Sistem Budidaya Intensif

4
Sistem Budidaya Intensif July 16, 2013 - Artikel Perikanan, Perikanan - no comments Pola pengelolaan usaha budidaya perairan intensif banyak diterapkan pada budidaya air tawar dan tambak. Teknologi budidaya intensif ditandai dengan: 1. Petak tambak/kolam untuk pemeliharaan yang lebih kecil. Luas petak tambak untuk budidaya udang dan bandeng antara 0,2-0,5 ha, walaupun ada pada petak yang luasnya 1,0 ha yang dikelola secara intensif 2. Persiapan lahan untuk pemeliharaan (pengelolaan tanah dan perbaikan wadah budidaya) dan penggunaan sarana produksi (kapur, pupuk, dan bahan kimia) menjadi sangat mutlak dibutuhkan. 3. Biota budidaya bergantung sepenuhnya pada pakan buatan atau pakan yang diberikan secara teratur. 4. Penggunaan sarana budidaya untuk mendukung usaha budidaya, seperti pompa dan aerator. 5. Produksi (hasil panen) sangat tinggi. Pada budidaya ikan bandeng dan udang windu di tambak mencapai > 4 ton/ha/musim tanam. Wadah budidaya untuk penerapan sistem budidaya intensif ialah kolam air mengalir, kolam air deras, kolam bulat, tambak, keramba, sangkar,dan KJA. Pada kolam air mengalir, penerapan sisem intensif untuk budidaya ikan nila (Oreochromis nilotica) dilakukan penebaran benih berukuran 20-30 g/ekor dengan kepadatan 10-20 ekor/m² atau 100.000-200.000 ekor/ha. Pada kolam air deras, benih ikan mas (Cyprinus caprio) berukuran 50-60 g/ekor ditebar sebanyak 50-70 ekor/m². Pada KJA yang ditempatkan pada air tawar, untuk budidaya ikan nila, mas , jelawat, dan ikan-ikan lainnya, dapat dilakukan padat penebaran 200-250 ekor/m³ untuk benih berukuran 50-60 g/ekornya. KJA yang ditempatkan di laut, padat penebarannya masih dapat ditingkatkan. Pada budidaya ikan bandeng, benih berukuran rata-rata 50g/ekor atau panjang 70-10 cm dapat ditebar 500 ekor/m³. Ikan akan mencapai ukuran berat rata-rata 450 g/ekor setelah dipelihara 120 hari (4 bulan). Pada ikan-ikan berukuran besar, seperti kakap (Lates, Lutjanus) dan kerapu (Cromileptes, Epinephelus, Plectropoma), padat penebarannya antara 60-70 ekor/m³ untuk benih yang berukuran 20-40 g/ekor, tetapi untuk benih yang telah mencapai ukuran lebih dari 60 g/ekor, pada penebarannya diturunkan menjadi 40- 50 ekor/m³.

description

sistem budidaya intensif banyak di terapkan di budidaya ikan air tawar

Transcript of Sistem Budidaya Intensif

Sistem Budidaya IntensifJuly 16, 2013-Artikel Perikanan,Perikanan-no commentsPola pengelolaan usahabudidaya perairan intensifbanyak diterapkan pada budidaya air tawar dan tambak. Teknologi budidaya intensif ditandai dengan:1. Petak tambak/kolam untuk pemeliharaan yang lebih kecil. Luas petak tambak untuk budidaya udang dan bandeng antara 0,2-0,5 ha, walaupun ada pada petak yang luasnya 1,0 ha yang dikelola secara intensif2. Persiapan lahan untuk pemeliharaan (pengelolaan tanah dan perbaikan wadah budidaya) dan penggunaan sarana produksi (kapur, pupuk, dan bahan kimia) menjadi sangat mutlak dibutuhkan.3. Biota budidaya bergantung sepenuhnya pada pakan buatan atau pakan yang diberikan secara teratur.4. Penggunaan sarana budidaya untuk mendukung usaha budidaya, seperti pompa dan aerator.5. Produksi (hasil panen) sangat tinggi. Pada budidaya ikan bandeng dan udang windu di tambak mencapai > 4 ton/ha/musim tanam.Wadah budidaya untuk penerapansistem budidaya intensifialah kolam air mengalir, kolam air deras, kolam bulat, tambak, keramba, sangkar,dan KJA. Pada kolam air mengalir, penerapan sisem intensif untuk budidaya ikan nila (Oreochromis nilotica) dilakukan penebaran benih berukuran 20-30 g/ekor dengan kepadatan 10-20 ekor/m atau 100.000-200.000 ekor/ha. Pada kolam air deras, benih ikan mas (Cyprinus caprio) berukuran 50-60 g/ekor ditebar sebanyak 50-70 ekor/m. Pada KJA yang ditempatkan pada air tawar, untuk budidaya ikan nila, mas , jelawat, dan ikan-ikan lainnya, dapat dilakukan padat penebaran 200-250 ekor/m untuk benih berukuran 50-60 g/ekornya. KJA yang ditempatkan di laut, padat penebarannya masih dapat ditingkatkan. Pada budidaya ikan bandeng, benih berukuran rata-rata 50g/ekor atau panjang 70-10 cm dapat ditebar 500 ekor/m. Ikan akan mencapai ukuran berat rata-rata 450 g/ekor setelah dipelihara 120 hari (4 bulan). Pada ikan-ikan berukuran besar, seperti kakap (Lates, Lutjanus) dan kerapu (Cromileptes, Epinephelus, Plectropoma), padat penebarannya antara 60-70 ekor/m untuk benih yang berukuran 20-40 g/ekor, tetapi untuk benih yang telah mencapai ukuran lebih dari 60 g/ekor, pada penebarannya diturunkan menjadi 40-50 ekor/m.

Kolam Budidaya IntensifTeknologibudidaya intensifadalah teknologi yang cukup maju dalam budidaya perairan. Dengan penerapan teknologi ini produksi dapat ditingkatkan. sebagai contoh, budidaya bandeng dengan sistem ekstensif (tradisional) dengan padat penebaran nener antara 3.000-5.000 ekor/ha hanya menghasilkan bandeng sekitar 300-1.000 kg/ha/musim tanam. Setelah dilakukan intensifikasi pembudidayaan dengan input teknologi, produksi bandeng dapat ditingkatkan hingga 500%. Penambahan input berupa pakan dan kincir pada budidaya bandeng konsumsi dengan lama pemeliharaan empat bulan, padat tebar ditingkatkan sampai 50.000 nener/ha/musim, menghasilkan bandeng konsumsi 5.000 kg (Yakob dan Ahmad, 1997).Namun, bukan berarti penerapanbudidaya intensiftanpa masalah. Pada budidaya udang (Panaeus sp.), teknologi ini telah menimbulkan masalah lingkungan pesisir yang cukup serius, baik karena ketidaksesuaian lahan maupun karena usaha petambak yang terus menggenjot produksi tanpa memikirkan daya dukung lingkungan. Budidaya udang di negara-negara di Asia telah menimbulkan kerusakan ekosistem mangrove dan pencemaran perairan pesisir yang parah karena penerapan teknologi budidaya intensif tanpa pertimbangan dampak yang ditimbulkannya.Pada tahun 1980-an, Taiwan adalah kiblattambak intensif, yang pada awal tahun 1990-an pernah mencapai produksi 80.000 ton/tahun, tetapi pada tahun 1995/1996 mengalami penurunan produksi hingga 30.000 ton/tahun. Cina pernah memproduksi udang samapi 145.000 ton/tahun, dan pada tahun 1995 turun hingga 40.000 ton saja. Indonesia pada tahun 1992 mengekspor udang sebanyak 140.000 ton, mengalami penurunan pada tahun1998 hingga 53.000 ton, dan pada tahun 2000 meningkat, tetapi baru mencapai 65.000 ton. Bahkan, pada tahun 1997, tambak terlantar di Jawa mencapai 70%. Sebagian besar unit-unit benihan (hatchery) rakyat terbengkalai, perusahaan pakan udang menghentikan produksi,cold storagetidak memenuhi pasokan dan eksportir menghentikan usahanya.Umumnya tambak-tambak yang mengalami kehancuran adalah tambak yang dikelola secara intensif, sedangkan tambak yang dikelola secara ekstensif dan semi-intensif masih dapat berproduksi.Tambak intensifmenghasilkan limbah yang luar biasa berasal dari pakan. Kebutuhan pakan buatan yang bisa mencapai 60% alokasi biaya oprasional tambak intensif adalah pemasok terbesar bahan organik di tambak. Pakan yang sebagian besar berupa bahan organik (terutama organik C dan N) akan membanjiri tambak dengan bahan organik berupa senyawa nitogen sebesar 93%. Selebihnya, sisa senyawa nitrogen yang 2% berasal dari pupuk serta bahan lain yang terbawa air dan masuk petakan sebesar 5%. Begitu juga dengan fosfor (P), masukan fosfor terbesar di tambak adalah pakan sekitar47%, sedangkan sisanya dari pupuk sebesar 37%, air sekitar 2%, dan dari sumber lainnya tidak lebih dari 17%.Secara kronis, limbah organik yang selalu diproduksi setiapsiklus budidayaakan menimbulkan masalah terhadap kondisi kualitas air dan tanah dasar tambak, dan tentu saja ini berakibat pada biota budidaya. Tambak-tambak yang sudah tua (telah beroperasi 2-3 tahun), umumnya ditandai dengan tingkat kesuburan yang cukup tinggi. Padahal sehabis panen kotoran di dasar tambak selalu diangkat dan dilanjutkan sistem pengolahan lahan untuk persiapan. Pada tambak seperti itu,bloomingplankton mudah terjadi. Akibatnya, kualitas air harian, sperti oksigen dan pH sering mengalami guncangan (fluktuatif). Udang yang merupakan hewan yang sensitif akan mudah mengalami stres. Jika stres udang terus -menerus, daya tahan tubuh udang akan menjadi lemah. slanjutnya, organisme patogen yang memang mudah berkembang pada lingkungan yang jelek akan mudah menyerang serta menginfeksi udang tersebut.Sebenarnya, secara alami berlangsungself purifycation(pemulihan sendiri). Akan tetapi, proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk keseimbangan antara besarnya limabah (organik) dan kecepatan kerja bakteri yang berada dilingkungan perairan tersebut. Jika akumulasi limbah jumlahnya sangat besar hingga melampaui kemampuan kerja bakteri pungurai, limbah itu akan tetap tersisa dan akan semakin menumpuk. Jika kondisi ini berlangsung terus-menerus, tak terelakkan lagi keseimbangan lingkungan perairan (tambak) menjadi terganggu. Gangguan ini tidak hanya sementara, tetapi secara berangsur-angsur akan merusak struktur lingkungan tambak dalam masa-masa berikutnya. Karena itu, sistem budidaya udang yang diterapkan harus sesuai dengan daya dukung, tidak memaksakan lahan untuk mengejar produksi.Penerapanteknologi budidaya udangpada tambak-tambak udang di Indonesia tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Sebagai contoh, kondisi kawasan pantai utara Jawa termasuk lahan yang mempunyai daya dukung rendah, antara lain dicirikan dengan tipe dasar pantai yang landai, berlumpur tebal, amplitudo pasang surut kecil, dan arus perairan lemah. Karena itu, hamparan pantai seperti ini 100% hanya pas diterapkan teknologi budidaya ekstensif. Meskipun begitu, dengan input teknologi dan kemampuan manejemen yang memadai, penerapan teknologi budidaya semi-intensif masih memungkinkan (poernomo, 1992). Namun, pada kenyataannya, tambak-tambak di pantai utara Jawa umumnya dikelola secar intensif. Tambak-tambak ini kemudian berubah menjadi tambak terlantar (mencapai 70% tambak) pada tahun 1997 karena kegagalan panen.