Sistem Pemerintahan Mukim Dan Gampong Di Aceh

download Sistem Pemerintahan Mukim Dan Gampong Di Aceh

of 15

Transcript of Sistem Pemerintahan Mukim Dan Gampong Di Aceh

  • 7/22/2019 Sistem Pemerintahan Mukim Dan Gampong Di Aceh

    1/15

    SISTEM PEMERINTAHAN MUKIM DAN GAMPONG DI ACEH*

    Sulaiman Tripa**

    PENDAHULUAN

    Setelah bergulirnya reformasi di Indonesia, melahirkan pola pemerintahan yangtidak lagi tersentralisasi. Bentuk pemerintahan yang paling bawah pun kembali

    dimungkinkan berlangsung beragam, tidak lagi seragam, sebagaimana ditentukan UU

    No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa.

    Beberapa UU yang lahir pasca reformasi, semakin membuka peluang bagi

    otonomi yang lebih besar bagi daerah, antara lain UU No. 22/1999 tentang Otonomi di

    Daerah diganti dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.

    25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Khusus bagi Aceh,

    terdapat UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, UU No.

    18/2001 tentang Otonomi Khusus untuk Aceh dengan nama Provinsi Nanggroe Aceh

    Darussalam, serta UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.1

    Setelah reformasi pula, terjadi amandemen terhadap UUD 1945. Salah satu

    pengaturan penting yang mendapat tempat dalam perubahan tersebut adalah mengenaiPemerintahanan di Daerah. Dalam Pasal 18 disebutkan, bahwa Negara Kesatuan

    Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi, kabupaten dan kota, yang tiap-tiap

    provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Pemda mengatur

    sendiri urusan rumah tangga menurut asas otonomi dan perbantuan. Pemda

    menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU

    ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

    Dalam Pasal 18A disebutkan, hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan

    pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten

    dan kota, diatur dengan UU dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

    Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber

    daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan

    secara adil dan selaras berdasarkan UU.Sementara Pasal 18B disebutkan, negara mengakui dan menghormati satuan-

    satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur

    dengan UU. Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta

    hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

    masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam UU.2

    Pelbagai UU tersebut telah memberi kebebasan dan kewenangan yang besar

    kepada Aceh dalam melakukan pengelolaan kekayaan alam dan juga kebebasan

    menjalankan sistem pemerintahan menurut karakteristiknya. Khusus mengenai sistem

    pemerintahan yang demikian, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari bagaimana

    pengelolaannya. Harus diingat bahwa aturan yang bagus, bila tidak dilaksanakan, tidak

    *Sampaian pada Sekolah Demokrasi Aceh Utara, 3 April 2011.**Dosen Hukum dan Masyarakat pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 1Sulaiman Tripa, Prospek dan Tantangan Pemerintahan Gampong di Nanggroe Aceh Darussalam,Jurnal Media Hukum, Vol. 16 No. 2 Desember 2009.2Penghormatan secara khusus kepada Pemerintah Daerah yang bersifat khusus, masukdalam 174 ketentuan baru (25 butir tidak diubah) pascaamandemen UUD Tahun 1945, yangtelah dilakukan empat kali perubahan. Perubahan Pertama, disahkan 19 Oktober 1999.Perubahan Kedua, disahkan 18 Agustus 2000. Perubahan Ketiga, disahkan 10 November 2001.PerubahanKeempat, disahkan 10 Agustus2002

  • 7/22/2019 Sistem Pemerintahan Mukim Dan Gampong Di Aceh

    2/15

    akan berarti apa-apa. Jadi dalam hal ini, apa yang tertulis di dalam kitab UU,

    sesungguhnya membutuhkan implementasinya dalam kenyataan.

    Seandainya kewenangan tersebut bisa diemban dengan baik, maka di sinilah

    bisa dikategorikan bahwa sistem pemerintahan yang kita punya dianggap bisa mewakili

    harapan rakyat yang sesungguhnya.

    Di tengah pengaturan UU tersebut, timbul pertanyaan, bahwa bisakah sistemPemerintahan Gampong dan Mukim bisa dikategorikan sebagai otonomi yang asli?

    Dalam hal ini, otonomi yang memungkinkan gampong dan mukim mengurus sendiri

    sesuai kearifan dan kapasitas lokal, tanpa intervensi dan tanggung jawab negara.

    Sebagian orang menyebutkan otonomi asli itu sudah tidak ada, sebab semua urusan

    sudah menjadi miliki negara.

    ISTILAH SISTEM PEMERINTAHANUntuk menemukan konsep sistem pemerintahan, maka harus dilihat dua hal

    yang memadankan istilah sistem dan pemerintahan. Syafaruddin menyebutkan

    bahwa:

    1. Sistem merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari sub-sub sistem yang salingberinteraksi, berfungsi, dan bekerja dalam wilayahnya dalam rangka mencapai

    suatu tujuan. Sistem meliputi input, proses, output, feed back, dan siklus.

    2. Sistem Pemerintahan merupakan suatu kesatuan pemerintahan (negara) yangterdiri dari sub-sub sistem pemerintahan (eks, leg, yud) yang saling berinteraksi,

    berfungsi, dan bekerja dalam wilayahnya dalam rangka mencapai suatu tujuan

    (konstitusi).

    3. Sistem pemerintah meliputi proses input, proses, output, feed back, dan sikluspemerintahan.

    3

    Di samping itu, istilah pemerintahan juga mencakup perbuatan, cara atau

    urusan pemerintah. Pemerintah merupakan subjek yang berupa badan, lembaga, atau

    organisasi yang memiliki kekuasaan memerintah. Di Indonesia, istilah pemerintahanbisa dirujuk, yang mencakup pemerintah dalam arti luas (eksekutif, legislatif,

    yudikatif), pemerintah dalam arti sempit (eksekutif saja).

    Menurut CF Strong (1960, dalam buku Modern Political Constitusions) bahwa

    pemerintah dalam arti luas meliputi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

    Pemerintah dalam arti luas bertugas memelihara perdamaian dan keamanan. Oleh

    karena itu pemerintah harus memiliki (1) kekuasaan militer; (2) kekuasaan legislatif;

    dan (3) kekuasaan keuangan. Sedangkan SE Finer (1974, dalam buku Comparative

    Government) bahwa istilah pemerintahan (goverment) memiliki 4 arti yakni (1)

    kegiatan atau proses memerintah; (2) masalah-masalah kenegaraan; (3) pejabat yang

    dibebani tugas untuk memerintah; (4) cara, metode, atau sistem yang dipakai

    pemerintah untuk memerintah.4

    SEJARAHDesa-Desa yang beragam di seluruh Indonesia sejak dulu merupakan basis

    penghidupan masyarakat setempat, yang notabene mempunyai otonomi dalam

    mengelola tatakuasa dan tatakelola atas penduduk, pranata lokal dan sumberdaya

    ekonomi. Pada awalnya Desa merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai

    batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat

    3Syafaruddin, 2010, Perbandingan Sistem Pemerintahan, Universitas Lampung.4Ibid.

  • 7/22/2019 Sistem Pemerintahan Mukim Dan Gampong Di Aceh

    3/15

    untuk mengelola dirinya sendiri. Inilah yang disebut denganself-governing community.

    Sebutan Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum baru dikenal pada masa kolonial

    Belanda. Desa pada umumnya mempunyai pemerintahan sendiri yang dikelola secara

    otonom tanpa ikatan hirarkhis-struktural dengan struktur yang lebih tinggi. Di Sumatera

    Barat, misalnya, nagari adalah sebuah republik kecil yang mempunyai pemerintahan

    sendiri secara otonom dan berbasis pada masyarakat (self-governing community). Desa-Desa di Jawa sebenarnya juga menyerupai republik kecil, dimana pemerintahan Desa

    dibangun atas dasar prinsip kedaulatan rakyat. Trias politica yang diterapkan dalam

    negara-bangsa modern juga diterapkan secara tradicional dalam pemerintahan Desa.

    Desa-Desa di Jawa, mengenal Lurah (kepala Desa) beserta perangkatnya sebagai badan

    eksekutif, Rapat Desa (rembug Desa) sebagai badan legislatif yang memegang

    kekuasaan tertinggi, serta Dewan Morokaki sebagai badan yudikatif yang bertugas

    dalam bidang peradilan dan terkadang memainkan peran sebagai badan pertimbangan

    bagi eksekutif (Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1984).

    Di samping itu, secara historis, semua masyarakat lokal di Indonesia

    mempunyai kearifan lokal secara kuat yang mengandung roh kecukupan, keseimbangan

    dan keberlanjutan, terutama dalam mengelola sumberdaya alam dan penduduk.

    Diantara kearifan-kearifan lokal tersebut, ada beberapa aturan hukum adat yang

    mengatur masalah pemerintahan, pengelolaan sumberdaya, hubungan sosial, dan

    seterusnya. Pada prinsipnya aturan lokal itu dimaksudkan untuk menjaga desa itu

    sendiri.

    Secara khusus, adanyapengaturan tentang otonomi Desa dimaksudkan untuk

    merespon proses globalisasi, yang ditandai oleh proses liberalisasi (informasi, ekonomi,

    teknologi, budaya, dan lain-lain) dan munculnya pemain-pemain ekonomi dalam skala

    global. Dampak globalisasi dan ekploitasi oleh kapitalis global tidak mungkin dihadapi

    oleh lokalitas, meskipun dengan otonomi yang memadai. Alasan inilah yangmenyebabkan pengaturan kewenangan penting.

    5

    Bila diukur-ukur, mukim dan gampong bisa dimasukkan dalam konsep

    pengertian tersebut. Mukim dan gampong di Aceh memiliki batas tersendiri. Merunutpada Pasal 2 UU Pemerintahan Aceh (UU No. 11/2006), menyebutkan pembagian

    daerah di Aceh pada empat lingkup, yakni (1) Daerah Aceh dibagi atas

    kabupaten/kota; (2) Kabupaten/kota dibagi atas kecamatan; (3) Kecamatan dibagi atas

    mukim; (4) Mukim dibagi atas kelurahan dan gampong.

    Pengaturan sekarang ini, sudah melalui perjalanan sejarah yang panjang dalam

    konteks pengelolaan pemerintahan mukim dan gampong di Indonesia. Terdapat empat

    masa penting yang harus dilihat dalam perkembangan pemerintahan mukim dan

    gampong, yakni:

    1. Masa Kerajaan Aceh;2. Masa Orde Lama (1945-1979);3. Masa Orde Baru (1979-1999);4. Masa Orde Reformasi (1999-sekarang).Masing-masing masa tersebut memiliki struktur sendiri. Pemakaian pola

    berdasarkan struktur tersebut masing-masing, tidak bisa dilepaskan oleh peta politik

    yang terjadi. Dengan demikian, dalam lingkup yang luas, permasalahan pemerintahan

    mukim dan gampong sebenarnya tidak bisa lepas dari bagaimana perkembangan politik

    yang berlangsung di sini.

    5EB Sitorus, 2008, Naskah Akademik UU Desa.

  • 7/22/2019 Sistem Pemerintahan Mukim Dan Gampong Di Aceh

    4/15

    Tabel: Perbandingan Struktur Pemerintahan

    MASA

    KERAJAAN

    ACEH

    MASA ORDE

    LAMA

    (1945-1979)

    MASA ORDE

    BARU

    (1979-1999)

    MASA ORDE

    REFORMASI

    (1999 - sekarang)

    Sultan Pemerintahan Pusat Pemerintahan Pusat Pemerintahan Pusat

    Panglima Sagoe Pemerintahan

    Provinsi

    Pemerintahan

    Daerah Tingkat I

    Pemerintahan

    Provinsi

    Ulee Balang Pemerintahan

    Keresidenan

    Pemerintahan

    Daerah Tingkat II

    Pemerintahan

    Kabupaten/kota

    Imeum Mukim Pemerintahan

    Kabupaten

    Pemerintah

    Kecamatan

    Pemerintah

    Kecamatan

    Keuchik Pemerintah

    Kewedanaan

    Pemerintahan Desa

    / Pemerintah

    Kelurahan.

    Pemerintahan

    Mukim

    Pemerintahan

    Mukim

    Pemerintahan

    GampongPemerintahan

    Gampong.

    Sumber, dikutip dari Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, 2009, A Study of Panglima Laot, UN FAO,

    Banda Aceh [berdasarkan A. Mukti Ali, 1970.An Introduction to the Government of Acheh's Sultanate.

    Yogyakarta: Jajasan Nida; Lee Kam Hing, 1995. The Sultanate of Aceh; Ibrahim Alfian, 1999. Wajah

    Aceh dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh; McCarthy, John F.

    2005. BetweenAdat and State: Institutional Arrangements on Sumatra's Forest Frontier.Human Ecology

    33,1, p.39].

    1) Sejarah MukimDalam berbagai kajian mutakhir, ditemukan salah satu kesimpulan bahwa

    keberadaan mukim di Aceh tidak bisa dilepaskan dari keberadaan masjid. Dalam

    hubungannya dengan kehidupan beragama, terbentuknya Mukim menjadi dasar bagi

    pelaksanaan kewajiban untuk mendirikan shalat Jumat. Menurut Mazhab Syafii untuk

    Sultan

    Sagoe

    (Panglima Sagoe)

    Sagoe

    Panglima Sagoe

    Sagoe

    (Panglima Sagoe)

    Mukim

    (Ule Balang)

    Mukim

    (Ule Balang)

    Mukim

    (Ule Balang)

    Gampong

    (Geuchik)

    Kawom(Panglima Kawom)

    Gampong

    (Geuchik)

    Kawom(Panglima Kawom)

    Gampong

    (Geuchik)

    Kawom(Panglima Kawom)

  • 7/22/2019 Sistem Pemerintahan Mukim Dan Gampong Di Aceh

    5/15

    mendirikan salat Jumat diperlukan kehadiran paling tidak 40 orang laki-laki yang telah

    dewasa.6

    Gambaran tersebut menampakkan bahwa keberadaan mukim tidak lepas

    kaitannya dengan Islam. Paling tidak ada tiga ciri yang menunjukkan bahwa sistem

    Pemerintahan Mukim berasaskan Islam. Pertama, memperhatikan syarat-syarat

    keagamaan yang harus dipenuhi oleh para pimpinan pada tingkat Mukim danGampong. Kedua, dapat dilihat dalam sistem pengelolaan tanah-tanah umum yang

    belum dimiliki oleh siapapun, yang oleh masyarakat Aceh disebut sebagai tanoh

    Potallah atau tanah Tuhan. Dalam hal ini, siapa yang menghidupkan dan

    mengusahakan tanah mati tersebut, dialah yang berhak atas tanah tersebut, untuk

    dimiliki atau dialihkan kepada orang lain, tentu saja setelah syarat-syarat adat

    terpenuhi. Ketiga, dalam penyelesaian sengketa yang mengedepankan perdamaian

    melalui musyawarah dan bertujuan untuk membangun kembali harmonisasi pasca

    sengketa dalam kehidupan masyarakat.7

    Dalam perkembangannya kemudian, di Aceh kemudian terjadi pemolaan

    mukim itu sendiri. Di kawasan Aceh Besar, pada masa Kesultanan Aceh, beberapa

    Mukim membentuk persekutuan atau federasi Mukim. Tiap gabungan Mukim dipimpin

    oleh seorang Ulee Balang. Federasi Mukim seperti di atas berlangsung hingga

    kekuasaan Sulthanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675). Pola seperti ini juga

    ditemukan dalam masyarakat Pidie misalnya Mukim Pidie, Mukim Aree, dsb, hingga

    ke Samalanga.7

    Berdasarkan fakta sejarah tersebut, sangatlah beralasan apabila kemudian Snouck

    Hugronje berpendapat bahwa pembagian kewilayahan dalam bentuk Mukim telah

    mapan di Aceh dan dengan cara yang seragam, baik di kawasan Aceh Rayeuk maupun

    di kenegerian-kenegerian di luarnya.8

    Dengan berpedoman pada naskah Qanun Syara Kesultanan Aceh yang ditulisoleh Teungku di Mulek pada 1270 Hijriah, atau pada masa berkuasanya Sultan

    Alauddin Mansyur Syah (mulai memerintah pada Tahun 1257 H), dapat disimpulkan

    bahwa keberadaan Mukim sebagai persekutuan gampong-gampong di Aceh mulaimendapatkan penataan sebagaimana mestinya ketika berkuasanya Sultan Alauddin

    Johan Ali Ibrahim Mughayat Syah atau sekitar Tahun 913 Hijriah atau 1507 Masehi.9

    Uraian di atas menjelaskan keberadaan lembaga Mukim dalam struktur

    pemerintahan di Aceh memiliki sejarah yang panjang. Dalam penjelasan pasal 18

    Undang-Undang Dasar l945 (UUD 45) dinyatakan bahwa Negara Indonesia merupakan

    eenheidsstaat. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah-daerah provinsi dan daerah

    provinsi akan dibagi pula kedalam daerah-daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu

    bersifat otonom atau bersifat administrasi. Dalam wilayah Negara Indonesia terdapat

    6Taqwaddin, 2009, Eksistensi Masyarakat Hukum Adat terhadap Penguasaan dan Pengelolaan HutanAdat dikaitkan dengan Penyelenggaraan Otonomi Khusus di Aceh, USU, Medan. Selain pendapat

    bahwa tiap satu Mukim terdiri dari 40 orang laki-laki dewasa yang sudah wajib mendirikanshalat Jumat, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa satu Mukim itu terdiri dari 1.000orang laki-laki dewasa, sebagaimana pendapat HM Zainuddin, Tarich Atheh dan Nusantara,Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1961, Hlm. 315. Bandingkan Snouck Hugronje, Aceh DimataKolonialis, Yayasan Soko Guru, Jakarta, 1985, Hlm. 91-93.7Sanusi M. Syarif., Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekonstruksi Pasca tsunami,Pustaka Latin,Bogor, 2005. hal. 63.7Ismail Suny, Bunga Rampai Tentang Aceh,Bharata Karya Aksara, Jakarta, 1980, Hlm. 192.8Snouck Hugronje, Op.cit.,Hlm. 90-91.9Abdullah Sani, Nilai Sastera Kenegaraan dan Undang-Undang dalam Qanun Syara Kerajaan Acehdan Bustanus Salatin, Penerbit UKM, Bangi-Malaysia, 2005, Hlm. 95.

  • 7/22/2019 Sistem Pemerintahan Mukim Dan Gampong Di Aceh

    6/15

    lebih kurang 250 zelfbesturende landschappendan volksgemeenschappenseperti Desa

    (Jawa dan Bali), Nagari (Minangkabau), Dusun dan Marga (Palembang) dan lain-lain.

    Termasuk ke dalam kategori tersebut adalah Gampongdi Aceh.

    Pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa; (1) negara mengakui

    dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat

    istimewa yang diatur dengan undang-undang, dan (2) negara mengakui danmenghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

    sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

    Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

    Seiring dengan berjalannya proses reformasi sistem pemerintahan di Indonesia,

    Pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

    Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini memberikan semangat baru untuk

    menghidupkan kembali sistem adat dan kelembagaan mukim. Di samping itu,

    Pemerintah juga menelurkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang

    Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Undang-Undang ini

    kembali memperkuat keberadaan lembaga adat Mukim.(Ps 7 UU No. 44 Th 1999).

    Selanjutnya, melalui Pasal 2 ayat(3) UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi

    Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh

    Darussalam (NAD), Pemerintahan Mukim dimasukkan kembali dalam struktur

    pemerintahan di Aceh yang diatur kembali dengan Qanun Proinsi Nanggroe Aceh

    Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.

    Tugas dan fungsi mukim, menurut sistem pemerintahan daerah di Aceh dalam

    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ditindaklanjuti

    pengaturannya dengan Qanun Aceh atau qanun provinsi.

    Mukim menurut pasal 3 dan 4 Qanun tersebut mempunyai tugas dan fungsi yang

    meliputi:a. Menyelenggarakan pemerintahan desentralisasi, dekonsentrasi, pembantuan,

    dan segala urusan pemerintahan lainnya.

    b.

    Menyelenggarakan pembangunan ekonomi, fisik, dan mental spiritual.c. Menyelenggarakan pelaksanaan Syariat Islam, pendidikan, adat istiadat, sosialbudaya, ketentraman dan ketertiban masyarakat

    d. Menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakate. Menyelesaikan sengketa dalam masyarakat.

    Sedangkan tugas Imum Mukim menurut dan Pasal 8 Qanun Aceh Nomor 10

    Tahun 2008, adalah :

    a.melakukan pembinaan masyarakat;b.melaksanakan kegiatan adat istiadat;

    c.menyelesaikan sengketa;d.membantu peningkatan pelaksanaan syariat Islam;

    e.membantu penyelenggaraan pemerintahan; danf.membantu pelaksanaan pembangunan.Untuk dapat terselenggaranya pemerintahan mukim, mengenai susunan

    organisasi, tatakerja dan sekretaris imeum mukim, pedoman menurut Pasal 10 ayat(3)

    diatur dengan keputusan gubernur.

    Tugas dan fungsi mukim , menurut sistem pemerintahan dalam UU No.22 Tahun

    1999 , UU No. 18 Tahun 2001 (lahirnya Qanun 4/2003 ttg Mukim) maupun UU No. 32

    Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006

    tentang Pemerintahan Aceh (Qanun 9/2008, Qanun 10/2008), diberikan oleh Bupati dan

  • 7/22/2019 Sistem Pemerintahan Mukim Dan Gampong Di Aceh

    7/15

    Walikota. Dan pertanggungan tugas dan fungsi, dilakukan secara berjenjang yaitu ke

    camat dan camat meneruskan kepada Bupati atau Walikota.

    Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang

    Pemerintah Mukim Dalam Provinsi Nanngroe Aceh Darussalam disebutkan bahwa

    kedudukan mukim sebagai unit pemerintahan yang membawahi beberapa Gampong.

    Sebagai sebuah organisasi pemerintahan, Mukim melaksanakan tugas-tugaspemerintahan sesuai tugas dan fungsi yang ada padanya dan dapat mengkoordinir

    Geuchik yang berada dalam wilayah tugasnya.

    2) Sejarah GampongGampong terbentuk pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yakni

    bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan di Aceh. Pada masa itu,

    sebuah gampong terdiri dari kelompok rumah yang letaknya berdekatan satu sama lain.

    Pimpinan gampong disebut keuchik, yang dibantu seseorang yang mahir dalam masalah

    keagamaan dengan sebutan teungku meunasah. Gampong merupakan pemerintahan

    bawahan dari mukim.11

    Menurut Hurgronje, gampong itu merupakan satuan teritorial terkecil. Sebuah

    gampong dilingkari pagar, dihubungkan oleh satu pintu gapura dengan jalan raya (rt

    atau rt), suatu jalan yang melewati blang atau lampoih serta tamah yang menuju ke

    gampong lain. Dulu setiap gampong mencakup satu kawom (satuan-satuan baik dalam

    artian territorial maupun kesukuan) atau sub kawom yang hanya akan bertambah

    warganya dengan perkawinan dalam lingkungan sendiri, atau paling tidak, dengan

    meminta dari warga sesuku yang bermukim berdekatan.12

    Gampong dan meunasah, adakalanya dipersepsikan dalam pemahaman terpisah.

    Ada yang memandang bahwa meunasah dan gampong sebagai wilayah atau teritorial.

    Ada pula yang memandang meunasah sebagai tempat ibadah saja, yakni tempataktivitas keagamaan dan aktivitas sosial dijalankan dalam sebuah gampong.

    13Lembaga

    meunasah sebagai sarana masyarakat adat menjalankan roda pemerintahan tingkat

    gampong, dan keberadaan lembaga meunasah menggambarkan ciri khas sebuahgampong, karena setiap gampong ada meunasah. Kalau tidak ada meunasah, tidak

    dapat disebut gampong.14

    Namun, ada juga yang menegaskan bahwa meunasah

    merupakan sebutan lain dari sebuah gampong.

    Gampong dipimpin oleh keuchik. Dalam sejarahnya, jabatan itu turun-temurun,

    dilantik imuem mukim. Keuchik didasarkan pada kenyataan hakiki bahwa dialah yang

    membela kepentingan dan keinginan warga, baik berhadapan dengan ulbalang

    maupun gampong lain. Keuchik menguasai satu gampong, namun ada juga yang

    mengepalai 2-3 gampong. Jadi keuchik betul-betul embah, teungku ma (keuchik

    sebagai bapak dan teungku sebagai ibu).15

    Dibandingkan dengan tugasnya dalam memelihara tertib-aman dan

    mengusahakan kesejahteraan penduduk dengan sepenuh kemampuannya, maka

    pendapatan keuchik sangatlah kurang. Menurut Hurgrunje, hanya sebatas ha katib atau

    11Rusdi Sufi, dkk, 2002,Adat Istiadat Masyarakat Aceh, Dinas Kebudayaan Provinsi NanggroeAceh Darussalam, Banda Aceh. Hlm. 33-39)12Hurgronje (1985: 67)13Sulaiman Tripa, Legalitas Gampong di Aceh, Serambi Indonesia, 18 Juli 2002.14Iskandar A Gani, 1998, Kedudukan dan Fungsi Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) dalamPenyelenggaraan Otonomi Daerah dan Otonomi Desa di Aceh, Tesis, Program Pascasarjana Unpad,Bandung, 1998.15(Hurgrunje, 1985: 72-73).

  • 7/22/2019 Sistem Pemerintahan Mukim Dan Gampong Di Aceh

    8/15

    hak cupng (imbalan untuk bantuan yang diserahkan dari keuchik itu untuk pernikahan

    wanita warga gampongnya) saja, atau kira-kira tarif seperempat ringgit (semaih atau

    seemas). Sedangkan untuk jasa-jasa yang diberikan keuchik kepada warganya akan

    dikerjakan dengan ikhlas dan tekun, sesuai dengan jumlah hadiah yang diberi yang

    disebut ngoen bloe ranub(uang pembeli sirih).17

    Mengenai Pemerintahan Gampong beserta aparaturnya, dapat dijelaskan lewatpenelusuran berbagai peraturan perundangan-undangan. Dalam Penjelasan Pasal 7 UU

    No. 44/1999 disebutkan bahwa konsep gampong menurut UU ini adalah sama yang

    dimaksud dengan desa menurut UU No. 22/1999.

    Sementara itu, Pasal 1 ayat (13) UU No. 18/2001 menyebutkan bahwa

    Gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi

    pemerintahan terendah langsung berada di bawah mukim yang menempati wilayah

    tertentu yang dipimpin oleh keuchik atau nama lain dan berhak menyelenggarakan

    rumah tangganya sendiri.

    Konsep gampong seperti di atas, terdapat dalam Pasal 1 ayat (5) Qanun No.

    3/2003 tentang Susunan, Kedudukan dan Kewenangan Pemerintahan Kecamatan dalam

    Provinsi NAD, Pasal 1 ayat (5) Qanun No. 4/2003 tentang Susunan, Kedudukan dan

    Kewenangan Mukim dalam Provinsi NAD, dan Pasal 1 ayat (6) Qanun No. 7/2004

    tentang Pengelolaan Zakat. Konsep ini juga digunakan dalam Pasal 1 ayat (6) Qanun

    No. 5/2003 tentang Pemerintahan Gampong. Sementara dalam Pasal 1 ayat (9) Perda

    No. 7/2000, yang dimaksudkan dengan gampong adalah suatu wilayah yang ditempati

    oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat yang terendah dan berhak

    menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.

    Dari konsep gampong, jelas bahwa gampong terletak di bawah mukim yang

    dipimpin keuchik dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Dalam

    Penjelasan Pasal 1 ayat (2) Qanun No. 3/2003, disebutkan kedudukan gampong tidaklagi berada di bawah kecamatan, tapi di bawah mukim. Hal ini kemudian dipertegas

    dengan Pasal 2 Qanun No. 4/2003, Mukim membawahi gampong yang berada di

    bawah dan bertanggung jawab kepada Camat. Dalam Pasal 5 poin (d) Qanun No.3/2003, disebutkan bahwa posisi Camat berkenaan dengan fungsi pembinaan

    pemerintahan mukim dan gampong.

    Dalam Pasal 39 Qanun No. 3/2003, dengan tegas diatur bahwa kecamatan yang

    belum memiliki mukim tapi memiliki gampong, maka perangkat pelaksana di

    wilayahnya adalah Pemerintah Gampong.

    Ada beberapa penjelasan penting dari Qanun No. 5/2003 tentang gampong,

    yakni:Pertama, Gampong merupakan organisasi pemerintahan terendah yang berada di

    bawah Mukim (Pasal 2), yang mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan,

    melaksanakan pembangunan, membina masyarakat dan meningkatkan pelaksanaan

    Syariat Islam (Pasal 3). Gampong mempunyai fungsi penyelenggaraan pemerintahan

    (desentralisasi, dekonsentrasi, dan perbantuan), pelaksanaan pembangunan, pembinaan

    kemasyarakatan, syariat Islam, percepatan pelayanan, dan penyelesaian sengketahukum (Pasal 4). Kewenangan gampong antara lain kewenangan yang sudah ada,

    berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan kewenangan melaksanakan tugas

    perbantuan yang disertai biaya (gampong berhak menolak bila tanpa pembiayaan)

    (Pasal 5).

    Kedua, gampong dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan

    persyaratan yang ditentukan sesuai kondisi sosial-budaya masyarakat, dan dapat

    dihapus dan digabung bila tidak lagi memenuhi persyaratan (Pasal 6), seperti jumlah

    17(Hurgrunje, 1985: 75-77)

  • 7/22/2019 Sistem Pemerintahan Mukim Dan Gampong Di Aceh

    9/15

    penduduk minimal, luas wilayah, jumlah dusun/jurong, kondisi sosial budaya, potensi

    ekonomi dan sumber daya alam, serta sarana dan prasarana pemerintahan (Pasal 8).

    Ketiga, mengenai susunan Pemerintahan Gampong yang diselenggarakan

    Pemerintah Gampong (Keuchik, Imuem Meunasah, Perangkat Gampong) dan Tuha

    Peut (Pasal 10). Keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam

    penyelenggaraan Pemerintahan Gampong (Pasal 11) yang bertugas dan kewajibanmemimpin penyelenggaraan Pemerintahan Gampong, membina kehidupan beragama

    dan pelaksanaan Syariat Islam, menjaga dan memelihara kelestarian adat dan adat

    istiadat, memajukan perekonomian, memelihara ketentraman, menjadi hakim

    perdamaian (dibantu Imuem Meunasah dan Tuha Peut), mengajukan Rancangan

    Reusam Gampong, mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Gampong,

    serta mewakili Gampongnya di dalam dan di luar Pengadilan (Pasal 12). Dalam

    melaksanakan tugas dan kewajibannya, keuchik bertanggung jawab kepada rakyat

    Gampong pada akhir masa jabatan atau sewaktu-waktu diminta oleh Tuha Peuet

    Gampong, serta menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada Imeum Mukim

    sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun yaitu pada akhir tahun anggaran atau

    sewaktu-waktu diminta oleh Imeum Mukim (Pasal 14 ayat (2) dan (3)). Hal ini

    dikarenakan keuchik dipilih secara langsung (Pasal 15) dengan masa jabatan lima tahun

    (Pasal 16).

    Keempat, perangkat Pemerintah Gampong selain keuchik adalah imuem

    meunasah dan perangkat gampong. Imeum Meunasah mempunyai tugas dan

    melaksanakan fungsi memimpin kegiatan keagamaan, peningkatan peribadatan,

    peningkatan pendidikan agama, memimpin seluruh kegiatan yang berhubungan dengan

    kemakmuran meunasah dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan pelaksanaan

    syariat Islam (Pasal 25). Dalam Penjelasan Pasal 10, keuchik dan imeum meunasah

    mempunyai kedudukan yang sejenjang dimana keuchik bertanggung jawab padapelaksanaan pemerintahan, sedangkan imeum meunasah bertanggung jawab terhadap

    pelaksanaan agama. Sementara perangkat gampong adalah pembantu dan bertanggung

    jawab keuchik, serta diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Keuchik, setelahmendapatkan persetujuan dari Tuha Peuet Gampong (Pasal 27). Perangkat terdiri atas

    Sekretariat Gampong (sekretaris dan staf: Urusan Pemerintahan, Perencanaan dan

    Pembangunan, Keistimewaan Aceh dan Kesejahteraan Sosial, Ketertiban dan

    Ketentraman Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, pemuda, umum, dan urusan

    keuangan), serta unsur pelaksana yang sangat teknis seperti tuha adat, keujreun blang,

    peutua seuneubok, pawang laot, haria peukan, dll. Serta, yang mengurusi wilayah

    seperti Kepala Dusun/Jurong (Pasal 28).

    Kelima, Tuha Peuet Gampong sebagai Badan Perwakilan Gampong,

    berkedudukan sejajar dan menjadi mitra kerja dari Pemerintah Gampong dalam

    penyelenggaraan Pemerintahan Gampong (Pasal 34). Tugas dan fungsi Tuha Peut

    antara lain meningkatkan upaya-upaya pelaksanaan Syariat Islam dan adat,

    memelihara kelestarian adat istiadat, melaksanakan fungsi legislasi, melaksanakanfungsi anggaran, melaksanakan fungsi pengawasan, serta menampung dan menyalurkan

    aspirasi masyakarat kepada Pemerintah Gampong (Pasal 35). Tuha Peut Gampong yang

    terdiri dari unsur ulama, tokoh masyarakat, pemuka adat, dan cendikiawan (Pasal 31).

    Lembaga ini dibentuk melalui musyawarah Gampong (Pasal 33). Dalam lembaga ini

    juga terdapat sekretariat (sekretaris dan staf yang diangkat dan diberhentikan keuchik)

    (Pasal 38). Dalam Pasal 1 Angka (7) disebutkan bahwa Tuha Peuet Gampong adalah

    sebagai pengganti istilah Lembaga Musyawarah Desa (LMD) menurut UU No. 5/1979

    atau Badan Perwakilan Desa menurut UU No. 22/1999. Dalam Pasal 37 dan

  • 7/22/2019 Sistem Pemerintahan Mukim Dan Gampong Di Aceh

    10/15

    Penjelasannya malah dijelaskan tentang larang rangkap jabatan untuk menghindari

    terjadinya pemusatan kekuasaan pada Keuchik, seperti pernah terjadi pada saat

    berlakunya UU No. 5/1979, Ketua Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dirangkap oleh

    Keuchik/Kepala Desa.

    Keenam, masalah keuangan gampong, bersumber dari Pendapatan Asli

    Gampong (hasil usaha Gampong, hasil kekayaaan Gampong, hasil swadaya danpartisipasi, hasil gotong royong masyarakat, zakat, dan lain-lain pendapatan Gampong

    yang sah), bantuan dari Pemerintah Kabupaten/Kota (pajak dan retribusi, dana

    perimbangan, bantuan lain dari Pemerintah atasan, sumbangan dari pihak ketiga, dan

    pinjaman Gampong), di mana Sumber Pendapatan Gampong yang sudah dimiliki dan

    dikelola oleh Gampong, tidak boleh dipungut atau diambil alih oleh Pemerintah yang

    lebih atas tingkatnya (Pasal 42).

    Sekarang kita akan melihat dari sisi Pemerintah Desa. Dalam Pasal 1 ayat (12)

    UU No. 32/2004 dan Pasal 1 ayat (5) PP No. 72/2005 tentang Desa, disebutkan bahwa

    Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan

    masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur

    dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat

    istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara

    Kesatuan Republik Indonesia.

    Ada penjelasan penting dari UU No. 32/2004 tentang desa diatur dalam Bab XI

    untuk kita lihat, yakni: Pertama, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa

    antara lain urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa, urusan

    pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan

    pengaturannya kepada desa, tugas pembantuan, dan urusan pemerintahan lainnya (Pasal

    206). Tugas perbantuan disertai dengan pembiayaan (Pasal 207).

    Kedua, pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan desa denganmemperhatikan asal-usulnya atas perakarsa masyarakat (Pasal 200 ayat (2)).

    Ketiga, Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan

    Permusyawaratan Desa (Pasal 200 ayat (1)). Pemerintah desa terdiri atas kepala desadan perangkat desa (sekretaris desa dan perangkat desa: pegawai negeri sipil yang

    memenuhi persyaratan) (Pasal 202). Kepala Desa dipilih langsung dengan masa jabatan

    enam tahun (Pasal 203 dan Pasal 204). Dalam Pasal 14 PP No. 72/2005 disebutkan

    bahwa kepala desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan,

    pembangunan dan kemasyarakatan, di mana wewenang kepala desa mencakup

    memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa, mengajukan rancangan peraturan desa,

    menetapkan peraturan desa, menyusun dan mengajukan anggaran perbelanjaan desa,

    membina masyarakat dan perekonomian, koordinasi pembangunan, mewakili desa di

    dalam dan di luar pengadilan, serta melaksanakan wewenang lain sesuai peraturan

    perundang-undangan.

    Keempat, perangkat desa sebagaimana disebut Pasal 202 adalah sekretaris desa

    dan perangkat desa yang merupakan pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.Sementara dalam Pasal 211 ditentukan bahwa di desa dapat dibentuk lembaga

    kemasyarakatan (bertugas membantu pemerintah desa dan mitra dalam

    memberdayakan masyarakat desa) yang ditetapkan dengan peraturan desa dengan

    berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

    Kelima, Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa

    bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat (Pasal 209).

    Anggota badan ini adalah wakil penduduk desa yang ditetapkan dengan cara

    musyawarah dan mufakat, dengan masa jabatan enam tahun (Pasal 210).

  • 7/22/2019 Sistem Pemerintahan Mukim Dan Gampong Di Aceh

    11/15

    Keenam, menurut Pasal 212, keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban

    desa yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun

    berupa barang yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan

    kewajiban (menimbulkan pendapatan, belanja dan pengelolaan keuangan). Pendapatan

    didapat dari pendapatan asli desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah

    kabupaten/kota, bagian dana perimbangan, bantuan dari Pemerintah, hibah dansumbangan dari pihak ketiga.

    Dalam penjelasan di atas, dapat dipetakan beberapa perbedaan antara

    Pemerintahan Gampong dan Pemerintahan Desa, yakni sebagai berikut:

    Tabel: Beda Gampong dan Desa

    NO. VARIABEL PEMERINTAHAN GAMPONG PEMERINTAHAN DESA

    1. PeraturanPerundangan

    UU No. 18/2001 Qanun No. 5/2003 UU No. 32/2004 PP No. 72/2005

    2. Struktur

    Pemerintahan

    Di bawah Mukim Di bawah Kecamatan

    3. Tugas menyelenggarakan pemerintahanmelaksanakan pembangunanmembina masyarakatmeningkatkan pelaksanaan Syariat

    Islam

    penyelenggaraan urusanpemerintahan

    pembangunan kemasyarakatan

    4. Fungsi penyelenggaraan pemerintahanpelaksanaan pembangunanpembinaan kemasyarakatan syariat Islampercepatan pelayananpenyelesaian sengketa hukum

    penyelenggaraan urusanpemerintahan

    pembangunan kemasyarakatan

    5. Kewenangan kewenangan yang sudah adaberdasarkan aturan perundang-undangan

    kewenangan melaksanakan tugasperbantuan yang disertai biaya

    urusan pemerintahan yangsudah ada berdasarkan hakasal-usul desa

    urusan pemerintahankabupaten/kota yang

    diserahkan kepada desa

    tugas pembantuan (disertaibiaya)

    urusan pemerintahanlainnya.

    Pembentukan,

    Pembubaran,Penggabungan

    prakarsa masyarakat denganmemperhatikan persyaratan dansosial budaya

    dapat dihapus dan digabung bilatidak lagi memenuhi persyaratan:

    jumlah penduduk minimal, luas

    wilayah, jumlah Dusun/Jurong,kondisi sosial budaya, potensi

    ekonomi dan SDA, sarana danprasarana pemerintahan.

    pembentukan, penghapusan,dan/atau penggabungandesa dengan memperhatikan

    asal-usulnya atas perakarsamasyarakat.

    6. Eksekutif Keuchik dan Imuem MeunasahKeuchik adalah Kepala Badan

    Eksekutif

    Imuem adalah penanggung jawabkeagamaan

    Pemerintah desa (kepala desa dan

    perangkat desa)

  • 7/22/2019 Sistem Pemerintahan Mukim Dan Gampong Di Aceh

    12/15

  • 7/22/2019 Sistem Pemerintahan Mukim Dan Gampong Di Aceh

    13/15

  • 7/22/2019 Sistem Pemerintahan Mukim Dan Gampong Di Aceh

    14/15

    kaum bermodal ke pentas kekuasaan. Implikasinya, mereka melakukan pendiktean

    tatanan yang beda dengan demokrasi yang berlangsung. Dengan rezim Orde Baru,

    pembalikkan top-down menjadi bottom-up hanyalah mimpi buruk semata. Ketiga,

    sistem demokrasi yang bersifat top-down diperparah lagi dengan sistem ekonomi masa

    Orde Baru yang kapitalistik-oligarki.

    Ada beberapa faktor penghambat, yakni: Pertama, pola pikir yang telahterbentuk selama hampir empat puluh tahun. Pola pikir ini terbentuk sedemikian rupa

    dalam sebuah paradigma yang berdasarkan konsep kekuasaan Orde Baru. Kedua,

    aturan pelaksana, di mana belum didukung oleh aturan pelaksana yang mantap,

    sehingga ini akan menyulitkan pelaksanaan di lapangan. Ketiga, birokrasi yang masih

    berbelit. Salah satu implikasi sistem sentralistis yang hingga sekarang masih dirasakan

    adalah adanya sistem administrasi yang panjang dan berbelit yang dipraktekkan oleh

    aparatur pemerintahan. Keempat, kesiapan aparatur pemerintahan. Kelima, keikhlasan

    pemerintah.

    Berdasarkan faktor pendukung dan penghambat di atas, kita harus melihat

    kembali kondisi kekinian. Bahwa ada tiga pemosisian yang sangat penting untuk

    digunakan dalam melihat Mukim dan Gampong: (1) sebagai masyarakat adat; (2)

    sebagai lembaga adat; (3) sebagai jenjang Pemerintahan.

    Dari ketiga pemosisian tersebut, memiliki implikasi pemberlakuan yang

    berbeda. Malah dari pemosisian ini sesungguhnya yang akan menggambarkan

    sejauhmana otonomi asli itu dikenal.

    Untuk langkah dan strategi, untuk urutan pertama, sosialisasi stakeholders,

    terutama berkaitan dengan apa yang menjadi keharusan tafsir sebelumnya. Di

    samping itu, langkah dan strategi ini juga ditentukan oleh sejauhmana politicall will

    pemerintah: kebijakan, keberpihakan, dan anggaran.

    Untuk ke depan membutuhkan perencanaan, bukan hanya dari Pemerintah, tapijuga stakeholders: Melakukan apa dan bagaimana serta oleh siapa? Serta Penyusunan

    langkah: masing-masing memiliki peta: (a) Stakeholders sudah memperhitungkan

    berbagai implikasi dan konsekuensi dalam hal kembali ke Mukim (b) Jalan keluarpanjangnya jenjang pemerintahan [butuh penyerdehanan].

    Terakhir penguatan mentalitas dan kelembagaan vs penguatan fisik: Tidak

    cukup dengan kantor dan anggaran.

    Dalam lingkup makro, kita harus memperlakukan konsep sebagai satu kesatuan

    untuk pemahaman bersama. Juga kita harus menemukenali gejala pluralisme hukum.

    Serta menemukan kedudukan mukim dalam regulasi (yg terang), vs mukim sebagai

    kesatuan masyarakat adat, membutuhkan pembacaan hukum yang ada dalam

    masyarakatnya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Sulaiman Tripa, Prospek dan Tantangan Pemerintahan Gampong di Nanggroe AcehDarussalam, Jurnal Media Hukum, Vol. 16 No. 2 Desember 2009.

    Syafaruddin, 2010, Perbandingan Sistem Pemerintahan, Universitas Lampung.

    EB Sitorus, 2008, Naskah Akademik UU Desa.

    Taqwaddin, 2009, Eksistensi Masyarakat Hukum Adat terhadap Penguasaan dan

    Pengelolaan Hutan Adat dikaitkan dengan Penyelenggaraan Otonomi Khusus di

    Aceh, USU, Medan.

    HM Zainuddin, Tarich Atheh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1961.

    Snouck Hugronje, Aceh Dimata Kolonialis, Yayasan Soko Guru, Jakarta, 1985.

  • 7/22/2019 Sistem Pemerintahan Mukim Dan Gampong Di Aceh

    15/15

    Sanusi M. Syarif., Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekonstruksi Pasca tsunami,

    Pustaka Latin, Bogor, 2005.

    Ismail Suny,Bunga Rampai Tentang Aceh,Bharata Karya Aksara, Jakarta, 1980.

    Abdullah Sani, Nilai Sastera Kenegaraan dan Undang-Undang dalam Qanun Syara

    Kerajaan Aceh dan Bustanus Salatin, Penerbit UKM, Bangi-Malaysia, 2005.

    Rusdi Sufi, dkk, 2002, Adat Istiadat Masyarakat Aceh, Dinas Kebudayaan ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh.

    Sulaiman Tripa, Legalitas Gampong di Aceh, Serambi Indonesia, 18 Juli 2002.

    Iskandar A Gani, 1998, Kedudukan dan Fungsi Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh

    (LAKA) dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Otonomi Desa di Aceh,

    Tesis, Program Pascasarjana Unpad, Bandung, 1998.

    Peraturan Perundang-undanganUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

    UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh

    UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus untuk Aceh dalam bentuk Nanggroe Aceh

    Darussalam.

    Perda No. 2/1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat-istiadat, Kebiasaan

    Masyarakat beserta Lembaga Adat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

    Perda No. 7/2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat.

    Qanun Aceh No. 4/2003 tentang Susunan dan Kedudukan Pemerintah Mukim dalam

    Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

    Qanun Aceh No. 5/2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe

    Aceh Darussalam.