bakat dan aspirasi sehingga mereka dapat menemukan identitasnya.

5. Prinsip-Prinsip dalam Aktivitas BermainSortjiningsih (cit Nursalam, 2005) mengatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu di perhatikan agar aktivitas bermain bisa menjadi stimulasi yang efektif, antara lain perlu:a. Perlu Ekstra energi.Bermain memerlukan energi yang cukup, sehingga anak memerlukan nutrisi yang memadai, asupan yang kurang menurunkan gairah anak. anak yang sehat memerlukan aktivitas bermain yang bervariasi, baik bermain aktif maupun bermain pasif, untuk menghindari rasa bosan atau jenuh. Pada anak sakit, keinginan bermain umumnya menurun karena energi yang ada digunakan untuk mengatasi penyakitnya. Aktivitas bermain anak sakit adalah bermain pasif, seperti menggambar dan menonton TV. b. Waktu yang Cukup.Anak harus mempunyai cukup waktu untuk bermain sehingga stimulasi yang diberikan dapat optimal. Selain itu anak akan mempunyai kesempatan yang cukup untuk mengenal alat-alat permainannya. Pada permainan dramatic play menggunakan durasi kurang lebih 15 menit.c. Alat Permainan.Alat permainan yang di gunakan harus disesuaikan dengan usia dan tahap perkembangan anak.

d. Ruangan Bermain. Aktivitas bermain dapat dilakukan dimana saja, diruang rawat, di ruangan perawat kalau memungkinkan, di teras rumah sakit bila memungkinkan, bahkan di ruang tidur. Bila memungkinkan disediakan ruangan atau tempat khusus untuk bermain, dimana ruangan tersebut menjadi tempat untuk menyimpan mainan. Syarat ruang bermain; menarik dan menyenangkan, bersih, aman dan nyaman bagi anak.e. Pengetahuan Cara Bermain. Anak belajar bermain dari mencoba-coba sendiri, meniru teman-temannya, atau diberitahu oleh orang tuanya. Cara yang terakhir adalah yang terbaik karena anak lebih terarah dan lebih berkembang pengetahuannya dalam menggunakan alat-alat permainan tersebut.f. Teman Bermain. Dalam bermain anak memerlukan teman, bisa teman sebaya, saudara, atau orang tuanya. Bermain yang dilakukan bersama orang tuanya akan mengakrabkan hubungan dan sekaligus memberi kesempatan pada orang tua untuk mengetahui setiap kelainan yang dialami oleh anaknya. Bermain dengan teman diperlukan untuk mengembangkan sosialisasi anak dan membantu anak dalam memahami perbedaan.

6. Bermain Bagi Anak yang Dirawat di Rumah SakitPerawatan anak di rumah sakit merupakan pengalaman yang penuh stress, baik bagi anak maupun orang tua. Beberapa bukti ilmiah menunjukkan bahwa lingkungan rumah sakit itu sendiri penyebab stress bagi anak dan orang tuanya. Perasaan takut, cemas, tegang, nyeri dan perasaan tidak menyenangkan lainnya sering dialami anak. bermain adalah media yang paling efektif untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran anak, mengalihkan perasaan nyeri dan relaksasi.Terapi bermain adalah suatu bentuk terapi yang menggunakan media unik sebagai bagian integral dari masa anak-anak untuk mengembangkan ketrampilan bahasa ekspresif, ketrampilan komunikasi, perkembangan emosional, ketrampilan sosial, kemampuan memberi keputusan dan perkembangan kognisi pada anak.Menurut Supartini (2004), aktifvitas bermain yang dilakukan perawat pada anak di rumah sakit akan memberi keuntungan sebagai berikut :a). Meningkatkan hubungan antar klien (anak dan keluarga) dan perawat. Dengan melaksanakan kegiatan bermain, perawat mempunyai kesempatan untuk membina hubungan yang baik dan menyenangkan dengan keluarganya. Bermain merupakan alat komunikasi yang efektif antara perawat dan klien. b). Memulihkan perasaan mandiri pada anak. c). Memberikan rasa senang pada anak dan membantu anak mengekspresikan perasaan cemas, takut, sedih, tegang dan nyeri. d).Permainan yang terapeutik dapat meningkatkan kemampuan anak untuk menilai tingkah laku yang positif. e).Permainan yang memberi kesempatan pada anak berkompetisi secara sehat, akan dapat menurunkan ketegangan pada anak dan keluarga. Wong (2008) mengatakan bahwa bermain di rumah sakit mempunyai banyak manfaatnya, antara lain : memberi pengalihan dan menyebabkan relaksasi, membantu anak merasa lebih aman di tempat yang asing, membantu mengurangi stress akibat perpisahan dan perasaan rindu rumah, sebagai alat melepaskan ketegangan dan ungkapan perasaan, meningkatkan interaksi dan perkembangan sikap yang positif terhadap orang lain, sebagai alat ekspresi dan minat, sebagai alat untuk mencapai tujuan terapeutik, menempatkan anak pada peran aktif dan memberi kesempatan pada anak untuk menentukan pilihan serta merasa mengendalikan.Kegiatan bermain bagi anak di rumah sakit tetap mengacuh pada tahap tumbuh kembang anak dan prinsip bermain di rumah sakit. Menurut Wong (2008), materi bermain untuk anak-anak di rumah sakit harus sesuai dengan usia, minat, dan keterbatasannya. Adapun beberapa prinsip permainan pada anak di rumah sakit menurut Supartini (2004) antara lain :a. Permainan tidak boleh bertentangan dengan pengobatan yang sedang dijalankan pada anak.Apabila anak harus tirah baring, harus pilih permainan yang dapat dilakukan di tempat tidur, dan anan tidak boleh diajar untuk bermain dengan kelompoknya di tempat khusus yang ada di ruangan rawat. Misalnya : sambil tiduran di bacakan buku cerita, diberikan komik tentang anak-anak, mobil-mobilan yang tidak pakai remote control.b. Permainan tidak membutuhkan banyak energi, singkat dan sederhana. c. Pilih mainan yang tidak melelahkan anak, menggunakan mainan yang ada pada anak dan atau yang tersedia di ruangan. Kalaupun membuat suatu alat permainan pilih mainan yang sederhana supaya tidak melelahkan anak, seperti menggambar atau mewarnai, bermain boneka, membaca buku cerita, alat berdandan.d. Permainan harus mempertimbangkan keamanan anak. Permainan yang aman untuk anak, tidak tajam, tidak merangsang anak untuk berlari-lari, dan bergerak secara berlebihan.e. Permainan harus melibatkan kelompok umur yang sama. Apabila permainan dilakukan khusus di kamar bermain secara kelompok. Permainan harus dilakukan pada kelompok umur yang sama. Misalnya; permainan mewarnai pada umur prasekolah.f. Melibatkan orang tua. Suatu hal yang harus diingat bahwa orang tua mempunyai kewajiban untuk tetap melangsungkan upaya stimulasi tumbuh kembang pada anak walaupun sedang di rawat di rumah sakit, termasuk aktivitas bermain anaknya. Pelaksanan aktivitas bermain di rumah sakit, memerlukan keterlibatan petugas kesehatan, termasuk tenaga perawat yang bertugas di ruangan anak. Untuk itu perlu upaya-upaya sebagai berikut:

a). Menyediakan alat permainan.b). Menyediakan tempat bermain.c). Dalam pelaksanaannya aktivitas bermain di rumah sakit merupakan tanggung jawab petugas kesehatan dengan bantuan orang tua.D. Hospitalisasi1. Pengertian HospitalisasiHospitalisasi adalah suatu proses karena sesuatu alasan yang berencana atau darurat mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya ke rumah (Supartini, 2004). Supartini (dalam Wong, 2000) berbagai perasaan yang sering muncul pada anak, yaitu cemas, marah, sedih, takut dan rasa bersalah.2. Dampak HospitalisasiPerawatan anak usia prasekolah di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan yang diharapkannya aman, penuh kasih sayang dan menyenangkan. Lingkungan tersebut adalah rumah, permainan, dan teman sepermainan. Stress karena penyakit biasanya membuat anak menjadi kurang mampu menghadapi perpisahan, akibatnya mereka menunjukkan banyak perilaku cemas dan protes. Pada umumnya, reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh, dan rasa nyeri. Reaksi terhadap pengalaman hospitalisasi tersebut bersifat individual, dan beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi anak terhadap hospitalisasi sangat tergantung pada tahapan usia perkembangan, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang dimiliki (Supartini 2004). Menurut Wong (2004), anak-anak, terutama selama tahun-tahun awal kehidupan sangat rentan terhadap krisis penyakit dan hospitalisasi karena: pertama, stress akibat perubahan dari keadaan sehat biasa dan rutinitas lingkungan. Kedua, anak memiliki jumlah mekanisme koping yang terbatas untuk menyelesaikan stressor.Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak prasekolah adalah menolak makan, sering bertanya, menangis walau secara perlahan, mengalami sulit tidur, menangis diam-diam karena kepergian orang tua, dan tidak mau bekerja sama dengan orang lain. Mereka dapat mengungkapkan rasa marah secara tidak langsung dengan memecahkan mainan, memukul anak lain, dan menolak kerja sama dalam aktivitas perawatan diri dengan petugas kesehatan. Perawatan di rumah sakit sering kali dipersepsikan anak prasekolah sebagai hukuman sehingga anak akan merasa malu, bersalah atau takut. Ketakutan anak terhadap perlukaan muncul karena anak menggangap tindakan dan prosedurnya mengancam integritas tubuhnya. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan reaksi agresif dengan marah dan berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja sama dengan perawat dan ketergantungan pada orang tua. Menurut Wong (2008), kekuatiran akan mutilasi memuncak pada usia prasekolah. Kehilangan bagian tubuh kepada perawat pergi dari sini, saya benci kamu atau tolong saya jangan di suntik. Ekspesi non verbalnya mendorong orang yang melakukan tindakan invasive, mengunci diri, dan mengamankan peralatan.3. Upaya untuk mengurangi dampak hospitalisasiUsaha perawat untuk mengurangi reaksi hospitalisasi adalah :a. Partisipasi orang tua atau keluargab. Pengaturan ruang perawatan seperti situasi di rumahc. Mengijinkan anak untuk membawa barang kesayangannyad. Memberikan kesempatan pada anak untuk mengambil keputusane. Menjelaskan kepada anak tindakan yang akan dilakukan padanya f. Memberi kesempatan anak untuk bersosialisasi dan bermain.

E. Pengaruh Terapi Bermain Dramatic Play Terhadap Interaksi Sosial Anak Prasekolah yang Menjalani Hospitalisasi.Pada saat dirawat di rumah sakit anak akan mengalami berbagai perasaan yang sangat tidak menyenangkan seperti: marah, takut, cemas, sedih dan nyeri. Perasaan tersebut merupakan dampak hospitalisasi yang dialami anak karena menghadapi beberapa stressor yang ada di rumah sakit.Beberapa kesimpulan dari hasil penelitian menyatakan bahwa ada pengaruh terapi bermain terhadap interaksi sosial, seperti:1. Pengaruh terapi bermain dengan tehnik bercerita terhadap kecemasan akibat hospitalisasi pada anak prasekolah di ruang perawatan anak RSUD Kota Yogyakarta oleh Eka Suryaning Tyas, dengan hasil penelitian ada pengaruh yang signifikan pada pemberian terapi bermain dengan tehnik bercerita terhadap kecemasan akibat hospitalisasi terhadap anak prasekolah di ruang perawatan anak RSUD Kota Yogyakarta.2. Pengaruh terapi bermain terhadap penerimaan tindakan invasive pada anak prasekolah di ruang anak RSUD Ngudi Waluyo Wlingi Blitar oleh Citra Widayasari, Hurun Ain, Ganif Djuwadi dengan hasil penelitian ada pengaruh terapi bermain terhadap tindakan invasive pada anak prasekolah di ruangan anak RSUD Ngudi Waluyo Wlingi Blitar sehingga anak prasekolah yang diberikan terapi bermain lebih baik penerimaannya daripada sebelum diberikan terapi bermain.3. Pengaruh terapi bermain terhadap tingkat kooperatif selama menjalani perawatan pada anak usia Pra sekolah (3 5 tahun) di rumah sakit Panti rapih Yogyakarta oleh Rahmawati Dewi Handayani dan Ni Putu Dewi Puspitasari, dengan hasil Pemberian terapi bermain dapat meningkatkan perilaku kooperatif anak usia pra sekolah selama menjalani perawatan di ruang CB 2 Anak kelas 2 dan 3 Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Hal ini sesuai dengan teori bahwa terapi bermain adalah pemanfaatan permainan sebagai media yang efektif oleh terapis untuk membantu klien mencegah atau menyelesaikan kesulitan-kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal melalui eksplorasi dan ekspresi diri (Nuryanti, 2007). Kesimpulan yang diambil dalam penelitian ini adalah: Ada pengaruh terapi bermain terhadap tingkat kooperatif pada anak usia 3-5 tahun di Ruang CB2 Anak Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.Untuk itu anak memerlukan media yang dapat mengekspresikan perasaannya. Media yang paling efektif adalah melalui kegiatan permainan. Permainan merupakan aktifitas yang sehat dan diperlukan untuk tumbuh kembang anak, dimana bermain juga sangat penting untuk kesehatan mental, emosional, dan sosial (Nursalam,2005). Aktivitas bermain yang dilakukan perawat pada anak usia prasekolah di rumah sakit akan memberikan keuntungan:a. Meningkatkan hubungan antara perawat dan pasienb. Aktivitas bermain yang terprogram akan memulihkan perasaan mandiri pada anakc. Permainan pada anak di rumah sakit tidak hanya memberi rasa senang pada anak tetapi juga membuat anak mengekspresikan perasaan dan pikiran cemas, takut, sedih, tegang dan nyerid. Permainan yang terapeutik akan dapat meningkatkan kemampuan anak untuk mempelajari tingkah laku yang penting (Supartini 2004). Sehingga anak dapat berinteraksi dengan orang yang ada di rumah sakit.

10BAB IIIKERANGKA KONSEP

A. Kerangka KonsepTahap yang penting dalam penelitian ini adalah penyusunan kerangka konsep. Konsep adalah abstraksi dari suatu realita agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antara variabel (baik variabel yang di teliti maupun tidak diteliti). Kerangka konsep dalam penelitian ini, sebagai berikut:

Faktor yang mempengaruhi reaksi anak terhadap hospitalisasi adalah;Usia perkembanganPengalaman sebelumnya terhadap sakitSistem pendukung yang tersediaKemampuan koping yang dimiliki

Reaksi anak prasekolah terhadap hospitalisasi:Menolak makanSering bertanyaMenangis diam-diamMemecahkan mainanMenolak bekerja sama dengan dokter dan perawat

Anak Prasekolah menjalani hospitalisasi

Terapi bermain(dramatic play)

Interaksi Sosial

BaikKurangCukup

Bagan 3.1 : Kerangka Konsep Penelitian: Pengaruh Terapi Bermain Dramatic Play Terhadap Interaksi Sosial Anak Prasekolah yang Menjalani Hospitalisasi di RSUD Umbu Rara Meha Waingapu.

Keterangan : : variabel yang tidak diteliti : Variabel yang diteliti : Alur Pikir

Anak prasekolah adalah anak usia 3-6 tahun. Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya ke rumah. Anak prasekolah menjalani hospitalisasi akan menimbulkan reaksi-reaksi seperti: menolak makan, sering bertanya, sulit tidur, menarik diri, menangis diam-diam, memecahkan mainan, menolak kerja sama dengan dokter dan perawat. Disini diperlihatkan bahwa anak tidak dapat berinteraksi dengan orang-orang yang ada disekitarnya termasuk dokter, perawat dan pasien lain. Faktor yang mempengaruhi reaksi anak terhadap hospitalisasi adalah: usia perkembangan, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang dimiliki. Terapi bermain adalah suatu bentuk terapi yang menggunakan media unik sebagai bagian integral dari masa anak-anak untuk mengembangkan ketrampilan ekspresif, ketrampilan komunikasi, perkembangan emosional, ketrampilan sosial, kemampuan membuat keputusan dan perkembangan kognisi pada anak. Perawat menggunakan bermain sebagai terapi bagi anak yang sedang menjalani hospitalisasi, dengan harapan dapat meningkatkan interaksi sosial anak dengan dokter, perawat, dan pasien lain. Dalam penelitian ini, yang di teliti adalah pengaruh terapi bermain dramatic play terhadap interaksi sosial.

B. Variabel PenelitianVariabel penelitian merupakan objek atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Dalam penelitian ini akan diteliti dua variabel yaitu:1. Variabel Independen atau Bebas Adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain. Variabel bebas biasanya dimanipulasi, diamati dan diukur untuk diketahui hubungannya atau pengaruhnya terhadap variabel lain (Nursalam, 2011). Variabel independen dalam penelitian ini adalah terapi bermain.

2. Variabel dependen Adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2011). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah interaksi sosial anak prasekolah yang menjalani hospitalisasi.

C. Defenisi Operasional PenelitianOperasional merupakan bagian dari keputusan, dan mengandung aspek isi dan luas (Nursalam, 2011). Perumusan defenisi operasional dalam penelitian ini diuraikan dalam tabel 3.1

Tabel 3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional NoVariabelDefenisi OperasionalParameterAlat Ukur dan Cara Ukur SkalaSkor

11 1.

2.

Variabel Independen

Terapi bermain

Variabel dependen: Interaksi sosial anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasiMerupakan kegiatan bermainan yang diberikan perawat kepada anak prasekolah yang menjalani hospitalisasi dengan jenis permainan dramatic play yaitu anak meniru orang lain dalam bermain. Contoh: berperan sebagai dokter dan perawat dengan alat bermain berupa boneka dan alat medik (stetoskop, thermometer dan spoit). Permainan ini diberikan 2 kali selama perawatan di rungan bermain dan ruangan perawatan, selama 45 menit.

Hubungan sosial anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi dimana terjadi interaksi antara anak dengan dokter, perawat dan pasien lain di dalan satu ruangan.

Pedoman terapi bermain : dramatic play pada anak usia prasekolah.

Jumlah jawaban yang diisi pada check list interaksi sosial anak prasekolah yang menjalani hospitalisasi menggunakan skala Guttman, yaitu memberi jawaban tegas ya da tidak.

SOP pelaksanaan terapi bermain.dan

Check list

Ordinal

.

1= Skor 3: 14-20 Skor 2: 8-13Skor 1: 0-7

D. HipotesaHipotesa adalah suatu asumsi pernyataan tentang hubungan antara dua atau lebih variabel yang diharapkan bisa menjawab suatu pertanyaan dalam riset (Nursalam, 2011). Hipotesis dalam penelitian ini menggunakan hipotesis alternative (H1/Ha). H1: ada pengaruh terapi bermain dramatic play terhadap interaksi sosial anak prasekolah yang menjalani hospitalisasi di RSUD Umbu Rara Meha Waingapu tahun 2012.

46BAB IVMETODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimen dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah pra-eksperimen dengan one group pre-post test design. Ciri dari tipe penelitian ini adalah mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek. Kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian di observasi lagi setelah diberikan intervensi (Nursalam, 2011). Dalam penelitian ini dipilih satu kelompok usia prasekolah yang diawali dengan observasi interaksi sosial (pretest) pada hari pertama masuk ruang anak. Setelah itu diberikan perlakuan berupa terapi bermain dramatic play minimal 2 kali selama perawatan, kemudian dilakukan observasi lagi terhadap interaksi sosialnya (posttest) pada hari ke 3 perawatan. Pengujian sebab akibat dilakukan dengan cara membandingkan hasil pretest dan posttest. Adapun desain dalam penelitian ini dapat dijelaskan pada skema sebagai berikut (Notoatmodjo, 2005).

01 X 02Pretest Perlakuan Posttest

Keterangan :

01 : Sebelum perlakuan X: Perlakuan 02: Sesudah perlakuan

B. Kerangka Kerja

Populasi: anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi pada tanggal 20 Desember 2012 sampai 20 Januari 2013

Kriteria eksklusiKriteria inklusi

Sampling: Non probability dengan teknik purposive sampling

Sampel berjumlah 30 orang37 orang.

Melakukan observasi pretest interaksi sosial anak prasekolah pada hari pertama

Memberikan Terapi Bermain : Dramatic Play pada anak prasekolah yang hospitalisasi minimal 2 kali selama perawatan di ruang anak, selama 45 menit.

Memberikan observasi posttest interaksi sosial anak prasekolah pada hari ke tiga.

Analisa data: uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test (tingkat kemaknaan yang digunakan (p) < 0,05).

Penyajian Hasil Penelitian

Bagan 4.1 Kerangka Kerja Pengaruh Terapi Bermain Dramatic Play Terhadap Sosial Anak Prasekolah yang Menjalani Hospitalisasi di RSUD Umbu Rara Meha Waingapu Tahun 2012

C. Tempat Dan Waktu Penelitian1. TempatPenelitian ini dilaksanakan diruangan Anggrek RSUD Umbu Rara Meha Waingapu Kabupaten Sumba Timur NTT. Lokasi penelitian dipilih atas pertimbangan bahwa RSUD Umbu Rara Meha Waingapu merupakan rumah sakit terbesar di Pulau Sumba dan mudah dijangkau peneliti.2. WaktuPenelitian ini dilaksanakan pada tanggal 20 Desember 2012 sampai 20 Januari 2013.

D. Populasi, Sampel Penelitian dan Teknik Sampling Penelitian1. PopulasiPopulasi adalah keseluruhan suatu variabel menyangkut masalah yang diteliti berupa orang, kejadian, perilaku, atau sesuatu lain yang akan dilakukan peneliti, (Nursalam, 2011). Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Arikunto, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah anak usia prasekolah (3-6 tahun) yang menjalani hospitalisasi di ruang Anggrek RSUD Umbu Rara Meha Waingapu pada tanggal 20 Desember 2012 sampai 20 Januari 2013. Data yang diambil oleh penulis dalam studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti didapatkan bahwa rata-rata pasien anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi di ruang anggrek setiap bulan adalah 32 orang.

2. SampelSampel adalah bagian dari populasi, yang diambil menggunakan cara-cara tertentu (Wasis, 2008). Menurut Hidayat (2008), sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karasteristik yang dimiliki oleh populasi. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi di ruangan Anggrek RSUD Umbu Rara Meha Waingapu pada tanggal 20 Desember sampai 20 Januari 2013. Penentuan besar sampel berdasarkan rumus sebagai berikut ( Nursalam, 2011):n = N 1+ N(d)2Keterangan:n = jumlah sampelN = jumlah populasid =tingkat signifikasi ( 0,05)Jadi besar sampel yang dapat di gunakan dalam penelitian ini adalah:n = 32 1+ 32(0,05)2n = 32 1 + 32(0,0025)n = 321+0,08

n = 321,08n = 29,62 = 30 orang

a. Kriteria inklusi Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian mewakili sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel (Hidayat, 2008). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:1). Semua anak usia prasekolah (3-6 tahun) yang hospitalisasi.2). Anak prasekolah yang sedang dirawat dirumah sakit dan belum pernah mendapat terapi bermain dramatic play.3). Anak yang masuk rumah sakit hari pertama.4). Anak yang secara medik diperbolehkan diberikan terapi bermain dramatic play.5). Anak yang keluarga atau orang tuanya bersedia untuk diberikan terapi bermain dramatic play.

b. Kriteria eksklusi Kriteria eksklusi adalah kriteria dimana subjek peneliti tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian (Hidayat, 2008). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:1) Anak yang kesadarannya menurun.2) Anak dengan penyakit komplikasi.

3 Teknik Sampling.Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2011). Pengambilan sampel dilakukan dengan Non Probability dengan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, di mana peneliti menetapkan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan yang dikehendaki, sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya. Sampel dalam penelitian ini adalah anak prasekolah yang menjalani hospitalisasi di Ruangan Anggrek RSUD Umbu Rara Meha Waingapu dari tanggal 20 Desember 2012 sampai 20 Januari 2013 berjumlah 30 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.E. Bahan dan Caraa. BahanDalam penelitian ini disiapkan bahan yang diperlukan untuk mendukung proses penelitian, antara lain tempat bermain satu ruang bermain, bisa juga di lakukan di ruangan perawatan, pemimpin satu orang, fasilitator dua orang dan fasilitas yang terdiri dari karpet, tikar. boneka, alat medik (stetoskop, termometer dan spuit), dengan jumlah sesuai jumlah anak.

b. Cara Dalam penelitian ini terapi bermain dramatic play diberikan kepada sampel dan waktu pemberiannya dibagi menjadi beberapa sesi dan tiap sesi terdiri dari dua orang atau lebih dan maksimalnya enam orang. Hai ini disesuaikan dengan jumlah anak dan keadaan ruang bermain. Waktu permainan 30 menit. Dalam memberikan terapi bermain ada 4 tahap yang digunakan:1) Tahap prainteraksi. Tahap ini adalah tahap persiapan, oleh karena itu hal yang dilakukan pada tahap ini adalah fasilitator menyiapkan ruang bermain, menyiapkan alat-alat permainan, memberitahu orang tua dan anak, waktu ypang dialokasikan lima menit.2) Tahap orientasi. Pada tahap ini fasilitator memberi salam dan memanggil nama masing-masing anak, memperkenalkan diri kepada anak dan orang tua, mengatur posisi anak yang nyaman, mengatur orang tua, menjelaskan tujuan bermain, teknik dan lamanya bermain, memperkenalkan alat permainan alat main kepada anak dan orang tua, dan menjelaskan prosedur bermain untuk masing-masing alat main kepada anak dan orang tua. Waktu yang dialokasikan lima menit.3) Tahap kerja. Pada tahap ini fasilitator memberi kesempatan kepada anak dan orang tua untuk bertanya sebelum kegiatan dilakukan, membagikan mainan kepada anak sesuai jumlah anak, membiarkan anak bermain sambil mengamati, meminta orang tua untuk membantu bila anak membutuhkan, bila ada anak yang belum mengetahui teknik bermain langsung diajarkan oleh fasilitator, melengkapi alat main yang mungkin rusak. Apabila anak sudah selesai bermain, akhiri kegiatan bermain dengan meminta anak merapikan kembali mainan. Waktu yang di alokasikan 30 menit. 4) Tahap terminasi. Fasilitator mengevaluasi hasil kegiatan bermain dengan memberi pujian kepada anak, menyimpulkan hasil kegiatan bermain hari ini, kontrak pertemuan selanjutnya, mengevaluasi perasaan anak. Waktu yang di alokasikan lima menit.F. Jenis Data Cara Pengumpulan Data 1. Jenis DataData yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi yang akan diberikan perlakuan berupa bermain kemudian dilakukan pengamatan. Pengumpulan data primer ini bertujuan untuk mendapatkan data tentang interaksi sosial anak sebelum melakukan aktivitas bermain dan setelah melakukan aktivitas bermain. Sedangkan data sekunder diambil dari catatan medik, masing-masing pasien yang dijadikan sampel diruang Anggrek. Pengumpulan data sekunder ini bertujuan untuk mendapatkan data tentang umur anak, nama lengkap anak, ruangan tempat anak di rawat dan nama orang tua anak.

2. Cara pengumpulan DataPengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subyek dan proses pengumpulan karakteristik subyek yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2008). Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut :a. Memperoleh surat permohonan ijin pelaksanan penelitian yang didapatkan dari institusi pendidikan (PSIK FK Unud).b. Mengirimkan surat permohonan ijin penelitian dari PSIK FK Universitas Udayana Denpasar yang di tandatangani oleh Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan ditujukan kepada Badan Kesbangpolimas kabupaten Sumba Timur guna memperoleh surat ijin penelitian.c. Setelah surat ijin penelitian dikeluarkan oleh Badan Kesbanglimas, peneliti melaporkan diri sekaligus menyerahkan surat ijin penelitian dari Badan Kesbanglimas Kabupaten sumba Timur kepada Direktur RSUD Umbu rara Meha waingapu.d. Setelah berkoordinasi dengan Direktur RSUD Umbu Rara Meha, dilanjutkan melakukan pendekatan dengan bidang keperawatan dan kepala bangsal Anggrek, maka penelitian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: Tahap I: melakukan seleksi calon responden peneliti, memberikan penjelasan tentang tujuan penelitian dan jaminan kerahasiaan dan meminta keluarga responden menandatangani surat perjanjian.Tahap II: melakukan observasi pretest terhadap interaksi sosial anak pada hari pertama masuk ruang anak.Tahap III: memberi terapi bermain dramatic play sesuai dengan tahap-tahap dalam standar operasional prosedur bermain minimal 2 kali selama perawatan.Tahap IV: melakukan observasi posttest terhadap interaksi sosial anak pada hari ke 3 perawatan.Tahap V: melakukan analisa interaksi sosial dengan membandingkan hasil antara observasi pretest dengan posttest.Dalam melakukan penelitian ini, peneliti tidak melakukannya sendiri tetapi dibantu oleh asisten peneliti yang berjumlah 3 orang. Asisten dalam hal ini adalah perawat di ruangan tempat penelitian, berlatar belakang pendidikan 1 orang sarjana keperawatan dan 2 orang diploma tiga keperawatan. Asisten bekerja membantu dalam memberikan terapi bermain dan mengumpulkan data. Sebelum melakukan penelitian, asisten peneliti diberikan latihan tentang proses penelitian dari observasi pretest, prosedur bermain, dan observasi posttest. Setelah asisten dianggap memahami dan mampu melakukan proses penelitian maka peneliti memberikan wewenang kepada asisten untuk melakukan penelitian.Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik obsevasi langsung secara sistematis terhadap sampel yaitu interaksi sosial anak prasekolah dengan panduan lembaran observasi/check list yang telah disediakan.3. Instrumen Pengumpulan DataInstrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembaran standar operasional prosedur terapi bermain dramatic play di rumah sakit sesuai konsep teori terapi bermain pada anak prasekolah dan lembaran observasi/check list interaksi sosial berdasarkan konsep teori interaksi sosial anak di rumah sakit terhadap dokter, perawat dan pasien lain.Isi lembaran standar prosedur operasional terapi bermain terbagi menjadi empat bagian yaitu dari 23 item intervensi. Standar prosedur operasional terapi bermain dapat dibaca pada lampiran.Isi lembaran observasi/check list terhadap interaksi sosial terbagi menjadi dua bagian, yaitu karakteristik anak dan respon interaksi sosial, yang terdiri dari 20 pertanyaan dengan format jawabannya menggunakan skala Guttman, yaitu; memberi jawaban yang tegas ya atau tidak, skor satu jika jawaban ya dan skor nol bila jawaban tidak, dengan total skornya dua puluh. Lalu dianalisa menjadi data ordinal, yaitu sebagai berikut: a. Interaksi sosial anak baik : Skor 14-20 (skor 3: baik)b. Interaksi sosial cukup : Skor 8- 13 (skor 2: cukup)c. Interaksi sosial kurang : Skor 0-7 (skor 1: kurang)Check list interaksi sosial dapat di baca pada lampiran. 4. Uji Validitas Dan ReliabilitasInstrumen untuk mengukur interaksi sosial anak prasekolah yang digunakan dalam penelitian ini telah dilakukan uji instrumen diruangan anak Rumah Sakit Kristen Lindimara Waingapu pada tanggal 22-29 November 2012, setelah dianalisa dengan bantuan komputer instrumen yang digunakan dinyatakan valid karena didapatkan nilai r hitung masing-masing item pernyataan lebih besar dari r tabel untuk ukuran 20 sampel adalah 0,444 dan instrument yang dinyatakan reliabel karena nilai Cronbachs alpha 0,763 > 0,05 (Hasil uji validitas dan reliabilitas terlampir).

G. Pengolahan Dan Analisa Data1. Teknik pengolahan dataPengolahan data adalah pengolahan karena data yang diperoleh masih mentah, belum siap untuk disajikan. Dalam penelitian ini proses pengolahan data menggunakan langkah-langkah sebagai berikut (Hidayat, 2008) :a. Editing Editing merupakan upaya memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan. Langkah-langkah dalam editing adalah memeriksa kembali lembaran observasi apakah sudah terjawab dengan lengkap, memasukkan data yang penting/diperlukan saja, memilih data yang obyektif, menggumpulkan data ulang untuk melengkapi data yang kurang pada lembar observasi, pengecekan logis.b. Coding Coding merupakan proses mengklarifikasikan/mengelompokkan data sesuai dengan klasifikasinya dengan cara memberi kode tertentu. Disini lembar observasi yang telah dilengkapi, jawabannya diberi kode/angka disesuaikan dengan ketentuan pada defenisi operasional yaitu, kode satu untuk interaksi sosial anak kurang, kode dua untuk interaksi sosial anak cukup, kode tiga untuk interaksi sosial anak baik.

c. Editing Editing data adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan kedalam database komputer.d. Tabulasi Tabulasi data adalah usaha untuk menyajikan data. Ada empat cara yang umum dipakai untuk menyajikan data yaitu: tekstual (naratif), tabel dan pie chart. Dalam penelitian ini penyajian data menggunakan tabel, pie chart dan naratif2. Teknik Analisa DataTeknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis statistik inferensial menggunakan program SPSS 16,0. Menurut Nursalam (2003), analisis deskriptif adalah suatu prosedur pengolahan data dengan menggambarkan dan meringkas data dengan cara ilmiah dalam bentuk tabel atau grafik. Sedangkan analisis statistik inferensial bertujuan untuk mengetahui ada/tidaknya pengaruh, perbedaan, hubungan antara sampel yang diteliti pada taraf signifikansi tertentu. Untuk mengetahui distribusi frekuensi dalam variabel penelitian ini maka peneliti menggunakan analisis deskriptif. Sedangkan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh terapi bermain terhadap interaksi sosial anak prasekolah, peneliti menggunakan analisis inferensial. Dalam penelitian ini, yang diuji adalah interaksi sosial anak sebelum diberikan terapi bermain dan setelah mendapat terapi bermain. Untuk mengetahui pengaruh interaksi sosial anak prasekolah sebelum diberikan terapi bermain dan setelah diberikan terapi bermain, peneliti menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank Test, di mana uji ini digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel yang berkorelasi bila datanya berbentuk ordinal (Sugiyono, 2009). Tingkat kemaknaan yang digunakan (p) < 0,05. Hal ini dipandu oleh program SPSS.

82

52

BAB VHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian1. Gambaran Lokasi Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah Umbu Rara Meha Waingapu terletak di Jalan Adam Malik No 54, Kelurahan Kambajawa Kecamatan Kota Waingapu dengan luas lokasi 41.000 M2, luas bangunan 4.637 M2 . Merupakan rumah sakit tipe D+ berada di Kabupaten Sumba Timur Propinsi NTT. Mulai beroperasi pada tanggal 19 Desember 1983. Rumah sakit ini adalah rumah sakit pelayanan dan non pendidikan. Dalam struktur organisasinya, Rumah Sakit Umum Daerah Umbu Rara Meha Waingapu di kepalai oleh seorang Direktur dan membawahi 2 sub bidang yaitu: pertama bagian tata usaha yang meliputi: bagian umum dan kepegawaian, bagian program dan evaluasi dan bagian keuangan, kedua kelompok fungsional yaitu: pelayanan medik, keperawatan, informasi rekam medik dan diklat. Pelayanan medik dan keperawatan di RSUD Umbu Rara Meha berada di Instalasi Rawat Jalan, Instalasi Rawat Inap, Instalasi Bedah Sentral, Instalasi gawat Darurat dan Klinik VCT. Dengan fasilitas penunjang pelayanan meliputi radiologi, laboratorium dan UTD, farmasi, fisioterapi, gizi dan IPRS. Kulifikasi SDM meliputi: dokter spesialis (anak 1 orang, anastesi 1 orang, bedah 2 orang, obstetri 2 orang), dokter umum 9 orang, dokter gigi 4 orang perawat 109 orang, tenaga penunjang 27 orang (profil RSUD Umbu Rara Meha Waingapu, 2011).Ruang Anggrek merupakan unit perawatan bagian anak sebagai bagian dari Instalasi Rawat Inap RSUD Umbu Rara Meha memiliki kapasitas 27 tempat tidur (utama, kelas I, kelas II, kelas III dan isolasi), 1 ruangan bermain dimana ruang bemain ini di pakai juga sebagai ruangan inap karena jumlah pasien yang meningkat.Stuktur organisasi unit perawatan anak ini dipimpin oleh kepala ruangan dengan 1 orang ketua tim dan 14 orang perawat pelaksana (1 orang sarjana keperawatan, 10 orang diploma tiga keperawatan, 5 orang pendidikan SPK saat ini sementara IBEL), 1 orang petugas administrasi dan 2 orang petugas kebersihan.

2. Karakteristik Subjek Penelitian Sampel pada penelitian ini adalah anak usia prasekolah (usia 3-6 tahun) yang menjalani hospitalisasi di ruang Anggrek RSUD umbu Rara Meha pada tanggal 20 Desember 2012 sampai dengan 20 Januari 2013 yang telah memenuhi kriteria inklusi. Jumlah pasien anak yang masuk selama penelitian adalah 35 orang, dimana 30 orang masuk kriteria inklusi, 5 orang masuk kriteria eksklusi dimana 3 orang tidak diijinkan oleh orang tuanya untuk diberikan terapi bermain dramatic play dan 2 orang mengalami penurunan kesadaran. Adapun karakteristik anak usia prasekolah yang telah diteliti adalah sebagai berikut:

a. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Gambar 5.1 Karasteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Anak Prasekolah yang menjalani Hospitalisasi di Ruang Anggrek RSUD Umbu Rara Meha Waingapu Pada tanggal 20 Desember 2012 Sampai 20 Januari 2013

Gambar 5.1 menujukkan bahwa dari 30 responden yang di teliti, sebagian besar berjenis kelamin laki-laki dengan jumlah 18 orang (60%) dan jenis kelamin perempuan berjumlah 12 orang (40%).

b. Karasteristik Responden Berdasarkan Umur

Gambar 5.2 Karasteristik Responden Berdasarkan Umur Pada Anak Prasekolah yang Menjalani Hospitalisasi di Ruang Anggrek RSUD Umbu Rara Meha Waingapu Pada tanggal 20 Desember 2012 Sampai 20 Januari 2013.

Berdasarkan Gambar 5.2 dapat dilihat bahwa dari 30 responden yang diteliti sebagian besar berumur 3-4 tahun dengan jumlah 15 orang (50%), usia >4-5 tahun berjumlah 8 orang (26,7%) dan hanya 7 orang (23,3%) berumur >5-6 tahun.

3. Hasil Pengamatan Terhadap Objek PenelitianAnak prasekolah yang dijadikan sampel pada penelitian ini diberi perlakuan berupa terapi bermain dramatic play. Sebelum dan setelah diberikan perlakuan, peneliti melakukan pengamatan terhadap sampel yang akan di teliti. Adapun hasil pengamatan yang diperoleh adalah:

a. Interaksi Sosial Anak Prasekolah Sebelum Diberikan Terapi Bermain Dramatic Play.Setelah dilakukan observasi/pengamatan melalui check list interaksi sosial anak prasekolah sebelum terapi bermain dramatic play, maka didapatkan data seperti berikut (Gambar 5.3):

Gambar 5.3 Pola Interaksi Sosial Anak Prasekolah Sebelum Diberikan Terapi Bermain Dramatic Play Di Ruang Anggrek RSUD Umbu Rara Meha Waingapu Pada Tanggal 20 Desember 2012 Sampai 20 Januari 2013. Gambar 5.3 menunjukkan bahwa dari 30 sampel anak prasekolah sebelum di berikan terapi bermain dramatic play, sebagian besar memiliki pola interaksi sosial yang cukup 16 orang (53,33%), pola interaksi sosial yang kurang 13 orang (43,3%) dan hanya 1 orang (3,3%) yang interaksi sosialnya baik.

b. Interaksi Sosial Anak Prasekolah Setelah Diberikan Terapi Bermain Dramatic Play.Berdasarkan observasi/pengamatan melalui check list interaksi sosial anak prasekolah setelah diberikan terapi bermain dramatic play, maka didapatkan data seperti berikut (Gambar 5.4)

Gambar 5.4 Pola Interaksi Sosial Anak Prasekolah Setelah Diberikan Terapi Bermain Dramatic Play Di Ruang Anggrek RSUD Umbu Rara Meha Waingapu Pada Tanggal 20 Desember 2012 Sampai 20 Januari 2013.Gambar 5.4 menunjukkan bahwa dari 30 sampel anak prasekolah setelah diberikan terapi bermain dramatic play sebagian besar memiliki pola interaksi sosial baik dengan jumlah 19 orang (63,3%), pola interaksi sosial cukup 10 orang (33,3%) dan 1 orang (3,3%) yang interaksi sosialnya tetap kurang.

4. Analisis Pengaruh Terapi Bermain Dramatic Play Terhadap Interaksi Sosial Anak Prasekolah yang Menjalani Hospitalisasi Penelitian ini diawali dengan melakukan pengamatan/observasi terhadap 30 responden, kemudian diberikan terapi bermain dramatic play, dan setelah itu melakukan pengamatan/observasi lagi. Berdasarkan proses tersebut maka peneliti mendapatkan data hasil analisis silang sebagai berikut (Tabel 5.1)Tabel 5.1 Gambaran Perubahan Interaksi Sosial Anak Usia Prasekolah Setelah Diberikan Terapi Bermain Dramatik Play Di Ruang Anggrek RSUD Umbu Rara Meha Waingapu Pada tanggal 20 Desember 2012 Sampai 20 Januari 2013

NoInteraksi Sosial Sebelum Terapi BermainInteraksi Sosial Sesudah Terapi BermainTotal

BaikCukupKurang

F%F%F%F%

1Baik13,3%000013,3%

2Cukup1343,3%310,0%001653,3%

3Kurang516,7%723,3%13,3%1343,3%

Total1963,3%1033,3%13,3%30100,0%

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa seluruh responden yang interaksi sosialnya baik sebelum terapi bermain dramatic play akan baik pula setelah diberikan terapi bermain dramatic play, sedangkan dari 16 responden yang interaksi sosialnya cukup sebelum terapi bermain dramatic play, 13 orang (43,3%) diantaranya mengalami perubahan menjadi baik dan 3 orang (10,0%) responden interaksi sosialnya tetap cukup. Kemudian terjadi perubahan dimana ada 13 responden (43,3%) yang interaksi sosialnya kurang sebelum terapi bermain dramatic play, 5 orang (16,7%) mengalami perubahan menjadi baik, 7 orang (23,3%) berubah menjadi cukup dan 1 orang (3,3%) interaksi sosialnya tetap kurang.Untuk mengetahui apakah ada pengaruh terapi bermain dramatic play terhadap interaksi sosial anak prasekolah, maka dilakukan uji statistik Wilcoxon signed rank Test dengan bantuan media komputer (dapat dibaca pada lampiran). Dimana hasilnya menunjukkan bahwa uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test pada tingkat kemaknaan = 0,05, dengan nilai (p) yang diperoleh sebesar 0,000 dengan demikian H1 diterima. Maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan terapi bermain dramatic play play terhadap interaksi sosial anak prasekolah yang menjalani hospitalisasi di ruangan Anggrek RSUD Umbu Rara Meha waingapu tahun 2013.

B. Pembahasan 1. Pola Interaksi Sosial Anak Usia Prasekolah yang Menjalani Hospitalisasi Sebelum Pemberian Terapi Bermain Dramatic Play.Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa interaksi sosial anak usia prasekolah sebelum diberikan terapi bermain dramatic play di ruang Anggrek RSUD Umbu Rara Meha adalah sebagian besar cukup (53,3%), kurang (43,3%) dan interaksi sosial baik hanya (3,3%). Hal ini disebabkan hospitalisasi yang dialami anak, dimana anak harus berhadapan dengan lingkungan yang baru yaitu rumah sakit dan berpisah dari lingkungan rumahnya serta dilakukan segala macam prosedur di rumah sakit sehingga anak merasa takut, stres, dan marah. Dengan demikian tidak dapat berinteraksi dengan dokter, perawat, dan pasien lain di ruang rawat.Supartini (2004), mengatakan bahwa reaksi anak prasekolah terhadap hospitalisasi adalah menolak makan, sering bertanya, sulit tidur, menangis diam-diam, memecahkan mainan, menolak bekerjasama dengan dokter dan perawat. Reaksi anak terhadap pengalaman hospitalisasi tersebut bersifat individual, dan sangat tergantung pada tahapan usia perkembangan, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang dimiliki. Hal ini didukung pula oleh hasil observasi pada penelitian ini, interaksi sosial responden sebelum diberikan terapi bermain, di mana sebagian besar (29 orang) anak tidak mau ditemani perawat saat orang tuanya pergi. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat hospitalisasi anak takut berpisah dari orang yang paling dekat, yaitu orang tua, sehingga anak tidak bisa berinteraksi dengan orang lain. Hidayat (2008), mengungkapkan bahwa salah satu perkembangan adaptasi sosial anak usia prasekolah adalah menunjukkan kecemasan terhadap adanya perpisahan. Stres karena penyakit biasanya membuat anak menjadi kurang mampu menghadapi perpisahan, akibatnya mereka menunjukkan banyak perilaku cemas dan protes (Supartini, 2004).

2. Pola Interaksi Sosial Anak Usia Prasekolah yang Menjalani Hospitalisasi Setelah Pemberian Terapi Bermain Dramatic Play. Interaksi sosial anak setelah diberikan terapi bermain dramatic play di ruang Anggrek RSUD Umbu Rara Meha sebagian besar baik yaitu sebanyak 19 responden (63,3%). Hal ini menunjukkan bahwa anak yang menjalani hospitalisasi memperlihatkan karakteristiknya yang sebenarnya sebagai anak usia prasekolah. Dalam hal ini sebagian besar anak tersebut dapat berinteraksi dengan dokter, perawat dan pasien lain di ruang rawat. Ketika anak sudah memasuki usia prasekolah (3-6 tahun), kemampuan interaksi sosialnya menjadi lebih luas dan mempersiapkan diri memasuki dunia sekolah (Supartini, 2004). Menurut Satyanegara dan Widjaya (2004), perkembangan sosial anak usia prasekolah yaitu sewaktu anak semakin lebih tahu dan peka terhadap perasaan dan tindakan orang lain, dia secara bertahap berhenti berkompetisi dan akan belajar bekerjasama saat bermain dengan temannya. Anak akan masuk dalam kelompok tertentu dan mulai berteman dengan kelompok tersebut. Dalam kelompok kecil dia akan belajar bergantian dan berbagi mainan, walaupun dia tidak selalu melakukannya.Soekanto (2004) dan didukung oleh Badrujaman (2008), mengatakan bahwa suatu interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu:a). Adanya kontak sosial. Kontak sosial merupakan aksi individu atau kelompok dalam bentuk isyarat yang memiliki makna bagi si pelaku dan si penerima membalas aksi itu dengan reaksi.b). Adanya komunikasi. Arti terpenting dari komunikasi adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan disampaikan oleh orang tersebut. Interaksi sosial cukup setelah diberikan terapi bermain 3 orang (3,3%) tetap cukup. Hal ini dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya terhadap sakit. Ketiga anak ini diketahui sudah sering masuk rumah sakit dan sangat takut terhadap tindakan pemasangan infus yang dilakukan setiap kali masuk rumah sakit. Reaksi terhadap pengalaman hospitalisasi tersebut bersifat individual, dan beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi anak terhadap hospitalisasi sangat tergantung pada tahapan usia perkembangan, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang dimiliki (Supartini 2004).Pola interaksi sosial yang kurang juga masih ada setelah diberikan terapi bermain yaitu satu orang (3,3%). Hal ini masih dipengaruhi oleh hospitalisasi yang dialami anak tersebut, sehingga timbul perasaan takut dan cemas. Khusus anak ini didapatkan informasi bahwa kedua orang tuanya sedang bekerja di luar daerah dan selama perawatan didampingi neneknya. Ini berarti anak merasa kehilangan orang yang paling dekat dengannya yaitu orang tuanya. Supartini (2004), mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi reaksi anak selama hospitalisasi adalah sistem pendukung yang tersedia. Sedangkan Wong (2008), mengatakan anak-anak, terutama selama tahun-tahun awal kehidupan sangat rentan terhadap krisis penyakit dan hospitalisasi karena:(1) Stres akibat perubahan dari keadaan sehat biasa dan rutinitas lingkungan.(2) Anak memiliki jumlah mekanisme koping yang terbatas untuk menyelesaikan stressor.Hasil observasi terhadap responden setelah diberikan terapi bermain dramatic play maka didapatkan data sebagian besar anak (19 orang) marah pada saat perawat melakukan tindakan invasif seperti menyuntik, memasang infus dan melakukan injeksi. Hal ini menunjukkan bahwa anak sangat takut terhadap tindakan yang melukai tubuhnya karena anak tahu hal ini menimbulkan nyeri. Supartini (2004), mengatakan pada umumnya, reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh, dan rasa nyeri. Ketakutan anak terhadap perlukaan muncul karena anak menganggap tindakan dan prosedur mengancam integritas tubuhnya. Hal ini menimbulkan reaksi agresif dengan marah, berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan pada orang tua. Menurut Wong (2008), kekuatiran akan mutilasi memuncak pada usia prasekolah. Kehilangan bagian tubuh merupakan suatu ancaman bagi mereka. Ekspresi verbal yang ditunjukan adalah dengan mengatakan kepada perawat pergi dari sini, saya benci kamu atau tolang saya jangan disuntik. Ekspresi non verbalnya adalah mendorong orang yang melakukan tindakan, mengunci diri, dan mengamankan peralatan. 3. Pengaruh Terapi Bermain Dramatic Play Terhadap Interaksi Sosial Anak Prasekolah yang Menjalani Hospitalisasi.Interaksi sosial yang terjadi pada anak usia prasekolah di ruang Anggrek RSUD Umbu Rara Meha Waingapu mengalami perubahan setelah diberikan terapi bermain dramatic play (Tabel 5.1), di mana dari 16 responden yang interaksi sosialnya cukup sebelum diberikan terapi bermain, sebagian besar 13 orang (43,3%) mengalami perubahan menjadi baik dan 3 (10,0%) tetap cukup karena . Kemudian dari 13 (43,3%) responden yang interaksi sosialnya kurang sebelum diberikan terapi bermain, 5 orang (16,7%) responden mengalami perubahan menjadi baik dan sebagian besar 7 orang (23,3%) responden berubah menjadi cukup dan 1 orang (3,3%) tetap kurang. Perubahan ini menunjukkan bahwa terapi bermain dramatic play sangat berpengaruh terhadap interaksi sosial anak prasekolah yang sedang menjalani hospitalisasi. Aktivitas bermain yang diberikan sangat membantu anak untuk mengurangi rasa takut, cemas dan stres yang dialami di rumah sakit. Ketika rasa takut, cemas dan stres berkurang maka anak dapat berinteraksi dengan perawat, dokter dan pasien lain di rumah sakit. Melalui aktivitas bermain anak dapat mengenal perawat, teman bermain, dan semua orang yang terlibat dalam bermain termasuk lingkungan rumah sakit. Dalam teori biologis, yang dikemukakan oleh Karl Gross dari Jerman dan dikembangkan oleh Maria Montessori dari Italia (cit Suherman, 2000), mengatakan bahwa permainan mempunyai tugas-tugas biologis untuk melatih bermacam-macam fungsi jasmani dan rohani. Saat anak bermain merupakan kesempatan yang sangat baik untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan hidup atau hidup itu sendiri, serta dapat melatih jiwa dan raga untuk menghadapi kehidupan yang akan datang. Suherman (2000), mengatakan salah satu fungsi bermain adalah merangsang perkembangan sosial. Perkembangan sosial ditandai dengan kemampuan berinteraksi dengan lingkungannya. Bermain dengan orang lain akan membantu anak untuk mengembangkan hubungan sosial dan belajar memecahkan masalah dalam hubungan tersebut. Pada saat melakukan aktivitas bermain, anak belajar berinteraksi dengan teman, memahami bahasa lawan bicara, dan belajar nilai sosial yang ada pada kelompoknya. Hal ini didukung oleh Supartini (2004), yang mengatakan bahwa aktivitas bermain yang dilakukan perawat pada anak di rumah sakit akan memberi keuntungan, salah satunya meningkatkan hubungan antara klien (anak dan keluarga) dan perawat.Pengaruh terapi bermain dramatic play terhadap interaksi sosial anak usia prasekolah telah dilakukan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test pada tingkat kemaknaan = 0,05 dengan nilai (p) yang diperoleh sebesar 0,000 dengan bantuan komputer. Karena nilai (p) lebih kecil dari nilai (), maka H1 diterima. Hal ini menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara terapi bermain dramatic play terhadap interaksi sosial anak prasekolah.Penelitian ini didukung oleh beberapa kesimpulan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa ada pengaruh terapi bermain terhadap interaksi sosial anak prasekolah yang menjalani hospitalisasi, seperti:Pengaruh terapi bermain dengan tehnik bercerita terhadap kecemasan akibat hospitalisasi pada anak prasekolah di ruang perawatan anak RSUD Kota Yogyakarta oleh Eka Suryaning Tyas, dengan hasil penelitian ada pengaruh yang signifikan pada pemberian terapi bermain dengan tehnik bercerita terhadap kecemasan akibat hospitalisasi terhadap anak prasekolah di ruang perawatan anak RSUD Kota Yogyakarta.Pengaruh terapi bermain terhadap penerimaan tindakan invasive pada anak prasekolah di ruang anak RSUD Ngudi Waluyo Wlingi Blitar oleh Citra Widayasari, Hurun Ain, Ganif Djuwadi dengan hasil penelitian ada pengaruh terapi bermain terhadap tindakan invasive pada anak prasekolah di ruangan anak RSUD Ngudi Waluyo Wlingi Blitar sehingga anak prasekolah yang diberikan terapi bermain lebih baik penerimaannya sebelum diberikan terapi bermain.Pengaruh terapi bermain terhadap tingkat kooperatif selama menjalani perawatan pada anak usia Pra sekolah (3 5 tahun) di rumah sakit Panti rapih Yogyakarta oleh Rahmawati Dewi Handayani dan Ni Putu Dewi Puspitasari, dengan hasil Pemberian terapi bermain dapat meningkatkan perilaku kooperatif anak usia pra sekolah selama menjalani perawatan di ruang CB 2 Anak kelas 2 dan 3 Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Hal ini sesuai dengan teori bahwa terapi bermain adalah pemanfaatan permainan sebagai media yang efektif oleh terapis untuk membantu klien mencegah atau menyelesaikan kesulitan-kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal melalui eksplorasi dan ekspresi diri (Nuryanti, 2007). Kesimpulan yang diambil dalam penelitian ini adalah: Ada pengaruh terapi bermain terhadap tingkat kooperatif pada anak usia 3-5 tahun di Ruang CB2 Anak Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.Untuk itu anak memerlukan media yang dapat mengekspresikan perasaannya. Media yang paling efektif adalah melalui kegiatan permainan. Permainan merupakan aktifitas yang sehat dan diperlukan untuk tumbuh kembang anak, dimana bermain juga sangat penting untuk kesehatan mental, emosional, dan sosial (Nursalam,2005). Aktivitas bermain yang dilakukan perawat pada anak usia prasekolah di rumah sakit akan memberikan keuntungan:1) Meningkatkan hubungan antara perawat dan pasien.2) Aktivitas bermain yang terprogram akan memulihkan perasaan mandiri pada anak.3) Permainan pada anak di rumah sakit tidak hanya memberi rasa senang pada anak tetapi iuga membuat anak mengekspresikan perasaan dan pikiran cemas, takut, sedih, tegang dan nyeri.4) Permainan yang terapeutik akan dapat meningkatkan kemampuan anak untuk mempelajari tingkah laku yang penting (Supartini 2004). Sehingga anak dapat berinteraksi dengan orang yang ada di rumah sakit.

C. Keterbatasan PenelitianDalam penelitian ini peneliti masih menemukan berbagai keterbatasan penelitian. Keterbatasan penelitian di bagi menjadi 2 sebagai berikut:1. Kelemahan a. Pada penelitian ini tidak menggunakan kelompok control sehingga tidak dapat dilakukan perbandingan antara pengaruh perlakuan dan control.b. Dalam penelitian ini peneliti tidak mencantumkan lama perawatan anak dalam lembaran observasi interaksi sosial anak yang dapat mempengaruhi reaksi psikologis anak selama hospitalisasi.

2. Hambatan a. Pada saat melakukan terapi bermain dramatic play yang seharusnya di ruangan bermain tidak dapat digunakan karena ruangan bermain yang tersedia digunakan sebagai ruangan perawatan sehingga kegiatan terapi bermain dilaksanakan di ruangan perawatan.b. Dalam pelaksanaan terapi bermain ada 3 orang anak yang tidak bisa ikut bermain karena orang tua tidak mengijinkan pada hal ketiga anak tersebut sudah pantas untuk menjalani terapi bermain.

66BAB VIPENUTUP

A. Kesimpulan 1. Pola interaksi sosial 30 responden anak prasekolah yang menjalani hospitalisasi di ruang Anggrek RSUD Umbu Rara Meha Waingapu sebelum diberikan terapi bermain dramatic play adalah interaksi sosial baik 1orang(3,3%), interaksi sosial cukup 16 orang (53,3%) dan interaksi sosial kurang 13 orang (43,3%).2. Pola interaksi sosial 30 responden anak prasekolah yang menjalani hospitalisasi di ruang Anggrek RSUD Umbu Rara Meha Waingapu setelah diberikan terapi bermain dramatic play adalah interaksi sosial baik 19 orang (63,3%), interaksi sosial cukup 10 orang (33,3%) dan interaksi sosial kurang 1 orang (3,3%).3. Terapi bermain dramatic play mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pola interaksi sosial anak prasekolah yang menjalani hospitalisasi di ruang Anggrek RSUD Umbu Rara Meha Waingapu, dengan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dengan tingkat kemaknaan = 0,05 dimana nilai p = 0,000. Jadi dapat disimpulkan ada pengaruh pemberiana terapi bermain dramatic play terhadap interaksi sosial anak prasekolah yang menjalani hospitalisasi.

B. Saran 1. Kepada perawat anak, hendaknya menerapkan terapi bermain dramatic play dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak prasekolah yang menjalani hospitalisasi.2. Kepada pihak rumah sakit, diharapkan menyediakan ruang dan fasilitas bermain yang memadai dan sesuai untuk anak-anak yang sedang menjalani hospitalisasi.2. Kepada orang tua yang anaknya menjalani hospitalisasi, diharapkan memahami pentingnya bermain bagi anak yang sedang dirawat sehingga dapat mendukung anak dalam bermain dengan cara bersedia mendampingi anak pada saat bermain dan berperan serta dalam permainan.3. Untuk peneliti berikutnya perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang pengaruh terapi bermain dramatic play terhadap interaksi sosial anak prasekolah yang menjalani hospitalisasi dengan menggunakan rancangan penelitian quasi experiment dengan desain control time series design dan perlu ditambahkan lama perawatan anak dalam lembar observasi terhadap anak karena mengingat semakin lama anak dirawat di rumah sakit, semakin besar pula reaksi psikologis anak selama hospitalisasi. Bagi peneliti pemula harus sering membaca buku-buku tentang penelitian dan bertanya kepada orang yang sudah berpengalaman.

83