SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

148
SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU BATAK DAN SUKU MINANGKABAU (STUDI DI KOTA MEDAN) TESIS Oleh ULFA SUNDARI 107011121/M.Kn FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 Universitas Sumatera Utara

Transcript of SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

Page 1: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARASUKU BATAK DAN SUKU MINANGKABAU

(STUDI DI KOTA MEDAN)

TESIS

Oleh

ULFA SUNDARI107011121/M.Kn

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN2013

Universitas Sumatera Utara

Page 2: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARASUKU BATAK DAN SUKU MINANGKABAU

(STUDI DI KOTA MEDAN)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan PadaProgram Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ULFA SUNDARI107011121/M.Kn

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN2013

Universitas Sumatera Utara

Page 3: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

Universitas Sumatera Utara

Page 4: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

Telah diuji pada

Tanggal : 26 Januari 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

Anggota : 1. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

2. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

4. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn

Universitas Sumatera Utara

Page 5: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : ULFA SUNDARI

Nim : 107011121

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINANANTARA SUKU BATAK DAN SUKUMINANGKABAU (STUDI DI KOTA MEDAN)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri

bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena

kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi

Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas

perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan

sehat.

Medan,Yang membuat Pernyataan

Nama : ULFA SUNDARINim : 107011121

Universitas Sumatera Utara

Page 6: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

i

ABSTRAK

Mengenai pembagian warisan merupakan permasalahan yang tidak adahabisnya apabila dibicarakan baik yang dikaji berdasarkan system kekerabatan yangdianut oleh suatu masyarakat adat maupun oleh kalangan masyarakat yang terikatdalam suatu perkawinan pencampuran dua atau lebih sistem kekerabatan termasukdalam hal ini perkawinan antar susku bangsa.

Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang menguraikanataumemaparkan sekaligus menganalisis tentang sistem pewarisan dalam perkawinancampuran di lingkungan masyarakat adat patrilineal dan matrilineal.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa oleh karena adana berbagai etnis dansusku bangsa di Indonesia menyebabkan terjadinya perkawinan campuran antarasistem kekerabatan yang berbeda sehingga menimbulkan perubahan dalam halpembagian warisan dari orang tua kepada ahli warisnya. Pembagian harta warisanpada perkawinan campuran dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatanpatrilinial telah mengalami perubahan, di mana dalam pewarisan hukum waris yangdijalankan pada masyarakat yang melakukan perkawinan campuran antaramasyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal pada umumnyamenggunakan sistem pewarisan individual Hukum Adat, namun ada juga yangmenggunakan sistem pewarisan berdasarkan Hukum Islam dengan sistem individualbilateral. Pembagian harta warisan dalam perkawinan campuran dalam masyarakatyang menganut sistem kekerabatan matrilinial walaupun para pihak berasal darimenganut sistem kekerabatan matrilinial, namun apabila terjadi perkawinancampuran pembagian warisan tidak dilakukan sistem kekerabatan dari mana iaberasal tetapi dilakukan sesuai dengan kesepakatan dari para ahli waris seperti halnyapada sistem patrilineal yang juga mengalami pergeseran pembagiamn dilakukanmenurut kebiasaan setempat baik menggunakan sistem pewarisan atas kesepakatan,sistem pewarisan berdasarkan Hukum Islam dengan sistem individual bilateral.

Disarankan kepada masyarakat adat yang melakukan perkawinancampuran yang menggunakan ketentuan perkawinan yang bersecara nasionalagar tidak lagi membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan khususnya dalamhal pewarisan sebab anak laki-laki dan perempuan di mata Tuhan adalah sama.Disarankan kepada pengambil kebijakan agar dapat membuat suatu kodifikasihukum terhadap pembagian hak waris dari perkawinan campuran termasukdalam hal ini dari perawinan masyarakat yang menganut sistem kekerabatanyang berbeda agar dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakatkhususnya bagi ahli waris.

Kata Kunci : Perkawinan Campuran dan Pewarisan

Universitas Sumatera Utara

Page 7: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

ii

ABSTRACT

The problems of allocation of an inheritance will never cease when they areanalyzed based on the system of kinship which is practiced either by a certaintraditional community or by the community that follows the bonds of matrimony withdifferent kinship such as in interracial marriage. The research used descriptiveanalytic method which described, explained, and analyzed inheritance system in theintermarriage between a Bataknese and a Minangkabaunese.

The result of the research showed that the existence of various kinds of ethnicgroups in Indonesia had caused intermarriages with different kinship so that theallocation of inheritance from parents to their children would change. The allocationof inheritance in the community that practices patrilineal system has changed inwhich the allocation of inheritance in the intermarriage of the patrilineal communityusually uses individual inheritance system of the Adat Law although some of them useinheritance system based on the Islamic Law. The allocation of inheritance in thecommunity that practices matrilineal system, although the parties concerned comefrom matrilineal kinship system, when there is intermarriage, the kinship system isnot used. The allocation of inheritance is done according to the agreement of theheirs as what is practiced in the patrilineal system. This system has also beenchanged in the inheritance allocation system which is done either according to themutual agreement or to the Islamic Law.

It is recommended that the adat community that performs intermarriagebetween a Bataknese and a Minangkabaunese nationally should treat differentlybetween male and female, especially in the inheritance allocation system, since theyare equal in the eyes of God. It is also recommended that the policy makers shouldmake a judicial codification on the allocation of inheritance in the intermarriagebetween a Bataknese and a Minangkabaunese, including the marriage in the differentkinship system of community, so that it can give fairness to the community, especiallyto the heirs.

Keywords: Inheritance System in Bataknese and Minangkabaunese

Universitas Sumatera Utara

Page 8: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Alhamdulillah kehadirat ALLAH SWT karena hanya dengan

berkat dan karunia-Nya penulisan tesis ini dengan judul “TINJAUAN YURIDIS

TERHADAP SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN CAMPURAN DI LINGKUNGAN

MASYARAKAT ADAT PATRILINEAL DAN MATRILINEAL”. Penulisan tesis ini

merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan

(M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan

dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih

yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat

dan amat terpelajar Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., Dr. Pendastaren Tarigan, S.H.,

M.S. dan Dr. Idha Aprilyana Sembiring, S.H., Hum., selaku Komisi Pembimbing yang

telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan

penulisan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan

arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak kolokium, seminar hasil

sampai ujian tertutup sehingga penulisan menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, CTM, Sp.A(K), selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister

Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada

Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

iv

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku ketua program studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah

memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan

tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah

memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan

tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang

telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat

selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.

6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama

menjalani pendidikan dan seluruh responden dan informan yang telah banyak

membantu dalam hal pengambilan data dan informasi-informasi penting lainnya

yang berkenaan dengan penulisan tesis ini.

7. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2010 yang telah

banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

8. Motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih

sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya Ayahanda dan Ibunda serta

Saudara-saudariku, Suamiku dan Anakku tersayang yang telah memberikan

semangat dan doa kepada Penulis.

Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada

suami tercinta dan anakku yang selama ini telah menjadi inspirasi dan memberikan

semangat sehingga menjadi motivasi warna tersendiri dalam kehidupan dan juga

dalam penyelesaian tesis pada di Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.)

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

v

Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun

besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua

pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan

pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan

kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu

dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada

kita semua. Amien Ya Rabbal ‘Alamin

Medan, Januari 2013Penulis,

Ulfa Sundari

Universitas Sumatera Utara

Page 11: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama Lengkap : Ulfa Sundari

Tempat/Tanggal Lahir : Banda Aceh/ 18 Desember 1986

Kewarganegaraan : Indonesia

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jalan T. Panglima Polem No. 247-249Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam

II. KELUARGA

Nama Ayah : Abubakar Usman, SH

Nama Ibu : Syamsinar Syafe’i (Almh)

Nama Suami : Rinaldisah Putra, SH

Nama Anak : Raja Arkan

III. PEKERJAAN

- Pengurus Yayasan Harapan Ibu Kota Banda Aceh.

IV. PENDIDIKAN

- SD Negeri 9 Tapaktuan Aceh Selatan : Tahun 1992 s/d 1998

- SMP Negeri 4 Banda Aceh : Tahun 1998 s/d 2001

- SMA Negeri 2 Banda Aceh : Tahun 2001 s/d 2004

- Perguruan Tinggi/S1 Fakultas HukumUniversitas Syiah Kuala Banda Aceh : Tahun 2005 s/d 2010

- Perguruan Tinggi/S2 Fakultas Hukum

Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara Medan : Tahun 2010 s/d 2013

Universitas Sumatera Utara

Page 12: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

vii

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK .......................................................................................................... i

ASBTRACT ......................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP .......................................................................... vi

DAFTAR ISI........................................................................................................ vii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................... 12

C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 13

D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 13

E. Keaslian Penelitian ..................................................................... 14

F. Kerangka Penelitian dan Konsepsi.............................................. 15

1. Kerangka Teori ................................................................... 15

2. Konsepsi .............................................................................. 25

G. Metode Penelitian........................................................................ 28

BAB II HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAMPERKAWINAN ANTARA MASYARAKAT DENGANSISTEM KEKERABATAN PATRILINIAL DANMASYARAKAT DENGAN SISTEM KEKERABATANMATRILINIAL ............................................................................... 34

A. Perkawinan dan Perkawinan Campuran antara SistemKekerabatan ................................................................................ 34

B. Persyaratan dan Tatacara Pelaksanaan Perkawinan danPerkawinan Campuran ............................................................... 46

C. Akibat Hukum Hubungan Perkawinan dan PerkawinanCampuran ................................................................................... 62

D. Perkawinan Campuran dan Kaitannya dengan Pewarisan ......... 78

Universitas Sumatera Utara

Page 13: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

viii

BAB III PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISANDALAM PERKAWINAN ANTARA MASYARAKATDENGAN SISTEM KEKERABATAN PATRILINIAL DANMASYARAKAT DENGAN SISTEM KEKERABATANMATRILINIAL ............................................................................... 86

A. Sistem Pewarisan dalam Hukum Waris Adat ............................. 86

B. Pembagian Harta Warisan Dalam Masyarakat yang MenganutSistem Kekerabatan Patrilinial.................................................... 114

C. Pembagian Harta Warisan dalam Masyarakat yang MenganutSistem Kekerabatan Matrilinial .................................................. 120

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ............................................ 130

A. Kesimpulan ................................................................................ 130

B. Saran ........................................................................................... 131

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 133

Universitas Sumatera Utara

Page 14: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberadaan hukum dalam kehidupan bermasyarakat bukan hanya sebagai

refleksi dari penjelmaan kehidupan bermasyarakat saja, yang semata-mata hanya

tunduk pada perilaku yang ada dalam masyarakat tersebut, tetapi juga ditundukkan

pada sang pencipta manusia yang merupakan sumber kehidupan dan sumber dari

segala sumber hukum. Oleh karenanya kepatuhan manusia tidak hanya pada manusia

lainnya, tetapi juga tunduk pada penciptanya. Oleh kaena itu, hukum yang baik di

samping harus memperhatikan kaidah sosial kemasyarakatan, tetapi juga

mempertahankan dogma-dogma transedental yang dituangkan dalam materi hukum

yang mengikat.1

Tugas manusia sebagai Khalifah adalah menegakkan ajaran agamanya di satu

sisi dan mengatur kehidupan dunia disisi lain yang semuanya adalah untuk kebaikan

manusia itu sendiri, dan pada gilirannya untuk mencapai kesejahteraan, kebagiaan

dan keselamatan di dunia dan akhirat. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral, karena

itu pernikahan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai ajaran agama. Oleh karena

itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengamanatkan

bahwa pernikahan harus atau wajib dilaksanakan sesuai ketentuan hukum agama dan

1Nawawi, Perkawinan Campuran (Problematika dan solusinya), Widyaiswara Madya, BalaiDiklat Keagamaan, Palembang, 2007, hlm 1

1

Universitas Sumatera Utara

Page 15: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

2

kepercayaannya serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Perkawinan disyariatkan supaya manusia mempunyai keturunan dan

keluarga sah menuju kehidupan bahagia dunia dan akhirat, dibawah ridha Allah

SWT. Di dalam agama Islam dalam hal memilih jodoh hendaklah mereka

memilih karena 4 perkara yaitu; hartanya, kecantikannya, keturunannya, agamanya.

Namun apabila semuanya tidak dapat terpenuhi maka pilihlah karena agamanya.

Namun demikian, menurut Staatblad 1898 N0. 158. Pengertian Perkawinan

Campuran Masa Pemerintahan Kolonial Beslit Kerajaan 29 Desember 1898 No. 23

Staatsblad 1898/158 (regeling op de gemengde huwelijken", selanjutnya

disingkat GHR) memberi defenisi Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia

berada di bawah hukum yang berlainan (Pasal 1). Menurut Pasal 1 GHR tersebut,

maka yang masuk dalam lingkup perkawinan campuran yaitu:

a. Perkawinan campuran internasional, yaitu antara warganegara dan orangasing, antara orang-orang asing dengan hukum berlainan, dan perkawinanyang dilangsungkan di luar negeri.

b. Perkawinan campuran antar tempat, misalnya seperti perkawinan antaraseorang Batak dengan perempuan Sunda seorang pria Jawa dengan wanitaLampung, antara orang Arab dari Sumbawa dan Arab dari Medan dansebagainya yang disebabkan karena perbedaan tempat.

c. Perkawinan campuran antar golongan (intergentiel). Adanya perkawinancampuran antar golongan adalah disebabkan adanya pembagian golonganpenduduk oleh Pemerintah Kolonial kepada 3 (tiga) golongan yaitu: (1)Golongan Eropa; (2) Golongan Timur Asing; (3) Golongan Bumi Putera(penduduk asli) sehingga perkawinan yang dilakukan antar mereka yangberbeda golongan disebut perkawinan campuran antar golongan. Misalnya:(1) antara Eropa dan Indonesia; (2) antara Eropa dan Tionghoa; (3) antaraEropa dan Arab; (4) antara Eropa dan Timur Asing; (5) antara Indonesia danArab; (6) antara Indonesia dan Tionghoa; (7) antara Indonesia dan TimurAsing; (8) antara Tionghoa dan Arab.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

3

d. Perkawinan Campuran Antar AgamaPerkawinan bagi mereka yang berlainan agama disebut pula perkawinancampuran. Adanya perkawinan beda agama dalam sistem hukum perkawinankolonial disebabkan Pemerintah Hindia Belanda dalam hal perkawinanmengesampingkan hukum dan ketentuan agama.2

Menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974 pengertian perkawinan campuran

ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan Indonesia.3

Selain hukum perkawinan, hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum

keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan dan mencerminkan sistem

dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena

hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia.

Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa

hukum yang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana

pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal

dunia itu.

Pengertian warisan adalah soal dan berbagai hak dan kewajiban tentang

kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih pada orang lain

yang masih hidup.4 Dengan demikian, hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan

yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak

berwujud) dari pewaris kepada ahli warisnya. Hukum waris adat memuat

2Ibid., hl, 4-53Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan4Wirjono, Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1991. hlm 12.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

4

peraturan-peraturan yang mengatur proses penerusan serta pengoperan barang-barang

harta benda berwujud dan barang yang tidak berwujud benda (immateriale

goerderen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya.5

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dan

orang-orang yang ditinggalkan tersebut diatur oleh hukum waris. Jadi, hukum waris

itu dapat dikatakan sebagai himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur

hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia oleh ahli waris atau badan

hukum lainnya.6

Banyaknya masalah yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat terutama

hal-hal yang berhubungan dengan adat istiadat serta kebiasaan masyarakat.

Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, budaya, dan adat istiadat yang berbeda

mengalami hal tersebut dengan beragamnya etnis budaya yang ada. Masyarakat adat

membentuk hukum dari kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri.

Di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa

atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem garis

keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari sistem suku-suku bangsa

atau kelompok-kelompok etnik. Masalahnya adalah, antara lain apakah ada

persamaan antara hukum waris adat yang di anut walaupun mereka yang menetap

di luar daerah asalnya.7

5 Ibid.6 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, Tinta Emas, Jakarta, 1974. hlm 9.7Soeyono Soekanto, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 1966. hlm 7.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

5

Teori-teori yang berkembang dalam ilmu pengetahuan terutama dalam

hukum kekerabatan dan waris adat sering diimplementasikan dalam kehidupan

masyarakat. Namun antara teori yang ada dengan fakta dilapangan sering kali

terjadi ketidaksinkronan antara teori dan prakteknya tidak sesuai, meski

dalam beberapa hal memang sesuai tetapi banyak juga yang sama sekali tidak

berhubungan.

Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tentang

cara penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud maupun yang

tidak berwujud dari generasi ke generasi. Dengan demikian, hukum waris itu

mengandung tiga unsur, yaitu: adanya harta peninggalan atau harta warisan,

adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris

atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima

bagiannya.8

Dalam memahami masalah waris ditemukan beberapa istilah yang menjadi

dasar pokok pembahasannya. Istilah dimaksud merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari pengertian hukum waris itu sendiri. Beberapa istilah tersebut beserta

pengertiannya, antara lain :9

1. Waris, Istilah ini berarti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan)orang yang telah meninggal.

2. Warisan, Berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat.

8Hilman Hadikusuma, Pengantar Hukum Adat, Mandar Maju, Bandung, 1992. hlm 21.9Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia (Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW) ,

Rafika Aditama, Bandung, 2005, hlm 4 - 5

Universitas Sumatera Utara

Page 19: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

6

3. Pewaris, adalah orang yang memberi pusaka atau orang yang meninggaldunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun suratwasiat.

4. Ahli waris, yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yangberhak menerima harta peninggalan pewaris.

5. Mewarisi, yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalahmewarisi harta peninggalan pewarisnya.

6. Proses pewarisan:Istilah proses pewarisan mempunyai dua pengertian atau dua makna, yaitu:1) berarti penerusan atau penunjukan para waris ketika pewaris masih hidup;

dan2) berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.

Walaupun pengertian hukum waris masih terdapat berbagai pendapat yang

beragam namun Eman Suparman, menyimpulkan bahwa "Hukum waris itu

merupakan perangkat kaidah yang mengatur tentang cara atau proses peralihan harta

kekayaan dari pewaris kepada ahli waris atau para ahli warisnya".10 Hukum waris

yang ada dan berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum merupakan unifikasi

hukum. Atas dasar peta hukum waris yang masih demikian plurailistiknya, akibatnya

sampai sekarang ini pengaturan masalah warisan di Indonesia masih belum terdapat

keseragaman.

Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk

masyarakat dan sifat kekeluargaan. Sedangkan sistem kekeluargaan pada masyarakat

Indonesia, berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan. Berkaitan dengan

sistem penarikan garis keturunan, seperti telah diketahui di Indonesia secara umum

setidak-tidaknya dikenal tiga macam sistem keturunan.11

10Ibid11M. Idris Ramulyo, “Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafi’i dan Wasiat Wajib di

Mesir tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu menurut Islam”. Majalah Hukum danPembangunan No. 2 Thn. XII Maret 1982, FHUI, Jakarta, 1982, hlm 155.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

7

Ketiga sistem keturunan dengan sifat-sifat kekeluargaannya yang unik serta

sudah sedemikian populer disebabkan segi-segi perbedaannya amat mencolok,

selanjutnya dapat disimak dalam paparan singkat berikut ini sekaligus pula dengan

contoh lokasi geografis lingkungan adatnya:.12

1. Sistem patrilineal / sifat kebapaan

Sistem ini pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis keturunan ayah

atau garis keturunan nenek moyangnya yang laki-laki. Sistem ini di Indonesia

antara lain terdapat pada masyarakatmasyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak,

Ambon, Irian Jaya, Timor, dan Bali.

2. Sistem matrilineal/ sifat keibuan

Pada dasarnya sistem ini adalah sistem yang menarik garis keturunan ibu dan

seterusnya ke atas mengambil garis keturunan dari nenek moyang perempuan.

Kekeluargaan yang bersifat keibuan ini di Indonesia hanya terdapat di satu

daerah, yaitu Minangkabau.

3. Sistem bilateral atau parental / sifat kebapak-ibuan.

Sistem ini, yaitu sistem yang menarik garis keturunan baik melalui garis

bapak maupun garis ibu, sehingga dalam kekeluargaan semacam ini pada

hakikatnya tidak ada perbedaan antara pihak ibu dan pihak ayah. Sistem ini di

Indonesia terdapat di berbagai daerah, antara lain: di Jawa, Madura, Sumatera

Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi,

Ternate, dan Lombok.

Berdasarkan uraian di atas, diketahui berbagai perbedaan-perbedaan dari

ketiga macam sistem keturunan dengan sifat-sifat kekeluargaan masyarakatnya

tersebut, sehingga semakin jelas jelas menunjukkan bahwa sistem hukum warisnya

pun sangat pluralistik. Namun demikian pluralistiknya sistem hukum waris di

Indonesia tidak hanya karena sistem kekeluargaan masyarakat yang beragam,

melainkan juga disebabkan adat-istiadat masyarakat Indonesia yang juga dikenal

sangat bervariasi. Oleh sebab itu, tidak heran kalau sistem hukum waris adat yang ada

12Eman Suparman, Op.Cit, hlm.6.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

8

juga beraneka ragam serta memiliki corak dan sifat-sifat tersendiri sesuai dengan

sistem kekeluargaan dari masyarakat adat tersebut.

Sistem pewarisan patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut

garis bapak, dimana anak laki-laki sajalah yang berhak terhadap harta warisan

orang tuanya. Dianutnya sistem patrilinial dalam sistem pewarisan pada

masyarakat adat tersebut membawa konsekwensi, dimana hanya pihak laki yang

mempunyai hak waris atas harta warisan orang tuanya, sedangkan pihak perempuan

tidak mempunyai hak waris atas harta warisan orang tuanya.

Penganut adat matrilineal adalah suku Indian Apache Barat, suku Navajo,

sebagian besar suku Pueblo, suku Crow, dan lain-lain yang kesemuanya adalah

penduduk asli Amerika Serikat, suku Khasi di Meghalaya, India Timur Laut, suku

Nakhi di Provinsi Sichuan dan Yunnan, Tiongkok, dan beberapa suku kecil di

kepulauan Asia Pasifik. Di Indonesia penganut adat matrilineal adalah suku

Minangkabau, Sumatra Barat. 13

Di daerah pegunungan Sumatera Tengah bagian barat yang dikenal dengan

Sumetera Barat yang merupakan pusat kebudayaan dari orang Minangkabau, suatu

masyarakat yang termasyhur di Indonesia karena kelihaian mereka berdagang dan

prestasi-prestasi keilmuannya. Masyarakat ini terkenal karena tiga ciri sosialnya yang

diketahui umum, yaitu ketaatan pada agama Islam, kesetiaan pada sistem keluarga

matrilinial (nasab ibu), dan kecendrungan untuk merantau. Masyarakat Minangkabau

sudah sejak lama menjadi sebuah teka-teki, suatu paradoks yang mengelirukan

13 http://id.wikipedia.org/wiki/Matrilineal, diakses 10 Oktober 2011, jam 23.20 WIB.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

9

bagi orang luar: di satu pihak mereka berpegang kuat pada agama Islam yang

berciri patrilinial (nasab bapak), tetapi di lain pihak mematuhi sistem matrilinial;

mereka terpelajar dan mempunyai sifat kewirausahaan, tetapi masih mempertahankan

tradisi yang tampaknya kuno, mereka sangat mobile dan suka merantau, tetapi

mereka tetap memelihara identitas etnis yang kuat yang berakar ditanah kelahiran

mereka.

Di tengah-tengah paradoks inilah terletak adanya sistem matrilinial yang terus

dipraktikkan. Walau bagaimanapun, sistem matrilinial, Minangkabau sudah pernah

diuraikan dengan berbagai-bagai kesimpulan yang saling bertentangan. Mulai

pertengahan abad kesembilan belas, bebrapa orang pengamat dari luar merumuskan

atau meramalkan kemerosotan dari sistem matrilinial di Sumatera Barat: keluarga

luas yang berdasarkan sitem matrilinial telah mulai diganti oleh keluarga inti yang

mementingkan hubungan suami-istri; kekayaan, terutama tanah, juga telah cenderung

dimiliki secara perseorangan dan bukan secara bersama; cara warisan mulai berubah

dari pewarisan menurut sistem bilateral (yang tidak membedakan antara garis ibu dan

garis bapak) atau menurut sistem patrilinial.

Sedangkan sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik

menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan

pria dan wanita tidak dibedakan didalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau,

Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain). Antara sistem keturunan yang satu

dan yang lain dikarenakan hubungan perkawinan dapat berlaku bentuk campuran

atau berganti-ganti diantara sistem patrilinial dan matrilineal alterneren.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

10

Dengan catatan bahwa di dalam perkembangannya di Indonesia sekarang tampak

bertambah besarnya pengaruh kekuasaan bapak-ibu (parental) dan bertambah

surutnya pengaruh kekuasaan kerabat dalam hal yang menyangkut kebendaan dan

pewarisan.14

Namun demikian disana sini terutama dikalangan masyarakat di pedesaan

masih banyak juga yang masih bertahan pada sistem keturunan dan kekerabatan

adatnya yang lama, sehingga apa yang dikemukakan Hazairin masih

Nampak kebenarannya. Ia menyatakan bahwa “Hukum waris adat mempunyai corak

tersendiri dari alam fikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan

yang sistem keturunannya patrilinial, matrilineal, parental atau bilateral”.15

Dengan catatan bahwa pemahaman terhadap bentuk-bentuk masyarakat adat

kekerabatan itu tidak berarti bahwa sistem hukum waris adat untuk setiap bentuk

kekerabatan yang sama akan berlaku sistem hukum waris adat yang sama.

Masalahnya dikarenakan didalam sistem keturunan yang sama masih terdapat

perbedaan dalam hukum yang lainnya, misalnya perbedaan dalam sistem perkawinan,

masyarakat adat Batak dan masyarakat adat Lampung (beradat pepadun) menganut

sistem keturunan yang patrilinial, tetapi di kalangan orang Batak berlaku berlaku adat

perkawinan manunduti yaitu mengambil istri dari satu sumber yang searah

(dari kerabat hula-hula) sedangkan dikalangan orang Lampung berlaku adat

perkawinan ngejuk ngakuk (ambil-beri) yaitu mengambil istri dari sumber yang

14 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. hlm 2315 Hazairin, Op.Cit., hlm 9.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

11

bertukar, satu masa kerabat wanita memberi, dimasa yang lain kerabat penerima

semula menjadi pemberi kembali.

Menurut hukum adat Batak jika tidak mempunyai keturunan lelaki berarti

keturunan itu putus, sedangkan menurut hukum adat Lampung keturunan yang putus

dapat diganti. Begitu pula pewarisan menurut hukum adat Batak berlaku pembagian

hata warisan menjadi milik perseorangan, sedangkan di Lampung (pepadun) berlaku

sistem pewarisan mayorat.16

Selanjutnya dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi informasi

menyebabkan mobilitas masyarakat yang begitu tinggi tidak lagi mengenal batas

wilayah, agama, suku bahkan wilayah negara. Hal ini lah yang kemudian memungkin

terjadinya perkawinan campuran antara orang yang berasal dari wilayah yang

berbeda, agama yang berbeda, suku yang berbeda bahkan dari kebudayaan yang

berbeda antara negara dan sistem kekerabatan termasuk masyarakat yang menganut

sistem pewarisan yang berbeda pula.

Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 dalam hal perkawinan campuran hanya diatur

perkawinan campuran antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan Indonesia. Padahal di dalam masyarakat Indonesia sendiri juga

dapat terjadi perkawinan campuran dari sistem kekerabatan yang berbeda pula dan

berpeluang menimbulkan perselisihan

16 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. hlm 24.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

12

Berdasarkan hasil penelitian ternyata ditemukan pula adanya perkawinan

antara masyarakat yang berbeda sistem kekerabatannya. Dalam hal ini misalnya

perkawinan antara masyarakat adat Batak yang menganut sistem kekerabatan

patrilineal dengan masyarakat adat Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan

matrilineal.

Banyaknya terjadi perkawinan antara masyarakat adat Batak yang menganut

sistem kekerabatan patrilineal dengan masyarakat adat Minangkabau yang menganut

sistem kekerabatan matrilineal seperti yang dikemukakan sebelumnya adalah diduga

akibat kemajuan teknoligi informasi, transportasi dan kemajuan dari budaya

masyarakat itu sendiri. Adanya perkawinan dari sistem kekerabatan yang berbeda ini

tentunya terbuka peluang untuk terjadinya perselisihan atau sengketa khususnya

dalam hal pembagian warisan apabila salah seorang dari perkawinan campuran

tersebut meninggal dunia. Dengan kata lain, perkawinan campuran dari pasangan

suami isteri yang berbeda sistem kekerabatan yang berbeda ini dapat menimbulkan

persoalan di bidang hukum waris. Hal inilah yang lebih lanjut akan dicoba

untuk ditelaah lebih lanjut dan kemudian akan diuraikan dalam bentuk hasil

penelitian tesis.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang

dirumuskan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah hukum yang mengatur pembagian harta warisan dalam

perkawinan antara masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilinial dan

masyarakat dengan sistem kekerabatan matrilinial ?

Universitas Sumatera Utara

Page 26: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

13

2. Bagaimanakah pelaksanaan pembagian harta warisan dalam perkawinan

antara masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilinial dan masyarakat

dengan sistem kekerabatan matrilinial ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut di atas, maka yang menjadi

tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan hukum yang mengatur pembagian harta

warisan dalam perkawinan antara masyarakat dengan sistem kekerabatan

patrilinial dan masyarakat dengan sistem kekerabatan matrilinial.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan pembagian harta warisan

dalam perkawinan antara masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilinial

dan masyarakat dengan sistem kekerabatan matrilinial.

D. Manfaat Penelitian

Disamping tujuan yang hendak di capai seperti tersebut di atas, maka hasil

dari penelitian tesis ini nantinya juga diharapkan dapat memberikan manfaat secara

teoritis dan secara praktis, antara lain:

1. Secara teoritis, penelitian tesis ini diharapkan dapat menambah Untuk

menambah pengetahuan bagi perkembangan hukum secara umum, khususnya

perkembangan hukum waris adat di Indonesia.

2. Secara praktis melalui penelitian tesis ini diharapkan dapat memberikan

pemahaman bagi masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan,

Universitas Sumatera Utara

Page 27: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

14

karakteristik permasalahan dan langkah-langkah strategis dalam sistem

pewarisan akibat perkawinan campuran antara masyarakat patrilinial dengan

masyarakat matrilinial.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan hasil

informasi dan dari penelusuran di kepustakaan Program Pasca Sarjana Universitas

Sumatera Utara (USU) Medan, bahwa ditemukan beberapa judul yang berkenaan

dengan hukum waris adat antara lain:

1. Penelitian oleh Tiorista, Nim 067011100, dengan judul “Pergeseran Hak

Mewaris Anak Perempuan dalam Masyarakat Patrilineal (Studi di Kabupaten

Samosir).

2. Penelitian oleh Cahaya Masita Nasuition, Nim 047011077, dengan judul

“Pelaksanaan Pembagian Warisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau (Studi

Kasus di Kabupaten Agam)”.

3. Penelitian oleh Frans Cory Melando Ginting, Nim 077011023, dengan judul

“Perkembangan Hukum Waris Adat pada Masyarakat Adat Batak Karo (Studi

di Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo)”.

Dari ketiga judul tersebut tidak ada kesamaan baik dari judul maupun

pembahasnanya penelitian dengan judul ”Sistem Pewarisan Dalam Perkawinan

Antara Masyarakat Dengan Sistem Kekerabatan Patrilinial Dan Masyarakat

Dengan Sistem Kekerabatan Matrilinial” belum pernah di lakukan, khususnya

Universitas Sumatera Utara

Page 28: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

15

pada Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

Dengan demikian bahwa penelitian ini dapat dinyatakan asli, dan dapat

dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Penelitian dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka teori dalam suatu penelitian hukum memegang peranan yang

penting guna menjadikan dasar berpijak bagi penelitian untuk menentukan arah atau

tujuan penelitian. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa

gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji

dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak

benarannya.17

Menurut Bintoro Tjokroamijoyo dan Mustofa Adidjoyo“ teori diartikan

sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan (variabel) dalam

bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka fikir (Frame of

thingking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul didalam

bidang tersebut“.18

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi

17J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Penyunting: M. Hisyam), FE UI,Jakarta, 1996 , hlm. 203. lihat M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994,hlm. 27. menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapatdalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasionaldigabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yangberkesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harusdidukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

18Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustofa Adidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional ,CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1988. hlm 12.

Universitas Sumatera Utara

Page 29: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

16

bahan perbandingan, pegangan teoritis.19 Sedangkan tujuan dari kerangka teori

menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan menginterprestasi

hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang

terdahulu.20

Dari beberapa pendapat di atas dapat diketahui bahwa maksud kerangka teori

adalah pengetahuan yang diperoleh dari tulisan dan dokumen serta pengetahuan

kita sendiri yang merupakan kerangka dari pemikiran dan sebagai lanjutan dari

teori yang bersangkutan, sehingga teori penelitian dapat digunakan untuk

proses penyusunan maupun penjelasan serta meramalkan kemungkinan adanya

gejala-gejala yang timbul.

Kemudian dalam membahas mengenai system pewarisan dalam perkawinan

campuran pada masyarakat adat khususnya guna mewujudkan perdamaian dalam

masyarakat yang dimulai dari dalam suatu keluarga, maka dilaku kajian dari berbagai

teori yang berhubungan dengan kehidupan sosial dalam masyarakat. Pemikiran ini

dibedakan dengan apa yang dikenal dengan sosiologi hukum yang tumbuh dan

berkembang di Eropa Kontinental dan hukum sebagai gejala sosial. Perbedaan antara

sosiologi hukum dan hukum sebagai gejala sosial di antara keduanya ialah bahwa

kalau “sosiological jurisprudence itu merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum

yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan

sebaliknya”.21

19Solly Lubis, M., Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994. hlm. 80.

20 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996. hlm.19.21J.J.J. M. Wuiisman, Op.Cit., hlm. 66.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

17

Sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh

masyarakat kepada hukum dan sejauhmana gejala dalam masyarakat itu dapat

mempengaruhi hukum tersebut di samping juga diselidiki, sebaliknya pengaruh

hukum terhadap masyarakat. Dengan demikian, yang terpenting adalah bahwa :

“sociological jurisprudence” merupakan cara pendekatan yang bermula dari hukum

ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum sebaliknya dari masyarakat ke hukum”.22

Mashab sociological jurisprudence ini mengetengahkan tentang:

Pentingnya living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat, dimana

kelahirannya menurut beberapa anggapan merupakan suatu sinthese dari

thesenya, yaitu positivisme hukum dan antithesenya mashab sejarah. Dengan

demikian, “sociological jurisprudence berpegang pada pendapat pentingnya

baik akal maupun pengelaman dimanna pandangan ini berasal dari Rescoe

Pound yang inti sarinya adalah konsepsi masing-masing aliran yaitu

positivisme hukum dan mashab sejarah.23

Berdasarkan uraian di atas, kemudian lahir konsep law as a tool of social

engineering yang berati bahwa hukum sebagai alat untuk mengubah secara sadar

masyarakat atau hukum sebagai alat rekayasa sosial. Oleh karena itu, dalam

upaya menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial diupayakan

pengoptimalan efektifitas hukumpun menjadi salah satu topik bahasan sosiologi

hukum.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pengembangan Ilmu Hukum yang

bercirikan Indonesia tidak saja dilakukan dengan mengoper bagitu saja Ilmu-ilmu

22Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi, LP3S, Jakarta, 1986, hlm 1-25.23Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Hukum

Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1986. hal 56.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

18

Hukum yang bersal dari luar dan yang dianggap modern, tetapi juga tidak

secara membabi buta mempertahankan yang asli. Keduanya harus berjalan secara

selaras.24

Salah satu tuntutan aspirasi yang berkembang dalam era reformasi sekarang

ini adalah reformasi di bidang hukum menuju terwujudnya supremasi sistem hukum.

Sistem hukum yang hendak diwujudkan sistem konstitusi yang berfungsi

sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan kehidupan nasional.

Jimly Assiddqqie mengatakan bahwa :

Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang efektif itu, penataan kembali

kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas sumber daya manusia, kultur dan

kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan

pembaruan materi hukum yang terstruktur secara harmonis, dan terus menerus

diperbarui sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan.25

Peran hukum dalam masyarakat memang sering menimbulkan banyak

persoalan, hukum bahkan dianggap sebagai instrumen pengatur yang sah dalam

negara hukum. Dengan kedudukan yang demikian, hukum mempunyai

kekuatan untuk memaksa. Berkaitan dengan keberadaan hukum itu sendiri

di tengah masyarakat, Mochtar Kusumaatmadja, menyatakan bahwa tujuan

utama adanya hukum adalah jaminan ketertiban, keadilan, dan kepastian.26

Dengan demikian, hukum adalah sebuah sistem yang mempunyai ciri dan

24Ibid.25Jimly Asshiddiqie, Tata Urut Peraturan Perundang-undangan dan Problematika

Peraturan Daerah, makalah, 2005, hlm 5.26Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Pembangunan Hukum dalam

Pembangunan, Alumni-Bandung, 2002, hlm. 5-6.

Universitas Sumatera Utara

Page 32: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

19

karakteristik yang menjadi penggerak dan pengatur kehidupan masyarakat.

Terkait dengan ciri dan karakteristik hukum dan masyarakat tersebut, Roscoe Pound,

mengenalkan lebih lanjut apa yang disebut sebagai law as a tool of social

engineering.27

Mengilhami dari teori law as a tool of engineering dari ajaran Roscoe Pound

yang beraliran sociological yurisprudence Mochtar Kususmaatmadja menghasilkan

teori hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Beberapa karakteristik dari

teori beliau yang membedakan dengan teori dari Roscoe Pound adalah:

a. Lebih menekankan peranan peraturan perundang-undangan dalam proses

pembaharuan di Indonesia, sedangkan teori dari Roscoe Pound terutama

ditujukan pada peranan pembaharuan terhadap putusan pengadilan, khususnya

putusan Supreme Court sebagai mahkamah tertinggi;

b. Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat yang

menolak penerapan mekanistis dari konsepsi law as a tool of social

engineering. Penerapan secara mekanistis demikian, yang digambarkan

dengan kata tool akan mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda dengan

penerapan legisme yang dalam sejarah hukum di Indonesia telah dikritik

banyak pihak.

c. Apabila ada pengertian hukum termasuk pula hukum internasional, maka

Indonesia sebenarnya sudah menjalankan asas hukum sebagai sarana

pembaharuan masyarakat jauh sebelum konsepsi ini dirumuskan secara resmi

sebagai landasan kebijaksanaan luhur.28

Jadi fungsi hukum itu pasif, yaitu mempertahankan status quo sebagai a tool

of social control, sebaliknya hukum pun dapat berfungsi aktif sebagai a tool of social

engineering. Oleh karena itu, penggunaan hukum sebagai alat rekayasa

27Ibid.28Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 33: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

20

sosial didominasi oleh kekuasaan negara. Dengan demikian, sesuai dengan

pendapat Satjipto Raharjo bahwa Hukum tidak dapat dilepaskan dari perubahan

sosial.29

Hukum adalah ketentuan yang lahir dari dalam dan karena pergaulan hidup

manusia, seperti juga lahir dan berkembangnya fidusia. Sebagaimana diketahui di

dalam kenyataannya hukum selalu tertinggal di belakang masalah yang diaturnya.

Dalam rangka pembangunan ekonomi suatu negara dibutuhkan dana yang besar.

Kebutuhan dana yang besar itu hanya dapat dipenuhi dengan memberdayakan secara

maksimal sumber-sumber dana yang tersedia.

Pada yang lampau luas lingkup (geldingsgebied) dari pada kaedah-kaedah

hukum adat masih dapat dikatakan terbatas pada wilayah-wilayah (tempat, daerah)

yang tertentu, oleh karena penduduk Indonesia masih sangat statis, maka sekarang ini

dengan bertambah bebasnya orang-orang Indonesia bergerak dari satu daerah ke lain

daerah, maka luas lingkup kekuasaan berlaku dari pada kaedah hukum adat setempat

(Jawa, Bugis, Batak, dan lain-lain) telah meluas keseluruh wilayah RI.30

Proses pewarisan menurut hukum waris adat, dikala pewaris masih hidup

dapat berjalan dengan cara penerusan atau pengalihan, penunjukan dan atau dengan

cara berpesan, berwasiat, beramanat. Ketika pewaris telah wafat berlaku penguasaan

yang dilakukan oleh anak tertentu, oleh anggota keluarga atau kepala kerabat,

sedangkan cara pembagian dapat berlaku pembagian ditangguhkan. Hukum waris

29Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984, hlm. 254.30Sunarjati Hartono, Dari Hukum Antar Golongan Ke Hukum Antar Adat, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1991. hlm 48.

Universitas Sumatera Utara

Page 34: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

21

adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan matematika, tetapi

didasarkan atas pertimbangan mengingat wujud benda dan kebutuhan waris

bersangkutan.

Seseorang yang buat sementara berada dalam rantauan dapat tetap menjadi

anggota masyarakat asalnya, seseorang yang datang dari luar dapat juga masuk

menjadi anggota golongan itu, tetapi untuk ini tidak cukup ia datang bertempat

tinggal begitu saja dalam dusun, melainkan orang itu harus juga diizinkan

masuk dalam golongan di masyarakat (territorial) itu dan orang itu harus dipungut

masuk kedalam ikatannya, yang dipeliharanya dengan jalan tolong menolong satu

sama lain.31

Pada susunan kerabat satu segi (eenzijdig) itu acapkali terdapat aturan

exogamie, yaitu larangan berkawin dengan sesame anggota clan atau bagian clan,

bilamana dalam suatu masyarakat terdapat kedua susunan kerabat itu, yang teratur

sosial dan sebagai golongan dapat dikenal terang, sehingga masing anggota

baik termasuk clan patrilinial (clan bapak) maupun termasuk clan matrilineal

(clan ibu) maka keadaan sedemikian itu dalam hukum adat dapat disebut

“double unilateral”.32 Pembagian hukum waris adat dengan hukum waris barat

berbeda. Disini hukum waris barat mengenal adanya azas legitieme portie,

yaitu bagian minimum dari warisan yang dijamin oleh undang-undang sebagai ahli

waris tertentu.

31Ter Haar terjemahan Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, PradnyaParamita, Jakarta, 1980. hlm 29.

32Ibid. hlm 31

Universitas Sumatera Utara

Page 35: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

22

Mengenai pelaksanaan pembagian harta warisan yang belum terbagi,

hukum adat yang harus diperlakukan adalah hukum adat (yuriprudensi) yang

berlaku pada saat pembagian tersebut dilaksanakan, jadi hukum adat yang berlaku

pada dewasa ini dan bukan yang berlaku pada waktu sipeninggal warisan

meninggal.33

Pada umumnya di Indonesia apabila pewaris wafat meninggalkan istri dan

anak-anak, maka harta warisan, terutama harta bersama suami istri yang didapat

sebagai harta pencaharian selama perkawinan dapat dikuasai oleh janda almarhum

pewaris untuk kepentingan berkelanjutan hidup anak-anak dan janda yang

ditinggalkan. Pada intinya pada masyarakat patrilineal, matrilineal, maupun

parental ini hampir sama, yaitu janda dapat menjadi penguasa harta warisan suaminya

yang telah wafat. Dalam hal ni janda memang bukan merupakan ahli waris,

karena sudah ada pembagian yang sudah diatur dalam sistem tersebut. Janda

hanya memiliki hak untuk menguasai dan menikmati harta warisan selama

hidupnya. Akan tetapi, apabila janda tersebut sudah tua dan anak-anaknya sudah

dewasa dan sudah berumah tangga, maka harta tersebut akan dialihkan kepada

anak-anaknya.

Adapun janda atau duda meskipun selalu ada dalam setiap kelompok

keutamaan, ia menjadi penentu bagi kelompok keutamaan keempat. Demikianlah cara

kewarisan bilateral menyelesaikan persoalan waris jika terdapat ahli waris yang

33 Keputusan Mahkamah Agung Tanggal 10 Maret 1971, No. 182 K/Sip/1970.

Universitas Sumatera Utara

Page 36: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

23

cukup banyak dan lengkap.34 Sistem kewarisan patrilineal yang dianut kalangan

Sunni terbentuk dari struktur budaya Arab yang bersendikan sistem kekeluargaan

yang bercorak patrilinial. Pada masa terbentuknya fiqh, ilmu pengetahuan mengenai

bentuk-bentuk masyarakat belumlah berkembang. Dengan sistem kelompok

keutamaan seperti yang dikemukakan oleh Hazairin, saudara dapat mewaris bersama

dengan orang tua (bapak ataupun ibu), suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada

hukum kewarisan Sunni yang bercorak patrilineal.

Teori Receptie35 yang dicetuskan oleh Snouck Hurgronje pada akhir abad XIX

telah menjadikan hukum Islam tersingkir oleh hukum adat. Oleh karena itu Hazairin

tidak segan-segan lagi untuk menyebut teori ini sebagai “teori Iblis”.36 Sebagai

sanggahan atas teori ini ia kemudian mencanangkan teori Receptie Exit37, yang

kemudian ditindak lanjuti oleh muridnya, Sajuti Thalib, SH, dengan teori Receptie a

Contrario.38 Di samping itu tidak mungkin menjadikan ayah dari ayah atau ibu dari

ayah sebagai zawu al-faraid, demikian pula terhadap cucu perempuan, seperti dalam

sistem ilmu waris kalangan Sunni. Problem kasus kewarisan yang dianggap rumit,

seperti ahli waris kakek bersama saudara (al-jadd ma’a ikhwan) yang banyak

34Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 88.35Teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat jajahan (pribumi) adalah

hukum adat. Hukum Islam hanya menjadi hukum jika telah diterima oleh masyarakat sebagai hukumadat.

36Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tintamas, Jakarta, 1968, hlm.5.37Teori ini menyatakan bahwa teori Receptie harus keluar dari teori hukum nasional Indonesia

karena bertentangan dengan UUD 1945 (pembukaan dan pasal 29) dan bertentangan dengan al-Qur’andan Sunnah. Penjelasan Hazairin tentang teori ini lihat H. Ichtijanto, Pengembangan Teori BerlakunyaHukum Islam di Indonesia, dalam Djuhana S. Pradja (Pengantar), Hukum Islam di Indonesia:Perkembangan dan Pembentukan, Rosda Karya, Bandung, 1994, hlm. 102 dan 127-131.

38Teori ini merupakan kebalikan dari teori Receptie, maksudnya hukum yang berlaku bagirakyat (pribumi) adalah hukum agamanya. Lihat Ichtijanto, “Pengembangan”, hlm. 131-136.

Universitas Sumatera Utara

Page 37: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

24

memunculkan variasi pendapat dalam sistem Sunni tidak akan pernah terjadi dalam

sistem bilateral.39

Adapun yang menjadi pokok pikiran dalam kewarisan patrilinial ini

adalah :40

1. Selalu memberiksn kedudukan yang lebih baik dalam perolehan harta

peninggalan kepada pihak laki-laki. Dalam hubungan ini termasuk juga

perbandingan perolehan antara ibu dengan bapak atas harta peninggalan

anaknya.

2. Urutan keutamaan berdasarkan ushbah dan laki-laki. Ushbah atau usbah ialah

anggota keluarga yang mempunyai hubungan darah sesamanya berdasarkan

hubungan garis keturunan laki-laki atau patrilinial.

3. Istilah-istilah khusus mengenai kewarisan dalam Al-Quran mungkin

disamakan dengan istilah biasa dalam bahasa sehari-hari atau istilah hukum

adat dalam masyarakat Arab. Bahkan istilah-istilah dalam hukum adat dalam

Al-Quran sendiri.

Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa oleh karena banyaknya suku, agama

dan kepercayaan yang berbeda-beda serta bentuk kekerabatan yang berbeda-beda,

tetapi ini semua adalah pengaruh dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh

masyarakat adat atau dengan kata lain dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan suatu

masyarakat hukum adat. Kondisi ini membawa pengaruh besar dalam hal sistem

pewarisan yang dianut oleh masyarakat yang berbeda tersebut, bahkan berpeluang

terjadi sengketa apabila terjadi perkawinan campuran antara masyarakat yang berbeda

suku, agama dan kepercayaan maupun kekerabatan yang berbeda-beda tersebut.

39Hazairin, Op.Cit., hlm. 44.40 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1981. hlm. 95.

Universitas Sumatera Utara

Page 38: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

25

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam

penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstrak

dengan realita.41 Konsepsi diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang

digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi

operasional.42 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindari perbedaan

pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Kegunaan

dari adanya konsepsi supaya adanya pegangan dalam melakukan penelitian atau

penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi orang lain untuk

memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan.

Mewarisi harta dari orang yang telah meninggal merupakan salah satu bentuk

cara yang sah untuk memperoleh hak milik terhadap suatu benda.43 Membicarakan

tentang kewarisan tidak bisa dilepaskan dari sosok Hazairin yang dikenal sebagai

pencetus ide bentuk kewarisan parental. Kiprah Hazairin lebih dikenal dalam bidang

ilmu hukum, terlebih dalam hukum adat. Sistem kewarisan yang bercorak patrilineal

akan mencerminkan distribusi harta waris yang lebih didominasi dan lebih banyak

memberi banyak peluang kepada kaum laki-laki. Hal sebaliknya terjadi bagi sistem

kewarisan matrilineal. Adapun sistem kewarisan yang bercorak parental atau bilateral

41Masri Singarimbun, dkk, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1989. hlm 34.42Sunadi Suryabrata, Metode Penelitian, Raja Grafindo, Jakarta, 1998. hlm 3.43Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Mualamat (Hukum Perdata Islam), FH-UII, 1993,

Yogyakarta, hlm. 37.

Universitas Sumatera Utara

Page 39: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

26

akan lebih memberi kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan dalam

menerima distribusi harta warisan.

Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara

dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau

tempat penyimpanan. Itulah sebabnya dalam penentuan peraturan dan perundang-

undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang

hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik

mamak. Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah

prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu

begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga.

Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk

mengatur dan mempertahankannya.

Kerangka konsepsional dalam penelitian tesis ini adalah :

1. Tinjauan adalah pengertian hasil pandangan, mempelajari, sedangkan Yuridis

yaitu yang artinya menurut hukum atau secara hukum. 44

2. Sistem adalah sekelompok dari pendapat peristiwa, kepercayaan dan sebagainya

yang disusun dan diaturbaik, metode yang teratur untuk melakukan sesuatu.45

3. Pewarisan adalah proses, cara, perbuatan mewarisi atau mewariskan.46

44Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Abditama, Surabaya, 2001. hlm.530 dan hal 604

45 Ibid, hal 44646 http://www.kamusbesar.com/43450/pewarisan, diakses 10 Oktober 2011, jam 23.33 WIB.

Universitas Sumatera Utara

Page 40: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

27

4. Sistem pewarisan adalah suatu rangkaian yang saling berhubungan satu sama lain

yaitu antara pewaris, ahli waris, harta warisan dan proses pewarisan harta

tersebut dari seseorang yang meninggal dunia kepada generasi yang

ditinggalkan.

5. Hukum waris adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tentang cara penerusan

dan peralihan harta kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari

generasi ke generasi

6. Campuran adalah sesuatu yang tercampur, yang dicampurkan, gabungan,

kombinasi, tidak asli, peranakan / bukan keturunan asli, dalam hal ini perkawinan

campuran yang terjadi dari mereka yang mempunyai sistem kekerabatan yang

berbeda.47

7. Masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi

tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara

individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut.48

8. Adat yaitu gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma,

kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah.

Apabila adat ini tidak dilaksanakan akan terjadi kerancuan yang menimbulkan

sanksi tak tertulis oleh masyarakat setempat terhadap pelaku yang dianggap

menyimpang.

47 Dessy Anwar, Op.Cit., hlm. 10248 http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat, diakses 10 Oktober 2011, 23.28 WIB.

Universitas Sumatera Utara

Page 41: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

28

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji mengatakan penelitian dalam

pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya, jangka waktu yang

diperlukan untuk proses penulisan, cara-cara yang dapat ditempuh apabila menemui

kesulitan dalam proses penelitian.49 Penelitian ini dilakukan secara metodologis,

sistematis dan konsisten. Metodologis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode

atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti

tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu”.50

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, karena menggambarkan gejala-

gejala, fakta, aspek-aspek serta upaya hukum yang berkaitan dengan objek penelitian.

Objek penelitian ini adalah sistem pewarisan dalam perkawinan campuran dalam

masyarakat adat yang menganut sistem patrilinial dengan masyarakat adat yang

menganut sistem matrilinial. Penelitian ini dilakukan melalui studi yuridis normatif

dengan melakukan inventarisasi hukum positif yang mengatur dan berkaitan dengan

sistem pewarisan dalam perkawinan campuran dalam masyarakat adat yang menganut

sistem patrilinial dengan masyarakat adat yang menganut sistem matrilinial. Di

samping itu juga dilakukan studi empiris terhadap perkawinaan antara warga

masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilinial dan masyarakat dengan sistem

kekerabatan matrilinial.

49Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Radja GrafindoPersada, Jakarta, 2001. hlm 22.

50 Ibid., hlm 42.

Universitas Sumatera Utara

Page 42: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

29

2. Sumber Data

Sumber data utama dari penelitian ini adalah sumber data sekunder yang

terdiri dari bahan hukum sekunder, bahan hukum primer dan bahan hukum tersier.

Data-data hukum sekunder tersebut meliputi berbagai macam sumber baik sumber

data tertulis seperti Peraturan Perundang-Undangan, buku-buku ilmiah, dan berbagai

macam dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam hal seorang peneliti

diharapkan dapat mengumpulkan sebanyak mungkin bahan pustaka yang terkait

dengan objek penelitiannya sehingga dapat menambah khasanah dalam menganalisis

data dan menyajikan hasil penelitian.

a. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mempelajari literatur yang

berkaitan dengan objek yang diteliti dan berbagai macam peraturan sistem

pewarisan dalam perkawinan campuran dalam masyarakat adat yang menganut

sistem patrilinial dengan masyarakat adat yang menganut sistem matrilinial.

Data sekunder tersebut meliputi beberapa hal yaitu:

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan salah satu sumber hukum yang penting

bagi sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif. Bahan

hukum primer meliputi bahan-bahan hukum yang isinya mengikat secara

hukum karena dikeluarkan oleh instansi yang sah. Bahan hukum primer dapat

Universitas Sumatera Utara

Page 43: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

30

ditemukan melalui studi kepustakaan (library research) baik di perpustakaan

fakultas, universitas maupun perpustakaan umum lainnya.

Bahan hukum primer yang dijadikan pedoman bagi penelitian terkait

dengan sistem pewarisan dalam perkawinan campuran, adalah sebagai

berikut:

a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

c) Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hukum perkawinan,

hukum waris maupun adat.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang isinya

memperkuat atau menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder

biasanya berupa bahan-bahan hukum seperti bacaan hukum, jurnal-jurnal

yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer, berupa buku teks,

konsideran, artikel dan jurnal, sumber data elektronik berupa internet, majalah

dan surat kabar serta berbagai kajian yang menyangkut sistem pewarisan

dalam perkawinan campuran dalam masyarakat adat yang menganut sistem

patrilinial dengan masyarakat adat yang menganut sistem matrilinial.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang dijadikan pegangan atau

acuan bagi kelancaran proses penelitian. Bahan hukum tersier biasanya

memberikan informasi, petunjuk dan keterangan terhadap bahan hukum

Universitas Sumatera Utara

Page 44: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

31

primer dan sekunder. Di perpustakaan biasanya bahan hukum tersier berada

pada ruangan khusus dan dalam penelitian ini bahan hukum tersier yang

digunakan hanyalah kamus.

Penelitian mengenai sistem pewarisan dalam perkawinan campuran

dalam masyarakat adat yang menganut sistem patrilinial dengan masyarakat

adat yang menganut sistem matrilinial untuk menemukan jawaban yang

konkrit, jelas dan pasti terkait dengan objek masalah yang diteliti. Sehingga

peran data pendukung seperti kamus sangat dibutuhkan untuk mencari

kebenaran sejati dari istilah-istilah hukum yang asing. Bahan hukum primer

ini bukan hanya sekedar sebagai pelengkap informasi saja melainkan juga

dapat memberikan petunjuk awal terkait dengan masalah yang sedang diteliti.

Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kamus

hukum yang memuat informasi tentang arti beberapa istilah hukum yang

bersifat khusus.

b. Data Primer

Data primer digunakan untuk melakukan konfrontir terhadap berbagai macam

data sekunder yang telah diperoleh dalam rangka melakukan penegasan. Data-data

primer dalam bentuk data lapangan yang diperoleh melalui wawancara dengan

informan sebagai narasumber untuk pemecahan masalah yang masih memerlukan

informasi lebih lanjut dalam memastikan validitas data-data sekunder yang telah

diperoleh.

Universitas Sumatera Utara

Page 45: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

32

3. Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini baik data sekunder maupun data primer diperoleh

dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan

dilakukan untuk memperoleh data yang dilakukan dengan mempelajari dokumen-

dokumen, buku-buku teks, teori-teori, peraturan perundang-undangan, artikel, tulisan

ilmiah yang ada hubungannya dengan pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit

dalam perjanjian jual beli. Selain itu, guna mendukung data primer yang diperoleh

melalui penelitian kepustakaan tersebut dilakukan pula wawancara dengan beberapa

informan sebagai narasumber.

4. Analisis Data

Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh di

lapangan dianalisa secara kualitatif. Metode analisa yang dipakai adalah metode

deduktif. Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diuraikan dalam tinjauan

pustaka secara komparatif akan dijadikan pedoman dan dilihat pelaksanaannya

mengenai sistem pewarisan dalam perkawinan campuran dalam masyarakat adat yang

menganut sistem patrilinial dengan masyarakat adat yang menganut sistem

matrilinial. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisa dengan cara

”kualitatif, selanjutnya dilakukan proses pengolahan data. Setelah selesai pengolahan

data baru ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif.”51

51Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, UniversitasErlangga, Surabaya, tt, hlm 2.

Universitas Sumatera Utara

Page 46: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

33

Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang

terkumpul baik inventarisasi karya ilmiah, peraturan perundang-undangan, yang

berkaitan dengan judul penelitian baik media cetak dan laporan-laporan hasil

penelitian lainnya untuk mendukung studi kepustakaan. Kemudian baik data primer

maupun data sekunder dilakukan analisis penelitian secara kuantitatif dan untuk

membahas lebih mendalam dilakukan secara kualitatif. Sehingga dengan demikian

diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum dalam penelitian tesis ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 47: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

34

BAB II

HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN

ANTARA MASYARAKAT DENGAN SISTEM KEKERABATAN

PATRILINIAL DAN MASYARAKAT DENGAN

SISTEM KEKERABATAN MATRILINIAL

A. Perkawinan dan Perkawinan Campuran antara Sistem Kekerabatan

Sebelum membahas lebih jauh tentang perkawinan campuran perlu

dikemukakan mengenai perkawinan pada umumnya. Perkawinan atau pernikahan

adalah sesuatu yang sakral, karena itu pernikahan tidak dapat dipisahkan dengan

nilai-nilai ajaran agama. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan mengamanatkan bahwa pernikahan harus atau wajib

dilaksanakan sesuai ketentuan hukum agama dan kepercayaannya serta dicatatkan

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam perjalanan sejarah pelaksanaan perkawinan sangat erat hubungannya

dengan adat istiadat yang berlaku di masing-masing lingkungan. Terjadinya

perkawinan dalam praktinya disebabkan berbagai faktor yang mendorong, antara

lain:52

1) Adanya saling suka dan saling menanggapi,

2) Untuk melindungi kehormatan seseorang,

3) Kebutuhan akan waktu dan uang,

4) Adanya keterlibatan emosional, dan

52Muhammad Makhfudz, Berbagai Permasalahan Perkawinan Dalam Masyarakat DitinjauDari Ilmu Sosial Dan Hukum, Artikel, Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta, 2009, hlm 1.

34

Universitas Sumatera Utara

Page 48: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

35

5) Adanya rasa aman.

Kelima faktor ini merupakan faktor yang bersifat umum terjadi di hampir

setiap daerah, dari beberapa faktor tadi dipengaruhi oleh sistem kekerabatan. Selain

itu, dalam ketentuan undang-undang juga dikenal adanya Perkawinan Campuran yang

dilakukan oleh pasangan yang berasal dari suku, agama atau warga negara yang

berbeda.

Perkawinan merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang sangat penting bagi

kehidupan setiap orang, karena suatu ritual perkawinan kadang tidak hanya

dipandang sebagai peristiwa sosial keduniawian, melainkan juga dipandang sebagai

peristiwa sakral yang dipengaruhi alam pikiran magis berdasarkan kepercayaan

masing-masing. Sejak dilangsungkan perkawinan akan timbul ikatan lahir bathin

antara kedua mempelai dan juga timbul hubungan kekeluargaan di antara kerabat

kedua pihak.

Perkawinan menurut Sayuti Thalib, ialah perjanjian suci membentuk keluarga

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Perjanjian tersebut dimaksudkan

untuk memperlihatkan segi perkawinan serta menampakkannya kepada masyarakat

umum, sedangkan sebutan suci dimaksudkan untuk menyatakan segi keagamaannya

dari suatu perkawinan”.53

Perkawinan juga merupakan suatu perbuatan hukum yang dilakukannya

perkawinan tersebut menimbulkan tanggung jawab antara para pihak yaitu antara

53Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Di Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam, UI, Jakarta,1982, hlm. 47

Universitas Sumatera Utara

Page 49: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

36

suami istri. Terhadap perbuatan hukum perkawinan tentunya diperlukan adanya

peraturan hukum yang mengaturnya. Lembaga perkawinan ini sudah merupakan

kodratnya manusia mempunyai naluri untuk tetap mempertahankan generasi atau

keturunannya. Dalam hal ini tentunya hal yang tepat untuk mewujudkannya adalah

dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk

membentuk keluarga, karena perkawinan ini mutlak diperlukan sebagai syarat

terbentuknya sebuah keluarga.

Kata perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata “kawin”, yang

kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama dengan kata

kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi

pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki

dan perempuan bersuami isteri.54

R. Soetojo Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten,

Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah

“persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk

hidup bersama/bersekutu yang kekal”.55 Artinya bahwa perkawinan sebagai lembaga

hukum baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di

dalamnya.56

54W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994,hlm. 453.

55R. Soetojo Prawirohamidjijo, hlm.35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar HukumPerdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm 61.

56Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta,2001. hlm 61.

Universitas Sumatera Utara

Page 50: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

37

Dalam konsepsi hukum Perdata Barat, menurut Vollmar yang dikutip dalam

Sudikno Mertokusumo bahwa “perkawinan itu dipandang dari segi keperdataan saja.

Maksudnya bahwa undang-undang tidak ikut campur dalam upacara-upacara yang

diadakan oleh Gereja, melainkan undang-undang hanya mengenal “perkawinan

perdata”, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang Pegawai Catatan

Sipil”.57

Menurut bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah.58 Al-nikah yang

bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul, terkadang juga disebut dengan al-

dammu wa al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh,

berkumpul dan akad.59 Istilah nikah yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia,

sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti kata nikah

mempunyai dua makna, yaitu perjanjian/akad dan bersetubuh/berkumpul.

Perkawinan merupakan akad atau perjanjian, namun demikian bukan berarti

bahwa perjanjian ini sama artinya dengan perjanjian biasa yang diatur dalam Buku III

Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perbedaannya bahwa pada perjanjian biasa,

para pihak yang berjanji bebas untuk menentukan isi dan bentuk perjanjiannya,

sebaliknya dalam perkawinan, para pihak tidak dapat bisa menentukan isi dan bentuk

perjanjiannya selain yang sudah ditetapkan oleh hukum yang berlaku.

57Ibid., hal 61.58Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/

pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hlm. 468.59Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,

Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI , PrenadaMedia, Jakarta, 2004, hlm. 38.

Universitas Sumatera Utara

Page 51: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

38

Perbedaan lain yang dapat dilihat adalah dalam hal berakhirnya perjanjian,

bahwa pada perjanjian biasa, berakhirnya perjanjian ditetapkan oleh kedua belah

pihak, misalnya karena telah tercapainya apa yang menjadi pokok perjanjian atau

karena batas waktu yang ditetapkan telah berakhir, jadi tidak berlangsung terus

menerus. Sebaliknya perkawinan tidak mengenal batasan waktu, perkawinan harus

kekal, kecuali karena suatu hal di luar kehendak para pihak, barulah perkawinan

dapat diputuskan, misalnya dengan perceraian atau pembatalan perkawinan.

Pemutusan perkawinan tidaklah sesederhana seperti dalam pemutusan

perjanjian biasa, yang ditetapkan lebih awal dalam isi perjanjiannya.

Bagaimana sebab putusnya ikatan perkawinan, prosedurnya maupun akibatnya

pemutusannya, tidak ditetapkan oleh para pihak, melainkan hukumlah yang

menentukannya. Perjanjian dalam perkawinan mempunyai karakter khusus,

antara lain bahwa kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat

persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian

berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.60

Masyarakat manapun di berbagai daerah memiliki aturan dan pola kebiasaan

mengatur seksualitas, kelahiran dan mengasuh anaknya. Institusi untuk melingkupi

aturan dan pola kebiasaan ini adalah melalui perkawinan. Institusi ini dengan

berbagai bentuknya telah ada sepanjang peradaban manusia, misalnya dengan bentuk

monogami, poligami, eksogami, endogami dan lain-lain.

60Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta,1982, hlm. 10.

Universitas Sumatera Utara

Page 52: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

39

Penyelenggaraan perkawinan di beberapa komunitas masyarakat, ada kalanya

tidak menghiraukan kehendak sebenarnya dari calon yang akan kawin, bahkan dalam

banyak kasus, si pria atau si wanita baru mengetahui dengan siapa dia akan

dikawinkan pada saat perkawinannya akan dilangsungkan. Sering pula terdengar

kasus bahwa perkawinan telah berlangsung sesuai dengan kehendak yang

melangsungkan perkawinan, tetapi bertentangan dengan kehendak pihak lain,

misalnya dari pihak keluarga, baik dari keluarga pria atau dari keluarga wanita.

Konsekuensi dari keadaan yang demikian ini menyebabkan tidak adanya kebahagiaan

dalam rumah tangga dan akhirnya dengan terpaksa ikatan perkawinan tersebut

diputuskan.

Mengingat berbagai macam persoalan yang terjadi di masyarakat, maka

diperlukan adanya keseragaman hukum perkawinan di Indonesia dan pada

tahun 1974 pemerintah telah mengeluarkan ketentuan hukum yang berlaku

secara nasional, yakni dengan diundangkannya UUP, yang diundangkan pada tanggal

2 Januari 1974.

Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU

Perkawinan) menyebutkan bahwa ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang

pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah

tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Jika diperhatikan ketentuan Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, maka yang

menjadi inti pengertian dalam perkawinan adalah ikatan lahir antara seorang pria

dengan seorang wanita, dimana diantara mereka terjalin hubungan yang erat dan

Universitas Sumatera Utara

Page 53: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

40

mulia sebagai suami istri untuk hidup bersama untuk membentuk dan membina suatu

keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal karena didasarkan kepada Ketuhanan

Yang Maha Esa. Dalam ketentuan tersebut juga dijelaskan mengenai tujuan

perkawinan yang juga tercantum pada pengertian perkawinan tersebut yaitu

:”...dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Di dalam penjelasan umum UU Perkawinan disebutkan bahwa karena tujuan

dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka

untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing

dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan materiil dan

spritual.

Sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1)

yang menyatakan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah

apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam,

Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum masing-masing agamanya”,

berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti ”hukum

agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau

keluarganya.

Jadi perkawinan yang sah jika terjadi perkawinan antar agama, adalahperkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satuagama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinanyang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suamiisteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut

Universitas Sumatera Utara

Page 54: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

41

hukum Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestanatau Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pulasebaliknya”.61

Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, dipertegas lagi

dalam penjelasan Pasal 1 UU Perkawinan, yang menyatakan ”Dengan perumusan

pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.

Adapun yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi

golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak

ditentukan lain dalam UU Perkawinan”.

Bagi penganut agama atau kepercayaan suatu agama, maka sahnya suatu

perkawinan mereka oleh Undang-undang perkawinan ini telah diserahkan kepada

hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini berrti bahwa bagi orang-orang

yang menganut agama dan kepercayaan suatu agama, tidak dapat melakukan

perkawinan, kecuali apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan

kepercayaannya itu.

Apabila ditelaah dari istilahnya perkawinan campuran dikenal dengan istilah

Belanda “gemengde huwelijken”. Istilah “Perkawinan Campuran” di dalam tata

hukum Indonesia sebagai suatu pengertian hukum, dimulai setelah adanya upaya

nassoanalisasi peraturan-peraturan hukum dan undang-undang warisan masa kolonial.

Istilah “perkawinan campuran” sesuai dengan UUD 1945 (Pembukaan alinea

61Hilman Hadikusuma, Op.Cit, 1990, hlm.26-27.

Universitas Sumatera Utara

Page 55: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

42

keempat, kebebasan beragama sebagai tercantum dalam Pasal 29 ayat (2), adanya

pluralitas agama dan pluralitas hukum perkawinan, maka perkawinan campuran

dalam negara berdasar Pancasila disebabkan oleh bertemunya dua atau lebih sistem

hukum perkawinan yang berlainan. Kemudian keberlainannya hukum perkawinan

tersebut dapat disebabkan oleh berlainan kewarganegaraan akibat ada unsur asing

atau berlainan hukum perkawinan agama akibat pasangan pengantin masing-masing

menganut agama yang berbeda. Disebut “perkawinan campuran” atau “perkawinan

campur”, atau “kawin campur”62 karena “bercampurnya” atau “bertemunya” dua

sistem hukum yang berlainan. Jadi, yang menjadi masalah adanya dua atau lebih

sistem hukum perkawinan yang berlainan.63

Pengaturan mengenai perkawinan campuran di Indonesia awalnya diatur

dengan “Regeling op de Gemengde Huwelijken", selanjutnya disingkat GHR.

Pengertian Perkawinan Campuran Masa Pemerintahan Kolonial Beslit Kerajaan 29

Desember 1896 No. 23 Staatsblad 1898/158 memberi defenisi perkawinan campuran

sebagai perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia berada di bawah hukum yang

berlainan (Pasal 1).

Menurut Pasal 1 GHR tersebut, maka yang masuk dalam lingkup perkawinan

campuran yaitu:64

62Azhar Basyir, Ahmad, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Hukum Islam, Al-Ma’arif,Bandung , 1972, dalam http://.blogspot.com/2011/.html, Diakses, Juni 2012

63Ibid.64Nawawi, Perkawinan Campuran (Problematika dan solusinya), Widdyaiswara Madya,

Balai Diklat Keagamaan Palembang , 2007.

Universitas Sumatera Utara

Page 56: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

43

a. Perkawinan campuran internasional, yaitu antara warganegara dan orangasing, antara orang-orang asing dengan hukum berlainan, dan perkawinanyang dilangsungkan di luar negeri.

b. Perkawinan campuran antar tempat, misalnya seperti perkawinan antaraseorang Batak dengan perempuan Sunda seorang pria Jawa denganwanita Lampung, antara orang Arab dari Sumbawa dan Arab dari Medandan sebagainya yang disebabkan karena perbedaan tempat.

c. Perkawinan campuran antar golongan (intergentiel). Adanya perkawinancampuran antar golongan adalah disebabkan adanya pembagian golonganpenduduk oleh Pemerintah Kolonial kepada 3 (tiga) golongan yaitu: (1)Golongan Eropa; (2) Golongan Timur Asing; (3) Golongan Bumi Putera(penduduk asli) sehingga perkawinan yang dilakukan antar mereka yangberbeda golongan disebut perkawinan campuran antar golongan.Misalnya: (1) antara Eropa dan Indonesia; (2) antara Eropa dan Tionghoa;(3) antara Eropa dan Arab; (4) antara Eropa dan Timur Asing; (5) antaraIndonesia dan Arab; (6) antara Indonesia dan Tionghoa; (7) antaraIndonesia dan Timur Asing; (8) antara Tionghoa dan Arab.

d. Perkawinan Campuran Antar AgamaPerkawinan bagi mereka yang berlainan agama disebut pula perkawinancampuran. Adanya perkawinan beda agama dalam sistem hukumperkawinan kolonial disebabkan Pemerintah Hindia Belanda dalam halperkawinan mengesampingkan hukum dan ketentuan agama.

Perkawinan antar agama terdapat pertentangan dalam praktek dan banyakperkawinan dari masyarakat dan kaum agamawan namun olehpemerintah kolonial tetap dipertahankan, bahkan pada tahun 1901, dianggapperlu untuk menambah GHR dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) yangmenetapkan bahwa "Perbedaan agama, tak dapat digunakan sebagai laranganterhadap suatu perkawinan campuran." Penambahan ayat (2) pada Pasal 7GHR itu adalah akibat pengaruh konferensi untuk hukum Internasional di DenHaaq pada Tahun 1900.

Menurut UU No. 1 Tahun 1974. Pengertian Perkawinan Campuran ialah

perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,

karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan

Indonesia. Ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 merupakan hasil dari Badan

Legislatif Negara Republik Indonesia dalam menciptakan Hukum Nasional yang

berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Dalam hal perkawinan campuran diatur

Universitas Sumatera Utara

Page 57: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

44

dalam Pasal 57 UU Perkawinan yang menetapkan sebagai berikut: "Yang dimaksud

dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara

dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena

perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan

Indonesia.

Berdasarkan ketentuan Pasal 57 yang dimaksud perkawinan campuran adalah:

1) Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan.

2) Perkawinan karena perbedaan kewarganegaraan.

3) Perkawinan karena salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur perkawinan campuran secara

tersendiri secara rinci sampai pelaksanaan dan pencatatan serta akibat hukumnya.

Ketentuan tersebut dilengkapi dengan peraturan hukum lama yang masih berlaku

sebagaimana ditentukan oleh Pasal 66 bahwa. Dengan adanya ketentuan UUP dan

peraturan pelaksanaannya, maka ketentuan peraturan perkawinan campuran lama

(GHR) dinyatakan tidak berlaku sejauh UUP atau peraturan pelaksanaannya telah

mengatur.

Selain perkawinan campuran antar warga negara dan perkawinan campuran

beda agama di Indonesia juga dikenal adanya perkawinan yang dilakukan antara

orang yang berbeda suku bangsa atau sistem kekerabatan. Dalam konteks istilah

Universitas Sumatera Utara

Page 58: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

45

kesukubangsaan (etnisitas) dan kekerabatan, ada beberapa skenario kemungkinan

perkawinan, antara lain :65

1. Perkawinan yang pelakunya adalah orang yang suku bangsa dan sistemkekerabatannya sama, misanya perkawinan antar orang Jawa dengansistem Bilateral, antarorang Minangkabau dengan sistem Matrilineal, antaraorang sunda dengan sistem Bilateral, antarorang Batak dengan sistemPatrilineal.66

2. Berbeda sukubangsa, namun prinsip kekerabatannya sama, misalnyaperkawinan antara orang Jawa dengan orang Sunda dengan Bilateral.

3. Perkawinan antardua dua orang atau lebih berbeda sukubangsa yangsekaligus berbeda prinsip kekerabatannya, misalnya, perkawinan antara orangJawa dengan sistem Bilateral dan orang Minangkabau dengan sistemMatrilineal.67

Fenomena perkawinan yang disebut terakhir menarik karena perkawinan tidak

diartikan sebagai upaya membangun hubungan seks laki-laki dengan perempuan

untuk menghasilkan keturunan, sebagai upaya untuk membangun dua hubungan

kekerabatan yang berbeda. Konsekuensi logis perkawinan antarpribadi orang yang

berbeda suku bangsa dan berbeda sistem kekerabatannya adalah muncul perbedaan

dalam merunut seseorang sebagai anggota keluarga satuan kelompok kekerabatan

terkecil. Artinya, dalam prinsip kekerabatan apa orang dapat dipandang sebagai

satuan kekerabatan. Dalam kenyataan sekarang ini, fenomena perkawinan antar

pribadi orang yang berbeda suku bangsa tidak saja ditemukan di kota-kota

besar metropolitan, Jakarta misalnya tetapi juga dapat ditemukan di suatu

65Ade Saptono, Rumah Tangga “Jamin”, Konstruksi Orang Jawa, Minang, atau Negara ?,Seminar Internasional “Progressive Development Of Marriage Law”, Universitas Pancasila, Jakarta,2010, hlm. 9

66Ahimsa-Putra, Heddy.”Jodoh Orang Batak Karo: Ditentukan atau Tidak ?”, dalamMasyarakat Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jilid XIII. 1986, No. 2, hlm 29-67.

67Ade Saptono, Op.Cit., hlm 9.

Universitas Sumatera Utara

Page 59: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

46

wilayah yang beragam sukubangsanya memang diciptakan, seperti di lokasi

transmigrasi.68

B. Persyaratan dan Tatacara Pelaksanaan Perkawinan dan PerkawinanCampuran

Dalam melaksanakan perkawinan para pihak tentunya harus mengikuti

ketentuan dan memenuhi persyaratan dan tatacara pelaksanaannya. Persyaratan ini

berlaku terhadap perkawinan pada umumnya dan juga pada perkawinan campuran.

Menurut UU No.1 tahun 1974. Syarat-syarat dalam UUP yang harus dipenuhi oleh

orang yang hendak melangsungkan perkawinan adalah:

a. Syarat materiil

Dalam hal mengenai orang yang hendak kawin dan izin-izin yang harus

diberikan oleh pihak-pihak ketiga, maka menurut Pasal 6 UU Perkawinan,

adapun syarat-syarat (Syarat Materil) adalah sebagai berikut :

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21

(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau

dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukupdiperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampumanyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidakmampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperolah dari wali, orangyang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garisketurunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapatmenyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara merekatidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat

68Ibid. hlm 10.

Universitas Sumatera Utara

Page 60: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

47

tinggal orang yang akan melangsungkan pekawinan atas permintaan orangtersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendenganr orang-orang tersebut yang memberikan izin.

6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dankepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Syarat materiil ini dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

1) Syarat materiil mutlak ialah syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang

hendak kawin dan tidak memandang dengan siapa ia hendak kawin serta

syarat-syarat ini berlaku umum. Jika syarat ini tidak dipenuhi maka orang

tidak dapat melangsungkan perkawinan.

Syarat materiil mutlak terdiri dari:a) kedua pihak tidak terikat dengan tali perkawinan yang lain;b) persetujuan bebas dari kedua pihak;c) setiap pihak harus mencapai umur yang ditentukan oleh UU;d) izin dari pihak ketiga;e) waktu tunggu bagi seorang perempuan yang pernah kawin dan ingin

kawin lagi. Bagi wanita yang putus perkawinan karena perceraian, masaiddahnya 90 (sembilan puluh) hari dan karena kematian 130 (seratus tigapuluh) hari.69

2) Syarat materiil relatif, yaitu syarat untuk orang yang hendak dikawini. Jadi,

seseorang yang telah memenuhi syarat materiil mutlak (syarat untuk dirinya

sendiri) tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan orang yang tidak

memenuhi syarat materiil relatif. Misalnya: mengawini orang yang masih ada

hubungan dengan keluarga terlalu dekat.70

Syarat materiil relatif ini diatur dalam Pasal 8 dan 10 UU Perkawinan. Pasal 8

mengatur bahwa perkawinan dilarang antara 2 (dua) orang yang:

69Wahyuni Setiyowati, Hukum Perdata I (Hukum Keluarga). F.H. Universitas 17 Agustus(UNTAG). Semarang 1997, hal 28.

70 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 61: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

48

a) Berhubungan darah dengan garis keturunan lurus ke bawah atau keatas.

b) Berhubungan darah dengan garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,

antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara

neneknya.

c) Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/ bapak tiri.

d) Berhubungan dengan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, dan

bibi/paman susuan.

e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari

isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.

Sedangkan Pasal 10 UU Perkawinan mengatur mengenai larangan kawin

kepada mereka yang telah putus perkawinannya karena cerai 2 (dua) kali dengan

pasangan yang sama. Jadi, setelah cerai yang kedua kalinya mereka tidak dapat kawin

lagi untuk yang ketiga pada orang yang sama. Hal ini dimaksudkan agar suami dan

isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang

mengakibatkan putusnya perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan

dipikirkan secara matang. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan

kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling

menghargai satu sama lain.

b. Syarat formil

Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga

harus memenuhi syarat formil, adapun syarat-syarat formil tersebut adalah :

Universitas Sumatera Utara

Page 62: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

49

1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai

Pencatat Perkawinan;

2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan;

3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-

masing;

4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus

dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

Dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang

memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan

nama isteri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin.

Syarat untuk melaksanakan perkawinan diatur dalam Pasal 3, 4, 8, dan 10

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu tentang :71

1) Pemberitahuan

Tentang pemberitahuan diatur dalam Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975.

Pasal 3 dan 4 PP No. 9 tahun 1975 mengatur:

a) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan

kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan

dilangsungkan.

71 Lihat Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975

Universitas Sumatera Utara

Page 63: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

50

b) Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-kurangnya

10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

c) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 (dua)

disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama

Bupati Kepala Daerah.

d) Pasal 4 mengatur bahwa pemberitahuan dilakukan secara lisan atau

tertulis oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya kepada

pegawai pencatat perkawinan.

2) Pengumuman

Setelah semua persyaratan terpenuhi maka pegawai pencatat

menyelenggarakan pengumuman yang ditempel dipapan pengumuman kantor

pencatat perkawinan. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 8 PP No. 9 Tahun

1975.

3) Pelaksanaan

Setelah hari ke-10 (sepuluh) tidak ada yang mengajukan keberatan atas

rencana perkawinan tersebut maka perkawinan dapat dilangsungkan oleh

pegawai pencatat perkawinan. Khusus yang beragama Islam pegawai pencatat

perkawinan hanya sebagai pengawas saja.72 Di samping itu, perkawinan sah

apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan). Ahmad Djumairi

mengatakan bahwa :

72Setiyowati Wahyuni, Op.Cit., hal 39.

Universitas Sumatera Utara

Page 64: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

51

Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dankepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yangberlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya sepanjang tidakbertentangan atau tidak ditentukan lain oleh Undang-Undang itu. Jadibagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggarhukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagiHindu maupun Budha.73

Adapun syarat-syarat perkawinan menurut UU Perkawinan adalah:

a) Adanya persetujuan kedua calon mempelai. Kesepakatan kedua belah

pihak untuk melangsungkan perkawinan, tanpa adanya paksaan dari pihak

lain. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia atas perkawinan, dan sesuai

dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

b) Bagi seorang yang belum mencapai usia 21 tahun, untuk melangsungkan

perkawinan harus ada izin dari kedua orang tua. Menurut ketentuan

Pasal 7 UUP, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai

umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Batas umur

ini ditetapkan maksudnya untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan

keturunannya, yang berarti bahwa seorang yang belum mencapai umur 21

tahun harus mendapat izin kedua orang tua, karena mereka dianggap belum

dewasa.

73Achmad Djumairi. Hukum Perdata II. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo. Semarang,1990. hal 24.

Universitas Sumatera Utara

Page 65: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

52

c) Bila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau tak mampu

menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang

masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

d) Bila kedua orang tuanya telah meninggal dunia atau tak mampu menyatakan

kehendaknya maka izin dapat diperoleh dari wali.

e) Bila ayat 2, 3, dan 4 pasal 6 ini tidak dapat dipenuhi, maka calon mempelai

dapat mengajukan izin pada Pengadilan setempat.

f) Penyimpangan tentang Pasal 7 ayat (1) dapat minta dispensasi kepada

Pengadilan.

Kemudian di dalam KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan

perkawinan juga dibagi dua macam adalah: (1) syarat materiil dan (2) syarat formal.

Syarat materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam

melangsungkan perkawinan. Syarat ini dibagi dua macam, yaitu:

a) Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi

seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada

umumnya. Syarat itu meliputi:

1) Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri,

seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 KUH

Perdata).

2) Persetujuan antara suami-isteri (Pasal 28 KUH Perdata).

Universitas Sumatera Utara

Page 66: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

53

3) Terpenuhinya batas umur minimal, bagi laki-laki minimal berumur

18 (delapan belas) tahun dan bagi wanita berumur 15 (lima belas) tahun

(Pasal 29 KUH Perdata).

4) Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus

mengindahkan waktu 300 (tiga ratus) hari setelah perkawinan terdahulu

dibubarkan (Pasal 34 KUH Perdata).

5) Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anak-anak

yang belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 35 sampai dengan

Pasal 49 KUH Perdata).

b) Syarat materiil relatif, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang

untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan tersebut ada 2 (dua) macam,

yaitu:

1) Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan

sedarah dan karena perkawinan.

2) Larangan kawin karena zina,

3) Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya

perceraian,

Jika belum lewat 1 (satu) tahun.

Syarat formal adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas

dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dua tahapan, yaitu:

a. Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman tentang maksudkawin (Pasal 50 sampai Pasal 51 KUH Perdata). Pemberitahuan tentangmaksud kawin diajukan kepada Catatan Sipil. Pengumuman untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 67: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

54

maksud kawin dilakukan sebelum dilangsungkannya perkawinan,dengan jalan menempelkan pada pintu utama dari gedung dimanaregister-register Catatan Sipil diselenggarakan, dan jangka waktunya 10(sepuluh) hari.

b. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannyaperkawinan. Apabila kedua syarat diatas, baik syarat materiil danformal sudah dipenuhi maka perkawinan itu dapat dilangsungkan.74

Selain menurut UU Perkawinan dan KUH Perdata, dalam praktek juga dikenal

syarat perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam. Syarat sah

perkawinan/pernikahan harus memenuhi rukun nikah, yaitu:

a. Calon suami.

b. Calon isteri.

c. Wali.

d. Dua orang saksi.

e. Ijab dan Kabul.

Syarat calon suami:

1) Harus beragama Islam.

2) Harus laki-laki (bukan banci).

3) Harus lelaki yang tertentu.

4) Harus yang boleh kawin dengan isteri itu.

5) Sudah tahu atau pernah melihat kepada calon isteri.

6) Harus suka dan ridha.

7) Harus tidak sedang mengerjakan Haji/ Umrah.

8) Harus perempuan yang halal dikawini.

74Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal 63.

Universitas Sumatera Utara

Page 68: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

55

9) Dan jika sudah beristeri, belum ada empat orang isteri.

Syarat calon isteri:

1) Harus beragama Islam.

2) Harus wanita (bukan banci).

3) Harus perempuan yang tertentu.

4) Harus yang boleh dikawin.

5) Harus sudah luar iddah.

6) Harus suka dan ridha.

7) Tidak sedang mengerjakan Haji/ Umrah.

Perkawinan tanpa wali, tidak dapat diawasi oleh Pejabat Pencatat Nikah

(PPN) dan tidak dapat perlindungan hukum. Oleh karena itu, wali adalah masalah

pokok dalam perkawinan. Ijab yaitu ucapan dari orang tua/wali atau wakilnya pihak

perempuan sebagai penyerahan kepada pihak laki-laki. Sedangkan Kabul yaitu

ucapan dari pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda penerimaan. Upacara Ijab

dan Kabul ini, dilakukan dimuka PPN (pejabat pencatat nikah) yaitu di Masjid, boleh

di rumah dengan memanggil PPN/ harus ada di bawah pengawasan PPN.

Berdasarkan uraian di atas, perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum antara

suami istri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada Tuhan tetapi

untuk mewujudkan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia,

kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, membina rumah tangga yang penuh

dengan sakinah, mawaddah dan rahmah. Akibat hukum lain adalah terjaminnya hak-

hak dan kewajiban suami istri serta anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Page 69: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

56

Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah atau batal

demi hukum. Sedangkan rukun perkawinan adalah adanya calon suami, adanya calon

isteri, adanya wali, adanya saksi dan ijab kabul.

Dalam setiap perkawinan pasti menimbulkan akibat hukum, antara lain

timbulnya hak dan kewajiban suami dan isteri, hak dan kewajiban orang tua serta

kekuasaannya dan di samping itu timbulnya hak perwalian. Seorang anak yang

dilahirkan sebagai akibat dari suatu perkawinan, disebut dengan anak sah. Anak sah

sampai dia berusia dewasa, berada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama kedua

orang tuanya itu masih terikat tali perkawinan.

Dengan demikian, jelaslah bahwa pencatatan perkawinan merupakan

pemenuhan syarat formil dalam melangsungkan perkawinan yang dilakukan melalui

pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat

Perkawinan, Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, Pelaksanaan

perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing dan Pencatatan

perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Kemudian guna dapat melangsungkan perkawinan campuran itu supaya

perkawinanya sah, maka ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Perkawinan

harus dipenuhi artinya perkawinan bagi mereka yang beragama Islam harus sesuai

dengan ketentuan hukum Islam. Begitu pula bagi mereka yang beragama selain Islam,

maka bagi mereka harus sesuai dengan ketentuan hukum agamanya dan

kepercayaannya itu. Apabila hukum agama yang bersangkutan membolehkan, maka

perkawinan campuran dilangsungkan menurut agama Islam yang dilaksanakan oleh

Universitas Sumatera Utara

Page 70: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

57

pegawai pencatat nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan (Kuakec), sedangkan

perkawinan campuran yang dilangsungkan menurut agamanya dan kepercayaannya

selain agama Islam dilaksanakan pencatatannya di Kantor Catatan Sipil.

Dengan demikian ketentuan hukum yang dibuat oleh pemerintah zaman

kolonial tentang perkawinan campuran tidak berlaku lagi karena sudah diatur dalam

UU No 1 Tahun 1974. Bagi orang-orang berlainan kewarganegaraan yang melakukan

perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan

dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut caracara yang telah ditentukan

dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.75

Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya

perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun

mengenai hukum perdata. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia

dilakukan menurut undang-undang perkawinan ini.76

Perkawinan campuran yang diatur dalam undang-undang ini adalah

perkawinan campuran yang berbeda kewarganegaraan yaitu antara orang Indonesia

dengan orang asing. Hal tersebut penting diatur, mengingat eksistensi bangsa dan

negara Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari konteks pergaulan transnasional dan

atau intemasional. Pengaruh dari gejala regionalisasi, internasionalisasi atau

globalisasi di berbagai bidang kehidupan manusia, mengakibatkan hubungan antar

75Pasal 58 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan76Pasal 59 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Universitas Sumatera Utara

Page 71: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

58

manusia semakin luas dan tidak terbatas, akhirnya ada yang saling jatuh cinta dan

melangsungkan perkawinan antar kewarganegaraan.

Perkawinan Campuran yang berbeda kewarganegaraan ini semakin meningkat

jumlahnya, meskipun di dalam kenyataannya banyak yang menghadapi

problem/permasalahan. Bagi Warga Negara Asing yang akan melakukan perkawinan

campuran di Indonesia, maka yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan

sebagai berikut :

1) Fotokopi paspor yang sah

2) Surat izin menikah dari kedutaan negara pemohon

3) Surat Status dari catatan sipil negara pemohon

4) Pasfoto ukuran 2 x 3 sebanyak 3 lembar

5) Kepastian kehadirin wali atau menyerahkan wakalah wali bagi WNA Wanita.

6) Membayar biaya pencatatan.

Bagi pihak WNI harus memenuhi mekanisme pelayanan pernikahan pada

Kantor Urusan Agama Kecamatan.

1) Calon pengantin datang ke kantor kepala desa/kelurahan untuk mendapatkan :

a) Surat Keterangan untuk nikah (N.1)

b) Surat Keterangan asal usul (N.2)

c) Surat Persetujuan mempelai (N.3),

d) Surat Keterangan tentang orang tua (N.4),

e) Surat pemberitahuan kehendak nikah (N.7)

2) Calon Pengantin datang ke Puskesmas untuk mendapatkan :

Universitas Sumatera Utara

Page 72: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

59

a) Imunisasi Tetanus Toxsoid 1 bagi calon pengantin wanita,

b) Kartu imunisasi,

c) Imunisasi Tetanus Toxoid II,

Setelah proses pada poin (1) dan (2) selesai, calon pengantin datang ke KUA

kecamatan, untuk :

1) Mengajukan pemberitahuan kehendak nikah secara tertulis (menurutmodel N7), apabila calon pengantin berhalangan pemberitahuan nikahdapat dilakukan oleh wali atau wakilnya;

2) Membayar biaya pencatatan nikah dengan ketentuan sebagai berikut (1)Pernikahan yang dilaksanakan di balai nikah/ kantor KUA.....(2)Pernikahan yang dilaksanakan di luar balai nikah/Kantor KUA. di tambahbiaya bedolan sesuai ketentuan yang ditetapkan Kepala Kanwil/ KantorDepartemen Agama masing-masing daerah.

3) Dilakukan pemeriksaan kelengkapan syarat-syarat pernikahan olehpenghulu.a) Surat keterangan untuk nikah menurut N.1b) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal

usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa/pejabat setingkatmenurut model N2;

c) Persetujuan kedua calon mempelai menurut model N3,d) Surat keterangan tentang orang tua (ibu bapak) dari kepala desa/pejabat

setingkat menurut model N4,e) Izin tertulis dari orang tua bagi calon mempelai yang belum mencapai

usia 21 tahun menurut model N5.f) Dalam hal tidak ada izin dari kedua orang tua atau walinya sebagaimana

dimaksud angka 5 di atas diperlukan izin dari pengadilan.g) Pasfoto masing-masing 3x2 sebanyak 3 lembar.h) Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai

umur 19 tahun dan bagi calon istri yang berumur 16 tahun.i) Jika calon mempelai anggota TNI/ polri diperlukan surat izin dari

atasanya atau kesatuannya.j) Izin pengadilan bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang.k) Akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak/ cerai bagi mereka yang

perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 7tahun 1989.

l) Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/ istri dibuat olehkepala desa/lurah atau pejabat yang berwenang yang menjadi dasarpengisian model N6 bagi janda/duda yang akan menikah.

Universitas Sumatera Utara

Page 73: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

60

m)Surat ganti nama bagi warganegara Indonesia keturunan.4) Penghulu sebagai PPN memasang pengumuman kehendak nikah (menurut

model NC) selama 10 hari sejak saat pendaftaran.5) Calon pengantin wajib mengikuti kursus calon pengantin selama 1 hari.6) Calon pengantin memperoleh sertifikat kursus calon pengantin.7) Pelaksanaan akad nikah dipimpin oleh penghulu.8) Penghulu segera menyerahkan buku nikah kepada pengantin setelah

pelaksanaan akad nikah.9) Pendaftaran kehendak nikah diajukan kepada KUA kecamatan minimal 10

hari kerja sebelum pelaksanaan pernikahan.

Terhadap pencatatan dari perkawinan campuran yang dilakukan oleh pegawai

pencatat nikah juga dilakukan legalisasi yaitu terhadap buku nikah. Tata cara

legalisasi Buku Nikah, antara lain :

1) Mengisi formulir permohonan

2) Menyerahkan buku nikah asli

3) Menyerahkan fotokopi buku nikah yang sudah dilegalisir oleh KUA tempat

nikah

4) Menyerahkan fotokopi KTP bagi WNI

5) Menyerahkan fotokopi paspor bagi WNA

6) Menyerahkan surat izin menikah dari kedutaan negara pemohon bagi

perkawinan campuran.

7) Menyerahkan surat kuasa dan Kartu Tanda Penduduk yang mengurus, apabila

pengurusan dilakukan orang lain.

Lebih lanjut mengenai pelaksanaan perkawinan campuran antara orang yang

berbeda suku bangsa atau sistem kekerabatan tetap tunduk pada ketentuan UU No. 1

Tahun 1974. Dengan kata lain tatacara dan persyaratan dalam pelaksanaan

Universitas Sumatera Utara

Page 74: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

61

perkawinan tetap mengikuti ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 berserta

petunjuk teknis pelaksanaannya.

Dalam konteks istilah kesukubangsaan (etnisitas) dan kekerabatan, ada

beberapa skenario kemungkinan perkawinan, antara lain :77

1. Perkawinan yang pelakunya adalah orang yang suku bangsa dan sistem

kekerabatannya sama, misanya perkawinan antar orang Jawa dengan

sistem Bilateral, antarorang Minangkabau dengan sistem Matrilineal, antara

orang sunda dengan sistem Bilateral, antarorang Batak dengan sistem

Patrilineal.78

2. Berbeda sukubangsa, namun prinsip kekerabatannya sama, misalnya

perkawinan antara orang Jawa dengan orang Sunda dengan Bilateral.

3. Perkawinan antardua dua orang atau lebih berbeda sukubangsa yang

sekaligus berbeda prinsip kekerabatannya, misalnya, perkawinan antara orang

Jawa dengan sistem Bilateral dan orang Minangkabau dengan sistem

Matrilineal.79

Fenomena perkawinan yang disebut terakhir menarik karena perkawinan tidak

diartikan sebagai upaya membangun hubungan seks laki-laki dengan perempuan

untuk menghasilkan keturunan, sebagai upaya untuk membangun dua hubungan

kekerabatan yang berbeda. Konsekuensi logis perkawinan antarpribadi orang yang

berbeda sukubangsa dan berbeda system kekerabatannya adalah muncul perbedaan

dalam merunut seseorang sebagai anggota keluarga satuan kelompok kekerabatan

terkecil. Artinya, dalam prinsip kekerabatan apa orang dapat dipandang sebagai

77Ade Saptono, Rumah Tangga “Jamin”, Konstruksi Orang Jawa, Minang, atau Negara ?,Seminar Internasional “Progressive Development Of Marriage Law”, Universitas Pancasila, Jakarta,2010, hlm. 9

78Ahimsa-Putra, Heddy.”Jodoh Orang Batak Karo: Ditentukan atau Tidak ?”, dalamMasyarakat Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jilid XIII. 1986, No. 2, hlm 29-67.

79Ade Saptono, Op.Cit., hlm 9.

Universitas Sumatera Utara

Page 75: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

62

satuan kekerabatan. Dalam kenyataan sekarang ini, fenomena perkawinan antar

pribadi orang yang berbeda suku bangsa tidak saja ditemukan di kota-kota besar

metropolitan, Jakarta misalnya tetapi juga dapat ditemukan di suatu wilayah yang

beragam sukubangsanya memang diciptakan, seperti di lokasi transmigrasi.80

C. Akibat Hukum Hubungan Perkawinan dan Perkawinan Campuran

Perkawinan yang sah dan dilaksanakan menurut ketentuan hukum menurut

hukum perkawinan di Indonesia akan menimbulkan akibat hukum sebagai berikut :

1. Timbulnya hubungan antara suami-istri

2. Timbulnya harta benda dalam perkawinan

3. Timbulnyan hubungan antara orang tua dan anak.

Akibat perkawinan terhadap suami isteri menimbulkan hak dan kewajiban

antara suami isteri. Hak dan kewajiban antara suami isteri diatur dalam Pasal 30

sampai dengan Pasal 34 UU No. 1 Tahun 1979, yang menetapkan sebagai berikut :

1. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga

yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat;

2. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami

dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan masyarakat;

3. Suami-isteri berhak melakukan perbuatan hukum;

4. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga. Di samping

itu suami wajib memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga

80Ibid. hlm 10.

Universitas Sumatera Utara

Page 76: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

63

dengan kemampuannya dan isteri wajib mengatur rumah tangga sebaik-

baiknya;

5. Suami isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi

bantuan lahir batin satu kepada yang lain;

6. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan tempat

kediaman tesebut ditentukan oleh suami isteri bersama.

Selanjutnya apabila suami atau isteri melalaikan kewajiban, maka masing-

masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Sedangkan akibat perkawinan

yang menyangkut harta benda dalam perkawinan, diatur dalam Pasal 35 sampai Pasal

37 UU No. 1 Tahun 1974, yang menetapkan sebagai berikut :

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama,

sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami atau isteri dan harta benda

yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah

penguasaan masing-masing, sepanjang tidak ditentukan lain oleh suami-isteri.

Apabila ditentukan oleh suami isteri, maka harta bawaan suami isteri tersebut

menjadi harta bersama.

Untuk menentukan agar harta bawaan suami dan isteri menjadi harta bersama,

maka suami dan isteri tersebut harus membuat perjanjian kawin. Perjanjian

kawin harus dibuat secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat

Perkawinan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan;

Perjanjian kawin adalah perjanjian perjanjian yang dibuat calon suami dan

isteri untuk mengatur akibat-akibat perkawinannya terhadap harta kekayaan

Universitas Sumatera Utara

Page 77: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

64

mereka.81 Perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974, yang

menetapkan :

a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak ataspersetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian kawin yang disahkan olehPegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadappihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batashukum agama dan kesusilaan.

c. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkand. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,

kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah danPerubahan tidak merugikan pihak ketiga.

2. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak bertindak atas

persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan masing-

masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan

hukum hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta

bendanya. Adapun hak suami dan isteri untuk mempergunakan atau memakai

harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik menurut

Riduan Syahrani adalah sewajarnya, mengingat hak dan kedudukan suami dalam

kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat,

dimana masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.82

3. Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut

hukumnya masing-masing . Menurut penjelasan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974,

yaitu hukum agama (kaidah agama), hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

81Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga, Itikad Baik, Semarang, 1981,hlm. 217.

82Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1985,hlm. 100.

Universitas Sumatera Utara

Page 78: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

65

Selanjutnya akibat perkawinan terhadap anak yang lahir dalam perkawinan

menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak secara timbal balik.

1. Keadaan orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-

baiknya, sampai anak itu kawin atau kawin atau dapat berdiri sendirindiri.

Selanjutnya kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang

tua putus; Dalam praktek, apabila perkawinan putus karena perceraian atau

karena atas putusan Pengadilan, maka atas permohonan dari pihak suami

atau isteri, Pengadilan akan menyerahkan anak-anak tersebut kepada suami

atau isteri yang benar-benar beriktikad baik, untuk dipelihara dan dididik

secara baik;

2. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, berada

di bawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari

kekuasaannya;

3. Orang tua mewakili anak tersebut, mengenai segala perbuatan hukum baik

di dalam dan di luar Pengadilan;

4. Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya

terhadap seorang anak atau lebih, untuk waktu tertentu atas permintaan orang

lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah

dewasa atau pejabat yang berwenang.

Kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan alasan, ia sangat melalaikan

kewajibannya terhadap anaknya atau ia berkelakuan buruk sekali. Meskipun orang

tua dimaksud tetap berkewajiban memberi biaya pemeliharaan anak mereka.

Universitas Sumatera Utara

Page 79: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

66

Apabila No. 1 sampai dengan No. 5 di atas diperhatikan secara seksama, maka

sebenarnya No. 1 sampai dengan No. 5 tersebut merupakan kewajiban orang tua

kepada anak mereka. Kemudian, mana yang menjadi hak anak mereka? Yang

menjadi hak anak mereka, menurut penulis, yaitu apa yang menjadi kewajiban orang

tua itu merupakan hak dari anaknya. Sebaliknya, anak tidak hanya mempunyai hak

terhadap orang tuanya saja, akan tetapi anak juga mempunyai kewajiban terhadap

orang tuanya.

Kewajiban tersebut, yaitu :

1. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang

baik;

2. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya,

orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka memerlukan

bantuannya.

Menurut penulis, apa yang menjadi kewajiban anak terhadap orang tuanya itu,

merupakan hak dari orang tuanya. Kedudukan anak menurut UU No. 1 Tahun 1974

diatur dalam dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 44. Dari ini Pasal tersebut dapat

disimpulkan, bahwa UU No. 1 Tahun 1974 membedakan antara anak sah dengan

anak luar kawin. Anak sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah. Dengan demikian anak yang dilahirkan di luar perkawinan

yang sah disebut anak luar kawin. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah

hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, keluarga ibunya.

Universitas Sumatera Utara

Page 80: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

67

Kemudian meskipun anak itu dilahirkan dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah, namun bilamana suami dapat membuktikan, bahwa isterinya

telah berzinah dan anak itu akibat dari perzinahan, maka suami dapat menyangkal

keabsahan anak tersebut. Penyangkalan keabsahan seorang anak harus diajukan

kepada Pengadilan. Kemudian pengadilan memberikan keputusan tentang sah dan

tidaknya anak, atas permintaan pihak yang berkepentingan. Timbul pertanyaan

apakah ketentuan mengenai kedudukan anak yang diatur dalam Pasal 42 sampai

dengan Pasal 44 UU No. 1 Tahun 1974, sudah dapat diperlakukan secara efektif.

Apabila dilihat isi Pasal 43 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Surat Edaran

Mahkamah Agung tanggal 20 Agustus 1975 No. MA/Pemb.0807, tentang Petunjuk-

petunjuk Mahkamah Agung Mengenai Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 dapat

diketahui, bahwa Pasal 42 sampai dengan Pasal 43 tersebut belum dapat diperlakukan

secara efektif. Dengan demikian untuk kedudukan anak, dengan sendirinya masih

diperlakukan ketentuan-ketentuan dan perundang-undangan lama, yaitu Hukum

Agama (Keadaan Agama), Hukum Adat dan KUHPerdata (Pasal 66 UU No. 1 Tahun

1974).

Perkawinan campuran seperti perkawinan pada umumnya yang dilakukan

oleh pasangan suami isteri juga membawa akibat hukum bagi para pihak seperti

halnya yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, dalam praktiknya perkawinan

juga menghadapi berbagai permasalahan, antara lain :

1. Mengenai Keabsahan Perkawinan

Universitas Sumatera Utara

Page 81: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

68

Di dalam UU No.1 Tahun 1974 telah ditentukan bahwa sahnya perkawinan di

Indonesia adalah berdasarkan masing-masing agama dan kepercayaannya.83 Oleh

karena itu mengenai perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia

harus dilakukan berdasarkan hukum perkawinan Indonesia jadi keabsahan

perkawinan tersebut harus berdasarkan hukum agama dan harus dicatat apabila

kedua belah pihak, calon suami-isteri ini menganut agama yang sama tidak akan

menimbulkan masalah, namun apabila berbeda agama, maka akan timbul

masalah hukum antar agama.

Masalahnya tidak akan menjadi rumit apabila jalan keluarnya dengan kerelaan

salah satu pihak untuk meleburkan diri/mengikuti kepada agama pihak, yang

lainnya tetapi kesulitan ini muncul apabila kedua belah pihak tetap ingin

rnempertahankan keyakinannya. Terlebih lagi karena Kantor Catatan Sipil

berdasarkan Keppres No.12 Tahun 1983, tidak lagi berfungsi untuk menikahkan.

Namun di dalam kenyataannya sering terjadi untuk mudahnya pasangan tersebut

kawin berdasarkan agama salah satu pihak, dan kemudian setelah perkawinannya

disahkan mereka kembali kepada keyakinannya masing-masing.

83Pasal 1 angka (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan83Ade Saptono, Rumah Tangga “Jamin”, Konstruksi Orang Jawa, Minang, atau Negara ?,

Seminar Internasional “Progressive Development Of Marriage Law”, Universitas Pancasila, Jakarta,2010, hlm. 9

83Ahimsa Putra, Heddy.”Jodoh Orang Batak Karo: Ditentukan atau Tidak ?”, dalamMasyarakat Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jilid XIII. 1986, No. 2, hlm 29-67.

83Ade Saptono, Op.Cit., hlm 9.83Ibid. hlm 10.83Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 82: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

69

Di Indonesia perkawinan antar agama masih merupakan suatu problem yang

masih perlu dicarikan jalan keluarnya dengan sebaik-baiknya. Mengenai kesahan

perkawinan campuran ini memang belum ada Pengaturan khusus, sehingga di

dalam prakteknya sering terjadi dan untuk memudahkan pasangan tersebut kawin

berdasarkan agama salah satu pihak, namun kemudian setelah perkawinan

disahkan mereka kembali kepada keyakinannya masing-masing. Di samping itu,

terdapat juga pasangan yang melangsungkan perkawinan di luar negeri, baru

kemudian didaftarkan di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, karena masalah perkawinan campuran ini tidak

mungkin dihilangkan, maka untuk adanya kepastian hukum sebaiknya dibuatkan

suatu pengaturan mengenai keabsahan perkawinan campuran ini.

2. Permasalahan Pencatatan

Mengenai perkawinan campuran dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974

tidak ada ketentuan yang mengatur secara khusus tentang pencatatan perkawinan

campuran. Dengan demikian, apabila perkawinan dilangsungkan di Indonesia

maka berlaku ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan

ketentuan Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun

1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang antara lain

disebutkan :

a. Pada Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tiap-tiap perkawinan

dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975

Universitas Sumatera Utara

Page 83: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

70

Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya

menurut Agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud

dalam undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan

Rujuk.

Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya

menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain Agama Islam dilakukan oleh

Pegawai Pencatatan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana

dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan

perkawinan. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku

bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang

berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana yang ditentukan

dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9.

Apabila pengaturannya demikian, maka mengenai pencatatan ini akan timbul

masalah kalau calon suami atau calon Isteri bersikeras tetap mempertahankan

keinginannya maka akan dicatat dimana, karena masalah perkawinan campuran

pada UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang pencatatan perkawinan

campuran, baik untuk perkawinan antar keyakinannya maupun perkawinan antar

kewarganegaraan.

Demikian dalam hal pencatatan perkawinan apabila pasangan tersebut

beragama Islam, meskipun adanya perbedaan kewarganegaraan tetap dicatatkan

di KUA. Sedangkan apabila pasangan tersebut beragama non muslim meskipun

berbeda kewarganegaraan tetap pencatatannya di Kantor Catatan Sipil. jadi yang

Universitas Sumatera Utara

Page 84: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

71

perlu dipikirkan pengaturannya adalah pencatatan bagi pasangan yang berbeda

agama. Untuk itu memang diperlukan pemikiran secara mendalam dari berbagai

segi agar tidak merugikan salah satu pasangan.

3. Masalah Harta Benda Perkawinan

Apabila pihak suami warga negara Indonesia, maka ketentuan hukum material

berkaitan dengan harta kekayaan diatur berdasarkan hukum suami, yaitu UU No.

1 Tahun 1974. Namun harta benda perkawinan campuran ini apabila tidak

dilakukan perjanjian perkawinan yang menyangkut harta perkawinan maka

berkenaan dengan harta perkawinan ini akan tunduk pada Pasal 35, di mana

ditentukan, bahwa “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi

harta bersama; Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta

benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah

dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan

lain“.84

Selanjutnya mengenai harta bersama ini dapat dikelola bersama-sama suami

dan isteri, namun dalam setiap perbuatan hukum yang menyangkut harta bersama

harus ada persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1)). Sedangkan dalam

hal harta bawaan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya

untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya Pasal 36 ayat (2).

Apabila terjadi perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya

masing-masing (Pasal 37), yang dimaksud hukum masing-masing pihak di dalam

84Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Universitas Sumatera Utara

Page 85: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

72

UU No. 1 Tahun 1974 ini adalah hukum agama, hukum adat atau hukum lainnya.

Untuk Perkawinan Campuran akan munjadi masalah Hukum Perdata

internasional, karena akan terpaut 2 (dua) sistem hukum perkawinan yang

berbeda, yang dalam penyelesaiannya dapat digunakan ketentuan Pasal 2 dan

Pasal 6 ayat (1) GHR (Regeling of de gemengde huwelijken) S. 1898 yaitu

diberlakukan hukum pihak suami.

Masalah harta perkawinan campuran ini apabila pihak suami warga negara

Indonesia, maka tidak ada permasalahan, karena diatur berdasarkan hukum suami

yaitu Undang-undang No.l Tahun 1974. Sedangkan apabila isteri yang

berkebangsaan Indonesia dan suami berkebangsaan asing maka dapat menganut

ketentuan Pasal 2 dan Pasal 6 ayat (1) GHR, yaitu diberlakukan hukum pihak

suami. Namun karena GHR tersebut adalah pengaturan produk zaman Belanda,

sebaiknya masalah ini diatur dalam Hukum Nasional, yang disesuaikan dengan

perkembangan zaman.

4. Masalah Perceraian.

Di dalam suatu perkawinan diharapkan tidak akan terjadi perceraian, karena

dengan terjadinya perceraian akan menimbulkan berbagai permasalahan. Namun

apabila tetap terjadi perceraian, maka perkawinan yang dilaksanakan di

Indonesia dan pihak suami warga negara Indonesia, jelas syarat-syarat dan alasan

perceraian harus berdasarkan ketentuan yang berlaku di Indonesia, yaitu dalam

UU No.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan khusus

untuk pegawai negeri sipil berlaku pula ketentuan-ketentuan PP No. 10 Tahun

Universitas Sumatera Utara

Page 86: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

73

1983 dan PP No. 45 Tahun 1990. Tetapi dalam hal Perkawinan Campuran yang

perkawinannya dilangsungkan di Indonesia sedangkan pihak suami adalah warga

negara asing dan mereka menetap di luar negeri, maka dalam hal ini akan timbul

masalah Hukum Perdata internasional lagi yaitu untuk menentukan alasan dan

syarat perceraian tersebut demikian pula bagi mereka yang melangsungkan

perkawinan di luar negeri.

Putusnya perkawinan disebabkan kematian, perceraian, dan atas keputusan

pengadilan. Dalam hal perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan

yang berwenang, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak

berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Selain itu untuk melakukan perceraian

harus cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun

sebagai suami isteri. Disini jelas apabila perkawinan campuran dilakukan di

Indonesia jelas alasan maupun akibat terjadinya perceraian berdasarkan

ketentuan yang diatur di dalam UU No.1 Tahun 1974.

Bila perkawinan campuran yang di langsungkan di Indonesia namun

tinggalnya di luar negeri atau perkawinannya dilangsungkan diluar negeri dalam

hal ini belum ada pengaturannya. Oleh karena itu perlu diatur atau paling tidak.

Adanya perjanjian perkawinan antara keduanya. apabila kemungkinan putus

perkawinan tersebut. Karena apabila sebelum perkawinan pihak suami dan pihak

isteri telah membuat perjanjian dan dilakukan didepan institusi yang berwenang,

yang berisi masalah, kalau terjadi perceraian dalam hal alasan maupun akibat

Universitas Sumatera Utara

Page 87: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

74

perceraian yaitu tanggung jawab dan kewajiban memelihara anak dari hasil

perkawinan mereka, maka sudah ada jaminan bagi anak.

5. Status Anak.

Mengenai anak ini, cukup banyak peraturan yang mengatur tentang anak, dan

dilain pihak keberadaan anak tidak terlepas dan berhubungan erat dengan hukum

perkawinan, hukum keluarga, dan hukum kewarisan. Dalam hal perkawinan

campuran masalah status anak ini juga menghadapi permasalahan yaitu berkaitan

dengan kewarganegaraan dari anak. Selain daripada itu dalam UU No. 1 Tahun

1974 mengenai kedudukan anak telah diatur pada Bab 9 dalam Pasal 42 sampai

Pasal 44 yang antara lain menentukan :

a. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah (Pasal 42).

b. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata

dengan Ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat(1))

c. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya,

bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzinah dan anak itu

akibat daripada perzinahan tersebut.

d. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan

pihak yang berkepentingan.85

Bertitik tolak dari pengaturan tersebut, jelas bahwa Undang-undang No. 1

Tahun 1974 tidak mengatur mengenai anak hasil perkawinan antar bangsa Indonesia

dengan bangsa-asing karena dalam Pasal 42 tersebut hanya mengatur mengenai

kedudukan anak. Selanjutnya dalam Pasal 43 mengatur anak yang dilahirkan di luar

perkawinan dan juga mengatur mengenai seorang suami yang dapat menyangkal

85Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Universitas Sumatera Utara

Page 88: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

75

sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa

isterinya melahirkan anak akibat perzinahan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Perkawinan

hanya mengatur kedudukan anak hasil perkawinan antara warga negara Indonesia

saja. Sedangkan apabila perkawinan campuran yang berbeda kewarganegaraan,

masalah kedudukan anak atau status anak ini memang dapat menimbulkan

permasalahan.

Permasalahan yang timbul adalah apabila si isteri berkewarganegaraan

Indonesia dan suami berkewarganegaraan asing, maka kalau mempunyai anak pihak

isteri tidak mempunyai pilihan untuk memberikan kewarganegaraannya kepada anak.

Kenapa demikian, karena Indonesia menganut asas keturunan (asas ius sanguinis)

yaitu kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh keturunan daripada orang yang

bersangkutan (si suami).

Selain itu, apabila si anak mempunyai kewarganegaraan dari bapak (asing)

maka dalam proses pelaporan ke Kedutaan dan Kantor Imigrasi bukan perkara yang

mudah, dan membutuhkan biaya yang cukup besar, bahkan ada Negara tertentu si

anak yang masih kecil harus dibawa untuk melaporkan kekedutaan. Sedangkan

bilamana isteri yang berkewarganegaraan Indonesia mengikuti suami tinggal di

negara suaminya, maka ketika mengajukan permohonan menjadi "permanent

resident“ (PR) prosesnya memakan waktu 4 tahun.

Selanjutnya apabila perkawinan tidak berjalan mulus dan terjadi kekerasan

yang akhirnya terjadi perceraian maka akan timbul permasalahan si anak menjadi

Universitas Sumatera Utara

Page 89: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

76

warganegara yang mana (ikut Ayah atau ikut Ibu). Jumlah peristiwa perkawinan

campuran yang terjadi di Indonesia cenderung meningkat dan hal tersebut

mengakibatkan permasalahan yang berkaitan dengan penentuan status

kewarganegaraan anak dari perkawinan tersebut. Untuk memecahkan hal tersebut

dapat dilakukan antara lain (menurut hasil tim analisis dan evaluasi hukum tentang

status anak, hasil perkawinan campuran antar WNI dan asing).

1) Konsekuensi hukum status anak hasil perkawinan kewarganegaraan Indonesia

dan asing (Ius Sanguinis).

a) Perjanjian Perkawinan tentang Kewarga negaraan anak yang disahkan

oleh Notaris.

Perkawinan antara seorang pria Warga Negara Amerika dengan Wanita

Warga Negara Indonesia, mereka menghendaki agar anak dari

perkawinan mereka mengikuti kewarganegaraan Ibunya melalui

perjanjian dihadapan Notaris (tahun 1994) perlu dikukuhkan oleh

pengadilan, yang menyatakan bahwa anak yang lahir dari perkawinan

mereka menjadi warga negara Indonesia yaitu mengikuti

kewarganegaraan ibunya. Perjanjian ini disampaikan kepada Kantor

Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta tahun 1995 dan pada tahun 1995 saat

mengajukan akta kelahiran anak-anaknya dan memohon agar dalam

pencatatan kelahiran anakanaknya tersebut tertulis Warga Negara

Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

Page 90: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

77

b) Status anak dari perkawinan campuran yang putus karena cerai dan di

bawah pengasuhan Ibunya.

Perkawinan antara seorang pria WNA dengan wanita WNI dan

perkawinan tersebut putus karena perceraian padahal anaknya masih

dibawah umur, maka anak dari perkawinan tersebut diputus oleh

Pengadilan dibawah asuhan ibunya yang WNI, padahal status anak

tersebut adalah WNA. Oleh karena itu untuk melindungi anak tersebut,

sebaiknya si ibu mengajukan permohonan kewarganegaraan Indonesia

kepada pengadilan. Atau si anak dapat memilih sendiri kewarga

negaraannya setelah berumur 18 tahun (pasal 3 UU No. 62 Tahun 1959).

c) Anak dari perkawinan campuran yang dilaporkan oleh Ibunya sebagai

anak luar kawin.

Hal tersebut dilakukan oleh sang Ibu agar anak hasil perkawinan campuran

tersebut menjadi Warga Negara Indonesia, dan untuk menghindari anak

menjadi WNA.

2) Anak WNI yang lahir di luar negeri (ius soli).

a) Status anak dari perkawinan campuran yang menganut asas

kewarganegaraan yang berbeda.

Perkawinan antara seorang pria WNA dengan wanita yang WNI, dimana

negara asal, pria tersebut menganut asas kewarganegaraan ius soli. Anak

dari perkawinan tersebut yang lahir di Indonesia sesuai dengan hukum

Universitas Sumatera Utara

Page 91: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

78

yang berlaku di Indonesia mempunyai kewarganegaraan ayahnya,

sedangkan hukum yang berlaku di negara ayahnya anak tersebut

berkewarganegaraan Indonesia sehingga anak tersebut statusnya

bipatrida.

b) Anak dari perkawinan campuran yang tinggal di luar negeri.

Perkawinan campuran antara pria WNI dengan wanita yang WNA dan

tinggal diluar negeri yang menganut asas kewarganegaraan ius soli.

Anak dari perkawinan tersebut menurut hukum di Indonesia

kewarganegaraannya mengikuti ayahnya yaitu WNI, namun karena lahir

dan di luar negeri yang menganut asas kewarganegaraan ius soli, maka

anak tersebut menjadi WNA.

D. Perkawinan Campuran dan Kaitannya dengan Pewarisan

Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting bagi kehidupan

setiap orang. Di dalam suatu perkawinan seorang anak mempunyai hubungan secara

keperdataan dengan kedua orang tuanya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 43 ayat

(1) UU No.1 Tahun 1974 bahwa; ”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, keluarga ibunya. Hubungan dimaksud

juga menyangkut dengan hak waris atas harta warisan orang tuanya yang diatur

dalam hukum waris.

Sebagaimana diketahui bahwa mengenai warisan, di Indonesia sampai saat ini

masih bersifat plural, disamping berlakunya Hukum waris adat yang beraneka ragam

sistemnya dan juga berlaku waris yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum

Universitas Sumatera Utara

Page 92: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

79

Perdata serta hukum waris Islam. Jadi mengenai Perkawinan Campuran masalah

warisan juga belum ada pengaturan tersendiri sehingga sangat memungkinkan

terjadinya permasalahan. Masalah warisan ini, karena di. Indonesia belum

mempunyai peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional, maka dalam

warisan tetap mengacu kepada hukum adat, hukum Islam dan KUHPerdata. Oleh

karena itu, warisan yang berkaitan dengan perkawinan campuran, memang

diserahkan kepada suami isteri yang bersangkutan.

Mengenai hukum waris ini terdapat bermacam-macam pengertian

sebagaimana dikemukakan oleh A. Pitlo, bahwa :

Hukum waris merupakan kumpulan peraturan yang mengatur hukummengenai harta kekayaan, karena wafatnya seseorang: yaitu mengenaipemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibatnya,dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperoleh baik dalam hubunganantara mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.86

Hukum Waris menurut Soebekti dan Tjitrosudibio, yaitu hukum

yang mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan

seseorang yang meninggal dunia.87 Sedangkan Hukum Waris menurut

Wirjono Projodikoro hukum yang mengatur tentang soal apakah dan bagaimanakah

pelbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal

dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.88

86A. Pitlo, Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, (AlihBahasa M. Isa Arief), hlml. 1 dalam Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Badan Penerbit UniversitasDiponegoro, Semarang, 2008, hlm. 2

87Soebekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, Hal. 25 dalam Mulyadi, Hukum Waris TanpaWasiat, (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2008, hlm. 2

88Soebekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, hlm. 25 dalam Mulyadi, Hukum Waris TanpaWasiat, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2008, hlm. 2

Universitas Sumatera Utara

Page 93: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

80

Ketiga pengertian di atas, menunjukkan bahwa untuk terjadinya pewarisan

harus memenuhi 3 unsur, yaitu :

1. Pewaris adalah orang yang meninggal dunia meninggalkan harta kepada oranglain;

2. Ahli waris adalah orang yang menggantikan pewaris di dalamkedudukkannya terhadap warisan, baik untuk seterusnya maupun untuksebagian;

3. Harta warisan adalah segala harta kekayaan dari orang yang meninggal.89

Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 171 ayat (1) Kompilasi Hukum

Islam (KHI), yang dimaksud dengan Hukum Waris adalah hukum yang mengatur

pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan

siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.

Dengan demikian prinsip hanya hak dan kewajiban yang meliputi harta

kekayaan saja yang dapat diwaris, ternyata hal itu tidak dapat dipegang teguh dan

terdapat beberapa pengecualian.90

Hukum waris diatur dalam Buku II tentang kebendaan, tepatnya dalam Titel

XII sampai dengan Titel XVIII (dalam KUH Perdata Belanda diatur dalam Titel XI

sampai dengan Titel XVII). Untuk hal itu, Pitlo menyatakan bahwa Pembuat undang-

undang kita sesuai dengan Pasal 584, yang telah memasukkan hak waris dalam hak

kebendaan, telah memperlakukan hak ahli-ahli waris sebagai suatu hak kebendaan,

oleh karena itu telah menempatkannya dalam buku kedua titel kesebelas sampai

89Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang,2008, hlm. 2-3

90Ibid. hlm.3

Universitas Sumatera Utara

Page 94: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

81

dengan titel ketujuhbelas, dan merupakan pemisahan antara hak menikmati dengan

jaminan.

Selanjutnya apabila dilihat dalam KUH Perdata, Nampak bahwa susuna

Hukum Waris lebih mendekati Hukum Germania daripada Hukum Romawi. Namun

apabila dilihat dari sistematikanya dengan dimasukkannya Hukum Waris ke dalam

Buku II, maka sistem Hukum Waris yang dianut oleh KUH Perdata adalah sistem

Hukum Romawi.91

Ada 2 (dua) macam pewarisan menurut KUH Perdata, yaitu (1) Pewarisan

menurut Undang-Undang atau karena kematian atau Ab Intestato atau tanpa wasiat,

dan (2) Pewarisan dengan surat warisan atau testamentair. Mulyadi mengatakan

bahwa :

Apabila ada orang meninggal dunia, pertama-tama yang harus diperhatikanyaitu apakah yang meninggal itu pada waktu hidupnya mengadakanketentuan-ketentuan mengenai harta bendanya. Misalkan, dengan membuatsurat wasiat yang isinya seluruh hartanya diberikan kepada pihak ketiga yangbukan keluarga sedarahnya.92

Selanjutnya apabila ada ketentuan-ketentuan seperti tersebut di atas, maka

yang perlu diperhatikan yaitu apakah ketentuan yang terdapat dalam surat wasiat itu

melanggar bagian mutlak (legitieme portie) dari ahli waris yang mempunyai bagian

mutlak (legitieme portie) atau tidak. Apabila melanggar bagian mutlak (legitieme

portie), maka surat wasiat tersebut dipotong sebesar kekurangan bagian mutlak

(legitieme portie) yang dipunyai legitimaris. Apabila surat wasiat itu tidak melanggar

91Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang,2008,hlm. 5

92Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 95: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

82

bagian mutlak (legitieme portie), maka apa yang tercantum dalam surat wasiat

langsung dapat diberikan kepada yang ditunjuk dan sisanya dibagikan kepada ahli

waris yang ada (ahli waris menurut undang-undang).93

Titel ke 11 dari Buku Kedua yang mengatur pewarisan menurut undang-

undang, juga memuat ketentuan yang berlaku untuk pewarisan menurut surat wasiat.

Misalnya Pasal 830 yang menyebutkan bahwa pewarisan hanya terjadi karena

kematian. Yang dimaksud disini adalah kematian alamiah (wajar).94 Dengan

demikian Pasal 830 KUH Perdata diatas merupakan syarat yang haris dipenuhi oleh

seorang pewaris. Sebab dengan meninggalnya pewaris berakibat harta warisan

terbuka atau tertuang.95

Selanjutnya menurut Pasal 171 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang

dimaksud pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan

meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragam Islam, meninggalkan ahli waris

dan harta peninggalan.

Kemudian dalam pewarisan juga dikenal ahli waris yang harus memenuhi

syarat sebagai berikut :

a. Orang yang menjadi ahli waris harus mempunyai hak atas warisan si pewaris.Hak ini dapat tmbul karena :1. Adanya hubungan darah baik sah maupun luar kawin (Pasal 832 KUH

Perdata);2. Pemberian melalui surat wasiat (Pasal 874 KUH Perdata).

93Ibid., hlm. 794J.G. Klassen dan JE Eggens, Hukum Waris Bagian I, (disadur oleh Kelompok Belajar Esa),

hlm. 495Mulyadi. Op. Cit. hlm. 7

Universitas Sumatera Utara

Page 96: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

83

b. Orang yang menjadi ahli waris harus sudah ada pada saat pewaris meninggaldunia (Pasal 836 KUH Perdata). Dengan pengecualian apa yang tercantumdalam Pasal 2 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa (1) Anak yang adadalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan,bilamana kepentingan si anak menghendakinya dan (2) Apabila mati padawaktu dilahirkan, maka dianggap tidak pernah ada.

c. Orang yang menjadi ahli waris tidak masuk orang yang dinyatakan tidak patut(Pasal 838 KUH Perdata) dan tidak cakap (Pasal 912 KUH Perdata) sertamenolak warisan (Pasal 1058 KUH Perdata).

Selanjutnya ahli waris menurut Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam

(KHI) menyatakan bahwa “ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia

mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama

Islam dan tidak terhalang oleh hukum untuk menjadi ahli waris. Pengertian beragama

Islam dalam hal ini adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 172 Kompilasi Hukum

Islam (KHI) yang menyatakan bahwa ahli waris dipandang beragama islam dilihat

dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi

yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau

lingkungannya.

Hak waris yang dimiliki oleh seorang ahli waris dapat dilihat pada uraian

berikut.

a. Hak Saisine

Hak-hak yang dimiliki oleh ahli waris diatur dalam Pasal 833 ayat (1) KUH

Perdata yang menyatakan bahwa “selain ahli waris dengan sendirinya karena

hukum memperoleh hak atas segala barang, segala hak dan segala piutang yang

meninggal dunia. Kata saisine berasal dari bahasa Perancis “Le mort saisit le vit

“yang berati bahwa yang mati dianggap memberikan miliknya kepada yang

Universitas Sumatera Utara

Page 97: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

84

masih hidup. Maksudnya adalah bahwa ahli waris segera pada saat meninggalnya

pewaris mengambil alih semua hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris tanpa

adanya suatu tindakan dari mereka, kendatipun mereka tidak mengetahuinya.96

b. Hak Hereditatis Petitio

Hak ini diberikan oleh undang-undang kepada para ahli waris terhadap mereka,

baik atas dasar suatu titel atau tidak menguasai seluruh atau sebagian dari harta

peninggalan, seperti juga terhadap mereka yang secar licik telah menghentikan

penguasaannya.97 Dalam KUH Perdata, hak ini diatur dalam Pasal 834 dan Pasal

835.

c. Hak untuk Menuntut Bagian Warisan

Hak ini diatur dalam Pasal 1066 KUH Perdata. Hak ini merupakan hak yang

terpenting dan merupakan ciri khas dari Hukum Waris. Pasal 1066 menyatakan

bahwa :

Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalm harta peninggalandiwajibkan menerima berlangsungya harta peninggalan itu dalam keadaantidak terbagi. Pemisahan ini setiap waktu dapat dituntut, biarpun adalarangan untuk melakukannya. Namun dapatlah diadakan persetujuan untukselama suatu waktu tertentu tidak melakukan pemisahan.98

d. Hak untuk Menolak Warisan

Hak menolak warisan ini merupakan hak yang dimiliki ahli waris guna

memberikan kesempatan bagia piha k lain untuk memperoleh bagian yang lebih

96J.G. Klassen dan JE Eggens, Op. Cit. hlm. 897Ibid., hlm 1298Mulyadi. Op. Cit. hlm. 11

Universitas Sumatera Utara

Page 98: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

85

besar. Hak untuk menolak warisan diatur dalam Pasal 1045 jo. Pasal 1051 KUH

Perdata.

Mengenai pewarisan ini juga diatur dalam hukum adat atau hukum waris adat.

Adanya ketentuan hukum waris adat ini karena Hukum Waris yang berlaku

di Indonesia ini masih tergantung sistem warisan yang dipakai oleh masyarakat adat

atau yang berlaku bagi yang meninggal dunia. Apabila meninggal dunia termasuk :

1. Golongan penduduk Indonesi berlaku Hukum Waris Adat Waris;

2. Golongan eropa dan Timur Asing Cina berlaku Hukum Waris Barat;

3. Golongan penduduk Indonesia yang beragama Islam berlaku Hukum Waris

Islam;

4. Golongan Timur Asing bukan Cina seperti Arab, India berlaku Hukum Adat

mereka.

Berdasarkan uraian di atas , jelaslah bahwa adanya hubungan perkawinan

dalam masyarakat membawa pengaruh terhadap pewarisan dari harta peningggalan

maupun harta bawaan dari suami isteri kepada keturunanya. Dengan kata lain, adanya

pewarisan dari orang tua kepada anaknya di dahului oleh adanya hubungan hukum

dalam bentuk perkawinan antara kedua orang tuanya.

Universitas Sumatera Utara

Page 99: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

86

BAB III

PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM

PERKAWINAN ANTARA MASYARAKAT DENGAN SISTEM

KEKERABATAN PATRILINIAL DAN MASYARAKAT

DENGAN SISTEM KEKERABATAN MATRILINIAL

A. Sistem Pewarisan dalam Hukum Waris Adat

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara

keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris

sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia

pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum

yang dilanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang

diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak dan kewajiban

seseorang yang meninggal dunia tersebut.

Penyelesaian hak dan kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang,

diatur oleh hukum waris. Pengertian hukum “waris” sampai saat ini baik para ahli

hukum Indonesia maupun di dalam kepustakaan ilmu hukum Indonesia,

belum terdapat keseragaman pengertian, ada yang menggunakan istilah hukum

warisan, hukum kewarisan dan hukum waris. Dalam memahami masalah waris

ditemukan beberapa istilah yang menjadi dasar pokok pembahasannya. Istilah

dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian hukum waris itu

sendiri.

86

Universitas Sumatera Utara

Page 100: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

87

Beberapa istilah tersebut beserta pengertiannya, antara lain :99

1. Waris, Istilah ini berarti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan)orang yang telah meninggal.

2. Warisan, Berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat.3. Pewaris, Adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal

dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun suratwasiat.

4. Ahli waris, yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yangberhak menerima harta peninggalan pewaris.

5. Mewarisi, yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalahmewarisi harta peninggalan pewarisnya.

6. Proses pewarisan:Istilah proses pewarisan mempunyai dua pengertian atau dua makna, yaitu:1) berarti penerusan atau penunjukan para waris ketika pewaris masih hidup;

dan2) berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.

Walaupun pengertian hukum waris masih terdapat berbagai

pendapat yang beragam namun Eman Suparman, menyimpulkan bahwa

"Hukum waris itu merupakan perangkat kaidah yang mengatur tentang cara

atau proses peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris atau

para ahli warisnya". Hukum waris yang ada dan berlaku di Indonesia sampai

saat ini masih belum merupakan unifikasi hukum. Atas dasar peta hukum

waris yang masih demikian plurailistiknya, akibatnya sampai sekarang ini pengaturan

masalah warisan di Indonesia masih belum terdapat adanya keseragaman.

Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk

masyarakat dan sifat kekeluargaan. Sedangkan sistem kekeluargaan pada masyarakat

Indonesia, berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan. Berkaitan dengan

99Eman Suparman, Op.Cit., hlm 4 - 5

Universitas Sumatera Utara

Page 101: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

88

sistem penarikan garis keturunan, seperti telah diketahui di Indonesia secara umum

setidak-tidaknya dikenal tiga macam sistem keturunan.100

Ketiga sistem garis keturunan dalam hukum waris di Indonesia, merupakan

bentuk masyarakat serta sifat-sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut

sistem keturunan. Ketiga sistem keturunan dengan sifat-sifat kekeluargaannya yang

unik serta sudah sedemikian populer disebabkan segi-segi perbedaannya amat

mencolok, selanjutnya dapat disimak dalam paparan singkat berikut ini sekaligus pula

dengan contoh lokasi geografis lingkungan adatnya:

1. Sistem patrilineal / sifat kebapaanSistem ini pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis keturunan ayahatau garis keturunan nenek moyangnya yang laki-laki. Sistem ini di Indonesiaantara lain terdapat pada masyarakatmasyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak,Ambon, Irian Jaya, Timor, dan Bali.

2. Sistem matrilineal/ sifat keibuanPada dasarnya sistem ini adalah sistem yang menarik garis keturunan ibu danseterusnya ke atas mengambil garis keturunan dari nenek moyang perempuan.Kekeluargaan yang bersifat keibuan ini di Indonesia hanya terdapat di satudaerah, yaitu Minangkabau.

3. Sistem bilateral atau parental / sifat kebapak-ibuan.Sistem ini, yaitu sistem yang menarik garis keturunan baik melalui garisbapak maupun garis ibu, sehingga dalam kekeluargaan semacam ini padahakikatnya tidak ada perbedaan antara pihak ibu dan pihak ayah. Sistem ini diIndonesia terdapat di berbagai daerah, antara lain: di Jawa, Madura, SumateraTimur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi,Ternate, dan Lombok. 101

Berbagai perbedaan-perbedaan dari ketiga macam sistem keturunan dengan

sifat-sifat kekeluargaan masyarakatnya tersebut, sehingga semakin jelas jelas

100M. Idris Ramulyo, “Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafi’i dan Wasiat Wajibdi Mesir tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu menurut Islam”. Majalah Hukumdan Pembangunan No. 2 Thn. XII Maret 1982, Jakarta, FHUI, 1982, hlm 155.

101Eman Suparman, Op.Cit, hlm.6.

Universitas Sumatera Utara

Page 102: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

89

menunjukkan bahwa sistem hukum warisnya pun sangat pluralistik. Namun

demikian pluralistiknya sistem hukum waris di Indonesia tidak hanya karena sistem

kekeluargaan masyarakat yang beragam, melainkan juga disebabkan adat-istiadat

masyarakat Indonesia yang juga dikenal sangat bervariasi. Oleh sebab itu, tidak heran

kalau sistem hukum waris adat yang ada juga beraneka ragam serta memiliki corak

dan sifat-sifat tersendiri sesuai dengan sistem kekeluargaan dari masyarakat adat

tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, jelaslah bahwa hukum waris merupakan

salah satu bagian dari sistem kekeluargaan yang terdapat di Indonesia. Oleh

karena itu, pokok pangkal uraian tentang hukum waris adat bertitik tolak dari

bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut

sistem keturunan. Setiap sistem keturunan yang terdapat dalam masyarakat

Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang satu sama lain

berbeda-beda, yaitu:102

Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis

keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Di dalam sistem ini kedudukan dan

pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol, contohnya

pada masyarakat Batak. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab

anak perempuam yang telah kawin dengan cara "kawin jujur" yang kemudian

masuk menjadi anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak merupakan

ahli waris orang tuanya yang meninggal dunia.

102Ibid, Hal 43-44

Universitas Sumatera Utara

Page 103: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

90

Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis

keturunan pihak nenek moyang perempuan. Di dalam sistem kekeluargaan ini

pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya. Anak-anak

menjadi ahli waris dari garis perempuan/garis ibu karena anak-anak mereka

merupakan bagian dari keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih

merupakan anggota keluarganya sendiri, contoh sistem ini terdapat pada

masyarakat Minangkabau. Namun demikian, bagi masyarakat Minangkabau

yang sudah merantau ke luar tanah aslinya, kondisi tersebut sudah banyak

berubah.

Sistem Parental atau bilateral, yaitu sistem yang menarik garis

keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Di dalam

sistem ini kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris sama

dan sejajar. Artinya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan

ahli waris dari harta peninggalan orang tua mereka.

Di samping ketiga sistem keturunan juga memungkinkan adanya

variasi lain yang merupakan perpaduan dari ketiga sistem tersebut, misalnya,

"sistem patrilineal beralih-alih (alternerend) dan sistem unilateral berganda

(doubbel unilateral)".103 Namun tentu saja masing-masing sistem memiliki

ciri khas tersendiri yang berbeda dengan sistem yang lainnya.

Berdasarkan pada bentuk masyarakat dari sistem keturunan di atas,

jelas bagi bahwa hukum adat waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh

103Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1981, hlm. 284.

Universitas Sumatera Utara

Page 104: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

91

prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.

Berkaitan dengan hal tersebut. Tjokorda Raka Dherana, dalam tulisannya

"Beberapa Segi Hukum Adat Waris Bali" yang dimuat dalam Majalah Hukum

Nomor 2 mengemukakan, antara lain:

"...masalah hukum adat waris tidak dapat dipisahkan denganpembicaraan tentang hukum adat kekeluargaan, karena sistemkekeluargaan yang dipergunakan membawa akibat kepada penentuanaturan-aturan tentang warisan. Di samping itu, peranan agama yangdianut tidak kalah pentingnya pula dalam penentuan aturan-aturantentang warisan karena unsur agama adalah salah satu unsur hukumadat. Hal ini mengakibatkan pula bahwa meskipun hukum adatkekeluargaan di Bali menganut sistem patrilineal, tetapi dalampelaksanaannya berbeda dengan daerah-daerah lain yang jugamemakai sistem patrilineal, seperti halnya di Batak". 104

Di samping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap

pengaturan hukum adat waris terutama terhadap penetapan ahli waris dan bagian

harta peninggalan yang diwariskan, hukum adat waris mengenal tiga sistem

kewarisan, yaitu :105

1. Sistem Kewarisan Individual

Sistem kewarisan individual atau perseorangan adalah sistem pewarisan

dimana setiap ahli waris dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut

bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu dibagikan, maka masing-masing

ahli waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan,

104Tjokorda Raka Dherana, Beberapa Segi Hukum Adat Waris Bali; Majalah Hukum

No. 2 Tahun Kedua, Jakarta: Yayasan Penelitian dan Pengembangan Hukum (Law Center),1975, hlm. 101.

105Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2003. hlm 24-30

Universitas Sumatera Utara

Page 105: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

92

dan dinikmati, ataupun dialihkan (dijual) kepada sesama ahli waris, anggota kerabat,

tetangga ataupun orang lain.

Kebaikan dari sistem kewarisan individual antara lain adalah bahwa dengan

kepemilikan secara pribadi, maka ahli waris dapat bebas menguasai dan memiliki

harta warisan bagiannya untuk dipergunakan sebagai modal kehidupannya lebih

lanjut tanpa dipengaruhi anggota-anggota keluarga yang lainnya. Para ahli waris

dapat mentransaksikan bagian warisannya itu kepada orang lain untuk

dipergunakannya menurut kebutuhannya sendiri atau menurut kebutuhan keluarga

tanggungannya.

Bagi keluarga-keluarga yang telah maju, dimana rasa kekerabatan sudah

mengecil, dimana tempat kediaman anggota kerabat sudah terpencar-pencar jauh, dan

tidak begitu terikat lagi untuk bertempat kediaman di daerah asal, apalagi jika telah

melakukan perkawinan campuran, maka sistem kewarisan individual ini nampak

besar pengaruhnya. Kelemahan dari sistem kewarisan individual adalah pecahnya

harta warisan dan merenggangnya tali kekerabatan yang dapat berakibat timbulnya

hasrat ingin memiliki harta warisan secara pribadi dan lebih mementingkan diri

sendiri. Sistem pewarisan individual dapat menjurus kearah nafsu yang bersifat

individualisme dan materialisme. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya perselisihan-

perselisihan antara anggota keluarga pewaris.

2. Sistem Kewarisan Kolektif

Sistem kewarisan kolektif adalah dimana harta peninggalan diteruskan dan

dialihkan kepemilikannya dari pewaris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi

Universitas Sumatera Utara

Page 106: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

93

penguasaan dan pemilikannya. Dan setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan,

menggunakan, dan mendapat hasil dari harta peninggalan tersebut. Pemakaian untuk

kepentingan dan kebutuhan masing-masing ahli waris diatur bersama-sama atas dasar

musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat yang berhak atas harta

peninggalan dibawah pimpinan kepala kerabat. Contohnya "harta pusaka” di

Minangkabau dan "tanah dati” di semenanjung Hitu Ambon. Kebaikan dari sistem

kewarisan kolektif ini akan nampak apabila fungsi harta peninggalan itu diperuntukan

untuk kelangsungan hidup keluarga besar. Tolong menolong antara satu dan yang

lainnya di bawah pimpinan kepala kerabat masih tetap dapat terpelihara, dibina, dan

dikembangkan.

Kelemahan sistem kewarisan kolektif ialah menumbuhkan cara berpikir yang

terlalu sempit, dan kurang terbuka untuk orang luar. Disamping itu, oleh karena tidak

selamanya suatu kerabat mempunyai kepemimpinan yang dapat diandalkan, dan

aktivitas hidup yang kian meluas bagi para anggota kerabat, maka rasa setia kawan,

rasa setia kerabat bertambah luntur.

3. Sistem Kewarisan Mayorat

Sistem kewarisan mayorat sesungguhnya adalah juga merupakan system

kewarisan kolektif, tetapi penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang

tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai

pemimpin rumah tangga atau kepala rumah tangga menggantikan kedudukan ayah

atau ibu yang meninggal dunia sebagai kepala keluarga. Anak tertua dalam

kedudukannya sebagai penerus tanggung jawab orang tua yang meninggal dunia

Universitas Sumatera Utara

Page 107: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

94

berkewajiban mengurus dan memelihara saudara-saudaranya yang lain terutama

bertanggung jawab atas harta warisan dan kehidupan adik-adiknya yang masih kecil

sampai mereka dapat berumah tangga dan dapat berdiri sendiri dalam suatu wadah

kekerabatan mereka yang turun temurun.

Seperti halnya dengan sistem kewarisan kolektif, dalam sistem kewarisan

mayorat setiap ahli waris dari harta bersama mempunyai hak memakai dan hak

menikmati harta bersama itu tanpa hak menguasai atau memilikinya secara

perseorangan. Kebaikan dan kelemahan sistem kewarisan mayorat ini terletak pada

kepemimpinan anak tertua dalam kedudukannya sebagai pengganti orang tua yang

telah meninggal dunia. Dalam mengurus harta kekayaan dan memanfaatkannya guna

kepentingan semua anggota keluarga yang ditinggalkan, anak tertua yang penuh

tanggung jawab akan dapat mempertahankan keutuhan dan kerukunan keluarga

sampai semua ahli waris menjadi dewasa dan dapat berdiri sendiri, serta dapat

mengatur rumah tangganya sendiri. Sebaliknya jika anak tertua tidak dapat

bertanggung jawab, dan yang tidak dapat mengendalikan diri terhadap kebendaan,

memiliki sifat boros dan lain sebagainya, jangankan dapat mengurus harta

peninggalan dan saudara-saudaranya, bahkan sebaliknya anak tertua yang diurus oleh

keluarga yang lain. Hal ini dapat menyebabkan terlantarnya kepentingan semua ahli

waris dari harta peninggalan tersebut, terutama adik-adiknya yang masih kecil.

Sistem kewarisan mayorat seringkali disalah artikan tidak saja oleh orang luar

yang tidak memahaminya, tetapi juga oleh pihak ahli waris itu sendiri. Anak tertua

sebagai pengganti orang tua yang telah meninggal dunia bukanlah pemilik harta

Universitas Sumatera Utara

Page 108: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

95

peninggalan secara perseorangan. Anak tertua hanya berkedudukan sebagai penguasa,

sebagai pemegang mandat orang tua yang dibatasi oleh musyawarah keluarga, dan

dibatasi oleh kewajiban mengurus anggota keluarga lain yang ditinggalkan, serta

bertanggung jawab secara keseluruhan, tidak semata-mata berdasarkan harta

peninggalan tetapi juga berdasarkan asas kekeluargaan. Sistem Mayorat ini ada dua

macam, yaitu:

a. Mayorat Laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua/sulung atau keturunanlaki-laki merupakan ahli waris tunggal dari pewaris. Misalnya di Bali danBatak.

b. Mayorat Perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua merupakan ahliwaris tunggal dari pewaris. Misalnya pada masyarakat Tanah Semendo diSumatra Selatan. 106

Hazairin, di dalam bukunya sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto,

menerangkan tentang sistem kewarisan tersebut di atas bila dihubungkan dengan

prinsip garis keturunan, yaitu :

"Sifat individual ataupun kolektif maupun mayorat dalam hukum kewarisan

tidak perlu langsung menunjukan kepada bentuk masyarakat di mana hukum

kewarisan itu berlaku, sebab sistem kewarisan yang individual bukan saja

dapat ditemui dalam masyarakat yang bilateral, tetapi juga dapat dijumpai

dalam masyarakat patrilineal seperti di Tanah Batak. Malahan di Tanah Batak,

di sana sini mungkin pula dijumpai sistem mayorat dan sistemkolektif yang

terbatas. Demikian juga sistem mayorat itu, selain dalam masyarakat

patrilineal yang beralih-alih, di Tanah Semendo dijumpai pula pada

masyarakat bilateral orang Dayak di Kalimantan Barat. Sedangkan sistem

kolektif dalam batas-batas tertentu malahan dapat pula dijumpai dalam

masyarakat yang bilateral seperti di Minahasa Sulawesi Utara".107

106Eman Suparman, Op.Cit, hlm: 43.

107Soerjono Soekanto, Op.Cit. hlm. 286.

Universitas Sumatera Utara

Page 109: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

96

Memperhatikan pendapat Hazairin di atas, ternyata tidak mudah untuk

menentukan dengan pasti dan tegas bahwa dalam suatu masyarakat tertentu dengan

sistem kekeluargaan yang berprinsip menarik garis keturunan, memiliki sistem

hukum adat waris yang mandiri yang berbeda sama sekali dengan sistem hukum adat

waris pada masyarakat lainnya. Namun tidak demikian halnya sebab mungkin saja

sistem kekeluargaannya berbeda, sedangkan sistem hukum adat warisnya memiliki

unsur-unsur kesamaan. Oleh karena itu, sebagai pedoman di bawah ini akan

dipaparkan tiga besar sistem hukum adat waris yang sangat menonjol yang erat

kaitannya dengan sistem kekeluargaan, sehingga akan dapat diketahui mengenai

sistem hukum adat warisnya yang ada pada sistem kekeluargaan tersebut.

Secara teoritis di Indonesia sesungguhnya dikenal banyak ragam sistem

kekeluargaan di dalam masyarakat. Akan tetapi, secara umum yang dikenal sangat

menonjol dalam percaturan hukum adat ada tiga corak, yaitu:

(1) Sistem patrilineal, dengan contoh yang sangat umum yakni Tanah Batak;

(2) Sistem matrilineal, dengan contoh daerah Minangkabau, dan

(3) Sistem parental, yang dikenal luas yakni Jawa. Untuk itu, paparan di

bawah ini pun akan dibatasi hanya mengenai hukum adat waris yang

dikenal di dalam ketiga sistem kekeluargaan tersebut di atas.

Dalam sistem hukum adat waris masyarakat dengan sistem pewarisan

patrilineal seperti halnya di tanah Karo, pewaris adalah seorang yang meninggal

dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama

dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan

Universitas Sumatera Utara

Page 110: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

97

suku Karo yang memakai marga itu berlaku keturunan patrilineal maka orang tua

merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak laki-laki yang

merupakan ahli waris dari orang tuanya. Akan tetapi, anak laki-laki tidak dapat

membantah pemberian kepada anak perempuan, demikian juga sebaliknya. Hal

tersebut didasarkan pada prinsip bahwa orang tua (pewaris) bebas menentukan untuk

membagi-bagi harta benda kepada anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaan orang

tua yang tidak membedakan kasih sayangnya kepada anak-anaknya.

Ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum adat waris di Tanah

Patrilineal, terdiri atas:

a) Anak laki-laki

Anak laki-laki, yaitu semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi

seluruh harta kekayaan. baik harta pencaharian maupun harta pusaka. Jumlah

harta kekayaan pewaris dibagi sama di antara para ahli waris. Misalnya

pewaris mempunyai tiga orang anak laki-laki, maka masing-masing anak laki-

laki akan mendapat bagian dari seluruh harta kekayaan termasuk harta pusaka.

Apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, yang ada hanya anak

perempuan dan isteri, maka harta pusaka tetap dapat dipakai, baik oleh anak-

anak perempuan maupun oleh isteri seumur hidupnya, setelah itu harta pusaka

kembali kepada asalnya atau kembali kepada "pengulihen".

b) Anak angkat

Dalam masyarakat Karo, anak angkat merupakan ahli waris yang

kedudukannya sama seperti halnya anak sah, namun anak angkat ini hanya

Universitas Sumatera Utara

Page 111: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

98

menjadi ahli waris terhadap harta pencaharian/ harta bersama orang tua

angkatnya. Sedangkan untuk harta pusaka, anak angkat tidak berhak.

c) Ayah dan Ibu serta saudara-saudara sekandung si pewaris.

Apabila anak laki-laki yang sah maupun anak angkat tidak ada, maka yang

menjadi ahli waris adalah ayah dan ibu serta saudara-saudara kandung si

pewaris yang mewaris bersama-sama.

d) Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.

Apabila anak laki-laki yang sah, anak angkat, maupun saudara sekandung

pewaris dan ayah-ibu pewaris tidak ada, maka yang tampil sebagai ahli waris

adalah keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.

e) Persekutuan adat

Apabila para ahli waris yang disebutkan di atas sama sekali tidak ada, maka

harta warisan jatuh kepada persekutuan adat. Ketentuan hukum adat waris di

Tanah Karo menentukan, bahwa hanya keturunan laki-laki yang berhak untuk

mewarisi harta pusaka. Yang dimaksud dengan harta pusaka atau barang adat,

yaitu barang-barang adat yang tidak bergerak dan juga hewan atau pakaian-

pakaian yang harganya mahal. Barang adat atau harta pusaka ini adalah

barang kepunyaan marga atau berhubungan dengan kuasa kesain, yaitu

"bagian dari kampung secara fisik".108 Barang-barang adat meliputi: tanah

kering (ladang), hutan, dan kebun milik kesain.

108Soerjono Soekanto, Kamus Hukum Adat. Alumni, Bandung, 1978, hlm. 121.

Universitas Sumatera Utara

Page 112: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

99

Rumah atau jabu mempunyai potongan rumah adat, jambur atau sapo tempat

menyimpan padi dari beberapa keluarga dan juga bahan-bahan untuk pembangunan,

seperti ijuk, bambu, kayu, dan sebagainya yang dihasilkan hutan marga atau kesain.

Proses penyerahan barang-barang harta benda kekayaan seseorang kepada

turunannya, seringkali sudah dilakukan ketika orang tua (pewaris) masih hidup.

Pembagian yang dilakukan secara kerukunan itu terjadi di depan anak beru, senina,

dan kalimbubu. Kadang-kadang pembagian itu juga dihadiri oleh penghulu (Kepala

Desa) untuk menambah terangnya pembagian tersebut. Apabila pembagian dilakukan

setelah pewaris meninggal dunia, maka perlu diperhatikan, bahwa walaupun pada

dasarnya semua anak laki-laki mempunyai hak yang sama terhadap harta peninggalan

orang tuanya, namun pembagian itu harus dilakukan dengan sangat bijaksana sesuai

dengan kehendak/pesan pewaris sebelum meninggal dunia. Apabila dalam pembagian

itu terjadi sengketa, maka anak beru (boru) dan senina mencoba menyelesaikannya

melalui musyawarah.

Apabila seorang ayah sebagai pewaris meninggal dunia dengan meninggalkan

isteri lebih dari satu, misalnya mempunyai dua orang anak dari isteri pertama dan tiga

orang anak dari isteri kedua, maka pembagiannya ada dua cara, yaitu:

(1) Dahulu cara pembagian harta peninggalan dalam keadaan semacam inididasarkan pada banyaknya isteri, sehingga dalam contoh di atas carapembagiannya adalah menjadi ½ bagian untuk dua orang anak dari isteripertama dan ½ bagian lagi untuk tiga orang anak dari isteri kedua;

(2) Setelah adanya musyawarah kepala-kepala adat Tanah Karo, carapembagian semacam di atas berubah menjadi atas dasar jumlah anak laki-laki yang masing-masing akan memperoleh bagian yang sama besar,

Universitas Sumatera Utara

Page 113: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

100

sehingga dalam contoh di atas masing-masing akan memperoleh 1/5bagian.109

Berkaitan dengan hukum adat waris Tanah Karo yang hanya mengakui anak

laki-laki sebagai ahli waris, maka melalui putusan Mahkamah Agung tanggal 1

November 1961 No.179 K/Sip/l961 telah terjadi upaya ke arah proses persamaan hak

antara kaum wanita dan kaum pria di Tanah Karo, meskipun di sana-sini putusan

Mahkamah Agung ini banyak mendapat tantangan, namun tidak sedikit pula pihak-

pihak yang justeru menyetujui hal tersebut.

Adapun yang menjadi pertimbangan dari putusan Mahkamah Agung dalam

putusan tersebut di atas, antara lain:

(1) Menimbang, bahwa keberatan-keberatan tersebut berdasarkan atasanggapan, bahwa di Tanah Karo tetap ber1aku selaku hukum yang hidup,bahwa seorang anak perempuan tidak berhak sama sekali atas barangwarisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya";

(2) Menimbang, bahwa Mahkamah Agung berdasar selain atas rasaperikemanusiaan dan keadilan umum juga atas hakikat persamaan hakantara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap danmenganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anakperempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan, bersama-sama berhak atas warisan, dalam arti, bahwa anak laki-laki sama dengananak perempuan";

(3) Menimbang, bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari MahkamahAgung ini, maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan harusdianggap ahli waris yang berhak menerima bagian warisan dari orangtuanya".110

Terhadap pertimbangan putusan Mahkamah Agung di atas, terdapat berbagai

tanggapan, sebagai berikut:

109Eman Suparman, Op.Cit., hlm. 52.

110Ibid. hlm 52.

Universitas Sumatera Utara

Page 114: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

101

(a) Lazimnya suatu perubahan hukum dilaksanakan atas pertimbangan,bahwa hukum yang lama tidak sesuai lagi dengan perasaan keadilanmasyarakat tempat hukum itu berlaku. Sebagai contoh hukum wariskolonial dirombak dan disesuaikan dengan kondisi nasional. Tetapi kaliini kita berhadapan dengan suatu perubahan hukum di dalam hukumyang masih tetap hidup dan sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat(masyarakat Karo), dirombak dan digantikan dengan suatu hukum baruyang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat”;

(b) Anggapan Mahkamah Agung, bahwa anak perempuan dan anak laki-lakidari si pewaris bersama-sama berhak atas warisan sebagai hukum yanghidup di seluruh Indonesia, dipandang sebagai keliru sebab terdapatbeberapa masyarakat di Indonesia ini dengan sistem unilineal yang kuatseperti Minangkabau, Batak, dan lain-lain yang memiliki sistem warisanberbeda dengan anggapan Mahkamah Agung”.111

Di bawah ini berturut-turut akan dipaparkan tentang beberapa pendapat dan

kesimpulan yang dikemukakan oleh penulis buku “Hukum Perdata Adat Karo dalam

rangka Pembentukan Hukum Nasional”, yaitu:

a) Hukum waris adalah sebagian dari adat, karena itu tidak dapat dipisahkanatau dinilai tersendiri dengan tidak memperhatikan faktor-faktor lain;

b) Selama kita masih menghormati keragaman adat-istiadat yang hidupdalam masyarakat, tidaklah tepat diadakan penilaian yang sama tentanghukum waris di seluruh Indonesia sebab kenyataan adat Batak,Minangkabau, Jawa, Bali, dan lain-lain itu berbeda-beda;

c) Adat istiadat yang masih dipegang teguh sebagai jiwa sesuatu masyarakatdan mampu menciptakan kesejahteraan dalam masyarakat tersebut, tidakperlu diubah secara radikal sebab sesuatu yang tidak sesuai akan berubahsendiri karena pengaruh lingkungan atau zaman;

d) Dalam adat di Tanah Karo, hak dan kewajiban, tugas dan kedudukan priaberbeda dengan wanita, bukan berarti kaum wanita lebih rendah darikaum pria sebab pada dasarnya jiwa dan tujuan perlakuan orang tua bagianak laki-laki dan perempuan dalam masalah waris, yaitu:1) anak laki-laki sebagai ahli waris keluarga (marga) mewarisi harta

benda yang menjadi tanda/lambing keluarga, terutama tanah danbenda-benda tidak bergerak lainnya;

2) anak perempuan mendapat pembagian yang adil untuk kepentingansediri dan rumah tangganya kemudian;

111Ibid, hlm 52-53

Universitas Sumatera Utara

Page 115: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

102

3) Kemajuan zaman, kebutuhan hidup, dan sifat-sifat benda serta hartapusaka sekarang, pada waktu yang akan datang, dan pada masa yanglampau sangat jauh berbeda sehingga harus ada penyesuaianpengertian tentang hal tersebut;

4) Anggapan, bahwa anak perempuan secara mutlak tidak berhak ataswarisan orang tuanya, dewasa ini tidak sesuai lagi sehingga dianggapperlu penyesuaian;

5) Anggapan, bahwa hak waris anak laki-laki sama dengan hak warisanak perempuan juga tidak sesuai dengan jiwa dan tujuan adat diTanah Karo, sehingga tidak baik untuk dipaksakan karena dapatmerusak adat dan kebudayaan daerah tersebut.112

Mengenai Sistem Pewarisan Pembagian Warisan pada masyarakat dengan

Sistem Kekerabatan Patrilineal ini Runtung Sitepu juga memberikan pendapatnya

bahwa:

Sistem pewarisan pada masyarakat adat yang menganut sistem kekerabatanpatrilineal sangat dipengaruhi oleh sistem perkawinannya. Dimana dalamsistem kekerabatan ini dikenal dengan sistem pembayaran üang jujur, yangberakibat pada dua hal yaitu : beralihnya si istri dari klan orang tuanyakepada klan suaminya, dan penarikan garis keturunan yang didasarkan padagaris ayah (kebapaan) konsekuensi yuridis dari sistem perkawinan initerhadap hukum waris adalah bahwa tidak dikenal adanya harta bersamadalam perkawinan, dan apabila suami meninggal dunia janda dan anakperempuan tidak termasuk kepada ahli waris.113

Dalam masyarakat yang mengenai sistem hukum tidak tertulis serta berada

dalam masa pergolakan dan peralihan, kondisi tersebut diatas mengalami pergeseran

mengikuti perkembangan masyarakatnya. Pergeseran tersebut antara lain disebabkan

karena faktor-faktor kemajuan tingkat pendidikan, kemajuan teknologi informasi, dan

kemajuan teknologi transportasi yang mendorong tingkat mobilitas penduduk yang

cukup tinggi.

112Ibid, Hal 54-55113Runtung Sitepu, Hukum Waris dan Pembagian Warisan pada Masyarakat yang Menganut

Sistem Kekerabatan Patrilineal, Bahan Kuliah, Magister Kenotariatan, USU, Medan 2009.

Universitas Sumatera Utara

Page 116: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

103

Selanjutnya untuk menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat

selain dilakukan penelitian ilmiah dengan pendekatan yuridis empiris, hakim juga

berperan sebagai tokoh yang menonjol sebagai penggali dan perumus nilai-nilai

hukum yang hidup dinamis dalam masyarakat tersebut. Hakim melakukan penemuan

hukum baru melalui putusannya dalam setiap sengketa yang ditanganinya.

Pasal 28 UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan kehakiman

menegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali dan

mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengikuti arah perkembangan kesadaran hukum

masyarakat, khususnya dalam bidang hukum waris adat, dapat kita perhatian dalam

putusan hakim atau Yurisprudensi Mahkamah Agung RI (MARI).

Jika diperhatikan dalam perkembangan hukum waris adat pada masyarakat

patrilineal yang terefleksikan melalui Yurisprudensi MARI, arah perkebangannya

adalah :

1. Pengakuan harta bersama dalam perkawinan;2. Pengakuan janda sebagai ahli waris dari mendiang suaminya;3. Pengekuan atas persamaan hak ewaris dari anak laki-laki dan perempuan;4. Pengakuan anak angkat sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya.114

Pengakuan harta bersama dalam perkawinan dan Pengakuan janda sebagai

ahli waris, dapat dilihat pada Yurisprudensi MARI, yaitu :

1. Putusan MARI No. 54 K/Sip/1958 tgl. 25 Oktober 1958 “menurut hukumadat Batak yang bersifat patriarchaat segala harta yang timbul dalamperkawinan adalah milik suami, tetapi istri mempunyai hak memakai

114 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 117: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

104

seumur hidup dari harta suaminya selama harta diperlukan untukpenghidupannya”.

2. Putusan MARI No. 320 K/Sip/1958 tgl. 17 Januari 1958 “menurut hukumadat di Tapanuli pada perjalanan zaman pada waktu sekarang, si istri dapatmewarisi harta pencarian dari sang suami yang meninggal dunia”

3. Putusan MARI No.120 K/Sip/1960 tgl. 9 April 1960 “harta pencaharianharus dibagi sama rata antar suami-istri”

4. Putusan MARI No. 100 K/Sip/1967 tgl. 14 Juni 1968 “mengingatpertumbuhan masyarakat dewasa ini menuju kearah persamaan kedudukannatar pria dan wanita dan pengkuan janda sebagai ahli waris, MAmembenakan pertimbangan dan putusan pPengadilan Tinggi yangmentapkan bahwa dalam hal meninggalnya seorang suami denganmeninggalkan seorang janda, seorang anak laki-laki dan seorang anakperempuan, janda berhak atas separuh dari harta bersama, sedang sisanyadibagi antara janda dan kedua anaknya masing-masing mendapat sepertigabagian (di daerah Kabanjahe)”.115

Berdasarkan putusan yang dijadikan yurisprudensi MARI diketahui terdapat

4 ini menegaskan sekurang-kurangnya 4 hal yaitu :

a. Mempertegas adanya harta bersama suami-istri dalam perkawinan;b. Mempertegas bahwa janda sebagai ahli waris;c. Mempertegas bahwa adanya persamaan hak mewaris anak laki-laki dan

perempuan;d. Menyatakan bahwa janda hanya berhak mewarisi harta warisan mendiang

suaminya yang berasal dari harta berasama;

Demikian pula halnya dengan perasamaan hak mewaris anak laki-laki dan

perempuan juga dapat dilihat pada beberapa yurisprudensi MARI, yaitu

1. Putusan MARi No. 179 K/Sip/1961 tgl. 23 Oktober 1961 “Mahkamah Agungmenganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, juga di TanahKaro, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggalwarisan bersama-sama berhak atas harta warisan da;am arti bahwa bagiananak laki-laki adalah sama denagn bagian anak perempuan”.

2. Putusan MARI No. 415 K/Sip/1970 tgl 30 Juni 1970 “Pambeanan(penyerahan tanpa melepaskan hak milik) harus dianggap sebagai usaha untukmemperlunakkan hukum adat dimasa sebelum Perang Dunia II, dimanaseorang anak perempuan tiada mempunyai hak waris.

115 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 118: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

105

Hukum adat didaerah Tapanuli juga telah berkembang kearah pemberian hakyang sama kepada anak perempuan seperti anak laki-laki, perkembanganmana sudahdiperkuat pula dengan suatu yurisprudensi tetap mengenai hukumwaris didaerah tersebut”

3. Putusan MARI No. 1589 K/Sip/1974 tgl. 9 Februari 1978 “sesuai denganyurisprudensi terhadap anak di Tapanuli juga di Lombok adilnya anakperempuan dijadikan ahli waris, sehingga dalam perkara ini penggugat untukkasasi sebagai satu-satunya anak mewarisi seluruh peninggalan daribapaknya”.116

Selanjutnya, apabila ditelaah mengenai pewarisan harta pewarisan

dalam hukum adat waris minangkabau diketahui bahwa, harta kaum dalam

masyarakat Minangkabau yang akan diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak

terdiri atas:

1) Harta pusaka tinggiHarta pusaka tinggi harta yang turun-temurun dari beberapa generasi, baikyang berupa tembilang basi yakni harta tua yang diwarisi turun temurun darimamak kepada kemenakan, maupun tembilang perak, yakni harta yangdiperoleh dari hasil harta tua, kedua jenis harta pusaka tinggi ini menuruthukum adat akan jatuh kepada kemenakan dan tidak boleh diwariskan kepadaanak.

2) Harta pusaka rendahHarta pusaka rendah merupakan harta yang dikuasasi secara turun temurundari satu generasi.

3) Harta PencaharianHarta pencaharian merupakan harta yang diperoleh dengan melalui pembelianatau taruko. Harta pencaharian ini bila pemiliknya meninggal dunia akan jatuhkepada jurainya sebagai harta pusaka rendah. Untuk hartapencaharian inisejak tahun 1952 ninik-mamak dan alim ulama telah sepakat agar hartawarisan ini diwariskan kepada anaknya. Perihal ini masih ada pendapat lain,yaitu "bahwa harta pencaharian harus diwariskan paling banyak 1/3(sepertiga) dari harta pencaharian untuk kemenakan".117

4) Harta Suarang

116 Ibid.117H. Mansur Dt. Nagari Basa, Hukum Waris Tanah dan Peradilan Agama, Menggali Hukum

Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Padang: Sri Dharma,1968, hlm.137.

Universitas Sumatera Utara

Page 119: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

106

Harta Suarang ini dalam pelaksanaannua terdapat beberapa penyebutan diantaranya, Harta Pasuarangan, Harta Basarikatan, Harta Kaduo-duo, atauHarta Salamo Baturutan, yaitu seluruh harta benda yang diperoleh secarabersama-sama oleh suami-isteri selama masa perkawinan.

Tidak termasuk ke dalam harta suarang ini, yakni harta bawaan suami atauharta tepatan isteri yang telah ada sebelum perkawinan berlangsung. Dengandemikian jelaslah bahwa harta pencaharian berbeda dengan harta suarang.

Seperti diketahui bahwa “kaum” dalam masyarakat Minangkabau merupakan

persekutuan hukum adat yang mempunyai daerah tertentu yang dinamakan “tanah

ulayat”. Kaum serta anggota kaum diwakili ke luar oleh seorang “mamak kepala

waris”. Anggota kaum yang menjadi mamak kepala waris lazimnya adalah saudara

laki-laki yang tertua dari ibu, mamak kepala waris harus yang cerdas dan pintar.

Akan tetapi kekuasaan tertinggi di dalam kaum terletak pada rapat kaum, bukan pada

mamak kepala waris. Anggota kaum terdiri atas kemenakan dan kemenakan ini

adalah ahli waris.

Menurut hukum adat Minangkabau ahli waris dapat dibedakan antara:

1) Waris bertali darah

Waris bertali darah merupakan ahli waris kandung atau ahli waris sedarah

yang terdiri atas waris satampok (waris setampuk), waris sejangka (waris

sejengkal), dan waris saheto (waris sehasta). Masing-masing ahli waris yang

termasuk waris bertali darah ini mewaris secara bergiliran. Artinya, selama

waris bertali darah setampuk masih ada, maka waris bertali darah sejengkal

Universitas Sumatera Utara

Page 120: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

107

belum berhak mewaris. Demikian pula ahli waris seterusnya selama waris

sejengkal masih ada, maka waris sehasta belum berhak mewaris.

2) Waris bertali adat

Waris bertali adat yaitu waris yang sesama ibu asalnya yang berhak

memperoleh hak warisnya bila tidak ada sama sekali waris bertali darah. Setiap

nagari di Minangkabau mempunyai nama dan pengertian tersendiri untuk waris

bertali adat, sehingga waris bertali adat ini dibedakan sebagai berikut :

- menurut caranya menjadi waris: waris batali ameh, waris batali suto, waris

batali budi, waris tambilang basi, waris tembilang perak.

- menurut jauh dekatnya terdiri atas: waris di bawah daguek, waris didado,

waris di bawah pusat, waris di bawah lutut.

- menurut datangnya, yaitu : waris orang datang, waris air tawar, waris

mahindu.

Sedangkan hak mewaris dari masing-masing ahli waris yang disebutkan di

atas satu sama lain berbeda-beda tergantung pada jenis harta peninggalan yang

akan ia warisi dan hak mewarisinya diatur menurut urutan prioritasnya. Hal

tersebut akan dapat terlihat dalam paparan di bawah ini.

(1) Mengenai harta pusaka tinggi

Apabila harta peninggalan itu menyangkut harta pusaka tinggi, cara

pembagiannya berlaku sistem kewarisan kolektif, yaitu seluruh harta pusaka

Universitas Sumatera Utara

Page 121: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

108

tinggi diwarisi oleh sekumpulan ahli waris dan tidak diperkenankan dibagi-bagi

pemilikannya dan dimungkinkan dilakukan “ganggam bauntuek". Walaupun

tidak boleh dibagi-bagi, pemilikannya di antara para ahli waris, harta pusaka

tinggi dapat diberikan sebagian kepada seorang anggota kaum oleh mamak

kepala waris untuk selanjutnya dijual atau digadaikan guna keperluan modal

berdagang atau merantau, asal saja dengan sepengetahuan dan seizin seluruh

ahli waris.

Di samping itu harta pusaka tinggi dapat dijual atau digadaikan, guna

keperluan:

- untuk membayar hutang kehormatan;

- untuk membayar ongkos memperbaiki bandar sawah kepunyaan kaum;

- untuk membayar hutang darah;

- untuk menutupi kerugian bila ada kecelakaan kapal di pantai;

- untuk ongkos naik haji ke Mekkah;

- untuk membayar hutang yang dibuat oleh kaum secara bersama-sama.

(2) Mengenai harta pusaka rendah

Semula harta pusaka rendah adalah harta pencaharian. Harta pencaharian

mungkin milik seorang laki-laki atau mungkin juga milik seorang perempuan.

Pada mulanya harta pencaharian seseorang diwarisi oleh jurai atau setidak-

tidaknya kaum masing-masing. Akan tetapi dalam perkembangan berikutnya

Universitas Sumatera Utara

Page 122: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

109

karena hubungan seorang ayah dengan anaknya bertambah erat dan juga

sebagai pengaruh agama Islam, maka seorang ayah dengan harta

pencahariannya dapat membuatkan sebuah rumah untuk anak-anaknya atau

menanami tanah pusaka isterinya dengan tanaman keras, misalnya pohon

kelapa, pohon durian, pohon cengkeh, dan lain-lain. Hal ini dimaksudkan untuk

membekali isteri dan anak-anak manakala ayah telah meninggal dunia.

(3) Mengenai harta suarang

Harta suarang berbeda sama sekali dengan harta pencaharian sebab harta

suarang adalah seluruh harta yang diperoleh suami-isteri secara bersama-sama

selama dalam perkawinan. Kriteria untuk menentukan adanya kerja sama dalam

memperoleh harta suarang, dibedakan dalam dua periode, yaitu dahulu ketika

suami masih merupakan anggota keluarganya, ia berusaha bukan untuk anak-

isterinya melainkan untuk orang tua dan para kemenakannya, sehingga ketika

itu sedikit sekali kemungkinannya terbentuk harta suarang sebab yang

mengurus dan membiayai anak-anak dan isterinya adalah saudara atau mamak

isterinya.

Sedangkan pada dewasa ini adanya kerja sama yang nyata antara suami-

isteri untuk memperoleh harta suarang sudah jelas nampak, terutama

masyarakat Minangkabau yang telah merantau jauh ke luar tanah asalnya, telah

menunjukkan perkembangan ke arah pembentukan hidup keluarga (somah),

Universitas Sumatera Utara

Page 123: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

110

yaitu antara suami, isteri dan anak-anak merupakan satu kesatuan dalam ikatan

yang kompak. Dalam hal demikian suami telah bekerja dan berusaha untuk

kepentingan isteri dan anak-anaknya, sehingga dalam kondisi yang demikian

keluarga tadi akan mengumpulkan harta sendiri yang merupakan harta keluarga

yang disebut harta suarang. Harta suarang dapat dibagi-bagi apabila

perkawinan bubar, baik bercerai hidup atau salah seorang meninggal dunia.

Harta suarang dibagi-bagi setelah hutang suami-isteri dilunasi terlebih dahulu.

Ketentuan pembagiannya sebagai berikut:

(a) bila suami-isteri bercerai dan tidak mempunyai anak, harta suarang dibagi

dua antara bekas suami dan bekas isteri;

(b) bila salah seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak, maka

sebagai berikut:

- jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi dua, separoh

merupakan bagian jurai si suami dan separoh lagi merupakan bagian

janda;

- Jika yang meninggal isteri, harta suarang dibagi dua, sebagian untuk

jurai suami dan sebagian lagi untuk duda.

(c) Apabila suami-isteri bercerai hidup dan mempunyai anak, harta suarang

dibagi dua antara bekas suami dan bekas isteri, anak-anak akan menikmati

bagian ibunya;

Universitas Sumatera Utara

Page 124: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

111

(d) Apabila salah seorang meninggal dunia dan mempunyai anak, bagian

masing-masing sebagai berikut:

- jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi dua antara jurai

suami dengan janda beserta anak;

- jika yang meninggal isteri, harta suarang seperdua untuk suami dan

seperdua lagi untuk anak sebagai harta pusaka sendiri dari bagian

ibunya.

Berkaitan dengan pembahasan harta suarang, di bawah ini akan ditunjukkan

beberapa putusan pengadilan mengenai harta suarang sebagai bukti, bahwa antara

suami-isteri orang Minangkabau dalam perkembangan selanjutnya telah terjalin kerja

sama dalam satu kesatuan unit yang disebut somah (gezin), sehingga terbentuk harta

keluarga.

(i) Putusan Landraad Talu tanggal 23 Januari 1937 No.5 tahun 1937 yang

dikuatkan oleh Raad van Justitie Padang tanggal 13 Mei 1937 (T.148/508)

menentukan bangunan yang didirikan atau tanaman yang ditanami di atas

tanah harta kaum isteri bukanlah harta suarang;

(ii) Putusan Landraad Payakumbuh tanggal 13 Juni 1938 No. perdata 11 tahun

1938, yang dikuatkan oleh Raad van Justitie Padang tahun 1938 mengatakan:

Bila suami meninggalkan beberapa orang janda, maka pembagian harta

Universitas Sumatera Utara

Page 125: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

112

suarang menjadi pusaka rendah jurai si suami dan separoh lagi merupakan

bagian para janda yang masih hidup;

(iii) Putusan Pengadilan Bukittinggi No. 46/1953 tanggal 26 Setember 1953 yang

dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan tanggal 13 Maret 1956 Nomor

23/1954, yang menetapkan, bahwa harta suarang bertanggung jawab atas

hutang suami. Kemudian adanya rumah di atas tanah kaum tidak dengan

sendirinya membuktikan, bahwa rumah itu kepunyaan kaum, mungkin saja

rumah itu kepunyaan suami isteri bersama sebagai harta suarang.

Selanjutnya berdasarkan penelitian dari Lembaga Pembinaan Hukum

Nasional diketahui bahwa berkaitan dengan berbagai persoalan yang menyangkut

hukum adat waris di daerah Minangkabau, pada tahun 1971 Lembaga Pembinaan

Hukum Nasional (sekarang Badan Pembinaan Hukum Nasional atau Babinkumnas)

pernah mengadakan kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang

dengan hasil sebagai berikut:

a) Harta pusaka diwariskan kepada kemenakan, sedangkan harta yang diperoleh

di luar harta pusaka itu boleh diwariskan kepada anak-anaknya;

b) Harta pencaharian diwariskan kepada anak-anaknya dengan tidak

dipersoalkan apakah dibagi dengan sistem faraidh atau tidak, yang penting,

bahwa harta pencaharian itu diperuntukkan guna kepentingan anak-anak;

Universitas Sumatera Utara

Page 126: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

113

c) Apabila pihak isteri dari yang meninggal dunia menguasai harta pusaka dan ia

enggan untuk mengembalikan harta tersebut kepada kaum suaminya dan

malahan dikatakan sebagai harta pencaharian, atau telah dihibahkan kepada

anak-anaknya tanpa sepengetahuan ahli warisnya (kemenakan) suaminya,

dalam hal demikian Kerapatan Nagari yang diberi wewenang memutus secara

perdamaian;

d) Harta pencaharian tidak diharuskan seluruhnya jatuh kepada anak-anaknya,

melainkan harus pula jatuh kepada kemenakannya sebab mamak laki-laki itu

tadi dibesarkan, dididik, dan bahkan dikawinkan oleh kaumnya, sudah

sewajarya jika kemenakan juga memperoleh bagian dari harta pencaharian;

e) Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil antara harta pusaka dengan

harta pencaharian sebab kedua-duanya merupakan hasil jerih payah yang

diperuntukkan bagi kesejahteraan anak-anak dan kemenakan untuk memenuhi

pepatah adat "anak dipangku, kemenakan dibimbing", sehingga anak-anak

yang termasuk suku ibunya dan kemenakan yang termasuk suku mamaknya,

keduanya harus dipangku dalam arti dibesarkan, dididik, dan

dipertanggungjawabkan, baik fisik maupun rokhaninya. Demikian pula

kemenakan yang termasuk kaum mamak harus dibimbing, artinya harus

dipelihara sama dengan anak. Dengan demikian, seorang ayah yang sekaligus

Universitas Sumatera Utara

Page 127: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

114

berkedudukan selaku mamak bagi kemenakannya harus memelihara anak-

anaknya dan juga kemenakannya.

B. Pembagian Harta Warisan Dalam Masyarakat yang Menganut Sistem

Kekerabatan Patrilinial

Pewarisan merupakan salah satu cara seseorang untuk memperoleh kekayaan

baik yang materiil maupun imateriil dari seseorang yang lain maksudnya cara

peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris baik pada waktu pewaris

masih hidup maupun ketika pewaris sudah meninggal dunia. Proses pewarisan

menurut hukum waris adat yang menganut prinsip kekerabatan patrilinial dapat

dilakukan:

1. Sebelum Pewaris Meninggal Dunia

Pada masyarakat adat yang menganut prinsip kekerabatan patrilinial

umumnya yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki saja akan tetapi hal

tersebut tidak berarti bahwa anak perempuan tidak mendapat apapun dari harta

kekayaan/warisan dari pewaris/ayahnya. Sebagai contoh pada suku Batak Toba

telah menjadi kebiasaan semasa hidup pewaris/ayah memberi tanah kepada anak

perempuan.

2. Sesudah Pewaris Meninggal Dunia

Pada masyarakat Batak yang adat yang menganut prinsip kekerabatan

patrilinial umumnya isteri masuk kekerabatan suami dan tetap merupakan

anggota keluarga pihak suami. Apabila pewaris meninggal dunia, meninggalkan

isteri dan anak-anak maka harta kekayaan/warisan terutama harta bersama yang

Universitas Sumatera Utara

Page 128: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

115

diproleh sebagai hasil pencaharian bersama selama perkawinan dapat dikuasai

dan dinikmati oleh janda dari pewaris, untuk kepentingan kelanjutan hidup janda

dan anak-anak yang ditinggalkan.118

Masyarakat Batak Toba berakar pada sistim kekerabatan Patrilineal dan

mengikat anggota-anggotanya dalam hubungan triadik, yang disebut Dalian Na

Tolu yaitu hubungan antar lineage yang berasal dari kelompok kekerabatan

tertentu dalam satu clain (marga). Peta genelogis dan sejarah orang Batak Toba

hanya dapat ditelusuri melalui garis laki-laki. Anak perempuan tidak tercatat

dalam peta tersebut.119 Sehingga pembagian harta warisan hanya diberikan

kepada anak laki-laki saja.

Berdasarkan sistim kekerabatan patrilineal di Batak Toba yang menjadi ahli

waris hanya anak laki-laki. Apabila yang meninggal tidak meninggalkan anak

laki-laki, maka bagian warisan itu jatuh pada kakek (ayah dari yang meninggal)

atau kakek tidak ada, maka warisan jatuh kepada saudara laki-laki sedangkan

wanita tidak mendapat hak mewaris .120

Konsep yang menyatakan anak perempuan tidak dianggap sebagai ahli waris

berkaitan dengan konsep raja parhata maksudnya ahli waris selalu mengacu

kepada anak laki-laki karena anak laki-laki yang dipandang mempunyai

118Suwondo, Nani, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm 109.

119Sulistyowati Irianto, dalam Sihombing, T.M, Falsafa Batak (Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat Istiadat), Balai Pustaka, Jakarta, 2000, hlm. 8.

120Gultom Rajamarpodang, D.J, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak; Armanda,Medan, 1992, hlm 11.

Universitas Sumatera Utara

Page 129: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

116

tanggung jawab besar untuk meneruskan keturunan ayahnya dan anak perempuan

dianggap akan menjadi anggota clain suaminya.121

Namun dengan perkembangan jaman di dalam masyarakat adat Batak dan hal

ini di dukung dengan adanya perkawinan beda suku (perkawinan campuran)

maka telah terjadi pergeseran sistim pewarisan di dalam masyarakat Batak yang

menganut sistem kekerabatan patrilineal. Sistim pewarisan yang semula memakai

sistim pewarisan Patrilineal berubah menjadi sistim pewarisan Parental. Dalam

bentuk sistim ini, tidak hanya anak laki-laki, anak perempuan pun mendapatkan

warisan. Mengenai kedudukan anak perempuan dimana orang tuanya menikah

beda suku mengatakan bahwa sekarang kedudukan perempuan dan anak laki-laki

adalah sama sesuai dengan perumpamaan orang Batak menganut sistem

kekerabatan patrilineal, ia dompat marmeme anak, do marmeme boru, sian na

martua debata yang artinya bahwa anak laki-laki dan anak perempuan

diperlakukan sama, sama-sama diberi susu dan kasih sayang tanpa ada

diperlakukan yang berbeda.122

Pada umumnya masyarakat yang menganut Sistem Kekerabatan Patrilineal

di perantauan dalam melaksanakan pembagian warisan dilakukan dengan

musyawarah mufakat antara keluarga. Begitu juga dalam pembagian warisan

dimana kedua orang tuanya berbeda suku (pria Batak dan Wanita Jawa)

menggunakan musyawarah mufakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Ibu

121Sulistyowati Irianto, Op Cit., hlm.10122Rahmat Simanjuntak, Warga Keturunan Masyarakat Adat yang menganut Sistem

Kekerabatan Patrilineal, Wawancara, Juni 2012

Universitas Sumatera Utara

Page 130: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

117

Nelmayanti Boru Purba mengatakan pembagian warisan dilaksanakan secara

musyawarah mufakat, dengan semua keluarga datang berkumpul dan

membicarakan mengenai warisan dan warisannya berupa rumah, yang apabila

saya meninggal, maka harta warisan suaminya akan dijual dan hasil penjualan

tersebut akan dibagikan sama rata kepada semua.123

Menurut adat Batak yang merupakan masyarakat adat yang menganut Sistem

Kekerabatan Patrilineal, warisan diberikan kepada anak laki-laki begitu juga dia

tetapi karena kasih sayangnya kepada anak perempuan yang berjumlah dua maka

kepada kedua anak perempuannya diberikan warisan. Demikian pula halnya

apabila tidak memiliki anak laki-laki, atau memiliki dua ank perempuan maka

warisan diberikan kepada semua anak perempuan dengan sama rata.

Perubahan kebudayaan yang hanya memberikan warisan kepada anak laki-laki

menjadikan pemberian warisan kepada anak perempuan disebabkan karena

adanya pergeseran nilai-nilai kebudayaaan di dalam masyarakat Batak terutama

yang menikah beda suku. Pergeseran pembagian warisan yang mengarah sistim

pewarisan parental. Anak-anak yang beda suku telah tertanam kebudayaan adat

setempat dan adanya pola pemikiran yang modern tentang pembagian warisan.

Menurut penulis, sikap masyarakat adat yang menanut system kekerabatan

patrilinial seperti halnya msyarakat batak dengan tidak membedakan antara anak

123Nelmayanti Boru Purba, Warga Keturunan Masyarakat Adat yang menganut SistemKekerabatan Patrilineal, Wawancara, Juni 2012

Universitas Sumatera Utara

Page 131: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

118

laki-laki dan perempuan atau pemberian warisan kepada anak perempuan

didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:124

a. Bahwa sebagai seorang manusia mereka memiliki kedudukan yang sama

dimata Tuhan. Didasari hal itu, maka juga harus diakui keberadannya dan

dihormati hak dan kewajibannya sebagai manusia

b. Tidak adanya perbedaan kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan

keduanya diperlakukan sama.

c. Apabila orangtuanya meninggal dunia maka ia berhak atas warisan dari harta

peninggalan orangtuanya bersama dengan saudara laki-laki.

Warisan diberikan kepada anak perempuan dan anak laki-laki, karena

mengikuti hukum nasional yang tidak membedakan antara anak laki-laki dan

perempuan. Pada dasarnya anak laki-laki dan perempuan punya nilai yang sama

dihadapan penciptaNya hanya saja sistim budaya (suku) yang justru

mengkontruksikan perbeda gender di tengah keluarga dan masyarakat.

Berdasarkan hasil penelaahan tersebut diketahui bahwa suatu asas hukum

adat yang menganut system kekerabatan patrilineal termasuk dalam hal terjadinya

perkawinan campuran, maka kedudukan anak dalam perkawinan dipandang sama

dengan pertimbangan sebagai berikut :

a. Bahwa sebagai seorang manusia mereka memiliki kedudukan yang sama di

mata Tuhan sehingga mereka juga harus diakui keberadanya dan dihormati

hak dan kewajibannya sebagai manusia.

124Nelmayanti Boru Purba, Warga Keturunan Masyarakat Adat yang menganut SistemKekerabatan Patrilineal, Wawancara, Juni 2012

Universitas Sumatera Utara

Page 132: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

119

b. Tidak adanya perbedaan kedudukan anak laki-laki dan perempuan keduanya

diperlakukan sama.

c. Apabila orang tuanya meninggal dunia maka perempuan berhak atas

warisan dari harta peninggalan orang tuanya bersama-sama dengan

saudaranya laki-laki.

Sedangkan pergeseran pewarisan dalam sistim kemasyarakatan Patrilineal

khususnya orang tuanya beda suku telah mengalami perubahan pemberian pewarisan

dengan memberikan warisan kepada anak-anak perempuan di karenakan beberapa

hal yaitu :

a. Agama

Agama sangat mempengaruhi perubahan dan perkembangan yang terjadi

dalam pewarisan secara hukum adat Batak khususnya hokum adat Batak

Toba.

b. Kebudayaan

Kebudayaan, dalam hal ini orang Batak telah terasimilasi dengan sistim

pewarisan masyarakat Jawa umumnya memakai sistim pewarisan Parental.

Dengan demikian akibat hukum pewarisan anak-anak dari pernikahan orang

tuanya yang tidak satu suku baik anak laki-laki maupun perempuan sama-

sama dapat menjadi ahli waris. Namun warisan seluruh yang berupa marga

hanya dapat diteruskan anak laki-laki.

Universitas Sumatera Utara

Page 133: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

120

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa pembagian harta warisan

pada perkawinan campuran dalam masyarakat yang menganut sistem

kekerabatan patrilinial telah mengalami perubahan, di mana dalam pewarisan hukum

waris yang dijalankan pada masyarakat yang melakukan perkawinan campuran antara

masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal pada umumnya

menggunakan sistem pewarisan individual Hukum Adat, namun ada juga yang

menggunakan sistem pewarisan berdasarkan Hukum Islam dengan sistem individual

bilateral. Dengan kata lain, dalam perkawinan campuran dalam hal pewarisan kepada

anak-anak sebagai keturunan dari pernikahan orang tuanya yang tidak satu suku baik

anak laki-laki maupun perempuan sama-sama dapat menjadi ahli waris dan berhak

atas warisan dari orang tuanya.

C. Pembagian Harta Warisan dalam Masyarakat yang Menganut Sistem

Kekerabatan Matrilinial

Dalam masyarakat matrilinial hubungan darah yang diutamakan garis

keturunan ibu, kedudukan pihakk isteri lebih utama daripada kedudukan suami.

Keutamaan itu dapat dilihat dalam hal, perkawinan meskipun asabah berperan

sebagai wali nikah, laki-laki dijemput oleh perempuan (suami ikut keluarga isteri).

Dalam hal kekuasaan orangtua, saudara laki-laki isteri mempunyai kekuasaan utama

terhadap anak-anak (kekuasaan paman terhadap anak kemanakan). Dalam kewarisan

saudara laki-laki isteri berperan sebagai mamak kepala waris. Dan dalam perwalian,

saudara laki-laki isteri lebih berperan sebagai wali terhadap anak kemanakannya.

Contoh masyarakat ini adalah Minangkabau.

Universitas Sumatera Utara

Page 134: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

121

M. Masoed Abidin mengatakan bahwa sistem matrilineal adalah

suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat

dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau

perempuan merupakan klan dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan

anaknya ke dalam sukunya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal. Oleh

karena itu, waris dan sako-pusaka diturunkan menurut garis ibu pula.125

Menurut Muhammad Radjab yang dikutip Masoed Abidin mengatakan

bahwa pewarisan dalam sistem masyarakat adat matrilineal mempunyai ciri-cirinya

sebagai berikut:126

1. Keturunan dihitung menurut garis ibu.

2. Suku terbentuk menurut garis ibu

3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami)

4. Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku

5. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak di tangan “ibu”, tetapi jarang

sekali dipergunakan, sedangkan

6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya

7. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya

8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari

saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.

125M. Masoed Abidin, Sistim Kekeluargaan Matrilineal, http://hmasoed.wordpress.com ,Diakses Agustus, 2012

126Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 135: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

122

Sistem kekerabatan ini tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai

sekarang, bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan

sistem adatnya. Terutama dalam mekanisme penerapannya di dalam kehidupan

sehari-hari. Oleh karena itu, peranan seorang penghulu ataupun ninik mamak dalam

kaitan bermamak berkemanakan sangatlah penting. Bahkan peranan penghulu dan

ninik mamak itu boleh dikatakan sebagai faktor penentu dan juga sebagai indikator,

apakah mekanisme sistem matrilineal itu berjalan dengan semestinya atau tidak.

Jadi keberadaan sistem sistem masyarakat adat matrilineal ini tidak hanya

terletak pada kedudukan dan peranan kaum perempuan saja, tetapi juga punya

hubungan atau kaitan yang sangat kuat dengan institusi ninik mamaknya di dalam

sebuah kaum, suku atau klan.

Sebagai sebuah sistem, matrilineal dijalankan berdasarkan kemampuan dan

berbagai penafsiran oleh pelakunya; ninik-mamak, kaum perempuan dan anak

kemenakan. Akan tetapi sebuah uraian atau perincian yang jelas dari

pelaksanaan dari sistem ini, misalnya ketentuan-ketentuan yang pasti dan jelas

tentang peranan seorang perempuan dan sanksi hukumnya kalau terjadi pelanggaran,

ternyata sampai sekarang belum ada. Artinya tidak dijelaskan secara tegas tentang

hukuman jika seorang Minang tidak menjalankan sistem matrilineal tersebut.

Sistem itu hanya diajarkan secara turun temurun kemudian disepakati dan

dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya. Namun begitu, sejauh

manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada hakekatnya tetap dan tidak

Universitas Sumatera Utara

Page 136: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

123

beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu sendiri. Hal seperti dapat dianggap

sebagai sebuah kekuatan sistem tersebut yang tetap terjaga sampai sekarang.

Pada dasarnya sistem masyarakat adat matrilineal matrilineal bukanlah untuk

mengangkat atau memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan

untuk menjaga, melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah

gadang, tanah pusaka dan sawah ladang.

Bahkan dengan adanya hukum faraidh dalam pembagian harta menurut Islam,

harta pusaka kaum tetap dilindungi dengan istilah “pusako tinggi”, sedangkan harta

yang boleh dibagi dimasukkan sebagai “pusako randah”.

Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara

dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau

tempat penyimpanan. Oleh karena itulah menyebabkan dalam penentuan peraturan

dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan

menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan

sebelumnya oleh pihak ninik mamak.

Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui

sebuah prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan

itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun

juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak

untuk mengatur dan mempertahankannya.

Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak.127

127 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 137: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

124

Perempuan Minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak

memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka

tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender,

karena sistem matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan

perempuan. Para ninik-mamak telah membuatkan suatu “aturan permainan” antara

laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang berimbang antar sesamanya.

Oleh karena itulah institusi ninik-mamak menjadi penting dan bahkan sakral bagi

kemenakan dan sangat penting dalam menjaga hak dan kewajiban perempuan.

Keadaan seperti diuraikan di atas sudah berlangsung lama, dengan segala

kelebihan dan kekurangannya, dengan segala plus minusnya.

Keunggulan dari sistem ini adalah, dia tetap bertahan walau sistem patrilineal

juga diperkenalkan oleh Islam sebagai sebuah sistem kekerabatan yang lain pula.

Sistim matrilieal tidak hanya jadi sebuah “aturan” saja, tetapi telah menjadi semakin

kuat menjadi suatu budaya, jalan hidup (way of live), kecenderungan yang paling

dalam diri dari setiap orang Minangkabau.

Sampai sekarang, pada setiap individu laki-laki Minang misalnya,

kecenderungan mereka menyerahkan harta pusaka, warisan dari hasil pencahariannya

sendiri, yang seharusnya dibagi menurut hukum faraidh kepada anak-anaknya,

mereka lebih condong untuk menyerahkannya kepada anak perempuannya.

Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula kepada anak perempuannya

pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato dalam disertasinya yang dikutip M.

Masoed Abidin menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat dalam

Universitas Sumatera Utara

Page 138: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

125

diri orang-orang Minang walaupun mereka telah menetap di kota-kota di luar Minang

sekalipun. Sistem matrilineal tampaknya belum akan meluntur sama sekali, walau

kondisi-kondisi sosial lainnya sudah banyak yang berubah. Untuk dapat menjalankan

sistem itu dengan baik, maka mereka yang akan menjalankan sistem itu haruslah

orang Minangkabau itu sendiri. Untuk dapat menentukan seseorang itu orang

Minangkabau atau tidak, ada beberapa ketentuannya, atau syarat-syarat seseorang

dapat dikatakan sebagai orang Minangkabau.

Syarat-syarat seseorang dapat dikatakan orang Minangkabau;

1. Basuku (bamamak bakamanakan)

2. Barumah gadang

3. Basasok bajarami

4. Basawah baladang

5. Bapandan pakuburan

6. Batapian tampek mandi.128

Berdasarkan persyaratan di atas, jelaslah bahwa seseorang yang tidak

memenuhi ketentuan tersebut di dalam berkaum bernagari, dianggap “orang kurang”

atau tidak sempurna. Bagi seseorang yang ingin menjadi orang Minang juga dibuka

pintunya dengan memenuhi berbagai persyaratan pula.

Dalam istilah inggok mancangkam tabang basitumpu. Artinya orang itu harus

masuk ke dalam sebuah kaum atau suku, mengikuti seluruh aturan-aturannya.

128 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 139: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

126

Demikian pula halnya apabila terjadi perkawinan campuran antara warga

masyarakat yang berasal dari masyarakat dari sistem kekerabatan matrilineal dengan

sistem kekerabatan lainnya tentunya tidak mungkin dapat mengikuti ketentuan adat

kekerabatan matrilineal sehingga dalam hal pewarisan dari harta benda dalam

perkawinan juga tidak mengikuti ketentuan dalam kekerabatan matrilineal.

Kondisi ini juga terlihat dalam perkembangan jaman di dalam masyarakat adat

matrilineal, di mana dengan adanya perkawinan beda suku (perkawinan campuran)

maka telah terjadi pergeseran sistim pewarisan di dalam masyarakat Minang yang

menganut sistem kekerabatan Matrilineal. Sistim pewarisan yang semula memakai

sistim pewarisan Matrilineal juga dengan sendirinya berubah menjadi sistim

pewarisan Parental. Dalam bentuk sistim ini, anak baik itu anak perempuan maupun

anak laki-laki berhak mendapatkan warisan. Mengenai kedudukan anak dalam

perkawinan dianggap sama dan memilik hak yang sama pula.

Pada umumnya masyarakat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal

khususnya yang berada di perantauan dan telah melakukan perkawinan campuran

dalam melaksanakan pembagian warisan dilakukan dengan musyawarah

mufakat antara keluarga. Begitu juga dalam pembagian warisan dimana kedua orang

tuanya berbeda suku (pria Batak dan Wanita Minang atau sebaliknya) menggunakan

musyawarah mufakat. Pembagian warisan dilaksanakan secara musyawarah mufakat,

dengan semua keluarga datang berkumpul dan membicarakan mengenai warisan dan

warisannya berupa rumah, yang apabila pewaris meninggal, maka harta warisan

Universitas Sumatera Utara

Page 140: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

127

suaminya akan dijual dan hasil penjualan tersebut akan dibagikan sama rata kepada

semua anak atau keluarga yang ditinggalkan.

Menurut adat Minang yang merupakan masyarakat adat yang menganut

Sistem Kekerabatan Patrilineal, warisan diberikan kepada anak laki-laki begitu juga

dia tetapi karena kasih sayangnya kepada anak perempuan yang berjumlah dua maka

kepada kedua anak perempuannya diberikan warisan. Demikian pula halnya apabila

tidak memiliki anak laki-laki, atau memiliki dua ank perempuan maka warisan

diberikan kepada semua anak perempuan dengan sama rata.

Perubahan kebudayaan yang hanya memberikan warisan kepada anak laki-laki

menjadikan pemberian warisan kepada anak perempuan disebabkan karena adanya

pergeseran nilai-nilai kebudayaaan di dalam masyarakat Minang terutama yang

menikah dengan orang yang berbeda suku. Pergeseran pembagian warisan yang

mengarah sistim pewarisan parental. Anak-anak yang beda suku telah tertanam

kebudayaan adat setempat dan adanya pola pemikiran yang modern tentang

pembagian warisan.

Kondisi ini mencerminkan bahwa bahwa sikap masyarakat adat yang

menanut system kekerabatan patrilinial seperti halnya masyarakat dengan tidak

membedakan antara anak laki-laki dan perempuan atau pemberian warisan kepada

anak perempuan didasarkan pada pertimbangan bahwa sebagai seorang manusia

mereka memiliki kedudukan yang sama dimata Tuhan.

Didasari hal itu, maka juga harus diakui keberadannya dan dihormati hak dan

kewajibannya sebagai manusia, tidak adanya perbedaan kedudukan anak laki-laki dan

Universitas Sumatera Utara

Page 141: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

128

anak perempuan keduanya diperlakukan sama. Apabila orangtuanya meninggal dunia

maka ia berhak atas warisan dari harta peninggalan orangtuanya bersama dengan

saudara lakilaki. Warisan diberikan kepada anak perempuan dan anak laki-laki,

karena mengikuti hukum nasional yang tidak membedakan antara anak laki-laki dan

perempuan. Pada dasarnya anak laki-laki dan perempuan punya nilai yang sama

dihadapan penciptaNya hanya saja sistim budaya (suku) yang justru

mengkontruksikan perbeda gender di tengah keluarga dan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa dengan adanya berbagai etnis dan

sistem kekerabatan di Indonesia yang majemuk mempunyai suatu budaya atau adat

istiadat tersendiri dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, masing-masing etnis

ini terikat dalam suatu aturan hukum adat tersendiri disamping berlakunya hukum

nasional. Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia

dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa.

Lembaga perkawinan sebagai suatu bentuk hubungan hukum dalam

masyarakat tidak hanya menghasilkan keturunan saja sebagai generasi penerus dari

sebuah keluarga, tetapi juga terdapatnya adanya harta dalam perkawinan baik yang

berupa harta bawaan dari para pihak maupun harta yang diperoleh dalam perkawinan

atau yang di sebut dengan harta Gonogini.

Apabila ditelaah mengenai hak waris dari harta dalam sebuah perkawinan ini,

maka dari perkawinan yang berasal dari golongan sistem warisan yang berbeda

tentunya akan berbeda pula tata cara pembagian warisannnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 142: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

129

Pada masyarakat yang menganut sistem pewarisan patrilineal yang menarik

garis keturunannya melalui pihak bapak atau pihak laki-laki sehingga warisan lebih

pewarisan lebih dominan di warisi kepada anak laki-laki, sedangkan pada masyarakat

yang menganut ssstem pewarisan matrilineal pewarisan lebih dominan kepada anak

perempuan. Pembagian harta warisan dari perkawinan campuran antara sistem

pewarisan patrilineal dengan sistem pewarisan patrilineal, maka hal menyangkut

pembagian harta yang didapat dalam perkawinan atau harta gonogini, sama haknya

antara anak laki-laki dengan anak Perempuan. Begitu juga terhadap suami atau isteri

yang hidup terlama, yang diatur dalam Pasal 32, Pasal 852a KUH perdata. Oleh

karena itu, apabila terjadinya kematian, hendaknya segera dilakukan pembagian harta

warisan agar di kemudian hari kelak tidak terjadinya suatu permasalahan di antara

ahli waris.

Dengan demikian dapat dikatakan, hukum waris yang dijalankan

pada masyarakat yang melakukan perkawinan campuran antara yang

menganut sistim kekerabatan patrilineal dan sistem kekerabatan matrilineal

pada umumnya menggunakan sistem pewarisan individual Hukum Adat,

namun ada juga yang menggunakan sistem pewarisan berdasarkan Hukum

Islam dengan sistem individual bilateral.

Universitas Sumatera Utara

Page 143: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

130

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Etnis Indonesia yang majemuk mempunyai suatu budaya atau adat istiadat

tersendiri dalam kehidupan sehari-hari. Masing-masing etnis ini terikat dalam

suatu aturan hukum adat tersendiri di samping berlakunya hukum nasional. Hal

inilah yang mendorong terjadinya perkawinan campuran antara system

kekerabatan yang berbeda sehingga menimbulkan perubahan dalam hal

pembagian warisan dari orang tua kepada ahli warisnya.

2. Pembagian harta warisan pada perkawinan campuran dalam masyarakat

yang menganut sistem kekerabatan patrilinial telah mengalami perubahan,

di mana dalam pewarisan hukum waris yang dijalankan pada masyarakat

yang melakukan perkawinan campuran antara masyarakat yang menganut sistem

kekerabatan patrilineal pada umumnya menggunakan sistem pewarisan

individual Hukum Adat, namun ada juga yang menggunakan sistem pewarisan

berdasarkan Hukum Islam dengan sistem individual bilateral. Dengan kata lain,

dalam perkawinan campuran dalam hal pewarisan kepada anak-anak sebagai

keturunan dari pernikahan orang tuanya yang tidak satu suku baik anak laki-laki

maupun perempuan sama-sama dapat menjadi ahli waris dan berhak atas warisan

dari orang tuanya.

130

Universitas Sumatera Utara

Page 144: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

131

3. Pembagian harta warisan dalam perkawinan campuran dalam masyarakat

yang menganut sistem kekerabatan matrilinial walaupun para pihak berasal

dari menganut sistem kekerabatan matrilinial, namun apabila terjadi

perkawinan campuran pembagian warisan tidak dilakukan sistem

kekerabatan dari mana ia berasal tetapi dilakukan sesuai dengan

kesepakatan dari para ahli waris seperti halnya pada sistem patrilineal yang juga

mengalami pergeseran pembagiamn dilakukan menurut kebiasaan setempat baik

menggunakan sistem pewarisan atas kesepakatan, sistem pewarisan berdasarkan

Hukum Islam dengan sistem individual bilateral. Adanya perkawinan campuran

menyebabkan pewarisan kepada anak-anak sebagai keturunan dari pernikahan

orang tuanya yang tidak satu suku baik anak laki-laki maupun perempuan sama-

sama dapat menjadi ahli waris dan berhak atas warisan dari orang tuanya.

B. Saran

1. Disarankan kepada masyarakat adat yang melakukan perkawinan

campuran yang menggunakan ketentuan perkawinan yang bersecara

nasional agar tidak lagi membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan

khususnya dalam hal pewarisan sebab anak laki-laki dan perempuan di mata

Tuhan adalah sama.

2. Disarankan kepada pengambil kebijakan agar dapat membuat suatu

kodifikasi hukum terhadap pembagian hak waris dari perkawinan

Universitas Sumatera Utara

Page 145: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

132

campuran termasuk dalam hal ini dari perawinan masyarakat yang

menganut sistem kekerabatan yang berbeda agar dapat memberikan rasa

keadilan bagi masyarakat khususnya bagi ahli waris.

Universitas Sumatera Utara

Page 146: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

133

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Teks

Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Mualamat (Hukum Perdata Islam), FH-UII,

1993, Yogyakarta, 1993.

Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996.

Asshiddiqie, Jimly, Tata Urut Peraturan Perundang-undangan dan

Problematika Peraturan Daerah , makalah, 2005.

Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian, Radja Grafindo Persada, Jakarta,

1997.

Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustofa Adidjoyo, Teori dan Strategi

Pembangunan Nasional, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1988.

Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Abditama, Surabaya, 2001

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia (Dalam Perspektif Islam, Adat dan

BW), Rafika Aditama, Bandung, 2005.

Hartono, Sunarjati, Dari Hukum Antar Golongan Ke Hukum Antar Adat, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 1991.

Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tintamas, Jakarta, 1968

------------, Hukum Kewarisan Bilateral, Tinta Emas, Jakarta, 1974.

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999

------------, Pengantar Hukum Adat, Mandar Maju, Bandung, 1992.

Ichtijanto, H., Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam

Djuhana S. Pradja (Pengantar), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan

dan Pembentukan, Rosda Karya, Bandung, 1994

133

Universitas Sumatera Utara

Page 147: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

134

Kusumaatmadja, Mochtar, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan

Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1986.

------------, Mochtar, Konsep-Konsep Pembangunan Hukum dalam

Pembangunan, Alumni-Bandung, 2002.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994

Masri Singarimbun, dkk, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1989.

Nawawi, Perkawinan Campuran (Problematika dan solusinya), Widyaiswara Madya,

Balai Diklat Keagamaan, Palembang, 2005

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006.

Projodikoro, Wirjono, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1991

Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984.

Ramulyo, M. Idris, “Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafi’i dan Wasiat

Wajib di Mesir tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu

menurut Islam”. Majalah Hukum dan Pembangunan No. 2 Thn. XII

Maret 1982, FHUI, Jakarta, 1982

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1981.

Soekanto, Soeyono, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1966.

-------------, Pokok-pokok Sosiologi, LP3S, Jakarta, 1986.

-------------, dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif , Radja Grafindo

Persada, Jakarta, 2001.

-------------, Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, 2006.

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar , Liberty,

Yogyakarta, 2001.

Sunadi Suryabrata, Metode Penelitian, Raja Grafindo, Jakarta, 1998. hlm 3.

Universitas Sumatera Utara

Page 148: SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU …

135

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Andi Offset, Yogyakarta, 1989.

Ter Haar terjemahan Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,

Pradnya Paramita, Jakarta, 1980

Wuisman, J.J.J. M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Penyunting:

M. Hisyam), FE UI, Jakarta, 1996.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, tentang Peraturan Pelaksana Undang–

Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

C. Internet

http://id.wikipedia.org/wiki/Matrilineal, diakses 10 Oktober 2011, jam 23.20 WIB.

http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat, diakses 10 Oktober 2011, 23.28 WIB

http://www.kamusbesar.com/43450/pewarisan, diakses 10 Oktober 2011, jam 23.33WIB.

Universitas Sumatera Utara