SINKRONISASI SIKLUS BISNIS DIANTARA NEGARA-NEGARA … · mahasiswa Program Ilmu Ekonomi pada...
Transcript of SINKRONISASI SIKLUS BISNIS DIANTARA NEGARA-NEGARA … · mahasiswa Program Ilmu Ekonomi pada...
SINKRONISASI SIKLUS BISNIS
DIANTARA NEGARA-NEGARA ASEAN+3
OLEH
TIA RAHMINA
H14052380
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
RINGKASAN
TIA RAHMINA. Sinkronisasi Siklus Bisnis di Antara Negara-Negara ASEAN+3
(dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI)
Krisis keuangan global 2007 ini semakin menyadarkan negara-negara
ASEAN mengenai pentingnya penguatan kerjasama keuangan dan moneter di
kawasan Asia. Penguatan tersebut diantaranya dengan mem-peg mata uang
regional mereka di bawah monetary union namun tetap mem-float-nya dengan
mata uang dunia. Kesesuaian bergabung ke dalam currency union salah satunya
bergantung pada tingkat korelasi siklus bisnis dengan negara anggota lainnya.
Semakin mirip siklus bisnis negara-negara tersebut maka akan semakin
memungkinkan untuk membentuk rezim nilai tukar bersama.
Pada penelitian ini akan dibahas korelasi siklus bisnis yang terjadi
antara negara-negara ASEAN+3 terhadap dua negara benchmark yaitu Singapura
dan Jepang serta Amerika sebagai kontrol. Pembahasan akan dibagi menjadi dua
pendekatan, pendekatan pertama yakni membahas sinkronisasi siklus bisnis
menggunakan metode korelasi sedangkan bagian kedua akan membahasnya
menggunakan analisis IRF dan DFEV menggunakan VAR. Bahasan mencakup,
pertama akan dibahas contemporaneous correlation siklus bisnis diantara negara
ASEAN+3 terhadap Singapura, Jepang dan Amerika. Bagian kedua membahas
pergerakan lead/lag antara dua siklus bisnis. Bagian ketiga membahas
sinkronisasi siklus bisnis antara dua siklus yakni siklus bisnis negara ASEAN+3
terhadap Singapura, Jepang dan Amerika. Bagian empat membahas respon siklus
bisnis ASEAN+3 terhadap guncangan siklus bisnis Singapura, Jepang, Amerika
dan Indonesia, serta respon Indonesia atas guncangan ASEAN+3. Terakhir, pada
bagian lima membahas kontribusi siklus bisnis diantara negara-negara ASEAN+3
dalam menjelaskan fluktuasi siklus bisnis di ASEAN+3.
Penelitian ini menggunakan data sekunder time series periode Januari
1993 sampai September 2008 melalui proksi variabel IPX negara-negara
ASEAN+3 (Singapura, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Jepang dan Korea
Selatan) serta Amerika. Proses detrending dilakukan menggunakan Hodrick-
Prescott Filter. Komponen siklikalnya dianalisis menggunakan metode
correlation, cross correlation dan vector autoregression (VAR) yang
dikombinasikan dengan error correction model (ECM).
Berdasarkan analisis korelasi siklus bisnis, hasil yang didapat yaitu
sebagian besar negara ASEAN+3 memiliki siklus bisnis yang dekat dengan
Singapura, namun belum tentu dekat dengan Jepang. Disamping itu, ASEAN+3
memiliki tingkat pergerakan siklus bisnis yang lebih sama dengan Singapura
dibanding dengan Jepang, sehingga dapat dikatakan bahwa sinkronisasi siklus
bisnis ASEAN+3 ini cenderung lebih sinkron dengan Singapura dibandingkan
dengan Jepang.
Berdasarkan analisis IRF hasil yang didapat yaitu negara-negara
ASEAN+3 lebih cenderung merespon guncangan yang berasal dari Singapura
dibandingkan Jepang walaupun masih terjadi guncangan yang bersifat asimetris
atas guncangan siklus bisnis Singapura sehingga dapat dikatakan bahwa
Singapura lebih memiliki kesinkronan dengan ASEAN dibandingkan Jepang-
ASEAN.
Berdasarkan analisis DFEV dapat dikatakan bahwa pada periode pra-
krisis, Korea, Singapura dan Malaysia memenuhi kandidat OCA sedangkan pada
pasca-krisis negara yang memenuhi kandidat OCA adalah Indonesia, Thailand
dan Jepang.
SINKRONISASI SIKLUS BISNIS
DIANTARA NEGARA-NEGARA ASEAN+3
OLEH
TIA RAHMINA
H14052380
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Ekonomi
Pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa : Tia Rahmina
Nomor Registrasi Pokok : H14052380
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Sinkronisasi Siklus Bisnis di antara
Negara-Negara ASEAN+3
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Noer Azam Achsani
NIP. 19681229 199203 1 016
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Rina Oktaviani
NIP. 19641023 198903 2 002
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
Tia Rahmina
H14052380
RIWAYAT HIDUP
Penulis yang bernama Tia Rahmina lahir pada tanggal 14 Februari 1986
di Tangerang. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Jenjang
pendidikan penulis dimulai dari TK Al-Kamal di Blitar pada tahun 1992.
Kemudian pada tahun 1993, penulis melanjutkan ke Sekolah Dasar Al-Awwabin
di Depok. Memasuki kelas dua SD, penulis pindah ke SD Pertiwi di Kota Medan
kemudian enam bulan kemudian pindah kembali ke SDN 97 di Kota Palembang.
Penulis kembali ke kampung halamannya di Kota Bogor ketika naik ke kelas
enam dan bersekolah di SDN Bantarjati V. Selepas dari SD, penulis melanjutkan
ke SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis
berhasil diterima di SMAN 1 Bogor dan lulus pada tahun 2005.
Tahun 2005, penulis melanjutkan studinya di Institut pertanian Bogor
(IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai
mahasiswa Program Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan
dan organisasi kemahasiswaan. Diantaranya penulis pernah menjadi angota BEM
KM IPB periode 2005/2006, Bendahara Hipotesa periode 2006/2007 dan berbagai
jabatan di kepanitiaan yang diadakan oleh BEM KM, BEM FEM maupun
HIPOTESA.
Penulis juga mulai aktif menjadi asisten dosen untuk kegiatan responsi
yang pada semester lima yang diawali dengan mengajar Ekonomi Umum sampai
akhirnya dipercaya mengajar Makroekonomi 1 serta Mikroekonomi 1 baik
program reguler maupun program ekstensi.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirobbilalamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga skripsi ini
dapat penulis selesaikan. Tidak lupa salawat serta salam selalu tercurah pada Nabi
Besar Muhammad SAW sebagai pembawa kebenaran kepada para umatnya.
Skripsi yang penulis susun ini berjudul “Sinkronisasi Siklus Bisnis di
Antara Negara-Negara ASEAN+3”. Penulis tertarik mengambil tema tersebut
mengingat semakin terbuka dan bebasnya perekonomian dunia sehingga
diperlukan integrasi ekonomi di suatu kawasan khususnya kawasan Asia yang
diwakili oleh ASEAN+3. Tujuannya yaitu agar negara-negara tersebut lebih
terlindungi dari fluktuasi ekonomi dunia. Sebelum sampai pada integrasi tersebut,
maka serangkaian penelitian harus dilakukan dalam rangka mengetahui tingkat
kesiapan negara-negara ASEAN+3. Tingkat kesiapan ini salah satunya diukur
melalui pola dan karakteristik siklus bisnis diantara negara-negara tersebut.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sangat dalam kepada Bapak
Noer Azam Achsani yang telah dengan ikhlas meluangkan waktunya dan sabar
dalam memberikan bimbingan baik berupa ilmu teoritis ekonomi, teknis olah data
maupun nasihat mengenai kehidupan yang penulis rasa tidak akan didapat
ditempat lain. Nasihat-nasihat tersebut sangat berguna dalam memotivasi dan
memberikan spirit bagi penulis untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik
selepas lulus dari bangku perkuliahan. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada segenap pihak yang telah memberikan kontribusi dalam
penelitian ini, diantaranya:
1. Bapak Syamsul Hidayat Pasaribu selaku dosen penguji utama skripsi yang
telah memberi kritik serta saran membangun demi kesempurnaan karya ini.
2. Kaka Tony Irawan selaku komisi pendidikan yang telah memberi saran
mengenai tata cara penulisan yang baik demi penyempurnaan skripsi ini.
3. Bapak Drajat Martianto yang telah menjadi inspirasi bagi penulis untuk selalu
amanah dan ikhlas dalam melakukan segala aktivitas sejak penulis berada
pada Tingkat Persiapan Bersama hingga saat penulis siap lulus dari kampus
tercinta ini.
4. Tim “Intercafe” (Kak Ade, Teh Heni dan Kak Kiki) serta Teh Dian yang
dengan sabar bersedia menjawab berbagai pertanyaan penulis.
5. Teman-teman satu bimbingan penulis: Putri, Amalia dan Suryarisman yang
senantiasa berbagi ilmu, canda-tawa, tangis, serta motivasi sampai skripsi ini
dapat terselesaikan.
6. Teman-teman Departemen Ilmu Ekonomi Angkatan 42 (Sri, Merlinda, Riri,
Dewinta, Rininta, Eti, Maryam, Tanjung, Suci, Nursechafia, Aditya Putri,
Elby, M. Ikbal, Hendra, Adi, Rajiv, Dhamar, Riza, Aji dan lainnya) yang
saling memberi semangat, tim sukses seminar dan menemani saat-saat sidang.
7. Segenap Tata Usaha Departemen Ilmu Ekonomi yang dengan sabar
membantu segala proses administrasi berkaitan dengan pengerjaan skripsi ini.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
banyak membantu kelancaran skripsi ini.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
keluarga penulis terutama kedua orang tua yang selalu mendukung dan
mendoakan keberhasilan putrinya. Kepada adik satu-satunya, Muhamad Sareza
yang telah memberi motivasi serta teknisi komputer, serta a Dani yang selalu
memberikan perhatian dan dukungan dalam bentuk apapun.
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih terdapat banyak
kelemahan, oleh karena itu saran dan kritik yang semata-mata untuk memperbaiki
berbagai kelemahan yang ada sangat penulis harapkan. Semoga penelitian ini
bermanfaat dan serta dapat menambah khazanah pengetahuan para pembacanya.
Bogor, Agustus 2009
Tia Rahmina
H14052380
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xv
DAFTAR ISTILAH ...................................................................................... xvi
I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................ 4
1.4. Manfaat Penelitian ...................................................................... 4
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 7
2.1. Optimum Currency Area .............................................................. 7
2.1.1. Kriteria Mundell ................................................................. 7
2.1.2. Kriteria McKinnon ............................................................. 7
2.1.3. Kriteria Kenen .................................................................... 8
2.1.4. Kriteria Transfer Fiskal ...................................................... 8
2.1.5. Kriteria Homogeneity of Preferences ................................. 9
2.1.6. Kriteria Solidaritas ............................................................. 9
2.2. Siklus Bisnis ................................................................................ 9
2.3. Perkembangan Teori Siklus Bisnis ............................................. 10
2.3.1. Teori Real Business Cycle .................................................. 10
2.3.2. Teori New Keynesian Economics ....................................... 11
2.3.3. Teori Monetary Business Cycle .......................................... 11
2.4. Sinkronisasi Siklus Bisnis ............................................................ 12
2.5. Penelitian Terdahulu ..................................................................... 13
2.6. Kerangka Pemikiran ..................................................................... 16
III. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 18
3.1. Jenis dan Sumber Data ................................................................. 18
3.2. Metode Analisis Data ................................................................... 18
3.2.1 Hodrick-Prescott (HP) Filter ............................................. 18
3.2.2 Contemporaneous Correlation........................................... 19
3.2.3 Cross Correlation .............................................................. 20
3.2.4 Vector Autoregression ........................................................ 21
3.2.5 Vector Error Correction Model ......................................... 22
3.2.6 Uji Stasioneritas ................................................................. 22
3.2.7 Pengujian Lag Optimal ...................................................... 24
3.2.8 Uji Stabilitas VAR ............................................................. 25
3.2.9 Uji Kointegrasi ................................................................. 25
3.2.10 Uji Granger Causality ....................................................... 26
3.2.11 Ordering for Cholesky ....................................................... 27
3.2.12 Impulse Response Function................................................ 27
3.2.13 Decomposition of Forecasting Error Variance ................. 28
IV. PEMBAHASAN ................................................................................. 30
4.1. Gambaran Umum Penelitian ........................................................ 30
4.2. Sinkronisasi Siklus Bisnis Pendekatan Korelasi .......................... 30
4.2.1. Sinkronisasi ................................................................. 31
4.2.2. Hubungan Lead/Lag ........................................................... 34
4.2.3. Korelasi Maksimum Siklus Bisnis ASEAN+3 .................. 35
4.3. Sinkronisasi Siklus Bisnis Pendekatan VAR................................ 38
4.3.1. Uji Stasioneritas Data ......................................................... 39
4.3.2. Pengujian Lag Optimal ...................................................... 39
4.3.3. Pengujian Stabilitas VAR .................................................. 40
4.3.4. Pengujian Kointegrasi ........................................................ 41
4.3.5. Pengujian Granger Causality ............................................. 41
4.3.6. Simulasi Impulse Response Function................................. 42
4.3.7. Simulasi Decomposition of Forecasting Error Variance .. 55
V. PENUTUP ........................................................................................... 60
5.1. Kesimpulan ................................................................................... 60
5.2. Saran .............................................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 63
LAMPIRAN .................................................................................................... 66
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
4.2.1. Contemporaneous Correlation............................................................... 31
4.2.2. Cross Correlation .................................................................................. 34
4.2.3. Peranan Siklus Bisnis di Masing-Masing Negara ASEAN+3 ............... 58
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.6.1. Kerangka Pemikiran .............................................................................. 16
4.2.1. Contemporaneous Correlation.............................................................. 33
4.2.2. Maximum Correlation ........................................................................... 36
4.3.1. Guncangan Singapura Pra-Krisis ......................................................... 44
4.3.2. Guncangan Jepang Pra-Krisis .............................................................. 46
4.3.3. Respon ASEAN+3 Atas Guncangan Amerika Pra-Krisis ................... 47
4.3.4. Respon Amerika Atas Guncangan ASEAN+3 Pra-Krisis ................... 47
4.3.5. Guncangan Indonesia Pra-Krisis .......................................................... 48
4.3.6. Guncangan Singapura Pasca-Krisis ..................................................... 53
4.3.7. Guncangan Jepang Pasca-Krisis .......................................................... 53
4.3.8. Respon ASEAN+3 Atas Guncangan Amerika Pasca-Krisis ................ 53
4.3.9. Respon Amerika Atas Guncangan ASEAN+3 Pasca-Krisis ................ 48
4.3.10. Guncangan Singapura Pasca-Krisis ..................................................... 54
4.3.11. DFEV Siklus Bisnis ASEAN+3 Periode Pra-Krisis ............................ 56
4.3.12. DFEV Siklus Bisnis ASEAN+3 Periode Pasca-Krisis ........................ 57
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
Lampiran 1. Contemporaneous Correlation .................................................. 67
Lampiran 2. Cross Correlation ...................................................................... 67
PRA-KRISIS ................................................................................................... 81
Lampiran 3. Uji Akar Unit ............................................................................. 82
Lampiran 4. Uji Lag Optimal ......................................................................... 84
Lampiran 5. Uji Stabilitas VAR ..................................................................... 84
Lampiran 6. Uji Kointegrasi .......................................................................... 84
Lampiran 7. Uji Granger Causality ............................................................... 84
PASCA-KRISIS ............................................................................................. 86
Lampiran 3. Uji Akar Unit ............................................................................. 85
Lampiran 4. Uji Lag Optimal ......................................................................... 88
Lampiran 5. Uji Stabilitas VAR ..................................................................... 88
Lampiran 6. Uji Kointegrasi .......................................................................... 88
Lampiran 7. Uji Granger Causality ............................................................... 88
DAFTAR ISTILAH
No Istilah Keterangan
1. Contagion effect = Efek tular akibat fluktuasi ekonomi,
2. Monetary union = Suatu kerjasama moneter di suatu kawasan,
3.
Float
=
Mengambang bebas,
4. Co-movement = Pergerakan bersama,
5. Optimum Currency
Area
= Suatu kawasan yang mampu membentuk mata
uang tunggal,
6. Benchmark = Acuan,
7. Peg = Acuan,
8. Contemporaneous
correlation
= Korelasi dalam satu waktu yang sama,
9. Cross correlation = Korelasi silang,
10. Maximum
correlation
= Korelasi dengan nilai maksimum dalam waktu
yang berbeda,
11. Symmetric = Respon yang sejalan/searah,
12. Asymmetric = Respon yang tidak sejalan/searah,
13. Shock = Guncangan,
14. Union-wide
policies
= Kebijakan bersama di antara negara anggota dalam
satu kawasan currency union
15. Currency union = Penyatuan mata uang menjadi mata uang tunggal,
16. Business cycle = Rentang waktu satu siklus (boom dan depression),
17. Hodrick-Prescott
Filter.
= Suatu metode untuk memisahkan komponen trend
dan siklikal,
18. Leading = Variabel yang bergerak mendahului variabel
referensinya,
19. Lagging = Variabel yang bergerak setelah variabel
referensinya,
20.
Impulse Response
Function
=
Respon dinamika setiap variabel apabila terdapat
inovasi (shock) tertentu sebesar satu standar
deviasi pada satu variabel tertentu,
21.
Forecast Error
Variance
Decomposition
=
Kontribusi atau inovasi variabel tertentu dalam
menjelaskan variabilitas variabel lainnya.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Krisis ekonomi Asia tahun 1997 yang diawali oleh kejatuhan mata uang
Bath langsung memberikan contagion effect sehingga menyebabkan
ketidakstabilan ekonomi dan keuangan di negara Asia lainnya. Sepuluh tahun
kemudian, pada pertengahan tahun 2007 krisis perumahan terjadi di Amerika yang
dengan cepat berubah menjadi krisis keuangan, jatuhnya harga properti dan
berbagai komoditas yang membawa perekonomian dunia menuju kondisi
depresiasi seperti tahun 1930-an.
Kedua krisis ini semakin menyadarkan negara-negara di kawasan Asia
terutama ASEAN mengenai pentingnya kerjasama penguatan keuangan dan
moneter di kawasan Asia dengan harapan dapat mengurangi dampak negatif dan
menanggulangi krisis serupa di kemudian hari. Disamping itu, kerjasama ini
harapannya dapat menjaga kelangsungan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat
mengurangi angka kemiskinan di kawasan Asia. Menurut Fischer dalam Mittal
(2004) krisis-krisis tersebut dapat diatasi dengan cara negara-negara di Asia mem-
peg mata uang mereka di bawah monetary union (MU) namun tetap mem-float
mata uang bersama tersebut dengan mata uang dunia.
Berlandaskan pada alasan krisis ekonomi dan kisah sukses Uni Eropa,
maka pada 7 Oktober 2003 ditandatangilah Bali Concorde II yang menyepakati
terbentuknya ASEAN Community pada tahun 2020 (Achsani, 2008).
Perekonomian Asia juga tidak terlepas dari peran negara-negara besar Asia Timur
yakni Jepang, China, dan Korea. Oleh karena itu ditetapkanlah langkah maju
untuk memperkuat integrasi perdagangan, keuangan dan moneter antar negara di
ASEAN, Korea Selatan, Jepang, dan China (ASEAN+3) yang harapannya akan
tercipta mata uang tunggal ASEAN+3 seperti halnya Euro (Partisiwi, 2008).
Bergabung dalam CU memberi manfaat dan cost bagi negara
anggotanya. Manfaat mensubstitusi mata uang beberapa negara ke dalam suatu
mata uang tunggal yaitu dapat menjaga kestabilan nilai tukar sehingga
mengurangi biaya transaksi, peningkatan perdagangan dan investasi antar negara
dalam suatu grup tersebut (Rose dan Gilck, 2002). Cost yang harus diterima suatu
negara dengan bergabung dalam economic and monetary union (EMU) yaitu
kebijakan moneter yang diambil secara independen dapat berlawanan dengan
siklus bisnis sehingga negara dengan siklus bisnis yang khas akan melepaskan alat
kestabilan potensialnya jika bergabung dalam CU (Rose dan Frankel, 1998).
Selain itu hilangnya kemampuan kebijakan moneter yang independen (Mundell
(1961) dalam Thiam Hee NG (2002).
Menurut Rose dan Frankel (1998), kesesuaian bergabung ke dalam
currency union (CU) salah satunya bergantung pada tingkat korelasi siklus bisnis
dengan negara anggota lainnya. Korelasi siklus bisnis antar negara yang semakin
simetris lebih memungkinkan suatu negara menjadi anggota optimum currency
area (OCA) karena meningkatnya output co-movement akan mengurangi biaya
pembentukan OCA. Siklus bisnis yang bervariasi antar negara yang bergabung
dalam CU akan membuat rezim nilai tukar nominal antar negara tersebut tidak
akan berhasil (Artis dan Zhang, 1995).
Berdasarkan alasan tersebut, maka sebelum bergabung dalam CU
diperlukan kajian mengenai sifat siklus bisnis di kawasan ASEAN+3. Hal ini
dilakukan mengingat ASEAN+3 terdiri dari negara-negara yang memiliki struktur
ekonomi beraneka ragam. Kawasan ini terdiri atas negara maju., berkembang
sampai dengan negara yang masih menuju berkembang sehingga harapannya
pembentukan ASEAN+3 community ini akan memberikan lebih banyak manfaat
kepada anggota negara ASEAN+3 dibandingkan kerugiannya.
1.2. Perumusan Masalah
Kesesuaian bergabung ke dalam CU salah satunya bergantung pada
tingkat korelasi siklus bisnis dengan negara anggota lainnya. Korelasi siklus bisnis
antar negara yang semakin simetris lebih menunjukkan semakin
memungkinkannya suatu negara menjadi anggota OCA (Rose dan Frankel, 1998).
Meningkatnya output co-movement akan mengurangi biaya pembentukan OCA.
Berdasarkan alasan tersebut, maka sebelum bergabung dalam CU
diperlukan kajian mengenai sifat siklus bisnis di kawasan ASEAN+3. Pada
penelitian ini, kesinkronan siklus bisnis akan dilihat dalam dua periode waktu
yaitu pada periode pra-krisis ekonomi 1997 dan pasca-krisis. Menurut hasil
penelitian Partisiwi (2008), negara di ASEAN+3 yang sesuai untuk menjadi mata
uang negara peg adalah Singapura (asumsi ASEAN sebagai leader) dan Jepang
(asumsi non-ASEAN sebagai leader). Berdasarkan hal tersebut, maka dalam
penelitian ini penulis menganalisis sifat siklus bisnis negara-negara di kawasan
ASEAN+3 dengan negara benchmark yaitu Singapura dan Jepang serta Amerika
sebagai negara kontrol.
1.3. Tujuan Penelitian
Dengan mengetahui sifat siklus bisnis ini maka nantinya dapat
diketahui tingkat kesesuaian pembentukan CU di kawasan itu sehingga
diharapkan negara-negara tersebut dapat segera mempersiapkan diri. Secara
spesifik tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis contemporaneous correlation siklus bisnis diantara negara-
negara ASEAN+3 terhadap Singapura, Jepang dan Amerika.
2. Menganalisis pergerakan siklus biklus bisnis negara-negara ASEAN+3
terhadap negara Singapura, Jepang dan Amerika.
3. Menganalisis sinkronisasi siklus bisnis negara-negara ASEAN+3 terhadap
Singapura, Jepang dan Amerika.
4. Menganalisis respon siklus bisnis negara-negara ASEAN+3 terhadap
guncangan siklus bisnis Singapura, Jepang, Amerika dan Indonesia serta
respon siklus bisnis Indonesia terhadap guncangan perekonomian ASEAN+3
dan Amerika.
5. Menganalisis kontribusi siklus bisnis Singapura, Jepang dan Amerika dalam
menjelaskan variabilitas siklus bisnis negara-negara ASEAN+3.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun beberapa manfaat dari penelitian ini yang dapat diambil yaitu:
1. Memperluas wawasan mengenai kararteristik dan pola siklus bisnis negara-
negara ASEAN+3 terhadap Singapura, Jepang dan Amerika.
2. Mengetahui seberapa mungkin dan siap negara-negara tersebut melakukan
integrasi moneter di kawasan ASEAN+3.
3. Sebagai bahan referensi bagi para pembuat kebijakan di negara-negara
ASEAN+3 agar dapat menyesuaikan variabel-variabel makroekonominya
sehingga dapat memenuhi syarat integrasi moneter ASEAN+3.
4. Sebagai media implikasi penerapan ilmu-ilmu yang telah dipelajari selama
diperkuliahan.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini fokus pada analisis mengenai sifat siklus bisnis negara-
negara ASEAN+3. Negara ASEAN diwakili oleh Singapura, Indonesia, Malaysia,
Filipina dan Thailand, sedangkan negara Asia Timur diwakili oleh Jepang, China
dan Korea Selatan.Sehubungan dengan keterbatasan pada negara China, maka
akhirnya negara China tidak dianalisis pada penelitian ini. Amerika digunakan
sebagai negara kontrol karena Amerika merupakan negara yang sangat
mempengaruhi perekonomian dunia terutama di kawasan ASEAN+3 ini.
Pemilihan Singapura dan Jepang sebagai negara peg (yang seterusnya
disebut dengan istilah benchmark) dilakukan atas dasar penelitian sebelumnya
yang telah dilakukan oleh Partisiwi (2008) yang menganalisis kemungkinan
penyatuan mata uang di kawasan ASEAN+3.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa negara di ASEAN+3 yang
sesuai untuk menjadi mata uang negara peg adalah Singapura (dengan asumsi
ASEAN sebagai leader) dan Jepang (dengan asumsi negara di luar ASEAN
sebagai leader) sehingga peneltian ini tergolong penelitian lanjutan dari penelitian
yang telah dilakukan oleh Partisiwi (2008).
Penelitian ini menggunakan variabel industrial production index (IPX)
dalam menganalisis sifat siklus bisnis tersebut.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Optimum Currency Area
Optimum currency area (OCA) merupakan salah satu syarat yang harus
dipenuhi oleh negara-negara yang akan tergabung kedalam currency union (CU).
Terdapat beberapa kriteria OCA yang akan dijelaskan pada bagian berikut ini.
2.1.1. Kriteria Mundell
Mundell (1961) dalam Bergman mendefinisikan optimum currency
area sebagai kondisi dimana semua orang dalam suatu kawasan dapat dengan
mudah melakukan mobilisasi. Jadi, suatu kawasan (atau negara) dengan mobilitas
faktor-faktor yang tinggi memungkinkan membentuk optimum currency area.
Optimum currency area memiliki derajat mobilitas internal yang tinggi dan
derajat mobilitas eksternal yang rendah, karena derajat mobilitas faktor yang
tinggi menghasilkan substitusi mobilitas nilai tukar.
Mundell (1961) dalam Thiam Hee NG (2002) berpendapat bahwa
negara-negara yang mengalami korelasi shock positif lebih cocok menjadi
kandidat monetary union. Jika shock ekonomi berkorelasi positif antar negara
anggota maka union-wide policies dapat digunakan untuk memperbaiki
ketidakseimbangan.
2.1.2. Kriteria McKinnon
McKinnon (1963) dalam Bergman mengungkapkan negara yang sangat
terbuka dalam perdagangan dan intens melakukan perdagangan dengan negara
lainnya lebih memungkinkan membentuk OCA. McKinnon membedakan antara
tradable dan non-tradable goods. Harga tradable goods ditentukan dunia, oleh
karena itu nilai tukar tidak mempengaruhi daya saing. Hal ini mungkin menjadi
kasus seberapa besar keterbukan suatu negara. Integrasi pasar barang yang
memiliki derajat tinggi dan struktur produksi yang sama menyatakan shock yang
simetris sehingga mengurangi kebutuhan untuk adjustment nilai tukar.
2.1.3. Kriteria Kenen
Menurut Kenen (1969), negara-negara yang melakukan produksi dan
ekspor yang secara luas didiversifikasikan dan memiliki struktur yang mirip maka
akan memungkinkan membentuk optimum currency area. Pendapat ini
berdasarkan pada pembahasan mengenai asymmetric shocks.
Negara yang memiliki diversifikasi produksi yang tinggi dan dengan
struktur yang mirip maka akan memiliki efek akibat shock yang simetris,
maksudnya yaitu shock industri tertentu memiliki efek yang sama dengan negara
yang memiliki struktur yang sama. Semakin tinggi diversifikasi ekonomi maka
merupakan kandidat yang semakin baik untuk monetary union karena diversifikasi
memberikan isolasi terhadap shock. Krugman mengusulkan kebalikannya yaitu
monetary union akan mengurangi spesialisasi industri yang lebih besar sehingga
membuat rendah diversifikasi dan memberi isolasi terhadap shock yang rendah.
2.1.4. Kriteria Trannsfer Fiskal
Negara-negara yang setuju untuk mengganti kerugian satu sama lain
pada saat terjadinya shock yang bersifat merugikan maka akan membentuk
optimum currency area. Transfer fiskal dapat bertindak sebagai jaminan yang
dapat mengurangi biaya dari asymmetric shocks.
2.1.5. Kriteria Homogeneity of Preferences
Negara anggota currency union harus secara bersama memiliki
konsensus umum yang sangat luas untuk mengatasi shock. Kondisi politis
merupakan sebuah konsensus umum mengenai bagaimana menstabilkan
perekonomian, trade-off antara inflasi dan pengangguran, dan sebagainya.
2.1.6. Kriteria Solidaritas
Ketika kebijakan moneter bersama memberikan peningkatan konflik
pada kepentingan nasional maka negara-negara yang membentuk sebuah currency
area perlu untuk menerima biaya atas nama nasib bersama. Kondisi utama
integrasi moneter yaitu kondisi politik akan berintegrasi. Hal ini akan
menimbulkan pertentangan dan kepentingan nasional/kawasan dalam keadaan
tertentu ketika terjadi asymmetric shocks. Negara-negara anggota harus
berkontribusi kepada union sepenuh hati dan tidak membiarkan nasionalisme
menjadi lebih penting sehingga union dapat bertahan.
2.2. Siklus Bisnis
Variabel-variabel ekonomi yang membentuk suatu perekonomian
memiliki keterkaitan satu sama lain dalam perekonomian global. Akibatnya, jika
terjadi shock pada salah satu variabel maka akan mempengaruhi variabel lainnya.
Shock yang terjadi ini dapat berupa shock internal maupun eksternal yang akan
menyebabkan fluktuasi dalam perekonomian. Kondisi ini akan berulang secara
terus menerus dan dalam jangka panjang akan membentuk suatu siklus ekonomi
atau dikenal dengan istilah siklus bisnis (Benazir, 2008).
Berdasarkan kamus ekonomi, siklus bisnis didefinisikan sebagai
fluktuasi dari tingkat kegiatan perekonomian (GDP riil) yang saling bergantian
antara masa depresi (depression) dan masa kemakmuran (booms). Siklus bisnis
merupakan pertumbuhan siklus yang menggambarkan pergerakan siklikal di
sekitar trend pertumbuhan jangka panjang ekonomi atau penyimpangan siklikal
dari trend (Artis dan Zhang, 1995).
2.3. Perkembangan Teori Siklus Bisnis
Saat ini terdapat tiga teori mengenai siklus bisnis yang dikenal oleh
para ekonom, yaitu teori real business cycle, new keynesian economics dan teori
monetary business cycle (Mankiw, 2003).
2.3.1. Teori Real Business Cycle
Teori real business cycle mengasumsikan harga sepenuhnya fleksibel.
Teori ini konsisten dengan dikotomi klasik dimana variabel-variabel nominal
tidak mempengaruhi variabel riil. Fluktuasi dalam variabel riil, ditekankan pada
perubahan riil dalam perekonomian (teknologi produksi). Fluktuasi tidak
berkaitan dengan kebijakan moneter, harga kaku, atau bentuk kegagalan pasar
apapun. Guncangan terhadap kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa
mengubah tingkat output alamiah. Begitu guncangan terjadi maka GDP,
kesempatan kerja, dan variabel-variabel makroekonomi lain akan berfluktuasi.
Empat isu dasar yang menjadi perdebatan mengenai keabsahan teori real business
cycle, yaitu: interpretasi tenaga kerja, pentingnya guncangan teknologi, netralitas
uang, serta fleksibilitas upah dan harga.
2.3.2. Teori New Keynesian Economics
Teori New Keynesian Economics yang didasarkan pada alasan market
clearing model. Teori real business cycle tidak dapat menjelaskan fluktuasi
ekonomi jangka pendek. Upah dan harga tidak disesuaikan dengan cepat untuk
menyeimbangkan pasar sehingga menyebabkan perekonomian menyimpang dari
tingkat alamiahnya. Keynes menekankan aggregate demand sebagai determinan
utama pendapatan nasional jangka pendek. Penjelasan mengenai kekakuan upah
pada jangka pendek dijelaskan dengan tiga teori. Pertama, biaya penyesuaian
harga yang kecil mempunyai dampak makroekonomi yang besar karena adanya
eksternalitas aggregate demand. Kedua, resesi yang terjadi merupakan sebuah
kegagalan koordinasi. Ketiga, guncangan dalam penyesuaian harga membuat
semua tingkat harga bereaksi lamban terhadap perubahan kondisi perekonomian.
2.3.3. Teori Monetary Business Cycle
Teori monetary business cycle menekankan pada pentingnya guncangan
agregat demand khususnya terhadap fluktuasi ekonomi tetapi hanya dalam jangka
pendek. Kesamaan monetary business cycle dan new keynesian economics yaitu
uang merupakan faktor eksogen dalam mempengaruhi output sedangkan dalam
teori real business cycle uang merupakan faktor endogen yang dipengaruhi output.
2.4. Sinkronisasi Siklus Bisnis
Dalam mewujudkan integrasi ekonomi yang lebih tinggi maka salah
satu syaratnya yakni terjadinya sinkronisasi siklus bisnis diantara negara-negara
anggota dalam suatu kawasan tersebut. Siklus bisnis dikatakan tersinkronisasi
dapat dilihat dari beberapa cara, pertama dari nilai korelasi siklusnya. Menurut
Mundell (1961), korelasi siklus yang semakin positif dan bernilai tinggi maka
akan lebih cocok menjadi kandidat OCA karena union-wide policies dapat
digunakan untuk memperbaiki ketidakseimbangan .
Kedua, dilihat dari pergerakan siklus bisnisnya, semakin kecil lead/lag
suatu pergerakan antara dua siklus bisnis maka siklus tersebut dikatakan semakin
tersinkronisasi. Maksudnya yaitu jika terjadi perubahaan kebijakan dari otoritas
moneter bersama maka akan direspon oleh negara-negara tersebut dengan waktu
yang sama sehingga tidak ada lag diantara negara-negara tersebut.
Menurut Rose dan Frankel (1998), faktor-faktor yang mempengaruhi
sinkronisasi siklus bisnis diantaranya intensitas perdagangan dan integrasi
keuangan. Jika perdagangan didominasi oleh perdagangan intra-industry maka
jika terjadi guncangan industri yang spesifik akan membuat siklus bisnis lebih
simetris (Jong, et al., 2006).
Menurut Rana (2007), sinkronisasi siklus bisnis penting karena jika
intensitas perdagangan di Asia Timur mendorong peningkatan pergerakan
bersama output maka cost dari pembentukan OCA pada wilayah tersebut akan
berkurang akibat guncangan asimetris yang rendah.
2.5. Penelitian Terdahulu
Artis dan Zhang (1995) meneliti pengaruh Exchange-Rate Mechanism
(ERM) dengan adanya European Monetery System terhadap siklus bisnis
internasional antara negara anggota ERM dan non-ERM pada dua periode waktu
yakni pra-ERM (1961:01-1979:03) dan ERM (1979:04-1993:02). Analisis
dilakukan menggunakan variabel IPX dengan mengeluarkan faktor trend pada
data tersebut menggunakan HP Filter, PAT (OECD) dan Linear trend. Komponen
siklikalnya dianalisis menggunakan contemporaneous correlation dan cross-
correlation. Hasilnya, siklus bisnis negara anggota ERM berubah dari Amerika ke
Jerman sejak pembentukan ERM. Hal ini disebabkan pertumbuhan perdagangan
dan keuangan antara negara-negara Eropa kecuali Inggris yang tidak berubah pada
periode pengamatan.
Thiam Hee NG (2002) menguji korelasi shock ASEAN (Indonesia,
Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina) menggunakan SVAR dengan kontrol
yaitu negara-negara European Union (EU) dan NAFTA. Data yang digunakan
yaitu GDP riil dan GDP nominal periode 1970-1995. Hasilnya, shock eksternal
lebih berhubungan dekat pada negara-negara ASEAN dibandingkan dengan
negara NAFTA namun supply dan demand shock negara ASEAN rendah
korelasinya. Indonesia, Singapura, dan Malaysia dalam keadaan tertentu
memperlihatkan derajat korelasi shock yang tinggi. Berdasarkan pola shock antar
negara Asia Tenggara maka Singapura, Malaysia, dan Indonesia akan menjadi
partner dagang yang baik dalam currency union (CU). Korelasi supply, demand,
dan external shock ketiga negara tersebut lebih tinggi dibandinghkan dengan EU
dan NAFTA. Berkaitan dengan korelasi shock ekonomi maka negara-negara
ASEAN merupakan kandidat yang baik untuk membentuk monetary union.
Negara-negara ASEAN memiliki sektor tradable yang lebih banyak sehingga
mempermudah transisi CU. Namun share perdagangan intra-regional negara-
negara ASEAN masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara EU
dan NAFTA. Dalam hal konsensus kebijakan moneter, tampak beberapa
keanekaragaman inflasi dan kebijakan suku bunga dalam negara-negara ASEAN.
Malaysia dan Singapura dapat menjaga inflasi dan suku bunganya lebih rendah
sedangkan untuk negara ASEAN lainnya masih lebih tinggi.
Ahn, et al (2005) melakukan analisis kemungkinan pembentukan OCA
di Asia Timur. Analisis menggunakan metode VAR dan G-PPP dengan Jepang
sebagai negara base country. Hasil penelitian menggunakan SVAR menunjukkan
bahwa tujuh negara (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Hong Kong SAR,
Korea, dan Taiwan) memenuhi syarat menjadi anggota OCA berkaitan dengan
ukuran supply shocks dan speed of adjustment. Sedangkan hasil menggunakan
metode G-PPP menunjukkan bahwa delapan negara (Indonesia, Malaysia,
Singapura, Thailand, Hong Kong, Jepang, Korea, dan Taiwan) memenuhi syarat
membentuk OCA dalam hal common trends.
Rana (2007) melakukan analisis mengenai sinkronisasi siklus bisnis di
negara Asia Timur. Negara yang dianalisis adalah China, Indonesia, Jepang,
Korea, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Data yang digunakan adalah
industrial production index periode Januari 1989 sampai Desember 2004 dengan
menggunakan metode OLS. Hasilnya adalah perdagangan intra-industri
merupakan faktor utama yang menjelaskan co-movement dari siklus bisnis di Asia
Timur. Namun, hal yang menarik adalah peningkatan perdagangan itu sendiri
tidak mendorong sinkronisasi siklus bisnis.
Partisiwi (2008) melakukan analisis kemungkinan currency unification
(CU) di kawasan ASEAN+3 lalu mengelompokkan negara-negara yang memiliki
kondisi optimum membentuk currency union. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan OCA difokuskan pada volatililitas nilai tukar. Volatilitas nilai tukar
ini salah satunya diukur melalui sinkronisasi siklus bisnis. Variabel yang
digunakan adalah nilai tukar, GDP riil, total ekspor, total impor, M2, CPI, ekspor
antar-negara, ekspor dan impor komoditas dengan metode OLS. Hasil yang
didapat yaitu: pertama, tidak semua negara ASEAN+3 optimum membentuk CU.
Kedua, negara ASEAN+3 yang sesuai untuk menjadi mata uang negara peg
adalah Singapura (ASEAN sebagai leader) dan Jepang (negara di luar ASEAN
sebagai leader). Ketiga, berdasarkan hasil perhitungan OCA indeks dengan
Amerika Serikat sebagai negara peg didapat bahwa Jepang, Singapura, dan
Malaysia dapat bergabung pada tahap satu, disusul oleh Korea, China, Thailand
dan Filipina pada tahap dua, sedangkan Indonesia menempati urutan terakhir
dalam pembentukan CU.
Puspaningrum (2008) menganalisis derajat integrasi perdagangan
negara-negara ASEAN+3 dimana sinkronisasi siklus bisnis sebagai salah satu
kriteria OCA dalam kawasan tersebut. Integrasi perdagangan ini diukur melalui
trade intensity, intra-industry trade, demand spillover effect, monetary policy
coordination, dan exchange rate policy coordination. Variabel yang dianalisis
adalah GDP riil, total nominal ekspor, total nominal impor, ekspor antar-negara,
impor antar-negara, M2 dan bilateral exchange rate dengan metode panel.
Hasilnya yakni terjadinya integrasi perdagangan belum memberikan manfaat yang
sama bagi negara-negara ASEAN+3 karena negara-negara dengan tingkat
perekonomian yang lebih rendah belum memperoleh keuntungan.
2.6. Kerangka Pemikiran
Untuk mencapai wacana currency union diantara negara ASEAN+3
maka diperlukan serangkaian proses panjang dimana terpenuhinya kriteria OCA.
Salah satu dari kriteria OCA yaitu adanya common trends, maka dari itu
permasalahan yang diangkat adalah menganalisis sifat siklus bisnis negara
ASEAN+3 dengan tiga negara benchmark yaitu Singapura dan Jepang serta
dengan kontrol Amerika. Berikut gambaran kerangka pemikiran penulis:
Gambar 2.6.1. Kerangka Pemikiran
Respon
Siklus Bisnis
Pasca-Krisis
Pra-Krisis
Kontrol: US
Siklus Bisnis
OCA
Sinkronisasi
Siklus Bisnis
Korelasi Siklus
Bisnis Variabilitas
Siklus Bisnis
Singapura
Jepang
ASEAN+3
Pergerakan
Siklus Bisnis
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang merupakan multivariate time-series delapan negara, yaitu: ASEAN
(Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina), Korea Selatan, Jepang dan
satu negara kontrol (Amerika) dengan periode waktu bulanan untuk rentang waktu
Januari 1993 sampai September 2008.
Variabel yang digunakan adalah Industrial Production Index (IPX)
sektor manufaktur (value) yang dikumpulkan dari CEIC. Data indeks tersebut
dirubah kedalam tahun dasar 2000. Penyamaan indeks dilakukan dengan metode
month to month. Setelah itu data di rubah kedalam bentuk logaritma natural.
Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian adalah Microsoft
Excel 2007 untuk mengelompokkan data kemudian diolah menggunakan program
Eviews 6.
3.2. Metode Analisis Data
Penelitian ini membahas korelasi dan pola siklus bisnis yang terjadi
diantara negara ASEAN+3 terhadap negara benchmark. Beberapa metode analisis
yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan pada bagian di bawah ini.
3.2.1. Hodrick-Prescott (HP) Filter
Data IPX yang sudah siap olah kemudian dipisahkan komponen trend-
nya untuk mendapatkan komponen siklikal yang selanjutnya akan dianalisis.
Proses detrending dilakukan dengan menggunakan metode Hodrick-Prescott (HP)
Filter. HP Filter meminimumkan kombinasi y di sekitar t dengan kendala turunan
kedua dari s. HP filter akan memilih st untuk meminimumkan:
(𝑦𝑡𝑇𝑡=1 − 𝑠𝑡)2 + 𝜆 ((𝑠𝑡+1
𝑇−1𝑡=2 − 𝑠𝑡) − (𝑠𝑡𝑠𝑡−1))2
Pada data tahunan nilai λ yang diberikan adalah 100, kwartalan 1600, dan data
bulanan 14400 (eviews user’s guide).
3.2.2. Contemporaneous Correlation
Komponen siklikal IPX dari hasil HP filter kemudian dilihat pola dan
karakteristiknya melalui contemporaneous correlation. Metode ini
memperlihatkan korelasi series grup tersebut pada satu periode waktu yang sama
sehingga dapat melihat derajat sinkronisasi antara dua siklus series tersebut lebih
dekat ke negara siklus bisnis Asia ataukah siklus bisnis Internasional yang
diwakili oleh Amerika. Contemporaneous correlation didapatkan dari hasil
matriks korelasi.
Matriks korelasi digunakan dalam rangka menguji seberapa erat
hubungan antara nilai variabel bebas dengan variabel terikat dalam persamaan
regresi. Nilai matriks korelasi dari tiap negara kemudian diuji signifikansinya
melalui perbandingan antara nilai sebaran t dengan nilai kritis yang digunakan
dalam penelitian 5 persen yaitu 1.96. Apabila nilai mutlak sebaran t setiap negara
lebih besar dari 1.96 maka nilai-nilai korelasi tersebut signifikan pada taraf nyata
5 persen. Nilai sebaran t dapat dihitung dengan rumus berikut (Walpole, 1995):
𝑡 = 𝑟 𝑛−2
1−𝑟2
(3.1.)
(3.2.)
di mana:
t : nilai sebaran t,
r : koefisien korelasi,
n : jumlah observasi.
3.2.3. Cross Correlation
Cross correlation menunjukkan apakah variabel ekonomi dari kedua
negara bertindak sebagai lead, lag, ataukah coincident indicators. Leading
indicator menunjukkan perubahan variabel ekonomi yang bergerak mendahului
pergerakan variabel ekonomi refference-nya. Lagging indicators merupakan
perubahan indikator yang bergerak setelah pergerakan variabel refference-nya,
sedangkan coincident indicator bergerak bersamaan dengan reference seriesnya.
Cross-correlation ini memperlihatkan detrended dengan komponen
siklikal memiliki korelasi atau tidak. Cross correlation antara dua variabel, misal
x dan y dapat dihitung dengan:
𝑟𝑥𝑦 =𝑐𝑥𝑦 (𝑙)
𝑐𝑥𝑦 (0) . 𝑐𝑦𝑦 0 dimana 𝑙 = 0, ±1. ±2
𝑐𝑥𝑦 𝑙 = ((𝑥𝑡 − 𝑥 𝑇−1
𝑡=1 )(𝑦𝑡+𝑙 − 𝑦 ))/𝑇 𝑙 = 0,1,2,…
((𝑦𝑡 − 𝑦 )(𝑥𝑡−𝑙𝑇+1𝑡=1 − 𝑥 ))/𝑇 𝑙 = 0 ,−1,−2,…
Berdasarkan hasil dari cross correlation maka dapat dianalisis derajat
keterkaitan antara dua siklus dan perubahan fasenya. Derajat keterkaitan atau
sinkronisasi antara dua siklus diperoleh dari maximum correlation, yakni hasil
cross correlation yang paling tinggi nilainya. Semakin tinggi nilai cross
correlation antara kedua negara maka derajat keterkaitan antara dua siklus bisnis
(3.3.)
(3.4.)
akan semakin tinggi (semakin terkait) satu sama lain. Sedangkan perubahan
fasenya dilihat dari lead/lag saat maximum correlation diperoleh. Semakin kecil
lead atau lag dari hasil cross correlation maka perubahan fase antar dua negara
akan semakin sama.
3.2.4. Vector Autoregression
Vector autoregression (VAR) merupakan suatu model ekonometrika
yang menjadikan variabel sebagai fungsi linear dari konstanta dan lag dari
variabel itu sendiri dan nilai lag dari variabel lain yang terdapat dalam suatu
sistem persamaan tertentu.
Keunggulan metode VAR dibandingkan dengan metode ekonometrika
lainnya, yaitu:
1. Metode VAR dapat menangkap hubungan yang mungkin terjadi diantara
variabel-variabel yang dianalisis karena VAR mengembangkan model secara
bersamaan dalam suatu sistem multivariat, semua variabel adalah endogen.
2. Metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi sehingga terhindar
dari kesalahan penafsiran.
Kelemahan metode VAR yaitu hasil estimasinya bisa a-theoritic.
Mengikuti Syabran dalam Nugraha (2008), model VAR dengan n buah variabel
endogen pada waktu ke-t dan dengan ordo p, dapat ditulis sebagai berikut:
Yt = Ao + A1Yt-1 + A2Yt-2 +...+ ApYt-p + εt
dimana:
Yt : Variabel endogen (Y1t, Y2t, ..., Ynt) berukuran n x 1,
Ao : Vektor intersep berukuran n x 1,
(3.5.)
Ai : Matriks parameter berukuran n x n, untuk setiap i=1, 2, ..., p,
εt : Vektor sisaan (ε1t, ε2t, ..., εnt) berukuran n x 1.
3.2.5. Vector Error Correction Model
Dalam VAR, regresi dengan menggunakan data yang tidak stasioner
akan menyebabkan spurious regression (regresi palsu atau lancung). Sedangkan
penggunaan data yang stasioner pada first difference akan menghilangkan
informasi jangka panjangnya. Maka dari itu agar informasi jangka panjang ini
tidak hilang maka model VAR dikombinasikan dengan error correction model
(ECM) menjadi vector error correction model (VECM).
Penggunaan metode VECM ini diharapkan dapat merepresentasikan
bagaimana variabel IPX di suatu negara dapat mempengaruhi variabel yang sama
di negara lain dan sebaliknya. Persamaan VECM secara matematis ditunjukkan
oleh persamaan berikut (Verbeek dalam Nugraha, 2008):
∆𝑌𝑡 = 𝛤𝑖𝛥𝑌𝑡−𝑖 − 𝛾𝛽𝑌𝑡−1 + 휀𝑡𝑘−1𝑖=1
dimana:
Γ : koefisien hubungan jangka pendek,
β : koefisien hubungan jangka panjang,
γ : kecepatan menuju keseimbangan (speed of adjustment).
3.2.6. Uji Stasioneritas
Sebagian besar data time series memiliki akar unit atau dengan kata lain
nilai rata-rata variannya selalu berubah sepanjang waktu sehingga dapat
(3.6.)
menyebabkan hasil estimasi menjadi spourious sehingga hal yang harus dilakukan
sebelum mengestimasi model yaitu menguji kestasioneran data (Gujarati, 2003).
Metode yang digunakan dalam menguji akar unit pada penelitian ini
adalah Augmented Dickey-Fuller (ADF). Jika error term (ut) tidak berkorelasi
maka persamaan yang diuji adalah:
ΔXt=δXt-1+ut
Dalam kasus error term berkorelasi, maka contoh persamaan yang dapat diuji
adalah:
ΔYt=β1+ β2t+δYt-1+αi 𝛥𝑌𝑡−1 + 𝑢𝑡𝑚𝑖=1
dimana:
ut : white noise error term,
ΔYt-1 : ( Yt-1- Yt-2), ΔYt-2=( Yt-2- Yt-3), dan seterusnya.
Adapun hipotesis yang diuji adalah H0 : δ = 0 (data mengikuti pola yang stokastik
atau mengandung akar unit) dan H1 : δ < 0 (data mengikuti pola yang stasioner).
Uji yang digunakan untuk mengetahui apakah sebuah data time series bersifat
stasioner atau tidak adalah dengan melakukan uji ordinary least squares (OLS)
dan melihat nilai t statistik dari estimasi δ . Adapun persamaan secara matematis
adalah:
𝑡ℎ𝑖𝑡 =𝛿
𝑆𝛿
dimana :
δ : koefisien estimasi
Sδ : standard error dari koefisien estimasi
(3.7.)
(3.8.)
(3.9.)
Jika nilai t statistik ADF lebih kecil daripada t statistik kritis maka keputusannya
adalah tolak H0 atau dengan kata lain data kita bersifat stasioner dan sebaliknya.
3.2.7. Pengujian Lag Optimal
Langkah penting yang harus dilakukan dalam menggunakan model
VAR adalah penentuan jumlah lag optimal yang akan digunakan dalam model.
Penelitian ini memanfaatkan kriteria informasi Akaike Information Criterion
(AIC) yang mengikuti persamaan sebagai berikut:
𝐴𝐼𝐶 = 𝑙𝑜𝑔 휀
𝑡2
𝑁 +
2𝑘
𝑁
dimana:
Σεt2 : jumlah residual kuadrat
N : jumlah sampel
k : jumlah variabel yang beroperasi pada persamaan tersebut.
Besarnya lag optimal ditentukan oleh lag yang memiliki nilai kriteria AIC
terkecil. Disamping itu, penentuan lag optimal dapat juga dilakukan dengan
memperbandingkan Adjusted R2 variabel VAR dari masing-masing kandidat lag.
Lag optimal akan dipilih dari sistem VAR dengan selang tertentu yang
menghasilkan nilai Adjusted R2 terbesar pada variabel-variabel penting di dalam
sistem. Pada metode VAR, lag yang terlalu panjang akan membuang derajat bebas
dengan percuma dan lag yang terlalu pendek dapat menyebabkan spesifikasi
model yang salah.
(3.10.)
3.2.8. Uji Stabilitas VAR
Metode yang akan digunakan untuk melakukan analisis pengaruh
guncangan IPX pada negara-negara ASEAN+3 yakni analisis Impulse Response
Function (IRF) dan peramalan Decomposition of Forecasting Error Variance
(DFEV). Sebelum kedua analisis tersebut dapat digunakan, terlebih dahulu sistem
persamaan VAR yang telah terbentuk diuji stabilitasnya melalui VAR stability
condition check. Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari
fungsi polinomial atau dikenal dengan roots of characteristic polinomial. Jika
semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada didalam unit circle atau jika
nilai absolutnya lebih kecil dari satu maka model VAR tersebut dianggap stabil
sehingga IRF dan DFEV yang dihasilkan dianggap valid (Windarti dalam
Nugraha, 2004).
3.2.9. Uji Kointegrasi
Banyaknya ditemukan data time series yang mengandung akar unit
telah mendorong pembangunan sebuah teori dari analisis time-series yang tidak
stasioner. Engel dan Granger (1987) menunjukkan bahwa kombinasi linear dari
dua atau lebih data yang tidak stasioner dapat memungkinkan untuk menjadi
stasioner, jika hal ini terjadi maka data time series tersebut dikatakan
terkointegrasi. Kombinasi linear yang stasioner ini disebut persamaan kointegrasi
yang dapat menjelaskan hubungan keseimbangan jangka panjang diantara variabel
(Eviews 6 User’s Guide, 2007). Salah satu syarat agar tercapai keseimbangan
jangka panjang adalah galat keseimbangan harus berfluktuasi sekitar nol, dengan
kata lain error term harus menjadi sebuah data runtun waktu yang stasioner.
Metode yang digunakan untuk melakukan uji kointegrasi pada
penelitian ini adalah Johansen Cointegration Test. Suatu data runtun waktu
dikatakan terintegrasi pada tingkat ke-d atau sering disebut I(d) jika data tersebut
bersifat stasioner setelah didiferensisasi sebanyak d kali. Uji kointegrasi
Johanssen ditunjukkan oleh persamaan berikut:
∆𝑌𝑡 = 𝛽𝑜 + 𝜋𝑌𝑡−1 𝛤𝑖𝛥𝑌𝑡−𝑖 + 휀𝑡𝑝𝑖=1
Komponen dari vektor Yt dikatakan terkointegrasi bila ada vektor
β=(β1, β2, ..., βn) sehingga kombinasi linier βYt bersifat stasioner. Vektor β
disebut vektor kointegrasi. Rank kointegrasi pada vektor Yt adalah banyaknya
vektor kointegrasi yang saling bebas. Penelitian ini menggunakan asumsi trend
ketiga yaitu linear deterministic trend intercept (no trend). Jika nilai trace statistic
lebih besar daripada critical value 5 persen maka hipotesis alternatif yang
menyatakan jumlah kointegrasi diterima sehingga dapat diketahui berapa jumlah
persamaan yang terkointegrasi dalam sistem.
Tujuan dari uji kointegrasi pada penelitian ini yaitu menentukan apakah
grup dari variabel komponen siklikal yang tidak stasioner pada tingkat level
tersebut memenuhi persyaratan proses integrasi. Maksudnya adalah apakah
terdapat hubungan jangka panjang pada siklus bisnis negara-negara ASEAN+3
yang diukur melalui variabel IPX.
3.2.10. Uji Granger Causality
Pengujian kausalitas multivariat dilakukan untuk melihat hubungan
kausalitas yang mungkin terjadi diantara variabel-variabel yang terdapat dalam
(3.11.)
model. Penelitian ini menggunakan uji granger causality untuk melihat hubungan
tersebut.
Hipotesis nol yang diuji yakni tidak adanya kausalitas diantara variabel
sedangkan hipotesis alternatifnya yaitu adanya hubungan kausalitas. Untuk
menolak atau menerima hipotesis nol, maka dilihat probabilitasnya yang
dibandingkan dengan tingkat kepercayaan yang pada penelitian ini menggunakan
nilai kritis 5 persen. Jika nilai probabilitas lebih kecil dari 5 persen maka hipotesis
nol ditolak yang artinya terdapat hubungan kausalitas pada variabel-variabel yang
diuji.
3.2.11. Ordering for Cholesky
Ordering for Cholesy diperlukan ketika melakukan analisis
menggunakan Impulse Response Function (IRF) dan Decomposition of
Forecasting Error Variance (DFEV). Penelitian ini menggunakan granger
causality test dalam menentukan ordering. Negara yang dijadikan urutan pertama
yakni negara yang dengan signifikan paling banyak mempengaruhi negara lain
berdasarkan uji granger causality. Jika terdapat lebih dari satu negara yang sama
banyak dalam mempengaruhi negara lainnya, maka selanjutnya dilihat hubungan
antara kedua negara tersebut mana yang paling mempengaruhi negara lainnya.
3.2.12. Impulse Response Function
IRF meneliti hubungan antar variabel dengan menunjukkan bagaimana
variabel endogen bereaksi terhadap sebuah shock dalam variabel itu sendiri dan
variabel endogen lainnya. Menurut Amisano dan Gianinni dalam Nugraha (2008),
analisis IRF merupakan metode yang digunakan untuk menentukan respon suatu
variabel endogen terhadap guncangan (shock) variabel tertentu. Disamping itu
IRF juga digunakan untuk melihat guncangan dari satu variabel terhadap variabel
yang lain dan berapa lama pengaruh tersebut hingga mencapai kestabilan.
Menurut Pindyk dan Rubinfeld dalam Sintaresmi (2006), IRF
merupakan suatu metode yang digunakan untuk menentukan respon suatu variabel
endogen terhadap suatu shock tertentu karena sebenarnya shock variabel misalnya
ke-i tidak hanya berpengaruh terhadap variabel ke-i itu saja tetapi ditransmisikan
kepada semua variabel endogen lainnya melalui struktur dinamis atau struktur lag
dalam VAR. Dengan kata lain IRF mengukur pengaruh suatu shock pada suatu
waktu kepada inovasi variabel endogen pada saat tersebut dan beberapa periode
ke depan.
Analisis IRF merupakan sebuah metode yang digunakan untuk melihat
respon dari sebuah variabel dependent selama beberapa periode ke depan jika
mendapat guncangan dari variabel independent sebesar satu standar deviasi.
3.2.13. Decomposition of Forecasting Error Variance
Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) merupakan metode
yang dilakukan untuk melihat perubahan dalam suatu variabel yang ditunjukkan
oleh perubahan error variance yang dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya.
Selain itu metode ini juga merupakan alternatif dalam melihat hubungan dinamis
diantara variabel dalam VAR (Lütkepohl, 2005). Melalui metode ini dapat dilihat
kekuatan dan kelemahan masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel
lainnya dalam kurun waktu yang panjang. Jadi, melalui FEVD dapat diketahui
faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi dari variabel tertentu.
Melalui analisis ini akan dilihat bagaimana peranan Singapura, Jepang
dan Amerika Serikat dalam mempengaruhi perilaku siklus bisnis di negara
ASEAN+3.
IV. PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Penelitian
Pada penelitian ini akan dibahas korelasi siklus bisnis yang terjadi
antara negara-negara ASEAN+3 terhadap dua negara benchmark yaitu Singapura
dan Jepang serta Amerika sebagai kontrol. Pembahasan akan dibagi menjadi lima
bagian. Bagian pertama akan membahas mengenai sinkronisasi siklus bisnis
diantara negara ASEAN+3 terhadap Singapura, Jepang dan Amerika. Bagian
kedua membahas hubungan lead/lag pada pergerakan siklus biklus bisnis negara-
negara ASEAN+3 terhadap negara benchmark, bagian ketiga membahas
maksimum korelasi antara dua siklus yakni siklus bisnis negara ASEAN+3
terhadap Singapura, Jepang dan Amerika. Pada bagian keempat akan dibahas
mengenai respon siklus bisnis ASEAN+3 terhadap guncangan siklus bisnis
Singapura, Jepang, Amerika dan Indonesia serta sebaliknya. Terakhir, pada bagian
lima akan dibahas persentase kontribusi siklus bisnis diantara negara-negara
ASEAN+3 dalam menjelaskan fluktuasi siklus bisnis di ASEAN+3.
4.2. Sinkronisasi Siklus Bisnis Pendekatan Korelasi
Sebagaimana dikatan oleh Mundell (1961) dalam Bergman bahwa
korelasi guncangan antar negara anggota yang bernilai positif dan memiliki nilai
tinggi maka akan lebih cocok menjadi kandidat OCA karena union-wide policies
dapat digunakan untuk memperbaiki ketidakseimbangan yang terjadi.
Menurut Rose dan Frankel (1998) bahwa kesesuaian bergabung ke
dalam currency union salah satunya bergantung pada tingkat korelasi siklus bisnis
dengan negara anggota lainnya. Korelasi siklus bisnis antar negara yang semakin
simetris lebih memungkinkan suatu negara menjadi anggota OCA karena
meningkatnya output co-movement akan mengurangi biaya pembentukan OCA.
Berdasarkan hal tersebut maka pada bagian pertama hingga ketiga ini
akan dibahas sinkronisasi siklus bisnis negara-negara ASEAN+3 berdasarkan
analisis korelasi siklus bisnis.
4.2.1. Sinkronisasi
Pada bagian ini diberikan bukti berkaitan dengan kesinkronan siklus
bisnis perekonomian negara-negara ASEAN+3 terhadap Singapura, Jepang dan
Amerika selama periode pra-krisis ekonomi Asia dan pasca-krisis ekonomi 1997
yang diukur dengan contemporaneous correlation. Nilai contemporaneous
correlation diperoleh melalui matriks korelasi yang terdapat pada Tabel 4.2.1.
Tabel 4.2.1. Contemporaneous Correlation
Pra-Krisis Pasca-Krisis
SG JP US SG JP US
Indonesia 0.28 -0.09 -0.26 0.35 0.28 0.05
Jepang -0.13 1.00 0.59 0.39 1.00 0.63
Korea 0.07 -0.10 0.11 0.37 0.60 0.43
Malaysia 0.08 0.12 0.12 0.47 0.68 0.39
Filipina 0.28 -0.05 -0.16 0.38 0.24 0.01
Singapura 1.00 -0.13 -0.17 1.00 0.39 0.30
Thailand 0.17 -0.02 0.12 0.44 0.51 0.30
Amerika -0.17 0.59 1.00 0.30 0.63 1.00 Sumber: Lampiran 1
Keterangan: Cetak tebal: Signifikan pada 5%
Secara umum berdasarkan Tabel 4.2.1. terdapat beberapa pola yang
terjadi pada siklus bisnis negara ASEAN+3 ini. Pertama, tampak bahwa telah
terjadi peningkatan korelasi siklus bisnis pasca-krisis dibandingkan pra-krisis.
Visualisasi Tabel 4.2.1. dapat dilihat pada Gambar 4.2.1. yang
membandingkan sinkronisasi siklus bisnis negara-negara ASEAN+3 dengan
siklus bisnis Singapura-Amerika, Jepang-Amerika dan Singapura-Jepang. Garis
diagonal menunjukkan kedekatan siklus bisnis negara-negara ASEAN+3 yang
sama kuatnya terhadap kedua siklus bisnis yang diperbandingkan. Semakin ke
kanan atau ke atas maka siklus bisnis masing-masing negara ASEAN+3 akan
semakin dekat dengan masing-masing negara benchmark yang diperbandingkan.
Berdasarkan Gambar 4.2.1. maka tampak bahwa pada pra-krisis,
korelasi siklus bisnis negara ASEAN+3 cenderung lebih bervariasi kedekatannya
baik antara Singapura, Jepang maupun Amerika. Hal yang paling mencolok yaitu
kedekatan Jepang terhadap Amerika hingga memiliki nilai korelasi 0.59.
Pada pra krisis, Indonesia, Korea, Filipina dan Thailand menunjukkan
korelasi yang lebih dekat dengan Singapura, sedangkan Malaysia dekat dengan
Jepang. Pada pasca-krisis tampak bahwa Korea dan Jepang lebih memiliki
kedekatan siklus bisnis dengan Amerika dibandingkan dengan Singapura
sedangkan empat negara ASEAN lainnya lebih dekat dengan Singapura
dibandingkan dengan Amerika. Indonesia dan Filipina lebih memiliki kedekatan
siklus bisnis dengan Singapura sedangkan Korea, Malaysia dan Thailand lebih
dekat dengan Jepang. Hal ini menggambarkan bahwa pembentukan currency
union di ASEAN+3 memungkinkan terjadi mengingat siklus bisnis yang semakin
tersinkron dapat mengurangi biaya akibat asimetris shock. Namun demikian,
pembentukan currency union ini lebih memungkinkan jika dilakukan antar negara
ASEAN terlebih dahulu.
4.2.2. Hubungan Lead/Lag
Analisis menggunakan contemporaneous correlation memberikan
informasi mengenai derajat sinkronisasi antara dua siklus. Walaupun telah
ditemukan bukti bahwa terjadi pergerakan teratur sinkronisasi siklus bisnis antar
periode namun masih belum jelas bagaimana pergerakannya. Pergerakan atau
perubahannya dapat diketahui dengan menemukan lead/lag pada saat maximum
correlation diperoleh saat analisis menggunakan cross-correlation. Pergerakan
siklus bisnis ini dapat dilihat pada Tabel 4.2.2. kolom lead/lag. Semakin kecil
lead atau lag dari hasil cross correlation maka perubahan fase/pergerakan siklus
bisnis antar dua negara akan semakin sama.
Tabel 4.2.2. Cross Correlation Pra-Krisis
SG JP US
max- lag lead max- lag lead max- lag lead
corr corr corr
Indonesia 0.29 12 0.30 17 0.45 19
Jepang 0.24 13 0.61 3
Korea 0.27 6 0.24 23 0.29 12
Malaysia 0.34 11 0.23 5 0.27 4
Filipina 0.28 0 0 0.23 6 0.32 6
Singapura
0.24 13 0.21 11
Thailand 0.32 18 0.30 5 0.46 3
Pasca Krisis
SG JP US
max- lag lead max- lag lead max- lag lead
corr corr corr
Indonesia 0.35 0 0 0.31 1 0.24 33
Jepang 0.45 1
0.63 1
Korea 0.37 0 0 0.64 2 0.46 1
Malaysia 0.47 0 0 0.70 1 0.43 1
Filipina 0.38 0 0 0.31 2 0.32 5
Singapura
0.45 1 0.40 2
Thailand 0.44 0 0 0.51 0 0 0.38 2 Sumber: Lampiran 2
Keterangan: Cetak tebal: Signifikan pada 5%
Secara umum berdasarkan Tabel 4.2.2. kolom lead/lag, maka terdapat
beberapa kesimpulan mengenai pergerakan siklus bisnis negara ASEAN+3 ini.
Pertama, tampak bahwa pergerakan siklus bisnis negara-negara ASEAN+3
terhadap ketiga benchmark cenderung lebih bervariasi (tidak sama) pada periode
pra-krisis dibandingkan pasca-krisis. Hanya Filipina yang pergerakan siklus
bisnisnya berbarengan dengan Singapura pada pra-krisis, sedangkan pasca-krisis
nilai lead/lag lebih banyak yang bernilai nol (0) dengan Singapura. Hal ini
menunjukkan bahwa pasca-krisis, pergerakan siklus bisnis negara-negara
ASEAN+3 relatif lebih sama dengan Singapura dibandingkan dengan Jepang.
Negara-negara yang pergerakannya sama dengan Singapura yakni Indonesia,
Korea, Malaysia, Filipina dan Thailand. Disamping memiliki pergerakan yang
sama dengan Singapura, Thailand juga memiliki pergerakan siklus bisnis yang
sama dengan Jepang.
4.2.3. Korelasi Maksimum Siklus Bisnis ASEAN+3
Pada dua subab sebelumnya telah diketahui mengenai sinkronisasi
siklus bisnis dan bagaimana pergerakan/perubahan fase dari kedua siklus tersebut.
Pergerakan ini telah berubah antar periode waktu dan relatif sama dengan siklus
bisnis Asia, namun demikian masih belum dapat dipastikan bagaimana kekuatan
siklus bisnis tersebut antar periode waktu apakah semakin menguat ataukah justru
melemah. Maximum correlation digunakan untuk melihat seberapa kuat
keterkaitan suatu siklus bisnis berubah antar periode waktu yang berbeda, nilainya
dapat dilihat pada Tabel 4.2.2. dalam kolom max-corr.
Secara umum berdasarkan Tabel 4.2.2. tampak kekuatan siklus bisnis
negara ASEAN+3 terhadap Singapura, Jepang maupun Amerika menguat antar
periode. Namun demikian, korelasi Indonesia dan Thailand melemah terhadap
Amerika pasca krisis ekonomi 1997.
Visualisasi Tabel 4.2.2. dapat pula dilihat pada Gambar 4.2.2. yang
membandingkan kekuatan korelasi siklus bisnis negara ASEAN+3 antara
Singapura-Amerika, Jepang-Amerika dan Singapura-Jepang. Visualisasi gambar
dari hasil nilai maximum correlation menunjukkan bahwa negara ASEAN+3
memiliki siklus bisnis yang lebih dekat dengan Amerika dibandingkan dengan
Singapura dan Jepang. Namun, pasca-krisis ekonomi menunjukkan bahwa
perubahan yang cukup signifikan dimana negara ASEAN menunjukkan lebih
dekat dengan siklus bisnis Singapura, sedangkan Jepang dan Korea lebih dekat
dengan siklus Amerika. Dengan membandingkan ASEAN+3 pada siklus
Singapura-Jepang, maka tampak bahwa Filipina dan Indonesia lebih dekat dengan
siklus Singapura sedangkan Thailand, Korea dan Malaysia lebih dekat dengan
Jepang.
Berdasarkan ketiga analisis tersebut secara umum dapat disimpulkan
bahwa analisis korelasi siklus bisnis menunjukkan bahwa semua negara
ASEAN+3 memiliki siklus bisnis yang dekat dengan Singapura, namun belum
tentu dekat dengan Jepang. Hanya Thailand, Korea dan Malaysia yang memiliki
kedekatan lebih kuat dengan Jepang namun hal tersebut tidak terjadi pada Filipina
dan Indonesia. Namun demikian, semua negara ASEAN+3 ini memiliki tingkat
pergerakan yang sama dengan Singapura dibandingkan dengan Jepang sehingga
dapat dikatakan bahwa sinkronisasi siklus bisnis ASEAN+3 ini cenderung lebih
sinkron dengan Singapura dibandingkan dengan Jepang.
4.3. Sinkronisasi Siklus Bisnis Pendekatan VAR
Sinkronisasi berkenaan dengan kecenderungan resesi dan ekspansi yang
terjadi di suatu negara pada waktu yang sama dengan negara lainnya. Sinkronisasi
siklus bisnis berkaitan dengan biaya yang harus diterima negara-negara anggota
currency union atas adanya asimetris shock (Rana, 2007).
Pada bagian keempat dan kelima ini akan dibahas mengenai respon
siklus bisnis negara ASEAN+3 dan Indonesia terhadap guncangan siklus bisnis
Singapura, Jepang, Amerika dan Indonesia serta sebaliknya melalui analisis
impulse response function (IRF). Disamping itu, akan dilihat kontribusi siklus
bisnis Singapura, Jepang, Amerika dan ASEAN+3 dalam menjelaskan variabilitas
perekonomian negara ASEAN+3 melalui analisis decomposition of forecasting
error variance (DFEV). Analisis ini akan dibahas melalui simulasi jika terdapat
guncangan dari masing-masing negara benchmark akan dilihat bagaimana respon
ASEAN+3 dan sebaliknya.
Kedua analisis tersebut menggunakan metode vector autoregression
(VAR). Sebelum masuk kepada analisis model VAR maka dilakukan pengujian
pra-estimasi yang meliputi uji stasioneritas data, pengujian lag optimal, stabilitas
VAR, kointegrasi dan granger causality.
4.3.1. Uji Stasioneritas Data
Pada penelitian ini, komponen siklikal dari masing-masing variabel
yang didapat melalui Hodrick-Prescott Filter kemudian diuji kestasionerannya
menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) pada tingkat level dengan
automatic lag selection yang telah disediakan oleh eviews 6. Pengujian
kestasioneran dilakukan pada tingkat level sampai dengan tingkat first difference
dengan taraf nyata 5 persen.
Berdasarkan hasil uji stasioneritas yang dapat dilihat pada Lampiran 3
untuk masing-masing periode waktu, maka tampak bahwa tidak semua data
stasioner pada tingkat level oleh karena itu dilakukan uji stasioneritas pada tingkat
first difference. Hasil pengujian pada tingkat first difference menunjukkan bahwa
semua data komponen siklikal IPX negara ASEAN+3 dan Amerika stasioner.
Sebagaimana dikatakan Sims dalam Enders (2000) bahwa penggunaan
data first difference tidak direkomendasikan karena akan menghilangkan
informasi jangka panjangnya. Agar tetap dapat menganalisis informasi jangka
panjangnya, maka data level pada VAR dikombinasikan dengan error correction
model (ECM) menjadi vector error correction model (VECM).
4.3.2. Pengujian Lag Optimal
Penentuan lag optimal dalam penelitian ini berdasarkan pada nilai
akaike information criteria (AIC) terkecil ditambah dengan satu karena pengujian
menggunakan data yang stasioner pada first difference. Hasil pengujiannya
menunjukkan bahwa pada periode pra-krisis lag optimal yang digunakan adalah
dua sedangkan pada periode pasca-krisis lag optimal yang digunakan adalah tiga.
Hasil pengujiannya dapat dilihat pada Lampiran 4 untuk masing-masing periode
waktu. Berdasarkan lag optimal yang telah didapat tersebut, maka persamaan
umum VAR untuk periode pra-krisis yaitu:
𝑋𝑡 = 𝛹𝑖
2
𝑖=1
𝑢𝑠𝑡−1 + 𝛹𝑖
2
𝑖=1
𝑗𝑝𝑡−1
+ 𝛹𝑖
2
𝑖=1
𝑘𝑟𝑡−1 + 𝛹𝑖
2
𝑖=1
𝑠𝑔𝑡−1 + 𝛹𝑖
2
𝑖=1
𝑚𝑦𝑡−1 + 𝛹𝑖
2
𝑖=1
𝑡ℎ𝑡−1
+ 𝛹𝑖
2
𝑖=1
𝑖𝑑𝑡−1 + 𝛹𝑖
2
𝑖=1
𝑝ℎ𝑡−1 + 휀𝑖𝑡 (3.12. )
Sedangkan bentuk persamaan umum VAR untuk periode pasca-krisis yaitu:
𝑋𝑡 = 𝛹𝑖
3
𝑖=1
𝑢𝑠𝑡−1 + 𝛹𝑖
3
𝑖=1
𝑗𝑝𝑡−1 + 𝛹𝑖
3
𝑖=1
𝑘𝑟𝑡−1 + 𝛹𝑖
3
𝑖=1
𝑠𝑔𝑡−1 + 𝛹𝑖
3
𝑖=1
𝑚𝑦𝑡−1 + 𝛹𝑖
3
𝑖=1
𝑡ℎ𝑡−1
+ 𝛹𝑖
3
𝑖=1
𝑖𝑑𝑡−1 + 𝛹𝑖
3
𝑖=1
𝑝ℎ𝑡−1 + 휀𝑖𝑡 (3.13. )
dimana:
Xt : variabel analisis yang terdiri dari IPX negara Amerika (us), Jepang (jp),
Korea Selatan (kr), Singapura (sg), Malaysia (my), Thailand (th), Indonesia
(id) dan Filipina (ph),
Ψ : parameter dalam bentuk matriks polynomial (finite order matrix) dengan lag
operator I,
εit : vector white noise,
i : panjang lag (ordo) VAR.
4.3.3. Pengujian Stabilitas VAR
Kombinasi estimasi VAR dengan ECM yang tidak stabil akan
menyebabkan analisis IRF dan DFEV tidak valid. Sistem VAR dikatakan stabil
apabila seluruh roots of characteristic polynomial memiliki nilai yang lebih kecil
dari satu (Lutkepohl dalam Eviews 6 User’s Guide, 2007). Berdasarkan hasil uji
stabilitas VAR pada Lampiran 5, seluruh roots lebih kecil dari satu sehingga dapat
disimpulkan bahwa estimasi VAR yang akan digunakan untuk analisis IRF dan
DFEV sudah stabil.
4.3.4. Pengujian Kointegrasi
Pengujian kointegrasi pada penelitian ini menggunakan metode uji
kointegrasi dari Johansen Trace Statistic test dengan asumsi trend ketiga yaitu
linear deterministic trend intercept (no trend). Jika nilai trace statistic lebih besar
daripada critical value 5 persen maka hipotesis alternatif yang menyatakan jumlah
kointegrasi diterima sehingga dapat diketahui berapa jumlah persamaan yang
terkointegrasi dalam sistem.
Berdasarkan hasil pengujian kointegrasi ini yang dapat dilihat pada
Lampiran 6 maka terdapat minimal enam hubungan kointegrasi untuk periode pra-
krisis dan minimal delapan hubungan kointegrasi untuk periode pasca-krisis. Hasil
ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan jangka panjang antara siklus bisnis
negara-negara ASEAN+3 dan Amerika sehingga model VAR dapat
dikombinasikan dengan ECM menjadi VECM.
4.3.5. Pengujian Granger Causality
Hasil pengujian granger causality ini dapat dilihat pada Lampiran 7
untuk masing-masing periode waktu. Penentuan ordering dilakukan dengan cara
mengurutkan negara-negara yang paling banyak mempengaruhi negara lainnya.
Jika ada dua negara yang sama banyak dalam mempengaruhi negara lain, maka
dilihat hubungan antara kedua negara terebut mana yang dipengaruhi dan mana
yang mempengaruhi diantara kedua negara tersebut.
Berdasarkan hasil pengurutan granger causality maka didapat ordering
pada periode pra-krisis yaitu Filipina-Indonesia-Thailand-Amerika-Singapura-
Korea- Jepang-Malaysia. Sedangkan ordering pada periode pasca-krisis ekonomi
adalah Amerika-Malaysia-Singapura-Jepang-Korea-Indonesia-Filipina-Thailand.
4.3.6. Simulasi Impulse Response Function
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada bagian keempat ini
akan dibahas mengenai respon siklus bisnis negara ASEAN+3 terhadap
guncangan siklus bisnis Singapura, Jepang dan Amerika serta sebaliknya yaitu
bagaimana ketiga negara tersebut merespon guncangan masing-masing negara
ASEAN+3 selama 48 bulan kedepan. Disamping itu, secara spesifik akan dibahas
mengenai respon Indonesia atas guncangan ASEAN+3 dan sebaliknya.
Melalui analisis ini,maka dapat diketahui apakah guncangan siklus
bisnis tersebut bersifat simetris ataukah asimetris. Seperti dikatakan Rana (2007)
bahwa suatu guncangan yang simetris akan mendorong pada pergerakan ke arah
yang sama (output co-movement) sehingga akan mengurangi cost akibat
pembentukan OCA.
Pada penelitian ini, suatu guncangan dikatakan bersifat simetris apabila
respon masing-masing negara ASEAN+3 atas guncangan negara benchmark dan
sebaliknya pula respon negara benchmark atas guncangan masing-masing negara
ASEAN+3 direspon dengan pola yang sama dalam hal arah dan magnitude-nya.
Pada Gambar 4.3.1. disimulasikan yang pertama respon masing-masing
negara ASEAN+3 atas guncangan Singapura (garis lurus) dan yang kedua respon
Singapura atas guncangan masing-masing negara ASEAN+3 (garis putus-putus).
Pada gambar kedua, tampak bahwa Indonesia dan Singapura saling merespon
guncangan yang terjadi pada masing-masing negara, hanya saja respon siklus
bisnis antara Indonesia dan Singapura memiliki pola asimetris. Tampak jelas pada
tiga bulan pertama ketika terjadi guncangan di Singapura, maka siklus bisnis
Indonesia mengalami trend negatif sedangkan Singapura merespon guncangan
Indonesia dengan trend yang positif. Hal ini terjadi selama enam bulan, setelah itu
pergerakan siklus bisnis masing-masing cenderung searah dengan respon yang
sudah mulai berkurang mulai periode ke-13. Disamping itu magnitude respon
antara kedua siklus bisnis ini berbeda. Respon Singapura atas guncangan
Indonesia lebih besar dibandingkan respon Indonesia atas guncangan Singapura.
Berdasarkan hal tersebut, maka telah terjadi guncangan yang bersifat asimetris
(asymmetric shock) antara Singapura dan Indonesia.
Keterangan: ------- Respon masing-masing Negara ASEAN+3 atas guncangan Singapura
……. Respon Singapura atas guncangan masing-masing Negara ASEAN+3
Gambar 4.3.1. Guncangan Singapura Pra-Krisis
Pasangan negara yang mengalami respon dengan pola cenderung searah
(simetris dalam hal arah namun asimetris dalam magnitude) yaitu Filipina-
Singapura dan Thailand-Singapura, sedangkan respon yang saling berlawanan
arah terjadi pada Indonesia-Singapura dan Malaysia-Singapura. Korea, Jepang
dan Amerika cenderung tidak merespon guncangan Singapura, namun Singapura
sangat merespon guncangan ketiga negara tersebut sehingga dapat dikatakan
bahwa, terjadi guncangan asimetris antara Korea-Singapura, Jepang-Singapura
dan Amerika Singapura. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa guncangan
Singapura hanya direspon oleh negara ASEAN saja namun tidak direspon oleh
Korea dan Jepang, walaupun respon negara ASEAN ini terhadap Singapura masih
bersifat asimetris.
Gambar 4.3.2. merupakan simulasi respon masing-masing negara
ASEAN+3 atas guncangan Jepang dan respon Jepang atas guncangan masing-
masing negara ASEAN+3. Tampak bahwa negara ASEAN+3 lebih besar
merespon guncangan Singapura dibandingkan guncangan yang berasal Jepang.
Selain itu, Jepang hampir tidak merespon guncangan yang terjadi pada ASEAN,
namun ASEAN cukup fluktuatif dalam merespon guncangan Jepang terutama
Singapura. Hanya guncangan dari Korea dan Amerika yang sedikit direspon oleh
Jepang, namun demikian Jepang tidak cukup kuat dalam mempengaruhi Korea.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa guncangan
Jepang ini bersifat asimetris karena bersifat satu arah, dimana hanya negara
ASEAN yang merespon guncangan Jepang sedangkan Jepang tidak cukup kuat
dalam merespon guncangan negara ASEAN.
Keterangan: ------- Respon masing-masing Negara ASEAN+3 atas guncangan Jepang
……. Respon Jepang atas guncangan masing-masing Negara ASEAN+3
Gambar 4.3.2. Guncangan Jepang Pra-Krisis
Gambar 4.3.3. Respon ASEAN+3 atas Guncangan Amerika Pra-Krisis
Gambar 4.3.4. Respon Amerika atas Guncangan ASEAN+3 Pra-Krisis
Tampak dari Gambar 4.3.3. dan Gambar 4.3.4. bahwa guncangan
Amerika sangat direspon oleh masing-masing negara ASEAN+3. Respon positif
tertinggi dialami oleh siklus bisnis Indonesia Indonesia sedangkan respon negatif
tertinggi dialami oleh Thailand dan Singapura. Hal sebaliknya tidak terjadi, yakni
tidak satupun guncangan dari masing-masing negara ASEAN+3 yang direspon
oleh Amerika sehingga dapat disimpulkan bahwa guncangan Amerika terhadap
negara ASEAN+3 bersifat asimetris.
-0.03
-0.02
-0.01
0
0.01
0.02
0.03
0.04
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
_ID
_JP
_KR
_MY
_PH
_SG
_TH
-0.03
-0.02
-0.01
0
0.01
0.02
0.03
0.04
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
_ID
_JP
_KR
_MY
_PH
_SG
_TH
_US
Keterangan: ------- Respon masing-masing Negara ASEAN+3 atas guncangan Indonesia
……. Respon Indonesia atas guncangan masing-masing Negara ASEAN+3
Gambar 4.3.5. Guncangan Indonesia Pra-Krisis
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa analisis yang lebih
spesifik dilakukan terhadap Indonesia sehingga dapat diketahui sifat guncangan
yang berasal dari Indonesia ke masing-masing negara ASEAN+3 dan mengetahui
respon masing-masing negara ASEAN+3 dalam menanggapi guncangan dari
Indonesia. Tampak dari Gambar 4.3.5. bahwa Korea dan Amerika tidak terlalu
merespon guncangan yang terjadi di Indonesia, sedangkan Indonesia sangat
merespon guncangan yang terjadi pada Korea dan Amerika ini maka dapat
dikatakan bahwa telah terjadi guncangan yang asimetris antara dua pasang negara
ini.
Pasangan negara yang mengalami respon dengan pola cenderung searah
(simetris dalam hal arah namun asimetris dalam magnitude) yaitu Filipina-
Indonesia dan Malaysia-Indonesia, sedangkan respon yang saling berlawanan arah
terjadi pada Singapura-Indonesia. Respon yang cenderung searah dengan
magnitude hampir sama terjadi pada pasangan Thailand-Indonesia. Fluktuasi yang
relatif kecil namun searah terjadi pada pasangan Jepang-Indonesia. Secara umum
dapat disimpulkan bahwa guncangan-guncangan ini masih bersifat asimetris pada
Indonesia.
Kesimpulan secara keseluruhan menunjukkan bahwa negara-negara
ASEAN+3 lebih cenderung merespon guncangan yang berasal dari Singapura
dibandingkan Jepang walaupun masih terjadi guncangan yang bersifat asimetris.
Pada pasangan ASEAN-Singapura terjadi respon dua arah, sedangkan ASEAN-
Jepang hanya terjadi respon satu arah sehingga dapat dikatakan bahwa Singapura
lebih memiliki kedekatan dengan ASEAN dibandingkan Jepang-ASEAN.
Keterangan: ------- Respon masing-masing Negara ASEAN+3 atas guncangan Singapura
……. Respon Singapura atas guncangan masing-masing Negara ASEAN+3
Gambar 4.3.6. Guncangan Singapura Pasca-Krisis
Keterangan: ------- Respon masing-masing Negara ASEAN+3 atas guncangan Jepang
……. Respon Jepang atas guncangan masing-masing Negara ASEAN+3
Gambar 4.3.7. Guncangan Jepang Pasca-Krisis
Berdasarkan simulasi IRF pada Gambar 4.3.6. tampak bahwa pasca-
krisis ekonomi, guncangan siklus bisnis Singapura cenderung direspon lebih
simetris dalam hal arah pergerakan siklus oleh Indonesia. Disamping itu
perbedaan magnitude menjadi lebih kecil dibandingkan pra-krisis pada pasangan
negara ini. Filipina-Singapura dan Malaysia-Singapura cenderung memiliki arah
pergerakan yang sama. Respon Singapura atas guncangan Jepang pasca krisis
tidak sebesar pra-krisis ekonomi sehingga dapat dikatakan menjadi lebih simetris
pasca-krisis, namun respon Jepang dan Singapura ini masih sangat kecil atas
guncangan Singapura. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
guncangan Singapura terhadap ASEAN+3 pasca-krisis cenderung lebih simetris
dibanding pra-krisis, namun demikian Korea dan Jepang masih sangat kecil dalam
merespon guncangan Singapura ini.
Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4.3.7. yakni respon negara
ASEAN+3 atas guncangan Jepang pasca-krisis ekonomi cenderung memiliki arah
yang sama dan fluktuasi yang lebih kecil dibanding pra-krisis. Hanya Indonesia-
Singapura yang memiliki respon berlawanan arah.
Berdasarkan kedua gambar tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada
periode pasca-krisis ini negara ASEAN masih cenderung lebih merespon
guncangan yang terjadi pada Singapura dibanding Jepang. Guncangan Jepang
masih cenderung satu arah dibanding guncangan yang berasal dari Singapura yang
direspon timbal balik. Maka dapat dikatakan bahwa guncangan Singapura masih
lebih memberikan respon yang dekat dengan negara ASEAN dibanding
guncangan dari Jepang.
Gambar 4.3.8. Respon ASEAN+3 atas Guncangan Amerika Pasca-Krisis
Gambar 4.3.9. Respon Amerika atas Guncangan ASEAN+3 Pasca-Krisis
Tampak dari Gambar 4.3.8. dan Gambar 4.3.9. bahwa guncangan
Amerika sangat direspon oleh masing-masing negara ASEAN+3. Terjadi situasi
yang agak berbeda dengan periode pra-krisis, dimana pada pasca-krisis ini
Indonesia mengalami respon negatif tertinggi yang disusul oleh Thailand pada
periode enam bulan pertama. Dapat disimpulkan bahwa guncangan Amerika pada
negara ASEAN+3 bersifat asimetris karena tidak satupun guncangan dari masing-
masing negara ASEAN+3 yang direspon oleh Amerika.
-0.03
-0.02
-0.01
0
0.01
0.02
0.03
0.04
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
_ID
_JP
_KR
_MY
_PH
_SG
_TH
-0.03
-0.02
-0.01
0
0.01
0.02
0.03
0.04
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
_ID
_JP
_KR
_MY
_PH
_SG
_TH
_US
Keterangan: ------- Respon masing-masing Negara ASEAN+3 atas guncangan Indonesia
……. Respon Indonesia atas guncangan masing-masing Negara ASEAN+3
Gambar 4.3.10. Guncangan Singapura Pasca-Krisis
Tampak pada gambar 4.3.10. bahwa Indonesia mengalami respon
negatif ketika terdapat guncangan dari Filipina, Korea dan Amerika sedangkan
Filipina dan Korea meresponnya dengan arah yang positif dan Amerika tidak
merespon guncangan Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa terjadi guncangan
asimetris antara ketiga pasang negara ini. Indonesia merespon positif guncangan
yang terjadi pada Singapura, Malaysia, Jepang dan Thailand dengan magnitude
yang cukup besar pada periode pasca krisis.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa masih cenderung sama
dengan pra-krisis dimana negara-negara ASEAN+3 lebih cenderung merespon
guncangan yang berasal dari Singapura dibandingkan Jepang walaupun masih
terjadi guncangan yang bersifat asimetris. Pada pasangan ASEAN-Singapura
terjadi respon dua arah, sedangkan ASEAN-Jepang hanya terjadi respon satu arah
sehingga dapat dikatakan bahwa Singapura lebih memiliki kedekatan dengan
ASEAN dibandingkan Jepang-ASEAN.
4.3.7. Simulasi Decomposition of Forecasting Error Variance
Bagian kelima pada penelitian ini menganalisis persentase kontribusi
siklus bisnis diantara negara-negara ASEAN+3 melalui analisis decomposition of
forecasting error variance (DFEV). Simulasi DFEV ini diproyeksikan selama 48
bulan. Dalam mencapai kerjasama tertinggi yaitu currency union maka diperlukan
variabilitas siklus bisnis yang seimbang di masing-masing negara tersebut (kurang
dari 50%). Maksudnya yaitu, kontribusi negara itu sendiri atas siklus bisnis yang
terjadi pada negaranya sendiri harus kurang dari 50%, sisanya dijelaskan oleh
masing-masing negara ASEAN+3 lainnya.
Keterangan :
1. : Amerika 3. : Singapura 5. : Malaysia 7. : Jepang
2. : Thailand 4. : Filipina 6. : Korea Selatan 8. : Indonesia
Gambar 4.3.11. DFEV Siklus Bisnis ASEAN+3 Periode Pra-Krisis
Indonesia
Singapura
Thailand
Filipina
Malaysia Korea
Jepang
Keterangan :
1. : Amerika 3. : Singapura 5. : Malaysia 7. : Jepang
2. : Thailand 4. : Filipina 6. : Korea Selatan 8. : Indonesia
Gambar 4.3.12. DFEV Siklus Bisnis ASEAN+3 Periode Pasca-Krisis
Indonesia
Singapura
Thailand
Filipina
Malaysia Korea
Jepang
Tabel 4.2.3. Peranan Siklus Bisnis di Masing-Masing Negara ASEAN+3
Pra-Krisis Pasca-Krisis
Negara Kontribusi Periode Kontribusi Periode
1 5 48 1 5 48
Indonesia Id 97 75 77 Id 68 48 22
Th 0 9 26
My 30 26 23
Korea Kr 84 42 22 Kr 96 90 82
Id 11 14 22
Ph 0 24 29
Thailand Th 96 63 67 Th 71 41 21
Id 2 12 17 My 11 14 21
Kr 0 9 25
Us 1 8 12
Jp 3 9 12
Singapura Sg 85 43 40 Sg 91 78 72
Id 2 12 26 My 9 14 18
Ph 12 15 22
Malaysia my 62 36 32 My 99 82 64
id 31 48 57 Kr 0 5 13
Jepang Jp 68 56 56 Jp 98 50 26
Kr 8 16 17 Kr 0 9 18
Us 18 16 18 Us 2 21 35
Filipina Ph 100 75 73 Ph 89 72 65
My 3 9 15
Us 1 10 9
Keterangan: Cetak tebal: Peranan terhadap diri sendiri ≤ 50%.
Gambar 4.3.11 dan 4.3.12 menunjukkan variabilitas kontribusi siklus
bisnis dalam menjelaskan fluktuasi siklus bisnis yang terjadi di masing-masing
negara ASEAN+3. Pada satu bulan pertama tampak siklus bisnis di masing-
masing negara dominan ditentukan oleh siklus bisnis masing-masing negara itu
sendiri. Pada periode pra-krisis tampak bahwa peranan Korea, Singapura dan
Malaysia dalam menjelaskan fluktuasi siklus bisnis di negara masing-masing
kurang dari 50% mulai bulan ke-5. Disamping itu, siklus bisnis Indonesia
dominan dalam menjelaskan fluktuasi siklus bisnis di ASEAN+3 yaitu pada
Negara Korea, Thailand, Singapura dan Malaysia.
Pasca-krisis ekonomi menunjukkan bahwa peranan Indonesia, Thailand
dan Jepang dalam menjelaskan fluktuasi di negaranya sendiri kurang dari 50%
mulai bulan ke-5. Disamping itu, siklus bisnis Malaysia cukup dominan dalam
menjelaskan fluktuasi siklus bisnis di ASEAN+3 yaitu pada Negara Indonesia,
Thailand dan Singapura.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pada periode pra-
krisis Korea, Singapura dan Malaysia memenuhi kandidat OCA sedangkan pada
pasca-krisis negara yang memenuhi kandidat OCA adalah Indonesia, Thailand
dan Jepang.
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis korelasi siklus bisnis, maka dapat disimpulkan
bahwa semua negara ASEAN+3 memiliki siklus bisnis yang dekat dengan
Singapura, namun belum tentu dekat dengan Jepang. Hanya Thailand, Korea dan
Malaysia yang memiliki kedekatan lebih kuat dengan Jepang namun hal tersebut
tidak terjadi pada Filipina dan Indonesia. Namun demikian, semua negara
ASEAN+3 ini memiliki tingkat pergerakan yang sama dengan Singapura
dibandingkan dengan Jepang sehingga dapat dikatakan bahwa sinkronisasi siklus
bisnis ASEAN+3 ini cenderung lebih sinkron dengan Singapura dibandingkan
dengan Jepang.
Berdasarkan analisis IRF dapat disimpulkan bahwa negara-negara
ASEAN+3 lebih cenderung merespon guncangan yang berasal dari Singapura
dibandingkan Jepang walaupun masih terjadi guncangan yang bersifat asimetris
atas guncangan siklus bisnis Singapura. Pada pasangan ASEAN-Singapura terjadi
respon dua arah, sedangkan ASEAN-Jepang hanya terjadi respon satu arah yakni
ASEAN merespon setiap guncangan Jepang namun Jepang kurang merespon
guncangan masing-masing negara ASEAN. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa
Singapura lebih memiliki kedekatan dengan ASEAN dibandingkan Jepang-
ASEAN.
Berdasarkan analisis DFEV dapat disimpulkan bahwa pada periode pra-
krisis tampak bahwa peranan Korea, Singapura dan Malaysia dalam menjelaskan
fluktuasi siklus bisnis di negara masing-masing kurang dari 50%. Siklus bisnis
Indonesia dominan dalam menjelaskan fluktuasi siklus bisnis di ASEAN+3 yaitu
pada Negara Korea, Thailand, Singapura dan Malaysia. Pasca-krisis ekonomi
menunjukkan bahwa peranan Indonesia, Thailand dan Jepang dalam menjelaskan
fluktuasi di negaranya sendiri kurang dari 50%. Pada periode ini, siklus bisnis
Malaysia cukup dominan dalam menjelaskan fluktuasi siklus bisnis di ASEAN+3
yaitu pada Negara Indonesia, Thailand dan Singapura. Berdasarkan hal tersebut
dapat dikatakan bahwa pada periode pra-krisis Korea, Singapura dan Malaysia
memenuhi kandidat OCA sedangkan pada pasca-krisis negara yang memenuhi
kandidat OCA adalah Indonesia, Thailand dan Jepang.
5.2. Saran
Semakin dekatnya waktu pelaksanaan currency union ASEAN+3
membuat negara-negara di kawasan ASEAN+3 harus segera mempersiapkan diri.
Penelitian ini membahas mengenai sinkronisasi siklus bisnis di ASEAN+3 dengan
menggunakan variabel industrial production index. Hasilnya menunjukkan bahwa
siklus bisnis ASEAN+3 lebih sinkron terhadap siklus bisnis Singapura
dibandingkan siklus bisnis Jepang.
Melihat keuntungan yang akan diperoleh dari adanya currency union
dan terdapatnya kesamaan sifat siklus bisnis pada siklus bisnis Asia terutama
Singapura maka penulis menyarankan untuk melaksanakan currency union di
kawasan ASEAN+3. Namun penyatuan mata uang ini sebaiknya dimulai diantara
negara ASEAN-5 terlebih dahulu dengan Singapura sebagai negara peg-nya baru
nanti dapat dilanjutkan dengan penyatuan tiga negara Asia Timur.
Namun demikian, sehubungan dengan masih ada beberapa negara yang
belum tersinkron dengan siklus bisnis Singapura maupun Jepang, maka sebaiknya
negara-negara tersebut mempersiapkan diri dengan cara mulai menyamakan atau
paling tidak mendekati variabel-variabel ekonomi makronya terhadap negara
ASEAN.
Setiap negara ASEAN+3 harus memperkuat sektor industri masing-
masing dengan basis sumberdaya dan pasar domestik. Tujuannya yaitu
memperkuat pondasi perekonomian sehingga akan tahan terhadap guncangan
yang bersifat asimetris. Negara-negara industri di kawasan Asia yang lebih maju
seperti Jepang dan Korea sebaiknya membantu negara-negara berkembang di
ASEAN+3 yang masih rentan terhadap guncangan asimetris akibat masih
lemahnya sektor industri. Hal yang dapat dilakukan diantaranya saling
bekerjasama mengadakan investasi di sektor perindustrian serta melakukan
transfer ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak hanya profit oriented namun
atas dasar kepentingan bersama agar tercipta symmetric shock sehingga manfaat
apabila terlaksana currency union ASEAN+3 akan lebih besar dibandingkan cost-
nya.
DAFTAR PUSTAKA
Achsani, N.A. 2008. Integrasi Ekonomi ASEAN+3: Antara Peluang dan
Ancaman. Brighten Institute, Bogor.
Ahn, Changmo, H. B. Kim, dan D. Chang. 2005. “Is East Asia Fit for An
Optimum Currency Area? An Assessment of The Economic
Feasibility of A Higher Degree of Monetary Cooperation in East
Asia”. Journal Compilation Institute of Developing Economics,
XLIV-3: 288-305.
Artis, M, dan Zang W. 1995. “International Business cycles and the ERM: Is
There a European Business cycle?”. International Journal Finance
Economics, Vol. 2:1-16.
Bayoumi, T. dan Eichengreen B. 1994. “One Money or Many? Analyzing the
Prospects for Monetary Unification in Various Parts of the World”.
Princeton Studies in International Finance, No. 76.
Benazir, A. dan Noer A.A. 2008. Early Warning System Pergerakan Nilai Tukar
di Indonesia (Pendekatan Leading Economic Incdicators). Journal of
Management and Agribusiness, Vol.5 No.1.
Bergman, M. “What Conditions Must Be Fufilled For Countries Forming a
Monetary Union?”. International Monetary Economics University of
Copenhagen.
Enders, W. 2000. Applied Economic Time Series. John Wiley & Son, Ltd. New
York, USA.
Gallegati, M. Mauro G., dan Wolfgang P. Business Cycles’ Characteristics of the
Mediterranean Area Countries.
Glick, R and A. K. Rose. 2002. Does A currency Union Affect Trade? The Time
Series Evidence. European Economic Review, 46 :1125-1151.
Gujarati, D. 2003. Ekonometrika Dasar. Sumarno Zain [penerjemah]. Erlangga.
Jakarta.
Hanie. 2006. Analisis Konvergensi Nominal dan Riil diantara Negara-Negara
ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi
dan Manajemen: Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lütkepohl, H. 2005. Structural Vector Autoregressive Analysis for Cointegrated
Variabels. Department of Economics. European University Institute
(Italy). Working Paper No. 2.
Mankiw, N. G. 2003. Teori Makro Ekonomi. Imam Nurmawan [penerjemah].
Erlangga, Jakarta.
Mittal, R. 2004. ASEAN Monetary Union – A Possibility? A comparison of
ASEAN economic indicators with that of Euro Zone. Public Policy
Department Stanford University.
Nababan, H.F. 2006. Efek Perubahan Kurs (Pass-Through Effect) Terhadap
Tujuh Kelompok Indeks Harga Konsumen di Indonesia. [Skripsi].
Fakultas Ekonomi dan Manajemen: Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ng, Thiam Hee. 2002. Should the South East Asian Countries Form a Currency
Union?. Developing. Economies, 40:113–34.
Nugraha, Fickry W dan Noer A.A. 2008. Efek perubahan (pass-through effect)
kurs terhadap Indeks Harga Konsumen di ASEAN-5, Jepang, dan
Korea Selatan. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, 1 (1) :
90-109
Partisiwi, T. 2008. Analisis Kemungkinan Penyatuan Mata Uang (Currency
Unification) Di ASEAN+3: Pendekatan Keragaman Exchange Rate
[Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen: Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Puspaningrum, D.E. Pengaruh Integrasi Perdagangan Terhadap Sinkronisasi
Business cycle ASEAN+3. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan
Manajemen: Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rana, P.B. 2007. Trade Intensity and Business Cycle Synchronization: The Case
of East Asia. Asian Development Bank. Working Paper Series on
Regional Economi Integration, No.10.
Ricardo, R. 2007. Analisis Keterkaitan Besaran Moneter Bebas Bunga dan
Mengandung Bunga dengan Business cycle Idonesia [Skripsi].
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rose, A. K. dan Jeffrey A.F. 1998. The Endogeneity of the Optimum Currency
Area Criteria. The Economic Journal, 108 (449) : 1009-1025.
Sintaresmi, N. 2006. Analisis Pengaruh Guncangan Kurs Yen dan USD Terhadap
Rupiah dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Melalui
Jalur Nilai Tukar di Indonesia. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan
Manajemen: Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika edisi ketiga. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Lampiran 1. Contemporaneous Correlation
1. PRA-KRISIS
_ID _JP _KR _MY _PH _SG _TH _US
_ID 1.000 -0.085 -0.181 0.432 -0.085 0.275 -0.279 -0.256
_JP -0.085 1.000 -0.097 0.120 -0.050 -0.128 -0.025 0.586
_KR -0.181 -0.097 1.000 0.010 0.136 0.067 -0.042 0.112
_MY 0.432 0.120 0.010 1.000 -0.120 0.079 -0.272 0.120
_PH -0.085 -0.050 0.136 -0.120 1.000 0.280 0.022 -0.158
_SG 0.275 -0.128 0.067 0.079 0.280 1.000 0.168 -0.172
_TH -0.279 -0.025 -0.042 -0.272 0.022 0.168 1.000 0.121
_US -0.256 0.586 0.112 0.120 -0.158 -0.172 0.121 1.000
2. PASCA-KRISIS
_ID _JP _KR _MY _PH _SG _TH _US
_ID 1.000 0.280 0.307 0.576 0.378 0.353 0.251 0.050
_JP 0.280 1.000 0.602 0.677 0.243 0.393 0.510 0.630
_KR 0.307 0.602 1.000 0.631 0.162 0.369 0.511 0.427
_MY 0.576 0.677 0.631 1.000 0.378 0.469 0.520 0.392
_PH 0.378 0.243 0.162 0.378 1.000 0.375 0.270 0.010
_SG 0.353 0.393 0.369 0.469 0.375 1.000 0.445 0.298
_TH 0.251 0.510 0.511 0.520 0.270 0.445 1.000 0.302
_US 0.050 0.630 0.427 0.392 0.010 0.298 0.302 1.000
Lampiran 2. Cross Correlation
1. SINGAPURA-INDONESIA
Date: 07/25/09 Time: 16:29
Sample: 1993M01 1997M06
Included observations: 54
Correlations are asymptotically consistent approximations _SG,_ID(-i) _SG,_ID(+i) i lag lead . |*** | . |*** | 0 0.2750 0.2750
. | . | . |**. | 1 -0.0269 0.1942
. |**. | . |* . | 2 0.1633 0.0882
. | . | . | . | 3 -0.0240 -0.0039
.**| . | . |* . | 4 -0.2030 0.0600
.**| . | .**| . | 5 -0.2364 -0.1728
***| . | .**| . | 6 -0.3174 -0.2074
***| . | . | . | 7 -0.2775 -0.0284
. *| . | . | . | 8 -0.1050 0.0090
. *| . | . |* . | 9 -0.1368 0.1167
. | . | . |*** | 10 -0.0266 0.2755
. |**. | . | . | 11 0.1987 -0.0167
. |* . | . |*** | 12 0.1118 0.2924
. |* . | . |**. | 13 0.1096 0.1827
. |* . | . |* . | 14 0.1546 0.0624
. |* . | . | . | 15 0.0686 -0.0352
. *| . | . | . | 16 -0.0772 0.0021
. *| . | ***| . | 17 -0.1088 -0.2704
. *| . | ***| . | 18 -0.1467 -0.3215
. *| . | . *| . | 19 -0.1206 -0.0898
. *| . | . *| . | 20 -0.0472 -0.0973
. *| . | . | . | 21 -0.0437 0.0236
. | . | . |**. | 22 0.0414 0.1684
. |**. | . *| . | 23 0.2293 -0.1058
. | . | . |*** | 24 0.0138 0.2640
Date: 07/25/04 Time: 17:50
Sample: 1997M07 2008M09
Included observations: 135
Correlations are asymptotically consistent approximations _SG,_ID(-i) _SG,_ID(+i) i lag lead . |**** | . |**** | 0 0.3529 0.3529
. |** | . |*. | 1 0.2134 0.1082
. |** | . |*. | 2 0.2143 0.1141
. |** | . |*. | 3 0.1790 0.0973
.*| . | . | . | 4 -0.0417 -0.0314
.*| . | .*| . | 5 -0.1059 -0.0631
.*| . | . | . | 6 -0.1008 -0.0266
**| . | .*| . | 7 -0.1955 -0.0688
.*| . | . | . | 8 -0.1366 0.0233
.*| . | . |** | 9 -0.0516 0.1602
**| . | . |*. | 10 -0.1529 0.0875
.*| . | . |*. | 11 -0.0535 0.1364
. |*. | . |** | 12 0.1547 0.2343
. | . | . | . | 13 -0.0243 -0.0316
. |*. | . | . | 14 0.0654 0.0033
. |*. | .*| . | 15 0.0565 -0.0758
**| . | **| . | 16 -0.1979 -0.1866
.*| . | **| . | 17 -0.1420 -0.1518
**| . | **| . | 18 -0.1682 -0.1605
***| . | .*| . | 19 -0.2550 -0.1087
**| . | . | . | 20 -0.2074 -0.0248
.*| . | . | . | 21 -0.0706 0.0136
.*| . | . | . | 22 -0.1341 0.0052
. | . | . |*. | 23 -0.0288 0.0868
. |*. | . |*. | 24 0.1022 0.1046
. |*. | .*| . | 25 0.0677 -0.0498
. |** | . | . | 26 0.1639 -0.0037
. | . | .*| . | 27 0.0482 -0.0765
.*| . | .*| . | 28 -0.1320 -0.1243
. | . | .*| . | 29 0.0013 -0.1191
.*| . | **| . | 30 -0.0918 -0.1506
.*| . | . | . | 31 -0.1213 -0.0344
.*| . | . | . | 32 -0.0498 -0.0104
. | . | . | . | 33 0.0011 0.0299
. | . | . |*. | 34 -0.0143 0.1542
. |*. | . |*. | 35 0.1455 0.0761
. |** | . |*. | 36 0.2314 0.0601
2. SINGAPURA-MALAYSIA
Date: 07/25/09 Time: 16:35
Sample: 1993M01 1997M06
Included observations: 54
Correlations are asymptotically consistent approximations _SG,_MY(-i) _SG,_MY(+i) i lag lead . |* . | . |* . | 0 0.0787 0.0787
. |* . | . |*** | 1 0.1202 0.3326
. |* . | . | . | 2 0.1508 0.0187
. |**. | ***| . | 3 0.2316 -0.3225
.**| . | . |**. | 4 -0.1805 0.2058
. *| . | ***| . | 5 -0.0741 -0.2800
. | . | .**| . | 6 -0.0140 -0.1544
***| . | . *| . | 7 -0.2502 -0.0644
. |**. | . *| . | 8 0.1572 -0.0721
.**| . | . |**. | 9 -0.1531 0.1722
. | . | . |* . | 10 0.0396 0.0765
. |*** | . |* . | 11 0.3422 0.0751
. |* . | . | . | 12 0.1245 0.0462
. |**. | . |*** | 13 0.1559 0.3299
. |**. | . |* . | 14 0.2244 0.0881
. |**. | ****| . | 15 0.2465 -0.3849
. *| . | . |**. | 16 -0.0701 0.1687
. | . | .**| . | 17 -0.0407 -0.2241
. | . | ***| . | 18 -0.0336 -0.2491
.**| . | . *| . | 19 -0.1979 -0.0602
. | . | .**| . | 20 -0.0265 -0.1520
.**| . | . |* . | 21 -0.2195 0.0506
. *| . | . | . | 22 -0.0943 0.0308
. |* . | . | . | 23 0.0863 -0.0329
. *| . | . | . | 24 -0.0854 -0.0046
Date: 07/25/04 Time: 17:52
Sample: 1997M07 2008M09
Included observations: 135
Correlations are asymptotically consistent approximations _SG,_MY(-i) _SG,_MY(+i) i lag lead . |***** | . |***** | 0 0.4691 0.4691
. |*** | . |*** | 1 0.3319 0.3488
. |*** | . |*** | 2 0.3189 0.2598
. |**** | . |** | 3 0.3902 0.2229
. |*. | . |** | 4 0.1088 0.2413
. |*. | . |*. | 5 0.1470 0.0959
. |*. | . |*. | 6 0.0531 0.0939
.*| . | . |*. | 7 -0.1414 0.0586
. | . | . | . | 8 0.0383 0.0009
**| . | . |*. | 9 -0.1617 0.1302
**| . | . | . | 10 -0.2349 -0.0015
**| . | . | . | 11 -0.1527 0.0201
.*| . | . |*. | 12 -0.0974 0.0939
**| . | .*| . | 13 -0.1597 -0.1127
.*| . | .*| . | 14 -0.1219 -0.1009
.*| . | .*| . | 15 -0.0666 -0.1193
***| . | **| . | 16 -0.2960 -0.1500
.*| . | **| . | 17 -0.1347 -0.1711
**| . | .*| . | 18 -0.1644 -0.1340
***| . | .*| . | 19 -0.2792 -0.1170
.*| . | **| . | 20 -0.0770 -0.1820
**| . | .*| . | 21 -0.2139 -0.0539
**| . | .*| . | 22 -0.1703 -0.1414
.*| . | .*| . | 23 -0.1223 -0.1084
. | . | . | . | 24 -0.0011 -0.0021
.*| . | **| . | 25 -0.0523 -0.1566
. | . | **| . | 26 -0.0408 -0.1514
. | . | **| . | 27 0.0178 -0.1611
.*| . | **| . | 28 -0.1286 -0.1528
. | . | **| . | 29 0.0102 -0.1679
. | . | **| . | 30 -0.0265 -0.1630
. | . | .*| . | 31 -0.0328 -0.0552
. |*. | .*| . | 32 0.1247 -0.0825
. | . | . | . | 33 0.0172 0.0141
. |*. | . | . | 34 0.1282 0.0215
. |** | . | . | 35 0.1892 0.0471
. |** | . |*. | 36 0.2308 0.1266
3. SINGAPURA-FILIPINA
Date: 07/25/09 Time: 16:37
Sample: 1993M01 1997M06
Included observations: 54
Correlations are asymptotically consistent approximations _SG,_PH(-i) _SG,_PH(+i) i lag lead . |*** | . |*** | 0 0.2804 0.2804
. |**. | .**| . | 1 0.2148 -0.1673
. |* . | . |**. | 2 0.0857 0.1601
. |* . | . |*** | 3 0.0914 0.2612
. | . | . *| . | 4 -0.0179 -0.1173
. |* . | . | . | 5 0.1350 0.0398
. | . | . |* . | 6 -0.0402 0.1231
. *| . | . |* . | 7 -0.0513 0.0812
.**| . | . *| . | 8 -0.1740 -0.0440
. |*** | . | . | 9 0.2793 0.0054
. |**. | . *| . | 10 0.1600 -0.0652
***| . | . |* . | 11 -0.3257 0.0978
. |**. | . |* . | 12 0.2450 0.1343
. |* . | ***| . | 13 0.0613 -0.2821
.**| . | . | . | 14 -0.1706 -0.0032
. *| . | . |* . | 15 -0.0519 0.0877
. *| . | ***| . | 16 -0.1279 -0.3193
. *| . | . *| . | 17 -0.0625 -0.0918
.**| . | . | . | 18 -0.1997 0.0472
.**| . | . | . | 19 -0.1836 0.0458
.**| . | . | . | 20 -0.1868 -0.0406
. |* . | . *| . | 21 0.0973 -0.0414
. | . | . | . | 22 0.0064 0.0002
.**| . | . |* . | 23 -0.2173 0.1154
. |**. | . |* . | 24 0.2114 0.1109
Date: 07/26/09 Time: 19:49
Sample: 1997M07 2008M09
Included observations: 135
Correlations are asymptotically consistent approximations _SG,_PH(-i) _SG,_PH(+i) i lag lead . |**** | . |**** | 0 0.3751 0.3751
. |** | . | . | 1 0.2211 0.0339
. | . | . |*. | 2 0.0011 0.1267
. |*. | . |** | 3 0.0887 0.1932
.*| . | . | . | 4 -0.1045 -0.0247
**| . | . |*. | 5 -0.2018 0.0723
.*| . | . |*. | 6 -0.1064 0.1208
.*| . | .*| . | 7 -0.1360 -0.0688
**| . | .*| . | 8 -0.2260 -0.0885
.*| . | . |*. | 9 -0.0565 0.1375
.*| . | . | . | 10 -0.0563 0.0270
.*| . | . |** | 11 -0.1205 0.1840
. |*. | . |**** | 12 0.1079 0.3564
. | . | . | . | 13 0.0180 0.0228
. | . | . |*. | 14 -0.0234 0.0962
. | . | . | . | 15 0.0301 -0.0056
. | . | ***| . | 16 -0.0102 -0.2495
.*| . | **| . | 17 -0.0759 -0.1588
.*| . | . | . | 18 -0.0417 -0.0113
.*| . | **| . | 19 -0.0448 -0.1720
.*| . | **| . | 20 -0.1341 -0.1656
. | . | . | . | 21 0.0218 0.0460
. |*. | . | . | 22 0.0636 -0.0279
.*| . | . |*. | 23 -0.0967 0.1149
. |** | . |** | 24 0.1702 0.2480
. |*. | .*| . | 25 0.0892 -0.0709
. | . | . | . | 26 -0.0074 0.0072
. | . | . | . | 27 -0.0076 0.0432
**| . | **| . | 28 -0.1477 -0.2423
**| . | **| . | 29 -0.1549 -0.1832
.*| . | .*| . | 30 -0.0881 -0.0879
.*| . | **| . | 31 -0.0478 -0.1562
.*| . | **| . | 32 -0.1240 -0.1651
. | . | . | . | 33 0.0108 -0.0196
. |*. | .*| . | 34 0.0795 -0.0827
. | . | . |*. | 35 -0.0293 0.1256
. |** | . |** | 36 0.2241 0.1867
4. SINGAPURA-THAILAND
Date: 07/25/09 Time: 16:39
Sample: 1993M01 1997M06
Included observations: 54
Correlations are asymptotically consistent approximations _SG,_TH(-i) _SG,_TH(+i) i lag lead . |**. | . |**. | 0 0.1682 0.1682
.**| . | ******| . | 1 -0.1789 -0.5690
.**| . | . | . | 2 -0.2038 0.0140
. *| . | . |**. | 3 -0.0916 0.1937
.**| . | . *| . | 4 -0.1521 -0.0543
. | . | . | . | 5 -0.0146 0.0239
. |* . | . |**. | 6 0.1540 0.2010
. *| . | . |* . | 7 -0.0802 0.1464
. | . | . | . | 8 -0.0371 -0.0068
. |**. | . *| . | 9 0.1772 -0.0787
. |* . | .**| . | 10 0.1148 -0.1506
****| . | . *| . | 11 -0.4128 -0.0988
. |* . | . |* . | 12 0.1401 0.1518
. | . | *****| . | 13 0.0202 -0.4537
. | . | . | . | 14 -0.0258 0.0152
. |* . | . |* . | 15 0.1036 0.1517
. |* . | . | . | 16 0.1100 -0.0000
. |**. | . | . | 17 0.2394 0.0432
. |*** | . |**. | 18 0.3195 0.1699
. |* . | . |* . | 19 0.1194 0.1482
. |* . | . |* . | 20 0.0589 0.0771
. |**. | . | . | 21 0.2159 -0.0170
. |* . | . *| . | 22 0.1539 -0.1091
***| . | . *| . | 23 -0.2918 -0.0934
. |* . | . |* . | 24 0.1482 0.1218
Date: 07/25/04 Time: 17:54
Sample: 1997M07 2008M09
Included observations: 135
Correlations are asymptotically consistent approximations _SG,_TH(-i) _SG,_TH(+i) i lag lead . |**** | . |**** | 0 0.4446 0.4446
. |*. | .*| . | 1 0.1016 -0.1001
. |*. | . |** | 2 0.0656 0.1990
. |** | . |**** | 3 0.2394 0.4255
. | . | . |*. | 4 0.0157 0.1301
. | . | . |** | 5 0.0357 0.1898
. |*. | . |*** | 6 0.1516 0.2850
. | . | . | . | 7 0.0318 0.0360
.*| . | . | . | 8 -0.0924 -0.0279
. |*. | . |*. | 9 0.1467 0.1091
.*| . | .*| . | 10 -0.0629 -0.1239
***| . | .*| . | 11 -0.3220 -0.0868
. |*. | . |*. | 12 0.0697 0.1048
**| . | ****| . | 13 -0.2087 -0.3725
**| . | .*| . | 14 -0.2030 -0.0538
. | . | . |*. | 15 -0.0313 0.0605
**| . | **| . | 16 -0.2129 -0.2362
.*| . | .*| . | 17 -0.0862 -0.0637
. | . | . | . | 18 -0.0011 0.0081
.*| . | **| . | 19 -0.0499 -0.1864
.*| . | .*| . | 20 -0.1035 -0.1464
. | . | . | . | 21 0.0171 -0.0269
.*| . | ***| . | 22 -0.1181 -0.2570
***| . | .*| . | 23 -0.3263 -0.1058
. | . | . |*. | 24 0.0011 0.0697
**| . | ***| . | 25 -0.1835 -0.3420
**| . | . | . | 26 -0.1570 0.0080
.*| . | . |*. | 27 -0.0502 0.0942
.*| . | .*| . | 28 -0.0870 -0.1426
. | . | . | . | 29 0.0015 0.0451
. |*. | . |*. | 30 0.0989 0.0673
. |*. | .*| . | 31 0.1295 -0.0666
. |*. | .*| . | 32 0.0887 -0.0678
. |*** | . | . | 33 0.2670 0.0442
. |** | .*| . | 34 0.1786 -0.0726
.*| . | . | . | 35 -0.0433 -0.0241
. |** | . |** | 36 0.2166 0.1616
5. SINGAPURA-KOREA
Date: 07/27/09 Time: 01:26
Sample: 1993M01 1997M06
Included observations: 54
Correlations are asymptotically consistent approximations _SG,_KR_SA(-i) _SG,_KR_SA(+i) i lag lead . |* . | . |* . | 0 0.0674 0.0674
. *| . | . |* . | 1 -0.0622 0.1276
. *| . | . *| . | 2 -0.1303 -0.0583
. |**. | . |* . | 3 0.1874 0.1378
. |* . | . |**. | 4 0.0786 0.2034
. |* . | . |* . | 5 0.1290 0.0704
. |*** | . |**. | 6 0.2673 0.1764
. | . | . |**. | 7 0.0364 0.1627
. |* . | . |* . | 8 0.1477 0.1337
. |**. | . |**. | 9 0.1829 0.1595
. *| . | .**| . | 10 -0.1138 -0.1508
. | . | .**| . | 11 -0.0252 -0.1526
. | . | .**| . | 12 -0.0084 -0.1569
***| . | . | . | 13 -0.3077 -0.0357
. *| . | .**| . | 14 -0.1031 -0.1825
. | . | . | . | 15 -0.0131 -0.0037
. *| . | . *| . | 16 -0.1319 -0.0472
. | . | .**| . | 17 -0.0237 -0.1620
. |* . | . | . | 18 0.0708 0.0073
. *| . | . |* . | 19 -0.1031 0.1006
. *| . | . |* . | 20 -0.0627 0.0954
. |* . | . |* . | 21 0.0613 0.0869
.**| . | . *| . | 22 -0.1905 -0.1361
. *| . | . | . | 23 -0.1033 -0.0255
. | . | . | . | 24 -0.0124 -0.0263
Date: 07/27/09 Time: 01:29
Sample: 1997M07 2008M09
Included observations: 135
Correlations are asymptotically consistent approximations _SG,_KR_SA(-i) _SG,_KR_SA(+i) i lag lead . |**** | . |**** | 0 0.3689 0.3689
. |*** | . |*** | 1 0.3180 0.2992
. |*** | . |*** | 2 0.2767 0.3231
. |** | . |*** | 3 0.2293 0.2880
. |** | . |** | 4 0.1978 0.1720
. |** | . |*. | 5 0.1638 0.1267
. |*. | . |*. | 6 0.1487 0.0655
. |** | . | . | 7 0.1778 -0.0018
. |*. | .*| . | 8 0.1475 -0.0616
. |*. | .*| . | 9 0.0494 -0.1227
. | . | **| . | 10 0.0295 -0.1542
.*| . | .*| . | 11 -0.0505 -0.1137
.*| . | .*| . | 12 -0.1352 -0.1359
**| . | .*| . | 13 -0.1521 -0.1434
**| . | .*| . | 14 -0.1952 -0.1218
**| . | .*| . | 15 -0.2242 -0.1197
**| . | .*| . | 16 -0.2083 -0.1154
**| . | . | . | 17 -0.1941 -0.0320
.*| . | .*| . | 18 -0.1464 -0.1160
.*| . | .*| . | 19 -0.1245 -0.0882
.*| . | .*| . | 20 -0.1229 -0.0770
.*| . | .*| . | 21 -0.0881 -0.0815
.*| . | . | . | 22 -0.0831 -0.0268
**| . | .*| . | 23 -0.1685 -0.0557
.*| . | .*| . | 24 -0.1190 -0.0513
**| . | . | . | 25 -0.1795 -0.0332
**| . | .*| . | 26 -0.2372 -0.0520
**| . | . | . | 27 -0.2440 -0.0329
**| . | . | . | 28 -0.2014 -0.0157
**| . | . | . | 29 -0.1726 -0.0211
.*| . | . | . | 30 -0.0977 -0.0365
.*| . | . | . | 31 -0.0696 -0.0245
. | . | .*| . | 32 0.0474 -0.0598
. |*. | .*| . | 33 0.0884 -0.0960
. |** | . | . | 34 0.1735 -0.0032
. |** | .*| . | 35 0.1695 -0.0415
. |** | . | . | 36 0.2358 0.0343
6. JEPANG-SINGAPURA
Date: 07/27/09 Time: 02:28
Sample: 1993M01 1997M06
Included observations: 54
Correlations are asymptotically consistent approximations _JP_SA,_SG(-i) _JP_SA,_SG(+i) i lag lead . *| . | . *| . | 0 -0.1277 -0.1277
.**| . | . |* . | 1 -0.2078 0.0548
. | . | . *| . | 2 -0.0198 -0.1414
. *| . | . | . | 3 -0.0596 0.0262
. *| . | . |* . | 4 -0.1322 0.0531
. *| . | . | . | 5 -0.0993 0.0267
. *| . | . | . | 6 -0.0894 -0.0015
. *| . | . |* . | 7 -0.0638 0.0503
. | . | . | . | 8 -0.0024 0.0349
. | . | . |* . | 9 0.0045 0.0522
. *| . | . |* . | 10 -0.1285 0.0807
. | . | . |**. | 11 0.0334 0.1791
. |* . | . | . | 12 0.1067 0.0439
. | . | . |**. | 13 -0.0094 0.2431
. |* . | . | . | 14 0.1202 0.0097
. |* . | . |* . | 15 0.1044 0.0765
. |* . | . |* . | 16 0.0995 0.0965
. |* . | . | . | 17 0.0985 0.0014
. |* . | . *| . | 18 0.0706 -0.0976
. | . | . *| . | 19 0.0238 -0.0588
. | . | .**| . | 20 0.0349 -0.1995
. | . | .**| . | 21 0.0474 -0.2439
. *| . | .**| . | 22 -0.1235 -0.2180
. *| . | .**| . | 23 -0.0859 -0.1954
. | . | .**| . | 24 -0.0057 -0.2406
Date: 07/27/09 Time: 02:30
Sample: 1997M07 2008M09
Included observations: 135
Correlations are asymptotically consistent approximations _JP_SA,_SG(-i) _JP_SA,_SG(+i) i lag lead . |**** | . |**** | 0 0.3932 0.3932
. |***** | . |*** | 1 0.4509 0.3305
. |**** | . |*** | 2 0.4477 0.2879
. |**** | . |** | 3 0.4364 0.1952
. |**** | . |*. | 4 0.4063 0.1051
. |*** | . |*. | 5 0.3076 0.0676
. |*** | .*| . | 6 0.2823 -0.0494
. |** | .*| . | 7 0.2043 -0.0734
. |*. | .*| . | 8 0.0942 -0.1043
. |*. | **| . | 9 0.0633 -0.2083
. | . | **| . | 10 0.0051 -0.2129
.*| . | **| . | 11 -0.0509 -0.1731
.*| . | **| . | 12 -0.1188 -0.2027
**| . | **| . | 13 -0.1785 -0.1748
**| . | **| . | 14 -0.1923 -0.1634
**| . | .*| . | 15 -0.1833 -0.1179
**| . | .*| . | 16 -0.2106 -0.1386
**| . | .*| . | 17 -0.1869 -0.0745
**| . | .*| . | 18 -0.1658 -0.1072
**| . | .*| . | 19 -0.1640 -0.0776
**| . | .*| . | 20 -0.1511 -0.0622
**| . | .*| . | 21 -0.2078 -0.1161
**| . | .*| . | 22 -0.1812 -0.1047
.*| . | .*| . | 23 -0.1268 -0.0708
**| . | .*| . | 24 -0.1487 -0.1064
**| . | .*| . | 25 -0.1507 -0.1101
.*| . | .*| . | 26 -0.1415 -0.0857
**| . | .*| . | 27 -0.1708 -0.0976
.*| . | .*| . | 28 -0.1418 -0.0795
**| . | . | . | 29 -0.1517 -0.0238
**| . | . | . | 30 -0.1642 -0.0246
.*| . | . | . | 31 -0.1057 -0.0057
.*| . | . |*. | 32 -0.0498 0.0868
.*| . | . |*. | 33 -0.0675 0.0843
. | . | . |** | 34 -0.0151 0.1566
. | . | . |*. | 35 0.0255 0.1459
. |*. | . |** | 36 0.0624 0.1740
7. JEPANG-INDONESIA
Date: 07/27/09 Time: 02:33
Sample: 1993M01 1997M06
Included observations: 54
Correlations are asymptotically consistent approximations _JP_SA,_ID(-i) _JP_SA,_ID(+i) i lag lead . *| . | . *| . | 0 -0.0852 -0.0852
.**| . | . *| . | 1 -0.1855 -0.1038
. | . | . *| . | 2 0.0133 -0.0508
. *| . | . *| . | 3 -0.0925 -0.0475
. | . | . *| . | 4 0.0231 -0.0625
. |* . | . | . | 5 0.0507 -0.0064
. |* . | . *| . | 6 0.0675 -0.0801
. |* . | . *| . | 7 0.0580 -0.0746
. | . | . *| . | 8 0.0362 -0.1191
. | . | . *| . | 9 0.0168 -0.0948
. |* . | . *| . | 10 0.0914 -0.0986
. | . | . | . | 11 -0.0059 0.0205
. | . | . |* . | 12 -0.0079 0.1193
. *| . | . |**. | 13 -0.0428 0.2012
. |* . | . |* . | 14 0.1063 0.1161
. | . | . |**. | 15 0.0314 0.2266
. |* . | . |**. | 16 0.1189 0.2355
. |* . | . |*** | 17 0.1447 0.2956
. |* . | . |* . | 18 0.1200 0.1440
. |* . | . |* . | 19 0.0727 0.1520
. | . | . | . | 20 0.0009 0.0168
. *| . | . | . | 21 -0.0622 -0.0040
. *| . | . *| . | 22 -0.0680 -0.1294
. *| . | . | . | 23 -0.0910 -0.0159
. *| . | . | . | 24 -0.0991 -0.0350
Date: 07/27/09 Time: 02:33
Sample: 1997M07 2008M09
Included observations: 135
Correlations are asymptotically consistent approximations _JP_SA,_ID(-i) _JP_SA,_ID(+i) i lag lead . |*** | . |*** | 0 0.2796 0.2796
. |*** | . |*** | 1 0.3102 0.2863
. |** | . |*** | 2 0.2245 0.2566
. |** | . |** | 3 0.2095 0.2424
. |** | . |*. | 4 0.1939 0.1472
. |*. | . |*. | 5 0.1149 0.1508
. |*. | . |*. | 6 0.1317 0.0892
. | . | . |*. | 7 0.0460 0.0495
. | . | . |*. | 8 0.0200 0.0731
. | . | . | . | 9 -0.0363 0.0404
.*| . | . | . | 10 -0.1018 -0.0087
.*| . | . | . | 11 -0.1094 0.0133
.*| . | .*| . | 12 -0.1279 -0.0641
**| . | .*| . | 13 -0.1610 -0.0600
**| . | .*| . | 14 -0.1758 -0.0823
**| . | .*| . | 15 -0.2033 -0.0796
**| . | .*| . | 16 -0.2014 -0.1453
**| . | .*| . | 17 -0.2152 -0.1117
**| . | **| . | 18 -0.1828 -0.1830
**| . | .*| . | 19 -0.2220 -0.1056
**| . | .*| . | 20 -0.1692 -0.0975
**| . | .*| . | 21 -0.2396 -0.1100
**| . | .*| . | 22 -0.2100 -0.0860
**| . | .*| . | 23 -0.2306 -0.0852
**| . | .*| . | 24 -0.1488 -0.1092
**| . | .*| . | 25 -0.2062 -0.0996
**| . | .*| . | 26 -0.1707 -0.0740
.*| . | .*| . | 27 -0.1270 -0.0592
.*| . | .*| . | 28 -0.1155 -0.0634
.*| . | .*| . | 29 -0.0709 -0.0550
. | . | .*| . | 30 -0.0356 -0.0838
. | . | . | . | 31 0.0266 0.0063
. |*. | . | . | 32 0.1018 0.0064
. |*. | . | . | 33 0.1027 -0.0124
. |** | . | . | 34 0.1638 0.0411
. |** | . | . | 35 0.1669 -0.0086
. |** | . | . | 36 0.2126 0.0159
8. JEPANG-MALAYSIA
Date: 07/27/09 Time: 02:36
Sample: 1993M01 1997M06
Included observations: 54
Correlations are asymptotically consistent approximations _JP_SA,_MY(-i) _JP_SA,_MY(+i) i lag lead . |* . | . |* . | 0 0.1197 0.1197
. |**. | . |* . | 1 0.1867 0.1020
. |**. | . |* . | 2 0.2131 0.1227
. |**. | . *| . | 3 0.1926 -0.1047
. |* . | . *| . | 4 0.1468 -0.0813
. |**. | . | . | 5 0.2268 0.0131
. |**. | .**| . | 6 0.1658 -0.2181
. |* . | ***| . | 7 0.1442 -0.2546
. |* . | ***| . | 8 0.0975 -0.2846
. *| . | ***| . | 9 -0.0854 -0.2838
. | . | .**| . | 10 -0.0165 -0.2407
.**| . | .**| . | 11 -0.1851 -0.2091
.**| . | . *| . | 12 -0.2112 -0.0677
.**| . | . | . | 13 -0.1531 -0.0040
. *| . | . | . | 14 -0.1187 -0.0274
.**| . | . | . | 15 -0.1605 0.0246
.**| . | . | . | 16 -0.1636 0.0289
. *| . | . |* . | 17 -0.0633 0.1394
. *| . | . *| . | 18 -0.1040 -0.0453
. *| . | . | . | 19 -0.0856 0.0395
. | . | . |* . | 20 0.0111 0.0687
. | . | . | . | 21 -0.0242 -0.0075
. | . | . |* . | 22 0.0272 0.0691
. *| . | . |* . | 23 -0.1316 0.0860
. *| . | . |**. | 24 -0.0757 0.1768
Date: 07/27/09 Time: 02:38
Sample: 1997M07 2008M09
Included observations: 135
Correlations are asymptotically consistent approximations _JP_SA,_MY(-i) _JP_SA,_MY(+i) i lag lead . |******* | . |******* | 0 0.6775 0.6775
. |******* | . |****** | 1 0.7046 0.6190
. |******* | . |****** | 2 0.6532 0.5705
. |****** | . |***** | 3 0.6266 0.4794
. |***** | . |**** | 4 0.5344 0.3856
. |***** | . |*** | 5 0.4918 0.3049
. |**** | . |** | 6 0.4150 0.1878
. |*** | . |*. | 7 0.2982 0.0927
. |** | . | . | 8 0.1722 0.0339
. |*. | . | . | 9 0.0685 -0.0098
.*| . | .*| . | 10 -0.0547 -0.1184
.*| . | .*| . | 11 -0.1449 -0.1442
***| . | **| . | 12 -0.2484 -0.1848
***| . | ***| . | 13 -0.3274 -0.2501
****| . | **| . | 14 -0.3659 -0.2246
****| . | ***| . | 15 -0.4401 -0.2780
*****| . | ***| . | 16 -0.4804 -0.2981
*****| . | ***| . | 17 -0.4877 -0.2999
*****| . | ***| . | 18 -0.5058 -0.3301
*****| . | ***| . | 19 -0.5150 -0.3100
*****| . | ***| . | 20 -0.5065 -0.3069
*****| . | ***| . | 21 -0.5214 -0.3078
*****| . | ***| . | 22 -0.4991 -0.3101
*****| . | ***| . | 23 -0.4481 -0.3081
****| . | ***| . | 24 -0.4016 -0.2857
****| . | ***| . | 25 -0.3757 -0.2869
***| . | **| . | 26 -0.2924 -0.2340
***| . | **| . | 27 -0.2611 -0.2131
**| . | **| . | 28 -0.1654 -0.1654
.*| . | .*| . | 29 -0.1121 -0.1212
. | . | .*| . | 30 -0.0367 -0.0803
. |*. | . | . | 31 0.0557 -0.0138
. |*. | . | . | 32 0.1250 0.0448
. |** | . |*. | 33 0.1947 0.0815
. |** | . |*. | 34 0.2399 0.1489
. |*** | . |** | 35 0.3147 0.1820
. |*** | . |** | 36 0.3491 0.2043
9. JEPANG-FILIPINA
Date: 07/27/09 Time: 02:40
Sample: 1993M01 1997M06
Included observations: 54
Correlations are asymptotically consistent approximations _JP_SA,_PH(-i) _JP_SA,_PH(+i) i lag lead . *| . | . *| . | 0 -0.0501 -0.0501
. *| . | . |* . | 1 -0.1167 0.0802
***| . | . |* . | 2 -0.3000 0.0979
***| . | . |**. | 3 -0.3237 0.2117
.**| . | . |* . | 4 -0.1722 0.1409
.**| . | . |* . | 5 -0.2262 0.1080
.**| . | . |**. | 6 -0.1616 0.2284
. *| . | . |**. | 7 -0.1310 0.1694
. | . | . |* . | 8 -0.0240 0.1422
. | . | . |**. | 9 0.0322 0.1724
. *| . | . |**. | 10 -0.0991 0.1667
. | . | . | . | 11 -0.0274 0.0178
. |* . | . *| . | 12 0.1313 -0.1362
. | . | . *| . | 13 -0.0396 -0.0910
. | . | . *| . | 14 -0.0352 -0.0675
. | . | . | . | 15 -0.0088 -0.0015
. |* . | . | . | 16 0.0895 -0.0099
. |* . | . *| . | 17 0.0984 -0.1145
. |* . | . *| . | 18 0.1103 -0.1089
. |* . | .**| . | 19 0.1268 -0.1729
. |* . | .**| . | 20 0.1177 -0.2010
. |* . | .**| . | 21 0.0983 -0.1744
. | . | . | . | 22 0.0094 0.0273
. | . | . *| . | 23 0.0277 -0.0634
. |* . | ***| . | 24 0.0738 -0.2555
Date: 07/27/09 Time: 02:40
Sample: 1997M07 2008M09
Included observations: 135
Correlations are asymptotically consistent approximations _JP_SA,_PH(-i) _JP_SA,_PH(+i) i lag lead . |** | . |** | 0 0.2430 0.2430
. |** | . |*** | 1 0.1923 0.2548
. |** | . |*** | 2 0.1749 0.3071
. |*. | . |*** | 3 0.0874 0.2690
. | . | . |*** | 4 0.0376 0.2804
. | . | . |** | 5 -0.0000 0.2012
. | . | . |** | 6 -0.0323 0.2032
.*| . | . |** | 7 -0.0822 0.1819
**| . | . |** | 8 -0.1812 0.1571
**| . | . |*. | 9 -0.2218 0.1105
***| . | . |*. | 10 -0.2460 0.0783
**| . | . |*. | 11 -0.2316 0.0799
**| . | . |*. | 12 -0.2373 0.0663
***| . | . | . | 13 -0.2533 0.0046
**| . | . | . | 14 -0.1820 -0.0070
**| . | .*| . | 15 -0.2241 -0.0492
**| . | . | . | 16 -0.1974 -0.0258
**| . | . | . | 17 -0.1706 -0.0369
.*| . | . | . | 18 -0.1255 -0.0201
.*| . | . | . | 19 -0.0862 -0.0267
.*| . | . | . | 20 -0.1233 -0.0010
.*| . | . | . | 21 -0.0945 -0.0352
.*| . | . | . | 22 -0.0871 -0.0401
.*| . | . | . | 23 -0.0542 -0.0401
.*| . | .*| . | 24 -0.0423 -0.0681
. | . | .*| . | 25 -0.0321 -0.0618
. | . | .*| . | 26 0.0037 -0.0918
. | . | .*| . | 27 -0.0163 -0.0954
. | . | .*| . | 28 -0.0224 -0.1043
. | . | .*| . | 29 0.0119 -0.0591
. | . | .*| . | 30 -0.0238 -0.1017
. | . | .*| . | 31 0.0485 -0.0986
. | . | .*| . | 32 0.0418 -0.0915
. |*. | .*| . | 33 0.0741 -0.0946
. |*. | .*| . | 34 0.0567 -0.0803
. |*. | . | . | 35 0.1289 -0.0309
. |*. | .*| . | 36 0.1486 -0.0649
10. JEPANG-THAILAND
Date: 07/27/09 Time: 02:44
Sample: 1993M01 1997M06
Included observations: 54
Correlations are asymptotically consistent approximations _JP_SA,_TH(-i) _JP_SA,_TH(+i) i lag lead . | . | . | . | 0 -0.0248 -0.0248
. *| . | . | . | 1 -0.0909 -0.0355
. |* . | .**| . | 2 0.0661 -0.2149
. |* . | .**| . | 3 0.1253 -0.1673
. |**. | ***| . | 4 0.1997 -0.2592
. |*** | ***| . | 5 0.3049 -0.2951
. |*** | ****| . | 6 0.2780 -0.3816
. |**. | ***| . | 7 0.2428 -0.3078
. |**. | .**| . | 8 0.2129 -0.2160
. |*** | .**| . | 9 0.2970 -0.1850
. |* . | . *| . | 10 0.1222 -0.1342
. |* . | . | . | 11 0.1289 0.0116
. |**. | . | . | 12 0.1759 -0.0237
. |* . | . |**. | 13 0.1139 0.1566
. |* . | . |* . | 14 0.0593 0.0672
. *| . | . |**. | 15 -0.0582 0.2232
.**| . | . |*** | 16 -0.1763 0.2553
.**| . | . |*** | 17 -0.2035 0.2671
***| . | . |**. | 18 -0.2650 0.2449
***| . | . |*** | 19 -0.2897 0.3018
***| . | . |**. | 20 -0.2869 0.2129
. *| . | . |**. | 21 -0.1188 0.2316
.**| . | . |**. | 22 -0.1620 0.2439
. *| . | . |* . | 23 -0.1310 0.1437
. *| . | . *| . | 24 -0.0761 -0.1280
Date: 07/27/09 Time: 02:44
Sample: 1997M07 2008M09
Included observations: 135
Correlations are asymptotically consistent approximations _JP_SA,_TH(-i) _JP_SA,_TH(+i) i lag lead . |***** | . |***** | 0 0.5096 0.5096
. |***** | . |***** | 1 0.4714 0.4787
. |***** | . |**** | 2 0.4663 0.4165
. |**** | . |**** | 3 0.3968 0.4008
. |**** | . |*** | 4 0.3720 0.2955
. |*** | . |*** | 5 0.3117 0.2681
. |** | . |** | 6 0.2359 0.1633
. |** | . |*. | 7 0.1968 0.0633
. |*. | . | . | 8 0.1056 0.0039
. |*. | .*| . | 9 0.0875 -0.0876
. | . | .*| . | 10 -0.0369 -0.1397
.*| . | **| . | 11 -0.0467 -0.1687
.*| . | **| . | 12 -0.1000 -0.2286
**| . | ***| . | 13 -0.1537 -0.2660
**| . | ***| . | 14 -0.1584 -0.2616
**| . | ***| . | 15 -0.2295 -0.2811
***| . | ***| . | 16 -0.2615 -0.2904
***| . | ***| . | 17 -0.3091 -0.2497
****| . | **| . | 18 -0.3580 -0.2458
****| . | **| . | 19 -0.3739 -0.2326
****| . | **| . | 20 -0.3561 -0.1993
****| . | **| . | 21 -0.3978 -0.2188
****| . | **| . | 22 -0.4023 -0.2134
****| . | **| . | 23 -0.3606 -0.1753
****| . | **| . | 24 -0.3503 -0.1880
***| . | **| . | 25 -0.3318 -0.1605
**| . | .*| . | 26 -0.2347 -0.1103
**| . | .*| . | 27 -0.2448 -0.1121
.*| . | . | . | 28 -0.1432 -0.0345
.*| . | . | . | 29 -0.1327 0.0000
.*| . | . | . | 30 -0.0888 0.0173
. | . | . |*. | 31 -0.0025 0.0576
. |*. | . |*. | 32 0.1089 0.0890
. |*. | . |*. | 33 0.1380 0.0633
. |** | . |*. | 34 0.2261 0.1135
. |*** | . |*. | 35 0.2895 0.0995
. |*** | . |*. | 36 0.2978 0.1206
11. JEPANG-KOREA
Date: 07/27/09 Time: 02:47
Sample: 1993M01 1997M06
Included observations: 54
Correlations are asymptotically consistent approximations _JP_SA,_KR_SA(-i) _JP_SA,_KR_SA(+i) i lag lead . *| . | . *| . | 0 -0.0971 -0.0971
. | . | . | . | 1 -0.0402 0.0149
. *| . | . |* . | 2 -0.0790 0.1381
. *| . | . |* . | 3 -0.0487 0.0578
. *| . | . |* . | 4 -0.1273 0.1326
. | . | . |**. | 5 0.0207 0.1758
. | . | . |**. | 6 0.0231 0.1593
. *| . | . |**. | 7 -0.0922 0.2093
. *| . | . |* . | 8 -0.1009 0.1260
. *| . | . | . | 9 -0.1356 0.0317
. *| . | . |* . | 10 -0.0827 0.0572
. *| . | . | . | 11 -0.0517 0.0176
. *| . | . *| . | 12 -0.0610 -0.0663
. | . | . *| . | 13 -0.0244 -0.1163
. *| . | .**| . | 14 -0.0935 -0.2240
. *| . | ***| . | 15 -0.0745 -0.2716
. *| . | . | . | 16 -0.1441 -0.0307
. *| . | . *| . | 17 -0.0516 -0.1088
. | . | . *| . | 18 -0.0177 -0.1263
. | . | . *| . | 19 0.0349 -0.0859
. |* . | . | . | 20 0.0618 0.0305
. |* . | . | . | 21 0.0885 -0.0355
. |* . | . *| . | 22 0.0710 -0.0700
. |**. | . *| . | 23 0.2390 -0.0939
. |**. | . *| . | 24 0.2056 -0.0627
Date: 07/27/09 Time: 02:47
Sample: 1997M07 2008M09
Included observations: 135
Correlations are asymptotically consistent approximations _JP_SA,_KR_SA(-i) _JP_SA,_KR_SA(+i) i lag lead . |****** | . |****** | 0 0.6024 0.6024
. |****** | . |***** | 1 0.6378 0.5075
. |****** | . |**** | 2 0.6415 0.4151
. |****** | . |*** | 3 0.6336 0.2791
. |****** | . |** | 4 0.6094 0.1636
. |****** | . | . | 5 0.5573 0.0483
. |***** | .*| . | 6 0.5018 -0.0813
. |**** | **| . | 7 0.4249 -0.1657
. |*** | **| . | 8 0.3248 -0.2276
. |*** | ***| . | 9 0.2797 -0.2700
. |** | ***| . | 10 0.1836 -0.2979
. |*. | ***| . | 11 0.1213 -0.3239
. | . | ***| . | 12 0.0151 -0.3202
.*| . | ***| . | 13 -0.0684 -0.3131
**| . | ***| . | 14 -0.1648 -0.2669
**| . | **| . | 15 -0.2295 -0.2452
***| . | **| . | 16 -0.3059 -0.2021
***| . | **| . | 17 -0.3412 -0.1827
****| . | **| . | 18 -0.3940 -0.1723
****| . | **| . | 19 -0.4218 -0.1484
*****| . | .*| . | 20 -0.4641 -0.1336
*****| . | .*| . | 21 -0.4901 -0.1302
*****| . | .*| . | 22 -0.5407 -0.1216
*****| . | .*| . | 23 -0.5253 -0.1259
*****| . | .*| . | 24 -0.5204 -0.0969
*****| . | .*| . | 25 -0.4761 -0.1015
*****| . | .*| . | 26 -0.4639 -0.0774
****| . | .*| . | 27 -0.4411 -0.0724
****| . | . | . | 28 -0.3977 -0.0340
****| . | .*| . | 29 -0.3452 -0.0523
***| . | . | . | 30 -0.2529 -0.0079
**| . | . | . | 31 -0.1867 -0.0023
.*| . | . | . | 32 -0.0932 0.0298
. | . | . | . | 33 -0.0163 0.0401
. |*. | . |*. | 34 0.0912 0.0952
. |** | . |*. | 35 0.1744 0.1141
. |*** | . |*. | 36 0.2698 0.1372
12. US-SINGAPURA
Date: 07/27/09 Time: 02:55
Sample: 1993M01 1997M06
Included observations: 54
Correlations are asymptotically consistent approximations _US_SA,_SG(-i) _US_SA,_SG(+i) i lag lead .**| . | .**| . | 0 -0.1718 -0.1718
.**| . | . *| . | 1 -0.1972 -0.0787
. *| . | .**| . | 2 -0.1286 -0.1523
. *| . | . | . | 3 -0.0564 0.0316
.**| . | . | . | 4 -0.1801 0.0224
. *| . | . | . | 5 -0.0431 0.0457
. | . | . |* . | 6 -0.0137 0.1239
. *| . | . |**. | 7 -0.0874 0.1872
. | . | . |* . | 8 -0.0184 0.1319
. | . | . |**. | 9 0.0455 0.1602
. *| . | . |**. | 10 -0.1188 0.1571
. | . | . |**. | 11 -0.0094 0.2095
. | . | . |* . | 12 0.0405 0.1141
. *| . | . |* . | 13 -0.0431 0.1281
. | . | . |* . | 14 0.0290 0.1405
. |* . | . |* . | 15 0.0707 0.1447
. *| . | . |* . | 16 -0.0849 0.1077
. |* . | . |* . | 17 0.0720 0.0601
. |* . | . | . | 18 0.1183 0.0300
. | . | . |* . | 19 -0.0325 0.0647
. | . | . | . | 20 0.0423 -0.0216
. |* . | . *| . | 21 0.1128 -0.1106
. *| . | .**| . | 22 -0.0797 -0.1522
. | . | .**| . | 23 -0.0049 -0.2002
. | . | ***| . | 24 -0.0337 -0.2580
Date: 07/27/09 Time: 02:56
Sample: 1997M07 2008M09
Included observations: 135
Correlations are asymptotically consistent approximations _US_SA,_SG(-i) _US_SA,_SG(+i) i lag lead . |*** | . |*** | 0 0.2976 0.2976
. |**** | . |*** | 1 0.3887 0.3090
. |**** | . |*** | 2 0.3954 0.2743
. |*** | . |** | 3 0.2997 0.2432
. |*** | . |** | 4 0.3095 0.2472
. |*** | . |** | 5 0.2549 0.1809
. |*. | . |*. | 6 0.1327 0.1411
. |*. | . |** | 7 0.1359 0.1732
. |*. | . |*. | 8 0.0681 0.0549
. | . | . | . | 9 -0.0234 -0.0010
.*| . | . | . | 10 -0.0527 0.0230
.*| . | . | . | 11 -0.1272 -0.0276
**| . | .*| . | 12 -0.1501 -0.0733
**| . | .*| . | 13 -0.1874 -0.0533
**| . | .*| . | 14 -0.2420 -0.0950
**| . | .*| . | 15 -0.1833 -0.0646
**| . | . | . | 16 -0.1796 -0.0191
**| . | . | . | 17 -0.2068 -0.0401
**| . | . | . | 18 -0.1775 -0.0180
.*| . | . | . | 19 -0.1179 0.0304
.*| . | .*| . | 20 -0.1342 -0.0494
**| . | . | . | 21 -0.1685 -0.0134
**| . | . | . | 22 -0.1726 -0.0354
**| . | .*| . | 23 -0.1753 -0.0840
.*| . | .*| . | 24 -0.1406 -0.0940
.*| . | .*| . | 25 -0.1210 -0.0718
.*| . | .*| . | 26 -0.1412 -0.1055
.*| . | .*| . | 27 -0.1202 -0.1059
.*| . | .*| . | 28 -0.0573 -0.0801
.*| . | .*| . | 29 -0.0497 -0.1059
.*| . | .*| . | 30 -0.0814 -0.0905
. | . | . | . | 31 0.0161 -0.0394
. | . | .*| . | 32 0.0140 -0.1126
. | . | .*| . | 33 -0.0318 -0.0830
. | . | .*| . | 34 0.0194 -0.0979
. | . | .*| . | 35 0.0109 -0.0968
. | . | .*| . | 36 0.0460 -0.0792
13. US-INDONESIA
Date: 07/27/09 Time: 02:59
Sample: 1993M01 1997M06
Included observations: 54
Correlations are asymptotically consistent approximations _US_SA,_ID(-i) _US_SA,_ID(+i) i lag lead ***| . | ***| . | 0 -0.2557 -0.2557
.**| . | . *| . | 1 -0.1970 -0.1188
. *| . | ***| . | 2 -0.1143 -0.2675
. *| . | .**| . | 3 -0.0802 -0.2024
. | . | .**| . | 4 -0.0285 -0.1504
. |* . | . *| . | 5 0.0800 -0.1469
. |* . | . *| . | 6 0.0664 -0.0627
. |* . | . | . | 7 0.0708 0.0027
. |* . | . *| . | 8 0.1328 -0.0629
. |* . | . *| . | 9 0.0668 -0.0674
. |* . | . *| . | 10 0.1150 -0.1250
. |* . | . *| . | 11 0.1360 -0.1047
. |* . | . *| . | 12 0.0708 -0.1301
. | . | . | . | 13 0.0489 0.0267
. |* . | . | . | 14 0.0974 -0.0069
. |* . | . |**. | 15 0.0496 0.1698
. |* . | . |*** | 16 0.0777 0.2628
. |* . | . |*** | 17 0.1108 0.3505
. |* . | . |**** | 18 0.0877 0.3995
. |* . | . |**** | 19 0.1109 0.4477
. |* . | . |*** | 20 0.1107 0.3043
. |* . | . |**. | 21 0.0504 0.2227
. |* . | . |* . | 22 0.0696 0.1058
. | . | . | . | 23 0.0022 -0.0110
. *| . | . *| . | 24 -0.0470 -0.0556
Date: 07/27/09 Time: 02:59
Sample: 1997M07 2008M09
Included observations: 135
Correlations are asymptotically consistent approximations _US_SA,_ID(-i) _US_SA,_ID(+i) i lag lead . |*. | . |*. | 0 0.0500 0.0500
. |*. | . |*. | 1 0.0708 0.0568
. |*. | . |*. | 2 0.0747 0.1096
. | . | . |*. | 3 0.0457 0.1019
. |*. | . |** | 4 0.0805 0.1818
. |*. | . |** | 5 0.0828 0.1600
. | . | . |** | 6 0.0057 0.1961
. | . | . |** | 7 0.0059 0.2047
. | . | . |*. | 8 -0.0267 0.0848
.*| . | . |*. | 9 -0.1091 0.0632
.*| . | . |*. | 10 -0.0799 0.0639
**| . | . | . | 11 -0.1481 0.0177
**| . | . | . | 12 -0.1788 -0.0166
**| . | . | . | 13 -0.1719 0.0003
**| . | . | . | 14 -0.1985 -0.0147
**| . | . | . | 15 -0.2171 -0.0028
**| . | . | . | 16 -0.1823 0.0394
**| . | . | . | 17 -0.1966 0.0151
**| . | . |*. | 18 -0.1875 0.0853
**| . | . | . | 19 -0.1547 0.0158
**| . | .*| . | 20 -0.2072 -0.0778
**| . | .*| . | 21 -0.2169 -0.0677
**| . | .*| . | 22 -0.1796 -0.0627
**| . | .*| . | 23 -0.1767 -0.0715
**| . | .*| . | 24 -0.1847 -0.1013
**| . | .*| . | 25 -0.1487 -0.0677
.*| . | .*| . | 26 -0.1445 -0.0764
. | . | . | . | 27 -0.0406 -0.0230
. | . | . | . | 28 0.0231 0.0049
. | . | . | . | 29 0.0450 0.0355
. |*. | . |*. | 30 0.1231 0.0856
. |*. | . | . | 31 0.1498 0.0153
. |** | . | . | 32 0.1724 -0.0206
. |** | . | . | 33 0.2421 -0.0202
. |** | .*| . | 34 0.2142 -0.0685
. |** | .*| . | 35 0.1736 -0.0789
. |** | .*| . | 36 0.1708 -0.0995
14. US-MALAYSIA
Date: 07/27/09 Time: 03:02
Sample: 1993M01 1997M06
Included observations: 54
Correlations are asymptotically consistent approximations _US_SA,_MY(-i) _US_SA,_MY(+i) i lag lead . |* . | . |* . | 0 0.1204 0.1204
. |**. | . |**. | 1 0.2239 0.1611
. |*** | . |**. | 2 0.2671 0.1628
. |**. | . |* . | 3 0.2235 0.1057
. |*** | . |**. | 4 0.2735 0.1913
. |**. | . |*** | 5 0.2300 0.2729
. |* . | . |* . | 6 0.0774 0.0675
. | . | . |* . | 7 0.0428 0.0574
. | . | . *| . | 8 -0.0122 -0.0552
. *| . | .**| . | 9 -0.0701 -0.1754
. *| . | .**| . | 10 -0.1152 -0.1912
. *| . | .**| . | 11 -0.1324 -0.2164
***| . | .**| . | 12 -0.2989 -0.2395
***| . | .**| . | 13 -0.3250 -0.1679
***| . | .**| . | 14 -0.3047 -0.1758
****| . | . *| . | 15 -0.3953 -0.1148
***| . | . | . | 16 -0.2804 -0.0126
.**| . | . | . | 17 -0.1999 0.0357
.**| . | . |* . | 18 -0.1695 0.0731
. *| . | . |* . | 19 -0.0787 0.1477
. *| . | . |* . | 20 -0.0860 0.1116
. *| . | . | . | 21 -0.0543 0.0270
. | . | . *| . | 22 0.0139 -0.0570
. | . | . | . | 23 0.0173 -0.0313
. | . | . *| . | 24 0.0386 -0.0664
Date: 07/27/09 Time: 03:03
Sample: 1997M07 2008M09
Included observations: 135
Correlations are asymptotically consistent approximations _US_SA,_MY(-i) _US_SA,_MY(+i) i lag lead . |**** | . |**** | 0 0.3918 0.3918
. |**** | . |**** | 1 0.4295 0.4083
. |**** | . |**** | 2 0.3852 0.4239
. |*** | . |**** | 3 0.3444 0.3911
. |*** | . |**** | 4 0.3391 0.4112
. |*** | . |**** | 5 0.2656 0.3699
. |** | . |*** | 6 0.1717 0.3488
. |*. | . |*** | 7 0.1309 0.3142
. | . | . |** | 8 -0.0041 0.2385
.*| . | . |*. | 9 -0.1018 0.1556
.*| . | . |*. | 10 -0.1401 0.1282
***| . | . |*. | 11 -0.2463 0.0971
***| . | . | . | 12 -0.3191 0.0236
****| . | . | . | 13 -0.3483 0.0359
****| . | . | . | 14 -0.3992 -0.0128
****| . | . | . | 15 -0.4134 -0.0282
****| . | . | . | 16 -0.4246 -0.0031
****| . | . | . | 17 -0.4271 -0.0306
****| . | .*| . | 18 -0.4267 -0.0480
****| . | .*| . | 19 -0.3755 -0.0920
****| . | **| . | 20 -0.3982 -0.1544
****| . | **| . | 21 -0.3899 -0.1840
****| . | **| . | 22 -0.3502 -0.1820
***| . | **| . | 23 -0.2912 -0.2144
**| . | ***| . | 24 -0.2443 -0.2536
**| . | **| . | 25 -0.2070 -0.2450
.*| . | ***| . | 26 -0.1464 -0.2716
.*| . | ***| . | 27 -0.0483 -0.2713
. | . | **| . | 28 -0.0025 -0.2395
. |*. | **| . | 29 0.0548 -0.2397
. |*. | **| . | 30 0.1085 -0.2051
. |** | **| . | 31 0.1657 -0.1909
. |** | **| . | 32 0.2096 -0.1951
. |*** | **| . | 33 0.2672 -0.1546
. |*** | .*| . | 34 0.2578 -0.1349
. |** | .*| . | 35 0.2492 -0.0919
. |** | .*| . | 36 0.2498 -0.0785
15. US-FILIPINA
Date: 07/27/09 Time: 03:06
Sample: 1993M01 1997M06
Included observations: 54
Correlations are asymptotically consistent approximations _US_SA,_PH(-i) _US_SA,_PH(+i) i lag lead .**| . | .**| . | 0 -0.1584 -0.1584
. *| . | . *| . | 1 -0.1292 -0.1217
***| . | . | . | 2 -0.2550 -0.0031
***| . | . |* . | 3 -0.2585 0.0789
***| . | . |* . | 4 -0.2553 0.1461
***| . | . |**. | 5 -0.2732 0.2414
. *| . | . |*** | 6 -0.1411 0.3192
.**| . | . |*** | 7 -0.2238 0.2790
.**| . | . |*** | 8 -0.2168 0.2627
. *| . | . |*** | 9 -0.1209 0.2951
.**| . | . |**. | 10 -0.2396 0.2349
.**| . | . |**. | 11 -0.1853 0.2412
. | . | . |**. | 12 -0.0095 0.1965
. *| . | . |* . | 13 -0.0428 0.0985
. |* . | . |**. | 14 0.0613 0.1667
. |**. | . | . | 15 0.1677 0.0488
. |* . | . |* . | 16 0.1236 0.0596
. |* . | . |* . | 17 0.1070 0.1493
. |* . | . | . | 18 0.1037 -0.0023
. | . | . *| . | 19 -0.0026 -0.0420
. | . | . *| . | 20 0.0142 -0.0634
. |* . | .**| . | 21 0.0901 -0.1586
. | . | .**| . | 22 0.0460 -0.1638
. |* . | ***| . | 23 0.0814 -0.2714
. |**. | ****| . | 24 0.1674 -0.3462
Date: 07/27/09 Time: 03:06
Sample: 1997M07 2008M09
Included observations: 135
Correlations are asymptotically consistent approximations _US_SA,_PH(-i) _US_SA,_PH(+i) i lag lead . | . | . | . | 0 0.0102 0.0102
. |*. | . |*. | 1 0.0512 0.1019
. | . | . |*. | 2 0.0139 0.1528
. | . | . |** | 3 0.0012 0.2098
.*| . | . |*** | 4 -0.0480 0.2718
.*| . | . |*** | 5 -0.0786 0.3153
.*| . | . |*** | 6 -0.0699 0.3018
.*| . | . |*** | 7 -0.0951 0.3094
**| . | . |*** | 8 -0.1533 0.2608
**| . | . |*** | 9 -0.2249 0.2620
**| . | . |** | 10 -0.2458 0.2191
***| . | . |*. | 11 -0.2617 0.1497
**| . | . |*. | 12 -0.2285 0.1380
**| . | . |*. | 13 -0.2082 0.0807
**| . | . | . | 14 -0.1975 0.0350
**| . | . | . | 15 -0.1574 0.0093
.*| . | . | . | 16 -0.1226 0.0265
.*| . | . | . | 17 -0.0909 0.0042
.*| . | .*| . | 18 -0.0856 -0.0602
. | . | . | . | 19 0.0103 -0.0402
. | . | .*| . | 20 -0.0368 -0.0832
.*| . | .*| . | 21 -0.0684 -0.0594
.*| . | .*| . | 22 -0.0788 -0.0527
.*| . | .*| . | 23 -0.0521 -0.0955
. | . | .*| . | 24 0.0101 -0.0741
. | . | .*| . | 25 0.0179 -0.0731
. | . | .*| . | 26 0.0207 -0.1288
. | . | .*| . | 27 0.0488 -0.1137
. | . | . | . | 28 0.0236 -0.0392
. |*. | . | . | 29 0.0551 -0.0283
. | . | . | . | 30 0.0236 -0.0030
. |*. | . | . | 31 0.0590 -0.0274
. |*. | .*| . | 32 0.0893 -0.0458
. | . | . | . | 33 0.0092 -0.0173
. | . | . | . | 34 -0.0051 -0.0395
. | . | .*| . | 35 -0.0022 -0.0857
. | . | .*| . | 36 0.0474 -0.0962
16. US-THAILAND
Date: 07/27/09 Time: 03:09
Sample: 1993M01 1997M06
Included observations: 54
Correlations are asymptotically consistent approximations _US_SA,_TH(-i) _US_SA,_TH(+i) i lag lead . |* . | . |* . | 0 0.1208 0.1208
. |**. | . | . | 1 0.2489 0.0018
. |*** | . *| . | 2 0.3333 -0.1163
. |***** | . *| . | 3 0.4635 -0.1452
. |**** | ***| . | 4 0.3671 -0.2839
. |**** | ***| . | 5 0.3785 -0.2866
. |**** | ****| . | 6 0.3618 -0.3635
. |*** | *****| . | 7 0.2656 -0.4471
. |**. | ****| . | 8 0.1874 -0.4158
. |*** | ****| . | 9 0.2866 -0.3772
. |**. | ***| . | 10 0.2137 -0.3359
. |**. | . *| . | 11 0.2120 -0.1361
. |**. | . *| . | 12 0.1871 -0.0968
. |* . | . | . | 13 0.0831 0.0024
. | . | . | . | 14 -0.0208 0.0005
. *| . | . | . | 15 -0.0473 -0.0142
***| . | . | . | 16 -0.2738 -0.0183
***| . | . |* . | 17 -0.3130 0.0750
***| . | . |* . | 18 -0.2726 0.0737
***| . | . |* . | 19 -0.3173 0.1308
***| . | . |* . | 20 -0.2542 0.1502
.**| . | . |**. | 21 -0.1746 0.1974
***| . | . |**. | 22 -0.2796 0.2294
.**| . | . |**. | 23 -0.1620 0.1884
.**| . | . |* . | 24 -0.1580 0.0970
Date: 07/27/09 Time: 03:10
Sample: 1997M07 2008M09
Included observations: 135
Correlations are asymptotically consistent approximations _US_SA,_TH(-i) _US_SA,_TH(+i) i lag lead . |*** | . |*** | 0 0.3023 0.3023
. |*** | . |*** | 1 0.3074 0.3431
. |*** | . |**** | 2 0.3016 0.3762
. |** | . |*** | 3 0.2332 0.3101
. |** | . |*** | 4 0.2168 0.3036
. |** | . |** | 5 0.1832 0.2350
. | . | . |** | 6 0.0320 0.1715
. | . | . |** | 7 0.0349 0.1660
. | . | . |*. | 8 0.0071 0.0970
.*| . | . |*. | 9 -0.0600 0.0688
.*| . | . |*. | 10 -0.0552 0.0835
**| . | . | . | 11 -0.1528 0.0235
**| . | . | . | 12 -0.1602 -0.0204
**| . | . | . | 13 -0.1639 -0.0011
**| . | .*| . | 14 -0.2123 -0.0536
***| . | .*| . | 15 -0.2499 -0.0966
***| . | .*| . | 16 -0.2766 -0.0830
***| . | **| . | 17 -0.2976 -0.1492
****| . | **| . | 18 -0.3869 -0.1562
****| . | .*| . | 19 -0.3501 -0.1386
***| . | **| . | 20 -0.3320 -0.2096
***| . | **| . | 21 -0.3015 -0.1517
***| . | .*| . | 22 -0.2729 -0.1168
***| . | **| . | 23 -0.2461 -0.1790
**| . | **| . | 24 -0.1893 -0.1682
.*| . | .*| . | 25 -0.1260 -0.1339
.*| . | **| . | 26 -0.0730 -0.1651
. | . | **| . | 27 -0.0165 -0.1565
. | . | .*| . | 28 0.0445 -0.1168
. |*. | .*| . | 29 0.1024 -0.1295
. | . | .*| . | 30 0.0489 -0.1113
. |*. | .*| . | 31 0.1549 -0.0625
. |** | .*| . | 32 0.2041 -0.0962
. |** | . | . | 33 0.2219 -0.0036
. |** | . | . | 34 0.2280 0.0165
. |** | . | . | 35 0.2178 -0.0194
. |** | . | . | 36 0.2339 0.0315
17. US-JEPANG
Date: 07/27/09 Time: 03:12
Sample: 1993M01 1997M06
Included observations: 54
Correlations are asymptotically consistent approximations _US_SA,_JP_SA(-i) _US_SA,_JP_SA(+i) i lag lead . |****** | . |****** | 0 0.5860 0.5860
. |**** | . |***** | 1 0.4265 0.5382
. |*** | . |***** | 2 0.3326 0.5446
. |**. | . |****** | 3 0.2085 0.6122
. |* . | . |***** | 4 0.0981 0.5052
. | . | . |**** | 5 -0.0211 0.3562
. *| . | . |**. | 6 -0.1115 0.2328
***| . | . |* . | 7 -0.3220 0.0669
****| . | . *| . | 8 -0.3721 -0.0667
*****| . | .**| . | 9 -0.4855 -0.1996
*****| . | ***| . | 10 -0.5205 -0.2865
******| . | ***| . | 11 -0.5996 -0.3094
******| . | ****| . | 12 -0.5800 -0.3895
*****| . | ****| . | 13 -0.5326 -0.4136
****| . | *****| . | 14 -0.3478 -0.4821
.**| . | ****| . | 15 -0.2079 -0.4025
. *| . | ****| . | 16 -0.1022 -0.3826
. | . | ***| . | 17 -0.0222 -0.2823
. |* . | .**| . | 18 0.1181 -0.2240
. |* . | .**| . | 19 0.1386 -0.1697
. |**. | . *| . | 20 0.1955 -0.1137
. |*** | . | . | 21 0.2674 -0.0085
. |**** | . | . | 22 0.3703 0.0433
. |**** | . |* . | 23 0.4315 0.1532
. |**** | . |**. | 24 0.4444 0.2173
Date: 07/27/09 Time: 03:12
Sample: 1997M07 2008M09
Included observations: 135
Correlations are asymptotically consistent approximations _US_SA,_JP_SA(-i) _US_SA,_JP_SA(+i) i lag lead . |****** | . |****** | 0 0.6299 0.6299
. |****** | . |****** | 1 0.6063 0.6346
. |***** | . |****** | 2 0.4855 0.6313
. |**** | . |****** | 3 0.4161 0.6140
. |*** | . |****** | 4 0.3067 0.5793
. |** | . |***** | 5 0.2202 0.5285
. |*. | . |**** | 6 0.0942 0.4437
. | . | . |**** | 7 -0.0352 0.3778
.*| . | . |*** | 8 -0.1160 0.3086
**| . | . |** | 9 -0.1960 0.2136
***| . | . |*. | 10 -0.2622 0.1466
***| . | . |*. | 11 -0.3382 0.0625
****| . | . | . | 12 -0.3540 -0.0089
****| . | .*| . | 13 -0.3656 -0.0636
****| . | .*| . | 14 -0.3730 -0.1230
****| . | **| . | 15 -0.3648 -0.1704
****| . | **| . | 16 -0.3611 -0.1862
****| . | **| . | 17 -0.3524 -0.2216
***| . | **| . | 18 -0.3378 -0.2378
***| . | ***| . | 19 -0.3269 -0.2527
***| . | ***| . | 20 -0.3212 -0.2721
***| . | ***| . | 21 -0.2956 -0.2776
***| . | ***| . | 22 -0.2729 -0.2685
**| . | ***| . | 23 -0.2283 -0.2813
**| . | ***| . | 24 -0.1817 -0.2790
.*| . | ***| . | 25 -0.1328 -0.2852
.*| . | ***| . | 26 -0.0824 -0.2633
. | . | ***| . | 27 -0.0191 -0.2601
. | . | ***| . | 28 0.0170 -0.2510
. | . | ***| . | 29 0.0473 -0.2465
. |*. | **| . | 30 0.0934 -0.2036
. |*. | **| . | 31 0.1402 -0.1876
. |** | **| . | 32 0.1638 -0.1962
. |** | **| . | 33 0.1868 -0.1690
. |** | .*| . | 34 0.1985 -0.1289
. |** | .*| . | 35 0.2110 -0.1057
. |** | .*| . | 36 0.1899 -0.0663
18. US-KOREA
Date: 07/27/09 Time: 03:14
Sample: 1993M01 1997M06
Included observations: 54
Correlations are asymptotically consistent approximations _US_SA,_KR_SA(-i) _US_SA,_KR_SA(+i) i lag lead . |* . | . |* . | 0 0.1122 0.1122
. | . | . |* . | 1 -0.0128 0.0964
. | . | . |**. | 2 -0.0374 0.1610
. *| . | . |* . | 3 -0.1443 0.1374
.**| . | . |* . | 4 -0.2419 0.0785
***| . | . |**. | 5 -0.3023 0.2356
***| . | . |**. | 6 -0.2841 0.2013
***| . | . |**. | 7 -0.3045 0.2091
***| . | . |**. | 8 -0.2988 0.2473
***| . | . |* . | 9 -0.3178 0.1429
.**| . | . |*** | 10 -0.2151 0.2744
. *| . | . |*** | 11 -0.1411 0.2678
. *| . | . |*** | 12 -0.1177 0.2858
. *| . | . |**. | 13 -0.0803 0.2046
. *| . | . |**. | 14 -0.1234 0.1684
. *| . | . |* . | 15 -0.0733 0.0636
. *| . | . | . | 16 -0.0983 0.0189
. | . | . *| . | 17 -0.0409 -0.0936
. | . | . *| . | 18 -0.0120 -0.1081
. *| . | . *| . | 19 -0.0581 -0.1236
. |* . | . *| . | 20 0.1067 -0.1031
. |* . | . *| . | 21 0.1503 -0.0911
. |* . | . *| . | 22 0.1125 -0.1310
. |**. | . *| . | 23 0.2162 -0.1117
. |**. | .**| . | 24 0.1735 -0.1566
Date: 07/27/09 Time: 03:14
Sample: 1997M07 2008M09
Included observations: 135
Correlations are asymptotically consistent approximations _US_SA,_KR_SA(-i) _US_SA,_KR_SA(+i) i lag lead . |**** | . |**** | 0 0.4266 0.4266
. |***** | . |**** | 1 0.4563 0.3835
. |**** | . |*** | 2 0.4455 0.3206
. |**** | . |*** | 3 0.4404 0.2835
. |**** | . |** | 4 0.3994 0.2403
. |*** | . |** | 5 0.3524 0.2031
. |*** | . |** | 6 0.2976 0.1686
. |** | . |*. | 7 0.2368 0.1394
. |** | . |*. | 8 0.1695 0.1032
. |*. | . |*. | 9 0.1058 0.0907
. | . | . |*. | 10 0.0368 0.0694
. | . | . | . | 11 -0.0290 0.0420
.*| . | . | . | 12 -0.0739 0.0027
.*| . | . | . | 13 -0.1282 -0.0305
**| . | .*| . | 14 -0.1991 -0.0618
***| . | .*| . | 15 -0.2703 -0.0499
***| . | .*| . | 16 -0.3369 -0.0579
****| . | .*| . | 17 -0.3835 -0.0567
****| . | . | . | 18 -0.4302 -0.0320
*****| . | . | . | 19 -0.4860 -0.0404
*****| . | . | . | 20 -0.5040 -0.0386
*****| . | .*| . | 21 -0.5236 -0.0419
******| . | .*| . | 22 -0.5428 -0.0603
*****| . | .*| . | 23 -0.5377 -0.0829
*****| . | .*| . | 24 -0.4838 -0.1094
****| . | .*| . | 25 -0.4064 -0.1381
***| . | **| . | 26 -0.3216 -0.1624
***| . | **| . | 27 -0.2863 -0.1656
**| . | **| . | 28 -0.2034 -0.1663
.*| . | **| . | 29 -0.1306 -0.1647
.*| . | **| . | 30 -0.0532 -0.1565
. | . | **| . | 31 0.0208 -0.1548
. |*. | .*| . | 32 0.0627 -0.1387
. |*. | .*| . | 33 0.1310 -0.1165
. |** | .*| . | 34 0.1782 -0.1229
. |** | .*| . | 35 0.2427 -0.0987
. |*** | .*| . | 36 0.2880 -0.0832
Lampiran 3. Uji Akar Unit
a. IPX Indonesia (id)
Null Hypothesis: _ID has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 3 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.979421 0.0032
Test critical values: 1% level -3.568308
5% level -2.921175
10% level -2.598551
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(_ID) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 10 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.837669 0.0000
Test critical values: 1% level -3.596616
5% level -2.933158
10% level -2.604867
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
b. IPX Jepang (jp)
Null Hypothesis: _JP_SA has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 4 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.034941 0.0386
Test critical values: 1% level -3.571310
5% level -2.922449
10% level -2.599224
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(_JP_SA) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 2 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.167990 0.0001
Test critical values: 1% level -3.568308
5% level -2.921175
10% level -2.598551
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
c. IPX Korea (kr)
Null Hypothesis: _KR_SA has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.981486 0.0001
Test critical values: 1% level -3.560019
5% level -2.917650
10% level -2.596689
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(_KR_SA) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 3 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.420318 0.0000
Test critical values: 1% level -3.571310
5% level -2.922449
10% level -2.599224
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
d. IPX Malaysia (my)
Null Hypothesis: _MY has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 5 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.922696 0.0038
Test critical values: 1% level -3.574446
5% level -2.923780
10% level -2.599925
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(_MY) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 10 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.516203 0.0008
Test critical values: 1% level -3.596616
5% level -2.933158
10% level -2.604867
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
e. IPX Filipina (lnph)
Null Hypothesis: _PH has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.689871 0.0000
Test critical values: 1% level -3.560019
5% level -2.917650
10% level -2.596689
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(_PH) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 3 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.797377 0.0000
Test critical values: 1% level -3.571310
5% level -2.922449
10% level -2.599224
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
f. IPX Singapura (sg)
Null Hypothesis: _SG has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 10 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.823307 0.0634
Test critical values: 1% level -3.592462
5% level -2.931404
10% level -2.603944
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(_SG) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 10 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.691477 0.0005
Test critical values: 1% level -3.596616
5% level -2.933158
10% level -2.604867
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
g. IPX Thailand (th)
Null Hypothesis: _TH has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.314392 0.0000
Test critical values: 1% level -3.560019
5% level -2.917650
10% level -2.596689
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(_TH) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -11.79647 0.0000
Test critical values: 1% level -3.562669
5% level -2.918778
10% level -2.597285
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
h. IPX Amerika (lnus)
Null Hypothesis: _US_SA has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 10 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.897512 0.0044
Test critical values: 1% level -3.592462
5% level -2.931404
10% level -2.603944
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(_US_SA) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -8.688822 0.0000
Test critical values: 1% level -3.562669
5% level -2.918778
10% level -2.597285
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 4. Uji Lag Optimal
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variabels: D_ID D_JP D_KR D_MY D_PH D_SG D_TH D_US
Exogenous variabels: C
Date: 07/27/09 Time: 06:32
Sample: 1993M01 1997M06
Included observations: 52 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 838.8143 NA 1.83e-24 -31.95440 -31.65421* -31.83931*
1 925.3672 143.1451* 7.91e-25* -32.82182* -30.12009 -31.78604 * indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
Lampiran 5. Uji Stabilitas VAR
Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variabels: D_ID D_JP D_KR D_MY D_PH D_SG D_TH D_US
Exogenous variabels: C
Lag specification: 1 1
Date: 07/27/09 Time: 06:33 Root Modulus -0.565252 - 0.198164i 0.598982
-0.565252 + 0.198164i 0.598982
-0.260907 - 0.445293i 0.516099
-0.260907 + 0.445293i 0.516099
-0.427015 0.427015
-0.323711 0.323711
-0.144783 0.144783
0.094784 0.094784 No root lies outside the unit circle.
VAR satisfies the stability condition.
Lampiran 6. Uji Kointegrasi
Date: 07/27/09 Time: 06:34
Sample (adjusted): 1993M04 1997M06
Included observations: 51 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend
Series: _ID _JP_SA _KR_SA _MY _PH _SG _TH _US_SA
Lags interval (in first differences): 1 to 2
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized Trace 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.** None * 0.685816 224.7383 159.5297 0.0000
At most 1 * 0.564333 165.6917 125.6154 0.0000
At most 2 * 0.492806 123.3170 95.75366 0.0002
At most 3 * 0.462691 88.69507 69.81889 0.0008
At most 4 * 0.384369 57.01481 47.85613 0.0055
At most 5 * 0.287579 32.27433 29.79707 0.0254
At most 6 0.182806 14.98094 15.49471 0.0596
At most 7 * 0.087771 4.685096 3.841466 0.0304 Trace test indicates 6 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Lampiran 7. Uji Granger Causality
Variabel Bebas
Va
ria
bel
Ter
ika
t
Id Jp Kr My Ph Sg Th Us
Id 0.886 0.026 0.352 0.009 0.698 0.661 0.027
Jp 0.078 0.902 0.436 0.038 0.399 0.350 0.035
Kr 0.276 0.539 0.630 0.035 0.599 0.525 0.677
My 0.186 0.830 0.715 0.121 0.101 0.192 0.657
Ph 0.009 0.668 0.539 0.164 0.045 0.006 0.669
Sg 0.281 0.265 0.615 0.156 0.101 0.058 0.292
Th 0.024 0.216 0.188 0.611 0.094 0.000 0.565
Us 0.755 0.799 0.399 0.265 0.139 0.780 0.041
Lampiran 3. Uji Akar Unit
i. IPX Indonesia (id)
Null Hypothesis: _ID has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 12 (Automatic based on AIC, MAXLAG=12) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.287600 0.1776
Test critical values: 1% level -3.484653
5% level -2.885249
10% level -2.579491
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(_ID) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 12 (Automatic based on AIC, MAXLAG=12) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.308909 0.0007
Test critical values: 1% level -3.485115
5% level -2.885450
10% level -2.579598
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
j. IPX Jepang (jp)
Null Hypothesis: _JP_SA has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 5 (Automatic based on AIC, MAXLAG=12) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.068872 0.0015
Test critical values: 1% level -3.481623
5% level -2.883930
10% level -2.578788
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(_JP_SA) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 3 (Automatic based on AIC, MAXLAG=12) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.981556 0.0021
Test critical values: 1% level -3.481217
5% level -2.883753
10% level -2.578694
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
k. IPX Korea (kr)
Null Hypothesis: _KR_SA has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 2 (Automatic based on AIC, MAXLAG=12) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.957348 0.0022
Test critical values: 1% level -3.480425
5% level -2.883408
10% level -2.578510
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(_KR_SA) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on AIC, MAXLAG=12) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -13.43771 0.0000
Test critical values: 1% level -3.480038
5% level -2.883239
10% level -2.578420
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
l. IPX Malaysia (my)
Null Hypothesis: _MY has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 12 (Automatic based on AIC, MAXLAG=12) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.033524 0.0018
Test critical values: 1% level -3.484653
5% level -2.885249
10% level -2.579491
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(_MY) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 11 (Automatic based on AIC, MAXLAG=12) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.097841 0.0293
Test critical values: 1% level -3.484653
5% level -2.885249
10% level -2.579491
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
m. IPX Filipina (ph)
Null Hypothesis: _PH has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 12 (Automatic based on AIC, MAXLAG=12) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.525723 0.1119
Test critical values: 1% level -3.484653
5% level -2.885249
10% level -2.579491
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(_PH) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 12 (Automatic based on AIC, MAXLAG=12) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.140291 0.0262
Test critical values: 1% level -3.485115
5% level -2.885450
10% level -2.579598
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
n. IPX Singapura (sg)
Null Hypothesis: _SG has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 4 (Automatic based on AIC, MAXLAG=12) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.422255 0.0004
Test critical values: 1% level -3.481217
5% level -2.883753
10% level -2.578694
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(_SG) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 10 (Automatic based on AIC, MAXLAG=12) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.002394 0.0000
Test critical values: 1% level -3.484198
5% level -2.885051
10% level -2.579386
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
o. IPX Thailand (th)
Null Hypothesis: _TH has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 12 (Automatic based on AIC, MAXLAG=12) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.562608 0.0079
Test critical values: 1% level -3.484653
5% level -2.885249
10% level -2.579491
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(_TH) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 12 (Automatic based on AIC, MAXLAG=12) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.495178 0.0097
Test critical values: 1% level -3.485115
5% level -2.885450
10% level -2.579598
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
p. IPX US (lnus)
Null Hypothesis: _US_SA has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 6 (Automatic based on AIC, MAXLAG=12) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.343668 0.1601
Test critical values: 1% level -3.482035
5% level -2.884109
10% level -2.578884
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(_US_SA) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 2 (Automatic based on AIC, MAXLAG=12) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.606588 0.0068
Test critical values: 1% level -3.480818
5% level -2.883579
10% level -2.578601
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 4. Uji Lag Optimal
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variabels: D_ID D_JP D_KR D_MY D_PH D_SG D_TH D_US
Exogenous variabels: C
Date: 07/27/09 Time: 07:36
Sample: 1997M07 2008M09
Included observations: 130 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 2021.463 NA 4.87e-24 -30.97635 -30.79989* -30.90465
1 2174.013 283.9767 1.25e-24 -32.33865 -30.75048 -31.69333
2 2279.106 182.7005 6.70e-25* -32.97086* -29.97097 -31.75190*
3 2327.751 78.58071 8.72e-25 -32.73463 -28.32304 -30.94205
4 2386.018 86.95168* 1.00e-24 -32.64642 -26.82312 -30.28022 * indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
Lampiran 5. Uji Stabilitas VAR
Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variabels: D_ID D_JP D_KR D_MY D_PH D_SG D_TH D_US
Exogenous variabels: C
Lag specification: 1 2
Date: 07/27/09 Time: 07:37 Root Modulus -0.328670 - 0.680774i 0.755961
-0.328670 + 0.680774i 0.755961
-0.537906 - 0.387406i 0.662892
-0.537906 + 0.387406i 0.662892
0.635483 0.635483
-0.558401 0.558401
-0.329287 - 0.450941i 0.558371
-0.329287 + 0.450941i 0.558371
-0.243787 - 0.500391i 0.556618
-0.243787 + 0.500391i 0.556618
-0.509043 0.509043
-0.066452 - 0.385498i 0.391183
-0.066452 + 0.385498i 0.391183
-0.379995 0.379995
0.225757 0.225757
0.185659 0.185659 No root lies outside the unit circle.
VAR satisfies the stability condition.
Lampiran 6. Uji Kointegrasi
Date: 07/27/09 Time: 07:40
Sample (adjusted): 1997M11 2008M09
Included observations: 131 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend
Series: _ID _JP_SA _KR_SA _MY _PH _SG _TH _US_SA
Lags interval (in first differences): 1 to 3
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized Trace 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.** None * 0.436257 295.0395 159.5297 0.0000
At most 1 * 0.339652 219.9561 125.6154 0.0000
At most 2 * 0.307530 165.5925 95.75366 0.0000
At most 3 * 0.283293 117.4512 69.81889 0.0000
At most 4 * 0.212268 73.81664 47.85613 0.0000
At most 5 * 0.148799 42.56046 29.79707 0.0010
At most 6 * 0.110413 21.45541 15.49471 0.0056
At most 7 * 0.045706 6.128600 3.841466 0.0133 Trace test indicates 8 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Lampiran 7. Uji Granger Causality
Variabel Bebas
Va
ria
bel
Ter
ika
t
Id Jp Kr My Ph Sg Th Us
Id 0.234 0.280 0.616 0.055 0.742 0.260 0.208
Jp 0.200 0.002 0.003 0.177 0.002 0.680 0.000
Kr 0.715 0.022 0.757 0.669 0.144 0.396 0.006
My 0.006 0.068 0.000 0.000 0.624 0.059 0.037
Ph 0.028 0.115 0.511 0.048 0.017 0.053 0.253
Sg 0.251 0.149 0.203 0.029 0.092 0.452 0.073
Th 0.130 0.017 0.000 0.005 0.014 0.000 0.001
Us 0.795 0.001 0.229 0.070 0.419 0.011 0.515