Sistem Pemilwa Perlu Dibenahi

4
SISTEM PEMILWA PERLU DIBENAHI Kesalahan seakan sudah menjadi hal yang wajar bagi manusia. Seperti kata pepatah, tiada gading yang tak retak, tiada manusia yang luput dari kesalahan. Hal itulah yang menjadi gambaran pada pemilihan umum mahasiswa (pemilwa) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang dilaksanakan pada Kamis (30/6) lalu. Suasana memanas ketika proses penghitungan suara hasil pemilwa dilaksanakan. Di sini terjadi kesalahpahaman yang menyebabkan pemilu diulang. S ebenarnya, pemilwa yang diselenggarakan setahun sekali ini diadakan di setiap lembaga mahasiswa di tingkat fakultas meskipun tidak serentak dan dengan proses yang berbeda. Tidak seperti tahun sebelumnya, kampanye yang dilakukan oleh para kandidat di FKIP tahun ini terlihat lebih teratur. Foto-foto mereka terpampang di papan pengumuman, tidak lagi berjejer seperti jemuran. Begitu pula dengan antusiasme mahasiswa FKIP yang mencalonkan diri sebagai kandidat wakil mahasiswa dirasa cukup baik. Hal tersebut terbukti dengan tidak adanya calon tunggal dalam pemilu kali ini. Di tingkat Majelis Mahasiswa Fakultas (MMF) terdapat dua pasangan kandidat, Dite Umbara-Suraban dan Salvin-Feri. Sama halnya dengan MMF, di tingkat Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) terdapat dua pasangan yang maju sebagai calon kandidat. HMJPMIPA mengusung pasangan Benu-Shinta dan Wahyu-Sinaryo, serta Riska-Sapiksal dan Sugiyatno-Dwi di HMJPGSD. Pasangan Liliek-Ria dan Esti-Wiwik maju sebagai calon kandidat HMJPBS. Sementara HMJPTK mengajukan pasangan Dedi-Oktavia dan Aditiya-Okta. Proses pemilwa di FKIP dilaksanakan dengan pemilihan langsung oleh mahasiswa FKIP. Awalnya, pemilwa di FKIP diadakan pada Kamis (30/6). Namun, disebabkan adanya kesalahpahaman pada proses penghitungan suara, pemilu ulang pun akhirnya diadakan pada Kamis (14/7). Pemilwa tidak hanya dilangsungkan di FKIP. Pemilwa juga dilaksanakan di setiap fakultas di UST. Salah satunya Fakultas Teknik (FT) yang juga menyelenggarakan pemilwa. Dua kandidat yaitu Toni Anggara dan Ginanjar Wahyu Gemilang maju sebagai calon ketua dan wakil ketua di FT. Berbeda dengan FKIP, FT tidak melakukan pemilihan secara langsung, tetapi masing-masing kandidat saling rembug dengan musyawarah mufakat. “Tujuan diadakannya musyawarah mufakat agar tidak terjadi kekisruhan antara pihak yang pro dan kontra. Justru dengan adanya musyawarah mufakat di antara dua kandidat akan tercapai tujuan, yaitu Teknik lebih maju.” ujar Ketua MMF Teknik periode 2010/2011, Stefanus Rada. “Kalau toh semisal musyawarah mufakat tidak berhasil, dengan terpaksa akan diadakan pemilihan secara langsung.” imbuhnya. Sejalan dengan FKIP, Fakultas Ekonomi (FE) pun membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyelenggarakan pemilihan secara langsung. Pelaksanaan kampanye, penyampaian visi-misi, pemilihan suara, perhitungan suara dan pengumuman hasil pemenang oleh panitia dilaksanakan Kamis (28/6). Nama calon kandidat di antaranya Felix Supiasto, Junavan Wicaksono, Yusuf Mustofa, Fadheil Wiza Munabari. Namun, ada dua calon yang mengundurkan diri dengan alasan yang tidak diketahui. Sementara Fadheil mengundurkan diri karena mengikuti program pertukaran pelajar dengan Universitas Malaya, Malaysia. Meskipun demikian, FE tetap mengadakan pemilu karena surat pengunduran diri Junavan dan Yusuf ditampung terlebih dahulu oleh KPU yang kemudian diumumkan pada saat kampanye dan penyampaian visi misi. Sedangkan Fadheil langsung menyatakan secara lisan pada saat pemilu. Disebabkan hanya ada calon tunggal, maka diputuskan untuk diadakan aklamasi sehingga yang menjadi ketua MMFE periode 2011/2012 adalah Felix Supiasto. Pelanggaran Pemilwa Menurut Nur Kholis selaku ketua KPU pemilu pertama FKIP, penyebab diulangnya pemilu di lingkungan MMFKIP dikarenakan adanya kesalahan teknis dari pihak KPU mengenai ketidakselarasan berita acara dengan surat suara yang dicontreng. “Awalnya terdapat 169 surat suara, namun di kotak suara ada 178 surat suara. Ini terjadi di kotak suara HMJPMIPA.” tuturnya. Senada dengan yang diungkapkan Kholis, Antika Wulan selaku ketua MMFKIP periode 2010/2011 menjelaskan, pemilu diulang karena ada kesalahan berita acara dan surat suara yang sudah dicontreng. Sehingga ada beberapa mahasiswa yang merasa tidak terima dan menginginkan perhitungan suara tersebut tidak dilanjutkan. Menurut Aditiya, salah satu calon kandidat HMJPTK mengatakan pemilwa diulang hanya karena adanya ketidaksamaan warna tinta pada saat pencontrengan. Tinta yang disediakan KPU berwarna merah, namun pada prakteknya ditemukan tinta berwarna hitam dalam surat suara. “Jumlah suara yang ditulis di screen berbeda dengan yang ada di papan tulis. Langsung minta diulang.” jelasnya. 1 Buletin PENDAPA News Edisi Khusus Pemilu Mahasiswa 2011

description

Sistem Pemilwa Perlu Dibenahi

Transcript of Sistem Pemilwa Perlu Dibenahi

Page 1: Sistem Pemilwa Perlu Dibenahi

SISTEM PEMILWA PERLU DIBENAHI

Kesalahan seakan sudah menjadi hal yang wajar bagi manusia. Seperti kata pepatah, tiada gading yang tak retak, tiada manusia yang luput dari kesalahan. Hal itulah yang menjadi gambaran pada pemilihan umum mahasiswa (pemilwa) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang dilaksanakan pada Kamis (30/6) lalu. Suasana memanas ketika proses penghitungan suara hasil pemilwa dilaksanakan. Di sini terjadi

kesalahpahaman yang menyebabkan pemilu diulang.

Sebenarnya, pemilwa yang diselenggarakan setahun sekali ini diadakan di setiap lembaga mahasiswa di tingkat fakultas meskipun tidak serentak dan dengan proses yang berbeda.

Tidak seperti tahun sebelumnya, kampanye yang dilakukan oleh para kandidat di FKIP tahun ini terlihat lebih teratur. Foto-foto mereka terpampang di papan pengumuman, tidak lagi berjejer seperti jemuran. Begitu pula dengan antusiasme mahasiswa FKIP yang mencalonkan diri sebagai kandidat wakil mahasiswa dirasa cukup baik. Hal tersebut terbukti dengan tidak adanya calon tunggal dalam pemilu kali ini.

Di tingkat Majelis Mahasiswa Fakultas (MMF) terdapat dua pasangan kandidat, Dite Umbara-Suraban dan Salvin-Feri. Sama halnya dengan MMF, di tingkat Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) terdapat dua pasangan yang maju sebagai calon kandidat. HMJPMIPA mengusung pasangan Benu-Shinta dan Wahyu-Sinaryo, serta Riska-Sapiksal dan Sugiyatno-Dwi di HMJPGSD. Pasangan Liliek-Ria dan Esti-Wiwik maju sebagai calon kandidat HMJPBS. Sementara HMJPTK mengajukan pasangan Dedi-Oktavia dan Aditiya-Okta.

Proses pemilwa di FKIP dilaksanakan dengan pemilihan langsung oleh mahasiswa FKIP. Awalnya, pemilwa di FKIP diadakan pada Kamis (30/6). Namun, disebabkan adanya kesalahpahaman pada proses penghitungan suara, pemilu ulang pun akhirnya diadakan pada Kamis (14/7).

Pemilwa tidak hanya dilangsungkan di FKIP. Pemilwa juga dilaksanakan di setiap fakultas di UST. Salah satunya Fakultas Teknik (FT) yang juga menyelenggarakan pemilwa. Dua kandidat yaitu Toni Anggara dan Ginanjar Wahyu Gemilang maju sebagai calon ketua dan wakil ketua di FT. Berbeda dengan FKIP, FT tidak melakukan pemilihan secara langsung, tetapi masing-masing kandidat saling rembug dengan musyawarah mufakat.

“Tujuan diadakannya musyawarah mufakat agar tidak terjadi kekisruhan antara pihak yang pro dan kontra. Justru dengan adanya musyawarah mufakat di antara dua kandidat akan tercapai tujuan, yaitu Teknik lebih maju.” ujar Ketua MMF Teknik periode 2010/2011, Stefanus Rada. “Kalau toh semisal musyawarah mufakat tidak berhasil, dengan terpaksa akan diadakan pemilihan secara langsung.” imbuhnya.

Sejalan dengan FKIP, Fakultas Ekonomi (FE) pun membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyelenggarakan pemilihan secara langsung. Pelaksanaan kampanye, penyampaian visi-misi, pemilihan suara, perhitungan suara dan pengumuman hasil pemenang oleh panitia dilaksanakan Kamis (28/6). Nama calon kandidat di antaranya Felix Supiasto, Junavan Wicaksono, Yusuf Mustofa, Fadheil Wiza Munabari. Namun, ada dua calon yang mengundurkan diri dengan alasan yang tidak diketahui. Sementara Fadheil mengundurkan diri karena mengikuti program pertukaran pelajar dengan Universitas Malaya, Malaysia.

Meskipun demikian, FE tetap mengadakan pemilu karena surat pengunduran diri Junavan dan Yusuf ditampung terlebih dahulu oleh KPU yang kemudian diumumkan pada saat kampanye dan penyampaian visi misi. Sedangkan Fadheil langsung menyatakan secara lisan pada saat pemilu. Disebabkan hanya ada calon tunggal, maka diputuskan untuk diadakan aklamasi sehingga yang menjadi ketua MMFE periode 2011/2012 adalah Felix Supiasto.

Pelanggaran PemilwaMenurut Nur Kholis selaku ketua KPU pemilu pertama FKIP,

penyebab diulangnya pemilu di lingkungan MMFKIP dikarenakan adanya kesalahan teknis dari pihak KPU mengenai ketidakselarasan berita acara dengan surat suara yang dicontreng. “Awalnya terdapat 169 surat suara, namun di kotak suara ada 178 surat suara. Ini terjadi di kotak suara HMJPMIPA.” tuturnya.

Senada dengan yang diungkapkan Kholis, Antika Wulan selaku ketua MMFKIP periode 2010/2011 menjelaskan, pemilu diulang karena ada kesalahan berita acara dan surat suara yang sudah dicontreng. Sehingga ada beberapa mahasiswa yang merasa tidak terima dan menginginkan perhitungan suara tersebut tidak dilanjutkan.

Menurut Aditiya, salah satu calon kandidat HMJPTK mengatakan pemilwa diulang hanya karena adanya ketidaksamaan warna tinta pada saat pencontrengan. Tinta yang disediakan KPU berwarna merah, namun pada prakteknya ditemukan tinta berwarna hitam dalam surat suara. “Jumlah suara yang ditulis di screen berbeda dengan yang ada di papan tulis. Langsung minta diulang.” jelasnya.

1Buletin PENDAPA News Edisi Khusus Pemilu Mahasiswa 2011

Page 2: Sistem Pemilwa Perlu Dibenahi

Suasana bertambah ricuh ketika beberapa pendukung calon kandidat melakukan tindakan yang kurang berkenan. Setiabudi, salah satu anggota KPU mengungkapkan puncak dari keributan yang terjadi dalam proses penghitungan suara adalah dengan dibakarnya surat suara yang telah terpakai oleh panitia KPU.

Menurut anggota KPU lainnya, Wahidatun Aisyah, apabila surat suara tersebut tetap disimpan oleh pihak KPU akan menimbulkan sangkaan bahwa KPU menyembunyikan surat suara. Keputusan untuk memusnahkan surat suara tersebut berawal dari usulan salah satu calon kandidat dan disepakati bersama oleh panitia KPU, panwaslu, dan seluruh calon kandidat.

Namun, setelah diadakan perhitungan ulang pada presensi penyontreng dan perhitungan surat suara, Kholis menyatakan di dalam surat suara tersebut terjadi kesalahan dalam penulisan berita acara. Akan tetapi menurut Waskuri, ketua KPU pemilu kedua, pemilu ulang tetap dilaksanakan karena telah menjadi keputusan bersama dari rektorat, dekanat, dan MMFKIP untuk mengadakan pemilu ulang.

Tampak ada beberapa perbedaan antara pemilu pertama dan pemilu kedua. Salah satunya adalah sistem pemilihannya. Pada pemilu pertama sistem pemilihan yang digunakan adalah pencontrengan. Sementara pada pemilu kedua sistem pemilihan yang dipakai adalah mencoblos.

Menurut Kholis, hal itu dikarenakan pada saat pemilu pertama surat suara dicetak sehingga gambar, tulisan, serta warna terlihat jelas. Akan tetapi, pada pemilu kedua dilakukan pencoblosan karena surat suara di fotokopi, mengingat singkatnya waktu dan persiapan, sehingga gambar yang dihasilkan tidak jelas. Dalam hal ini KPU memutuskan untuk mengganti sistem pemilihan dari pencontrengan menjadi pencoblosan.

Begitupula perbedaan banyaknya pemilih. Menurut Waskuri, diadakannya pemilu pada saat ujian adalah karena deadline dari MMU yang meminta seperti itu dan apabila mengingat selepas ujian akan semakin susah nantinya. “Dalam surat permintaan kami itu hari ini, Kamis, untuk ujian dilaksanakan jam ke 1, yang ke 2 digeser ke jam ke 1, atau kalau tidak bisa diundur jam ke 3 atau ke 4, namun TU menyampaikan info libur, padahal kami sudah berusaha sosialisasi.” terangnya.

Waskuri mengungkapkan, hal tersebut tidak bisa menjadi tolok ukur seberapa mereka dinikmati bagi kandidat. “Siapa tahu yang kemarin lebih sedikit, karena yang kemarin belum semua dihitung, saya belum meyakini kalau yang sekarang ini lebih sedikit.” imbuhnya.

Adanya pemilu ulang menuai berbagai tanggapan dari beberapa mahasiswa. Salah satunya Sinaryo, wakil ketua HMJ MIPA terpilih yang mengatakan calon kandidat tidak ‘dikarantina’ saat pemilu ulang

kali ini. Tidak seperti pemilu sebelumnya yang masih melakukan ‘karantina’ pada calon kandidat, walaupun untuk mengumpulkan seluruh calon kandidat yang akan ‘dikarantina’ membutuhkan waktu yang lama. Selain itu, pemilu kali ini, calon kandidat masih diperbolehkan untuk berkampanye bahkan dihari pencoblosan. Selain itu, Ika mahasiswi prodi Bahasa Inggris mneyetujiui adanya pemilu ulang, karena menurutnya ada kecurangan yang terjadi.

Menanggapi situasi ini, Hazwan Iskandar Jaya, anggota KPUD Sleman bidang Humas, Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih, mengatakan mestinya ada dasar hukum tentang pemilwa dari kampus atau fakultas, mulai dari pembentukan panitia, kinerja KPU, pelaksanaannya, penentuan calon-calon yangg mendaftar, serta pengadaan logistik. Juga masa kampanye dan masa tenang. Terakhir penetapan calon terpilih.

Hazwan mengungkapkan bahwa dari awal seharusnya panitia sudah tahu berapa jumlah mahasiswa yang punya hak pilih. Jadi ada absensinya atau mereka (pemilih) diberi surat atau apa sebagai undangan. Sehingga ketika mereka datang ke Tempat Pengambilan Suara (TPS) ada daftar pemilihnya.

Menurut Hazwan, sebaiknya disetiap jurusan ada TPS-nya. Hal tersebut untuk memudahkan dalam proses penghitungn suara dan pemeriksaan jika ada kesalahan. Karena jika yang mendaftar dan datanya tidak jelas, ada kemungkinan bahwa orang yang asal mengaku mahasiswa juga bisa ikut memilih. Antisipasinya adalah dengan menunjukan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) sebagai bukti mahasiswa. Namun jika sudah ada daftar pemilih dan tersedianya TPS disetiap jurusan, maka pemilih dapat memilih di TPS sesuai jurusannya saja. Sehingga kecil kemungkinan untuk memilih dua kali atau adanya pemilih yang asal mengaku mahasiswa.

Hazwan menambahkan, setiap calon juga harus punya saksi, kalau tidak secara legalitas tidak punya keabsahan. Ketika perhitungan suara, saksi secara legal harus mewakili calonnya melihat proses perhitungan. Dimulai dari dibukanya kotak suara, penghitungan, yang hadir, yang mengggunakan hak pilih, baru dihitung satu persatu, ada saksi yang melihat. Setelah itu dibuat berita acaranya, yang ditandatangani saksi.

“Setelah memilih perlu adanya penandaan (dengan tinta) untuk dapat mengetahui apakah mereka sudah menggunakan hak pilihnya. Dibutuhkan pula pengawas pemilwa, jika tidak cukup ditambah dengan pemantau. Selain itu, keadaan di TPS itu harus steril, bebas dari intervensi pihak-pihak lain. Dalam memilih jangan sampai ikatan emosional mempengaruhi pikiran rasional.” pungkas Hazwan.[p]

Desi S.RTim PENDAPA News

Diterbitkan Oleh: Lembaga Pers Mahasiswa PENDAPA Tamansiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Pelindung: Drs.H. Pardimin,M.Pd Penasehat: Drs. Tjiptono, M.Pd Pemimpin Umum: S. Rahma. Wakil Pemimpin Umum: A. Mustaqim. Sekretaris Umum: Wayahdi. Bendahara Umum: Wulandari. Pemimpin Redaksi: Wulandari S. Redaktur Pelaksana: Galuh K.(NA) Reporter: Budi H, Eko B, Darmiati, Khuriyatul A, Fahmi L, Ana K. W, Enggar P, Desi

S. R, Erningsih, S. Rahma, A. Mustaqim, Wayahdi, Wulandari, Wulandari S, Supriyanti, Wahyu Z, Subiyanto D. S, I P. Danang P, P. Arya B.W, Novita P. Reporter Magang: Resti H, Thika N.S, Sigit P, U. Lailatun N, Ernawati, Taofiq T.Y, W. Aisyah R.A, Seno D.S, A.septora.i.Editor: Wulandari. Dokumentasi dan Kepustakaan: Supriyanti, Erningsih. Tim Artistik: A.Septora.I Layout: Seno D.S. Kepala penelitian dan pengembangan: Wahyu Z Staf Litbang: Subiyanto D. S, Darmiati, Eko.B Pimpinan Perusahaan: I P. Danang P. Staf Perusahaan: P. Arya B.W, Novita P, Khuruyatul.AAlamat: Jl. Batikan No.02 Kompleks Perpustakaan Pusat UST Telp. (0274) 8564014, Website: www. lpmpendapa.com E-mail: [email protected]

SOROT

2 Buletin PENDAPA News Edisi Khusus Pemilu Mahasiswa 2011

Page 3: Sistem Pemilwa Perlu Dibenahi

Dewasa ini banyak kita lihat fenomena budaya diskusi dan sikap kritis mahasiswa mulai hilang. Mahasiswa sekarang lebih identik dengan gaya hidup hedonis dan konsumtif.

Pola kegiatan maupun perilaku yang mereka lakukan semua serba praktis dan instan. Apapun yang mereka inginkan kini sudah tersedia, hal inilah yang menyebabkan beralihnya gaya hidup produktif menjadi konsumtif. Kekritisan bisa muncul saat seseorang merasa sangat ingin tahu terhadap sesuatu dan saat mereka merasa tidak terima atau keberatan akan sesuatu. Tapi sayangnya perasaan ingin tahu kini hanya dirasakan segelintir mahasiswa saja. Kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk diam, tak acuh serta lebih memikirkan diri sendiri.

Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk mencerdaskan dan mengasah kepekaan terhadap sesuatu. Semakin tinggi pendidikan, seharusnya kita akan lebih cerdas dan lebih peka serta peduli kepada lingkungan sekitar. Pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh universitas bukan untuk memisahkan mahasiswa dengan rakyatnya, tetapi untuk mempersiapkan mahasiswa agar siap terjun dalam kehidupan bermasyarakat.

Oleh karena itu, dirasa aneh jika mahasiswa hanya terfokus pada perkuliahan di dalam kelas tanpa mau belajar lebih di masyarakat, karena di lingkungan masyarakatlah mereka akan bersosialisasi dan berkarya. Mahasiswa kini lupa bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat yang juga harus kritis dan mau berjuang dalam menyelesaikan permasalahan bangsa. Pemuda atau mahasiswa sering diidentikkan sebagai agen perubahan sosial. Oleh kerena itu, mahasiswa harus menjadi garda terdepan dalam menyikapi permasalahan-permasalan yang ada di masyarakat.

Banyak faktor yang menurut saya menyebabkan mulai hilangnya budaya kritis mahasiswa dewasa ini. Pertama, hilangnya ruang-ruang diskusi mahasiswa. Taman dan tempat-tempat yang nyaman untuk berdiskusi kini banyak disulap menjadi kantin atau gedung-gedung baru. Di sisi lain juga mulai hilangnya kelompok atau forum-forum diskusi yang seyogyanya dapat menambah wawasan serta mengasah daya kritis mahasiswa.

Kedua, pengaruh tayangan televisi, seperti gosip dan sinetron yang selalu menampilkan gaya hidup yang serba mewah. Serta tingkah laku dan cara berpakaian yang katanya gaul, kalau tidak boleh dikatakan primitif, karena pakaian yang dikenakan begitu minim. Generasi muda dibawa dalam angan-angan kehidupan yang begitu mewah, berkecukupan dengan gaya yang konsumtif tanpa melihat kenyataan yang ada di bangsa ini dimana taraf kehidupan masyarakat masih memprihatinkan. Kemiskinan juga kian menjadi momok yang menakutkan bagi bangsa ini karena harga kebutuhan pokok kian melambung tinggi. Selain itu, lapangan pekerjaan semakin sulit didapat seiring bertambahnya jumlah penduduk yang tidak dibarengi dengan perluasan lapangan kerja. Televisi sebagai media yang bisa dikatakan murah dan dapat diakses oleh sebagian besar masyarakat seharusnya lebih banyak menampilkan tayangan yang bermanfaat. Televisi juga harusnya dapat menambah wacana bagi generasi muda sekarang ini dengan memperbanyak tayangan berita atau liputan-liputan tentang kebudayaaan bangsa.

Ketiga adalah kebijakan pemerintah terkait pendidikan. Adanya ujian nasional bagi siswa dan diberlakukannya nilai minimum untuk kelulusan, diakui atau tidak telah menjadi momok yang menakutkan bagi siswa. Banyak siswa yang stres dan tidak bisa tidur karena takut kalau tidak lulus ujian nasional. Hal ini tentu sangat memberatkan siswa, waktu yang seharusnya digunakan untuk bermain dan berinteraksi dengan masyarakat mulai berkurang karena selalu dipaksa demi mendapatkan nilai di atas batas minimum kelulusan. Dengan berkurangnya waktu berinteraksi dengan masyarakat ini tentunya akan menghilangkan kepekaan dan daya kritis atas fenomena yang ada di masyarakat. Anak-anak sudah terbiasa tidak bertegur sapa dengan tetangga dan tidak tahu menahu adanya kenaikan harga kebutuhan pokok serta akibatnya bagi keberlangsungan hidup tetangga-tetangganya. Sikap tak acuh ini ternyata terbawa sampai saat masuk ke perguruan tinggi.

Kebijakan pemerintah juga memaksa kampus untuk menerapkan kebijakan yang mengharuskan mahasiswa hadir dalam perkuliahan minimal 75%. Sepintas terlihat baik karena dengan adanya ini mahasiswa dituntut untuk rajin kuliah dan tidak malas-malasan. Tetapi kalau kita telaah lebih jauh, kebijakan ini tak ubahnya seperti kurungan bagi mahasiswa. Mahasiswa dipaksa kembali ke kampus dan dibebani dengan tugas-tugas yang menggunung, sehingga mahasiswa sekarang terkesan elitis. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab hilangnya sifat kritis dan kepedulian terhadap permasalahan masyarakat sekitar. UST dengan jargon kampus kebangsaan dan bagaian dari perguruan Tamansiswa seharusnya punya ciri khas yang membedakannya dengan kampus-kampus lain. Dengan sistem amongnya, pengajaran kepada mahasiswa seharusnya berbeda dengan siswa. Mahasiswa sudah kita anggap sebagai manusia dewasa yang mampu mengurus dan menentukan kabijakan yang menyangkut dirinya. Jadi, saya kira seharusnya mahasiswa lebih diberi keleluasaan dalam hal belajar, baik di dalam kelas maupun di luar kelas sesuai kemampuan dan kehendaknya agar tercapai cita-cita mewujudkan kemerdekaan sang anak, baik lahir maupun batin.

Lalu, pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara untuk mengembalikan budaya kritis mahasiswa?

Hal yang paling sederhana adalah menciptakan kembali ruang-ruang interaksi atau kelompok-kelompok diskusi di kampus, baik kelompok belajar, teater maupun forum kajian khusus untuk mengupas permasalan-permasalah terbaru yang ada di kampus, masyarakat atau bangsa ini. Berikutnya adalah perbanyak membaca, kurangi menonton tayangan-tayangan kurang bermanfaat dari televisi serta lebih banyak mengikuti kegiatan-kegiatan seminar atau diskusi. Yang terakhir ikutlah organisasi. Dengan berorganisasi mahasiswa akan lebih aktif dalam berinteraksi kepada sesama. Dengan ikut berorganisasi, dapat melatih memanajemen diri sendiri maupun orang lain serta akan memperluas wawasan dan pengalaman yang tidak didapat di dalam kelas, sehingga akan lebih cerdas dan peka terhadap lingkungan sekitar. [p]

*Mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin ‘06

Hilangnya Budaya Kritis Mahasiswa

OPINI

Oleh: Kelik Supriyanto *

3Buletin PENDAPA News Edisi Khusus Pemilu Mahasiswa 2011

Page 4: Sistem Pemilwa Perlu Dibenahi

PENDAP@NEKDOT