SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis...

99
HAK ḤAḌANAH MENURUT KETENTUAN FIQIH (Analisis Putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho Nomor: 216/Pdt.G/2015/Ms-Jth) SKRIPSI Oleh : FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY DARUSSALAM – BANDA ACEH 2018 M / 1440 H Prodi Hukum Keluarga RIZKA AMELIA NIM. 140101079 Mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum

Transcript of SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis...

Page 1: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

HAK ḤAḌANAH MENURUT KETENTUAN FIQIH (Analisis Putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho Nomor: 216/Pdt.G/2015/Ms-Jth) SKRIPSI Oleh : FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY DARUSSALAM – BANDA ACEH 2018 M / 1440 H Prodi Hukum Keluarga RIZKA AMELIA NIM. 140101079 Mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum

Page 2: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 3: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 4: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 5: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS- Kata Kunci : Ḥaḍanah, Anak Yang Belum Mumayyiz Apabila sepasang suami isteri bercerai dan mereka memiliki anak yang belum mumayyiz, maka mengenai penetapan hak ḥaḍanah anak tersebut, haruslah dinyatakan secara eksplisit dalam suatu putusan agar dapat dipercaya dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang pengasuh, sehingga dapat membimbing dan mendidik anak tersebut dengan baik. Mengenai hal ini telah dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 yang menyebutkan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz adalah hak ibunya. Sedangkan pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Namun berbeda halnya dalam putusan No. 216/Pdt.G/2015/MS-Jth yang menetapkan hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz kepada ayahnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam penetapan putusan No. 216/Pdt.G/2015/MS-Jth dan apakah putusan hakim telah sesuai dengan hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz dalam konsep Islam. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode penelitian analisis contant (analisis isi), Jenis penelitian ini adalah library research (penelitian kepustakaan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz diberikan kepada suami selaku ayah kandung anak tersebut. Adapun penyebab hakim memutuskan putusan No. 216/Pdt.G/2015/MS-Jth adalah demi kepentingan anak itu sendiri, dari sisi lain karena hakim menganggap seorang ibu tidak dapat dipercaya sebagai seorang pengasuh. Dan keputusan hakim yang menetapkan hak ḥaḍanah kepada ayah menurut peneliti telah sesuai dengan konsep Islam, Meskipun di dalam konsep Islam dijelaskan hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz adalah hak ibunya, akan tetapi konsep Islam juga memberikan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang pengasuh. Dalam putusan ini, karena ibu terbukti di hadapan persidangan tidak dapat memenuhi persyaratannya sebagai seorang pengasuh. Maka hakim memberikan hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz kepada ayah kandungnya. Disarankan kepada Majelis Hakim agar lebih berhati-hati dalam menetapkan hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz. Jth) Fakultas/Prodi : Syari’ah dan Hukum/Hukum Keluarga Nama/NIM : Rizka Amelia/140101079 Tanggal Munaqasyah : 31 Desember 2018 Pembimbing I : H. Mutiara Fahmi, Lc., MA Pembimbing II : Amrullah, S.HI, LLM Tebal Skripsi : 62 Halaman

Page 6: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

Alhamdulillahirabbil’alamin dengan segala kerendahan hati, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan taufiq dan hidayah-Nya penulis dapat tetap tercurahkan kepada baginda Nabi besar Muhammad Saw, keluarga dan para sahabatnya serta para pengikutnya yang tetap istiqomah menegakkan agama Islam hingga akhir zaman. Skripsi ini berjudul (Analisis Putusan 216/Pdt.G/2015/MS-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum (SH), Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) ArRaniry Banda Aceh. Dengan selesainya skripsi inikepada orang-orang yang sudah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, karena penulis sadar tanpa bantuan mereka semua, skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu sepantasnya penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Muhammad SiddiHukum Universitas Islam Negeri Ar2. Bapak Fakhrurrazi M. Yunus, Lc., M.A.keluarga, dan juga kepada SekretarisStudi Hukum Keluarga, Prodi Hukum Keluarga3. Bapak H. Mutiara Fahmi, Lc., MAAmrullah, S.HI., LLMwaktunya untuk membimbtidak dilupakan Aziz, MA selaku penguji I dan vi KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin dengan segala kerendahan hati, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan taufiq dan Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Nabi besar Muhammad Saw, keluarga dan para sahabatnya serta para pengikutnya yang tetap istiqomah menegakkan agama Islam Skripsi ini berjudul “Hak Hadhanah Menurut Ketentuan Fiqih Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho Nomor: -Jth)”. Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhisyarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum (SH), Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Ar Dengan selesainya skripsi ini, penulis menyampaikan ribuan terorang yang sudah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, karena penulis sadar tanpa bantuan mereka semua, skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu sepantasnya penulis menyampaikan Bapak Muhammad Siddiq, M.H., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Fakhrurrazi M. Yunus, Lc., M.A., selaku Ketua Program Studi Hukum dan juga kepada Sekretaris Ibu Mumtazinur, S.IP., MAStudi Hukum Keluarga, serta kepada seluruh dosen dan Staf yang ada di eluarga yang telah banyak membantu. H. Mutiara Fahmi, Lc., MA., selaku pembimbing I beserta BapakAmrullah, S.HI., LLM., MA selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, serta ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Dr. H. Nasaiy selaku penguji I dan Bapak Drs. Ibrahim AR. MA selaku Penguji II. Alhamdulillahirabbil’alamin dengan segala kerendahan hati, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan taufiq dan menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Nabi besar Muhammad Saw, keluarga dan para sahabatnya serta para pengikutnya yang tetap istiqomah menegakkan agama Islam Menurut Ketentuan Fiqih Syar’iyah Jantho Nomor: ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum (SH), Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-menyampaikan ribuan terima kasih orang yang sudah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, karena penulis sadar tanpa bantuan mereka semua, skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu sepantasnya penulis menyampaikan selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan selaku Ketua Program Studi Hukum Ibu Mumtazinur, S.IP., MA Program serta kepada seluruh dosen dan Staf yang ada di I beserta Bapak ., MA selaku pembimbing II yang telah meluangkan enyelesaikan skripsi ini, serta Bapak Dr. H. Nasaiy selaku Penguji II.

Page 7: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

vii 4. Segenap bapak dan ibu dosen serta staf pengajar dan pegawai di lingkungan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh 5. Segenap jajaran staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum dan Perpustakaan UIN Ar-Raniry yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan penulis dalam menyusun skripsi ini. 6. Ucapan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada Ayahanda tercinta Azwar Syam dan ibunda tercinta Rasyidah Jalil, kakanda (Muhammad Iqbal, Mutia Rahmi S.Tp Intan Kemala Sari S.Pd dan Teja Irfan A.Md), adinda (Radifa Husna) serta semua keluarga yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang penulis hormati dan sayangi yang senantiasa mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, serta memberikan dorongan moril dan materiil, serta nasehat dan do’a demi kesuksesan penulis sehingga mampu menyelesaikan studi ini hingga jenjang sarjana. 7. Terima kasih kepada sahabat seperjuangan HK angkatan 2014 terspesial teruntuk Evi Susanti, Husnul Khatimah, Ardawati dan semua yang namanya tidak bisa disebutkan satu persatu yang senantiasa berjuang bersama demi mendapatkan sebuah gelar yang diimpikan selama ini. 8. Terima kasih kepada sahabat seperjuangan KPM Reguler Tuwie Eumpeuk, untuk sahabat yang selalu mendukung (Tari, Ida, Maidar, Shanty, Nurul). Dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Demikian skripsi ini penulis susun, semoga bermanfaat bagi semuanya khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pihak yang turut membantu semoga amal ibadahnya dibalas oleh Allah SWT. Di akhir tulisan ini, penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih sangat banyak kekurangannya. Maka kepada Allah jualah kita berserah diri dan meminta pertolongan. Aamiin. Banda Aceh, 31 Desember 2018 Rizka Amelia

Page 8: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

viii TRANSLITERASI Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987 1. Konsonan No Arab Latin Ket No Arab Latin Ket 1 ا Tidak dilambangkan 16 ط ṭ t dengan titik di bawahnya 2 ب B 17 ظ ẓ z dengan titik di bawahnya 3 ت T 18 ث 4 ‘ ع ṡ s dengan titik di atasnya 19 غ g 5 ج J 20 ف f 6 ح ḥ h dengan titik di bawahnya 21 ق q 7 خ Kh 22 ك k 8 د D 23 ل l 9 ذ Ż z dengan titik di atasnya 24 م m 10 ر R 25 ن n 11 ز Z 26 و w 12 س S 27 ه h 13 ش Sy 28 ص 14 ’ ء ṣ s dengan titik di bawahnya 29 ي y 15 ض ḍ d dengan titik di bawahnya 2. Vokal Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. a. Vokal Tunggal Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat, transliterasinya sebagai berikut:

Page 9: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

ix Tanda Nama Huruf Latin ◌ Fatḥah A ◌ Kasrah I ◌ Dammah U b. Vokal Rangkap Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harkat dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu: Tanda dan Huruf Nama Gabungan Huruf ي◌ Fatḥah dan ya Ai و◌ Fatḥah dan wau Au Contoh: TUV : kaifa ھول : haula 3. Maddah Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu: Harkat dan Huruf Nama Huruf dan tanda ◌ي/ا Fatḥah dan alif atau ya Ā ◌ي Kasrah dan ya Ī ◌ي Dammah dan waw Ū Contoh: لYZ : qāla [\ر : ramā ]_Z : qīla ل aU : yaqūlu

Page 10: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

x 4. Ta Marbutah (ة) Transliterasi untuk ta marbutah ada dua: a. Ta marbutah (ة) hidup Ta marbutah (ة) yang hidup atau mendapat harkatfatḥah, kasrah dan dammah, transliterasinya adalah t. b. Ta marbutah (ة) mati Ta marbutah (ة) yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya adalah h. c. Kalau pada suatu kata yang akhir katanya ta marbutah (ة) diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah maka ta marbutah (ة) itu ditransliterasikan dengan h. Contoh: deل روYfطgا : rauḍah al-aṭfāl/ rauḍatul aṭfāl رة ijkا diUljkا : al-Madīnah al-Munawwarah/ al-Madīnatul Munawwarah dmnط : Ṭalḥah Catatan: Modifikasi 1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa transliterasi, seperti M. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama lainnya ditulis sesuai kaidah penerjemahan. Contoh: Hamad Ibn Sulaiman. 2. Nama negara dan kota ditulis menurut ejaan bahasa Indonesia, seperti Mesir, bukan Misr; Beirut, bukan Bayrut; dan sebagainya. 3. Kata-kata yang sudah dipakai (serapan) dalam kamus bahasa Indonesia tidak ditransliterasikan. Contoh: Tasauf, bukan Tasawuf

Page 11: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

xi DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Surat Keputusan Penetapan Pembimbing Skripsi Lampiran 2 : Surat Keterangan Penelitian Lampiran 3 : Surat Keterangan Dari Mahkamah Syar’iyah Jantho Lampiran 4 : Surat Keterangan Dari Satuan Polisi Pamong Praja Dan Wilayatul Hisbah

Page 12: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

xiii DAFTAR ISI

LEMBARAN JUDUL .....................................................................................................i PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................................. ii PENGESAHAN SIDANG ............................................................................................. iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ........................................................iv ABSTRAK .................................................................................................................................. v KATA PENGANTAR ...................................................................................................vi TRANSLITERASI ..................................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................xi DAFTAR ISI ............................................................................................................... xiii BAB SATU PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................................................ 6 1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................. 6 1.4. Penjelasan Istilah .................................................................................. 6 1.5. Kajian Pustaka ...................................................................................... 7 1.6. Metode Penelitian ............................................................................... 10 1.7. Sistematika Penulisan ......................................................................... 12

BAB DUA HADHANAH DAN MUMAYYIZ

2.1. Pengertian .......................................................................................... 13 2.1.1. Pengertian Hadhanah ............................................................... 13 2..1.2. Pengertian Mumayyiz ............................................................. 15

2.2. Dasar Hukum Hadhanah .................................................................... 16 2.3. Rukun Dan Syarat Hadhanah ............................................................. 26 2.4. Batas Usia Mumayyiz ........................................................................ 32 2.5. Gugurnya Hak Hadhanah Anak Kepada Ibu ...................................... 34

BAB ANALISIS PUTUSAN HAKIM PADA KASUS NO. 216/PDT.G/2015/MS-JTH

3.1. Profil Mahkamah Syar’iyah Jantho .................................................... 40 3.2. Kronologi Perkara No. 216/Pdt.G/2015/Ms-Jth ................................. 45 3.3. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan No. 216/Pdt.G/2015/Ms-Jth ... 47 3.4. Analisis Penulis Terhadap Putusan No. 216/Pdt.G/2015/Ms-Jth ....... 54

BAB EMPAT PENUTUP 4.1. Kesimpulan ........................................................................................ 61 4.2. Saran .................................................................................................. 62

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………........... 63 LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Page 13: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

1 BAB SATU PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai sepasang suami isteri, dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai di sini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur batin/rohani. Berkenaan dengan tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (tenteram cinta dan kasih sayang).1 Allah SWT menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling mengenal dan berpasang-pasangan agar mereka cenderung satu sama lain, saling menyayangi dan saling mencintai, dan saling ingin hidup bersama. Keinginan biologis ini dapat disalurkan secara benar dengan ikatan perkawinan. Dalam hubungan perkawinan itu pasangan suami isteri memperoleh ketenteraman, dengan hidup dalam suasana kasih sayang, penuh rahmat dan kelembutan. Kehidupan yang penuh nikmat itu adalah karunia Allah yang amat besar dan berharga bagi umat manusia. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21: 1Amiur Nuruddin, & Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 42-44.

Page 14: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

نكم مودة ورحم 2 ها وجعل بـيـ ة إن في ذالك لأيت ومن ءايته أن خلق لكم من أنـفسكم ازواجا لتسكنـوا إليـ Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kamu )٢١(ون لقوم يـتـفكر isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar-Rum:21). Dari ayat Al-qur’an di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya.2 Allah menentukan syariat perkawinan dengan tujuan untuk mewujudkan ketenangan hidup, menimbulkan rasa kasih sayang antara suami isteri, antara mereka dan anak-anaknya, antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan besan akibat perkawinan suami isteri, dan untuk melanjutkan keturunan dengan cara berkehormatan. Namun tidaklah dapat dipungkiri bahwa untuk mempertahankan suatu ikatan perkawinan yang sesuai dengan tujuan perkawinan seperti yang diharapkan agama Islam tidaklah mudah. Hal itu karena manusia adalah makhluk yang tidak luput dari kesalahan, khilaf, dan dosa. Pertengkaran dan perselisihan terus-menerus dalam suatu rumah tangga tidaklah hanya secara fisik melainkan juga secara tidak adanya komunikasi 2 A.Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Banda Aceh: Pena, 2005), hlm. 38.

Page 15: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

3 yang baik antara suami dan isteri, yang menunjukkan tidak ada harapan lagi keduanya akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga. Sehingga dapat mengarah kepada sesuatu yang tidak diinginkan, yaitu perceraian. Adapun salah satu asas yang dianut oleh Hukum Perkawinan Nasional adalah mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini sejalan dengan ajaran agama (khususnya agama Islam), karena dengan terjadinya perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan yang dicita-citakan yaitu membentuk keluarga bahagia dan sejahtera. Apabila semua cara sudah dilakukan untuk merukunkan kembali rumah tangga mereka, dan hasilnya ternyata tidak bisa dipertahankan lagi. Maka perceraian adalah jalan keluarnya.3 Suatu permohonan cerai ṭalaq, dapat mengundang berbagai permasalahan yang akan timbul akibat terjadinya perceraian, salah satunya permasalahan siapa saja yang lebih berhak mengasuh anaknya. Masalahnya akan menjadi lebih rumit apabila masing-masing dari kedua orang tua tidak mau mengalah dalam hal hak haḍanah. Berdasarkan fikih Islam pemeliharaan anak disebut dengan ḥaḍanah, yang dimaksud dengan ḥaḍanah dalam arti sederhana ialah “pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah putusnya perkawinan.4 Oleh sebab itu, syariat menjelaskan hukum haḍanah, siapa yang paling berhak untuk mengasuh anak, dan siapa yang dapat 3 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 444. 4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,cet.I, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 328.

Page 16: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

4 memenuhi sejumlah persyaratan bagi pihak yang memegang ḥaḍanah anak nantinya. Syariat ini menunjukkan betapa pentingnya merawat, serta menjaga, dan mendidik anak yang masih kecil dengan baik. Demikian, pengasuhan anak meliputi berbagai aspek, yaitu pendidikan, biaya hidup, kesehatan, ketenteraman, dan segala aspek yang berkaitan dengan kebutuhannya. Dalam ajaran Islam diungkapkan bahwa tanggung jawab ekonomi berada dipundak suami sebagai kepala rumah tangga, dan tidak tertutup kemungkinan tanggung jawab itu beralih kepada isteri untuk membantu suaminya bila suami tidak mampu melaksanakan kewajibannya.5 Adapun periode sebelum mumayyiz adalah seorang anak yang belum dapat membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya.6 Anak yang masih kecil atau belum mencapai usia mumayyiz, tidak bisa memikirkan banyak hal serta belum bisa membedakan perlakuan ibu dan perlakuan ayahnya. Maka anak tidak dapat diberi pilihan, tetapi langsung diberikan kepada ibunya. Sehingga dapat dilihat bahwa peranan ibu sangatlah penting terhadap anak yang belum mumayyiz. Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf (a), menyebutkan bahwa dalam hal terjadi perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Sedangkan pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Kemudian, dalam pasal 156 huruf (a), akibat 5 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 64. 6 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 170-171.

Page 17: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

5 putusnya perkawinan karena perceraian ialah anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan ḥaḍanah dari ibunya.7 Dari ketentuan dan penjelasan di atas, apabila di dalam rumah tangga terjadi perceraian, yang lebih berhak untuk mengasuh anak yang belum mumayyiz adalah pihak ibu. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 105 huruf (a), pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Namun tidak demikian yang terjadi di Mahkamah Syar’iyah Jantho. Hal ini bisa terjadi ketika hakim melihat perilaku dan berbagai aspek lainnya dari pihak ibu. Sehingga ayahnya lebih unggul dibanding ibunya dalam hak hadhanah. Seperti dalam kasus yang akan penulis bahas yaitu mengenai pasangan suami isteri anggota TNI yang memperebutkan hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz, di dalam ḥaḍanah biasanya hak ḥaḍanah selalu dimenangkan oleh pihak isteri. Namun dalam penelitian putusan No.216/Pdt.G/2015/MS-Jth hakim berpandangan lain. Oleh karena itu, penulis menjadi tertarik untuk membahas faktor apa saja yang mempengaruhi pandangan para hakim dalam memenangkan pihak suami terhadap perkara hak haḍanah anak yang belum mumayyiz. Berdasarkan fenomena di atas menarik perhatian penulis untuk meneliti dan mengkaji lebih mendalam mengenai putusan perkara tersebut, yang dituangkan dalam skripsi yang berjudul “Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Jth)”. 7 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademik Pressindo, 2007), hlm. 151.

Page 18: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

6 1.2. Rumusan Masalah Untuk memecahkan masalah yang ada, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam penetapan putusan No. 216/Pdt.G/2015/MS-Jth ? 2. Apakah putusan hakim ini telah sesuai dengan hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz dalam konsep Islam? 1.3. Tujuan Penelitian Setiap penelitian mempunyai tujuan yang ingin dicapai, demikian juga dengan penelitian ini, adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam penetapan putusan No. 216/Pdt.G/2015/MS-Jth. 2. Untuk mengetahui putusan hakim telah sesuai atau tidak dengan hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz dalam konsep Islam. 1.4. Penjelasan Istilah 1. Ḥaḍanah Ḥaḍanah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain: hal memelihara, mendidik, mengatur, mengurus, segala kepentingan/urusan anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan baik dan buruknya sesuatu atau tindakan bagi dirinya).8 8Tihami, Sohari & Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet 4, (Jakarta: Rajawali, 2010), hlm.215.

Page 19: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

7 1. Anak Belum Mumayyiz Anak sebelum mumayyiz adalah anak yang belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan berbahaya bagi dirinya.9 2. Hakim Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, hakim adalah orang yang mengadili perakara Pengadilan atau Mahkamah.10 Sedangkan menurut Kamus Hukum, hakim adalah orang yang mengadili perkara dalam Pengadilan atau Mahkamah, petugas negara (pengadilan) yang mengadili perkara.11 1.5. Kajian Pustaka Kajian pustaka yang penulis lakukan bertujuan untuk melihat dan mengetahui persamaan dan perbedaan antara objek penelitian penulis dengan penelitian-penelitian yang pernah diteliti oleh peneliti lain, agar terhindar dari duplikatif. Dengan demikian berdasarkan kajian kepustakaan yang penulis lakukan, maka penulis akan menguraikan penelitian yang membahas tentang penetapan hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz, yaitu : Pertama, skripsi yang ditulis oleh Dede Nurzakiah, mahasiswi Fakultas Syariah Jurusan Hukum Keluarga tahun 2017 yang berjudul “Dampak Nusyuz Istri Terhadap Hak Ḥaḍanah (Studi Kasus Di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh)”. Penulisan skripsi yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim 9 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer..., hlm. 170. 10 Tri Kurnia Nurhayati, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Eska Media, 2003), hlm.265. 11 Sudarsono, Kamus Hukum (Edisi Baru), (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm.156.

Page 20: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

8 dalam menetapkan hak ḥaḍanah anak terhadap isteri yang nusyuz. Dan untuk mengetahui bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum positif dalam penetapan hak ḥaḍanah anak terhadap isteri yang nusyuz.12 Adapun dalam skrpsi ini lebih membahas kepada pertimbangan hakim terhadap isteri yang nusyuz dan lebih kepada perspektif hukum Islam dan hukum positif dalam penetapan hak ḥaḍanah anak. Sedangkan skripsi penulis lebih membahas kepada analisis penulis terhadap putusan hakim. Kedua, skripsi yang ditulis oleh Reza Maulana, Mahasiswa Fakultas Syariah Jurusan Hukum Keluarga tahun 2016 yang berjudul “Kebijakan Hakim Mengenai Hak Memilih Bagi Anak Mumayyiz Di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh”. Dalam penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan hakim mengenai hak asuh bagi anak mumayyiz dan perlindungan hukum bagi anak yang belum menentukan sikap/pilihan yang tidak disebutkan dalam putusan hakim keberadaan pengasuhannya di antara di bawah asuhan ibu atau ayahnya.13 Adapun dalam skripsi ini lebih membahas kepada anak yang mumayyiz. Sedangkan skripsi penulis lebih membahas kepada anak yang belum mumayyiz.

Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Maulina Syahfitri, Mahasiswi Fakultas Syariah Jurusan Hukum Keluarga tahun 2016 yang berjudul “Batas Masa Ḥaḍanah 12 Dede Nurzakiah, “Dampak Nusyuz Istri Terhadap Hak Hadhanah (Studi Kasus Di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh)”, Skripsi (Yang Tidak Dipublikasikan), (Banda Aceh: Fakultas Syari’ah Dan Hukum Prodi Hukum Keluarga, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. Banda Aceh, 2017). 13 Reza Maulana, “Kebijakan Hakim Mengenai Hak Memilih Bagi Anak Mumayyiz Di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh”, Skripsi (Yang Tidak Dipublikasikan), (Banda Aceh: Fakultas Syari’ah Dan Hukum Prodi Huku Keluarga, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. Banda Aceh, 2016).

Page 21: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

9 (Studi Analisis Menurut Pendapat Mazhab Maliki)”. Dalam penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pendapat Mazhab Maliki terhadap batas masa ḥaḍanah yang menjadi kewajiban orang tua dalam mengasuh anak, pertimbangan Mazhab Maliki dalam menentukan batas masa ḥaḍanah, perbedaan pandapat Mazhab Maliki dengan Mazhab-mazhab lain serta perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dalam menentukan batas masa ḥaḍanah, serta dampak yang ditimbulkan akibat penentuan batas masa ḥaḍanah.14 Adapun dalam skripsi ini lebih membahas kepada batas masa ḥaḍanah menurut pendapat Mazhab Maliki dan lebih membahas kepada perbedaan pendapat Mazhab maliki dengan Mazhab-mazhab lain serta perundang-undangan. Sedangkan skrispi penulis lebih membahas kepada penetapan hak ḥaḍanah yang belum mumayyiz dan hanya berfokus kepada putusan hakim. Dari 3 (tiga) kajian pustaka di atas, yang paling membedakan skripsi penulis dengan 3 (tiga) karya ilmiah yang menjadi sumber-sumber kajian pustaka adalah, bahwa skripsi ini lebih menitik gunakan kepada putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho.

14 Maulina Syahfitri, “Batas Masa Hadhanah (Studi Analisis Menurut Pendapat Mazhab Maliki)”,Skripsi (Yang Tidak Dipublikasikan), (Banda Aceh: Fakultas Syari’ah Dan Hukum Prodi Hukum Keluarga, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. Banda Aceh, 2016).

Page 22: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

10 1.6. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian analisis contant (analisis isi), yaitu metode ilmiah untuk mempelajari dan menarik kesimpulan atas suatu fenomena dengan memanfaatkan dokumen (teks).15 1.6.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu mengumpulkan data dari berbagai literatur tulisan yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. Penelitian kepustakaan bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, dan hasil penelitian.16 1.6.2 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dianalisis dengan studi kepustakaan dengan cara mempelajari putusan hakim Nomor: 216/pdt.G/2015/MS-Jth, membaca buku-buku tentang kitab-kitab yang berkaitan dengan hadhanah pengarang Sayyid Sabiq, pengarang Wafa’ binti Abdul Aziz As-Suwailim, dan Kompilasi Hukum Islam. 15 Eriyanto, Analisis Isi: Pengantar Metodologi Untuk Penelitian Ilmu Komunikasi Dan Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2015), Hlm. 10. 16 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm . 234.

Page 23: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

11 1.6.2 Sumber Data 1. Sumber Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertamanya atau bahan hukum yang mempunyai otoritas.17 Dalam penelitian ini adapun data primer peneliti ambil dari putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho No. 216/Pdt.G/2015/MS-Jth, dan perundang-undangan yang ada di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam pasal 105 156 mengenai hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz, dan juga kasus. 2. Sumber Data Sekunder Sedangkan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku dan dokumen-dokumen resmi atau tulisan-tulisan ilmiah, publikasi, dan hasil penelitian.18 Dan semuanya merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan di antaranya berasal dari buku Fiqh Munakahat, karangan Tihami & Sohari Sahrani, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, karangan Amir Syarifuddin, dan masih banyak buku lainnya. 1.6.3 Analisis Data Untuk menganalisa data, penulis menggunakan analisis contant (analisis isi), yaitu metode ilmiah untuk mempelajari dan menarik kesimpulan atas suatu fenomena dengan memanfaatkan dokumen (teks). Kemudian data tersebut disusun, dan dianalisis untuk memberikan gambaran mengenai masalah yang ada. 17 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 47. 18 Ibid, hlm. 106.

Page 24: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

12 Dalam penyusunan skripsi ini, penulis berpanduan kepada penulisan karya tulis ilmiah mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh Tahun 2014. Dan dalam menterjemahkan ayat Al-qur’an yang digunakan dalam skripsi ini penulis berpedoman pada Al-qur’an dan terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia Tahun 2012 1.7. Sistematika Pembahasan Untuk memperoleh gambaran yang sistematis maka skripsi ini disusun dalam 4 (empat) bab yaitu sebagai berikut : Bab Satu, merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penjelasan istilah, kajian pustaka, metode penelitan, sistematika pembahasan. Bab Dua, merupakan pembahasan, yang membahas ḥaḍanah dan mumayyiz: meliputi pengertian, dasar hukum, rukun dan syarat ḥaḍanah, batas usia mumayyiz, gugurnya hak ḥaḍanah kepada ibu. Bab Tiga, merupakan analisis putusan hakim pada kasus No. 216/Pdt.G/2015/MS-Jth yang terdiri dari profil Mahkamah, kronologi perkara, pertimbangan hakim dalam putusan No. 216/Pdt.G/2015/MS-Jth, dan analisis penulis terhadap putusan No. 216/Pdt.G/2015/MS-Jth. Bab Empat, merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan di akhiri dengan saran.

Page 25: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

13 BAB DUA ḤAḌANAH DAN MUMAYYIZ 2.1. Pengertian 2.1.1. Pengertian Ḥaḍanah Kata ḥaḍanah berasal dari bahasa Arab “(حضن), (يحضن), (حضنا), yang artinya mengasuh anak, memeluk anak”.1 Ḥaḍanah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kewajiban memelihara, mendidik dan mengatur segala kepentingan atau keperluan anak yang belum mumayyiz, pengasuhan.2 Menurut Tihami & Sohari Sahrani dalam bukunya Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap menyebutkan ḥaḍanah menurut bahasa, berarti meletakkan sesuatu di dekat tulang rusuk atau dipangkuan, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu dipangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya sehingga “ḥaḍanah” dijadikan istilah yang maksudnya: pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.3 Para ulama fikih mendefinisikan ḥaḍanah sebagai tindakan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki- maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikan, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani 1 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzurriyah, 1972), hlm. 104. 2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 472. 3 Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali, 2010), hlm. 215.

Page 26: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

14 dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.4 Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tua. Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal, masalah ekonomi, pendidikan, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak. Dalam konsep Islam, tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga. Meskipun dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan bahwa isteri dapat membantu suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Karena itu yang terpenting adalah adanya kerjasama dan tolong-menolong antara suami dan isteri dalam memelihara anak, dan mengantarkannya hingga anak tersebut dewasa.5 Sedangkan yang di maksud dengan pendidikan adalah kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan anak tersebut menjadi manusia yang mempunyai kemampuan dan dedikasi hidup yang dibekali dengan kemampuan dan kecakapan sesuai dengan pembawaan bakat anak tersebut yang akan dikembangkannya di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai landasan hidup dan penghidupannya setelah ia lepas dari tanggung jawab orang tua. Dari penjelasan-penjelasan di atas maka dapat disimpulkan, bahwa ḥaḍanah adalah kewajiban memelihara, mendidik, dan mengatur segala kepentingan atau keperluan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau yang 4 Ibid, hlm. 216. 5 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2003), hlm. 235.

Page 27: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

15 sudah besar tetapi belum mumayyiz, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab. 2.1.2. Pengertian Mumayyiz Al-mumayyiz, kata sifat dari (ميز) = menyisihkan. Artinya seorang anak yang sudah dapat membedakan sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk, yakni ketika ia berumur tujuh tahun.6 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sudah dapat membedakan sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk (± umur 7 tahun).7 Mumayyiz menurut istilah adalah anak yang berusia dari umur tujuh tahun sampai menjelang balig berakal. Pada masa ini seseorang anak secara sederhana telah mampu membedakan antara yang berbahaya dan yang bermanfaat bagi dirinya. Oleh sebab itu, ia sudah dianggap dapat menjatuhkan pilihannya sendiri apakah ia ikut ibu atau ikut ayahnya. Dengan demikian ia diberi hak pilih menentukan sikapnya. Sedangkan sebelum mumayyiz adalah dari waktu lahir sampai menjelang usia tujuh atau delapan tahun. Pada masa tersebut pada lazimnya seorang anak belum lagi mumayyiz atau belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya. Pada Periode ini, setelah melengkapi syarat-syarat pengasuh kesimpulan 6 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam Jilid 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 1225. 7 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat)…, hlm. 939.

Page 28: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

16 ulama menunjukkan bahwa pihak ibu lebih berhak terhadap anak untuk selanjutnya melakukan hadhanah.8 Mustafa Ahmad Az-Zarqa, ahli fikih dari suriah, mengemukakan bahwa menurut ushul fikih, mumayyiz adalah periode setelah masa at-tufulah (anak kecil yang belum mampu membedakan antara yang bermanfaat dan yang mudarat buat dirinya) dan menjelang masa baligh. Seorang anak yang mumayyiz telah kelihatan peran akalnya, sehingga ia mampu secara sederhana membedakan antara tindakan yang baik dan yang buruk dan membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang mudharat.9 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anak yang sudah mumayyiz adalah anak yang telah mampu membedakan antara yang berbahaya dan yang bermanfaat bagi dirinya dan batas perkiraan usia mumayyiz adalah tujuh tahun sampai menjelang balig. Sedangkan anak yang belum mumayyiz adalah dari waktu lahir sampai menjelang usia tujuh atau delapan tahun. Dan belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya. 2.2. Dasar Hukum Ḥaḍanah Dasar hukum ḥaḍanah (pemeliharaan anak) adalah firman Allah SWT dalam surat At-Tahrim ayat 6: 8 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 170-171. 9 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam Jilid 4…, hlm. 1225.

Page 29: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

ها ملئكة 17 غلاظ شداد يأيـها الذين ءامنوا قـوا أنـفسكم وأهليكم نارا وقـودها الناس والحجارة عليـ , ءاوثديي له سق ،ن بطني له وعاءاابني هذا ك ن إ! يارسول االله: لتاة قأامر ن أ: رن عم عبد االله ب :Artinya: Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim: 6). Pada ayat ini, orang tua diperintahkan Allah SWT. Untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak. Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan.10 Ḥaḍanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya, dan orang yang mengasuhnya. Dalam kaitan ini, terutama, ibunyalah yang berkewajiban melakukan ḥaḍanah. Rasulullah SAW bersabda )٦(علون مايـؤمرون لايـعصون االله مآ أمرهم ويـف .Artinya: Abdulullah bin Amr bahwa seorang wanita berkata, “wahai Rasulullah, anakku ini telah tinggal di perutku, minum dari air susuku, dan merasa nyaman dalam pangkuanku. Lalu ayahnya menceraikanku dan dia ingin 10 Tihami, & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap…, hlm. 217 )داود ابورواه ( .)به ما لم تنكحي حق أ نتأ: (مى االله عليه وسل فقال لها رسول االله صل ،ن ينثزعه منيأ رادأقني و باه طل أ ن إو ،وحجري له حواء

Page 30: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

18 melepaskannya dariku. Rasulullah saw berkata kepada nya, (engkau lebih berhak atas anak itu, selama engkaubelum menikah lagi. (HR. Abu Daud).11 Berdasarkan hadiṡ di atas, apabila seorang suami menceraikan isterinya sedangkan mereka memiliki seorang anak yang masih kecil, maka isteri lebih berhak untuk memelihara anak tersebut sampai anak itu balig dan bilamana persyaratan-persyaratannya dapat dilengkapi. Pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak dalam pangkuan ibu bapaknya, karena dengan adanya pengawasan dan perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan akalnya, membersihkan jiwanya, serta mempersiapkan diri anak dalam menghadapi kehidupannya di masa yang akan datang.12 Apabila anak sudah mengerti, hendaklah diselidiki oleh seorang yang berwenang, siapakah di antara keduanya (ibu dan ayah) yang lebih baik dan lebih pandai untuk mengasuh anak itu, maka anak hendaklah diserahkan kepada yang lebih cakap untuk mengatur kemaslahatan anak itu. Akan tetapi, kalau keduanya sama saja, anak disuruh memilih siapa di antara keduanya yang lebih disukai. Dalam hadiṡ dikatakan: أ ،سامةأ عن هلال بن رطنت له - ةهرير با أا ي: فقالت. قها زوجهاعياه وقد طل ة معها ابن لها فاد ة فارسي أجاءته امر ةر بي هري أ نا جالس معأا نمبي : رجل صدق قال نةي هل المد أ مولى من ىبا ميمونة سلمأ ن فجاء زوجها ،ورطن لها بذلك ،استهما عليه: ةبو هرير أ فقال, ن يذهب بابنيأ دزوجي يري –ةبالفارسي لى إ ة جاءتأعت امر ني سم أ لا إا ل هذقو أ لاني إ! هم لل ا: بو هريرةأ ني في ولدي؟ فقالاق من يح: فقال .Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’ats Al-Azdi As-Sijistani, Ensiklopedia Hadits 5 Sunan Abu Dawud, (Jakarta: Almahira, 2013), hlm. 473. 12 Tihami, & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap…, hlm. 216-217 11 ن يذهب بابني أ زوجي يريد ن إ! يارسول االله: فقالتده نا قاعد عن أو مه وسل ى االله علي رسول االله صل

Page 31: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

فقال ،استهما عليه: مه وسل ى االله علي فقال رسول االله صل , بي عنبة وقد نفعنيأ وقد سقاني من بئر 19 هما ي أخذ بيدف ،كم أوهذه ،بوكأا هذ: ( مى االله عليه وسل صل بي ني في ولدي؟ فقال الن من يحاق : زوجها .Artinya: Dari Hilal bin Usamah bahwa Abu Maimunah Salma-maula sebuah keluarga di Madinah dan dia seorang yang jujur-berkata, “ketika aku sedang duduk bersama Abu Hurairah, datang seorang wanita Persia membawa anaknya. Keduanya (suami isteri) memperebutkan hak asuh anak itu, karena suaminya telah menceraikannya. Wanita itu berkata, wahai Abu Hurairah wanita itu mengucapkannya dalam bahasa Persia-suamiku ingin membawa anakku. Abu Hurairah menjawab, aku akan mengundi bagi kalian berdua atas anak itu. Abu Hurairah menjawabnya dengan bahasa Persia juga. Kemudian suaminya datang dan berkata, siapa yang menghalangiku dari anakku? Abu Hurairah menjawab, Ya Allah, aku tidak mengatakan hal ini kecuali aku mendengar seorang wanita datang menemui Rasulullah saw dan aku sedang duduk bersama beliau. Wanita itu berkata, wahai Rasulullah, suamiku ingin membawa pergi anakku. Padahal anakku telah memberiku minum dari sumur Abu Inabah dan dia sangat berarti untuku. Rasulullah saw bersabda, adakanlah untuk mendapatkan anak itu. Lalu suaminya berkata, siapa yang menghalangiku dari anakku? Nabi saw berkata kepada anak itu, ini adalah ayahmu dan ini adalah ibumu. Pilihlah di antara keduanya sesuai dengan keinginanmu. Anak itu pun memilih ibunya, lalu wanita itu pergi bersamanya. (HR. Abu Daud)13 Kompilasi Hukum Islam dan hadiṡ dikatakan yaitu bagi anak yang sudah bisa memilih disuruh memilih. Namun Hak pilih diberikan kepada anak bila terpenuhi syarat-syarat yaitu, kedua orang tua telah memenuhi syarat untuk mengasuh. Bila salah satu memenuhi syarat dan yang satu lagi tidak, maka anak diserahkan kepada yang memenuhi syarat, baik ayah atau ibu. Kemudian anak tidak dalam keadaan idiot. 13 Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’ats Al-Azdi As-Sijistani, Ensiklopedia Hadits 5 Sunan Abu Dawud…hlm. 473 )داود ابورواه (.فانطلقت به ،هم أ خذ بيدأف ،)شئت

Page 32: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

20 Bila anak dalam keadaan idiot, meskipun telah melewati masa kanak-kanak, maka ibu yang berhak mengasuh, dan tidak ada hak pilih untuk anak tersebut.14 Jika salah satu dari orang tua anak tersebut telah menggugurkan haknya untuk mengasuh sebelum anak itu memilih, maka anak tetap disuruh untuk memilih. Jika anak telah memilih salah satu dari kedua orang tuanya, lantas yang dipilih itu tidak mau menanggung hidupnya maka yang menanggung adalah orang lain. Kemudian jika suatu ketika ia meminta anaknya kembali dan berjanji akan menanggung hidupnya maka anak diminta untuk kembali memilih. Jika kedua orang tua menolak untuk mengurus ḥaḍanah anaknya.15 Dengan demikian yang mengasuh anak kecil tersebut bukan ibu ayahnya maka lebih didahulukan perempuan dari pada laki-laki, kalau derajat kekeluargaan keduanya dengan si anak sama jauhnya. Akan tetapi, kalau ada yang lebih dekat, harus didahulukan yang lebih dekat.16 Kompilasi Hukum Islam mengatur secara jelas masalah kewajiban pemeliharaan anak, jika terjadinya perceraian terdapat di dalam pasal 105 sebagai berikut:17 Dalam hal terjadinya perceraian: (a) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya. (b) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; 14 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 331. 15 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 10, (terj. Abdul Hayyie Al-Kattani) (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 80. 16 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 2, (Jakarta: Pustaka Setia, 2010), hlm. 25. 17 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2012), hlm. 32.

Page 33: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

21 (c) Biaya pemeliharaan di tanggung oleh ayah. Meskipun pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian dilakukan oleh ibu anak tersebut, biaya pemeliharaannya tetap menjadi tanggug jawab ayahnya. Tanggung jawab seorang ayah tidak hilang karena terjadi perceraian.18 Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib, Sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan maupun setelah perkawinan.19 Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan isteri dalam firman Allah pada surat Al-Baqarah (2) ayat 233: حولين كاملين لمن أ والوالدت يـرضعن أولا دهن وكسوتـهن ضاعة وعلى المولود له رزقـهنالر ه بولده وعلىراد أن يتمولدة بولدها ولا مولود ل وسعها لاتضآر ف نـفس إلاالوارث مثل ذالك بالمعروف لاتكل هما وتشاور فلا جناح عليهما وإن أردتم أن تستـرضعو م الا عن تـرض ن أراد فص فإ دكم فلاجناح أولا آنـ ر آعليكم إذا سلمتم مآ ءاتـيتم بالمعروف واتـقوا االله واعلمو .Atinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warisanpun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan. 18 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia…, hlm. 248. 19 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia…, hlm. 328 )٢٣٣(أن االله بما تـعملون بصيـ

Page 34: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

22 Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.20 Meskipun ayat tersebut tidak secara jelas menegaskan bahwa tanggung jawab pemeliharaan anak menjadi beban yang harus dipenuhi suami sebagai ayah, namun pembebanan ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu melekat di dalamnya, tanggung jawab pemeliharaan anak. Hal ini diperkuat lagi dengan menerangkan, apabila anak tersebut disusukan oleh wanita lain yang bukan ibunya sendiri, maka ayah bertanggung jawab untuk membayar perempuan yang menyusui secara makruf. Hal ini dikuatkan oleh tindakan Rasulullah saw, ketika suatu hari beliau menerima aduan dari Hindun binti Utbah.21 Maka Rasulullah bersabda: ة عن عائشة رضي االله رو عني أخبر : خبرنا يونس عن ابن شهابأ: خبرنا عبد االلهأ: حدثنا ابن مقاتل .Artinya: Ibnu Mutaqil menyampaikan kepada kami dari Abdullah, dari Yunus yang mengabarkan dari Ibnu Syihab, dari Urwah bahwa Aisyah berkata, “Hindun binti Utbah datang kemudian berkata, “wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Berdosakah bila aku mengambil sebagian hartanya untuk nafkah keluarga kami? Beliau bersabda, tidak, dengan syarat engkau harus mengambilnya dengan baik sesuai kebutuhan. (HR.Al-Bukhari).22 20 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia…, hlm. 328. 21 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia…, hlm. 238. 22 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits 2 Shahih Al-Bukhari 2, (Jakarta Timur: Almahira, 2012), hlm. 199 ريارواه البخ ).معروفبال لا، إلا: (لاعيالنا؟ ق ،طعم من الذي لهأ نأ حرج فهل علي ،يكرجل مس با سفيانأ ن إ ،يارسول االله: لتاجاءت هند بنت عتبة فق :قالتا عنه

Page 35: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

23 Kompilasi Hukum Islam Bab XIV pasal 98 dijelaskan sebagai berikut: (a) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat secara fisik mapun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. (b) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. (c) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya meninggal.23 Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa kewajiban orang tua adalah mengantarkan anak-anaknya, dengan cara mendidik, membekali mereka dengan ilmu pengetahuan untuk bekal mereka di hari dewasa. Secara khusus Al-Qur’an menganjurkan kepada ibu agar hendaknya menyusukan mereka, secara sempurna yaitu dua tahun. Demikianlah juga Al-Qur’an mengisyaratkan, agar ibu tidak menderita karena si anak, demikian juga seorang ayah tidak menderita karena anaknya. Ini dimaksudkan agar orang tua memenuhi kewajiban menurut kemampuannya. Apabila kedua orang tuannya berhalangan, tanggung jawab tersebut dapat dialihkan kepada keluarganya yang mampu.24 Salah satu permasalahan yang akan timbul akibat putusnya perkawinan adalah ḥaḍanah, diatur secara panjang lebar dalam Kompilasi Hukum Islam dan materinya hampir keseluruhannya mengambil dari fiqh menurut jumhur ulama. 23Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2012), hlm. 30. 24 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia…, hlm. 236.

Page 36: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

24 Dalam pasal 156, akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:25 (a) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu 2. Ayah 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah (b) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya (c) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula (d) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat menguus diri sendiri (21 tahun) (e) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarka huruf (a), (b), dan (d) (f) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. Dapat disimpulkan di dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa anak yang belum mumayyiz atau belum berusia 12 (dua belas) tahun berhak mendapat ḥaḍanah dari ibunya. Dan anak yang sudah mumayyiz berhak memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak ḥaḍanah. Hukum ḥaḍanah ulama fikih sepakat menyatakan bahwa hukum merawat dan mendidik anak adalah wajib, karena apabila anak yang masih kecil, belum mumayyiz, tidak dirawat dan dididik dengan baik, maka akan berakibat buruk pada diri mereka, 25 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam…, hlm. 47.

Page 37: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

25 bahkan bisa menjurus kepada kehilangan nyawa mereka. Oleh sebab itu, mereka wajib dipelihara, dirawat, dan dididik dengan baik.26 Mengenai hak ḥaḍanah ulama fikih berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang memiliki hak ḥaḍanah tersebut, apakah hak ḥaḍanah ini milik wanita (ibu atau yang mewakilinya) atau hak anak yang diasuh tersebut. Ulama mazhab Hanafi dan mazhab Maliki mengatakan bahwa mengasuh, merawat, mendidik anak merupakan hak pengasuh (ibu atau yang mewakilinya). Jumhur ulama berpendirian bahwa hadhanah itu menjadi hak bersama, antara kedua orang tua dan anak.27 Menurut Wahbah Az-Zuhaili (guru besar fikih Islam di Universitas Damascus, Suriah) hak ḥaḍanah itu berkaitan dengan tiga hak secara bersamaan, yaitu hak orang yang memelihara, hak orang yang dipelihara, dan hak ayah atau orang yang bertindak selaku wakilnya. Jika bertentangan maka yang didahulukan adalah hak orang yang dipelihara.28 Akibat hukum dari perbedaan pendapat tentang hak ini adalah sebagai berikut:29 1. Apabila kedua ibu ayah enggan untuk mengasuh anaknya, maka mereka bisa dipaksa, selama tidak ada yang mewakili mereka mengasuh anak tersebut. Hal ini disepakati oleh jumhur ulama. 26 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam 2…, hlm. 415. 27 Ibid., hlm. 415. 28 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 10…, hlm. 61. 29 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam 2…, hlm. 415.

Page 38: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

26 2. Apabila ada wanita lain yang berhak mengasuh anak tersebut, seperti nenek dan bibinya, maka ibu tidak boleh dipaksa. Hal ini juga disepakati oleh seluruh ulama, karena seseorang tidak boleh dipaksa untuk mempergunakan haknya. 3. Menurut ulama mazhab Hanafi, apabila isteri menuntut khuluk pada suaminya dengan syarat anak itu diasuh oleh suaminya, maka khuluknya sah, tetapi syaratnya batal, karena pengasuhan anak merupakan hak ibu. 4. Ulama fikih juga sepakat menyatakan bahwa ayah tidak bisa mengambil anak dari ibunya apabila mereka bercerai, kecuali ada alasan syarak yang memperbolehkannya, seperti ibu itu gila atau dipenjara. 2.3. Rukun dan Syarat Ḥaḍanah Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara 2 (dua) unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh disebut mahdun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinannya. Setelah terjadinya perceraian dan keduanya harus berpisah, maka ibu dan ayah berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-sendiri. Maka dari itu ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh anak, disyaratkan memenuhi hal-hal sebagai berikut:30 30 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia…, hlm. 328.

Page 39: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

27 a. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi syarat. b. Berpikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain.31 c. Merdeka adalah persyaratan bagi perempuan pengasuh karena apabila ia merupakan seorang budak, maka ia akan sibuk melayani tuannya dan tidak memiliki banyak waktu untuk mengasuh anak. d. Beragama Islam ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan beragama Islam dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya.32 Allah SWT berfirman: ن االله قالوصون بكم فإن كان لكم فـتح مذين يـتـربعكم وإن كان للكافرين نصيب قالوآ آالنكم يـوم القيامة ولن يج ألم نكن م عل االله للكافرين على ألم نستحوذ عليكم ونمنـعكم من المؤمنين فااالله يحكم بـيـ .Artinya: (yaitu) orang-arang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu. Apabila kamu mendapat kemenangan dari Allah mereka berkata, “bukankah kami (turut berperang) bersama kamu” dan jika orang kafir mendapat bagian, mereka berkata,“bukakah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang mukmin?” maka Allah 31 Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 128. 32 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2013), hlm. 29-31 )١٤١(المؤمنين سبيلا

Page 40: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

28 akan memberi keputusan di antara kamu pada hari kiamat. Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman. (An-Nisa’: 141) Perwalian dalam pengasuhan anak memiliki derajat yang sama dengan perwalian dalam pernikahan dan harta. Selanjutnya, apabila pengasuhan anak-anak muslim diserahkan kepada pengasuh kafir, maka dikhawatirkan bahwa sang pengasuh akan mempengaruhi agama si anak, karena pengasuh akan berusaha mengasuh dan membesarkan anak asuhya sesuai dengan agama yang dianutnya. Dari itu, anak akan mengalami kesulitan untuk kembali kepada agama kedua orang tuannya (Islam). Tentu saja, hal ini merupakan bahaya paling besar yang akan menimpa anak tersebut. Pengasuhan anak-anak muslim tidak boleh diserahkan kepada pengasuhan kafir karena pengasuhan anak merupakan hal yang berhubungan dengan kekuasaan, sedangkan Allah SWT sama sekali tidak akan pernah memberi peluang kepada orang kafir untuk menguasai orang muslim. e. Amanah dan berbudi pekerti baik. Perempuan fasik dalam hal ini perempuan yang tidak memegang amanah dengan baik, serta tidak memiliki budi pekerti yang baik, maka ia tidak dapat dipercaya untuk mengurus dan mengasuh anak kecil. Apabila perempuan seperti itu tetap menjadi pengasuh bagi seorang anak, maka bisa jadi anak akan tumbuh dengan mengikuti cara hidupnya, atau etika dengan etika pengasuh.33 f. Wanita harus bersifat iffah atau pandai menjaga kehormatan diri. 33 Ibid, hlm. 27.

Page 41: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

29 g. Wanita harus bermukim pada sebuah daerah yang sama dengan anak yang tamyiz. Kalau salah seorang dari ibu-bapaknya bepergian jauh, ada hajat, misalnya ibadah haji, berdagang dalam masa yang panjang, maka anak tersebut dapat dirawat oleh salah satunya yang tidak berpergian, sebelum pihak yang berpergian kembali ke daerahnya. Jika salah satunya antara ibu-bapaknya ada yang berminat pindah tempat, maka ḥaḍanah lebih diutamakan pada pihak ayah dari pada ibunya dan dia berhak mencabutnya dari tangan ibunya.34 h. Belum menikah, jika dia telah menikah maka haknya untuk mengasuh anak menjadi gugur. Hukum ini khusus berlaku bagi perempuan yang menikah dengan laki-laki asing yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan si anak. Namun jika sang ibu menikah dengan kerabat dekat yang menjadi mahram bagi anak, seperti menikah dengan paman dari pihak ayahnya maka hak pengasuhannya tidak gugur.35 Kalangan Syafi’iyah menambahkan syarat yang telah dituturkan di atas, seperti yang dikutip, oleh Wahbah Zuhaili yang diringkas menjadi 2 syarat yaitu:36 1. Pengasuh bebas dari penyakit kronis, seperti TBC, lumpuh, lepra, kusta, atau buta. Karena penyakit tersebut bisa mengganggu aktivitas mengasuh anak. Jika seperti itu maka hak asuhnya menjadi gugur. 34 Marzuqi Yahya, Panduan Fiqih Imam Syafi’i Ringkasan Kitab Fathul Qarib Al-Mujib, (Jakarta Timur: Al-Magfirah, 2012), Hlm. 154-155. 35 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 4…, hlm. 30. 36 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an Dan Hadits, (terj. Muhammad Afifi) (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 68.

Page 42: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

30 2. Pengasuh harus professional yang meliputi unsur: pandai (rasyid), tidak pelupa, dan dewasa. Mahdhun adalah orang yang tidak mampu mengurus keperluan diriya sendiri atau tidak mampu menjaga dirinya sendiri dari sesuatu yang dapat membahayakannya karena memang belum mumayyiz.37 Adapun syarat untuk anak yang diasuh (mahdhun) adalah:38 a. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri. b. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, separti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapapun. Bila kedua orang tua masih lengkap dan memenuhi syarat, maka yang paling berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih memiliki rasa kasih sayang di bandingkan dengan ayah, sedangkan dalam usia yang sangat muda itu lebih dibutuhkan kasih sayang. Bila seorang anak berada dalam asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada di bawah tanggung jawab seorang ayah.39 Apabila yang mengasuh anak kecil bukan ibu ayahnya, maka lebih didahulukan perempuan dari pada laki-laki kalau derajat kekeluargaan keduanya 37 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 10…, hlm. 66. 38 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia…, hlm. 329. 39 Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia..., hlm. 129.

Page 43: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

31 dengan anak sama jauhnya. Tetapi apabila ada yang lebih dekat, didahulukan yang lebih dekat. Permasalahan ini perlu ditinjau dari 3 (tiga) sudut:40 1. Kalau pengasuh itu beberapa perempuan saja dan jalan kekeluargaan mereka terhadap anak bertingkat-tingkat, maka anak diserahkan kepada ibunya. Kalau ibu tidak ada, diserahkan kepada ibu dari ibu itu (nenek), dan seterusnya ke atas. Kalau ibu-ibu dari pihak ibu tidak ada, diserahkan kepada ibu-ibu dari pihak bapak, kemudian kepada saudara perempuan, kemudian kepada anak perempuan dari pihak saudara perempuan, kemudian kepada anak perempuan dari pihak laki-laki, kemudian saudara perempuan dari ayahnya. 2. Kalau semua pengasuh itu laki-laki, maka yang lebih berhak adalah ayah, kemudian kakek, dan seterusnya. Kemudian saudara-saudara laki-laki, baik sekandung atau seayah, atau seibu. Kemudian anak laki-laki dari saudara, kemudian paman dari pihak ayah. 3. Kalau pengasuh itu laki-laki dan perempuan, maka ibu lebih berhak daripada semuanya. Kemudian ibu dari pihak ibu, kemudian ayah, kemudian ibu dari pihak ayah. Jika ibu, ibu dari ibu, ayah, ibu dari ayah tidak ada, maka anak diserahkan kepada keluarga lain dengan cara didahulukan yang lebih dekat hubungannya daripada yang lebih jauh. 40 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2017), hlm. 427.

Page 44: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

32 3.4. Batas Usia Mumayyiz Mustafa Ahmad az-Zarqa mengemukakan bahwa dalam kondisi normal, masa mumayyiz itu di mulai dari usia7 (tujuh) tahun sampai datangnya masa balig yaitu dengan datangnya haid bagi anak perempuan dan mimpi berhubungan seksual bagi anak laki laki atau dengan melakukan pernikahan baik laki laki maupun wanita. Meskipun masa balig berbeda antara orang yang satu dengan yang lain, namun menurut ulama fikih, batas minimal bagi perempuan adalah 9 (sembilan) tahun dan bagi anak laki-laki adalah 12 (dua belas) tahun. Namun bila sampai usia 15 (lima belas) tahun belum juga datang tanda balig bagi laki-laki dan perempuan, maka usia 15 (lima belas) tahun itu dijadikan batas maksimal masa mumayyiz dan mereka sudah dianggap balig. Dengan demikian, berlaku atas dirinya hukum taklif sebagaimana lazimnya seseorang yang sudah balig berakal, kecuali jika ada hal-hal yang menjadi penghalangnya, seperti idiot dan lain-lain keadaan yang menunjukkan ketidak normalan akal pikirannya.41 Mengenai batas usia pemeliharaan anak berdasarkan ijtihad kalangan ulama, batas bagi laki-laki 7 (tujuh) tahun dan perempuan 9 (sembilan) tahun. Setelah dewasa, anak boleh memilih siapa dan ayahnya tidak wajib lagi memberi nafkah kecuali untuk menuntut ilmu. Mazhab maliki berpendapat sampai balig bahkan bagi anak perempuan sampai ia kawin. Mazhab Asy-syafi’i berpendapat tidak ada pembatasannya. Anak bisa tinggal bersama ibunya sampai kapan saja sehingga ia bisa memilih setelah itu untuk tinggal 41 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum islam 4…, hlm. 1225.

Page 45: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

33 bersama ayah atau ibunya. Jika anak tidak melakukan pilihan, maka ia tetap tinggal bersama ibu. Mazhab Hambali memberi batasan sampai usia 7 (tujuh) tahun. Setelah itu terserah kepada anak memilih dengan siapa ia akan tinggal.42 Pengasuhan dianggap berakhir apabila si anak tidak lagi membutuhkan ayoman seorang perempuan, serta apabila ia telah menjadi orang yang mumayyiz dan mandiri. Ukuran mumayyiz dan mandiri adalah bila si anak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti makan, mengenakan pakaian sendiri, dan dapat menjaga kebersihan dirinya. Karena itu, tidak ada ketentuan waktu secara pasti dalam masa berakhirnya sebuah pengasuhan. Akan tetapi, semua itu bergantung kepada usia mumayyiz dan kemandirian si anak.43 Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masa mumayyiz dimulai dari usia 7 (tujuh) tahun sampai datangnya masa balig. Masa balig berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain, namun menurut ulama fikih batas maksimal bagi perempuan adalah 9 (Sembilan) tahun dan bagi anak laki-lakiadalah 12 (dua belas) tahun. Apabila sampai usia 15 (lima belas) tahun belum juga datang balig bagi laki-laki dan perempuan. Maka usia 15 (lima belas) tahun dijadikan batas maksimal masa mumayyiz dan sudah dianggap balig. 42 Ibid, hlm. 249. 43 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 4…, hlm. 33.

Page 46: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

34 3.5. Gugurnya Hak Ḥaḍanah Kepada Ibu Pengasuhan dilarang bagi ibu yang tidak memenuhi syarat yang telah dijelaskan di atas. Seperti gila, budak, kafir, fasik, tidak dipercayai, dan menikah dengan pria lain, terkecuali menikah dengan pria yang berhak untuk mengasuh anak tersebut, seperti paman anak itu.44 Adapun hal-hal yang dapat menggugurkan hak asuh ibu sebagai berikut: 1. Hak asuh ibu gugur karena menikah. Demikian pendapat seluruh ahlul ilmi. Inilah mazhab Hanafiyah, pendapat masyhur Malikiyah, pendapat paling shahih Syafi’iyah dan Hanabilah. Bahkan Ibnu Mundzir menuturkan ijmak terikat masalah ini. Landasan yang mereka gunakan: “Perawi hadiṡ Abu Daud yang telah disebutkan pada halaman 17 (delapan belas)”. Hadiṡ di atas menyebutkan hak gugur ketika si wanita menikah. Dasar logisnya cukup kuat karena isteri akan disibukkan untuk melayani suami barunya. Inilah yang dikhawatirkan akan membahayakan anak yang diasuh karena perhatian isteri terbagi kepada suami barunya, walaupun suami barunya mengizinkannya untuk anak tersebut.45 Maka dari itu dengan kesibukan ibu mengurus hak-hak suaminya, maka ibu tidak sempat mengasuh dan merawat anaknya, atau biasanya anak akan mendapatkan perlakuan kasar dari ayah tirinya. Ayah si anak tentu tidak merelakan hal itu terjadi, 44 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an Dan Hadits…, hlm. 69. 45 Ibid, hlm. 67.

Page 47: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

35 dan ia berhak mengambil si anak dari mantan isterinya.46 Namun, bila ibu menikah dengan paman dari anak tersebut maka hak asuh tidak hilang karena paman juga berhak mengasuh anak tersebut. Kasih sayang dari pamannya akan menjadi faktor motivasi untuk mengasuh anak tersebut sehingga ibu dan paman bisa bekerja sama mengasuh anak itu. Berbeda bila ibu kawin dengan laki-laki lain.47 2. Hak asuh ibu gugur disyaratkan si ibu digauli suaminya. Seperti sudah disampaikan sebelumnya, hak asuh ibu gugur manakala ia menikah dengan lelaki lain. Hanya saja, ulama berbeda pendapat terkait syarat apakah ibu harus digauli agar hak asuhnya gugur. Ada dua pendapat:48 Pendapat pertama, hak asuh ibu tetap tidak gugur, kecuali jika sudah digauli. Sekedar akad nikah tidaklah menggugurkan hak asuh. Demikian pendapat yang dikemukakan Malikiyah, juga salah satu pendapat Hanabilah. Alasan yang menggugurkan hak asuh ibu karena pernikahan adalah, si ibu sibuk mengurus hak-hak suami sehingga tidak sempat mengurus anak. Alasan ini hanya berlaku ketika si ibu sudah digauli. Sebelum itu, ibu tentu masih punya banyak waktu untuk mengasuh anak. Pendapat kedua, hak asuh ibu gugur karena akad nikah sudah dilaksanakan. Tanpa disyaratkan harus digauli. Demikian pendapat mayoritas ulama dari kalangan 46 Wafa’ Binti Abdul Aziz As-Suwailim, Fikih Ummahat Himpunan Hukum Islam Khusus Ibu, Cet I, (Jakarta: Ummul Qura, 2013), hlm. 358. 47Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an Dan Hadits…, hlm. 67. 48Wafa’ Binti Abdul Aziz As-Suwailim, Fikih Ummahat Himpunan Hukum Islam Khusus Ibu…, hlm. 361-363

Page 48: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

36 Hanafiyah, Syafi’iyah, dan pendapat sahih Hanabilah. Landasan dalil yang digunakan yaitu, hadits Abdullah bin Amr r.a. sebelumnya yang menyebutkan sabda Nabi saw: “Perawi hadis Abu Daud yang telah disebutkan pada halam 17 (delapan belas)”. Saat yang bersangkutan menikah, hak asuhnya gugur. Pernikahan sudah menggugurkan hak asuh, meskipun belum terjadi hubungan badan. Setelah melangsungkan akad nikah, suami berhak atas semua manfaat dari isteri, termasuk berhak melarang isterinya mengasuh anak lelaki lain, dengan demikian hak asuh si ibu hilang, seperti halnya ketika si ibu digauli. 3. Hak asuh ibu gugur bila ibu melakukan perjalanan jauh yang boleh mengqashar shalat. Mengenai hal ini, ayah diperkenankan untuk mengganti posisi ibu dalam mengasuh anaknya, baik kemudian yang pindah itu ayah maupun ibunya. Hal ini untuk menjaga penisbahan nasab kepada seorang ayah. Selain itu, anak dalam pangkuan ayah dalam keadaan seperti ini lebih mudah untuk diasuh, diajari, dan lebih mudah memberikan nafkahnya. Hak asuh ibu tidak boleh dicabut bilamana hanya melakukan perjalanan kurang dari jarak bepergian yang boleh mengqashar shalat. Karena, orang yang melakukan perjalanan di bawah batas qashar masih seperti orang yang menetap. Namun, bila ibu dan ayah mengadakan perjalanan bersamaan dan bertemu dalam perjalanan, maka ibu masih berhak untuk mengasuh anaknya.49 49 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an Dan Hadits…, hlm. 6٧.

Page 49: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

37 Apabila suami isteri yang telah dikaruniai anak kemudian bercerai, lalu salah satunya akan mengadakan perjalanan. Maka apabila perjalanan itu membahayakan atau tidak terjamin keamanannya, maka anak harus diasuh oleh salah satu dari keduannya yang tidak melakukan perjalanan, sekalipun anak itu telah tamyiz dan memilih untuk ikut dalam perjalanan karena perjalanan itu membahayakan pada anak itu. Jika perjalanan itu belum sampai pada batas boleh mengqashar shalat, maka keduanya sama seperti orang mukim yaitu berhak untuk mengasuh anak itu. Jika anak itu telah tamyiz maka diperkenankan untuk memilih salah satu dari keduanya karena mereka mempunyai hukum yang sama, yaitu tidak mempunyai hak perjalanan untuk meringkas shalat, tidak berpuasa, dan mengusap khuf. Dengan demikian, keduanya sama saja dengan orang mukim.50 Bilamana perjalanan itu bukan karena untuk pindah, maka orang yang mukim, baik ayah atau ibu lebih berhak untuk mengasuh si anak tersebut. Sebab, orang mukim tidak mempunyai alasan untuk membawa atau mengembalikan sesuatu seperti halnya musafir. Namun, bila perjalanan itu untuk pindah yang tidak membahayakan dan dalam jarak tempuh yang boleh meringkas shalat, ayah lebih berhak untuk mengasuh si anak tersebut, baik ayah itu mukim atau musafir, karena menjaga garis keturunan si anak dan mendidik itu diutamakan. Jika yang mengadakan perjalanan ternyata ayah dan ibu berkata kepadanya, “engkau bepergian karena ada kebutuhan, jadi aku lebih berhak untuk mengasuh si kecil,” dan ayah berkata, “akan tetapi, aku bepergian untuk pindah, jadi akulah yang paling berhak mengasuhnya,” maka 50 Ibid., hlm. 68.

Page 50: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

38 perkataan yang dibenarkan adalah perkataan ayah karena ayah jauh lebih tahu dengan niatnya.51 4. Hak ibu gugur jika ia mengidap penyakit yang membahayakan. Seperti gila, lepra, dan kusta. Karena seorang pengasuh tidak boleh mengidap penyakit yang membuat orang lain menjauhinya. 5. Hak seorang untuk mengasuh anak juga gugur jika ia fasik atau pengetahuan agamanya kurang. Hak seseorang untuk mengasuh anak juga gugur jika ia fasik atau pengetahuan agamanya kurang, seperti misalnya ia tidak dapat dipercaya untuk mengurus anak karena tidak tercapainya kemaslahatan anak dalam asuhannya.52 Demikian orang yang tidak amanah tidak berhak untuk mengurus pendidikan dan akhlak anak.Yang termasuk dalam katagori orang yang tidak amanah adalah orang yang fasik baik laki-laki maupun perempuan, pemabuk, pezina, dan sering melakukan perkara haram.53 Berdasarkan penjelasan-penjalasan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hak asuh ibu gugur apabila ibu menikah lagi, menurut pendapat seluruh ahlul ilmi, yaitu mazhab Hanafiyah, pendapat masyhur Malikiyah, pendapat paling shahih Syafi’iyah dan Hanabilah. 51 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an Dan Hadits…, hlm. 69. 52 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 10…, hlm. 70. 53 Ibid, hlm. 67.

Page 51: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

39 2. Hak asuh ibu gugur apabila ibu digauli suaminya, dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Pendapat yang pertama, hak asuh ibu gugur karena sudah digauli karena sekedar akad nikah tidaklah menggugurkan hak asuh dan ini adalah pendapat Malikiyah dan juga salah satu pendapat Hanabilah. Sedangkan pendapat kedua, adalah hak asuh ibu gugur karena akad nikah sudah dilaksanakan tanpa disyaratkan harus digauli. Demikianlah pendapat Hanafiyah, Syafi’iyah, dan pendapat shahih Hanabilah. 3. Hak asuh ibu gugur apabila ibu melakukan perjalanan jauh yang boleh mengqashar shalat. Yaitu mengenai hal tersebut, maka ayah diperkenankan untuk menggantikan posisi ibu dalam mengauh anaknya, baik kemudian yang pindah itu ayah maupun ibunya. Karena demi menjaga penisbahan nasab kepada seorang ayah. 4. Hak asuh ibu gugur jika ibu mengidap penyakit yang membahayakan. Seperti gila, lepra, dan kusta. 5. Dan yang paling terakhir adalah hak asuh ibu gugur apabila ibu yang mengasuhnya fasik atau pengetahuan agamanya kurang.

Page 52: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

40 BAB TIGA

ANALISIS PUTUSAN HAKIM PADA KASUS NO. (216/pdt.G/2015/MS-JTH)

3.1. Profil Mahkamah Syar’iyah Jantho Pengadilan Agama merupakan salah satu wadah atau tempat menyelesaikan permasalahan-permasalahan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku khusus. Khusus di Aceh Pengadilan Agama berubah nama menjadi Mahkamah Syar’iyah sesuai dengan ketentuan dari Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.1 Sebagaimana diatur Undang- Undang Nomor 44 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 Pasal 128 Bab XVII disebutkan: 1. Peradilan Syari’at Islam Provinsi NAD sebagai bagian dari sistem Peradilan Nasional dalam lingkungan Peradilan Agama yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah bebas dari pengaruh dari pihak manapun. 2. Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang beragama Islam dan berada di Aceh. 3. Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang Al-ahwal Syakhshiyah (Hukum Keluarga), Mu’amalah (Hukum Perdata) dan Jinayah (Hukum Pidana) yang didasarkan atas syariat Islam. 1 Husni Jalil, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam Negara RI Bedasarkan UUD 1945,( Bandung: CV. Utomo, 2005 ), hlm. 208.

Page 53: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

41 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang Al-ahwal Syakhsiyah (Hukum Keluarga), Mu’amalah (Hukum Perdata) dan Jinayah (Hukum Pidana) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang diatur dengan Qanun Aceh. Akhirnya melalui proses yang panjang Pengadilan Agama diresmikan menjadi Mahkamah Syar’iyah pada tanggal 1 Muharram 1424 H atau bertepatan 4 Maret 2003 dan tahun berikutnya 2004 disahkan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman kemudian berubah lagi menjadi Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. yang isinya perubahan Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah dengan penambahan kewenangan yang akan dilaksanakan secara lengkap.2 Sebagai dasar hukum persiapan Mahkamah Syar’iyah disaat itu adalah Kepres Nomor 11 tahun 2003, yang pada hari itu dibawa langsung dari Jakarta dan dibacakan dalam upacara peresmian. Adapun isi Kepres tersebut antara lain adalah tentang perubahan nama Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Tinggi Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah Provinsi, dengan penambahan kewenangan yang akan dilaksanakan secara bertahap. Upacara peresmian dilaksanakan di gedung DPRD Provinsi. Yang dihadiri oleh Gubernur dan wakil Gubernur Provinsi NAD, beserta dihadiri oleh para Menteri dan Tim Pusat. Upacara peresmian ditandai dengan penandatangan prasasti, masing-masing oleh Menteri dalam Negeri, Menteri Kehakiman dan HAM, dan Menteri Agama RI. 2 A.Hamid Sarong, Mahkamah Syar’iyah Aceh ( Lintas Sejarah dan Eksistensinya), (Banda Aceh: Global Education Institute, 2012) hlm. 54.

Page 54: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

42 Bersamaan dengan upacara peresmian tersebut, dilaksanakan pula pengambilan sumpah dan pelantikan ketua-ketua Mahkamah Syar’iyah Kab/Kota dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Setelah pelantikan para ketua dan wakil ketua Mahkamah Syar’iyah seprovinsi Nanggroe Aceh Darussalam diberi pembekalan dan sosialisasi tentang eksistensi dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah. Mahkamah Syar’iyah Jantho merupakan lembaga peradilan yang menangani berbagai permasalahan yang menimpa masyarakat di tingkat kabupaten yaitu Aceh Besar. Salah satu masalah yang ditangani oleh Mahkamah Syar’iyah Jantho adalah persoalan yang menyangkut keluarga (misalnya Dispensasi Nikah). Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 4 dan 5 Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sehingga dari semua permasalahan keluarga yang menimpa masyarakat dapat diselesaikan dengan baik. Masalah-masalah yang ditangani Mahkamah Syar’iyah Jantho meliputi perkawinan, kewarisan, waqaf dan lainnya. Mahkamah Syar’iyah Jantho merupakan lembaga Peradilan yang bertugas dan berwenang menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara- perkara pada tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam wilayah hukum Mahkamah Syar’iyah Jantho bidang Hukum Keluarga, Hukum Perdata dan Hukum Pidana. Keadaan Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Jantho sesudah berlakunya Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah ( PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut mulai berlaku 1

Page 55: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

43 Oktober 1975. Setelah adanya peraturan tersebut Mahkamah Syar’iyah Jantho terlihat mengalami perbedaan di antaranya adalah bertambahnya jumlah perkara yang harus diselesaikan yang disebabkan oleh materi-materi perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah. Mahkamah Syar’iyah Jantho beralamat di Jl. T.Bachtiar P. Polem, Kecamatan Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar dengan luas wilayah hukum meliputi 23 kecamatan seluruh Kabupaten Aceh Besar, maka visi dari Mahkamah Syar’iyah Jantho adalah mendukung terwujudnya Badan Peradilan yang Agung di lingkungan Mahkamah Syar’iyah Jantho. Dan misi dari Mahkamah Syar’iyah Jantho adalah: 1. Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Badan Peradilan. 2. Mewujudkan pelayanan prima bagi masyarakat pencari keadilan. 3. Meningkatkan akses masyarakat terhadap keadilan.3 3 www.ms-jantho.go.id Diakses Tanggal 5 November 2018

Page 56: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

44 Adapun struktur organisasi Mahkamah Syar’iyah Jantho sebagai berikut: KETUA Heni Nurliana, S. Ag., M.H

HAKIM Drs. H. Ridhwan Osvia Zurina, S.H.I Syahputra Atmanegara, S.H.I Yusnardi, S.H.I, M.H WAKIL KETUA

PANITERA Drs. Samsuar Husein, S.H SEKRETARIS Saifuddin, S.Ag., S.H Kasubag Perencanaan Tekn Informasi & Pelaporan H. Zulkifli, S.H PANMUD PERMOHONAN Drs. Jamaluddin Harun Kasubag Kepegawaian Organisasi & Tatalaksana Arniati, S.H PANMUD GUGATAN Mahdalena, S.H PANMUD HUKUM Hj. Helma, S.Ag Kasubag Umum dan Keuangan Muzayyanah, S.H.I PANMUD JINAYAH Drs. Zulkifli Syakubat Bendahara Fazilah Febriana, S.H Kelompok Jabatan Fungsional Jurusita/ JSP Adli Munizar, S.H Bahrun Fuadi, S.H Maulizar, S.Kom Panitera Pengganti Hadi, S.Ag (Wapan) T. Firman Nur, S.H.I Nurul Himah, S.Ag Syukriati, S.H

Page 57: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

45 3.2. Kronologi Perkara No. (216/pdt.G/2015/MS-JTH) Pada tanggal 19 maret tahun 2010, ada sepasang suami isteri yang telah menikah dan melangsungkan perkawinan selama 5 (tahun) lamanya. Serta telah dikaruniai 1 (satu) orang anak laki-laki yang berusia 3 (tiga) tahun.4 Awal mulanya kehidupan rumah tangga mereka harmonis dan berjalan rukun selama kurang lebih 3 tahun, kemudian tidak disangka hal-hal yang tidak dibayangkan atau dipikirkan sebelumnya bisa terjadi. Yang mana perselisihan dan percekcokan antara suami isteri terus-menerus berlangsung. Sehingga dari perselisihan dan percekcokan tersebut tidak bisa didamaikan secara kekeluargaan. Kasus ini telah sampai ke Mahkamah Syar’iyah Jantho, yang diajukan oleh suami yang bernama sebut saja Raja, berumur 33 tahun, Agama Islam, pekerjaan TNI AD, tempat tinggal di asrama Militer Yonif 112/raider, gampong Punei, Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar, melawan isterinya yang bernama sebut saja Bunga, berumur 25 tahun, agama Islam, pendidikan S1, pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal di asrama Militer Yonif 112/raider, gampong Punei, Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar.5 Suami telah mengajukan permohonan cerai talak terhadap isterinya dengan surat tertanggal 27 Oktober 2015 yang telah terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Syar’iyah Jantho dengan register perkara Nomor: 216/pdt.G/2015/MS-Jth. Alasan suami mengajukan cerai talak terhadap isterinya, dikarenakan suami tidak senang 4 Putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho, No. 216/Pdt.G/2015/MS-Jth, hlm. 2. 5 Ibid, hlm. 1.

Page 58: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

46 dengan sikap isteri yang tidak patuh lagi dengannya, dan keduanya baik suami maupun isteri sudah tidak sanggup lagi mejalankan rumah tangga mereka. Isteri bahkan berani meninggalkan rumah dan satuan suami tanpa seizin dari suaminya. Antara suami dan isterinya telah pisah tempat tinggal sejak awal 2013, dan juga isteri telah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang isteri, dimana isteri dengan kesadarannya sudah tidak perduli lagi dengan suaminya sendiri. Sehingga komunikasi antara suami isteri ini tidak berjalan lancar layaknya pasangan suami isteri semestinya. Dan hal ini berjalan selama lebih kurang 2 (dua) tahun lamanya. Selain itu isteri telah melakukan tindakan amoral yang mencoreng nama baik suaminya/Instansi tempat suaminya berkerja, yaitu isteri telah melanggar Norma hukum Islam dan hukum adat Aceh, dengan tinggal serumah dengan laki-laki lain tanpa adanya ikatan perkawinan tanpa diketahui oleh suami sahnya. Berdasarkan alasan-alasan tersebut suami berkesimpulan bahwa isterinya sudah tidak ada lagi itikad baiknya untuk mempertahankan rumah tangga dengannya, oleh sebab itu perceraianlah jalan terbaik dalam mengakhiri permasalahan yang suami alami. Karena suami menganggap rumah tangga mereka tidak sesuai dengan tujuan perkawinan untuk mencapai keluarga sakinah mawaddah warahmah maupun sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Untuk itu suami ingin mengakhiri perkawinan dengan cara perceraian melalui Mahkamah Syar’iyah Jantho. Suami memohon kepada Majelis Hakim untuk memberikan izin kepadanya mengucapkan ikrar talak terhadap isterinya dan menetapkan anak mereka yang

Page 59: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

47 berusia 3 (tiga) tahun berada di bawah asuhannya. Untuk menjamin anak mereka dari pendidikannya, kesehatannya serta bisa menjadi anak yang berakhlak mulia.6 Isteri menerima untuk bercerai akan tetapi menolak mengenai hak ḥaḍanah anak yang diminta suami berada di bawah pengasuhannya. Suami memohon hak hadhanah anak mereka yang berusia 3 (tiga) tahun di bawah pengasuhannya selaku ayah kandung anak mereka.7 Penulis mengetahui hasil dari pertimbangan hakim mengenai permasalahan tersebut di atas, yaitu hakim mengabulkan permohonan suami agar ditetapkan sebagai pemegang hak ḥaḍanah anak yang masih berusia 3 (tiga) tahun. Demi terjaminnya masa depan, pendidikan anak dan demi menjaga moral anak itu sendiri.8 Demikianlah hakim berpendapat ternyata seorang ayah lebih berhak dalam melaksanakan hak ḥaḍanah anak daripada ibunya. 3.3. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan No. 216/pdt.G/Ms-Jth Mengenai kasus permohonan cerai talak yang penulis teliti di Mahkamah Syar’iyah Jantho yang diajukan oleh seorang suami kepada seorang isteri dengan surat tertanggal 27 Oktober 2015. Dapat diketahui bahwasanya Mahkamah Syar’iyah Jantho pada tanggal 25 januari 2016 telah menyelesaikan dan menjatuhkan penetapan perkara No. 216/pdt.G/2015 yang mana perkara ini dijadikan dasar objek penelitian penulis. Dalam putusan tersebut, penulis menemukan amar putusan hakim yang 6 Putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho…, hlm. 5-7. 7 Ibid, hlm. 13. 8 Putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho…, hlm. 43.

Page 60: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

48 mengabulkan permohonan izin menetapkan anak yang belum mumayyiz berada di bawah asuhan suami selaku ayah kandungnya. Pada prakteknya dalam putusan No. 216/pdt.G/2015/MS-Jth yang penulis teliti, terdapat pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara ḥaḍanah yang berpegangan pada hukum Islam yang merupakan salah satu sumber hukum bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara. Berdasarkan keterangan dalam amar putusan Majelis Hakim di dalam persidangan telah mengupayakan perdamaian dengan menasehati kedua belah pihak yaitu suami dan isteri, agar mengurungkan niatnya untuk bercerai dan kembali rukun sebagai suami isteri semestinya. Demi membina rumah tangga mereka, namun upaya tersebut tidak berhasil. Untuk memaksimalkan perdamaian Majelis Hakim memerintahkan suami isteri agar menempuh upaya perdamaian terlebih dahulu melalui proses mediasi, namun upaya mediasi yang dilakukan juga dinyatakan gagal. Maka untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, suami telah mengajukan P.1 -P.11 yaitu alat bukti surat dan juga 3 orang saksi. Di depan persidangan suami membuktikan identitas dan agamanya yang telah mengajukan alat bukti tertulis P.1 berupa fotocopy KTP atas namanya. Berdasarkan bukti P.2 dan P.3 berupa fotokopi kutipan akta nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama dan fotokopi Kartu Keluarga.B ukti P.4, P.5, P.6, dan P.7 merupakan kelengkapan administrasi dan jenjang perceraian yang telah ditempuh sebagaimana

Page 61: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

49 prosedural perceraian yang berlaku bagi Prajurit dalam lingkungan tugas TNI-AD Republik Indonesia.9 Berdasarkan bukti P.8 merupakan fotokopi surat pernyataan dan telah ditanda tangan oleh isteri. Dari bukti itu penulis dapat mengetahui bahwa terbukti adanya permasalahan yang terjadi dalam rumah tangganya. Berdasarkan bukti P.9 merupakan surat pernyataan yang telah ditanda tangan oleh isteri dan teman laki-lakinya yang berisi pernyataan bahwa mereka telah melakukan pernikahan pada tanggal 29 Maret 2010. Dari surat pernyataan tersebut terbukti antara suami dengan isteri telah terjadi penyeludapan hukum setentang status perkawinan isteri dengan teman laki-lakinya.10 Berdasarkan P.10 yang merupakan fotokopi unsur media cetak Harian Prohaba terbukti bahwa isteri teman laki-lakinya telah melakukan perselingkuhan dan tinggal serumah dengan laki-laki non muhrim yang haram berdasarkan hukum Islam. Dan berdasarkan bukti tetulis terakhir adalah P.11 yang merupakan fotokopi akta kelahiran anak yang dikeluarkan oleh pemerintahan Kabupaten Aceh Besar. Di samping mengajukan alat bukti tersebut di atas pihak suami juga menghadirkan 3 (tiga) orang saksi di persidangan, demikian juga pihak isteri telah menghadirkan 2 (dua) orang saksi di persidangan. Mengenai keterangan saksi-saksi di persidangan tentang adanya perselisihan dan percekcokan sebagaimana didalilkan oleh pihak suami terbukti kebenarannya, dan isteri juga mengakui tentang adanya permasalahan rumah tangga mereka. Dari 9 Putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho…, hlm. 36. 10 Ibid, hlm.37.

Page 62: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

50 keterangan isteri tersebut, maka telah dapat mendukung dalil permohonan yang suami ajukan. Demikianlah secara materil keterangan saksi-saksi tersebut dapat diterima sebagai alat bukti dan telah sesuai dengan ketentuan pasal 308 ayat (1) dan 309 R.Bg., dan isteri sendiri menyatakan tidak keberatan bercerai dari suaminya. Berdasarkan fakta Majelis Hakim menilai alasan perceraian yang didalilkan oleh suami dipandang telah memenuhi alasan perceraian sesuai dengan maksud Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan sejalan pula dengan maksud Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Inpres Nomor 1 Tahun 1991).11 Berdasarkan keterangan sepasang suami isteri ini serta saksi-saksi terhadap rumah tangga mereka. Maka telah ditemukan fakta dalam persidangan, yaitu antara mereka sudah tidak hidup rukun lagi karena telah terjadi percekcokan disebabkan perbedaan sifat dan karakter. Dan isteri telah melakukan poliandri sehingga melakukan pernikahan sirri dengan laki-laki lain dan antara suami isteri telah pisah tempat tinggal. Meskipun perceraian adalah perbuatan yang oleh Undang-undang dan syariat Islam seharusnya dihindari, akan tetapi berdasarkan fakta-fakta hukum di atas, Majelis Hakim menilai rumah tangga mereka sudah tidak dapat mewujudkan tujuan perkawinan sebagaimana yangdimaksud surat Ar-Rum ayat 21 dan pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 sehingga tidak mungkin lagi rumah tangga mereka dipertahankan dan apabila rumah tangga dengan keadaan yang demikian tetap 11 Putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho…, hlm. 38.

Page 63: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

51 dipertahankan adalah sama dengan memperpanjang beban batin kedua belah pihak dan bukanlah kebaikan yang akan diperoleh tetapi justru lebih banyak kemudharatannya dari pada manfaatnya. Sedangkan menurut syariat Islam kemudharatan itu haruslah dihilangkan, hal ini sesuai dengan kaidah fiqh dalam kitab Al-Asybah Wan Nadhair halaman 62 yang artinya “kemudharatan harus dihilangkan”. Dengan demikian Majelis Hakim berpendapat jalan yang terbaik terhadap rumah tangga mereka adalah perceraian. Hal ini telah sesuai dengan dalil Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 227, yang artinya “dan

jika mereka ber’azam (berketetapan hati) untuk talak (bercerai) maka sesungguhnya

Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.” Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka permohonan suami untuk mengucapkan ikrar talak 1 (satu) raj’i kepada isteri, telah dapat dibuktikan oleh suami. Maka sesuai dengan ketentuan Pasal 118 Kompilasi Hukum Islam Majelis Hakim sependapat untuk menerima dan mengabulkan permohonan dengan memberi izin kepada suami untuk menjatuhkan talak 1 (satu) raj’i terhadap Termohon di depan persidangan Mahkamah Syar’iyah Jantho sebagai amar putusan ini.12 Akan tetapi tuntutan dari suami dan replik suami mengenai hak ḥaḍanah terhadap 1 (satu) orang anak, Majelis Hakim mempertimbangkannya sebagai berikut: Terhadap anak yang berusia 3 (tiga) tahun, dalam menentukan hak ḥaḍanah anak tersebut, haruslah juga mempertimbangkan kepentingan anak itu sendiri (best

interest of children) dan tentunya anak tersebut pada saat sekarang sedang mengalami 12 Ibid, hlm. 40.

Page 64: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

52 beban psikologis yang diakibatkan karena adanya permasalahan yang menimpa kedua orang tuanya.13 Berdasarkan fakta sikap dan perilaku isteri selaku ibu kandung anak tersebut, yang tinggal serumah dengan laki-laki lain dan menyatakan telah menikah sirri dengan laki-laki tersebut. Dan juga telah tinggal dengan laki-laki non muhrim serta belum melakukan perceraian yang sah di depan persidangan dengan suami sahnya. Mengenai atas perilaku isteri yaitu berselingkuh dan telah melakukan tindakan poliandri (bersuami lebih dari satu) vide alat bukti pengakuan isteri dengan laki-laki lain, dengan tinggal serumah dengan laki-laki non muhrim di Gampong Lampaseh Kecamatan Kuta Raja Kota Banda Aceh berdasarkan keterangan saksi-saksi isteri telah melakukan aib di Gampong tersebut dan membuat nama baik Gampong tercemar sehingga dikenakan sanksi tidak boleh lagi tinggal di gampong Lampaseh tersebut selama-lamanya dan melanggar Qanun jinayat Islam di Provinsi Aceh. Sesuai fakta yang terungkap dalam pesidangan, dapat diketahui penyebab retaknya rumah tangga mereka disebabkan perilaku negatif isteri yang telah tersebar pada masyarakat sehingga turut mempengaruhi psikis anak yang selama ini diasuh oleh suami selaku ayah kandung anak itu, dimana anak sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian penuh dari orang tuanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan 13 Putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho…, hlm. 41.

Page 65: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

53 hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi si anak dan merupakan pertimbangan terakhir.14 Hakim juga berpegangan pada Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah, yang mana memberikan persyaratan hak ḥaḍanah salah satunya adalah amanah dan berbudi. Karena orang yang curang tidak akan aman bagi anak kecil dan tidak dapat dipercaya akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.15 Sebagaimana telah dipertimbangkan kepentingan anak itu sendiri dan anak tersebut jelas masih sangat memerlukan kasih sayang dan perhatian penuh dari seorang atau kedua orang tuanya dalam berbagai aspek. Karenanya keberatan isteri agar anak mereka tidak berada dalam asuhan suami atas nama hukum dan asas moralitas serta etika dan adat sangat tidak patut untuk dipertimbangkan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hakim yang terjelaskan di atas, maka permohonan yang diajukan oleh suami agar suami ditetapkan sebagai pemegang hak ḥaḍanah terhadap anak mereka yang berusia 3 tahun atau belum mumayyiz, Majelis Hakim berpendapat dapat dikabulkan demi terjamin masa depan dan pendidikan anak dan demi menjaga moral anak itu sendiri, hal ini menurut Majelis Hakim telah sesuai dengan maksud dan tujuan dari Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan 349/K/AG/2006 (Vide Putusan 349/K/AG/2006).16 14 Ibid, hlm. 41. 15 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 4, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2013. 16 Putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho…, hlm.43.

Page 66: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

54 3.4. Analisis Penulis Terhadap Putusan No. 216/pdt.G/2015/MS-Jth Setelah membaca duduk perkara dan alasan-alasan dari masing-masing pihak serta keterangan saksi-saksi yang terkait dalam perkara yang penulis teliti, dan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara No. 216/pdt.G/2015/MS-Jth, maka di antara alasan-alasan permohonan yang diajukan Pemohon, yang paling menarik bagi penulis adalah mengenai permasalahan memperebutkan hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz atau masih berusia 3 (tiga) tahun. Penulis akan melakukan analisis putusan hakim dengan menggunakan kaidah ushul fiqih yaitu MNOPQRS طUVW XYZ[Qا ]NZ مRW_ف ا[OQاX yang artinya: tindakan imam

terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan. Kaidah tersebut khusus dalam bidang pemerintah, yang menyangkut kebijakan pemimpin harus bertujuan memberi kemaslahatan manusia, baik menarik kebaikan maupun menolak kemudaratan.17 Dalam putusan tersebut penulis menemukan bahwa sebelum bercerai anak Pemohon dan Termohon berada dalam asuhan Pemohon. Karena akibat dari perbuatan Termohon yang tidak bermoral diduga telah melakukan perbuatan khalwat dan tidak beragama dengan beraninya tinggal serumah tanpa adanya ikatan perkawinan dengan laki-laki lain.18 Kekhawatiran ini diperkuat oleh karena Termohon telah meninggalkan rumah dan satuan Pemohon tanpa seizin dari Pemohon sebagai suami maupun secara 17 Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 132. 18 Putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho…, hlm. 6.

Page 67: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

55 kedinasan melalui Organisasi Persit Cabang Yonif 112/R disatuan Pemohon. Di samping itu, Termohon juga telah melanggar Norma Hukum Islam dan Hukum Adat Aceh dimana Termohon telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa adanya ikatan perkawinan akan tetapi mengaku sebagai sepasang suami isteri. Dan itu tanpa diketahui oleh Pemohon selaku suami sahnya, termasuk kedalam alasan Pemohon, dimana dengan itu Pemohon berkesimpulan bahwa Termohon sudah tidak ada itikad baiknya untuk mempertahankan rumah tangga dengan Pemohon serta tidak ada itikad baiknya untuk melakukan ḥaḍanah terhadap anak Pemohon dan Termohon. Atas dasar pikiran di atas itulah Pemohon dalam perkara ini mendakwakan tuduhan-tuduhan tersebut, sehingga jika tuduhan-tuduhan itu dapat dibuktikan. Maka berarti Termohon tidak layak untuk melakukan ḥaḍanah terhadap anaknya, dan dengan itu berarti anak harus diserahkan kepada Pemohon selaku ayah kandungnya. Untuk membuktikan tuduhan-tuduhan itu, Pemohon telah mengajukan 3 (tiga) orang saksi dan bukti-bukti lainnya di persidangan Mahkamah Syar’iyah Jantho. Sehingga kesaksian para saksi dan bukti-bukti yang diajukan itu dapat meyakinkan Majelis Hakim. Dengan demikian, hakim melihat bahwa Termohon (selaku ibu kandungnya) tidak mencukupi syarat sebagai seorang yang berhak melakukan ḥaḍanah. Mengenai perilaku seorang pengasuh, memang mendapat perhatian mendasar dalam fiqh Islam. Bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pengasuh adalah amanah dan berbudi pekerti baik serta seorang wanita harus bersifat iffah atau pandai menjaga kehormatan diri, dan wanita tersebut belum menikah. Persyaratan ini dimaksudkan karena ḥaḍanah itu tugasnya mendidik memberi kasih sayang dan

Page 68: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

56 mengarahkan anak kepada akhlak yang baik. Maka sangat penting bagi seorang pengasuh memenuhi syarat-syarat ḥaḍanah. Mengenai tuduhan Termohon yang tinggal dengan laki-laki non muhrim di atas terbukti dengan adanya pembuktian hukum yang berupa surat Nomor: B/867/X/2015 Reskrim tanggal 06 November 2015 yang ditanda tangani oleh Kasat Reskrim Komisaris Polisi Kapolresta Banda Aceh.19 Demi menyakinkan bahwa penggerebekan oleh Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah benar adanya, maka penulis melakukan penelitian langsung ke kantor tersebut dan mewawancarai langsung ketua di kantor Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah kota Banda Aceh.20 Dari hasil wawancara tersebut penulis menemukan fakta bahwa benar adanya penggerebekan yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah di Gampong Lampaseh Kecamatan Kuta Raja Kota Banda Aceh dan tersangka adalah isteri Pemohon dengan laki-laki lain. Dalam perkara ini penulis berpandangan bahwa ḥaḍanah tidak dapat dicapai jika yang mengasuhnya itu orang yang tidak dapat dipercaya serta tidak berakhlak baik, dan belum menikah. Perbuatan Termohon tersebut di atas dapat mengurangi hak ḥaḍanahnya terhadap anak. Karena penulis berpandangan dengan terbuktinya kasus Termohon di kantor Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah. Jelas bagi penulis bahwa apa yang dituduhkan terhadap diri Termohon itu terbukti kebenarannya oleh Majelis Hakim. Sehingga dapat mengurangi hak ḥaḍanah yang 19 Putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho…, hlm. 6. 20 Wawancara Dengan Bapak Muhammad Hidayat selaku Kepala Kantor Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh Pada Tanggal 04 September.

Page 69: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

57 ada pada diri Termohon. Bahwa ditemukan kebenaran terhadap tuduhan Termohon mengenai perselingkuhannya dengan laki-laki lain dan tinggal dengan laki-laki non muhrim di Gampong Lampaseh Kecamatan Kuta Raja Kota Banda Aceh. Hal ini juga penulis berpandangan mengenai pemberian hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz kepada ayah didasarkan atas pertimbangan hakim dalam putusan No. 216/pdt.G/2015/MS-Jth, dimana hakim menimbang karna berpegang kepada Kitab Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah. Dalam kitab Fiqh Sunnah bahwa memberikan persyaratan hak ḥaḍanah salah satunya adalah amanah dan berbudi pekerti baik, sebab orang yang curang tidak aman bagi anak kecil dan tidak dapat dipercaya akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.21 Mengenai persyaratan tersebut dapat diketahui bahwasanya orang yang tidak dapat dipercaya tidak akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dalam melakukan ḥaḍanah. Apabila seorang ibu seperti itu tetap menjadi pengasuh bagi anaknya maka bisa jadi anak akan tumbuh dengan mengikuti cara hidup ibunya, atau mengikuti etika ibunya. Maka dari itu sangat jelas bahwa termohon tidak dapat memenuhi satu persyaratannya. Selain itu, penulis menemukan fakta dalam putusan bahwa Termohon telah melakukan poliandri (bersuami lebih dari satu orang) dengan melakukan pernikahan sirri dengan laki-laki lain, dan antara Pemohon dan Termohon sudah berpisah tempat tinggal. Mengenai sikap dan perilaku Termohon yang tinggal serumah dengan laki-laki lain dan menyatakan telah menikah secara sirri dengan laki-laki tersebut serta 21 Putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho…, hlm. 42.

Page 70: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

58 belum melakukan perceraian yang sah di depan persidangan dengan Pemohon.22 Maka penulis berkesimpulan bahwa ibu tidak dapat memutuskan sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri. Yaitu, dengan langsung menikah sirri (poliandri) tanpa melakukan gugat cerai terlebih dahulu. Sehingga penulis berpendapat bahwa ibu juga tidak dapat dipercaya untuk mengambil keputusan yang baik bagi masa depan anak nantinya. Dari keterangan di atas jelas bagi penulis, bahwa ibu sudah melakukan pernikahan dengan laki-laki yang bukan kerabat anak tersebut. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Kitab Fiqh Sunnah karangan Sayid Sabiq, yang memberikan persyaratan lain hak ḥaḍanah yaitu belum menikah. Demikianlah pendapat seluruh ahlul ilmi yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dan alasan ini dikuatkan dengan perawi hadits Abu Daud yang telah disebutkan pada halaman 17 bab 2 (dua). Dasar logisnya cukup kuat karena isteri akan disibukkan untuk melayani suami barunya. Inilah yang dikhawatirkan akan membahayakan anak yang diasuh karena perhatian isteri terbagi kepada suami barunya, walaupun suami barunya mengizinkan isterinya untuk mengasuh anak tersebut.23 Dengan hal ini juga penulis berpendapat bahwa ibu tidak dapat memenuhi syarat sebagai seorang pengasuh. Meski dalam konsep Islam telah dijelaskan anak yang masih kecil atau yang belum mumayyiz adalah hak ibunya, dan dalam Kompilasi Hukum Islam juga 22 Putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho…, hlm. 41. 23 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an Dan Hadits, (terj. Muhammad Afifi) (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 67.

Page 71: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

59 dijelaskan bahwa anak yang belum berusia 12 tahun atau belum mumayyiz adalah hak ibunya untuk mengasuh. akan tetapi selain Islam memberikan ketentuan hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz kepada ibu, Islam juga memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pengasuh. Sedangkan di dalam putusan yang penulis teliti hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz diberikan kepada ayah karena ibu terbukti di hadapan persidangan tidak dapat memenuhi syarat-syarat sebagai seorang pegasuh. Sehingga hal ini meyakinkan hakim untuk tidak dapat memberikan hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz kepada ibu. Demikian dalam perkara ini penulis melihat bahwa ibu telah menggugurkan hak ḥaḍanahnya sendiri dengan tidak amanah serta tidak berbudi pekerti baik dan juga menikah lagi dengan laki-laki yang bukan kerabat anak tersebut. Dari kasus ini dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya yang menjadi pertimbangan hakim adalah kepentingan anak itu sendiri. Jika anak berada dalam asuhan ibunya maka dikhawatirkan akan menggangu kejiwaannya dan etika anak tersebut. Namun, selain itu penulis berpendapat bahwa ibu tidak dapat menjadi pengasuh dikarenakan terbukti tidak memenuhi syarat. Dan penulis melihat ibu sudah melakukan nikah sirri dengan laki-laki yang bukan kerabat anak kadungnya. Dapat diketahui ketentuan hakim memberikan hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz kepada ayah, merupakan pengecualian dari syarat-syarat ḥaḍanah yang harus dipenuhi ibu. Dan pendapat lain dari penulis adalah pengecualian dari hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Kedua pengecualian tersebut menurut penulis, karena sesuai Kaidah Ushul Fiqih yaitu “tindakan imam terhadap rakyatnya harus

Page 72: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

60 dikaitkan dengan kemaslahatan.” Tindakan hakim dalam putusan No. 216/Pdt.G/2015/MS-Jth bertujuan memberi kemaslahatan untuk anak yang akan di asuh nantinya. Sehingga hakim memberikan hak hadhanah anak yang belum mumayyiz kepada suami selaku ayah kandungnya, agar anak lebih maslahat dan terjamin keselamatannya. Penetapan hak ḥaḍanah anak tersebut dilakukan hakim dengan pertimbangan yang cukup, berdasarkan keterangan saksi-saksi dan fakta-fakta yang terjadi di persidangan yang membuktikan ibu tidak memenuhi syarat-syaratnya sebagai pengasuh. Sehingga penulis sependapat dengan putusan hakim yang memutuskan hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz yang masih berusia 3 (tiga) tahun diberikan kepada Pemohon selaku ayah kandung anak tersebut. Demi menjamin masa depan pendidikan anak dan demi menjaga moral serta menjamin etika anak itu sendiri.

Page 73: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

61 BAB EMPAT

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Setelah penulis membahas secara rinci dari analisis terhadap putusan pekara penetapan hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz di Mahkamah Syar’iyah Jantho Nomor: 216/Pdt.G/2015/MS-Jth. Maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Majelis Hakim dalam memutuskan perkara penetapan hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz kepada ayah dengan No.216/Pdt.G/2015/MS-Jth. Atas dasar pertimbangan yaitu demi kepentingan anak yang akan diasuh nantinya, karena anak yang masih kecil sangat membutuhkan penjagaan dan membutuhkan pendidikan yang terbaik untuk dirinya. dan selain itu hakim juga menimbang dari Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah, yaitu memberikan persyaratan ḥaḍanah terhadap anak adalah amanah dan berbudi pekerti baik, sebab orang yang tidak dapat dipercaya dan tidak berakhlak baik tidak dapat melakukan ḥaḍanah dengan baik. 2. Menurut konsep Islam putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho yang memberikan hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz kepada ayah, telah sesuai. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah, yang memberikan persyaratan ḥaḍanah anak salah satunya adalah berbudi pekerti baik. Meskipun dalam konsep Islam dijelaskan hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz adalah hak ibunya, namun konsep Islam juga memberikan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang pengasuh.

Page 74: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

62 Maka demikian Putusan hakim memberikan hak hadhanah anak yang belum mumayyiz kepada ayah. Karena ibu terbukti di persidangan tidak memenuhi persyaratannya sebagai seorang pengasuh. 4.2. Saran-saran Semoga skripsi saya bermanfaat bagi para pembaca dan bagi yang membutuhkannya sebagai referensi yang lebih baik untuk kedepannya. Beberapa saran dari penulis mengenai penetapan hak ḥaḍanah anak yang belum mumayyiz yaitu sebagai berikut: 1. Disarankan kepada hakim agar lebih berhati-hati dalam menentukan hak ḥaḍanah kepada anak. Baik tidaknya perilaku anak sangat dipengaruhi oleh calon hak hadhanah yang ditetapkan oleh hakim dalam putusan. 2. Disarankan kepada orang tua yang telah diamanahkan mengasuh anak untuk dapat membimbing dan mendidik anaknya agar menjadi anak yang beretika baik sehingga dapat menjadi anak yang dapat berguna bagi Negara dan Bangsa.

Page 75: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

63 DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Cet. I, Jakarta: Ichtiar Baru Van

Hoeve, 1996.

Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits 2 Shahih Al-

Bukhari 2, Jakarta Timur: Almahira, 2012.

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia Jakarta: Akademik Pressindo,

2007.

Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats Al-Azdi As-Sijistani, Ensiklopedia Hadits 5

Sunan Abu Dawud, Jakarta: Almahira, 2013.

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,

Jakarta: Kencana, 2006.

A.Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Banda Aceh: Pena, 2005.

Mahkamah Syar’iyah Aceh (Lintas Sejarah dan Eksistensinya), Banda Aceh:

Global Education Institute, 2012.

Amiur Nuruddin, & Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia

Jakarta: Kencana, 2004.

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2003.

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.I, Jakarta: Kencana,

2006.

Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 2, Jakarta: Pustaka Setia, 2010.

Cholid Narbuko, Metode Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 2005

Page 76: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

64 Dede Nurzakiah, “Dampak Nusyuz Istri Terhadap Hak Hadhanah (Studi Kasus Di

Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh)”, Fakultas Syari’ah Dan Hukum Prodi Hukum

Keluarga, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Tahun 2017.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa

Edisi Keempat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Eriyanto, Analisis Isi: Pengantar Metodologi Untuk Penelitian Ilmu Komunikasi Dan

Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana, 2015.

Husni Jalil, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam

Negara RI Bedasarkan UUD 1945, Bandung: CV. Utomo, 2005.

Maulina Syahfitri, “Batas Masa Hadhanah (Studi Analisis Menurut Pendapat

Mazhab Maliki)”, Fakultas Syari’ah Dan Hukum Prodi Hukum, Universitas

Islam Negeri Ar-Raniry, Tahun 2016.

Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, Cet. I, Jakarta: Kencana, 2016.

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzurriyah,

1972.

Marzuqi Yahya, Panduan Fiqih Imam Syafi’i Ringkasan Kitab Fathul Qarib Al-

Mujib, Cet. I, Jakarta Timur: Al-Magfirah, 2012.

Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.

Reza Maulana, “Kebijakan Hakim Mengenai Hak Memilih Bagi Anak Mumayyiz Di

Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh”, Fakultas Syari’ah Dan Hukum Prodi

Hukum Keluarga, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Tahun 2016.

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta:

Kencana, 2005.

Page 77: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

65 Sudarsono, kamus hukum (edisi baru), Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka

Cipta, 1997.

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2017.

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 4, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2013.

Tihami & Sahrani Sohari, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet 4,

Jakarta: Rajawali, 2010.

Tri Kurnia Nurhayati, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Eska Media,

2003.

Wafa’ Binti Abdul Aziz As-Suwailim, Fikih Ummahat Himpunan Hukum Islam

Khusus Ibu, Cet I, Jakarta: Ummul Qura, 2013.

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 10, Jakarta: Darulfikri, 2011.

Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-

Qur’an Dan Hadits, Cet I, Jakarta: Almahira, 2010.

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Nuansa Aulia, 2012.

Putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho, No. 216/Pdt.G/2015/MS-Jth.

www.ms-jantho.go.id Diakses Tanggal 5 November 2018.

Page 78: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 79: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 80: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 81: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 82: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 83: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 84: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 85: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 86: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 87: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 88: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 89: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 90: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 91: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 92: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 93: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 94: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 95: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 96: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 97: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 98: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,
Page 99: SKRIPSI · 2019. 7. 9. · v ABSTRAK Judul : Hak Ḥaḍanah Menurut Ketentuan Fiqih (Analisis Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho No: 216/Pdt.G/2015/MS-Kata Kunci : Ḥaḍanah,

DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS

Data Pribadi

Nama Lengkap : Rizka Amelia

Tempat/Tanggal Lahir : Banda Aceh, 18 Juni 1996

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Kebangsaan/Suku : Indonesia/Aceh

Status : Belum Menikah

Alamat : Desa Lamgugob Kec. Syiah Kuala

PENDIDIKAN

1. MIN : MIN 1 Banda Aceh

2. MTSN : MTs Darul Ihsan

3. MAN : MAS Darul Ihsan Banda Aceh

4. Universitas : UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Nama Orang Tua

Ayah : Azwar Syam

Pekerjaan : Pensiunan PNS

Ibu : Rasyidah

Pekerjaan : IRT

Alamat : Desa Lamgugob Kec. Syiah Kuala

Banda Aceh, 31 Desember 2018

Rizka Amelia