Simbolisme Sebagai Idiologi Jawa

download Simbolisme Sebagai Idiologi Jawa

of 61

description

Makalah

Transcript of Simbolisme Sebagai Idiologi Jawa

SIMBOLISME SEBAGAI IDIOLOGI JAWA

A. PENDAHULUAN Setiap bangsa atau suku bangsa memiliki kebudayaan sendiri-sendiri yang berbeda. Demikian pula suku bangsa Jawa, memiliki kebudayaan khas dimana dalam sistem atau metode budayanya digunakan simbol-simbol atau lambang-lambang sebagai sarana atau media untuk menitipkan pesan-pesan atau nasehat-nasehat bagi bangsanya. Melihat kenyataan yang ada dalam kehidupan orang Jawa, dimana pada semua bidang kehidupannya baik dalam bahasa sehari-hari, sastra, kesenian, tindakan-tindakan, baik dalam pergaulan maupun dalam upacara-upacaranya, selalu terlihat adanya penggunaan simbol-simbol untuk pengungkapan rasa budayanya. Penggunaan simbol-simbol ini ternyata dilaksanakan dengan penuh kesadaran, pemahaman dan penghayatan yang tinggi, dan dianut secara tradisional dari satu generasi ke generasi berikutnya. Paham atau ideologi yang mendasarkan diri pada simbol-simbol itu disebut simbolisme. Budiono Herusatoto dalam bukunya yang berjudul Simbolisme dalam Budaya Jawa, mengulas secara mendalam falsafah hidup orang Jawa yang penuh dengan simbol-simbol. Yang menjadi pertanyaan adalah apa pengertian simbol, simbolisme dan budaya manusia, simbolisme sebagai media budaya Jawa dan tindakan simbolisme orang Jawa ? Dalam makalah ini secara ringkas dibahas dengan mengacu tulisan Budiono.

B. PEMBAHASAN1. Pengertian Simbol Pada hakekatnya manusia disebut juga sebagai makhluk budaya. Kebudayaan sendiri terdiri dari gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai sebagai hasil karya dan perilaku manusia. Manusia berpikir, berperasaan dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolik. Begitu eratnya kebudayaan manusia dengan simbol-simbol sehingga manusia dapat pula disebut sebagai makhluk bersimbol. Dengan perkataan lain, dunia kebudayaan adalah dunia penuh simbol. Kata simbol berasal dari kata Yunani symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Simbol atau lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan pengantara pemahaman terhadap objek. Dapat dikatakan sebagai sesuatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman si subjek kepada objek. Contohnya lambang Garuda Pancasila, lambang Palang Merah merupakan sesuatu benda, keadaan atau hal yang mempunyai arti yang lebih luas dan memerluakan pemahaman subjek akan arti yang terkandung di dalam lambang-lambang tersebut. Sebuah benda seperti bunga, yang dirangkai menjadi untaian bunga atau krans untuk menyatakan ikut berduka cita atas meninggalnya seseorang. Bukan bunganya atau bentuk krans atau bendanya, tetapi pemahaman arti benda atau krans bunga itu yang dipakai sebagai lambang atau simbol menyatakan ikut berduka cita atas meninggalnya almarhum. Dalam hal ini sifat kejiwaan yang ditonjolkan. Bendanya sendiri atau si bunga dibebaskan dari unsur yang terkandung dalam pada dirinya, ia diperluas maknanya. Drs. I Kuntara Wiryamartana, S.J., seorang ahli filsafat dan sastra Jawa dari Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada berpendapat bahwa bentuk lambang dapat berupa ;1. Bahasa, yang meliputi cerita, perumpamaan, pantun, syair dan peribahasa2. Gerak tubuh, seperti tarian3. Suara atau bunyi, antara lain lagu dan musik4. Warna dan rupa, berupa lukisan, hiasan, ukiran dan bangunan.

2. Simbolisme dan Budaya Manusia Manusia adalah makhluk budaya, dan budaya manusia penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya manusia penuh diwarnai dengan simbolisme yaitu suatu tata pikiran atau paham yang menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri pada simbol-simbol. Sepanjang sejarah budaya manusia simbolisme telah mewarnai tindakan-tindakan manusia baik tingkah laku, bahasa, ilmu pengetahuannya maupun religinya. Simbolisme sangat menonjol peranannya terutama terkait dengan religi. Hal ini dapat dilihat pada segala bentuk upacara-upacara religius dan kisah-kisah tentang riwayat para nabi mulai dari nabi Adam sampai kepada nabi Muhammad SAW. Cara-cara berdoa manusia dari dulu hingga sekarang selalu diikuti dengan tingkah laku simbolis yaitu mengucapkan doa sambil menengadahkan kedua telapak tangannya ke atas dan kadang-kadang dengan mendongakkan kepala ke atas seolah-olah siap menerima sesuatu dari Tuhan yang dianggap tinggal di atas ( langit ). Hal yang kedua dimana simbolisme sangat menonjol peranannya adalah dalam tradisi atau adat istiadat. Simbolisme ini kentara sekali dalam upacara-upacara adat yang merupakan warisan turun temurun dari generasi yang tua ke generasi berikutnya yang lebih muda. Simbolisme ini diperagakan mulai dari upacara saat si bayi masih dalam kandungan ibunya, saat ia dilahirkan ke dunia sampai saat upacara kematiannya. Bahkan pada beberapa suku bangsa di Indonesia upacara-upacara itu masih dilanjutkan lagi sampai beberapa waktu setelah jenazah dikebumikan atau akan diperabukan. Demikian pula dalam tata pergaulan antar sesamanya, masyarakat tradisional tetap berpegang kepada tata urutan usia dan jenjang kedudukan. Mereka berpendapat bahwa yang tua-tua dan yang berkedudukan lebih tanggi pada dasarnya adalah lebih dekat, paling tidak mengenal lebih banyak dan mendapat karunia lebih besar dari Tuhan daripada mereka yang muda-muda atau yang berkedudukan lebih rendah. Hal yang ketiga dimana simbolisme digunakan atau menonjol peranannya adalah dalam ilmu pengetahuan. Segala ulasan atau gambaran yang dipergunakan manusia untuk menyimpan dan mengembangkan ilmu pengetahuannya adalah simbol-simbol akaliah belaka. Kadar simbolisme yang terkandung di dalamnya bukan lagi berupa tindakan-tindakan simbolis tetapi hanya berupa atau berbentuk benda-benda, atau hal-hal simbolis pula. Benda-benda, bentuk-bentuk atau hal-hal simbolis ini diciptakan manusia semata-mata untuk mempermudah atau menyederhanakan ingatan atau kemampuan mengingat sesuatu pengetahuan sehingga energi dalam otak manusia dapat lebih dihemat pemakaiannya untuk menampung berbagai simbol-simbol pengetahuan lainnya. Lambang atau simbol dapat berupa benda atau bentuk seperti lambang partai, salib, bulan bintang, simbol matematika dan logika, departemen, sekolahan dan sebagainya. Sedangkan simbol yang berupa hal atau keadaan seperti pepatah, candra sengkala, kisah atau dongeng.

3. Simbolisme sebagai Media Budaya Jawa Media diartikan sebagai alat perantara atau penghantar. Budaya manusia sebagai hasil dari tingkah laku atau sebagai hasil kreasi manusia memerlukan pula bahan, material atau alat penghantar untuk menyampaikan maksud atau pengertian yang terkandung di dalamnya. Alat penghantar budaya manusia itu dapat berbentuk bahasa, benda atau barang, warna, suara, tindakan atau perbuatan yang merupakan simbol-simbol budaya. Budaya Jawa yang dikatakan edi peni dan adi luhung, yang telah terbina berabad-abad lamanya, dalam penyampaiannya atau penyuguhannya pun mempergunakan bentuk-bentuk alat penghantar seperti tersebut di atas, sebagai simbol-simbol budayanya. Bahasa Jawa yang penuh kembang, lambang dan sinamuning samudana atau tersembunyi dalam kiasan harus dikupas dengan perasaan yang dalam, serta tanggap ing sasmita atau dapat menangkap maksud yang sebenarnya, yang tersembunyi. Seperti kta pepatah wong Jawa nggone rasa, pada gulangening kalbu, ing sasmita amrih lantip, kuwowo nahan hawa, kinemat mamoting driya, yang artinya bahwa orang Jawa itu tempat perasaan, mereka selalu bergulat dengan kalbu atau suara hati atau jiwa, agar pintar dalam menangkap maksud yang tersembunyi, dengan jalan berusaha menahan nafsu, sehingga akal atau ratio dapat menangkap maksud yang sebenarnya. Terlihat di sini bahwa rasa, karsa dan cipta memegang peranan utama. Pada bahasa religiusnya, orang Jawa tidak pernah atau jarang menyebut kata Tuhan atau Allah secara langsung dan terus terang. Istilah khas yang sering dipakai sebagai personifikasi simbol Tuhan seperti ; Gusti Kang Maha Agung, Pangeran Kang Murbeng Dumadi, Pangeran Kang maha Tunggal Gusti Allah. Dan sifat mitis, magisnya dicetuskan dalam istilah-istilah ; Sing Mbahu Rekso, Sing Momong, Mbahe, Kyaine dan sebagainya. Dalam bahasa sasteranya, orang Jawa selalu memakai pepatah, sengkalan atau sangkala, dan jarwadosok. Dalam tradisiny atau tindakannya orang Jawa selalu berpegang kepada dua hal :1. Pandangan hidupnya atau filsafat hidupnya yang religius dan mitis.2. Sikap hidupnya yang etis an menjunjung tinggi moral atau derajat hidupnya.Bentuk simbolisme lain terdapat dalam bentuk benda-benda atau alat-alat yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa. Dalam hal pemakaian warnapun orang Jawa telah memilah-milah arti simbolisme yang terkandung di dalamnya. Hal ini tampak dalam penggunaan warna yang dipakai untuk mengecat muka tokoh-tokoh wayang kulit atau ringgit purwa.

4. Tindakan Simbolisme Orang Jawa Bentuk-bentuk simbolisme dalam budaya Jawa sangat dominan dalam segala hal dan dalam segala bidang. Hal ini terlihat dalam tindakan sehari-hari orang Jawa, sebagai realisasi dari pandangan dan sikap hidupnya yang berganda. Bentuk-bentuk simbolis ini dapat dikelompokkan dalam tiga macam tindakan simbolis, yaitu : pertama, tindakan simbolis dalam religi; kedua, tindakan simbolis dalam tradisinya; ketiga tindakan simbolis dalam keseniannya.a. Tindakan simbolis dalam religi Sejarah perkembangan religi orang Jawa telah dimulai sejak jaman prasejarah dimana pada waktu itu nenek moyang orang Jawa sudah beranggapan bahwa semua benda yang ada di sekelilingnya itu berkekuatan gaib atau mempunyai roh yang berwatak baik maupun jahat. Pengaruh kebudayaan Hindu di Jawa menambah pula perbendaharaan simbolisme dalam tindakan religius orang Jawa. Penghormatan dan pemujaan kepada Dewa-dewa Hindu menimbulkan pula fantasi akan adanya Dewa-dewi lainnya yang asli Jawa. Pengaruh agama dan filsafat Islam dalam tindakan simbolis orang Jawa terlihat dalam sikap hidupnya warga Pangestu dan Upacara Sekaten di Yogyakarta. Tindakan simbolis dalam religi orang Jawa, dapat disimpulkan dalam tiga golongan :1. Tindakan simbolis religius yang terbentuk karena pengaruh jaman mitos, atau disebut juga jaman kebudayaan aseli Jawa.2. Tindakan simbolis religius yang terbentuk karena pengaruh jaman kebudayaan Hindu-Jawa.3. Tindakan simbolis religius yang terbentuk karena pengaruh jaman mitos jaman kebudayaan Hindu-jawa dan jaman Jawa-Islam.

b. Tindakan simbolis dalam tradisi Tradisi atau adat-istiadat atau disebut pula adat tata kelakuan, menurut Koentjaraningrat dapat dibagi dalam empat tingkatan, yaitu :1. Tingkat nilai budayaBerupa ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat, dan biasanya berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia, misalnya gotong royong atau sifat suka kerja sama berdasarkan solidaritas yang besar.2. Tingkat norma-normaSistem norma-norma yang berupa nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan masing-masing anggota masyarakat dalam lingkungannya, seperti unggah-ungguh atau kode etik.3. Tingkat hukumSistem hukum yang berlaku, misalnya hukum adat perkawinan, hukum adat kekayaan.

4. Tingkat aturan khususAturan-aturan khusus yang mengatur kegiatan-kegiatan yang jelas terbatas ruang lingkupnya dalam masyarakat dan bersifat kongkrit, misalnya aturan sopan santun. Dengan berdasar pada keempat tingkatan adat tata kelakuan tersebut, maka tindakan-tindakan simbolis yang terdapat dalam tradisi Jawa adalah sebagai berikut ; Dalam tingkat nilai budaya, tercermin sikap dan sifat kerja sama seperti gotong-royong , tolong-menolong, rasa senasib sepenanggungan dalam suka dan duka. Orang jawa memiliki ungkapan simbolis seperti : saiyeg aeko praya, yang artinya bergerak bersama untuk mencapai tujuan bersama. Mangan ora mangan kumpul, makan tidak makan tetap bersama, menggambarkan kuatnya rasa senasib sepenanggungan, tetulung kok dikertoaji, pertolongan itu jangan dinilai kembali dengan uang. Tepa salira, tindakan tidak melukai perasaan orang lain. Dalam tingkat norma-norma, dimana sistem norma yang berlaku berupa nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan masing-masing anggota masyarakat, terlihat secara umum dalam sikap dan tindakan antara yang lebih tua atau yang lebih ahli dalam bidangnya, dengan mereka yang lebih muda atau lebih awam. Demikian pula dalam derajat kepangkatan, jabatan atau kedudukan serta usia. Yang muda akan datang ke yang lebih tua untuk sowan , tuwi kasugengan, atur pisungsung, sungkem dan nyuwun pangestu. Sedangkan yang tua akan memberikan kepada yang muda berupa puji pangastuti, suwuk sembur, wejangan, paring sungu dan tulada. Tindakan simbolis dalam tingkat hukum atau sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat Jawa sangat kentara dalam hukum adat perkawinan dan hukum adat kekayaan. Menurut hukum adat Jawa, perjodohan dimulai dengan berbagai upacara yang merupakan rites de passages, yaitu lambang dari peralihan jeneng. Suami istri tidak lagi memakai nama pemberian orang tua, melainkan memakai nama tua yang merupakan nama keluarga. Di dalam harta kekayaan keluarga, ada dua jenis harta; harta gono dan harta gini, ada istilah sepikul segendongan. Dalam tingkatan adat yang keempat, aturan-aturan khusus yang mengatur kegiatan-kegiatan yang terbatas ruang lingkupnya, berupa ungkapan-ungkapan seperti sapa gawe nganggo, sapa nandur ngunduh, tega larane ora tega patine, wong temen ketemu, wong salah seleh, ngono ya ngono, nanging ya aja ngono.

c. Tindakan simbolis dalam seni Salah satu wujud rasa budaya manusia adalah alam seni. Alam seni ini terdiri atas beberapa unsur yaitu : seni rupa, seni sastra, seni suara, seni tari, seni musik dan seni drama. Alam seni merupakan salah satu dari aktivitas kelakuan berpola dari manusia yang dalam pengungkapannya penuh dengan tindakan-tindakan simbolis. Hal ini disebabkan melalui alam seni rasa budaya manusia yang tidak dapat diungkapkan dalam pergaulan sehari-hari antar manusia, dicurahkannya dalam bentuk simbol-simbol di dalam alam seninya. Dalam budaya Jawa, wayang kulit purwa merupakan kesenian yang merangkum keenam unsur seni dalam satu kesatuan seni. Tindakan simbolis pertama dilakukan oleh yang menanggap wayang, tujuan misal untuk ujar atau kaul, meruwat, dan menyediakan ubarampe. Tindakan simbolis yang kedua oleh dalang sebagai tokoh utama dalam pagelarang wayang. Dalang yang menguasai jalan cerita, kode/ pertanda penabuh gamelan dan menggerakkan wayang. Tindakan simbolis ketiga dilakukan oleh para penabuh gamelan dan sinden. Iringan gamelan ada 7 tahap, yaitu ; klenengan, talu, pathet nem, pathet sanga, pathet manyura, tancep kayon dan golek. Tindakan simbolis keempat dilakukan oleh pencipta atau penyungging wayang. Wanda wayang yang terdiri dari bentuk, warna, macam pakaian, serta dedeg dan tinggi rendahnya ukuran wayang memiliki arti yang berbeda. Dalam seni tari, tindakan simbolis hampir seluruh gerak langkah serta pola-pola setiap tarian. Dalam seni busana atau pakaian, orang Jawa memiliki aturan simbolis dari corak dan jenis kain, potongan dan warna baju, bentuk dan corak kain tutup kepala ( blangkon, udeng ), melambangkan kebesaran dan tingkat ilmu atau usia dari masing-masing pemakainya. Dalam seni pahat, seni topeng, seni kecurigan atau keris, seni kawarangkan atau tempat keris yang merupakan bagian dari seni rupa, dikenal pula bentuk-bentuk simbolis dengan tujuan dan maksud tertentu yang bersifat magis. C. PENUTUP Budiono Herusatoto dalam bukunya yang berjudul Simbolisme dalam Budaya Jawa, menyajikan secara mendalam falsafah hidup orang Jawa yang penuh dengan simbol-simbol. Kehidupan orang Jawa, pada semua bidang kehidupannya baik dalam bahasa sehari-hari, sastra, kesenian, tindakan-tindakan, baik dalam pergaulan maupun dalam upacara-upacaranya, selalu terlihat adanya penggunaan simbol-simbol untuk pengungkapan rasa budayanya. Penggunaan simbol-simbol ini ternyata dilaksanakan dengan penuh kesadaran, pemahaman dan penghayatan yang tinggi, dan dianut secara tradisional dari satu generasi ke generasi berikutnya.Paham atau ideologi yang mendasarkan diri pada simbol-simbol itu disebut simbolisme. Pandangan hidup atau sikap hidup orang Jawa adalah senantiasa menuju kepada; keselarasan dengan dunianya, hal ini terwujudkan dalam susila/ etikanta, keselarasan dengan Tuhannya, diwujudkan dalam taqwanya, kedekatan dengan kesadaran dirinya, hal ini diwujudkan dalam sikap batin yang selalu eling lan waspada.

Acuan :Budiono Herusatoto. 1983. Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta : Penerbit PT Hanindita

http://aminhidayatcenter.blogspot.com/2012/01/simbolisme-sebagai-idiologi-jawa.html

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIAFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS PEKALONGANPEKALONGAN2011

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangManusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak dapat hidup sendiri, dengan kata lain manusia membutuhkan individu lainnya dalam kelangsungan hidup. Oleh karena itu manusia perlu bahasa sebagai alat komunikasi atau berinteraksi dengan sesamanya dalam melangsungkan hidupnya sebagai mahluk sosial.Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi paling efektif antara individu dengan individu lain. Dengan bahasa seseorang dapat menyampaikan maksud yang dipikirkannya kepada orang lain. Bahasa disampaikan baik melalui lisan maupun dalam bentuk tulisan. Bahasa dan masyarakat tidak bisa dilepaskan karena bahasa dengan masyarakat memiliki kaitan erat, masyarakat tidak mungkin bisa berjalan tanpa bahasa begitu juga sebaliknya bahasa tidak akan ada jika tidak ada masyarakat.Bahasa yang ada dalam masyarakat akhirnya menjadi kebiasaan yang diwariskan secara turun-temurun, Hingga bahasa pada masyarakat tersebut menjadi sebuah budaya yang menjadi suatu ciri khas masyarakat tersebut. Bahasa tidak hanya menentukan kebudayaan tetapi juga pola pikir masyarakat pada suatu daerah tersebut. Untuk memahami budaya daerah tertentu maka hal yang pertama diperlukan adalah memahami bahasa pada masyarakat tersebut.Antara bahasa, budaya dan masyarakat ternyata saling berkaitan dan memiliki hubungan yang erat, untuk mengetahui bahasa tentu kita harus mencari tahu mengenai arti dari bahasa itu sendiri. Dan kemudian mencoba menghubungkan bahasa dengan kebudayaan, selanjutnya mengaitkan bahasa dennga masyarakat. Mengenai bahasa, budaya dan masyarakat akan coba dibahas lebih mendalam dalam karya tulis ini.

BAB IIPEMBAHASAN

A. Pengetian BahasaBahasa memiliki pengertian yang sangat luas karena bahasa merupakan alat komunikasi sosial seluruh manusia di dunia, banyak para ahli yang mencoba merumuskan mengenai pengertian bahasa, berikut beberapa ahli yang mencoba memberikan definisinya mengenai bahasa. Tarigan (1989:4), memberikan dua definisi bahasa. Pertama, bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barang kali juga untuk sistem generatif. Kedua, bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol arbitrer.Menurut Wibowo (2001:3), bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran.Chaer dan Agustina (2009:11) secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu yang terlintas di dalam hati. Namun, lebih jauh bahasa bahasa adalah alat untuk beriteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan. Dalam studi sosiolinguistik, bahasa diartikan sebagai sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi.Bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sistem bahasa berupa lambang-lambang bunyi, setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep.Karena setiap lambang bunyi itu memiliki atau menyatakan suatu konsep atau makna, maka dapat disimpulkan bahwa setiap suatu ujaran bahasa memiliki makna. Contoh lambang bahasa yang berbunyi nasi melambangkan konsep atau makna sesuatu yang biasa dimakan orang sebagai makanan pokok.

1. Karakteristik BahasaTelah disebutkan di atas bahwa bahasa adalah sebuah sistem berupa bunyi, bersifat abitrer, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa di antara karakteristik bahasa adalah abitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi.a) Bahasa Bersifat AbritrerBahasa bersifat abritrer artinya hubungan antara lambang dengan yang dilambangkan tidak bersifat wajib, bisa berubah dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang tersebut mengonsepi makna tertentu. Secara kongkret, alasan kuda melambangkan sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai adalah tidak bisa dijelaskan.Meskipun bersifat abritrer, tetapi juga konvensional. Artinya setiap penutur suatu bahasa akan mematuhi hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya. Dia akan mematuhi, misalnya, lambang buku hanya digunakan untuk menyatakan tumpukan kertas bercetak yang dijilid, dan tidak untuk melambangkan konsep yang lain, sebab jika dilakukannya berarti dia telah melanggar konvensi itu.b) Bahasa Bersifat ProduktifBahasa bersifat produktif artinya, dengan sejumlah besar unsur yang terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas. Misalnya, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS. Purwadarminta bahasa Indonesia hanya mempunyai kurang lebih 23.000 kosa kata, tetapi dengan 23.000 buah kata tersebut dapat dibuat jutaan kalimat yang tidak terbatas.c) Bahasa Bersifat DinamisBahasa bersifat dinamis berarti bahwa bahasa itu tidak lepas dari berbagai kemungkinan perubahan sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada tataran apa saja: fonologis, morfologis, sintaksis, semantic dan leksikon. Pada setiap waktu mungkin saja terdapat kosakata baru yang muncul, tetapi juga ada kosakata lama yang tenggelam, tidak digunakan lagi.

d) Bahasa Bersifat BeragamMeskipun bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam, baik dalam tataran fonologis, morfologis, sintaksis maupun pada tataran leksikon. Bahasa Jawa yang digunakan di Surabaya berbeda dengan yang digunakan di Yogyakarta. Begitu juga bahasa Arab yang digunakan di Mesir berbeda dengan yang digunakan di Arab Saudi.e) Bahasa Bersifat ManusiawiBahasa sebagai alat komunikasi verbal, hanya dimiliki manusia. Hewan tidak mempunyai bahasa. Yang dimiliki hewan sebagai alat komunikasi, yang berupa bunyi atau gerak isyarat, tidak bersifat produktif dan dinamis. Manusia dalam menguasai bahasa bukanlah secara instingtif atau naluriah, tetapi dengan cara belajar. Hewan tidak mampu untuk mempelajari bahasa manusia, oleh karena itu dikatakan bahwa bahasa itu bersifat manusiawi.

B. Hubungan Bahasa, Budaya dan MasyarakatPengajaran bahasa sering dipisahkan dari pengajaran budaya (culture), bahkan ada yang menganggap bahwa bahasa tidak ada hubungannya dengan budaya. Memang diakui bahwa budaya penting untuk dipahami oleh pemelajar bahasa, tetapi pengajarannya sering terpisah dari pengajaran bahasa. Memang mempertimbangkan aspek budaya dalam pembelajaran bahasa dengan lebih menekankan pada penggunaan bahasa, tetapi dalam pelaksanaannya bahasa masih dianggap sebagai satu sistem homogen yang terpisah dari interaksi penutur dalam kehidupan sehari-hari.Bahasa adalah hasil budaya suatu masyarakat yang kompleks dan aktif. Bahasa dikatakan kompleks karena di dalamnya tersimpan pemikiran-pemikiran kolektif dan semua hal yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Bahasa dikatakan aktif karena bahasa terus berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena sifatnya tersebut, bahasa adalah aspek terpenting dalam mempelajari suatu kehidupan dan kebudayaan masyarakat.

Koentjaraningrat (1994), bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Artinya, kedudukan bahasa berada pada posisi subordinat di bawah kebudayaan, tetapi sangat berkaitan. Namun, beberapa pendapat lain mengatakan bahwa hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang bersifat koordinatif, sederajat dan kedudukannya sama tinggi.Bahasa sebagai suatu sistem komunikasi adalah suatu bagian atau subsistem dari sistem kebudayaan, bahkan dari bagian inti kebudayaan. Bahasa terlibat dalam semua aspek kebudayaan, paling sedikit dengan cara mempunyai nama atau istilah dari unsur-unsur dari semua aspek kebudayaan itu. Lebih penting lagi, kebudayaan manusia tidak akan mungkin terjadi tanpa bahasa karena bahasalah faktor yang menentukan terbentuknya kebudayaan.Bahasa sebagai alat komunikasi yang terdiri dari sistem lambang, yang dikomposisikan pada kerangka hubungan kelompok sosial, dapat berimbas pula pada struktur interaksi kebudayaan secara menyeluruh. Para ahli sepakat mendefinisikan kebudayaan sebagai sebuah sistem struktur yang terdiri dari simbol-simbol, perlambang dan makna-makna yang dimiliki secara komunal atau bersama, yang dapat diidentifikasi, sekaligus bersifat publik.Fungsi bahasa dalam arti luas dapat dipergunakan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan segala perlambang kebudayaan antar anggota masyarakat. Sifat khas suatu kebudayaan memang hanya bisa dimanifestasikan dalam beberapa unsur yang terbatas dalam suatu kebudayaan, yaitu dalam bahasanya, keseniannya, dan dalam adat istiadat upacaranya. Bahasa dan budaya, sangat sarat dengan daya-daya kohesif dan saling mempengaruhi, serta boleh dikatakan bahwa masing-masing entitas yang satu tidak bisa berdiri sendiri tanpa peranan yang lain.Pembelajaran budaya suatu masyarakat hendaknya mengutamakan unsur-unsur bahasa yang digunakan dalam masyarakat tersebut. Budaya dan bahasa merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Untuk belajar suatu budaya sekelompok masyarakat, seseorang harus menguasai bahasa sekelompok masyarakat tersebut. Chaer dan Agustina (2010), mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.

Sedemikian eratnya hubungan antara kebudayaan dan bahasa sebagai wadahnya, hingga sering terdapat kesulitan dalam menerjemahkan kata-kata dan ungkapan dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Sebagai contoh, perkataan village, dalam bahasa Inggris tidaklah sama dengan desa dalam bahasa Indonesia. Sebab konsep village dalam bahasa Inggris adalah lain sekali dari desa dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu ungkapan yang pernah di keluarkan oleh penulis asing menyebut kota Jakarta sebagai big village akan hilang maknanya jika diterjemahkan dengan desa yang besar.Hal ini menegaskan kita pada hubungan antara bahasa dan kebudayaan, yaitu bahwa kunci bagi pengertian yang mendalam atas suatu kebudayaan adalah melalui bahasanya. Semua yang di bicarakan dalam suatu bahasa, terkecuali ilmu pengetahuan yang kita anggap universal, adalah tentang hal-hal yang ada dalam kebudayaan bahasa itu. Oleh karena itu maka perlu mempelajari bahasa jika kita ingin mendalami suatu kebudayaan ialah melalui bahasanya. Bahasa itu adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan.

BAB IIIPENUTUPA. SimpulanWibowo (2001:3), bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Dalam studi sosiolinguistik, bahasa diartikan sebagai sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi.Sehingga dapat disimpulkan karakteristik bahasa yang pertama yaitu berisfat arbitrer yang artinya hubungan antara lambang dengan yang dilambangkan tidak bersifat wajib, bisa berubah. Kedua Bahasa Bahasa bersifat produktif artinya, dengan sejumlah besar unsur yang terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas. Ketiga bahasa bersifat dinamis berarti bahwa bahasa itu tidak lepas dari berbagai kemungkinan perubahan sewaktu-waktu dapat terjadi. Keempat Bahasa bersifat beragam karena faktor morfologii sosiol dan sebagainya. Kelima Bahasa bersifat manusiawi, sebagai alat komunikasi verbal, hanya dimiliki manusia, hewan tidak mempunyai bahasa.Bahasa tidak bisa lepas dari kebuayaan karena bahasa merupakan hasil budaya suatu masyarakat yang kompleks dan aktif. Bahasa adalah aspek terpenting dalam mempelajari suatu kehidupan dan kebudayaan masyarakat. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Artinya, kedudukan bahasa berada pada posisi subordinat di bawah kebudayaan, tetapi sangat berkaitan.Namun hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang bersifat koordinatif, sederajat dan kedudukannya sama tinggi. Oleh karena itu maka perlu mempelajari bahasa jika kita ingin mendalami suatu kebudayaan ialah melalui bahasanya. Bahasa itu adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan.

B. SaranBahasa sebagai alat komunikasi manusia perlu dipelajari agar sesuatu yang disampaikan tidak menjadi salah pengertian mengenai maksud dan tujuanya. Bahasa yang ada pada masyarakat telah menjadi kebudayaan, kita sebagai generasi bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya sudah seharusnya menjaga bahasa Indonesia dan bahasa daerah itu sendiri, agar tidak hilang karena proses global yang menggunakan bahasa asing untuk bahasa internasional. Sebagai generasi bangsa yang baik, sudah selayaknya menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar karena bahasa indonesia adalah bahasa bangsa Indonesia tercinta.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan Agustina, Leoni.2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal .Jakarta: Rineka CiptaKoentjaraningrat. 1994. Metode-metode Penelitian Mayarakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka UtamaTarigan, Henry Guntur .1989. Pengajaran Kompetensi Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa.Wibowo, Wahyu .2001. Manajemen Bahasa. Jakarta: Gramedia.http://herysusantolimpung.blogspot.com/2012/03/v-behaviorurldefaultvmlo_25.html

KEBUDAYAAN MASYARAKAT JAWASeptember 30, 2013 by kakasuhendar19 in Uncategorized.image

Bagi temen temen yang sedang melakukan tugas membuat makalah. Ini makalah yang pernah saya buat mungkin bisa menjadi reperensi buat temen temen yang sedang melakukan tugas tugas pembuatan makalah, semoga bemanfaat

BAB IPENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANGKebudayaan, suatu istilah yang mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Istilah yang berasal dari bahasa sansakerta buddhayah yang berarti budi atau akal. Sementara kebudayaan itu sendiri kurang lebih memiliki makna semua hasil dari karya, rasa, dan cita-cita masyarakat.Indonesia adalah negeri yang sangat kaya, dengan 17.548 pulau yang membentang membuat Indonesia memiliki sumber daya alam yang begitu melimpah ruah baik dari darat maupun dari laut.Dengan jumlah pulau yang begitu banyak yang dipisahkan dengan lautan yang begitu luas, tidak heran Indonesia juga kaya akan kebudayaan yang begitu beraneka ragam dari budaya Aceh hingga budaya Papua.Suku Jawa, sebagai salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia dengan jumlah mencapai hampir seratus juta, dan juga kebudayaanya yang telah lahir selama berabad-abad, memiliki kebudayaan yang begitu beraneka ragam, dan pasti membuat takjub orang yang melihatnya. dan budaya itu masih tetap lestari karena diwariskan kepada generasi selanjutnya.Dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai kebudayaan dalam masyarakat Jawa yang dikaji dalam 7 (tujuh) unsur kebudayaan seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan religi.

RUMUSAN MASALAH Setiap pembuatan makalah tentu memiliki permasalahan yang akan dibahas. Permasalahan yang kami angkat diantaranya:Apakah peralatan dan perlengkapan hidup manusia yang dipakai oleh masyarakat Jawa.Apakah mata pencaharian hidup dan sistem ekonom yang digunakan oleh masyarakat Jawa.Bagaimana sistem kemasyarakatan yang ada di masyarakat Jawa.Apakah Bahasa sehari-hari masyarakat Jawa.Apakah jenis kesenian yang berkembang di masyarakat Jawa.Bagaimana sistem pengetahuan yang berkembang di masyarakat Jawa.Apakah sistem religi yang terdapat di masyarakat Jawa.

TUJUAN MAKALAHAdapun tujuan kami dalam penulisan makalah ini antara lain:Mengetahui peralatan dan perlengkapan hidup manusia yang dipakai oleh masyarakat Jawa ? .Mengetahui mata pencaharian hidup dan sistem ekonom yang digunakan oleh masyarakat Jawa ?.Mengerti sistem kemasyarakatan yang ada di masyarakat Jawa ?.Mengerti Apakah Bahasa sehari-hari masyarakat Jawa ?.Mengetahui jenis kesenian yang berkembang di masyarakat Jawa ?.Mengetahui sistem pengetahuan yang berkembang di masyarakat Jawa ?.Mengetahui religi yang terdapat di masyarakat Jawa ?.

1.4 SISTEMATIKA PENULISAN MAKALAHBab 1 pendahuluan, bab ini berisi latar belakang penulisan makalah, rumusan masalah penulisan makalah, tujuan penulisan makalah, juga berisi mengenai sistematika penulisan makalah.Bab II merupakan pembahasan dari makalah. Hal-hal yang terdapat di dalam bab II ini antara lain seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan religi.Bab III berisi kesimpulan dan rangkuman dari isi makalah yang dibuat oleh penyusun dan penutup makalah.

BAB IIPEMBAHASAN

Berbicara mengenai suku Jawa, yang merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia. Di tahun 2004 saja, telah tercatat lebih dari 90 juta lebih orang yang bersuku bangsa Jawa. Beberapa orang pasti menyangka bahwa yang dimaksud dengan suku Jawa adalah orang-orang yang lahir, mendiami daerah wilayah Jawa Tengah dan menggunakan bahasa ibu bahasa Jawa. Padahal, daerah kebudayaan Jawa itu luas, meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari pulau Jawa. walaupun pada kenyataanya, tetap saja tampak perbedaan karakteristik antara orang-orang yang mendiami daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta, dengan orang-orang yang mendiami daerah Jawa Timur. Selain suku bangsa Jawa, ada juga subsuku dari suku bangsa ini, yaitu suku osing dan suku tengger.Di kalangan masyarakat, tercipta stereotip tentang perangai orang Jawa yang begitu halus, sopan dan pasrah menjalani hidup atau nrimo, Sifat ini konon berdasarkan watak orang Jawa yang berusaha untuk menjaga harmoni atau keserasian juga menghindari konflik. Mereka cenderung diam dan tidak banyak berkomentar untuk menghindari konflik.Sistem kekerabatan yang digunakan oleh orang Jawa pada umumnya adalah Patrilineal, atau menggunakan garis keturunan dari pihak ayah. Hal ini sama seperti kebanyakan suku di Indonesia, seperti suku Batak.Dalam kehidupan nasional pun, eksistensi orang-orang yang berasal dari suku Jawa tidak perlu diragukan lagi, mereka memegang banyak peranan penting dan posisi strategis di pemerintahan, tatanan sistem politik, sampai dengan dunia hiburan. Misalnya saja, lima dari enam orang presiden yang pernah memerintah di Indonesia adalah orang Jawa. mulai dari Soekarno, Soeharto, abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Dan tokoh-tokoh lainya seperti Sri Mulyani Indrawati, Khofifah Indar Parawangsa, Anggun C Sasmi, bahkan Michelle Branch, yang kita kenal sebagai penyanyi internasional pun ternyata memiliki garis keturunan orang Jawa.

Gambar. 1 orang Jawa

2.1 Peralatan dan Perlengkapan HidupSebagai suatu kebudayaan, suku Jawa tentu memiliki peralatan dan perlengkapan hidup yang khas diantaranya yang paling menonjol adalah dalam segi bangunan. Masyarakat yang bertempat tinggal di daerah Jawa memiliki ciri sendiri dalam bangunan mereka, khususnya rumah tinggal. Ada beberapa jenis rumah yang dikenal oleh masyarakat suku Jawa, diantaranya adalah rumah limasan, rumah joglo, dan rumah serotong. Rumah limasan, adalah rumah yang paling umum ditemui di daerah Jawa, karena rumah ini merupakan rumah yang dihunu oleh golongan rakyat jelata. Sedangkan rumah Joglo, umumnya dimiliki sebagai tempat tinggal para kaum bangsawan, misalnya saja para kerabat keraton.Umumnya rumah di daerah Jawa menggunakan bahan batang bambu, glugu (batang pohon nyiur), dan kayu jati sebagai kerangka atau pondasi rumah. Sedangkan untuk dindingnya, umum digunakan gedek atau anyaman dari bilik bambu, walaupun sekarang, seiring dengan perkembangan zaman, banyak juga yang telah menggunakan dinding dari tembok. Atap pada umumnya terbuat dari anyaman kelapa kering (blarak) dan banyak juga yang menggunakan genting.

Gambar . 3 Rumah khas Jawa

2.2 Mata Pencaharian Hidup dan Sistem EkonomiTidak ada mata pencaharian yang khas yang dilakoni oleh masyarakat suku Jawa. pada umumnya, orang-orang disana bekerja pada segala bidang, terutama administrasi negara dan kemiliteran yang memang didominasi oleh orang Jawa. selain itu, mereka bekerja pada sektor pelayanan umum, pertukangan, perdagangan dan pertanian dan perkebunan. Sektor pertanian dan perkebunan, mungkin salah satu yang paling menonjol dibandingkan mata pencaharian lain, karena seperti yang kita tahu, baik Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak lahan-lahan pertanian yang beberapa cukup dikenal, karena memegang peranan besar dalam memasok kebutuhan nasional, seperti padi, tebu, dan kapas.Tetapi orang Jawa juga terkenal tidak memiliki bakat yang menonjol dalam bidang industri dan bisnis seperti halnya keturunan etnis tionghoa. Hal ini dapat terlihat, bahwa pemilik industri berskala besar di Indonesia, kebanyakan dimiliki dan dikelola oleh etnis tionghoa.

2.3 Sistem KemasyarakatanDalam sistem kemasyarakatan, akan dibahas mengenai pelapisan sosial. Dalam sistem kemasyarakatan Jawa, dikenal 4 tingkatan yaitu Priyayi, Ningrat atau Bendara, Santri dan Wong Cilik.Priyayi ini sendiri konon berasal dari dua kata bahas Jawa, yaitu para dan yayi atau yang berarti para adik. Dalam istilah kebudayaan Jawa, istilah priyayi ini mengacu kepada suatu kelas sosial tertinggi di kalangan masyarakat biasa setelah Bendara atau ningrat karena memiliki status sosial yang cukup tinggi di masyarakat. Biasanya kaum priyayi ini terdiri dari para pegawai negeri sipil dan para kaum terpelajar yang memiliki tingkatan pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang disekitarnyaNingrat atau Bendara adalah kelas tertinggi dalam masyarakat Jawa. pada tingkatan ini biasanya diisi oleh para anggota keraton, atau kerabat-kerabatnya, baik yang memiliki hubungan darah langsung, maupun yang berkerabat akibat pernikahan. Bendara pu memiliki banyak tingkatan juga di dalamnya, mulai dari yang tertinggi, sampai yang terendah. Hal ini dapat dengan mudah dilihat dari gelar yang ada di depan nama seorang bangsawan tersebut..Yang ketiga adalah golongan santri. Golongan ini tidak merujuk kepada seluruh masyarakat suku Jawa yang beragama muslim, tetapi, lebih mengacu kepada para muslim yang dekat dengan agama, yaitu para santri yang belajar di pondok-pondok yang memang banyak tersebar di seluruh daerah Jawa.Terakhir, adalah wong cilik atau golongan masyarakat biasa yang memiliki kasta terendah dalam pelapisan sosial. Biasanya golongan masyarakat ini hidup di desa-desa dan bekerja sebagai petani atau buruh. Golongan wong cilik pun dibagi lagi menjadi beberapa golongan kecil lain yaitu:Wong Baku : golongan ini adalah golongan tertinggi dalam golongan wong cilik, biasanya mereka adalah orang-orang yang pertama mendiami suatu desa, dan memiliki sawah, rumah, dan juga pekarangan.Kuli Gandok atau Lindung : masuk di dalam golongan ini adalah para lelaki yang telah menikah, namun tidak memiliki tempat tinggal sendiri, sehingga ikut menetap di tempat tinggal mertua.Joko, Sinoman, atau Bujangan : di dalam golongan ini adalah semua laki-laki yang belum menikah dan masih tinggal bersama orang tua, atau tinggal bersama orang lain. Namun, mereka masih dapat memiliki tanah pertanian dengan cara pembelian atau tanah warisan.Pembagian sosial masyarakat bukan hanya terbagi oleh sistem kebudayaan seperti yang kami tuturkan diatas saja. Pada tahun 1960-an, seorang antropolog amerika Cliford Geertz pun mengemukakan pelapisan sosial masyarakat terbagi menjadi tiga yaitu, santri, abangan, dan priyayi. Yang membedakan kaum santri dengan kaum abangan (walaupun mereka sama-sama seorang muslim) adalah, jika santri adalah para orang Jawa yang dididik dengan dasar agama islam yang kuat (karena banyaknya pondok pesantren yang berdiri di Jawa). sedangkan kaum abangan, walaupun dalam pendataan mereka menganut kepercayaan sebagai muslim, namun dalam implementasi sehari-hari mereka lebih mengamalkan ajaran kepercayaan asli yang berkembang di Jawa, yaitu kejawen.Selain pelapisan sosial masyarakat, dalam sistem kemasyarakatan ini kami akan membahas tentang bentuk desa sebagai kesatuan masyarakat terkecil setelah rt dan rw yang umum ditemui di masyarakat Jawa.Desa-desa di Jawa umumnya dibagi-bagi menjadi bagian-bagian kecil yang disebut dengan dukuh, dan setiap dukuh dipimpin oleh kepala dukuh. Di dalam melakukan tugasnya sehari-hari, para pemimpin desa ini dibantu oleh para pembantu-pembantunya yang disebut dengan nama Pamong Desa. Masing-masing pamong desa memiliki tugas dan perananya masing-masing. Ada yang bertugas menjaga dan memelihara keamanan dan ketertiban desa, sampai dengan mengurus masalah perairan bagi lahan pertanian warga.

2.4 BahasaBahasa Jawa, sebagai bahasa ibu dan bahasa pergaulan sehari-hari masyarakat suku Jawa, ternyata di dalamnya pun dikenal berbagai macam tingkatan dan undhak-undhuk basa. Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu asing, mengingat beberapa bahas lain yang berada dalam rumpun austronesia pun dikenal undhak-undhuk dalam berbahasa.Terdapat tiga bentuk utama tingkatan variasi bahasa Jawa, yaitu ngoko (kasar), madya (biasa), dan krama (halus). Namun , pada tingkat yang lebih spesifik lagi, terdapat 7 (tujuh) tingkatan dalam berbahasa Jawa, diantaranya: ngoko, ngoko andhap, madhya, madhyantara, kromo, kromo inggil, bagongan, kedhaton. Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk penghormatan (ngajengake, honorific) dan perendahan (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.Selain undhak-undhuk atau tingkatan bahasa, dikenal juga dialek yang berbeda-beda diantara orang-orang Jawa itu sendiri. Dalam hal ini, perbedaan dialek, dibagi menjadi 3 daerah, yaitu kelompok barat, tengah dan timur. Kelompok barat terdiri dari dialek Banten, Cirebon, Tegal, Banymas, dan Bumiayu. Kelompok tengah terdiri dari Pekalongan, kedu, bagelen, Semarang, Pantai Utara Timur (jepara,Demak, Rembang, Kudus, Pati), Blora, Surakarta, Yogyakarta, Madiun. Sedangkan, Kelompok dialek timur terdiri dari Pantura Timur (Tuban, dan Bojonegoro), Surabaya, Malang, Jombang, Tengger, Banyuwangi.Selain memiliki bahasa tersendiri, masyarakat suku Jawa pun memiliki huruf tersendiri yang pada umunya mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari

Gambar.2 huruf JawaKeberadaan huruf Jawa (juga memiliki kemiripan dengan huruf Sunda, Bali, dan sasak) yang dikenal sekarang ini, tentu tidak lepas dari sejarah yang mengiringinya, salah satu cerita tentang sejarah huruf Jawa ini adalah cerita tentang Ajisaka yang pada awalnya mencipatakan aksara Jawa yang dikenal dengan istilah dhentawyanjana atau carakan. Aji saka menciptakan aksara Jawa ini pada saat dia sedang berkelana dengan pengawalnya yang setia yaitu Dora, dan sampai di pegunungan kendeng. Saat itu dora bertemu dengan Sembada, sahabatnya. Setelah itu, terjadilah kesalah pahaman yang mengakibatkan Dora dan Sembada berkelahi karena masing-masing dari mereka ingin membuktikan siapa dari mereka yang lebih setia kepada aji saka. Dan untuk mengenang jasa kedua pengawalnya tersebut, aji saka menciptakan sebuah syair yang kemudian hari menjadi asal mula dari huruf Jawa sekarang ini.Huruf Jawa atau lebih dikenal dengan huruf honocoroko ini terdiri dari 20 huruf, dimana setiap huruf nya memiliki makna tersendiri, diantaranya:Ha Hana Hurip Wening Suci adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci.Na Nur Gaib, Candra Gaib, Warsitaning Gaib pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Ilahi.Ca Cipta Wening, Cipta Mandulu, Cipta Dadi arah dan tujuan pada yang Maha Tunggal.Ra Rasaingsun Handulusih rasa cinta sejati muncul dari rasa kasih nurani.Ka Kersaningsun Memayu Hayuning Bawana hasrat diarahkan untuk kesejahtraan alam.Dha Dumadining Dzat kang tanpa winangenan menerima hidup apa adanya.Ta Tatas, Titis, Tutus, Titi lan Wibawa mendasar, totalitas, satu visi, ketelitian dalam memandang hidup.Sa Sifat Ingsun Handulu Sifatullah membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan.Wa Wujud Hana Tan Kena Kinira ilmu manusia hanya terbatas, namun implikasinya bisa tanpa batas.La Lir Handaya Paseban Jati mengalirkan hidup sebatas pada tuntunan Ilahi.Pa Papan Kang Tanpa Kiblat Hakikat Allah yang ada di segala arah.Da Dhuwur Wekasane Endek Wiwitane Untuk bisa diaatas tentu dimulai dari dasar.Ja Jumbuhing Kawula Lan Gusti selalu berusaha menyatu, memahami kehendaknya.Ya Yakin Marang Samubarang Tumindak Kang Dumadi yakin atas titah atau kodrat Ilahi.Nya Nyata Tanpa Mata, Ngerti Tanpa Diuruki memahami kodrat kehidupanMa Madep, Mantep, Manembah, Mring Ilahi yakin atau mantap dalam menyembah Ilahi.Ga Guru Sejati Sing Mruki belajar dari guru nurani.Ba Bayu Sejati Kang Andalani menyelaraskan diri pada gerak alam.Tha Tukul Saka Niat sesuatu harus tumbuh dan dimulai dari niatan.Nga Ngracut Busananing Manungso melepaskan egoisme pribadi.Seperti bahasa lainya, huruf Jawa pun memiliki aturan tersendiri dalam tata cara penggunaanya. Diantaranya adalah adanya pasangan. Jika aksara Jawa yang akan digunakan bersifat silabis atau kesukukataan, maka akan susah untuk menuliskan huruf mati, maka dari itu cara penulisanya digunakan pasangan. Lalu ada juga Aksara Murda. Fungsi dari aksara murda ini hampir serupa dengan fungsi huruf kapital pada Bahasa Indonesia. Seperti penggunaan untuk nama orang, dan nama geografi.Selanjutnya adalah Aksara Swara, fungsi dari aksara swara ini adalah untuk menuliskan aksara vokal yang menjadi suku kata, terutama yang berasal dari bahasa asing untuk mempertegas pelafalanya.Sandangan adalah tanda yang dipakai sebagai pengubah bunyi di dalam tulisan Jawa. di dalam penulisan bahasa Jawa, aksara atau huruf yang tidak mendapat sandangan diucapkan sebagai gabungan antara konsonan dan vokal a.

2.5 KesenianKesenian yang terdapat dalam kebudayaan Jawa sangat beraneka ragam, mulai dari tari-tarian, lagu daerah, wayang orang, dan juga wayang kulit, serta masih ada berbagai macam kesenian lainya.Yang pertama adalah tari-tarian. Dalam bahasa Jawa, tari disebut dengan kata beksa yang berasal dari kata ambeg dan esa kata tersebut mempunyai maksud dan pengertian bahwa orang yang akan menari haruslah benar-benar menuju satu tujuan, yaitu meyerahkan seluruh jiwanya pada tarian.Seni tari di Jawa sendiri mengalami kejayaan pada masa kerajaan kediri, singasari, dan majapahit. Pada masa sekarang ini, kota surakarta dianggap sebagai pusat seni tari, terutama di Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran.Seni tari dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:Tari KlasikTari TradisionalTari Garapan BaruBeberapa contoh tarian sebagai bagian dari kebudayaan suku Jawa antara lain:Tari BedhayaTari Bedhaya Ketawang ini dipercaya diciptakan oleh Sultan Agung, raja pertama dari kerajaan Mataram, dan disempurnakan oleh Sunan Kalijaga. Tari Bedhaya Ketawang ini, tidak hanya ditampilkan pada saat penobatan raja yang baru, tetapi juga tiap tahunya, yang bertepatan dengan hari penobatan raja atau ratu.Pada pementasan tari Bedhaya Ketawang, digunakan kostum Dodot Ageng dengan motif Banguntulak alas-alasan. Dari segi alat musik pengiring pun sangat spesial, karena digunakan yaitu gamelan Kyai Kaduk Manis dan Kyai Manis Renggo.Pada zaman Sri Susuhunan PakuBuwono XII, pertunjukan tari Bedhaya Ketawang, selalu diselenggarakan pada hari kedua bulan Reuwah atau bulan Syaban dalam kalender Jawa.

Tari SrimpiTarian ini tidak diketahui dengan pasti sejak kapan muncul di lingkungan keraton. Tetapi diperkirakan mulai ada saat Prabu Amiluhur masuk ke keraton. Tarian ini dipentaskan oleh empat orang putri yang melambangkan empat unsur, dan empat penjuru mata angin.Dari beberapa jenis tari Srimpi, ada satu yang dianggap sakral atau suci, yaitu Tari Srimpi Anghlir Mendhung.Tari PethilanTari Pethilan adalah suatu tarian yang gerakanya terinsipirasi atau mengambil salah satu bagian dari cerita pewayangan. Dalam pementasanya, tarian ini boleh memiliki gerakan yang sama atau tidak antar penarinya, boleh menggunakan ontowacono atau dialog dalam tarianya, pakaian yang digunakan tidak sama ssetiap penarinya, kecuali yang memerankan lakon kembar. Dalam kisah yang termuat dalam tarian pun, ada peran yang mati dan yang tetap bertahan hidup.Tari GolekTari ini berasal dari Yogyakarta, dan pertama kali dipentaskan pada perayaan pernikahan KGPH Kusumoyudho dan Gusti Ratu Angger di tahun1910. Tarian ini menggambarkan cara-cara berhias diri seorang gadis yang baru memasuki masa dewasanya, agar terlihat lebih cantik dan menarik.Tari BondanTari Bondan memiliki tiga jenis, yaitu Bondan Cindogo, Bondan Marsidiwi, dan Bondan Pegunungan atau Tani. Tari Bondan Cindogo dan Marsidiwi, merupakan tarian gembira, dibuat untuk mengungkapkan kegembiraan atas kelahiran anak.Tari TopengTarian ini sebenarnya secara tidak langsung diilhami oleh wayang wong, atau wayang orang. Tarian ini sempat mengalami kejayaan pada masa kerajaan majapahit. Lalu pada masa masuknya islam, sunan kalijaga menggunakanya sebagai media penyebaran islam. Beliau juga lah yang menciptakan 9 jenis tari topeng diantaranya: Topeng Panji Ksatrian, Condrokirono, Gunung sari, Handoko, Raton, Klono, Denowo, Benco, dan Turas.Tari topeng sendiri dianggap sebagai perlambang sifat manusia, karena banyaknya model topeng yang menggambarkan emosi manusia yaitu marah, sedih, kecewa, dll. Biasanya cerita yang diangkat dalam tari topeng adalah bagian dari hikayat atau cerita rakyat, terutama cerita-cerita panji.Tari DolalakTarian ini dipentaskan oleh beberapa penari yang mengenakan kostum ala parjurit Belanda atau Prancis tempo dulu, dan diiringi oleh alat musik seperti kentrung, rebana, kendang, kencer, dll. Menurut legenda, tarian ini terinspirasi dari semangat perjuangan perang rakyat aceh yang kemudian meluas ke daerah lain di nusantara.Kedua, adalah berbagai macam kesenian rakyat yang dikenal di masyarakat Jawa, baik Jawa Tengah maupun Jawa Timur.Patolan atau prisenan yang dikenal di daerah rembang, Jawa Tengah. Kesenian ini adalah semacam olahraga gulat rakyat, dan dipimpin oleh dua orang wasit dari masing-masing pihak. Olahraga yang juga hiburan ini biasanya dimainkan di tempat berpasir seperti di pinggir pantai.Daerah blora dikenal memiliki kesenian barongan, kuda kepang, dan wayang krucil (sejenis wayang kulit, namun terebuat dari kayu).Di daerah pekalongan, dikenal kesenian kuntulan dan sintren. Kuntulan adalah kesenian bela diri yang dilukiskan dengan tarian dengan iringan bunyi-bunyian seperti bedug, dll. Sedangkan sintren, yang juga dikenal luas di cirebon, adalah sebuah tarian yang dipenuhi dengan unsur mistis. Dimana sang penari melakukan gerakan tarian dalam keadaan tidak sadar. Pertunjukan sintren biasanya dipentaskan pada saat bulan purnama setelah panen.Lengger calung, adalah kesenian tradisional yang berasal dari daerah banyumas. Tarian ini terdiri dari lengger (penari) dan calung (alat musik bambu). Gerakan tarianya sangat dinamis dan lincah mengikuti irama dari calung. Beberapa gerakan khas dari tarian lengger adalah geyol, gedhag, dan lempar sampur. Dahulu penari lengger adalah para pria yang berdandan seperti wanita, namun sekarang para pria tersebut hanyalah sebagai pelengkap tarian saja.

Gambar. 5 tari lengger calung

Selain kesenian yang berbentuk tarian, suku Jawa pun memiliki kesenian dalam bentuk lain, misalnya saja dalam seni musik. Baik berbentuk alat musik khas daerah, maupun berbentuk lagu-lagu daerahAlat musik yang khas, dan tentu saja paling terkenal dari Jawa adalah gamelan Jawa. Gamelan Jawa ini memiliki bentuk gamelan yang berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandanganhidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya. Satu set gamelan biasanya terdiri dari Kendang, Saron, Bonang, Slentem, Gambang, Gong, Kempul, Kenong, Ketug, Clempung, Keprak, dan Bedug.Gamelan Jawa sendiri memiliki dua jenis yaitu Gamelan Salendro dan Gamelan Pelog. Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringipertunj ukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain- lain. Sedangkan Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelansalendro, hanya kurang begitu berkembang dan kurangakrab di masyarakat dan jarang dimiliki oleh grup-grup kesenian di masyarakat

Gambar. 6 set gamelan JawaAlat musik khas daerah berikutnya adalah Jula-Juli. Jula-Juli adalah salah satu gendhing khas dari Jawa Timur, dan sangat lazim digunakan untuk mengiringi Ludruk dan Tari Remo.Sedangkan bentuk kesenian seni musik yang berupa lagu-lagu daerah dari Jawa antara lain: Bapak Pucung, Cublak-Cublak Suweng, Gambang Suling, Gai Bintang, Gek Kepriye, Gundul-Gundul Pacul, Lir-ilir, Jamuran, Kembang Malathe, Karapan Sape.

2.6 Sistem PengetahuanSalah satu bentuk sistem pengetahuan yanga ada, berkembang, dan masih ada hingga saat ini, adalah bentuk penanggalan atau kalender. Bentuk kalender Jawa menurut kelompok kami, adalah salah satu bentuk pengetahuan yang maju dan unik yang berhasil diciptakan oleh para masyarakat Jawa kuno, karena penciptaanya yang terpengaruh unsur budaya islam, Hindu-Budha, Jawa Kuno, dan bahkan sedikit budaya barat. Namun tetap dipertahankan penggunaanya hingga saat ini, walaupun penggunaanya yang cukup rumit, tetapi kalender Jawa lebih lengkap dalam menggambarkan penanggalan, karena di dalamnya berpadu dua sistem penanggalan, baik penanggalan berdasarkan sistem matahari (sonar/syamsiah) dan juga penanggalan berdasarkan perputaran bulan (lunar/komariah).Pada sistem kalender Jawa, terdapat dua siklus hari yaitu siklus 7 hari seperti yang kita kenal saat ini, dan sistem panacawara yang mengenal 5 hari pasaran. Sejarah penggunaan kalender Jawa baru ini, dimulai pada tahun 1625, dimana pada saat itu, sultan agung, raja kerajaan mataram, yang sedang berusaha menytebarkan agama islam di pulau Jawa, mengeluarkan dekrit agar wilayah kekuasaanya menggunakan sistem kalender hijriah, namun angka tahun hijriah tidak digunakan demi asas kesinambungan. Sehingga pada saat itu adalah tahun 1025 hijriah, namun tetap menggunakan tahun saka, yaitu tahun 1547.Dalam sistem kalender Jawa pun, terdapat dua versi nama-nama bulan, yaitu nama bulan dalam kalender Jawa matahari, dan kalender Jawa bulan. Nama- nama bulan dalam sistem kalender Jawa komariah (bulan) diantaranya adalah suro, sapar, mulud, bakdamulud, jumadilawal, jumadil akhir, rejeb, ruwah, poso, sawal, sela, dan dulkijah. Namun, pada tahun 1855 M, karena sistem penanggalan komariah dianggap tidak cocok dijadikan patokan petani dalam menentukan masa bercocok tanam, maka Sri Paduka Mangkunegaran IV mengesahkan sistem kalender berdasarkan sistem matahari. Dalam kalender matahari pun terdapat dua belas bulan .

2.7 Sistem ReligiAgama dan kepercayaan yang berkembang dan dianut oleh masyarakat Jawa, antara lain islam sebagai agama mayoritas, selain itu terdapat pula agama lain yang cukup banyak dianut, seperti kristen protestan, yang cukup banyak dianut oleh masyarakat di sekitar semarang, surakarta, dan solo. Katolik pun cukup berkembang di kalangan masyarakat Jawa, walaupun persentase nya tidak sebesar agama kristen protestan. Di daerah pedalaman pun, berkembang agama hindu dan budha, namun diantara kedua agama tersebut, persentase pemeluk budha jauh lebih banyak dibanding pemeluk hindu.Kepercayaan lain yang cukup banyak pemeluknya, adalah kepercayaan yang bernama kejawen. Kejawen ini, terkadang bercampur dengan agama islam, sebagai agama mayoritas, sehingga menghasilkan suatu kepercayaan baru yang bernama islam kejawen. Perbedaan paling mencolok antara islam santri dengan islam kejawen adalah, pada islam kejawen, mereka tidak terlalu mewajibkan shalat, puasa, dan naik haji, namun tetap percaya pada Allah, dan Nabi Muhammad SAW. Kejawen dianggap memiliki makna sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa. pada pandangan umum, kejawen hanya berisi tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap, serta filosofi orang Jawa.Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan ibadah). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat, dan menekankan pada konsep keseimbangan. Dalam pandangan demikian, kejawen memiliki kemiripan dengan Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama pada ajaran-ajarannya. Hampir tidak ada kegiatan perluasan ajaran (misi) namun pembinaan dilakukan secara rutin.Simbol-simbol laku biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Akibatnya banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan.Selain kejawen, ada beberapa aliran kepercayaan kebatinan yang berkembang di masyarakat Jawa, diantaranya adalah:Gerakan atau aliran kebatinan yang percaya pada adanya sosok roh halus, jin, lelembut, dan berbagai makhluk gaib lainya.Aliran kebatinan yang bersifat keislam-islaman, yang unsur kepercayaanya banyak mengambil dari unsur ajaran-ajaran agama islam. Dan dibedakan dengan syariat-syariat islam, yang pada beberapa tempat di Jawa telah terpengaruh unsur budaya hindu-Jawa.Aliran yang berbau agama hindu-Jawa. mengapa bisa dikatakan demikian? Karena, para pengikut aliran ini, mempercayai dan bahkan memuja dewa-dewa dari agama hindu, walaupun mereka sendiri tidak mengaku bahwa mereka beragama hindu.Yang terakhir adalah aliran mistik, dimana para penganutnya berusaha mencari sendiri cara untuk memaknai tuhan, tanpa menganut agama apapun.

Selain membahas tentang agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat suku Jawa, pada pembahasan tentang sistem religi ini, kami juga akan membahas tentang kepercayaan, dan ritual-ritual yang sering dilakukan oleh orang Jawa.Upacara Selamatan adalah upacara yang paling umum dan paling dikenal, bukan hanya di Jawa, Sunda dan beberapa daerah lain pun mengadakan selamatan untuk situasi-situasi tertentu. Pada dasarnya, selamatan adalah kegiatan makan bersama, dimana makananya telah lebih dahulu didoakan sebelum dibagikan. Tujuan selamatan ini sendiri adalah untuk memperoleh keselamatan dan menjauhi gangguan. Upacara selamatan dibagi menjadi empat macam yaitu:Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, dimulai dengan upacara nujuh bulanan, aqiqahan, potong rambut, turun tanah, terus berputar hingga sampai pada saat kematian orang tersebut, mulai dari upacara sedekah surtanah, sedekah nelung dina, sedekah mitung dina, sedekah matangpulung dina, sedekah mendak pisan, dan sedekah nyewu.Selamatan yang diadakan dalam rangka bersih desa, penggarapan tanha pertanian, dan setelah memanen padi.Selamatan yang berhubungan dengan hari-hari besar atau hari-hari keagamaan islam. Seperti muludan, malam satu suro, dll.Selamatan yang dibuat pada waktu-waktu tertentu dan bersifat insidentil, seperti saat menempati rumah baru, mendapatkan rizki, dan saat sembuh dari sakit.Sesajen adalah penyerahan sesaji pada waktu, tempat, dan keadaan tertentu dalam rangka kepercayaan kepada makhluk halus. Tempat-tempat yang dipilih biasanya dipilih tempat yang keramat, begitupun dengan waktu, biasanya dipilih waktu-waktu yang dianggap keramat, seperti malam jumat kliwon. Sesajen biasanya terdiri dari kembang, kemenyan, cerutu, kopi hitam, teh, dll yang disimpan dalam besek ataupun daun pisang.Kepercayaan terhadap kekuatan sakti dari benda-benda atau makhluuk hidup tertentu (kesakten). Kepercayaan terhadap kemampuan seperti keris, gamelan, kereta kencana, bahkan pada burung perkutut.Sadran adalah suatu upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa baru (juga Sunda, dan madura). Upacara ini dilakukan oleh orang Jawa, pada bulan sebelum bulan puasa (reuwah/syaban). Upacara ini diisi dengan acara mengunjungi makam (nyekar) ke makam keluarga, kerabat, atau orang-orang yang dihormati. Biasanya orang Jawa non-muslim pun ikut melakukan upacara ini.Ngerak adalah suatu prosesi memandikan anak kecil berumur di bawah lima tahun (Balita) di sebuah belik dengan kembang 7 rupa. Dari depan rumah sampai tiba di belik, sang anak akan digendong dengan selendang berwarna kuning. Lalu setelah dimandikan di belik, sang anak akan dibimbing menaiki sebuah paramida yang berisi mainan, aksesoris dan lain-lain. Di dekat piramida nanti akan ditempatkan seekor ayam panggang. Uniknya, kebanyakan dari anak-anak tersebut kebanyakan mengambil bagian kaki dari ayam panggang tersebut.Mantu Poci adalah sebuah tradisi yang berasal dari Tegal (pantai utara Jawa Tengah). Sebuah prosesi unik, dimana acara inti dari prosesi ini adalah melangsungkan pernikahan antara dua poci teh berukuran raksasa. Prosesi ini biasanya dilakukan oleh sepasang suami istri yang sudah lama menikah tapi belum juga dikaruniai putra-putri. Mantu poci ini tak berbeda dengan acara pernkahan biasa yang mengundang banyak kerabat dan handai taulan.Ruwatan adalah tradisi ritual asli dari Jawa sebagai sarana pembebasan dan penyucian dari segala dosa yang mengakibatkan kesialan dalam hidup orang yang akan diruwat. Upacara adat khas Jawa ini diperkirakan berasal dari budaya Jawa kuno yang masih bersifat sinkretisme, tetapi sekarang ini lebih sering dipadukan dengan ajaran agama agar tidak menyimpang.Kutug merupakan ritual membakar kemenyan yang dilakukan oleh para penganut kepercayaan tertentu dengan tujuan mendapatkan perlindungan, keselamatan, dan berkah dari Sang Hyang Widi, upacara ini biasanya dilakukan pada hari-hari tertentu.Ngethingi adalah suatu bentuk tradisi tasyakuran atau pengucapan syukur ketika moment peringatan terhadap seorang bayi pada usia tertentu.Malam satu suro adalah peringatan pergantian tahun dalam kalender Jawa. kalender ini terpengaruh dari kalender islam. Pada tahun 431 H atau tahun 1443 tahun Jawa baru, sunan Giri dari kerajaan demak, membuat penyesuaian antara tahun islam dan tahun Jawa.Ngupat atau ngupati adalah upacara adat yang dilakukan oleh seorang ibu yang sedang mengandung empat bulan yang bertujuan untuk keselamatan sang ibu dan jabang bayinya, juga untuk menolak bala. Dalam acara ini, para tamu yang hadir diberikan sajian kupat yang dimasukan ke dalam wadah yang disebut besek, yang dibagikan saat pulang. Selain ngupat yang diadakan pada bulan keempat, pada bulan kelima pun ada upacara serupa yang bernama ngliman. Sedangkan pada bulan ketujuh, diadakan upacara dengan tujuan serupa yang bernama mitoni atau tingkeban.Mendhem ari-ari adalah prosesi yang dilakukan setelah sang jabang bayi lahir. Hal ini juga umum dilakukan oleh suku-suku yang lain di Indonesia. Ari-ari diistimewakan, karena sebagai penghubung antara sang ibu dengan bayinya di dalam rahim, dalam kepercayaan orang Jawa, mereka menganggap bahwa ari-ari adalah kembaran atau sedulur kembar sang bayi tersebut. Selain mendhem ari-ari, masih ada beberapa upacara adat atau ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang berkaitan dengan kelahiran bayi yaitu:Brokohan merupakan salah satu upacara adat Jawa untuk menyambut kelahiran bayi, dengan tujuan agar sang bayi dapat lahir dengan selamat, diberi perlindungan, juga agar kelak memiliki perangai yang baik. Rangkaian acaranya dimulai dengan acara mendhem ari-ari, dan dilanjutkan dengan membagi-bagikan sesajen brokohan kepada kerabat dan tetangga.Sepasaran adalah upacara adat yang dilakukan pada saat si bayi berumur lima hari. Acara ini umumnya diselenggarakan pada sore hari dengan acara utama membagikan kendhuri dengan mengundang tetangga dan saudara. Suguhan utama yang biasa disajikan adalah air minum dan jajanan pasar, namu ada beberapa juga yang menyediakan besek untuk dibawa pulang.Puputan sebenarnya memiliki arti tali puser bayi puput. Acara ini diadakan pada saat sang bayi lepas tali pusarnya, biasanya dalam acara ini ada kendhuri, bancakan, dan memberi nama bayi. Acara ini sebaiknya dilaksanakan selepas maghrib.Tedhak siten atau upacara turun tanah, adalah prosesi selanjutnya. Prosesi ini, tidak hanya ditemukan di kalangan masyarakat Jawa, di tempat lain di nusantara pun ditemukan upacara demikian. Acara ini baisanya diadakan pada saat sang anak telah berumur 7 selapan (735=245 hari).

BAB IIIPENUTUP

Suku Jawa, salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia, dengan jumlah hampir mencapai 100 juta jiwa, dan tersebar bukan hanya di pulau Jawa bagian tengah dan timur, melainkan di berbagai tempat di Indonesia. Sebagai sebuah suku bangsa, suku bangsa Jawa pun memiliki aneka ragam kebudayaan yang beraneka ragam, mulai dari peralatan dan perlengkapan hidup, Jawa memiliki bentuk rumah yang khas, dengan rumah limasan, dan rumah joglonya. Dari sistem ekonomi dan mata pencaharian pun, masyarakat dari suku Jawa memiliki peranan yang cukup penting di negara ini, begitu banyak tokoh-tokoh dari Jawa yang memegang peranan penting di negara ini, baik sebagai pejabat maupun yang duduk di instansi-instansi milik negara. Selanjutnya bahasa, Jawa dikenal sebagai salah satu suku bangsa yang memiliki sistem bahasa yang begitu rumit, begitu banyak tingkatan-tingkatan dan kata-kata berbeda tergantung pada siapa lawan bicara kita, hal ini membuat tidak semua orang dapat memahami bahasa Jawa, bahkan orang-orang dari Jawa sendiri. Di bidang kesenian, Jawa juga dikenal memiliki kesenian yang beraneka ragam, mulai dari seni tari, seni rupa, hingga seni musik, ditambah dengan adanya keraton sebagai pusat seni bagi masyarakat Jawa.Dalam sistem kemasyarakatan Jawa pun, dikenal berbagai pelapisan sosial masyarakat, mulai dari bendara atau orang-orang ningrat, kaum santri, dan juga wong cilik atau golongan rakyat kebanyakan. Terakhir, sistem religi yang unik, dan khas, yang tentu saja berbeda dengan kebudayaan daerah lain. Di Jawa selain masyarakatnya menganut agama-agama besar, seperti islam, katolik, protestan, di pedalaman-pedalaman pun cukup banyak masyarakat yang menganut agama hindu (daerah Tengger) dan Budha. Banyak dari masyarakat Jawa yang menganut suatu kepercayaan asli dari Jawa yaitu agama Kejawen. Kebanyakan penganut kejawen ini, sebenarnya menganut agama islam, namun mereka tidak menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai muslim, seperti shalat dan puasa, namun mereka tidak menghindar dari kewajiban berzakkat, sebagai salah satu kewajiban manusia. Mereka pun mengakui adanya Tuhan yang mereka sebut dengan Gusti Allah, dan Nabi yang mereka sebut dengan panggilan Kanjeng Nabi.Dengan mempelajari kebudayaan Jawa ini, saya berharap, agar rekan-rekan dapat mengetahui lebih banyak hal tentang kebudayaan-kebudayaan Jawa, yang selama ini mungkin kurang dikenal masyarakat luas, karena hanya beberapa unsur kebudayaan Jawa saja yang dikenal luas di masyarakat. Dan tentu saja sebagai kewajiban kami untuk memenuhi kewajiban kami dalam mata kuliah kebudayaan Indonesia, semoga banyak manfaat yang dapat dipetik dari makalah yang kami sajikan ini.http://pemulungelitd19kk.wordpress.com/2013/09/30/kebudayaan-masyarakat-jawa/

BUDAYA JAWA DAN EKSISTENSINYA

BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangJawa adalah bagian dari kepulauan NKRI yang paling padat penduduknya. Pulau Jawa itu sendiri terbagi menjadi provinsi Banten, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Selain padat penduduknya, Jawa juga kaya akan khasanah budaya, karena dari masing-masing provinsi tersebut memiliki budaya, tradisi, dan latar belakang yang berbeda-beda.Dewasa ini kelangsungan budaya di pulau Jawa semakin terancam keberadannya, terlebih lagi dengan adanya modernisasi, globalisasi, dan kemajuan teknologi maka mengakibatkan semakin mudah pula merasuknya budaya asing yang sangat berpeluang merusak budaya tersebut.Kini semakin terlihat dengan jelas bahwa tidak dapat dipungkiri budaya kita kini semakin tersingkir. Pemuda lebih condong kepada budaya Barat dan semakin jarang masyarakat yang peduli dengan budaya leluhur mereka.

B. Rumusan MasalahBerdasarkanlatar belakang dan permasalahan seperti yang telah dikemukakan di atas, perlu dicari jawab atas pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut(1) Apakah budaya Jawa itu?(2) Bagaimanakah eksistensinya sekarang ini?(3) Apakah yang menyebabkan terancamnya eksistensi budaya Jawa?(4) Langkah apa sajakah yang harus kita lakukan untuk tetap menjaga eksistensi budaya Jawa?

C. TujuanPenulisan makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang budaya dan untuk membangkitkan semangat mereka untuk mencintai budayanya.

D. Luaran yang DiharapkanMakalah ini disusun supaya masyarakat lebih faham akan budaya Jawa Tengah yang menjadi budaya leluhur mereka, selain itu meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap budaya mereka adalah tujuan yang paling utama. Dengan adanya kesadaran dari masing-masing pribadi masyarakat akan dapat sangat membantu tetap bertahannya budaya kita, karena kesadaran akan menggerakkan hati mereka untuk mencintai budaya mereka. Dengan demikian, hal tersebut akan mendorong mereka untuk selalu berusaha menjaga keberadaannya, sehingga eksistensi budaya ini akan terus tetap terjaga.

E. Tinjauan PustakaBudaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi ( budi atau akal ) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.Budaya didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasikan pengalamannya dan menjadi landasan bagi tingkah lakunya.Sebuah kebudayaan adalah milik bersama anggota masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebaran dan pewarisan kepada anggota-anggotanya yakni kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh mereka).Kejawen adalah peradaban yang terbentuk di Jawa merupakan aturan moral yang terapi unsur-unsur religius. Bagi masyarakat Jawa, mitos adalah sebuah sistem ide yang digunakan sebagai cara untuk menjelaskan dunia.Digelar dua buah kongres untuk mengembalikan kejayan budaya Jawa. Kongres yang pertama, kongres sastra Jawa (KSJ) diadakan di Solo (6-7 Juli 2009) . Kongres kedua , Kongres Bahasa Jawa (KBJ) digelar di jantung peradaban Jawa, Yogyakarta (15-21 Juli 2009).

F. Metode PendekatanUntuk mencari penyelesaian dari rumusan masalah yang telah ada, maka kami melakukan pengamatan terhadap problematika yang terjadi di masyarakat melalui fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan dari internet. Dan untuk memberikan keluaran maka kami mencari solusi yang tepat untuk mengatasi masalah yang ada.

G. Budaya Jawa dan Eksistensinya1. Asal-Usul Budaya JawaDalam catatan Yunani, yang ditulis Claucius Ptolomeus (tahun 165 M) istilah labadiou (jawadwipa) digunakan untuk menyebut pulau Jawa, yang mana kurang lebih artinya adalah sebuah pulau yang jauh terletak di tenggara yang kaya akan beras .Njowo digunakan sebagai sebuah ungkapan untuk mendefinisikan tingkah laku seseorang, atau dengan kata lain njowo itu adalah mengerti; paham; beretika sesuai dengan (budaya) Jawa .Peradaban tertua di Indonesia yang tercatat dalam perjalan pelancong-pelancong (dari Cina maupun pedagang India ) masa lalu adalah Sakanagara (abad 1 M) sendiri terletak di pesisir barat Pulau Jawa, di sekitar daerah Pandeglang. Dari komunitas ini kemudian lahirlah Taramarajuk (abad 4 M). Sedangkan di bagian tengah Pulau Jawa, peradaban tertua di awali dengan kerajaan Kalingga (abad 6 M). Kemudian untuk Pulau Jawa bagian timur , peradaban pertama yang dicatat adalah kerajaan Kanjuruhan dengan ditemukannya prasasti Dinoyo (tahun 760) yang ditulis dengan huruf Jawa Kuno (Kawi). Kemudian dilanjutkan dengan kerajaan yang didirikan oleh Mpu Sendok, raja terakhir dari Wangsa Sanjaya yang berkuasa di Mataram pada abad 9 M, yang memindahkan ibukota kerajaan lebih ke timur di tepi Sungai Brantas. Diduga karena bencana alam meletusnya gunung Merapi.Dari uraian di atas dapat disimpulkan peradaban tertua yang pernah tercatat di Pulau Jawa dimulai dari barat ke timur. Juga terdapat bentuk sinkritisme yang paling pas dan harmonis antara ajaran teologi Islam-Hindu-Buddha-dan Jawa.2. Macam Macam Kesenian dalam Budaya

JawaBudaya yang terdapat di pulau Jawa sangatlah beragam, namun di sini kita akan membahas tentang budaya Jawa Tengah yang lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan budaya Jawa. Jawa tengah adalah salah satu provinsi di pulau Jawa yang memiliki budaya daerah yang sangat beragam.Jawa Tengah yang merupakan salah satu dari sepuluh daerah tujuan wisata di Indonesia dapat dengan mudah dijangkau dari segala penjuru baik darat, laut, maupun udara. Provinsi ini juga telah melewati sejarah yang panjang dari jaman purba hingga sekarang.Di Jawa Tengah segala macam bidang seni tumbuh dan berkembang dengan baik, dan hal ini dapat kita saksikan pada peninggalan-peninggalan yang ada sekarang.3. Seni Arsitektur Bangunan Jawa TengahPembagunan Jawa Tengah pada umumnya bangunan induk serta bangunan lain di seputarnya secara keseluruhan merupakan kompleks perumahan yang dinamakan Padepokan Jawa Tengah, seni bangunan dari jaman Sanjayawangsa dan Syailendrawangsa. Jawa Tengah juga dikenal dengan sebutan The Island of Temples karena memang di Jawa Tengah bertebaran candi-candi.Pendopo Agung yang berbentuk Joglo Trajumas, atapnya yang luas ditopang 4 Soko Guru (tiang pokok), 12 Soko Goco, dan 20 Soko Rowo. Kesemuanya membuat penampilan bangunan itu berkesan momot, artinya berkemampuan menampung segala hal, sesuai dengan fungsinya sebagai tempat menerima tamu. Pendopo Agung dihubungkan dengan ruang pringgitan, yang aslinya sebagai tempat pertunjukan ringgit atau wayang kulit. Pringgitan ini berarsitektur limas. Bangunan lain adalah bentuk rumah adat Joglo Tajuk Mangkurat, Joglo Pangrawit, dan rumah bercorak Doro Gepak.4. Tarian Daerah Jawa TengahTari Jawa memiliki berbagai fungsi dalam kehidupan masyarakatnya. Selain sebagai hiburan, beberapa tarian yang lainnya juga memiliki fungsi sakral yaitu disajikan dalam pelantikan dan penghormatan raja-raja. Tarian Jawa itu berwujud seni tari yang adiluhung , sakral , dan religius.Tari Jawa tersebut banyak jenisnya. Tarian tersebut di antaranya sebagai berikut: (1) tari Srimpi, (2) tari Bedaya Ketawang, (3) wireng, (4)prawirayudha, (5) dan (6) tari Kuda-Kuda. Khusus di Mangkunegaran disebut tari Langendriyan , yang mengambil kisah Damarwulan .Tari yang terkenal di Kraton Solo di antaranya adalah Srimpi dan Bedaya Ketawang. Menurut kitab Wredhapradhangga yang dianggap sebagai pencipta dari tari Bedaya Ketawang adalah Sultan Agung (1613-1645) yakni yang menjabat sebagai raja pertama kerajaan Mataram. Tari ini tidak hanya ditampilkan saat pelantikan raja namun juga ditampilkan setahun sekali ketika hari-hari besar dan upacara kraton. Rangakaian tari Bedaya Ketawang dan nama penarinya dengan urutan sebagai berikut: Batak, Endhel Ajeg, Endhel Weton, Apit ngarep, Apit mburi, Gulu, Dhada, dan Boncit.Sementara Kraton Kasunanan Pakubuwono juga menciptakan tarian, yaitu tari Srimpi. Tarian ini menggambarkan perang antara dua satria. Jenis tari srimpi di antaranya: Srimpi Padelori, Andhong-andhong, Arjuna Mangsah, Dhempel Sangopati, Elo-elo, Dempel, Gambir Sawit, Muncar, Gandokusuma, dan Srimpi Lobong. Selain itu juga terdapat tarian Jawa modern yang biasanya disajikan saat hajatan, di antaranya : (1) tari Gambyong, (2) tari Merak, (3) tari Golek, (4) tari Gambiranom, (5) tari Minak Jingggo, (6) tari Karonsih, (7) tari Gatotkaca Gandrung, dan lain-lain. Tayub juga merupakan salah satu tarian Jawa yang biasa ditampilkan dalam hajatan.5. Seni Peran KetoprakKetoprak adalah salah satu kebudayaan daerah Jawa Tengah, yang mana kesenian ini diperankan oleh sekelompok orang dengan membawakan peran dan karakter dari tokoh-tokoh dari kisah-kisah cerita rakyat dari Jawa. Cerita yang sering diangkat dalam ketoprak adalah Ramayana dan Mahabarata, yang kesemuanya bercerita tentang kebaikan akan selalu menang melawan keangkaramurkaan.Karena itulah sebabnya mengapa masyarakat Jawa memiliki sikap andap asor, lemah-lembut, ramah-tamah, sopan-santun, dan penuh filosofi.6. WayangWayang adalah salah satu tradisi bercerita di Jawa Tengah yang masih berlanjut hingga saat ini yang paling berkembang dan terkenal hingga ke penjuru dunia.Wayang merupakan salah satu kesenian Jawa yang hingga sekarang ini masih eksis. Kesenian wayang sering disajikan dalam hajatan. Wayang tidak jauh berbeda dengan ketoprak. Jika ketoprak diperankan oleh manusia, sementara tokoh-tokoh cerita dalam wayang diperankan dengan properti yang disebut wayang itu sendiri yakni sejenis miniatur dengan bentuk sosok manusia yang digambarkan sesuai dengan sifatnya dan berbahan dari kulit . Wayang dijalankan oleh seorang dhalang.Beberapa alat yang digunakan dalam pewayangan di antaranya adalah: kelir (background dalam bentuk layar yang berupa kain berwarna putih), blencong (sejenis lampu yng digunakan untuk menambah kesan untuk menguatkan suasana dari jalan ceritanya), debog (batang pisang yang digunakan sebagai tempat untuk menancapkan wayang-wayang yang hendak dimainkan), cempala dan kepyak (sejenis alat untuk menciptakan suara pengiring saat wayang dijalankan).7. Lagu Daerah Jawa TengahBudaya Intelektual di tanah Jawa pada masa lalu ternyata sudah dapat dikatakan tinggi, hal ini terbukti banyak karya-karya sastra yang ditulis, meskipun berbentuk tembang (sastra sekar) macapat yang juga ternyata memiliki aturan-aturan baku , yang kalau kita pelajari akan tampak nilai-nilai intelektualitas yang tinggi.Ciri lain yang menonjol dari karya-karya itu adalah nilai mistiknya, sehingga membaca karya mereka seakan kita hanya akan mengungkap khasanah mitos yang tidak rasional. Padahal jika diperhatikan secara seksama banyak dari karya mereka yang mengandung informasi yang meyakinkan.Jawa Tengah memiliki lagu daerah, yang dibagi atas : (1) tembang dolanan(Ilir-Ilir, Cublak-Cublak Suweng, Gundhul Pacul, dan lain-lain), (2) tembang macapat (Maskumambang, Pocung, Gambuh, Megatruh, Mijil, Kinanthi, Durma, Pangkur, Asmaradana, Sinom, dan Dhandanggula), dan (3) gendhing Jawa kreasi (modern).8. Kesenian Musik Jawa TengahMusik Jawa yang disebut gamelan sering digunakan untuk mengiringi gendhing-gendhing dan tari , terdiri atas gender,demung, bonang, bonang penerus, gambang, gong, kempul, kethuk, kenong, saron, peking, siter, rebab, suling, dan kendhang. Masing-masing memiliki fungsi yang berbeda, yang menuntun suara adalah rebab sementara yang menuntun sampak (Tempo) adalah kendhang.Gamelan Jawa itu adalah salah satu corak gamelan yang eksis di Jawa Tengah dan Yoyakarta dan sebagian Jawa Timur. Musik gamelan Jawa berbeda dengan gamelan dari daerah lainnya. Jika gamelan Jawa pada umumnya mempunyai nada lembut dan menggunakan tempo lebih lambat, berbeda dengan gamelan Bali yang mempunyai tempo lebih cepat dan gamelan Sundha yang mana musiknya mendayu-dayu serta didominasi dengan suara seruling.Gamelan Jawa juga mempunyai aturan-aturan yang sudah baku di antaranya terdiri atas beberapa puteran danpathet (tinggi rendahnya nada). Juga ada aturan sampak (tempo) dan gongan (melodi) yang kesemuanya terdiri atas empat nada. Sementara yang memainkan gamelan disebut Panayagan atau nayaga dan yang menyanyi disebut pesinden (wiraswara atau swarawati).9. Bahasa Daerah Jawa TengahKebudayaan Jawa yang paling melekat dalam pribadi setiap masyarakatnya adalah bahasa Jawa. Setiap hari di mana saja dan kapan saja mereka selalu menerapkannya. Dari anak kecil hingga orang dewasa dapat menggunakannya dengan fasih, meskipun hanya sebagian kecil dari mereka yang benar-benar menguasai bahasa Jawa tersebut, karena bahasa jawa memiliki tingkatan-tingkatan dalam penggunaanya. Tingkatan-tingkatan tersebut menyebabkan tidak semua dari mereka dapat menguasai dengan baik. Bahasa Jawa terdiri atas bahasa krama inggil, krama alus , krama lugu, krama madya, dan ngoko.Krama inggil biasanya digunakan sebagai bahasa para MC hajatan, krama alus digunakan saat berbicara dengan orang yang dihormati, sedangkan ngoko digunakan dalam perbincangan antara orang-orang dekat atau biasa digunakan oleh para orang tua untuk berbicara dengan anak-anak mereka, atau oleh orang dewasa kepada orang-orang usia di bawah mereka dan dialog antara teman sebaya. Keanekaragaman ini menambah kekayaan budaya Jawa, namun hal ini juga justru menjadikan masyarakatnya enggan untuk menerapkannya.10. Eksistensi Budaya JawaDi balik kekayaan dan keagungan budaya Jawa, kelangsungan budaya Jawa kini semakin terancam punah. Semakin sedikit pula masyarakatnya yang sadar akan kebudayaan itu sendiri. Sebagian besar dari mereka juga kurang mengenal dengan baik budayanya tersebut, hal ini mengakibatkan semakin rendahnya kesadaran mereka akan budaya serta keinginan untuk menjaganya juga semakin rendah.Hal ini terbukti, karena banyak dari mereka yang tidak mengerti dan tidak mau tahu akan budayanya sendiri, lebih senang dengan budaya asing yang dianggap keren.Banyak dari kalangan masyarakat yang lebih suka mengenakan produk asing, mengembangkan pemikiran asing yang dianggap modern, dan hal ini juga melanda pada bahasa yang mereka pergunakan dalam berkomunikasi. Kenyataan yang terjadi sekarang ini adalah, banyak dari pemuda daerah yang lupa akan budaya mereka. Banyak dari remaja yang tidak lagi menguasai bahasa Jawa dengan baik.Semakin lama Budaya Jawa semakin tergerus oleh jaman , terlihat dari sebuah fakta bahkan atau mungkin kita mengalami sendiri saat guru mengajari tembang Jawa justru ditertawakan oleh murid-muridnya.Sebagian orang menganggap menguasai budaya bukanlah hal yang penting, mereka menganggap ini adalah hal yang usang dan kuno , dan menghambat kemajuan.11. Yang Menyebabkan Lunturnya Budaya JawaGlobalisasi berjalan seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan tegnologi, di samping membawa kemajuan di dalam pribadi pemuda dan setiap elemen masyarakat, globalisasi juga memberikan dampak buruk pada budaya. Eksistensi budaya menjadi terancam, karena masyarakat yang merasakan kemajuan jaman selalu beranggapan bahwa budaya daerah tidaklah penting karena yang ada dalam otak mereka adalah bagaimana caranya dapat terus mengikuti kemajuan iptek yang terjadi.Ironinya bukan hanya sekedar memberi dampak buruk terhadap sikap masyarakat, namun juga merasuk ke dalam jiwa mereka kemudian tertanam kukuh dan kemudian menguasai mereka. Sehingga mengalahkan kesadaran mereka dalam berbudaya.Salah satu penyebab utama yang lainnya adalah karena pemerintah tidak lagi memasukkan pendidikan bahasa Jawa ke dalam kurikulum pendidikan 1975. Barulah sepuluh tahun kemudian terasa mengapa pemuda tidak dapat menguasai budaya Jawa dan tata krama Jawa.Namun, di sisi lain tidak sedikit warga negara asing yang kagum akan budaya Jawa dan sangat antosias serta berlomba-lomba untuk bisa dan belajar budaya Jawa.Memang sebuah kenyataan pahit yang harus diterima. Namun hal tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja. Rasa bangga tidak cukup hanya diucapakan di bibir saja, namun harus dibuktikan dengan tindakan nyata, yaitu kita wajib menjaga dan melestarikan budaya kita.Rupanya karena eksistensi budaya Jawa yang semakin menhawatirkan keadannya ini, digelar dua buah kongres untuk mengembalikan kejayannya. Kongres yang pertama, kongres sastra Jawa (KSJ) diadakan di Solo (6-7 Juli 2009) .Meskipun belum dapat menghasilkan hasil-hasil yang lebik kongkrit, delapan puluh sastrawan Jawa yang hadir nampak cukup puas. Kongres kedua , Kongres Bahasa Jawa (KBJ) digelar di jantung peradaban Jawa, Yogyakarta (15-21 Juli 2009).Budaya adalah sebuah identitas yang akan membuat kita bertahan. Bertahan bukan dengan melawan tetapi dengan menerima. Menerima beragam berbedaan yang akan selalu hadir dalam perputaran jaman. Dan masih ada harapan , karena masih banyak anak-anak yang belajar tentang budaya mereka.Dan mereka akan belajar banyak melalui kisah-kisah heroic yang akan mempengaruhi keputusan mereka kelak.Banyak cara yang dapat kita tempuh.Memang tidak sedikit dana yang dibutuhkan dalam hal ini, tetapi jika harus dibayar mahal dengan musnahnya sebuah budaya itu tidaklah akan sepadan.Dengan mendirikan sanggar-sanggar akan sangat membantu dalam menjaga kelangsun gan budaya ini. Menumbuhkan minat masyarakat adalah langkah awal yang harus kita kerjakan. Selanjutnya akan menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua, yakni turut ambil bagian di dalamnya.Bagi yang memiliki kemampuan lebih dapat menyumbangkan tenaganya sebagai pelatih dalam sanggar tari misalnya. Sebagai guru vokal, kita juga dapat melestarikan budaya dengan cara mengajarkan tembang-tembang Jawa dalam kelas.Di dalam kehidupan sehari-hari kita dapat melestarikan budaya ini dengan cara menerapkan bahasa Jawa dengan baik dan benar.Di dalam lingkungan sekolah dengan cara menyisipkan mata pelajaran Bahasa Jawa adalah sebuah langkah yang tepat. Karena mau tidak mau seorang siswa akan dituntut untuk belajar budaya Jawa ini.Kita jangan mau kalah dengan orang-orang asing yang antosias mempelajari budaya kita, karena kalau kita sampai terlena maka hal ini justru akan menjadi bumerang bagi kita semua. Sebuah fakta Reog Ponorogo kebudayaan asli Jawa Timur dihak patenkan oleh Malaysia, dan masih banyak hal-hal kecil lainnya yang seharusnya ini menjadi suatu kebanggaan bagi kita.Dulu kita harus kehilangan yaitu tempe yang diakui oleh Jepang, Reog oleh Malaysia, dan masih banyak identitas kita yang terampas. Ini adalah suatu hinaan dan pukulan keras bagi kita. Oleh karena itu kita harus menjaga jangan sampai hal ini terulang lagi untuk kedua kalinya.Ada peribahasa Tak ada gading yangtak retak , ini adalah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan keadaan budaya kita sekarang ini. Namun jika dirawat gading yang retakpun dapat dipakai sebagai hiasan, Begitu pula dengan budaya, jika kita penuh kesadaran dan keikhlasan menjaga kelangsungannya maka budaya ini akan tetap terjaga kelestariannya, keindahan, serta kekhasanahannya sehingga dapat kita nikmati hingga akhir nanti.Jadikan budaya ini untuk terus dan tetap eksis, sehingga generasi penerus kita akan tetap dapat menikmati budaya yang elok, agung, dan mempesona ini. Kita harus bangga memiliki budaya ini, karena budaya tidak hanya tersohor hingga ke penjuru dunia, tetapi juga merupakan aset yang begitu luar biasa.Setiap kebudayaan tanpa ditopang oleh kekuasaan politik tidak akan bertahan. Sebaliknya kekuasaan politik membutuhkan identas. Dengan memanfaatkan kebudayaan tertentu , sebuah rezim kekuasaan memiliki identitas . Di sini kebudayaan menjadi alat kekuasaan.Sehingga campur tangan dari pemerintah sangat dibutuhkan dalam hal ini.H. KesimpulanDengan mengetahui dan memahami budayanya, maka masyarakat akan tergerak hatinya untuk mencintai dan menjaga budaya mereka. Jika rasa memiliki telah tumbuh, maka mereka tidak akan pernah mau kehilangan budayanya. Sehingga mereka akan berusaha dengan keras untuk menjaga budayanya tersebut dari segala hal yang mengancam keberadaan budaya tersebut dan mereka akan selalu berusaha untuk melestarikannya.Kita harus berupaya keras untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini, sehingga kita semua dapat terus menjaga kelestariannya. Dengan demikian generasi penerus kita masih dapat menikmati budaya yang elok ini.Sehingga kekhasanahan budaya bangsa ini juga akan tetap terjaga hingga akhir nanti. Karena menjaga budaya daerah sama halnya dengan nenjaga budaya negeri ini. Dan hal ini adalah salah satu perwujudan kecintaan kita kepada tanah air.

DAFTAR PUSTAKAAnonim. 1978. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta : Balai PustakaMaruti,Retno.2009. Asal-Usul Budaya Jawa.http://www.tokohindonesia.com[ 8 Mei 2009]Nasukha, Yaqub, dkk. 2009. Bahasa Indonesia untuk Penulisan Ilmiah. Surakarta : Penerbit MediaPerkasaYudiono, K.S. 1984. Bahasa Indonesia untuk Penulisan Ilmiah.