SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …
Transcript of SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …
SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARASUKU BATAK DAN SUKU MINANGKABAU
(STUDI DI KOTA MEDAN)
TESIS
Oleh
ULFA SUNDARI107011121/M.Kn
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN2013
Universitas Sumatera Utara
SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARASUKU BATAK DAN SUKU MINANGKABAU
(STUDI DI KOTA MEDAN)
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan PadaProgram Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
ULFA SUNDARI107011121/M.Kn
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN2013
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Telah diuji pada
Tanggal : 26 Januari 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum
Anggota : 1. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS
2. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum
3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
4. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn
Universitas Sumatera Utara
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : ULFA SUNDARI
Nim : 107011121
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINANANTARA SUKU BATAK DAN SUKUMINANGKABAU (STUDI DI KOTA MEDAN)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,Yang membuat Pernyataan
Nama : ULFA SUNDARINim : 107011121
Universitas Sumatera Utara
i
ABSTRAK
Mengenai pembagian warisan merupakan permasalahan yang tidak adahabisnya apabila dibicarakan baik yang dikaji berdasarkan system kekerabatan yangdianut oleh suatu masyarakat adat maupun oleh kalangan masyarakat yang terikatdalam suatu perkawinan pencampuran dua atau lebih sistem kekerabatan termasukdalam hal ini perkawinan antar susku bangsa.
Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang menguraikanataumemaparkan sekaligus menganalisis tentang sistem pewarisan dalam perkawinancampuran di lingkungan masyarakat adat patrilineal dan matrilineal.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa oleh karena adana berbagai etnis dansusku bangsa di Indonesia menyebabkan terjadinya perkawinan campuran antarasistem kekerabatan yang berbeda sehingga menimbulkan perubahan dalam halpembagian warisan dari orang tua kepada ahli warisnya. Pembagian harta warisanpada perkawinan campuran dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatanpatrilinial telah mengalami perubahan, di mana dalam pewarisan hukum waris yangdijalankan pada masyarakat yang melakukan perkawinan campuran antaramasyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal pada umumnyamenggunakan sistem pewarisan individual Hukum Adat, namun ada juga yangmenggunakan sistem pewarisan berdasarkan Hukum Islam dengan sistem individualbilateral. Pembagian harta warisan dalam perkawinan campuran dalam masyarakatyang menganut sistem kekerabatan matrilinial walaupun para pihak berasal darimenganut sistem kekerabatan matrilinial, namun apabila terjadi perkawinancampuran pembagian warisan tidak dilakukan sistem kekerabatan dari mana iaberasal tetapi dilakukan sesuai dengan kesepakatan dari para ahli waris seperti halnyapada sistem patrilineal yang juga mengalami pergeseran pembagiamn dilakukanmenurut kebiasaan setempat baik menggunakan sistem pewarisan atas kesepakatan,sistem pewarisan berdasarkan Hukum Islam dengan sistem individual bilateral.
Disarankan kepada masyarakat adat yang melakukan perkawinancampuran yang menggunakan ketentuan perkawinan yang bersecara nasionalagar tidak lagi membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan khususnya dalamhal pewarisan sebab anak laki-laki dan perempuan di mata Tuhan adalah sama.Disarankan kepada pengambil kebijakan agar dapat membuat suatu kodifikasihukum terhadap pembagian hak waris dari perkawinan campuran termasukdalam hal ini dari perawinan masyarakat yang menganut sistem kekerabatanyang berbeda agar dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakatkhususnya bagi ahli waris.
Kata Kunci : Perkawinan Campuran dan Pewarisan
Universitas Sumatera Utara
ii
ABSTRACT
The problems of allocation of an inheritance will never cease when they areanalyzed based on the system of kinship which is practiced either by a certaintraditional community or by the community that follows the bonds of matrimony withdifferent kinship such as in interracial marriage. The research used descriptiveanalytic method which described, explained, and analyzed inheritance system in theintermarriage between a Bataknese and a Minangkabaunese.
The result of the research showed that the existence of various kinds of ethnicgroups in Indonesia had caused intermarriages with different kinship so that theallocation of inheritance from parents to their children would change. The allocationof inheritance in the community that practices patrilineal system has changed inwhich the allocation of inheritance in the intermarriage of the patrilineal communityusually uses individual inheritance system of the Adat Law although some of them useinheritance system based on the Islamic Law. The allocation of inheritance in thecommunity that practices matrilineal system, although the parties concerned comefrom matrilineal kinship system, when there is intermarriage, the kinship system isnot used. The allocation of inheritance is done according to the agreement of theheirs as what is practiced in the patrilineal system. This system has also beenchanged in the inheritance allocation system which is done either according to themutual agreement or to the Islamic Law.
It is recommended that the adat community that performs intermarriagebetween a Bataknese and a Minangkabaunese nationally should treat differentlybetween male and female, especially in the inheritance allocation system, since theyare equal in the eyes of God. It is also recommended that the policy makers shouldmake a judicial codification on the allocation of inheritance in the intermarriagebetween a Bataknese and a Minangkabaunese, including the marriage in the differentkinship system of community, so that it can give fairness to the community, especiallyto the heirs.
Keywords: Inheritance System in Bataknese and Minangkabaunese
Universitas Sumatera Utara
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Alhamdulillah kehadirat ALLAH SWT karena hanya dengan
berkat dan karunia-Nya penulisan tesis ini dengan judul “TINJAUAN YURIDIS
TERHADAP SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN CAMPURAN DI LINGKUNGAN
MASYARAKAT ADAT PATRILINEAL DAN MATRILINEAL”. Penulisan tesis ini
merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan
(M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih
yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat
dan amat terpelajar Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., Dr. Pendastaren Tarigan, S.H.,
M.S. dan Dr. Idha Aprilyana Sembiring, S.H., Hum., selaku Komisi Pembimbing yang
telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan
penulisan tesis ini.
Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan
arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak kolokium, seminar hasil
sampai ujian tertutup sehingga penulisan menjadi lebih sempurna dan terarah.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, CTM, Sp.A(K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
Universitas Sumatera Utara
iv
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku ketua program studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan
tesis ini.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan
tesis ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang
telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat
selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.
6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama
menjalani pendidikan dan seluruh responden dan informan yang telah banyak
membantu dalam hal pengambilan data dan informasi-informasi penting lainnya
yang berkenaan dengan penulisan tesis ini.
7. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2010 yang telah
banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
8. Motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih
sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya Ayahanda dan Ibunda serta
Saudara-saudariku, Suamiku dan Anakku tersayang yang telah memberikan
semangat dan doa kepada Penulis.
Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada
suami tercinta dan anakku yang selama ini telah menjadi inspirasi dan memberikan
semangat sehingga menjadi motivasi warna tersendiri dalam kehidupan dan juga
dalam penyelesaian tesis pada di Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.)
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
v
Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun
besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua
pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan
pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu
dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada
kita semua. Amien Ya Rabbal ‘Alamin
Medan, Januari 2013Penulis,
Ulfa Sundari
Universitas Sumatera Utara
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. DATA PRIBADI
Nama Lengkap : Ulfa Sundari
Tempat/Tanggal Lahir : Banda Aceh/ 18 Desember 1986
Kewarganegaraan : Indonesia
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jalan T. Panglima Polem No. 247-249Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam
II. KELUARGA
Nama Ayah : Abubakar Usman, SH
Nama Ibu : Syamsinar Syafe’i (Almh)
Nama Suami : Rinaldisah Putra, SH
Nama Anak : Raja Arkan
III. PEKERJAAN
- Pengurus Yayasan Harapan Ibu Kota Banda Aceh.
IV. PENDIDIKAN
- SD Negeri 9 Tapaktuan Aceh Selatan : Tahun 1992 s/d 1998
- SMP Negeri 4 Banda Aceh : Tahun 1998 s/d 2001
- SMA Negeri 2 Banda Aceh : Tahun 2001 s/d 2004
- Perguruan Tinggi/S1 Fakultas HukumUniversitas Syiah Kuala Banda Aceh : Tahun 2005 s/d 2010
- Perguruan Tinggi/S2 Fakultas Hukum
Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara Medan : Tahun 2010 s/d 2013
Universitas Sumatera Utara
vii
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK .......................................................................................................... i
ASBTRACT ......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .......................................................................... vi
DAFTAR ISI........................................................................................................ vii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 12
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 13
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 13
E. Keaslian Penelitian ..................................................................... 14
F. Kerangka Penelitian dan Konsepsi.............................................. 15
1. Kerangka Teori ................................................................... 15
2. Konsepsi .............................................................................. 25
G. Metode Penelitian........................................................................ 28
BAB II HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAMPERKAWINAN ANTARA MASYARAKAT DENGANSISTEM KEKERABATAN PATRILINIAL DANMASYARAKAT DENGAN SISTEM KEKERABATANMATRILINIAL ............................................................................... 34
A. Perkawinan dan Perkawinan Campuran antara SistemKekerabatan ................................................................................ 34
B. Persyaratan dan Tatacara Pelaksanaan Perkawinan danPerkawinan Campuran ............................................................... 46
C. Akibat Hukum Hubungan Perkawinan dan PerkawinanCampuran ................................................................................... 62
D. Perkawinan Campuran dan Kaitannya dengan Pewarisan ......... 78
Universitas Sumatera Utara
viii
BAB III PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISANDALAM PERKAWINAN ANTARA MASYARAKATDENGAN SISTEM KEKERABATAN PATRILINIAL DANMASYARAKAT DENGAN SISTEM KEKERABATANMATRILINIAL ............................................................................... 86
A. Sistem Pewarisan dalam Hukum Waris Adat ............................. 86
B. Pembagian Harta Warisan Dalam Masyarakat yang MenganutSistem Kekerabatan Patrilinial.................................................... 114
C. Pembagian Harta Warisan dalam Masyarakat yang MenganutSistem Kekerabatan Matrilinial .................................................. 120
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ............................................ 130
A. Kesimpulan ................................................................................ 130
B. Saran ........................................................................................... 131
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 133
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan hukum dalam kehidupan bermasyarakat bukan hanya sebagai
refleksi dari penjelmaan kehidupan bermasyarakat saja, yang semata-mata hanya
tunduk pada perilaku yang ada dalam masyarakat tersebut, tetapi juga ditundukkan
pada sang pencipta manusia yang merupakan sumber kehidupan dan sumber dari
segala sumber hukum. Oleh karenanya kepatuhan manusia tidak hanya pada manusia
lainnya, tetapi juga tunduk pada penciptanya. Oleh kaena itu, hukum yang baik di
samping harus memperhatikan kaidah sosial kemasyarakatan, tetapi juga
mempertahankan dogma-dogma transedental yang dituangkan dalam materi hukum
yang mengikat.1
Tugas manusia sebagai Khalifah adalah menegakkan ajaran agamanya di satu
sisi dan mengatur kehidupan dunia disisi lain yang semuanya adalah untuk kebaikan
manusia itu sendiri, dan pada gilirannya untuk mencapai kesejahteraan, kebagiaan
dan keselamatan di dunia dan akhirat. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral, karena
itu pernikahan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai ajaran agama. Oleh karena
itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengamanatkan
bahwa pernikahan harus atau wajib dilaksanakan sesuai ketentuan hukum agama dan
1Nawawi, Perkawinan Campuran (Problematika dan solusinya), Widyaiswara Madya, BalaiDiklat Keagamaan, Palembang, 2007, hlm 1
1
Universitas Sumatera Utara
2
kepercayaannya serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Perkawinan disyariatkan supaya manusia mempunyai keturunan dan
keluarga sah menuju kehidupan bahagia dunia dan akhirat, dibawah ridha Allah
SWT. Di dalam agama Islam dalam hal memilih jodoh hendaklah mereka
memilih karena 4 perkara yaitu; hartanya, kecantikannya, keturunannya, agamanya.
Namun apabila semuanya tidak dapat terpenuhi maka pilihlah karena agamanya.
Namun demikian, menurut Staatblad 1898 N0. 158. Pengertian Perkawinan
Campuran Masa Pemerintahan Kolonial Beslit Kerajaan 29 Desember 1898 No. 23
Staatsblad 1898/158 (regeling op de gemengde huwelijken", selanjutnya
disingkat GHR) memberi defenisi Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia
berada di bawah hukum yang berlainan (Pasal 1). Menurut Pasal 1 GHR tersebut,
maka yang masuk dalam lingkup perkawinan campuran yaitu:
a. Perkawinan campuran internasional, yaitu antara warganegara dan orangasing, antara orang-orang asing dengan hukum berlainan, dan perkawinanyang dilangsungkan di luar negeri.
b. Perkawinan campuran antar tempat, misalnya seperti perkawinan antaraseorang Batak dengan perempuan Sunda seorang pria Jawa dengan wanitaLampung, antara orang Arab dari Sumbawa dan Arab dari Medan dansebagainya yang disebabkan karena perbedaan tempat.
c. Perkawinan campuran antar golongan (intergentiel). Adanya perkawinancampuran antar golongan adalah disebabkan adanya pembagian golonganpenduduk oleh Pemerintah Kolonial kepada 3 (tiga) golongan yaitu: (1)Golongan Eropa; (2) Golongan Timur Asing; (3) Golongan Bumi Putera(penduduk asli) sehingga perkawinan yang dilakukan antar mereka yangberbeda golongan disebut perkawinan campuran antar golongan. Misalnya:(1) antara Eropa dan Indonesia; (2) antara Eropa dan Tionghoa; (3) antaraEropa dan Arab; (4) antara Eropa dan Timur Asing; (5) antara Indonesia danArab; (6) antara Indonesia dan Tionghoa; (7) antara Indonesia dan TimurAsing; (8) antara Tionghoa dan Arab.
Universitas Sumatera Utara
3
d. Perkawinan Campuran Antar AgamaPerkawinan bagi mereka yang berlainan agama disebut pula perkawinancampuran. Adanya perkawinan beda agama dalam sistem hukum perkawinankolonial disebabkan Pemerintah Hindia Belanda dalam hal perkawinanmengesampingkan hukum dan ketentuan agama.2
Menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974 pengertian perkawinan campuran
ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.3
Selain hukum perkawinan, hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum
keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan dan mencerminkan sistem
dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena
hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia.
Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa
hukum yang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana
pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal
dunia itu.
Pengertian warisan adalah soal dan berbagai hak dan kewajiban tentang
kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih pada orang lain
yang masih hidup.4 Dengan demikian, hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan
yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak
berwujud) dari pewaris kepada ahli warisnya. Hukum waris adat memuat
2Ibid., hl, 4-53Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan4Wirjono, Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1991. hlm 12.
Universitas Sumatera Utara
4
peraturan-peraturan yang mengatur proses penerusan serta pengoperan barang-barang
harta benda berwujud dan barang yang tidak berwujud benda (immateriale
goerderen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya.5
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dan
orang-orang yang ditinggalkan tersebut diatur oleh hukum waris. Jadi, hukum waris
itu dapat dikatakan sebagai himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur
hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia oleh ahli waris atau badan
hukum lainnya.6
Banyaknya masalah yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat terutama
hal-hal yang berhubungan dengan adat istiadat serta kebiasaan masyarakat.
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, budaya, dan adat istiadat yang berbeda
mengalami hal tersebut dengan beragamnya etnis budaya yang ada. Masyarakat adat
membentuk hukum dari kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri.
Di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa
atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem garis
keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari sistem suku-suku bangsa
atau kelompok-kelompok etnik. Masalahnya adalah, antara lain apakah ada
persamaan antara hukum waris adat yang di anut walaupun mereka yang menetap
di luar daerah asalnya.7
5 Ibid.6 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, Tinta Emas, Jakarta, 1974. hlm 9.7Soeyono Soekanto, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1966. hlm 7.
Universitas Sumatera Utara
5
Teori-teori yang berkembang dalam ilmu pengetahuan terutama dalam
hukum kekerabatan dan waris adat sering diimplementasikan dalam kehidupan
masyarakat. Namun antara teori yang ada dengan fakta dilapangan sering kali
terjadi ketidaksinkronan antara teori dan prakteknya tidak sesuai, meski
dalam beberapa hal memang sesuai tetapi banyak juga yang sama sekali tidak
berhubungan.
Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tentang
cara penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud maupun yang
tidak berwujud dari generasi ke generasi. Dengan demikian, hukum waris itu
mengandung tiga unsur, yaitu: adanya harta peninggalan atau harta warisan,
adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris
atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima
bagiannya.8
Dalam memahami masalah waris ditemukan beberapa istilah yang menjadi
dasar pokok pembahasannya. Istilah dimaksud merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pengertian hukum waris itu sendiri. Beberapa istilah tersebut beserta
pengertiannya, antara lain :9
1. Waris, Istilah ini berarti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan)orang yang telah meninggal.
2. Warisan, Berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat.
8Hilman Hadikusuma, Pengantar Hukum Adat, Mandar Maju, Bandung, 1992. hlm 21.9Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia (Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW) ,
Rafika Aditama, Bandung, 2005, hlm 4 - 5
Universitas Sumatera Utara
6
3. Pewaris, adalah orang yang memberi pusaka atau orang yang meninggaldunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun suratwasiat.
4. Ahli waris, yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yangberhak menerima harta peninggalan pewaris.
5. Mewarisi, yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalahmewarisi harta peninggalan pewarisnya.
6. Proses pewarisan:Istilah proses pewarisan mempunyai dua pengertian atau dua makna, yaitu:1) berarti penerusan atau penunjukan para waris ketika pewaris masih hidup;
dan2) berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.
Walaupun pengertian hukum waris masih terdapat berbagai pendapat yang
beragam namun Eman Suparman, menyimpulkan bahwa "Hukum waris itu
merupakan perangkat kaidah yang mengatur tentang cara atau proses peralihan harta
kekayaan dari pewaris kepada ahli waris atau para ahli warisnya".10 Hukum waris
yang ada dan berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum merupakan unifikasi
hukum. Atas dasar peta hukum waris yang masih demikian plurailistiknya, akibatnya
sampai sekarang ini pengaturan masalah warisan di Indonesia masih belum terdapat
keseragaman.
Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk
masyarakat dan sifat kekeluargaan. Sedangkan sistem kekeluargaan pada masyarakat
Indonesia, berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan. Berkaitan dengan
sistem penarikan garis keturunan, seperti telah diketahui di Indonesia secara umum
setidak-tidaknya dikenal tiga macam sistem keturunan.11
10Ibid11M. Idris Ramulyo, “Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafi’i dan Wasiat Wajib di
Mesir tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu menurut Islam”. Majalah Hukum danPembangunan No. 2 Thn. XII Maret 1982, FHUI, Jakarta, 1982, hlm 155.
Universitas Sumatera Utara
7
Ketiga sistem keturunan dengan sifat-sifat kekeluargaannya yang unik serta
sudah sedemikian populer disebabkan segi-segi perbedaannya amat mencolok,
selanjutnya dapat disimak dalam paparan singkat berikut ini sekaligus pula dengan
contoh lokasi geografis lingkungan adatnya:.12
1. Sistem patrilineal / sifat kebapaan
Sistem ini pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis keturunan ayah
atau garis keturunan nenek moyangnya yang laki-laki. Sistem ini di Indonesia
antara lain terdapat pada masyarakatmasyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak,
Ambon, Irian Jaya, Timor, dan Bali.
2. Sistem matrilineal/ sifat keibuan
Pada dasarnya sistem ini adalah sistem yang menarik garis keturunan ibu dan
seterusnya ke atas mengambil garis keturunan dari nenek moyang perempuan.
Kekeluargaan yang bersifat keibuan ini di Indonesia hanya terdapat di satu
daerah, yaitu Minangkabau.
3. Sistem bilateral atau parental / sifat kebapak-ibuan.
Sistem ini, yaitu sistem yang menarik garis keturunan baik melalui garis
bapak maupun garis ibu, sehingga dalam kekeluargaan semacam ini pada
hakikatnya tidak ada perbedaan antara pihak ibu dan pihak ayah. Sistem ini di
Indonesia terdapat di berbagai daerah, antara lain: di Jawa, Madura, Sumatera
Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi,
Ternate, dan Lombok.
Berdasarkan uraian di atas, diketahui berbagai perbedaan-perbedaan dari
ketiga macam sistem keturunan dengan sifat-sifat kekeluargaan masyarakatnya
tersebut, sehingga semakin jelas jelas menunjukkan bahwa sistem hukum warisnya
pun sangat pluralistik. Namun demikian pluralistiknya sistem hukum waris di
Indonesia tidak hanya karena sistem kekeluargaan masyarakat yang beragam,
melainkan juga disebabkan adat-istiadat masyarakat Indonesia yang juga dikenal
sangat bervariasi. Oleh sebab itu, tidak heran kalau sistem hukum waris adat yang ada
12Eman Suparman, Op.Cit, hlm.6.
Universitas Sumatera Utara
8
juga beraneka ragam serta memiliki corak dan sifat-sifat tersendiri sesuai dengan
sistem kekeluargaan dari masyarakat adat tersebut.
Sistem pewarisan patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut
garis bapak, dimana anak laki-laki sajalah yang berhak terhadap harta warisan
orang tuanya. Dianutnya sistem patrilinial dalam sistem pewarisan pada
masyarakat adat tersebut membawa konsekwensi, dimana hanya pihak laki yang
mempunyai hak waris atas harta warisan orang tuanya, sedangkan pihak perempuan
tidak mempunyai hak waris atas harta warisan orang tuanya.
Penganut adat matrilineal adalah suku Indian Apache Barat, suku Navajo,
sebagian besar suku Pueblo, suku Crow, dan lain-lain yang kesemuanya adalah
penduduk asli Amerika Serikat, suku Khasi di Meghalaya, India Timur Laut, suku
Nakhi di Provinsi Sichuan dan Yunnan, Tiongkok, dan beberapa suku kecil di
kepulauan Asia Pasifik. Di Indonesia penganut adat matrilineal adalah suku
Minangkabau, Sumatra Barat. 13
Di daerah pegunungan Sumatera Tengah bagian barat yang dikenal dengan
Sumetera Barat yang merupakan pusat kebudayaan dari orang Minangkabau, suatu
masyarakat yang termasyhur di Indonesia karena kelihaian mereka berdagang dan
prestasi-prestasi keilmuannya. Masyarakat ini terkenal karena tiga ciri sosialnya yang
diketahui umum, yaitu ketaatan pada agama Islam, kesetiaan pada sistem keluarga
matrilinial (nasab ibu), dan kecendrungan untuk merantau. Masyarakat Minangkabau
sudah sejak lama menjadi sebuah teka-teki, suatu paradoks yang mengelirukan
13 http://id.wikipedia.org/wiki/Matrilineal, diakses 10 Oktober 2011, jam 23.20 WIB.
Universitas Sumatera Utara
9
bagi orang luar: di satu pihak mereka berpegang kuat pada agama Islam yang
berciri patrilinial (nasab bapak), tetapi di lain pihak mematuhi sistem matrilinial;
mereka terpelajar dan mempunyai sifat kewirausahaan, tetapi masih mempertahankan
tradisi yang tampaknya kuno, mereka sangat mobile dan suka merantau, tetapi
mereka tetap memelihara identitas etnis yang kuat yang berakar ditanah kelahiran
mereka.
Di tengah-tengah paradoks inilah terletak adanya sistem matrilinial yang terus
dipraktikkan. Walau bagaimanapun, sistem matrilinial, Minangkabau sudah pernah
diuraikan dengan berbagai-bagai kesimpulan yang saling bertentangan. Mulai
pertengahan abad kesembilan belas, bebrapa orang pengamat dari luar merumuskan
atau meramalkan kemerosotan dari sistem matrilinial di Sumatera Barat: keluarga
luas yang berdasarkan sitem matrilinial telah mulai diganti oleh keluarga inti yang
mementingkan hubungan suami-istri; kekayaan, terutama tanah, juga telah cenderung
dimiliki secara perseorangan dan bukan secara bersama; cara warisan mulai berubah
dari pewarisan menurut sistem bilateral (yang tidak membedakan antara garis ibu dan
garis bapak) atau menurut sistem patrilinial.
Sedangkan sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik
menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan
pria dan wanita tidak dibedakan didalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain). Antara sistem keturunan yang satu
dan yang lain dikarenakan hubungan perkawinan dapat berlaku bentuk campuran
atau berganti-ganti diantara sistem patrilinial dan matrilineal alterneren.
Universitas Sumatera Utara
10
Dengan catatan bahwa di dalam perkembangannya di Indonesia sekarang tampak
bertambah besarnya pengaruh kekuasaan bapak-ibu (parental) dan bertambah
surutnya pengaruh kekuasaan kerabat dalam hal yang menyangkut kebendaan dan
pewarisan.14
Namun demikian disana sini terutama dikalangan masyarakat di pedesaan
masih banyak juga yang masih bertahan pada sistem keturunan dan kekerabatan
adatnya yang lama, sehingga apa yang dikemukakan Hazairin masih
Nampak kebenarannya. Ia menyatakan bahwa “Hukum waris adat mempunyai corak
tersendiri dari alam fikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan
yang sistem keturunannya patrilinial, matrilineal, parental atau bilateral”.15
Dengan catatan bahwa pemahaman terhadap bentuk-bentuk masyarakat adat
kekerabatan itu tidak berarti bahwa sistem hukum waris adat untuk setiap bentuk
kekerabatan yang sama akan berlaku sistem hukum waris adat yang sama.
Masalahnya dikarenakan didalam sistem keturunan yang sama masih terdapat
perbedaan dalam hukum yang lainnya, misalnya perbedaan dalam sistem perkawinan,
masyarakat adat Batak dan masyarakat adat Lampung (beradat pepadun) menganut
sistem keturunan yang patrilinial, tetapi di kalangan orang Batak berlaku berlaku adat
perkawinan manunduti yaitu mengambil istri dari satu sumber yang searah
(dari kerabat hula-hula) sedangkan dikalangan orang Lampung berlaku adat
perkawinan ngejuk ngakuk (ambil-beri) yaitu mengambil istri dari sumber yang
14 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. hlm 2315 Hazairin, Op.Cit., hlm 9.
Universitas Sumatera Utara
11
bertukar, satu masa kerabat wanita memberi, dimasa yang lain kerabat penerima
semula menjadi pemberi kembali.
Menurut hukum adat Batak jika tidak mempunyai keturunan lelaki berarti
keturunan itu putus, sedangkan menurut hukum adat Lampung keturunan yang putus
dapat diganti. Begitu pula pewarisan menurut hukum adat Batak berlaku pembagian
hata warisan menjadi milik perseorangan, sedangkan di Lampung (pepadun) berlaku
sistem pewarisan mayorat.16
Selanjutnya dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi informasi
menyebabkan mobilitas masyarakat yang begitu tinggi tidak lagi mengenal batas
wilayah, agama, suku bahkan wilayah negara. Hal ini lah yang kemudian memungkin
terjadinya perkawinan campuran antara orang yang berasal dari wilayah yang
berbeda, agama yang berbeda, suku yang berbeda bahkan dari kebudayaan yang
berbeda antara negara dan sistem kekerabatan termasuk masyarakat yang menganut
sistem pewarisan yang berbeda pula.
Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 dalam hal perkawinan campuran hanya diatur
perkawinan campuran antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia. Padahal di dalam masyarakat Indonesia sendiri juga
dapat terjadi perkawinan campuran dari sistem kekerabatan yang berbeda pula dan
berpeluang menimbulkan perselisihan
16 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. hlm 24.
Universitas Sumatera Utara
12
Berdasarkan hasil penelitian ternyata ditemukan pula adanya perkawinan
antara masyarakat yang berbeda sistem kekerabatannya. Dalam hal ini misalnya
perkawinan antara masyarakat adat Batak yang menganut sistem kekerabatan
patrilineal dengan masyarakat adat Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan
matrilineal.
Banyaknya terjadi perkawinan antara masyarakat adat Batak yang menganut
sistem kekerabatan patrilineal dengan masyarakat adat Minangkabau yang menganut
sistem kekerabatan matrilineal seperti yang dikemukakan sebelumnya adalah diduga
akibat kemajuan teknoligi informasi, transportasi dan kemajuan dari budaya
masyarakat itu sendiri. Adanya perkawinan dari sistem kekerabatan yang berbeda ini
tentunya terbuka peluang untuk terjadinya perselisihan atau sengketa khususnya
dalam hal pembagian warisan apabila salah seorang dari perkawinan campuran
tersebut meninggal dunia. Dengan kata lain, perkawinan campuran dari pasangan
suami isteri yang berbeda sistem kekerabatan yang berbeda ini dapat menimbulkan
persoalan di bidang hukum waris. Hal inilah yang lebih lanjut akan dicoba
untuk ditelaah lebih lanjut dan kemudian akan diuraikan dalam bentuk hasil
penelitian tesis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang
dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah hukum yang mengatur pembagian harta warisan dalam
perkawinan antara masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilinial dan
masyarakat dengan sistem kekerabatan matrilinial ?
Universitas Sumatera Utara
13
2. Bagaimanakah pelaksanaan pembagian harta warisan dalam perkawinan
antara masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilinial dan masyarakat
dengan sistem kekerabatan matrilinial ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut di atas, maka yang menjadi
tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan hukum yang mengatur pembagian harta
warisan dalam perkawinan antara masyarakat dengan sistem kekerabatan
patrilinial dan masyarakat dengan sistem kekerabatan matrilinial.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan pembagian harta warisan
dalam perkawinan antara masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilinial
dan masyarakat dengan sistem kekerabatan matrilinial.
D. Manfaat Penelitian
Disamping tujuan yang hendak di capai seperti tersebut di atas, maka hasil
dari penelitian tesis ini nantinya juga diharapkan dapat memberikan manfaat secara
teoritis dan secara praktis, antara lain:
1. Secara teoritis, penelitian tesis ini diharapkan dapat menambah Untuk
menambah pengetahuan bagi perkembangan hukum secara umum, khususnya
perkembangan hukum waris adat di Indonesia.
2. Secara praktis melalui penelitian tesis ini diharapkan dapat memberikan
pemahaman bagi masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan,
Universitas Sumatera Utara
14
karakteristik permasalahan dan langkah-langkah strategis dalam sistem
pewarisan akibat perkawinan campuran antara masyarakat patrilinial dengan
masyarakat matrilinial.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan hasil
informasi dan dari penelusuran di kepustakaan Program Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara (USU) Medan, bahwa ditemukan beberapa judul yang berkenaan
dengan hukum waris adat antara lain:
1. Penelitian oleh Tiorista, Nim 067011100, dengan judul “Pergeseran Hak
Mewaris Anak Perempuan dalam Masyarakat Patrilineal (Studi di Kabupaten
Samosir).
2. Penelitian oleh Cahaya Masita Nasuition, Nim 047011077, dengan judul
“Pelaksanaan Pembagian Warisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau (Studi
Kasus di Kabupaten Agam)”.
3. Penelitian oleh Frans Cory Melando Ginting, Nim 077011023, dengan judul
“Perkembangan Hukum Waris Adat pada Masyarakat Adat Batak Karo (Studi
di Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo)”.
Dari ketiga judul tersebut tidak ada kesamaan baik dari judul maupun
pembahasnanya penelitian dengan judul ”Sistem Pewarisan Dalam Perkawinan
Antara Masyarakat Dengan Sistem Kekerabatan Patrilinial Dan Masyarakat
Dengan Sistem Kekerabatan Matrilinial” belum pernah di lakukan, khususnya
Universitas Sumatera Utara
15
pada Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
Dengan demikian bahwa penelitian ini dapat dinyatakan asli, dan dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis.
F. Kerangka Penelitian dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam suatu penelitian hukum memegang peranan yang
penting guna menjadikan dasar berpijak bagi penelitian untuk menentukan arah atau
tujuan penelitian. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa
gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji
dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak
benarannya.17
Menurut Bintoro Tjokroamijoyo dan Mustofa Adidjoyo“ teori diartikan
sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan (variabel) dalam
bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka fikir (Frame of
thingking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul didalam
bidang tersebut“.18
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi
17J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Penyunting: M. Hisyam), FE UI,Jakarta, 1996 , hlm. 203. lihat M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994,hlm. 27. menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapatdalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasionaldigabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yangberkesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harusdidukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
18Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustofa Adidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional ,CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1988. hlm 12.
Universitas Sumatera Utara
16
bahan perbandingan, pegangan teoritis.19 Sedangkan tujuan dari kerangka teori
menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan menginterprestasi
hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang
terdahulu.20
Dari beberapa pendapat di atas dapat diketahui bahwa maksud kerangka teori
adalah pengetahuan yang diperoleh dari tulisan dan dokumen serta pengetahuan
kita sendiri yang merupakan kerangka dari pemikiran dan sebagai lanjutan dari
teori yang bersangkutan, sehingga teori penelitian dapat digunakan untuk
proses penyusunan maupun penjelasan serta meramalkan kemungkinan adanya
gejala-gejala yang timbul.
Kemudian dalam membahas mengenai system pewarisan dalam perkawinan
campuran pada masyarakat adat khususnya guna mewujudkan perdamaian dalam
masyarakat yang dimulai dari dalam suatu keluarga, maka dilaku kajian dari berbagai
teori yang berhubungan dengan kehidupan sosial dalam masyarakat. Pemikiran ini
dibedakan dengan apa yang dikenal dengan sosiologi hukum yang tumbuh dan
berkembang di Eropa Kontinental dan hukum sebagai gejala sosial. Perbedaan antara
sosiologi hukum dan hukum sebagai gejala sosial di antara keduanya ialah bahwa
kalau “sosiological jurisprudence itu merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum
yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan
sebaliknya”.21
19Solly Lubis, M., Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994. hlm. 80.
20 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996. hlm.19.21J.J.J. M. Wuiisman, Op.Cit., hlm. 66.
Universitas Sumatera Utara
17
Sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh
masyarakat kepada hukum dan sejauhmana gejala dalam masyarakat itu dapat
mempengaruhi hukum tersebut di samping juga diselidiki, sebaliknya pengaruh
hukum terhadap masyarakat. Dengan demikian, yang terpenting adalah bahwa :
“sociological jurisprudence” merupakan cara pendekatan yang bermula dari hukum
ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum sebaliknya dari masyarakat ke hukum”.22
Mashab sociological jurisprudence ini mengetengahkan tentang:
Pentingnya living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat, dimana
kelahirannya menurut beberapa anggapan merupakan suatu sinthese dari
thesenya, yaitu positivisme hukum dan antithesenya mashab sejarah. Dengan
demikian, “sociological jurisprudence berpegang pada pendapat pentingnya
baik akal maupun pengelaman dimanna pandangan ini berasal dari Rescoe
Pound yang inti sarinya adalah konsepsi masing-masing aliran yaitu
positivisme hukum dan mashab sejarah.23
Berdasarkan uraian di atas, kemudian lahir konsep law as a tool of social
engineering yang berati bahwa hukum sebagai alat untuk mengubah secara sadar
masyarakat atau hukum sebagai alat rekayasa sosial. Oleh karena itu, dalam
upaya menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial diupayakan
pengoptimalan efektifitas hukumpun menjadi salah satu topik bahasan sosiologi
hukum.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pengembangan Ilmu Hukum yang
bercirikan Indonesia tidak saja dilakukan dengan mengoper bagitu saja Ilmu-ilmu
22Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi, LP3S, Jakarta, 1986, hlm 1-25.23Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Hukum
Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1986. hal 56.
Universitas Sumatera Utara
18
Hukum yang bersal dari luar dan yang dianggap modern, tetapi juga tidak
secara membabi buta mempertahankan yang asli. Keduanya harus berjalan secara
selaras.24
Salah satu tuntutan aspirasi yang berkembang dalam era reformasi sekarang
ini adalah reformasi di bidang hukum menuju terwujudnya supremasi sistem hukum.
Sistem hukum yang hendak diwujudkan sistem konstitusi yang berfungsi
sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan kehidupan nasional.
Jimly Assiddqqie mengatakan bahwa :
Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang efektif itu, penataan kembali
kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas sumber daya manusia, kultur dan
kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan
pembaruan materi hukum yang terstruktur secara harmonis, dan terus menerus
diperbarui sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan.25
Peran hukum dalam masyarakat memang sering menimbulkan banyak
persoalan, hukum bahkan dianggap sebagai instrumen pengatur yang sah dalam
negara hukum. Dengan kedudukan yang demikian, hukum mempunyai
kekuatan untuk memaksa. Berkaitan dengan keberadaan hukum itu sendiri
di tengah masyarakat, Mochtar Kusumaatmadja, menyatakan bahwa tujuan
utama adanya hukum adalah jaminan ketertiban, keadilan, dan kepastian.26
Dengan demikian, hukum adalah sebuah sistem yang mempunyai ciri dan
24Ibid.25Jimly Asshiddiqie, Tata Urut Peraturan Perundang-undangan dan Problematika
Peraturan Daerah, makalah, 2005, hlm 5.26Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Pembangunan Hukum dalam
Pembangunan, Alumni-Bandung, 2002, hlm. 5-6.
Universitas Sumatera Utara
19
karakteristik yang menjadi penggerak dan pengatur kehidupan masyarakat.
Terkait dengan ciri dan karakteristik hukum dan masyarakat tersebut, Roscoe Pound,
mengenalkan lebih lanjut apa yang disebut sebagai law as a tool of social
engineering.27
Mengilhami dari teori law as a tool of engineering dari ajaran Roscoe Pound
yang beraliran sociological yurisprudence Mochtar Kususmaatmadja menghasilkan
teori hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Beberapa karakteristik dari
teori beliau yang membedakan dengan teori dari Roscoe Pound adalah:
a. Lebih menekankan peranan peraturan perundang-undangan dalam proses
pembaharuan di Indonesia, sedangkan teori dari Roscoe Pound terutama
ditujukan pada peranan pembaharuan terhadap putusan pengadilan, khususnya
putusan Supreme Court sebagai mahkamah tertinggi;
b. Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat yang
menolak penerapan mekanistis dari konsepsi law as a tool of social
engineering. Penerapan secara mekanistis demikian, yang digambarkan
dengan kata tool akan mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda dengan
penerapan legisme yang dalam sejarah hukum di Indonesia telah dikritik
banyak pihak.
c. Apabila ada pengertian hukum termasuk pula hukum internasional, maka
Indonesia sebenarnya sudah menjalankan asas hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat jauh sebelum konsepsi ini dirumuskan secara resmi
sebagai landasan kebijaksanaan luhur.28
Jadi fungsi hukum itu pasif, yaitu mempertahankan status quo sebagai a tool
of social control, sebaliknya hukum pun dapat berfungsi aktif sebagai a tool of social
engineering. Oleh karena itu, penggunaan hukum sebagai alat rekayasa
27Ibid.28Ibid.
Universitas Sumatera Utara
20
sosial didominasi oleh kekuasaan negara. Dengan demikian, sesuai dengan
pendapat Satjipto Raharjo bahwa Hukum tidak dapat dilepaskan dari perubahan
sosial.29
Hukum adalah ketentuan yang lahir dari dalam dan karena pergaulan hidup
manusia, seperti juga lahir dan berkembangnya fidusia. Sebagaimana diketahui di
dalam kenyataannya hukum selalu tertinggal di belakang masalah yang diaturnya.
Dalam rangka pembangunan ekonomi suatu negara dibutuhkan dana yang besar.
Kebutuhan dana yang besar itu hanya dapat dipenuhi dengan memberdayakan secara
maksimal sumber-sumber dana yang tersedia.
Pada yang lampau luas lingkup (geldingsgebied) dari pada kaedah-kaedah
hukum adat masih dapat dikatakan terbatas pada wilayah-wilayah (tempat, daerah)
yang tertentu, oleh karena penduduk Indonesia masih sangat statis, maka sekarang ini
dengan bertambah bebasnya orang-orang Indonesia bergerak dari satu daerah ke lain
daerah, maka luas lingkup kekuasaan berlaku dari pada kaedah hukum adat setempat
(Jawa, Bugis, Batak, dan lain-lain) telah meluas keseluruh wilayah RI.30
Proses pewarisan menurut hukum waris adat, dikala pewaris masih hidup
dapat berjalan dengan cara penerusan atau pengalihan, penunjukan dan atau dengan
cara berpesan, berwasiat, beramanat. Ketika pewaris telah wafat berlaku penguasaan
yang dilakukan oleh anak tertentu, oleh anggota keluarga atau kepala kerabat,
sedangkan cara pembagian dapat berlaku pembagian ditangguhkan. Hukum waris
29Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984, hlm. 254.30Sunarjati Hartono, Dari Hukum Antar Golongan Ke Hukum Antar Adat, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1991. hlm 48.
Universitas Sumatera Utara
21
adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan matematika, tetapi
didasarkan atas pertimbangan mengingat wujud benda dan kebutuhan waris
bersangkutan.
Seseorang yang buat sementara berada dalam rantauan dapat tetap menjadi
anggota masyarakat asalnya, seseorang yang datang dari luar dapat juga masuk
menjadi anggota golongan itu, tetapi untuk ini tidak cukup ia datang bertempat
tinggal begitu saja dalam dusun, melainkan orang itu harus juga diizinkan
masuk dalam golongan di masyarakat (territorial) itu dan orang itu harus dipungut
masuk kedalam ikatannya, yang dipeliharanya dengan jalan tolong menolong satu
sama lain.31
Pada susunan kerabat satu segi (eenzijdig) itu acapkali terdapat aturan
exogamie, yaitu larangan berkawin dengan sesame anggota clan atau bagian clan,
bilamana dalam suatu masyarakat terdapat kedua susunan kerabat itu, yang teratur
sosial dan sebagai golongan dapat dikenal terang, sehingga masing anggota
baik termasuk clan patrilinial (clan bapak) maupun termasuk clan matrilineal
(clan ibu) maka keadaan sedemikian itu dalam hukum adat dapat disebut
“double unilateral”.32 Pembagian hukum waris adat dengan hukum waris barat
berbeda. Disini hukum waris barat mengenal adanya azas legitieme portie,
yaitu bagian minimum dari warisan yang dijamin oleh undang-undang sebagai ahli
waris tertentu.
31Ter Haar terjemahan Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, PradnyaParamita, Jakarta, 1980. hlm 29.
32Ibid. hlm 31
Universitas Sumatera Utara
22
Mengenai pelaksanaan pembagian harta warisan yang belum terbagi,
hukum adat yang harus diperlakukan adalah hukum adat (yuriprudensi) yang
berlaku pada saat pembagian tersebut dilaksanakan, jadi hukum adat yang berlaku
pada dewasa ini dan bukan yang berlaku pada waktu sipeninggal warisan
meninggal.33
Pada umumnya di Indonesia apabila pewaris wafat meninggalkan istri dan
anak-anak, maka harta warisan, terutama harta bersama suami istri yang didapat
sebagai harta pencaharian selama perkawinan dapat dikuasai oleh janda almarhum
pewaris untuk kepentingan berkelanjutan hidup anak-anak dan janda yang
ditinggalkan. Pada intinya pada masyarakat patrilineal, matrilineal, maupun
parental ini hampir sama, yaitu janda dapat menjadi penguasa harta warisan suaminya
yang telah wafat. Dalam hal ni janda memang bukan merupakan ahli waris,
karena sudah ada pembagian yang sudah diatur dalam sistem tersebut. Janda
hanya memiliki hak untuk menguasai dan menikmati harta warisan selama
hidupnya. Akan tetapi, apabila janda tersebut sudah tua dan anak-anaknya sudah
dewasa dan sudah berumah tangga, maka harta tersebut akan dialihkan kepada
anak-anaknya.
Adapun janda atau duda meskipun selalu ada dalam setiap kelompok
keutamaan, ia menjadi penentu bagi kelompok keutamaan keempat. Demikianlah cara
kewarisan bilateral menyelesaikan persoalan waris jika terdapat ahli waris yang
33 Keputusan Mahkamah Agung Tanggal 10 Maret 1971, No. 182 K/Sip/1970.
Universitas Sumatera Utara
23
cukup banyak dan lengkap.34 Sistem kewarisan patrilineal yang dianut kalangan
Sunni terbentuk dari struktur budaya Arab yang bersendikan sistem kekeluargaan
yang bercorak patrilinial. Pada masa terbentuknya fiqh, ilmu pengetahuan mengenai
bentuk-bentuk masyarakat belumlah berkembang. Dengan sistem kelompok
keutamaan seperti yang dikemukakan oleh Hazairin, saudara dapat mewaris bersama
dengan orang tua (bapak ataupun ibu), suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada
hukum kewarisan Sunni yang bercorak patrilineal.
Teori Receptie35 yang dicetuskan oleh Snouck Hurgronje pada akhir abad XIX
telah menjadikan hukum Islam tersingkir oleh hukum adat. Oleh karena itu Hazairin
tidak segan-segan lagi untuk menyebut teori ini sebagai “teori Iblis”.36 Sebagai
sanggahan atas teori ini ia kemudian mencanangkan teori Receptie Exit37, yang
kemudian ditindak lanjuti oleh muridnya, Sajuti Thalib, SH, dengan teori Receptie a
Contrario.38 Di samping itu tidak mungkin menjadikan ayah dari ayah atau ibu dari
ayah sebagai zawu al-faraid, demikian pula terhadap cucu perempuan, seperti dalam
sistem ilmu waris kalangan Sunni. Problem kasus kewarisan yang dianggap rumit,
seperti ahli waris kakek bersama saudara (al-jadd ma’a ikhwan) yang banyak
34Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 88.35Teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat jajahan (pribumi) adalah
hukum adat. Hukum Islam hanya menjadi hukum jika telah diterima oleh masyarakat sebagai hukumadat.
36Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tintamas, Jakarta, 1968, hlm.5.37Teori ini menyatakan bahwa teori Receptie harus keluar dari teori hukum nasional Indonesia
karena bertentangan dengan UUD 1945 (pembukaan dan pasal 29) dan bertentangan dengan al-Qur’andan Sunnah. Penjelasan Hazairin tentang teori ini lihat H. Ichtijanto, Pengembangan Teori BerlakunyaHukum Islam di Indonesia, dalam Djuhana S. Pradja (Pengantar), Hukum Islam di Indonesia:Perkembangan dan Pembentukan, Rosda Karya, Bandung, 1994, hlm. 102 dan 127-131.
38Teori ini merupakan kebalikan dari teori Receptie, maksudnya hukum yang berlaku bagirakyat (pribumi) adalah hukum agamanya. Lihat Ichtijanto, “Pengembangan”, hlm. 131-136.
Universitas Sumatera Utara
24
memunculkan variasi pendapat dalam sistem Sunni tidak akan pernah terjadi dalam
sistem bilateral.39
Adapun yang menjadi pokok pikiran dalam kewarisan patrilinial ini
adalah :40
1. Selalu memberiksn kedudukan yang lebih baik dalam perolehan harta
peninggalan kepada pihak laki-laki. Dalam hubungan ini termasuk juga
perbandingan perolehan antara ibu dengan bapak atas harta peninggalan
anaknya.
2. Urutan keutamaan berdasarkan ushbah dan laki-laki. Ushbah atau usbah ialah
anggota keluarga yang mempunyai hubungan darah sesamanya berdasarkan
hubungan garis keturunan laki-laki atau patrilinial.
3. Istilah-istilah khusus mengenai kewarisan dalam Al-Quran mungkin
disamakan dengan istilah biasa dalam bahasa sehari-hari atau istilah hukum
adat dalam masyarakat Arab. Bahkan istilah-istilah dalam hukum adat dalam
Al-Quran sendiri.
Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa oleh karena banyaknya suku, agama
dan kepercayaan yang berbeda-beda serta bentuk kekerabatan yang berbeda-beda,
tetapi ini semua adalah pengaruh dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh
masyarakat adat atau dengan kata lain dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan suatu
masyarakat hukum adat. Kondisi ini membawa pengaruh besar dalam hal sistem
pewarisan yang dianut oleh masyarakat yang berbeda tersebut, bahkan berpeluang
terjadi sengketa apabila terjadi perkawinan campuran antara masyarakat yang berbeda
suku, agama dan kepercayaan maupun kekerabatan yang berbeda-beda tersebut.
39Hazairin, Op.Cit., hlm. 44.40 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1981. hlm. 95.
Universitas Sumatera Utara
25
2. Konsepsi
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam
penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstrak
dengan realita.41 Konsepsi diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi
operasional.42 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindari perbedaan
pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Kegunaan
dari adanya konsepsi supaya adanya pegangan dalam melakukan penelitian atau
penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi orang lain untuk
memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan.
Mewarisi harta dari orang yang telah meninggal merupakan salah satu bentuk
cara yang sah untuk memperoleh hak milik terhadap suatu benda.43 Membicarakan
tentang kewarisan tidak bisa dilepaskan dari sosok Hazairin yang dikenal sebagai
pencetus ide bentuk kewarisan parental. Kiprah Hazairin lebih dikenal dalam bidang
ilmu hukum, terlebih dalam hukum adat. Sistem kewarisan yang bercorak patrilineal
akan mencerminkan distribusi harta waris yang lebih didominasi dan lebih banyak
memberi banyak peluang kepada kaum laki-laki. Hal sebaliknya terjadi bagi sistem
kewarisan matrilineal. Adapun sistem kewarisan yang bercorak parental atau bilateral
41Masri Singarimbun, dkk, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1989. hlm 34.42Sunadi Suryabrata, Metode Penelitian, Raja Grafindo, Jakarta, 1998. hlm 3.43Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Mualamat (Hukum Perdata Islam), FH-UII, 1993,
Yogyakarta, hlm. 37.
Universitas Sumatera Utara
26
akan lebih memberi kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan dalam
menerima distribusi harta warisan.
Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara
dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau
tempat penyimpanan. Itulah sebabnya dalam penentuan peraturan dan perundang-
undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang
hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik
mamak. Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah
prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu
begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga.
Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk
mengatur dan mempertahankannya.
Kerangka konsepsional dalam penelitian tesis ini adalah :
1. Tinjauan adalah pengertian hasil pandangan, mempelajari, sedangkan Yuridis
yaitu yang artinya menurut hukum atau secara hukum. 44
2. Sistem adalah sekelompok dari pendapat peristiwa, kepercayaan dan sebagainya
yang disusun dan diaturbaik, metode yang teratur untuk melakukan sesuatu.45
3. Pewarisan adalah proses, cara, perbuatan mewarisi atau mewariskan.46
44Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Abditama, Surabaya, 2001. hlm.530 dan hal 604
45 Ibid, hal 44646 http://www.kamusbesar.com/43450/pewarisan, diakses 10 Oktober 2011, jam 23.33 WIB.
Universitas Sumatera Utara
27
4. Sistem pewarisan adalah suatu rangkaian yang saling berhubungan satu sama lain
yaitu antara pewaris, ahli waris, harta warisan dan proses pewarisan harta
tersebut dari seseorang yang meninggal dunia kepada generasi yang
ditinggalkan.
5. Hukum waris adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tentang cara penerusan
dan peralihan harta kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari
generasi ke generasi
6. Campuran adalah sesuatu yang tercampur, yang dicampurkan, gabungan,
kombinasi, tidak asli, peranakan / bukan keturunan asli, dalam hal ini perkawinan
campuran yang terjadi dari mereka yang mempunyai sistem kekerabatan yang
berbeda.47
7. Masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi
tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara
individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut.48
8. Adat yaitu gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma,
kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah.
Apabila adat ini tidak dilaksanakan akan terjadi kerancuan yang menimbulkan
sanksi tak tertulis oleh masyarakat setempat terhadap pelaku yang dianggap
menyimpang.
47 Dessy Anwar, Op.Cit., hlm. 10248 http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat, diakses 10 Oktober 2011, 23.28 WIB.
Universitas Sumatera Utara
28
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji mengatakan penelitian dalam
pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya, jangka waktu yang
diperlukan untuk proses penulisan, cara-cara yang dapat ditempuh apabila menemui
kesulitan dalam proses penelitian.49 Penelitian ini dilakukan secara metodologis,
sistematis dan konsisten. Metodologis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode
atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti
tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu”.50
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, karena menggambarkan gejala-
gejala, fakta, aspek-aspek serta upaya hukum yang berkaitan dengan objek penelitian.
Objek penelitian ini adalah sistem pewarisan dalam perkawinan campuran dalam
masyarakat adat yang menganut sistem patrilinial dengan masyarakat adat yang
menganut sistem matrilinial. Penelitian ini dilakukan melalui studi yuridis normatif
dengan melakukan inventarisasi hukum positif yang mengatur dan berkaitan dengan
sistem pewarisan dalam perkawinan campuran dalam masyarakat adat yang menganut
sistem patrilinial dengan masyarakat adat yang menganut sistem matrilinial. Di
samping itu juga dilakukan studi empiris terhadap perkawinaan antara warga
masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilinial dan masyarakat dengan sistem
kekerabatan matrilinial.
49Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Radja GrafindoPersada, Jakarta, 2001. hlm 22.
50 Ibid., hlm 42.
Universitas Sumatera Utara
29
2. Sumber Data
Sumber data utama dari penelitian ini adalah sumber data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum sekunder, bahan hukum primer dan bahan hukum tersier.
Data-data hukum sekunder tersebut meliputi berbagai macam sumber baik sumber
data tertulis seperti Peraturan Perundang-Undangan, buku-buku ilmiah, dan berbagai
macam dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam hal seorang peneliti
diharapkan dapat mengumpulkan sebanyak mungkin bahan pustaka yang terkait
dengan objek penelitiannya sehingga dapat menambah khasanah dalam menganalisis
data dan menyajikan hasil penelitian.
a. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mempelajari literatur yang
berkaitan dengan objek yang diteliti dan berbagai macam peraturan sistem
pewarisan dalam perkawinan campuran dalam masyarakat adat yang menganut
sistem patrilinial dengan masyarakat adat yang menganut sistem matrilinial.
Data sekunder tersebut meliputi beberapa hal yaitu:
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan salah satu sumber hukum yang penting
bagi sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif. Bahan
hukum primer meliputi bahan-bahan hukum yang isinya mengikat secara
hukum karena dikeluarkan oleh instansi yang sah. Bahan hukum primer dapat
Universitas Sumatera Utara
30
ditemukan melalui studi kepustakaan (library research) baik di perpustakaan
fakultas, universitas maupun perpustakaan umum lainnya.
Bahan hukum primer yang dijadikan pedoman bagi penelitian terkait
dengan sistem pewarisan dalam perkawinan campuran, adalah sebagai
berikut:
a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
c) Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hukum perkawinan,
hukum waris maupun adat.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang isinya
memperkuat atau menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder
biasanya berupa bahan-bahan hukum seperti bacaan hukum, jurnal-jurnal
yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer, berupa buku teks,
konsideran, artikel dan jurnal, sumber data elektronik berupa internet, majalah
dan surat kabar serta berbagai kajian yang menyangkut sistem pewarisan
dalam perkawinan campuran dalam masyarakat adat yang menganut sistem
patrilinial dengan masyarakat adat yang menganut sistem matrilinial.
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang dijadikan pegangan atau
acuan bagi kelancaran proses penelitian. Bahan hukum tersier biasanya
memberikan informasi, petunjuk dan keterangan terhadap bahan hukum
Universitas Sumatera Utara
31
primer dan sekunder. Di perpustakaan biasanya bahan hukum tersier berada
pada ruangan khusus dan dalam penelitian ini bahan hukum tersier yang
digunakan hanyalah kamus.
Penelitian mengenai sistem pewarisan dalam perkawinan campuran
dalam masyarakat adat yang menganut sistem patrilinial dengan masyarakat
adat yang menganut sistem matrilinial untuk menemukan jawaban yang
konkrit, jelas dan pasti terkait dengan objek masalah yang diteliti. Sehingga
peran data pendukung seperti kamus sangat dibutuhkan untuk mencari
kebenaran sejati dari istilah-istilah hukum yang asing. Bahan hukum primer
ini bukan hanya sekedar sebagai pelengkap informasi saja melainkan juga
dapat memberikan petunjuk awal terkait dengan masalah yang sedang diteliti.
Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kamus
hukum yang memuat informasi tentang arti beberapa istilah hukum yang
bersifat khusus.
b. Data Primer
Data primer digunakan untuk melakukan konfrontir terhadap berbagai macam
data sekunder yang telah diperoleh dalam rangka melakukan penegasan. Data-data
primer dalam bentuk data lapangan yang diperoleh melalui wawancara dengan
informan sebagai narasumber untuk pemecahan masalah yang masih memerlukan
informasi lebih lanjut dalam memastikan validitas data-data sekunder yang telah
diperoleh.
Universitas Sumatera Utara
32
3. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini baik data sekunder maupun data primer diperoleh
dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan
dilakukan untuk memperoleh data yang dilakukan dengan mempelajari dokumen-
dokumen, buku-buku teks, teori-teori, peraturan perundang-undangan, artikel, tulisan
ilmiah yang ada hubungannya dengan pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit
dalam perjanjian jual beli. Selain itu, guna mendukung data primer yang diperoleh
melalui penelitian kepustakaan tersebut dilakukan pula wawancara dengan beberapa
informan sebagai narasumber.
4. Analisis Data
Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh di
lapangan dianalisa secara kualitatif. Metode analisa yang dipakai adalah metode
deduktif. Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diuraikan dalam tinjauan
pustaka secara komparatif akan dijadikan pedoman dan dilihat pelaksanaannya
mengenai sistem pewarisan dalam perkawinan campuran dalam masyarakat adat yang
menganut sistem patrilinial dengan masyarakat adat yang menganut sistem
matrilinial. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisa dengan cara
”kualitatif, selanjutnya dilakukan proses pengolahan data. Setelah selesai pengolahan
data baru ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif.”51
51Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, UniversitasErlangga, Surabaya, tt, hlm 2.
Universitas Sumatera Utara
33
Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang
terkumpul baik inventarisasi karya ilmiah, peraturan perundang-undangan, yang
berkaitan dengan judul penelitian baik media cetak dan laporan-laporan hasil
penelitian lainnya untuk mendukung studi kepustakaan. Kemudian baik data primer
maupun data sekunder dilakukan analisis penelitian secara kuantitatif dan untuk
membahas lebih mendalam dilakukan secara kualitatif. Sehingga dengan demikian
diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum dalam penelitian tesis ini.
Universitas Sumatera Utara
34
BAB II
HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN
ANTARA MASYARAKAT DENGAN SISTEM KEKERABATAN
PATRILINIAL DAN MASYARAKAT DENGAN
SISTEM KEKERABATAN MATRILINIAL
A. Perkawinan dan Perkawinan Campuran antara Sistem Kekerabatan
Sebelum membahas lebih jauh tentang perkawinan campuran perlu
dikemukakan mengenai perkawinan pada umumnya. Perkawinan atau pernikahan
adalah sesuatu yang sakral, karena itu pernikahan tidak dapat dipisahkan dengan
nilai-nilai ajaran agama. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan mengamanatkan bahwa pernikahan harus atau wajib
dilaksanakan sesuai ketentuan hukum agama dan kepercayaannya serta dicatatkan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam perjalanan sejarah pelaksanaan perkawinan sangat erat hubungannya
dengan adat istiadat yang berlaku di masing-masing lingkungan. Terjadinya
perkawinan dalam praktinya disebabkan berbagai faktor yang mendorong, antara
lain:52
1) Adanya saling suka dan saling menanggapi,
2) Untuk melindungi kehormatan seseorang,
3) Kebutuhan akan waktu dan uang,
4) Adanya keterlibatan emosional, dan
52Muhammad Makhfudz, Berbagai Permasalahan Perkawinan Dalam Masyarakat DitinjauDari Ilmu Sosial Dan Hukum, Artikel, Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta, 2009, hlm 1.
34
Universitas Sumatera Utara
35
5) Adanya rasa aman.
Kelima faktor ini merupakan faktor yang bersifat umum terjadi di hampir
setiap daerah, dari beberapa faktor tadi dipengaruhi oleh sistem kekerabatan. Selain
itu, dalam ketentuan undang-undang juga dikenal adanya Perkawinan Campuran yang
dilakukan oleh pasangan yang berasal dari suku, agama atau warga negara yang
berbeda.
Perkawinan merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang sangat penting bagi
kehidupan setiap orang, karena suatu ritual perkawinan kadang tidak hanya
dipandang sebagai peristiwa sosial keduniawian, melainkan juga dipandang sebagai
peristiwa sakral yang dipengaruhi alam pikiran magis berdasarkan kepercayaan
masing-masing. Sejak dilangsungkan perkawinan akan timbul ikatan lahir bathin
antara kedua mempelai dan juga timbul hubungan kekeluargaan di antara kerabat
kedua pihak.
Perkawinan menurut Sayuti Thalib, ialah perjanjian suci membentuk keluarga
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Perjanjian tersebut dimaksudkan
untuk memperlihatkan segi perkawinan serta menampakkannya kepada masyarakat
umum, sedangkan sebutan suci dimaksudkan untuk menyatakan segi keagamaannya
dari suatu perkawinan”.53
Perkawinan juga merupakan suatu perbuatan hukum yang dilakukannya
perkawinan tersebut menimbulkan tanggung jawab antara para pihak yaitu antara
53Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Di Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam, UI, Jakarta,1982, hlm. 47
Universitas Sumatera Utara
36
suami istri. Terhadap perbuatan hukum perkawinan tentunya diperlukan adanya
peraturan hukum yang mengaturnya. Lembaga perkawinan ini sudah merupakan
kodratnya manusia mempunyai naluri untuk tetap mempertahankan generasi atau
keturunannya. Dalam hal ini tentunya hal yang tepat untuk mewujudkannya adalah
dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk
membentuk keluarga, karena perkawinan ini mutlak diperlukan sebagai syarat
terbentuknya sebuah keluarga.
Kata perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata “kawin”, yang
kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama dengan kata
kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi
pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki
dan perempuan bersuami isteri.54
R. Soetojo Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten,
Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah
“persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk
hidup bersama/bersekutu yang kekal”.55 Artinya bahwa perkawinan sebagai lembaga
hukum baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di
dalamnya.56
54W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994,hlm. 453.
55R. Soetojo Prawirohamidjijo, hlm.35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar HukumPerdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm 61.
56Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta,2001. hlm 61.
Universitas Sumatera Utara
37
Dalam konsepsi hukum Perdata Barat, menurut Vollmar yang dikutip dalam
Sudikno Mertokusumo bahwa “perkawinan itu dipandang dari segi keperdataan saja.
Maksudnya bahwa undang-undang tidak ikut campur dalam upacara-upacara yang
diadakan oleh Gereja, melainkan undang-undang hanya mengenal “perkawinan
perdata”, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang Pegawai Catatan
Sipil”.57
Menurut bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah.58 Al-nikah yang
bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul, terkadang juga disebut dengan al-
dammu wa al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh,
berkumpul dan akad.59 Istilah nikah yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia,
sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti kata nikah
mempunyai dua makna, yaitu perjanjian/akad dan bersetubuh/berkumpul.
Perkawinan merupakan akad atau perjanjian, namun demikian bukan berarti
bahwa perjanjian ini sama artinya dengan perjanjian biasa yang diatur dalam Buku III
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perbedaannya bahwa pada perjanjian biasa,
para pihak yang berjanji bebas untuk menentukan isi dan bentuk perjanjiannya,
sebaliknya dalam perkawinan, para pihak tidak dapat bisa menentukan isi dan bentuk
perjanjiannya selain yang sudah ditetapkan oleh hukum yang berlaku.
57Ibid., hal 61.58Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/
pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hlm. 468.59Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI , PrenadaMedia, Jakarta, 2004, hlm. 38.
Universitas Sumatera Utara
38
Perbedaan lain yang dapat dilihat adalah dalam hal berakhirnya perjanjian,
bahwa pada perjanjian biasa, berakhirnya perjanjian ditetapkan oleh kedua belah
pihak, misalnya karena telah tercapainya apa yang menjadi pokok perjanjian atau
karena batas waktu yang ditetapkan telah berakhir, jadi tidak berlangsung terus
menerus. Sebaliknya perkawinan tidak mengenal batasan waktu, perkawinan harus
kekal, kecuali karena suatu hal di luar kehendak para pihak, barulah perkawinan
dapat diputuskan, misalnya dengan perceraian atau pembatalan perkawinan.
Pemutusan perkawinan tidaklah sesederhana seperti dalam pemutusan
perjanjian biasa, yang ditetapkan lebih awal dalam isi perjanjiannya.
Bagaimana sebab putusnya ikatan perkawinan, prosedurnya maupun akibatnya
pemutusannya, tidak ditetapkan oleh para pihak, melainkan hukumlah yang
menentukannya. Perjanjian dalam perkawinan mempunyai karakter khusus,
antara lain bahwa kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat
persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian
berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.60
Masyarakat manapun di berbagai daerah memiliki aturan dan pola kebiasaan
mengatur seksualitas, kelahiran dan mengasuh anaknya. Institusi untuk melingkupi
aturan dan pola kebiasaan ini adalah melalui perkawinan. Institusi ini dengan
berbagai bentuknya telah ada sepanjang peradaban manusia, misalnya dengan bentuk
monogami, poligami, eksogami, endogami dan lain-lain.
60Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta,1982, hlm. 10.
Universitas Sumatera Utara
39
Penyelenggaraan perkawinan di beberapa komunitas masyarakat, ada kalanya
tidak menghiraukan kehendak sebenarnya dari calon yang akan kawin, bahkan dalam
banyak kasus, si pria atau si wanita baru mengetahui dengan siapa dia akan
dikawinkan pada saat perkawinannya akan dilangsungkan. Sering pula terdengar
kasus bahwa perkawinan telah berlangsung sesuai dengan kehendak yang
melangsungkan perkawinan, tetapi bertentangan dengan kehendak pihak lain,
misalnya dari pihak keluarga, baik dari keluarga pria atau dari keluarga wanita.
Konsekuensi dari keadaan yang demikian ini menyebabkan tidak adanya kebahagiaan
dalam rumah tangga dan akhirnya dengan terpaksa ikatan perkawinan tersebut
diputuskan.
Mengingat berbagai macam persoalan yang terjadi di masyarakat, maka
diperlukan adanya keseragaman hukum perkawinan di Indonesia dan pada
tahun 1974 pemerintah telah mengeluarkan ketentuan hukum yang berlaku
secara nasional, yakni dengan diundangkannya UUP, yang diundangkan pada tanggal
2 Januari 1974.
Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Perkawinan) menyebutkan bahwa ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Jika diperhatikan ketentuan Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, maka yang
menjadi inti pengertian dalam perkawinan adalah ikatan lahir antara seorang pria
dengan seorang wanita, dimana diantara mereka terjalin hubungan yang erat dan
Universitas Sumatera Utara
40
mulia sebagai suami istri untuk hidup bersama untuk membentuk dan membina suatu
keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal karena didasarkan kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa. Dalam ketentuan tersebut juga dijelaskan mengenai tujuan
perkawinan yang juga tercantum pada pengertian perkawinan tersebut yaitu
:”...dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Di dalam penjelasan umum UU Perkawinan disebutkan bahwa karena tujuan
dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka
untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing
dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan materiil dan
spritual.
Sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
yang menyatakan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam,
Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum masing-masing agamanya”,
berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti ”hukum
agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau
keluarganya.
Jadi perkawinan yang sah jika terjadi perkawinan antar agama, adalahperkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satuagama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinanyang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suamiisteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut
Universitas Sumatera Utara
41
hukum Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestanatau Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pulasebaliknya”.61
Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, dipertegas lagi
dalam penjelasan Pasal 1 UU Perkawinan, yang menyatakan ”Dengan perumusan
pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.
Adapun yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak
ditentukan lain dalam UU Perkawinan”.
Bagi penganut agama atau kepercayaan suatu agama, maka sahnya suatu
perkawinan mereka oleh Undang-undang perkawinan ini telah diserahkan kepada
hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini berrti bahwa bagi orang-orang
yang menganut agama dan kepercayaan suatu agama, tidak dapat melakukan
perkawinan, kecuali apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan
kepercayaannya itu.
Apabila ditelaah dari istilahnya perkawinan campuran dikenal dengan istilah
Belanda “gemengde huwelijken”. Istilah “Perkawinan Campuran” di dalam tata
hukum Indonesia sebagai suatu pengertian hukum, dimulai setelah adanya upaya
nassoanalisasi peraturan-peraturan hukum dan undang-undang warisan masa kolonial.
Istilah “perkawinan campuran” sesuai dengan UUD 1945 (Pembukaan alinea
61Hilman Hadikusuma, Op.Cit, 1990, hlm.26-27.
Universitas Sumatera Utara
42
keempat, kebebasan beragama sebagai tercantum dalam Pasal 29 ayat (2), adanya
pluralitas agama dan pluralitas hukum perkawinan, maka perkawinan campuran
dalam negara berdasar Pancasila disebabkan oleh bertemunya dua atau lebih sistem
hukum perkawinan yang berlainan. Kemudian keberlainannya hukum perkawinan
tersebut dapat disebabkan oleh berlainan kewarganegaraan akibat ada unsur asing
atau berlainan hukum perkawinan agama akibat pasangan pengantin masing-masing
menganut agama yang berbeda. Disebut “perkawinan campuran” atau “perkawinan
campur”, atau “kawin campur”62 karena “bercampurnya” atau “bertemunya” dua
sistem hukum yang berlainan. Jadi, yang menjadi masalah adanya dua atau lebih
sistem hukum perkawinan yang berlainan.63
Pengaturan mengenai perkawinan campuran di Indonesia awalnya diatur
dengan “Regeling op de Gemengde Huwelijken", selanjutnya disingkat GHR.
Pengertian Perkawinan Campuran Masa Pemerintahan Kolonial Beslit Kerajaan 29
Desember 1896 No. 23 Staatsblad 1898/158 memberi defenisi perkawinan campuran
sebagai perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia berada di bawah hukum yang
berlainan (Pasal 1).
Menurut Pasal 1 GHR tersebut, maka yang masuk dalam lingkup perkawinan
campuran yaitu:64
62Azhar Basyir, Ahmad, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Hukum Islam, Al-Ma’arif,Bandung , 1972, dalam http://.blogspot.com/2011/.html, Diakses, Juni 2012
63Ibid.64Nawawi, Perkawinan Campuran (Problematika dan solusinya), Widdyaiswara Madya,
Balai Diklat Keagamaan Palembang , 2007.
Universitas Sumatera Utara
43
a. Perkawinan campuran internasional, yaitu antara warganegara dan orangasing, antara orang-orang asing dengan hukum berlainan, dan perkawinanyang dilangsungkan di luar negeri.
b. Perkawinan campuran antar tempat, misalnya seperti perkawinan antaraseorang Batak dengan perempuan Sunda seorang pria Jawa denganwanita Lampung, antara orang Arab dari Sumbawa dan Arab dari Medandan sebagainya yang disebabkan karena perbedaan tempat.
c. Perkawinan campuran antar golongan (intergentiel). Adanya perkawinancampuran antar golongan adalah disebabkan adanya pembagian golonganpenduduk oleh Pemerintah Kolonial kepada 3 (tiga) golongan yaitu: (1)Golongan Eropa; (2) Golongan Timur Asing; (3) Golongan Bumi Putera(penduduk asli) sehingga perkawinan yang dilakukan antar mereka yangberbeda golongan disebut perkawinan campuran antar golongan.Misalnya: (1) antara Eropa dan Indonesia; (2) antara Eropa dan Tionghoa;(3) antara Eropa dan Arab; (4) antara Eropa dan Timur Asing; (5) antaraIndonesia dan Arab; (6) antara Indonesia dan Tionghoa; (7) antaraIndonesia dan Timur Asing; (8) antara Tionghoa dan Arab.
d. Perkawinan Campuran Antar AgamaPerkawinan bagi mereka yang berlainan agama disebut pula perkawinancampuran. Adanya perkawinan beda agama dalam sistem hukumperkawinan kolonial disebabkan Pemerintah Hindia Belanda dalam halperkawinan mengesampingkan hukum dan ketentuan agama.
Perkawinan antar agama terdapat pertentangan dalam praktek dan banyakperkawinan dari masyarakat dan kaum agamawan namun olehpemerintah kolonial tetap dipertahankan, bahkan pada tahun 1901, dianggapperlu untuk menambah GHR dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) yangmenetapkan bahwa "Perbedaan agama, tak dapat digunakan sebagai laranganterhadap suatu perkawinan campuran." Penambahan ayat (2) pada Pasal 7GHR itu adalah akibat pengaruh konferensi untuk hukum Internasional di DenHaaq pada Tahun 1900.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974. Pengertian Perkawinan Campuran ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia. Ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 merupakan hasil dari Badan
Legislatif Negara Republik Indonesia dalam menciptakan Hukum Nasional yang
berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Dalam hal perkawinan campuran diatur
Universitas Sumatera Utara
44
dalam Pasal 57 UU Perkawinan yang menetapkan sebagai berikut: "Yang dimaksud
dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara
dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.
Berdasarkan ketentuan Pasal 57 yang dimaksud perkawinan campuran adalah:
1) Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan.
2) Perkawinan karena perbedaan kewarganegaraan.
3) Perkawinan karena salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur perkawinan campuran secara
tersendiri secara rinci sampai pelaksanaan dan pencatatan serta akibat hukumnya.
Ketentuan tersebut dilengkapi dengan peraturan hukum lama yang masih berlaku
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 66 bahwa. Dengan adanya ketentuan UUP dan
peraturan pelaksanaannya, maka ketentuan peraturan perkawinan campuran lama
(GHR) dinyatakan tidak berlaku sejauh UUP atau peraturan pelaksanaannya telah
mengatur.
Selain perkawinan campuran antar warga negara dan perkawinan campuran
beda agama di Indonesia juga dikenal adanya perkawinan yang dilakukan antara
orang yang berbeda suku bangsa atau sistem kekerabatan. Dalam konteks istilah
Universitas Sumatera Utara
45
kesukubangsaan (etnisitas) dan kekerabatan, ada beberapa skenario kemungkinan
perkawinan, antara lain :65
1. Perkawinan yang pelakunya adalah orang yang suku bangsa dan sistemkekerabatannya sama, misanya perkawinan antar orang Jawa dengansistem Bilateral, antarorang Minangkabau dengan sistem Matrilineal, antaraorang sunda dengan sistem Bilateral, antarorang Batak dengan sistemPatrilineal.66
2. Berbeda sukubangsa, namun prinsip kekerabatannya sama, misalnyaperkawinan antara orang Jawa dengan orang Sunda dengan Bilateral.
3. Perkawinan antardua dua orang atau lebih berbeda sukubangsa yangsekaligus berbeda prinsip kekerabatannya, misalnya, perkawinan antara orangJawa dengan sistem Bilateral dan orang Minangkabau dengan sistemMatrilineal.67
Fenomena perkawinan yang disebut terakhir menarik karena perkawinan tidak
diartikan sebagai upaya membangun hubungan seks laki-laki dengan perempuan
untuk menghasilkan keturunan, sebagai upaya untuk membangun dua hubungan
kekerabatan yang berbeda. Konsekuensi logis perkawinan antarpribadi orang yang
berbeda suku bangsa dan berbeda sistem kekerabatannya adalah muncul perbedaan
dalam merunut seseorang sebagai anggota keluarga satuan kelompok kekerabatan
terkecil. Artinya, dalam prinsip kekerabatan apa orang dapat dipandang sebagai
satuan kekerabatan. Dalam kenyataan sekarang ini, fenomena perkawinan antar
pribadi orang yang berbeda suku bangsa tidak saja ditemukan di kota-kota
besar metropolitan, Jakarta misalnya tetapi juga dapat ditemukan di suatu
65Ade Saptono, Rumah Tangga “Jamin”, Konstruksi Orang Jawa, Minang, atau Negara ?,Seminar Internasional “Progressive Development Of Marriage Law”, Universitas Pancasila, Jakarta,2010, hlm. 9
66Ahimsa-Putra, Heddy.”Jodoh Orang Batak Karo: Ditentukan atau Tidak ?”, dalamMasyarakat Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jilid XIII. 1986, No. 2, hlm 29-67.
67Ade Saptono, Op.Cit., hlm 9.
Universitas Sumatera Utara
46
wilayah yang beragam sukubangsanya memang diciptakan, seperti di lokasi
transmigrasi.68
B. Persyaratan dan Tatacara Pelaksanaan Perkawinan dan PerkawinanCampuran
Dalam melaksanakan perkawinan para pihak tentunya harus mengikuti
ketentuan dan memenuhi persyaratan dan tatacara pelaksanaannya. Persyaratan ini
berlaku terhadap perkawinan pada umumnya dan juga pada perkawinan campuran.
Menurut UU No.1 tahun 1974. Syarat-syarat dalam UUP yang harus dipenuhi oleh
orang yang hendak melangsungkan perkawinan adalah:
a. Syarat materiil
Dalam hal mengenai orang yang hendak kawin dan izin-izin yang harus
diberikan oleh pihak-pihak ketiga, maka menurut Pasal 6 UU Perkawinan,
adapun syarat-syarat (Syarat Materil) adalah sebagai berikut :
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukupdiperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampumanyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidakmampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperolah dari wali, orangyang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garisketurunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapatmenyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara merekatidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat
68Ibid. hlm 10.
Universitas Sumatera Utara
47
tinggal orang yang akan melangsungkan pekawinan atas permintaan orangtersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendenganr orang-orang tersebut yang memberikan izin.
6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dankepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Syarat materiil ini dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
1) Syarat materiil mutlak ialah syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang
hendak kawin dan tidak memandang dengan siapa ia hendak kawin serta
syarat-syarat ini berlaku umum. Jika syarat ini tidak dipenuhi maka orang
tidak dapat melangsungkan perkawinan.
Syarat materiil mutlak terdiri dari:a) kedua pihak tidak terikat dengan tali perkawinan yang lain;b) persetujuan bebas dari kedua pihak;c) setiap pihak harus mencapai umur yang ditentukan oleh UU;d) izin dari pihak ketiga;e) waktu tunggu bagi seorang perempuan yang pernah kawin dan ingin
kawin lagi. Bagi wanita yang putus perkawinan karena perceraian, masaiddahnya 90 (sembilan puluh) hari dan karena kematian 130 (seratus tigapuluh) hari.69
2) Syarat materiil relatif, yaitu syarat untuk orang yang hendak dikawini. Jadi,
seseorang yang telah memenuhi syarat materiil mutlak (syarat untuk dirinya
sendiri) tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan orang yang tidak
memenuhi syarat materiil relatif. Misalnya: mengawini orang yang masih ada
hubungan dengan keluarga terlalu dekat.70
Syarat materiil relatif ini diatur dalam Pasal 8 dan 10 UU Perkawinan. Pasal 8
mengatur bahwa perkawinan dilarang antara 2 (dua) orang yang:
69Wahyuni Setiyowati, Hukum Perdata I (Hukum Keluarga). F.H. Universitas 17 Agustus(UNTAG). Semarang 1997, hal 28.
70 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
48
a) Berhubungan darah dengan garis keturunan lurus ke bawah atau keatas.
b) Berhubungan darah dengan garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara
neneknya.
c) Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/ bapak tiri.
d) Berhubungan dengan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, dan
bibi/paman susuan.
e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
Sedangkan Pasal 10 UU Perkawinan mengatur mengenai larangan kawin
kepada mereka yang telah putus perkawinannya karena cerai 2 (dua) kali dengan
pasangan yang sama. Jadi, setelah cerai yang kedua kalinya mereka tidak dapat kawin
lagi untuk yang ketiga pada orang yang sama. Hal ini dimaksudkan agar suami dan
isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang
mengakibatkan putusnya perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan
dipikirkan secara matang. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan
kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling
menghargai satu sama lain.
b. Syarat formil
Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga
harus memenuhi syarat formil, adapun syarat-syarat formil tersebut adalah :
Universitas Sumatera Utara
49
1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai
Pencatat Perkawinan;
2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan;
3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-
masing;
4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus
dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
Dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang
memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan
nama isteri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin.
Syarat untuk melaksanakan perkawinan diatur dalam Pasal 3, 4, 8, dan 10
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu tentang :71
1) Pemberitahuan
Tentang pemberitahuan diatur dalam Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975.
Pasal 3 dan 4 PP No. 9 tahun 1975 mengatur:
a) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkan.
71 Lihat Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
Universitas Sumatera Utara
50
b) Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-kurangnya
10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
c) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 (dua)
disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama
Bupati Kepala Daerah.
d) Pasal 4 mengatur bahwa pemberitahuan dilakukan secara lisan atau
tertulis oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya kepada
pegawai pencatat perkawinan.
2) Pengumuman
Setelah semua persyaratan terpenuhi maka pegawai pencatat
menyelenggarakan pengumuman yang ditempel dipapan pengumuman kantor
pencatat perkawinan. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 8 PP No. 9 Tahun
1975.
3) Pelaksanaan
Setelah hari ke-10 (sepuluh) tidak ada yang mengajukan keberatan atas
rencana perkawinan tersebut maka perkawinan dapat dilangsungkan oleh
pegawai pencatat perkawinan. Khusus yang beragama Islam pegawai pencatat
perkawinan hanya sebagai pengawas saja.72 Di samping itu, perkawinan sah
apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan). Ahmad Djumairi
mengatakan bahwa :
72Setiyowati Wahyuni, Op.Cit., hal 39.
Universitas Sumatera Utara
51
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dankepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yangberlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya sepanjang tidakbertentangan atau tidak ditentukan lain oleh Undang-Undang itu. Jadibagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggarhukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagiHindu maupun Budha.73
Adapun syarat-syarat perkawinan menurut UU Perkawinan adalah:
a) Adanya persetujuan kedua calon mempelai. Kesepakatan kedua belah
pihak untuk melangsungkan perkawinan, tanpa adanya paksaan dari pihak
lain. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia atas perkawinan, dan sesuai
dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b) Bagi seorang yang belum mencapai usia 21 tahun, untuk melangsungkan
perkawinan harus ada izin dari kedua orang tua. Menurut ketentuan
Pasal 7 UUP, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Batas umur
ini ditetapkan maksudnya untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan
keturunannya, yang berarti bahwa seorang yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat izin kedua orang tua, karena mereka dianggap belum
dewasa.
73Achmad Djumairi. Hukum Perdata II. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo. Semarang,1990. hal 24.
Universitas Sumatera Utara
52
c) Bila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau tak mampu
menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang
masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
d) Bila kedua orang tuanya telah meninggal dunia atau tak mampu menyatakan
kehendaknya maka izin dapat diperoleh dari wali.
e) Bila ayat 2, 3, dan 4 pasal 6 ini tidak dapat dipenuhi, maka calon mempelai
dapat mengajukan izin pada Pengadilan setempat.
f) Penyimpangan tentang Pasal 7 ayat (1) dapat minta dispensasi kepada
Pengadilan.
Kemudian di dalam KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan
perkawinan juga dibagi dua macam adalah: (1) syarat materiil dan (2) syarat formal.
Syarat materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam
melangsungkan perkawinan. Syarat ini dibagi dua macam, yaitu:
a) Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi
seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada
umumnya. Syarat itu meliputi:
1) Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri,
seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 KUH
Perdata).
2) Persetujuan antara suami-isteri (Pasal 28 KUH Perdata).
Universitas Sumatera Utara
53
3) Terpenuhinya batas umur minimal, bagi laki-laki minimal berumur
18 (delapan belas) tahun dan bagi wanita berumur 15 (lima belas) tahun
(Pasal 29 KUH Perdata).
4) Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus
mengindahkan waktu 300 (tiga ratus) hari setelah perkawinan terdahulu
dibubarkan (Pasal 34 KUH Perdata).
5) Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anak-anak
yang belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 35 sampai dengan
Pasal 49 KUH Perdata).
b) Syarat materiil relatif, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang
untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan tersebut ada 2 (dua) macam,
yaitu:
1) Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan
sedarah dan karena perkawinan.
2) Larangan kawin karena zina,
3) Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya
perceraian,
Jika belum lewat 1 (satu) tahun.
Syarat formal adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas
dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dua tahapan, yaitu:
a. Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman tentang maksudkawin (Pasal 50 sampai Pasal 51 KUH Perdata). Pemberitahuan tentangmaksud kawin diajukan kepada Catatan Sipil. Pengumuman untuk
Universitas Sumatera Utara
54
maksud kawin dilakukan sebelum dilangsungkannya perkawinan,dengan jalan menempelkan pada pintu utama dari gedung dimanaregister-register Catatan Sipil diselenggarakan, dan jangka waktunya 10(sepuluh) hari.
b. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannyaperkawinan. Apabila kedua syarat diatas, baik syarat materiil danformal sudah dipenuhi maka perkawinan itu dapat dilangsungkan.74
Selain menurut UU Perkawinan dan KUH Perdata, dalam praktek juga dikenal
syarat perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam. Syarat sah
perkawinan/pernikahan harus memenuhi rukun nikah, yaitu:
a. Calon suami.
b. Calon isteri.
c. Wali.
d. Dua orang saksi.
e. Ijab dan Kabul.
Syarat calon suami:
1) Harus beragama Islam.
2) Harus laki-laki (bukan banci).
3) Harus lelaki yang tertentu.
4) Harus yang boleh kawin dengan isteri itu.
5) Sudah tahu atau pernah melihat kepada calon isteri.
6) Harus suka dan ridha.
7) Harus tidak sedang mengerjakan Haji/ Umrah.
8) Harus perempuan yang halal dikawini.
74Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal 63.
Universitas Sumatera Utara
55
9) Dan jika sudah beristeri, belum ada empat orang isteri.
Syarat calon isteri:
1) Harus beragama Islam.
2) Harus wanita (bukan banci).
3) Harus perempuan yang tertentu.
4) Harus yang boleh dikawin.
5) Harus sudah luar iddah.
6) Harus suka dan ridha.
7) Tidak sedang mengerjakan Haji/ Umrah.
Perkawinan tanpa wali, tidak dapat diawasi oleh Pejabat Pencatat Nikah
(PPN) dan tidak dapat perlindungan hukum. Oleh karena itu, wali adalah masalah
pokok dalam perkawinan. Ijab yaitu ucapan dari orang tua/wali atau wakilnya pihak
perempuan sebagai penyerahan kepada pihak laki-laki. Sedangkan Kabul yaitu
ucapan dari pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda penerimaan. Upacara Ijab
dan Kabul ini, dilakukan dimuka PPN (pejabat pencatat nikah) yaitu di Masjid, boleh
di rumah dengan memanggil PPN/ harus ada di bawah pengawasan PPN.
Berdasarkan uraian di atas, perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum antara
suami istri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada Tuhan tetapi
untuk mewujudkan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia,
kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, membina rumah tangga yang penuh
dengan sakinah, mawaddah dan rahmah. Akibat hukum lain adalah terjaminnya hak-
hak dan kewajiban suami istri serta anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
56
Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah atau batal
demi hukum. Sedangkan rukun perkawinan adalah adanya calon suami, adanya calon
isteri, adanya wali, adanya saksi dan ijab kabul.
Dalam setiap perkawinan pasti menimbulkan akibat hukum, antara lain
timbulnya hak dan kewajiban suami dan isteri, hak dan kewajiban orang tua serta
kekuasaannya dan di samping itu timbulnya hak perwalian. Seorang anak yang
dilahirkan sebagai akibat dari suatu perkawinan, disebut dengan anak sah. Anak sah
sampai dia berusia dewasa, berada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama kedua
orang tuanya itu masih terikat tali perkawinan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pencatatan perkawinan merupakan
pemenuhan syarat formil dalam melangsungkan perkawinan yang dilakukan melalui
pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat
Perkawinan, Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, Pelaksanaan
perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing dan Pencatatan
perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
Kemudian guna dapat melangsungkan perkawinan campuran itu supaya
perkawinanya sah, maka ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Perkawinan
harus dipenuhi artinya perkawinan bagi mereka yang beragama Islam harus sesuai
dengan ketentuan hukum Islam. Begitu pula bagi mereka yang beragama selain Islam,
maka bagi mereka harus sesuai dengan ketentuan hukum agamanya dan
kepercayaannya itu. Apabila hukum agama yang bersangkutan membolehkan, maka
perkawinan campuran dilangsungkan menurut agama Islam yang dilaksanakan oleh
Universitas Sumatera Utara
57
pegawai pencatat nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan (Kuakec), sedangkan
perkawinan campuran yang dilangsungkan menurut agamanya dan kepercayaannya
selain agama Islam dilaksanakan pencatatannya di Kantor Catatan Sipil.
Dengan demikian ketentuan hukum yang dibuat oleh pemerintah zaman
kolonial tentang perkawinan campuran tidak berlaku lagi karena sudah diatur dalam
UU No 1 Tahun 1974. Bagi orang-orang berlainan kewarganegaraan yang melakukan
perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan
dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut caracara yang telah ditentukan
dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.75
Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya
perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun
mengenai hukum perdata. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia
dilakukan menurut undang-undang perkawinan ini.76
Perkawinan campuran yang diatur dalam undang-undang ini adalah
perkawinan campuran yang berbeda kewarganegaraan yaitu antara orang Indonesia
dengan orang asing. Hal tersebut penting diatur, mengingat eksistensi bangsa dan
negara Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari konteks pergaulan transnasional dan
atau intemasional. Pengaruh dari gejala regionalisasi, internasionalisasi atau
globalisasi di berbagai bidang kehidupan manusia, mengakibatkan hubungan antar
75Pasal 58 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan76Pasal 59 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
58
manusia semakin luas dan tidak terbatas, akhirnya ada yang saling jatuh cinta dan
melangsungkan perkawinan antar kewarganegaraan.
Perkawinan Campuran yang berbeda kewarganegaraan ini semakin meningkat
jumlahnya, meskipun di dalam kenyataannya banyak yang menghadapi
problem/permasalahan. Bagi Warga Negara Asing yang akan melakukan perkawinan
campuran di Indonesia, maka yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
1) Fotokopi paspor yang sah
2) Surat izin menikah dari kedutaan negara pemohon
3) Surat Status dari catatan sipil negara pemohon
4) Pasfoto ukuran 2 x 3 sebanyak 3 lembar
5) Kepastian kehadirin wali atau menyerahkan wakalah wali bagi WNA Wanita.
6) Membayar biaya pencatatan.
Bagi pihak WNI harus memenuhi mekanisme pelayanan pernikahan pada
Kantor Urusan Agama Kecamatan.
1) Calon pengantin datang ke kantor kepala desa/kelurahan untuk mendapatkan :
a) Surat Keterangan untuk nikah (N.1)
b) Surat Keterangan asal usul (N.2)
c) Surat Persetujuan mempelai (N.3),
d) Surat Keterangan tentang orang tua (N.4),
e) Surat pemberitahuan kehendak nikah (N.7)
2) Calon Pengantin datang ke Puskesmas untuk mendapatkan :
Universitas Sumatera Utara
59
a) Imunisasi Tetanus Toxsoid 1 bagi calon pengantin wanita,
b) Kartu imunisasi,
c) Imunisasi Tetanus Toxoid II,
Setelah proses pada poin (1) dan (2) selesai, calon pengantin datang ke KUA
kecamatan, untuk :
1) Mengajukan pemberitahuan kehendak nikah secara tertulis (menurutmodel N7), apabila calon pengantin berhalangan pemberitahuan nikahdapat dilakukan oleh wali atau wakilnya;
2) Membayar biaya pencatatan nikah dengan ketentuan sebagai berikut (1)Pernikahan yang dilaksanakan di balai nikah/ kantor KUA.....(2)Pernikahan yang dilaksanakan di luar balai nikah/Kantor KUA. di tambahbiaya bedolan sesuai ketentuan yang ditetapkan Kepala Kanwil/ KantorDepartemen Agama masing-masing daerah.
3) Dilakukan pemeriksaan kelengkapan syarat-syarat pernikahan olehpenghulu.a) Surat keterangan untuk nikah menurut N.1b) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal
usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa/pejabat setingkatmenurut model N2;
c) Persetujuan kedua calon mempelai menurut model N3,d) Surat keterangan tentang orang tua (ibu bapak) dari kepala desa/pejabat
setingkat menurut model N4,e) Izin tertulis dari orang tua bagi calon mempelai yang belum mencapai
usia 21 tahun menurut model N5.f) Dalam hal tidak ada izin dari kedua orang tua atau walinya sebagaimana
dimaksud angka 5 di atas diperlukan izin dari pengadilan.g) Pasfoto masing-masing 3x2 sebanyak 3 lembar.h) Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai
umur 19 tahun dan bagi calon istri yang berumur 16 tahun.i) Jika calon mempelai anggota TNI/ polri diperlukan surat izin dari
atasanya atau kesatuannya.j) Izin pengadilan bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang.k) Akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak/ cerai bagi mereka yang
perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 7tahun 1989.
l) Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/ istri dibuat olehkepala desa/lurah atau pejabat yang berwenang yang menjadi dasarpengisian model N6 bagi janda/duda yang akan menikah.
Universitas Sumatera Utara
60
m)Surat ganti nama bagi warganegara Indonesia keturunan.4) Penghulu sebagai PPN memasang pengumuman kehendak nikah (menurut
model NC) selama 10 hari sejak saat pendaftaran.5) Calon pengantin wajib mengikuti kursus calon pengantin selama 1 hari.6) Calon pengantin memperoleh sertifikat kursus calon pengantin.7) Pelaksanaan akad nikah dipimpin oleh penghulu.8) Penghulu segera menyerahkan buku nikah kepada pengantin setelah
pelaksanaan akad nikah.9) Pendaftaran kehendak nikah diajukan kepada KUA kecamatan minimal 10
hari kerja sebelum pelaksanaan pernikahan.
Terhadap pencatatan dari perkawinan campuran yang dilakukan oleh pegawai
pencatat nikah juga dilakukan legalisasi yaitu terhadap buku nikah. Tata cara
legalisasi Buku Nikah, antara lain :
1) Mengisi formulir permohonan
2) Menyerahkan buku nikah asli
3) Menyerahkan fotokopi buku nikah yang sudah dilegalisir oleh KUA tempat
nikah
4) Menyerahkan fotokopi KTP bagi WNI
5) Menyerahkan fotokopi paspor bagi WNA
6) Menyerahkan surat izin menikah dari kedutaan negara pemohon bagi
perkawinan campuran.
7) Menyerahkan surat kuasa dan Kartu Tanda Penduduk yang mengurus, apabila
pengurusan dilakukan orang lain.
Lebih lanjut mengenai pelaksanaan perkawinan campuran antara orang yang
berbeda suku bangsa atau sistem kekerabatan tetap tunduk pada ketentuan UU No. 1
Tahun 1974. Dengan kata lain tatacara dan persyaratan dalam pelaksanaan
Universitas Sumatera Utara
61
perkawinan tetap mengikuti ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 berserta
petunjuk teknis pelaksanaannya.
Dalam konteks istilah kesukubangsaan (etnisitas) dan kekerabatan, ada
beberapa skenario kemungkinan perkawinan, antara lain :77
1. Perkawinan yang pelakunya adalah orang yang suku bangsa dan sistem
kekerabatannya sama, misanya perkawinan antar orang Jawa dengan
sistem Bilateral, antarorang Minangkabau dengan sistem Matrilineal, antara
orang sunda dengan sistem Bilateral, antarorang Batak dengan sistem
Patrilineal.78
2. Berbeda sukubangsa, namun prinsip kekerabatannya sama, misalnya
perkawinan antara orang Jawa dengan orang Sunda dengan Bilateral.
3. Perkawinan antardua dua orang atau lebih berbeda sukubangsa yang
sekaligus berbeda prinsip kekerabatannya, misalnya, perkawinan antara orang
Jawa dengan sistem Bilateral dan orang Minangkabau dengan sistem
Matrilineal.79
Fenomena perkawinan yang disebut terakhir menarik karena perkawinan tidak
diartikan sebagai upaya membangun hubungan seks laki-laki dengan perempuan
untuk menghasilkan keturunan, sebagai upaya untuk membangun dua hubungan
kekerabatan yang berbeda. Konsekuensi logis perkawinan antarpribadi orang yang
berbeda sukubangsa dan berbeda system kekerabatannya adalah muncul perbedaan
dalam merunut seseorang sebagai anggota keluarga satuan kelompok kekerabatan
terkecil. Artinya, dalam prinsip kekerabatan apa orang dapat dipandang sebagai
77Ade Saptono, Rumah Tangga “Jamin”, Konstruksi Orang Jawa, Minang, atau Negara ?,Seminar Internasional “Progressive Development Of Marriage Law”, Universitas Pancasila, Jakarta,2010, hlm. 9
78Ahimsa-Putra, Heddy.”Jodoh Orang Batak Karo: Ditentukan atau Tidak ?”, dalamMasyarakat Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jilid XIII. 1986, No. 2, hlm 29-67.
79Ade Saptono, Op.Cit., hlm 9.
Universitas Sumatera Utara
62
satuan kekerabatan. Dalam kenyataan sekarang ini, fenomena perkawinan antar
pribadi orang yang berbeda suku bangsa tidak saja ditemukan di kota-kota besar
metropolitan, Jakarta misalnya tetapi juga dapat ditemukan di suatu wilayah yang
beragam sukubangsanya memang diciptakan, seperti di lokasi transmigrasi.80
C. Akibat Hukum Hubungan Perkawinan dan Perkawinan Campuran
Perkawinan yang sah dan dilaksanakan menurut ketentuan hukum menurut
hukum perkawinan di Indonesia akan menimbulkan akibat hukum sebagai berikut :
1. Timbulnya hubungan antara suami-istri
2. Timbulnya harta benda dalam perkawinan
3. Timbulnyan hubungan antara orang tua dan anak.
Akibat perkawinan terhadap suami isteri menimbulkan hak dan kewajiban
antara suami isteri. Hak dan kewajiban antara suami isteri diatur dalam Pasal 30
sampai dengan Pasal 34 UU No. 1 Tahun 1979, yang menetapkan sebagai berikut :
1. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat;
2. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan masyarakat;
3. Suami-isteri berhak melakukan perbuatan hukum;
4. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga. Di samping
itu suami wajib memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga
80Ibid. hlm 10.
Universitas Sumatera Utara
63
dengan kemampuannya dan isteri wajib mengatur rumah tangga sebaik-
baiknya;
5. Suami isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir batin satu kepada yang lain;
6. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan tempat
kediaman tesebut ditentukan oleh suami isteri bersama.
Selanjutnya apabila suami atau isteri melalaikan kewajiban, maka masing-
masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Sedangkan akibat perkawinan
yang menyangkut harta benda dalam perkawinan, diatur dalam Pasal 35 sampai Pasal
37 UU No. 1 Tahun 1974, yang menetapkan sebagai berikut :
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama,
sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami atau isteri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing, sepanjang tidak ditentukan lain oleh suami-isteri.
Apabila ditentukan oleh suami isteri, maka harta bawaan suami isteri tersebut
menjadi harta bersama.
Untuk menentukan agar harta bawaan suami dan isteri menjadi harta bersama,
maka suami dan isteri tersebut harus membuat perjanjian kawin. Perjanjian
kawin harus dibuat secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan;
Perjanjian kawin adalah perjanjian perjanjian yang dibuat calon suami dan
isteri untuk mengatur akibat-akibat perkawinannya terhadap harta kekayaan
Universitas Sumatera Utara
64
mereka.81 Perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974, yang
menetapkan :
a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak ataspersetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian kawin yang disahkan olehPegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadappihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batashukum agama dan kesusilaan.
c. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkand. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah danPerubahan tidak merugikan pihak ketiga.
2. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan masing-
masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya. Adapun hak suami dan isteri untuk mempergunakan atau memakai
harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik menurut
Riduan Syahrani adalah sewajarnya, mengingat hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat,
dimana masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.82
3. Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing . Menurut penjelasan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974,
yaitu hukum agama (kaidah agama), hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
81Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga, Itikad Baik, Semarang, 1981,hlm. 217.
82Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1985,hlm. 100.
Universitas Sumatera Utara
65
Selanjutnya akibat perkawinan terhadap anak yang lahir dalam perkawinan
menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak secara timbal balik.
1. Keadaan orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-
baiknya, sampai anak itu kawin atau kawin atau dapat berdiri sendirindiri.
Selanjutnya kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang
tua putus; Dalam praktek, apabila perkawinan putus karena perceraian atau
karena atas putusan Pengadilan, maka atas permohonan dari pihak suami
atau isteri, Pengadilan akan menyerahkan anak-anak tersebut kepada suami
atau isteri yang benar-benar beriktikad baik, untuk dipelihara dan dididik
secara baik;
2. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, berada
di bawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya;
3. Orang tua mewakili anak tersebut, mengenai segala perbuatan hukum baik
di dalam dan di luar Pengadilan;
4. Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya
terhadap seorang anak atau lebih, untuk waktu tertentu atas permintaan orang
lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah
dewasa atau pejabat yang berwenang.
Kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan alasan, ia sangat melalaikan
kewajibannya terhadap anaknya atau ia berkelakuan buruk sekali. Meskipun orang
tua dimaksud tetap berkewajiban memberi biaya pemeliharaan anak mereka.
Universitas Sumatera Utara
66
Apabila No. 1 sampai dengan No. 5 di atas diperhatikan secara seksama, maka
sebenarnya No. 1 sampai dengan No. 5 tersebut merupakan kewajiban orang tua
kepada anak mereka. Kemudian, mana yang menjadi hak anak mereka? Yang
menjadi hak anak mereka, menurut penulis, yaitu apa yang menjadi kewajiban orang
tua itu merupakan hak dari anaknya. Sebaliknya, anak tidak hanya mempunyai hak
terhadap orang tuanya saja, akan tetapi anak juga mempunyai kewajiban terhadap
orang tuanya.
Kewajiban tersebut, yaitu :
1. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang
baik;
2. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya,
orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka memerlukan
bantuannya.
Menurut penulis, apa yang menjadi kewajiban anak terhadap orang tuanya itu,
merupakan hak dari orang tuanya. Kedudukan anak menurut UU No. 1 Tahun 1974
diatur dalam dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 44. Dari ini Pasal tersebut dapat
disimpulkan, bahwa UU No. 1 Tahun 1974 membedakan antara anak sah dengan
anak luar kawin. Anak sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah. Dengan demikian anak yang dilahirkan di luar perkawinan
yang sah disebut anak luar kawin. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, keluarga ibunya.
Universitas Sumatera Utara
67
Kemudian meskipun anak itu dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah, namun bilamana suami dapat membuktikan, bahwa isterinya
telah berzinah dan anak itu akibat dari perzinahan, maka suami dapat menyangkal
keabsahan anak tersebut. Penyangkalan keabsahan seorang anak harus diajukan
kepada Pengadilan. Kemudian pengadilan memberikan keputusan tentang sah dan
tidaknya anak, atas permintaan pihak yang berkepentingan. Timbul pertanyaan
apakah ketentuan mengenai kedudukan anak yang diatur dalam Pasal 42 sampai
dengan Pasal 44 UU No. 1 Tahun 1974, sudah dapat diperlakukan secara efektif.
Apabila dilihat isi Pasal 43 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Surat Edaran
Mahkamah Agung tanggal 20 Agustus 1975 No. MA/Pemb.0807, tentang Petunjuk-
petunjuk Mahkamah Agung Mengenai Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 dapat
diketahui, bahwa Pasal 42 sampai dengan Pasal 43 tersebut belum dapat diperlakukan
secara efektif. Dengan demikian untuk kedudukan anak, dengan sendirinya masih
diperlakukan ketentuan-ketentuan dan perundang-undangan lama, yaitu Hukum
Agama (Keadaan Agama), Hukum Adat dan KUHPerdata (Pasal 66 UU No. 1 Tahun
1974).
Perkawinan campuran seperti perkawinan pada umumnya yang dilakukan
oleh pasangan suami isteri juga membawa akibat hukum bagi para pihak seperti
halnya yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, dalam praktiknya perkawinan
juga menghadapi berbagai permasalahan, antara lain :
1. Mengenai Keabsahan Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
68
Di dalam UU No.1 Tahun 1974 telah ditentukan bahwa sahnya perkawinan di
Indonesia adalah berdasarkan masing-masing agama dan kepercayaannya.83 Oleh
karena itu mengenai perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia
harus dilakukan berdasarkan hukum perkawinan Indonesia jadi keabsahan
perkawinan tersebut harus berdasarkan hukum agama dan harus dicatat apabila
kedua belah pihak, calon suami-isteri ini menganut agama yang sama tidak akan
menimbulkan masalah, namun apabila berbeda agama, maka akan timbul
masalah hukum antar agama.
Masalahnya tidak akan menjadi rumit apabila jalan keluarnya dengan kerelaan
salah satu pihak untuk meleburkan diri/mengikuti kepada agama pihak, yang
lainnya tetapi kesulitan ini muncul apabila kedua belah pihak tetap ingin
rnempertahankan keyakinannya. Terlebih lagi karena Kantor Catatan Sipil
berdasarkan Keppres No.12 Tahun 1983, tidak lagi berfungsi untuk menikahkan.
Namun di dalam kenyataannya sering terjadi untuk mudahnya pasangan tersebut
kawin berdasarkan agama salah satu pihak, dan kemudian setelah perkawinannya
disahkan mereka kembali kepada keyakinannya masing-masing.
83Pasal 1 angka (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan83Ade Saptono, Rumah Tangga “Jamin”, Konstruksi Orang Jawa, Minang, atau Negara ?,
Seminar Internasional “Progressive Development Of Marriage Law”, Universitas Pancasila, Jakarta,2010, hlm. 9
83Ahimsa Putra, Heddy.”Jodoh Orang Batak Karo: Ditentukan atau Tidak ?”, dalamMasyarakat Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jilid XIII. 1986, No. 2, hlm 29-67.
83Ade Saptono, Op.Cit., hlm 9.83Ibid. hlm 10.83Ibid.
Universitas Sumatera Utara
69
Di Indonesia perkawinan antar agama masih merupakan suatu problem yang
masih perlu dicarikan jalan keluarnya dengan sebaik-baiknya. Mengenai kesahan
perkawinan campuran ini memang belum ada Pengaturan khusus, sehingga di
dalam prakteknya sering terjadi dan untuk memudahkan pasangan tersebut kawin
berdasarkan agama salah satu pihak, namun kemudian setelah perkawinan
disahkan mereka kembali kepada keyakinannya masing-masing. Di samping itu,
terdapat juga pasangan yang melangsungkan perkawinan di luar negeri, baru
kemudian didaftarkan di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, karena masalah perkawinan campuran ini tidak
mungkin dihilangkan, maka untuk adanya kepastian hukum sebaiknya dibuatkan
suatu pengaturan mengenai keabsahan perkawinan campuran ini.
2. Permasalahan Pencatatan
Mengenai perkawinan campuran dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974
tidak ada ketentuan yang mengatur secara khusus tentang pencatatan perkawinan
campuran. Dengan demikian, apabila perkawinan dilangsungkan di Indonesia
maka berlaku ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan
ketentuan Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang antara lain
disebutkan :
a. Pada Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
Universitas Sumatera Utara
70
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut Agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk.
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain Agama Islam dilakukan oleh
Pegawai Pencatatan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana
dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan
perkawinan. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku
bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang
berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana yang ditentukan
dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9.
Apabila pengaturannya demikian, maka mengenai pencatatan ini akan timbul
masalah kalau calon suami atau calon Isteri bersikeras tetap mempertahankan
keinginannya maka akan dicatat dimana, karena masalah perkawinan campuran
pada UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang pencatatan perkawinan
campuran, baik untuk perkawinan antar keyakinannya maupun perkawinan antar
kewarganegaraan.
Demikian dalam hal pencatatan perkawinan apabila pasangan tersebut
beragama Islam, meskipun adanya perbedaan kewarganegaraan tetap dicatatkan
di KUA. Sedangkan apabila pasangan tersebut beragama non muslim meskipun
berbeda kewarganegaraan tetap pencatatannya di Kantor Catatan Sipil. jadi yang
Universitas Sumatera Utara
71
perlu dipikirkan pengaturannya adalah pencatatan bagi pasangan yang berbeda
agama. Untuk itu memang diperlukan pemikiran secara mendalam dari berbagai
segi agar tidak merugikan salah satu pasangan.
3. Masalah Harta Benda Perkawinan
Apabila pihak suami warga negara Indonesia, maka ketentuan hukum material
berkaitan dengan harta kekayaan diatur berdasarkan hukum suami, yaitu UU No.
1 Tahun 1974. Namun harta benda perkawinan campuran ini apabila tidak
dilakukan perjanjian perkawinan yang menyangkut harta perkawinan maka
berkenaan dengan harta perkawinan ini akan tunduk pada Pasal 35, di mana
ditentukan, bahwa “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama; Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta
benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah
dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
lain“.84
Selanjutnya mengenai harta bersama ini dapat dikelola bersama-sama suami
dan isteri, namun dalam setiap perbuatan hukum yang menyangkut harta bersama
harus ada persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1)). Sedangkan dalam
hal harta bawaan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya Pasal 36 ayat (2).
Apabila terjadi perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing (Pasal 37), yang dimaksud hukum masing-masing pihak di dalam
84Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
72
UU No. 1 Tahun 1974 ini adalah hukum agama, hukum adat atau hukum lainnya.
Untuk Perkawinan Campuran akan munjadi masalah Hukum Perdata
internasional, karena akan terpaut 2 (dua) sistem hukum perkawinan yang
berbeda, yang dalam penyelesaiannya dapat digunakan ketentuan Pasal 2 dan
Pasal 6 ayat (1) GHR (Regeling of de gemengde huwelijken) S. 1898 yaitu
diberlakukan hukum pihak suami.
Masalah harta perkawinan campuran ini apabila pihak suami warga negara
Indonesia, maka tidak ada permasalahan, karena diatur berdasarkan hukum suami
yaitu Undang-undang No.l Tahun 1974. Sedangkan apabila isteri yang
berkebangsaan Indonesia dan suami berkebangsaan asing maka dapat menganut
ketentuan Pasal 2 dan Pasal 6 ayat (1) GHR, yaitu diberlakukan hukum pihak
suami. Namun karena GHR tersebut adalah pengaturan produk zaman Belanda,
sebaiknya masalah ini diatur dalam Hukum Nasional, yang disesuaikan dengan
perkembangan zaman.
4. Masalah Perceraian.
Di dalam suatu perkawinan diharapkan tidak akan terjadi perceraian, karena
dengan terjadinya perceraian akan menimbulkan berbagai permasalahan. Namun
apabila tetap terjadi perceraian, maka perkawinan yang dilaksanakan di
Indonesia dan pihak suami warga negara Indonesia, jelas syarat-syarat dan alasan
perceraian harus berdasarkan ketentuan yang berlaku di Indonesia, yaitu dalam
UU No.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan khusus
untuk pegawai negeri sipil berlaku pula ketentuan-ketentuan PP No. 10 Tahun
Universitas Sumatera Utara
73
1983 dan PP No. 45 Tahun 1990. Tetapi dalam hal Perkawinan Campuran yang
perkawinannya dilangsungkan di Indonesia sedangkan pihak suami adalah warga
negara asing dan mereka menetap di luar negeri, maka dalam hal ini akan timbul
masalah Hukum Perdata internasional lagi yaitu untuk menentukan alasan dan
syarat perceraian tersebut demikian pula bagi mereka yang melangsungkan
perkawinan di luar negeri.
Putusnya perkawinan disebabkan kematian, perceraian, dan atas keputusan
pengadilan. Dalam hal perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan
yang berwenang, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Selain itu untuk melakukan perceraian
harus cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun
sebagai suami isteri. Disini jelas apabila perkawinan campuran dilakukan di
Indonesia jelas alasan maupun akibat terjadinya perceraian berdasarkan
ketentuan yang diatur di dalam UU No.1 Tahun 1974.
Bila perkawinan campuran yang di langsungkan di Indonesia namun
tinggalnya di luar negeri atau perkawinannya dilangsungkan diluar negeri dalam
hal ini belum ada pengaturannya. Oleh karena itu perlu diatur atau paling tidak.
Adanya perjanjian perkawinan antara keduanya. apabila kemungkinan putus
perkawinan tersebut. Karena apabila sebelum perkawinan pihak suami dan pihak
isteri telah membuat perjanjian dan dilakukan didepan institusi yang berwenang,
yang berisi masalah, kalau terjadi perceraian dalam hal alasan maupun akibat
Universitas Sumatera Utara
74
perceraian yaitu tanggung jawab dan kewajiban memelihara anak dari hasil
perkawinan mereka, maka sudah ada jaminan bagi anak.
5. Status Anak.
Mengenai anak ini, cukup banyak peraturan yang mengatur tentang anak, dan
dilain pihak keberadaan anak tidak terlepas dan berhubungan erat dengan hukum
perkawinan, hukum keluarga, dan hukum kewarisan. Dalam hal perkawinan
campuran masalah status anak ini juga menghadapi permasalahan yaitu berkaitan
dengan kewarganegaraan dari anak. Selain daripada itu dalam UU No. 1 Tahun
1974 mengenai kedudukan anak telah diatur pada Bab 9 dalam Pasal 42 sampai
Pasal 44 yang antara lain menentukan :
a. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah (Pasal 42).
b. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan Ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat(1))
c. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya,
bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzinah dan anak itu
akibat daripada perzinahan tersebut.
d. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan
pihak yang berkepentingan.85
Bertitik tolak dari pengaturan tersebut, jelas bahwa Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tidak mengatur mengenai anak hasil perkawinan antar bangsa Indonesia
dengan bangsa-asing karena dalam Pasal 42 tersebut hanya mengatur mengenai
kedudukan anak. Selanjutnya dalam Pasal 43 mengatur anak yang dilahirkan di luar
perkawinan dan juga mengatur mengenai seorang suami yang dapat menyangkal
85Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
75
sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa
isterinya melahirkan anak akibat perzinahan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Perkawinan
hanya mengatur kedudukan anak hasil perkawinan antara warga negara Indonesia
saja. Sedangkan apabila perkawinan campuran yang berbeda kewarganegaraan,
masalah kedudukan anak atau status anak ini memang dapat menimbulkan
permasalahan.
Permasalahan yang timbul adalah apabila si isteri berkewarganegaraan
Indonesia dan suami berkewarganegaraan asing, maka kalau mempunyai anak pihak
isteri tidak mempunyai pilihan untuk memberikan kewarganegaraannya kepada anak.
Kenapa demikian, karena Indonesia menganut asas keturunan (asas ius sanguinis)
yaitu kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh keturunan daripada orang yang
bersangkutan (si suami).
Selain itu, apabila si anak mempunyai kewarganegaraan dari bapak (asing)
maka dalam proses pelaporan ke Kedutaan dan Kantor Imigrasi bukan perkara yang
mudah, dan membutuhkan biaya yang cukup besar, bahkan ada Negara tertentu si
anak yang masih kecil harus dibawa untuk melaporkan kekedutaan. Sedangkan
bilamana isteri yang berkewarganegaraan Indonesia mengikuti suami tinggal di
negara suaminya, maka ketika mengajukan permohonan menjadi "permanent
resident“ (PR) prosesnya memakan waktu 4 tahun.
Selanjutnya apabila perkawinan tidak berjalan mulus dan terjadi kekerasan
yang akhirnya terjadi perceraian maka akan timbul permasalahan si anak menjadi
Universitas Sumatera Utara
76
warganegara yang mana (ikut Ayah atau ikut Ibu). Jumlah peristiwa perkawinan
campuran yang terjadi di Indonesia cenderung meningkat dan hal tersebut
mengakibatkan permasalahan yang berkaitan dengan penentuan status
kewarganegaraan anak dari perkawinan tersebut. Untuk memecahkan hal tersebut
dapat dilakukan antara lain (menurut hasil tim analisis dan evaluasi hukum tentang
status anak, hasil perkawinan campuran antar WNI dan asing).
1) Konsekuensi hukum status anak hasil perkawinan kewarganegaraan Indonesia
dan asing (Ius Sanguinis).
a) Perjanjian Perkawinan tentang Kewarga negaraan anak yang disahkan
oleh Notaris.
Perkawinan antara seorang pria Warga Negara Amerika dengan Wanita
Warga Negara Indonesia, mereka menghendaki agar anak dari
perkawinan mereka mengikuti kewarganegaraan Ibunya melalui
perjanjian dihadapan Notaris (tahun 1994) perlu dikukuhkan oleh
pengadilan, yang menyatakan bahwa anak yang lahir dari perkawinan
mereka menjadi warga negara Indonesia yaitu mengikuti
kewarganegaraan ibunya. Perjanjian ini disampaikan kepada Kantor
Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta tahun 1995 dan pada tahun 1995 saat
mengajukan akta kelahiran anak-anaknya dan memohon agar dalam
pencatatan kelahiran anakanaknya tersebut tertulis Warga Negara
Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
77
b) Status anak dari perkawinan campuran yang putus karena cerai dan di
bawah pengasuhan Ibunya.
Perkawinan antara seorang pria WNA dengan wanita WNI dan
perkawinan tersebut putus karena perceraian padahal anaknya masih
dibawah umur, maka anak dari perkawinan tersebut diputus oleh
Pengadilan dibawah asuhan ibunya yang WNI, padahal status anak
tersebut adalah WNA. Oleh karena itu untuk melindungi anak tersebut,
sebaiknya si ibu mengajukan permohonan kewarganegaraan Indonesia
kepada pengadilan. Atau si anak dapat memilih sendiri kewarga
negaraannya setelah berumur 18 tahun (pasal 3 UU No. 62 Tahun 1959).
c) Anak dari perkawinan campuran yang dilaporkan oleh Ibunya sebagai
anak luar kawin.
Hal tersebut dilakukan oleh sang Ibu agar anak hasil perkawinan campuran
tersebut menjadi Warga Negara Indonesia, dan untuk menghindari anak
menjadi WNA.
2) Anak WNI yang lahir di luar negeri (ius soli).
a) Status anak dari perkawinan campuran yang menganut asas
kewarganegaraan yang berbeda.
Perkawinan antara seorang pria WNA dengan wanita yang WNI, dimana
negara asal, pria tersebut menganut asas kewarganegaraan ius soli. Anak
dari perkawinan tersebut yang lahir di Indonesia sesuai dengan hukum
Universitas Sumatera Utara
78
yang berlaku di Indonesia mempunyai kewarganegaraan ayahnya,
sedangkan hukum yang berlaku di negara ayahnya anak tersebut
berkewarganegaraan Indonesia sehingga anak tersebut statusnya
bipatrida.
b) Anak dari perkawinan campuran yang tinggal di luar negeri.
Perkawinan campuran antara pria WNI dengan wanita yang WNA dan
tinggal diluar negeri yang menganut asas kewarganegaraan ius soli.
Anak dari perkawinan tersebut menurut hukum di Indonesia
kewarganegaraannya mengikuti ayahnya yaitu WNI, namun karena lahir
dan di luar negeri yang menganut asas kewarganegaraan ius soli, maka
anak tersebut menjadi WNA.
D. Perkawinan Campuran dan Kaitannya dengan Pewarisan
Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting bagi kehidupan
setiap orang. Di dalam suatu perkawinan seorang anak mempunyai hubungan secara
keperdataan dengan kedua orang tuanya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 43 ayat
(1) UU No.1 Tahun 1974 bahwa; ”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, keluarga ibunya. Hubungan dimaksud
juga menyangkut dengan hak waris atas harta warisan orang tuanya yang diatur
dalam hukum waris.
Sebagaimana diketahui bahwa mengenai warisan, di Indonesia sampai saat ini
masih bersifat plural, disamping berlakunya Hukum waris adat yang beraneka ragam
sistemnya dan juga berlaku waris yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Universitas Sumatera Utara
79
Perdata serta hukum waris Islam. Jadi mengenai Perkawinan Campuran masalah
warisan juga belum ada pengaturan tersendiri sehingga sangat memungkinkan
terjadinya permasalahan. Masalah warisan ini, karena di. Indonesia belum
mempunyai peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional, maka dalam
warisan tetap mengacu kepada hukum adat, hukum Islam dan KUHPerdata. Oleh
karena itu, warisan yang berkaitan dengan perkawinan campuran, memang
diserahkan kepada suami isteri yang bersangkutan.
Mengenai hukum waris ini terdapat bermacam-macam pengertian
sebagaimana dikemukakan oleh A. Pitlo, bahwa :
Hukum waris merupakan kumpulan peraturan yang mengatur hukummengenai harta kekayaan, karena wafatnya seseorang: yaitu mengenaipemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibatnya,dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperoleh baik dalam hubunganantara mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.86
Hukum Waris menurut Soebekti dan Tjitrosudibio, yaitu hukum
yang mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan
seseorang yang meninggal dunia.87 Sedangkan Hukum Waris menurut
Wirjono Projodikoro hukum yang mengatur tentang soal apakah dan bagaimanakah
pelbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal
dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.88
86A. Pitlo, Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, (AlihBahasa M. Isa Arief), hlml. 1 dalam Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Badan Penerbit UniversitasDiponegoro, Semarang, 2008, hlm. 2
87Soebekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, Hal. 25 dalam Mulyadi, Hukum Waris TanpaWasiat, (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2008, hlm. 2
88Soebekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, hlm. 25 dalam Mulyadi, Hukum Waris TanpaWasiat, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2008, hlm. 2
Universitas Sumatera Utara
80
Ketiga pengertian di atas, menunjukkan bahwa untuk terjadinya pewarisan
harus memenuhi 3 unsur, yaitu :
1. Pewaris adalah orang yang meninggal dunia meninggalkan harta kepada oranglain;
2. Ahli waris adalah orang yang menggantikan pewaris di dalamkedudukkannya terhadap warisan, baik untuk seterusnya maupun untuksebagian;
3. Harta warisan adalah segala harta kekayaan dari orang yang meninggal.89
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 171 ayat (1) Kompilasi Hukum
Islam (KHI), yang dimaksud dengan Hukum Waris adalah hukum yang mengatur
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.
Dengan demikian prinsip hanya hak dan kewajiban yang meliputi harta
kekayaan saja yang dapat diwaris, ternyata hal itu tidak dapat dipegang teguh dan
terdapat beberapa pengecualian.90
Hukum waris diatur dalam Buku II tentang kebendaan, tepatnya dalam Titel
XII sampai dengan Titel XVIII (dalam KUH Perdata Belanda diatur dalam Titel XI
sampai dengan Titel XVII). Untuk hal itu, Pitlo menyatakan bahwa Pembuat undang-
undang kita sesuai dengan Pasal 584, yang telah memasukkan hak waris dalam hak
kebendaan, telah memperlakukan hak ahli-ahli waris sebagai suatu hak kebendaan,
oleh karena itu telah menempatkannya dalam buku kedua titel kesebelas sampai
89Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang,2008, hlm. 2-3
90Ibid. hlm.3
Universitas Sumatera Utara
81
dengan titel ketujuhbelas, dan merupakan pemisahan antara hak menikmati dengan
jaminan.
Selanjutnya apabila dilihat dalam KUH Perdata, Nampak bahwa susuna
Hukum Waris lebih mendekati Hukum Germania daripada Hukum Romawi. Namun
apabila dilihat dari sistematikanya dengan dimasukkannya Hukum Waris ke dalam
Buku II, maka sistem Hukum Waris yang dianut oleh KUH Perdata adalah sistem
Hukum Romawi.91
Ada 2 (dua) macam pewarisan menurut KUH Perdata, yaitu (1) Pewarisan
menurut Undang-Undang atau karena kematian atau Ab Intestato atau tanpa wasiat,
dan (2) Pewarisan dengan surat warisan atau testamentair. Mulyadi mengatakan
bahwa :
Apabila ada orang meninggal dunia, pertama-tama yang harus diperhatikanyaitu apakah yang meninggal itu pada waktu hidupnya mengadakanketentuan-ketentuan mengenai harta bendanya. Misalkan, dengan membuatsurat wasiat yang isinya seluruh hartanya diberikan kepada pihak ketiga yangbukan keluarga sedarahnya.92
Selanjutnya apabila ada ketentuan-ketentuan seperti tersebut di atas, maka
yang perlu diperhatikan yaitu apakah ketentuan yang terdapat dalam surat wasiat itu
melanggar bagian mutlak (legitieme portie) dari ahli waris yang mempunyai bagian
mutlak (legitieme portie) atau tidak. Apabila melanggar bagian mutlak (legitieme
portie), maka surat wasiat tersebut dipotong sebesar kekurangan bagian mutlak
(legitieme portie) yang dipunyai legitimaris. Apabila surat wasiat itu tidak melanggar
91Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang,2008,hlm. 5
92Ibid.
Universitas Sumatera Utara
82
bagian mutlak (legitieme portie), maka apa yang tercantum dalam surat wasiat
langsung dapat diberikan kepada yang ditunjuk dan sisanya dibagikan kepada ahli
waris yang ada (ahli waris menurut undang-undang).93
Titel ke 11 dari Buku Kedua yang mengatur pewarisan menurut undang-
undang, juga memuat ketentuan yang berlaku untuk pewarisan menurut surat wasiat.
Misalnya Pasal 830 yang menyebutkan bahwa pewarisan hanya terjadi karena
kematian. Yang dimaksud disini adalah kematian alamiah (wajar).94 Dengan
demikian Pasal 830 KUH Perdata diatas merupakan syarat yang haris dipenuhi oleh
seorang pewaris. Sebab dengan meninggalnya pewaris berakibat harta warisan
terbuka atau tertuang.95
Selanjutnya menurut Pasal 171 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang
dimaksud pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragam Islam, meninggalkan ahli waris
dan harta peninggalan.
Kemudian dalam pewarisan juga dikenal ahli waris yang harus memenuhi
syarat sebagai berikut :
a. Orang yang menjadi ahli waris harus mempunyai hak atas warisan si pewaris.Hak ini dapat tmbul karena :1. Adanya hubungan darah baik sah maupun luar kawin (Pasal 832 KUH
Perdata);2. Pemberian melalui surat wasiat (Pasal 874 KUH Perdata).
93Ibid., hlm. 794J.G. Klassen dan JE Eggens, Hukum Waris Bagian I, (disadur oleh Kelompok Belajar Esa),
hlm. 495Mulyadi. Op. Cit. hlm. 7
Universitas Sumatera Utara
83
b. Orang yang menjadi ahli waris harus sudah ada pada saat pewaris meninggaldunia (Pasal 836 KUH Perdata). Dengan pengecualian apa yang tercantumdalam Pasal 2 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa (1) Anak yang adadalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan,bilamana kepentingan si anak menghendakinya dan (2) Apabila mati padawaktu dilahirkan, maka dianggap tidak pernah ada.
c. Orang yang menjadi ahli waris tidak masuk orang yang dinyatakan tidak patut(Pasal 838 KUH Perdata) dan tidak cakap (Pasal 912 KUH Perdata) sertamenolak warisan (Pasal 1058 KUH Perdata).
Selanjutnya ahli waris menurut Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam
(KHI) menyatakan bahwa “ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang oleh hukum untuk menjadi ahli waris. Pengertian beragama
Islam dalam hal ini adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 172 Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang menyatakan bahwa ahli waris dipandang beragama islam dilihat
dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi
yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya.
Hak waris yang dimiliki oleh seorang ahli waris dapat dilihat pada uraian
berikut.
a. Hak Saisine
Hak-hak yang dimiliki oleh ahli waris diatur dalam Pasal 833 ayat (1) KUH
Perdata yang menyatakan bahwa “selain ahli waris dengan sendirinya karena
hukum memperoleh hak atas segala barang, segala hak dan segala piutang yang
meninggal dunia. Kata saisine berasal dari bahasa Perancis “Le mort saisit le vit
“yang berati bahwa yang mati dianggap memberikan miliknya kepada yang
Universitas Sumatera Utara
84
masih hidup. Maksudnya adalah bahwa ahli waris segera pada saat meninggalnya
pewaris mengambil alih semua hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris tanpa
adanya suatu tindakan dari mereka, kendatipun mereka tidak mengetahuinya.96
b. Hak Hereditatis Petitio
Hak ini diberikan oleh undang-undang kepada para ahli waris terhadap mereka,
baik atas dasar suatu titel atau tidak menguasai seluruh atau sebagian dari harta
peninggalan, seperti juga terhadap mereka yang secar licik telah menghentikan
penguasaannya.97 Dalam KUH Perdata, hak ini diatur dalam Pasal 834 dan Pasal
835.
c. Hak untuk Menuntut Bagian Warisan
Hak ini diatur dalam Pasal 1066 KUH Perdata. Hak ini merupakan hak yang
terpenting dan merupakan ciri khas dari Hukum Waris. Pasal 1066 menyatakan
bahwa :
Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalm harta peninggalandiwajibkan menerima berlangsungya harta peninggalan itu dalam keadaantidak terbagi. Pemisahan ini setiap waktu dapat dituntut, biarpun adalarangan untuk melakukannya. Namun dapatlah diadakan persetujuan untukselama suatu waktu tertentu tidak melakukan pemisahan.98
d. Hak untuk Menolak Warisan
Hak menolak warisan ini merupakan hak yang dimiliki ahli waris guna
memberikan kesempatan bagia piha k lain untuk memperoleh bagian yang lebih
96J.G. Klassen dan JE Eggens, Op. Cit. hlm. 897Ibid., hlm 1298Mulyadi. Op. Cit. hlm. 11
Universitas Sumatera Utara
85
besar. Hak untuk menolak warisan diatur dalam Pasal 1045 jo. Pasal 1051 KUH
Perdata.
Mengenai pewarisan ini juga diatur dalam hukum adat atau hukum waris adat.
Adanya ketentuan hukum waris adat ini karena Hukum Waris yang berlaku
di Indonesia ini masih tergantung sistem warisan yang dipakai oleh masyarakat adat
atau yang berlaku bagi yang meninggal dunia. Apabila meninggal dunia termasuk :
1. Golongan penduduk Indonesi berlaku Hukum Waris Adat Waris;
2. Golongan eropa dan Timur Asing Cina berlaku Hukum Waris Barat;
3. Golongan penduduk Indonesia yang beragama Islam berlaku Hukum Waris
Islam;
4. Golongan Timur Asing bukan Cina seperti Arab, India berlaku Hukum Adat
mereka.
Berdasarkan uraian di atas , jelaslah bahwa adanya hubungan perkawinan
dalam masyarakat membawa pengaruh terhadap pewarisan dari harta peningggalan
maupun harta bawaan dari suami isteri kepada keturunanya. Dengan kata lain, adanya
pewarisan dari orang tua kepada anaknya di dahului oleh adanya hubungan hukum
dalam bentuk perkawinan antara kedua orang tuanya.
Universitas Sumatera Utara
86
BAB III
PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM
PERKAWINAN ANTARA MASYARAKAT DENGAN SISTEM
KEKERABATAN PATRILINIAL DAN MASYARAKAT
DENGAN SISTEM KEKERABATAN MATRILINIAL
A. Sistem Pewarisan dalam Hukum Waris Adat
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris
sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia
pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum
yang dilanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang
diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak dan kewajiban
seseorang yang meninggal dunia tersebut.
Penyelesaian hak dan kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang,
diatur oleh hukum waris. Pengertian hukum “waris” sampai saat ini baik para ahli
hukum Indonesia maupun di dalam kepustakaan ilmu hukum Indonesia,
belum terdapat keseragaman pengertian, ada yang menggunakan istilah hukum
warisan, hukum kewarisan dan hukum waris. Dalam memahami masalah waris
ditemukan beberapa istilah yang menjadi dasar pokok pembahasannya. Istilah
dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian hukum waris itu
sendiri.
86
Universitas Sumatera Utara
87
Beberapa istilah tersebut beserta pengertiannya, antara lain :99
1. Waris, Istilah ini berarti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan)orang yang telah meninggal.
2. Warisan, Berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat.3. Pewaris, Adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal
dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun suratwasiat.
4. Ahli waris, yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yangberhak menerima harta peninggalan pewaris.
5. Mewarisi, yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalahmewarisi harta peninggalan pewarisnya.
6. Proses pewarisan:Istilah proses pewarisan mempunyai dua pengertian atau dua makna, yaitu:1) berarti penerusan atau penunjukan para waris ketika pewaris masih hidup;
dan2) berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.
Walaupun pengertian hukum waris masih terdapat berbagai
pendapat yang beragam namun Eman Suparman, menyimpulkan bahwa
"Hukum waris itu merupakan perangkat kaidah yang mengatur tentang cara
atau proses peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris atau
para ahli warisnya". Hukum waris yang ada dan berlaku di Indonesia sampai
saat ini masih belum merupakan unifikasi hukum. Atas dasar peta hukum
waris yang masih demikian plurailistiknya, akibatnya sampai sekarang ini pengaturan
masalah warisan di Indonesia masih belum terdapat adanya keseragaman.
Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk
masyarakat dan sifat kekeluargaan. Sedangkan sistem kekeluargaan pada masyarakat
Indonesia, berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan. Berkaitan dengan
99Eman Suparman, Op.Cit., hlm 4 - 5
Universitas Sumatera Utara
88
sistem penarikan garis keturunan, seperti telah diketahui di Indonesia secara umum
setidak-tidaknya dikenal tiga macam sistem keturunan.100
Ketiga sistem garis keturunan dalam hukum waris di Indonesia, merupakan
bentuk masyarakat serta sifat-sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut
sistem keturunan. Ketiga sistem keturunan dengan sifat-sifat kekeluargaannya yang
unik serta sudah sedemikian populer disebabkan segi-segi perbedaannya amat
mencolok, selanjutnya dapat disimak dalam paparan singkat berikut ini sekaligus pula
dengan contoh lokasi geografis lingkungan adatnya:
1. Sistem patrilineal / sifat kebapaanSistem ini pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis keturunan ayahatau garis keturunan nenek moyangnya yang laki-laki. Sistem ini di Indonesiaantara lain terdapat pada masyarakatmasyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak,Ambon, Irian Jaya, Timor, dan Bali.
2. Sistem matrilineal/ sifat keibuanPada dasarnya sistem ini adalah sistem yang menarik garis keturunan ibu danseterusnya ke atas mengambil garis keturunan dari nenek moyang perempuan.Kekeluargaan yang bersifat keibuan ini di Indonesia hanya terdapat di satudaerah, yaitu Minangkabau.
3. Sistem bilateral atau parental / sifat kebapak-ibuan.Sistem ini, yaitu sistem yang menarik garis keturunan baik melalui garisbapak maupun garis ibu, sehingga dalam kekeluargaan semacam ini padahakikatnya tidak ada perbedaan antara pihak ibu dan pihak ayah. Sistem ini diIndonesia terdapat di berbagai daerah, antara lain: di Jawa, Madura, SumateraTimur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi,Ternate, dan Lombok. 101
Berbagai perbedaan-perbedaan dari ketiga macam sistem keturunan dengan
sifat-sifat kekeluargaan masyarakatnya tersebut, sehingga semakin jelas jelas
100M. Idris Ramulyo, “Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafi’i dan Wasiat Wajibdi Mesir tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu menurut Islam”. Majalah Hukumdan Pembangunan No. 2 Thn. XII Maret 1982, Jakarta, FHUI, 1982, hlm 155.
101Eman Suparman, Op.Cit, hlm.6.
Universitas Sumatera Utara
89
menunjukkan bahwa sistem hukum warisnya pun sangat pluralistik. Namun
demikian pluralistiknya sistem hukum waris di Indonesia tidak hanya karena sistem
kekeluargaan masyarakat yang beragam, melainkan juga disebabkan adat-istiadat
masyarakat Indonesia yang juga dikenal sangat bervariasi. Oleh sebab itu, tidak heran
kalau sistem hukum waris adat yang ada juga beraneka ragam serta memiliki corak
dan sifat-sifat tersendiri sesuai dengan sistem kekeluargaan dari masyarakat adat
tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, jelaslah bahwa hukum waris merupakan
salah satu bagian dari sistem kekeluargaan yang terdapat di Indonesia. Oleh
karena itu, pokok pangkal uraian tentang hukum waris adat bertitik tolak dari
bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut
sistem keturunan. Setiap sistem keturunan yang terdapat dalam masyarakat
Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang satu sama lain
berbeda-beda, yaitu:102
Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis
keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Di dalam sistem ini kedudukan dan
pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol, contohnya
pada masyarakat Batak. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab
anak perempuam yang telah kawin dengan cara "kawin jujur" yang kemudian
masuk menjadi anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak merupakan
ahli waris orang tuanya yang meninggal dunia.
102Ibid, Hal 43-44
Universitas Sumatera Utara
90
Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis
keturunan pihak nenek moyang perempuan. Di dalam sistem kekeluargaan ini
pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya. Anak-anak
menjadi ahli waris dari garis perempuan/garis ibu karena anak-anak mereka
merupakan bagian dari keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih
merupakan anggota keluarganya sendiri, contoh sistem ini terdapat pada
masyarakat Minangkabau. Namun demikian, bagi masyarakat Minangkabau
yang sudah merantau ke luar tanah aslinya, kondisi tersebut sudah banyak
berubah.
Sistem Parental atau bilateral, yaitu sistem yang menarik garis
keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Di dalam
sistem ini kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris sama
dan sejajar. Artinya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan
ahli waris dari harta peninggalan orang tua mereka.
Di samping ketiga sistem keturunan juga memungkinkan adanya
variasi lain yang merupakan perpaduan dari ketiga sistem tersebut, misalnya,
"sistem patrilineal beralih-alih (alternerend) dan sistem unilateral berganda
(doubbel unilateral)".103 Namun tentu saja masing-masing sistem memiliki
ciri khas tersendiri yang berbeda dengan sistem yang lainnya.
Berdasarkan pada bentuk masyarakat dari sistem keturunan di atas,
jelas bagi bahwa hukum adat waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
103Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1981, hlm. 284.
Universitas Sumatera Utara
91
prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.
Berkaitan dengan hal tersebut. Tjokorda Raka Dherana, dalam tulisannya
"Beberapa Segi Hukum Adat Waris Bali" yang dimuat dalam Majalah Hukum
Nomor 2 mengemukakan, antara lain:
"...masalah hukum adat waris tidak dapat dipisahkan denganpembicaraan tentang hukum adat kekeluargaan, karena sistemkekeluargaan yang dipergunakan membawa akibat kepada penentuanaturan-aturan tentang warisan. Di samping itu, peranan agama yangdianut tidak kalah pentingnya pula dalam penentuan aturan-aturantentang warisan karena unsur agama adalah salah satu unsur hukumadat. Hal ini mengakibatkan pula bahwa meskipun hukum adatkekeluargaan di Bali menganut sistem patrilineal, tetapi dalampelaksanaannya berbeda dengan daerah-daerah lain yang jugamemakai sistem patrilineal, seperti halnya di Batak". 104
Di samping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap
pengaturan hukum adat waris terutama terhadap penetapan ahli waris dan bagian
harta peninggalan yang diwariskan, hukum adat waris mengenal tiga sistem
kewarisan, yaitu :105
1. Sistem Kewarisan Individual
Sistem kewarisan individual atau perseorangan adalah sistem pewarisan
dimana setiap ahli waris dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut
bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu dibagikan, maka masing-masing
ahli waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan,
104Tjokorda Raka Dherana, Beberapa Segi Hukum Adat Waris Bali; Majalah Hukum
No. 2 Tahun Kedua, Jakarta: Yayasan Penelitian dan Pengembangan Hukum (Law Center),1975, hlm. 101.
105Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2003. hlm 24-30
Universitas Sumatera Utara
92
dan dinikmati, ataupun dialihkan (dijual) kepada sesama ahli waris, anggota kerabat,
tetangga ataupun orang lain.
Kebaikan dari sistem kewarisan individual antara lain adalah bahwa dengan
kepemilikan secara pribadi, maka ahli waris dapat bebas menguasai dan memiliki
harta warisan bagiannya untuk dipergunakan sebagai modal kehidupannya lebih
lanjut tanpa dipengaruhi anggota-anggota keluarga yang lainnya. Para ahli waris
dapat mentransaksikan bagian warisannya itu kepada orang lain untuk
dipergunakannya menurut kebutuhannya sendiri atau menurut kebutuhan keluarga
tanggungannya.
Bagi keluarga-keluarga yang telah maju, dimana rasa kekerabatan sudah
mengecil, dimana tempat kediaman anggota kerabat sudah terpencar-pencar jauh, dan
tidak begitu terikat lagi untuk bertempat kediaman di daerah asal, apalagi jika telah
melakukan perkawinan campuran, maka sistem kewarisan individual ini nampak
besar pengaruhnya. Kelemahan dari sistem kewarisan individual adalah pecahnya
harta warisan dan merenggangnya tali kekerabatan yang dapat berakibat timbulnya
hasrat ingin memiliki harta warisan secara pribadi dan lebih mementingkan diri
sendiri. Sistem pewarisan individual dapat menjurus kearah nafsu yang bersifat
individualisme dan materialisme. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya perselisihan-
perselisihan antara anggota keluarga pewaris.
2. Sistem Kewarisan Kolektif
Sistem kewarisan kolektif adalah dimana harta peninggalan diteruskan dan
dialihkan kepemilikannya dari pewaris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi
Universitas Sumatera Utara
93
penguasaan dan pemilikannya. Dan setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan,
menggunakan, dan mendapat hasil dari harta peninggalan tersebut. Pemakaian untuk
kepentingan dan kebutuhan masing-masing ahli waris diatur bersama-sama atas dasar
musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat yang berhak atas harta
peninggalan dibawah pimpinan kepala kerabat. Contohnya "harta pusaka” di
Minangkabau dan "tanah dati” di semenanjung Hitu Ambon. Kebaikan dari sistem
kewarisan kolektif ini akan nampak apabila fungsi harta peninggalan itu diperuntukan
untuk kelangsungan hidup keluarga besar. Tolong menolong antara satu dan yang
lainnya di bawah pimpinan kepala kerabat masih tetap dapat terpelihara, dibina, dan
dikembangkan.
Kelemahan sistem kewarisan kolektif ialah menumbuhkan cara berpikir yang
terlalu sempit, dan kurang terbuka untuk orang luar. Disamping itu, oleh karena tidak
selamanya suatu kerabat mempunyai kepemimpinan yang dapat diandalkan, dan
aktivitas hidup yang kian meluas bagi para anggota kerabat, maka rasa setia kawan,
rasa setia kerabat bertambah luntur.
3. Sistem Kewarisan Mayorat
Sistem kewarisan mayorat sesungguhnya adalah juga merupakan system
kewarisan kolektif, tetapi penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang
tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai
pemimpin rumah tangga atau kepala rumah tangga menggantikan kedudukan ayah
atau ibu yang meninggal dunia sebagai kepala keluarga. Anak tertua dalam
kedudukannya sebagai penerus tanggung jawab orang tua yang meninggal dunia
Universitas Sumatera Utara
94
berkewajiban mengurus dan memelihara saudara-saudaranya yang lain terutama
bertanggung jawab atas harta warisan dan kehidupan adik-adiknya yang masih kecil
sampai mereka dapat berumah tangga dan dapat berdiri sendiri dalam suatu wadah
kekerabatan mereka yang turun temurun.
Seperti halnya dengan sistem kewarisan kolektif, dalam sistem kewarisan
mayorat setiap ahli waris dari harta bersama mempunyai hak memakai dan hak
menikmati harta bersama itu tanpa hak menguasai atau memilikinya secara
perseorangan. Kebaikan dan kelemahan sistem kewarisan mayorat ini terletak pada
kepemimpinan anak tertua dalam kedudukannya sebagai pengganti orang tua yang
telah meninggal dunia. Dalam mengurus harta kekayaan dan memanfaatkannya guna
kepentingan semua anggota keluarga yang ditinggalkan, anak tertua yang penuh
tanggung jawab akan dapat mempertahankan keutuhan dan kerukunan keluarga
sampai semua ahli waris menjadi dewasa dan dapat berdiri sendiri, serta dapat
mengatur rumah tangganya sendiri. Sebaliknya jika anak tertua tidak dapat
bertanggung jawab, dan yang tidak dapat mengendalikan diri terhadap kebendaan,
memiliki sifat boros dan lain sebagainya, jangankan dapat mengurus harta
peninggalan dan saudara-saudaranya, bahkan sebaliknya anak tertua yang diurus oleh
keluarga yang lain. Hal ini dapat menyebabkan terlantarnya kepentingan semua ahli
waris dari harta peninggalan tersebut, terutama adik-adiknya yang masih kecil.
Sistem kewarisan mayorat seringkali disalah artikan tidak saja oleh orang luar
yang tidak memahaminya, tetapi juga oleh pihak ahli waris itu sendiri. Anak tertua
sebagai pengganti orang tua yang telah meninggal dunia bukanlah pemilik harta
Universitas Sumatera Utara
95
peninggalan secara perseorangan. Anak tertua hanya berkedudukan sebagai penguasa,
sebagai pemegang mandat orang tua yang dibatasi oleh musyawarah keluarga, dan
dibatasi oleh kewajiban mengurus anggota keluarga lain yang ditinggalkan, serta
bertanggung jawab secara keseluruhan, tidak semata-mata berdasarkan harta
peninggalan tetapi juga berdasarkan asas kekeluargaan. Sistem Mayorat ini ada dua
macam, yaitu:
a. Mayorat Laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua/sulung atau keturunanlaki-laki merupakan ahli waris tunggal dari pewaris. Misalnya di Bali danBatak.
b. Mayorat Perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua merupakan ahliwaris tunggal dari pewaris. Misalnya pada masyarakat Tanah Semendo diSumatra Selatan. 106
Hazairin, di dalam bukunya sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto,
menerangkan tentang sistem kewarisan tersebut di atas bila dihubungkan dengan
prinsip garis keturunan, yaitu :
"Sifat individual ataupun kolektif maupun mayorat dalam hukum kewarisan
tidak perlu langsung menunjukan kepada bentuk masyarakat di mana hukum
kewarisan itu berlaku, sebab sistem kewarisan yang individual bukan saja
dapat ditemui dalam masyarakat yang bilateral, tetapi juga dapat dijumpai
dalam masyarakat patrilineal seperti di Tanah Batak. Malahan di Tanah Batak,
di sana sini mungkin pula dijumpai sistem mayorat dan sistemkolektif yang
terbatas. Demikian juga sistem mayorat itu, selain dalam masyarakat
patrilineal yang beralih-alih, di Tanah Semendo dijumpai pula pada
masyarakat bilateral orang Dayak di Kalimantan Barat. Sedangkan sistem
kolektif dalam batas-batas tertentu malahan dapat pula dijumpai dalam
masyarakat yang bilateral seperti di Minahasa Sulawesi Utara".107
106Eman Suparman, Op.Cit, hlm: 43.
107Soerjono Soekanto, Op.Cit. hlm. 286.
Universitas Sumatera Utara
96
Memperhatikan pendapat Hazairin di atas, ternyata tidak mudah untuk
menentukan dengan pasti dan tegas bahwa dalam suatu masyarakat tertentu dengan
sistem kekeluargaan yang berprinsip menarik garis keturunan, memiliki sistem
hukum adat waris yang mandiri yang berbeda sama sekali dengan sistem hukum adat
waris pada masyarakat lainnya. Namun tidak demikian halnya sebab mungkin saja
sistem kekeluargaannya berbeda, sedangkan sistem hukum adat warisnya memiliki
unsur-unsur kesamaan. Oleh karena itu, sebagai pedoman di bawah ini akan
dipaparkan tiga besar sistem hukum adat waris yang sangat menonjol yang erat
kaitannya dengan sistem kekeluargaan, sehingga akan dapat diketahui mengenai
sistem hukum adat warisnya yang ada pada sistem kekeluargaan tersebut.
Secara teoritis di Indonesia sesungguhnya dikenal banyak ragam sistem
kekeluargaan di dalam masyarakat. Akan tetapi, secara umum yang dikenal sangat
menonjol dalam percaturan hukum adat ada tiga corak, yaitu:
(1) Sistem patrilineal, dengan contoh yang sangat umum yakni Tanah Batak;
(2) Sistem matrilineal, dengan contoh daerah Minangkabau, dan
(3) Sistem parental, yang dikenal luas yakni Jawa. Untuk itu, paparan di
bawah ini pun akan dibatasi hanya mengenai hukum adat waris yang
dikenal di dalam ketiga sistem kekeluargaan tersebut di atas.
Dalam sistem hukum adat waris masyarakat dengan sistem pewarisan
patrilineal seperti halnya di tanah Karo, pewaris adalah seorang yang meninggal
dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama
dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan
Universitas Sumatera Utara
97
suku Karo yang memakai marga itu berlaku keturunan patrilineal maka orang tua
merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak laki-laki yang
merupakan ahli waris dari orang tuanya. Akan tetapi, anak laki-laki tidak dapat
membantah pemberian kepada anak perempuan, demikian juga sebaliknya. Hal
tersebut didasarkan pada prinsip bahwa orang tua (pewaris) bebas menentukan untuk
membagi-bagi harta benda kepada anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaan orang
tua yang tidak membedakan kasih sayangnya kepada anak-anaknya.
Ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum adat waris di Tanah
Patrilineal, terdiri atas:
a) Anak laki-laki
Anak laki-laki, yaitu semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi
seluruh harta kekayaan. baik harta pencaharian maupun harta pusaka. Jumlah
harta kekayaan pewaris dibagi sama di antara para ahli waris. Misalnya
pewaris mempunyai tiga orang anak laki-laki, maka masing-masing anak laki-
laki akan mendapat bagian dari seluruh harta kekayaan termasuk harta pusaka.
Apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, yang ada hanya anak
perempuan dan isteri, maka harta pusaka tetap dapat dipakai, baik oleh anak-
anak perempuan maupun oleh isteri seumur hidupnya, setelah itu harta pusaka
kembali kepada asalnya atau kembali kepada "pengulihen".
b) Anak angkat
Dalam masyarakat Karo, anak angkat merupakan ahli waris yang
kedudukannya sama seperti halnya anak sah, namun anak angkat ini hanya
Universitas Sumatera Utara
98
menjadi ahli waris terhadap harta pencaharian/ harta bersama orang tua
angkatnya. Sedangkan untuk harta pusaka, anak angkat tidak berhak.
c) Ayah dan Ibu serta saudara-saudara sekandung si pewaris.
Apabila anak laki-laki yang sah maupun anak angkat tidak ada, maka yang
menjadi ahli waris adalah ayah dan ibu serta saudara-saudara kandung si
pewaris yang mewaris bersama-sama.
d) Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.
Apabila anak laki-laki yang sah, anak angkat, maupun saudara sekandung
pewaris dan ayah-ibu pewaris tidak ada, maka yang tampil sebagai ahli waris
adalah keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.
e) Persekutuan adat
Apabila para ahli waris yang disebutkan di atas sama sekali tidak ada, maka
harta warisan jatuh kepada persekutuan adat. Ketentuan hukum adat waris di
Tanah Karo menentukan, bahwa hanya keturunan laki-laki yang berhak untuk
mewarisi harta pusaka. Yang dimaksud dengan harta pusaka atau barang adat,
yaitu barang-barang adat yang tidak bergerak dan juga hewan atau pakaian-
pakaian yang harganya mahal. Barang adat atau harta pusaka ini adalah
barang kepunyaan marga atau berhubungan dengan kuasa kesain, yaitu
"bagian dari kampung secara fisik".108 Barang-barang adat meliputi: tanah
kering (ladang), hutan, dan kebun milik kesain.
108Soerjono Soekanto, Kamus Hukum Adat. Alumni, Bandung, 1978, hlm. 121.
Universitas Sumatera Utara
99
Rumah atau jabu mempunyai potongan rumah adat, jambur atau sapo tempat
menyimpan padi dari beberapa keluarga dan juga bahan-bahan untuk pembangunan,
seperti ijuk, bambu, kayu, dan sebagainya yang dihasilkan hutan marga atau kesain.
Proses penyerahan barang-barang harta benda kekayaan seseorang kepada
turunannya, seringkali sudah dilakukan ketika orang tua (pewaris) masih hidup.
Pembagian yang dilakukan secara kerukunan itu terjadi di depan anak beru, senina,
dan kalimbubu. Kadang-kadang pembagian itu juga dihadiri oleh penghulu (Kepala
Desa) untuk menambah terangnya pembagian tersebut. Apabila pembagian dilakukan
setelah pewaris meninggal dunia, maka perlu diperhatikan, bahwa walaupun pada
dasarnya semua anak laki-laki mempunyai hak yang sama terhadap harta peninggalan
orang tuanya, namun pembagian itu harus dilakukan dengan sangat bijaksana sesuai
dengan kehendak/pesan pewaris sebelum meninggal dunia. Apabila dalam pembagian
itu terjadi sengketa, maka anak beru (boru) dan senina mencoba menyelesaikannya
melalui musyawarah.
Apabila seorang ayah sebagai pewaris meninggal dunia dengan meninggalkan
isteri lebih dari satu, misalnya mempunyai dua orang anak dari isteri pertama dan tiga
orang anak dari isteri kedua, maka pembagiannya ada dua cara, yaitu:
(1) Dahulu cara pembagian harta peninggalan dalam keadaan semacam inididasarkan pada banyaknya isteri, sehingga dalam contoh di atas carapembagiannya adalah menjadi ½ bagian untuk dua orang anak dari isteripertama dan ½ bagian lagi untuk tiga orang anak dari isteri kedua;
(2) Setelah adanya musyawarah kepala-kepala adat Tanah Karo, carapembagian semacam di atas berubah menjadi atas dasar jumlah anak laki-laki yang masing-masing akan memperoleh bagian yang sama besar,
Universitas Sumatera Utara
100
sehingga dalam contoh di atas masing-masing akan memperoleh 1/5bagian.109
Berkaitan dengan hukum adat waris Tanah Karo yang hanya mengakui anak
laki-laki sebagai ahli waris, maka melalui putusan Mahkamah Agung tanggal 1
November 1961 No.179 K/Sip/l961 telah terjadi upaya ke arah proses persamaan hak
antara kaum wanita dan kaum pria di Tanah Karo, meskipun di sana-sini putusan
Mahkamah Agung ini banyak mendapat tantangan, namun tidak sedikit pula pihak-
pihak yang justeru menyetujui hal tersebut.
Adapun yang menjadi pertimbangan dari putusan Mahkamah Agung dalam
putusan tersebut di atas, antara lain:
(1) Menimbang, bahwa keberatan-keberatan tersebut berdasarkan atasanggapan, bahwa di Tanah Karo tetap ber1aku selaku hukum yang hidup,bahwa seorang anak perempuan tidak berhak sama sekali atas barangwarisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya";
(2) Menimbang, bahwa Mahkamah Agung berdasar selain atas rasaperikemanusiaan dan keadilan umum juga atas hakikat persamaan hakantara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap danmenganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anakperempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan, bersama-sama berhak atas warisan, dalam arti, bahwa anak laki-laki sama dengananak perempuan";
(3) Menimbang, bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari MahkamahAgung ini, maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan harusdianggap ahli waris yang berhak menerima bagian warisan dari orangtuanya".110
Terhadap pertimbangan putusan Mahkamah Agung di atas, terdapat berbagai
tanggapan, sebagai berikut:
109Eman Suparman, Op.Cit., hlm. 52.
110Ibid. hlm 52.
Universitas Sumatera Utara
101
(a) Lazimnya suatu perubahan hukum dilaksanakan atas pertimbangan,bahwa hukum yang lama tidak sesuai lagi dengan perasaan keadilanmasyarakat tempat hukum itu berlaku. Sebagai contoh hukum wariskolonial dirombak dan disesuaikan dengan kondisi nasional. Tetapi kaliini kita berhadapan dengan suatu perubahan hukum di dalam hukumyang masih tetap hidup dan sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat(masyarakat Karo), dirombak dan digantikan dengan suatu hukum baruyang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat”;
(b) Anggapan Mahkamah Agung, bahwa anak perempuan dan anak laki-lakidari si pewaris bersama-sama berhak atas warisan sebagai hukum yanghidup di seluruh Indonesia, dipandang sebagai keliru sebab terdapatbeberapa masyarakat di Indonesia ini dengan sistem unilineal yang kuatseperti Minangkabau, Batak, dan lain-lain yang memiliki sistem warisanberbeda dengan anggapan Mahkamah Agung”.111
Di bawah ini berturut-turut akan dipaparkan tentang beberapa pendapat dan
kesimpulan yang dikemukakan oleh penulis buku “Hukum Perdata Adat Karo dalam
rangka Pembentukan Hukum Nasional”, yaitu:
a) Hukum waris adalah sebagian dari adat, karena itu tidak dapat dipisahkanatau dinilai tersendiri dengan tidak memperhatikan faktor-faktor lain;
b) Selama kita masih menghormati keragaman adat-istiadat yang hidupdalam masyarakat, tidaklah tepat diadakan penilaian yang sama tentanghukum waris di seluruh Indonesia sebab kenyataan adat Batak,Minangkabau, Jawa, Bali, dan lain-lain itu berbeda-beda;
c) Adat istiadat yang masih dipegang teguh sebagai jiwa sesuatu masyarakatdan mampu menciptakan kesejahteraan dalam masyarakat tersebut, tidakperlu diubah secara radikal sebab sesuatu yang tidak sesuai akan berubahsendiri karena pengaruh lingkungan atau zaman;
d) Dalam adat di Tanah Karo, hak dan kewajiban, tugas dan kedudukan priaberbeda dengan wanita, bukan berarti kaum wanita lebih rendah darikaum pria sebab pada dasarnya jiwa dan tujuan perlakuan orang tua bagianak laki-laki dan perempuan dalam masalah waris, yaitu:1) anak laki-laki sebagai ahli waris keluarga (marga) mewarisi harta
benda yang menjadi tanda/lambing keluarga, terutama tanah danbenda-benda tidak bergerak lainnya;
2) anak perempuan mendapat pembagian yang adil untuk kepentingansediri dan rumah tangganya kemudian;
111Ibid, hlm 52-53
Universitas Sumatera Utara
102
3) Kemajuan zaman, kebutuhan hidup, dan sifat-sifat benda serta hartapusaka sekarang, pada waktu yang akan datang, dan pada masa yanglampau sangat jauh berbeda sehingga harus ada penyesuaianpengertian tentang hal tersebut;
4) Anggapan, bahwa anak perempuan secara mutlak tidak berhak ataswarisan orang tuanya, dewasa ini tidak sesuai lagi sehingga dianggapperlu penyesuaian;
5) Anggapan, bahwa hak waris anak laki-laki sama dengan hak warisanak perempuan juga tidak sesuai dengan jiwa dan tujuan adat diTanah Karo, sehingga tidak baik untuk dipaksakan karena dapatmerusak adat dan kebudayaan daerah tersebut.112
Mengenai Sistem Pewarisan Pembagian Warisan pada masyarakat dengan
Sistem Kekerabatan Patrilineal ini Runtung Sitepu juga memberikan pendapatnya
bahwa:
Sistem pewarisan pada masyarakat adat yang menganut sistem kekerabatanpatrilineal sangat dipengaruhi oleh sistem perkawinannya. Dimana dalamsistem kekerabatan ini dikenal dengan sistem pembayaran üang jujur, yangberakibat pada dua hal yaitu : beralihnya si istri dari klan orang tuanyakepada klan suaminya, dan penarikan garis keturunan yang didasarkan padagaris ayah (kebapaan) konsekuensi yuridis dari sistem perkawinan initerhadap hukum waris adalah bahwa tidak dikenal adanya harta bersamadalam perkawinan, dan apabila suami meninggal dunia janda dan anakperempuan tidak termasuk kepada ahli waris.113
Dalam masyarakat yang mengenai sistem hukum tidak tertulis serta berada
dalam masa pergolakan dan peralihan, kondisi tersebut diatas mengalami pergeseran
mengikuti perkembangan masyarakatnya. Pergeseran tersebut antara lain disebabkan
karena faktor-faktor kemajuan tingkat pendidikan, kemajuan teknologi informasi, dan
kemajuan teknologi transportasi yang mendorong tingkat mobilitas penduduk yang
cukup tinggi.
112Ibid, Hal 54-55113Runtung Sitepu, Hukum Waris dan Pembagian Warisan pada Masyarakat yang Menganut
Sistem Kekerabatan Patrilineal, Bahan Kuliah, Magister Kenotariatan, USU, Medan 2009.
Universitas Sumatera Utara
103
Selanjutnya untuk menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat
selain dilakukan penelitian ilmiah dengan pendekatan yuridis empiris, hakim juga
berperan sebagai tokoh yang menonjol sebagai penggali dan perumus nilai-nilai
hukum yang hidup dinamis dalam masyarakat tersebut. Hakim melakukan penemuan
hukum baru melalui putusannya dalam setiap sengketa yang ditanganinya.
Pasal 28 UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan kehakiman
menegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali dan
mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengikuti arah perkembangan kesadaran hukum
masyarakat, khususnya dalam bidang hukum waris adat, dapat kita perhatian dalam
putusan hakim atau Yurisprudensi Mahkamah Agung RI (MARI).
Jika diperhatikan dalam perkembangan hukum waris adat pada masyarakat
patrilineal yang terefleksikan melalui Yurisprudensi MARI, arah perkebangannya
adalah :
1. Pengakuan harta bersama dalam perkawinan;2. Pengakuan janda sebagai ahli waris dari mendiang suaminya;3. Pengekuan atas persamaan hak ewaris dari anak laki-laki dan perempuan;4. Pengakuan anak angkat sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya.114
Pengakuan harta bersama dalam perkawinan dan Pengakuan janda sebagai
ahli waris, dapat dilihat pada Yurisprudensi MARI, yaitu :
1. Putusan MARI No. 54 K/Sip/1958 tgl. 25 Oktober 1958 “menurut hukumadat Batak yang bersifat patriarchaat segala harta yang timbul dalamperkawinan adalah milik suami, tetapi istri mempunyai hak memakai
114 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
104
seumur hidup dari harta suaminya selama harta diperlukan untukpenghidupannya”.
2. Putusan MARI No. 320 K/Sip/1958 tgl. 17 Januari 1958 “menurut hukumadat di Tapanuli pada perjalanan zaman pada waktu sekarang, si istri dapatmewarisi harta pencarian dari sang suami yang meninggal dunia”
3. Putusan MARI No.120 K/Sip/1960 tgl. 9 April 1960 “harta pencaharianharus dibagi sama rata antar suami-istri”
4. Putusan MARI No. 100 K/Sip/1967 tgl. 14 Juni 1968 “mengingatpertumbuhan masyarakat dewasa ini menuju kearah persamaan kedudukannatar pria dan wanita dan pengkuan janda sebagai ahli waris, MAmembenakan pertimbangan dan putusan pPengadilan Tinggi yangmentapkan bahwa dalam hal meninggalnya seorang suami denganmeninggalkan seorang janda, seorang anak laki-laki dan seorang anakperempuan, janda berhak atas separuh dari harta bersama, sedang sisanyadibagi antara janda dan kedua anaknya masing-masing mendapat sepertigabagian (di daerah Kabanjahe)”.115
Berdasarkan putusan yang dijadikan yurisprudensi MARI diketahui terdapat
4 ini menegaskan sekurang-kurangnya 4 hal yaitu :
a. Mempertegas adanya harta bersama suami-istri dalam perkawinan;b. Mempertegas bahwa janda sebagai ahli waris;c. Mempertegas bahwa adanya persamaan hak mewaris anak laki-laki dan
perempuan;d. Menyatakan bahwa janda hanya berhak mewarisi harta warisan mendiang
suaminya yang berasal dari harta berasama;
Demikian pula halnya dengan perasamaan hak mewaris anak laki-laki dan
perempuan juga dapat dilihat pada beberapa yurisprudensi MARI, yaitu
1. Putusan MARi No. 179 K/Sip/1961 tgl. 23 Oktober 1961 “Mahkamah Agungmenganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, juga di TanahKaro, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggalwarisan bersama-sama berhak atas harta warisan da;am arti bahwa bagiananak laki-laki adalah sama denagn bagian anak perempuan”.
2. Putusan MARI No. 415 K/Sip/1970 tgl 30 Juni 1970 “Pambeanan(penyerahan tanpa melepaskan hak milik) harus dianggap sebagai usaha untukmemperlunakkan hukum adat dimasa sebelum Perang Dunia II, dimanaseorang anak perempuan tiada mempunyai hak waris.
115 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
105
Hukum adat didaerah Tapanuli juga telah berkembang kearah pemberian hakyang sama kepada anak perempuan seperti anak laki-laki, perkembanganmana sudahdiperkuat pula dengan suatu yurisprudensi tetap mengenai hukumwaris didaerah tersebut”
3. Putusan MARI No. 1589 K/Sip/1974 tgl. 9 Februari 1978 “sesuai denganyurisprudensi terhadap anak di Tapanuli juga di Lombok adilnya anakperempuan dijadikan ahli waris, sehingga dalam perkara ini penggugat untukkasasi sebagai satu-satunya anak mewarisi seluruh peninggalan daribapaknya”.116
Selanjutnya, apabila ditelaah mengenai pewarisan harta pewarisan
dalam hukum adat waris minangkabau diketahui bahwa, harta kaum dalam
masyarakat Minangkabau yang akan diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak
terdiri atas:
1) Harta pusaka tinggiHarta pusaka tinggi harta yang turun-temurun dari beberapa generasi, baikyang berupa tembilang basi yakni harta tua yang diwarisi turun temurun darimamak kepada kemenakan, maupun tembilang perak, yakni harta yangdiperoleh dari hasil harta tua, kedua jenis harta pusaka tinggi ini menuruthukum adat akan jatuh kepada kemenakan dan tidak boleh diwariskan kepadaanak.
2) Harta pusaka rendahHarta pusaka rendah merupakan harta yang dikuasasi secara turun temurundari satu generasi.
3) Harta PencaharianHarta pencaharian merupakan harta yang diperoleh dengan melalui pembelianatau taruko. Harta pencaharian ini bila pemiliknya meninggal dunia akan jatuhkepada jurainya sebagai harta pusaka rendah. Untuk hartapencaharian inisejak tahun 1952 ninik-mamak dan alim ulama telah sepakat agar hartawarisan ini diwariskan kepada anaknya. Perihal ini masih ada pendapat lain,yaitu "bahwa harta pencaharian harus diwariskan paling banyak 1/3(sepertiga) dari harta pencaharian untuk kemenakan".117
4) Harta Suarang
116 Ibid.117H. Mansur Dt. Nagari Basa, Hukum Waris Tanah dan Peradilan Agama, Menggali Hukum
Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Padang: Sri Dharma,1968, hlm.137.
Universitas Sumatera Utara
106
Harta Suarang ini dalam pelaksanaannua terdapat beberapa penyebutan diantaranya, Harta Pasuarangan, Harta Basarikatan, Harta Kaduo-duo, atauHarta Salamo Baturutan, yaitu seluruh harta benda yang diperoleh secarabersama-sama oleh suami-isteri selama masa perkawinan.
Tidak termasuk ke dalam harta suarang ini, yakni harta bawaan suami atauharta tepatan isteri yang telah ada sebelum perkawinan berlangsung. Dengandemikian jelaslah bahwa harta pencaharian berbeda dengan harta suarang.
Seperti diketahui bahwa “kaum” dalam masyarakat Minangkabau merupakan
persekutuan hukum adat yang mempunyai daerah tertentu yang dinamakan “tanah
ulayat”. Kaum serta anggota kaum diwakili ke luar oleh seorang “mamak kepala
waris”. Anggota kaum yang menjadi mamak kepala waris lazimnya adalah saudara
laki-laki yang tertua dari ibu, mamak kepala waris harus yang cerdas dan pintar.
Akan tetapi kekuasaan tertinggi di dalam kaum terletak pada rapat kaum, bukan pada
mamak kepala waris. Anggota kaum terdiri atas kemenakan dan kemenakan ini
adalah ahli waris.
Menurut hukum adat Minangkabau ahli waris dapat dibedakan antara:
1) Waris bertali darah
Waris bertali darah merupakan ahli waris kandung atau ahli waris sedarah
yang terdiri atas waris satampok (waris setampuk), waris sejangka (waris
sejengkal), dan waris saheto (waris sehasta). Masing-masing ahli waris yang
termasuk waris bertali darah ini mewaris secara bergiliran. Artinya, selama
waris bertali darah setampuk masih ada, maka waris bertali darah sejengkal
Universitas Sumatera Utara
107
belum berhak mewaris. Demikian pula ahli waris seterusnya selama waris
sejengkal masih ada, maka waris sehasta belum berhak mewaris.
2) Waris bertali adat
Waris bertali adat yaitu waris yang sesama ibu asalnya yang berhak
memperoleh hak warisnya bila tidak ada sama sekali waris bertali darah. Setiap
nagari di Minangkabau mempunyai nama dan pengertian tersendiri untuk waris
bertali adat, sehingga waris bertali adat ini dibedakan sebagai berikut :
- menurut caranya menjadi waris: waris batali ameh, waris batali suto, waris
batali budi, waris tambilang basi, waris tembilang perak.
- menurut jauh dekatnya terdiri atas: waris di bawah daguek, waris didado,
waris di bawah pusat, waris di bawah lutut.
- menurut datangnya, yaitu : waris orang datang, waris air tawar, waris
mahindu.
Sedangkan hak mewaris dari masing-masing ahli waris yang disebutkan di
atas satu sama lain berbeda-beda tergantung pada jenis harta peninggalan yang
akan ia warisi dan hak mewarisinya diatur menurut urutan prioritasnya. Hal
tersebut akan dapat terlihat dalam paparan di bawah ini.
(1) Mengenai harta pusaka tinggi
Apabila harta peninggalan itu menyangkut harta pusaka tinggi, cara
pembagiannya berlaku sistem kewarisan kolektif, yaitu seluruh harta pusaka
Universitas Sumatera Utara
108
tinggi diwarisi oleh sekumpulan ahli waris dan tidak diperkenankan dibagi-bagi
pemilikannya dan dimungkinkan dilakukan “ganggam bauntuek". Walaupun
tidak boleh dibagi-bagi, pemilikannya di antara para ahli waris, harta pusaka
tinggi dapat diberikan sebagian kepada seorang anggota kaum oleh mamak
kepala waris untuk selanjutnya dijual atau digadaikan guna keperluan modal
berdagang atau merantau, asal saja dengan sepengetahuan dan seizin seluruh
ahli waris.
Di samping itu harta pusaka tinggi dapat dijual atau digadaikan, guna
keperluan:
- untuk membayar hutang kehormatan;
- untuk membayar ongkos memperbaiki bandar sawah kepunyaan kaum;
- untuk membayar hutang darah;
- untuk menutupi kerugian bila ada kecelakaan kapal di pantai;
- untuk ongkos naik haji ke Mekkah;
- untuk membayar hutang yang dibuat oleh kaum secara bersama-sama.
(2) Mengenai harta pusaka rendah
Semula harta pusaka rendah adalah harta pencaharian. Harta pencaharian
mungkin milik seorang laki-laki atau mungkin juga milik seorang perempuan.
Pada mulanya harta pencaharian seseorang diwarisi oleh jurai atau setidak-
tidaknya kaum masing-masing. Akan tetapi dalam perkembangan berikutnya
Universitas Sumatera Utara
109
karena hubungan seorang ayah dengan anaknya bertambah erat dan juga
sebagai pengaruh agama Islam, maka seorang ayah dengan harta
pencahariannya dapat membuatkan sebuah rumah untuk anak-anaknya atau
menanami tanah pusaka isterinya dengan tanaman keras, misalnya pohon
kelapa, pohon durian, pohon cengkeh, dan lain-lain. Hal ini dimaksudkan untuk
membekali isteri dan anak-anak manakala ayah telah meninggal dunia.
(3) Mengenai harta suarang
Harta suarang berbeda sama sekali dengan harta pencaharian sebab harta
suarang adalah seluruh harta yang diperoleh suami-isteri secara bersama-sama
selama dalam perkawinan. Kriteria untuk menentukan adanya kerja sama dalam
memperoleh harta suarang, dibedakan dalam dua periode, yaitu dahulu ketika
suami masih merupakan anggota keluarganya, ia berusaha bukan untuk anak-
isterinya melainkan untuk orang tua dan para kemenakannya, sehingga ketika
itu sedikit sekali kemungkinannya terbentuk harta suarang sebab yang
mengurus dan membiayai anak-anak dan isterinya adalah saudara atau mamak
isterinya.
Sedangkan pada dewasa ini adanya kerja sama yang nyata antara suami-
isteri untuk memperoleh harta suarang sudah jelas nampak, terutama
masyarakat Minangkabau yang telah merantau jauh ke luar tanah asalnya, telah
menunjukkan perkembangan ke arah pembentukan hidup keluarga (somah),
Universitas Sumatera Utara
110
yaitu antara suami, isteri dan anak-anak merupakan satu kesatuan dalam ikatan
yang kompak. Dalam hal demikian suami telah bekerja dan berusaha untuk
kepentingan isteri dan anak-anaknya, sehingga dalam kondisi yang demikian
keluarga tadi akan mengumpulkan harta sendiri yang merupakan harta keluarga
yang disebut harta suarang. Harta suarang dapat dibagi-bagi apabila
perkawinan bubar, baik bercerai hidup atau salah seorang meninggal dunia.
Harta suarang dibagi-bagi setelah hutang suami-isteri dilunasi terlebih dahulu.
Ketentuan pembagiannya sebagai berikut:
(a) bila suami-isteri bercerai dan tidak mempunyai anak, harta suarang dibagi
dua antara bekas suami dan bekas isteri;
(b) bila salah seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak, maka
sebagai berikut:
- jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi dua, separoh
merupakan bagian jurai si suami dan separoh lagi merupakan bagian
janda;
- Jika yang meninggal isteri, harta suarang dibagi dua, sebagian untuk
jurai suami dan sebagian lagi untuk duda.
(c) Apabila suami-isteri bercerai hidup dan mempunyai anak, harta suarang
dibagi dua antara bekas suami dan bekas isteri, anak-anak akan menikmati
bagian ibunya;
Universitas Sumatera Utara
111
(d) Apabila salah seorang meninggal dunia dan mempunyai anak, bagian
masing-masing sebagai berikut:
- jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi dua antara jurai
suami dengan janda beserta anak;
- jika yang meninggal isteri, harta suarang seperdua untuk suami dan
seperdua lagi untuk anak sebagai harta pusaka sendiri dari bagian
ibunya.
Berkaitan dengan pembahasan harta suarang, di bawah ini akan ditunjukkan
beberapa putusan pengadilan mengenai harta suarang sebagai bukti, bahwa antara
suami-isteri orang Minangkabau dalam perkembangan selanjutnya telah terjalin kerja
sama dalam satu kesatuan unit yang disebut somah (gezin), sehingga terbentuk harta
keluarga.
(i) Putusan Landraad Talu tanggal 23 Januari 1937 No.5 tahun 1937 yang
dikuatkan oleh Raad van Justitie Padang tanggal 13 Mei 1937 (T.148/508)
menentukan bangunan yang didirikan atau tanaman yang ditanami di atas
tanah harta kaum isteri bukanlah harta suarang;
(ii) Putusan Landraad Payakumbuh tanggal 13 Juni 1938 No. perdata 11 tahun
1938, yang dikuatkan oleh Raad van Justitie Padang tahun 1938 mengatakan:
Bila suami meninggalkan beberapa orang janda, maka pembagian harta
Universitas Sumatera Utara
112
suarang menjadi pusaka rendah jurai si suami dan separoh lagi merupakan
bagian para janda yang masih hidup;
(iii) Putusan Pengadilan Bukittinggi No. 46/1953 tanggal 26 Setember 1953 yang
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan tanggal 13 Maret 1956 Nomor
23/1954, yang menetapkan, bahwa harta suarang bertanggung jawab atas
hutang suami. Kemudian adanya rumah di atas tanah kaum tidak dengan
sendirinya membuktikan, bahwa rumah itu kepunyaan kaum, mungkin saja
rumah itu kepunyaan suami isteri bersama sebagai harta suarang.
Selanjutnya berdasarkan penelitian dari Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional diketahui bahwa berkaitan dengan berbagai persoalan yang menyangkut
hukum adat waris di daerah Minangkabau, pada tahun 1971 Lembaga Pembinaan
Hukum Nasional (sekarang Badan Pembinaan Hukum Nasional atau Babinkumnas)
pernah mengadakan kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang
dengan hasil sebagai berikut:
a) Harta pusaka diwariskan kepada kemenakan, sedangkan harta yang diperoleh
di luar harta pusaka itu boleh diwariskan kepada anak-anaknya;
b) Harta pencaharian diwariskan kepada anak-anaknya dengan tidak
dipersoalkan apakah dibagi dengan sistem faraidh atau tidak, yang penting,
bahwa harta pencaharian itu diperuntukkan guna kepentingan anak-anak;
Universitas Sumatera Utara
113
c) Apabila pihak isteri dari yang meninggal dunia menguasai harta pusaka dan ia
enggan untuk mengembalikan harta tersebut kepada kaum suaminya dan
malahan dikatakan sebagai harta pencaharian, atau telah dihibahkan kepada
anak-anaknya tanpa sepengetahuan ahli warisnya (kemenakan) suaminya,
dalam hal demikian Kerapatan Nagari yang diberi wewenang memutus secara
perdamaian;
d) Harta pencaharian tidak diharuskan seluruhnya jatuh kepada anak-anaknya,
melainkan harus pula jatuh kepada kemenakannya sebab mamak laki-laki itu
tadi dibesarkan, dididik, dan bahkan dikawinkan oleh kaumnya, sudah
sewajarya jika kemenakan juga memperoleh bagian dari harta pencaharian;
e) Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil antara harta pusaka dengan
harta pencaharian sebab kedua-duanya merupakan hasil jerih payah yang
diperuntukkan bagi kesejahteraan anak-anak dan kemenakan untuk memenuhi
pepatah adat "anak dipangku, kemenakan dibimbing", sehingga anak-anak
yang termasuk suku ibunya dan kemenakan yang termasuk suku mamaknya,
keduanya harus dipangku dalam arti dibesarkan, dididik, dan
dipertanggungjawabkan, baik fisik maupun rokhaninya. Demikian pula
kemenakan yang termasuk kaum mamak harus dibimbing, artinya harus
dipelihara sama dengan anak. Dengan demikian, seorang ayah yang sekaligus
Universitas Sumatera Utara
114
berkedudukan selaku mamak bagi kemenakannya harus memelihara anak-
anaknya dan juga kemenakannya.
B. Pembagian Harta Warisan Dalam Masyarakat yang Menganut Sistem
Kekerabatan Patrilinial
Pewarisan merupakan salah satu cara seseorang untuk memperoleh kekayaan
baik yang materiil maupun imateriil dari seseorang yang lain maksudnya cara
peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris baik pada waktu pewaris
masih hidup maupun ketika pewaris sudah meninggal dunia. Proses pewarisan
menurut hukum waris adat yang menganut prinsip kekerabatan patrilinial dapat
dilakukan:
1. Sebelum Pewaris Meninggal Dunia
Pada masyarakat adat yang menganut prinsip kekerabatan patrilinial
umumnya yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki saja akan tetapi hal
tersebut tidak berarti bahwa anak perempuan tidak mendapat apapun dari harta
kekayaan/warisan dari pewaris/ayahnya. Sebagai contoh pada suku Batak Toba
telah menjadi kebiasaan semasa hidup pewaris/ayah memberi tanah kepada anak
perempuan.
2. Sesudah Pewaris Meninggal Dunia
Pada masyarakat Batak yang adat yang menganut prinsip kekerabatan
patrilinial umumnya isteri masuk kekerabatan suami dan tetap merupakan
anggota keluarga pihak suami. Apabila pewaris meninggal dunia, meninggalkan
isteri dan anak-anak maka harta kekayaan/warisan terutama harta bersama yang
Universitas Sumatera Utara
115
diproleh sebagai hasil pencaharian bersama selama perkawinan dapat dikuasai
dan dinikmati oleh janda dari pewaris, untuk kepentingan kelanjutan hidup janda
dan anak-anak yang ditinggalkan.118
Masyarakat Batak Toba berakar pada sistim kekerabatan Patrilineal dan
mengikat anggota-anggotanya dalam hubungan triadik, yang disebut Dalian Na
Tolu yaitu hubungan antar lineage yang berasal dari kelompok kekerabatan
tertentu dalam satu clain (marga). Peta genelogis dan sejarah orang Batak Toba
hanya dapat ditelusuri melalui garis laki-laki. Anak perempuan tidak tercatat
dalam peta tersebut.119 Sehingga pembagian harta warisan hanya diberikan
kepada anak laki-laki saja.
Berdasarkan sistim kekerabatan patrilineal di Batak Toba yang menjadi ahli
waris hanya anak laki-laki. Apabila yang meninggal tidak meninggalkan anak
laki-laki, maka bagian warisan itu jatuh pada kakek (ayah dari yang meninggal)
atau kakek tidak ada, maka warisan jatuh kepada saudara laki-laki sedangkan
wanita tidak mendapat hak mewaris .120
Konsep yang menyatakan anak perempuan tidak dianggap sebagai ahli waris
berkaitan dengan konsep raja parhata maksudnya ahli waris selalu mengacu
kepada anak laki-laki karena anak laki-laki yang dipandang mempunyai
118Suwondo, Nani, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm 109.
119Sulistyowati Irianto, dalam Sihombing, T.M, Falsafa Batak (Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat Istiadat), Balai Pustaka, Jakarta, 2000, hlm. 8.
120Gultom Rajamarpodang, D.J, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak; Armanda,Medan, 1992, hlm 11.
Universitas Sumatera Utara
116
tanggung jawab besar untuk meneruskan keturunan ayahnya dan anak perempuan
dianggap akan menjadi anggota clain suaminya.121
Namun dengan perkembangan jaman di dalam masyarakat adat Batak dan hal
ini di dukung dengan adanya perkawinan beda suku (perkawinan campuran)
maka telah terjadi pergeseran sistim pewarisan di dalam masyarakat Batak yang
menganut sistem kekerabatan patrilineal. Sistim pewarisan yang semula memakai
sistim pewarisan Patrilineal berubah menjadi sistim pewarisan Parental. Dalam
bentuk sistim ini, tidak hanya anak laki-laki, anak perempuan pun mendapatkan
warisan. Mengenai kedudukan anak perempuan dimana orang tuanya menikah
beda suku mengatakan bahwa sekarang kedudukan perempuan dan anak laki-laki
adalah sama sesuai dengan perumpamaan orang Batak menganut sistem
kekerabatan patrilineal, ia dompat marmeme anak, do marmeme boru, sian na
martua debata yang artinya bahwa anak laki-laki dan anak perempuan
diperlakukan sama, sama-sama diberi susu dan kasih sayang tanpa ada
diperlakukan yang berbeda.122
Pada umumnya masyarakat yang menganut Sistem Kekerabatan Patrilineal
di perantauan dalam melaksanakan pembagian warisan dilakukan dengan
musyawarah mufakat antara keluarga. Begitu juga dalam pembagian warisan
dimana kedua orang tuanya berbeda suku (pria Batak dan Wanita Jawa)
menggunakan musyawarah mufakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Ibu
121Sulistyowati Irianto, Op Cit., hlm.10122Rahmat Simanjuntak, Warga Keturunan Masyarakat Adat yang menganut Sistem
Kekerabatan Patrilineal, Wawancara, Juni 2012
Universitas Sumatera Utara
117
Nelmayanti Boru Purba mengatakan pembagian warisan dilaksanakan secara
musyawarah mufakat, dengan semua keluarga datang berkumpul dan
membicarakan mengenai warisan dan warisannya berupa rumah, yang apabila
saya meninggal, maka harta warisan suaminya akan dijual dan hasil penjualan
tersebut akan dibagikan sama rata kepada semua.123
Menurut adat Batak yang merupakan masyarakat adat yang menganut Sistem
Kekerabatan Patrilineal, warisan diberikan kepada anak laki-laki begitu juga dia
tetapi karena kasih sayangnya kepada anak perempuan yang berjumlah dua maka
kepada kedua anak perempuannya diberikan warisan. Demikian pula halnya
apabila tidak memiliki anak laki-laki, atau memiliki dua ank perempuan maka
warisan diberikan kepada semua anak perempuan dengan sama rata.
Perubahan kebudayaan yang hanya memberikan warisan kepada anak laki-laki
menjadikan pemberian warisan kepada anak perempuan disebabkan karena
adanya pergeseran nilai-nilai kebudayaaan di dalam masyarakat Batak terutama
yang menikah beda suku. Pergeseran pembagian warisan yang mengarah sistim
pewarisan parental. Anak-anak yang beda suku telah tertanam kebudayaan adat
setempat dan adanya pola pemikiran yang modern tentang pembagian warisan.
Menurut penulis, sikap masyarakat adat yang menanut system kekerabatan
patrilinial seperti halnya msyarakat batak dengan tidak membedakan antara anak
123Nelmayanti Boru Purba, Warga Keturunan Masyarakat Adat yang menganut SistemKekerabatan Patrilineal, Wawancara, Juni 2012
Universitas Sumatera Utara
118
laki-laki dan perempuan atau pemberian warisan kepada anak perempuan
didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:124
a. Bahwa sebagai seorang manusia mereka memiliki kedudukan yang sama
dimata Tuhan. Didasari hal itu, maka juga harus diakui keberadannya dan
dihormati hak dan kewajibannya sebagai manusia
b. Tidak adanya perbedaan kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan
keduanya diperlakukan sama.
c. Apabila orangtuanya meninggal dunia maka ia berhak atas warisan dari harta
peninggalan orangtuanya bersama dengan saudara laki-laki.
Warisan diberikan kepada anak perempuan dan anak laki-laki, karena
mengikuti hukum nasional yang tidak membedakan antara anak laki-laki dan
perempuan. Pada dasarnya anak laki-laki dan perempuan punya nilai yang sama
dihadapan penciptaNya hanya saja sistim budaya (suku) yang justru
mengkontruksikan perbeda gender di tengah keluarga dan masyarakat.
Berdasarkan hasil penelaahan tersebut diketahui bahwa suatu asas hukum
adat yang menganut system kekerabatan patrilineal termasuk dalam hal terjadinya
perkawinan campuran, maka kedudukan anak dalam perkawinan dipandang sama
dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. Bahwa sebagai seorang manusia mereka memiliki kedudukan yang sama di
mata Tuhan sehingga mereka juga harus diakui keberadanya dan dihormati
hak dan kewajibannya sebagai manusia.
124Nelmayanti Boru Purba, Warga Keturunan Masyarakat Adat yang menganut SistemKekerabatan Patrilineal, Wawancara, Juni 2012
Universitas Sumatera Utara
119
b. Tidak adanya perbedaan kedudukan anak laki-laki dan perempuan keduanya
diperlakukan sama.
c. Apabila orang tuanya meninggal dunia maka perempuan berhak atas
warisan dari harta peninggalan orang tuanya bersama-sama dengan
saudaranya laki-laki.
Sedangkan pergeseran pewarisan dalam sistim kemasyarakatan Patrilineal
khususnya orang tuanya beda suku telah mengalami perubahan pemberian pewarisan
dengan memberikan warisan kepada anak-anak perempuan di karenakan beberapa
hal yaitu :
a. Agama
Agama sangat mempengaruhi perubahan dan perkembangan yang terjadi
dalam pewarisan secara hukum adat Batak khususnya hokum adat Batak
Toba.
b. Kebudayaan
Kebudayaan, dalam hal ini orang Batak telah terasimilasi dengan sistim
pewarisan masyarakat Jawa umumnya memakai sistim pewarisan Parental.
Dengan demikian akibat hukum pewarisan anak-anak dari pernikahan orang
tuanya yang tidak satu suku baik anak laki-laki maupun perempuan sama-
sama dapat menjadi ahli waris. Namun warisan seluruh yang berupa marga
hanya dapat diteruskan anak laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
120
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa pembagian harta warisan
pada perkawinan campuran dalam masyarakat yang menganut sistem
kekerabatan patrilinial telah mengalami perubahan, di mana dalam pewarisan hukum
waris yang dijalankan pada masyarakat yang melakukan perkawinan campuran antara
masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal pada umumnya
menggunakan sistem pewarisan individual Hukum Adat, namun ada juga yang
menggunakan sistem pewarisan berdasarkan Hukum Islam dengan sistem individual
bilateral. Dengan kata lain, dalam perkawinan campuran dalam hal pewarisan kepada
anak-anak sebagai keturunan dari pernikahan orang tuanya yang tidak satu suku baik
anak laki-laki maupun perempuan sama-sama dapat menjadi ahli waris dan berhak
atas warisan dari orang tuanya.
C. Pembagian Harta Warisan dalam Masyarakat yang Menganut Sistem
Kekerabatan Matrilinial
Dalam masyarakat matrilinial hubungan darah yang diutamakan garis
keturunan ibu, kedudukan pihakk isteri lebih utama daripada kedudukan suami.
Keutamaan itu dapat dilihat dalam hal, perkawinan meskipun asabah berperan
sebagai wali nikah, laki-laki dijemput oleh perempuan (suami ikut keluarga isteri).
Dalam hal kekuasaan orangtua, saudara laki-laki isteri mempunyai kekuasaan utama
terhadap anak-anak (kekuasaan paman terhadap anak kemanakan). Dalam kewarisan
saudara laki-laki isteri berperan sebagai mamak kepala waris. Dan dalam perwalian,
saudara laki-laki isteri lebih berperan sebagai wali terhadap anak kemanakannya.
Contoh masyarakat ini adalah Minangkabau.
Universitas Sumatera Utara
121
M. Masoed Abidin mengatakan bahwa sistem matrilineal adalah
suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat
dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau
perempuan merupakan klan dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan
anaknya ke dalam sukunya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal. Oleh
karena itu, waris dan sako-pusaka diturunkan menurut garis ibu pula.125
Menurut Muhammad Radjab yang dikutip Masoed Abidin mengatakan
bahwa pewarisan dalam sistem masyarakat adat matrilineal mempunyai ciri-cirinya
sebagai berikut:126
1. Keturunan dihitung menurut garis ibu.
2. Suku terbentuk menurut garis ibu
3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami)
4. Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku
5. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak di tangan “ibu”, tetapi jarang
sekali dipergunakan, sedangkan
6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya
7. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya
8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari
saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.
125M. Masoed Abidin, Sistim Kekeluargaan Matrilineal, http://hmasoed.wordpress.com ,Diakses Agustus, 2012
126Ibid.
Universitas Sumatera Utara
122
Sistem kekerabatan ini tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai
sekarang, bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan
sistem adatnya. Terutama dalam mekanisme penerapannya di dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu, peranan seorang penghulu ataupun ninik mamak dalam
kaitan bermamak berkemanakan sangatlah penting. Bahkan peranan penghulu dan
ninik mamak itu boleh dikatakan sebagai faktor penentu dan juga sebagai indikator,
apakah mekanisme sistem matrilineal itu berjalan dengan semestinya atau tidak.
Jadi keberadaan sistem sistem masyarakat adat matrilineal ini tidak hanya
terletak pada kedudukan dan peranan kaum perempuan saja, tetapi juga punya
hubungan atau kaitan yang sangat kuat dengan institusi ninik mamaknya di dalam
sebuah kaum, suku atau klan.
Sebagai sebuah sistem, matrilineal dijalankan berdasarkan kemampuan dan
berbagai penafsiran oleh pelakunya; ninik-mamak, kaum perempuan dan anak
kemenakan. Akan tetapi sebuah uraian atau perincian yang jelas dari
pelaksanaan dari sistem ini, misalnya ketentuan-ketentuan yang pasti dan jelas
tentang peranan seorang perempuan dan sanksi hukumnya kalau terjadi pelanggaran,
ternyata sampai sekarang belum ada. Artinya tidak dijelaskan secara tegas tentang
hukuman jika seorang Minang tidak menjalankan sistem matrilineal tersebut.
Sistem itu hanya diajarkan secara turun temurun kemudian disepakati dan
dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya. Namun begitu, sejauh
manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada hakekatnya tetap dan tidak
Universitas Sumatera Utara
123
beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu sendiri. Hal seperti dapat dianggap
sebagai sebuah kekuatan sistem tersebut yang tetap terjaga sampai sekarang.
Pada dasarnya sistem masyarakat adat matrilineal matrilineal bukanlah untuk
mengangkat atau memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan
untuk menjaga, melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah
gadang, tanah pusaka dan sawah ladang.
Bahkan dengan adanya hukum faraidh dalam pembagian harta menurut Islam,
harta pusaka kaum tetap dilindungi dengan istilah “pusako tinggi”, sedangkan harta
yang boleh dibagi dimasukkan sebagai “pusako randah”.
Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara
dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau
tempat penyimpanan. Oleh karena itulah menyebabkan dalam penentuan peraturan
dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan
menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan
sebelumnya oleh pihak ninik mamak.
Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui
sebuah prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan
itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun
juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak
untuk mengatur dan mempertahankannya.
Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak.127
127 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
124
Perempuan Minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak
memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka
tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender,
karena sistem matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan
perempuan. Para ninik-mamak telah membuatkan suatu “aturan permainan” antara
laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang berimbang antar sesamanya.
Oleh karena itulah institusi ninik-mamak menjadi penting dan bahkan sakral bagi
kemenakan dan sangat penting dalam menjaga hak dan kewajiban perempuan.
Keadaan seperti diuraikan di atas sudah berlangsung lama, dengan segala
kelebihan dan kekurangannya, dengan segala plus minusnya.
Keunggulan dari sistem ini adalah, dia tetap bertahan walau sistem patrilineal
juga diperkenalkan oleh Islam sebagai sebuah sistem kekerabatan yang lain pula.
Sistim matrilieal tidak hanya jadi sebuah “aturan” saja, tetapi telah menjadi semakin
kuat menjadi suatu budaya, jalan hidup (way of live), kecenderungan yang paling
dalam diri dari setiap orang Minangkabau.
Sampai sekarang, pada setiap individu laki-laki Minang misalnya,
kecenderungan mereka menyerahkan harta pusaka, warisan dari hasil pencahariannya
sendiri, yang seharusnya dibagi menurut hukum faraidh kepada anak-anaknya,
mereka lebih condong untuk menyerahkannya kepada anak perempuannya.
Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula kepada anak perempuannya
pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato dalam disertasinya yang dikutip M.
Masoed Abidin menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat dalam
Universitas Sumatera Utara
125
diri orang-orang Minang walaupun mereka telah menetap di kota-kota di luar Minang
sekalipun. Sistem matrilineal tampaknya belum akan meluntur sama sekali, walau
kondisi-kondisi sosial lainnya sudah banyak yang berubah. Untuk dapat menjalankan
sistem itu dengan baik, maka mereka yang akan menjalankan sistem itu haruslah
orang Minangkabau itu sendiri. Untuk dapat menentukan seseorang itu orang
Minangkabau atau tidak, ada beberapa ketentuannya, atau syarat-syarat seseorang
dapat dikatakan sebagai orang Minangkabau.
Syarat-syarat seseorang dapat dikatakan orang Minangkabau;
1. Basuku (bamamak bakamanakan)
2. Barumah gadang
3. Basasok bajarami
4. Basawah baladang
5. Bapandan pakuburan
6. Batapian tampek mandi.128
Berdasarkan persyaratan di atas, jelaslah bahwa seseorang yang tidak
memenuhi ketentuan tersebut di dalam berkaum bernagari, dianggap “orang kurang”
atau tidak sempurna. Bagi seseorang yang ingin menjadi orang Minang juga dibuka
pintunya dengan memenuhi berbagai persyaratan pula.
Dalam istilah inggok mancangkam tabang basitumpu. Artinya orang itu harus
masuk ke dalam sebuah kaum atau suku, mengikuti seluruh aturan-aturannya.
128 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
126
Demikian pula halnya apabila terjadi perkawinan campuran antara warga
masyarakat yang berasal dari masyarakat dari sistem kekerabatan matrilineal dengan
sistem kekerabatan lainnya tentunya tidak mungkin dapat mengikuti ketentuan adat
kekerabatan matrilineal sehingga dalam hal pewarisan dari harta benda dalam
perkawinan juga tidak mengikuti ketentuan dalam kekerabatan matrilineal.
Kondisi ini juga terlihat dalam perkembangan jaman di dalam masyarakat adat
matrilineal, di mana dengan adanya perkawinan beda suku (perkawinan campuran)
maka telah terjadi pergeseran sistim pewarisan di dalam masyarakat Minang yang
menganut sistem kekerabatan Matrilineal. Sistim pewarisan yang semula memakai
sistim pewarisan Matrilineal juga dengan sendirinya berubah menjadi sistim
pewarisan Parental. Dalam bentuk sistim ini, anak baik itu anak perempuan maupun
anak laki-laki berhak mendapatkan warisan. Mengenai kedudukan anak dalam
perkawinan dianggap sama dan memilik hak yang sama pula.
Pada umumnya masyarakat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal
khususnya yang berada di perantauan dan telah melakukan perkawinan campuran
dalam melaksanakan pembagian warisan dilakukan dengan musyawarah
mufakat antara keluarga. Begitu juga dalam pembagian warisan dimana kedua orang
tuanya berbeda suku (pria Batak dan Wanita Minang atau sebaliknya) menggunakan
musyawarah mufakat. Pembagian warisan dilaksanakan secara musyawarah mufakat,
dengan semua keluarga datang berkumpul dan membicarakan mengenai warisan dan
warisannya berupa rumah, yang apabila pewaris meninggal, maka harta warisan
Universitas Sumatera Utara
127
suaminya akan dijual dan hasil penjualan tersebut akan dibagikan sama rata kepada
semua anak atau keluarga yang ditinggalkan.
Menurut adat Minang yang merupakan masyarakat adat yang menganut
Sistem Kekerabatan Patrilineal, warisan diberikan kepada anak laki-laki begitu juga
dia tetapi karena kasih sayangnya kepada anak perempuan yang berjumlah dua maka
kepada kedua anak perempuannya diberikan warisan. Demikian pula halnya apabila
tidak memiliki anak laki-laki, atau memiliki dua ank perempuan maka warisan
diberikan kepada semua anak perempuan dengan sama rata.
Perubahan kebudayaan yang hanya memberikan warisan kepada anak laki-laki
menjadikan pemberian warisan kepada anak perempuan disebabkan karena adanya
pergeseran nilai-nilai kebudayaaan di dalam masyarakat Minang terutama yang
menikah dengan orang yang berbeda suku. Pergeseran pembagian warisan yang
mengarah sistim pewarisan parental. Anak-anak yang beda suku telah tertanam
kebudayaan adat setempat dan adanya pola pemikiran yang modern tentang
pembagian warisan.
Kondisi ini mencerminkan bahwa bahwa sikap masyarakat adat yang
menanut system kekerabatan patrilinial seperti halnya masyarakat dengan tidak
membedakan antara anak laki-laki dan perempuan atau pemberian warisan kepada
anak perempuan didasarkan pada pertimbangan bahwa sebagai seorang manusia
mereka memiliki kedudukan yang sama dimata Tuhan.
Didasari hal itu, maka juga harus diakui keberadannya dan dihormati hak dan
kewajibannya sebagai manusia, tidak adanya perbedaan kedudukan anak laki-laki dan
Universitas Sumatera Utara
128
anak perempuan keduanya diperlakukan sama. Apabila orangtuanya meninggal dunia
maka ia berhak atas warisan dari harta peninggalan orangtuanya bersama dengan
saudara lakilaki. Warisan diberikan kepada anak perempuan dan anak laki-laki,
karena mengikuti hukum nasional yang tidak membedakan antara anak laki-laki dan
perempuan. Pada dasarnya anak laki-laki dan perempuan punya nilai yang sama
dihadapan penciptaNya hanya saja sistim budaya (suku) yang justru
mengkontruksikan perbeda gender di tengah keluarga dan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa dengan adanya berbagai etnis dan
sistem kekerabatan di Indonesia yang majemuk mempunyai suatu budaya atau adat
istiadat tersendiri dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, masing-masing etnis
ini terikat dalam suatu aturan hukum adat tersendiri disamping berlakunya hukum
nasional. Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa.
Lembaga perkawinan sebagai suatu bentuk hubungan hukum dalam
masyarakat tidak hanya menghasilkan keturunan saja sebagai generasi penerus dari
sebuah keluarga, tetapi juga terdapatnya adanya harta dalam perkawinan baik yang
berupa harta bawaan dari para pihak maupun harta yang diperoleh dalam perkawinan
atau yang di sebut dengan harta Gonogini.
Apabila ditelaah mengenai hak waris dari harta dalam sebuah perkawinan ini,
maka dari perkawinan yang berasal dari golongan sistem warisan yang berbeda
tentunya akan berbeda pula tata cara pembagian warisannnya.
Universitas Sumatera Utara
129
Pada masyarakat yang menganut sistem pewarisan patrilineal yang menarik
garis keturunannya melalui pihak bapak atau pihak laki-laki sehingga warisan lebih
pewarisan lebih dominan di warisi kepada anak laki-laki, sedangkan pada masyarakat
yang menganut ssstem pewarisan matrilineal pewarisan lebih dominan kepada anak
perempuan. Pembagian harta warisan dari perkawinan campuran antara sistem
pewarisan patrilineal dengan sistem pewarisan patrilineal, maka hal menyangkut
pembagian harta yang didapat dalam perkawinan atau harta gonogini, sama haknya
antara anak laki-laki dengan anak Perempuan. Begitu juga terhadap suami atau isteri
yang hidup terlama, yang diatur dalam Pasal 32, Pasal 852a KUH perdata. Oleh
karena itu, apabila terjadinya kematian, hendaknya segera dilakukan pembagian harta
warisan agar di kemudian hari kelak tidak terjadinya suatu permasalahan di antara
ahli waris.
Dengan demikian dapat dikatakan, hukum waris yang dijalankan
pada masyarakat yang melakukan perkawinan campuran antara yang
menganut sistim kekerabatan patrilineal dan sistem kekerabatan matrilineal
pada umumnya menggunakan sistem pewarisan individual Hukum Adat,
namun ada juga yang menggunakan sistem pewarisan berdasarkan Hukum
Islam dengan sistem individual bilateral.
Universitas Sumatera Utara
130
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Etnis Indonesia yang majemuk mempunyai suatu budaya atau adat istiadat
tersendiri dalam kehidupan sehari-hari. Masing-masing etnis ini terikat dalam
suatu aturan hukum adat tersendiri di samping berlakunya hukum nasional. Hal
inilah yang mendorong terjadinya perkawinan campuran antara system
kekerabatan yang berbeda sehingga menimbulkan perubahan dalam hal
pembagian warisan dari orang tua kepada ahli warisnya.
2. Pembagian harta warisan pada perkawinan campuran dalam masyarakat
yang menganut sistem kekerabatan patrilinial telah mengalami perubahan,
di mana dalam pewarisan hukum waris yang dijalankan pada masyarakat
yang melakukan perkawinan campuran antara masyarakat yang menganut sistem
kekerabatan patrilineal pada umumnya menggunakan sistem pewarisan
individual Hukum Adat, namun ada juga yang menggunakan sistem pewarisan
berdasarkan Hukum Islam dengan sistem individual bilateral. Dengan kata lain,
dalam perkawinan campuran dalam hal pewarisan kepada anak-anak sebagai
keturunan dari pernikahan orang tuanya yang tidak satu suku baik anak laki-laki
maupun perempuan sama-sama dapat menjadi ahli waris dan berhak atas warisan
dari orang tuanya.
130
Universitas Sumatera Utara
131
3. Pembagian harta warisan dalam perkawinan campuran dalam masyarakat
yang menganut sistem kekerabatan matrilinial walaupun para pihak berasal
dari menganut sistem kekerabatan matrilinial, namun apabila terjadi
perkawinan campuran pembagian warisan tidak dilakukan sistem
kekerabatan dari mana ia berasal tetapi dilakukan sesuai dengan
kesepakatan dari para ahli waris seperti halnya pada sistem patrilineal yang juga
mengalami pergeseran pembagiamn dilakukan menurut kebiasaan setempat baik
menggunakan sistem pewarisan atas kesepakatan, sistem pewarisan berdasarkan
Hukum Islam dengan sistem individual bilateral. Adanya perkawinan campuran
menyebabkan pewarisan kepada anak-anak sebagai keturunan dari pernikahan
orang tuanya yang tidak satu suku baik anak laki-laki maupun perempuan sama-
sama dapat menjadi ahli waris dan berhak atas warisan dari orang tuanya.
B. Saran
1. Disarankan kepada masyarakat adat yang melakukan perkawinan
campuran yang menggunakan ketentuan perkawinan yang bersecara
nasional agar tidak lagi membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan
khususnya dalam hal pewarisan sebab anak laki-laki dan perempuan di mata
Tuhan adalah sama.
2. Disarankan kepada pengambil kebijakan agar dapat membuat suatu
kodifikasi hukum terhadap pembagian hak waris dari perkawinan
Universitas Sumatera Utara
132
campuran termasuk dalam hal ini dari perawinan masyarakat yang
menganut sistem kekerabatan yang berbeda agar dapat memberikan rasa
keadilan bagi masyarakat khususnya bagi ahli waris.
Universitas Sumatera Utara
133
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Teks
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Mualamat (Hukum Perdata Islam), FH-UII,
1993, Yogyakarta, 1993.
Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996.
Asshiddiqie, Jimly, Tata Urut Peraturan Perundang-undangan dan
Problematika Peraturan Daerah , makalah, 2005.
Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian, Radja Grafindo Persada, Jakarta,
1997.
Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustofa Adidjoyo, Teori dan Strategi
Pembangunan Nasional, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1988.
Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Abditama, Surabaya, 2001
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia (Dalam Perspektif Islam, Adat dan
BW), Rafika Aditama, Bandung, 2005.
Hartono, Sunarjati, Dari Hukum Antar Golongan Ke Hukum Antar Adat, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1991.
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tintamas, Jakarta, 1968
------------, Hukum Kewarisan Bilateral, Tinta Emas, Jakarta, 1974.
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999
------------, Pengantar Hukum Adat, Mandar Maju, Bandung, 1992.
Ichtijanto, H., Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam
Djuhana S. Pradja (Pengantar), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan
dan Pembentukan, Rosda Karya, Bandung, 1994
133
Universitas Sumatera Utara
134
Kusumaatmadja, Mochtar, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan
Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1986.
------------, Mochtar, Konsep-Konsep Pembangunan Hukum dalam
Pembangunan, Alumni-Bandung, 2002.
Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994
Masri Singarimbun, dkk, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1989.
Nawawi, Perkawinan Campuran (Problematika dan solusinya), Widyaiswara Madya,
Balai Diklat Keagamaan, Palembang, 2005
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006.
Projodikoro, Wirjono, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1991
Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984.
Ramulyo, M. Idris, “Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafi’i dan Wasiat
Wajib di Mesir tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu
menurut Islam”. Majalah Hukum dan Pembangunan No. 2 Thn. XII
Maret 1982, FHUI, Jakarta, 1982
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1981.
Soekanto, Soeyono, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1966.
-------------, Pokok-pokok Sosiologi, LP3S, Jakarta, 1986.
-------------, dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif , Radja Grafindo
Persada, Jakarta, 2001.
-------------, Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, 2006.
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar , Liberty,
Yogyakarta, 2001.
Sunadi Suryabrata, Metode Penelitian, Raja Grafindo, Jakarta, 1998. hlm 3.
Universitas Sumatera Utara
135
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Andi Offset, Yogyakarta, 1989.
Ter Haar terjemahan Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1980
Wuisman, J.J.J. M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Penyunting:
M. Hisyam), FE UI, Jakarta, 1996.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, tentang Peraturan Pelaksana Undang–
Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
C. Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Matrilineal, diakses 10 Oktober 2011, jam 23.20 WIB.
http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat, diakses 10 Oktober 2011, 23.28 WIB
http://www.kamusbesar.com/43450/pewarisan, diakses 10 Oktober 2011, jam 23.33WIB.
Universitas Sumatera Utara