Sinopsis Dan Tinjauan Dokumenter Gereja Hati Kudus Jesus Ganjuran Jogjakarta

7
Sinopsis Film Dokumenter “Tanah Para Terjanji” Sejarah kolonial secara literer banyak kita temui. Namun wacana itu terkadang sangat sulit kita pahami, pun kita tangkap, mengingat framming sejarah yang memang sengaja dilekatkan kepada kita. Secara auditif maupun visual, karya ini berusaha menampilkan beberapa kerangka penting yang turut mewarnai haru biru pergerakan Indonesia, terutama kaitan antara kerja misionaris Katolik, setting manifestasi kebudayaan lokal, dan sejarah sosial Indonesia. Ganjuran, yang dijadikan sample, adalah wilayah kecil yang terletak di Selatan Jogjakarta. Menarik karena ternyata di tempat itu berdiri “Candi Hati Kudus Tuhan Yesus”, candi ‘Katholik’ pertama di Indonesia atau mungkin juga di Asia dan bahkan di Dunia yang dibangun di luar kepentingan Hindu dan Budha. Banyak orang mempercayai, dan fakta memang mengatakannya, pemrakarsa ide tersebut adalah dua bersaudara asal Belanda, yakni Josep dan Julius Schmutzer.

Transcript of Sinopsis Dan Tinjauan Dokumenter Gereja Hati Kudus Jesus Ganjuran Jogjakarta

Page 1: Sinopsis Dan Tinjauan Dokumenter Gereja Hati Kudus Jesus Ganjuran Jogjakarta

Sinopsis Film Dokumenter “Tanah Para Terjanji”

Sejarah kolonial secara literer banyak kita temui. Namun wacana itu terkadang sangat sulit kita pahami, pun kita tangkap, mengingat framming sejarah yang memang sengaja dilekatkan kepada kita. Secara auditif maupun visual, karya ini berusaha menampilkan beberapa kerangka penting yang turut mewarnai haru biru pergerakan Indonesia, terutama kaitan antara kerja misionaris Katolik, setting manifestasi kebudayaan lokal, dan sejarah sosial Indonesia.

Ganjuran, yang dijadikan sample, adalah wilayah kecil yang terletak di Selatan

Jogjakarta. Menarik karena ternyata di tempat itu berdiri “Candi Hati Kudus

Tuhan Yesus”, candi ‘Katholik’ pertama di Indonesia atau mungkin juga di Asia

dan bahkan di Dunia yang dibangun di luar kepentingan Hindu dan Budha. Banyak

orang mempercayai, dan fakta memang mengatakannya, pemrakarsa ide tersebut

adalah dua bersaudara asal Belanda, yakni Josep dan Julius Schmutzer.

Page 2: Sinopsis Dan Tinjauan Dokumenter Gereja Hati Kudus Jesus Ganjuran Jogjakarta

Julius Schmutzer adalah pengusaha perkebunan gula di Ganjuran. Ia berhasil

menaikkan produksi pabrik dengan memperbaiki manajemen pabrik, terutama

karena kedekatan personalnya dengan Sultan Hamengku Buwono VIII dan Paku

Alam, dan usahanya merangkul masyarakat sekitar melalui jalur kesenian dan

kebudayaan. Pembangunan infrastruktur sosial meliputi: irigasi, poliklinik,

gereja, dan 12 sekolah setingkat sekolah dasar. Bahkan dengan keuntungan yang

berlimpah, Julius bersama istrinya berhasil membangun Zieken Huis Onder de

Bogen, kini lebih dikenal sebagai Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.

Sementara itu, Josep, sang kakak, adalah seorang politisi, cendekia sekaligus

ilmuwan yang cukup berpengaruh pada jamannya. Ia anggota Volkstraad

pertama, 1918, yang diangkat langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda

van Limburg Stirum. Joseph merupakan pendiri Indische Katholik Partij (IKP),

yang kelak menjadi cikal bakal berdirinya Partai Katolik Indonesia. Josep juga

sempat menjadi dosen di Bogor, melakukan penelitian tentang tebu dan gula,

menjadi guru besar mineralogi di Utrecht, aktif membantu pengungsi korban

Nazi—bahkan sempat di hukum karenanya—dan terakhir, sebelum wafatnya,

sempat memangku jabatan Menteri Daerah Jajahan Pemerintahan Kerajaan

Belanda pada Kabinet Gerbrandy, walaupun dalam waktu yang singkat.

Dua bersaudara ini, di bantu oleh isteri-isteri mereka, hingga saat ini terus

menjadi ‘pahlawan Ganjuran’. Kenyataannya ‘Ganjuran’ telah memangkas wajah

kolonial menjadi begitu humanis. Kita dibuat lupa bahwa Ganjuran pun

dibesarkan oleh ornamen kebudayaan lokal yang dipermak, ditambal sulam dari

nuansa yang kadang bertentangan: berdirinya Mataram Islam (Ganjuran banyak

memanfaatkan mitos Watu Gilang Panembahan Senopati, sebuah pesanggrahan

tapa yang digunakan Senopati sebelum ia menjadi Raja Mataram); sejarah

pembuangan manusia karena dalih kekuasaan (Ganjuran berasal dari nama Ki dan

Nyi Jo Ganjur, orang buangan Keraton Jogja. Nama pasangan itu diabadikan

menjadi Gending Kolo Ganjur oleh Sultan Hamengku Buwono VII); sementara

pemilihan bentuk, motif, relief candi maupun arca-arca di Ganjuran sepenuhnya

diambil dari karakter-karakter peninggalan Hindu-Budha yang tersisa: Candi

Sewoe, Panataran, Singosari dan Plaosan. Hari ini pun banyak peziarah datang ke

Ganjuran untuk meminta berkah penyembuhan, pengobatan terutama berkait

dengan kepercayaan terhadap air suci Tirta Perwitasari, sebuah konsep yang jika

kita ingat agak mirip dengan Lakon Dewaruci, yakni ketika Bima menemukan air

Perwitasari.

Situs maupun ritus yang agak tak biasa itu—termasuk adanya perhentian ke-15

dalam panel Jalan Salib (dalam Gereja Katolik biasanya hanya ada 14

perhentian), upacara Malam Jumat Kliwon dan Sadranan Agung, membuat kita

bertanya-tanya tentang wajah Ganjuran sesungguhnya. Kini selain

Page 3: Sinopsis Dan Tinjauan Dokumenter Gereja Hati Kudus Jesus Ganjuran Jogjakarta

mengembangkan Panti Asuhan “Santa Maria”, rumah bagi kehamilan tidak

diinginkan, Ganjuran juga mengembangkan pertanian organik, sebuah konsep

ekologi yang humanistik dan mengedepankan penghormatan terhadap alam:

sebuah kerja yang mengedepankan ide progresif-dan agak revital.

Namun, sekali lagi, kenyataan ini membuat kita semakin bertanya-tanya: dalam

konteks sejarah sosial Indonesia, apakah Ganjuran adalah wajah keberhasilan

ataukah kekalahan kita sebagai bangsa yang mencita-citakan kemerdekaan?

Dengan term yang lebih positif dan optimis, tentu kita akan menyebut bahwa

Ganjuran adalah wajah inkulturatif yang ramah. Meski demikian kita juga masih

harus mencatat, bahwa beberapa kalangan menganggap inkulturasi adalah

sebuah kesimpulan yang terburu-buru. Jangan-jangan, sesunguhnya bukan

inkulturasi, melainkan sebuah adaptasi sistem besar ketika ia berusaha untuk

masuk dan dapat diterima sebagai wacana yang tak asing oleh masyarakat

sekitar. Dan jangan-jangan pula, perjuangan kelas memang tak pernah dikenal

dalam kebudayaan lokal priyayi kita, atau jangan-jangan Ganjuran—dan bahkan

Nusantara—merupakan tanah terjanji yang akan selalu diperebutkan para

pendatang? Inikah waktu bagi kita untuk bicara kebetulan dalam jaman? Dan

jangan-jangan Ganjuran adalah…

Film ini dibuat dengan teknik yang begitu sederhana. Selain dana yang teramat minim, pengerjaan film ini ditangani oleh orang-orang yang tidak memiliki basis pendidikan formal di bidang film dan bahkan sejarah. Dengan bermodalkan intuisi, film ini digarap dengan pertanyaan-pertanyaan yang begitu liar yang keluar dari eksplorasi baik yang bersifat individu maupun kelompok. Banyak orang memuji, terutama karena dandang gulo penutupnya, berhasil mengetengahkan kontradiksi paradigma antara agama lokal dan agama impor. Walau banyak juga orang yang mencela, justru karena film ini memberikan refleksi kritis akan sejarah agama dalam menciptakan sintesa kebudayaan adaptatif.

Jogjakarta, 2005

Komunitas Tusing Kandha Peripheral Documentary

Page 4: Sinopsis Dan Tinjauan Dokumenter Gereja Hati Kudus Jesus Ganjuran Jogjakarta

MENCARI LUPA YANG TERCECER

Peter Johan

(Komunitas Tusing kandha)

Arus balik mulai nampak. Orang mulai menyadari, bahwa sejarah bukanlah

sekedar titian menuju pengetahuan. Mengetahui adalah menyadari, sebuah

proses bijak dari keinginan untuk menemukan Sang Kemanusiaan Yang Hakiki.

Atau boleh saya katakan: menghancurkan ke-Diri-an hari ini untuk berjumpa

dengan ke-Diri-an yang baru. Untuk itu dibutuhkan kebesaran hati.

Ini jelas bukan pekerjaan mudah. Betapa tidak, operasi sosial kapitalisme telah

sampai pada tingkat metamorfosa terbaiknya: globalisasi dan kerendahan hati

teknologi. Pertemuan sehari-hari dengan metamorfosa itu melemahkan cara

pandang kita akan dunia dan segala permasalahannya. Akhirnya, kita hanya akan

berkata tentang kewajaran, kemanusiawian, dan hal-hal pelarian lain yang

membawa seluruh kesadaran kita pada penyerahan diri atasnya.

Orang menjadi lupa, bahwa sejarah adalah bagian dari dirinya. Apapun

bentuknya. Baik mitos, literasi, atau ‘yang sayup-sayup terdengar’, tidak

seharusnya kita lekatkan kidung kebenaran mutlak pada salah satunya.

Obyektifitas telah jatuh dari singgasananya, dan kepercayaan mulai berserak

hingga ke sudut-sudut tergelap. Bahwa kepercayaan inilah yang beranasir dengan

sejarah, dengan pengetahuan, dengan kesadaran. Tak ada metode untuk itu,

kecuali kembali lagi pada kebesaran hati. Atau mengutip kata Isa: berbahagialah

orang yang tidak melihat namun percaya.

Ini bukan pesimisme yang lahir dari teriakan-teriakan tak tentu arah. Ada jalan

menuju itu, mencapai sebuah kebulatan tekad akan kemanusiaan yang lebih

proporsif. Ini bisa dilalui dengan jalan memutar, melewati dakian gunung dan

haluan-haluan lain yang begitu memberatkan. Retrorefleksi, atau situasi

membengkong ke arah belakang, mungkin itu kata yang bisa diajukan. Mencari

ceceran-ceceran yang telah dilemparkan dari jalur produksi gagasan dominan,

mempelajari segala kesalahan kultural, dan yang terpenting, mempercayai

perjalanan memutar itu, segelap apapun dan seberat apapun. Di titik inilah

optimisme akan terungkap, termanifestasikan pada simpul-simpul perjumpaan

ruang-waktu yang begitu membuncahkan hati.

Kalau kemudian optimisme bisa digarisbawahi, kita bisa mengatakan: teranglah

mata hati. Segalanya tercerahkan, dan rumusan-rumusan kebudayaan akan

menemukan segenggam keniscayaannya, bahwa hari esok adalah kiamat tanpa

kematian.

Page 5: Sinopsis Dan Tinjauan Dokumenter Gereja Hati Kudus Jesus Ganjuran Jogjakarta

MENENGOK GANJURAN DARI BERBAGAI PERSPEKTIF

Silverio RL Aji Sampurno

(Kepala indonesiana, Pusat Studi Sejarah Indonesia, Universitas Sanata Dharma)

Setelah melihat film dokumenter “Tanah Para Terjanji” ini, saya yang pernah

belajar sejarah, antropologi yang berkonsentrasi pada ekologi, dan kemudian

menjadi peneliti lingkungan serta beragama Katolik, menjadi terperanggah.

Bagaimana tidak? Saya seperti disadarkan kembali untuk melihat sesuatu secara

komprehensif, sehingga kita dapat menentukan hitam putihnya sesuatu.

Film ini telah mengajarkan semuanya. Ia melihat fenomena yang terjadi di

Ganjuran secara komprehensif, mulai dari masa kolonial hingga sekarang ini (saat

film ini dibuat). Saya menjadi semakin paham mengapa buruh di Pabrik Gula

Gondang Lipoero tidak melakukan pemogokan seperti yang dilakukan teman-

temannya di pabrik gula yang lainnya pada periode 1920-an.

Untuk itu, saya sarankan kepada anda yang berminat pada bidang Sejarah

Gereja, Antropologi, Arkeologi, Ekologi, Teologi dan pemerhati masalah sosial

ekonomi untuk mengapresiasi film ini. Karena dengan menonton film ini kita bisa

belajar banyak tentang segala hal.

Jika mau ditelisik satu persatu, para antropolog misalnya, dengan menonton film

ini, dapat melihat terjadinya enkulturasi yang terjadi di Gereja Ganjutan yang

merupakan salah satui bentuk dari imbas Revolusi Perancis (liberte, egalite, dan

fraternite).

Bagi para arkeolog yang selama ini melihat bahwa bangun candi hanya bagi

mereka yang memeluk agama Hindu atau Buddha, kini melihat bentuk

sinktetisme antara budaya Jawa, Hindu, dan Katolik. Bagi para ekolog, film ini

telah menuntun untuk melihat keterpaduan alam yang terjadi di Ganjuran. Bagi

para Teolog Katolik, paling tidak film ini telah memperlihatkan bentuk

pemberontakan umat Katolik kepada Gereja yang akhirnya disetujui oleh Gereja

lewat Konsili Vatikan II. Bagi pemerhati masalah sosial, film ini telah

mengajarkan tentang bagaimana seharusnya pengelolaan sosial seharusnya

dilakukan, sehingga tidak perlu terjadi pemogokan atau pun pemberontakan.

Akhirnya, kepada tim Tusing Kandha, Selamat!

Page 6: Sinopsis Dan Tinjauan Dokumenter Gereja Hati Kudus Jesus Ganjuran Jogjakarta

SEKEDAR UJAR-UJAR UNTUK VIDEO DOKUMENTER

“TANAH PARA TERJANJI”

Agung Budyawan

(Kelompok belajar “Citralekha”)

Inkulturasi merupakan warna yang kental dalam dinamika sejarah Gereja di

Indonesia, tanpa terkecuali di Tanah Jawa. Dengan semangat inkulturasi

tersebut, katolisitas yang hadir bersama rombongan kolonial Belanda mampu

berdiri bersanding dengan tradisi masyarakat yang telah ada. Paling tidak

inkulturasi gereja menunjukkan ada warna lain yang dapat dimunculkan dari

kecenderungan-kecenderungan kolonial. Berbagai bentuk inkulturasi dapat

dicontohkan, misalnya mulai dari penggunaan bahasa daerah dalam tata-

peribadatan Gereja sampai pada bangunan fisik gerejanya yang disesuaikan

dengan corak arsitektektur lokal. Hal-hal tersebut disadari sebagai bentuk

pengungkapan iman yang lebih membumi sesuai dengan kultur masyarakatnya.

Pada awal kegiatan misi di Jawa, kebutuhan untuk mengungkapakan iman melalui

tradisi lokal tersebut tidak selamanya berjalan dengan peran hierarki sebagai

lembaga yang ‘paling bertanggungjawab’ atas misi Gereja semata. “Tanah Para

Terjanji” menunujukkan kenyataan bahwa keterlibatan awam dalam misi Katolik

yang inkulturatif di Ganjuran, sangat besar. Schmutzer bersaudara, pengusaha

Pabrik Gula Gondang Lipoera merupakan aktor penting yang membantu

pengungkapan iman Katolik pribumi. Di sini, terlihat hubungan erat antara

tindakan para pengusaha dan kebijakan Gereja. Bisa dipastikan, berbagai langkah

inkulturatif di Ganjuran tidak akan terlaksana jika tidak ada dukungan

pengusaha Belanda yang mau ‘sedikit berbagi’ keuntungan. Sebuah keuntungan

besar yang direnggutnya dari industri gula, yang pola kerjanya dibangun berdasar

inspirasi ensiklik rerum novarum dari Paus Leo XIII.

Bentuk paling nyata dari inkulturasi di Ganjuran adalah dibangunnya Candi Hati

Kudus Yesus yang terkesan sinkretik antara tradisi Jawa dan Hindu-Syiwa dengan

kekuatan simbol Katolik; dimana arca Shri Yesus Kristus Pangeraning Para Bangsa

mengenakan mahkota sebagai pusatnya. Kehadiran candi ini menjadi menarik

karena di sisi selatan Yogyakarta hampir tidak ditemukan candi Hindu maupun

Buddha. Kiranya, pemilihan membangun candi oleh Schmutzer dan tokoh-tokoh

Katolik awal (seperti Yusuf Purwodiwiryo) bukan tanpa alasan. Kehendak untuk

mengakomodir religi kaum tani dalam masyarakat agraris mungkin menjadi alasan

yang kuat. Begitu juga dengan simbol-simbol yang ditampilkan sebagai ornamen-

ornamen di dalam dan seputar Gereja (panel jalan salib, arca maria, malaikat).

Kenyataan itu dapat disebut bahwa titik dimana inkulturasi terjadi merupakan

‘kelanjutan’ gerak historis dari proses yang telah terjadi dan tidak mendapat

Page 7: Sinopsis Dan Tinjauan Dokumenter Gereja Hati Kudus Jesus Ganjuran Jogjakarta

tempat. Simbol-simbol yang ada, tidak sekedar mewakili keimanan Kristen

belaka, tetapi juga warisan semangat para leluhur yang tetap dihormati dalam

tradisi agraris di Jawa. Bukan tak mungkin, para tokoh Katolik pribumi di masa

itu membaca celah untuk mengupayakan terwakilinya ekspresi religi agraris

melalui Gereja Katolik.

Inkulturasi di Ganjuran ternyata tidak sebatas pada simbolisasi fisik dan ritual

belaka tetapi juga pada keterlibatan Gereja dalam dinamika sosial ekonomi dan

politik masyarakat. Untuk menjawab kebutuhan misi, gereja dituntut untuk

terlibat dalam situasi real yang terjadi. Pada proses ini, Kekatolikan mendapat

tempat di hati umatnya; mengingat mencari suwarga pun tak dapat meninggalkan

sega. Peningkatan kesejahteraan bagi buruh Pabrik Gula Gondang Lipoera pada

masa Schmutzer hingga Pengorganisiran Tani Lestari oleh Rm. G. Utomo Pr.

merupakan gambaran yang jelas untuk itu.

Makin hari semakin tidak kontekstual jika inkulturasi hanya semata pada

ritualisme belaka (lebih celaka lagi jika disadari katolikisasi). Inkulturasi adalah

upaya bagi lembaga keimanan untuk semakin kontekstual dengan laju zaman dan

akar kulturalnya. Begitu pula kepekaan dalam menanggapi tantangan

keterlibatan Gereja dalam proses sosial kemasyarakatan. Lebih penting dari itu,

langkah kontekstual itu membutuhkan keberpihakan. Pada situasi di Ganjuran,

berpihak pada petani dengan pengembangan pertanian organik merupakan

pilihan awal untuk perubahan, (semoga) bukan membuat ritual-ritual baru dalam

tradisi agraris. Setelah itu, masih banyak langkah yang harus ditempuh di wilayah

lain yang lebih menunjukan karakter yang tegas bahkan di tingkat teologisnya

sendiri.

Keterlibatan dalam proses sosial Gereja sejak zaman para misionaris di awal abad

lalu dengan berbagai dinamikanya merupakan catatan yang penting dalam

historiografi Indonesia. Kiranya, ini merupakan sumbangsih dalam penulisan

sejarah sosial di Indonesia, meski upaya itu belum sepenuhnya tergambar dalam

“Tanah Para Terjanji”.

Film Dokumenter merupakan salah satu upaya kreatif untuk mengungkapkan

realitas. Sebagai kerja kreatif, tentu saja ada kekurangannya. Misalnya,

bagaimana membungkus kompleksitas historis dari sejarah alternatif agar dapat

tampil ke muka dan muncul sebagai fusi horizon baru. Kita masih bertanya apa

yang terjadi dengan Gereja Ganjuran pasca nasionalisasi 1950-an, bahkan saat

peristiwa `65: demikan tentramkah Ganjuran? Kendati demikian, terimakasih

kepada kepada kawan-kawan “Tusing Kandha Peripheral Documentery” untuk

kerja kretifnya yang keras dan cerdas untuk mengungkap realita sejarah dari

Ganjuran yang dapat membantu merekonstruksi peristiwa masa lalu dan

mengintepretasikannya secara lebih baru. Proficiat kepada kerja keras itu.