sialolitihiasis

40
Laboratorium / SMF Ilmu Kesehatan Gigi dan Mulut Referat Program Pendidikan Dokter Universitas Mulawarman RSUD A.W.Sjahranie Samarinda SIALOLITHIASIS OLEH Amaliaturrahmah 06.55372.00315.09 PEMBIMBING Drg. Anang Prasetiono, Sp.BM Dipresentasikan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada Bagian Ilmu Kesehatan Gigi dan Mulut 2011 1

Transcript of sialolitihiasis

Page 1: sialolitihiasis

Laboratorium / SMF Ilmu Kesehatan Gigi dan Mulut ReferatProgram Pendidikan Dokter Universitas MulawarmanRSUD A.W.Sjahranie Samarinda

SIALOLITHIASIS

OLEHAmaliaturrahmah06.55372.00315.09

PEMBIMBINGDrg. Anang Prasetiono, Sp.BM

Dipresentasikan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Pada Bagian Ilmu Kesehatan Gigi dan Mulut

2011

1

Page 2: sialolitihiasis

DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................. 1

Daftar Isi........................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 3

1.1 Latar Belakang............................................................................................ 3

1.2 Tujuan......................................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 5

2.1 Definisi.................................................................................................... 5

2.2 Epidemiologi........................................................................................... 5

2.3 Anatomi Kelenjar Saliva......................................................................... 6

2.4 Etiologi dan Patofisisologi...................................................................... 8

2.5 Diagnosis Klinis......................................................................................10

2.6 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................11

2.7 Penatalaksanaan......................................................................................15

2.8 Komplikasi..............................................................................................21

BAB III PENUTUP..........................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................23

2

Page 3: sialolitihiasis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Rongga mulut setiap harinya dibasahi oleh 1.000 hingga 1500 ml saliva.

Kesehatan lapisan mukosa mulut dan faring serta fungsi pengunyahan dan pernapasan

dalam tingkatan yang lebih rendah, bergantung puda cukupnya aliran saliva. Saliva

berasal dari tiga pasang kelenjar saliva mayor, yaitu kelenjar parotidea, kelenjar

sublingualis, dan mandibularis, dan sejumlah kelenjar minor pada mukosa dan

submukosa bibir, palatum, dan lidah. Kelenjar saliva merupakan sasaran dari

keadaan-keadaan yang ditimbulkan oleh penyumbatan. infeksi, trauma, dan

neoplasia. Kebanyakan diagnosis awal kelainan kelenjar saliva dideteksi oleh dokter

gigi umum dan perawatannya dilakukan oleh spesialis bedah.

Salah satu kelainan yang bisa terjadi adalah obstruksi pada kelenjar saliva,

misalnya sialolithiasis, sialolithiasis adalah pembentukan batu (calculi) diduga karena

penumpukan bahan degeneratif yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan mengalami

proses kalsifikasi hingga terbentuk batu, sialolit ini umumnya berasat dari adanya

deposit kalsium dan memberikan rasa tidak nyaman pada penderita. Sialolithiasis

menyumbangkan 30% dari penyakit saliva, kurang lebih 80% sialolithiasis ini berasal

dari ke1enjar submandibula, 6% pada kelenjar parotid dan 2% terjadi pada kelenjar

sublingualis dan kelenjar minor. Sialolithiasis kebanyakan terjadi pada orang dewasa,

3

Page 4: sialolitihiasis

yaitu insidennya pada laki-laki lebih sering dari pada perempuan. Rasa sakit biasanya

timbul ketika ada makanan yang sangat merangsang sekresi saliva.

1.2 TUJUAN

Adapun tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui etiologi,

patofisiologi, manifestasi klinis, serta penatalaksanaan dari sialolithiasis.

4

Page 5: sialolitihiasis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Sialolithiasis merupakan salah satu penyebab terjadinya pembengkakan pada

kelenjar submandibula atau parotis, karena dapat menimbulkan obstruksi pada duktus

kelenjar saliva. Pembentukan batu (calculi) pada sialolithiasis diduga karena

penumpukan bahan degeneratif yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan mengalami

proses kalsifikasi hingga terbentuk batu.1

Sebagian besar (80% - 90%) sialolithiasis terjadi di duktus submandibula

(warthon’s duct) karena struktur anatomi duktus dan karakteristik kimiawi dari

sekresi kelenjar saliva. Kedua faktor ini mendukung terjadinya proses kalsifikasi pada

duktus submandibula sehingga muncul sialolithiasis.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Sialolithiasis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada kelenjar

saliva, diperkirakan terdapat 1,2% dalam populasi. Perbandingan angka kejadian pada

laki-laki dan perempuan adalah 1,04 banding 1, dan usia paling banyak terjadi antara

25 tahun sampai 50 tahun.3 80-90% sialolithiasis ditemukan pada kelenjar

submandibula, 6% pada kelenjar parotis, 2% pada kelenjar sublingual, dan 2%

ditemukan pada kelenjar liur minor. Terdapat dua faktor penting yang menjadi alasan

tingginya kejadian sialolithiasis pada kelenjar submandibula. Pertama, sifat saliva

5

Page 6: sialolitihiasis

yang dihasilkan oleh kelenjar submandibula mengandung banyak mucin, bahan

organik, enzim fosfatase, kalsium, fosfat, pH alkalin, karbon dioksida rendah. Kedua,

faktor anatomi dimana warthon’s duct panjang dan berkelok, posisi orifisium lebih

tinggi dari duktusnya dan ukuran duktus lebih kecil dari lumennya. 2,4,5

2.3 ANATOMI KELENJAR SALIVA

Kelenjar saliva dapat dibedakan atas kelenjar parotidea, kelenjar

submandibularis, kelenjar lingualis, dan kelenjar assesorius.

Kelenjar parotidea terletak pada bagian samping, di atas m. masseter. Bagian

inferior menempel pada m. sternocleidomastoideus, dan pada bagian posterior,

kelenjar ini terletak di atas venter posterior m. digastricus. Kelenjar ini dipisahkan

dari kelenjar submandibularis oleh ligamentum stylomandibularis, sedangkan bagian

dalam, yaitu perluasan retromandibular berhubungan dengan rongga parafaringeal .

6

Page 7: sialolitihiasis

Cabang dan terminal n. facialis berjalan di dalam substansi kelenjar tersebut. Ductus

paroticus, misalnya ductus stensen, dengan panjang 5 sampai 6 cm, bermula dari

aspek anterior kelenjar, melintasi m. masseter, menembus m. buccinator, dan

memasuki rongga mulut pada regio molar pertama atau molar kedua rahang atas.

Kelenjar submandibula terletak di segitiga submandibula yang dibatasi oleh

muskulus digastrikus anterior – posterior dan inferior dari os. mandibula. Posisi

kelenjar submandibula terletak di medial dan inferior ramus mandibula. Bagian

posterior kelenjar submandibula sebagian berada di atas dan sebagian di bawah dari

mandibula posterior. Kelenjar ini berbentuk seperti huruf “C” mengelilingi batas

anterior dari muskulus milohioid kemudian menjadi dua lobus, superfisial dan

profunda. Lobus bagian profunda lebih besar dari lobus superfisialisnya.6

Kelenjar submandibula mendapatkan inervasi dari dua sumber, yaitu simpatis

dan para simpatis. Inervasi saraf simpatis dari ganglion cervikalis superior melalui n.

lingualis, dan inervasi saraf parasimpatis dari ganglion Submandibula yang diberi

makan oleh arteri lingualis. Bagian dalam kelenjar submandibula mendapat

vaskularisasi dari cabang submental arteri dan vena fasialis yang kemudian berjalan

sampai bagian superfisial melalui tepi inferior mandibula. Lymph node pada kelenjar

submandibula terdiri dari (A) superfisial, (B) anterior, (C) posterior, dan (D)

submental.

Duktus submandibula (wharton’s duct) berada di permukaan medial dari

kelenjar dan berjalan di antara lateral muskulus Milohioid dan muskulus Hioglosus

dan di atas muskulus Genioglosus, membentuk belokan tajam di lateral m. Milohioid

7

Page 8: sialolitihiasis

(sering menjadi tempat calculi). Duktus ini bermuara ke dalam rongga mulut, lateral

dari frenulum lingualis yang terlihat di bagian depan dasar mulut. Panjangnya rata-

rata sekitar 5 cm. Duktus Submandibula mendapat inervasi dari n. Lingualis dan n.

Hipoglosus yang berjalan di bawah dan mengikuti duktus.6,7

Kelenjar sublingual menempati rongga sublingual bagian anterior dan karena

itu hampir memenuhi dasar mulut. Aliran dari sublingualis memasuki rongga mulut

melalui sejumlah muara yang terdapat sepanjang plica sublingualis. yaitu suatu lingir

mukosa anteroposterior di dasar mulut yang menunjukkan alur dan ductus

submandibularis atau melalu ductus utama yaitu ductus bartholin) yang berhubungan

dengan ductus mandibularis.

Kelenjar saliva minor dalam jumlah besar terletak pada submukosa atau

mukosa bibir, permukaan lidah bagian bawah, bagian posterior palatum durum dan

mukosa bukal. Pengetahuan atau pengenalan lokasi kelenjar minor ini dibutuhkan

karena banyak proses penyakit yang terdapat di kelenjar saliva mayor juga rnengenai

kelenjar assesorius ini Kemungkinan terjadinya penyakit kelenjar saliva memberikan

diagnosis altematif untuk patologis yang terbadap pada regio ini.

2.4 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Meskipun penyebab pasti sialolithiasis masih belum jelas, beberapa batu

saliva mungkin berhubungan dengan infeksi kronis (Staphylococcus aureus ,

Streptococcus viridans) dari kelenjar, Sjögren's sindrom dan atau peningkatan

kalsium, dehidrasi, yang meningkatkan viskositas saliva; asupan makanan berkurang,

8

Page 9: sialolitihiasis

yang menurunkan permintaan untuk saliva, atau obat yang menurunkan produksi

saliva, termasuk anti histamin tertentu, anti hipertensi (diuretic) dan anti psikotik,

tetapi dalam banyak kasus dapat timbul secara idiopatik.

Sialolithiasis mengandung bahan organik pada pusat batunya, dan anorganik

di permukaannya. Bahan organik antara lain glikoprotein, mukopolisakarida, dan

debris sel. Bahan anorganik yang utama adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat.

Sedangkan ion kalsium, magnesium, dan fosfat sekitar 20-25%. Senyawa kimia yang

menyusunnya antara lain mikrokristalin apetit [Ca5(PO4)OH] atau whitlokit

[Ca3(PO4)].1,8 Pengamatan dengan menggunakan transmisi mikroskop elektron dan

mikroanalisis X – ray.

Pada batu sialolithiasis, didapatkan gambaran menyerupai struktur

mitokondria, lisosom, dan jaringan fibrous. Substansi tersebut diduga sebagai salah

satu penyebab proses kalsifikasi dalam sistem duktus submandibula.1 Etiologi

sialolithiasis belum diketahui secara pasti, beberapa patogenesis dapat digunakan

untuk menjelaskan terjadinya penyakit ini. Pertama, adanya ekresi dari intracellular

microcalculi ke dalam saluran duktus dan menjadi nidus kalsifikasi. Kedua, dugaan

adanya substansi dan bakteri dari rongga mulut yang migrasi ke dalam duktus

salivary dan menjadi nidus kalsifikasi. Kedua hipotesis ini sebagai pemicu nidus

organik yang kemudian berkembang menjadi penumpukan substansi organik dan

inorganik. 1,8

Hipotesis lainnya mengatakan bahwa terdapat proses biologi terbentuknya

batu, yang ditandai menurunnya sekresi kelenjar, perubahan elektrolit, dan

9

Page 10: sialolitihiasis

menurunnya sintesis glikoprotein. Hal ini terjadi karena terjadi pembusukan membran

sel akibat proses penuaan.1

2.5 DIAGNOSIS KLINIS

Pada obstruksi parsial kadang-kadang sialolithiasis tidak menunjukkan gejala

apapun (asimptomatis). Nyeri dan pembengkakkan kelenjar yang bersifat intermitten

merupakan keluhan paling sering dijumpai dimana gejala ini muncul berhubungan

dengan selera makan (mealtime syndrome). Pada saat selera makan muncul sekresi

saliva meningkat, sedangkan drainase melalui duktus mengalami obstruksi sehingga

terjadilah stagnasi yang menimbulkan rasa nyeri dan pembengkakan kelejar.4,9,10

Stagnasi yang berlangsung lama menimbulkan infeksi, sehingga sering dijumpai

sekret yang supuratif dari orifisium duktus di dasar mulut. Kadang-kadang juga

timbul gejala infeksi sistemik. Pada fase lanjut stagnasi menyebabkan atropi pada

kelenjar saliva yang menyebabkan hiposalivasi, dan akhirnya terjadi proses fibrosis.

4,9,10,11 Palpasi bimanual di dasar mulut arah posterior ke anterior sering mendapatkan

calculi pada duktus submandibula, juga dapat meraba pembesaran duktus dan

kelenjar. Perabaan ini juga berguna untuk mengevaluasi fungsi kelenjar saliva

(hypofunctional atau non-functional gland).4,9. Studi imaging sangat berguna untuk

diagnosis sialolithiasis, radiografi oklusal berguna dalam menunjukkan batu

radiopaque.

10

Page 11: sialolitihiasis

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Radiologis Imaging

Teknik imaging yang ada untuk menilai kelenjar dan duktus kelenjar saliva

antara lain Plain-film Radiography, Computed Tomography Scan (CTScan),

Sialography, Magnetic Resonance Imaging (MRI), Diagnostic Ultrasound, dan

Nuclear Scintigraphy. Masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan tertentu

dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri, bengkak dan keluhan lainnya yang

berkaitan dengan gangguan kelenjar saliva, seperti pada Sialolithiasis Submandibula.9

1. Plain - Film Radiography

Sebelum teknologi imaging berkembang pesat seperti sekarang, plainfoto

masih dapat digunakan untuk menentukan kelainan pada kelenjar saliva. Teknik ini

banyak memberikan informasi selain data dari pemeriksaan klinis. Pada evaluasi

sialolithiasis submandibula, masih efektif untuk melihat batu pada duktus, tapi sulit

untuk mengevaluasi batu di glandula atau batu yang kecil. Hanya 20% sialolith yang

radiotransparent sehingga metode ini hanya digunakan untuk skreening bila metode

lainnya tidak tersedia.8,9 Untuk memaksimalkan hasil, dianjurkan pengambilan film

dari berbagai sudut yang berbeda, termasuk dari sudut dasar mulut. Hal ini penting

untuk mendapatkan gambaran yang jelas, dimana batu kadang-kadang tertutup oleh

tulang mandibula. Sehingga perlu diambil gambaran dari rongga mulut dan regio

submandibula, termasuk gambaran oklusi duktus dengan dental-film atau

anteroposterior view tulang mandibula.

11

Page 12: sialolitihiasis

2. Computed Tomography Scan (CT-Scan)

Kehadiran CT Scan merevolusi diagnostic imaging sejak ditemukannya pada

tahun 1970-an, terutama untuk kasus head and neck imaging. Dia sering digunakan,

karena cukup adekuat untuk mendiagnosis sialolithiasis dengan potongan tiap

milimeter. Akan tetapi CT scan tidak bisa menentukan lokasi batu yang kecil secara

tepat, kadang kala irisannya tidak mengenai duktus sehingga tidak terlihat gambaran

hyperdense.8,9

3. Ultrasonography (USG)

Ultrasonografi merupakan metode diagnostik noninvasif, tapi penggunaan dan

hasil yang didapat sangat tergantung pada keahlian operator (operator dipendent) dan

image yang dihasilkan tidak bisa diintepretasi langsung oleh ahli bedah, kecuali dia

mengerjakan sendiri. USG memiliki keterbatasan untuk mendeteksi sialolithiasis.8

Untuk memperjelas hasil bisa menggunakan resolusi tinggi (7-12 MHz) dengan

tranducer linier dan kontak permukaan yang kecil. Gambar diperoleh terutama

menggunakan bidang aksial submandibula dengan setelan oblique untuk menentukan

letak lesi dan menelusuri pembuluh darah. Penekanan seminimal mungkin untuk

menghindari distorsi anatomis.

4. Sialography (Sebagai Gold Standar)

Sialografi merupakan upaya untuk membuat gambaran radiopaque

(opacification) pada duktus kelenjar saliva dengan memasukkan bahan kontras berupa

water soluble radiopaque dye secara retrograde intracanular. Cara ini dianggap

sebagai gold standar karena dapat memberikan gambaran yang jelas tidak hanya batu,

12

Page 13: sialolitihiasis

tapi juga struktur morfologis duktus seperti lesi karena trauma, massa, proses

inflamasi, dan penyakit obstruktif lainnya.2,8 Keuntungan sialografi bisa bersifat

terapeutik, dimana cairan dye menyebabkan dilatasi pada duktus dan batu terdorong

keluar melalui orifisium duktus (caruncula sublingualis). Kerugian metode ini antara

lain, dapat menyebabkan nyeri, infeksi, anafilaktik shock, dan perforasi dinding

duktus, kadang-kadang justru mendorong batu menjauhi caruncula. Oleh karena itu,

sialografi tidak boleh dilakukan bila terjadi infeksi akut karena akan memicu

meningkatnya proses inflamasi. Kelemahan ini diminimalisir dengan teknik

pengembangan tanpa kontras, cukup dengan merangsang saliva sebagai pengganti

fungsi kontras (yaitu Magnetic Resonance Sialography).8,9

5. Magnetic Resonance (MR) Sialography

MR Sialografi merupakan prosedur diagnostik nonivasif yang relatif baru

dengan akurasi tinggi untuk mendeteksi calculi, sensitifitas 91% spesifisitas 94% nilai

pediksi positif 97% dan nilai prediksi negatif 93%. Hal ini lebih baik dari sialografi

konvensional. Secara teknis fungsi bahan kontras digantikan oleh saliva (natural

contras) yang dirangsang produksinya dengan orange juice, dan menggunakan

imaging T2-Weighted turbo spin-echo slides bidang sagital dan axial..8,12,13

Keuntungannya adalah tidak invasif, tidak menggunakan bahan kontras, tidak ada

radiasi, tidak menimbulkan rasa nyeri, bahkan juga bisa mengevaluasi kelainan fungsi

kelenjar (Dynamic MR sialography). Kekurangan teknik ini membutuhkan waktu

yang lebih lama pada proses merangsang saliva sebagai kontras alami, menimbulkan

rasa tidak nyaman, dan biaya sangat mahal.8,12,14

13

Page 14: sialolitihiasis

b. Endoskopis

Endoskopi yang dikenal dengan Sialendoskopi merupakan prosedur

noninvasif yang dapat mengeksplorasi secara lengkap sistem duktus, termasuk

cabang sekunder dan tersier duktus. Sialendoskopi dapat dilakukan di klinik rawat

jalan dengan menggunakan anestesi lokal lidocain 2% dimana pasien duduk di kursi

atau setengah berbaring. Fungsi utama Sialendoskopi untuk konfirmasi sekaligus

diagnosis obstruksi dan striktur sistem duktus serta pengambilan sialolith. Pada

prinsipnya Sialendoskopi dilakukan dengan memasukkan sistem semirigid ke

intraluminar duktus melalui caruncula sublingualis. Diameter Sialendoskop yang

sering digunakan antara 0.8 mm - 1,6 mm. Visualisasi intraluminar dan kondisi

patologis dapat diamati secara langsung.8,15,16 Selain diagnostik, metode ini bisa

melakukan prosedur intervensi seperti dilatasi progresif, pembersihan dan

pembilasan, serta pengambilan batu dengan forcep maupun laser fragmentation.

Indikasi penggunaannya pada semua pembengkakan dan nyeri intermitten pada

kelenjar atau duktus saliva yang belum diketahui sebabnya. Tidak ada kontra indikasi

mutlak termasuk pada anak maupun manula, karena selain minimal invasif

Sialendoskopi hanya membutuhkan anestesi lokal dan cukup rawat jalan saja.8 Pada

keadaan tertentu Sialendoskopi dapat menimbulkan komplikasi lesi pada saraf yang

menimbulkan parastesi (0,4%), terjadi infeksi (1,6%), perdarahan (0,5%), dan

kerusakan sistem duktus seperti striktur (2,5%).15,16

14

Page 15: sialolitihiasis

2.7 PENATALAKSANAAN

1. Tanpa pembedahan

Pengobatan klasik silolithiasis (medical treatment) adalah penggunaan

antibiotik dan anti inflamasi, dengan harapan batu keluar melalui caruncula secara

spontan. pengobatan yang diberikan adalah simptomatik, nyeri diobati dengan

NSAID (e.g ibuprofen, 600 mg setiap 8 jam selama 7 hari) dan infeksi bacteria

diobati dengan antibiotik golongan penicillin dan Cephalosporins, (875mg

amoxicillin dan asam klavulanat 125 mg setiap 8 jam untuk jangka waktu satu

minggu ) atau augmentin, cefzil, ceftin, nafcillin, diet kaya protein dan cairan asam

termasuk makanan dan minuman juga dianjurkan untuk menghindari pembentukan

batu lebih lanjut dalam kelenjar saliva, sialologues (lemon tetes yang merangsang

Salivasi), batu dikeluarkan dengan pijat atau masase pada kelenjar.

Pada beberapa kasus dimana batu berada di wharton papillae, dapat dilakukan

tindakan marsupialization (sialodochoplasty). Sering kali batu masih tersisa terutama

bila berada di bagian posterior Warton’s duct, sehingga pendekatan konservatif sering

diterapkan. 8

2. Pembedahan

Sebelum teknik endoskopi dan lithotripsi berkembang pesat, terapi untuk

mengeluarkan batu pada sialolithiasis submandibula delakukan dengan pembedahan,

terutama pada kasus dengan diameter batu yang besar (ukuran terbesar sampai 10

mm), atau lokasi yang sulit.17,18 Bila lokasi batu di belakang ostium duktus maka bisa

15

Page 16: sialolitihiasis

dilakukan tindakan simple sphincterotomy dengan anestesia lokal untuk

mengeluarkannya. Pada batu yang berada di tengah-tengah duktus harus dilakukan

diseksi pada duktus dengan menghindari injury pada n. lingualis. Hal ini bisa

dilakukan dengan anestesi lokal maupun general, tapi sering menimbulkan nyeri berat

post operative. Harus dilakukan dengan anestesi general, bila lokasi batu berada pada

gland's pelvis. Pada kasus ini harus dilalakukan submaxilectomy dengan tingkat

kesulitan yang tinggi, karena harus menghindari cabang-cabang dari n. facialis.17

3. Minimal invasiv

3.1 Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)

ESWL merupakan terapi dengan pendekatan non invasive yang cukup efektif

pada sialolithiasis. Setelah berhasil untuk penanganan batu di saluran kencing dan

pankreas, ESWL menjadi alternatif penanganan batu pada saluran saliva, dimulai

tahun 1990an. Tujuan ESWL untuk mengurangi ukuran calculi menjadi fragmen yang

kecil sehingga tidak mengganggu aliran saliva dan mengurangi simptom. Diharapkan

juga fragmen calculi bisa keluar spontan mengikuti aliran saliva.5

Indikasi ESWL bisa dilakukan pada semua sialolithiasis baik dalam glandula

maupun dalam duktus, kecuali posisi batu yang dekat dengan struktur n. facialis.

Inflamasi akut merupakan kontra indikasi lokal dan inflamasi kronis bukan

merupakan kontra indikasi, sedangkan kelainan pembekuan darah (haemorrhagic

diathesis), kelainan kardiologi, dan pasien dengan pacemaker merupakan

kontraindikasi umum ESWL.5,17 Metode ini tidak menimbulkan nyeri dan tidak

membutuhkan anestesia, pasien duduk setengah berbaring (semi-reclining position).

16

Page 17: sialolitihiasis

Shockwave benar-benar fokus dengan lebar 2,5 mm dan kedalaman 20mm sehingga

lesi jaringan sekitarnya sangat minimal. Energi yang digunakan disesuaikan dengan

batu pada kelenjar saliva, yaitu antara 5 – 30 mPa. Tembakan dilakukan 120 impacts

per menit, bisa dikurangi sampai 90 atau 60 impacts per menit. Setiap sesion sekitar

1500 + / - 500 impacts dan antar sesion terpisah minimal satu bulan.5

Keberhasilan ESWL tergantung pada dimensi, lokasi, dan jumlah calculi.

Ketepatan posisi (pinpointing) calculi bisa dipandu dengan ultrasonography,

echography probe 7,5 Mhz. Calculi dengan ukuran > 10 mm sulit dipecah menjadi

fragmen. 5,17 Beberapa penelitian telah melakukan pengamatan dan follow up atas

keberhasilan penggunaan ESWL, antara lain Escidier et al mengamati 122 kasus

dimana 68% pasien terbebas dari simptom setelah difollow up selama 3 tahun,

Cappaccio et al dengan 322 kasus melaporkan 87,6% pasien terbebas dari simptom

setelah diamati 5 tahun sejak pengobatan menggunakan ESWL.5,19

3.2 Sialendoskopi

Sialendoskopi merupakan teknik endoskopi untuk memeriksa duktus kelenjar

saliva. Teknik ini termasuk minimal invasive terbaru yang dapat digunakan untuk

diagnosis sekaligus manajemen terapi pada ductal pathologies seperti obstruksi,

striktur, dan sialolith. Prosedur yang dapat dilakukan dengan Sialendoskopi

merupakan complete exploration ductal system yang meliputi duktus utama, cabang

sekunder dan tersier.8,15,20 Indikasi diagnostik dan intervensi dengan Sialendoskopi

adalah semua pembengkakan intermitten pada kelenjar saliva yang tidak jelas

asalnya. Koch et al lebih khusus menjelaskan indikasinya, antara lain untuk :

17

Page 18: sialolitihiasis

1) deteksi sialolith yang samar,

2) deteksi dini pemebentukan sialolith (mucous or fibrinous plugs) dan

profilaksis pembentukan batu,

3) pengobatan stenosis post inflamasi dan obstruksi karena sebab lain,

4) deteksi dan terapi adanya variasi anatomi atau malformasi,

5) diagnosis dan pemahaman baru terhadap kelainan autoimun yang

melibatkan kelenjar saliva,

6) sebagai alat follow up dan kontrol keberhasilan terapi.

Tidak ada kontra indikasi khusus, karena merupakan teknik minimal invasive

yang hanya membutuhkan enestesi lokal dan cukup rawat jalan saja, baik pada anak-

anak, dewasa maupun usia lanjut.8,20 Teknik Intervensi Sialendoskopi.20 Sialendoskopi

dilakukan dengan anestesi lokal, papila untuk mencapai kelenjar diinjeksi dengan

bahan anestesi (xylocaine 1% dengan epinephrine 1:200000). Papila dilebarkan

bertahap dengan probe yang bertambah besar sampai sesuai dengan diameter

sialendoskop. Kemudian sialendoskop dimasukkan ke dalam duktus kelenjar saliva

diikuti pembilasan dengan cairan isotonik melalui probe. Pembilasan ini

dimaksudkan untuk dilatasi duktus dan irigasi debris. Duktus kelenjar saliva ini

diobservasi mulai dari duktus utama sampai cabang tersier hingga probe tidak bisa

masuk lagi, dengan catatan menghindari trauma dan perforasi dinding duktus. Bila

didapatkan obstruksi, kita bisa menggunakan beberapa teknik untuk mengatasinya.

Untuk pengambilan batu dengan diameter < 4 mm pada kelenjar submandibula atau <

3 mm pada kelenjar parotis, kita dekatkan sialendoskop ke sialolith kemudian kita

18

Page 19: sialolitihiasis

masukkan ke dalam working chanel sebuah forsep penghisap yang fleksibel dengan

diameter 1 mm atau stone extractor (wire basket forcep). Berikutnya batu dihisap dan

sialendoskop ditarik dengan forcep penghisapnya .

Pada kasus dengan batu yang lebih besar, kita memasukkan probe laser

helium ke dalam working chanel dan batu dipecah menjadi beberapa bagian kecil-

kecil. Kemudian bagian kecil tersebut ambil (removed) dengan teknik yang sama.

Sedangkan pada kasus mucus plug, sekret yang lengket dimobilisasi dengan

pembilasan dan penghisapan.

Setelah intervensi Sialendoskopi, dilakukan stenting pada duktus

submandibula menggunakan stent plastik (sialostent) selama 2 sampai 4 minggu

dengan tujuan 1) menghindari striktur, 2) mencegah obstruksi karena udema sekitar

orifisium, dan 3) sebagai saluran irigasi partikel-partikel batu kecil oleh aliran saliva.

Pemberian hydrocortisone 100 mg injeksi intraductal atau langsung pada daerah

striktur juga dapat mempercepat proses penyembuhan pasca sialoendokopi.15,16,20

4. Decision Tree

Pada tindakan minimally invasive terdapat beberapa pilihan diagnostik

maupun terapi untuk managemen sebuah kasus dengan gejala klinis adanya obstruksi

pada saluran kelenjar saliva. pada kasus dengan gejala pembengkakan berulang pada

kelenjar saliva yang berhubungan dengan selera makan, dapat menggunakan

sialendoskopi atau MR sialografi sebagai pilihan modalitas diagnostik. Sialendoskopi

merupakan pilihan utama pada pembengkakan kelenjar unilateral, sedangkan pada

19

Page 20: sialolitihiasis

kasus kelenjar bilateral direkomendasikan untuk menggunakan MR silaografi untuk

melihat tekstur kelenjar, jaringan sekitar, dan sistem duktus beberapa kelenjar.

Bila didapatkan batu ukuran kecil (< 4 mm submandibular atau < 3 mm

parotis) maka dapat diintervensi dengan Wire Basket Extraxion. Pada batu dengan

ukuran > 4 mm submandibula atau > 3 mm parotis, batu harus dipecah menjadi

bagian yang lebih kecil menggunakan Laser Lithotripsy kemudian dikeluarkan

dengan Wire Basket Extraxion. Sedangkan stenosis pada sistem duktus cukup

dilakukan dilatasi menggunakan metalic dilator (main duct) atau dengan balloon

catheter bila stenosis terjadi pada cabang duktus.

Segala bentuk intervensi pada sialolithiasis, baik pembedahan terbuka maupun

minimally invasive dapat menimbulkan komplikasi antara lain:

1) kerusakan saraf, terutama n. Lingualis dan n. Hipoglosus

20

Decision Tree untuk Evaluasi dan Managemen Sislolithiasis

Page 21: sialolitihiasis

2) perdarahan post operative,

3) striktur sistem duktal,

4) pembengkakan kelenjar yang menimbulkan nyeri,

5) cutaneus hematoma sering dijumpai pada pasien post extracorporeal

therapy, dan

6) residual lithiasis terjadi pada sekitar 40%-50% pasien.

Teknik minimal invasive yang benar dengan Sialendoskopi, lebih

memungkinkan untuk meminimalisir terjadinya komplikasi tersebut di atas.8,15,16,20

2.8 KOMPLIKASI

Komplikasi meliputi obstruksi terus-menerus dari saluran, yang mengarah ke

invasi bakteri, pertumbuhan berlebih dan infeksi yang menyebabkan sialoadenitis.

21

Page 22: sialolitihiasis

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

1. Sialolithiasis merupakan salah satu penyebab pembengkakan pada kelenjar

submandibula dan parotis. Diperkirakan terdapat 1,2% dalam populasi dengan

perbandingan laki - perempuan 1,04 : 1.

2. Sialolithiasis menyebabkan obstruksi mekanik duktus kelenjar saliva dimana

pembentukan sialolithnya diduga karena penumpukan bahan degeneratif,

migrasi substansi dan bakteri ke dalam duktus kelenjar saliva yang kemudian

menjadi nidus kalsifikasi.

3. Gejala yang ditimbulkan sering asimptomatis, nyeri dan pembengkakan

kelenjar yang intermitten berhubungan dengan selera makan (mealtime

syndrome). Stagnasi yang lama akan menimbulkan infeksi dan atropi,

hiposalivasi, fibrosis.

4. Pemeriksaan penunjang untuk diagnostik sialolithiasis dengan teknik imaging,

mulai dari Plain-film Radiography, CT-Scan,Ultrasonography, Sialography,

dan MR Sialography, Sialoendoskopi.

5. Terapi untuk penanganan sialolithiasis, antara lain medikamentosa dengan

antibiotik dan antiinflamasi, pembedahan, serta tindakan minimal invasif

(lithotripsi dan sialoendoskopi)

22

Page 23: sialolitihiasis

DAFTAR PUSTAKA

1. Mimura M, Tanaka N, Ichinose S, Kimijima Y, Amagasa T. Possible Etiology of

Calculi Formation in Salivary Glands: Biophysical Analisys of Calculus. Med

Mol Morphol 2005; 38: 189-95

2. Graney DO, Jacobs JR, Kern RC. Salivary Glands. In: Cumming CJ, editor.

Otolangology – Head and Neck Surgery. 3rd ed. Mosby; 1999. p.1220.

3. Escudier MP, McGurk M. Symptomatic Sialoadenitis and Sialolithiasis in the

English Population, an Estimate of the Cost of Hospital Traetment. Br Dent J

1999 Mei; 186 (9): 463-6

4. Siddiqui SJ. Sialolithiasis : An Unusually Submandibular Salivary Stone. Br Dent

J 2002 July; 193: 89-91

5. Andretta M, Tregnaghi A, Prosenikliev V, Staffieri A. Current Opinion in

Sialolithiasis Diagnosis and Treatment. Acta Otorhinolaryngol Ital2005; 25:145-9

6. Rosen FS, Byron BJ. Anatomy and Physiology of Salivary Glands Source.

Otolaryngol 2001 Jan 24

7. Ching ASC, Ahuja AT. High-Resolution Sonography of the Submandibular

Space: Anatomy and Abnormalities. AJR 2002;179:703-8

8. Marchal F, Dulguerov P. Sialolithiasis Management. Arch Otolaryngol-Head and

Neck Surg 2003 Sep; 129: 951-6

23

Page 24: sialolitihiasis

9. Becker TS. Salivary Glands Imaging. In: Byron J, Bailey Md, editors. Head and

Neck Surgery - Otolangology. 3rd ed. Lippincott Williams & Wilkins Publishers;

2001

10. Dalkiz M, Dogan N, Beydemir B. Sialolithiasis (Salivary Stone). Turk J Med Sci

2001;31: 177-9

11. Bar T, Zagury A, London D, Shacham R, Nahlieli O. Calcifications Simulating

Sialolithiasis of Major Salivary Glands. Dentomaxillofacial Radiology 2007; 36:

59-62

12. Jager L, Menauer F, Holzknecht N, Scholz V, Grevers G, Reiser M. Sialolithiasis:

MR Sialography of the Submandibular Duct – An Alternative to Conventional

Sialography and US. RSNA Radiology 2000;216: 665-71

13. Becker M, Marchal F, Becker CD, Dulguerov P, Georgakopoulos G, Lehmann

W, Terrier F. Sialolithiasis and Salivary Ductal Stenosis: Diagnostic Acuracy of

MR Sialography with a Three Dimensional Extended Phase Conjugate Symmetry

Rapid Spin-Echo Sequence. RSNA Radiology 2000; 17: 347-58

14. Tanaka T, Ono K, Habu M, Inoue H, Tominaga K, Okabe S, Yokota M, Fukuda

J, Inenaga K, Morimoto Y. Functional Evaluation of the Parotid and

Submandibular Glands Using Dynamic Magnetic Resonance Sialography.

Dentomaxillofacial Radiology 2007; 36: 218-23

15. Nahlieli O, Nakar LH, Nazarian Y, Turner MD. Sialendoskopi: A New Approach

to Salivary Gland Obstructive Pathology. JADA 2006;137: 1394400

24

Page 25: sialolitihiasis

16. Chu DW, Chow TL, Lim BH, Kwok SPY. Endoscopic Management of

Submandibular Sialolithiasis. Springer-Verlag New York Inc. Surg Endosc 2003;

17: 876-9

17. Katz D, Banville RT. Two Non Surgical Therapies of Salivary Lithiasis. IEFGS

Paris-France 2004; 7: 5017

18. Batori M, Mariotta G, Chatelou H, Casella G, Casella MC. Diagnostic and

Surgical Management of Submandibular Gland Sialolithiasis: Report of a Stone

of Unusual Size.Euro Med and Phar Sci 2005; 9: 67-8

19. Pasquale C, Francesco O, Raffaele M, Antonio S, Bruno C. Extracorporeal

Lithotripsy for Salivary Calculi: A Long Term Clinical Experience. Laryngoscope

2004 June; 114(6): 1069-73

20. Serbecti E, Sengor GA. Diagnostic and Interventional Siloendoscopy in Recurrent

Salivary Gland Swelling. Turk Arch Otolaryngol. 45 (2): 84-90

25