Seren Taun Guru Bumi

download Seren Taun Guru Bumi

of 7

Transcript of Seren Taun Guru Bumi

Seren Taun Guru Bumi : Harmoni Islam dan Budaya Pasundan Oleh : Romly A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai homo religion memiliki insting bahwa ada kekuatan lain di luar dirinya, hal ini termanifestasikan dalam berbagai bentuk kepercayaan terhadap adanya kekuatan pada dewa dan dewi yang mampu mendatangkan kebaikan atau keburukan. Kepercayaan ini menyebabkan manusia perlu untuk memberikan suatu ungkapan syukur dan terima kasih atas segala kebaikan yang ia dapatkan di dunia ini, atau manusia juga merasa perlu membuat ritual tertentu untuk menghindari adanya murka dari dewa-dewa tersebut. Kepercayaan adanya dewadewa menyebar di seluruh penjuru Indonesia, dari suku Anak Dalam di Jambi hingga suku Dani di Papua. Ia ada di berbagai tipe masyarakat, dari masyarakat pesisir pantai hingga masyarakat agraris, mereka memiliki berbagai kepercayaannya masing-masing. Di antara kepercayaan yang ada pada masyarakat agraris di Indonesia adalah adanya dewi yang menjadi asal muasal dari padi. Dewi tersebut diyakini sebagai pelindung sekaligus pemelihara tumbuhan padi yang menjadi makanan pokoknya. Dewi tersebut dikenal dengan sebutan Dewi Sri, ia adalah sosok perempuan yang menjadi dewi penguasa dan dewi kesuburan bagi tumbuhan padi. Tokoh Dewi Sri yang berkembang pada masyarakat agraris Sunda, menurut penelitian Hidding, dikenal dengan sebutan Nyi Pohatji Sanghyang Sri dan sering dikaitkan dengan mitos asal mula adanya padi di Jawa Barat. Mitos ini menyebutkan bahwa tanaman padi1

berasal dari jenazah Dewi Sri atau Dewi Tisnawati yang telah dikubur.

2

Seren Taun Guru Bumi adalah salah satu dari ritual yang dilakukan oleh masyarakat agraris di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa Barat. Upacara ritual ini masih dilaksanakan hingga saat ini. Bahkan di beberapa tempat seperti di Kuningan dan Bogor telah menjadi salah satu dari wisata budaya yang banyak menarik wisatawan asing dan domestik. Sebenarnya praktik ritual ini tidak hanya ada pada budaya masyarakat Sunda, melainkan juga berlangsung di banyak masyarakat Indonesia lainnya, biasanya perayaan ini dilaksanakan dengan rangkaian ritual sedekah bumi.3

Soepanto, Asal Mula Padi (Tjerita Rakjat dari Pasundan) dalam Kumpulan Tjerita Rakjat Indonesia, (Bandung: Urusan Adat-Istiadat dan Tjerita Rakjat Dep.P.D dan K Djawatan Kebudayaan, 1963), hlm. 22-25. 2 Hariani Santikno, Dewi Sri: Unsur Pemujaan Kesuburan pada Mitos Padi dalam Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia. No. 13 AK PIA/1977, hlm. 53-67. 3 Edi S. Ekajati, Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya (Jakarta: Giri Pasaka, 1984), hlm. 129.

1

Ritual Seren Taun ini terus dilaksanakan sampai agama Islam masuk dan dipeluk oleh masyarakat Pasundan. Maka terjadilah upaya saling mengisi antara Islam dan budaya Pasundan hingga terciptalah sebuah harmoni Islam dengan budaya masyarakat Pasundan dalam bentuk ritual upacara Seren Taun Guru Bumi tersebut. Dalam perspektif antropologi, ritual ini bisa dikategorikan sebagai bentuk adaptasi budaya antara budaya Sunda dan Islam, dan bahkan bisa dianggap sebagai bentuk sinkretisme Islam. Sebagai ritual komunal, praktek Seren Taun Guru4

Bumi menyerap berbagai budaya masyarakat setempat. Karena budaya merupakan sistem simbol yang berfungsi untuk mengarahkan tingkah laku umat beragama, maka dalam praktek5

Seren Taun Guru Bumi, teks-teks agama dinegosiasikan secara kreatif dan memberikan makna baru. Sebagai konsekuensinya, proses pembuangan atau bahkan penyimpangan dari teks-teks agama tidak dapat dihindari. B. Perumusan masalah Dari latar belakang masalah dapat diketahui bahwa ritual upacara Seren Taun Guru Bumi yang saat ini dilaksanakan adalah hasil dari harmoni Islam dan budaya Pasundan, lantas bagaimana sebenarnya proses harmoni ini berlangsung. Selain itu, bagaimana sebenarnya upacara ritual ini bisa menjadi bagian tidak terpisahkan dari masayarakat pasundan? Agar penelitian ini lebih terfokus dan mendalam, maka peneliti membatasi penelitian ini hanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut : 1. Bagaimana ritual upacara ini dilaksanakan oleh masyarakat Pasundan? 2. Seperti apa bentuk harmoni Islam dan budaya Pasundan dalam upacara ritual ini? C. Signifikansi Penelitian Penelitian ini akan membahas tentang harmoni Islam dan budaya masyarakat Pasundan, khususnya di Bogor, Kuningan dan Banten. Maka dengan penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan positif bagi masyarakat pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Secara rinci penelitian ini akan bermanfaat bagi : 1. Perkembangan ilmu-ilmu keislaman pada umumnyaIrwan Abdullah, Kraton, Upacara, dan Politik Simbol: Kosmologi dan Sinkretisme di Jawa, dalam Humaniora, No. 1, Vo. 1, 1990, hlm. 87. Baca juga Parsudi Suparlan, Kata Pengantar dalam Mujahirin Thohir, Wacana Masyarakat dan Kebudayaan Jawa Pesisir (Semarang: Bendera, 1999), hlm. 25. Baca juga Mark R. Woodward, Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in The Sultanate of Yogyakarta (An Arbor: UMI, 1988) dan karya Clifford Geertz, Santri, Priyayi, Abangan dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981). 5 Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, (London: Sage Publication, 1970), hlm. 65. 6 Ali, Asad Said, Bukan?-nya Seorang Gus Dur, dalam Kata Pengantar Gus Dur Bertutur, Jakarta: Harian Proaksi, 2005. hlm. 10.46

2. Model kajian sosial keagamaan dalam pengembangan sikap toleran budaya lokal 3. Sebagai pijakan kebijakan bagi pihak terkait dalam pengembangan sumber daya manusia D. Kajian Riset Sebelumnya Ritual Seren Taun adalah bentuk rasa syukur masyarakat Pasundan atas tibanya masa panen padi, secara histori ia adalah penghormatan sekaligus pemujaan terhadap Dewi Sri sebagai dewi pemilik dan penguasa tanaman padi, ia juga sebagai dewi yang menjadi asal muasal dari padi, karena itu masyarakat merasa perlu untuk mengungkapkan rasa syukurnya dalam bentuk ritual Seren Taun Guru Bumi. Penelitian tentang ritual ini beberapa kali dilakukan, terutama oleh mahasiswa di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Namun penelitian tentang Seren Taun yang telah dilakukan tidak pernah membahas tentang akulturasi atau harmoni yang menjadi unsur-unsur ritual seren taun saat ini, yaitu teori akulturasi antara Islam dan budaya Pasundan. Penelitian yang ada lebih kepada deskrisi budaya dan adat masyarakat Pasundan, padahal bila kita perhatikan ritual ini syarat dengan nilai-nilai Islam yang telah melebur ke dalam budaya Pasundan. E. Kerangka Teori Akulturasi budaya adalah salah satu dari bentuk dialog antara satu budaya dengan budaya lainnya. Ada dua kemungkinan ketika dua budaya saling berinteraksi, pertama terjadi konflik antara keduanya, kedua terjadi akulturasi antara keduanya, yaitu ada proses saling mempengaruhi, saling mengisi dan berkolaborasi sehingga menciptakan suatu budaya baru unik dan berbeda dengan budaya yang ada sebelumnya. Dalam ritual Seren Taun Guru Bumi budaya Islam yang berasal dari timur tengah dengan gurun pasirnya yang gersang berpadu dengan budaya masyarakat agraris di wilayah tropis. Perubahan formasi dan rangkaian tradisi dalam ritual seren taun menunjukkan adanya proses interaksi dan akomodasi Islam dengan kebudayaan dalam. Hal ini menurut analisa Bambang Pranowo, merupakan hal yang wajar karena secara teoritik sebuah tradisi itu bekerja dengan meniscayakan adanya sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi, dan wujudnya masih ada hingga sekarang. Dalam hubungannya dengan interaksi Islam dan kebudayaan,7

Bassam Tibi, seorang penganut teori akulturasi Islam, memperlakukan Islam sebagai sistem simbol untuk memahami dunia dan lingkungan kebudayaan tertentu. Tibi selanjutnya8

7

Bambang Pranowo, Runtuhnya Dikhotomi Santri-Abangan, dalam Jurnal Ulumiddin, No. 02, Th. IV, Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accommodation of Social Change, (San Francisco: West view Press,

2001.8

1991)

merekomendasikan bahwa akomodasi kultural selayaknya dilakukan oleh masyarakat Islam, yakni upaya untuk membuka diri terhadap perubahan. Dari konsepsi inilah, ritual seren taun bisa dipahami dalam paradigma antropologi Tibi sebagai proses akulturasi, asimilasi, difusi, dan adaptasi. Islam dipahami sebagai kumpulan dengan variasi interpretasi berada dalam konteks lokalitas seren taun. Islam melakukan adaptasi dan berdialog dengan kebudayaan, sehingga dalam konsepsi Habsbawn sebagaimana dikutip Pranowo, tradisi seren taun meniscayakan dua konsep kebudayaan, yaitu adanya proses pewarisan dan konstruksi. Dikatakan pewarisan, karena seren taun merupakan tradisi yang9

penyebarannya berlangsung dari masa ke masa dan hingga kini masih terus berlangsung. Sedangkan disebut konstruksi, karena pembentukan tradisi budaya tersebut tak terlepas dari unsur-unsur pembentuk budaya lainnya, seperti Islam dalam hal ini. Senada dengan analisa di atas, konsepsi Ignaz Kleden tentang perubahan kebudayaan dapat membantu untuk melihat sejauhmana proses pewarisan atau pelestarian, dan pembentukan tradisi seren taun itu bekerja dan menemukan kontekstualitasnya. Ignaz Kleden memberikan lima konsepsi, seperti (1) pada tataran sistem nilai adalah dari integrasi, disintegrasi ke reintegrasi; (2) pada tataran sistem kognitif ialah melalui orientasi, ke disorientasi ke reorientasi; (3) dari sistem kelembagaan, perubahannya adalah dari organisasi, ke disorganisasi ke reorganisasi; (4) dari perubahan pada tataran interaksi adalah dari sosialisasi, dissosialisasi ke resosialisasi; dan (5) dari tataran kelakuan, maka prosesnya adalah dari penerimaan tingkah laku, ke penolakan tingkah laku dan penerimaan tingkah laku yang baru.10

Di antara perubahan dan pergeseran budaya dalam tradisi seren taun sebagaimana konsepsi Kleden, yang menonjol adalah perubahan dalam sistem kognitif yaitu pengetahuan keagamaan yang dahulunya lebih kental warna kepercayaan lokalnya menjadi lebih kearaban. Istilah warna kepercayaan lokal ini dipahami sebagai warisan budaya di masa lampau yang juga terkonstruk dari negosiasi budaya-budaya yang berkembang saat ini, semisal kepercayaan Hindu-Budha. Sementara istilah kearaban untuk menunjukkan makna semantik dan semiotik semata yang digunakan dalam diskursus kedua budaya tersebut. Ini misalnya diperlihatkan dalam tradisi ziarah, tahlilan, pembacaan surat Yasin dan yang lainnya.

9

10

Bambang Pranowo, hlm. 9. Ignaz Kleden, Sikap Ilmiah terhadap Kebudayaan (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 169-170.

Dialog Islam dengan tradisi seren taun sebagaimana dianalisa dengan konsepsi Bassam Tibi, Pranowo dan Habsbawn, Nur Syam, menemukan relevansinya dengan antropolog lainnya11

yang menitikberatkan sisi akulturasi Islam dalam budaya lokal, yaitu Mark R. Woordward,13 14

12

Muhaimin , John Ryan Bartholomew . Mereka beranggapan bahwa Islam dan budaya lokal itu adalah sesuatu yang akulturatif sesuai dengan prosesnya masing-masing, sehingga antara Islam dan budaya lokal bukanlah sesuatu yang antonim tetapi kompatibel. Bukan dipahami secara radikal, akan tetapi dipahami adanya proses mengambil dan menerima, sehingga terjadilah Islam tersebut dengan agama yang bercorak khas, yaitu adaptif terhadap budaya lokal. Berbeda dengan analisa para penganut teori akulturasi Islam dan budaya lokal, teori sinkretisme Islam dapat digunakan untuk melihat secara dekat tradisi seren taun di Sindangbarang. Sebagaimana para penganjurnya seperti Clifford Geertz , Neils Mulder , dan15 16

Erni Budiwanti yang meneliti Islam Wetu Telu, bisa saja melahirkan asumsi bahwa ritual seren17

taun merupakan gambaran mengenai sinkretisme antara Islam dengan keyakinan lokal di Sindangbarang. Dengan lain ungkapan, ada proses pemaduan di antara dua atau lebih budaya (Islam, Hindu, Budha, dan Animisme) dalam ritual seren taun. Demikian pula dalam konsepsi Mulder yang menggarisbawahi pentingnya perspektif lokalitas dalam melihat relasi Islam dan budaya lokal. Meski Mulder penganut teori sinkretisme, teori Mulder masih menyisakan dilema, terutama terkait proses pemaduan antara banyaknya budaya yang mempengaruhi ritual seren taun. Hal ini melahirkan konsekuensi berupa pemilahan terhadap budaya yang berkontribusi terhadap pelestarian tradisi seren taun. Islam yang datang belakangan, dalam beberapa segi, bisa saja dikatakan menyesuaikan dengan unsur lokal yang cocok. Dari konsepsi ini, ritual seren taun bisa dianggap sebagai potret agama lokal atau Islam Sunda. Meskipun demikian, perkembangan tradisi seren taun saat ini tampaknya lebih difungsikan sebagai medium dan lokus pengembangan kebudayaan masyarakat di Sindangbarang atau media dakwah komunitas muslim dengan memberikan warna Islam yang jauh lebih dominan, seperti konsep tentang ziarah, pembacaan tahlil, tasyakur, slametan, dan11 12

Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005). Mark R. Woodward, Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (Yogyakarta: LKiS, 2006). 13 Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, (Jakarta: Logor, 2001) 14 John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001). 15 Clifford Geertz, Santri, Priyayi, Abangan dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981). 16 Neils Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999).17

Erni Budiwanti, Islam Sasak, (Yogyakarta: LKiS, 2000)

pengajian. Tradisi seren taun yang sarat dengan tradisi syukuran, mengalami proses penyaringan secara bertahap. Konsepsi sinkretisme Mulder dalam ritual seren taun memberikan dua pemahaman, yaitu (1) kedua budaya tersebut dapat dimaknai sebagai arena kebudayaan yang memfasilitasi adanya beberapa unsur budaya yang berfungsi sebagai pembentuk; dan (2) karena berfungsi sebagai arena kebudayaan, bisa saja melahirkan implikasi berupa adanya ruang kontestasi atau perebutan budaya. Dengan mengacu pada konsepsi Mulder dan implikasi teoritisnya, sejauh pengamatan18

penulis di lapangan, pelestarian ritual seren taun hingga kini memperlihatkan tidak adanya perkelahian budaya dalam arti ekstrim dan bentuk resistensi dari masyarakat lokal. Sebaliknya, kedua ritual tersebut memberikan sumbangan secara sosiologis berupa fungsi konsolidasi masyarakat yang mendambakan keharmonisan. Adat atau tradisi lokal yang tumbuh pada masyarakat Sindangbarang mendapat panduan dari ajaran muslim tradisionalis. F. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode field reserch dengan pendekatan etnografi, sebagai bentuk analisis digunakan metode observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Observasi akan dilaksanakan dengan cara turut mengikuti proses ritual seren taun di wilayah Bogor, Banten dan Kuningan. Wawancara mendalam dilakukan kepada tokoh kunci dalam perayaan ini, khususnya para sesepuh adat Pasundan. Tekhnik yang digunakan adalah Snow ball yaitu mencari seorang informan yang akan menunjukan informan lain yang mengetahui tentang ritual ini. Sedangkan kajian dokumentasi akan dilaksanakan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dengan menelaah dokumen-dokumen, buku-buku, laporan ilmiah dan sumber yang relevan dengan penelitian ini.Waktu penelitian ini akan dilaksanakan pada Januari hingga Juni 2011. Pada bulan Januari bertepatan dengan dilaksanakannya ritual Seren Taun di Bogor, Pelaksanaan upacara seren taun dianggap paling baik yakni pada awal tahun Hijriah mulai tanggal 1 sampai 15. Pada tanggal tersebut bulan akan naik, tepatnya mulai tanggal 14-15 yang dalam bahasa Sunda dikatakan "caang bulan opat belas". Pada saat seperti itu, masyarakat terdahulu sering melaksanakan ngabungbang. Maksud pelaksanaan upacara pada awal tahun Hijriah yakni untuk memohon kepada Allah SWT supaya hati kita seperti caang bulan opat welas. "Intinya supaya selamat dunia akhirat," Kata Abah Ukat19Neils Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 70. 19 Wawancara dengan Abah Ukat di Kampung Budaya Sindangbarang.18

G. Daftar PustakaBellah, Rober N., Beyond Belif Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern, Terj. Rudi Harisyah Alam, Jakarta: Paramadina, 2000. Chris Barker, Cultural Studies: Theory and Practice, London: Sage Publications, 2000. Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama, Terj. A. Sudiarja dkk, Yogyakarta, Kanisius, 1995. ______, Ceritera Dipati Ukur: Suatu Kajian Sastra Sejarah Sunda, Disertasi UI Jakarta, 1979, tidak diterbitkan. Ekajati, Edi S., Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, Jakarta: Giri Pasaka, 1984. Gazalba, Sidi, Pengantar Kebudayaan sebagai Ilmu, Jakarta: Antara, 1968. Geertz, Clifford, Primordial Ties, dalam John Hutchinson dan Anthony D. Smith, Ethnicity, Oxford-New York: Oxford University Press, 1996; 40-5. ______, Islam Observed: Religion Development in Maroco and Indonesia, Chicago: University of Chicago Press, 1968. ______, The Interpretation of Culture, London: Sage Publication, 1970. Gellner, David N., Pendekatan Antropologis dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKiS, 2002. Goldziher, Ignaz, Introduction to Islamic Theology and Law, Pricenton: Pricenton University Press, 1981. Hamidimadja, Sastra Lisan Baduy dan Lingkungan Hidup, Lihat Abdul Razak. Iskandar, Yosep, Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Bandung: Geger Sunter, 1997. Kartohadikoesoemo, Soetarjo, Desa, Bandung: Sumur, 1965. Kirk, Jerome dan March L. Miller, Reability and Validity in Qualitative Research, dalam Ali Machsan Moesa, Kyai dan Politik dalam Wacana Civil Society, Surabaya: Lepkiss, 1999. Lubis, Nina H., Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942, Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998. Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 542. Lihat juga Cliford Geertz, Islam Observed, Chicago: The University of Chicago Press, 1975. Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI Press, 1979. Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: UGM Press, 1995. Neils, Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999. Poloma, Margaret M., Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. Razak, Abdul, Teologi Aliran Kebatinan Sunda; Kajian Antropologi Agama tentang Aliran Kebatinan Perjalanan, Bandung: Kiblat, 2005. Santikno, Hariani, Dewi Sri: Unsur Pemujaan Kesuburan pada Mitos Padi dalam Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia. No. 13 AK PIA/1977, hlm. 53-67. Schimmel, Annimer, The Mystical Dimensions of Islam, Chapel Hill: University of Nort Carolina Press, 1975. Soepanto, Asal Mula Padi (Tjerita Rakjat dari Pasundan) dalam Kumpulan Tjerita Rakjat Indonesia, Bandung: Urusan Adat-Istiadat dan Tjerita Rakjat Dep.P.D dan K Djawatan Kebudayaan, 1963. Suyami, Serat Cariyos dalam Perbandingan, Yogyakarta: Kepel Press, 2001. Ricklefs, MC., Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991. Tibi, Bassam, Islam and the Cultural Accommodation of Social Change, San Fransisco: Westview Press, 1991. Wahid, Abdurrahman, Gus Dur Bertutur, Jakarta: Harian Proaksi, 2005. ______, Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, Jakarta: the Wahid Institute, 2007. Wallace, Ruth A. dan Alison Wolf, Contemporary Sociology Theory: Continuing the Classical Tradition, tt: Prentice Hall, 1980.