SKRIPSI - e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.ide-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5575/1/full...
Transcript of SKRIPSI - e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.ide-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5575/1/full...
-
BATALNYA SEWA MENYEWA TANAH BENGKOK AKIBAT
PENGUNDURAN DIRI PERANGKAT DESA PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI
KASUS DI DESA GEDANGAN KECAMATAN TUNTANG
KABUPATEN SEMARANG)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
FARID WIBISONO
NIM. 21414062
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2019
-
ii
-
iii
-
iv
-
v
MOTTO
“kemungkinan terbesar sekarang adalah memperbesar
kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan, sehingga setiap
orang yang kita temui tak menemukan satupun sudut
kemungkinan untuk berkata TIDAK MUNGKIN”
-HOMICIDE- Barisan Nisan-
KITA NAIK UNTUK TURUN, JANGAN SOMBONG.
KITA TURUN UNTUK NAIK, JANGAN MENYERAH.
-
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan untuk:
1. Kepada kedua orang tua saya (Bejo Muhtadi dan Tasdiqoh), yang selalu
memberikan motivasi dan semangat serta doanya yang tidak pernah putus
kepada saya agar menjadi orang yang sukses dunia dan akhirat.
2. Kepada sanak saudara yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
3. Kepada Vivi Luthfiyatul Amalia, S.H. yang senantiasa memberikan semangat
untuk terus mengerjakan skripsi.
4. Heni Satar Nurhaida, S.H., M.Si. selaku Dosen Pembimbing yang selalu
memberikan saran, pengarahan, dan masukan sehingga skripsi dapat selesai
dengan maksimal sesuia dengan yang diharapkan.
5. Kepada keluarga besar Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2014.
6. Kepada Almamater IAIN Salatiga dan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang
selalu ku banggakan.
-
vii
Kata Pengantar
Rasa syukur yang dalam penulis sampaikan kepada kehadirat Allah SWT,
karena berkat rahmat – Nya penulisan skripsi ini dapat penulis selesaikan sesuai
dengan yang di harapkan. Penulis juga bersyukur atas rizki dan kesehatan yang
telah diberikan oleh – Nya, sehingga penulis dapat menyusun penulisan skripsi
ini. Shalawat dan salam penulis sanjungkan kepada Nabi Rasulullah Muhammad
SAW beserta segenap keluarga dan para sahabat – sahabatnya, syafa‟at beliau
sangat penulis nantikan di hari Akhir.
Penulisan skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.H) Fakultas Syari‟ah Progam
Studi Hukum Ekonomi Syari‟ah yang berjudul : “BATALNYA SEWA
MENYEWA TANAH BENGKOK AKIBAT PENGUNDURAN DIRI
PERANGKAT DESA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-
UNDANGAN (STUDI KASUS DI DESA GEDANGAN KECAMATAN
TUNTANG KABUPATEN SEMARANG).
Penulis mengakui bahwa dalam menyusun penulisan skripsi ini tidak dapat
diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Karena itulah penulis
mengucapkan penghargaan yang setinggi – tingginya, ungkapan terima kasih
kadang tak bisa mewakili kata – kata, namun perlu kiranya penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Dr. Siti Zumrotun, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga.
-
viii
3. Dr. Muh Irfan Helmy, Lc., M.A. selaku Wakil Dekan Bidang Akademik.
4. Dr. Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si. selaku Wakil Dekan III Fakultas Syari‟ah IAIN
Salatiga.
5. Heni Satar Nurhaida, S.H., M.Si. selaku Ketua Program Studi Hukum
Ekonomi Syari‟ah IAIN Salatiga.
6. Dr. Nafis Irkhami, M.Ag., M.A. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
selalu memberikan bimbingan agar selalu yang terbaik.
7. Heni Satar Nurhaida, S.H., M.Si Selaku dosen pembimbing yang selalu
memberikan saran pengarahan dan masukan berkaitan dengan penulisan
skripsi sehingga dapat selesai dengan maksimal sesuai dengan yang
diharapkan.
8. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf administrasi
Fakultas Syari‟ah yang tidak bisa penulis sebut satu persatu yang selalu
memeberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa
halangan apapun.
9. K.H. Drs. Nashafi, M.Pdi beserta Ahlibait nya selaku Pengasah, Pengasih,
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Asna Pulutan Salatiga.
10. Seluruh keluarga besar Pondok Pesantren Nurul Asna Pulutan Salatiga.
11. Sehabat-sahabatku tercinta yang telah memberikan motivasi dalam
penyususnan skripsi ini (Amir Baydhowi S, Nurma‟ruf Setyaji, Fiddari
Khoirul Umam, Alviyan Nurul Huda, M. Luthfi, Deny Setyadi).
12. Seluruh teman seperjuangan Hukum Ekonomi Syariah Tahun 2014.
-
ix
-
x
ABSTRAK
Wibisono, Farid. 2019. BATALNYA SEWA MENYEWA TANAH BENGKOK
AKIBAT PENGUNDURAN DIRI PERANGKAT DESA PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI KASUS
DI DESA GEDANGAN KECAMATAN TUNTANG KABUPATEN
SEMARANG). Skripsi, Fakultas Syariah Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah IAIN Salatiga. Pembimbing: Heni Satar Nurhaida, S.H, M.Si.
Kata Kunci: Hukum Islam, Sewa Menyewa, Tanah Bengkok, Perundang-
undangan.
Sewa menyewa tanah bengkok bagian dari muamalah. Seperti terjadi sewa
menyewa tanah bengkok oleh perangkat Desa dengan salah seorang masyarakat
setempat. Tanah bengkok merupakan tanah Desa dan salah satu barang milik
Desa. Hasil pengelolaan tanah bengkok atau sebutan lain dapat digunakan untuk
tambahan tunjangan kepala desa dan perangkat desa selain penghasilan tetap.
Ketentuan lebih lanjut mengenai hasil pengelolaan tanah bengkok atau sebutan
lain diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota masing-masing daerah.
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan metode
pengumpulan data, wawancara, dan dokumentasi. Sifat penelitian ini adalah
deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologis adalah
pendekatan penelitian yang mengkaji persepsi dan perilaku hukum orang dan
masyarakat atau badan hukum serta berlakunya hukum yang ada di Indonesia
yang berhubungan dengan penelitian ini.
Sewa menyewa tanah bengkok di Desa Gedangan Kecamatan Tuntang
Kabupaten Semarang didapati bahwa perangkat yang mengadakan sewa menyewa
dengan sistem tahunan dengan jangka 5 tahun telah mengundurkan diri pada
tahun ketiga, dan menyebabkan beliau harus mengembalikan sisa uang sewa
menyewa yang telah dibayarkan kepadannya sebagai bentuk uang pengembalian
kepada si penyewa. Bahwa praktik sewa menyewa tanah bengkok di Desa
Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang telah sesuai dengan Hukum
Islam, namun belum sempurna karena belum ada surat perjanjian yang dibuat oleh
kedua belah pihak sebagai landasan dasar perjanjian sewa menyewa.
-
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................... iv
MOTTO.............................................................................................................. v
PERSEMBAHAN ............................................................................................ vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
ABSTRAK ........................................................................................................ x
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 5
D. Kegunaan Penelitian ...................................................................... 6
E. Penegasan Istilah ............................................................................. 6
F. Metode penelitian ........................................................................... 7
G. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 10
H. Sistematika Penulisan ................................................................... 13
-
xii
BAB II SEWA MENYEWA TANAH BENGKOK
A. Tinjauan umum tentang sewa-menyewa ....................................... 15
1. Pengertian sewa-menyewa ..................................................... 15
2. Dasar hukum ........................................................................... 16
3. Syarat Rukun Sewa menyewa ................................................ 18
a. Rukun sewa-Menyewa (Ijarah) ...................................... 19
b. Syarat Sewa-Menyewa (Ijarah) ...................................... 21
4. Berakhirnya Sewa-Menyewa ................................................. 22
B. Tinjauan Umum mengenai Hak Penguasaan Tanah di Indonesia 23
1. Pengertian .............................................................................. 23
2. Macam-macam Hak Atas Tanah ............................................ 25
a. Sebelum berlakunya UU No.5 Tahun 1960 tentang UUPA
(Undang-Undang Pokok Agraria) ................................... 25
1) Hukum Agraria Barat ............................................... 25
2) Hukum Agraria Adat ................................................ 29
b. Penguasaan tanah setelah UU No.5 Tahun 1960 tentang
UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) ....................... 30
C. Tinjauan Umum Tanah Bengkok ................................................. 36
1. Pengertian .............................................................................. 36
2. Tanah Bengkok Sebelum UU No.5 Thun 1960 tentang UUPA
(Undang-Undang Pokok Agraria) ........................................... 38
3. Tanah Bengkok Sesudah UU No.5 Thun 1960 tentang UUPA
(Undang-Undang Pokok Agraria) ........................................... 41
4. Tanah Bengkok menurut Undang-Undang No.6 Tahun 2014
tentang Desa ............................................................................ 42
BAB III PENYAJIAN DATA DAN TEMUAN BATALNYA SEWA
MENYEWA TANAH BENGKOK AKIBAT PENGUNDURAN DIRI
PERANGKAT DESA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-
UNDANGAN (STUDI KASUS DI DESA GEDANGAN KECAMATAN
TUNTANG KABUPATEN SEMARANG)
-
xiii
A. PROFIL DESA GEDANGAN KECAMATAN TUNTANG
KABUPATEN SEMARANG ...................................................... 46
1. Sejarah ................................................................................... 46
2. Letak Geografis ...................................................................... 48
3. Batas Wilayah ........................................................................ 48
4. Topografi : Luas Kemiringan Rata-rata ................................. 48
5. Lahan ..................................................................................... 49
6. Dusun ..................................................................................... 49
7. Struktur Organisasi ................................................................ 50
8. Tingkat Pendidikan ................................................................. 51
9. Keadaan pnduduk Desa Gedangan ......................................... 52
B. Tanah Bengkok di Desa Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten
Semarang ...................................................................................... 54
1. Gambaran umum seputar kekayaan Desa di Desa Gedangan
Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang ............................ 54
2. Kewenangan sewa-menyewa tanah bengkok di Desa Gedangan
Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang ............................ 57
3. Praktik sewa-menyewa tanah bengkok di Desa Gedangan
Kecamatan Tuntang kabupaten Semarang ............................. 58
C. Gambaran Kasus Sewa-Menyewa yang terjadi di Desa Gedangan
Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang ................................... 62
BAB IV BATALNYA SEWA MENYEWA TANAH BENGKOK AKIBAT
PENGUNDURAN DIRI PERANGKAT DESA PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI KASUS DI DESA
GEDANGAN KECAMATAN TUNTANG KABUPATEN SEMARANG)
A. Analisis terhadap praktik sewa menyewa di Desa Gedangan
Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang .................................. 66
1. Akad sewa-menyewa .............................................................. 66
2. Subyek sewa-meneyewa ......................................................... 68
3. Obyek sewa-meneyewa ........................................................... 70
-
xiv
B. Tinjauan terhadap praktik sewa menyewa di Desa Gedangan
Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang ................................... 72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 77
B. Saran ............................................................................................ 79
C. Penutup ........................................................................................ 79
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 81
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 84
-
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Konsultasi
Lampiran 2 Penunjukan Pembimbing Skripsi
Lampiran 3 Daftar Nilai SKK
Lampiran 4 Pedoman Wawancara
Lampiran 5 Foto-foto Wawancara
Lampiran 6 Data Inventaris Tanah Kas Desa Gedangan Kecamatan Tuntang
Kabupaten Semarang
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia hidup di bumi mempunyai hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi. Dalam kehidupan manusia ada dua bentuk hubungan, yaitu
hubungan vertikal dan horisontal. Hubungan vertikal yaitu hubungan antara
manusia dan Allah, antara makhluk (yang diciptakan) dan Khaliq (yang
menciptakan). Kemudian hubungan yang kedua adalah hubungan horisontal,
yaitu hubungan antara sesama yang diciptakan, baik hubungan antara manusia
dan manusia, manusia dengan hewan/tumbuhan juga manusia dengan alam.
Islam sebagai agama penyempurna dari agama-agama sebelumnya
telah mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, salah satu contoh
dasar yang menjadi acuan hubungan antara manusia dengan manusia adalah
surat Al-Maidah ayat 2 yang menjelaskan tentang hubungan manusia sebagai
makhluk sosial yang tidak akan lepas dari peranan satu sama lain dan perintah
untuk saling tolong menolong antar sesama manusia.
Adapun yang menjadi dasar tolong menolong dapat dilihat pada
ketentuan Al - Qur‟an terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi :
ْثِْ ‘ َوتَ َعاَونُ ْوا َعَلى اْلِبِّ َوات َّْقَوى َوََلتَ َعاَونُ ْوا َعَلى اْْلُِقْواللاُ ‘ َواْلُعْدَوانِ ِإنَّ للَا َشِدْيُد اْلِعَقابِ ‘َوالت َّ
-
2
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.
Bertaqwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya” (Depag RI,
2003:48).
Dalam kajian-kajian fiqih Islam terdapat pembagian pembahasan
fiqih, fiqih ibadah dan fiqih muamalah. Fiqih muamalah merupakan aturan
yang membahas tentang hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam
sebuah masyarakat. Di dalamnya termasuk kegiatan perekonomian
masyarakat. Salah satu jenis transaksi ekonomi yang dibahas di dalam fiqih
muamalah ialah ijarah/sewa menyewa.
Dalam Islam, kegiatan sewa menyewa disebut dengan Ijārah. al-
Ijārah (sewa menyewa) berasal dari kata al-Ajru yang arti menurut bahasa
ialah al-„iwaḍh yang arti dalam bahasa Indonesia adalah ganti dan upah.
Ijārah adalah menukar sesuatu dengan adanya imbalan, diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia berarti sewa menyewa dan upah-mengupah. Sewa menyewa
adalah “menjual manfaat”, dan upah-mengupah adalah “menjual tenaga atau
kekuatan” (Suhendi, 2010: 115).
Unsur-unsur yang menjadikan Ijārah menjadi sah adalah sebagai
berikut : penyewa dan yang menyewakan, barang yang disewakan, harga
sewa, persetujuan persewaan. Pihak-pihak yang melakukan perjanjian harus
secara legal memenuhi syarat berpartisipasi dalam kontrak Ijārah dan harus
ada harga sewa yang pasti (Rahman, 1996: 141).
-
3
Manfaat dari sesuatu yang menjadi obyek transaksi Ijārah mestilah
berupa sesuatu yang mubah, bukan sesuatu yang haram. Ini berarti bahwa
agama tidak membenarkan terjadinya sewa atau perburuhan terhadap sesuatu
perbuatan yang dilarang agama (Karim, 1997: 35). Sewa menyewa bisa saja
batal (Fasakh) karena beberapa sebab, diantaranya terjadinya cacat pada
barang sewaan, rusaknya barang yang disewakan, berakhirnya masa yang
telah ditentukan dan selesai pekerjaannya (Karim, 1997: 112).
Sewa menyewa sangatlah berkaitan dengan perjanjian atau akad
mempunyai arti penting dalam kehidupan masyarakat dan merupakan “dasar
dari sekian banyak aktivitas keseharian kita”. Melalui akad seorang lelaki
disatukan dengan seorang wanita dalam suatu kehidupan bersama, dan
melalui akad juga berbagai kegiatan bisnis dan usaha dapat dijalankan. Akad
memfasilitasi setiap orang dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan yang
tidak dapat dipenuhi sendiri tanpa bantuan dan jasa orang lain. Karenanya
dapat dibenarkan bila dikatakan bahwa akad merupakan sarana sosial yang
ditemukan oleh peradaban umat manusia untuk mendukung kehidupan
sebagai makhluk sosial. Dalam melakukan perbuatan hukum tentunya tidak
lepas dari suatu perjanjian, begitu juga dalam hal sewa menyewa (Anwar,
2010: 61).
Perjanjian sewa menyewa termasuk dalam perjanjian bernama.
Perjanjian ini adalah suatu perjanjian konsensual, artinya perjanjian ini sudah
sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur
pokoknya, yaitu barang dan harga. Peraturan tentang sewa menyewa ini
-
4
berlaku untuk segala macam sewa menyewa, mengenai semua jenis
barang, baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak, yang memakai
waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu (Prodjodikoro,
1989: 117).
Dalam lalu lintas masyarakat terdapat salah satu perbuatan hukum
yaitu adanya transaksi sewa menyewa tanah, karena sewa menyewa
merupakan suatu perbuatan peralihan hak atas tanah yang sering dilakukan
orang. Apabila si pemilik tanah membutuhkan uang, maka dia dapat
menyewakan tanahnya. Sebaliknya bagi orang-orang yang tidak mempunyai
uang, tanah merupakan sarana yang paling baik untuk menghasilkan uang.
Sementara itu dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
juga mengatur pasal-pasal tentang sewa menyewa yakni pada bab ketujuh
pada pasal 1548 dijelaskan bahwa: “sewa menyewa adalah suatu persetujuan,
dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada
pihak yang lainya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dan
dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu
disanggupi pembayarannya.” Selanjutnya pada pasal 1549 juga di jelaskan
bahwa : “Semua jenis barang, baik yang tak bergerak maupun yang bergerak
dapat di sewakan (Subekti, 1992: 318).
Saat ini sewa-menyewa tanah memang sudah umum dan banyak
dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Seperti halnya di Desa
Gedanngan Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang, terjadi sewa menyewa
-
5
tanah desa. Tanah Desa adalah barang milik desa berupa tanah bengkok,
kuburan, dan titisara (permendagri no.4/2007-pasal 1 ayat 10). Menurut
PP.No.47/2015 pasal 100 ayat (3) Hasil pengelolaan tanah bengkok atau
sebutan lain dapat digunakan untuk tambahan tunjangan kepala desa dan
perangkat desa selain penghasilan tetap dan tunjangan kepala desa. Ketentuan
lebih lanjut mengenai hasil pengelolaan tanah bengkok atau sebutan lain
diatur dengan peraturan bupati/walikota masing-masing daerah.
Warga di Desa Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang
menyewa tanah bengkok milik bapak Kadus yang saat itu menjabat dengan
model tahunan (menyewa dengan skala tahun), yaitu 5 tahun sewa. Kemudian
sampai pada tahun ketiga penyewaan ternyata tanpa diharapkan sebelumnya
bapak kadus yang disewa tanahnya mengundurkan diri sebagai kadus, yang
secara otomatis memutus haknya atas tanah bengkok tersebut.
Dari transaksi dan uraian tersebut diatas maka penulis ingin
mengadakan penelitian dan menyusunnya dalam bentuk skripsi dengan judul
“BATALNYA SEWA MENYEWA TANAH BENGKOK AKIBAT
PENGUNDURAN DIRI PERANGKAT DESA PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI KASUS DI DESA
GEDANGAN KECAMATAN TUNTANG KABUPATEN
SEMARANG)”
-
6
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana praktik sewa-menyewa tanah bengkok di Desa Gedangan
kecamatan Tuntang kabupaten Semarang ?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam mengenai sewa-menyewa tanah
bengkok yang terjadi di Desa Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten
Semarang ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui batalnya praktik sewa-menyewa tanah bengkok di Desa
Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang.
2. Untuk mengetahui Tinjauan Hukum Islam mengenai batalnya praktik
sewa-menyewa tanah bengkok di Desa Gedangan Kecamatan Tuntang
Kabupaten Semarang
D. Kegunaan Penelitian
Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:
1. Secara teoritis
a. Penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya wacana keilmuan
mengenai hukum muamalah terutama di bidang sewa-menyewa/ijarah.
2. Secara Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan bagi pejabat desa
yang mempunyai hak atas tanah bengkok ketika akan mengadakan
sewa-menyewa tanah bengkok.
b. Dapat memberi masukan dan pertimbangan bagi seluruh masyarakat
ketika akan mengadakan sewa-menyewa tanah bengkok khususnya.
-
7
c. Menambah bahan pustaka bagi Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Salatiga.
E. Penegasan Istilah
Untuk melanjutkan studi atau penelitian ada beberapa hal yang perlu
untuk ditegaskan atau dipersempit maknanya agar pembaca dan penulis
mempunyai pemikiran sama ketika membaca penelitian ini:
1. Hukum Islam adalah titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf, baik berupa tuntutan (Thalab), Pemberian pilihan (Takhyir), atau
berupa ketetapan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya
sesuatu yang lain, sebagai syarat bagi adanya sesuatu yang lain, sebagai
penghalang bagii adannya sesuatu yang lain, atau sebagai pemberitahu sah
/ batalnya suatu pekerjaan serta Rukhsah dan azimah suatu pekerjaan
(Koto, 2013: 25).
2. Sewa-Menyewa adalah suatu persutujuan yang mana pihak satu
mengikatkan diri untuk mendapatkan kenikmatan suatu barang pada pihak
yang lain dalam waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang
disanggupi. (KUHPer pasal 1548).
3. Tanah bengkok adalah harta kekayaan desa yang diterima (diusahakan)
sebagai ganti gaji kepada pamong desa, perangkat desa sebagai tunjangan
selama menjabat. (https://id.m.wiktionary.org/wiki/tanah_bengkok.
Diakses 25 oktober 2018. 09.34 WIB)
-
8
F. Metode penelitian
1. Jenis Penelitian dan pendekatan
Jenis penelitian adalah penelitian lapangan (field research) yakni
penelitian yang langsung berhubungan dengan obyek yang diteliti
(Sutrisno, 2001: 32). Penelitian ini bersifat kualitatif, yang mana
penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-
penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan
prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kuantitatif
(pengukuran). Penelitian ini dapat menunjukkan pada penelitian tentang
masyarakat, sejarah, tingkah laku juga tentang fungsionalisasi organisasi,
pergerakan-pergerakan sosial atau hubungan kekerabatan (Corbin, 1997:
11).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis
sosiologis. Pendekatan yuridis sosiologis adalah pendekatan penelitian
yang mengkaji persepsi dan perilaku hukum orang dan masyarakat atau
badan hukum serta efektivitas berlakunya hukum yang ada di Indonesia
(Utsman,2004:66).
2. Jenis dan Sumber Data
jenis data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini terbagi
menjadi dua macam yakni data primer dan data sekunder:
a. Data primer
Data primer adalah data yang secara langsung diperoleh dari
sumber data pertama di lokasi penelitian atau obyek penelitian (Bungin,
-
9
2004: 122). Obyek penelitian ini adalah Tanah Bengkok di Desa
Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang. Oleh karena itu
peneliti melakukan wawancara secara langsung kepada bapak Ali
Mukidi selaku penyewa tanah bengkok, Bapak Daroji selaku Kades
Gedangan, Para anggota BPD Gedangan, dan perangkat lain yang
mengetahui secara langsung kejadian sewa-menyewa tanah bengkok di
Desa Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang.
b. Data Sekunder
Dalam penelitian ini, data sekunder berupa dokumen yang berupa
data tulisan seperti buku, majalah, surat kabar, makalah, laporan
penelitian dokumen dan lain-lain sebagainya. (Arikunto, 2002: 206).
Maka Peneliti menggunakan buku-buku, skripsi, artikel yang dapat
menjadi referensi baik dari perpustakaan atau yang lain, dokumen-
dokumen desa sebagai pelengkap data jika dibutuhkan.
3. Metode pengumpulan data.
Salah satu tahap yang penting dalam proses proses penelitian
adalah tahap pengumpulan data. Hal ini karena data merupakan faktor
terpenting dalam suatu penelitian, tanpa adanya data yang terkumpul
maka tidak mungkin suatu penelitian ini akan berhasil. Dalam penelitian
ini metode pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah dengan cara:
a. Wawancara
Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang
berlangsung secara lisan yang dilakukan dua orang atau lebih bertatap
-
10
muka dan mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau
keterangan yang berhubungan dengan penelitian (Muhammad, 2008:
103).
b. Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang digunakan
untuk mengumpulkan data berupa sumber data tertulis yang berupa
penjelasan serta pemikiran tentang fenomena yang masih aktual dan
sesuai dengan masalah penelitian (Muhammad, 2008: 104)
4. Metode Analisis Data
Analisis data adalah upaya data yang sudah tersedia kemudian
diolah dengan statistik dan dapat digunakan untuk menjawab rumusan
masalah dalam penelitian (Sujarweni, 2014: 103).
Dalam penelitian ini analisa yang digunakan adalah analisis
kualitatif merupakan jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-
penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan
prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi
(pengukuran). Dengan metode kualitatif, peneliti tidak hanya
menggambarkan, akan tetapi juga menjelaskan tingkat status fenomena.
(Sujarweni, 2014: 39)
G. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk mengetahui validasi penelitian
yang telah dibuat. Penelitian terdahulu dapat menjadi satu pijakan penulis
-
11
agar penelitiannya berbeda dengan yang terdahulu. Adapun penelitian yang
telah dilakukan adalah:
1. Skripsi yang ditulis Akhmad Zakky Rusdianto, Fakultas Hukum
Universitas Negeri Semarang dengan judul “ANALISIS YURIDIS
TERHADAP PENGELOLAAN TANAH BENGKOK DI DESA SEPANYUL,
KECAMATAN GUDO, KABUPATEN JOMBANG” pada tahun 2015.
Skripsi tersebut membahas mengenai bagaimana penerapan dan
pelaksanaan tanah bengkok di desa tersebut dan ternyata hasil dari
penelitian tersebut adalah Terdapat pro kontra di lapangan. Sebagian
masyarakat menginginkan tanah bengkok dikelola dan diperuntukan untuk
kepentingan dan kesejahteraan masyarakat desa, hal tersebut juga sesuai
perintah perundangan-undangan yang baru berlaku, namun sebagian besar
kepala desa dan perangkat desa menolak apabila tanah bengkok akan
ditarik dan dijadikan sebagai sumber pendapatan desa sebagaimana yang
tertuang di undang-undang. Namun pemerintah desa masih bersikukuh
memepertahankan bahwa tanah bengkok merupakan hak yang melekat
pada jabatannya, meskipun nantinya akan juga mendapatkan tunjangan
juga dari Alokasi Dana Desa yang dihitung tiap bulannya akan mendapat
tunjangan secara tetap dari dana tersebut yang berasal dari APBN.
Sehingga sampai saat ini pengelolaan tanah bengkok masih dikelola dan
diperuntukkan untuk kompensasi gaji kepala desa dan aparatur desa
(Rusdiyanto, 2015).
-
12
2. Skripsi yang ditulis oleh Achmad mufid Sunani, Fakultas Syariah IAIN
Purwokerto dengan judul : “AKAD SEWA TANAH BENGKOK DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Grujugan
Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas)” pada tahun 2015. Skripsi
tersebut meneliti apakah akad yang digunakan saat sewa menyewa tanah
bengkok dan menurut peneliti adalah Akad sewa tanah bengkok yang
dilakukan di Desa Grujugan Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas
merupakan ijarah atas manfaat benda antara panitia lelang dengan petani
yang dilakukan secara langsung dan terbuka. Dimana sewa tanah bengkok
dilakukan dengan cara panitia lelang sebelum memulai lelang terlebih
dahulu membacakan tata tertib lelang dan ketentuan umum setelah aturan
tersebut di setujui langsung dilakukan tahap lelang dengan terlebih dahulu
panitia lelang menjelaskan lokasi sawah setelah petani paham dan tau
dimana lokasinya, panitia lelang dengan petani langsung melakukan
tawar-menawar harga sampai menghasilkan kesepakatan. Ijab dan qobul
dilakukan secara lisan dan tulisan berkaitan dengan waktu dan manfaat,
namun mengenai manfaatnya dibebaskan untuk pertanian apa saja
(Sunani, : 2015).
3. Skripsi ditulis dan disusun oleh Mat Syakir, Fakultas Hukum Universitas
Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang dengan judul: “TINJAUAN
YURIDIS TENTANG STATUS TANAH BENGKOK DI DESA BULUSARI
KECAMATAN SAYUNG KABUPATEN DEMAK” Tahun 2016. Tanah
bengkok merupakan tanah desa yang diberikan desa kepada pamong desa
-
13
dan/ atau aparat desa sebagai kompensasi gaji yang diberikan oleh desa
atas pekerjaan dan jabatan yang diemban oleh pamong desa dan/atau
perangkat desa, Tanah bengkok merupakan tanah adat yang dulunya
merupakan tanah kerajaan yang mempunyai pemerintahan sendiri.
Dengan kata lain bahwa tanah bengkok adalah tanah bekas swapraja.
Maka tanah bengkok adalah tanah bersama milik warga yang
kepemilikannya adalah milik desa dan Sesuai dengan kesepakatan dari
perjanjian jual beli hak tersebut diatas yang bertujuan untuk ditempati dan
dikelola maka hak yang melekat pada pihak pembeli hak (warga) adalah
Hak Guna Usaha (HGU) Sesuai dengan kesepakatan dari perjanjian jual
beli hak tersebut diatas yang bertujuan untuk ditempati dan dikelola maka
hak yang melekat pada pihak pembeli hak (warga) adalah Hak Guna
Usaha (Syakir, 2016).
Bertolak dari uraian di atas, maka setidaknya dapat diketahui bahwa
judul penelitian yang dikaji penulis memiliki pokok permasalahan yang
berbeda dengan beberapa judul yang telah diuraikan di atas, dimana
permasalahan yang terjadi di Desa Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten
Semarang adalah tanah bengkok yang disewa tahunan oleh seorang warga
kepada yang memiliki hak tanah bengkok yaitu kadus di Desa Gedangan
namun kadus tersebut mengundurkan diri dan kehilangan hak nya atas tanah
bengkok tersebut, akan tetapi masih dalam jangka sewa oleh seorang warga
yang menyewa.
-
14
Dari permasalahan di atas penulis menganggap menarik untuk diteliti
dan belum ada yang pernah membahasnya.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pemahaman isi penelitian ini, maka penulis
menyusun sistematika penulisan menjadi lima bab, yang berisi hal-hal pokok
yang dapat dijadikan acuan dalam memahami pembahasan skripsi ini
yaitu:
Bab kesatu : Pendahuluan yang berisi uraian tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
penegasan istilah, metode penelitian yang berisi tentang (jenis
penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data,
metode analisis data), tinjauan pustaka, dan diakhiri dengan
sistematika penulisan.
Bab Kedua : Merupakan landasan teori/ kajian pustaka mengenai sewa
menyewa tanah bengkok menurut Hukum Islam yang terdiri
dari : pengertian sewa menyewa dan dasar-dasarnya, syarat dan
rukun, berakhirnya sewa menyewa. Kemudian dilanjutkan
tinjauan umum mengenai hak penguasaan tanah beserta macam
nya. kemudian dilanjutkan dengan tinjauan umum mengenai
tanah bengkok, baik sebelum dan sesudah Undang-undang No
5 Tahun 1960 tentang UUPA juga dilengkapi dengan tanah
-
15
bengkok menurut Undang-undang No 6 Tahun 2014 tentang
Desa
Bab Ketiga : Merupakan penyajian data dan temuan yang terdiri dari
deskripsi singkat megenai obyek yang diteliti yaitu profil desa,
penyajian data/ gambara umum dan pelaksanaan sewa
menyewa tanah bengkok di Desa Gedangan Kecamatan
Tuntang Kabupaten Semarang.
Bab Keempat : Merupakan analisis praktik sewa menyewa tanah bengkok di
Desa Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang
menurut hukum Islam.
Bab Kelima : Bab terahir atau bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran dari hasil pengolahan data dan keseluruhan rangkaian
penelitian ini.
-
16
BAB II
SEWA MENYEWA TANAH BENGKOK
A. Tinjauan umum tentang sewa-menyewa
1. Pengertian Sewa-Menyewa
Sewa-menyewa dalam KUHper ( Kitab Undang-undang Hukum
Perdata) Buku ke III bab VII (pasal 1548) Sewa menyewa adalah suatu
persutujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk
memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama
waktu tertentu dengan pembayaran suatu barang yang disanggupi oleh
pihak tersebut terakhir itu.
Dalam pendapat lain sewa menyewa di dalam Islam dikenal dengan
istilah Ijārah. al-Ijārah (sewa menyewa) berasal dari kata al-Ajru yang
arti menurut bahasa ialah al-„iwaḍh yang dalam bahasa Indonesia berarti
ganti dan upah (Suhendi, 2010: 115). Dalam buku II bab I (pasal 20) (9)
ijarah adalah sewa barang dalam jangka tertentu dengan pembayaran
(KHES).
Secara bahasa kata Ijarah merupakan kata yang terbentuk dari
kalimat fi‟il “ajara-ya‟juru-ajran”. Ajran semakna dengan kata al-„iwadh
yang mempunyai arti ganti dan upah (al-Munawir, 1997:9).
Menurut Sayyid Sabiq dalam (Huda, 2011:78) Ijarah Secara Istilah
ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan
penggantian. Yang diambil disini adalah manfaat dari sesuatu barang.
Manfaat tersebut kadang berupa manfaat benda, pekerjaan, dan tenaga.
-
17
Manfaat benda seperti contoh : mendiami mobil atau mengendarai mobil,
manfaat pekerjaan seperti pekerjaan menjahit, manfaat tenaga seperti hal
nya buruh (Djamil,2002:155).
Dari pengertian-pengertian di atas terlihat bahwasanya sewa-
menyewa itu adalah suatu akad menggunakan barang milik orang lain
untuk diambil manfaatnya (bukan untuk mengurangi dzat benda nya),
dalam jangka waktu tertentu dengan memberikan upah sebagai biaya
ganti pemanfaat atas sesuatu barang tersebut.
2. Dasar hukum
Dalam ranah hukum positif sewa –menyewa telah diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPER) pada buku ketiga
tentang Perikatan dan berada pada Bab VII mengenai Sewa-menyewa
dimulai dari pasal 1547-1617.
Dalam UUPA juga terdapat landasan hukum mengenai sewa-
menyewa tanah pertanian yang lebih luasnya akan dibahas padad regulasi
lex specialis (khusus) yaitu Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
Dalam UUPA mengenai sewa-menyewa tanah disebutkan dalam pasal 10
ayat 1 yaitu :
“setiap orang maupun badan hukum yang memiliki hak atas tanah
pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan
secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan” (Harsono.2008,552).
Dasar hukum diperbolehkan akad sewa-menyewa menurut Islam
adalah al-Qur‟an, As-Sunnah, dan Ijma‟ para ulama. Di bawah ini akan
diuraikan beberapa dasar hukum dari sewa-menyewa diantaranya adalah:
-
18
a. Al Qur an
Dasar hukum sewa-menyewa atau sering disebut Ijarah dalam
Al Qur an ada pada Al-Qur an surat At Talaq (65) ayat 6 dan Al
Qashash (28) ayat 26 :
َنُكْم ِبَْعُرْوٍف َوِإْن تَ َعا فَِاْن اَْرَضْعَن َلُكْم فَأَتُ ْوُىنَّ اُُجْوَرُىنَّ َوْأَتَُِرْوا بَ ي ْ َسْرُُتْ َفْستُ ْرِضُع َلُو ُأْخَرى
Artinya: ...”kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu
untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan
jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya...” (Huda, 2011: 79)
Surat al-Qashash (28): 26
َر َمِن اْستَ ْئَجْرَت اْلَقِويُّ اْْلَ ِمْيُ ’ِجْرهُ أْ ُُهَاََيََبِت اْستَ اَلْت ِاْحدَ اقَ ِإنَّ َخي ْ
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “ya bapakku ambillah
ia sebagai orang yang berkerja (pada kita), karena sesungguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”(Huda, 2011: 79).
b. Hadist
ُهَما قَاَل: قَاَل َرُسْوُل للِا َصلَّى للُا َعَلْيِو َوَعْن اْبِن ُعَمَر َرِضَي للُا َعن ْ
فَّ َعَرَقو َر َاْجَرُه قَ ْبَل َأْن َيَِ َوَسلََّم: أَْعُطْوا اْْلَ ِجي ْDari Ibnu „Umar r.a. ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda:
berikanlah kepada tenaga kerja itu upahnya sebelum keringatnya
kering. (HR. Ibnu Majah). (Huda, 2011: 79).
-
19
c. Ijma‟
Mengenai disyariatkan sewa-menyewa, para ulama keilmuan
dan cendekiawan bersepakat tentang keabsahan sewa-menyewa atau
Ijarah, sekalipun hanya sebagian kecil diantara mereka yang berbeda
pendapat (Sabiq, 1987: 11). Dari ayat-ayat al Qur‟an dan beberapa
hadis Rasulallah tersebut jelaslah bahwa akad Ijarah atau sewa
menyewa hukumnya dibolehkan, karena memang akad tersebut
dibutuhkan oleh masyarakat. Disamping al Qur‟an dan sunnah, dasar
hukum sewa-menyewa (Ijarah) adalah Ijma‟. Sejak zaman sahabat
sampai sekarang Ijarah telah disepakati oleh para ahli hukum Islam.
Hal tersebut dikarenakan masyarakat sangat membutuhkan akad ini.
Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, ada orang kaya yang
memiliki rumah yang tidak ditempati. Di sisi lain ada orang yang
tidak memiliki tempat tinggal. Dengan dibolehkannya Ijarah maka
orang yang tidak memeiliki tempat tinggal bisa menempati rumah
orang lain yang tidak digunakan untuk beberapa waktu tertentu,
dengan memberikan imbalan berupa uang sewa yang disepakati
bersama tanpa harus membeli rumah tersebut (Muslich, 2015: 320).
3. Syarat Rukun Sewa menyewa
Sewa-meneyewa (Ijarah) merupakan sebuah transaksi atas suatu
manfaat. Maka dari itu manfaat menjadi obyek dari sewa-menyewa
-
20
(ijarah). Dalam hal ini sewa-menyewa (Ijarah) dibagi menjadi 2 dilihat
dari segi manfaat nya. Pertama, sewa-menyewa (Ijarah) yang
mentransaksikan manfaat dari harta benda yang biasa kita sebut dengan
“persewaan”. Misalnya menyewa rumah, tanah, kendaraan, pertokoan,
dan lain sebagainya. Kemudian yang kedua adalah sewa-menyewa
(Ijarah) yang menstransaksikan manfaat SDM ( Sumber Daya manusia)
atau biasa kita sebut sebagai perburuhan (Ghufron. mas‟adi,2002:183).
Oleh karena itu, dari kedua bentuk Sewa-menyewa (Ijarah)
tersebut akan sah apabila memenuhi rukun dan syarat. Adapun rukun dan
syarat nya sebagai berikut :
a. Rukun Sewa-Menyewa (Ijarah)
Rukun Sewa-menyewa (Ijarah) menurut Prof. Dr. H. Rachmat
Syafe‟i, MA dalam bukunya adalah :
1) Aqid (orang yang ber akad)
Aqid adalah orang yang melakukan perjanjian/transaksi,
yaitu orang yang menyewakan dan menerima upah (mu‟jir) dan
yang melaksanakan dan menyewa sesuatu (musta‟jir).
2) Sighat akad
Sighat akad adalah pernyataan yang menunjukkan kerelaan
atau kesepakatan kedua belah pihak yang melakukan kontrak atau
transaksi.
-
21
3) Ujrah (upah)
Ujrah adalah imbalan sebagai bayaran kepada seseorang
yang telah diperintah untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu
dan bayaran itu diberikan menurut perjanjian yang telah
disepakati bersama (Labib Mz, 2006:43).
4) Obyek akad
Obyek yang disewakan boleh barang bergerak maupun
barang tidak bergerak. Dan dimiliki jelas oleh orang yang
mneyewakan atau biasa disebut dalam islam sebagai milik penuh
(milku tam), maksudnya barang yang disewakan benar-benar
miliknya sendiri bukan milik orang lain.
Menurut Ulama Madzhab Hanafi, rukun sewa-menyewa
(ijarah) hanya ada satu, yaiu Ijab dan Qobul (Hasan, 2003: 23).
Sedangkan dalam KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah) pasal
251 menerangkan rukun sewa-menyewa (ijarah) adalah:
a) Pihak yang menyewa
Adalah pihak yang menggunakan dan memanfaatkan objek
dan membayar sejumlah uang kepada pihak yang menyewa,
dimana seperti tercantum dalam pasal 265 KHES “Penyewa dapat
menggunakan obyek ijarah secara bebas jika akad ijarah
dilakukan secara mutlak. ” dan “Penyewa hanya dapat
-
22
menggunakan obyek ijarah secara tertentu jika akad ijarah
dilakukan secara terbatas.”
b) Pihak yang menyewakan
Menurut pasal 259 KHES disebutkan bahwa pihak yang
menyewakan haruslah pemilik, wakilnya maupun pengampunya.
c) Benda yang disewakan
Penggunaan benda atau objek yang dimanfaatkan harus
jelas dan dicantumkan dalam akad agar dapat memberikan
kejelasan kepada para pihak seperti dalam pasal 260 KHES
“Penggunaan benda ijarahan harus dicantumkan dalam akad
ijarah.” Dan “Jika penggunaan benda ijarahan tidak dinyatakan
secara pasti dalam akad, maka benda ijarahan digunakan
berdasarkan aturan umum dan kebiasaan.”
d) Akad
Seperti dijelaskan pada pasal 252 KHES bahwasanya Sighat
akad ijarah harus menggunakan kalimat yang jelas, namun juga
dapat dilakukan dengan tulisan atau isyarat. Kemudian pasal 258
berbunyi “akad ijarah dapat dilakukan dengan tatap muka
maupun jarak jauh”
b. Syarat Sewa-Menyewa (Ijarah)
Supaya transaksi ijarah itu bisa dianggap sah, maka ada
beberapa syarat yang mengiringi beberapa rukun yang harus
-
23
dipenuhi. Prof.Dr. H. Hendi Suhendi mengemukakan syarat-syarat
sah sewa-menyewa (ijarah) :
1) Syarat bagi mu‟jir ( orang yang menyewakan) dan musta‟jir
(orang yg menyewa) adalah : baligh, berakal cakap
mengendalikan hartanya, saling meridhai dari kedua belah pihak.
Dan ditambahkan lagi harus mengetahui manfaat barang yang
akan disewa demi mencegah perselisihan di kemudian hari.
2) Sighat yang dilakukan keduanya antara mu‟jir dan musta‟jir harus
jelas.
3) Ujrah (upah) harus diketahui jumlahnya dan disepakati oleh
kedua belah pihak baik dalam sewa-menyewa maupun dalam
upah-mengupah.
4) Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-
mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan
beberapa syarat berikut ini :
a) Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa
dan upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaanya.
b) Hendaklah yang menjadi objek sewa – menyewa dapat
diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaanya
(khusus dalam sewa-menyewa).
c) Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah
(boleh) menurut syara‟ bukan hal yang dilarang (diharamkan).
-
24
d) Benda yang disewakan disyaratkan kekal ain‟(zat)-nya hingga
waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad.
4. Berakhirnya Sewa-Menyewa
Sewa-menyewa (Ijarah) adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang
tidak membolehkan adanya fasakh (rusak) pada salah satu pihak, karena
ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang
mewajibkan fasakh.
Ijarah akan menjadi rusak/batal bila ada hal-hal sebagai berikut :
(Suhendi, 2010:122)
a. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan
penyewa.
b. Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan
sebagainya.
c. Rusaknya barang yang diupahkan (ma‟jur alaih), seperti baju yang
diupahkan untuk dijahitkan.
d. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah
ditentukan dan selesai pekerjaannya.
e. Menurut Hanafiyyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak yang
menyewa toko untuk dagang, kemudian daganganya ada yang
mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.
-
25
B. Tinjauan Umum mengenai Hak Penguasaan Tanah di Indonesia
1. Pengertian
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pengertian
penguasaan atas Tanah terdapat pada pasal 2 ayat (1) yang berbunyi :
“Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat” (UU No.5 th 1960 tentang UUPA).
Ruang lingkup bumi menurut UUPA adalah Permukaan bumi, dan
tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.permukaan bumi
juga disebut Tanah. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur
tanah dalam segala aspeknya, mealinkan mengatur salah satu aspek nya,
yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak-hak penguasaan
atas tanah. Pengertian “Penguasaan” dapat diartikan dengan dua arti, yaitu
secara fisik dan secara yuridis. Adapun penguasaan atas tanah dalam arti
yuridis adalah penguasaan yang disertai dengan hak, yang dilindungi oleh
hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak.
Kemudian penguasaan dalam arti fisik diumpamakan pada persewaan
tanah. Pada yuridisnya penguasaan tanah ada pada orang yang memiliki
hak atas tanah itu atau (yang menyewakan), namun kenyataannya
penguasaan fisik diberikan kepada pihak lain (penyewa)
(Santoso,2005:73).
-
26
Hak hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang,
kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang hak nya untuk berbuat
sesuatu dengan tanah yang di hak i. “sesuatu” yang boleh, wajib dan/atau
dilarang untuk diperbuat itulah yang merupakan tolak ukur pembeda
antara berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum
Tanah negara yang bersangkutan. Kita juga mengetahui, bahwa hak-hak
penguasaan atas tanah itu dapat diartikan sebagai lembaga hukum jika
belum dihubungkan dengan tanah dan subyek tertentu (Harsono, 1999:
253).
“Hak yang memberikan wewenang untuk mempergunakan
permuakaan bumi atau tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh
bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya,” adalah pengertian
dari hak atas tanah. Dalam batasan-batasan menurut UU ini dan peraturan
hukum yang lain dan yang lebih tinggi (Ismaya, 2011: 61).
2. Macam-macam Hak Atas Tanah
a. Sebelum berlakunya UU No.5 Tahun 1960 tentang UUPA
(Undang-Undang Pokok Agraria)
1) Hukum Agraria Barat
Hukum Agraria Barat adalah keseluruhan kaidah hukum
yang bersumber pada hukum perdata barat khususnya Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Tanah yang tunduk dan
diatur hukum perdata barat tersebut disebut tanah barat atau
tanah eropa. Tanah agraria barat itu sendiri antara lain :
-
27
a) Hak Eigendom (Recht van Eigendom)
Dalam Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, menyebutkan bahwa Hak Eigendom adalah hak
untuk menikmati suatu kebendaan dengan leluasa, dan
untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan
kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan
undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh
suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak
mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu tak
mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi
kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-
undang dan dengan pembayaran ganti rugi.
b) Hak Erfpacht (Recht van Erfpacht)
Hak Erfpacht, menurut Pasal 720 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata adalah suatu hak kebendaan
untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang
tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban akan
membayar upeti tahunan kepada si pemilik sebagai
pengakuan akan kepemilikannya, baik berupa uang, baik
berupa hasil atau pendapatan.
c) Hak Opstal (Recht van Opstal)
Hak Opstal atau disebut juga dengan Recht van Opstal
adalah suatu hak kebendaan (zakelijk recht) untuk
-
28
mempunyai rumah-rumah, bangunan-bangunan dan
tanaman di atas tanah milik orang lain. Hak Opstal
menurut Pasal 711 BW (Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata) merupakan hak numpang karang (Recht van
Opstal), yaitu suatu hak kebendaan untuk mempunyai
gedung-gedung, bangunan-bangunan dan penanaman di
atas pekarangan orang lain. Bagi pemegang Hak Opstal
(opstaller), mempunyai hak dan kewajiban, antara lain :
1) Membayar canon (uang yang wajib dibayar pemegang
Hak Opstal setiap tahunnya kepada negara).
2) Memelihara tanah opstal itu sebaik-baiknya.
3) Opstaller dapat membebani haknya kepada hipotik.
4) Opstaller dapat membebani tanah itu dengan
pembebanan pekarangan selama opstal itu berjalan.
5) Opstaller dapat mengasingkan Hak Opstal itu kepada
orang lain.
Selama Hak Opstal berjalan, pemilik pekarangan tidak
diperbolehkan mencegah si penumpang, akan
membongkar gedung-gedung atau bangunan-bangunan
dan menebang segala tanaman di atas pekarangan itu guna
mengambilnya dari situ jika harga dari gedung-gedung,
bangunan-bangunan dan tanaman itu, sewaktu Hak Opstal
diperolehnya telah lunas dibayarnya, atau jika kesemuanya
-
29
itu si penumpang sendirilah yang mendirikan, membuat,
dan menanamnya, dengan tak mengurangi kewajiban si
penumpang untuk memulihkan kembali pekarangan itu
dalam keadaan sebelum satu sama lain didirikan, dibuat
dan ditanamnya.
Dengan berakhirnya Hak Opstal, pemilik pekarangan
menjadi pemilik gedung-gedung, bangunan-bangunan dan
tanaman di atas pekarangannya, dengan kewajiban akan
membayar harganya pada saat itu juga kepada si
penumpang, yang mana menjelang dilunasinya
pembayaran itu, berhak menahan segala sesuatu.
Apabila Hak Opstal diperoleh atas sebidang tanah
dimana telah ada gedung-gedung, bangunan dan tanaman,
yang harganya oleh si penumpang belum dibayar, maka
bolehlah pemilik pekarangan dengan berakhirnya Hak
Opstal, menguasai kembali segala kebendaan itu dengan
tak usah membayar sesuatu pergantian rugi. Dalam Pasal
718 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Hak Opstal
berakhir antara lain :
1) karena percampuran.
2) karena musnahnya pekarangan.
3) karena kadaluarsa dengan tenggang waktu 30 tahun
lamanya.
-
30
4) setelah lewatnya waktu yang diperjanjikan atau
ditentukan, tatkala Hak Opstal dilahirkan.
d) Recht van Gebruik
Menurut Pasal 756 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Recht van Gebruik adalah suatu hak kebendaan,
dengan mana seorang diperbolehkan menarik segala hasil
dari sesuatu kebendaan milik orang lain, sehingga seolah-
olah dia sendiri pemilik kebendaan itu, dan dengan
kewajiban memeliharanya sebaik-baiknya.
2) Hukum Agraria Adat
Hukum Agraria Adat adalah keseluruhan kaidah hukum
agraria yang bersumber pada hukum adat. Tanah yang diatur
menurut hukum adat disebut tanah adat. Hukum agraria adat itu
antara lain:
a) Hak Ulayat
Hak ulayat adalah nama yang diberikan oleh para ahli
hukum pada lembaga hukum dan hubungan konkret antara
masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah dalam
wilayahnya, yang disebut hak ulayat. Hak ulayat merupakan
seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat
suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan
tanah yang terletak di wilayahnya yang pelaksanaanya
-
31
dilimpahkan kepada kepala adat sendiri atau bersama-sama
dengan tetua adat masyarakat adat yang bersangkutan.
Hak ulayat dalam Hukum Tanah Nasional diakui
eksistensinya bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu
selagi masih ada, selain diakui juga dibatasi dalam arti harus
sedemikian rupa agar selaras dengan kepentingan nasional
dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa serta tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
b) Hak Milik (Adat)
Hak Milik Atas Tanah dalam hukum agraria adalah hak
atas tanah yang dipegang oleh perorangan atas sebidang
tanah tertentu yang diketahui secara pasti batas-batasnya
dalam wilayah hak ulayat masyarakat hukum adat setempat.
c) Hak Pakai
Hak Pakai atas tanah dalam hukum agraris adat adalah hak
atas tanah yang telah diberikan kewenangan kepada
seseorang tertentu dalam wilayah masyarakat hukum adat
yang bersangkutan untuk kepentingannya sendiri.
Keberadaan hukum agraria lama tersebut telah berakhir setelah
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 yang
mengatur tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang
lazim disebut dengan UUPA, pada tanggal 24 September 1960
-
32
UUPA telah membawa perubahan secara fundamental terhadap
hukum agraria di Indonesia. UUPA membawa perubahan hukum
agraria Indonesia, karena UUPA telah membawa unifikasi
terhadap pengaturan hukum agraria Indonesia. Terhadap hak-hak
atas tanah lama UUPA melakukan perubahan secara yuridis
(konversi) menjadi hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA.
Perubahan tersebut diatur dalam ketentuan-ketentuan konversi
UUPA.
b. Penguasaan tanah setelah UU No.5 Tahun 1960 tentang UUPA
(Undang-Undang Pokok Agraria)
Setelah berlakunya UUPA di Indonesia sistem pertanahan di
Indonesia semakin tertata rapi. Dalam Hukum Tanah Nasional ada
bermacam-macam hak penguasaan atas tanah, kemudian dapat
disusun dalam jenjang tata susunan atau heirarki sebagai berikut :
1) Hak Bangsa Indonesia.
2) Hak menguasai dari Negara.
3) Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataan masih ada.
4) Hak-hak Individual :
a) Hak-hak atas tanah :
Primer : Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak
Guna Bangunan (HGB), yang diberikan oleh Negara, dan
Hak Pakai, yang diberikan oleh Negara.
-
33
Sekunder : HGB dan Hak Pakai yang diberikan pemilik
tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi-Hasil, Hak Menumpang,
Hak Sewa dan lain-lainnya.
b) Wakaf.
c) Hak Jaminan atas tanah : Hak Tanggungan
(Harsono,1999:255).
Dilihat dari pengertian, jangka waktu berlakunnya dan subjek
yang dapat memilikinnya hak atas tanah dibedakan :
1) Hak atas tanah yang bersifat tetap
a) Hak milik
Salah satu hak atas tanah yang termasuk dalm kategori
bersifat primer adalah Hak Milik. Sebab hak milik
merupakan hak yang paling utama, terkuat dan terpenuh,
diabandingkan dengan hak-hak primer lainnya, seperti HGU,
Hak pakai dan lain-lain. Hal ini sesuai ketentuan pasal 20
ayat (1) dan (2) UUPA yang berbunyi sebagai berikut: “Hak
Milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan
pasal 6. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak
lain” (Supriadi,2008 :65).
Hapusnya Hak Milik atas tanah seperti di sebutkan dalam
pasal 27 UUPA tahun 1960 adalah dikarenakan tanah
tersebut musnah dan tanah tersebut jatuh kepada negara, baik
-
34
atas dasar pencabutan hak ataupun penyerahan dengan
sukarela oleh pihak pemiliknya.
b) HGU (Hak Guna Usaha)
Ketentuan mengenai Hak Guna Usaha (HGU) disebutkan
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf B UUPA. Secara khusus diatur
dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 34 UUPA. Menurut
Pasal 50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai
HGU diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Peraturan yang dimaksud disini adalah Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai, secara khusus diatur dalam
Pasal 2 sampai Pasal 18. Menurut Pasal 28 ayat (1) UUPA
yang dimaksud dengan Hak Guna Usaha adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara,
dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29,
guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. PP
nomor 40 tahun 1996 menambahkan guna perusahaan
perkebunan.
Subjek hukum yang dapat menpunyai Hak Guna Usaha
menurut Pasal 30 UUPA jo. Pasal 2 PP nomor 40 tahun 1996
adalah : 1. Warga Indonesia. 2. Badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
(badan hukum Indonesia) Bagi pemegang Hak Guna Usaha
-
35
yang tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Guna Usaha,
maka dalam waktu 1 tahun wajib melepaskan atau
mengalihkan tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi
syarat. Kalau hal ini tidak dilakukan, maka Hak Guna
Usahanya hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah
Negara. Asal tanah Hak Guna Usaha adalah tanah Negara.
Kalau asal tanah Hak Guna Usaha berupa tanah hak, maka
tanah hak tersebut harus dilakukan pelepasan atau
penyerahan hak oleh pemegang hak dengan pemberian ganti
kerugian oleh calon pemegang Hak Guna Usaha dan
selanjutnya mengajukan permohonan pemberian Hak Guna
Usaha kepada Badan Pertanahan Nasional. Kalau tanahnya
berasal dari kawasan hutan, maka tanah tersebut harus
dikeluarkan statusnya sebagai kawasan hutan (Pasal 4 PP
Nomor 40 tahun 1996). Hak Guna Usaha adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara,
dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29,
guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan
(Santoso,2005 :95).
c) HGB (Hak Guna Bangunan)
Dalam UUPA pasal 35 Hak guna bangunan adalah hak
untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas
-
36
tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu
paling lama 30 tahun.
Ketentuan mengenai Hak Guna Bangunan (HGB)
disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UUPA. Secara
khusus diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 UUPA.
Menurut Pasal 50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih lanjut
mengenai HGB diatur dengan peraturan perundang-
undangan yakni PP No. 40 Tahun 1996 yang secara khusus
diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 38. Pasal 35
UUPA memberikan pengertian Hak Guna Bangunan yaitu
hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah
bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30
tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama
20 tahun. Pasal 37 UUPA menegaskan bahwa Hak Guna
Bangunan terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara atau tanah milik orang lain. Sedangkan Pasal 21 PP
No. 40 Tahun 1996 menegaskan bahwa tanah yang dapat
diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah tanah Negara,
Hak Pengelolaan atau tanah Hak Milik. Pasal 36 UUPA jo.
Pasal 19 PP No. 40 Tahun 1996 menyebutkan subjek yang
dapat diberikan hak guna bangunan adalah Warga Negara
Indonesia dan Badan Hukum yang didirikan menurut hukum
-
37
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (badan hukum
Indonesia) (Santoso,2005: 105).
d) Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang
dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya
atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan-ketentuan Undang-undang ini (UUPA pasal 41).
Yng dapat mempunyai hak pakai adalah WNI (Warga Negara
Indonesia), Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum
Indonesia, Departemen Lembaga Pemerintah Non
Departemen dan pemerintah daerah, dll.
Adapun tanah-tanah yang dapat diberikan dengan Hak
Pakai adalah Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan, dan
Tanah Hak Milik.
2) Hak atas tanah yang bersifat sementara
a) Hak Gadai
Gadai adalah hubungan hukum antara seseorang dengan
tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai
-
38
daripadannya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah
tersebut dikuasai oleh “pemegang gadai.”
b) Hak Usaha Bagi Hasil
Hak usaha bagi hasil muncul karena adannya perjanjian
bagi hasil antara pihak pemilik tanah dengan penggarap
dengan imbangan hasil yang disepakati.
c) Hak Menumpang
Hak menumpang adalah hak yang memberi kepada
seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah diatas
tanah pekarangan orang lain (istilah menumpang = mager
sari).
d) Hak sewa Bangunan
Diatur dalam pasal 44 ayat (1) : “seseorang atau badan
hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak
mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan
bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah
uang sebagai sewa” (UUPA pasal 44 ayat 1).
e) Hak sewa Tanah Pertanian
Merupakan hak yang memberikan kewenangan untuk
menguasai dan menguasakan tanah pertaanian kepunyaan
orang lain.
Selain bermacam-macam hak atas tanah tersebut di atas yang
dikenal pula adannya hak tanggungan (Hak Hipotek) dan hak agraria
-
39
yang lainnya (Hak Bangsa; Hak menguasai dari Negara; Hak Guna
Ruang angkasa; Hak menguasakan Hutan dan Hak Kuasa
Pertambangan) (Ismaya, 2005: 72).
C. Tinjauan Umum Tanah Bengkok
1. Pengertian
Tanah bengkok adalah tanah yang dimiliki oleh adat-istiadat
sendiri guna diberikan kepada kepala desa dan perangkat desa yang
bersangkutan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
Tentang Desa yang termuat dalam Pasal 1 ayat (5), yang dimaksud Desa
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah
yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat (Harsono,1999: 276).
(Supriadi,2008: 38) dalam bukunya menuliskan pengertian tanah
bengkok adalah “gaji pegawai yang berupa tanah”. Pegawai yang
dimaksud adalah perangkat desa, misalnya kepala Desa, Sekretaris Desa
(Carik) dan Kepala-Kepala Bagian. Hak yang ada disini adalah hak
menikmati, artinya perangkat desa tersebut hanya berhak menikmati hasil
dari tanah bengkok tersebut selama menjadi perangakat desa, apabila
sudah selesai tugasnya maka tanah kembali kepada negara dan akan
dinikamati oleh penggantinya. Jadi, tidak boleh perangkat desa menjual
tanah bengkok nya.
-
40
Tanah bengkok dalam sistem agraria di Pulau Jawa adalah lahan
garapan milik desa, tanah bengkok tidak dapat diperjualbelikan tanpa
persetujuan seluruh warga desa namun boleh disewakan oleh mereka
yang diberi hak untuk mengelolanya (permendagri no 4/2007 pasal 15).
Dalam kenyataanya hampir semua desa atau istilah yang mirip
dengan perkataan desa yang terdapat di Indonesia mempunyai tanah yang
merupakan tanah kas desa. Namun demikian, di Jawa hampir dipastikan
setiap desa memiliki tanah yang lazim disebut dengan “Tanah Bengkok”.
Menurut Erman Rajaguguk adalah suatu insentif yang kuat untuk calon
kepala desa, yang menghabiskan dana antara 10 juta – 25 juta dalam
kegiatan kampanye, termasuk mengadakan hiburan bagi warga desa
dalam usahanya agar terpilih. Diharapkan bahwa pengeluaran ini akan
dapat diganti dari hasil yang diperoleh dari tanah bengkok
(Supriadi,2008: 38).
Menurut Pasal 1 angka 10 Permendagri 4/2007 Tanah Desa
adalah barang milik desa berupa tanah bengkok, kuburan, dan titisara.
Jadi tanah bengkok merupakan salah satu Tanah Desa yang merupakan
barang milik desa. Tanah kas desa adalah kekayaan desa dan menjadi
milik desa. Hasil pengolahan tanah bengkok dapat menjadi tunjangan
bagi kepala desa atau perangkat lain dan peraturan lebih lanjut mengenai
hasil pengolahan tanah bengkok diatur sendiri oleh peraturan pemerintah
desa atau kabupaten.
-
41
2. Tanah Bengkok Sebelum UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA
(Undang-Undang Pokok Agraria)
Sebelum di berlakukannya UUPA tentang pertanahan atau lebih
dari itu disebut Agraria sudah di paparkan di atas dalam peraturannya
memiliki dualisme hukum. Yaitu hukum barat karena masih
menggunakan sisa-sisa peraturan dari penjajah yang sekian lama berada
di indonesia, dan yang kedua adalah hukum adat dimana Indonesia seperti
yang kita ketahui terdiri dari 17.504 pulau dan memiliki kurang lebih 230
juta jiwa. Maka banyak sekali suku-suku yang memiliki adat-adat yang
berlaku di Indonesia.
Mengingat fakta maka antara penghuni dengan tanah itu terdapat
hubungan yang sangat erat yang bersifat religio magis, hal ini yang
menyebabkan masyarakat penghuni desa memperoleh hak untuk
menguasai tanah dimaksud dengan memanfaatkan dan memungut
hasilnya, dan berburu binatang yang hidup liar disitu hal itu yang disebut
hak ulayat (Wignjodipuro, 1983: 197).
Masing-masing kelompok masyarakat tersebut mempunyai hak
tertentu atas tanah yang ada disekitarnya, yang disebut beschekkings
recht. Sehingga di dalam mengolah hak ulayat atas tanah, maka tanah
tersebut digunakan sebagai tempat tinggal atau keperluan lainya oleh
masyarakat secara umum di lingkungan hukum adat itu, misalnya untuk
-
42
pekuburan, atau dipungut hasilnya oleh dan untuk masyarakat serta
digunakan dan dinikmati bersama-sama.
Keadaan yang demikian ini kemudian berkembang, para individu
dalam masyarakat diperbolehkan membuka tanah dengan persyaratan
tertentu, akhirnya masyarakat (memperbolehkan/mengizinkan) kepada
kepala adat atau kepala desa serta perangkat desa lainnya untuk memakai
tanah tersebut sebagai tanah bengkok yang dapat dipungut hasilnya
selama mereka menjabat, atau diserahi tugas oleh masyarakat desa
tersebut, hal ini dimaksud sebagai imbalan dari masyarakat kepada kepala
desa dengan perangkatnya atas jerih payahnya memimpin masyarakat
(Bzn, 1983: 72).
Hukum adat memandang hubungan antara masyarakat hukum
dengan tanah yang didudukinya merupakan satu kesatuan dalam
hubungan yang sangat erat sekali. Hubungan bersifat religio-magis ini
yang menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai
tanah tersebut, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-
tumbuhan yang hidup di atas tanah itu, berburu binatang yang hidup di
situ. Hak masyarakat hukum atas tanah ini disebut dengan hak pertuanan
atau hak ulayat. Terkait dengan hak kepala persekutuan atau pembesar
desa lain terhadap tanah, maka mereka mempunyai hak atas tanah
pertanian yang diberikan oleh persekutuan untuk memelihara
keluarganya.
-
43
Ia mempuyai hak atas penghasilan tanah itu karena jabatannya.
Hak ini disebut sebagai hak seorang pejabat atas sebidang tanah,
pemerintah kolonial menyebutnya sebagai ambtelijk profijtrecht. Hak ini
dimiliki para pejabat baik ketika masih aktif menjabat maupun setelah
pensiun dari jabatannya atau selama hidupnya (setelah pensiun).
Tanah/sawah jabatan seperti tanah bengkok atau sawah kalungguhan juga
dapat dijumpai diberbagai daerah dengan istilah yang berbeda, seperti
sabana bolak (Batak), galung arajang (Sulawesi Selatan), dusun dati raja
(Ambon), dan bukti (Bali) (Muhammad, 2004.111).
Bentuk dari pada tanah bengkok tersebut bermacam-macam, dapat
berupa tanah persawahan, tanah kering atau tanah tegalan maupun berupa
kolam ikan atau tambak. Penyerahan tanah bengkok kepada kepala desa
dan perangkatnya, namun hal tersebut akan kembali menjadi hak desa jika
Kepala Desa dan perangkatnya tidak menjabat lagi, sehingga tanah
bengkok akan diserahkan kepada Kepala Desa dan Perangkat Desa yang
menggantikannya, dengan demikian tanah bengkok mempunyai unsur-
unsur sebagai berikut:
a. Tanah tersebut merupakan tanah desa atau lazim disebut hak ulayat.
b. Tanah tersebut diberikan kepada warga desa yang menjabat sebagi
pamong desa.
c. Pemberian tanah tersebut hanya sementara waktu, selama yang
bersangkutan menjabat sebagai pamong desa.
-
44
d. Maksud pemberian tanah tersebut sebagai upah atau ganjaran untuk
menghidupi diri dan keluarganya (Tobing.2009: 35).
3. Tanah bengkok Sesudah UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA
(Undang-Undang Pokok Agraria)
Setelah lahirnya Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang disahkan pada tanggal 24
September 1960, maka telah terjadi unifikasi terhadap dua hukum
tanah yang sebelumnya berlaku di indonesia, yaitu hukum barat dan
hukum adat, yang masing-masing memiliki pengaturan sendiri-sendiri
mengenai tanah. Lahirnya Undang- undang Pokok Agraria mengakhiri
kebhinekaan (pluralisme) hukum yang mengatur bidang pertanahan
dan menciptakan perangkat hukum yang berstruktur tunggal. dalam
mencapai terwujudnya kesatuan di bidang hukum tanah, bukan saja
hukumnya yang di unifikasikan, tetapi juga hak-hak atas tanah dan
hak-hak jaminan atas tanah yang ada, yang semuanya bersumber pada
berbagai perangkat hukum yang lama. diakhirnya plurarisme dan
diciptakannya hukum tanah yang tunggal oleh Undang-undang Pokok
Agraria merupakan perubahan yang mendasar (Harsono,2002: 11).
Hak tanah adat yang sebelumnya diatur dalam hukum adat
dilakukan ketentuan-ketentuan konversi dalam Undang-undang
Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Konversi adalah perubahan status tanah.
-
45
Menurut ketentuan-ketentuan konversi hak tanah adat
dikonversi dalam ketentuan Pasal VI menjadi hak pakai
(Edi,2010.Thesis “peralihan tanah bengkok dan akibat hukumnya”).
“Pasal VI : Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana
atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) seperti
yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai
berlakunya Undang-undang ini, yaitu : hak vruchtgebruik, gebruik,
grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok,
lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga, yang
akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai
berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam
pasal 41 ayat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban
sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai
berlakunya Undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan
jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini” (UUPA).
4. Tanah Bengkok menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014
tentang Desa
Undang-Undang yang mengatur tentang desa adalah Undang-
Undang No. 6 Tahun 2014. Dalam Undang-Undang tersebut
membahas segala sesuatu yang berkaitan dengan Desa. Baik segi
pengertian Desa, Bentuk dan jenis Desa, penataan Desa sampai
keuangan Desa dan aset Desa serta penghasilan pemerintah Desa yang
mengurusi Desa tersebut. Tanah Bengkok tidak tertulis secara jelas
-
46
diatur dalam Undang-undang Desa namun secara implisit atau secara
tidak langsung Tanah Bengkok masuk dalam pembahasan dalam
Undang-undang Desa.
Tanah bengkok itu sendiri berasal dari adat-istiadat yang
dimiliki desa, yang pemanfaatan tanah tersebut adalah untuk
kemakmuran kepala desa dan perangkat desa, seiring waktu tanah
bengkok tersebut menjadi tanah kas desa yang digunakan untuk
kemakmuran masyarakat desa tersebut. Tidak semua desa di Indonesia
mempunyai tanah bengkok sehingga pemerintah pusat akan
memikirkan desa-desa yang tidak memiliki tanah bengkok dengan
memulai ADD (Alokasi Dana Desa).
Sebelum adanya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 26
Tahun 1992, tanah bengkok selama ini merupakan sumber
penghasilan langsung bagi kepala desa dan perangkat desanya. tanah
bengkok adalah tanah desa yang pada saat dikelola dan menjadi
penghasilan langsung bagi aparat pemerintah desa.
Sesudah dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri
Nomor 26 Tahun 1992, perubahan status tanah bengkok yang semula
dikelola dan merupakan penghasilan langsung bagi aparat desa diubah
statusnya menjadi tanah kas desa, sehingga merupakan sumber
pendapatan desa dan dikelola melalui Anggaran Penerimaan dan
Pengeluaran Keuangan Desa (APPKD). Dengan pertimbangan bahwa
-
47
setiap desa belum tentu memiliki Tanah Bengkok dan terkait besar
kecilnya bengkok juga penyetaraan tunjangan bagi pemerintah Desa
agar tidak terjadi kecemburuan sosial (Edi, Kuncoro.2010.Thesis
“Peralihan Tanah Bengkok Dan Akibat hukumnya”. (Semarang:
Universitas Diponegoro Semarang).
Undang-undang no 6 tahun 2014 tentang desa atau yang
kemudian disebut sebagai Undang-undang Desa mengatur dan
memperjelas mengenai tanah bengkok yang mana sudah berubah status
menjadi Tanah Kas Desa dan diatur dalam Bab VIII mengenai keuangan
Desa dan Aset Desa Pasal 72 UU Desa menyebutkan Pendapatan Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari
pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan
partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa, yang
kedua alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, ketiga bagian
dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota, keempat
alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang
diterima Kabupaten/Kota.
Sedangkan dalam pasal 76 ayat (1) menerangkan mengenai aset
desa ; “Aset Desa dapat berupa tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar Desa,
pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan,
pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa,
pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa.
-
48
Mengenai pendapatan aparat desa yang sebelum nya mendapat
tunjangan yang berbentuk hak atas tanah Bengkok dalam Undang-undang
Desa di atur di bagian Kedelapan mengenai penghasilan Pemerintah
Desa pasal 66. Pada ayat 1 dan 2 dikatakan Kepala desa dan Perangkat
Desa mendapatkan penghasilan tetap setiap bulan yang bersumber dari
dana perimbangan dalam anggaran pendapatan dan belanja Negara yang
diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran
pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Selain pendapatan setiap buln yang disebut pada ayat 1 Kepala
desa dan Perangkat Desa (yang berupa Sekretaris, pelaksana wilayah,
pelaksana wilayah) menerima tunjangan yang bersumber dari APBDes.
Hal tersebut di kemukakan pada ayat 3 pasal 66 UU Desa.
Jadi sistematikan tunjangan bukan lagi langsung mendapatkan hak
atas Tanah Bengkok, namun semua dana yang masuk disetor kepada
daerah kabupaten untuk kemudian pihak Pemerintah Daerah dapat
menentukan tunjangan kepada Kepala Desa dan Perangkat Desa
berdasarkan laporan dari Desa tersebut dan berbentuk uang baik tunai
ataupun masuk dalam kartu ATM. Jadi bukan lagi dalam bentuk hak atas
tanah Bengkok karena Tanah Bengkok sudah beralih menjadi bagian dari
tanah Kas Desa dan menjadi salah satu sumber pendapatan desa yang
mana hasil dari pendapatan Desa adalah mutlak hak seluruh masyarakat
bukan hak dari para pejabat Desa yang membantu mengurus Desa.
-
49
Dalam Undang-undang Desa juga mengatur tentang Desa Adat,
dimana Desa Adat diberikan wewenang atau kompensasi dalam
Mengurus dan mengatur wilayah nya sebagai suatu desa yang disebut
Desa Adat.
-
50
BAB III
PENYAJIAN DATA DAN TEMUAN TERHADAP SEWA-MENYEWA
TANAH BENGKOK
(Studi Kasus di Desa Gedangan kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang)
A. PROFIL DESA GEDANGAN KECAMATAN TUNTANG
KABUPATEN SEMARANG
Gedangan adalah sebuah nama salah satu desa yang terletak
di Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Desa Gedangan terletak di
tengah-tengah kawasan kaki gunung Merbabu dan daerah sekitaran Rawa
Pening, sehingga Gedangan mempunyai daerah perkebuna, kehutanan dan
persawahan.
1. Sejarah
Pada masa penjajahan Belanda banyak para bangsawan yang
manjadi pejabat di Keraton Solo beserta prajuritnya melarikan diri karena
tidak berkenan dengan kebijakan pihak Belanda,termasuk Wijaya
Kusuma dan Wicitra Kusuma. Mereka lari tanpa tujuan yang pasti
melewati banyak daerah dengan beraneka ragam situasi,namun mereka
belum juga menemukan daerah yang dirasa aman hingga sampailah
mereka ke sebuah daerah tidak bertuan yang sangat subur dan daerah
tersebut banyak ditumbuhi pohon pisang atau dalam bahasa Jawa disebut
Gedang. Mereka memutuskan untuk menetap didaerah tersebut dengan
mata pencaharian bercocok tanam dan mereka semua merasa nyaman.
Semakin lama daerah tersebut menjadi berkembang. Dan sesuai
-
51
perkembangan zaman maka daerah tersebut dipanggil dengan sebutan
Gedangan.
Namun dalam versi lain ada sesepuh yang menyatakan bahwa
Wijaya Kusuma dan Wicitra Kusuma beserta anak buahnya lari dari
wilayah keraton Solo karena dikejar pasukan Belanda dalam sebuah
pertempuran .Mereka melarikan diri tanpa arah dan tujuan, hingga mereka
hampir tersusul oleh pasukan Belanda .Karena kalah dalam jumlah dan
persenjataan Wijaya Kusuma . Wicitra Kusuma dan
prajuritnya bersembunyi di daerah yang penuh dengan pohon gedang
atau pisang, setelah Belanda pergi dan keadaan dirasa aman mereka
memutuskan menetap didaerah tersebut dan untuk mengenang tempat
persembunyian mereka dari kejaran pasukan Belanda tersebut mereka
menamakan daerah tempat tinggal mereka yang penuh dengan pohon
pisang atau gedang dengan nama Gedangan.Setelah meninggal Wijaya
Kusuma dimakamkan di pemakaman kecil sedangkan Wicitra Kusuma
dimakamkan di pemakaman Gede. Setelah Indonesia merdeka daerah
Gedangan sudah mulai ada pemerintahan desa dengan lurah Nyai Samban
seorang wanita . Pada masa pemerintahan lurah Sumarno setelah Nyai
Samban wafat ada peraturan yang menyatakan jumlah minimal penduduk
dalam satu desa, kemudian diadakan penggabungan dengan dusun
Bandongan ,sebuah dusun yang bersebelahan dengan Gedangan. Untuk
nama desa kemudian diundi antara nama Bandungan dan Gedangan, dan
yang keluar adalah nama Gedangan. Sejak saat itu Gedangan sah menjadi
-
52
nama desa yang hingga sekarang sudah berkembang dengan pesat.
(gedangan.desa.id)
2. Letak Geografis
Letak geografis desa Gedangan di koordinat 110.4625‟‟ bujur
Timur dan -7.332383‟‟ Lintang Selatan, dengan luas wilayah 267,707 Ha.
3. Batas Wilayah
a. Barat adalah desa Kalibeji dan desa Rowosari, sebelah.
b. Selatan desa Polobogo,
c. Utara desa Sraten,
d. Timur berbatasan dengan wilayah Kota Salatiga, Sehingga warga
Gedangan sering menyebutnya sebagai bagian dari wilayah Kota
Salatiga.
Peta wilayah Desa Gedangan Kec.Tuntang Kab.Semarang
4. Topografi : Luas Kemiringan Rata-rata
a. Datar: 196,713 Ha
-
53
b. Pegunungan: 70,994 Ha
c. Ketinggian Rata-rata dari Permukaan Laut: 500 m. Desa Gedangan
wilayah topografinya 500 m diatas permukaan laut dan beriklim tropis
bersuhu kisaran 20ºC – 30 ºC sehingga menjadikan Desa Gedangan
wilayah yang sejuk, dan cocok dijadikan tempat persinggahan.
5. Lahan :
a. Pertanian: Sawah Teririgasi: 30,500 Ha. Sawah Tadah Hujan: 0 Ha.
b. Pemukiman: 60 Ha.
6. Dusun
Desa Gedangan memiliki beberapa dusun, nama-nama dusun di
Desa Gedangan adalah sebagai berikut: Dusun Bandungan, Dusun Jaten,
Dusun Bendo, Dusun Dempel, Dusun Karangnongko, Dusun Gedangan
dan Dusun Padaan berikut perinciannya digambarkakn dalam tabel :
-
54
7. Struktur Organisasi
Pemerintah Desa dipimpin oleh Kepala Desa dan dibantu
Sekretaris Desa, Bendahara dan 3 orang. Kepala Urusan (Kaur), 2 Kepala
Staf Adminstrasi (KASI). Kepala Desa dibantu 7 orang Kepala Dusun, 7
orang Ketua RW dan 38 orang Ketua RT. Kepala Desa dibantu 100 orang
Petugas Desa (seperti petugas keagamaan, keamanan, pertanian dll.)
-
55
8. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan di Desa Gedangan menurut data desa yang
diambil penulis dari https://gedangan.desa.id yang direkomendasikan
oleh Bapak Daroji selaku Kepala Desa gedangan Tahun 2019.
Untuk tingkat Pendidikan wajib belajar 9 tahun masih dalam proses
kesadaran masyarakat dalam hal pendidikan ,sehingga lulusan SD masih
mendominasi.
-
56
9. Keadaan penduduk Desa Gedangan
-
57
Jumlah usia produktif lebih banyak dibanding dengan usia anak-
anak dan lansia. Perbandingan usia anak-anak, produktif, dan lansia
adalah sebagai berikut: 64,76 % : 13,15 % : 22,09 %. Dari 4364 jumlah
-
58
penduduk yang berada pada kategori usia produktif laki-laki dan
perempuan jumlahnya 2826 ( misalnya hampir sama / seimbang).
Mayoritas mata pencaharian penduduk adalah petani dan buruh
pabrik. hal ini disebabkan karena wilayah Desa Gedangan merupakan
daerah pertanian / agraris dan juga minimnya tingkat pendidikan zaman
dahulu menyebabkan masyarakat tidak punya keahlian lain dan
akhirnya tidak punya pilihan lain selain menjadi petani dan buruh Pabrik.
Namun semakin kesini seiring berkembanganya zaman pendidikan
semakin diutamakan oleh masyarakat kepada anak-anak nya.
Untuk keagamaan mayoritas warga masyarakat Desa Gedangan
adalah Muslim ( Islam ). Jadi berbagai kegiatan dan hal hal yang
berkaitan dengan hukum termasuk adat juga berbau hukum islam. Di
Desa Gedangan juga terdapat pondok pesantren yaitu Pondok Pesantren
Edi Mancoro yang juga ikut mengembangkan keislaman di wilayah desa
Gedangan. Namun ada juga sebagian dari masyarakat yang beragama
Kristen dan Prostetan, bahkan menurut perkembangan data desa ada juga
yang ber agama Budha.
B. Tanah Bengkok di Desa Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten
Semarang
1. Gambaran umum seputar kekayaan Desa, Tanah Bengkok di gedangan
Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang
-
59
Desa