Setelah Satu Dekade Lebih Perang Global Melawan Teror · dan dikalahkan."1 Tiga belas tahun...

48
Perang yang Salah Setelah Satu Dekade Lebih Perang Global Melawan Teror K. Mustarom

Transcript of Setelah Satu Dekade Lebih Perang Global Melawan Teror · dan dikalahkan."1 Tiga belas tahun...

Perang yang SalahSetelah Satu Dekade LebihPerang Global Melawan Teror

K. Mustarom

PERANG YANG SALAH Setelah Satu Dekade Lebih Deklarasi Perang Global

Melawan Teror

LAPORAN KHUSUS

EDISI X / MARET 2014

Penulis:

K. Mustarom

ABOUT US

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS

merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka

membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini

didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua

elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah

satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk

bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong

kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar

sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan

gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang

lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini

merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke:

[email protected].

Seluruh laporan kami bisa didownload di website:

www.syamina.org

1

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

Sembilan hari setelah serangan 9/11,

pemerintah AS secara resmi mendeklarasikan

perang melawan terorisme. Presiden George W.

Bush mengartikulasikan tujuan utamanya dalam

pidatonya kepada di hadapan Kongres AS: "Perang

melawan teror dimulai dengan Al Qaeda, tetapi

tidak berakhir di sana. Perang ini tidak akan

berakhir sampai setiap kelompok teroris dalam

jangkauan global berhasil ditemukan, dihentikan

dan dikalahkan."1

Tiga belas tahun kemudian, dunia pun masih

bertanya, apakah AS dan sekutunya berhasil

memenangkan perang tersebut? Ataukah justru

kekalahan yang mereka dapatkan di balik

kegagahan invasi militer dan teknologi canggih yang

mereka miliki? Pemerintah Obama mengatakan

bahwa musuh mereka, Al Qaidah, telah berada di

ambang kekalahan. Michael Hayden, mantan

direktur CIA, mengatakan bahwa “secara seimbang,

kita melakukannya dengan sangat baik. Kekalahan

strategis Al Qaidah di Irak. Kekalahan strategis Al

Qaidah di Arab Suadi. Kemunduran signifikan Al

Qaidah secara global—dan disini saya

menggunakan kata ‘secara ideologis’.”

Namun, banyak pihak yang lain menganggap

bahwa deklarasi tersebut terlalu optimistis. Karena

pada kenyataannya Al Qaidah sekarang telah

bertransformasi menjadi gerakan sosial, dengan

banyak cabang di berbagai negara.

Sampai saat ini, belum ada definisi yang jelas

mengenai bagaimana standar kemenangan dalam

1http://archives.cnn.com/2001/US/09/20/gen.bush.transcrip/

perang melawan sekelompok non-state actor yang

tidak berwilayah dengan jaringan yang meluas di

seluruh dunia. Tak ada ibukota yang bisa

ditaklukkan, kematian pemimpin tidak

menyurutkan langkah organisasi tersebut, kematian

satu pemimpin dengan cepat digantikan oleh

pemimpin yang lain. AS sendiri terjebak dalam

labirin kebingungan saat ditanya bagaimana mereka

mendefinisikan kemenangan dalam perang yang

dideklarasikan oleh Bush tersebut. Kebingungan

tentang bagaimana cara mengakhiri perang global

melawan teror ini dimulai dari para pimpinan

puncak dan menetes ke para analis intelijen.

Kebingungan tersebut dilukiskan oleh memo

yang ditulis oleh mantan Menteri Pertahanan AS

Donald Rumsfeld, "Apakah kita menang atau kalah

dalam perang global melawan teror?... Hari ini kita

tidak punya alat ukur untuk mengetahui apakah kita

menang atau kalah dalam perang global melawan

teror."2

Pada tahun 2013 silam Dr. Bridget Rose Nolan--

yang pernah menjadi analis di CIA selama satu

tahun—menulis sebuah disertasi tentang sharing

informasi di komunitas intelijen pasca serangan

9/11. Disertasi tersebut mengungkapkan bahwa

banyak analis di CIA merasa kewalahan karena

"mereka sering tidak benar-benar yakin apa

pekerjaan mereka, dan merasa bahwa mereka

hanya memiliki sedikit pemahaman tentang apa

yang dilakukan oleh orang lain dalam organisasi

2http://www.usatoday.com/news/washington/executive/rumsfeld-memo.htm

2

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

"Apakah kita menang atau

kalah dalam perang global

melawan teror?... Hari ini kita

tidak punya alat ukur untuk

mengetahui apakah kita

menang atau kalah dalam

perang global melawan teror."

tersebut." 3 Salah satu analis yang diwawancarai

dalam disertasi tersebut mengungkapkan

kebingungannya dengan konsep “Perang Melawan

Teror”. “Kita melakukan Perang Melawan Teror.

Apa arti sebenarnya dari perang ini? Bagaimana

Anda menjalaninya dari hari ke hari? Saat kita

menjalani Perang Dingin, saya pikir kita lebih yakin

saat itu. Ada negara yang bisa kita tuju dan kita

tahu bahwa kita sedang bertempur. Sekarang lebih

seperti jaringan, tampak bukan negara lagi. Dan

sangat sulit untuk tahu bagaimana hasil dari

memenangkan perang ini."4

Kebingungan yang dialami oleh para analis di CIA

ini mencerminkan paradoks dalam Perang Melawan

Teror: Amerika melakukan peperangan, namun

tidak ada tujuan yang jelas. Ada musuh, namun

mereka lebih sebagai sebuah jaringan dibanding

sebagai sebuah entitas. Ada tujuan, namun tidak

ada cara yang jelas untuk mencapai kemenangan.

Kebingungan yang sama juga tercermin dari

pernyataan Obama “Kita harus mendefinisikan sifat

dan ruang lingkup dari pertempuran ini, atau yang

lain itu akan mendefinisikan kita.... Kecuali kita

mendisiplinkan pikiran kita, definisi kita, tindakan

kita, kita dapat ditarik ke dalam perang yang tidak

perlu lagi kita lakukan, atau terus memberikan

presiden kewenangan tanpa batas.”5 AS merasa

tidak punya alat ukur bagaimana perang ini

3 Birdget Rose Nolan, “Information Sharing and Collaboration

in the United States Intelligence Community: An Ethnographic Study of the National Counterterrorism Center,” University of Pennsylvania, 2013, hal. 41 4 idem

5http://www.whitehouse.gov/the-press-office/2013/05/23/remarks-president-national-defense-university

dimenangkan, namun beberapa pihak yang lain

memandang bahwa justru AS yang tidak memahami

fenomena terorisme. Pemerintah AS mencoba

mengukur sesuatu yang merupakan produk dari

imajinasi mereka sendiri. Bagi Edmund Hull,

kemenangan AS diukur dari “berapa banyak orang-

orang Al Qaidah yang keluar, dan berapa banyak

yang masih ada di luaran sana, secara aktif dan

merencanakan serangan….” Sedangkan bagi Drew

Erdmann, sukses adalah “jika orang-orang Irak tidak

membenci kita.”

Tidak ada keraguan bahwa banyak hal telah

berubah sebagai respon atas serangan 9/11.

Perubahan ini telah mempengaruhi individu,

organisasi, dan negara. Bagi individu, perang

melawan terorisme telah membatasi beberapa

kebebasan fundamental dan mungkin telah

melanggar hak privasi mereka. Pemantauan

panggilan telepon, pemberlakukan prosedur

keamanan perbatasan yang lebih ketat, dan

meningkatnya praktek profiling, baik resmi maupun

tidak resmi, telah memberikan efek negatif pada

kebebasan individu. Lebih penting lagi, banyak

orang telah kehilangan nyawa mereka dan harus

3

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

mengungsi sebagai konsekuensi dari perang

melawan terorisme. Dalam tingkat organisasi, kita

telah menyaksikan kelahiran lembaga keamanan

baru, kebijakan kontraterorisme baru, dan

munculnya entitas yang dianggap sebagai teroris

baru. Menilai dampak positif dan negatif total dari

perang ini harus memperhitungkan semua

perkembangan tersebut. Pada tingkat negara, telah

terjadi perubahan rezim secara paksa sebagai

respon langsung terhadap serangan 9/11, seperti

penggulingan pemerintah Taliban di Afghanistan

dan rezim Baats di Irak. Kelompok yang dituduh

sebagai teroris dalam pandangan AS juga telah

menargetkan beberapa negara, seperti Inggris,

Spanyol, Yordania, dan Arab Saudi, atas dukungan

mereka terhadap perang global melawan terorisme.

Bagaimana seseorang menghitung dampak dari

perang global melawan terorisme di negara-negara

yang bersekutu dengan AS merupakan bagian

penting untuk menilai keberhasilan dan kegagalan

dari perang ini.

Sejarah Global War on Terrorism

Global War on Terrorism adalah istilah yang

umum digunakan untuk kampanye militer

internasional yang dimulai sebagai respon atas

serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat.

Tujuan utama dari kampanye militer ini adalah

untuk memusnahkan Al Qaidah dan organisasi

militan lainnya. Amerika Serikat bersama dengan

negara-negara NATO dan non-NATO lainnya seperti

Pakistan berpartisipasi dalam konflik ini.

Frase 'Perang Melawan Teror' pertama kali

digunakan oleh Presiden AS George W. Bush pada

tanggal 20 September 2001. Pemerintahan Bush

dan media Barat menggunakan istilah tersebut

untuk menargetkan organisasi yang dituduh sebagai

teroris dan rezim yang dituduh mendukung mereka.

Meskipun tidak lagi digunakan secara resmi oleh

pemerintahan Barack Obama—yang menggantinya

dengan istilah Overseas Contingency Operation—

namun istilah tersebut masih umum digunakan oleh

para politisi, di media dan dalam beberapa aspek

resmi pemerintahan AS, seperti Global War on

Terrorism Service Medal yang diberikan kepada

anggota militer AS yang dianggap berjasa dalam

perang melawan terorisme.

Pada tanggal 16 September 2001, di Camp David,

Presiden George W. Bush menggunakan frase

perang terhadap terorisme dalam sebuah komentar

yang kontroversial ketika ia berkata, "Perang Salib

ini—perang melawan terorisme—akan memakan

waktu yang cukup lama..." Bush kemudian meminta

maaf atas pernyataan ini karena konotasi negatif

istilah perang Salib bagi umat Muslim. Kata perang

salib tidak digunakan lagi. Pada tanggal 20

September 2001, Bush menyatakan bahwa, "Perang

melawan teror' kita dimulai dengan Al Qaidah,

tetapi tidak berakhir di sana. Perang ini tidak akan

berakhir sampai setiap kelompok teroris dari

jangkauan global telah ditemukan, dihentikan dan

dikalahkan." Bush tidak mengatakan kapan ia

berharap tujuan tersebut akan tercapai.

4

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

"Perang melawan teror kita

dimulai dengan Al Qaidah,

tetapi tidak berakhir di sana.

Perang ini tidak akan berakhir

sampai setiap kelompok

teroris dari jangkauan global

telah ditemukan, dihentikan

dan dikalahkan.”

Pada bulan April 2007 pemerintah Inggris

mengumumkan secara terbuka bahwa mereka

meninggalkan penggunaan frasa "Perang Melawan

Teror" karena mereka merasa istilah tersebut

kurang bermanfaat. Hal ini dijelaskan oleh Lady

Eliza Manningham-Buller, mantan kepala MI5,

bahwa serangan 11 September adalah "kejahatan,

bukan suatu tindakan perang… Jadi saya tidak

pernah merasa akan bermanfaat jika kita merujuk

istilah tersebut kepada perang melawan teror."

Presiden AS Barack Obama jarang menggunakan

istilah tersebut, tetapi dalam pidato pelantikannya

pada 20 Januari 2009, ia menyatakan "Negara kita

sedang berperang, melawan sebuah jaringan

kekerasan dan kebencian yang punya jangkauan

luas." Pada bulan Maret 2009 Departemen

Pertahanan AS mengubah nama operasi dari

"Global War on Terrorism" menjadi "Overseas

Contingency Operation" (OCO). Pada bulan yang

sama, pemerintah Obama meminta agar para staf

Pentagon menghindari penggunaan istilah tersebut

dan menggantinya dengan "Overseas Contingency

Operation". Namun, tujuan dasar "perang melawan

teror" yang dideklarasikan oleh pemerintahan Bush,

seperti penargetan Al Qaidah dan membangun

aliansi kontraterorisme internasional, tetap

dilanjutkan. Pada bulan Desember 2012, Jeh

Johnson, Penasihat Umum Departemen

Pertahanan, menyatakan bahwa operasi militer

akan digantikan oleh operasi penegakan hukum

saat berbicara di Oxford University. Ia memprediksi

bahwa Al Qaidah akan melemah bahkan sampai ke

level tidak efektif, dan telah dihancurkan secara

efektif, karenanya konflik tersebut tidak akan

menjadi konflik bersenjata berdasarkan hukum

internasional. Pada bulan Mei 2013, Obama

menyatakan bahwa tujuannya adalah "untuk

membongkar jaringan ekstremis spesifik yang

mengancam Amerika.” Pernyataan tersebut selaras

dengan perubahan istilah dalam Kantor Manajemen

dan Anggaran AS dari "Overseas Contingency

Operasi" menjadi "Countering Violent Extremism".

Deklarasi perang melawan teror disambut

dengan otorisasi penggunaan kekuatan militer

untuk melawan teroris atau yang lebih populer

dengan istilah Authorization for Use of Military

Force (AUMF) yang disahkan oleh undang-undang

AS pada tanggal 14 September 2001. Undang-

undang ini memberikan otoritas kepada presiden

AS untuk menggunakan seluruh kekuatan yang

dipandang perlu untuk melawan negara, organisasi,

atau orang yang dianggap telah merencanakan,

mengotorisasi, berkomitmen, atau membantu

serangan teroris yang terjadi pada tanggal 11

September 2001 tersebut, dengan tujuan untuk

mencegah serangan di masa depan.

5

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

Pemerintahan George W. Bush mendefinisikan

tujuan Perang Melawan Teror sebagai berikut:

1. Mengalahkan teroris seperti Usamah bin Ladin,

Abu Musab Az-Zarqawi dan menghancurkan

organisasi mereka

2. Mengidentifikasi, mencari dan menghancurkan

teroris bersama dengan organisasi mereka

3. Mencegah sponsorship, dukungan dan

perlindungan kepada teroris

- Mengakhiri terorisme yang disponsori oleh

negara

- Membangun dan mempertahankan standar

akuntabilitas internasional berkaitan dengan

memerangi terorisme

- Memperkuat dan mempertahankan upaya

internasional untuk memerangi terorisme

- Bekerja dengan negara bersedia dan mampu

- Mengaktifkan negara-negara lemah

- Membujuk negara-negara yang enggan

- Memaksa negara-negara yang tidak mau

- Melarang dan mengganggu dukungan

material kepada teroris

- Menghapuskan perlindungan dan tempat

aman bagi teroris

4. Mengurangi kondisi yang mendasari teroris

untuk melakukan eksploitasi

- Bermitra dengan masyarakat internasional

untuk memperkuat negara-negara lemah dan

mencegah munculnya kembali terorisme

- Memenangkan perang keteladanan

5. Membela warga AS dan kepentingan dalam dan

luar negeri AS

- Mengintegrasikan Strategi Nasional

Keamanan Nasional

- Mencapai kesadaran wewenang

- Meningkatkan langkah-langkah untuk

memastikan integritas, kehandalan, dan

ketersediaan infrastruktur yang kritis, fisik,

dan berbasis informasi dalam dan luar negeri

- Menerapkan langkah-langkah untuk

melindungi warga AS di luar negeri

- Memastikan kemampuan manajemen insiden

yang terpadu.

Operasi Militer atas Nama Perang Melawan

Terorisme

Operasi militer melawan terorisme yang oleh

pemerintah Bush diberi nama Operation Enduring

Freedom (Operasi Mengekalkan Kebebasan) secara

resmi dimulai dengan serangan ke Afghanistan yang

dilakukan oleh AS dan sekutunya pada tanggal 7

Oktober 2001. Operasi global tersebut bertujuan

untuk menghancurkan pejuang Al Qaidah dan

sekutunya.

1. Afghanistan (2001-sekarang)

Pada tanggal 20 September 2001, setelah

serangan 11 September, George W. Bush

memberikan ultimatum kepada pemerintah

Taliban Afghanistan untuk menyerahkan Usamah

bin Ladin dan pemimpin Al Qaidah yang

beroperasi di negara tersebut. Jika tidak, maka

Afghanistan akan diserang. Taliban meminta

bukti keterkaitan Usamah bin Ladin dengan

6

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

serangan 11 September. Jika bukti-bukti tersebut

dijamin dalam persidangan, mereka

menawarkan agar peradilan tersebut tersebut

dilakukan dalam sebuah pengadilan Islami. AS

menolak untuk memberikan bukti.

Selanjutnya, pada Oktober 2001, pasukan AS

dan sekutunya menginvasi Afghanistan untuk

menggulingkan Taliban. Pada tanggal 7 Oktober

2001, invasi secara resmi dimulai dimana

pasukan Inggris dan AS melakukan serangan

udara atas musuh yang ditargetkan. Kabul,

ibukota Afghanistan, jatuh pada pertengahan

November 2001. Sisa-sisa Al Qaidah dan Taliban

kembali ke pegunungan terjal di wilayah timur

Afghanistan, terutama Tora Bora.

Pada bulan Desember 2001, pasukan koalisi

bertempur di wilayah tersebut, namun Usamah

bin Ladin berhasil melarikan diri ke Pakistan saat

pertempuran berlangsung.

Pada bulan Maret 2002, AS dan pasukan

NATO dan non-NATO lainnya meluncurkan

Operasi Anaconda dengan tujuan

menghancurkan seluruh sisa-sisa pasukan Al

Qaidah dan Taliban di bukit Shah-i-Kot dan

Pegunungan Arma Afghanistan. Banyak anggota

Taliban yang menjadi korban dan akhirnya

memaksa mereka untuk melakukan evakuasi dari

wilayah tersebut.

Taliban bergabung kembali di wilayah barat

Pakistan dan mulai melepaskan serangan ala

pemberontakan melawan pasukan Koalisi pada

akhir tahun 2002. Sepanjang Afghanistan selatan

dan timur, tembak-menembak pecah antara

Taliban dan pasukan Koalisi. Pasukan koalisi

merespon dengan serangkaian serangan militer

dan peningkatan jumlah pasukan di Afghanistan.

Pada bulan Februari 2010, Pasukan koalisi

melancarkan Operasi Moshtarak di Afghanistan

selatan bersama dengan serangan militer lainnya

dengan harapan bahwa mereka akan mampu

menghancurkan pemberontakan Taliban secara

total. Namun, Taliban justru semakin menguat,

bahkan secara de facto menguasai sebagian

besar wilayah Afghanistan. Kondisi tersebut

memaksa AS untuk mengubah strategi. Pada

tahun 2010, AS mencabut Taliban dari daftar

organisasi teroris, dengan harapan bisa

melakukan pembicaraan damai dengan mereka.

Pasukan NATO dan non-NATO di bawah

pimpinan AS berencana meninggalkan

Afghanistan pada akhir tahun 2014.

2. Operation Enduring Freedom—Filipina

Pada bulan Januari 2002, Komando Operasi

Khusus Amerika Serikat di Pasifik dikerahkan ke

Filipina untuk memberikan saran dan membantu

militer Filipina dalam memerangi kelompok

Islam di Filipina. Operasi ini terutama difokuskan

untuk memusnahkan kelompok Abu Sayyaf dan

Jamaah Islamiyah (JI) dari markas mereka di

pulau Basilan. Bagian kedua dari operasi itu

dilakukan dalam bentuk program kemanusiaan

yang disebut "Operation Smiles." Tujuan dari

program ini adalah untuk memberikan

perawatan medis dan layanan di wilayah Basilan

sebagai bagian dari program "Hearts and Minds".

7

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

3. Operation Enduring Freedom—Tanduk Afrika

(OEF-HOA)

Tidak seperti operasi lain dalam Operation

Enduring Freedom, OEF-HOA tidak membidik

organisasi tertentu sebagai target. OEF-HOA

berfokus pada upaya untuk mengganggu dan

mendeteksi kegiatan militan di wilayah tersebut

dan untuk bekerjasama dengan pemerintah yang

bersedia untuk mencegah munculnya kembali

sel-sel militan.

Pada bulan Oktober 2002, Combined Joint

Task Force-Horn of Africa (CJTF-HOA) didirikan di

Djibouti di Camp Lemonnier, yang terdiri dari

sekitar 2.000 personel termasuk militer AS,

pasukan operasi khusus (SOF), dan anggota

pasukan Koalisi, yang disebut Combined Task

Force 150 (CTF-150).

Task Force 150 terdiri dari kapal-kapal dari

beberapa negara termasuk Australia, Kanada,

Perancis, Jerman, Italia, Belanda, Pakistan,

Selandia Baru dan Inggris. Tujuan utama dari

pasukan koalisi adalah untuk memantau,

memeriksa, menerima dan menghentikan kapal-

kapal mencurigakan yang memasuki wilayah

Tanduk Afrika dan mempengaruhi Operasi

Pembebasan Irak yang dilakukan oleh AS.

Salah satu program lain dari operasi ini adalah

pelatihan taktik kontra-terorisme dan kontra

insurgensi terhadap angkatan bersenjata dari

negara Djibouti, Kenya dan Ethiopia. Program

tersebut diperluas sebagai bagian dari Trans-

Saharan Counterterrorism Initiative, dimana

personel CITF memberikan pelatihan terhadap

pasukan militer Chad, Niger, Mauritania, dan

Mali.

4. Operation Enduring Freedom - Trans Sahara

Operation Enduring Freedom - Trans Sahara

(OEF-TS) adalah nama dari operasi militer yang

dilakukan oleh AS dan sekutunya di wilayah

Sahara/Sahel Afrika.

Konflik di Mali utara dimulai pada bulan

Januari 2012 saat pejuang Islam yang dianggap

berafiliasi dengan AlQaidah berhasil merebut

Mali utara. Pemerintah Mali kesulitan untuk

mempertahankan kontrol penuh atas negara

mereka, yang membuat mereka meminta

dukungan dari masyarakat internasional untuk

memerangi militan Islam tersebut. Pada Januari

2013, Perancis melakukan campur tangan atas

nama permintaan pemerintah Mali dan

mengerahkan pasukan ke wilayah ini. Mereka

melancarkan Operasi Serval pada tanggal 11

Januari 2013, dengan harapan mengusir

kelompok yang berafiliasi dengan AlQaidah dari

Mali utara.

5. Irak (2003-2011)

Perang Irak dimulai pada Maret 2003 dengan

kampanye udara, yang segera diikuti oleh invasi

lapangan. Pemerintahan Bush menyatakan

bahwa invasi tersebut adalah "konsekuensi

serius" yang telah dibicarakan dalam Resolusi DK

PBB 1441. Pemerintahan Bush juga menyatakan

bahwa Perang Irak adalah bagian dari Perang

8

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

Melawan Teror, sebuah klaim yang kemudian

dipertanyakan.

Baghdad, ibukota Irak, jatuh pada bulan April

2003 dan pemerintah Saddam Hussein

dibubarkan. Pada tanggal 1 Mei 2003, Bush

mengumumkan bahwa operasi tempur di Irak

telah berakhir. Namun, pemberontakan mulai

muncul untuk melawan pasukan koalisi pimpinan

AS dan militer Irak pasca-Saddam.

Pemberontakan, yang termasuk di dalamnya

juga dilakukan oleh kelompok-kelompok yang

dianggap berafiliasi dengan Al Qaidah, membuat

pertempuran berlangsung lebih lama dengan

korban tewas jauh lebih banyak. Mantan

presiden Irak, Saddam Hussein, ditangkap oleh

pasukan AS pada bulan Desember 2003. Dia

dieksekusi pada tahun 2006. Invasi AS ke Irak ini

telah mengakibatkan korban tewas sebanyak

500 ribu jiwa.6

Gambar 1. Pangkalan militer terapung AS di Teluk Persia

6 http://america.aljazeera.com/articles/2013/10/15/iraq-war-civiliandeathtoll500knewstudyestimates.html

Dari Pembebasan Menuju Pembunuhan

AS saat ini telah memasuki dekade kedua dalam

sebuah perang yang dikenal sebagai Global War on

Terrorism. Gagal mencapai kemenangan, namun

juga tidak mau mengakui kegagalan, AS telah

menarik pasukannya dari Irak. Mereka juga

mencoba untuk meninggalkan Afghanistan akhir

tahun 2014 ini, dengan hasil “yang jauh dari

menggembirakan”.

Di belahan bumi lain—di Pakistan, Libya, Yaman,

dan Somalia misalnya—pasukan AS masih sibuk

membuka front baru. Laporan bahwa AS sedang

membangun “konstelasi basis drone rahasia" di

dekat Tanduk Afrika dan di Semenanjung Arab

menunjukkan bahwa lingkup operasi yang dilakukan

AS akan semakin meluas.7 Dalam sebuah berita

halaman depan, New York Times menjelaskan

rencana untuk "mempertebal" kehadiran pasukan

operasi khusus AS (U.S. Special Force) secara

global.8 Rencana AS untuk membangun pangkalan

militer terapung di Timur Tengah dan di Pasifik

semakin memperkuat ambisi tersebut. Pangkalan

terapung ini ditujukan untuk mendukung operasi

kapal-kapal penyapu ranjau, kapal patroli kecil, dan

pesawat. Seiring dengan pemotongan anggaran

pertahanan besar-besaran dalam 10 tahun ke

depan, pemerintahan Obama memang

menginginkan militer AS lebih fokus pada

pengembangan kekuatan tempur yang lebih kecil,

7http://www.washingtonpost.com/world/national-security/us-building-secret-drone-bases-in-africa-arabian-peninsula-officials-say/2011/09/20/gIQAJ8rOjK_story.html?hpid=z1

8http://www.nytimes.com/2012/02/13/us/admiral-pushes-for-freer-hand-in-special-forces.html

9

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

tetapi lebih lincah dan efektif menjalankan berbagai

misi. Operasi pasukan komando, yang menurut

perhitungan mereka efektif dalam perang di Irak

dan Afganistan, menjadi salah satu pilihan

pengembangan militer AS ke depan. Saat satu front

ditutup, front lain dibuka. Narasi perang pun kini

pun semakin sulit untuk dibedakan.

Menurut Andrew Bacevich, profesor di bidang

sejarah dan hubungan internasional di Boston

University, dilihat secara dekat, Global War on

Terrorism nampak telah kehilangan bentuknya.9 Ia

membedakan perjalanan Global War on Terrorism

ini dalam tiga era.

- Era Rumsfeld

Putaran 1 : Pembebasan (Liberation). Menteri

Pertahanan saat itu, Donald Rumsfeld, merupakan

figur yang paling dominan pada masa awal perang,

lebih dari figur manapun, bahkan presiden Bush

sekalipun. Rumsfeld memposisikan dirinya dalam

sebuah sikap bahwa dalam pertempuran,

kecepatan memegang kunci untuk menggapai

kemenangan. Dialah dikenal dengan ide blitzkrieg

ala AS. Menurutnya, pasukan AS lebih pintar dan

lebih lincah dari musuh manapun. Mempekerjakan

mereka dengan cara yang mengambil keuntungan

dari sifat-sifat tersebut akan menjamin

kemenangan. Para jurnalis menggambarkan konsep

ini dengan istilah "shock and awe (terkejut dan

terpesona)."

9http://www.alternet.org/story/154207/the_3_stages_of_the_%22war_on_terror%22%3A_from_shock_and_awe_to_assassinations/

Tidak ada yang percaya dengan penuh semangat

pada "shock and awe" selain Rumsfeld sendiri.

Desain Operation Enduring Freedom, yang

diluncurkan pada bulan Oktober 2001, dan Operasi

Pembebasan Irak, yang dimulai pada Maret 2003,

mencerminkan keyakinan ini. Pada awalnya, operasi

tersebut berjalan dengan cukup menjanjikan,

dimana pasukan AS berhasil mendaratkan beberapa

pukulan secara cepat dan mengesankan. Namun,

dalam kedua kasus tersebut, mereka tidak mampu

menghabisi lawan mereka atau bahkan, pada

kenyataannya, tidak berhasil memilah siapa lawan

mereka sebenarnya. Sayang bagi Rumsfeld,

"teroris" menolak untuk bermain berdasarkan buku

aturan yang telah ia rencanakan, dan pasukan AS

terbukti kurang cerdas dan lincah dari musuh

mereka. Saat diganggu oleh pemberontakan kecil

dan kelompok jihadi yang tersebar, mereka terbukti

lambat untuk mencari tahu siapa yang telah

memukul mereka.

Di Afghanistan, Rumsfeld membiarkan

kemenangan lepas dari genggamannya. Di Irak,

mismanagement memaksa AS harus mengenyam

kekalahan langsung. Bos Rumsfeld berharap untuk

membebaskan, dan tentu saja mendominasi, dunia

Islam melalui serangkaian serangan pendek dan

cepat. Namun yang didapat oleh Bush justru adalah

perang yang panjang dan keras. Pada akhir tahun

2006, "shock and awe" tidak lagi berfungsi.

Presiden Bush akhirnya kehilangan kepercayaan

atas pendekatan menteri pertahanannya.

Akibatnya, Rumsfeld kehilangan pekerjaannya.

10

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

Putaran pertama berakhir, dan Amerika, secara

memalukan, telah kehilangan poin.

- Era Petraeus

Putaran 2: Pengamanan (Pacification). Lebih

dari tokoh lainnya, Jenderal David Petraeus,

mendominasi fase kedua Global War on Terrorism.

Ronde kedua dibuka dengan harapan yang

diturunkan. Hilang sudah pembicaraan mengenai

pembebasan, tidak ada lagi prediksi mengenai

kemenangan kilat. AS sekarang telah bersedia untuk

menerima jauh lebih sedikit hasil, meski masih

mengklaim kesuksesan.

Petraeus menawarkan formula untuk

mengembalikan keteraturan ke negara-negara yang

mengalami kekacauan sebagai akibat dari kebijakan

ronde pertama. Tatanan tersebut memungkinkan

Amerika Serikat untuk melepaskan diri sambil tetap

berusaha mencapai tujuan politiknya.

Nama resmi formula yang dirancang Petraeus

adalah kontra-insurgensi, atau COIN. Daripada

mencoba untuk mengalahkan musuh, COIN

berusaha untuk memfasilitasi munculnya negara

yang layak dan stabil. Ini adalah tujuan yang

dinyatakan dari operasi di Irak yang dikenal dengan

istilah “surge” yang diperintahkan oleh Presiden

George W. Bush pada akhir tahun 2006.

Di bawah kepemimpinan Petraeus, kekerasan di

negara-negara yang dijajah mengalami penurunan

drastis. Apakah hubungan tersebut kausal atau

kebetulan tetap menjadi perdebatan yang penuh

kontroversi. 10 Namun, keberhasilan Petraeus

10

http://www1.rollingstone.com/extras/RS_REPORT.pdf

membuat beberapa pengamat merasa bahwa

kontrainsurgensi dalam skala global—yang mereka

sebut dengan istilah Global Counterinsurgency

(GCOIN)—harus menjadi dasar strategi keamanan

nasional AS. Daripada menggunakan "shock and

awe" untuk membebaskan dunia Islam, pasukan AS

akan menerapkan doktrin kontrainsurgensi untuk

memenangkannya.

Tugas untuk menerapkan validitas COIN di luar

Irak jatuh kepada Jenderal Stanley McChrystal, yang

ditunjuk dengan penuh kemeriahan pada tahun

2009 untuk memimpin pasukan AS dan NATO di

Afghanistan. Media menjuluki McChrystal sebagai

another Petraeus, 11 calon ideal untuk meniru

prestasi yang telah dicapai Petraeus.

Kekuasaan McChrystal datang pada saat kultus

keahlian militer mencengkeram Washington. Alih-

alih menjadikan teknologi sebagai penentu sukses

sebagaimana yang diyakini oleh Rumsfeld, pada

ronde kedua ini kuncinya adalah menempatkan

orang yang tepat dan kemudian membiarkannya

berjalan. Tokoh politik maupun publik AS semuanya

sepakat bahwa McChrystal adalah sosok yang tepat

untuk menangani Afghanistan.

Setelah sampai di Kabul, McChrystal mengamati

situasi dan mengumumkan bahwa "untuk mencapai

keberhasilan dibutuhkan kampanye

kontrainsurgensi yang komprehensif."12Dibutuhkan

operasi “surge” di Afghanistan, sebagaimana yang

berhasil dilakukan di Irak. Pada bulan Desember

11

http://www.nytimes.com/2009/05/13/world/asia/13commander.html

12http://www.nytimes.com/2009/12/01/opinion/01brooks.html

11

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

2009, meskipun dengan sedikit antusiasme,

Presiden Barack Obama menyetujui permintaan

komandannya tersebut. Komitmen pasukan AS di

Afghanistan meningkat pesat.13

Sejak saat itu, segalanya menjadi kacau.

Kemajuan kearah berkurangnya pemberontakan

atau janji untuk meningkatkan kapasitas pasukan

keamanan Afghanistan mulai terabaikan.

McChrystal membuat janji yang akhirnya tak

mampu ia tunaikan. Hubungan dengan

pemerintahan Hamid Karzai tetap tegang. Begitu

juga dengan Pakistan yang hubungannya semakin

memburuk. Kedua pemerintah tersebut marah

dengan perilaku AS yang secara sewenang-wenang

membunuhi warga sipil.

Keadaan semakin memburuk, dan McChrystal

dianggap sebagai pilihan yang salah. Ia dipandang

tidak mampu memahami kebutuhan untuk

mengembalikan penghargaan pada prinsip-prinsip

sipil kembali ke Washington. Pada musim panas

2010, ia keluar dan Petraeus kembali masuk.

Reputasi besar Petraeus membawa sejumlah

harapan kesuksesan di Afghanistan. Tentunya,

prajurit AS paling terkenal di generasinya dipandang

akan mampu mengulangi keajaiban yang dulu

pernah dilakukannya di Irak dengan strategi COIN-

nya.

Sayangnya, hal itu tidak terjadi. Kondisi di

Afghanistan selama masa Petraeus hanya sedikit

mengalami peningkatan. Perang yang sedang

13

http://www.whitehouse.gov/the-press-office/remarks-president-address-nation-way-forward-afghanistan-and-pakistan

berlangsung di Afghanistan tak ubahnya seperti

rawa. Pada tahun 2011, National Intelligence

Estimate menyebutnya sebagai "jalan buntu."

Setelah itu, pembicaraan mengenai

"kontrainsurgesi komprehensif" memudar. Palang

untuk mendefinisikan kesuksesan pun turun

semakin rendah, menyerahkan perjuangan pada

pasukan keamanan Afghanistan dan segera pulang

ke rumah menjadi tujuan perang yang disampaikan

kepada publik.

Pekerjaan masih belum selesai saat Petraeus

pulang ke rumah, meninggalkan tugas militer untuk

menjadi direktur CIA. Saat Jenderal John Allen

menggantikan Petraeus—dan menjadi perwira AS

kedelapan yang ditunjuk untuk memimpin Perang

Afganistan—tidak ada yang percaya bahwa hanya

dengan menempatkan orang yang tepat akan

menghasilkan keajaiban. Dengan demikian,

berakhirlah putaran kedua Global War on

Terrorism.

- Era Vickers

Putaran 3: Pembunuhan (Assasination). Tidak

seperti Donald Rumsfeld atau David Petraeus,

Michael Vickers belum mencapai status selebriti.

Namun lebih dari figur lain, Vickers yang membawa

menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan AS

untuk urusan Intelijen, layak mendapat pengakuan

sebagai sosok penting dalam Global War on

Terrorism ronde ketiga. Sifat low profile-nya cocok

dengan evolusi terbaru karakter perang saat ini.

Hanya sedikit orang di luar Washington yang tahu

siapa dia, kondisi yang pas karena ia memimpin

12

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

“Putaran ketiga Global War

on Terrorism bertema tentang

membengkokkan, melanggar,

dan menciptakan kembali

aturan dengan cara yang

dianggap menguntungkan

Amerika Serikat.”

sebuah perang yang tidak lagi banyak diperhatikan

oleh pihak di luar Washington.

Dengan pensiunnya Menteri Pertahanan Robert

Gates, Vickers adalah pejabat senior Pentagon era

George W. Bush yang masih tersisa. Sebelumnya dia

bertugas di US Army Special Forces dan bekerja

sebagai agen CIA. Dalam kedok itu, ia memainkan

peran utama dalam mendukung mujahidin

Afghanistan dalam perang melawan penjajah Soviet

pada 1980-an. Selanjutnya, ia bekerja di sebuah

lembaga think tank Washington dan memperoleh

gelar PhD dalam studi strategis di Johns Hopkins

University dengan judul disertasi " The Structure of

Military Revolutions ".

Bahkan selama era Bush, Vickers tidak pernah

berharap bahwa Amerika Serikat bisa

membebaskan atau menenangkan dunia Islam.

Pendekatannya pada Global War on Terrorism

cukup sederhana: "Aku hanya ingin membunuh

orang-orang itu.” 14 "Orang-orang itu" yang

dimaksud adalah mengacu pada anggota Al Qaidah.

Bunuh orang-orang yang ingin membunuh orang

Amerika dan jangan berhenti sampai mereka semua

mati. Itulah strategi Vickers, yang selama masa

kepresidenan Obama telah menggantikan COIN

sebagai varian terbaru dari strategi AS.

Pendekatan Vickers berarti bertindak agresif

untuk memusnahkan calon teroris di mana pun

mereka dapat ditemukan, menggunakan sarana apa

saja yang diperlukan. Vickers "cenderung berpikir

14

Soldier, Thinker, Hunter, Spy: Drawing a Bead on Al Qaeda, the New York Times, 3 September 2011, http://www.nytimes.com/2011/09/04/world/04vickers.html?pagewanted=all

seperti gangster. Dia bisa memahami tren

kemudian mengubah aturan permainan sehingga

membawa keuntungan di pihak Anda ."15

Menurut Bacevich, putaran ketiga Global War on

Terrorism bertema tentang membengkokkan,

melanggar, dan menciptakan kembali aturan

dengan cara yang dianggap menguntungkan

Amerika Serikat. Sebagaimana COIN menggantikan

"shock and awe," program pembunuhan target kini

menggantikan COIN sebagai ekspresi yang berlaku

dalam perang ala Amerika Serikat.

Amerika Serikat selesai dengan metode

pengiriman pasukan lapangan dalam jumlah besar

untuk menginvasi dan menduduki negara-negara di

daratan Eurasia. Robert Gates, saat masih menjabat

sebagai Menteri Pertahanan, membuat pernyataan

definitif tentang itu. Amerika Serikat saat ini

menggunakan drone bersenjata rudal dan pasukan

operasi khusus untuk membunuh seseorang yang

dianggap mengganggu oleh Presiden Amerika

Serikat. Di bawah Presiden Obama, serangan

tersebut telah menjamur.

15

Sorry, Charlie. This Is Michael Vickers's War, Wahington Post, 28 Desember 2007, http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2007/12/27/AR2007122702116.html

13

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

Inilah Amerika baru. Mengutip peringatan yang

dikeluarkan oleh mantan Menteri Luar Negeri

Hillary Clinton, "Amerika Serikat berhak untuk

menyerang siapa saja yang dirasa akan

menimbulkan ancaman langsung terhadap

keamanan nasional AS, di mana saja di dunia ini."16

Selanjutnya, bertindak atas nama Amerika

Serikat, presiden melakukan hak ini tanpa

peringatan, tanpa memperhatikan klaim kedaulatan

nasional, tanpa otorisasi kongres, dan tanpa

berkonsultasi dengan siapapun selain Michael

Vickers dan beberapa anggota lain dari aparat

keamanan nasional. Peran yang bisa diberikan

kepada rakyat Amerika adalah untuk bertepuk

tangan, jika dan ketika diberitahu bahwa

pembunuhan yang sukses telah terjadi. Dan rasa

salut pun dilakukan oleh warga AS, misalnya, ketika

sebuah serangan oleh anggota SEAL Team Six

secara diam-diam memasuki Pakistan untuk

membunuh Usamah bin Laden. Dendam yang sudah

berlangsung lama membuat pertimbangan soal

implikasi politik dan hak asasi manusia tidak lagi

dianggap perlu.

Bagaimana putaran ketiga ini akan berakhir

masih sulit untuk diprediksi. Yang pasti, perang ini

tidak akan berakhir dalam waktu dekat.

Sebagaimana yang telah dilakukan Israel, saat

pembunuhan target menjadi kebijakan Anda, daftar

target akan memiliki cara untuk terus berkembang.

16

http://www.washingtonpost.com/world/national-security/as-us-pakistani-relations-sink-nations-try-to-figure-out-a-new-normal/2012/01/13/gIQAklfw3P_story.html

Dari ketiga era Global War on Terrorism

tersebut, bagaimana hasil sementara

pencapaiannya? Menurut Andrew Bacevich, secara

operasional, perang yang diluncurkan oleh orang-

orang yang berpikiran konvensional tersebut telah

jatuh ke kegelapan dan tak banyak orang yang mau

mengeksplorasi implikasinya. Secara strategis,

perang yang pada awalnya penuh dengan harapan

utopia hari ini terus berlanjut tanpa harapan

konkret apapun, momentum peristiwa demi

peristiwa telah menggusur pertimbangan serius

mengenai tujuan. Secara politis, perang yang

pernah menempati panggung utama politik

nasional AS kini telah tergeser ke pinggiran, publik

Amerika pindah fokus ke masalah dan hiburan

lainnya. Namun, pernyataan soal legalitas dan

moral mengenai perang saat ini masih

menggantung di udara.

14

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

Pendekatan Yang Dilakukan Dalam Global War on

Terrorism

Saat ini, pendekatan yang paling banyak

digunakan dalam kontraterorisme menurut Ronald

Crelinsten adalah model peradilan kriminal dan

model perang. Crelinsten sendiri menyodorkan lima

pendekatan komprehensif yang dilakukan oleh

pemerintah dalam program kontraterorisme:

koersif, proaktif, persuasif, defensif, dan jangka

panjang.17

1. Kontraterorisme Koersif

Kontraterorisme koersif bergantung pada

monopoli negara atas penggunaan kekerasan, yaitu

penggunaan hard power. Batasan ketat

diberlakukan pada pihak mana yang bisa menjadi

subjek kekerasan negara. Batasan tersebut

membentuk dasar legitimasi yang diberikan kepada

negara melalui aturan hukum, baik nasional

maupun internasional.

Tanpa pembatasan yang legal pada penggunaan

kekerasan negara, pelaksanaan kekerasan oleh

aparat negara seperti polisi atau militer bisa

menjadi sebuah aksi kriminal, melanggar baik

hukum pidana domestik maupun hukum

internasional. Ketika aparat negara yang bertindak

atas nama kontraterorisme konsisten melanggar

aturan hukum atau hukum perang dan kebal

atasnya—melalui penggunaan kekuatan koersif

dengan cara yang menimbulkan teror yang disetujui

oleh negara—maka mereka telah menjadi teroris

17

http://www.terrorismanalysts.com/pt/index.php/pot/article/view/321/html

negara, meniru perilaku para teroris yang

sebenarnya sedang mereka perangi.

Model Peradilan Pidana. Pendekatan peradilan

pidana memperlakukan aksi terorisme sebagai

sebuah kejahatan. Jika kita melihat taktik teroris

yang paling umum, seperti penculikan,

pembunuhan, pemboman dan serangan bersenjata,

hasil akhir dari aksi tersebut biasanya berupa

cedera atau hilangnya nyawa atau perusakan harta

benda, yang semuanya secara universal sudah

dilarang dalam hukum pidana semua bangsa.

Memperlakukan terorisme sebagai kejahatan

biasa—bukan sebagai pelanggaran khusus yang

memerlukan prosedur atau hukuman khusus—

memiliki efek delegitimasi pada teroris. Dengan

mengkriminalisasikan tindakan yang dilakukan oleh

teroris, penekanannya diletakkan pada sifat

kriminal mereka dan bukan pada motif politik atau

ideologi mereka.

Namun, semua itu berubah pasca serangan 11

September 2001. Banyak negara Barat yang

memberlakukan aturan khusus untuk menghadapi

teroris setelah serangan 9/11: Amerika Serikat dan

Kanada pada tahun 2001, Australia dan Norwegia

pada tahun 2002, Swedia pada tahun 2003. Dalam

banyak aturan baru tersebut, motif menjadi elemen

pusat dari definisi resmi terorisme. Aturan tersebut

memuat tentang tindakan terorisme atau

melakukan tindakan untuk tujuan terorisme, serta

keanggotaan dalam organisasi teroris dan

memberikan dukungan material untuk terorisme,

seperti uang, senjata atau keahlian teknis, dan

15

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

rekrutmen. Bahkan, dukungan pada terorisme telah

menjadi suatu pelanggaran di beberapa negara,

seperti Inggris dan Spanyol.

Model peradilan pidana bergantung pada

birokrasi yang rumit dengan aturan pemerintahan

yang ketat dan melibatkan interaksi antar banyak

lembaga, dengan tradisi, budaya dan bahasa

mereka masing-masing. Hal ini berpotensi

menimbulkan kelambanan proses, bahkan sampai

bertahun-tahun. Bagi beberapa pihak, terutama

korban, model ini dipandang menguntungkan

teroris. Meski model peradilan pidana dapat

mencapai beberapa tujuan penting dalam hal

pencegahan, retribusi, pendidikan, dan rehabilitasi,

manfaat ini sebagian besar tergantung pada

bagaimana sistem digunakan, seberapa adil sistem

ini ini digunakan oleh pihak lain, dan seberapa jauh

komitmen seseorang pada teror baik sebagai sarana

untuk tujuan lain atau sebagai tujuan itu sendiri.

Model Perang. Model perang kontraterorisme

memperlakukan terorisme seolah-olah sebagai

suatu tindakan perang atau

pemberontakan. Karena perang biasanya terjadi

antara negara, melawan terorisme dengan model

perang menyiratkan bahwa kelompok teroris

berada dalam posisi setara dengan negara. Inilah

sebabnya mengapa banyak kelompok teroris

menggunakan kata 'tentara' dalam nama

mereka. Meskipun elemen pusat dari model perang

adalah penggunaan kekuatan maksimal, yang

dirancang untuk mengalahkan musuh, pelaksanaan

perang tidak lantas hampa dari hukum. Hukum

perang telah mengatur bagaimana perang harus

dilaksanakan dan bagaimana warga sipil harus

diperlakukan. Konvensi Jenewa 1949 memberikan

aturan yang melegitimasi pembunuhan atau

penahanan tanpa pengadilan pada saat perang,

asalkan diarahkan untuk menyergap

musuh. Namun, aturan yang sama juga

memberikan batasan dimana setelah pejuang

ditangkap dan dilucuti, atau menyerah dan

meninggalkan pertarungan, dia harus diperlakuan

secara manusiawi, diberi perlindungan dan

perawatan.

Istilah 'kmbatan musuh yang ilegal' mencoba

untuk membuat pengecualian atas aturan ini,

dimana kombatan yang tidak memakai seragam

atau lencana diidentifikasi sebagai kombatan

musuh, yaitu teroris, gerilyawan atau

pemberontak. Dalam model perang

kontraterorisme, keberhasilan cenderung

didefinisikan dalam hal kemenangan atau

kekalahan. 'Perang melawan teror' hanya berakhir

ketika musuh teroris dikalahkan. Jika peperangan

terjadi berlarut-larut, bahkan lintas generasi, maka

upaya-upaya kontraterorisme tetap terus dilakukan

selama deklarasi keadaan perang (state of war)

masih berlangsung. Hal ini menyebabkan beberapa

pihak berpendapat bahwa AS telah terjebak dalam

sebuah 'perang panjang' atau bahkan perang 'tidak

tanpa akhir' dengan terorisme yang cenderung

diarahkan pada kelompok Islam.

Model perang dianggap cepat, efektif dan cocok

untuk ancaman jenis baru yang ditimbulkan oleh

jaringan teroris yang terdesentralisasi dan bersifat

ideologis, dimana para pengikutnya tidak bisa

16

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

Model perang berisiko tinggi

meningkatkan kekerasan,

merusak legitimasi

pemerintah yang

menggunakannya, atau

bahkan bisa membawa

kepada sebuah pemerintahan

yang tidak demokratis.

terhalangi oleh peradilan pidana tradisional atau

kekuatan militer tradisional. Model ini banyak

mengandalkan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Contohnya antara lain penginderaan

jarak jauh, citra satelit, pesawat mata-mata,

teknologi rudal, bom pintar dan persenjataan

canggih lainnya, serta pengenalan wajah dan

biometrik lainnya. Selain itu, beberapa kemampuan

yang sedang digalakkan dalam beberapa tahun

terakhir adalah 'kebutuhan untuk melakukan

tracking dari ''lahir sampai mati'' dan identifikasi

target penting di mana saja di dunia ini.’ Gagasan

bahwa negara dapat mengawasi, mendengarkan,

merekam dan melacak siapa pun atau apa pun di

mana saja di dunia dan melakukan serangan

dengan pesawat tanpa awak adalah model perang

individual mutakhir saat ini, yang dirancang untuk

melawan musuh yang tersebar. Sejak Barack

Obama menjadi Presiden pada tahun 2008, dimensi

militer kebijakan kontraterorisme telah diperluas

dengan menyertakan sistem serangan drone dan

pembunuhan yang ditargetkan (targeted

assasinations).

Model perang berisiko tinggi meningkatkan

kekerasan, merusak legitimasi pemerintah yang

menggunakannya, atau bahkan bisa membawa

kepada sebuah pemerintahan yang tidak

demokratis. Seperti dalam teori perang yang adil,

penggunaan kekuatan dapat dibenarkan dalam

kondisi tertentu yang ketat. Ia harus digunakan

secara proporsional, dinyatakan oleh otoritas yang

tepat, digunakan untuk tujuan yang dibenarkan,

dengan niat memperoleh hasil akhir yang lebih

besar daripada dampak buruk dari sarana yang

digunakan, memiliki probabilitas keberhasilan yang

tinggi, mendapatkan dukungan publik, dan hanya

digunakan sebagai upaya terakhir, ketika semua

cara lain telah ditempuh.

2. Kontraterorisme Proaktif

Kontraterorisme Proaktif bertujuan untuk

mencegah terorisme sebelum terjadi. Melalui

penggabungan keamanan internal dan eksternal,

polisi dalam negeri, badan-badan intelijen, dan

pejabat perbatasan dan bea cukai semua bersatu

untuk melacak pergerakan orang, barang dan

uang. Melalui teknik mengganggu yang melibatkan

pengawasan, penyadapan, dan cara memata-matai

lainnya, agen dari seluruh lembaga mencurahkan

energi mereka untuk menghentikan teroris sebelum

mereka bertindak dan menggagalkan plot teroris

sebelum mereka berkembang terlalu jauh. Tren ini

telah menyebabkan munculnya model hibrida dari

kontraterorisme koersif yang menggabungkan

unsur-unsur dari kedua model peradilan pidana dan

model perang.

17

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

Peningkatan fokus pada kontraterorisme proaktif

memiliki implikasi penting bagi berbagai institusi

dan kebijakan. Di bidang peradilan pidana, model

ini berarti memicu kebijakan yang lebih proaktif dan

berdasarkan data intelijen, meningkatnya

penggunaan operasi sengatan dan informan,

ketergantungan lebih pada penahanan preventif,

dan penangkapan awal untuk mengganggu plot. Di

bidang intelijen, model ini berarti pelebaran jaring

pengawasan, identifikasi kelas bahaya seseorang,

peningkatan penggunaan profiling, peningkatan

fokus pada radikalisasi dan kontra-radikalisasi, serta

meningkatkan fokus pada pendanaan teroris dan

penggalangan dana. Di bidang hukum pidana,

model ini berarti lebih banyak ceramah yang

menyerang terorisme, mengkriminalisasi

keanggotaan dalam organisasi dan dukungan

material untuk terorisme, perekrutan dan

pelatihan. Dalam dunia militer, model ini berarti

ketergantungan lebih pada drone untuk

pengawasan dan pembunuhan atas pihak yang

ditargetkan, intervensi yang lebih di negara-negara

yang gagal untuk menyerang kamp-kamp pelatihan

‘teroris’ dan kelompok militan secara langsung,

seperti intervensi Perancis baru-baru ini di Mali,

dan serangan AS di Irak pada tahun 2003.

Sebuah pendekatan yang lebih proaktif

memerlukan koordinasi dan integrasi di berbagai

domain kebijakan: hukum pidana, kepolisian,

intelijen, keuangan, pengawasan perbatasan,

imigrasi dan kebijakan pengungsi, strategi dan

taktik militer, diplomasi, pembangunan, dan

intervensi kemanusiaan. Dengan demikian,

pendekatan ini memerlukan koordinasi yang sangat

besar di seluruh domain, baik lembaga hukum

maupun lembaga pemerintahan, di dalam negeri

dan di sepanjang batas-batas antara kebijakan

dalam dan luar negeri yang semakin kabur. Kondisi

ini berpotensi menciptakan ketegangan diantara

berbagai tujuan yang secara intrinsik bertentangan.

Model Intelijen. Fungsi intelijen merupakan

elemen penting dalam setiap upaya

kontraterorisme. Dalam pendekatan proaktif,

intelijen menjadi pusat. Di dalam intelijen

keamanan yang proaktif, informasi tidak

dikumpulkan untuk tujuan pembuktian tetapi

digunakan untuk tujuan intelijen. Tujuan utamanya

belum tentu tuntutan pidana. Sebaliknya, tujuan

operasi intelijen adalah untuk mempelajari lebih

lanjut tentang sejauh mana pencapaian yang di

dapat oleh tersangka teroris. Karena itu, tuntutan

pengumpulan informasi dapat bertentangan

dengan kepentingan investigasi kriminal dan proses

hukum.

Kontraterorisme proaktif adalah pedang

bermata dua. Ia dapat menghentikan ancaman yang

berkembang sejak awal atau mengacaukan jaringan

teroris sehingga mereka tidak bisa bergerak dari

tahap perencanaan. Di sisi lain, menangkap seorang

agen teroris dapat mengurangi kesempatan untuk

belajar lebih banyak tentang hubungan mereka

dengan jaringan teroris atau kriminal lainnya.

Penggabungan antara keamanan nasional dan

keamanan masyarakat telah menyebabkan

terjadinya pengawasan secara besar-besaran atas

18

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

berbagai macam individu serta penahanan tanpa

pengadilan. Sebagian besar perdebatan seputar

upaya kontraterorisme di bidang intelijen dan

pengawasan pasca-September 11 berkaitan dengan

apakah profiling kelompok tertentu dibenarkan dan

sejauh mana jaringan pengawasan dilakukan.

Kondisi ini menghasilkan dilema ketakutan: 1)

ketakutan false negatives (kegagalan untuk

mendeteksi ancaman) yang bisa menyebabkan

meluasnya jaringan pengawasan, sehingga berisiko

melanggar kebebasan masyarakat, danpada

akhirnya, melanggar hak asasi manusia oleh agen

pemerintah; 2) ketakutan false positives

(penargetan individu, organisasi atau masyarakat

yang tidak bersalah) dapat menyebabkan

pembatasan yudisial secara ketat pada proses

pengumpulan intelijen, pembentukan komite

pengawasan yang ditunggangi dengan agenda

politik, dan penciptaan klausul undang-undang anti-

terorisme yang diaktifkan pada waktu yang tidak

tepat, sehingga berisiko melemahkan efektivitas

operasi pengumpulan intelijen.

Kedua ketakutan tersebut dapat dibangun secara

sosial atau dibesar-besarkan oleh pihak yang

memiliki kepentingan, yaitu para politisi, pembuat

kebijakan, penegak hukum, media, masyarakat yang

berisiko, perusahaan keamanan swasta dan

pengusaha.

3. Kontraterorisme Persuasif

Kontraterorisme melibatkan pemahaman

tentang ide-ide yang mendukung penggunaan

terorisme dalam kehidupan sosial dan

politik. Pemahaman ini meliputi aspek ideologi,

politik, sosial, budaya dan agama. Teroris memiliki

konstituen berupa pengikut, simpatisan, calon

potensial, pendukung aktif atau pasif, dan negara

sponsor. Kontrateroris memiliki konstituen yang

meliputi aktor-aktor negara dalam departemen

pemerintah, lembaga dan birokrasi, termasuk

sekutu, serta aktor-aktor non-negara dalam

masyarakat sipil dan sektor swasta, seperti

kelompok-kelompok korban, warga, publik dan

media massa, baik domestik maupun internasional,

pengusaha dan karyawan, serta perusahaan

swasta. Kontrateorisme harus berurusan dengan

semua khalayak tersebut.

Kontrateorisme, sebagaimana terorisme, secara

inheren bersifat komunikatif. Propaganda, perang

psikologis, kampanye "hati dan pikiran", dan ide

memberikan insentif bagi teroris untuk

meninggalkan kekerasan dan mencari jalan tanpa

kekerasan merupakan bentuk komunikasi pada

kontraterorisme, di mana pesan yang berbeda

disampaikan kepada audiens yang

berbeda. Sebagaimana diskursus dan propaganda

teroris dapat membutakan pengikut, diskursus dan

propaganda kontraterorisme juga dapat

membutakan masyarakat, elit pemegang kebijakan

dan media, untuk beralih kepada sarana alternatif

melawan ancaman teroris.

Model Komunikasi. Seluruh bentuk respon

kontraterorisme memberikan informasi kepada

audiens yang berbeda. Pesan tertentu yang

diterima oleh khalayak tertentu mungkin tidak

sama dengan yang dimaksudkan oleh pengirim. Hal

19

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

ini bisa menimbulkan kompleksitas pada usaha

kontraterorisme dan dapat menyebabkan

konsekuensi yang tidak diinginkan.Oleh karena itu

penting untuk memahami berbagai jenis pesan,

audiens dan jalur komunikasi yang terlibat dalam

jaringan teroris-kontrateroris yang kompleks.

Dalam mengatasi konstituen teroris,

kontraterorisme persuasif dapat mencoba untuk

mempromosikan persepsi yang diinginkan oleh

anggota organisasi teroris, simpatisan mereka, dan

pendukung luar negeri mereka, seperti pesan

bahwa terorisme adalah kontraproduktif dan

bahwa ada cara lain yang lebih berguna untuk

mencapai tujuan mereka. Kontranarasi yang

mendorong pemahaman lintas budaya dan

pemahaman antar etnis dapat merunthkan aspek-

aspek propaganda dan ideologi teroris.

Pencegahan persepsi yang tidak diinginkan

antara teroris dan konstituen mereka adalah aspek

lain dalam kontraterorisme persuasif. Dua

keyakinan yang paling kuat yang mengikat anggota

dalam sebuah kelompok teroris adalah ide bahwa

sekali kekerasan telah dilakukan, Anda tidak bisa

kembali, dan gagasan bahwa kelompok adalah satu-

satunya tempat di mana sense atas identitas,

kepemilikan, kepentingan atau makna eksistensial

dapat dicapai.

Undang-undang yang memberikan pengurangan

hukuman bagi mereka yang bekerja sama dengan

pihak berwenang atau menawarkan amnesti bagi

mereka yang meninggalkan kekerasan, ditambah

dengan jaminan resmi dari pemerintah yang

memungkinkan seorang anggota bisa keluar dari

kelompok teroris dan bahwa mereka yang bekerja

sama dan yang meninggalkan kekerasan dapat

diterima kembali ke masyarakat, bisa membantu

individu tertentu untuk keluar dari organisasi

teroris. Kekhawatiran psikologis, material dan

ekonomi yang membuat orang rentan terhadap

perekrutan dapat diatasi dengan menciptakan

struktur insentif alternatif bagi mereka yang

meninggalkan kekerasan dan terorisme. Upaya

kontra radikalisasi yang ditujukan kepada calon

anggota potensial dan masyarakat yang rentan, dan

upaya deradikalisasi yang ditujukan untuk anggota

aktif atau yang sedang dipenjara sangat vital dalam

usaha untuk mencegah persepsi dan sistem

kepercayaan yang tidak diinginkan.

Dalam mengatasi konstituen kontrateroris,

elemen utama yang dilakukan adalah pemeliharaan

kepercayaan dan keyakinan publik terhadap

pemerintah.Pendidikan publik tentang sifat dan

tingkat ancaman teroris, serta batas dan kelayakan

dari pilihan kebijakan yang diambil, akan membantu

untuk mempromosikan pemahaman publik baik

sebelum maupun sesudah serangan teroris.

Mempromosikan kesadaran masyarakat tanpa

memicu ketidakamanan, apatisme atau intoleransi

dan. kebencian merupakan elemen penting dari

pendekatan ini. Sebuah kebijakan eksplisit untuk

mengecilkan dampak terorisme, dan mengutuk

terorisme itu sendiri, bisa membantu untuk

mempromosikan ide bahwa terorisme tidak dapat

diterima dalam masyarakat demokratis dan

meminimalkan risiko dukungan publik pada

20

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

terorisme. Peringatan secara terus-menerus oleh

para politisi dan pakar keamanan tentang bahaya

radikalisasi atau risiko serangan teroris dapat

menciptakan semacam kondisi ketidakberdayaan di

masyarakat dalam menghadapi bencana yang

tampaknya tak terelakkan. Hasilnya, saat aturan

hukum dan hak-hak individu semakin tergerus atas

nama peningkatan keamanan, banyak warga rela

menerima kenyataan bahwa hak-hak mereka harus

dikorbankan.

4. Kontraterorisme Defensif

Kontraterorisme Defensif mengasumsikan

keniscayaan terjadinya beberapa jenis serangan

teroris dan mempersiapkan diri untuknya dengan

cara mempengaruhi variabel yang menentukan sifat

serangan dan identitas target. Ada dua pendekatan

dasar: mencegah serangan dan mengurangi

serangan.Pencegahan bertujuan untuk

meminimalkan risiko serangan teroris di tempat-

tempat tertentu dan pada waktu

tertentu. Pengurangan serangan bertujuan untuk

mengurangi dampak dari serangan yang sukses.

Pencegahan (sebelum serangan)

Model Pencegahan. Ada tiga cara utama untuk

melakukan pencegahan: pengerasan sasaran,

perlindungan infrastruktur penting, dan monitoring

dan mengatur arus orang, uang, barang, dan

jasa. Pengerasan target bertujuan untuk membuat

target potensial menjadi kurang menarik atau lebih

sulit untuk diserang. Membuat target menjadi lebih

sulit untuk diserang akan memaksa teroris untuk

berinovasi dan mencari alternatif serangan. Kondisi

ini bisa menyebabkan perpindahan menuju target

yang lebih lunak, sehingga dampak kerusakan yang

ditimbulkan lebih rendah.

Mitigasi (Respon atas serangan)

Model Bencana Alam. Moshe Dayan, Menteri

Pertahanan pada tahun 1967-1974, menyatakan

bahwa insiden terorisme lebih mirip bencana alam

daripada tindakan perang. Banyak unsur yang sama

antara serangan teroris dengan bencana alam:

korban tewas dan terluka, infrastruktur yang rusak

atau hancur; ketidakpastian tentang apa yang

mungkin terjadi selanjutnya, orang-orang melarikan

diri dengan panik atau terburu-buru ke tempat

kejadian untuk membantu, kebutuhan mendesak

bagi pekerja penyelamat, ambulans, rute

transportasi ke rumah sakit, dan liputan media yang

intens yang dapat mengganggu operasi

penyelamatan atau memberikan tekanan otoritas

yang berwenang. Perencanaan atas berbagai

kemungkinan, pembentukan rantai komando dan

komunikasi jaringan, stok persediaan darurat,

pelatihan pada responden pertama, dan strategi

untuk menangani para korban, keluarga mereka,

dan media dapat diatur terlebih

dahulu. Pendekatan “seluruh risiko” tersebut bisa

menghasilkan efektivitas dalam hal biaya.

Model Kesehatan Masyarakat. Model ini

dilakukan dengan memperkuat sistem kesehatan

masyarakat demi terciptanya infrastruktur yang

dapat merespon secara efisien dan efektif berbagai

macam ancaman.

21

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

Model Psikososial. Nuansa teror paling

dirasakan oleh mereka yang takut akan serangan

teroris, baik karena mereka menerima ancaman

tertentu atau karena mereka termasuk dalam

kategori yang sama dengan korban

terakhir. Kecemasan kronis dan stres tentang

ancaman terorisme bisa menjadi masalah serius di

masyarakat. Ia bahkan bisa meningkatkan risiko

penyakit kardiovaskular. Model ini berusaha untuk

mempersiapkan masyarakat dan memperkuat

kapasitas mereka untuk mengatasi stres,

kecemasan dan ketakutan terhadap provokasi

ancaman teroris. Hal ini dapat membantu untuk

mengeluarkan teror dari terorisme.

5. Kontraterorisme Jangka Panjang

Kontraterorisme jangka panjang mengacu pada

inisiatif yang tidak menjanjikan perbaikan secara

cepat, namun bermain dalam waktu yang lebih

lama. Hal ini dilakukan dengan cara masuk ke ranah

'akar penyebab’ dan faktor-faktor struktural yang

dapat menciptakan iklim yang cocok untuk promosi

dan penggunaan terorisme. Faktor-faktor yang

sering dianggap penyebab, baik sebagai faktor

pemicu maupun faktor yang memfasilitasi, antara

lain adalah kemiskinan, keterasingan, kepribadian,

diskriminasi, serta ideologi.

Karena faktor-faktor struktural biasanya berubah

dan berkembang sangat lambat, tindakan yang

diambil sekarang mungkin tidak memiliki dampak

yang jelas sampai waktu yang agak

lama. Keberhasilan jangka pendek dapat

berkembang menjadi kegagalan jangka panjang,

dan sebaliknya. Kunci untuk kontraterorisme jangka

panjang yang efektif adalah berfokus pada strategi

jangka panjang yang dapat membuat pilihan pada

jalur terorisme menjadi lebih sulit dan kurang

menarik.

Model Pengembangan. Model ini berfokus pada

masalah pembangunan. Perdagangan, bantuan dan

pembangunan proyek-proyek luar negeri dapat

melemahkan bahan bakar ideologis yang

mendorong radikalisasi teroris. Isu-isu seperti

distribusi tanah dan reformasi, pengelolaan

lingkungan, regulasi pasar, dan pasar komoditas

harus melengkapi isu-isu lain yang lebih didasarkan

pada basis teritorial seperti kontrol perbatasan, bea

cukai dan imigrasi, dan pengungsi serta arus migrasi

yang secara tradisional ditangani dalam wacana dan

praktek kontraterorisme.

Peningkatan kapasitas di negara yang lemah,

termasuk pelatihan polisi dan militer, reformasi

peradilan, dan penguatan tata pemerintahan yang

demokratis, bisa menjadi aspek lain dari model

pembangunan, di mana bantuan asing dan

pengembangan diintegrasikan ke dalam strategi

kontraterorisme jangka panjang.

Model Keamanan Manusia/Hak Asasi Manusia.

Konsep keamanan manusia mencerminkan

pandangan bahwa keamanan internasional tidak

akan dapat dicapai kecuali orang-orang di dunia ini

bebas dari ancaman kekerasan dalam kehidupan

mereka, keselamatan mereka, atau hak-hak

mereka. Fokus dari model ini adalah keamanan

individu, bukan negara. Mempromosikan

22

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

persamaan hak-hak sosial dan ekonomi dapat

mengurangi ketidakadilan yang menjadi bahan

bakar radikalisasi dan memfasilitasi perekrutan

teroris.

Banyak konvensi internasional tentang hak asasi

manusia melontarkan bahwa pendidikan

merupakan hak fundamental. Mereka menekankan

bahwa pendidikan merupakan kendaraan untuk

mempromosikan nilai-nilai demokrasi, pluralistik

dan anti-rasis. Pendidikan dapat membantu

menciptakan lingkungan sosial dan politik yang

sensitif terhadap hak asasi manusia dan saling

pengertian antar budaya dan peradaban.

Namun, pendidikan juga dapat memberikan

informasi akan ketidakadilan dan kezaliman kepada

seseorang di seluruh dunia. Ketika mereka menjadi

sadar akan realitas dunia yang kompleks, mereka

sering mencari jawaban dan solusi, dan dapat

tertarik kepada penjelasan sederhana dan solusi

yang ditawarkan oleh para ideolog. Banyak orang

yang dianggap teroris berpendidikan berasal dari

profesi seperti teknik dan kedokteran. Mohammed

Atta, pemimpin pembajakan 9/11, misalnya, belajar

teknik di Kairo dan mengejar studi pascasarjana

dalam perencanaan perkotaan di sebuah

universitas teknik di Hamburg. Hanya sedikit teroris

yang berasal dari jurusan humaniora, di mana

literatur, sejarah dan filsafat mempromosikan

pemikiran kritis dan kesadaran diri.

Model Gender. Sebagian besar teroris adalah

laki-laki muda. Praktek pemilihan jenis kelamin,

seperti pembunuhan bayi perempuan atau aborsi

berdasarkan jenis kelamin, telah menyebabkan

ketidakseimbangan yang tajam antara pria dan

wanita, terutama di Asia. Keadaan ini membuat

banyak pemuda merasa tidak akan pernah memiliki

harapan untuk menemukan pasangan, menikah,

atau membesarkan keluarga. Kondisi ini mungkin

akan menjadi makanan yang sempurna untuk

perekrutan teroris.

Model Perlindungan Lingkungan. Gangguan

yang disebabkan oleh perubahan iklim, seperti

banjir, kekeringan, kebakaran hutan, wabah

serangga, dan pengasaman laut, dan faktor-faktor

yang mendorong perubahan global iklim, seperti

penggunaan lahan, polusi, dan over-eksploitasi

sumber daya, semua memiliki implikasi penting

terhadap iklim sosial politik yang lebih luas di mana

terorisme berkembang. Lebih dari 60 negara,

sebagian besar negara-negara berkembang,

menghadapi risiko memburuknya ketegangan dan

konflik atas sumber daya akibat perubahan iklim,

termasuk ancaman pengungsi lingkungan.

Negara-negara yang saat ini berada dalam

kondisi damai berisiko terjadi konflik yang dipicu

oleh dampak perubahan iklim. Dampak dari

perubahan iklim juga bisa membawa pada upaya

penanggulangan kemiskinan, gizi, kesehatan dan

pendidikan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Peringatan ini menunjukkan bahwa banyak strategi

kontraterorisme jangka panjang yang rentan untuk

dirongrong dari waktu ke waktu oleh dampak

perubahan iklim.

23

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

Perang yang Salah

“Losing heart, losing mind”, begitu kondisi AS

saat ini menurut Daniel L. Byman.18 Pada awalnya,

perang melawan terorisme nampak berjalan

dengan cukup baik bagi AS, namun seiring

berjalannya waktu perang yang tujuan awalnya

diarahkan untuk memerangi kelompok radikal Islam

tersebut nampak menimbulkan masalah dalam

jangka panjang. Al Qaidah dan kelompok yang

berpemikiran sejenis terus menarik simpati di Timur

Tengah dan dunia Islam secara umum. Mereka pun

kini menjadi pemimpin utama dalam gerakan

perlawanan terhadap hegemoni AS.

Di saat Al Qaidah makin atraktif, AS justru

semakin gagal memenangkan dukungan di dunia

Islam. Antipati terhadap AS semakin menguat meski

pemerintah lokal secara penuh mendukung perang

melawan teror. Ironis memang, usaha AS untuk

memerangi terorisme justru semakin memicu sikap

anti-Amerika. Dukungan AS pada rezim diktator

seperti Karimov di Uzbekistan, diamnya AS atas

kebrutalan Rusia di Chechnya, dan beberapa

kebijakan lain dengan mengatasnamakan perang

melawan Al Qaidah, secara paradoks justru

menyokong klaim Al Qaidah bahwa AS mendukung

penindasan umat Islam dan menopang rezim-rezim

brutal.

Milyaran dolar telah dikeluarkan oleh AS untuk

membiayai Global War on Terrorism. Tiga tahun

lalu, mereka berhasil membunuh Usamah bin Ladin

yang kemudian diikuti oleh pernyataan bahwa

18

http://www.brookings.edu/research/papers/2003/05/23middleeast-byman

musuh besar mereka, Al Qaidah, telah berada di

ambang kekalahan. Namun kini, pernyataan

tersebut kembali mentah oleh fakta bahwa Al

Qaidah dan organisasi sejenis kini justru semakin

kuat. Saat ditanya apakah Al Qaidah berjalan

menuju kekalahan, direktur Inteljen Nasional

Amerika, James Clapper, mengatakan “tidak, Al

Qaidah telah berubah warna dan membuka

franchise di belahan dunia yang lain.”19

Di Irak, mereka berhasil merebut kembali

Fallujah. Di Suriah, kini mereka menjadi pemain

utama dalam perjuangan melawan rezim

Nushairiyah. Menurut Patrick Cockburn, Al Qaidah

kini lebih sebagai sebuah ide dibanding sebagai

sebuah organisasi.

Kegagalan AS dipandang berawal dari

ketidakmampuan mereka mendefinisikan musuh.

Pemerintah AS lebih memilih gambar fantasi soal Al

Qaidah karena hal tersebut membuat mereka lebih

mudah mengklaim kemenangan dengan

membunuh anggota dan sekutu Al Qaidah yang

selama ini telah populer. Ditambah lagi, gelar

“kepala operasi” juga disematkan kepada korban

untuk semakin menunjukkan signifikansi

kesuksesan yang telah mereka raih dengan

pembunuhan tersebut. Titik kulminasi dari drama

ini adalah saat terjadi pembunuhan terhadap

Usamah bin Ladin di Pakistan tahun 2011 silam.

Peristiwa tersebut memberi podium bagi Obama

untuk berdiri di hadapan publik AS sebagai orang

yang telah berjasa memimpin perburuan pemimpin

19

http://www.cnsnews.com/news/article/penny-starr/al-qaeda-path-defeat-clapper-no-dhs-chief-yes

24

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

Al Qaidah. Namun kenyataannya, gugurnya Usamah

tidak berpengaruh pada kelompok jihad seperti Al

Qaidah, yang justru mengalami ekspansi terbesar

sejak tahun 2011, tahun dimana Usamah bin Ladin

gugur. Kebangkitan jihadis yang paling mencolok

terlihat di Irak dan Suriah, namun Afghanistan,

Libya, Somalia, Lebanon dan Mesir juga mulai

menggeliat.

Meski demikian, Obama merasa bahwa militan di

wilayah Suriah dan Irak tidak sama dengan Al

Qaidah Pusat yang selama ini menginspirasi

perlawanan kelompok Islam melawan hegemoni

Barat. Saat ditanya oleh New Yorker tentang

ekspansi kelompok jihad yang mengklaim berbaiat

kepada Al Qaidah, ia menjawab bahwa “analogi

yang terkadang kita gunakan, dan saya rasa

akurat, adalah jika sebuah tim Jayvee memakai

seragam Lakers tidak lantas membuat mereka

menjadi Kobe Bryant. Saya rasa ada perbedaan

antara kapasitas dan jangkauan sebuah jaringan

yang secara aktif merencanakan aksi teror atas

negara kita dengan jihadis yang terlibat dalam

berbagai perjuangan dan perselisihan lokal, yang

seringkali bersifat sektarian.”20

Meskipun perang melawan terorisme telah

berkecamuk selama bertahun-tahun, kejadian

akhir-akhir ini membuat pertaruhan dalam perang

tersebut naik kembali. Dari presiden Amerika

Serikat dan stafnya, analis, akademisi, dan pakar

telah dipermalukan oleh evolusi Al Qaidah, dari

kelompok tunggal berbasis di Afghanistan menjadi

20

http://www.newyorker.com/reporting/2014/01/27/140127fa_fact_remnick?currentPage=all

hydra dengan kepala (paling tidak) di Pakistan,

Yaman, Irak, Mali, Somalia, dan yang paling penting,

Suriah.

Perdebatan telah berkembang semakin sengit

sejak serangan atas konsulat AS di Benghazi, yang

mungkin dilakukan oleh Al Qaidah atau mungkin

juga bukan mereka pelakunya. Namun, perdebatan

baru mencapai titik tertingginya dan belum pernah

terjadi sebelumnya saat Al Qaidah Pusat (AQC)

mengeluarkan pernyataan untuk melepaskan diri

dari kelompok yang selama ini dianggap sebagai

afiliasi mereka, Daulah Islam di Irak dan Syam (ISIS),

yang oleh Barat sebelumnya dikenal sebagai Al

Qaidah di Irak.

Munculnya pernyataan tersebut memperjelas

bahwa mendefinisikan Al Qaidah bukan hanya

masalah internal di Gedung Putih. Upaya untuk

menjungkalkan kekuatan dan pengaruh AQC

dianggap terlalu sering berfokus pada momen

spesifik tertentu, bukannya memeriksa mereka

sebagai sebuah transisi yang terus berlangsung.

Anehnya, evaluasi atas ancaman Al Qaidah sebagai

organisasi teroris global mengalami masalah

sebaliknya, berfokus terlalu banyak pada seperti

apa mereka dulunya dan apa yang bisa mereka

lakukan lagi di masa depan. Al Qaidah dipandang

sebagai sebuah organisasi yang prioritas utamanya

adalah melaksanakan serangan teror.

Menurut Berger, Al Qaidah yang ada saat ini

adalah pertengahan di antara keduanya, sebuah

gerakan dan organisasi yang berada di tengah-

25

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

tengah transformasi struktural dramatis yang

berfokus pada perang dan pemberontakan.

Pada 12 September 2001, Al Qaidah adalah

sebuah organisasi dengan rantai komando yang

jelas dan dengan anggota yang berjumlah ratusan

hingga ribuan. Saat itu, pemimpin Al Qaidah adalah

Usamah bin Laden, dan hari ini adalah Aiman Az-

Zawahiri.

Hampir dapat dipastikan bahwa Al-Qaidah,

sebagai sebuah organisasi—yaitu kelompok yang

melaksanakan serangan 9/11—masih eksis dalam

beberapa bentuk, yang bermarkas di perbatasan

antara Afghanistan dan Pakistan dengan jumlah

anggota yang tidak diketahui.

Data mengenai ukuran dan kekuatan organisasi

tersebut cukup langka, yang ada hanyalah sekadar

opini dan analisis. Bisakah AQC melakukan serangan

teror besar terhadap Amerika Serikat ataukah kini

mereka bergantung pada afiliasinya—Al Qaida di

Semenanjung Arab (AQAP), Al Qaidah di Maghreb

Islam (AQIM), al Shabab, Jabhah al Nusra, dan

sejumlah kelompok yang selama ini sering

disamakan dalam label "Al Qaidah"? Usaha untuk

memahami dan secara akurat menggambarkan

dinamika antar kelompok tersebut telah

menjangkiti para analis selama bertahun-tahun .

Misalnya, pada 1990-an, Al Qaidah pimpinan

Usamah bin Ladin diduga berkoordinasi dengan

sangat erat dengan Jihad Islam pimpinan Aiman Az-

Zawahiri. Begitu dekatnya hingga banyak anggota

Jihad Islam yang digaji oleh Al Qaidah, sebagaimana

kesaksian dalam sidang pembom kedutaan Afrika

Timur pada tahun 2001. Gaji yang mereka terima

lebih tinggi daripada yang dibayarkan kepada

anggota Al Qaidah asli. Namun banyak analis

berpendapat bahwa keduanya adalah organisasi

terpisah sampai Juni 2001, ketika mereka secara

resmi mengumumkan merger mereka.

Sekitar waktu yang sama di Bosnia, Jamaah

Islamiyyah Mesir yang dipimpin oleh Umar

Abdurrahman memainkan peran penting dalam

mengendalikan pejuang asing yang datang untuk

melawan Serbia, sementara Al Qaidah berperan

dalam perpindahan uang dan pejuang untuk keluar

masuk dari dan menuju daerah konflik. Saat ini,

banyak orang masih berbicara tentang Al Qaidah di

Bosnia seolah-olah mereka mencakup seluruh

lanskap, meski kenyataannya jauh lebih bervariasi.

Setelah serangan 9/11, Al Qaidah mulai

menunjuk afiliasi resmi, yang kemudian menjadikan

segalanya lebih rumit. Organisasi-organisasi ini

bersumpah setia kepada Usamah bin Ladin, dan

kemudian, kepada Zawahiri. Sebagai imbalannya,

mereka secara resmi diakui sebagai afiliasi, secara

teoritis berada di bawah komando AQC.

Meskipun ukuran dan status operasional AQC

saat ini tidak banyak yang tahu, namun AS yakin

bahwa bahwa struktur komando top-down—

dengan Zawahiri berada di puncak pimpinan—

paling tidak saat ini sedang berada di bawah

tekanan yang luar biasa. Kontrol atas sekutu Al

Qaidah pun saat ini dianggap semakin sulit.

Pelepasan ISIS menjadi salah satu contohnya.

Zawahiri kini dianggap tidak lagi mampu

26

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

menawarkan safe haven, dan seluruh cabang Al

Qaidah, baik resmi maupun tidak resmi, kini

memiliki aliran pendapatan independen mereka

sendiri.

Untuk mengelola sebuah organisasi dengan

puluhan ribu anggota dan cabang di seluruh dunia

akan menjadi tugas menakutkan bagi siapa pun,

apalagi bagi seseorang yang perjalanan,

komunikasi, dan peluang pengumpulan

informasinya sangat dibatasi. Tidak mengherankan

jika Zawahiri sedikit kehilangan kendali atas

organisasi dan gerakannya.

Salah satu faktor yang paling berpengaruh dalam

kalkulus kekuatan Al Qaidah saat ini, menurut

Berger, adalah Zawahiri memiliki pengalaman

bertahun-tahun menjalankan organisasi rahasia,

tetapi dia tidak pernah menjalankan atau

berpartisipasi secara signifikan dalam kampanye

militer terbuka. Dan kesenjangan ini sangat penting

dalam situasi saat ini, karena Al Qaidah 2014 kini

lebih banyak melakukan peperangan dibanding

melakukan aksi teror.

Perdebatan sengit mengenai alih komando dan

kontrol dapat mengaburkan evolusi yang paling

mendasar dari Al Qaidah. Mereka kini telah

berubah dari kelompok teroris menjadi sebuah

gerakan perlawanan yang luas yang melakukan

pemberontakan, merekrut pejuang asing ke daerah

konflik, menggalang dana, dan melakukan aksi

terorisme—yang saat ini hampir dipastikan

merupakan komponen sumber daya mereka yang

paling sedikit.

Kesimpulan ini, menurut Berger, tidak

memerlukan sebuah kejeniusan, karena fakta

mengenai hal tersebut terpampang sangat jelas.

Tapi muatan politik dan emosional yang menyertai

kata "terorisme" membuat kesimpulan tersebut

sulit untuk diucapkan. Bahkan New York Times

tetap menganggap Al Qaidah sebagai "organisasi

teroris paling terkenal di dunia." 21 Bagi Berger,

secara teknis kesimpulan tersebut benar, meski

label tersebut semakin menyesatkan.

Ini bukanlah pertanyaan tentang taktik, karena

kegiatan gerilyawan Al Qaidah seringkali juga

melakukan taktik teror. Namun, ini adalah tentang

tujuan. Meskipun tidak ada konsensus yang jelas,

kebanyakan ahli mendefinisikan terorisme dengan

melihat dari tujuannya, yaitu mengerahkan

pengaruh politik melalui intimidasi dan kekerasan

yang umumnya ditujukan pada warga sipil. Apa

yang kita lihat saat ini adalah milisi Al Qaidah yang

tujuannya sangat langsung: untuk merebut,

menguasai, dan mengatur wilayah.

Yang pasti, Al Qaidah selalu memiliki hubungan

yang dekat dengan perang. Mereka didirikan pada

akhir jihad melawan Uni Soviet dan secara

konsisten merekrut anggota dari para veteran

perang dan konflik yang melibatkan umat Islam,

seperti yang terjadi di Bosnia. Namun saat itu

secara tradisional mereka bukan pejuang utama

dalam konflik tersebut. Kini semuanya telah

berubah. Saat ini, jauh lebih banyak orang yang

21

http://www.nytimes.com/2014/01/26/sunday-review/the-franchising-of-al-qaeda.html?_r=0

27

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

bergabung dengan afiliasi Al Qaidah dibandingkan

yang terjadi sebelum 9/11.

Besarnya kekuatan pasukan Al Qaidah dan

pendanaannya (akumulasi dari penjumlahan AQC

dan afiliasi resminya), saat ini memungkinkan

mereka untuk melakukan pemberontakan dan

peperangan. Meski saat ini kegiatan terkonsentrasi

di Suriah, namun setiap afiliasi Al Qaidah kini telah

menyebarkan tentara untuk menguasai wilayah,

mulai dari Mali, Somalia, hingga Yaman.

Terorisme kini bukan lagi produk andalan Al

Qaidah, meski mereka terkadang juga masih

melakukan aksi terorisme. Terorisme adalah produk

di mana organisasi ini dibangun, namun kini bukan

lagi menjadi jalur bisnis utama mereka. Dari segi

jumlah, pejuang Al Qaidah yang melakukan

serangan atas Barat tak lebih dari 1%, atau

maksimal 10% jika menggunakan kriteria yang lebih

longgar, dibandingkan dengan yang melakukan

perjuangan di bumi Islam. Bukti menunjukkan

bahwa terorisme kini menjadi program sekunder

dalam portofolio Al Qaidah.

Munculnya konflik di Suriah menjadi berkah

tersendiri bagi Al Qaidah. Suriah menjadi ladang

rekrutmen paling subur bagi Al Qaidah saat ini.

Meski demikian, Berger sendiri mengakui bahwa

Barat saat ini tidak terlalu bisa memahami dengan

baik mekanisme radikalisasi. Menurut Berger,

“menjadi seorang jihadi yang berperang

merupakan pilihan moral yang lebih menarik

dibanding melakukan terorisme. Seseorang yang

tidak akan pernah secara sukarela menabrakkan

pesawat udara ke arah bangunan sipil bisa jadi

terpengaruh untuk melakukan jihad di Suriah,

yang merupakan aksi yang jelas lebih rasional dan

bahkan secara moral bisa dipertanggungjawabkan.

Keputusan untuk berperang di Suriah tidak secara

otomatis membuat seseorang menjadi radikal atau

ekstrim.”22

Evolusi Al Qaidah saat ini masih menjadi

perdebatan bagi AS untuk merancang strategi

menghadapinya. Apakah memperlakukan mereka

sebagai organisasi teroris ataukah sebagai

organisasi perang? Dalam sejarahnya, perang selalu

jauh lebih mengganggu dan merusak daripada

terorisme. Perang jauh lebih destruktif dalam hal

hilangnya nyawa, harta benda yang rusak, dan

ekonomi yang hancur. Perang menyebabkan lebih

banyak korban sipil, bahkan meski perang tidak

secara spesifik menargetkan warga sipil. Kejadian di

Irak, Somalia, Yaman, dan Suriah saat ini menjadi

contoh. Kegiatan perang memiliki biaya

kemanusiaan yang sangat tinggi dibanding

terorisme.

Perbedaan penting antara organisasi teroris dan

kelompok pertempuran terletak pada lingkup

konflik: Untuk pejuang perang, konflik biasanya

terjadi dalam ruang lingkup yang lebih dekat,

sedangkan teroris, bisa ditarik dalam ruang lingkup

tanpa batas.

Berger memandang bahwa kebijakan AS—

terutama Otorisasi Penggunaan Kekuatan Militer

(AUMF) yang menguatkan perang melawan

22

http://www.foreignpolicy.com/articles/2014/02/04/war_on_error_al_qaeda_terrorism

28

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

terorisme—masih menggunakan pendekatan Al

Qaidah sebagai organisasi yang melakukan

serangan 11 September. Meskipun kebijakan

tersebut memberikan kekuasaan yang luas, bahkan

sangat luas, mereka masih melakukan pola

serangan memerangi terorisme, yang justru saat ini

bukan merupakan produk andalan Al Qaidah.

Saat Al Qaidah telah berevolusi dengan sangat

cepat, AS masih kurang begitu tangkas untuk

menghadapinya. Saat sebuah kelompok bergabung

dengan Al Qaidah, AS memperlakukannya sebagai

bagian dari organisasi yang lebih besar. Bagi Berger,

kebijakan hitam putih tersebut menunjukkan

kerumitan saat dihadapkan pada satu masalah

tertentu, sebagaimana dilema yang dihadapi AS

saat ini: apakah perlu menyematkan gelar

organisasi teroris bagi kelompok perlawanan di

Suriah yang bersimpati pada Al Qaidah.23

Retorika kata “terorisme” dipandang bisa

menutupi perubahan strategi dan tujuan Al Qaidah.

Al Qaidah telah menjadi salah satu elemen kunci

yang sangat mempengeruhi kebijakan AS di abad

ke-21. Bagi Berger, kegagalan mendefinisikan

mereka akan membawa harapan kemenangan AS

semakin memudar. Saat ini, sebagaimana ungkapan

Berger, “Kita, Amerika Serikat, memerangi Al

Qaidah seperti sebuah kelompok teroris.

Sedangkan mereka memerangi kita sebagai

sebuah tentara.”24

23

http://www.foreignaffairs.com/articles/140680/michael-doran-william-mccants-and-clint-watts/the-good-and-bad-of-ahrar-al-sham

24http://www.foreignpolicy.com/articles/2014/02/04/war_on_error_al_qaeda_terrorism

Perang Tanpa Akhir

Global War on Terrorism kini telah resmi menjadi

perang terpanjang dalam sejarah AS.25 Hampir tiga

belas tahun telah berlalu, namun akhir perang

tersebut masih belum juga nampak dalam waktu

dekat. Untuk itu, Glenn Greenwald menilai bahwa

perang melawan teror tidak bisa segera berakhir,

atau bahkan memang dirancang untuk tidak pernah

berakhir.

Pada bulan Oktober 2012, pemerintah AS

membuat sebuah “Matriks Disposisi”—sebuah

database yang berisi informasi tentang tersangka

teroris dan militan yang kemudian memberi opsi

bagi AS untuk membunuh atau menangkap target

tersebut. Para pejabat dalam pemerintahan Obama

menyepakati bahwa “operasi semacam itu sangat

mungkin diperpanjang paling tidak sampai dekade

berikutnya.” 26 Dengan demikian, bisa dikatakan

bahwa AS kini baru sampai di pertengahan dalam

perang global melawan terorisme.

Tahun 2010 silam, New York Times merilis apa

yang dinamakan sebagai “Pentagon shadow war” di

Aljazair, Maroko, Lebanon, Arab Saudi, Sudan, Iran,

Kenya, Tajikistan, Yaman, dan Somalia.27 “Hampir

tidak ada langkah-langkah agresif yang dilakukan

oleh pemerintah AS yang diakui secara publik.

Otorisasi Kongres bahkan tidak lagi diperlukan

25

http://www.outsidethebeltway.com/911-and-the-never-ending-war/

26http://www.washingtonpost.com/world/national-security/plan-for-hunting-terrorists-signals-us-intends-to-keep-adding-names-to-kill-lists/2012/10/23/4789b2ae-18b3-11e2-a55c-39408fbe6a4b_story.html

27http://www.nytimes.com/imagepages/2010/08/15/world/15shadowwarmap2.html?ref=world

29

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

AS tahu, dan studi yang

mereka lakukan secara empiris

menyimpukan bahwa

“terrorisme” dimotivasi bukan

oleh "kebencian terhadap

kebebasan kita" tetapi

disebabkan oleh kebijakan dan

agresi AS di dunia Islam.

dalam melancarkan Special Access Program (SAP)

yang dilakukan oleh CIA.

Kebijakan yang diambil oleh pemerintah AS

menunjukkan bahwa mereka justru berusaha

meningkatkan eskalasi perang tersebut. Atas nama

Perang Melawan Teror, Obama berencana

merelokasi Guantanamo ke Illinois;28 meningkatkan

kerahasiaan, dan represi di kamp Guantanamo;29

mencetak teori baru yang memberi kekuasaan pada

presiden untuk melakukan pembunuhan; 30

memperbaharui kerangka pengintaian tanpa

jaminan yang dulu digagas Bush;31 menandatangani

pembatasan atas pembebasan tawanan yang

ditahan tanpa kepastian; 32 peningkatan

penggunaan special forces yang beroperasi lintas

negara;33 serta mengirimkan drone dan misil ke Irak

untuk membantu rezim diktator Nuri Al-Maliki.34

Perang melawan teror kini menjadi justifikasi

penggunaan kekuatan untuk menahan, mengawasi,

dan membunuh. Dampaknya sudah mulai terasa,

rakyat Afghanistan, yang menurut sesumbar AS

berusaha mereka bebaskan dari “pengekangan”

Taliban, kini justru berbalik membenci tentara AS

yang telah melakukan penjajahan dan mengebom

negara mereka. Kini rakyat Afghan, dalam istilah

28

http://www.aclu.org/national-security/creating-gitmo-north-alarming-step-says-aclu

29http://www.huffingtonpost.com/2013/01/03/ndaa-obama-indefinite-detention_n_2402601.html

30http://www.theatlanticwire.com/national/2012/03/holder-due-process-doesnt-necessarily-mean-courtroom/49509/

31https://www.commondreams.org/headline/2012/12/31-1

32http://www.huffingtonpost.com/2013/01/03/ndaa-obama-indefinite-detention_n_2402601.html

33 http://abcnews.go.com/Blotter/60-seconds-video-shows-

us-secret-snatch-operation/story?id=22449318 34

http://www.foxnews.com/politics/2014/01/17/us-agrees-to-send-new-arms-artillery-to-iraq-to-fight-al-qaeda/

Greenwald, telah ter-Talibanisasi, dimana “Taliban”

disini berarti rakyat Afghan yang ingin

menggunakan kekerasan untuk memaksa pasukan

koalisi keluar dari negara mereka. AS, dengan

kebijakan agresi dan militerisme atas nama

kontraterosisme, kini telah menciptakan “teroris”

yang sebenarnya justru mereka ingin tumpas.

Hal yang sama terjadi di Yaman, di mana

serangan drone telah menjadi alat yang sangat

efektif untuk membuat rakyat Yaman berpihak

pada Al Qaidah. Bahkan, hampir setiap orang yang

dituduh merencanakan serangan atas AS dengan

tegas menjadikan aksi kekerasan yang dilakukan

oleh AS, agresi, dan penjajahan di dunia Muslim

sebagai penyebabnya.

Tidak ada pertanyaan bahwa "perang" akan

terus berlanjut tanpa henti. Tidak ada pertanyaan

bahwa tindakan AS sendiri yang menjadi bensin

pembakar api terorisme. Satu-satunya pertanyaan

adalah apakah perang tanpa akhir ini memang

dikehendaki oleh AS ataukah sekadar dampak dari

salah kalkulasi. Dan Greenwald berpendapat bahwa

30

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

pilihan pertama lebih mungkin jika dilihat dari arah

kebijakan AS saat ini. AS tahu, dan studi yang

mereka lakukan secara empiris menyimpukan

bahwa “terrorisme” dimotivasi bukan oleh

"kebencian terhadap kebebasan kita" tetapi

disebabkan oleh kebijakan dan agresi AS di dunia

Islam. 35 Meskipun demikian, mereka terus

melanjutkan kebijakan tersebut.

Jeh Johnson, menteri keamanan dalam negeri

AS, mengatakan bahwa perang melawan teror

harus diakhiri. “Saat ini, saat usaha militer AS

melawan Al Qaidah memasuki tahun ke-12, kita

harus bertanya kepada diri kita sendiri: Bagaimana

konflik ini akan berakhir?... Perang harus

diperlakukan sebagai masalah negara yang bersifat

terbatas, extraordinary, dan tidak wajar. Kita

seharusnya tidak menerima konflik saat ini, dan

seluruh yang ia bawa, sebagai sebuah norma baru.

Perdamaian harus dianggap sebagai norma yang

terus diupayakan oleh umat manusia…”36

Sebelumnya, Rachel Maddow menyatakan

bahwa "Kita selalu menahan para tahanan di masa

perang, dan jelas kita juga selalu membunuh orang

di masa perang… Apa yang aneh sekarang adalah

bahwa saat ini kita melakukan hal-hal tersebut

sebagai bagian dari perang yang bersifat global,

dimana satu-satunya pihak yang bisa dikatakan

sebagai kombatan adalah negara kita sendiri. Kita

telah berperang sebelumnya sebagai sebuah

negara. Alasan kami menderita tentang cara kita

35

http://www.salon.com/2009/10/20/terrorism_6/ 36

http://www.aljazeera.com/news/americas/2012/12/20121210645962539.html

berperang saat ini disebabkan oleh ajaran yang

berlaku umum bahwa dengan perang kita bisa

menawan tahanan tanpa pengadilan dan

membunuh orang tanpa pengadilan… Kapan semua

ini akan berakhir? Dan jika tidak memiliki akhir,

maka secara moral, semua ini nampak tidak seperti

perang. Dan kemudian, negara kita telah

membunuh orang dan mengunci mereka di luar

sistem peradilan tradisional dengan cara yang saya

pikir kita mungkin tidak akan pernah bisa

dimaafkan."37

Cukup sulit memang untuk memprediksi motif

seseorang, apalagi memprediksi motif sekumpulan

orang yang mempunyai berbagai motif yang

berbeda. Tapi menurut Greenwald lagi, tidak ada

alasan bagi AS untuk mengakhiri perang melawan

teror ini. Dalam setiap kasus, kekuatan pejabat

politik akan berada di puncak tertingginya saat

negara dalam keadaan perang. Cicero, dua ribu

tahun yang lalu, memperingatkan bahwa "dalam

masa perang, hukum akan jatuh dalam kesunyian".

Sebagai hasilnya, menurut John Jay, “negara-negara

pada umumnya akan berperang setiap kali mereka

memiliki prospek untuk mendapatkan sesuatu

darinya... untuk tujuan yang cenderung bersifat

pribadi, seperti haus akan kejayaan militer, balas

dendam atas penghinaan pribadi, ambisi, atau

keinginan pribadi untuk memperluas atau

mendukung keluarga atau partisan tertentu."38 Ini

adalah perang yang menghasilkan kekuasaan tak

terbatas, kerahasiaan yang tidak bisa ditembus,

37

http://www.rawstory.com/rs/2013/01/04/maddow-wonders-if-endless-war-on-terror-is-morally-forgivable/

38http://avalon.law.yale.edu/18th_century/fed04.asp

31

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

warga negara yang tidak perlu lagi bertanya, serta

keuntungan yang berlipat ganda.

Johnson benar bahwa perang ini harus ada

diakhiri waktu dekat, dan Maddow juga benar

bahwa kegagalan untuk melakukannya akan

membuat semua pembunuhan di luar hukum,

penahanan, invasi, dan pengeboman secara moral

tidak dapat dipertahankan dan secara historis tidak

bisa dimaafkan.Namun, bagi Greenwald, gagasan

bahwa pemerintah AS akan mengakhiri semua ini

adalah hanyalah mimpi, dan keyakinan bahwa

mereka menginginkannya adalah sekadar fantasi.

Mereka sedang bersiap-siap untuk perang yang

lebih tak berujung, tindakan mereka memicu

perang tersebut, dan mereka terus menuai manfaat

yang tak terhitung dari keberlanjutan perang

tersebut.39

Dalam inagurasi Januari 2013, Obama

menegaskan bahwa “satu dekade perang saat ini

sedang berakhir. Kami, rakyat, masih percaya

bahwa keamanan dan perdamaian abadi tidak

memerlukan perang abadi.”40 Namun, kenyataan

menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya ingin

mengakhiri perang ini. Serangan 11 September dan

Otorisasi Penggunaan Kekuatan Militer (AUMF)

yang keluar tiga hari setelahnya telah memicu

lahirnya perang tanpa nama atau tanpa

parameter—melawan musuh yang pemerintah AS

sendiri tidak bisa lagi secara resmi mengidentifikasi,

39

http://www.theguardian.com/commentisfree/2013/jan/04/war-on-terror-endless-johnson

40http://www.whitehouse.gov/the-press-office/2013/01/21/inaugural-address-president-barack-obama

di medan peperangan yang tidak wujud. AUMF

berlaku bagi organisasi yang dianggap berafiliasi

dengan Al Qaidah.

Jeh Johnson memperingatkan bahwa

“pertanyaan kunci ke depan adalah apakah kita

perlu memperlakukan kelompok-kelompok baru

yang muncul untuk melakukan aksi teror sebagai

pasukan yang berasosiasi dengan Al Qaidah atau

tidak… Jika kita terlalu longgar dalam

mendefinisikan siapa yang menjadi bagian dari Al

Qaidah, maka kita akan selalu mendapatkan

musuh baru, dan Perang Abadi akan terus

berlangsung selamanya.”41

Pemerintah AS sendiri menjelaskan bahwa

“pasukan sekutu” Al Qaidah harus merupakan (1)

sebuah kelompok bersenjata yang terorganisir yang

(2) secara aktual bertempur bersama Al Qaidah

melawan AS, yang karena itu (3) mereka berperang

bersama Al Qaidah dalam permusuhan melawan

AS.

Menurut Harold Hongju Koh, profesor dari Yale

University, hanya karena seseorang benci AS atau

bersimpati dengan Al Qaidah tidak lantas membuat

mereka menjadi musuh yang sah.42

Jeh Johnson juga mengatakan bahwa "akan

datang suatu titik kritis ... di mana begitu banyak

pemimpin dan operator Al Qaidah dan afiliasinya

telah dibunuh atau ditangkap, dan kelompok ini

tidak lagi mampu untuk mencoba atau memulai

41

http://www.lawfareblog.com/2012/11/jeh-johnson-speech-atthe-oxford-union/ .

42 Harold Hongju Koh, “How to End the Forever War?”, Oxford Union, Oxford, UK, 7 Mei, 2013

32

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

serangan strategis terhadap Amerika Serikat,

sehingga Al Qaidah seperti yang kita tahu—

organisasi yang Kongres kita secara resmi

mengotorisasi operasi militer untuk mengejar

mereka pada tahun 2001—telah dihancurkan

secara efektif." Saat itu, perang diharapkan akan

berakhir, dan AUMF tidak akan lagi berlaku.

Namun, menurut Michael Hirsh dan James

Oliphant, berakhirnya babak tersebut tidak lantas

membuat pemerintah AS tidak lagi menggunakan

pendekatan agresif dalam merespon ancaman.43

Para ahli hukum Konstitusi AS berpendapat

bahwa bahkan tanpa AUMF sekalipun, presiden AS

kini memiliki kekuatan untuk bertindak dengan

senjata mematikan atas nama pertahanan diri

Amerika. “CIA dan Joint Special Operations

Command (JSOC) selalu mencari cara untuk

membenarkan pekerjaan mereka. Salah satu cara

untuk melakukannya adalah dengan

mengidentifikasi teroris baru," kata Scott Horton,

seorang pengacara hak asasi manusia di AS.

Pemerintahan Obama juga telah mempermudah

jalan bagi presiden AS di masa depan untuk

berperang di bawah payung otoritas tersebut,

dengan cara memperluas konsep tentang ancaman

“dekat”, yang memungkinkan presiden untuk

merespon tanpa persetujuan kongres berdasarkan

Pasal II dari Konstitusi AS.

Pertanyaannya sekarang, apa yang dimaksud

dengan “dihancurkan secara efektif”? dan berapa

43

http://www.nationaljournal.com/magazine/obama-will-never-end-the-war-on-terror-20140227

lama waktu yang dibutuhkan, serta siapakah musuh

yang dimaksud? Pada sidang kongres tahun 2013,

Michael Sheehan, asisten menteri pertahanan

untuk operasi khusus dan konflik intensitas rendah,

mengatakan operasi militer AS melawan Al Qaidah

dan sekutunya "akan berlangsung beberapa

waktu... melebihi periode kedua masa jabatan

presiden... saya pikir setidaknya perlu waktu 10

sampai 20 tahun."44

Dalam dengar pendapat di Komite Angkatan

Bersenjata Senat AS, beberapa pejabat senior AS

percaya bahwa bahwa mereka memiliki semua

otoritas yang dibutuhkan untuk menggunakan

kekuatan Amerika di seluruh hot spot global selama

didapati ada hubungan dengan Al Qaidah, meski

renggang sekalipun.

Ketika Senator John McCain bertanya kepada

Robert Taylor, penasihat umum Pentagon, apakah

AUMF bisa digunakan untuk mengotorisasi

digunakannya kekuatan mematikan AS terhadap

pasukan terkait Al Qaidah di negara-negara seperti

Mali, Libya, dan Suriah, Taylor menjawab: "Di sisi

hukum domestik, ya Pak."45

Senator Lindsey Graham juga dengan

menanyakan apakah AUMF memungkinkan

presiden untuk mengirim pasukan ke Yaman dan

Kongo. Sheehan mengiyakan dengan tegas.

Kemudian Senator Joe Donnelly juga bertanya

apakah AS bisa menggunakan AUMF untuk

memburu Jabhah Al-Nusra di Suriah? Sheehan juga

44

http://www.ft.com/cms/s/0/82f0b076-be77-11e2-bb35-00144feab7de.html

45https://tagteam.harvard.edu/hub_feeds/1783/feed_items/187595/content

33

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

menjawab, “Iya, jika kita merasa mereka

mengancam keamanan kita."46

Daftar kelompok yang oleh pemerintah AS

dianggap berasosiasi dengan Al Qaidah sampai saat

ini masih dirahasiakan. Artinya, menurut Michael

Hirsh and James Oliphant, AS kini telah menempuh

13 tahun pertempuran dengan musuh yang bisa

senantiasa berubah-ubah, hilang di satu titik,

namun muncul kembali di tempat lain. Dalam

pandangan Koh, AS tidak cukup transparan tentang

standar hukum dan dalam proses pembuatan

keputusan yang dilakukan.

Definisi “kelompok yang berasosiasi” dengan Al

Qaidah kini telah dibentangkan dengan cara yang

mungkin belum pernah terbayangkan lebih dari

satu dekade lalu. Kata kunci yang celahnya bisa

dimanfaatkan untuk diinterpretasi oleh pemerintah

AS adalah konsep "co-belligerency." Sebuah

kelompok bisa menjadi sasaran yang sah dari

operasi militer Amerika, jika mereka menjadi afiliasi

Al Qaidah dan telah menyatakan AS sebagai target

permusuhan.

Tapi bagaimana dengan kelompok-kelompok

yang muncul lama setelah inti dari Al Qaidah telah

hancur? AUMF bisa menjadi cover bagi perang

tanpa akhir terhadap serangkaian kelompok

penerus yang bersifat regional. Saat ditanya oleh

Senator Tim Kaine tentang “kelompok yang tidak

terlibat sama sekali dengan serangan atas AS,

kemudian menjadi sekutu Al Qaidah 25 tahun yang

akan datang, apakah mereka juga dicover oleh

46

idem

bahasa AUMF saat ini? Penasihat hukum Pentagon,

Robert taylor, menjawab, “Saya tidak ingin

mengatakan 25 tahun dari sekarang. Tapi hari ini,

iya."47

Menggunakan drone, misil penjelajah, dan

special forces untuk menggerebek tersangka teroris,

pemerintah AS kini sedang dalam misi pembunuhan

untuk mencapai kemenangan. Mereka kini memiliki

otoritas untuk mendefiniskan musuh, memutuskan

kelompok mana yang berasosiasi dengan Al Qaidah,

dan kemudian melakukan serangan atasnya—

semua dilakukan secara rahasia, dengan target yang

tak terbatas. Otoritas ini akan memberikan lisensi

kepada pemerintah AS untuk melakukan serangan

ke seluruh dunia. Dan perang panjang tanpa akhir

pun akan terus berlangsung.

Obama telah meletakkan pondasi bagi

pemerintah berikutnya untuk melakukan

pembunuhan atas musuh, baik yang nyata maupun

yang masih dikira-kira. Adam Schiff, anggota Partai

Demokrat dari Southern California,

memperingatkan bahwa "jika AS bertindak dengan

cara yang bertentangan dengan otoritas hukum

kita sendiri, maka kita telah mengundang negara-

negara lain untuk melakukan hal yang sama."48

47

idem 48

http://www.nationaljournal.com/magazine/obama-will-never-end-the-war-on-terror-20140227

34

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

Dampak-Dampak Global War on Terrorism

Global War on Terrorism telah melahirkan

kebijakan pembunuhan yang ditargetkan,

penyadapan tanpa surat jaminan, penyiksaan,

penahanan tanpa batas waktu, pemindahan

tawanan ke sebuah penjara rahasia di negara lain

untuk disiksa, baik untuk AS maupun oleh AS.

Keberhasilan pemerintah Amerika Serikat, baik

di masa Bush maupun Obama, untuk membingkai

konflik ini sebagai sebuah “perang melawan teror”

menjadi salah satu penyebab terjadinya berbagai

pelanggaran hukum dan penyiksaan. Bahasa perang

melawan teror menjadi justifikasi digunakannya

prosedur darurat.

Pemerintah berpendapat bahwa penggunaan

bingkai perang disebabkan oleh potensi bahaya

yang ditumbulkan oleh musuh. Pemerintah Amerika

Serikat sering menyatakan bahwa "jika ada satu

pelajaran dari 9/11, maka itu adalah bahwa ini

bukan sekadar tindak pidana, dan bahwa perang

yang dilancarkan terhadap kita adalah benar-benar

perang, bukan metaforis atau abstrak." 49 Ada

kecenderungan untuk mengatakan bahwa karena

terorisme berbeda, maka aturan saat ini tidak

berlaku.

Gabor Rona, Direktur Utama Human Rights First,

menegaskan bahwa Hukum Humanitarian

Internasional (IHL) hanya mengenal dua jenis

konflik bersenjata: (1) konflik bersenjata

49

Mark W. Vorkink & Erin M. Scheick, The “War on Terror” and the Erosion of the Rule of Law: The U.S. Hearings of the ICJ Eminent Jurist Panel, Human Rights Brief, Volume 14 Issue 1, 2006, hal. 4.

internasional, yaitu konflik antara negara-negara

yang berdaulat, dan (2) konflik bersenjata non-

internasional, diantaranya adalah pemberontakan,

perang saudara, atau operasi gerilya yang pada

dasarnya bersifat lokal baik ruang lingkup maupun

tujuannya. Paradoks yang disajikan oleh Global War

on Terrorism adalah bahwa saat ia dilancarkan

secara global, musuh yang diidentifikasi oleh AS

adalah sekumpulan non-state actor. Situasi ini tidak

diperbolehkan dalam hukum yang berlaku dalam

IHL. 50 Konflik bersenjata harus berskala

internasional, dengan partisipasi eksklusif beberapa

negara, atau non-internasional, yang melibatkan

salah satu dari banyak aktor non-negara. Dari sini,

jelas bahwa Global War on Terrorism jatuh di luar

pemahaman hukum IHL tersebut. Dalam bahasa

Mark W. Vorkink dan Erin M. Scheick, "Perang

melawan teror telah bersifat taktis maupun politis.

Bahkan jika Anda mengklasifikasikannya sebagai

perang, kita harus tetap menerima totalitas aturan

hukum, bukannya malah menggunakan secara

selektif aturan perang demi tujuan politik."51

50

idem 51

idem

35

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

1. Islamophobia

Salah satu dampak dari Global War on

Terrorism adalah meningkatnya islamophobia,

terutama di Eropa dan Amerika Serikat. Perang

melawan teror yang dikomando oleh AS secara

eksplisit diarahkan untuk memerangi kelompok

Islam, sebagaimana ungkapan pertama kali

George W. Bush sesaat pasca serangan 11

September yang menyatakan bahwa perang

melawan teror ini adalah perang salib baru.

Meskipun Barat berusaha menekankan bahwa

perang ini bukanlah perang terhadap Islam,

namun invasi ke Afghanistan, kemudian ke Irak,

dan akhir-akhir ini dilanjutkan dengan invasi ke

Mali dan Libya membuat teori tentang “clash of

civilization”—dimana Barat melakukan perang

peradaban melawan Islam—mengemuka.

Teroris diidentikkan dengan Islam, dan

berbagai kebijakan yang diambil oleh beberapa

negara pun mengidentikkan teroris dengan

Islam. Serangan terhadap masjid, pusat

komunitas Islam, dan serangkaian aturan hukum

yang diarahkan pada umat Islam pun berhasil

dibuat.

Meski demikian, fakta yang terjadi justru

sebaliknya. Dalam sebuah studi yang dilakukan

oleh Duke University dan University of North

Carolina, “ancaman terorisme yang dilakukan

oleh Muslim Amerika radikal terlalu dibesar-

besarkan.”52

Warga Amerika masih terus hidup dalam

bayang-bayang ketakutan akan Islam radikal,

ketakutan yang sengaja disebarkan dan dipupuk

oleh media-media Barat. Jika seseorang

mengikuti jaringan berita Barat, tampak seolah-

olah semua teroris adalah Muslim. Bahkan telah

menjadi aksioma di beberapa kalangan bahwa

"tidak semua Muslim adalah teroris, tapi hampir

semua teroris adalah Muslim".

Namun persepsi bukanlah realitas. Data yang

ada justru tidak mendukung kesimpulan

tersebut. Pada website resmi FBI, terdapat

daftar kronologis dari semua serangan teroris

yang dilakukan di wilayah AS dari tahun 1980

sampai ke tahun 2005.53 Dalam daftar tersebut,

terorisme yang dilakukan oleh ekstrimis Yahudi

lebih besar dibandingkan yang dilakukan oleh

umat Islam (7% vs 6%). Yahudi radikal tersebut

melakukan aksi terorisme atas nama agama

mereka, meski demikian mereka tidak dianggap

sebagai teroris Yahudi.

52

http://edition.cnn.com/2010/US/01/06/muslim.radicalization.study/

53http://www.fbi.gov/stats-services/publications/terrorism-2002-2005/terror02_05#terror_05sum

Serangan teroris di AS dari tahun 1980-2005. Sumber: www.fbi.gov

36

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

Data lain yang dirilis oleh Europol

menunjukkan bahwa serangan yang dilakukan

oleh umat Islam di Eropa pada tahun 2006-2010

hanya 0,5%. Sedangkan pada rentang waktu

2009 dan 2010, hanya 4 serangan (0,7%) yang

dilakukan oleh Muslim. Pada rentang waktu yang

sama, serangan yang dilakukan oleh kelompok

separatis adalah sebanyak 397 serangan (73%).

Dengan kata lain, kelompok separatis melakukan

serangan 99,2 kali lebih banyak dibandingkan

umat Islam. Serangan lainnya dilakukan oleh

kelompok sayap kiri, yaitu sebanyak 85 serangan

(16%).54

Selain itu, April 2013 silam Juan Cole

melakukan perbandingan mengenai korban yang

terbunuh dalam perang dan kekerasan politik

oleh agama pada abad ke-20.55 Hasilnya cukup

mengagetkan. Data tersebut menunjukkan

bahwa sekitar 100 juta orang terbunuh oleh

pasukan Kristen selama perang dan kekerasan

54

https://www.europol.europa.eu/sites/default/files/publications/tesat2010_0.pdf

55http://www.juancole.com/2013/04/terrorism-other-religions.html

politik di abad ke-20, dimana 16 juta di

antaranya terjadi pada Perang Dunia I dan 60

juta terjadi pada Perang Dunia II. Sedangkan

korban yang diakibatkan oleh pasukan Islam

sebanyak 2 juta jiwa.

Dari data tersebut, menurut Cole,

“dibutuhkan semacam kebutaan yang aneh

untuk memandang orang-orang Kristen Eropa

sebagai orang yang "baik" dan Muslim sebagai

agama kekerasan, jika kita melihat data jumlah

korban tewas pada abad kedua puluh tersebut.

Manusia adalah manusia, dan spesies ini terlalu

muda dan terlalu saling berhubungan untuk

dibedakan antara satu kelompok ke kelompok

lainnya. Orang-orang melakukan kekerasan

akibat dari ambisi atau keluhan, dan semakin

kuat mereka, semakin banyak kekerasan yang

tampaknya mereka akan lakukan.”56

Timbulnya persepsi bahwa teroris adalah

Islam—meski fakta menunjukkan kelompok lain

yang lebih banyak melakukan serangan teror—

tak lepas dari peranan liputan media atasnya.

Media akan memberikan liputan yang masif jika

serangan dilakukan oleh umat Islam, namun

liputan yang sama tidak diberikan jika pelaku

serang tidak pas dengan narasi “Islam adalah

ancaman abadi di zaman kita.” Mereka hidup

dalam dunia fantasi dimana setiap orang merasa

“secara politik dibenarkan” untuk mengritik

Islam dan Muslim. Bahkan, AS pun mulai campur

tangan tentang bagaimana cara berIslam yang

56

http://www.juancole.com/2013/04/terrorism-other-religions.html

37

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

benar, tentunya dalam pandangan mereka.

Penggantian kurikulum agama di negara Islam

adalah salah satu usaha yang mereka lakukan

saat ini.

2. Perang Melawan Teror Senilai $ 5 Trilyun

Ketakutan akan terorisme telah dimanfaatkan

secara maksimal oleh para politisi Amerika lebih

dari satu dekade. Ketakutan irasional tersebut

telah memicu pengeluaran militer secara besar-

besaran, perang tanpa akhir, pengikisan hak-hak

dan privasi individu, dan tentu saja,

Islamophobia.

Dalam dekade terakhir, ancaman terorisme

telah digunakan oleh AS untuk membenarkan

pelanggaran Konstitusi, invasi ke negara lain,

undang-undang pengawasan rahasia,

pemantauan orang tak bersalah tanpa alasan

yang masuk akal, dan defisit anggaran yang

terjadi secara terus menerus—karena sejumlah

besar uang digunakan untuk mendanai operasi

militer dan pengawasan. Namun, berdasarkan

peneltian yang dilakukan oleh Professor John

Muller dari Ohio State University, secara

mengejutkan jumlah korban tewas akibat

terorisme di Amerika Serikat sangat kecil. Dari

data yang tersedia dalam 5 tahun terakhir, rata-

rata 4,6 orang Amerika meninggal per tahun

akibat serangan teroris domestik. 57 Angka ini

jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah

korban tewas akibat sambaran petir, serangan

anjing, tenggelam di kamar mandi, dan bermain

american football. 58 Sebaliknya, dalam jurnal

yang dirilis oleh PloS Medicine pada bulan

Oktober 2013 silam menunjukkan fakta yang

cukup mencengangkan. 500 juta rakyat sipil Irak

tewas akibat invasi AS ke Irak dari tahun 2003-

2011.59

57

Terrorism since 9-11: The American Cases, edited by John Mueller, February 2013.

58 http://waronirrationalfear.com/facts

59 http://america.aljazeera.com/articles/2013/10/15/iraq-war-civiliandeathtoll500knewstudyestimates.html

38

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

Selama 20 tahun terakhir (yang meliputi

serangan 9/11), jumlah kematian rata-rata akibat

terorisme di Amerika sebesar 162 orang per

tahun. Jumlah ini jauh lebih kecil bandingkan

dengan 679.853 yang meninggal akibat penyakit

jantung setiap tahun, 52.823 orang yang

meninggal karena pneumonia dan flu, dan

17.961 orang yang meninggal karena

"terjatuh."60

Sejak 9/11, anggaran keamanan nasional dan

intelijen AS meningkat sebesar $ 65 milyar per

tahun. 61 Jika anggaran negara bagian, sektor

swasta, dan opportunity cost juga dimasukkan,

maka total biaya akan naik menjadi $ 132 milyar

per tahun. Angka itu masih belum memasukkan

beberapa pengeluaran lain, termasuk

pengeluaran militer AS.

60

idem 61

http://www.slate.com/articles/news_and_politics/politics/2011/09/does_the_united_states_spend_too_much_on_homeland_security.html

Jika kita menggunakan acuan angka anggaran

$ 65 milyar per tahun, maka setiap tahunnya AS

menghabiskan lebih dari $ 400 juta untuk

pencegahan terorisme per korban. Angka ini

jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran

untuk melakukan penelitian pencegahan kanker,

yang hanya menghabiskan $ 9.000 per korban.

Pertanyaan yang banyak diajukan oleh warga

AS adalah apakah biaya sebesar itu layak?

Standar cost/benefit analysis digunakan oleh

pemerintah AS untuk menjawab pertanyaan-

pertanyaan sulit seperti ini. Sebelum

memutuskan utuk membuat regulasi keamanan,

pemerintah akan menimbang antara kehidupan

yang diselamatkan dibandingkan dengan biaya

moneter dari regulasi tersebut. Secara umum,

jika biaya moneter penyelamatan kehidupan

39

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

seseorang lebih besar dari $ 8 juta, regulasi

tersebut tidak akan disetujui.62

Berkaitan dengan upaya-upaya anti-

terorisme, didapati bahwa pengeluaran yang

harus dikeluarkan ratusan kali lebih banyak

dibanding kemampuan untuk memberikan

keamanan. Dengan anggaran sebesar itu,

Profesor John Mueller menaksir bahwa AS perlu

menggagalkan setidaknya 1.667 serangan ala

Times Square per tahun—dengan asumsi bahwa

semua upaya tersebut sukses—agar pengeluaran

saat ini dianggap mampu memberikan

keuntungan.

Manusia secara alami lebih takut dan lebih

trauma dengan kematian akibat kekerasan. Jadi

mungkin bagi AS, menyelamatkan nyawa dari

terorisme lebih penting daripada

62

http://www.slate.com/articles/news_and_politics/politics/2011/09/does_the_united_states_spend_too_much_on_homeland_security.html

menyelamatkan dari kematian yang disebabkan

oleh non-kekerasan. Tapi bagaimana dengan

kejahatan kekerasan lainnya? Dalam hal ini,

ternyata AS menghabiskan lebih banyak uang

pada upaya anti-terorisme daripada biaya total

yang dikeluarkan untuk memerangi segala

bentuk kejahatan lainnya secara akumulatif.63

Padahal fakta menunjukkan bahwa warga

Amerika 3000 kali lebih mungkin untuk

meninggal akibat pembunuhan daripada

serangan teroris.

Menurut Pentagon, AS setidaknya telah

menghabiskan $ 1 triliun dalam "perang

melawan teror".64 Sementara beberapa ahli lain

memperkirakan bahwa pengeluaran selama

“perang melawan teror” lebih dari $ 5 triliun.65

Selain itu, Iraq Body Count melaporkan

63

Veronique de Rugy, “The Economics of Homeland Security,” Washington, DC: Cato Institute, 2010, hal. 123.

64 http://nation.time.com/2011/06/29/the-5-trillion-war-on-terror/

65 http://www.nytimes.com/interactive/2011/09/08/us/sept-11-reckoning/cost-graphic.html?_r=0

40

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

setidaknya 115.000 warga sipil Irak terbunuh

dalam Perang Irak, hanya didasarkan pada

peristiwa yang didokumentasikan.66

Jadi, apa artinya semua ini?

Mengingat kecilnya risiko terorisme bagi

kehidupan warga Amerika, dan fakta bahwa

sebagian besar respon atasnya justru nampak

tidak menargetkan bahaya nyata dari fenomena

ini, tidak perlu sebuah lompatan besar untuk

membuat argumen bahwa tujuan sebenarnya

dari "perang melawan teror" bukanlah

menyelamatkan nyawa, melainkan

menyediakan justifikasi yang luas dan tanpa

akhir untuk berbagai macam kebijakan regresif.

Atas nama terorisme, pemerintah AS merasa

telah dibenarkan untuk melakukan invasi ke

negara lain, melucuti kebebasan dasar warganya

secara besar-besaran, dan menggeser uang

kepada para kontraktor militer dan

menjauhkannya dari hal-hal lain yang sejatinya

justru lebih mengancam kehidupan manusia

dalam skala besar.

3. Penyiksaan

Penyiksaan menjadi salah satu dampak paling

mengerikan dari Global War on Terrorism yang

dilancarkan oleh Amerika Serikat dan sekutunya.

Sebagai sebuah negara yang menggembor-

gemborkan demokrasi, Amerika Serikat paham

bahwa tidak mungkin untuk melakukan

penyiksaan di negara yang selama ini mengklaim

sebagai penjunjung tinggi peradaban.

66

https://www.iraqbodycount.org/

Karenanya, “torture by proxy” menjadi pilihan

yang mereka ambil. Mereka meminjam tangan-

tangan rezim diktator untuk menyiksa orang-

orang yang dianggap sebagai teroris.

Istilah "torture by proxy" digunakan oleh

beberapa kritikus untuk menggambarkan situasi

di mana CIA dan lembaga AS lainnya

memindahkan warga sipil yang dianggap

teroris—yang ditangkap dalam upaya perang

terhadap terorisme—ke negara-negara yang

dikenal secara kejam menggunakan metode

penyiksaan selama proses interogasi. Penyiksaan

tersebut dilakukan dengan pengetahuan atau

persetujuan dari lembaga-lembaga Amerika

Serikat.

Dalam sebuah dokumen CIA yang bocor,

ditemukan fakta bahwa pemerintah AS

melakukan transfer tahanan ke Libya untuk

kemudian disiksa di sana. Salah seorang mantan

tahanan mengungkapkan bahwa ia disiksa

dengan waterboarding. Ia juga pernah

dimasukkan ke dalam sebuah kotak terkunci

dengan panjang sekitar 1 meter pada masing-

masing sisi. Terdapat lubang-lubang kecil dalam

kotak tersebut, dimana para interogator

menusuk-nusuknya dengan sebuah benda yang

kecil tapi panjang. Tahanan lain mengungkapkan

bahwa ia dimasukkan ke dalam sebuah kotak

panjang, sempit, dengan lebar 60 cm, dan

dengan posisi satu tangan dibelenggu ke atas. Ia

dimasukkan dalam kotak tersebut selama satu

setengah hari dengan iringan musik yang sangat

keras di dalam kotak tersebut. Tahanan lain

Laporan Khusus

mengaku ia dimasukkan dalam kotak yang

serupa, dimana ia tidak memiliki pilihan lain

kecuali buang air kecil dan air besar di kotak

tersebut.67

Gambar kotak sebesar 1 x 1 meter yang dilukis oleh mantan tahanan AS di Afghanistan

Sumber: Human Rights Watch

Dalam hukum Amerika Serikat sendiri,

mentransfer seseorang ke sebuah tempat yang

ia akan berisiko mendapatkan penyiksaan

merupakan sebuah pelanggaran hukum.

Kenyataan tersebut bertentangan dengan janji

Condoleezza Rice, mantan Menteri Luar Negeri

Amerika Serikat, yang men/yatakan bahwa

"Amerika Serikat tidak mengangkut, dan tidak

akan mengangkut siapa pun, ke suatu negara

ketika kita yakin ia bahwa akan disiksa. Apabila

diperlukan, Amerika Serikat akan mencari

jaminan bahwa orang-orang yang dipindahkan

tersebut tidak akan disiksa."68 Janji yang sama

juga diucapkan oleh Rice saat mengatakan 67

http://www.wired.com/2012/09/helping-gadhafi68

http://2001-2009.state.gov/secretary/rm/2005/57602.htm

41

SYAMINA

mengaku ia dimasukkan dalam kotak yang

miliki pilihan lain

kecuali buang air kecil dan air besar di kotak

Gambar kotak sebesar 1 x 1 meter yang dilukis oleh

Sumber: Human Rights Watch

Dalam hukum Amerika Serikat sendiri,

mentransfer seseorang ke sebuah tempat yang

ia akan berisiko mendapatkan penyiksaan

pelanggaran hukum.

Kenyataan tersebut bertentangan dengan janji

Condoleezza Rice, mantan Menteri Luar Negeri

yatakan bahwa

"Amerika Serikat tidak mengangkut, dan tidak

akan mengangkut siapa pun, ke suatu negara

bahwa akan disiksa. Apabila

diperlukan, Amerika Serikat akan mencari

orang yang dipindahkan

Janji yang sama

juga diucapkan oleh Rice saat mengatakan

gadhafi-torture/ 2009.state.gov/secretary/rm/2005/57602.htm

bahwa “pemerintah Amerika Serikat tidak akan

mengotorisasi atau mengampuni penyiksaan

tahanan. Penyiksaan, dan konspirasi untuk

melakukan penyiksaan, adalah sebuah kejahatan

di bawah undang-

dimanapun ia terjadi di dunia ini.”

Penyiksaan, penjara rahasia, dan transfer

tahanan tersebut tidak hanya melibatkan rezim

rezim diktator di negara Timur Tengah, namun

juga negara-negara Eropa yang selama ini sering

meneriakkan soal hak asasi manusia. Dalam

sebuah laporan yang dirilis pada bulan Juni 2006,

Council of Europe memperkirakan bahwa sekit

100 orang telah diculik oleh CIA di wilayah Uni

Eropa bekerjasama dengan anggota Dewan

Eropa, dan kemudian memberikannya kepada

negara lain. Menurut laporan Parlemen Eropa

bulan Februari 2007, CIA telah melakukan 1.245

penerbangan yang sebagian besar di

ditujukan ke negara yang si terduga teroris

tersebut berpotensi mendapatkan penyiksaan.

Tindakan tersebut telah melanggar pasal 3

Konvensi PBB Menentang Penyiksaan.

Peran Petugas Medis dalam Penyiksaan

Melindungi pasien dari "penderitaan dan

ketidakadilan," menghormati kerahasiaan, dan

tidak pernah mengambil keuntungan dari pasien

yang rentan adalah salah satu prinsip inti yang

harus dilakukan oleh para petugas medis.

69

U.S. Dep’t of State, Remarks Upon her Departure for Europe, http://www.state.gov/secretary/rm/2005/57602.

70http://assembly.coe.int/Main.asp?link=/Documents/AdoptedText/ta06/ERES1507.htm

Edisi X/Maret 2014

bahwa “pemerintah Amerika Serikat tidak akan

asi atau mengampuni penyiksaan

tahanan. Penyiksaan, dan konspirasi untuk

melakukan penyiksaan, adalah sebuah kejahatan

-undang Amerika Serikat,

dimanapun ia terjadi di dunia ini.”69

Penyiksaan, penjara rahasia, dan transfer

idak hanya melibatkan rezim-

rezim diktator di negara Timur Tengah, namun

negara Eropa yang selama ini sering

meneriakkan soal hak asasi manusia. Dalam

sebuah laporan yang dirilis pada bulan Juni 2006,

Council of Europe memperkirakan bahwa sekitar

100 orang telah diculik oleh CIA di wilayah Uni

Eropa bekerjasama dengan anggota Dewan

Eropa, dan kemudian memberikannya kepada

negara lain. Menurut laporan Parlemen Eropa

bulan Februari 2007, CIA telah melakukan 1.245

penerbangan yang sebagian besar diantaranya

ditujukan ke negara yang si terduga teroris

tersebut berpotensi mendapatkan penyiksaan.

Tindakan tersebut telah melanggar pasal 3

Konvensi PBB Menentang Penyiksaan.70

Peran Petugas Medis dalam Penyiksaan

Melindungi pasien dari "penderitaan dan

idakadilan," menghormati kerahasiaan, dan

tidak pernah mengambil keuntungan dari pasien

yang rentan adalah salah satu prinsip inti yang

harus dilakukan oleh para petugas medis.

U.S. Dep’t of State, Remarks Upon her Departure for

http://www.state.gov/secretary/rm/2005/57602.htm http://assembly.coe.int/Main.asp?link=/Documents/AdoptedText/ta06/ERES1507.htm

42

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

Namun CIA dan Departemen Pertahanan AS

justru menginstruksikan dokter dan profesional

kesehatan lainnya untuk mengabaikan prinsip-

prinsip ini saat mengawasi tahanan Amerika

Serikat atas nama apa yang disebut sebagai

"perang melawan teror."

CIA meminta para stafnya untuk tidak terlalu

menghiraukan prinsip-prinsip mereka dan lebih

mengutamakan pengumpulan data intelijen dan

praktik keamanan.

Dokter dan psikolog yang bekerja untuk

militer AS melanggar kode etik profesi mereka di

bawah instruksi dari Departemen Pertahanan

dan CIA untuk terlibat dalam penyiksaan dan

perlakuan yang merendahkan terhadap

tersangka teroris.

Para tenaga medis profesional tersebut

diberitahu bahwa mantra etis mereka "pertama,

jangan membahayakan" tidak berlaku, dengan

alasan bahwa mereka tidak sedang merawat

orang sakit.

Dalam laporan berjudul “Ethics Abandoned:

Medical Professionalism and Detainee Abuse in

the War on Terror”, Departemen Pertahanan AS

menyebut tenaga medis yang terlibat dalam

interogasi sebagai "petugas keamanan" daripada

dokter. Dokter dan perawat diminta untuk

berpartisipasi dalam pemaksaan makan tahanan

mogok makan, yang bertentangan dengan

aturan World Medical Association dan American

Medical Association. Mereka juga diminta untuk

memberitahukan kondisi fisik dan psikologis

tahanan kepada interogator. Selain itu, mereka

juga tidak mematuhi rekomendasi dari Army

Surgeon General untuk melaporkan penyiksaan

terhadap tahanan.

Kantor pelayanan medis CIA memainkan

peran penting dalam memberikan saran kepada

Departemen Kehakiman AS tentang metode

"peningkatan interogasi"—seperti penambahan

sleep depriviation (kurang tidur) dan

waterboarding—dan mengakuinya sebagai

bentuk penyiksaan yang dapat diterima secara

medis. Tenaga medis CIA juga hadir saat

dilakukan penyiksaan dengan menggunakan

waterboarding.

Dr. Gerald Thomson, profesor di Columbia

University dan salah satu anggota task force

mengatakan bahwa, "Publik Amerika memiliki

hak untuk tahu bahwa perjanjian dengan dokter

untuk mengikuti etika profesional bersifat tegas

terlepas dimana mereka bertugas. Sudah jelas

bahwa atas nama keamanan nasional, militer

telah memalsukan perjanjian tersebut. Dokter

telah diubah menjadi agen militer dan

melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan

dengan etika dan praktek medis. Kita memiliki

tanggung jawab untuk memastikan hal ini tidak

pernah terjadi lagi."

Dokter diminta untuk memberikan akses

informasi medis dan psikologis tentang tahanan

kepada para interogator, untuk kemudian

mereka gunakan untuk menekan tahanan

tersebut. Para tahanan tidak diizinkan untuk

43

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

menerima pengobatan atas penderitaan yang

disebabkan oleh penyiksaan yang mereka alami.

David Rothman, Presiden IMAP menegaskan

bahwa, "memakai seragam tidak, dan

seharusnya tidak, membatalkan prinsip-prinsip

dasar profesionalisme medis. ‘Jangan

membahayakan' dan 'utamakan kepentingan

pasien’ harus berlaku untuk semua dokter di

mana pun mereka bertugas."

4. Drone yang Kejam

"Kejam dan tak berperikemanusiaan.” Itulah

julukan yang diberikan oleh Frederick P. Hitz,

mantan inspektor jenderal CIA, untuk

menggambarkan dampak dari Drone yang

dijalankan oleh Amerika Serikat di Pakistan,

Yaman, dan beberapa wilayah di belahan dunia

yang lain atas nama Global War on Terrorism.

Drone tak sekadar sebagai sebuah aplikasi

kekuatan mematikan yang dilakukan tanpa

peringatan untuk menghancurkan tersangka

teroris dan seringkali orang-orang yang tidak

bersalah. Lebih memprihatinkan, pembunuhan

tersebut dilakukan dari jarak ribuan kilo dari

medan pertempuran. Hitz juga menyatakan

bahwa serangan drone sendiri merupakan

sebuah bentuk terorisme tersendiri.

Ketika Barack Obama terpilih menjadi

Presiden Amerika Serkat pada tahun 2008,

harapan akan perubahan menyebar di seluruh

dunia—berharap bahwa ia akan mengakhiri

partisipasi AS dalam penyiksaan, berharap

bahwa ia akan segera menutup penjara di

Guantanamo, berharap bahwa ia akan

menghentikan penyadapan secara sewenang-

wenang, dan berharap bahwa ia akan

mengembalikan keseimbangan antara

kebebasan sipil dan keamanan nasional.

Beberapa hari setelah pidato pelantikannya,

sebuah pesawat tak berawak CIA menjatuhkan

rudal Hellfire di rumah Fahim Qureishi di

Pakistan, menewaskan tujuh anggota

keluarganya dan melukai Fahim. Fahim baru

berusia 13 tahun, dan akhirnya harus hidup

hanya dengan satu mata dan dengan pecahan

peluru di perutnya.71 Dan anehnya, tidak ada

militan di tempat yang diserang tersebut.

David Klaidman mengungkapkan bahwa

Obama diberitahu tentang kesalahan sasaran

tersebut, namun ia tidak menawarkan ganti rugi,

karena pada tahun 2009, Amerika Serikat tidak

mengakui keberadaan program drone di

Pakistan, meskipun program tersebut sudah

dilaporkan secara luas di media.72

Sadaullah Wazir adalah korban lain dari drone

Amerika tak lama setelah pelantikan pertama

Obama. Rumahnya di Waziristan Utara menjadi

sasaran serangan drone pada tanggal 7

September 2009. Serangan tersebut

menewaskan empat anggota keluarganya.

Sadaullah berusia 14 tahun ketika serangan

tersebut terjadi. Beberapa hari setelah serangan,

ia terbangun di rumah sakit Peshawar

71

Mirza Shahzad Akbar, “Obama’s Forgotten Victims,” The New York Times, 23 Mei 2013

72 idem

44

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

mendengar kabar bahwa kedua kakinya harus

diamputasi dan bahwa ia tidak akan pernah bisa

berjalan lagi. Dia meninggal tahun lalu, 2012,

tanpa menerima ganti rugi atau bahkan

permintaan maaf. Sekali lagi, kabarnya, tidak ada

militan di tempat tersebut.73

Fahim dan Sadaullah—keduanya masih anak-

anak—adalah hanya sedikit dari ribuan rakyat

tak berdosa lain yang menjadi korban keganasan

drone. Menurut Bureau of Investigative

Journalism, serangan drone telah menewaskan

antara 416-957 rakyat sipil tak berdosa di

Pakistan antara tahun 2004–2014, dimana 168-

202 diantaranya adalah anak-anak.

Dengan menjadikan drone sebagai alat

kebijakan luar negeri utama, Obama telah

memainkan peran sebagai jaksa penuntut,

hakim, juri, dan eksekutor sekaligus. Tanpa

mendeklarasikan perang, AS telah menyerang

Pakistan dengan lebih dari 350 serangan drone

sejak tahun 2004. Serangan tersebut telah

menewaskan lebih dari 2.500 orang, termasuk

200 anak-anak. 74 Meskipun dinilai sebagai

senjata dengan tingkat presisi tinggi, 98 persen

yang terbunuh dari serangan tersebut yang

merupakan korban tak berdosa atau militan

tingkat rendah.75

Drone bukan hanya membunuh, namun ia

juga meneror seluruh masyarakat dengan bunyi

73

idem 74

http://www.thebureauinvestigates.com/namingthedead/drone-strikes/?lang=en

75 http://www.cnn.com/2012/09/05/opinion/bergen-obama-drone/index.html

dengungan yang muncul di atas atap rumah

mereka. Sebuah studi yang dilakukan oleh

Stanford/NYU Law School berjudul Living Under

Drones menunjukkan bagaimana keberadaan

drone mampu mengacaukan kehidupan

masyarakat. Para orang tua takut untuk

mengirimkan anak mereka ke sekolah. Mereka

juga takut untuk menghadiri pernikahan,

pemakaman, atau segala bentuk perkumpulan

masyarakat lainnya.76

AS kini seolah mempunyai otoritas untuk

membunuh seseorang di manapun. Menurut

Philip Alston, mantan Pelapor Khusus PBB

tentang Eksekusi Extrajudusial, penggunaan

drone akan membawa pada kondisi chaos.77

Drones adalah pesawat militer yang

dikendalikan baik oleh 'pilot' yang berada sering

ribuan mil dari tempat operasi, atau sistem

otomatis yang telah dirancang untuk

menjalankan misi yang telah diprogram. Drone

bisa digunakan untuk pengintaian dan juga bisa

dipersenjatai dengan rudal dan bom.

Bahkan meski tidak menjatuhkan bom, drone

bisa menimbulkan efek panik dan kecemasan

saat mereka diterbangkan. Drones bisa

mengudara hingga 80 jam pada suatu waktu, dan

suara dengungan konstan yang mereka hasilkan

bisa memberikan efek buruk pada masyarakat

yang mereka targetkan. Dampaknya, sulit untuk

mengabaikan perlawanan sah yang timbul dari

76

http://www.livingunderdrones.org/ 77

http://harpers.org/blog/2010/06/rules-for-drone-wars-six-questions-for-philip-alston/

45

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

kehadiran drone ini dan permusuhan terhadap

Barat yang dihasilkan oleh drone.Drone

bersenjata telah menewaskan ribuan orang di

Afghanistan, Pakistan, dan Yaman. Pada saat

drone dilihat oleh pemerintah Barat sebagai opsi

"berbiaya rendah" untuk melakukan campur

tangan luar negeri, sebagai perpanjangan dari

Perang Melawan Teror, penentangan atasnya

juga semakin meningkat. Berikut ini alasannya:

Drones meningkatkan ancaman terorisme

dan ketidakamanan

Sebagaimana yang dikatakan oleh mantan

kepala pusat kontra-terorisme CIA soal drone,

“kita telah menyusuri jalan yang menciptakan

lebih banyak musuh dibandingkan

menghilangkannya dari medan perang."

Ribuan orang telah terbunuh

Menurut Biro Jurnalisme Investigasi, sampai

Agustus 2013, 3.584 orang telah terbunuh di

Pakistan oleh 371 serangan drone AS.

Mempertahankan kehadiran militer di

Afghanistan

Pemerintah Inggris dan AS telah

mengumumkan jadwal penarikan pasukan

militer di Afghanistan pada tahun 2014. Tapi

setelah lebih dari 12 tahun perang di

Afghanistan, di mana puluhan ribu warga sipil

telah tewas, Pentagon mengumumkan bahwa

drone dapat digunakan untuk

memperpanjang perang sampai setidaknya

tahun 2015. Oleh karena, penggunaan drone

akan terus berlanjut disaat mereka

mempresentasikan ‘rencana penarikan

pasukan’ sebagai sebuah kesuksesan.

Membuat intervensi luar negeri semakin

mudah

Sebuah pernyataan dari Menteri Pertahanan

Inggris pada Januari 2013 menunjukkan

betapa mudahnya kemungkinan melakukan

intervensi militer di luar negeri. Phillip

Hammond menolak permintaan Perancis

untuk mengirim drone ke Mali karena

"dampak yang tidak dapat diterima pada

operasi yang telah kami lakukan di

Afghanistan”. Aspirasi rakyat dikesampingkan

dan pertanyaan apakah publik mendukung

perang baru di Mali bahkan tidak pernah

diangkat. Lebih dari satu dekade Perang

Melawan Teror yang berdampak pada

hilangnya kehidupan secara mengerikan dan

ketidakamanan yang telah dihasilkan,

membuat penentangan publik terhadap

perang semakin menguat. Dan drones

nampaknya menjadi cara untuk meluncurkan

perang rahasia baru, di luar radar dan

pantauan masyarakat.

Drone tidak tepat sasaran

Para pendukung drone mempromosikan

tingkat akurasi dan presisi yang diberikan oleh

drone. Memang benar bahwa teknologi

memungkinkan pembatasan target dalam

lingkup area yang cukup kecil, tapi drone tidak

memiliki kapasitas untuk menentukan siapa

46

Laporan Khusus SYAMINA Edisi X/Maret 2014

teroris dan siapa yang bukan. Statistik

menunjukkan bahwa dari 3.584 yang

terbunuh di Pakistan oleh serangan drone AS,

perkiraan kasar menunjukkan bahwa 928

diantaranya warga sipil yang tidak bersalah.

Mungkin karena alasan inilah yang membuat

Kementerian Pertahanan tidak pernah

memberikan jumlah korban yang terbunuh di

Afghanistan.

Dalam laporan yang dirilis oleh Center for

Civilians in Conflict dan Human Rights Clinic

Columbia Law School yang berjudul “The Civilian

Impact Of Drones”, serangan drone telah

memberikan dampak yang cukup mengerikan

kepada masyarakat yang menjadi target. Selain

kematian dan cedera, drone juga memicu

munculnya balas dendam, stigma negatif pada

korban yang belum tentu merupakan target yang

sah, meningkatkan kekerasan dan

ketidakstabilan, hancurnya kondisi psikologis

masyarakat, serta meningkatnya kemiskinan,

pengungsian, dan hilangnya harta benda.

Kesimpulan

Lebih dari satu dekade Perang Global Melawan

Teror berlangsung. Tidak ada keraguan bahwa

banyak hal telah berubah sebagai respon atas

serangan 9/11. Perubahan ini telah mempengaruhi

individu, organisasi, dan negara. Bagi individu,

perang melawan terorisme telah membatasi

beberapa kebebasan fundamental dan mungkin

telah melanggar hak privasi mereka. Lebih penting

lagi, banyak orang telah kehilangan nyawa mereka

dan harus mengungsi sebagai konsekuensi dari

perang tersebut. Dalam tingkat organisasi, kita

telah menyaksikan kelahiran lembaga keamanan

baru, kebijakan kontraterorisme baru, dan

munculnya entitas yang dianggap sebagai teroris

baru. Pada tingkat negara, telah terjadi perubahan

rezim secara paksa sebagai respon langsung

terhadap serangan 9/11.

Kemunafikan AS, histeria yang ditiupkan oleh

media, dan berbagai kebijakan luar negeri AS telah

melunturkan image mereka di sebagian besar

negara di dunia.

Kesalahan mendefinisikan musuh yang diiringi

dengan berbagai kebijakan yang cenderung

melanggar batas-batas etika perang, hukum

internasional, dan hak asasi manusia telah

membuat perang ini disebut sebagai “war on

error”, perang yang salah, dan “dirty war”, perang

yang kotor. Tidak ada akhir yang nampak dari

perang ini. Berbagai kebijakan baru justru

mengarah bahwa perang ini akan menjadi perang

yang panjang dan abadi.

Dengan berbagai fakta kekeliruan perang ini,

sudah seyogyanya para akademisi mengikuti naluri

akademiknya, kritis mengakui bahwa perang ini

salah. Demikian juga para tokoh Islam, sebagai

corong perjuangan dan aspirasi umat, untuk lebih

peka terhadap kekeliruan perang ini.