SENIN, 23 MEI 2011 Kisah Leci Mengejar Ilmu A Kontes Sapi ... · tidak jauh-jauh dari sejarah...

1
9 N USANTARA BERANTAS BUTA HURUF: Warga Banjar Kambang, Desa Bongkasa, Kecamatan Abian, Kabupaten Badung, Bali, belajar baca, tulis,dan hitung di balai banjar, beberapa waktu lalu. Untuk memberantas buta huruf, pemerintah menggelar kegiatan tersebut bekerja sama dengan pemuka adat setempat. SENIN, 23 MEI 2011 ASAL-USUL Kontes Sapi Sonok SECARA periodik, Pulau Ma- dura, Jawa Timur, menggelar kontes kecantikan bertajuk sapi sonok. Peserta kontes spesial sebab hanya sapi betina yang boleh ikut serta. Berbeda dengan karapan sapi yang mengutamakan kecepat- an di pacuan, kontes sapi sonok mengutamakan kecantikan dan kelembutan kontestan. Sapi dengan aksesori terindah, kulit paling bersih, dan cara berjalan paling baik hingga ke garis nis ialah sapi pemenang. Setiap kontes digelar, terde- ngar musik saronen khas Madura serta muncul penari pilihan yang membawakan tandha atau tarian. Tradisi itu diperkirakan muncul sejak 1960-an di Kecamatan Waru, Pamekasan, Jawa Timur. Sam- pai hari ini, kecamatan itu dike- nal sebagai pusat pemeliharaan sapi sonok. Tercatat sekitar 150 pasang sapi cantik dipelihara di kawasan tersebut. Asal mula gelaran sapi sonok tidak jauh-jauh dari sejarah karapan sapi. Sapi sonok di- hadirkan untuk mengawal sapi jantan yang akan berpacu. Saat itu, pemilik sapi karapan ialah pemilik sapi sonok. Namun, masa berganti dan kontes sapi sonok menjadi ajang yang juga serius digarap. Saat ini pemilik sapi sonok belum tentu memiliki sapi karapan. (MG/N-3) Kisah Leci Mengejar Ilmu Hak pendidikan yang dulu belum menyentuh generasi tua wajib ditebus. Agar mereka tidak lagi buta aksara maka kelas baca, tulis, dan hitung dibuka bagi usia di atas 40 tahun. SIDIK PRAMONO A WALNYA Ni Wayan Leci, 50, selalu gu- gup diajak bicara oleh anaknya. Dia bahkan hanya tertegun saat anak yang duduk di bangku kelas 1 SD itu meminta Leci mengajarinya membaca sebuah kalimat di buku pelajaran. Ia malu sebab merasa bodoh di depan anaknya. Alih-alih membaca satu kalimat, satu huruf pun ia tak bisa. Apalagi membaca kata per kata. Itu sudah dialami Leci sejak kecil karena sibuk membantu orang tuanya di sawah sehingga ia lupa untuk sekolah. Sampai pada awal 2010 datang tawaran dari pengurus banjar (dusun) tempat ia tinggal, yakni Banjar Kambang, Desa Bongkasa, Ke- camatan Abian Semal, Kabu- paten Badung, Bali. Tawaran itu berupa program pendidikan keaksaraan dasar dari Pemerintah Provinsi Bali yang didukung pemerintah pusat. Program itu mencari para orang tua di atas usia 40 tahun yang belum melek baca, tulis, dan berhitung. Berawal dari situlah, Leci tertarik. Dia tidak ingin dianggap bo- doh oleh anaknya hanya karena tak bisa membaca. Lantas, satu per satu teman-teman satu profesi, yakni buruh di pabrik penggilingan beras, ia ajak un- tuk ikut bergabung. “Saya tertarik karena saya ingin bisa baca. Apalagi un- tuk belajar tidak dipungut bayaran,” ujar Leci yang kini lancar menulis kata-kata di buku tulis anaknya. Perlahan tapi pasti, Leci bisa jadi peserta didik terbaik pada program di Pusat Kegiatan Be lajar Masyarakat (PKBM) Widya Aksara, tempat dia be- lajar. Ia bahkan mampu menga- jari teman-teman lainnya saat bekerja di pabrik penggilingan beras. Tak cuma itu, Leci pun bisa menambah pundi-pundi uang dari hasil karyanya menga- nyam, membuat dupa, dan membuat telur asin, untuk di- jual di pasar dekat rumah. Hal itu tak lepas dari keterampilan yang Leci peroleh dari program rintisan keaksaraan tersebut. Jalur adat Bisa membaca, menulis, dan berhitung itu juga dirasakan orang tua lain yang belajar ber- sama dengan Leci. Mereka tak lagi merasa bodoh dan mudah ditipu orang. “Dulunya saya takut tersesat kalau ke luar banjar. Sekarang, setelah bisa baca, saya sudah tidak takut lagi karena bisa membaca arah daerah yang ingin dituju,” tutur I Nyoman Loka, 47. Ya, hasil program rintisan keaksaraan yang digulirkan Dinas Pendidikan dan Olah- raga Provinsi Bali di bidang pendidikan nonformal dan informal sejak 2010 itu kini menuai hasil. Program yang juga bagian dari program Pen- didikan untuk Semua (PUS) Kementerian Pendidikan Na- sinal itu telah membantu orang tua bebas dari buta aksara yang berkepanjangan. Kepala PKBM Widya Aksara I Made Wardhana mengemu- kakan, dengan dana Rp23 juta sebagai stimulasi program, mulanya ia pesimistis dapat mengajak orang tua di Ban- jar Kambang untuk belajar agar terbebas dari buta aksara. Namun, rasa pesimistis itu akhirnya terkalahkan ketika muncul ide nakalnya untuk mengajak orang tua lewat jalur adat. Made mendekati para pengu- rus banjar agar mau melakukan sosialisasi kepada warga. Tak sampai sebulan terkumpul 50 warga yang mau belajar di PKBM Widya Aksara. Mereka ikut program keaksaraan dasar yang menjadi bagian program pendidikan keaksaraan bagi komunitas khusus di Bali. “Jalur adat ini amat efektif bagi mereka,” kata Wardhana. Terbilang efektif karena bagi orang tua yang tidak ingin be- lajar akan diberi sanksi moral oleh kepala adat banjar. Sanksi moral itu biasanya dengan mengucilkannya dari pergaul- an di masyarakat banjar. Selain itu, jalur adat merupa- kan cara lain mengakomodasi para orang tua yang selama ini trauma jika ada program keak- saraan pemerintah dilakukan di sekolah. Lewat jalur adat yang berba- siskan banjar itu, trauma orang tua mampu dihilangkan secara bertahap. Jam belajar Adapun 50 orang tua itu be- lajar dengan jam khusus. Para pengajar yang terdiri dari 5 tu- tor dan 2 pelatih keterampilan mesti bersabar menunggu me- reka pulang bekerja dari sawah ataupun pabrik penggilingan beras. “Inilah bedanya. Kalau pendidikan formal, guru yang menunggu pendidik, tapi kalau nonformal, seperti ini, pendidik yang menunggu murid,” kata Wardhana. Sebab itu, jam belajar pun sengaja diambil pada waktu malam hari, yakni pukul 19.00- 21.00 Wita. Mereka dibagi ke lima ke- lompok, masing-masing terdiri dari 10 orang, untuk belajar membaca, menulis, berhitung, serta keterampilan, selama seminggu dua kali. Agar bisa dipantau kepala banjar, proses belajar yang me- makan waktu hingga tiga bulan secara intensif itu dipusatkan di balai banjar. Di sini, kepala adat banjar selalu memantau warga yang datang seusai bekerja. Jika tak datang, mereka akan dite- gur kepala adat banjar besok harinya. “Dengan cara ini, tidak ada alasan tidak datang, kecuali sakit,” ujar Wardhana. Selain itu, metode pembela- jaran pun dibuat santai, misal- nya lewat dongeng, ceramah, demonstrasi, serta tugas. Se- mua itu dikemas dengan me- tode penuh humor agar mereka tidak bosan lantaran sudah lelah selepas bekerja. “Evaluasi tetap ada. Jika lulus, mereka akan diberi surat keterangan melek aksara dari kabupaten atau provinsi,” kata Wardhana. Kepala Bidang Pendidikan Nonformal dan Informal Dis- dikpora Bali Ni Made Mer- tanadi mengatakan evaluasi diperlukan untuk mengukur tingkat capaian program PUS di bidang pendidikan nonfor- mal dan informal. “Syukurnya, untuk di Bali, pendidikan keaksaraan bagi orang tua dengan basis banjar ini cukup berhasil. Data terakhir mencatat, lebih dari 50% (6.000 warga) tuntas buta aksara dari 11.707 warga dengan usia 45 tahun hingga lanjut usia,” ung- kap Mertanadi di Denpasar, Bali, pekan lalu. (N-3) [email protected] A SE du ko so se bo ya an m ke de pa pa ia ng M pi ta Dulunya saya takut tersesat kalau ke luar banjar. Sekarang, setelah bisa baca, saya sudah tidak takut lagi karena bisa membaca arah daerah yang ingin dituju.” I Nyoman Loka Peserta PKBM Widya Aksara TEMPO DULU & KINI Gapura Kleco GAPURA berukuran besar yang mengapit ruas Jalan Slamet Riyadi di sisi barat, Kelurahan Jajar, Kecamatan Laweyan, Kota Solo, ini diba- ngun sebagai pembatas seka- ligus pintu gerbang menuju ibu kota Kerajaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Gapura dibangun pada masa Pakoe Boewono X, seki- tar 1931-1932. Pada salah satu sisi bangunan terdapat sebuah prasasti yang memuat catatan waktu pembangunan dan pe- resmiannya. Prasasti yang di bagian atasnya tertulis PB X itu ditulis menggunakan aksara Jawa. Pada masa lalu, selain meng- apit jalan raya, gapura ini juga mengapit jalur kereta api yang menghubungkan Kota Solo dengan Kartasura dan Suko- harjo. Namun, kini jalur kereta api itu sudah hilang. Menurut warga sekitar, jalur tersebut di- timbun lapisan aspal tebal saat proses pembangunan jalan. Gapura Kleco kini menjadi salah satu bangunan cagar budaya Kota Solo. Selain me- nambah keindahan, gapura berwarna kuning gading ini juga menjadi ciri khas Kota Solo. (FR/N-3) JAM KHUSUS: Karena sebagian besar peserta kelas baca, tulis, dan hitung untuk warga usia di atas 40 tahun ini sibuk mencari nafkah, pelajaran berlangsung malam dan dirancang agar menghibur. MI/M GHAZI MI/SIDIK PRAMONO MI/SIDIK PRAMONO MI/FERDINAND REPRO: MI/FERDINAND

Transcript of SENIN, 23 MEI 2011 Kisah Leci Mengejar Ilmu A Kontes Sapi ... · tidak jauh-jauh dari sejarah...

9NUSANTARA

BERANTAS BUTA HURUF: Warga Banjar Kambang, Desa Bongkasa, Kecamatan Abian, Kabupaten Badung, Bali, belajar baca, tulis,dan hitung di balai banjar, beberapa waktu lalu. Untuk memberantas buta huruf, pemerintah menggelar kegiatan tersebut bekerja sama dengan pemuka adat setempat.

SENIN, 23 MEI 2011

ASAL-USUL

Kontes Sapi SonokSECARA periodik, Pulau Ma-dura, Jawa Timur, menggelar kontes kecantikan bertajuk sapi sonok. Peserta kontes spesial sebab hanya sapi betina yang boleh ikut serta.

Berbeda dengan karapan sapi yang mengutamakan kecepat-an di pacuan, kontes sapi sonok mengutamakan kecantikan dan kelembutan kontestan. Sapi dengan aksesori terindah, kulit paling bersih, dan cara berjalan paling baik hingga ke garis fi nis ialah sapi pemenang.

Setiap kontes digelar, terde-ngar musik saronen khas Madura serta muncul penari pilihan yang membawakan tandha atau tarian. Tradisi itu

diperkirakan muncul sejak 1960-an di Kecamatan Waru, Pamekasan, Jawa Timur. Sam-pai hari ini, kecamatan itu dike-nal sebagai pusat pemeliharaan sapi sonok. Tercatat sekitar 150 pasang sapi cantik dipelihara di kawasan tersebut.

Asal mula gelaran sapi sonok tidak jauh-jauh dari sejarah karapan sapi. Sapi sonok di-hadirkan untuk mengawal sapi jantan yang akan berpacu. Saat itu, pemilik sapi karapan ialah pemilik sapi sonok. Namun, masa berganti dan kontes sapi sonok menjadi ajang yang juga serius digarap. Saat ini pemilik sapi sonok belum tentu memiliki sapi karapan. (MG/N-3)

Kisah Leci Mengejar IlmuHak pendidikan yang dulu belum menyentuh generasi tua wajib ditebus. Agar mereka tidak lagi buta aksara maka kelas baca, tulis, dan hitung dibuka bagi usia di atas 40 tahun.

SIDIK PRAMONO

AWALNYA Ni Wayan Leci, 50, selalu gu-gup diajak bicara oleh anaknya. Dia

bahkan hanya tertegun saat anak yang duduk di bangku kelas 1 SD itu meminta Leci mengajarinya membaca sebuah kalimat di buku pelajaran.

Ia malu sebab merasa bodoh di depan anaknya. Alih-alih membaca satu kalimat, satu huruf pun ia tak bisa. Apalagi membaca kata per kata.

Itu sudah dialami Leci sejak kecil karena sibuk membantu orang tuanya di sawah sehing ga ia lupa untuk sekolah. Sampai pada awal 2010 datang tawaran dari pengurus banjar (dusun) tempat ia tinggal, yakni Banjar Kambang, Desa Bongkasa, Ke-camatan Abian Semal, Kabu-paten Badung, Bali.

Tawaran itu berupa program pendidikan keaksaraan dasar dari Pemerintah Provinsi Bali yang didukung pemerintah pusat. Program itu mencari para orang tua di atas usia 40 tahun yang belum melek baca, tulis, dan berhitung. Berawal dari situlah, Leci tertarik.

Dia tidak ingin dianggap bo-doh oleh anaknya hanya karena tak bisa membaca. Lantas, satu per satu teman-teman satu profesi, yakni buruh di pabrik penggilingan beras, ia ajak un-tuk ikut bergabung.

“Saya tertarik karena saya ingin bisa baca. Apalagi un-tuk belajar tidak dipungut bayaran,” ujar Leci yang kini lancar menulis kata-kata di buku tulis anaknya.

Perlahan tapi pasti, Leci bisa jadi peserta didik terbaik pada program di Pusat Kegiatan Be lajar Masyarakat (PKBM)

Widya Aksara, tempat dia be-lajar. Ia bahkan mampu menga-jari teman-teman lainnya saat bekerja di pabrik penggilingan beras.

Tak cuma itu, Leci pun bisa menambah pundi-pundi uang dari hasil karyanya menga-nyam, membuat dupa, dan membuat telur asin, untuk di-jual di pasar dekat rumah. Hal itu tak lepas dari keterampilan yang Leci peroleh dari program rintisan keaksaraan tersebut.

Jalur adatBisa membaca, menulis, dan

berhitung itu juga dirasakan orang tua lain yang belajar ber-sama dengan Leci. Mereka tak lagi merasa bodoh dan mudah ditipu orang.

“Dulunya saya takut tersesat kalau ke luar banjar. Sekarang, setelah bisa baca, saya sudah tidak takut lagi karena bisa membaca arah daerah yang ingin dituju,” tutur I Nyoman Loka, 47.

Ya, hasil program rintisan keaksaraan yang digulirkan Dinas Pendidikan dan Olah-raga Provinsi Bali di bidang pendidikan nonformal dan informal sejak 2010 itu kini menuai hasil. Program yang juga bagian dari program Pen-didikan untuk Semua (PUS)

Kementerian Pendidikan Na-sinal itu telah membantu orang tua bebas dari buta aksara yang berkepanjangan.

Kepala PKBM Widya Aksara I Made Wardhana mengemu-kakan, dengan dana Rp23 juta sebagai stimulasi program, mu la nya ia pesimistis dapat mengajak orang tua di Ban-jar Kambang untuk belajar agar terbebas dari buta aksara. Namun, rasa pesimistis itu akhirnya terkalahkan ketika muncul ide nakalnya untuk mengajak orang tua lewat jalur adat.

Made mendekati para pengu-rus banjar agar mau melakukan sosialisasi kepada warga. Tak sampai sebulan terkumpul 50 warga yang mau belajar di PKBM Widya Aksara. Mereka ikut program keaksaraan dasar yang menjadi bagian program pendidikan keaksaraan bagi komunitas khusus di Bali.

“Jalur adat ini amat efektif bagi mereka,” kata Wardhana. Terbilang efektif karena bagi orang tua yang tidak ingin be-lajar akan diberi sanksi moral oleh kepala adat banjar. Sanksi moral itu biasanya dengan mengucilkannya dari pergaul-an di masyarakat banjar.

Selain itu, jalur adat merupa-kan cara lain mengakomodasi para orang tua yang selama ini trauma jika ada program keak-saraan pemerintah dilakukan di sekolah.

Lewat jalur adat yang berba-siskan banjar itu, trauma orang tua mampu dihilangkan secara bertahap.

Jam belajarAdapun 50 orang tua itu be-

lajar dengan jam khusus. Para pengajar yang terdiri dari 5 tu-tor dan 2 pelatih keterampilan mesti bersabar menunggu me-re ka pulang bekerja dari sawah ataupun pabrik penggilingan beras. “Inilah bedanya. Kalau pendidikan formal, guru yang menunggu pendidik, tapi kalau nonformal, seperti ini, pendidik

yang menunggu murid,” kata Wardhana.

Sebab itu, jam belajar pun sengaja diambil pada waktu malam hari, yakni pukul 19.00-21.00 Wita.

Mereka dibagi ke lima ke-lompok, masing-masing terdiri dari 10 orang, untuk belajar membaca, menulis, berhitung, serta keterampilan, selama seminggu dua kali.

Agar bisa dipantau kepala banjar, proses belajar yang me-makan waktu hingga tiga bulan secara intensif itu dipusatkan di balai banjar.

Di sini, kepala adat banjar selalu memantau warga yang datang seusai bekerja. Jika tak datang, mereka akan dite-gur kepala adat banjar besok harinya.

“Dengan cara ini, tidak ada alasan tidak datang, kecuali sakit,” ujar Wardhana.

Selain itu, metode pembela-jaran pun dibuat santai, misal-nya lewat dongeng, ceramah, demonstrasi, serta tugas. Se-mua itu dikemas dengan me-tode penuh humor agar mereka tidak bosan lantaran sudah lelah selepas bekerja.

“Evaluasi tetap ada. Jika lulus, mereka akan diberi surat keterangan melek aksara dari kabupaten atau provinsi,” kata Wardhana.

Kepala Bidang Pendidikan Nonformal dan Informal Dis-dikpora Bali Ni Made Mer-tanadi mengatakan evaluasi diperlukan untuk mengukur tingkat capaian program PUS di bidang pendidikan nonfor-mal dan informal.

“Syukurnya, untuk di Bali, pendidikan keaksaraan bagi orang tua dengan basis banjar ini cukup berhasil. Data terakhir mencatat, lebih dari 50% (6.000 warga) tuntas buta aksara dari 11.707 warga dengan usia 45 tahun hingga lanjut usia,” ung-kap Mertanadi di Denpasar, Bali, pekan lalu. (N-3)

[email protected]

A

SEdukososebo

yaanmkedepapaia

ngMpita

Dulunya saya takut tersesat kalau ke

luar banjar. Sekarang, setelah bisa baca, saya sudah tidak takut lagi karena bisa membaca arah daerah yang ingin dituju.”I Nyoman LokaPeserta PKBM Widya Aksara

TEMPO DULU & KINI

Gapura KlecoGAPURA berukuran besar yang mengapit ruas Jalan Slamet Riyadi di sisi barat, Kelurahan Jajar, Kecamatan Laweyan, Kota Solo, ini diba-ngun sebagai pembatas seka-ligus pintu gerbang menuju ibu kota Kerajaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Gapura dibangun pada masa Pakoe Boewono X, seki-tar 1931-1932. Pada salah satu sisi ba ngunan terdapat sebuah prasasti yang memuat catatan waktu pembangunan dan pe-resmiannya. Prasasti yang di bagian atasnya tertulis PB X itu ditulis menggunakan aksara

Jawa. Pada masa lalu, selain meng-

apit jalan raya, gapura ini juga mengapit jalur kereta api yang menghubungkan Kota Solo dengan Kartasura dan Suko-harjo. Namun, kini jalur kereta api itu sudah hilang. Menurut warga sekitar, jalur tersebut di-timbun lapisan aspal tebal saat proses pembangunan jalan.

Gapura Kleco kini menjadi salah satu bangunan cagar budaya Kota Solo. Selain me-nambah keindahan, gapura berwarna kuning gading ini juga menjadi ciri khas Kota Solo. (FR/N-3)

JAM KHUSUS: Karena sebagian besar peserta kelas baca, tulis, dan hitung untuk warga usia di atas 40 tahun ini sibuk mencari nafkah, pelajaran berlangsung malam dan dirancang agar menghibur.

MI/M GHAZI

MI/SIDIK PRAMONO

MI/SIDIK PRAMONO

MI/FERDINAND

REPRO: MI/FERDINAND