Siaran pers diskusi terbatas moratorium perizinan final

3
SIARAN PERS Dapat disiarkan Segera Diskusi Terbatas Moratorium Hutan: Penguatan Menjadikan Moratorium Hutan Lebih Efektif Jakarta, 25 Mei 2016 – Hasil kajian Kemitraan (Partnership) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menunjukkan deforestasi hutan masih terus terjadi kendati telah ada kebijakan moratorium hutan. Hanya dengan penguatan kebijakan yang akan membuat moratorium lebih efektif melindungi hutan Indonesia. Pemaparan hasil kajian dan pembahasan upaya memperkuat kebijakan moratorium hutan dilakukan dalam Diskusi Terbatas Moratorium Hutan yang digelar Rabu (25/5) di Jakarta. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut Program Director of Sustainable Development Governance Kemitraan Dewi Rizki, Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead, Sekretaris Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Yuyu Rahayu, dan Akademikus Universitas Gajah Mada Rimawan Pradiptyo. Pada Mei 2016 pemerintah Indonesia genap telah lima tahun melaksanakan kebijakan Penundaan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut atau yang dikenal dengan kebijakan moratorium hutan. Pelaksanaan kebijakan ini melalui tiga kali perpanjangan Instruksi Presiden (Inpres). Terakhir, melalui Inpres Presiden Joko Widodo (Jokowi) No.8 Tahun 2015 yang berlaku selama dua tahun hingga Mei 2017. Dalam kajian yang dilakukan Kemitraan bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, kawasan hutan yang dimoratorium berkurang drastis dalam lima tahun terakhir. Dari 2011 hingga 2015, lahan moratorium hutan dikurangi dari 69 juta hektar (Ha) menjadi 65 juta Ha. Dari kajian lapangan di empat wilayah (Kalteng, Riau, Jambi, Sumsel) banyak sekali pelanggaran terhadap kebijakan moratorium. Misalnya, ada 968 ribu Ha di empat provinsi tersebut yang dikeluarkan dari wilayah moratorium kemudian diubah dan diberikan ke konsesi perkebunan sawit, HTI, dan pertambangan. Dari 968 ribu Ha tersebut sebanyak 914 ribu Ha (95%) adalah wilayah gambut, atau hampir seluas Hong Kong. Jadi moratorium belum efektif untuk melindungi hutan terutama lahan gambut.

Transcript of Siaran pers diskusi terbatas moratorium perizinan final

Page 1: Siaran pers diskusi terbatas moratorium perizinan final

SIARAN PERS Dapat disiarkan Segera

Diskusi Terbatas Moratorium Hutan:Penguatan Menjadikan Moratorium Hutan Lebih Efektif

Jakarta, 25 Mei 2016 – Hasil kajian Kemitraan (Partnership) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menunjukkan deforestasi hutan masih terus terjadi kendati telah ada kebijakan moratorium hutan. Hanya dengan penguatan kebijakan yang akan membuat moratorium lebih efektif melindungi hutan Indonesia.

Pemaparan hasil kajian dan pembahasan upaya memperkuat kebijakan moratorium hutan dilakukan dalam Diskusi Terbatas Moratorium Hutan yang digelar Rabu (25/5) di Jakarta.

Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut Program Director of Sustainable Development Governance Kemitraan Dewi Rizki, Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead, Sekretaris Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Yuyu Rahayu, dan Akademikus Universitas Gajah Mada Rimawan Pradiptyo.

Pada Mei 2016 pemerintah Indonesia genap telah lima tahun melaksanakan kebijakan Penundaan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut atau yang dikenal dengan kebijakan moratorium hutan. Pelaksanaan kebijakan ini melalui tiga kali perpanjangan Instruksi Presiden (Inpres). Terakhir, melalui Inpres Presiden Joko Widodo (Jokowi) No.8 Tahun 2015 yang berlaku selama dua tahun hingga Mei 2017.

Dalam kajian yang dilakukan Kemitraan bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, kawasan hutan yang dimoratorium berkurang drastis dalam lima tahun terakhir. Dari 2011 hingga 2015, lahan moratorium hutan dikurangi dari 69 juta hektar (Ha) menjadi 65 juta Ha.

Dari kajian lapangan di empat wilayah (Kalteng, Riau, Jambi, Sumsel) banyak sekali pelanggaran terhadap kebijakan moratorium. Misalnya, ada 968 ribu Ha di empat provinsi tersebut yang dikeluarkan dari wilayah moratorium kemudian diubah dan diberikan ke konsesi perkebunan sawit, HTI, dan pertambangan. Dari 968 ribu Ha tersebut sebanyak 914 ribu Ha (95%) adalah wilayah gambut, atau hampir seluas Hong Kong. Jadi moratorium belum efektif untuk melindungi hutan terutama lahan gambut.

Menurut Dewi, moratorium hutan merupakan terobosan pemerintah yang patut didukung. Namun kebijakan tersebut masih banyak celah dan lemah terutama perizinan yang bisa dimanfaatkan oknum-oknum industri kehutanan, perkebunan, dan pertambangan.

“Pemerintah harus melakukan penguatan implementasi kebijakan moratorium dengan memperbaiki tata kelola perizinan kehutanan, penegakan hukum, dan membuat satu rencana aksi yang bisa diukur untuk mengetahui efektifitas moratorium,” kata Dewi.

Penguatan implementasi kebijakan moratorium untuk melindungi hutan dari serbuan kepentingan industri berbasis lahan, seperti sawit, HTI, dan pertambangan untuk memanfaatkan kawasan hutan. Karena itu kebijakan moratorium hutan perlu didukung dengan kebijakan moratorium sawit, dan diintegrasikan bersama-sama kebijakan restorasi lahan gambut yang sedang dikerjakan BRG.

Page 2: Siaran pers diskusi terbatas moratorium perizinan final

Nazir Foead optimis kebijakan moratorium bisa diperkuat. Institusi yang dipimpinnya sudah mendapat mandat melakukan restorasi dua juta hektar lahan gambut dalam lima tahun. Moratorium pembukaan lahan gambut yang dikeluarkan Presiden akhir 2015 lalu semakin memperkuat kebijakan moratorium hutan, yang penting untuk diperpanjang dan akan berjalan beriringan dengan program restorasi lahan gambut yang dikerjakan BRG.

Rimawan Pradiptyo melihat adanya pola umum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang sub-optimal, termasuk di dalamnya sektor kehutanan. Sumber daya alam, termasuk hutan, belum dianggap sebagai asset yang langka yang harus dikelola dengan baik. Kurangnya kesadaran ini tidak terlepas dari sistem insentif yang diterapkan pemerintah sejak Orde Baru, di mana Key Performance Indicator (KPI) dari K/L adalah penyerapan anggaran (outputs) sementara KPI tersebut seringkali tidak terkait dengan pelestarian hutan dan pemanfaatan hutan secara berkesinambungan (sustainable). Rimawan menengarai adanya fenomena lost in transmission antara apa yang ingin dicapai Jokowi-JK yang lebih fokus ke dampak (outcomes), sementara K/L yang di bawahnya lebih mengedepankan penyerapan anggaran (outputs). Singkronisasi tujuan tersebut dapat dicapai salah satunya melalui reformasi birokrasi agar K/L kemudian fokus pada capaian outcomes (dampak) daripada outputs (kegiatan/penyerapan). Rimawan menyarankan perlunya pembangunan database kehutanan dan data interfacing antar database di K/L terkait untuk mengatasi inefisiensi tata kelola di sektor kehutanan dan meningkatkan penerimaan negara di sektor kehutanan.

Diskusi Terbatas tersebut merekomendasikan agar pelaksanaan moratorium hutan yang tersisa satu tahun ke depan harus dengan penguatan kebijakan, antara lain perbaikan perizinan dan mengkonsolidasikan peta kawasan moratorium ke tata ruang daerah. Penguatan kebijakan dalam implementasi moratorium hutan akan membuat lebih efektif melindungi hutan Indonesia.

--- s e l e s a i ---

Kontak MediaYayasan Perspektif Baru (YPB)Stephanie RatihTelepon: (62-21) 72790028 E-mail: [email protected]