Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan...
Transcript of Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan...
![Page 1: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/1.jpg)
PENGARUH FATWA MUI NOMOR : 001/KF/MUI-SU/I/2017
TENTANG PENISTAAN AGAMA TERHADAP PUTUSAN PN
MEDAN NOMOR : 1612/Pid.B/2018/PN Mdn
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
untuk Memenuhi salah satu Persyaratan
guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Disusun oleh :
Faqih Zuhdi Rahman
11140430000049
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019 M / 1441 H
![Page 2: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/2.jpg)
![Page 3: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/3.jpg)
![Page 4: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/4.jpg)
![Page 5: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/5.jpg)
v
ABSTRAK
Faqih Zuhdi Rahman 11140430000049, Pengaruh Fatwa MUI Nomor:
001/KF/MUI-SU/I/2017 Tentang Penistaan Agama dalam Putusan PN Medan
Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, Jurusan Perbandingan Mazhab, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun
2019 M/ 1440 H.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh Fatwa MUI
Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan Agama terhadap Putusan
Pengadilan Negeri Medan (perkara No.1612/Pid.B/2018./PN Mdn. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Spesifikasi yang
digunakan pada penelitian ini adalah Deskriptif Analitis. Data primer pada
penelitian ini adalah putusan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn dan data sekunder
penelitian iniadalah data yang diperoleh dari buku-buku, jurnal, dan hasil penelitian
yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini kemudian dirangkai dengan metode
deduktif.
Penelitian memberikan kesimpulan bahwa putusan PN Medan dengan
nomor perkara: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn dijiwai oleh fatwa MUI Sumatera Utara
dengan nomor fatwa 001/KF/MUI-SU/I/2017 ditinjau dari pertimbangan hukum
dan kesaksian dalam persidangan yang diutarakan oleh para ahli, saksi, JPU dan
majelis hakim. Bahwa tindak pidana yang diatur pada 156 KUHPidana jo pasal
156a huruf (a) KUHPidana dapat dimasukkan kedalam kelompok tindak pidana
penghinaan. Oleh sebab, pada penodaan/penistaan mengandung sifat penghinaan
terhadap agama bagi umat agama yang menganut agam yang bersangkutan. Selain
itu, tindak pidana yang diatur dalam pasal 156a KUHPidana dan pasal 156
KUHPidana mengandung unsur yang bersifat alternatif dan bukannya komulatif.
Artinya, jika salah satu unsur telah terpenuhi, maka perbuatan itu dapat dikenakan
pasal 156a huruf (a) KUHPidana dan pasal 156 KUHPidana.
Tuntutan 1 tahun dan 6 bulan penjara sesuai dengan apa yang diputus
majelis hakim. Hakim menggunakan alternatif pertama yakni pasal 156a sebagai
dasar pertimbangan hukum dan Jaksa Penuntut Umum menggunakan alternatif
pertama yakni pasal 156.
Kata Kunci : Fatwa MUI, sanksi, penistaan agama, PN Medan.
Pembimbing I : Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A.
Pembimbing II : Hj. Siti Hanna Lc. M.A.
Daftar Pustaka: 1965 - 2019
![Page 6: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/6.jpg)
vi
بسم هللا الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu
syarat menyelesaikan studi. Shalawat beriring salam penulis curahkan kepada Nabi
kita Sayyidina Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyyah
hingga zaman keilmuan seperti sekarang ini. Dan tak lupa pula kepada keluarga,
sahabat dan para pengikutnya yang selalu mengamalkan sunnahnya hingga akhir
zaman.
Skripsi yang berjudul “Pengaruh Fatwa MUI Nomor: 001/KF/MUI-
SU/I/2017 tentang Penistaan Agama dalam Putusan PN Medan Nomor:
1612/Pid.B/2018/PN Mdn.” merupakan karya tulis penutup di tingkatan Strata 1
dari semua pembelajaran yang sudah penulis dapatkan di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta selama 4 tahun ini. Semog lahirnya karya tulis ini dapat
menambah khazanah keilmuan khususnya bagi penulis umumnya bagi para
akademisi.
Penghargaan dan terima kasih yang setulusnya penulis ucapkan kepada
Ayahanda Asadurrahman dan Ibunda Laelatin Nairoh yang telah mencurahkan
segalanya baik itu yang bersifat dukungan moril maupun materil. Semoga Allah
SWT selalu memberikan keberkahan, kesehatan dan kemulian di dunia maupun
akhirat atas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis sangat menyadari akan pentingnya
keberadaan orang-orang di sekitar penulis baik itu yang memberi dukungan secara
keilmuan, pemikiran maupun materi serta dukungan lain baik secara moril maupun
spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Dukungan mereka
sangatlah berarti karena dukungan mereka segala halangan dan hambatan yang ada
![Page 7: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/7.jpg)
vii
dapat teratasi dengan mudah dan terarah. Untuk itu penulis mengucapkan rasa
terima kasih yang amat dalam kepada yang terhormat :
1. Bapak KH. Dr. Ahmad Thalabi Karlie, S.Ag., S.H., M.H., Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Hj Siti Hanna, M.A, Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab
dan Bapak Hidayatullah, S.H. M.H, Sekretaris Prodi yang telah
membantu segala hal yang bekenaan dengan perkuliahan hingga
motivasinya dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Dr. H Supriyadi Ahmad M.A, dan Ibu Hj. Siti Hanna M.A
selaku dosen Pembimbing Skripsi atas kesabaran membimbing,
mengarahkan dan meluangkan waktunya bagi penulis sehingga
skripsi ini lebih terarah dan menjadi lebih baik.
4. Ibu Dewi Sukarti M.A, Dosen Pembimbing Akademik yang telah
membimbing penulis selama perkuliahan.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah ikhlas
memberikan ilmu yang bermanfaat sehingga penulis dapat
menyambung ilmu baik dalam dunia pekerjaan maupun akademik
ditingkat lebih tinggi.
6. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan
studi kepustakaan ini berupa buku dan literatur lainnya seingga
penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam penulisan
skripsi ini.
7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis
cintai di dunia ini yang selalu memberikan support, perhatian, kasih
sayang , dan doa yang tak pernah putus selama ini. Terimakash atas
segalanya semoga dapat membahagiakan, membanggakan, dan
menjadi anak yang berbakti.
8. Untuk adik-adik, Nasya Mutia Rahman dan M. Nabil
Hafizurrahman, yang selalu memberikan support dan doanya kepada
![Page 8: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/8.jpg)
viii
penulis disaat penulis terbentur pada kesulitan dalam menyelesaikan
skripsi ini dan semoga kalian jadi anak yang saleh dan salehah.
9. Untuk para senior dan mentor penulis yang selalu membimbing,
mengarahkan dan menasehati penulis selama masa perkuliahan
sampai selesainya skripsi ini sahabat Abie Maharullah Madugiri S.H
dan sahabat Azka Fachri S.H yang selalu mensupport penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini kapanpun dan dimanapun. Terimakasih
kalian sudah menemani manisnya perjuangan untuk meraih gelar
sarjana. Akhirnya kita berhasil meyelesaikan skripsi setelah
berbagai masalah muncul dalam penulisan skripsi kita.
10. Untuk teman-teman seperjuangan Perbandingan Mazhab 2014 yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah saling
membantu disegala keadaan dan menjadi tempat bertukar fikiran
dengan penuh semangat dan kerja keras.
11. Untuk sahabat-sahabat Badan Pengurus Harian HMPS PMH masa
bakti 2017 Ahmad Zaqi Ainurrafiq, Almaz Nachrowi, Arum Millati
Ahnaf, Ratna Dwi Cahyani serta petarung legislatif jagoanku
Willian Ikhsan Shababillah, yang telah segenap jiwa dan raga
membantu dan mengabdi serta mewakafkan dirinya untuk rumah
kita tercinta ini.
12. Untuk sahabat seperjuangan selama penulis di bangku kuliah dan
organisasi. PMII Komfaksyahum Masa Bakti 2017-2018 Arif
Fadillah, Dede Ihsanuddin, Ishak, Moch Dailami, Rahmat Nur
Hidayat, Yayah Rhadiyah. Terima kasih telah berbagi tawa, canda,
suka maupun duka kepada penulis selama ini karena kalian penulis
merasa bahagia selama menjalani perkuliahan dan banyak sekali
pengalama hidup yang bisa penulis rasakan. Terima kasih kalian
sudah menemani manisnya perjuangan untuk meraih gelar sarjana.
Akhirnya kita berhasil meyelesaikan skripsi setelah berbagai
masalah muncul dalam penulisan skripsi kita.
![Page 9: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/9.jpg)
ix
13. Untuk seluruh Keluarga Besar PMII Komfaksyahum Cabang
Ciputat dan Jakampus UIN terimakasih untuk segalanya. Jika
penulis tidak bertemu keluarga super ini, mungkin penulis tidak
akan pernah memiliki pengalaman berorganisasi seperti sekarang
ini. Terimakasih telah menjadi bagian dari perjalanan hidup penulis,
terimakasih juga untuk pembelajarannya, kasih sayang , pengalaman
yang sangat berharga. Semoga persahabatan rasa keluarga ini tak
akan berhenti sampai kapan pun.
14. Ucapan terakhir penulis tujukan kepada semua pihak yang tidak
dapat penulis sebut satu persatu namun tidak mengurangi rasa terima
kasih penulis atas bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini.
Karena proses tidak akan mendustakan hasil, semuanya bergantung kepada
kekuasaan Allah SWT yang Maha Segalanya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi siapapun yang membacanya dan menjadi amalan baik yang akan dicatat oleh
malaikat sebagai bekal kita di akhirat nanti. Amin.
Wallahul Muwafiq Ila Aqwamith Thoriiq
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Jakarta, 29 Oktober 2019
Penulis
![Page 10: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/10.jpg)
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..............................................................................ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .......................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ iv
ABSTRAK .................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, dan Perumusan Masalah ............... 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 6
D. Manfaat Penulisan .............................................................................................. 6
E. Review Studi Terdahulu ..................................................................................... 7
F. Metode Penelitian.............................................................................................. 10
G. Sistematika Penulisan ....................................................................................... 11
BAB II KAJIAN TEORI ...............................................................................................
A. Kerangka Teori ................................................................................................ 13
1. Kepastian Hukum ...................................................................................... 13
2. Stufenbau (Teori Piramida Hukum) ........................................................ 16
B. Sumber Hukum Islam ...................................................................................... 17
1. Sumber Hukum Islam yang Disepakati ...................................................... 17
2. Sumber Hukum Islam yang Tidak Disepakati ........................................... 22
C. Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam .......................................................... 25
D. Metode dalam Penetapan Fatwa MUI ............................................................. 40
E. Sumber Hukum Positif Indonesia .................................................................... 47
1. Hukum Positif yang Berlaku di Indonesia ................................................ 47
2. Kedudukan Fatwa MUI dalam Hukum Positif di Indonesia ..................... 56
![Page 11: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/11.jpg)
xi
BAB III PRESEDEN KASUS PENISTAAN AGAMA DI INDONESIA .................
A. Teori Penistaan Agama .................................................................................... 60
B. Kasus Penodaan Agama di Indonesia ............................................................... 63
C. Deskripsi Kasus Penistaan Agama oleh Ibu Meliana ....................................... 68
1. Kronologi Kasus ........................................................................................ 68
2. Unsur – Unsur Penistaan Agama yang Dilakukan oleh Ibu Meliana ........ 72
D. Kualifikasi Delik Penistaan Agama Menurut Dakwaan JPU ........................... 76
E. Tuntutan JPU .................................................................................................... 78
F. Vonis Hukum .................................................................................................... 79
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PN MEDAN NOMOR : 1612/PID.B/2018/PN
MDN ................................................................................................................................
A. Sekilas Tentang Fatwa MUI Nomor: 001/KF/MUI-SU/I/2017 ....................... 81
B. Sekilas Tentang Putusan Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn .............. 85
C. Pengaruh Fatwa MUI Nomor: 001/KF/MUI-SU/I/2017 Terhadap Putusan
Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn Tentang Penistaan Agama ............... 89
BAB V PENUTUP ..........................................................................................................
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 95
B. Rekomendasi..................................................................................................... 95
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 97
![Page 12: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/12.jpg)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang membawa rahmat seluruh alam. Untuk
mewujudkannya harus ada norma yang menjadi aturan yang dikenal dengan istilah
syariah (syariat)1 yang berarti “jalan yang dilalui untuk menuju sumber air” atau “jalan
setapak yang harus diikuti”. Syariah juga berarti jalan atau tempat mengalirnya air
sungai.2 Istilah syariah ini sebenarnya dalam kajian hukum Islam lebih
menggambarkan kumpulan norma-norma hukum yang merupaka proses dari tasyri.
Dalam istilah para ulama fiqh tasyri bermakna menetapkan norma-norma hukum untuk
menata kehidupan manusia baik hubungan dengan Tuhan maupun dengan sesamanya.3
Syariat yang dimaksud adalah syariah yang mencakup ketentuan-ketentuan
Allah dan rasulNya dan norma-norma hukum hasil kajian mujtahid untuk mewujudkan
kemashlahatan hidup manusia. Inilah yang terkenal dengan Maqasid al-Syariah (tujuan
Syariat) dalam hukum Islam.
Diantara masalah-masalah tersebut tidak ada dasar yang jelas di dalam Al-
Quran maupun di dalam sunnah Nabi, sehingga menuntut para ulama untuk
menemukan dalil yang selaras dengan syariat Islam untuk menciptakan sebuah
kemaslahatan. Berawal dari hal di atas, para cendekiawan muslim di Indonesia secara
kolektif semakin termotivasi, dan berkeinginan untuk menyatukan gerak dan langkah
umat Islam di dalam mewujudkan cita-cita bersama dalam konteks Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdaulat, maka para cendekiawan muslim tersebut
membentuk lembaga besar yang berwenang untuk memberikan respon atau
menentukan sikap terhadap permasalahan kontraversial. Lembaga besar ini dikenal
dengan nama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan mengenai sikap atau respons yang
dikeluarkannya dinamakan fatwa. MUI didirikan pada tanggal 26 Juli 1975 M di
Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama dan cendekiawan
yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
merupakan tempat atau majelis yang menghimpun para ulama dan cendekiawan
1 Muhammad Iqbal, Hukum Islam Indonesia Modern (Dinamika Pemikiran dari Fiqh
Klasik ke Fiqh Indonesia), (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2009), hlm. 10. 2 Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab Juz 8 (Beirut: Dar Shadir, 1990), h. 175. 3 Muhammad Faruq Nabhan, al-Madkhal li al-Tasyri’i al-Islami, (Beirut: Dar al-Qolam, 1981),
hlm. 11.
![Page 13: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/13.jpg)
2
muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia
dalam mewujudkan cita-cita bersama.4
Namun, wujud dari Majelis Ulama yang ada di berbagai daerah itu belum
mempunyai pegangan dan cara kerja yang seragam, sampai akhirnya atas prakarsa
pemerintah Orde Baru diadakanlah suatu Musyawarah Nasional Ulama yang terdiri atas
utusan wakil-wakil ulama propinsi seIndonesia di Jakarta dari tanggal 21 sampai 28 Juli
1975. Musyawarah inilah yang berhasil secara bulat menyepakati berdirinya Majelis
Ulama Indonesia (MUI) produk hukum yang dihasilkan oleh MUI pada umumnya
berupa fatwa.5 Dari uraian di atas terlihat bahwa hukum Islam sangat menjaga dan
memelihara urusan-urusan yang berkaitan dengan keyakinan (agama), hal itu terlihat di
mana urusan tentang pemeliharaan agama ditempatkan pada urusan-urusan yang
dharuri (hak asasi), untuk itu setiap tindakan berkaitan dengan hal ini sangat
diperhatikan misalnya hukum murtad (penyelewengan akidah).
Untuk menghadapi fenomena berkembangnya aliran-aliran kepercayaan baru
dalam masyarakat, kita tidak harus menanggapinya secara emosional dan reaktif
dengan prasangka-prasangka yang tidak berdasar (tanpa melihat akar permasalahan
yang ada. Kita seharusnya lebih arif dan bijaksana dalam menyelesaikan masalah.
Kekerasan, terror, ancaman serta pengucilan, bukanlah jalan keuar yang baik.
Menghancurkan, bahkan membunuh mereka yang dianggap sesat tanpa memperbaiki
kondisi kesemrawutan bangsa kita dari segala aspek, hanya akan melahirkan kesesatan
baru yang mungkin jauh lebih berbahaya.
Sedangkan dalam hukum positif sebagai perwujudan aturan hukum untuk
mencapai kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera meliputi perlindungan
hukum terhadap hak-hak dasar warga negara, misalnya bidang agama. Hal itu sesuai
dengan sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 yang berbunyi “Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.6 Sebagai dasar negara yang mengakui keberadaan macam kepercayaan (agama),
jaminan kebebasan beragama ditujukan agar masyarakat Indonesia dapat memilih
menentukan keberagaman mereka masing-masing tanpa intimidasi dari pihak manapun.
4 Sejarah MUI, www.mui.or.id, diunduh pada tanggal 15 Desember 2018 pukul
16.32 WIB.
5 Asrorun Niam Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa), (Jakarta: Emir Penerbit Erlangga,
2016), hlm. 70. 6 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1
![Page 14: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/14.jpg)
3
Disebutkan pula bahwa setiap umat beragama bebas untuk menjalankan tat acara
beribadah menurut agama yang dianutnya. Hal ini senada dengan Asas kebebasan
berkeyakinan yang dijamin Undang-Undang dasar 1945 Pasal 29 ayat (2): Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.7
Pasal 28E ayat 1 menyebutkan:
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
oendidikan dan oengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, seta berhak kembali”.
Ayat 20 pasal 28E menegaskan:
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.8
Artinya seseorang dijamin kebebasannya untuk melakukan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaannya.
Tetapi perdebatan penistaan atau penodaan agama senantiasa aktual baik dalam
hukum Islam maupun positif, khususnya yang diatur dalam KUHP. Apalagi kasus
penistaan agama ini sangat lagi marak di perbincangan terkait dengan kasus penodaan
agama.
Penodaan agama adalah suatu tindakan melawan hukum baik Islam maupun
agama lain, baik di Indonesia maupun di negara lain, di Indonesia penyebab penodaan
agama sering terjadi akibat faktor politik, di tempat muslim dan non muslim berkumpul
dan hidup damai bisa terjadi perselisihan, bentrokan, hal itu terpicu pemahaman agama
yang berbeda d di dalam masyarakat, faktor politik problem pertama terjadi pemecahan
dalam suatu negara, ada beberapa hal utama yang di garis bawahi dalam berita tersebut,
dari segi isu, dua yang utama dan kerap menjadi masalah masih tetap, yaitu
penodaan/penyimpangan agama dan rumah ibadah. Kedua hal ini menjadi isu utama
karena dalam beberapa tahun ini, konflik-konflik di seputar isu itu kerap berubah
kekerasan yang tak tertangani dengan baik.9 Begitu sensitifnya persoalan agama bagi
masyarakat Indonesia, sehingga konflik sosial dan politik yang sebenarnya diluar
7 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2) 8 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat 1 dan Ayat 20 pasal 28E.
9 Adnani, Penodaan Agama : Studi Komparatif Hukum Islam dan Hukum Pidana di Indonesia,
(Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2017), hlm.1-2.
![Page 15: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/15.jpg)
4
agama pun sering kali ditarik ke wilayah agama untuk mendapatkan dukungan yang
lebih banyak dari pemeluknya.10
Secara normatif, jaminan kebebasan kehidupan beragama di Indonesia
sebenarnya cukup kuat. Namun, keindahan aturan-aturan normatif tidak serta-merta
indah pula dalam kenyataannya. Banyak sekali warga negara Indonesia yang merasa
dikekang kebebasannya dalam memeluk agama yang diakui pemerintah, artinya jika
memeluk agama diluar agama yang diakui negara maka ada efek yang dapat
mengurangi hak-hak sipil warga negara. Bahkan, orang yang mempunyai keyakinan
tertentu, biasa dituduh melakukan penodaan agama. Bukan hanya iytu, peraturan
tentang penodaan terhadap agama di Indonesia diatur melalui instrument penetapan
presiden republic Indonesia nomor 1 tahun 1965 tntang pencegahan penyalahgunaan
atau penodaan agama. Ketentuan yang lebih dikenal dengan UU PNPS No 1 Tahun
1965 ini sangat singkat isinya, karena hanya berisi 5 pasal.11
Pasal 1 ketentuan ini menyatakan bahwa:
“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran
tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan agama
yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu”.
Undang-undang ini juga memperkenalkan bentuk tindak pidana baru yaitu
tindak pidana penodaan agama ke dalam KUHP Pasal 156 a.
Pasal 156a KUHP:
Dipidana dengan penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan
sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
b. Dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang
bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.12
Terkadang penulis menyadari bahwa tidak semua teori berimplikasi linear
dengan kenyataan, bahwa tidak semua harapan dapat terwujud menjadi realita oleh
10 Slamet Effendy Yusuf, Review 5 Tahun Kehidupan Umat Beragama di
Indonesia:
Perspektif MUI, disampaikan dalam “Kongres FKUB”, (Jakarta, 21-22 November
2011), hlm. 5. 11 Lihat di UU PNPS No 1 Tahun 1965. 12 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bandung: PT. Bumi Aksara, 2001), cet. 21,
hlm. 59.
![Page 16: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/16.jpg)
5
sebab yang demikian terdapat masalah yang didasari bahwa adanya satu ketimpangan
yaitu kenyataan yang ada diluar dari teori atau cita-cita yang diinginkan. Hukum yang
sudah ada tidak serta merta menjadi solusi dari permasalahan permasalahan sosial.
Mengetahui bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang artinya segala
sesuatu harus dilaksanakan,dibuat,diawasi sesuai hukum yang berlaku tetapi hukum
positif itu tidak bisa menjadi solusi dari apa yang terjadi maka, terkadang dengan
budaya dan adat ketimurannya Indonesia menggunakan norma-norma sebagai acuan
terciptanya keputusan hukum.
Norma-norma tersebut diimplementasikan dalam bentuk organisasi yang
kemudian bisa menyelesaikan persoalan yang terjadi. Dalam hal ini ketika ada
persoalan agama MUI bisa menjadi solusi yang kemudian fatwanya dapat digunakan
sebagai rujukan umat islam. Munculnya fatwa MUI yang kemudian dijadikan sandaran
atau sumber hukum juga tidak terlepas dari pertanyaan yang kemudian muncul
setelahnya seperti legitimasi fatwa MUI itu sendiri sebagai sandaran untuk
menghukumi orang non muslim.
Dari berbagai uraian di atas, maka penulis tertarik untuk menganalisis
bagaimana legitimasi fatwa MUI khususnya fatwa MUI nomor: 001/KF/MUI-
SU/I/2017 tentang penistaan agama sebagai pertimbangan atau landasan hukum dalam
putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn. Hal itu akan penulisis analisis
melalui metode komparasi dalam perspektif hukum islam dan hukum positif, yang
berjudul “Pengaruh fatwa MUI nomor: 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang penistaan
agama terhadap putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn”.
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, dan Perumusan Masalah.
1. Identifikasi Masalah.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka, permasalahan
yang dapat diidentifikasikan adalah sebagai berikut:
a. Peran dan kewenangan MUI dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi
di Indonesia.
b. Kedudukan fatwa MUI dalam Hierarki peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia.
c. Keberlakuan Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang
Penistaan Agama bagi nonmuslim.
![Page 17: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/17.jpg)
6
d. Pengaruh Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan
Agama dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan (perkara
No.1612/Pid.B/2018./PN Mdn.
2. Pembatasan Masalah
Agar judul skripsi ini tidak meluas dan lebih terarah, maka penulis
membatasinya sebagai berikut:
a. Fatwa MUI pada kasus penistaan agama (Fatwa MUI Nomor :
001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan Agama) dibatasi pada kasus
penistaan Ibu Meliana.
b. Putusan Pengadilan Negeri Medan (perkara No.1612/Pid.B/2018./PN Mdn
dibatasi pada kasus penistaan Ibu Meliana.
c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dibatasi pada Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-
SU/I/2017 tentang Penistaan Agama dan Putusan Pengadilan Negeri
Medan (perkara No.1612/Pid.B/2018./PN Mdn.
d. Data yang diteliti dibatasi pada tahun 2017-2018.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah pada
penelitian ini sebagai berikut:
Bagaimana pengaruh Pengaruh Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017
tentang Penistaan Agama dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan (perkara
No.1612/Pid.B/2018./PN Mdn?
C. Tujuan Penelitian
Untuk menjelaskan pengaruh Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017
tentang Penistaan Agama terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan (perkara
No.1612/Pid.B/2018./PN Mdn.
D. Manfaat penelitian
Selain tujuan penelitian, dalam penulisan hukum ini penulis juga mengharapkan
adanya suatu manfaat yang dapat diperoleh. Adapun manfaat yang didapat dari
penelitian ini terbagi menjadi:
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh Fatwa
MUI Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan Agama terhadap Putusan
Pengadilan Negeri Medan (perkara No.1612/Pid.B/2018./PN Mdn, sehingga dengan
![Page 18: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/18.jpg)
7
demikian diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan tambahan
pengetahuan bagi perkembangan hukum positif pada umumnya.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai tambahan pengetahuan dan
wawasan bagi akademisi mengenai penetapan fatwa MUI dan hierarki peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, serta untuk memenuhi syarat guna
mencapai derajat sarjana di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Review Studi Terdahulu
Penulis menemukan beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan tema
skripsi ini, di antaranya:
1. Andi Shofian Efendi (2011). Dalam tulisannya ia menjelaskan bahwa di
kalangan umat Islam Indonesia banyak yang menerima fatwa yang
dikeluarkan oleh MUI. karena mempunyai karateristik keanekaragaman
pehamaman ajaran agama dan juga dalam lingkungan MUI ada beberapa
komponen yang tergabung di dalamnya seperti; organisasi masyarakat,
pesantren. Perguruan Tinggi Islam dan lain-lain. Meskipun fatwa ini tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan masyarakat, namun fatwa
tetap dianggap signifikan dalam memberikan hukum keagamaan pada
masyarakat. Seperti yang kita ketahui fatwa pun seringkali dijadikan rujukan
oleh pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara,
seperti dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah dan perundang-
undangan. Yang juga tentang perbankan syari’ah yang menfatwakan bahwa
bunga bank itu adalah haram. Melihat pada sejarah bahwa pada perkembangan
regulasi perbankan syari’ah di Indonesia, MUI mempunyai peranan yang
sangat besar di dalamnya. Tak hanya itu, MUI juga terus melanjutkan peranan
pokoknya dengan menjalankan dan mengfungsikan DSN dan DPS. Yang
mana DSN adalah lembaga yang mengeluarkan fatwa-fatwa syariah sesuai
dengan produk yang dikeluarkan oleh bank-bank syariah. Sementara DPS
adalah pelaksana dari fatwa-fatwa DSN tersebut, juga mengawasi pelaksanaan
syariah di masing-masing bank syariah.13
13 Andi Shofian Efendi, Pengaruh Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI)
Terhadap Proses
![Page 19: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/19.jpg)
8
2. Darto (2011), menyatakan dalam penetapan fatwa terhadap suatu produk,
DSN (Dewan Syariah Nasional) tidak ikut serta dalam penetapan tersebut.
Karena selain perlu adanya pengkajian yang lebih mendalam pada produk
tersebut juga harus mempertimbangkan maslahat atau keuntungan dan
mafsadat (keburukan) pada setiap produknya. Hal ini dilakukan untuk
kemaslahatan umat dan menghindari kerugian bagi masyarakat. Perlu kita
ketahui bahwa orang-orang yang berada dalam DSN ini adalah orang-orang
pilihan yang sangat mengerti hukum syariat Islam serta sumber-sumber
hukum yang terpercaya seperti Alquran dan Hadis juga yang membahas
tentang muamalat. Meski begitu dalam penetapan fatwa ini harus tetap
berhati-hati dalam pengkajiannya untuk menentukan sebuah hukum pada
produk baru, karena pasti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt.
Dan agar perbankan syariah ini dapat dipercaya oleh masyarakat terutama
muslim, DSN membutuhkan proses penerapan kode etik sebelum menetapkan
fatwa sebuah produk dan aturan yang ketat dalam pengkajiannya.14
3. Nur Afni Octaviani (2017), membahas fatwa DSN MUI yang dijadikan
rujukan resmi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan tentang
prinsip syariah di Indonesia. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang
SBSN didasarkan pada fatwa DSN MUI Pasal 31 SK Direksi No 32/34/1999,
bank umum wajib memperhatikan fatwa DSN MUI. Selanjutnya dijelaskan
bahwa DSN MUI berkedudukan sangat penting dalam operasional ekonomi
syariah setelah mendapatkan pengeasan hukum oleh lembaga yang berwenang
pada aturan yang berlaku. Fatwa DSN MUI dijadikan sebagai acuan secara
hukum berlaku sebagai hukuim materil. Jadi didalam praktek ekonomi syariah
jelas terdapat masalah dan dibawa ke pengadilan, maka menjadi kompetensi
Pengadilan Agama sebagai dasar hukum perdata digunakan Fatwa DSN MUI
sebagai hukum materil yang ditegaskan dalam legislasi hukum nasional.15
Pengambilan Kebijakan Pemerintah Indonesia, (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011). 14 Darto, Faktor Pertimbangan DSN-MUI Dalam Proses Penetapan Fatwa
Produk. Perbankan Syariah Internasional, (Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011). 15 Nur Afni Octaviani, Kedudukan Fatwa DSN MUI Sebagai Dasar Hukum
Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama, (IAIN
Metro Lampung, 2017).
![Page 20: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/20.jpg)
9
4. Muhammad Dahri (2017), mengungkapkan bahwa pengaturan tindak pidana
penodaan agama di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
PNPS tahun 1965 dan pasal 156a KUHP adalah kejahatan atau delik terhadap
agama, untuk mempertahankan Pancasila sebagai ideology Negara, karena
Indonesia adalah Negara Bergama (religion state), untuk mencegah terjadinya
konflik agama dan mempertahankan keharmonisan social. UU No.1 PNPS
Tahun 1965 sejalan dengan pancasila dan tidak bertentangan dengan Pasal 29
ayat (2) UUD 1945. Pengaturan UU No. 1 PNPS Tahun 1965 untuk kejahatan
terhadap agama sedangkan Pasal 156a KUHP ditujukan terhadap kejahatan
untuk tidak beragama (atheis). Kemudian, Konsep penodaan agama dalam
Islam disebut dengan Istilah-istilah “Istihza, Tadnis, Tho’an, adza” yang
disebut dengan parbuatan menghina, melecehkan, mencacimaki/mencerca atau
mengolok-olok, dan semisalnya, termasuk perbuatan Jarimah atau merusak
ajaran agama (kesesatan), mengakibatkan pelakunya jadi murtad hiraby
dengan sanksi hudud, jika hanya keluar dari Islam karena kejahilan maka dia
murtad dzimmy/jahily, jika ahlul dzimmah maka menghilangkan ke dzimmah
annya. Perbandingan antara hukum Islam dan Perundang-undangan di
Indonesia terletak pada tujuannya. Dalam Islam bertujuan untuk memelihara
ad-diin, sementara perundangundangan untuk menjaga ketertiban umum,
sebab Indonesia beragam agama.16
Perbedaan skripsi penulis teliti dengan kajian terdahulu yang telah penulis
paparkan yaitu pada penggunaan fatwa MUI yang dijadikan sebagai hukum positif,
baik itu putusan pengadilan maupun undang-undang terletak pada kewajiban atau
keharusan mengikuti atau tidak mengikuti fatwa MUI tersebut. Seperti yang telah kita
ketahui bersama selain persoalan Ekonomi Syariah tidak wajib hukumnya untuk
mengikuti pedoman dari fatwa MUI tersebut. Oleh karena itu, menarik untuk diketahui
pengaruh Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan Agama
terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan (perkara No.1612/Pid.B/2018./PN Mdn.
16 Muhammad Dahri, Tindak Pidana Penodaan Agama di Indonesia: Tinjauan
Pengaturan Perundang-Undangan dan Konsep Hukum Islam, (Journal of Islamic
Law At-Tafahum Vol. 1 No. 2, 2017).
![Page 21: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/21.jpg)
10
F. Metode Penelitian
Metode penelitian berarti cara yang dipakai untuk mencari, mencatat,
menemukan dan menganalisis sampai menyusun laporan guna mencapai tujuan.17
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian ini diurikan
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan pada skripsi ini berfokus pada penelitian
normatif pengaruh Fatwa Mui Nomor : 001/Kf/Mui-Su/I/2017 tentang pernistaan
Agama terhadap putusan PN Medan Nomor : 1612/Pid.B/2018/PN Mdn.
2. Pendekatan Penelitian
Metode yang dipakai pada skripsi ini adalah pendekatan ilmu perundang-
undangan (statutory approach) yaitu: penelitian yang dimaksud untuk mencari
meneliti dan mengkaji secara mendalam fatwa MUI (Fatwa Nomor :
001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan Agama), dan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang
kemudian dikorelasikan dengan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :
1612/Pid.B/2018/PN Mdn.
3. Bahan Hukum
a. Bahan hukum primer berupa data yang diperoleh melalui fatwa MUI (Fatwa
Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan Agama) dan Putusan
Pengadilan Negeri Medan Nomor : 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
b. Bahan hukum sekunder yaitu data yang menjelaskan analisa dan petunjuk
pada bahan hukum primer yang diperoleh dari skripsi, buku-buku, tafsir, hasil
penelitian, internet (website), jurnal, dan pendapat praktisi hukum dan
referensi lainnya yang berkaitan dengan masalah terkait.
c. Bahan hukum tersier, adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti :
Kamus bahasa Indonesia, kamus hukum dan kamus ilmiah.
17 Cholid Narboko dan Abu Achmadi, Metode Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara
Pustaka, 2011), hlm. 1.
![Page 22: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/22.jpg)
11
4. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam skripsi ini dilakukan dengan
menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu mendeskripsikan materi isi dan
keabsahan data yang ditemukan dalam fatwa MUI (Fatwa Nomor : 001/KF/MUI-
SU/I/2017 tentang Penistaan Agama), Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :
1612/Pid.B/2018/PN Mdn, dan hierarki peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
Teknik penulisan skrispi ini berdasarkan buku Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini berisi deskripsi bab per bab:
BAB I : Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang masalah, identifikasi masalah,pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,review
kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Sumber Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia
Bab ini membahas tentang kajian teoritis yaitu mengenai sumber
hukum Islam yang disepakati dan tidak disepakati, kedudukan fatwa
dalam hukum Islam, metode penetapan fatwa dalam MUI, sumber
hukum positif Indonesia, dan kedudukan fatwa MUI dalam hukum
positif di Indonesia.
BAB III : Preseden Kasus Penistaan Agama Di Indonesia
Bab ini membahas tentang Kasus Penodaan Agama di Indonesia
mengenai deskripsi kasus penodaan agama Meliana, kualifikasi delik
penodaan Agama menurut dakwaan JPU, tuntutan JPU, dan vonis
hakim.
BAB IV : Analisis terhadap Putusan PN Medan Nomor :
1612/Pid.B/2018/PN Mdn
Pembahasan dalam bab ini yaitu menganalisis Fatwa MUI NOMO R :
001/KF/MUI-SU/I/2017 Tentang Penistaan Agama serta menjelaskan
pertimbangan hukum majelis hakim.
![Page 23: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/23.jpg)
12
BAB V : Penutup
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu
penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping
itu penulis menengahkan beberapa saran yang dianggap perlu.
![Page 24: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/24.jpg)
13
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kerangka Teori
1. Kepastian Hukum
Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,
terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan
kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman
perilaku bagi setiap orang.
Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti. Hukum secara
hakikat harus pasti dan adil. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang
hanya bisa dijawab secara normatif bukan sosiologis. Kepastian hukum
secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan
secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis.1 Jelas dalam arti tidak
menimbulkan keraguraguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian menjadi
suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma.
Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat
membentuk konsestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Jadi
kepastian hukum ialah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan
terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa
kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku
terhadap hukum secara benar-benar.
Sehingga kepastian hukum menunjukan kepada pemberlakuan
hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaanya
tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang bersifat subyektif.
Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara
faktual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau
adil bukan sekedar hukum yang buruk, melainkan bukan hukum sama
1 Cst Kansil,at al, Kamus Istilah Hukum. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2009),
h. 385.
![Page 25: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/25.jpg)
14
sekali. Kedua sifat itu termasuk paham hukum itu sendiri (den begriff des
Rechts).2
Hukum adalah keseluruhan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah
serta semua asas yang mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat dan
bertujuan untuk memelihara ketertiban serta meliputi berbagai lembaga
dan proses guna mewujudkan berlakunya kaidah sebagai suatu kenyataan
dalam masyarakat. Dimana proses pelaksanaanya dipaksakan guna
mendapatkan keadilan dengan pemberian sanksi apabila ada yang
melanggar hukum tersebut. Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak
dapat dipisahkan dari hukum terutama untuk norma hukum tertulis.
Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak
lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang, Ubi jus
incertum, ibi jus nullum (di mana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada
hukum). Bahwa dalam hal penegakan hukum setiap orang selalu berharap
dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya sesuatu peristiwa konkrit.
Jadi dengan kata lain bahwa suatu peristiwa tersebut tidak boleh
menyimpang dan harus tetap sesuai dengan hukum yang berlaku sehingga
kepastian hukum dapat diwujudkan.
Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan yang terdapat di dalam
isi Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum”
Menurut Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua segi.
Pertama, mengenai soal dapat dibentuknya (bepaalbaarheid) hukum
dalam hal uang konkret. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan
ingin mengetahui hukum dalam hal yang khusus sebelum memulai
perkara. Kedua, kepastian hukum berarti keamanan hukum. Artinya
2 Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir,
(Bandung: PT. Revika Aditama, 2006), h. 79-80.
![Page 26: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/26.jpg)
15
perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan hakim.3 Kepastian
hukum harus selalu dijunjung tinggi apa pun akibatnya dan tidak ada
alasan untuk tidak menjunjung hal tersebut karena dalam paradigmanya
hukum positif adalah satu-satunya hukum. Kepastian hukum berarti
bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan
tuntutan itu harus dipenuhi.
Menurut Jan Michiel Otto, kepastian hukum yang sesungguhnya
memang lebih berdimensi yuridis. Namun Otto memberikan batasan
kepastian hukum yang lebih jauh dalam mendefinisikan kepastian hukum
sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu yaitu:
a) Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah
diperoleh (accessible).
b) Instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan
hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat
kepadanya.
c) Warga secara prinsipil menyesuaikan perilaku mereka terhadap
aturan-aturan tersebut; dan
d) Hakim-hakim peradilan yang mandiri dan tidak berpihak
menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu
mereka menyelesaikan sengketa hukum.
Kepastian hukum menjadi hal yang mendasari penelitian ini karena
penelitian ini bermaksud untuk memastikan agar kebijakan pemerintah
selalu memiliki dasar yang kuat sehingga kelak dapat
dipertanggungjawabkan terutama dalam permasalahan hukum yang
mendasari pembentukan sebuah kebijakan umum yang berkaitan langsung
dampaknya bagi masyarakat.
3 L.J.Van Apeldoorn dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran
Kerangka Berfikir, (Bandung: PT Revika Aditama, 2006), h. 82-83.
![Page 27: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/27.jpg)
16
2. Stufenbau (Teori Piramida Hukum)
Menurut Kelsen, tata kaedah hukum dari suatu negara,
merupakan suatu sistem kaedah-kaedah hukum yang hierarkhis yang
dalam bentuknya yang sangat sederhana.4 Sedangkan menurut Adolf
Merkl, suatu norma hukum itu posisinya di atas, menjadi sumber bagi
norma hukum di bawahnya yang memiliki masa berlaku (rechtskracht)
yang relatif oleh karena itu masa berlaku suatu norma hukum itu
tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya. Dan apabila
norma hukum yang di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma
hukum yang berada di bawahnya pun ikut tercabut dan terhapus pula.5
Dalam teori jenjang norma hukum (stufentheory) Hans Kelsen
berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang dan berlapis dalam suatu
hierarki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Sedangkan norma
yang lebih tinggi akan bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak
dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif. Sehingga
kaidah dasar di atas sering disebut dengan norma dasar.
Menurut Kelsen, norma dasar pada umumnya adalah meta
juridisch (etika), bukan produk bahan pembuat undang-undang, bukan
bagian dari peraturan perundang-undangan, namun merupakan sumber
dari semua sumber dari tatanan peraturan perundang-undangan yang
berada di bawahnya.6 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
4 Purnandi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung:Opset Alumni,
1979),
h. 41. 5 Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya,
(Yogyakarta:Kanikus, 2006), h. 25-26. 6 Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang (Jakarta:Rajawali
Press, 2008), h. 54
![Page 28: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/28.jpg)
17
1) Suatu tata kaidah hukum merupakan sistem kaidah-kaidah hukum
secara hierarki
2) Susunan kaidah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat
terbawah ke atas
3) Sahnya kaidah-kaidah hukum dari golongan tingkat yang lebih
rendah tergantung atau ditentukan oleh kaidah-kaidah yang
termasuk golongan yang tingkatnya lebih tinggi.7
Teori ini digunakan sebagai alat ukur untuk mengetahui posisi
suatu hukum yang digunakan sebagai dasar suatu kebijakan yang
dikemukakan oleh pemerintah, terlebih berkaitan dengan kebijakan
pembentukan holding BUM ini terjadi beberapa tumpang tindih antara
Undang-Undang BUMN dan PP nomor 27 Tahun 2006 dalam pengaturan
mengenai penyertaan modal khususnya.
B. Sumber Hukum Islam
1. Sumber Hukum Islam yang Disepakati
Menurut Abdul Wahhab Khallaf kata adillah syariyyah (sumber
hukum Islam), bersinonim dengan istilah adillah al-ahkam, ushul al-
ahkam, al-mashadir al-Tasyri’iyah li al-ahkam.8 Para ulama membagi
dalil hukum syara’ menjadi dua, yaitu dalil yang disepakati (muttafaq) dan
dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf).
Dalil yang disepakati terdiri dari empat macam, yaitu Al-Qur’an,
Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Pada urutan prioritas penggunaannya harus
digunakan secara tertib. Maka apabila terjadi peristiwa konsuekensinya
harus dilihat hukumnya terlebih dahulu dalam al-Qur’an, jika tidak
ditemukan maka dilihat hukumnya dalam Hadis, jika tidak ditemukan
dilihat hukumnya di dalam Ijma’, jika tidak ditemukan juga, maka
berijtihad untuk mendapatkan hukumnya dengan menggunakan Qiyas.9
7 Purnandi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung:Opset Alumni,
1979),
h. 42. 8 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Mesir, Maktabah al-Da’wah al
Islamiyah, 1990 cet. VII), hlm. 20. 9 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm, 26.
![Page 29: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/29.jpg)
18
Adapun dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf) menurut Wahbah
az-Zuhaili ada tujuh, yaitu istihsan, maslahah mursalah (istislah), istishab,
urf, mazhab sahabi, syar’u man qablana, dan saddu al-zariah.10 Tetapi
menurut abdul Wahhab Khallaf hanya ada enam, yatiu dengan meniadakan
saddu al-zariah. Jadi menurut Abdul Wahhab Khallaf jumlah keseluruhan
adillah syar’iyyah berjumlah sepuluh macam.11
Adapun jika dilihat dari sumber pengambilannya dari kesepuluh
atau sebelas adillah syar’iyyah diatas menurut Wahbah az-Zuhaili dalam
kitabnya al-Wajiz fi Ushul Fiqh terbagi menjadi dua, yaitu naqliyah dan
aqliyah. Naqliyah meliputi al-Qur’an, sunah, Ijma’, urf, syar’u man
qablana, dan mazhab sahabi. Adapun aqliyah meliputi Qiyas, maslahah
mursalah, istihsan, istishab, dan saddu al-zara’i.12
Sumber atau dalil fikih yang disepakati, seperti dikemukakan Abu
Bakar seorang mufassir yang bermazhab Hanafi menyatakan, ada empat
yaitu Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, Ijma’, dan Qiyas13. Berikut secara
ringkas akan dijelaskan masing-masing dari empat dalil tersebut.
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an dalam kajian Ushul Fiqh merupakan objek pertama
dan utama pada kegiatan penelitian dalam memecahkan suatu hukum.
Al-Qur’an menurut bahasa berarti ر ق
ر ق ي –أ
–أ
ة اء –قر
آنا ر
ق و dan
menurut istilah Ushul Fiqh Al-Qur’an berarti “kalam” (perkataan)
Allah yang diturunkan-Nya dengan perantara Malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad SAW, dengan bahasa Arab serta dianggap beribadah
membacanya.14
10 Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh Jilid I, (Beirut: Daar al Fikr, 2001 cet. 2), hlm.
441. 11 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 22. 12 Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1999)
cet. Ke-2, hlm. 22. 13 Ahmad bin Ali al-Jashshos al-Hanafi, Al-Fushuul fil Ushuul Jilid II, (Kuwait:
Wizaroh al-Auqoof al-Kwaitiyyah, 1994), hlm. 31. 14 Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Anshori, Lisan al-’Arob Jilid X, (Beirut: Daar
Shodir, 1990), hlm. 321.
![Page 30: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/30.jpg)
19
Al-Qur’an mulai diturunkan di Mekkah, tepatnya di Gua Hira
pada tahun 611 M, dan berakhir di Madinah pada tahun 633 M, dalam
jarak waktu kurang lebih 22 tahun beberapa bulan. Adapun ayat
pertama yang diturunkan adalah ayat 1 sampai 5 Surah Al-‘Alaq.
Sedangkan ayat yang terakhir diturunkan ulama berbeda pendapat, dari
sekian pendapat ulama, pendapat yang dipilih oleh Jalaluddin As-
Suyuti (w.911 H) seorang ahli ilmu Al-Qur’an, dalam kitabnya al-
Itqan fi Ulum Al-Qur’an yang dinukilnya dari Ibnu Abbas adalah ayat
281 Surah Al-Baqarah.15
b. Sunnah Rasulullah
Kata sunnah secara bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu,
baik perilaku yang baik atau perilaku yang buruk”. Menurut istilah
Ushul Fiqh, Sunnah Rasulullah seperti dikemukakan oleh Muhammad
‘Ajjaj al-Khatib (Guru Besar Hadis Universitas Damaskus), berarti
“Segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik
berupa ucapan (Sunnah qauliyyah), perbuatan (Sunnah fi’liyyah), atau
pengakuan (Sunnah taqririyah) 16
Sunnah merupakan sumber hukum kedua yang muttafak
(disepakati) setelah Al-Qur’an. Menurut fuqaha sunnah mengandung
dua pengertian, pertama ibadah yang bukan wajib (nafal) dan kedua
lawan dari bid’ah.17
Sunnah atau Hadis dari segi sanadnya atau periwayatannya
dalam kajian Ushul Fiqh dibagi menjadi dua macam, yaitu Hadis
mutawatir dan Hadis ahad. Hadis mutawatir ialah Hadis yang
diriwayatkannya dari Rasulullah oleh sekelompok perawi yang
menurut kebiasaan individu-individu jauh dari kemungkinan
berbohong, karena banyak jumlah mereka dan diketahui sifat masing-
masing mereka yang jujur serta berjauhan tempat antara yang satu
15 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 79. 16 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, hlm. 103. 17 Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul Fiqh, (Kairo: al-Raudhah, 1998),
Cet. Ke-1, hlm. 148.
![Page 31: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/31.jpg)
20
dengan yang lain.18 Hadis mutawatir terbagi dua macam; pertama,
Hadis mutawatir lafzy yaitu Hadis yang diriwayatkannya oleh orang
banyak yang bersama-sama arti dan lafalnya. Kedua Hadis mutawatir
ma’nawy ialah beberapa Hadis yang beragam redaksinya tetapi
maknanya sama.19
Para penutur Hadis yang dinilai tidak bersepakat berdusta itu
adalah para periwayat Hadis pada tiga generasi sahabat, tabi’in, tabi’
at-tabi’in, karena setelah itu ada masa pembukuan Hadis yang secara
otomatis Hadis-Hadis Rasulullah tersebar luas ke berbagai belahan
dunia Islam sampai pada generasi-generasi sesudahnya hingga
sekarang.20
Hadis Ahad yaitu sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah
oleh satu atau dua orang atau lebih yang tidak memenuhi syarat sunnah
masyhur. Kehujahan sunnah ahad dalam hukum hanya mencapai
peringkat zhan tidak sampai kepada tingkat qat’i.21
c. Ijma’
Kata Ijma’ secara bahasa berarti “kebulatan tekad terhadap
suatu persoalan” atau “kesepakatan tentang suatu masalah”.22 Menurut
istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan ‘Abdul Karim Zaidan, adalah
“kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang hukum
syara’ pada satu masa setelah Rasululllah wafat”.23
Menurut Abu Zahrah, para ulama pun sepakat bahwa Ijma’
adalah sah dijadikan sebagai dalil hukum. Demikian mereka berbeda
pendapat mengenai jumlah pelaku kesepakatan sehingga dapat
18 Abu Abdillah Muhammad bin Ja’far al-Kattani, Nadzmul Mutanatsir Minal
Haditsil Mutawatir, (Mesir: Daarul Kutub al-‘Ilmiyah, tt), hlm. 10. 19 Al-Imam Jalaluddin as-Suyuti, Qathful Azhar al-Mutanatsiroh fil Akhbar al
Mutawatiroh, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1985), hlm. 11. 20 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.
41. 21 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Mesir: Daar al Fikr al-‘Arobi, 1958),
hlm 108. 22 Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Anshori, Lisan al-’Arob Jilid VIII, hlm. 57. 23 Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah ar
Risalah, 2015), hlm. 389.
![Page 32: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/32.jpg)
21
dianggap sebagai Ijma’ yang mengikat umat Islam. Menurut Mazhab
Maliki, kesepakatan sudah dianggap Ijma’ meskipun hanya merupakan
kesepakatan penduduk Madinah yang dikenal dengan Ijma’ al-
Madinah.24
Menurut kalangan Syi’ah, Ijma’ adalah kesepakatan para imam
di kalangan mereka.25 Sedangkan menurut jumhur ulama, kata
Muhammad Abu Zahrah, Ijma’ sudah dianggap sah dengan adanya
kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid,26 dan menurut Abdul
Karim Zaidan, Ijma’ baru dianggap terjadi bilamana merupakan
seluruh ulama mujtahid.27 Para ulama Ushul Fiqh mendasarkan
kesimpulan mereka bahwa Ijma’ adalah sah dijadikan sebagai landasan
hukum kepada berbagai argumentasi, seperti pada Surah an-Nisa’ ayat
115:
سول من بعد ما تب شاقق ی و من نول ہ ن ی المؤمن ل ی سب ر ی غ تبع ی و یلہ الہد ن ی الر
ما تول ی و نصلہ جہنم و ساءت مص ی را28
“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-
orang yang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam
neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.” (Q.S: An-Nisa’:115)
Ijma’ baru dapat diakui sebagai dalil atau landasan hukum
bilamana dalam pembentukannya mempunyai landasan syara’ yang
disebut sanad (landasan) Ijma’. Para ulama Ushul Fiqh sepakat atas
keabsahan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan Ijma’. Contoh
Ijma’ yang dilandaskan atas Al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama
24 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh hlm. 114. 25 Muhammad Taqi al-Hakim, Al-Ushul al-‘Aammah lil Fiqh Muqoron, (Iran:
Daarul Fiqh liththoba’ah Wannasyr, 1431), hlm. 276. 26 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, hlm. 185. 27 Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah ar
Risalah, 2015), hlm. 392. 28 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil Qur’an,
2007) hlm. 97.
![Page 33: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/33.jpg)
22
atas keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan. Kesepakatan
tersebut dilandaskan pada Surah An-Nisa’ ayat 23.29
d. Qiyas
Qiyas atau analogi menurut bahasa berarti “mengukur sesuatu
dengan sesuatu yang lain untuk diketahui adanya persamaan antara
keduanya”.30 Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan oleh
Wahbah az-Zuhaili adalah, menghubungkan (menyamakan hukum)
sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan
‘illat antara keduanya.31
Qiyas adalah salah satu kegiatan ijtihad yang tidak ditegaskan
dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Para ulama ushul fiqh klasik dan
kontemporer sepakat mengemukakan bawaha proses penatapan hukum
melalui metode Qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal (istbat
al-hukm wa insya’uhu), melainkan hanya menyingkapkan dan
menjelaskan hukum (al-kasyf wa al-izhhar li al-hukm) yang ada pada
suatu kasus yang belum jelas hukumnya.32 Penjelasan ini dilakukan
melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap ‘illat dari suatu
kasus yang sedang dihadapi.
2. Sumber Hukum Islam yang Tidak Disepakati.
Dalil-dalil hukum yang diperbedakan di kalangan ulama antara lain
yang terpenting adalah istihsan, maslahah mursalah, ‘urf (adat istiadat),
istishab, syar’u man qablana, mazhab sahabat, dan sadd adz-dzari’ah.33
a. Istihsan
Menurut bahasa istihsan berarti menganggap sesuatu lebih
baik, adnya sesuatu itu lebih baik, atau mengikuti sesuatu yang lebih
baik atau mencari yang lebih baik untuk diikuti.34 Sedangkan istihsan
29 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, hlm. 116. 30 Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Anshori, Lisan al-’Arob Jilid X, hlm. 334. 31 Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Daar al-Kutub al-ilmiyah,
1986), hlm. 601. 32 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, hlm. 63. 33 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, hlm. 130. 34 Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Anshori, Lisan al-’Arob Jilid III, hlm. 180.
![Page 34: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/34.jpg)
23
menurut istilah Ushul Fiqh seperti dikemukakan oleh Wahbah az-
Zuhaili, terdiri dari dua definisi yaitu, Istihsan Qiyasi dan Istihsan
Istisnaiy.35
b. Maslahah Mursalah
Menurut istilah terdiri dari dua kata yaitu, maslahah dan
mursalah. Kata maslahah menurut bahasa berarti “perbaikan”, dan kata
mursalah berarti “lepas”.36 Gabungan dari dua kata tersebut yaitu
maslahah mursalah menurut istilah seperti dikemukakan Abdul Wahab
Khalaf, berarti “sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada
ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak ada pula dalil
tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya”, sehingga ia
disebut maslahah mursalah (maslahah yang lepas dari dalil secara
khusus).37
c. ‘Urf (Adat Istiadat)
Kata ‘urf secara etimologi berarti “sesautu yang dipandang baik
dan diterima oleh akal sehat”.38 Sedangkan secara terminologi, seperti
dikemukakan Abdul Karim Zaidan, istilah ‘urf berarti sesuatu yang
tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan
dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau
perkataan. Istilah ‘urf dalam pengertian tersebut sama dengan
pengertian istilah al-‘adah (adat istiadat).39
d. Istishab
Kata istishab secara etimologi berarti “ meminta ikut serta
secara terus menerus”.40 Menurut Abdul Karim Zaidan, ahli Ushul
Fiqh, istishab berarti menganggap tetapnya status seperti keadannya
semua selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.41
35 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, hlm. 264. 36 Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Anshori, Lisan al-’Arob Jilid II, hlm. 517. 37 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 79. 38 Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Anshori, Lisan al-’Arob Jilid IX, hlm. 238. 39 Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, hlm. 398. 40 Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Anshori, Lisan al-’Arob Jilid IV, hlm. 2401. 41 Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, hlm. 340.
![Page 35: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/35.jpg)
24
e. Syar’u Man Qablana
Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan syar’u man qablana,
“hukum-hukum Allah yang disyariatkan kepada umat terdahulu
melalui Nabi-nabi mereka seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi
Daud, dan Nabi Isa”.42 Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa syariat
para nabi tedahulu tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam, karena kedatangan
syariat Islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu.
Demikian pula para ulama Ushul Fiqh sepakat, bahwa syariat sebelum
Islam yang dicantumkan dalam Al-Qur’an adalah berlaku bagi umat
Islam bilamana ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat
Islam Nabi Muhammad SAW, namun keberlakuannya itu bukan
karena kedudukannya sebagai syariat sebelum Islam tetapi karena
ditetapkan oleh Al-Qur’an.
f. Mazhab Sahabi
Yang dimaksud mazhad sahabi disini ialah pendapat sahabat
Rasulullah tentang suatu kasus di mana hukumnya tidak dijelaskan
secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sedangkan yang
dimaksud dengan sahabat Rasulullah ialah setiap orang muslim yang
hidup bergaul bersama Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta
menimba ilmu dari Rasulullah.43
Mereka menerima risalah Nabi mendengar keterangan Nabi
tentang syariat. Dengan kriteria itu, maka jumhur fuqaha menetapkan
bahwa perkataan mereka dapat dijadikan hujah setelah al-Qur’an dan
Hadis.
g. Sadd Adz-Dzari’ah
Kata sadd menurut bahasa berarti “menutup”, dan kata adz-
dzari’ah berarti “wasilah” atau “jalan ke suatu tujuan”. Dengan
42 Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz Fi Ushul al-Fqih, hlm. 101. 43 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, hlm. 212.
![Page 36: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/36.jpg)
25
demikian secara bahasa berarti “menutup jalan kepada suatu tujuan”.44
Menurut istilah Ushul Fiqh ialah, menutup jalan yang membawa
kepada kebiasaan atau kejahatan.45
Adapun menurut istilah syara’ sebagaimana dikemukakan oleh
Imam al-Syaukani sebagaimana dikutip oleh Fathurrahman Djamil;
sadd adz-dzari’ah ialah “sesuatu yang secara lahiriah hukumnya boleh,
namun hal itu akan membawa kepada hal yang dilarang”.46
C. Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam.
Pengertian fatwa secara etimologis kata fatwa berasal dari bahasa
Arab al-fatwa. Menurut Ibnu Manzhur kata fatwa ini merupakan bentuk
mashdar dari kata fata, yaftu, fatwan, yang bermakna muda, baru,
penjelasan, penerangan. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat al-
Fayumi, yang menyatakan bahwa al-fatwa berasal dari kata al-fata ,
artinya pemuda yang kuat.
Sehingga seorang yang mengeluarkan fatwa dikatakan mufti,
karena orang tersebut diyakini mempunyai kekuatan dalam memberikan
penjelasan (al-bayan) dan jawaban terhadap permasalahan yang
dihadapinya sebagaimana kekuatan yang dimiliki oleh seorang pemuda.47
Menurut al-Jurjani, fatwa berasal dari al-fatwa atau al futya , artinya
jawaban terhadap suatu permasalahan (musykil) dalam bidang hukum.
Sehingga fatwa dalam pengertian ini juga diartikan sebagai penjelasan (al
-ibanah).
Pengertian fatwa secara terminologis, sebagaimana dikemukakan
oleh Zamakhsyari adalah penjelasan hukum syara’ tentang suatu masalah
atas pertanyaan seseorang atau kelompok. Menurut as-Syatibi, fatwa
dalam arti al-iftaa berarti keterangan-keterangan tentang hukum syara’
yang tidak mengikat untuk diikuti. Menurut Yusuf Qardawi, fatwa adalah
44 Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Anshori, Lisan al-’Arob Jilid VIII, hlm. 96. 45 Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Jilid II (Damaskus: Daar al Fikr, tt), hlm. 873. 46 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos,
1995), hlm. 54. 47 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Elsas, Jakarta, 2008, hlm.
19
![Page 37: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/37.jpg)
26
menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban atas
pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa ( mustafi ) baik secara
perorangan atau kolektif.
Dari beberapa pengertian di atas, terdapat dua hal penting, yaitu:
1. Fatwa bersifat responsif, yaitu merupakan jawaban hukum (legal
opinion) yang dikeluarkan setelah adanya suatu pertanyaan atau
permintaan fatwa (based on demand);
2. Fatwa sebagai jawaban hukum (legal opinion) tidaklah bersifat
mengikat. Orang yang meminta fatwa (mustafti), baik perorangan,
lembaga, maupun masyarakat luas tidak harus mengikuti isi atau
hukum yang diberikan kepadanya.
Pengertian fatwa menurut arti bahasa (lughawi) adalah jawaban
suatu kejadian (memberikan jawaban yang tegas terhadap segala peristiwa
yang terjadi dalam masyarakat). Fatwa menurut arti syariat ialah suatu
penjelasan hukum syariat dalam menjawab suatu perkara yang diajukan
oleh seseorang yang bertanya, baik penjelasan itu jelas atau ragu-ragu dan
penjelasan itu mengarah pada dua kepentingan yakni kepentingan pribadi
atau kepentingan masyarakat banyak.48
Kehidupan manusia terus berkembang seiring dengan
berkembangnya tata pikir dan budaya manusia. Fatwa merupakan suatu
keputusan hukum atas suatu masalah yang dilakukan oleh seorang ulama
yang berkompeten baik dari segi ilmu atau kewaraannya. Fatwa
dikeluarkan baik diminta ataupun tidak, karena itu perkembangan fatwa
dalam sistem hukum Islam sangat penting seiring dengan permasalahan
sosial yang semakin hari semakin banyak dan kompleks dibandingkan
dengan permasalahan yang terjadi pada masa Nabi Muhammad, SAW, dan
para sahabat. Permasalahan yang dialami Rasulullah dan para sahabatnya
tidak serumit yang dihadapi sekarang, disisi lain Allah, SWT telah
48 Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, Bumi
Aksara, Jakarta, 2006, hlm. 7
![Page 38: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/38.jpg)
27
mencukupkan wahyu-Nya dan hadits yang disampaikan Rasulullah untuk
memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada.49
Rasulullah sebagai rasul terakhir membawa konsekuensi bahwa
aturan-aturan dan hadits yang telah berhenti ketika Rasulullah meninggal
dunia bisa digunakan untuk memecahkan permasalahan kekinian.
Konsekuensi ini merupakan tugas dan tanggung jawab yang besar dan
berat yang dipikul oleh umat Islam, khususnya mereka yang memiliki titel
sebagai Alim Ulama.
Ulama atau mujtahid atau mufti memiliki tugas untuk mengurai
ayat-ayat Alquran dan hadits tidak hanya secara kontekstual, tidak hanya
dengan memahami asbabal wurud dan asbabal nuzul, tetapi dia harus bisa
mengkonstekstualkan ayat dan hadits tersebut dengan kondisi sekarang
sebagai pengejawantahan hadits al islam shalih li kulli zaman wa makan
(Al-Qur’an dan hadits sebagai kitab suci umat Islam yang ‘diyakini’ selalu
relevan disetiap zaman dan waktu).
Ulama memiliki tanggung jawab untuk merumuskan jawaban atas
pertanyaan dan permasalahan yang terjadi di masyarakat yang dahulunya
tugas dan tanggung ini diemban oleh Nabi, namun ketika Nabi tidak ada,
tugas dan tanggung jawab tersebut beralih kepada para ulama yang
meneruskan dan menggantikan posisi Nabi, dalam memberikan jawaban
atas pertanyaan yang disampaikan oleh masyarakat atas permasalahan
yang mereka hadapi. Ulama adalah orang yang mempunyai keilmuan dan
perilaku sebagaimana sifat yang ada pada Nabi Muhammad, SAW.
Fungsi ulama terdapat pada berbagai profesi seperti peradilan,
maka hakimnya adalah ulama yang menjadi Qadhi (hakim) atau ulama
yang memberikan fatwa disebut Mufti. Dalam kaitan dengan fatwa,
terdapat tiga hal yang dominan, yaitu:
49 Ridwan Nurdin, Kedudukan Fatwa MUI Dalam Pengembangan Ekonomi
Syariah di Indonesia, makalah disampaikan dalam diskusi dengan Tim
Penelitian, tanggal 17 Juni 2011.
![Page 39: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/39.jpg)
28
a. Pihak-pihak yang berkepentingan seperti peseorangan,
masyarakat, pemerintah dan lainnya atas fatwa;
b. Masalah atau persoalan yang diperlukan ketetapan hukumnya;
c. Para ulama yang mengerti hukum syariat , mempunyai otoritas
mengeluarkan fatwa.
Kata ijtihad secara etimologi berarti bersungguh-sungguh dalam
menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran. Di kalangan ulama Ushul
Fiqh terdapat berbagai redaksi dalam mendefinisikan ijtihad, namun
intinya adalah sama. Adapun menurut Ibnu Abd al-Syakur, dari kalangan
Hanafiyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan kemampuan untuk
menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai ke tingkat zhanni
(dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bias lagi berupaya
lebih dari itu”.50
Sedangkan menurut al-Baidawi dari kalangan Syafi’iyah
mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan seluruh kemampuan dalam
upaya menemukan hukum-hukum syara’”.51 Lebih jelas lagi definisi
ijtihad menurut Abu Zahrah Ahli Ushul Fiqh yang hidup pada abad ke 20
ini mendefinisikan ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang ahli fikih akan
kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan
dengan amal perbuatan dari satu per satu dalilnya”.52
Definisi ijtihad lain yang dikemukakan oleh Abu Zahrah adalah:
“Mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal, baik untuk meng-
istinbath-kan hukum syara’, maupun dalam penerapannya”.
Dasar hukum ijtihad antara lain:
- Surah An-Nisa’ Ayat 59
تمأ ف زعأ ر منكمأ فإن تن مأ سول وأولى الأ أی ها الذین ءامنوا أطیعوا هللا وأطیعوا الر ء فرد وه إلى هللا ی ى شىأ
سن تأأو یل 53 لك خیأر وأحأ خر ذ م الأ منون باهلل والأیوأ سول إن كنتمأ تؤأ والر
50 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, hlm. 223. 51 Muhammad bin Idris as-Syafi’I, Kitab ar-Risalah li as-Syafi’I, (Beirut: Daar al
Kutub al-‘Ilmiyah, tt), hlm. 655. 52 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, hlm. 228. 53 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 87.
![Page 40: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/40.jpg)
29
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan
Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (Q.S: An-Nisa’: 59)
- Hadis yang diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal.54
ل هللا صلى هللا علیأه وسلم بعث م حاب معاذ أن رسوأ رو عنأ رجال منأ اصأ عاذ الى الأیمن عنأ الأحارث بأن عمأ
ل هللا صلى هللا عل یأه وسلم فإنأ لمأ یكنأ فى فقال كیأف تقأضى ؟ قال معاذ اقأضى بما فى كتاب هللا قال رسوأ
ل هللا صلى هللا علیأه وسلم . قال فإنأ لمأ یكنأ فى سنة رسوأ ل هللا صلى هللا علیأه كتاب هللا ؟ قال فبسنة رسوأ
ل هللا صلى هللا ع لیأه وسلم 55 تهد وفق رسوأ وسلم قال اجأ
Dari Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu’az
sesungguhnya Rasulullah SAW mengutus Mu’az ke Yaman, maka beliau
bertanya kepada Mu’az atas dasar apa anda memutuskan suatu
persoalan, dia jawab, dasarnya adalah Kitab Allah, Nabi bertanya:
“kalau tidak anda temukan dalam kitab Allah?”, dia menjawab dengan
dasar Sunnah Rasulullah. Beliau bertanya lagi: “kalau tidak anda
temukan dalam Sunnah Rasulullah?”, Mu’az menjawab aku akan
berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi berkata: “Segala pujian bagi
Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW.” (HR.
Tirmidzi)
Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat Hadis yang
tidak sampai ke tingkat Hadis mutawatir seperti Hadis ahad, atau sebagai
upaya memahami redaksi ayat atau Hadis yang tidak tegas pengertiannya
sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad.56
54 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, hlm. 226. 55 Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi Jilid III, (Mesir: Syirkah
Maktabah wa Mathba’ah Musthofa al-Baabi al- Halbi, 1975), hlm. 608. 56 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, hlm. 227.
![Page 41: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/41.jpg)
30
a. Pengertian Ijtihad
Menurut bahasa, kata Ijtihad ( إجتهاد) berasal dari bahasa Arab,
yaitu bentuk Masdar dari kata د ه ت هد –إج ت ج ي yang artinya mengarahkan
segala kesanggupan untuk mengerajakn sesuatu yang sulit.57 Berdasarkan
pengertian Bahasa ini, maka tidak tepat jika kata ijtihad digunakan untuk
ungkapan “orang itu berijtihad dalam mengangkat tongkat”. Sebab
mengangkat tongkat adalah perbuatan mudah dan ringan yang bisa
dilakukan oleh siapa saja.
Secara terminologi sebagaimana didefiniskan oleh Muhammad
Abu Zahra, ijtihad yaitu:
كام الأعملیة منأ ادلته ا التفأصلیة 58 حأ تنأباط الأ عة فى اسأ بذأل الأفقیأه وسأ
Artinya: “Pengerahan segala kemampuan seorang ahli fiqih dalam
menetapkan (istinbat) hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan
dari dalilnya secara terperinci (satu per satu).”
Imam Al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan
semua kemampuan untuk mencari syara yang bersifat dzhanni, sampai
merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya
itu.59 Kemudian menurut definisi sebagian ulama ushul fiqih sebagaimana
dikutip oleh Abu Zahra bahwa ijtihad adalah “mencurahkan segala
kesanggupan dan kemampuan semaksimal mungkin itu adakalanya dalam
istinbat (penatapan) hukum syariat adakalanya dalam penerapan hukum.”
Berdasarkan definisi kedua yang dikemukakan oleh sebagian
ulama di atas maka ijtihad itu terbagi menjadi dua:60
57 Ibnu Sholah, Adabul Mufti wal Mustafti, (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wal
Hikam,
2002), hlm. 25. 58 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, hlm. 379. 59 Abd. Wafi Has, Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam,
(Episteme, Vol. 8 No. 1, Juni 2013), hlm. 92. 60 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, hlm. 253.
![Page 42: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/42.jpg)
31
1) Ijtihad yang dilakukan secara khusus oleh para ulama yang
mengkhususkan diri untuk menetapkan hukum dari dalilnya.
2) Ijtihad dalam penerapan hukum, yaitu menerapkan hukum termasuk
hasil ijtihad para ulama terdahulu.
Menurut pendapat Mazhab Hambali sebagaimana dikutip oleh
Imam Abu Zahra bahwa setiap masa tidak boleh ada kekosongan dari
seorang mujtahid dan pintu ijtihad untuk semua tingkatan harus terbuka
terus meski diakui tingkat kemampuan dan kecerdasan mujtahid berbeda.
MUI mempunyai sistem dan prosedur penetapan fatwa yang
dikenal dengan metode istinbath (pemahaman, penggalian, dan
perumusan) hukum. Sistem dan prosedur yang diterapkan dalam
penetapan fatwa MUI merupakan bagian dari ijtihad. Para ahli ilmu ushul
fiqh pun berbeda pendapat dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan
ijtihad, antara lain, dikatakan sebagai:
61 عي ر
ش م
بح ك
ن لظ ح صي لت ع س و
هال ف قي
ال
اغ تف ر اس
“(Ijtihad ialah) pencurahan segenap kemampuan secara maksimal yang
dilakukan oleh seorang ahli fikih (faqih) untuk mendapatkan pengetahuan
tingkat zhan (dugaan kuat) mengenai hukum syar’i (Islam).”
Sedikit penambahan diungkapkan oleh Al-Hamidi, sebagai berikut:
ا ر ف تس اغ
و ال ي فعس
ط ل ب
ال
ظ
بن
مء ي ش ن ح ال
امك ،ع ةي عر الش
حي هج ىو ل مس سف الن ن
ه62 دفي زي نال ج زع ع
ال
“(Ijtihad ialah) pencurahan segenap kemampuan maksimal dalam
mencari pengetahuan tingkat zhan mengenai hukum syar’i, dalam batas
sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya itu.”
Kedua definisi di atas saling melengkapi satu sama lain. Dari
kedua definisi tersebut dapat dipahami, sekurangnya tiga hal, yaitu:
61 Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalli, Syarh ‘ala Matnn Jam’I al-Jawami’,
(Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, tt), hlm. 379. 62 Al-Hamidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Kairo: Muassasah al-Halabi wa
Syirkah, tt), juz IV, hlm. 141.
![Page 43: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/43.jpg)
32
pertama, pelaku ijtihad atau mujtahid haruslah seorang yang ahli dalam
bidang fikih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain. Kedua, sasaran yang
ingin dicapai dari ijtihad adalah hukum syar’i yang berhubungan dengan
aktivitas dan perbuatan mukalaf. Artinya, ijtihad tidak berlaku dalam
bidang lain, seperti akidah dan akhlak.63 Ketiga, status hukum syar’i yang
dihasilkan melalui ijtihad bersifat zhanni. Istilah zhanni di kalangan ahli
hukum Islam dimaknai sebagai sesuatu yang mendekati kebenaran
(dianggap benar).64 Dari sana pula dapat disimpulkan bahwa hasil ijtihad
seorang mujtahid bersifat relatif yang belum tentu mutlak benar.
Perlu ditekankan, cakupan ijtihad hanya berlaku dalam kasus atau
masalah yang tidak secara eksplisit terdapat dalam nas Al-Qur’an dan
Hadis. Artinya, ijtihad hanya berlaku terhadap nas-nas Al-Qur’an dan
Hadis yang masuk kategori zhanni, baik tsubut maupun dalalah-nya, juga
terhadap kasus yang belum di-Ijma’-kan oleh para ulama.
Para ahli ushul al-fiqh menyebut cakupan ijtihad sebagai lapangan
ijtihad (majal al-ijtihad), yang penjabarannya adalah sebagai berikut:65
1) Ijtihad tidak berlaku terhadap persoalan yang telah ada ketentuan
hukumnya dalam nash yang qath’i at-tsubut wa ad-dalalah, dan
masalah-masalah yang termasuk dalam kelompok ma’lum min ad-
din bi adh-dharurah, seperti wajibnya melaksanakan salat lima
waktu, kewajiban berbuat adil, halalnya jual-beli, haramnya
berzina, haramnya berbuat zalim dan haramnya memakan harta
orang lain tanpa hak, dan sebagainya.
2) Ijtihad tidak berlaku dalam persoalan yang telah diIjma’an oleh
para mujtahid dengan nonmuslim dan pemberian hak waris
seperenam kepada nenek. Persoalan ini tidak daoat dijadikan
sebagai objek ijtihad, dan umat Islam terikat dengan dan wajib
63 Ibrahim Hosen, Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1988), hlm. 23. 64 M. Asrorun Ni’am, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa), hlm. 117. 65 Muhammad Salam Madzkur, Manahij al-Ijtihad fi al-Islam, (Kuwait:
Mathba’ah al Ashriyyah, 1974), hlm. 344-346.
![Page 44: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/44.jpg)
33
untuk mengamalkan hak tersebut. jika para mujtahud telah
bersepakat (Ijma’) atas suatu hukum, maka hukum tersebut
dipandang sebagai hukum bagi umat, dan sebagaimana disabdakan
oleh Nabi Muhammad SAW, umat tidak akan bersepakat atas
kesesatan. Para mujtahid adalah ulu al-amr dalam bidang hukum,
sedangkan Allah memerintahkan umat agar menaaati mereka.
3) Ijtihad diperlukan dalam persoalan yang sudah dijelaskan oleh nash
yang masih zhanni at-tsubut wa ad-dalalah sekaligus. Dalam
masalah ini ijtihad dilakukan dalam dua arah (aspek), yakni
terhadap aspek sanad nash untuk menilai keontetikannya dan
terhadap aspek dalalah-nya atas hukum untuk memilih dan
menentukan dalalah mana yang dipandang kuat (mendekati
kebenaran).
4) Ijtihad diperlukan terhadap nash yang zhanni at-tsubut dan qath’i
ad-dalalah yang terdapat dalam sunnah Nabi Muhammad. Ijtihad
dilakukan dalam aspek sanad untuk menguji keotentikan dan
kebenarannya.
5) Ijtihad diperlukan terhadap nash yang qath’i at-tsubut dan zhanni
ad-dalalah, yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi
Muhammad. Ijtihad dilakukan terhadap aspek dalalah tersebut.
6) Ijtihad diperlukan terhadap persoalan yang sama sekali belum
tersebut dalam nash dan belum ada Ijma’ ulama mengenainya, juga
hal tersebut tidak termasuk dalam perkara al-ma’lum min ad-din bi
ad-dharurah. Ijtihad dalam persoalan ini umumnya disebut dengan
ijtihad bi ar-ra’yi (ijtihad menggunakan penalaran).
Menurut Abu Zahrah, ruang lingkup fatwa lebih khusus lagi
dari ijtihad. Ijtihad muncul karena adanya pertanyaan maupun tidak
ada pertanyaan. Sedangkan fatwa secara umum muncul apabila ada
peristiwa atau pertanyaan dari mustafti, baik perorangan maupun
![Page 45: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/45.jpg)
34
lembaga yang meminta fatwa.66 Contoh materi fatwa di dalam Al-
Qur’an dapat dijumpai, antara lain dalam Surah An-Nisa, ayat ke 176:
ة لل ك فىال م
تيك ف ي لهللا
ق ك
ون ت ف ت س ي
ف انص ه
ل ف ت
خ ۥأ ه
ل و د
ل ۥو ه
ل س ي
ل ك
ل ه
ا ؤ ر إنام
ر ك ات انمم
ث ل االث م ه
ل نف ي ت
ن ااث ت
ان إنك
ف د
ل او ه
نل
ك ي م
آإنل ه رث ي و ه و ر ك
ات إنم و
للذ
آءف نس و
ال ج ر
ة و
إخ
وا
ان ك ل
بك هللا و
وا
ضل
نت
أ م
ك ل هللا ن ي ب ني ي ي
نث ال
ظ ح ل
رمث
ك
ليم .67 ع ء ى
ش
Artinya:
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah), katakanlah:
“Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika
seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia idak mempunyai anak; tetapi jika saudaranya
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal, dan jika mereka
(ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan,
maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua
orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu, supaya kamu tidak sesat; dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (Q.S. An-Nisa: 176)
Persyaratan-persyaratan konvensional bagi seorang
mujtahid sebagaimana telah dirumuskan oleh ulama terdahulu
dipandang belum cukup memadai untuk membuatnya layak
melakukan suatu ijtihad. Alasannya, masalah-masalah kontemporer
sudah sedemikian kompleks dan beragam, sehingga mengandalkan
disiplin ilmu konvensional Islam saja tidak mencukupi. Untuk
66 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm. 401 67 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 106.
![Page 46: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/46.jpg)
35
masa sekarang ini, seorang mujtahid juga perlu menguasai ilmu
lain, seperti sosiologi, antropologi, dan pengetahuan tentang
masalah yang akan digali hukumnya.68
b. Dasar Hukum Ijtihad
- Surat An-Nisa ayat 105:
ول تكنأ ل لأخائنیأ ن خصیأما 69 ك للا كم بیأن الناس بما أر لتحأ ب بالأحق إنا أنأزلأنا إلیأك الأكت
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dan apa
yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi
penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang
yang khianat.”
Ayat tersebut menurut Wahbah az-Zuhaili mengandung legalitas
ijtihad melalui metode Qiyas.
- Dalam Hadis Nabi:
ر 70 طأ فله أجأ تهد ثم أخأ ران، وإذا حكم فاجأ تهد ثم أصاب فله أجأ إذا حكم الأحاكم فاجأ
“Apabila seorang hakim memutuskan perkara kemudian ia berijtihad lalu
hasil ijtihadnya dinilai benar maka ia mendapatkan dua pahala. Dan
apabila seorang hakim memutuskan perkara kemudian ijtihadnya dinilai
salah, maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR. Bukhori).
Di zaman Nabi orang tidak butuh ijtihad. Karena permasalahan
baru yang belum ada hukumnya dapat ditanyakan langsung kepada Nabi
dan Nabi langsung menjawabnya berdasarkan petunjuk wahyu yang
terjamin kebenarannya. Setelah Nabi wafat barulah ijtihad diperlakukan
oleh ulama mujtahid untuk menjawab hukum permasalahan baru yang
timbul dengan tetap berpegang kepada prinsip-prinsip yang terkandung
dalam al-Qur’an. Permasalahan yang timbul sekarang ini sangat kompleks
dan jawabannya tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun Hadis. Jika tidak
68 Abdul Wahab Khallaf, Mashadir at-Tasyri’ al-Islamiy fi ma la Nash fih,
(Kuwait: Daar al-Qalam, 1972), hlm. 17 69 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 95. 70 Abu Abdillah bin Idris as-Syafi’I, Al-Musnad Jilid I, (Beirut: Daar al Kutub
al‘Ilmiyah, 1400 H), hlm. 355.
![Page 47: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/47.jpg)
36
ada usaha yang sungguh-sungguh dari orang yang pantas berijtihad, maka
akan terjadi kekosongan hukum. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan
hukum. Oleh karena itu, ijtihad untuk sekarang ini merupakan hal yang
dharury (mendesak) untuk dilakukan, karena begitu banyak kasus
permasalahan baru yang sifatnya kompleks dan rumit yang memerlukan
jawaban dari hukum Islam.71
c. Syarat-Syarat Mujtahid
Mujtahid adalah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui
cara istinbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan
tatbiq (penerapan hukum).72 Dalam pembahasan ini akan dikemukakan
syarat-syarat mujtahid yang dirumuskan oleh Wahbah az-Zuhaili:
1) Mengetahui makna ayat ahkam yang terdapat dalam al-Qur’an baik
secara bahasa maupun secara istilah syara’. Tidak perlu dihafal cukup
mengetahui tempat ayat-ayat ini berada sehingga mudah untuk
mencarinya ketika dibutuhkan.
2) Mengetahui Hadis-Hadis ahkam baik secara bahasa maupun istilah.
Tidak perlu dihafal sebagaimana juga al-Qur’an. Kemudian yang
terpenting mujtahid dapat mengerti seluruh Hadis-Hadis hukum yang
terdapat dalam kitab-kitab besar seperti sahih Bukhori, sahih Muslim
dan lain-lain.
3) Mengetahui al-Qur’an dan Hadis yang telah dinasakh dan mengetahui
ayat dan Hadis yang menasakh. Tujuannya agar mujtahid tidak
mengambil kesimpulan dari nas (al-Qur’an dan Hadis) yang sudah
tidak berlaku lagi.
4) Mengetahui sesuatu yang hukumnya telah dihukumi oleh ijma,
sehingga ia tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan ijma.
5) Mengetahui Qiyas dan sesuatu yang berhubungan dengan Qiyas yang
meliputi rukun, syarat, illat hukum dan cara istinbatnya dari nas,
maslahah manusia, dan sumber syariat secara keseluruhan.
71 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, hlm, 256. 72 Abd. Wafi Has, Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam, hlm.
94.
![Page 48: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/48.jpg)
37
6) Menguasai bahasa Arab tentang nahwu, sharaf, maani, bayan, dan
uslub-nya karena al-Qur’an dan Hadis itu berbahasa Arab. Oleh karena
itu, tidak mungkin dapat mengistinbatkan hukum yang berdasar dari
keduanya tanpa menguasai Bahasa keduanya.
7) Mengetahui ilmu ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah tiang ijtihad
berupa dalil-dalil secara terperinci yang menunjukkan hukum melalui
cara tertentu seperti amr, nahi, am, dan khas.
8) Mengetahui maqasid syariah dalam penetapan hukum karena
pemahaman nas dan penerapannya dalam peristiwa bergantung kepada
maqasid syariah.73
d. Tingkatan Mujtahid
Mujtahid memiliki tingkatan-tingkatan sebagai berikut:
1) Mujtahid fi al-syar’i, disebut juga mujtahid mustaqil. Ialah orang yang
membangun suatu mazhab seperti imam mujtahid yang empat yaitu
Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal.
2) Mujtahid fi al-mazhab, ialah mujtahid yang tidak membentuk mazhab
sendiri tetapi mengikuti salah satu seorang imam mazhab. Adapun
yang termasuk ke dalam mujtahid fi al-mazhab ini seperti: Abu Yusuf
dalam mazhab Hanafi dan al-Muzany dalam mazhab Syafi’i.
3) Mujtahid fi al-masail, ialah mujtahid yang berijtihad hanya pada
beberapa masalah dan bukan pada masalah-masalah yang umum,
seperti at-Thalawi dalam mazhab Hanafi dan al-Ghazaly dalam
mazhab Syafi’i serta al-Khiraqy dalam mazhab Hambali.
4) Mujtahid muqoyyad, yatiu mujtahid yang mengikat diri dengan
pendapat ulama salaf dan mengikuti ijtihad mereka. Hanya saja mereka
mengetahui dasar dan memahami dalalahnya dan inilah yang disebut
dengan takhrij. Mereka mempunyai kesanggupan untuk menentukan
73 Abu Abdillah az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhiith fii Ushul al Fiqh, (Mesir: Daar
Al Kutubi, 1994), hlm. 345.
![Page 49: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/49.jpg)
38
mana yang lebih utama dari pendapat yang berbeda dalam mazhab di
samping dapat membedakan riwayat yang kuat dengan yang lemah.74
e. Lapangan Ijtihad
Wilayah ijtihad adalah masalah-masalah yang
diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad.
Sedangkan lapangan ijtihad adalah pada setiap hukum syara yang
tidak memiliki dalil qat’i.75
Ijtihad berlaku pada ayat atau Hadis, dengan catatan bahwa nas
tersebut masih bersifat zhan dan qat’i. atau pada permasalahan hukumnya
belum ada dalam nas, jadi, ijtihad tidak berlaku pada masalah yang
hukumnya sudah pasti (qat’i) seperti mengeluarkan hukum wajib shalat,
puasa, zakat, dan haji. Karena untuk melakukannya tidak perlu usaha yang
berat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lapangan ijtihad itu
ada dua macam:
1) Pada sesuatu yang ada nasnya tetapi nasnya masih zhan.
2) Pada sesuatu yang hukumnya tidak ada sama sekali dalam nas.76
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan ijtihad.
Pertama, hasil ijtihad seseorang tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad orang
lain dalam perkara yang sama. Sebagaimana hasil ijtihad seseorang juga
tidak boleh menyalahi hasil ijtihad orang lain. Dengan alasan, karena
ijtihad yang kedua tidaklah lebih kuat dari ijtihad yang pertama. Kedua,
tidaklah ijtihad di antara ulama berhak untuk diikuti dari yang lainnya.
Ketiga, membatalkan satu ijtihad dengan ijtihad yang lain dapat
mengakibatkan tidak tegasnya suatu hukum dan ini merupakan kesulitan
dan kesempitan.77
74 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, hlm. 259. 75 Yusus Qardawi, Ijtihad dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1987), hlm. 390. 76 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Mesir: Matba’ah al Madani, tt),
hlm. 303. 77 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, hlm. 260.
![Page 50: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/50.jpg)
39
f. Hukum Berijtihad
Jika seseorang sudah memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad
maka keberadaan seseorang mujtahid dalam kegiatan memberikan
ijtihadnya bisa wajib ain, wajib kifayah, bisa mandub, dan bisa pula
haram.
1) Wajib ain, yaitu bagi orang yang sudah mencukupi syarat ijtihad
dan terjadi pada diri mujtahid itu sesuatu yang membutuhkan
jawaban hukumnya. Ijtihadnya wajib diamalkan dan ia tidak boleh
bertaklid kepada mujtahid lainnya. Hukum ijtihad juga wajib bagi
mujtahid yang ditanya tentang hukum suatu masalah yang sudah
terjadi dan menghendaki jawaban hukum segera sedangkatn tidak
ditemukan mujtahid lainnya.
2) Wajib kifayah, jika ada mujtahid lain selain dirinya yang akan
menjelaskan hukumnya.
3) Sunah, yaitu melakukan ijtihad pada dua hal. Pertama, terhadap
permasalahan yang belum terjadi tanpa ditanya, seperti yang
dilakukan oleh imam Abu Hanifah yang dikenal dengan fiqh
iftiradhi (fiqih pengandaian). Kedua, ijtihad pada masalah yang
belum terjadi berdasarkan pertanyaan dari orang lain.
4) Haram, yaitu ijtihad pada dua hal. Pertama berijtihad terhadap
permasalahan yang sudah tegas (qat’i) hukumnya baik berupa ayat
atau Hadis dan ijtihad yang menyalahi ijma. Ijtihad boleh pada
masalah selain itu. Kedua berijtihad bagi seseorang yang belum
memenuhi syarat sebagai mujtahid, karena hasil ijtihadnya tidak
akan benar tetapi menyesatkan, dasarnya karena menghukumi
sesuatu tentang agama Allah tanpa ilmu hukumnya haram.78
78 Satria Effendi, M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2009),
cet. 3, hlm. 255-256.
![Page 51: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/51.jpg)
40
D. Metode dalam Penetapan Fatwa MUI
Secara etimologis, kata “fatwa” berasal dari bahasa Arab
berbentuk mashdar (kata benda) yang berarti jawab atas pertanyaan, atau
hasil ijtihad atau ketetapan hukum mengenai suatu kejadian sebagai
jawaban atas pertanyaan yang belum jelas hukumnya.79 Kata “fatwa”
seakar dengan kata “al-fata”, yang artinya pemuda yang kuat. Kata fatwa
juga berarti memberikan penjelasan (al-ibanah). Dikatakan dalam kalimat,
“aftahu fi al-amr”, berarti memberikan penjelasan kepadanya atau
memberikan jawaban atas persoalan yang diajukannya.80
Karena itu, seorang yang dipanggil dengan sebutan mufti atau
pemberi fatwa adalah orang yang mempunyai kekuatan dalam
memberikan bayan (penjelasan) dan jawaban terhadap permasalahan
seperti kekuatan yang dimiliki oleh seorang pemuda. Kata mufti juga
dapat dipahami sebagai orang yang berpengetahuan luas dalam
memberikan penjabaran tentang hukum. Kata “fatwa” sendiri telah
diserap ke dalam bahasa Indonesia, yang artinya adalah jawaban
(keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah.
Juga diartikan sebagai nasihat orang alim; pelajaran baik; petuah.
Pengertian fatwa secara bahasa tersebut sesuai dengan firman
Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa’ ayat ke 127:
81هن في م
ك تي ف ي
هلللا
ق اء س
فىالن ك
ن و ت ف ت س ي و
Artinya:
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para perempuan.
Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka…” (Q.S.
An-Nisa: 127)
Sementara secara terminologis, fatwa adalah keterangan hukum
agama mengenai suatu persoalan sebagai jawaban pertanyaan yang
79 Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang:
Pustaka Rizki, 1997), cet. I, hlm. 86. 80 Amir Sa’id az-Zaybari, Mahabits fi Ahkam al-Fatwa, (Beirut: Dar Ibnu Hazm,
1995), hlm. 31. 81 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 98.
![Page 52: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/52.jpg)
41
diajukan oleh peminta fatwa (mustafi), baik perseorangan maupun
kolektif, dikenal atau pun tidak dikenal.82 Fatwa berarti ketentuan yang
berisi jawaban dari seorang mufti mengenai hukum syariat untuk pihak
yang meminta fatwa.83
Tindakan memberikan fatwa disebut dengan ifta’, yaitu suatu
pekerjaan memberikan nasihat atau fatwa. Orang yang mengeluarkan
fatwa disebut dengan mufti, sedangkan orang yang meminta fatwa disebut
dengan mustafi. Jadi, dalam terminologi fikih, fatwa didefinisikan sebagai
keterangan-keterangan tentang hukum syariat yang tidak mengikat untuk
diikuti.84
Komisi Fatwa MUI juga mempunyai definisi tersedniri mengenai
fatwa, yaitu suatu penjelasan tentang hukum atau ajaran Islam mengenai
permasalahan yang dihadapi atau ditanyakan oleh masyarakat, serta
merupakan pedoman dalam melaksanakan ajaran agamanya.85
Secara umum, fatwa-fatwa MUI dapat diklasifikasikan menjadi
dua kelompok. Pengklasifikasian yang pertama didasarkan pada forum
yang menetapkannya, dan yang kedua diklasifikasikan berdasarkan tema
pembahasannya. Jika mengikuti pengklasifikasian yang pertama, maka
fatwa-fatwa MUI adakalanya ditetapkan melalui forum Komisi Fatwa
MUI, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, Musyawarah Nasonal
(Munas) MUI, atau melalui Ijtima’ Ulama MUI. 86
Sementara secara tematik, fatwa-fatwa MUI terdiri atas fatwa-
fatwa yang berbicara tentang ekonomi syariah, produk halal, dan masalah-
masalah keagamaan. Fatwa-fatwa yang terkait dengan masalah-masalah
82 Yusuf Al-Qardhawi, al-Fatwa Bayn al-Indibath wa at-Tasayyub, (Mesir: Dar
Al Qalam, tt), hlm. 5. 83 M. Asrorun Ni’am, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa), (Jakarta: Emir Penerbit
Erlangga, 2016), hlm. 79 84 Muhammad bin Ali al-Mu’tazili, Al-Mu’tamad fi Ushul al Fiqh, (Beirut: Daar
al Kutub al-‘Ilmiyah, 1403 H), hlm. 357. 85 Pengantar Komisi Fatwa MUI dalam Hasil Fatwa Munas VII Majelis Ulama
Indonesia (Jakarta: Sekretariat MUI, 2005). 86 M. Asrorun Ni’am, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa), hlm. 84.
![Page 53: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/53.jpg)
42
keagamaan dibagi lagi menjadi empat, yaitu fatwa-fatwa yang
membicarakan tentang akidah dan aliran keagamaan, ibadah, sosial
kemasyarakatan, dan kebudayaan, dan yang terkait dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
a. Dasar Penetapan Fatwa MUI
Fatwa- fatwa MUI, sebagaimana fatwa pada umumnya, ditetapkan
berdasarkan keterangan Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Keempatnya
merupakan sumber dan dalil hukum Syariah yang disepakati oleh jumhur
ulama, berdasarkan firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 59 yang
berbunyi:
م ت ع از ن ت إن
ف
م ك رمن م
ولىال
أ و ل و س واالر ع طي
أ و
هواللا ع طي
اأ و ن م
ا ن ذي
اال ه ي
يأ في
خر مال و ي
ال و
هبالل
ن و من ؤ ت م ت ن
ك لإن و س الر و
هىللا
إل ه و د ر
ف ء ي
ش ن س ح
أ و ر ي
خ لك
ذ
87
ل وي أ ت
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah (Al-Qur’an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian; yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (Q.S. An-Nisa:59)
Kebolehan untuk berijtihad juga diperkuat keterangan Hadis yang
diriwayatkan oleh Mu’adz ibn Jabal ketika diutus oleh Rasulullah SAW
untuk menjadi qadhi di Yaman. Rasulullah bertanya kepada Mu’adz apa
yang akan dilakukannya dalam berhukum jika ia tidak menemukan dalil
naqli dari Al-Qur’an maupun sunnah, maka Mu’adz menjawab bahwa ia
akan berijtihad dengan akalnya, dan Rasulullah pun menyetujuinya.88
87 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 87. 88 M. Asrorun Ni’am, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa), hlm. 123.
![Page 54: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/54.jpg)
43
Al-Qur’an, Hadis dan Ijma’ dianggap sebagai sumber hukum yang
berdiri sendiri karena tidak membutuhkan pihak lain dalam menetapkan
suatu hukum. Sedangkan Qiyas tidak dianggap sebagai sumber hukum
yang berdiri sendiri karena membutuhkan analog hukum yang terdapat di
dalam Al-Qur’an dan Hadis, dengan menggali dan mencocokkan ‘illah
(sebab) pada hukum asal. Dengan demikian, sebagai dalil Qiyas tidak
independent, namun terikat dengan ‘illah yang terdapat dalam nas Al-
Qur’an maupun Hadis.
b. Prosedur Penetapan Fatwa MUI
Secara operasional, fatwa-fatwa MUI ditetapkan dengan mengikuti
pedoman penetapan fatwa yang memuat empat ketentuan dasar,89 yaitu,
pertama, setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar di dalam Al-
Qur’an dan Hadis yang mu’tabar, serta tidak bertentangan dengan
kemashlahatan umat. Dengan demikian, seluruh fatwa MUI berdasarkan
kepada sumber utama hukum Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadis, dan juga
sejalan dengan kemashlahatan umum.
Kedua, jika fatwa yang akan ditetapkan hukumnya tidak terdapat di
dalam Al-Qur’an maupun Hadis, maka fatwa tersebut hendaknya tidak
bertentangan dengan Ijma’, Qiyas yang mu’tabar dan dalil-dalil hukum
yang lain seperti istihsan, mashlahah mursalah, dan sadd adz-dzari’ah.
Ketiga, sebelum fatwa diputuskan, dilakukan penelusuran data dengan
merujuk pada pendapat-pendapat dengan dalil-dalil hukum maupun yang
berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda
pendapat dengannya. Keempat, fatwa-fatwa MUI selalu
mempertimbangan pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang
akan diambil keputusan fatwanya.90
89 Pedoman Penetapan Fatwa yang ditetapkan berdasarkan SK Dewan Pimpinan
MUI
Nomor U-596/MUI/X/1997 tanggal 2 Oktober 1997. 90 M. Asrorun Ni’am, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa), hlm. 125.
![Page 55: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/55.jpg)
44
Sedangkan secara metodologis, penetapan fatwa MUI ditempuh
dalam lima tahap.91 Tahapan pertama, sebelum fatwa ditetapkan akan
ditinjau terlebih dahulu pendapat para imam mazhab tentang masalah yang
akan difatwakan tersebut, secara saksama berikut dalil-dalilnya. Tahapan
kedua, untuk masalah- masalah yang telah jelas hukumnya (al-ahkam al-
qath’iyyah), maka disampaikan sebagaimana adanya. Hal ini sebagai
manifestasi dari penggunaan pendekatan nash qath’i, di samping qawli dan
manhaji. Tahapan ketiga, terkait dengan masalah-masalah yang
diperselisihkan (khilafiah) dikalangan mazhab, maka akan ditempuh dalam
dua cara:
1) Menemukan titik temu di antara pendapat pelbagai mazhab melalui
metode al-jam’u wa at-tawfiq (menggabung dan menyesuaikan
persamaan); dan
2) Jika upaya al-jam’u wa at-tawfiq tidak berhasil dilakukan, maka
penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih (memilih pendapat
yang argumentasinya paling kuat diantara argumentasi-
argumentasi yang telah ada) melalui metode muqaranat al-
madzahib (perbandingan mazhab) menggunakan kaidah-kaidah
ushul al-fiqh al-muqaran (ushul fikih perbandingan).
Tahapan keempat, terkait dengan masalah-masalah yang tidak
ditemukan pendapat hukumnya di kalangan mazhab, maka penetapan
fatwa MUI didasarkan pada hasil ijtihad jama’i (kolektif) melalui
metode bayani, ta’lili (Qiyasi, istihsani, ilhaqi), dan sadd adz-dzari’ah.
Tahapan kelima, penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan
kemashlahatan umum (mashalih ‘ammah) dan maqashid asy-syari’ah.
Komisi fatwa MUI terkesan sangat hati-hati dalam menetapkan
fatwa, karena mempertimbangkan mashlahah asy-syari’ah (maksud-
maksud syariah). MUI sendiri berpandangan bahwa untuk
mengeluarkan sebua fatwa memang harus dilandasi prinsip kehati-
91 Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama (Jakarta: Sekretariat
MUI 2001)
![Page 56: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/56.jpg)
45
hatian, serta memperhatikan situasi dan kondisi yang ada, sehingga
fatwa yang dikeluarkan benar-benar membawa kemashlahatan umum
bagi masyarakat, sebagaimana menjadi tujuan persyariatan hukum
Islam (maqashid at-tasyri’).
c. Pendekatan Fatwa MUI
Ada tiga pendekatan yang digunakan dalam proses penetapan
fatwa MUI, yaitu, pendekatan nash qath’i, qawli, dan manhaji.
Pendekatan nash qath’i dilakukan dengan cara menggali jawaban atas
setiap persoalan hukum yang muncul berdasarkan kajian terhadap Al-
Qur’an dan Hadis, yang merupakan sumber utama hukum Islam.
Sementara pendekatan qawli adalah metode penetapan hukum Islam
dengan cara merujuk pendapat-pendapat (aqwal) para ulama terdahulu
di dalam kitab-kitab standar (kutub mu’tabarah). Pendekatan manhaji
adalah penggunaan metodologi hukum Islam dalam menetapkan suatu
fatwa. Pendekatan ini memberikan pedoman dan acuan dalam
penetapan hukum Islam menggunakan pelbagai metodologi istinbath
hukum yang validitasnya diakui oleh para ulama.92
d. Ijtihad Insyai dan Intiqai
Penggunaan metode ijtihad insyai dan ijtihad intiqai, yakni
dengan cara merujuk dan mengkaji pendapat para imam mazhab
terdahulu. Pengkajian terhadap pendapat imam mazhab harus
dilakukan secara komprehensif, menyeluruh dan saksama. Pendapat
yang diambil sebagai keputusan fatwa tentu saja harus merupakan
pendapat yang dipandang paling kuat dalilnya dan membawa
kemashlahatan umat. Hal tersebut dilakukan dengan sebuah
pendekatan yang lazim disebut dengan perbandingan mazhab
(muqaranat al-madzahib).
Selain itu, MUI juga mempertimbangkan pendapat para ahli di
bidangnya masing-masing sebelum memutuskan sebuah fatwa.
92 M. Asrorun Ni’am, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa), hlm. 131.
![Page 57: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/57.jpg)
46
Adapun proses dan prosedur penetapan fatwa yang dilakukan MUI
adalah sebagai berikut:
1) Pengkajian masalah. Di sini Komisi Fatwa dituntut terlebih dahulu
untuk mengetahui dengan jelas hakikat dan duduk masalahnya.
Jika masalahnya metupakan masalah baru dan memerlukan
penjelasan dari ahlinya, maka ahli yang bersangkutan didengarkan
penjelasannya.
2) Selanjutnya, setelah jelas permasalahannya, ditentukan apakah ia
termasuk ke dalam kategori qhat’iyyat, dengan demikian juga jika
telah ada Ijma’, Komisi Fatwa menetapkan fatwa sebagaimana
adanya. Jika tidak termasuk dalam kategori qath’iyyat, Komisi
Fatwa selanjutnya melakukan ijtihad.
3) Dalam melakukan ijtihad, Komisi Fatwa dapat menempuh ijtihad
insyai dan dapat pula melakukan ijtihad intiqai. Dalam hal ijtihad
terakhir ini, MUI menggunakan pendekatan muqaranat al-
madzahib.93
Dapat disimpulkan bahwa ijtihad serta mekanisme dan prosedur
penetapan fatwa yang dilakukan oleh MUI ditempuh dalam bentuk
kolektif kolegial (ijtihad jama’i). Sedangkan corak ijtihadnya, di samping
berupa ijtihad intiqai, juga dilakukan ijtihad insyai.
Ijtihad intiqa’i dilakukan untuk memilih pendapat para ahli fiqih
terdahulu mengenai masalah-masalah tertentu, sebagaimana tertulis dalam
perlbagai buku fiqh, kemudian menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya
dan lebih relevan dengan kondisi sekarang. Sedangkan ijtihad insyai
dilakukan untuk mengambil kesimpulan hukum mengenai peristiwa-
persitiwa baru yang belum diselesaikan oleh ahli fiqh terdahulu.
93 M. Asrorun Ni’am, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa), hlm. 135.
![Page 58: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/58.jpg)
47
E. Sumber Hukum Positif Indonesia
1. Hukum Positif yang Berlaku di Indonesia
Pada hakikatnya sumber hukum adalah rasa keadilan. Tetapi
perkataan sumber hukum juga banyak dipakai dalam arti tempat dari mana
kita mengetahui yang berlaku, tempat dari mana kita mengambil peraturan
hukum yang harus diterapkan. Maka dapat dirumuskan bahwa: sumber
hukum ialah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan hukum yaitu
aturan-aturan yang mempunyai kekuasaan hukum yang bersifat memaksa
dan mempertahankan dengan sanksi. Sumber hukum dapat dibedakan
dalam sumber hukum yang historis dan sumber hukum yang filosofis.
a. Sumber hukum yang historis adalah stelsel-stelsel hukum di masa
lampau, yang turrut serta dalam membentuk hukum yang berlaku
sekarang, seperti:
1) Code Civil untuk pembuatan Kitab Undang-Undang Hukum Sipil.
2) Dokumen-dokumen, surat-surat, dan keterangan lain yang
memungkinkan untuk mengetahui hukum yang berlaku pada masa
tertentu, bukan sumber hukum dalam arti sesungguhnya, tetapi
bahan untuk mengetahui hukum.
b. Sumber hukum yang filosofis, yaitu asas atau dasar mengapa hukum
itu dipatuhi dan mempunyai kekuatan mengikat dan daya manusia
yang menghasilkan hukum itu. Menurut Hogu de Groot, terdiri dari
akal manusia (redo) dan Tuhan Yang Maha Esa.94
Sumber hukum dapat juga dibedakan dalam sumber hukum
material dan sumber hukum formal.
a. Sumber hukum material, yaitu perasaan hukum atau keyakinan hukum
individu dan pendapat umum yang menentukan isi dari hukum.95
Dalam hubungan ini ditentukan oleh faktor idiil dan faktor
94 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm.
103. 95 Hasanuddin AF dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Tangerang Selatan: UIN
Jakarta Press,
2003), hlm. 170.
![Page 59: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/59.jpg)
48
kemasyarakatan. Faktor idiil adalah pedoman yang tetap dan harus
diikuti oleh pembentuk Undang-Undang atau badan-badan negara
lainnya dalam melakukan tugasnya, yaitu keadilan dan kesejahteraan
masyarakat. Faktor kemasyarakatan adalah kondisi yang actual dalam
masyarakat, dan kenyataan ini merupakan input bagi pada pembentuk
Undang-Undang dengan faktor masyarakat yang berpengaruh dalam
pembentukan hukum, antara lain: struktur ekonomi dan kebutuhan
masyarakat, kebiasaan yang hidup dalam masyarakat tertib hukum
yang berlaku, tertib hukum dari negara asing, pandangan dan pendapat
keagamaan dan kesusilaan rakyat, dan pendapat umum.
b. Sumber hukum formal yaitu bentuk nyata hukum yang berlaku.
Sumber hukum ini merupakan sumber hukum yang paling penting.
Sumber-sumber hukum formal dari hukum positif, antara lain:
1) Undang-Undang, termasuk UUD
2) Kebiasaan (convention)
3) Perjanjian, baik perjanjian antar negara maupun perjanjian
antarwarga masyarakat
4) Keputusan hakim (yurisprudensi)
5) Pendapat ahli hukum yang terkemuka (doktrin)96
Sumber-sumber hukum tersebut merupakan sumber-sumber hukum
yang normal. Selain itu, terdapat sumber hukum yang abnormal, seperti
proklamasi, revolusi, kudeta dan penaklukan negara yang satu terhadap
negara yang lain. Sumber-sumber hukum itu juga bisa menarik perhatian
apabila ditinjau dari berbagai sudut cabang ilmu maupun disiplin lainnya
seperti ahli sosiologi, ahli ekonomi, ahli filsafat, ahli sejarah, ahli
psikologi, ahli pemerintahan, dan ahli agama.97
Pancasila menjadi asas-asas kenegaraan negara Indonesia dan bagi
per Undang-undangan hukum Indonesia suatu “Grundnorm” yaitu suatu
96 Rr. Dijan Widijowati, Pengantar Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Andi Offset,
2018), hlm. 124.
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011),
hlm.18.
![Page 60: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/60.jpg)
49
kaidah dasar (pokok). Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum negara Indonesia. Pancasila itu suatu kesusilaan positif, suatu etika
kenegaraan, yang menjadi dasar dari negara nasional kita. Oleh sebab itu
Pancasila dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
yang menyatakan: bahwa kemerdekaan kita disusun dalam suatu Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan pada:98
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan, Permusyawaratan
Perwakilan.
5. Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
a. Undang-Undang
Undang-Undang adalah suatu peraturan negara yang mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh penguasa
negara.99 Undang-undang dapat dibedakan menjadi dua macam arti:
Undang-Undang dalam arti materiil dan Undang-Undang dalam arti
formil. Undang-undang dalam arti materiil disebut juga Undang-Undang
dalam arti luas (peraturan), sedangkan Undang-Undang dalam arti formil
disebut juga Undang-Undang dalam arti sempit (Undang-Undang).
Undang-Undang dalam arti formil, contohnya: Undang-Undang
APBN (Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945); Undang-Undang
No. 62 tahun 1958 tentang naturalisasi, sebab meskipun menurut
bentuknya dibuat oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat, namun isinya hanya mengikat kepada orang yang bersangkutan,
yaitu orang yang dinaturalisasikan saja.100
98 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 107. 99 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:
Balai [Pustaka, 1979), hlm. 46 100 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 113.
![Page 61: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/61.jpg)
50
Undang-Undang dalam arti materiil dapat diartikan sebagai suatu
peraturan perundang-undangan yang isinya mengikat langsung masyarakat
secara umum. Memiliki arti bahwa setiap keputusanpemerintah yang
berdasarkan isinya mengikat langsung kepada setiap penduduk.101
Suatu undang-undang mempunyai kekuatan berlaku mengikat
harus memenuhi syarat yaitu, diundangkan dalam Lembaran Negara oleh
Sekretaris Negara.102 Lembaran Negara disebut Staatsblad (Stb atau S.)
dan Berita Negara pada zaman Hindia Belanda disebut De Javasche
Courant, dan di zaman Jepang disebut Kan Po. Jadi suatu Undang-Undang
itu diundangkan dalam Lembaran Negara, kemudian diumumkan dalam
Berita Negara.
Setelah suatu Undang-Undang memenuhi syarat-syarat tersebut di
atas, berlakulah suatu fictie dalam hukum: “Setiap orang dianggap telah
mengetahui adanya sesuatu Undang-Undang”. Dengan demikian bila ada
Undang-Undang terbentuk, kemudian ada seseorang yang melanggar
Undang-Undang tersebut, ia tidak tepat membela atau membebaskan diri
dengan alasan tidak mengetahui adanya Undang-Undang itu.103
b. Kebiasaan
Kebiasaan adalah suatu tata cara hidup yang dianut oleh suatu
masyarakat atau suatu bangsa dalam waktu yang lama pada hakikatnya
memberikan pedoman bagi masyarakat atau bangsa yang bersangkutan
untuk berpikir dan bersikap tindak dalam menghadapi berbagai hal pada
kehidupannya.
Para ahli hukum menyatakan bahwa hukum kebiasaan merupakan
sumber hukum. Timbulnya hukum kebiasaan diperlukan syarat-syarat,
yaitu harus ada perbuatan atau tindakan yang semacam dalam keadaan
yang sama dan harus diikuti oleh umum, dan seluruh rakyat ikut
menimbulkan kebiasaan itu, tetapi hanyalah golongan-golongan orang
101 Rr. Dijan Widijowati, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 143. 102 Mujar Ibnu Syarif dan Kamarusdiana, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), hlm. 48. 103 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 114.
![Page 62: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/62.jpg)
51
yang berkepentingan saja, bahkan yang berada dalam keadaan tertentu dan
yang mengikuti suatu hubungan yang tertentu dan yang mengikuti suatu
hubungan yang tertentu. dalam kebiasaan itu harus menurut peraturan
yang benar dalam arti tidak membenarkan hal-hal yang salah, tidak
membenarkan hal-hal yang tidak wajar, tidak membenarkan kebiasaan
yang tidak baik, tidak mengesahkan hal-hal yang salah.
Kemudian harus ada keyakinan hukum dari golongan-golongan
yang berkepentingan. Keyakinan hukum ini diterimanya sebagai suatu
kemestian (opinion necessitates). Keyakinan dalam hukum dalam arti
materiil, yaitu keyakinan isi suatu aturan itu baik atau tidak baik, dan
keyakinan hukum dalam arti formal, yaitu keyakinan bahwa aturan itu
harus diikuti dengan taat. Karena kebiasaan bagi masyarakat adalah
hukum bagi negara.104
Hukum kebiasaan ini juga dapat dibedakan dalam hukum
kebiasaan masyarakat, hukum kebiasaan golongan-golongan
kemasyarakatan, hukum kebiasaan hakim (pengadilan), hukum kebiasaan
internasional yang mendapatkan sumbernya dari kebiasaan-kebiasaan.105
c. Perjanjian
Traktat (Treaty) adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua
negara atau lebih yang isinya mengatur masalah-masalah tertentu yang
berkenaan dengan kepentingan masing-masing negara. Traktat ada
beberapa macam, yaitu traktar bilateral dan traktat multilateral. Traktat
bilateral ialah suatu perjanjian yang diadakan antara dua negara tertentu
dan hanya berlaku bagi kedua negara yang bersangkutan. Traktat
multilateral ialah suatu perjanjian yang diadakan oleh lebih dari dua
negara mengenai masalah-masalah tertentu yang mereka hadapi
bersama.106
Traktat berbeda dengan perjanjian yang dilakukan antara Lembaga
eksekutif dari dua atau lebih negara, karena perjanjian yang dilakukan oleh
104 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 110 105 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 116. 106 Rr. Dijan Widijowati, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 145.
![Page 63: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/63.jpg)
52
antarlembaga eksekutif tidak memiliki sifat yang mengikat sebagaimana
traktat, sehingga tidak membutuhkan pengesahan dari Lembaga eksekutif.
Traktat akan memiliki sifat yang mengikat ke dalam yurisdiksi
suatu negara sebagaimana undang-undang yang berlaku pada negara
tersebut, apabila traktat mendapatkan pengesahan dari lembaga legislatif
atau Lembaga yang berwenang di negara tersebut.107
Terjadinya suatu perjanjian (traktat) itu menurut pendapat klasik
harus melalui prosedur tertentu, yaitu melalui empat fase:
1) Dibuat penetapan (sluiting) ialah penetapan isi perjanjian oleh
utusan/delegasi pihak-pihak yang bersangkutan. Hasil penetapan
diberi nama konsep traktat/perjanjian (sluitings oorkonde atau
concept verdrag atau concept overeen komst).
2) Persetujuan masing-masing parlemen pihak yang bersangkutan, di
Indonesia oleh Presiden diberikan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk disetujui, setelah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat
dimasukan dalam Undang-Undang persetujuan, maka konsep
perjanjian disahkan oleh Kepala Negara.
3) Ratifikasi. Setelah ratifikasi maka perjanjian berlaku di wilayah
Negara yang bersangkutan. Perjanjian yang telah diratifikasikan
kemudian diundangkan dalam Lembaran Negara. Fungsi
pengundangan disini berbeda dengan pengundangan Undang-
Undang, hanya merupakan tindakan formil saja bukan syarat untuk
berlakunya perjanjian. Perjanjian telah mulai berlaku setelah
ratifikasi.
4) Pelantikan atau pengumuman (afkondingin)108. Tukar-menukar
piagam perjanjian. Pihak-pihak yang telah meratifisir perjanjian
dalam suatu upacara saling menyampaikan piagam perjanjian.
Prosedur tadi telah dilalui, maka perjanjian (traktat) itu terbentuk
dan berlaku mengukat kepala negara dari negara yang bersangkutan.
107 Rr. Dijan Widijowati, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 147. 108 Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar, 1957),
hlm.159.
![Page 64: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/64.jpg)
53
Mengikatnya suatu perjanjian (traktat)pada umumnya didasarkan pada
suatu asas yang disebut “Pacta Sun Servanda” yang artinya setiap
perjanjian harus dihormati dan ditaati atau setiap perjanjian mengikat
pihak-pihak yang mengadakannya. Perjanjian (traktat) itu mengikat dan
berlaku sebagai peraturan hukum terhadap warga negara dari masing-
masing negara yang mengadakannya. Oleh karena itu perjanjian (traktat)
merupakan sumber hukum formil.109
d. Keputusan Hakim
Yurisprudensi merupakan suatu sumber hukum yang formil,
keputusan hakim (yurisprudensi) ini berasal dari kata “Jurisprudentia”
(Bahasa Latin), yang berarti pengetahuan hukum (Rachtsgeleerdheid).
Yusriprudensi sebagau istilah teknis Indonesia sama artinya dengan
“Jurisprudence” (dalam Bahasa Perancis) dan “Jurisprudentie” (dalam
Bahasa Belanda).
Istilah “Jurisprudence” (dalam Bahasa Inggis) berarti teori ilmu
hukum (Algemene Rechtsleer, General Theory of Law), untuk pengertian
yurisprudensi disebut istilah case law atau Judge-made law. Kata
“Jurisprudenz” (Bahasa Jerman) berarti ilmu hukum dalam arti sempit,
untuk pengertian yurisprudensi disebut kata Ueberlieferung.
Keputusan hakim didasarkan atas suatu kenyataan, sering terjadi
hakim memutuskan suatu perkara yang diperiksa tidak langsung
didsarakan kepada suatu peraturan hukum yang telah ada. Tindakan hakim
semacam itu dapat didasarkan pasal 22 Algemene Bepalingen van
Wetgeving voor Indonesie (Ketentuan-ketentuan umum tentang per
Undang-undangan untuk Indonesia).110
Hakim harus menciptakan hukum sendiri terhadap peristiwa
konkrit yang dihadapinya, dan yang mengikat kepada pihak-pihak yang
bersangkutan. Hakim sebagai pembentuk hukum di samping pembuat
Undang-Undang. Perbedannya bawah pembuatan Undang-Undang
109 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 119. 110 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 120
![Page 65: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/65.jpg)
54
menentukan hukum in abstrakto secara umum, sedangkan hakim
memberikan suatu peraturan yang berlaku terhadap dua belah pihak yang
berpekara (pasal 1917 KUH Perdata), hakim menentukan hukum in
concreto secara khusus.
Yurisprudensi menurut para ahli hukum:
1) A. Ridwan Halim, S.H. (1983: 32)
Yuriprudensi ialah suatu putusan hakim atas suatu perkara yang belum
ada pengaturannya dalam Undang-Undang, yang untuk selanjutnya
menjadi pedoman bagi hakim-hakim lainnya yang mengadili kasus
atau perkara-perkara yang serupa.
2) Drs. C.S.T. Kansil, S.H. (1992: 20)
Yurisprudensi ialah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan
dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah
yang sama.
3) R. Otje Salman, S.H. (1985: 38)
Hukum Yurisprudensi,yakni hukum yang dibentuk dalam keputusan
hakim pengadilan.
4) Hartono Hadisuprapto, S.H. (1976: 38)
Yurisprudensi disebut juga keputusan hakim atau keputusan
pengadilan.
5) Utrecht/Moh. Saleh Djindang, S.H. (1983: 126)
Yurisprudensi ialah keputusan-keputusan hakim. Ada dua maca
yurisprudensi, yakni yurisprudensi yang tetap dan yurisprudensi tidak
tetap. Yurisprudensi tetap itu terjadi karena suatu rangakain keputusan
yang sama atau karena beberapa keputusan yang merupakan keputusan
baku, yaitu keputusan yang menjadi dasar peradilan (Standar arresten).
Dengan pendapat para ahli hukum itu, Yuriprudensi dapat diartikan
sebagai keputusan hakim di masa yang telah lalu dan dianggap adil,
![Page 66: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/66.jpg)
55
sekalipun tidak berdasarkan Undang-undang, merupakan hukum yang
obyektif dan dianggap sebagai sumber hukum.111
e. Doktrin
Kata “doctrine” (dalam bahasa Belanda) adalah pendapat para ahli
hukum yang ternama kemudian diterima sebagai dasar atau asas-asas
penting dalam hukum dan penerapannya atau disebut ajaran kaum sarjana
hukum. Pendapat para sarjana hukum yang terkemuka ini mempunyai
kekuasaan dan berpengaruh juga dalam pengambilan keputusan oleh
hakim. Sesuai dengan pasal 38 Mahkamah Internasional yang menetapkan,
bahwa doktrin menjadi salah satu sumber hukum formil.112
Di dalam hukum internasional pendapat para sarjana hukum
mempunyai pengaruh yang sangat besar dan merupakan sumber hukum
yang sangat penting. Adapun beberapa doktrin (pendapat ahli hukum)
terkemuka contohnya:
1) Doktrin Trias Politica dari Montesquieu (Orang Perancis) mengatakan:
a) Kekuasaan negara hendaknya dibagi tiga Lembaga, yaitu:
(1) Lembaga legislative, yang bertugas sebagai pembuat Undang-
Undang.
(2) Lembaga eksekutif, yang bertugas sebagai pelaksana Undang-
Undang.
(3) Lembaga yudikatif, yang bertugas sebagai pengawas
pelaksanaan Undang-Undang.
b) Di antara Lembaga yang satu dengan Lembaga yang lainnya harus
berpindah, tidak boleh terdapat hubungan kerja sama.
2) Doktrin Mazhab Sejarah dipelopori Carl Von Savigny (orang Jerman)
mengatakan bahwa hukum itu bukanlah dibuat oleh manusia,
melainkan hukum itu ada dan tumnuh bersama-sama dengan ada dan
tumbuhnya (berkembangnya) masyarakat.
111 Mujar Ibnu Syarif dan Kamarusdiana, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 46. 112 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 74.
![Page 67: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/67.jpg)
56
3) Doktrin dasar berdirinya Liga Bangsa-bangsa yang disponsori oleh
Woodrow Wilson’s Fourteen Points, pada dasarnya menggariskan
untuk memudahkan tercapainya perdamaian dunia diperlukan adanya
kerja sama dan perserikatan antar bangsa-bangsa dengan hubungan
diplomasi-diplomasi yang terbuka.
Di dalam hukum Islam bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah juga
ijtihad menjadi sumber hukum Islam, seperti ijtihad Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, Imam Syafi’ie, Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Imam Daud
Adhohiri dan Imam Ibnu Hazmi Al-Andalusia, Imam Ja’far As-Shoodiq,
mengenai hukum perkawinan, hukum waris, dan sebagainya.113
2. Kedudukan Fatwa MUI dalam Hukum Positif di Indonesia
Fatwa sendiri pada hakikatnya tak lebih dari sebuah pendapat dan
pemikiran belaka, dari individu ulama atau institusi keulamaan, yang
boleh diikuti atau justru diabaikan sama sekali. Dalam membuat fatwa,
harus ada beberapa metodologi yang harus dilalui, yaitu:
a. Fatwa tidak boleh taklid (mengikuti secara buta). Seorang ahli
fatwa harus memenuhi syarat mujtahid dan syarat mujtahid
dilarang mengikuti secara bulat mujtahid lain.
b. Fatwa tidak boleh melantur dari sikap hak asasi manusia yang
diusung dalam Islam sejak awal. Hak tersebut yaitu antara lain hak
untuk memeluk suatu agama dan mengikuti tafsir kelompok
penafsir tertentu.
c. Kebenaran fatwa bersifat relative sehingga selalu dimungkinkan
untuk diubah seiring dengan perubahan ruang, waktu dan tradisi.
d. Fatwa harus didahului dengan riset dan pendeskripsian yang
memadai tentang satu pokok soal termasuk mengajak berdiskusi
pihak-pihak terkait tentang apa yang akan difatwakan.114
113 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 129. 114 Ainun Najib, Fatwa Majelis Ulama Indonesia Dalam Perspektif
Pembangunan Hukum Responsif, (Jurnal Lisan Al-Hal, Volume 4, No. 2,
Desember 2012), hlm. 375.
![Page 68: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/68.jpg)
57
Berdasarkan sumber hukum yang berlaku dalam sistem hukum
nasional, yakni dalam sistem hukum nasional secara formal terdapat lima
sumber hukum, adapun sumber hukum tersebut sebagai berrikuti: undang-
undang, kebiasaan, putusan hakim (yurisprudensi), traktat, serta doktrin
(pendapat pakar pakar/ahli hukum). Kemudian untuk dapat mengetahui
tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
maka bisa dilihat dalam undang-undang no 10 tahun 2004 tentang
peraturan perundang-undangan, tepatnya dalam pasal 7 sebagai berikut:
Undang-Undang Dasar 1945, undang-undang/peraturan pemerintah
pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden,
peraturan daerah, yang meliputi: peraturan daerah provinsi, peraturan
daerah, kabupaten/ kota, peraturan desa.
Sumber hukum positif dalam sistem hukum nasional di atas dan
dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, sebagaimana telah
disebutkan dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang peraturan
perundangundangan, tidak menyebutkan fatwa sebagai bagian dari dasar
hukum di negara ini, sehingga fatwa tidak dapat dijadikan sebagai
landasan hukum.115
Fatwa hanya sebagai suatu pendapat atau nasehat yang
disampaikan oleh para ahli hukum Islam yang tergabung dalam suatu
wadah organisasi, seperti MUI, Muhammadiyah, NU, Persis, dan lembaga
lainnya. Sehingga fatwa dapat dikorelasikan dengan sumber hukum formal
dalam sistem hukum nasional, yakni kedudukan fatwa sama dengan
doktrin yang merupakan pendapat pakar atau pendapat para ahli di bidang
hukum positif.
Dalam praktik, doktrin (pendapat ahli hukum) banyak
mempengaruhi pelaksanaan administrasi Negara, demikian juga dalam
proses pengadilan. Seorang hakim diperkenankan menggunakan pendapat
ahli untuk dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam memutus sebuah
115 M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum
Positif (Analisis Yuridis Normatif), (Ulumuddin, Volume VI Tahun IV, Januari –
Juni 2010), hlm. 474.
![Page 69: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/69.jpg)
58
perkara, kemudian bagi seorang pengacara/pembela yang sedang
melakukan pembelaannya pada suatu perkara perdata, seringkali mengutip
pendapat-pendapat ahli sebagai penguat pembelaannya.
Fatwa juga mempunyai beberapa perbedaan mendasar dengan
doktrin. perbedaan antara fatwa dan doktrin yakni pertama, dilihat dari
objek yang menjadi fokus pembahasan, pada fatwa yang menjadi fokus
pembahasan adalah berkenaan dengan persoalan agama, khususnya
permasalahan hukum Islam. Sedangkan doktrin yang menjadi fokus
pembahasan adalah permasalahan dalam hukum positif. Kedua, dari segi
waktunya fatwa berlaku saat ini juga, sejak fatwa tersebut dikeluarkan
oleh lembaga yang bersangkutan, sedangkan doktrin berlaku kemudian
setelah doktrin tersebut dikeluarkan oleh para pakar dan kadangkala juga
harus diuji terlebih dahulu untuk dapat dipakai dan diberlakukan. Ketiga,
fatwa dapat disampaikan secara individual dan secara kolektif, akan tetapi
untuk saat ini seringkali disampaikan secara secara kolektif, sedangkan
doktrin biasanya dikeluarkan oleh seorang ahli atau seorang pakar hukum.
Sehubungan dengan kedudukan fatwa, maka dapat disamakan
dengan doktrin, dan sudah barang tentu kekuatan dari fatwa itu tidak
mutlak dan tidak mengikat sebagaimana berlaku pada ketentuan sebuah
undang-undang ataupun putusan hakim yang sifatnya mengikat, sehingga
fatwa tersebut tidak harus diikuti baik oleh pribadi, lembaga, maupun
kelompok masyarakat, karena jelas fatwa tidak mempunyai daya ikat yang
mutlak. Hal ini juga berlaku pada doktrin, doktrin tidak memiliki daya
ikat.
Berlakunya sebuah doktrin tergantung pada kewibawaan dari
doktrin tersebut, manakala doktrin tersebut sesuai dengan nilainilai dan
keyakinan yang ada dalam masyarakat, maka masyarakat akan
melaksanakan isi doktrin dan begitu juga sebaliknya, jika doktrin tidak
sesuai dengan nilai-nilai serta keyakinan masyarakat, maka masyarakat
akan cenderung meninggalkan melaksanakan doktrin tersebut. Doktrin
![Page 70: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/70.jpg)
59
baru akan berlaku mengikat apabila telah diatur dalam peraturan
perundangundangan, seperti contoh doktrin Pancasila.116
116 M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum
Positif (Analisis Yuridis), hlm. 475.
![Page 71: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/71.jpg)
60
BAB III
PRESEDEN KASUS DELIK PENISTAAN AGAMA DI INDONESIA
A. Teori Penistaan Agama
Pengertian dari kata “menista” berasal dari kata “nista”. Sebagian
pakar mempergunkana kata celaan. Perbedaan istilah tersebut disebabkan
penggunaan kata-kata dalam menerjemahkan kata smaad dari bahasa
belanda. “Nista” berarti hina, cela, rendah, noda.1 Sedangkan Agama
adalah suatu peraturan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai
akal, memegang peraturan tuhan dengan kehendaknya sendiri untuk
mencapai kebaikan hidup di dunia dan kebahagiaan kelak di akhirat. Itulah
pengertian “agama” menurut M. Taib Thahir Abdul Muin.2
Jadi, penistaan agama adalah tindakan perbuatan tutur kata, sikap
atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok atau orang
atau lembaga atau organisasi dalam bentuk provokasi, hasutan ataupun
hinaan kepada individu atau kelompok lain melalui berbagai aspek seperti
suku, budaya, adat istiadat serta agama. Dengan tujuan sengaja atau tidak
sengaja untuk melukai, menghina suatu agama, keyakinan agama tertentu
yang mengakibatkan penganut agama dan keyakinan lain tersinggung.
Perlu diketahui bahwa penistaan agama itu sudah terjadi pada saat
al-Qur’an diturunkan dan sampai berlanjut hingga sekarang. Berdasarkan
dari definisi diatas menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan penistaan
agama itu merupakan tindakan penghinaan, merendahkan, dan mengklaim
suatu agama, pelaku ajaran agama, maupun atribut atau simbol-simbol
agama yang dipandang dengan suci.
Dalam hukum Islam juga menjelaskan bahwa seeorang yang
menistakan agama merupakan perbuatan yang dikategori perusak akidah,
1 Leden Marpaung SH, Tindak Pidana Terhadap kehormatan, (Jakarta, PT:
Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 11. 2Mujahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama, (Jakarta, PT: Raja Persada,
1996), hlm. 3.
![Page 72: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/72.jpg)
61
yang diancam berdosa besar (bagi pelakunya). Oleh karena itu, hal ini
bertentangan dengan norma agama Islam yang ada dalam kitab suci al-
Qur’an. Sedangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1PNPS/1965
tentang pencegaham Penyalahgunaan atau Penodaan Agama bahwa
penistaan agama adalah “Setiap orang dilarang dengan sengaja dimuka
umum menceritakan, menganjurkan, mengusahakan dukungan umum
untuk melakukan penafsitan tentang sesuatu agama yang dianut di
Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai
kegiatan-kegiatan keagamaan dari agam itu, penafsirandari kegiatan mana
yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
Dapat disimpulkan bahwa setiap suatu kegiatan yang menyerupai
agama dilarang untuk melakukan pengejekan atau penghinaan. Oleh
karena itu, sesuai dalam konteks syariat agama Islam dapat dipahami
bahwa orang yang melakukan suatu penistaan agama atau penghinaan
agama mengakiatkan seseorang tersebut akan berdosa besar seta murtad
(yakni keluar dari agama Islam).
Sedangkan dalam konteks negara Indonesia sangat dilarang dengan
keras bagi pelaku penistaan agama karena akan dikenakan sanksi bagi
pelakunya, entah itu dikenakan hukuman berapa tahun untuk dipenjara.
Memang secara tekstual dalam al-Qur’an memang tidak dijumpai kata-
kata khusus yang bermakna penistaan. Akan tetapi dalam kamus Besar
Bahasa Indonesia sudah menjelaskan maksud penistaan itu seperti apa.
Kemudian dalam surah al-An’am ayat 108 juga menjelaskan
bahwa kata dari sabba-yasuubbu sabb(an), yang artinya “mencaci” atau
“mencela”. Namun makna dari penelusuran melalui kata-kata persamaan
yang senada dengan penistaan yaitu kata la’ib (bersenda gurau, bermain-
main), huzuw (berolok-olok), dan sakhira (mengejek, mencemooh). Dari
ketiga kata tersebut merupakan satu kesatuan dari kata yang menistakan
agama. Oleh sebab itu, tindakan penistaan terhadap agama diungkapkan
dalam Al-Qur’an setidaknya dalam empat bentuk yaitu yang pertama,
penistaan dalam bentuk penghinaan. Kedua, penistaan dalam bentuk
![Page 73: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/73.jpg)
62
bersenda gurau. Ketiga, penistaan dalam bentuk tuduhan dan tudingan.
Keempat, penistaan dalam bentuk pandangan bahwa perbuatan dan ajaran
nabi pada agama lain tidak benar atau dusta. Dan masih banyak lagi dari
bentuk penistaan itu sendiri.
Delik penistaan agama diatur dalam pasal 156a KUHP disebutkan
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima (5) tahun barang
siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau
melakukan perbuatan; (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di
Indonesia; atau (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut
agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dalam teori pemidanaan dikenal adanya unsur-unsur yang
diperlukan agar seseorang dapat diproses dalam sistem peradilan pidana.
Dalam praktik pemidanaan dikenal dua unsur yaitu unsur objektif dan
unsur subjektif. Unsur objektif meliputi tindakan yang dilarang atau
diharuskan, akibat dari keadaan atau masalah tertentu, sedangkan unsur
subyektif meliputi kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab dari
pelaku3
Berkaitan dengan unsur obyektif dan subyektif, Lamintang
menyebutkan bahwa unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat
pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk
ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya.
Sedangkan unsur-unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan
mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Lebih lanjut,
Lamintang merinci unsur subyektif dari perbuatan pidana sebagai berikut:
3 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. III (Bandung:
Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 193-194.
![Page 74: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/74.jpg)
63
a. Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa);
b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan seperti yang
dimaksud dalam pasal 53 ayat 1 KUHP;
c. Macam-macam maksud seperti yang terdapat misalnya di
dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan
dan lain-lain;
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti
yang misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan
menurut pasal 340 KUHP;
e. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di
dalam rumusan tindak pidana menurut pasal 308 KUHP.
Adapun unsur-unsur obyektif dari perbuatan pidana terdiri dari:
a. Sifat melanggar hukum;
b. Kualitas dari pelaku;
c. Kausalitas, yakni penyebab hubungan suatu tindakan
sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai
akibat.
B. Kasus Penistaan Agama di Indonesia
Kasus penistaan agama saat ini memang sedang sangat ramai
menjadi perbincangan setelah saudari Meiliana seorang ibu rumah tangga
di daerah Kecamatan Tanjung Balai Selatan Kota Tanjung Balai. Sebelum
penulis membahas kasus penistaan agama yang dilakukan oleh ibu
Meiliana, penulis akan memaparkan beberapa kasus penistaan agama yang
pernah terjadi bahkan sudah di proses hukum dan pelakunya harus
menjalani masa hukumannya. Berikut beberapa kasus penistaan agama
yang pernah terjadi di Indonesia yang diambil dari berbagai sumber :
1. Kaceng Cs
Kasus yang dikaitkan langsung dengan pasal ini yaitu kasus
yang terjadi dan sudah diputus oleh pengadilan negeri Purwakarta
dengan putusan nomor 19/Pid/Tol/1979, tanggal 13 Desember
1979. Perbuatan ersebut adalah: “perbuatan penistaan terhadap
![Page 75: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/75.jpg)
64
sesuatu agama (agama Islam) yang dianut di Indonesia, yaitu
mereka (tertuduh) telah melaksanakan sumpah dengan cara
menginjaki dan mengencingi Kitab Suci Al-Qur’an. Perbuatan
tersebut melanggar pasal 55 yo. 156a KUHP dan Undang-Undang
PNPS Nomor 1 Tahun 1695.4
Namun hakim dalam persidangan menyatakan para
terdakwa dalam kasus tersebut lepas dari segala tuntutan karena
adanya unsur paksaan dari pihak pemeriksa. Hal ini terjadi ketika
dalam persidangan pemeriksa menyuruh para terdakwa bersumpah
dengan cara menginjaki dan mengencingi kitab suci Al-Qur’an,
sebagai suatu sarana untuk membuktikan bahwa mereka tidak
melakukan perbuatan yang dituduhkan kepada mereka.
2. Arswendo Atmowiloto
Kasus ini terjadi dan sudah diputus oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dengan putusan tanggal 8 April 1991 nomor
09/IV/Pid.B/1991/PN.Jkt.Pst. Terdakwa Arswendo Atmowiloto
selaku pemimpin redaksi surat kabar mingguan Tabloid Monitor
pada bulan oktober 1990 telah memuat naskah “Ini Dia 50 Tokoh
yang dikagumi pembaca kita”, yang gagasan dan naskah dibuatnya
sendiri dimana dicantumkan nama Nabi Muhammad saw. pada
peringkat 11 yang dimuat dan disiarkan dalam surat kabar
Mingguan Tabloid Monitor No. 225/IV tanggal 15 Oktober 1990,
halaman 15.5
Terdakwa menggunakan istilah peringkat, hal ini berarti
terdakwa bermaksud membuat suatu perbandingan bahwa antara
nama-nama yang tercantum dalam tabel tersebut antara satu
dengan yang lain ada perbedaan tinggi dan rendah. Dari uraian
tersebut, Hakim dalam persidangan menyatakan terdakwa secara
4 Juhaya S.Praja dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama Dalam Hukum Pidana
di Indonesia , (Bandung: Angkasa, 1993), hlm. 46. 5 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan: Pengertian dan
Penerapannya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 79
![Page 76: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/76.jpg)
65
sah dan meyakinkan melanggar pasal 156a huruf a KUHP dan
menghukum dengan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun.
3. Aprianus Tae alias Tae
Putusan Pengadilan Negeri Atambua Nomor :
71/Pid.Sus/2018/PN.Atb tentang tindak pidana penistaan agama,
yang diputus oleh Hakim menyatakan terdakwa Aprianus Tae alias
Tae, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana Penistaan terhadap suatu agama yang dianut di
Indonesia‚ sebagaimana dalam dakwaan alternatif kesatu Penuntut
Umum: 1.Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut di atas
oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) Tahun 4
(empat) bulan.
Dalam penistaan agama, katolik dalam hukum Islam
terdakwa Aprianus Tae als. Tae dikenai hukum ta’zir, di mana
hukuman tersebut dirasa sesuai jika diterapkan. Dalam hukum
pidana Islam, hakim diperkenankan mempertimbangkan hukuman
yang akan dikenakan kepada terdakwa. Sanksi ta’zir ditetapkan
sesuai dengan tindak kejahatannya, agar tercapai tujuan sanksinya
yaitu pencegahan. Hukuman ta’zir yang sesuai dengan tindak
kejahatan terdakwa adalah hukuman ta’zir penjara. Dikarenakan
hukuman ini dikategorikan sebagai kekuasaan hakim. Persoalan
waktu lamanya hukuman penjara diserahkan sepenuhnya kepada
hakim.6
4. Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR)
Gafatar memiliki ribuan pengikut dari berbagai daerah di
seluruh Indonesia.7 Mereka menetap di Kalimantan dan menggarap
6 Mohammad Taslim Harun AL Rosyid, Tinjauan Hukum Pidana Islam
Terhadap Delik Penistaan Agama Katolik Dalam Putusan Pengadilan Negeri
Atambua (Putusan Nomor : 71/Pid.Sus/2018/PN.Atb), (Skripsi UIN Sunan
Ampel Surabaya Fakultas Syariah dan Hukum, 2019), hlm. 65. 7 https://news.okezone.com/read/2017/05/10/338/1687575/selain-ahok-ini kasus
kasuspenodaan-agama-yang-pelakunya-berujung-di-penjara diakses pada tanggal
27 Juli 2019 pukul 21. 20
![Page 77: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/77.jpg)
66
lahan kosong dengan bertani. Mereka membangun gubuk untuk
ditempati beberapa kepala keluarga. Namun, ada juga yang
menyewa rumah warga. Aktivitas mereka tertutup bagi warga
setempat. Namun, setelah kasus hilangnya dokter Rica Tri
Handayani terbongkar, aktivitas Gafatar pun terbongkar. Gafatar
diduga telah melakukan penistaan agama. Gafatar diketahui oleh
tim gabungan yang dikomandoi oleh Kejaksaan Agung merupakan
metamorfosis dari ajaran Al-Qaidah Al Islamiyah.
Dimana ajaran tersebut dilarang sejak tahun 2007 karena di
nilai sesat. Selain metamorfosis dari Al-Qaidah Al-Islamiyah, MUI
setidaknya menemukan tiga poin yang membuat Gafatar
dinyatakan sesat yaitu penokohan Musaddeq sebagai juru selamat
setelah Nabi Muhammad SAW. Selain itu, Gafatar tidak
mewajibkan pengikutnya menjalankan ibadah agama Islam yang
sebenarnya. MUI juga menemukan penafsiran ayat suci yang tidak
sesuai aqidah.
Dalam ajaran Gafatar juga ditemukan pelafalan syahadat
yang baru. Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menetapkan
tiga tersangka yaitu Musaddeq yang mengaku sebagai nabi, Andre
Cahya sebagai Presiden Negeri Karunia Semesta Alam dan Mafhul
Muis Tumanurung selaku Wakil Presiden. Ketiganya dijerat
dengan pasal penistaan agama 156a KUHP, Pasal 110 tentang
Pemufakatan untuk makar dan Pasal 64 tentang perbuatan
berlanjut. Dengan vonis hukuman Musaddeq yang mengaku
sebagai nabi 5 tahun penjara, Andre Cahya sebagai Presiden
Negeri Karunia Semesta Alam dan Mafhul Muis Tumanurung
selaku Wakil Presiden di penjara selama 3 tahun.
5. Lia Aminudin, atau Lia Eden
Mengaku sebagai imam Mahdi dan mendapat wahyu dari
malaikat Jibril, 2006 Lia -yang mengaku pernah bertemu Bunda
Maria- dijebloskan ke penjara dua kali. Pertama pada Juni 2006,
![Page 78: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/78.jpg)
67
divonis dua tahun karena terbukti menodai agama dan tiga tahun
kemudian pada 2009 juga dengan alasan yang sama setelah polisi
menyita ratusan brosur yang dinilai menodai agama. Dia di vonis
penjara 2 tahun dan 6 bulan.8
6. Penistaan Agama Hindu oleh Rurgiani
Rusgiani harus menjalani hukuman 14 bulan penjara
setelah majelis hakim memutuskan perbuatannya dinyatakan
penistaan agama. Rusgiani yang merupakan ibu rumah tangga
menyebut canang atau tempat menaruh sesajen dalam upacara
keagamaan umat Hindu dengan kata-kata najis. Pernyataan
Rusgiani bermula saat dirinya melewati rumah Ni Ketut Surati, di
Gang Tresna Asih, Jalan Puri Gadung II, Jimbaran, Badung, pada
25 Agustus 2012. Saat di depan rumah itulah, Rusgiana menyebut
canang tersebut najis.9
7. Penistaan Agama Islam oleh Ki Panji Kusmin pada 1968
Setelah rezim Sukarno tumbang seiring dengan
tersungkurnya PKI dalam pentas politik Indonesia, rezim Suharto
yang menyebut diri sebagai Orde Baru, naik tahta
menggantikannya. Namun, sebelum „lengser keprabon‟, pada 27
Januari 1965 Presiden Sukarno menerbitkan Penetapan Presiden
Republik Indonesia (Pepres) Nomor 1 tahun 1965, tentang
pencegahan penyalahgunaan dan/atau penistaan agama. Perpres ini
kemudian menetapkan menambahkan pasal penistaan agama di
dalam bab yang mengatur tentang ketertiban umum, Pasal 156 a
KUHP.10
8 http://bangka.tribunnews.com/2017/05/09/selain-kasus-ahok-inilah-kasus
kasuspenistaan-agama-yang-menghebohkan-di-indonesia, diakses pada tanggal
27 Juli 2019 pukul 21.49 9 https://news.okezone.com/read/2017/05/10/338/1687575/selain-ahok-ini-
kasuskasuspenodaan-agama-yang-pelakunya-berujung-di-penjara, diakses pada
tanggal 27 Juli 2019 pukul 21.49 10 https://news.okezone.com/read/2017/05/10/338/1687575/selain-ahok-inikasus
kasuspenodaan-agama-yang-pelakunya-berujung-di-penjara, diakses pada
tanggal 27 Juli 2019 pukul 21.58
![Page 79: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/79.jpg)
68
C. Deskripsi Kasus Penistaan Agama oleh Meliana
1. Kronologi Kasus
Bermula pada hari dan tanggal yang sudah tidak dingat lagi pada
bulan Juli 2016 sekira pukul 08.00 Wib bertempat di depan kios Jalan
Karya Lingkungan I Kelurahan Tanjungbalai Kota I Kecamatan
Tanjungbalai Selatan Kota Tanjungbalai Terdakwa mendatangi kios untuk
membeli rokok lalu Terdakwa berkata kepada Saksi KASINI Alias KAK
UO “kak tolong bilang sama uak itu, kecilkan suara Masjid itu kak, sakit
kupingku, ribut” sambil menggerakkan tangan kanannya ke kuping kanan
Terdakwa lalu Saksi KASINI Alias KAK UO menjawab “iyalah nanti
kubilangkan”, kemudian pada besoknya Saksi KASINI Alias KAK UO
mendatangi rumah ayah Saksi KASINI Alias KAK UO bernama Kasidik
dan setelah itu Saksi KASINI Alias KAK UO menyampaikan perkataan
Terdakwa tersebut kepada adik kandung Saksi KASINI Alias KAK UO
bernama Hermayanti dengan mengatakan “ooo HERI orang cina muka itu
minta kecilkan volume Masjid” lalu Saksi Hermayanti bertanya “yang
mano, siapo” lalu Saksi KASINI Alias KAK UO menjawab “istri si
ATUI” lalu Saksi Hermayanti berkata “bilangkanlah sama bapak” lalu
Saksi KASINI Alias KAK UO menjawab “malas aku, kaulah bilangkan
aku takut”, kemudian pada besok harinya Saksi Kasidik datang ke rumah
Saksi KASINI Alias KAK UO dan berkata “ada orang cina itu, datang ke
kedai kau ya” lalu Saksi KASINI Alias KAK UO menjawab “iyo ado pak,
dia minta kecilkan suara Masjid itu pak, bising dio katonya” lalu Saksi
Kasidik menjawab “iyolah nanti ku sampaikan ke BKM Masjid Al
Makhsum”.11
Kemudian pada hari Jumat tanggal 29 Juli 2016 sekira pukul 10.00
Wib Saksi Kasidik bertemu dengan Ketua BKM yakni Saksi SJAJUTI
Alias SAYUTI di Jalan Bahagia Kecamatan Tanjungbalai Selatan Kota
Tanjungbalai lalu Saksi Kasidik berkata“Pa SAYUTI, cina depan rumah
kami itu, gimana ya minta kecilkan suara volume Masjid kita itu” lalu
11 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 4.
![Page 80: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/80.jpg)
69
Saksi SJAJUTI Alias SAYUTI menjawab “ya udahlah nanti AHLI datang
ke Masjid nanti kita bicarakan di Masjid”, kemudian sekira pukul 16.00
Wib selesai Shalat Ashar Saksi Kasidik bertemu dengan Saksi SAHRIR
TANJUNG Alias PAK ER dan berkata “Er, cina depan itu minta kecilkan
volume Masjid ini, bising katanya telinganya gimana solusinya” lalu Saksi
SAHRIR TANJUNG Alias PAK ER menjawab “ya nantilah nanti kita
kasih tau sama pak Lobe dan pak Dai Lami”, kemudian sekira pukul 18.00
Wib sehabis Shalat Maghrib Saksi Kasidik bertemu dengan Pak ZUL
SAMBAS,12 Saksi HARIS TUA MARPAUNG Alias PAK LOBE dan
Saksi DAILAMI lalu Saksi Kasidik berkata “macam mana ini cina yang di
depan itu minta suara volume Masjid dikecilkan” lalu Pak ZUL SAMBAS,
Saksi HARIS TUA MARPAUNG Alias PAK LOBE dan Saksi DAILAMI
menjawab “ayok kita ke rumahnya”, kemudian sekira pukul 19.00 Wib
Saksi Kasidik, Saksi DAILAMI, Saksi HARIS TUA MARPAUNG Alias
PAK LOBE dan Pak ZUL SAMBAS pergi ke rumah Terdakwa yang
berada di Jalan Karya Lingkungan I Kelurahan Tanjungbalai Kota I
Kecamatan Tanjungbalai Selatan Kota Tanjungbalai lalu Saksi HARIS
TUA MARPAUNG Alias PAK LOBE mengetuk pintu rumah Terdakwa
dan pada saat itu anak laki-laki Terdakwa membuka pintu kecil di pintu
rumahnya lalu berkata “ada apa” lalu Saksi HARIS TUA MARPAUNG
Alias PAK LOBE menjawab “ada mamakmu” lalu anaknya menjawab
“ada” dan setelah itu Terdakwa datang lalu berkata “ada apa” lalu Saksi
HARIS TUA MARPAUNG Alias PAK LOBE berkata “ada kakak bilang
kecilkan suara Masjid itu” lalu Terdakwa menjawab dimuka/dihadapan
Saksi Kasidik, Saksi DAILAMI, Saksi HARIS TUA MARPAUNG Alias
PAK LOBE dan Pak ZUL SAMBAS “ya lah, kecilkanlah suara Masjid itu
ya bising telinga AHLI pekak mendengar itu” lalu Saksi HARIS TUA
MARPAUNG Alias PAK LOBE menjawab “jangan gitulah kalau kecil
suara volumenya gak dengar” lalu Terdakwa berkata “punya perasaanlah
12 https://amp.tirto.id/detail-kejadian-keluhan-suara-azan-dan-kerusuhan-di -
tanjung-balai cUg6, diakses pada tanggal 22 Agustus 2019 pukul 21.20
![Page 81: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/81.jpg)
70
kalian sikit” lalu Pak LOBE menjawab “kakak jangan lah gitu bercakap,
haruslah sopan sikit” dan setelah itu Saksi Kasidik, Saksi DAILAMI, Saksi
HARIS TUA MARPAUNG Alias PAK LOBE dan Pak ZUL SAMBAS
pergi ke Masjid kembali untuk Shalat Isya, setelah selesai Shalat Isya
suami Terdakwa yaitu Saksi LIAN TUI datang ke Masjid untuk meminta
maaf namun pada saat itu masyarakat di sekitar saling bercerita sehingga
masyarakat menjadi ramai. Kemudian sekira pukul 21.00 Wib Saksi
SJAJUTI Alias SAYUTI bersama Kepala Lingkungan datang ke rumah
Terdakwa dan membawa Terdakwa ke Kantor Kelurahan dan sekira pukul
23.00 Wib masyarakat semakin ramai dan berteriak “bakar…bakar” lalu
berteriak “Allahu Akbar, Allahu Akbar” dan akibat perbuatan Terdakwa
tersebut Saksi ALRIFAI ZUHERISA Alias ALDO dan Saksi BUDI
ARIYANTO bersama massa lainnya melempari dan merusak rumah
Terdakwa serta Vihara / Pekong yang ada di Kota Tanjungbalai.13
Kemudian atas kejadian tersebut, pada tanggal 2 Desember 2016,
Saksi HARIS TUA MARPAUNG, Saksi Drs. DAILAMI, M.Pd. dan Saksi
Rifai membuat Surat Pernyataan tertanggal 02 Desember 2016 perihal
meminta kepada Pihak Kepolisian agar melakukan penyidikan terhadap
Saudari MELIANA yang telah kami anggap melakukan pelecehan,
penistaan serta menyatakan rasa benci terhadap kegiatan Ibadah Agama
Islam di Masjid AlMaksum Jalan Karya Tanjungbalai, dan ditandatangani
di atas materai enam ribu. - Kemudian pada tanggal 14 Desember 2016,
Aliansi Mahasiswa dan masyarakat Independent Bersatu (AMMIB)
mengajukan Surat kepada Ketua MUI Kota Tanjungbalai dengan Surat
Nomor : Ist/038/B/AMMIB-TB/XII/2016 tanggal 14 Desember 2016,
perihal Mohon Audiensi Dan Fatwa MUI Terkait Dugaan Penistaan
Agama Yang Dilakukan Oleh Seorang Etnis Tionghoa Bernama
MELIANA.14
13 https://www.google.co.id/amp/s/nasional.tempo.co/amp/1119663/ini
kronologi-kasus-penistaan-agama-meliana-di-tanjung-balai, diakses pada tanggal
22 Agustus 2019 pukul 21.25 14 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 6.
![Page 82: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/82.jpg)
71
Selanjutnya pada tanggal 19 Desember 2016, MUI Kota Tanjung
Balai telah melaksanakan rapat Komisi Fatwa DP. MUI Kota Tanjungbalai
dan memutuskan Memohon Fatwa dari DP. MUI Propinsi Smatera Utara
atas penistaan agama tersebut dengan menerbitkan Surat Nomor :
A.056/DP2/MUI/XII/2016 tanggal20 Desember 2016 tentang Mohon
Fatwa Penistan Agama yang melampirkan :
1. Surat dari Aliansi Mahasiswa dan masyarakat Independent Bersatu
(AMMIB) Nomor: Ist/038/B/AMMIB-TB/XII/2016 tanggal 14
Desember 2016, perihal Mohon Audiensi dan Fatwa MUI terkait
dengan penistaan agama yang dilakukan oleh Etnis Tionghoa
bernama MELIANA.
2. Surat Pernyataan dari HARIS TUA MARPAUNG, Drs.
DAILAMI, Mpd dan Rifai tertanggal 02 Desember 2016 yang
ditandatangani di atas materai enam ribu.
Bahwa pada tanggal 4 Januari 2017, Aliansi Mahasiswa dan
masyarakat Independent Bersatu (AMMIB) pun mengajukan Surat
langsung kepada Ketua MUI Propinsi Sumatera Utara denganSurat Nomor
: Ist/049/B/AMMIB-TB/I/2017 tanggal 04 Januari 2017, perihal Mohon
Fatwa MUI Terkait Dugaan Penistaan Agama Yang Dilakukan Oleh
Seorang Etnis Tionghoa Bernama MELIANA.
Bahwa Komisi Fatwa MUI Provinsi Sumatera Utara telah
melaksanakan Rapat mulai tanggal 3 Januari 2017 sampai dengan tanggal
24 Januari 2017, bertempat di Ruang Rapat MUI Propinsi Sumatera Utara
Jalan Maj Jalan Majelis Ulama No. 3 / Sutomo Ujung Kota Medan, yang
dihadiri oleh pakar bahasa dan hukum serta Komisi Fatwa MUI Propinsi
Sumatera Utara dan pada hari Selasa tanggal24 Januari 2017, Komisi
Fatwa MUI Provinsi Sumatera Utara telah menghasilkan Fatwa yaitu
KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) Propinsi
SUMATERA UTARA Keputusan Nomor:001/KF/MUI-SU/I/2017 tanggal
24 Januari 2017, tentang PENISTAAN AGAMA ISLAM OLEH
![Page 83: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/83.jpg)
72
SAUDARI MELIANA DI KOTA TANJUNGBALAI, dengan kesimpulan
sebagai berikut :
menetapkan : Fatwa tentang Penistaan Agama yang dilakukan oleh
Sdri MELIANA di Kota Tanjungbalai.
Pertama : Ketentuan hukum :
a. Adzan yang dikumandangkan di Masjid adalah syariat agama
Islam yang dikumandangkan sebagai tanda masuk waktu Shalat
dan atau menyuruh umat Islam untuk melaksanakan Shalat .
b. Ucapan/ujar yang disampaikan oleh Sdri Meliana atas suara
Adzan yang berasal dari Masjid Al-Maksum Jalan Karya Kota
Tanjungbalai Pada tanggal 29 Juli 2016 PERENDAHAN DAN
PENISTAAN TERHADAP SUATU AGAMA ISLAM.
Kedua : Rekomendasi :
a. Kepada pihak Kepolisian untuk segera menindaklanjuti proses
penegakan hukum atas saudari MELIANA sesuai dengan
peraturan dan perundang-udangan yang berlaku;
b. Kepada seluruh umat Islam, khususnya kaum muslimin Kota
Tanjungbalai dihimbau untuk tidak terpropokasi dan
melakukan aksi-aksi anarkis serta agar tetap menjaga
kondusifitas kerukunan dan toleransi antar umat beragama di
Kota Tanjungbalai;
c. Kepada seluruh Umat Islam, khususnya kaum muslimin Kota
Tanjungbalai agar menyerahkan proses hukum sepenuhnya
kepada pihak yang berwajib dalam menyelesaikan masalah ini
sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.15
2. Unsur-Unsur Penistaan Agama yang Dilakukan oleh Ibu Meliana
Unsur-unsur sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 156a huruf (a)
KUHPidana, yakni:16
15 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 7. 16 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 77.
![Page 84: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/84.jpg)
73
Unsur Subjektif : Dengan Sengaja.
Unsur Objektif :
a) Di muka umum.
b) Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan.
c) Bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penistaan terhadap suatu
agama yang dianut di Indonesia.
Sedangkan, unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 156 KUHPidana
meliputi :
a) Unsur Objektif
b) Di muka umum ;
c) Menyatakan atau memberikan pernyataan ;
d) Mengenai perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan.
e) Terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negera
Indonesia.
Meskipun Undang-undang tidak mencantumkan unsur kesengajaan
(unsur subektif), namun sudah cukup jelas bahwa tindak pidana yang
diatur dalam Pasal 156 KUHPidana tetap mensyaratkan perbuatan itu
harus dilakukan dengan sengaja.17
Bahwa benar yang dimaksud dengan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia adalah Fatwa berasal dari bahasa Arab, yang artinya adalah
sebuah pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan
hukum Islam. Menurut Peraturan Presiden Nomor 151 Tahun 2014
Tentang Bantuan Pendanaan Kegiatan Majelis Ulama Indonesia,
dinyatakan bahwa Majelis Ulama Indonesia atau disingkat dengan MUI
adalah sebagai wadah musyawarah para ulama, pemimpin dan
cendekiawan muslim dalam mengayomi umat dan mengembangkan
kehidupan yang Islami serta meningkatkan partisipasi umat Islam dalam
pembangunan nasional. Dengan demikian, yang dimaksud dengan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah keputusan ataupun pendapat yang
17 Arsil dkk, Penafsiran Terhadap Pasal 156A Huruf a KUHP Tentang Penodaan
Agama (Analisis Hukum dan Hak Asasi Manusia), (Jakarta: LeIP, 2018), hlm. 60.
![Page 85: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/85.jpg)
74
diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia yang berkaitan dengan suatu
masalah kehidupan umat beragama khususnya agama Islam.
Bahwa dapat dijelaskan kedudukan sebuah fatwa dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia merujuk pada hirarki peraturan perundang-
undangan, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka
kedudukan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukanlah merupakan
suatu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Fatwa Majelis Ulama Indonesia hanya mengikat dan
ditaati oleh umat Islam yang merasa mempunyai ikatan terhadap Majelis
Ulama Indonesia (MUI) itu sendiri. Dengan kata lain, Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) tidak punya legalitas untuk memaksa harus di
taati oleh seluruh umat muslim.Namun demikian, sekalipun Fatwa Majelis
Ulama Indonesia bukan merupakan suatu jenis peraturan perundang-
undangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagaimana
yang dijelaskan diatas, akan tetapi dalam konteks penegakan hukum
bahwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bisa di jadikan sebagai
keterangan ahli atau pendapat (doktrin), guna pembuktian kasus konkret
individual (in concreto);18
Bahwa unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 156 KUHPidana
dan Pasal 156a Huruf a KUHPidana pada dasarnya merupakan satu
kesatuan yang tak terpisahkan dan sebagaimana yang telah diuraikan pada
point 7 diatas, kiranya perlu terlebih dahulu disampaikan dan di jelaskan
kembali menyangkut unsur-unsur tindak pidana (unsur objektif) yang
terkandung dalam Pasal 156 KUHPidana jo Pasal 156a Huruf (a)
KUHPidana yaitu berupa: - Bahwa di muka umum atau in het openbaar.
Maksud perkataan “ Di Muka umum “ adalah tempat-tempat umum yaitu
tempat-tempat yang dapat didatangi oleh setiap orang. Akan tetapi, istilah
di muka umum, bukan berarti selalu di tempat umum, melainkan juga
18 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 78.
![Page 86: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/86.jpg)
75
dapat meliputi satu rumah kediaman dengan dihadiri oleh banyak orang,
sudah termasuk ke dalam unsur di muka umum.
Bahwa menyatakan atau memberi pernyataan atau Uiting Geven.
Kata “Uiting “ berasal dari kata “Uiten“ yang diartikan sebagai perbuatan
yang menunjukan perasaannya ( Zijn govoelen tekenengeven ). Perbuatan
yang menunjukan perasaan itu dapat dilakukan dengan kata-kata (lisan),
melainkan juga dapat dilakukan dengan tindakan. Dengan demikian, kata
Uiting Geven atau menyatakan sesuatu itu juga harus dipandang sebagai
dapat dilakukan, baik dengan lisan maupun dengan tindakan.
Bahwa mengenai perasaan. Maksud perkataan perasaan disini
berupa menyatakan sesuatu perasaan yang diliputi adanya emosi (amarah),
kebencian yang menimbulkan permusuhan atau penghinaan/penistaan atau
merendahkan terhadap satu golongan penduduk atau suatu agama yang
dianut di Indonesia.
Bahwa menyangkut dengan golongan penduduk. Tentang apa yang
dimaksud dengan golongan penduduk, undang-undang telah memberikan
penafsiran secara outhentik yakni setiap bagian dari penduduk Indonesia
yang mempunyai perbedaan dengan yang satu dengan yang lainnya, yaitu
yang terdiri dari :
1) Ras, yakni segolongan orang yang terdiri dari individu-individu yang
mempunyai keterikatan yang erat antara yang satu dengan yang
lainnya. Misalnya : karena memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang
sama.
2) Landraad, yang sebenarnya diartikan sebagai penduduk, akan tetapi
juga diartikan sebagai kebangsaan.
3) Agama, dalam hal ini maka agama yang dimaksud adalah Islam,
Kristen Protestan, Kristen Khatolik, Budha, Hindhu, Kongucu dan
aliran kepercayaan.
Bahwa tindak pidana yang diatur pada 156 KUHPidana Jo Pasal
156a Huruf (a) KUHPidana dapat dimasukan ke dalam kelompok tindak
pidana penghinaan. Oleh sebab, pada penistaan/penistaan mengandung
![Page 87: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/87.jpg)
76
sifat penghinaan terhadap agama bagi umat agama yang menganut agama
yang bersangkutan. Selain itu, tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156a
KUHPidana dan Pasal 156 KUHPidana mengandung unsur yang bersifat
alternatif dan bukannya kumulatif. Artinya, jika salah satu unsur telah
terpenuhi, maka perbuatan itu dapat dikenakan Pasal 156a huruf a
KUHPidana dan Pasal 156 KUHPidana.19
D. Kualifikasi Delik Penistaan Agama Menurut Dakwaan JPU
Bahwa ia terdakwa Meliana pada hari jumat tanggal 29 juli 2016
sekitar pukul 19.00 WIB atau setidak – tidaknya pada waktu tertentu dalam
bulan juli 2016 bertempat di Jalan Karya Lingkungan I, Kelurahan Tanjung
Balai Kota I, Kecamatan Tanjung Balai Selatan, Kota Tanjung balai atau
setidak – tidaknya pada suatu tempat tertentu yang masih termasuk di dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Balai. Mendatangi kios untuk
membeli rokok lalu terdakwa berkata kepada Kasini atau KAK UO “kak,
tolong bilang sama uak itu kecilkan suara masjid itu kak, sakit kupingku,
ribut.” Sambal menggerakkan tangan kanannya ke kuping kanan.
Kemudian pada hari Jum’at jam 19.00 saksi Kasidik, saksi Dailami,
saksi Haris Tua Marapaung alias Pak Lobe mendatangi rumah terdakwa dan
menanyakan “apakah di rumah ini ada yang keberatan dengan suara adzan?”
kemudian terdakwa menjawab “iyalah, kecilkan suara masjid itu yah. Bising
telinga mendengar itu.” Kemudian perbuatan terdakwa Meliana tersebut
sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai dengan pasal 156 KUHPidana.
Keterangan dari saksi Dailami yang menyatakan bahwa mendengar
Meliana mengatakan “kita sudah sama-sama dewasa ini negara hukum, itu
masjid bikin telinga pekak, sakit kuping, hari-hari ribut, pagi ribut, siang ribut,
malam ribut, bikin gua tidak tenang.” Di rumah Meliana. Selanjutnya sekira
pukul 19.45 wib pada saat dikumandangkannya adzan isya’ kemudian saksi
melihat terdakwa keluar dari rumahnya dan berdiri depan pintu sambil
19 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 80.
![Page 88: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/88.jpg)
77
mengatakan dengan suara keras, “itulah yang bikin pokak itu.” Lalu terdakwa
masuk ke rumahnya sambil menghempaskan pintu.
Bahwa pada saat rapat mediasi dilakukan, Lurah Tanjungbalai Kota I
meminta kepada Terdakwa maupun suaminya Lian Tui beberapa hal untuk
disepakati bersama, yaitu:
a) Agar Terdakwa dan suaminya segera meminta maaf kepada Jamaah
Masjid Al-Maksum serta pihak Terdakwa juga harus membuat sebuah Surat
Pernyataan sehubungan dengan kejadian peristiwa ini untuk tidak lagi menjadi
berkembang luas dan menjadi perkara besar;
b) Bahwa untuk demi keamanan Terdakwa Merliana dan suaminya,
maka Terdakwa dianjurkan untuk sementara meninggalkan tempat
tinggal/rumah Terdakwa di Jalan Karya Lingkungan I yang letaknya
berhadap-hadapan langsung dengan Masjid Al-Maksum.
Bahwa ketika rapat mediasi dan klarifikasi di Kantor Kelurahan belum
selesai, Terdakwa MELIANA kurang menerima masukan dari Lurah agar
Terdakwa dan keluarganya pergi meninggalkan rumahnya untuk sementara
karena situasi masih belum aman dan kondusif.20
Pernyataan dari saksi ahli Dr. Akmaludin Syahputra menjelaskan dasar
dan acuan sehingga berpendapat bahwa ucapan atau ujaran yang disampaikan
terdakwa atas suara adzan adalah perendahan dan penistaan agama karena
azdan adalah seruan untuk mengajak orang melakukan sholat, dan suara dari
masjid seperti adzan adalah syiar dan bagian dari ritual agama Islam.
Ahli menjelaskan instruksi direktur jendral bimbingan masyarakat
Islam Nomor : KEP/D/101/78 tanggal 17 Juli 1978 tentang tuntutan
penggunaan pengeras suara di masjid. Bahwa tindak pidana yang diatur pada
156 KUHPidana Jo Pasal 156a Huruf (a) KUHPidana dapat dimasukan ke
dalam kelompok tindak pidana penghinaan. Oleh sebab, pada
penistaan/penistaan mengandung sifat penghinaan terhadap agama bagi umat
agama yang menganut agama yang bersangkutan. Selain itu, tindak pidana
yang diatur dalam Pasal 156a KUHPidana dan Pasal 156 KUHPidana
20 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 24.
![Page 89: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/89.jpg)
78
mengandung unsur yang bersifat alternatif dan bukannya komulatif. Artinya,
jika salah satu unsur telah terpenuhi, maka perbuatan itu dapat dikenakan
Pasal 156a huruf a KUHPidana dan Pasal 156 KUHPidana.21
E. Tuntutan JPU
1. Menyatakan Terdakwa MELIANA terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja di muka umum
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penistaan terhadap suatu
agama yang dianut di Indonesia sebagaimana dalam dakwaan Primair
Penuntut Umum.
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan hukuman
penjara selama 1 (SATU) TAHUN 6 (ENAM) BULAN dikurangi selama
Terdakwa berada dalam penahanan sementara.
3. Menetapkan barang bukti berupa : 2 (dua) buah TOA / Pengeras Suara
merek TOA warna biru. 1 (satu) buah Ampli merek TOA warna hitam.
Dikembalikan kepada BKM (Badan Kemakmuran Masjid) Masjid
AlMaksum melalui SJAJUTI Alias SAYUTI selaku Ketua BKM Masjid
AlMaksum.
a) Surat dari MUI Tanjung Balai Nomor : A.056/DP-
2/MUI/XII/2016 tanggal 20 Desember 2016 tentang Mohon
Fatwa Penistan Agama.
b) Surat dari Aliansi Mahasiswa dan masyarakat Independent
Bersatu (AMMIB) Nomor : Ist/049/B/AMMIB-TB/I/2017,
tentang Mohon Fatwa MUI terkait dengan penistaan agama
yang dilakukan oleh Etnis Tionghoa bernama MELIANA.
c) Surat Pernyataan dari HARIS TUA MARPAUNG, Drs.
DAILAMI, Mpd dan Rifai tertanggal 02 Desember 2016 yang
ditandatangani di atas materai enam ribu.
d) Disposisi dari Dewan Pimpinan MUI ke Komisi Fatwa.
e) Daftar Absen dalam melakukan rapat Komisi Fatwa.
21 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 58.
![Page 90: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/90.jpg)
79
f) Surat Permintaan / Penunjukan tenaga Ahli bahasa dan Ahli
Tindak Pidana. SK Dewan Pimpinan MUI Nomor : U-
596/MUI/IX/1997.
g) Pedoman penetapan fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor : Istimewa/VII/2012.
h) Dikembalikan kepada MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Provinsi Sumatera Utara melalui Dr. AKMALUDDIN
SYAHPUTRA, M.Hum selaku Sekretaris Komisi Fatwa M.U.I
(Majelis Ulama Indonesia) Provinsi Sumatera Utara.
4. Menetapkan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp 5.000,- (lima ribu rupiah).22
F. Vonis Hukum
Mengadili:
1. Menyatakan Terdakwa MELIANA telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja dimuka
umum melakukan penistaan terhadap suatu agama yang dianut di
Indonesia” sebagaimana dalam dakwaan Primair Penuntut Umum.
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan hukuman
penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan;
3. Menetapkan waktu selama terdakwa ditahan dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan ;
4. Menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;
5. Mengembalikan dan Menetapkan barang bukti berupa : 2 (dua) buah TOA
/ Pengeras Suara merek TOA warna biru dan 1 (satu) buah Ampli merek
TOA warna hitam kepada BKM (Badan Kemakmuran Masjid) Masjid Al-
Maksum melalui SJAJUTI Alias SAYUTI selaku Ketua BKM Masjid Al-
Maksum.
6. Dikembalikan kepada MUI (Majelis Ulama Indonesia) Provinsi Sumatera
Utara melalui Dr. AKMALUDDIN SYAHPUTRA, M.Hum selaku
22 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 2-3.
![Page 91: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/91.jpg)
80
Sekretaris Komisi Fatwa M.U.I (Majelis Ulama Indonesia) Provinsi
Sumatera Utara.
(a) Surat dari MUI Tanjung Balai Nomor : A.056/DP-2/MUI/XII/2016
tanggal 20 Desember 2016 tentang Mohon Fatwa Penistan Agama.
(b) Surat dari Aliansi Mahasiswa dan masyarakat Independent Bersatu
(AMMIB) Nomor : Ist/049/B/AMMIB-TB/I/2017, tentang Mohon
Fatwa MUI terkait dengan penistaan agama yang dilakukan oleh Etnis
Tionghoa bernama MELIANA.
(c) Surat Pernyataan dari HARIS TUA MARPAUNG, Drs. DAILAMI,
Mpd dan Rifai tertanggal 02 Desember 2016 yang ditandatangani di
atas materai enam ribu.
(d) Disposisi dari Dewan Pimpinan MUI ke Komisi Fatwa.
(e) Daftar Absen dalam melakukan rapat Komisi Fatwa.
(f) Surat Permintaan / Penunjukan tenaga Ahli bahasa dan Ahli Tindak
Pidana. SK Dewan Pimpinan MUI Nomor : U-596/MUI/IX/1997.
(g) Pedoman penetapan fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Nomor : Istimewa/VII/2012.
7. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkarasebesar
Rp 5.000,- (lima ribu rupiah).23
23 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 95-96.
![Page 92: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/92.jpg)
81
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN PN MEDAN NOMOR : 1612/PID.B/2018/PN MDN
A. Sekilas Tentang Fatwa MUI Nomor: 001/KF/MUI-SU/I/2017
MUI dalam memutus atau mengeluarkan fatwa yang dimintakan
terhadap kasus meliana menggunakan berbagai sudut pandang sehingga
memberikan kesimpulan sebagaimana yang telah tertulis didalam
fatwanya. Dalam pendekatan studi berbagai macam teori hukum kita kenal
diantaranya yaitu teori kepastian hukum.
Teori kepastian hukum menjelaskan bahwa hukum sebagaimana
aturan yang harus dijalanani memerintah secara memaksa serta memiliki
sanksi apabila dilanggar mengakibatkan semua warga negara yang
bersangkutan harus memahaminya tanpa terkecuali karena hukum pun
dipandang sebagai pelindung bagi sesama warga negara. Maka semua
aturan atau hukum tersebut harus memiliki aturan yang dipositifisme kan
secara jelas dan diakui keberadaannya
Memutuskan suatu permasalahan yang mengakibatkan berubahnya
status hukum seseorang tidak bisa akhirnya digunakan kesepakatan belaka
tanpa menggunakan hukum itu sendiri. Dengan hukum pun, masih banyak
terjadi konflik sosial karena dianggap tidak adil sehingga nilai hukum
sebagai alat terciptanya keadilan menjadi terdistorsi dan tereduksi
Proses pembentukan fatwa MUI terhadap kasus penistaan agama
ini boleh jadi mirip-mirip dengan hal ini yaitu memastikan dimana titik
penistaan agama itu terjadi. Penelaahan MUI dalam menggunakan dalil
yang digunakan oleh umat islam (alquran, hadits) harus dibuktikan dengan
dasar dasar hukum yang jelas. Ditambah lagi pendapat-pendapat ulama
yang dimana sebagai penginterpretasian terhadap kasus yang pernah
terjadi sebelumnya atau sedang terjadi dengan menggunakan kaidah ushul
fikih tertentu.
Secara unsur agama (islam) telah dibuktikan bagaimana meliana
dianggap bersalah dan menistakan agama maka selanjutnya pembuktian
![Page 93: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/93.jpg)
82
lewat hukum positif. Sebelum masuk kedalam ranah hukum positif MUI
terlebih dahulu memberikan kesimpulan bahwa dalam hukum positif pun
meliana dianggap menistakan agama. Mengapa demikian? Karena
menggunakan rumusan hukum islam saja belum cukup memberikan solusi
sosial. Bisa saja akhirnya ketika dilakukan keputusan menurut agama
islam perkataan meliana menyinggung dan menistkan umat islam hal yang
radikal dapat terjadi.
Mengundang para pakar dari pakar bahasa maupun pakar hukum
pidana yang melalui keahliannya dibidang hukum juga dibuktikan bahwa
memang benar perkataan ibu meliana melanggar toleransi beragama
melalui penafsiran dari sisi bahasa maupun unsur hukum pidana. Setelah
memberikan kesimpulan baik secara agama maupun hukum positif
kewenangan MUI meneruskan fatwa tersebut kepada kepolisian agar
memberikan kepastian bahwa yang bersangkutan diproses melalui hukum
yang berlaku (hukum positif).
Hal ini sekaligus memberikan pandangan bahwa fatwa MUI tidak
hanya diputus melalui pendapat lembaga keagamaan saja tetapi juga
diberikan kepada lembaga hukum yang secara positif hukum diakui
kekuatannya sehingga tidak ada main hakim sendiri dalam sosial
masyarakat.
Fatwa seperti yang telah diulas di bab-bab sebelumnya yang
dikeluarkan oleh MUI turun berdasarkan adanya permintaan dari
masyarakat yang belum ada ketetapan hukumnya secara terperinci dan
dengan jelas. Fatwa MUI yang juga dikeluarkan melalui prosedur
penetapan fatwa menandakan adanya proses didalam pembentukan dan
penetapan fatwa.
Begitu juga pada kasus penistaan agama dikota tanjung balai yang
dilakukan oleh saudari Meliana dalam fatwa yang dikeluarkan oleh MUI
Sumatera Utara Nomor: 001/KF/MUI-SU/I/2017 terdapat kronologi yang
dimana adanya surat dari Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Independent
![Page 94: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/94.jpg)
83
Bersatu (AMMIB) yang meminta fatwa kepada MUI Kota Tanjung Balai
nomor: A.056/DP/2/MUI/XII/2016.
Pedoman penetapan fatwa komisi fatwa Majelis Ulama Nomor:
Istimewa/VII/2012 pada pasal 4 poin 2 bahwa proses penetapan fatwa
bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif. Menandakan fatwa yang
dimintakan dan dikeluarkan MUI harus bisa menjadi solusi permasalahan
sosial yang terjadi didalam lingkungan agama bangsa dan negara. Dalam
hal ini yaitu kasus penistaan agama yang dilakukan saudari Meliana pada
bulan juli 2016 telah terjadi berlarut-larut didalam masyarakat dan
mengakibatkan proses main hakim sendiri didalam lingkungan masyarakat
tempat ibu Meliana tinggal.
Melalui transkrip percakapan antara pengurus masjid dengan anak
Meliana yang menyatakan keberatan dengan suara azan yang menurutnya
bising membuat ribut dan membuat tidak tenang. Dengan mengambil
dasar rujukan kepada Firman Allah swt. dalam surah al-Jumu’ah ayat 9:
ير لهكم لكم خا ذاروا البايعا ذا وا ة من ياوم الجمعاة فااسعاوا إلاى ذكر للاه نوا إذاا نوديا للصه لا ا الهذينا آما ياا أايها
تاعلامونا 1 إن كنتم
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jumat, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.”
Dan menggunakan hadits nabi Muhammad saw
فإذا حضرت الصالة فليؤذن لكم أحدكم وليؤمكم أكربكم2
“Apabila waktu salat telah tiba, maka hendaklah salah seorang di antara
kamu azan untuk (salat)mu dan hendaklah yang tertua di antara kamu
bertindak sebagai imam bagi kalian”. (HR. al-Bukhari)
Juga pendapat ulama yang menjadi rujukan fatwa MUI yakni
Pendapat Abu Ishaq as-Syirazi:
1 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil Qur’an,
2007), hlm. 554. 2 Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari Juz I, (Beirut: Daar Ibnu
Katsir, 2002), hlm. 226.
![Page 95: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/95.jpg)
84
األذان واإلقامة سنة يف الصلوات ادلكتوبة3
“Azan dan iqamah adalah suatu hal yang biasa dilakukan oleh Nabi saw.
pada salat fardhu”.
Tidak hanya mengambil rujukan terhadap sumber hukum islam
fatwa MUI pun mengutip rujukan yang biasa digunakan warga negara
Indonesia dalam mendefinisikan sebuah kata yaitu kamus besar Bahasa
indonesia Pengertian azan menurut bahasa Indonesia adalah : “Seruan
untuk mengajak orang melakukan salat”.4
Kemudian didalam menetapkan fatwanya MUI juga mengundang
para pakar yang ahli dalam menentukan suatu perkara seperti pernyataan
pendapat ahli bahasa Prof. Dr. Khairil Ansari, M.Pd (Guru Besar
UNIMED Medan)5 yang disampaikannya pada rapat Komisi Fatwa MUI
Provinsi Sumatera Utara pada hari Selasa, 24 Januari 2017/ 25 Rabiulakhir
1438 H.
Menurutnya perkataan Meliana mengandung unsur penistaan
agama dan merendahkan umat islam karena menghina simbol umat islam,
yaitu azan dan menganggap suara azan bikin ribut dan membuat tidak
tenang hal ini merupakan bahasa atau kalimat yang dianggap sebagai
merendahkan.
MUI juga menempatkan pakar hukum pidana sebagai salah satu
pertimbangan dimana fatwa itu dirumuskan seperti perkataan pendapat
ahli hukum pidana Dr. Hamdan, SH., MH (Dosen Hukum Pidana USU)6
yang disampaikannya pada rapat Komisi Fatwa MUI Provinsi Sumatera
Utara pada hari Selasa, 24 Januari 2017/ 25 Rabiulakhir 1438 H
menyatakan bahwa, ucapan saudari Meliana merupakan sebuah sikap
intoleran terhadap agama lain dan merusak kerukunan umat beragama
3 Abu Ishaq as-Syirazi, at-Tanbih, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 23. 4 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2007), hlm. 81. 5 Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan Agama Islam
Oleh Saudari Meliana di Kota Tanjung Balai, hlm. 7. 6 Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan Agama Islam
Oleh Saudari Meliana di Kota Tanjung Balai, hlm. 8.
![Page 96: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/96.jpg)
85
yang ada di Indonesia. Menurutnya pula ucapan saudari Meliana telah
memenuhi unsur penistaan agama UU N0.01/PNPS/1965 sub pasal 156a
tentang Pencegahan dan atau Penodaan Agama.
Melalui proses penetapan fatwa yang di dasarkan pada beragam
objek kajian dari sumber hukum islam, pendapat ulama, pendapat bahasa,
dan ahli hukum positif fatwa MUI bukanlah produk yang dikeluarkan
untuk kebaikan umat islam saja tapi juga melihat manfaatnya untuk negara
secara menyeluruh. Hal tersebut yang kemudian menyebabkan dibawanya
fatwa MUI Sumatera Utara ini kepada kepolisian untuk selanjutnya
dijadikan alat bukti oleh kepolisian.
B. Sekilas Tentang Putusan Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn
Teori piramida hukum yang digunakan hans kelsen merupakan
teori dimana dipaparkan jenis-jenis peraturan yang berlaku di sebuah
negara melalui kekuataan hukum dan tingkatannya. Dalam menguatkan
suatu kesimpulan hukum perlu diperhatikan dalam satu tingkatan
peraturan apakah bertentangan dengan peraturan lain atau tidak.
Hukum dibuat bertingkat dalam penerapannya memang mencegah
hal yang berlawanan atau kontradiktif dalam suatu undang undang terjadi.
Karena akan menjadi suatu pertanyaan bahwa aturan hukumnya tidak jelas
namun dapat menghukumi secara jelas hal itulah yang harus diperhatikan
majelis hakim dalam mengadili perkara. Menggunakan pisau analisis dari
atas ke bawah atau sebaliknya pun bisa tergantung bagaimana kita melihat
hukum itu darimana.
Dalam putusan ini majelis hakim memuat dari UUD 1945 sampai
keputusan dirjen kementerian agama mengenai penggunaan pengeras suara
dalam masjid pertama untuk memastikan tidak ada tumpang tindih satu
sama lain antar hukum yang berlaku yang kedua membuktikan adanya
penguatan diantara peraturan-peraturan yang digunakan karena sah atau
tidaknya suatu pertauran bergantung pada peraturan diatasnya.
Tujuannya jelas bahwa dalam menetapkan putusan terhadap kasus
meliana agar tidak bertentangan dengan aturan hukum lain serta
![Page 97: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/97.jpg)
86
memastikan meliana diputus sesuai hukum yang berlaku dengan
kewenangan hakimnya.
Majelis hakim dalam memutuskan perkara pidana nomor:
1612/Pid.B/2018/PN Mdn. Majelis hakim pengadilan negeri medan
mempertimbangkan, apakah berdasarkan fakta-fakta hukum yang
diuraikan pada putusan, terdakwa dapat dinyatakan sah dan meyakinkan
telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Majelis hakim dalam memutuskan suatu perkara dituntut suatu
keadilan dan untuk itu hakim melakukan penilaian terhadap peristiwa dan
fakta-fakta yang ada apakah benar-benar terjadi. Hal ini hanya dapat
dilihat dari pembuktian (konstatering), mengklarifikasi antara yang
penting dan tidak, dan menanyakan kembali pada pihak lawan mengenai
keterangan saksi-saksi dan fakta-fakta yang ada dalam persidangan.
Berdasarkan fakta tersebut diatas maka selanjutnya
dipertimbangkan unsur pasal yang didakwakan kepada terdakwa dimana
terdakwa didakwa melanggar Pasal 156 KUHPidana dengan unsur-unsur
delik pasal yang menurut KUHPidana terjemahan Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM Republik
Indonesia dirumuskan sebagai berikut:7
1. Barangsiapa;
2. Dengan Sengaja;
3. Di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang
pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Sedangkan, unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 156
KUHPidana meliputi:8
- Unsur Objektif
- Di muka umum
- Menyatakan atau memberikan pernyataan
7 Salinan Putusan PN Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 87. 8 Salinan Putusan PN Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 77.
![Page 98: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/98.jpg)
87
- Mengenai perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan.
- Terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negera
Indonesia.
Meskipun Undang-undang tidak mencantumkan unsur kesengajaan
(unsur subektif), namun sudah cukup jelas bahwa tindak pidana yang
diatur dalam Pasal 156 KUHPidana tetap mensyaratkan perbuatan itu
harus dilakukan dengan sengaja.
Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 156 KUHPidana dan
Pasal 156a Huruf a KUHPidana pada dasarnya merupakan satu kesatuan
yang tak terpisahkan dan sebagaimana yang telah diuraikan, kiranya perlu
terlebih dahulu disampaikan dan dijelaskan kembali menyangkut unsur-
unsur tindak pidana (unsur objektif) yang terkandung dalam Pasal 156
KUHPidana jo Pasal 156a Huruf (a) KUHPidana.9
Di muka umum atau in het openbaar. Maksud dari perkataan “di
muka umum” adalah tempat-tempat umum yaitu tempat-tempat yang dapat
di datangi oleh setiap orang. Akan tetapi, istilah di muka umum, bukan
berarti selalu di tempat umum, melainkan juga dapat meliputi satu rumah
kediaman dengan di hadiri oleh banyak orang, sudah termasuk ke dalam
unsur di muka umum.
Tindak pidana yang diatur pada 156 KUHPidana Jo Pasal 156a
Huruf (a) KUHPidana dapat dimasukan ke dalam kelompok tindak pidana
penghinaan. Oleh sebab itu, pada penodaan/penistaan mengandung sifat
penghinaan terhadap agama bagi umat agama yang menganut agama yang
bersangkutan. Selain itu, tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156a
KUHPidana dan Pasal 156 KUHPidana mengandung unsur yang bersifat
alternatif dan bukannya komulatif. Artinya, jika salah satu unsur telah
terpenuhi, maka perbuatan itu dapat dikenakan Pasal 156a huruf a
KUHPidana dan Pasal 156 KUHPidana.10
9 Salinan Putusan PN Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 78. 10 Salinan Putusan PN Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 80.
![Page 99: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/99.jpg)
88
Atas unsur – unsur tersebut maka Majelis Hakim memberikan
pertimbangan bahwa saudari Meliana mengutarakan hal yang bersifat
permusuhan, merendahkan dan menistakan agama, yang dibuktikan
dengan fakta didalam persidangan bahwa diketahui azan adalah simbol
umat islam melaksanakan ibadahnya dan merupakan sarana untuk
menyebarluaskan waktu shalat.
Fakta yang kemudian ditambahkan dengan saudari Meliana
mendatangi warung untuk menyampaikan keluhan dan keresahannya
kepada anak pemilik warung yang juga pengurus masjid al Maksum yang
diartikan sebagai sebuah kesengajaan untuk menyampaikan
ketidakterimaannya terhadap suara azan pada pukul 07.00 WIB yang
dimana, ketika itu tidak ada azan berkumandang, sehingga perasaan
ketidaknyamanannya diungkapkan dengan sengaja kepada pengurus
masjid.11
Suatu hari ketika pengurus masjid datang kerumah untuk meminta
klarifikasi terhadap saudari Meliana, disambut dengan nada yang ketus
dari Meliana. Ia memang mengatakan suara azan itu bikin ribut, bikin
tidak tenang. Sampai ketika pada saat waktu yang bersamaan
berkumandangnya azan isya dan para pengurus masjid tersebut bergegas
menuju masjid, ibu Meliana keluar rumah dan mengemukakan hal-hal
yang bersifat permusuhan dan penistaan terhadap agama islam.
Sehingga berdasarkan segenap pertimbangan tersebut maka
segenap unsur dalam pasal dakwaan primair telah terpenuhi oleh terdakwa,
dan perbuatannya sehingga telah terbukti dakwaan jaksa penuntut umum
tersebut secara sah dan meyakinkan dipersidangan.
Kemudian oleh karena itu pula segenap alasan pleidoi terdakwa
dan penasehat hukumnya yang pada pokoknya menyatakan tidak
terbuktinya terdakwa melakukan perbuatan dalam perkara ini
dikesampingkan oleh majelis hakim.12 Sebelum dijatuhkan putusan
11 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 90. 12 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 94.
![Page 100: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/100.jpg)
89
dipertimbangkan hal yang memberatkan dan yang meringankan yang ada
pada diri dan atau perbuatan terdakwa yaitu sebagai berikut:
Hal-hal yang memberatkan:
- Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat;
- Terdakwa tidak merasa bersalah dan tidak berterus terang di
persidangan;
- Perbuatan terdakwa berpotensi menimbulkan perpecahan
bangsa.
Hal-hal yang meringkankan:
- Terdakwa belum pernah dihukum.13
C. Pengaruh Fatwa MUI Nomor: 001/KF/MUI-SU/I/2017 Terhadap
Putusan Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn Tentang Penistaan
Agama
Perdebatan yang terjadi di negara yang menganut salah satu sistem
hukum tertentu dalam hal ini indonesia yang menganut civil law system
adalah kekuatan hukum yang bersumber dari hukum-hukum tidak tertulis.
(common law system) bagaimana akhirnya sistem hukum tersebut
memiliki kekuatan yang bersumber dari aturan tidak tertulis atau
berkembang menjadi kesepakatan sosial.
Jelas sudah ada aturan atau dasar yang mengatur pasal terkait
penistaan agama akan tetapi aturan tersebut seakan dipengaruhi oleh faktor
lain misalnya MUI. Dalam adat ketimuran negara indonesia MUI memiliki
peranan penting dalam mengontrol stabilitas sosial khususnya umat islam
akan tetapi negara ini tidak menghendaki menggunakan fatwa sebagai
salah satu sumber hukum.
Hal tersebut menjadi pertanyaan besar bagaimana akhirnya aturan
yang pasti dapat dipengaruhi dari sesuatu yang kekuatan hukumnya belum
jelas (fatwa MUI). Bagi pengacara kejaksaan atau kepolisian bisa saja
tidak mengindahkan fatwa MUI tersebut karena tidak layak menjadi alat
13 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 95.
![Page 101: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/101.jpg)
90
bukti pengadilan negeri. Akan tetapi dalam fatwa tersebut pun memiliki
kesimpulan bahwa meliana telah melanggar hukum positif yaitu dalam
pasal yang telah disebutkan UU PNPS No 1 Tahun 1965 pasal 156
Berangkat dari kontrol masyarakat lewat MUI itulah akhirnya gelar
perkara kasus penistaan agama disidangkan. Jika dilihat dari unsur unsur
dalam pasal 156 mengenai penodaan atau penistaan agama meliana tidak
sepenuhnya melanggar pasal yang dimaksud akan tetapi melalui efektifitas
hukum haki menilai adanya pasal alternatif dimana unsur-unsur pidana
tidak dikomulatifkan tetapi di altertantifkan yang harus dibuktikan secara
sah dan meyakinkan dalam persidangan.
Majelis hakim dalam salah satu pertimbangannya mengutarakan
bahwa fatwa yang dikeluarkan MUI Sumatera Utara sebagai salah satu
pertimbangan hukum, karena isi dari pada fatwa tersebut pada pokoknya
ialah sama serta membenarkan dan menyatakan perbuatan yang dilakukan
saudari Meliana ialah, penistaan agama yang kemudian dikupas dalam
menghadirkan saksi dan pendapat ahli mengenai perbuatan tersebut yang
sesuai dengan dasar penetapan fatwa MUI Sumatera Utara tersebut.
Dikabulkannya tuntutan jaksa penuntut umum dengan tuntutan satu
tahun enam bulan penjara yang sesuai pada pasal 156 UU PNPS No 1
Tahun 1965 yang bersamaan itu pula ditolaknya pleidoi yang disampaikan
oleh saudari Meliana bahwa ia adalah ibu rumah tangga dengan empat
anak, berlum pernah dihukum, bersikap sopan dan kooperatif selama
proses persidangan dan pernah meminta maaf kepada pengurus masjid.
Dari salah satu pleidoi itu pula kemudian dijadikan hal-hal yang
memberatkan dalam hukuman saudari Meliana yaitu tidak mengakui
kesalahan padahal didalam pleidoi menyatkan pernah meminta maaf dan
majelis hakim menilai terdakwa Meliana tidak kooperatif.
Terpenuhinya seluruh unsur tindak pidana yang dijatuhkan kepada
Meliana berupa barang siapa, dengan sengaja, dan didepan umum. Dalam
putusan majelis hakim kemudian hal in yang menjadi dasar putusan bahwa
![Page 102: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/102.jpg)
91
terbuktinya secara sah dan meyakinkan saudari Meliana melakukan
penistaan agama yang diatur dalam pasal 156 UU PNPS No 1 Tahun 1965.
Fakta persidangan lain membuktikan bahwa undang-undang
mengatur agama dalam melaksakan dan beribadat menurut agamanya yang
diatur dalam instruksi direktur jenderal bimbingan masyarajar islam
nomor: KEP/D/101/78 tentang penggunaan pengeras suara di masjid.
Dalam suatu ritual agama Islam, pengeras suara atau speaker
merupakan teknologi baru yang tidak ada pada masa Rasul. Namun
berdasarkan dalil mashlahah mursalah, menggunakan pengeras suara
diperbolehkan, yang mana pengeras suara/speaker dapat digunakan pada
beberapa ritual agama Islam khususnya ritual-ritual yang melibatkan
banyak jamaah seperti adzan, khotbah, majlis ta’lim dan lainnya.
Dalil menggunakan speaker/pengeras suara untuk adzan dan
mengaji adalah mashlahah mursalah, yaitu sesuatu yang dipandang baik
oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. Namun
tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula
petunjuk syara’ yang menolaknya.14
Ketentuan volume speaker/pengeras suara pada masjid adalah
berdasarkan kemaslahatan, para pengurus masjid biasanya mengatur
volume pengeras suara berdasarkan hal tersebut. Maka dari itu benar, jika
kemaslahatan terkait volume speaker/pengeras suara di Masjid mencakup
2 (dua) hal, yaitu :
a. Mencapai tujuan hikmah syariat Adzan. Kemaslahatan pada
tujuan syariat Adzan adalah mendapatkan pahala (baik yang
adzan dan yang mendengarkan) menjadi tahu masuk waktu
Shalat dan tersiar ajaran Islam.
b. Masyarakat sekitar Masjid.
14 Salinan Putusan PN Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 75.
![Page 103: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/103.jpg)
92
Maksud dari kemaslahatan masyarakat adalah terpanggil untuk
shalat berjamaah, perluasan jangkauan penyampaian dari apa-apa yang
disiarkan di dalam masjid dan pengaturan volume yang wajar.15
Kemudian untuk letak posisi speaker/pengeras suara pada Masjid
atau Musholla pada saat mengaji dan adzan telah ada aturan yang
mengaturnya, yaitu Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan masyarakat
Islam Nomor: KEP/D/101/78, tanggal 17 Juli 1978 tentang Tuntutan
Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musholla. Namun instruksi ini
bersifat anjuran karena tidak ada paksaan maupun ketentuan sanksinya
sehingga kebiasaan masyarakat setempat dapat dijadikan pertimbangan
hukum tentang teknis penggunaan pengeras suara.
Di Negara Republik Indonesia diperbolehkan menggunakan
pengeras suara pada setiap masjid untuk mengkumandangkan adzan dan
suara mengaji. Dasar setiap masjid di Negara Republik Indonesia
diperbolehkan menggunakan pengeras suara terdapat pada Pasal 29
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dimana
negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat
menurut ajaran agamanya.
Sementara fatwa Majelis Ulama Indonesia adalah fatwa berasal
dari bahasa Arab, yang artinya adalah sebuah pendapat atau tafsiran pada
suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Menurut Peraturan
Presiden Nomor 151 Tahun 2014 Tentang Bantuan Pendanaan Kegiatan
Majelis Ulama Indonesia, dinyatakan bahwa Majelis Ulama Indonesia atau
disingkat dengan MUI adalah sebagai wadah musyawarah para ulama,
pemimpin dan cendekiawan muslim dalam mengayomi umat dan
mengembangkan kehidupan yang islami serta meningkatkan partisipasi
umat islam dalam pembangunan nasional.16
Dengan demikian, yang dimaksud dengan fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) adalah keputusan ataupun pendapat yang diberikan oleh
15 Salinan Putusan PN Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 76.
16 Salinan Putusan PN Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 77.
![Page 104: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/104.jpg)
93
Majelis Ulama Indonesia yang berkaitan dengan suatu masalah kehidupan
umat beragama khususnya agama Islam. Maka dapat dijelaskan bahwa
kedudukan sebuah fatwa dalam peraturan perundang-undangan Indonesia
merujuk pada hirarki perarturan perundang-undangan, sebagaimana yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Kedudukan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukanlah
merupakan suatu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai
kekuatan hukum mengikat. fatwa Majelis Ulama Indonesia hanya
mengikat dan ditaati oleh umat Islam yang merasa mempunyai ikatan
terhadap Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu sendiri. Dengan kata lain,
fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak punya legalitas untuk
memaksa harus di taati oleh seluruh umat muslim.
Namun demikian, sekalipun fatwa Majelis Ulama Indonesia bukan
merupakan suatu jenis peraturan perundang-undangan dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagaimana yang dijelaskan
diatas. Akan tetapi dalam konteks penegakan hukum bahwa fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) bisa di jadikan sebagai keterangan ahli atau
pendapat (doktrin), guna pembuktian kasus konkret individual (in
concreto).17
Dalam perkembangannya fatwa MUI sebagai rujukan dalam
kontrol dalam sosial sifatnya dinamis. Karena perubahan hukum lewat
undang-undang yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar maka fatwa
MUI bisa menjadi inisasi atau dasar dalam membuka atau mengawali
sebuah persoalan hukum seperti pada kasus ini.
Jelas dikatakan fatwa MUI tidak mengikat bagi orang banyak akan
tetapi ketika fatwa itu diberikan pernyataan mengikat oleh MUI untuk
umat islam maka fatwa MUI berlaku secara menyeluruh demi kepentingan
bersama. Dalam perkembangannya pula fatwa MUI bisa muncul tanpa
17 Salinan Putusan PN Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 78.
![Page 105: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/105.jpg)
94
diminta karena situasi mendesak dan menghindari kemudharatan yang
besar maupun kegaduhan negara.
![Page 106: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/106.jpg)
95
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan oleh penulis dari Bab I sampai
Bab IV mengenai pengaruh fatwa MUI nomor: 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang
penistaan agama dalam putusan PN Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn ,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Meliana terbukti secara sah dan meyakinkan melalui putusan PN Medan
Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, menistakan agama islam melalui perkataannya
dan keterangan dalam persidangan. Fatwa MUI nomor: 001/KF/MUI-SU/I/2017
tidak dijadikan dasar putusan dalam kasus ini karena majelis hakim menggunakan
hukum positif yang berlaku yaitu pasal 156 UU PNPS No 1 Tahun 1965 fatwa
MUI memiliki peran sebagai pertimbangan dalam pengambilan putusan majelis
hakim serta pengaruh tidak langsung karena fatwa bukan merupakan hukum
positif yang berlaku di indones. Selain itu sanksi yang diberikan Majelis Hakim
vonis 1 tahun 6 bulan penjara tuntutan yang sama dituntutkan oleh Jaksa Penuntut
Umum.
B. Saran
1. Perselisihan yang terjadi dalam masyarakat khususnya hal-hal yang
menyinggung soal persatuan atau keberagaman jangan diselesaikan dengan
main hakim sendiri. Kita memiliki banyak tatanan masyarakat yang beradab
yang bisa menengahinya. Ada MUI dalam konteks keagamaan, ada FKUB
dalam hubungan antar agama, adapula hukum adat sesuai yang berlaku
diwilayah masing-masing mengingat kita memiliki budaya ketimuran yang
sangat kental. Apabila dirasa belum puas juga ada hukum yang memayungi
aktivitas kita secara individu maupun hubungan bermasyarakat karena sisi
keobjektifitasan hukum positif penyelesaian kasus ini dapat berjalan secara
efektif dengan sarana proses peradilan yang adil dan memberikan kepastian
hukum bagi setiap pencari keadilan agar semua dapat merasakan ada
perlindungan hukum bagi mereka yang merasa dirugikan.
![Page 107: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/107.jpg)
96
2. Sebaiknya sebagai warga negara yang baik adalah menghindari ujaran dan
tindakan yang dapat saling mencederai hati satu sama lain. Jauhi tindakan
yang dapat merugikan baik umat Islam Indonesia khususnya maupun
masyarakat Indonesia pada umumnya. Umat muslim tanah air juga perlu
mewaspadai tindakan-tindakan yang bersifat provokatif menyangkut kasus
dugaan penistaan agama karena negara ini telah menjamin kebebasan
beragama dan beribadat sesuai dengan tuntunan dan ajarannya masing-
masing.
![Page 108: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/108.jpg)
97
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Adnani. Penodaan Agama : Studi Komparatif Hukum Islam dan Hukum Pidana di
Indonesia. Pasca Sarjana Program Studi Hukum Islam, Universitas Islam
Negeri Sumatera Utara, 2017
Al- Anshori, Jamaluddin Ibnu Manzhur,. Lisan al-‘Arab. Beirut: Daar Shadir, 1990.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Sahih al-Bukhari Juz I. Beirut: Daar Ibnu
Katsir, 2002.
Al-Hakim, Muhammad Taqi. Al-Ushul al-‘aammah lil Fiqh Muqoron. Iran: Daarul
Fiqh liththoba’ah Wannasyr, 1431.
Al-Hamidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. (Kairo: Muassasah al-Halabi wa Syirkah,
tt), juz IV.
Al-Hanafi, Ahmad bin Ali al-Jashshos. Al-Fushuul fil Ushuul Jilid II. Kuwait:
Wizaroh al-Auqoof al-Kwaitiyyah, 1994.
Al-Jaziri, Abdurraman. al-Fiqh Ala Mazahib al-Arba’ah. Beirut: Daar al-Haya` at-
Turats al-Arabi, tt..
Al-Kattani, Abu Abdillah Muhammad bin Ja’far. Nadzmul Mutanatsir Minal
Haditsil Mutawatir. Mesir: Daarul Kutub al-‘Ilmiyah, tt.
al-Mahalli, Muhammad Ibn Ahmad. Syarh ‘ala Matnn Jam’I al-Jawami’. (Mesir:
Musthafa al-Babi al-Halabi, tt)
Amin, Ma’ruf. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Elsas, Jakarta, 2008.
Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, Bumi Aksara,
Jakarta, 2006
Al-Mu’tazili, Muhammad bin Ali. Al-Mu’tamad fi Ushul al Fiqh. Beirut: Daar al
Kutub al-‘Ilmiyah, 1403 H.
Al-Qardhawi, Yusuf. al-Fatwa Bayn al-Indibath wa at-Tasayyub. (Mesir: Dar al-
Qalam, tt)
An-Nawawi, Imam. al-Azkar. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamyah, tt..
Apeldoorn, L.J.Van dalam Shidarta. Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran
Kerangka Berfikir. Bandung: PT Revika Aditama, 2006.
![Page 109: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/109.jpg)
98
Arsil dkk, Penafsiran Terhadap Pasal 156A Huruf a KUHP Tentang Penodaan
Agama (Analisis Hukum dan Hak Asasi Manusia), Jakarta: LeIP, 2018.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang: Pustaka
Rizki, 1997, cet. I
As-Shan’ani, Imam. Subul as-Salam Juz I. Bandung: Diponegoro, tt.
As-Suyuti, Al-Imam Jalaluddin. Qathful Azhar al-Mutanatsiroh fil Akhbar al
Mutawatiroh. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1985.
As-Syafi’i, Abu Abdillah bin Idris. Al-Musnad Jilid I. Beirut: Daar al Kutub al-
‘Ilmiyah, 1400 H.
As-Syafi’i, Muhammad bin Idris. Kitab ar-Risalah li as-Syafi’i. Beirut: Daar al
Kutub al-‘Ilmiyah, tt.
As-Syirazi, Abu Ishaq. at-Tanbih. Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
At-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Isa. Sunan at-Tirmidzi Jilid III. Mesir: Syirkah
Maktabah wa Mathba’ah Musthofa al-Baabi al- Halbi, 1975.
Az-Zarkasyi, Abu Abdillah. al-Bahr al-Muhiith fii Ushul al Fiqh. Mesir: Daar al
Kutubi, 1994.
Az-Zaybari, Amir Sa’id. Mahabits fi Ahkam al-Fatwa. (Beirut: Dar Ibnu Hazm,
1995)
Cholid Narboko dan Abu Achmadi. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara
Pustaka, 2011.
Cst Kansil, at al. Kamus Istilah Hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2009.
Cst. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 1979.
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Syaamil Qur’an,
2007.
Djamil, Fathurrahman. Metode Ijtihad Tarjih Muhammadiyah. (Jakarta: Logos,
1995)
Effendi, Satria, dan M. Zein,. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media, 2005
Farida, Maria. Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya.
Yogyakarta:Kanikus, 2006.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997.
![Page 110: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/110.jpg)
99
Hasan, Khalid Ramadhan, Mu’jam Ushul Fiqh. (al-Raudhah, 1998), Cet. Ke-1.
Hasanuddin AF dkk, Pengantar Ilmu Hukum. (Tangerang Selatan: UIN Jakarta
Press, 2003)
Hibban, Ibnu. Sahih Ibn Hibban juz IV. Beirut: Muassasah ar Risalah, 1952.
Hosen, Ibrahim. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung: Mizan, 1988.
Huda, Ni’matul. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang. Jakarta:Rajawali
Press, 2008.
Iqbal, Muhammad. Hukum Islam Indonesia Modern (Dinamika Pemikiran dari
Fiqh Klasik ke Fiqh Indonesia). Tangerang: Gaya Media Pratama, 2009.
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul al-Fiqh. Mesir: Matba’ah al Madani, tt.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. (Mesir: Maktabah al-Da’wah al-
Islamiyah, tt)
Khallaf, Abdul Wahab. Mashadir at-Tasyri’ al-Islamiy fi ma la Nash fih. (Kuwait:
Dar al-Qalam, 1972)
Labib dan Harniawati. Risalah Fiqih Islam. Surabaya: Penerbit Bintang Usaha Jaya,
2006.
Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Cet. III. Bandung: Penerbit
PT. Citra Aditya Bakti, 1997.
Lubis, Arsyad Thalib. Ilmu Fiqih. Medan: Firma Islamyah, 1974.
Madzkur, Muhammad Salam. Manahij al-Ijtihad fi al-Islam. (Kuwait: Mathba’ah
al-Ashriyyah, 1974)
Manaf, Mujahid Abdul. Sejarah Agama-Agama. Jakarta, PT: Raja Persada, 1996.
Marpaung, Leden. Tindak Pidana Terhadap Kehormatan: Pengertian dan
Penerapannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
Moeljatno. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bandung: PT. Bumi Aksara,
2001 cet. 21.
Nabhan , Muhammad Faruq. al-madkhal li al-Tasyri’I al-islami. Beirut: Dar al-
Qolam, 1981.
![Page 111: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/111.jpg)
100
Ni’am, Asrorun, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa). Jakarta: Emir Penerbit
Erlangga, 2016.
Purbacaraka, Purnandi. Perihal Kaidah Hukum. Bandung:Opset Alumni, 1979.
Qardawi, Yusus. Ijtihad dalam Syariat Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987.
R. Soeroso, Praktikum Hukum Acara Perdata: Tata Cara Dalam Proses
Persidangan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet Ke-6
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. (Bandung: Alumni, 1986)
Rifai, Muhammad. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: CV Toha Putra, 1978.
Shidarta. Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir. Bandung:
PT Revika Aditama, 2006.
Shidiq, Sapiudin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2017.
Sholah, Ibnu. Adabul Mufti wal Mustafti. Madinah: Maktabah al-‘Ulum wal Hikam,
2002.
Syarif, Mujar Ibnu dan Kamarusdiana. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta, 2009.
Syarifin, Pipin. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat 1 dan Ayat 20 pasal 28E.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2).
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1.
Undang-Undang PNPS No 1 Tahun 1965.
Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Ikhtiar, 1957.
Widijowati, Rr. Dijan. Pengantar Ilmu Hukum. Yogyakarta: Andi Offset, 2018.
Zahra, Muhammad Abu. Ushul Fiqh. (Damaskus: Daar al-Fikr, tt)
Zahra, Muhammad Abu. Ushul Fiqh. Mesir: Daar al Fikr al-‘Arobi, 1958.
Zaidan, Abdul Karim. Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. Beirut: Muassasah ar-Risalah,
2015.
Zuhaili, Wahbah. Al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh. Damaskus: Daar al-Fikr, 1999, cet.2.
![Page 112: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/112.jpg)
101
Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh Jilid I. Beirut: Daar al Fikr, 2001 cet. 2.
Zuhaili, Wahbah. Ushul Fiqh al-Islami. Beirut: Daar al-Kutub al-ilmiyah, 1986),
hlm. 601.
Zuhaili, Wahbah. Ushul Fiqh Jilid II. Damaskus: Daar al Fikr, tt.
Zuhaili,Wahbah. al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu Juz I. Beirut: Dar al-Fikr, 2008.
II. ARTIKEL DAN KARYA ILMIAH
Dahri, Muhammad. Tindak Pidana Penodaan Agama di Indonesia: Tinjauan
Pengaturan Perundang-Undangan dan Konsep Hukum Islam. Journal of
Islamic Law At-Tafahum Vol. 1 No. 2, 2017.
Darto. Faktor Pertimbangan DSN-MUI Dalam Proses Penetapan Fatwa Produk
Perbankan Syariah Internasional. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011.
Efendi, Andi Shofian. Pengaruh Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Terhadap
Proses Pengambilan Kebijakan Pemerintah Indonesia. Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Has, Abd. Wafi. Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam, Episteme,
Vol. 8 No. 1, Juni 2013.
http://bangka.tribunnews.com/2017/05/09/selain-kasus-ahok-inilah-kasus-
kasuspenistaan-agama-yang-menghebohkan-di-indonesia
http://m.voa-islam.com/news/indonesiana/2018/08/25/59775/fatwa-mui-sumut-
soal-kasus-penistaan-agama-di-tanjung-balai/
https://amp.tirto.id/detail-kejadian-keluhan-suara-azan-dan-kerusuhan-di-tanjung-
balai-cUg6
https://news.okezone.com/read/2017/05/10/338/1687575/selain-ahok-ini-kasus-
kasuspenodaan-agama-yang-pelakunya-berujung-di-penjara
https://www.google.co.id/amp/s/nasional.tempo.co/amp/1119663/ini-kronologi-
kasus-penistaan-agama-meliana-di-tanjung-balai
Mohammad Taslim Harun AL Rosyid, Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap
Delik Penistaan Agama Katolik Dalam Putusan Pengadilan Negeri Atambua
(Putusan Nomor : 71/Pid.Sus/2018/PN.Atb), (Skripsi UIN Sunan Ampel
Surabaya Fakultas Syariah dan Hukum, 2019.
Najib, Ainun. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Dalam Perspektif Pembangunan
Hukum Responsif. Jurnal Lisan Al-Hal, Volume 4, No. 2, Desember 2012.
![Page 113: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022011920/60224c66b35a29261e28713a/html5/thumbnails/113.jpg)
102
Nurdin, Ridwan. Kedudukan Fatwa MUI Dalam Pengembangan Ekonomi Syariah
di Indonesia, makalah disampaikan dalam diskusi dengan Tim Penelitian,
tanggal 17 Juni 2011.
Octaviani, Nur Afni. Kedudukan Fatwa DSN MUI Sebagai Dasar Hukum Dalam
Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama. IAIN
Metro Lampung: 2017.
Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama. Jakarta: Sekretariat
MUI, 2001.
Pengantar Komisi Fatwa MUI dalam Hasil Fatwa Munas VII Majelis Ulama
Indonesia. Jakarta: Sekretariat MUI, 2005.
Praja, Juhaya S. dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama Dalam Hukum Pidana di
Indonesia , Bandung: Angkasa, 1993.
Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn.
Riadi, M. Erfan. Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif
(Analisis Yuridis Normatif). Ulumuddin, Volume VI Tahun IV, Januari – Juni
2010.
Sejarah MUI, diakses pada tanggal 15 Desember 2018 dari www.mui.or.id.
SK Dewan Pimpinan MUI Nomor U-596/MUI/X/1997 tanggal 2 Oktober 1997.
Yusuf, Slamet Effendy. Review 5 Tahun Kehidupan Umat Beragama di Indonesia:
Perspektif MUI, disampaikan dalam “Kongres FKUB”. Jakarta, 21-22
November 2011.