Sisi gelap Stanley Ann Dunham; The Dearest Obama Mother's
-
Upload
dimebag-darrell -
Category
News & Politics
-
view
118 -
download
1
Transcript of Sisi gelap Stanley Ann Dunham; The Dearest Obama Mother's
Sisi Gelap Stanley Ann Dunham (Dunham Soetoro);
Ibu Presiden Barrack Obama
Stanley Ann Dunham yang selama ini kita kenal sebagai salah satu antropolog
yang bekerja pada kantor perwakilan U.S. Agency for International Development (USAID)
di Indonesia, yang juga kita kenal sebagai Ibu dari Presiden AS Barrack Obama, ternyata
memiliki sisi gelap dibalik aktifitasnya di Indonesia. Dalam pekerjaannya sebagai
antropolog dan peneliti pada USAID di Indonesia, Stanley Ann Dunham bersama dengan
suaminya Lolo Soetoro, ikut membantu mengumpulkan dan mengidentifikasi 5000
anggota kunci Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi target pembunuhan oleh
Angkatan Darat Indonesia saat itu. Daftar 5000 anggota PKI tersebut kemudian disebut
sebagai The Shooting List oleh CIA. Dalam perkembangan berikutnya, daftar 5000 anggota PKI tersebut digunakan
oleh CIA untuk mengidentifikasi kelompok maupun tokoh-tokoh penting baik yang ada
di permukaan maupun di kedalaman yang menjadi simpatisan Sukarno. Tentu saja
proses identifikasi ini dilakukan dengan menggunakan agen-agen tertutup CIA,
termasuk Ann Dunham. Hasil identifikasi ini yang kemudian dijadikan salah satu data
utnuk menjalankan drama penggulingan Sukarno dan pemberangusan PKI, dimana Lolo
Soetoro juga ikut ambil bagian dalam skenario tersebut, yang menyebabkan
terbunuhnya 250.000-1 juta masyarakat Indonesia.
Peranan CIA dalam proses genosida tersebut ditemukan dalam artikel tahun 1990
yang ditulis oleh Ralph McGehee, seorang veteran CIA yang menjadi agen International
Communism Branch of the Counterintelligence Staff. Artikel tersebut muncul pada akhir
tahun 1990an dan dimuat pada Covert Action Information Bulletin.
Lolo Soetoro, suami dari Stanley Ann Dunham, merupakan salah satu Kolonel
Angkatan Darat Indonesia, dan bekerja untuk CIA dalam proses penempatan Jendral
Soeharto menjadi Presiden RI, setelah kembali dari Hawaii ke Indonesia pada tahun
1965. Pada saat di Hawaii tersebutlah Lolo Soetoro menikah dengan Ann Dunham. Lolo
Soetoro berpartisipasi dalam proses transisi kekuasaan di Indonesia sebagai agen CIA
mulai dari tahun 1965-1970. Pada bulan Oktober 1967, Ann Dunham bersama anaknya
Barrack Obama berangkat ke Indonesia untuk bergabung bersama suaminya Lolo
Soetoro, dimana pada saat itu operasi anti-PKI dan anti-Sukarno CIA masih berlangsung.
Di Indonesia, Dunham Soetoro memulai karirnya dengan bekerja pada USAID dan
Lembaga Persahabatan Indonesia-Amerika (LIA). Pada tahun 1972, Dunham Soetoro
kembali ke Hawaii dan melanjutkan pekerjaan CIAnya di Indonesia dalam cover baru,
yaitu sebagai agen pada dua lembaga, Asia Foundation dan East-West Center pada
Universitas Hawaii. Pada tahun 1975, Dunham Soetoro kembali ke Indonesia untuk
melaksanakan penelitian dan pekerjaan antropologi. Tahun 1975 merupakan tahun
kunci bagi Indonesia, karena pada tahun tersebut Timor Timur memperoleh
kemerdekaannya dari Portugal. Pada tahun yang sama, CIA dan Suharto sebagai
Presiden Indonesia saat itu merencanakan invasi dan pendudukan ke Timor Timur setelah mendapatkan lampu hijau dari Sekretaris Negara AS, Henry Kissinger, yang saat ini menjadi penasehat kebijakan luar negeri Presiden Barrack Obama.
Pada tanggal 7 Desember 2010, WMR secara rinci menunjukan keterkaitan dan
hubungan antara pekerjaan antropologi Dunham Soetoro dengan operasi CIA:
CIA files contain a 1967 letter to the editor of the Daily Emerald from three anthropology
professors at the University of Oregon supporting a decision of the American Anthropological
Association (AAA) condemning the "intelligence meddling" of the CIA and Defense Department in
anthropological field work. 1967 was the same year that Ann Dunham was performing such
anthropological "field work" for USAID, a front for the CIA, in Java, Indonesia. The AAA's Professor
Ralph Beals [from UCLA] report stated that the Pentagon and CIA "repeatedly interfered with
anthropological work abroad, and have clearly jeopardized our chances, as anthropologists, to do
meaningful foreign research."
And in what is the clearest evidence yet that Ann Dunham was working for the CIA in Indonesia
and elsewhere, the Beals Report stated: "several anthropologists, especially younger ones who had
difficulty in securing research funds, were approached by 'obscure' foundations or were offered
support from such organizations only to discover later that they were expected to provide
intelligence information to the CIA." The report added, "agents of the CIA have posed as
anthropologists, much to the detriment of the anthropological research programs."
In Ann Dunham/Soetoro's case, her foundation "sugar daddy" was the Ford Foundation and
USAID. Her boss at Ford was none other than Peter Geithner, the father of President Obama's
current Treasury Secretary, Tim Geithner.
Ford Foundation, yang menjadi lembaga sponsor bagi aktifitas intelejen Dunham
Soetoro di Indonesia, telah melakukan rekruitmen terhadap para petinggi militer
Indonesia sejak tahun 1954. Keterlibatan CIA dalam dinamika politik di Indonesia
dimulai ketika Ford Foundation memulai Modern Indonesia Project, sebuah program
tertutup CIA yang berjalan pada masa pemerintahan Sukarno. Program tersebut
melibatkan beberapa lembaga pendidikan seperti Cornell University, University of
Bberkeley, dan MIT, sebuah operasi intelejen dengan menggunakan cover akademik
dimana Dunham Soetoro pada tahun-tahun berikutnya terlibat didalamnya. Ford
Foundation, sejak masa pemerintahan Sukarno, juga menyediakan beasiswa pendidikan
bagi para pejabat militer dan ekonom yang nantinya akan menjadi pejabat pada masa
pemerintahan Soeharto.
Setelah Orde Baru Suharto berjalan, para agen CIA di Indonesia ditempatkan pada
posisi-posisi puncak industri dan perusahaan tambang, minyak, dan timber. Dalam hal
ini, Lolo Soetoro ditempatkan untuk bekerja pada perusahaan minyak Exxon.
Aktifitas Dunham Soetoro di USAID yang menjadi cover aktifitas intelejennya
untuk CIA, berlanjut dari tahun 1975 hingga akhir tahun 1980. Setelah itu Dunham
Soetoro bekerja pada beberapa bidang pekerjaan, termasuk menjadi salah satu tenaga
ahli pada Bappenas, ILO, the Ministry of Industry Provincial Development Program
(PDPI), dan yang paling signifikan adalah bekerja pada salah satu perusahaan cover CIA,
Dvevelopment Alternatives, Inc. (DAI), Maryland, Amerika Serikat.
Sama halnya dengan Business International Corporation (BIC), tempat yang
mempekerjakan Barrack Obama setalah dia lulus dari Columbia University pada tahun
1983, DAI sebagai perusahaan yang mempekerjakan Dunham Soetoro dari tahun 1978-
1980, telah menjadi perusahaan atau tempat dimana CIA menjalankan operasi0operasi
intelejennya. Ketika Dunham Soetoro bekerja di DAI, Barrack Obama sedang masuk ke
dalam kampus rekruitmen CIA, Occidental College di Los Angeles. Sedangkan ketika
Barrack Obama bekerja di BIC, Dunham Soetoro menjalani aktifitas CIA sebagai
pelaksana program untuk wanita dan karyawan padakantor perwakilan Ford
Foundation Asia Tenggara di Jakarta dari tahun 1981-1984, pekerjaan yang membawa
Dunham Soetoro masuk ke negara lain seperti Filipina, Thailand, dan Malaysia. Dalam
melaksanakan aktifitas intelejennya di negara-negara Asia Tenggara tersebut, Dunham
Soetoro menggunakan kedok sebagai pelaksana proyek keuangan mikro dari Ford
Foundation.
Salah satu mitra kerja Dunham Soetoro di Indonesia pada masa-masa
dijalankannya operasi transisi kekuasaan dari orde lama menuju orde baru, serta
operasi awal pemberangusan PKI di Indonesia adalah Robert J. Martens. Martens
merupakan anggota bidang politik pada Kedutaan Besar AS di Jakarta sejak tahun 1963.
Martens yang sebelumnya menjalankan operasi CIA di Naples, Vienna, Slaxburg,
Oberammergau, dan Moskow, merupakan agen operasi tertinggi CIA di Jakarta. Martens juga berperan dalam menyelesaikan shooting list CIA terhadap PKI. Beberapa jejaring CIA Dunham Soetoro di Jakarta yang lain adalah Bernardo Hugh Tovar, Joseph Lazarsky,
dan Edward Masters. Tovar yang berkebangsaan Kolumbia, sebelumnya ditugaskan di
Kuala Lumpur dan Manila.
Edward Masters, sebelumnya ditempatkan di Frankfurt, Karachi, dan Madras,
kemudian ditugaskan di Jakarta untuk membantu operasi penggulingan Sukarno.
Sedangkan Dunham Soetoro mulai diterjunkan ke wilayah-wilayah pedesaan di Pulau
Jawa untuk melaksanakan riset antropologi sejak CIA mengidentifikasi bahwa
masyarakat pedesaan, termasuk para anggota Gerwani dan SOBSI, merupakan
pendukung utama PKI dan Sukarno.
Dari tahun 1989-1990, reporter Kathy Kadane melaksanakan serangkaian
wawancara mendalam dengan para mantan anggota CIA yang terlibat dalam operasi
kudeta pemerintahan Sukarno dan pemberangusan PKI tahun 1965. Dalam wawancara
tersebut, Martens menyatakan peranan dari shooting list CIA bagi militer Suharto; dimana Lolo Soetoro dan Dunham Soetoro memiliki keterlibatan besar dalam
penyusunan daftar tersebut; dalam pembunuhan dan pembantaian sistematis terhadap
para anggota PKI. Dalam wawancara tersebut Martens menyatakan: Itu (the shooting
list, pen.) merupakan bantuan yang sangat besar bagi militer Indonesia...mereka
mungkin membunuh banyak orang pada saat itu dan saya sendiri mungkin mendapati
tangan saya berlumuran darah, tetapi hal tersebut tidak sepenuhnya buruk. Masa itu
adalah masa ketika kamu harus menyerang dengan keras di saat-saat yang kritis.
Dalam usaha untuk menyampaikan nama-nama tersangka anggota PKI dari
wilayah pedesaan, seperti di daerah-daerah dimana Dunham Soetoro bertugas, CIA
menyediakan radio komunikasi Collins KWM-2 bagi para agen CIA dan anggota militer
Indonesia di lapangan. Alat komunikasi radio tersebut diakuisisi dari Gudang Angkatan
Udara AS di Pangkalan Militer AS di Filipina dan di bawa ke Jakarta dengan pesawat
transportasi Angkatan Udara AS C-130. Di sisi lain stasiun penyadapan milik National
Security Agency (NSA) Asia Tenggara juga mencatat komunikasi radio dari tentara
Indonesia dan agen lapangan CIA seperti Dunham Soetoro di lapangan. hal tersebut
untuk memastikan bahwa seluruh tersangka anggota PKI teridentifikasi telah dibunuh
dengan cara mencocokan laporan dari agen-agen lapangan dengan kompilasi data hasil
penyadapan NSA terhadap komunikasi komersial dan komunikasi milik pemerintah di
Indonesia.
Pada tanggal 11 Maret 1966, ketika Lolo Soetoro sedang menjalankan tugasnya
membantu Suharto mengidentifikasi dan menangkap para anggota PKI untuk dihukum
mati, Kedutaan Besar AS di Jakarta mengirimkan airgram A-654 ke Washington.
Airgram tersebut disusun oleh Marten dan ditandatangani oleh Master. Dalam airgram
tersebut dinyatakan bahwa penting untuk mengumpulkan dan menyusun daftar baru anggota PKI karena informasi tentang para pejabat PKI sangat terpecah dan berserakan, akan tetapi tambahan informasi penting telah diterima dan bisa dijadikan data awal untuk membuat daftar baru . Dalam airgram tersebut juga dilampirkan daftar 80 orang pemimpin PKI dan status terakhirnya.
Daftar pembunuhan dan pembantaian yang dilakukan oleh militer Indonesia dan
CIA tersebut tidak berakhir pada operasi pemberangusan PKI saja, tapi terus berlanjut
pada operasi-operasi berdarah lainnya di Papua Barat, Timor Timur, dan Aceh, sepanjang Dunham Soetoro melaksanakan pekerjaan berdarahnya di Indonesia.
Jangan sesekali melupakan sejarah Jasmerah
Soekarno
Original Written by:
Wayne Madsen
Translate and Edited by:
Bagus Setiawan
http://www.thesecrettruth.com/obama.htm