SGD DM Tipe 1 Dan HipoHiper Pada Anak

43
SISTEM ENDOKRIN Topik: Asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan system endokrin 1. Masalah apa saja yang mungkin timbul pada remaja penderita DM tipe 1? Intervensi apa yang bisa dilakukan oleh perawat? 2. Pada penderita DM tipe 1 akan sering mengalami nyeri yang disebabkan tindakan penusukan pada pemantauan glukosa darah. Jelaskan asuhana traumatik yang dilakukan untuk meminimalkan nyeri pada pemantauan glukosa darah tersebut 3. Jelaskan mengapa hiperglikemia dan hipoglikemia merupakan kasus kegawatdaruratan? Bagaimana penatalaksanaannya? 4. Sebutkan diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada anak penderita DM tipe 1 dan apakah yang menjadi tujuan dari perawatan/asuhan keperawatannya 5. Hipotiroid merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada anak. Jelaskan mengenai: a. Patofisiologi hipertiroid b. Hipotiroid kongenital c. Skrining hipotiroid kongenital d. Kebijakan pemerintah untuk penanganan hipotiroid kongenital 6. Sebagian besar hipertiroid pada anak dipengaruhi oleh penyakit Grave yang dihubungkan dengan pembesaran kelenjar tiroid dan eksolftalmus. Jelaskan mengenai:

description

hipotiroid anak

Transcript of SGD DM Tipe 1 Dan HipoHiper Pada Anak

SISTEM ENDOKRIN

Topik: Asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan system endokrin

1. Masalah apa saja yang mungkin timbul pada remaja penderita DM tipe 1? Intervensi apa

yang bisa dilakukan oleh perawat?

2. Pada penderita DM tipe 1 akan sering mengalami nyeri yang disebabkan tindakan

penusukan pada pemantauan glukosa darah. Jelaskan asuhana traumatik yang dilakukan

untuk meminimalkan nyeri pada pemantauan glukosa darah tersebut

3. Jelaskan mengapa hiperglikemia dan hipoglikemia merupakan kasus kegawatdaruratan?

Bagaimana penatalaksanaannya?

4. Sebutkan diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada anak penderita DM tipe 1

dan apakah yang menjadi tujuan dari perawatan/asuhan keperawatannya

5. Hipotiroid merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada anak. Jelaskan

mengenai:

a. Patofisiologi hipertiroid

b. Hipotiroid kongenital

c. Skrining hipotiroid kongenital

d. Kebijakan pemerintah untuk penanganan hipotiroid kongenital

6. Sebagian besar hipertiroid pada anak dipengaruhi oleh penyakit Grave yang dihubungkan

dengan pembesaran kelenjar tiroid dan eksolftalmus. Jelaskan mengenai:

a. Intervensi keperawatan untuk mengidentifikasi anak yang menderita hipertiroid

b. Asuhan keperawatan sbelum pembedahan dan setelah pembedahan

1. Masalah yang mungkin timbul pada remaja penderita DM tipe 1

Pengidap diabetes tipe 1 memperlihatkan beberapa masalah salah satunya yakni adanya

ketidakstabilan kadar glukosa darah. Namun, pada beberapa tahun lalu, diabetes tipe 1

dianggap sebagai penyakit yang terjadi tiba-tiba dengan sedikit gejala atau tanda peringatan.

Akan tetapi, saat ini, diabetes tipe 1 adalah penyakit berkembang secara perlahan selama

beberapa tahun, dengan adanya autoantibodi terhadap sel-sel beta dimana terjadi destruksi yang

terjadi secara terus-menerus pada diagnosis lanjut. Pada saat diagnosis tipe 1 ditegakkan,

biasanya pankreas sedikit atau tidak mensekresikan insulin, dan lebih dari 80% sel beta

pankreas telah dihancurkan. Kadar glukosa darah meningkat karena tanpa insulin glukosa tidak

dapat masuk ke sel. Pada saat yang sama, hati mulai melakukan glukoneogenesis (sintesis

glukosa baru dengan memecah produk lain selain karbohidrat) menggunakan substrat yang

tersedia seperti asam amino, asam lemak dan glikogen. Substrat-substrat ini mempunyai

konsentrasi yang tinggi dalam sirkulasi karena efek katabolik glukagon tidak dilawan oleh

insulin. Hal ini yang menyebabkan sel-sel mengalami kelaparan walaupun kadar glukosa darah

sangat tinggi. Hanya sel otak dan eritrosit yang tidak mengalami kekurangan glukosa karena

keduanya tidak memerlukan insulin untuk memasukkan glukosa (Corwin, 2009).

Pada penderita diabetes tipe I, tanda dan gejala bisa timbul secara tiba-tiba dan

berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis

diabetikum. Kadar gula di dalam darah tinggi, akan tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat

memasukkan glukosa ke dalam sel tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari

sumber yang lain. Akibatnya, lemak dipecah dan menghasilkan keton yang merupakan senyawa

kimia yang bersifat toksik dan dapat menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala

awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus yang berlebihan (polidipsi) dan berkemih

dengan volume urine yang berlebihan (poliuria), mual, muntah, kelelahan, dan nyeri abdomen

(terutama pada anak-anak dan remaja). Pernapasan menjadi dalam dengan frekuensi cepat

karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau napas penderita tercium

seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, terkadang dalam beberapa jam setelah gejala muncul,

ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma. Bahkan, setelah menjalani terapi

insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali

penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakaan atau penyakit yang serius

(Mahdiana, 2010).

Selain permasalahan yang dijelaskan di atas, terdapat masalah-masalah lain yang

biasanya ditemukan dari pengkajian pada klien usia remaja dengan diabetes mellitus tipe 1.

Pola dan gaya hidup penderita (remaja) akan berubah dengan adanya diabetes mellitus tipe.

Gordon telah mengembangkan 11 pola fungsi kesehatan yang dapat digunakan untuk

mengetahui perubahan tersebut. Adapun masalah-masalah lain yang dapat muncul pada remaja

yang mengidap diabetes mellitus tipe 1, diantaranya:

1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat

Pada pasien diabetes mellitus tipe 1 terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup

sehat karena kemungkinan muncul rasa bosan untuk peduli terhadap kesehatannya, sehingga

dapat menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya akibat kecenderungan untuk tidak

mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama. Oleh karena itu, perlu adanya

penjelasan yang benar dan mudah diterima pasien.

2. Pola nutrisi dan metabolisme

Akibat ketidakadekuatan sel-sel beta pancreas untuk menyekresikan insulin (defisiensi

insulin), kadar gula darah tidak dapat dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan sering

kencing, banyak makan, banyak minum, berat badan menurun dan mudah lelah. Keadaan

tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat

mempengaruhi status kesehatan penderita.

3. Pola eliminasi

Adanya kemungkinan remaja tidak patuh terhadap jadwal obat hipoglikemia oral

maupun terhadap jadwal penyuntikan insulin, dapat mengakibatkan hiperglikemia sehingga

mengakibatkan kekentalan darah meningkat karena tingginya kadar glukosa di dalam darah.

Hal ini dapat menimbulkan suatu komplikasi berupa menurunnya kemampuan saraf-saraf

pada nefron untuk filtrasi yang mengakibatkan adanya glukosa dalam urin. Hal ini akan

menyebabkan diuretik osmosis. Pasien dengan diuretic osmosis akan mengalami gejala

sering kencing (poliuri) dan pengeluaran glukosa pada urine (glukosuria).

4. Pola tidur dan istirahat

Adanya poliuri, serta mual dan muntah akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas

istirahat tidur remaja pengidap diabetes mellitus 1. Hal tersebut mengakibatkan pola tidur

dan waktu tidur penderita mengalami perubahan.

5. Pola aktivitas dan latihan

Adanya suplai darah yang kurang ke perifer mengakibatkan kelemahan otot – otot pada

tungkai bawah dan menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari

secara maksimal. Akibatknya, penderita mudah mengalami kelelahan.

6. Pola hubungan dan peran

Salah satu komplikasi dari diabetes mellitus yaitu terjadinya luka gangren atau kaki diabetes

yang sukar sembuh dan berbau. Hal ini akan menyebabkan penderita malu dan menarik diri

dari pergaulan serta mengganggu perannya dalam pergaulan maupun kehidupan sehari-hari.

7. Pola sensori dan kognitif

Pasien usia remaja dengan diabetes mellitus tipe 1 memiliki kemungkinan tidak patuh obat

(atau penyuntikan insulin) maupun kehilangan kedisiplinan terhadap kesehatannya cenderung

memiliki risiko mengalami neuropati atau mati rasa, sehingga tidak peka terhadap adanya

trauma.

8. Pola persepsi dan konsep diri

Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita mengalami

gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan

pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada diri

sendiri dan keluarga (self esteem).

9. Pola seksual dan reproduksi

Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga

menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi

dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Pada kenyataannya, sebagian remaja terutama

laki-laki cenderung melakukan masturbasi untuk melakukan pemuasan terhadap hasrat

seksual. Komplikasi angiopati terutama pada organ seksual yang terjadi tentunya akan

mempengaruhi hal tersebut.

10. Pola mekanisme stres dan koping

Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, perasaan tidak berdaya karena

ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan,

mudah tersinggung dan lain-lain, dapat menyebabkan penderita diabetes mellitus usia remaja

tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif atau adaptif. Hal ini dapat

saja berakibat pada kemungkinan menyakiti diri sendiri bahkan risiko bunuh diri.

11. Pola tata nilai dan kepercayaan

Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta komplikasi berupa luka

pada kaki, tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi mempengaruhi

pola ibadah dan konsentrasi ibadah penderita.

Dampak pada keluarga

Selain adanya dampak pada remaja pengidap diabetes mellitus tipe 1, akan berdampak pula

terhadap koping dan psikologis keluarga. Dengan adanya salah satu anggota keluarga yang sakit,

terlebih lagi sempat dirawat di rumah sakit karena adanya kemungkinan hipoglikemia, akan

muncul bermacam-macam reaksi psikologis dari keluarga. Hal ini disebabkan karena masalah

kesehatan yang dialami oleh seorang anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh anggota

keluarga. Waktu perawatan yang lama dan biaya untuk memenuhi kebutuhan insulin baik itu

melalui penyuntikan maupun obat oral akan mempengaruhi keadaan ekonomi keluarga dan

perubahan peran pada keluarga karena salah satu anggota keluarga tidak dapat menjalankan

perannya. Terlebih lagi, jika pasien remaja pengidap diabetes mellitus tipe 1 tersebut dilahirkan

di keluarga yang memiliki harapan tinggi terhadap keberhasilan seorang anak. Hal ini akan

semakin berisiko menciptakan reaksi psikologis yang negatif dan koping yang destruktif dari

keluarga.

Dari permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka muncul beberapa kemungkinan

masalah keperawatan pada pasien remaja pengidap diabetes mellitus tipe 1, diantaranya:

1. Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah

2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

4. Resiko infeksi

5. Mual

6. Nyeri akut

7. Keputusasaan

8. Penurunan koping keluarga

9. Ansietas

2. Pada penderita DM tipe 1 akan sering mengalami nyeri yang disebabkan tindakan penusukan

pada pemantauan glukosa darah. Penjelasan asuhan atraumatik yang dilakukan untuk

meminimalkan nyeri pada pemantauan glukosa darah tersebut.

Pada penderita DM tipe akan sering mengalami nyeri yang disebabkan tindakan

penusukan pada pemantauan glukosa darah. Jelaskan asuhan atraumatik yang dilakukan untuk

meminimalkan nyeri pada pemantauan glukosa darah tersebut.

Perawatan atraumatik adalah perawatan terapeutik yang diberikan kepada anak sebagai

intervensi terpenting dalam perawatan anak untuk mencapai tumbuh kembang optimal ketika

berada di rumah sakit. Apabila seorang perawat memiliki persepsi yang baik, maka perawat

juga akan bersikap dan berperilaku baik dalam memberikan asuhan keperawatan. Prinsip

perawatan atraumatik meliputi 5 komponen yaitu mencegah dampak dari perpisahan keluarga,

meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan anak, mencegah terjadinya

trauma dan mengurangi nyeri, tidak melakukan kekerasan pada anak dan modifikasi

lingkungan fisik (Hidayat, 2005).

Asuhan atraumatik yang dapat dilakukan perawat untuk meminimalkan nyeri pada

pemantauan glukosa darah yakni:

a. Anak dan orang tua diberi penjelasan sebelum tindakan perawatan dilakukan.

b. Untuk mengurangi nyeri pada anak, perawat bercerita (imaginary) terlebih dahulu sebelum

melakukan tindakan perawatan.

c. Sikap empati ditunjukkan oleh perawat pada saat akan melakukan tindakan yang

menyakitkan pada anak.

d. Orang tua mendampingi anaknya pada saat tindakan perawatan dilakukan.

e. Pengalihan perhatian (distraksi) kepada anak akan memudahkan perawat dalam melakukan

tindakan keperawatan.

3. Alasan mengapa hiperglikemia dan hipoglikemia merupakan kasus kegawatdaruratan dan

penatalaksanaannya.

Hipoglikemia

Gejala hipoglikemia dapat dikelompokkan menjai dua kategori: gejala adrenergik dan

gejala system saraf pusat. Pada hipoglikemia ringan, ketika kadar glukosa darah menurun,

system saraf simpatik akan terangsang. Pelimpahan adrenalin ke dalam darah mnyebabkan

gejala seperti perspirasi, tremor, takikardi, palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar. Pada

hipoglikemia sedang, penurunan kadar glukosa darah menyebabkan sel-sel otak tidak

memperoleh cukup bahan bakar cukup untuk bekerja dengan baik. Tanda-tanda gangguan pada

fungsi system saraf pusat mencakup ketidak mampuan berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo,

konfusi, penurunan daya ingat, patirasa didaerah bibir serta lidah, bicara pelo, gerakan tidak

terkoordinasi, perubahan emosional, perilaku yang tidak rasional, penglihatan ganda dan

perasaan ingin pingsan. Kombinasi gejala ini dapat terjadi pada hipoglikemia sedang.

Penatalaksanaan Hipoglikemia

Pada hipoglikemia berat, fungsi system saraf pusat mengalami gangguan yang sangat

berat sehingga pasien memerluka pertolongan orang lain untuk mengatasi hipoglikemia yang

dideritanya. Gejalanya dapat mencakup perilaku yang mengalami disorientasi, serangan kejang,

sulit dibangunkan dari tidur atau bahkan kehilangan kesadaran.

Penanganan harus segera diberikan bila terjadi hipoglikemia. Rekomendasi biasanya berupa

pemberian 10 hingga 15 gr gula yang bekerja cepat peroral:

2-4 tablet glukosa yang dapat dibeli dirumah obat/apotek.

4-6 ons sari buah/teh manis.

6-10 permen khusus/permen manis lainnya.

2-3 sendok teh sirup/madu.

Penanganan hipoglikemia berat bagi pasien yang tidak sadarkan diri, tidak mampu

menelan/menolak terapi, preparat glucagon 1mg dapat disuntikkan secara subkutan/intra

muscular. Preparat glucagon dikemas sebagai serbuk dalam botol suntik (vial) berukuran 1mg

dan harus dicampur dahulu dengan pelarutnya sebelum disuntikkan. (Brunner & Suddarth,

2001).

Hiperglikemia

Mekanisme yang menyebabkan kerusakan sel akibat hiperglikemia adalah akibat

penumpukan intraseluler dari spesimen oksigen reaktif (Reactive Oxygen Specimen= ROS).

KGD yang tinggi meningkatkan perbedaan potensial akibat tingginya proton pada rantai

respiratori mitokondria, yang mengakibatkan perpanjangan hidup dari superoxidegenerating

electron transport intermediates, sehingga terjadilah penumpukan ROS. Saat terjadi

penumpukan ini, terjadi 4 mekanisme yang menyebabkan kerusakan sel, yaitu:

1. Peningkatan aliran jalur polyol: hiperglikemia menyebabkan peningkatan konversi

glukosa menjadi sorbitol polialkohol, bersama dengan penurunan nicotineamide

adenosine dinucliotide phosphate (NADPH) dan glutation, meningkatkan sensitivitas sel

terhadap stress oksidatif.

2. Peningkatan pembentukan advance glycation end product (AGE): pembentukan dari

AGE bertentangan dengan intergritas target sel dalam modifikasi fungsi protein atau

dengan menginduksi produksi receptormediated dari reactive oxygen species, yang dapat

menyebabkan perubahan pada ekspresi gen.

3. Aktivasi dari isoform protein kinase C (PKC): hiperglikemia menyebabkan peningkatan

konversi glukosa menjadi sorbitol, yang dimetabolisir menjadi fruktosa oleh sorbitol

dehidrogenase, meningkatkan rasio NADH/NAD+. Hal ini menyebabkan triose fosfat

yang teroksidasi dan sintesis de novo dari diacylglycerol (DAG). Peningkatan DAG

mengaktifkan PKC.

4. Peningkatan aliran jalur hexosamine: pada hipergliemia, glukosa semakin banyak

memasuki hexosamine-pathway. Produk akhir dari jalur ini, UDP-N-acetylglucosamine,

adalah substrat yang diperlukan untuk factor transkripsi intraseluler, yang mempengaruhi

ekspresi dari banyak gen. Jalur ini berhubungan dengan disfungsi endothelial dan

mikrovaskular.

Penatalaksanaan hiperglikemia

Hiperglikemia ringan atau sementara umumnya tidak membutuhkan pengobatan medis.

Untuk penderita seperti ini, pola hidup sehat berupa menu makanan seimbang, olah raga

teratur, berhenti merokok dan minum alkohol, mengelola stres dan lain-lain, dapat

menormalkan kembali kadar gula darah.Lain halnya dengan hiperglikemia berat seperti pada

penyakit diabetes mellitus. Hiperglikemia jenis ini diatasi dengan suntikan insulin atau

konsumsi obat antidiabetes seperti glibenklamid, metformin, dan lain-lain.Hiperglikemia

karena kondisi selain diabetes mellitus biasanya diatasi dengan cara mengobati penyebab

dasarnya, misalnya jika karena pil KB maka harus dihentikan pemakaiannya, atau jika terjadi

akibat stres, maka harus melakukan konsultasi.

4. Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada anak penderita DM tipe 1 dan yang

menjadi tujuan dari perawatan/asuhan keperawatannya.

Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul antara lain :

1. Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko kurang pengetahuan

tentang manajemen diabetes (mis., rencana tindakan), kurang manajemen diabetes (mis.,

rencana tindakan), serta manajemen medikasi.

2. Risiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan faktor risiko disfungsi endokrin

dan muntah.

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

ketidakmampuan menelan makanan ditandai dengan kurang minat pada makanan dan

ketidakmampuan memakan makanan.

4. Risiko infeksi dengan faktor risiko penyakit kronis (diabetes melitus)

5. Mual berhubungan dengan gangguan biokimia yaitu ketoasidosis diabetik, iritasi

lambung, dan nyeri yang ditandai dengan keengganan terhadap makanan, sensasi muntah,

dan melaporkan mual

6. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera kimia dan iritasi lambung yang ditandai

dengan perubahan selera makan, perubahan tekanan darah, dan perilaku distraksi

7. Ansietas dengan faktor risiko perubahan status kesehatan ditandai dengan gelisah,

ketakutan, bingung

8. Penurunan koping keluarga berhubungan dengan situasi penyerta yang memengaruhi

orang yang penting bagi klien dan kegelisahan sementara dari orang yang penting bagi

klien ditandai dengan orang terdekat menunjukkan perilaku protektif yang tidak sesuai

dengan kebutuhan otonomi klien

Tujuan dari perawatan/ asuhan keperawatannya:

1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan terkait diagnosa risiko ketidakstabilan kadar

glukosa darah dengan faktor risiko kurang pengetahuan tentang manajemen diabetes

(mis., rencana tindakan), kurang manajemen diabetes (mis., rencana tindakan), serta

manajemen medikasi, klien dan keluarga mendapatkan pemahaman tentang diabetes

melitus seperti perawatannya dan pencegahan komplikasi dengan kriteria hasil yaitu

dapat mengetahui penyebab dan faktor pendukung, dapat mengetahui gejala

hiperglikemia, dan dapat mencegah hiperglikemia.

2. Setelah dilakukan tindakan keperawatan terkait diagnosa risiko ketidakseimbangan

elektrolit berhubungan dengan faktor risiko disfungsi endokrin dan muntah, terjadi

keseimbangan elektrolit dalam tubuh dengan kriteria hasil yaitu serum kalium dan serum

klorin (skala 5).

3. Setelah dilakukan tindakan keperawatan terkait diagnosa ketidakseimbangan nutrisi

kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan

ditandai dengan kurang minat pada makanan dan ketidakmampuan memakan makanan,

terjadi keseimbangan nutrisi dalam tubuh dengan kriteria hasil pemasukan nutrisi (skala

5) dan pemasukan makanan (skala 4).

4. Setelah dilakukan tindakan keperawatan terkait diagnosa risiko infeksi dengan faktor

risiko penyakit kronis (diabetes melitus), resiko infeksi teratasi dengan kriteria hasil

peningkatan sel darah putih (skala 5).

5. Setelah dilakukan tindakan keperawatan terkait diagnosa mual berhubungan dengan

gangguan biokimia yaitu ketoasidosis diabetik, iritasi lambung, dan nyeri yang ditandai

dengan keengganan terhadap makanan, sensasi muntah, dan melaporkan mual, mual

pasien dapat diatasi dengan kriteria hasil keinginan makan klien meningkat (skala 5),

intake makanan klien meningkat.(skala 4), frekuensi muntah pasien berkurang. (skala 4),

intensitas muntah pasien berkurang.( skala 4) dan mengatasi agar tidak terjadi

pengurangan asupan cairan dan makanan. (skala 5)

6. Setelah dilakukan tindakan keperawatan terkait diagnosa nyeri akut berhubungan dengan

agens cedera kimia dan iritasi lambung yang ditandai dengan perubahan selera makan,

perubahan tekanan darah, dan perilaku distraksi, diharapkan rasa nyeri dapat berkurang

dengan kriteria hasil mampu menggunakan metode non farmakologi untuk mengurangi

rasa nyeri (skala 5), klien tidak mengeram dan menangis.(skala 4), kehilangan nafsu

makan dapat diatasi. (skala 4), dan memperbaiki toleransi makan pasien. (skala 4).

7. Setelah dilakukan tindakan keperawatan terkait dengan diagnosa ansietas dengan faktor

risiko perubahan status kesehatan ditandai dengan gelisah, ketakutan, bingung,

diharapkan ansietas pasien berkurang dan kenyamanan pasien meningkat dengan kriteria

hasil klien mengalami penurunan kegelisahan (skala 4), klien mengatakan tidak

mengalami ketakutan (skala 3), dan ketegangan wajah klien menurun (skala 3).

8. Setelah dilakukan tindakan keperawatan terkait dengan diagnosa penurunan koping

keluarga berhubungan dengan situasi penyerta yang memengaruhi orang yang penting

bagi klien dan kegelisahan sementara dari orang yang penting bagi klien ditandai dengan

orang terdekat menunjukkan perilaku protektif yang tidak sesuai dengan kebutuhan

otonomi klien, diharapkan keluarga pasien dapat mengatasi permasalahannya dengan

kriteria hasil meningkatkan dukungan dari anggota keluarga terdekat terhadap pasien

(skala 4) dan meningkatkan kepedulian keluarga terhadap pasien (skala 4)

5. Hipotiroid merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada anak. Berikut ini adalah

penjelasan mengenai:

a. Patofisiologi hipotiroid

Kelenjar tiroid membutuhkan iodine untuk sintesis dan mensekresi hormone tiroid. Jika

diet seseorang kurang mengandung iodine atau jika produksi dari hormone tiroid tertekan

untuk alasan yang lain, tiroid akan membesar sebagai usaha untuk kompendasi dari

kekurangan hormone. Pada keadaan seperti ini, goiter merupakan adaptasi penting pada suatu

defisiensi hormone tiroid. Pembesaran dari kelenjar terjadi sebagai respon untuk

meningkatkan respon sekresi pituitary dari TSH. TSH menstimulasi tiroid untuk mensekresi

T4 lebih banyak, ketika level T4 darah rendah. Biasanya, kelenjar akan membesar dan itu

akan menekan struktur di leher dan dada menyebabkan gejala respirasi disfagia.

Penurunan tingkatan dari hormone tiroid mempengaruhi BMR secara lambat dan

menyeluruh. Perlambatan ini terjadi pada seluruh proses tubuh mengarah pada kondisi

achlorhydria (penurunan produksi asam lambung), penurunan traktus gastrointestinal,

bradikardi, fungsi pernafasan menurun, dan suatu penurunan produksi panas tubuh.

Perubahan yang paling penting menyebabkan penurunan tingkatan hormone tiroid yang

mempengaruhi metabolisme lemak. Ada suatu peningkatan hasil kolesterol dalam serum dan

level trigliserida dan sehingga klien berpotensi mengalami  arteriosclerosis dan penyakit

jantung koroner. Akumulasi proteoglikan hidrophilik di rongga interstitial seperti rongga

pleural, cardiac, dan abdominal sebagai tanda dari mixedema.

Hormon tiroid biasanya berperan dalam produksi sel darah merah, jadi klien dengan

hipotiroidisme biasanya menunjukkan tanda anemia karena pembentukan eritrosit yang tidak

optimal dengan kemungkinan kekurangan vitamin B12 dan asam folat (Lukman and

Sorrensons, 1993: 1810; Rumaharbo, H, 1999).

b. Hipotiroid congenital

Definisi dan Klasifikasi

Hipotiroid artinya kekurangan hormon tiroid, yaitu hormon yangdikeluarkan oleh

kelenjar tiroid atau kelenjar gondok. Hipotiroid anak dapatdiklasifikasikan menjadi primer

dan sekunder, atau congenital dan didapat, sertamenetap dan transient.Hipotiroid dapat

diklasifikasikan menjadi :

1. Hipotiroidisme Kongenitala.

a. Hipotiroid Kongenital menetap 

b. Hipotiroid Kongenital transien

2. Hipotiroidisme Didapat (Acquired)

a. Hipotiroidisme Primer (kelainan pada kelenjar tiroid) 

b. Hipotiroidisme Sekunder (kelainan pada hipofisis)

c. Hipotiroidisme tersier (kelainan hipotalamus)

d. Resistensi Perifer terhadap kerja hormone tiroid

Hipotirod congenital merupakan penyebab retardasi mental yang terseringdan dapat

diobati. Disebabkan karena tidak adekuatnya produksi hormone tiroid pada bayi baru lahir

karena defek anatomik kelenjar tiroid, defisiensi yodium. Hipotiroid kongenital adalah

kekurangan hormon tiroid sejak dalam kandungan. kira-kira satu dari 3000 bayi lahir dengan

Hipotiroid kongenital, meskipun kelainan ini jarang tetapi mungkin saja terjadi pada bayi.

Hipotiroid kongenital ditemukan 1 dalam 2500 sampai dengan 4000, dan harus dapat segera

terdeteksi secara dini terutama pada saat bayi lahir atau dalam beberapa hari setelah bayi

dilahirkan (0 - 28 hari) segera setelah bayi terdiagnosis kemudian dilakukan terapi. Dari hasil

penelitian diketahui bahwa bayi anak dengan kelainan hipotiroid kongenital yang diobati

sebelum berusia tiga bulan mempunyai kemungkinan mencapai tingkat intelegensil IQ > 90

(normal) yaitu berkisar antara 75- 85%. Sedangkan yang diobati setelah berusia lebih dari

tiga bulan, 75% nya tetap menderita keterbelakangan mental atau dapat menjadi normal

namun dengan beberapa permasalahan antara lain kesulitan belajar, kelainan tingkah laku,

atau kelainan neurologist non spesifik. Hipotiroidisme pada masa anak, juga sering disebut

sebagai hipotiroidisme. Biasanya terjadi setelah usia 6 bulan, sebagian besar kelainan

inisporadic, hanya 10-15% kasus yang diturunkan, paling sering disebabkan oleh tiroiditis

Hashimoto, dan kejadiannya lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki, dengan

perbandingan 2:1. Pada usia sekolah, angka kejadiannya 0,33%,yang paling sering karena

tiroiditis limfositik kronik pada anak usia 12-19 tahun angka kejadiannya 6%

Etiologi

Etiologi hipotiroid congenital menetap

1. D isgenesis tiroid

Merupakan penyebab terbesar Hipotiroidisme Kongenital non endemik,kira-kira 85-90

%. Merupakan akibat dari tidak adanya jaringan tiroid total(agenesis) atau parsial

(hipoplasia) yang dapat terjadi akibat gagalnya penurunan kelenjar tiroid ke leher

(ektopik), disini dapat terjadi agenesisunilateral atau hipoplasia. Faktor genetik dan

lingkungan mungkin berperan pada disgenesis tiroid, namun demikian sebagian

besar  penyebabnya belum diketahui.

2. Inborn errors of tyroid hormonogenesis

Merupakan kelainan terbanyak kongenital karena kelainan genetik. Defek yang

didapatkan adalah :

Kegagalan mengkonsentrasikan yodium

Defek organifikasi yodium karena kelainan enzim TPOatau pada H2O2 generating

system

Defek pada sintesis atau transport triglobulin

Kelainan katifitas iodotirosin deidonase

3. Resisten TSH

Sindrom resistensi hormone, bermanifestasi sangat luas, sebagai akibatdari berkurang

atau tidak adanya respon terhadap hormone yang biologis aktif. Hal ini dapat

disebabkan karena defek pada reseptor atau post reseptor, TSH resisten adalah suatu

keadaan kelenjar tiroidrefakter terhadap rangsang TSH. Hilangnya fungsi reseptor

TSH , akibatmutasi reseptor TSH defek molekuler pada sebagian keluarga kasusdengan

resisten TSH yang ditandai dengan kadar serum TSH tinggi , danserum hormon tiroid

normal atau menurun, disertai kelenjar tiroid normalatau hipoplastik

4. Sintesis atau sekresi TSH berkurang

Hipotiroidism sentral disebabkan karena kelainan pada hipofisis atauhipotalamus. Pada

bayi sangat jarang dengan prevalensi antara 1 : 25.000sampai 1: 100.000 kelahiran.

5. Menurunnya transport T4 seluler

Sindrom ini terjadi akibat mutasi monocarboxylate transporter 8 (MCT8),merupakan

fasilitator seluler aktif transport hormone tiroid ke dalam sel. Biasanya pada laki laki

menyababkan hipotiroidisme dengan kelainanneurologi seperti kelambatan

perkembangan menyeluruh, distonia hipotoniasentral , gangguan pandangan mata serta

kadar T3 meningkat.

6. Resisten hormone tiroid

Merupakan sindrom akibat dari tidak responsifnya jaringan target terhadap hormone

tiroid, ditandai dengan meningkatnya kadar FT4 dan FT3 dalam sirkulasi dengan kadar

TSH sedikit meningkat atau normal.

Etiologi hipotiroid congenital transien :

1 Defisiensi yodium atau yodium yang berlebihan

Pada janin maupun pada bayi yang baru lahir sangat peka pengaruhnya pada tiroid,

sehingga harus dihindarkan penggunannya yodium pada ibu selama kehamilan, sumber

sumber yodium termasuk obat-obatan (kalium yodia, amidarone), bahan kontras

radiologi( untuk pyelogram intra vena,cholecytogram) dan larutan antiseptic (yodium

povidon) yang digunakan membersihkan kulit dan vagina, dapat berpengaruh.

2 Pengobatan ibu dengan obat antitiroid

Dapat terjadi pada ibu yang diberikan obat antitiroid (PTU atau karbimasol atau

metimasil) untuk penyakit graves, bayinya ditandai oleh pembesaran kelenjar tiroid,

sehingga dapat mengakibatkan gangguan prnafasan,khususnya bila diberikan obat yang

dosisnya tinggi.

3 An t ibody r e spon t i r o t rop in i bu

Reseptor TSH (TSHR) meruoakan pasangan protein G merupakan reseptor  berbentuk

seperti jangkar terhadap permukaan sel epitel tiroid (Tirosid) yang mengatur sintesis

dan lepasnya hormone tiroid. bila memblok TSH endogen dapat mengakibatkan hipo

tiroidisme.

Manifestasi klinik

Gejala hipotiroid sangat bervariasi tergantung berat ringannya kekuranganhormon

tiroid. seringkali pada minggu-minggu pertama setelah lahir, bayi nampak normal atau

memperlihatkan gejala tidak khas seperti kesulitan bernafas, bayikurang aktif, malas

menetek, ikterik berkepanjangan, hernia umbilikalis, kesulitan buang air besar,

kecenderungan mengalami hipotermi. Bila tidak segeradiobati(sebelum bayi berumur 1

bulan) akan terlihat gejala hambatan pertumbuhan dan perkembangan anak berpenampilan

jelek.Tubuh pendek (cebol), muka hipotiroid yang khas, muka sembam, lidah besar, bibir

tebal, hidung pesek, mental terbelakang, bodoh (IQ dan EQ rendah),kesulitan bicara. Agar

bayi tidak mengalami keadaan demikian, satu-satunya cara untuk mengetahui kelainan

hipotiroid kongenital sedini mungkin dan segera mengobatinya adalah dengan tes skrining.

Gejala non spesifik yang menyokong yaitu umur kehamilan lebih dari 42 minggu, kesulitan

meminum, konstipasi, hipotermia atau distress respirasi pada bayi dengan berat lebih dari

2.500 kg. bayi yang lahir dengan hipotiroidime congenital pada saat lahir ukurannya normal,

namun demikian bila mana diagnosis terlambat maka akan terjadi gagal tumbuh.

Apabila ditemukan jaringan tiroid pada palpasi menyokong adanya kelainan

hormogenesis kerja hormone tiroid. Pengenalan skrining rutin terhadap bayi baru lahir untuk

TSH dan Tq telah menjadi keberhasilan besar dalam diagnosis dini hipotiroidisme neonatus.

T4 serum di bawah 6 µg/dL atau TSH serum di atas 30 μU/mL indikatif adanya

hipotiroidisme neonatal. Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan bukti radiologis adanya

retardasi umur tulang. Hipotiroidisme pada anak-anak ditandai adanya retardasi

pertumbuhan dan tanda-tanda retardasi mental. Pada remaja, pubertas prekok dapat terjadi,

dan mungkin ada pembesaran sella tursika di samping postur tubuh pendek. Hal ini tidak

berhubungan dengan tumor hipofisis tapi mungkin berhubungan dengan hipertrofi hipofisis

yang berhubungan dengan produksi TSH berlebihan.

c. Skrining hipotiroid congenital

Aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid pada janin mulai berfungsi pada pertengahan

kehamilan dan mulai matur pada saat dilahirkan aterm. Bila terjadi hipotiroidisme pada  janin,

dapat terjadi efek yang tidak menguntungkan pada beberapa sistem organ, termasuk sistem

syaraf pusat dan tulang. Namun demikian, sebagian besar bayi hipotiroidisme kongenital pada

saat lahir tampak normal. Data terakhir mendukung  bahwa hipotiroidisme pada janin

diproteksi oleh adanya transfer hormon tiroid dari ibu melalui plasenta. Kadar serum tiroksin

(T4) dalam darah talipusat janin atiroid kira-kira 1/3 kadar ibunya. Pada penelitian

hipotiroidisme dengan model binatang dapat ditunjukkan adanya kenaikan kadar iodotiroksin

deiodinase otak, ensim ini mengkonversi T4 menjadi T3. Pada janin hipotiroid, kenaikan

ensim yang bekerja pada T4 yang berasal dari ibu cukup untuk memproduksi kadar T3 di otak

mendekati normal. Sehingga deteksi dan terapi dini hipotiroidisme kongenital potensial dapat

mengembalikan hipotiroid pada janin secara total pada hampir semua kasus, kecuali pada

kasus yang sangat berat, misalnya pada bayi atiroitik yang lahir dari ibu dengan problem

tiroid sehingga menyebabkan transfer hormon tiroid melalui plasenta tidak adekuat. Sejak

berkembangnya program skrining untuk hipotiroidisme kongenital di Quebec dan Pittsburgh

pada tahun 1974, skrining hipotiroidisme kongenital pada bayi baru lahir menjadi rutin dan

sangat penting untuk semua negara yang sudah berkembang diseluruh dunia dan negara-

negara sedang berkembang di Eropa Timur, Amerika Selatan, Asia dan Afrika. Di Amerika

utara diperkirakan lebih dari 5 juta bayi baru lahir dilakukan skrining, kira-kira 1400 bayi

hipotiroidisme kongenital terdeteksi setiap tahun.

Program skrining disamping menguntungkan pasien dan keluarganya juga menghasilkan

informasi  baru tentang epidemiologi, patofisiologi, diagnosis dan pengobatan penyakit tiroid

pada  bayi dan anak. Dalam periode tersebut terjadi implementasi dan berkembangnya

program skrining, termasuk pendekatan skrining yang optimal, pemantauan bayi dengan T4

rendah dan TSH normal yang didapatkan pada saat skrining, peran autoimunitas sebagai

etiologi dari penyakit, dan pengobatan optimal yang diberikan sehingga anak dapat

berkembang normal bila penyakitnya terdeteksi dini. Seperti diketahui hipotiroidisme

kongenital dapat menyebabkan retardasi mental, kecuali apabila mendapatkan  pengobatan

sebelum usia dua minggu. Karena sebagian besar hipotiroidime kongenital tidak dapat

dideteksi secara klinis pada saat lahir, maka diperlukan program skrining. Metoda Skrining

hipotiroidisme kongenital dilakukan dengan mengambil tetesan darah bayi pada usia 1 – 4

hari, bila tidak ada hambatan sebaiknya tetes darah diambil pada hari ke 4 – 5 diteteskan pada

kertas filter kering, kemudian sampel dikirim ke laboratorium yang sudah ditentukan. Ada 4

strategi skrining untuk mendeteksi hipotiroidisme kongenital, namun tenaga kesehatan harus

hati-hati akan keunggulan dan keterbatasan setiap metoda.

1. Pemeriksaan awal T4, diikuti dengan pemeriksaan TSH, bila kadar T4 rendah. Sebagian

besar program di Amerika Utara menggunakan pendekatan ini. Pertama diambil tetes

darah dengan kertas filter untuk pemeriksaan kadar T4, diikuti dengan pemeriksaan TSH

dengan kertas filter bila kadar T4 rendah. Semua bayi dengan kadar T4 rendah, dan kadar

TSH lebih dari 40 mU/L, harus dipertimbangkan sebagai hipotiroidisme kongenital dan

harus segera dilakukan tes konfirmasi. Pemberian pengobatan tidak usah menunggu hasil

tes konfirmasi. Bila kadar TSH meningkat namun kurang dari 40 mU/L, harus dilakukan

pemeriksaan ulang dengan sampel baru. Kira-kira 10% bayi hipotiroidisme kongenital,

didapatkan kadar TSH antara 20 – 40 mU/L. Dengan  pendekatan ini dapat mendeteksi

bayi dengan hipotiroidisme primer (T4 rendah atau normal rendah dan kadar TSH

meningkat), prevalensi secara keseluruhan 1 dari 4000  bayi. Beberapa bukti mendukung

hipotiroidisme kongenital lebih prevalen pada bayi “Hispanic” dan Amerika asli,

prevalensinya rendah pada bayi kulit hitam. Dengan melihat kadar T4, maka dapat

mengidentifikasi bayi dengan defisiensi TBG atau hipotiroidisme hipotalamus-hipofisis

(Kadar T4 rendah atau normal rendah dengan kadar TSH normal; prevalensinya berturut-

turut 1/5000-10.000 dan 1/50.000 bayi). Bila didapatkan kadar T4 tinggi juga dapat

mengidentifikasi bayi dengan hipertiroksiemia (1/20.000 – 1/40.000 bayi baru lahir).

Untuk memastikan identifikasi bayi dengan hipotiroidisme kongenital didapatkan kadar

T4 normal rendah dan kadar TSH tinggi. “Recall rate” dengan program ini 0,05% sama

dengan skrining dengan pemeriksaan TSH saja.

2. Pemeriksaan awal TSH, diikuti dengan pemeriksaan T4 bilamana kadar TSH tinggi.

Sebagian besar program di Eropa dan Jepang menggunakan metoda ini. Pertama-tama

diperiksa TSH, bilamana didapatkan kadar TSH tinggi maka diperiksa kadar T4. Dengan

pendekatan ini, bayi dengan defisiensi TBG, hipotiroidisme hipotalamus-hipofisis dan

hipotiroksinemia dengan kelambatan kenaikan TSH tidak dapat terdeteksi. Pada

penelitian sebelumnya di Quebec yang membandingkan pemeriksaan T4 dan TSH

bersama-sama, dari 93.000 bayi yang di skrining dengan pemeriksaan TSH, dua kasus

hipotiroidisme kongenital yang didiagnosis salah dapat dideteksi dengan

pemeriksaan pertama dengan T4 [34]. ”Recall rate” dengan pendekatan ini kira-kira

0,05%. Dengan teknik pemeriksaan TSH terbaru dengan “enzymelink immunoassay”,

“chemiluminescent assay”, dan “fluoroimmunoassay”, pemeriksaan ini lebih canggih

dibanding dengan  pemeriksaan yang tidak menggunakan label radioaktif dan

sensitifitasnya lebih bagus dan dapat membedakan kadar TSH normal dan abnormal

dengan baik. Sehingga banyak  program skrining yang menggunakan pendekatan pertama

mempertimbangkan untuk  berganti dengan pemeriksaan TSH. Namun demikian, dengan

kecenderungan memulangkan bayi dan ibu seawal mungkin, maka perubahan pendekatan

ini juga merupakan problem. Akhir-akhir ini lebih dari 25% ibu dan bayinya dipulangkan

dari rumah sakit pada 24 jam pertama dan 40% pada 24 jam kedua kelahirannya,

sehingga  pengambilan spesimen dilakukan sebelum usia bayi 48 jam, pada saat ini kadar

TSH normal lebih dari 20 mU/L. Dengan demikian menyebabkan “recall rate” tinggi

pada kelompok ini. Pengalaman menggunakan pemeriksaan TSH dengan teknik

pemeriksaan terbaru pada bayi yang dipulangkan awal dari rumah sakit, diperlukan untuk

mengurangi “recall rate” tetapi mungkin pada beberapa kasus dapat terjadi negatif palsu.

3. Kombinasi pemeriksaan T4 dan TSH

Dalam beberapa tahun kedepan, metoda pemeriksaan T4 dan TSH secara simultan dapat

dilakukan. Metoda ini merupakan program skrining yang paling ideal. Dengan metoda ini

diagnosis dapat cepat dibuat dalam waktu 48 jam tanpa kelambatan pengobatan.

4. Kombinasi T4-TSH-TBG Kempers, dkk (2006) dalam penelitiannya antara 1 April 2002

sampai 31 Mei 2004 yang melibatkan 430.764 bayi dilakukan skrining menggunakan

metoda T4-TSH-TBG, menyimpulkan bahwa dengan metoda ini sangat efisien untuk

mendeteksi hipotiroidisme kongenital dengan berbagai etiologi baik primer maupun

sentral dan berbagai derajat  beratnya penyakit, walaupun masih ada yang lolos dari

skrining dalam persentase yang sangat kecil. Positif palsu didapatkan pada penyakit berat

dan defisiensi TBG. Dengan tambahan pemeriksaan TBG, tidak banyak meningkatkan

biaya skrining.  Namun demikian, tenaga kesehatan harus waspada akan keterbatasan

masing-masing metoda skrining, walaupun tidak ada kesalahan teknik dan kesalahan

manusia, penelitian sebelumnya mendapatkan kira-kira 5 – 10 % bayi hipotiroidisme

kongenital didapatkan kadar hormon yang normal.

Hasil skrining dan tindak lanjut

Setelah ada hasil pemeriksaan dari otoritas atau lembaga laboratorium yang melakukan

tes, mereka bertanggung jawab mengirimkan kembali hasil tes skrining pada dokter atau

rumah sakit yang melakukan skrining. Dianjurkan hasil tes skrining dimasukkan ke dalam

catatan medik pasien. Bila ditemukan hasil penyaringan abnormal, dokter  penanggung jawab

harus segera diberitahu agar dapat melakukan tindak lanjut. Jika dokter yang merawat tidak

ada atau tidak dapat menemukan bayi tersebut, maka harus segera memberitahu pada

laboratorium skrining. Dalam keadaan seperti ini, dinas kesehatan setempat seringkali dapat

membantu menemukan alamat bayi tersebut untuk memastikan bahwa mereka tidak hilang

untuk dilakukan tindak lanjut. Dalam melakukan skrinning perlu dilakukan pengambilan

darah.

Menurut kementrian RI pengambilan specimen darah yang paling ideal adalah ketika bayi

berumur 48 sampai 72 jam. Oleh karenanya perlu kerjasama dengan dokter spesialis anak

(Sp.A), dokter umum dan bidan yang menolong persalinan untuk pengambilan specimen

darah bayi yang baru dilahirkan pada hari ketiga. Ini berarti ibu dapat dipulangkan setelah 48

jam pasca melahirkan (perlu koordinasi dengan penolongan spesialis) namun, pada keadaan

tertentu pengambilan darah masih bisa ditolerir antara 24-48 jam. Sebaliknya darah tidak

diambil dalam 24 jam pertama setelah lahir karena pada saat itu kadar TSH masih tinggi,

sehingga akan memberikan sejumlah hasil positif palsu. Jika bayi sudah dipulangkan sebelum

24 jam, maka specimen perlu diambil pada kunjungan neonatal ke-2 (KN2) melalui

kunjungan rumah atau pemanggilan pasien ( kemkes, 2012).

d. Kebijakan pemerintah untuk penanganan hipotiroid kongenital

Menyikapi masalah Hipotiroid Kongenital yang banyak dialami oleh anak Indonesia,

pemerintah telah melakukan berbagai penanganan melalui beberapa program diantaranya

program utama yaitu dengan mengadakan Skrinning yang wajib dilakukan kepada bayi yang

baru lahir (minimal 24 jam setelah kelahiran) untuk mengetahui apakah bayi mengalami

hipotiroid atau tidak. Kebijakan pemerintah tentang mengadakan Skrinning untuk bayi baru

lahir ini sangat baik untuk dilakukan karena dengan adanya deteksi dini maka dapat segera

dilakukan penanganan yang tepat sehingga mengurangi risiko gangguan tumbuhkembang

yang dapat dialami anak karena penyakit kongenital dan dapat pua mengurangi risiko anak

mengalami retardasi mental karena retardasi mental merupakan salah satu akibat dari penyakit

hipotiroid kongenital. Selain dengan Skrinning untuk mendeteksi dini Hipotiroid Kongenital,

pemerintah juga pernah mengadakan program jangka pendek dengan pemberian kapsul

iodium, dan jangka panjang dengan garam beriodium, seperti pada Kabupaten Magelang,.

Akan tetapi berlawanan dengan program tersebut, hasil penelitian menunjukan bahwa telah

muncul adanya kasus hipertiroid, sehingga pemerintah menghentikan suplementasi kapsul

iodium. Kabupaten Magelang menyikapi kebijakan tersebut dengan melakukan pemberian

kapsul iodium secara selektif, namun dari survei ke 29 puskesmas ada 2 kebijakan yang

dilaksanakan oleh para pelaksana yaitu stop pemberian kapsul iodum dan pemberian kapsul

iodium secara selektif. (Styawan Heriyanto, 2013).

6. Sebagian besar hipertiroid pada anak dipengaruhi oleh penyakit Grave yang dihubungkan

dengan pembesaran kelenjar tiroid dan eksolftalmus.

a) Intervensi keperawatan untuk mengidentifikasi anak yang menderita hipertiroid

Pengkajian keperawatan untuk mengidentifikasi anak yang menderita hipertiroid adalah :

a. Aktifitas dan istirahat.

Gejala : Insomnia, sensitivitas meningkat ; Otot lema, gangguan koordinasi ;

Kelelahan berat

Tanda : Atrofi otot

b. Sirkulasi

Gejala        : Palpitasi, nyeri dada ( angina )

Tanda        : Disritmia ( vibrilasi atrium ), irama gallop, murmur ; Peningkatan tekanan

darah dengan tekanan nada yang berat, takikardia ; Sirkulasi kolaps, syok ( krisis

tirotoksikosis )

c. Integritas Ego

Gejala     : Mengalami stress yang berat baik emosional maupun fisik

Tanda     : Emosi labil ( euforia sedang sampai delirium ), depresi

Pengkajian pada pasien hipertiroid juga bisa di lakukan dengan pemeriksaan fisik per

system meliputi :

a) Pernafasan B1 (breath)

Disini di kaji frekuensi pernafasan dan kedalaman nafas. Pada pasien hipertiroid akan

di jumpai tanda gejala pada system pernafasan seperti : sirkulasi kolaps, syok (krisis

tirotoksikosis), frekuensi pernafasan meningkat, dipneu, dipsneu,dan edema paru

b) Kardiovaskular B2 (blood)

Disini di kaji frekuensi jantung, tekanan darah, bunyi jantung serta denyut nadi di

perifer. Pada pasien hipertiroid akan di jumpai tanda gejala pada system

kardiovaskular seperti : hipertensi, aritmia, palpitasi, gagal jantung, limfositosis,

anemia, splenomegali, leher membesar

c) Persyarafan B3 (brain)

Pada system persyarafan dikaji respon pasien. Pada pasien hipertiroid akan di jumpai

tanda gejala pada system persyarafan seperti : Bicaranya cepat dan parau, gangguan

status mental dan perilaku, seperti: bingung, disorientasi, gelisah, peka rangsang,

delirium,psikosis, stupor, koma, tremor halus pada tangan, tanpa tujuan, beberapa

bagian tersentak – sentak, hiperaktif refleks tendon dalam (RTD).

d)  Perkemihan B4 (bladder)

Pada sistem perkemihan, pengkajian dapat di lakukan meliputi pengkajian pola BAK

dari pasien, warna, serta frekuensi BAK dari pasien serta mengkaji fungsional dari

genitalia pasien. Pada pasien hipertiroid akan di jumpai tanda gejala pada system

perkemihan seperti :oligomenorea, amenorea, libido turun, infertil, ginekomasti

e) Pencernaan B5 (bowel)

Pada system pencernaan, pengkajian di lakukan meliputi pengkajian berat badan,

nafsu makan, frekuensi serta porsi makan. Pada pasien hipertiroid akan di jumpai

tanda gejala pada system pencernaan seperti : Kehilangan berat badan yang mendadak,

nafsu makan meningkat, makan banyak, makannya sering, mual dan muntah.

f) Muskuloskeletal/integument B6 (bone)

Pada system musculoskeletal biasanya di kaji pola aktifitas pasien. Pada pasien

hipertiroid akan di jumpai tanda gejala pada system muskuloskeletal seperti :rasa

lemah dan kelelahan

b) Asuhan keperawatan sebelum pembedahan dan setelah pembedahan

a. Asuhan Keperawatan Pra Pembedahan Pada Pasien Hipertiroid. Berikut diagnose yang

besar kemungkinanya muncul pada pasien pra pembedahan sekaligus intervensi yang

dapat di lakukan :

No Diagnosa Intervensi

1 Defisiensi pengetahuan

berhubungan dengan kurang

pajanan informasi

NIC Label : Teaching Disease Process

1. Informasikan pada klien proses terjadinya

penyakit

2 Ansietas berhubungan dengan

perubahan status kesehatan.

NIC Label : Anxiety Reduction

1. Mmeberikan informasi factual mencakup

diagnosis, perawatan serta prognosis.

3 Ketidakefektifan koping

berhubungan dengan derajat

ancaman tinggi. ( pembedahan)

NIC Label : Coping Enhancement

1. Instruksikan pasien untuk menggunakan

teknik relaksasi.

Penatalaksaan Pra Pembedahan dalam Brunner & Suddarth, 2001 (hal. 1317-1318) meliputi :

a. Farmakoterapi

Sebelum di lakukan pembedahan untuk penanganan hipertiroid , pasien ditangani

dahulu dengan terapi obat dimana disini fungsinya untuk mengembalikan kadar hormon

tiroid serta angka metabolicnya pada keadaan normal dan untuk mengurangi resiko

timbulnya krisis tirotoksik serta perdarah selama periode pasca operasi.

b. Pengurangan Ansietas

Salah satu pendekatan paling penting dalam periode pra operative adalah

mendapatkan kepercayaan dari pasien dan mengurangi tingkat kecemasan pasien. Disini

perawat melindungi pasien dari ketegangan dan stress, dan bantu pasien agar merasa

tenang dan rilex. Stress akan memicu perdarahan selama operasi karena tekanan darah

akan meningkat apabila pasien tegang dan stress.

c. Dukungan Nutrisi

Asupan nutrisi dimodifikasi agar mencakup makanan sumber karbohidrat dan

protein yang memadai. Asupan kalori yang tinggi setiap hari diperlukan akibat

meningkatnya aktivitas metabolic dan penurunan simpanan glikogen.

d. Persiapan Pra Operatif

Jika pemeriksaan diagnostic dilakukan sebelum pembedahan, maka beritahukan

pasien tujuan pemeriksaan tersebut dan persiapan pra operatif yang diperkirakan dapat

mengurangi kecemasan.

e. Pendidikan Pasien

Pelajaran yang harus di berikan sebelum pembedahan mencakup teknik nafas

dalam tujuannya disini untuk merelakskan pasien. Selanjutnya perlihatkan cara

menyangga leher dengan kedua belah tangan untuk mengurangi tarikan pada luka insisi

sesudah pembedahan yaitu dengan mengangkat siku dan meletakkan kedua belah tangan

di belakang leher sehingga memberikan efek menyangga dan mengurangi tarikan dan

regangan pada otot leher dan luka insisi.

b. Asuhan Keperawatan Pasca Pembedahan Pada Pasien Hipertiroid. Berikut diagnose yang

besar kemungkinanya muncul pada pasien pasca pembedahan sekaligus intervensi yang

dapat di lakukan :

NO Diagnosa Intervensi

1 Nyeri akut berhubungan

dengan agen cedera fisik

NIC Label : Pain Management

1. Kaji tanda-tanda adanya nyeri

baik verbal maupun non

verbal, catat lokasi intensitas

(skala 0-10) dan lamanya

2. Letakkan pasien dalam posisi

semi fowler dan sokong

kepala/leher dengan bantal

pasir atau bantal kecil

2 Resiko infeksi berhubungan

dengan prosedur invasif

NIC Label : Infection Protection

1. Inspeksi keadaan luka

pembedahan.

NIC Label : Infection Control

1. Bersihkan peralatan sesudah

di gunakan oleh pasien

2. Cuci tangan sebelum atau

setelah setiap pasien

beraktifitas

3 Resiko perdarahan dengan

factor resiko efek samping

terkait terapi pembedahan.

NIC Label : Bleeding Precaution

1. Lindungi pasien dari trauma

yang menyebabkan terjadinya

perdarahan

2. Memantau tanda-tanda vital

osthostatik pasien termasuk

tekanan darah pasien

4 Kerusakan integeritas kulit

berhubungan dengan factor

mekanik ( luka bedah )

NIC Label : Presure management

1. Jaga kebersihan kulit agar

tetap bersih dan kering

2. Monitor aktivitas dan

mobilisasi pasien

3. Monitor status nutrisi pasien

5 Resiko aspirasi dengan factor

resiko pembedahan leher

NIC Label : Aspiration

Precaution

1. Mempertahankan jalan nafas

agar tetap efektif

Penatalaksanaan Pasca operatif meliputi :

1. Posisi pasien menjadi focus setelah operasi. Posisi yang tepat adalah posisi semi fowler

dimana kepala agak di tinggikan dan di sangga dengan bantal

2. Di berikan analgesic untuk mengurangi nyeri pasca operasi

3. Pasien dapat di berikan oksigen untuk memudahkan pernafasan. Disini perawat berperan

untuk mengurangi kecemasan pasien dan memberitahukan bahwa pemberian oksigen

akan membantu pasien untuk bernafas dan menjaga kelembapan

4. Untuk menghindari infeksi, maka dilakukan pengkajian secara perodeik terhadap kassa

penutup luka serta dikuatkan kembali pemasangannya bila diperlukan.

5. Cairan infus dapat diberikan selama periode pasca operatif.

6. Pantau TTV pasien untuk mengidentifikasi segera apabila ada indikasi terjadinya

perdarahan internal.

7. Pada pasien pasca operatif ini akan mengalami komplikasi kesulitan pernafasan. Maka

diperlukan intervensi untuk mempertahankan jalan nafas agar tetap efektif. Selain itu

anjurkan pasien untuk tidak terlalu banyak mengeluarkan suara.

8. Penatalaksanaan terakhir pada periode pasca operatif adalah pendidikan pasien dan

pertimbangan perawatan di rumah. Perawat menjelaskan keharusan pasien banyak

beristirahat, relaksasi dan pemenuhan kebutuhan nutrisi. Informasi yang spesifik

mengnenai kunjungan tindak lanjut ke dokter atau ke klinik harus di sampaikan untuk

mengontrol keadaan tiroid pasien

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14261/1/09E01053.pdf (diakses tanggal 30

September 2014)

http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream/123456789/1787/2/BK2012-395.pdf (diakses

tanggal 30 september 2014)

http://www.academia.edu/6645142/KELAINAN_TIROID_MASA_BAYI (diakses tanggal 30

september 2014)

NANDA International. 2012. Diagnosis Keperawatan 2012-2014. Jakarta : EGC.

Nursing Intervention Classification ( NIC ), ed 5.

Nursing Outcomes Classification ( NOC ), ed 5.