Skripsi ghufron mustofa 072211022

148
i UPAYA GANTI RUGI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN PEMERKOSAAN (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Dengan Nomor Perkara: 425 /Pid.B/2010/PN Semarang) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syariah Oleh : GHUFRON MUSTOFA NIM: 0 7 2 2 1 1 0 2 2 JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2012

Transcript of Skripsi ghufron mustofa 072211022

i

UPAYA GANTI RUGI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN

HUKUM BAGI KORBAN PEMERKOSAAN

(Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Dengan Nomor

Perkara: 425 /Pid.B/2010/PN Semarang)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi SyaratGuna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1

Dalam Ilmu Syari’ah

Oleh :

GHUFRON MUSTOFANIM: 0 7 2 2 1 1 0 2 2

JURUSAN JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2012

ii

Drs. Rokhmadi, M.AgJl. Jatiluhur Ngesrep Banyumanik SemarangDrs. H. Nur Syamsudin, M.AgJl. Mandasia III No. 354 Krapyak Semarang.

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eks. Kepada Yth.

Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syariah

A.n. Sdr. Ghufron Mustofa IAIN Walisongo Semarang

Di Semarang

Assalamualaikum Wr. Wb.

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini saya kirim

naskah skripsi saudara :

Nama : Ghufron Mustofa

Nim : 072211022

Jurusan : Siyasah Jinayah

Judul Skripsi : Upaya Ganti Rugi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Korban

Pemerkosaan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Perkara

Nomor: 425 /Pid.B/2010/PN. Semarang)

Dengan ini mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqosahkan.

Atas perhatiannya kami ucapkan terima diucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Semarang, 12 Juni 2012

ii

Drs. Rokhmadi, M.AgJl. Jatiluhur Ngesrep Banyumanik SemarangDrs. H. Nur Syamsudin, M.AgJl. Mandasia III No. 354 Krapyak Semarang.

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eks. Kepada Yth.

Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syariah

A.n. Sdr. Ghufron Mustofa IAIN Walisongo Semarang

Di Semarang

Assalamualaikum Wr. Wb.

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini saya kirim

naskah skripsi saudara :

Nama : Ghufron Mustofa

Nim : 072211022

Jurusan : Siyasah Jinayah

Judul Skripsi : Upaya Ganti Rugi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Korban

Pemerkosaan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Perkara

Nomor: 425 /Pid.B/2010/PN. Semarang)

Dengan ini mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqosahkan.

Atas perhatiannya kami ucapkan terima diucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Semarang, 12 Juni 2012

ii

Drs. Rokhmadi, M.AgJl. Jatiluhur Ngesrep Banyumanik SemarangDrs. H. Nur Syamsudin, M.AgJl. Mandasia III No. 354 Krapyak Semarang.

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eks. Kepada Yth.

Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syariah

A.n. Sdr. Ghufron Mustofa IAIN Walisongo Semarang

Di Semarang

Assalamualaikum Wr. Wb.

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini saya kirim

naskah skripsi saudara :

Nama : Ghufron Mustofa

Nim : 072211022

Jurusan : Siyasah Jinayah

Judul Skripsi : Upaya Ganti Rugi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Korban

Pemerkosaan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Perkara

Nomor: 425 /Pid.B/2010/PN. Semarang)

Dengan ini mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqosahkan.

Atas perhatiannya kami ucapkan terima diucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Semarang, 12 Juni 2012

iii

KEMENTRIAN AGAMAINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

FAKULTAS SYARI’AH SEMARANGJl.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp/Fax. (024) 7601291 Semarang 50185

BERITA ACARA MUNAQOSAH

Nama : Ghufron Mustofa

Nim : 072211022

Jurusan : Siyasah Jinayah

Judul Skripsi : Upaya Ganti Rugi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Korban

Pemerkosaan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Dengan

Perkara Nomor: 425 /Pid.B/2010/PN. Semarang)

Telah dimunaqosahkan oleh dewan penguji fakultas syariah institut agama islam

walisongo semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude / baik / cukup,

pada tanggal : 20 Juni 2012.

Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana strata 1 tahun

akademik 2011/2012.

Semarang, 20 Juni 2012

iii

KEMENTRIAN AGAMAINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

FAKULTAS SYARI’AH SEMARANGJl.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp/Fax. (024) 7601291 Semarang 50185

BERITA ACARA MUNAQOSAH

Nama : Ghufron Mustofa

Nim : 072211022

Jurusan : Siyasah Jinayah

Judul Skripsi : Upaya Ganti Rugi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Korban

Pemerkosaan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Dengan

Perkara Nomor: 425 /Pid.B/2010/PN. Semarang)

Telah dimunaqosahkan oleh dewan penguji fakultas syariah institut agama islam

walisongo semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude / baik / cukup,

pada tanggal : 20 Juni 2012.

Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana strata 1 tahun

akademik 2011/2012.

Semarang, 20 Juni 2012

iii

KEMENTRIAN AGAMAINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

FAKULTAS SYARI’AH SEMARANGJl.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp/Fax. (024) 7601291 Semarang 50185

BERITA ACARA MUNAQOSAH

Nama : Ghufron Mustofa

Nim : 072211022

Jurusan : Siyasah Jinayah

Judul Skripsi : Upaya Ganti Rugi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Korban

Pemerkosaan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Dengan

Perkara Nomor: 425 /Pid.B/2010/PN. Semarang)

Telah dimunaqosahkan oleh dewan penguji fakultas syariah institut agama islam

walisongo semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude / baik / cukup,

pada tanggal : 20 Juni 2012.

Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana strata 1 tahun

akademik 2011/2012.

Semarang, 20 Juni 2012

iv

MOTTO

1

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil danberbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, danAllah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran danpermusuhan, Dia memberi pengajaran kepadamu agarkamu dapat mengambil pelajaran.”

1 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya. (Jakarta: Yayasan PeyelenggaraPenterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 415.

v

PERSEMBAHAN

Terucap syukur aku persembahkan kepada Allah SWT. Setelah menempuh

perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan hingga meneteskan air mata disaat

gundah dan gelisah aku persembahkan karya tulis ini untuk orang-orang yang aku

cintai dan aku sayangi, aku persembahkan bagi mereka yang selalu menemani dikala

susah dan senang khusunya buat:

Bapak dan Ibu tercinta, yang telah memberikan kasih sayang dan sabar

memperjuangkan mulai dari kecil hingga dewasa ini demi memperoleh ilmu Allah.

(KH. Umar), yang tidak mengenal lelah dalam mendoakan cucu-cucunya setiap

waktu, sehingga terselesaikan skripsi ini.

Dosen Pembimbing Drs. Rokhmadi, Mag. dan Drs. H. Nur Syamsudin, Mag. yang

telah dengan sabar membimbing dan membantu menyelesaikan karya Ilmiah berupa

skripsi ini.

Adik-adik yang Tersayang “Hasan, Luluk, Hanif, Mahza, Mala, Farida, dan adik

yang Paling Kecil Hadaniyal Muttaqi”

Kakak-kakakku “Mbak Azizah, Mbak Eli, Mbak Puput, Mbak Naja”

Pakde, dan Bude, De Su’ud, De Dikin, De Is dan De Narti

Pak Lek, Bu Lek “ Lek Zanah, Lek Mad, LekKarim, Lek Sub, dan Lek Narko, Lek

Inzana, Lek Elvi, Lek Syifa.

Teman-teman seperjuangan semuanya, Senyum, Canda dan Tawa kalian semua tak

akan pernah terlupakan walau 1000 Pulau memisahkan kita. Q doakan semoga

dimasa mendatang kita bisa menjadi orang yang “BERMANFAAT dan SUKSES”

Semuanya Aku Ucapkan Terima Kasih Karena Sudah Memberikan Motivasi dan

Semangat Sehingga Karya Ilmiah Berupa Skripsi Ini Bisa Terselesaikan.!!!!!

vi

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis

Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang

telah atau pernah ditulis oleh orang lain atau

diterbitkan. Dengan demikian skripsi ini tidak berisi

satupun pikiran orang lain, kecuali informasi yang

terdapat dalam referensi yang menjadi bahan rujukan.

Semarang, 12 Juni 2012

Deklarator,

GHUFRON MUSTOFANIM. 0 7 2 1 1 1 0 2 2

vii

ABSTRAK

Sesuai dengan obyek studi yang diangkat, maka pembahasan dititik beratkanpada ganti rugi terhadap korban perkosaan, dalam hukum pidana Islam maupunhukum pidana Indonesia, terutama hukum pidana Islam yang diharapkan akan mampumemberikan suatu nuansa perlindungan hukum bagi korban perkosaan, yang sampaisekarang belum maksimal dikarenakan KUHP tidak mengatur ganti rugi untuk korbantindak pidana perkosaan, padahal korban perkosaan merupakan pihak yang sangatdirugikan baik secara fisik maupun psikis yang berkepanjangan, belum lagi merekamasih dituntut untuk menjadi saksi di persidangan dalam kasusnya. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dalam kesempatan ini penulis mencoba menuangkannya dalamtugas akhir yang berbentuk skripsi dengan mengangkat beberapa permasalahan, yaituBagaimana upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi korbanpemerkosaan dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.425 /pid.B/2010/PNSemarang menurut hukum pidana Positif dan hukum pidana Islam. Tujuan penulisdengan mengangkat permasalahan yang ada adalah untuk mengetahui perlindunganhukum dalam bentuk ganti rugi bagi korban perkosaan dalam Putusan PengadilanNegeri Semarang: No.425 /pid.B/2010/PN Semarang menurut hukum pidana Positifdan hukum pidana Islam. Sedangkan untuk menemukan suatu solusi permasalahanyang ada penulis menggali data-data dari berbagai referensi kepustakaan yang relevandengan permasalahan kemudian dianalisa. Oleh karena itu dalam skripsi ini penulismenggunakan metode analisa deskriptif analisis. Adapun hasil analisis/pembahasansecara umum dapat digambarkan sebagai berikut:

Perlindungan hukum terhadap korban perkosaan dalam putusan PN semarangNo.425 /Pid.B/2010/PN Semarang menurut hukum positif seharusnya mengacu padaKUHPidana perkosaan diatur dalam Pasal 285 dengan hukuman maksimal 12 tahundan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 81ayat (1) dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara. Karena dalam KUHP maupunUndang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tidak menyebutkanadanya ganti rugi bagi korban pemerkosaan maka korban diberikan hak untukmelakukan upaya-upaya hukum yang diatur secara prosedural dalam: pasal 98KUHAP dan Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi danKorban. Sedangkan para penegak hukum diharapkan untuk mampu melayani parakorban perkosaan melalui sosialisasi-sosialisasi.

Perlindungan hukum menurut hukum pidana Islam adalah berprinsip padakeadilan, kasetaraan (equality before the law) dan kemanusiaan. Dalam Hukum pidanaIslam perkosaan (al Wath bi al Ikrah) fiqih jinayat, pada umumya dikategorikansebagai jarimah hudud, perzinaan yang hukumnya berupa dera atau rajam, maupundikenakan qishas-diat (melukai), berupa ganti rugi yang dituntut oleh korban danditentukan oleh hakim. Oleh karena itu berkaitan dengan prospek hukum pidana Islamdapat diterapkan terhadap korban perkosaan, dalam hukum Pidana Islam pelaku selaindiancam dengan hukuman yang berat berupa had, Rajam dan diasingkan selama satutahun, pelaku juga dikenakan beban ganti rugi berupa mahar atau qishas-diyat(melukai) yang ditentukan oleh hakim.

Kata Kunci: Korban Perkosaan, Ganti Rugi, Perlindungan Hukum.

viii

KATA PENGANTAR

Bismillahhirrahmanirrahim

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Sholawat salam selalu tercurah kehadirat Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah

membawa manusia pada perubahann dari zaman jahiliyah menuju zaman yang

beradap yang penuh dengan perubahan.

Penulis menyadari dalam penbyusunan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa

dukungan semua pihak dengan berbagai bentuk. Sehingga dalam kesempatan ini,

penulis dengan sepenuhnya mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Yang terhormat Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag, selaku Rektor IAIN

Walisongo Semarang.

2. Yang terhormat Bapak DR. H. Imam Yahya, M.Ag, selaku dekan Fakultas

Syari’ah IAIN Walisongo Semarag.

3. Bapak Drs. Mohammad Solek, M.Ag., selaku ketua jurusan (Kajur) Siyasah

Jinayah dan Bapak Rustam Dahar KAH, M.Ag., selaku sekretaris jurusan (Sekjur)

Siyasah Jinayah Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, yang telah

memberikan izin kepada penyusun untuk mengkaji masalah yang penyusun ajukan

dalam bentuk skripsi ini.

4. Bapak Drs. Rokhmadi, M.Ag., selaku pembimbing I dan Bapak Drs. Nur

Syamsudin, M.ag., selaku pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu,

tenaga, serta pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada

penyusun dalam penyusunan skripsi ini.

5. Dosen pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang

dengan tulus, ikhlas tanpa pamrih memberikan bekal keilmuan kepada penyusun

selama masa kuliah, serta anggota civitas Akademika Fakultas Syari’ah IAIN

Walisongo Semarang.

6. Bapak/Ibu dan seluruh karyawan perpustakaan IAIN Walisongo Semarang

maupun perpustakan fakkultas di lingkungan IAIN Walisongo Semarang. Serta

ix

lebih khusus perpustakaan Fakultas IAIN Walisongo, terimakasih atas pinjaman

buku-buku referensi..

7. Ayahanda (Mukari) dan Ibunda (Muslimah) tercinta, yang telah memberikan

kesempatan kepada ananda untuk belajar di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo

Semarang, serta do’a dan motifasi beliau dan kasih sayang-Nya.

8. Keluarga Besar Pondok Pesantren Roudlotul Muta’alimin Boja Kendal, khususnya

kepada KH. Wa’id Wahib Salim Aziz beserta keluarga selaku pengasuh yang telah

memberikan ilmu, nasehat serta do’a agar sukses, sholeh, selamat dunia akhirat.

9. Rekan-rekan dan teman-temanku di Pon-Pes Roudlotul Muta’alimin ( kg daroji, kg

indris, pak amin, kg dayat, kg nasoha, kg tris, kg arif, eko, anas jahlul, toni, dll)

dan semua temen-temen yang berada di seluruh iain walisongo semarang

khususnya satu paket SjB angkaktan 2007 (Sesepuh Yi Faqih, Yanze, Tompel,

Ibad kadabra, Arif, Nasron, Tonying, Cukong, Kholisudin, Fajrin, Nita, Nunik,

kumaidah), Temen Alumni HI Hotel Islam (Tuwek, Menyun, Gendut, Nawir), Kos

Ringin sari serta kelompok RFC Ringin Sari Futsal Club (sesepuh Yi Muhajir,

Latif, Lutfi, Jenggot, Jiki, Jirin, Opat, Dahklan, Darsin, Doni dll), JVC (Jolinggo

Voly Club) dan BSC (Boja Sales Club).

Atas semua kebaikannya penyusun hannya mampu berdo’a semoga Allah

menerima sebagai amal kebaikan dan membalasnya dengan balasan yang lebih baik.

Penyusun juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Semua itu

penyusun mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi sepurnanya skripsi

ini. Akhirnya penyusun berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penyusun

khususnya dan para pembaca umumnya. Amin-amin ya Robbal ‘Alamin.

Semarang, 27 April 2010Penulis

Ghufron MustofaNim : 072211022

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii

HALAMAN DEKLARASI ....................................................................... iv

HALAMAN ABSTRAK ........................................................................... v

HALAMAN MOTTO ................................................................................ vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ vii

HALAMAN KATA PENGANTAR ........................................................... viii

DAFTAR ISI.............................................................................................. xiv

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1

B. Rumusan Masalah..................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 8

D. Telaah Pustaka ......................................................................... 9

E. Metode Penelitian ..................................................................... 12

F. Sistematika Penulisan ............................................................... 17

BAB II : UPAYA GANTI RUGI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGANHUKUM BAGI KORBAN PEMERKOSAAN

A. Tindak Pidana Pemerkosaan Menurut Hukum Positif................. 19

1. Pengertian Tindak Pidana Pemerkosaan dan Jenis-jenisnya . 19

2. Unsur-unsur Tindak pidana.................................................. 28

3. Ketentuan Ganti Rugi Dalam Hukum Pidana Positif ............ 32

B. Tindak Pidana Pemerkosaan Menurut Hukum Pidana Islam...... 31

1. Definisi Jarimah .................................................................. 31

2. Pembagian Jarimah ............................................................. 33

3. Tindak Pidana Zina ............................................................. 42

xi

4. Zina Karena Dipaksa ........................................................... 51

5. Ganti Kerugian (Diyat)........................................................ 55

BAB III : PUTUSAN PENGADILAN NEGERI

SEMARANG:NO.425/Pid.D/2010/PN SEMARANG

A. Profil Pengadilan Negeri Semarang .......................................... 60

B. Tugas dan Wewenang Pengadilan Negeri Semarang ................. 62

C. Proses Penyelesaian Perkara No.425/Pid.B/2010/PN Semarang 65

BAB IV : ANALISIS UPAYA GANTI RUGI SEBAGAI BENTUKPERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN PEMERKOSAANTERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SEMARANG :NO. 425/Pid.B/2010/PN SEMARANG

A. Analisis Tindak Pidana Pemerkosaan ....................................... 80

B. Analisis Ganti Rugi Terhadap Korban Pemerkosaan ................ 94

1. Analisis Terhadap Amar Putusan PN Semarang .................. 94

2. Implikasi Ganti Rugi .......................................................... 106

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................. 126

B. Saran-Saran............................................................................... 128

C. Penutup..................................................................................... 129

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah hukum pidana memang banyak dibicarakan baik dalam teori

maupun praktek bahkan ada usaha untuk memperbaharui KUHP sebagai

usaha pembaharuan hukum Nasional yang bertugas untuk mengatasi

kekurangan dan kelemahan yang ada dalam KUHP karena dianggap sudah

atau kurang sesuai dengan perubahan dan tuntutan perkembangan masyarakat

Indonesia pada umumnya.1

Pembaharuan hukum ini juga melibatkan hukum Islam (Fiqh) yang

secara umum diakui sebagai sumber selain dari hukum adat dan hukum barat,

karena ketiganya mempunyai kedudukan yang sama sebagai pembentukan

hukum nasional.2 Dalam hal ini hukum Islam sebagai sumber hukum telah

mengatur hak-hak yang harus dilindungi oleh setiap manusia agar

mendapatkan jaminan dalam hidupnya di antaranya hak-hak yang paling

utama yang dijamin oleh Islam adalah hak hidup, hak pemilikan, hak

memelihara kehormatan, hak kemerdekaan, hak persamaan dan hak ilmu

pengetahuan.3

1 Ahmad Bahiej, dkk, Pemikiran Hukum Pidana Islam Kontemporer. (Yogyakarta: PokjaAkademik, 2006) hlm. 115.

2 Jimly Asshidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1996),hlm. 135.

3 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1996), hlm.5.

2

Keterangan mengenai hak-hak yang harus dilindungi diatas sesuai

dengan prinsip dasar Islam dengan mengutip ucapan Al-Ghazali dan Ibnul

Qayyim Al-Jauziyah, Al-Ghazali dalam bukunya yang terkenal al-Mustasfha

min ‘Ilm al-Ushul mengatakan:4

“Tujuan agama adalah melindungi kepentingan (kemaslahatan) adalima hal: keyakinan, jiwa, akal, keturunan/kehormatan, dan hartabenda”

Dalam Al-Qur’an Surat al-Nahl ayat 90 sebagai berikut:5

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuatkebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dariperbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan, Dia memberipengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Dan dalam Surat an-Nisa’ ayat 58 sebagai berikut:6

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepadayang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabilamenetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan

4 KH. Husain Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama danGender, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 48.

5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya. (Jakarta: Yayasan PeyelenggaraPenterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 415.

6 Departemen Agama RI, Ibid, hlm. 128.

3

dengan adil, Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu, Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengarlagi Maha melihat.”

Ayat diatas menerangkan bahwa keadilan tidak hanya sebagai hak

tetapi sekaligus sebagai kewajiban, karena perlindungan hukum dalam konsep

hukum pidana Islam berprinsip pada keadilan, kasetaraan (Equality before the

law) dan kemanusiaan. Maka setiap perbuatan yang melanggar hukum harus

diberikan sanksi yang seadil-adilnya.

Prinsip Islam diatas sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur hak-hak asasi manusia pada

pasal 28 d ayat 1, berbunyi:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dankepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapanhukum.”

Dan pasal 28 g ayat (1), berbunyi:

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,kehormatan, maratabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaanya,serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutanuntuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Dari kedua Pasal diatas bisa dipahami bahwa Negara menjamin atas

perlindungan bagi setiap warga negaranya berupa perlindungan diri pribadi,

keluarga, kehormatan, martabat, dan harta bendanya.

Terkait dengan perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan yang

kurang mendapatkan perhatian dan keadilan dari negara yang akhir-akhir ini

sering diberitakan diberbagai media masa seperti Koran, Majalah, Radio dan

Televise, dalam pemberitaan itu perempuan merupakan salah satu pihak yang

4

paling dirugikan, karena selain menderita luka fisik, mereka juga mengalami

keadaan traumatik yang mengganggu psikisnya.

Selain itu penderitaan perempuan (korban) tidak berhenti pada saat

kejahatan itu selesai melainkan mereka (korban) masih harus berusaha sendiri

untuk menyembuhkan lukanya dan juga masih menyediakan dana dan upaya

untuk berperan dalam proses peradilan pidana pada kasusnya. Di lain pihak

perhatian terhadap KUHP pada Hak Asasi Manusia lebih banyak mengarah

pada tersangka atau pelaku kejahatan dan penjatuhan pidana terhadap pelaku

terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan efek penjeraan bagi pelaku

maupun calon pelaku sedangkan korban kejahatan (perkosaan) tidak

mendapatkan perhatian yang memuaskan.

Padahal, didalam hukum positif seperti Negara Inggris, Belanda, dan

Prancis perhatian terhadap korban kejahatan dalam bentuk ganti rugi sudah

berlangsung cukup lama, pemberian ganti rugi tersebut biasa diberikan oleh

wakil dari pelaku atau biasa di sebut Vicarous Liability (pertanggung jawaban

pengganti) dimana pertanggungjawaban yang dibebankan kepada seorang atau

perbuatan pelaku.7 Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No 13

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban dalam pasal 7 mengenai

perlindungan hak saksi dan korban, pasal 7 tersebut berbunyi: 8

7 Lidya Suryani Widyanti, Sri Wurdani dan Heru Wibowo Sukaten, Mereka yangTerlupakan Para Korban Kejahatan Perkosaan,(Bulletin Penalaran Mahasiswa UGMVol.3,No.1Februari1997), hlm. 23. http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=98, di aksespada tanggal 20 Januari 2011.

8 Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

5

1. Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang

berat.b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab

pelaku tindak pidana.2. Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur

dengan peraturan pemerintah.

Sedangkan dalam KUHP sendiri tidak ada sedikitpun aturan yang

mengatur tentang ketentuan ganti kerugian bagi korban kejahatan khususnya

korban pemerkosaan, khusus untuk tindak pidana pemerkosaan diatur dalam

Pasal 285 KUHP yang berbunyi:9

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasanmemaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluarperkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidanapenjara paling lama dua belas tahun”.

Isi Pasal 285 KUHP tersebut jelas menggambarkan bahwa korban

perkosaan belum mendapatkan perlindungan hukum terutama mengenai

kerugian yang dialami korban yang tidak bisa dikembalikan walaupun pelaku

dihukum, dalam hukum Islam ganti rugi kepada korban kejahatan adalah

hukuman denda kepada pelaku tindak pidana, hukuman ini dinamakan qishas

dan diyat (melukai), lebih jelasnya hukum qishas maupun diyat merupakan

hukuman yang tidak ditentukan batasanya, tidak ada batasan terendah dan

tertinggi tetapi menjadi hak perorangan antara korban dan walinya.10

9 Indonesia, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 98.10 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2004), hlm.74.

6

Bentuk perlindungan yang terkait dengan tindak pidana perkosaan

dalam Islam di kenal dengan konsep (al Wath bi al Ikrah) zina karena di

paksa,11 pada umumya dikategorikan sebagai jarimah hudud, untuk kejahatan

perkosaan ini, hanya orang yang melakukan pemaksaan saja yang di jatuhi

hukuman had, para ahli hukum Islam berpendapat bahwa hukuman si

pemaksa itu bisa dijatuhkan baik untuk lelaki maupun untuk perempuan.12

Ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam skripsi ini, bahwa

perkosaan merupakan bentuk kekerasan primitif yang terdapat pada

masyarakat manapun,13 perkosaan adalah tindak kekerasan atau kejahatan

seksual yang berupa hubungan seksual yang dilakukan oleh laki-laki terhadap

perempuan dengan kondisi sebagai berikut: mengancam si korban dan

perbuatan tersebut tanpa dikehendaki si korban. Menurut Adam Chazawi,

perkosaan adalah pemaksaan dan kekerasan yang sering berakibat trauma

yang berkepanjangan pada si korban,14 apalagi korbanya adalah anak yang

masih dibawah umur.

Apabila merujuk pada beberapa pengertian diatas maka tindak pidana

perkosaan merupakan tindak pidana yang didalamnya ada unsur pemaksaan

dari pelaku, baik pemaksaan itu disertai dengan pemukulan atau hanya

11 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban KekerasanSeksual, Advokasi ats Hak Asasi Perempuan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2001), hlm. 137.

12 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003),hlm.125.

13 Eko Prasetyo, Suparman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offest, 1997), hlm. 5.

14 Adam Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2005), hlm. 63.

7

sekedar ancaman, dan orang yang dipaksa bisa disebut dengan korban yang

umumya adalah perempuan yang berhak mendapatkan perhatian serta

perlindungan hukum baik yang bersifat fisik maupun psikis.

Dibawah ini adalah satu contoh kasus dari sekian ribu kasus perkosaan

yang ada di Indonesia yang didalamnya ada unsur pemaksaan dengan

ancaman kekerasan, kasus tersebut sudah diputus oleh Pengadilan Negeri

Semarang dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.425

/pid.B/2010/PN Semarang yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Aryono Bin

Parto Dikromo memaksa anak yaitu Nova Nurwanti Binti Susanto berusia 10

tahun untuk melakukan persetubuhan denganya secara berturut-turut sebanyak

3 (tiga) kali. Setelah sidang di Pengadilan Negeri Semarang, Hakim

memutuskan menjatuhkan pidana kepada terdakwa Aryono bin Parto Dikromo

dengan dengan pidana penjara 7 tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,-

(enam puluh juta rupiah) apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan

kurungan selama 6 (enam) bulan.15

Dari latar belakang diatas penulis tertarik untuk meneliti lebih detail

mengenai ganti rugi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban perkosaan

dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang Dengan Nomer Perkara: No.425

/pid.B/2010/PN Semarang.

15 Isi Putusan Pengadilan Negeri Semarang Perkara Nomor: 425 /pid.B/2010/PN Semarang.

8

B. Pokok Permasalahan

Berangkat dari latar belakang tersebut, maka ada beberapa pokok

masalah yang bisa dikembangkan dan dicari pangkal penyelesaianya,

sehingga dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi

korban pemerkosaan dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.425

/pid.B/2010/PN Semarang menurut hukum Positif?

2. Bagaimana upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi

korban pemerkosaan dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.425

/pid.B/2010/PN Semarang menurut hukum Islam?

C. Tujuan Penulisan Skripsi

Sesuai dengan pokok permasalahan di atas, maka setiap karya ilmiah

pasti ada dasar dan tujuan tertentu, sehingga terwujud tujuan yang di

harapkan.

1. Tujuan Penulisan Skripsi

Adapun tujuan penulisan Skripsi yang penulis harapkan dari

proposal ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan

hukum dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang Perkara Nomor:

425 /pid.B/2010/PN Semarang menurut hukum positif.

b. Untuk mengetahui mengenai ketentuan upaya ganti rugi sebagai

bentuk perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan dalam Putusan

9

Pengadilan Negeri Semarang Perkara Nomor: 425 /pid.B/2010/PN

Semarang menurut hukum Islam.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian yang penyusun harapkan dari

penyusunan proposal ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam

kajian hukum pidana Islam.

b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat yang ingin memperdalam

tentang masalah hukum yang berkembang saat ini.

D. Telaah Pustaka

Mengetahui sejauh mana obyek penelitian dan kajian terhadap

masalah pemberian ganti rugi bagi korban pemerkosaan dalam konsep Islam,

peneliti telah melakukan pra penelitian (telaah) terhadap sejumlah literature,

hal ini di lakukan untuk memastikan apakah ada penelitian dengan tema dan

kajian yang sama, sehingga nanti tidak terjadi pengulangan (repitisi) yang

mirip dengan penelitian sebelumnya.

M Khasbun dalam sekripsinya yang berjudul “Analisis Putusan

Pengadilan Negeri Kendal Nomor 187/Pid.B/2006/Pn.Kdl Tentang “Tindak

Pidana Pemerkosaan Yang Menyebabkan Kematian” dalam karyanya di

jelaskan bahwa Pengadilan Negeri Kendal telah memeriksa dan mengadili

kasus pemerkosaan dengan amar putusan selama 4 (empat) tahun penjara,

dikarenakan pemerkosaan yang menyebabkan kematian. Hukuman 4 (empat)

10

tahun penjara, menurut hukum Islam termasuk dalam jarimah ta’zir, akan

tetapi hukuman ta’zir belum sesuai karena si korban sampai meninggal dunia.

Untuk itu hukuman yang sesuai terhadap terdakwa termasuk jarimah qishas-

diyat yaitu pembunuhan semi sengaja (al-qatl sibh al-‘amd) dengan

hukumannya adalah diyat atau ganti rugi berupa seratus ekor unta/ dua ratus

ekor sapi yang diberikan kepada pihak si korban atau keluarganya dan

membayar kifarat yakni memerdekakan budak atau berpuasa dua bulan

berturut-turut,16 skripsi ini hanya membahas tentang ganti rugi karena adanya

kematian pihak korban yang diperkosa, namun dalam skripsi ini tidak

membahas ganti rugi bagi korban pemerkosaan yang menderita luka fisik

maupun psikis yang berkepanjangan.

Subhan dalam skripsi yang berjudul “Studi Hukum Islam Terhadap

Kejahatan Perkosaan Yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur, (Analisis

Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 647 Pid B 2005 Tentang

Kejahatan Kesusilaan.” Dalam skripsinya diterangkan bahwa pelaku tindak

pidana dihukum ringan yaitu dikembalikan kepada orang tuanya untuk dididik

dan dibina dibawah bimbingan dan pengawasan dari balai pemasyarakatan

kota semarang. Vonis yang dijatuhkan Majelis kepada pelaku perkosaan yang

masih dibawah umur tersebut masih kurang tepat karena tidak sebanding

dengan penderitaan yang dialami wanita korban perkosaan baik secara fisik

16 M. Khasbun, Analisis Putusan Pengadilan Negeri Kendal Nomor 187/Pid.B/2006/Pn.KdlTentang Tindak Pidana Pemerkosaan Yang Menyebabkan Kematian, (Semarang: Skripsi FakultasSyari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo), 2010.

11

maupun psikologis yang berkepanjangan, seharusnya pelaku tidak

dikembalikan kepada orang tuanya walupun dia masih dibawah umur.17

Skripsi ini hampir sama dengan skripsi yang sedang dibahas dengan obyek

pemberatan hukuman bagi pelaku pemerkosaan, akan tetapi dalam skripsi ini

tidak membahas tentang hak-hak wanita korban perkosaan untuk mendapatkan

ganti kerugian baik secara fisik maupun psikis.

Dalam tesis karya Ira Idawati, S.H., yang berjudul “Perlindungan

hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan dalam peradilan pidana”

dijelaskan bahwa kasus tindak pidana perkosaan paling banyak menimbulkan

kesulitan dalam penyelesaianya baik pada tahap penyidikan, penuntutan,

maupun pada tahap penjatuhan pidana tahap penjatuhan putusan. Selain

kesulitan dalam batasan itu, juga kesulitan dalam pemubuktianya misalnya

perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran

orang lain. Walaupun sudah diproses sampai ke pengadilan tetapi kasus-kaus

itu pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana ( KUHP) BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan (pasal 281

s/d 296), khususnya yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan (pasal

285). Permasalahan yang dihadapi oleh korban tindak pidana perkosaan tidak

17 Subhan, Studi Hukum Islam Terhadap Kejahatan Perkosaan Yang Dilakukan Oleh AnakDibawah Umur, (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 647 Pid B 2005 TentangKejahatan Kesusilaan.” (Semarang: Skripsi Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam NegeriWalisongo), 2007.

12

hanya yang terjadi pada dirinya, namun juga terjadi dalam proses hukum

terhadap kasus yang menimpanya. Korban tindak pidana pemerkosaan bisa

menjadi korban ganda dalam proses persidangan dan juga bisa mendapat

perlakuan yang tidak adil dalam proses untuk mencari keadilan itu sendiri.

Dalam tesis ini menjelaskan tentang perlindungan bagi korban

permerkosaan pada saat proses peradilan itu berjalan yang dimana aparat

penegak hukum masih memperlakukan perempuan korban kekerasan

(perkosaan) sebagai obyek, bukan subyek yang harus didengarkan dan

dihormati hak-hak hukumnya dan sesudah proses persidangan itu selesai

korban berhak untuk mendapatkan restitusi dan kompensasi, konseling,

pelayanan/bantuan medis. Akan tatapi dalam skripsi ini penulis akan meneliti

tentang upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi korban

pemerkosaan menurut hukum Islam.18

E. Metode Penelitian

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Jenis Penelitian

Berdasarkan jenisnya penelitian ini merupakan penelitian hukum

normatif atau disebut juga dengan penelitian kepustakaan (Library

18 Ira Dwiati, Perlindugan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan DalamPeradilan Pidana, (Semarang: Tesis Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana UniversitasDiponegoro), 2007.

13

Research),19 yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber

sumber tertulis,20 dengan mengkaji dokumen atau sumber tertulis seperti

buku, majalah, jurnal yang ada hubunganya dengan judul skripsi yaitu

upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi korban

perkosaan.

2. Sifat penelitian

Berdasarkan sifatnya penelitian ini bersifat diskriptif,21yaitu

memaparkan dan menjelaskan data yang berkaitan dengan pokok

pembahasan, kemudian menguraikan segala sesuatunya dengan cermat dan

terarah mengenai upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum

bagi korban pemerkosaan.

3. Sumber Data

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subyek

dari mana data itu diperoleh,22 data yang penulis gunakan adalah data

Kualitatif, yaitu data yang tidak berbentuk angka,23 data tersebut ada 2

macam yaitu:

19 Library Research menurut Bambang Waluyo adalah metode tunggal yang dipergunakandalam penelitian hukum normatif.

20 Bambang Waluyo, S.H., Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,2002), hlm. 50.

21 Soeharso dan Ana Retnonongsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: WidyaKarya, 2005), hlm. 121.

22 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. 13, (Jakarta:PT. Rineka Cipta, 2000), hlm. 129.

23 Rianto Adi, Metodologi Pelitian Social Dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004, Cet. 1), hlm.56.

14

a. Data primer, yaitu penelusuran dan inventarisasi data yang bersumber

pada literarur yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti guna

mendapatkan konsep tentang persoalan yang akan dijadikan obyek

pelelitian,24 yaitu Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.425

/pid.B/2010/PN Semarang.

b. Data sekunder, yaitu data yang sudah dalam bentuk jadi, seperti data

dalam bentuk dokumen dan publikasi, misalnya buku-buku, surat-

surat, catatan harian, laporan, dan sebagainya,25 yang ada kaitanya

dengan tema yang sedang dibahas yakni ganti rugi sebagai bentuk

perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan.

4. Pengumpulan Data

Dan ini penulis menggunakan pengumpulan data sebagai berikut:

a. Observasi

Metode ilmiah biasa diartikan sebagai pengamatan, pencatatan

dengan sistematik melalui fenomena-fenomena yang diselidiki,26yaitu

metode pengumpulan data dengan pengamatan dokumen yang ada

hubungannya dengan pokok pembahasan berupa arsip, peraturan

perundang-undangan, catatan buku-buku, surat-kabar atau majalah dan

lain sebagainya.

24 Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset, Cet. 7, (Bandung: Mandar Maju, 1996),hlm. 33.

25 Rianto Adi, Op, Cit, hlm. 61.26 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid.2, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas

UGM, 1998), hlm. 136.

15

b. Dokumentasi

Metode pengumpulan data melalui benda-benda tertulis yaitu

mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa; (Putusan

Pengadilan Negeri Semarang: No.425 /pid.B/2010/PN Semarang),

perundang-undangan, catatan buku-buku, surat kabar atau majalah,

notulen, agenda, dan lain-lain yang dapat memberikan gambaran

fakta,27 metode dokumentasi ini digunakan untuk memperoleh data

yang diperlukan dari dokumen.

5. Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam upaya ganti rugi sebagai

bentuk perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan dalam Putusan

Pengadilan Negeri Semarang: No.425 /pid.B/2010/PN Semarang

menggunakan metode deskriptif analisis yaitu metode yang menjelaskan

suatu obyek permasalahan secara sistematis, memberikan analisa secara

cermat, kritis, luas dan mendalam terhadap obyek kajian,28 dengan cara

berfikir dengan metode sebagai berikut:

a. Metode Deduktif

Berfikir deduksi adalah proses pendekatan yang berangkat dari

kebenaran umum suatu fenomena (teori) mengenaralisasikan kebenaran

tersebut pada suatu peristiwa atau data tertentu yang berciri sama

27 Suharsimi Arikunto, Op, Cit, hlm. 231.28 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet. 4, (Yogyakarta: Gajah Mada

University, 1993), hlm. 63.

16

dengan fenomena yang bersangkutan (prediksi).29 Dengan kata lain

deduksi berarti faktor yang bersifat umum, kemudian diterapkan kepada

kenyataan yang bersifat khusus yaitu disimpulkan dalam pengertian

khusus.30 Metode ini digunakan pada bab II, III dan IV.

b. Metode Induktif

Berfikir induksi adalah metode berfikir berangkat dari faktor-faktor

yang bersifat khusus dan peristiwa-peristiwa konkrit, kemudian dari

faktor-faktor yang bersifat khusus dan peristiwa-peristiwa konkrit

tersebut ditarik generalisasi-generalisasi yang mempunyai sifat

umum,31 metode ini digunakan pada bab III dan IV.

c. Metode Content Analisis

Metode conten analisis adalah metode yang digunakan untuk

analisis data dan pengolahan data secara ilmiah tentang isi sebuah pesan

dari suatu komunikasi,32 metode ini digunakan pada bab IV.

Sedangkan metode analisis dengan pendekatan yang digunakan

untuk analisis data yaitu upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan

hukum bagi korban pemerkosaan dalam Putusan Pengadilan Negeri

Semarang: No.425 /pid.B/2010/PN Semarang berdasarkan teori hukum

adalah dengan menggunakan metode pendekatan normatif, yaitu suatu

29 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Cet. 3, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm.40.

30 Sutrisno Hadi, Op, Cit., hlm. 36.31 Ibid, hlm. 42.32 Noeng Muhadjir, Motode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), hlm.

49.

17

prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan

logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.33 Metode analisis dengan

pendekatan ini digunakan dalam bab IV.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan kemudahan terhadap pembahasan yang teliti,

penyusun akan mensistematika skripsi ini dengan membagi tema menjadi

beberapa bagian. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan beberapa katagori

dalam pembahasan sebagai berikut:

1. Bagian Muka

Bagian muka ini terdiri dari: halaman judul, halaman nota

Pembimbing, halaman nota pengesahan, halaman motto, halaman

persembahan, halaman deklarasi, halaman abstrak, halaman kata

pengantar, dan halaman daftar isi.

2. Bagian Isi, terdiri dari:

Bab I: Pendahuluan. bab ini meliputi: latar belakang masalah,

rumusan masalah, telaah pustaka, tujuan penulisan skripsi, metode

penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.

Bab II: Upaya Ganti Rugi Sebagai Bentuk Perlindungan Bagi

Korban Pemerkosaan Dalam Hukum Positif dan Hukum Islam, A. Tindak

pidana pemerkosaan menurut hukum Positif, sub bab ini meliputi:

33 Johni Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normative, (Maltang: BayuMedia Publising, 2005), hlm. 57.

18

pengertian tindak pidana perkosaan dan jenis-jenisnya, pengertian korban

pemerkosaan dan jenis-jenisnya, ketentuan ganti rugi dalam hukum

Positif, B. Tindak pidana zina menurut hukum Islam, sub bab ini meliputi:

definisi jarimah, tindak pidana zina, zina karena dipaksa, ganti rugi

(diyat).

Bab III: Putusan Pengadilan Negeri Semarang Dengan Nomer

Perkara: No.425 /pid.B/2010/PN Semarang. bab ini, meliputi tentang

profil Pengadilan Negeri Semarang, tugas dan kewenangan Pengadilan

Negeri Semarang, proses penyelesaian perkara Nomor.425/pid.B/2010/PN

Semarang.

Bab IV: Analisis ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum

bagi korban perkosaan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Semarang

dengan nomer perkara: 425 /pid.B/2010/PN Semarang. bab ini, meliputi:

analisis tindak pidana pemerkosaan. Analisis ganti rugi terhadap korban

perkosaan dengan sub bab meliputi analisa terhadap amar putusan

Pengadilan Negeri No.425 /pid.B/2010/PN Semarang, implikasi ganti

rugi.

Bab V: Penutup. Merupakan bab terakhir yang berisi: kesimpulan,

saran-saran dan diakhiri dengan penutup.

3. Bagian Akhir

Bagian Akhir terdiri dari: Daftar pustaka, daftar riwayat

pendidikan penulis dan lampiran-lampiran.

19

BAB II

UPAYA GANTI RUGI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM

BAGI KORBAN PEMERKOSAAN

A. Tindak Pidana Pemerkosaan Menurut Hukum Positif

1. Pengertian Tindak Pidana Pemerkosaan Dan Jenis-Jenisnya

Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti

mencuri, memaksa, merampas. Perkosaan adalah suatu usaha untuk

melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap

perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum.

Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan di dalam pasal 285

KUHP disebutkan bahwa:1

"barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksaseorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancamkarena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama duabelas tahun.Pada pasal ini perkosaan didefinisikan bila dilakukan hanyadi luar perkawinan".

Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum

perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi, pada saat belum terjadi

penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan tetapi

masuk dalam kategori pencabulan,2 tindak pidana perkosaan yang diatur

dalam Pasal 285 KUHP itu ternyata hanya mempunyai unsur-unsur

1 Indonesia, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm 89.2http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Pelaku%20Pemerkosaan%20Pantas%20Di

hukum%20Berat&&nomorurut_artikel=452/di akses tgl 6 Januari 2012.

20

obyektif, yaitu: unsur barang siapa, dengan kekerasan, dengan ancaman

akan memakai kekerasan, memaksa, seorang wanita, mengadakan hubungan

kelamin diluar perkawinan, dengan dirinya.3

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S

Poerwadarminta, pengertian perkosaan dilihat dari/ asal kata yang apat

diuraikan sebagai berikut:4

a. Perkosa : gagah; paksa; kekerasan; perkasa

b. Memperkosa : 1) Menundukan dan sebagainya dengan kekerasan.

2) Melanggar (menyerang dsb) dengan kekerasan

c. Perkosaan : 1) Perbuatan memperkosa, penggagahan dengan paksaan

2) Pelanggaran dengan kekerasan.

Kata perkosaan sebagai terjemahan dari aslinya (Belanda)

“verkarchting” yakni perkosaan untuk bersetubuh, oleh karena itu menurut

beliau kualifikasi yang tepat untuk Pasal 285 KUHP ini adalah perkosaan

untuk bersetubuh. Apabila rumusan perkosaan ini dirinci terdiri dari unsur-

unsur sebagai berikut: 5

a. Perbuatanya : memaksa

b. Caranya : 1) dengan kekerasan

2) ancaman kekerasan

3 P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus, Tindak-Tindak Pidana Melanggar Norma-NormaKesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 108.

4 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN BalaiPustaka, 1984), hlm. 741.

5 Adam Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2007), hlm. 63.

21

c. Objek : seorang perempuan bukan istrinya

d. Bersetubuh dengan dia

Menurut Soetandyo Wingnjosoebroto bahwa “perkosaan” adalah

suatu usaha melampiaskan hawa nafsu seksual oleh seorang laki-laki

terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan/ atau hukum

yang berlaku adalah melanggar hukum.6

Wirdjono Prodjodikoro, mengungkapkan bahwa perkosaan adalah:

Seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya

untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat

melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu.7

Nursyahbani Kantjasungkana, berpendapat bahwa perkosaan adalah

salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan contoh

kerentanan posisi perempuan terhadap kepentingan laki-laki.8

Back’s Law Dictionary, yang dikutip oleh Topo Santoso, merumuskan

perkosaan atau rape sebagai berikut: 9

“Hubungan seksual yang melawan hukum/tidak sah dengan seorangperempuan tanpa persetujuannya, persetubuhan secara melawanhukum/tidak sah terhadap seorang perempuan oleh seorang laki-lakidilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendaknya,tindak persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadapseorang perempuan bukan istrinya dan tanpa persetujuannya,

6 Eko Prasetyo, dan Suparman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan,(Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset, 1997), hlm. 25.

7 Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung:Eresco, 1986), hlm. 117.8 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual,

Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2001), hlm. 65.9 Topo Santoso, Seksualitas Dan Hukum Pidana, (Jakarta: IND. HILL-CO, 1997), hlm. 17.

22

dilakukan ketika perlawanan perempuan tersebut diatasi dengankekuatan dan ketakutan atau di bawah keadaan penghalang.”

Walaupun didalam rumusanya Pasal 285 KUHP tidak mensyaratkan

adanya unsur kesengajaan akan tetapi dicantumkan unsur “memaksa” maka

tindak pidana perkosaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 285 KUHP itu

harus dilakukan dengan sengaja. Karena seperti yang telah diketahui dalam

Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja maka dengan

sendirinya kesengajaan itu harus dibuktikan oleh penuntut umum atau

hakim di sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku

bahwa telah didakwa melanggar larangan yang diatur dalam pasal KUHP.10

Pengertian perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang

ditujukan pada orang lain dengan menekankan kehendak orang lain itu agar

orang lain itu tadi menerima kehendak orang yang menekan atau dengan

kehendaknya sendiri. 11

Perbuatan memaksa menurut Pasal 285, yakni bersetubuh dengan dia,

atau bersedia di setubuhi, demikian juga memaksa pada Pasal 289 dalam hal

membiarkan dilakukan perbuatan cabul, sementara itu untuk yang kedua

misalnya terdapat pada Pasal 368 (pemerasan), Pasal 369 (pengancaman)

dimana perbuatan memaksa ditujukan agar orang yang dipaksa melakukan

10 P.A.F. Lamintang, Op, Cit, hlm. 109.11 Adam Chazawi, Lok, Cit.

23

perbuatan yang sama dengan kehendaknya, yakni menghapuskan piutang

dan membuat utang.12

Jenis-jenis pemerkosaan dapat digolongkan sebagai berikut: 13

1) Sadistic Rape

Yakni perkosaan pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam

bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati

kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya melainkan melalui

serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban;

2) Anger Rape

Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas yang menjadi

sarana untuk menyatakan dan melampiaskan rasa geram dan marah

yang tertahan. Tubuh korban disini seakan- akan merupakan obyek

terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas frustasi-

frustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya;

3) Domination Rape

Yakni suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk

gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban, tujuannya

adalah penaklukan seksual pelaku menyakiti korban namun tetap

memiliki keinginan berhubungan seksual;

4) Seductive Rape

Yakni suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang

12 Lok, Cit.13 Eko Prasetyo, dan Suparman Marzuki, Op, Cit, hlm. 103.

24

merangsang yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya

korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak

sampai sejauh persenggamaan, pelaku pada umumnya mempunyai

keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tidak

mempunyai perasaan bersalah yang menyangkut seks;

5) Victim Precipitated Rape

Yakni perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan

korban sebagai pencetusnya;

6) Exploitation Rape

Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan

hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil

keuntungan yang berlawanan dengan posisi perempuan yang

bergantung padanya secara ekonomis dan social. Misalnya istri yang

diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa

oleh majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan atau

mengadukan kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.

Beberapa macam karakteristik umum tindak pidana perkosaan: 14

1) Agresivitas, merupakan sifat yang melekat pada setiap perkosaan.

2) Motivasi kekerasan lebih menonjol dibandingkan dengan motivasi

seksual semata-mata.

3) Secara psikologis, tindak pidana perkosaan lebih banyak mengandung

14 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban KekerasanSeksual, Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2001), hlm. 48.

25

masalah kontrol dan kebencian dibandingkan dengan hawa nafsu.

4) Tindak pidana perkosaan dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu:

anger rape, power rape dan sadistis rape. Dan ini direduksi dari anger

dan violation, control and domination, erotis.

5) Ciri pelaku perkosaan: mispersepsi pelaku atas korban, mengalami

pengalaman buruk khususnya dalam hubungan personal (cinta), terasing

dalam pergaulan sosial, rendah diri, ada ketidakseimbangan emosional.

6) Korban perkosaan adalah partisipatif. Menurut Meier dan Miethe, 4-

19% tindak pidana perkosaan terjadi karena kelalaian (partisipasi)

korban.

7) Tindak pidana perkosaan secara yuridis sulit dibuktikan.

Jenis-jenis perkosaan juga dapat dibedakan menjadi:15

1) Perkosaan yang pelakunya sudah dikenal korban

a) Perkosaan oleh suami atau mantan suami

Perkosaan juga dapat terjadi dalam suatu perkawinan, karena suami

maerasa berhak untuk memaksa istrinya berhubungan seks kapan

saja sesuai dengan keinginannya tanpa mempedulikan keinginan

sang istri. Bahkan tidak jarang terjadi banyak mantan suami yang

merasa masih berhak untuk memaksakan hubungan seks pada

mantan istrinya;

15 Ira Dwiati, Perlindugan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan DalamPeradilan Pidana, (Semarang: Tesis Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana UniversitasDiponegoro, 2007), hlm. 41-42.

26

b) Perkosaan oleh teman kencan atau pacar

Teman kencan atau pacar bisa memaksa korban untuk

berhubungan seks dengan berbagai dalih karena ia sudah

menghabiskan uang untuk menyenangkan korban, karena mereka

pernah berhubungan seks sebelum itu, karena korban dianggap

sengaja memancing birahi, atau karena si pacar sudah berjanji akan

mengawini korban. Ajakan untuk berhubungan seks masih termasuk

wajar bila si perempuan masih punya kesempatan untuk menolak

dan penolakannya itu dihormati oleh pacarnya. Bujuk rayu pun

masih bisa dianggap normal bila kegagalan membujuk tidak diikuti

oleh tindakan pemaksaan tetapi kalau pacar perempuan itu sampai

memaksakan kehendaknya, itu sudah berarti suatu kasus perkosaan,

sekalipun oleh pacar sendiri, jika perempuan itu sudah menolak dan

berkata “tidak” tapi pacarnya neka melakukann yaitu berarti

perkosaan. Kasus perkosaan seperti ini sangat jarang didengar orang

lain karena korban malu dan takut dipersalahkan orang.

c) Perkosaan oleh atasan/majikan

Perkosaan terjadi antara lain bila seorang perempuan dipaksa

berhubungan seks oleh atasan atau majikannya dengan ancaman

akan di PHK bila menolak, atau dengan ancaman-ancaman lain

yang berkaitan dengan kekuasaan si atasan atau majikan.

d) Penganiayaan seksual terhadap anak-anak

27

Seorang anak perempuan atau anak laki-laki dapat diperkosa oleh

lelaki dewasa dan masalah ini sangat peka dan sulit karena anak-anak

yang menjadi korban tidak sepenuhnya paham akan apa yang

menimpa mereka, khususnya bila anak itu mempercayai pelaku.

Kalaupun si anak melapor kepada ibu, nenek atau anggota keluarga

yang lain, besar kemungkinan laporannya tidak digubris, tak

dipercaya, bahkan dituduh berbohong dan berkhayal, biasanya

mereka menyangkal kejadian itu hanya dengan alasan “tidak”

mungkin bapak/kakek/paman/dsb tega berbuat begitu”.

2) Perkosaan oleh orang tak dikenal16

Jenis perkosaan ini sangat menakutkan, namun lebih jarang terjadi

dari pada perkosaan dimana pelakunya dikenal oleh korban, jenis

perkosaan ini dapat dibedakan, yaitu:

a) Perkosaan beramai-ramai

Seorang perempuan bisa disergap dan diperkosa secara bergiliran

oleh sekelompok orang yang tidak dikenal. Ada kalanya terjadi

perkosaan oleh satu orang tidak dikenal kemudian orang-orang

lain yang menyaksikan kejadian tersebut ikut melakukannya.

Seringkali terjadi beberapa orang remaja memperkosa seorang gadis

dengan tujuan agar mereka dianggap “jantan” atau untuk

membuktikan “kelelakian” nya.

16 Ibid, hlm. 42.

28

b) Perkosaan di penjara

Di seluruh dunia banyak perempuan diperkosa oleh polisi atau

penjaga penjara setelah mereka ditahan atau divonis kurungan.

Bahkan perkosaan juga umum terjadi antar penghuni lembaga

pemasyarakatan laki-laki untuk menunjukkan bahwa si pemerkosa

lebih kuat dan berkuasa daripada korbannya.

c) Perkosaan dalam perang atau kerusuhan

Para serdadu yang sedang berada di tengah kancah pertempuran

sering memperkosa perempuan di wilayah yang mereka duduki,

untuk menakut-nakuti musuh atau untuk mempermalukan mereka.

Perkosaan beramai-ramai dan perkosaan yang sistematis (sengaja

dilakukan demi memenuhi tujuan politis atau taktis tertentu),

misalnya kejadian yang menimpa kaum perempuan Muslim Bosnia.

Tujuan perkosaan semacam ini adalah untuk unjuk kekuatan dan

kekuasaan di hadapan musuh.

2. Pengertian Korban Perkosaan dan Jenis-Jenisnya

Resolusi PBB No. 40/43 Tahun 1985 mendefinisikan korban sebagai

seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/kerugian psikis

maupun ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.17Menurut

pasal 1 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, korban adalah

17 Faqihudin, Perlindungan Terhadap Korban Pemerkosaan Anak Dibawah Umur,(Semarang: Makalah Viktimologi Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo,2010), hlm. 2.

29

seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/ kerugian

ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.18 Menurut kamus

bahasa Umum Bahasa Indonesia, korban adalah orang yang menderita

kecelakaan karena perbuatan hawa nafsu sendiri atau orang lain.19

Didalam bukunya Arif Gosita diterangkan bahwa yang dimaksud

dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah maupun rohaniah

sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan

diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak

asasi yang menderita. Mereka disini dapat berarti: individu, atau kelompok

baik swasta maupun pemerintah. Selain itu korban juga diartikan bukan

hanya terbatas pada perseorangan atau kelompok yang mengalaminya

secara langsung tetapi juga menyangkut orang secara tidak lansung seperti

keluarga korban yang menjadi tanggunganya.20

Khusus untuk korban perkosaan, derita yang dialaminya tidak dapat

dibandingkan dengan korban perampokan, pencurian, atau penjambretan.

Korban semacam ini umumnya terbatas kehilangan harta benda, relative

tidak menderita batin dan tekanan social berkepanjangan. Namun sebaliknya

korban perkosaan, mereka kehilangan harga kehormatan, harga diri yang

tidak mungkin bisa diganti, dibeli atau disembuhkan sekalipun mencincang

18 Indonesia, Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban,hlm. 3.

19 W.J.S. Poerwadarminta, Loc. Cit.20 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Persindo, 1983), hlm. 41.

30

pelaku hingga mati.21 Lebih-lebih korban perkosaan adalah anak-anak

dibawah umur, mereka akan mengalami penderitaan yang lebih berat lagi,

sebab kekerasan yang dialaminya akan menjadi trauma yang membayangi

perjalanan hidupnya, kalau bertemu dengan kaum laki-laki, mereka tidak

hanya membencinya, tapi juga takut menjalin relasi denganya.22

Perkembangan ilmu viktimologi mengajak masyarakat untuk lebih

memperhatikan posisi korban kejahatan juga memilah-milah jenis korban

kejahatan hingga kemudian munculah berbagai jenis korban, yaitu: 23

1) Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya

penanggulangan kejahatan;

2) Latent Victims, yaitu mereka mempunyai sifat karakter tertentu sehingga

cenderung menjadi korban;

3) Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya

memudahkan dirinya menjadi korban;

4) Proacative victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu

sehingga cenderung menjadi korban;

5) False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang

dibuatnya;

Menurut Arif Gosita, jenis-jenis korban perkosaan adalah sebagai

berikut: 24

21 Eko Prasetyo, dan Suparman Marzuki, Op, Cit, hlm. 102.22 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm.79.23 Dikdik M. Arief, d a n Mansur Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban

Kejahatan- Antara Norma dan Realita, (Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 2007), hlm. 49.

31

1) Korban murni

a) Korban perkosaan yang belum pernah berhubungan dengan pelaku

sebelum perkosaan.

b) Korban perkosaan yang pernah berhubungan dengan pihak pelaku

sebelum perkosaan.

2) Korban Ganda

Adalah korban perkosaan selain mengalami penderitaan selama

diperkosa, juga mengalami berbagai penderitaan mental, fisik, dan sosia,

misalnya: mengalami ancaman-ancaman yang mengganggu jiwanya,

mendapat pelayanan yang tidak baik selama pemeriksaaan pengadilan,

tidak mendapat ganti kerugian, mengeluarkan uang pengobatan,

dikusilkan dari masyarakat karena sudah cacat khusus, dan lain-lain.

3) Korban Semu

Adalah korban yang sebenarnya sekaligus juga pelaku, ia berlagak

diperkosa dengan tujuan mendapat sesuatu dari pelaku.

Khusus untuk korban kejahatan perkosaan, baik dari jenis korban

murni, korban ganda, dan korban semu, posisi wanita masih selalu berada

pada pihak yang dilematis karena kalau menuntut melalui jalur hukum,

mengundang konsekuensi selain sering berbelit-belit juga merasa malu

karena terpublikasikan, selain itu sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak

menyediakan pidana ganti kerugian bagi korban perkosaan, jadi posisi

24 Ira Dwiati, Op, Cit, hlm. 48.

32

wanita dalam hal ini wanita korban perkosaan tetap pada posisi tidak

diuntungkan sebagai korban kejahatan.25

3. Ketentuan Ganti Rugi Dalam Hukum Pidana Positif

Ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana namun

antara keduanya memiliki perbedaan, Dalam hukum pidana, ruang lingkup

pemberian ganti kerugian lebih sempit dibandingkan dengan pemberian

ganti kerugian dalam hukum perdata. Ganti kerugian yang akan dibicarakan

dalam skripsi kali ini adalah ganti kerugian dalam hukum Pidana.

Ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti

kerugian dalam hukum pidana karena ganti kerugian dalam hukum perdata

(mengacu pada pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah

mengembalikan penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum

kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat terjadi. Dalam hukum perdata

ganti kerugian bisa dimintakan setinggi tingginya (tidak ada jumlah

minimum dan maksimum) mencakup kerugian materil dan kerugian

immaterial.

Sedangkan ganti kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap

ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang

immateril itu tidak termasuk. Ganti kerugian dalam hukum pidana dapat

diminta terhadap 2 perbuatan, yaitu karena perbuatan aparat penegak hukum

25 Eko Prasetyo, dan Suparman Marzuki, Op, Cit, hlm. 166.

33

dan karena perbuatan terdakwa.26 Pada umumnya ganti kerugian dalam

proses pidana berkenaan dengan penangkapan dan penahanan serta

tindakan-tindakan lainya yang bertentangan dengan hukum, yang dilakukan

oleh aparat penegak hukum diatur dalam pasal 9 ayat 1 UU No. 14 tahun

1970, pasal ini menyediakan prosedur ganti rugi bagi mereka yang

ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili,27 selanjutnya diatur dalam Pasal 95

KUHAP Ayat 1 dan 2.28

Sedang ganti kerugian bagi mereka yang menjadi korban pelanggaran

hukum pidana (victim of crime), biasanya dikategorikan sebagai masalah

Perdata29 padahal apabila mengacu pada hukum pidana materiil antara lain

ketentuan yang berkaitan dengan pidana bersyarat yang diatur dalam Pasal

14 c KUHP. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa hakim dapat

menjatuhkan pidana bersyarat dengan syarat umum dan syarat khusus yang

26http://wawasanhukum.blogspot.com/2007/06/ganti-kerugian-dan-rehabilitasi.html, Ditulis oleh: Diah Lestari P dan Theodora YSP, diakses pada tangga l 2 April 2012.

27 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Siatem Peradilan Pidana, (Semarang:Universitas Diponegoro, 1997), hlm. 183.

28 Pasal 95 ayat 1: tersangka terdakwa atau terpidana berhak menuntut, gati kerugian karenaditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan tindakan lain, tanpa alas an yangberdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yangditetapkan. Ayat 2: tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapanatau penahanan serta tindakan lain tanpa alas an yang berdasarkan undang-undang atau karenakekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimna dimaksud dalam ayat 1 yangperkaranya diajukan ke pengadilan negri, diputus disidang pra peradilan sebagaimana dimaksusdalam pasal 77 ayat 3: tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diajukan olehtersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadiliperkara yang bersagkutan. Indonesia, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: SInar Grafika, 2007), hlm.237-238.

29 Djoko Prakoso, Masalah Ganti Rugi Dalam KUHAP, (Jakarta: Bina Akasara, 1988), hlm.106.

34

harus dipenuhi selama masa percobaan.30 Selanjutnya dalam undang-undang

No. 3 tahun 1971.31Adapun ketentuan ganti kerugian lainya dapat dijumpai

dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Nomor 76, terutama dalam

Pasal 1 ayat 10 c, Pasal 1 butir 22.32

Selanjutnya ketentuan ganti kerugian kepada korban kejahatan diatur

dalam pasal 98 KUHAP Ayat 1 dan 2,33 yang menyebutkan bahwa jika

suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam pemeriksaan perkara

pidana oleh Pengadilan Negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain maka

hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk

menggabungkan perkara ganti kerugian itu kepada perkara pidana. Asas

penggabungan perkara pidana dan gugatan ganti rugi ini bercorak perdata,

merupakan hal baru dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, gugatan

ganti rugi perdata ini berupa:34

30 Syarat khusus tersebut berupa kewajiban bagi terpidana untuk mengganti segala atausebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam waktu tertentu. Lihat: Prof. Dr.Muladi, S.H, Ibid, hlm. 183.

31 Terdapat pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya samadengan harta benda yang diperoleh dari korupsi. Muladi, Ibid, hlm. 184.

32 Pasal 1 ayat 10 c: pra peradilan adalah wewenang pengadilan negri untuk memeriksa danmemutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang permintaan ganti kerugianatau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranyatidak diajukan ke pengadilan. Pasal 1 butir 22: ganti kerugian adalah hak seseorang untukmendapat pemenuhan atas tuntutanya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap,ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alas an yang berdasarkan undang-undang ini atau karenakekeliruan mengenai orangnya atau huku yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Presiden Indonesia,Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana,(Jakarta: 1981).

33 Asmawi, M. Hanafi, Ganti Rugi Dan Rehabilitasi Menurut KUHAP, (Jakarta: PradnyaParamita, 1992), hlm. 6.

34 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: SinarGrafika, 2000), hlm. 46.

35

1) Kerugian yang dialami korban sebagai akibat lansung dari tindak pidana

yang dilakukan terdakwa, misalnya kerugian yang timbul akibat

pelanggaran lalu lintas.

2) Jumlah besarnya ganti rugi yang dapat diminta hanya terbatas sebesar

kerugian materiil yang diderita korban (pasal 98).

3) Penggabungan perkara pidana dan gugatan ganti rugi yang bersifat

perdata dapat diajukan pihak korban sampai proses perkara pidana belum

memasuki taraf penuntut umum memajukan rekuisitur.

Terkait dengan penggabungan perkara pidana dan gugatan ganti rugi

maka perlu kiranya penulis catumkan ketentuan ganti kerugian berdasarkan

undang-undang diluar KUHAP yang terdapat dalam Pasal 1365

KUHPerdata sebagai berikut:35

“Jika seseorang telah melakukan suatu perbuatan melanggar hukumdan telah terbukti kesalahanya, maka terhadap dirinya dapat dilakukanpenututan mengganti kerugian.”

Maka Pasal 1365 KUHPerdata mengenai perbuatan melanggar

hukum, Wirjono Prodjodikoro dalam hal ini menyatakan:36

“Bagi orang-orang Indonesia asli tetap berlaku Hukum Adat yang jugamengenal hakekat hukum, seperti yang tercantum dalam Pasal 1365BW itu, yaitu bahwa orang yang secara bersalah melakukan perbuatanmelanggar hukum dan dengan itu merugikan orang lain, adalah wajibmemberi ganti kerugian.”

35 http://www.ziddu.com/download/2663135/KUHPerdata.pdf.html.36 Martiman Prodjodikoro, Ganti Rugi Dan Rehabilitasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982),

hlm. 18.

36

Sedangkan ganti kerugian berdasarkan konteks undang-undang

perlindungan saksi dan korban adalah penggantian kerugian yang diberikan

oleh pelaku kepada korban sebagai salah satu bentuk pertanggung jawaban

pelaku, pemberian ganti rugi kepada korban kejahatan berdasarkan

ketentuan Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban dalam Pasal 7 Ayat 1 dan 2 yaitu:37

(1)Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:a. Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi

manusia yang berat.b. Hak atas restitusi dang anti kerugian yang menjadi tanggung

jawab pelaku tindak pidana.(2)Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh

pengadilan.

Ganti rugi dalam konteks Undang-Undang No 13 tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pasal 7 ayat 1 b tersebut adalah

penggantian kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban sebagai

salah satu bentuk pertanggung jawaban pelaku.37

Sementara ketentuan ganti kerugian dalam RUU tentang Hukum

Acara Pidana tahun 2010 Bagian Ketiga Putusan Pengadilan Tentang Ganti

KerugianTerhadap Korban Pasal 133:38

1) Apabila terdakwa dijatuhi pidana dan terdapat korban yangmenderita kerugian materiel akibat tindak pidana yang dilakukanoleh terdakwa, hakim mengharuskan terpidana membayar ganti

37 Indonesia, Undang-Undang Nomer 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi danKorban.

37 Komnas Perempuan, Perlindungan Terhadap Saksi Dan Korban, (Jakarta:[email protected], 2009), hlm. 38.

38 Indonesia, Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Tahun 2010, hlm. 40.

37

kerugian kepada korban yang besaranya ditentukan dalamputusanya.

2) Apbila terpidana tidak membayar ganti kerugian sebagaimanadimaksud pada Ayat (1), harta benda terpidana disita dan dilelanguntuk membayar ganti kerugian kepada korban.

3) Apabila terdakwa berupaya menghindar untuk membayarkompensasi kepada korban, terpidana tidak berhak memdapatkanpengurangan masa pidana dan tidak mendaptkan pembebasanbersyarat.

4) Dalam penjatuhan pidana bersyarat dapat ditentukan syarat khususberupa kewajiban terpidana untuk membayar ganti kerugian kepadakorban.

5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyitaan danpelelangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) diatur denganPeraturan Pemerintah.

Ketentuan ganti rugi yang di uraikan diatas merupakan ketentuan

ganti kerugian kepada korban kejahatan menurut hukum positif, bahwa

korban kejahatan memang benar-benar harus diperhatikan hak-haknya.

Mengenai ganti kerugian korban pemerkosaan dan tata cara pembayaran

ganti rugi serta besaran biaya yang harus dibayarkan oleh pelaku kepada

korban kejahatan maupun korban perkosaan akan dibahas pada bab

selanjutnya.

B. Tindak Pidana Pemerkosaan Menurut Hukum Pidana Islam

1. Definisi Jarimah

Jarimah Menurut bahasa adalah (جرم) yang sinonimnya (كسب وقطلع)

artinya: berusaha dan bekerja. Hanya saja pengertian usaha disini khusus

untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang di benci oleh manusia.dari

pengertian disini dapat ditarik suatu definisi yang jelas, bahwa jarimah itu

adalah

38

عدل والطریق المستقیم ارتكا ب كل ما ھو مخالف للحق وال

Artinya: “melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenarankeadilan, dan jalan yang lurus (agama)”.

Dari keterangan ini jelaslah bahwa jarimah menurut bahasa adalah

melakukan perbuatan-perbuatan atau hal-hal yang dipandang tidak baik,

dibenci oleh manusia karena bertentangan dengan keadilan, kebenaran, dan

jalan yang lurus (agama).

Pengertian jarimah tersebut diatas adalah pengertian yang umum,

dimana jarimah itu disamakan dengan (الدنب) (dosa) dan (الخطیئة)

(kesalahan), karena pengertian kata-kata tersebut adalah pelanggaran

terhadap perintah dan larangan agama, baik pelanggaran tersebut

mengakibatkan hukuman duniawi maupun ukhrawi.39

Jarimah menurut istilah adalah seperti yang dikemukakan oleh Imam

Al Mawardi sebagai berikut:40

.الجرائم محظورات شرعیة زجرهللا تعالى عنھا بحد اوتعزیر

Artinya: “Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’,yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.”

2. Pembagian Jarimah

Dalam aturan hukum pidana Islam apabila ditinjau dari berat ringanya

sanksi hukuman maka perbuatan Jarimah dapat di kelompokkan menjadi

39 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: SinarGrafika, 2008), hlm. 9.

40 Ibid.

39

tiga golongan antara lain: jarimah hudud, jarimah qishash dan diyat, dan

jarimah ta’zir.

a. Jarimah Hudud

Hudud (bentuk jamak dari kata had yang artinya batas, rintangan,

halangan dan pagar).41

Pernyataan Abdul Qadir Audah sebagai berikut:42

ائم المعاقب علیھابحد ر حقا تعالى. والحد ھو العقو بة المقدرة.ج

Artinya: “Jarimah yang diancam padanya dengan hukuman had, dan hadadalah` hukuman yang telah ditentukan oleh Allah.”

Jarimah hudud ada tujuh, yaitu, zina, qadzaf, minuman keras,

mencuri, hirabah (pembegalan, perampokan, gangguan keamanan),

murtad, dan pemberontakan (al-Baghyu).43

b. Jarimah Qishas Diyat

Jarimah qishas diyat adalah jarimah yang diancam dengan

hukuman qishas atau diyat, baik qishas maupun diyat keduanya adalah

hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’. Perbedaanya dengan

hukuman had adalah bahwa had merupakan hak allah (hak masyarakat),

sedangkan qishas dan diyat adalah hak manusia (individual), adapun

41 Lihat: Dalam al Qur’an, hudud atau hadd sering diartikan sebagai hukum atau ketetapanAllah SWT. misalnya dalam surat Al Baqarah ayat 187, 229, dan 230 surah An Nisa’ ayat 13 dan14; surat At Taubah Ayat 97 dan 112; Surat al Mujadalah ayat 4; dan surat at Talaq ayat 1.Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeven, tt),hlm. 126

42 Abdul Qadir Audah, al-Tasyri, al-Jina’y al-Islami, (Beirut: Muasasah al-Risalah, 1992),hlm.78.

43 Ibid, hlm. 79.

40

yang di maksud dengan hak manusia sebagaimana yang dikemukakan

oleh Mahmud Syaltut adalah sebagai berikut:

.فھو ما تعلق بھ نفع خا ص لواحد معین من النا س: حق العبد

"hak manusia adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepadaseseorang."

Jarimah qishas dan diyat ini hanya ada dua macam, yaitu

pembunuhan dan penganiayaan, namun apabila diperluas maka ada Lima

macam, yaitu: pembunuhan sengaja )القتل العمد( , pembunuhan

menyerupai sengaja ) القتل شبھ العمد( , pembunuhan karena kesalahan القتل

) الخطاء ), penganiayaan sengaja (الجرح العمد), penganiayaan tidak

sengaja. (الجرح الخطاء).44

Pernyataan Abdul Qadir Audah:45

وكل من قصاص والدیة عقو , جرائم التي یعاقب علیھا بقصاص اودیة.بة مقدرة حقا لل افراد

Artinya: “Jarimah yang diancam kepadanya hukuman qishas atau diyatadalah hukuman yang telah ditentukan batasannya dan menjadihak perseorangan.”

Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah: 178

adalah sebagai berikut:46

44 Ahmad Wardi Muslich, Op, Cit, hlm.18-1945 Abdul Qadir Audah, Lok ,Cit.46 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta: Yayasan Peyelenggara

Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 43.

41

بد الع و ر بالح ر في القتلى الح اص م القص لیك ع تب نوا ك آم ین یا أیھا الذوف ر ع ء فاتباع بالم یھ شي أخ ن في لھ م ع ن نثى فم نثى باأل األ بد و بالع

ذ ان س اء إلیھ بإح أد فلھ و لك د ذ تدى بع اع ن ة فم م ح ر و م بك ر ن م فیف تخ لك ألیم اب ذ )178: البقره(ع

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishasberkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdekadengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanitadengan wanita. Dan saudaranya hendaklah (yang memaafkan)mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yangdimaafkan) maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikianitu adalah suatu keringanan dari tuhan kamu dan suatu rahmat.Barang siapa melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksayang sangat pedih.”

c. Jarimah Ta’zir

Jarimah ta’zir adalah jarimah yang di ancam dengan hukuman

ta’zir, pengertian ta’zir menurut bahasa ialah ta’dib atau memberi

pelajaran, ta’zir juga diartikan ar-Rad wa al-Man’u, artinya menolak dan

mencegah akan tetapi menurut istilah sebagaimana yang dikemukakan

oleh Imam Al Mawardi, pengertianya adalah sebagai berikut.47

.تعزیر تاء دیب على دنوب لم تشرع فیھا الحدودلوا

Artinya: “Ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana)yang belum ditentukan hukumanya oleh syara”.

3. Tindak Pidana Zina

Di jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Israa’ Ayat 32 sebagai berikut:48

47 Ahmad Wardi Muslich, Lok Cit.48 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta: Yayasan Peyelenggara

Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 429.

42

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu

adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”

Dari ayat diatas penulis ingin memaparkan permasalahan yang

berkaitan dengan zina agar lebih jelas dan tidak terjadi kebingungan dalam

memahami teks ayat tersebut. Dibawah ini adalah keterangan menegenai

pengertian zina.

Pengertian zina secara umum adalah persetubuhan pria dan wanita

tanpa ikatan perkawinan yang syah.49 Dalam pandangan Islam bila

perbuatan zina dibiarkan begitu saja tanpa tali pengekang maka anak yang

lahir dari hasil zina tidak akan dapat diketahui asal usul keturunanya.50

Untuk menghindari adanya perbuatan zina maka Islam menghapus

pergaulan bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat sebelum

menjatuhkan hukuman terhadap pezina, Islam menutup rapat-rapat pintu

dan kesempatan dari terlaksananya perzinaan51 dan bahkan mendekatinya

saja.52

Diterangkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 15 adalah sebagai

berikut:53

49 Abul A’la al Maududi, Kejamkah Hukum Islam, (Gema Insani Press, 2010), hlm. 38.50 Ibid, hlm. 43.51 Ibid, hlm. 45.52 Z Kasijan, Tinjauan Psikologis Larangan Mendekati Zina Dalam al Qur’an, (Surabaya:

PT Bina Ilmu, 1982), hlm.13.53 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta: Yayasan Peyelenggara

Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 118.

43

◌Artinya: “Dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yangmenyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberipersaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalamrumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allahmemberi jalan lain kepadanya”.

Perbuatan keji menurut jumhur Mufassirin yang dimaksud perbuatan

keji ialah perbuatan zina, sedang menurut Pendapat yang lain ialah segala

perbuatan mesum seperti: zina, homo sex dan yang sejenisnya. Menurut

pendapat Muslim dan Mujahid yang dimaksud dengan perbuatan keji ialah

musahaqah (homosek antara wanita dengan wanita). Menurut Jumhur

Mufassirin jalan yang lain itu ialah dengan turunnya ayat 2 surat an-Nuur.

Pengertian zina secara harfiah berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji,

zina dalam pengertian secara istilah adalah hubungan kelamin antara

seorang lelaki dan perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam

hubungan perkawinan.

Para Fuqoha’ (ahli hukum Islam) mengartikan zina, yaitu melakukan

hubungan seksual dalam arti memasukan zakar (kelamin pria) ke dalam

vagina yang dinyatakan haram, bukan karena syubhat, dan atas dasar

44

syahwat.54 Pendapat para Fuqoha’ (ahli hukum Islam) itu dapat

dikualifikasikan sebagai berikut:55

1) Menurut Hanafiah

دار ل المراءة الحیة في حا لة اال ختیا ر في اسم للوطء الحرام في قبالعدل ممن التزم احكام االسالم العاري عن حقیقة الملك وعن شبھتھ

.االشتباه في موضع االشتباه في الملك والنكاح جمیعا

“Mewathi’ perempuan yang masih hidup melalui qubulnya tanpa terikatakad nikah atau bukan muliknya dan tidak ada syubhat baik dalammilik atau pernikahan, dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa diwilayah yang ditegakkan hukum Islam.”

2) Menurut Malikiah

.وطء مكلف مسلم فرج ادمي الملك لھ فیھ باتفاق تعمدا

“Seorang muslim mukallaf (kena taklif) me-wathi’ farji manusia yangbukan miliknya dengan sengaja, ketiadaan milik tersebut harusdisepakati oleh para imam.”

3) Menurut Syafi’iah

ایالج حشفة او قدرھا من الدكر المتصل االصل من االدمي بفرج .محرم لعینھ خال من الشبھة مشتھى

“Masuknya hasyafah (kepala penis) atau seukurnya yang tidak terputus(bukan penis sintetis) terhadap farji yang diharamkan, tiada syubhat,dan secara naluri memuaskan hawa nafsu (disenangi).”

4) Menurut Hanabilah

.الشبھة لھ وطءھاوطء امراة في قبلھا اودبرھا وطاء حرام

54 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 37.55 Jaih Mubarok, dan Enceng Arif Faisal, Kaidah Fiqh Jinayah, Asas-Asas hukum Pidana

Islam (Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, 2004), hlm.117.

45

“Mewathi’ perempuan melalui qubulnya atau duburnya dengan wathi’haram dan tiada syubhat dalam me-wathi’nya.”

Dalam ilmu tafsir menyebutkan bahwa zina adalah perbuatan

hubungan sex antara laki-laki dengan seorang perempuan yang satu sama

lain tidak saling terikat oleh perkawinan.56

Islam sangat tegas mengatur hubungan sex antara laki-laki dan

perempuan seperti yang sudah di jelaskan dalam al-Qur’an Surat an-Nur

Ayat 3 adalah sebagai berikut:57

Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuanyang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuanyang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzinaatau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atasoran-orang yang mukmin”.

Maksud ayat ini ialah bahwa Islam memerintahkan adanya kebersihan

tentang hubungan sex, bagi laki-laki dan perempuan, pada setiap waktu

sebelum perkawinan, selama dalam perkawinan maupun sesudah putusnya

hubungan perkawinan, mereka yang melakukan perbuatan terlarang itu

dikeluarkan dari lingkungan perkawinan laki-laki dan perempuan terhormat,

56 Abdul Yusuf Ali, Alqur'an Terjemah dan Tafsirnya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994),hlm. 884.

57 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya. (Jakarta: Yayasan PeyelenggaraPenterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 543.

46

lebih jelasnya tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina,

demikian pula sebaliknya.58

Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa’i dan Imam Hakim

semuanya telah mengetengahkan sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh

Amr Ibnu Syu’aib yang ia terima dari ayahnya, yang telah menceritakan

bahwa seorang laki-laki yang dikenal dengan panggilan nama Marsyad; ia

adalah seorang kuli yang datang dari Al Anbar yang datang ke Mekkah.

Ketika itu ia datang ke Mekkah ia berkenalan dengan seorang wanita yang

di kenal dengan panggilan Inaq, maka Marsyad meminta izin kepada Nabi

SAW. untuk menikahinya akan tetapi Nabi SAW. tidak memberikan

jawaban sepatah katapun kepadanya sehingga turun surat an-Nur Ayat 3.59

Demikianlah pengertian zina menurut para ahli Fiqh yang diambil dari

al-Qur’an maupun Hadits, bahwa zina merupakan perbuatan yang dilarang

oleh agama dan merupakan perbuatan yang sangat keji dan buruk, bahkan

kita di anjurkan untuk tidak mendekatinya dan apabila kita mau

berhubungan sex kita diwajibkan untuk membuat ikatan perjanjian yaitu

hubungan pernikahan yang sah.

Mengenai hukuman bagi pelaku zina seperti yang diterangkan dalam

al-Qur’an surat an-Nur ayat 2 adalah sebagai berikut:60

58 Abdul Yusuf Ali, Op, Cit,, hlm. 884.59 Ibid, hlm. 885.60 Dep. Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahanya, ( Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci

Al Qur’an, 1985), hlm. 543.

47

Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Makaderalah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, danjanganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman merekadisaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.

Pada permulaan Islam hukuman perzinaan bagi seorang wanita ialah

hukuman tahanan rumah sampai mati, hal ini bila perzinaanya itu ditetapkan

dengan keterangan empat orang saksi yang adil dari kaum laki-laki. Adapun

kaum laki-laki diberi hukuman caci maki, dipermalukan di muka khalayak

ramai, dan dipukul dengan sepatu, seperti yang sudah diterangkan dalam

surat an -Nisa’ ayat 15 bahwa Ibnu Katsir berkata bahwa menurut

keterangan Ibnu Abbas, hukuman itu telah berlaku sedemikian rupa, hingga

Allah menurunkan surat an -Nur ayat 2 yang menyatakan hukuman jilid atau

cambuk sebanyak 100 kali atau Hadits mengenai rajam (dilempar dengan

batu), sehingga surat an-Nisa’ayat 15 dinasakh (diubah hukumnya) dengan

surat an-Nur ayat 2.61

Syarat-syarat hukuman yang ditetapkan atas diri seseorang yang

berzina adalah berakal waras, sudah cukup umur atau baligh, zina dilakukan

61 Ibnu Mas’ud dan H. Zainal Abidin S, Op, C it, hlm. 547-548.

48

bukan dalam keadaan terpaksa.62 Dilihat dari segi hukumanya, zina di bagi

menjadi dua yaitu: hukuman bagi zina gairu mukshon dan hukuman bagi

zina mukshon.

Zina ghairu mukshon adalah zina yang dilakukan antara laki-laki dan

perempuan yang belum berkeluarga. Hukuman untuk zina ghoiru mukhson

ada dua macam, yaitu:63

1) Didera seratus kali

2) Pengasingan selama satu tahun

Sedangkan syarat-syarat berlakunya had zina sebagaimana tersebut

pelaku zina, yaitu baligh dan melakukanya bukan karena terpaksa, dan atas

bukti kuat, seperti pengakuan sendiri atau saksi, yaitu empat orang laki-laki

yang adil. Bagi seorang hamba hukumanya hanya separuh dari hukuman

orang yang merdeka dan terhadap anak-anak hanya dikenakan hukuman

ta’zir.64

Adapun mengenai ditambahkanya hukuman seperti kurungan atau

diasingkan hanya bersifat ta’zir bukan keaslian sangsi hukuman. Artinya,

sekiranya hakim benar-benar mengetahui bahwa pezina laki-laki dan

perempuan mempunyai kepribadian buruk dan hubungan di antara keduanya

62 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Darul Fath, 2004), hlm. 319.63 Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2005), hlm. 29.64 H. Zainudin Ali, Op, Cit, hlm. 49.

49

sangat intim maka hakim berhak menvonis mereka dengan di asingkan

keduanya ke luar daerah.65

Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh HR. Muslim adalah

sebagai berikut:66

ى قد جعل هللا خذوا عن: م. قال رسول هللا ص: عن عبا دة بن الصامت قالالبكر بالبكر جلد مائة ونفى سنة والثیب بالثیب جلدمائة والرجم . لھن سبیال

)رواه مسلم(

Artinya: “dari Ubadah bin Ash-Shamid ia berkata: Rasulullah SAW.bersabda:“Ambilah dari diriku, ambilah dari diriku, sesunggunyaAllah memberikan jalan keluar ( hukuman bagi mereka ( pezina ),jejaka dan gadis hukumanya dera seratus kali dan pengasinganselama satu tahun, sedangkan duda dan janda hukumanya deraseratus kali dan rajam.”

Sanad Hadits diatas tersebut shahih, namun dibanyak riwayat yang

shahih juga dijelaskan bahwa hal demikian belum pernah dilakukan oleh

Rosulullah SAW. dan pada masa kehidupan para Khulafa’ Ar-Rasyidin

serta para Fuqoha’, tidak satu yang berfatwa dengan riwayat ini.67

65 Abul A’la al Maududi, Op, Cit, hlm. 74.66 Ahmad Wardi Muslih, Op, Cit, hlm. 28.67 Akan tetapi ada Jamaah meriwayatkan hadist yang berasal dari Abi Hurairah dan Zaid

bin Khalid Al Juhai Ra bahwa seorang laki-laki telah menghadap rasulullah Saw. dan berkatakepada beliau. “Wahai Rosulullah, anakku ini telah bekerja di tempat orang ini (sambil menunjukkepada salah seorang yang sama-sama menghadap beliau). Kemudian anakku berzina denganistrinya, aku sendiri telah memberikan budak wanita dan seratus ekor domba kepada dia sebagaitebusan. Tetapi aku menanyakan persoalan ini kepada orang yang mengerti. Lantas mereka berkatabahwa anakku akan dikenai sangsi hukuman dera seratus kali dan diasingkan selama setahunsedangkan si wanitanya akan dirajam. Oleh karena itu, wahai Rosulullah hukumilah dengankitabullah.”Kemudian Rosulullah menanggapinya. “Demi Zat yang jiwaku ada dalamgengamaNya, akan kuhukumi masalah kalian berdua dengan kitabullah.” Mengenai budak wanitadan seratus ekor domba akan dikembalikan padamu, sedangkan anakmu maka baginya hukumandera seratus kali, dan diasingkan selama setahun”. Kemudian Rosulullah berbalik dan berkatakepada salah seorang sahabatnya dari bani Aslam. Katanya, “Pergilah menemui isteri orang iniapabila dia mengakui perbuatanya maka rajamlah”. Si wanita mengakui perbuatanya itu makadirajamlah ia. Abul A’la al Maududi, Op, Cit, hlm. 75-76.

50

Zina mukhson adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan

perempuan yang sudah berkeluarga (bersuami atau beristri). Hukuman

untuk pelaku zina mukhson ini ada dua macam, yaitu: 68

1) Rajam

Hukum rajam adalah hukuman mati dengan jalan dilempari dengan

batu dan sejenisnya. Para Ulama’ sepakat, bahwa hukuman yang

dikenakan atas diri pelaku zina mukhson (janda, duda, laki-laki yang

masih beristri atau perempuan yang masih bersuami) adalah wajib di

rajam sampai mati. Pendapat ini didasarkan atas Hadits yang

diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut:

آتى رجل من المسلمین رسول هللا صلى هللا : وعن ابى ھریرة أنھ قال. یارسول هللا انى زنیت: فقال. فناداه. علیھ وسلم وھو فى المسجد

یا رسول هللا انى زنیت : فقال لھ. فاعرض عنھ فتنحى تلقاء وجھھفلما شھد على نفسھ أربع , حتى ئنى ذلك علیھ أربع مرات. فاعرض عنھ

: أبك جنون قل: رسول هللا صلى هللا علیھ وسلم فقالشھادات دعاء فقال رسول هللا صلى هللا علیھ وسلم . نعم: فھل احصنت قال: القال

)رواه مسلم(.اذھبوابھ فارجموه

Artinya: “Ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah SAW.ketika beliau sedang berada di dalam masjid. Laki-laki itumemanggil-manggil Nabi seraya mengatakan: Hai Rasulullah,aku telah berbuat zina, tapi aku menyesal. Ucapan itudiulanginya sampai empat kali diulanginya itu, lalu beliaupunmemanggilnya, seraya bertanya “apakah engkau ini gila?”“tidak”, jawab laki-laki itu. Nabi bertanya lagi “apakah engkauini orang yang mukhson?”,“ya”, jawabnya. Kemudian Nabibersabda lagi “bawalah laki-laki ini dan langsung rajamolehmu sekalian.” (HR. Muslim).

68 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut Libanon: Darul Kutub Al-Alamiah, Juz II), hlm.160.

51

2) Dera seratus kali

Dera adalah hukuman kedua bagi pelaku zina mukhson. Para

Fuqoha’ berbeda pendapat apakah hukuman bagi mukhson adalah rajam

saja atau rajam dan dera. Mereka yang mewajibkan dera dan rajam

beralasan bahwa al-Qur’an telah menjadikan dera sebagai hukuman

utama zina.69

4. Zina Karena Dipaksa

Dalam hukum Islam tidak mengenal pemerkosaan akan tetapi zina

karena adanya paksaan entah pemaksaan itu dilakukan oleh laki-laki

maupun perempuan, zina semacam ini juga bisa disebut dengan tindak

pidana pemerkosaan dalam hukum positif Indonesia.

Pengertian ikrah (paksaan) menurut bahasa adalah membebankan

suatu pekerjaan kepada seseorang yang orang itu sendiri tidak ingin

melakukan pekerjaan itu. Dalam kamus istilah fiqh juga disebutkan, paksaan

berarti sesuatu perbuatan/sikap yang membuat seseorang tidak berdaya

menghadapi atau menghindari dari padanya.70

Muhammad Khudhari memberikan definisi paksaan sebagai berikut: 71

.اال كراه حمل اال نسان غیره على ما ال یرضاه قوال اوفعال

Artinya: “Paksaan adalah mendorong orang lain atas sesuatu yang tidakdiridainya baik berupa ucapan atau perbuatan”.

69 Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamiybil Qonunil Wad’iy, (PT. Kharisma Ilmu, Juz. IV.), hlm. 182.

70 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm.137.71 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Op, Cit, hlm. 177.

52

Sedangkan paksaan terbagi menjadi dua, yaitu paksaan absolute (ikrah

tam atau mulji’) dan paksaan relative (ikrah ghayr tam atau ghayr mulji’).72

Beberapa syarat pemaksaan (ikrah) antara lain: pelaku pemaksaan memiliki

kekuasaan untuk merealisasikan ancamanya. Sebaliknya pelaku obyek

pemaksaan (korban) tidak memiliki kemampuan untuk untuk menolaknya

disertai dengan dugaan kuat bahwa penolakan atasnya akan mengakibatkan

ancaman tersebut benar-benar dilaksanakan, padahal ancaman tersebut

berupa hal-hal yang membahayakan, seperti membunuh, menghajar,

memukul, mengikat, dan memenjarakanya dalam tempo cukup lama atau

menhancurkan harta bendanya.73

Perempuan yang terpaksa berzina, yaitu perempuan yang diperkosa

dan sebagainya tidaklah menanggung dosanya karena dosanya hanya atas

yang memaksa saja.74 Para ulama’ telah sepakat bahwa tidak ada hukuman

had bagi wanita yang telah dipaksa untuk melakukan persetubuhan yang

dilarang (zina).75 Dalam hal ini keadaan tersebut dapat digolongkan dalam

72 Paksaan absolute adalah paksaan yang menghilangkan kerelaan dan pilihan karena adaancaman yang membahayakan jiwa seperti pemukulan dan pembunuhan. Sedangkan paksaanrelatif adalah paksaan yang menghilangkan kerelaan tetapi tidak sampai menghilangkan pilihankarena ancamannya tidak sampai menghilangkan jiwa seperti diikat atau dipenjarakan.JaihMubarok, Enceng Arif Faisal, Op, Cit, hlm. 87.

73 KH. Husain Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama danGender, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 161.

74 Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Op, Cit, hlm. 555.75 Abdul Qodir Audah, Op, Cit, hlm. 165.

53

keadaan darurat. Alasanya adalah firman Allah SWT. dalam surat al-

Baqarah ayat 173 dan surat al-An’am ayat 119:76

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut(nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa(memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak(pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Dan dalam surat al-An’am ayat 119 adalah sebagai berikut:77

Artinya: “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yanghalal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, PadahalSesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yangdiharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamumemakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia)benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsumereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lahyang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.”

76Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta: Yayasan PeyelenggaraPenterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 42.

77Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta: Yayasan PeyelenggaraPenterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 207.

54

Ayat-ayat sebagaimana dimaksud diatas menunjukan dasar hukum

mengenai suatu keterpaksaan melakukan atau memilih berbuat sesuatu yang

sebenarnya hukum dasarnya adalah diharamkan oleh Allah SWT. Namun

Allah memaafkan perbuatan itu, karena adanya kondisi sulit, terpaksa atau

tidak adanya pilihan lain yang lebih baik dan menyelamatkan dirnya.

Bahkan pembelaan diri terhadap ancaman perkosaan dengan

kemungkinan membunuh sekalipun, dalam prespektif Islam dapat

dibenarkan. Diterangkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 194 sebagai

berikut:78

Artinya: “Barang siapa yang menyerang kam, maka seranglah seimbangdengan seranganya. Bertaqwalah, sesungguhnya Allah bersamaorang-orang yang bertaqwa.”

Atas dasar ayat tersebut diatas seluruh ahli fiqh sepakat, bahwa

perempuan yang diserang kehormatanya (diperkosa), wajib melakukan

pembelaan diri, sebisa mungkin, meskipun terpaksa harus membunuhnya

dan terhadap perempuan itu tidak dikenakan hukuman apa-apa. 79

Imam Bukhori juga telah meriwayatkan secara ta’liq, sedang yang lain

meriwayatkan dengan sanad tersambung (maushul), dari Syafiyyah binti

78 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya. (Jakarta: Yayasan PeyelenggaraPenterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 47.

79 Husain Muhammad, Op,Cit, hlm, 163.

55

Abi Ubaid, bahwa salah seorang budak yang bekerja pada kantor gubernur

telah memperkosa seorang wanita peranakan dari Khoma untuk

melampiaskan syahwatnya kemudian Umar memvonis pemerkosa dengan

hukuman cambuk dan mengasingkanya dari kota. Tetapi beliau tidak

mencambuk budak wanita yang diperkosa, karena dipaksa.80

Karena dengan adanya fakta-fakta dari al-Qur’an diatas maka tidak ada

perselisihan pendapat dalam undang-undang hukum Islam mengenai sanksi

terhadap wanita-wanita yang di perkosa. Namun kemudian timbul khilafiah

terhadap laki-laki yang dipaksa berzina. Menurut pendapat yang marjuh

(lemah) didalam mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali dan Syi’ah

Zaidiyah, ia harus dikenai hukuman had. Alasan mereka adalah kalau yang

dipaksa itu wanita kemugkinanya besar sekali, karena wanita itu tugasnya

menyerahkan diri. Baru apabila alat kelaminya tidak menegang tetapi tetap

dipaksa maka seorang laki-laki yang dipaksa tetap tidak dikenakan hukuman

had.81

5. Ganti Kerugian (Diyat)

Diyat adalah hukuman pokok untuk tindak pidana pembunuhan dan

penganiyaan menyerupai sengaja dan tidak sengaja (khata’). Meskipun

bersifat hukuman, namun harta yang diberikan kepada korban atau

keluarganya, bukan kepada perbendaharaan Negara. Dari segi ini diyat lebih

80 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm.138.81 Ahamd Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Op, Cit, hlm. 21-22.

56

mirip dengan ganti kerugian, apalagi besarnya dapat berbeda-beda menurut

perbedaan sengaja atau tidaknya jarimah yang dilakukan oleh pelaku.82

Diyat wajib dibayarkan disebabkan sebuah tindak kejahatan dan

diberikan kepada si korban dan walinya,83diyat bisa juga disebut dengan

hukuman pengganti pertama dari hukuman kisas.84Diyat, baik sebagai

hukuman pokok maupun pengganti, jika dimutlakan berarti diyat yang

sempurna, yaitu seratus ekor unta. Adapun diyat yang kurang dari diyat

sempurna biasa disebut arsy (denda). 85

1. Tindak pidana yang wajib diyat sempurna ada lima jenis, yaitu: 86

a. Jenis yang pertama: anggota badan yang memiliki persamaan dalam

tubuh. Yang termasuk jenis ini adalah hidung, lidah, kemaluan, tulang

rusuk, saluran air seni, saluran buang air besar, kulit, rambut kepala,

dan jenggot.

b. Jenis yang kedua: anggota badan yang didalam tubuh ada dua, yaitu

dua tangan, dua kaki, dua mata, dua telinga, dua bibir, dua alis mata,

dua payu dara perempuan, dua buah pelir laki-laki, dua bibir (labia)

vagina, dua pantat dan dua tulang dagu.

82 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Op, Cit, hlm. 155.83 Ahmad Al-Mursi Husai Jauhari, Maqashid Syari’ah, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 82.84 Sebagaimana hukumana tindak pidana penganiyaan, diat adalah hukuman pengganti

ketika ia menduduki posisi kisas. Ia merupakan tindak pidana penganiyaan disengaja. Diatmenjadi hukuman pokok jika tindak pidananya menyerupai disengaja, bukan disengaja murni.Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Op, Cit, hlm. 66.

85 Ibid, hlm. 66.86 Ibid, hlm. 67.

57

c. Jenis ketiga: anggota badan yang dalam tubuh ada empat, yaitu kedua

kelopak mata yaitu tempat tumbuhnya bulu mata.

d. Jenis keempat: anggota badan yang didalam tubuh ada sepuluh, yaitu

jari-jari kedua tangan dan jari-jari kedua kaki.

e. Jika manfaat beberapa anggota badan hilang, juga wajib diyat

sempurna, menghilangkan manfaat akal, penglihatan, penciuman,

pendengaran, perasa, senggama, reproduksi, berjalan, kekuatan untuk

senggama.

2. Diyat (arsy) yang belum ditentukan atau kebijakan

Denda tidak ditentukan wajib dalam tindak pidana atas selain jiwa

dari tindak pidana yang tidak memiliki qishas dan tidak memiliki denda

yang ditentukan. Dalam istilah para fuqoha, denda yang tidak ditentukan

ini disebut hukumah atau hukumah al‘adl.

Arti hukumah menurut imam yang empat adalah menentukan nilai

korban sebagai hamba sebelum dilukai kemudian nilai tersebut diukur

sesudah luka dan setelah sembuh darinya. Setelah itu diketahui

prasentase kekuranganya lalu diyat diambil sesuai kekurangan

prosentase kekurangan tersebut. Diyat sejumlah itulah yang menjadi hak

korban. Akan tetapi, hukumah disyaratkan tidak mencapai denda luka

seperti yang sudah ditentukan. Contoh, jika luka belum mencapai

58

mudihah, misalnya, samhaq,87 hukumanya tidak boleh sama dengan luka

mudihah.88

Semua jenis pemukulan dan pencederaan (melukai) pasti ada ganti

ruginya berupa diyat sempurna atau denda (arsy), karena Allah telah

menjadikan sanksi sesuai dengan akibat tersebut, tanpa memperhatikan

apakah si pelaku kejahatan menyengajanya atau tidak. Apabila

pencederaan atau pemukulan menyebabkan kematian maka hal tersebut

sudah menjadi tindak pemukulan yang menyebabkan kematian, apabila

tindakan pemukulan menyebabkan gangguan berkepanjangan, maka hal

tersebut menjadi tindak pidana. Jika tindak pemukulan tersebut

menyebabkan penyakit atau ketidakmampuan untuk melakukan

pekerjaan layaknya manusia normal, maka hal ini menjadi pelanggaran

hukum sesuai dengan tingkat penyakit atau ketidakmampuan tersebut.

Yang dimaksud dengan pencederaan adalah segala perbuatan

memotong atau membelah anggota tubuh yang terjadi akibat

penggunaan alat atau benda tajam, termasuk menumbuk sampai hancur,

membuat luka lecet, menggigit, memecahkan, membakar, dan luka

dalam.

87 Mudihah (menampakan); pencederaan yang menampakan tulang hingga benar-benarterlihat keluar. Sedangkan simhaq (selaput tulang); pencederaan yang memotong daging danmemampakkan kulit, serta kulit halus antara daging dan tulang. Daging ini dinamakan simhaq.Dalam pencederaan ini terdapat kewajiban membayar empat ekor unta. Ahmad Al-Mursi HusaiJauhari, Maqashid Syari’ah, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.65.

88 Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Op, Cit, hlm. 86.

59

Tindak pemukulan adalah semua bekas yang ada di tubuh manusia

yang terjadi akibat penggunaan alat yang tidak dapat digunakan untuk

memotong. Pemukulan tidak dapat terjadi meski tidak meninggalkan

bekas yang terlihat, baik berupa darah atau mengalirnya darah termasuk

juga segala bentuk penabrakan menarik, menekan anggota tubuh, dan

mencekik.89

Sementara ganti rugi menurut yang diberikan kepada korban

perkosaan menurut pendapat para fuqoha’, yaitu: bisa ditemukan dalam

kitab fiqh Ala Madzahibul Arba’ah karangan Abdurrahman Al Jaziri,

Menurut Ulama’ mazhab Syafi’iah apabila ada seorang laki-laki memaksa

perempuan untuk melakukan zina maka wajib bagi perempuan itu

menerima mahar yang sesuai baik itu perempuan merdeka atau budak. 90

Imam Malik mengatakan wajib bagi lelaki untuk memberikan mas

kawin kepada perempuan yang diperkosanya. Diriwayatkan dari Malik

dari kitab al-Muwatha’ dari Syihab bahwa Abdul Malik bin Marwan telah

memberi keputusan atas kasus perempuan yang diperkosa (berbuat zina)

dengan mewajibkan lelaki yang memperkosanya untuk memberikan mas

kawin kepada perempuan itu.91

89 Ahmad Al-Mursi Husai Jauhari, Op, Cit, hlm. 62.90 Abdur Rahman Al-Jaziri, Kitabul Ala Madzahibul Arba’ah, (Beirut: tt, Juz.II), hlm.73.91 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hlm. 340.

60

BAB III

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SEMARANG

NO.425/PID.B/2010/PN.SMG

A. Profil Pengadilan Negeri Semarang

Sejarah berdirinya Pengadilan Negeri Semarang menurut dokumen yang

tersimpan didalam Arsip Pengadilan Negeri Semarang adalah sebagai berikut:

Sebelum perang dunia II, di Semarang terdapat Raad va justitie yang

artinya sama dengan Pengadilan Tinggi sekarang, di mana gedungnya pada

saat itu ada di Tugu Muda sekarang, yang ditempati oleh kodam, disamping itu

terdapat pula Langerecht dan Landgeraad.

Landgerecht mengadili perkara-perkara novies, yaitu pelanggaran lalu

lintas, pelanggaran Peraturan Daerah (Perda). Sedangkan landgeraad

mengadili perkara-perkara berat, setelah perang selesai Landgerecht dan

Landgeraad kemudian menjadi menjadi Pengadilan Negeri yang berkedudukan

di jalan Raden Patah Semarang.1

Sebagai pimpinan Pengadilan Negeri Semarang adalah ketua, dimana

pimpinan tersebut dapat diketahui setelah tahun 1950 adalah sebagai berikut:

a. Soerjadi, SH.

b. Soebiono Tjitrowinoto, SH.

1 Dokumentasi Situasi Daerah Hukum Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri JawaTengah, Situasi Daerah Hukum Pengadilan Negeri Semarang, (Jakarta: Departemen Kehakimandan Hak Asasi Manusia R.I Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata UsahaNegara, 2001), hlm. 48-49.

61

c. Worjanto, SH.

d. Poewoto Gandaesoebrata, SH.

e. Soekanto Poerwasaputro, SH.

f. Soekotjo, SH.

g. Soemadi Aloei, SH.

h. Hasan Ghasim Shahab, SH.

i. R. Padmo Soerasmo, SH.

j. Soegijo Soemarjo, SH.

k. Ohim Padmadisastra, SH.

l. R. Saragih, SH.

m. S.M. Binti, SH.

n. Monang Siringo Ringo, SH.

o. Soeharso, SH.

p. R. Soenarto, SH.

q. Suparno, SH.

r. Subardi, SH.

s. Mohamad saleh, SH.

t. HR. Soekandar, SH.

u. Abid Saleh Mendrofo, SH.

Untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pencari

keadilan, dirasakan bahwa gedung Pengadilan Negeri Semarang yang terletak

di Jalan Raden Patah Semarang sudah tidak memenuhi syarat lagi, maka sejak

62

bulan Desember 1977 Pengadilan Negeri Semarang telah menempati gedung

yang baru yang terletak di jalan Siliwangi No.512 (Krapyak) Semarang yang

berdiri diatas tanah seluas 4.000 m2, dan dengan luas wilayah Hukum kurang

lebih 371,52 km2 yang terdiri dari 16 (enam belas) kecamatan, yaitu

kecamatan : Gajah Mungkur, Mijen, Candisari, Tugu, Gunungpati, Ngalian,

Banyumanik, Tembalang, Gayamsari, Semarang Utara, Semarang Barat,

Pedurungan, Genuk, Semarang Selatan, Semarang Tengah, dan Kecamatan

Semarang Timur.

Sedangkan gedung yang lama untuk sementara dipergunakan untuk

menyimpan arsip, sambil menunggu selesainya ruang arsip di gedung yang

baru. Dan pada tahun 1992 ruang arsip di gedung baru telah selesai kemudian

secara bertahap berkas perkara yang sudah arsip dipindahkan ke ruang arsip

yang baru dan telah diadakan pembenahan dan penataan agar arsip lebih rapi

dan tertib sesuai dengan pedoman yang telah ditentukan oleh Mahkamah

Agung RI, sehingga akan memudahkan pencariannya mengingat arsip adalah

dokumen Negara yang sangat penting.2

B. Tugas dan Wewenang Pengadilan Negeri Semarang

Untuk diketahui bersama bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman

di Indonesia dilaksanakan oleh Peradilan dalam lingkungan Peradilan umum,

Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, yang

berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.

2 Ibid, hlm. 35-41

63

Pengadilan pada keempat peradilan tersebut memiliki cakupan dan batasan

kekuasaan masing-masing dalam menangani suatu permasalahan hukum.

Kewenangan pada masing-masing lingkungan terdiri atas kekuasaan

relatif (relative competentie) dan kekuasaan mutlak (absolute competentie).3

kekuasaan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu pengadilan, baik

pengadilan tingkat pertama maupun tingkat banding, artinya cakupan dan

batasan kekuasaan relatif pengadilan adalah meliputi daerah hukumnya

berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan kekuasaan absolute

berhubungan dengan daerah hukum suatu peradilan, artinya cakupan dan

batasan kekuasaan absolute masing-masing peradilan sudah ditentukan oleh

bidang yuridiksi yang dilimpahkan undang-undang.4

Kekuasaan relative yang di dimiliki oleh Pengadilan Negeri Semarang

meliputi daerah dengan wilayah hukum kota semarang. Sedangkan kekuasaan

absolute yang dimiliki Pengadilan Negeri Semarang adalah pengadilan yang

menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara perdata dan

perkara pidana bagi warga negara yang mencari keadilan dan haknya dirampas

kecuali undang-undang menentukan lain (UU No. 4 tahun 2004), kemudian

wewenang dari Pengadilan Negeri sendiri adalah meliputi perkara pidana

maupun perdata. Hal ini menambah tugas yang baru diemban oleh pengadilan

Negeri sebagai institusi pemerintahan.

3 Bambang Waluyo, Pidana Dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm.102.4 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2001), hlm. 101-102.

64

Pengadilan Negeri diperuntukan bagi semua pemeluk agama yang ada di

Indonesia. Karena masalahnya begitu kompleks, maka dalam peraturannya

terdapat bermacam-macam kitab undang-undang seperti kitab undang-undang

hukum acara pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara perdata, dan

lain-lain.

Yang menjadi landasan hukum keberadaan Pengadilan Negeri ini

tercantum dalam Undang–Undang No. 8 tahun 2004, yaitu:

a. Pasal 2 Undang-Undang No. 8 tahun 2004, “Pengadilan umum adalah

dalam data pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan

pada umumnya”.

b. Pasal 3 Ayat 1 Undang-Undang No. 8 tahun 2004, “Kekuasaan di

lingkungan atau pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari

keadilan dengan pengadilan tinggi”.

c. Kekuasaan kehakiman di lingkungan pengadilan umum berpuncak pada

Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.

Kaitannya dengan tugas dan wewenang pengadilan negeri maka tidak

terlepas dari proses beracara dalam suatu persidangan, dimana dalam hukum

acara pidana dijelaskan mengenai aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa

yang harus dilakukan oleh penegak hukum dan orang-orang yang terlibat di

dalamnya (tersangka, terdakwa, penasehat hukum, dan saksi).

65

C. Proses Penyelesaian Perkara Nomor: 425/PID.B/2010/PN. Semarang

Pengadilan Negeri Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara

pidana dengan acara pemeriksaan biasa telah menjatuhkan putusan dalam

perkara terdakwa

Nama lengkap : Aryono bin Parto Dikromo

Tempat lahir : Boyolali

Umur/tgl lahir : 56 tahun/ 27 Juli 1953

Jenis kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Alamat : Jl. Batursari III Rt.01 Rw.09 Sawah Besar Gayam Sari

Kota Semarang

Agama : Islam

Pekerjaan : Karyawan/Swasta

Pendidikan : SD

Terdakwa berada dalam tahanan:

1) Penyidik sejak 08 Pebruari 2010 sampai dengan tanggal 27 Pebruari 2010

2) Perpanjangan penuntut umum sejak tanggal 23 Pebruari 2010 sampai

dengan tanggal 08 April 2010

3) Penuntut umum sejak tanggal 06 Mei sampai dengan tanggal 25 Mei 2010.

4) Majelis Hakim sejak tanggal 15 Nopember 2006 sampai dengan tanggal 19

Mei 2010 s/d 25 Mei 2010

66

5) Perpanjangan wakil ketua Pengadilan Negeri Semarang sejak tanggal 30

Nopember 2006 sampai dengan tanggal 30 Desember 2006

6) Pengadilan Negeri tersebut

- Telah membaca penetapan Majelis Hakim No. 425/Pid.B/2010/PN

Semarang. tanggal 19 Mei 2010

- Telah membaca berkas perkara yang diajukan dipersidangan

- Telah mendengar keterangan saksi-saksi dipersidangan

- Telah mendengar keterangan terdakwa di persidangan

- Telah memperhatikan barang bukti yang diajukan di persidangan

- Telah mendengar tututan pidana dari jaksa Penuntut Umum.

1. Dakwaan Pertama Primair

Perbuatan itu dalakukan sejak bulan September 2009 sampai bulan

Pebruari 2010 bertempat dirumahnya terdakwa di Jl. Batusari III Rt. 01 Rw.

09 Sawah Besar Gayamsari, Kota Semarang. Perbuatan itu dilakukan

sebanyak 3 (tiga) kali oleh Aryono Bin Parto Dikromo.

Perbuatan yang pertama, dilakukan ketika rumah Aryono dalam

keadaan sepi karena sedang ditinggal mudik oleh anak dan istrinya di

Sumedang. Aryono dikenal baik oleh Nova Susan Nurwanti karena

hubungan ketetanggaan, pada saat itu Aryono memanggil Nova untuk

datang kerumahnya kemudian Nova pun datang kerumah Aryono, kemudian

Aryono menyuruh Nova untuk membelikan cabai di warung sambil Aryono

mengatakan kepada Susan nanti diberi uang jajan sebesar Rp 5000 sampai

67

Rp 9000. Setelah Nova membelikan cabai diwarung terus Aryono menyuruh

Nova mencuci piring, setelah itu Aryono menyuruh Nova untuk masuk ke

kamar tidur milik menantu Aryono, akan tetapi Nova tidak mau/

menolaknya. Selanjutnya terdakwa menarik tangan Nova dengan paksa dan

setelah sampai dikamar, korban dijatuhkan ke tempat tidur dan celana

panjang korban ditarik kebawah oleh Aryono sehingga celana Nova terbuka,

selanjutnya Nova melawan akan tetapi tidak berdaya hingga Nova pun

akhirnya menangis karena kamar ditutup maka tangisanya tidak ada yang

mendengar.

Selanjutnya Aryono membuka celana dalamnya dan kemudian penis

Aryono yang telah tegang digesek-gesekan di permukaan vagina Nova

selanjutnya dengan paksa Aryono memasukan penisnya dengan paksa ke

dalam vagina Nova dan karena korban merasa sakit akhirnya korban

mencakar muka Aryono dan menggigit tangan Aryono dan Nova berhasil

melarikan diri dan segera memakai celana. Ketika Nova hendak pergi /

melarikan diri Aryono mengancam agar tidak memberitahukan kepada

orang tuanya / orang lain apabila Nova memberitahukanya maka akan

dibunuh.

Perbuatan yang kedua, dilakukan pada bulan Desember modusnya

sama dengan perbuatan yang pertama yakni Nova disuruh untuk mencuci

piring dirumahnya selanjutnya Aryono melancarkan aksinya lagi.

68

Perbuatan yang ketiga, dilakukan pada bulan Pebruari 2010 modusnya

sama dengan perbuatan yang pertama dan yang kedua yakni Nova disuruh

untuk mencuci baju selanjut Aryono melancarkan aksinya lagi, akan tetapi

Nova berhasil melarikan diri. Akibat perbuatan Aryono, Nova merasakan

sakit pada alat kelaminya hal ini sesuai dengan Visum ET Repertum

No.16/VER/PPKPA/II/2010/Dokpol tanggal 07 Pebruari 2010 yang dibuat

dan ditandatangani oleh dokter Nanung Budi P, yang bekerja pada rumah

sakit Bayangkara Semarang.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam sesuai dengan

Pasal 81 Ayat (1) UU. RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

jo Pasal 64 Ayat (10) KUHP.

2. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum No. Reg. Perkara: PDM-

137/SEMAR/Ep.2/04/2010 tanggal 9 Juni 2010

Selengkapnya sebagaimana yang dibacakan dan diserahkan dalam

persidangan tanggal 9 Juni 2010 yang pada pokoknya menuntut supaya

majelais hakim Pengadilan Negeri Semarang yang memeriksa dan

mengadili perkara ini memutuskan:

a. Membebaskan terdakwa ARYONO BIN PARTO DIKROMO karena

tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana datur dalam Pasal

81 Ayat (1) UU RI No.23 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Anak jo

Pasal 64 Ayat (1) KUHP seperti dakwaan pertama Primair

69

b. Menyatakan bahwa ARYONO BIN PARTO DIKROMO terbukti

bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal (2)

UU RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64

Ayat (1) KUHP seperti dakwaan subsidair ARYONO BIN PARTO

DIKROMO dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dikurangi

masa tahanan sementara dengan perintah Terdakwa tetap ditahan dan

denda Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) Subsider 6 (enam) bulan

kurungan

c. Menetapkan agar terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp. 2500.-

(dua ribu lima ratus rupiah)

3. Barang Bukti

- 1 (satu) sprei warna merah

- 1 (satua) buah celana pendek dan celana dalam Terdakwa

- 1 (satu) buah celana dalam korban warna putih

- Visum ET Repertum No.16/VER/PPKPA/II/2010/Dokpol tanggal 07

Pebruari 2010 yang dibuat dan ditandatangani oleh dokter Nanung Budi

P, yang bekerja pada rumah sakit Bayangkara Semarang.

4. Saksi-Saksi

a. Saksi yang memberatkan dari Jaksa penuntut umum

1) Pujiwanti

Bahwa saksi adalah ibu kandung dari saksi korban (saksi Nova Susan

Nurwanti)

70

2) Nova Susan Nurwanti binti Budi Susanto

Bahwa saksi disetubuhi terdakwa pada bulan September 2009 sekitar

jam 11.00 wib, Bulan Desember 2009 jam 11.00 WIB dan bulan

Pebruari jam 11.00 wib dan dilakukan dikamar mbak Ana.

3) Juminten Binti Sali

Bahwa rumah saksi berdekatan dengan Nova yakni bersebelahan, dan

saksi tahu bermula pada pengakuan Nova pada tanggal 6 Pebruari

2010 sekitar jam 17.30 WIB. bahwa ia telah disetubuhi oleh Terdakwa

4) Nining Surati binti Kusuma

Bahwa saksi adalah anggota LSM KJ HAM yang mendampingi Nova

dan berkantor di jl. Panda Barat III No. 1 Semarang. Dan saksi

melakukan interogasi dirumah saksi Nova, dirumah Nova saksi

diterima oleh ibu kandung Nova karena Nova tidak mau dengan saksi.

5) Sumadi binti Ngadima

Bahwa saksi bertentangga dengan terdakwa dan rumah saksi dengan

terdakwa berjarak 50 meter.

b. Saksi yang meirngankan dari penasihat hukum Terdakwa

1) Soenarto

Bahwa saksi menjadi RW 09 kel sawah Besar sejak tanggal 1 Januari

2009, di RW 09 Kel. Sawah Besar.

2) Mat Takul Anam

71

Bahwa saksi menjadi Rt 01 Kel. Sawah Besar sejak tanggal 6 Januari

2010 dan saksi tinggal di Rt 01 Rw 09 Kel. Sawah Besar.

3) Umi Chotimah

Bahwa saksi sebagai isteri Rw 09 bertugas ikut serta dalam kegiatan

PKK dan membina ibu-ibu Rw 09 Kel. Sawah Besar Semarang.

4) Wiyono

5. Pertimbangan Hukumnya

Menimbang, bahwa dipersidangan telah diajukan dan doperlihatkan

barang bukti.

Bahwa dari keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa serta

dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan dipersidangan dalam

perkara ini, Majelis mendapatkan fakta-fakta.

Bahwa selamjutnya majelis akan mempertimbangkan apakah

perbuatan Terdakwa telah memenuhi unsur-unsur dari dakwaan penuntut

umum yang didakwakan kepadanya

Bahwa tedakwa oleh penuntut umum telah didakwa melakukan

pebuatan yang diatur dan diancam dalam dakwaan:

PERTAMA:

Primair: Pasal 81 Ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP; Subsidair: Pasal 81 (2) UU RI No.23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

72

Kedua: Pasal 82 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo

Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Ketiga: Pasal 287 Ayat (1) KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Oleh karena surat dakwaan disusun secara alternative maka majelis

akan mempertimbangkan dakwaan yang menurut majelis terbukti, yaitu

dakwaan Pertama.

Bahwa dakwaan pertama yaitu: Primair: Pasal 81 ayat (1) UU RI No.

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP;

Subsidair: Pasal 81 ayat (2) UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

a. Dakwaan Pertama Primair

Dakwaan pertama disusun secara subsidairitas maka Majelis akan

mempertimbangkan dakwaan pertama Subsidair. Untuk dakwaan pertama

Primair adalah sebagai berikut:

Pasal 81 ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo

Pasal 64 Ayat (1) KUHP, unsur-unsurnya adalah

- Setiap orang

- Dengan sengaja melakukan kekerasa atau ancaman kekerasan

- Memaksa anak melakukan perstubuhan denganya atau dengan orang lain

- Merupakan suatu perbuatan berlanjut

Berdasarkan dakwaan Primair diatas dbawah ini adalah penjelasan

dari unsur-unsur tersebut, yaitu:

73

1) Unsur “Setiap Orang”

Bahwa yang dimaksud dengan setiap orang adalah siapa saja orang

perseorangan sebagai subyek hukum yang dapat mempertanggung jawabkan

perbuatanya

Bahwa dalam perkara ini telah diajukan kepersidangan seorang

terdakwa, yang atas pertanyaan Majelis mengaku bernama Aryono bin Parto

Dikromo yang ternyata sesuai dengan identitasnya yang tercantum dalam

surat dakwaan jaksa penuntut umum

Bahwa selama persidangan Majelis tidak menemukan kelainan dalam

diri Terdakwa sebagai manusia biasa, manusia normal yang sadar akan

perbuatanya, yang bersangkutan dapat menjawab pertanyaan yang diajukan

dengan jelas.

2) Unsur “dengan sengaja melakukan kekerasa atau ancaman kekerasan”

Bahwa dari fakta dipersidangan Terdakwa dalam melakukan

perbuatanya tidak dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

akan tetapi dilakukan dengan memanggil saksi Nova dan menyuruhnya

membeli cabai, mencuci piring, dan mencuci baju, semuanya dijanjikan

akan diberi upah atau diberi uang sehinnga saksi Nova mau disuruh oleh

Terdakwa.

Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas Majelis berpendapat

bahwa unsur “dengan sengaja melakukan atas ancaman kekerasan” tidak

terbukti.

74

Oleh karena salah satu unsur tidak terpenuhi maka dakwaan pertama

primair tidak terbukti dan Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan

pertama primair tersebur.

Karena pertama primair tidak terbukti, maka Majelis akan

mempertimbangkan dakwaan pertama Subsidair

b. Dakwaan Pertama Subsidair

Pasal 81 (2) UU RI No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo

Pasal 64 ayat (1) KUHP yang unsur-unsurnya adalah

- Setiap orang

- Dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau

membujuk anak

- Melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain

- Merupakan satu berbuatan berlanjut

Berdasarkan dakwaan Primair diatas dbawah ini adalah penjelasan dari

unsur-unsur tersebut, yaitu:

1) Unsur “setiap orang”

Bahwa dalam unsur “setiap” orang” dalam dakwaan pertama Primair

majelis telah mempertimbangkan unsur tersebut, dan unsur “setiap orang”

dalam dakwaan pertama Primair telah terpenuhi.

2) Unsur “dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian

kebohongan, atau membujuk anak”.

75

Yang dimaksud dengan sengaja berarti menghendaki dan mengetahui

apa yang dilakukan, orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja

menghendaki apa yang dulakukan dan orang yang melakukan perbuatan

dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu ia mengetahui

atau menyadari perbuatan yang ia lakukan.

Bahwa menurut R. Susilo dalam penjelasan KUHP yang dimaksud

dengan tipu muslihat adalah suatu tipu yang yang demikian liciknya

sehingga orang yang berpikiran normal dapat tertipu, suatu tipu muslihat

sudah cukup asal cukup liciknya. Dan yang dimaksud dengan karangan

perkataan bohong adalah satu kata bohong tidak cukup disini harus dipakai

banyak kata-kata bohong yang tersusun sedemikian rupa sehingga

kebohongan yang satu dapat ditutup dengan kebohongan yang lain,

sehingga keseluruhanya merupakan cerita sesuatu yang seakan-akan benar.

Sedangkan yang dimaksud dengan membujuk adalah melakukan pengaruh

dengan kelicikan terhadap orang sehingga orang itu menurutinya berbuat

sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebenarnya tidak akan

berbuat demikian

Bahwa dari keterangan saksi-saksi dan terdakwa, pada saat itu

memanggil saksi Nova yang sedang bermain didekat rumah terdakwa

disuruh untuk memberikan cabai dan menyuruh mencuci piring dan

mencuci baju kemudian diberi uang Rp 5000,-,

76

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas majelis berpendapat unsur

kedua telah terpenuhi

3) Unsur “melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain”

Bahwa dari fakta persidangan pada awal bulan September 2009

terdakwa sedang sendirian dirumahnya di Jl, Batursari III Rt. 01 Rw. 09

Kel. Sawah Besar Kec. Gayam Sari Semarang, kemudian terdakwa

memanggil saksi Nova dimana saat itu rumah terdakwa dalam keadaan sepi,

kemudian terdakwa menyuruh saksi Nova untuk membeli cabai,menyuci

piring dan baju kemudian terdakwa menyruh masuk kamar namun Nova

menolak dan selanjutnya Nova ditarik tanganya setelah dikamar dijatuhkan

ditempat tidur dan celananya ditarik kebawah sehingga terbuka, saksi Nova

melawan dan menangis namun karena pintu tertutup suara tangisanya tidak

ada yang mendengarnya. Bahwa setelah kejadian tersebut saksi Nova selalu

terlihat melamu, ketakutan, gelisah dan menagis/trauma didepan rumah

saksi Juminten. Bahwa dari keterangan saksi Nova juga dibenarkan oleh

Terdakwa. Bahwa dipersidangan saksi Nova sangat ketakutan kalau ketemu

terdakwa bahkan tidak mau memasuki ruang siding kalau didampingi oleh

pendamping yang dalam hal ini adalah dari LSM PPT Sahabat Perempuan

Pedurungan sedang dengan yang lain saksi Nova tidak merasa takut, hanya

dengan (DE NO) nama panggilan terdakwa dikampungnya Nova merasa

takut, sehingga pada waktu saksi Nova memberikan keterangan di

persidangan tidak berani melihat terdakwa.

77

4) Unsur “merupakan suatu perbuatan berlanjut”

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta dipersidangan perbuatan

terdakwa tersebut dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada sekitar bulan

September 2009, Desember 2009, dan pada sekitar bulan Pebruari 2010.

Bahwa oleh karena semua unsur dari dakwaan pertama Subsidair telah

terpenuhi, maka majelis berkesimpulan terdakwa telah terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan seperti tersebut dalam

dakwaan pertama.

Bahwa oleh karena terdakwa terbukti melakukan perbuatan seperti

tersebut dalam dakwaan pertama Subsidair, maka terdakwa harus

dibebaskan dari dakwaan pertama Primair.

Bahwa sebelum menjatuhkan pidana kepada terdakwa, terlebih dahulu

dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan.:

a. Hal-hal yang memberatkan

1) Terdakwa tidak mengakui terus terang perbuatanya

2) Perbuatan terdakwa mengakibatkan korban menderita trauma

3) Perbuatan terdakwa merusak masa depan korban yang masih anak

b. Hal-hal yang meringankan

1) Terdakwa belum pernah dihukum

6. Putusanya

Mengingat, ketentuan Pasal 81 Ayat (2) UU RI No.23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 Ayat (1), serta peraturan hukum

78

lainya yangbersangkutan dan telah Melewati beberapa proses persidangan,

dengan beberapa pertimbangan hukum, maka hakim memutuskan seadil-

adilnya bahwa:

1. Menyatakan terdakwa Aryono Bin Parto Dikromo tidak terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti tersebut

dalam dakwaan primair.

2. Membebaskan terdakwa dari dakwaan primair.

3. Menyatakan terdakwa Aryono bin Parto Dikromo telah terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja

melakukan tipu muslihat dan membujuk anak melakukan persetubuhan

denganya secara berlanjut”

4. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Aryono bin Parto dikromo dengan

pidana penjara selama tujuh tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,-

(enam puluh juta rupiah) apabila denda tidak dibayar diganti dengan

hukuman kurungan selama (enam) bulan.

5. Menetapkan masa penahanan yang dijalani terdakwa berkuatan hukum

tetap, dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

6. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan

7. Memerintahkan barang bukti berupa:

1 (satu) buah sprei warna merah

1 (satu) buah celana pendek dan 1(satu) buah selana dalam terdakwa

1 (satu) buah celana dalam korban warna putih

79

Dirampas untuk dimusnahkan.6

8. Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2500,-

(dua ribu lima ratus)

Demikianlah isi dari Putusan Pengadilan Negeri Semarang:

No.425/Pid.B/2010/PN.Smg akan dianalisis dalam bab IV (empat).

6 Isi Putusan Perkara Pidana Nomor: 425 /pid.B/2010/PN Semarang.

80

BAB IV

ANALISIS UPAYA GANTI RUGI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN

HUKUM BAGI KORBAN PERKOSAAN TERHADAP PUTUSAN

PENGADILAN NEGERI SEMARANG: NO. 425 /PID.B/2010/PN

SEMARANG.

A. Analisis Tindak Pidana Pemerkosaan

Dalam hukum Positif tindak pidana perkosaan termasuk dalam tindak

pidana mengenai kesopanan dalam hal persetubuhan, tindak pidana ini tidak

masuk dalam jenis pelanggaran akan tetapi masuk pada jenis kejahatan.

Kejahatan yang dimaksudkan ini dimuat dalam 5 pasal, yakni 284 (perzinaan),

285 (perkosaan), 286 (bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya yang

dalam keadaan pingsan), 287 (bersetubuh dengan perempuan yang belum

berumur lima belas tahun yang bukan istrinya), dan pasal 288 (bersetubuh

dalam perkawinan dengan perempuan yang belum waktunya dikawin dan

menimbulkan luka atau kematian).1 Khusus untuk kejahatan perkosaan telah

dikenal dan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dalam bab

XIV tentang kejahatan kesusilaan.2 Perkosaan sendiri diatur dalam Pasal 285

KUHP, yang berbunyi:3

1 Adam Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2005), hlm. 56.

2 Ibid. hlm. 62-63.3 KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 98.

81

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksaseorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancamkarena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama duabelas tahun”.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 291 Ayat (2) KUHP, jika pemerkosaan

tersebut mengakibatkan matinya perempuan itu, ancamanya menjadi lima belas

tahun penjara. Rumusan KUHP Pasal 285 dan 291 tersebut rencananya akan

diganti berdasarkan RUU KUHP yang merumuskanya pada Pasal 389 yang

bunyinya sebagai berikut:

Pertama, “Dipidana penjara paling lama 12 tahun dan paling rendah 3

tahun karena melakukan perkosaan”, adalah sebagai berikut:

1. Seorang pria melakukan persetubuhan dengan wanita bertentangan dengankehendak wanita tersebut

2. Seorang pria melakukan persetubuhan dengan wanita tanpa persetubuhanwanita tersebut

3. Seorang pria melakukan persetubuhan dengan wanita dengan persetujuanwanita tersebut tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untukdibunuh atau dilukai

4. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan wanita denganpersetujuan wanita tersebut karena wanita tersebut percaya bahwa ia adalahsuaminya yang sah atau ia adalah orang yang seharusnya di setubuhinya

5. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan seorang wanita yang berusiadibawah 14 tahun dengan persetujuanya.

Kedua, dianggap juga telah melakukan tindak pidana perkosaan dengan

pidana paling lama 12 tahun dan paling rendah 3 tahun apabila dalam keadaan

yang tersebut dalam ayat (1) ke-1 sampai dengan ke-5 diatas:

1. Sorang laki-laki memasukan alat kelaminya ke dalam anus atau mulutseorang wanita

82

2. Barang siapa memasukan suatu benda yang bukan merupakan bagiantubuhnya kedalam vagina atau anus seorang wanita.4

Penjelasan Pasal 285 KUHP diatas bahwa suatu perbuatan dikatakan

terbukti secara sah melakukan kejahatan perkosaan seperti dalam pasal 285

KUHP apabila pelaku telah memenuhi syarat unsur-unsur sebagai berikut:5

1. Barang siapa

2. Dengan kekerasan

3. Dengan ancaman akan memakai kekerasan

4. Memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin diluar nikah

5. Dengan dirinya

Perbuatan memaksa menurut Pasal 285 KUHP, yakni bersetubuh dengan

dia, atau bersedia disetubuhi. Cara-cara memaksa disini hanya hanya terbatas

dengan dua cara, yaitu kekerasan (geweld) dan ancaman kekerasan (bedreiging

met geweld). Dua cara tersebut tidak diterangkan lansung dalam undang-

undang. Hanya mengenai kekerasan, ada pada Pasal 89 KUHP yang

merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan, yaitu “membuat orang

pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”. R.

Susilo memberi arti kekerasan dengan kata-kata mempergunakan tenaga atau

kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak sah. Menurut Satocid kekerasan

4 Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, (Jakarta:Sinar Grafika,2008), hlm. 49-50.

5 P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Tindak Pidana Melanggar Norma-NormaKesusilaan Dan Norma-Norma Kepatutan, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 108.

83

adalah setiap perbuatan yang terdiri atas digunakanya kekuatan badan yang

tidak ringan atau berat.6

Walaupun didalam rumusanya Pasal 285 KUHP tidak mensyaratkan

adanya unsur “kesengajaan” akan tetapi dicantumkan unsur “memaksa” maka

tindak pidana perkosaan seperti yang dicantumkan dalam pasal itu harus

dilakukan dengan “sengaja”. Karena seperti yang telah diketahui dalam pasal

itu harus dilakukan dengan sengaja maka dengan sendirinya kesengajaan itu

harus dibuktikan oleh penuntut umum atau hakim di sidang pengadilan yang

memeriksa dan mengadili perkara pelaku bahwa telah didakwa melanggar

larangan yang diatur dalam KUHP.7

Unsur “kesengajaan” itu sebenarnya ada dalam kasus yang sudah diputus

oleh Pengadilan Negeri Semarang: No. 425/Pid.B/2010/PN. Semarang dengan

terdakwa Aryono bin Parto Dikromo telah melakukan persetubuhan dengan

anak di bawah umur yaitu Nova Susan Nurwanti umur 10 tahun. Terdakwa

dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp 60.000.000,- karena

melanggar Pasal 81 Ayat (2) UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP tantang perbuatan berlanjut.

Alasan hakim dalam memutus perkara tersebut adalah karena tidak

terbuktinya unsur-unsur yang ada dalam dakwaan pertama Primair tidak

terbukti maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primair pertama

tersebut. Unsur yang tidak terpenuhi itu adalah “dengan sengaja melakukan

6 Adam Chazawi, Op, Cit, hlm. 64.7 P.A.F. Lamintang, Op, Cit, hlm. 109.

84

kekerasan atau ancaman kekerasan”.8 Selanjutnya hakim mempertimbangkan

dakwaan pertama Subsidair yang memuat unsur sebagai berikut:9

1. Setiap orang

2. Dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau

membujuk anak

3. Melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain

4. Merupakan suatu perbuatan berlanjut

Dalam dakwaan pertama Primair maupun subsidair didalamnya terdapat

unsur sengaja melakukan pemaksaan untuk bersetubuh oleh pelaku kejahatan

dalam unsur “melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain”

unsur pemaksaan itu, ketika pelaku menyuruh korban membelikan cabai Rp

1.000,- kemudian terdakwa menyuruhnya masuk ke kamar namun korban

“menolak”, selanjutnya korban “ditarik” tanganya langsung dibawa kekamar,

setelah dikamar dijatuhkan ditempat tidur dan celananya ditarik kebawah

sehingga terbuka, korban berusaha “melawan” dan “menangis” namun karena

pintu tertutup suara tangisanya tidak terdengar keluar. Pada waktu itu pelaku

mengenakan celana dalam biru, dan korban “ditindih” dibawah akhirnya

kemaluan pelaku yang sudah tegang digesek gesekan dikemaluan korban terus

dimasukan dikemaluan korban.10

8 Isi Putusan Nomor: 425 /pid.B/2010/PN Semarang, hlm. 25.9 Ibid, hlm. 26.10 Ibid, hlm. 27.

85

Dalam kronologi kasus tersebut sangat jelas terlihat bahwa didalamnya

termuat adanya unsur paksaan dari pelaku, yaitu “ketika korban menolak,

korban ditarik, korban melawan, dan korban ditindih”. Jadi bisa dikatakan

perbuatan pelaku tersebut sudah memenuhi unsur dakwaan pertama primair

yang didalamnya memuat unsur seperti yang dimaksud dalam pasal 285

KUHP.

Yang pertama, ketika korban “menolak, melawan” dan “ditarik, ditindih,

apabila merujuk pada The Encyclopedia American Internasional Edition,

volume 23, yang dikutip oleh Topo Santoso, dikatakan bahwa:

“Perkosaan (rape) dalam hukum adalah suatu perbuatan seksual yangbertentangan dengan hukum dimana terjadi persetubuhan tanpa adanyapersetujuan dari korban.”

Pengaturan dari unsur-unsurnya dan hukuman bagi perbuatan tersebut

diatur dalam peraturan dan hukum yang berbeda-beda dari tiap-tiap Negara.

Tetapi inti dari perbuatan tersebut adalah tidak adanya persetujuan atau

penolakan dari si korban.11

Back’s Law Dictionary, merumuskan perkosaan atau rape sebagai

berikut:

“Hubungan seksual yang melawan hukum/tidak sah dengan seorangperempuan tanpa persetujuannya. Persetubuhan secara melawanhukum/tidak sah terhadap seorang perempuan oleh seorang laki-lakidilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendaknya.Tindak persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadapseorang perempuan bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukanketika perlawanan perempuan tersebut diyatasi dengan kekuatan danketakutan, atau di bawah keadaan penghalang.”

11 Topo Santoso, Seksualitas Dan Hukum Pidana, (Jakarta: IND. HILL-CO,1997), hlm. 16.

86

Dalam kamus tersebut dijelaskan bahwa: seorang laki-laki yang

melakukan “sexual intercourse” dengan seorang perempuan yang bukan

istrinya dinyatakan bersalah jika:

1. Dia memaksa perempuan itu untuk tunduk/menyerah dengan paksa atau

dengan ancaman akan segera dibunuh, dilukai berat, disakiti atau diculik,

akan dibebankan pada orang lain

2. Dia telah menghalangi kekuatan perempuan itu untuk menilai atau

mengontrol perbuatanya dengan memberikan obat-obatan, tanpa

pengetahuanya, racun atau bahan-bahan lain dengan tujuan untuk mencegah

perlawananya

3. Perempuan itu dalam keadaan tidak sadar

4. Perempuan itu dibawah usia 10 tahun12

Hal ini dapat dipahami dengan analogi sebagai berikut: “B seorang

remaja putri, dengan tiba-tiba digumuli seorang laki-laki bernama P sehingga

tubuh B dapat dirobohkan. Antara B dan P terjadi adu tenaga. Karena B

tenaganya kalah dengan maka P dapat menyetubuhinya. Pada contoh tersebut,

B tenaganya kalah sehingga tak berdaya. Dengan demikian, lebih tepat

menafsirkan “memaksa” sebagai suatu perbuatan yang demikian rupa sehingga

tak berdaya untuk menghindarinya.13

12 Topo Santoso, Ibid, hlm. 17.13 Leden Marpaung, Op, Cit, hlm. 52.

87

Adapun tanda-tanda atau bukti yang dapat menguatkan bahwa telah

terjadi perkosaan antara lain: robeknya selaput dara atau hymen dalam hal

wanitanya sebelum diperkosa masih dalam keadaan perawan bentuk robeknya

selaput dara (hymen) akan berbeda antara hubungan kelamin yang dilakukan

atas dasar suka sama suka dengan hubungan kelamin yang dilakukan dengan

paksa, umunya bentuk robekan hymen itu tidak beraturan bila hubungan

dilakukan secara paksa dan lebih tidak beraturan bila korban gigih melakukan

pembelaan atau perlawanan.14 Hal ini dikuatkan dengan adanya Visum ET

Repertum No.16/VER/PPKPA/II/2010/Dokpol tanggal 07 Pebruari 2010 yang

dibuat dan ditandatangani oleh dokter Nanung Budi P, yang bekerja pada

rumah sakit Bayangkara Semarang. Akibat perbuatan pelaku, korban

merasakan sakit pada alat kelaminya.

Selanjutnya dalam perkara nomor: 425/PID.B/2010/PN. Semarang, juga

termuat adanya unsur yang dimaksud dalam Pasal 287 KUHP yaitu bersetubuh

dengan wanita yang umurnya belum mencapai 15 tahun maka seharusnya

hakim juga mempertimbangkan unsur-unsur yang ada dalam Pasal 287 KUHP

tersebut.

Mengenai persetubuhan terhadap anak dibawah umur apabila mengacu

pada kepustakaan hukum pidana asing maka akan ditemukan jenis perkosaan

14 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban KekerasanSeksual, Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2001), hlm. 113.

88

“forcible rape” dan “statutory rape”,15 aturan yang mirip juga dapat ditemukan

pada KUHP Austria Pasal 127.16 akan tetapi dalam hukum pidana Indonesia

“Statutory rape” tadi tidak dikualifikasikan sebagai perkosaan (tapi dalam

rancangan KUHP Nasional sudah dikualifikasikan sebagai perkosaan juga.

Menurut Topo Santoso, pengkualifikasian “statutory rape” kedalam

tindak pidana perkosaan akan lebih melindungi wanita remaja dari kejahatan

seksual. Lagi pula persetujuan yang diberikan wanita mungkin disebabkan

ketidaktahuan, kepolosan atau karena bujukan dan sebagainya. Saat ini sering

kita baca anak-anak menjadi korban perbuatan seksual baik lewat ancaman

maupun bujukan, bahkan anak-anak laki-laki pun juga menjadi korban

perbuatan sodomi (homoseksual).

Seorang wanita dewasa dapat setuju untuk bersetubuh, yang berarti

bahwa penolakanya untuk melakukan hal tersebut menjadi unsur kunci didalam

kasus perkosaan biasa. Sebaliknya seorang wanita dibawah usia, dalam banyak

hukum pidana dianggap tidak dapat memberikan persetujuan (secara hukum)

untuk bersetubuh. Istilah “statutory rape” merupakan istilah yang paling umum

untuk kejahatan semacam ini. Dengan perkataan lain, seorang anak wanita (a

15 Forcible Rape adalah segala upaya atau serangan untuk memperkosa perempuan dibawahumur secara paksa dan melawan kehendaknya. abcnews.go.com/blogs/politics/2011/12/fbi-to-change-definition-of-forcible-rape.html. Ditulis oleh: Virginia, Diakses pada tanggal 10 Mei 2012.Sedangkan Statutory Rape adalah hubungan seksual dengan seorang (gadis atau anak laki-laki)yang belum mencapai usia dewasa (bahkan berpartisipasi rela). www.artikata.com/arti-175512-statutory+rape.html. diakses Pada Tanggal 10 Mei 2012.

16 KUHP Austria pasal 127 dengan rumusan”dalam keadaan tidak dapat membela diri atautidak sadar, atau yang belum mencapai umur 14 tahun, juga dianggap sebagai perkosaan”. TopoSantoso, Lok, Cit.

89

female juvenile) dapat secara pribadi setuju untuk berhubungan sex, tetapi

hukum tidak mengakui kemampuan untuk “setuju” oleh karena itu, seorang

pria yang bersetubuh denganya dianggap “tanpa persetujuan si wanita” 17

Dalam hukum Islam sendiri perkosaan dikenal dengan konsep (ikrah)

persetubuhan karena adanya paksaan dari pelaku baik itu laki-laki maupun

perempuan umumnya dikategorikan dalam tindak pidana zina dan tergolong

dalam jarimah hudud yang hukumanya bagi pelaku zina mukhson adalah rajam

dan bagi pelaku zina ghairu mukhson adalah 100 kali dera dan diasingkan atau

diusir keluar daerah. Seperti yang sudah diterangkan dalam al-Qur’an maupun

hadits, dalam Q.S an-Nur ayat 2, Allah SWT berfirman:

Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah

tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belaskasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, danhendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan olehsekumpulan orang-orang yang beriman”.

Penafsiran Ayat:

Bahwa Islam memerintahkan adanya kebersihan tentang hubungan sex,

bagi laki-laki dan perempuan, pada setiap waktu sebelum perkawinan, selama

dalam perkawinan maupun sesudah putusnya hubungan perkawinan. Mereka

17 Ibid, hlm. 21.

90

yang melakukan perbuatan terlarang itu dikeluarkan dari lingkungan

perkawinan laki-laki dan perempuan terhormat.18

Sedangkan dalam Kitab Tafsir Jalalain yang menjelaskan asbabun nuzul

ayat diatas bahwa ayat ini diturunkan tatkala orang-orang miskin dikalangan

sahabat Muhajirin berniat mengawini para pelacur orang musrik, karena

mereka orang kaya. Kaum muhajirin menyangka bahwa kekayaan yang

dimiliknya itu akan dapat menanggun nafkah mereka. Karena itu dikatakan

bahwa pengahraman ini khusus ditujukan kepada para sahabat Muhajirin yang

miskin tadi.19

Dan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh HR Muslim, adalah

sebagai berikut:

ا عنى قد جعل هللا لھن خذو: م. قال رسول هللا ص: عن عبا دة بن الصامت قالرواه (البكر بالبكر جلد مائة ونفى سنة والثیب بالثیب جلدمائة والرجم . سبیال)مسلم

Artinya: “dari Ubadah bin Ash-Shamid ia berkata: Rasulullah SAW.bersabda:“Ambilah dari diriku, ambilah dari diriku, sesunggunyaAllah memberikan jalan keluar ( hukuman bagi mereka ( pezina ),jejaka dan gadis hukumanya dera seratus kali dan pengasinganselama satu tahun, sedangkan duda dan janda hukumanya deraseratus kali dan rajam.”

Ayat al-Qur’an dan hadits diatas mengindikasikan bahwa perzinaan harus

dihilangkan dimuka bumi dan bagi seseorang yang melanggarnya sudah

disiapkan oleh Syara’ yaitu hukuman yang sangat berat.

18 Abdul Yusuf Ali, AlQur’an Dan Terjemahanya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm.884.

19 Imam Jalaludin Almahali dan Imam Jalaludi Asuyuti, Tafsir Jalalain, (Bandung: SinarBaru, 1990), hlm. 1452.

91

Menurut Dr. Satria Efendi M. bahwa persoalan yang tampak dari

kejahatan perkosaan bukan sekedar zina saja, namun juga mengadung unsur

pemaksaan dari pelaku terhadap korbanya sementara zina dapat dilakukan suka

sama suka. Menarik untuk dicatat dalam bahasa Arab pun, istilah bagi

pemerkosaan bukanlah zina, tetapi li-hurmat an-nisa (perampasan kehormatan

wanita). Dan ini akan berimplikasi bukan hanya pada cara pembuktian, tetapi

juga pemberian hukuman bagi pelaku perkosaan.20

Mengenai kejahatan perkosaan itu sendiri menurut Abdul Salam Arief

bahwa hukum Islam mengkategorikan perkosaan sebagai zina yang dipaksakan

(al-wath bi al-ikrah) yang pelakunya bisa dikenakan hukuman yang sangat

berat berat yaitu had21 dan para ulama’ telah sepakat tidak ada hukuman had

bagi yang dipaksa.22 Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa paksaan tersebut bisa

berupa paksaan yang nyata (al-ikrah al-mulji), ancaman akan dibunuh, atau

kondisi yang membahayakan dirinya.23

Ikrah ini didefinisikan oleh sebagian fuqoha’ adalah sebagai berikut:

.انھ فعل یفعلھ اال نسان بغیره فیزول رضاه اویفسدا ختیارهب

Artinya: “Paksaan ialah perbuatan yang dilakukan manusia karena (paksaan)orang lain sehingga hilang keridloanya serta merusak pilihanya”24

20 Luthfi Asyaukanie, Politik, HAM dan Isu-isu Teknologi dalam Fiqh Kontemporer,(Bandung: Pustaka Hidayah, 1998, Cet.I), hlm. 41-42.

21 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 136.22 Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamiy

bil Qonunil Wad’iy, (PT. Kharisma Ilmu, Juz. IV.), hlm. 164.23 Jaih Mubarok, Enceng Arif Faisal, Kaidah Fiqh Jinayah, Asas-Asas hukum Pidana Islam

(Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, 2004), hlm. 94.24 Juhaya S. Praja dan Ahmad Syihabudin, Delik Agama Dalam Hukum Pidana Di

Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1982), hlm. 105.

92

Untuk memperjelas definisi Ikrah diatas bisa dilihat menurut pendapat

para ulama’ dalam kaidah fiqh jinayah berkenaan dengan menghilangkan

kemadharatan yaitu الضرورات المخظورات “kemadharatan membolehkan seseorang

melakukan hal-hal yang terlarang” kemadharatan atau keadaan darurat adalah

kekhawatiran akan adanya kerusakan jiwa atau sebagian anggota badan baik

secara keyakinan atau dugaan. Seperti kemadharatan yang ditimbulkan karena

adanya paksaan dari pelaku perkosaan yang dapat menghilangkan kerelaan dan

merusak pilihan dari korban.25

Kemudian mengenai sifat paksaan dalam tindak pidana, Islam sudah

mengaturnya dalam kaidah Fiqh tentang menghilangkan kemadharatan , yaitu:

Yang pertama, اال كرا ه یقتضى شیاء من العداب “Paksaan menuntut adanya

paksaan” Maksudnya bahwa suatu paksaan itu harus disertai dengan tindakan-

tindakan nyata seperti pemukulan, cekikan atau tendangan. Sedangkan menurut

ulama’ Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah, paksaan tidak menuntut adanya

perbuatan nyata, melainkan sekedar ancaman.

Yang kedua, الوعید بمفراد اكراه “Ancaman semata-mata merupakan

paksaan”, kaidah ini mengandung bahwa ancaman semata sudah merupakan

paksaan, ia tidak memerlukan perbuatan nyata seperti pemukulan atau cekikan.

Hal ini disebabkan yang dimaksud paksaan tersebut adalah untuk menimbulkan

rasa takut kepada orang yang dipaksa.26 Kemudian mengenai hukuman had

25 Ibid, hlm, 86.26 Ibid, hlm, 88.

93

bagi pelaku yang memaksa zina sama halnya dengan ketentuan laki-laki

dewasa yang menyetubuhi perempuan yang masih kecil (belum dewasa).27

Jadi, menurut penulis bahwa vonis 7 tahun penjara dan denda Rp

60.000.000,- yang dijatuhkan majelis hakim kepada terdakwa pelaku perkosaan

dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No. 425/PID.B/2010/PN.

Semarang, menurut penulis masih kurang dapat melindungi kepentingan

korban mengingat korban yang masih dibawah umur dan akibat yang

ditimbulkan dari kejahatan itu, korban akan mengalami penderitaan yang lebih

berat lagi sebab kekerasan yang dialaminya akan menjadi trauma yang

membayangi perjalanan hidupnya, kalau bertemu dengan kaum laki-laki,

\mereka tidak hanya membencinya, tapi juga takut menjalani relasi denganya.28

Apabila hal ini ditinjau dari segi hukum Islam, jelas bahwa pelaku

diancam dengan hukuman yang sangat berat yaitu had dan korbanya tidak

dijatuhi hukuman sama sekali. Menurut penulis vonis yang dijatuhkan kepada

pelaku belumlah sebanding dengan penderitaan yang dialami korban,

seharusnya perlu juga dipertimbangkan mengenai kepentingan dan hak-hak

korban, lebih-lebih dapat mengupayakan adanya ganti rugi berupa kompensasi,

restitusi dan rehabilitasi bagi para korban perkosaan yang mengalami

penderitaan secara fisik maupun psikologis. Upaya seperti itu akan lebih dapat

memberikan perlindungan terhadap hak-hak korban maupun dapat memberikan

citra baik untuk penegakan hukum di Indonesia.

27 Ibid, hlm, 128.28 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 79.

94

B. Analisis Ganti Rugi Terhadap Korban Pemerkosaan

1. Analisis terhadap Amar Putusan PN Semarang

Kita semua sudah mengetahui bahwa asas persamaan didepan hukum

(equality before the law) merupakan salah satu ciri Negara hukum. Demikian

pula terhadap korban yang harus mendapat pelayanan hukum berupa

perlindungan hukum bukan hanya tersangka atau terdakwa saja yang

dilindungi hak-haknya, tetapi korban juga harus dilindungi. Kiranya wajar jika

ada keseimbangan (balance) perlindungan tersangka/terdakwa dengan

perlindungan korban. 29

Menurut Aliran Klasik (Deklasieke Schol) bahwa tujuan hukum pidana

adalah untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa negara demi

memperjuangkan hukum pidana yang lebih adil, obyektif dengan penjatuhan

pidana yang lebih menghormati individu. Sedangkan menurut aliran modern

(kriminologis) bahwa tujuan hukum pidana adalah memperkembangkan

penyelidikan terhadap kejahatan dan penjahat, asal usul, cara pencegahan,

hukum pidana yang bermanfaat agar masyarakat terlindungi dari kejahatan.30

Dalam amar Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.

425/Pid.B/2010/PN. Smg. dengan terdakwa Aryono bin Parto Dikromo telah

melakukan persetubuhan dengan anak di bawah umur yaitu Nova Susan

Nurwanti umur 10 tahun. Setelah sidang di pengadilan Majelis memutuskan

29 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban Dan Saksi, (Jakarta: Sinar GrafikaOffset, 2011), hlm. 8.

30 Bambang Waluyo, Narapidana dan Proses Pemasyarakatan, (Jakarta: Sinar Grafika,1990), hlm. 19.

95

terdakwa dikenakan dengan dasar hukum Subsideir: Pasal 81 ayat (2) UU RI

No. 23 Tahun 200231 Tentang Perlindungan Anak jo pasal 64 ayat (1) KUHP32

tentang perbuatan berlanjut. Dengan isi putusanya terdakwa dijatuhi hukuman

7 tujuh tahun penjara dan denda Rp 60.000.000,-

Dalam memutuskan perkara tersebut majelis menggunakan beberapa

pertimbangan hukum, yaitu:

1) Hal-hal yang memberatkan

a) Terdakwa tidak mengakui terus terang perbuatanya

b) Perbuatan terdakwa mengakibatkan korban menderita trauma

c) Perbuatan terdakwa merusak masa depan korban yang masih anak

2) Hal-hal yang meringankan

a) Terdakwa belum pernah dihukum

Sebelum menganalisis putusan tersebut penulis akan menjabarkan

terlebih dahulu tentang alat bukti yang digunakan majelis hakim dalam

31 Bunyi Pasal 81 Ayat 1 dan 2: (1) Setiap yang dengan sengaja melakukan kekerasan atauancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain,dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahundan denda paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp60.000.000,-(enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaiankebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain.Indonesia, Undang-Undang Perlindangan Anak (UU RI No.23 Th. 2002), (Jakarata: Sinar Grafika,2011, Cet. V), hlm. 29.

32 Bunyi Pasal 64 Ayat (1) KUHP: (1) Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubunganya sedemikian rupa sehingga harusdipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jikaberbeda-beda maka yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.Indonesia, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 26.

96

memutus perkara terebut. Alat bukti yang digunakan oleh hakim dalam

membuktikan perkara tersebut antara lain:

1) Keterangan saksi itu terdiri dari keterangan saksi yang meringankan dan

yang memberatkan, antara lain:

a) Keterangan saksi yang meringankan itu antara lain: Pujiwawanti, Nova

Susan Norwanti Binti Susanto, Juminten Binti Sali, Nining Surati Binti

Sukma dan Sumadi Bin Ngadiman.

b) Keterangan saksi yang memberatkan antara lain: Soenarto, Mat Takul

Anam, Umi Chotimah, Wiyono.

2) Barang bukti yang berupa: 1 (satu) buah sprei warna merah, 1 (satu) buah

celana pendek dan celana dalam terdakwa, 1 (satu) buah celana dalam

korban warna putih.

3) Keterangan terdakwa yang telah menyatakan bahwa telah melakukan

perbuatan perkosaan dengan Nova Susan Norwanti Binti Susanto.33

Dari alat-alat bukti yang digunakan majelis diatas sudah memenuhi

ketentuan Pasal 183 KUHAP yang bunyinya: 34

“Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seorang kecualiapabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah iamemperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadidan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya.

dari alat-alat bukti dan pertimbangan hukum diatas terbukti bahwa terdakwa

memang benar-benar bersalah dan melanggar hukum.

33 Isi Putusan Pengadilan Semarang Perkara Nomor: 425/Pid.B/2010/PN. Semarang.34 Indonesia, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 271.

97

Seperti yang diterangkan dalam Pasal 81 Ayat (2) UU RI No. 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak bahwa seorang yang melakukan pemaksaan

dan ancaman kekerasan untuk melakukan persetubuhan pidananya 15 (lima

belas) tahun penjara dan denda paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta

rupiah) dan (paling sedikit Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).

Dari pasal ini bisa diuraikan sebagai berikut:

1) Adanya unsur ancaman dan kekerasan untuk melakukan persetubuhan, ini

berarti unsur perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 81 UU Perlindungan

Anak sesuai dengan unsur perbuatan yang ada dalam Pasal 285 KUHP yaitu

kejahatan perkosaan yang diancam dengan pidana 12 tahun penjara.

2) Dipidana 15 (tahun) dan denda Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah), ini

berarti hukuman yang di terapkan adalah pidana pokok yang mengacu pada

Pasal 64 ayat (1) KUHP35 tentang perbuatan berlanjut.

Akan tetapi apabila dicermati dari unsur-unsur yang ada dalam Undang-

Undang Pelindungan Anak Pasal 81 Ayat (2) sebenarnya sama dengan unsur

yang ada dalam Pasal 285 KUHP, yaitu disebutkanya unsur ancaman dan

kekerasan untuk melakukan persetubuhan, namun Pasal 285 KUHP tidak

menyebutkan pidana pokok berupa denda, jadi Pasal 81 Ayat (2) UU RI

tentang Perlindungan Anak masih lebih baik dari pada pasal 285 KUHP.

35 Pasal 64 ayat 1 KUHP “ Jika anatara beberapa perbuatan , meskipun masing-masingmerupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubunganya sedemikian rupa sehingga harusdipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jikaberbeda beda yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. Ibid. hlm.22.

98

Walaupun Pasal 81 Ayat (2) tentang Perlindungan Anak telah mencantumkan

pidana pokok berupa denda akan tetapi belum sepenuhnya memberikan

perlindungan terhadap hak-hak korban perkosaan apalagi yang menjadi korban

adalah anak dibawah umur dan uang dari pembayaran denda itu masuk kas

Negara jadi yang diuntungkan dari penjatuhan pidana denda ini adalah negara

bukan korban.36

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang mengatur hak-hak asasi manusia pada pasal 28 d ayat 1, berbunyi: 37

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dankepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapanhukum.”

Dan pasal 28 g ayat (1), berbunyi:

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,kehormatan, maratabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaanya,serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutanuntuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Dari kedua Pasal diatas bisa dipahami bahwa Negara menjamin atas

perlindungan bagi setiap warga negaranya berupa perlindungan diri pribadi,

keluarga, kehormatan, martabat, dan harta bendanya.

Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam

Rumah Tangga dijelaskan bahwa perlindungan didefinisikan sebagai segala

upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental,

kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga social,

36 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan,(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 68.

37 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban Dan Saksi, Op, Cit, hlm. 34.

99

kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainya baik sementara maupun

berdasarkan penetapan pengadilan. Sedangkan perlindungan yang tertuang

dalam PP No.2 Tahun 2002 adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib

dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk

memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi ,

dari ancaman, gangguan teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang

diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau

pemeriksaan disidang pengadilan.38 Apabila merujuk pada kedua undang-

undang diatas maka sangat pantas bila terdakwa divonis hukuman yang lebih

berat dari yang sudah diputus oleh majelis hakim.

Untuk menjawab permasalahan hukuman bagi pelaku diatas yang

diterapkan oleh majelis hakim dalam Pengadilan Negeri Semarang: No.

425/Pid.B/2010/PN.Semarang maka perlu juga diterapkan teori hukuman

(straftheorien) dari aliran pemikiran kriminologis (aliran modern) yang terbagi

dalam 3 golongan besar, adalah sebagai berikutt:

1) Teori absolut atau teori pembalasan

Teori ini menjelaskan bahwa didalam kejahatan itu sendiri terletak

pembenaran dari pemidanaan, terlepas dari manfaat yang hendak dicapai,

hal ini merupakan tuntutan keadilan. Jadi, menurut teori ini pidana

dijatuhkan semata-semata karena orang telah melakukan suatu kejahatan

atau tindak pidana.

38 Ditulis oleh Prakoso, www.prasko.com/2011/02/pengertian-perlindungan-hukum.html,diakses Pada Tanggal 03 Mei 2012.

100

2) Teori relative atau teori tujuan

Menurut teori ini diterangkan bahwa suatu kejahatan tidak mutlak harus

diikuti dengan suatu tindak pidana. Untuk itu tidaklah cukup dengan adanya

suatu kejahatan melainkan harus dipersoalkan pula manfaat pidana bagi

masyarakat maupun bagi terpidana itu.

3) Teori gabungan

Aliran ini lahir sebagai jalan keluar dari teori absolut dan teori relatif yang

dapat memberikan hasil yang memuaskan. Aliran ini didasarkan pada tujuan

pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat yang diterapkan

secara terpadu.39

Dari tiga golongan teori diatas, bisa disimpulkan bahwa hukum pidana

Indonesia bertujuan untuk melindungi korban dari suatu tindak kejahatan

seperti kejahatan perkosaan, terutama dalam bentuk pemidanaan terhadap

pihak yang dinyatakan bersalah sebagai pelaku tindak pidana. Penghukuman

yang dijatuhkan kepada pelaku, merupakan salah satu hak yang dituntut oleh

pihak korban.40 Apabila kita menganut pada teori gabungan yang dianut oleh

aliran pemikiran modern (kriminologis) ini maka tuntutan pemberatan

hukuman seperti hukuman mati terhadap pemerkosa dan penanganan secara

manusiawi terhadap korban perkosaan, terutama anak-anak dibawah umur

wajib mendapatkan prioritas baik secara yuridis maupun sosiologis seperti

pemberian (kompensasi, ganti rugi dan rehabilitasi dan perlakuan sosial

39 Niniek Suparni, Op, Cit, hlm. 16-19.40 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 154.

101

terhadap harkat kewanitaan) merupakan hukuman yang paling tepat untuk

terdakwa pelaku kejahatan perkosaan ini.41

Terkait dengan permasalahan ganti rugi bagi korban perkosaan

tampaknya bukan menjadi hal yang baru lagi, di beberapa Negara seperti

Inggris (1964), Belanda, Selandia Baru (1964), dan Negara-negara lainya,

korban bisa mendapat ganti rugi. Di Australia dimulai dari Negara bagian

News South Wales, dan diikuti oleh Negara bagian Queensland, South

Australia dan Western Australia (1970) melalui Criminal Injuries

Compentation, dari Negara bagian Tasmania (1970) korban telah mendapat

restitusi dan kompensasi. Begitu pula di Canada melalui Compensation Injuries

(1967) dan di Jepang lewat Criminal Indemnity. Bahkan dibeberapa Negara

bagian Amerika sudah dipakai sebagai pertimbangan penjatuhan pidana bagi

pelaku.

Permasalahan yang menjadi pertanyaan bagi setiap pencari keadilan

adalah bagaimanakah jika jaksa dalam kasus tersebut tidak mengajukan

banding, apakah hak korban dalam situasi seperti ini bisa mengajukan banding.

Menurut topo santoso “perlu diperjuangkan perlindungan terhadap korban

perkosaan, baik dalam pertimbangan penjatuhan pidana, ganti rugi, bahkan

perlu suatu perlindungan khusus, misalnya perpindahan sekolah bagi

perempuan dibawah umur, tempat tinggal, atau pekerjaan baru untuk “proses

penyembuhan” kehidupanya. Meskipun tampaknya untuk situasi Indonesia

41 Ibid, hlm. 19.

102

memang masih agak berat untuk merealisasikannya, tapi hal itu menjadi

kewajiban pemerintah”.42

Dalam hukum pidana Islam, hukuman tidak hanya berfungsi sebagai

pembalasan, tetapi juga memiliki fungsi pencegahan (umum maupun khusus)

dan juga perbaikan. Dan dalam kenyataanya pula sangat melindungi

masyarakat dari tindakan jahat masyarakat seperti pelanggaran hukum (fungsi

perlindungan).

Didalam hukum pidana Islam (Islamic penal system) dikenal tiga jenis

hukuman (punishment), yaitu had, qishas, ta’zir. Karena dalam skripsi ini

membahas tentang perkosaan yang termasuk dalam tindak pidana zina yang

hukumanya adalah had maka tujuan dari hukuman ini adalah pembalasan,

pencegahan dan perbaikan.

Pertama, tujuan pembalasan yaitu kerasnya hukuman, dan larangan setiap

bentuk mediasi berkenaan dengan hal ini, dengan perkataan lain, wajib

dijalankan jika kejahatan ini terbukti. Menurut Muhammad Qutb, kerasnya

hukuman itu didasarkan pada pertimbangan psikologis, dengan maksud untuk

memerangi kecenderungan para penjahat dalam melanggar hukum, Islam

menentukan hukuman keras yang menggambarkan perhatian terhadap akibat-

akibat kejahatan.

Kedua, dikenalnya tujuan pencegahan dalam system hukum pidana Islam

adalah lebih dalam dan lebih tegas disbanding system-sistem lain. Disini

42 Topo Santoso, Op, Cit, hlm. 43.

103

pencegahan dikenal sebagai justifikasi utama untuk penghukuman khususnya

untuk hukuman had, Mawardi mendefinisikan hudud sebagai “hukuman-

hukuman pencegahan yang ditetapkan tuhan untuk mencegah manusia dari

melakukan apa yang Ia larang dan dari melalaikan apa yang Ia perintahkan”.

Ketiga, tujuan perbaikan, menurut Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa

hukuman had ialah bernilai baik dengan perbaikan (reformative), pembalasan

(retributive) maupun pencegahan (deference).43

Menurut A. Djazuli dalam fiqh Jinayat bahwa hukuman itu diterapkan

untuk memperbaiki individu, menjaga keseimbangan masyarakat dan tertib

sosial, jadi hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan tidak semata-

mata bertujuan membuat jera, membalas dan mendidik pelaku agar menyadari

kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya serta mau bertaubat, tetapi juga

bermanfaat bagi masyarakat, khususnya korban kejahatan, yang merupakan

anggota masyarakat dan hukuman yang dijatuhkan bukan hanya untuk

kepentingan prifat namun juga untuk kepentingan publik.

Berkaitan dengan masalah perkosaan, jenis hukuman yang bisa

dikenakan dan dieksekusi kepada pelaku adalah dapat berpijak pada had yang

dijatuhkan semasa Rosulullah (dalam kasus perkosaan terhadap wanita yang

akan menjalankan sholat malam), yakni merajam pelakunya.

Memang dalam kasus itu tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai

pengertian rajam yang dilakukan kepada pelaku perkosaan, namun tetap dapat

43 Ibid, hlm. 51-52.

104

di interprestasikan bahwa rajam yang diterapkan itu tidak berbeda dengan jenis

rajam yang diterapkan dalam kasus perzinaan mukhson, meskipun demikian

jika dikaitkan dengan jenis kasusnya yang termasuk perzinaan dengan paksaan,

maka hukuman rajam (melempar dengan batu kepada pelakunya sampai

meninggal dunia) cukup pantas diterapkan.

Model eksekusi yang memiliki bobot yang cukup tinggi dalam dalam

kaitanya dengan mencegah maraknya kejahatan itu diterapkan secara

bermacam-macam oleh kalangan penegak hukum seperti halnya had yang

berkaitan dengan kejahatan perzinaan misalnya soal pengasingan diganti

dengan pemenjaraan, sedangkan perajaman difokuskan pada hukuman mati

dengan cara ditembak, disuntik, diestrum pakai listrik, dipenggal kepalanya

maupun yang lainya.

Sebagai contoh, kerajaan Saudi Arabia, pada bulan Nopember 1977

melaksanakan pidana mati atas pelaku zina, yaitu terhadap Putri Misha dan

Muslih Al-Shaer, Terhadap putri Misha ditembakkan ketubuhnya tiga kali

tembakan dengan pistol dari jarak dekat, dan terhadap Muslih dilakukan

potong leher dengan pedang oleh seorang algojo dalam posisi berjongkok

dengan kepala tegak agak kedepan.

Apabila ditinjau dari kepentinganya kepada korban kejahatan, seperti

korban kejahatan perkosaan, maka model hukuman mati seperti cara ditembak,

diestrum, dan dipancung, rasanya sudah memenuhi kepentingan korban. Pihak

korban sudah dipenuhi dan dijembatani hak-hak asasinya secara yuridis, yakni

105

menghukum pelaku yang telah menjatuhkan dan melecehkan martabat

kewanitaanya.44

Dalam hal hukuman, Satria Effendi, berpendapat bahwa hukuman

perkosaan pun berbeda dengan perzinaan yang dilakukan suka sama suka. Jika

sanksi zina adalah had (dera atau rajam), untuk perkosaan sanksinya adalah

had disertai hukuman tambahan (ta’zir) yang ditentukan majelis hakim dengan

cara pembuktian dan sanksi diyatas.45

Menurut penulis vonis yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri

Semarang dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.

425/Pid.B/2010/PN. Smg. seharusnya hukuman pidana yang dijatuhkan kepada

terdakwa pelaku perkosaan lebih berat lagi seperti hukuman had dalam hukum

Islam dan hukuman pidana pokok berupa denda bisa diganti dengan hukuman

tambahan berupa ganti kerugian karena hukuman denda berupa uang

kebanyakan masuk pada Negara bukan kepada korban. Apabila dibenturkan

dengan konsep diyat dalam hukum Islam, hal ini jelas sangat bertentangan

karena diyat/denda dalam hukum Islam diberikan oleh pelaku kepada korban

bukan kepada Negara, jadi dalam Perkara: No. 425/PID.B/2010/PN Smg.

korban perkosaan belum mendapatkan perhatian dan perlindungan oleh

penegak hukum terutama menyangkut hak-hak dan kepentingan korban.

44 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 146.45 Luthfi Asyaukanie, Op, Cit, hlm. 41-42.

106

2. Implikasi Ganti Rugi

Dalam rangka konsep pengaturan terhadap korban kejahatan khususnya

korban perkosaan, maka pertama-tama yang diperhatikan adalah kerugian yang

diderita si korban, ternyata essensi kerugian tersebut tidak hanya bersifat

material atau penderitaan fisik saja melainkan juga yang bersifat psikologis, hal

ini dalam bentuk trauma kehilangan kepercayaan terhadap masyarakat dan

ketertiban umum. Sindrom tersebut dapat berupa kegelisahan, rasa curiga,

sinisme, depresi, kesepian, dan pelbagai perilaku penghindaran yang lain.46

Apa lagi korban dari kejahatan perkosaan dalam hal ini yang menjadi korban

adalah anak yang masih dibawah umur, umunya mereka akan mengalami

penderitaan yang lebih berat lagi, sebab kekerasan yang dialaminya akan

menjadi trauma yang membayangi perjalanan hidupnya, kalau bertemu dengan

kaum laki-laki, mereka tidak hanya membencinya, tapi juga takut menjalin

relasi denganya.47

Menurut Arif Gosita bahwa anak wajib dilindungi agar mereka tidak

menjadi korban tindakan siapa saja (individu atau kelompok, Organisasi swasta

maupun pemerintah) baik secara langsung maupun tidak langsung.48

Upaya ganti rugi kepada mereka yang menjadi korban perkosaan

merupakan suatu langkah untuk melindungi hak-hak bagi mereka wanita

46 Muladi, Dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: PenerbitAlumni, 1992), hlm. 79.

47 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 79.48 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam System Peradilan Anak Di

Indonesisa, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hlm. 2.

107

korban perkosaan karena perlindungan terhadap korban tindak pidana dapat

diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum

atas penderitaan/kerugian orang yang telah dialami korban tindak pidana.49

Berkaitan dengan ganti rugi sebagai bentuk perlindungan terhadap

korban kejahatan maka ada beberapa peraturan perundang-undangan yang bisa

diterapkan berkenaan dengan hak-hak umum yang dimiliki oleh korban dan

keluarganya apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan

sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya.

Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak

Asasi Manusia dalam salah satu pasalnya disebutkan bahwa korban berhak

untuk memperoleh ganti kerugian atas penederitaan yang dialaminya.

Pemberian ganti kerugian itu dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainya,

seperti Negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani masalah

ganti kerugian korban kejahatan.50

Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.40/A/Res/34 Tahun 1985 telah

menetapkan beberapa hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh akses

keadilan khususnya dalam proses peradilan, yaitu:

1. Compassion, respect and recognition;2. Receive information and explanation about the progress of the case;3. Provide information;4. Providing proper assistance;5. Protection of privacy and physical safety;6. Restitution and compensation;

49 http://realitamasakini.wordpress.com. Rahmat Illahi Besri, Perlindungan KorbanPerkosaan, diakses pada tanggal 5 Mei 2012.

50 Dikdik M. Arief Mansur, dan Elisatris Gultom, Op Cit, hlm. 54-55.

108

7. To access to the mechanism of justice system.

Sekalipun hak-hak korban kejahatan telah tersedia secara memadai mulai

dari bantuan keuangan hingga hak atas pelayanan medis dan bantuan hukum,

tidak berarti kewajiban dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena

melalui peran korban dan keluarganya diharapkan penggulangan kejahatan

dapat dicapai secara signifikan.

Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan, antara

lain:51

1. Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas dendam

terhadap pelaku (tindakan pembalasan)

2. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya

tindak pidana

3. Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya

kejahatan kepada pihak yang berwenang

4. Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan kepada

pelaku

5. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa

dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya

6. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam

upaya penanggulangan kejahatan

51 Ibid, hlm. 54-55.

109

7. Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak

menjadi korban lagi.

Dari hak-hak korban diatas maka upaya memberikan perlindungan

berupa ganti rugi kepada korban perkosaan menjadi sesuatu yang harus

dilakukan apalagi jika melihat perlindungan yang diberikan oleh hukum dalam

ketentuan Pasal 14 c ayat (1) KUHP telah memberikan perlindungan terhadap

korban kejahatan, pasal tersebut berbunyi:

“Pada perintah yang tersebut dalam pasal 14a kecuali dalam haldijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum,bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan tindak pidana,hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidanaitu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu,semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintahitu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.”

Menurut ketentuan pasal 14c ayat (1), majelis dapat menjatuhkan pidana

dengan menetapkan syarat khusus kepada terpidana dengan maksud guna

mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban.52

Kaitanya dengan upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan kepada

korban kejahatan khususnya korban kejahatan perkosaan. Maka dalam rangka

pengaturan hukum pidana terhadap korban kejahatan tersebut, secara mendasar

dikenal dengan dua model pengaturan yakni: (1) model hak-hak prosedural

(The Procedural Rights Model) dan (2) model pelayanan (The services Model).

Yang pertama, Model Prosedural (The Procedural Rights Model) ini

penekanan diberikan pada kemungkinanya si korban untuk memainkan peranan

52 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang:Universitas Diponegoro, 1997), hlm. 184.

110

aktif didalam proses criminal atau didalam jalanya proses peradilan. Dalam hal

ini si korban diberi hak untuk mengadakan tuntutan pidana atau

untukmembantu jaksa atau hak untuk dihadirkan dan didengar disetiap

tingakatan siding pengadilan dimana kepentinganya terkait didalamnya. 53

Dengan menggunakan model procedural ini perlindungan diberikan oleh

undang-undang bertujuan agar korban lebih berperan aktif dalam proses pidana

maka jalan yang bisa ditempuh menggunakan model ini adalah mengacu pada

Pasal 98 KUHAP dan Undang-Undang N0 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981)

dalam pasal 77 diatur tentang kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa

dan memutus ganti rugi dan rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya

dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan, Kemudian Pasal 98

KUHAP diatur tentang kemungkinan penggabungan perkara gugatan ganti dan

ganti kerugian kepada perkara pidana yang bersangkutan.54 Dalam hal ini

korban bisa menuntut ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku,55 Pasal 98

KUHAP ini tidak saja memperhatikan hak dari pelaku tindak pidana, tetapi

juga hak dari orang yang menderita kerugian “materiil” yang disebabkan

dilakukanya suatu tidak pidana.56 Hal ini dikuatkan dalam konsep rancangan

KUHP Baru tahun 1987/1988 dalam pasal 64 ayat 4 ke 4 konsep), yang antara

53 Muladi, dan Barda Nawawi Arif, Op, Cit, hlm. 79-80.54 Muladi, dan Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 88.55 Asmawi, M. Hanafi, Ganti Rugi Dan Rehabilitasi Menurut KUHAP, (Jakarta: Pradnya

Paramita, 1992), hlm. 6.56 Djoko Prakoso, Masalah Ganti Rugi Dalam KUHAP, (Jakarta: Bina Akasara, 1988), hlm.

109.

111

lain menyatakan pencantuman pemenuhan ganti kerugian sebagai pidana

tambahan.57

Penggabungan perkara ganti rugi ini merupakan hal baru dalam praktek

penegakan hukum di Indonesia, KUHAP memberikan prosedur hukum bagi

“korban” tindak pidana, untuk menggugat ganti rugi yang bercorak perdata

terhadap terdakwa bersamaan dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang

berlangsung,58tanpa menunggu putusan perkara pidananya terlebih dahulu.

Selanjutnya mengenai syarat-syarat untuk melakukan penggabungan tersebut.

diatur dalam pasal 98 ayat (2), yakni selambat-lambatnya sebelum penuntut

umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir,

permintaan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan, dalam

hal penuntut umum tidak hadir maka pengertian tidak hadirnya penuntut umum

dalam perkara pidana ini karena perkara tersebut diputus dengan acara

pemeriksaan cepat.

Adapun hukum acara untuk melakukan tuntutan ganti kerugian ini

berlaku Hukum Acara Perdata, sebagaimana diatur dalam HIR (Pasal 101

KUHAP). Sebagaimana kesimpulan dari Pasal 98 diatas maka ketentuan

tersebut mensyaratkan:

57 Muladi, dan Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 89. Pidana Tambahan dalam rancanganundang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 1991 ini terdiri dari: (1) pencabutan hak-haktertentu, (2) perampasan barang-barang tertentu dan tagihan, (3) pembayaran ganti rugi, (4)pemenuhan kewajiban adat. Niniek Suparni, Op, Cit, hlm. 33.

58 M. Yahya Harahap, Op, Cit, hlm. 46.

112

a. Adanya permintaan dari yang dirugikan

b. Benar-benar ada kerugian yang diakibatkan dari perbuatan/tindakan

terdakwa

c. Permintaan tuntutan ganti kerugian ini selambat-lambatnya sebelum hakim

menjatuhkan putusan.

Setelah syarat-syarat ini terpenuhi maka Pasal 99 KUHAP mewajibkan

Pengadilan Negeri menimbang tentang kewenanganya untuk mengadili

gugatan tersebut, yakni tentang kebenaran gugatan dan tentang hukum

penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan, putusan

mengenai ganti rugi dengan sendirinya akan memperoleh kekuatan hukum

tetap, apabila putusan pidananya memperoleh kekuatan hukum yang tetap pula.

Kemudian dalam Pasal 100 KUHAP menjelaskan: (1) apabila terjadi

penggabungan antara perkara perdata dan pidana, maka penggabungan itu

dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan pada tingkat banding. (2)

apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan banding, maka

permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.59

Dari keseluruhan aplikasi yang diberikan oleh hukum yaitu KUHAP

menunjukan bahwa penggabungan gugatan tersebut pada perkara pidananya

bertujuan agar gugatan itu dapat diperiksa dan diputus sekaligus dengan

perkara pidananya, sehingga dengan demikian dalam prosedur untuk

beracarapun tidak dilakukan sendiri akan tetapi dari prosedur yang diberikan

59 Djoko Prakoso, Op, Cit, hlm. 110-111.

113

oleh hukum dalam Pasal 98 KUHAP tersebut dalam praktiknya kurang efektif

diterapkan,60 mengingat masih banyaknya kelemahan-kelemahan dalam

ketentuan mengenai syarat-syarat yang di tetapkan, yakni tidak disebutkanya

kerugian yang bersifat “immateriil” yang tidak dapat dimintakan lewat

prosedur ini.61

Selanjutnya model prosedural diberikan berdasarkan ketentuan Undang-

Undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebelum

membahas bentuk perlindungan secara prosedural yang diberikan oleh undang-

undang PSK ini terlebih dahulu kita lihat dalam konvensi PBB, yakni

Convention Against Transnasional Organized Crime, Assembly Resolution

55/25, annex I, entered into force on 29 September 2003 (Konfensi PBB

melawan kejahatan transnasional terorganisasi, Resolusi Majelis Nomor 55/25,

lampiran berlaku 29 September 2003). Dalam Pasal 24 antara lain disebutkan

agar Negara anggota melakukan upaya-upaya pantas memberikan perlindungan

yang efektif terhadap pembalasan atau intimidasi bagi saksi dan korban.

Penjabaran HAM berkaitan dengan perlindungan korban dan saksi

tertuang dalam beberapa undang-undang, salah satu undang-undang tersebut

seperti yang ada dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, disebutkan bahwa perlindungan saksi dan

korban berdasarkan pada62 penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa

60 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban Dan Saksi, Op, Cit, hlm. 4.61 Djoko Prakoso, Op, Cit, hlm. 113.62 Bambang Waluyo, Op, Cit, hlm. 36.

114

aman, keadilan, tidak diskriminatif, kepastian hukum.63 Berdasarkan Undang-

Undang PSK pasal 5 ini bahwa setiap saksi dan korban berhak:

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta

bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang

akan sedang, atau telah diberikanya

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan

dukungan keamanan

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan

d. Mendapatkan penerjemah

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat

f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kaus

g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan

h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan

i. Mendapat identitas baru

j. Mendapatkan kediaman baru

k. Mendapatkan nasehat hukum

l. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batasan waktu

perlindungan berakhir.

Hak-hak khusus saksi dan korban yang diberikan oleh undang-undang

PSK dalam Pasal 5 diatas dilakukan diluar pengadilan dan dalam proses

peradilan jika yang bersangkutan menjadi saksi. Mengenai Hak yang diberikan

63KomnasPerempuan, Perlindungan Terhadap Saksi Dan Korban, (Jakarta:[email protected], 2009), hlm. 70.

115

dalam proses peradilan dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok waktu

yaitu: hak yang harus diberikan pada proses peradilan, hak selama proses

peradilan dan hak selama berakhirnya proses peradilan.64 Pemberian hak-hak

tersebut secara selektif dan prosedural diberikan melalui LPSK (Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban).65 Namun dalam Pasal 5 ini hak-hak yang

dimaksudkan hanya pada kasus-kasus tertentu seperti: “tindak pidana korupsi,

tindak pidana narkotika/psikotropika, terorisme, dan tindak pidana yang

mengakibatkan posisi korban dihadapkan pada situasi yang membahayakan

jiwanya.66

Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 menegaskan

bahwa tujuan perlindungan adalah untuk memberikan rasa aman kepada saksi

dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan

pidana. Jika asas tujuan perlindungan dilaksanakan secara baik, bukan saja

korban dan saksi yang mendapat perlindungan tetapi lebih luas lagi tentu saja

masyarakat, bangsa, dan negara terlindungi kemudian negara akan dianggap

telah melaksanakan kewajibanya melindungi warganya dengan baik. Hal ini

merupakan salah satu tujuan Negara yang termaktub dalam pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945, yaitu:

“…Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsaIndonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.

64 Komnas Perempuan, Ibid, hlm. 38.65 Bambang Waluyo, Op, Cit, hlm. 41.66 Ibid, hlm. 41.

116

Bukan hanya itu saja, perlindungan di atas merupakan bagian politik

hukum pidana yang selama ini terlihat lebih banyak memihak ke

tersangka/terdakwa.67

Selanjutnya bentuk perlindungan yang ditandai dengan pemberian

kompensasi bagi korban dalam kasus pelanggaran HAM berat bisa dilihat

dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, yaitu:68

1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:a) Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang

berat.b) Hak atas restitusi dan ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab

pelaku tindak pidana.2) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.

Maksud pemberian ganti rugi dalam konteks Undang-Undang

Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pasal 7 b adalah penggantian kerugian

yang diberikan oleh pelaku kepada korban sebagai salah satu bentuk

pertanggung jawaban pelaku tindak pidana. Sementara Pasal 7a Negara hanya

akan bertanggung jawab untuk memberikan kompensasi bagi korban dalam

kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tidak untuk kasus lainya.69

Dari ketentuan Pasal 7a diatas dapat disimpulkan bahwa yang berhak

mengajukan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi adalah “seorang yang

mengalami penderitaan fisik, mental, dan kerugian ekonomi yang diakibatkan

67 Ibid, hlm. 38-39.68 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia, No. 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban.69 Komnas Perempuan, Op, Cit, hlm. 38.

117

oleh suatu tindak pidana”, yang dalam ketentuan ini dikhususkan pada korban

pelanggaran HAM berat dan tindak pidana.70

Menurut Arif Gosita diterangkan bahwa yang dimaksud dengan korban

adalah mereka yang menderita jasmaniah maupun rohaniah sebagai akibat

tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau

orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang

menderita.71

Khusus untuk wanita korban perkosaan, derita yang dialaminya tidak

dapat dibandingkan dengan korban perampokan, pencurian, atau penjambretan,

korban semacam ini umumnya terbatas kehilangan harta benda, relative tidak

menderita batin dan tekanan social berkepanjangan namun sebaliknya korban

perkosaan, mereka kehilangan harga kehormatan, harga diri yang tidak

mungkin bisa diganti, dibeli atau disembuhkan sekalipun mencincang pelaku

hingga mati.72 Lebih-lebih korban perkosaan anak-anak dibawah umur, mereka

akan mengalami penderitaan yang lebih berat lagi, sebab kekerasan yang

dialaminya akan menjadi trauma yang membayangi perjalanan hidupnya, kalau

bertemu dengan kaum laki-laki, mereka tidak hanya membencinya, tapi juga

takut menjalin relasi denganya.73

70 Pasal 1 angka 2 jo Pasal 7 ayat (1) UU No.13 Tahun 2006.71 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Persindo, 1983), hlm. 41.72 Eko Prasetyo, dan Suparman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan,

(Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset, 1997), hlm. 102.73 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 79.

118

Sebagai contoh dari kasus perkosaan pelanggaran HAM berat yaitu pada

kasus Adrei Chikatilo (57 tahun) yang dikenal dengan “Jagal Rostov” (Rostov

Ripper) yaitu seorang yang melakukan perkosaan selama 52 kali dan diikuti

dengan kejahatan pembunuhan selama 12 tahun di Selat Rusia, Ukraina dan

Usbekistan Ia dijatuhi hukuman mati.

Kemudian kasus pelanggaran HAM berat tersebut bisa dilihat dalam

kasus komunitas etnis Albania Kosovo”dari kota ke kota dari desa ke desa,

pasukan Serbia terus melancarkan pemburuan terhadap wanita muda untuk

diperkosa. Pemerkosaan secara sitematis dan besar-besaran itu dilakukan

ketika para serdadu Serbia itu melakukan penjarahan, pengosongan, dan

pembakaran terhadap etnis Albania Kosovo, ribuan wanita berjuang mati-

matian untuk bisa meloloskan diri dari sergapan serdadu-serdadu gila itu. ”74

Terkait dengan tindak pidana perkosaan yang perlu juga diperhatikan

adalah bahwa kejahatan perkosaan ini sudah termasuk dalam kategori

pelanggaran HAM yang cukup serius karena kejahatan ini jelas-jelas

merupakan bentuk perilaku primitive yang menonjolkan nafsu, dendam dan

superioritas, yakni siapa yang kuat yang berhak mengorbankan orang lain oleh

hakim.75

Nursyahbani Kantjasungkana mengemukakan “masalah perkosaan tidak

dapat lagi dipandang sebagai masalah individu belaka, tetapi merupakan

problem social yang terkait dengan masalah hak asasi manusia, khususnya

74 Ibid, hlm. 16-17.75 Ibid, hlm. 62.

119

berkaitan terhadap segala bentuk penyiksaan dan pengabaian martabat

manusia”76

Menurut anggota LPSK Penanggungjawab Bidang Bantuan, Kompensasi

dan Restitusi, Lili Pintauli Siregar, “bahwa LPSK memiliki kewajiban dalam

memberikan perlindungan dan bantuan terhadap korban perkosaaan, mulai dari

perlindungan hukum, fisik dan perlindungan psikis”.77

Korban tindak pidana perkosaan ini bisa mendapatkan hak-haknya

seperti yang dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 7 Undang-Undang

Perlindungan Saksi dan Korban, karena mereka juga mengalami penderitaan

yang sama seperti korban-korban tindak pidana dan korban pelanggaran HAM

berat bahkan derita yang dialami lebih berat dari pada derita yang dialami oleh

korban dari tindak pidana lain maupun korban dari pelanggaran HAM berat.

Tata cara memperoleh perlindungan bagi korban perkosaan yang

dimaksud dalam pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban bisa

diajukan kepada LPSK adalah sebagai berikut:

1. Mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK

2. LPSK memeriksa permohonan dan paling lambat 7 (tujuh) hari harus ada

keputusan tertulis

76 Eko Prasetyo, dan Suparman Marzuki, Op, Cit, hlm. 178.77 Ditulis oleh: LPSK: http://www.suarapembaruan.com/home/lpsk-banyak-korban-

perkosaan-tak-tahu hak-haknya/11553 di Akses Pada tgl 6 Februari 2012.

120

3. Apabila LPSK menerima permohonan, maka korban menandatangani

pernyataan kesediaan untuk mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan

korban yang memuat:

a. Kesediaan korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan

b. Kesediaan korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan

keselamatanya

c. Kesediaan korban untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan

orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam

perlindungan LPSK

d. Kewajiban korban untuk ridak memberitahukan kepada siapa pun

mengenai keberadaanya dibawah perlindungan LPSK

e. Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK

4. Tata cara pemberian bantuan

a. Bantuan diberikan atas permintaan tertulis dari yang bersangkutan

ataupun orang yang mewakili kepada LPSK

b. LPSK menetukan kelayakan diberikanya bantuan kepada korban serta

jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan

c. Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan harus diberitahukan

sesara tertulis kepada yang bersangkutan paling lama 7 (tujuh) hari sejak

diterimanya permintaan.

Kemudian tata cara memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi

korban pelanggaran HAM berat dan bagi korban tindak pidana seperti yang

121

dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban

maka mekanisme pemberian ganti rugi dalam bentuk kompensasi, restitusi, dan

rehabiliasi ditentukan berdasarkan Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 2008

diatur melalui pasal 2 sampai dengan Pasal 19, yang diajukan melalui LPSK.78

Karena model prosedural ini dianggap kurang bisa memenuhi

kepentingan korban dari golongan yang tidak mampu, hal ini dibuktikan

dengan keenggananya mereka mengajukan tuntutan ganti rugi79 maka

diharapkan para penegak hukum untuk lebih bisa memperhatikan dan melayani

kepentingan korban, khususnya kepada korban tindak pidana yang tidak

mampu secara fisik, mental, sosial, maupun ekonomi.

Yang kedua, yakni model pelayanan (services model), penekanan

diletakkan pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan

korban kejahatan, yang dapat digunakan oleh polisi, misalnya dalam bentuk

pedoman dalam rangka notifikasi kepada korban dan atau kejaksaan dalam

rangka penangananya perkara, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana

yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum

pidana dijatuhkan. Pendekatan ini sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam

kerangka kegiatan polisi dan penegak hukum yang lain.80 Model pelayanan

model ini diharapkan mampu memenuhi kepentingan korban dari golongan

78 Bambang Waluyo, Op, Cit, hlm. 100-103.79 Keengganan menuntut ganti rugi tersebut mempunyai beberapa sebab yang perlu

diperhatikan adalah sebagai berikut: (1) Tidak ingin mempersuli diri dengan mengadakan tuntutanganti rugi, (2) hasil jerih payah menuntut ganti rugi ini tidak seimbang dengan kerugian yangdiderita, (3) Peristiwa tidak boleh diketahui oleh orang banyak. Arif Gosita, Op, Cit, hlm. 122.

80 Muladi, Op, Cit. hlm. 178.

122

yang tidak mampu secara mental, sosial maupun ekonomi. Model pelayanan

tersebut antara lain:81

1. Para hakim diharapkan agar tidak segan membuat putusan dalam bentuk

pidana tambahan berupa ganti rugi, sehingga hakim dalam menjatuhkan

pidana ganti rugi tidak lagi menunggu korban mengajukan pengganbungan

perkara pidana, tetapi langsug menjatuhkan bersama pidana pokok.

2. Para jaksa, penuntut umum sebaiknya juga menuntut ganti kerugian untuk

kepentingan para pihak korban.

3. Para pengacara supaya memberikan bantuan hukum, mendampingi pihak

korban yang tidak mampu untuk memperjuangkan pemenuhan kepentingan

korban tindak pidana sebagai hak yang bersangkutan.

4. Para golongan intelektual, para pemimpin agar bersedia mempengaruhi

para pembuat kebijakan untuk memikirkan nasib para korban tindak pidana.

Sedangkan perlindungan terhadap korban dalam konsep hukum pidana

Islam adalah berprinsip pada keadilan, kasetaraan (equality before the law) dan

kemanusiaan sedangkan perlindungan hukum bagi korban perkosaan mengacu

pada perlindungan terhadap jiwa (Hifd Al-Nafs) yang didalamnya terdapat hak

kehidupan, kedamaian dan ketenangan yang harus dilindungi dari tindakan

penganiyaan.82 Namun persoaalan yang tersisa adalah apakah korban

perkosaan bisa mendapatkan ganti rugi berupa diyat seperti korban dalam

hukuman qishas, maka menurut kesepakatan ulama’ bahwa hukuman bagi

81 Arif Gosita, Ibid, hlm. 124.82 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 90.

123

pelaku perkosaan dengan kekerasan dikenakan hukuman ganda. Pertama,

hukuman atas perzinahan, yaitu cambukan 100 kali atau dirajam dihadapan

halayak, Kedua, hukuman atas penganiyaan (jika ia melukai atau menganiaya

anggota tubuh korbanya) hukuman yang dikenakan yaitu qishas, dibalas

dengan hukuman yang sebanding dengan perbuatanya, Ketiga, apabila terbatas

pada ancaman, hukumanya adalah ta’zir, dalam hal ini keputusan hakimlah

yang menentukanya.83

Berdasarkan ketentuan diatas maka apabila perkosaan dilakukan dengan

penganiayaan dan melukai anggota tubuh korbanya, maka korban bisa

mendapatkan hukuman pengganti yaitu diyat yang kurang dari sempurna yang

biasa disebut dengan arsy,84 misalnya luka damiyah (luka yang mengeluarkan

darah) maka wajib membayar diyat satu unta, pada luka badi’ah (luka yang

memotong daging) wajib dua unta, dan luka mutalahimah (luka yang membuat

daging keluar) wajib diyat tiga unta.85

Selanjutnya jika perkosaan itu mengakibatkan luka yang belum

ditentukan oleh syara’ seperti luka lecet pada vagina akibat dari perkosaan

maka korban dengan luka semacam ini bisa medapatkan ganti rugi berupa diyat

83 Husain Mahmud, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,(Yogyakarta: LKiS, 2001, Cet.I), hlm. 161.

84 Arsy ada dua macam : arsy yang ditentukan dan yang belum ditentukan. Arsy yang sudahditentukan adalah arsy yang kadarnya ditetapkan oleh Allah. Seperti arsy tangan dan kaki. Adapunarsy yang belum ditentukan adalah arsy yang tidak ada nasnya dan ketentuanya diserahkan kepadahakim. Ini yang disebut arsy hukumah (kebijakan). Abdul Qodir Audah, Op, Cit, hlm. 66.

85 Abdul Qodir Audah. Ibid, hlm. 82.

124

namun keputusan mengenai besarnya ganti rugi tersebut ditentukan oleh hakim

melalui konsep hukumah al-‘adl.86

Menurut ulama’ mazhab Syafi’iah , mereka berpendapat bahwa apabila

ada seorang laki-laki memaksa perempuan untuk melakukan zina maka wajib

bagi perempuan itu menerima mahar87 yang sesuai baik itu perempuan

merdeka atau budak,88 hukuman pidana dengan cara membebani ganti kerugian

secara ekonomi itu ditentukan oleh hakim.89

Ketentuan diatas dikuatkan dengan pendapat Imam Al-Baji, ia

berpendapat bahwa hukuman had dan membayar mahar merupakan dua

kewajiban untuk pemerkosa. Hukuman had ini terkait dengan hak Allah

sementara kewajiban membayar mahar terkait dengan hak mahkluk,90 menurut

Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Atha’ dan Az-Zuhri berpendapat bahwa wajib

diberikan kepada perempuan yang dipaksa itu mahar mistilnya.91

86 Arti hukumah menurut imam yang empat adalah menentukan nilai korban sebagai hambasebelum dilukai kemudian nilai tersebut diukur sesudah luka dan setelah sembuh darinya. Ibid,hlm. 86.

87 Dalam kitab Bidayatul Mujtahid dijelaskan bahwa ulama’ yang berpendapat maharsebagai ganti vagina maka wajib bagi pelaku pemerkosa untuk memberikan mahar kepadaperempuan yang diperkosa. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), hlm. 102.

88 Abdur Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahibul Arba’ah, Juz V, (Darut Taqwa, 2003),hlm. 73.

89 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 62.90 http://muhakbarilyas.blogspot.com/2012/04/pandangan-alkitab-vs-islam-terhadap.html,

oleh:EkandariSulistyaningsih, diakses pada tanggal 10 April 2012.91 Mahar mitsil itu ditafsirkan oleh kalangan ahli hukum Islam sebagai kompensasi ganti

kerugian secara material ekonomi yang dibebankan kepada pelaku. Abdul Wahid, dan MuhammadIrfan, Op, Cit, hlm. 62.

125

Jadi menurut penulis sudah seharusnya korban kejahatan khususnya

korban perkosaan untuk mendapatkan perlindungan berupa pemberian hak-

haknya sebagai korban diantara hak itu adalah adanya ganti kerugian berupa

kompensai, restitusi dan rehabilitasi yang diberikan oleh pelaku terhadap

korban mengingat dampak yang ditimbulkan akibat perkosaan itu sangat

banyak mulai dari dampak fisik, sosial, maupun psikologis. Oleh karena itu

berkaitan dengan prospek hukum pidana Islam dapat diterapkan terhadap

korban perkosaan, dalam hukum pidana Islam pelaku selain diancam dengan

hukuman yang berat berupa had, diasingkan selama satu tahun dan rajam,

pelaku juga dikenakan beban ganti rugi berupa mahar kepada korban perkosaan

atau qishas-diyat (melukai) yang ditentukan oleh hakim.

126

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis uraikan tentang permasalahan demi permasalahan yang

ada kaitanya dengan judul skripsi melalui pembahasan dari bab pertama

sampai bab terakhir penulis dapat menyimpulkan beberapa hal diantaranya.

1. Menurut Hukum Positif

Putusan pengadilan Negeri Semarang dengan Perkara Nomor:

425/Pid.B/2010/PN. Semarang yang berupa kejahatan kesusilaan yaitu

memaksa melakukan persetubuhan dengan wanita yang masih dibawah

umur dengan vonis 7 tahun penjara dan denda Rp 60.000.000,- dalam

Pasal 81 (2) UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal

64 Ayat (1), masih kurang obyektif, karena kejahatan yang dilakukan

sudah memenuhi unsur-unsur tindak pidana perkosaan seperti yang

dimaksud dalam Pasal 81 Ayat (1) Undang-undang Perlindungan Anak

yaitu berupa ”dengan sengaja atau ancaman kekerasan memaksa seorang

wanita dibawah umur mengadakan hubungan kelamin”, unsur tersebut

sesuai dengan Pasal 285 KUHP tentang kejahatan perkosaan. Seharusnya

Vonis yang dapat dijatuhkan kepada pelaku sesuai dengan Pasal 285

KUHP yaitu 12 tahun penjara atau Pasal 81 Ayat (1) Undang-Undang

Perlindungan anak yaitu 15 tahun penjara dengan menambahkan kepada

127

pelaku ganti kerugian berupa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi,

mengingat korban yang masih berusia 10 tahun dan akibat yang

ditimbulkan dari kejahatan perkosaan tersebut, korban mengalami

penderitaan baik fisik maupun psikis yang berkepanjangan bahkan putus

sekolah karena menanggung malu.

Adapun bentuk perlindungan kepada korban tindak pidana

perkosaan yang dapat diberikan oleh hukum Positif berupa Ganti kerugian

kepada korban perkosaan ada 2 (dua) yakni, Pertama, melalui prosedur

yang sudah ditentukan yaitu berdasarkan Pasal 98 KUHAP melalui azas

penggabungan perkara gugatan ganti rugi dan berdasarkan Undang-

Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban melalui

LPSK, Kedua, upaya pelayanan oleh Negara dalam hal ini diwakili oleh

aparat penegak hukum khususnya hakim dapat menjatuhkan pidana

tambahan berupa pemberian ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku

perkosaan, pemberian ganti rugi semacam ini sebagai wujud dan bentuk

perlindungan hukum yang paling nyata terhadap korban perkosaan.

2. Menurut Hukum Pidana Islam

Sedangkan dalam hukum pidana Islam tindak pidana perkosaan

termasuk dalam jarimah zina dan tidak mengenal usia apabila kejahatan

yang dilakukan itu sudah memenuhi syarat-syarat berupa ancaman dan

paksaan maka tindakan pelaku tersebut sudah tergolong dalam tindak

pidana zina karena paksaan (al Wath bi al Ikrah), sedangkan perlindungan

128

yang diberikan kepada korban perkosaan menurut hukum pidana Islam

yakni pelaku perkosaan dapat dijatuhi hukuman berat berupa hukuman

had yaitu didera 100 kali dan diasingkan selama satu tahun bagi pezina

ghoiru mukhson atau dirajam dilempari dengan batu hingga meninggal

bagi pezina mukhson sedangkan korban dari zina yang dipaksakan

(perkosaan) tidak dihukum sama sekali, bahkan korban wajib diberikan

ganti rugi berupa mahar dan apabila perkosaan itu dilakukan dengan

penganiayaan maka korban berhak mendapatkan diyat, Sedangkan

besarnya ganti rugi tersebut ditentukan oleh hakim melalui konsep

hukumah al’adl.

B. Saran-Saran

Dengan berakhirnya pembahasan ini dari awal hingga akhir maka

penulis mempunyai saran kepada pihak-pihak yang mempunyai kepentingan

dalam pembahasan ini:

1. Negara dalam hal ini yang membuat undang-undang agar meninjau

kembali dan menyempurnakan peraturan-peraturan yang tidak

memungkinkan dan menjamin pemenuhan hak-hak dan kepentingan para

korban tindak pidana, khususnya tindak pidana perkosaan agar lebih

memperhatikan korban bukan hanya pelaku saja.

2. Aparat penegak hukum untuk lebih aktif dalam mensosialisasikan kepada

korban tindak pidana mengenai gugatan ganti yang sudah diatur dalam

Pasal 98 KUHAP dan rugi dan bantuan ganti rugi berupa kompensai,

129

restitusi dan rehabilitasi yang diatur dalam Undang-Undang No 13 Tahun

2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dan diharapkan agar aparat

penegak hukum memberikan pelayanan kepada korban yang mengalami

kesulitan ekonomi, mental, maupun sosial.

3. Apabila dari semua hal ini dijalankan dengan baik maka korban kejahatan

pada umumnya akan sangat dilindungi hak-haknya.

C. Penutup

Demikianlah pembahas karya ilmiah berupa skripsi ini penulis berharap

kerja keras dalam penyusunan sekripsi ini mendapatkan respon dari pembaca

baik itu saran maupun kritik demi kesempurnaan penelitian ilmiah berupa

skripsi ini. Semoga penelitian ini bisa berguna bagi perkembangan penegakan

hukum di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Almahali, Imam Jalaludin, dan Imam Jalaludin Asuyuti, Tafsir Jalalain,

(Bandung: Sinar Baru, 1990).

Asyaukanie, Luthfi, Politik, HAM dan Isu-isu Teknologi dalam Fiqh

Kontemporer, (Bandung: Pustaka Hidayah,1998, Cet I).

Asshidiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa,

1996).

Asmawi, dan M. Hanafi, Ganti Rugi dan Rehabilitasi Menurut KUHAP, (Jakarta:

Pradnya Paramita, 1992).

Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Cet. 3, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta:

PT. Rineka Cipta, 2000).

Adi, Rianto, Metodologi Pelitian Social dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004,

Cet.I).

Audah, Abdul Qadir, al-Tasyri, al-Jina’y al-Islami, (Beirut: Muasasah al-Risalah,

1992).

Audah, Abdul Qadir, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ al-Jina’I al-

Islamiy bil Qonunil Wad’iy), (PT. Kharisma Ilmu, Juz. IV)

Al Maududi, Abul A’la, Kejamkah Hukum Islam, (Gema Insani Press, 2010).

Ali, Zainudin, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007).

Ali, Abdul Yusuf, Al-Qur'an Terjemah dan Tafsirnya, (Jakarta: Pustaka Firdaus,

1994).

.

Al-Jaziri, Abdur Rahman, Kitabul Ala Madzahibul Arba’ah, (Beirut: Lebanon, tt,

Juz.II),

Bahiej, Ahmad, dkk, Pemikiran Hukum Pidana Islam Kontemporer. (Yogyakarta:

Pokja Akademik, 2006).

Chazawi, Adam, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2007).

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta: Yayasan

Peyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971).

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru

Van Hoeven, tt).

Dokumentasi Situasi Daerah Hukum Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri

Jawa Tengah, Situasi Daerah Hukum Pengadilan Negeri Semarang,

(Jakarta: Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I Direktorat

Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara,

2001).

Dwiati, Ira, Perlindugan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan

Dalam Peradilan Pidana, (Semarang: Tesis Magister Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Diponegoro).

Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Persindo, 1983).

Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam System Peradilan

Anak Di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010).

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas

UGM, 1998, Jilid.2).

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2000).

Harahap. M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2001).

Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,

1996).

Ibrahim, Johni, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normative, (Malang:

Bayu Media Publising, 2005).

Jauhari, Ahmad Al-Mursi Husai, Maqashid Syari’ah, (Jakarta: Amzah, 2009).

Kasijan, Z, Tinjauan Psikologis Larangan Mendekati Zina Dalam al-Qur’an,

(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1982).

Khasbun, M, Analisis Putusan Pengadilan Negeri Kendal Nomor

187/Pid.B/2006/Pn.Kdl Tentang Tindak Pidana Pemerkosaan Yang

Menyebabkan Kematian, (Semarang: Skripsi Fakultas Syari’ah Institut

Agama Islam Negeri Walisongo).

Kartono, Kartini, Pengantar Metodologi Riset, (Bandung: Mandar Maju, 1996,

Cet.VI).

Lidya Suryani Widyanti, Sri Wurdani dan Heru Wibowo Sukaten, Mereka yang

Terlupakan Para Korban Kejahatan Perkosaan, (Bulletin Penalaran

Mahasiswa,UGM,Vol.3,No.1Februari1997).http://ilib.ugm.ac.id/jurnal/d

ownload.php?dataId=98, di akses pada tanggal 20 Januari 2011.

Lamintang, P.A.F, Delik-Delik Khusus Tindak-Tindak Pidana Melanggar Norma-

Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan, (Bandung: Mandar

Maju, 1990).

Muhammad, Husain, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan

Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001).

Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2004).

Mubarok, Jaih, Enceng Arif Faisal, Kaidah Fiqh Jinayah, Asas-Asas hukum

Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, 2004).

Muhadjir, Noeng, Motode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin,

1996).

Muslim, Imam, Shahih Muslim, (Beirut: Darul Kutub Al-Alamiah, tt. Juz II).

Muhammad, Husain, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan

Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001).

M. Arief, Dikdik, dan Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban

Kejahatan-Antara Norma dan Realita, (Jakarta: PT. Radja Grafindo

Persada, 2007).

Marpaung, Leden, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2008).

Muladi, Dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung:

Penerbit Alumni, 1992).

Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang:

Universitas Diponegoro, 1997).

Mustofa, Ghufron, Perlindungan Terhadap Korban Pemerkosaan Anak Dibawah

Umur, (Semarang: Makalah Viktimologi Fakultas Syari’ah Institut

Agama Islam Negeri Walisongo, 2010).

Muslih, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2005).

Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada

University, 1993, Cet.4).

Prasetyo, Eko, dan Suparman Marzuki, Perempuan dalam Wacana Perkosaan,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offest, 1997).

Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai

Pustaka, 1984).

Prodjodikoro, Wirdjono, Tindak -Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung:

Eresco, 1986).

Prodjodikoro, Martiman, Ganti Rugi dan Rehabilitasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

1982).

Prakoso, Djoko, Masalah Ganti Rugi Dalam KUHAP, (Jakarta: Bina Akasara,

1988).

Perempuan, Komnas, Perlindungan Terhadap Saksi Dan Korban, (Jakarta:

[email protected], 2009), hlm. 70.

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006).

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Darul Fath, 2004).

Suparni, Niniek, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan

Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007).

Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,

2003).

Santoso, Topo, Seksualitas dan Hukum Pidana, (Jakarta: IND. HILL-CO, 1997).

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), hlm. 102.

Soeharso, dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang:

Widya Karya, 2005, Cet.XIII).

S. Praja, Juhaya dan Ahmad Syihabudin, Delik Agama Dalam Hukum Pidana Di

Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1982), hlm. 105.

Subhan, Studi Hukum Islam Terhadap Kejahatan Perkosaan Yang Dilakukan

Oleh Anak Dibawah Umur, (Analisis Putusan Pengadilan Negeri

Semarang Nomor 647 Pid B 2005 Tentang Kejahatan Kesusilaan.”

(Semarang: Skripsi Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri

Walisongo).

Waluyo, Bambang, Narapidana dan Proses Pemasyarakatan, (Jakarta: Sinar

Grafika, 1990).

Waluyo, Bambang, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, (Jakarta: Sinar

Grafika Offset, 2011).

Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004).

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,

2002).

Wahid, Abdul, dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan

Seksual, Advokasi ats Hak Asasi Perempuan, (Bandung: PT Refika

Aditama, 2001).

Refrensi Lain

Isi Putusan Pengadilan Negeri Semarang Perkara Nomor: 425 /pid.B/2010/PN

Semarang.

KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007).

Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Tahun 2010.

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang: Kitab Undang Undang Hukum

Acara Pidana, (Jakarta: 1981).

Undang - Undang Perlindungan Anak (UU RI No.23 Th. 2002), (Jakarata: Sinar

Grafika, 2011, Cet. V).

Perlindungan Saksi Dan Korban, (Undang-Undang Republik Indonesia, No 13,

Tahun 2006).

http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Pelaku%20Pemerkosaan%20Panta

s%20Dihukum%20Berat&&nomorurut_artikel=452/di akses tgl 6

Januari 2012.

http://wawasanhukum.blogspot.com/2007/06/ganti-kerugian-dan-rehabilitasi.html,

di Tulis Oleh: Diah Lestari P dan Theodora YSP, di Akses Pada Tangga l

2 April 2012.

http://www.ziddu.com/download/2663135/KUHPerdata.pdf.html.

www.abcnews.go.com/blogs/politics/2011/12/fbi-to-change-definition-of-

forcible-rape.html. Ditulis Oleh: Virginia, Diakses Pada Tanggal 10 Mei

2012.

www.artikata.com/arti-175512-statutory+rape.html. Diakses Pada Tanggal 10 Mei

2012.

www.prasko.com/2011/02/pengertian-perlindungan-hukum.html, Di Tulis Oleh

Prakoso, Diakses Pada Tanggal 03 Mei 2012.

http://realitamasakini.wordpress.com. Rahmat Illahi Besri, Perlindungan Korban

Perkosaan, Diakses Pada Tanggal 5 Mei 2012.

http://www.suarapembaruan.com/home/lpsk-banyak-korban-perkosaan-tak-tahu

hak-haknya/11553. Ditulis Oleh: LPSK, Diakses Pada Tanggal 6 Februari

2012.

http://muhakbarilyas.blogspot.com/2012/04/pandangan-alkitab-vs-islam-

terhadap.html, oleh: Ekandari Sulistyaningsih, Diakses Pada Tanggal 10

April 2012.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama : GHUFRON MUSTOFA

Tempat/Tanggal Lahir : Kendal, 03 Mei 1987

Jenis Kelamin : Laki-laki

Kewarganegaraan : Indonesia

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Ds. Jolinggo RT. 03/ RW. 03, Kel Getas,

Kec. Singorojo, Kab. Demak, Prov. Jawa Tengah

Riwayat Pendidikan Formal :

1. SD N Negeri Getas : Tahun lulus 1999

2. Mts NU Al Ma’arif 02 Boja : Tahun lulus 2002

3. MA NU Al Ma’arif 04 Boja : Tahun lulus 2005

Riwayat Pendidikan Nonformal :

1. Pondok Pesantren Roudlotul Muta’allimin Boja Kendal

Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya,

untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Semarang, 12 Juni 2012Penulis,

GHUFRON MUSTOFANIM. 072211022