Skrip Si

71
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa anak terutama pada usia dini atau usia 0 hingga 8 tahun sering disebut sebagai the golden year. Sebab pada masa ini, berbagai kemampuan anak tumbuh berkembang pesat. Kehidupan dimulai dari memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadiaan anak. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak macamnya pengalaman yang diterima oleh situasi hidupnya (keluarga, teman sebaya, dan masyarakat). Anak usia dini adalah anak yang berada pada rentang usia sejak lahir hingga delapan tahun (Monks, 2006).

description

asdadssad

Transcript of Skrip Si

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangMasa anak terutama pada usia dini atau usia 0 hingga 8 tahun sering disebut sebagai the golden year. Sebab pada masa ini, berbagai kemampuan anak tumbuh berkembang pesat. Kehidupan dimulai dari memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadiaan anak. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak macamnya pengalaman yang diterima oleh situasi hidupnya (keluarga, teman sebaya, dan masyarakat). Anak usia dini adalah anak yang berada pada rentang usia sejak lahir hingga delapan tahun (Monks, 2006).Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima sebanyak 622 laporan kasus kekerasan terhadap anak sejak Januari hingga April 2014. 622 kasus kejahatan terhadap anak terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Untuk kasus kekerasan fisik terhadap anak, sejak Januari hingga April 2014 sebanyak 94 kasus, kekerasan psikis sebanyak 12 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 459 kasus. Dalam empat tahun terakhir kasus kekerasan terhadap anak tertinggi pada 2013 dengan jumlah kasus sebanyak 1.615. Sedangkan pada 2011 kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 261 kasus, 2012 sebanyak 426 kasus. Data kasus trafficking (perdagangan manusia) dan eksploitasi terhadap anak pada 2011 sebanyak 160 kasus, 2012 sebanyak 173 kasus, 2013 sebanyak 184 kasus sedangkan pada 2014 hingga April sebanyak 76 kasus (Setyawan,2014).Seseorang dikatakan mengalami gangguan stress pasca trauma, jika mengalami suatu stress emosional yang besar dan menyebabkan trauma bagi hampir setiap orang. Trauma tersebut termasuk peperangan, bencana alam, penyerangan, pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius (sebagai contoh, kecelakaan mobil dan kebakaran gedung). Gangguan stress pasca trauma terdiri dari (1) pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang membangunkan (waking throught), (2) penghindaran yang presisten oleh penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas pada penderita tersebut, dan (3) kesadaran berlebihan (hyperarousal) yang presisten. Gejala penyerta yang sering dari gangguan stress pasca traumatik adalah depresi, kecemasan, dan kesulitan kognitif (sebagai contoh, pemusatan perhatian yang buruk). (Kaplan & Sadock,2010).Kebanyakan anak mengalami peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan ketakutan, namun sebagian anak mengalami peristiwa-peristiwa traumatis yang tak lazim, tiba-tiba dan menakutkan. Contoh seperti peristiwa- peristiwa seperti penyiksaan anak, kekerasan masyarakat. Peristiwa-peristiwa itu bisa mengakibatkan cedera serius atau kematian sesunggunya atau ancaman kepada anak-anak sendiri atau seseorang yang mereka kenal (Albano,2006).American Academy of Pediatrics ( AAP ) mendefinisikan childhood abuse merupakan pola interaksi berulang yang mengganggu antar orang tua atau dengan orang dewasa lainnya dan anak menjadi terbiasa dengan keadaan hubungan seperti tersebut. Selain kekerasan fisik , seksual dan verbal, ini dapat mencakup apa saja yang menyebabkan anak merasa tidak berharga , tidak dicintai , tidak aman , dan bahkan perasaan terancam. Contohnya antara lain meremehkan , merendahkan atau mengejek anak , membuat dia merasa tidak aman [ termasuk ancaman ditinggalkan ] , kegagalan untuk mengekspresikan kasih sayang , peduli dan cinta . Mengabaikan kesehatan mental , medis atau kebutuhan pendidikan (Murray, 2008).Dalam pandangan Islam, anak adalah amanat dari Allah SWT yang diberikan kepada orang tuanya. Sebagai amanat, anak sudah seharusnya mempunyai hak untuk mendapatkan pemeliharaan, bimbingan, dan pendidikan. Dengan memberikan hak-hak dasar kepada anak, diharapkan anak akan berkembang dengan baik sehingga menjadi anak yang berguna bagi orang tua, keluarga, masyarakat, dan bangsa secara keseluruhan. (Amshori, 2007)Trauma disebabkan oleh suatu pengalaman yang sangat menyedihkan atau melukai jiwanya, sehingga karena pengalaman tersebut sejak saat kejadian itu hidupnya berubah secara radikal. Pengalaman traumatis dapat juga bersifat psikologis. Misal mendapat peristiwa yang sangat mengerikan sehingga dapat menimbulkan kepiluan hati, shock jiwa dan lain-lain (Kartono, 1989)Psikoterapi Islami merupakan bagian dari psikologi terapan Islami, yang berupaya menggambarkan dan menjelaskan penyebab penyakit mental dan perilaku abnormal individu dan kelompok serta penyembuhannya. Cabang psikologi ini menggambarkan dan menjelaskan beberapa penyakit mental dan prilaku abnormal individu dan kelompok serta menyembuhkannya. (Mujib,2002)Dari uraian di atas penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dalam penulisan skripsi berjudul Terapi Berfokus Pada Perilaku Kognitif Pada Anak Dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Ditinjau Dari Kedokteran Dan Islam.1.2 Permasalahan1. Bagaimana pandangan kedokteran terhadap terapi pasca trauma pada anak yang berfokus pada perilaku kognitif?2. Bagaimana pandangan islam terhadap terapi pasca trauma pada anak yang berfokus pada perilaku kognitif?3. Bagaimana kaitan pandangan kedokteran dan islam terhadap terapi pasca trauma pada anak yang berfokus pada perilaku kognitif?1.3 Tujuan1.3.1. UmumMengetahui segala informasi mengenai terapi pasca trauma pada anak yang berfokus pada perilaku kognitif menurut pandangan kedokteran dan islam sehingga anak yang telah mengalami kejadian trauma berat dapat menjalani kehidupan sehari-harinya tanpa terbebani stress pasca trauma.1.3.2. Khusus1. Mengetahui dan dapat menjelaskan faktor-faktor yang dapat menyebabkan anak dapat mengalami kejadian traumatis berat.2. Mengetahui dan dapat menjelaskan pengaruh terapi pasca trauma pada anak yang berfokus pada perilaku kognitif dalam menangani keadaan pasca trauma berat pada anak.3. Mengetahui dan dapat menjelaskan pandangan kedokteran dan islam dalam menghadapi anak pasca trauma.1.4.ManfaatAdapun beberapa hal yang dapat diharapkan dari penulisan skripsi ini adalah:1. Bagi Penulisa. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan sebagai dokter muslim di Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi.b. Menambah pengetahuan mengenai pengaruh terapi pasca trauma pada anak yang berfokus pada perilaku kognitif dalam menangani Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).c. Meningkatkan keterampilan dan kemampuan dalam menulis ilmiah dan berpikir logis serta aplikatif dalam memecahkan masalah ilmiah.d. Menambah pengetahuan mengenai hukum Islam dalam penerapannya dibidang kedokteran sehingga mendukung terciptanya dokter muslim yang baik.

2. Bagi Universitas YarsiPenulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah wawasan kepada Civitas Akademika Universitas YARSI mengenai pengaruh terapi pasca trauma pada anak yang berfokus pada perilaku kognitif.3. Bagi MasyarakatMemberi wawasan baru dalam menangani anak pasca trauma dengan menggunakan terapi berfokus perilaku kognitif menurut kedokteran dan islam.

BAB IITERAPI BERFOKUS PERILAKU DAN KOGNITIF PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)

2.1 Post Traumatic Stress Disorder2.1.1 DefinisiTrauma merupakan pengalaman yang membingungkan secara psikologis yang mengakibatkan gangguan emosi atau mental, atau jika tidak, telah meninggalkan pengaruh negatif pada pikiran, perasaan, atau perilaku seseorang (Dorland, 2010)Trauma adalah pengalaman yang tiba-tiba mengejutkan, meninggalkan kesanmendalam pada jiwa orang yang bersangkutan (Noor,1997)Seseorang dikatakan mengalami gangguan stress pasca trauma, jika mengalami suatu stress emosional yang besar dan menyebabkan trauma bagi hampir setiap orang. Trauma tersebut termasuk peperangan, bencana alam, penyerangan, pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius (sebagai contoh, kecelakaan mobil dan kebakaran gedung). Gangguan stress pasca trauma terdiri dari (1) pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang membangunkan (waking throught), (2) penghindaran yang presisten oleh penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas pada penderita tersebut, dan (3) kesadaran berlebihan (hyperarousal) yang presisten. Gejala penyerta yang sering dari gangguan stress pasca traumatik adalah depresi, kecemasan, dan kesulitan kognitif (sebagai contoh, pemusatan perhatian yang buruk). (Kaplan & Sadock,2010).Peristiwa traumatik dapat terjadi pada siapa saja. Seseorang bisa secara tiba-tiba mengalami bencana, baik karena bencana alam ataupun tindak kejahatan tertentu sehingga menyebabkan trauma. Peristiwa tersebut datang tanpa dapat diprediksi sebelumnya, sehingga kondisi psikologis menjadi terganggu. Reaksi terhadap suatu peristiwa dapat berbeda-beda pada setiap orang. Pada sebagian orang suatu bencana tidak menyebabkan trauma, tapi pada orang lain dapat menyebabkan trauma yang mendalam. Terkadang trauma menyebabkan seseorang tidak mampu menjalankan kesehariannya seperti yang biasanya dilakukan, bayangan akan peristiwa tersebut senantiasa kembali dalam ingatannya dan mengusiknya, ia juga merasa tak mampu untuk mengatasinya.PTSD , atau gangguan stres pasca trauma , merupakan gangguan kecemasan yang berkembang pada beberapa orang setelah terjadinya peristiwa traumatis berat. Ketika dalam keadaan bahaya, merupakan hal yang wajar untuk merasa ketakutan. Ketakutan ini memicu perubahan yang cepat dalam tubuh untuk mempertahankan tubuh melawan bahaya ataupun menghindarinya. Respon Ini disebut fight-or-flight yang berguna untuk melindungi diri dari bahaya. Tetapi dalam PTSD reaksi ini berubah atau terganggu. Orang dengan PTSD merasa stress ataupun ketakutan meskipun mereka sudah tidak lagi dalam bahaya. (National Institute of Mental Health,2008).Kebanyakan anak mengalami peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan ketakutan, namun sebagian anak mengalami peristiwa-peristiwa traumatis yang tak lazim, tiba-tiba dan menakutkan. Contoh seperti peristiwa- peristiwa seperti penyiksaan anak, kekerasan masyarakat. Peristiwa-peristiwa itu bisa mengakibatkan cedera serius atau kematian sesunggunya atau ancaman kepada anak-anak sendiri atau seseorang yang mereka kenal (Albano,2006).2.1.2 EpidemiologiPrevalensi seumur hidup gangguan stress pasca-traumatik diperkirakan dari 1 sampai 3 persen populasi umum, walaupun suatu tambahan 5 sampai 15 persen mungkin mengalami bentuk gangguan yang subklinis. Di antara kelompok risiko tinggi yang merupakan anggota yang mengalami peristiwa traumatik, angka prevalensi seumur hidup terentang dari 5 sampai 75 persen. Kira-kira 30 persen veteran Vietnam mengalami gangguan stress pascatraumatik, dan tambahan 25 persen mengalami bentuk gangguan subklinis.Walaupun gangguan stress pasca traumatik dapat tampak pada setiap usia, gangguan ini paling menonjol pada usia muda, karena sifat situasi yang mencetuskannya. Tetapi, anak-anak dapat mengalami gangguan stress pasca traumatik. Trauma untuk laki-laki biasanya pengalaman peperangan, dan trauma untuk wanita paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan, Gangguan kemungkinan terjadi pada mereka yang sendirian, bercerai, janda, mengalami gangguan ekonomis, atau menarik diri secara social. (Kaplan & Sadock, 2010)Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima sebanyak 622 laporan kasus kekerasan terhadap anak sejak Januari hingga April 2014. 622 kasus kejahatan terhadap anak terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Untuk kasus kekerasan fisik terhadap anak, sejak Januari hingga April 2014 sebanyak 94 kasus, kekerasan psikis sebanyak 12 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 459 kasus. Dalam empat tahun terakhir kasus kekerasan terhadap anak tertinggi pada 2013 dengan jumlah kasus sebanyak 1.615. Sedangkan pada 2011 kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 261 kasus, 2012 sebanyak 426 kasus. Data kasus trafficking (perdagangan manusia) dan eksploitasi terhadap anak pada 2011 sebanyak 160 kasus, 2012 sebanyak 173 kasus, 2013 sebanyak 184 kasus sedangkan pada 2014 hingga April sebanyak 76 kasus (Setyawan,2014).

2.1.3 EtiologiBeberapa faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami gangguan stress pascatrauma adalah : Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang bersangkutaanmaupun keluarganya. Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual. Kecendrungan untuk mudah menjadi khawatir. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial. Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya problemmenyesuaikan diri. Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna. Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh suatu kondisi atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya. Tipe kejadian yang cenderung akan meningkatkan angka kejadian gangguan stress pascatrauma dapat dikategorikan menjadi1. Mereka yang mengalami tindakan kekerasan interpersonal2. Mereka yang mengalami kecelakaan atau bencana alam yang mengancan nyawa, baik berupa kejadian yang alamiah atau kejadian yang dibuat oleh manusia3. Trauma berulang dan bersifat kronik (Elvira,2010)2.1.3.1 Aspek BiologikGejala-gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons biologik dan juga psikologik seorang individu. Kondisi ini terjadi oleh karena aktivitasi dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada seseorang. Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang traumatik akan menimbulkan respons takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi keberbahayaan peristiwa yang dialami, serta mengorganisasi suatu respons perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala akan mengaktivasi beberapa neurotransmitter serta bahan-bahan neurokimiawi di otak jika seseorang menghadapi peristiwa traumatik yang mengancam nyawa sebagai respons tubuh untuk mengahadapi peristiwa tersebut.Dalam waktu beberapa milidetik setelah mengalami peristiwa tersebut, amigdala dengan segera akan bereaksi dengan memberikan stimulus berupa tanda darurat kepada :1. Sistem saraf simpatis (katekolamin)2. Sistem saraf parasimpatis3. Aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (aksis HPA)Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah mengalami peristiwatraumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Kondisi ini disebut flight or fight reaction. Reaksi ini juga akan meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot-otot skletal sehingga membuat seseorang sanggup untuk berhadapan dengan peristiwa tersebut atau jika mungkin memberikan reaksi interaktif terhadap ancaman yang optimal. Reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh, namun respons ini bekerja secara bebas dan tidak berkaitan dengan respons yang berkaitan oleh sistem saraf simpatis. Aksis HPA juga akan terstimulasi oleh beberapa neuropeptida otak pada waktu orang berhadapan dengan peristiwa traumatik. Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico- Releasing Factor (CFR) dan beberapa neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang dan mensekresi pengeluaran adenocorticotropic hormone (acth) yang akhirnya menstimulasi pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal. Jika seseorang mengalami tekanan maka tubuh secara alamiah akan meningkatkan pengeluaran katekolamin dan hormon kortisol pengeluaran ke dua zat ini tergantung pada derajat tekanan yang dialami oleh individu. Katekolamin berperan dalam menyediakan energy yang cukup dari beberapa organ vital tubuh dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Hormon kortisol berperan dalam menghentikan aktivasi sistem saraf simpatik dan beberapasistem tubuh yang bersifat defensif tadi yang timbul akibat dari peristiwa traumatik yang dialami oleh individu tersebut. Dengan kata lain, hormon kortisol berperan dalam proses terminasi dari respons tubuh dalam menghadapi tekanan. Peningkatan hormon kortisol akan menimbulkan efek umpan balik negatif pada aksis HPA tersebut.Pitman (1989) menghipotesiskan bahwa pada individu yang cenderung untuk mengalami gangguan dalam regulasi neuropeptida dan juga katekolamin di otak pada waktu menghadapi peristiwa traumatik. Katekolamin yang meningkat ini akan membuat individu tetap berada dalam kondisi siaga terus menerus. Jika hormon kortisol gagal menghentikan proses ini, maka aktivasi katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya konsolidasi berlebihan dari ingatan-ingatan peristiwa traumatik yang dialami. (Elvira,2010)2.1.3.2 Aspek PsikodinamikModel psikodinamik ini menjelaskan bahwa gangguan stress pasca trauma terjadi oleh karena reaktivasi dari konflik-konflik psikologis yang belum terselesaikan dari masa lampau. Dengan adanya peristiwa traumatik yang dialami maka konflik-konflik psikologis yang belum diselesaikan itu akan tereaktivasi kembali. Sistem ego akan kembali tereaktivasai dan berusaha untuk mengatasi masalah dan meredakan kecemasan yang terjadi. Hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikodinamik dari gangguan stres pasca trauma adalah :1. Arti subjektif dari stresor yang dialami mungkin menentukan dampak dari peristiwa traumatik yang dialami oleh seseorang.2. Kejadian traumatik yang dialami mungkin mereaktivasi konflik-konflik psikologis akibat peristiwa traumatik di masa kanak.3. Peristiwa traumatik akan membuat seseorang gagal untuk meregulasi sistem afeksinya4. Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan timbul dalam bentuk somatisasi atau aleksitimia(ketidakmampuan mengungkapkan emosi).5. Beberapa sistem defensi yang sering digunakan pada individu dengan gangguan stress pasca trauma adalah penyangkalan, splitting, projeksi, disosiasi dan rasa bersalah6. Model relasi objek yang digunakan adalah projeksi dan introjeksi dari berbagai peran seperti penyelamat yang omnipoten atau korban yang omnipoten. (Elvira,2010)

2.1.4 DiagnosisBerikut ini adalah kriteria diagnostik untuk gangguan stres pasca trauma menurut DSM-IV yaitu:A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini terdapat:1. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya cedera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain.2. Respon orang tersebut berupa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor. Catatan: pada anak-anak hal ini diekspresikan dengan perilaku yang kacau atau teragitasi.

B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut:1. Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengangu tentang kejadian, termasuk bayangan, pikiran atau persepsi. Catatan: pada anak kecil, dapat menunjukan permainan berulang dengan tema atau aspek trauma.2. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. Catatan: pada anak-anak, mungkin terdapat mimpi menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali. 3. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatic terjadi kembali ( termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman, ilusi, halusinasi, dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi selama terbangun atau saat terintoksikasi ). Catatan: pada anak kecil, dapat terjadi penghidupan kembali yang spesifik dengan trauma.4. Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.5. Reaktifitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.

C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku kerena responsivitas umum ( tidak ditemukan sebelum trauma ), seperti yang ditujukan oleh tiga ( atau lebih ) berikut ini:1. Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan atau percakapan yang berhubungan dengan trauma.2. Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat atau orang yang menyadarkan rekoleksi dengan trauma.3. Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.4. Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna.5. Perasaan terlepas atau asing dari orang lain.6. Rentang efek yang terbatas ( misalnya tidak mampu memiliki perasaan cinta ).7. Persaan bahwa masa depan menjadi pendek ( misalnya, tidak berharap memiliki karir, menikah, anak-anak, atau panjang kehidupan normal ).

D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran ( tidak ditemukan sebelum trauma ), seperti yang ditujukan oleh dua (atau lebih ) berikut:1. Kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur.2. Iritabilitas atau ledakan kemarahan.3. Sulit berkonsentrasi.4. Kewaspadaan yang berlebihan.5. Respon kejut yang berlebihan.E. Lama gangguan ( gejala dalam kriteria 1, 2, 3, dan 4 ) adalah lebih dari satu bulan.F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.Akut : Jika lama gejala adalah kurang dari 3 bulanKronis : Jika lama gejala adalah 3 bulan atau lebihDengan onset lambat : Onset gejala sekurangnya enam bulan setelah stressor. (Kaplan & Sadock, 2010)2.1.5 GejalaKetika trauma terjadi maka akan memberikan respons secara total, baik secara emosional, kognitif, perilaku, maupun psikologis. Di bawah ini merupakan respon orang yang mengalami trauma. (Mendatu, 2010)

A. Respon emosional1. Respon seseorang jika mengadapi traumatik yaitu seperti kesulitan mengontrol emosi2. lebih muda tersinggung dan marah,3. gampang diagitasi dan mudah terpancing,4. mood mudah berubah, dari baik keburuk dan sebaliknya terjadi begitu cepat,5. panic, cemas, gugup, dan tertekan,6. sedih, berduka, dan depresi,7. merasa ditolak dan diabaikan,8. takut dan kuatir terhadap efek kejadiannya, peristiwanya akan terjadi lagi, akan menimpa orang-orang terdekatnya,9. memberikan respon emosional yang tidak sesuai.B. Respon kognitif1. Sering mengalami flashback, atau mengingat kembali kejadian traumatiknya. Saat mengalaminya, seolah-olah kejadiannya dialami kembali secara nyata.2. Mimpi buruk3. Kesulitan berkomunikasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah.4. Kesulitan mengingat dan memaksa melupakan kejadian.5. Mudah bingung.6. Menyalahkan diri sendiri atau mengambing hitamkan orang lain.7. Memandang diri sendiri secara negative8. Merasa sendirian dan sepi9. Ingin menyembunyikan diri10. Berpikir untuk bunuh diri11. Merasa tanpa harapan, merasa kehilangan harapan akan masa depan12. Merasa lemah tak berdaya.13. Kehilangan minat serta aktivitas yang bisa dilakukan.14. Mengingat kembali kejadian traumatic setiap menemui hal-hal yang ada kaitannya kaitannya dengan traumatic.C. Respon behavior1. Kesulitan mengontrol tindakan2. Lebih banyak berkonflik dengan orang lain3. Menghindari kebiasaan lama4. Menghindari orang, tempat, atau sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa traumatik, dan enggan membicarakanya.5. Melamun6. Kurang memperhatikan diri sendiri7. Kesulitan melakukan aktifitas sehari-hari8. Sering menangis tiba-tiba.9. Sulit belajar atau berkerja10. Mengalami ganguan tidur seperti sulit tidur, sering terbangun, tidur sangat larut dan bangun siang, tidur berlebihan.11. Mengalami ganguan makan, yang diantaranya kehilangan selera makan.12. Gampang terkejutD. Respon fisiologis atau fisik1. Sakit kepala2. Nyeri3. Sakit dada atau dada sesak4. Sulit bernafas5. Sakit perut6. Berkeringat berlebihan7. Gemetar8. Lemah dan lesu9. Letih10. Otot tegang atau kulit dingin11. Hilang Keseimbangan tubuh atau merasa berguncangE. Beberapa respon anak-anak masa sekolah dasar yang mengalami traumatik1. Mimpi buruk2. Sulit tidur3. Rasa takut dan tidak beralasan4. Merasa sangat malu atau sangat bersalah5. Menolak masuk sekolah atau khawatir berangkat kesekolah6. Kesulitan memberikan perhatian atau konsentrasi7. Mengeluh sakit perut dan sakit lainnya padahal tidak ada masalah medis apapun8. Cemas, melamun, kadang menanggis dan merasa bersalahSecara umum gejala PTSD dibagi menjadi tiga macam, yaitu: (Smith & Segal 2008)A. Merasakan kembali peristiwa traumatik tersebut (Re-Experiencing Symptoms)1. Secara berkelanjutan memiliki pikiran atau ingatan yang tidak menyenangkan mengenai peristiwa traumatik tersebut. Terulangnya bayangan mental akibat peristiwa traumatik yang pernah dialami,2. Mengalami mimpi buruk yang terus menerus berulang.3. Bertindak atau merasakan seakan-akan peristiwa traumatik tersebut akan terulang kembali, terkadang ini disebut sebagai "flashback" 4. Memiliki perasaan menderita yang kuat ketika teringat kembali peristiwa traumatik tersebut5. Terjadi respon fisikal, seperti jantung berdetak kencang atau berkeringat ketika teringat akan peristiwa traumatik tersebut B. Menghindar (Avoidance Symptoms)1. Berusaha keras untuk menghindari pikiran, perasaan atau pembicaraan mengenai peristiwa traumatik tersebut .2. Berusaha keras untuk menghindari tempat atau orang-orang yang dapat mengingatkan kembali akan peristiwa traumatik tersebut .3. Sulit untuk mengingat kembali bagian penting dari peristiwa traumatik tersebut .4. Kehilangan ketertarikan atas aktivitas positif yang penting.5. Merasa "jauh" atau seperti ada jarak dengan orang lain.6. Mengalami kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan positif, seperti kesenangan / kebahagiaan atau cinta / kasih sayang .7. Ketakberdayaan / ketumpulan emosional dan menarik diri.8. Merasakan seakan-akan hidup anda seperti terputus ditengah-tengah - anda tidak berharap untuk dapat kembali menjalani hidup dengan normal, menikah dan memiliki karir.9. Terjadi gangguan yang menyebabkan kegagalan untuk berfungsi secara efektif dalam kehidupan sosial (pekerjaan, rumah tangga, pendidikan, dll)C. Hyperarousal Symptoms1. Sulit untuk tidur atau tidur tapi dengan gelisah.2. Mudah / lekas marah atau meledak-ledak.3. Memiliki kesulitan untuk berkonsentrasi .4. Selalu merasa seperti sedang diawasi atau merasa seakan-akan bahaya mengincar di setiap sudut.5. Menjadi gelisah, tidak tenang, atau mudah "terpicu" / sangat "waspada" 6. Terlalu siaga / waspada yang disertai ketergugahan/keterbangkitan secara kronis. Jika PSTD tidak ditangani dengan benar, maka akan mempengaruhi kepribadian seseorang (perubahan kepribadian). Seperti paranoid (mudah curiga) misalnya. Kesulitan hal ini adalah jarang sekali penderita dengan kesadaranya datang ke para ahli. Apalagi stigma yang beredar dimasyarakat bahwa psikiater identik dengan orang sakit jiwa atau gila. 2.2 Tatalaksana2.2.1. Definisi Cognitive Behavior TherapyCognitive Behavior Terapi (CBT) adalah terapi yang mempergunakan gabungan antara tiga pendekatan yaitu biomedik, intrapsikik dan lingkungan. Dalam melakukan terapi dengan teknik ini banyak mempergunakan prosedur dasar untuk melakukan perubahan kognitif dan perilaku, misal seperti: pengamatan diri, kontrak dengan diri sendiri, dan artian lebih luas teknik ini mengajarkan keterampilan kepada klien dalam menghadapi suasana yang menimbulkan kegoncangan dikemudian hari. Terapi ini didasarkan pada teori bahwa efek keadaan emosi, perasaan dan tindakan seseorang, sebagian besar ditentukan oleh bagaimana seseorang tersebut membentuk dunianya. Jadi bagaimana seseorang berfikir, menentukan bagaimana perasaan dan reaksinya. Pikiran seseorang memberikan gambaran tentang rangkaian kejadiaan didalam kesadarannya. Gejala perilaku yang berkelainan atau menyimpang, berhubungan erat dengan isi pikiran, misalnya seorang mederita ansietas atau ganguan kecemasan, ketakutan, kekuwatiran yang kuat karena mengantisipasi akan mengalami hal-hal yang tidak enak pada dirinya. Dalam hal seperti ini, kognitif behavioral dipergunakan untuk mengidentifikasi, memperbaiki perilaku yang tidak sesuai, dan fungsi kognisi yang terhambat, yang mendasari aspek kognitifnya yang ada. Terapis dengan pendekatan kognitif behavior mengajar klien agar berpikir lebih realistic dan sesuai sehingga dengan demikian akan mengilangkan atau mengurangi gejala berkelainan yang ada. (Gunarsa,2000).Trauma-focused cognitive behavior therapy (TF-CBT) adalah sebuah pendekatan terapi berbasis bukti (evidence based treatment) yang diperuntukan untuk menolong anak atau remaja, dan juga pendamping mereka untuk mengatasi kesulitan yang berhubungan dengan trauma. Terapi ini bertujuan untuk mengurangi emosi negative dan respon perilaku terkait anak yang mengalami kejahatan seksual, kekerasan rumah tangga, trauma kehilangan (keluarga meninggal), dan kejadian trauma lainnya. Terapi ini berbasis pembelajaran dan teori kognitif yang dialamatkan kepada keyakinan menyimpang dan atribusi yang terkait dengan penyiksaan dan menyediakan lingkungan yang bersifat membantu anak agar dapat berani membicarakan kejadian traumatic yang dialaminya. TF-CBT juga membantu orangtua terutama orang tua yang tidak kasar untuk mengatasi tekanan emosialnya. Dan juga membantu mengembangkan keterampilan anak. (Child Welfare Information Gateway,2006)

2.2.2. Komponen Cognitive Behavior TherapyBerikut adalah komponen dari TF-CBT: (Child Welfare Information Gateway,2006)A. Cognitive TherapyBertujuan untuk merubah perilaku atau kebiasaan dengan cara mengatasi persepsi pemikiran seseorang , khususnya pola pikir yang menyimpang.B. Terapi Perilaku (Behavior Therapy)Terapi ini berfokus merubah respon perilaku seseorang contohnya seperti marah dan ketakutan untuk dapat mengidentifikasi situasi atau stimulusC. Family Therapy Terapi ini mengidentifikasi pola interaksi antar keluarga untuk mengidentifikasi dan megnatasi masalah. TF-CBT merupakan terapi jangka pendek yang biasanya membutuhkan 12 sampai 18 sesi dengan jangka waktu 60 sampai 90 menit atau lebih, tergantung dari kebutuhan. Biasanya intervensi ini membutuhkan rawat jalan di fasilitas kesehatan, tetapi sekarang sudah menggunakan rumah sakit, kelompok rumah, sekolah, komunitas, dan pengaturan di rumah. Terapi ini membutuhkan sesi untuk anak dan orang tua (pendamping) secara terpisah dan tergabung. Setiap sesi dibentuk untuk meningkatkan hubungan terapetik sekaligus menyediakan edukasi, keterampilan dan lingkungan yang aman untuk mengatasi dan memproses ingatan tentang trauma. Gabungan sesi orang tua dan anak dibuat untuk menolong orang tua dan anak dalam menggunakan keeterampilan yang mereka pelajari, sementara juga mendorong lebih efektif komunikasi orang tua dan anak dalam mengatasi kekerasan dan masalah terkait lainnya.Komponen protokol TF-CBT dapat diringkas dengan kata "PPRACTICE": (Feldman, 2010)PenilaianTujuan: Mengidentifikasi riwayat pajanan traumatis. Mengidentifikasi gejala PTSD. Menentukan dasar (baseline). Mengamati klien atau keluarga selama proses penilaian (pengamatan klinis).Metode: Formal, Metode penghitungan yang sudah di standarisasi (misalnya CPSS, UCLA PTSD RI). Meminta untuk menceritakan kisah mengidentifikasi pikiran atau perasaan, keterampilan mengatasi kejadian. Untuk anak-anak dapat melalui bacaan buku seperti A Terrible Thing Happened dan mendiskusikan gejala (Penilaian informal) Mendapatkan perspektif perawat tentang gejala atau perilaku anak. Menilai konteks trauma dengan menanyakan tentang lingkungan, perkembangan dan faktor social.PelaksanaanTujuan: Mendapatkan solusi untuk menerapi klien atau keluarga. Menetapkan tujuan terapi bersama. Mengurangi resistensi sehingga memungkinkan pengobatan sesuai fungsi yang telah di tentukan

Metode: Merujuk kembali kepada penilaian hasil dan gejala. Mengidentifikasi dan menghubungkan tujuan anak atau pengasuh dan indicator kemajuan atau keberhasilan. Mengidentifikasi penghargaan dari luar dan motivasi yang dapat di manfaatkan Ketika motivasi menjadi penghalang gunakan teknik motivasi wawancara: (lembar kerja keseimbangan keputusan: penilaian kepentingan dan kepercayaan diri untuk berubak).P - PsikoedukasiTujuan: Menngajar, menormalisasi, dan memvalidasikan gejala atau PTSD: Bahwa kau tidak gila (Youre not crazy) Menormalisasikan paparan dari trauma: Anda tidak sendirian atau bukan satu-satunya Mengurangi penyalahan diri: ini bukanlah salahmu Menjelaskan TF-CBT (komponen dan struktur): Bahwa ada harapan, kita mempunyai terapi yang dapat berhasil Memperjelas tujuan dari terapi: Mengapa terapi penting tiap minggunya untuk melakukan latihan.Metode:Untuk masing-masing pertanyaan menggunakan teknik soctrates. Buku Games (permainan kata, apa yang kamu tahu? Atau game berpura-pura). Melalui pencarian internet, video youtube. Lembar kerja diskusi Parenting (pengasuh)P - Parenting (pengasuh)Tujuan: Meningkatkan hubungan. Membantu pengasuh belajar keterampilan untuk mengelola kesulitan atau kebiasaan yang tidak pantas terkait dengan trauma untuk mendukung anak menggunakan keterampilan di rumah. Keterampilan termasuk (namun tidak terbatas pada) : Pujian, waktu One-on-One , Peerhatian atau menghiraukan yang selektif, menghindari pertengkaran kekuatan, imbalan, dan konsekuensi.Metode: Lembar Kerja Permainan peran (Role Play) Follow model : Pengajaran Discuss model Role play Umpan balik Praktek mingguan Mengamati interaksi dengan anak, pelatihan dan pengajaran keterampilan baruR - RelaksasiTujuan Memberikan keterampilan kepada klien untuk digunakan dalam lingkungan mereka (rumah dan sekolah) untuk menangani stress mereka. Membuat toolbox untuk merujuk kembali kapan saatnya bekerja pada narasi trauma. Mengajarkan perbedaan antara relaksasi dan toleransi stress untuk mengidentifikasi yang mana lebih berpengaruh pada klien.Metode Mengidentifikasi dan meningkatkan keterampilan yang sudah dipakai (hobi, music, olahraga, dll.) Memainkan game relaksasi (melempar bola atau bermain basket) Mengajarkan yoga, kesadaran, panduan citra, kontrol pernapasan, Relaksasi otot pernafasan. Mendengarkan laguA - Modulasi AfektifTujuan: Membantu anak mengidentifikasi perasaan dan mengembangkan kosakata untuk digunakan diluar sesi dan di dalam sesi. Membantu anak mengerti perasaan berbeda atau bertentangan seecara sekaligus yang bertujuan menormalkan simulasi perasaan yang berganda. Mengajarkan segitiga kognisi: Asosiasinya diantara pikiran, perasaan, dan perilaku. Dapat merasakan perasaan pada intensitas yang berbeda (menggunakan gambaran thermometer atau jumlah sebuah makanan) Mengidentifikasi perasaan terkait dengan peristiwa traumatis, memikirkan hal itu ketika itu terjadi dan sekarang ketika hal itu telah terjadi. Mengidentifikasi hal yang harus dilakukan ketika mersa sedih, down, tidak waras, cemas, dll.Metode: Brainstorming perasaan Buku tentang perasaan dan kartu tentang perasaan (books and card about feelings) Games tentang perasaan (bingo, jenga, mengambil stik) Mengajarkan tentang intensitas dan mengembangkan skala intensitas Pie perasaan ( Feelings pie) (satu kejadian, menunjukkan perasaan yang berbeda dan seberapa banyak dari jangkauan) Mengembangkan daftar yang harus dilakukan untuk meregulasi dan menoleransi emosi ketika stres (Perilaku, kognitif, mencari dukungan, memecahkan masalah).C - Coping kognitif:Tujuan: mengajarkan tentang segitiga kognitif: hubungan antara pikiran, perasaan, dan perilaku. Membantu klien untuk mengakses pikiran otomatis yang klien tidak secara langsung menjadi sadar, tetapi yang menyebabkan stressnya atau traumanya Membantu klien dan pengasuh memahami kemampuan kita untuk mengubah perasaan kita dan perilaku dengan menjadi sadar dan mengubah pikiran tidak membantu atau tidak akurat.

Metode: Mengidentifikasi pikiran, perasaan, dan perilaku secara hipotesis, yang berhubungan dengan non-trauma, skenario kehidupan nyata (ruang makan, ulang tahun, dll) Membaca buku atau melakukan tugas yang mengidentifikasi atau melabelkan pikiran, perasaan, dan perilaku. Bermain game memasangkan sebuah pikiran, perasaan dan perilaku Mengidentifikasi manfaat atau keakuratan cara berpikir untuk merasa lebih baik, ketika pikiran sedang dalam keadaan kesulitan perasaan maupun perilaku.T Narasi TraumaTujuan: Memberikan paparan kenangan trauma yang membuat klien menghindari atau penyebab stresnya (pikiran mengganggu, mimpi buruk, flash back) Mengidentifikasi kognisi tidak membantu atau tidak akurat yang perlu di proses Mengidentifikasi pikiran yang berhubungan dengan pandangan dunia yang berubah atau melihat diri, terkait paparan trauma atau dalam konten trauma (mungkin saat ini bersama pengasuh ).

Metode: Hampir semua yang melibatkan klien dapat berasal dari buku, gambar, acara radio, lagu, puisi, video, rekaman suara bersama terapis menuliskan secara narasi Bekerja bersama pengasuh Mengingatkan kejadian menyenangkan di akhir Mengingatkan tentang analogi (contoh: bola di kolam berenang, dll)C Pengolahan kognitifTujuan: Mengidentifikasi pikiran yang tidak membantu dan tidak akurat; membantu klien atau pengasuh melihat dan mengevaluasi cara paparan trauma yang mungkin telah merubah cara pandangnya pada dirinya, dunia, keluarga, atau masa depan Mengidentifikasi cara yang lebih akurat dan membantu untuk memikirkan paparan traumanya, diri, dunia, keluarga, masa depan, dan bekerja secara konsisten menggantikan pikiran yang telah lalu dengan yang baru. Terpenting dalam TF-CBT : Pastikan klien tidak mendefinisikan dirinya karena trauma, memandang diri atau masa depan sebagai tidak punya harapan atau telah rusak

Metode: Mengidentifikasikan pikiran yang bermasalah melalui terapi berasal dari trauma tersebut Menggunakan teknik pertanyaan Socrates dan klasifikasikan pikiran (akurat atau tidak; membantu atau tidak; menyesal atau bertanggung jawab) Bermain peran sebagai teman baik. Dan klien di kondisikan menjadi terapis. Membuat Pie tanggung jawab, mengidentifikasi bukti, dan pertanyaan yang logisI Paparan in-vivoTujuan: Memisahkan ingatan trauma atau pemicu rasa takut (mempelajari respon kecemasan)(misalnya, takut gelap) Mengurangi penghindaran yang mengganggu fungsi sehari-hariMetode: Membuat daftar tangga ketakutan (pemicu dan spesifik yang berkaitan pemicunya) Dalam sesi latihan dikombinasikan dengan latihan mingguan di rumah. Perlu untuk memanfaatkan atau mendapat dukungan dari perawat dan pendukung klien dari lingkungan hidup. Memanfaatkan insentif dan penghargaan ( dalam sesi; di rumah : Keterampilan sang orang tua memuji dan memberi imbalan). Menggunakan keterampilan coping (termasuk mengatasi kognitif) yang telah diajarkan sebelumnya

C Conjoint Sessions (sesi gabungan)Tujuan: Memberikan kesempatan untuk memuji, mendukung, memberi dorongan dari orang dewasa yang terpercaya Merayakan apapun yang telah dicapai anak dengan orang dewasa yang terpercaya Membiarkan orang dewasa mendengarkan pandangan anak Membiarkan kesempatan untuk berdiskusi antara pengasuh dan anak (pertanyaan, kekhawatiran, umpan balik, dll.)Metode: Menyiapkan sesi bersama dengan membaca narasi trauma yang dilakukan oleh pengasuh Menyapkan dan memainkan peran pertanyaanm response, dan umpan balik, dengan pengasuh dan anak. Mengidentifikasi bantuan keterampilan coping untuk pengasuh. Jika diperlukan.E Enchancing Safety (Meningkatkan Keselamatan)[Ini didahulukan jika keamanan menjadi prioritas]Tujuan: Memberikan rencana keamanan untuk membantu anak (dan pengasuh) merasakan rasa aman (ini juga merupakan keterampilan coping) Mengembangkan rencana keamanan dalam hal cedera diri, pikiran untuk bunuh diri, dan lain-lain. Mengajarkan keterampilan keselamatan yang dapat digunakan klien untuk masa depan atau ketika sudah tidak melakukan terapi.Metode: Membentuk rencana keselamatan yang formal Mengidentifikasi resiko, pemicu, peringatan tanda bahaya (diri sendiri maupun orang lain) Keterampilan bermain peran, biasanya dengan pengasuh Mengajarkan batas-batas yang tepat, persahabatan, dll.

2.2.3 ManfaatTF-CBT mengurangi gejala stres pasca-trauma, yang ditandai oleh masalah yang mempengaruhi regulasi, perilaku fungsi, hubungan, perhatian dan kesadaran, persepsi diri, somatisasi, dan sistem makna. gejala-gejala in dibuktikan dengan: (Cohen,2004)A. Kenangan mengganggu, pikiran atau mimpi tentang traumaB. Menghindari pengingat traumaC. Mati rasa emosionalD. Fisik dan psikologis hiperarousalE. Gangguan signifikan dalam kehidupan sehari-hari.Manfaat TF-CBT untuk anak dan remaja adalah dalam perbaikan gejala sebagai berikut:A. DepresiB. KecemasanC. Masalah perilakuD. Masalah seksualE. Malu yang berhubungan dengan traumaF. Kepercayaan interpersonalG. Kompetensi socialManfaat TF-CBT untuk orang tua yang anaknya mengalami trauma seperti kekerasan seksual. Dapat secara efektif menolong orang tua dalam:A. Mengatasi perasaan depresi secara umumB. Mengatasi gejala PTSDC. Mengatasi tekanan emosional terhadap trauma anakD. Meningkatkan keahlian mengasuhE. Meningkatkan keterampilan mendukung anak

2.2.4 HasilDalam penelitian dengan menggunakan metode TF-CBT (trauma focused control behavior therapy), yang dilakukan pada 124 anak berusia 7 14 tahun. Penelitian ini dilakukan diantara bulan September 2004 sampai Juni 2009. Penelitian ini mengintervensi ibu dan anak yang mengalami masalah kekerasan pasangan intim. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan TF-CBT dengan CCT (children-centered therapy). Terapi dilakukan 8 sesi diantara 12 sesi yang seharusnya dilakukan. Dilakukan 45 menit sesi individu selama 8 minggu, sampai seluruh keluarga menyelesaikan 8 sesi. TF-CBT pada penelitian ini dilakukan (1) komponen pengaman dilakukan pada awal terapi dan tidak dilakukan ketika akhir terapi. (2) Narasi trauma tidak berfokus pada memori yang lalu, melainkan berbagi pengalaman IPV (intimate partner violence) dan kewaspadaan pada ibu yang ditujukan pada kelainan adapsi kognitif (menyalahkan diri ibu). (3) Penelitian ini tidak bertujuan menguasai ingatan masa lalu IPV melainkan bertujuan untuk mengoptimalkan kemampuan anak untuk mendiskriminasikan antara bahaya nyata dengan bahaya umum.Menurut K-SADS-PL total skor untuk menilai gejala. TF-CBT menunjukan hasil peningkatan yang lebih signifikan dibandingkan CCT. (mean difference, 1.63; 95% CI, 0.44 - 2,82). Reaction Index (RI) skor (mean difference,, 5.5.; 95% CI, 0.22 - 1.20), K-SADS-PL hyperarousal skor (0.71, 95% CI, 0.22 - 1.20). K-SADS-PL avoidance skor (0.55; 0.07 sampai 1.03), dan Screen for Child Anxiety Related Emotional Disorders (SCARED) (Mean difference, 5.13;95% CI, 1.31-8.96). Yang menyelesaikan TF-CBT mengalami perbedaan yang signifikan PTSD remisi diagnosis (X = 4.67 , P=0.03) dan mengalami sedikit efek samping. (Cohen,2011)Dalam penelitian PTSD pada anak dengan kekeresan seksual dilakukan penelitian berdasarkan terapi narasi trauma dan panjang waktu terapi.87 anak berumur 4-11 tahun dan orang tua melakukan TF-CBT dengan 8 sesi dan 92 anak dan orang tua melakukan 16 sesi. Disetiap kelompok tersebut dibagi kembali dengan kelompok dengan narasi trauma dan dengan yang tidak. Didapatkan bahwa 63(72%) orang pada 8 sesi menyelesaikannya dengan lengkap dan hanya 50(54%) oranng yang mengikuti 16 sesi dapat menyelesaikannya. Hasilnya didapatkan TF-CBT menunjukan hasil yang positif, dengan beberapa perbedaan. Pada kelompok dengan 8 sesi narasi trauma efektif dalam menuruunkan ketakutan yang berhubungan dengan kekerasan seksual dan kecemesan secara umum, dan juga mengurangi stress orang tua pada masalah penyiksaan. Sedangkan 16 sesi TF-CBT tanpa narasi trauma menuju pada perubahan paling besar dalam melatih orang tua mengasuh dan mengurangi masalah eksternal perilaku pada anak.(Deblinger,2011)Albano, A.M. (2006). Mendampingi Anak Pasca Trauma. p.73. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.Amshori, I. (2007). Pelindungan Anak Menurut Perspektif Islam. P.1. Jakarta: KPAI.Child Welfare Information Gateway. (2006). Trauma-focused cognitive behavioral therapy: Addressing the mental health of sexually abused children. Washington, DC: U.S. Department of Health and Human Services.Cohen, J.A. Mannarino, A. (2004). How to Implement Trauma-Focused Cognitive Behavioral Therapy. DC: U.S. Department of Health and Human Services.Cohen, J.A. Mannarino, A. Lyengar S. (2011). Community Treatment of Posttraumatic Stress Disorder for Children Exposed to Intimate Partner Violence. US: American Medical AssociationDeblinger, E. Et al. (2011). Trauma-Focused Cognitive Behavioral Therapy For Children: Impact Of The Trauma Narrative And Treatment Length. Depression and Anxiety. 28. P.67-75Dorland, W.A. Newman (2010). Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31, p.2281. Jakarta : EGCElvira, D. Sylvia, G.H. (2010). Buku Ajar Psikiatri. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.Feldman. Dorsey, U.W. (2010). TF-CBT PRACTICE Checklist. https://depts.washington.edu. Diakses tanggal 25 Januari 2015.Gunarsa, S.D. (2000) Konseling dan Psikoterapi. P.227. Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia.Kaplan, H.I. Sadock, B.J. Grebb, J.A. (2010). Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid dua. p.68-75. Ciputat-Tanggerang: Binarupa Aksara.Mendatu, A. (2010). Pemulihan Trauma,. Yogyakarta : PanduanMonks, F.J. Et al. (2006). Psikologi Perkembangan. p.176-222. Yogyakarta: UGM Press.Murray, B. (2008). What Is Childhood Trauma?. http://www.upliftprogram.com/ Diakses tanggal 17 Januari 2015]Noor, M.H.s. (1997). HimpunanIstilah Psikologi, p.164. Surabaya : Pedoman Ilmu JayaPost-Traumatic Stress Disorder (PTSD). (2008). United States: Department of Health and Human Services, National Institute of Mental Health, diakses 17 Januari 2015, dari http://www.nimh.nih.gov/health/publications/post-traumatic-stress-disorder-ptsd/nimh_ptsd_booklet_38049.pdf.Setyawan, H. (2014). KPAI : Kasus Pelanggaran Hak Anak Sudah Memprihatinkan. http://www.kpai.go.id/. Diakses tanggal 17 Januari 2015..Smith, M. Segal, R (2008). Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD): Symptoms, Treatment, and Self-Help. http://www.helpguide.or. Diakses tanggal 19 Januari 2015.

DAFTAR ISIHALAMAN JUDUL ...................................................................................... iABSTRAK ...................................................................................................... iiLEMBAR PERSETUJUAN ..........................................................................iiiKATA PENGANTAR .....................................................................................ivDAFTAR ISI ....................................................................................................viDAFTAR GAMBAR ......................................................................................viiDAFTAR TABEL ........................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 11.1. Latar Belakang .............................................................................................. 11.2. Perumusan Masalah ...................................................................................... 31.3 Tujuan ............................................................................................................ 31.3.1. Tujuan Umum ..................................................................................... 31.3.2. Tujuan Khusus .................................................................................... 41.4. Manfaat ......................................................................................................... 41.4.1. Bagi Penulis ........................................................................................ 41.4.2. Bagi Universitas ..................................................................................41.4.3. Bagi Masyarakat ................................................................................. 5

BAB II TERAPI BERFOKUS PERILAKU DAN KOGNITIF PADA ANAK DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD2.1. Post Traumatic Stress Disorder2.1.1. Definisi 2.1.2. Epidemiologi 2.1.3. Etiologi2.1.3.1. Aspek Biologik2.1.3.2. Aspek Psikodinamik2.1.4. Diagnosis2.1.5. Gejala2.2. Tatalaksana2.2.1. Definisi Cognitive Behavior Therapy2.2.2. Komponen Cognitive Behavior Therapy2.2.3. Manfaat2.2.4. Hasil