simulasi apotek 4

19
Resep yang lengkap memuat : 1. Nama, alamat & nomor izin praktek dokter, dokter gigi, atau dokter hewan 2. Tanggal penulisan resep ( Inscriptio ) 3. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep (Invocatio) 4. Nama setiap obat dan komposisinya (prescriptio/ordonantio) 5. Aturan pemakaian obat ( Signatura ) 6. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep (Subscriptio) 7. Nama pasien, umur, BB, dan alamat pasien. Untuk resep dokter hewan, Jenis hewan & nama serta alamat pemiliknya. Resep ada 2 jenis, yaitu : 1. Formula Magistrales Yaitu resep yang dibuat atau dirancang sendiri oleh dokter yang menulis resep 2. Formula Officinales Yaitu resep yang berasal dari buku-buku resemi, seperti Fornas, Formin Resep yang memerlukan pelayanan segera : Dokter dapat memberi tanda dibagian kanan atas resepnya dengan kata-kata : 1. Cito (segera) 2. Statim (Penting) 3. Urgent (Sangat Penting) 4. PIM/Periculum In Mora (berbahaya jika ditunda) Urutan yang didahulukan PIM, Urgent, Statim, Cito

description

kesehatan

Transcript of simulasi apotek 4

Page 1: simulasi apotek 4

Resep yang lengkap memuat :

1.         Nama, alamat & nomor izin praktek dokter, dokter gigi, atau dokter hewan

2.         Tanggal penulisan resep ( Inscriptio )

3.         Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep (Invocatio)

4.         Nama setiap obat dan komposisinya (prescriptio/ordonantio)

5.         Aturan pemakaian obat ( Signatura )

6.         Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep (Subscriptio)

7.         Nama pasien, umur, BB,  dan alamat pasien. Untuk resep dokter hewan, Jenis

hewan & nama serta alamat pemiliknya.

Resep ada 2 jenis, yaitu :

      1.      Formula Magistrales

      Yaitu resep yang dibuat atau dirancang sendiri oleh dokter yang menulis resep

      2.      Formula Officinales

      Yaitu resep yang berasal dari buku-buku resemi, seperti Fornas, Formin

Resep yang memerlukan pelayanan segera :

Dokter dapat memberi tanda dibagian kanan atas resepnya dengan kata-kata :

      1.      Cito (segera)

      2.      Statim (Penting)

      3.      Urgent (Sangat Penting)

      4.      PIM/Periculum In Mora (berbahaya jika ditunda)

Urutan yang didahulukan  PIM, Urgent, Statim, Cito

Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek menurut urutan tanggal dan nomor urut

penerimaan resep. Penyimpanan untuk resep narkotika harus dipisah dari resep lainnya. Lama

penyimpanan resep-resep  ini dalam jangka waktu 3 tahun. Setelah 3 tahun, resep-resep

tersebut dapat dimusnahkan oleh Apoteker Pengelola Apotek dengan disaksikan sekurang-

kurangnya oleh seorang petugas apotek dan dibuatkan berita acara pemusnahannya.

Ketentuan dalam Pengarsipan Resep

1.         Resep disimpan berdasarkan nomor urut per hari

2.         Lalu di buat bundelan perbulan

Page 2: simulasi apotek 4

3.         Bundelan berdasarkan penggolongan obat yang ada dalam resep. Ada 3 jenis

bundelan resep :

            a. Obat Narkotika,

            b. Obat Psikotropika,

            c. Obat Bebas + Bebas Terbatas + Obat Keras

Resep Narkotika

Syarat dan penanganan resep narkotika yang dapat diterima oleh Apotek, yaitu :

          1.    Resep harus diskrining terlebih dahulu dimana :

         a.      Harus resep asli (bukan copy resep)

         b.     Ada nama penderita dan alamat lengkapnya yang jelas

         c.      Tidak boleh ada tulisan “ Iter ” yang artinya dapat diulang

         d.     Aturan pakai yang jelas, dan tidak boleh ada tulisan “UC” (Usus Cognitus) yang

artinya Cara pakai               diketahui

      2.    Obat narkotika di dalam resep diberi garis bawah tinta merah

      3.     Resep yang mengandung narkotika tidak boleh diulang, tetapi harus dibuat resep baru

      4.     Resep yang mengandung narkotika harus disimpan terpisah dari resep lain.

     5.   Jika pasien hanya meminta ½ obat narkotika yang diresepkan, maka di perbolehkan

untuk dibuatkan copy resep bagi pasien tersebut, tetapi copy resep tersebut hanya dpt di tebus

kembali di apotek tersebut yang menyimpan resep aslinya, tidak bisa di apotek lain.

    6. Jika pasien sedang berada di luar kota, maka copy resep tetap tidak bisa ditebus,

melainkan harus dibuatkan resep baru dari dokter di daerah/ kota tersebut dengan

menunjukkan copy resep yg dibawa, sehingga pasien tetap bisa memperoleh obatnya.

Pemusnahan Resep

1.          Resep yang telah disimpan melebihi 3 tahun dapat dimusnahkan

2.       Pemusnahan resep dilakukan dengan cara dibakar atau dengan cara lain yang

memadai, oleh APA bersama dangan sekurang-kurangnya petugas apotek

3.    Pada pemusnahan resep harus dibuat berita acara pemusnahan sesuai dengan bentuk

yang telah ditentukan dalam rangkap empat dan ditandatangani oleh APA bersama

dengan petugas apotek yang menyaksikan

Page 3: simulasi apotek 4

Pelayanan Farmasi di Apotek

DETAIL PELAYANAN DI APOTEK

 

1. 1.  PELAYANAN RESEP

 

1. A.  Pengelolaan Resep

Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker

untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang

berlaku. (Kep.Menkes, No. 1027 tahun 2004)

Pasal 15 ayat 1 Permenkes No. 922 tahun 1993 “Apotek wajib melayani resep dokter, dokter

gigi dan dokter hewan”.

Permenkes No. 26 tahun 1981 pasal 10 menyebutkan “resep harus ditulis dengan jelas dan

lengkap” selain itu dalam Kepmenkes No. 280 tahun 1981;

Pasal 2, Resep harus memuat:

1. Nama, alamat dan nomor izin praktek dokter, dokter gigi atau dokter hewan

2. Tanggal penulisan resep, nama setiap obat atau komposisi obat

3. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep

4. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku

5. Jenis hewan dan nama serta alamt pemiliknya untuk resep dokter hewan

6. Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat yang jumlahnya

melebihi dosis maksimal

Pasal 3 disebutkan juga bahwa :

1. Resep dokter hewan hanya ditujukan untuk penggunaan pada hewan

2. Resep yang mengandung narkotika harus ditulis tersendiri sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 4 tertulis :

1. Untuk penderita yang memerlukan pengobatan segera, dokter dapat memberi tanda

“segera”, “cito”, “statim” atau “urgent” pada bagian atas kanan resep

2. Apoteker harus mendahulukan pelayanan resep dimaksud ayat 1 pasal ini.

Pasal 5 menyebutkan bahwa; apoteker tidak dibenarkan mengulangi penyerahan obat atas

dasar resep yang sama apabila :

Page 4: simulasi apotek 4

1. Pada resep aslinya diberi tanda “n.i”, “ne iteratur” atau “tidak boleh diulang”

2. Resep aslinya mengandung narkotika atau obat lain yang oleh menteri c.q direktur

jenderal ditetapkan sebagai obat yang tidak boleh diulang tanpa resep baru.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004, Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek, Standar

pelayanan resep di apotik adalah sebagai berikut.

1.  Pelayanan Resep.

1.1. Skrining resep.

Apoteker melakukan skrining resep meliputi :

1.1.1. Persyaratan administratif :

– Nama,SIP dan alamat dokter.

– Tanggal penulisan resep.

– Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.

– Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien.

– Nama obat , potensi, dosis, jumlah yang minta.

– Cara pemakaian yang jelas.

– Informasi lainnya.

1.1.2. Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis,potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara

dan lama pemberian.

1.1.3. Pertimbangan klinis: adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi,

jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan

kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya

bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

Page 5: simulasi apotek 4

1.2. Penyiapan obat.

1.2.1. Peracikan.

Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan

etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap

dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.

1.2.2. Etiket.

Etiket harus jelas dan dapat dibaca.

1.2.3. Kemasan obat yang diserahkan.

Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga

kualitasnya.

1.2.4. Penyerahan Obat.

Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap

kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai

pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.

1.2.5. Informasi Obat.

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak

bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi:

cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta

makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

1.2.6. Konseling.

Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan

perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang

bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan

Page 6: simulasi apotek 4

farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti

cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus

memberikan konseling secara berkelanjutan.

1.2.7. Monitoring Penggunaan Obat.

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan

penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes , TBC,

asthma, dan penyakit kronis lainnya.

Penyimpanan obat juga diatur dalam Kepmenkes No. 1332 tahun 2002 pasal 12 ayat 1 yang

menyebutkan bahwa apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan

sediaan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin.

Dalam Permenkes No. 922 tahun 1993 juga menjelaskan:

Pasal 14

1. Apotik wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan.

2. Pelayanan resep dimaksud dalam ayat (1) sepenuhnya atas tanggung jawab Apoteker

Pengelola Apotik.

Pasal 15

1. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya

yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.

2. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generik yang ditulis didalam resep dengan

obat paten.

3. Dalam hal pasien tidak mampu menbus obat yang tertulis dalam resep, Apoteker wajib

berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.

4. Apoteker wajib memberikan informasi :

1. Yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien.

2. Penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.

Pasal 16

1. Apabila Apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan

resep yang tidak tepat, Apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep.

Page 7: simulasi apotek 4

2. Apabila dalam hal dimaksud ayat (1) karena pertimbangan tertentu dokter penulis resep

tetap pada pendiriannya, dokter wajib menyatakannya secara tertulis atau membubuhkan

tanda tangan yang lazim diatas resep.

B. Salinan Resep

Salinan resep diatur dalam kepmenkes No. 280 tahun 1981 tentang Ketentuan dan Tata

Cara Pengelolaan Apotek, disebutkan bahwa salinan resep adalah salinan yang dibuat oleh

apotek, yang selain memuat semua keterangan yang terdapat dalam resep asli, harus

memuat pula:

1. Nama dan alamat Apotek

2. Nama dan nomor Surat Izin Pengelola Apotek

3. Tanda tangan atau paraf apoteker pengelola apotek

4. Tanda ‘det’ atau ‘detur’ untuk obat yang sudah diserahkan; tanda ‘nedet’ atau ‘ne detur’

untuk obat yang belum diserahkan

5. Nomor resep dan tanggal pembuatan

Permenkes No. 922 tahun 1993 pasal 17 menyebutkan bahwa:

Ayat 1   :    Salinan resep harus ditandatangani apoteker

Ayat 3   :    Resep atau salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep

atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan atau

petugas lain yang berwenang merut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

C. Penyimpana dan pemusnahan resep

Di Apotek, bila obatnya sudah diserahkan kepada penderita, menurut Peraturan Pemerintah

kertas resep harus disimpan, diatur menurut urutan tanggal dan nomor urut pembuatan,

serta harus disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Kegunaan hal akhir ini adalah

untuk memungkinkan penelusuran kembali bila setelah sekian waktu terjadi suatu akibat dari

obat yang diberikan. Setelah lewat waktu tiga tahun, resep-resep oleh Apotek boleh

dimusnahkan dengan membuat proses verbal (berita acara) pemusnahan. (SK Menkes RI

no. 280/MenKes/SK/V/1981 mengenai penyimpanan Resep di Apotek).

Secara jelas dalam pasal 7 Kepmenkes No. 280 Tahun 1981 mengatur tentang tata cara

penyimpanan dan pemusnahan resep sebagai berikut:

Page 8: simulasi apotek 4

1. Apoteker Pengelola Apotek mengatur resep yang tealh dikerjakan menurut urutan

tanggal dan nomor urutan penerimaan resep dan harus disimpan sekurang–kurangnya tiga

tahun.

2. Resep yang mengandung Narkotika harus dipisahkan dengan resep lainnya.

3. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu dimaksud ayat 1 pasal ini dapat

dimusnahkan.

4. Pemusnahan resep dimaksud dalam ayat 3 pasal ini, dilakukan dengan cara dibakar

atau dengan cara lain yang memadai oleh Apoteker Pengelola Apotek bersama dengan

sekurang–kurangnya petugas apotek.

5. Pada pemusnahan resep, harus dibuat Berita cara pemusnahan sesuai dengan bentuk

yang telah ditentukan dalam rangkap empat dan ditandatangani oleh mereka yang

dimaksud pada ayat 4 pasal ini.

1. 2.  PELAYANAN OBAT WAJIB APOTEK (OWA)

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 347/ MenKes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib

Apotik, mendefenisikan Obat Wajib Apotek (OWA) yaitu obat keras yang dapat diserahkan

oleh Apoteker kepada pasien di Apotik tanpa resep dokter. Yang pada diktum ke dua pada

putusan, dijelaskan bahwa Obat yang termasuk dalam OBAT WAJIB APOTIK ditetapkan

oleh Menteri Kesehatan.

Permenkes No. 919 tahun 1993 juga mengatur tentang kriteria obat yang dapat diserahkan

tanpa resep yakni sebagai berikut:

1. Tidak dikontaraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak dibawa usia 2

tahun dan orang tua diatas 65 tahun

2. Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko pada

kelanjutan penyakit

3. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan alat khusus yang harus dilakukan oleh

tenaga kesehatan

4. Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia

5. Obat dimaksud  memiliki resiko khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan

untuk pengobatan sendiri.

Pada diktum ke empat dalam putusan Menteri Kesehatan Nomor : 347/

MenKes/SK/VII/1990, juga di tuliskan “Apoteker di Apotik dalam melayani pasien yang

memerlukan obat dimaksud diktum kedua (Obat yang termasuk dalam OBAT WAJIB

APOTIK ditetapkan oleh Menteri Kesehatan) diwajibkan :

1. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam Obat

Wajib Apotik yang bersangkutan.

Page 9: simulasi apotek 4

2. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.

3. Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek samping

dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.

Jenis obat yang temasuk dalam daftar OWA, tertulis dalam kepmenkes tentang OWA 1,

OWA 2, dan OWA 3. Dalam OWA 2 merupakan tambahan dari daftar obat yang telah

ditetapkan dalam OWA 1, demikian juga OWA 3, merupakan tambahan dari OWA 1 dan

OWA 2.

1. 3.  PELAYANAN OBAT BEBAS (OB) DAN OBAT BEBAS TERBATAS (OBT)

Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan,

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2006, menerbitkan “Pedoman

Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas” diamana penyusunan pedoman tersebut

ditujukan Sebagai pedoman bagi masyarakat yang ingin melakukan swamedikasi dan

sebagai bahan bacaan Apoteker untuk membantu masyarakat dalam melakukan

swamedikasi.

Dalam pedoman tersebut,  Obat Bebas (OB) di defenisikan sebagai obat yang dijual bebas

di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket

obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam.sedangkan Obat bebas

Terbatas (OBT) didefenisikan sebagai; obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi

masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda

peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran

biru dengan garis tepi berwarna hitam.

Untuk Obat Bebas (OB) dan Obat Bebas Terbatas (OB), karana dapat diserahkan tanpa

resep dokter seperti halnya OWA, makan OB dan OTB juga harus megikuti aturan

Permenkes No. 919 tahun 1993 tentang kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep

yakni sebagai berikut:

1. Tidak dikontaraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak dibawa usia 2

tahun dan orang tua diatas 65 tahun

2. Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko pada

kelanjutan penyakit

3. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan alat khusus yang harus dilakukan oleh

tenaga kesehatan

Page 10: simulasi apotek 4

4. Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia

5. Obat dimaksud  memiliki resiko khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan

untuk pengobatan sendiri.

Pada BAB XVIII dalam Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas dijelaskan

tentang PERAN APOTEKER DALAM PENGGUNAAN OBAT BEBAS DAN BEBAS

TERBATAS sebagai berikut:

Penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas dalam pengobatan sendiri (swamedikasi)

harus mengikuti prinsip penggunaan obat secara umum, yaitu penggunaan obat secara

aman dan rasional. Swamedikasi yang bertanggung jawab membutuhkan produk obat yang

sudah terbukti keamanan, khasiat dan kualitasnya, serta membutuhkan pemilihan obat yang

tepat sesuai dengan indikasi penyakit dan kondisi pasien.

Sebagai seorang profesional kesehatan dalam bidang kefarmasian, Apoteker mempunyai

peran yang sangat penting dalam memberikan bantuan, nasehat dan petunjuk kepada

masyarakat yang ingin melakukan swamedikasi, agar dapat melakukannya secara

bertanggung jawab. Apoteker harus dapat menekankan kepada pasien, bahwa walaupun

dapat diperoleh tanpa resep dokter, namun penggunaan obat bebas dan obat bebas

terbatas tetap dapat menimbulkan bahaya dan efek samping yang tidak dikehendaki jika

dipergunakan secara tidak semestinya.

Dalam penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas, Apoteker memiliki dua peran yang

sangat penting, yaitu menyediakan produk obat yang sudah terbukti keamanan, khasiat dan

kualitasnya serta memberikan informasi yang dibutuhkan atau melakukan konseling kepada

pasien (dan keluarganya) agar obat digunakan secara aman, tepat dan rasional. Konseling

dilakukan terutama dalam mempertimbangkan :

1. Ketepatan penentuan indikasi/penyakit

2. Ketepatan pemilihan obat (efektif, aman, ekonomis), serta

3. Ketepatan dosis dan cara penggunaan obat.

Satu hal yang sangat penting dalam konseling swamedikasi adalah meyakinkan agar produk

yang digunakan tidak berinteraksi negatif dengan produk-produk yang sedang digunakan

atau dikonsumsi pasien. Di samping itu Apoteker juga diharapkan dapat memberikan

Page 11: simulasi apotek 4

petunjuk kepada pasien bagaimana memonitor penyakitnya, serta kapan harus

menghentikan pengobatannya atau kapan harus berkonsultasi kepada dokter.

Informasi tentang obat dan penggunaannya perlu diberikan pada pasien saat konseling

untuk swamedikasi pada dasarnya lebih ditekankan pada informasi farmakoterapi yang

disesuaikan dengan kebutuhan serta pertanyaan pasien. Informasi yang perlu disampaikan

oleh Apoteker pada masyarakat dalam penggunaan obat bebas atau obat bebas terbatas

antara lain:

1. Khasiat obat: Apoteker perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obat yang

bersangkutan, sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan kesehatan yang dialami

pasien.

2. Kontraindikasi: pasien juga perlu diberi tahu dengan jelas kontra indikasi dari obat yang

diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki kontra indikasi dimaksud.

3. Efek samping dan cara mengatasinya (jika ada): pasien juga perlu diberi informasi

tentang efek samping yang mungkin muncul, serta apa yang harus dilakukan untuk

menghindari atau mengatasinya.

4. Cara pemakaian: cara pemakaian harus disampaikan secara jelas kepada pasien untuk

menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup, dioleskan, dimasukkan melalui

anus, atau cara lain.

5. Dosis: sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, Apoteker dapat menyarankan dosis

sesuai dengan yang disarankan oleh produsen (sebagaimana petunjuk pemakaian yang

tertera di etiket) atau dapat menyarankan dosis lain sesuai dengan pengetahuan yang

dimilikinya.

6. Waktu pemakaian: waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan jelas kepada

pasien, misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan tidur.

7. Lama penggunaan: lama penggunaan obat juga harus diinformasikan kepada pasien,

agar pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan karena penyakitnya belum

hilang, padahal sudah memerlukan pertolongan dokter.

8. Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya pantangan

makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu bersamaan.

9. Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat

10. Cara penyimpanan obat yang baik

11. Cara memperlakukan obat yang masih tersisa

12. Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak

Di samping itu, Apoteker juga perlu memberi informasi kepada pasien tentang obat generik

yang memiliki khasiat sebagaimana yang dibutuhkan, serta keuntungan yang dapat

diperoleh dengan menggunakan obat generik. Hal ini penting dalam pemilihan obat yang

selayaknya harus selalu memperhatikan aspek farmakoekonomi dan hak pasien.

Page 12: simulasi apotek 4

Disamping konseling dalam farmakoterapi, Apoteker juga memiliki tanggung jawab lain yang

lebih luas dalam swamedikasi. Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh

IPF (International Pharmaceutical Federation)dan WMI (World Self-Medication

Industry) tentang swamedikasi yang bertanggung jawab (Responsible Self-

Medication) dinyatakan sebagai berikut:

1. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk memberikan nasehat dan informasi

yang benar, cukup dan objektif tentang swamedikasi dan semua produk yang tersedia

untuk swamedikasi.

2. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk merekomendasikan kepada pasien

agar segera mencari nasehat medis yang diperlukan, apabila dipertimbangkan

swamedikasi tidak mencukupi.

3. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk memberikan laporan kepada

lembaga pemerintah yang berwenang, dan untuk menginformasikan kepada produsen obat

yang bersangkutan, mengenai efek tak dikehendaki (adverse reaction) yang terjadi pada

pasien yang menggunakan obat tersebut dalam swamedikasi.

4. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk mendorong anggota masyarakat

agar memperlakukan obat sebagai produk khusus yang harus dipergunakan dan disimpan

secara hati-hati, dan tidak boleh dipergunakan tanpa indikasi yang jelas.

Selain melayani konsumen secara bertatap muka di apotek, Apoteker juga dapat melayani

konsumen jarak jauh yang ingin mendapatkan informasi atau berkonsultasi mengenai

pengobatan sendiri. Suatu cara yang paling praktis dan mengikuti kemajuan zaman adalah

dengan membuka layanan informasi obat melalui internet atau melalui telepon. Slogan

“Kenali Obat Anda”. “Tanyakan Kepada Apoteker” kini semakin memasyarakat. Para

Apoteker sudah semestinya memberikan respons yang baik dan memuaskan dengan

memberikan pelayanan kefarmasian yang profesional dan berkualitas.

1. 4.  PELAYANAN PSIKOTROPIKA

Menurut pasal 14 UU No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika:

Ayat 2   : Penyerahan psikotropika oleh apotek haya dapat dilakukan kepada:

1. Apotek lainnya

2. Rumah sakit

3. Puskesmas

4. Balai pengobatan

5. Dokter

6. Pengguna/pasien

Page 13: simulasi apotek 4

Ayat 4   : Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas dan balai

pengbatan dilaksanakan berdasarkan resep dokter

Ayat 5   : Penyerahan psikotropika oleh dokter dilaksanakan dalam hal:

1. Menjalankan praktek terapi dan diberikan melalui suntikan

2. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat

3. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek

Ayat 6   : Psikotropika yang diserahkan dokter hanya dapat diperoleh di apotek.

Pencatatan dan pelaporan terhadap pengelolaan psikotropika diatur dalam pasal 33 UU no

5 tahun 1997 yakni “Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan

farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga

penelitian dan/ atau lembaga pendidikan” wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai

kegiatan masing-masing yang berhubungan dengan psikotropika.

Pada pasal 53 UU no 5 tahun 1997 disebutkan bahwa

Ayat 1 pemusnahan psikotropika dilaksanakan dalam hal :

1. Berhubungan dengan tindak pidana

2. Diproduksi tanpa memenuhi tandar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat

digunakan dalam proses produksi psikotropika

3. Kadaluarsa

4. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan / atau untuk

kepentingan ilmu pengetahuan.

Dalam UU no 5 tahun 1997 ini tidak mengatur secara detail tentang teknis pelaksanaan

pemusnahan psikotropika. Dalam pasal 12 ayat 2 permenkes no 922 tahun 1993 disebutkan

bahwa “ sediaan farmasi yang karena sesuatu hal tidak dapat digunakan lagi atau dilarang

digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain

yang ditetapkan oleh menteri.

Pada pasal 53 ayat 2 UU no 5 tahun 1997 hanya menyebutkan tentang siapa yang

memusnahkan psikotropika. Pernah dikeluarkan surat edaran yang berisi tentang

pemusnahan dimana narkotika dan psikotropika disamakan yakni pada surat edaran kepala

Page 14: simulasi apotek 4

direktur pengawasan narkotika dan bahan berbahaya Dir Jend POM Dep. Kes. RI nomor

010/EE/SE/81 tanggal 8 Mei 1981 tentang pemusnahan /penyerahan narkotika atau

psikotropika yang rusak / tidak terdaftar. Bila mengacu surat edaran ini, maka teknis

pelaksanaan pemusnahan psikotropika sama seperti pada narkotika.

1. 5.  PENGELOLAAN NARKOTIKA

Menurut  pasal 39 UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika;

Ayat 2   : Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada :

1. Runah sakit

2. Puskesmas

3. Apotek lainnya

4. Balai pengobatan

5. Dokter

6. Pasien

Ayat 3   : Rumah sakit, apotek, puskesmas dan balai pengobatan  hanya dapat

menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter

Ayat 4   : Penyerahan narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan dalam hal;

1. Menjalankan praktek dokter dan diberikan melalui suntikan

2. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat

3. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.

Ayat 5   : Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan dokter

hanya dapat diperoleh dari apotek.

Pemusnahan narkotika diatur dalam pasal 60 dan 61 UU no 22 tahun 1997.

Pasal 60 : Pemusnahan dilakukan dalam hal :

1. Diproduksi tanpa  memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan atau tidak dapat

digunakan dalam proses produksi;

2. Kadaluarsa

3. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan atau untuk

pengembangan ilmu pngetahuan; atau

Page 15: simulasi apotek 4

4. Berkaitan dengn tindak pidana.”

Pasal 61 :

(1)   Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 huruf a, b, dan c

dilaksanakan oleh pemerintah, orang, atau badan yang bertanggungjawab atas produksi

dan atau peredaran narkotika, sarana kesehatan tertentu, serta lembaga ilmu pengetahuan

tertentu dengan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk menteri kesehatan.

(2)   Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pembuatan

berita acara yang sekurang-kurangnya memuat :

1. nama, jenis, sifat, dan jumlah;

2. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun, dilakukan pemusnahan; dan

3. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan

pemusnahan

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemusnahan  narkotika

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Dalam ketentuan peralihan undang-undang peralihan tersebut disebutkan bahwa “semua

peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan UU No. 9 Tahun

1976 tentang narkotik masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan atau belum

diganti”, dengan peraturan baru berdasarkan undang-undang ini. Oleh karena itu ketentuan

dibawah ini masih berlaku.

1. Resep dari luar propensi harus mendapatkan persetujuan dari dokter setempat

2. Salinan resep untuk obat yang baru diambil sebagaian tidak boleh dilayani oleh apotek

lain

3. Resep yang berisi narotika tidak boleh iterasi

4. Penyimpanan narkotika pada lemari yang mempunyai ukuran 40 x 80 x 100 cm, dapat

berupa almari yang diketatkan di dinding atau menjadi suatu kesatuan dengan almari yang

besar

5. Almari tersebut mempunyai 2 kunci yang satu untuk menyimpan narkotika sehari-hari

dan yang lainnya untuk narkotika persediaan dan morfin, pethidin dan garam-garamnya

6. Laporan narkotika disampaikan setiap bulan

7. Pemesanan narkotika menggunakan surat pesanan model N-9 rangkap 5 setiap satu

lembar pesanan berisikan 1 macam narkotika

Page 16: simulasi apotek 4

8. Pencatatan narkotika menggunakan buku register narkotika

Ketentuan tentang resep dan salinan resep narkotika juga diatur dalam Surat Edaran Dirjen

POM 336/E/SE/1997 tanggal 4 Mei 1997 yang menyebutkan bahwa:

1. Apotek dilarang melayani salinan resep yang mengandung narkotika, walaupun resep

tersebut baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali

2. Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali,

apotek boleh membuat salinan resep, tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani di

apotek yang mentimpan resep aslinya.

3. Salinan resep atau resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh dilayani sama sekali.

Untuk mencegah pertengkaran di apotik harap diumumkan kepada dokter agar tidak

menambah tulisan iter pada resep-resep yang menangandung narkotika.

Tempat penyimpanan narkotika juga diatur dalam pasal 5 permenkes no 28 tahun 1978

tentang penyimpanan narkotika yakni:

1. Apotik dan rumah sakit harus memiliki tempat khusus untuk menyimpan narkotika

2. Tempat khusus pada ayat 1 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Harus dibuar seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat

2. Harus mempunyai kunci yang kuat

3. Dibagi dua masing-masing dengan kunci yang berlainan, bagian pertama

dipergunakan untuk menyimpan morfina, petidina dan garam-garamnya, serta

persediaan narkotika, bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya

yang dipakai sehari-hari.

4. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40 X 80 X

100 cm, maka lemari tersebut harus dibuat pada tembok atau lantai.