Distribusi Responden Bukan Penderita Penyakit Diabetes Mellitus
sepsis.docx
-
Upload
abigail-pheilia -
Category
Documents
-
view
41 -
download
5
description
Transcript of sepsis.docx
SUMBER : repository.usu.ac.id
Definisi
Sepsis Neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah bayi selama bulan
pertama kehidupan (Nelson, 2004). Sepsis adalah sindrom yang dikarakteristikan oleh tanda-
tanda klinis dan gejala-gejala infeksi yang parah yang dapat berkembang ke arah septisemia
dan syok septik (Doenges, Marylyn E. 2000). Sepsis bakterial pada neonatus adalah sindrom
klinis dengan gejala infeksi sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama
kehidupan. Dalam sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru mengenai
definisi sepsis. Salah satunya menurut The International Sepsis Definition Conferences
(ISDC,2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari
infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi multiorgan, dan akhirnya
kematian.
Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan menjadi dua
bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis) dan sepsis
neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis).
Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam
periode pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran
atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus SAD adalah
Streptokokus Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia coli, Haemophilus influenza, dan
Listeria monocytogenes, sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia,
mikroorganisme penyebabnya adalah batang gram negatif. Sepsis neonatorum awitan dini
memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas sebesar 15-
50%. Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72 jam) yang
diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Proses infeksi pasien
semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal. Angka mortalitas SAL lebih
rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara maju, Coagulase-negative
Staphilococci (CoNS) dan Candida albicans merupakan penyebab utama SAL, sedangkan di
negara berkembang didominasi oleh mikroorganisme batang gram negatif (E. coli, Klebsiella,
dan Pseudomonas aeruginosa). Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas
karena sebagian besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi
tidak dapat diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan
sekitar (SAL).
Etiologi
Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap bakteri mampu
menyebabkan sepsis. Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat
menyebabkan infeksi berat yang mengarah kepada terjadinya sepsis. Dalam kajian ini, saya
hanya membahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri oleh kerana keterbatas waktu. Pola
kuman penyebab sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke
waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan perbedaan pola kuman, walaupun
bakteri gram negatif rata-rata menjadi penyebab utama dari sepsis neonatorum. Penyebab
paling sering dari sepsis ialah Escherichia coli dan SGB (dengan angka morbiditas sekitar 50
– 70 %. Diikuti dengan malaria, sifilis, dan toksoplasma. Streptococcus grup A, dan
streptococcus viridans, patogen lainnya gonokokus, Candida alibicans, virus herpes simpleks
(tipe II) dan organisme listeria, rubella, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza dan parotitis.
Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah diteliti oleh
World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999 di empat negara
berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan Gambia. Dalam penelitian
tersebut mengemukakan bahwa isolate yang tersering ditemukan pada kultur darah adalah
Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Pada cairan
serebrospinal yang terjadi pada meningitis neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri
gram negatif terutama Klebsiella sp dan E. coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri
gram negatif juga ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan
pada neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita-wanita di
daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp. biasanya diisolasi dari neonatus yang dilahirkan di
rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering ditemukan adalah
Pseudomonas, Enterobacter, dan Staphylococcus aureus.
Pola penyebab sepsis ternyata tidak hanya berbeda antar klinik dan antar waktu, tetapi
terdapat perbedaan pula bila awitan sepsis tersebut berlainan. Dari survei yang dilakukan oleh
NICHD Neonatal Network Survey pada tahun 1998-2000 terhadap 5447 pasien BBLR
(BL<1500 gram) dengan SAD dan pada 6215 pasien BBLR dengan SAL, didapatkan hasil
bakteremia sebanyak 1,5% pada SAD dan 21,1% pada SAL. Pada SAD, ditemukan bakteri
gram negatif pada 60,7% kasus bakteremia, dan pada SAL bakteremia lebih sering
disebabkan oleh bakteri gram positif (70,2%). Bakteri gram negatif tersering pada SAD
adalah E.coli (44%) sedangkan Coagulase-negative Staphylococcus merupakan penyebab
tersering (47,9%) pada SAL. Selain itu, faktor lain seperti pertolongan persalinan yang tidak
higiene, partus lama, partus dengan tindakan, kelahiran kurang bulan, BBLR dan cacat
bawaan dapat menyebabkan terjadinya infeksi dan kemudian sepsis.
Faktor Resiko
Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor resiko pada ibu, neonatal dan
lain-lain. Antara faktor resiko ibu ialah ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18
jam. Bila ketuban pecah lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1%
dan bila disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya. Infeksi
dan demam (>38°C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi saluran kemih,
kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi perineal oleh E. coli, dan
komplikasi obstetrik lainnya. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau. Status paritas (wanita
multipara atau gravida lebih dari 3 kali) dan umur ibu (kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35
tahun). Persalinan dan kehamilan kurang bulan. Status sosial-ekonomi ibu, ras, dan latar
belakang mempengaruhi kecenderungan terjadinya infeksi. Ibu yang berstatus sosio- ekonomi
rendah mungkin nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya yang padat dan tidak higienis.
Antara faktor resiko pada neonatal pula ialah prematuritas dan berat badan lahir
rendah (<2500 gram). Umumnya imunitas bayi BBLR dan tidak cukup bulan lebih rendah
daripada bayi cukup bulan. Transpor imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi pada
paruh terakhir trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi imunoglobulin serum terus
menurun, menyebabkan hipogamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit juga melemahkan
pertahanan kulit. BBLR ini sangat mudah mengalami infeksi. Hal ini berhubungan dengan
keadaan imunoglobulin yang masih rendah, aktivitas bakterisidal, neutrofil serta efek
sitotoksik limfosit masih rendah. Resusitasi pada saat kelahiran, misalnya pada bayi yang
mengalami fetal distress dan trauma pada proses persalinan. Prosedur invasif seperti intubasi
endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter, infus, pembedahan, akses vena sentral, kateter
intratorakal. Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun,
atau asplenia. Bayi mengalami cacat bawaan. Bayi yang tidak diberi air susu ibu (ASI).
Pemberian nutrisi secara parenteral pada bayi. Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir
yang terlalu lama. Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded dan bayi kulit
hitam lebih banyak mengalami infeksi daripada bayi berkulit putih.
Antara faktor resiko lain-lain ialah beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis
neonatorum lebih sering terjadi pada bayi laki-laki daripada perempuan, pada bayi kulit hitam
daripada kulit putih, pada bayi dengan status ekonomi rendah, dan sering terjadi akibat
prosedur cuci tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga
pasien, serta buruknya kebersihan di Neonatal Intensive Care Unit (NICU). Semua faktor-
faktor di atas sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan masih menjadi masalah sampai
saat ini. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab tidak adanya perubahan pada angka
kejadian sepsis neonatal dalam dekade terakhir ini. Faktor-faktor resiko ini walaupun tidak
selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap mendapatkan perhatian khusus terutama bila
disertai gambaran klinis.
Perjalanan Penyakit/Patogenesis
Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam darah
(bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan dari infeksi ke
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis, sepsis berat, syok septik,
kegagalan multi organ, dan akhirnya kematian (tabel 1).
Tabel 1: Perjalanan penyakit infeksi pada neonatus.
Bila ditemukan dua atau lebih keadaan:
Laju nafas >60x/m dengan/tanpa retraksi
dan desaturasi oksigen(O2)
Suhu tubuh tidak stabil (<36ºC atau
>37.5ºC)
Waktu pengisian kapiler > 3 detik
Hitung leukosit <4000x109/L atau
>34000x109/L
CRP >10mg/dl IL-6 atau IL-8 >70pg/ml 16
SIRS
S rRNA gene PCR : Positif
Terdapat satu atau lebih kriteria SIRS
disertai dengan gejala klinis infeksi
SEPSIS
Sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ
tunggal
SEPSIS BERAT
Sepsis berat disertai hipotensi dan
kebutuhan resusitasi cairan dan obat-obat
inotropik
SYOK SEPTIK
Terdapat disfungsi multi organ meskipun
telah mendapatkan pengobatan optimal
SINDROM
DISFUNGSI
MULTIORGAN
Disfungsi multi organ yang berkelanjutan KEMATIAN
Sesuai dengan proses tumbuh kembang anak, variabel fisiologis dan laboratorium
pada konsep SIRS akan berbeda menurut umur pasien. Pada International Concensus
Conference on Pediatric Sepsis tahun 2002, telah dicapai kesepakatan mengenai definisi
SIRS, Sepsis, Sepsis berat, dan Syok septik (Tabel 2 dan 3). Berdasarkan kesepakatan
tersebut, definisi sepsis neonatorum ditegakkan bila terdapat SIRS yang dipicu oleh infeksi,
baik tersangka infeksi (suspected) maupun terbukti infeksi (proven).
Tabel 2: Kriteria SIRS
Catatan: Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam tabel
(salah satu di antaranya kelainan suhu atau leukosit)
Tabel 3: Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septik
Patofisiologi
Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman karena
terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion, korion, dan beberapa
faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian kemungkinan kontaminasi kuman
dapat timbul melalui berbagai jalan. Blanc (1961) membahaginya dalam 3 golongan, yaitu:
Pada masa antenatal atau sebelum lahir, pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati
plasenta dan umbilicus, masuk kedalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Kuman
penyebab infeksi adalah kuman yang dapat menembus plasenta, antara lain virus rubella,
herpes, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis. Bakteri yang dapat melalui jalur
ini antara lain malaria, sifilis dan toksoplasma, triponema pallidum dan listeria.
Pada masa intranatal atau saat persalinan. Infeksi melalui cara ini lebih sering terjadi
daripada cara yang lain. Infeksi saat persalinan terjadi karena kuman yang ada pada vagina
dan serviks naik mencapai korion dan amnion, akibatnya terjadi amnionitis dan korionitis,
selanjutnya kuman melalui umbilkus masuk ke tubuh bayi. Pada saat ketuban pecah, paparan
kuman yang berasal dari vagina akan lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini
kuman vagina masuk ke dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui
saluran pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang
belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam. Selain melalui
cara tersebut diatas infeksi pada janin dapat terjadi melalui kontak langsung pada kuman saat
bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi seperti herpes genitalis, Candida albicans dan
gonorea. Pada masa pascanatal atau sesudah persalinan. Infeksi yang terjadi sesudah
kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi yang diperoleh (acquired infection) yaitu infeksi
nosokomial dari lingkungan diluar rahim misalnya melalui alat-alat; pengisap lendir, selang
endotrakea, infus, selang nasagastrik dan botol minuman.
Bayi yang mendapat prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi
dalam ventilator, kurang memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama
dan hunian terlalu padat juga mudah mendapat infeksi nosokomial ini. Perawat atau profesi
lain yang ikut menangani bayi dapat juga menyebabkan terjadinya infeksi nasokomial.
Infeksi pascanatal ini sebetulnya sebahagian besar dapat dicegah. Hal ini penting karena
mortalitas infeksi pascanatal ini sangat tinggi. Seringkali bayi lahir di rumah sakit terkena
infeksi dengan kuman-kuman yang sudah tahan terhadap banyak jenis antibiotika, sehingga
menyulitkan pengobatannya. Bila paparan kuman pada kelompok ini berlanjut dan memasuki
aliran darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari
tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran
gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran klinis yang terlihat
akan berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain pemberian antibiotika, harus
memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit.
Gambar Mekanisme terjadinya gangguan klinis.
Respons inflamasi
Sepsis terjadi akibat interaksi yang kompleks antara patogen dengan pejamu.
Meskipun memiliki gejala klinis yang sama, proses molekular dan selular yang memicu
respon sepsis berbeda tergantung dari mikroorganisme penyebab, sedangkan tahapannya
sama dan tidak bergantung pada organisme penyebab.
Respon sepsis terhadap bakteri gram negatif dimulai dengan pelepasan
lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida
merupakan komponen penting pada membran luar bakteri gram negatif dan memiliki peranan
penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat protein spesifik dalam plasma
yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan
CD14, yaitu reseptor pada membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-
like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag.
Bakteri gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme, yaitu dengan
menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan dengan melepaskan fragmen
dinding sel yang merangsang sel imun. Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk
menghasilkan sitokin proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri gram positif yang
tidak mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non
spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri gram negatif. Kedua kelompok organisme
diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis (Gambar
2).
Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan
mediator ini akan mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen. Infeksi akan dilawan oleh
tubuh, baik melalui sistem imunitas selular yang meliputi monosit, makrofag, dan netrofil serta
melalui sistem imunitas humoral dengan membentuk antibodi dan mengaktifkan jalur
komplemen. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pengenalan patogen oleh CD14 dan TLR-2
serta TLR-4 di membran monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk
mengaktifkan sistem imunitas selular. Pengaktifan ini menyebabkan sel T akan berdiferensiasi
menjadi sel T helper-1 (Th1) dan sel T helper-2 (Th2). Sel Th1 mensekresikan sitokin
proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon γ (IFN- γ), interleukin 1-β (IL-1β),
IL-2, IL-6 dan IL-12 serta menjadi. Sel Th2 mensekresikan sitokin antiinflamasi seperti IL-4, -10,
dan -13. Pembentukan sitokin proinflamasi dan anti inflamasi diatur melalui mekanisme umpan
balik yang kompleks. Sitokin proinflamasi terutama berperan menghasilkan sistem imun untuk
melawan kuman penyebab.
Gambar patofisiologi kaskade sepsis
Namun demikian, pembentukan sitokin proinflamasi yang berlebihan dapat
membahayakan dan dapat menyebabkan syok, kegagalan multi organ serta kematian.
Sebaliknya, sitokin anti inflamasi berperan penting untuk mengatasi proses inflamasi yang
berlebihan dan mempertahankan keseimbangan agar fungsi organ vital dapat berjalan dengan
baik. Sitokin proinflamasi juga dapat mempengaruhi fungsi organ secara langsung atau secara
tidak langsung melalui mediator sekunder (nitric oxide, tromboksan, leukotrien, Platelet
Activating Factor (PAF), prostaglandin), dan komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi
makrofag terjadi pada endotel dan selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta
pembentukan mikrotrombi sehingga menyebabkan kerusakan organ.
Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel
untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami cedera. Cedera pada endotel ini
juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah
reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombik. Selain itu,
inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah.
Manisfestasi Klinis
Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang
ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan dalam
menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis yang terlihat
sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh terhadap
masuknya kuman. Janin yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia
dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak lemah dan
tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan kadang-kadang
hiperglikemia, tampak tidak sehat dan malas minum.
Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh. Selain
itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat (letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah
kadang-kadang terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang),
kelainan kardiovaskular (hipotensi, takikardi, bradikardi, pucat, sianosis, dingin dan clummy
skin). Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik (ikterus, splenomegali, petekie,
dan pendarahan), kelainan gastrointestinal (distensi abdomen, anoreksia, muntah, diare dan
hepatomegali), ataupun gangguam respirasi (apnea, dispnea, takipnea, napas cuping hidung,
merintih dan sianosis).
Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood Illnesses
tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis Sepsis Neonatorum Berat bila ditemukan
satu atau lebih dari gejala-gejala berikut ini: laju napas > 60 kali per menit, retraksi dada yang
dalam, cuping hidung kembang kempis,bayi merintih, ubun-ubun besar membonjol, bayi
mengalami kejang, keluar pus dari telinga, kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke
kulit, suhu >37,7°C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5°C (atau akral teraba dingin), letargi
atau tidak sadar, penurunan aktivitas atau gerakan, tidak dapat minum,tidak dapat melekat
pada payudara ibudan tidak mau menetek. Bervariasinya gejala klinik ini merupakan
penyebab sulitnya diagnosis pasti pada pasien. Oleh karena itu, pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya perlu dilakukan.
Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk menyusun
kriteria sepsis neonatorum ini baik berdasarkan anamnesis (termasuk adanya faktor resiko ibu
dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Kriteria sepsis
ini berbeda tergantung pada karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh terhadap
masuknya kuman ini. Kriteria sepsis juga berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Bagi pemeriksaan penunjang dilakukan berbagai pemeriksaan termasuk pemeriksaan
darah rutin untuk memeriksa hemoglobin (Hb), leukosit, trombosit, laju endap darah (LED),
Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase(SGOT), dan Serum Glutamic Pyruvic
Transaminase (SGPT). Analisa kultur urin dan cairan sebrospinal (CSS) dengan lumbal
fungsi dapat mendeteksi kuman. Laju endah darah, dan protein reaktif-c (CRP) akan
meningkat menandakan adanya inflamasi. Tetapi sampai saat ini pemeriksaan biakan darah
merupakan baku emas dalam menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai
kelemahan karena hasil biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari. Hasil
kultur perlu dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan
dari jenis kuman yang biasa ditemukan di masing-masing klinik. Kultur darah dapat
dilakukan baik pada kasus sepsis neonatorum awitan dini maupun lanjut.
Penatalaksanaan
Penanganan sepsis dilakukan secara suportif dan kausatif. Tindakan suportif antara
lain ialah dilakukan monitoring cairan elektrolit dan glukosa, koreksi jika terjadi
hipovolemia, hipokalsemia dan hipoglikemia, atasi syok, hipoksia, dan asidosis metabolik,
awasi adanya hiperbilirubinemia dan pertimbangkan nutrisi parenteral bila pasien tidak dapat
menerima nutrisi enteral. Tidakan kausatif dengan pemberian antibiotik sebelum kuman
penyebab diketahui. Biasanya digunakan golongan penicilin seperti ampicillin ditambah
aminoglikosida seperti gentamicin. Pada sepsis nasokomial, antibiotic diberikan dengan
mempertimbangkan flora di ruang perawatan, namun sebagai terapi inisial biasanya diberikan
vankomisin dan aminoglikosida atau sefalosforin generasi ketiga. Setelah didapat hasil
biakan dan uji sistematis, diberikan antibiotik yang sesuai. Terapi dilakukan selama 10-14
hari, bila terjadi meningitis, antibiotik diberikan selama 14-21 hari dengan dosis sesuai untuk
meningitis.
Komplikasi
Komplikasi sepsis neonatorum antara lain ialah meningitis, neonatus dengan
meningitis dapat menyebabkan terjadinya hidrosefalus dan/atau leukomalasia periventrikular,
hipoglikemia, asidosis metabolik, koagulopati, gagal ginjal, disfungsi miokard, perdarahan
intrakranial dan pada sekitar 60 % keadaan syok septik akan menimbulkan komplikasi Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Selain itu ada komplikasi yang berhubungan dengan
penggunaan aminoglikosida, seperti ketulian dan/atau toksisitas pada ginjal, komplikasi
akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis mulai dari gangguan perkembangan
sampai dengan retardasi mental dan komplikasi kematian.
Prognosis
Angka kematian pada sepsis neonatal berkisar antara 10-40 %. Angka tersebut
berbeda-beda tergantung pada cara dan waktu awitan penyakit, agen etiologik, derajat
prematuritas bayi, adanya dan keparahan penyakit lain yang menyertai dan keadaan ruang
bayi atau unit perawatan. Angka kematian pada bayi BBLR adalah 2 kali lebih besar. Dengan
diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi bila tanda dan gejala awal
serta faktor resiko sepsis neonatorum terlewat, akan meningkatkan angka kematian. Pada
meningitis terdapat sequele pada 15-30% kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis
neonatorum 2–4 kali lebih tinggi pada bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan.
Rasio kematian pada sepsis awitan dini adalah 15 – 40% (pada infeksi SGB pada SAD adalah
2 – 30 %) dan pada sepsis awitan lambat adalah 10 – 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira
– kira 2 %).