Skripsi Irjan Mahmud.edit

download Skripsi Irjan Mahmud.edit

of 58

Transcript of Skripsi Irjan Mahmud.edit

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dilakukan secara berkelanjutan. Pembangunan kesehatan sebagai salah suatu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal (Sunanti & Soejoeti, 2008). Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks, bukan hanya dari segi medis, tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya keamanan dan ketahanan nasional (Depkes, 2006). Santoso et al. (2001) menyatakan bahwa harapan pasien yang berada dalam peran sakit, memutuskan mencari pengobatan dengan harapan yang akan diperoleh dari pengobatan, tentunya dalam hal ini yang diharapkan adalah kesembuhan dan terhindar dari cacat ataupun kematian. Berdasarkan pengalaman peneliti yang pernah bertugas sebagai salah seorang petugas pengelola P2 Kusta di puskesmas bahwa pada umumnya penderita kusta dengan cacat kusta lebih rajin datang konsultasi ke puskesmas untuk berobat dan memeriksakan dirinya dari pada penderita kusta yang belum mengalami cacat kusta. Penderita kusta yang mengalami cacat kusta lebih rutin

2

dan tepat waktu datang ke puskesmas untuk mengambil obat MDT dan menyelesaikan pengobatannya dengan RFT. Penderita penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dan diperkirakan dua hingga tiga juta orang menderita kusta. Menurut data WHO, angka penemuan penderita kusta di dunia dengan kasus baru pada awal 2008 menurun tajam dimana tahun 2001 sebanyak 760 ribu menjadi 210 ribu kasus. Sedangkan di Indonesia, jumlah penderita baru tahun 2008 adalah 17.243 kasus. Salah satu provinsi di Indonesia yang merupakan daerah dengan populasi penduduk yang tinggi adalah Sulawesi Selatan dimana penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Pada tahun 2008 terdaftar sebanyak 1.148 penderita kusta pada Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan. Di Rumah Sakit Dr. Tajuddin Chalid Makassar pada tahun 2009 yakni awal bulan januari sampai dengan akhir bulan September 2009 tercatat 1.867 penderita kusta dimana terdapat 632 kasus dengan kunjungan baru dan 1.234 kasus dengan kunjungan lama. Berdasarkan permasalahan kusta tersebut diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan Judul Hubungan Derajat Cacat Kusta terhadap motivasi berobat penderita kusta di Rumah Sakit Dr. Tajuddin Chalid Makassar

B. Rumusan Masalah Apakah ada hubungan derajat cacat kusta dengan motivasi berobat penderita kusta di Rumah Sakit Dr. Tajuddin Chalid Makassar?

3

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui adanya hubungan derajat cacat kusta dengan motivasi berobat penderita kusta di Rumah Sakit Dr. Tajuddin Chalid Makassar.

2. Tujuan Khusus a. Untuk mengidentifikasi derajat cacat kusta yang terdaftar dan mendapatkan pengobatan di Rumah Sakit Dr. Tajuddin Chalid Makassar b. Untuk mengidentifikasi tingkat motivasi berobat penderita yang kusta mengalami cacat kusta di Rumah Sakit Dr. Tajuddin Chalid Makassar. c. Untuk mengidentifikasi hubungan derajat cacat kusta dengan motivasi berobat penderita kusta yang mendapatkan pengobatan di Rumah Sakit Dr. Tajuddin Chalid Makassar.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Bagi Rumah Sakit Dr. Tajuddin Chalid Makassar. Mendapatkan masukan tentang hubungan derajat cacat kusta dengan motivasi berobat penderita kusta, guna peningkatan pelayanan dan pengobatan penderita kusta khususnya dengan cacat kusta di Rumah Sakit Dr. Tajuddin Chalid Makassar.

2. Manfaat Bagi Institusi (Universitas Hasanuddin) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi praktisi pendidikan dalam hal ini Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas

4

Kedokteran Universitas Hasanuddin tentang hubungan derajat cacat kusta dengan motivasi berobat penderita kusta dan menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya.

3. Manfaat Bagi Peneliti Hasil penelitian ini berguna bagi peneliti untuk mendapatkan pengalaman dalam mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh dan memperluas wawasan mengenai hubungan derajat cacat kusta dengan motivasi berobat penderita kusta.

4. Manfaat Bagi Profesi Keperawatan Hasil penelitian ini menambah informasi khususnya mengenai hubungan derajat cacat kusta dengan motivasi berobat penderita kusta.

5. Manfaat Ilmiah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasana ilmu pengetahuan dan merupakan salah satu bahan bacaan dan bahan kajian bagi peneliti selanjutnya.

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penyakit Kusta 1. Defenisi Penyakit kusta merupakan penyakit kronis yang dapat menyebabkan cacat dan dapat menyerang semua orang, namun laki-laki lebih banyak dari pada wanita dan penyakit ini dapat mengenai semua umur namun frekuensi terbanyak adalah umur 15-29 tahun (Amiruddin, 2005). Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium Leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat (Depkes, 2006). Kusta adalah penyakit infeksi kronik, penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (Juanda, et al. 2007).

2. Diagnosis Penyakit Kusta Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama penyakit kusta atau yang disebut Cardinal Sign yaitu: a. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa

6

Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anastesi). b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa : Gangguan fungsi sensoris: mati rasa Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese), kelumpuhan (paralise) Gangguan fungsi otonom: kulit kering retak-retak.

c. Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA positif). Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda utama di atas.

3. Klasifikasi/ Tipe Penyakit Kusta Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal yaitu: a. Manifestasi klinik yaitu jumlah Lesi pada kulit dan jumlah saraf yang terganggu. b. Hasil pemeriksaan bakteriologis, yaitu skin smear Basil Tahan Asam (BTA) positif atau negatif.

7

Klasifikasi/tipe penyakit kusta penting untuk menentukan jenis dan lamanya pengobatan penyakit, waktu penderita RFT (Release From Treatment/selesai pengobatan), dan untuk perencanaan logistik. Sebenarnya dikenal banyak jenis klasifikasi penyakit kusta yang cukup menyulitkan, misalnya Klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, klasifikasi India dan klasifikasi WHO. Sebagian besar penentuan klasifikasi ini didasarkan pada tingkat kekebalan tubuh (kekebalan seluler) dan jumlah kuman. Pada tahun 1982, sekelompok ahli WHO mengembangkan 2

tipe/klasifikasi untuk memudahkan pengobatan di lapangan yaitu tipe Paucybacillary (PB) dan Multibacillary (MB) yang dibedakan seperti yang ada dalam tabel di bawah ini:

Tabel 2.1: Klasifikasi Kusta Menurut WHO

Tanda Utama Bercak Kusta Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi Sediaan apusan

PB Jumlah 1 s/d 5 Hanya satu saraf BTA Negatif

MB Jumlah > 5 Lebih dari satu saraf BTA Positif

Sumber: Depkes. RI, 2006. Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta

4. Reaksi Kusta Reaksi kusta adalah salah satu penyebab terjadinya kerusakan akut fungsi saraf/cacat, yaitu suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular respons) atau reaksi antigen antibody (humoral respons) dengan akibat merugikan penderita, terutama jika

8

mengenai saraf tepi karena menyebabkan gangguan fungsi/cacat (Subdit Kusta & Prambusia,2008). Ditinjau dari proses terjadinya maka reaksi kusta dibagi menjadi 2 tipe. Reaksi tipe 1 disebut reaksi reversal, dan reaksi tipe 2 disebut erythema nodosum lepsrosum (ENL).

5. Pengobatan Melalui pengobatan, penderita diberikan obat-obat MDT: (Dapson/DDS, Lampren, Rifampicin) yang membunuh kuman kusta yang dapat didapatkan secara cuma-cuma di tempat pelayanan kesehatan. Adapun tujuan pengobatan penyakit kusta untuk: a. Memutuskan mata rantai penularan b. Menyembuhkan penyakit penderita c. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Namun penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen, pengobatan hanya dapat mencegah cacat lebih lanjut yang dapat memperburuk keadaan.

6. Evaluasi Pengobatan a. Penderita PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 69 bulan dinyatakan RFT, tanpa diharuskan pemeriksaan laboratorium. b. Penderita MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis dalam waktu 1218 bulan dinyatakan RFT, tanpa diharuskan pemeriksaan laboratorium.

9

B. Konsep Cacat Kusta Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacatnya. Bila orang menyebut kata kusta, maka yang dibayangkan adalah penyakit kulit yang akhirnya akan menimbulkan cacat yang menakutkan. Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki. Semakin panjang waktu penundaan dari saat pertama ditemukan tanda dini hingga dimulainya pengobatan, makin besar resiko timbulnya kecacatan akibat kerusakan saraf yang progresif. Cacat dapat juga terjadi selama pengobatan, bahkan setelah pengobatan/RFT. Penemuan dini dan pengobatan MDT tetap merupakan cara terbaik dalam mencegah kecacatan, namun masih banyak penderita terlambat didiagnosis sehingga berpeluang lebih besar mengalami kerusakan saraf /cacat (Depkes. RI, 2006). Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya perubahan sensibilitas atau kekuatan otot. Semua keluhan tersebut harus diperiksa dengan teliti dengan anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab pengobatan dini dapat mengobati, atau setidaknya mencegah kerusakan menjadi berlanjut (Juanda et al. 2007). Batasan istilah dalam cacat kusta adalah: Impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik, atau anatomik, misalnya leproma, ginekomastia, madarosis, claw hand, ulkus dan absorbsi jari.

10

Dissability: segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi manusia. Yaitu gangguan pada tingkat individu termasuk ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari, misalnya memegang benda atau memakai baju sendiri. Handicap: kemunduran pada seorang individu (akibat impairment atau disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal. Handicap ini merupakan efek penyakit kusta yang berdampak sosial, ekonomi, dan budaya. Deformity: kelainan struktur anatomis Dehabilitation: keadaan/proses pasien kusta (handicap) kehilangan status sosial secara progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan temantemannya. Destitution: dehabilitasi yang berlanjut dengan isolasi yang menyeluruh dari seluruh masyarakat tanpa makanan atau perlindungan. Seringkali penyakit kusta diidentikkan dengan cacat fisik yang menimbulkan rasa jijik atau ngeri serta rasa takut yang berlebihan terhadap mereka yang melihatnya. Akibatnya meskipun penderita kusta telah diobati dan dinyatakan sembuh secara medis, akan tetapi bila fisiknya cacat, maka predikat kusta akan tetap melekat untuk seluruh sisa hidup penderita, sehingga ia dan keluarganya akan dijauhi oleh masyarakat di sekitarnya.

11

Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita sering kali tidak dapat menerima keputusan bahwa ia menderita kusta. Pada umumnya mereka dibayang-bayangi oleh ketakutan yang sangat mendalam akan timbulnya cacat fisik akibat penyakit ini. Suatu hal yang perlu disadari bahwa tidak satupun orang yang sehat ingin mengalami cacat dalam kehidupannya. Sikap dan perilaku masyarakat yang negatif terhadap penderita kusta seringkali menyebabkan penderita kusta tidak mendapatkan tempat di dalam keluarganya dan masyarakat lingkungannya. Cacat memberi gambaran yang menakutkan, menyebabkan penderita merasa rendah diri, depresi dan menyendiri, serta diskriminasi dan tekanan hidup dari sesama bahkan sering dikucilkan oleh keluarganya. Masalah psikososial mulai dirasakan oleh penderita sejak saat ia dinyatakan menderita penyakit kusta apalagi bila hal tersebut diketahui oleh keluarganya maupun oleh masyarakat di sekitarnya. Hal ini akan bertambah berat bila ia merupakan tumpuan hidup dan sumber nafkah bagi keluarganya. Dengan adanya cacat memperburuk kondisi ekonominya karena kehilangan lapangan pekerjaan dan kesempatan kerja (Modus Aceh. 02 april, 2009).

1. Proses Terjadinya Cacat Kusta Terjadinya cacat tergantung dari fungsi serta saraf mana yang rusak. Diduga kecacatan akibat penyakit kusta dapat terjadi melalui 2 proses : a. Infiltrasi langsung makobakterium lepare kesusunan saraf tepi dan organ (mata)

12

b. Melalui reaksi kusta Amiruddin MD (2001) menyatakan bahwa cacat kusta dapat terjadi melalui 2 (dua) proses yaitu cacat primer dan cacat sekunder. a. Cacat Primer Cacat primer adalah cacat yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakitnya sendiri yang meliputi respon jaringan terhadap kuman penyebab. Kuman kusta akan menginvasi aliran darah sehingga memungkinkan terjadinya penyebaran pada hampir seluruh tubuh. Pada kebanyakan jaringan, kuman ini lebih bersifat simbiose daripada sebagai parasit, sehingga tidak mengakibatkan kerusakan jaringan tersebut. b. Cacat sekunder Cacat sekunder adalah cacat yang tidak langsung disebabkan oleh penyakit sendiri, tetapi diakibatkan oleh adanya anestesi dan paralise motoris. Dimana kerusakan pada saraf meliputi anestesi akibat kerusakan saraf sensoris, yang pada dasarnya karena hilangnya rasa nyeri dan rasa suhu, maka penderita gagal menghindar terhadap trauma terutama pada kaki dan tangan. Keadaan ini pada akhirnya dapat berakibat timbul berbagai bentuk luka, meliputi luka bakar, luka iris, luka memar, distorsi sendi dan sebagainya. (Amiruddin,2001). Secara umum fungsi saraf dikenal ada tiga macam yaitu fungsi motorik yang memberikan kekuatan pada otot, fungsi sensorik yang memberi rasa raba, dan fungsi otonom yang mengurus kelenjar keringat dan kelenjar minyak. Kecacatan yang terjadi tergantung pada komponen saraf yang

13

terkena. Apakah sensoris, motoris, otonom, maupun kombinasi antara ketiganya. Berikut adalah skema/bagan yang menggambarkan proses terjadinya kecacatan akibat kerusakan dari fungsi saraf:Bagan xxxx:

GANGGUAN FUNGSI SARAF TEPI

Sensorik

Motorik

OtonomMotorik

Anastesi (mati rasa)

Kelemahan

Gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak, aliran darah

Tangan/ kaki mati rasa

Kornea mata mati rasa, refleks kedip kerkurang

Tangan/ kaki lemah/ lumpuh

Mata tidak bisa berkedip

Kulit kering & Pecah-pecah

Luka

Infeksi

Jari-jari bengkok/ kaku

Infeksi

Luka

Mutilasi absorbsi

Buta

Mutilasi absorbsi

Buta

Infeksi

Sumber : Depkes. RI, 2006. Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta.Jakarta

Sesuai patogenesisnya, susunan saraf yang terkena akibat penyakit ini adalah susunan saraf perifer dan cacat yang ditimbulkan seperti yang tercantum dalam tabel berikut:

14

Tabel 2.2: Kerusakan Saraf Akibat Cacat pada Penyakit Kusta Fungsi Saraf Motorik Facialis Kelopak mata tidak menutup Jari manis dan kelingking lemah/ lumpuh/ kiting Ibu jari, telunjuk & jari tengah lemah, lumpuh/ kiting Tangan lunglai Kaki simper Sensorik Otonom

Ulnaris

Medianus

Mati rasa telapak tangan bagian jari manis dan kelingking Mati rasa telapak tangan bagian ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah

Kekeringan dan kulit retak akibat kerusakan kelenjar keringat, minyak dan aliran darah

Radialis Peroneus

Tibialis Jari kaki kiting Mati rasa telapak posterior kaki Sumber: Subdirektorat Kusta & Frambusia, 2008. Modul Pelatihan P2 Kusta Bagi Puskesmas. Jakarta

2.

Tingkat Cacat Menurut WHO Kecacatan merupakan istilah yang luas yang maknanya mencakup setiap kerusakan, pembatasan aktivitas yang mengenai seseorang. Tiap organ (dalam hal ini mata, tangan dan kaki) diberi tingkat cacat sendiri. Tingkat cacat digunakan unuk menilai kualitas penanganan pencegahan cacat yang dilakukan oleh petugas, menilai kualitas penemuan dengan melihat proporsi cacat tingkat 2 di antara penderita baru. Juanda A et al. (2007) menuliskan bahwa WHO Expert Committee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO Technical Report Series No.607 1977 telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita kusta, seperti yang ada dalam tabel:

15

Tabel 2.3: Tingkat Cacat Menurut WHO Cacat pada tangan dan kaki Tingkat 0: Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat. Tingkat 1: Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat (contoh : anastesi, kelemahan otot) Tingkat 2: Terdapat kerusakan atau deformitas ( contoh : ulkus, jari kiting, kaki semper) Cacat pada mata Tingkat 0: Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan penglihatan Tingkat 1: Ada gangguan mata akibat kusta ; tidak ada gangguan yang berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6 meter). Tingkat 2: Ada lagophthalmus, iridosiklitis, opasitas pada kornea serta Gangguan penglihatan berat (Visus < 6/60 ; tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 meter). Catatan : Kerusakan atau deformitas pada tangan dan kaki termasuk ulserasi, absorbsi, mutilasi, kontraktur, sedangkan pada mata termasuk anastesi kornea, iridosiklitis dan lagoftalmus Sumber: Juanda. A et al. 2007. Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta, FKUI

Untuk Indonesia, karena beberapa keterbatasan pemeriksaan di lapangan, maka tingkat cacat disesuaikan sebagai berikut :

Tabel 2.4: Klasifikasi/Tingkat Cacat yang Dipergunakan di Indonesia. Tingkat Cacat 0 1 Mata Tidak ada kelainan pada mata akibat kusta Telapak tangan/kaki Tidak ada cacat akibat kusta

Anastesi, kelemahan otot, (Tidak ada cacat/kerusakan yang kelihatan akibat kusta) Ada Lagophthalmus Ada cacat/kerusakan yang kelihatan akibat kusta, misalnya ulkus, jari kiting, 2 kaki semper,mutilasi/absorbs parsial dari jari-jari. Sumber: Depkes. RI, 2006. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta Jakarta

16

C. Konsep Motivasi 1. Defenisi Motivasi berasal dari kata latin moreve yang berarti dorongan dari dalam diri manusia untuk bertindak atau berprilaku. Motivasi dapat juga diartikan sebagai suatu alasan seseorang untuk bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya (Notoatmodjo,2007).

2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Motivasi a. Faktor intrinsik yang berasal dari dalam diri individu, yang dapat berupa kepribadian, sikap, pengalaman dan pendidikan, berbagai harapan atau cita-cita menjangkau ke masa depan. b. Faktor ekstrinsik yang berasal dari luar diri individu yang dipengaruhi oleh hadiah-hadiah atau hukuman-hukuman. Dalam hal ini dapat berasal dari orang lain yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.

3. Teori Motivasi Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkan dalam kehidupannya. Ada beberapa teori tentang motivasi, antara lain : a. Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)

17

Abraham H. Maslow adalah seorang ahli psikologi yang telah mengembangkan teori motivasi dengan mendasarkan pada kebutuhan manusia yang dibedakan antara kebutuhan biologis (materil) dan kebutuhan psikologis (non-materil). Teoti motivasi yang dikembangkannya pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hirarki kebutuhan, yaitu: Kebutuhan fisiologis/physiological needs adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup dan sifatnya sangat vital bagi manusia, seperti; rasa lapar, haus, istirahat dan sex. Kebutuhan rasa aman/safety needs (tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual). Kebutuhan rasa aman mempunyai bentangan yang sangat luas, mulai dari rasa aman dari ancaman alam, ancaman orang lain, masalah kesehatan atau bebas penyakit sampai dengan ancaman dikeluarkan dari pekerjaan. Rasa aman bukan hanya keamanan fisik, tetapi juga keamanan secara psikologis misalnya bebas dari tekanan dan intimidasi dari pihak lain. Kebutuhan akan kasih sayang/love needs pada prinsipnya agar dirinya dapat diterima dan disayangi oleh orang lain, termasuk keluarga dan masyarakat di lingkungannya. Salah satu cara untuk merealisasikan kebutuhan ini dengan mengikuti berbagai organisasi atau

perkumpulan-perkumpulan di masyarakat.

18

Kebutuhan akan harga diri/esteem needs (yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status). Dalam mewujudkan kebutuhan ini bukan semata-mata pemberian dari pihak lain, tetapi harus dibuktikan dari kemampuan atau prestasi yang dicapainya.

Aktualisasi diri/self actualization dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan untuk mengembangkan potensi diri secara maksimal.

b. Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi) Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu: sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat, menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri bukan karena faktor-faktor lain seperti kemujuran dan menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.

19

c. Teori Clyton Alderfer (Teori ERG) Teori Alderfer dikenal dengan akronim ERG. Yang terdiri dari hurufhuruf yang memiliki makna, yaitu: E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhan untuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan) Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan tampak bahwa: makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya, kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang lebih tinggi semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan. Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuaskan kebutuhan yang lebih mendasar. Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya. d. Teori Herzberg (Teori Dua Faktor) Teori yang dikembangkan Herzberg dikenal dengan Model Dua Faktor dari motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau pemeliharaan. Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor

20

hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang. e. Teori Keadilan Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu : Seseorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. f. Teori penetapan tujuan (goal setting theory) Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni: tujuan-tujuan mengarahkan perhatian, tujuan-tujuan mengatur upaya, tujuan-tujuan meningkatkan persistensi, tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. g. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan ) Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul Work And Motivation mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai teori harapan.

Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seseorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya,

21

apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya. Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah. h. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut. Kehendak seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku. Hal ini dikenal dengan hukum pengaruh yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk menunjukkan perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan/menghindari perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan. i. Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.

22

Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah : persepsi seseorang mengenai diri sendiri, harga diri, harapan pribadi, kebutuhaan, keinginan, kepuasan kerja,

prestasi kerja yang dihasilkan. Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah: jenis dan sifat pekerjaan, kelompok kerja dimana seseorang bergabung, organisasi tempat bekerja, situasi lingkungan pada umumnya, sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.

4. Perilaku Pemanfaatan Tempat Pelayanan Kesehatan Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa seseorang atau masyarakat jika mendapatkan penyakit atau merasa sakit akan menimbulkan berbagai macam perilaku dan usaha sebagai berikut: a. No action yaitu tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa karena kondisi tidak mengganggu kegiatan atau aktivitas sehari-hari. b. Self treatment yaitu tindakan mengobati sendiri karena sudah merasa memiliki pengalaman tentang keberhasilan pengobatan di masa-masa sebelumnya yang telah mendatangkan kesembuhan. c. Traditional remedy yaitu mencari pengobatan secara tradisional seperti ke dukun.

23

d. Chemist shop yaitu mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat dan sejenisnya termasuk tukang-tukang jamu. Umumnya obat-obat yang digunakan tidak memakai resep dari dokter. e. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta seperti puskesmas, rumah sakit, balai pengobatan dan sebagainya. f. Private medicine yaitu mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh dokter praktik seperti praktik-praktik dokter spesialis. Dari uraian tersebut diatas tampak jelas bahwa persepsi seseorang atau masyarakat terhadap sehat-sakit erat hubungannya dengan perilaku pencarian pengobatan. Perilaku sakit diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu agar memperoleh kesembuhan. Menurut Anderson (1974),orang sakit termotivasi berobat ke pelayanan kesehatan dipengaruhi beberapa factor antara lain faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors), dan faktor kebutuhan (need factors). Faktor-faktor tersebut digambarkan sebagai berikut: a. Faktor predisposisi adalah ciri-ciri yang telah ada pada individu dan keluarga sebelum menderita sakit, yaitu pengetahuan, sikap dan kepercayaan terhadap kesehatan. 1) Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan

24

terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan dapat dikelompok menjadi: a) Pengetahuan tentang sakit dan penyakit meliputi penyebab penyakit, gejala dan tanda-tanda penyakit, bagaimana cara pengobatan, cara penularan, cara pencegahan termasuk imunisasi. b) Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat, meliputi jenis-jenis makanan yang bergizi bagi kesehatannya, pentingnya olah raga bagi kesehatannya, penyakit-penyakit atau bahaya rokok, minum-minuman keras, narkoba dan sebagainya, pentingnya istirahat cukup, relaksasi, rekreasi, dan sebagainya. c) Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan meliputi manfaat air bersih, cara-cara pembuangan limbah yang sehat termasuk sampah, manfaat pencahayaan dan penerangan rumah yang sehat, akibat polusi (polusi air, udara dan tanah) bagi kesehatan. 2) Sikap Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (dalam hal ini adalah masalah kesehatan, termasuk penyakit). Indikator untuk sikap kesehatan adalah sebagai berikut:

25

a) Sikap terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana penilaian atau pendapat seseorang terhadap gejala atau tanda-tanda penyakit, penyebab penyakit, cara penularan, penncegahan penyakit dan sebagainya. b) Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat yaitu pendapat seseorang terhadap cara-cara memelihara dan cara-cara berperilaku hidup sehat. c) Sikap terhadap kesehatan lingkungan yaitu pendapat atau penilaian seseorang terhadap lingkungan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. 3) Kepercayaan terhadap kesehatan Manfaat-manfaat kesehatan (seperti keyakinan bahwa pelayanan kesehatan dapat menolong proses penyembuhan penyakit). Karakteristik ini didasarkan pada kenyataan bahwa problem-problem kesehatan ditandai oleh kegagalan-kegagalan orang atau masyarakat untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh provider (petugas kesehatan). b. Faktor pemungkin adalah kondisi yang memungkinkan orang sakit memanfaatkan pelayanan kesehatan, yang mencakup status ekonomi keluarga, akses terhadap sarana pelayanan kesehatan yang ada, dan penanggung biaya berobat. 1) Status ekonomi keluarga dan penanggung biaya berobat Karakteristik ini untuk mengukur atau menekankan kesanggupan dari individu atau keluarga untuk memperoleh pelayanan kesehatan dilihat

26

dari pendapatan keluarga, cakupan asuransi keluarga atau sebagai anggota asuransi kesehatan dan pihak yang membiayai pelayanan kesehatan dan sebagainya. 2) Akses terhadap pelayanan kesehatan Karakteristik ini untuk mengukur atau menekankan kesanggupan dari individu atau keluarga memperoleh pelayanan kesehatan dilihat penyediaan pelayanan kesehatan dan sumber-sumber di dalam masyarakat. Sumber daya masyarakat merupakan suplai ekonomis yang berfokus pada ketersediaansumber-sumber kesehatan pada masyarakat setempat. c. Faktor kebutuhan adalah kondisi individu yang mencakup keluhan sakit termasuk cacat fisik. Faktor predisposisi dan faktor pemungkin untuk mencari pengobatan dapat berwujud di dalam tindakan apabila itu dirasakan sebagai kebutuhan. Dengan kata lain kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan, bilamana tingkat predisposisi dan enabling itu ada. Kebutuhan (need) disini dibagi menjadi 2 kategori, dirasa atau perceived (subject assessment) adan evaluated (clinical diagnosis).

5. Perilaku Pemanfaatan Tempat Pelayanan Kesehatan oleh Penderita Kusta dalam Kaitannya dengan Teori Motivasi Maslow Perilaku berobat penderita penyakit kusta ke tempat pelayanan kesehatan dapat dikaitkan dengan teori motivasi Maslow yang telah dibahas sebelumnya

27

yaitu motivasi yang mendasarkan pada kebutuhan manusia yang dibedakan antara kebutuhan biologis (materil) dan kebutuhan psikologis (non-materil). Dimana teori motivasi tersebut pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hirarki kebutuhan yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Kebutuhan fisiologis seperti makan, minum dan sex. Penderita kusta sulit memenuhi kebutuhan makan ataupun minum apabila karena adanya diskriminasi dan sulitnya mendapatkan pekerjaan ataupun karena ketidakmampuan untuk bekerja karena cacatnya. Apabila seseorang telah didiagnosis sebagai penderita kusta apalagi kalau sudah menderita cacat kusta, mereka akan dijauhi dan dikucilkan oleh keluarganya dalam hal ini khususnya istri atau suami, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan sexnya. b. Kebutuhan rasa aman atau bebas dari ancaman. Masalah psikososial mulai dirasakan oleh penderita sejak saat ia

dinyatakan menderita penyakit kusta apalagi bila hal tersebut diketahui oleh keluarganya maupun oleh masyarakat di sekitarnya. Hal ini akan bertambah berat bila ia merupakan tumpuan hidup dan sumber nafkah bagi keluarganya. Seorang penderita kusta akan mengalami banyak ancaman baik dari proses penyakitnya maupun ancaman di lingkungannya, apabila telah diketahui oleh orang lain termasuk keluarga dan masyarakat, tentunya hal ini akan membuatnya merasa tidak aman dan nyaman. Ancaman tersebut dapat berupa ancaman terhadap masalah

28

kesehatannya yaitu resiko semakin memburuknya keadaan kesehatannya (proses cacat terus berlanjut), ancaman tidak mampu bekerja apabila mengalami cacat, ancaman dikeluarkan dari pekerjaan karena takut ditulari penyakitnya atau karena sudah tidak produktif lagi, ancaman akan isolasi sosial. c. Kebutuhan kasih sayang Seringkali penyakit kusta diidentikkan dengan cacat fisik yang menimbulkan rasa jijik atau ngeri serta rasa takut yang berlebihan terhadap mereka yang melihatnya. Akibatnya meskipun penderita kusta telah diobati dan dinyatakan sembuh secara medis, akan tetapi bila fisiknya cacat, maka predikat kusta akan tetap melekat untuk seluruh sisa hidup penderita, sehingga ia dan keluarganya akan dijauhi oleh masyarakat di sekitarnya. Cacat memberi gambaran yang menakutkan, menyebabkan penderita merasa rendah diri, depresi dan menyendiri, serta diskriminasi dan tekanan hidup dari sesama bahkan sering dikucilkan oleh keluarga dan masyarakat. d. Kebutuhan harga diri Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita sering kali tidak dapat menerima keputusan bahwa ia menderita kusta. Pada umumnya mereka dibayang-bayangi oleh ketakutan yang sangat mendalam akan timbulnya cacat fisik akibat penyakit ini. Suatu hal yang perlu disadari bahwa tidak satupun orang yang sehat ingin mengalami cacat dalam kehidupannya. Sikap dan perilaku masyarakat yang negatif terhadap penderita kusta

29

seringkali menyebabkan penderita kusta tidak mendapatkan tempat di dalam keluarganya dan masyarakat lingkungannya. Cacat memberi gambaran yang menakutkan, menyebabkan penderita merasa rendah diri, depresi dan menyendiri, serta diskriminasi dan tekanan hidup dari sesama bahkan sering dikucilkan oleh keluarganya. e. Kebutuhan aktualisasi diri Kesempatan bagi seseorang penderita kusta untuk mengembangkan potensi diri secara maksimal yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata tidak dapat terealisasi..Dengan adanya cacat akan membuatnya kehilangan lapangan pekerjaan dan kesempatan kerja.

30

BAB III KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep Menurut Anderson (1974), motivasi orang sakit berobat ke pelayanan kesehatan secara bersama dipengaruhi oleh faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors), dan faktor kebutuhan (need factors). Faktor-faktor tersebut digambarkan sebagai berikut : Variabel bebas Faktor kebutuhan : - Cacat Kusta Faktor predisposisi : - Pengetahuan - Sikap - Kepercayaan terhadap kesehatan Faktor pemungkin : - Status ekonomi keluarga dan Penanggung biaya berobat Akses terhadap sarana pelayanan kesehatan Motivasi berobat Penderita Kusta Variabel tergantung

Keterangan : = Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti

31

B. HIPOTESIS Ada hubungan cacat kusta dengan motivasi berobat penderita kusta.

32

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi cross sectional yaitu penelitian yang pengukurannya satu kali saja, dimana peneliti mencari hubungan antara variabel bebas (factor resiko) dengan variabel tergantung (efek) dengan melakukan pengukuran sesaat. Pada metode penelitian ini tidak semua subjek harus diperiksa pada hari ataupun saat yang sama, namun semua variabel diukur menurut keadaan atau statusnya pada waktu observasi, tidak ada tindak lanjut atau follow up.

B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Dr. Tajuddin Chalid Makassar. Penelitian ini akan dilakukan selama + 2 minggu terhitung dari tanggal 14 Desember 2009 sampai dengan 28 Desember 2009.

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini mengambil populasi terjangkau yaitu semua penderita kusta yang berobat di Rumah Sakit Dr. Tajuddin Chalid Makassar pada tahun 2009, dimana jumlah penderita yang terdaftar sebanyak 2.357 orang.

33

2. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria sampel. Adapun kriteria sampel adalah sebagai berikut: Kriteria Inklusi: a. Penderita kusta yang mulai pengobatan mulai dari tanggal 01 Januari 2009 sampai dengan tanggal 31 Desember 2009 b. Penderita kusta yang masih aktif berobat. c. Penderita kusta dengan kunjungan baru. d. Penderita kusta baik yang rawat jalan maupun yang rawat inap. e. Penderita kusta yang mengalami cacat kusta (cacat tingkat 1 dan 2). f. Penderita dengan umur > 15 tahun. g. Bersedia berpartisipasi dalam penelitian. Kriteria Eksklusi: a. Penderita kusta yang terdaftar dan mendapat pengobatan tetapi tidak mengalami cacat kusta/cacat tingkat 0. b. Penderita kusta yang mengalami cacat bukan karena penyakit kusta. c. Penderita kusta yang dinyatakan drop out. d. Penderita kusta yang dirujuk kembali ke puskesmas. e. Penderita kusta dengan umur < 15 tahun. f. Penderita Kusta yang menolak untuk dijadikan responden.

34

3. Teknik sampling Dengan tehnik total sampling semua penderita kusta kusta yang ada di Rumah Sakit Dr. Tajuddin Chalid Makassar sebagai tempat penelitian dilakukan sesuai dengan kriteria sampel.

D. Alur Penelitian

Data Sekunder Rumah Sakit Dr.Tajuddin Chalid

Pemilihan sampel sesuai dengan kriteria inklusi

Observasi kartu penderita kusta dan Pengisian kuisioner oleh sampel Pengumpulan data

Pengolahan Data Kesimpulan Penyajian Hasil

35

E. Variabel Penelitian 1. Identifikasi Variabel Dalam hal ini penulis menggunakan 2 jenis variable, yaitu : a. Variabel Bebas Variabel bebas dalam penelitian ini adalah cacat kusta pada penderita penyakit kusta b. Variabel Tergantung Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Motivasi berobat penderita kusta.

2. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif Penelitian ini meliputi beberapa 2 (dua) variabel yaitu : cacat kusta dan motivasi berobat, dimana masing-masing variabel memiliki defenisi operasional dan kriteria objektif yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Cacat Kusta adalah cacat yang terjadi pada penderita kusta akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki. Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan

berkurangnya kekuatan otot yang dapat dinilai melalui pemeriksaan dan pengamatan langsung. Tingkat cacat kusta pada penderita kusta akan diobservasi langsung melalui kartu penderita kusta yang telah diperiksa oleh petugas/pengelola P2 Kusta

36

Kriteria Objektif : Dikatakan cacat kusta bila memenuhi kriteria cacat tingkat 1 dan cacat tingkat 2 yaitu: Cacat Derajat 1 : Pada mata: Tidak dapat diobservasi Pada telapak tangan: Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat yaitu : anastesi/mati rasa, kelemahan otot. Pada telapak kaki: Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat yaitu : anastesi/mati rasa, kelemahan otot. Cacat Derajat 2 Pada mata: Ada lagophthalmus Pada telapak tangan: terdapat kerusakan atau deformitas yaitu: ulkus, jari-jari kontraktur, tangan lunglai, absorbsi/mutilasi jari-jari tangan. Pada telapak kaki: Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat yaitu : anastesi/mati rasa, kelemahan otot serta terdapat kerusakan atau deformitas yaitu: ulkus, jari-jari kontraktur, kaki lunglai, absorbsi/mutilasi jari-jari.

37

b. Motivasi berobat adalah suatu alasan seseorang untuk bertindak (mencari pengobatan) dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya (kesembuhan). Kriteria Objektif : Motivasi Tinggi Dikatakan motivasi tinggi apabila responden menjawab > 70% jawaban Ya dari 10 (sepuluh) pertanyaan yang diberikan. Motivasi Rendah-

Dikatakan motivasi rendah apabila responden menjawab < 70% jawaban Ya dari 10 (sepuluh) pertanyaan yang diberikan.

F. Pengolahan Data Prosedur pengolahan data yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Editing Dilakukan untuk memeriksa ulang dan meneliti kelengkapan lembar observasi serta item-itemnya apakah sudah tetap atau tidak.

2. Coding Untuk memudahkan pengolahan data semua jawaban perlu

disederhanakan dengan cara memberikan simbol-simbol tertentu untuk setiap jawaban.

38

3. Tabulasi Setelah data terkumpul dan tersusun selanjutnya dapat dikelompokkan ke dalam ke dalam suatu tabel menurut item-item yang sesuai dengan tujuan penelitian.

4. Analisa Data Setelah data tersebut ditabulasi kemudian dilakukan interpretasi terhadap data yang terkumpul dengan menggunakan metode statistik, menggunakan komputer program SPSS versi 14. Untuk mengetahui pengaruh cacat kusta terhadap motivasi berobat penderita kusta dilakukan uji Chi-Square pada batas kemaknaan = 5%. G. Etika Penelitian Etika penelitian ini bertujuan untuk melindungi subjek antara lain dengan menjamin kerahasiaan identitas responden dan kemungkinan terjadinya ancaman terhadap responden. Penelitin ini memperhatikan masalah etika meliputi : 1. Informed Consent (Persetujuan Responden) Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi kriteria inklusi. Lembar informed consent harus dilengkapi dengan judul penelitian dan manfaat penelitian. Bila subjek menolak, maka peneliti tidak boleh memaksa dan harus tetap menghormati hak-hak subjek. Pelaksanaan intervensi pada pasien kontrol dilakukan setelah penelitian.

39

2. Anonimity (tanpa nama). Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan nama responden, tetapi pada lembar tersebut diberikan kode dan nama initial.

3. Confidentiality (Kerahasiaan) Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti, dan hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

40

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Dr.Tadjuddin Chalid Makassar yang dimulai pada tanggal 16 Desember 2009 sampai dengan tanggal 16 Januari 2010. Rumah Sakit Dr.Tajuddin Chalid Makassar merupakan salah satu rumah sakit pusat rujukan penderita kusta yang ada di Indonesia yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jendral Pelayanan Medik Depkes RI dan diberikan tanggung jawab untuk melakukan pembinaan di seluruh daerah Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Rumah sakit ini didirikan pada tahun 1982 berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 568/Menkes/SK/XII1982 sebagai dasar untuk membangun Rumah Sakit Kusta Ujung Pandang yang berubah nama menjadi Rumah Sakit Kusta Regional Makassar pada tahun 2001 dan Rumah sakit Dr.Tajuddin Chalid pada tahun 2009. Rumah sakit ini terletak di kecamatan Biringkanaya Kota Makassar yang dibangun diatas tanah seluas 123.763 m2 dengan luas bangunan seluruhnya 15.570 m2 yang terdiri atas bangunan rawat inap, rawat jalan/UPF, instalasi, ruang administrasi dan ruang lainnya. Rumah sakit ini didukung oleh sumber daya manusia sebanyak 96 orang, dimana struktur organisasinya dipimpin oleh seorang Direktur yang diangkat lansung oleh Menteri Kesehatan RI.

41

Rumah sakit Dr.Tajuddin Chalid memberikan pelayanan poliklinik umum, poliklinik kusta, poliklinik gigi, poliklinik mata, dan pelayanan rawat inap yang terdiri atas 6 bangsal yaitu Ruang Anggrek, Bougenville, Cempaka, Dahlia, Edelweis dan Flamboyan. Selain itu rumah sakit ini juga ditunjang oleh pelayanan penunjang medik seperti, pelayanan farmasi, laboratorium, unit terapi kerja, gizi, fisioterapi, phrosthetik/orthetik, bedah dan luka. Tugas pokok rumah sakit ini adalah melaksanakan pelayanan penderita kusta secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan guna peningkatan kualitas hidup dan produktivitas penderita kusta serta melaksanakan kegiatan diklat dan litbang di bidang rehabilitasi kusta sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian dengan metode studi Cross Sectional, dengan tujuan untuk melihat hubungan antara derajat cacat kusta dengan motivasi berobat penderita kusta di Rumah Sakit Dr.Tadjuddin Chalid Makassar. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling. Banyaknya sampel dalam penelitian ini adalah 54 Responden. Responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah pasien kusta yang menjalani pengobatan rawatan inap dan rawat jalan di Rumah Sakit Dr.Tadjuddin Chalid Makassar. Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data primer yang di ambil melalui observasi langsung dengan menggunakan kuisioner yang langsung diberikan kepada responden. Dari Hasil pengolahan data yang dilakukan, disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi berbentuk tabel yang

42

meliputi karakteristik responden, distribusi menurut jenis cacat responden dan hasil hubungan antara variabel bebas terhadap variabel tergantung yang dapat tergambar sebagai berikut: 1. Analisis Univariat a. Karakteristik demografi Karakteristik demografi dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan dan penghasilan. Dari Hasil Penelitian di Rumah Sakit Dr.Tadjuddin Chalid Makassar diperoleh data karakteristik dari 54 penderita kusta yang menjadi responden. Berdasarkan umur terlihat bahwa umur 16-25 tahun sebanyak 9 (16,7%), umur 26-35 tahun sebanyak 11 (20,4%), umur 36-45 tahun sebanyak 10 (18,5%), umur 46-55 tahun sebanyak 12 (22,2%), umur 56-65 tahun sebanyak 6 (11,1%), dan umur >65 tahun sebanyak 6 (11,1%). Sedangkan berdasarkan jenis kelamin terdapat 38 (70,4%) responden berjenis kelamin laki-laki dan 16 (29,6%) berjenis kelamin perempuan. Karateristik berdasarkan tingkat pendidikan yang paling banyak yaitu SD sebanyak 26 (48,1%), kemudian yang tidak sekolah sebanyak 15 (27,8%), diikuti dengan tingkat pendidikan SMP sebanyak 9 (16,7%) dan SMA sebanyak 4 (7,4%). Untuk Karasteristik berdasarkan pekerjaan menunjukan bahwa responden yang tidak bekerja sebanyak 17 (31,5%), yang bekerja sebagai buruh sebanyak 14 (25,9%), yang bekerja sebagai supir sebanyak 3 (5,6%), kemudian yang bekerja sebagai petani sebanyak 13 (24,1%), yang bekerja sebagai

43

wiraswasta sebanyak 6 (11,1%), dan sisanya bekerja sebagai karyawan perusahaan sebanyak 1 (1,9 %). Karakteristik berdasarkan penghasilan menunjukkan bahwa yang berpenghasilan Rp.1.000.000 sebanyak 3 (5,6%).

44

Tabel 5.1 : Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan, Status Perkawinan dan Penghasilan Karakter demografi Umur (tahun) : 16 25 26 35 36 45 46 55 55 65 >65 Total Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA Total Pekerjaan Tidak Bekerja Buruh Supir Petani Wiraswasta Karyawan Total Penghasilan < Rp.500.000,Rp.500.000,- s/d Rp.1.000.000,> Rp.1.000.000,Total Sumber data : data primer 2009 28 23 3 54 51,9 42,6 6,6 100,0 17 14 3 13 6 1 54 31,5 25,9 5,6 24,1 11,1 1,9 100,0 15 26 9 4 54 27,8 48,1 16,7 7,4 100,0 38 16 54 70,4 29,6 100,0 9 11 10 12 6 6 54 16,7 20,4 18,5 22,2 11,1 11,1 100,0 Jumlah Persentase (%)

45

b. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Cacat Berdasarkan jenis cacat yang terdapat pada responden yang berjumlah 54 responden, maka dapat didistribusikan sebagai berikut; dimana responden yang mengalami cacat mati rasa pada telapak tangan menempati urutan jumlah terbanyak yaitu sebanyak 42 (77,8%), kemudian diikuti oleh mati rasa pada telapak kaki sebanyak 40 (74,1%),yang mengalami kelemahan otot jari kelingking sebanyak 30 (55,6%), yang mengalami kontraktur pada jari-jari tangan sebanyak 28 (51,4%) yang mengalami ulkus pada telapak kaki sebanyak 23 (42,6%), yang mengalami absorbsi pada jari-jari tangan sebanyak 14 (25,9%), yang mengalami kontraktur pada jari-jari kaki sebanyak 14 (25,9%), yang mengalami mutilasi pada jari-jari kaki sebanyak 14 (25,9%), yang mengalami kaki lunglai sebanyak 9 (16,7%), yang mengalami ulkus pada telapak tangan sebanyak 6 (11,1%), yang mengalami tangan lunglai sebanyak 5 (9,3%), yang mengalami mutilasi pada jari-jari tangan sebanyak 3 (5,6%) dan yang paling sedikit adalah yang mengalami lhagopthalmus pada mata yaitu sebanyak 1 (1,9%).

46

Tabel 5.2 : Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Cacat

Karakter jenis cacat Mati rasa pada telapak tangan Ya Tidak Total Kelemahan pada otot jari kelingking Ya Tidak Total Ulkus pada telapak tangan Ya Tidak Total Tangan lunglai Ya Tidak Total Kontraktur pada jari-jari tangan Ya Tidak Total Mutilasi pada jari-jari tangan Ya Tidak Total Absorbsi pada jari-jari tangan Ya Tidak Total Mati rasa pada telapak kaki Ya Tidak Total

Jumlah

Persentase (%)

42 12 54

77,8 22,2 100,0

30 24 54

55,6 44,4 100,0

6 48 54

11,1 88,9 100,0

5 49 54

9,3 90,7 100,0

28 26 54

51,9 48,1 100,0

3 51 54

5,6 94,4 100,0

14 40 54

25,9 74,1 100,0

40 14 54

74,1 25,9 100,0

47

Lanjutan Tabel Karakter jenis cacat Ulkus pada telapak kaki Ya Tidak Total Kaki lunglai Ya Tidak Total Kontraktur pada jari-jari kaki Ya Tidak Total Mutilasi pada jari-jari kaki Ya Tidak Total Absorbsi pada jari-jari kaki Ya Tidak Total Lhagopthalmus pada mata Ya Tidak Total Sumber data : Data primer 2009 1 53 54 1,9 98,1 100,0 17 37 54 31,5 68,5 100,0 14 40 54 25,9 74,1 100,0 14 40 54 25,9 74,1 100,0 9 45 54 16,7 83,3 100,0 23 31 54 42,6 57,4 100,0 Jumlah Persentase (%)

c. Variabel Penelitian 1) Derajat Cacat Kusta Berdasarkan hasil dari tabulasi data pada derajat cacat responden, didapatkan hasil bahwa rata-rata responden yang mengalami derajat

48

cacat 1 sebanyak 29,6% sedangkan 70.4% merupakan responden yang mengalami cacat tingkat 2.Tabel 5.3 : Distribusi Responden Berdasarkan Derajat Cacat Variabel Derajat Cacat Derajat 1 Derajat 2 Total Sumber data : Data primer 2009 16 38 54 29,6 70,4 100,0 Jumlah Persentase (%)

2) Motivasi Berobat Dalam penelitian ini, motivasi berobat pada pasien kusta

dikategorikan menjadi dua, yaitu motivasi tinggi dan motivasi rendah. Berdasarkan kuisioner yang dibagikan kepada responden seperti yang tercamtum pada tabel di bawah yang berjumlah 54 responden, diperoleh jumlah responden yang memilki motivasi tinggi sebanyak responden atau sebanyak 36 (66,7%) responden,

sedangkan respon yang memilki motivasi rendah yaitu 18 (33,3%) responden.Tabel 5.4 : Distribusi Responden Berdasarkan Motivasi Berobat Variabel Motivasi Berobat Motivasi Tinggi Motivasi Rendah Total Sumber data : Data primer 2009 36 18 54 66,7 33,3 100,0 Jumlah Persentase (%)

49

2. Analisis Bivariat Dari hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Dr.Tadjuddin Chalid Makassar pada 54 responden didapatkan bahwa motivasi berobat berdasarkan derajat cacat yang terbanyak adalah cacat kusta derajat 2 yang memiliki motivasi tinggi sebanyak 31 orang atau sebanyak 81,6%, sedangkan cacat derajat 1 yang memiliki motivasi tinggi sebanyak 5 (31,3%). Untuk motivasi rendah, derajat 1 sebanyak 11 (68,8%) dan derajat 2 sebanyak 7 (18,4%). Hal ini dapat telihat pada tabel 5 berikut ini.Tabel 5.5 : Distribusi Derajat Cacat Berdasarkan Motivasi Berobat Derajat Cacat Motivasi Berobat Tinggi Derajat 1 Derajat 2 Total 5 (31,3%) 31 (81,6%) 36 (66,7%) Rendah 11 (68,8%) 7 (18,4%) 18 (33,3%) 16 (100%) 38 (100%) 54 (100%) Nilai p = 0,000 Sumber : data primer 2009 Total

B. PEMBAHASAN 1. Karakteristik Responden Dari hasil pengujian statistik dengan menggunakan uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,000. Nilai ini menunjukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara derajat cacat kusta dengan motivasi berobat penderita kusta yang ada di Rumah Sakit Dr. Tajuddin Chalid Makassar. Dengan demikian hipotesis kerja diterima.

50

Menurut Anderson (1974),orang sakit termotivasi berobat ke pelayanan kesehatan dipengaruhi beberapa faktor antara lain faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors), dan faktor kebutuhan (need factors). Motivasi berasal dari kata latin moreve yang berarti dorongan dari dalam diri manusia untuk bertindak atau berprilaku. Motivasi dapat juga diartikan sebagai suatu alasan seseorang untuk bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya (Notoatmodjo,2007). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan melalui faktor kebutuhan dengan berdasarkan teori motivasi Abraham Maslow yang mengembangkan teori motivasi berdasarkan kebutuhan dasar manusia, dimana kebutuhan dasar dasar manusia dibagi dalam 5 (lima kebutuhan) yaitu kebutuhan fisiologis, rasa aman, kasih sayang, harga diri dan kebutuhan aktualisasi diri. Dari hasil penelitian seperti yang terlihat pada tabel 5.5 diatas menunjukkan bahwa penderita kusta yang berobat di Rumah Sakit Dr.Tajuddin Chalid Makassar adalah penderita kusta dengan cacat kusta yang terbanyak adalah penderita kusta dengan cacat derajat 2. Pada umumnya responden yang diteliti telah mengalami cacat sebelum mereka berobat, terutama cacat derajat 2, karena pada keadaan inilah mereka akan menyadari bahwa mereka telah menderita penyakit atau cacat yang

51

mengganggu aktivitas keseharian mereka. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Depkes RI (2006) bahwa seseorang biasanya akan mencari pertolongan jika merasa sakit atau karena adanya suatu gangguan, karena penyakit kusta tidak memberi sensasi sakit maka biasanya penderita mencari pengobatan setelah terjadi cacat fisik yang nampak. Adanya motivasi berobat yang tinggi pada penderita kusta dengan cacat derajat 1 dan derajat 2 disebabkan karena harapan-harapan penderita untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti ingin sembuh, terbebas dari cacat yang lebih parah, ingin kembali bekerja, tidak dikucilkan oleh masyarakat dan dapat mempertahankan hubungan intim dengan keluarganya, terhindar dari ancaman orang lain, serta dapat

mengaktualisasikan dirinya baik di lingkungan sekitarnya maupun di lingkungan kerjanya, sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat dan keluarganya seperti halnya sebelum menderita cacat. Adanya motivasi berobat yang rendah pada penderita kusta dengan cacat derajat 1 dan derajat 2 disebabkan oleh rasa putus asa seperti ketidakyakinan penderita untuk dapat sembuh dari cacat yang telah dialami sehingga tidak dapat lagi kembali bekerja seperti halnya sebelum menderita cacat, serta sudah merasa dikucilkan oleh masyarakat dan keluarganya. Hal ini sesuai dengan pendapat Zulkifli (2003) bahwa pada umumnya penderita kusta merasa rendah diri, merasa tekanan batin, takut terhadap penyakitnya dan terjadinya kecacatan, takut menghadapi

52

keluarga, dan masyarakat karena penerimaan yang kurang wajar sehingga segan untuk berobat, karena malu, apatis karena kecacatan tidak dapat mandiri dan menjadi beban bagi orang lain. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Syair (2009) bahwa seringkali penyakit kusta diidentikkan dengan cacat fisik yang menimbulkan rasa jijik atau ngeri yang berlebihan terhadap mereka yang melihatnya, dimana predikat kusta akan tetap melekat untuk seluruh sisa hidup penderita meskipun penderita telah diobati dan dinyatakan sembuh secara medik sehinnga ia dan keluarganya akan dijauhi oleh masyarakat.

2.

Keterbatasan Penelitian Peneliti menyadari masih banyak terdapat keterbatasan dan kelemahan yang sangat berpengaruh dalam hasil akhir penelitian ini. Permasalahan tersebut antaran lain adanya keterbatasan waktu yang dihadapi dan

jumlah responden yang tidak terlalu banyak, sehingga responden yang dijadikan sampel oleh peneliti, tidak semuanya dapat diproleh untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal lagi, format pemeriksaan cacat pada buku register penderita yang tidak terisi lengkap, serta pengetahuan peneliti tentang metodologi penelitian dan mengolah data SPSS dirasakan masih kurang karena merupakan pengalaman peneliti yang pertama.

53

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan derajat cacat kusta dengan motivasi berobat penderita kusta di Rumah Sakit Dr.Tadjuddin Chalid Makassar, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pada umumnya penderita kusta dengan cacat derajat 2 lebih banyak yang terdaftar dan mendapatkan pengobatan di Rumah Sakit Dr. Tajuddin Chalid Makassar. 2. Pada umumnya tingkat motivasi berobat penderita yang kusta mengalami cacat kusta dengan derajat 2 di Rumah Sakit Dr. Tajuddin Chalid Makassar memiliki motivasi yang tinggi untuk berobat. 3. Ada hubungan antara derajat cacat kusta dengan motivasi berobat penderita kusta pada pasien kusta di Rumah Sakit Dr.Tadjuddin Chalid Makassar.

B. Saran 1. Bagi Rumah Sakit Dr. Tajuddin Chalid Makassar agar dapat terus meningkatkan pelayanannya kepada penderita cacat kusta terutama penderita kusta dengan cacat kusta derajat 2 karena mereka masih memiliki harapan-harapan untuk sembuh, setidaknya cacat yang dialami

54

tidak berlanjut atau tidak semakin parah. Para petugas rumah sakit sebagai pemberi pelayanan kesehatan sangat penting terus melakukan komunikasi interpersonal, karena turut berperan dalam proses

penyembuhan dan pencegahan cacat lebih lanjut. 2. Bagi Institusi (Universitas Hasanuddin) agar dapat dijadikan acuan bagi peneliti-peneliti selanjutnya sehingga dapat memperkaya kahsanah ilmu pengetahuan dalam hubungannya derajat cacat kusta dengan motivasi berobat penderita kusta. 3. Hasil penelitian ini berguna bagi peneliti agar dapat dijadikan pengalaman dalam mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh dan memperluas wawasan mengenai hubungan derajat cacat kusta dengan motivasi berobat penderita kusta terutama pada penderita dengan cacat kusta derajat 2. 4. Hasil penelitian ini menambah informasi bagi profesi keperawatan khususnya bagi para perawat yang bekerja di tempat-tempat pelayanan penderita kusta agar dapat tetap memberikan pelayanan prima secara komprehensif kepada penderita-penderita kusta khususnya penderita yang telah mengalami cacat kusta derajat 2. 5. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasana ilmu pengetahuan dan merupakan salah satu bahan bacaan dan bahan kajian bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penilitian yang serupa dengan penelitian ini.

55

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin MD. 2001. Penyakit Kusta. Makassar, Hasanuddin University Press. Amiruddin MD. 2005. Penyakit Kusta di Indonesia; Masalah Penanggulangannya. Suplement vol. 26. (online). http://med.unhas.ac.id/index.php? option=com content&task=view&id=235&Itemid=91, diakses tanggal 05 september 2009 Antara News. 03 maret, 2009. Penderita Kusta di Indonesia Terus Bertambah. hlm 1 Budiarto E,2003. Metodologi Penelitian kedokteran : Sebuah Pengantar. Jakarta, EGC Depkes RI,2006. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta, Fajar, NA. 2002. Analisis Faktor Sosial Budaya dalam Keluarga yang Mempengaruhi Pengobatan Dini dan Keteraturan Berobat pada Penderita Kusta (Studi pada Keluarga Penderita Kusta di Kabupaten Gresik). Program Pasca Sarjana, Universitas Airlangga, (online). http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php? id=jkpkbppk-gdl-res-2002-fajar2c-1309 kusta&PHPSESSID=229689f77d1 ef457b7f73499dd887c63 diakses tanggal 14 Oktober 2009 Fakultas Psikologi UNM, 2008. Achievement Motivation. Makassar Handayani S, 2009. Ulasan Eliminasi Kusta Pada Tahun 2000, Pusat penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta, (online), http://www.kalbe.co.id/files/ cdk/files/06EliminasiPenyakitKustaTahun2000.pdf/06EliminasiPenyakitKus taTahun2000.html, diakses 06 Juli 2009. Harahap M, 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta, Hipokrates cetakan I.

56

Harjo, 2001. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Ketidakteraturan Berobat Penderita Kusta di Kabupaten Majalengka tahun 1998-2000. Perpustakaan Universitas Indonesia >>UI-Tesis S2. (online).

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/16/a0bf19a20f6619a23796510e648 9793be3b4c56b.pdf, diakses tanggal 14 oktober 2009 Hiswani, 2001. Kusta Salah Satu Penyakit Menular Yang Masih Dijumpai di Indonesia. FK-USU2001 Digitalized By Usu Digital Library. (online). http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani2.pdf, diakses tanggal 05 september 2009 Juanda, A, Hamzah M, Aisah S, 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta, FKUI Modus Aceh. 02 april, 2009. Sejarah Kusta. hlm 1 Notoatmodjo S,2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta, Rineka Cipta Prasetyo B. & Jannah LM. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada. Program Studi Ilmu Keperawatan FKUH, 2009. Panduan Bimbingan dan Pelaksanaan Riset Mhasiswa Keperawatan. Makassar Santoso SS, Prasodjo R, Zalbawi S, 2001. Faktor-faktor yang Mendorong Penderita Hipertensi ke Pengobatan Tradisional di DKI Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya. Media Litbang Kesehatan Volume XI, No 1. (online). http://ojs.lib.unair.ac.id/index.php/MPPKes/article/viewFile/3025/3003, akses tanggal 15 oktober 2009 di-

57

Sastroasmoro S, 2008. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta, CV. Sagung Seto Sofianty D, 2009. Jangan Kucilkan Penderita Kusta, Tapi Dukung Untuk Lakukan Pengobatan. Surabaya eHealth. (online). http://www.surabaya-ehealth.org/ dkksurabaya/berita/kunjungan-nippon-foundation-seputar-kusta-di-indonesia -dan-jawa-timur diakses tanggal 15 oktober 2009 Sofianty D, 2009. Kusta Dapat Disembuhkan, Bukan Kutukan Tuhan ataupun Penyakit Keturunan. Memahami Seluk Beluk Kusta, (online).

http://www.surabaya-ehealth.org/administrator/berita/memahami-selukbeluk -penyakit-kusta, diakses tanggal 14 Oktober 2009 Subakti E.B, 2009. Lepra siapa takut?. Bekasi, Yayasan Transformasi Lepra Indonesia (YTLI) Subdirektorat Kusta & Frambusia, 2008. Modul Pelatihan P2 Kusta Bagi Puskesmas. Jakarta Sudarianto, 2009. Derajat Kesehatan di Sulsel Tahun 2008. Data dan Informasi Kesehatan. (online). http://datinkessulsel.wordpress.com/2009/07/22/derajatkesehatan-di-sulsel-tahun-2008/, diakses tanggal 15 oktober 2009. Sudrajat, A. 2008. Teori-teori motivasi. Psikologi Pendidikan. (online). http:// akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/06/teori-teori-motivasi/ tanggal 06 Juli 2009 Sunanti Z, Soejoeti, 2008. Konsep Sehat Sakit dan Penyakit Dalam Konteks Sosial Budaya. Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan Depkes RI, Jakarta. (online). diakses

58

http://yuniawan.blog.unair.ac.id/ tanggal 05 september 2009

files/2008/03/sehatsakit.pdf,

diakses

Supardi S, Handayani RS, Notosiswoyo M, 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku Pasien Berobat ke Puskesmas. Powered by Mambo. (online).http://apotekputer.com/ma/index2.php?option=com_content&do_pd f=1&id=128, diakses tanggal 06 september 2009 Syair A, 2009. Skrining dan Studi Epidemiologi Penyakit Kusta di Puskesmas Kalisusu Kabupaten Buton Utara Sulawesi Tenggara Tahun 2009. Kumpulan Pikiran. (online). http://syair79.wordpres.com/2009/09/01/skrining-dan-

studi-epidemiologi-penyakit-kusta-di-puskesmas-kalisusu-kabupaten-butonutara-sulawesi-tenggara-tahun-2009/, diakses tanggal 15 oktober 2009. Zulkifli, 2003. Penyakit Kusta dan Masalah Yang Ditimbulkannya. 2003 Digitized By User Digital Library. (online). http://library.usu.ac.id/download/

fkm/fkm-zulkifli2.pdf, diakses tanggal 05 september 2009.