Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan...

113
PENGARUH FATWA MUI NOMOR : 001/KF/MUI-SU/I/2017 TENTANG PENISTAAN AGAMA TERHADAP PUTUSAN PN MEDAN NOMOR : 1612/Pid.B/2018/PN Mdn Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi salah satu Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Disusun oleh : Faqih Zuhdi Rahman 11140430000049 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M / 1441 H

Transcript of Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan...

Page 1: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

PENGARUH FATWA MUI NOMOR : 001/KF/MUI-SU/I/2017

TENTANG PENISTAAN AGAMA TERHADAP PUTUSAN PN

MEDAN NOMOR : 1612/Pid.B/2018/PN Mdn

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum

untuk Memenuhi salah satu Persyaratan

guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Disusun oleh :

Faqih Zuhdi Rahman

11140430000049

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2019 M / 1441 H

Page 2: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia
Page 3: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia
Page 4: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia
Page 5: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

v

ABSTRAK

Faqih Zuhdi Rahman 11140430000049, Pengaruh Fatwa MUI Nomor:

001/KF/MUI-SU/I/2017 Tentang Penistaan Agama dalam Putusan PN Medan

Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, Jurusan Perbandingan Mazhab, Fakultas

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun

2019 M/ 1440 H.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh Fatwa MUI

Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan Agama terhadap Putusan

Pengadilan Negeri Medan (perkara No.1612/Pid.B/2018./PN Mdn. Penelitian ini

menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Spesifikasi yang

digunakan pada penelitian ini adalah Deskriptif Analitis. Data primer pada

penelitian ini adalah putusan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn dan data sekunder

penelitian iniadalah data yang diperoleh dari buku-buku, jurnal, dan hasil penelitian

yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini kemudian dirangkai dengan metode

deduktif.

Penelitian memberikan kesimpulan bahwa putusan PN Medan dengan

nomor perkara: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn dijiwai oleh fatwa MUI Sumatera Utara

dengan nomor fatwa 001/KF/MUI-SU/I/2017 ditinjau dari pertimbangan hukum

dan kesaksian dalam persidangan yang diutarakan oleh para ahli, saksi, JPU dan

majelis hakim. Bahwa tindak pidana yang diatur pada 156 KUHPidana jo pasal

156a huruf (a) KUHPidana dapat dimasukkan kedalam kelompok tindak pidana

penghinaan. Oleh sebab, pada penodaan/penistaan mengandung sifat penghinaan

terhadap agama bagi umat agama yang menganut agam yang bersangkutan. Selain

itu, tindak pidana yang diatur dalam pasal 156a KUHPidana dan pasal 156

KUHPidana mengandung unsur yang bersifat alternatif dan bukannya komulatif.

Artinya, jika salah satu unsur telah terpenuhi, maka perbuatan itu dapat dikenakan

pasal 156a huruf (a) KUHPidana dan pasal 156 KUHPidana.

Tuntutan 1 tahun dan 6 bulan penjara sesuai dengan apa yang diputus

majelis hakim. Hakim menggunakan alternatif pertama yakni pasal 156a sebagai

dasar pertimbangan hukum dan Jaksa Penuntut Umum menggunakan alternatif

pertama yakni pasal 156.

Kata Kunci : Fatwa MUI, sanksi, penistaan agama, PN Medan.

Pembimbing I : Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A.

Pembimbing II : Hj. Siti Hanna Lc. M.A.

Daftar Pustaka: 1965 - 2019

Page 6: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

vi

بسم هللا الرحمن الرحيم

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT atas rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu

syarat menyelesaikan studi. Shalawat beriring salam penulis curahkan kepada Nabi

kita Sayyidina Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyyah

hingga zaman keilmuan seperti sekarang ini. Dan tak lupa pula kepada keluarga,

sahabat dan para pengikutnya yang selalu mengamalkan sunnahnya hingga akhir

zaman.

Skripsi yang berjudul “Pengaruh Fatwa MUI Nomor: 001/KF/MUI-

SU/I/2017 tentang Penistaan Agama dalam Putusan PN Medan Nomor:

1612/Pid.B/2018/PN Mdn.” merupakan karya tulis penutup di tingkatan Strata 1

dari semua pembelajaran yang sudah penulis dapatkan di Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta selama 4 tahun ini. Semog lahirnya karya tulis ini dapat

menambah khazanah keilmuan khususnya bagi penulis umumnya bagi para

akademisi.

Penghargaan dan terima kasih yang setulusnya penulis ucapkan kepada

Ayahanda Asadurrahman dan Ibunda Laelatin Nairoh yang telah mencurahkan

segalanya baik itu yang bersifat dukungan moril maupun materil. Semoga Allah

SWT selalu memberikan keberkahan, kesehatan dan kemulian di dunia maupun

akhirat atas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis sangat menyadari akan pentingnya

keberadaan orang-orang di sekitar penulis baik itu yang memberi dukungan secara

keilmuan, pemikiran maupun materi serta dukungan lain baik secara moril maupun

spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Dukungan mereka

sangatlah berarti karena dukungan mereka segala halangan dan hambatan yang ada

Page 7: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

vii

dapat teratasi dengan mudah dan terarah. Untuk itu penulis mengucapkan rasa

terima kasih yang amat dalam kepada yang terhormat :

1. Bapak KH. Dr. Ahmad Thalabi Karlie, S.Ag., S.H., M.H., Dekan

Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Hj Siti Hanna, M.A, Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab

dan Bapak Hidayatullah, S.H. M.H, Sekretaris Prodi yang telah

membantu segala hal yang bekenaan dengan perkuliahan hingga

motivasinya dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Dr. H Supriyadi Ahmad M.A, dan Ibu Hj. Siti Hanna M.A

selaku dosen Pembimbing Skripsi atas kesabaran membimbing,

mengarahkan dan meluangkan waktunya bagi penulis sehingga

skripsi ini lebih terarah dan menjadi lebih baik.

4. Ibu Dewi Sukarti M.A, Dosen Pembimbing Akademik yang telah

membimbing penulis selama perkuliahan.

5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah ikhlas

memberikan ilmu yang bermanfaat sehingga penulis dapat

menyambung ilmu baik dalam dunia pekerjaan maupun akademik

ditingkat lebih tinggi.

6. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan

studi kepustakaan ini berupa buku dan literatur lainnya seingga

penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam penulisan

skripsi ini.

7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis

cintai di dunia ini yang selalu memberikan support, perhatian, kasih

sayang , dan doa yang tak pernah putus selama ini. Terimakash atas

segalanya semoga dapat membahagiakan, membanggakan, dan

menjadi anak yang berbakti.

8. Untuk adik-adik, Nasya Mutia Rahman dan M. Nabil

Hafizurrahman, yang selalu memberikan support dan doanya kepada

Page 8: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

viii

penulis disaat penulis terbentur pada kesulitan dalam menyelesaikan

skripsi ini dan semoga kalian jadi anak yang saleh dan salehah.

9. Untuk para senior dan mentor penulis yang selalu membimbing,

mengarahkan dan menasehati penulis selama masa perkuliahan

sampai selesainya skripsi ini sahabat Abie Maharullah Madugiri S.H

dan sahabat Azka Fachri S.H yang selalu mensupport penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini kapanpun dan dimanapun. Terimakasih

kalian sudah menemani manisnya perjuangan untuk meraih gelar

sarjana. Akhirnya kita berhasil meyelesaikan skripsi setelah

berbagai masalah muncul dalam penulisan skripsi kita.

10. Untuk teman-teman seperjuangan Perbandingan Mazhab 2014 yang

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah saling

membantu disegala keadaan dan menjadi tempat bertukar fikiran

dengan penuh semangat dan kerja keras.

11. Untuk sahabat-sahabat Badan Pengurus Harian HMPS PMH masa

bakti 2017 Ahmad Zaqi Ainurrafiq, Almaz Nachrowi, Arum Millati

Ahnaf, Ratna Dwi Cahyani serta petarung legislatif jagoanku

Willian Ikhsan Shababillah, yang telah segenap jiwa dan raga

membantu dan mengabdi serta mewakafkan dirinya untuk rumah

kita tercinta ini.

12. Untuk sahabat seperjuangan selama penulis di bangku kuliah dan

organisasi. PMII Komfaksyahum Masa Bakti 2017-2018 Arif

Fadillah, Dede Ihsanuddin, Ishak, Moch Dailami, Rahmat Nur

Hidayat, Yayah Rhadiyah. Terima kasih telah berbagi tawa, canda,

suka maupun duka kepada penulis selama ini karena kalian penulis

merasa bahagia selama menjalani perkuliahan dan banyak sekali

pengalama hidup yang bisa penulis rasakan. Terima kasih kalian

sudah menemani manisnya perjuangan untuk meraih gelar sarjana.

Akhirnya kita berhasil meyelesaikan skripsi setelah berbagai

masalah muncul dalam penulisan skripsi kita.

Page 9: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

ix

13. Untuk seluruh Keluarga Besar PMII Komfaksyahum Cabang

Ciputat dan Jakampus UIN terimakasih untuk segalanya. Jika

penulis tidak bertemu keluarga super ini, mungkin penulis tidak

akan pernah memiliki pengalaman berorganisasi seperti sekarang

ini. Terimakasih telah menjadi bagian dari perjalanan hidup penulis,

terimakasih juga untuk pembelajarannya, kasih sayang , pengalaman

yang sangat berharga. Semoga persahabatan rasa keluarga ini tak

akan berhenti sampai kapan pun.

14. Ucapan terakhir penulis tujukan kepada semua pihak yang tidak

dapat penulis sebut satu persatu namun tidak mengurangi rasa terima

kasih penulis atas bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Karena proses tidak akan mendustakan hasil, semuanya bergantung kepada

kekuasaan Allah SWT yang Maha Segalanya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat

bagi siapapun yang membacanya dan menjadi amalan baik yang akan dicatat oleh

malaikat sebagai bekal kita di akhirat nanti. Amin.

Wallahul Muwafiq Ila Aqwamith Thoriiq

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Jakarta, 29 Oktober 2019

Penulis

Page 10: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ..............................................................................ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .......................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ iv

ABSTRAK .................................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................................................. vi

DAFTAR ISI ................................................................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, dan Perumusan Masalah ............... 5

C. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 6

D. Manfaat Penulisan .............................................................................................. 6

E. Review Studi Terdahulu ..................................................................................... 7

F. Metode Penelitian.............................................................................................. 10

G. Sistematika Penulisan ....................................................................................... 11

BAB II KAJIAN TEORI ...............................................................................................

A. Kerangka Teori ................................................................................................ 13

1. Kepastian Hukum ...................................................................................... 13

2. Stufenbau (Teori Piramida Hukum) ........................................................ 16

B. Sumber Hukum Islam ...................................................................................... 17

1. Sumber Hukum Islam yang Disepakati ...................................................... 17

2. Sumber Hukum Islam yang Tidak Disepakati ........................................... 22

C. Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam .......................................................... 25

D. Metode dalam Penetapan Fatwa MUI ............................................................. 40

E. Sumber Hukum Positif Indonesia .................................................................... 47

1. Hukum Positif yang Berlaku di Indonesia ................................................ 47

2. Kedudukan Fatwa MUI dalam Hukum Positif di Indonesia ..................... 56

Page 11: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

xi

BAB III PRESEDEN KASUS PENISTAAN AGAMA DI INDONESIA .................

A. Teori Penistaan Agama .................................................................................... 60

B. Kasus Penodaan Agama di Indonesia ............................................................... 63

C. Deskripsi Kasus Penistaan Agama oleh Ibu Meliana ....................................... 68

1. Kronologi Kasus ........................................................................................ 68

2. Unsur – Unsur Penistaan Agama yang Dilakukan oleh Ibu Meliana ........ 72

D. Kualifikasi Delik Penistaan Agama Menurut Dakwaan JPU ........................... 76

E. Tuntutan JPU .................................................................................................... 78

F. Vonis Hukum .................................................................................................... 79

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PN MEDAN NOMOR : 1612/PID.B/2018/PN

MDN ................................................................................................................................

A. Sekilas Tentang Fatwa MUI Nomor: 001/KF/MUI-SU/I/2017 ....................... 81

B. Sekilas Tentang Putusan Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn .............. 85

C. Pengaruh Fatwa MUI Nomor: 001/KF/MUI-SU/I/2017 Terhadap Putusan

Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn Tentang Penistaan Agama ............... 89

BAB V PENUTUP ..........................................................................................................

A. Kesimpulan ....................................................................................................... 95

B. Rekomendasi..................................................................................................... 95

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 97

Page 12: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang membawa rahmat seluruh alam. Untuk

mewujudkannya harus ada norma yang menjadi aturan yang dikenal dengan istilah

syariah (syariat)1 yang berarti “jalan yang dilalui untuk menuju sumber air” atau “jalan

setapak yang harus diikuti”. Syariah juga berarti jalan atau tempat mengalirnya air

sungai.2 Istilah syariah ini sebenarnya dalam kajian hukum Islam lebih

menggambarkan kumpulan norma-norma hukum yang merupaka proses dari tasyri.

Dalam istilah para ulama fiqh tasyri bermakna menetapkan norma-norma hukum untuk

menata kehidupan manusia baik hubungan dengan Tuhan maupun dengan sesamanya.3

Syariat yang dimaksud adalah syariah yang mencakup ketentuan-ketentuan

Allah dan rasulNya dan norma-norma hukum hasil kajian mujtahid untuk mewujudkan

kemashlahatan hidup manusia. Inilah yang terkenal dengan Maqasid al-Syariah (tujuan

Syariat) dalam hukum Islam.

Diantara masalah-masalah tersebut tidak ada dasar yang jelas di dalam Al-

Quran maupun di dalam sunnah Nabi, sehingga menuntut para ulama untuk

menemukan dalil yang selaras dengan syariat Islam untuk menciptakan sebuah

kemaslahatan. Berawal dari hal di atas, para cendekiawan muslim di Indonesia secara

kolektif semakin termotivasi, dan berkeinginan untuk menyatukan gerak dan langkah

umat Islam di dalam mewujudkan cita-cita bersama dalam konteks Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang berdaulat, maka para cendekiawan muslim tersebut

membentuk lembaga besar yang berwenang untuk memberikan respon atau

menentukan sikap terhadap permasalahan kontraversial. Lembaga besar ini dikenal

dengan nama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan mengenai sikap atau respons yang

dikeluarkannya dinamakan fatwa. MUI didirikan pada tanggal 26 Juli 1975 M di

Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama dan cendekiawan

yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Majelis Ulama Indonesia (MUI)

merupakan tempat atau majelis yang menghimpun para ulama dan cendekiawan

1 Muhammad Iqbal, Hukum Islam Indonesia Modern (Dinamika Pemikiran dari Fiqh

Klasik ke Fiqh Indonesia), (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2009), hlm. 10. 2 Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab Juz 8 (Beirut: Dar Shadir, 1990), h. 175. 3 Muhammad Faruq Nabhan, al-Madkhal li al-Tasyri’i al-Islami, (Beirut: Dar al-Qolam, 1981),

hlm. 11.

Page 13: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

2

muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia

dalam mewujudkan cita-cita bersama.4

Namun, wujud dari Majelis Ulama yang ada di berbagai daerah itu belum

mempunyai pegangan dan cara kerja yang seragam, sampai akhirnya atas prakarsa

pemerintah Orde Baru diadakanlah suatu Musyawarah Nasional Ulama yang terdiri atas

utusan wakil-wakil ulama propinsi seIndonesia di Jakarta dari tanggal 21 sampai 28 Juli

1975. Musyawarah inilah yang berhasil secara bulat menyepakati berdirinya Majelis

Ulama Indonesia (MUI) produk hukum yang dihasilkan oleh MUI pada umumnya

berupa fatwa.5 Dari uraian di atas terlihat bahwa hukum Islam sangat menjaga dan

memelihara urusan-urusan yang berkaitan dengan keyakinan (agama), hal itu terlihat di

mana urusan tentang pemeliharaan agama ditempatkan pada urusan-urusan yang

dharuri (hak asasi), untuk itu setiap tindakan berkaitan dengan hal ini sangat

diperhatikan misalnya hukum murtad (penyelewengan akidah).

Untuk menghadapi fenomena berkembangnya aliran-aliran kepercayaan baru

dalam masyarakat, kita tidak harus menanggapinya secara emosional dan reaktif

dengan prasangka-prasangka yang tidak berdasar (tanpa melihat akar permasalahan

yang ada. Kita seharusnya lebih arif dan bijaksana dalam menyelesaikan masalah.

Kekerasan, terror, ancaman serta pengucilan, bukanlah jalan keuar yang baik.

Menghancurkan, bahkan membunuh mereka yang dianggap sesat tanpa memperbaiki

kondisi kesemrawutan bangsa kita dari segala aspek, hanya akan melahirkan kesesatan

baru yang mungkin jauh lebih berbahaya.

Sedangkan dalam hukum positif sebagai perwujudan aturan hukum untuk

mencapai kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera meliputi perlindungan

hukum terhadap hak-hak dasar warga negara, misalnya bidang agama. Hal itu sesuai

dengan sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Undang-Undang

Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 yang berbunyi “Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”.6 Sebagai dasar negara yang mengakui keberadaan macam kepercayaan (agama),

jaminan kebebasan beragama ditujukan agar masyarakat Indonesia dapat memilih

menentukan keberagaman mereka masing-masing tanpa intimidasi dari pihak manapun.

4 Sejarah MUI, www.mui.or.id, diunduh pada tanggal 15 Desember 2018 pukul

16.32 WIB.

5 Asrorun Niam Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia

(Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa), (Jakarta: Emir Penerbit Erlangga,

2016), hlm. 70. 6 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1

Page 14: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

3

Disebutkan pula bahwa setiap umat beragama bebas untuk menjalankan tat acara

beribadah menurut agama yang dianutnya. Hal ini senada dengan Asas kebebasan

berkeyakinan yang dijamin Undang-Undang dasar 1945 Pasal 29 ayat (2): Negara

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing

dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.7

Pasal 28E ayat 1 menyebutkan:

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih

oendidikan dan oengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih

tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, seta berhak kembali”.

Ayat 20 pasal 28E menegaskan:

“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan

pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.8

Artinya seseorang dijamin kebebasannya untuk melakukan ibadah sesuai

dengan agama dan kepercayaannya.

Tetapi perdebatan penistaan atau penodaan agama senantiasa aktual baik dalam

hukum Islam maupun positif, khususnya yang diatur dalam KUHP. Apalagi kasus

penistaan agama ini sangat lagi marak di perbincangan terkait dengan kasus penodaan

agama.

Penodaan agama adalah suatu tindakan melawan hukum baik Islam maupun

agama lain, baik di Indonesia maupun di negara lain, di Indonesia penyebab penodaan

agama sering terjadi akibat faktor politik, di tempat muslim dan non muslim berkumpul

dan hidup damai bisa terjadi perselisihan, bentrokan, hal itu terpicu pemahaman agama

yang berbeda d di dalam masyarakat, faktor politik problem pertama terjadi pemecahan

dalam suatu negara, ada beberapa hal utama yang di garis bawahi dalam berita tersebut,

dari segi isu, dua yang utama dan kerap menjadi masalah masih tetap, yaitu

penodaan/penyimpangan agama dan rumah ibadah. Kedua hal ini menjadi isu utama

karena dalam beberapa tahun ini, konflik-konflik di seputar isu itu kerap berubah

kekerasan yang tak tertangani dengan baik.9 Begitu sensitifnya persoalan agama bagi

masyarakat Indonesia, sehingga konflik sosial dan politik yang sebenarnya diluar

7 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2) 8 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat 1 dan Ayat 20 pasal 28E.

9 Adnani, Penodaan Agama : Studi Komparatif Hukum Islam dan Hukum Pidana di Indonesia,

(Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2017), hlm.1-2.

Page 15: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

4

agama pun sering kali ditarik ke wilayah agama untuk mendapatkan dukungan yang

lebih banyak dari pemeluknya.10

Secara normatif, jaminan kebebasan kehidupan beragama di Indonesia

sebenarnya cukup kuat. Namun, keindahan aturan-aturan normatif tidak serta-merta

indah pula dalam kenyataannya. Banyak sekali warga negara Indonesia yang merasa

dikekang kebebasannya dalam memeluk agama yang diakui pemerintah, artinya jika

memeluk agama diluar agama yang diakui negara maka ada efek yang dapat

mengurangi hak-hak sipil warga negara. Bahkan, orang yang mempunyai keyakinan

tertentu, biasa dituduh melakukan penodaan agama. Bukan hanya iytu, peraturan

tentang penodaan terhadap agama di Indonesia diatur melalui instrument penetapan

presiden republic Indonesia nomor 1 tahun 1965 tntang pencegahan penyalahgunaan

atau penodaan agama. Ketentuan yang lebih dikenal dengan UU PNPS No 1 Tahun

1965 ini sangat singkat isinya, karena hanya berisi 5 pasal.11

Pasal 1 ketentuan ini menyatakan bahwa:

“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,

menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran

tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan agama

yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu”.

Undang-undang ini juga memperkenalkan bentuk tindak pidana baru yaitu

tindak pidana penodaan agama ke dalam KUHP Pasal 156 a.

Pasal 156a KUHP:

Dipidana dengan penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan

sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan

terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

b. Dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang

bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.12

Terkadang penulis menyadari bahwa tidak semua teori berimplikasi linear

dengan kenyataan, bahwa tidak semua harapan dapat terwujud menjadi realita oleh

10 Slamet Effendy Yusuf, Review 5 Tahun Kehidupan Umat Beragama di

Indonesia:

Perspektif MUI, disampaikan dalam “Kongres FKUB”, (Jakarta, 21-22 November

2011), hlm. 5. 11 Lihat di UU PNPS No 1 Tahun 1965. 12 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bandung: PT. Bumi Aksara, 2001), cet. 21,

hlm. 59.

Page 16: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

5

sebab yang demikian terdapat masalah yang didasari bahwa adanya satu ketimpangan

yaitu kenyataan yang ada diluar dari teori atau cita-cita yang diinginkan. Hukum yang

sudah ada tidak serta merta menjadi solusi dari permasalahan permasalahan sosial.

Mengetahui bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang artinya segala

sesuatu harus dilaksanakan,dibuat,diawasi sesuai hukum yang berlaku tetapi hukum

positif itu tidak bisa menjadi solusi dari apa yang terjadi maka, terkadang dengan

budaya dan adat ketimurannya Indonesia menggunakan norma-norma sebagai acuan

terciptanya keputusan hukum.

Norma-norma tersebut diimplementasikan dalam bentuk organisasi yang

kemudian bisa menyelesaikan persoalan yang terjadi. Dalam hal ini ketika ada

persoalan agama MUI bisa menjadi solusi yang kemudian fatwanya dapat digunakan

sebagai rujukan umat islam. Munculnya fatwa MUI yang kemudian dijadikan sandaran

atau sumber hukum juga tidak terlepas dari pertanyaan yang kemudian muncul

setelahnya seperti legitimasi fatwa MUI itu sendiri sebagai sandaran untuk

menghukumi orang non muslim.

Dari berbagai uraian di atas, maka penulis tertarik untuk menganalisis

bagaimana legitimasi fatwa MUI khususnya fatwa MUI nomor: 001/KF/MUI-

SU/I/2017 tentang penistaan agama sebagai pertimbangan atau landasan hukum dalam

putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn. Hal itu akan penulisis analisis

melalui metode komparasi dalam perspektif hukum islam dan hukum positif, yang

berjudul “Pengaruh fatwa MUI nomor: 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang penistaan

agama terhadap putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn”.

B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, dan Perumusan Masalah.

1. Identifikasi Masalah.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka, permasalahan

yang dapat diidentifikasikan adalah sebagai berikut:

a. Peran dan kewenangan MUI dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi

di Indonesia.

b. Kedudukan fatwa MUI dalam Hierarki peraturan perundang-undangan

yang berlaku di Indonesia.

c. Keberlakuan Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang

Penistaan Agama bagi nonmuslim.

Page 17: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

6

d. Pengaruh Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan

Agama dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan (perkara

No.1612/Pid.B/2018./PN Mdn.

2. Pembatasan Masalah

Agar judul skripsi ini tidak meluas dan lebih terarah, maka penulis

membatasinya sebagai berikut:

a. Fatwa MUI pada kasus penistaan agama (Fatwa MUI Nomor :

001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan Agama) dibatasi pada kasus

penistaan Ibu Meliana.

b. Putusan Pengadilan Negeri Medan (perkara No.1612/Pid.B/2018./PN Mdn

dibatasi pada kasus penistaan Ibu Meliana.

c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan dibatasi pada Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-

SU/I/2017 tentang Penistaan Agama dan Putusan Pengadilan Negeri

Medan (perkara No.1612/Pid.B/2018./PN Mdn.

d. Data yang diteliti dibatasi pada tahun 2017-2018.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah pada

penelitian ini sebagai berikut:

Bagaimana pengaruh Pengaruh Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017

tentang Penistaan Agama dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan (perkara

No.1612/Pid.B/2018./PN Mdn?

C. Tujuan Penelitian

Untuk menjelaskan pengaruh Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017

tentang Penistaan Agama terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan (perkara

No.1612/Pid.B/2018./PN Mdn.

D. Manfaat penelitian

Selain tujuan penelitian, dalam penulisan hukum ini penulis juga mengharapkan

adanya suatu manfaat yang dapat diperoleh. Adapun manfaat yang didapat dari

penelitian ini terbagi menjadi:

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh Fatwa

MUI Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan Agama terhadap Putusan

Pengadilan Negeri Medan (perkara No.1612/Pid.B/2018./PN Mdn, sehingga dengan

Page 18: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

7

demikian diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan tambahan

pengetahuan bagi perkembangan hukum positif pada umumnya.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai tambahan pengetahuan dan

wawasan bagi akademisi mengenai penetapan fatwa MUI dan hierarki peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, serta untuk memenuhi syarat guna

mencapai derajat sarjana di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Review Studi Terdahulu

Penulis menemukan beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan tema

skripsi ini, di antaranya:

1. Andi Shofian Efendi (2011). Dalam tulisannya ia menjelaskan bahwa di

kalangan umat Islam Indonesia banyak yang menerima fatwa yang

dikeluarkan oleh MUI. karena mempunyai karateristik keanekaragaman

pehamaman ajaran agama dan juga dalam lingkungan MUI ada beberapa

komponen yang tergabung di dalamnya seperti; organisasi masyarakat,

pesantren. Perguruan Tinggi Islam dan lain-lain. Meskipun fatwa ini tidak

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan masyarakat, namun fatwa

tetap dianggap signifikan dalam memberikan hukum keagamaan pada

masyarakat. Seperti yang kita ketahui fatwa pun seringkali dijadikan rujukan

oleh pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara,

seperti dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah dan perundang-

undangan. Yang juga tentang perbankan syari’ah yang menfatwakan bahwa

bunga bank itu adalah haram. Melihat pada sejarah bahwa pada perkembangan

regulasi perbankan syari’ah di Indonesia, MUI mempunyai peranan yang

sangat besar di dalamnya. Tak hanya itu, MUI juga terus melanjutkan peranan

pokoknya dengan menjalankan dan mengfungsikan DSN dan DPS. Yang

mana DSN adalah lembaga yang mengeluarkan fatwa-fatwa syariah sesuai

dengan produk yang dikeluarkan oleh bank-bank syariah. Sementara DPS

adalah pelaksana dari fatwa-fatwa DSN tersebut, juga mengawasi pelaksanaan

syariah di masing-masing bank syariah.13

13 Andi Shofian Efendi, Pengaruh Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI)

Terhadap Proses

Page 19: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

8

2. Darto (2011), menyatakan dalam penetapan fatwa terhadap suatu produk,

DSN (Dewan Syariah Nasional) tidak ikut serta dalam penetapan tersebut.

Karena selain perlu adanya pengkajian yang lebih mendalam pada produk

tersebut juga harus mempertimbangkan maslahat atau keuntungan dan

mafsadat (keburukan) pada setiap produknya. Hal ini dilakukan untuk

kemaslahatan umat dan menghindari kerugian bagi masyarakat. Perlu kita

ketahui bahwa orang-orang yang berada dalam DSN ini adalah orang-orang

pilihan yang sangat mengerti hukum syariat Islam serta sumber-sumber

hukum yang terpercaya seperti Alquran dan Hadis juga yang membahas

tentang muamalat. Meski begitu dalam penetapan fatwa ini harus tetap

berhati-hati dalam pengkajiannya untuk menentukan sebuah hukum pada

produk baru, karena pasti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt.

Dan agar perbankan syariah ini dapat dipercaya oleh masyarakat terutama

muslim, DSN membutuhkan proses penerapan kode etik sebelum menetapkan

fatwa sebuah produk dan aturan yang ketat dalam pengkajiannya.14

3. Nur Afni Octaviani (2017), membahas fatwa DSN MUI yang dijadikan

rujukan resmi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan tentang

prinsip syariah di Indonesia. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang

SBSN didasarkan pada fatwa DSN MUI Pasal 31 SK Direksi No 32/34/1999,

bank umum wajib memperhatikan fatwa DSN MUI. Selanjutnya dijelaskan

bahwa DSN MUI berkedudukan sangat penting dalam operasional ekonomi

syariah setelah mendapatkan pengeasan hukum oleh lembaga yang berwenang

pada aturan yang berlaku. Fatwa DSN MUI dijadikan sebagai acuan secara

hukum berlaku sebagai hukuim materil. Jadi didalam praktek ekonomi syariah

jelas terdapat masalah dan dibawa ke pengadilan, maka menjadi kompetensi

Pengadilan Agama sebagai dasar hukum perdata digunakan Fatwa DSN MUI

sebagai hukum materil yang ditegaskan dalam legislasi hukum nasional.15

Pengambilan Kebijakan Pemerintah Indonesia, (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2011). 14 Darto, Faktor Pertimbangan DSN-MUI Dalam Proses Penetapan Fatwa

Produk. Perbankan Syariah Internasional, (Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2011). 15 Nur Afni Octaviani, Kedudukan Fatwa DSN MUI Sebagai Dasar Hukum

Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama, (IAIN

Metro Lampung, 2017).

Page 20: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

9

4. Muhammad Dahri (2017), mengungkapkan bahwa pengaturan tindak pidana

penodaan agama di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1

PNPS tahun 1965 dan pasal 156a KUHP adalah kejahatan atau delik terhadap

agama, untuk mempertahankan Pancasila sebagai ideology Negara, karena

Indonesia adalah Negara Bergama (religion state), untuk mencegah terjadinya

konflik agama dan mempertahankan keharmonisan social. UU No.1 PNPS

Tahun 1965 sejalan dengan pancasila dan tidak bertentangan dengan Pasal 29

ayat (2) UUD 1945. Pengaturan UU No. 1 PNPS Tahun 1965 untuk kejahatan

terhadap agama sedangkan Pasal 156a KUHP ditujukan terhadap kejahatan

untuk tidak beragama (atheis). Kemudian, Konsep penodaan agama dalam

Islam disebut dengan Istilah-istilah “Istihza, Tadnis, Tho’an, adza” yang

disebut dengan parbuatan menghina, melecehkan, mencacimaki/mencerca atau

mengolok-olok, dan semisalnya, termasuk perbuatan Jarimah atau merusak

ajaran agama (kesesatan), mengakibatkan pelakunya jadi murtad hiraby

dengan sanksi hudud, jika hanya keluar dari Islam karena kejahilan maka dia

murtad dzimmy/jahily, jika ahlul dzimmah maka menghilangkan ke dzimmah

annya. Perbandingan antara hukum Islam dan Perundang-undangan di

Indonesia terletak pada tujuannya. Dalam Islam bertujuan untuk memelihara

ad-diin, sementara perundangundangan untuk menjaga ketertiban umum,

sebab Indonesia beragam agama.16

Perbedaan skripsi penulis teliti dengan kajian terdahulu yang telah penulis

paparkan yaitu pada penggunaan fatwa MUI yang dijadikan sebagai hukum positif,

baik itu putusan pengadilan maupun undang-undang terletak pada kewajiban atau

keharusan mengikuti atau tidak mengikuti fatwa MUI tersebut. Seperti yang telah kita

ketahui bersama selain persoalan Ekonomi Syariah tidak wajib hukumnya untuk

mengikuti pedoman dari fatwa MUI tersebut. Oleh karena itu, menarik untuk diketahui

pengaruh Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan Agama

terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan (perkara No.1612/Pid.B/2018./PN Mdn.

16 Muhammad Dahri, Tindak Pidana Penodaan Agama di Indonesia: Tinjauan

Pengaturan Perundang-Undangan dan Konsep Hukum Islam, (Journal of Islamic

Law At-Tafahum Vol. 1 No. 2, 2017).

Page 21: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

10

F. Metode Penelitian

Metode penelitian berarti cara yang dipakai untuk mencari, mencatat,

menemukan dan menganalisis sampai menyusun laporan guna mencapai tujuan.17

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian ini diurikan

sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada skripsi ini berfokus pada penelitian

normatif pengaruh Fatwa Mui Nomor : 001/Kf/Mui-Su/I/2017 tentang pernistaan

Agama terhadap putusan PN Medan Nomor : 1612/Pid.B/2018/PN Mdn.

2. Pendekatan Penelitian

Metode yang dipakai pada skripsi ini adalah pendekatan ilmu perundang-

undangan (statutory approach) yaitu: penelitian yang dimaksud untuk mencari

meneliti dan mengkaji secara mendalam fatwa MUI (Fatwa Nomor :

001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan Agama), dan Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang

kemudian dikorelasikan dengan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :

1612/Pid.B/2018/PN Mdn.

3. Bahan Hukum

a. Bahan hukum primer berupa data yang diperoleh melalui fatwa MUI (Fatwa

Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan Agama) dan Putusan

Pengadilan Negeri Medan Nomor : 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan.

b. Bahan hukum sekunder yaitu data yang menjelaskan analisa dan petunjuk

pada bahan hukum primer yang diperoleh dari skripsi, buku-buku, tafsir, hasil

penelitian, internet (website), jurnal, dan pendapat praktisi hukum dan

referensi lainnya yang berkaitan dengan masalah terkait.

c. Bahan hukum tersier, adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti :

Kamus bahasa Indonesia, kamus hukum dan kamus ilmiah.

17 Cholid Narboko dan Abu Achmadi, Metode Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara

Pustaka, 2011), hlm. 1.

Page 22: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

11

4. Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam skripsi ini dilakukan dengan

menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu mendeskripsikan materi isi dan

keabsahan data yang ditemukan dalam fatwa MUI (Fatwa Nomor : 001/KF/MUI-

SU/I/2017 tentang Penistaan Agama), Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :

1612/Pid.B/2018/PN Mdn, dan hierarki peraturan perundang-undangan di

Indonesia.

Teknik penulisan skrispi ini berdasarkan buku Pedoman Penulisan Skripsi

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini berisi deskripsi bab per bab:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang masalah, identifikasi masalah,pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,review

kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Sumber Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia

Bab ini membahas tentang kajian teoritis yaitu mengenai sumber

hukum Islam yang disepakati dan tidak disepakati, kedudukan fatwa

dalam hukum Islam, metode penetapan fatwa dalam MUI, sumber

hukum positif Indonesia, dan kedudukan fatwa MUI dalam hukum

positif di Indonesia.

BAB III : Preseden Kasus Penistaan Agama Di Indonesia

Bab ini membahas tentang Kasus Penodaan Agama di Indonesia

mengenai deskripsi kasus penodaan agama Meliana, kualifikasi delik

penodaan Agama menurut dakwaan JPU, tuntutan JPU, dan vonis

hakim.

BAB IV : Analisis terhadap Putusan PN Medan Nomor :

1612/Pid.B/2018/PN Mdn

Pembahasan dalam bab ini yaitu menganalisis Fatwa MUI NOMO R :

001/KF/MUI-SU/I/2017 Tentang Penistaan Agama serta menjelaskan

pertimbangan hukum majelis hakim.

Page 23: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

12

BAB V : Penutup

Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu

penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping

itu penulis menengahkan beberapa saran yang dianggap perlu.

Page 24: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

13

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kerangka Teori

1. Kepastian Hukum

Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,

terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan

kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman

perilaku bagi setiap orang.

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti. Hukum secara

hakikat harus pasti dan adil. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang

hanya bisa dijawab secara normatif bukan sosiologis. Kepastian hukum

secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan

secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis.1 Jelas dalam arti tidak

menimbulkan keraguraguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian menjadi

suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau

menimbulkan konflik norma.

Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat

membentuk konsestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Jadi

kepastian hukum ialah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan

terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa

kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku

terhadap hukum secara benar-benar.

Sehingga kepastian hukum menunjukan kepada pemberlakuan

hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaanya

tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang bersifat subyektif.

Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara

faktual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau

adil bukan sekedar hukum yang buruk, melainkan bukan hukum sama

1 Cst Kansil,at al, Kamus Istilah Hukum. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2009),

h. 385.

Page 25: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

14

sekali. Kedua sifat itu termasuk paham hukum itu sendiri (den begriff des

Rechts).2

Hukum adalah keseluruhan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah

serta semua asas yang mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat dan

bertujuan untuk memelihara ketertiban serta meliputi berbagai lembaga

dan proses guna mewujudkan berlakunya kaidah sebagai suatu kenyataan

dalam masyarakat. Dimana proses pelaksanaanya dipaksakan guna

mendapatkan keadilan dengan pemberian sanksi apabila ada yang

melanggar hukum tersebut. Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak

dapat dipisahkan dari hukum terutama untuk norma hukum tertulis.

Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak

lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang, Ubi jus

incertum, ibi jus nullum (di mana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada

hukum). Bahwa dalam hal penegakan hukum setiap orang selalu berharap

dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya sesuatu peristiwa konkrit.

Jadi dengan kata lain bahwa suatu peristiwa tersebut tidak boleh

menyimpang dan harus tetap sesuai dengan hukum yang berlaku sehingga

kepastian hukum dapat diwujudkan.

Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan yang terdapat di dalam

isi Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 sebagai berikut:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan

hukum”

Menurut Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua segi.

Pertama, mengenai soal dapat dibentuknya (bepaalbaarheid) hukum

dalam hal uang konkret. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan

ingin mengetahui hukum dalam hal yang khusus sebelum memulai

perkara. Kedua, kepastian hukum berarti keamanan hukum. Artinya

2 Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir,

(Bandung: PT. Revika Aditama, 2006), h. 79-80.

Page 26: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

15

perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan hakim.3 Kepastian

hukum harus selalu dijunjung tinggi apa pun akibatnya dan tidak ada

alasan untuk tidak menjunjung hal tersebut karena dalam paradigmanya

hukum positif adalah satu-satunya hukum. Kepastian hukum berarti

bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan

tuntutan itu harus dipenuhi.

Menurut Jan Michiel Otto, kepastian hukum yang sesungguhnya

memang lebih berdimensi yuridis. Namun Otto memberikan batasan

kepastian hukum yang lebih jauh dalam mendefinisikan kepastian hukum

sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu yaitu:

a) Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah

diperoleh (accessible).

b) Instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan

hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat

kepadanya.

c) Warga secara prinsipil menyesuaikan perilaku mereka terhadap

aturan-aturan tersebut; dan

d) Hakim-hakim peradilan yang mandiri dan tidak berpihak

menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu

mereka menyelesaikan sengketa hukum.

Kepastian hukum menjadi hal yang mendasari penelitian ini karena

penelitian ini bermaksud untuk memastikan agar kebijakan pemerintah

selalu memiliki dasar yang kuat sehingga kelak dapat

dipertanggungjawabkan terutama dalam permasalahan hukum yang

mendasari pembentukan sebuah kebijakan umum yang berkaitan langsung

dampaknya bagi masyarakat.

3 L.J.Van Apeldoorn dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran

Kerangka Berfikir, (Bandung: PT Revika Aditama, 2006), h. 82-83.

Page 27: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

16

2. Stufenbau (Teori Piramida Hukum)

Menurut Kelsen, tata kaedah hukum dari suatu negara,

merupakan suatu sistem kaedah-kaedah hukum yang hierarkhis yang

dalam bentuknya yang sangat sederhana.4 Sedangkan menurut Adolf

Merkl, suatu norma hukum itu posisinya di atas, menjadi sumber bagi

norma hukum di bawahnya yang memiliki masa berlaku (rechtskracht)

yang relatif oleh karena itu masa berlaku suatu norma hukum itu

tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya. Dan apabila

norma hukum yang di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma

hukum yang berada di bawahnya pun ikut tercabut dan terhapus pula.5

Dalam teori jenjang norma hukum (stufentheory) Hans Kelsen

berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang dan berlapis dalam suatu

hierarki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku,

bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Sedangkan norma

yang lebih tinggi akan bersumber dan berdasar pada norma yang lebih

tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak

dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif. Sehingga

kaidah dasar di atas sering disebut dengan norma dasar.

Menurut Kelsen, norma dasar pada umumnya adalah meta

juridisch (etika), bukan produk bahan pembuat undang-undang, bukan

bagian dari peraturan perundang-undangan, namun merupakan sumber

dari semua sumber dari tatanan peraturan perundang-undangan yang

berada di bawahnya.6 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:

4 Purnandi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung:Opset Alumni,

1979),

h. 41. 5 Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya,

(Yogyakarta:Kanikus, 2006), h. 25-26. 6 Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang (Jakarta:Rajawali

Press, 2008), h. 54

Page 28: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

17

1) Suatu tata kaidah hukum merupakan sistem kaidah-kaidah hukum

secara hierarki

2) Susunan kaidah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat

terbawah ke atas

3) Sahnya kaidah-kaidah hukum dari golongan tingkat yang lebih

rendah tergantung atau ditentukan oleh kaidah-kaidah yang

termasuk golongan yang tingkatnya lebih tinggi.7

Teori ini digunakan sebagai alat ukur untuk mengetahui posisi

suatu hukum yang digunakan sebagai dasar suatu kebijakan yang

dikemukakan oleh pemerintah, terlebih berkaitan dengan kebijakan

pembentukan holding BUM ini terjadi beberapa tumpang tindih antara

Undang-Undang BUMN dan PP nomor 27 Tahun 2006 dalam pengaturan

mengenai penyertaan modal khususnya.

B. Sumber Hukum Islam

1. Sumber Hukum Islam yang Disepakati

Menurut Abdul Wahhab Khallaf kata adillah syariyyah (sumber

hukum Islam), bersinonim dengan istilah adillah al-ahkam, ushul al-

ahkam, al-mashadir al-Tasyri’iyah li al-ahkam.8 Para ulama membagi

dalil hukum syara’ menjadi dua, yaitu dalil yang disepakati (muttafaq) dan

dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf).

Dalil yang disepakati terdiri dari empat macam, yaitu Al-Qur’an,

Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Pada urutan prioritas penggunaannya harus

digunakan secara tertib. Maka apabila terjadi peristiwa konsuekensinya

harus dilihat hukumnya terlebih dahulu dalam al-Qur’an, jika tidak

ditemukan maka dilihat hukumnya dalam Hadis, jika tidak ditemukan

dilihat hukumnya di dalam Ijma’, jika tidak ditemukan juga, maka

berijtihad untuk mendapatkan hukumnya dengan menggunakan Qiyas.9

7 Purnandi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung:Opset Alumni,

1979),

h. 42. 8 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Mesir, Maktabah al-Da’wah al

Islamiyah, 1990 cet. VII), hlm. 20. 9 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm, 26.

Page 29: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

18

Adapun dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf) menurut Wahbah

az-Zuhaili ada tujuh, yaitu istihsan, maslahah mursalah (istislah), istishab,

urf, mazhab sahabi, syar’u man qablana, dan saddu al-zariah.10 Tetapi

menurut abdul Wahhab Khallaf hanya ada enam, yatiu dengan meniadakan

saddu al-zariah. Jadi menurut Abdul Wahhab Khallaf jumlah keseluruhan

adillah syar’iyyah berjumlah sepuluh macam.11

Adapun jika dilihat dari sumber pengambilannya dari kesepuluh

atau sebelas adillah syar’iyyah diatas menurut Wahbah az-Zuhaili dalam

kitabnya al-Wajiz fi Ushul Fiqh terbagi menjadi dua, yaitu naqliyah dan

aqliyah. Naqliyah meliputi al-Qur’an, sunah, Ijma’, urf, syar’u man

qablana, dan mazhab sahabi. Adapun aqliyah meliputi Qiyas, maslahah

mursalah, istihsan, istishab, dan saddu al-zara’i.12

Sumber atau dalil fikih yang disepakati, seperti dikemukakan Abu

Bakar seorang mufassir yang bermazhab Hanafi menyatakan, ada empat

yaitu Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, Ijma’, dan Qiyas13. Berikut secara

ringkas akan dijelaskan masing-masing dari empat dalil tersebut.

a. Al-Qur’an

Al-Qur’an dalam kajian Ushul Fiqh merupakan objek pertama

dan utama pada kegiatan penelitian dalam memecahkan suatu hukum.

Al-Qur’an menurut bahasa berarti ر ق

ر ق ي –أ

–أ

ة اء –قر

آنا ر

ق و dan

menurut istilah Ushul Fiqh Al-Qur’an berarti “kalam” (perkataan)

Allah yang diturunkan-Nya dengan perantara Malaikat Jibril kepada

Nabi Muhammad SAW, dengan bahasa Arab serta dianggap beribadah

membacanya.14

10 Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh Jilid I, (Beirut: Daar al Fikr, 2001 cet. 2), hlm.

441. 11 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 22. 12 Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1999)

cet. Ke-2, hlm. 22. 13 Ahmad bin Ali al-Jashshos al-Hanafi, Al-Fushuul fil Ushuul Jilid II, (Kuwait:

Wizaroh al-Auqoof al-Kwaitiyyah, 1994), hlm. 31. 14 Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Anshori, Lisan al-’Arob Jilid X, (Beirut: Daar

Shodir, 1990), hlm. 321.

Page 30: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

19

Al-Qur’an mulai diturunkan di Mekkah, tepatnya di Gua Hira

pada tahun 611 M, dan berakhir di Madinah pada tahun 633 M, dalam

jarak waktu kurang lebih 22 tahun beberapa bulan. Adapun ayat

pertama yang diturunkan adalah ayat 1 sampai 5 Surah Al-‘Alaq.

Sedangkan ayat yang terakhir diturunkan ulama berbeda pendapat, dari

sekian pendapat ulama, pendapat yang dipilih oleh Jalaluddin As-

Suyuti (w.911 H) seorang ahli ilmu Al-Qur’an, dalam kitabnya al-

Itqan fi Ulum Al-Qur’an yang dinukilnya dari Ibnu Abbas adalah ayat

281 Surah Al-Baqarah.15

b. Sunnah Rasulullah

Kata sunnah secara bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu,

baik perilaku yang baik atau perilaku yang buruk”. Menurut istilah

Ushul Fiqh, Sunnah Rasulullah seperti dikemukakan oleh Muhammad

‘Ajjaj al-Khatib (Guru Besar Hadis Universitas Damaskus), berarti

“Segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik

berupa ucapan (Sunnah qauliyyah), perbuatan (Sunnah fi’liyyah), atau

pengakuan (Sunnah taqririyah) 16

Sunnah merupakan sumber hukum kedua yang muttafak

(disepakati) setelah Al-Qur’an. Menurut fuqaha sunnah mengandung

dua pengertian, pertama ibadah yang bukan wajib (nafal) dan kedua

lawan dari bid’ah.17

Sunnah atau Hadis dari segi sanadnya atau periwayatannya

dalam kajian Ushul Fiqh dibagi menjadi dua macam, yaitu Hadis

mutawatir dan Hadis ahad. Hadis mutawatir ialah Hadis yang

diriwayatkannya dari Rasulullah oleh sekelompok perawi yang

menurut kebiasaan individu-individu jauh dari kemungkinan

berbohong, karena banyak jumlah mereka dan diketahui sifat masing-

masing mereka yang jujur serta berjauhan tempat antara yang satu

15 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 79. 16 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, hlm. 103. 17 Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul Fiqh, (Kairo: al-Raudhah, 1998),

Cet. Ke-1, hlm. 148.

Page 31: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

20

dengan yang lain.18 Hadis mutawatir terbagi dua macam; pertama,

Hadis mutawatir lafzy yaitu Hadis yang diriwayatkannya oleh orang

banyak yang bersama-sama arti dan lafalnya. Kedua Hadis mutawatir

ma’nawy ialah beberapa Hadis yang beragam redaksinya tetapi

maknanya sama.19

Para penutur Hadis yang dinilai tidak bersepakat berdusta itu

adalah para periwayat Hadis pada tiga generasi sahabat, tabi’in, tabi’

at-tabi’in, karena setelah itu ada masa pembukuan Hadis yang secara

otomatis Hadis-Hadis Rasulullah tersebar luas ke berbagai belahan

dunia Islam sampai pada generasi-generasi sesudahnya hingga

sekarang.20

Hadis Ahad yaitu sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah

oleh satu atau dua orang atau lebih yang tidak memenuhi syarat sunnah

masyhur. Kehujahan sunnah ahad dalam hukum hanya mencapai

peringkat zhan tidak sampai kepada tingkat qat’i.21

c. Ijma’

Kata Ijma’ secara bahasa berarti “kebulatan tekad terhadap

suatu persoalan” atau “kesepakatan tentang suatu masalah”.22 Menurut

istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan ‘Abdul Karim Zaidan, adalah

“kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang hukum

syara’ pada satu masa setelah Rasululllah wafat”.23

Menurut Abu Zahrah, para ulama pun sepakat bahwa Ijma’

adalah sah dijadikan sebagai dalil hukum. Demikian mereka berbeda

pendapat mengenai jumlah pelaku kesepakatan sehingga dapat

18 Abu Abdillah Muhammad bin Ja’far al-Kattani, Nadzmul Mutanatsir Minal

Haditsil Mutawatir, (Mesir: Daarul Kutub al-‘Ilmiyah, tt), hlm. 10. 19 Al-Imam Jalaluddin as-Suyuti, Qathful Azhar al-Mutanatsiroh fil Akhbar al

Mutawatiroh, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1985), hlm. 11. 20 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.

41. 21 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Mesir: Daar al Fikr al-‘Arobi, 1958),

hlm 108. 22 Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Anshori, Lisan al-’Arob Jilid VIII, hlm. 57. 23 Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah ar

Risalah, 2015), hlm. 389.

Page 32: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

21

dianggap sebagai Ijma’ yang mengikat umat Islam. Menurut Mazhab

Maliki, kesepakatan sudah dianggap Ijma’ meskipun hanya merupakan

kesepakatan penduduk Madinah yang dikenal dengan Ijma’ al-

Madinah.24

Menurut kalangan Syi’ah, Ijma’ adalah kesepakatan para imam

di kalangan mereka.25 Sedangkan menurut jumhur ulama, kata

Muhammad Abu Zahrah, Ijma’ sudah dianggap sah dengan adanya

kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid,26 dan menurut Abdul

Karim Zaidan, Ijma’ baru dianggap terjadi bilamana merupakan

seluruh ulama mujtahid.27 Para ulama Ushul Fiqh mendasarkan

kesimpulan mereka bahwa Ijma’ adalah sah dijadikan sebagai landasan

hukum kepada berbagai argumentasi, seperti pada Surah an-Nisa’ ayat

115:

سول من بعد ما تب شاقق ی و من نول ہ ن ی المؤمن ل ی سب ر ی غ تبع ی و یلہ الہد ن ی الر

ما تول ی و نصلہ جہنم و ساءت مص ی را28

“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas

kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-

orang yang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan

yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam

neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat

kembali.” (Q.S: An-Nisa’:115)

Ijma’ baru dapat diakui sebagai dalil atau landasan hukum

bilamana dalam pembentukannya mempunyai landasan syara’ yang

disebut sanad (landasan) Ijma’. Para ulama Ushul Fiqh sepakat atas

keabsahan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan Ijma’. Contoh

Ijma’ yang dilandaskan atas Al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama

24 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh hlm. 114. 25 Muhammad Taqi al-Hakim, Al-Ushul al-‘Aammah lil Fiqh Muqoron, (Iran:

Daarul Fiqh liththoba’ah Wannasyr, 1431), hlm. 276. 26 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, hlm. 185. 27 Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah ar

Risalah, 2015), hlm. 392. 28 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil Qur’an,

2007) hlm. 97.

Page 33: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

22

atas keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan. Kesepakatan

tersebut dilandaskan pada Surah An-Nisa’ ayat 23.29

d. Qiyas

Qiyas atau analogi menurut bahasa berarti “mengukur sesuatu

dengan sesuatu yang lain untuk diketahui adanya persamaan antara

keduanya”.30 Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan oleh

Wahbah az-Zuhaili adalah, menghubungkan (menyamakan hukum)

sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan

‘illat antara keduanya.31

Qiyas adalah salah satu kegiatan ijtihad yang tidak ditegaskan

dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Para ulama ushul fiqh klasik dan

kontemporer sepakat mengemukakan bawaha proses penatapan hukum

melalui metode Qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal (istbat

al-hukm wa insya’uhu), melainkan hanya menyingkapkan dan

menjelaskan hukum (al-kasyf wa al-izhhar li al-hukm) yang ada pada

suatu kasus yang belum jelas hukumnya.32 Penjelasan ini dilakukan

melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap ‘illat dari suatu

kasus yang sedang dihadapi.

2. Sumber Hukum Islam yang Tidak Disepakati.

Dalil-dalil hukum yang diperbedakan di kalangan ulama antara lain

yang terpenting adalah istihsan, maslahah mursalah, ‘urf (adat istiadat),

istishab, syar’u man qablana, mazhab sahabat, dan sadd adz-dzari’ah.33

a. Istihsan

Menurut bahasa istihsan berarti menganggap sesuatu lebih

baik, adnya sesuatu itu lebih baik, atau mengikuti sesuatu yang lebih

baik atau mencari yang lebih baik untuk diikuti.34 Sedangkan istihsan

29 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, hlm. 116. 30 Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Anshori, Lisan al-’Arob Jilid X, hlm. 334. 31 Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Daar al-Kutub al-ilmiyah,

1986), hlm. 601. 32 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, hlm. 63. 33 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, hlm. 130. 34 Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Anshori, Lisan al-’Arob Jilid III, hlm. 180.

Page 34: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

23

menurut istilah Ushul Fiqh seperti dikemukakan oleh Wahbah az-

Zuhaili, terdiri dari dua definisi yaitu, Istihsan Qiyasi dan Istihsan

Istisnaiy.35

b. Maslahah Mursalah

Menurut istilah terdiri dari dua kata yaitu, maslahah dan

mursalah. Kata maslahah menurut bahasa berarti “perbaikan”, dan kata

mursalah berarti “lepas”.36 Gabungan dari dua kata tersebut yaitu

maslahah mursalah menurut istilah seperti dikemukakan Abdul Wahab

Khalaf, berarti “sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada

ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak ada pula dalil

tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya”, sehingga ia

disebut maslahah mursalah (maslahah yang lepas dari dalil secara

khusus).37

c. ‘Urf (Adat Istiadat)

Kata ‘urf secara etimologi berarti “sesautu yang dipandang baik

dan diterima oleh akal sehat”.38 Sedangkan secara terminologi, seperti

dikemukakan Abdul Karim Zaidan, istilah ‘urf berarti sesuatu yang

tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan

dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau

perkataan. Istilah ‘urf dalam pengertian tersebut sama dengan

pengertian istilah al-‘adah (adat istiadat).39

d. Istishab

Kata istishab secara etimologi berarti “ meminta ikut serta

secara terus menerus”.40 Menurut Abdul Karim Zaidan, ahli Ushul

Fiqh, istishab berarti menganggap tetapnya status seperti keadannya

semua selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.41

35 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, hlm. 264. 36 Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Anshori, Lisan al-’Arob Jilid II, hlm. 517. 37 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 79. 38 Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Anshori, Lisan al-’Arob Jilid IX, hlm. 238. 39 Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, hlm. 398. 40 Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Anshori, Lisan al-’Arob Jilid IV, hlm. 2401. 41 Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, hlm. 340.

Page 35: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

24

e. Syar’u Man Qablana

Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan syar’u man qablana,

“hukum-hukum Allah yang disyariatkan kepada umat terdahulu

melalui Nabi-nabi mereka seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi

Daud, dan Nabi Isa”.42 Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa syariat

para nabi tedahulu tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah

Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam, karena kedatangan

syariat Islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu.

Demikian pula para ulama Ushul Fiqh sepakat, bahwa syariat sebelum

Islam yang dicantumkan dalam Al-Qur’an adalah berlaku bagi umat

Islam bilamana ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat

Islam Nabi Muhammad SAW, namun keberlakuannya itu bukan

karena kedudukannya sebagai syariat sebelum Islam tetapi karena

ditetapkan oleh Al-Qur’an.

f. Mazhab Sahabi

Yang dimaksud mazhad sahabi disini ialah pendapat sahabat

Rasulullah tentang suatu kasus di mana hukumnya tidak dijelaskan

secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sedangkan yang

dimaksud dengan sahabat Rasulullah ialah setiap orang muslim yang

hidup bergaul bersama Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta

menimba ilmu dari Rasulullah.43

Mereka menerima risalah Nabi mendengar keterangan Nabi

tentang syariat. Dengan kriteria itu, maka jumhur fuqaha menetapkan

bahwa perkataan mereka dapat dijadikan hujah setelah al-Qur’an dan

Hadis.

g. Sadd Adz-Dzari’ah

Kata sadd menurut bahasa berarti “menutup”, dan kata adz-

dzari’ah berarti “wasilah” atau “jalan ke suatu tujuan”. Dengan

42 Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz Fi Ushul al-Fqih, hlm. 101. 43 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, hlm. 212.

Page 36: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

25

demikian secara bahasa berarti “menutup jalan kepada suatu tujuan”.44

Menurut istilah Ushul Fiqh ialah, menutup jalan yang membawa

kepada kebiasaan atau kejahatan.45

Adapun menurut istilah syara’ sebagaimana dikemukakan oleh

Imam al-Syaukani sebagaimana dikutip oleh Fathurrahman Djamil;

sadd adz-dzari’ah ialah “sesuatu yang secara lahiriah hukumnya boleh,

namun hal itu akan membawa kepada hal yang dilarang”.46

C. Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam.

Pengertian fatwa secara etimologis kata fatwa berasal dari bahasa

Arab al-fatwa. Menurut Ibnu Manzhur kata fatwa ini merupakan bentuk

mashdar dari kata fata, yaftu, fatwan, yang bermakna muda, baru,

penjelasan, penerangan. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat al-

Fayumi, yang menyatakan bahwa al-fatwa berasal dari kata al-fata ,

artinya pemuda yang kuat.

Sehingga seorang yang mengeluarkan fatwa dikatakan mufti,

karena orang tersebut diyakini mempunyai kekuatan dalam memberikan

penjelasan (al-bayan) dan jawaban terhadap permasalahan yang

dihadapinya sebagaimana kekuatan yang dimiliki oleh seorang pemuda.47

Menurut al-Jurjani, fatwa berasal dari al-fatwa atau al futya , artinya

jawaban terhadap suatu permasalahan (musykil) dalam bidang hukum.

Sehingga fatwa dalam pengertian ini juga diartikan sebagai penjelasan (al

-ibanah).

Pengertian fatwa secara terminologis, sebagaimana dikemukakan

oleh Zamakhsyari adalah penjelasan hukum syara’ tentang suatu masalah

atas pertanyaan seseorang atau kelompok. Menurut as-Syatibi, fatwa

dalam arti al-iftaa berarti keterangan-keterangan tentang hukum syara’

yang tidak mengikat untuk diikuti. Menurut Yusuf Qardawi, fatwa adalah

44 Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Anshori, Lisan al-’Arob Jilid VIII, hlm. 96. 45 Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Jilid II (Damaskus: Daar al Fikr, tt), hlm. 873. 46 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos,

1995), hlm. 54. 47 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Elsas, Jakarta, 2008, hlm.

19

Page 37: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

26

menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban atas

pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa ( mustafi ) baik secara

perorangan atau kolektif.

Dari beberapa pengertian di atas, terdapat dua hal penting, yaitu:

1. Fatwa bersifat responsif, yaitu merupakan jawaban hukum (legal

opinion) yang dikeluarkan setelah adanya suatu pertanyaan atau

permintaan fatwa (based on demand);

2. Fatwa sebagai jawaban hukum (legal opinion) tidaklah bersifat

mengikat. Orang yang meminta fatwa (mustafti), baik perorangan,

lembaga, maupun masyarakat luas tidak harus mengikuti isi atau

hukum yang diberikan kepadanya.

Pengertian fatwa menurut arti bahasa (lughawi) adalah jawaban

suatu kejadian (memberikan jawaban yang tegas terhadap segala peristiwa

yang terjadi dalam masyarakat). Fatwa menurut arti syariat ialah suatu

penjelasan hukum syariat dalam menjawab suatu perkara yang diajukan

oleh seseorang yang bertanya, baik penjelasan itu jelas atau ragu-ragu dan

penjelasan itu mengarah pada dua kepentingan yakni kepentingan pribadi

atau kepentingan masyarakat banyak.48

Kehidupan manusia terus berkembang seiring dengan

berkembangnya tata pikir dan budaya manusia. Fatwa merupakan suatu

keputusan hukum atas suatu masalah yang dilakukan oleh seorang ulama

yang berkompeten baik dari segi ilmu atau kewaraannya. Fatwa

dikeluarkan baik diminta ataupun tidak, karena itu perkembangan fatwa

dalam sistem hukum Islam sangat penting seiring dengan permasalahan

sosial yang semakin hari semakin banyak dan kompleks dibandingkan

dengan permasalahan yang terjadi pada masa Nabi Muhammad, SAW, dan

para sahabat. Permasalahan yang dialami Rasulullah dan para sahabatnya

tidak serumit yang dihadapi sekarang, disisi lain Allah, SWT telah

48 Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, Bumi

Aksara, Jakarta, 2006, hlm. 7

Page 38: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

27

mencukupkan wahyu-Nya dan hadits yang disampaikan Rasulullah untuk

memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada.49

Rasulullah sebagai rasul terakhir membawa konsekuensi bahwa

aturan-aturan dan hadits yang telah berhenti ketika Rasulullah meninggal

dunia bisa digunakan untuk memecahkan permasalahan kekinian.

Konsekuensi ini merupakan tugas dan tanggung jawab yang besar dan

berat yang dipikul oleh umat Islam, khususnya mereka yang memiliki titel

sebagai Alim Ulama.

Ulama atau mujtahid atau mufti memiliki tugas untuk mengurai

ayat-ayat Alquran dan hadits tidak hanya secara kontekstual, tidak hanya

dengan memahami asbabal wurud dan asbabal nuzul, tetapi dia harus bisa

mengkonstekstualkan ayat dan hadits tersebut dengan kondisi sekarang

sebagai pengejawantahan hadits al islam shalih li kulli zaman wa makan

(Al-Qur’an dan hadits sebagai kitab suci umat Islam yang ‘diyakini’ selalu

relevan disetiap zaman dan waktu).

Ulama memiliki tanggung jawab untuk merumuskan jawaban atas

pertanyaan dan permasalahan yang terjadi di masyarakat yang dahulunya

tugas dan tanggung ini diemban oleh Nabi, namun ketika Nabi tidak ada,

tugas dan tanggung jawab tersebut beralih kepada para ulama yang

meneruskan dan menggantikan posisi Nabi, dalam memberikan jawaban

atas pertanyaan yang disampaikan oleh masyarakat atas permasalahan

yang mereka hadapi. Ulama adalah orang yang mempunyai keilmuan dan

perilaku sebagaimana sifat yang ada pada Nabi Muhammad, SAW.

Fungsi ulama terdapat pada berbagai profesi seperti peradilan,

maka hakimnya adalah ulama yang menjadi Qadhi (hakim) atau ulama

yang memberikan fatwa disebut Mufti. Dalam kaitan dengan fatwa,

terdapat tiga hal yang dominan, yaitu:

49 Ridwan Nurdin, Kedudukan Fatwa MUI Dalam Pengembangan Ekonomi

Syariah di Indonesia, makalah disampaikan dalam diskusi dengan Tim

Penelitian, tanggal 17 Juni 2011.

Page 39: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

28

a. Pihak-pihak yang berkepentingan seperti peseorangan,

masyarakat, pemerintah dan lainnya atas fatwa;

b. Masalah atau persoalan yang diperlukan ketetapan hukumnya;

c. Para ulama yang mengerti hukum syariat , mempunyai otoritas

mengeluarkan fatwa.

Kata ijtihad secara etimologi berarti bersungguh-sungguh dalam

menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran. Di kalangan ulama Ushul

Fiqh terdapat berbagai redaksi dalam mendefinisikan ijtihad, namun

intinya adalah sama. Adapun menurut Ibnu Abd al-Syakur, dari kalangan

Hanafiyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan kemampuan untuk

menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai ke tingkat zhanni

(dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bias lagi berupaya

lebih dari itu”.50

Sedangkan menurut al-Baidawi dari kalangan Syafi’iyah

mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan seluruh kemampuan dalam

upaya menemukan hukum-hukum syara’”.51 Lebih jelas lagi definisi

ijtihad menurut Abu Zahrah Ahli Ushul Fiqh yang hidup pada abad ke 20

ini mendefinisikan ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang ahli fikih akan

kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan

dengan amal perbuatan dari satu per satu dalilnya”.52

Definisi ijtihad lain yang dikemukakan oleh Abu Zahrah adalah:

“Mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal, baik untuk meng-

istinbath-kan hukum syara’, maupun dalam penerapannya”.

Dasar hukum ijtihad antara lain:

- Surah An-Nisa’ Ayat 59

تمأ ف زعأ ر منكمأ فإن تن مأ سول وأولى الأ أی ها الذین ءامنوا أطیعوا هللا وأطیعوا الر ء فرد وه إلى هللا ی ى شىأ

سن تأأو یل 53 لك خیأر وأحأ خر ذ م الأ منون باهلل والأیوأ سول إن كنتمأ تؤأ والر

50 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, hlm. 223. 51 Muhammad bin Idris as-Syafi’I, Kitab ar-Risalah li as-Syafi’I, (Beirut: Daar al

Kutub al-‘Ilmiyah, tt), hlm. 655. 52 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, hlm. 228. 53 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 87.

Page 40: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

29

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),

dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat

tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan

Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan

hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik

akibatnya. (Q.S: An-Nisa’: 59)

- Hadis yang diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal.54

ل هللا صلى هللا علیأه وسلم بعث م حاب معاذ أن رسوأ رو عنأ رجال منأ اصأ عاذ الى الأیمن عنأ الأحارث بأن عمأ

ل هللا صلى هللا عل یأه وسلم فإنأ لمأ یكنأ فى فقال كیأف تقأضى ؟ قال معاذ اقأضى بما فى كتاب هللا قال رسوأ

ل هللا صلى هللا علیأه وسلم . قال فإنأ لمأ یكنأ فى سنة رسوأ ل هللا صلى هللا علیأه كتاب هللا ؟ قال فبسنة رسوأ

ل هللا صلى هللا ع لیأه وسلم 55 تهد وفق رسوأ وسلم قال اجأ

Dari Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu’az

sesungguhnya Rasulullah SAW mengutus Mu’az ke Yaman, maka beliau

bertanya kepada Mu’az atas dasar apa anda memutuskan suatu

persoalan, dia jawab, dasarnya adalah Kitab Allah, Nabi bertanya:

“kalau tidak anda temukan dalam kitab Allah?”, dia menjawab dengan

dasar Sunnah Rasulullah. Beliau bertanya lagi: “kalau tidak anda

temukan dalam Sunnah Rasulullah?”, Mu’az menjawab aku akan

berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi berkata: “Segala pujian bagi

Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW.” (HR.

Tirmidzi)

Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat Hadis yang

tidak sampai ke tingkat Hadis mutawatir seperti Hadis ahad, atau sebagai

upaya memahami redaksi ayat atau Hadis yang tidak tegas pengertiannya

sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad.56

54 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, hlm. 226. 55 Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi Jilid III, (Mesir: Syirkah

Maktabah wa Mathba’ah Musthofa al-Baabi al- Halbi, 1975), hlm. 608. 56 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, hlm. 227.

Page 41: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

30

a. Pengertian Ijtihad

Menurut bahasa, kata Ijtihad ( إجتهاد) berasal dari bahasa Arab,

yaitu bentuk Masdar dari kata د ه ت هد –إج ت ج ي yang artinya mengarahkan

segala kesanggupan untuk mengerajakn sesuatu yang sulit.57 Berdasarkan

pengertian Bahasa ini, maka tidak tepat jika kata ijtihad digunakan untuk

ungkapan “orang itu berijtihad dalam mengangkat tongkat”. Sebab

mengangkat tongkat adalah perbuatan mudah dan ringan yang bisa

dilakukan oleh siapa saja.

Secara terminologi sebagaimana didefiniskan oleh Muhammad

Abu Zahra, ijtihad yaitu:

كام الأعملیة منأ ادلته ا التفأصلیة 58 حأ تنأباط الأ عة فى اسأ بذأل الأفقیأه وسأ

Artinya: “Pengerahan segala kemampuan seorang ahli fiqih dalam

menetapkan (istinbat) hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan

dari dalilnya secara terperinci (satu per satu).”

Imam Al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan

semua kemampuan untuk mencari syara yang bersifat dzhanni, sampai

merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya

itu.59 Kemudian menurut definisi sebagian ulama ushul fiqih sebagaimana

dikutip oleh Abu Zahra bahwa ijtihad adalah “mencurahkan segala

kesanggupan dan kemampuan semaksimal mungkin itu adakalanya dalam

istinbat (penatapan) hukum syariat adakalanya dalam penerapan hukum.”

Berdasarkan definisi kedua yang dikemukakan oleh sebagian

ulama di atas maka ijtihad itu terbagi menjadi dua:60

57 Ibnu Sholah, Adabul Mufti wal Mustafti, (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wal

Hikam,

2002), hlm. 25. 58 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, hlm. 379. 59 Abd. Wafi Has, Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam,

(Episteme, Vol. 8 No. 1, Juni 2013), hlm. 92. 60 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, hlm. 253.

Page 42: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

31

1) Ijtihad yang dilakukan secara khusus oleh para ulama yang

mengkhususkan diri untuk menetapkan hukum dari dalilnya.

2) Ijtihad dalam penerapan hukum, yaitu menerapkan hukum termasuk

hasil ijtihad para ulama terdahulu.

Menurut pendapat Mazhab Hambali sebagaimana dikutip oleh

Imam Abu Zahra bahwa setiap masa tidak boleh ada kekosongan dari

seorang mujtahid dan pintu ijtihad untuk semua tingkatan harus terbuka

terus meski diakui tingkat kemampuan dan kecerdasan mujtahid berbeda.

MUI mempunyai sistem dan prosedur penetapan fatwa yang

dikenal dengan metode istinbath (pemahaman, penggalian, dan

perumusan) hukum. Sistem dan prosedur yang diterapkan dalam

penetapan fatwa MUI merupakan bagian dari ijtihad. Para ahli ilmu ushul

fiqh pun berbeda pendapat dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan

ijtihad, antara lain, dikatakan sebagai:

61 عي ر

ش م

بح ك

ن لظ ح صي لت ع س و

هال ف قي

ال

اغ تف ر اس

“(Ijtihad ialah) pencurahan segenap kemampuan secara maksimal yang

dilakukan oleh seorang ahli fikih (faqih) untuk mendapatkan pengetahuan

tingkat zhan (dugaan kuat) mengenai hukum syar’i (Islam).”

Sedikit penambahan diungkapkan oleh Al-Hamidi, sebagai berikut:

ا ر ف تس اغ

و ال ي فعس

ط ل ب

ال

ظ

بن

مء ي ش ن ح ال

امك ،ع ةي عر الش

حي هج ىو ل مس سف الن ن

ه62 دفي زي نال ج زع ع

ال

“(Ijtihad ialah) pencurahan segenap kemampuan maksimal dalam

mencari pengetahuan tingkat zhan mengenai hukum syar’i, dalam batas

sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya itu.”

Kedua definisi di atas saling melengkapi satu sama lain. Dari

kedua definisi tersebut dapat dipahami, sekurangnya tiga hal, yaitu:

61 Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalli, Syarh ‘ala Matnn Jam’I al-Jawami’,

(Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, tt), hlm. 379. 62 Al-Hamidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Kairo: Muassasah al-Halabi wa

Syirkah, tt), juz IV, hlm. 141.

Page 43: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

32

pertama, pelaku ijtihad atau mujtahid haruslah seorang yang ahli dalam

bidang fikih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain. Kedua, sasaran yang

ingin dicapai dari ijtihad adalah hukum syar’i yang berhubungan dengan

aktivitas dan perbuatan mukalaf. Artinya, ijtihad tidak berlaku dalam

bidang lain, seperti akidah dan akhlak.63 Ketiga, status hukum syar’i yang

dihasilkan melalui ijtihad bersifat zhanni. Istilah zhanni di kalangan ahli

hukum Islam dimaknai sebagai sesuatu yang mendekati kebenaran

(dianggap benar).64 Dari sana pula dapat disimpulkan bahwa hasil ijtihad

seorang mujtahid bersifat relatif yang belum tentu mutlak benar.

Perlu ditekankan, cakupan ijtihad hanya berlaku dalam kasus atau

masalah yang tidak secara eksplisit terdapat dalam nas Al-Qur’an dan

Hadis. Artinya, ijtihad hanya berlaku terhadap nas-nas Al-Qur’an dan

Hadis yang masuk kategori zhanni, baik tsubut maupun dalalah-nya, juga

terhadap kasus yang belum di-Ijma’-kan oleh para ulama.

Para ahli ushul al-fiqh menyebut cakupan ijtihad sebagai lapangan

ijtihad (majal al-ijtihad), yang penjabarannya adalah sebagai berikut:65

1) Ijtihad tidak berlaku terhadap persoalan yang telah ada ketentuan

hukumnya dalam nash yang qath’i at-tsubut wa ad-dalalah, dan

masalah-masalah yang termasuk dalam kelompok ma’lum min ad-

din bi adh-dharurah, seperti wajibnya melaksanakan salat lima

waktu, kewajiban berbuat adil, halalnya jual-beli, haramnya

berzina, haramnya berbuat zalim dan haramnya memakan harta

orang lain tanpa hak, dan sebagainya.

2) Ijtihad tidak berlaku dalam persoalan yang telah diIjma’an oleh

para mujtahid dengan nonmuslim dan pemberian hak waris

seperenam kepada nenek. Persoalan ini tidak daoat dijadikan

sebagai objek ijtihad, dan umat Islam terikat dengan dan wajib

63 Ibrahim Hosen, Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1988), hlm. 23. 64 M. Asrorun Ni’am, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia

(Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa), hlm. 117. 65 Muhammad Salam Madzkur, Manahij al-Ijtihad fi al-Islam, (Kuwait:

Mathba’ah al Ashriyyah, 1974), hlm. 344-346.

Page 44: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

33

untuk mengamalkan hak tersebut. jika para mujtahud telah

bersepakat (Ijma’) atas suatu hukum, maka hukum tersebut

dipandang sebagai hukum bagi umat, dan sebagaimana disabdakan

oleh Nabi Muhammad SAW, umat tidak akan bersepakat atas

kesesatan. Para mujtahid adalah ulu al-amr dalam bidang hukum,

sedangkan Allah memerintahkan umat agar menaaati mereka.

3) Ijtihad diperlukan dalam persoalan yang sudah dijelaskan oleh nash

yang masih zhanni at-tsubut wa ad-dalalah sekaligus. Dalam

masalah ini ijtihad dilakukan dalam dua arah (aspek), yakni

terhadap aspek sanad nash untuk menilai keontetikannya dan

terhadap aspek dalalah-nya atas hukum untuk memilih dan

menentukan dalalah mana yang dipandang kuat (mendekati

kebenaran).

4) Ijtihad diperlukan terhadap nash yang zhanni at-tsubut dan qath’i

ad-dalalah yang terdapat dalam sunnah Nabi Muhammad. Ijtihad

dilakukan dalam aspek sanad untuk menguji keotentikan dan

kebenarannya.

5) Ijtihad diperlukan terhadap nash yang qath’i at-tsubut dan zhanni

ad-dalalah, yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi

Muhammad. Ijtihad dilakukan terhadap aspek dalalah tersebut.

6) Ijtihad diperlukan terhadap persoalan yang sama sekali belum

tersebut dalam nash dan belum ada Ijma’ ulama mengenainya, juga

hal tersebut tidak termasuk dalam perkara al-ma’lum min ad-din bi

ad-dharurah. Ijtihad dalam persoalan ini umumnya disebut dengan

ijtihad bi ar-ra’yi (ijtihad menggunakan penalaran).

Menurut Abu Zahrah, ruang lingkup fatwa lebih khusus lagi

dari ijtihad. Ijtihad muncul karena adanya pertanyaan maupun tidak

ada pertanyaan. Sedangkan fatwa secara umum muncul apabila ada

peristiwa atau pertanyaan dari mustafti, baik perorangan maupun

Page 45: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

34

lembaga yang meminta fatwa.66 Contoh materi fatwa di dalam Al-

Qur’an dapat dijumpai, antara lain dalam Surah An-Nisa, ayat ke 176:

ة لل ك فىال م

تيك ف ي لهللا

ق ك

ون ت ف ت س ي

ف انص ه

ل ف ت

خ ۥأ ه

ل و د

ل ۥو ه

ل س ي

ل ك

ل ه

ا ؤ ر إنام

ر ك ات انمم

ث ل االث م ه

ل نف ي ت

ن ااث ت

ان إنك

ف د

ل او ه

نل

ك ي م

آإنل ه رث ي و ه و ر ك

ات إنم و

للذ

آءف نس و

ال ج ر

ة و

إخ

وا

ان ك ل

بك هللا و

وا

ضل

نت

أ م

ك ل هللا ن ي ب ني ي ي

نث ال

ظ ح ل

رمث

ك

ليم .67 ع ء ى

ش

Artinya:

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah), katakanlah:

“Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika

seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan

mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang

perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan

saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara

perempuan), jika ia idak mempunyai anak; tetapi jika saudaranya

perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari

harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal, dan jika mereka

(ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan,

maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua

orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)

kepadamu, supaya kamu tidak sesat; dan Allah Maha Mengetahui

segala sesuatu.” (Q.S. An-Nisa: 176)

Persyaratan-persyaratan konvensional bagi seorang

mujtahid sebagaimana telah dirumuskan oleh ulama terdahulu

dipandang belum cukup memadai untuk membuatnya layak

melakukan suatu ijtihad. Alasannya, masalah-masalah kontemporer

sudah sedemikian kompleks dan beragam, sehingga mengandalkan

disiplin ilmu konvensional Islam saja tidak mencukupi. Untuk

66 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm. 401 67 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 106.

Page 46: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

35

masa sekarang ini, seorang mujtahid juga perlu menguasai ilmu

lain, seperti sosiologi, antropologi, dan pengetahuan tentang

masalah yang akan digali hukumnya.68

b. Dasar Hukum Ijtihad

- Surat An-Nisa ayat 105:

ول تكنأ ل لأخائنیأ ن خصیأما 69 ك للا كم بیأن الناس بما أر لتحأ ب بالأحق إنا أنأزلأنا إلیأك الأكت

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan

membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dan apa

yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi

penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang

yang khianat.”

Ayat tersebut menurut Wahbah az-Zuhaili mengandung legalitas

ijtihad melalui metode Qiyas.

- Dalam Hadis Nabi:

ر 70 طأ فله أجأ تهد ثم أخأ ران، وإذا حكم فاجأ تهد ثم أصاب فله أجأ إذا حكم الأحاكم فاجأ

“Apabila seorang hakim memutuskan perkara kemudian ia berijtihad lalu

hasil ijtihadnya dinilai benar maka ia mendapatkan dua pahala. Dan

apabila seorang hakim memutuskan perkara kemudian ijtihadnya dinilai

salah, maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR. Bukhori).

Di zaman Nabi orang tidak butuh ijtihad. Karena permasalahan

baru yang belum ada hukumnya dapat ditanyakan langsung kepada Nabi

dan Nabi langsung menjawabnya berdasarkan petunjuk wahyu yang

terjamin kebenarannya. Setelah Nabi wafat barulah ijtihad diperlakukan

oleh ulama mujtahid untuk menjawab hukum permasalahan baru yang

timbul dengan tetap berpegang kepada prinsip-prinsip yang terkandung

dalam al-Qur’an. Permasalahan yang timbul sekarang ini sangat kompleks

dan jawabannya tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun Hadis. Jika tidak

68 Abdul Wahab Khallaf, Mashadir at-Tasyri’ al-Islamiy fi ma la Nash fih,

(Kuwait: Daar al-Qalam, 1972), hlm. 17 69 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 95. 70 Abu Abdillah bin Idris as-Syafi’I, Al-Musnad Jilid I, (Beirut: Daar al Kutub

al‘Ilmiyah, 1400 H), hlm. 355.

Page 47: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

36

ada usaha yang sungguh-sungguh dari orang yang pantas berijtihad, maka

akan terjadi kekosongan hukum. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan

hukum. Oleh karena itu, ijtihad untuk sekarang ini merupakan hal yang

dharury (mendesak) untuk dilakukan, karena begitu banyak kasus

permasalahan baru yang sifatnya kompleks dan rumit yang memerlukan

jawaban dari hukum Islam.71

c. Syarat-Syarat Mujtahid

Mujtahid adalah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui

cara istinbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan

tatbiq (penerapan hukum).72 Dalam pembahasan ini akan dikemukakan

syarat-syarat mujtahid yang dirumuskan oleh Wahbah az-Zuhaili:

1) Mengetahui makna ayat ahkam yang terdapat dalam al-Qur’an baik

secara bahasa maupun secara istilah syara’. Tidak perlu dihafal cukup

mengetahui tempat ayat-ayat ini berada sehingga mudah untuk

mencarinya ketika dibutuhkan.

2) Mengetahui Hadis-Hadis ahkam baik secara bahasa maupun istilah.

Tidak perlu dihafal sebagaimana juga al-Qur’an. Kemudian yang

terpenting mujtahid dapat mengerti seluruh Hadis-Hadis hukum yang

terdapat dalam kitab-kitab besar seperti sahih Bukhori, sahih Muslim

dan lain-lain.

3) Mengetahui al-Qur’an dan Hadis yang telah dinasakh dan mengetahui

ayat dan Hadis yang menasakh. Tujuannya agar mujtahid tidak

mengambil kesimpulan dari nas (al-Qur’an dan Hadis) yang sudah

tidak berlaku lagi.

4) Mengetahui sesuatu yang hukumnya telah dihukumi oleh ijma,

sehingga ia tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan ijma.

5) Mengetahui Qiyas dan sesuatu yang berhubungan dengan Qiyas yang

meliputi rukun, syarat, illat hukum dan cara istinbatnya dari nas,

maslahah manusia, dan sumber syariat secara keseluruhan.

71 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, hlm, 256. 72 Abd. Wafi Has, Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam, hlm.

94.

Page 48: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

37

6) Menguasai bahasa Arab tentang nahwu, sharaf, maani, bayan, dan

uslub-nya karena al-Qur’an dan Hadis itu berbahasa Arab. Oleh karena

itu, tidak mungkin dapat mengistinbatkan hukum yang berdasar dari

keduanya tanpa menguasai Bahasa keduanya.

7) Mengetahui ilmu ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah tiang ijtihad

berupa dalil-dalil secara terperinci yang menunjukkan hukum melalui

cara tertentu seperti amr, nahi, am, dan khas.

8) Mengetahui maqasid syariah dalam penetapan hukum karena

pemahaman nas dan penerapannya dalam peristiwa bergantung kepada

maqasid syariah.73

d. Tingkatan Mujtahid

Mujtahid memiliki tingkatan-tingkatan sebagai berikut:

1) Mujtahid fi al-syar’i, disebut juga mujtahid mustaqil. Ialah orang yang

membangun suatu mazhab seperti imam mujtahid yang empat yaitu

Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal.

2) Mujtahid fi al-mazhab, ialah mujtahid yang tidak membentuk mazhab

sendiri tetapi mengikuti salah satu seorang imam mazhab. Adapun

yang termasuk ke dalam mujtahid fi al-mazhab ini seperti: Abu Yusuf

dalam mazhab Hanafi dan al-Muzany dalam mazhab Syafi’i.

3) Mujtahid fi al-masail, ialah mujtahid yang berijtihad hanya pada

beberapa masalah dan bukan pada masalah-masalah yang umum,

seperti at-Thalawi dalam mazhab Hanafi dan al-Ghazaly dalam

mazhab Syafi’i serta al-Khiraqy dalam mazhab Hambali.

4) Mujtahid muqoyyad, yatiu mujtahid yang mengikat diri dengan

pendapat ulama salaf dan mengikuti ijtihad mereka. Hanya saja mereka

mengetahui dasar dan memahami dalalahnya dan inilah yang disebut

dengan takhrij. Mereka mempunyai kesanggupan untuk menentukan

73 Abu Abdillah az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhiith fii Ushul al Fiqh, (Mesir: Daar

Al Kutubi, 1994), hlm. 345.

Page 49: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

38

mana yang lebih utama dari pendapat yang berbeda dalam mazhab di

samping dapat membedakan riwayat yang kuat dengan yang lemah.74

e. Lapangan Ijtihad

Wilayah ijtihad adalah masalah-masalah yang

diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad.

Sedangkan lapangan ijtihad adalah pada setiap hukum syara yang

tidak memiliki dalil qat’i.75

Ijtihad berlaku pada ayat atau Hadis, dengan catatan bahwa nas

tersebut masih bersifat zhan dan qat’i. atau pada permasalahan hukumnya

belum ada dalam nas, jadi, ijtihad tidak berlaku pada masalah yang

hukumnya sudah pasti (qat’i) seperti mengeluarkan hukum wajib shalat,

puasa, zakat, dan haji. Karena untuk melakukannya tidak perlu usaha yang

berat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lapangan ijtihad itu

ada dua macam:

1) Pada sesuatu yang ada nasnya tetapi nasnya masih zhan.

2) Pada sesuatu yang hukumnya tidak ada sama sekali dalam nas.76

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan ijtihad.

Pertama, hasil ijtihad seseorang tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad orang

lain dalam perkara yang sama. Sebagaimana hasil ijtihad seseorang juga

tidak boleh menyalahi hasil ijtihad orang lain. Dengan alasan, karena

ijtihad yang kedua tidaklah lebih kuat dari ijtihad yang pertama. Kedua,

tidaklah ijtihad di antara ulama berhak untuk diikuti dari yang lainnya.

Ketiga, membatalkan satu ijtihad dengan ijtihad yang lain dapat

mengakibatkan tidak tegasnya suatu hukum dan ini merupakan kesulitan

dan kesempitan.77

74 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, hlm. 259. 75 Yusus Qardawi, Ijtihad dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,

1987), hlm. 390. 76 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Mesir: Matba’ah al Madani, tt),

hlm. 303. 77 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, hlm. 260.

Page 50: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

39

f. Hukum Berijtihad

Jika seseorang sudah memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad

maka keberadaan seseorang mujtahid dalam kegiatan memberikan

ijtihadnya bisa wajib ain, wajib kifayah, bisa mandub, dan bisa pula

haram.

1) Wajib ain, yaitu bagi orang yang sudah mencukupi syarat ijtihad

dan terjadi pada diri mujtahid itu sesuatu yang membutuhkan

jawaban hukumnya. Ijtihadnya wajib diamalkan dan ia tidak boleh

bertaklid kepada mujtahid lainnya. Hukum ijtihad juga wajib bagi

mujtahid yang ditanya tentang hukum suatu masalah yang sudah

terjadi dan menghendaki jawaban hukum segera sedangkatn tidak

ditemukan mujtahid lainnya.

2) Wajib kifayah, jika ada mujtahid lain selain dirinya yang akan

menjelaskan hukumnya.

3) Sunah, yaitu melakukan ijtihad pada dua hal. Pertama, terhadap

permasalahan yang belum terjadi tanpa ditanya, seperti yang

dilakukan oleh imam Abu Hanifah yang dikenal dengan fiqh

iftiradhi (fiqih pengandaian). Kedua, ijtihad pada masalah yang

belum terjadi berdasarkan pertanyaan dari orang lain.

4) Haram, yaitu ijtihad pada dua hal. Pertama berijtihad terhadap

permasalahan yang sudah tegas (qat’i) hukumnya baik berupa ayat

atau Hadis dan ijtihad yang menyalahi ijma. Ijtihad boleh pada

masalah selain itu. Kedua berijtihad bagi seseorang yang belum

memenuhi syarat sebagai mujtahid, karena hasil ijtihadnya tidak

akan benar tetapi menyesatkan, dasarnya karena menghukumi

sesuatu tentang agama Allah tanpa ilmu hukumnya haram.78

78 Satria Effendi, M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2009),

cet. 3, hlm. 255-256.

Page 51: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

40

D. Metode dalam Penetapan Fatwa MUI

Secara etimologis, kata “fatwa” berasal dari bahasa Arab

berbentuk mashdar (kata benda) yang berarti jawab atas pertanyaan, atau

hasil ijtihad atau ketetapan hukum mengenai suatu kejadian sebagai

jawaban atas pertanyaan yang belum jelas hukumnya.79 Kata “fatwa”

seakar dengan kata “al-fata”, yang artinya pemuda yang kuat. Kata fatwa

juga berarti memberikan penjelasan (al-ibanah). Dikatakan dalam kalimat,

“aftahu fi al-amr”, berarti memberikan penjelasan kepadanya atau

memberikan jawaban atas persoalan yang diajukannya.80

Karena itu, seorang yang dipanggil dengan sebutan mufti atau

pemberi fatwa adalah orang yang mempunyai kekuatan dalam

memberikan bayan (penjelasan) dan jawaban terhadap permasalahan

seperti kekuatan yang dimiliki oleh seorang pemuda. Kata mufti juga

dapat dipahami sebagai orang yang berpengetahuan luas dalam

memberikan penjabaran tentang hukum. Kata “fatwa” sendiri telah

diserap ke dalam bahasa Indonesia, yang artinya adalah jawaban

(keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah.

Juga diartikan sebagai nasihat orang alim; pelajaran baik; petuah.

Pengertian fatwa secara bahasa tersebut sesuai dengan firman

Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa’ ayat ke 127:

81هن في م

ك تي ف ي

هلللا

ق اء س

فىالن ك

ن و ت ف ت س ي و

Artinya:

“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para perempuan.

Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka…” (Q.S.

An-Nisa: 127)

Sementara secara terminologis, fatwa adalah keterangan hukum

agama mengenai suatu persoalan sebagai jawaban pertanyaan yang

79 Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang:

Pustaka Rizki, 1997), cet. I, hlm. 86. 80 Amir Sa’id az-Zaybari, Mahabits fi Ahkam al-Fatwa, (Beirut: Dar Ibnu Hazm,

1995), hlm. 31. 81 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 98.

Page 52: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

41

diajukan oleh peminta fatwa (mustafi), baik perseorangan maupun

kolektif, dikenal atau pun tidak dikenal.82 Fatwa berarti ketentuan yang

berisi jawaban dari seorang mufti mengenai hukum syariat untuk pihak

yang meminta fatwa.83

Tindakan memberikan fatwa disebut dengan ifta’, yaitu suatu

pekerjaan memberikan nasihat atau fatwa. Orang yang mengeluarkan

fatwa disebut dengan mufti, sedangkan orang yang meminta fatwa disebut

dengan mustafi. Jadi, dalam terminologi fikih, fatwa didefinisikan sebagai

keterangan-keterangan tentang hukum syariat yang tidak mengikat untuk

diikuti.84

Komisi Fatwa MUI juga mempunyai definisi tersedniri mengenai

fatwa, yaitu suatu penjelasan tentang hukum atau ajaran Islam mengenai

permasalahan yang dihadapi atau ditanyakan oleh masyarakat, serta

merupakan pedoman dalam melaksanakan ajaran agamanya.85

Secara umum, fatwa-fatwa MUI dapat diklasifikasikan menjadi

dua kelompok. Pengklasifikasian yang pertama didasarkan pada forum

yang menetapkannya, dan yang kedua diklasifikasikan berdasarkan tema

pembahasannya. Jika mengikuti pengklasifikasian yang pertama, maka

fatwa-fatwa MUI adakalanya ditetapkan melalui forum Komisi Fatwa

MUI, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, Musyawarah Nasonal

(Munas) MUI, atau melalui Ijtima’ Ulama MUI. 86

Sementara secara tematik, fatwa-fatwa MUI terdiri atas fatwa-

fatwa yang berbicara tentang ekonomi syariah, produk halal, dan masalah-

masalah keagamaan. Fatwa-fatwa yang terkait dengan masalah-masalah

82 Yusuf Al-Qardhawi, al-Fatwa Bayn al-Indibath wa at-Tasayyub, (Mesir: Dar

Al Qalam, tt), hlm. 5. 83 M. Asrorun Ni’am, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia

(Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa), (Jakarta: Emir Penerbit

Erlangga, 2016), hlm. 79 84 Muhammad bin Ali al-Mu’tazili, Al-Mu’tamad fi Ushul al Fiqh, (Beirut: Daar

al Kutub al-‘Ilmiyah, 1403 H), hlm. 357. 85 Pengantar Komisi Fatwa MUI dalam Hasil Fatwa Munas VII Majelis Ulama

Indonesia (Jakarta: Sekretariat MUI, 2005). 86 M. Asrorun Ni’am, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia

(Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa), hlm. 84.

Page 53: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

42

keagamaan dibagi lagi menjadi empat, yaitu fatwa-fatwa yang

membicarakan tentang akidah dan aliran keagamaan, ibadah, sosial

kemasyarakatan, dan kebudayaan, dan yang terkait dengan ilmu

pengetahuan dan teknologi.

a. Dasar Penetapan Fatwa MUI

Fatwa- fatwa MUI, sebagaimana fatwa pada umumnya, ditetapkan

berdasarkan keterangan Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Keempatnya

merupakan sumber dan dalil hukum Syariah yang disepakati oleh jumhur

ulama, berdasarkan firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 59 yang

berbunyi:

م ت ع از ن ت إن

ف

م ك رمن م

ولىال

أ و ل و س واالر ع طي

أ و

هواللا ع طي

اأ و ن م

ا ن ذي

اال ه ي

يأ في

خر مال و ي

ال و

هبالل

ن و من ؤ ت م ت ن

ك لإن و س الر و

هىللا

إل ه و د ر

ف ء ي

ش ن س ح

أ و ر ي

خ لك

ذ

87

ل وي أ ت

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya),

dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat

tentang sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah (Al-Qur’an)

dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan

hari kemudian; yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik

akibatnya.” (Q.S. An-Nisa:59)

Kebolehan untuk berijtihad juga diperkuat keterangan Hadis yang

diriwayatkan oleh Mu’adz ibn Jabal ketika diutus oleh Rasulullah SAW

untuk menjadi qadhi di Yaman. Rasulullah bertanya kepada Mu’adz apa

yang akan dilakukannya dalam berhukum jika ia tidak menemukan dalil

naqli dari Al-Qur’an maupun sunnah, maka Mu’adz menjawab bahwa ia

akan berijtihad dengan akalnya, dan Rasulullah pun menyetujuinya.88

87 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 87. 88 M. Asrorun Ni’am, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia

(Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa), hlm. 123.

Page 54: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

43

Al-Qur’an, Hadis dan Ijma’ dianggap sebagai sumber hukum yang

berdiri sendiri karena tidak membutuhkan pihak lain dalam menetapkan

suatu hukum. Sedangkan Qiyas tidak dianggap sebagai sumber hukum

yang berdiri sendiri karena membutuhkan analog hukum yang terdapat di

dalam Al-Qur’an dan Hadis, dengan menggali dan mencocokkan ‘illah

(sebab) pada hukum asal. Dengan demikian, sebagai dalil Qiyas tidak

independent, namun terikat dengan ‘illah yang terdapat dalam nas Al-

Qur’an maupun Hadis.

b. Prosedur Penetapan Fatwa MUI

Secara operasional, fatwa-fatwa MUI ditetapkan dengan mengikuti

pedoman penetapan fatwa yang memuat empat ketentuan dasar,89 yaitu,

pertama, setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar di dalam Al-

Qur’an dan Hadis yang mu’tabar, serta tidak bertentangan dengan

kemashlahatan umat. Dengan demikian, seluruh fatwa MUI berdasarkan

kepada sumber utama hukum Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadis, dan juga

sejalan dengan kemashlahatan umum.

Kedua, jika fatwa yang akan ditetapkan hukumnya tidak terdapat di

dalam Al-Qur’an maupun Hadis, maka fatwa tersebut hendaknya tidak

bertentangan dengan Ijma’, Qiyas yang mu’tabar dan dalil-dalil hukum

yang lain seperti istihsan, mashlahah mursalah, dan sadd adz-dzari’ah.

Ketiga, sebelum fatwa diputuskan, dilakukan penelusuran data dengan

merujuk pada pendapat-pendapat dengan dalil-dalil hukum maupun yang

berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda

pendapat dengannya. Keempat, fatwa-fatwa MUI selalu

mempertimbangan pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang

akan diambil keputusan fatwanya.90

89 Pedoman Penetapan Fatwa yang ditetapkan berdasarkan SK Dewan Pimpinan

MUI

Nomor U-596/MUI/X/1997 tanggal 2 Oktober 1997. 90 M. Asrorun Ni’am, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia

(Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa), hlm. 125.

Page 55: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

44

Sedangkan secara metodologis, penetapan fatwa MUI ditempuh

dalam lima tahap.91 Tahapan pertama, sebelum fatwa ditetapkan akan

ditinjau terlebih dahulu pendapat para imam mazhab tentang masalah yang

akan difatwakan tersebut, secara saksama berikut dalil-dalilnya. Tahapan

kedua, untuk masalah- masalah yang telah jelas hukumnya (al-ahkam al-

qath’iyyah), maka disampaikan sebagaimana adanya. Hal ini sebagai

manifestasi dari penggunaan pendekatan nash qath’i, di samping qawli dan

manhaji. Tahapan ketiga, terkait dengan masalah-masalah yang

diperselisihkan (khilafiah) dikalangan mazhab, maka akan ditempuh dalam

dua cara:

1) Menemukan titik temu di antara pendapat pelbagai mazhab melalui

metode al-jam’u wa at-tawfiq (menggabung dan menyesuaikan

persamaan); dan

2) Jika upaya al-jam’u wa at-tawfiq tidak berhasil dilakukan, maka

penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih (memilih pendapat

yang argumentasinya paling kuat diantara argumentasi-

argumentasi yang telah ada) melalui metode muqaranat al-

madzahib (perbandingan mazhab) menggunakan kaidah-kaidah

ushul al-fiqh al-muqaran (ushul fikih perbandingan).

Tahapan keempat, terkait dengan masalah-masalah yang tidak

ditemukan pendapat hukumnya di kalangan mazhab, maka penetapan

fatwa MUI didasarkan pada hasil ijtihad jama’i (kolektif) melalui

metode bayani, ta’lili (Qiyasi, istihsani, ilhaqi), dan sadd adz-dzari’ah.

Tahapan kelima, penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan

kemashlahatan umum (mashalih ‘ammah) dan maqashid asy-syari’ah.

Komisi fatwa MUI terkesan sangat hati-hati dalam menetapkan

fatwa, karena mempertimbangkan mashlahah asy-syari’ah (maksud-

maksud syariah). MUI sendiri berpandangan bahwa untuk

mengeluarkan sebua fatwa memang harus dilandasi prinsip kehati-

91 Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama (Jakarta: Sekretariat

MUI 2001)

Page 56: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

45

hatian, serta memperhatikan situasi dan kondisi yang ada, sehingga

fatwa yang dikeluarkan benar-benar membawa kemashlahatan umum

bagi masyarakat, sebagaimana menjadi tujuan persyariatan hukum

Islam (maqashid at-tasyri’).

c. Pendekatan Fatwa MUI

Ada tiga pendekatan yang digunakan dalam proses penetapan

fatwa MUI, yaitu, pendekatan nash qath’i, qawli, dan manhaji.

Pendekatan nash qath’i dilakukan dengan cara menggali jawaban atas

setiap persoalan hukum yang muncul berdasarkan kajian terhadap Al-

Qur’an dan Hadis, yang merupakan sumber utama hukum Islam.

Sementara pendekatan qawli adalah metode penetapan hukum Islam

dengan cara merujuk pendapat-pendapat (aqwal) para ulama terdahulu

di dalam kitab-kitab standar (kutub mu’tabarah). Pendekatan manhaji

adalah penggunaan metodologi hukum Islam dalam menetapkan suatu

fatwa. Pendekatan ini memberikan pedoman dan acuan dalam

penetapan hukum Islam menggunakan pelbagai metodologi istinbath

hukum yang validitasnya diakui oleh para ulama.92

d. Ijtihad Insyai dan Intiqai

Penggunaan metode ijtihad insyai dan ijtihad intiqai, yakni

dengan cara merujuk dan mengkaji pendapat para imam mazhab

terdahulu. Pengkajian terhadap pendapat imam mazhab harus

dilakukan secara komprehensif, menyeluruh dan saksama. Pendapat

yang diambil sebagai keputusan fatwa tentu saja harus merupakan

pendapat yang dipandang paling kuat dalilnya dan membawa

kemashlahatan umat. Hal tersebut dilakukan dengan sebuah

pendekatan yang lazim disebut dengan perbandingan mazhab

(muqaranat al-madzahib).

Selain itu, MUI juga mempertimbangkan pendapat para ahli di

bidangnya masing-masing sebelum memutuskan sebuah fatwa.

92 M. Asrorun Ni’am, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia

(Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa), hlm. 131.

Page 57: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

46

Adapun proses dan prosedur penetapan fatwa yang dilakukan MUI

adalah sebagai berikut:

1) Pengkajian masalah. Di sini Komisi Fatwa dituntut terlebih dahulu

untuk mengetahui dengan jelas hakikat dan duduk masalahnya.

Jika masalahnya metupakan masalah baru dan memerlukan

penjelasan dari ahlinya, maka ahli yang bersangkutan didengarkan

penjelasannya.

2) Selanjutnya, setelah jelas permasalahannya, ditentukan apakah ia

termasuk ke dalam kategori qhat’iyyat, dengan demikian juga jika

telah ada Ijma’, Komisi Fatwa menetapkan fatwa sebagaimana

adanya. Jika tidak termasuk dalam kategori qath’iyyat, Komisi

Fatwa selanjutnya melakukan ijtihad.

3) Dalam melakukan ijtihad, Komisi Fatwa dapat menempuh ijtihad

insyai dan dapat pula melakukan ijtihad intiqai. Dalam hal ijtihad

terakhir ini, MUI menggunakan pendekatan muqaranat al-

madzahib.93

Dapat disimpulkan bahwa ijtihad serta mekanisme dan prosedur

penetapan fatwa yang dilakukan oleh MUI ditempuh dalam bentuk

kolektif kolegial (ijtihad jama’i). Sedangkan corak ijtihadnya, di samping

berupa ijtihad intiqai, juga dilakukan ijtihad insyai.

Ijtihad intiqa’i dilakukan untuk memilih pendapat para ahli fiqih

terdahulu mengenai masalah-masalah tertentu, sebagaimana tertulis dalam

perlbagai buku fiqh, kemudian menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya

dan lebih relevan dengan kondisi sekarang. Sedangkan ijtihad insyai

dilakukan untuk mengambil kesimpulan hukum mengenai peristiwa-

persitiwa baru yang belum diselesaikan oleh ahli fiqh terdahulu.

93 M. Asrorun Ni’am, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia

(Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa), hlm. 135.

Page 58: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

47

E. Sumber Hukum Positif Indonesia

1. Hukum Positif yang Berlaku di Indonesia

Pada hakikatnya sumber hukum adalah rasa keadilan. Tetapi

perkataan sumber hukum juga banyak dipakai dalam arti tempat dari mana

kita mengetahui yang berlaku, tempat dari mana kita mengambil peraturan

hukum yang harus diterapkan. Maka dapat dirumuskan bahwa: sumber

hukum ialah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan hukum yaitu

aturan-aturan yang mempunyai kekuasaan hukum yang bersifat memaksa

dan mempertahankan dengan sanksi. Sumber hukum dapat dibedakan

dalam sumber hukum yang historis dan sumber hukum yang filosofis.

a. Sumber hukum yang historis adalah stelsel-stelsel hukum di masa

lampau, yang turrut serta dalam membentuk hukum yang berlaku

sekarang, seperti:

1) Code Civil untuk pembuatan Kitab Undang-Undang Hukum Sipil.

2) Dokumen-dokumen, surat-surat, dan keterangan lain yang

memungkinkan untuk mengetahui hukum yang berlaku pada masa

tertentu, bukan sumber hukum dalam arti sesungguhnya, tetapi

bahan untuk mengetahui hukum.

b. Sumber hukum yang filosofis, yaitu asas atau dasar mengapa hukum

itu dipatuhi dan mempunyai kekuatan mengikat dan daya manusia

yang menghasilkan hukum itu. Menurut Hogu de Groot, terdiri dari

akal manusia (redo) dan Tuhan Yang Maha Esa.94

Sumber hukum dapat juga dibedakan dalam sumber hukum

material dan sumber hukum formal.

a. Sumber hukum material, yaitu perasaan hukum atau keyakinan hukum

individu dan pendapat umum yang menentukan isi dari hukum.95

Dalam hubungan ini ditentukan oleh faktor idiil dan faktor

94 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm.

103. 95 Hasanuddin AF dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Tangerang Selatan: UIN

Jakarta Press,

2003), hlm. 170.

Page 59: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

48

kemasyarakatan. Faktor idiil adalah pedoman yang tetap dan harus

diikuti oleh pembentuk Undang-Undang atau badan-badan negara

lainnya dalam melakukan tugasnya, yaitu keadilan dan kesejahteraan

masyarakat. Faktor kemasyarakatan adalah kondisi yang actual dalam

masyarakat, dan kenyataan ini merupakan input bagi pada pembentuk

Undang-Undang dengan faktor masyarakat yang berpengaruh dalam

pembentukan hukum, antara lain: struktur ekonomi dan kebutuhan

masyarakat, kebiasaan yang hidup dalam masyarakat tertib hukum

yang berlaku, tertib hukum dari negara asing, pandangan dan pendapat

keagamaan dan kesusilaan rakyat, dan pendapat umum.

b. Sumber hukum formal yaitu bentuk nyata hukum yang berlaku.

Sumber hukum ini merupakan sumber hukum yang paling penting.

Sumber-sumber hukum formal dari hukum positif, antara lain:

1) Undang-Undang, termasuk UUD

2) Kebiasaan (convention)

3) Perjanjian, baik perjanjian antar negara maupun perjanjian

antarwarga masyarakat

4) Keputusan hakim (yurisprudensi)

5) Pendapat ahli hukum yang terkemuka (doktrin)96

Sumber-sumber hukum tersebut merupakan sumber-sumber hukum

yang normal. Selain itu, terdapat sumber hukum yang abnormal, seperti

proklamasi, revolusi, kudeta dan penaklukan negara yang satu terhadap

negara yang lain. Sumber-sumber hukum itu juga bisa menarik perhatian

apabila ditinjau dari berbagai sudut cabang ilmu maupun disiplin lainnya

seperti ahli sosiologi, ahli ekonomi, ahli filsafat, ahli sejarah, ahli

psikologi, ahli pemerintahan, dan ahli agama.97

Pancasila menjadi asas-asas kenegaraan negara Indonesia dan bagi

per Undang-undangan hukum Indonesia suatu “Grundnorm” yaitu suatu

96 Rr. Dijan Widijowati, Pengantar Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Andi Offset,

2018), hlm. 124.

Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011),

hlm.18.

Page 60: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

49

kaidah dasar (pokok). Pancasila sebagai sumber dari segala sumber

hukum negara Indonesia. Pancasila itu suatu kesusilaan positif, suatu etika

kenegaraan, yang menjadi dasar dari negara nasional kita. Oleh sebab itu

Pancasila dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,

yang menyatakan: bahwa kemerdekaan kita disusun dalam suatu Undang-

Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan

Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan pada:98

1. Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.

3. Persatuan Indonesia.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan, Permusyawaratan

Perwakilan.

5. Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

a. Undang-Undang

Undang-Undang adalah suatu peraturan negara yang mempunyai

kekuatan hukum yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh penguasa

negara.99 Undang-undang dapat dibedakan menjadi dua macam arti:

Undang-Undang dalam arti materiil dan Undang-Undang dalam arti

formil. Undang-undang dalam arti materiil disebut juga Undang-Undang

dalam arti luas (peraturan), sedangkan Undang-Undang dalam arti formil

disebut juga Undang-Undang dalam arti sempit (Undang-Undang).

Undang-Undang dalam arti formil, contohnya: Undang-Undang

APBN (Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945); Undang-Undang

No. 62 tahun 1958 tentang naturalisasi, sebab meskipun menurut

bentuknya dibuat oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan

Rakyat, namun isinya hanya mengikat kepada orang yang bersangkutan,

yaitu orang yang dinaturalisasikan saja.100

98 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 107. 99 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:

Balai [Pustaka, 1979), hlm. 46 100 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 113.

Page 61: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

50

Undang-Undang dalam arti materiil dapat diartikan sebagai suatu

peraturan perundang-undangan yang isinya mengikat langsung masyarakat

secara umum. Memiliki arti bahwa setiap keputusanpemerintah yang

berdasarkan isinya mengikat langsung kepada setiap penduduk.101

Suatu undang-undang mempunyai kekuatan berlaku mengikat

harus memenuhi syarat yaitu, diundangkan dalam Lembaran Negara oleh

Sekretaris Negara.102 Lembaran Negara disebut Staatsblad (Stb atau S.)

dan Berita Negara pada zaman Hindia Belanda disebut De Javasche

Courant, dan di zaman Jepang disebut Kan Po. Jadi suatu Undang-Undang

itu diundangkan dalam Lembaran Negara, kemudian diumumkan dalam

Berita Negara.

Setelah suatu Undang-Undang memenuhi syarat-syarat tersebut di

atas, berlakulah suatu fictie dalam hukum: “Setiap orang dianggap telah

mengetahui adanya sesuatu Undang-Undang”. Dengan demikian bila ada

Undang-Undang terbentuk, kemudian ada seseorang yang melanggar

Undang-Undang tersebut, ia tidak tepat membela atau membebaskan diri

dengan alasan tidak mengetahui adanya Undang-Undang itu.103

b. Kebiasaan

Kebiasaan adalah suatu tata cara hidup yang dianut oleh suatu

masyarakat atau suatu bangsa dalam waktu yang lama pada hakikatnya

memberikan pedoman bagi masyarakat atau bangsa yang bersangkutan

untuk berpikir dan bersikap tindak dalam menghadapi berbagai hal pada

kehidupannya.

Para ahli hukum menyatakan bahwa hukum kebiasaan merupakan

sumber hukum. Timbulnya hukum kebiasaan diperlukan syarat-syarat,

yaitu harus ada perbuatan atau tindakan yang semacam dalam keadaan

yang sama dan harus diikuti oleh umum, dan seluruh rakyat ikut

menimbulkan kebiasaan itu, tetapi hanyalah golongan-golongan orang

101 Rr. Dijan Widijowati, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 143. 102 Mujar Ibnu Syarif dan Kamarusdiana, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:

Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), hlm. 48. 103 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 114.

Page 62: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

51

yang berkepentingan saja, bahkan yang berada dalam keadaan tertentu dan

yang mengikuti suatu hubungan yang tertentu dan yang mengikuti suatu

hubungan yang tertentu. dalam kebiasaan itu harus menurut peraturan

yang benar dalam arti tidak membenarkan hal-hal yang salah, tidak

membenarkan hal-hal yang tidak wajar, tidak membenarkan kebiasaan

yang tidak baik, tidak mengesahkan hal-hal yang salah.

Kemudian harus ada keyakinan hukum dari golongan-golongan

yang berkepentingan. Keyakinan hukum ini diterimanya sebagai suatu

kemestian (opinion necessitates). Keyakinan dalam hukum dalam arti

materiil, yaitu keyakinan isi suatu aturan itu baik atau tidak baik, dan

keyakinan hukum dalam arti formal, yaitu keyakinan bahwa aturan itu

harus diikuti dengan taat. Karena kebiasaan bagi masyarakat adalah

hukum bagi negara.104

Hukum kebiasaan ini juga dapat dibedakan dalam hukum

kebiasaan masyarakat, hukum kebiasaan golongan-golongan

kemasyarakatan, hukum kebiasaan hakim (pengadilan), hukum kebiasaan

internasional yang mendapatkan sumbernya dari kebiasaan-kebiasaan.105

c. Perjanjian

Traktat (Treaty) adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua

negara atau lebih yang isinya mengatur masalah-masalah tertentu yang

berkenaan dengan kepentingan masing-masing negara. Traktat ada

beberapa macam, yaitu traktar bilateral dan traktat multilateral. Traktat

bilateral ialah suatu perjanjian yang diadakan antara dua negara tertentu

dan hanya berlaku bagi kedua negara yang bersangkutan. Traktat

multilateral ialah suatu perjanjian yang diadakan oleh lebih dari dua

negara mengenai masalah-masalah tertentu yang mereka hadapi

bersama.106

Traktat berbeda dengan perjanjian yang dilakukan antara Lembaga

eksekutif dari dua atau lebih negara, karena perjanjian yang dilakukan oleh

104 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 110 105 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 116. 106 Rr. Dijan Widijowati, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 145.

Page 63: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

52

antarlembaga eksekutif tidak memiliki sifat yang mengikat sebagaimana

traktat, sehingga tidak membutuhkan pengesahan dari Lembaga eksekutif.

Traktat akan memiliki sifat yang mengikat ke dalam yurisdiksi

suatu negara sebagaimana undang-undang yang berlaku pada negara

tersebut, apabila traktat mendapatkan pengesahan dari lembaga legislatif

atau Lembaga yang berwenang di negara tersebut.107

Terjadinya suatu perjanjian (traktat) itu menurut pendapat klasik

harus melalui prosedur tertentu, yaitu melalui empat fase:

1) Dibuat penetapan (sluiting) ialah penetapan isi perjanjian oleh

utusan/delegasi pihak-pihak yang bersangkutan. Hasil penetapan

diberi nama konsep traktat/perjanjian (sluitings oorkonde atau

concept verdrag atau concept overeen komst).

2) Persetujuan masing-masing parlemen pihak yang bersangkutan, di

Indonesia oleh Presiden diberikan kepada Dewan Perwakilan

Rakyat untuk disetujui, setelah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat

dimasukan dalam Undang-Undang persetujuan, maka konsep

perjanjian disahkan oleh Kepala Negara.

3) Ratifikasi. Setelah ratifikasi maka perjanjian berlaku di wilayah

Negara yang bersangkutan. Perjanjian yang telah diratifikasikan

kemudian diundangkan dalam Lembaran Negara. Fungsi

pengundangan disini berbeda dengan pengundangan Undang-

Undang, hanya merupakan tindakan formil saja bukan syarat untuk

berlakunya perjanjian. Perjanjian telah mulai berlaku setelah

ratifikasi.

4) Pelantikan atau pengumuman (afkondingin)108. Tukar-menukar

piagam perjanjian. Pihak-pihak yang telah meratifisir perjanjian

dalam suatu upacara saling menyampaikan piagam perjanjian.

Prosedur tadi telah dilalui, maka perjanjian (traktat) itu terbentuk

dan berlaku mengukat kepala negara dari negara yang bersangkutan.

107 Rr. Dijan Widijowati, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 147. 108 Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar, 1957),

hlm.159.

Page 64: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

53

Mengikatnya suatu perjanjian (traktat)pada umumnya didasarkan pada

suatu asas yang disebut “Pacta Sun Servanda” yang artinya setiap

perjanjian harus dihormati dan ditaati atau setiap perjanjian mengikat

pihak-pihak yang mengadakannya. Perjanjian (traktat) itu mengikat dan

berlaku sebagai peraturan hukum terhadap warga negara dari masing-

masing negara yang mengadakannya. Oleh karena itu perjanjian (traktat)

merupakan sumber hukum formil.109

d. Keputusan Hakim

Yurisprudensi merupakan suatu sumber hukum yang formil,

keputusan hakim (yurisprudensi) ini berasal dari kata “Jurisprudentia”

(Bahasa Latin), yang berarti pengetahuan hukum (Rachtsgeleerdheid).

Yusriprudensi sebagau istilah teknis Indonesia sama artinya dengan

“Jurisprudence” (dalam Bahasa Perancis) dan “Jurisprudentie” (dalam

Bahasa Belanda).

Istilah “Jurisprudence” (dalam Bahasa Inggis) berarti teori ilmu

hukum (Algemene Rechtsleer, General Theory of Law), untuk pengertian

yurisprudensi disebut istilah case law atau Judge-made law. Kata

“Jurisprudenz” (Bahasa Jerman) berarti ilmu hukum dalam arti sempit,

untuk pengertian yurisprudensi disebut kata Ueberlieferung.

Keputusan hakim didasarkan atas suatu kenyataan, sering terjadi

hakim memutuskan suatu perkara yang diperiksa tidak langsung

didsarakan kepada suatu peraturan hukum yang telah ada. Tindakan hakim

semacam itu dapat didasarkan pasal 22 Algemene Bepalingen van

Wetgeving voor Indonesie (Ketentuan-ketentuan umum tentang per

Undang-undangan untuk Indonesia).110

Hakim harus menciptakan hukum sendiri terhadap peristiwa

konkrit yang dihadapinya, dan yang mengikat kepada pihak-pihak yang

bersangkutan. Hakim sebagai pembentuk hukum di samping pembuat

Undang-Undang. Perbedannya bawah pembuatan Undang-Undang

109 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 119. 110 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 120

Page 65: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

54

menentukan hukum in abstrakto secara umum, sedangkan hakim

memberikan suatu peraturan yang berlaku terhadap dua belah pihak yang

berpekara (pasal 1917 KUH Perdata), hakim menentukan hukum in

concreto secara khusus.

Yurisprudensi menurut para ahli hukum:

1) A. Ridwan Halim, S.H. (1983: 32)

Yuriprudensi ialah suatu putusan hakim atas suatu perkara yang belum

ada pengaturannya dalam Undang-Undang, yang untuk selanjutnya

menjadi pedoman bagi hakim-hakim lainnya yang mengadili kasus

atau perkara-perkara yang serupa.

2) Drs. C.S.T. Kansil, S.H. (1992: 20)

Yurisprudensi ialah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan

dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah

yang sama.

3) R. Otje Salman, S.H. (1985: 38)

Hukum Yurisprudensi,yakni hukum yang dibentuk dalam keputusan

hakim pengadilan.

4) Hartono Hadisuprapto, S.H. (1976: 38)

Yurisprudensi disebut juga keputusan hakim atau keputusan

pengadilan.

5) Utrecht/Moh. Saleh Djindang, S.H. (1983: 126)

Yurisprudensi ialah keputusan-keputusan hakim. Ada dua maca

yurisprudensi, yakni yurisprudensi yang tetap dan yurisprudensi tidak

tetap. Yurisprudensi tetap itu terjadi karena suatu rangakain keputusan

yang sama atau karena beberapa keputusan yang merupakan keputusan

baku, yaitu keputusan yang menjadi dasar peradilan (Standar arresten).

Dengan pendapat para ahli hukum itu, Yuriprudensi dapat diartikan

sebagai keputusan hakim di masa yang telah lalu dan dianggap adil,

Page 66: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

55

sekalipun tidak berdasarkan Undang-undang, merupakan hukum yang

obyektif dan dianggap sebagai sumber hukum.111

e. Doktrin

Kata “doctrine” (dalam bahasa Belanda) adalah pendapat para ahli

hukum yang ternama kemudian diterima sebagai dasar atau asas-asas

penting dalam hukum dan penerapannya atau disebut ajaran kaum sarjana

hukum. Pendapat para sarjana hukum yang terkemuka ini mempunyai

kekuasaan dan berpengaruh juga dalam pengambilan keputusan oleh

hakim. Sesuai dengan pasal 38 Mahkamah Internasional yang menetapkan,

bahwa doktrin menjadi salah satu sumber hukum formil.112

Di dalam hukum internasional pendapat para sarjana hukum

mempunyai pengaruh yang sangat besar dan merupakan sumber hukum

yang sangat penting. Adapun beberapa doktrin (pendapat ahli hukum)

terkemuka contohnya:

1) Doktrin Trias Politica dari Montesquieu (Orang Perancis) mengatakan:

a) Kekuasaan negara hendaknya dibagi tiga Lembaga, yaitu:

(1) Lembaga legislative, yang bertugas sebagai pembuat Undang-

Undang.

(2) Lembaga eksekutif, yang bertugas sebagai pelaksana Undang-

Undang.

(3) Lembaga yudikatif, yang bertugas sebagai pengawas

pelaksanaan Undang-Undang.

b) Di antara Lembaga yang satu dengan Lembaga yang lainnya harus

berpindah, tidak boleh terdapat hubungan kerja sama.

2) Doktrin Mazhab Sejarah dipelopori Carl Von Savigny (orang Jerman)

mengatakan bahwa hukum itu bukanlah dibuat oleh manusia,

melainkan hukum itu ada dan tumnuh bersama-sama dengan ada dan

tumbuhnya (berkembangnya) masyarakat.

111 Mujar Ibnu Syarif dan Kamarusdiana, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 46. 112 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 74.

Page 67: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

56

3) Doktrin dasar berdirinya Liga Bangsa-bangsa yang disponsori oleh

Woodrow Wilson’s Fourteen Points, pada dasarnya menggariskan

untuk memudahkan tercapainya perdamaian dunia diperlukan adanya

kerja sama dan perserikatan antar bangsa-bangsa dengan hubungan

diplomasi-diplomasi yang terbuka.

Di dalam hukum Islam bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah juga

ijtihad menjadi sumber hukum Islam, seperti ijtihad Imam Abu Hanifah,

Imam Malik, Imam Syafi’ie, Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Imam Daud

Adhohiri dan Imam Ibnu Hazmi Al-Andalusia, Imam Ja’far As-Shoodiq,

mengenai hukum perkawinan, hukum waris, dan sebagainya.113

2. Kedudukan Fatwa MUI dalam Hukum Positif di Indonesia

Fatwa sendiri pada hakikatnya tak lebih dari sebuah pendapat dan

pemikiran belaka, dari individu ulama atau institusi keulamaan, yang

boleh diikuti atau justru diabaikan sama sekali. Dalam membuat fatwa,

harus ada beberapa metodologi yang harus dilalui, yaitu:

a. Fatwa tidak boleh taklid (mengikuti secara buta). Seorang ahli

fatwa harus memenuhi syarat mujtahid dan syarat mujtahid

dilarang mengikuti secara bulat mujtahid lain.

b. Fatwa tidak boleh melantur dari sikap hak asasi manusia yang

diusung dalam Islam sejak awal. Hak tersebut yaitu antara lain hak

untuk memeluk suatu agama dan mengikuti tafsir kelompok

penafsir tertentu.

c. Kebenaran fatwa bersifat relative sehingga selalu dimungkinkan

untuk diubah seiring dengan perubahan ruang, waktu dan tradisi.

d. Fatwa harus didahului dengan riset dan pendeskripsian yang

memadai tentang satu pokok soal termasuk mengajak berdiskusi

pihak-pihak terkait tentang apa yang akan difatwakan.114

113 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 129. 114 Ainun Najib, Fatwa Majelis Ulama Indonesia Dalam Perspektif

Pembangunan Hukum Responsif, (Jurnal Lisan Al-Hal, Volume 4, No. 2,

Desember 2012), hlm. 375.

Page 68: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

57

Berdasarkan sumber hukum yang berlaku dalam sistem hukum

nasional, yakni dalam sistem hukum nasional secara formal terdapat lima

sumber hukum, adapun sumber hukum tersebut sebagai berrikuti: undang-

undang, kebiasaan, putusan hakim (yurisprudensi), traktat, serta doktrin

(pendapat pakar pakar/ahli hukum). Kemudian untuk dapat mengetahui

tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,

maka bisa dilihat dalam undang-undang no 10 tahun 2004 tentang

peraturan perundang-undangan, tepatnya dalam pasal 7 sebagai berikut:

Undang-Undang Dasar 1945, undang-undang/peraturan pemerintah

pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden,

peraturan daerah, yang meliputi: peraturan daerah provinsi, peraturan

daerah, kabupaten/ kota, peraturan desa.

Sumber hukum positif dalam sistem hukum nasional di atas dan

dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, sebagaimana telah

disebutkan dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang peraturan

perundangundangan, tidak menyebutkan fatwa sebagai bagian dari dasar

hukum di negara ini, sehingga fatwa tidak dapat dijadikan sebagai

landasan hukum.115

Fatwa hanya sebagai suatu pendapat atau nasehat yang

disampaikan oleh para ahli hukum Islam yang tergabung dalam suatu

wadah organisasi, seperti MUI, Muhammadiyah, NU, Persis, dan lembaga

lainnya. Sehingga fatwa dapat dikorelasikan dengan sumber hukum formal

dalam sistem hukum nasional, yakni kedudukan fatwa sama dengan

doktrin yang merupakan pendapat pakar atau pendapat para ahli di bidang

hukum positif.

Dalam praktik, doktrin (pendapat ahli hukum) banyak

mempengaruhi pelaksanaan administrasi Negara, demikian juga dalam

proses pengadilan. Seorang hakim diperkenankan menggunakan pendapat

ahli untuk dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam memutus sebuah

115 M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum

Positif (Analisis Yuridis Normatif), (Ulumuddin, Volume VI Tahun IV, Januari –

Juni 2010), hlm. 474.

Page 69: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

58

perkara, kemudian bagi seorang pengacara/pembela yang sedang

melakukan pembelaannya pada suatu perkara perdata, seringkali mengutip

pendapat-pendapat ahli sebagai penguat pembelaannya.

Fatwa juga mempunyai beberapa perbedaan mendasar dengan

doktrin. perbedaan antara fatwa dan doktrin yakni pertama, dilihat dari

objek yang menjadi fokus pembahasan, pada fatwa yang menjadi fokus

pembahasan adalah berkenaan dengan persoalan agama, khususnya

permasalahan hukum Islam. Sedangkan doktrin yang menjadi fokus

pembahasan adalah permasalahan dalam hukum positif. Kedua, dari segi

waktunya fatwa berlaku saat ini juga, sejak fatwa tersebut dikeluarkan

oleh lembaga yang bersangkutan, sedangkan doktrin berlaku kemudian

setelah doktrin tersebut dikeluarkan oleh para pakar dan kadangkala juga

harus diuji terlebih dahulu untuk dapat dipakai dan diberlakukan. Ketiga,

fatwa dapat disampaikan secara individual dan secara kolektif, akan tetapi

untuk saat ini seringkali disampaikan secara secara kolektif, sedangkan

doktrin biasanya dikeluarkan oleh seorang ahli atau seorang pakar hukum.

Sehubungan dengan kedudukan fatwa, maka dapat disamakan

dengan doktrin, dan sudah barang tentu kekuatan dari fatwa itu tidak

mutlak dan tidak mengikat sebagaimana berlaku pada ketentuan sebuah

undang-undang ataupun putusan hakim yang sifatnya mengikat, sehingga

fatwa tersebut tidak harus diikuti baik oleh pribadi, lembaga, maupun

kelompok masyarakat, karena jelas fatwa tidak mempunyai daya ikat yang

mutlak. Hal ini juga berlaku pada doktrin, doktrin tidak memiliki daya

ikat.

Berlakunya sebuah doktrin tergantung pada kewibawaan dari

doktrin tersebut, manakala doktrin tersebut sesuai dengan nilainilai dan

keyakinan yang ada dalam masyarakat, maka masyarakat akan

melaksanakan isi doktrin dan begitu juga sebaliknya, jika doktrin tidak

sesuai dengan nilai-nilai serta keyakinan masyarakat, maka masyarakat

akan cenderung meninggalkan melaksanakan doktrin tersebut. Doktrin

Page 70: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

59

baru akan berlaku mengikat apabila telah diatur dalam peraturan

perundangundangan, seperti contoh doktrin Pancasila.116

116 M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum

Positif (Analisis Yuridis), hlm. 475.

Page 71: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

60

BAB III

PRESEDEN KASUS DELIK PENISTAAN AGAMA DI INDONESIA

A. Teori Penistaan Agama

Pengertian dari kata “menista” berasal dari kata “nista”. Sebagian

pakar mempergunkana kata celaan. Perbedaan istilah tersebut disebabkan

penggunaan kata-kata dalam menerjemahkan kata smaad dari bahasa

belanda. “Nista” berarti hina, cela, rendah, noda.1 Sedangkan Agama

adalah suatu peraturan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai

akal, memegang peraturan tuhan dengan kehendaknya sendiri untuk

mencapai kebaikan hidup di dunia dan kebahagiaan kelak di akhirat. Itulah

pengertian “agama” menurut M. Taib Thahir Abdul Muin.2

Jadi, penistaan agama adalah tindakan perbuatan tutur kata, sikap

atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok atau orang

atau lembaga atau organisasi dalam bentuk provokasi, hasutan ataupun

hinaan kepada individu atau kelompok lain melalui berbagai aspek seperti

suku, budaya, adat istiadat serta agama. Dengan tujuan sengaja atau tidak

sengaja untuk melukai, menghina suatu agama, keyakinan agama tertentu

yang mengakibatkan penganut agama dan keyakinan lain tersinggung.

Perlu diketahui bahwa penistaan agama itu sudah terjadi pada saat

al-Qur’an diturunkan dan sampai berlanjut hingga sekarang. Berdasarkan

dari definisi diatas menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan penistaan

agama itu merupakan tindakan penghinaan, merendahkan, dan mengklaim

suatu agama, pelaku ajaran agama, maupun atribut atau simbol-simbol

agama yang dipandang dengan suci.

Dalam hukum Islam juga menjelaskan bahwa seeorang yang

menistakan agama merupakan perbuatan yang dikategori perusak akidah,

1 Leden Marpaung SH, Tindak Pidana Terhadap kehormatan, (Jakarta, PT:

Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 11. 2Mujahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama, (Jakarta, PT: Raja Persada,

1996), hlm. 3.

Page 72: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

61

yang diancam berdosa besar (bagi pelakunya). Oleh karena itu, hal ini

bertentangan dengan norma agama Islam yang ada dalam kitab suci al-

Qur’an. Sedangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1PNPS/1965

tentang pencegaham Penyalahgunaan atau Penodaan Agama bahwa

penistaan agama adalah “Setiap orang dilarang dengan sengaja dimuka

umum menceritakan, menganjurkan, mengusahakan dukungan umum

untuk melakukan penafsitan tentang sesuatu agama yang dianut di

Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai

kegiatan-kegiatan keagamaan dari agam itu, penafsirandari kegiatan mana

yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”

Dapat disimpulkan bahwa setiap suatu kegiatan yang menyerupai

agama dilarang untuk melakukan pengejekan atau penghinaan. Oleh

karena itu, sesuai dalam konteks syariat agama Islam dapat dipahami

bahwa orang yang melakukan suatu penistaan agama atau penghinaan

agama mengakiatkan seseorang tersebut akan berdosa besar seta murtad

(yakni keluar dari agama Islam).

Sedangkan dalam konteks negara Indonesia sangat dilarang dengan

keras bagi pelaku penistaan agama karena akan dikenakan sanksi bagi

pelakunya, entah itu dikenakan hukuman berapa tahun untuk dipenjara.

Memang secara tekstual dalam al-Qur’an memang tidak dijumpai kata-

kata khusus yang bermakna penistaan. Akan tetapi dalam kamus Besar

Bahasa Indonesia sudah menjelaskan maksud penistaan itu seperti apa.

Kemudian dalam surah al-An’am ayat 108 juga menjelaskan

bahwa kata dari sabba-yasuubbu sabb(an), yang artinya “mencaci” atau

“mencela”. Namun makna dari penelusuran melalui kata-kata persamaan

yang senada dengan penistaan yaitu kata la’ib (bersenda gurau, bermain-

main), huzuw (berolok-olok), dan sakhira (mengejek, mencemooh). Dari

ketiga kata tersebut merupakan satu kesatuan dari kata yang menistakan

agama. Oleh sebab itu, tindakan penistaan terhadap agama diungkapkan

dalam Al-Qur’an setidaknya dalam empat bentuk yaitu yang pertama,

penistaan dalam bentuk penghinaan. Kedua, penistaan dalam bentuk

Page 73: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

62

bersenda gurau. Ketiga, penistaan dalam bentuk tuduhan dan tudingan.

Keempat, penistaan dalam bentuk pandangan bahwa perbuatan dan ajaran

nabi pada agama lain tidak benar atau dusta. Dan masih banyak lagi dari

bentuk penistaan itu sendiri.

Delik penistaan agama diatur dalam pasal 156a KUHP disebutkan

“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima (5) tahun barang

siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau

melakukan perbuatan; (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan,

penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di

Indonesia; atau (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut

agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Dalam teori pemidanaan dikenal adanya unsur-unsur yang

diperlukan agar seseorang dapat diproses dalam sistem peradilan pidana.

Dalam praktik pemidanaan dikenal dua unsur yaitu unsur objektif dan

unsur subjektif. Unsur objektif meliputi tindakan yang dilarang atau

diharuskan, akibat dari keadaan atau masalah tertentu, sedangkan unsur

subyektif meliputi kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab dari

pelaku3

Berkaitan dengan unsur obyektif dan subyektif, Lamintang

menyebutkan bahwa unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat

pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk

ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya.

Sedangkan unsur-unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada

hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan

mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Lebih lanjut,

Lamintang merinci unsur subyektif dari perbuatan pidana sebagai berikut:

3 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. III (Bandung:

Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 193-194.

Page 74: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

63

a. Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa);

b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan seperti yang

dimaksud dalam pasal 53 ayat 1 KUHP;

c. Macam-macam maksud seperti yang terdapat misalnya di

dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan

dan lain-lain;

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti

yang misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan

menurut pasal 340 KUHP;

e. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di

dalam rumusan tindak pidana menurut pasal 308 KUHP.

Adapun unsur-unsur obyektif dari perbuatan pidana terdiri dari:

a. Sifat melanggar hukum;

b. Kualitas dari pelaku;

c. Kausalitas, yakni penyebab hubungan suatu tindakan

sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai

akibat.

B. Kasus Penistaan Agama di Indonesia

Kasus penistaan agama saat ini memang sedang sangat ramai

menjadi perbincangan setelah saudari Meiliana seorang ibu rumah tangga

di daerah Kecamatan Tanjung Balai Selatan Kota Tanjung Balai. Sebelum

penulis membahas kasus penistaan agama yang dilakukan oleh ibu

Meiliana, penulis akan memaparkan beberapa kasus penistaan agama yang

pernah terjadi bahkan sudah di proses hukum dan pelakunya harus

menjalani masa hukumannya. Berikut beberapa kasus penistaan agama

yang pernah terjadi di Indonesia yang diambil dari berbagai sumber :

1. Kaceng Cs

Kasus yang dikaitkan langsung dengan pasal ini yaitu kasus

yang terjadi dan sudah diputus oleh pengadilan negeri Purwakarta

dengan putusan nomor 19/Pid/Tol/1979, tanggal 13 Desember

1979. Perbuatan ersebut adalah: “perbuatan penistaan terhadap

Page 75: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

64

sesuatu agama (agama Islam) yang dianut di Indonesia, yaitu

mereka (tertuduh) telah melaksanakan sumpah dengan cara

menginjaki dan mengencingi Kitab Suci Al-Qur’an. Perbuatan

tersebut melanggar pasal 55 yo. 156a KUHP dan Undang-Undang

PNPS Nomor 1 Tahun 1695.4

Namun hakim dalam persidangan menyatakan para

terdakwa dalam kasus tersebut lepas dari segala tuntutan karena

adanya unsur paksaan dari pihak pemeriksa. Hal ini terjadi ketika

dalam persidangan pemeriksa menyuruh para terdakwa bersumpah

dengan cara menginjaki dan mengencingi kitab suci Al-Qur’an,

sebagai suatu sarana untuk membuktikan bahwa mereka tidak

melakukan perbuatan yang dituduhkan kepada mereka.

2. Arswendo Atmowiloto

Kasus ini terjadi dan sudah diputus oleh Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat dengan putusan tanggal 8 April 1991 nomor

09/IV/Pid.B/1991/PN.Jkt.Pst. Terdakwa Arswendo Atmowiloto

selaku pemimpin redaksi surat kabar mingguan Tabloid Monitor

pada bulan oktober 1990 telah memuat naskah “Ini Dia 50 Tokoh

yang dikagumi pembaca kita”, yang gagasan dan naskah dibuatnya

sendiri dimana dicantumkan nama Nabi Muhammad saw. pada

peringkat 11 yang dimuat dan disiarkan dalam surat kabar

Mingguan Tabloid Monitor No. 225/IV tanggal 15 Oktober 1990,

halaman 15.5

Terdakwa menggunakan istilah peringkat, hal ini berarti

terdakwa bermaksud membuat suatu perbandingan bahwa antara

nama-nama yang tercantum dalam tabel tersebut antara satu

dengan yang lain ada perbedaan tinggi dan rendah. Dari uraian

tersebut, Hakim dalam persidangan menyatakan terdakwa secara

4 Juhaya S.Praja dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama Dalam Hukum Pidana

di Indonesia , (Bandung: Angkasa, 1993), hlm. 46. 5 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan: Pengertian dan

Penerapannya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 79

Page 76: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

65

sah dan meyakinkan melanggar pasal 156a huruf a KUHP dan

menghukum dengan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun.

3. Aprianus Tae alias Tae

Putusan Pengadilan Negeri Atambua Nomor :

71/Pid.Sus/2018/PN.Atb tentang tindak pidana penistaan agama,

yang diputus oleh Hakim menyatakan terdakwa Aprianus Tae alias

Tae, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana Penistaan terhadap suatu agama yang dianut di

Indonesia‚ sebagaimana dalam dakwaan alternatif kesatu Penuntut

Umum: 1.Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut di atas

oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) Tahun 4

(empat) bulan.

Dalam penistaan agama, katolik dalam hukum Islam

terdakwa Aprianus Tae als. Tae dikenai hukum ta’zir, di mana

hukuman tersebut dirasa sesuai jika diterapkan. Dalam hukum

pidana Islam, hakim diperkenankan mempertimbangkan hukuman

yang akan dikenakan kepada terdakwa. Sanksi ta’zir ditetapkan

sesuai dengan tindak kejahatannya, agar tercapai tujuan sanksinya

yaitu pencegahan. Hukuman ta’zir yang sesuai dengan tindak

kejahatan terdakwa adalah hukuman ta’zir penjara. Dikarenakan

hukuman ini dikategorikan sebagai kekuasaan hakim. Persoalan

waktu lamanya hukuman penjara diserahkan sepenuhnya kepada

hakim.6

4. Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR)

Gafatar memiliki ribuan pengikut dari berbagai daerah di

seluruh Indonesia.7 Mereka menetap di Kalimantan dan menggarap

6 Mohammad Taslim Harun AL Rosyid, Tinjauan Hukum Pidana Islam

Terhadap Delik Penistaan Agama Katolik Dalam Putusan Pengadilan Negeri

Atambua (Putusan Nomor : 71/Pid.Sus/2018/PN.Atb), (Skripsi UIN Sunan

Ampel Surabaya Fakultas Syariah dan Hukum, 2019), hlm. 65. 7 https://news.okezone.com/read/2017/05/10/338/1687575/selain-ahok-ini kasus

kasuspenodaan-agama-yang-pelakunya-berujung-di-penjara diakses pada tanggal

27 Juli 2019 pukul 21. 20

Page 77: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

66

lahan kosong dengan bertani. Mereka membangun gubuk untuk

ditempati beberapa kepala keluarga. Namun, ada juga yang

menyewa rumah warga. Aktivitas mereka tertutup bagi warga

setempat. Namun, setelah kasus hilangnya dokter Rica Tri

Handayani terbongkar, aktivitas Gafatar pun terbongkar. Gafatar

diduga telah melakukan penistaan agama. Gafatar diketahui oleh

tim gabungan yang dikomandoi oleh Kejaksaan Agung merupakan

metamorfosis dari ajaran Al-Qaidah Al Islamiyah.

Dimana ajaran tersebut dilarang sejak tahun 2007 karena di

nilai sesat. Selain metamorfosis dari Al-Qaidah Al-Islamiyah, MUI

setidaknya menemukan tiga poin yang membuat Gafatar

dinyatakan sesat yaitu penokohan Musaddeq sebagai juru selamat

setelah Nabi Muhammad SAW. Selain itu, Gafatar tidak

mewajibkan pengikutnya menjalankan ibadah agama Islam yang

sebenarnya. MUI juga menemukan penafsiran ayat suci yang tidak

sesuai aqidah.

Dalam ajaran Gafatar juga ditemukan pelafalan syahadat

yang baru. Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menetapkan

tiga tersangka yaitu Musaddeq yang mengaku sebagai nabi, Andre

Cahya sebagai Presiden Negeri Karunia Semesta Alam dan Mafhul

Muis Tumanurung selaku Wakil Presiden. Ketiganya dijerat

dengan pasal penistaan agama 156a KUHP, Pasal 110 tentang

Pemufakatan untuk makar dan Pasal 64 tentang perbuatan

berlanjut. Dengan vonis hukuman Musaddeq yang mengaku

sebagai nabi 5 tahun penjara, Andre Cahya sebagai Presiden

Negeri Karunia Semesta Alam dan Mafhul Muis Tumanurung

selaku Wakil Presiden di penjara selama 3 tahun.

5. Lia Aminudin, atau Lia Eden

Mengaku sebagai imam Mahdi dan mendapat wahyu dari

malaikat Jibril, 2006 Lia -yang mengaku pernah bertemu Bunda

Maria- dijebloskan ke penjara dua kali. Pertama pada Juni 2006,

Page 78: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

67

divonis dua tahun karena terbukti menodai agama dan tiga tahun

kemudian pada 2009 juga dengan alasan yang sama setelah polisi

menyita ratusan brosur yang dinilai menodai agama. Dia di vonis

penjara 2 tahun dan 6 bulan.8

6. Penistaan Agama Hindu oleh Rurgiani

Rusgiani harus menjalani hukuman 14 bulan penjara

setelah majelis hakim memutuskan perbuatannya dinyatakan

penistaan agama. Rusgiani yang merupakan ibu rumah tangga

menyebut canang atau tempat menaruh sesajen dalam upacara

keagamaan umat Hindu dengan kata-kata najis. Pernyataan

Rusgiani bermula saat dirinya melewati rumah Ni Ketut Surati, di

Gang Tresna Asih, Jalan Puri Gadung II, Jimbaran, Badung, pada

25 Agustus 2012. Saat di depan rumah itulah, Rusgiana menyebut

canang tersebut najis.9

7. Penistaan Agama Islam oleh Ki Panji Kusmin pada 1968

Setelah rezim Sukarno tumbang seiring dengan

tersungkurnya PKI dalam pentas politik Indonesia, rezim Suharto

yang menyebut diri sebagai Orde Baru, naik tahta

menggantikannya. Namun, sebelum „lengser keprabon‟, pada 27

Januari 1965 Presiden Sukarno menerbitkan Penetapan Presiden

Republik Indonesia (Pepres) Nomor 1 tahun 1965, tentang

pencegahan penyalahgunaan dan/atau penistaan agama. Perpres ini

kemudian menetapkan menambahkan pasal penistaan agama di

dalam bab yang mengatur tentang ketertiban umum, Pasal 156 a

KUHP.10

8 http://bangka.tribunnews.com/2017/05/09/selain-kasus-ahok-inilah-kasus

kasuspenistaan-agama-yang-menghebohkan-di-indonesia, diakses pada tanggal

27 Juli 2019 pukul 21.49 9 https://news.okezone.com/read/2017/05/10/338/1687575/selain-ahok-ini-

kasuskasuspenodaan-agama-yang-pelakunya-berujung-di-penjara, diakses pada

tanggal 27 Juli 2019 pukul 21.49 10 https://news.okezone.com/read/2017/05/10/338/1687575/selain-ahok-inikasus

kasuspenodaan-agama-yang-pelakunya-berujung-di-penjara, diakses pada

tanggal 27 Juli 2019 pukul 21.58

Page 79: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

68

C. Deskripsi Kasus Penistaan Agama oleh Meliana

1. Kronologi Kasus

Bermula pada hari dan tanggal yang sudah tidak dingat lagi pada

bulan Juli 2016 sekira pukul 08.00 Wib bertempat di depan kios Jalan

Karya Lingkungan I Kelurahan Tanjungbalai Kota I Kecamatan

Tanjungbalai Selatan Kota Tanjungbalai Terdakwa mendatangi kios untuk

membeli rokok lalu Terdakwa berkata kepada Saksi KASINI Alias KAK

UO “kak tolong bilang sama uak itu, kecilkan suara Masjid itu kak, sakit

kupingku, ribut” sambil menggerakkan tangan kanannya ke kuping kanan

Terdakwa lalu Saksi KASINI Alias KAK UO menjawab “iyalah nanti

kubilangkan”, kemudian pada besoknya Saksi KASINI Alias KAK UO

mendatangi rumah ayah Saksi KASINI Alias KAK UO bernama Kasidik

dan setelah itu Saksi KASINI Alias KAK UO menyampaikan perkataan

Terdakwa tersebut kepada adik kandung Saksi KASINI Alias KAK UO

bernama Hermayanti dengan mengatakan “ooo HERI orang cina muka itu

minta kecilkan volume Masjid” lalu Saksi Hermayanti bertanya “yang

mano, siapo” lalu Saksi KASINI Alias KAK UO menjawab “istri si

ATUI” lalu Saksi Hermayanti berkata “bilangkanlah sama bapak” lalu

Saksi KASINI Alias KAK UO menjawab “malas aku, kaulah bilangkan

aku takut”, kemudian pada besok harinya Saksi Kasidik datang ke rumah

Saksi KASINI Alias KAK UO dan berkata “ada orang cina itu, datang ke

kedai kau ya” lalu Saksi KASINI Alias KAK UO menjawab “iyo ado pak,

dia minta kecilkan suara Masjid itu pak, bising dio katonya” lalu Saksi

Kasidik menjawab “iyolah nanti ku sampaikan ke BKM Masjid Al

Makhsum”.11

Kemudian pada hari Jumat tanggal 29 Juli 2016 sekira pukul 10.00

Wib Saksi Kasidik bertemu dengan Ketua BKM yakni Saksi SJAJUTI

Alias SAYUTI di Jalan Bahagia Kecamatan Tanjungbalai Selatan Kota

Tanjungbalai lalu Saksi Kasidik berkata“Pa SAYUTI, cina depan rumah

kami itu, gimana ya minta kecilkan suara volume Masjid kita itu” lalu

11 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 4.

Page 80: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

69

Saksi SJAJUTI Alias SAYUTI menjawab “ya udahlah nanti AHLI datang

ke Masjid nanti kita bicarakan di Masjid”, kemudian sekira pukul 16.00

Wib selesai Shalat Ashar Saksi Kasidik bertemu dengan Saksi SAHRIR

TANJUNG Alias PAK ER dan berkata “Er, cina depan itu minta kecilkan

volume Masjid ini, bising katanya telinganya gimana solusinya” lalu Saksi

SAHRIR TANJUNG Alias PAK ER menjawab “ya nantilah nanti kita

kasih tau sama pak Lobe dan pak Dai Lami”, kemudian sekira pukul 18.00

Wib sehabis Shalat Maghrib Saksi Kasidik bertemu dengan Pak ZUL

SAMBAS,12 Saksi HARIS TUA MARPAUNG Alias PAK LOBE dan

Saksi DAILAMI lalu Saksi Kasidik berkata “macam mana ini cina yang di

depan itu minta suara volume Masjid dikecilkan” lalu Pak ZUL SAMBAS,

Saksi HARIS TUA MARPAUNG Alias PAK LOBE dan Saksi DAILAMI

menjawab “ayok kita ke rumahnya”, kemudian sekira pukul 19.00 Wib

Saksi Kasidik, Saksi DAILAMI, Saksi HARIS TUA MARPAUNG Alias

PAK LOBE dan Pak ZUL SAMBAS pergi ke rumah Terdakwa yang

berada di Jalan Karya Lingkungan I Kelurahan Tanjungbalai Kota I

Kecamatan Tanjungbalai Selatan Kota Tanjungbalai lalu Saksi HARIS

TUA MARPAUNG Alias PAK LOBE mengetuk pintu rumah Terdakwa

dan pada saat itu anak laki-laki Terdakwa membuka pintu kecil di pintu

rumahnya lalu berkata “ada apa” lalu Saksi HARIS TUA MARPAUNG

Alias PAK LOBE menjawab “ada mamakmu” lalu anaknya menjawab

“ada” dan setelah itu Terdakwa datang lalu berkata “ada apa” lalu Saksi

HARIS TUA MARPAUNG Alias PAK LOBE berkata “ada kakak bilang

kecilkan suara Masjid itu” lalu Terdakwa menjawab dimuka/dihadapan

Saksi Kasidik, Saksi DAILAMI, Saksi HARIS TUA MARPAUNG Alias

PAK LOBE dan Pak ZUL SAMBAS “ya lah, kecilkanlah suara Masjid itu

ya bising telinga AHLI pekak mendengar itu” lalu Saksi HARIS TUA

MARPAUNG Alias PAK LOBE menjawab “jangan gitulah kalau kecil

suara volumenya gak dengar” lalu Terdakwa berkata “punya perasaanlah

12 https://amp.tirto.id/detail-kejadian-keluhan-suara-azan-dan-kerusuhan-di -

tanjung-balai cUg6, diakses pada tanggal 22 Agustus 2019 pukul 21.20

Page 81: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

70

kalian sikit” lalu Pak LOBE menjawab “kakak jangan lah gitu bercakap,

haruslah sopan sikit” dan setelah itu Saksi Kasidik, Saksi DAILAMI, Saksi

HARIS TUA MARPAUNG Alias PAK LOBE dan Pak ZUL SAMBAS

pergi ke Masjid kembali untuk Shalat Isya, setelah selesai Shalat Isya

suami Terdakwa yaitu Saksi LIAN TUI datang ke Masjid untuk meminta

maaf namun pada saat itu masyarakat di sekitar saling bercerita sehingga

masyarakat menjadi ramai. Kemudian sekira pukul 21.00 Wib Saksi

SJAJUTI Alias SAYUTI bersama Kepala Lingkungan datang ke rumah

Terdakwa dan membawa Terdakwa ke Kantor Kelurahan dan sekira pukul

23.00 Wib masyarakat semakin ramai dan berteriak “bakar…bakar” lalu

berteriak “Allahu Akbar, Allahu Akbar” dan akibat perbuatan Terdakwa

tersebut Saksi ALRIFAI ZUHERISA Alias ALDO dan Saksi BUDI

ARIYANTO bersama massa lainnya melempari dan merusak rumah

Terdakwa serta Vihara / Pekong yang ada di Kota Tanjungbalai.13

Kemudian atas kejadian tersebut, pada tanggal 2 Desember 2016,

Saksi HARIS TUA MARPAUNG, Saksi Drs. DAILAMI, M.Pd. dan Saksi

Rifai membuat Surat Pernyataan tertanggal 02 Desember 2016 perihal

meminta kepada Pihak Kepolisian agar melakukan penyidikan terhadap

Saudari MELIANA yang telah kami anggap melakukan pelecehan,

penistaan serta menyatakan rasa benci terhadap kegiatan Ibadah Agama

Islam di Masjid AlMaksum Jalan Karya Tanjungbalai, dan ditandatangani

di atas materai enam ribu. - Kemudian pada tanggal 14 Desember 2016,

Aliansi Mahasiswa dan masyarakat Independent Bersatu (AMMIB)

mengajukan Surat kepada Ketua MUI Kota Tanjungbalai dengan Surat

Nomor : Ist/038/B/AMMIB-TB/XII/2016 tanggal 14 Desember 2016,

perihal Mohon Audiensi Dan Fatwa MUI Terkait Dugaan Penistaan

Agama Yang Dilakukan Oleh Seorang Etnis Tionghoa Bernama

MELIANA.14

13 https://www.google.co.id/amp/s/nasional.tempo.co/amp/1119663/ini

kronologi-kasus-penistaan-agama-meliana-di-tanjung-balai, diakses pada tanggal

22 Agustus 2019 pukul 21.25 14 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 6.

Page 82: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

71

Selanjutnya pada tanggal 19 Desember 2016, MUI Kota Tanjung

Balai telah melaksanakan rapat Komisi Fatwa DP. MUI Kota Tanjungbalai

dan memutuskan Memohon Fatwa dari DP. MUI Propinsi Smatera Utara

atas penistaan agama tersebut dengan menerbitkan Surat Nomor :

A.056/DP2/MUI/XII/2016 tanggal20 Desember 2016 tentang Mohon

Fatwa Penistan Agama yang melampirkan :

1. Surat dari Aliansi Mahasiswa dan masyarakat Independent Bersatu

(AMMIB) Nomor: Ist/038/B/AMMIB-TB/XII/2016 tanggal 14

Desember 2016, perihal Mohon Audiensi dan Fatwa MUI terkait

dengan penistaan agama yang dilakukan oleh Etnis Tionghoa

bernama MELIANA.

2. Surat Pernyataan dari HARIS TUA MARPAUNG, Drs.

DAILAMI, Mpd dan Rifai tertanggal 02 Desember 2016 yang

ditandatangani di atas materai enam ribu.

Bahwa pada tanggal 4 Januari 2017, Aliansi Mahasiswa dan

masyarakat Independent Bersatu (AMMIB) pun mengajukan Surat

langsung kepada Ketua MUI Propinsi Sumatera Utara denganSurat Nomor

: Ist/049/B/AMMIB-TB/I/2017 tanggal 04 Januari 2017, perihal Mohon

Fatwa MUI Terkait Dugaan Penistaan Agama Yang Dilakukan Oleh

Seorang Etnis Tionghoa Bernama MELIANA.

Bahwa Komisi Fatwa MUI Provinsi Sumatera Utara telah

melaksanakan Rapat mulai tanggal 3 Januari 2017 sampai dengan tanggal

24 Januari 2017, bertempat di Ruang Rapat MUI Propinsi Sumatera Utara

Jalan Maj Jalan Majelis Ulama No. 3 / Sutomo Ujung Kota Medan, yang

dihadiri oleh pakar bahasa dan hukum serta Komisi Fatwa MUI Propinsi

Sumatera Utara dan pada hari Selasa tanggal24 Januari 2017, Komisi

Fatwa MUI Provinsi Sumatera Utara telah menghasilkan Fatwa yaitu

KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) Propinsi

SUMATERA UTARA Keputusan Nomor:001/KF/MUI-SU/I/2017 tanggal

24 Januari 2017, tentang PENISTAAN AGAMA ISLAM OLEH

Page 83: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

72

SAUDARI MELIANA DI KOTA TANJUNGBALAI, dengan kesimpulan

sebagai berikut :

menetapkan : Fatwa tentang Penistaan Agama yang dilakukan oleh

Sdri MELIANA di Kota Tanjungbalai.

Pertama : Ketentuan hukum :

a. Adzan yang dikumandangkan di Masjid adalah syariat agama

Islam yang dikumandangkan sebagai tanda masuk waktu Shalat

dan atau menyuruh umat Islam untuk melaksanakan Shalat .

b. Ucapan/ujar yang disampaikan oleh Sdri Meliana atas suara

Adzan yang berasal dari Masjid Al-Maksum Jalan Karya Kota

Tanjungbalai Pada tanggal 29 Juli 2016 PERENDAHAN DAN

PENISTAAN TERHADAP SUATU AGAMA ISLAM.

Kedua : Rekomendasi :

a. Kepada pihak Kepolisian untuk segera menindaklanjuti proses

penegakan hukum atas saudari MELIANA sesuai dengan

peraturan dan perundang-udangan yang berlaku;

b. Kepada seluruh umat Islam, khususnya kaum muslimin Kota

Tanjungbalai dihimbau untuk tidak terpropokasi dan

melakukan aksi-aksi anarkis serta agar tetap menjaga

kondusifitas kerukunan dan toleransi antar umat beragama di

Kota Tanjungbalai;

c. Kepada seluruh Umat Islam, khususnya kaum muslimin Kota

Tanjungbalai agar menyerahkan proses hukum sepenuhnya

kepada pihak yang berwajib dalam menyelesaikan masalah ini

sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.15

2. Unsur-Unsur Penistaan Agama yang Dilakukan oleh Ibu Meliana

Unsur-unsur sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 156a huruf (a)

KUHPidana, yakni:16

15 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 7. 16 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 77.

Page 84: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

73

Unsur Subjektif : Dengan Sengaja.

Unsur Objektif :

a) Di muka umum.

b) Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan.

c) Bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penistaan terhadap suatu

agama yang dianut di Indonesia.

Sedangkan, unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 156 KUHPidana

meliputi :

a) Unsur Objektif

b) Di muka umum ;

c) Menyatakan atau memberikan pernyataan ;

d) Mengenai perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan.

e) Terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negera

Indonesia.

Meskipun Undang-undang tidak mencantumkan unsur kesengajaan

(unsur subektif), namun sudah cukup jelas bahwa tindak pidana yang

diatur dalam Pasal 156 KUHPidana tetap mensyaratkan perbuatan itu

harus dilakukan dengan sengaja.17

Bahwa benar yang dimaksud dengan Fatwa Majelis Ulama

Indonesia adalah Fatwa berasal dari bahasa Arab, yang artinya adalah

sebuah pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan

hukum Islam. Menurut Peraturan Presiden Nomor 151 Tahun 2014

Tentang Bantuan Pendanaan Kegiatan Majelis Ulama Indonesia,

dinyatakan bahwa Majelis Ulama Indonesia atau disingkat dengan MUI

adalah sebagai wadah musyawarah para ulama, pemimpin dan

cendekiawan muslim dalam mengayomi umat dan mengembangkan

kehidupan yang Islami serta meningkatkan partisipasi umat Islam dalam

pembangunan nasional. Dengan demikian, yang dimaksud dengan Fatwa

Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah keputusan ataupun pendapat yang

17 Arsil dkk, Penafsiran Terhadap Pasal 156A Huruf a KUHP Tentang Penodaan

Agama (Analisis Hukum dan Hak Asasi Manusia), (Jakarta: LeIP, 2018), hlm. 60.

Page 85: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

74

diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia yang berkaitan dengan suatu

masalah kehidupan umat beragama khususnya agama Islam.

Bahwa dapat dijelaskan kedudukan sebuah fatwa dalam peraturan

perundang-undangan Indonesia merujuk pada hirarki peraturan perundang-

undangan, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12

Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka

kedudukan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukanlah merupakan

suatu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan

hukum mengikat. Fatwa Majelis Ulama Indonesia hanya mengikat dan

ditaati oleh umat Islam yang merasa mempunyai ikatan terhadap Majelis

Ulama Indonesia (MUI) itu sendiri. Dengan kata lain, Fatwa Majelis

Ulama Indonesia (MUI) tidak punya legalitas untuk memaksa harus di

taati oleh seluruh umat muslim.Namun demikian, sekalipun Fatwa Majelis

Ulama Indonesia bukan merupakan suatu jenis peraturan perundang-

undangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagaimana

yang dijelaskan diatas, akan tetapi dalam konteks penegakan hukum

bahwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bisa di jadikan sebagai

keterangan ahli atau pendapat (doktrin), guna pembuktian kasus konkret

individual (in concreto);18

Bahwa unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 156 KUHPidana

dan Pasal 156a Huruf a KUHPidana pada dasarnya merupakan satu

kesatuan yang tak terpisahkan dan sebagaimana yang telah diuraikan pada

point 7 diatas, kiranya perlu terlebih dahulu disampaikan dan di jelaskan

kembali menyangkut unsur-unsur tindak pidana (unsur objektif) yang

terkandung dalam Pasal 156 KUHPidana jo Pasal 156a Huruf (a)

KUHPidana yaitu berupa: - Bahwa di muka umum atau in het openbaar.

Maksud perkataan “ Di Muka umum “ adalah tempat-tempat umum yaitu

tempat-tempat yang dapat didatangi oleh setiap orang. Akan tetapi, istilah

di muka umum, bukan berarti selalu di tempat umum, melainkan juga

18 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 78.

Page 86: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

75

dapat meliputi satu rumah kediaman dengan dihadiri oleh banyak orang,

sudah termasuk ke dalam unsur di muka umum.

Bahwa menyatakan atau memberi pernyataan atau Uiting Geven.

Kata “Uiting “ berasal dari kata “Uiten“ yang diartikan sebagai perbuatan

yang menunjukan perasaannya ( Zijn govoelen tekenengeven ). Perbuatan

yang menunjukan perasaan itu dapat dilakukan dengan kata-kata (lisan),

melainkan juga dapat dilakukan dengan tindakan. Dengan demikian, kata

Uiting Geven atau menyatakan sesuatu itu juga harus dipandang sebagai

dapat dilakukan, baik dengan lisan maupun dengan tindakan.

Bahwa mengenai perasaan. Maksud perkataan perasaan disini

berupa menyatakan sesuatu perasaan yang diliputi adanya emosi (amarah),

kebencian yang menimbulkan permusuhan atau penghinaan/penistaan atau

merendahkan terhadap satu golongan penduduk atau suatu agama yang

dianut di Indonesia.

Bahwa menyangkut dengan golongan penduduk. Tentang apa yang

dimaksud dengan golongan penduduk, undang-undang telah memberikan

penafsiran secara outhentik yakni setiap bagian dari penduduk Indonesia

yang mempunyai perbedaan dengan yang satu dengan yang lainnya, yaitu

yang terdiri dari :

1) Ras, yakni segolongan orang yang terdiri dari individu-individu yang

mempunyai keterikatan yang erat antara yang satu dengan yang

lainnya. Misalnya : karena memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang

sama.

2) Landraad, yang sebenarnya diartikan sebagai penduduk, akan tetapi

juga diartikan sebagai kebangsaan.

3) Agama, dalam hal ini maka agama yang dimaksud adalah Islam,

Kristen Protestan, Kristen Khatolik, Budha, Hindhu, Kongucu dan

aliran kepercayaan.

Bahwa tindak pidana yang diatur pada 156 KUHPidana Jo Pasal

156a Huruf (a) KUHPidana dapat dimasukan ke dalam kelompok tindak

pidana penghinaan. Oleh sebab, pada penistaan/penistaan mengandung

Page 87: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

76

sifat penghinaan terhadap agama bagi umat agama yang menganut agama

yang bersangkutan. Selain itu, tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156a

KUHPidana dan Pasal 156 KUHPidana mengandung unsur yang bersifat

alternatif dan bukannya kumulatif. Artinya, jika salah satu unsur telah

terpenuhi, maka perbuatan itu dapat dikenakan Pasal 156a huruf a

KUHPidana dan Pasal 156 KUHPidana.19

D. Kualifikasi Delik Penistaan Agama Menurut Dakwaan JPU

Bahwa ia terdakwa Meliana pada hari jumat tanggal 29 juli 2016

sekitar pukul 19.00 WIB atau setidak – tidaknya pada waktu tertentu dalam

bulan juli 2016 bertempat di Jalan Karya Lingkungan I, Kelurahan Tanjung

Balai Kota I, Kecamatan Tanjung Balai Selatan, Kota Tanjung balai atau

setidak – tidaknya pada suatu tempat tertentu yang masih termasuk di dalam

daerah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Balai. Mendatangi kios untuk

membeli rokok lalu terdakwa berkata kepada Kasini atau KAK UO “kak,

tolong bilang sama uak itu kecilkan suara masjid itu kak, sakit kupingku,

ribut.” Sambal menggerakkan tangan kanannya ke kuping kanan.

Kemudian pada hari Jum’at jam 19.00 saksi Kasidik, saksi Dailami,

saksi Haris Tua Marapaung alias Pak Lobe mendatangi rumah terdakwa dan

menanyakan “apakah di rumah ini ada yang keberatan dengan suara adzan?”

kemudian terdakwa menjawab “iyalah, kecilkan suara masjid itu yah. Bising

telinga mendengar itu.” Kemudian perbuatan terdakwa Meliana tersebut

sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai dengan pasal 156 KUHPidana.

Keterangan dari saksi Dailami yang menyatakan bahwa mendengar

Meliana mengatakan “kita sudah sama-sama dewasa ini negara hukum, itu

masjid bikin telinga pekak, sakit kuping, hari-hari ribut, pagi ribut, siang ribut,

malam ribut, bikin gua tidak tenang.” Di rumah Meliana. Selanjutnya sekira

pukul 19.45 wib pada saat dikumandangkannya adzan isya’ kemudian saksi

melihat terdakwa keluar dari rumahnya dan berdiri depan pintu sambil

19 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 80.

Page 88: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

77

mengatakan dengan suara keras, “itulah yang bikin pokak itu.” Lalu terdakwa

masuk ke rumahnya sambil menghempaskan pintu.

Bahwa pada saat rapat mediasi dilakukan, Lurah Tanjungbalai Kota I

meminta kepada Terdakwa maupun suaminya Lian Tui beberapa hal untuk

disepakati bersama, yaitu:

a) Agar Terdakwa dan suaminya segera meminta maaf kepada Jamaah

Masjid Al-Maksum serta pihak Terdakwa juga harus membuat sebuah Surat

Pernyataan sehubungan dengan kejadian peristiwa ini untuk tidak lagi menjadi

berkembang luas dan menjadi perkara besar;

b) Bahwa untuk demi keamanan Terdakwa Merliana dan suaminya,

maka Terdakwa dianjurkan untuk sementara meninggalkan tempat

tinggal/rumah Terdakwa di Jalan Karya Lingkungan I yang letaknya

berhadap-hadapan langsung dengan Masjid Al-Maksum.

Bahwa ketika rapat mediasi dan klarifikasi di Kantor Kelurahan belum

selesai, Terdakwa MELIANA kurang menerima masukan dari Lurah agar

Terdakwa dan keluarganya pergi meninggalkan rumahnya untuk sementara

karena situasi masih belum aman dan kondusif.20

Pernyataan dari saksi ahli Dr. Akmaludin Syahputra menjelaskan dasar

dan acuan sehingga berpendapat bahwa ucapan atau ujaran yang disampaikan

terdakwa atas suara adzan adalah perendahan dan penistaan agama karena

azdan adalah seruan untuk mengajak orang melakukan sholat, dan suara dari

masjid seperti adzan adalah syiar dan bagian dari ritual agama Islam.

Ahli menjelaskan instruksi direktur jendral bimbingan masyarakat

Islam Nomor : KEP/D/101/78 tanggal 17 Juli 1978 tentang tuntutan

penggunaan pengeras suara di masjid. Bahwa tindak pidana yang diatur pada

156 KUHPidana Jo Pasal 156a Huruf (a) KUHPidana dapat dimasukan ke

dalam kelompok tindak pidana penghinaan. Oleh sebab, pada

penistaan/penistaan mengandung sifat penghinaan terhadap agama bagi umat

agama yang menganut agama yang bersangkutan. Selain itu, tindak pidana

yang diatur dalam Pasal 156a KUHPidana dan Pasal 156 KUHPidana

20 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 24.

Page 89: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

78

mengandung unsur yang bersifat alternatif dan bukannya komulatif. Artinya,

jika salah satu unsur telah terpenuhi, maka perbuatan itu dapat dikenakan

Pasal 156a huruf a KUHPidana dan Pasal 156 KUHPidana.21

E. Tuntutan JPU

1. Menyatakan Terdakwa MELIANA terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja di muka umum

mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya

bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penistaan terhadap suatu

agama yang dianut di Indonesia sebagaimana dalam dakwaan Primair

Penuntut Umum.

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan hukuman

penjara selama 1 (SATU) TAHUN 6 (ENAM) BULAN dikurangi selama

Terdakwa berada dalam penahanan sementara.

3. Menetapkan barang bukti berupa : 2 (dua) buah TOA / Pengeras Suara

merek TOA warna biru. 1 (satu) buah Ampli merek TOA warna hitam.

Dikembalikan kepada BKM (Badan Kemakmuran Masjid) Masjid

AlMaksum melalui SJAJUTI Alias SAYUTI selaku Ketua BKM Masjid

AlMaksum.

a) Surat dari MUI Tanjung Balai Nomor : A.056/DP-

2/MUI/XII/2016 tanggal 20 Desember 2016 tentang Mohon

Fatwa Penistan Agama.

b) Surat dari Aliansi Mahasiswa dan masyarakat Independent

Bersatu (AMMIB) Nomor : Ist/049/B/AMMIB-TB/I/2017,

tentang Mohon Fatwa MUI terkait dengan penistaan agama

yang dilakukan oleh Etnis Tionghoa bernama MELIANA.

c) Surat Pernyataan dari HARIS TUA MARPAUNG, Drs.

DAILAMI, Mpd dan Rifai tertanggal 02 Desember 2016 yang

ditandatangani di atas materai enam ribu.

d) Disposisi dari Dewan Pimpinan MUI ke Komisi Fatwa.

e) Daftar Absen dalam melakukan rapat Komisi Fatwa.

21 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 58.

Page 90: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

79

f) Surat Permintaan / Penunjukan tenaga Ahli bahasa dan Ahli

Tindak Pidana. SK Dewan Pimpinan MUI Nomor : U-

596/MUI/IX/1997.

g) Pedoman penetapan fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama

Indonesia Nomor : Istimewa/VII/2012.

h) Dikembalikan kepada MUI (Majelis Ulama Indonesia)

Provinsi Sumatera Utara melalui Dr. AKMALUDDIN

SYAHPUTRA, M.Hum selaku Sekretaris Komisi Fatwa M.U.I

(Majelis Ulama Indonesia) Provinsi Sumatera Utara.

4. Menetapkan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp 5.000,- (lima ribu rupiah).22

F. Vonis Hukum

Mengadili:

1. Menyatakan Terdakwa MELIANA telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja dimuka

umum melakukan penistaan terhadap suatu agama yang dianut di

Indonesia” sebagaimana dalam dakwaan Primair Penuntut Umum.

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan hukuman

penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan;

3. Menetapkan waktu selama terdakwa ditahan dikurangkan seluruhnya dari

pidana yang dijatuhkan ;

4. Menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;

5. Mengembalikan dan Menetapkan barang bukti berupa : 2 (dua) buah TOA

/ Pengeras Suara merek TOA warna biru dan 1 (satu) buah Ampli merek

TOA warna hitam kepada BKM (Badan Kemakmuran Masjid) Masjid Al-

Maksum melalui SJAJUTI Alias SAYUTI selaku Ketua BKM Masjid Al-

Maksum.

6. Dikembalikan kepada MUI (Majelis Ulama Indonesia) Provinsi Sumatera

Utara melalui Dr. AKMALUDDIN SYAHPUTRA, M.Hum selaku

22 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 2-3.

Page 91: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

80

Sekretaris Komisi Fatwa M.U.I (Majelis Ulama Indonesia) Provinsi

Sumatera Utara.

(a) Surat dari MUI Tanjung Balai Nomor : A.056/DP-2/MUI/XII/2016

tanggal 20 Desember 2016 tentang Mohon Fatwa Penistan Agama.

(b) Surat dari Aliansi Mahasiswa dan masyarakat Independent Bersatu

(AMMIB) Nomor : Ist/049/B/AMMIB-TB/I/2017, tentang Mohon

Fatwa MUI terkait dengan penistaan agama yang dilakukan oleh Etnis

Tionghoa bernama MELIANA.

(c) Surat Pernyataan dari HARIS TUA MARPAUNG, Drs. DAILAMI,

Mpd dan Rifai tertanggal 02 Desember 2016 yang ditandatangani di

atas materai enam ribu.

(d) Disposisi dari Dewan Pimpinan MUI ke Komisi Fatwa.

(e) Daftar Absen dalam melakukan rapat Komisi Fatwa.

(f) Surat Permintaan / Penunjukan tenaga Ahli bahasa dan Ahli Tindak

Pidana. SK Dewan Pimpinan MUI Nomor : U-596/MUI/IX/1997.

(g) Pedoman penetapan fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Nomor : Istimewa/VII/2012.

7. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkarasebesar

Rp 5.000,- (lima ribu rupiah).23

23 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 95-96.

Page 92: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

81

BAB IV

ANALISIS PUTUSAN PN MEDAN NOMOR : 1612/PID.B/2018/PN MDN

A. Sekilas Tentang Fatwa MUI Nomor: 001/KF/MUI-SU/I/2017

MUI dalam memutus atau mengeluarkan fatwa yang dimintakan

terhadap kasus meliana menggunakan berbagai sudut pandang sehingga

memberikan kesimpulan sebagaimana yang telah tertulis didalam

fatwanya. Dalam pendekatan studi berbagai macam teori hukum kita kenal

diantaranya yaitu teori kepastian hukum.

Teori kepastian hukum menjelaskan bahwa hukum sebagaimana

aturan yang harus dijalanani memerintah secara memaksa serta memiliki

sanksi apabila dilanggar mengakibatkan semua warga negara yang

bersangkutan harus memahaminya tanpa terkecuali karena hukum pun

dipandang sebagai pelindung bagi sesama warga negara. Maka semua

aturan atau hukum tersebut harus memiliki aturan yang dipositifisme kan

secara jelas dan diakui keberadaannya

Memutuskan suatu permasalahan yang mengakibatkan berubahnya

status hukum seseorang tidak bisa akhirnya digunakan kesepakatan belaka

tanpa menggunakan hukum itu sendiri. Dengan hukum pun, masih banyak

terjadi konflik sosial karena dianggap tidak adil sehingga nilai hukum

sebagai alat terciptanya keadilan menjadi terdistorsi dan tereduksi

Proses pembentukan fatwa MUI terhadap kasus penistaan agama

ini boleh jadi mirip-mirip dengan hal ini yaitu memastikan dimana titik

penistaan agama itu terjadi. Penelaahan MUI dalam menggunakan dalil

yang digunakan oleh umat islam (alquran, hadits) harus dibuktikan dengan

dasar dasar hukum yang jelas. Ditambah lagi pendapat-pendapat ulama

yang dimana sebagai penginterpretasian terhadap kasus yang pernah

terjadi sebelumnya atau sedang terjadi dengan menggunakan kaidah ushul

fikih tertentu.

Secara unsur agama (islam) telah dibuktikan bagaimana meliana

dianggap bersalah dan menistakan agama maka selanjutnya pembuktian

Page 93: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

82

lewat hukum positif. Sebelum masuk kedalam ranah hukum positif MUI

terlebih dahulu memberikan kesimpulan bahwa dalam hukum positif pun

meliana dianggap menistakan agama. Mengapa demikian? Karena

menggunakan rumusan hukum islam saja belum cukup memberikan solusi

sosial. Bisa saja akhirnya ketika dilakukan keputusan menurut agama

islam perkataan meliana menyinggung dan menistkan umat islam hal yang

radikal dapat terjadi.

Mengundang para pakar dari pakar bahasa maupun pakar hukum

pidana yang melalui keahliannya dibidang hukum juga dibuktikan bahwa

memang benar perkataan ibu meliana melanggar toleransi beragama

melalui penafsiran dari sisi bahasa maupun unsur hukum pidana. Setelah

memberikan kesimpulan baik secara agama maupun hukum positif

kewenangan MUI meneruskan fatwa tersebut kepada kepolisian agar

memberikan kepastian bahwa yang bersangkutan diproses melalui hukum

yang berlaku (hukum positif).

Hal ini sekaligus memberikan pandangan bahwa fatwa MUI tidak

hanya diputus melalui pendapat lembaga keagamaan saja tetapi juga

diberikan kepada lembaga hukum yang secara positif hukum diakui

kekuatannya sehingga tidak ada main hakim sendiri dalam sosial

masyarakat.

Fatwa seperti yang telah diulas di bab-bab sebelumnya yang

dikeluarkan oleh MUI turun berdasarkan adanya permintaan dari

masyarakat yang belum ada ketetapan hukumnya secara terperinci dan

dengan jelas. Fatwa MUI yang juga dikeluarkan melalui prosedur

penetapan fatwa menandakan adanya proses didalam pembentukan dan

penetapan fatwa.

Begitu juga pada kasus penistaan agama dikota tanjung balai yang

dilakukan oleh saudari Meliana dalam fatwa yang dikeluarkan oleh MUI

Sumatera Utara Nomor: 001/KF/MUI-SU/I/2017 terdapat kronologi yang

dimana adanya surat dari Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Independent

Page 94: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

83

Bersatu (AMMIB) yang meminta fatwa kepada MUI Kota Tanjung Balai

nomor: A.056/DP/2/MUI/XII/2016.

Pedoman penetapan fatwa komisi fatwa Majelis Ulama Nomor:

Istimewa/VII/2012 pada pasal 4 poin 2 bahwa proses penetapan fatwa

bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif. Menandakan fatwa yang

dimintakan dan dikeluarkan MUI harus bisa menjadi solusi permasalahan

sosial yang terjadi didalam lingkungan agama bangsa dan negara. Dalam

hal ini yaitu kasus penistaan agama yang dilakukan saudari Meliana pada

bulan juli 2016 telah terjadi berlarut-larut didalam masyarakat dan

mengakibatkan proses main hakim sendiri didalam lingkungan masyarakat

tempat ibu Meliana tinggal.

Melalui transkrip percakapan antara pengurus masjid dengan anak

Meliana yang menyatakan keberatan dengan suara azan yang menurutnya

bising membuat ribut dan membuat tidak tenang. Dengan mengambil

dasar rujukan kepada Firman Allah swt. dalam surah al-Jumu’ah ayat 9:

ير لهكم لكم خا ذاروا البايعا ذا وا ة من ياوم الجمعاة فااسعاوا إلاى ذكر للاه نوا إذاا نوديا للصه لا ا الهذينا آما ياا أايها

تاعلامونا 1 إن كنتم

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat

Jumat, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan

tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu

mengetahui.”

Dan menggunakan hadits nabi Muhammad saw

فإذا حضرت الصالة فليؤذن لكم أحدكم وليؤمكم أكربكم2

“Apabila waktu salat telah tiba, maka hendaklah salah seorang di antara

kamu azan untuk (salat)mu dan hendaklah yang tertua di antara kamu

bertindak sebagai imam bagi kalian”. (HR. al-Bukhari)

Juga pendapat ulama yang menjadi rujukan fatwa MUI yakni

Pendapat Abu Ishaq as-Syirazi:

1 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil Qur’an,

2007), hlm. 554. 2 Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari Juz I, (Beirut: Daar Ibnu

Katsir, 2002), hlm. 226.

Page 95: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

84

األذان واإلقامة سنة يف الصلوات ادلكتوبة3

“Azan dan iqamah adalah suatu hal yang biasa dilakukan oleh Nabi saw.

pada salat fardhu”.

Tidak hanya mengambil rujukan terhadap sumber hukum islam

fatwa MUI pun mengutip rujukan yang biasa digunakan warga negara

Indonesia dalam mendefinisikan sebuah kata yaitu kamus besar Bahasa

indonesia Pengertian azan menurut bahasa Indonesia adalah : “Seruan

untuk mengajak orang melakukan salat”.4

Kemudian didalam menetapkan fatwanya MUI juga mengundang

para pakar yang ahli dalam menentukan suatu perkara seperti pernyataan

pendapat ahli bahasa Prof. Dr. Khairil Ansari, M.Pd (Guru Besar

UNIMED Medan)5 yang disampaikannya pada rapat Komisi Fatwa MUI

Provinsi Sumatera Utara pada hari Selasa, 24 Januari 2017/ 25 Rabiulakhir

1438 H.

Menurutnya perkataan Meliana mengandung unsur penistaan

agama dan merendahkan umat islam karena menghina simbol umat islam,

yaitu azan dan menganggap suara azan bikin ribut dan membuat tidak

tenang hal ini merupakan bahasa atau kalimat yang dianggap sebagai

merendahkan.

MUI juga menempatkan pakar hukum pidana sebagai salah satu

pertimbangan dimana fatwa itu dirumuskan seperti perkataan pendapat

ahli hukum pidana Dr. Hamdan, SH., MH (Dosen Hukum Pidana USU)6

yang disampaikannya pada rapat Komisi Fatwa MUI Provinsi Sumatera

Utara pada hari Selasa, 24 Januari 2017/ 25 Rabiulakhir 1438 H

menyatakan bahwa, ucapan saudari Meliana merupakan sebuah sikap

intoleran terhadap agama lain dan merusak kerukunan umat beragama

3 Abu Ishaq as-Syirazi, at-Tanbih, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 23. 4 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Balai Pustaka, 2007), hlm. 81. 5 Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan Agama Islam

Oleh Saudari Meliana di Kota Tanjung Balai, hlm. 7. 6 Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan Agama Islam

Oleh Saudari Meliana di Kota Tanjung Balai, hlm. 8.

Page 96: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

85

yang ada di Indonesia. Menurutnya pula ucapan saudari Meliana telah

memenuhi unsur penistaan agama UU N0.01/PNPS/1965 sub pasal 156a

tentang Pencegahan dan atau Penodaan Agama.

Melalui proses penetapan fatwa yang di dasarkan pada beragam

objek kajian dari sumber hukum islam, pendapat ulama, pendapat bahasa,

dan ahli hukum positif fatwa MUI bukanlah produk yang dikeluarkan

untuk kebaikan umat islam saja tapi juga melihat manfaatnya untuk negara

secara menyeluruh. Hal tersebut yang kemudian menyebabkan dibawanya

fatwa MUI Sumatera Utara ini kepada kepolisian untuk selanjutnya

dijadikan alat bukti oleh kepolisian.

B. Sekilas Tentang Putusan Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn

Teori piramida hukum yang digunakan hans kelsen merupakan

teori dimana dipaparkan jenis-jenis peraturan yang berlaku di sebuah

negara melalui kekuataan hukum dan tingkatannya. Dalam menguatkan

suatu kesimpulan hukum perlu diperhatikan dalam satu tingkatan

peraturan apakah bertentangan dengan peraturan lain atau tidak.

Hukum dibuat bertingkat dalam penerapannya memang mencegah

hal yang berlawanan atau kontradiktif dalam suatu undang undang terjadi.

Karena akan menjadi suatu pertanyaan bahwa aturan hukumnya tidak jelas

namun dapat menghukumi secara jelas hal itulah yang harus diperhatikan

majelis hakim dalam mengadili perkara. Menggunakan pisau analisis dari

atas ke bawah atau sebaliknya pun bisa tergantung bagaimana kita melihat

hukum itu darimana.

Dalam putusan ini majelis hakim memuat dari UUD 1945 sampai

keputusan dirjen kementerian agama mengenai penggunaan pengeras suara

dalam masjid pertama untuk memastikan tidak ada tumpang tindih satu

sama lain antar hukum yang berlaku yang kedua membuktikan adanya

penguatan diantara peraturan-peraturan yang digunakan karena sah atau

tidaknya suatu pertauran bergantung pada peraturan diatasnya.

Tujuannya jelas bahwa dalam menetapkan putusan terhadap kasus

meliana agar tidak bertentangan dengan aturan hukum lain serta

Page 97: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

86

memastikan meliana diputus sesuai hukum yang berlaku dengan

kewenangan hakimnya.

Majelis hakim dalam memutuskan perkara pidana nomor:

1612/Pid.B/2018/PN Mdn. Majelis hakim pengadilan negeri medan

mempertimbangkan, apakah berdasarkan fakta-fakta hukum yang

diuraikan pada putusan, terdakwa dapat dinyatakan sah dan meyakinkan

telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Majelis hakim dalam memutuskan suatu perkara dituntut suatu

keadilan dan untuk itu hakim melakukan penilaian terhadap peristiwa dan

fakta-fakta yang ada apakah benar-benar terjadi. Hal ini hanya dapat

dilihat dari pembuktian (konstatering), mengklarifikasi antara yang

penting dan tidak, dan menanyakan kembali pada pihak lawan mengenai

keterangan saksi-saksi dan fakta-fakta yang ada dalam persidangan.

Berdasarkan fakta tersebut diatas maka selanjutnya

dipertimbangkan unsur pasal yang didakwakan kepada terdakwa dimana

terdakwa didakwa melanggar Pasal 156 KUHPidana dengan unsur-unsur

delik pasal yang menurut KUHPidana terjemahan Badan Pembinaan

Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM Republik

Indonesia dirumuskan sebagai berikut:7

1. Barangsiapa;

2. Dengan Sengaja;

3. Di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang

pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau

penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Sedangkan, unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 156

KUHPidana meliputi:8

- Unsur Objektif

- Di muka umum

- Menyatakan atau memberikan pernyataan

7 Salinan Putusan PN Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 87. 8 Salinan Putusan PN Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 77.

Page 98: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

87

- Mengenai perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan.

- Terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negera

Indonesia.

Meskipun Undang-undang tidak mencantumkan unsur kesengajaan

(unsur subektif), namun sudah cukup jelas bahwa tindak pidana yang

diatur dalam Pasal 156 KUHPidana tetap mensyaratkan perbuatan itu

harus dilakukan dengan sengaja.

Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 156 KUHPidana dan

Pasal 156a Huruf a KUHPidana pada dasarnya merupakan satu kesatuan

yang tak terpisahkan dan sebagaimana yang telah diuraikan, kiranya perlu

terlebih dahulu disampaikan dan dijelaskan kembali menyangkut unsur-

unsur tindak pidana (unsur objektif) yang terkandung dalam Pasal 156

KUHPidana jo Pasal 156a Huruf (a) KUHPidana.9

Di muka umum atau in het openbaar. Maksud dari perkataan “di

muka umum” adalah tempat-tempat umum yaitu tempat-tempat yang dapat

di datangi oleh setiap orang. Akan tetapi, istilah di muka umum, bukan

berarti selalu di tempat umum, melainkan juga dapat meliputi satu rumah

kediaman dengan di hadiri oleh banyak orang, sudah termasuk ke dalam

unsur di muka umum.

Tindak pidana yang diatur pada 156 KUHPidana Jo Pasal 156a

Huruf (a) KUHPidana dapat dimasukan ke dalam kelompok tindak pidana

penghinaan. Oleh sebab itu, pada penodaan/penistaan mengandung sifat

penghinaan terhadap agama bagi umat agama yang menganut agama yang

bersangkutan. Selain itu, tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156a

KUHPidana dan Pasal 156 KUHPidana mengandung unsur yang bersifat

alternatif dan bukannya komulatif. Artinya, jika salah satu unsur telah

terpenuhi, maka perbuatan itu dapat dikenakan Pasal 156a huruf a

KUHPidana dan Pasal 156 KUHPidana.10

9 Salinan Putusan PN Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 78. 10 Salinan Putusan PN Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 80.

Page 99: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

88

Atas unsur – unsur tersebut maka Majelis Hakim memberikan

pertimbangan bahwa saudari Meliana mengutarakan hal yang bersifat

permusuhan, merendahkan dan menistakan agama, yang dibuktikan

dengan fakta didalam persidangan bahwa diketahui azan adalah simbol

umat islam melaksanakan ibadahnya dan merupakan sarana untuk

menyebarluaskan waktu shalat.

Fakta yang kemudian ditambahkan dengan saudari Meliana

mendatangi warung untuk menyampaikan keluhan dan keresahannya

kepada anak pemilik warung yang juga pengurus masjid al Maksum yang

diartikan sebagai sebuah kesengajaan untuk menyampaikan

ketidakterimaannya terhadap suara azan pada pukul 07.00 WIB yang

dimana, ketika itu tidak ada azan berkumandang, sehingga perasaan

ketidaknyamanannya diungkapkan dengan sengaja kepada pengurus

masjid.11

Suatu hari ketika pengurus masjid datang kerumah untuk meminta

klarifikasi terhadap saudari Meliana, disambut dengan nada yang ketus

dari Meliana. Ia memang mengatakan suara azan itu bikin ribut, bikin

tidak tenang. Sampai ketika pada saat waktu yang bersamaan

berkumandangnya azan isya dan para pengurus masjid tersebut bergegas

menuju masjid, ibu Meliana keluar rumah dan mengemukakan hal-hal

yang bersifat permusuhan dan penistaan terhadap agama islam.

Sehingga berdasarkan segenap pertimbangan tersebut maka

segenap unsur dalam pasal dakwaan primair telah terpenuhi oleh terdakwa,

dan perbuatannya sehingga telah terbukti dakwaan jaksa penuntut umum

tersebut secara sah dan meyakinkan dipersidangan.

Kemudian oleh karena itu pula segenap alasan pleidoi terdakwa

dan penasehat hukumnya yang pada pokoknya menyatakan tidak

terbuktinya terdakwa melakukan perbuatan dalam perkara ini

dikesampingkan oleh majelis hakim.12 Sebelum dijatuhkan putusan

11 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 90. 12 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 94.

Page 100: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

89

dipertimbangkan hal yang memberatkan dan yang meringankan yang ada

pada diri dan atau perbuatan terdakwa yaitu sebagai berikut:

Hal-hal yang memberatkan:

- Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat;

- Terdakwa tidak merasa bersalah dan tidak berterus terang di

persidangan;

- Perbuatan terdakwa berpotensi menimbulkan perpecahan

bangsa.

Hal-hal yang meringkankan:

- Terdakwa belum pernah dihukum.13

C. Pengaruh Fatwa MUI Nomor: 001/KF/MUI-SU/I/2017 Terhadap

Putusan Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn Tentang Penistaan

Agama

Perdebatan yang terjadi di negara yang menganut salah satu sistem

hukum tertentu dalam hal ini indonesia yang menganut civil law system

adalah kekuatan hukum yang bersumber dari hukum-hukum tidak tertulis.

(common law system) bagaimana akhirnya sistem hukum tersebut

memiliki kekuatan yang bersumber dari aturan tidak tertulis atau

berkembang menjadi kesepakatan sosial.

Jelas sudah ada aturan atau dasar yang mengatur pasal terkait

penistaan agama akan tetapi aturan tersebut seakan dipengaruhi oleh faktor

lain misalnya MUI. Dalam adat ketimuran negara indonesia MUI memiliki

peranan penting dalam mengontrol stabilitas sosial khususnya umat islam

akan tetapi negara ini tidak menghendaki menggunakan fatwa sebagai

salah satu sumber hukum.

Hal tersebut menjadi pertanyaan besar bagaimana akhirnya aturan

yang pasti dapat dipengaruhi dari sesuatu yang kekuatan hukumnya belum

jelas (fatwa MUI). Bagi pengacara kejaksaan atau kepolisian bisa saja

tidak mengindahkan fatwa MUI tersebut karena tidak layak menjadi alat

13 Salinan Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 95.

Page 101: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

90

bukti pengadilan negeri. Akan tetapi dalam fatwa tersebut pun memiliki

kesimpulan bahwa meliana telah melanggar hukum positif yaitu dalam

pasal yang telah disebutkan UU PNPS No 1 Tahun 1965 pasal 156

Berangkat dari kontrol masyarakat lewat MUI itulah akhirnya gelar

perkara kasus penistaan agama disidangkan. Jika dilihat dari unsur unsur

dalam pasal 156 mengenai penodaan atau penistaan agama meliana tidak

sepenuhnya melanggar pasal yang dimaksud akan tetapi melalui efektifitas

hukum haki menilai adanya pasal alternatif dimana unsur-unsur pidana

tidak dikomulatifkan tetapi di altertantifkan yang harus dibuktikan secara

sah dan meyakinkan dalam persidangan.

Majelis hakim dalam salah satu pertimbangannya mengutarakan

bahwa fatwa yang dikeluarkan MUI Sumatera Utara sebagai salah satu

pertimbangan hukum, karena isi dari pada fatwa tersebut pada pokoknya

ialah sama serta membenarkan dan menyatakan perbuatan yang dilakukan

saudari Meliana ialah, penistaan agama yang kemudian dikupas dalam

menghadirkan saksi dan pendapat ahli mengenai perbuatan tersebut yang

sesuai dengan dasar penetapan fatwa MUI Sumatera Utara tersebut.

Dikabulkannya tuntutan jaksa penuntut umum dengan tuntutan satu

tahun enam bulan penjara yang sesuai pada pasal 156 UU PNPS No 1

Tahun 1965 yang bersamaan itu pula ditolaknya pleidoi yang disampaikan

oleh saudari Meliana bahwa ia adalah ibu rumah tangga dengan empat

anak, berlum pernah dihukum, bersikap sopan dan kooperatif selama

proses persidangan dan pernah meminta maaf kepada pengurus masjid.

Dari salah satu pleidoi itu pula kemudian dijadikan hal-hal yang

memberatkan dalam hukuman saudari Meliana yaitu tidak mengakui

kesalahan padahal didalam pleidoi menyatkan pernah meminta maaf dan

majelis hakim menilai terdakwa Meliana tidak kooperatif.

Terpenuhinya seluruh unsur tindak pidana yang dijatuhkan kepada

Meliana berupa barang siapa, dengan sengaja, dan didepan umum. Dalam

putusan majelis hakim kemudian hal in yang menjadi dasar putusan bahwa

Page 102: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

91

terbuktinya secara sah dan meyakinkan saudari Meliana melakukan

penistaan agama yang diatur dalam pasal 156 UU PNPS No 1 Tahun 1965.

Fakta persidangan lain membuktikan bahwa undang-undang

mengatur agama dalam melaksakan dan beribadat menurut agamanya yang

diatur dalam instruksi direktur jenderal bimbingan masyarajar islam

nomor: KEP/D/101/78 tentang penggunaan pengeras suara di masjid.

Dalam suatu ritual agama Islam, pengeras suara atau speaker

merupakan teknologi baru yang tidak ada pada masa Rasul. Namun

berdasarkan dalil mashlahah mursalah, menggunakan pengeras suara

diperbolehkan, yang mana pengeras suara/speaker dapat digunakan pada

beberapa ritual agama Islam khususnya ritual-ritual yang melibatkan

banyak jamaah seperti adzan, khotbah, majlis ta’lim dan lainnya.

Dalil menggunakan speaker/pengeras suara untuk adzan dan

mengaji adalah mashlahah mursalah, yaitu sesuatu yang dipandang baik

oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. Namun

tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula

petunjuk syara’ yang menolaknya.14

Ketentuan volume speaker/pengeras suara pada masjid adalah

berdasarkan kemaslahatan, para pengurus masjid biasanya mengatur

volume pengeras suara berdasarkan hal tersebut. Maka dari itu benar, jika

kemaslahatan terkait volume speaker/pengeras suara di Masjid mencakup

2 (dua) hal, yaitu :

a. Mencapai tujuan hikmah syariat Adzan. Kemaslahatan pada

tujuan syariat Adzan adalah mendapatkan pahala (baik yang

adzan dan yang mendengarkan) menjadi tahu masuk waktu

Shalat dan tersiar ajaran Islam.

b. Masyarakat sekitar Masjid.

14 Salinan Putusan PN Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 75.

Page 103: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

92

Maksud dari kemaslahatan masyarakat adalah terpanggil untuk

shalat berjamaah, perluasan jangkauan penyampaian dari apa-apa yang

disiarkan di dalam masjid dan pengaturan volume yang wajar.15

Kemudian untuk letak posisi speaker/pengeras suara pada Masjid

atau Musholla pada saat mengaji dan adzan telah ada aturan yang

mengaturnya, yaitu Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan masyarakat

Islam Nomor: KEP/D/101/78, tanggal 17 Juli 1978 tentang Tuntutan

Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musholla. Namun instruksi ini

bersifat anjuran karena tidak ada paksaan maupun ketentuan sanksinya

sehingga kebiasaan masyarakat setempat dapat dijadikan pertimbangan

hukum tentang teknis penggunaan pengeras suara.

Di Negara Republik Indonesia diperbolehkan menggunakan

pengeras suara pada setiap masjid untuk mengkumandangkan adzan dan

suara mengaji. Dasar setiap masjid di Negara Republik Indonesia

diperbolehkan menggunakan pengeras suara terdapat pada Pasal 29

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dimana

negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat

menurut ajaran agamanya.

Sementara fatwa Majelis Ulama Indonesia adalah fatwa berasal

dari bahasa Arab, yang artinya adalah sebuah pendapat atau tafsiran pada

suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Menurut Peraturan

Presiden Nomor 151 Tahun 2014 Tentang Bantuan Pendanaan Kegiatan

Majelis Ulama Indonesia, dinyatakan bahwa Majelis Ulama Indonesia atau

disingkat dengan MUI adalah sebagai wadah musyawarah para ulama,

pemimpin dan cendekiawan muslim dalam mengayomi umat dan

mengembangkan kehidupan yang islami serta meningkatkan partisipasi

umat islam dalam pembangunan nasional.16

Dengan demikian, yang dimaksud dengan fatwa Majelis Ulama

Indonesia (MUI) adalah keputusan ataupun pendapat yang diberikan oleh

15 Salinan Putusan PN Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 76.

16 Salinan Putusan PN Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 77.

Page 104: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

93

Majelis Ulama Indonesia yang berkaitan dengan suatu masalah kehidupan

umat beragama khususnya agama Islam. Maka dapat dijelaskan bahwa

kedudukan sebuah fatwa dalam peraturan perundang-undangan Indonesia

merujuk pada hirarki perarturan perundang-undangan, sebagaimana yang

diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kedudukan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukanlah

merupakan suatu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai

kekuatan hukum mengikat. fatwa Majelis Ulama Indonesia hanya

mengikat dan ditaati oleh umat Islam yang merasa mempunyai ikatan

terhadap Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu sendiri. Dengan kata lain,

fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak punya legalitas untuk

memaksa harus di taati oleh seluruh umat muslim.

Namun demikian, sekalipun fatwa Majelis Ulama Indonesia bukan

merupakan suatu jenis peraturan perundang-undangan dan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagaimana yang dijelaskan

diatas. Akan tetapi dalam konteks penegakan hukum bahwa fatwa Majelis

Ulama Indonesia (MUI) bisa di jadikan sebagai keterangan ahli atau

pendapat (doktrin), guna pembuktian kasus konkret individual (in

concreto).17

Dalam perkembangannya fatwa MUI sebagai rujukan dalam

kontrol dalam sosial sifatnya dinamis. Karena perubahan hukum lewat

undang-undang yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar maka fatwa

MUI bisa menjadi inisasi atau dasar dalam membuka atau mengawali

sebuah persoalan hukum seperti pada kasus ini.

Jelas dikatakan fatwa MUI tidak mengikat bagi orang banyak akan

tetapi ketika fatwa itu diberikan pernyataan mengikat oleh MUI untuk

umat islam maka fatwa MUI berlaku secara menyeluruh demi kepentingan

bersama. Dalam perkembangannya pula fatwa MUI bisa muncul tanpa

17 Salinan Putusan PN Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, hlm. 78.

Page 105: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

94

diminta karena situasi mendesak dan menghindari kemudharatan yang

besar maupun kegaduhan negara.

Page 106: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

95

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan oleh penulis dari Bab I sampai

Bab IV mengenai pengaruh fatwa MUI nomor: 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang

penistaan agama dalam putusan PN Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn ,

maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Meliana terbukti secara sah dan meyakinkan melalui putusan PN Medan

Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, menistakan agama islam melalui perkataannya

dan keterangan dalam persidangan. Fatwa MUI nomor: 001/KF/MUI-SU/I/2017

tidak dijadikan dasar putusan dalam kasus ini karena majelis hakim menggunakan

hukum positif yang berlaku yaitu pasal 156 UU PNPS No 1 Tahun 1965 fatwa

MUI memiliki peran sebagai pertimbangan dalam pengambilan putusan majelis

hakim serta pengaruh tidak langsung karena fatwa bukan merupakan hukum

positif yang berlaku di indones. Selain itu sanksi yang diberikan Majelis Hakim

vonis 1 tahun 6 bulan penjara tuntutan yang sama dituntutkan oleh Jaksa Penuntut

Umum.

B. Saran

1. Perselisihan yang terjadi dalam masyarakat khususnya hal-hal yang

menyinggung soal persatuan atau keberagaman jangan diselesaikan dengan

main hakim sendiri. Kita memiliki banyak tatanan masyarakat yang beradab

yang bisa menengahinya. Ada MUI dalam konteks keagamaan, ada FKUB

dalam hubungan antar agama, adapula hukum adat sesuai yang berlaku

diwilayah masing-masing mengingat kita memiliki budaya ketimuran yang

sangat kental. Apabila dirasa belum puas juga ada hukum yang memayungi

aktivitas kita secara individu maupun hubungan bermasyarakat karena sisi

keobjektifitasan hukum positif penyelesaian kasus ini dapat berjalan secara

efektif dengan sarana proses peradilan yang adil dan memberikan kepastian

hukum bagi setiap pencari keadilan agar semua dapat merasakan ada

perlindungan hukum bagi mereka yang merasa dirugikan.

Page 107: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

96

2. Sebaiknya sebagai warga negara yang baik adalah menghindari ujaran dan

tindakan yang dapat saling mencederai hati satu sama lain. Jauhi tindakan

yang dapat merugikan baik umat Islam Indonesia khususnya maupun

masyarakat Indonesia pada umumnya. Umat muslim tanah air juga perlu

mewaspadai tindakan-tindakan yang bersifat provokatif menyangkut kasus

dugaan penistaan agama karena negara ini telah menjamin kebebasan

beragama dan beribadat sesuai dengan tuntunan dan ajarannya masing-

masing.

Page 108: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

97

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Adnani. Penodaan Agama : Studi Komparatif Hukum Islam dan Hukum Pidana di

Indonesia. Pasca Sarjana Program Studi Hukum Islam, Universitas Islam

Negeri Sumatera Utara, 2017

Al- Anshori, Jamaluddin Ibnu Manzhur,. Lisan al-‘Arab. Beirut: Daar Shadir, 1990.

Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Sahih al-Bukhari Juz I. Beirut: Daar Ibnu

Katsir, 2002.

Al-Hakim, Muhammad Taqi. Al-Ushul al-‘aammah lil Fiqh Muqoron. Iran: Daarul

Fiqh liththoba’ah Wannasyr, 1431.

Al-Hamidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. (Kairo: Muassasah al-Halabi wa Syirkah,

tt), juz IV.

Al-Hanafi, Ahmad bin Ali al-Jashshos. Al-Fushuul fil Ushuul Jilid II. Kuwait:

Wizaroh al-Auqoof al-Kwaitiyyah, 1994.

Al-Jaziri, Abdurraman. al-Fiqh Ala Mazahib al-Arba’ah. Beirut: Daar al-Haya` at-

Turats al-Arabi, tt..

Al-Kattani, Abu Abdillah Muhammad bin Ja’far. Nadzmul Mutanatsir Minal

Haditsil Mutawatir. Mesir: Daarul Kutub al-‘Ilmiyah, tt.

al-Mahalli, Muhammad Ibn Ahmad. Syarh ‘ala Matnn Jam’I al-Jawami’. (Mesir:

Musthafa al-Babi al-Halabi, tt)

Amin, Ma’ruf. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Elsas, Jakarta, 2008.

Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, Bumi Aksara,

Jakarta, 2006

Al-Mu’tazili, Muhammad bin Ali. Al-Mu’tamad fi Ushul al Fiqh. Beirut: Daar al

Kutub al-‘Ilmiyah, 1403 H.

Al-Qardhawi, Yusuf. al-Fatwa Bayn al-Indibath wa at-Tasayyub. (Mesir: Dar al-

Qalam, tt)

An-Nawawi, Imam. al-Azkar. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamyah, tt..

Apeldoorn, L.J.Van dalam Shidarta. Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran

Kerangka Berfikir. Bandung: PT Revika Aditama, 2006.

Page 109: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

98

Arsil dkk, Penafsiran Terhadap Pasal 156A Huruf a KUHP Tentang Penodaan

Agama (Analisis Hukum dan Hak Asasi Manusia), Jakarta: LeIP, 2018.

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang: Pustaka

Rizki, 1997, cet. I

As-Shan’ani, Imam. Subul as-Salam Juz I. Bandung: Diponegoro, tt.

As-Suyuti, Al-Imam Jalaluddin. Qathful Azhar al-Mutanatsiroh fil Akhbar al

Mutawatiroh. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1985.

As-Syafi’i, Abu Abdillah bin Idris. Al-Musnad Jilid I. Beirut: Daar al Kutub al-

‘Ilmiyah, 1400 H.

As-Syafi’i, Muhammad bin Idris. Kitab ar-Risalah li as-Syafi’i. Beirut: Daar al

Kutub al-‘Ilmiyah, tt.

As-Syirazi, Abu Ishaq. at-Tanbih. Beirut: Dar al-Fikr, 1996.

At-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Isa. Sunan at-Tirmidzi Jilid III. Mesir: Syirkah

Maktabah wa Mathba’ah Musthofa al-Baabi al- Halbi, 1975.

Az-Zarkasyi, Abu Abdillah. al-Bahr al-Muhiith fii Ushul al Fiqh. Mesir: Daar al

Kutubi, 1994.

Az-Zaybari, Amir Sa’id. Mahabits fi Ahkam al-Fatwa. (Beirut: Dar Ibnu Hazm,

1995)

Cholid Narboko dan Abu Achmadi. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara

Pustaka, 2011.

Cst Kansil, at al. Kamus Istilah Hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2009.

Cst. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka, 1979.

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Syaamil Qur’an,

2007.

Djamil, Fathurrahman. Metode Ijtihad Tarjih Muhammadiyah. (Jakarta: Logos,

1995)

Effendi, Satria, dan M. Zein,. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media, 2005

Farida, Maria. Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya.

Yogyakarta:Kanikus, 2006.

Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997.

Page 110: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

99

Hasan, Khalid Ramadhan, Mu’jam Ushul Fiqh. (al-Raudhah, 1998), Cet. Ke-1.

Hasanuddin AF dkk, Pengantar Ilmu Hukum. (Tangerang Selatan: UIN Jakarta

Press, 2003)

Hibban, Ibnu. Sahih Ibn Hibban juz IV. Beirut: Muassasah ar Risalah, 1952.

Hosen, Ibrahim. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung: Mizan, 1988.

Huda, Ni’matul. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang. Jakarta:Rajawali

Press, 2008.

Iqbal, Muhammad. Hukum Islam Indonesia Modern (Dinamika Pemikiran dari

Fiqh Klasik ke Fiqh Indonesia). Tangerang: Gaya Media Pratama, 2009.

Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul al-Fiqh. Mesir: Matba’ah al Madani, tt.

Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. (Mesir: Maktabah al-Da’wah al-

Islamiyah, tt)

Khallaf, Abdul Wahab. Mashadir at-Tasyri’ al-Islamiy fi ma la Nash fih. (Kuwait:

Dar al-Qalam, 1972)

Labib dan Harniawati. Risalah Fiqih Islam. Surabaya: Penerbit Bintang Usaha Jaya,

2006.

Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Cet. III. Bandung: Penerbit

PT. Citra Aditya Bakti, 1997.

Lubis, Arsyad Thalib. Ilmu Fiqih. Medan: Firma Islamyah, 1974.

Madzkur, Muhammad Salam. Manahij al-Ijtihad fi al-Islam. (Kuwait: Mathba’ah

al-Ashriyyah, 1974)

Manaf, Mujahid Abdul. Sejarah Agama-Agama. Jakarta, PT: Raja Persada, 1996.

Marpaung, Leden. Tindak Pidana Terhadap Kehormatan: Pengertian dan

Penerapannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.

Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

Moeljatno. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bandung: PT. Bumi Aksara,

2001 cet. 21.

Nabhan , Muhammad Faruq. al-madkhal li al-Tasyri’I al-islami. Beirut: Dar al-

Qolam, 1981.

Page 111: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

100

Ni’am, Asrorun, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia

(Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa). Jakarta: Emir Penerbit

Erlangga, 2016.

Purbacaraka, Purnandi. Perihal Kaidah Hukum. Bandung:Opset Alumni, 1979.

Qardawi, Yusus. Ijtihad dalam Syariat Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987.

R. Soeroso, Praktikum Hukum Acara Perdata: Tata Cara Dalam Proses

Persidangan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet Ke-6

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. (Bandung: Alumni, 1986)

Rifai, Muhammad. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: CV Toha Putra, 1978.

Shidarta. Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir. Bandung:

PT Revika Aditama, 2006.

Shidiq, Sapiudin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2017.

Sholah, Ibnu. Adabul Mufti wal Mustafti. Madinah: Maktabah al-‘Ulum wal Hikam,

2002.

Syarif, Mujar Ibnu dan Kamarusdiana. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Lembaga

Penelitian UIN Jakarta, 2009.

Syarifin, Pipin. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat 1 dan Ayat 20 pasal 28E.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2).

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1.

Undang-Undang PNPS No 1 Tahun 1965.

Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Ikhtiar, 1957.

Widijowati, Rr. Dijan. Pengantar Ilmu Hukum. Yogyakarta: Andi Offset, 2018.

Zahra, Muhammad Abu. Ushul Fiqh. (Damaskus: Daar al-Fikr, tt)

Zahra, Muhammad Abu. Ushul Fiqh. Mesir: Daar al Fikr al-‘Arobi, 1958.

Zaidan, Abdul Karim. Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. Beirut: Muassasah ar-Risalah,

2015.

Zuhaili, Wahbah. Al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh. Damaskus: Daar al-Fikr, 1999, cet.2.

Page 112: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

101

Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh Jilid I. Beirut: Daar al Fikr, 2001 cet. 2.

Zuhaili, Wahbah. Ushul Fiqh al-Islami. Beirut: Daar al-Kutub al-ilmiyah, 1986),

hlm. 601.

Zuhaili, Wahbah. Ushul Fiqh Jilid II. Damaskus: Daar al Fikr, tt.

Zuhaili,Wahbah. al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu Juz I. Beirut: Dar al-Fikr, 2008.

II. ARTIKEL DAN KARYA ILMIAH

Dahri, Muhammad. Tindak Pidana Penodaan Agama di Indonesia: Tinjauan

Pengaturan Perundang-Undangan dan Konsep Hukum Islam. Journal of

Islamic Law At-Tafahum Vol. 1 No. 2, 2017.

Darto. Faktor Pertimbangan DSN-MUI Dalam Proses Penetapan Fatwa Produk

Perbankan Syariah Internasional. Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2011.

Efendi, Andi Shofian. Pengaruh Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Terhadap

Proses Pengambilan Kebijakan Pemerintah Indonesia. Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Has, Abd. Wafi. Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam, Episteme,

Vol. 8 No. 1, Juni 2013.

http://bangka.tribunnews.com/2017/05/09/selain-kasus-ahok-inilah-kasus-

kasuspenistaan-agama-yang-menghebohkan-di-indonesia

http://m.voa-islam.com/news/indonesiana/2018/08/25/59775/fatwa-mui-sumut-

soal-kasus-penistaan-agama-di-tanjung-balai/

https://amp.tirto.id/detail-kejadian-keluhan-suara-azan-dan-kerusuhan-di-tanjung-

balai-cUg6

https://news.okezone.com/read/2017/05/10/338/1687575/selain-ahok-ini-kasus-

kasuspenodaan-agama-yang-pelakunya-berujung-di-penjara

https://www.google.co.id/amp/s/nasional.tempo.co/amp/1119663/ini-kronologi-

kasus-penistaan-agama-meliana-di-tanjung-balai

Mohammad Taslim Harun AL Rosyid, Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap

Delik Penistaan Agama Katolik Dalam Putusan Pengadilan Negeri Atambua

(Putusan Nomor : 71/Pid.Sus/2018/PN.Atb), (Skripsi UIN Sunan Ampel

Surabaya Fakultas Syariah dan Hukum, 2019.

Najib, Ainun. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Dalam Perspektif Pembangunan

Hukum Responsif. Jurnal Lisan Al-Hal, Volume 4, No. 2, Desember 2012.

Page 113: Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukumrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...7. Untuk Kedua Orang Tua, Mamah dan Ayah yang sangat penulis cintai di dunia

102

Nurdin, Ridwan. Kedudukan Fatwa MUI Dalam Pengembangan Ekonomi Syariah

di Indonesia, makalah disampaikan dalam diskusi dengan Tim Penelitian,

tanggal 17 Juni 2011.

Octaviani, Nur Afni. Kedudukan Fatwa DSN MUI Sebagai Dasar Hukum Dalam

Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama. IAIN

Metro Lampung: 2017.

Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama. Jakarta: Sekretariat

MUI, 2001.

Pengantar Komisi Fatwa MUI dalam Hasil Fatwa Munas VII Majelis Ulama

Indonesia. Jakarta: Sekretariat MUI, 2005.

Praja, Juhaya S. dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama Dalam Hukum Pidana di

Indonesia , Bandung: Angkasa, 1993.

Putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn.

Riadi, M. Erfan. Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif

(Analisis Yuridis Normatif). Ulumuddin, Volume VI Tahun IV, Januari – Juni

2010.

Sejarah MUI, diakses pada tanggal 15 Desember 2018 dari www.mui.or.id.

SK Dewan Pimpinan MUI Nomor U-596/MUI/X/1997 tanggal 2 Oktober 1997.

Yusuf, Slamet Effendy. Review 5 Tahun Kehidupan Umat Beragama di Indonesia:

Perspektif MUI, disampaikan dalam “Kongres FKUB”. Jakarta, 21-22

November 2011.