skenario 3

23
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemampuan untuk mengganti atau memperbaiki jaringan yang rusak atau bahkan seluruh bagian tubuh merupakan impian dari para dokter. Transplantasi adalah memindahkan alat atau jaringan tubuh dari satu orang ke orang lain. Hal tersebut merupakan tindakan pilihan bila suatu alat atau jaringan tubuh yang vital rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi akibat proses penyakit. Hukum transplantasi adalah bahwa tandur akan diterima bila resipien dan donor memiliki gen histokompatibilitas tertentu yang sama (Baratawidjaja, 2010). Pada skenario kali ini dituntut untuk membahas mengenai transfusi darah beserta resiko, efek samping, dan mekanismenya, transplantasi organ meliputi mekanisme serta pandangan dari berbagai aspek, dan imunodefisiensi yang telah dipaparkan di skenario di bawah ini. Berikut skenario yang akan dibahas: Pak Eko datang ke rumah Pak Andi menyampaikan kabar bahwa istri Pak Eko, sedang dirawat di rumah sakit karena gagal ginjal dan perlu mendapatkan transfusi darah karena kadar hemoglobinnya terus menurun. Pak Andi pernah membaca bahwa beberapa penyakit bisa ditularkan melalui transfusi, seperti hepatitis, malaria, sifilis bahkan HIV/AIDS. Apakah tidak beresiko untuk istri Pak Eko ya? Pak Eko menyatakan bahwa transfusi hanya bersifat sementara. Dokter berharap istri Pak Eko bisa menjalani operasi cangkok ginjal. Tapi tidak mudah mendapatkan organ donor. Karena kalau tidak cocok, akan ditolak oleh tubuh penerima. Padahal, tubuh istri Pak Eko makin lemah. Menurut dokter, daya imunnya juga terus menurun, baik karena perkembangan penyakit, diet yang ketat maupun terapi yang harus diterimanya. Pak Andi kembali teringat anak tetangganya yang imunisasinya tidak berhasil juga dikatakan anak tersebut mempunyai daya imun yang lemah. Apakah sama ya dengan istri Pak Eko? Pak Eko meminta Pak Andi mau mendonorkan darahnya. Tetapi Pak Andi ragu-ragu karena dahulu pernah terjadi saudaranya saat mendapat transfusi tiba-tiba gatal-gatal dan sesak nafas. Kata dokter itu karena

Transcript of skenario 3

Page 1: skenario 3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemampuan untuk mengganti atau memperbaiki jaringan yang rusak atau bahkan seluruh bagian tubuh merupakan impian dari para dokter. Transplantasi adalah memindahkan alat atau jaringan tubuh dari satu orang ke orang lain. Hal tersebut merupakan tindakan pilihan bila suatu alat atau jaringan tubuh yang vital rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi akibat proses penyakit. Hukum transplantasi adalah bahwa tandur akan diterima bila resipien dan donor memiliki gen histokompatibilitas tertentu yang sama (Baratawidjaja, 2010).

Pada skenario kali ini dituntut untuk membahas mengenai transfusi darah beserta resiko, efek samping, dan mekanismenya, transplantasi organ meliputi mekanisme serta pandangan dari berbagai aspek, dan imunodefisiensi yang telah dipaparkan di skenario di bawah ini. Berikut skenario yang akan dibahas:

Pak Eko datang ke rumah Pak Andi menyampaikan kabar bahwa istri Pak Eko, sedang dirawat di rumah sakit karena gagal ginjal dan perlu mendapatkan transfusi darah karena kadar hemoglobinnya terus menurun. Pak Andi pernah membaca bahwa beberapa penyakit bisa ditularkan melalui transfusi, seperti hepatitis, malaria, sifilis bahkan HIV/AIDS. Apakah tidak beresiko untuk istri Pak Eko ya? Pak Eko menyatakan bahwa transfusi hanya bersifat sementara. Dokter berharap istri Pak Eko bisa menjalani operasi cangkok ginjal. Tapi tidak mudah mendapatkan organ donor. Karena kalau tidak cocok, akan ditolak oleh tubuh penerima. Padahal, tubuh istri Pak Eko makin lemah.

Menurut dokter, daya imunnya juga terus menurun, baik karena perkembangan penyakit, diet yang ketat maupun terapi yang harus diterimanya. Pak Andi kembali teringat anak tetangganya yang imunisasinya tidak berhasil juga dikatakan anak tersebut mempunyai daya imun yang lemah. Apakah sama ya dengan istri Pak Eko? Pak Eko meminta Pak Andi mau mendonorkan darahnya. Tetapi Pak Andi ragu-ragu karena dahulu pernah terjadi saudaranya saat mendapat transfusi tiba-tiba gatal-gatal dan sesak nafas. Kata dokter itu karena darahnya tidak cocok. Ada juga kasus ibu guru di sekolah Pak Andi yang pernah mengalami keguguran yang oleh dokter dikatakan karena darah janin dan darah ibunya tidak cocok. Sebenarnya yang tidak cocok apanya ya?

B. Rumusan Masalah

1. Apakah transfusi darah beresiko untuk istri Pak Eko?

2. Apakah lemahnya imun berpengaruh pada keberhasilan cangkok ginjal?

3. Apa saja penyebab darah transfusi tidak cocok bagi resipiennya?

C. Tujuan

Page 2: skenario 3

a. Untuk mengetahui informasi yang terkait dengan transplantasi organ, termasuk indikasi, kontra indikasi dan faktor yang mempengaruhi transplantasi organ.

b. Untuk mengetahui informasi yang terkait dengan transfusi darah, termasuk indikasi, kontra indikasi, syarat, faktor yang mempengaruhi, risiko, serta dampak dari transfusi darah.

c. Untuk mengetahui patofisiologi dan penyakit terkait imunodefisiensi.

D. Manfaat

1. Mengetahui informasi yang terkait dengan transplantasi organ, termasuk indikasi, kontra indikasi dan faktor yang mempengaruhi transplantasi organ.

2. Mengetahui informasi yang terkait dengan transfusi darah, termasuk indikasi, kontra indikasi, syarat, faktor yang mempengaruhi, resiko, serta dampak dari transfusi darah.

3. Mengetahui patofisiologi dan penyakit terkait imunodefisiensi.

BAB II

STUDI PUSTAKA

Transplantasi

Transplantasi adalah memindahkan alat atau jaringan tubuh dari satu ke orang lain (Bratawidjaja, 2010).

Jenis-jenis cangkok berdasarkan asal dari alat jaringan tubuh yang didonorkan:

1. Autograft : memakai jaringan sendiri, misal kulit

2. Isograft : transfer jaringan dari donor yang identik secara genetik (monozigot)

3. Allograft : donor dari individu berbeda tapi spesies sama

4. Xenograft : donor dari spesies yang berbeda, misal babi

Dasar genetik transplantasi:

· Histokompatibel dan histoinkompatibel

· Antigen Histokompatibel Mayor : gen yang menentukan apakah tandur dapat diterima

· Antigen Histokompatibel Minor : gen yang eksperesinya lebih lemah daripada mayor. Merupakan sasaran penolakan awitan lambat

· Antigen Histokompatibel non-MHC

Page 3: skenario 3

Mekanisme penolakan transplantasi:

1. Sistem seluler : berlangsung sesuai respons CMI. Gejala timbul setelah terjadi vaskularisasi. Terjadi invasi sel tandur oleh sel-sel limfosit dan monosit melalui pembuluh darah. Menimbulkan kerusakan pembuluh darah dan diikuti oleh nekrosis jaringan tandur.

2. Sistem humoral : sel tandur dihancurkan melalui hipersensitivitas tipe 2 yang melibatkan antibodi humoral.

Pencegahan penolakan transplantasi:

a. Antigen Rhesus : tipe antigen Rh yang ditentukan sebekum transfusi dan reaksi transfusi yang berhubungan dengan Rh dapat mencegah reaksi transfusi resipien Rh- dengan darah RH+

b. ABO typing

c. Cross Matching dan Tissue Typing

Cross matching: pemeriksaan serum resipien untuk memeriksa adanya antibodi yangpreformed terhadap antigen/HLA donor, untuk mencegah reaksi penolakan hiperakut

Tissue Typing: identifikasi antigen MHC-1 dan MHC-2

d. Seleksi resipien: usia lanjut, sepsis berat, osteoporosis, kecenderungan perdarahan, banyaknya spesifisitas yang dimiliki bersama oleh donor dan resipien

Jenis-jenis penolakan:

· Penolakan hiperakut: terjadi dalam beberapa menit atau jam setelah transplantasi. Diakibatkan oleh antibodi yang sudah dimiliki resipien terhadap organ donor

· Penolakan akut: penolakan yang biasa terjadi dalam waktu 10 hari. Karena organ tandur yang mismatch dan pengobatan imunosupresif yang kurang

· Penolakan tersembunyi dan lambat: disertai endapan Ig dan C3 subendotel di membran basal glomerulus, mungkin ditimbulkan oleh kompleks imun atau pembentukan kompleks dengan antigen larut asal ginjal yang dicangkokkan

· Penolakan kronis: hilangnya fungsi organ yang dicangkokkan secara perlahan dalam beberapa bulan-tahun sesudah organ berfungsi secara normal. Disebabkan oleh sensitivitas yang timbul terhadap antigen tandur atau oleh timbulnya intoleransi terhadap sel T

Organ - organ yang dapat ditransplantasi:

· Ginjal

· Jantung

· Hati

Page 4: skenario 3

· Kornea

· Kulit

· Pankreas

· Sumsum tulang

· Sel punca

Transfusi

Transfusi darah merupakan transplantasi jaringan hidup yang mengandung banyak sumber manusia yang kompleks yang juga membawa potensi efek samping yang tidak diinginkan pada penerima atau resipien. Beberapa risiko transfusi sekarang telah diketahui namun ada juga yang belum. Untuk itu perlu penilaian yang teliti dari risiko-risiko yang ada.

Transfusi darah berdasarkan sumber darah donor dibedakan menjadi dua :

1. Allotransfusi atau darah berasal dari orang lain.

2. Autotransfusi atau darah berasal dari resipien sendiri.

Sedangkan indikasi transfusi darah adalah :

a. Penggantian volume darah karena kehilangan darah akut.

b. Kekurangan eritrosit

c. Defisiensi faktor koagulasi

d. Berkurangnya jumlah leukosit atau trombosit

e. Open heart surgery

f. Transfuse tukar

IMUNOLOGI DARAH

Antigen adalah zat yang dikenali sebagai benda asing dalam tubuh dan akan menimbulkan respon imun melalui dibentuknya antibodi yang bereaksi spesifik terhadap antigen tersebut. Antibodi yang diproduksi oleh tubuh sebagai reaksi imun adalah immunoglobulin (Ig) dan terdiri atas dua macam : IgM dan IgG.

Ekspresi gen pada permukaan sel, dalam hal ini sel darah, menjadi antigen apabila sel tersebut dimasukkan ke dalam sirkulasi individu lain seperti pada proses transfusi. Hal ini dapat

Page 5: skenario 3

menimbulkan respon imun dari tubuh resipien. Respon imun terhadap antigen sel darah individu lain ini disebut aloimunisasi.

EFEK SAMPING TRANSFUSI

Saat ini transfusi darah sudah menjadi jauh lebih aman, namun masih terdapat beberapa efek samping yang tetap terjadi meskipun dari pemeriksaan sebelumnya dinyatakan bahwa darah tersebut cocok. Efek samping ini dibagi menjadi tiga kelompok :4-10

Immune-mediated reactions, dibagi menjadi immediate dan delayed.

Nonimmunologic reactions

Efek ini disebabkan oleh sifat fisik dan kimia dari komponen darah yang disimpan dan bahan aditifnya.

Infeksi

Immune Mediated Reactions

Transfusi komponen darah dapat menstimulasi imunologi dan efek lain pada pasien. Terdapat beberapa efek imuniologis dan efek lainnya termasuk stimulasi aloantibodi terhadap antigen plasma sel dan protein plasma, transfer pasif antibodi terhadap antigen yang sama, transfer pasif sel efektor imun (limfosit), dan transmisi agen infeksius yang mempengaruhi sistem imun (contohnya HIV). Reaksi antigen-antibodi menyebabkan berbagai peristiwa yang dimediasi imun, termasuk hemolisis, reaksi alergi, dan anafilaksis. Transfusi juga dapat menimbulkan imunosupresi, meskipun mekanismenya masih kontroversial.4,9

Kecepatan pembersihan eritrosit yang ditransfusikan pada pasien dipengaruhi faktor humoral, yaitu isoantibodi dan alloantibody atau karena kombinasi mekanisme imun humoral dan selular. Meskipun faktor yang mempengaruhi proses ini kompleks, kecepatan pembersihan eritrosit yang ditransfusikan dapat diperkirakan dengan pengetahuan tentang antigen yang terlibat. Beberapa faktor yang menentukan kecepatan bersihan eritrosit dari sirkulasi pada respon alloimun meliputi :4,9

o Konsentrasi antibodi dalam plasma

o Rentang suhu tertentu di mana antibodi bekerja secara efektif

o Klas dan subklas antibodi

o Densitas antigen eritrosit

Immediate Hemolytic Transfusion Reactions/ Reaksi Hemolitik Intravascular

Terjadi bila terdapat komplemen yang terikat pada permukaan sel donor yang menyebabkan serangan kompleks (C5-9) dan melisiskan eritrosit donor. Penyebab yang paling sering adalah inkompatibilitas ABO. Aktivasi dan fiksasi komplemen menyebabkan destruksi eritrosit dan

Page 6: skenario 3

melepaskan agen vasoaktif (C5a) dan materi prokoagulan, sejumlah besar kompleks imun dibentuk. Bisa juga terjadi gagal ginjal karena deposisi kompleks imun dan hipoperfusi. 4,9

Delayed Hemolytic Transfusion Reactions/ Reaksi Hemolitik Ekstravaskular

Disebabkan oleh IgG yang diproduksi setelah paparan terhadap antigen asing melalui transfusi dan kehamilan. Paling sering terjadi pada sistem Rhesus dan beberapa antigen seperti Kell, Kidd, dan Duffy. Reaksi ini timbul 3-10 hari sesudah transfusi.

Hemolytic Disease of the Newborn

Inkompatibilitas antara ibu dan janin terjadi bila ibu memiliki Rh negatif sedangkan ayah memiliki Rh positif, sehingga dapat dipastikan bahwa janin memiliki Rh positif. 6,9

Tabel 5. Pola penurunan Rhesus

Destruksi trombosit

Mayoritas disebabkan oleh antibodi terhadap HLA pada leukosit dan beberapa kasus disebabkan oleh antigen trombosit spesifik. Reaksi ini dapat dicegah dengan penggunaan filter leukoreduksi. 4,5

Reaksi demam nonhemolitik

Reaksi ini ditandai dengan demam dan menggigil disertai dengan peningkatan suhu ≥1°C. Diagnosa ditegakkan bila semua kemungkinan demam pada pasien sudah disingkirkan. Mekanismenya mungkin disebabkan oleh antibodi terhadap leukosit dan antigen HLA sehingga pasien dengan riwayat transfusi berulang dan multipara mempunyai risiko yang lebih tinggi. Pencegahannya adalah penggunaan filter leukoreduksi pada komponen darah. Insidennya dapat dikurangi dengan memberikan premedikasi antipiretik.5,9

Reaksi alergi

Reaksi hipersensitivitas ini timbul terhadap komponen protein plasma donor berupa timbulnya urtikaria. Reaksi ringan dapat diatasi dengan menghentikan transfusi sementara dan memberikan antihistamin (difenhidramin 50 mg oral ataupun intramuskular).9

Reaksi anafilaktik

Terjadi pada resipien dengan defisiensi IgA sehingga individu dengan defisiensi IgA sebaiknya menerima plasma dengan kondisi yang sama atau komponen darah yang sudah dicuci.5

Gejalanya meliputi sesak, batuk, mual dan muntah, hipotensi, bronkospasme, kehilangan kesadaran, gagal napas, dan syok.5

Page 7: skenario 3

Bila terjadi reaksi ini transfusi harus segera dihentikan dan pasien diberikan epinefrin. Pada kasus berat diperlukan pemberian steroid.4,5

Transfusion-related acute lung injury

Terjadi bila pada plasma donor mengandung antibodi anti-HLA dalam titer yang tinggi yang menyebabkan agregasi leukosit pada pembuluh darah pulmoner dan melepaskan mediator vasodilatasi.4

Pada pasien timbul gejala demam, menggigil, batuk kering, sesak, dan hipotensi 4-6 jam setelah transfusi. Ada foto roentgen thoraks ditemukan edema pulmoner nonkardiogenik dan infiltrat interstisial bilateral. 4

Terapinya suportif dan prognosisnya bonam, pasien biasanya sembuh.4

Page 8: skenario 3

“Mekanisme Dasar Transplantasi Organ dan Konsekuensinya Terhadap Sistem Imunitas”

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Transplantasi adalah memindahkan alat atau jaringan tubuh dari satu orang ke orang lain (Baratawidjaja, 2006). Tranplantasi ginjal telah menjadi terapi pengganti utama pada pasien gagal ginjal tahap akhir hampir di seluruh dunia. Manfaat transplantasi ginjal sudah terbukti lebih baik dibandingkan dengan dialisis terutama dalam hal perbaikan kualitas hidup (Susalit, 2007).

Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 3:

Pak Eko datang ke rumah Pak Andi, mengabarkan bahwa istri Pak Eko sedang dirawat di Rumah Sakit karena gagal ginjal, dan sedang membutuhkan transfusi darah karena kadar hemoglobinnya terus menurun. Pak Andi pernah membaca, bahwa beberapa penyakit dapat ditularkan melalui transfusi, seperti hepatitis, malaria, sifilis, bahkan HIV/AIDS. Dokter berharap istri Pak Eko bisa menjalani operasi cangkok ginjal. Tapi tidak mudah untuk mendapatkan organ donor, karena jika tidak cocok, akan ditolak oleh tubuh penerima.

Daya imun istri Pak Eko terus menurun, baik karena perkembangan penyakit, diet yang ketat, maupun terapi yang harus diterimanya. Ada anak tetangga Pak Andi yang imunisasinya tidak berhasil akibat dikatakan daya imun anak tersebut lemah. Pak Eko meminta Pak Andi untuk mendonorkan darahnya, tetapi Pak Andi ragu-ragu karena dulu pernah terjadi saudaranya saat mendapatkan transfusi tiba-tiba gatal dan sesak nafas. Ada juga kasus ibu guru di sekolah Pak Andi yang pernah mengalami keguguran yang oleh dokter dikatakan karena darah janin dan ibunya tidak cocok.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Gagal ginjal perlu transfusi darah karena kadar Hb terus menurun.

a. Jenis produk darah yang ditransfusikan pada pasien gagal ginjal.

b. Mekanisme penurunan Hb akibat gagal ginjal.

2. Beberapa penyakit bisa ditularkan melalui transfusi.

a. Prosedur transfusi darah.

b. Mekanisme penularan penyakit melalui transfusi.

3. Operasi cangkok ginjal apabila organ donornya tidak cocok akan ditolak oleh tubuh penerima.

a. Prosedur transplantasi organ.

b. Tinjauan aspek bioetika dan humaniora transplantasi organ.

Page 9: skenario 3

c. Mekanisme penolakan pada transplantasi organ.

4. Daya imun terus menurun karena perkembangan penyakit, diet yang ketat, dan terapi.

a. Faktor penyebab imunodefisiensi.

b. Mekanisme penurunan daya imun akibat perkembangan penyakit, diet yang ketat, dan terapi.

5. Imunisasi anak tidak berhasil karena daya imun anak yang lemah.

a. Mekanisme kegagalan imunisasi akibat imunodefisiensi.

6. Akibat mendapatkan transfusi timbul gatal-gatal dan sesak nafas.

a. Reaksi dan komplikasi dari transfusi.

b. Mekanisme reaksi dan komplikasi transfusi.

7. Keguguran terjadi akibat darah janin dan ibunya tidak cocok.

a. Mekanisme abortus akibat ketidakcocokan rhesus.

C. TUJUAN PENULISAN

· Menjelaskan imunohematologi dan transplantasi organ.

· Menjelaskan gangguan sistem imun (hipersensitivitas dan imunodefisiensi).

· Menjelaskan aspek etik dan hukum/legal transplantasi.

D. MANFAAT PENULISAN

· Mahasiswa mampu menjelaskan imunohematologi dan transplantasi organ.

· Mahasiswa mampu menjelaskan gangguan sistem imun (hipersensitivitas dan imunodefisiensi).

· Menjelaskan aspek etik dan hukum/legal tranplantasi.

E. HIPOTESIS

Transplantasi organ akan mencapai angka keberhasilan yang semakin tinggi apabila hubungan kekerabatan antara donor dengan resipien semakin dekat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal Ginjal

Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis

Page 10: skenario 3

atau transplantasi ginjal. Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), dimana LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) masih normal. Kemudian perlahan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif. Sampai pada LFG 60%, masih dalam tahap asimtomatik tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada LFG 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien memperlihatkan tanda dan gejala uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan lainnya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga terjadi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Jika LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy), antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada stadium ini sudah dapat dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal (Suwitra, 2007).

Pasien dengan gagal ginjal kronis berat hampir selalu mengalami anemia. Penyebab terpenting dari hal ini adalah berkurangnya sekresi eritropoietin ginjal, yang merangsang sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit. Jika ginjal mengalami kerusakan berat, ginjal tidak mampu memproduksi eritropoietin dalam jumlah cukup, sehingga mengakibatkan penurunan produksi eritrosit dan menimbulkan anemia (Guyton dan Hall, 2007).

B. Transfusi

Calon donor harus mendapat informed consent serta penjelasan mengenai risiko transfusi. Pengujian yang dilakukan pada darah donor meliputi: penetapan golongan darah berdasarkan ABO dan Rhesus, uji antibodi (dilakukan pada donor yang pernah mendapat transfusi atau hamil), dan uji terhadap penyakit infeksi, yaitu HBsAg, anti HCV, tes serologi untuk sifilis, dan tes antibodi HIV.

Uji cocok silang (crossmatch) terdiri dari serangkaian prosedur yang dilakukan pra-transfusi untuk memastikan seleksi darah yang tepat untuk pasien serta mendeteksi antibodi ireguler dalam serum pasien. Terdapat 2 jenis uji cocok silang. Major Crossmatch Test menguji reaksi antara eritrosit donor dengan serum resipien, sedangkan Minor Crossmatch Test menguji reaksi antara serum donor dengan eristrosit resipien. Crossmatch mayor dilakukan pada tes pratransfusi, sedangkan minor dilakukan sebagai tes rutin pada darah donor setelah pengumpulan darah.

Reaksi transfusi yang tidak diharapkan ditemukan pada 6,6% pasien yang menjalani transfusi.

Demam. Dapat disebabkan oleh antibodi leukosit, antibodi trombosit, atau senyawa pirogen. Untuk menghindarinya dapat dilakukan uji pencocokan leukosit antara donor dan resipien.

Reaksi Alergi. Renjatan anafilaktik timbul pada 1 dari 20.000 transfusi. Reaksi alergi ringan yang menyerupai urtikaria timbul pada 3% transfusi. Reaksi anafilaktik yang berat terjadi akibat interaksi antara IgA pada darah donor dengan anti-IgA spesifik pada plasma resipien.

Reaksi hemolitik. Terjadi akibat destruksi eritrosit akibat inkompatibilitas darah. Reaksi hemolitik juga dapat terjadi karena transfusi eritrosit yang rusak, injeksi air ke dalam sirkulasi, transfusi darah yang lisis, pemanasan berlebihan, darah beku, darah yang terinfeksi, transfusi darah dengan tekanan tinggi. Jika seseorang ditransfusi dengan darah atau janin memiliki struktur antigen eritrosit yang

Page 11: skenario 3

berbeda dengan donor atau ibunya, maka dapat terbentuk antibodi pada tubuh resipien darah atau janin tersebut, sehingga antibodi menyerang dan merusak eritrosit.

Penularan penyakit. Virus, seperti HIV, hepatitis B, dan hepatitis C serta bakteri dapat mengkontaminasi eritrosit dan trombosit sehingga dapat menyebabkan infeksi dan sepsis setelah transfusi.

Kontaminasi. Risiko terjadinya kontaminasi berhubungan langsung dengan lamanya penyimpanan.

Cedera paru akut (TRALI). Berupa manifestasi hipoksemia akut dan cedera pulmoner bilateral yang terjadi 6 jam setelah transfusi. Manifestasi klinis yang ditemui adalah dispnea, takipnea, demam, takikardi, hipo-/hipertensi, dan leukemia akut sementara. Mekanisme yang mungkin menjadi penyebab salah satunya adalah reaksi antara neutrofil resipien dengan antibodi donor yang mempunyai HLA atau antigen neutrofil spesifik; akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas kapiler pada sirkulasi mikro di paru (Djoerban, 2007).

C. Imunodefisiensi

Defisiensi imun dapat primer dengan dasar genetik yang relatif jarang dan sekunder yang lebih sering terjadi dan ditimbulkan oleh berbagai faktor sesudah lahir. Penyakit defisiensi imun tersering mengenai limfosit, komplemen dan fagosit.

Defisiensi imun juga dapat dibagi menjadi defisiensi imun nonspesifik (defisiensi komplemen, interferon dan lisozim, sel NK, dan sistem fagosit) dan defisiensi imun spesifik (defisiensi kongenital atau primer, defisiensi imun spesifik fisiologik, dan defisiensi imun didapat atau sekunder).

Defisiensi komplemen dan interferon serta lisozim didapat disebabkan oleh depresi sintesis, misalnya sirosis hati dan malnutrisi protein/kalori. Sedangkan defisiensi sel NK didapat terjadi akibat imunosupresi atau radiasi. Defisiensi sistem fagosit ditekankan terhadap sel PMN, yang dapat berupa defisiensi kuantitatif dan kualitatif. Defisiensi kuantitatif berupa neutropenia atau granulositopenia dapat disebabkan oleh penurunan produksi atau peningkatan destruksi. Defisiensi kuantitatif adalah berupa penurunan fungsi fagosit seperti kemotaksis, menelan/memakan, dan membunuh mikroba intraseluler.

Defisiensi imun spesifik fisiologik dapat berupa kehamilan, usia tahun pertama, dan usia lanjut. Sedangkan defisiensi imun didapat atau sekunder merupakan defisiensi sekunder yang paling sering ditemukan. Defisiensi tersebut mengenai fungsi fagosit dan limfosit akibat infeksi, malnutrisi, terapi sitotoksik, dan lainnya. (tabel selengkapnya dilampirkan)

Malnutrisi. Malnutrisi dan defisiensi besi dapat menimbulkan depresi sistem imun terutama pada imunitas seluler. Nutrisi buruk untuk jangka waktu lama dapat menghilangkan sel lemak yang biasanya melepas hormone leptin yang merangsang sistem imun.

Infeksi. Campak dan virus lain dapat menginfeksi tubuh dan menginduksi supresi DTH sementara. Jumlah sel T dalam sirkulasi dan respons limfosit terhadap antigen dan mitogen menurun.

Obat, trauma, tindakan kateterisasi dan bedah. Antibiotik dapat menekan sistem imun. Obat sitotoksik dapat mengganggu kemotaksis neutrofil. Sedangkan steroid dalam dosis tinggi dapat menekan fungsi sel T dan inflamasi.

Page 12: skenario 3

Penyinaran. Penyinaran dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, sedangkan dosis rendah dapat menekan aktivitas sel Ts secara selektif.

Kehilangan immunoglobulin. Defisiensi Ig dapat terjadi akibat kehilangan protein yang berlebihan seperti pada penyakit ginjal dan diare. Pada sindrom nefrotik ditemukan kehilangan protein dan penurunan IgG dan IgA yang berarti, sedangkan IgM normal. (Baratawidjaja, 2006).

D. Imunohematologi dan Transplantasi Organ

Sebelum transplantasi organ dilakukan, beberapa aspek yang perlu ditinjau adalah aspek etik, hukum, dan agama (Etikomedikolegal transplantasi).

Menurut segi hukum, tranplantasi organ, jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai tindakan mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia, walaupun ini tindakan ini melawan hukum pidana yaitu tindak pidana penganiayaan. Tetapi karena adanya alasan pengecualian hukuman, atau paham melawan hukum secara material, maka perbuatan tersebut tidak lagi diancampidana, dan dapat dibenarkan (Hanafiah dan Amir, 1999).

Menurut segi etik, transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien dengan kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya. Tindakan ini wajib dilakukan apabila ada indikasi, berdasarkan beberapa pasal dalam KODEKI yaitu pasal 2, pasal 7D, dan pasal 11 (Hanafiah dan Amir, 1999).

Dari segi agama (Islam), transplantasi organ diperbolehkan, selama tidak membahayakan donor dan tidak ada tujuan komersialisasi (jual-beli organ) (Anonim, 2009).

Permasalahan yang timbul dalam transplantasi adalah penolakan alat atau jaringan tubuh donor oleh resipien.

Penolakan dibagi menjadi 2:

1. Penolakan pertama dan kedua

Sel Th dan Tc resipien mengenal antigen MHC alogenik, sehingga memacu imunitas humoral dan membunuh sel sasaran. Makrofag juga dikerahkan ke tempat tandur atas pengaruh limfokin yang dihasilkan oleh Th.

2. Penolakan hiperakut, akut, dan kronik

a. Penolakan hiperakut: tejadi dalam beberapa menit sampai jam setelah transplantasi. Disebabkan oleh destruksi olehantibodi yang sudah ada pada resipien akibat transplantasi/transfusi darah atau kehamilan sebelumnya. Antibodimengaktifkan komplemen yang menimbulkan edem dan perdarahan interstitial dalam jaringan tandur sehingga mengurangi aliran darah ke seluruh jaringan.

b. Penolakan akut: pada resipien yang sebelumnya tidak disensitasi terhadap tandur. Terjadi sesudah beberapa minggu sampai bulan setelah tandur tidak berfungsi sama sekali dalam waktu 5-21 hari.

c. Penolakan kronik: hilangnya fungsi organ yang dicangkokkan secara perlahan beberapa bulan setelah berfungsi normal. Disebabkan oleh sensitivitas yang timbul terhadap antigen tandur karena

Page 13: skenario 3

timbulnya intoleransi terhadap sel T, terkadang juga diakibatkan sesudah pemberian imunosupresan dihentikan. (Baratawidjaja, 2006).

Faktor yang berperan pada keberhasilan transplantasi ginjal, yaitu faktor yang berkaitan dengan donor dan resipien, faktor imunologi, faktor penanganan pra dan peri-operatif, serta faktor pasca-operatif.

Faktor terkait donor. Transplantasi ginjal dapat memanfaatkan ginjal donor hidup yang sehat atau ginjal donor jenazah. Pemeriksaan persiapan calon donor hidup dilakukan secara bertahap (tabel dilampirkan). Dengan prosedur penjaringan dan evaluasi, dipastikan bahwa donor ikhlas, dalam keadaan sehat dan mampu menjalani operasi nefrektomi, serta mampu hidup normal dengan satu ginjal setelah melakukan donasi, dan donor tidak boleh mengidap penyakit ginjal.

Faktor terkait resipien. Harus dipastikan terlebih dahulu apakah pasien memang sudah mengalami gagal ginjal tahap akhir. Risiko dan tingkat keberhasilan transplantasi juga dipengaruhi berbagai faktor tertentu, seperti usia dan kondisi umum resipien.

Faktor imunologi. Pada transplantasi ginjal, sistem histokompatibilitas yang berperan adalah kesesuaian sistem golongan darah ABO dan HLA (human leucocyte antigen). Golongan darah ABO donor dan resipien harus sama agar tidak terjadi rejeksi vaskuler. Sedangkan ginjal transplan direjeksi terutama karena adanya protein pada membran sel yang dikode oleh MHC (Major Histocompatibility Complex). MHC menempati lengan pendek kromosom 6. Dengan obat imunosupresan, dilaporkan ketahanan hidup 1 tahun dari saudara dengan HLA identik 90-95%, saudara dengan haplo-identik 70-80%, dan saudara dengan haplo-negatif 60-70% (Susalit, 2007).

E. Mekanisme Penolakan Transplantasi Organ

Golongan darah dan molekul MHC diantara berbagai individu berbeda. Reaksi penolakan dapat dikurangi dengan menggunakan anggota keluarga sebagai donor, tissue typing, dan obat imunosupresi.

Reaksi penolakan ditimbulkan oleh sel Th resipien yang mengenal antigen MHC alogenik dan memicu imunitas humoral (antibodi). Sel CTL/Tc juga mengenal antigen MHC alogenik dan membunuh sel sasaran. Kemungkinan lain juga bahwa makrofag dikerahkan ke tempat tandur atas pengaruh limfokin dari sel Th sehingga menimbulkan kerusakan. Reaksi tersebut sesuai dengan reaksi tipe IV dari Gell dan Coombs/DTH.

Urutan kejadian yang dapat terjadi selama penolakan tandur adalah: 1) dilakukan transplantasi; 2) sel dendritik atau makrofag yang ada di dalam tandur (passenger leucocytes) meninggalkan tandur dan merangsang sel T resipien dengan segera; 3) sel T resipien diaktifkan dan membunuh sel donor dalam tandur; dan 4) sel donor yang dibunuh melepas antigen donor, yang dapat dimakan fagosit resipien yang kemudian mempresentasikannya ke sel T resipien melalui molekul MHC II (Baratawidjaja, 2006).

BAB III

PEMBAHASAN

Page 14: skenario 3

Pada keadaan gagal ginjal, produksi eritropoietin, yaitu hormon yang merangsang eritropoiesis menurun, sehingga terjadi penurunan kadar Hb, akibatnya terjadi keadaan anemia. Jenis produk darah yang ditransfusikan kepada pasien gagal ginjal, seperti pada pasien dengan anemia lainnya adalah Packed Red Blood Cell (P-RBC).

Beberapa penyakit dapat ditularkan melalui transfusi darah, karena virus dan bakteri dapat mengkontaminasi eritrosit dan trombosit. Eritrosit dan trombosit berpatogen ini juga akan menyebabkan timbulnya penyakit pada tempat dimana ia ditransfusikan. Sebelum pelaksanaan transfusi darah, terlebih dahulu dicek keadaan donor, mulai dari keadaan umum, skrining darah untuk memastikan bebas dari penyakit menular, dan tes uji silang untuk mencocokkan darah donor dengan resipien. Sementara pasien harus termasuk dalam indikasi transfusi.

Tranplantasi organ menurut kaidah bioetika dan humaniora boleh dilakukan, asalkan sesuai dengan indikasi, sebagai jalan terakhir, ada persetujuan, dan agama Islam mensyaratkan bahwa organ tidak boleh diperjual-belikan.

Reaksi penolakan pada transplantasi diperankan oleh sel Th yang kemudian merangsang sel Tc dan mekanisme imunitas humoral (antibodi), yang kemudian bekerja dengan tujuan destruksi sel sasaran. Selain itu makrofag sebagai imunitas nonspesifik juga berperan dalam proses destruksi. Sel imun resipien bekerja menolak antigen donor, sebaliknya, sel imun donor juga menolak antigen resipien. Pada intinya, penolakan terjadi dari dua belah pihak, baik resipien maupun donor.

Faktor penyebab imunodefisiensi secara umum adalah kelainan genetika dan defek kromosom yang menyebabkan imunodefisiensi primer, berbagai keadaan tertentu seperti kehamilan, usia lanjut, dan usia tahun pertama yang mengakibatkan imunodefisiensi fisiologis, dan malnutrisi, infeksi, obat-obatan, dan penyinaran, yang mengakibatkan imunodefisiensi sekunder/didapat. Mekanisme imunodefisiensi pada pasien dalam kasus akibat perkembangan penyakit terjadi sebagai konsekuensi dari gagal ginjal itu sendiri. Gangguan filtrasi menyebabkan terbuangnya protein, yang dibutuhkan sebagai bahan untuk membuat antibodi. Ketiadaan bahan ini menyebabkan defisiensi antibodi, yang menyebabkan pertahanan melemah. Diet pada pasien gagal ginjal juga merupakan salah satu faktor penyebab imunodefisiensi, karena pasien yang gagal ginjal biasanya diberikan diet rendah protein agar kerja filtrasi ginjal tidak terlalu berat. Padahal, protein dibutuhkan untuk pembentukan antibodi. Konsekuensi dari defisiensi protein adalah defisiensi antibodi, sehingga terjadi imunodefisiensi. Sedangkan efek terapi juga dapat menimbulkan imunodefisiensi. Hal ini timbul akibat pemakaian obat-obatan untuk terapi gagal ginjal yang mempunyai sifat imunonosupresif, misalnya kortikosteroid. Mekanisme imunosupresan sendiri antara lain menghambat respon imun primer, seperti pengolahan antigen oleh APC, sintesis limfokin, dan proliferasi dan diferensiasi sel imun. Karena itu, pada pasien transplantasi organ, untuk meminimalisir reaksi penolakan, digunakan obat-obatan imunosupresan.

Kegagalan imunisasi dapat terjadi akibat imunodefisiensi. Imunisasi berdasar pada mekanisme “latihan” terhadap antigen yang masuk. Apabila pada saat “latihan” saja sistem imun telah mengalami defisiensi, sangat mungkin sekali pada saat infeksi antigen yang sebenarnya (virus atau bakteri yang sebenarnya dan tidak dilemahkan atau dimatikan) sistem imun tidak dapat menghadapi antigen tersebut dengan baik.

Page 15: skenario 3

Reaksi dan komplikasi dari transfusi dapat berupa reaksi hemolitik, reaksi panas atau demam, dan reaksi alergi. Pada pasien, reaksi yang berupa gatal-gatal dan sesak nafas adalah mekanisme alergi yang merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I, yaitu reaksi anafilaksis dengan perantara IgE. Gatal adalah efek penekanan saraf oleh histamin, sedangkan pada bronkus, histamin menyebabkan bronkokonstriksi sehingga timbul gejala sesak nafas.

Kemungkinan penyebab terjadinya abortus yang terjadi pada ibu guru di sekolah Pak Andi adalah janin merupakan kehamilan kedua, dan anak pertama yang lahir mempunyai rhesus (+). Sementara jika ibu mempunyai rhesus (-), maka ibu akan membentuk antibodi terhadap eritrosit Rh (+), sehingga pada kehamilan berikutnya ibu telah mempunyai antibodi Rh(+) yang meningkat. Hal ini kemudian menyebabkan eritroblastosis fetalis, yaitu janin mengalami hemolisis. Karena itu, janin mengalami abortus di dalam uterus.

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Transplantasi organ dapat menimbulkan penolakan, kecuali apabila molekul MHC antara donor dan resipien identik. Semakin mirip molekul MHC antara donor dan resipien, maka risiko terjadinya penolakan semakin kecil.

2. Imunodefisiensi mempunyai tiga penyebab: kongenital (biasanya akibat faktor genetik), fisiologik, dan didapat (biasanya akibat pengaruh dari luar)

B. SARAN

1. Sebaiknya segera dilakukan tindakan pertolongan bagi istri Pak Eko (transfusi).

2. Sebaiknya dilakukan transplantasi ginjal setelah menemukan organ donor yang cocok. Jika belum menemukan maka sementara dapat dilakukan hemodialisis.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. KH Ma’ruf Amin: Jual Beli Organ Haram Hukumnya. Diakses dari http://forum35.wordpress.com/2007/10/08/kh-maruf-amin-ketua-fatwa-mui-jual-beli-organ-haram-hukumnya/

Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Djoerban, Zubairi. 2007. Dasar-Dasar Transfusi Darah dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.

Hanafiah, M. Jusuf. Amir, Amri. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC.

Page 16: skenario 3

Susalit, Endang. 2007. Transplantasi Ginjal dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Suwitra, Ketut. 2007. Penyakit Ginjal Kronik dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Lampiran 1

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan defisiensi imun sekunder

Faktor Komponen yang kena

Proses penuaan Infeksi meningkat, penurunan respon terhadap vaksinasi, penurunan respon sel T dan B serta perubahan dalam kualitas respon

Malnutrisi Malnutrisi protein-kalori dan kekurangan elemen gizi tertentu (besi, seng/Zn); sebab tersering defisiensi imun sekunder.

Mikroba imunosupresif Contohnya: malaria, virus, campak, terutama HIV, mekanismenya melibatkan penurunan fungsi sel T dan APC

Obat imunosupresif Steroid

Obat sitotoksik/iradiasi Obat yang banyak digunakan terhadap tumor, juga membunuh sel penting dari sistem imun termasuk stem cell, progenitor neutrofil dan limfosit yang cepat membelah dalam organ limfoid

Tumor Efek direk dari tumor terhadap sistem imun melalui pelepasan molekul imunoregulatori imunosupresif (TNF-β)

Penyakit seperti diabetes Diabetes sering berhubungan dengan infeksi

Trauma Infeksi meningkat, diduga berhubungan dengan pelepasan molekul imunosupresif seperti glukokortikoid

Lain-lain Depresi, penyakit Alzheimer, penyakit celiac, sarkoidosis, penyakit limfoproliferatif, makroglobulinemia Waldenstrom, anemia aplastik, neoplasia.

(Baratawidjaja, 2006)

Page 17: skenario 3

Lampiran 2

Proses evaluasi calon donor hidup

1. Penjaringan donor

· Edukasi resipien tentang donor hidup dan jenazah

· Anamnesis dan penjaringan donor

· Konfirmasi kesamaan golongan darah ABO

· Pemeriksaan tissue typing dan crossmatch

· Pilih calon donor yang paling sesuai

· Edukasi calon donor tentang proses evaluasi dan donasi

2. Evaluasi donor

· Anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap

· Pemeriksaan laboratorium:

· Darah lengkap, kimia darah, HBsAg, anti HCV, CMV, VDRL, HIV, tes toleransi glukosa (jika ada riwayat diabetes), hemostasis, tes kehamilan

· Urinalisis, kultur urin, tes klirens kreatinin, ekskresi protein dalam urin 24 jam

· Foto toraks, EKG, tes treadmill (usia >50 tahun), pielografi IV

· Evaluasi psikiatrik

· Arteriografi ginjal

· Tes crossmatch sebelum transplantasi

(Susalit, 2007).