SGD DM Tipe 1 Dan HipoHiper Pada Anak
description
Transcript of SGD DM Tipe 1 Dan HipoHiper Pada Anak
SISTEM ENDOKRIN
Topik: Asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan system endokrin
1. Masalah apa saja yang mungkin timbul pada remaja penderita DM tipe 1? Intervensi apa
yang bisa dilakukan oleh perawat?
2. Pada penderita DM tipe 1 akan sering mengalami nyeri yang disebabkan tindakan
penusukan pada pemantauan glukosa darah. Jelaskan asuhana traumatik yang dilakukan
untuk meminimalkan nyeri pada pemantauan glukosa darah tersebut
3. Jelaskan mengapa hiperglikemia dan hipoglikemia merupakan kasus kegawatdaruratan?
Bagaimana penatalaksanaannya?
4. Sebutkan diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada anak penderita DM tipe 1
dan apakah yang menjadi tujuan dari perawatan/asuhan keperawatannya
5. Hipotiroid merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada anak. Jelaskan
mengenai:
a. Patofisiologi hipertiroid
b. Hipotiroid kongenital
c. Skrining hipotiroid kongenital
d. Kebijakan pemerintah untuk penanganan hipotiroid kongenital
6. Sebagian besar hipertiroid pada anak dipengaruhi oleh penyakit Grave yang dihubungkan
dengan pembesaran kelenjar tiroid dan eksolftalmus. Jelaskan mengenai:
a. Intervensi keperawatan untuk mengidentifikasi anak yang menderita hipertiroid
b. Asuhan keperawatan sbelum pembedahan dan setelah pembedahan
1. Masalah yang mungkin timbul pada remaja penderita DM tipe 1
Pengidap diabetes tipe 1 memperlihatkan beberapa masalah salah satunya yakni adanya
ketidakstabilan kadar glukosa darah. Namun, pada beberapa tahun lalu, diabetes tipe 1
dianggap sebagai penyakit yang terjadi tiba-tiba dengan sedikit gejala atau tanda peringatan.
Akan tetapi, saat ini, diabetes tipe 1 adalah penyakit berkembang secara perlahan selama
beberapa tahun, dengan adanya autoantibodi terhadap sel-sel beta dimana terjadi destruksi yang
terjadi secara terus-menerus pada diagnosis lanjut. Pada saat diagnosis tipe 1 ditegakkan,
biasanya pankreas sedikit atau tidak mensekresikan insulin, dan lebih dari 80% sel beta
pankreas telah dihancurkan. Kadar glukosa darah meningkat karena tanpa insulin glukosa tidak
dapat masuk ke sel. Pada saat yang sama, hati mulai melakukan glukoneogenesis (sintesis
glukosa baru dengan memecah produk lain selain karbohidrat) menggunakan substrat yang
tersedia seperti asam amino, asam lemak dan glikogen. Substrat-substrat ini mempunyai
konsentrasi yang tinggi dalam sirkulasi karena efek katabolik glukagon tidak dilawan oleh
insulin. Hal ini yang menyebabkan sel-sel mengalami kelaparan walaupun kadar glukosa darah
sangat tinggi. Hanya sel otak dan eritrosit yang tidak mengalami kekurangan glukosa karena
keduanya tidak memerlukan insulin untuk memasukkan glukosa (Corwin, 2009).
Pada penderita diabetes tipe I, tanda dan gejala bisa timbul secara tiba-tiba dan
berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis
diabetikum. Kadar gula di dalam darah tinggi, akan tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat
memasukkan glukosa ke dalam sel tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari
sumber yang lain. Akibatnya, lemak dipecah dan menghasilkan keton yang merupakan senyawa
kimia yang bersifat toksik dan dapat menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala
awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus yang berlebihan (polidipsi) dan berkemih
dengan volume urine yang berlebihan (poliuria), mual, muntah, kelelahan, dan nyeri abdomen
(terutama pada anak-anak dan remaja). Pernapasan menjadi dalam dengan frekuensi cepat
karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau napas penderita tercium
seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, terkadang dalam beberapa jam setelah gejala muncul,
ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma. Bahkan, setelah menjalani terapi
insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali
penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakaan atau penyakit yang serius
(Mahdiana, 2010).
Selain permasalahan yang dijelaskan di atas, terdapat masalah-masalah lain yang
biasanya ditemukan dari pengkajian pada klien usia remaja dengan diabetes mellitus tipe 1.
Pola dan gaya hidup penderita (remaja) akan berubah dengan adanya diabetes mellitus tipe.
Gordon telah mengembangkan 11 pola fungsi kesehatan yang dapat digunakan untuk
mengetahui perubahan tersebut. Adapun masalah-masalah lain yang dapat muncul pada remaja
yang mengidap diabetes mellitus tipe 1, diantaranya:
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien diabetes mellitus tipe 1 terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup
sehat karena kemungkinan muncul rasa bosan untuk peduli terhadap kesehatannya, sehingga
dapat menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya akibat kecenderungan untuk tidak
mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama. Oleh karena itu, perlu adanya
penjelasan yang benar dan mudah diterima pasien.
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Akibat ketidakadekuatan sel-sel beta pancreas untuk menyekresikan insulin (defisiensi
insulin), kadar gula darah tidak dapat dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan sering
kencing, banyak makan, banyak minum, berat badan menurun dan mudah lelah. Keadaan
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat
mempengaruhi status kesehatan penderita.
3. Pola eliminasi
Adanya kemungkinan remaja tidak patuh terhadap jadwal obat hipoglikemia oral
maupun terhadap jadwal penyuntikan insulin, dapat mengakibatkan hiperglikemia sehingga
mengakibatkan kekentalan darah meningkat karena tingginya kadar glukosa di dalam darah.
Hal ini dapat menimbulkan suatu komplikasi berupa menurunnya kemampuan saraf-saraf
pada nefron untuk filtrasi yang mengakibatkan adanya glukosa dalam urin. Hal ini akan
menyebabkan diuretik osmosis. Pasien dengan diuretic osmosis akan mengalami gejala
sering kencing (poliuri) dan pengeluaran glukosa pada urine (glukosuria).
4. Pola tidur dan istirahat
Adanya poliuri, serta mual dan muntah akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas
istirahat tidur remaja pengidap diabetes mellitus 1. Hal tersebut mengakibatkan pola tidur
dan waktu tidur penderita mengalami perubahan.
5. Pola aktivitas dan latihan
Adanya suplai darah yang kurang ke perifer mengakibatkan kelemahan otot – otot pada
tungkai bawah dan menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari
secara maksimal. Akibatknya, penderita mudah mengalami kelelahan.
6. Pola hubungan dan peran
Salah satu komplikasi dari diabetes mellitus yaitu terjadinya luka gangren atau kaki diabetes
yang sukar sembuh dan berbau. Hal ini akan menyebabkan penderita malu dan menarik diri
dari pergaulan serta mengganggu perannya dalam pergaulan maupun kehidupan sehari-hari.
7. Pola sensori dan kognitif
Pasien usia remaja dengan diabetes mellitus tipe 1 memiliki kemungkinan tidak patuh obat
(atau penyuntikan insulin) maupun kehilangan kedisiplinan terhadap kesehatannya cenderung
memiliki risiko mengalami neuropati atau mati rasa, sehingga tidak peka terhadap adanya
trauma.
8. Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita mengalami
gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan
pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada diri
sendiri dan keluarga (self esteem).
9. Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga
menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi
dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Pada kenyataannya, sebagian remaja terutama
laki-laki cenderung melakukan masturbasi untuk melakukan pemuasan terhadap hasrat
seksual. Komplikasi angiopati terutama pada organ seksual yang terjadi tentunya akan
mempengaruhi hal tersebut.
10. Pola mekanisme stres dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, perasaan tidak berdaya karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan,
mudah tersinggung dan lain-lain, dapat menyebabkan penderita diabetes mellitus usia remaja
tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif atau adaptif. Hal ini dapat
saja berakibat pada kemungkinan menyakiti diri sendiri bahkan risiko bunuh diri.
11. Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta komplikasi berupa luka
pada kaki, tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi mempengaruhi
pola ibadah dan konsentrasi ibadah penderita.
Dampak pada keluarga
Selain adanya dampak pada remaja pengidap diabetes mellitus tipe 1, akan berdampak pula
terhadap koping dan psikologis keluarga. Dengan adanya salah satu anggota keluarga yang sakit,
terlebih lagi sempat dirawat di rumah sakit karena adanya kemungkinan hipoglikemia, akan
muncul bermacam-macam reaksi psikologis dari keluarga. Hal ini disebabkan karena masalah
kesehatan yang dialami oleh seorang anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh anggota
keluarga. Waktu perawatan yang lama dan biaya untuk memenuhi kebutuhan insulin baik itu
melalui penyuntikan maupun obat oral akan mempengaruhi keadaan ekonomi keluarga dan
perubahan peran pada keluarga karena salah satu anggota keluarga tidak dapat menjalankan
perannya. Terlebih lagi, jika pasien remaja pengidap diabetes mellitus tipe 1 tersebut dilahirkan
di keluarga yang memiliki harapan tinggi terhadap keberhasilan seorang anak. Hal ini akan
semakin berisiko menciptakan reaksi psikologis yang negatif dan koping yang destruktif dari
keluarga.
Dari permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka muncul beberapa kemungkinan
masalah keperawatan pada pasien remaja pengidap diabetes mellitus tipe 1, diantaranya:
1. Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah
2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
4. Resiko infeksi
5. Mual
6. Nyeri akut
7. Keputusasaan
8. Penurunan koping keluarga
9. Ansietas
2. Pada penderita DM tipe 1 akan sering mengalami nyeri yang disebabkan tindakan penusukan
pada pemantauan glukosa darah. Penjelasan asuhan atraumatik yang dilakukan untuk
meminimalkan nyeri pada pemantauan glukosa darah tersebut.
Pada penderita DM tipe akan sering mengalami nyeri yang disebabkan tindakan
penusukan pada pemantauan glukosa darah. Jelaskan asuhan atraumatik yang dilakukan untuk
meminimalkan nyeri pada pemantauan glukosa darah tersebut.
Perawatan atraumatik adalah perawatan terapeutik yang diberikan kepada anak sebagai
intervensi terpenting dalam perawatan anak untuk mencapai tumbuh kembang optimal ketika
berada di rumah sakit. Apabila seorang perawat memiliki persepsi yang baik, maka perawat
juga akan bersikap dan berperilaku baik dalam memberikan asuhan keperawatan. Prinsip
perawatan atraumatik meliputi 5 komponen yaitu mencegah dampak dari perpisahan keluarga,
meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan anak, mencegah terjadinya
trauma dan mengurangi nyeri, tidak melakukan kekerasan pada anak dan modifikasi
lingkungan fisik (Hidayat, 2005).
Asuhan atraumatik yang dapat dilakukan perawat untuk meminimalkan nyeri pada
pemantauan glukosa darah yakni:
a. Anak dan orang tua diberi penjelasan sebelum tindakan perawatan dilakukan.
b. Untuk mengurangi nyeri pada anak, perawat bercerita (imaginary) terlebih dahulu sebelum
melakukan tindakan perawatan.
c. Sikap empati ditunjukkan oleh perawat pada saat akan melakukan tindakan yang
menyakitkan pada anak.
d. Orang tua mendampingi anaknya pada saat tindakan perawatan dilakukan.
e. Pengalihan perhatian (distraksi) kepada anak akan memudahkan perawat dalam melakukan
tindakan keperawatan.
3. Alasan mengapa hiperglikemia dan hipoglikemia merupakan kasus kegawatdaruratan dan
penatalaksanaannya.
Hipoglikemia
Gejala hipoglikemia dapat dikelompokkan menjai dua kategori: gejala adrenergik dan
gejala system saraf pusat. Pada hipoglikemia ringan, ketika kadar glukosa darah menurun,
system saraf simpatik akan terangsang. Pelimpahan adrenalin ke dalam darah mnyebabkan
gejala seperti perspirasi, tremor, takikardi, palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar. Pada
hipoglikemia sedang, penurunan kadar glukosa darah menyebabkan sel-sel otak tidak
memperoleh cukup bahan bakar cukup untuk bekerja dengan baik. Tanda-tanda gangguan pada
fungsi system saraf pusat mencakup ketidak mampuan berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo,
konfusi, penurunan daya ingat, patirasa didaerah bibir serta lidah, bicara pelo, gerakan tidak
terkoordinasi, perubahan emosional, perilaku yang tidak rasional, penglihatan ganda dan
perasaan ingin pingsan. Kombinasi gejala ini dapat terjadi pada hipoglikemia sedang.
Penatalaksanaan Hipoglikemia
Pada hipoglikemia berat, fungsi system saraf pusat mengalami gangguan yang sangat
berat sehingga pasien memerluka pertolongan orang lain untuk mengatasi hipoglikemia yang
dideritanya. Gejalanya dapat mencakup perilaku yang mengalami disorientasi, serangan kejang,
sulit dibangunkan dari tidur atau bahkan kehilangan kesadaran.
Penanganan harus segera diberikan bila terjadi hipoglikemia. Rekomendasi biasanya berupa
pemberian 10 hingga 15 gr gula yang bekerja cepat peroral:
2-4 tablet glukosa yang dapat dibeli dirumah obat/apotek.
4-6 ons sari buah/teh manis.
6-10 permen khusus/permen manis lainnya.
2-3 sendok teh sirup/madu.
Penanganan hipoglikemia berat bagi pasien yang tidak sadarkan diri, tidak mampu
menelan/menolak terapi, preparat glucagon 1mg dapat disuntikkan secara subkutan/intra
muscular. Preparat glucagon dikemas sebagai serbuk dalam botol suntik (vial) berukuran 1mg
dan harus dicampur dahulu dengan pelarutnya sebelum disuntikkan. (Brunner & Suddarth,
2001).
Hiperglikemia
Mekanisme yang menyebabkan kerusakan sel akibat hiperglikemia adalah akibat
penumpukan intraseluler dari spesimen oksigen reaktif (Reactive Oxygen Specimen= ROS).
KGD yang tinggi meningkatkan perbedaan potensial akibat tingginya proton pada rantai
respiratori mitokondria, yang mengakibatkan perpanjangan hidup dari superoxidegenerating
electron transport intermediates, sehingga terjadilah penumpukan ROS. Saat terjadi
penumpukan ini, terjadi 4 mekanisme yang menyebabkan kerusakan sel, yaitu:
1. Peningkatan aliran jalur polyol: hiperglikemia menyebabkan peningkatan konversi
glukosa menjadi sorbitol polialkohol, bersama dengan penurunan nicotineamide
adenosine dinucliotide phosphate (NADPH) dan glutation, meningkatkan sensitivitas sel
terhadap stress oksidatif.
2. Peningkatan pembentukan advance glycation end product (AGE): pembentukan dari
AGE bertentangan dengan intergritas target sel dalam modifikasi fungsi protein atau
dengan menginduksi produksi receptormediated dari reactive oxygen species, yang dapat
menyebabkan perubahan pada ekspresi gen.
3. Aktivasi dari isoform protein kinase C (PKC): hiperglikemia menyebabkan peningkatan
konversi glukosa menjadi sorbitol, yang dimetabolisir menjadi fruktosa oleh sorbitol
dehidrogenase, meningkatkan rasio NADH/NAD+. Hal ini menyebabkan triose fosfat
yang teroksidasi dan sintesis de novo dari diacylglycerol (DAG). Peningkatan DAG
mengaktifkan PKC.
4. Peningkatan aliran jalur hexosamine: pada hipergliemia, glukosa semakin banyak
memasuki hexosamine-pathway. Produk akhir dari jalur ini, UDP-N-acetylglucosamine,
adalah substrat yang diperlukan untuk factor transkripsi intraseluler, yang mempengaruhi
ekspresi dari banyak gen. Jalur ini berhubungan dengan disfungsi endothelial dan
mikrovaskular.
Penatalaksanaan hiperglikemia
Hiperglikemia ringan atau sementara umumnya tidak membutuhkan pengobatan medis.
Untuk penderita seperti ini, pola hidup sehat berupa menu makanan seimbang, olah raga
teratur, berhenti merokok dan minum alkohol, mengelola stres dan lain-lain, dapat
menormalkan kembali kadar gula darah.Lain halnya dengan hiperglikemia berat seperti pada
penyakit diabetes mellitus. Hiperglikemia jenis ini diatasi dengan suntikan insulin atau
konsumsi obat antidiabetes seperti glibenklamid, metformin, dan lain-lain.Hiperglikemia
karena kondisi selain diabetes mellitus biasanya diatasi dengan cara mengobati penyebab
dasarnya, misalnya jika karena pil KB maka harus dihentikan pemakaiannya, atau jika terjadi
akibat stres, maka harus melakukan konsultasi.
4. Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada anak penderita DM tipe 1 dan yang
menjadi tujuan dari perawatan/asuhan keperawatannya.
Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul antara lain :
1. Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko kurang pengetahuan
tentang manajemen diabetes (mis., rencana tindakan), kurang manajemen diabetes (mis.,
rencana tindakan), serta manajemen medikasi.
2. Risiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan faktor risiko disfungsi endokrin
dan muntah.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan makanan ditandai dengan kurang minat pada makanan dan
ketidakmampuan memakan makanan.
4. Risiko infeksi dengan faktor risiko penyakit kronis (diabetes melitus)
5. Mual berhubungan dengan gangguan biokimia yaitu ketoasidosis diabetik, iritasi
lambung, dan nyeri yang ditandai dengan keengganan terhadap makanan, sensasi muntah,
dan melaporkan mual
6. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera kimia dan iritasi lambung yang ditandai
dengan perubahan selera makan, perubahan tekanan darah, dan perilaku distraksi
7. Ansietas dengan faktor risiko perubahan status kesehatan ditandai dengan gelisah,
ketakutan, bingung
8. Penurunan koping keluarga berhubungan dengan situasi penyerta yang memengaruhi
orang yang penting bagi klien dan kegelisahan sementara dari orang yang penting bagi
klien ditandai dengan orang terdekat menunjukkan perilaku protektif yang tidak sesuai
dengan kebutuhan otonomi klien
Tujuan dari perawatan/ asuhan keperawatannya:
1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan terkait diagnosa risiko ketidakstabilan kadar
glukosa darah dengan faktor risiko kurang pengetahuan tentang manajemen diabetes
(mis., rencana tindakan), kurang manajemen diabetes (mis., rencana tindakan), serta
manajemen medikasi, klien dan keluarga mendapatkan pemahaman tentang diabetes
melitus seperti perawatannya dan pencegahan komplikasi dengan kriteria hasil yaitu
dapat mengetahui penyebab dan faktor pendukung, dapat mengetahui gejala
hiperglikemia, dan dapat mencegah hiperglikemia.
2. Setelah dilakukan tindakan keperawatan terkait diagnosa risiko ketidakseimbangan
elektrolit berhubungan dengan faktor risiko disfungsi endokrin dan muntah, terjadi
keseimbangan elektrolit dalam tubuh dengan kriteria hasil yaitu serum kalium dan serum
klorin (skala 5).
3. Setelah dilakukan tindakan keperawatan terkait diagnosa ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan
ditandai dengan kurang minat pada makanan dan ketidakmampuan memakan makanan,
terjadi keseimbangan nutrisi dalam tubuh dengan kriteria hasil pemasukan nutrisi (skala
5) dan pemasukan makanan (skala 4).
4. Setelah dilakukan tindakan keperawatan terkait diagnosa risiko infeksi dengan faktor
risiko penyakit kronis (diabetes melitus), resiko infeksi teratasi dengan kriteria hasil
peningkatan sel darah putih (skala 5).
5. Setelah dilakukan tindakan keperawatan terkait diagnosa mual berhubungan dengan
gangguan biokimia yaitu ketoasidosis diabetik, iritasi lambung, dan nyeri yang ditandai
dengan keengganan terhadap makanan, sensasi muntah, dan melaporkan mual, mual
pasien dapat diatasi dengan kriteria hasil keinginan makan klien meningkat (skala 5),
intake makanan klien meningkat.(skala 4), frekuensi muntah pasien berkurang. (skala 4),
intensitas muntah pasien berkurang.( skala 4) dan mengatasi agar tidak terjadi
pengurangan asupan cairan dan makanan. (skala 5)
6. Setelah dilakukan tindakan keperawatan terkait diagnosa nyeri akut berhubungan dengan
agens cedera kimia dan iritasi lambung yang ditandai dengan perubahan selera makan,
perubahan tekanan darah, dan perilaku distraksi, diharapkan rasa nyeri dapat berkurang
dengan kriteria hasil mampu menggunakan metode non farmakologi untuk mengurangi
rasa nyeri (skala 5), klien tidak mengeram dan menangis.(skala 4), kehilangan nafsu
makan dapat diatasi. (skala 4), dan memperbaiki toleransi makan pasien. (skala 4).
7. Setelah dilakukan tindakan keperawatan terkait dengan diagnosa ansietas dengan faktor
risiko perubahan status kesehatan ditandai dengan gelisah, ketakutan, bingung,
diharapkan ansietas pasien berkurang dan kenyamanan pasien meningkat dengan kriteria
hasil klien mengalami penurunan kegelisahan (skala 4), klien mengatakan tidak
mengalami ketakutan (skala 3), dan ketegangan wajah klien menurun (skala 3).
8. Setelah dilakukan tindakan keperawatan terkait dengan diagnosa penurunan koping
keluarga berhubungan dengan situasi penyerta yang memengaruhi orang yang penting
bagi klien dan kegelisahan sementara dari orang yang penting bagi klien ditandai dengan
orang terdekat menunjukkan perilaku protektif yang tidak sesuai dengan kebutuhan
otonomi klien, diharapkan keluarga pasien dapat mengatasi permasalahannya dengan
kriteria hasil meningkatkan dukungan dari anggota keluarga terdekat terhadap pasien
(skala 4) dan meningkatkan kepedulian keluarga terhadap pasien (skala 4)
5. Hipotiroid merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada anak. Berikut ini adalah
penjelasan mengenai:
a. Patofisiologi hipotiroid
Kelenjar tiroid membutuhkan iodine untuk sintesis dan mensekresi hormone tiroid. Jika
diet seseorang kurang mengandung iodine atau jika produksi dari hormone tiroid tertekan
untuk alasan yang lain, tiroid akan membesar sebagai usaha untuk kompendasi dari
kekurangan hormone. Pada keadaan seperti ini, goiter merupakan adaptasi penting pada suatu
defisiensi hormone tiroid. Pembesaran dari kelenjar terjadi sebagai respon untuk
meningkatkan respon sekresi pituitary dari TSH. TSH menstimulasi tiroid untuk mensekresi
T4 lebih banyak, ketika level T4 darah rendah. Biasanya, kelenjar akan membesar dan itu
akan menekan struktur di leher dan dada menyebabkan gejala respirasi disfagia.
Penurunan tingkatan dari hormone tiroid mempengaruhi BMR secara lambat dan
menyeluruh. Perlambatan ini terjadi pada seluruh proses tubuh mengarah pada kondisi
achlorhydria (penurunan produksi asam lambung), penurunan traktus gastrointestinal,
bradikardi, fungsi pernafasan menurun, dan suatu penurunan produksi panas tubuh.
Perubahan yang paling penting menyebabkan penurunan tingkatan hormone tiroid yang
mempengaruhi metabolisme lemak. Ada suatu peningkatan hasil kolesterol dalam serum dan
level trigliserida dan sehingga klien berpotensi mengalami arteriosclerosis dan penyakit
jantung koroner. Akumulasi proteoglikan hidrophilik di rongga interstitial seperti rongga
pleural, cardiac, dan abdominal sebagai tanda dari mixedema.
Hormon tiroid biasanya berperan dalam produksi sel darah merah, jadi klien dengan
hipotiroidisme biasanya menunjukkan tanda anemia karena pembentukan eritrosit yang tidak
optimal dengan kemungkinan kekurangan vitamin B12 dan asam folat (Lukman and
Sorrensons, 1993: 1810; Rumaharbo, H, 1999).
b. Hipotiroid congenital
Definisi dan Klasifikasi
Hipotiroid artinya kekurangan hormon tiroid, yaitu hormon yangdikeluarkan oleh
kelenjar tiroid atau kelenjar gondok. Hipotiroid anak dapatdiklasifikasikan menjadi primer
dan sekunder, atau congenital dan didapat, sertamenetap dan transient.Hipotiroid dapat
diklasifikasikan menjadi :
1. Hipotiroidisme Kongenitala.
a. Hipotiroid Kongenital menetap
b. Hipotiroid Kongenital transien
2. Hipotiroidisme Didapat (Acquired)
a. Hipotiroidisme Primer (kelainan pada kelenjar tiroid)
b. Hipotiroidisme Sekunder (kelainan pada hipofisis)
c. Hipotiroidisme tersier (kelainan hipotalamus)
d. Resistensi Perifer terhadap kerja hormone tiroid
Hipotirod congenital merupakan penyebab retardasi mental yang terseringdan dapat
diobati. Disebabkan karena tidak adekuatnya produksi hormone tiroid pada bayi baru lahir
karena defek anatomik kelenjar tiroid, defisiensi yodium. Hipotiroid kongenital adalah
kekurangan hormon tiroid sejak dalam kandungan. kira-kira satu dari 3000 bayi lahir dengan
Hipotiroid kongenital, meskipun kelainan ini jarang tetapi mungkin saja terjadi pada bayi.
Hipotiroid kongenital ditemukan 1 dalam 2500 sampai dengan 4000, dan harus dapat segera
terdeteksi secara dini terutama pada saat bayi lahir atau dalam beberapa hari setelah bayi
dilahirkan (0 - 28 hari) segera setelah bayi terdiagnosis kemudian dilakukan terapi. Dari hasil
penelitian diketahui bahwa bayi anak dengan kelainan hipotiroid kongenital yang diobati
sebelum berusia tiga bulan mempunyai kemungkinan mencapai tingkat intelegensil IQ > 90
(normal) yaitu berkisar antara 75- 85%. Sedangkan yang diobati setelah berusia lebih dari
tiga bulan, 75% nya tetap menderita keterbelakangan mental atau dapat menjadi normal
namun dengan beberapa permasalahan antara lain kesulitan belajar, kelainan tingkah laku,
atau kelainan neurologist non spesifik. Hipotiroidisme pada masa anak, juga sering disebut
sebagai hipotiroidisme. Biasanya terjadi setelah usia 6 bulan, sebagian besar kelainan
inisporadic, hanya 10-15% kasus yang diturunkan, paling sering disebabkan oleh tiroiditis
Hashimoto, dan kejadiannya lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki, dengan
perbandingan 2:1. Pada usia sekolah, angka kejadiannya 0,33%,yang paling sering karena
tiroiditis limfositik kronik pada anak usia 12-19 tahun angka kejadiannya 6%
Etiologi
Etiologi hipotiroid congenital menetap
1. D isgenesis tiroid
Merupakan penyebab terbesar Hipotiroidisme Kongenital non endemik,kira-kira 85-90
%. Merupakan akibat dari tidak adanya jaringan tiroid total(agenesis) atau parsial
(hipoplasia) yang dapat terjadi akibat gagalnya penurunan kelenjar tiroid ke leher
(ektopik), disini dapat terjadi agenesisunilateral atau hipoplasia. Faktor genetik dan
lingkungan mungkin berperan pada disgenesis tiroid, namun demikian sebagian
besar penyebabnya belum diketahui.
2. Inborn errors of tyroid hormonogenesis
Merupakan kelainan terbanyak kongenital karena kelainan genetik. Defek yang
didapatkan adalah :
Kegagalan mengkonsentrasikan yodium
Defek organifikasi yodium karena kelainan enzim TPOatau pada H2O2 generating
system
Defek pada sintesis atau transport triglobulin
Kelainan katifitas iodotirosin deidonase
3. Resisten TSH
Sindrom resistensi hormone, bermanifestasi sangat luas, sebagai akibatdari berkurang
atau tidak adanya respon terhadap hormone yang biologis aktif. Hal ini dapat
disebabkan karena defek pada reseptor atau post reseptor, TSH resisten adalah suatu
keadaan kelenjar tiroidrefakter terhadap rangsang TSH. Hilangnya fungsi reseptor
TSH , akibatmutasi reseptor TSH defek molekuler pada sebagian keluarga kasusdengan
resisten TSH yang ditandai dengan kadar serum TSH tinggi , danserum hormon tiroid
normal atau menurun, disertai kelenjar tiroid normalatau hipoplastik
4. Sintesis atau sekresi TSH berkurang
Hipotiroidism sentral disebabkan karena kelainan pada hipofisis atauhipotalamus. Pada
bayi sangat jarang dengan prevalensi antara 1 : 25.000sampai 1: 100.000 kelahiran.
5. Menurunnya transport T4 seluler
Sindrom ini terjadi akibat mutasi monocarboxylate transporter 8 (MCT8),merupakan
fasilitator seluler aktif transport hormone tiroid ke dalam sel. Biasanya pada laki laki
menyababkan hipotiroidisme dengan kelainanneurologi seperti kelambatan
perkembangan menyeluruh, distonia hipotoniasentral , gangguan pandangan mata serta
kadar T3 meningkat.
6. Resisten hormone tiroid
Merupakan sindrom akibat dari tidak responsifnya jaringan target terhadap hormone
tiroid, ditandai dengan meningkatnya kadar FT4 dan FT3 dalam sirkulasi dengan kadar
TSH sedikit meningkat atau normal.
Etiologi hipotiroid congenital transien :
1 Defisiensi yodium atau yodium yang berlebihan
Pada janin maupun pada bayi yang baru lahir sangat peka pengaruhnya pada tiroid,
sehingga harus dihindarkan penggunannya yodium pada ibu selama kehamilan, sumber
sumber yodium termasuk obat-obatan (kalium yodia, amidarone), bahan kontras
radiologi( untuk pyelogram intra vena,cholecytogram) dan larutan antiseptic (yodium
povidon) yang digunakan membersihkan kulit dan vagina, dapat berpengaruh.
2 Pengobatan ibu dengan obat antitiroid
Dapat terjadi pada ibu yang diberikan obat antitiroid (PTU atau karbimasol atau
metimasil) untuk penyakit graves, bayinya ditandai oleh pembesaran kelenjar tiroid,
sehingga dapat mengakibatkan gangguan prnafasan,khususnya bila diberikan obat yang
dosisnya tinggi.
3 An t ibody r e spon t i r o t rop in i bu
Reseptor TSH (TSHR) meruoakan pasangan protein G merupakan reseptor berbentuk
seperti jangkar terhadap permukaan sel epitel tiroid (Tirosid) yang mengatur sintesis
dan lepasnya hormone tiroid. bila memblok TSH endogen dapat mengakibatkan hipo
tiroidisme.
Manifestasi klinik
Gejala hipotiroid sangat bervariasi tergantung berat ringannya kekuranganhormon
tiroid. seringkali pada minggu-minggu pertama setelah lahir, bayi nampak normal atau
memperlihatkan gejala tidak khas seperti kesulitan bernafas, bayikurang aktif, malas
menetek, ikterik berkepanjangan, hernia umbilikalis, kesulitan buang air besar,
kecenderungan mengalami hipotermi. Bila tidak segeradiobati(sebelum bayi berumur 1
bulan) akan terlihat gejala hambatan pertumbuhan dan perkembangan anak berpenampilan
jelek.Tubuh pendek (cebol), muka hipotiroid yang khas, muka sembam, lidah besar, bibir
tebal, hidung pesek, mental terbelakang, bodoh (IQ dan EQ rendah),kesulitan bicara. Agar
bayi tidak mengalami keadaan demikian, satu-satunya cara untuk mengetahui kelainan
hipotiroid kongenital sedini mungkin dan segera mengobatinya adalah dengan tes skrining.
Gejala non spesifik yang menyokong yaitu umur kehamilan lebih dari 42 minggu, kesulitan
meminum, konstipasi, hipotermia atau distress respirasi pada bayi dengan berat lebih dari
2.500 kg. bayi yang lahir dengan hipotiroidime congenital pada saat lahir ukurannya normal,
namun demikian bila mana diagnosis terlambat maka akan terjadi gagal tumbuh.
Apabila ditemukan jaringan tiroid pada palpasi menyokong adanya kelainan
hormogenesis kerja hormone tiroid. Pengenalan skrining rutin terhadap bayi baru lahir untuk
TSH dan Tq telah menjadi keberhasilan besar dalam diagnosis dini hipotiroidisme neonatus.
T4 serum di bawah 6 µg/dL atau TSH serum di atas 30 μU/mL indikatif adanya
hipotiroidisme neonatal. Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan bukti radiologis adanya
retardasi umur tulang. Hipotiroidisme pada anak-anak ditandai adanya retardasi
pertumbuhan dan tanda-tanda retardasi mental. Pada remaja, pubertas prekok dapat terjadi,
dan mungkin ada pembesaran sella tursika di samping postur tubuh pendek. Hal ini tidak
berhubungan dengan tumor hipofisis tapi mungkin berhubungan dengan hipertrofi hipofisis
yang berhubungan dengan produksi TSH berlebihan.
c. Skrining hipotiroid congenital
Aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid pada janin mulai berfungsi pada pertengahan
kehamilan dan mulai matur pada saat dilahirkan aterm. Bila terjadi hipotiroidisme pada janin,
dapat terjadi efek yang tidak menguntungkan pada beberapa sistem organ, termasuk sistem
syaraf pusat dan tulang. Namun demikian, sebagian besar bayi hipotiroidisme kongenital pada
saat lahir tampak normal. Data terakhir mendukung bahwa hipotiroidisme pada janin
diproteksi oleh adanya transfer hormon tiroid dari ibu melalui plasenta. Kadar serum tiroksin
(T4) dalam darah talipusat janin atiroid kira-kira 1/3 kadar ibunya. Pada penelitian
hipotiroidisme dengan model binatang dapat ditunjukkan adanya kenaikan kadar iodotiroksin
deiodinase otak, ensim ini mengkonversi T4 menjadi T3. Pada janin hipotiroid, kenaikan
ensim yang bekerja pada T4 yang berasal dari ibu cukup untuk memproduksi kadar T3 di otak
mendekati normal. Sehingga deteksi dan terapi dini hipotiroidisme kongenital potensial dapat
mengembalikan hipotiroid pada janin secara total pada hampir semua kasus, kecuali pada
kasus yang sangat berat, misalnya pada bayi atiroitik yang lahir dari ibu dengan problem
tiroid sehingga menyebabkan transfer hormon tiroid melalui plasenta tidak adekuat. Sejak
berkembangnya program skrining untuk hipotiroidisme kongenital di Quebec dan Pittsburgh
pada tahun 1974, skrining hipotiroidisme kongenital pada bayi baru lahir menjadi rutin dan
sangat penting untuk semua negara yang sudah berkembang diseluruh dunia dan negara-
negara sedang berkembang di Eropa Timur, Amerika Selatan, Asia dan Afrika. Di Amerika
utara diperkirakan lebih dari 5 juta bayi baru lahir dilakukan skrining, kira-kira 1400 bayi
hipotiroidisme kongenital terdeteksi setiap tahun.
Program skrining disamping menguntungkan pasien dan keluarganya juga menghasilkan
informasi baru tentang epidemiologi, patofisiologi, diagnosis dan pengobatan penyakit tiroid
pada bayi dan anak. Dalam periode tersebut terjadi implementasi dan berkembangnya
program skrining, termasuk pendekatan skrining yang optimal, pemantauan bayi dengan T4
rendah dan TSH normal yang didapatkan pada saat skrining, peran autoimunitas sebagai
etiologi dari penyakit, dan pengobatan optimal yang diberikan sehingga anak dapat
berkembang normal bila penyakitnya terdeteksi dini. Seperti diketahui hipotiroidisme
kongenital dapat menyebabkan retardasi mental, kecuali apabila mendapatkan pengobatan
sebelum usia dua minggu. Karena sebagian besar hipotiroidime kongenital tidak dapat
dideteksi secara klinis pada saat lahir, maka diperlukan program skrining. Metoda Skrining
hipotiroidisme kongenital dilakukan dengan mengambil tetesan darah bayi pada usia 1 – 4
hari, bila tidak ada hambatan sebaiknya tetes darah diambil pada hari ke 4 – 5 diteteskan pada
kertas filter kering, kemudian sampel dikirim ke laboratorium yang sudah ditentukan. Ada 4
strategi skrining untuk mendeteksi hipotiroidisme kongenital, namun tenaga kesehatan harus
hati-hati akan keunggulan dan keterbatasan setiap metoda.
1. Pemeriksaan awal T4, diikuti dengan pemeriksaan TSH, bila kadar T4 rendah. Sebagian
besar program di Amerika Utara menggunakan pendekatan ini. Pertama diambil tetes
darah dengan kertas filter untuk pemeriksaan kadar T4, diikuti dengan pemeriksaan TSH
dengan kertas filter bila kadar T4 rendah. Semua bayi dengan kadar T4 rendah, dan kadar
TSH lebih dari 40 mU/L, harus dipertimbangkan sebagai hipotiroidisme kongenital dan
harus segera dilakukan tes konfirmasi. Pemberian pengobatan tidak usah menunggu hasil
tes konfirmasi. Bila kadar TSH meningkat namun kurang dari 40 mU/L, harus dilakukan
pemeriksaan ulang dengan sampel baru. Kira-kira 10% bayi hipotiroidisme kongenital,
didapatkan kadar TSH antara 20 – 40 mU/L. Dengan pendekatan ini dapat mendeteksi
bayi dengan hipotiroidisme primer (T4 rendah atau normal rendah dan kadar TSH
meningkat), prevalensi secara keseluruhan 1 dari 4000 bayi. Beberapa bukti mendukung
hipotiroidisme kongenital lebih prevalen pada bayi “Hispanic” dan Amerika asli,
prevalensinya rendah pada bayi kulit hitam. Dengan melihat kadar T4, maka dapat
mengidentifikasi bayi dengan defisiensi TBG atau hipotiroidisme hipotalamus-hipofisis
(Kadar T4 rendah atau normal rendah dengan kadar TSH normal; prevalensinya berturut-
turut 1/5000-10.000 dan 1/50.000 bayi). Bila didapatkan kadar T4 tinggi juga dapat
mengidentifikasi bayi dengan hipertiroksiemia (1/20.000 – 1/40.000 bayi baru lahir).
Untuk memastikan identifikasi bayi dengan hipotiroidisme kongenital didapatkan kadar
T4 normal rendah dan kadar TSH tinggi. “Recall rate” dengan program ini 0,05% sama
dengan skrining dengan pemeriksaan TSH saja.
2. Pemeriksaan awal TSH, diikuti dengan pemeriksaan T4 bilamana kadar TSH tinggi.
Sebagian besar program di Eropa dan Jepang menggunakan metoda ini. Pertama-tama
diperiksa TSH, bilamana didapatkan kadar TSH tinggi maka diperiksa kadar T4. Dengan
pendekatan ini, bayi dengan defisiensi TBG, hipotiroidisme hipotalamus-hipofisis dan
hipotiroksinemia dengan kelambatan kenaikan TSH tidak dapat terdeteksi. Pada
penelitian sebelumnya di Quebec yang membandingkan pemeriksaan T4 dan TSH
bersama-sama, dari 93.000 bayi yang di skrining dengan pemeriksaan TSH, dua kasus
hipotiroidisme kongenital yang didiagnosis salah dapat dideteksi dengan
pemeriksaan pertama dengan T4 [34]. ”Recall rate” dengan pendekatan ini kira-kira
0,05%. Dengan teknik pemeriksaan TSH terbaru dengan “enzymelink immunoassay”,
“chemiluminescent assay”, dan “fluoroimmunoassay”, pemeriksaan ini lebih canggih
dibanding dengan pemeriksaan yang tidak menggunakan label radioaktif dan
sensitifitasnya lebih bagus dan dapat membedakan kadar TSH normal dan abnormal
dengan baik. Sehingga banyak program skrining yang menggunakan pendekatan pertama
mempertimbangkan untuk berganti dengan pemeriksaan TSH. Namun demikian, dengan
kecenderungan memulangkan bayi dan ibu seawal mungkin, maka perubahan pendekatan
ini juga merupakan problem. Akhir-akhir ini lebih dari 25% ibu dan bayinya dipulangkan
dari rumah sakit pada 24 jam pertama dan 40% pada 24 jam kedua kelahirannya,
sehingga pengambilan spesimen dilakukan sebelum usia bayi 48 jam, pada saat ini kadar
TSH normal lebih dari 20 mU/L. Dengan demikian menyebabkan “recall rate” tinggi
pada kelompok ini. Pengalaman menggunakan pemeriksaan TSH dengan teknik
pemeriksaan terbaru pada bayi yang dipulangkan awal dari rumah sakit, diperlukan untuk
mengurangi “recall rate” tetapi mungkin pada beberapa kasus dapat terjadi negatif palsu.
3. Kombinasi pemeriksaan T4 dan TSH
Dalam beberapa tahun kedepan, metoda pemeriksaan T4 dan TSH secara simultan dapat
dilakukan. Metoda ini merupakan program skrining yang paling ideal. Dengan metoda ini
diagnosis dapat cepat dibuat dalam waktu 48 jam tanpa kelambatan pengobatan.
4. Kombinasi T4-TSH-TBG Kempers, dkk (2006) dalam penelitiannya antara 1 April 2002
sampai 31 Mei 2004 yang melibatkan 430.764 bayi dilakukan skrining menggunakan
metoda T4-TSH-TBG, menyimpulkan bahwa dengan metoda ini sangat efisien untuk
mendeteksi hipotiroidisme kongenital dengan berbagai etiologi baik primer maupun
sentral dan berbagai derajat beratnya penyakit, walaupun masih ada yang lolos dari
skrining dalam persentase yang sangat kecil. Positif palsu didapatkan pada penyakit berat
dan defisiensi TBG. Dengan tambahan pemeriksaan TBG, tidak banyak meningkatkan
biaya skrining. Namun demikian, tenaga kesehatan harus waspada akan keterbatasan
masing-masing metoda skrining, walaupun tidak ada kesalahan teknik dan kesalahan
manusia, penelitian sebelumnya mendapatkan kira-kira 5 – 10 % bayi hipotiroidisme
kongenital didapatkan kadar hormon yang normal.
Hasil skrining dan tindak lanjut
Setelah ada hasil pemeriksaan dari otoritas atau lembaga laboratorium yang melakukan
tes, mereka bertanggung jawab mengirimkan kembali hasil tes skrining pada dokter atau
rumah sakit yang melakukan skrining. Dianjurkan hasil tes skrining dimasukkan ke dalam
catatan medik pasien. Bila ditemukan hasil penyaringan abnormal, dokter penanggung jawab
harus segera diberitahu agar dapat melakukan tindak lanjut. Jika dokter yang merawat tidak
ada atau tidak dapat menemukan bayi tersebut, maka harus segera memberitahu pada
laboratorium skrining. Dalam keadaan seperti ini, dinas kesehatan setempat seringkali dapat
membantu menemukan alamat bayi tersebut untuk memastikan bahwa mereka tidak hilang
untuk dilakukan tindak lanjut. Dalam melakukan skrinning perlu dilakukan pengambilan
darah.
Menurut kementrian RI pengambilan specimen darah yang paling ideal adalah ketika bayi
berumur 48 sampai 72 jam. Oleh karenanya perlu kerjasama dengan dokter spesialis anak
(Sp.A), dokter umum dan bidan yang menolong persalinan untuk pengambilan specimen
darah bayi yang baru dilahirkan pada hari ketiga. Ini berarti ibu dapat dipulangkan setelah 48
jam pasca melahirkan (perlu koordinasi dengan penolongan spesialis) namun, pada keadaan
tertentu pengambilan darah masih bisa ditolerir antara 24-48 jam. Sebaliknya darah tidak
diambil dalam 24 jam pertama setelah lahir karena pada saat itu kadar TSH masih tinggi,
sehingga akan memberikan sejumlah hasil positif palsu. Jika bayi sudah dipulangkan sebelum
24 jam, maka specimen perlu diambil pada kunjungan neonatal ke-2 (KN2) melalui
kunjungan rumah atau pemanggilan pasien ( kemkes, 2012).
d. Kebijakan pemerintah untuk penanganan hipotiroid kongenital
Menyikapi masalah Hipotiroid Kongenital yang banyak dialami oleh anak Indonesia,
pemerintah telah melakukan berbagai penanganan melalui beberapa program diantaranya
program utama yaitu dengan mengadakan Skrinning yang wajib dilakukan kepada bayi yang
baru lahir (minimal 24 jam setelah kelahiran) untuk mengetahui apakah bayi mengalami
hipotiroid atau tidak. Kebijakan pemerintah tentang mengadakan Skrinning untuk bayi baru
lahir ini sangat baik untuk dilakukan karena dengan adanya deteksi dini maka dapat segera
dilakukan penanganan yang tepat sehingga mengurangi risiko gangguan tumbuhkembang
yang dapat dialami anak karena penyakit kongenital dan dapat pua mengurangi risiko anak
mengalami retardasi mental karena retardasi mental merupakan salah satu akibat dari penyakit
hipotiroid kongenital. Selain dengan Skrinning untuk mendeteksi dini Hipotiroid Kongenital,
pemerintah juga pernah mengadakan program jangka pendek dengan pemberian kapsul
iodium, dan jangka panjang dengan garam beriodium, seperti pada Kabupaten Magelang,.
Akan tetapi berlawanan dengan program tersebut, hasil penelitian menunjukan bahwa telah
muncul adanya kasus hipertiroid, sehingga pemerintah menghentikan suplementasi kapsul
iodium. Kabupaten Magelang menyikapi kebijakan tersebut dengan melakukan pemberian
kapsul iodium secara selektif, namun dari survei ke 29 puskesmas ada 2 kebijakan yang
dilaksanakan oleh para pelaksana yaitu stop pemberian kapsul iodum dan pemberian kapsul
iodium secara selektif. (Styawan Heriyanto, 2013).
6. Sebagian besar hipertiroid pada anak dipengaruhi oleh penyakit Grave yang dihubungkan
dengan pembesaran kelenjar tiroid dan eksolftalmus.
a) Intervensi keperawatan untuk mengidentifikasi anak yang menderita hipertiroid
Pengkajian keperawatan untuk mengidentifikasi anak yang menderita hipertiroid adalah :
a. Aktifitas dan istirahat.
Gejala : Insomnia, sensitivitas meningkat ; Otot lema, gangguan koordinasi ;
Kelelahan berat
Tanda : Atrofi otot
b. Sirkulasi
Gejala : Palpitasi, nyeri dada ( angina )
Tanda : Disritmia ( vibrilasi atrium ), irama gallop, murmur ; Peningkatan tekanan
darah dengan tekanan nada yang berat, takikardia ; Sirkulasi kolaps, syok ( krisis
tirotoksikosis )
c. Integritas Ego
Gejala : Mengalami stress yang berat baik emosional maupun fisik
Tanda : Emosi labil ( euforia sedang sampai delirium ), depresi
Pengkajian pada pasien hipertiroid juga bisa di lakukan dengan pemeriksaan fisik per
system meliputi :
a) Pernafasan B1 (breath)
Disini di kaji frekuensi pernafasan dan kedalaman nafas. Pada pasien hipertiroid akan
di jumpai tanda gejala pada system pernafasan seperti : sirkulasi kolaps, syok (krisis
tirotoksikosis), frekuensi pernafasan meningkat, dipneu, dipsneu,dan edema paru
b) Kardiovaskular B2 (blood)
Disini di kaji frekuensi jantung, tekanan darah, bunyi jantung serta denyut nadi di
perifer. Pada pasien hipertiroid akan di jumpai tanda gejala pada system
kardiovaskular seperti : hipertensi, aritmia, palpitasi, gagal jantung, limfositosis,
anemia, splenomegali, leher membesar
c) Persyarafan B3 (brain)
Pada system persyarafan dikaji respon pasien. Pada pasien hipertiroid akan di jumpai
tanda gejala pada system persyarafan seperti : Bicaranya cepat dan parau, gangguan
status mental dan perilaku, seperti: bingung, disorientasi, gelisah, peka rangsang,
delirium,psikosis, stupor, koma, tremor halus pada tangan, tanpa tujuan, beberapa
bagian tersentak – sentak, hiperaktif refleks tendon dalam (RTD).
d) Perkemihan B4 (bladder)
Pada sistem perkemihan, pengkajian dapat di lakukan meliputi pengkajian pola BAK
dari pasien, warna, serta frekuensi BAK dari pasien serta mengkaji fungsional dari
genitalia pasien. Pada pasien hipertiroid akan di jumpai tanda gejala pada system
perkemihan seperti :oligomenorea, amenorea, libido turun, infertil, ginekomasti
e) Pencernaan B5 (bowel)
Pada system pencernaan, pengkajian di lakukan meliputi pengkajian berat badan,
nafsu makan, frekuensi serta porsi makan. Pada pasien hipertiroid akan di jumpai
tanda gejala pada system pencernaan seperti : Kehilangan berat badan yang mendadak,
nafsu makan meningkat, makan banyak, makannya sering, mual dan muntah.
f) Muskuloskeletal/integument B6 (bone)
Pada system musculoskeletal biasanya di kaji pola aktifitas pasien. Pada pasien
hipertiroid akan di jumpai tanda gejala pada system muskuloskeletal seperti :rasa
lemah dan kelelahan
b) Asuhan keperawatan sebelum pembedahan dan setelah pembedahan
a. Asuhan Keperawatan Pra Pembedahan Pada Pasien Hipertiroid. Berikut diagnose yang
besar kemungkinanya muncul pada pasien pra pembedahan sekaligus intervensi yang
dapat di lakukan :
No Diagnosa Intervensi
1 Defisiensi pengetahuan
berhubungan dengan kurang
pajanan informasi
NIC Label : Teaching Disease Process
1. Informasikan pada klien proses terjadinya
penyakit
2 Ansietas berhubungan dengan
perubahan status kesehatan.
NIC Label : Anxiety Reduction
1. Mmeberikan informasi factual mencakup
diagnosis, perawatan serta prognosis.
3 Ketidakefektifan koping
berhubungan dengan derajat
ancaman tinggi. ( pembedahan)
NIC Label : Coping Enhancement
1. Instruksikan pasien untuk menggunakan
teknik relaksasi.
Penatalaksaan Pra Pembedahan dalam Brunner & Suddarth, 2001 (hal. 1317-1318) meliputi :
a. Farmakoterapi
Sebelum di lakukan pembedahan untuk penanganan hipertiroid , pasien ditangani
dahulu dengan terapi obat dimana disini fungsinya untuk mengembalikan kadar hormon
tiroid serta angka metabolicnya pada keadaan normal dan untuk mengurangi resiko
timbulnya krisis tirotoksik serta perdarah selama periode pasca operasi.
b. Pengurangan Ansietas
Salah satu pendekatan paling penting dalam periode pra operative adalah
mendapatkan kepercayaan dari pasien dan mengurangi tingkat kecemasan pasien. Disini
perawat melindungi pasien dari ketegangan dan stress, dan bantu pasien agar merasa
tenang dan rilex. Stress akan memicu perdarahan selama operasi karena tekanan darah
akan meningkat apabila pasien tegang dan stress.
c. Dukungan Nutrisi
Asupan nutrisi dimodifikasi agar mencakup makanan sumber karbohidrat dan
protein yang memadai. Asupan kalori yang tinggi setiap hari diperlukan akibat
meningkatnya aktivitas metabolic dan penurunan simpanan glikogen.
d. Persiapan Pra Operatif
Jika pemeriksaan diagnostic dilakukan sebelum pembedahan, maka beritahukan
pasien tujuan pemeriksaan tersebut dan persiapan pra operatif yang diperkirakan dapat
mengurangi kecemasan.
e. Pendidikan Pasien
Pelajaran yang harus di berikan sebelum pembedahan mencakup teknik nafas
dalam tujuannya disini untuk merelakskan pasien. Selanjutnya perlihatkan cara
menyangga leher dengan kedua belah tangan untuk mengurangi tarikan pada luka insisi
sesudah pembedahan yaitu dengan mengangkat siku dan meletakkan kedua belah tangan
di belakang leher sehingga memberikan efek menyangga dan mengurangi tarikan dan
regangan pada otot leher dan luka insisi.
b. Asuhan Keperawatan Pasca Pembedahan Pada Pasien Hipertiroid. Berikut diagnose yang
besar kemungkinanya muncul pada pasien pasca pembedahan sekaligus intervensi yang
dapat di lakukan :
NO Diagnosa Intervensi
1 Nyeri akut berhubungan
dengan agen cedera fisik
NIC Label : Pain Management
1. Kaji tanda-tanda adanya nyeri
baik verbal maupun non
verbal, catat lokasi intensitas
(skala 0-10) dan lamanya
2. Letakkan pasien dalam posisi
semi fowler dan sokong
kepala/leher dengan bantal
pasir atau bantal kecil
2 Resiko infeksi berhubungan
dengan prosedur invasif
NIC Label : Infection Protection
1. Inspeksi keadaan luka
pembedahan.
NIC Label : Infection Control
1. Bersihkan peralatan sesudah
di gunakan oleh pasien
2. Cuci tangan sebelum atau
setelah setiap pasien
beraktifitas
3 Resiko perdarahan dengan
factor resiko efek samping
terkait terapi pembedahan.
NIC Label : Bleeding Precaution
1. Lindungi pasien dari trauma
yang menyebabkan terjadinya
perdarahan
2. Memantau tanda-tanda vital
osthostatik pasien termasuk
tekanan darah pasien
4 Kerusakan integeritas kulit
berhubungan dengan factor
mekanik ( luka bedah )
NIC Label : Presure management
1. Jaga kebersihan kulit agar
tetap bersih dan kering
2. Monitor aktivitas dan
mobilisasi pasien
3. Monitor status nutrisi pasien
5 Resiko aspirasi dengan factor
resiko pembedahan leher
NIC Label : Aspiration
Precaution
1. Mempertahankan jalan nafas
agar tetap efektif
Penatalaksanaan Pasca operatif meliputi :
1. Posisi pasien menjadi focus setelah operasi. Posisi yang tepat adalah posisi semi fowler
dimana kepala agak di tinggikan dan di sangga dengan bantal
2. Di berikan analgesic untuk mengurangi nyeri pasca operasi
3. Pasien dapat di berikan oksigen untuk memudahkan pernafasan. Disini perawat berperan
untuk mengurangi kecemasan pasien dan memberitahukan bahwa pemberian oksigen
akan membantu pasien untuk bernafas dan menjaga kelembapan
4. Untuk menghindari infeksi, maka dilakukan pengkajian secara perodeik terhadap kassa
penutup luka serta dikuatkan kembali pemasangannya bila diperlukan.
5. Cairan infus dapat diberikan selama periode pasca operatif.
6. Pantau TTV pasien untuk mengidentifikasi segera apabila ada indikasi terjadinya
perdarahan internal.
7. Pada pasien pasca operatif ini akan mengalami komplikasi kesulitan pernafasan. Maka
diperlukan intervensi untuk mempertahankan jalan nafas agar tetap efektif. Selain itu
anjurkan pasien untuk tidak terlalu banyak mengeluarkan suara.
8. Penatalaksanaan terakhir pada periode pasca operatif adalah pendidikan pasien dan
pertimbangan perawatan di rumah. Perawat menjelaskan keharusan pasien banyak
beristirahat, relaksasi dan pemenuhan kebutuhan nutrisi. Informasi yang spesifik
mengnenai kunjungan tindak lanjut ke dokter atau ke klinik harus di sampaikan untuk
mengontrol keadaan tiroid pasien
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14261/1/09E01053.pdf (diakses tanggal 30
September 2014)
http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream/123456789/1787/2/BK2012-395.pdf (diakses
tanggal 30 september 2014)
http://www.academia.edu/6645142/KELAINAN_TIROID_MASA_BAYI (diakses tanggal 30
september 2014)
NANDA International. 2012. Diagnosis Keperawatan 2012-2014. Jakarta : EGC.
Nursing Intervention Classification ( NIC ), ed 5.
Nursing Outcomes Classification ( NOC ), ed 5.