SINTESIS DAN KARAKTERISASI GEOPOLIMER...

6
Prosiding KIMIA FMIPA-ITS Prosiding Skripsi Semester Gasal 2009/2010 SINTESIS DAN KARAKTERISASI GEOPOLIMER BERDASARKAN VARIASI RASIO MOL SiO 2 /Al 2 O 3 DARI ABU LAYANG PLTU SURALAYA Yuliarosa Puspitasari*, Lukman Atmaja 1 Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya ABSTRAK Telah dilakukan penelitian mengenai sintesis dan karakterisasi geopolimer yang berbahan dasar abu layang tipe F dari PLTU Suralaya dan larutan alkali (NaOH, Na2SiO3, dan H2O). Sintesis ini dilakukan dengan variasi SiO2/Al2O3 dengan penambahan Al(OH)3 yang mudah larut. Mol SiO2 dan Na2O dibuat konstan. Perbandingan solid/liquid pada semua komposisi dibuat seragam yaitu 1,6. Kuat tekan optimum didapatkan pada rasio mol SiO2/Al2O3 = 3,25 yaitu sebesar 80,873 Mpa dan kuat tekan terendah pada rasio mol SiO2/Al2O3 = 1,5 yaitu sebesar 1,814 Mpa. Analisis XRD menunjukkan geopolimer dengan kuat tekan optimum mempunyai fasa amorf dengan quartz dan mullite sebagai mineral utamanya, sedangkan pada kuat tekan terendah mineral utamanya berupa mineral gibbsite yang menunjukkan banyak Al(OH)3 yang masih belum bereaksi. Analisis FTIR memperlihatkan vibrasi ulur asimetri geopolimer dengan kuat tekan tertinggi bergeser ke arah bilangan gelombang yang lebih besar menunjukkan ikatan Si-O-Si atau Si-O-Al yang lebih kuat dan kuat tekan terendah bergeser ke bilangan gelombang yang lebih kecil sehingga ikatan Si-O-Si atau Si-O-Al lebih lemah. Gambar mikrograf SEM memperlihatkan geopolimer dengan kuat tekan tertinggi mempunyai struktur yang lebih kompak dan tersementasi, sedangkan pada geopolimer dengan kuat tekan terendah memiliki struktur butiran. Kata kunci : geopolimer, abu layang batu bara, SiO2/Al2O3 ABSTRACT The synthesis and characterization of geopolymer based on type F of fly ash Suralaya Steam Power Plant and alkali solution (NaOH, Na2SiO3, and H2O) has been conducted. Geopolymer was synthesised in various molar ratio of SiO2/Al2O3 with soluble Al(OH)3 addition. Ratio comparation of solid/liquid in all composition were uniform i.e., about 1,6. Optimum compressive strenght obtained at molar ratio SiO2/Al2O3=3,25 was about 80,873 MPa and lowest compressive strength at molar ratio SiO2/Al2O3=1,5 was about 1,814 MPa. XRD analysis showed geopolymer with optimum compressive strength was amorphous which contain quartz and mullite as main element. Lowest compressive strength has main element of gibbsite containing of unreactable Al(OH)3. FTIR analysis showed asymmetric stretching with highest compressive strength shifted to higher frequency, these showed strong bond of Si-O-Si or Si-O-Al, and lowest compressive strength shifted to lower frequency. SEM micrograph picture performed optimum compressive strength geopolymer has more compact and cementitious structure, whereas lowest compressive strength has grain structures. Keywords: geopolymer, coal fly ash, SiO2/Al2O3 *Corresponding author Phone : +6285645055211 e-mail : [email protected] 1 Alamat sekarang : Jur Kimia, Fak MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

Transcript of SINTESIS DAN KARAKTERISASI GEOPOLIMER...

Prosiding KIMIA FMIPA-ITS

Prosiding Skripsi Semester Gasal 2009/2010

SINTESIS DAN KARAKTERISASI GEOPOLIMER BERDASARKAN VARIASI RASIO MOL SiO2/Al2O3 DARI ABU LAYANG PLTU SURALAYA

Yuliarosa Puspitasari*, Lukman Atmaja1

Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian mengenai sintesis dan karakterisasi geopolimer yang berbahan dasar abu layang tipe F dari PLTU Suralaya dan larutan alkali (NaOH, Na2SiO3, dan H2O). Sintesis ini dilakukan dengan variasi SiO2/Al2O3 dengan penambahan Al(OH)3 yang mudah larut. Mol SiO2 dan Na2O dibuat konstan. Perbandingan solid/liquid pada semua komposisi dibuat seragam yaitu 1,6. Kuat tekan optimum didapatkan pada rasio mol SiO2/Al2O3 = 3,25 yaitu sebesar 80,873 Mpa dan kuat tekan terendah pada rasio mol SiO2/Al2O3 = 1,5 yaitu sebesar 1,814 Mpa. Analisis XRD menunjukkan geopolimer dengan kuat tekan optimum mempunyai fasa amorf dengan quartz dan mullite sebagai mineral utamanya, sedangkan pada kuat tekan terendah mineral utamanya berupa mineral gibbsite yang menunjukkan banyak Al(OH)3 yang masih belum bereaksi. Analisis FTIR memperlihatkan vibrasi ulur asimetri geopolimer dengan kuat tekan tertinggi bergeser ke arah bilangan gelombang yang lebih besar menunjukkan ikatan Si-O-Si atau Si-O-Al yang lebih kuat dan kuat tekan terendah bergeser ke bilangan gelombang yang lebih kecil sehingga ikatan Si-O-Si atau Si-O-Al lebih lemah. Gambar mikrograf SEM memperlihatkan geopolimer dengan kuat tekan tertinggi mempunyai struktur yang lebih kompak dan tersementasi, sedangkan pada geopolimer dengan kuat tekan terendah memiliki struktur butiran. Kata kunci : geopolimer, abu layang batu bara, SiO2/Al2O3

ABSTRACT

The synthesis and characterization of geopolymer based on type F of fly ash Suralaya Steam Power Plant and alkali solution (NaOH, Na2SiO3, and H2O) has been conducted. Geopolymer was synthesised in various molar ratio of SiO2/Al2O3 with soluble Al(OH)3 addition. Ratio comparation of solid/liquid in all composition were uniform i.e., about 1,6. Optimum compressive strenght obtained at molar ratio SiO2/Al2O3=3,25 was about 80,873 MPa and lowest compressive strength at molar ratio SiO2/Al2O3=1,5 was about 1,814 MPa. XRD analysis showed geopolymer with optimum compressive strength was amorphous which contain quartz and mullite as main element. Lowest compressive strength has main element of gibbsite containing of unreactable Al(OH)3. FTIR analysis showed asymmetric stretching with highest compressive strength shifted to higher frequency, these showed strong bond of Si-O-Si or Si-O-Al, and lowest compressive strength shifted to lower frequency. SEM micrograph picture performed optimum compressive strength geopolymer has more compact and cementitious structure, whereas lowest compressive strength has grain structures.

Keywords: geopolymer, coal fly ash, SiO2/Al2O3 *Corresponding author Phone : +6285645055211 e-mail : [email protected] 1 Alamat sekarang : Jur Kimia, Fak MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

Prosiding KIMIA FMIPA-ITS

1. PENDAHULUAN Karbon dioksida sebagai komponen

terbesar gas rumah kaca merupakan dampak industri semen yang menyebabkan pencemaran udara. Emisi karbon dioksida dihasilkan dari proses kalsinasi kapur dan pembakaran batubara. Oleh karena itu dalam rangka mengurangi konsumsi semen, telah dikembangkan material yang bersifat semen (cementitious) yang berpotensial sebagai material alternatif pengganti semen pada bahan dasar pembuatan beton. Davidovits (1979), orang yang pertama kali memperkenalkan istilah material tersebut dengan nama “geopolimer” yaitu polimer anorganik dengan struktur alumino-silikat tiga dimensi. Polimer tersebut potensial sebagai bahan bangunan karena memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan beton semen, antara lain memiliki waktu pengerasan (setting time) yang singkat, volume yang lebih stabil (mengalami penyusutan yang lebih kecil) (van Jaarsveld dan van Deventer, 1999), tahan terhadap pemanasan tinggi (Davidovits, 1994), dan tahan terhadap asam (Schmu¨cker dan MacKenzie, 2005).

Geopolimer mulanya dibuat dari bahan dasar kaolin dan metakaolin, kemudian dikembangkan menjadi geopolimer dari bahan dasar yang bersifat pozzolanik yang dipolimerisasikan dengan larutan alkali. Bahan yang paling umum digunakan yaitu abu layang yang memiliki sifat pozzolanik. Pada penelitian ini menggunakan abu layang dari PLTU Suralaya yang terletak di desa Suralaya Merak Kotamadya Cilegon, Jawa Barat 7 Km ke arah utara dari Pelabuhan Penyeberangan Merak. Abu layang dihasilkan dari pembakaran batubara yang merupakan bahan bakar utama Pembangkit Suralaya yang berasal dari Tambang batubara Bukit Asam, Sumatera Selatan (Marzuki dan Jogaswara, 2007). Untuk menghasilkan listrik sebesar 3400 MW, PLTU Suralaya membutuhkan 30.000 ton batubara per hari dan menghasilkan limbah padat abu layang sebanyak 1.200 ton per hari dengan ukuran kira-kira 200 mesh. Dengan adanya pemanfaatan abu layang sebagai bahan dasar pembuatan geopolimer, maka juga diharapkan dapat mengurangi jumlah limbah padat hasil pembakaran batubara tersebut karena abu layang digolongkan sebagai limbah B3 menurut PP 18/88 jo 85/99.

Abu layang merupakan suatu material dengan kandungan utama silika dan alumina yang dapat bereaksi dengan kapur pada suhu kamar dengan adanya air sehingga menghasilkan suatu hidrat yang mempunyai sifat mengikat (binding), karena itu abu layang bersifat pozzolanik. Silika dan alumina dari abu layang sangat berperan dalam pembentukan rantai Si-O-Al dalam geopolimer. Menurut ASTM C 618 (1994), abu layang diklasifikasikan menjadi dua klas, yaitu tipe F dan C, berdasarkan kandungan kimianya. Kedua tipe tersebut berpengaruh pada sintesis geopolimer. Abu layang dari PLTU Suralaya ada dua macam yaitu abu layang dari batubara Bukit Asam dan dari batubara heterogen. Penelitian ini dikhususkan pada jenis abu layang dari batubara

Bukit Asam dan dari data XRF abu layang ini termasuk tipe F.

Bahan dasar utama dalam pembuatan geopolimer adalah material yang banyak mengandung unsur silikon dan aluminium. Untuk melarutkan unsur ini, serta memungkinkan terjadinya reaksi kimia digunakan larutan yang bersifat alkalis yang disebut larutan alkalin. Larutan alkalin yang digunakan adalah campuran antara natrium hidroksida (NaOH), natrium silikat (Na2SiO3), dan air distilat (H2O), yang masing-masing komponen memiliki peran penting dalam sintesis. Sintesis ini didasari oleh reaksi polikondensasi dari material yang mengandung silika-aluminat dan alumina-silikat.

Sintesis geopolimer sangat tergantung pada kondisi bahan awal, yaitu sifat dan komposisi abu layang, konsentrasi larutan alkalin, dan proses geopolimerisasinya (van Jaarsveld dkk., 2003). Namun sampai saat ini belum ditemukan pola umumnya, karena setiap abu layang memiliki komposisi yang berbeda tergantung dari asal batubara dan proses pembakarannya, sehingga pada setiap sintesis perlu adanya penelitian pendahuluan untuk mengetahui parameter bahan awal dan proses pengerjaannya. Urutan sintesis geopolimer antara lain, pelarutan Si dan Al dari abu layang dengan medium alkalin, transformasi atau orientasi menjadi spesi yang lain, dan reaksi polikondensasi yang akan membentuk jaringan polisialat (SiO2/Al2O3 = 2), polisialat-siloxo (SiO2/Al2O3 = 4), atau polisialat-disiloxo (SiO2/Al2O3 = 6). Tipe rantai yang berbeda ini akan menghasilkan sifat yang berbeda pula pada geopolimer.

Penelitian tentang efek rasio SiO2/Al2O3 telah dikembangkan lebih lanjut pada geopolimerisasi berbahan dasar metakaolin dan ditemukan berperan penting dalam pembentukan sifat-sifat struktur mikro (Phair dkk., 2003). Peranan Al2O3 dan SiO2 dalam geopolimerisasi metakaolin memberikan fakta bahwa sifat-sifat geopolimer secara signifikan ditentukan oleh perubahan yang kecil dari konsentrasi Si dan Al selama sintesis (De Silva dkk., 2008). De Silva juga menyimpulkan bahwa rasio SiO2/Al2O3 bertanggung jawab terhadap perkembangan kekuatan geopolimer. Pada rasio SiO2/Al2O3 rendah, kekuatan awal sangat tergantung pada besarnya Al2O3 (Al mengontrol waktu pengerasan) sedangkan pada rasio SiO2/Al2O3 yang besar, SiO2 akan bertanggung jawab pada pengerasan berikutnya. Dalam basa, kelarutan Al2O3 lebih besar dari pada SiO2 (Swaddle, 2001). Maka dapat ditarik hipotesis bahwa berdasarkan kelarutan yang lebih besar Al2O3 dari pada SiO2

maka Al2O3 memiliki peranan yang penting dalam pembentukan sifat awal geopolimer, sedangkan SiO2 bertanggung jawab pada pembentukan sifat berikutnya. De Silva (2008) menyebutkan untuk mendapatkan kekuatan yang baik, diharapkan terdapat rasio SiO2/Al2O3 sebesar 3,4-3,8 dalam campuran bahan awal metakaolin. Rasio ini diharapkan akan berbeda jika digunakan material selain metakaolin. Metakaolin secara kimiawi

Prosiding KIMIA FMIPA-ITS

berbeda dengan abu layang, sehingga reaksinya pun berbeda. Penelitian ini mengacu pada studi rasio mol SiO2/Al2O3 dan sifat geopolimer dari bahan dasar abu layang yang telah dilakukan oleh Kusumastuti (2009), yang kemudian akan dikembangkan dengan abu layang dengan jenis yang berbeda. 2. METODOLOGI 2.1 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain cetakan silinder dengan diameter 2 cm dan tinggi 4 cm, pengaduk (mixer), oven, neraca analitik, dan peralatan plastik (gelas, wadah, dan pengaduk plastik). Peralatan untuk karakterisasi adalah mesin penguji kuat tekan (Universal Testing Machine), SEM (Scanning Electron Microscopy ), XRF (X-Ray Fluorescence), ICP-AES (Inductively Coupleg Plasma-Atomic Emmision Spectroscopy), XRD (X-Ray Diffraction), dan FTIR (Fourier Transform Infrared). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain abu layang dari PLTU Suralaya Cilegon-Banten, natrium hidroksida pelet (NaOH 99%, Merck), binder/plasticizer berupa natrium silikat (Na2SiO3) teknis, aquades (H2O), dan bahan tambahan (additive) berupa aluminium hidroksida (Al(OH)3 99%, Merck). 2.2 Metode 2.2.1 Karakterisasi Bahan Awal Abu layang dari PLTU Suralaya awalnya dilakukan proses pratreatment dengan dioven pada suhu 105oC selama 24 jam. Selanjutnya dianalisa komposisi kimia menggunakan XRF, analisis fasa menggunakan XRD, dan analisis morfologi dengan SEM. Selain itu, natrium silikat teknis perlu diketahui komposisi kimianya menggunakan ICP. 2.2.2 Pembuatan Larutan Alkalin Larutan alkalin dibuat dengan melarutkan NaOH pellet dengan aquades terlebih dahulu dan didiamkan selama minimal 24 jam. Larutan NaOH yang telah didiamkan, dicampurkan dengan natrium silikat (van Jaarsveld dkk., 2003 dan Duxson 2007). Aluminium hidroksida ditambahkan untuk komposisi yang memerlukan. 2.2.3 Pembuatan Pelet Geopolimer

Pembuatan pelet gepolimer dilakukan dengan cara abu layang dicampur dengan larutan alkalin sesuai dengan komposisi lalu diaduk hingga homogen dan terbentuk pasta dengan perbandingan solid/liquid 1,60. Pengadukan awal dilakukan dengan tangan selama 2 menit, kemudian menggunakan mixer selama 5 menit. Pasta tersebut dituang ke cetakan silinder dengan perbandingan diameter dan tinggi 1:2. Penuangan dilakukan bertahap dan divibrasi selama 15 menit. Pelet didiamkan sampai mengering dan dapat dilepaskan dari cetakan (selama 1-3 hari). Pelet yang sudah dapat dilepaskan dari cetakan, kemudian diletakkan dalam loyang dan ditutup plastik. Pelet yang masih terbungkus plastik

tersebut dipanaskan dalam oven pada suhu 60 derajat celcius selama 24 jam lalu disimpan selama 28 hari. Komposisi bahan dalam sintesis geopolimer ditentukan dengan variasi rasio mol SiO2/Al2O3 antara 1,5-4,04. Tabel 2.1 memperlihatkan komposisi bahan awal yang digunakan dalam penelitian ini.

Tabel 2.1 Komposisi Bahan Awal

Rasio Mol SiO2/Al2O3

Massa Abu

Layang (gram)

Massa Natrium Silikat (gram)

Massa NaOH (gram)

Massa Al(OH)3 (gram)

1,50 105,6 30 12 72,394

1,75 105,6 30 12 55,937

2,00 105,6 30 12 43,594

2,25 105,6 30 12 33,994

2,50 105,6 30 12 26,314

2,75 105,6 30 12 20,031

3,00 105,6 30 12 14,794

3,25 105,6 30 12 10,364

3,50 105,6 30 12 6,566

4,04 105,6 30 12 0 2.2.4 Karakterisasi Geopolimer

Karakterisasi diperlukan untuk menganalisis, membandingkan, dan menyimpulkan geopolimer dengan komposisi terbaik. Pengujian geopolimer dilakukan pada pelet yang telah didiamkan selama 28 hari (Swanepoel, 2002). Karakterisasinya antara lain analisa kuat tekan untuk mengetahui sifat mekaniknya, analisa morfologi geopolimer dengan SEM, analisa FTIR untuk mengetahui perubahan ikatan kimia, dan perubahan fasa geopolimer dipelajari dengan XRD. 2.2.4.1 Pengujian Kuat Tekan Sifat mekanik geopolimer dapat dipelajari salah satunya dengan pengujian kuat tekan yang menggunakan alat penguji kuat tekan (Universal Testing Machine) yang berada di Laboratorium Struktur Jurusan Teknik Sipil FTSP ITS Surabaya. Pelet yang diuji berbentuk silinder dengan diameter 2 cm dan tinggi 4 cm. Setiap variasi rasio mol SiO2/Al2O3 diuji dengan masing-masing 3 benda uji agar didapatkan kuat tekan rata-rata. 2.2.4.2 Analisis Fasa dengan XRD Analisis fasa dan kandungan mineral dilakukan pada geopolimer dengan variasi rasio mol SiO2/Al2O3 menggunakan alat XRD merk Philips tipe X’Pert MPD di Laboratorium XRD Research Center LPPM ITS. Sampel yang diuji adalah geopolimer dengan rasio mol SiO2/Al2O3= 1,5; 3,25; dan 4,04. Analisis ini menggunakan sudut difraksi (2θ) antara 5-90o. Data yang dihasilkan adalah intensitas dan sudut difraksi (2θ) kemudian dikarakterisasi jenis mineralnya dengan cara mencocokkan sudut difraksi dengan pola difraktogram standar pada data base Software Expert Graphic and Identify dengan metode Search and Match (Pratapa, 2005).

Prosiding KIMIA FMIPA-ITS

2.2.4.3 Analisis Ikatan Kimia dengan FTIR Analisis perubahan ikatan kimia dilakukan pada sampel geopolimer dengan rasio mol SiO2/Al2O3= 1,5; 3,25; dan 4,04. Analisis ini menggunakan alat Precise Fourier Transform Infrared merk Shimadzu di Laboratorium Instrumen Jurusan Kimia FMIPA ITS Surabaya. Preparasi sampelnya dengan cara sampel dilarutkan dengan KBR dengan perbandingan 1:600, kemudian dianalisa FTIR. Data yang dihasilkan berupa intensitas serapan (%T) dan bilangan gelombang (cm-1). 2.2.4.4 Analisis Morfologi dengan SEM Analisis morfologi dilakukan untuk mengetahui pengaruh variasi rasio mol SiO2/Al2O3 terhadap struktur mikro geopolimer menggunakan alat Analitical Scanning Electron Microscope merk JEOL JSM-6360LA yang ada di Laboratorium Geologi Kuarter V PPGL Bandung. Sampel yang dipilih adalah geopolimer dengan kekuatan tertinggi (rasio mol SiO2/Al2O3 = 3,25), terendah (rasio mol SiO2/Al2O3 = 1,5), dan rasio mol SiO2/Al2O3 = 4,04. Pada tahap persiapannya, sampel geopolimer diambil sebanyak 0,1 gram dan diletakkan pada cawan holder kemudian dilakukan coating atau pelapisan emas. Selanjutnya dianalisa struktur mikronya dengan SEM. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Karakterisasi Bahan Awal

Analisis komposisi kimia abu layang menggunakan alat X-Ray Fluorescence (XRF). Hasil analisinya berupa oksida-oksida logam antara lain Al2O3, SiO2, SO3, K2O, CaO, TiO2, V2O5, Cr2O3, MnO, Fe2O3, NiO, CuO, ZnO, SrO, ZrO2, Eu2O3, Yb2O3, dan Re2O7. Komposisi kimia tersebut ditunjukkan pada tabel 3.1

Tabel 3.1 Komposisi Kimia Abu Layang

Komponen (Bentuk Oksida)

Persen Berat (%)

Al2O3 26,500 SiO2 51,500 SO3 0,860 K2O 1,020 CaO 5,720 TiO2 1,630 V2O5 0,076 Cr2O3 0,041 MnO 0,120 Fe2O3 11,600 NiO 0,010 CuO 0,037 ZnO 0,020 SrO 0,360 ZrO2 0,280 Eu2O3 0,100 Yb2O3 0,020 Re2O7 0,080

Berdasarkan data XRF abu layang ini digolongkan jenis F, karena mempunyai kandungan CaO kurang dari 10 % (ASTM C 16). Kandungan Ca yang rendah memperlambat pengerasan awal geopolimer, karena Ca tinggi di dalam geopolimer dapat memperpendek setting time (Nicholson, 2005). Kandungan lain yang perlu diperhatikan adalah unsur besi yang cukup besar yaitu 11,6 %. Menurut Fernandez-Jimenez dkk., (2004), kandungan Fe2O3 yang lebih dari 10 % kurang menguntungkan bagi geopolimer struktur. Masing-masing oksida logam mempunyai peranan penting dalam geopolimerisasi. Silikat dioksida (SiO2) merupakan reaktan utama. Menurut Panias dkk. (2006), SiO2 diperlukan untuk inisiasi pembentukan oligomer dan polikondensasi dari silikat dapat meningkatkan efisiensi geopolimerisasi. Kandungan Al2O3 pada abu layang juga sangat penting. Rees dkk. (2007) menyebutkan bahwa awal dari pembentukan inti geopolimer terdapat pada bagian yang kaya Al. Hal ini karena Al yang berperan sebagai penghubung antar oligomer silikat yang kemudian membentuk struktur tiga dimensi.

Kandungan fasa abu layang ditentukan menggunakan X-Ray Diffraction (XRD). Hanya Si dan Al dalam fasa amorf yang lebih mudah melarut dalam kondisi basa kuat (Xu dan van Deventer, 2000). Berdasarkan hasil analisa XRD, difraktogram yang dihasilkan menunjukkan bahwa abu layang PLTU Suralaya berfasa amorf dengan quartz dan mullite sebagai kristal utama (Gambar 3.1). Abu layang yang amorf lebih reaktif sehingga lebih mudah mengalami pelarutan Si dan Al oleh larutan alkalin.

Gambar 3.1 Difraktogram Abu Layang PLTU Suralaya

Ikatan kimia pada abu layang ditentukan dengan analisis FTIR (Gambar 3.2). Puncak-puncak hasil analisis menjelaskan adanya vibrasi gugus-gugus fungsi yang terkandung dalam abu layang. Pada puncak 472,58 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi ulur simetri Al-O-Si, sedangkan puncak pada bilangan gelombang 1035,81 cm-1 merupakan vibrasi ulur asimetri T-O-Si (T=Si dan Al). Hal ini sesuai dengan penelitian Panias dkk. (2006). Puncak pada bilangan gelombang 1608,69 merupakan vibrasi tekuk H-O-H dan puncak pada bilangan gelombang 3593,5

Prosiding KIMIA FMIPA-ITS

menunjukkan adanya vibrasi ulur -OH dan H-O-H (Bakharev, 2005).

Gambar 3.2 Spektrum FTIR Abu Layang PLTU Suralaya

Analisis morfologi dari abu layang (Gambar 3.3) memperlihatkan bahwa bentuk mikropori dan kandungan kimianya bermacam-macam. Pada perbesaran 200 kali terlihat bahwa partikel-partikel abu layang sebagian besar berbentuk bulatan dengan ukuran yang heteregon.

Gambar 3.3 Mikrograf SEM Abu Layang dengan Perbesaran 200 kali 3.2 Pembuatan Larutan Alkalin

Larutan alkalin yang digunakan adalah NaOH, natrium silikat dan air distilat (aquades). Langkah awal pembuatan larutan alkalin dibuat dengan melarutkan NaOH pellet dengan aquades terlebih dahulu dan didiamkan selama minimal 24 jam agar reaksi eksotermisnya berhenti. Larutan NaOH yang telah didiamkan, dicampurkan dengan natrium silikat (van Jaarsveld dkk., 2003 dan Duxson 2007).

Aluminium hidroksida ditambahkan untuk komposisi yang memerlukan. Abu layang dibuat komposisi yang sama untuk menjaga kekonstanan Na2O dan SiO2. Pengguanaan Al(OH)3 karena merupakan zat yang mudah larut dalam basa (Swaddle, 2001). 3.3 Pembuatan Pelet Geopolimer

Pembuatan pelet gepolimer dilakukan dengan cara abu layang dicampur dengan larutan alkalin sesuai dengan komposisi (tabel 2.1) lalu diaduk hingga homogen dan terbentuk pasta dengan perbandingan solid/liquid 1,60. Solid/liquid

ini dikonstankan untuk semua komposisi agar didapatkan geopolimer dengan keseragaman pasta yang mengalir dan mudah dicetak. Variasi solid/liquid mulanya dilakukan sesuai dengan percobaan Davidovits (1994).

Pasta awalnya diaduk dengan tangan selama 2 menit, kemudian menggunakan mixer selama 5 menit agar benar-benar homogen. Pasta tersebut dituang ke cetakan silinder dengan perbandingan diameter dan tinggi 1:2 (Bakharev, 2005 dan Andini, 2008). Penuangan dilakukan bertahap dan divibrasi selama 15 menit untuk mengurangi gelembung udara yang terjebak (Duxson dkk., 2007). Pelet didiamkan sampai mengering dan dapat dilepaskan dari cetakan (selama 1-3 hari). Pelet dilepaskan dari cetakan kemudian diletakkan dalam loyang dan ditutup plastik agar kandungan airnya tidak hilang secara tiba-tiba. Pelet yang masih terbungkus plastik tersebut dipanaskan dalam oven pada suhu 60oC selama 24 jam lalu disimpan selama 28 hari. Geopolimerisasi merupakan reaksi pelepasan air sebagai akibat polikondensasi. Untuk membantu memaksimalkan geopolimerisasi ini, maka pasta yang sudah mengeras perlu dirawat (proses curing) pada suhu yang sedikit lebih tinggi dari suhu kamar. Proses curing pada 60oC selama 24 jam terbukti menghasilkan kuat tekan optimum dengan delay time (jeda waktu setelah pencetakan dengan dimulainya curing) sebesar 1 jam (Chindaprasirt dkk., 2007). Reaksi restrukturisasi ikatan membentuk jaringan tiga dimensi ini terjadi sejalan dengan waktu, sehingga kekuatannya (proses compaction) akan berjalan seiring dengan bertambahnya waktu. Hardjito dkk. (2004), dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa kuat tekan sebagai parameter penting produk geopolimer tidak mengalami perubahan yang signifikan setelah berumur 28 hari, sehingga geopolimerisasi dianggap mulai stabil pada umurn 28 hari. 3.4 Karakterisasi Geopolimer 3.4.1 Pengujian Kuat Tekan

Semua pelet yang diuji berbentuk silinder dengan diameter 2 cm dan tinggi 4 cm. Setiap variasi rasio mol SiO2/Al2O3 diuji dengan masing-masing 3 benda uji agar didapatkan kuat tekan rata-rata. Pengujian dilakukan saat geopolimer berumur 28 hari, karena pada umur tersebut reaksi geopolimerisasi tidak menunjukkan perkembangan kekuatan yang signifikan (Hardjito, 2001). Hasil pengukurannya berupa gaya berat dengan satuan kg force (kg.f). Tabel 3.2 merupakan hasil dari pengukuran kuat tekan dengan variasi rasio mol SiO2/Al2O3. Tabel 3.2 Hasil Kuat Tekan

Si/Al Kuat Tekan (MPa) Kuat

Tekan Rata-rata

(MPa) I II III

1,50 1,973 2,100 1,368 1,814

1,75 4,964 3,055 3,882 3,967

2,00 5,282 11,932 7,350 8,188

Prosiding KIMIA FMIPA-ITS

2,25 27,841 8,114 14,796 16,917

2,50 40,410 35,16 72,069 49,213

2,75 55,683 61,092 61,569 59,448

3,00 44,546 59,819 95,615 66,660

3,25 101,343 66,978 74,297 80,873

3,50 65,706 45,183 67,933 59,607

4,04 34,046 61,410 51,865 49,107 3.4.2 Analisis Fasa dengan XRD

Gambar 3.4 memperlihatkan hasil analisis XRD yang telah dilakukan Search and Match. Pembentukan matriks geopolimer berupa fasa amorf baru yakni gel aluminosilikat ditandai dengan pergeseran hump (punuk) pada 2θ=10-37° pada abu layang (Gambar 3.1) menjadi sekitar 2θ=15-40° pada geopolimer (Gambar 3.4) akibat pelarutan fasa amorf abu layang dalam larutan alkali kuat.

Gambar 3.4 Difraktogram Geopolimer

3.4.3 Analisis FTIR

Hasil yang diperlihatkan pada Gambar 3.5 yaitu spektrum FTIR dari geopolimer dengan rasio mol SiO2/Al2O3=1,5; 3,25; dan 4,04. Analisis FTIR ini digunakan untuk mengetahui vibrasi antar atom yang ada pada abu layang dan geopolimer. Terjadi pergeseran puncak pada setiap spektrum geopolimer.

Gambar 3.5 Spektra FTIR Geopolimer

3.4.4 Analisis SEM

Pada rasio mol SiO2/Al2O3=1,5 Gambar 3.6 terlihat geopolimer yang tidak tesementasi (terikat) satu sama lain, sehingga menimbulkan struktur yang tidak kompak dan tidak padat. Struktur yang tidak kompak menyebabkan geopolimer berkuat tekan rendah, sehingga rapuh. Banyaknya Al(OH)3 yang berlebih menyebabkan monomer silikat tidak cukup untuk membentuk aluminasilikat.