skipsi jd pdf - Digital Library UNS/Makna... · Masyarakat Jawa juga mengenal siklus kehidupan ini...
Transcript of skipsi jd pdf - Digital Library UNS/Makna... · Masyarakat Jawa juga mengenal siklus kehidupan ini...
MAKNA SUMBANGAN
PADA ACARA PERNIKAHAN MASA KINI
(Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang,
Kabupaten Sragen)
Skripsi
oleh :
HIMBASU MADOKO NIM. K8405001
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
MAKNA SUMBANGAN
PADA ACARA PERNIKAHAN MASA KINI
(Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang,
Kabupaten Sragen)
oleh :
HIMBASU MADOKO NIM. K8405001
Skripsi
Ditulis dan Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana
Pendidikan Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi Jurusan
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini Telah Disetujui untuk Dipertahankan di Hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Surakarta, Juli 2009
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I
Drs. Suparno, M.Si NIP. 19481210 197903 1 002
Pembimbing II
Siany Indria L.,S.Ant.,M.Hum NIP. 19800905 200501 2 002
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan.
Pada hari : Jum’at
Tanggal : 17 Juli 2009
Tim Penguji Skripsi:
Nama Terang Tanda tangan
Ketua : Drs. H. MH. Sukarno, M.Pd ........................
Sekretaris : Dra. Hj. Siti Rochani .CH, M.Pd .......................
Anggota I : Drs. Suparno, M.Si ………………
Anggota II : Siany Indria. L, S.Ant., M.Hum ………………
Disahkan oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan,
Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd
NIP. 19600727 198702 1 001
ABSTRAK
Himbasu Madoko, MAKNA SUMBANGAN PADA ACARA PERNIKAHAN MASA KINI (Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009.
Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui dan memahami mengapa sumbangan dalam acara perkawinan menjadi sesuatu yang penting di dalam kehidupan masyarakat, (2) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana masyarakat memaknai sumbangan pada acara pernikahan dalam konteks masa kini.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif diskriptif. Sumber data dalam penelitian ini yaitu; (1) Informan atau narasumber, yaitu warga masyarakat dilokasi penelitian serta pihak-pihak yang sedang atau pernah mengadakan acara pernikahan, (2) Sumber data dari peristiwa atau aktivitas, yaitu ketika acara pernikahan dan sistem sumbangan ini dilaksanakan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara mendalam (in depth interviewing) dan observasi secara langsung. Teknik pengembangan validitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi data (trianggulasi sumber), trianggulasi metode dan review informan. Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif yang meliputi empat komponen yaitu pengumpulan data, reduksi data (reduction), sajian data (display) dan penarikan kesimpulan serta verifikasinya.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Sumbangan pada acara pernikahan memiliki tiga arti penting dalam kehidupan masyarakat Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang Sragen. Ketiga arti penting tersebut adalah, dapat mempengaruhi tingkah laku masyarakat dan melestarian pranata sosial yang telah ada dimasyarakat, dapat membantu pembiayaan pihak yang sedang menyelenggarakan hajat sehingga pelaksanaan acara pernikahan sesuai dengan adat istiadat setempat dapat tetap lestari, serta dapat membentuk, memperkuat dan mempertahankan integritas masyarakat. (2) Dalam konteks masa kini masyarakat Desa Jati sering hanya memaknai sistem sumbangan sebagai suatu kebiasaan masyarakat dan hanya melaksanakan sistem sumbangan dalam rangka untuk memenuhi hubungan timbal baliknya saja tanpa memahami tujuan/maksudnya. Hal ini berpotensi untuk menggeser arti penting sistem sumbangan, atau paling tidak akan mengurangi kadar arti penting dari sistem sumbangan yang telah ada.
ABSTRACT
Himbasu Madoko, THE MEANING OF CONTRIBUTION IN THE PRESENT WEDDING CEREMONY EVENT (A Case Study in Village Jati, Sub district Sumberlawang, Regency Sragen). Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty. Surakarta Sebelas Maret University, 2009.
The objective of research is (1) to find out and to understand why the contribution in wedding ceremony event becomes something important in the society life, (2) to find out and to understand how the society means the contribution in wedding ceremony event in the present context.
This research used a descriptive qualitative method. The data source in this study includes: (1) informant or resource, that is, the residents of research location and the people who are conducting or has ever conducted the wedding ceremony event, (2) data source from the event or activity, that is, the wedding ceremony or the contribution system conducted. Techniques of collecting data employed in this study were in depth interview and direct observation. Technique of validating data used was data (source), method triangulations and informant review. Technique of analysing data used was an interactive analysis model encompassing four components: data collection, reduction, display and conclusion drawing as well as verification.
Based on the result of research, it can be concluded that: (1) the contribution in the wedding ceremony event has three important meaning in society’s life of Village Jati, Sub district Sumberlawang, Sragen. Those three meanings are: can affect the society’s behaviour and preserve the existing social order within the society, can support the fund spent by the one conducting the event so that the wedding ceremony organization is consistent with the local custom, as well as can establish, strengthen and maintain the society’s integrity. (2) In the present context, the society of Village Jati often means the contribution system only as one of society habits and conducts it only in the attempt of fulfilling the reciprocal relationship without understanding the objective/goal. This can potentially shift the importance of contribution system, or at least will reduce the importance of the existing contribution system.
MOTTO
“Orang yang murah hati dan jujur mengalami masa terbaik dalam hidup
mereka dan tidak pernah dibebani oleh kesukaran-kesukaran. Tetapi orang yang
penakut selalu curiga dan gelisah terhadap segala sesuatu, dan seseorang yang kikir
selalu mengeluh atas hadiah-hadiah yang diberikannya kepada orang lain” ( Havamal
dalam Marcel Mauss. 1992: xvii).
“Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai” (Al-
Hadist)
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan
Kepada:
� Bapak dan ibu tercinta
� Adikku
� Teman-teman Sos-Ant ’05
� Almamater
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan untuk memenuhi
sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-
kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuannya,
disampaikan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd, selaku Dekan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta;
2. Bapak Drs. H. Syaiful Bachri, M. Pd selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu
Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret
Surakarta;
3. Bapak Drs. H. MH Sukarno, M. Pd selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Sosiologi-Antropologi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Universitas Sebelas Maret Surakarta;
4. Bapak Drs. Suparno, M.Si selaku Pembimbing I yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingannya;
5. Ibu Siany Indria. L. S.Ant., M.Hum selaku Pembimbing II yang telah
memberikan pengarahan dan bimbingan demi penyempurnaan penulisan
skripsi;
6. Ibu Atik Catur Budiati, S. Sos, M.A selaku Pembimbing Akademik terima
kasih atas kesabaran dan petunjuk yang diberikan selama peneliti menempuh
studi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta;
7. Segenap Bapak/Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi
yang telah memberikan ilmu kepada peneliti selama di bangku kuliah;
8. Bapak kepala Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen atas izin yang
diberikan;
9. Para informan yang telah memberikan pengalaman hidup dan berbagai
informasi yang dibutuhkan peneliti;
10. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan imbalan dari Tuhan Yang
Maha Esa.
Walaupun disadari dalam skripsi ini masih ada kekurangan, namun
diharapkan skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Surakarta, 2009
Peneliti
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................ i
HALAMAN PENGAJUAN ................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... iv
HALAMAN ABSTRAK ...................................................................... v
HALAMAN MOTTO ........................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................... viii
KATA PENGANTAR ........................................................................... ix
DAFTAR ISI .......................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 5
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 5
BAB II LANDASAN TEORI................................................................ 7
A. Tinjauan Pustaka ................................................................... 7
1. Definisi dan Bentuk Sumbangan………………………. 7
2. Konsep Sumbangan dalam Fungsionalisme…………… 8
3. Resiprositas dalam Sistem Sumbangan………………... 15
4. Kekerasan Simbolik dalam Sistem Sumbangan……….. 20
B. Kerangka Berfikir.................................................................. 23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN............................................ 25
A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................... 25
B. Bentuk dan Strategi Penelitian .............................................. 26
C. Sumber Data .......................................................................... 27
D. Teknik Cuplikan .................................................................... 28
E. Teknik Pengumpulan Data .................................................... 29
F. Validitas Data ........................................................................ 31
G. Analisis Data ......................................................................... 32
H. Prosedur Penelitian................................................................ 33
BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN ………………………... 35
A. Deskripsi Lokasi Penelitian................................................... 35
B. Temuan Hasil Penelitian yang Dihubungkan dengan
Kajian Teori .......................................................................... 38
1. Waktu Pelaksanaan Pernikahan di Desa Jati ..................... 38
2. Bentuk Sumbangan pada Acara Pernikahan di Desa Jati... 40
3. Arti Penting Sumbangan dalam Acara Pernikahan
bagi Kehidupan Masyarakat Desa Jati............................... 44
4. Pemaknaan Sumbangan pada Acara Pernikahan dalam
Konteks Masa Kini............................................................. 65
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN.............................. 81
A. Simpulan ............................................................................... 81
B. Implikasi ................................................................................ 83
C. Saran ...................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 86
LAMPIRAN
Daftar Tabel
1. Tabel 1 Waktu dan Kegiatan Penelitian .............................................. 25
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 2 Model Interaktif ................................................................. 33
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupannya manusia tidak akan dapat lepas antara yang satu
dengan lainnya. Mereka saling berinteraksi untuk membangun pergaulan hidup
bersama karena itu terbentuklah masyarakat. Pertemuan antar manusia secara
badaniah saja tidak akan dapat menghasilkan pergaulan hidup. Pergaulan hidup
akan dapat tercapai jika mereka saling berkomunikasi, bekerja sama, bahkan saling
bersaing dan bertikai. Sehubungan dengan hal ini Kimball Young dan Raymond
dalam Soerjono Soekanto (2004:61) mengemukakan bahwa, ”interaksi sosial adalah
kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial tidak akan
mungkin ada kehidupan bersama”.
Aktifitas saling tolong-menolong/kerja sama merupakan salah satu bentuk
interaksi sosial. Gillin dan Gillin dalam Soerjono Soekanto (2004:71)
menggolongkan aktifitas ini sebagai interaksi sosial yang mengarah pada bentuk
penyatuan (assosiasif). Perasaan saling membutuhkan yang tersalurkan melalui
interaksi sosial akan terwujud dalam aktivitas saling tolong-menolong. Bentuk
tolong-menolong antar sesama manusia dapat mempererat persaudaraan (hubungan
batin), yang akan membentuk perasaan bersatu dan bersolidaritas. Perasaan saling
membutuhkan ini menimbulkan sistem tukar menukar kewajiban untuk memberi
dan menerima bantuan kepada sesamanya. Masyarakat kemudian saling membantu
satu sama lain dalam berbagai hal.
Kegiatan saling tolong-menolong dalam masyarakat salah satunya dapat
dilihat dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat. Hampir masyarakat di seluruh
dunia memiliki adat tentang siklus lingkaran hidup (life cycle). Koentjaraningrat
(1992:92) menjelaskan, ”pesta dan upacara pada saat peralihan sepanjang life cycle
itu memang universal, dan ada hampir dalam semua kebudayaan di seluruh dunia,
hanya saja tidak semua saat peralihan dianggap sama pentingnya dalam semua
kebudayaan”. Masyarakat Jawa juga mengenal siklus kehidupan ini yang meliputi
kelahiran, perkembangan, dan kematian. Dalam hal ini mereka sangat
mengindahkan kegiatan saling tolong menolong terutama dalam pelaksanaan acara
adatnya.
Pertolongan/bantuan yang diberikan seseorang dalam kegiatan adat
bentuknya bermacam-macam. Bantuan tersebut dapat berupa tenaga, pikiran, benda
materi, biaya, dan sebagainya. Seseorang dalam kehidupan masyarakat dapat
memberikan salah satu bentuk pertolongan/bantuan saja seperti misalnya tenaga,
pikiran, benda materi, biaya, atau bantuan yang lainnya, namun seseorang juga
dapat memberikan berbagai bantuan dalam suatu acara. Seseorang mungkin dalam
suatu acara dapat memberikan bantuan tenaga dalam pelaksanaanya, disamping itu
juga sering memberikan bantuan biaya, pikiran benda materi, maupun bantuan-
bantuan yang lainnya.
Salah satu bentuk tolong menolong adalah sumbangan. Di dalam
masyarakat kita sumbangan memiliki dua arti. Pertama, sumbangan dalam arti
umum yang mencakup semua pertolongan baik yang berupa tenaga, pikiran, benda
materi, biaya, dan sebagainya. Kedua, sumbangan dalam arti yang lebih sempit,
yaitu sebagai istilah pertolongan (sokongan) yang berupa bantuan material (benda
ataupun biaya) untuk membantu seseorang yang sedang memiliki hajat. Arti
sumbangan yang kedua ini dalam bukunya Clifford Geertz (1983:88) dituliskan
dengan istilah “buwuh”. Sumbangan dalam arti “buwuh” inilah yang akan menjadi
fokus dalam pembahasan ini.
Berkaitan dengan upacara dalam siklus kehidupan yang dikenal
masyarakat Jawa, sumbangan biasanya diberikan pada saat adanya kelahiran,
sunatan, perkawinan, kematian ataupun aktifitas-aktifitas yang lainnya seperti
menjenguk orang yang sedang sakit, membangun rumah, perayaan ulang tahun, dan
sebagainya. Sumbangan yang diberikan pada pesta perayaan perkawinan dan
sunatan merupakan sumbangan yang sedikit berbeda dibandingkan dengan
sumbangan pada kematian, kelahiran, dan aktifitas yang lainnya, karena diberikan
kepada seseorang/keluarga yang notabene adalah mereka yang mampu
menyelenggarakan pesta dan mengundang para tamu yang akan memberikan
sumbangan tersebut.
Dewasa ini sumbangan, sering dinilai secara sinis sebagai sumber
keuntungan dan banyak orang yang menyelenggarakan hajat hanya untuk
mengharapkan keuntungan dari sumbangan para tamu saja. Seperti kutipan dari
informan yang diteliti oleh Clifford Geertz dalam bukunya Abangan, Santri Priyayi
Dalam Masyarakat Jawa (1983:88), berikut ini :
... Ia mengatakan bahwa buwuh yang dahulu merupakan soal rukun, terutama
ketika buwuh itu tidak berupa uang tetapi berupa barang seperti barang
makanan dan sebagainya telah merosot menjadi pasal cari uang biasa di mata
seorang yang sedang gawe duwe. Kerap kali yang yang masuk lebih banyak
dari uang yang keluar, karena itu tuan rumah memperoleh laba, karena itu
jugalah sekarang ini orang suka menyelenggarakan pesta sekedar untuk
memperoleh keuntungan. Kata orang siallah kita kalau tidak punya anak untuk
disunatkan atau dikawinkan dengan suatu pesta, sebab ini berarti hilanglah
kesempatan untuk memperoleh keuntungan... .
Sudarmono dalam Opini; Nuansa Kondangan http://www.lampungspost.
com/cetak/berita.php?id=2007010900565359, Selasa 9 Januari 2007, menjelas-kan,
”jika saat ini makna kata hajatan sudah bias cukup luas. Bias tersebut kini mulai
merasuk pada niatnya”. Kenyataannya pada umumnya masyarakat apabila
menerima undangan suatu acara pernikahan atau sunatan yang merupakan kabar
gembira dari saudara atau temannya justru sering menjadi bahan keluhan.
Masyarakat kini memandang jika menghadiri undangan suatu upacara
pernikahan/sunatan yang dipikirkan pertama kali adalah harus menyediakan
sejumlah uang yang dianggap pantas sebagai sumbangan. Pandangan ini telah
menggeser niat utama dalam menghadiri suatu undangan. Masyarakat seakan-akan
menjadi kurang ikhlas dengan keluhan-keluhan mereka.
Fenomena menyumbang/sumbangan telah menjadi budaya yang tidak sehat
lagi dalam kehidupan masyarakat. Sangat jarang sekali seseorang/keluarga yang
menyelenggarakan suatu pesta pernikahan ataupun khitanan tanpa mengharapkan
sumbangan dari para tamu undangannya, dan sangat banyak sekali masyarakat yang
kini menjadi sering mengeluh karena sumbangan ini. Di dalam surat undangan
suatu acara pesta perkawinan atau khitanan sering kita lihat tulisan yang pada
intinya menyatakan seseorang/keluarga yang menyelenggarakan pesta tanpa
mengurangi rasa hormat tidak menerima sumbangan yang berupa cinderamata atau
karangan bunga. Sangat jarang sekali bahkan hanya ada beberapa orang saja yang
berani menuliskan di dalam surat undangannya jika mereka (penyelenggara pesta)
tidak menerima sumbangan dalam bentuk apapun.
Sistem sumbangan pada khususnya dalam upacara khitanan dan
pernikahan, di dalamnya terdapat berbagai fenomena sosial. Sumbangan
memberikan banyak cerita dan interpretasi di baliknya, mulai dari sistem aturan
timbal balik yang mengikat, pergeseran makna dan tujuan dari sistem sumbangan,
konflik yang mungkin terdapat di dalamnya, beratnya biaya sosial, dan sebagainya,
meskipun secara tampilan luar teratur dan sudah menjadi kewajiban yang dilakukan
masyarakat. Berhubungan dengan hal ini, peneliti tertarik melakukan penelitian
tentang sistem sumbangan pada upacara perkawinan dan upacara khitanan, karena
sumbangan merupakan topik yang menarik untuk diteliti. Setidaknya terdapat dua
arti penting dalam penelitian ini. Pertama, pengetahuan serta pemahaman akan arti
penting sistem sumbangan pada acara pernikahan dalam kehidupan masyarakat.
Kedua, penganalisaan berbagai fenomena yang terjadi pada masa kini terkait
dengan sistem sumbangan pada acara pernikahan, serta pengetahuan dan pemahan
akan makna sistem sumbangan ini dalam konteks masa kini. Untuk memperoleh
kajian yang lebih terfokus sehingga akan dapat memperoleh kajian yang sempit
serta mendalam cakupannya, penelitian ini akan difokuskan pada sumbangan
pernikahan. Maka penelitian ini akan diberi judul “Makna Sumbangan pada Acara
Pernikahan Masa Kini” (Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang,
Kabupaten Sragen).
B. Rumusan Masalah
Masalah pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
a. Mengapa sumbangan dalam acara pernikahan menjadi sesuatu yang penting
di dalam kehidupan masyarakat?
b. Bagaimana masyarakat memaknai sumbangan pada acara pernikahan dalam
konteks masa kini?
C. Tujuan penelitian
Dari uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan dari
penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui dan memahami mengapa sumbangan dalam acara
pernikahan menjadi sesuatu yang penting di dalam kehidupan masyarakat.
b. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana masyarakat memaknai
sumbangan pada acara pernikahan dalam konteks masa kini.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah pengetahuan yang lebih mendalam mengenai berbagai
hal yang berkaitan dengan sistem sumbangan pada acara pernikahan
masa kini.
b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan sosiologi
dan antropologi pada khususnya, serta ilmu pengetahuan sosial pada
umumnya .
c. Dapat dijadikan sebagai penelitian awal yang mendasari penelitian
yang lebih luas cakupannya dan lebih mendalam kajiannya.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat digunakan sebagai wacana reflektif bagi masyarakat dalam
kehidupan sosial.
b. Dapat digunakan sebagai masukan bagi masyarakat dalam rangka
untuk mewujudkan kehidupan yang lebih bijaksana.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Definisi dan Bentuk Sumbangan
Sumbangan berasal dari kata sumbang, dimana dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1990) sumbang/menyumbang memiliki arti, “memberi sesuatu kepada
orang yang sedang pesta, dan sebagainya sebagai sokongan”, sedangkan sumbangan
sendiri artinya adalah “pemberian sebagai bantuan (pada pesta perkawinan, dsb)”.
Secara umum menyumbang termasuk aktivitas sosial manusia yang disebut gotong
royong. Koentjaraningrat (1992:171) menjelaskan menjelaskan konsep gotong
royong sebagai “rasa saling tolong menolong atau rasa saling bantu-membantu
dalam jiwa masyarakat”.
Koentjaraningrat (1983:59-60) membedakan kegiatan tolong-menolong
dalam masyarakat menjadi empat, yaitu 1) tolong menolong dalam produksi
pertanian, 2) aktivitas tolong menolong antar tetangga yang tinggal berdekatan,
untuk pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah dan pekarangan, 3) aktivitas tolong
menolong antara kaum kerabat (dan kadang-kadang beberapa tetangga yang paling
dekat) untuk menyelenggarakan pesta sunat, perkawinan atau upacara-upacara lain
sekitar titik peralihan pada lingkaran hidup individu, 4) aktivitas spontan tanpa
permintaan dan tanpa pamrih untuk membantu secara spontan pada waktu
seseorang penduduk Desa mengalami kematian atau bencana. Dalam hal ini,
menyumbang atau memberikan sumbangan merupakan tolong menolong pada
aktivitas ketiga yaitu, pada persiapan dan penyelenggaraan pesta atau upacara adat.
Novita Purnamasari (2005:55) dalam penelitian mandirinya telah
menganalisis bahwa sumbangan dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu “1)
tenaga (rewang), 2) barang seperti kado, dan bukan kado (bahan hidangan ,
perlengkapan upacara perkawinan, bunga), serta 3) uang (buwuh)”. Berkaitan
dengan buwuh ini Clifford Geertz (1983:87) secara lebih terperinci menjelaskan
bahwa,
buwuh adalah sejenis sumbangan yang khas dari para tamu kepada tuan rumah atas hidangan dan pelayanan yang telah mereka terima. Kebiasaan yang umum dalam memberikannya adalah dengan menempelkan pada telapak tangan secara diam-diam ketika bersalaman dengan tuan rumah untuk berpamitan, pada saat mana tuan rumah akan memberikan sebungkus jajan kepada istri tamunya sebagai lambang sumbangannya kepada sang tamu yang berupa hidangan dan hiburan pada malam pertemuan ini. Lagi-lagi sumbangan timbal balik terlibat dalam hal ini.
Ketiga bentuk sumbangan tersebut merupakan suatu pemberian. Pemberian dari
para tamu undangan untuk seseorang atau keluarga yang sedang merayakan acara
pernikahan. Dalam Kamus Inggris-Indonesia (1986:269), kado, hadiah, dan
pemberian memiliki istilah dalam bahasa inggris yang sama, yaitu ”gift” .
Menurut kebiasaan di beberapa daerah, misalnya di daerah Surakarta, yang
datang dan menyumbang ialah kaum ibu, kemudian pulangnya memperoleh angsul-
angsul atau bentelan.1 Di daerah Semarang, Purwodadi kaum laki-laki yang hadir.
Mereka juga menyumbang dengan istilah salam templek, yaitu pada waktu pulang
sambil bersalaman memberikan uang sumbangan (Anonim. 1982: 86).
Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa
sumbangan adalah aktifitas sosial untuk membantu meringankan orang yang sedang
punya hajat, berkaitan dengan berbagai hajat termasuk acara pesta perkawinan
yang bentuknya dapat berupa tenaga, barang (kado atau bahan hidangan,
perlengkapan upacara pernikahan, dan sebagainya), serta uang.
2. Konsep Sumbangan dalam Fungsionalisme
Pelaksanaan sistem sumbangan terdiri dari hubungan timbal balik antara
pemberi dan penerima yang membentuk suatu sistem. Hubungan timbal balik antara
1 Angsul-angsul atau bentelan ialah makanan dan kue-kue yang dibawa pulang oleh para tamu putri dari yang empunya kerja sebagai balas jasa atas kehadirannya (Anonim. 1982: 98).
pemberi dan penerima ini bersifat fungsional yang akan membentuk kehidupan
bermasyarakat. Seperti yang dikemukakan Aafke .E. Komter (2005: 195) yang
menjelaskan, ”the principle of reciprocity underlying gift exchange proved to be
fundament of human society” (prinsip dari hubungan timbal balik mendasari
pertukaran pemberian yang dibuktikan menjadi dasar masyarakat manusia).
Sumbangan yang merupakan suatu sistem salah satunya dapat dijelaskan melalui
teori fungsionalsme.
Aguste Comte dalam Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini (1988:20)
mencoba untuk merumuskan cara menganalisis masyarakat dengan menyajikan
metode penafsiran organis terhadap masyarakat. Bagi Comte masyarakat
dikonseptualisasikan sebagai suatu tipe organis dan harus ditelaah melalui prisma
konsepsi-konsepsi biologis mengenai struktur dan fungsi. Comte dalam Saifuddin
(2005:142) mengemukakan bahwasanya,
manusia secara intrinsik adalah makhluk sosial, dan hubungan-hubungan yang mereka bangun jauh dari kontrak-kontrak antara individu-individu yang bebas. Masyarakat memiliki organ-organ seperti halnya tubuh seekor binatang, dimana memiliki fungsi dari suatu bagian ditentukan oleh tempatnya dalam keseluruhan tubuh. Konsep individu adalah konstruksi sosial, yang berasal dari peranan yang dikenakan oleh masyarakat kepada tindakan individu. Cara berpikir ini dikenal sebagai ‘analogi organik’.
Comte juga sadar akan perbedaan antara organisme biologis dan
masyarakat. Organisme sosial atau masyarakat tidak berwujud fisik seperti halnya
organisme biologis, tetapi organisme sosial terdiri atas ikatan-ikatan batin. Sejalan
dengan Comte, Herbert Spencer juga memandang masyarakat seperti halnya suatu
organisme. Herbert Spencer dalam Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini
(1988:20-21) menyusun suatu sistematik mengenai cara-cara berpikir yang
menganggap masyarakat merupakan analogi suatu organisme, sebagai berikut:
1. both society and organisms can be distinguished from organic matter, for
both grow and develop (masyarakat dan organisme keduanya dapat
dibedakan dari masalah organik, untuk tumbuh dan berkembang
keduannya).
2. in both society and organisms an increase in size means an increase in
complexity an differentiation (pada keduannya masyarakat dan organisme
peningkatan ukuran berarti peningkatan kompleksitas sebuah perbedaan).
3. in both, a progressive differentiation in structure is accompanied by a
differentiation in function (pada keduanya, sebuah perbedaan dalam
struktur progresif disertai oleh perbedaan dalam fungsi).
4. in both, parts of the shale are independent with a change in one part
affecting other parts (pada keduanya, bagian dari pecahan yang bebas
dengan suatu perubahan mempengaruhi bagian-bagian lainnya).
5. in both, each part of the whole is also a micro society or organisms in and
of itself (pada kedua, setiap bagian dari keseluruhan adalah juga suatu
masyarakat kecil atau organisme dalam dan dari keseluruhan itu sendiri).
6. and in both organisms and societies, the life of the whole can be destroyed
but the parts will live on for a while (dan pada kedua organisme dan
masyarakat, kehidupan seluruh dapat dimusnahkan tetapi bagian-
bangiannya akan hidup untuk sementara waktu).
Pemikiran Emile Durkheim dalam Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini
(1988:22-23), juga mencerminkan asumsi dalam organisme, sebagai berikut:
1) Masyarakat harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang dapat dibedakan dari bagian-bagiannya, namun tidak dapat dipisah darinya. Dengan menganggap masyarakat sebagai suatu relatis, maka Durkheim memberikan prioritas dalam analisis menyeluruh.
2) Durkheim beranggapan bahwa bagian-bagian dari suatu sistem berfungsi untuk memenuhi kepentingan sistem secara menyeluruh.
3) Kepentingan-kepentigan fungsional dipergunakan dalam artian normal dan patologis. Dengan demikian suatu sistem sosial harus terpenuhi kebutuhannya untuk mencegah terjadinya keadaan abnormal.
4) Dengan memandang sistem secara normal, patologi dan fungsional, maka ada taraf atau titik tertentu dimana harmoni tercapai, sehingga fungsionalisasi secara normal berproses disekitar titik tersebut.
Pemikiran tiga tokoh sosiologi awal abad 19 tentang fungsionalisme yaitu
Aguste Comte, Herbert Spencer, dan Emile Durkheim tersebut menghasilkan tiga
asumsi yang mengawali fungsionalisme sosiologis, seperti yang dijelaskan Soerjono
Soekanto dan Ratih Lestarini (1989:21), sebagai berikut:
1) Relitas sosial dianggap sebagai suatu sistem. 2) Proses-proses suatu sistem hanya dapat dimengerti dalam kerangka
hubungan timbal balik antara bagian-bagiannya. 3) Sebagai halnya dengan suatu organisme maka struktur suatu sistem
sifatnya terikat yang disertai adanya proses-proses untuk mempertahankan integritas dan batas-batasnya.
Berkaitan dengan sistem, Duncan Mitchell (1984:53) menerangkan jika
”setiap sistem mempunyai beberapa sifat yang sama, terutama bagian-bagiannya
yang begitu erat hubungannya satu sama lain dari segi struktur hingga perubahan
dalam satu bagian akan mengakibatkan perubahan di bagian yang lain”. Sementara
itu Dahrendorf dalam Kamanto Sunarto (2000:228) mengemukakan mengenai
pokok teori fungsionalisme sebagai berikut:
1). Setiap masyarakat merupakan suatu struktur unsur yang relatif gigih dan stabil.
2). Mempunyai struktur unsur yang terintegrasi dengan baik. 3). Setiap unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, memberikan
sumbangan pada terpeliharanya masyarakat sebagai suatu sistem. 4). Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada konsensus mengenai
nilai dikalangan para anggotanya.
”Organisme Comte, Spencer dan Durkheim mempengaruhi fungsionalis-
fungsionalis antropologi yang pertama seperti Malinowski dan Radcliffe Brown,
yang kemudian membantu pembentukan perspektif fungsional” (Soerjono
Soekanto. 1986:17). Malinowski dalam Saifudin (2005: 167) berpandangan bahwa,
”segala sesuatu itu memiliki fungsi”. Merton dalam David Kaplan dan Albert A.
Manners (2000:79), memperkenalkan, konsep fungsi yang dibedakan antara fungsi
manifes dan fungsi laten (fungsi tampak dan fungsi terselubung), dalam suatu
tindak atau unsur budaya. ”Fungsi manifes ialah konsekuensi obyektif yang
memberikan sumbangan pada penyesuaian atau adaptasi sistem yang dikehendaki
dan didasari oleh pertisipan sistem tersebut. Sebaliknya, fungsi laten adalah
konsekuensi objektif dari suatu ihwal budaya yang tidak dikehendaki maupun
disadari oleh warga masyarakat”.
Malinowski dalam Koenjtaranigrat (1987:167) membedakan antara fungsi
sosial dalam tiga tingkatan abstraksi, yaitu:
1) Fungsi sosial dari suatu adat , pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat.
2) Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat.
3) Fungsi sosial dari suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.
Radcliffe Brown yang juga tokoh fungsionalisme dalam antropologi lebih
suka pada penggunaan strukturalisme dari pada fungsionalisme. Radcliffe Brown
dalam Soerjono Soekanto (1986: 11) mengakui bahwa, “ the concept of function
applied to human societies is based on an analogy between social life and organic
life… the first systematic formulation of the concept as applying to the strictly
scientific study of society was performed by Durkheim…”. Dari pernyataan di atas
dapat dipahami bahwa konsep fungsi diterapkan pada masyarakat manusia
didasarkan pada analogi antara kehidupan sosial dan kehidupan organik. Perumusan
konsep sistematis pertama seperti yang diterapkan untuk kajian ilmiah sosial yang
ketat telah dilakukan oleh Durkheim.
Struktur masyarakat adalah susunan yang bagian-bagiannya memberi
bentuk umpamanya bila berbicara tentang struktur suatu bangunan atau struktur
suatu organisme. Radcliffe Brown dalam Duncan Mitchell (1984:51) menerangkan
bahwa “unsur-unsur struktur sosial ialah manusia, tetapi lebih tepat jika dianggap
sebagai kedudukan yang diduduki oleh orang-orang”. Brown dalam Soerjono
Soekanto dan Ratih Lestarini (1988:26) berpendapat bahwa analisis struktural
(=fungsional) haruslah bertitik tolak pada asumsi;
1) Suatu kondisi bagi ketahanan suatu masyarakat adalah adanya taraf integrasi minimal dari bagian-bagiannya.
2) Istilah fungsi mengacu pada proses-proses yang memelihara taraf integrasi atau solidaritas tersebut.
3) Dalam setiap masyarakat cirri-ciri struktural dapat diidentifikasikan manfaatnya bagi pemeliharaan solidaritas.
Berdasarkan pemikiran para fungsionalis di atas maka dapat disimpulkan
bahwa pertukaran sumbangan pada acara pernikahan sebagai suatu realitas sosial
juga dapat dipahami sebagai suatu sistem layaknya suatu organisme. Jika dilihat
secara lebih luas dalam cakupan masyarakat maka sistem sumbangan dalam acara
pernikahan ini dapat dikatakan sebagai suatu sub sistem diantara sistem-sistem yang
lainnya sebagai pembentuk adanya kehidupan bermasyarakat. Seperti yang telah
dikemukakan para tokoh fungsionalis di atas bahwa proses-proses suatu sistem
hanya dapat dimengerti dalam kerangka hubungan timbal balik antara bagian-
bagiannya, maka dalam sistem sumbangan juga berlaku seperti ini. Sistem
sumbangan hanya akan dapat berjalan apabila unsur-unsur di dalamnya berjalan
dalam hubungan timbal balik secara fungsional. Apabila salah satu unsur tidak
dapat berjalan sebagaimana mestinya maka sistem pertukaran dalam sumbangan ini
tentunya akan mengalami gangguan. Unsur-unsur tersebut diantaranya adalah
pemberi dan penerima yang saling melakukan pertukaran sumbangan yang saling
terkait diantara yang satu dengan yang lainnya secara luas. Sistem sumbangan ini
juga bersifat mengikat bagi masyarakat sehingga akan selalu mempertahankan
integritasnya sebagai suatu sistem. Menurut penjelasan Malinowski di atas, sistem
sumbangan yang juga merupakan suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan
memiliki fungsi yaitu memberikan pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah
laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat, pengaruh atau efeknya terhadap
kebutuhan suatu adat, dan pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk
berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.
Novita Purnamasari (2000:91-99) dalam penelitian mandirinya
menjelaskan bahwa,
bagi masyarakat Yogyakarta yang memiliki mobilitas tinggi diadakannya suatu upacara perkawinan merupakan sarana untuk bertemu dengan saudara, tetangga dan teman. Sebagai suatu aktifitas sosial nyumbang mempertemukan anggota-anggota masyarakat. Sebagai orang jawa memenuhi undangan perkawinan dan memberikan sumbangan adalah salah satu kewajiban sosial.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem sumbangan berfungsi untuk mempertemukan
anggota-anggota masyarakat, dimana setiap individu/keluarga merupakan bagian
dari sistem yang terjalin secara fungsional sehingga akan membentuk dan
memperkuat keberadaan masyarakat.
Pembahasan tentang masyarakat yang terintegrasi sebagai suatu sistem
secara fungsional dapat pula ditinjau dalam penelitian etnografi Malinowski tentang
sistem tukar menukar kalung kerang atau yang disebut sulava dan gelang-gelang
kerang yang disebut mwali di masyarakat kepulauan Trobriand. Kalung kerang
(sulava) beredar ke satu arah mengikuti arah jarum jam yang peredaranya meliputi
kepulauan Tobrian atau Boyowa, Kepulauan Amphlett, Kepulauan D’entrecasteaux
atau Dobu, pulau st. Aignau atau Misima, kepulauan Laughlan atau Nada dan
kepulauan Woodlark atau Murua, yang semuanya terletak di sebelah timur Papua
Nugini Tenggara. Sementara itu gelang-gelang kerang (mwali) beredar kearah yang
berlawanan. Sistem tukar menukar ini disebut dengan sistem Kula
(Koenjaraningrat. 1987:164-165). Dalam hal ini pada intinya Malinowski
bermaksud untuk menjelaskan bahwa melalui pertukaran yang disebut dengan
sistem kula dalam masyarakat Trobriand membentuk suatu sistem yang berjalan
secara fungsional. Pemberi dan penerima dalam pertukaran gelang-gelang kerang
(mwali) dan kalung-kalung kerang (sulava) memiliki peran masing-masing yang
saling terikat secara fungsional sehingga membentuk serta memperkuat keberadaan
masyarakat kepulauan Trobiand.
3. Resiprositas dalam Sistem Sumbangan
Prinsip moral tentang resiprositas ada dalam kehidupan sosial. Gouldner
dalam James Scott (1981:255) mengemukakan prinsip tentang resiprositas dan
perimbangan pertukaran adalah prinsip yang didasarkan pada gagasan yang
sederhana saja yakni bahwa orang harus membantu mereka yang pernah
membantunya atau setidak-tidaknya jangan merugikannya. Lebih khusus lagi
prinsip itu mengandung arti bahwa suatu hadiah atau jasa yang diterima
menciptakan bagi si penerima suatu kewajiban timbal balik untuk membalas dengan
hadiah/jasa dengan nilai yang setiadak-tidaknya sebanding dikemudian hari.
Gouldner dalam Susana Narotzky dan Paz Moreno (2002:285) menjelaskan
tentang konsep resiprositas sebagai, “a mutually contingent exchange of benefits
between two or more units in his view, reciprocity constituted a general principle of
mutual dependence and recognition of a shared moral norm: You should give benefits
to those who give you benefits”. Pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa
resiprositas adalah suatu kesatuan hubungan pertukaran tibal balik yang bermanfaat
antara dua unit atau lebih. Resiprositas mendasari suatu prinsip umum saling
ketergantungan dan pengakuan suatu norma moral bersama: Anda harus memberikan
manfaat kepada mereka yang memberikan manfaat.
Menurut Durkheim, faham pertukaran yang sepadan ini merupakan suatu
prinsip moral umum yang terdapat pada semua kebudayaan. Di Asia Tenggara
prinsip resiprositas terdapat dalam banyak kegiatan. Bentuk-bentuk saling bantu-
membantu berupa gotong royong di Jawa merupakan contoh resiprositas yang
sangat teratur. Resiprositas juga merupakan prinsip moral yang pokok yang
mendasari kegiatan sosial desa-desa di Muangthai, baik dilingkungan keluarga
maupun antar keluarga. Di Filipina, pola persekutuan diantara manusia yang satu
dengan manusia yang lain pada umumnya ditafsirkan sebagai resiprositas, bahwa
“setiap jasa yang diterima, diminta atau tidak, harus dibalas,” rasa malu (hiya) dan
rasa berhutang budi (utang na loob) merupakan daya penggerak resiprositas (Scott.
1981:255-256).
Terkait dengan sistem sumbangan dalam penelitian Novita Purnamasari
(2000:98-99) dijelaskan bahwa bagi pemangku hajat, sumbangan yang diterima
pada suatu hari nanti harus dikembalikan dengan mengidealkan bentuk dan jumlah
yang sepadan dengan yang diterimanya, sekurang-kurangnya sama dengan jumlah
yang diterimanya. Pengambalian sumbangan harus disesuaikan dengan
perkembangan nilai tukar uang, karena kesempatan untuk memberikan sumbangan
terutama pada kesempatan yang sama tidak terjadi pada tahun yang sama. Pada
masyarakat Jawa sumbangan dilihat sebagai bantuan penyelenggaraan upacara
perkawinan yang merupakan suatu balas jasa atas segala bentuk bantuan yang telah
diberikan pada masa sebelumnya. Oleh karena itu pendapatan dari sumbangan dapat
diperhitungkan dalam rencana pembiayaan upacara perkawinan. Meskipun
demikian, dalam masyarakat terdapat suatu pandangan bahwa sumbangan
dipandang sebagai tanda kasih yang harus diingat dengan baik agar suatu hari nanti
dapat terbalas dengan sepadan dan tidak memperhitungkannya dalam rencana
pembiayaan upacara perkawinan
Sistem hubungan timbal balik pemberian bukanlah sesuatu yang gratis
tanpa pengembalian, dan tanpa pamrih. Dalam teori, pemberian-pemberian hadiah
seperti itu sebenarnya dilakukan secara suka rela, tetapi dalam kenyataan
kesemuannya itu diberikan dan dibayar kembali dalam suatu kerangka kewajiban
yang harus dipenuhi oleh para pelakunya (Marcel Mauss. 1992:1). Marcel Mauss
(1992:2) dalam bukunya mengatakan,
prestasi-prestasi yang dalam teori bersifat sukarela tanpa pakasaan, tanpa pamrih dan sopan, tetapi dalam kenyataannya bersifat mengharuskan atau mewajibkan dan bersikap pamrih. Bentuk yang biasanya digunakan ialah pemberian hadiah yang secara murah hati disajikan; tetapi kelakuan yang menyertai pemberian itu resmi dengan kepura-puraan dan penipuan sosial, sementara transaksi itu sendiri dilandasi oleh kewajiban dan kepentingan ekonomi diri sendiri dari para pelakunya.
Blau dalam Margaret .M. Poloma (1994:82) menjelaskan bahwa ”dalam menjawab
pertanyaan apakah yang menarik individu kedalam assosiasi? Jawaban Blau ialah
mereka tertarik pada pertukaran karena mengharapkan ganjaran yang intrinsik
maupun ekstrinsik”.
Novita Purnamasari (2000:91-92) dalam penelitian mandirinya
menjelaskan jika keaktifan seseorang dalam menyumbang dan memenuhi undangan
perkawinan menunjukkan sebagai orang yang gemati (penuh perhatian) dan
entengan (suka menolong), sebagai balasanya orang yang menyumbang tersebut
mudah mendapatkan balasan dan diperhatikan pula oleh lingkungan sosialnya
sehingga pada saat membutuhkan pertolongan akan segera mendapat bantuan bila
dibandingkan dengan mereka yang kurang aktif dalam aktifitas sosialnya.
Status, kedudukan, dan pangkat dalam sistem hubungan timbal balik yang
bersifat pamrih ini akan mempengaruhi jumlah banyak sedikitnya rekan dalam
melaksanakan hubungan pertukaran pemberian. Malinowski (1992:91)
menjelaskan, “the number of partner a man has varies with his rank and
importance…a man would naturally know to what number of partners he was
entitled by his rank and position” (jumlah rekan setiap orang berbeda-beda dengan
pangkat dan kepentingan mereka…setiap orang secara alamiah akan tahu berapa
jumlah rekan yang telah mereka dapat dengan pangkat dan posisi mereka).
Sistem hubungan timbal balik dalam pemberian ini telah menjadi suatu
pranata yang kuat, serta membentuk suatu prosedur yang rumit. Marcel Mauss
menyebutkan ada tiga macam kewajiban dalam pemberian, yaitu kewajiban
memberi, kewajiban menerima, dan membayar kembali. Marcel Mauss (2005: 59)
mengatakan :
…Pada prinsipnya pemberian-pemberian selalu diterima dan selalu disukuri. Anda harus mengatakan rasa sukur anda atas makanan yang telah dipersiapkan untuk anda. Tetapi pada saat yang sama, anda menerima sebuah tantangan. Anda menerima pemberian “dari punggung”. Anda menerima makanan yang diberikan kepada anda karena anda bermaksud untuk menerima tantangan untuk membuktikan bahwa anda bukanlah seseorang yang tidak ada harganya... .
Dalam konteks sumbangan pada acara pernikahan, pernyataan tersebut dapat
dipahami bahwa para tamu undangan harus selalu bersyukur atas hidangan pesta
yang dipersiapkan untuk mereka. Akan tetapi hal ini sebenarnya merupakan suatu
tantangan bagi para tamu undangan untuk membalasnya yaitu dengan memberikan
sumbangan kepada pihak yang mengadakan hajat, serta mengadakan pesta pada saat
giliran mereka mempunyai hajat agar tidak dikatakan sebagai orang yang tidak
berharga atau orang yang rendah martabatnya. Kegagalan untuk memberi atau
menerima sama dengan kegagalan untuk membalas pemberian, yang sama artinya
dengan kehilangan rasa harga diri dan kehormatan, lebih lanjut Mauss (2005: 59-
60) mengemukakan bahwa ”orang yang tidak dapat membayar hutang atau
pothlach, kehilangan kedudukannya dalam jenjang sosial dan bahkan
kedudukannya sebagai orang bebas”. Marcel Mauss (1992: 16) juga mengatakan:
Kewajiban untuk memberi hadiah tidaklah kurang pentingnya. Jika kita memahami hal ini, maka kita seharusnya juga mengetahui mengapa manusia sampai melakukan tukar menukar benda satu dengan yang lainnya. Kita semata-mata akan menunjukkan sejumlah fakta. Menolak untuk memberi hadiah, atau lalai mengundang, adalah--sama dengan menolak untuk menerima--sama dengan membuat suatu pernyataan perang; ini sama dengan suatu penolakan terhadap saling berhubungan dan persahabatan. Sekali lagi, seseorang memberikan karena didorong untuk melakukan hal itu, karena si penerima mempunyai semacam hak pemilikan atas segala sesuatu yang menjadi milik si donor. Hal ini dinyatakan dan dibayangkan sebagai semacam ikatan sosial.
Ikatan sosial yang dihasilkan dari sistem timbal balik dalam pemberian dan
penerimaan juga dijelaskan oleh Aafke .E. Komter (2005:116-117), yang
menjelaskan bahwa, ”social ties are created, sustained and strengthened by means
of gift. Acts of gift exchange are at the basis of human solidarity” , (hubungan sosial
diciptakan, ditopang dan diperkuat oleh pemberian. Aktifitas tukar menukar
pemberian adalah dasar dari solidaritas manusia). Labih lanjut Komter (2005: 195)
menjelaskan; “the principle of reciprocity underlying gift exchange proved to be the
fundament of human society. It contains to moral basis for the development of
social ties and solidarity because it’s implicit assumption is the recognition of the
other person as a potentially” (prinsip dari hubungan timbal balik mendasari
pertukaran pemberaian yang dibuktikan menjadi dasar masyarakat manusia. Ini
berisi dasar moral dari perkembangan ikatan sosial dan solidaritas karena ini adalah
asumsi yang harus dipatuhi dari pengkuan orang lain sebagai suatu penggabungan).
Tidak dapat dipungkiri jika dalam sistem sumbangan yang menjadi suatu
pranata yang kuat dan penuh makna ini, di dalamnya juga terdapat konflik. Konflik
terjadi karena ketidak konsisitenan dari pada pelaksanaan aturan timbal baliknya.
Aafke .E. Komter (2005:30-31) menjelaskan,
different between people’s attitudes to wards things may be the source of disagreeable misunderstandings and serious disputes. Conflicts may arise between people when things represent a different value to them or embody different sets of expectations and different course of action that need to be undertaken
Dari pernyataan di atas dapat dipahami jika perbedaan diantara orang terhadap
barang mungkin menjadi sumber dari ketidak setujuan salah paham dan perselisihan
yang serius. Konflik mungkin timbul diantara orang saat benda menunjukkan suatu
perbedaan nilai untuk mereka atau aturan yang menjadi perbedaan dari harapan dan
perbedaan jalan dari aktivitas yang dibutuhkan untuk dilakukan.
Katherine Jellison (2007:408) dalam menanggapi analisis Louise Pubrick
mengemukakan, “Purbrick demonstrates that the meaning of a wedding gift depends
on who gives it, who receives it and the circumstances of its exchange, but she also
proves that the absence of a gift likewise communicates a message social
disapproval”, (Purbrick menunjukkan bahwa makna dari sebuah pernikahan hadiah
tergantung yang memberikan, yang menerimanya dan keadaan dari pertukaran, tetapi
dia juga membuktikan bahwa tidak adanya hadiah juga mengkomunikasikan pesan
penolakan sosial).
Margaret .M. Poloma (1994:69-70) dalam analisinya terhadap pemikiran
Homans menjelaskan bahwa “berbagai hubungan serta perjenjangan dalam
masyarakat harus sesuai dengan apa yang disebut Homans sebagai distribusi
keadilan (distributive justice)”. Ketika sedang berinteraksi orang mengharapkan
ganjaran mereka harus seimbang dengan biayanya. Bilamana ganjaran-ganjaran
tersebut kelak tidak sesuai lagi dengan distribusi keadilan itu, maka kita akan
berada dalam situasi ketidak adilan atau ketimpangan dalam distribusi ganjarang.
Kuatnya sistem pranata dari hubungan timbal balik pemberian dan
penerimaan serta sistem yang telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan
masyarakat, menjadikan sistem ini akan terus berlangsung. Marcel Mauss (1992:
16-17) menjelaskan, ”dalam saling menerima dan memberi hadiah-hadiah yang
berlangsung tetap dan terus menerus, dan dapat kita namakan sebagai masalah
spiritual yang meliputi orang-orang, benda-benda, dan unsur-unsur ini beredar dan
beredar kembali diantara klen-klen dan individu-individu, pangkat-pangkat, jenis
kelamin dan generasi-generasi”. Lebih lanjut Marcel Mauss (1992:136)
mengemukakan bahwa,
banyak dari morlitas kita sehari-hari berkenaan dengan kewajiban spontanitas dalam pemberian hadiah. Pemberian hadiah merupakan suatu keuntungan bagi kita karena penerimaan dan pemberian belum sampai diganti menjadi pembelian dan penjualan. Benda-benda mempunyai nilai yang mencakup nilai emosi maupun nilai materi; sesungguhnya dalam beberapa kasus, nilai-nilai yang berlaku secara keseluruhannya bersifat emosional. Moralitas kita tidak semata-mata bersifat komersial. Kita masih mempunyai orang-orang dan kelas-kelas sosial yang tetap berpegang pada adat-istiadat masa lampau, dan
kita menghormati mereka itu pada peristiwa-peristiwa tertentu dan pada waktu-waktu tertentu dalam setiap tahunnya.
4. Kekerasan Simbolik dalam Sistem Sumbangan
Smith dalam Saifuddin (2005:142) mencatat bahwa ”tukar menukar adalah
sifat alamiah manusia, karena tak seorang pun pernah menyaksikan dua ekor anjing
saling mempertukarkan tulang, namun manusialah makhluk yang saling bertukar
dengan aneka ragam cara”. Akan tetapi bagi mereka yang tidak memiliki modal
dalam pelaksanaan sistem pertukaran ini menimbulkan suatu konsekuensi
tersendiri. Kuatnya sistem hubungan timbal balik dalam kebiasaan sumbangan
menimbulkan komitmen bagi warga masyarakat untuk tetap melaksanakan dengan
berbagai cara. Koentjaraningrat (1992:172) mengemukakan bahwa, ”orang desa
menyumbang dan membantu sesamanya itu karena ia terpaksa atas jasa yang pernah
diberikan kepadanya dan ia menyumbang untuk mendapatkan pertolongannya lagi
dikemudian hari”. Marcel Mauss (2005:137) juga mendiskripsikan pengalamannya
tentang sebuah keluarga dalam masa kanak-kanaknya di Lorraine, yang terpaksa
harus hidup dalam keadaan serba kekurangan, masih berani menghadapi
kehancuran diri mereka sendiri demi kepentingan para tamunya pada hari-hari suci,
perkawinan, komuni pertama dan upacara penguburan.
Hal ini sering menjadi keadaan seperti apa yang disebutkan Bourdieu
sebagai kekerasan simbolis. Kekerasan simbolis menurut Bourdieu dalam Richard
Jenkins (2004:157) adalah ”pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya
kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal ini
dialami sebagai sesuatu yang sah”. Atau dengan kata lain kekerasan simbolis adalah
kekerasan yang secara paksa mendapatkan kepatuhan yang tidak dirasakan sebagai
paksaan dengan bersandar pada harapan-harapan kolektif dari kepercayaan-
kepercayaan yang sudah tertanam secara sosial (Haryatmoko. 2003:38). Kekerasan
semacam ini oleh korbanya tidak dilihat atau tidak dirasakan sebagai kekerasan,
tetapi sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar. Bourdieu dalam Haryatmoko
(2003:18-19) menjelaskan bahwa,
pada dasarnya kekerasan simbolis berlangsung karena ketidak tahuan dari yang ditindas. Jadi, sebetulnya logika dominasi ini bisa berjalan karena prinsip simbolis yang diketahui dan diterima baik oleh yang menguasai maupun yang dikuasai. Prinsip simbolis itu berupa bahasa, gaya hidup, cara berpikir, cara bertindak dan kepemilikan yang khas pada kelompok tertentu atas dasar ciri kebutuhan.
Seperti halnya ilmu gaib, teori kekerasan simbolik berdasarkan pada teori
produksi kepercayaan, yang didapat dari proses sosialisasi yang diperlukan untuk
meproduksi pelaku-pelaku sosial yang dilengkapi dengan skema persepsi dan
apresiasi yang memungkinkan mereka mampu menerima perintah-perintah yang
diberikan dalam suatu situasi atau suatu wacana untuk mematuhinya. Kekerasan
simbolik bekerja dengan mekanisme meconnaissance –mekanisme penyembunyian
kekerasan yang dimiliki-menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang
seharusnya demikian”. “Yang memang seharusnya demikian” inilah yang oleh
Bourdieu disebut dengan doxa. Dunia sosial manusia penuh dengan doxa. Bourdieu
menjelaskan doxa adalah wacana yang kita terima begitu saja sebagai kebenaran
dan tidak pernah lagi kita pertanyakan sebab-sebabnya apalagi kebenarannya.
Keberadaan doxa hanya dapat diperoleh melalui proses inkalkulasi, atau proses
penanaman yang berlangsung terus menerus (Bourdieu dalam Suma Riella
Rusdiarti. 2003:38).
Pelaku sosial menerima kekerasan simbolik sebagai sesuatu yang wajar
karena kekerasan simbolik sudah dipahami dan sudah menjadi kebiasaan yang telah
dimiliki oleh pelaku sosial sejak lahir. Mekanisme kekerasan simbolik berjalan
dengan dua cara, yaitu eufemisasi dan sensorisasi. Eufemisasi biasanya membuat
kekerasan simbolik tidak tampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan
dipilah secara “tak sadar”. Bentuknya dapat berupa kepercayaan, kewajiban,
kesetiaan, sopan santun, pemberian, hutang, pahala, atau belas kasihan. Sementara,
mekanisme sensorisasi menjadikan kekerasan simbolik tampak sebagai bentuk nilai
yang dianggap sebagai “moral kehormatan”, seperti kesantunan, kesucian,
kedermawanan, dan sebagainya yang biasanya dipertentangkan dengan “moral
rendah”, seperti kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, kerakusan, dan
sebagainya (Bourdieu dalam Suma Riella Rusdiarti. 2003:38-39).
Adanya standarisasi berkaitan dengan jumlah sumbangan yang akan
diberikan dalam masyarakat juga sering menambah adanya kekerasan simbolik bagi
mereka yang kurang memiliki modal. Dalam penelitian Novita Purnamasari
(2000:94-95) dijelaskan bahwa sumbangan yang akan diberikan akan
dipertimbangkan secara rasional oleh masyarakat Yogyakarta. Pemberian
sumbangan uang akan disesuaikan dengan pesta perkawinan yang diadakan
pengundang, selain dengan melihat kedekatan hubungan, penyumbang akan
menghitung sendiri jumlah yang pantas diberikan pada pengundang berdasarkan
tempat dimana acara akan dilakukan. Seseorang akan menyumbang lebih jika
diundang di pesta perkawinan karena acara tersebut terkesan lebih mewah dan lebih
bergengsi, kemudian komponen pesta yang lain seperti tempat dan makanan yang
disuguhkan akan menjadi pertimbangan lain.
Masyarakat memiliki kekuasaan penuh dalam hal ini, Rousseau dalam
Saifudin (2005:141-142) menjelaskan bahwa,
masyarakat bukanlah sebagai gejala alam, melainkan penjumlahan kekuatan-kekuatan yang hanya dapat muncul apabila beberapa orang berhimpun bersama. Setiap orang harus menyerahkan diri, tunduk, tidak kepada kekuasaan seseorang melainkan kepada kolektivitas atau asosiasi dengan cara mematuhi arahan tertinggi dari kehendak umum.
Margaret Poloma (1994:89) mangemukakan bahwa, ”wewenang
berdasarkan atas norma-norma atau aturan-aturan bersama menggariskan perilaku
dalam suatu kolektifitas. Norma-norma itu memaksakan individu mematuhi aturan
dari mereka yang berkuasa. Norma-norma demikian diiternalisir oleh anggota
kelompok dan dipaksakan kepada mereka”. Blau dalam Margaret Poloma (1994:89)
juga berpendapat bahwa,
ukuran-ukuran normatif yang mendasari wewenang yang terlembaga tidak lahir dalam proses interaksi sosial antara mereka yang berada di lapisan atas dan bawah dan diantara sesama mereka yang berada dilapisan bawah, tetapi dalam proses sosialisasi dimana setiap orang secara terpisah mengakui kebudayaan bersama.
Dengan kata lain, kita belajar menerima struktur wewenang sebab kita disosialisir
kedalam kebudayaan kita sendiri.
B. Kerangka Berpikir
Sumbangan dalam acara pernikahan memiliki arti penting dalam
kehidupan masyarakat. Pada dasarnya sistem sumbangan ini merupakan suatu
bentuk aktifitas tolong menolong dari masyarakat yang berupa bantuan baik berupa
benda maupun biaya (uang) untuk pihak yang sedang mengadakan suatu hajat.
Sesuai dengan teori fungsionalisme yang menganalogikan masyarakat layaknya
seperti organisme hidup dimana memiliki bagian-bagian yang terikat secara
fungsional untuk mencapai suatu tujuan bersama, sumbangan sebagai suatu sistem
juga dapat dianalogikan layaknya seperti itu. Dalam sumbangan terdiri dari
berbagai unsur seperti pemberi, penerima, benda yang diberikan atau diterima, dan
sebagainya sehingga membentuk suatu sistem yang sangat kuat dengan berbagai
konsekuensi kewajiban yang harus dilaksanakan. Sumbangan yang merupakan
suatu bentuk pemberian menjadi salah satu sistem yang dapat membentuk serta
memperkuat keberadaan masyarakat.
Sebagai suatu sistem yang sangat kuat yang menimbulkan tiga kewajiban
seperti yang dikemukakan Marcel Mauss yaitu kewajiban memberi, kewajiban
menerima dan kewajiban membayar kembali, kewajiban sumbangan dalam acara
pernikahan seperti halnya mata rantai yang saling menyambung dan tidak terputus.
Sistem sumbangan menjadi suatu adat kebiasaan serta kewajiban yang telah
terinternalisasi oleh setiap warga masayarakat semenjak mereka masih kecil.
Akibatnya masyarakat yang merupakan unsur pelaku sistem tersebut menjadi
terikat dan tidak dapat keluar dari sistem. Hal ini menimbulkan konsekuensi
dimana mereka harus selalu melaksanakan sistem dengan berbagai cara dan upaya.
Bagi mereka yang tidak memiliki modal hal ini tentunya akan menimbulkan suatu
bentuk kekerasan simbolik dimana masyarakat memiliki kekuatan kekuasaan
penuh. Setiap individu sebagai warga masyarakat akan tunduk dan patuh terhadap
kekuasaan bersama dalam masyarakat sebagai kehendak umum. Kekerasan
simbolik yang dialami individu-individu yang tidak memiliki modal tidak dapat
terlihat secara jelas karena sistem sumbangan sudah membudaya dalam kehidupan
masyarakat dan juga menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat. Sebagai
akibatnya sistem ini akan bergeser atau berubah menjadi sistem lain yang berbeda
jenisnya atau terjadi pergeseran makna dan arti penting yang akan terjadi dalam
sistem sumbangan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian tentang makna sumbangan dalam acara pernikahan masa kini ini
dilaksanakan di Kabupaten Sragen, yaitu di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang.
Pengambilan lokasi ini didasarkan pada masih terlaksananya sistem sumbangan
dengan lengkap, dimana sumbangan yang diberikan pada pihak yang sedang
mengadakan pesta pernikahan di daerah ini masih berbentuk barang (hasil bumi),
uang, kado (cindera mata) dan yang lainnya. Di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang,
Kabupaten Sragen sistem sumbangan juga masih terlaksana dengan baik. Sistem
sumbangan di daerah ini masih menjadi adat kebiasaan yang berjalan dengan kuat.
Selain itu, lokasi penelitian ini jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat domisili
peneliti sehingga dirasa akan lebih mudah dijangkau dan lebih cepat dalam proses
pengambilan datanya. Proses ricek data akan dapat dilakukan dengan mudah dan
cepat, sehingga validitas data bisa dicapai
Penelitian ini dilakukan dalam waktu delapan bulan, mulai dari bulan
November 2008 sampai dengan bulan Juli 2009. Adapun secara lebih terperinci
disajikan dalam tabel perincian waktu pelaksanaan penelitian sebagai berikut:
No
Kegiatan
Bulan Nov ‘08
Des ‘08
Jan ‘09
Feb ‘09
Mar ‘09
Apr ‘09
Mei ‘09
Jun ‘09
Jul ‘09
1. Penyusunan proposal
2. Desain Penelitian
3. Pengumpulan data dan analisis data
4. Penyusunan laporan
Tabel 1: Perincian waktu pelaksanaan penelitian
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah penelitian kualitatif diskriptif, dimana dalam
penelitian kualitatif diskriptif akan mampu menangkap berbagai informasi kualitatif
dengan diskripsi yang teliti dan penuh nuansa. Dalam hal ini, peneliti akan
menangkap berbagai fenomena dan informasi yang berkaitan dengan objek penelitian
di lapangan, kemudian direkonstruksi secara tidak bebas nilai. Penelitian ini
menggunakan desain penelitian yang bersifat lentur dan terbuka, disesuaikan dengan
kondisi dan fakta yang ada di lapangan. Maka setiap saat data dapat berubah sesuai
dengan pengetahuan baru yang ditemukan. Berdasarkan lokasi atau tempat dimana
penelitian dilakukan, penelitian ini termasuk penelitian kancah (field research). Y.
Slamet (2006:9) menjelaskan, ”penelitian kancah (field research) adalah penelitian
yang dilakukan disuatu daerah geografis tertentu dimana peneliti terjun ke
masyarakat secara langsung melihat apa yang terjadi”. Peneliti berinteraksi dengan
informan-informan sampai data-data yang diperlukan betul-betul lengkap dan tepat,
serta peneliti benar-benar puas dalam mengambil informasi. Penelitian ini bersifat
penelitian dasar (basic research). Sedangkan strategi penelitian yang digunakan
yaitu studi kasus. Seperti yang dikemukakan Abdul Azis SR. dalam Burhan Bungin
(2003:23) dengan studi kasus akan dapat mengisaratkan beberapa keunggulan sebagai
berikut:
1. Studi kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antar variabel serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas.
2. Studi kasus memberikan kesempatan untuk memperoleh wawasan mengenai konsep-konsep dasar perilaku manusia.
3. Studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam dalam rangka pengembangan ilmu-ilmu sosial.
Disamping tiga keunggulan di atas, studi kasus dapat memiliki keunggulan spesifik
lainnya, seperti yang dikemukakan Black dan Champion dalam Burhan Bungin
(2003:23), yakni:
1. Bersifat luwes berkenaan dengan metode pengumpulan data yang digunakan.
2. Keluwesan studi kasus menjangkau dimensi yang sesungguhnya dari topik yang diselidiki.
3. Dapat dilaksanakan secara praktis di dalam banyak lingkungan sosial. 4. Studi kasus menawarkan kesempatan menguji teori. 5. Studi kasus bisa sangat murah, tergantung pada jangkauan penyelidikan dan
tipe teknik pengumpulan data yang digunakan.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus
tunggal terpancang. HB. Sutopo (2002:112) menjelaskan, ”suatu penelitian disebut
sebagai bentuk studi kasus tunggal bilamana penelitian tersebut terarah pada satu
karakteristik”. Artinya penelitian tersebut hanya dilakukan pada satu sasaran (satu
lokasi atau satu subjek). Jumlah sasaran (lokasi studi) tidak menentukan suatu
penelitian berupa studi kasus tunggal ataupun ganda, meskipun penelitian dilakukan
di beberapa lokasi (beberapa kelompok atau sejumlah pribadi), kalau sasaran studi
tersebut memiliki karakteristik yang sama atau seragam maka penelitian tersebut
tetap merupakan studi kasus tunggal. Begitu juga dengan penelitian tentang Makna
Sumbangan pada Acara Pernikahan Masa Kini ini yang hanya dilakukan pada satu
sasaran, yaitu sistem sumbangan di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen
yang memiliki suatu karakteristik. Penelitian ini juga termasuk penelitian terpancang
karena peneliti telah memilih dan menentukan masalah-masalah yang menjadi fokus
utamannya sebelum memasuki lapangan studinya.
C. Sumber Data
Data yang dikaji dan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif.
Ada dua sumber data penting yang akan dijadikan sasaran dalam pencarian informasi
dan yang akan dimanfaatkan dalam penelitian ini. Kedua sumber data tersebut ialah:
a. Informan atau narasumber, yaitu warga masyarakat di lokasi penelitian
serta pihak-pihak yang sedang atau pernah mengadakan acara pernikahan.
b. Sumber data dari peristiwa atau aktivitas, yaitu ketika acara pernikahan
dan sistem sumbangan ini dilaksanakan.
D. Teknik Cuplikan (Sampling)
Teknik cuplikan (sampling) yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik
purposive sampling. H.B. Sutopo (2002:56) menjelaskan bahwa dalam teknik
purposive sampling peneliti memilih informan yang dianggap mengetahui informasi
dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data
yang mantab. Berkaitan dengan pemilihan informan yang baik, peneliti dalam hal ini
mempertimbangkan analisis Spradley (2007: 68-77) yang telah menganalisis lima
persyaratan minimal untuk memilih informan yang baik, yaitu:
1. Enkulturasi penuh (informan yang mengetahui budayanya dengan baik secara alami).
2. Keterlibatan langsung (keterlibatan secara langsung yang dialami oleh calon informan).
3. Suasana budaya yang tidak dikenal oleh peneliti (informan yang bukan daerah seasal dengan peneliti).
4. Waktu yang cukup (memilih informan yang tidak terlalu sibuk dan mudah diteliti).
5. Non-analitis (informan yang tidak menganalisis kebudayaannya sendiri dari perspektif orang luar, tetapi dari masyarakatnya sendiri).
Dalam penelitian ini, peneliti juga memilih informan kunci. Suwardi
Endraswara (2006:119) menyebutkan bahwa, ”informan kunci adalah seseorang yang
memiliki informasi relatif lengkap terhadap budaya yang diteliti”. Peneliti juga akan
mempertimbangkan tentang penentuan siapa yang akan menjadi informan kunci
seperti yang dikemukakan Suwardi Endraswara (2006:119) sebagai berikut:
1. Orang yang bersangkutan memiliki pengalaman pribadi sesuai dengan permasalahan yang diteliti;
2. Usia orang yang bersangkutan telah dewasa; 3. Orang yang bersangkutan sehat jasmani dan rohani; 4. Orang yang bersangkutan bersifat netral, tidak mempunyai kepentingan
pribadi untuk menjelekkan orang lain;
5. Orang yang bersangkutan tokoh masyarakat; 6. Orang yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang luas mengenai
permasalahan yang diteliti, dan lain-lain.
Informan dalam penelitian ini yaitu Warto (bukan nama sebenarnya) yang
merupakan mantan kepala Desa Jati yang telah menjabat selama 22 tahun 8 bulan,
Pardi (bukan nama sebenarnya) sekretaris Desa Jati, Yono (bukan nama sebenarnya)
salah satu bayan dukuh di Desa Jati, Brama (bukan nama sebenarnya) salah satu
pemuda warga Desa Jati yang juga merupakan seorang mahasiswa, Endang serta
Ratmi (bukan nama sebenarnya) yang juga warga Desa Jati. Informan-informan ini
dirasa sesuai dengan pertimbangan Spradley dan Endraswara di atas dalam
menentukan dan memilih informan penelitian.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
wawancara dan observasi.
a. Wawancara mendalam (in depth interviewing)
Dalam penelitian ini teknik wawancara yang digunakan adalah
teknik wawancara tidak terstruktur (wawancara mendalam / in-depth
interviewing). Wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang bersifat
“open-ended” dan mengarah pada kedalaman informasi, serta dilakukan
dengan cara yang tidak secara formal terstruktur, guna menggali
pandangan subyek yang diteliti tentang banyak hal yang sangat
bermanfaat untuk menjadi dasar bagi penggalian informasi secara lebih
jauh dan mendalam. Seperti yang dikemukakan Suwardi Endraswara
(2006:151) tujuan wawancara antara lain adalah,
(a) Untuk menggali pemikiran konstruktif seseorang informan, yang menyangkut peristiwa, organisasi, perasaan, perhatian, dan sebagainya yang terkait dengan aktivitas budaya.
(b) Untuk merekonstruksi pemikiran ulang tentang hal ikhwal yang dialami informan masa lalu atau masa sebelumnya.
(c) Untuk mengungkapkan proyeksi pemikiran informan tentang kemungkinan budaya miliknya dimasa mendatang.
Sesuai dengan fokus dalam penelitian ini, berbagai tujuan tersebut akan
diarahkan pada makna sumbangan pada acara pernikahan masa kini.
Dalam melakukan wawancara peneliti juga memperhatikan dan
menerapkan beberapa syarat-syarat kode etik penting dalam wawancara
yang dikemukakan Payne dalam Suwardi Endraswara (2006:152) sebagai
berikut:
1. Peneliti sebaiknya menghindari kata-kata yang mempunyai dua makna atau banyak arti;
2. Peneliti sebaiknya menghindari pertanyaan-pertanyaan panjang, yang sebenarnya mengandung banyak pertanyaan khusus. Pertanyaan panjang sebaiknya dipecah-pecah kedalam bagian-bagian dan ditanyakan secara bertahap;
3. Peneliti sebaiknya membuat pertanyaan sekongkret mungkin dengan penunjuk waktu dan lokasi yang kongkret;
4. Sebaiknya seorang peneliti mengajukan pertanyaan dalam rangka pengalaman kongkret dari si responden (baca: informan);
5. Peneliti sebaiknya menyebut semua alternatif yang dapat diberikan oleh responden (baca: informan) atas partanyaanya, atau sebaliknya jangan menyebut yang alternatif sama sekali;
6. Dalam wawancara mengenai pokok-pokok yang dapat membuat informan atau responden malu, canggung, atau kagok, maka peneliti sebaiknya mempergunakan istilah yang dapat menghaluskan konsep atau membuatnya netral (euphemisme);
7. Dalam wawancara mengenai pokok seperti sub 6, gaya pertanyaan sebaiknya dinetralkan dengan kata-kata yang seolah-olah mengalihkan kesalahanya kepada keadaan informan;
8. Dalam wawancara mengenai pokok seperti tersebut dalam bab 6, seseorang peneliti sebaiknya juga mempergunakan gaya bertanya yang tidak menyangkutkan informan atau responden dengan masalahnya;
9. Dalam wawancara mengenai pook-pokok seperti yang tersebut dalam sub 6 dan 7, maka peneliti sebaiknya mengajukan pertanyaan yang terpaksa dijawab secara positif atau kalau diingkari juga diingkari secara tegas;
10. Dalam wawancara dimana responden (baca: informan) harus menilai orang ketiga, sebaiknya peneliti menanyakan sifat positif maupun yang negatif dari orang ketiga itu.
b. Observasi
Pengumpulan data dengan metode observasi dalam penelitian ini
dilakukan dengan pengamatan secara langsung (observasi secara
langsung) terhadap objek yang diamati. Peneliti menggunakan teknik
observasi non partisipan, dimana peneliti tidak berperan serta dan tidak
terlibat secara langsung dalam kegiatan yang dilakukan obyek penelitian.
Peneliti hanya mengamati tentang berbagai hal yang berkaitan dengan
bentuk sumbangan dan berbagai aktivitas bekenaan dengan pelaksanaan
sistem sumbangan yang ada pada acara pernikahan masa kini. Dalam
pengumpulan data dengan menggunakan observasi ini peneliti juga
menerapkan saran Suparlan dalam Suwardi Endraswara (2006:134)
tentang delapan hal yang harus diperhatikan peneliti saat melakukan
pengamatan, diantaranya yaitu; “(1) ruang dan waktu, (2) pelaku, (3)
kegiatan, (4) benda-banda atau alat-alat, (5) waktu, (6) peristiwa, (7)
tujuan, dan (8) perasaan”.
F. Validitas Data
Guna menjamin dan mengembangkan validitas data dalam penelitian ini
maka teknik pengembangan validitas data yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Trianggulasi Data (Trianggulasi Sumber)
Dalam hal ini data yang sejenis atau sama akan lebih mantap kebenaranya
bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda. Data yang telah
diperoleh dari sumber yang satu, bisa teruji kebenarannya bila
dibandingkan dengan data sejenis yang diperoleh dari sumber lain yang
berbeda.
b. Trianggulasi Metode
Trianggulasi metode dilakukan dengan menggunakan metode atau teknik
pengumpulan data yang berbeda, untuk mendapatkan data yang sama atau
sejenis. Adapun metode atau teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu teknik wawancara mendalam (in-depth
interviewing) dan teknik observasi secara langsung.
c. Review Informan
Cara lain untuk menjamin dan mengembangkan validitas data yang juga
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan review informan. Teknik ini
dilakukan dengan cara menginformasikan ulang data yang telah didapat
untuk memperoleh kebaikan, kelengkapan dan kebenaran data. Maka
dalam hal ini peneliti sebagai instrumen penelitian senantiasa melakukan
koreksi secara terus menerus mengenai hasil penelitiannya.
G. Analisis data
Miles dan Huberman dalam HB. Sutopo (2002:94) menyatakan bahwa
“terdapat dua model pokok dalam melaksanakan analisis di dalam penelitian
kualititatif, yaitu : 1) model analisis jalinan atau mengalir (flow model of analysis),
dan 2) model analisis interaktif”. Model analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah model analisis interaktif yang meliputi empat komponen yaitu
pengumpulan data, reduksi data (reduction), sajian data (display) dan penarikan
kesimpulan dan verifikasinya. Tiga komponen analisis (reduksi data, sajian data dan
verifikasi data), aktivitasnya dapat dilakukan dengan cara interaksi, baik antar
komponennya, maupun dengan proses pengumpulan data, dalam proses yang
berbentuk siklus. Adapun tahapannya adalah sebagai berikut :
i. Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data diperoleh dari berbagai sumber, antara lain dari
buku-buku yang relevan, informasi dari sumber, peristiwa, observasi
dilapangan, dan sebagainya. Sedangkan pengumpulan data melalui
teknik observasi secara langsung dan wawancara mendalam (in depth
interviewing).
ii. Reduksi Data (Reduction)
Reduksi data ialah bagian dari proses analisis yang mempertegas,
memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting,
dan mengatur data sedemikian rupa sehingga simpulan penelitian dapat
dilakukan.
iii. Sajian Data (Display)
Sajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi, diskripsi
dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat
dilakukan. Sajian ini merupakan rakitan kalimat yang disusun secara logis
dan sistematis, sehingga bila dibaca, akan bisa mudah dipahami berbagai
hal yang terjadi dan memungkinkan peneliti untuk berbuat sesuatu pada
analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pemahamannya tersebut.
Sajian data selain dalam bentuk narasi kalimat, juga dapat meliputi
berbagai jenis matriks, gambar/skema, jaringan kerja kaitan kegiatan, dan
juga tabel sebagai pendukung narasinya.
iv. Penarikan kesimpulan dan verifikasinya
Dari awal pengumpulan data, peneliti sudah harus memahami apa
arti dari berbagai hal yang ia temui dengan melakukan peraturan-
peraturan, pola-pola, pernyataan-pernyataan, konfigurasi yang mungkin,
arahan sebab akibat dan berbagai proporsi guna menarik kesimpulan
akhir. Kesimpulan akhir tidak akan terjadi sampai pada waktu proses
pengumpulan data berakhir. Kesimpulan tersebut harus diverifikasi agar
cukup mantap dan benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Adapun
interaksi diantara keempat komponen tersebut dapat digambarkan dalam
skema berikut :
Reduksi
data
Pengumpulan data
Penarikan simpulan / verifikasi
Sajian data
Gambar 1: model analisis interaktif
H. Prosedur Penelitian
Kegiatan penelitian ini seluruhnya dapat dilihat dalam langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Persiapan
a. Mengajukan judul penelitian kepada pembimbing
b. Mengumpulkan bahan/sumber, materi/referensi yang dibutuh- kan
dalam penelitian.
c. Menyusun proposal penelitian.
d. Menyiapkan instrument penelitian dan alat observasi.
2. Pengumpulan Data
a. Pengumpulan data yang dilakukan dengan metode wawancara
mendalam dan observasi langsung.
b. Melakukan review dan pembahasan beragam data yang telah
terkumpul dengan melaksanakan refleksinya.
c. Membuat field note.
d. Mengatur data dengan memperhatikan semua variable yang
tergambar dalam kerangka berfikir.
3. Analisis Data
a. Menentukan teknik analisis data yang tepat sesuai dengan proposal
penelitian.
b. Melakukan analisis awal.
c. Mengembangkan sajian data dengan analisis lanjut kemudian
direcheck dengan temuan dilapangan.
d. Melakukan verivikasi, pengayaan dan pendalaman data.
e. Merumuskan simpulan akhir sebagai temuan penelitian.
4. Penyusunan Laporan Penelitian
a. Penyusunan laporan awal.
b. Review laporan yaitu mendiskusikan laporan yang telah disusun
dengan orang yang cukup memahami penelitian.
c. Melakukan perbaikan laporan.
d. Penyusunan laporan terakhir.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Diskripsi Lokasi Penelitian
Desa Jati termasuk dalam Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen,
Jawa Tengah. Luas Desa Jati adalah 420, 4760 Ha. Sebelah utara berbatasan dengan
Desa Cepoko, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Karang Tolun, sebelah barat
berbatasan dengan Desa Hadiluwih, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa
Gading. Desa ini terbagi dalam 10 dusun/dukuh, 9 RW (rukun warga), dan 27 rukun
tangga (RT). Desa Jati terletak agak jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten, yaitu
27 km ke arah barat. Sementara jarak dari pusat pemerintahan Kecamatan yaitu 3,5
km kearah utara dan dari pusat pemerintahan ibu kota propinsi berjarak 100 km.
Keadaan ini membuat suasana di Desa Jati relatif tenang, dan jauh dari kesibukan
kota (Data monografi Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen, tahun 2008).
Suasana pedesaan dengan lingkungan lahan pertanian masih mewarnai Desa
Jati. Lahan pertanian di Desa ini berupa sawah tadah hujan dengan dibantu pengairan
dari sumur yang dibuat di sekitar sawah dan tanah kering (ladang). Data monografi
Desa Jati tahun 2008 menunjukkan bahwa luas lahan pertanian di Desa ini adalah
251, 32 Ha (59,76% dari keseluruhan luas Desa Jati) dan untuk tanah kering
(pekarangan dan tegal/kebun) luasnya 169, 17 Ha (40,23% dari keseluruhan luas
Desa Jati) . Padi merupakan hasil pertanian terbesar dimana rata-rata hasil panennya
adalah 8 ton/Ha dengan dua kali panen dalam setiap tahun. Selain itu untuk hasil
sayuran adalah 2 ton/Ha, dan hasil buah-buahan sekitar 1 ton/Ha.
Keadaan penduduk Desa Jati bersifat heterogen. Jumlah penduduk di Desa
ini adalah 4.450 jiwa dengan perincian jumlah laki-laki 2.193 jiwa (49,28%) dan
perempuan 2.257 jiwa (50,72%). Mayoritas penduduk bekerja disektor agraris,
dengan jumlah 733 orang sebagai petani (16,48%), 1251 orang bekerja sebagai buruh
tani (28,11%). Sementara itu 30 orang karyawan (0,67%), 78 orang wirasawasta
(1,75%), 78 orang bekerja di sektor pertukangan (1,75%), dan 8 orang pensiunan
(0,18%). Penduduk Desa Jati mayoritas memeluk agama Islam dengan jumlah 4097
orang (92,07%), 9 orang memeluk agama Kristen (0,20%), 5 orang memeluk agama
Katholik (0,11%), 284 orang memeluk agama Hindu (6,38%), dan 18 orang
mememluk agama Budha (0,40%) (Data Monografi Desa Jati, Kecamatan
Sumberlawang, Sragen, tahun 2008).
Tingkat pendidikan masyarakat Desa Jati dapat dikatakan masih rendah.
Data Statistik Kecamatan Sumberlawang, Sragen tahun 2007 menunjukkan,
masyarakat Desa Jati yang tidak atau belum sekolah sekitar 7 orang warga (0,16%),
belum tamat sekolah dasar (SD) berjumlah 538 warga (12,09%), tidak tamat SD
berjumlah 542 warga (12,18%), warga lulusan SD berjumlah 1.793 warga (40,29%),
warga lulusan SMTP (Sekolah Menegah Tingkat Pertama) yaitu berjumlah 593 warga
(13,33%), warga lulusan SMTA (Sekolah Menengah Tingkat Atas) yaitu berjumlah
261 warga (5,87%), dan warga yang lulus akademi/perguruan tinggi berjumlah 63
warga (1,42%).
Berbagai organisasi kemasyarakatan tumbuh subur di Desa Jati. Diantaranya
yaitu organisasi Majlis Taklim terdapat 6 kelompok organisasi dengan anggota
keseluruhan berjumlah 155 orang, majelis Hindu 1 kelompok dengan jumlah anggota
38 orang, remaja Masjid 10 kelompok dengan anggota 125 orang, remaja Hindu 1
kelompok dengan jumlah anggota 17 orang, pramuka Gudep terdapat 4 gudep, karang
taruna 10 dukuh dengan jumlah keseluruhan anggota 450 orang, organisasi kesenian
dengan jumlah anggota 40 orang untuk kesenian karawitan dan 55 orang untuk
kesenian rebana, kelompok PKK dengan jumlah anggota 450 orang, dasa wisma
dengan jumlah 101 anggota, dan dharma tirta dengan jumlah anggota 20 orang (Data
monografi Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen tahun 2008).
Selain berbagai organisasi kemasyarakatan, seperti yang dikemukakan oleh
para informan jika di Desa Jati berbagai tradisi kebudayaan Jawa juga masih lestari.
Masyarakat Desa Jati selalu berupaya untuk tetap melestarikan kebudayaan Jawa
sebagai mana yang telah ditinggalkan masyarakat pendahulunya. Berbagai tradisi
Jawa masih tetap dilestarikan dan dilaksanakan tarmasuk yang menyangkut siklus
kehidupan manusia (kalahiran, proses perkembangan, dan kematian). Tradisi
kebudayaan Jawa dalam proses kelahiran yang masih lestari di Desa Jati seperti,
tingkeban2, sepasaran3, mitoni4, dan sebagainya. Tradisi kebudayaan Jawa dalam
proses perkembangan kehidupan misalnya khitanan/sunatan, pernikahan dengan
berbagai pernak-pernik upacara adatnya dan kebisaan-kebiasaan yang telah melekat
didalamnya, pembuatan rumah, dan sebagainya. Sedangkan kebudayaan Jawa terkait
dengan kematian yang masih lestari di Desa Jati misalnya, kondangan nelung ndino
(kirim doa bersama tiga hari setelah meninggalnya seseorang), mitung ndino (kirim
doa bersama tujuh hari setelah meninggalnya seseorang), matang puluh dino (kirim
doa bersama empat puluh hari setelah meninggalnya seseorang), nyatus (kirim doa
bersama seratus hari setelah meninggalnya seseorang), mendak pisan (kirim doa
bersama satu tahun setelah meninggalnya seseorang , mendak pindo (kirim doa
bersama dua tahun setelah meninggalnya seseorang), nyewu (kirim doa bersama
seribu hari setelah meninggalnya seseorang), dan sebagainya.
Kondisi daerah Desa Jati yang masih bersifat pedesaan, dengan penduduk
yang bersifat heterogen ini selaras dengan berbagai bentuk kerjasama, organisasi
kemasyarakatan, sikap saling tolong-menolong, kerukunan dalam kehidupan, saling
hormat menghormati, dan tenggang rasa yang masih tampak kuat keberadaannya.
Keadaan ini seperti apa yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dalam Yayuk
Yuliati dan Mangku Poernomo (2003:32) sebagai community sentiment atau sentimen
kelompok. Soerjono Soekanto dalam Yayuk Yulianti dan Mangku Poernomo
(2003:32) membedakan tiga unsur dalam sentimen kelompok yakni, ”unsur
seperasaan, sepenanggungan dan saling memerlukan”. Seperasaan adalah sikap
individu yang saling menyelaraskan kepentingannya dalam kelompok sehingga 2 Tingkeban: upacara selamatan yang di selenggarakan bulan ketujuh masa kehamilan (Clifford
Geertz. 1989:48-57) 3 Sepasaran: upacara selamatan lima hari sesudah kelahiran (Clifford Geertz. 1989:60-63) 4 Mitoni: upacara selamatan tujuh bulan setelah kelahiran (Clifford Geertz. 1989:63-65)
kepentingan kelompok merupakan manifestasi kepentingannya. Sepenanggungan
merupakan perasaan bahwa individu adalah anggota kelompok dimana ia mempunyai
tanggung jawab yang sama dalam kelompoknya. Sementara saling memerlukan
adalah kesadaran bahwa ia tergantung dan memerlukan kelompok itu dalam
menyokong kehidupannya. Kehidupan dalam kemasyarakatan seperti ini di Desa Jati
meliputi semua aktivitas kegiatan dalam semua aspek kehidupan, yaitu aktivitas
kebersamaan bermasyarakat yang saling merasakan, baik yang menyangkut
kesedihan maupun kebahagiaan, termasuk dalam aktifitas saling tukar menukar
pemberian sumbangan pada acara pernikahan.
B. Temuan Hasil Penelitian yang Dihubungkan dengan Kajian Teori
1. Waktu Pelaksanaan Pernikahan di Desa Jati
Pernikahan bagi masyarakat Indonesia selalu disertai dengan adanya upacara
yang dirayakan dengan perhelatan atau pesta. Dalam masyarakat, setiap keluarga
entah secara besar-besaran atau sederhana merencanakan persiapan perhelatan
pernikahan anak atau saudara mereka jauh-jauh hari sebelumnya. Khususnya
persiapan dalam pembiayaan acara pernikahan. Hal ini juga diketahui oleh para
tetangga atau masyarakat di sekitarnya. Masyarakat sekitar seringkali juga sudah
rasan-rasan (sedikit mengetahui) apabila salah seorang tetangganya hendak
melakukan perhelatan perkawinan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan maka dapat
diketahui bahwa pelaksanaan acara pernikahan di Desa Jati, Kecamatan
Sumberlawang, Sragen dalam setiap bulannya terdapat lebih dari satu kali, bahkan
dalam satu bulannya kadang-kadang sampai terdapat empat kali perhelatan acara
pernikahan. Masyarakat Desa Jati menyebutkan nama bulan dengan angka saja, dan
dari keterangan mereka dapat diketahui bahwa di Desa Jati acara pernikahan paling
ramai dilaksanakan pada bulan empat, lima dan enam penanggalan Masehi atau
dengan kata lain pada bulan April, Mei dan Juni. Tentu saja pemilihan bulan-bulan
yang banyak digunakan untuk mengadakan pernikahan ini bukanlah tanpa alasan.
Masyarakat Desa Jati yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani turut
mempengaruhi pemilihan bulan dalam melakukan perhelatan pernikahan. Alasan
yang mendasarinya adalah karena persoalan waktu yang dianggap tepat, dimana pada
bulan-bulan tersebut mereka sedang menunggu panen. Saat menunggu panen adalah
saat para warga masyarakat Desa Jati yang mayoritas bekerja di sektor pertanian
sedang tidak memiliki banyak pekerjaan seperti halnya pada saat musim tandur
(tanam), atau musim panen, sehingga banyak waktu longgar untuk menyelenggarakan
kegiatan acara pernikahan.
Meskipun demikian, seperti halnya kebudayaan masyarakat Jawa pada
umumnya, masyarakat Desa Jati juga mengetahui dan memahami tentang berbagai
perhitungan waktu yang dianggap baik dan waktu yang dianggap jelek atau sering
disebut dengan petungan5. Pengetahuan masyarakat tentang waktu yang dianggap
baik atau jelek juga turut berpengaruh pada saat kapan mereka akan melangsungkan
pernikahan. Dalam kalender perhitungan bulan Jawa maka bulan Suro dan bulan Apit
adalah bulan yang tidak boleh digunakan untuk menyelenggarakan acara hajatan
pernikahan. Apabila dihitung dengan penanggalan Jawa bulan Apit adalah bulan
Dulkaidah atau sering disebut dengan bulan Sela, yaitu antara bulan Sawal dan bulan
Besar. Bulan dalam penanggalan Jawa tidak dapat selalu di samakan dengan
perhitungan bulan Masehi, misalnya bulan Suro yang merupakan bulan awal tahun
baru pada penaggalan Jawa tidak selalu terletak pada bulan Januari (bulan awal pada
tahun baru Masehi). Hal ini dikarenakan perhitungan antara bulan Jawa dengan bulan
Masehi berbeda. Penanggalan Jawa menggunakan tarikh peredaran bulan, sedangkan
bulan Masehi menggunakan tarikh matahari.
Ada beberapa alasan mengapa bulan Apit dan bulan Suro tidak boleh
digunakan untuk menyelenggarakan acara hajatan pernikahan. Warto (bukan nama
5 Pentungan: sistem numerologi orang Jawa. Pentungan merupakan cara untuk menghindarkan semacam disharmoni dengan tatanan umum alam yang hanya akan membawa ketidak untungan. Misalnya petungan dalam penetapan kecocokan jodoh, petungan untuk pindah tempat tinggal, bepergian, penentuan waktu pernikahan dan sebagainnya (Clifford Geertz. 1989:38-44).
sebenarnya), salah satu informan secara terperinci penjelaskan dua alasan tersebut:
pertama, di daerah Surakarta dan Yogyakarta memiliki patokan bahwa bulan Apit dan
bulan Suro adalah bulan-bulan keramat. Menurut Warto, seperti yang dikemukakan
orang-orang/masyarakat pendahulunya bahwa pelaksanaan hajatan pernikahan pada
bulan Apit dan Suro hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang memiliki derajat
yang tinggi saja. Sementara masyarakat biasa dianggap tidak pantas untuk
menyelenggarakan hajatan pernikahan seperti yang dilakukan oleh orang yang
memiliki derajat tinggi pada trah (keturunan) mereka. Kedua, sesuai dengan
perhitungan Jawa memang ada bulan-bulan yang disingkiri, haram untuk
menyelenggarakan acara hajatan pernikahan. Jika hal ini dilanggar masyarakat
percaya bahwa akan ada bahaya yang datang, terutama bagi pihak yang
menyelenggarakan hajatan pernikahan tersebut. Kepercayaan ini tentu saja berkaitan
erat dengan budaya masyarakat Jawa yang masih sangat kental.
Selain bulan Apit dan Suro yang telah dijelaskan di atas maka terdapat satu
bulan lagi yang jarang digunakan untuk menyelenggarakan acara hajatan pernikahan,
yaitu bulan puasa atau bulan Ramadan sampai pada pelaksanaan perayaan hari raya
Idul Fitri. Hal ini terkait dengan pemfokusan masyarakat Desa Jati yang mayoritas
beragama Islam pada pelaksanaan ibadah puasa dan perayaan hari raya Idul Fitri.
Acara hajatan pernikahan sendiri syarat dengan pesta yang dilengkapi dengan
berbagai suguhan hidangan bagi para tamu undangan yang telah hadir, sehingga
bulan puasa atau bulan ramadhan sering dihindari bagi pelaksanaan acara hajatan
pernikahan di Desa Jati.
Masyarakat Desa Jati tentu saja memiliki alasan-alasan tersendiri tentang
persoalan penghitungan bulan, apakah boleh dan tidak boleh dilakukannya acara
pernikahan. Sehingga pelaksanaan sistem sumbangan di Desa Jati juga selalu
mengikuti waktu pelaksanaan hajatan pernikahan tersebut. Karena tentunya
pelaksanaan sistem sumbangan ini dilaksanakan sewaktu acara pesta hajatan
pernikahan dilaksanakan. Yaitu pada bulan-bulan selain bulan Suro, Apit
(Dulkaidah), bulan puasa (Ramadan), dan bulan Syawal (Idul Fitri).
2. Bentuk Sumbangan Pada Acara Pernikahan di Desa Jati
Warto, Pardi, Yono, Brama, Endang dan Ratmi (bukan nama sebenarnya)
sebagai informan menjelaskan bahwa di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang,
Sragen, bentuk sumbangan yang diberikan para tamu undangan pada acara hajatan
pernikahan dapat berupa uang, barang hasil bumi ataupun berupa kado. Berkaitan
dengan bentuk sumbangan ini Yono salah satu informan menuturkan, “bentuk
sumbangan biasanya beras mas…..kalau uang itu untuk jagong di atau dari lain
Desa….kalau kado itu dari orang muda…..kalau orang tua gak kado-kadonan…..”.
(W/Yono/29/04/09)
Sumbangan pada acara pernikahan yang berupa barang hasil bumi adalah
salah satu bentuk sumbangan yang masih eksis di Desa Jati sampai saat ini. Seperti
yang dikemukakan oleh salah satu informan di atas, sumbangan yang berupa hasil
bumi tersebut adalah beras. Secara lebih rinci Ratmi (salah seorang informan)
menunjukkan jika sumbangan hasil bumi yang berupa beras ini mencakup dua jenis
yaitu beras biasa dan beras ketan. Setiap menghadiri acara hajatan pernikahan warga
masyarakat Desa Jati biasanya akan menyumbang dengan dua macam jenis beras ini.
Atau paling tidak dalam sekali menyumbang minimal membawa salah satu jenis
beras (beras biasa atau beras ketan) untuk diberikan kepada pihak yang mempunyai
hajat. Selain beras juga pisang, sayuran, cabai, bawang merah, bawang putih dan
ditambah dengan “tumpangan”. Tumpangan adalah istilah yang digunakan
masyarakat Desa Jati untuk menyebut beberapa makanan ataupun bahan makanan
yang digunakan sebagai pelengkap sumbangan dalam bentuk hasil bumi.
Beberapa makanan dan bahan makanan yang digunakan sebagai tumpangan
seperti, makanan khas Jawa (wajik, jadah, gletik, lemper, rangin, dan sebagainya)
minimal 1 ketel/ satu pres nampan, pisang 1 sisir, mie 1 pak/ plastik, gula 1 atau 2
kg, kue, teh 1 pak/ satu plastik, rokok 1 slop, rambak/kerupuk, dan sebagainya.
Sumbangan yang berupa hasil bumi ini rata-rata untuk beras biasa standarnya sekitar
3 beruk (penakar beras)/ 4 kg dan beras ketan juga 3 beruk/ 4 kg. Jumlah ini akan
bertambah jika yang mengadakan hajatan atau yang akan disumbang masih
saudara/kerabat. Untuk kerabat/saudara jumlah sumbangan yang berupa beras biasa
maupun beras ketan tersebut semuanya akan menjadi 20 kg atau lebih. Adapun untuk
kerabat/saudara jumlah tumpangan biasanya disesuaikan sepantasnya, tentunya
dengan menyesuaikan sumbangan hasil bumi yang diberikan.
Hasil bumi terutama beras adalah hasil pertanian pokok di Desa Jati.
Masyarakat meskipun kadang-kadang memiliki sedikit uang, tetapi jika beras mereka
selalu menyimpannya. Beras kadang-kadang menjadi harta simpanan masyarakat
dimana saat mereka membutuhkan uang maka beras tersebut dapat dijual. Dengan
demikian beras masih tetap eksis dijadikan sebagai sumbangan karena setiap
masyarakat dirasa selalu memiliki simpanan beras. Hal ini terkait juga dengan
pekerjaan masyarakat Desa Jati yang mayoritas bekerja di sektor pertanian. Selain itu
beras merupakan makanan pokok bagi masyarakat Desa Jati dan beras juga
merupakan salah satu bahan makanan pokok yang akan disajikan pada acara
pernikahan. Dengan menyumbang beras beserta tumpangannya maka yang punya
hajat akan dapat langsung mengolahnya sebagai hidangan yang disajikan untuk para
tamu undangannya. Hal ini juga sejalan dengan Clifford Geertz (1989:88) dalam
penelitiannya di masyarakat Mojokuto, yang mengatakan bahwa setiap orang
menyumbang beras bukan berupa uang tunai, karena bahan makanan tersebut dapat
segera digunakan untuk slametan (upacara selamatan).
Di Desa Jati jenis sumbangan yang berupa hasil bumi ini lebih sering dibawa
tamu undangan perempuan, karena dirasa lebih pantas terkait yang dibawa adalah
barang-barang belanjaan untuk hidangan ataupun bahan hidangan yang akan disajikan
dalam pesta hajatan pernikahan. Masalah urusan barang-barang belanjaan selalu
diserahkan pada perempuan dan pihak laki-laki menganggap kurang pantas jika
mereka yang mengurusi serta membawanya sebagai sumbangan. Sehingga barang-
barang belanjaan, urusan masak-memasak, ataupun urusan dapur diidentikkan dengan
perempuan. Pembagian peran gender pun sangat terlihat dalam kegiatan ini.
Jenis sumbangan yang kedua adalah berupa uang dan jenis ini juga masih
berlaku di Desa Jati. Rata-rata jumlah standar sumbangan yang berupa uang sekitar
Rp.15.000 sampai Rp. 25.000 untuk sekali menyumbang. Sama halnya dengan
sumbangan yang berupa hasil bumi, jika yang disumbang masih kerabat/saudara
maka jumlahnya akan disesuaikan besarannya. Menyumbang kerabat, saudara atau
keluarga tentu saja jumlahnya akan lebih besar dibandingkan dengan jumlah
sumbangan yang dikeluarkan untuk tetangga, teman atau masyarakat biasa. Uang
yang akan digunakan untuk menyumbang biasanya dimasukkan kedalam amplop,
seperti keterangan Brama, salah satu informan yang mengatakan, “biasanya amplop
yang digunakan untuk menyumbang itu amplop yang kecil putih itu…kalau gak ya
amplop yang sampingnya ada merah-merahnya itu…amplop untuk surat itu….”.
(W/Brama/22/04/09)
Mengamplopi uang yang akan dijadikan sumbangan dirasa lebih sopan bila
dibandingkan dengan memberi langsung tanpa amplop. Tamu undangan laki-laki
cenderung lebih memilih jenis sumbangan berupa uang, karena dinilai lebih pantas
dan praktis untuk dibawa. Selain itu, dengan alasan kepraktisan masyarakat Desa Jati
apabila menghadiri acara hajatan pernikahan di luar Desa sering menggunakan
sumbangan yang berupa uang. Begitu juga saat mereka menyelenggarakan hajatan
pernikahan, tamu dari luar daerah biasanya lebih sering memberikan sumbangan yang
berupa uang.
Dari hasil wawancara, para informan menyebutkan bahwa sumbangan dalam
jenis uang ini telah berjalan sejak dahulu, tetapi mereka tidak mengetahui kapan
sumbangan yang berupa uang seperti ini mulai diberlakukan. Mereka hanya
mangetahui jika sumbangan dalam bentuk uang ini berlaku bersamaan dengan
sumbangan yang berupa hasil bumi. Para informan mengetahui jika sumbangan yang
berupa uang seperti ini telah ada di Desa Jati sejak dahulu, dan sumbangan seperti ini
telah berjalan secara turun menurun dari generasi ke generasi.
Jenis sumbangan yang lain adalah berupa kado. Kado lebih sering diberikan
oleh tamu undangan yang masih muda usianya, khususnya adalah remaja perempuan,
baik selaku teman sekolah, kenalan, teman kerja, teman organisasi, teman bermain
dan sebagainya. Sedangkan untuk anak muda laki-laki lebih cenderung menyumbang
dengan uang bukan dengan kado. Brama, salah satu informan yang juga masih
berusia muda mengemukakan alasan tentang kecenderungan anak muda laki-laki
untuk menyumbang berupa uang, ia mengemukakan, “Ya uang, karena kado kurang
praktis dan kalau bagi saya sendiri saya rasa gak pantes cah lanang gowo kado…”.
(W/Brama/04/09)
Kado bagi remaja laki-laki dirasa kurang praktis dan merepotkan. Mulai dari
pemilih barang yang akan digunakan untuk isi kado, cara pengemasan kado yang
membutuhkan kesabaran, keindahan dan kerajinan, sampai pada membawanya pun
dirasa oleh para remaja laki-laki terlalu ribet/merepotkan. Remaja laki-laki juga
merasa kurang pantas jika mereka membawa kado, mereka menilai bahwa remaja
perempuanlah yang lebih pantas, seperti yang dikemukakan Brama (salah satu
informan) di atas. Kebiasaan dan konstruksi sosial kembali mewarnai masalah pantas
dan tidaknya dalam memberikan sumbangan yang berupa kado.
Brama juga menjelaskan, di Desa Jati kado biasanya tidak diberikan secara
berkelompok. Satu kado tidak diberikan sebagai sumbangan pada acara pernikahan
atas nama banyak orang (kelompok), namun biasanya lebih bersifat individu. Setiap
tamu undangan yang menyumbang berupa kado akan membawa kadonya sendiri-
sendiri dan atas namanya sendiri. Dalam hal ini Brama mengemukakan, ”biasane yen
kado yo dewe-dewe…..yen kelompok biasane gak enek…aku durung pernah ngerti ki
sak wene neng kene...” (biasanya kalau kado ya sendiri-sendiri….kalau kelompok
biasanya tidak ada…saya belum pernah mengetahuinya selama di sini).
(W/Brama/22/ 05/09)
Barang yang digunakan untuk menyumbang dalam bentuk kado sendiri
bermacam-macam. Seperti yang dikemukakan oleh para informan misalnya album
foto, jam dinding, jam kecil, mangkok, pakaian bayi, alat-alat rumah tangga, kain,
bed cover (sprei), dan sebagainya. Untuk penentuan jenis barang yang akan diberikan
dalam sumbangan yang berupa kado ini biasanya relatif masing-masing orang
berbeda-beda menurut selera. Selain itu penentuan jenis kado juga di dasarkan pada
hubungan pemberian yang pernah terjalin. Misalnya seseorang sewaktu ia
mengadakan hajatan acara pernikahan pernah disumbang dengan suatu barang dalam
bentuk kado, maka pada saat yang memberikan itu punya hajat secara gantian
seseorang (yang pernah diberi kado tersebut) akan mengembalikan pemberiannya
dengan menyumbang barang dalam bentuk kado yang sama atau paling tidak yang
senilai dengan yang pernah ia terima.
3. Arti Penting Sumbangan pada Acara Pernikahan
bagi Kehidupan Masyarakat Desa Jati
Bagi masyarakat Desa Jati sistem sumbangan yang telah berjalan sejak
dahulu ini merupakan suatu aktivitas kemasyarakatan yang dianggap penting, karena
merupakan salah satu adat kebiasaan masyarakat dalam berinteraksi dan menjalin
relasi antar individu dalam Desa tersebut. Hal ini menjadi kebiasaan yang rutin
dilakukan oleh masyarakat. Apabila sumbangan rutin dilaksanakan dan telah menjadi
kebiasaan tentunya di dalam sistem sumbangan juga terdapat berbagai hal—baik
yang disadari maupun tidak—yang diketahui dan dipahami oleh setiap masyarakat
sebagai upaya pelestariannya, termasuk di dalamnya adalah berbagai aturan
kewajiban timbal balik untuk saling membalas dari pemberian sumbangan.
Meskipun jumlah sumbangan yang diberikan bersifat relatif, atau dengan
istilah lain disesuaikan sepantasnya, namun demikian dalam sistem sumbangan yang
berjalan di Desa Jati tetap ada standar yang menyangkut jumlah nominal sumbangan
yang akan diberikan kepada orang yang punya hajat. Tidak ada kesepakatan ataupun
aturan secara tertulis dalam hal ini, tetapi yang ada hanyalah kebiasaan atau
kesepakatan umum yang dipahami bersama yang telah berlangsung dalam kehidupan
masyarakat. Pemahaman tentang “disesuaikan sepantasnya” menimbulkan standar
minimal jumlah nominal sumbangan yang pantas untuk diberikan. Masyarakat Desa
Jati selalu berusaha untuk menyumbang setidaknya pada batas minimal jumlah
sumbangan yang dianggap pantas. Paling tidak membalas sumbangan yang telah
diterima dengan jumlah yang sama, sehingga tidak merugikan pihak lain. Hal ini
seperti yang dikemukakan Warto yang mengemukakan, ”Biasanya relative, o..nek
dhisik disumbang nek nggo tuku rokok oleh telung wadah yo tapi yen saiki ra oleh yo
mestine diimbangi….orang Jawa itu tidak bisa merugikan orang lain. Lah itulah
keluhuran orang Jawa, jadi timbal balik semacam ini perlu dilestarikan… ”.
(W/Warto/25/04/09)
Pemahaman masyarakat Desa Jati tentang perimbangan jumlah pemberian
sumbangan dalam hubungan timbal balik tersebut sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Goulder dengan istilah resiprositas. Gouldner dalam James Scott
(1981:255) mengemukakan, prinsip tentang resiprositas dan perimbangan
pertukaran adalah prinsip yang didasarkan pada gagasan yang sederhana saja yakni
bahwa orang harus membantu mereka yang pernah membantunya atau setidak-
tidaknya jangan merugikannya. Lebih khusus lagi prinsip itu mengandung arti
bahwa suatu hadiah atau balas jasa yang diterima menciptakan bagi si penerima
suatu kewajiban timbal balik untuk membalas dengan hadiah/jasa dengan nilai yang
setiadak-tidaknya sebanding dikemudian hari.
Di Desa Jati juga terdapat pemahaman tentang pertimbangan jumlah
sumbangan yang pantas untuk diberikan. Pertimbangan tersebut yaitu pertama,
dengan melihat kemampuan orang yang menyumbang. Warga masyarakat
menyumbang sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing, dengan melihat
keadaan ekonomi yang mereka miliki. Kedua, dengan melihat kemampuan orang
yang disumbang. Jika orang yang disumbang kiranya akan keberatan untuk
membalas sumbangan yang diberikan dengan jumlah yang besar, maka dengan
pertimbangan itu si penyumbang cenderung akan menyumbang dengan jumlah yang
standar. Namun dalam hal ini seperti yang telah dikemukakan di depan, tetap ada
standar minimal yang dianggap pantas terkait besar kecilnya jumlah sumbangan
yang berlaku dalam masyarakat. Seperti yang dikemukakan Warto;
meskipun yang menyumbang itu orang kaya tetapi kalau yang disumbang sepertinya keberatan untuk mengembalikan apabila disumbang dengan jumlah
yang besar ya….lebih baik di sumbang dengan jumlah yang standar saja…memang sebenarnya bertentangan dengan agama ya…karena kalau nyumbang itu kan sebenarnya harus ikhlas ya….tapi ini kok memiliki pamrih... . (W/Warto/25/04/09)
Dengan dua pertimbangan ini maka di Desa Jati status, kedudukan,
pangkat, ataupun kekayaan seseorang tidak mempengaruhi banyak sedikitnya
jumlah sumbangan yang akan diberikan. Begitu pula sebaliknya jika seseorang
yang memiliki status, kekayaan, pangkat ataupun kedudukan saat mengadakan
acara hajatan pernikahan belum tentu tamu undangan yang hadir akan memberikan
jumlah sumbangan yang lebih besar. Bahkan menurut Warto orang yang terkenal,
kaya, punya kedudukan tinggi di Desa Jati kadang-kadang malah rugi saat
menyelenggarakan hajatan pernikahan. Warto mengemukakan,
bahkan orang yang terkenal, kaya, punya kedudukan tinggi di Desa kadang-kadang malah rugi mas….ya kalo terkenal jumlah tamunya pasti juga banyak, kalau mau mengadakan pesta acara pernikahan yang biasa-biasa saja kan juga malu, mulai dari hiburan, dan segala sesuatunya pasti lebih dari biasa, sehingga kadang-kadang menjadi rugi. (W/Warto/25/04/09)
Sistem sumbangan yang berjalan di masyarakat Desa Jati pada khususnya
dan di masyarakat Jawa pada umumnya ini merupakan salah satu contoh yang dapat
menambah bukti pembenaran dari pernyataan Durkheim. Dimana Durkheim dalam
Scott (1981:255-256) menjelaskan bahwa faham pertukaran yang sepadan ini
merupakan suatu prinsip moral umum yang terdapat pada semua kebudayaan. Di
Asia Tenggara prinsip resiprositas terdapat dalam banyak kegiatan. Bentuk-bentuk
saling bantu-membantu berupa gotong royong di Jawa merupakan contoh
resiprositas yang sangat teratur. Resiprositas juga merupakan prinsip moral yang
pokok yang mendasari kegiatan sosial desa-desa di Muangthai, baik dilingkungan
keluarga maupun antar keluarga. Di Filipina, pola persekutuan diantara manusia
yang satu dengan manusia yang lain pada umumnya ditafsirkan sebagai
resiprositas, bahwa “setiap jasa yang diterima, diminta atau tidak, harus dibalas,”
rasa malu (hiya) dan rasa berhutang budi (utang na loob) merupakan daya
penggerak resiprositas.
Pernyataan Warto di atas juga menunjukkan jika pengembalian sumbangan
yang pernah diberikan atau dengan kata lain saat membalas sumbangan harus
disesuaikan dengan perkembangan nilai tukar uang yang telah terjadi. Artinya
faktor fluktuasi uang juga turut menjadi hal yang diperhitungkan. Dalam
kesempatan lain Warto mengemukakan, “jika tahun ‘97 misalnya menyumbang Rp.
5000 maka kita gak mungkin untuk sekarang menyumbang Rp. 5000 karena harga
kebutuhan pokok juga naik semua…” (W/Warto/25/04/09). Begitu juga dengan
Ratmi yang mengemukakan, ”suk nggeh dibalekne Rp. 10.000 yen wis suwe banget
yo duwit Rp.10.000 kuwi entuk opo...., yo mesthi ditambahi lah dek...” (besok ya
dikembalikan Rp. 10.000 jika sudah lama sekali ya uang Rp. 10.000 itu dapat
apa......, ya pasti ditambahi lah dek...) (W/Ratmi/6/06/ 09).
Panyesuaian jumlah sumbangan yang akan diberikan dengan tingkat
perkembangan nilai tukar uang ini ternyata juga sama dengan yang terjadi di
masyarakat Yogyakarta, seperti apa yang ditunjukkan oleh Novita Purnamasari
dalam penelitian mandirinya. Novita Purnamasari (2000:98-99) menjelaskan jika,
pengembalian sumbangan di Yogyakarta harus disesuaikan dengan perkembangan
nilai tukar uang, karena kesempatan untuk mengembalikan sumbangan yang pernah
diterima, tidak selalu terjadi pada tahun yang sama.
Uang maupun barang yang akan dipergunakan untuk menyumbang selalu
dipersiapkan terlebih dahulu dengan teliti sebelum berangkat menghadiri acara
hajatan pernikahan. Brama salah satu informan mengemukakan tentang persiapan
saat akan menghadiri hajatan pernikahan dengan mengemukakan, ”Persiapan ya
janjian sama teman-teman untuk berangkat bersama, yang kedua ya…menyiapkan
uang untuk sumbangan…” (W/Brama/22/04/09). Sementara Ratmi mengemukakan,
”umpomo sesuk nyumbang sorene sampun digawe... sampun disiapne..”
(seumpama besok nyumbang sore harinya sudah di buat...sudah disiapkan)
(W/Ratmi/6/06/09).
Begitu juga dengan Warto mengemukakan persiapannya saat akan
menghadiri acara hajatan pernikahan dengan mengemukakan,
biasanya jika kita among tamu malamnya sebelum hari “H” sumbangan berupa barang (hasil bumi) sudah diantarkan dahulu, kalo untuk menyumbang uang ya pas hari “H”-nya…..kalau untuk di luar lingkungan ya malamnya sudah dipersiapkan, sudah dimasukkan kedalam amplop. (W/Warto/25/04/09)
Persiapan sumbangan juga sampai pada merekatkan amplop dengan lem
setelah dimasukkannya uang kedalam amplop. Brama, Pardi, dan Ratmi
menjelaskan bahwa hal ini dilakukan supaya uang sumbangan aman, tidak jatuh
atau bahkan hilang. Sementara Warto mengemukakan diberi perekatnya amplop
bertujuan untuk menjaga kerahasiaan jumlah sumbangan agar tidak diketahui orang
lain. Hal ini merupakan privasi bagi penyumbang dengan tujuan agar yang tahu
jumlah nominal sumbangan yang diberikan hanyalah penyumbang dan yang
disumbang saja, meskipun sudah ada semacam kesepakatan umum yang saling
dipahami tentang standar minimal atau nilai kepantasan suatu sumbangan.
Setelah uang atau barang yang akan diberikan sebagai sumbangan pada
acara pernikahan dipersiapkan maka selanjutnya adalah melakukan aktivitas jagong
(menghadiri acara hajatan pernikahan), Di sinilah inti kegiatan sumbangan
dilakukan. Menurut penjelasan dari informan ada dua cara dalam memberikan
sumbangan yang berupa uang. Pertama, yaitu dengan memberikan secara langsung
kepada pihak yang dihajati (pengantin) atau orang tuannya dengan cara sambil
bersalaman saat akan pulang. Kedua, yaitu dengan memasukkan amplop
sumbangan pada kotak sumbangan yang telah disediakan—biasanya di depan meja
penerima tamu.
Apabila antara tamu undangan dengan pihak yang mengadakan hajatan
sudah kenal akrab, sumbangan yang diberikan secara langsung dengan cara sambil
bersalaman kadang-kadang secara basa-basi sering ditolak pihak yang mengadakan
hajatan pernikahan. Dalam hal ini Pardi menuturkan,
nggeh nek mboten enten kotak yen pun kenal akrab ngoten sing marengke ndadak nganggo di pekso-pekso….karo salaman…wis rasah……wis
rasah….ngoteniku…. (ya kalau tidak memakai kotak kalau sudah kenal akrab yang memberikan harus dipaksa-paksa….sambil bersalaman….sudah tidak usah…sudah tidak usah….seperti itu…). (W/Pardi/28/04/09)
Namun jika dalam acara hajatan tersebut disediakan kotak sumbang, maka
pemberian sumbangan akan lebih leluasa. Orang hanya akan memasukkan amplop
saja dan bersalaman saat berpamitan dengan yang punya hajatan. Acara hajatan
pernikahan di Desa Jati tidak seluruhnya selalu menggunakan kotak sumbang.
Biasanya yang menyediakan kotak sumbang hanya pada acara-acara pernikahan
yang diselenggakan secara besar-besaran/mewah.
Selain ada sumbangan yang diberikan secara langsung, di Desa Jati juga
ada sumbangan yang sifatnya kolektif. Sumbangan yang sifatnya kolektif biasanya
dikumpulkan kepada suatu pengurus khusus pengumpul sumbangan yang telah
memiliki kepengurusan tersendiri dan bersifat tetap. Masing-masing dukuh di Desa
Jati sekarang sudah terdapat pengurus semacam ini. Dan ini berlaku untuk
kegiatan sumbang menyumbang antar dukuh dalam kawasan satu wilayah Desa.
Antara dukuh yang satu dengan dukuh yang lain di Desa Jati terdapat semacam
jalinan kerjasama dalam sumbangan kelompok. Akan tetapi tidak semua dukuh di
Desa Jati terikat jalinan semacam ini, hanya dukuh-dukuh yang terletak berdekatan
saja yang melakukan kesepakatan untuk menjalin hubungan sumbangan kelompok.
Misalnya di dukuh Brontok, Taryono mengurusi hubungan sumbangan dengan
dukuh Jati, Sarnoto mengurusi hubungan sumbangan dengan dukuh Bulan, Sular
mengurusi hubungan sumbangan dengan dukuh Sadean, dan Mulyono yang
mengurusi hubungan sumbangan kelompok dengan dukuh Sendang Rejo. Jenis
sumbangan yang digunakan secara kolektif ini adalah uang. Biasanya jumlah
nominal sumbangan yang dikumpulkan dipengurus sekitar Rp. 3.000 sampai
dengan Rp. 5.000 untuk setiap keluarga.
Seperti yang dikemukakan para informan, apabila di salah satu dukuh akan
ada pelaksanaan acara pernikahan, pada umumnya ada beberapa langkah dalam
mekanisme pelaksanaan sumbangan kelompok. Pertama, salah satu pengurus akan
memberikan informasi ke dukuh lain (yang telah terikat dalam hubungan kerjasama
dalam sumbangan kolektif ini) jika di dukuhnya akan ada acara pernikahan lengkap
dengan nama pihak yang akan punya hajat pernikahan dan waktu pelaksanaannya.
Kedua, pengurus di dukuh yang di beri informasi tadi akan mengumumkan kepada
masyarakat di mushola setempat jika akan ada acara pernikahan di dukuh sebelah,
warga masyarakat kemudian dimohon untuk mengumpulkan sumbangan ke
pengurus. Pengumuman kepada warga ini biasanya dilakukan sekitar lima hari
sebelum acara pernikahan dilaksanakan. Ketiga, dalam jangka waktu lima hari
sebelum acara pernikahan berlangsung tersebut para warga masyarakat akan
menyetorkan uang sumbangan mereka kepada panitia dan kemudian panitia juga
akan mencatat nama dan jumlah sumbangan yang diberikan. Keempat, setelah
sumbangan terkumpul salah satu pengurus akan menyerahkannya kepada pihak di
lain dukuh yang sedang mengadakan acara hajatan, lengkap dengan nama yang
telah menyumbang dan jumlah sumbangannya. Penyetoran kepada pihak yang
sedang mengadakan acara pernikahan ini biasanya sewaktu acara hajatan
dilaksanakan, atau kalau tidak paling lama dalam waktu sekitar tiga hari setelah
acara hajatan pernikahan dilaksanakan. Meskipun warga telah memberikan
sumbangan uang lewat pengurus sumbangan kolektif, namun mereka tetap
berkewajiban untuk menyumbang baik dapat berupa kado ataupun hasil bumi.
Pemberian sumbangan yang berupa hasil bumi agak berbeda dengan
sumbangan yang berupa uang. Sumbangan yang berupa hasil bumi biasanya dibawa
oleh pihak tamu undangan perempuan. Dan ini hanya berlaku untuk satu Desa.
Sumbangan yang berupa hasil bumi biasanya dapat diberikan pada sore hari
sebelum keesokan harinya acara resepsi hajatan pernikahan dilaksanakan, sewaktu
ibu-ibu/tamu undangan perempuan yang jagong (menghadiri undangan resepsi
pernikahan) atau setelah acara resepsi dilaksanakan. Pemberiannya pun tidak
diberikan secara langsung dengan pihak yang punya hajat tetapi diberikan kepada
panitia penerima sumbang. Panitia ini dibentuk saat acara kumbokernan
dilaksanakan. Kumbokernan adalah musyawarah yang diselenggarakan oleh yang
punya hajat dengan para tetangga serta pihak-pihak atau tokoh-tokoh yang dirasa
mampu untuk memikirkan berbagai masalah dan kebutuhan untuk penyelenggaraan
acara hajatan, termasuk pembentukan berbagai seksi beserta tugasnya, pembagian
undangan dan sebagainya.
Mekanisme cara memberikan sumbangan yang berupa hasil bumi lengkap
dengan tumpangannya ini memiliki keunikan tersendiri. Awalnya para tamu
undangan (secara lebih khusus tamu undangan perempuan) datang dengan
menggendong tenggok (semacam bakul yang terbuat dari anyaman bambu) yang
berisi beras lengkap dengan tumpangannya sebagai sumbangan yang akan diberikan
kepada yang punya hajat pernikahan. Setelah sampai di tempat yang punya hajat,
mereka akan dihadang oleh beberapa orang panitia dengan membawa secarik
kertas, alat tulis dan perekat (lem kertas). Kemudian tamu undangan tersebut oleh
panitia akan ditanya terkait dengan nama dan alamatnya, yang oleh panitia akan
ditulis pada secarik kertas yang dibawanya, diberi perekat dan kemudian ditempel
pada tenggok yang tamu undangan bawa. Setelah itu tenggok tersebut diserahkan
pada panitia, sementara tamu undangan masuk ketempat acara pesta pernikahan
untuk bertemu dengan yang punya hajat, menikmati hidangan, menyaksikan
upacara pernikahan, dan sebagainya.
Panitia khusus penerima sumbang kemudian akan membawa tenggok-
tenggok para tamu undangan itu kedalam (dapur), dan di dapur terdapat panitia
khusus lagi yang bertugas untuk mengeluarkan isi sumbangan dari dalam tenggok
serta mencatat sumbangan tersebut. Pencatatan sumbangan mencakup nama,
alamat, beras berapa kilo, dan barang. Yang dimaksud barang disini adalah macam-
macam tumpangan yang disumbangkan beserta jumlahnya. Kemudian setelah itu
tenggok-tenggok para tamu yang datang akan dikeluarkan dan ditaruh di sebelah
sisi rumah yang berbeda dengan sisi saat para tamu datang. Tetapi sebelumnya
tenggok-tenggok tersebut diisi dengan nasi, dan makanan-makanan kecil khas Jawa
seperti wajik, jadah, gletik, rangin, roti dan sebagainya.
Pengembalian langsung dari sumbangan yang telah diberikan ini di sebut
dengan tonjokan. Istilah tonjokkan ini berbeda dengan istilah yang ada di
masyarakat Surakarta. Jika di masyarakat Surakarta tonjokkan adalah pemberian
berbagai makanan sebelum acara hajatan pernikahan sebagai simbol undangan bagi
masayarakat sekitar. Sedangkan di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen
yang juga masih termasuk dalam karisidenan Surakarta, istilah tonjokkan ini di
gunakan untuk mengistilahkan pemberian kepada para tamu undangan setelah
mereka menghadiri acara pernikahan dan menyumbang. Jumlah tonjokan tentunya
tidak sebanding dengan jumlah sumbangan yang diberikan. Tonjokan yang
diberikan hanya terkesan sebagai pengisi tenggok yang kosong saat akan dibawa
pulang. Saat akan pulang para tamu perempuan tersebut akan menuju ke sisi rumah
yang berbeda dengan saat mereka datang dan mengambil tenggok-tenggok mereka,
digendong dan dibawa pulang kembali. Mekanisme cara memberikan sumbangan
yang berupa hasil bumi di Desa Jati tampak seperti ini dan hal ini akan lebih rumit
saat resepsi pernikahan berlangsung, karena jumlah tamu yang datang sangat
banyak sehingga panitia penerima sumbangan terlihat sangat sibuk dalam
melaksanakan tugasnya.
Berbeda dengan sumbangan dalam bentuk uang dan sumbangan dalam
bentuk hasil bumi, biasanya kado langsung diberikan kepada pihak yang dihajati.
Tamu undangan (khususnya remaja putri) yang datang dengan membawa sumbangan
berupa kado akan langsung memberikan kadonya kepada pihak yang dihajati
(pengantin) saat mereka datang dan bertemu dengan pihak yang dihajati (pengantin)
tersebut. Namun jika para tamu undangan datang saat acara resepsi dilaksanakan,
kado yang mereka bawa biasanya diletakkan atau diberikan kepada panitia penerima
sumbangan, karena pihak yang dihajati tentunya sedang melakukan prosesi upacara
adat pernikahan.
Untuk acara hajatan pernikahan, di Desa Jati memang masih dilaksanakan
secara meriah/besar-besaran. Yono salah satu informan mengemukakan jika hajatan
pernikahan itu tidak dapat dihindari oleh orang tua, dan itu sudah menjadi
kewajiban setiap orang tua kepada anaknya. Begitu juga dengan Pardi seorang
informan berumur 58 tahun yang pernah menyelenggarakan hajatan pernikahan
untuk anak pertamanya, memberikan alasan tentang diselenggarakannya acara
hajatan pernikahan anaknya secara meriah/besar-besaran, dengan mengemukakan,
“netepi umumme lumrahe…….” (melaksanakan seperti pada umumnya).
(W/Pardi/28/04/09)
Melaksanakan seperti pada umumnya, demikian alasan Pardi menunjukkan
bagaimana seseorang tidak bisa mengelak dari tuntutan masyarakat tentang suatu
hal. Jika di suatu Desa ada kebiasaan untuk menggelar hajatan secara besar-besaran
maka tidak ada alasan bagi anggota masyarakatnya untuk tidak
menyelenggarakannya sesuai dengan kebiasaan tersebut, terlepas dari persoalan
mampu atau tidak mampu. Apabila seseorang tidak menyelenggarakan hajatan
secara besar-besaran maka akan timbul kecurigaan tertentu yang tertuang lewat
gosip atau rasan-rasan.
Kewajiban menyumbang dan mengembalikan sumbangan juga tidak selalu
seimbang diantara masyarakat. Meskipun masih dilaksanakan secara besar-besaran
tetapi pihak yang mengadakan acara hajatan pernikahan tidak selalu diuntungkan
dari perolehan hasil sumbangannya. Para informan mengemukakan jika hasil yang
diperoleh dari sumbangan biasanya seimbang dengan biaya yang dikeluarkan
bahkan kadang-kadang juga sering rugi. Pardi mengemukakan,
mboten mesti…kadang-kadang nggeh malah rugi, wong mantu paling mboten nggeh puluhan juta, sewo tep, tarub, dekor niku mawon pun sekitar gangsal jutananan…paling nggeh pok-pokan imbang mawon (tidak pasti….kadang-kadang ya malah rugi, kalau punya hajat pernikahan paling tidak ya puluhan juta, menyewa tep, tenda, dekorasi, itu saja sudah sekitar lima jutaan….paling ya seimbang saja). (W/Pardi/28/04/09)
Sejalan dengan Pardi, Warto yang juga pernah menyelenggarakan hajatan
pernikahan mengemukakan, “relative seimbang, maunya sih untung tapi imbang-
imbang saja, malahan kadang-kadang rugi…”. (W/Warto/25/04/09)
Blau dalam Margaret M. Poloma (1994:82), dalam menjawab pertanyaan
apakah yang menarik individu kedalam assosiasi? Jawaban Blau ialah mereka
tertarik pada pertukaran karena mengharapkan ganjaran yang intrinsik maupun
ekstrinsik. Ganjaran ekstrinsik adalah ganjaran yang langsung dapat tampak atau
terlihat, sedangkan ganjaran intrinsik adalah ganjaran yang tidak langsung tampak.
Ganjaran yang ekstrinsik maupun instrinsik tersebut juga terdapat dalam sistem
pemberian sumbangan di Desa Jati. Ganjaran ekstrinsik dalam sistem sumbangan
misalnya sumbangan yang diperoleh dari para tamu undangan, kehadiran para tamu
undangan yang ikut memeriahkan acara hajatan pernikahan, ucapan selamat serta
doa dari para tamu undangan kepada yang dihajati, dan sebagainya. Sedangkan
ganjaran intrinsik yaitu terjalinnya ikatan kemasyarakatan, dapat terlaksanakannya
acara adat pernikahan, dan sebagainya.
Sumbangan dari para tamu undangan untuk pihak yang menyelenggarakan
hajatan pernikahan merupakan salah satu ganjaran ekstrinsik.
Sumbangan ini memang dirasa sangat penting oleh warga masyarakat. Seperti yang
dikemukakan Pardi dengan mengatakan;
mpun membudaya…yo nek duwe gawe nggeh ngoten niku pun kebiasaan…nggeh saling ngoten niku….kangge sing duwe gawe penting soale mbantu…...nggeh mengke gentosan saling membantu…(sudah membudaya…kalau punya hajat ya seperti itu sudah kebiasaan…ya saling seperti itu…..untuk yang punya hajat penting karena membantu……nanti gantian saling membantu…”). (W/Pardi/28/04/09)
Pardi dan Warto mengemukakan sewaktu mereka menyelenggarakan
hajatan mereka juga menerima sumbangan dari para tamu undangan. Sumbangan
yeng mereka terima juga lengkap, ada yang memberikan sumbangan berupa uang,
hasil bumi, ataupun kado. Warto menuturkan pengalamannya sewaktu mengadakan
hajatan pernikahan, dengan mengatakan,
ya menerima…..untuk tambah-tambah biaya keperluan, walaupun korban dulu nanti kan juga dapat dari sumbangan…komplit mas…ya uang, kado, barang hasil bumi, gula sampai kwinal-kwintalan, beras sampai satu truk, beras dulu saya jual….undangan sampai dua ribu orang. (W/Warto/25/04/09)
Pardi juga menuturkan pengalamannya, dengan mengemukakan;
nembe ping pisan….cukupan namung tep-tepan biasa, tahun 2004….nggeh nampi komplit, arto, beras….komplit mas…..undangan ngantos 700 orang…(baru satu kali…..cukupan hanya memakai tep-tep biasa, tahun 2004…ya menerima komplit, uang, beras…komplit mas…..undangan sampai 700 orang). (W/Pardi/28/04/09)
Novita Purnamasari (2000:97) dalam penelitian mandirinya menyebutkan
jika pada masyarakat Jawa sumbangan dilihat sebagai bantuan penyelenggaraan
upacara perkawinan yang merupakan suatu balas jasa atas segala bentuk bantuan
yang telah diberikan pada masa sebelumnya. Oleh karena itu pendapatan dari
sumbangan dapat diperhitungkan dalam rencana pembiayaan upacara perkawinan.
Di masyarakat Desa Jati tidak semuanya seperti ini. Beberapa warga masyarakat
yang dijadikan sebagai infoman seperti Pardi dan Warto mengakui jika dahulu saat
menyelenggarakan hajatan pernikahan mereka tidak memperhitungkan sumbangan
secara rinci dalam anggaran perencanaan pembiayaan upacara pernikahan, karena
menurut mereka perolehan dari sumbangan tidak bisa diandalkan.
Seperti apa yang dikemukakan Marcell Mauss (1992:1), ”dalam teori
pemberian-pemberian hadiah seperti itu sebenarnya dilakukan secara suka rela,
tetapi dalam kenyataan kesemuannya itu diberikan dan dibayar kembali dalam suatu
kerangka kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pelakunya”. Begitu juga dengan
sistem sumbangan di Desa Jati meskipun hal ini sering tidak disadari oleh
masyarakat pendukungnya. Tiga macam kewajiban dalam pemberian, yaitu
kewajiban memberi, kewajiban menerima, dan membayar kembali, seperti apa yang
telah disebutkan Marcel Mauss (1992: 56) berjalan sangat kuat di Desa Jati.
Seseorang akan tertib untuk datang pada acara pernikahan dan memberikan
sumbangan saat ada undangan baginya, begitu pula saat pada giliranya mereka
mempunyai hajat acara pernikahan maka ia juga mengadakan acara pesta
pernikahan yang meriah serta akan menerima sumbangan dari para tamu yang
diundang. Warto memberikan alasan tentang salah satu pernikahan anaknya yang
diselengararan secara besar-besaran, dengan mengemukakan, “Ya berharap supaya
saudara-saudara bisa datang kesini…sakwene urep yo gentian lah”.
(W/Warto/25/04/09)
Gantian dalam hal ini dapat diartikan bahwa jika ada undangan Warto
selalu menyumbang, maka gantian saat dia mengadakan hajatan maka dia berhak
untuk mendapatkan sumbangan dari para tamunya. Kemudian saat tamunya
mengadakan hajatan pernikahan lagi maka ia juga akan berkewajiban untuk datang
dengan menyumbang lagi. Begitu seterusnya membentuk suatu pola jaringan yang
luas, rumit dan setiap masyarakat yang telah melaksanakan sistem sumbangan
semacam ini akan masuk dalam sistem jaringan masing-masing. Hal ini sejalan
dengan pemikiran kaum fungsionalis bahwa suatu hal (fenomena) bisa menjadi
dasar dari eksisnya suatu masyarakat. Dalam konteks Desa Jati maka sumbangan
adalah hal yang mengikatkan masyarakatnya ke dalam suatu kebersamaan dan
karenanya selalu dilestarikan.
Ada beberapa cara yang digunakan masyarakat Desa Jati untuk
mempermudah pencatatan sumbangan dalam memenuhi hubungan timbal balik.
Pertama, melalui penulisan identitas seseorang atau keluarga pada amplop yang
digunakan untuk menyumbang. Kegiatan seperti ini diakui oleh para informan
sebagai upaya untuk pencatatan dalam rangka mempermudah pelaksanaan
hubungan timbal balik, selain itu juga pernyataan identitas bagi tamu undangan
bahwa mereka telah hadir. Seperti yang dikemukakan Pardi sebagai berikut,
sing kagungan damel ben ngertos, bapak kae kok yo teko kene ….suk yen genti ewuh genti teko…nggeh dicateti ngoten niku…daftar.. (yang punya rumah agar tahu, bapak itu kok ya sampai sini…..besok kalau gentian punya hajat gentian datang…….ya dicatat seperti itu….daftar…). (W/Pardi/28/04/09)
Sementara Ratmi, mengemukakan, ”amplop ditulisi ben ngerti sing nyumbang
sopo-sopo... mengkeh yen mbelekne ben mboten bingung” (amplop ditulisi supaya
tahu yang menyumbang siapa saja....nanti kalau mengembalikan agar tidak
bingung) (W/Ratmi/6/06/09). Begitu juga dengan Yono yang mengatakan;
itu sudah membudaya mas…dalam artian misalkan sebagai penunjuk kalau dia sudah datang….mungkin pas dia datang nggak ketemu langsung dengan tuan rumah yang punya hajat….ya paling utama nggo catetan gantianlah….kalau saya itu juga pernah…pas menghadiri gak ketemu dengan yang punya hajat mungkin sedang sibuk, sedang mandi, dan sebagainya. (W/Yono/29/04/09)
Penulisan identitas seperti ini juga berlaku untuk sumbangan berupa kado,
barang yang digunakan untuk kado biasanya dikemas dengan kertas khusus (kertas
kado) dan di dalamnya sering diberi pesan-pesan, ucapan selamat, dan identits dari
yang memberikan kado tersebut. Kedua, untuk sumbang yang berupa hasil bumi
biasanya pencatatan dilakukan oleh panitia khusus yang bertugas untuk menerima
dan mencatat sumbangan yang berupa hasil bumi ini. Sewaktu tamu undangan
datang menghadiri acara hajatan pernikahan, sumbangan berupa hasil bumi
biasanya diberikan kepada panitia penerima sumbangan kemudian oleh panitia
tersebut dicatat bahan makanan ataupun makanan apa saja yang diberikan untuk
menyumbang, jumlahnya berapa, serta nama penyumbang lengkap dengan
alamatnya.
Ketiga, dengan menyediakan buku tamu. Jika buku tamu disediakan
biasanya tamu undangan akan menulis identitas mereka yang meliputi nama,
alamat, tanda tangan, dengan tidak mencantumkan jumlah sumbangannya.
Keempat, yaitu dengan menyimpan kartu undangan yang pernah diterima. Biasanya
warga masyarakat akan menyimpan kartu undangan yang pernah diterimannya dan
membuat catatan dalam buku yang mereka buat berkaitan dengan kartu-kartu
undangan yang pernah diterimannya tersebut termasuk jumlah sumbangan yang
dikeluarkannya.
Selain dengan membuat catatan atas undangan yang pernah diterimannya,
ada juga yang hanya menyimpan undangan-undangan yang pernah diterimannya,
kemudian undangan-undangan itu hanya diberi catatan kecil terkait dengan jumlah
sumbangan yang pernah dikeluarkan/diberikan saat mereka menghadiri undangan
tersebut. Kelima, untuk sumbangan kelompok maka pihak yang menyelenggarakan
acara hajatan pernikahan akan mengetahui siapa pihak-pihak yang telah
menyumbang secara kelompok dari catatan yang di berikan oleh pengurus
sumbangan kelompok tersebut. Cara-cara ini adalah upaya yang digunakan oleh
para warga untuk mempermudah palaksanaan hubungan timbal balik dan
resiprositas dalam memenuhi kewajiban moral yang ada dalam sistem sumbangan.
Penulisan nama si penyumbang tampaknya bukanlah hal yang sepele.
Setiap orang yang menyumbang di acara hajatan tidak akan lupa menorehkan
namanya pada amplop, kado atau meminta sumbangan yang dibawanya dicatat oleh
pihak yang sedang melakukan hajat. Resiprositas didasarkan pada hal tersebut
karena siapa-siapa saja yang telah menyumbang seolah merasa sedang menabung
(baik uang maupun barang) baginya kelak ketika dia juga mengadakan hajatan.
Sumbangan kemudian dimaknai sebagai suatu bekal bagi hajatan seseorang kelak.
Ketika seseorang sudah melakukan hajatan dan tiba giliran baginya untuk
menyumbang maka dia sebenarnya sedang melakukan kewajiban mengembalikan
kembali apa-apa yang pernah diberikan oleh orang lain saat dia mengadakan
hajatan dahulu. Dengan demikian orang selalu merasa wajib menyumbang dan
wajib mengembalikan sumbangan. Resiprositas itu berlaku namun diyakini sebagai
sesuatu yang sudah lumrah (umum) dan sebuah budaya masyarakat setempat.
Sehingga sumbangan pada acara pernikahan seperti ini mekanismenya
hampir sama dengan suatu pinjaman ataupun tabungan. Hal ini juga dapat
dianalogikan seperti halnya sebuah arisan. Jika seseorang/keluarga mengadakan
acara hajatan pernikahan terlebih dahulu maka sumbangan dapat dikatakan sebagai
pinjaman yang harus dikembalikan kepada para tamu undangannya. Jika
seseorang/keluarga belum pernah menyelenggarakan hajatan pernikahan tetapi
selalu mendapatkan undangan pernikahan maka sumbangan dapat dikatakan
sebagai sebuah tabungan yang kelak akan diterimanya. Dalam sistem sumbangan
analogi pinjaman dan tabungan semacam ini tidak ada putusnya. Hal ini sejalan
dengan penjelasan Marcel Mauss (1992:38) tentang pemberian yang
mengemukakan, ”pemberian tersebut pada saat yang sama merupakan harta
kekayaan dan juga harta milik, sebuah janji atau sumpah, dan juga sebuah pinjaman
suatu barang jualan tetapi juga barang belian, suatu simpanan, sebuah mandat,
sebuah kepercayaan”.
Status, kedudukan, pangkat, ketenaran seseorang/keluarga dalam sistem
hubungan timbal balik ini akan mempengaruhi jumlah banyak sedikitnya rekan
dalam melaksanakan hubungan pertukaran sumbangan di Desa Jati. Warto yang
merupakan salah satu tokoh terpandang dalam masyarakat mengakui jika setiap
bulannya ia mendapatkan undangan pernikahan sekitar sepuluh undangan lebih,
karena kenalannya begitu luas. Dengan demikian maka saat Warto
menyelenggarakan hajatan pernikahan tamu yang diundang sekitar 2000 orang.
Warto mengakui jika yang punya hajat ini satu Desa ataupun tetangga Desa sekitar
pasti mengundangnya. Yono menambahkan dengan memberikan contoh perangkat
Desa. Perangkat Desa yang tentunya memiliki pangkat, kedudukan dan status
terpandang dalam masyarakat juga akan memiliki jumlah rekan pergaulan yang
lebih banyak dalam relasi keseharian yang secara otomatis akan berhubungan
dengan persoalan sumbangan. Menurut Yono hal ini sudah menjadi konsekuensi
dan harus disadari oleh mereka yang menjadi perangkat Desa. Fakta ini sejalan
dengan pendapat Malinowski (1992:91) yang menjelaskan, “the number of partner
a man has varies with his rank and importance…a man would naturally know to
what number of partners he was entitled by his rank and position” (jumlah rekan
setiap orang berbeda-beda dengan pangkat dan kepentingan mereka…setiap orang
secara alamiah akan tahu berapa jumlah rekan yang telah mereka dapat dengan
pangkat dan posisi mereka).
Selain itu ada beberapa hal lainnya yang juga akan menentukan banyak
sedikitnya jumlah rekan dalam pelaksanaan sumbangan. Beberapa informan
menuturkan sregep adalah salah satu faktor yang juga ikut menentukan banyak
sedikitnya jumlah rekan. Istilah sregep dalam hal ini dapat diartikan bahwa jika ada
tetangga yang punya hajatan sering membantu, tertib dalam menyumbang, dan
selalu menghadiri undangan acara hajatan pernikahan. Selain itu, intensitas guyub
(interaksi sosial) dengan tetangga/masyarakat juga ikut menentukan banyak
sedikitnya rekan dalam kegiatan sumbangan. Seperti yang dikatakan Warto berikut
ini,
ya kembali pada sopo nandur bakal ngunduh, kalau nandurnya banyak ya tamunya banyak, kalau lokal jangkauannya ya tamunya lokal atau sedikit. Sing biasane sregep jagong yo pas mantu mesti akeh sing nyumbang. (W/Warto/25/04/09)
Senada dengan yang dikemukakan Warto maka Yono juga memberikan
tanggapan yang kurang lebih sama. Yono mengatakan,
yo dinilai dari sregepe…yo dinilai dari banyak intensitas keluarnya. Semakin banyak interaksi sosialnya ya semakin banyak rekan-rekannya. Orang kaya saja kalau intensitas bergaulnya cuma dengan tetangga-tetangga dekat ya tamunya cuma itu-itu saja….yo banyak contoh sudah menyatakan demikian. (W/Yono/29/04/09)
Sistem sumbangan semacam ini lebih dirasakan sebagai kewajiban timbal
balik yang begitu kuat sehingga menjadi pengikat sosial. Dalam menanggapi
tentang pentingnya sumbangan, Warto menuturkan jika sumbangan dalam acara
hajatan pernikahan memang penting, karena merupakan pengikat masyarakat.
Sejalan dengan hal ini Aafke .E. Komter (2005.116-117), dalam teorinya
menjelaskan bahwa, “social ties are created, sustained and strengthened by means
of gift. Acts of gift exchange are at the basis of human solidarity” , (hubungan sosial
diciptakan, ditopang dan diperkuat oleh pemberian. Aktifitas tukar menukar
pemberian adalah dasar dari solidaritas manusia). Lebih lanjut Komter (2005:195)
menjelaskan;
the principle of reciprocity underlying gift exchange proved to be the fundament of human society. It contains to moral basis for the development of social ties and solidarity because it’s implicit assumption is the recognition of the other person as a potentially (prinsip dari hubungan timbal balik mendasari pertukaran pemberian yang dibuktikan menjadi dasar masyarakat manusia. Ini berisi dasar moral dari perkembangan ikatan sosial dan
solidaritas karena ini adalah asumsi yang harus dipatuhi dari pengkuan orang lain sebagai suatu penggabungan).
Berbagai makna yang tergali dari informan tentang sumbangan di Desa Jati
secara antropologis juga dapat dijelaskan melalui teori fungsionalisme. Teori
fungsionalisme memandang jika masyarakat memiliki organ-organ seperti halnya
tubuh seekor binatang, dimana memiliki fungsi dari suatu bagian ditentukan oleh
tempatnya dalam keseluruhan tubuh. Pemikiran tiga tokoh sosiologi awal abad 19
tentang fungsionalisme yaitu Aguste Comte, Herbert Spencer, dan Emile Durkheim
pada intinya telah menghasilkan tiga asumsi yang mengawali fungsionalisme
sosiologis, seperti yang dijelaskan Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini
(1989:21), sebagai berikut:
4) Relitas sosial dianggap sebagai suatu sistem. 5) Proses-proses suatu sistem hanya dapat dimengerti dalam kerangka
hubungan timbal balik antara bagian-bagiannya. 6) Sebagai halnya dengan suatu organisme maka struktur suatu sistem
sifatnya terikat yang disertai adanya proses-proses untuk mempertahankan integritas dan batas-batasnya.
Aktivitas sumbangan dalam acara pernikahan khususnya di Desa Jati,
Kecamatan Sumberlawang, Sragen sebagai suatu realitas sosial juga merupakan
suatu sistem yang akan membentuk serta memperkuat kehidupan bersama dalam
masyarakat. Apabila dilihat dalam lingkup yang lebih luas, sumbangan pada acara
pernikahan di Desa Jati ini juga dapat disebut sebagai sub sistem, karena merupakan
salah satu sistem dari sistem-sistem lainnya, misalnya sistem sumbangan untuk
orang meninggal, aktivitas tolong menolong dalam pertanian, aktivitas gotong
royong dalam membangun sarana umum, dan sebagainya.
Proses-proses suatu sistem hanya dapat dimengerti dalam kerangka
hubungan timbal balik antara bagian-bagiannya, maka dalam sistem sumbangan
pada acara pernikahan di Desa Jati juga berlaku seperti ini. Sistem sumbangan
dalam pernikahan di Desa Jati hanya akan dapat berjalan apabila unsur-unsur di
dalamnya berjalan dalam hubungan timbal balik secara fungsional. Apabila salah
satu unsur tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya maka sistem pertukaran
dalam sumbangan ini tentunya akan mengalami gangguan. Seperti yang
dikemukakan Duncan Mitchell (1984:53) yang menerangkan bahwa ”setiap sistem
mempunyai beberapa sifat yang sama, terutama bagian-bagiannya yang begitu erat
hubungannya satu sama lain dari segi struktur hingga perubahan dalam satu bagian
akan mengakibatkan perubahan di bagian yang lain”. Unsur-unsur tersebut
diantaranya adalah pihak tamu undangan yang akan memberikan sumbangan dan
pihak yang punya hajat pernikahan sebagai penerima sumbangan yang saling
melakukan pertukaran sumbangan. Mereka terikat dalam suatu sistem yang
membuat masyarakat Desa Jati menjadi tetap eksis.
Struktur dalam sistem sumbangan pada acara pernikahan ini sifatnya
mengikat. Hal ini dapat dilihat dari kuatnya hubungan timbal balik yang ada dalam
sistem ini. Setiap warga masyarakat Desa Jati memiliki suatu kewajiban moral
untuk selalu membalas sumbangan yang telah diterimannya. Selain itu, warga
masyarakat Desa Jati juga selalu berupaya untuk mempertahankan integritas dari
sistem sumbangan pada acara pernikahan dengan tujuan secara lebih luas yaitu
untuk mempertahankan integritas masyarakat. Hal ini sejalan dengan Dahrendorf
dalam Kamanto Sunarto (2000:228) dalam teorinya yang mengemukakan tentang
pokok teori fungsionalisme dimana salah satunya disebutkan jika ”setiap
masyarakat merupakan suatu struktur unsur yang relatif gigih dan stabil”. Warto
salah satu informan mengemukakan,
karena ikatan rasa ketimuran, dengan adanya silaturohim lebih-lebih dibarengi hajatan, kan orang hajatan membutuhkan uang, untuk meringankan dan untuk mengikat tali persaudaraan itu ya dengan sumbangan itu tadi. Kita berharap supaya dapat meringankan beban disatu sisi kita dapat mengikat tali persaudaraan. Jadi dengan ikatan semacam ini hati kehati itu bisa mengikat. (W/Warto/25/04/09)
Usaha untuk mempertahankan integritas sistem dalam sumbangan pada
acara pernikahan di Desa Jati dapat dilihat dari tidak dibesar-besarkannya konflik
yang terjadi dalam sistem sumbangan terkait dengan ketidak konsistennya
hubungan resiprositas dalam sistem sumbangan tersebut. Terkait dengan hal ini
Brama mengemukakan, “mungkin ini solidaritas, menjunjung tinggi kerukunan
yang masih kental, untuk hal-hal semacam itu ya masih maklum lah….mungkin pas
gak punya uang….”. (W/Brama/22/04/09)
Merton dalam David Kaplan dan Albert A. Manners (2000:79)
memperkenalkan konsep “fungsi” yang dibedakan antara fungsi manifes dan fungsi
laten (fungsi tampak dan fungsi terselubung), dalam suatu tindak atau unsur budaya.
Fungsi manifes dari adanya sistem sumbangan di Desa Jati yaitu untuk membantu
meringankan biaya pihak yang mengadakan hajatan pernikahan. Sementara itu
fungsi laten dari adanya sistem sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati yaitu
untuk membentuk serta memperkuat integritas masyarakat.
Seperti penjelasan Malinowski dalam Koentjaranigrat (1987:167) yang
membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkatan abstraksi, yaitu:
4) Fungsi sosial dari suatu adat , pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat.
5) Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat.
6) Fungsi sosial dari suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.
Sistem sumbangan pada acara hajatan pernikahan di Desa Jati juga
mencakup ketiga dari tingakatan abstraksi tersebut. Dari tingkatan abstraksi
pertama, sistem sumbangan memberikan pengaruh atau efeknya terhadap tingkah
laku masyarakat Desa Jati. Masyarakat Desa Jati akan selalu memenuhi kewajiban
moral dengan membalas pemberian sumbangan yang pernah diterimananya.
Sehingga aktifitas timbal balik dalam memberikan dan menerima sumbangan akan
selalu diusahakan oleh masyarakat dengan berbagai cara. Dari tingkatan abstraksi
pertama ini juga dapat dianalisis jika sistem sumbangan pada acara pernikahan
menyingkapkan makna psikologis bagi para pelakunya. Hal ini sejalan dengan
pendapat Afke E. Komter (2005:43) yang mengemukakan,
the first psychological function of the gift is to create moral tie between giver and recipient. Gift make people fell morally bound to another because of mutual expectation and obligation to return the gift that arise as a consequence….a scond psychological function of gift giving relates to disclosure, affirmation, or denial of identities of giver as well as recipient.
Dari pernyataan Komter tersebut dapat dipahami bahwa fungsi psikologi
pertama dari pemberian adalah untuk menciptakan ikatan moral diantara pemberi
dan penerima. Pemberian membuat orang merasa terikat secara moral kepada yang
lain karena pengharapan timbal balik dan kewajiban untuk mengembalikan
pemberian yang timbul sebagai sebuah konsekuensi. Fungsi psikologis yang kedua
dari hubungan memberikan pemberian adalah untuk mengungkapkan, menyatakan,
atau penyangkalan identitas pemberi sebagaimana penerima.
Dari tingkatan abstraksi kedua, dengan kegiatan sumbangan pada acara
pernikahan di Desa Jati akan dapat membantu pembiayaan pihak yang sedang
mempunyai hajat pernikahan untuk menyelenggarakannya sesuai dengan adat yang
ada, sehingga kebiasaan sumbang-menyumbang serta adat pernikahan yang ada
akan tetap lestari. Dari tingkatan abstraksi ini sistem sumbangan menyingkapkan
makna ekonomi, terutama dalam pengadaan kebutuhan-kebutuhan dalam
pembiayaan acara adat pernikahan masyarakat setempat. Hal ini sejalan dengan
teori Malinowski dalam Marcel Mauss (1992:44) dalam pembahasanya tentang
sistem tukar menukar pemberian di kepulauan Trobrian, yang menjelaskan bahwa
sistem tukar menukar pemberian menghidupkan keseluruhan kehidupan ekonomi
dari orang-orang Trobiand.
Dari tingkatan abstraksi yang ketiga, sumbangan pada acara pernikahan di
Desa Jati dapat menciptakan serta memperkuat sistem kemasyarakatan seperti yang
telah dikemukakan di atas. Tingkatan abstraksi ketiga sistem sumbangan pada acara
pernikahan ini menyingkapkan makna sosial bagi para pelakunya. Marcel Mauss
(1992:44) menjelaskan,
kehidupan sosial merupakan suatu keadaan tetap yang berlangsung terus-menerus dalam hal memberi dan menerima pemberian; pemberian disimpan dan dikembalikan, diterima dan dibayarkan kembali, baik berdasarkan kewajiban maupun kepentingan perorangan, dalam kebesaran penghormatan untuk membayar kembali dan pelayanan-pelayanan; atau sebagai tantangan atau jaminan-jaminan.
4. Pemaknaan Sumbangan pada Acara Pernikahan
dalam Konteks Masa Kini
Setiap warga masyarakat Desa Jati yang telah dewasa akan melaksanakan
kegiatan sistem sumbangan pada acara pernikahan. Karena merupakan suatu adat
kebiasaan yang telah berjalan sejak dahulu dan juga karena kuatnya hubungan
timbal balik dalam sistem sumbangan. Seperti yang telah dijelaskan di depan,
sistem sumbangan memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat Desa Jati.
Namun demikian, dalam konteks masa kini terdapat beberapa hal yang unik dari
sistem sumbangan di Desa Jati ini. Keadaan-keadaan pada sistem sumbangan di
masyarakat Desa Jati dalam konteks kekinian berpotensi untuk menggeser arti
penting sistem sumbangan, atau paling tidak akan mengurangi kadar arti penting
dari sistem sumbangan yang telah ada, meskipun sering tidak disadari dan dianggap
biasa oleh warga masyarakatnya.
Marcel Mauss (1992:2) dalam bukunya mengatakan, prestasi-prestasi yang
dalam teori bersifat sukarela tanpa pakasaan, tanpa pamrih dan sopan, tetapi dalam
kenyataannya bersifat mengharuskan atau mewajibkan dan bersikap pamrih. Bentuk
yang biasanya digunakan ialah pemberian hadiah yang secara murah hati disajikan;
tetapi kelakuan yang menyertai pemberian itu resmi dengan kepura-puraan dan
penipuan sosial, sementara transaksi itu sendiri dilandasi oleh kewajiban dan
kepentingan ekonomi diri sendiri dari para pelakunya.
Sejalan dengan teori di atas, para informan mengakui jika di Desa Jati belum
pernah ada acara hajatan pernikahan yang diselenggarakan dengan tidak menerima
sumbangan. Semua warga masyarakat Desa Jati selalu menerima sumbangan jika
mengadakan acara hajatan pernikahan. Seperti yang dikemukakan Warto, “belum
pernah ada…..semua ngarep-arep (mengharap)…” (W/Warto/25/04/09). Pamrih
kiranya terlihat dalam hal ini. Saat seseorang datang untuk menyumbang
sebenarnya memiliki pamrih jika kelak dia berharap juga akan disumbang saat
mengadakan acara hajatan.
Dalam surat undangan yang diberikan kepada calon tamu undangan
sebenarnya tidak terdapat pernyataan secara langsung tentang permohonan untuk
menyumbang, yang ada hanya pernyataan untuk mengharap kehadiran tamu
undangan dengan do’a restu untuk anak mereka yang dihajati tersebut. Kalimat
permohonan kehadiran tamu dalam surat undangan tersebut biasanya sebagai
berikut; “merupakan suatu kehormatan dan kebahagiaan bagi kami apabila
bapak/ibu/saudara/i, berkenan hadir untuk memberikan do’a restu kepada putra
putri kami. Atas kehadiran dan do’a restu bapak/ibu/saudara/i kami mengucapkan
terimakasih”. Atau dalam undangan berbahasa Jawa sering di tulis sebagai berikut;
Nuwun, mbok bilih gusti Allah hangganjar wilujeng ing sedayanipun miwah dangan ing penggalih panjenengan sekalian kula suwun rawuh benjing ing; dinten….., tanggal……, jam….., wonten……. Sakperlu paring berkah pangestu dumateng anak kulo sumarambah ing sedayanipun. Kenyataannya setiap pihak yang menyelenggarakan hajatan pernikahan
selalu menerima sumbangan dan mangharap pemberian sumbangan dari para tamu
undangannya. Bahkan karena telah menjadi suatu kebiasaan yang selalu
dilaksanakan, sistem sumbangan telah menjadi suatu kewajiban dalam kehidupan
bermasyarakat yang mangikat masyarakat dengan sangat kuat. Tamu undangan
tidak akan mungkin berani untuk datang dalam acara pernikahan dengan hanya
memberikan doa restu untuk pihak yang dihajati seperti yang tercantum dalam surat
undangan. Tamu undangan pasti akan selalu memberikan sumbangan untuk pihak
yang menyelenggarakan hajatan. Pertukaran sumbangan seperti ini terlihat penuh
dengan kebasa-basian, atau Marcel Mauss (1992:2) telah menyebutkannya dengan
istilah kepura-puraan.
Di Desa Jati terdapat undangan secara simbolik dalam bentuk pemberian
makanan sebelum acara hajatan pernikahan akan dilaksanakan. Undangan secara
simbolik tersebut di Desa Jati biasa disebut dengan istilah punjungan. Sebelum
acara hajatan akan dilaksanakan sebagai pengganti undangan maka berbagai
makanan seperti nasi, sayur sambal goreng, mi goreng, daging, telur rebus,
kerupuk, dan snack (makanan kecil) seperti roti serta berbagai makanan khas Jawa
diberikan kepada pihak-pihak dalam satu Desa yang dirasa masih saudara dekat,
sesepuh (tetua), seseorang yang terhormat, terpandang memiliki kedudukan baik
secara ekonomi maupun sosial.
Seperti undangan yang sering diberikan oleh warga Desa Jati untuk Warto,
dimana Warto juga termasuk salah satu warga Desa Jati yang memiliki kedudukan
sosial tinggi, sudah tidak lagi berupa kartu undangan, tetapi berupa punjungan.
Menurut Warto jika mengundang dengan punjungan ini justru rasa mengikat
batinnya lebih kuat sehingga selalu berusaha untuk menghadirinya. Punjungan ini
adalah suatu bentuk undangan simbolik dan suatu bentuk penghormatan khusus
bagi mereka yang dianggap istimewa. Di samping itu juga tersirat makna bahwa
mereka yang dianggap istimewa tersebut dirasa akan memberikan sumbangan yang
lebih saat menghadiri acara pernikahan, meskipun mereka yang dipunjung tersebut
tidak selalu memberikan sumbangan yang lebih saat menghadiri acara hajatan.
Secara tidak langsung punjungan sering dirasa sebagai media untuk meminta
sumbangan bagi mereka yang dianggap istimewa.
Pada saat ini pihak-pihak yang mengadakan acara hajatan pernikahan
kadang-kadang memaksakan diri mengundang orang-orang terkenal, pejabat dan
tokoh masyarakat yang sering kali tidak mengenalnya secara pribadi. Mereka
melakukan hal tersebut dengan tujuan hanya untuk mengejar gengsi agar pesta
pernikahannya terkesan lebih meriah. Selain itu tamu-tamu tersebut dianggap
memiliki potensi untuk memberikan sumbangan dalam jumlah besar dibandingkan
dengan tamu biasa. Warto yang merupakan mantan kepala Desa Jati ketika
menjawab pertanyaan apakah pernah mendapatkan undangan dari pihak yang belum
dikenalnya? mengemukakan,
Banyak, tau lho dek aku jagong, tapi teko kono sing duwe gawe malah tekok, pake daleme pundi? Lho batinku tibake pake iki rung kenal to karo aku…, aneh to… Tapi tetep nyumbang lha karena sudah datang, (Banyak, pernah lo dek saya menghadiri acara pernikahan tetapi setelah sampai di sana yang mempunyai hajat malah bertanya, bapak rumahnya mana? Lho batin saya ternyata pake ini belum kenal to sama saya…, aneh to…tetapi tetap menyumbang lha karena sudah datang). (W/Warto/25/04/09)
Pengalaman Warto di atas juga sering dialami oleh masyarakat Desa Jati yang lain.
Namun masyarakat kini sudah mulai berpikir ulang untuk datang ke acara pernikahan
apabila mereka merasa tidak mengenal pihak yang mengundangnya, dan berpikir
apakah akan memberi keuntungan pada dirinya dikemudian hari. Jika dianggap tidak
menguntungkan, maka undangan tersebut akan dilewatkannya.
Kegiatan sumbangan semacam ini juga menyangkut tentang harga diri dan
martabat. Dalam tulisannya Marcel Mauss (2005:59) mengatakan bahwa:
…Pada prinsipnya pemberian-pemberian selalu diterima dan selalu disukuri. Anda harus mengatakan rasa sukur anda atas makanan yang telah dipersiapkan untuk anda. Tetapi pada saat yang sama, anda menerima sebuah tantangan. Anda menerima pemberian “dari punggung”. Anda menerima makanan yang diberikan kepada anda karena anda bermaksud untuk menerima tantangan untuk membuktikan bahwa anda bukanlah seseorang yang tidak ada harganya... .
Dalam konteks sumbangan pada acara pernikahan, pernyataan tersebut dapat
dipahami bahwa para tamu undangan harus selalu bersyukur atas hidangan pesta
yang dipersiapkan untuk mereka. Akan tetapi hal ini sebenarnya merupakan suatu
tantangan bagi para tamu undangan untuk membalasnya yaitu dengan memberikan
sumbangan kepada pihak yang mengadakan hajat, serta mengadakan pesta pada saat
giliran mereka mempunyai hajat agar tidak dikatakan sebagai orang yang tidak
berharga atau orang yang rendah martabatnya. Pembuktian di lapangan yaitu di
Desa Jati juga tampak seperti dalam teori tersebut. Warto menanggapi tentang
pelaksanaan acara hajatan pernikahan anaknya dengan mengungkapkan;
ya berharap supaya saudara-saudara bisa datang kesini. Sakwene urip yo saling gentian lah…yang kedua, lantaran hajatan itu ya perlu dibesar-besarkan. Tapi dalam semacam ini terdapat kepuasan tersendiri. Saya dalam menyelenggarakan hajatan ini ya istilah orang Jawa ‘wani nggetih’, beda dengan hajatan ribut kok mlirit, cethil, pelit. Intinya kembali kepada nama baik. (W/Warto/25/04/09)
Tidak dapat dipungkiri meskipun telah menjadi suatu kebiasaan dalam
masyarakat yang begitu kuat, dalam sistem sumbangan yang menjadi suatu pranata
penuh makna ini di dalamnya juga terdapat konflik. Konflik terjadi karena tidak
konsistennya para pelaku dalam pelaksanaan aturan timbal balik sistem sumbangan.
Brama mejelaskan tentang kemungkinan konflik yang pernah terjadi di Desa Jati,
dengan mengatakan,
yang saya tahu, orang tua pernah cerita, kalo sebatas cuma ngomong-ngomong ya seperti dulu saya nyumbang sekian tetapi giliran saya punya hajat kok cuma disumbang sekian…..cuma seperti itu saja…kalau sampai dendam saya kira nggak ada……pernah siapa itu…dari lain Desa itu kalo nyumbang amplopnya sering kosong, ya dititeni itu…..tetapi dibiarkan saja… ya paling sebatas gunjingan. (W/Brama/22/04/09)
Ratmi menjelaskan secara lebih rinci dengan mengemukakan;
pernah....enten sing senenge nyumbang amplop kosong...nggeh dirasani...dititeni dibalekne...gentian pas duwe hajat yo dibalekne kosongan....ben kapok.., (pernah...ada yang sukanya menyumbang dengan ampop kosong...ya di gunjing dititeni dikembalikan....gantian saat punya hajat ya dikembalikan kosongan....biar kapok). (W/Ratmi/6/06/09)
Konflik juga tidak hanya menyangkut ketidak konsisitenan dalam jumlah nominal
sumbangan, tetapi juga adanya kegiatan sumbangan yang dirasa hanya untuk
mencari keuntungan. Seperti yang dikemukakan Warto sebagai berikut;
ya ada tetapi tidak semuanya semacam itu, tapi ya ada sebagian kecil itung punya itung untuk mencari bathi (keuntungan), tetapi itu relatif kecil. Tapi terus terang…dalam hati kecil orang yang punya hajat itu seperti saya dulu, pasti ada niat bisnis (ingin untung), dengan perhitungan khusus, pengeluaran berapa, pemasukan, yang diundang, meskipun perhitungan ini sering meleset. (W/Warto/25/04/09)
Begitu juga dengan Brama yang menuturkan pengalamannya sebagai berikut;
ya cerita-cerita dari orang tua, ya agak nggak umum gitulah…misalnya terlalu sering mengadakan hajatan, atau setiap kali orang lain mengadakan acara ya terus ikut mengadakan acara sendiri…..padahal nggak begitu penting, hanya acara-acara kecil. Misalnya mbangun nikah (menikah lagi dengan istri yang sama setelah ada permasalahan tertentu)…. Tetangga saya itu mbangun nukah lagi, padahal tidak ada masalah apa-apa dalam rumah tangganya…..berbeda dengan yang sebelah itu, itu benar-benar mbangun nikah karena istrinya gila dan setelah sembuh mbangun nikah dan tidak menerima sumbang. Tetapi kalau yang satu ini gak ada masalah apa-apa kok mbangun nikah, dengan menerima sumbangan….ya penilaian umum ya untuk mencari keuntungan. (W/Brama/22/04/09)
Konflik yang pernah terjadi seperti yang dikemukakan Brama di atas ternyata juga
diketahui oleh warga dukuh lain. Endang menuturkan dalam menanggapi masalah
ini dengan mengatakan, “enten tiang dukuh sebelah niku….jane nggeh mung
mbangun nikah ngoten niku….” (ada orang dukuh sebelah itu…. sebenarnya ya
hanya mbangun nikah seperti itu). (W/Endang/16/05/09)
Konflik semacam ini di Desa Jati hanya relatif kecil. Masyarakat tidak
pernah membesar-besarkan adanya konflik dalam sumbangan semacam ini. Sanksi
bagi mereka yang tidak konsisiten dalam pelaksanaan pertukaran sumbangan hanya
berupa gunjingan dan hukuman berupa pengembalian yang sama dengan saat
seseorang yang tidak konsisten itu melaksanakan hubungan timbal balik dalam
sumbangan. Seseorang yang sering menyumbang dengan amplop kosong tanpa
uang maka saat ia mengadakan hajatan juga dibalas dengan pemberian sumbangan
dengan amplop kosong. Hal ini hanya sebagai pelajaran untuk warga masyarakat
yang tidak konsisten dengan hubungan timbal balik dalam sistem sumbangan agar
mereka tidak mengulanginya lagi. Hanya beberapa orang saja yang pernah atau
sering tidak konsisten dalam pelaksanaan sumbangan. Warga masyarakat selalu
berupaya untuk berfikir positif dalam rangka untuk menekan terjadinya konflik,
seperti yang dikemukakan Warto saat menceritakan pengalamannya, dengan
mengatakan;
ya ada, amplop kosong juga ada. Mungkin yo pas ra duwe tenan gandeng sedulur yo wis teko, gak popo dari pihak penerima ya tidak apa-apa, mungkin yo pancen arep weroh sedulur, (ya ada, amplop kosong juga ada. Mungkin ya pas bena tidak punya berhubung saudara ya sudah datang, tidak apa-apa dari pihak penerima ya tidak apa-apa, mungkin ya memang mau menengok saudara). (W/Warto/25/04/09)
Sanksi bagi mereka yang tidak konsisten dalam pelaksanaan hubungan
timbal balik dalam sistem sumbangan ini sifatnya intrinsik yang tidak kelihatan,
kasat mata, tidak berupa sanksi yang diberikan secara langsung, namun
menyakitkan. Malinowski (1988:30) dalam tulisannya mengemukakan bahwa,
sebab yang sebenarnya mengapa kewajiban ekonomi itu biasanya ditaati dengan patuh ialah bahwa kegagalan mematuhinya menempatkan seseorang dalam posisi terkucil, sedang keengganan mematuhinya mendatangkan malu baginya. Sekiranya jika seseorang terus menerus tidak mentaati peraturan-peraturan hukum dalam tindak ekonominya, akan terbukti bahwa ia berada di luar tata sosial dan ekonomi masyarakatnya.
Sementara Marcel Mauss (1992:59) mengemukakan, ”kegagalan untuk memberi
atau menerima, sama dengan kegagalan untuk membalas pemberian, yang sama
artinya dengan kehilangan rasa harga diri dan kehormatannya”.
Kuatnya sistem hubungan timbal balik dalam kebiasaan sumbangan
menimbulkan komitmen bagi warga masyarakat untuk tetap melaksanakan dengan
berbagai cara. Tidak adanya anggaran khusus untuk kegiatan sumbang
menyumbang semacam ini juga diakui oleh para informan. Padahal jika sedang
musim hajatan pernikahan, warga masyarakat juga melaksanakan kegiatan
sumbangan menyumbang ini dengan intensitas yang cukup sering. Seperti Warto,
Pardi dan Yono yang mengaku jika setiap bulannya mereka mendapatkan undangan
sekitar lebih dari 10 undangan. Sebenarnya anggaran seperti ini dapat dipersiapkan
dan diprediksikan oleh para warga karena seperti diketahui jika acara hajatan
pernikahan ramai pada bulan-bulan tertentu, namun pada faktanya warga
masyarakat tidak memiliki anggaran khusus untuk kegiatan kemasyarakatan
khususnya sumbangan seperti ini. Para informan dalam hal ini menjelaskan dengan
istilahnya sendiri-sendiri. Pardi mengemukakan,
mboten enten anggaran…..nggeh kadang-kadang nggeh ngoten ….undangan numpuk 4, 5 nggeh mumet. Yo wis ngko ra ketung adol dengkul…..golek potangan…nek pas mboten enten nggeh golek-golek teng sanak sedulur niku mangke nek panen disaur…, (tidak ada anggaran….ya kadang-kadang ya seperti itu…undangan terkumpul 4, 5 ya pusing. Ya sudah nanti ‘jual lutut’…….mencari pinjaman..kalau pas tidak punya ya cari-cari disaudara nanti kalau panen di lunasi…). (W/Pardi/28/04/09)
Begitu juga dengan Yono, dengan istilahnya sendiri Yono mengemukakan,
mboten enten mas…setiap bulan mboten enten anggaran khusus damel jagong yo nek pas ra nduwe yo klabruk-klabruk golek ngendi iki..., (tidak ada mas…setiap bulan tidak ada anggaran khusus untuk jagong/menghadiri acara hajatan pernikahan ya kalau sedang tidak punya ya klabruk-klabruk mencari dimana ini..). (W/Yono/29/04/09)
Sedangkan Warto mengemukakan, ”Anggaran khusus nggak ada, anggarannya
kayak-kiyuk, Cuma menyisihkan saja, kalau terpaksa nggak ada ya kiyak–kiyuk itu
tadi…kiyak sana…kiyuk sini….hutang-hutang…”. (W/Warto/25/04/09)
Bagi mereka yang tidak memiliki modal dalam pelaksanaan sistem
pertukaran ini menimbulkan suatu konsekuensi tersendiri. Salah satu modal yang
penting dalam sistem sumbangan adalah uang maupun barang yang akan digunakan
untuk menyumbang. Seperti yang para informan kemukakan jika yang ada dalam
hati kecil pertama saat mendapatkan undangan pernikahan adalah uang ataupun
beras. Konsekuensi tersebut seperti yang disebut Bourdieu sebagai kekerasan
simbolis. Kekerasan simbolis menurut Bourdieu dalam Richard Jenkins (2004:157)
adalah ”pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap
kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal ini dialami sebagai sesuatu yang
sah” . Atau dengan kata lain kekerasan simbolis adalah kekerasan yang secara
“paksa” mendapatkan kepatuhan yang tidak dirasakan sebagai paksaan dengan
bersandar pada harapan-harapan kolektif dari kepercayaan-kepercayaan yang sudah
tertanam secara sosial (Haryatmoko. 2003:38). Kekerasan semacam ini oleh
korbanya tidak dilihat atau tidak dirasakan sebagai kekerasan, tetapi sebagai sesuatu
yang alamiah dan wajar. Bourdieu dalam Haryatmoko (2003:18-19) menjelaskan
bahwa,
pada dasarnya kekerasan simbolis berlangsung karena ketidak tahuan dari yang ditindas. Jadi, sebetulnya logika dominasi ini bisa berjalan karena prinsip simbolis yang diketahui dan diterima baik oleh yang menguasai maupun yang dikuasai. Prinsip simbolis itu berupa bahasa, gaya hidup, cara berpikir, cara bertindak dan kepemilikan yang khas pada kelompok tertentu atas dasar ciri kebutuhan.
Kekerasan simbolis dalam hal sumbangan terwujud dalam bentuk
keharusan untuk menyumbang kepada pihak yang mempunyai hajat apabila
diundang, tanpa memperdulikan yang diundang sedang punya uang atau tidak.
Mendapatkan undangan sebanyak sepuluh buah dalam satu bulan tentu saja
memberatkan bagi sebagian besar orang namun meskipun hal itu dikeluhkan tetap
tidak akan bisa merubah keadaan. Artinya mereka tetap harus datang dan
menyumbang, bahkan kalau perlu sampai mencari pinjaman hanya untuk
menyumbang. Tidak datang dan tidak menyumbang adalah hal yang sangat
dihindari karena mereka tidak mau dicap tidak menuruti kaidah umum yang berlaku
di masyarakat setempat tentang sumbangan. Sumbangan menjadi sesuatu yang
memberatkan, namun dianggap wajar bagi masyarakat setempat.
Bentuk kekerasan simbolis dalam sistem sumbangan juga dapat dilihat
dimana pihak yang memiliki kedudukan serta jenjang status ekonomi yang tinggi
ternyata juga masih meminta sumbangan saat mereka mengadakan acara hajatan.
Tidak ada perasaan malu ataupun bersalah bagi mereka yang kaya meskipun ia
harus menerima sumbangan dari para warga masyarakat lainnya yang status
ekonominya lebih rendah. Begitu juga dengan mereka yang kurang mampu, mereka
tetap menyumbang walaupun yang disumbang tersebut adalah orang kaya. Mereka
bersusah payah mengusahakan uang ataupun barang sumbangan dengan berbagai
cara untuk menyumbang bagi si kaya saat mengadakan acara hajatan pernikahan.
Bahkan seseorang yang punya kedudukan status sosial maupun ekonomi
yang tinggi di Desa Jati juga tetap menerima sumbangan dalam bentuk sumbangan
kolektif. Seperti yang telah dijelaskan di depan, dimana dalam sumbangan kolektif
ini pihak pengurus akan mengumumkan lewat mushola setempat bahwa seseorang
akan menyelenggarakan hajatan pernikahan dan para warga dimohon untuk segera
mengumpulkan sumbangan. Baik disadari ataupun tidak fenomena ini sangat ironis.
Kekerasan simbolik seperti ini bekerja dengan mekanisme meconnaissance
–mekanisme penyembunyian kekerasan yang dimiliki-menjadi sesuatu yang
diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian”. “Yang memang seharusnya
demikian” inilah yang oleh Bourdieu disebut dengan doxa. Dunia sosial manusia
penuh dengan doxa. Bourdieu menjelaskan doxa adalah wacana yang kita terima
begitu saja sebagai kebenaran dan tidak pernah lagi kita pertanyakan sebab-
sebabnya apalagi kebenarannya. Keberadaan doxa hanya dapat diperoleh melalui
proses inkalkulasi, atau proses penanaman yang berlangsung terus menerus
(Bourdieu dalam Suma Riella Rusdiarti. 2003:38). Dalam sistem sumbangan pada
acara pernikahan memang selalu tertanam dalam warga masyarakat secara terus
menerus. Karena dihampir setiap bulannya selalu dilaksanakan acara hajatan
pernikahan dan disitu sistem sumbangan berlangsung.
Mekanisme kekerasan simbolik berjalan dengan dua cara, yaitu eufemisasi
dan sensorisasi. Eufemisasi biasanya membuat kekerasan simbolik tidak tampak,
bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dipilah secara “tak sadar”.
Bentuknya dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun,
pemberian, hutang, pahala, atau belas kasihan. Sementara, mekanisme sensorisasi
menjadikan kekerasan simbolik tampak sebagai bentuk nilai yang dianggap sebagai
“moral kehormatan”, seperti kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan sebagainya
yang biasanya dipertentangkan dengan “moral rendah”, seperti kekerasan, kriminal,
ketidakpantasan, asusila, kerakusan, dan sebagainya (Bourdieu dalam Suma Riella
Rusdiarti. 2003:38-39).
Seperti Yono dalam menanggapi masalah ketidak adanya anggaran untuk
sumbangan dan sampai hutang-hutang untuk melaksanakannya dengan mengatakan,
“gak masalah…yo orang hidup harus saling menyatu.” (W/Yono/20/04/09). Begitu
juga dengan Pardi yang mengemukakan, “mpun membudaya….yo nek duwe gawe
nggeh ngoten niku, pun kebiasaan…nggeh saling ngoteniku..” (sudah
membudaya…ya kalau punya hajat ya seperti itu sudah kebiasaan… ya saling
seperti itu…) (W/Pardi/28/04/09).
Pernyataan para informan di atas menunjukkan jika mereka menganggap
sistem sumbangan merupakan sesuatu yang wajar dan sebagai adat kebiasaan yang
memang seharusnya demikian adanya. Warga masyarakat menganggap hal ini
sebagai sesuatu yang wajar dan memang harus dilaksanakan seperti yang telah
berjalan. Meskipun ada warga masyarakat yang merasa berat tetapi juga ada
masyarakat yang tidak merasa berat dengan sistem sumbangan ini. Bagi mereka
yang kurang memiliki modal atau saat tidak memiliki modal tentunya akan merasa
berat. Seperti Pardi yang mengemukakan jika kadang ia merasa berat dengan sistem
sumbangan ini, Pardi mengatakan, “ nggeh pripun nggeh….nek rodo pas ra nduwe
nggeh berat….” (ya bagaimana ya…….kalau pas tidak punya uang ya berat)
(W/Pardi/28/04/09). Begitu juga dengan Brama yang mengemukakan, “ya selama
saya punya uang, pas ada dirumah itu ya senang-senang saja, saya datang”.
(W/Brama/22/04/09)
Sementara Warto tidak merasa berat dengan sistem sumbangan ini, Warto
mengatakan,
bagi saya tidak karena saya yakin ibaratnya uang sumbangan itu ya seperti kuku ini, kuku iki umpomo diingu mundake yo ra sepiroho, tapi yen di potong go nyumbang mengko yo bakal tukul neh...(Bagi saya tidak karena saya yakin ibaratnya uang sumbangan itu ya seperti kuku ini, kuku ini seumpama dipelihara tambahnya ya tidak seberapa, tetapi kalau dipotong untuk menyumbang nanti juga akan tumbuh lagi). (W/Warto/25/04/09)
Meskipun ada warga yang tidak merasa berat akan tetapi para warga mengakui jika
mereka sering mengeluh saat mendapatkan undangan yang menumpuk. Perasaan
berat dan sering mengeluh saat mendapatkan undangan adalah efek dari kekerasan
simbolis bagi mereka yang tidak memiliki modal. Pardi menuturkan, “nggeh
ngeluh…..paling nggeh ngeluh ngoten niku tok…..” (ya ngeluh……paling ya
ngeluh seperti itu saja) (W/Pardi/28/04/09). Begitu juga dengan Warto yang
menuturkan, “Ngeluh ya, tapi cuma pelampiasan. Mau ngeluh, mau marah yang
mau dimarahi juga siapa” (W/Warto/25/04/09).
Yono menambahkan dengan mengemukakan jika ibu-ibu rumah tangga
pasti mengeluh karena mereka yang memegang uang dan mengatur kebutuhan.
Endang yang merupakan ibu-ibu rumah tangga menyatakan bahwa ia juga sering
mengeluh karena biaya sumbangan. Endang yang juga bekerja sebagai pedagang
menyatakan jika sedang ramai musim pernikahan dalam satu hari ia bisa
mendapatkan lima undangan acara pernikahan. Dalam hal ini ia mengemukakan,
ngeluh mas nek katah undangan nggeh ngeluh….biasane ngeluh kaleh pake….mosok karo tonggo…wah undangane teko neh.. ngoteniku (ngeluh mas kalau bayak undangan ya ngeluh…biasanya ngeluh sama bapak (suami)…..masak sama tetangga….wah undangannya datang lagi…seperti itu). (W/Endang/16/05/09)
Ratmi yang juga ibu rumah tangga menuturkan jika ia juga sering mengeluh. Ratmi
menuturkan,
nggeh ngrasakne dek...jagongan pirang-pirang....dobel-dobel...sok-sok yo sambat ’jagongan kok yo akeh men...’ la sok yo susah dek...rakenal barang yo ngundang ko barang teko yo lek nemoni ki koyo ra nggatekne....yen mboten kenal kadang-kadang nggeh mboten mangkat jagong (ya merasakan dek...jagongan banyak...dobel-dobel...kadang-kadang ya ngeluh ’jagongan kok banyak sekali...’ ya sering ya susah dek...tidak kenal juga mengundang
nanti saat datang ya yang menerima tamu itu seperti tidak memperhatikan...jika tidak kenal kadang-kadang ya tidak datang jagong). (W/Ratmi/16/05/09)
Inilah salah satu keunikan dari sistem sumbangan pada acara pernikahan.
Tidak semua masyarakat merasa berat dengan adanya sistem sumbangan yang ada.
Mereka menganggap jika sistem sumbangan memang sudah demikian sejak mereka
lahir, dan ini merupakan suatu kebiasaan yang ada dalam kehidupan masyarakat,
namun mereka juga sering mengeluh jika mendapatkan undangan acara pernikahan
dimana mereka harus menyumbang saat menghadirinya. Dengan keluhan-keluhan
tersebut seakan-akan mereka kurang ikhlas dengan sumbangan yang akan
diberikan, padahal sumbangan yang merupakan suatu pemberian sebagai bantuan
seharusnya diberikan dengan ikhlas.
Pelaku sosial menerima kekerasan simbolik sebagai sesuatu yang wajar
karena kekerasan simbolik sudah dipahami dan sudah menjadi kebiasaan yang telah
dimiliki oleh pelaku sosial sejak lahir. Brama mengakui jika ia melaksanakan
sistem sumbangan ini sejak SMA (Sekolah Menegah Atas) sewaktu temannya
sudah ada yang menikah. Kalau untuk mengenal sumbangan sendiri Brama
mengemukakan jika ia telah mengenalnya sejak kecil. Terkait dengan hal ini, Yono
menambahkan dengan mengemukakan, “awit aku lahir wis enek sumbang
menyumbang, itu naluri ya….dadi awit cilik wis rasah di ajari wong tuo…wis
otomatis…”(sejak saya lahir sudah ada sumbang menytumbang, itu naluri ya…jadi
sejak kecil sudah tidak perlu diajari orang tua…sudah otomatis..)
(W/Yono/29/04/09). Begitu juga dengan pendapat Pardi, yang mengemukakan,
“awet cilik…nek melaksanakan nggeh sejak dewasa, nggeh budaya
masyarakat…ngoten niku pun otomatis..” (sejak kecil…kalau melaksanakan ya
sejak dewasa, ya budaya masyarakat..seperti itu sudah otomatis..)
(W/Pardi/28/04/09).
Adanya standarisasi berkaitan dengan jumlah sumbangan yang akan
diberikan dalam masyarakat juga sering menambah adanya kekerasan simbolik bagi
mereka yang kurang memiliki modal. Seperti yang telah dikemukakan di depan
bahwa standarisasi minimal jumlah sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati
jelas ada. Dengan dasar “kepatutan/kepantasan” maka setiap warga masyarakat
akan selalu berusaha bagaimanapun caranya untuk dapat mencapai standar yang
telah ada dalam masyarakat.
Sistem hibungan timbal balik yang begitu kuat menimbulkan suatu
konsekuensi tersendiri apabila warga masyarakat tidak ikut melaksanakan sumbang
ini. Ada semacam rasa takut dan beban jika mereka tidak melaksanakan sistem
sumbangan. Pardi dalam hal ini mengemukakan,
yen mboten nyumbang nggeh mboten wani…..aluwung mboten dugi…nggeh paling ibukke ngoten; ‘ayo pak sing nyumbang salah siji wae..’ yen mboten nyumbang nggih aluwung mboten mangkat.., (kalau tidak nyumbang ya tidak berani…lebih baik tidak datang…ya paling ibu berkata; ‘ayo pak yang nyumbang salah satu saja..’ kalau tidak nyumbang lebih baik tidak datang….” (W/Pardi/28/04/09)
Brama dalam menaggapi masalah ini dengan mengemukakan; “keinginan untuk
tidak menyumbang ya tidak ada karena pekewuh..., apalagi kalau akrab ya paling
tidak nyumbanglah berapa….” (W/Brama/22/04/09). Sementara Ratmi
mengemukakan;
nggeh pekewuh yen arep ora nyumbang ki yo pekewuh ..mesti nyumbang…mesti nyumbang…nggeh mesti nyumbang….pekewuh…ra ketung salah siji…engko pake opo aku..mesti nyumbang (ya pekewuh kalau mau tidak nyumbang itu ya pekewuh….pasti menyumbang…pasti menyumbang…ya pasti menyumbang …Pekewuh ….meskipun salah satu…nanti bapak atau saya…mesti menyumbang) (W/Ratmi/6/06/09).
Begitu juga dengan Warto yang mengatakan;
dalam hati bersyukur, teman masih ingat, masalah datang tidaknya ya nanti lah….ya sehat bisa datang tapi kalau nggak ada uang padahal harus nyumbang ya lebih baik nggak datang…. karena rasa kemanusiaan yang
masih kuat, sanajan ora nduwe yo direwangi utang-utang lah….nek tekate arep teko yo nyumbang, teko tok ora nyumbang yo rawani…(karena rasa kemanusiaan yang masih kuat, meskipun tidak punya ya pinjam-pinjam lah…kalau niatnya mau datang ya nyumbang, datang saja tidak nyumbang ya tidak berani) (W/Warto/25/04/09).
Masyarakat memiliki kekuasaan penuh dalam hal ini. Ketidak beranian
warga masyarakat untuk datang pada acara hajatan pernikahan tanpa dengan
memberikan sumbangan sebenarnya adalah ketidak beranian pada pihak yang
punya hajat, secara lebih luas adalah ketidak beranian pada masyarakat. Sejalan
dengan hal ini Warto mengemukakan, “kalau mau hadir ya raketung seberapa ya
harus memberi karena untuk menjaga aib. Yang tahu kan hanya kita, yang
menyumbang dengan orang yang disumbang” (W/Warto/25/04/09).
Hal ini sejalan dengan teori dari Rousseau dalam Saifudin (2005:141-142)
yang menjelaskan bahwa,
masyarakat bukanlah sebagai gejala alam, melainkan penjumlahan kekuatan-kekuatan yang hanya dapat muncul apabila beberapa orang berhimpun bersama. Setiap orang harus menyerahkan diri, tunduk, tidak kepada kekuasaan seseorang melainkan kepada kolektivitas atau asosiasi dengan cara mematuhi arahan tertinggi dari kehendak umum.
Margaret Poloma (1994:89) mangemukakan bahwa, ”wewenang berdasarkan atas
norma-norma atau aturan-aturan bersama menggariskan perilaku dalam suatu
kolektifitas. Norma-norma itu memaksakan individu mematuhi aturan dari mereka
yang berkuasa. Norma-norma demikian diinternalisir oleh anggota kelompok dan
dipaksakan kepada mereka”. Blau dalam Margaret Poloma (1994: 89) juga
berpendapat bahwa, ”ukuran-ukuran normatif yang mendasari wewenang yang
terlembaga tidak lahir dalam proses interaksi sosial antara mereka yang berada di
lapisan atas dan bawah dan diantara sesama mereka yang berada dilapisan bawah,
tetapi dalam proses sosialisasi dimana setiap orang secara terpisah mengakui
kebudayaan bersama”. Dengan kata lain, kita belajar menerima struktur wewenang
sebab kita disosialisir kedalam kebudayaan kita sendiri.
Berbagai keadaan di atas sesuai dengan apa yang di jelaskan oleh Yayuk
Yuliati dan Mangku Poernomo (2003:52-53) dalam teorinya yang mengemukakan
bahwa,
kesejukan, ketenangan, kadamaian dan jaminan kebahagiaan merupakan pandangan umum dari kehidupan Desa. Tentu saja pandangan itu keliru apabila kita faham dan tahu betul apa sebenarnya yang melingkupi kehidupan Desa saat ini. Tidak hanya kekerasan hidup dalam mata pencaharian saja, namun juga kekerasan tekanan sosial selalu menghantui kehidupan masyarakat Desa. Beban sosial dan tuntutan lingkungan untuk dapat berpartisipasi aktif dalam dinamika kehidupan Desa, kerap menjadi tekanan bagi masyarakat apabila tidak dapat mencapainya.
Ketiadaan anggaran khusus untuk biaya kemasyarakatan seperti biaya
sumbangan, adanya keluhan saat mendapatkan undangan acara pernikahan, adanya
sebagian warga yang kadang-kadang sering merasa berat dengan biaya sumbangan,
ketakuatan yang berlebihan bagi warga masyarakat jika tidak dapat menyumbang
saat ada acara pernikahan sehingga mereka hanya memikirkan bagaimana caranya
agar dapat menyumbang tanpa memikirkan tujuan utama dari menyumbang, dan
adanya kekerasan simbolis dalam sistem sumbangan yang salah satunya terlihat
lewat warga masyarakat yang memiliki status sosial maupun ekonomi yang tinggi
tanpa adanya perasaan malu dan bersalah meminta serta menerima sumbangan dari
warga lain yang sering kedudukannya lebih rendah sehingga terkesan menimbulkan
potensi bagi pihak-pihak tertentu yang menjadikan sumbangan sebagai ladang
bisnis, kadang-kadang membuat makna sumbangan menjadi bergeser. Terutama
bagi warga masyarakat yang belum memahami serta belum sadar betul tentang
tujuan/maksud sumbangan pada acara pernikahan ini. Seperti halnya pernyataan
Endang yang ragu-ragu dalam menaggapi masalah arti penting sumbangan pada
acara pernikahan, dengan mengemukakan, “pentinge….jane nggeh mboten
penting…yo penting yo ora….” (pentingnya…sebetulnya ya tidak penting…ya
penting ya tidak) (W/Endang/16/05/09). Begitu juga dengan Brama yang
mengemukakan, ”saya pribadi ya saya ngikut aja….tapi saya kasihkan entah itu
kembali atau tidak itu terserah nanti yang penting saya tumpangi dengan keikhlasan
saya…saya tetap menyesuaikan dengan masyarakat” (W/Brama/22/04/09).
Seperti inilah fakta yang ada di lapangan. Tidak semua warga Desa Jati
telah mengetahui dan sadar benar tentang maksud/tujuan sumbangan pada acara
pernikahan. Mereka hanya melaksanakannya sebagaimana yang telah menjadi
kebiasaan masyarakat. Selain itu mereka hanya berusaha untuk selalu memenuhi
hubungan timbal balik yang telah terjalin kuat, sehingga kadang-kadang mereka
tidak memahami benar tujuan dari dilaksanakannya sistem tersebut.
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dipadukan dengan analisis data di atas,
maka dalam penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut;
1. Sumbangan pada acara pernikahan sebagai salah satu bentuk interaksi
sosial memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat Desa Jati,
Kecamatan Sumberlawang Sragen. Arti penting tersebut antara lain dapat
membina persatuan dan kesatuan untuk berkehidupan kebersamaan dan
kekeluargaan yang harmonis dan dinamis. Pelaksanan sistem sumbangan
di Desa Jati telah menjadi suatu kebiasaan masyarakat yang telah
membudaya sehingga tetap dilestarikan hingga kini. Terdapat tiga arti
penting dalam sistem sumbangan pada acara pernikahan ini bagi
kehidupan masyarakat Desa Jati. Ketiga arti penting tersebut yaitu;
a. Kegiatan sumbangan pada acara pernikahan memberikan pengaruh
atau efek terhadap tingkah laku masyarakat dan pranata yang ada di
Desa Jati. Masyarakat Desa Jati berkewajiban secara moral untuk
selalu membalas pemberian sumbangan yang pernah diterimanya.
Masyarakat juga akan menjadi rajin membantu sesamanya saat ada
acara hajatan pernikahan dilaksanakan maupun dalam kehidupan
sehari-hari, tertib dalam menyumbang, rajin menghadiri undangan
acara pernikahan, dan selalu meningkatkan interaksi sosial dengan
masyarakat sekitar dalam rangka untuk menjaga hubungan dalam
sistem sumbangan. Begitu pula dengan berbagai pranata yang ada di
Desa Jati, seperti tolong menolong, kerjasama, saling hormat
menghormati, dan sebagainya tetap terlaksana.
b. Kegiatan sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati akan dapat
membantu meringankan pembiayaan pihak yang sedang
menyelenggarakan hajat pernikahan sesuai dengan adat yang ada,
sehingga pelaksanaan acara pernikahan yang sesuai dengan adat
istiadat Desa Jati dapat lestari.
c. Sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati dapat menciptakan
serta memperkuat kehidupan bersama dalam masyarakat. Sumbangan
pada acara pernikahan merupakan suatu sistem yang terdiri dari
beberapa unsur yang secara fungsional menjadi satu dalam rangka
untuk mencapai tujuan tertentu. Unsur-unsur tersebut adalah pihak
pemberi sumbangan dan penerima sumbangan yang saling memberi
dan menerima. Hubungan timbal balik unsur-unsur dalam sistem
sumbangan tersebut akan membetuk, mempertahankan dan
memperkuat integritas masyarakat.
2. Makna sistem sumbangan di Desa Jati dalam perkembangannya sedikit
demi sedikit telah mengalami pergeseran. Kadang-kadang Masyarakat
Desa Jati hanya memaknai sistem sumbangan sebagai suatu kebiasaan
masyarakat dan hanya melaksanakan sistem sumbangan dalam rangka
untuk memenuhi hubungan timbal baliknya saja. Keadaan ini
menimbulkan berbagai hal yang berpotensi untuk menggeser arti penting
sistem sumbangan, atau paling tidak akan mengurangi kadar arti penting
dari sistem sumbangan yang telah ada, meskipun sering tidak disadari
dan telah dianggap biasa oleh warga masyarakatnya. Beberapa hal yang
berpotensi untuk menggeser atau paling tidak mengurangi kadar arti
penting sumbangan tersebut seperti;
a. Adanya pamrih saat menyumbang.
b. Kekerasan simbolik yang sering terjadi bagi mereka yang tidak
memiliki modal (uang/barang untuk menyumbang).
c. Konflik yang terjadi menyangkut tidak konsistennya para pelaku
hubungan timbal balik sistem sumbangan.
d. Adanya niat bisnis (hanya untuk mencari keuntungan) yang sering
melekat pada pihak yang mengadakan hajatan pernikahan.
e. Uang maupun barang yang menjadi perhatian pertama saat
mendapatkan undangan pernikahan.
f. Ketidak adanya anggaran dalam keuangan rumah tangga untuk biaya
sosial termasuk untuk sumbangan acara pernikahan sehingga kadang-
kadang jika sedang tidak memiliki uang atau barang sampai hutang-
hutang.
g. Merasa berat dengan biaya untuk sumbangan yang sering
menyelimuti warga masyarakat.
h. Mengeluh saat menerima undangan acara pernikahan, dan
i. Warga masyarakat yang kadang-kadang kurang memahami arti
penting sumbangan.
B. Implikasi
1. Implikasi secara teoritis
a. Menambah pengetahuan yang lebih mendalam tentang arti penting dan
pemaknaan masyarakat dalam konteks masa kini terkait dengan sistem
sumbangan pada acara pernikahan. Seperti yang telah dijelaskan di
atas, sistem sumbangan pada acara pernikahan memiliki tiga arti
penting bagi kehidupan masyarakat yaitu dapat mempengaruhi tingkah
laku masyarakat dan melestarikan pranata sosial yang telah ada di
masyarakat, dapat membantu pembiayaan pihak yang sedang
menyelenggarakan hajat sehingga pelaksanaan acara pernikahan sesuai
dengan adat istiadat setempat dapat tetap lestari, serta dapat
membentuk, memperkuat dan mempertahankan integritas masyarakat.
Sementara dalam konteks masa kini masyarakat sering hanya
memaknai sumbangan pada acara pernikahan sebagai suatu kebiasaan
yang ada pada masyarakat dan melaksanakan hubungan sistem
sumbangan dalam rangka untuk memenuhi hubungan timbal baliknya
saja tanpa memahami tujuan/maksudnya.
b. Menguji kebenaran serta memantapkan keberadaan teori-teori
sosiologi dan antropologi terutama teori pertukaran serta memberikan
sumbangan dalam perkembangannya.
c. Dapat digunakan sebagai acuan bagi peneliti yang lain tentang
berbagai hal yng terkait dengan kemasyarakatan, teori pertukaran,
maupun berbagai hal dalam sistem sumbangan pada acara pernikahan.
2. Implikasi secara praktis
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai wacana reflektif bagi
masyarakat dalam rangka untuk mewujudkan kehidupan yang lebih
bijaksana.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dalam
memecahkan berbagai permaslahan yang terkait dengan sistem
sumbangan pada acara pernikahan.
c. Merangsang masyarakat serta kalangan akademisi terutama yang
mengkaji masalah sosial untuk lebih kritis terhadap berbagai fenomena
sosial yang dianggap biasa oleh masyarakat namun sebenarnya
menyimpan berbagai permasalahan sosial yang memerlukan
pemecahannya.
C. Saran
Dari hasil temuan dan analisis data di atas, ada beberapa hal yang dapat
dijadikan sebagai masukan, antara lain:
1. Bagi masyarakat
a. Masyarakat hendaknya selalu menjaga kelestarian budaya sumbangan
khususnya pada acara pernikahan mengingat arti penting yang
terkandung didalamnya begitu berarti dalam kehidupan masyarakat.
b. Keikhlasan dalam menyumbang hendaknya lebih diutamakan,
sebagaimana sumbangan sebagai suatu bentuk pemberian yang
merupakan bantuan bagi pihak yang menyelenggarakan hajat
pernikahan.
c. Hendaknya masyarakat membuatan anggaran khusus dalam keuangan
rumah tangganya masing-masing untuk pengeluaran biaya sosial
khususnya sumbangan pada acara pernikahan sehingga akan lebih
mempermudah masyarakat dalam pengaturan serta penyediaannya.
d. Masyarakat hendaknya lebih memahami tujuan/maksud dari
pelaksanaan sumbangan, sehingga tidak hanya melaksanakan
hubungan timbal baliknya saja tanpa mengetahui tujuan/ maksudnya.
e. Masyarakat hendaknya meningkatkan kesadaran dan rasa pengertian
terhadap mereka yang kurang memiliki modal sehingga akan dapat
menghilangkan kekerasan simbolik dalam pelaksanaan sistem
sumbangan.
f. Sanksi bagi pihak-pihak yang berpotensi mencari keuntungan lewat
sistem sumbangan (seperti gunjingan, pengucilan, dan sebagainya)
memang hendaknya dilaksanakan sebagai alat pengontrol masyarakat,
dalam rangka untuk menjaga integrasi masyarakat dan untuk menjaga
kemurnian arti penting sistem sumbangan.
2. Bagi kalangan akademisi
Terutama bagi kalangan akademisi yang mengkaji masalah sosial hendaknya
lebih kritis dan dapat membantu memecahkan masalah yang ada di masyarakat terkait
sistem sumbangan seperti ini serta fenomena-fenomena sosial yang lainnya dimana
hal-hal tersebut sering dianggap sebagai sesuatu yang telah biasa namun justru
didalamnya menyimpan berbagai fenomena serta permasalahan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1982. Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Desa Daerah Jawa Tengah. Semarang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Tahun 1979/1980.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sragen. 2008. Kecamatan Sumberlawang dalam Angka Tahun 2007. Sragen: BPS.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Echols, John dan Hassan Shadily. 1986. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia. Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: Ideologi,
Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jawa.
. Haryatmoko. 2003. Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa; Landasan Teoritis
Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu dalam BASIS No. 11-12 Tahun Ke-52. Yogyakarta: Kanisius.
Jellison, Katherine. 2007. Louise Pubrick, The Wedding Present: Domestic Life
Beyond Consumtion. USA: Ohio University. http://ant.sagepub.com. Tanggal Down load: 30 Oktober 2008.
Jenkins, Richard. 2004. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi
Wacana. Kaplan, David dan Albert A. Manners. 2000. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Koentjaraningrat.1983. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
_________. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia. _________. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. Komter, Aafke. E. 2005. Social Solidarity and the Gift. New York: Cambridge
University Press. Malinowski, Bronislaw. 1988. Tertib Hukum dalam Masyarakat Terasing. Jakarta:
Erlangga. _________. 1992. Argonaust of the Western Pacific. New York: E.P Dutton & Co.,
Inc. Mauss, Marcel. 1992. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat
Kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mitchell, Duncan. 1984. Sosiologi: Suatu Analisa Sistem Sosial. IKAPI: Bina Aksara. Moreno, Paz dan Susana Narotzky. 2002. Reciprocty’s Dark Side: Negative
Reciprocity, Morality and Sosial Reproduction. http://ant.sagepub.com/ cgi/content/abstract/2/3/281. Tanggal Down Load: 30 Oktober 2008.
Poloma, Margaret. M. 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. Purnamasari, Novita. 2000. Upacara Tradisi Perkawinan Jawa dan Perubahan
Bentuk Sumbangan di Yogyakarta (Studi Kasus pada Upacara Perkawinan Keluarga Alm. Moelyono dan Keluarga Bambang Sutrisno). Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM Yogyakarta.
Rusdiarti, Suma Riella. 2003. Bahsa Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan dalam
BASIS No.11-12 Tahun Ke-52. Yogyakart: Kanisius. Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar
Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana. Scott, James C. 1981. Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3ES. Slamet, Y. 2006. Metode Penelitian Sosial. Surakarta: Sebelas Maret University
Press.
Soekanto, Soerjono dan Ratih Lestarini. 1988. Fungsionalism dan Teori Konflik
dalam Perkembangan Sosiologi. Jakarta: Sinar Grafika. Soekanto, Soerjono. 1986. Talcott Parson, Fungsionalisme Imperatif. Jakarta: CV.
Rajawali. _________. 2004. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sudarmono. Selasa, 9 Januari 2007. Opini: Nuansa Kondangan.
http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2007010900565359. Tanggal Down Load: 7 Agustus 2008.
Suanarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret
University Press.
Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Yuliati, Yayuk dan Mangku Poernomo. 2003. Sosiologi Pedesaan.Yogyakarta:
Pustaka Utama.