SKRIPSI - e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.ide-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5575/1/full...

124
BATALNYA SEWA MENYEWA TANAH BENGKOK AKIBAT PENGUNDURAN DIRI PERANGKAT DESA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI KASUS DI DESA GEDANGAN KECAMATAN TUNTANG KABUPATEN SEMARANG) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : FARID WIBISONO NIM. 21414062 PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2019

Transcript of SKRIPSI - e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.ide-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5575/1/full...

  • BATALNYA SEWA MENYEWA TANAH BENGKOK AKIBAT

    PENGUNDURAN DIRI PERANGKAT DESA PERSPEKTIF

    HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI

    KASUS DI DESA GEDANGAN KECAMATAN TUNTANG

    KABUPATEN SEMARANG)

    SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

    Oleh :

    FARID WIBISONO

    NIM. 21414062

    PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH

    FAKULTAS SYARI’AH

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

    2019

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

    MOTTO

    “kemungkinan terbesar sekarang adalah memperbesar

    kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan, sehingga setiap

    orang yang kita temui tak menemukan satupun sudut

    kemungkinan untuk berkata TIDAK MUNGKIN”

    -HOMICIDE- Barisan Nisan-

    KITA NAIK UNTUK TURUN, JANGAN SOMBONG.

    KITA TURUN UNTUK NAIK, JANGAN MENYERAH.

  • vi

    PERSEMBAHAN

    Skripsi ini dipersembahkan untuk:

    1. Kepada kedua orang tua saya (Bejo Muhtadi dan Tasdiqoh), yang selalu

    memberikan motivasi dan semangat serta doanya yang tidak pernah putus

    kepada saya agar menjadi orang yang sukses dunia dan akhirat.

    2. Kepada sanak saudara yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

    3. Kepada Vivi Luthfiyatul Amalia, S.H. yang senantiasa memberikan semangat

    untuk terus mengerjakan skripsi.

    4. Heni Satar Nurhaida, S.H., M.Si. selaku Dosen Pembimbing yang selalu

    memberikan saran, pengarahan, dan masukan sehingga skripsi dapat selesai

    dengan maksimal sesuia dengan yang diharapkan.

    5. Kepada keluarga besar Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2014.

    6. Kepada Almamater IAIN Salatiga dan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang

    selalu ku banggakan.

  • vii

    Kata Pengantar

    Rasa syukur yang dalam penulis sampaikan kepada kehadirat Allah SWT,

    karena berkat rahmat – Nya penulisan skripsi ini dapat penulis selesaikan sesuai

    dengan yang di harapkan. Penulis juga bersyukur atas rizki dan kesehatan yang

    telah diberikan oleh – Nya, sehingga penulis dapat menyusun penulisan skripsi

    ini. Shalawat dan salam penulis sanjungkan kepada Nabi Rasulullah Muhammad

    SAW beserta segenap keluarga dan para sahabat – sahabatnya, syafa‟at beliau

    sangat penulis nantikan di hari Akhir.

    Penulisan skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan

    guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.H) Fakultas Syari‟ah Progam

    Studi Hukum Ekonomi Syari‟ah yang berjudul : “BATALNYA SEWA

    MENYEWA TANAH BENGKOK AKIBAT PENGUNDURAN DIRI

    PERANGKAT DESA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-

    UNDANGAN (STUDI KASUS DI DESA GEDANGAN KECAMATAN

    TUNTANG KABUPATEN SEMARANG).

    Penulis mengakui bahwa dalam menyusun penulisan skripsi ini tidak dapat

    diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Karena itulah penulis

    mengucapkan penghargaan yang setinggi – tingginya, ungkapan terima kasih

    kadang tak bisa mewakili kata – kata, namun perlu kiranya penulis mengucapkan

    terimakasih kepada:

    1. Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.

    2. Dr. Siti Zumrotun, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga.

  • viii

    3. Dr. Muh Irfan Helmy, Lc., M.A. selaku Wakil Dekan Bidang Akademik.

    4. Dr. Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si. selaku Wakil Dekan III Fakultas Syari‟ah IAIN

    Salatiga.

    5. Heni Satar Nurhaida, S.H., M.Si. selaku Ketua Program Studi Hukum

    Ekonomi Syari‟ah IAIN Salatiga.

    6. Dr. Nafis Irkhami, M.Ag., M.A. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang

    selalu memberikan bimbingan agar selalu yang terbaik.

    7. Heni Satar Nurhaida, S.H., M.Si Selaku dosen pembimbing yang selalu

    memberikan saran pengarahan dan masukan berkaitan dengan penulisan

    skripsi sehingga dapat selesai dengan maksimal sesuai dengan yang

    diharapkan.

    8. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf administrasi

    Fakultas Syari‟ah yang tidak bisa penulis sebut satu persatu yang selalu

    memeberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa

    halangan apapun.

    9. K.H. Drs. Nashafi, M.Pdi beserta Ahlibait nya selaku Pengasah, Pengasih,

    Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Asna Pulutan Salatiga.

    10. Seluruh keluarga besar Pondok Pesantren Nurul Asna Pulutan Salatiga.

    11. Sehabat-sahabatku tercinta yang telah memberikan motivasi dalam

    penyususnan skripsi ini (Amir Baydhowi S, Nurma‟ruf Setyaji, Fiddari

    Khoirul Umam, Alviyan Nurul Huda, M. Luthfi, Deny Setyadi).

    12. Seluruh teman seperjuangan Hukum Ekonomi Syariah Tahun 2014.

  • ix

  • x

    ABSTRAK

    Wibisono, Farid. 2019. BATALNYA SEWA MENYEWA TANAH BENGKOK

    AKIBAT PENGUNDURAN DIRI PERANGKAT DESA PERSPEKTIF

    HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI KASUS

    DI DESA GEDANGAN KECAMATAN TUNTANG KABUPATEN

    SEMARANG). Skripsi, Fakultas Syariah Program Studi Hukum Ekonomi

    Syariah IAIN Salatiga. Pembimbing: Heni Satar Nurhaida, S.H, M.Si.

    Kata Kunci: Hukum Islam, Sewa Menyewa, Tanah Bengkok, Perundang-

    undangan.

    Sewa menyewa tanah bengkok bagian dari muamalah. Seperti terjadi sewa

    menyewa tanah bengkok oleh perangkat Desa dengan salah seorang masyarakat

    setempat. Tanah bengkok merupakan tanah Desa dan salah satu barang milik

    Desa. Hasil pengelolaan tanah bengkok atau sebutan lain dapat digunakan untuk

    tambahan tunjangan kepala desa dan perangkat desa selain penghasilan tetap.

    Ketentuan lebih lanjut mengenai hasil pengelolaan tanah bengkok atau sebutan

    lain diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota masing-masing daerah.

    Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan metode

    pengumpulan data, wawancara, dan dokumentasi. Sifat penelitian ini adalah

    deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologis adalah

    pendekatan penelitian yang mengkaji persepsi dan perilaku hukum orang dan

    masyarakat atau badan hukum serta berlakunya hukum yang ada di Indonesia

    yang berhubungan dengan penelitian ini.

    Sewa menyewa tanah bengkok di Desa Gedangan Kecamatan Tuntang

    Kabupaten Semarang didapati bahwa perangkat yang mengadakan sewa menyewa

    dengan sistem tahunan dengan jangka 5 tahun telah mengundurkan diri pada

    tahun ketiga, dan menyebabkan beliau harus mengembalikan sisa uang sewa

    menyewa yang telah dibayarkan kepadannya sebagai bentuk uang pengembalian

    kepada si penyewa. Bahwa praktik sewa menyewa tanah bengkok di Desa

    Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang telah sesuai dengan Hukum

    Islam, namun belum sempurna karena belum ada surat perjanjian yang dibuat oleh

    kedua belah pihak sebagai landasan dasar perjanjian sewa menyewa.

  • xi

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

    PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... ii

    HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii

    PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................... iv

    MOTTO.............................................................................................................. v

    PERSEMBAHAN ............................................................................................ vi

    KATA PENGANTAR .................................................................................... viii

    ABSTRAK ........................................................................................................ x

    DAFTAR ISI ..................................................................................................... xi

    DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1

    B. Rumusan Masalah ........................................................................... 5

    C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 5

    D. Kegunaan Penelitian ...................................................................... 6

    E. Penegasan Istilah ............................................................................. 6

    F. Metode penelitian ........................................................................... 7

    G. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 10

    H. Sistematika Penulisan ................................................................... 13

  • xii

    BAB II SEWA MENYEWA TANAH BENGKOK

    A. Tinjauan umum tentang sewa-menyewa ....................................... 15

    1. Pengertian sewa-menyewa ..................................................... 15

    2. Dasar hukum ........................................................................... 16

    3. Syarat Rukun Sewa menyewa ................................................ 18

    a. Rukun sewa-Menyewa (Ijarah) ...................................... 19

    b. Syarat Sewa-Menyewa (Ijarah) ...................................... 21

    4. Berakhirnya Sewa-Menyewa ................................................. 22

    B. Tinjauan Umum mengenai Hak Penguasaan Tanah di Indonesia 23

    1. Pengertian .............................................................................. 23

    2. Macam-macam Hak Atas Tanah ............................................ 25

    a. Sebelum berlakunya UU No.5 Tahun 1960 tentang UUPA

    (Undang-Undang Pokok Agraria) ................................... 25

    1) Hukum Agraria Barat ............................................... 25

    2) Hukum Agraria Adat ................................................ 29

    b. Penguasaan tanah setelah UU No.5 Tahun 1960 tentang

    UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) ....................... 30

    C. Tinjauan Umum Tanah Bengkok ................................................. 36

    1. Pengertian .............................................................................. 36

    2. Tanah Bengkok Sebelum UU No.5 Thun 1960 tentang UUPA

    (Undang-Undang Pokok Agraria) ........................................... 38

    3. Tanah Bengkok Sesudah UU No.5 Thun 1960 tentang UUPA

    (Undang-Undang Pokok Agraria) ........................................... 41

    4. Tanah Bengkok menurut Undang-Undang No.6 Tahun 2014

    tentang Desa ............................................................................ 42

    BAB III PENYAJIAN DATA DAN TEMUAN BATALNYA SEWA

    MENYEWA TANAH BENGKOK AKIBAT PENGUNDURAN DIRI

    PERANGKAT DESA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-

    UNDANGAN (STUDI KASUS DI DESA GEDANGAN KECAMATAN

    TUNTANG KABUPATEN SEMARANG)

  • xiii

    A. PROFIL DESA GEDANGAN KECAMATAN TUNTANG

    KABUPATEN SEMARANG ...................................................... 46

    1. Sejarah ................................................................................... 46

    2. Letak Geografis ...................................................................... 48

    3. Batas Wilayah ........................................................................ 48

    4. Topografi : Luas Kemiringan Rata-rata ................................. 48

    5. Lahan ..................................................................................... 49

    6. Dusun ..................................................................................... 49

    7. Struktur Organisasi ................................................................ 50

    8. Tingkat Pendidikan ................................................................. 51

    9. Keadaan pnduduk Desa Gedangan ......................................... 52

    B. Tanah Bengkok di Desa Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten

    Semarang ...................................................................................... 54

    1. Gambaran umum seputar kekayaan Desa di Desa Gedangan

    Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang ............................ 54

    2. Kewenangan sewa-menyewa tanah bengkok di Desa Gedangan

    Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang ............................ 57

    3. Praktik sewa-menyewa tanah bengkok di Desa Gedangan

    Kecamatan Tuntang kabupaten Semarang ............................. 58

    C. Gambaran Kasus Sewa-Menyewa yang terjadi di Desa Gedangan

    Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang ................................... 62

    BAB IV BATALNYA SEWA MENYEWA TANAH BENGKOK AKIBAT

    PENGUNDURAN DIRI PERANGKAT DESA PERSPEKTIF HUKUM

    ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI KASUS DI DESA

    GEDANGAN KECAMATAN TUNTANG KABUPATEN SEMARANG)

    A. Analisis terhadap praktik sewa menyewa di Desa Gedangan

    Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang .................................. 66

    1. Akad sewa-menyewa .............................................................. 66

    2. Subyek sewa-meneyewa ......................................................... 68

    3. Obyek sewa-meneyewa ........................................................... 70

  • xiv

    B. Tinjauan terhadap praktik sewa menyewa di Desa Gedangan

    Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang ................................... 72

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan .................................................................................. 77

    B. Saran ............................................................................................ 79

    C. Penutup ........................................................................................ 79

    DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 81

    LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 84

  • xv

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1 Lembar Konsultasi

    Lampiran 2 Penunjukan Pembimbing Skripsi

    Lampiran 3 Daftar Nilai SKK

    Lampiran 4 Pedoman Wawancara

    Lampiran 5 Foto-foto Wawancara

    Lampiran 6 Data Inventaris Tanah Kas Desa Gedangan Kecamatan Tuntang

    Kabupaten Semarang

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Manusia hidup di bumi mempunyai hak dan kewajiban yang harus

    dipenuhi. Dalam kehidupan manusia ada dua bentuk hubungan, yaitu

    hubungan vertikal dan horisontal. Hubungan vertikal yaitu hubungan antara

    manusia dan Allah, antara makhluk (yang diciptakan) dan Khaliq (yang

    menciptakan). Kemudian hubungan yang kedua adalah hubungan horisontal,

    yaitu hubungan antara sesama yang diciptakan, baik hubungan antara manusia

    dan manusia, manusia dengan hewan/tumbuhan juga manusia dengan alam.

    Islam sebagai agama penyempurna dari agama-agama sebelumnya

    telah mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, salah satu contoh

    dasar yang menjadi acuan hubungan antara manusia dengan manusia adalah

    surat Al-Maidah ayat 2 yang menjelaskan tentang hubungan manusia sebagai

    makhluk sosial yang tidak akan lepas dari peranan satu sama lain dan perintah

    untuk saling tolong menolong antar sesama manusia.

    Adapun yang menjadi dasar tolong menolong dapat dilihat pada

    ketentuan Al - Qur‟an terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi :

    ْثِْ ‘ َوتَ َعاَونُ ْوا َعَلى اْلِبِّ َوات َّْقَوى َوََلتَ َعاَونُ ْوا َعَلى اْْلُِقْواللاُ ‘ َواْلُعْدَوانِ ِإنَّ للَا َشِدْيُد اْلِعَقابِ ‘َوالت َّ

  • 2

    Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan

    dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.

    Bertaqwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya” (Depag RI,

    2003:48).

    Dalam kajian-kajian fiqih Islam terdapat pembagian pembahasan

    fiqih, fiqih ibadah dan fiqih muamalah. Fiqih muamalah merupakan aturan

    yang membahas tentang hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam

    sebuah masyarakat. Di dalamnya termasuk kegiatan perekonomian

    masyarakat. Salah satu jenis transaksi ekonomi yang dibahas di dalam fiqih

    muamalah ialah ijarah/sewa menyewa.

    Dalam Islam, kegiatan sewa menyewa disebut dengan Ijārah. al-

    Ijārah (sewa menyewa) berasal dari kata al-Ajru yang arti menurut bahasa

    ialah al-„iwaḍh yang arti dalam bahasa Indonesia adalah ganti dan upah.

    Ijārah adalah menukar sesuatu dengan adanya imbalan, diterjemahkan dalam

    bahasa Indonesia berarti sewa menyewa dan upah-mengupah. Sewa menyewa

    adalah “menjual manfaat”, dan upah-mengupah adalah “menjual tenaga atau

    kekuatan” (Suhendi, 2010: 115).

    Unsur-unsur yang menjadikan Ijārah menjadi sah adalah sebagai

    berikut : penyewa dan yang menyewakan, barang yang disewakan, harga

    sewa, persetujuan persewaan. Pihak-pihak yang melakukan perjanjian harus

    secara legal memenuhi syarat berpartisipasi dalam kontrak Ijārah dan harus

    ada harga sewa yang pasti (Rahman, 1996: 141).

  • 3

    Manfaat dari sesuatu yang menjadi obyek transaksi Ijārah mestilah

    berupa sesuatu yang mubah, bukan sesuatu yang haram. Ini berarti bahwa

    agama tidak membenarkan terjadinya sewa atau perburuhan terhadap sesuatu

    perbuatan yang dilarang agama (Karim, 1997: 35). Sewa menyewa bisa saja

    batal (Fasakh) karena beberapa sebab, diantaranya terjadinya cacat pada

    barang sewaan, rusaknya barang yang disewakan, berakhirnya masa yang

    telah ditentukan dan selesai pekerjaannya (Karim, 1997: 112).

    Sewa menyewa sangatlah berkaitan dengan perjanjian atau akad

    mempunyai arti penting dalam kehidupan masyarakat dan merupakan “dasar

    dari sekian banyak aktivitas keseharian kita”. Melalui akad seorang lelaki

    disatukan dengan seorang wanita dalam suatu kehidupan bersama, dan

    melalui akad juga berbagai kegiatan bisnis dan usaha dapat dijalankan. Akad

    memfasilitasi setiap orang dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan yang

    tidak dapat dipenuhi sendiri tanpa bantuan dan jasa orang lain. Karenanya

    dapat dibenarkan bila dikatakan bahwa akad merupakan sarana sosial yang

    ditemukan oleh peradaban umat manusia untuk mendukung kehidupan

    sebagai makhluk sosial. Dalam melakukan perbuatan hukum tentunya tidak

    lepas dari suatu perjanjian, begitu juga dalam hal sewa menyewa (Anwar,

    2010: 61).

    Perjanjian sewa menyewa termasuk dalam perjanjian bernama.

    Perjanjian ini adalah suatu perjanjian konsensual, artinya perjanjian ini sudah

    sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur

    pokoknya, yaitu barang dan harga. Peraturan tentang sewa menyewa ini

  • 4

    berlaku untuk segala macam sewa menyewa, mengenai semua jenis

    barang, baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak, yang memakai

    waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu (Prodjodikoro,

    1989: 117).

    Dalam lalu lintas masyarakat terdapat salah satu perbuatan hukum

    yaitu adanya transaksi sewa menyewa tanah, karena sewa menyewa

    merupakan suatu perbuatan peralihan hak atas tanah yang sering dilakukan

    orang. Apabila si pemilik tanah membutuhkan uang, maka dia dapat

    menyewakan tanahnya. Sebaliknya bagi orang-orang yang tidak mempunyai

    uang, tanah merupakan sarana yang paling baik untuk menghasilkan uang.

    Sementara itu dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia

    juga mengatur pasal-pasal tentang sewa menyewa yakni pada bab ketujuh

    pada pasal 1548 dijelaskan bahwa: “sewa menyewa adalah suatu persetujuan,

    dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada

    pihak yang lainya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dan

    dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu

    disanggupi pembayarannya.” Selanjutnya pada pasal 1549 juga di jelaskan

    bahwa : “Semua jenis barang, baik yang tak bergerak maupun yang bergerak

    dapat di sewakan (Subekti, 1992: 318).

    Saat ini sewa-menyewa tanah memang sudah umum dan banyak

    dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Seperti halnya di Desa

    Gedanngan Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang, terjadi sewa menyewa

  • 5

    tanah desa. Tanah Desa adalah barang milik desa berupa tanah bengkok,

    kuburan, dan titisara (permendagri no.4/2007-pasal 1 ayat 10). Menurut

    PP.No.47/2015 pasal 100 ayat (3) Hasil pengelolaan tanah bengkok atau

    sebutan lain dapat digunakan untuk tambahan tunjangan kepala desa dan

    perangkat desa selain penghasilan tetap dan tunjangan kepala desa. Ketentuan

    lebih lanjut mengenai hasil pengelolaan tanah bengkok atau sebutan lain

    diatur dengan peraturan bupati/walikota masing-masing daerah.

    Warga di Desa Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang

    menyewa tanah bengkok milik bapak Kadus yang saat itu menjabat dengan

    model tahunan (menyewa dengan skala tahun), yaitu 5 tahun sewa. Kemudian

    sampai pada tahun ketiga penyewaan ternyata tanpa diharapkan sebelumnya

    bapak kadus yang disewa tanahnya mengundurkan diri sebagai kadus, yang

    secara otomatis memutus haknya atas tanah bengkok tersebut.

    Dari transaksi dan uraian tersebut diatas maka penulis ingin

    mengadakan penelitian dan menyusunnya dalam bentuk skripsi dengan judul

    “BATALNYA SEWA MENYEWA TANAH BENGKOK AKIBAT

    PENGUNDURAN DIRI PERANGKAT DESA PERSPEKTIF HUKUM

    ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI KASUS DI DESA

    GEDANGAN KECAMATAN TUNTANG KABUPATEN

    SEMARANG)”

  • 6

    B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana praktik sewa-menyewa tanah bengkok di Desa Gedangan

    kecamatan Tuntang kabupaten Semarang ?

    2. Bagaimana tinjauan hukum Islam mengenai sewa-menyewa tanah

    bengkok yang terjadi di Desa Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten

    Semarang ?

    C. Tujuan Penelitian

    1. Untuk mengetahui batalnya praktik sewa-menyewa tanah bengkok di Desa

    Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang.

    2. Untuk mengetahui Tinjauan Hukum Islam mengenai batalnya praktik

    sewa-menyewa tanah bengkok di Desa Gedangan Kecamatan Tuntang

    Kabupaten Semarang

    D. Kegunaan Penelitian

    Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:

    1. Secara teoritis

    a. Penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya wacana keilmuan

    mengenai hukum muamalah terutama di bidang sewa-menyewa/ijarah.

    2. Secara Praktis

    a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan bagi pejabat desa

    yang mempunyai hak atas tanah bengkok ketika akan mengadakan

    sewa-menyewa tanah bengkok.

    b. Dapat memberi masukan dan pertimbangan bagi seluruh masyarakat

    ketika akan mengadakan sewa-menyewa tanah bengkok khususnya.

  • 7

    c. Menambah bahan pustaka bagi Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

    Salatiga.

    E. Penegasan Istilah

    Untuk melanjutkan studi atau penelitian ada beberapa hal yang perlu

    untuk ditegaskan atau dipersempit maknanya agar pembaca dan penulis

    mempunyai pemikiran sama ketika membaca penelitian ini:

    1. Hukum Islam adalah titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan

    mukallaf, baik berupa tuntutan (Thalab), Pemberian pilihan (Takhyir), atau

    berupa ketetapan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya

    sesuatu yang lain, sebagai syarat bagi adanya sesuatu yang lain, sebagai

    penghalang bagii adannya sesuatu yang lain, atau sebagai pemberitahu sah

    / batalnya suatu pekerjaan serta Rukhsah dan azimah suatu pekerjaan

    (Koto, 2013: 25).

    2. Sewa-Menyewa adalah suatu persutujuan yang mana pihak satu

    mengikatkan diri untuk mendapatkan kenikmatan suatu barang pada pihak

    yang lain dalam waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang

    disanggupi. (KUHPer pasal 1548).

    3. Tanah bengkok adalah harta kekayaan desa yang diterima (diusahakan)

    sebagai ganti gaji kepada pamong desa, perangkat desa sebagai tunjangan

    selama menjabat. (https://id.m.wiktionary.org/wiki/tanah_bengkok.

    Diakses 25 oktober 2018. 09.34 WIB)

  • 8

    F. Metode penelitian

    1. Jenis Penelitian dan pendekatan

    Jenis penelitian adalah penelitian lapangan (field research) yakni

    penelitian yang langsung berhubungan dengan obyek yang diteliti

    (Sutrisno, 2001: 32). Penelitian ini bersifat kualitatif, yang mana

    penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-

    penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan

    prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kuantitatif

    (pengukuran). Penelitian ini dapat menunjukkan pada penelitian tentang

    masyarakat, sejarah, tingkah laku juga tentang fungsionalisasi organisasi,

    pergerakan-pergerakan sosial atau hubungan kekerabatan (Corbin, 1997:

    11).

    Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis

    sosiologis. Pendekatan yuridis sosiologis adalah pendekatan penelitian

    yang mengkaji persepsi dan perilaku hukum orang dan masyarakat atau

    badan hukum serta efektivitas berlakunya hukum yang ada di Indonesia

    (Utsman,2004:66).

    2. Jenis dan Sumber Data

    jenis data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini terbagi

    menjadi dua macam yakni data primer dan data sekunder:

    a. Data primer

    Data primer adalah data yang secara langsung diperoleh dari

    sumber data pertama di lokasi penelitian atau obyek penelitian (Bungin,

  • 9

    2004: 122). Obyek penelitian ini adalah Tanah Bengkok di Desa

    Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang. Oleh karena itu

    peneliti melakukan wawancara secara langsung kepada bapak Ali

    Mukidi selaku penyewa tanah bengkok, Bapak Daroji selaku Kades

    Gedangan, Para anggota BPD Gedangan, dan perangkat lain yang

    mengetahui secara langsung kejadian sewa-menyewa tanah bengkok di

    Desa Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang.

    b. Data Sekunder

    Dalam penelitian ini, data sekunder berupa dokumen yang berupa

    data tulisan seperti buku, majalah, surat kabar, makalah, laporan

    penelitian dokumen dan lain-lain sebagainya. (Arikunto, 2002: 206).

    Maka Peneliti menggunakan buku-buku, skripsi, artikel yang dapat

    menjadi referensi baik dari perpustakaan atau yang lain, dokumen-

    dokumen desa sebagai pelengkap data jika dibutuhkan.

    3. Metode pengumpulan data.

    Salah satu tahap yang penting dalam proses proses penelitian

    adalah tahap pengumpulan data. Hal ini karena data merupakan faktor

    terpenting dalam suatu penelitian, tanpa adanya data yang terkumpul

    maka tidak mungkin suatu penelitian ini akan berhasil. Dalam penelitian

    ini metode pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah dengan cara:

    a. Wawancara

    Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang

    berlangsung secara lisan yang dilakukan dua orang atau lebih bertatap

  • 10

    muka dan mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau

    keterangan yang berhubungan dengan penelitian (Muhammad, 2008:

    103).

    b. Dokumentasi

    Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang digunakan

    untuk mengumpulkan data berupa sumber data tertulis yang berupa

    penjelasan serta pemikiran tentang fenomena yang masih aktual dan

    sesuai dengan masalah penelitian (Muhammad, 2008: 104)

    4. Metode Analisis Data

    Analisis data adalah upaya data yang sudah tersedia kemudian

    diolah dengan statistik dan dapat digunakan untuk menjawab rumusan

    masalah dalam penelitian (Sujarweni, 2014: 103).

    Dalam penelitian ini analisa yang digunakan adalah analisis

    kualitatif merupakan jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-

    penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan

    prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi

    (pengukuran). Dengan metode kualitatif, peneliti tidak hanya

    menggambarkan, akan tetapi juga menjelaskan tingkat status fenomena.

    (Sujarweni, 2014: 39)

    G. Tinjauan Pustaka

    Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk mengetahui validasi penelitian

    yang telah dibuat. Penelitian terdahulu dapat menjadi satu pijakan penulis

  • 11

    agar penelitiannya berbeda dengan yang terdahulu. Adapun penelitian yang

    telah dilakukan adalah:

    1. Skripsi yang ditulis Akhmad Zakky Rusdianto, Fakultas Hukum

    Universitas Negeri Semarang dengan judul “ANALISIS YURIDIS

    TERHADAP PENGELOLAAN TANAH BENGKOK DI DESA SEPANYUL,

    KECAMATAN GUDO, KABUPATEN JOMBANG” pada tahun 2015.

    Skripsi tersebut membahas mengenai bagaimana penerapan dan

    pelaksanaan tanah bengkok di desa tersebut dan ternyata hasil dari

    penelitian tersebut adalah Terdapat pro kontra di lapangan. Sebagian

    masyarakat menginginkan tanah bengkok dikelola dan diperuntukan untuk

    kepentingan dan kesejahteraan masyarakat desa, hal tersebut juga sesuai

    perintah perundangan-undangan yang baru berlaku, namun sebagian besar

    kepala desa dan perangkat desa menolak apabila tanah bengkok akan

    ditarik dan dijadikan sebagai sumber pendapatan desa sebagaimana yang

    tertuang di undang-undang. Namun pemerintah desa masih bersikukuh

    memepertahankan bahwa tanah bengkok merupakan hak yang melekat

    pada jabatannya, meskipun nantinya akan juga mendapatkan tunjangan

    juga dari Alokasi Dana Desa yang dihitung tiap bulannya akan mendapat

    tunjangan secara tetap dari dana tersebut yang berasal dari APBN.

    Sehingga sampai saat ini pengelolaan tanah bengkok masih dikelola dan

    diperuntukkan untuk kompensasi gaji kepala desa dan aparatur desa

    (Rusdiyanto, 2015).

  • 12

    2. Skripsi yang ditulis oleh Achmad mufid Sunani, Fakultas Syariah IAIN

    Purwokerto dengan judul : “AKAD SEWA TANAH BENGKOK DALAM

    PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Grujugan

    Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas)” pada tahun 2015. Skripsi

    tersebut meneliti apakah akad yang digunakan saat sewa menyewa tanah

    bengkok dan menurut peneliti adalah Akad sewa tanah bengkok yang

    dilakukan di Desa Grujugan Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas

    merupakan ijarah atas manfaat benda antara panitia lelang dengan petani

    yang dilakukan secara langsung dan terbuka. Dimana sewa tanah bengkok

    dilakukan dengan cara panitia lelang sebelum memulai lelang terlebih

    dahulu membacakan tata tertib lelang dan ketentuan umum setelah aturan

    tersebut di setujui langsung dilakukan tahap lelang dengan terlebih dahulu

    panitia lelang menjelaskan lokasi sawah setelah petani paham dan tau

    dimana lokasinya, panitia lelang dengan petani langsung melakukan

    tawar-menawar harga sampai menghasilkan kesepakatan. Ijab dan qobul

    dilakukan secara lisan dan tulisan berkaitan dengan waktu dan manfaat,

    namun mengenai manfaatnya dibebaskan untuk pertanian apa saja

    (Sunani, : 2015).

    3. Skripsi ditulis dan disusun oleh Mat Syakir, Fakultas Hukum Universitas

    Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang dengan judul: “TINJAUAN

    YURIDIS TENTANG STATUS TANAH BENGKOK DI DESA BULUSARI

    KECAMATAN SAYUNG KABUPATEN DEMAK” Tahun 2016. Tanah

    bengkok merupakan tanah desa yang diberikan desa kepada pamong desa

  • 13

    dan/ atau aparat desa sebagai kompensasi gaji yang diberikan oleh desa

    atas pekerjaan dan jabatan yang diemban oleh pamong desa dan/atau

    perangkat desa, Tanah bengkok merupakan tanah adat yang dulunya

    merupakan tanah kerajaan yang mempunyai pemerintahan sendiri.

    Dengan kata lain bahwa tanah bengkok adalah tanah bekas swapraja.

    Maka tanah bengkok adalah tanah bersama milik warga yang

    kepemilikannya adalah milik desa dan Sesuai dengan kesepakatan dari

    perjanjian jual beli hak tersebut diatas yang bertujuan untuk ditempati dan

    dikelola maka hak yang melekat pada pihak pembeli hak (warga) adalah

    Hak Guna Usaha (HGU) Sesuai dengan kesepakatan dari perjanjian jual

    beli hak tersebut diatas yang bertujuan untuk ditempati dan dikelola maka

    hak yang melekat pada pihak pembeli hak (warga) adalah Hak Guna

    Usaha (Syakir, 2016).

    Bertolak dari uraian di atas, maka setidaknya dapat diketahui bahwa

    judul penelitian yang dikaji penulis memiliki pokok permasalahan yang

    berbeda dengan beberapa judul yang telah diuraikan di atas, dimana

    permasalahan yang terjadi di Desa Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten

    Semarang adalah tanah bengkok yang disewa tahunan oleh seorang warga

    kepada yang memiliki hak tanah bengkok yaitu kadus di Desa Gedangan

    namun kadus tersebut mengundurkan diri dan kehilangan hak nya atas tanah

    bengkok tersebut, akan tetapi masih dalam jangka sewa oleh seorang warga

    yang menyewa.

  • 14

    Dari permasalahan di atas penulis menganggap menarik untuk diteliti

    dan belum ada yang pernah membahasnya.

    H. Sistematika Penulisan

    Untuk mempermudah pemahaman isi penelitian ini, maka penulis

    menyusun sistematika penulisan menjadi lima bab, yang berisi hal-hal pokok

    yang dapat dijadikan acuan dalam memahami pembahasan skripsi ini

    yaitu:

    Bab kesatu : Pendahuluan yang berisi uraian tentang latar belakang masalah,

    rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,

    penegasan istilah, metode penelitian yang berisi tentang (jenis

    penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data,

    metode analisis data), tinjauan pustaka, dan diakhiri dengan

    sistematika penulisan.

    Bab Kedua : Merupakan landasan teori/ kajian pustaka mengenai sewa

    menyewa tanah bengkok menurut Hukum Islam yang terdiri

    dari : pengertian sewa menyewa dan dasar-dasarnya, syarat dan

    rukun, berakhirnya sewa menyewa. Kemudian dilanjutkan

    tinjauan umum mengenai hak penguasaan tanah beserta macam

    nya. kemudian dilanjutkan dengan tinjauan umum mengenai

    tanah bengkok, baik sebelum dan sesudah Undang-undang No

    5 Tahun 1960 tentang UUPA juga dilengkapi dengan tanah

  • 15

    bengkok menurut Undang-undang No 6 Tahun 2014 tentang

    Desa

    Bab Ketiga : Merupakan penyajian data dan temuan yang terdiri dari

    deskripsi singkat megenai obyek yang diteliti yaitu profil desa,

    penyajian data/ gambara umum dan pelaksanaan sewa

    menyewa tanah bengkok di Desa Gedangan Kecamatan

    Tuntang Kabupaten Semarang.

    Bab Keempat : Merupakan analisis praktik sewa menyewa tanah bengkok di

    Desa Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang

    menurut hukum Islam.

    Bab Kelima : Bab terahir atau bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan

    saran dari hasil pengolahan data dan keseluruhan rangkaian

    penelitian ini.

  • 16

    BAB II

    SEWA MENYEWA TANAH BENGKOK

    A. Tinjauan umum tentang sewa-menyewa

    1. Pengertian Sewa-Menyewa

    Sewa-menyewa dalam KUHper ( Kitab Undang-undang Hukum

    Perdata) Buku ke III bab VII (pasal 1548) Sewa menyewa adalah suatu

    persutujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk

    memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama

    waktu tertentu dengan pembayaran suatu barang yang disanggupi oleh

    pihak tersebut terakhir itu.

    Dalam pendapat lain sewa menyewa di dalam Islam dikenal dengan

    istilah Ijārah. al-Ijārah (sewa menyewa) berasal dari kata al-Ajru yang

    arti menurut bahasa ialah al-„iwaḍh yang dalam bahasa Indonesia berarti

    ganti dan upah (Suhendi, 2010: 115). Dalam buku II bab I (pasal 20) (9)

    ijarah adalah sewa barang dalam jangka tertentu dengan pembayaran

    (KHES).

    Secara bahasa kata Ijarah merupakan kata yang terbentuk dari

    kalimat fi‟il “ajara-ya‟juru-ajran”. Ajran semakna dengan kata al-„iwadh

    yang mempunyai arti ganti dan upah (al-Munawir, 1997:9).

    Menurut Sayyid Sabiq dalam (Huda, 2011:78) Ijarah Secara Istilah

    ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan

    penggantian. Yang diambil disini adalah manfaat dari sesuatu barang.

    Manfaat tersebut kadang berupa manfaat benda, pekerjaan, dan tenaga.

  • 17

    Manfaat benda seperti contoh : mendiami mobil atau mengendarai mobil,

    manfaat pekerjaan seperti pekerjaan menjahit, manfaat tenaga seperti hal

    nya buruh (Djamil,2002:155).

    Dari pengertian-pengertian di atas terlihat bahwasanya sewa-

    menyewa itu adalah suatu akad menggunakan barang milik orang lain

    untuk diambil manfaatnya (bukan untuk mengurangi dzat benda nya),

    dalam jangka waktu tertentu dengan memberikan upah sebagai biaya

    ganti pemanfaat atas sesuatu barang tersebut.

    2. Dasar hukum

    Dalam ranah hukum positif sewa –menyewa telah diatur dalam

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPER) pada buku ketiga

    tentang Perikatan dan berada pada Bab VII mengenai Sewa-menyewa

    dimulai dari pasal 1547-1617.

    Dalam UUPA juga terdapat landasan hukum mengenai sewa-

    menyewa tanah pertanian yang lebih luasnya akan dibahas padad regulasi

    lex specialis (khusus) yaitu Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).

    Dalam UUPA mengenai sewa-menyewa tanah disebutkan dalam pasal 10

    ayat 1 yaitu :

    “setiap orang maupun badan hukum yang memiliki hak atas tanah

    pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan

    secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan” (Harsono.2008,552).

    Dasar hukum diperbolehkan akad sewa-menyewa menurut Islam

    adalah al-Qur‟an, As-Sunnah, dan Ijma‟ para ulama. Di bawah ini akan

    diuraikan beberapa dasar hukum dari sewa-menyewa diantaranya adalah:

  • 18

    a. Al Qur an

    Dasar hukum sewa-menyewa atau sering disebut Ijarah dalam

    Al Qur an ada pada Al-Qur an surat At Talaq (65) ayat 6 dan Al

    Qashash (28) ayat 26 :

    َنُكْم ِبَْعُرْوٍف َوِإْن تَ َعا فَِاْن اَْرَضْعَن َلُكْم فَأَتُ ْوُىنَّ اُُجْوَرُىنَّ َوْأَتَُِرْوا بَ ي ْ َسْرُُتْ َفْستُ ْرِضُع َلُو ُأْخَرى

    Artinya: ...”kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu

    untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan

    musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan

    jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh

    menyusukan (anak itu) untuknya...” (Huda, 2011: 79)

    Surat al-Qashash (28): 26

    َر َمِن اْستَ ْئَجْرَت اْلَقِويُّ اْْلَ ِمْيُ ’ِجْرهُ أْ ُُهَاََيََبِت اْستَ اَلْت ِاْحدَ اقَ ِإنَّ َخي ْ

    “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “ya bapakku ambillah

    ia sebagai orang yang berkerja (pada kita), karena sesungguhnya

    orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)

    ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”(Huda, 2011: 79).

    b. Hadist

    ُهَما قَاَل: قَاَل َرُسْوُل للِا َصلَّى للُا َعَلْيِو َوَعْن اْبِن ُعَمَر َرِضَي للُا َعن ْ

    فَّ َعَرَقو َر َاْجَرُه قَ ْبَل َأْن َيَِ َوَسلََّم: أَْعُطْوا اْْلَ ِجي ْDari Ibnu „Umar r.a. ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda:

    berikanlah kepada tenaga kerja itu upahnya sebelum keringatnya

    kering. (HR. Ibnu Majah). (Huda, 2011: 79).

  • 19

    c. Ijma‟

    Mengenai disyariatkan sewa-menyewa, para ulama keilmuan

    dan cendekiawan bersepakat tentang keabsahan sewa-menyewa atau

    Ijarah, sekalipun hanya sebagian kecil diantara mereka yang berbeda

    pendapat (Sabiq, 1987: 11). Dari ayat-ayat al Qur‟an dan beberapa

    hadis Rasulallah tersebut jelaslah bahwa akad Ijarah atau sewa

    menyewa hukumnya dibolehkan, karena memang akad tersebut

    dibutuhkan oleh masyarakat. Disamping al Qur‟an dan sunnah, dasar

    hukum sewa-menyewa (Ijarah) adalah Ijma‟. Sejak zaman sahabat

    sampai sekarang Ijarah telah disepakati oleh para ahli hukum Islam.

    Hal tersebut dikarenakan masyarakat sangat membutuhkan akad ini.

    Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, ada orang kaya yang

    memiliki rumah yang tidak ditempati. Di sisi lain ada orang yang

    tidak memiliki tempat tinggal. Dengan dibolehkannya Ijarah maka

    orang yang tidak memeiliki tempat tinggal bisa menempati rumah

    orang lain yang tidak digunakan untuk beberapa waktu tertentu,

    dengan memberikan imbalan berupa uang sewa yang disepakati

    bersama tanpa harus membeli rumah tersebut (Muslich, 2015: 320).

    3. Syarat Rukun Sewa menyewa

    Sewa-meneyewa (Ijarah) merupakan sebuah transaksi atas suatu

    manfaat. Maka dari itu manfaat menjadi obyek dari sewa-menyewa

  • 20

    (ijarah). Dalam hal ini sewa-menyewa (Ijarah) dibagi menjadi 2 dilihat

    dari segi manfaat nya. Pertama, sewa-menyewa (Ijarah) yang

    mentransaksikan manfaat dari harta benda yang biasa kita sebut dengan

    “persewaan”. Misalnya menyewa rumah, tanah, kendaraan, pertokoan,

    dan lain sebagainya. Kemudian yang kedua adalah sewa-menyewa

    (Ijarah) yang menstransaksikan manfaat SDM ( Sumber Daya manusia)

    atau biasa kita sebut sebagai perburuhan (Ghufron. mas‟adi,2002:183).

    Oleh karena itu, dari kedua bentuk Sewa-menyewa (Ijarah)

    tersebut akan sah apabila memenuhi rukun dan syarat. Adapun rukun dan

    syarat nya sebagai berikut :

    a. Rukun Sewa-Menyewa (Ijarah)

    Rukun Sewa-menyewa (Ijarah) menurut Prof. Dr. H. Rachmat

    Syafe‟i, MA dalam bukunya adalah :

    1) Aqid (orang yang ber akad)

    Aqid adalah orang yang melakukan perjanjian/transaksi,

    yaitu orang yang menyewakan dan menerima upah (mu‟jir) dan

    yang melaksanakan dan menyewa sesuatu (musta‟jir).

    2) Sighat akad

    Sighat akad adalah pernyataan yang menunjukkan kerelaan

    atau kesepakatan kedua belah pihak yang melakukan kontrak atau

    transaksi.

  • 21

    3) Ujrah (upah)

    Ujrah adalah imbalan sebagai bayaran kepada seseorang

    yang telah diperintah untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu

    dan bayaran itu diberikan menurut perjanjian yang telah

    disepakati bersama (Labib Mz, 2006:43).

    4) Obyek akad

    Obyek yang disewakan boleh barang bergerak maupun

    barang tidak bergerak. Dan dimiliki jelas oleh orang yang

    mneyewakan atau biasa disebut dalam islam sebagai milik penuh

    (milku tam), maksudnya barang yang disewakan benar-benar

    miliknya sendiri bukan milik orang lain.

    Menurut Ulama Madzhab Hanafi, rukun sewa-menyewa

    (ijarah) hanya ada satu, yaiu Ijab dan Qobul (Hasan, 2003: 23).

    Sedangkan dalam KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah) pasal

    251 menerangkan rukun sewa-menyewa (ijarah) adalah:

    a) Pihak yang menyewa

    Adalah pihak yang menggunakan dan memanfaatkan objek

    dan membayar sejumlah uang kepada pihak yang menyewa,

    dimana seperti tercantum dalam pasal 265 KHES “Penyewa dapat

    menggunakan obyek ijarah secara bebas jika akad ijarah

    dilakukan secara mutlak. ” dan “Penyewa hanya dapat

  • 22

    menggunakan obyek ijarah secara tertentu jika akad ijarah

    dilakukan secara terbatas.”

    b) Pihak yang menyewakan

    Menurut pasal 259 KHES disebutkan bahwa pihak yang

    menyewakan haruslah pemilik, wakilnya maupun pengampunya.

    c) Benda yang disewakan

    Penggunaan benda atau objek yang dimanfaatkan harus

    jelas dan dicantumkan dalam akad agar dapat memberikan

    kejelasan kepada para pihak seperti dalam pasal 260 KHES

    “Penggunaan benda ijarahan harus dicantumkan dalam akad

    ijarah.” Dan “Jika penggunaan benda ijarahan tidak dinyatakan

    secara pasti dalam akad, maka benda ijarahan digunakan

    berdasarkan aturan umum dan kebiasaan.”

    d) Akad

    Seperti dijelaskan pada pasal 252 KHES bahwasanya Sighat

    akad ijarah harus menggunakan kalimat yang jelas, namun juga

    dapat dilakukan dengan tulisan atau isyarat. Kemudian pasal 258

    berbunyi “akad ijarah dapat dilakukan dengan tatap muka

    maupun jarak jauh”

    b. Syarat Sewa-Menyewa (Ijarah)

    Supaya transaksi ijarah itu bisa dianggap sah, maka ada

    beberapa syarat yang mengiringi beberapa rukun yang harus

  • 23

    dipenuhi. Prof.Dr. H. Hendi Suhendi mengemukakan syarat-syarat

    sah sewa-menyewa (ijarah) :

    1) Syarat bagi mu‟jir ( orang yang menyewakan) dan musta‟jir

    (orang yg menyewa) adalah : baligh, berakal cakap

    mengendalikan hartanya, saling meridhai dari kedua belah pihak.

    Dan ditambahkan lagi harus mengetahui manfaat barang yang

    akan disewa demi mencegah perselisihan di kemudian hari.

    2) Sighat yang dilakukan keduanya antara mu‟jir dan musta‟jir harus

    jelas.

    3) Ujrah (upah) harus diketahui jumlahnya dan disepakati oleh

    kedua belah pihak baik dalam sewa-menyewa maupun dalam

    upah-mengupah.

    4) Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-

    mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan

    beberapa syarat berikut ini :

    a) Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa

    dan upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaanya.

    b) Hendaklah yang menjadi objek sewa – menyewa dapat

    diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaanya

    (khusus dalam sewa-menyewa).

    c) Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah

    (boleh) menurut syara‟ bukan hal yang dilarang (diharamkan).

  • 24

    d) Benda yang disewakan disyaratkan kekal ain‟(zat)-nya hingga

    waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad.

    4. Berakhirnya Sewa-Menyewa

    Sewa-menyewa (Ijarah) adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang

    tidak membolehkan adanya fasakh (rusak) pada salah satu pihak, karena

    ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang

    mewajibkan fasakh.

    Ijarah akan menjadi rusak/batal bila ada hal-hal sebagai berikut :

    (Suhendi, 2010:122)

    a. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan

    penyewa.

    b. Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan

    sebagainya.

    c. Rusaknya barang yang diupahkan (ma‟jur alaih), seperti baju yang

    diupahkan untuk dijahitkan.

    d. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah

    ditentukan dan selesai pekerjaannya.

    e. Menurut Hanafiyyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak yang

    menyewa toko untuk dagang, kemudian daganganya ada yang

    mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.

  • 25

    B. Tinjauan Umum mengenai Hak Penguasaan Tanah di Indonesia

    1. Pengertian

    Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pengertian

    penguasaan atas Tanah terdapat pada pasal 2 ayat (1) yang berbunyi :

    “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan

    hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang

    angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada

    tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan

    seluruh rakyat” (UU No.5 th 1960 tentang UUPA).

    Ruang lingkup bumi menurut UUPA adalah Permukaan bumi, dan

    tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.permukaan bumi

    juga disebut Tanah. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur

    tanah dalam segala aspeknya, mealinkan mengatur salah satu aspek nya,

    yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak-hak penguasaan

    atas tanah. Pengertian “Penguasaan” dapat diartikan dengan dua arti, yaitu

    secara fisik dan secara yuridis. Adapun penguasaan atas tanah dalam arti

    yuridis adalah penguasaan yang disertai dengan hak, yang dilindungi oleh

    hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak.

    Kemudian penguasaan dalam arti fisik diumpamakan pada persewaan

    tanah. Pada yuridisnya penguasaan tanah ada pada orang yang memiliki

    hak atas tanah itu atau (yang menyewakan), namun kenyataannya

    penguasaan fisik diberikan kepada pihak lain (penyewa)

    (Santoso,2005:73).

  • 26

    Hak hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang,

    kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang hak nya untuk berbuat

    sesuatu dengan tanah yang di hak i. “sesuatu” yang boleh, wajib dan/atau

    dilarang untuk diperbuat itulah yang merupakan tolak ukur pembeda

    antara berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum

    Tanah negara yang bersangkutan. Kita juga mengetahui, bahwa hak-hak

    penguasaan atas tanah itu dapat diartikan sebagai lembaga hukum jika

    belum dihubungkan dengan tanah dan subyek tertentu (Harsono, 1999:

    253).

    “Hak yang memberikan wewenang untuk mempergunakan

    permuakaan bumi atau tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh

    bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya,” adalah pengertian

    dari hak atas tanah. Dalam batasan-batasan menurut UU ini dan peraturan

    hukum yang lain dan yang lebih tinggi (Ismaya, 2011: 61).

    2. Macam-macam Hak Atas Tanah

    a. Sebelum berlakunya UU No.5 Tahun 1960 tentang UUPA

    (Undang-Undang Pokok Agraria)

    1) Hukum Agraria Barat

    Hukum Agraria Barat adalah keseluruhan kaidah hukum

    yang bersumber pada hukum perdata barat khususnya Kitab

    Undang-undang Hukum Perdata. Tanah yang tunduk dan

    diatur hukum perdata barat tersebut disebut tanah barat atau

    tanah eropa. Tanah agraria barat itu sendiri antara lain :

  • 27

    a) Hak Eigendom (Recht van Eigendom)

    Dalam Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum

    Perdata, menyebutkan bahwa Hak Eigendom adalah hak

    untuk menikmati suatu kebendaan dengan leluasa, dan

    untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan

    kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan

    undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh

    suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak

    mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu tak

    mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi

    kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-

    undang dan dengan pembayaran ganti rugi.

    b) Hak Erfpacht (Recht van Erfpacht)

    Hak Erfpacht, menurut Pasal 720 Kitab Undang-

    Undang Hukum Perdata adalah suatu hak kebendaan

    untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang

    tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban akan

    membayar upeti tahunan kepada si pemilik sebagai

    pengakuan akan kepemilikannya, baik berupa uang, baik

    berupa hasil atau pendapatan.

    c) Hak Opstal (Recht van Opstal)

    Hak Opstal atau disebut juga dengan Recht van Opstal

    adalah suatu hak kebendaan (zakelijk recht) untuk

  • 28

    mempunyai rumah-rumah, bangunan-bangunan dan

    tanaman di atas tanah milik orang lain. Hak Opstal

    menurut Pasal 711 BW (Kitab Undang-Undang Hukum

    Perdata) merupakan hak numpang karang (Recht van

    Opstal), yaitu suatu hak kebendaan untuk mempunyai

    gedung-gedung, bangunan-bangunan dan penanaman di

    atas pekarangan orang lain. Bagi pemegang Hak Opstal

    (opstaller), mempunyai hak dan kewajiban, antara lain :

    1) Membayar canon (uang yang wajib dibayar pemegang

    Hak Opstal setiap tahunnya kepada negara).

    2) Memelihara tanah opstal itu sebaik-baiknya.

    3) Opstaller dapat membebani haknya kepada hipotik.

    4) Opstaller dapat membebani tanah itu dengan

    pembebanan pekarangan selama opstal itu berjalan.

    5) Opstaller dapat mengasingkan Hak Opstal itu kepada

    orang lain.

    Selama Hak Opstal berjalan, pemilik pekarangan tidak

    diperbolehkan mencegah si penumpang, akan

    membongkar gedung-gedung atau bangunan-bangunan

    dan menebang segala tanaman di atas pekarangan itu guna

    mengambilnya dari situ jika harga dari gedung-gedung,

    bangunan-bangunan dan tanaman itu, sewaktu Hak Opstal

    diperolehnya telah lunas dibayarnya, atau jika kesemuanya

  • 29

    itu si penumpang sendirilah yang mendirikan, membuat,

    dan menanamnya, dengan tak mengurangi kewajiban si

    penumpang untuk memulihkan kembali pekarangan itu

    dalam keadaan sebelum satu sama lain didirikan, dibuat

    dan ditanamnya.

    Dengan berakhirnya Hak Opstal, pemilik pekarangan

    menjadi pemilik gedung-gedung, bangunan-bangunan dan

    tanaman di atas pekarangannya, dengan kewajiban akan

    membayar harganya pada saat itu juga kepada si

    penumpang, yang mana menjelang dilunasinya

    pembayaran itu, berhak menahan segala sesuatu.

    Apabila Hak Opstal diperoleh atas sebidang tanah

    dimana telah ada gedung-gedung, bangunan dan tanaman,

    yang harganya oleh si penumpang belum dibayar, maka

    bolehlah pemilik pekarangan dengan berakhirnya Hak

    Opstal, menguasai kembali segala kebendaan itu dengan

    tak usah membayar sesuatu pergantian rugi. Dalam Pasal

    718 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Hak Opstal

    berakhir antara lain :

    1) karena percampuran.

    2) karena musnahnya pekarangan.

    3) karena kadaluarsa dengan tenggang waktu 30 tahun

    lamanya.

  • 30

    4) setelah lewatnya waktu yang diperjanjikan atau

    ditentukan, tatkala Hak Opstal dilahirkan.

    d) Recht van Gebruik

    Menurut Pasal 756 Kitab Undang-Undang Hukum

    Perdata, Recht van Gebruik adalah suatu hak kebendaan,

    dengan mana seorang diperbolehkan menarik segala hasil

    dari sesuatu kebendaan milik orang lain, sehingga seolah-

    olah dia sendiri pemilik kebendaan itu, dan dengan

    kewajiban memeliharanya sebaik-baiknya.

    2) Hukum Agraria Adat

    Hukum Agraria Adat adalah keseluruhan kaidah hukum

    agraria yang bersumber pada hukum adat. Tanah yang diatur

    menurut hukum adat disebut tanah adat. Hukum agraria adat itu

    antara lain:

    a) Hak Ulayat

    Hak ulayat adalah nama yang diberikan oleh para ahli

    hukum pada lembaga hukum dan hubungan konkret antara

    masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah dalam

    wilayahnya, yang disebut hak ulayat. Hak ulayat merupakan

    seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat

    suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan

    tanah yang terletak di wilayahnya yang pelaksanaanya

  • 31

    dilimpahkan kepada kepala adat sendiri atau bersama-sama

    dengan tetua adat masyarakat adat yang bersangkutan.

    Hak ulayat dalam Hukum Tanah Nasional diakui

    eksistensinya bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu

    selagi masih ada, selain diakui juga dibatasi dalam arti harus

    sedemikian rupa agar selaras dengan kepentingan nasional

    dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa serta tidak

    boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan

    perundang-undangan yang lebih tinggi.

    b) Hak Milik (Adat)

    Hak Milik Atas Tanah dalam hukum agraria adalah hak

    atas tanah yang dipegang oleh perorangan atas sebidang

    tanah tertentu yang diketahui secara pasti batas-batasnya

    dalam wilayah hak ulayat masyarakat hukum adat setempat.

    c) Hak Pakai

    Hak Pakai atas tanah dalam hukum agraris adat adalah hak

    atas tanah yang telah diberikan kewenangan kepada

    seseorang tertentu dalam wilayah masyarakat hukum adat

    yang bersangkutan untuk kepentingannya sendiri.

    Keberadaan hukum agraria lama tersebut telah berakhir setelah

    dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 yang

    mengatur tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang

    lazim disebut dengan UUPA, pada tanggal 24 September 1960

  • 32

    UUPA telah membawa perubahan secara fundamental terhadap

    hukum agraria di Indonesia. UUPA membawa perubahan hukum

    agraria Indonesia, karena UUPA telah membawa unifikasi

    terhadap pengaturan hukum agraria Indonesia. Terhadap hak-hak

    atas tanah lama UUPA melakukan perubahan secara yuridis

    (konversi) menjadi hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA.

    Perubahan tersebut diatur dalam ketentuan-ketentuan konversi

    UUPA.

    b. Penguasaan tanah setelah UU No.5 Tahun 1960 tentang UUPA

    (Undang-Undang Pokok Agraria)

    Setelah berlakunya UUPA di Indonesia sistem pertanahan di

    Indonesia semakin tertata rapi. Dalam Hukum Tanah Nasional ada

    bermacam-macam hak penguasaan atas tanah, kemudian dapat

    disusun dalam jenjang tata susunan atau heirarki sebagai berikut :

    1) Hak Bangsa Indonesia.

    2) Hak menguasai dari Negara.

    3) Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang

    menurut kenyataan masih ada.

    4) Hak-hak Individual :

    a) Hak-hak atas tanah :

    Primer : Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak

    Guna Bangunan (HGB), yang diberikan oleh Negara, dan

    Hak Pakai, yang diberikan oleh Negara.

  • 33

    Sekunder : HGB dan Hak Pakai yang diberikan pemilik

    tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi-Hasil, Hak Menumpang,

    Hak Sewa dan lain-lainnya.

    b) Wakaf.

    c) Hak Jaminan atas tanah : Hak Tanggungan

    (Harsono,1999:255).

    Dilihat dari pengertian, jangka waktu berlakunnya dan subjek

    yang dapat memilikinnya hak atas tanah dibedakan :

    1) Hak atas tanah yang bersifat tetap

    a) Hak milik

    Salah satu hak atas tanah yang termasuk dalm kategori

    bersifat primer adalah Hak Milik. Sebab hak milik

    merupakan hak yang paling utama, terkuat dan terpenuh,

    diabandingkan dengan hak-hak primer lainnya, seperti HGU,

    Hak pakai dan lain-lain. Hal ini sesuai ketentuan pasal 20

    ayat (1) dan (2) UUPA yang berbunyi sebagai berikut: “Hak

    Milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang

    dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan

    pasal 6. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak

    lain” (Supriadi,2008 :65).

    Hapusnya Hak Milik atas tanah seperti di sebutkan dalam

    pasal 27 UUPA tahun 1960 adalah dikarenakan tanah

    tersebut musnah dan tanah tersebut jatuh kepada negara, baik

  • 34

    atas dasar pencabutan hak ataupun penyerahan dengan

    sukarela oleh pihak pemiliknya.

    b) HGU (Hak Guna Usaha)

    Ketentuan mengenai Hak Guna Usaha (HGU) disebutkan

    dalam Pasal 16 ayat (1) huruf B UUPA. Secara khusus diatur

    dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 34 UUPA. Menurut

    Pasal 50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai

    HGU diatur dengan peraturan perundang-undangan.

    Peraturan yang dimaksud disini adalah Peraturan Pemerintah

    (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak

    Guna Bangunan dan Hak Pakai, secara khusus diatur dalam

    Pasal 2 sampai Pasal 18. Menurut Pasal 28 ayat (1) UUPA

    yang dimaksud dengan Hak Guna Usaha adalah hak untuk

    mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara,

    dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29,

    guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. PP

    nomor 40 tahun 1996 menambahkan guna perusahaan

    perkebunan.

    Subjek hukum yang dapat menpunyai Hak Guna Usaha

    menurut Pasal 30 UUPA jo. Pasal 2 PP nomor 40 tahun 1996

    adalah : 1. Warga Indonesia. 2. Badan hukum yang didirikan

    menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia

    (badan hukum Indonesia) Bagi pemegang Hak Guna Usaha

  • 35

    yang tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Guna Usaha,

    maka dalam waktu 1 tahun wajib melepaskan atau

    mengalihkan tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi

    syarat. Kalau hal ini tidak dilakukan, maka Hak Guna

    Usahanya hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah

    Negara. Asal tanah Hak Guna Usaha adalah tanah Negara.

    Kalau asal tanah Hak Guna Usaha berupa tanah hak, maka

    tanah hak tersebut harus dilakukan pelepasan atau

    penyerahan hak oleh pemegang hak dengan pemberian ganti

    kerugian oleh calon pemegang Hak Guna Usaha dan

    selanjutnya mengajukan permohonan pemberian Hak Guna

    Usaha kepada Badan Pertanahan Nasional. Kalau tanahnya

    berasal dari kawasan hutan, maka tanah tersebut harus

    dikeluarkan statusnya sebagai kawasan hutan (Pasal 4 PP

    Nomor 40 tahun 1996). Hak Guna Usaha adalah hak untuk

    mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara,

    dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29,

    guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan

    (Santoso,2005 :95).

    c) HGB (Hak Guna Bangunan)

    Dalam UUPA pasal 35 Hak guna bangunan adalah hak

    untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas

  • 36

    tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu

    paling lama 30 tahun.

    Ketentuan mengenai Hak Guna Bangunan (HGB)

    disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UUPA. Secara

    khusus diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 UUPA.

    Menurut Pasal 50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih lanjut

    mengenai HGB diatur dengan peraturan perundang-

    undangan yakni PP No. 40 Tahun 1996 yang secara khusus

    diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 38. Pasal 35

    UUPA memberikan pengertian Hak Guna Bangunan yaitu

    hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah

    bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30

    tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama

    20 tahun. Pasal 37 UUPA menegaskan bahwa Hak Guna

    Bangunan terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh

    Negara atau tanah milik orang lain. Sedangkan Pasal 21 PP

    No. 40 Tahun 1996 menegaskan bahwa tanah yang dapat

    diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah tanah Negara,

    Hak Pengelolaan atau tanah Hak Milik. Pasal 36 UUPA jo.

    Pasal 19 PP No. 40 Tahun 1996 menyebutkan subjek yang

    dapat diberikan hak guna bangunan adalah Warga Negara

    Indonesia dan Badan Hukum yang didirikan menurut hukum

  • 37

    Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (badan hukum

    Indonesia) (Santoso,2005: 105).

    d) Hak Pakai

    Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau

    memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh

    Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang

    dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan

    pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya

    atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan

    perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,

    segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan

    ketentuan-ketentuan Undang-undang ini (UUPA pasal 41).

    Yng dapat mempunyai hak pakai adalah WNI (Warga Negara

    Indonesia), Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum

    Indonesia, Departemen Lembaga Pemerintah Non

    Departemen dan pemerintah daerah, dll.

    Adapun tanah-tanah yang dapat diberikan dengan Hak

    Pakai adalah Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan, dan

    Tanah Hak Milik.

    2) Hak atas tanah yang bersifat sementara

    a) Hak Gadai

    Gadai adalah hubungan hukum antara seseorang dengan

    tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai

  • 38

    daripadannya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah

    tersebut dikuasai oleh “pemegang gadai.”

    b) Hak Usaha Bagi Hasil

    Hak usaha bagi hasil muncul karena adannya perjanjian

    bagi hasil antara pihak pemilik tanah dengan penggarap

    dengan imbangan hasil yang disepakati.

    c) Hak Menumpang

    Hak menumpang adalah hak yang memberi kepada

    seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah diatas

    tanah pekarangan orang lain (istilah menumpang = mager

    sari).

    d) Hak sewa Bangunan

    Diatur dalam pasal 44 ayat (1) : “seseorang atau badan

    hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak

    mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan

    bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah

    uang sebagai sewa” (UUPA pasal 44 ayat 1).

    e) Hak sewa Tanah Pertanian

    Merupakan hak yang memberikan kewenangan untuk

    menguasai dan menguasakan tanah pertaanian kepunyaan

    orang lain.

    Selain bermacam-macam hak atas tanah tersebut di atas yang

    dikenal pula adannya hak tanggungan (Hak Hipotek) dan hak agraria

  • 39

    yang lainnya (Hak Bangsa; Hak menguasai dari Negara; Hak Guna

    Ruang angkasa; Hak menguasakan Hutan dan Hak Kuasa

    Pertambangan) (Ismaya, 2005: 72).

    C. Tinjauan Umum Tanah Bengkok

    1. Pengertian

    Tanah bengkok adalah tanah yang dimiliki oleh adat-istiadat

    sendiri guna diberikan kepada kepala desa dan perangkat desa yang

    bersangkutan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005

    Tentang Desa yang termuat dalam Pasal 1 ayat (5), yang dimaksud Desa

    adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah

    yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

    setempat (Harsono,1999: 276).

    (Supriadi,2008: 38) dalam bukunya menuliskan pengertian tanah

    bengkok adalah “gaji pegawai yang berupa tanah”. Pegawai yang

    dimaksud adalah perangkat desa, misalnya kepala Desa, Sekretaris Desa

    (Carik) dan Kepala-Kepala Bagian. Hak yang ada disini adalah hak

    menikmati, artinya perangkat desa tersebut hanya berhak menikmati hasil

    dari tanah bengkok tersebut selama menjadi perangakat desa, apabila

    sudah selesai tugasnya maka tanah kembali kepada negara dan akan

    dinikamati oleh penggantinya. Jadi, tidak boleh perangkat desa menjual

    tanah bengkok nya.

  • 40

    Tanah bengkok dalam sistem agraria di Pulau Jawa adalah lahan

    garapan milik desa, tanah bengkok tidak dapat diperjualbelikan tanpa

    persetujuan seluruh warga desa namun boleh disewakan oleh mereka

    yang diberi hak untuk mengelolanya (permendagri no 4/2007 pasal 15).

    Dalam kenyataanya hampir semua desa atau istilah yang mirip

    dengan perkataan desa yang terdapat di Indonesia mempunyai tanah yang

    merupakan tanah kas desa. Namun demikian, di Jawa hampir dipastikan

    setiap desa memiliki tanah yang lazim disebut dengan “Tanah Bengkok”.

    Menurut Erman Rajaguguk adalah suatu insentif yang kuat untuk calon

    kepala desa, yang menghabiskan dana antara 10 juta – 25 juta dalam

    kegiatan kampanye, termasuk mengadakan hiburan bagi warga desa

    dalam usahanya agar terpilih. Diharapkan bahwa pengeluaran ini akan

    dapat diganti dari hasil yang diperoleh dari tanah bengkok

    (Supriadi,2008: 38).

    Menurut Pasal 1 angka 10 Permendagri 4/2007 Tanah Desa

    adalah barang milik desa berupa tanah bengkok, kuburan, dan titisara.

    Jadi tanah bengkok merupakan salah satu Tanah Desa yang merupakan

    barang milik desa. Tanah kas desa adalah kekayaan desa dan menjadi

    milik desa. Hasil pengolahan tanah bengkok dapat menjadi tunjangan

    bagi kepala desa atau perangkat lain dan peraturan lebih lanjut mengenai

    hasil pengolahan tanah bengkok diatur sendiri oleh peraturan pemerintah

    desa atau kabupaten.

  • 41

    2. Tanah Bengkok Sebelum UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA

    (Undang-Undang Pokok Agraria)

    Sebelum di berlakukannya UUPA tentang pertanahan atau lebih

    dari itu disebut Agraria sudah di paparkan di atas dalam peraturannya

    memiliki dualisme hukum. Yaitu hukum barat karena masih

    menggunakan sisa-sisa peraturan dari penjajah yang sekian lama berada

    di indonesia, dan yang kedua adalah hukum adat dimana Indonesia seperti

    yang kita ketahui terdiri dari 17.504 pulau dan memiliki kurang lebih 230

    juta jiwa. Maka banyak sekali suku-suku yang memiliki adat-adat yang

    berlaku di Indonesia.

    Mengingat fakta maka antara penghuni dengan tanah itu terdapat

    hubungan yang sangat erat yang bersifat religio magis, hal ini yang

    menyebabkan masyarakat penghuni desa memperoleh hak untuk

    menguasai tanah dimaksud dengan memanfaatkan dan memungut

    hasilnya, dan berburu binatang yang hidup liar disitu hal itu yang disebut

    hak ulayat (Wignjodipuro, 1983: 197).

    Masing-masing kelompok masyarakat tersebut mempunyai hak

    tertentu atas tanah yang ada disekitarnya, yang disebut beschekkings

    recht. Sehingga di dalam mengolah hak ulayat atas tanah, maka tanah

    tersebut digunakan sebagai tempat tinggal atau keperluan lainya oleh

    masyarakat secara umum di lingkungan hukum adat itu, misalnya untuk

  • 42

    pekuburan, atau dipungut hasilnya oleh dan untuk masyarakat serta

    digunakan dan dinikmati bersama-sama.

    Keadaan yang demikian ini kemudian berkembang, para individu

    dalam masyarakat diperbolehkan membuka tanah dengan persyaratan

    tertentu, akhirnya masyarakat (memperbolehkan/mengizinkan) kepada

    kepala adat atau kepala desa serta perangkat desa lainnya untuk memakai

    tanah tersebut sebagai tanah bengkok yang dapat dipungut hasilnya

    selama mereka menjabat, atau diserahi tugas oleh masyarakat desa

    tersebut, hal ini dimaksud sebagai imbalan dari masyarakat kepada kepala

    desa dengan perangkatnya atas jerih payahnya memimpin masyarakat

    (Bzn, 1983: 72).

    Hukum adat memandang hubungan antara masyarakat hukum

    dengan tanah yang didudukinya merupakan satu kesatuan dalam

    hubungan yang sangat erat sekali. Hubungan bersifat religio-magis ini

    yang menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai

    tanah tersebut, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-

    tumbuhan yang hidup di atas tanah itu, berburu binatang yang hidup di

    situ. Hak masyarakat hukum atas tanah ini disebut dengan hak pertuanan

    atau hak ulayat. Terkait dengan hak kepala persekutuan atau pembesar

    desa lain terhadap tanah, maka mereka mempunyai hak atas tanah

    pertanian yang diberikan oleh persekutuan untuk memelihara

    keluarganya.

  • 43

    Ia mempuyai hak atas penghasilan tanah itu karena jabatannya.

    Hak ini disebut sebagai hak seorang pejabat atas sebidang tanah,

    pemerintah kolonial menyebutnya sebagai ambtelijk profijtrecht. Hak ini

    dimiliki para pejabat baik ketika masih aktif menjabat maupun setelah

    pensiun dari jabatannya atau selama hidupnya (setelah pensiun).

    Tanah/sawah jabatan seperti tanah bengkok atau sawah kalungguhan juga

    dapat dijumpai diberbagai daerah dengan istilah yang berbeda, seperti

    sabana bolak (Batak), galung arajang (Sulawesi Selatan), dusun dati raja

    (Ambon), dan bukti (Bali) (Muhammad, 2004.111).

    Bentuk dari pada tanah bengkok tersebut bermacam-macam, dapat

    berupa tanah persawahan, tanah kering atau tanah tegalan maupun berupa

    kolam ikan atau tambak. Penyerahan tanah bengkok kepada kepala desa

    dan perangkatnya, namun hal tersebut akan kembali menjadi hak desa jika

    Kepala Desa dan perangkatnya tidak menjabat lagi, sehingga tanah

    bengkok akan diserahkan kepada Kepala Desa dan Perangkat Desa yang

    menggantikannya, dengan demikian tanah bengkok mempunyai unsur-

    unsur sebagai berikut:

    a. Tanah tersebut merupakan tanah desa atau lazim disebut hak ulayat.

    b. Tanah tersebut diberikan kepada warga desa yang menjabat sebagi

    pamong desa.

    c. Pemberian tanah tersebut hanya sementara waktu, selama yang

    bersangkutan menjabat sebagai pamong desa.

  • 44

    d. Maksud pemberian tanah tersebut sebagai upah atau ganjaran untuk

    menghidupi diri dan keluarganya (Tobing.2009: 35).

    3. Tanah bengkok Sesudah UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA

    (Undang-Undang Pokok Agraria)

    Setelah lahirnya Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang

    Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang disahkan pada tanggal 24

    September 1960, maka telah terjadi unifikasi terhadap dua hukum

    tanah yang sebelumnya berlaku di indonesia, yaitu hukum barat dan

    hukum adat, yang masing-masing memiliki pengaturan sendiri-sendiri

    mengenai tanah. Lahirnya Undang- undang Pokok Agraria mengakhiri

    kebhinekaan (pluralisme) hukum yang mengatur bidang pertanahan

    dan menciptakan perangkat hukum yang berstruktur tunggal. dalam

    mencapai terwujudnya kesatuan di bidang hukum tanah, bukan saja

    hukumnya yang di unifikasikan, tetapi juga hak-hak atas tanah dan

    hak-hak jaminan atas tanah yang ada, yang semuanya bersumber pada

    berbagai perangkat hukum yang lama. diakhirnya plurarisme dan

    diciptakannya hukum tanah yang tunggal oleh Undang-undang Pokok

    Agraria merupakan perubahan yang mendasar (Harsono,2002: 11).

    Hak tanah adat yang sebelumnya diatur dalam hukum adat

    dilakukan ketentuan-ketentuan konversi dalam Undang-undang

    Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

    Konversi adalah perubahan status tanah.

  • 45

    Menurut ketentuan-ketentuan konversi hak tanah adat

    dikonversi dalam ketentuan Pasal VI menjadi hak pakai

    (Edi,2010.Thesis “peralihan tanah bengkok dan akibat hukumnya”).

    “Pasal VI : Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana

    atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) seperti

    yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai

    berlakunya Undang-undang ini, yaitu : hak vruchtgebruik, gebruik,

    grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok,

    lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga, yang

    akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai

    berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam

    pasal 41 ayat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban

    sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai

    berlakunya Undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan

    jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini” (UUPA).

    4. Tanah Bengkok menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014

    tentang Desa

    Undang-Undang yang mengatur tentang desa adalah Undang-

    Undang No. 6 Tahun 2014. Dalam Undang-Undang tersebut

    membahas segala sesuatu yang berkaitan dengan Desa. Baik segi

    pengertian Desa, Bentuk dan jenis Desa, penataan Desa sampai

    keuangan Desa dan aset Desa serta penghasilan pemerintah Desa yang

    mengurusi Desa tersebut. Tanah Bengkok tidak tertulis secara jelas

  • 46

    diatur dalam Undang-undang Desa namun secara implisit atau secara

    tidak langsung Tanah Bengkok masuk dalam pembahasan dalam

    Undang-undang Desa.

    Tanah bengkok itu sendiri berasal dari adat-istiadat yang

    dimiliki desa, yang pemanfaatan tanah tersebut adalah untuk

    kemakmuran kepala desa dan perangkat desa, seiring waktu tanah

    bengkok tersebut menjadi tanah kas desa yang digunakan untuk

    kemakmuran masyarakat desa tersebut. Tidak semua desa di Indonesia

    mempunyai tanah bengkok sehingga pemerintah pusat akan

    memikirkan desa-desa yang tidak memiliki tanah bengkok dengan

    memulai ADD (Alokasi Dana Desa).

    Sebelum adanya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 26

    Tahun 1992, tanah bengkok selama ini merupakan sumber

    penghasilan langsung bagi kepala desa dan perangkat desanya. tanah

    bengkok adalah tanah desa yang pada saat dikelola dan menjadi

    penghasilan langsung bagi aparat pemerintah desa.

    Sesudah dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri

    Nomor 26 Tahun 1992, perubahan status tanah bengkok yang semula

    dikelola dan merupakan penghasilan langsung bagi aparat desa diubah

    statusnya menjadi tanah kas desa, sehingga merupakan sumber

    pendapatan desa dan dikelola melalui Anggaran Penerimaan dan

    Pengeluaran Keuangan Desa (APPKD). Dengan pertimbangan bahwa

  • 47

    setiap desa belum tentu memiliki Tanah Bengkok dan terkait besar

    kecilnya bengkok juga penyetaraan tunjangan bagi pemerintah Desa

    agar tidak terjadi kecemburuan sosial (Edi, Kuncoro.2010.Thesis

    “Peralihan Tanah Bengkok Dan Akibat hukumnya”. (Semarang:

    Universitas Diponegoro Semarang).

    Undang-undang no 6 tahun 2014 tentang desa atau yang

    kemudian disebut sebagai Undang-undang Desa mengatur dan

    memperjelas mengenai tanah bengkok yang mana sudah berubah status

    menjadi Tanah Kas Desa dan diatur dalam Bab VIII mengenai keuangan

    Desa dan Aset Desa Pasal 72 UU Desa menyebutkan Pendapatan Desa

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari

    pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan

    partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa, yang

    kedua alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, ketiga bagian

    dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota, keempat

    alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang

    diterima Kabupaten/Kota.

    Sedangkan dalam pasal 76 ayat (1) menerangkan mengenai aset

    desa ; “Aset Desa dapat berupa tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar Desa,

    pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan,

    pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa,

    pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa.

  • 48

    Mengenai pendapatan aparat desa yang sebelum nya mendapat

    tunjangan yang berbentuk hak atas tanah Bengkok dalam Undang-undang

    Desa di atur di bagian Kedelapan mengenai penghasilan Pemerintah

    Desa pasal 66. Pada ayat 1 dan 2 dikatakan Kepala desa dan Perangkat

    Desa mendapatkan penghasilan tetap setiap bulan yang bersumber dari

    dana perimbangan dalam anggaran pendapatan dan belanja Negara yang

    diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran

    pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

    Selain pendapatan setiap buln yang disebut pada ayat 1 Kepala

    desa dan Perangkat Desa (yang berupa Sekretaris, pelaksana wilayah,

    pelaksana wilayah) menerima tunjangan yang bersumber dari APBDes.

    Hal tersebut di kemukakan pada ayat 3 pasal 66 UU Desa.

    Jadi sistematikan tunjangan bukan lagi langsung mendapatkan hak

    atas Tanah Bengkok, namun semua dana yang masuk disetor kepada

    daerah kabupaten untuk kemudian pihak Pemerintah Daerah dapat

    menentukan tunjangan kepada Kepala Desa dan Perangkat Desa

    berdasarkan laporan dari Desa tersebut dan berbentuk uang baik tunai

    ataupun masuk dalam kartu ATM. Jadi bukan lagi dalam bentuk hak atas

    tanah Bengkok karena Tanah Bengkok sudah beralih menjadi bagian dari

    tanah Kas Desa dan menjadi salah satu sumber pendapatan desa yang

    mana hasil dari pendapatan Desa adalah mutlak hak seluruh masyarakat

    bukan hak dari para pejabat Desa yang membantu mengurus Desa.

  • 49

    Dalam Undang-undang Desa juga mengatur tentang Desa Adat,

    dimana Desa Adat diberikan wewenang atau kompensasi dalam

    Mengurus dan mengatur wilayah nya sebagai suatu desa yang disebut

    Desa Adat.

  • 50

    BAB III

    PENYAJIAN DATA DAN TEMUAN TERHADAP SEWA-MENYEWA

    TANAH BENGKOK

    (Studi Kasus di Desa Gedangan kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang)

    A. PROFIL DESA GEDANGAN KECAMATAN TUNTANG

    KABUPATEN SEMARANG

    Gedangan adalah sebuah nama salah satu desa yang terletak

    di Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Desa Gedangan terletak di

    tengah-tengah kawasan kaki gunung Merbabu dan daerah sekitaran Rawa

    Pening, sehingga Gedangan mempunyai daerah perkebuna, kehutanan dan

    persawahan.

    1. Sejarah

    Pada masa penjajahan Belanda banyak para bangsawan yang

    manjadi pejabat di Keraton Solo beserta prajuritnya melarikan diri karena

    tidak berkenan dengan kebijakan pihak Belanda,termasuk Wijaya

    Kusuma dan Wicitra Kusuma. Mereka lari tanpa tujuan yang pasti

    melewati banyak daerah dengan beraneka ragam situasi,namun mereka

    belum juga menemukan daerah yang dirasa aman hingga sampailah

    mereka ke sebuah daerah tidak bertuan yang sangat subur dan daerah

    tersebut banyak ditumbuhi pohon pisang atau dalam bahasa Jawa disebut

    Gedang. Mereka memutuskan untuk menetap didaerah tersebut dengan

    mata pencaharian bercocok tanam dan mereka semua merasa nyaman.

    Semakin lama daerah tersebut menjadi berkembang. Dan sesuai

  • 51

    perkembangan zaman maka daerah tersebut dipanggil dengan sebutan

    Gedangan.

    Namun dalam versi lain ada sesepuh yang menyatakan bahwa

    Wijaya Kusuma dan Wicitra Kusuma beserta anak buahnya lari dari

    wilayah keraton Solo karena dikejar pasukan Belanda dalam sebuah

    pertempuran .Mereka melarikan diri tanpa arah dan tujuan, hingga mereka

    hampir tersusul oleh pasukan Belanda .Karena kalah dalam jumlah dan

    persenjataan Wijaya Kusuma . Wicitra Kusuma dan

    prajuritnya bersembunyi di daerah yang penuh dengan pohon gedang

    atau pisang, setelah Belanda pergi dan keadaan dirasa aman mereka

    memutuskan menetap didaerah tersebut dan untuk mengenang tempat

    persembunyian mereka dari kejaran pasukan Belanda tersebut mereka

    menamakan daerah tempat tinggal mereka yang penuh dengan pohon

    pisang atau gedang dengan nama Gedangan.Setelah meninggal Wijaya

    Kusuma dimakamkan di pemakaman kecil sedangkan Wicitra Kusuma

    dimakamkan di pemakaman Gede. Setelah Indonesia merdeka daerah

    Gedangan sudah mulai ada pemerintahan desa dengan lurah Nyai Samban

    seorang wanita . Pada masa pemerintahan lurah Sumarno setelah Nyai

    Samban wafat ada peraturan yang menyatakan jumlah minimal penduduk

    dalam satu desa, kemudian diadakan penggabungan dengan dusun

    Bandongan ,sebuah dusun yang bersebelahan dengan Gedangan. Untuk

    nama desa kemudian diundi antara nama Bandungan dan Gedangan, dan

    yang keluar adalah nama Gedangan. Sejak saat itu Gedangan sah menjadi

  • 52

    nama desa yang hingga sekarang sudah berkembang dengan pesat.

    (gedangan.desa.id)

    2. Letak Geografis

    Letak geografis desa Gedangan di koordinat 110.4625‟‟ bujur

    Timur dan -7.332383‟‟ Lintang Selatan, dengan luas wilayah 267,707 Ha.

    3. Batas Wilayah

    a. Barat adalah desa Kalibeji dan desa Rowosari, sebelah.

    b. Selatan desa Polobogo,

    c. Utara desa Sraten,

    d. Timur berbatasan dengan wilayah Kota Salatiga, Sehingga warga

    Gedangan sering menyebutnya sebagai bagian dari wilayah Kota

    Salatiga.

    Peta wilayah Desa Gedangan Kec.Tuntang Kab.Semarang

    4. Topografi : Luas Kemiringan Rata-rata

    a. Datar: 196,713 Ha

  • 53

    b. Pegunungan: 70,994 Ha

    c. Ketinggian Rata-rata dari Permukaan Laut: 500 m. Desa Gedangan

    wilayah topografinya 500 m diatas permukaan laut dan beriklim tropis

    bersuhu kisaran 20ºC – 30 ºC sehingga menjadikan Desa Gedangan

    wilayah yang sejuk, dan cocok dijadikan tempat persinggahan.

    5. Lahan :

    a. Pertanian: Sawah Teririgasi: 30,500 Ha. Sawah Tadah Hujan: 0 Ha.

    b. Pemukiman: 60 Ha.

    6. Dusun

    Desa Gedangan memiliki beberapa dusun, nama-nama dusun di

    Desa Gedangan adalah sebagai berikut: Dusun Bandungan, Dusun Jaten,

    Dusun Bendo, Dusun Dempel, Dusun Karangnongko, Dusun Gedangan

    dan Dusun Padaan berikut perinciannya digambarkakn dalam tabel :

  • 54

    7. Struktur Organisasi

    Pemerintah Desa dipimpin oleh Kepala Desa dan dibantu

    Sekretaris Desa, Bendahara dan 3 orang. Kepala Urusan (Kaur), 2 Kepala

    Staf Adminstrasi (KASI). Kepala Desa dibantu 7 orang Kepala Dusun, 7

    orang Ketua RW dan 38 orang Ketua RT. Kepala Desa dibantu 100 orang

    Petugas Desa (seperti petugas keagamaan, keamanan, pertanian dll.)

  • 55

    8. Tingkat Pendidikan

    Tingkat pendidikan di Desa Gedangan menurut data desa yang

    diambil penulis dari https://gedangan.desa.id yang direkomendasikan

    oleh Bapak Daroji selaku Kepala Desa gedangan Tahun 2019.

    Untuk tingkat Pendidikan wajib belajar 9 tahun masih dalam proses

    kesadaran masyarakat dalam hal pendidikan ,sehingga lulusan SD masih

    mendominasi.

  • 56

    9. Keadaan penduduk Desa Gedangan

  • 57

    Jumlah usia produktif lebih banyak dibanding dengan usia anak-

    anak dan lansia. Perbandingan usia anak-anak, produktif, dan lansia

    adalah sebagai berikut: 64,76 % : 13,15 % : 22,09 %. Dari 4364 jumlah

  • 58

    penduduk yang berada pada kategori usia produktif laki-laki dan

    perempuan jumlahnya 2826 ( misalnya hampir sama / seimbang).

    Mayoritas mata pencaharian penduduk adalah petani dan buruh

    pabrik. hal ini disebabkan karena wilayah Desa Gedangan merupakan

    daerah pertanian / agraris dan juga minimnya tingkat pendidikan zaman

    dahulu menyebabkan masyarakat tidak punya keahlian lain dan

    akhirnya tidak punya pilihan lain selain menjadi petani dan buruh Pabrik.

    Namun semakin kesini seiring berkembanganya zaman pendidikan

    semakin diutamakan oleh masyarakat kepada anak-anak nya.

    Untuk keagamaan mayoritas warga masyarakat Desa Gedangan

    adalah Muslim ( Islam ). Jadi berbagai kegiatan dan hal hal yang

    berkaitan dengan hukum termasuk adat juga berbau hukum islam. Di

    Desa Gedangan juga terdapat pondok pesantren yaitu Pondok Pesantren

    Edi Mancoro yang juga ikut mengembangkan keislaman di wilayah desa

    Gedangan. Namun ada juga sebagian dari masyarakat yang beragama

    Kristen dan Prostetan, bahkan menurut perkembangan data desa ada juga

    yang ber agama Budha.

    B. Tanah Bengkok di Desa Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten

    Semarang

    1. Gambaran umum seputar kekayaan Desa, Tanah Bengkok di gedangan

    Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang

  • 59

    Desa