SKRIPSI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM … · 2020. 3. 11. · BAB III METODE PENELITIAN ... Tabel...
Transcript of SKRIPSI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM … · 2020. 3. 11. · BAB III METODE PENELITIAN ... Tabel...
SKRIPSI
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENGEMBANGAN
KOMODITAS PADA KAWASAN STRATEGI KABUPATEN
DI KABUPATEN BONE
Oleh:
A.RAHMAWATI
Nomor Induk Mahasiswa: 105610527915
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
i
SKRIPSI
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENGEMBANGAN
KOMODITAS PADA KAWASAN STRATEGI KABUPATEN DI
KABUPATEN BONE
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Ilmu Administrasi Negara
Disusun dan Diajukan Oleh:
A.RAHMAWATI
Nomor Stambuk: 105610527915
Kepada
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
ii
iii
iv
HALAMAN PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama Mahasiswa : A.Rahmawati
Nomor Stambuk : 105610527915
Program Studi : Ilmu Administrasi Negara
Menyatakan bahwa benar skripsi ini adalah karya saya sendiri dan bukan hasil
plagiat dari sumber lain. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan
apabila di kemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berpa pencabutan gelar akademik dan pemberian
sanksi lainnya sesuai dengan aturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah
Makassar.
Makassar, 10 Februari 2020
Yang Menyatakan,
A.Rahmawati
v
KATA PENGANTAR
“ Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”
Assalamu „Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”
Puji Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul: “Implementasi Kebijakan Program
Pengembangan Komoditas Pada Kawasan Strategi Kabupaten Di Kabuapten
Bone”.
Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan untuk memenuhi syarat
dalam memperoleh gelar Sarjana Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud
tanpa adanya bantuandan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang
terhormat:
1. Kedua orang tua tercinta yaitu Bapak Andi Jufri dan Ibunda Andi Murni
yang telah melahirkan, membesarkan, mendidik, mengarahkan, dan
senantiasa mendoakan serta memberikan bantuan yang tidak ternilai baik
moral maupun materil, nasehat serta pengorbanan yang tak terhingga dalam
melalui hari demi hari dalam kehidupan ini.
2. Ayahanda Dr. Muh. Isa Ansari, M.Si selaku Pembimbing I dan Ayahanda
Dr. Anwar Parawangi, M.Si selaku Pembimbing II yang senentiasa
meluangkan waktunya membimbing dan mengarahkan penulis, sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan.
3. Ibunda Dr. Hj. Ihyani Malik S,Sos., M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Polik Universitas Muhammdiyah Makassar.
vi
4. Kakanda Nasrulhaq, S.Sos., M,PA selaku Ketua Jurusan Ilmu
Administrasi Negara dan Kakanda Nurbiah Tahir ,S.Sos, M.Ap selaku
Sekertaris Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.
5. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara oleh limpahan ilmu
yang diberikan kepada penulis sebagai bekal dimasa akan datang.
6. Bapak dan Ibu Staf Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Muhammadiyah Makassar.
7. Buat teman-teman seperjuangan di Jurusan Ilmu Administrasi Negara
Angkatan 2015, Penulis mengucapkan terima kasih atas kebersamaan dan
pengertiannya selama ini.
Demi kesempurnaan skripsi ini, saran dan kritik yang sifatnya
membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya skripsi penelitian ini
bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi pihak yang
membutuhkan.
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar, 10 Februari 2020
Penulis,
A.Rahmawati
vii
ABSTRAK
A.RAHMAWATI, Muh. Isa Ansari dan Anwar Parawangi. Implementasi Kebijakan Program Pengembangan Komoditas pada Kawasan Strategii Kabupaten di Kabupaten Bone.
Penelitian ini bertujuan mengetahui menganalisis dan mendeskkripsikan implementasi kebijakan program pengembangan komoditas pada kawasan strategi Kabupaten di Kabupaten Bone. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Jumlah informan dalam penelitian sebanyak 15 orang. Pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis data melalui reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Implementasi Kebijakan Program Pengembangan Komoditas pada Kawasan Strategi di Kabupaten Bone sudah bagus, hal ini diliat dari kerjasama implementor dalam melaksanakan tugasnya akan tetapi ada kesulitan yang dialami pemerintah khususnya dalam menyediakan data dan informasi mengenai komoditas unggulan yang dimiliki KSK. Program pengembangan komoditas pada KSK di Kabupaten Bone khusunya di Kecamatan Palakka, Awangpone dan Barebbo sangat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat dengan adanya program ini masyarakat bisa mengetahui bagaimana cara mengembangkan komoditas unggulan di wilayah KSK tersebut itu sudah terealisasikan dengan baik di wilayah KSK.
Kata Kunci :Implementasi Kebijakan, Program Pengembangan Komoditas
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGAJUAN SKRIPSI ......................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... ii
HALAMAN PENERIMAAN TIM ............................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH.................. iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
ABSTRAK ...................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL........................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................ 5 C. Tujuan Penelitian ................................................................. 5 D. Kegunaan Penelitian ............................................................ 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 7
A. Konsep Implementasi Kebijakan ......................................... 7 B. Teori Implementasi Kebijakan Menurut Para Ahli .............. 11
1. Implementasi Kebijakan Sabatier dan Mazmanian ..................... 11
2. Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn .................... 15
3. Model Politik Administrasi dari Grindle .................................... 24
4. Implementsi kebijakan menurut Edwards III .............................. 31
5. implementasi Kebijakan Soren C. Winter .................................. 38
C. Pengembangan Komoditas ................................................... 44 D. Kerangka Pikir ..................................................................... 46 E. Fokus Penelitian ................................................................... 47 F. Deskripsi Fokus Penelitian .................................................. 48
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 50
A. Waktu dan Lokasi Penelitian ....................................... 50 B. Jenis danTipe Penelitian .............................................. 50
ix
C. Sumber Data .............................................................. 51 D. Informan Penelitian..................................................... 51 E. Teknik Pengumpulan Data .......................................... 52 F. Teknik Analisis Data ................................................... 53 G. Keabsahan Data ........................................................ 55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.................... 56 A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .............................. 56
1. Profil Kabupaten Bone ............................................. 56 B. Profil Kawasan Strategi Kabupaten (KSK) .................... 61
1. Profil Kecamatan Palakka ........................................ 61 2. Profil Kecamatan Awangpone .................................. 62 3. Profil Kecamatan Barebbo ....................................... 63
C. Sumber Daya Alam ...................................................... 64 D. Hasil Penelitian ........................................................... 74
1. Perilaku organisasi dan antarorganisasi (organizational
and inter-organizational behavior). ................................. 75 2. Perilaku Birokrasi Level Bawah (Street Level
Bureaucracy) .................................................................... 86 3. Perilaku Kelompok Sasaran (target grup behavior .......... 89
BAB V KESIMPULAN .................................................................. 94 A. Kesimpulan ................................................................ . 94 B. Saran ........................................................................... 95
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 97 LAMPIRAN ...................................................................................... 99
x
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Daftar Nama-Nama Informan .......................................................... 52
Tabel 4.1 Rincian Lahan ................................................................................. 56
Tabel 4.2 Nama, Luas, Wilayah, Per-Kecamatan dan Jumlah Kelurahan
Kabupaten Bone 2018 ................................................................... 58
Tabel 4.3 Jumalah Desa/Kelurahan KSK ........................................................ 64
Tabel 4.4 Pengairan Irigasi ............................................................................. 66
Tabel 4.5 Luas Penggunaan Lahan ................................................................. 67
Tabel 4.6 Luas Panen Tanaman Pangan dan Palawija pada KSK .................. 68
Tabel 4.7 Produksi Tanaman Pangan dan Palawija pada KSK ........................ 69
Tabel 4.8 Luas Panen Tanaman Perkebunan Menurut Jenisnya pada KSK .... 70
Tabel 4.9 Produksi Tanaman Perkebunan Menurut Jenisnya pada KSK......... 71
Tabel 4.10 Populsi Ternak dan Unggas Menurut Jenisnya pada KSK ............ 72
Tabel 4.11 Luas Areal Tambak Menurut Jenis Komoditas pada KSK ............ 73
Tabel 4.12 Produksi Tambak Menurut Jenisnya pada KSK ............................ 73
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Model Implementasi Kebijakan Menurut Mazmanian dan Zabatier ..... 14
Gambar 2.2 Model Implementasi Kebijakan Menurut Van Meter dan Van Horn ..... 17
Gambar 2.3 Teori Model Politik Administrasi dari Grindle ...................................... 25
Gambar 2.4 Model Implementasi Kebijakan Publik Edwards III .............................. 32
Gambar 2.5 Model Implementasi Kebijakan Publik Soren C.winter......................... 39
Gambar 2.6 Kerangka Pikir........................................................................................ 47
Gambar 4.1Peran Instansi Terkait Dalam Pengembangan KSK .............................. 82
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberhasilan pembangunan suatu negara tidak terlepas dari andil
pemerintah dalam menghasilkan atau mengeluarkan kebijakan sesuai
permasalahan yang dihadapinya. Salah satu komponen proses kebijakan sebagai
solusi, maka kebijakan publik menjadi penting untuk diformulasikan,
diimplementasikan dan dievaluasi. Proses kebijakan publik berbentuk
implementasi program atau kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah.
Menjalankan proses implementasi kebijakan baik berupa program maupun
kegiatan seringkali mengalami distorsi, sehingga kebijakan tersebut memberikan
dampak kegagalan suatu kebijakan publik dalam pengimplementasian program
dan kebijakan. Atas dasar itu maka diperlukan sebuah model implementasi
kebijakan publik yang harus lahir dari serangkaian input, proses dan output yang
terencana dan berkesinambungan.
Perkembangan proses implementasi kebijakan publik telah
terimplementasikan sebagai sebuah kajian administratif secara kompleks. Tentu
kompleksitas implementasi kebijakan publik ini selalu berkembang sesuai dengan
permasalahan publik yang dihadapi oleh pemerintah dalam mengimplementasikan
kebijakannya. Banyak masalah implementasi kebijakan yang belum efektif
dikarenakan para implementer kebijakan belum mampu mengaktualisasikan
kebijakan tersebut secara efektif.
2
Salah satu permasalahan kebijakan yang perlu mendapatkan implementasi
dari para implementor pemerintah di dalam menangani dan memberikan solusi
dalam kaitannya dengan permasalahan publik adalah pengembangan program
komoditas pada kawasan strategi kabupaten di Kabupaten Bone. Proses
implementasi dari program ini sering mengalami permasalahan atau kendala
dalam pelaksanaannya khususnya yang berkaitan dengan implementasi perilaku
organisasi dan antar organisasi (Organizational and Inter-Organizational
behavior), perilaku level bawah (Street Level Buraucratic behavior ) dan perilaku
target sasaran (Target Group bevavior).
Kawasan strategi kabupaten adalah kawasan diwilayah kabupaten yang
dinilai memiliki potensi dan prospek untuk dapat mengaktifkan kegiatan-kegiatan
ekonomi lokal di kabupaten, dalam rangka mengentaskan kemiskinan,
mengurangi pengangguran, dan memacu pengembangan wilayah guna
mengurangi kesenjangan antar wilayah. Adapun kawasan strategi kabupaten
dimaksud yaitu Kecamatan Barebbo, Awangpone, Palakka. Ketiga kecematan ini
memiliki karakter atau potensi wilayah berbeda satu sama lain dalam rangka
pengembangan komoditas diwilayah tersebut. Atau dengan kata lain masing-
masing wilayah kawasan staregi kabupaten memiliki potensi komoditas yang
berbeda-beda pula.
Pengembangan komoditas unggulan KSK di Kabupaten salah satu
dukungan pemerintah adalah regulasi antara lain regulasinya adalah: UU 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Bab 1 ketentuan Umum, Pasal 1: Kawasan
Strategi Kabupaten/Kota adalah wilayah yang penataan ruangnya diperioritaskan
3
karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup Kabupate/Kota
terhadap Ekonomi,Sosial, Budaya, dan Lingkungan.
Penetapan kawasan startegi kabupaten ini dibentuk berdasarkan Peraturan
Daerah Nomor 2 Tahun 2013, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW),
BAB V Penetapan Kawasan Strategi Pasal 48 ayat 3. Hal ini dimaksudkan dengan
harapan dapat memberikan imbas positif bagi pertumbuhan ekonomi diwilayah
sekitarnya melalui pemberdayaan sektor/sub sektor unggulan sebagai penggerak
ekonomi daerah dan wilayah. Kawasan dalam suatu wilayah administratif
kabupaten dikatakan strategis berdasarkan konsep PNPM PISEW, ( Program
nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri – Pengembangan Imprastruktur
Sosial Ekonomi Wilayah) yakni; kawasan itu memiliki komoditas atau sektor
unggulan yang dapat dikelolah dalam suatu kegiatan bisnis. Dapat menghidupkan
kegiatan ekonomi lokal dikawasan dan wilayah tersebut. Artinya, jika kawasan
dan aktivitas bisnis dikawasan itu dikelolah dengan baik, maka dapat memberikan
iuran yang signifikan terhadap pendapatan daerah.
Selanjutnya untuk mengetahui Kawasan Strategi Kabupaten Di Kabupaten
Bone dapat diketahui Pasal 49 yakni:
- pengembangan budidaya rumput laut, udang, kepting, ikan Bandeng
ditetapkan sebagaimana wilayah Kec.Awangpone dan Kec.Barebbo.
- kawasan pertanian pengembangan tanaman pangan ditetapkan
sebagaimana wilayah Kec.Barebbo
- kawasan perkebunan pengembangan ditetapkan sebagaimana wilayah
Kec.Palakka
4
- kawasan peternakan pengembangan ditetapkan sebagaimana wilayah
Kec.Barebbo dan Kec.Palakka
Memahami fenomena tersebut di atas, maka permasalahan pokok yang akan
dijawab dari penelitian ini adalah kecenderungan pembangunan ditingkat lokal
pedesaan belum mampu meningkatkan kemampuan pedesaan terutama di
kalangan masyarakat petani. Disinilah diperlukan kemampuan perilaku
implementasi organisasi dan antar organisasi artinya pengembangan implementasi
kebijakan sangat tergantung dari sumber daya organisasi yang ikut berpartisipasi
dengan kemampuan membangun jaringan hubungan mata rantai yang saling
berpengaruh. Atas dasar itu, maka perlu ada kajian secara khusus tentang kondisi
dan karakteristik masyarakat di pedesaan, khususnya pada kawasan strategi
kabupaten untuk menjawab permasalahan yang menggejala dan perlu upaya untuk
program pengembangan komoditas yang bersentuhan dengan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan pencapaian kinerja dan hasil dari para implementor
menjalankan kebijakan program pengembangan komoditas pada kawasan strategi
kabupaten.
Artinya implementor diharuskan memahami keinginan dari suatu kebijakan
yakni kebijakan solusi untuk mencapai tujuan program, karena keberhasilan
program pengembangan sangat tergantung dari perilaku organisasi, sumber daya
manusia dan kemampuan membangun jaringan hubungan mata rantai yang saling
berpengaruh. Atas dasar ini, maka peneliti tertarik untuk mengangkat judul:
Implementasi Kebijakan Program Pengembangan Komoditas pada
Kawasan Startegi Kabupaten Di Kabupaten Bone.
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka adapun rumusan masalah
diatas sebagai berikut:
1. Bagaimana perilaku organisasi dan antar organisasi dalam menentukan
keberhasilan implementasi program pengembangan komoditas pada
kawasan strategi kabupaten di Kabupaten Bone?
2. Bagaimana perilaku birokrasi level bawah dalam memahami implementasi
program pengembangan komoditas pada kawasan strategi kabupaten di
Kabupaten Bone?
3. Bagaimana perilaku kelompok sasaran terhadap keberhasilan program
pengembangan komoditas pada kawasan strategi kabupaten di Kabupaten
Bone?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka adapun rumusan masalah
diatas sebagai berikut:
1. Bagaimana perilaku organisasi dan antar organisasi dalam menentukan
keberhasilan implementasi program pengembangan komoditas pada
kawasan strategi kabupaten di Kabupaten Bone?
2. Bagaimana perilaku birokrasi level bawah dalam memahami implementasi
program pengembangan komoditas pada kawasan strategi kabupaten di
Kabupaten Bone?
6
3. Bagaimana perilaku kelompok sasaran terhadap keberhasilan program
pengembangan komoditas pada kawasan strategi kabupaten di Kabupaten
Bone
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini meliputi:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi sebagai bahan
pemikiran dan meneliti lebih jauh masalah yang berkaitan dengan
implementasi Kebijakan Program pengembangan komoditas Pertanian
pada Kawasan strategi kabupaten di Kabupaten Bone.
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan atau dimanfaatkan oleh peneliti
berikutnya sebagai bahan referensi atau perbandingan pada peneliti
berikutnya.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Implementasi Kebijakan
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengemukakan bahwa implementasi berarti
pelaksan atau penerapan. Kata implementasi biasanya dikaitkan dengan suatu
kegiatan yang lakukan agar ddapat mencapai tujuan tertentu. Implementasi juga
sering disebut sebagai suatu proses rangkaian suatu kegiatan akan ditindak lanjuti
setelah sebuah rencana dan kebijaksanaan ditetapkan yang terdiri atas
pengambilan keputusan.
Sebuah kebijakan berbeda dengan apa yang telah direncanakan. Hal itu
disebabkan distorsi implementasi kebijakan yang merupakan isu penting bagi para
impelementor untuk mengatasinya dengan harapan agar suatu desain kebijakan
dapat diterapkan dengan sukses (Schnider dan Ingram, 2017).
Secara timologis, implementasi dapat didefinisikan sebagai suatu aktivitas
yang berkaitan dengan penyelesaian pekerjaan dengan penggunaan sarana untuk
memperoleh hasil atau mencapai maksud yang diinginkan. Implementasi adalah
sebuah proses interaksi antara penentuan tujuan dan tindakan untuk mencapai
tujuan tersebut. Jadi inti dasar suatu implementasi adalah “membangun
hubungan” dan mata rantai agar supaya kebijakan bisa berpengaruh terhadap
kebijakan (Nawi, 2018).
Pengertian implementasi kebijakan mengandung unsur-unsur: 1) proses,
yaitu serangkaian aktivitas atau aksi nyata yang dilakukan untuk mewujudkan
sasaran/tujuan yang telah ditetapkan, 2) tujuan, yaitu sesuatu yang hendak dicapai
8
melalui aktivitas yang dilaksanakan, dan 3) hasil dan dampak yaitu manfaat nyata
yang dirasakan oleh kelompok sasaran.
Van Meter dan Van Horn (Agustino, 2008) mendefenisikan implementasi
kebijakan ialah suatu tindakan yang akan dilakukan baik oleh individu maupun
dalam kelompok dan pejabat-pejabat pemerintah dan swasta yang ditujukan demi
tercapainya tujuan-tujuan yang telah ditentukan oleh sebuah keputusan
kebijaksanaan, mereka menekankan bahwa tahapan implementasi baru terjadi
selama proses legitimasi dilalui dan pengalokasian sumber daya, dana yang telah
disepakati tidak pada saat dimulai pada saat tujuan dan sasaran kebijakan publik
ditetapkan, tetapi tahap implementasi.
Kebijakan mengisyaratkan keinginan untuk berbuat sesuai struktur
implementasi. Suatu desain kebijakan yang berbeda dapat memengaruhi
implementasi dalam skala lebih luas. Nugroho (2016) menyatakan implementasi
kebijakan dalam prinsipnya adalah suatu cara agar sebuah kebijakan tersebut
dapat terlaksana dengan baik demi mencapai tujuannya. Untuk menjalanjan suatu
kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yaitu dengan cara langsung
melaksanakan dalam bentuk program kebijakan atau melalui langkah
memformulasikan kebijakan turunan dari kebijakan tersebut.
Implementasi kebijakan publik dilaksanakan dalam dua wujud yaitu wujud
program dan kebijakan publik tambahan. Pada prinsipnya implementasi kebijakan
publik dalam bentuk program diimplementasikan ke bawah dalam bentuk proyek,
kegiatan dan pemanfaatan yang sesuai dengan tujuan pemerintah dan publik.
Implementasi kebijakan publik biasanya diwujudkan dalam bentuk kebijakan
9
undang-undang atau perda yaitu suatu jenis implementasi kebijakan yang perlu
mendapatkan penjelasan atau yang biasa sering disebut sebagai peraturan
pelaksana. Implementasi kebijakan tersebut secara operasional antara lain
keputusan dan instruksi presiden, keputusan menteri, keputusan dinas, keputusan
kepala daerah dan lainnya. Implementasi kebijakan ini pada dasarnya merupakan
wujud program yang dijadikan proyek untuk berbagai kegiatan pelaksanaan
(Nugroho, 2016).
Implementasi kebijakan dari suatu organisasi sangat erat kaitannya dengan
serangkaian implementasi yaitu misi, visi, strategi dan cara, kebijakan, program,
proyek dan kegiatan yang menghasilkan umpan balik. Nugroho (2016)
menyatakan misi adalah yang pertama karena melekat pada organisasi sebagai
wujud dalam menghadirkan atau mengeksiskan sebuah kebijakan. misi yang
menentukan kemana arah dari suatu visi yang melekat dalam suatu organisasi.
Dari visi inilah lahir sebuah strategi yang membawa suatu organisasi
mengembangkan implementasi kebijakannya yang sejalan dengan program
proyek dan kegiatannya. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah suatu
implementasi kebijakan yang diterakan dalam suatu organisasi mulai dari misi
sampai pada pemanfaatan dari suatu proses yang memerlukan adanya umpan
balik. Pada prinsipnya implementasi merupakan aktivitas yang berdasar pada
rumusan kebijakan yang dilaksanakan untuk pencapaian tujuan kegiatan. lah
untuk menegaskan sesuai dengan desain struktur proses implementasi.
Implementasi kebijakan juga erat kaitannya dengan wujud pelaksanaan
dalam mempertanyakan kebijakan yang dilaksanakan dalam mewujudkan adanya
10
sebuah pembuatan prosedur implementasi kebijakan yang sesuai dengan alokasi
sumber daya untuk dapat dikembalikan pengimplementasiannya sesuai dengan
evaluasi implementasi yang diterapkan (Nugroho, 2016).
Dalam inti permasalahan suatu implementasi kebijakan merupakan
bagaimana suatu kebijakan itu dibuat dan apakah kebijakan dibuat sesuai dengan
ketersediaan sumber daya. Untuk dapat mewujudkan langkah tersebut maka,
diperlukan adanya implementasi kendali yang kemudian dievaluasi. Dalam
melaksanakan suatu implementasi kebijakan, ada faktor-faktor yang
mempengaruhi suatu implementasi kebijakan untuk mengetahui kebijakan
tersebut dapat berjalan dengan baik atau tidak. Menurut Edward III dalam
Sutarmin (2016) yang mengemukakan bahwa implementasi kebijakan akan
menjadi efektif apabila ditentukan oleh sumber daya, struktur organisasi
komunikasi, serta disposisi atau sikap. tersedianya sumber daya yang dibutuhkan
untuk melaksanakan kebijakan, adanya struktur organisasi dalam melaksanakan
kebijakan, Komunikasi berkaitan dengan kebijakan yang dihubungkan dengan
komunikasi pada organisasi atau publik, sikap dan tanggap dari pihak yang
terlibat dan sumberdaya berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung
khususnya sumber daya manusia.
Keberhasilan atau kegagalan suatu implementasi kebijakan dapat diukur
dari sudut kemampuannya secara nyata dalam meneruskan dan
mengoperasionalkan program-program yang telah dirancangkan sebelumnya.
Dengan munculnya implementasi kebijakan dalam bentuk nyata maka secara
otomatis mendapatkan garansi dari terlaksananya program dengan baik.
11
Kebijakan implementasi sama peliknya dengan kebijakan formulasi, maka perlu
diperhatikan berbagai faktor yang akan mempengaruhinya (dalamMustari, 2013:
131).
Setelah membahas mengenai konsep implementasi kebijakan publik maka
pada bagian selanjutnya diuraikan model-model implementasi kebijakan publik
yang diperkenalkan oleh: Model teori Grindle, Sabatier dan Mazmanian, Edward
III, Van Meter dan Van Horn, Soren C. Winter.
B. Teori Implementasi Kebijakan Menurut Para Ahli
1. Teori Implementasi Kebijakan Sabatier dan Mazmanian
Sabatier dan Mazmanian (1979) mengembangkan model kontrol efektif
dan pencapaian. Menurutnya pendekatan tahapan-tahapan kebijakan tidak
dapat membantu untuk memahami proses dalam pembuatan kebijakan karena
pendekatan ini membagi suatu proses menjadi serangkaian bagian yang tidak
artifisial dan realistis. Oleh sabab itu, dari sudut pandang ini dalam
implementasi dan pembuatan kebijakan menjadi satu proses yang sama.
Sabatier dan Mazmanian mendukung sintesis gagasan teoritis top-down dan
bottom-up menjadi enam syarat yang dapat mencukupi dan harus ada agar
implementasi yang efektif dari tujuan kebijakan telah dinyatakan secara legal.
Enam syarat dimaksudkan adalah:
a) tujuan yang jelas dan konsisten,sehingga dapat menjadi standar evaluasi dan
sumber daya.
12
b) Teori kausal yang memadai, dan dapat memastikan untuk kebijakan itu
mengandung suatu teori yang akurat tentang bagaimana cara melahirkan
perubahan.
c) Struktur implementasi yang di susun secara legal supaya membantu pihak-
pihak yang akan mengimplementasikan kebijakan dan kelompok-kelompok
yang menjadi sasaran kebijakan tersebut.
d) Para pelaksana implementasi yang ahli dan berkomitmen yang mengunakan
kebijaksanaan mereka untuk mencapai tujuan kebijakan.
e) Dukungan dari kelompok kepentingan dan “penguasa” di legislative dan
eksekutif.
f) Perubahan dan kondisi sosial ekonomi yang tidak melemahkan dukungan
kelompok dan penguasa atau tidak dapat meruntuhkan teori kausal yang
mendasari kebijakan.
Zabatier (1986), memodifikasi model mereka pada tahun (1973),
berdasarkan riset di Eropa dan Amerika. Mereka mengembangkan kerangka
implementasi kebijakan,mengidentifikasi tiga variabel bebas (independen
variabel) yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu: variabel (1)
mudah atau sulitnya mengendalikan masalah yang di hadapi, meliputi indikator
(i) keragaman prilaku kelompok sasaran, (ii) kesukaran teknis (iii) ruang
lingkup perubahan prilaku yang diinginkan. (iv) dan presentase kelompok
sasaran dibandingkan dengan jumlah penduduk, Variabel (2) kemampuan
dalam kebijakan untuk mensistematiskan proses dalam implementasinya,
dengan indikator (i) kejelasan dan konsistensi tujuan, (ii) keterpaduan hirarki
13
dalam dan diantara lembaga pelaksana, (iii) aturan keputusan dari badan
pelaksana (iv) ketepatan alokasi sumber daya, (v) rekruitmen pejabat
pelaksana, (vi) akses pihak luar secara formal. Variabel (3) pengaruh langsung
variabel politik/kepentigan terhadap tujuan yang termuat dalam
kebijakan,meliputi indikator (i) dukungan politik, (ii) kondisi sosial ekonomi
dan teknologi, (iii) dukungan dari pejabat atasan, (iv) sikap dan sumber daya
yang dimiliki kelompok, (v) serta komitmen dan kemampuan pejabat
pelaksana.
Masmanian dan Zabatier mengklasifikasikan proses implementasi
kebijakan kedalam tiga variabel, yaitu:
1) Variabel Independen
Mudah-tidaknya suatu masalah ddapat dikendalikan yang berkenaan
dengan suatu indikator masalah teori dan teknis dalam pelaksanaan, objek,
keragaman dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.
2) Variabel intervening
Diartikan sebagai suatu kemampuan dalam kebijakan untuk
menstrukturkan proses implementasi dengan indikator konsistensi tujuan
dan kejelasan. Sehingga dapat dipergunakan dengan teori kausal, sumber
dana, ketepatan alokasi, keterpaduan hirarkis di antara lembaga pelaksana,
prekrutan pejabat pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana yang
memiliki keterbukaan kepada pihak luar, serta variabel diluar kebijakan
yang dapat mempengaruhi proses implementasi sehingga berkenaan dengan
indikator sosial-ekonomi dan teknologi, sikap dan risorsis konstituen,
14
dukungan publik, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan
kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
3) Variabel dependen
Yaitu suatu tahap proses implementasi kebijakan publik yang
menggunakan 5 (lima) tahapan, yang terdiri dari: Pertama, pemahaman
tentang lembaga/badan pelaksana dalam bentuk tersusunya kebijakan
pelaksana. Kedua, hasil yang nyata,. Ketiga, penerimaan atas hasil nyata
Ke-empat, kepatuhan terhadap objek. kelima, tahapan yang mengarah pada
revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan, baik sebagian maupun
keseluruhan suatu kebijakan yang bersifat mendasar.
Proses Implementasi
Stages (dependent variables) in the implementation process
Gambar 2.1: Model implementasi kebijakan menurut Mazmanian dan Sabatier (1983)
Model Zabatier dan Mazmanian mempertimbangkan kondisi-kondisi
yang menghambat ataupun mendorong keberhasilan implementasi, yang
mencakup karakteristik masalah, daya dukung peraturan, faktor non peraturan.
Tractability of the problem
1. Technical difficulties 2. Diversity of target group behaviour 3. Target group as a percentage of the population 4. Extent of behavioural change required
Ability of statute to structure implementation
1. Clear and consisten objectives 2. Incorporation of adequate causal theory 3. Initial allocation of financial resources 4. Hierarchical integration within and a mong
implementing agencies 5. Decision rulers of implementing agencies 6. Recruitment of implementing officials 7. Formal access by out siders
Nonstatutory variables affecting
implementation:
1. Socioeconomic conditions and technologi 2. Public support 3. Attitudes and resources of constituency
groups 4. Support from sovereigns 5. Commitment and leadership skill of
implementing officials
Policy outputs of
implementing
agencies
Compliance with policy outputs by target groups
Actual impacts
of policy
outputs
Perceived
impacts of policy outputs
Major revision
in statute
15
Model ini memandang implementasi sebagai output dan outcomes. gambar
berikut menyajikan Model Sabatier dan Mazmanian.
Model Sabatier berusaha mengukur keberhasilan implementasi dari segi
kesesuaian output kebijakan dan kesesuaian dampak aktual kebijakan.
Keunggulan kompleksitas dan kejelasan pemetaan variabel-variabel
implementasi seingga dapat menghasilkan pemahaman yang sangat luas
tentang mengapa output dan dampak implementasi kebijakan bervariasi dari
satu ke lain kebijakan atau dari satu ke lain lokasi. Keterbatasan model Sabatier
adalah sebagian dari variabel yang dicakup tidak kontekstual yaitu variabel
karakteristik masalah yang dianggap sebagai suatu kelompok variabel
predictor. Mazmanian dan Zabatier (1983) sebagaimana terlihat pada gambar
di atas mengungkapkan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan publik
dipengaruhi setidaknya oleh tiga variabel yaitu; (1) karakteristik masalah, (2)
karakteristik kebijakan, (3) lingkungan kebijakan.
2. Teori Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn
Van Meter and Van Horn (1975), mendefenisikan implementasi
kebijakan, merupakan tindakan yang digunakan baik individu atau kelompok-
kelompok pejabat pemerintah atau swasta, yang diarahkan agar dapat
tercapainya suatu tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.
Pandangan keduanya mengandaikan bahwa suatu implementasi kebijakan
berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan.
Meter dan Horn mengemukakan suatu model dasar yang mencakup enam
variabel yang membentuk keterkaitan antara kebijakan dengan kinerja. Dalam
16
model ini, variabel terikat adalah kinerja, yang didefenisikan sebagai tingkat
sejauh mana standar-standar dan tujuan-tujuan kebijakan yang direalisasikan.
Adapun variabel-variabel yang membentuk keterkaitan antara kebijakan
dengan kinerja tersebut adalah:
1) Standard an tujuan (standards and objectives)
2) Sumber daya (keuangan) (resources)
3) Karakteristik organisasi pelaksana (characteristics of the implementing
agencies)
4) Komunikasi antar organisasi dan aktifitas penguatan (interorganizational
communication and enforcement activities)
5) Sikap para pelaksana (disposition of implementors). Dan
6) Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik (economic, sosial and political
conditions)
Faktor-faktor tersebut selain terkait dengan kinerja kebijakan, juga saling
berkaitan satu dengan yang lainnya. Model implementasi yang dikemukakan
Van Meter and Van Horn dapat dilihat pada gambar berikut:
17
Public Policy Performance
Gambar 2.2 : Model implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn
Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter
dan Van Horn disebut dengan model implementasi kebijaka. Proses
implementasi ini adalah sebagai proses sebuah abstraksi dalam suatu
pengejewantahan kebijakan yang pada dasarnya dilakukan agar dapat meraih
kinerja implementasi kebijakan yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan
pada berbagai variabel. Model ini dapat memberikan petunjuk bahwa dalam
implementasi kebijakan itu dapat berjalan secara linear dari keputusan politik,
pelaksana dan kinerja kebijakan publik.
Secara rinci variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van
Meter dan Van Horn (1974) dijelaskan sebagai berikut:
1) Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan
Kinerja implementasi kebijakan diukur dari tinggkat keberhasilannya dan
juga ukuran dan tujuan kebijakan yang sifatnya realistis dengan sosio-kultur
yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan sasaran terlalu ideal
Interorganizational
communication and
enforcement
activities
The disposition
of
implementers
Characteristics of
implementing
agencies
Economic, social,
and political
conditions
Standards and
objectives
Resources
18
(utopis), maka kebijakan akan sulit untuk dilaksanakan .Van Meter dan Van
Horn telah mengemukakan bahwa untuk mengukur kinerja implementasi
kebijakan tentunya dengan menggunakan standar dan target sasaran tertentu
yang wajib untuk dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan
pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian dalam standar
dan sasaran tersebut.
Pemahaman tentang standar dan sasaran untuk tujuan kebijakan yaitu
sangat penting. Implementasi kebijakan biasanya akan gagal (frustrated)
apabila para pelaksana (officials), sepenuhnya kurang menyadari terhadap
standar dan sasaran tujuan kebijakan. Standar dan tujuan kebijakan mempunyai
hubungan yang erat kaitannya dengan sikap terhadap para pelaksana
(implementors). Arah siakap (disposisi) para pelaksana (implementors)
terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan suatu hal yang
“crucial”. Implementors mungkin menjadi gagal dalam mewujudkan
kebijakan, dikarenkan mereka menolak atau tidak mengerti apa yang menjadi
tujuan suatu kebijakan.
2) Sumber daya
Setiap tahap implementasi menuntut agar adanya sumber daya manusia
yang berkualitas dan sesuai dengan pekerjaan yang diberikan oleh kebijakan
yang ditetapkan secara politik. Manusia yaitu sebagai sumber daya yang sangat
terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan, hal
ini dikarenakan Keberhasilan dalam implementasi kebijakan sangat tergantung
dari kemampuan dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia khususnya
19
sumber daya manusia. Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan
waktu menjadi perhitungan yang penting dalam keberhasilan implementasi
kebijakan. Sumber daya kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya
dengan komunikasi. Dalam Sumber daya kebijakan ini harus juga tersedia
untuk memperlancar administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber daya
ini terdiri atas dana atau intensif lain untuk memperlancar pelaksanaan
(implementasi) dalam suatu kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya dana atau
intensif lain dalam implementasi kebijakan, merupakan sumbangan besar
terhadap kegagalan implementasi kebijakan.
3) Karakteristik organisasi pelaksana
Pusat perhatian terhadap agen pelaksana yaitu sebagai organisasi formal
dan organisasi informal yang akan terlibat dalam mengimplementasikan
kebijakan. Hal ini penting ddikarenakan kinerja implementasi kebijakan akan
sangat dipengaruhi oleh ciri yang sangat tepat serta cocok dengan para agen
pelaksanannya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan
dilakukan pada beberapa kebijakan yang dituntut pelaksana kebijakan yang
ketat dan disiplin. Pada konteks lain diperlukan agen dalam pelaksana yang
demokratis dan persuasif. Selain itu, cakupan atau luas wilayah menjadi suatu
pertimbangan penting untuk menentukan agen pelaksana kebijakan.
Terdapat dua karakteristik organisasi pelaksana dalam hal ini krakteristik
utama dari struktur birokrasi adalah prosedur-prosedur kerja standar (SOP=
Standard Operating Procedures) dan fragmentasi (Edward III, 1980).
20
a) Standard Operating Procedures (SOP). SOP dikembangkan untuk respon
internal terhadap suatu keterbatasan waktu dan sumber daya dari pelaksana
dan keinginan agar keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi
yang kompleks dan tersebar luas. SOP ini bersifat rutin didesainkan agar
situasi tipikal dimasa lalu mungkin mengambat dalam perubahan kebijkan
karena tidak sesuai dengan situasi atau program baru. SOP sangat mungkin
menghalangi suatu implementasi kebijakan-kebijakan baru yang
membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru agar
mengimplementasikan kebijakan. Semakin besar kebiajakan membutuhkan
perubahan dalam cara-cara yang rutin dari suatu organisasi, semakin besar
probabilitas SOP menghambat jalanya implementasi.
b) Fragmentasi. Fragmentasi berasal terutama dari tekanan-tekanan di luar
unit-unit birokrasi, seperti kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-
pejabat eksekutif, konstitu komite-komite legislatif, Negara dan sifat
kebiajakan yang dapat mempengaruhi organisasi birokrasi public.
Fragmentasi yaitu penyebaran tanggung jawab terhadap wilayah dalam
kebijakan diantara beberapa unit organiasi. “Fragmentation is the dispersion
of responsibility for a policy area among several organizational units.”
Semakin banyak actor-aktor dan badan-badan yang terlibat dalam suatu
kebijakan tertentu dan semakin saling berkaitan dengan keputusan-
keputusan mereka, maka akan semakin kecil kemungkinan keberhasilan
dalam implementasi. Edward juga menyatakan bahwa secara umum,
21
semakin koordinasi yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan dalam
suatu kebijakan, semakin kecil pula peluang untuk berhasil.
4) Komunikasi antar organisasi terkait dan suatu kegiatan-kegiatan
pelaksanaan
Agar kebijakan public bias dapat dilaksanakan secara efektif, menurut
Van Meter dan Van Hort apa yang akan menjadi standar tujuan harus dipahami
oleh para individu (implementors). Yang akan bertanggung jawab atas
pencapaian suatu standard an tujuan kebijakan, karena itu standard an tujuan
harus dikomunikasikan pada para pelaksana. Komunikasi dalam kerangka
penyampaian informasi kepada para pelaksana dalam kebijakan tentang apa
yang menjadi standard an tujuan dan harus konsisten dan seragam (consistency
and uniformity) dari berbagai sumber informasi.
Jika tidak adyaan kejelasan dan konsistensi serta keseragaman terhadap
suatu standard an tujuan kebijakan, maka akan menjadi standar dan tujuan
kebijakan sulit agar bias dicapai. Dengan kejelasan itu, para pelaksana
kebijakan akan mengetahui apa yang diharapkan darinya dan mengetahui apa
yang harus dilakukan. Dalam suatu organisasi publik, komunikasi sering yaitu
proses yang sulit dan komplek. Proses pentransferan berita kebawah di dalam
organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lain, dan ke komunikator
lain, sering mengalami ganguan (distortion) baik disengaja maupun tidak. Jika
sumber komunikasi yang berbeda dapat memberikan interpretasi yang tidak
sama (inconsistent) terhadap suatu standard an tujuan, atau sumber informasi
sama dalam memberikan interpretasi yang penuh dengan pertentangan
22
(conflicting), maka pada suatu saat pelaksana kebijakan akan menemukan suatu
kejadian yang lebih sulit agar dapat melakukan suatu kebijakan secara intensif.
Dengan demikian, prospek implementasi kebijakan yang efekti, sanagt
ditentukan oleh komunikasi kepada para pelaksana kebijakan secara akurat dan
konsisten (accuaracy and consistency). Disamping itu, koordinasi ju7ga
merupakan suatu mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan.
Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam
implementasi kebijakan, maka kesalahannya akan semakin kecil, demikian
sebaliknya.
5) Disposisi atau sikap para pelaksana
Menurut pendapat Van Meter dan Van Hornt: “ sikap dalam penerimaan
atau penolakan dari agen pelasana kebijakan akan sangat mempengaruhi
keberhasilan atau kegagalan dalam implementasi kebijakan publik. Hali ini
sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang akan dilaksanakan bukanlah
suatu hasil formulasi warga setempat yang akan mengenal betul suatu
permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik
biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan
tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau
permasalahan yang harus diselesaikan”.
Sikap mereka itu dipengaruhi dengan adanya pandangan terhadap suatu
kebijakan dengan cara melihat pengaruh kebijakan itu terhadap suatu
kepentingan-kepentingan dalam organisasinya dan kepentingan-kepentingan
pribadinya. Implementasi kebijakan diawali dengan penyaringan (befiltered)
23
lebih dahulu melalui persepsi dari pelaksana (implementors) dalam batas mana
kebijakan itu dilaksankan. Terhadap tiga macam elemen respon dapat
mempengaruhi kemampuan dan kemauannyauntuk melaksanakan suatu
kebijakan, antara lain terdiri dari pertama, pengetahuan (cognition),
pemahaman dan pendalaman (comprehension and understanding) terhadap
kebijakan. Kedua, arah respon mereka apakah menerima, netral atau menolak
(acceptance, neutrality, and rejection), dan ketiga, instansi terhadap kebijakan.
Pemahman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan
kebijakan adalah penting. Karena, bagaimanapun juga implementasi kebijakan
yang berhasil, bias jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak
sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi
para pelaksana (implementors) terhadap standard an tujuan kebijakan. Arah
disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standard an tujuan kebijakan
juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bias jadi gagal
dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak apa yang
menjadi tujuan suatu kebijakan.
Sebaliknya, penerimaan yang menebar dan mendalam terhadap standard
an tujuan kebijakan diantara mereka yang bertanggung jawab untuk
melaksankan kebijakan tersebut, adalah merupaka suatu potensi yang besar
terhadap keberhasilan implementasi kebijakan. Pada akhirnya, intesitas
disposisi para pelaksana (implementors) dapat mempengaruhi pelaksana
(performance) kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya intensitas disposisi ini,
akan bias menyebabkan gagalnya implementasi kebijakan.
24
6) Lingkungan sosial, ekonomi dan politik
Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi
adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan
kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif
dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan.
Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan
eksternal yang kondusif.
3. Teori Model Politik Administrasi dari Grindle
Model politik - administratif dari grindle (1980) berasumsi bahwa tugas
implementasi adalah menetapkan suatu mata rantai yang memungkinkan arah
kebijakan umum direalisasikan sebagai suatu hasil dari aktifitas pmerintahan.
Dalam hal ini, kebijakan pemerintahan diterjemahkan ke dalam program
tindakan guna mencapai tujuan yang dinyatakan dalam kebijakan tersebut.
Program tindakan itu sendiri dapat dijabarkan lagi ke dalam proyek-proyek
spesifik yang mudah dilaksanakan. Kebijakan adalah pernyataan arah, tujuan,
sarana yang bersifat lyas dan umum. Proses implementasi hanya dapat dimulai
apabila arah kebijakan umum dan tujuan sudah dinyatakan secara spesifik,
program tindakan sudah didesain, dan dana telah dialokasikan untuk
pelaksanaannya.
Model implementasi Grinndle mencakup dua kelompok faktor yang
secara potensial dapat menyebabkan implementasi kebijakan berhasil atau
gagal, yaitu: muatan kebijakan (policy content) dan konteks implementasi.
Variabel terikat didalam model adalah outcomes kebijakan namun tetap
25
mempertimbangkan struktur implementasi yaitu dengan mempertanyakan
tentang apakah program dan proyek dilaksanakan sesuai rencana.
Model Implementation as a Political and Administrative Process
Gambar 2. 3 : Sumber : Merilee S. Grindle , 1980 : 11
Model Grindle menyajikan struktur kebijakan yang desentralistik,
dimana ada ruang bagi aparat pelaksana untuk menjabarkan kebijakan melalui
perumusan program dan kegiatan . dengan demikian model ini lebih
komprehensif dibandingkan kedua model yang telah dijelaskan sebelumnya.
Keterbatasan dari model grindle adalah kriteria tentang keberhasilan
implementasi, yakni dampak, relatif sulit didentifikasi dalam jangka pendek.
Perubahan-perubahan pada individu maupun masyarakat yang ditimbulkan
oleh suatu kebijakan pada umumnya baru dapat diidentifikasi setelah priode
waktu yang panjang.
26
Grindle menyimpulkan bahwa implementasi adalah proses administrasi
dan politik. Proses kebijkan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan
sasaran-sasaran yang semula bersifat umum yang telah diperinci, program-
program aksi telah dirancang dan sejumlah dan/biaya telah dialokasikan untuk
mewujudkan tujuan dan sasaran tersebut. Keberhasilan proses implementasi
kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan
program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi oleh
Content of Policy (isi kebijakan) dan Contex of Implemntation (konteks
implemntasinya). Grindle merumuskan model implementasi sebagai berikut.
Isi kebijakan yang dimaksud meliputi:
1) Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan (interst affected)
2) Jenis manfaat yang dihasilkan (tipe of benefit)
3) Derajat perubahan yang diinginkan (exten of change envisioned)
4) Kedudukan pembuat kebijaka (site of decision making)
5) Para pelaksana program ( program implementators)
6) Sumber daya yang dikerahkan (resources commited)
Sedangkan konteks implementasi yang dimaksud:
1) Kekuasaan (power) dan strategi actor yang terlibat (interest startegi of
actors involved)
2) Karakteristik lembaga dan peguasa ( institution and regime characteristics)
3) Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana (compliance and responsiveness).
Menurut Grindle kebijakan yang menyangkut banyak kepentigan yang
saling berbeda lebih sulit diimplementasikan, sehingga konten kebijakan
27
merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam
merumuskan suatu kebijakan dan konteks kebijakan mempengaruhi proses
impleemntasinya. Maksud konten adalah bahwa kebijakan yang akan diambil
dipengaruhi oleh:
1) Kepentingan yang dipengaruhi (terpengaruh oleh kebijakan); bahwa setiap
kebijakan yang akan diambil akan mempertimbangkan dampak terhadap
aktivitas politik yyang distimulasi oleh proses pengambilan keputusan.
Dalam hal ini reaksi/tindakan publik melihat pada perubahan yang akan
terjadi secara sosial, politik dan ekonomi. Penolakan dan kekerasan, serta
perebutan untuk mencari keuntungan dari suatu kebijakan seringkali
menjadi ukuran dari hal ini. Sehubungan dengan kepentingan yang
terpengaruh, maka dari sudut proses implementasi maka dipahami bahwa
keputusan-keputusan yang telah dibuat pada tahap rancangan atau
perumusan berpengaruh terhadap lancer atau tidaknya implementasi. Bahwa
kebijakan yang diimplementasikan untuk menimbulkan perubahan-
perubahan dalam hubungan sosial, politik dan ekonomi pada umumnya
merangsang munculnya perlawanan dari pihak-pihak yang kepentingannya
2) terancam, misalnya tuan tanah yang menentang usaha perombakan radikal
dalam bidang agrarian.
3) Tipe/jenis manfaat yang akan dihasilkan; bahwa proses implementasi untuk
sebagian besar dipengaruhi oleh macam tujuan-tujuan yang ingin dicapai
dan oleh dengan cara mana tujuan-tujuan itu dirumuskan. Bahwa program
yang memberikan manfaat secara kolektif (collective good) akan
28
mendapatkan dukungan dalam implementasinya, dan sebaliknya. Program
yang menyediakan manfaat kolektif dapat membangkitkan tuntutan bersama
(bersifat kategoris), sementara yang menyediakan manfaat yang dapat
dibagi habis kemungkinan membangkitkan jenis tuntutan yang berbeda
(bersifat partikularistik) dan mempertajam konflik dan persaingan diantara
mereka yang akan memproleh manfaat.
4) Derajat perubahan yang diharapkan, bahwa program yang ditetapkan yang
mengharapkan akan adanya sedikit perubahan perilaku di masyarakat akan
mudah untuk diimplementasikan, tetapi untuk program yang dirancang pada
perubahan yang mendasar dimasyarakat dalam jangka panjang akan sulit
diimplementasikan. Perbedaan yang menyangkut perubahan perilaku yang
dikehendaki pada pihak yang menerima manfaat dari program tertentu
mempengaruhi implementasi. Derajat perubahan berkaitan dengan
penyesuaian perilaku dan partisipasi dari pihak penerima
program/kebijakan.
5) Keduduk/letak pengambilan keputusan (pembuat kebijakan); bahwa
kebijakan tertentu berkaitan dengan kewenangan dan kerumitan dalam
pegambilan keputusan terhadap tingkat (nasional dan lokal) dan jumlah
orang atau unti dalam pengambilan keputusan. Setiap keputusan tersebut
akan diambil, misalnya ditingkat departemen (pemerintah pusat) atau
tingkat dinas (pemerintah daerah) dan akan berdampak terhadap
implementasi dari kebijakan tersebut (Grindle;1980). Semakin tersebar
posisi impleentasi, baik secara geografis maupun secara organisatoris-
29
administrasif maka semakin sulit pula tugas-tugas implementasi, sebabnya
karena makin banyak jumlah satuan-satuan pengambilan keputusan yang
terlibat didalammnya.
6) Pelaksanaan program, bahwa keputusan yang dibuat dalam tahapan
formulasi kebijakan akan mengindikasikan siapa yang akan ditugaskan
untuk melaksanakan berbagai macam program (lintas geografi dan
organisasi), kebijakan dengan lintas geografi dan organisasi yang tinggi
akan lebih sulit menjalankan program (kebijakan) dan semakin memerlukan
pemberian kewenangan pengambilan keputusan (merujuk Pressman dan
Wildavsky; 1973). Keputusan yang dibuat pada saat perumusan kebijakan
dapat menunjukkan siapa yang akan ditugasi untuk mengimplementasikan
program yang ada. Dalam hubungan tersebut maka dapat ditetapkan secara
dini adanya perbedaan peran pada berbagai satuan birokrasi yang akan
terlibat langsung dalam pengelolaan program.
7) Sumber daya yang dikerahkan/dilibatkan, bahwa setiap keputusan diambil
akan berakibat pada pemenuhan sumber daya yang dibutuhkan untuk
mengimplementasikan program yang telah ditetapkan. Kemungkinan terjadi
perbedaan keberhasilan implementasi yang diakibatkan oleh perbedaan
kapasitas birokrasi dalam pengelola keberhasilan program (Grindle; 1980).
Konteks (lingkungan) politik, pelaksanaan kebijakan dipengaruhi oleh:
a) Kekuasaan, kepentingan dan strategi dari actor yang terlibat; bahwa akan
mengimplementasikan mungkin mencakup banyak aktor. Keseluruhan aktor
tersebut mungkin secara intensif atau tidak, tergantung konten dari program
30
dan strukturnya dimana kebijakan tersebut dilaksanakan. Masing-masing
aktor mungkin memiliki kepentingan-kepentingan dalam kebijakan/program
dengan membuat tuntutan (permintaan) atas pengalokasian prosedur-
prosedur (Grindle;1980). Seringkali tujuan dari aktor bertentangan dengan
aktor lainnya, termasuk pada hasil dan konsekuensi siapa mendapatkan apa
akan ditentukan melalui strategi, sumberdaya dan posisi kekuasaan masing-
masing aktor.
b) Karakteristik lembaga dan penguasaan/resim; bahwa apa yang
diimplementasikan mungkin merupakan hasil dari perhitungan politik dari
perhitungan politik dari kepentingan dan persaingan antar kelompok untuk
mendapatkan sumber daya yang terbatas, respon dari petugas yang
mengimplementasikan, dan tindakan-tindakan elit politik, semuanya
berinteraksi dalam konteks kelembagaan masing-masing. Analisis atas
implementasi dari program yang spesifik dalam interaksinya akan
mempertimbangkan penilaian kapabilitas kekuasaan dari para aktor,
kepentingan-kepentingannya, dan strategi untuk mencapainya, serta
karakteristik dari penguasa.
c) Ketaatan/kepatuhan dan daya tanggap; bahwa dalam upaya untuk mencapai
tujuan, birokrat berhadapan dengan dua masalah yang timbul dari interaksi
antar lingkungan program dan administrasi program. Yang pertama, birokrat
harus berhadapan dengan masalah yang berkaitan dengan bagaimana
menjaga ketaatan agar hasil akhir dari kebijakan dapat dicapai walaupun
mereka harus menangani berbagai interaksi diantara aktor yang
31
berkepentingan dalam implementasi kebijakan tersebut. Yang kedua,
bagaimana responsivitas dari birokrat terhadap keinginan-keinginan dari
mereka yang akan menerima manfaat dari pelayanan diberikannya agar
tujuan kebijakan dan program dapat tercapai. Agar efektif maka
implementor harus memiliki seni dalam berpolitik dan harus memahami
dengan baik lingkungan dimana mereka akan merealisasikan kebijakan dan
program-programnya.
Model-model top-down berasumsi bahwa tujuan-tujuan kebijakan
dispesifikasi oleh para pembuat kebijakan dan bahwa masalah-masalah
implementasi dapat diminimalisasi dengan cara memprogramkan secara
eksplisit prosedur implementasi. Kebijakan menurut perspektif top-down
mempresentasikan pandangan-pandangan pembuat kebijakan. Keberhasilan
implementasi seringkali dilihat dari derajat sejauh mana tindakan-tindakan
pejabat pelaksana dan kelompok sasaran bersesuaian dengan tujuan-tujuan
yang dinyatakan dalam keputusan otoritatif.
4. Teori Implementsi Kebijakan Menurut Edwards III
Model Edwards III (1980) mempertimbangkan empat faktor kritis atau
variabel di dalam mengimplementasikan kebijakan publik, yaitu: faktor-faktor
internal organisasi ini berpengaruh secara langsung terhadap implementasi,
tetapi juga saling tergantung satu dengan yang lainnya. Edward menilai bahwa
masalah utama administrasi publik rendahnya perhatian terhadap implementasi.
Secara tegas dikatakan bahwa „without effective implementation the decision of
policymakers will not bee carried out successfully‟. Edward III melihat empat
32
isu pokok (faktor penentu) yang perlu mendapatkan perhatian agar
impkementasi kebijakan menjadi efektif, yang digambarkan dalam kerangka
model implementasi sebagai berikut:
Model implementasi dari Edward III menggunakan faktor yang berfokus
di dalam struktur pemerintah untuk menjelaskan proses implementasi.
Penekanan pada proses ini dilandasi asumsi bahwa kalau para implementor
mengikuti sepenuhnya standar pelaksanaan yang telah ditentukan oleh pembuat
kebijakan maka dengan sendirinya output dan outcomes kebijakan yang
diinginkan akan tercapai. Kenyataan menunjukkan bahwa kebanyakan
kebijakan yang dibuat pemerintah tidak pernah sempurna, dan tidak bebas dari
kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang melengkapinya.
Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis implementasi kebijakan
tentang konservasi energy adalah teori yang dikemukakan oleh George C.
Edwards III. implementasi dapat dimulai melalui kondisi abstrak dan sebuah
pertanyaan tentang apakah syarat agar implementasi kebijakan dapat berhasil,
menurut George C. Edwards III ada empat variabel dalam kebijakan public
Communication
Disposition
Bureaucratic
Structure
Implementation
Resources
Gambar 2.4 : Model Implementasi Kebijakan Publik Edwards III
33
yaitu komunikasi (Communicattions), sumber daya (Resources), sikap
(dispositions atau attitudes) dan struktur birokrasi (bureaucratic structure).
Ke empat faktor diatas harus dilaksanakan secara simultan karena antar
satu dengan yang lainnya memiliki keterkaitan yang kuat. Tujuan kita adalah
meningkatkan pengetahuan tentang implementasi kebijakan. Penyederhanaan
pengertian dengan dengan cara diturunkan (membreakdown) melalui
eksplanasi implementasi kedalam komponen prinsip. Implementasi kebijakan
merupakan suatu proses dinamis yang dimana meliputi interaksi banyak faktor.
Sub kategori dari faktor-faktor yang mendasar ditampilkan sehingga dapat
diketahui pengaruhnya terhadap implementasi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi dalam implementasi menurut George C. Edwards III sebagai
beikut:
1) Komunikasi
Faktor ini dalam Implementasi akan berjalan efektif dan efisien apabila
ukuran dan tujuan kebijakan yang dipahami oleh individu-individu yang
bertanggung jawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. kejelasan ukuran dan
tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan
para pelaksana. Keseragaman serta Konsistensi terhadap ukuran dasar dan
tujuan perlu adanaya komunikasi yang baik sehingga implementors dapat
memahami secara tepat terhadap ukuran maupun tujuan kebijakan tersebut.
Komunikasi dalam suatu organisasi adalah suatu proses yang amat kompleks.
Seseorang biasa menggunakannya atau menyebarluaskannya hanya untuk
kepentingan tertentu. Disamping itu adanya informasi yang berbeda juga akan
34
menhasilkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi dapat
terlaksana dengan efektif, tentunya ada yang bertanggungjawab dalam
mengambil sebuah keputusan dan harus memahami apakah mereka dapat
melaksanakannya. Bahwasanya implementasi kebijakan harus diterima oleh
semua pihak dan personel agar dapat memahami secara jelas dan akurat terkait
dengan maksud dan tujuan kebijakan. Jika ada aktor pembuat kebijakan telah
melihat adanya ketidakjelasan dalam spesifikasi kebijakan maka tentunya
mereka tidak memahami tentang apa yang sesungguhnya yang akan diarahkan.
Para implementor kebijakan akan merasa bingung dengan apa yang mereka
lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil yang
efektifdan optimal. kurangnya komunikasi kepada para implementor secara
serius akan berdampak pada implementasi kebijakan.
2) Sumberdaya
Komponen sumberdaya ini terdiri jumlah staf, keahlian dari para
pelaksana atau staf tersebut, informasi yang jelas dan relevan agar cukup
untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait
dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa
program dapat diarahkan kepada sebagaimana yang diharapkan, serta adanya
fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan
program seperti dana dan sarana prasarana.
Bukan suatu masalah jika adanya sikap konsisten dalam implementasi
program dan akuratnya komunikasi yang dikirim,apabila personel yang
mempunyai tanggungjawab untuk melaksanakan program mengalami
35
kekurangan sumberdaya dalam melakukan tugasnya, maka Sumberdaya
manusia yang tidak memadai baik dari segi jumlah maupun kemampuan akan
berdampak pada tidak terlaksananya program secara efektif dikarenakan
mereka tidak mampu melakukan pengawasan dengan baik. Dengan demikian,
Jika jumlah personil pelaksana kebijakan terbatas maka upaya yang dilakukan
adalah dengan meningkatkan kemampuan para pelaksana untuk menjalankan
program kebijakan tersebut. Oleh sebab itu perlu adanya peningkatan
manajemen sumber daya manusia yang baik agar dapat meningkatkan kinerja
program kebijakan. Kurangnya kemampuan pelaksana program ini disebabkan
karena kebijakan konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka
dimana dalam melaksanakan program ini membutuhkan skillyang khusus,
paling tidak mereka harus menguasai teknik-teknik tentang kelistrikan.
Informasi merupakan bagian sumberdaya yang sangat penting bagi
pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi yang terkait
bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksanaan
harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang
data pendukung kepatuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang.
bukti dilapangan menunjukkan bahwa tingkat pusat kebutuhan yang diperlukan
para pelaksana dilapangan. Kurangnya informasi dan pemahaman tantang
bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti
para oknum pelaksana tidak bertanggungjawab atas tugas yang diberiakan,
kemudian pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan masalah
baru. Implementasi kebijakan membutuhkan ketaatan organisasi dan individu
36
pelaksana terhadap peraturan pemerintah yang yang berlaku. Selain itu,
Sumberdaya yang dibutuhkan adalah kewenangan untuk menentukan
bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk mengatur/membelanjakan
keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, serta pengadaan supervisor.
Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus
terpenuhi seperti kantor, peralatan kantor, serta dana yang mencukupi tanpa
fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.
3) Sikap (Disposisi)
faktor yang mempengaruhi efektif atau tidaknya implementasi kebijakan
ialah sikap implementor. Jika implementor setuju dengan poin atau bagian isi
dari kebijakan tersebut, maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati
tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses
implementasi akan mengalami kesulitan dan bahkan akan menimbulkan
banyak masalah. Ada tiga bentuk sikap atau respon implementor terhadap
kebijakan; yaitu adanya kesadaran implementor, dan petunjuk pelaksana untuk
merespon program kearah penerimaan dan penolakan, serta intensitas dari
respon tersebut. Para pelaksana mungkin memahami maksud sasaran program
namun seringkali tujuannya tidak tercapai secara tepat dikarenakan mereka
menolak tujuan yang ada didalammya sehingga secara diam mereka alihkan
dan menghindari implementasi program tersebut. Selain itu dukungan para
pejabat pelaksana juga sangat dibutuhkan agar dapat mencapai tujuan dan
sasaran program.
37
Dukungan dari pimpinan sangat berdampak pada pelaksanaan program
agar dapat mencapai tujuan secara efektif. wujud dari dukungan pimpinan ini
adalah dengan menempatkan kebijakan menjadi prioritas program,
menempatkan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, serta
memperhatikan keseimbangan daerah, agama, jenis kelamin, suku, dan
karakter demografi yang lain. selain itu, indikator ini menyediakan dana yang
cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksanan program agar mereka
mendukung dan bekerja secara total dalam melaksankan kebijakan/program.
4) Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi tidak dapat dilepaskan dari badan pelaksana suatu
kebijakan, Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola
hubungan yang terjadi berulang-ulang badan-badan eksekutif mempunyai
hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka memiliki
dalam menjalankan kebijakan. Van Meter dan Van Horn menunjukkan
beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam
implementasi kebijakan, yaitu:
a) Kompetensi dan ukuran staf suatu badan
b) Tingkat pengawasan hirarkis terhadap keputusan-keputusan sud unit dan
proses-proses dalam badan pelaksana
c) Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara
anggota legislatif dan eksekutif)
d) Tingkat komunikasi “terbuka” yaitu jaringan kerja komunikasi
horizontal maupun vertical secara bebas serta tingkat kebebasan yang
38
secara relative tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar
organisasi
e) Vitalitas suatu organisasi
f) Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan pembuat
keputusan atau pelaksana keputusan.
Bila sumberdaya cukup untuk melaksanakan suatu kebijakan dan para
implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, implementasi masih gagal
ketika struktur birokrasi yang ada menghalangi koordinasi yang diperlukan
dalam melaksanakan kebijakan. Kebijakan yang kompleks membutuhkan
kerjasama banyak pihak, serta pemborosan sumberdaya akan mempengaruhi
hasil implemetasi. Perubahan yang dilakukan tentunya akan berdampak pada
individu dan secara umum akan mempengaruhi sistem dalam birokrasi.
5. Teori Implementasi Kebijakan Soren C. Winter
Model lain yang menarik yang juga termasuk dalam kategori generasi
ketiga ini dan mendapat perhatian dari banyak ahli adalah “integrated
implementation model” yang dikembangkan oleh Soren C. Winter (2003).
Mereka melihat implementasi sebagai suatu hal yang tidak berdiri sendiri,
mereka meperkenalkan pandangannya sebagai „model integrated‟. Model
integrated menunjukkan bahwa sukses implementasi ditentukan mulai dari
formulasi sampai evaluasi, yang dengan sendirinya berarti ada keterkaitan
antara proses politik dan administrasi, sebagaimana terlihat pada gambar
berikut:
39
Feedback
Gambar 2.5: Model Implementasi Kebijakan Publik Soren C. Winter
Jika merujuk pada model di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa
implementasi kebijakan sangat dipengaruhi design kebijakan yang pada
dasarnya lahir atau ditentukan oleh formulasi kebijakan itu kebijakan. Hal lain
yang juga berpengaruh adalah keadaan sosial ekonomi masyarakat. Suatu
kebijakan bias jadi akan sangat terpengaruh dengan lingkungan dimana
kebijakan itu dijalankan,. Sementara itupula menurut Winter, implementasi itu
sendiri berkaitan dengan perilaku antar organisasi terkait, perilaku organisasi
terdepan sebagai pelaksana kebijakan serta berhubungan dengan perilaku
kelompok sasaran kebijakan.
Variabel-varabel yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan
sebagai berikut:
1) Perilaku organisasi dan antarorganisasi (Organizational and inter-
organizational behavior).
Organizational
and Interorganizational
Implementation
Street-Level
Bureaucratic
Behavior
Target Group
Behavior
Policy
Design
Policy
Formulation
- Conflict - Symbolic Policy
Out Come Performance
40
Dimensi-dimensinya adalah komitmen dan koordinasi antar organisasi.
Penerapan kebijakan publik dalam mencapai hasil yang optimal, jarang
berlangsung dengan kelompok sendiri, tanpa menggunakan organisasi lain
sebagai pendukung atau piranti pelaksana. Implementasi kebijakan
memerlukan hubungan antar organisasi untuk membawa perubahan kebijakan
umum ke dalam aturan yang jelas, dan ini berlangsung secara berkelanjutan
dalam proses sosial yang dapat mengkonversi arah kebijakan melalui tindakan.
Proses implementasi dapat diterapkan melalui banyak cara. Salah satu cara
diantaranya adalah implementasi kebijakan dapat terpenuhi dalam suatu
organisasi. Tetapi, agar kinerja implementasi lebih efesien dan efektif,
memerlukan kerjasama dan koordinasi dengan berbagai organisasi, atau
bagian-bagian organisasi itu. Tingkat implementasi dapat ditempuh pada
organisasi formal, sementara administrasi pemerintahan dapat diterapkan
melalui hasil kebijakan.
Perkembangan hubungan antarorganisasi belakangan kian popular,
sehingga para praktisi dan sarjana melahirkan istilah „kolaboratif‟ yang
menentukan dam mempengaruhi hasil suatu program. Beberapa tahun terakhir
muncul istilah yang lebih dikenal „jaringan‟, dan ‟manajemen jaringan‟. Istilah
secara keseluruhan dikenal dalam hubungan koordinasi antar organisasi yang
dapat meningkatkan dan mementukan pola implementasi kebijakan. Faktor
selanjutnya adalah proses implementasi kebijakan organisasi dan antar
organisasi ditandai oleh adanya komitmen dan koordinasi (Winter,2003).
Dalam tataran implementasi, komitmen dimaksudkan adalah kesepakatan
41
bersama dengan instansi terkait dalam menjaga stabilitas organisasi dan
jaringan antar organisasi yang ada, dalam kaitannya dengan pelaksana
program. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan munculnya
rasa egoisme di antara organisasi pelaksana program yang dapat
mempengaruhi hasil akhir dari suatu implementasi. Kontribusi suatu organisasi
terhadap implementasi sangat tergantung input yang diterima dari hubungan
inter organisasi secara timbal balikdan saling bergantung satu sama lain.
Dengan demikian, proses implementasi kebijakan kebijakan dicapai pada titik
optimal dalam merealisasikan kebutuhan dan kepentingan.
Pada tataran koordinasi pola hubungan antar organisasi sangat urgen dan
berpengaruh terhadap penetuan strategi suatu implementasi. Pegaturan suatu
kebijakan publik dapat diterapkan melalui dua atau lebih organisasi. Sebab,
bagaimanapun, implementasi kebijakan sangatlah rumit, dan tantangan atas
tindakan yang direncanakan lebih besar, sehingga kemungkinan untuk
bekerjasama secara khas akan lebih rumit. Itulah sebabnya, kadangkala akibat
„kerumitan‟ tadi membuat permasalahan kebijakan terbengkalai. Pemerintah
belum bias menerapkan kebijakan yang menyentuh akar permasalahan antara
yang satu dengan lainnya.
2) Perilaku Birokrasi Level Bawah (Street Level bureaucratic behavior).
Dimensinya adalah diskreasi. Variabel selanjutnya menjadi faktor kunci
dalam implementasi kebijakan adalah perilaku birokrasi level bawah. Hal ini
dimaksudkan sebagai kemampuan untuk melaksanakan dan mejalankan
program-program sebagai keputusan penting dengan menggunakan pengaruh
42
yang lebih dominan diluar kewenangan formal (diskresi). Sehingga menurut
Lipsky;1980, dalam Parawangi ( 2011 ) bahwa perilaku pelaksanaan kebijakan
secara sistematis adakalanya „menyimpang‟ dari tugas terkait dengan
kewenangan selaku pelaksana kebijakan. Mereka lebih mengutamakan
hubungan dengan masyarakat dalam penyampaian kebijakan. Karena itu,
birokrasi level bawah menjadi aktor yang esensial dalam implementai
kebijakan public, dan kinerjanya sangat konsisten dengan standar program
yang berkaitan dengan aktivitasnya (Parawangi,2011).
Kontribusi pemikiran Lipsky sangat penting untuk memahami model
implementasi yang satu ini, dan teorinya lebih khusus terhadap mekanisme
dalam menjelaskan berbagai kebiajkan dan konsekuensinya. Birokrasi level
bawah bekerja dalam situasi yang ditandai dengan berbagai kebutuhan
masyarakat. Mereka berupaya mengatasi permasalahan dan membuat prioritas
kebijakan, mengontrol dan memodifikasi tujuan kebijakan berdasarkan
persepsi masyarakat. Michael Lipsky (1980) mengambarkan birokrasi level
bawah ini sebagai “jabatan yang berhubungan langsung dengan masyarakat”.
Dan secara substansial, mereka memiliki pertimbangan sekaitan dengan
tugasnya masing-masing. Bahkan, berdasarkan posisinya ditengah masyarakat
itu, mereka memilki peluang lebih besar dalamputusan kebijakan. Mereka
dapat memberi pertimbangan, menggunakan pengaruhnya diluar kewenangan
formal, sebagaimana Lipsky menyebut bahwa dalam implementasi kebijakan
pengaruh lebih dominan berasal dari pekerja lefel bawah ini.
43
Pekerja level bawah ini pada prinsipnya mempunyai pilihan pada hasil
mana yang harus dicapai, dan bagimana cara melakukannya. Demikian halnya
tokoh masyarakat, lembaga adat, konselor dan semacammnya, secara rutin
berhubungan dengan birokrasi level bawah. Mereka ini mengabdikan diri
sebagai “warga Negara yang membantu menciptakan dan melakukan
pelayanan public berdasarkan norma”.
3) Perilaku kelompok sasaran (target grup behavior).
Perilaku kelompok sasaran (target grup behavior) yang tidak hanya
memberi pengaruh pada efek/dampak kebijkan, tetapi juga mempengaruhi
kinerja birokrat/aparat tingkat bawah. Dimensinya mencakup respon positif
dan negatif masyarakat dalam mendukung atau tidak mendukung kebijakan.
Variabel perilaku target grup dalam implementasi kebijakan publik
adalah sekelompok orang, organisasi, atau individu penerimaa jasa yang
berperan bukan hanya dari sisi dampak kebijakan, tetapi juga dalam
mempengaruhi kinerja implementasi program memalui tindakan positif dan
negatif (Winter:2003). Dengan demikian, kinerja implementasi program sangat
dipengaruhi oleh karakteristik partisispasi yakni mendukung atau menolak.
Model ini merupakan kerangka kerja yang menyajikan mekanisme dan menjadi
faktor kunci yang dapat mempengaruhi hasil akhir dari suatu implementasi.
Tentang siapa kelompok sasaran yang akan dipengaruhi perilakunya oleh
kebijakan, dan seberapa jauh dapat mematuhi atau menyesuaikan diri terhadap
kebijakan yang diimplementasikan, sangat tergantung kepada kesesuaian isi
kebijakan (program) dengan harapan mereka. Hal yang tak kalah pentingnya
44
adalah faktor komunikasi, ikut berpengaruh terhadap penerimaan kebijakan
oleh sekelompok sasaran. Terjadinya „error‟ dan „distorsi‟ atau proses
komunikasi menjadi titik lemah dalam mencapai evektivitas pelaksanaan
kebijakan (Parawangi,2011).
Tingkat kegagalan suatu implementasi kebijakan, sangat berbeda-beda
satu sama lain. Berdasarkan model implementasi kebijakan Winter di atas,
maka kelebihan yang dimilki adalah kemampuan menginterasikan dan
menyederhanakan bebrapa model implementasi menjadi stau model yang tidak
rumit terutama pada aringan organisasi. Kelemahannya adalah tidak
menjelaskan lebih rinci pengertian perilaku dan mengidentifikasi faktor-faktor
yang ikut berpengaruh dalam proses implementasi kebijakan.
C. Pengembangan Komoditas
pengembangan kawasan strategi, ada beberapa hal yang menjadi
pertimbangan penting antara lain adalah kesesuaian lahan dan keragaman sifat
lahan yang akan sangat menentukan jenis komoditas yang dapat diusahakan serta
tingkat produktivitasnya. Hal ini disebabkan setiap jenis komoditas membutuhkan
persyaratan sifat wilayah/kawasan yang spesifik untuk berkembang (Djaenudin,
2014). Keragaman sifat lahan ini merupakan modal dasar yang dapat digunakan
sebagai pertimbangan dalam menentukan pewilayahan komoditas. Selain itu, yang
tidak kalah pentingnya adalah aspek manajemen dalam pengelolaan lahan yang
didasarkan pada sifat lahan untuk mencapai produktivitas yang berkelanjutan.
Pengembangan komoditas ini penting untuk dilakukan dengan selalu
mengutamakan potensi yang dimiliki, dan yang menjadi langkah awalnya yaitu
45
dengan melalui pewilayahan komoditas. Pewilayahan komoditas harus sesuai
berdasarkan dengan daya dukung lahan yang diartikan agar produktivitas yang
diusahakan dapat berjalan dengan optimal. rencana pembangunan yang didasari
oleh pewilayahan akan dapat mengurangurngi terjadinya persaingan baik jenis
maupun produksi komoditas antar wilayah sehingga peluang pasar akan semakin
terjamin. Untuk mendukung pengembangan potensi tersebut dibutuhkan suatu
analisis yang menyeluruh yang meliputi berbagai aspek penting, seperti (1)
menentukan komoditas unggulan yang tepat, sesuai dengan data-data hasil
produksi yang ada; (2) mengetahui komoditas apakah yang sesungguhnya paling
disukai oleh stakeholder selaku pelaku, sehingga dapat ditentukan kebijakan yang
dapat mendukung keberhasilan program pengembangan komoditas; dan (3)
analisis tentang kesesuaian lahan terhadap komoditas yang ada, upaya ini penting
untuk dapat memetakan dengan jelas daya dukung dan lingkungan yang ada.
Menurut Badan Litban pertanian (2003) komoditas unggulan merupakan
komoditas andalan yang memiliki posisi strategis untuk dikembangkan disuatu
wilayah yang penetapannya didasarkan pada berbagai pertimbangan baik secara
teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun social ekonomi dan kelembagaan
(penguasaan teknologi, kemampuan sumber daya, manusia, infrastruktur dan
kondisi social budaya setempat).
Penetapan komoditas unggulan disuatu wilayah menjadi suatu keharusan
dengan pertimbangan bahwa komoditas-komoditas yang mampu bersaing secara
berkelanjutan dengan komoditas yang sama di wilayah yang lain adalah
komoditas diusahakan secara efesien dari sisi teknologi dan social ekonomi serta
46
memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Selain itu kemampuan suatu
wilayah untuk memproduksi dan memasarkan komoditas yang sesuai kondisi
lahan dan iklim diwilayah tertentu juga sangat terbatas.
Komoditas unggulan merupakan suatu bentuk yang memiliki potensi yang
dipandang sebagai cara untuk dipersaingkan dengan produk sejenis di daerah lain,
karena selain memiliki keunggulan komparatif juga memiliki efesiensi usaha yang
tinggi (Tambunan dalam nadira, 2004).
Komoditas unggulan merupakan hasil usaha masyarakat yang mempunyai
tingkat peluang pemasaran tinggi dan sehingga dapat memberikan keuntungan
bagi masyarakat. Kenggulan suatu komoditas juga masih dapat dibagi menjadi
dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.
Keunggulan komparatif adalah keunggulan yang dimiliki dengan dasar potensi
yang ada sehingga dapat membedakannya dengan daerah yang lain. Keunggulan
komparatif dapat berupa sumber daya alam, sumber daya manusia. Sedangkan
keunggulan kompetitif adalah keunggulan yang dimiliki oleh suatu organisasi
untuk dapat bersaing dengan daerah lain.
Berdasarkan pendapat diatas tentang wilayah komoditas maka dipandang
perlu untuk pengembangan wilayah komoditas dikabupaten dalam rangka
meningktkan taraf hidup petani.
D. Kerangka Pikir
Kerangka pikir mengacu kepada teori model implementasi dari Soren
C.Winter. 2004: 207) menyatakan implementasi kebijakan Program
pengembangan komoditas meliputi input formulasi kebijakan sesuai isu dan
47
masalah yang dihadapi. Proses implementasi kebijakan pengembangan meliputi
perilaku organisasi dan antar organisasi, level bawah dan kelompok sasaran untuk
mencapai tujuan keberhasilan program, dalam hal ini Implementasi Kebijakan
program pengembangan komoditas pada kawasan strategi kabupaten di
Kabupaten Bone. Lebih jelasnya digambarkan kerangka pikir sebagai berikut:
Gambar 2. 6
Kerangka Pikir
E. Fokus penelitian
Fokus penelitian ini yaitu implementasi kebijakan program pengembangan
komoditas pada Kawasan strategi kabupaten di Kabupaten bone. Implementasi
kebijakan pengembangan komoditas di liat dari perilaku organisasi dan antar
organisasi, perilaku birokrasi level bawah dan perilaku kelompok sasaran pada
Kawasan strategi kabupaten khususnya di Kec.Palakka, Kec. Awangpone dan
Kec.Barebbo.
Implementasi Kebijakan Program Pengembangan Komoditas Pada Kawasan Strategi Kabupaten Di Kabupaten Bone
Perilaku Organisasi dan Antar Organisasi
Perilaku Level Bawah
Perilaku Kelompok Sasaran.
Pengembangan Komoditas Unggulan Pada Kawasan Strategi Kabupaten di Kabupaten Bone
- Komitmen - Koordinasi
- Diskresi
- Respon Positif - Respon Negatif
48
F. Deskripsi fokus penelitian
Deskripsi fokus penelitian merupakan penjelasan atau uraian masing-masing
dari fokus yang diamati untuk memberikan kemudahan dan kejelasan tentang
pengamatan. Lebih jelasnya yaitu diuraikan sebagai berikut:
1. Implementasi Kebijakan program pengembangan komoditas pelaksanaan
kebijakan Program pengembangan komoditas yang diterapkan pada
Kawasan strategi kabupaten di Kabupaten Bone. Implementasi kebijakan
Program Pengembangan berdasarkan pada model implementasi Soren C.
Winter sebagai berikut:
a. Perilaku organisasi dan antar organisasi dimensinya komitmen dan
koordinasi. Komitmen organisai yaitu kesepakatan bersama dengan
instansi terkait dalam menjaga stabilitas organisasi dan jaringan
antarorganisasi yang ada, dalam kaitannya dengan pelaksanaan program
pengembangan komoditas pada kawasan startegi kabupaten di
Kabupaten Bone. adapun kawasan startegi kabupaten yang dimaksud
disini yaitu Kecamatan Palakka, Awanagpone, Barebbo. Sedangkan
Koordinasi dilakukan,baik dalam hal pengambilan keputusan terutama
dalam penyediaan data dan informasi maupun dalam hal pelaksanaan
kegiatan.
b. Perilaku birokrasi level bawah adalah sikap dan tindakan yang
ditunjukkan dalam implementasi kebijakan program pengembangan
komoditas pada kawasan strategi kabupaten pada tingkat level bawah,
perilaku birokrasi level bawah dimensinya yaitu Diskresi. Birokrasi
49
level bawah sebagai jabatan yang berhubungan langsung dengan
masyarakat.
c. Perilaku kelompok sasaran dimensinya Respon positif dan Respon
negatif sikap dan tindakan yang ditunjukkan dalam implementasi
kebijakan program pengembangan komoditas pada Kawasan strategi
kabupaten yang ditunjukkan kepada kelompok sasaran yaitu
Kelompok Tani/masyarakat petani
2. Kawasan strategi kabupaten merupkan wilayah yang memiliki penataan
ruang yang juga diperioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat
penting dalam lingkup kabupaten/kota untuk keberhasilan implementasi
kebijakan pengembangan komoditas.
50
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Waktu penelitian dilakukan selama dua bulan mulai dari bulan November
sampai dengan Januari 2020. Lokasi penelitian yang menjadi tempat meneliti
yaitu pada Kawasan Strategi Kabupaten Tepatnya di Kecamatan Palakka,
Kecamatan Awangpone dan Kecamatan Barebbo Kabupaten Bone.
B. Jenis dan Tipe Penelitian
1. Jenis Penelitian
Berkaitan dengan tujuan penelitian adalah untuk memberikan gambaran
mengenai implementasi kebijakan program perkembangan komoditas pada
kawasan strategi kabupaten di Kabupaten bone. Khusunya di Kec.Palakka,
Kec.Awangpone dan Kec.Barebbo. maka penelitian ini harus dapat menilai
secara langsung bagaimana perkembangan komoditas unggulan di wilayah
KSK. Sehingga peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif.
2. Tipe Penelitian
Tipe penelitian adalah deskriptif. peneliti bermaksud untuk memberikan
suatu gambaran mengenai masalah-masalah yang ada yang berkaitan
dengan implementasi kebijakan program pengembangan komoditas pada
kawasan strategi kabupaten di Kabupaten Bone. Khususnya di Kec.Palakka,
Kec. Awangpone, dan Kec.Barebbo.
51
C. Sumber Data
Dalam pengumpulan data digunakan prosedur data yang terdiri dari:
1. Data primer
Data primer yaitu untuk mencari data yang akurat dalam pengembangan
komoditas pada kawasan strategi kabuapten di kabuapten bone, khususnya
di Kec. Palakka, Kec.Awangpone dan Kec.Barebbo.
2. Data sekunder merupakan data yang diperoleh oleh peneliti secara tidak
langsung, yang berupa dokumen-dokumen dan berbagai dokumentasi.
D. Informan Penelitian
Informan penelitian adalah orang yang memahami tentang informasi dari
obyek penelitian dan teknik pemilihan informan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah purposive penentuan informan secara sengaja, teknik penentuan
informan dengan pertimbangan tertentu yang menurut sumber datanya adalah
orang yang ahli tentang bidang tersebut. Adapun informan yang di maksud
adalah:
1. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Holtikultur dan Perkebunan
2. Dinas Kelautan dan perikanan
3. Camat Kec.Palakka, Kec.Awangpone dan Kec.Barebbo
4. penyuluh
5. Kelompok tani/masyarakat petani
52
Tabel 3.1 Daftar Nama-Nama Informan
No Nama Inisial Jabatan Ket
1. A. Zainal, A.Z Kabid infrastruktur dan pengembangan wilayah
Bapeda
2. Musliadi MS Kasi produksi dan tanaman pangan
Dinas pertanian tanaman pangan, Holtikultura dan Perkebunan
3. Sukmawati SW Kasi produksi perkebunan
Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Holtikultura dan Perkebunan
4. Muhammad Amin MA Kabid Pengelolaan Pembudidayaan Ikan
Dinas Kelautan dan Perikanan
5. H.Arlandy HA Sekertaris camat Kantor Kec.Palakka
6. Hj.Faidah HF Sekertaris camat Kantor Kec.Awangpone
7. Andi Asman Sulaiman AS Camat Kantor Kec.Barebbo
8 Ari AR Masyarakat Awangpone 9 Faisal FA Masyarakat Barebbo 10 Rustang RU Masyarakat Palakka 11 Suradi SR Masyarakat Palakka 12 Risman RS Masyarakat Awangpone 13 Akifa Aksa AA Penyuluh Palakka 14 Darmawati DA Penyuluh Awangpone 15 Abdullah AB Penyuluh Barebbo
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan faktor yang penting untuk
mensukseskan penelitian. Hal ini berkaitan dengan cara mengupulkan data, siapa
sumbernya dan alat yang digunakan. Sehingga untuk memperoleh data yang benar
53
dan akurat untuk mampu menjawab permasalahan penelitian, maka pengumpulan
data yang digunakan antara lain:
1. Observasi lapangan
Observasi lapangan merupakan pengawasan dan pencatatan yang
sistematis terhadap gejalah-gejalah dalam objek penelitian, observasi
dilakukan dengan cara melihat secara langsung pengembangan komoditas
unggulan di wilayah KSK khususnya di Kec.Palakka, Kec.Awangpone
dan Kec.Barebbo.
2. Wawancara
Wawancara yaitu memperoleh makna yang rasional dengan melakukan
percakapan secara berhadapan langsung (face to face) dengan informan.
Kegiatan ini dilakukan secara santai namun sistematis, dimana informan
dapat menggeluarkan ide, pandangan dan perasaan secara natural.
3. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu bukti yang mendukung penelitian, dokumentasi dalam
bentuk foto, rekaman maupun catatan hasil wawancara pada saat
melakukan penelitian dengan pihak-pihak yang bersangkutan.
F. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis data secara kualitatif
dimana peneliti terjun langsung kelapangan untuk memperoleh data radi awal
hingga akhir penelitian. Kemudian data yang telah didapat diolah secara
sistematis dan logis, yaitu dengan menggambarkan kenyataan dan keadaan yang
terjadi pada objek penelitian secara apa adanya, yang diperoleh baik dari subyek
54
peneliti maupun informasi penelitian untuk mendapatkan kesimpulan. Adapun
tahap dalam analisis data penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Reduksi Data (data reduction)
Mereduksi data, yaitu dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti,
peneliti merekam semua data yang diperoleh dan kemudian memilih hal-hal
yamg pokok dan memfokuskan sesuai dengan fokus penelitian. Dengan
demikian, data yang telah direduksi dapat memberikan suatu gambaran yang
lebih jelas mengenai pengembangan komoditas pada kawasan stratgi
kabupaten di kabupaten bone. Khusunya di Kec. Palakka, Kec. Awangpone
dan Kec. Barebbo.
2. Penyajikan Data (data display)
Setelah data dirangkum peneliti akan menyajikan data dalam bentuk suatu
uraian singkat, bagan, hubungan antara kategori dan jenisnya, sehingga
peneliti akan lebih muda menjelaskan mengenai hal yang telah diteliti dan
dapat menarik sebuah kesimpulan.
3. Penarikan Kesimpulan (conclution drawing and verification)
Langkah ketiga dari analisis dalam penelitian ini adalah penarikan
kesimpulan dan verifikasi. Yaitu dari hasil penelitian ini, peneliti
memberikan gambaran mengenai pengembangan komoditas pada kawasan
strategi kabupaten di Kabupaten Bone. Khusunya di Kec.Palakka, Kec.
Awangpone dan Kec. Barebbo.
55
G. Pengabsahan Data
Keabsahan data dalam penelitian ini diperiksa dengan menggunakan
trianggulasi. Dimana triangulasi bermakna saling dengan mengadakan
pengecekan akan keberadaan data yang dikumpulkan dari sumber data
menggunakan teknik pengumpulan data yang lain dan melakukan pengecekan
pada waktu yang berbeda.
1. Triangulasi Sumber
Teriangulasi sumber dalam hal ini peneliti melakukan triangulasi sumber
dengan cara mencari informasi dari sumber lain atas informasi yang
didapat dari informasi sebelumnya.
2. Triangulasi Metode
Triangulasi metode untuk menguji akuratnya sebuah data maka peneliti
menggunakan trianggulasi metode menggunakan teknik yang berbeda
dengan teknik yang digunakan sebelumnya.
3. Triangulasi waktu
Triangulasi waktu berkenaan dengan waktu pengambilan data penelitian.
56
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Profil Kabupaten Bone
Kabupaten Bone adalah salah satu Daerah otonom di Provinsi Sulawesi
Selatan, Indonesia. Ibukota kabupaten ini terletak dikota Watampone. Dengan
berpegang motto sumange’ teallara’ (teguh dalam keyakinan kukuh dalam
kebersamaan), Kabupaten Bone akan menjadi pemerintah dan masyarakat yang
mampu menghadapi segala tantangan sehingga dapat bersaing di era globalisasi.
Kabupaten Bone juga sebagai salah satu daerah yang berada di pesisir timur
Sulawesi selatan yang memiliki posisi strategis dalam perdagangan barang dan
jasa di kawasan Indonesia Timur. Kabupaten Bone memiliki luas 4.559 km²
dengan rincian lahan sebagai berikut:
Tabel 4.1: Rincian Lahan
No Nama Lahan Luas Lahan
1 Persawahan 88.449 Ha
2 Ladang 120.525 Ha
3 Tambak 11.148 Ha
4 Perkebunan Negara/Swasta 43.052,97 Ha
5 Hutan 145.037 Ha
6 Padang rumput dan lainnya 10.503, 48 Ha
57
a. Administrasi Pemerintah
Kabupaten Bone memiliki warisan budaya dan kaya dengan pesan moral.
Pesan kemanusian yang mencerminkan kecerdasan manusia Bone pada masa lalu
dalam menghadapi kehidupan, dan menjawab berbagai tantangan pembangunan.
Secara Administratif kabupaten ini terletak 174 km kearah timur Kota Makassar,
berada pada posisi 4013‟-5006‟ Lintang Selatan dan antara 119042'-120
40‟ Bujur
Timur, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Soppeng
2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sinjai dan Gowa
3) Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone
4) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Maros, Pangkep dan Barru.
58
b. Pembagian Administratif
Berdasarkan data Kabupaten Bone dalam Angka Tahun 2018 yang
diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Bone, jumlah penduduk
Kabupaten Bone sekitar 738.515 jiwa, terdiri dari 27 Kecamatan dan 372
Desa/Kelurahan. Adapun rinciannya sebagai berikut:
Tabel 4.2: Nama, Luas Wilayah Per-Kecamatan dan Jumlah Kelurahan Kabupaten
Bone 2018
Kecamatan
Jumlah Kelurahan/
Desa
Luas Wilayah
Administrasi Terbangun
(km2)
(%)
Terhadap Total
(Ha)
(%)
Terhadap Total
Bontocani 11 46,335 10.16 241.82 2.24
Kahu 20 18,950 4.16 595.85 5.52
Kajuara 18 12,413 2.72 491.11 4.55
Salomekko 8 84,91 1.86 222.22 2.06
Tonra 10 20,032 4.39 187.31 1.73
Patimpeng 11 13,047 2.86 244.93 2.72
Libureng 20 34,425 7.55 482.59 4.47
Mare 18 26,350 5.78 367.62 3.42
Sibulue 20 15,580 3.42 273.42 4.38
Cina 12 14,750 3.24 395.14 3.66
Barebbo 18 11,420 2.50 387.82 3.59
Ponre 9 29,300 6.43 203.02 1.88
Lappariaja 9 13,800 3.03 362.60 3.36
Lamuru 12 20,800 4.56 395.87 3.66
Tellu limpoe 11 31,810 6.98 210.08 1.94
Bengo 9 16,400 3.60 395.80 3.66
Ulaweng 15 16,167 3.55 380.69 3.52
59
Palakka 15 11,532 2.53 341.22 3.16
Awangpone 18 11,070 2.43 421.41 3.90
Tellu siattinge 17 15,930 3.49 591.76 5.48
Amali 15 11,913 2.61 326.77 3.03
Dua Boccoe 22 13,900 3.05 421.61 3.90
Ajangale 12 14,490 3.18 454.87 4.21
Cenrana 16 14,360 3.15 339.09 3.14
T.Riattang Barat 8 5,368 1.18 637.56 5.90
Tanete Riattang 8 2,379 0.52 701.38 6.49
T.Riattang Timur 8 4,888 1.07 528.53 4.89
Jumlah 372 455,900 100 10,082 100
Sumber: BPS, Kabupaten Bone dalam Angka 2018
c. Jumlah Penduduk
Penduduk Kabupaten Bone berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2018
sebanyak 754.894 jiwa yang terdiri atas 360.971 jiwa penduduk laki-laki dan
393.923 jiwa penduduk perempuan. Dibadingkan dengan proyeksi jumlah
penduduk tahun 2017, penduduk Bone mengalami pertumbuhan sebesar 0,52
persen. Sementara itu besarnya angka rasio jenis kelamin tahun 2018 penduduk
laki-laki terhadap penduduk perempuan sebesar 91,63.
Kepadatan penduduk di Kabupaten Bone tahun 2018 mencapai 166
jiwa/km2 kepadatan penduduk di 27 Kecamatan cukup beragam dengan kepadatan
penduduk tertinggi terletak di Kecamatan Tanete Riattang dengan kepadatan
sebesar 2,235 jiwa/km2 dan terendah di Kecamatan bontocani sebesar 34 jiwa/km2
d. Visi Misi Kabupaten Bone
1) Visi Kabupaten Bone adalah “Masyarakat Bone yang Mandiri, Berdaya
Saing, dan Sejahtera”. Mandiri yaitu kemampuan nyata pemerintah daerah
60
dan masyarakatnya dalam mengatur dan mengurus kepentingan
daerah/rumah tangganya sendiri menurut prakarsa dan aspirasi
masyarakatnya termasuk didalamnya upaya yang sungguh-sungguh secara
bertahap mampu mengurangi ketergantungan terhadap pihak-pihak lain
namun tetap melakukan kerja sama dengan daerah-daerah lain yang saling
menguntungkan. Berdaya saing yaitu mengandung makna terwujudnya
kemampuan masyarakat Kabupaten Bone untuk memanfaatkan
keunggulan inovasi, komparatif dan kompetitif yang berbasis sumber daya
lokal dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan sehingga
mampu besaing secara regional, nasional bahkan internasional. Sejahtera
yaitu mengandung makna semakin masyarakat dalam memenuhi
kebetuhan dasar yang berkelanjutan dalam aspek ekonomi, pendidikan,
kesehatan, politik, sosial budaya, lingkungan hidup yang dilingkupi
dengan suasana kehiupan yang religius, aman dan kondusif serta didukung
infrastruktur dan tata kelolah pemerintah yang baik.
2) Misi, dalam rangka mewujudkan visi tersebut, maka ditetapkan misi
sebagai berikut:
a) Meningkatkan tata kelolah pemerintah yang baik, bersih dan bebas
korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN).
b) Mengembangkan kemandirian ekonomi dan meningkatkan taraf hidup
masyarakat.
c) Meningkatkan akses, pemerataan dan kualitas pelayanan kesehatan,
pendidikan dan sosial dasar lainnya.
61
d) Mengoptimalkan akselerasi pembangunan daerah berbasisi desa dan
kawasan pedesaan.
e) Mendorong penciptaan iklim investasi yang kondusif untuk
pengembangan usaha dan mengembangkan inovasi daerah dalam
peningkatan pelayanan public.
f) Meningkatkan budaya politik, penegakan hukum, dan seni budaya
dalam kemajemukan masyarakat.
B. Profil Kawasan Strategi Kabupaten (KSK)
Kawasan Strategi Kabupaten yang dimaksud adalah ada tiga kecamatan
yaitu Kecamatan Palakka, Kecamatan Awangpone dan Kecamatan Barebbo.
1. Profil Kecamatan Palakka
Kecamatan Palakka merupakan Ibukota dari Kabupaten Bone dan salah satu
dari 27 Kecamatan yang berada di Kabupaten Bone. Kata Palakka sendiri
mempunyai arti menang dan arti sejarahnya yaitu tangga untuk menuju
kemenangan dan tangga untuk menduduki singasana kerajaan (pada zaman
kerajaan) sehingga menjadi sebuah Kecamatan yang saat ini bernama Kecamatan
Palakka, yang Ibukota Kecamatannya terletak di Ureng.
a) Keadaan Geografis dan Topografi
Keadaan topografi Kecamatan Palakka merupakan daerah berbentuk
dataran yang mempunyai jarak tempuh 14 km dari Ibukota Kecamatan ke
Ibukota Kabupaten. Secara administratif Kecamatan Palakka terdiri dari 15
Desa/Kelurahan. Luas Kecamatan Palakka memiliki luas wilayah 11,532
km2 dengan kordinat geografis berada pada 40 30‟27” LS dan 1200 12‟52”
62
BT dengan ketinggian rata-rata 114 Mdpl. sebelah Utara berbatasan
dengan Kecamatan Awangpone dan Kecamatan Tellu Siattingnge, sebelah
Selatan berbatasan dengan Kecamatan Barebbo dan Kecamatan Ponre,
sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tanete Riattang Barat,
sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Ulaweng.
2. Profil Kecamatan Awangpone
Kecamatan Awangpone merupakan Ibukota dari Kabupaten Bone dan salah
satu dari 27 Kecamatan yang berada di Kabupaten Bone. Kata Awangpone
mulanya terdiri dari beberapa wanua yang pada awal terbentuknya kerajaan Bone
(1330) bernama Tanete Riawang yang artinya suatu “Lompo” atau padang yang
luas terletak disebelah Utara Bone sehingga menjadi sebuah Kecamatan yang saat
ini bernama Kecamatan Awangpone yang Ibukota Kecamatan Terletak di
Lappoase dengan arti Lumbung padi.
a) Keadaan Geografis dan Topografi
Keadaan topografi Kecamatan Awangpone merupakan daerah berbentuk
dataran yang mempunyai jarak tempuh 7 Km2 dari Ibukota Kecamatan ke
Ibukota Kabupaten. Secara administratif Kecamatan Awangpone terdiri
dari 18 Desa/Kelurahan. Luas Kecamatan Awangpone memiliki luas
wilayah 11,070 km2 dengan kordinat Geografis berada pada 4028‟36” LS
dan 120018‟01” BT dengan ketinggian rata-rata 40 Mdpl. Sebelah Utara
berbatasan dengan Kecamatan TelluSiatinge, Kecamatan Amali dan
Kecamatan Cenrana, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan
Palakka, Kecamatan Tanete Riattang, Kecamatan Tanete Riattang Timur,
63
dan Kecamatan Tanete Riattang Barat, sebelah Timur berbatasan dengan
Teluk Bone, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tanete Riattang
Barat.
3. Profil Kecamatan Barebbo
Kecamatan Barebbo merupakan Ibukota dari Kabupaten Bone dan salah
satu dari 27 Kecamatan yang berada di Kabupten Bone. Dikatakan Barebbo
karena terkenal dengan panen padinya pada musim rendengan (Bare) karena
apabila panenya berhasil dapat mencukupi kebetuhan seluruh Kabupaten Bone
khususnya padi, yang akhirnya menjadi sebuah Kecamatan yang saat ini bernama
Kecamatan Barebbo, yang Ibukota Kecamatan terletak di desa Apala.
a) Keadaan Geografis dan Topografi
Keadaan topografi Kecamatan Barebbo merupakan Kategori Lokasi
Pesisir yang mempunyai jarak tempuh 10 Km2 dari Ibukota Kecamatan ke
Ibukota Kabupaten. Secara administratif Kecamatan Barebbo terdiri dari
18 Desa/Kelurahan. Luas Kecamatan Barebbo memiliki luas wilayah
11,420 Km2 dengan kordinat geografisnya berada pada 40 36‟33” LS dan
1200 18‟53” BT dengan ketinggian rata-rata 40 Mdpl. Sebelah Utara
berbatasan dengan Kecamatan Tanete Riattang, Kecamatan Tanete
Riattang Barat, Kecamatan Tanete Riattang Timur dan Kecamatan
Palakka, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sibulue dan
Kecamatan Cina, sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone, sebelah
Barat berbatasan dengan Kecamatan Ponre.
64
C. Sumber daya alam
Secara geografis, Kawasan Strategi Kabupaten berada pada jasirah sebelah
Timur Kabupaten Bone. Terletak pada posisi 04023‟ – 04037 LS dan 120
12‟ –
120023‟ BT dengan batas wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan
Tellu Siattinge, dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cina dan
Sibulue, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Ulaweng dan
sebelah Timur berbatasan dengan Tanete Riattang Barat dan Teluk Bone.
Kondisi topografi KSK berada pada ketinggian 0 – 25 m (7.862 Ha), 25 –
100 m (17.825 Ha), 100 – 500 m (10.768 Ha). Keadaan jenis Tanahnya yaitu
berupa Allufial 4.110 Ha, Gleihumus 1.902 Ha, Regosol 170 Ha, Grumusol 2.855
Ha, Rasial dan Litosol 4.052 Ha dan Mediteran 23.208 Ha. Luas Wilayah KSK
adalah 340,30 km2 atau 7,46% dari luas Kabupaten Bone. Secara administratif
terbagi atas 3 Kecamatan yaitu Kecamatan Palakka, Kecamatan Awangpone, dan
Kecamatan Barebbo.
Jumlah Desa/Kelurahan KSK Sebanyak 51 yang dirincikan pada table
dibawah ini:
Tabel 4.3: Jumlah Desa/Kelurahan KSK
No
Kec.Barebbo Kec.Awangpone Kec.Palakka
Desa Luas
(Km2) Desa
Luas
(Km2) Desa
Luas
(Km2)
1 Cempaniga 4,63 Buluampare 4,15 Siame 4,31
2 Bacu 5,30 Carebbu 5,10 Cinennung 11,04
3 Cingkang 4,32 Abbanuang 4,73 Pasempe 9,76
4 Congko 4,58 Paccing 7,01 Lemoape 15,14
65
5 Cinnong 5,50 Maccope 11,06 Usa 9,33
6 Lampoko 6,00 Mallari 7,57 Ureng 4,66
7 Wollangi 7,46 Kading 7,71 Mico 10,57
8 Kajaolaliddong 4,70 Cakke Bone 3,90 Bainag 4,97
9 Samaelo 3,98 Lappoase 5,36 Passipo 6,88
10 Parippung 7,51 Cumpiga 4,50 Tanah Tengah
7,10
11 Mario 8,70 Awalogading 3,90 Tirong 3,32
12 Sugiale 7,00 Jaling 6,44 Panyili 6,54
13 Kampunon 7,33 Mapolo Ulaweng
5,50 Matbua 6,01
14 Corowalie 7,31 Unra 6,60 Maduri 5,81
15 Talungeng 6,80 Kajuara 4,75 Melle 9,88
16 Barebbo 10,10 Carigading 4,50
17 Watu 5,66 Matuju 8,58
18 Kading 7,40 Latekko 9,34
Jumlah 114,28 110,70 115,32
Sumber: Kabupaten Bone Dalam Angka Tahun 2019
1. Penggunaan Lahan
Sumberdaya lahan merupakan salah satu saran produksi yang sangat
penting. Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang mempengaruhi besar
kecilnya hasil produksi. Lahan yang luas disertai sistem garapan yang baik, akan
mendatangkan hasil yang maksimal yang pada gilirannya akan meningkatkan
kesejahteraan petani. Karena itu, setiap lahan sedapat mungkin digarap dan
dimanfaatkan secara omptimal utamanya disektor pertanian dengan
memperhatikan kelestarian sumber daya alam. Tidaklah heran, sekiranya lahan
66
yang tersedia petani senantiasa berupaya melakukan pola garapan ekstensifikasi
dan intensifikasi.
Lahan sawah yang paling luas adalah di Kecamatan Awangpone yaitu 5.659
Ha, yang terdiri dari lahan sawah irigasi teknis seluas 2.130 Ha, irigasi sederhana
0 Ha dan sawah tanda hujan 3.529 Ha sedangkan irigasi ½ teknis dan irigasi non
PU tidak ada. Selanjutnya lahan sawah Dikecamatan Barebbo dengan luas 5.428
Ha, yang terdiri dari sawah irigasi 3.787 Ha, lahan sawah irigasi ½ teknis seluas 0
Ha, irigasi sederhana 0 Ha, sawah tadah hujan seluas 1.461 Ha dan tidak ada
irigasi non PU.
Sedangkan luas lahan sawah yang terendah adalah di Kecamatan Palakka
2.654 Ha, dimana ketersediaan sarana pengairan yang dimilki masih relative
rendah yaitu hanya memiliki pengairan irigasi teknis seluas 587 Ha, dan sawah
tadah hujan seluas 2.067 Ha sebagian lainnya berupa irigasi sederhana, irigasi ½
teknis dan irigasi non PU, masing-masing 0 Ha.
Tabel 4.4: Pengairan Irigasi
NO Kecamatan Irigasi Teknis
Irigasi ½Teknis
Irigasi sederhana
Irigasi Non PU
Tadah Hujan
Jumlah
1 Palakka 587 0 0 0 2.067 2.654
2 Awangpone
2.130 0 0 0 3.529 5.659
3 Barebbo 3.787 0 0 0 1.461 5.248
Jumlah 6.504 0 0 0 7.057 113.561
Sumber: Kabupaten Bone Dalam Angka 2018
Secara umum pengairan lahan sawah pada KSK masih perlu mendapat
perhatian dalam pembangunannya. Perhatian tersebut terutama diharapkan dalam
67
rangka meningkatkan produksi komoditas para petani. Hal ini terlihat dari masih
banyaknya sawah yang berupa sawah tadah hujan yaitu mencapai 52,04%.
Adapun potensi lahan kering dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 4.5: Luas Penggunaan Lahan
No Kecamatan Tegalan
/Kebun
Ladang Padang Rumput
Tambak Perkebunan
Lainnya
1 Palakka 6,029 0 105 2 1.511 0
2 Awangpone 1.807 351 5 0 1.934 1.657
3 Barebbo 1.322 0 0 0 2.646 708
Jumlah 9.158 351 110 2 3.490 2.365
Sumber: Kabupaten Bone Dalam Angka 2018
Luas penggunaan lahan pada setiap Kecamatan sangat bervariasi. Tetapi
tidak memiliki hubugan yang signifikan dengan luas wilayah. Jenis penggunaan
lahan kering yang paling tinggi adalah tegalan/kebun seluas 9.158 Ha selanjutnya
perkebunan dengan luas 3.490 Ha dan ladan 351 Ha. Potensi pada rumput yang
paling luas berada pada dikecamatan palakka yakni seluas 105 Ha. Sementara itu,
penggunaan lahan untuk tambak hanya ada di Kecamatan palakka dengan luas Ha
dan di Kecamatan ini memilki lahan tegalan/kebun terluas yakni 6.029 Ha.
a. Luas dan Produksi Tanaman Pangan dan Palawija
Subsektor tanaman pangan terdiri dari tanaman padi, jagung, ubi jalar,
ubi kayu, kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau. Produksi subsektor
tanaman pangan ini bervariasi pada masing-masing Kecamatan.
Tanaman pangan dan palawija tertinggi adalah di Kecamatan Barebbo
yaitu seluas 28.049 Ha, kemudian Kecamatan Awangpone 9.090 Ha, dan
68
Kecamatan Palakka seluas 7.021 Ha. Luas panen untuk komoditas padi
mendominasi pada ketiga Kecamatan tersebut mencapai 19.662 Ha (64.85%)
hal ini dipengaruhi oleh tingginya minat petani didukung fungsi irigasi yang
baik dan curah hujan yang tinggi dalam memanfaatkan lahan yang dimiliki
untuk menanam padi.
Tabel 4.6: Luas Panen Tanaman Pangan dan Palawija pada KSK
Luas Panen (Ha)
No Komoditas Kec.
Palakka
Kec
Awangpone
Kec.
Barebbo Jumlah %
1 Padi 3.643 6.669 9.310 19.662 64.81
2 Jagung 1.278 876 1.481 3.635 11.98
3 Ubi jalar 24 12 18 54 0.17
4 Ubi kayu 52 18 38 108 0.35
5 Kacang tanah 239 869 296 1.404 4.63
6 Kacang kedelai 1.178 436 2.737 4.951 16.32
7 Kacang hijau 67 150 289 506 1.66
Jumlah 7,021 9.090 28,049 30,320 100,00
Sumber: Kabupaten Bone Dalam Angka 2018
Kalau curah hujan tinggi, maka irigasi akan berfungsi dengan baik.
Dengan demikian, petani lebih condong untuk menanam padi, dari pada
tanaman palawija, atau tanaman lainnya, terutama tanaman ubi jalar dan ubi
kayu atau jagung. Kondisi ini terutama pada lahan sawah dataran rendah yang
mudah dijangkau oleh irigasi. Sementara pada lahan tada hujan hanya
mengandalkan curah hujan untuk menanam padi.
Adapun produksi tanaman pangan dan palawija pada setiap Kecamatan
tersebut tertinggi adalah di Kecamatan Barebbo dengan jumlah produksi
57.209 ton, selanjutnya menyusun awangpone sebanyak 42.170 ton, dan
69
Kecamatan Palakka sebanyak 20.992 ton. Komoditas yang memiliki produksi
tertinggi diantara komoditas lainnya adalah padi dengan jumlah 97.785 ton
(81,24%) dari total produksi tanaman pangan dan palawija disusul jagung
dengan jumlah 16.591 ton atau 13.78 % pada ketiga Kecamatan tersebut.
Tabel 4.7: Produksi Tanaman Pangan dan Palawija pada KSK
Produksi (ton)
No Komoditas Kec.
Palakka
Kec Awangpon
e
Kec. Barebbo
Jumlah %
1 Padi 21.770 35.273 57.612 97.785 81.24
2 Jagung 6.443 4.040 8.171 16.591 13.78
3 Ubi jalar 236 97 147 257 0,21
4 Ubi kayu 452 153 351 440 0,37
5 Kacang tanah 410 1.552 514 2.379 2,32
6 Kacang kedelai 3.329 826 5.434 1.476 1,23
7 Kacang hijau 95 200 455 1.029 0,85
Jumlah 20,992 42,170 57.209 120.371 100,00
Sumber: Kabupaten Bone Dalam Angka 2018
b. Luas dan Produksi Perkebunan
Perkebunan mempunya peranan yang penting didalam pengembangan
pertanian baik ditingkat regional maupun nasional. Tanaman perkebunan
merupakan tanaman perdagangan yang cukup potensial untuk dikembangkan.
Karena itu, pada wilayah KSK tanaman perkebunan menjadi komoditas yang
diharapkan dapat mengangkat prekonomian lokal. Hal tersebut terutama
ditunjang oleh luas areal pada ketiga kecamatan tersebut.
70
Tabel 4.8: Luas Panen Tanaman Perkebunan Menurut Jenisnya pada KSK
Luas Areal (Ha)
No Komoditas Kec.
Palakka Kec
Awangpone Kec.
Barebbo Jumlah %
1 Kopi 0 0 7 7 0,017
2 Cengkeh 0 0 9 9 0,22
3 Lada 0 0 0 0 0
4 Kakao 824 825 533 2.202 54,19
5 Kelapa 658 501 827 1.986 48,88
6 Jamu mente 267 67 165 499 12,28
7 Kemiri 46 76 38 160 3,93
8 Tebu rakyat 0 0 0 0 0
Jumlah 995 1.489 1.579 4.063 100,00
Sumber: Kabupaten bone dalam angka 2018
Wilayah KSK paling banyak diusahakan di Kecamatan Barebbo yaitu
1.579 Ha yang terdiri dari tanaman kakao seluas 533 Ha, jambu mente seluas
165 Ha kelapa 267 Ha, dan kemiri 38 Ha. Untuk tanaman kopi seluas 7 Ha
pemanfaatan areal yang ada banyak digunakan untuk tanaman kakao yaitu
seluas 2.202 Ha (54,19%), menyusun luas areal tanaman kelapa seluas 1.986
Ha (48,88%), kemudian tananam jambu mente seluas 499 Ha (12.28%). Dan
selebihnya untuk tanaman kemiri, cengkeh dan kopi. Namun untuk tanaman
cengkeh dan kopi hanya ada di Kecamatan Barebbo. Untuk mengetahui
produksi tanaman perkebunan di KSK dapat dilihat table di bawah ini:
71
Tabel 4.9: Produksi Tanaman Perkebunan Menurut Jenisnya pada KSK
Produksi (ton)
No Komoditas Kec.
Palakka Kec
Awangpone Kec.
Barebbo Jumlah %
1 Kopi 0 0 1 1 0,03
2 Cenkeh 0 0 0 0 0,00
3 Lada 0 0 0 0 0,00
4 Kakao 318 481 374 1.173 39,05
5 Kelapa 480 378 215 1.073 35,72
6 Jambu mente 25 537 66 628 20,90
7 Kemiri 32 55 42 129 4,29
8 Tebu rakyat 0 0 0 0 0,00
Jumlah 855 1.451 698 3.004 100,00
Sumber: Kabupaten bone dalam angka 2018
Kecamatan yang memiliki produksi perkebunan yang besar adalah
Kecamatan Awangpone sebanyak 1.451 ton dari semua jenis komoditas.
Komoditas kakao dan kelapa merupakan komoditas perkebunan diwilayah
KSK yang cukup besar dibandingan komoditas lainnya yaitu masing-masing
sebanyak 1.173 ton (39,05%) dan 1.073 (35,72%). Disusul komoditas jambu
mente senbayak 628 ton (20,90%).
c. Populasi Ternak Pembangunan subsektor peternakan tidak hanya untuk meningkatkan
populasi dan produksi ternak dalam usaha memperbaiki gizi masyarakat, akan
tetapi juga untuk meningkatkan pendapatan peternak, populasi ternak pada
tahun 2015 dapat dilihat pada table di bawah ini:
72
Tabel 4.10: Populasi Ternak dan Unggas Menurut Jenisnya pada KSK
Populasi (ekor)
No Jenis Ternak Kec.
Palakka Kec
Awangpone Kec.
Barebbo Jumlah %
1 Sapi 12.875 17.504 11.455 41.834 18.83
2 Kerbau 0 21 0 21 0.009
3 Kuda 575 583 358 1.516 0.68
4 Kambing 128 483 144 755 0.33
5 Ayam buras 119.599 150.970 126.126 110.260 49.63
6 Ayam ras 13.995 13.942 16.777 44.714 20.12
7 Itik 0 20.512 2.519 23.031 10.36
Jumlah 147.172 204.015 157.379 222.131 100.00
Sumber : Kabupaten Bone Dalam Angka 2018
Usaha peternakan banyak dilakukan di kecamatan Awampone mencapai
204/015 ekor, Untuk wilayah KSK ini populasi ternak yang banyak adalah
Ayam Buras mencapai 110.260 ekor (49.63%) dan ayam ras sebanyak 44.714
(20.12%). Sapi sebanyak 41.834 ekor (18.83%). Petani mengusahakn ternak
sapi sebagai sumber penghasilan tambahan meningkat harga dan permintaan
sapi cukup tinggi.
d. Luas Areal Dan Produksi Perikanan
Usaha perikanan tambak pada wilayah KSK hanya terdapat di kecamatan
Awampone dan Kecamatan Barebbo yang merupakan daerah pesisir pantai.
Kecamatan Palakka berada pada topografi yang terbukti sampai penggunaan
sehingga tidak ada masyarakat yang mengusahakan budidaya tambak.
Berikut potensi luas areal tambak dapat dilihat di bawah ini:
73
Tabel 4.11: Luas Areal Tambak Menurut Jenis Komoditas pada KSK
Luas Areal (Ha)
No Tambak Kec.
Palakka Kec
Awangpone Kec.
Barebbo Jumlah %
1 Udang 0 98 14 112 15,95
2 Kepiting 0 25 10 35 4,99
3 Rumput Laut 0 237 153 390 55.56
4 Bandeng 0 95 70 165 23.50
Jumlah 0 455 257 782 100.00
Sumber : Kabupaten Bone Dalam Angka 2018
Luas areal peternakan di KSK sebagian besar berada di Kecamatan
Awampone yaitu seluas 455 Ha, meliputi rumput lauk jenis komoditas
tertinggi sampai mencapai 390 Ha (55.56%), kemudian udang seluas 112 Ha,
(15.95%), Bandeng seluas 165 Ha (23.50%) dan kepiting seluas 35 Ha
(4.99%). Sementara di Kecamatan Barebbo luas areal tambak hanya 247 Ha,
yang juga didominasi oleh usaha tambak rumut laut seluas 152 Ha.
Secara keseluruhan pada wilayah KSK areal tambak rumput laut
menempati urutan pertama di banding luas areal tambak tambak untuk
komoditas lainnya yaitu seluas 390 Ha (55,56%). Selanjutnya untuk
mengetahui produksi tambak setiap jenis komoditas perikanan di wilayah
KSK dapat dilihat pada table di bawah ini:
Tabel 4.12: Produksi Tambak Menurut Jenisnya pada KSK
Produksi (ton)
No Komoditas Kec.
Palakka Kec
Awangpone Kec.
Barebbo Jumlah %
1 Udang 0 98 14 112 15,95
74
2 Kepiting 0 25 10 35 4,99
3 Rumput Laut 0 237 153 390 55,56
4 Bandeng 0 95 70 165 23,50
Jumlah 0 455 247 782 100.00
Sumber : Kabupaten Bone Dalam Angka 2018
Produksi tambak yang tertinggi adalah di Kecamatan Barebbo yaitu
3.108 ton yang terdiri dari rumput lauk 2.455 ton, banden 457 ton, udang 139
ton dan kepiting 58 ton, Adapun produksi tambak di Kecamatan Awampone
sebanyak 2.968 ton yang terdiri dari rumput laut 2.475 ton, bandeng 258 ton,
udang 129 ton dan kepiting 106 ton, Secara keseluruhan pada kedua
kecamatan tersebut, produksi rumut laut yang tertinggi yaitu sebanyak 4.930
ton (81,13%) dan terendah adalah produksi kepiting sebanyak 164 ton
(2,69%).
Jika di bandingkan dapat diketahui bahwa produktivitas perikanan
tambak di kecamatan Barebbo lebih tinggi disbanding Kecematan
Awampone. Luas areal di Kecamatan Barebbo lebih sedikit disbanding
Kecamatan Awampone tapi dari segi produksi Kecamatan Barebbo lebih
tinggi dibanding Kecamatan Awampone.
D. Hasil Penelitian
Implementasi kebijakan secara sederhana dapat diartikan sebagai proses
menerjemahkan peraturan ke dalam bentuk tindakan. Dalam praktiknya
implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan
jarang bermuatan politis karena wujudnya intervensi berbagai kepentingan. Jadi,
75
implementasi kebijakan adalah menjalankan konten atau isi kebijakan ke dalam
aplikasi yang diamanatkan oleh kebijakan itu sendiri.
Sementara itu, keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau
dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu: tercapai atau
tidaknya tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, implementasi kebijakan
dapat dilihat dari prosesnya dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan
program sesuai dengan yang ditentukan, yaitu melihat pada action program dari
individual project dan yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai.
Berdasarkan model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh Soren
C. Winter terdapat tiga variabel yang sangat menentukan keberhasilan
implementasi suatu kebijakan, yaitu:
1. Perilaku organisasi dan antarorganisasi (organizational and inter-
organizational behavior.
Salah satu faktor aspek keberhasilan implementasi kebijakan program
pengembangan komoditas pada kawasan strategi kabupaten di kabupaten
Bone adalah perilaku organisasi dan antar organisasi meliputi dua komponen,
yaitu komitmen dan koordinasi .
a. Komitmen organisai
Komitmen organisai yaitu kesepakatan bersama dengan instansi
terkait dalam menjaga stabilitas organisasi dan jaringan antarorganisasi
yang ada, dalam kaitannya dengan pelaksanaan program pengembangan
komoditas pada kawasan startegi kabupaten di Kabupaten Bone adapun
kawasan startegi kabupaten yang dimaksud disini yaitu Kecamatan
76
Palakka, Awanagpone, Barebbo.Tidak mudah untuk menjaga stabilitas
jaringan dimaksud, karena tentunya terdapat berbagai kepentingan yang
diemban oleh masing-maing instansi yang terlibat.Disinilah komoditas
dibutuhkan untuk tidak mengedepankan kepentingan masing-masing
dalam mencapai tujuan program pengembangan komoditas pada kawasan
strategi kabupaten di Kabupaten Bone khusunya di Kecamatan Palakka,
Awangpone dan Barebbo.
Hasil wawancara peneliti dengan kepala bidang infrastruktur dan
pengembangan wilayah mengenai bagaimana bentuk komitmen program
pengembangan komoditas pada kawasan strategi kabupaten di Kabupaten
Bone mengatakan:
“ Bentuk komitmennya seperti komitmen tertulis yang dimaksud komitemen tertulis seperti SK yang diperintahkan oleh pak bupati kepada instansi–instansi terkait atau dinas-dinas terkait untuk menjalankan program pengembangan komoditas pada kawasan strategi kabupaten di Kabupaten Bone”. ( Hasil wawancara AZ.
Tanggal 11 november 2019). Adapun hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk
komitmen instansi terkait atau dinas terkait seperti komitmen tertulis yang
di keluarkan oleh pak bupati itu yang akan di jalankan dalam program
pengembangan komoditas unggulan pada kawasakan strategi kabupaten
khususnya di kec. palakka, awangpone dan barebbo. Sedangkan
Dalam proses pengembangan komoditas tanaman pangan dan
palawija dan perkebunan. Hasil wawancara peneliti dengan kasi produksi
dan tanaman pangan dan kasi produksi perkebunan, mengenai bagaimana
proses pengembangannya dia mengatakan bahwa:
77
“proses pengembangannya seperti kita mengadakan sosialisasi di 3
Kecamatan itu mengenai bagaimana cara mengelolah sawah yang baik dan benar misalnya diharapkan para petani agar merubah pola pikir dalam mengelolah sawah yang selama ini pakai metode tabur bibit, merubah kepola tanam”.(Hasil wawancara MS.Tanggal 13
November 2019). Sedangkan hasil wawancara peneliti dengan Kasi produksi
perkebunan mengatakan bahwa:
“proses pengembangan dalam bidang perkebuna itu dari tahun ke tahun semakin menurun hal ini dikarenakan masyarakat lebih memilih bertani dari pada berkebun dengan alasan penghasilanya sangat jauh berbeda ketika dia bertani daripada berkebun adapun masyarakat yang masih berkebun itu khususnya daerah awangpone kita memberikan bantuan berupa bibit-bibit kelapa cuman yang kita berikan satu kelompok saja, karena dipalakka dan barebbo itu masyarakatnya lebih memilih bertani”.(Hasil wawancara SW.
Tanggal 13 november 2019) Adapun hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa
diharapkan para petani merubah pola pikir yang selama ini mengelolah
sawahnya pakai metode tabur merubah ke pola tanam agar penghasilan
yang mereka dapatkan nanti lebih meningkat dari sebelumnya. Sedangkan
dalam bidang perkebunan khususnya kecamatan awangpone yang telah
diberikan bantuan kepada pemerintah itu cuman satu kelompok saja,
kemudian palakka dan barebbo tidak diberikan bantuan lagi karena
masyarakat yang dulunya sering berkebun sekarang lebih memilih bertani
saja. hal ini membuktikan bahwa yang 3 kecamatan ini dari segi
perkebunanya dari tahun ketahun semakin menurun.
Adapun hasil wawancara peneliti dengan Kabid Pengelolaan dan
Pembudidayaan ikan Mengatakan Bahwa:
78
“ proses pengembangan komoditas perikanan dan kelautan sudah
dikatakan berhasil, khususnya komoditas rumput laut itu sudah diekspor sampai ke Cina” (hasil wawancara MA. Tanggal 14 November 2019). Komoditas perikanan dan Kelautan sudah dikatakan berhasil
khususnya di Kecamatan Awangpone dan Barebbo karena sudah diekspor
sampai ke luar negri seperti yang dikatakan Kabid Pengelolaan dan
Pembudidayaan Ikan. Inilah salah satu bentuk keberhasilan pemerintah
dalam pengembangan pembudidayaan.
Hasil wawancara peneliti dengan sekertaris camat di kecamatan
palakka mengatakan bahwa:
“Telah melaksanakan program ini dengan masyarakat, dan
memberikan informasi secara langsung kepada masyarakat tentang program pengembangan komoditas pada kawasan strategi Kabupaten, dan masyarakat yang ada di Kecamatan Palakka menerima dengan baik adanya perogram komoditas, maka masyarakat antusias dengan adanya program ini karena program ini mampu meningkatkan prekonomian masyarakaat di Kecamatan Palakka khususnya dari segi komoditas pertanian peternakan dan perkebunan telah meningkat karena adanya program pengembangan komoditas pada Kawasan startegi kabupaten di Kabupaten Bone.(Hasil wawancara HA. Tanggal 18 november 2019).
Makna bahwa perilaku antar organisasi berdasarkan komitmen telah
diimplementasikan oleh Camat Palakka tentang pentingnya program
pengembangan komoditas ini disukseskan di kawasan strategi kabupaten,
sehingga Camat menghimbau kepada setiap instansi yang terkait untuk
terlibat langsung dalam program ini, berkomitmen bersama mewujudkan
program tersebut.
Sementara Hasil wawancara peneliti dengan sekertaris camat di
Kecamatan Awangpone mengatakan bahwa:
79
” komitmen Program pengembangan komoditas pada kawasan
strategi kabupaten di kabupaten Bone khususnya kecamatan awangpone sangat membantu prekonomian masyarakatnya, dan masyarakat Kecamatan Awangpone juga menerima dan merespon baik perogram pengembangan komoditas, pengembangan komoditas ini sangat bermanfaat untuk masyarakat karena telah meningkatkan penghasilan masyarakat khususnya pertanian, peternakan, perikanan dan perkebunan”.(Hasil wawancara HF. Tanggal 20 november 2019).
Makna wawancara ini memperlihatkan bahwa Pemerintah
Kecamatan Awangpone telah berkomitmen untuk mengimplementasikan
program pengembangan komoditas pada kawasan strategi yang sangat
bermanfaat dalam meningkatkan penghasilan dan pendapatan bagi petani,
peternak, perikanan dan perkebunan. Intinya program antar organisasi ini
sangat dibutuhkan masyarakat di Awangpone.
Hasil wawancara peneliti dengan Camat di Kecamatan Barebbo
Mengatakan bahwa:
“ komitmen terhadap Program Pengembangan komoditas pada kawasan strategi kabupaten di Kabupaten Bone khususnya di Kecamatan Barebbo ini sudah terealisasikan dengan baik seperti yang di katakana Pak Camat Kecamatan Barebbo pada saat itu dia mengatakan bahwa semua organisasi yang berkaitan dengan masyarakat yang ada di Kecamatan Barebbo ini ikut berpartisipsi terhadap program ini dan mensosialisasikan kepada masyarakat. dengan adanya program ini sangat membantu prekonomian masyarakat khususnya dari segi komoditas pertanian perkebunan,peternakan, perikanan dan kelautan, Pak Camat Kecamatan Barebbo sangat mengharapkan adanya pengembangan Komoditas pada kawasan strategi penghasilan masyarakat meningkat, dan prekonomian masyarakat Kecematan Barebbo semakin meningkat pula”.(Hasil wawancara AS. Tanggal 21 november 2019).
80
Hasil wawancara bermakna bahwa implementasi program
pengembangan komoditas telah terealisasi dan dijalankan oleh pihak yang
terkait dan berkomitmen untuk mengimplementasikan sesuai dengan
pengembangan komoditas untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di
Kecamatan Barebbo. Program antar organisasi terus diintensifkan guna
meningkatkan keikutsertaan instansi terkait dalam membantu peningkatan
pendapatan masyarakat.
Berdasarkan hasil wawancara dapat disimpulkan makna wawancara
tersebut yang intinya bahwa telah terimplementasikan program
pengembangan komoditas di kawasan strategi khususnya di tiga
kecamatan yaitu Kecamatan Palakka, Awangpone dan Barebbo dengan
melibatkan berbagai pihak secara sektoral dalam rangka meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
b. Koordinasi Organsisasi
Salah satu faktor urgen yang berpengaruh dalam jaringan
antarorganisasi dan berpengaruh terhadapa penentuan starategi ekonomi
daerah adalah koordinasi (Tjokroamidjojo, 1994: Sutan, 2001: Alwi,2007).
koordinasi dilakukan dengan organisasi lintas sektor selaku pelaksana
program pengembangan komoditas pada KSK di Kab.Bone, terikat dalam
jaringan pertumbuhan ekonomi daerah. Koordinasi dilakukan,baik dalam
hal pengambilan keputusan terutama dalam penyediaan data dan informasi
maupun dalam hal pelaksanaan kegiatan.
81
Menurut Malon dikutip oleh Masl koordinasi adalah the act
managing interdependencies between aktivities (tindakan yang salin
ketergantungan untuk mengelolah antarara kegiatan). Pengertian ini
menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan yang sifatnya kompleks
memerlukan adanya koordinasi agar kegiatan dapat ,menghasilkan output
yang maksimal (Borgatti,1996:1). Kerumitan organisasi dapat
menyebabkan koordinasi biasanya tidak berjalan sesuai yang diharapkan.
Hasi wawancara peneliti dengan Kepala Bidang infrastruktur dan
pengembangan wilayah mengatakan:
“koordinasinya dalam bentuk pertemuan dengan instansi terkait mengenai program pengembangan komoditas pada wilayah KSK adapun komoditas yang dimaksud itu pertanian, perkebunan, dan perikanan yang 3 kecamatan itu, Bapeda sebagai Tim sekertariat dan sekertariat itu semua persoalan administrasi, dokumen, rapat/pertemuan, itu menjadi otoritas Bapeda kemudian hasil dari perkembangan itu diserahkan kepada otoritas teknis seperti dinas, pemerintah kecamatan, lurah dan desa. Kemudian pemerintah kecamatan lurah dan desa baik dari pembibitan sampai ke pemasarannya kalau orang-orang/masyarakat tidak bisa berfungsi maka dinas lumpuh siapa yang punya otoritas yaitu kecamatan, lurah dan desa disitu letak startegisnya bapeda untuk berkoordinasi di tiga kecamatan itu”. (Hasil wawancara AZ.Tanggal 11 November 2019)
Hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa koordinasinya
dalam bentuk pertemuan dengan instansi terkait dalam menjalankan
program tersebut. Kemudian Bapeda sebagai Tim sekertariat, dan peran
bapeda adalah dia mengatur semua persoalan administrasi, dokumen
rapat/pertemuan itulah otoritas bapeda kemudian pengembangannya
diserahkan kepada dinas, pemerintah kecamatan, lurah dan desa. Baik dari
pembibitanya sampai kepemasarannya.
82
Untuk melihat seperti apa koordinasi antara organisasi dalam
pengembangan Ksk, dan bagaimana organisasi ini berjalan dan
membangun jaringan baik secara vertikal maupun secara lintas sektor
dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 4.1: Peran Instansi Terakit Dalam Pengembangan KSK.
Pelaksanaan Koordinasi UP-KSK dengan SKPD Kabupaten
Berlangsung pada saat pembahasan perencanaan, Pelaksanaan Program,
dan Evaluasi program-program UP-KSK dan program-program SKPD di
Kawasan Strategi Kabupaten. Tugas dan fungsi pelayanan masyarakat, dan
program-program yang sifatnya Non-Cost Recovery merupakan fungsi dan
fungsi SKPD, sedangkan tugas dan program beriorentasi bisnis di bawah
D
Pemerintah Provinsi Kebijakan dan dorongan tk.provinsi Dukungan dalam penyususnan
kerangka kerja Fasilitasi dukungan, Teknis,
Administrasi dan Keuangan Penciptaan iklim yang kondusif
ksk Pemerintah Kabupatgen
Pengelolaan administrasi Dukungan
terhadapPenyelesaian Persoalan Daerah
Penyelesaian Persoalan Daerah
Keseimbangan Pelayanan Pusat sbg Fungsi dokumentasi
UP-KSK Persiapan rencana Pembangunan Usulan untuk proyek Pengawasan
Pelaksanaan Pemilihan Sub Proyek Persiapan Pra PS Bertindak atas nama
pemerintah Implementasi
Dukungan terhadap Pengembangan KSK oleh Instansi Terkait
83
kendali UP-KSK dalam melaksanakan tugas dibantu oleh sejumlah
manajer. Setiap bagian ini memiliki fungsi dan peran masing-masing:
Kepala UP-KSK bertanggung jawab kepada Tim Koordinasi
Kabupaten mengenai rencana dan Pelaksanaan, Rencana
Pengembangan Kawasan Strategi Kabupaten, serta kinerja
pengelolaan KSK pada umumnya.
Manajer Perencan dan Evaluasi UP-KSK bertanggung jawab
kepada kepala UP-KSK dalam hal perencanaan pengembangan
KSK, serta evaluasi pengembangan KSK.
Manajer Oprasional UP-KSK bertanggung jawab kepada kepala
UP-KSK dalam hal pemasaran dan kerjasama dalam
operasionalisasi pelaksanaan program KSK.
Manajer Keuangan UP-KSK bertanggung jawab kepada Kepala
UP-KSK, dalam hal pengelolaan keuangan
Manajer Umum UP-KSK bertanggung jawab kepada Kepala UP-
KSK dalam hal dan kerumahtanggan.
Kepala Satuan Unit Bisnis (SUB) KSK adalah penanggung jawab
pengelolaan untuk suatu kegiatan bisnis tertentu, yang bertanggung
jawab kepada kepala UP-KSK, melalui manajer UP-KSK yang
bersangkutan. Dalam melaksanakan tugasnya, setiap manager
dibantu oleh bagian dan seksi masing-masing kebutuhan.
Pelaksanaan serta pengelolaan KSK, akan menggunakan dan
melibatkan SKPD yang terkait berdasarkan tupoksinya masing-masing.
84
Untuk itu, tingkat koordinasi sangat diperlukan mutlak adanya. Hal itu,
demi untuk menghindari terjadinya tumpang tindih atas pengelolaan suatu
jenis komoditas. Misalnya, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Perkebunan Kabupaten Bone akan mengurusi kegiatan investasi pada
komoditas unggulan pertanian dan perkebunan di KSK. Dinas Kelautan
dan Perikanan mengurusi kegiatan investasi pada komoditas unggulan
tambak udang/kepiting, rumput laut terutama pada wilayah pelaksanan
budidaya tambak. Dinas Perhubungan, yang banyak konsentrasi tentang
jaringan jalan yang menghubungkan antara satu wilayah dengan lainnya.
Dengan demikian, perekonomian bisa maju karena jarak tempuh dari
tempat produksi kepasar bisa lebih cepat.
Penggerak ekonomi lokal sebagaimana tujuan program KSK alan
lebih dinamis. Pemanfaatan sumber daya lokal akan lebih efektif, karena
semua potensi yang dimiliki diberdayakan berdasarkan kapasitasnya
sebagai kawasan budidaya. Suatu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk membudidayakan komoditas unggulan atas dasar kondisi,
potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.
Pada sisi lain, pengembangn Kawasan Strategi Kabupaten ini dengan
mencermati aspek-aspek pengembangan masyarakat melalui: Pendekatan
Partisipatif yang diarahkan pada penguatan kapasitas masyarakat,
penguatan kelembagaan masyarakat, pengembangan kemitraan, dan lain-
lain. Pengembangan masyarakat semacam itu, diarahkan menuju
masyarakat dengan sikap mental dan perilku produktif, efesienn, peduli
85
lingkungan, serta berwawasan modern, dengan tetap memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai positif yang sudah berkembang di dalam
masyarakat itu sendiri.
Untuk memperoleh suatu rencana pengembangan KSK di Kabupaten
Bone secara menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan, telah disusun pula
berupa: Rencana Induk Pengembangan KSK (lima tahunan) dan Rencana
Pengusahaan/bisnis dalam rencana aksi tahunan. Sementara pengelolaan
Kawasan Strategi Kabupaten yang dilakukan, tetap berpedoman pada
prinsip-prinsip yang diatur dalam Peraturan Mentri Dalam Negeri No.29
Tahun 2008 tentang pengembangan Kawasan Strategi Cepat tumbuh di
Daerah, yaitu:
Penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan
investasi.
Kepastian hokum tentang jaminan keamanan investasi,
kemudahan dan transparansi pengelolaan perijinan usaha melalui
pelayanan satu pintu, keharmonisan hubungan investor dengan
tenaga kerja, keadilan diatara pelaku usaha di hulu dengan di hilir.
Keterpaduan program dan kegiatan instansi sektoral di pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota, dengan kegiatan pelaku usaha
masyarakat sesuai dengan kebutuhan.
Peningkatan keterkaitan bisnis saling menguntungkan antara
pelaku usaha dan antarkawasan, seperti mengupayakan
86
keterkaitan pengembangan pusat pertumbuhan dengan sentra
produksi di kawasan lainnya.
Pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara
optimal dan berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Pengutamaan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi guna
meningkatkan dayaguna dan hasiguna industry pengolahan
didalam negeri berbahan baku lokal dengan tujuan ekspor dalam
bentuk barang jadi.
2. Perilaku Birokrasi Level Bawah (Street Level Bureaucracy)
Salah satu faktor yang memahami implementasi kebijakan program
pengembangan komoditas pada kawasan strategi kabupaten di Kabupaten
Bone adalah perilaku birokrasi level bawah dimensinya yaitu diskresi.
Diskresi adalah kemampuan untuk melaksanakan dan menjalankan
program-program sebagai keputusan penting dengan menggunakan
pengaruh yang lebih dominan diluar kewenagan formal
(diskresi).Sehingga menurut Lipsky; 1980, dalam Parawangi (2011) bahwa
perilaku pelaksanaan kebijakan secara sistematis adakalanya
„menyimpang‟ dari tugas terkait dengan kewenangan selaku pelaksana
kebijakan.Mereka lebih mengutamakan hubungan dengan masyarakat
dalam penyampaian kebijakan. Karena itu, birokrasi level bawah menjadi
aktor yang esensial dalam implementasi kebijakan public, dan kinerjanya
87
sangat konsisten dengan standar program yang berkaitan dengan
aktivitasnya.
Selanjutnya perilaku birokrasi level bawah yang dimaksudkan disini
adalah kemampuan Lembaga kemasyarakatan desa (LKD), Lembaga
pemberdayaan masyarakat desa(LPMD) dan Badan permusyawaratan
desa(BPD), dalam menjalankan program pengembangan komoditas pada
kawasan strategi kabupaten di Kabupaten Bone. Kemampuan LKD,LPMD
dan BPD sebagai implementor program pengembangan komoditas pada
kawasan strategi kabupaten di Kabupaten Bone sudah merupakan
ketetapan dalam program ini. Adapun hasil wawancara ditiga Kecamatan
yaitu Kec. Palakka, Kec. Awangpone dan Kec. Barebbo. Peneliti
melakukan wawancara dengan pihak penyuluh program di Kecamatan
Palakka sebagai berikut:
”Sebagai penyuluh pertanian saya telah mengimplementasikan secara diskresi program pengembangan komoditas dengan melibatkan lembaga-lembaga yang ada di bawah seperti : LKD, LPMD dan BPD itu justru yang melahirkan pengembangan desa mereka semua bersinergi dan alangkah senagnya kami karena mereka bekerja berkelompok dan bisa menyelesaikan hal berat seperti contohnya kemarin ada program tanam padi secara berpindah tempat ketiga lembaga ini bekerja sama dan menyampaikan/mensosialisasikan kepada seluruh kelompok tani/masyarakat petani yang ada diwilayah KSK. tentang bagaimana cara menanam padi yang baik dan bisa meningkatkan produksi petani dan dengan adanya ketiga lembaga ini maka program ini berhasil dijalankan”.(Hasil wawancara AA. Tanggal 3 Desember 2019). Makna hasil wawancara bahwa ini merupakan salah satu peran aktif
ketiga lembaga ini yaitu LKD, LPMD dan BPD. Dalam mensukseskan
program pengembangan komoditas pada KSK. Tanpa adanya lembaga-
88
lembaga ini banyak masyarakat yang tidak mengetahui bagaimana cara
menanam padi yg baik dan bisa meningkatkan produksi petani. Diskresi
menjadi penting bagi penyuluh dalam mengimplementasikan program
pengembanan komoditas kepada pihak-pihak yang terkait.
Selanjutnya peneliti mewawancara dengan pihak penyuluh program
di Kecamatan Awangpone:
“Sebagai penyuluh di bidang peternakan telah mengimplementasikan diskresi program yang berkaitan dengan produksi hasil peternakan sapi, kambing, dan unggas yang sangat potensial untuk diimplementasikan dengan melibatkan pihak yang terkait utamanya dokter hewan, pedagang ternak dan petani ternak guna meningkatkan produksi hasil ternak yang dikelolanya. Karena itu, keterlibatan semua pihak melalui diskresi ini penyuluh mempunyai andil besar untuk memberikan penyuluhan, pencerahan, pendampingan dan konseling sesuai dengan implementasi program tersebut”(Hasil wawancara DA. Tanggal 4 Desember 2019). Hasil wawancara bermakna bahwa diskresi mengenai program
pengembangan komoditas ternak telah teraktualisasikan dengan
melibatkan berbagai pihak untuk membantu penyuluh dalam melakukan
pencerahan, pendampingan dan konseling tentang peternakan dan
peningkatan produksi peternakan.
Peneliti mewawancara dengan pihak penyuluh program di
Kecamatan Barebbo sebagai berikut:
“Sebagai penyuluh bidang perikanan, telah melakukan diskresi yang berkaitan program pengembangan komoditas dalam rangka meningkatkan hasil tangkapan perikanan laut dan menambah pendapatan masyarakat dari aktivitas melaut sebagai nelayan penangkap ikan atau menjual ikan pada pasar untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahtearan nelayan. Pihak level bawah yang terlibat yaitu penyuluh perikanan, pedagang ikan dan masyarakat yang berusaha di bidang perikanan untuk berpartisipasi melakukan pengembangan komoditas perikanan”(Hasil wawancara AB Tanggal 9 Desember 2019).
89
Makna hasil wawancara ini menegaskan bahwa telah
diimplementasikan secara diskresi program pengembangan komoditas di
bidang perikanan untuk melibatkan pihak terkait seperti pengusaha
perikanan, pedagang perikanan, nelayan dan pihak-pihak lainnya untuk
memberikan nilai tambah hasil penangkapan ikan dalam rangka
meningkatkan pendapatan nelayan.
Atas uraian hasil wawancara dan pemaknaan di atas, disimpulan
bahwa telah diimplementasikan program pengembangan komoditas secara
diskresi yang dilakukan oleh penyuluh dan pihak terkait dalam rangka
meningkatkan produktivitas hasil tangkapan ikan dan penjualan ikan untuk
mendapatkan nilai tambah ekonomis bagi masyarakat Bone secara umum
dan nelayan secara khusus.
3. Perilaku Kelompok Sasaran (target grup behavior)
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan kebijakan
program pengembangan komoditas pada kawasan strategi Kabupaten di
Kabupaten Bone adalah perilaku kelompok sasaran dimensinya yaitu
respon positif dan respon negatif.
Perilaku kelompok sasaran tidak hanya memberi pengaruh pada
efek/dampak kebijakan tetapi juga mempengaruhi kinerja aparat tingkat
bawah, jika dampak yang ditimbulkan baik maka kinerja aparat tingkat
bawah juga baik demikian sebaliknya. Perilaku kelompok sasaran meliputi
respon positif dan respon negatif masyarakat dalam mendukung atau tidak
90
mendukung suatu kebijakan yang disertai adanya umpan baik berupa
tanggapan kelompok sasaran terhadap kebijakan yang dibuat.
Adapun hasil wawancara salah satu anggota kelompok tani di
Kecamatan Palakka mengatakan bahwa:
”Respon saya mengenai program KSK ini, saya sangat merespon
dengan baik karena pemerintah masih peduli dengan masyarakatnya, secara tidak langsung pemerintah telah membantu perekonomian masyarakat dan pemerintah telah mengarahkan dan memperlihatkan bagaimana proses pengembangan komoditas unggulan di wilayah KSK masing-masing. Sedangkan respon negatif masih banyak masyarakat belum mengetahui/memahami tentang program pengembangan komoditas ungulan di wilayah KSK”.(Hasil wawancara SR. Tanggal 18 November 2019). Wawancara ini memberi makna bahwa kelompok tani beserta
anggotanya telah mendapatkan penyuluhan sesuai informasi dari pihak
yang mengembangkan tugas untuk meningkatkan produksi komoditas
pertanian dan perkebunan, yang sangat membantu dalam meningkatkan
pendapatan petani dengan menggunakan bibit unggul di wilayah kawasan
strategi kabupaten di Kabupaten Bone.
Demikian pula dengan yang dikatakan salah satu masyarakat petani
di Kecamatan Palakka mengatakan bahwa:
“mendukung program ini akan tetapi kebanyakan yang menerima
bantuan berupa bibit, itu orang-orang tertetentu yang dekat dengan kepala desa”. (Hasil wawancara HR. Tanggal 18 November 2019). Selanjutnya peneliti mewawancara dengan salah satu masyarakat
yang ada di Kecamatan Awangpone mengatakan bahwa:
“saya sangat merespon dengan baik akan tetapi ini perlu
dikembangkan karena banyak kekurangan yang terjadi, contohnya masih ada anggota organisasi yang tidak bekerja secara profesional
91
dan masih mementingkan diri sendiri dari pada kepentingan bersama”. (Hasil wawancara S. Tanggal 19 November 2019). Selanjutnya peneliti mewawancara dengan anggota kelompok
peternak di Kecamatan Awangpone mengatakan bahwa:
“Saya sebagai peternak merasa bersyukur mendapatkan penyuluhan
dari instansi terkait di bidang peternakan yang memberikan banyak informasi tentang cara beternak sapi, kambing dan unggas yang dapat meningkatkan produksi hasil peternak yang sangat membantu dalam mengusahakan bidang peternakan yang saya geluti dan Alhamdulillah hasil produksi ternak saya sangat membantu pendapatan rumah tangga. Untuk itu respon positif dari program ini dapat meningkatkan produksi dan pendapatan saya, sedangkan respon negatif masih perlu peningkatan frekuensi penyuluhan dan pendampingan dalam sosialisasi program. (Hasil wawancara RS. Tanggal 20 November 2019). Makna wawancara ini menegaskan bahwa petani merasakan hasil
program pengembangan komoditas di bidang peternakan, yang sangat
membantu dalam melakukan aktivitas beternak, khususnya dalam
mengupayakan produksi peternakan yang digeluti peternak dan membantu
peternak untuk meningkatkan pendapatannya dari hasil produksi ternak
yang dapat membiayai kebutuhan rumah tangganya.
Peneliti mewawancara dengan anggota kelompok nelayan di
Kecamatan Barebbo sebagai berikut:
“Program pengembangan komoditas ini memberi manfaat dan telah
diimplementasikan oleh para nelayan, khususnya dalam mengusahakan kegiatan perekonomian di bidang perikanan, utamanya bantuan pemberian kapal, alat tangkap ikan, dan tempat penjualan ikan, sehingga saya sebagai nelayan mendapatkan kemudahan untuk melaut menangkap ikan dan menjual hasil tangkapan yang sangat membantu pendapatan rumah tangga. Adapun respon positif dari program ini meningkatkan produksi perikanan dan pendapatan nelayan. Sedangkan respon negatif perlu sosialisasi kebijakan pemerintah atas kegiatan pengelolaan hasil tangkapan ikan nelayan”. (Hasil wawancara AR. Tanggal 21
November 2019).
92
Demikian pula yang dikatakan salah satu masyarakat yang ada di
Kecamatan Barebbo mengatakan bahwa:
“mendukung adanya program tersebut karena kita dikalangan masyarakat dibentuk dalam satu kelompok sehingga kita saling membantu akan tetapi bantuan yang diberikan pemerintah itu belum merata”. (Hasil wawancara SR. Tanggal 21 November 2019). Makna hasil wawancara nelayan merasakan manfaat dan kegunaan
program pengembangan komoditas yang sangat membantu nelayan untuk
melakukan atau pergi melaut menangkap ikan dan hasil produksi
tangkapan ikan dapat dijual dengan tersedianya pasar penjualan ikan di
mana nelayan dapat menjual hasil tangkapannya dan terus termotivasi
untuk meningaktkan hasil tangkapannya. Program pengembangan
komoditas sangat mendukung peningkatan pendapatan nelayan.
Hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa respon positif
atau negatif tentang program pengembangan komoditas pada kawasan
strategi Kabupaten di Kabupaten Bone yaitu kurangnya komunikasi
masyarakat dan pemerintah setempat sehingga masih banyak masyarakat
tidak mengetahui adanya program pengembangan komoditas ini,
masyarakat perlu tahu mengenai program ini, karena program ini sangat
berdampak positif bagi masyarakat itu sendiri, sehingga mampu
meningkatkan prekonomian masyarakat di wilayah KSK khususnya
komoditas pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan, dan
masyarakat sangat mengharapkan kepada pemerintah agar memaksimalkan
hubungan komunikasi atau informasi pemerintah dengan masyarakat
93
supaya masyarakat lebih gampang mendapatkan informasi terkait dengan
pengembangan komoditas unggulan.
94
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai implementasi kebijakan program
pengembangan komoditas pada kawasan strategi kabupaten di Kabupaten Bone.
1. Kebijakan program pengembangan komoditas pada kawasan strategi
kabupaten telah diimplementasikan di Kec. Palakka, Kec. Awangpone, dan
Kec. Barebbo yang memiliki potensi dan prospek untuk meningkatkan
pendapatan dan pengentasan kemiskinan, mengurangi pengangguran dan
pengembangan wilayah di Kabupaten Bone.
2. Perilaku organisasi dan antarorganisasi telah mengimplementasikan
program pengembangan komoditas sesuai dengan komitmen dan
koordinasi. Komitmen implementasi kebijakan program pengembangan
komoditas pada kawasan strategi kabupaten di Kec. Palakka, Kec.
Awangpone dan Kec. Barebbo sudah bagus. Hal tersebut dapat dilihat dari
kerjasama implementor dalam melaksanakan tugasnya. Sedangkan
koordinasi masih menemukan kerumitan karena memerlukan kebijakan
khusus melalui dua atau lebih organisasi. Hal ini belum efektifnya sistem
koordinasi dalam menyediakan data dan informasi mengenai komoditas
unggulan yang dimiliki KSK di Kabupaten Bone
3. Perilaku birokrasi level bawah telah diimplementasikan diskresi perilaku
birokrai level bawah sesuai kemampuan lembaga kemasyarakatan desa
(LKD), Lembaga pembedayaan masyarakatan desa (LPMD), dan Badan
permusyawaratan desa (BPD), dalam menjalankan program
95
pengembangan komoditas pada kawasan strategi kabupaten sudah berjalan
dengan baik, ketiga lembaga-lembaga ini bekerjasama untuk
mensosialisasikan/menyampaikan kepada masyarakat tentang bagaimana
cara pengembangan komoditas unggulan diwilayah KSK di Kabupatten
Bone.
4. Perilaku kelompok sasaran diimplementasikan sesuai respon positif dan
respon negatif respon kelompok tani/masyarakat petani terhadap program
ini bagus dan masyarakat sangat mendukung program ini karena program
ini masyarakat dapat menetahui bagaimana cara bertani, beternak, dan
menagkap ikan yang bagus dan benar untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat diwilayah KSK Kabupaten Bone.
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti memberikan
saran untuk lebih meningkatkan kelancaran dalam implementasi Kebijakan
Program Pengembangan Komoditas Pada Kawasan Strategi Kabupaten Di
Kabupaten Bone khususnya Kecamatan Palakka, Kecamatan Awampone,
Kecamatan Barebbo, di antaranya sebagai berikut:
1. Dalam sebuah organisasi, di butuhkan komitmen yang bagus, agar tercapai
tujuan bersama dalam mengembangkan prekonomian masyarakat khusunya
di Kec.Palakka, Kec. Awangpone dan Kec. Barebbo
2. Para pelaksana (implementor) lebih mematuhi aturan-aturan dalam
implementasi kebijakan program lembaga-lembaga yang ada seperti : LKD,
LPMD dan BPD agar hasilnya benar-benar dinikmati seperti apa yang
menjadi tujuan utamanya.
96
3. lembaga-lembaga LKD, LPMD dan BPD lebih diperhatikan lagi dan di
sosialisasikan karena terdapat masyarakat yang belum mengetahui apa itu
LKD, LPMP dan BPD.
4. Meningkatkan hubungan komunikasi dengan masyarakat agar masyarakat
lebih bisa memahami bagaimana pengembangan komoditas unggulan di
wilayah KSK, dan mengikuti aturan yang sudah ditetapkan lembaga LKD,
LPMD, BPD supaya tujuan utama bisa kita raih bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Apter, Bresnick, 2017. Public Administration. London: ELBS and MacDonald and Evans.
Aan Komariah dan Djam‟an Satori, 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Bandung: Alfabeta.
Djaenuddin, 2014. Pengembangan Kawasan Strategi yang Produktif. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Garbin, Briyan, 2017. Autonomy in Concept and Theory of Public Policy.
Published by American Press, USA.
Hendrik, Hermanto, 2015. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. (Penyunting: Darwin Muhadjir). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Indriyani, Marzuki, 2014. Identifikasi Tantangan Administrasi Publik. Penerbit Pustakajaya, Jakarta.
Miller, J, 2016. Bureacracy Public Administration: Theory and Practice. Published by John Wiley and Sons, California.
Mustari, Nuryanti, 2013. Implementasi Kebijakan Publik , Makassar Membumi Publishing.
Nawi, Rusdin, 2018. Reinventing Government dalam Model Analisis Kebijakan Pelayanan Birokrasi di Indonesia. Jurnal Universitas SatriaMakassar.
Nugroho, Riant, 2016. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta: Elex Media Komputindo.
------------------, 2016. Public Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan dan Manajemen Kebijakan. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Parawangi, Anwar ,2011 ; Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah Di Kabupaten Bone). Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.
Schnider, Goggin, and Ingram, Malcolm L, 2017. Implementation Theory and Practice, Toward a Third Generation. USA: Scott, Foresman and Company Purwanto, Erwan, Agus Sulistyastuti, Dyah Ratih, 2015. Implementasi Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gava Media.
Pratomosunu, S, 2015. Kebijakan Program Pemerintah Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.
97
98
Robbins, Stephen P, 2014. Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi. Alih Bahasa: JusufUdaya, Lic., Ec. Penerbit Arcan, Jakarta.
Suratman,2017. Generasi Implementasi Evaluasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: capiya publishing
Schnider, Goggin, and Ingram, Malcolm L, 2017. Implementation Theory and Practice, Toward a Third Generation. USA: Scott, Foresman and Company
Temmar, R, 2018. Basic Concept of Policy Sciences. New York: Marcel Dekker Inc.
Wahab, Solichin Abdul, 2001. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Askara.
Winter, Soren C, 2004. Implementation Perspectives: Statue and Reconsideration. Dalam Peters, B Guy and Pierre, Jon, 2003. Handbook of Public Administration. London: Sage Publications Ltd.
98
99
L
A
M
P
I
R
A
N
100
Wawancara dengan Sekertaris Camat di Kantor Kecamatan Awangpone
Kabupaten Bone, Ibu Hj. Faidah, S.STP ( Bone, 20 November 2019).
Wawancara dengan Camat Palakka Andi Asman Sulaiman S.Sos, MM di Kantor
Kecamatan Palakka Kabupaten Bone.
101
Wawancara dengan Seketaris Camat di Kantor Kecamatan Palakka Kabupaten
Bone, Bapak H. Arlandy S.Sos ( Bone, 18 November 2019).
Wawancara dengana salah satu kelompok tani Kecamatan Palakka Kabupaten
Bone, Bapak Suradi (Bone, 18 November 2019),
102
Wawancara dengan kasi produksi perkebunan di Kantor Dinas Tanaman pangan,
Holtikultura dan Perkebunan Kabupaten Bone (Bone, 13 November 2019)
Wawancara dengan kasi produksi dan tanaman pangan di Kantor Dinas Pertanian
Tanaman Pangan, Holtikultura dan Perkebunan Kabupaten Bone, (Bone, 13
November 2019).
103
Wawancara dengan salah satu kelompok tani di kecamatan Barebbo Kabupaten
Bone, Bapak pak Ari (Bone 21 November 2019).
104