Sipo

Click here to load reader

description

SIPO JIT

Transcript of Sipo

KATA PENGANTARPuji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nyakami dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai salah satu syarat pemenuhan tugas pendaftaran calon asisten di Laboraturium Sistem Produksi (SISPROD) dan sebagai penambah pengetahuan bagi yang membacanya.Makalah ini berisi tentang informasi tentang definisi Just in Time, serta perbedaan terkait Just in Time dan MRP II, yang diharapkan dapat menambah pengetahuan pembaca.Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan makalah ini.Akhir kata penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada orangtua dan semua pihak yang telah berperan serta dalam pembuatan makalah ini, semoga Allah SWT selalu meridhoi segala usaha kita. Amin.

Hormat kami,

Penyusun

DAFTAR ISIKATA PENGANTAR1DAFTAR ISI2BAB I3PENDAHULUAN31.1Latar Belakang31.2Tujuan4BAB II5PEMBAHASAN52.1Permulaan JIT52.2Pengendalian Operasi JIT72.3Sistem Produksi Push dan Pull112.3.1Sistem Push152.3.2Sistem Pull242.4Sistem Terintegrasi MRP II (Manufacturing Resource Planning) dan JIT (Just In Time)342.5Pelajaran dari JIT36BAB III38KESIMPULAN38

BAB IPENDAHULUAN1.1Latar BelakangTidak dapat disangkal lagi bahwa Jepang selain menghasilkan berbagai produk teknologi yang handy dan canggih juga melahirkan berbagai konsep manajemen yang melandasi dikeluarkannya produk tersebut. Kecerdikan Jepang memproduksi teknologi dengan dilandasi konsep yang kuat membuat pesaing utamanya, Amerika, tidak banyak pilihan selain terus melakukan upaya peningkatan dan perbaikan untuk tetap menjadi pemimpin dalam persaingan. Kondisi demikian selain menguntungkan kedua belah pihak yang bersaing karena mereka tetap berada pada segmen masing-masing juga memberikan spektrum yang lebih luas kepada konsumen.Salah satu konsep manajemen manufaktur yang lahir dari keinginan kuat salah satu industri otomotif Jepang, Toyota, untuk mampu mengejar industri otomotif Amerika adalah apa yang sudah kita kenal dengan sebutan Just-in-Time (JIT). Ide dasar dari konsep ini tidak banyak mendapat perhatian selama kurang lebih 30 tahun sejak pertama kali keinginan tersebut dicetuskan pada akhir tahun 1940-an. Beberapa literatur yang disebutkan sebagai yang pertama mendeskripsikan konsep JIT yang diterbitkan pada awal tahun 1980-an menggunakan istilah-istilah lain seperti stockless production atau zero inventory untuk secara langsung menterjemahkan konsep yang mendasari JIT. Sekalipun literatur-literatur tersebut tidak secara eksplisit menyatakan bahwa sebuah perusahaan seyogyanya beroperasi tanpa inventory, tetapi penggunaan istilah tersebut oleh sebagian kalangan telah diterjemahkan secara apa adanya. Terjemahan langsung konsep JIT secara tidak disadari telah mengesampingkan argumentasi perlunya perusahaan memiliki inventory. Argumen tersebut mengatakan bahwa keberadaan inventory di sebuah perusahaan ditujukan sepenuhnya untuk mengatasi adanya variabilitas proses operasi produksi baik pada sisi suplai, produksi, maupun permintaan. Kehadiran variabilitas di setiap tahap proses operasi produksi akan menyebabkan ketidakpastian kuantitas yang harus disediakan untuk mengatasi perubahan. Oleh karena itu, hanya jika variabilitas tidak ada sebuah perusahaan bisa beroperasi tanpa inventory, dan itu sesuatu yang tidak mungkin.Pengamatan lebih seksama terhadap konsep JIT menunjukkan bahwa konsep ini tidak hanya menyangkut inventory dan variabilitas, tetapi lebih dari itu adalah menyangkut sudut pandang penggunaan konsep manufaktur Amerika dan Jepang, terutama Toyota, yang pada saat itu jauh berbeda. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, sementara industri manufaktur Amerika sedang giat-giatnya menerapkan konsep material requirement planning (MRP), industri manufaktur Jepang sedang menerapkan konsep yang sangat berbeda yang kemudian menjadi fondasi keberhasilan monumental industri manufaktur Jepang, konsep JIT. Melalui eksplorasi konsep MRP itulah ide dasar yang melandasi JIT satu persatu mulai diketahui.1.2Tujuan Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep JIT dari sisi sistem manufaktur. Hal-hal yang bertalian dengan awal kelahiran dan tujuan JIT akan mengisi bagian pendahuluan makalah. Sistem produksi push dan pull akan diuraikan secara ringkas untuk lebih memahami perbedaan MRP dan JIT. Pada bagian akhir akan dipaparkan berbagai pelajaran yang dapat diambil dari dieksplorasinya konsep JIT. Prasyarat yang diperlukan adalah manajemen produksi/operasi dan sistem produksi.

BAB IIPEMBAHASAN2.1Permulaan JITKonsep JIT lahir dari suatu keinginan CEO Toyota Motor Company pada tahun 1945, Toyoda Kiichiro, untuk bisa menyusul kemajuan yang dicapai oleh para produsen mobil di Amerika. Target Kiichiro pada saat itu adalah bahwa Toyota harus mampu mengejar berbagai ketertinggalan dalam waktu tiga tahun atau industri mobil di Jepang akan mengalami kebangkrutan. Ambruknya ekonomi Jepang akibat perang tidak dihiraukan dan Kiichiro tetap berusaha mencapai target waktu. Pada saat itu tingkat produktivitas tenaga kerja Jepang hanya sepersembilan dari yang dimiliki Amerika dan produksi mobil Jepang terlalu kecil untuk dibandingkan dengan produksi mobil Amerika. Tentu saja, target waktu tiga tahun yang ditetapkan Kiichiro tidak dapat dicapai, tetapi Toyota tetap ngotot untuk terus melakukan berbagai upaya tanpa henti untuk dapat mencapai tujuan CEO-nya sekaligus untuk melakukan perubahan manajemen manufaktur yang tidak berubah sejak gerakan manajemen ilmiah tahun 1920-an.Sumber penting untuk mengungkap gagasan JIT adalah hasil kompilasi kerja Taiichi Ohno yang mulai bergabung dengan Toyota Motor pindah dari Toyoda Spinning and Weaving pada tahun 1943. Menurut Ohno, satu-satunya cara untuk mampu menyaingi keperkasaan Amerika adalah dengan memperkecil perbedaan produksi yang demikian besar antara kedua negara. Argumentasi Ohno pada saat itu adalah bahwa jurang produksi dapat ditutup dengan cara mengeliminir limbah produksi untuk menurunkan berbagai macam biaya. Ohno menyadari bahwa industri mobil Jepang tidak akan mampu menurunkan biaya melalui pencapaian economies of scale atau berproduksi besar-besaran seperti industri mobil Amerika. Alasannya sederhana, yaitu karena pasar mobil Jepang pada saat itu sangat kecil. Kemudian, para manajer Toyota memutuskan bahwa strategi yang harus dilakukan Toyota adalah memproduksi banyak model dalam jumlah sedikit.Dari sisi pengendalian produksi, strategi Toyota ini menghadapi tantangan bagaimana memelihara agar aliran produksi berbagai jenis produk tetap berada pada tingkat tertentu. Lebih dari itu, untuk menghindari terjadinya limbah, strategi ini harus dilaksanakan tanpa menyimpan inventory terlalu tinggi. Ohno menguraikan bagaimana Toyota menjawab tantangan tersebut dengan meletakkannya pada dua tumpuan penting, just-in-time dan autonomation atau otomasi dengan melibatkan sentuhan manusia.Konsep JIT yang diuraikan Ohno diyakini mengakar kuat pada budaya, kondisi geografis, dan sejarah ekonomi Jepang. Berbeda dengan masyarakat Amerika, masyarakat Jepang terbiasa hidup dalam ruang dan sumberdaya yang terbatas. Kenyataan ini membuat kebijakan penggunaan bahan-bahan secara ketat dan hemat lebih mudah diterima di Jepang dari pada di Amerika yang masyarakatnya dikenal sebagai throw-away society.Model JIT yang diuraikan Ohno adalah model pasar swalayan gaya Amerika yang ada di Jepang pada pertengahan tahun 1950-an. Pada model pasar tersebut, konsumen mendapatkan apa pun yang dibutuhkan, kapan pun dibutuhkan, dan dalam berapa pun jumlah yang dibutuhkan. Ohno menganalogikan pasar swalayan ini dengan kegiatan di pabrik, yaitu stasiun kerja hilir (downstream) adalah konsumen yang akan memperoleh bahan-bahan dari stasiun kerja hulu (upstream) yang diibaratkan pasar swalayan. Di pasar swalayan, stok kebutuhan barang-barang dipenuhi dari gudang atau dari kiriman pihak lain, sementara di pabrik stok kebutuhan harus dipenuhi oleh produksi stasiun kerja hulu. Tujuan model Ohno adalah menjaga agar setiap stasiun kerja yang lebih hilir bisa mendapatkan kebutuhan bahan-bahan dari stasiun kerja yang lebih hulu tepat seperti yang diperlukan, atau diistilahkan just in time.Aliran kerja di dalam JIT membutuhkan kelancaran sistem operasi. Jika bahan yang dibutuhkan satu stasiun kerja tidak tersedia, maka seluruh sistem produksi di hilir akan terganggu. Salah satu konsep Ohno untuk menghindari penyimpangan seperti ini adalah yang disebut dengan autonomation, merujuk ke mesin-mesin yang automated (satu pekerja dapat mengoperasikan banyak mesin) dan foolproofed (mesin dapat secara otomatis mendeteksi masalah). Mekanisme autonomation Ohno diilhami oleh mesin pemintal dari Toyoda Sakichi di tempat kerjanya yang lama. Dalam pemikiran Ohno, otomasi sangat penting untuk mengejar ketinggalan produksi dari Amerika dan foolproofing memungkinkan intervensi pekerja pada mesin otomatis. Kombinasi keduanya akan menghasilkan mekanisme yang mampu menghidarkan produksi dari kekurangan keperluan bahan-bahan yang akan mengganggu kelancaran JIT.Antara akhir tahun 1940-an dan tahun 1970-an, Toyota menguasai sistem dan prosedur untuk implementasi JIT dan autonomation. Beberapa diantaranya adalah sistem kanban, pengurangan biaya setup, pelatihan pekerja, hubungan vendors, dan pengawasan mutu. Sekalipun tidak semua usaha dari Toyota mampu membuahkan hasil, tetapi berbagai terobosan yang telah dilakukan mengangkat Toyota dari industri mobil yang tidak diperhitungkan pada tahun 1950-an menjadi salah satu industri mobil terbesar di dunia sejak tahun 1990-an .2.2Pengendalian Operasi JITPrasyarat penting yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan Ohno untuk menjaga agar stasiun kerja mendapatkan apa yang dibutuhkannya adalah kondisi lingkungan produksi yang harus demikian sempurna. Para ahli menduga mungkin karena kebiasaan bangsa Jepang menggunakan simbol-simbol komunikasi atau karena kesulitan penterjemahan arti sebenarnya dari bahasa Jepang ke bahasa Inggris prasyarat penting ini dilukiskan dalam istilah ideal mutlak, misalnya penggunaan istilah stockless production dan zero inventories. Kedua istilah tersebut jelas tidak dapat diterjemahkan sebagai ketiadaan inventory dalam sebuah sistem produksi.Penterjemahan yang lebih bebas dari JIT menghasilkan pemikiran yang lebih luas tentang kondisi yang harus dipenuhi untuk menerapkan konsep JIT dalam proses manufaktur. Pemikiran tersebut dituangkan dalam satu istilah yaitu seven zeros yang pada dasarnya adalah prasyarat untuk mencapai zero inventories. Secara ringkas seven zeros mencakup hal-hal berikut:1. Zero defect: JIT mensyaratkan bahwa setiap stasiun kerja harus menghasilkan output tanpa cacat untuk menjamin seluruh proses produksi tidak terganggu. Setiap kebutuhan stasiun kerja harus dapat dipenuhi setiap saat diminta, sehingga kebutuhan tersebut harus mampu disediakan dalam kualitas prima. Penyimpangan kualitas, akan menyebabkan penyimpangan target produksi. Hanya zero defect pada tingkat nol yang dapat diterima.1. Zero (excess) lot size: Di dalam sistem produksi JIT, setiap stok kebutuhan harus segera diganti sejumlah yang telah diambil oleh stasiun kerja hilir. Setiap stasiun kerja harus memiliki kemampuan untuk mengganti setiap bahan yang diperlukan stasiun hilir satu per satu. Jika suatu stasiun kerja hanya mampu memproduksi kebutuhan dalam jumlah besar, maka stasiun kerja tersebut tidak akan mampu mengejar target waktu karena kebutuhan stasiun kerja hilir bisa berbagai jenis bahan.1. Zero setup: Alasan utama mengapa suatu stasiun kerja harus berproduksi dalam jumlah besar adalah karena waktu persiapan (setup time) untuk memulai proses sangat signifikan. Jika suatu proses memerlukan persiapan yang lama, maka logis jika setiap kebutuhan diproduksi dalam jumlah besar. Jumlah produksi yang rendah memerlukan waktu persiapan yang singkat sehingga akan sangat berpengaruh terhadap kapasitas stasiun kerja. Oleh karena itu, hanya waktu persiapan yang hampir nol yang akan mampu memenuhi kebutuhan zero lot size pada syarat 2.1. Zero breakdown: JIT yang dimodelkan Ohno menghendaki produksi tanpa kelebihan inventory, juga WIP, karena kelebihan inventory hanya akan meningkatkan biaya. Karena adanya pengetatan ini, gangguan yang terjadi pada mesin-mesin produksi tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali gangguan seluruh jalur produksi. Gangguan terhadap mesin (atau operator) yang tidak direncanakan sangat tidak ditolelir dalam lingkungan JIT yang ideal.1. Zero handling: Jika suatu kebutuhan diproduksi tepat sesuai dengan yang dibutuhkan dan pada saat dibutuhkan, maka kebutuhan tersebut harus tidak boleh memerlukan waktu penanganan melebihi dari yang mutlak diperlukan. Idealnya kebutuhan tersebut diantarkan langsung dari satu stasiun ke stasiun lain yang membutuhkan tanpa jeda. Adanya tambahan penyimpangan waktu penanganan, hanya akan menjauhkan sistem produksi dari just in time.1. Zero lead time: Aliran bahan dalam JIT yang ideal adalah setiap kebutuhan harus dipenuhi segera pada saat diperlukan. Hal ini berarti bahwa stasiun kerja hulu harus mempunyai waktu tunggu nol. Tentu saja ukuran lot sama dengan 1 akan cocok diterapkan untuk memenuhi waktu tunggu nol, tetapi waktu proses per satu unit output juga sangat penting diperhitungkan.1. Zero surging: Kebutuhan bahan-bahan yang harus dipenuhi hanya sejumlah yang diperlukan akan dapat dilakukan jika dan hanya jika seluruh aliran proses produksi berjalan sesuai rencana. Adanya perubahan jumlah kebutuhan yang mendadak (surge), maka, karena tidak ada kelebihan inventory dan WIP yang dipersiapkan, seluruh jalur produksi harus dipaksa untuk merespon perubahan mendadak tersebut. Kecuali sistem memiliki kapasitas lebih, kebutuhan mendadak tidak mungkin dapat dipenuhi dan hanya akan mengacaukan seluruh jalur.Kalau kita amati lebih lanjut, seven zero di atas pada prakteknya akan sangat sulit dicapai. Persyaratan waktu tunggu nol tanpa inventory pada dasarnya secara fisik adalah bahwa stasiun kerja harus berproduksi secara instant, yang tentu saja tidak mungkin. Menurut para praktisi JIT, tujuan seven zeros adalah untuk melakukan perbaikan lingkungan kerja secara terus menerus.Idealisme JIT mengisyaratkan bahwa teknik produksi Jepang memang sangat revolusioner. Teknik tersebut telah menggunakan lingkungan produksi sebagai alat kendali, yaitu secara proaktif membentuk lingkungan kerja tidak hanya terbatas pada misalnya waktu setup mesin, suplai dari pemasok, masalah mutu, dan jadwal produksi. Teknik seperti ini disadari atau tidak telah membuat sistem manufaktur Jepang lebih mudah dikelola.Sebaliknya sistem manufaktur Amerika, yang mengakar kuat ke manajemen ilmiah, mengandalkan kemampuan individu untuk mengatasi masalah produksinya dan secara parsial berupaya untuk mengoptimasi bagiannya masing-masing. Amerika menganggap waktu setup, atau biaya, sebagai tetapan dan kemudian berupaya menghasilkan ukuran lot yang optimal (misalnya model economic production lot). Jepang berusaha mengeliminir atau setidaknya mereduksi waktu setup, sehingga tidak perlu memikirkan masalah ukuran lot. Amerika bergelut dengan tanggal jatuh tempo dan terus berupaya mengoptimasi jadwal produksi (seperti dalam model Wagner-Within). Jepang menganggap bahwa tanggal jatuh tempo dapat dinegosiasikan dengan konsumen dan melalui integrasi fungsi pemasaran dan fungsi manufaktur memungkinkan jadwal produksi tidak memerlukan teknik optimasi akurat.Amerika menganggap suplai dari pemasok sebagai suatu tetapan sehingga terus berupaya mencari titik pemesanan yang optimal (misalnya model EOQ). Jepang melakukan kerjasama jangka panjang dengan sedikit pemasok untuk menjamin pengiriman tepat waktu. Amerika menganggap cacat mutu sebagai tetapan dan berusaha menyusun prosedur canggih untuk mengetahuinya. Jepang berusaha agar pemasok dan operator peduli terhadap prasyarat mutu yang ditetapkan untuk menjamin kelancaran produksi. Amerika memperoleh rancangan dan spesifikasi produk dari pihak ketiga. Jepang melakukan rancangan dan spesifikasi produk bersama-sama untuk menjamin bahwa rancangan yang dihasilkan praktis dan cocok dengan kondisi produksi. Perbedaan-perbedaan sistem produksi Jepang-Amerika di atas menunjukkan bahwa sistem pengendalian produksi Jepang didasarkan pada pendekatan yang holistik.Keberhasilan sistem manufaktur Jepang juga disebabkan oleh caranya menemukan akar permasalahan yang sebenarnya. Misalnya, suatu stasiun kerja kehabisan bahan. Mengapa? Mesin di stasiun kerja hulu tidak jalan. Mengapa? Pompanya rusak. Mengapa? Kehabisan pelumas. Mengapa? Gasketnya bocor tidak terdeteksi. Mengapa? Dan seterusnya. Pencarian akar permasalahan serupa itu barangkali sebagai alasan sesungguhnya terhadap kunci keberhasilan industri manufaktur Jepang.

2.3Sistem Produksi Push dan PullSesungguhnya semua deskripsi yang menyangkut JIT berkaitan erat dengan pengertian sistem produksi push dan pull. Perbedaan mendasar dari kedua sistem produksi tersebut adalah dalam mekanisme suatu pekerjaan harus dilaksanakan.Sistem produksi push menjadwal dikerjakannya suatu pekerjaan berdasarkan permintaan, sedangkan sistem pull menyetujui pelaksanaan suatu pekerjaan berdasarkan status sistem. Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa sistem push melepas suatu pekerjaan ke proses produksi (pabrik atau stasiun kerja) persis seperti yang seharusnya terjadi sesuai dengan yang telah dijadwalkan dan waktu pelepasan pekerjaan tidak sedikitpun terganggu oleh situasi yang sedang terjadi di dalam sistem. Sebaliknya, sistem pull hanya akan mengijinkan suatu pekerjaan dilepas masuk ke proses produksi jika ada signal dari jalur produksi yang meminta bahwa pekerjaan tersebut dibutuhkan untuk segera dilakukan.Pada dasarnya, seperti pada sistem kanban dari Toyota, signal dari jalur produksi dalam sistem pull di atas mengisyaratkan bahwa suatu pekerjaan lain telah selesai dikerjakan dan sekarang perlu segera diisi kebutuhan lain untuk melanjutkan proses. Perlu diperhatikan bahwa definisi di atas tidak menyebutkan siapa yang menggerakan pekerjaan. Jika seorang operator dari stasiun kerja hilir datang dan mengambil pekerjaan dari stasiun kerja hulu dan dia mengerjakannya berdasarkan jadwal, maka sistem yang terjadi adalah push. Tetapi jika operator tersebut melakukannya berdasarkan perubahan status sistem yang terjadi di hilir, maka sistem yang terjadi adalah pull.Contoh produksi yang menganut sistem push adalah sistem MRP, yaitu melepas pekerjaan berdasarkan jadwal yang dibuat sesuai dengan pesanan dari konsumen. JIT atau sistem kanban adalah contoh sistem pull yaitu melepas suatu pekerjaan ke proses produksi berdasarkan status jalur produksi.Tentu saja pada umumnya sistem produksi yang dianut dalam praktek adalah sistem gabungan antara push dan pull. Misalnya, suatu sistem MRP menyatakan bahwa berdasarkan jadwal suatu pekerjaan harus dilepas ke proses produksi, tetapi pekerjaan tersebut terpaksa ditahan melihat kenyataan di jalur produksi telah banyak pekerjaan lain sedang menunggu giliran. Gambaran tersebut memberikan ilustrasi terhadap sistem kombinasi atau hibrid antara push dan pull. Sama halnya jika suatu sistem kanban telah mengijinkan suatu pekerjaan dilepas ke jalur produksi, tetapi pekerjaan tersebut ditunda karena kebutuhan terhadap hasil pekerjaan tersebut tidak ada di jadwal. Situasi seperti ini pun dapat digolongkan sebagai sistem hibrid push-pull.2.3.1Sistem PushSistempushbiasa diasosiasikan dengan sistem MRP (material requirements planning) sehingga kegiatan manufaktur direncanakan berdasarkan peramalan pasar (market forecast) daripada permintaan pelanggan yang sebenarnya. Secara implisit ini berarti: Sistem mengandalkan suatu fungsi perencanaan secara terpusat. Tingkat pelayanan (services level) diyakinkan dengan meningkatkan atau menurunkan level persediaan barang jadi. Sistem ini mengoptimalkan efisiensi daripada efektivitas. Material mengalir dalam pabrik dalam bentukbatchmengikuti routing sheetyang telah ditentukan yang terlampir pada perintah kerja (work order). Ada ketergantungan pada heuristik untuk mengimbangi kompleksitas yang inheren pada masalah optimasi yang dihadapi. Horison perencanaan dan time fences digunakan untukmenyesuaikan rencana produksi dalam basis mingguan atau bulanan berdasarkan pada hasil peramalan permintaan (demand forecast). Membedakan antara permintaan dependen dan independen.Secara ekstrim yang membedakan antara sistempushdanpulladalah adanya pengambilan keputusan terpusat dan tidak adanya komunikasi antara berbagaistakeholders, lihat aliran informasi pada Gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2Aliran Barang dan Aliran Informasi pada Sistem PushPengambilan keputusan terpusat tersebut biasanya menggunakan mekanisme MRP, Gambar 3 di bawah ini menunjukkan siklus standar MRP untuk perencanaan kebutuhan kapasitas atau CRP (capacity requirements planning). Pada tahapannya, perencana menggunakan tekniklot-sizingyang menentukan kuantitas order. Dalam upayameningkatkan efisiensi biaya persediaan (biaya simpan dan biaya pesan/setup) yang optimal, teknik-tekniklot-sizing berkembang hingga penggunaan teknik pencarianheuristik,seperti algoritma Wagner-Whitin dan metode Silver-Meal. Sistem seperti ini memang mengoptimalkan utilisasi tapi mengabaikan efektifitas.

Gambar 3.Standar Siklus MRPSistempushbekerja berdasarkan data historis seperti data permintaan (demand) sebelumnya. Manufaktur memutuskan terlebih dahulu berapa banyak jumlahitem yang harus diproduksi kemudian berharapitem-item ini sesuai permintaan pasar tanpa menyebabkan kelebihan persediaan.Manufacturing Resource Planning (MRP II)Dalam lingkungan manufaktur perbaikan terhadap produktivitas mengalami pembenahan terus-menerus. Sejak komputer ditemukan dan digunakan secara luas dalam perdagangan, Ilmu Teknologi menyediakan berbagai macam solusi dalam rangka perbaikan tingkat produktivitas. Sekitar 30 tahun lampau (Material Requirement Planning) atau MRP hadir di dunia. MRP berkembang begitu pesat seiring dengan berkembangnya komputer. Pada tahun 1980-an kegiatan industri manufaktur berorientasi untuk meningkatkan produktivitas dengan memaksimalkan penggunaan sumber daya yang dimiliki dan menghasilkan output sebanyak mungkin, berbagai macam metode efisiensi untuk menekan waktu menganggur (idle time), waiting time, dan juga lead time dikembangkan, yaitu dengan otomatisasi disemua lini produksi. Penerapan MRP membutuhkan sistem informasi yang akurat dan up to date, dan ketepatan kedatangan material untuk menjamin validitas perencanaan, penjadwalan. Setelah penggunaan MRP menjadi populer metode ini mengalami perkembangan secara bertahap yang digantikan dengan MRP II pada tahun 1990 (Manufacturing Resource Planning) yang merupakan konsep perpanjangan dari MRP untuk lantai pabrik dan aktivitas manajemen distribusi.Manuafcturing Resource Planning (MRP II) merupakan suatu sistem informasi yang menyediakan data diantara berbagai aktivitas produksi dan area fungsional lainnya dari bisnis secara keseluruhan. Sistem MRP II mengkoordinasikan pemasaran, manufakturing, pembelian dan rekayasa melalui pengadopsian rencana produksi serta penggunaan data base terintegrasi guna merencanakan dan memperbaharui aktivitas dalam sistem industri modern secara keseluruhan. Pengertian lain mengenai MRP II (Eddy Herjanto, Manajemen Produksi dan Operasi : 1997) adalah suatu sistem informasi manufaktur yang mengintegrasikan fungsi pemasaran, keuangan dan produksi. MRP II mengubah sumber daya (fasilitas, peralatan, personel, material) ke dalam ukuran kebutuhan finansial dan mengubah keluaran produksi ke dalam peristilahan finansial pula. Konversi tersebut membantu dalam mengevaluasi kemampuan organisasi dalam melaksanakan rencana.Pada dasarnya, dalam sistem MRP II perencanaan produksi dikembangkan dari perencanaan strategik bisnis yang melibatkan manajemen puncak dari perusahaan industri itu. Dalam sistem MRP II, departemen produksi diharapkan untuk memperoduksi pada tingkat produksi yang telah ditetapkan dan menjadi komitmen dari manajemen industri itu. Departemen pemasaran kemudian akan memasarkan produk pada tingkat produksi yang telah ditetapkan itu. Dan departemen keuangan akan menjamin sumber-sumber daya keuangan yang cukup agar mampu merealisasikanrencana produksi pada tingkat yang telah ditetapkan bersama.Berdasarkan petunjuk dari rencana produksi itu, selanjutnya dibuat jadwal induk produksi (MPS = Master Production Schedule) yang menspesifikasikan kuantitas dari produk spesifik yang akan diproduksi. Pada tahap ini kemudian diperiksa secara garis besar apakah kapasitas yang tersedia cukup untuk mendukung MPS itu? Jika tidak cukup, salah satu kapasitas atau MPS harus dikoreksi atau di ubah. Selanjutnya apabila telah sesuai, kita dapat melakukan perencanaan kebutuhan material dan menetapkan jadwal prioritas (priority schedule) untuk produksi. Selanjutnya untuk analisis secara terperinci tentang kebutuhan kapasitas akan ditentukan, guna menjamin bahwa kapasitas itu cukup untuk memproduksi komponen spesifik pada setiap pusat kerja (work center) selama periode waktu penjadwalan produksi itu. Setelah dianggap realistik, eksekusi dari rencana produksi, penjadwalan pembelian, dan penjadwalan di tempat produksi (shop floor scheduling) dapat dikembangkan. Berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan secara realistik tersebut, pengaturan pada pusat-pusat kerja, pengendalian produksi, dan pengendalian pemasok dapat ditentukan agar menjamin terpenuhinya jadwal induk produksi (MPS).Pada dasarnya MRP II merupakan suatu sistem informasi manufakturing formal dan eksplisit yang mengintegrasikan fungsi-fungsi utama dalam industri manufaktur, seperti keuangan, pemasaran, dan produksi. sistem MRP II mencakup dan mengintegrasikan semua aspek bisnis dari perusahaan industri manufaktur, sejak perencanaan strategik bisnis pada tingkat manajemen puncak (top management) sampai pada perencanaan dan pengendalian terperinci pada tingkat manajemen menengah dan supervisor, kemudian memberikan umpan balik kepada tingkat manajerial di atasnya. Sistem MRP II dapat digambarkan secara lengkap melalui suatu diagram seperti tampak dalam gambar di bawah ini :

Gambar 2.6. Sistem Manufacturing ResourcePlanning (MRP II)Sumber : Dr. Vincent Gaspersz, D.Sc., Production Planning and Inventory Control, Berdasarkan Pendekatan Sistem Terintegrasi MRP II dan JIT Menuju Manufakturing 21, 2002.Dari gambar di atas tampak bahwa sistem MRP II berawal dari perencanaan strategik bisnis yang terkait dengan peramalan permintaan (demand forecasting), perencanaan keuangan dan pemasaran. Selanjutnya bagian pemasaran, keuangan, dan produksi, melalui suatu tim kerja sama (team work) akan mengembangkan rencana produksi dan jadwal induk produksi (MPS = Master Production Schedule) yang memenuhi permintaan pasar dengan menggunakan semua sumber daya yang tersedia dalam perusahaan itu. Tim kerja sama ini harus mempertimbangkan sumber-sumber daya keuangan, pemasaran, dan manufakturing, ketika mengembangkan rencana produksi dan jadwal produksi induk. Berikutnya dilakukan perencanaan kebutuhan material (MRP). Kemudian perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP = Capacity Requirements Planning) dilakukan untuk membandingkan pesanan-pesanan produksi yang direncanakan dan dikeluarkan berdasarkan periode waktu, kapasitas yang tersedia pun dikeluarkan berdasarkan periode waktu, untuk mengetahui apakah kapasitas yang tersedia itu menjadi kelebihan beban (overload) atau kekurangan beban (underload). Jika rencana kapasitas (capacity plan) dapat dierima, output dari MRP akan menjadi basis bagi pesanan produksi ( production orders) untuk diteruskan kelantai produksi (shop floor) dan basis bagi pesanan pembelian (purchase orders) untuk diteruskan ke pemasok eksternal (outside suppliers). Proses ini akan berlanjut terus dengan selalu memperbaharui jadwal induk produksi (MPS) berdasarkan sumber-sumber daya yang tersedia untuk mencapai sasaran strategik bisnis itu.Untuk memudahkan tentang pembahasan hierarki perencanaan prioritas dan perencanaan kapasitas, akan ditampilkan gambar 2.6. dengan lebih sederhana dan dikaitkan secara langsung dengan perencanaan prioritas dan perencanaan kapasitas, hierarki dari sistem MRP II akan tampak sebagai berikut :

Gambar 2.7. Hierarki Perencanaan Prioritas dan Kapasitas dalam Sistem MRP IISumber : Dr. Vincent Gaspersz, D.Sc., Production Planning and Inventory Control, Berdasarkan Pendekatan Sistem Terintegrasi MRP II dan JIT Menuju Manufakturing 21, 2002.Keterangan :

= Hubungan dua arah, termasuk umpan balikRRP= Resource Requirements Planning (Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya)MPS = Master Production Schedule (Penjadwalan Induk Produksi)RCCP= Rough Cut Capacity Planning MRP= Material Requirements Planning (Perencanaan Kebutuhan Material)CRP= Capacity Requirements Planning (Perencanan Kebutuhan Kapasitas)PAC= Production Activity ControlDari gambar di atas tampak bahwa Perencanaan Produksi dan Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya (RRP-Resorce Requirement Planning) termasuk dalam tingkat perencanaan strategik yang dilakukan oleh manajemen puncak (top management). Perencanaan Produksi dan kebutuhan sumber daya berada pada level yang sama, dan merupakan level pertama dari hierarki perencanaan prioritas dan perencanaan kapasitas.Pada dasarnya perencanaan manufakturing mencakup perencanaan terhadap output dan input dari operasi manufakturing yang dikelompokan dalam dua jenis perencanaan, yaitu perencanaan prioritas yang berkaitan dengan perencanaan output dan perencanaan kapasitas yang berkaitan dengan perencanaan input.Sistem manufakturing tidak dapat memproduksi prioritas (output) yang diinginkan tanpa memiliki kapasitas (input) yang cukup. Karena itu, dalam sistem manufakturing modern aktivitas perencanaan prioritas sejajar dengan aktivitas perencanaan kapasitas, sehingga terdapat suatu hierarki dari rencana-rencana kapasitas, seperti ditunjukan dalam gambar 2.7.Perencanaan prioritas menentukan produk-produk atau prioritas-prioritas dari operasi manufakturing untuk memenuhi permintaan pasar. Sedangkan perencanaan kapasitas menentukan sumber-sumber daya (input) atau tingkat kapasitas yang dibutuhkan oleh operasi manufakturing untuk memenuhi jadwal produksi atau output yang diinginkan, membandingkan kebutuhan produksi dengan kapasitas yang tersedia, dan menyesuaikan tingkat kapasitas atau jadwal produksi. perencanaan kapasitas mencakup kebutuhan sumber-sumber daya manufakturing seperti, jam mesin, jam tenaga kerja, fasilitas peralatan, ruang untuk tempat penyimpanan, rekayasa (engineering), energi, dan sumber-sumber daya keuangan. Dalam sistem MRP II, perencanaan kapasitas tidak mencakup material, karena perencanaan material ditangani oleh fungsi perencanaan prioritas melalui penjadwalan produksi induk (Master Production Schedule - MPS) dan perencanaan kebutuhan material (Material Requirement Planning - MRP).Keberhasilan perencanaan dan pengendalian manufakturing membutuhkan perencanaan kapasitas yang efektif, agar mampu memenuhi jadwal produksi yang ditetapkan. Kekurangan kapasitas akan menyebabkan kegagalan memenuhi target produksi, keterlambatan pengirirman ke pelanggan, dan kehilangan kepercayaan dalam sistem formal yang mengakibatkan reputasi dari perusahaan akan menurun atau hilang sama sekali. Pada sisi lain, kelebihan kapasitas akan mengakibatkan tingkat utilitas sumber-sumber daya yang rendah, biaya meningkat, harga produk menjadi tidak kompetitif, kehilangan pangsa pasar, penurunan keuangan, dan lain-lain. Dengan demikian kekurangan kapasitas maupun kelebihan kapasitas akan memberikan dampak negatif bagi sistem manufaktur, sehingga perencanaan kapasitas yang efektif adalah menyediakan kapasitas sesuai dengan kebutuhan pada waktu yang tepat. Di sinilah makna filosofi Just In Time (JIT) menjadi bermanfaat, sehingga sistem manufakturing modern telah mengintegrasikan praktek-praktek JIT ke dalam MRP II.Penggunaan peralatan komputer akan menjadi dominan dalam sistem MRP II, karena sistem MRP II membutuhkan banyak perhitungan yang akan banyak tertolong oleh kemampuan komputer untuk melakukan berbagai simulasi alternatif sehingga memberikan informasi yang komprehensif kepada manajer, agar mampu mengambil berbagai keputusan yang efektif dan efisien.2.3.2Sistem PullKeberhasilan praktek manajemen Jepang di bidang manajemen operasi (operation management) memunculkan istilahjust-in-time(JIT), yaitu sistem produksi yang membuat (mengirimkan) produk yang dibutuhkan pada waktu dan jumlah yang dibutuhkan sehingga mempertinggi efisiensi dan memungkinkan respon yang cepat untuk perubahan. JIT ini dibangun atas tiga prinsip operasi:pull system,continuous flow processing, dantakt timeserta membutuhkanleveled production(heijunka) sebagai sebuah persyaratan.Sejak kemunculan JIT itulah sistem manufaktur dikategorikan menjadi dua kutub: sistempullsebagai prinsip operasi JIT dan sistempushuntuk menyebut sistem lama yang dikoreksi JIT, yakni sistem manufaktur yang diasosiasikan dengan sistem MRP. Sistempullmemberikan arti pentingnya pelanggan. Sistempullmemandang pelanggan adalah siapa saja yang membutuhkan hasil pekerjaan kita, yang berarti tidak harus mereka yang berada di luar perusahaan. Perencanaan manufaktur pada sistempullini adalah berdasarkan tarikan (pull) permintaan aktual pelanggan. Secara implisit ini berarti: Pengendalian pelaksanaan produksi di sistempullberada pada semua level pekerjaan. Tingkat pelayanan (services level) diyakinkan dengan meningkatkan atau menurunkan jumlahkanbanantara stasiun kerja (WIP), bukan pada persediaan barang jadi. Sistempullmengoptimalkan efektivitas yang mana dicapai melaluiimprovementefisiensi secara terus-menerus. Material mengalir sepanjang pabrik berdasarkan antrian visual padaheijunka boxyang dipicu oleh tarikankanbanpelanggan (final kanban). Sistem ini sangat membutuhkan gaya penanganan manajemen langsung (hands-on management style). Memanfaatkan semuatoolsdan prinsip-prinsipleansecara baik di seluruh rantai pasok, diantaranya5S,kaizen,kanban, SMED, TPM,andon,heijunka, dan lain-lain.Peramalan permintaan (forecast) pada sistempullmasih digunakan sebagai konsensus antarastakeholders(pelanggan, pemasok, dan manufaktur), konsensus ini diperlukan agar ada kesepahaman tentang kapasitas sistem dan jumlahkanbanuntuk menjaga kelancaran rantai pasok, lihat aliran informasi pada sistempullpada Gambar 4 di bawah ini.

Gambar 4Aliran Barang dan Aliran Informasi pada Sistem PullSistempullmerupakan aksi untuk melayani permintaan yang menghendaki ketiadaan persediaan karena dipandang sebagai beban biaya. Karenanya dalam bentuk ekstrim, tidak ada pekerjaan dalam sistempullsampai manufaktur menerima order. Dalam dunia nyata, kurang tepat juga apabila dikatakandalam sistempulltidak ada persediaan (zero inventory), proses produksi dalam sistempullmengalir dengan ekspektasi persediaan sekecil mungkin (few inventory).Sistem Just In Time (JIT)Di era pasar bebas konsep produksi massal (Mass Production) dimana setiap barang yang diproduksi dapat dijual ke pasar telah bergeser ke konsep produksi Customer Oriented dimana produk yang akan diproduksi adalah produk yang memenuhi keinginan pelanggan. Konsep produksi massal atau identik dengan sistem tekan (push system) atau MRP dimana produk yang murah dapat dihasilkan jika memproduksi dalam jumlah banyak. Sistem Produksi Toyota mampu menarik perhatian dunia industri karena kemampuannya dalam fleksibilitas dan efisiensi produksi. Sistem itu dikenal dengan sistem Just In Time (JIT). Sistem JIT merupakan mekanisme perwujudan dari teori sistem tarik (Pull System), dimana proses akhir menentukan jumlah yang dibutuhkan oleh proses yang mendahuluinya. Sistem JIT adalah sistem produksi berulang dimana proses, serta pergerakan material dan barang jadi hanya saat mereka dibutuhkan, dan selalu dalam batch yang kecil. Sistem produksi Toyota dikembangkan dan dipromosikan oleh Toyota Motor Corporation dan telah dipakai oleh banyak perusahaan Jepang sebagai ekor dari krisis minyak di tahun 1973. sistem produksi Toyota adalah suatu metode ampuh untuk membuat produk karena sistem ini merupakan alat efektif untuk menghasilkan tujuan akhir.Produksi JIT Toyota merupakan suatu metode untuk menyesuaiakn diri terhadap perubahan akibat adanya gangguan dan perubahan permintaan dengan membuat semua proses menghasilkan barang yang diperlukan pada waktu diperlukan dalam jumlah yang diperlukan. Syarat pertama untuk produksi JIT adalah membuat semua proses mengetahui penetapan waktu yang tepat dan jumlah yang dibutuhkan.Dalam sistem JIT, hanya final assembly line yang menerima jadwal produksi, sedangkan semua stasiun kerja yang lain dan pemasok menerima pesanan produksi dari subsekuens operasi berikutnya. Dengan kata lain, stasiun kerja berikut kemudian memasok produk itu sesuai kuantitas kebutuhan pada waktu yang tepat dengan spesifikasi yang tepat pula. Kemudian untuk mengkomunikasikan pesanan produksi dapat menggunakan alat-alat elektronik seperti lampu, alat transportasi seperti kontainer, atau alat yang paling banyak dipergunakan adalah semacam tanda yang disebut sebagai Kanban. Kanban adalah suatu alat untuk mencapai produksi JIT. Dalam bahasa Jepang artinya serupa dengan visible record or signal (catatan yang kelihatan atau tanda). Sistem Kanban adalah suatu sistem informasi yang secara serasi mengendalikan produksi produk yang diperlukan dalam jumlah yang diperlukan pada waktu diperlukan dalam setiap proses pabrik dan juga diantara perusahaan (Monden, 2000). Di Toyota, sistem Kanban dipandang sebagai sustu subsistem dari sistem produksi Toyota keseluruhan. Pada umumnya alat Kanban yang dipergunakan adalah kartu, sehingga sering disebut sebagai kartu Kanban. Dua jenis Kanban yang sering digunakan adalah Kanban Pengambilan (Kanban tarik) dan Kanban Perintah Produksi. Suatu Kanban Pengambilan menspesifikasikan jenis dan jumlah produk yang harus diambil dari proses terdahulu oleh proses berikutnya, sementara Kanban Perintah Produksi menspesifikasikan jenis dan jumlah produk yang harus dihasilkan proses terdahulu. Dalam sistem Kanban, kanban tarik harus selalu mengikuti aliran material dari satu proses ke proses yang lain. Suatu Kanban tarik harus menspesifikasikan nomor part dan tingkat revisi, lot size, dan proses routing. Sekali Kanban tarik memperoleh parts, kartu itu harus tetap melekat bersama parts itu sepanjang waktu. Kemudian, setelah proses berikut mengambil part terakhir dari lot size itu, Kanban tarik akan bergerak lagi ke proses sebelum untuk memperoleh parts baru.Kanban perintah produksi yang disederhanakan menjadi Kanban Produksi berfungsi sebagai alat yang sah untuk mengeluarkan pesanan produksi kepada proses sebelum agar membuat atau memproduksi parts lagi.Untuk menerapkan konsep Kanban secara efektif, maka perlu diketahui fungsi dari sistem Kanban itu sendiri. Sistem Kanban dapat digunakan untuk melakukan fungsi berikut : Perintah Pengendalian diri sendiri untuk mencegah produksi yang berlebihan Pengendalian visual Perbaikan proses dan operasi manual Pengurangan biaya pengelolaan.Kanban berlaku sebagai alat perintah antara produksi dan pengiriman. Peranan ini membedakan Kanban dari label barang. Dalam sistem pengangkutan, sistem Kanban berfungsi sebagai alat yang memungkinkan pengambilan oleh proses berikutnya karena dasar sistem Kanban terletak pada fungsi tariknya.Kanban berlaku sebagai alat untuk pengendalian visual karena bukan saja memberikan informasi numerik, tetapi juga informasi fisik dalam bentuk kartu Kanban. Sistem ini memungkinkan tingkat produksi pada tiap proses dicek secara visual.Penggunaan Kanban untuk perbaikan operasi sangat dibutuhkan karena peningkatan produktivitas mengakibatkan perbaikan keuangan, sehingga memperbaiki perusahaan secara keseluruhan. Sistem kamban juga berfungsi mengurangi biaya manajemen dengan membantu mengurangi jumlah perencana menjadi nol.Kegiatan pabrik juga ditingkatkan melaui penerapan Kanban. Hal ini diterapkan dengan menggunakan pendekatan pengurangan tingkat persediaan. Tingkat persediaan dapat dikurangi secara terkendali melalui pengurangan jumlah Kanban yang beredar. Melalui cara ini, kita memberikan aba-aba agar secara serentak kegiatan perbaikan dilakukan dan ditingkatkan di seluruh pabrik.2.3.3 Kekurangan dan KelebihanSistempushmenawarkan skala ekonomis bagi manufaktur karena secara teoritis dapat menghasilkan persediaan suatu produk dalam satu waktu untuk memenuhi permintaan pada beberapa periode ke depan. Tentunya ini menghematchange-overantar produk dan meminimalkan gangguan akibat perubahan permesinan. Namun demikian, sistempushmemerlukan banyak ruang penyimpanan untuk persediaan yang tidak terjual. Hal ini juga berisiko bagi manufaktur karena akan mengalami kekurangan persediaan atau kelebihan pasokan, tergantung pada bagaimana variasi yang terjadi pada peramalan permintaan.Pada sistempulltidak ada bahaya persediaan yang terbuang dan biaya rendah dalam menyimpanpersediaan yang tidak terjual. Sistempulljuga mempunyai kelemahan terutama berkaitan dengan unsur-unsur waktusetupyang pendek dan ukuranlotyang kecil, karena masing-masing stasiun dalam proses harus dapat merespon dengan cepat pengisian ulang material.Berikut beberapa kelebihan dan kelemahan masing-masing sistem:Kelebihan sistempush: Menggunakan pendekatan umum dalam manajemen operasi. Sangat baik untuk melayani permintaan berfluktuasi. Manufaktur dapat menyimpan produk jadi untuk mengantisipasi permintaan atau dapat menciptakan permintaan baru dengan memasok produk dalam persediaan barang jadi. Manufakturmengendalikan kecepatan pengembangan produk. Setiap perubahan desain hanya dilakukan bila desain saat ini sudah benar-benar usang atau ketinggalan zaman. Mempunyai skala ekonomis dalam pembelian dan produksi. Pelayanan pelanggan yang lebih baik denganlead timelebih pendek dan lebih dapat diandalkan. Mengurangi komponen biaya pesan/setupdalam biaya persediaan. Memungkinkan untuk perencanaan dan penyelesaian perakitan kompleks karena sub-subkomponen dikirim hanya oleh kebutuhan yang dijadwalkan. Efisiensi dalam produksi yang lebih besar karena ada perencanaan kuantitas order, menghematchange-overantar produk, dan meminimalkan gangguan akibat perubahan permesinan. Kerumitan untuk mengoptimalkan efisiensi biaya persediaan menggunakan heuristik terbantu oleh ketersediaansoftware-softwareMRP/ERP.Kelemahan sistempush: Ketidakpastian, ketidakpastian peramalan penjualan produk akhir di masa depan dan ketidakpastian estimasilead timeproduksi dari satu level ke level yang lain. Hal ini berisiko bagi persediaan. Perencanaan kapasitas, masalahnya adalah meskipun ukuranlotpada level tertentu tidak melebihi kapasitas produksi, tapi tidak ada jaminan ketika ukuranlotditerjemahkan ke kebutuhan kotor (gross requirements) berada pada level terendah, kebutuhan ini juga dapat dipenuhi dengan kapasitas yang tersedia. Artinya, jadwal produksi yang layak pada satu level mungkin mengakibatkan jadwal kebutuhan tidak layak pada level lebih rendah. Horison perencanaan, lingkungan perencanaan produksi dalam prakteknya adalah dinamis. Sistem MRP mungkin harus mengulangi setiap periode dan keputusan produksi dievaluasi ulang. Lead timebergantung pada ukuranlot,lead timesering dianggap tetap dalam sistem MRP. Dalam banyak konteks asumsi ini jelas tidak masuk akal. Yang diharapkanlead timemeningkat seiring meningkatnya ukuranlot. Proses produksi tidak selalu sempurna, asumsi yang dibuat dalam MRP adalah tidak ada cacat produk. MRP menghitung kebutuhan komponen dansubassemblytepat sesuai ramalan permintaan produk akhir, kerugian karena cacat produk secara serius dapat mengganggu keseimbangan produksi. Data terintegrasi, jika ada kesalahan dalam data persediaan, makaoutputdata BOM (bill of material) atau data MPS (master production schedule) juga akan salah. MRP mengabaikan kerugian akibat cacat ataudowntimemesin. Dalam sistem di mana komponen yang digunakan dalam beberapa produk, perlu untuk mematok setiap order ke levelitemtertentu yang lebih tinggi. Dalam aliran produk membutuhkan perhatian lebih untuk menjaga efektivitas aliran produk.Kelebihan sistempull: Menghilangkan kompleksitas penjadwalan. Mengurangi persediaan barang dalam proses (WIP). Memiliki persediaan yang lebih rendah, ini berarti pengurangan ruang penyimpanan yang menghemat biaya sewa gudang dan asuransi. Persediaan hanya dihasilkan ketika dibutuhkan, modal kerja yang rendah diinvestasikan dalam persediaan. Berkurangnya kekhawatiran persediaan akan terbuang karena usang atau ketinggalan zaman. Menghindari penumpukan produk jadi yang tidak terjual yang dapat terjadi karena adanya perubahan mendadak dalam permintaan. Menyediakan suatu sistem bersama untuk perpindahan material diantara fasilitas produksi. Mendorong unit produksi untuk melaksanakanpreventive maintenance(PM) yang mengurangidowntimemesin. Berkurangnya waktu untuk inspeksi kualitas dan pengerjaan kembali produk (rework) karena anggapan pelanggan pada proses selanjutnya (downstream) menyebabkan terjadinya mekanisme: jangan menerima produk cacat, jangan membuat produk cacat, dan jangan mengirim produk cacat.Kelemahan sistempull: Setiap pekerjaan adalah order dengan tekanan yang tinggi (rush order). Reaksi waktu yang lama untuk perubahan dalam permintaan, karenanya sistempullakan sangat baik jika menggunakan penjadwalanheijunka. Terdapat sedikit ruang untuk kesalahan ketika stok minimal disediakan untukpengerjaan kembali produk yang rusak. Produksi sangat bergantung pada pemasok dan jika persediaan tidak dikirimkan tepat waktu, jadwal seluruh produksi dapat tertunda (delay). Persediaan dilimpahkan atau didorong ke pemasok. Membutuhkan kehandalan dan kelincahan pemasok yang lebih tinggi. Akan sulit jika terdapat banyak pemasok terutama jika salah satu pemasok memiliki daya tawar yang lebih tinggi tapi tidak mau masuk dalam sistempullyang diterapkan manufaktur. Tidak ada cadangan produk jadi yang tersedia untuk memenuhi order tak terduga, karena semua produk dibuat untuk memenuhi order yang sebenarnya. Mengabaikan pola permintaan di masa mendatangPada kenyataannya, sedikit sekali perusahaan yang mengadopsi sistempullatau sistempushsecara murni. Sebagai contoh menurut Wibisono (2004), Toyota yang sering diacu sebagai referensi sistempullklasik menerapkan sistempushpada proses pembuatan mobil berdasarkan analisis pasar dan penetapan target produksi. Tetapi pada proses perakitan di dalamnya diterapkan sistempulluntuk memastikan ketersediaan komponen-komponensubassembly. Ketika magang di Sunter, Jakarta, saya juga menjumpai kenyataan salah satu pemasok Toyota yang menerapkan sistempullmasih mempertahankan persediaan pada tingkat rendahdan mengisinya kembali sesuai dengan permintaan. Dengan begitu pemasok tersebut dapat merespon permintaan dengan cepat.Demikian juga pada beberapa lingkunganpushsering ditemui beberapa unsur tanggap permintaan pada aliran informasi dalam prosesnya. Sebagai contoh, perusahaan membuat kebutuhan komponen dansubassemblyberdasarkan sistempush,tapi kemudian menyelesaikan produk akhir sesuai dengan kebutuhan spesifik dari masing-masing pembeli.Masing-masing sistem akan sangat baik jika menerapkan perbaikan terus-menerus (continuous improvement) danpenghapusan pemborosan (waste). Di lapangan, sistempullakan terlihat memberikan umpan-balik visual danreal-timeuntukimprovementsementara sistempushcenderung menyembunyikan inefisiensi. Keberhasilan penerapan sistempullmembutuhkan kerjasama yang kuat dengan pemasok untuk membuka arus biaya pemesan persediaan viakanban. Tak heran apabila Toyota berhasil menerapkan sistempulladalah berkat kuatnyasupply chain management(SCM) mereka, terhitung yang nampak dipermukaan saja terdapat 248 perusahaan yang tergabung dalam kongsi dagang Toyota yang dikenal dengan istilah jaringankeiretsu.2.4Sistem Terintegrasi MRP II (Manufacturing Resource Planning) dan JIT (Just In Time)Menurut Dr. Vincent Gaspersz, D.Sc., dalam bukunya Production Planning and Inventory Control, Berdasarkan Pendekatan Sistem Terintegrasi MRP II dan JIT Menuju Manufakturing 21, MRP II adalah sistem yang didesain khusus untuk mengelola semua sumber daya dari industri manufaktur. MRP II merupakan proses yang mengintegrasikan fungsi manufakturing dengan keuangan dan pemasaran yang memberikan alat-alat untuk pembuatan keputusan bersama di antara ketiga departemen fungsional itu. Dengan demikian MRP II merupakan suatu proses yang memberikan gambaran global kepada ketiga departemen fungsional itu tentang kebutuhan material, kapasitas, dan keuangan, untuk memenuhi perencanaan penjualan dari perusahaan. Pada sisi lain sistem JIT merupakan konsep filosofi perbaikan terus-menerus dengan cara memproduksi output yang diperlukan, pada waktu dibutuhkan oleh pelanggan, dalam jumlah sesuai kebutuhan pelanggan, pada setiap tahap proes dalam sistem produksi, dengan cara paling ekonomis atau paling efisien.Melalui pengkombinasian keunggulan-keunggulan dari sistem MRP II dan JIT, perusahaan dapat menerapkan suatu sistem JIT yang akan merencanakan, meramalkan, dan mengendalikan kebutuhan material dalam perusahaan industri manufaktur itu. Dalam hal ini Master Production Schedule (MPS) dan Material Requirement Planning (MRP) yang diturunkan dari sistem MRP II akan digunakan sebagai alat yang menerjemahkan perencanaan penjualan ke dalam jadwal produksi dan kebutuhan material. Informasi ini kemudian diberitahukan kepada bagian pembelian untuk merencanakan pembelian berdasarkan prinsip-prinsip pembelian JIT (Just In Time Purchasing) dan bagian produksi untuk menentukan kebutuhan parts harian (daily part requirement). Berdasarkan kebutuhan aktual harian ini, diterapkan sistem tarik (pull system) menggunakan Kanban untuk memindahkan material atau parts pada lini produksi dan dari pemasok.Dengan demikian sistem terintegrasi MRP II dan JIT menunjukan bahwa sistem MRP II merupakan perencanaan dari atas ke bawah (top-down plannig). Output dari sistem MRP II dapat digunakan untuk meramalkan kebutuhan material bulanan pada basis proses demi proses. Pendekatan sistem terintegrasi antara MRP II dan JIT ditunjukan dalam gambar berikut :

Gambar 2.10. Pendekatan Sistem Terintegrasi Antara MRP II dan JITSumber : Dr. Vincent Gaspersz, D.Sc., Production Planning and Inventory Control, Berdasarkan Pendekatan Sistem Terintegrasi MRP II dan JIT Menuju Manufakturing 21, 2002.2.5Pelajaran dari JITDari uraian di atas dapat ditarik sejumlah pengertian dibalik konsep JIT. Uraian seven zeros mengisyaratkan bahwa JIT bukanlah prosedur atau teknik sederhana proses produksi tanpa inventory, bukan pula suatu strategi manajemen yang koheren dan terdefinisi dengan baik. Lebih dari itu, JIT adalah sekumpulan sikap, philosofi, prioritas, dan metodologi yang diberi label padat arti just-in-time. Kenyataan sesungguhnya dari implementasi konsep JIT adalah bahwa banyak perusahaan-perusahaan Jepang yang meraih keberhasilan luar biasa dari kekuatan konsep ini. Tidak hanya itu, perusahaan-perusahaan Amerika seperti Xerox, General Electric, Whirpool, dan Hewlet Packard telah menurunkan tingkat inventory dengan mengadopsi sistem produksi JIT.Konsep JIT bukanlah ditujukan untuk mengelola fasilitas produksi secara komprehensif, tetapi, sebagaimana awal kelahirannya, konsep ini ditujukan untuk mencari solusi tertentu yang pada saat itu digunakan sebagai alat bersaing dengan kompetitor raksasa seperti industri otomotif Amerika. Sejalan dengan waktu, konsep ini ternyata mampu memberikan solusi revolusioner terhadap stagnasi sistem parsial menjadi sistem yang holistik yang menempati posisi penting dalam catatan sejarah manajemen manufaktur. Kesulitan para praktisi manufaktur Amerika mengadopsi konsep JIT lebih disebabkan karena perbedaan sudut pandang karena kuatnya pengaruh manajemen ilmiah dalam bidang manufaktur.Beberapa hal penting yang dapat kita tarik manfaat dari konsep JIT adalah:1. Linkungan produksi sebagai alat pengendalian. Strategi-strategi yang melibatkan pengurangan waktu setup, memasukkan unsur manufaktur kedalam disain produk, dan menyelaraskan penjadwalan produksi akan memiliki pengaruh penting terhadap keputusan produksi.1. Detail operasi sangat penting. JIT telah memperlihatkan bahwa penekanan secara detail pada suatu proses operasi membuahkan manfaat yang besar untuk keperluan bersaing. Konsentrasi pada biaya manufaktur dan mencari celah-celah mengurangi limbah produksi memungkinkan JIT merambah luas ke berbagai aspek proses produksi.1. Pengendalian WIP adalah penting. Keistimewaan JIT adalah bahwa baik akibat langsung dari memiliki WIP yang rendah maupun adanya berbagai tuntutan dari tersedianya WIP yang rendah mampu menghantarkan ke proses produksi yang menghasilkan produk dengan kualitas tinggi.1. Perbaikan yang terus menerus adalah syarat untuk kelangsungan. Berbeda dengan keyakinan Henry Ford terhadap kesempurnaan produk dan proses, Jepang menganggap proses manufaktur sebagai permainan yang terus menerus berubah. Suatu standard yang cocok untuk dipakai kemarin, akan tidak sesuai dengan keadaan besok. Sekalipun JIT dapat dikatakan revolusi, tetapi pada kenyataannya konsep JIT perlu waktu 25 tahun untuk mampu memenuhi syarat waktu setup dari tiga jam menjadi tiga menit. Tetapi disitulah letak rahasia keberhasilan, perbaikan sekecil apapun dalam suatu rangkaian proses, akan menghasilkan output yang selalu lebih baik dari hari ke hari.

BAB IIIKESIMPULANDalam menangani tingginya biaya, menurunnya laba, dan menajamnya persaingan telah mengakibatkan perusahaan mencari cara-cara untuk merampingkan kegiatan usaha mereka dan mengumpulkan lebih banyak data akurat untuk tujuan pengambilan keputusan. Oleh karena itu muncullah ide Just In Time (JIT) yang hanya memproduksi apabila ada permintaan. Akibatnya pemborosan dapat dihilangkan dalam skala besar, yaitu berupa perbaikan kualitas dan biaya produksi yang lebih rendah. Tujuan utama JIT adalah untuk meningkatkan laba dan posisi persaingan perusahaan yang dicapai melalui usaha pengendalian biaya, peningkatan kualitas, serta perbaikan kinerja pengiriman. Prinsip dasar JIT adalah meningkatkan kemampuan secara terus-menerus untuk merespon perubahan dengan meminimisasi pemborosan. Ada empat aspek pokok dalam sistim JIT yaitu : Menghilangkan semua aktivitas atau sumber-sumber yang tidak memberikan nilai tambah terhadap produk. Komitmen terhadap kualitas prima. Mendorong perbaikan berkesinambungan untuk meningkatkan efisiensi. Memberikan tekanan pada penyederhanaan aktivitas dan peningkatan visibilitas yang memberikan nilai tambah. Persediaan JIT adalah untuk sistem persediaan yang dirancang guna mendapatkan barang secara tepat waktu. Pada persediaan JIT mensyaratkan bahwa proses atau orang yang membuat unit-unit rusak dapat dikirim untuk menunggu pengerjaan ulang atau menjadi bahan sisa. Sistim JIT menghapus kebutuhan akan persediaan karena tidak ada produksi sampai barang akan dijual. Hal ini berarti bahwa perusahaan harus mempunyai pesanan terus menerus agar dapat berproduksi Dalam system JIT menerapkan untuk membeli barang hanya dalam kuantitas yang dibutuhkan saja. Untuk itu perusahaan harus mengikat kontrak panjang kepada pemasok agar bersedia mengirimkan barang yang kita pesan sesering mungkin. Hal ini agar tidak adanya persediaan di gudang. Produsi JIT adalah suatu sistem dimana tiap komponen dalam jalur produksi menghasilkan secepatnya saat diperlukan dalam langkah selanjutnya dalam jalur produksi. Perusahaan harus memproduksi barang sesuai dengan jumlah pesanan agar tidak adanya persediaan. Pada system JIT perusahaan harus meningkatkan kualitasnya agar dapat bersaing dengan perusahaan yang lain. Untuk perusahaan harus memperhatikan kualitas mutunya. Dalam pengiriman barang dalam JIT harus tepat waktu, sesuai dengan jumlah pesanan dan dengan kualitas yang bermutu tinggi. Karena hal ini dapat mempengaruhi kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan produksi. Jika pelanggan senang maka ia akan sering melakukn pesanan terhadap perusahaan produksi dan sebaliknya jika pelanggan tidak puas maka pelanggan akan memilih ke perusahaan produksi lainnya. JIT merupakan filosofi pemanufakturan yang memiliki impilkasi penting dalam manajemen biaya. Ide dasar JIT sangat sederhana, yaitu produksi hanya apabila ada permintaan (pull system) atau dengan kata lain hanya memproduksi sesuatu yang diminta dan hanya sebesar kuatitas yang diminta. Konsep just in time adalah suatu konsep di mana bahan baku yang digunakan untuk aktifitas produksi didatangkan dari pemasok atau suplier tepat pada waktu bahan itu dibutuhkan oleh proses produksi, sehingga akan sangat menghemat bahkan meniadakan biaya persediaan barang / penyimpanan barang / stocking cost. Sedangkan, MRP II (Manufacturing Resources Planning) merupakan sistem informasi terintegrasi yang menyediakan data di antara berbagai aktivitas produksi dan area fungsional lainnya dari bisnis secara keseluruhan. Sistem MRP II merupakan sistem yang mengintegrasikan semua aspek perusahaan manufaktur, dari bussines planning pada level eksekutif sampai perencanaan dan pengendalian yang sangat detail pada level managerial seperti eksekusi lantai pabrik dan purchasing.

1

Dini Hariani (10070211024)11

Peramalan Permintaan

Pelayanan Pesanan (Order Service)

Manajemen Permintaan

Perencanaan Strategik Bisnis

Perencanaan Produksi

Penjadwalan Induk Produksi (MPS)

Perencanaan Kebutuhan Material (MRP)

Pengendalian Aktivitas Produksi (PAC)

Final Assembly Schedule

Rekayasa Produk dan Manufakturing

Pembelian

Pengendalian dan Penjadwalan Pemasok

Perencanaan Keuangan dan Pemasaran

Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya

Rough-Cut Capacity Planning (RCCP)

Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP)

Operations Sequencing

Pengendalian Input/Output

Akuntansi dan Keuangan

Keterangan :

= Hubungan dua arah, termasuk umpan balik

Perencanaan Strategik BIsnis

Manajemen Permintaan

Perencanaan Produksi

Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya

MPS

RCCP

MRP

CRP

Pengendalian Aktivitas Produksi (PAC)

Pengkual

Operation Sequencing

Pengendalian Input/Output

Outgoing Product

Perencanaan Prioritas

Perencanaan Kapasitas

Hierarki

Tingkat Perencanaan Strategis

Tingkat Perencanaan Taktis

Tingkat Perencanaan Operasional

Tingkat Pelaksanaan dan pengendalian