Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri...
Transcript of Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri...
SEMINAR NASIONAL
REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017
Seminar Nasional Bidang Geodesi:
State of the Art Industri Geomatika di Indonesia II
Geodesi | 1
Identifikasi Kerapatan Mangrove Di Muara Sungai Ciasem
Menggunakan Data Citra Satelit Landsat Multitemporal
Rika Hernawati, Dian Noor Handiani, Soni Darmawan, dan Amalia Vina Dita
Jurusan Teknik Geodesi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Nasional
Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Hutan mangrove sangat berperan penting bagi perlindungan wilayah dari abrasi pantai, pencegah
intrusi air laut, serta sebagai penyangga terhadap sedimentasi dari daratan ke lautan. Penurunan
kualitas mangrove menjadi perhatian serius seiring dengan penyusutan luasnya, akan tetapi, kondisi
mangrove tersebut baik secara kualitatif maupun kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun. Seiring
dengan perubahan penggunaan lahan yang relatif cepat dalam suatu wilayah yang berkembang, maka
diperlukan penataan yang lebih baik seberapa besar kebutuhan mangrove untuk wilayah tersebut. Hal
ini memerlukan informasi dasar tentang kondisi mangrove yang akurat. Penelitian ini difokuskan untuk
mengidentifikasikan kerapatan mangrove di Muara Sungai Ciasem, di Kecamatan Blanakan,
Kabupaten Subang, Jawa Barat dengan menggunakan klasifikasi Citra Landsat dengan teknik SVM
dan indeks vegetasi NDVI. Hasil penelitian menunjukkan pada periode tahun 1999, 2005, dan 2015
terjadi penurunan luasan sebesar 702,38 ha. Rendahnya kerapatan vegetasi mangrove di Kecamatan
Blanakan, disebabkan karena terjadinya perluasan areal tambak dengan cara penebangan vegetasi
mangrove.
Kata Kunci: Mangrove, Citra Landsat, klasifikasi SVM, NDVI.
1. Pendahuluan
Kabupaten Subang memiliki tiga Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu Sungai Cipunagara, Sungai
Cimalaya, dan Sungai Ciasem. Ketiga sungai ini memiliki peran penting karena merupakan komponen
irigasi yang memasok kebutuhan air bagi areal pertanian, perikanan/tambak, dan juga sumber air baku
untuk keperluan domestik maupun industri. Dari ketiga sungai tersebut hanya Sungai Ciasem yang
seluruh wilayahnya dari hulu hingga hilir berada dalam wilayah Kabupaten Subang. Sungai Ciasem
memiliki 61 anak sungai, berhulu di Desa Curugagung, Kecamatan Sagalaherang, hilirnya di Desa
Pelabuhan, Kecamatan Blanakan, dan bermuara di Laut Jawa, dengan panjang total 60 km. Kegiatan
pemanfaatan di sekitar pesisir muara sungai Ciasem yang intensif menyebabkan permasalahan
pencemaran. Beberapa sumber pencemaran diantaranya dikarenakan penebangan hutan mangrove,
eksplorasi galian, limbah domestik serta limbah pabrik yang mengakibatkan lokasi di hulu mengalami
deforestasi dan mengakibatkan sedimentasi yang parah di hilir Sungai Ciasem (Tempo, 2016).
Kerusakan ekosistem dan penurunan luasan mangrove di sekitar muara sungai pun disinyalir menambah
permasalahan sedimentasi. Padahal jika dilihat dari fungsi ekologis, hutan mangrove sangat berperan
penting bagi perlindungan wilayah dari abrasi pantai, pencegah intrusi air laut, serta sebagai penyangga
terhadap sedimentasi dari daratan ke lautan (Departemen Kehutanan, 2005). Penurunan kualitas
mangrove menjadi perhatian serius seiring dengan penyusutan luasnya, Oleh karena itu, seiring dengan
perubahan penggunaan lahan mangrove yang relatif cepat dalam suatu wilayah yang berkembang, maka
Geodesi | 2
diperlukan penataan yang lebih baik seberapa besar kebutuhan mangrove pada wilayah tersebut. Hal ini
memerlukan informasi dasar tentang kondisi mangrove yang akurat.
Penerapan teknologi pengindraan jauh (indraja) untuk menganalisis sebaran kerapatan mangrove
merupakan salah satu alat yang dinilai sangat tepat, karena dapat mengidentifikasi letak geografi
ekosistem mangrove yang berada pada daerah peralihan darat dan laut memberikan efek perekaman
yang khas jika dibandingkan obyek vegetasi darat lainnya (Faizal dkk, 2005). Hal ini dikarenakan dalam
teknologi pengindraan jauh didukung dengan data multi temporal (data citra dari waktu ke waktu)
melalui perekaman citra satelit sebagai datanya. Salah satunya adalah dengan menggunakan data hasil
perekaman Citra Landsat. Efek perekaman tersebut sangat erat kaitannya dengan karakteritik spektral
ekosistem mangrove, hingga dalam identifikasi memerlukan suatu transformasi tersendiri (Danoedoro,
2012).
Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Purwanto dkk (2014) area mangrove di Segara Anakan dari
hasil analisis indeks vegetasi menggunakan NDVI dengan tingkat akurasi sebesar 82,05% menunjukkan
bahwa kondisi kerapatan mangrove didominasi dengan kerapatan sedang. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis sebaran hutan mangrove beserta kerapatannya dengan menggunakan citra satelit Landsat.
Analisis identifikasi kerapatan mangrove yang terdapat pada pesisir pantai dan sekitar muara sungai
menggunakan metode Klasifikasi Support Vector Machine (SVM) dan indeks vegetasi NDVI
(Normalized Difference Vegetation Index).
2. Metodologi
Lokasi yang dijadikan sebagai wilayah penelitian berada di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Wilayah
ini terletak di antara 107º 31' sampai dengan 107º 54' BT dan 6º 11' sampai dengan 6º 49' LS. Secara
administratif, Kabupaten Subang terbagi atas 253 desa dan kelurahan yang tergabung dalam 30
kecamatan. Dari seluruh kecamatan yang ada, terdapat 4 kecamatan yang merupakan kecamatan pesisir,
yaitu Kecamatan Blanakan, Legon Kulon, Sukasari, dan Pusakanagara. Penelitian ini hanya berfokus di
pesisir Muara Sungai Ciasem, Kecamatan Blanakan.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Citra Landsat 8 OLI tahun 2015 dan Landsat 5 TM
tahun 1999 dan 2005 seperti yang tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Informasi Data Penelitian
Proses Pengolahan Data.
Pada penelitian ini dilakukan proses pengolahan data dalam beberapa tahapan, mulai dari tahapan
preprocessing sampai tahap analisis sebaran mangrove pada muara sungai Ciasem dalam periode ± 5
tahun. Namun sebelum diolah, Citra Landsat yang digunakan perlu dikoreksi terlebih dahulu. Koreksi-
Geodesi | 3
koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik dengan teknik FLAASH dan koreksi geometrik dengan
memerlukan beberapa titik kontrol lapangan/GCP.
Sebaran Mangrove.
Untuk mengidentifikasi hutan mangrove dengan data Citra Satelit Landsat 5 TM mengacu pada
eskplorasi citra komposit RGB 453. Sedangkan pada Citra Satelit Landsat 8 OLI digunakan komposit
RGB 564 di mana ketiga band tersebut termasuk dalam kisaran spektrum tampak dan inframerah - dekat
dan komposit ini lebih menonjolkan obyek vegetasi mangrove. Hutan mangrove terlihat dengan warna
merah kegelapan pada citra. Warna merah merupakan reflektansi vegetasi yang terlihat jelas pada citra
band inframerah, sedangkan kegelapan merupakan reflektansi tanah berair yang terlihat jelas pada citra
band merah (Suwargana, 2008). Klasifikasi tutupan lahan yang dipakai menggunakan klasifikasi
supervised metode SVM dan menghasilkan tutupan mangrove. Metode ini membutuhkan area sampling
(Region of Interest) yang didapatkan dari sampling di lapangan. Obyek yang dianalisa dikelompokkan
menjadi 2 (dua) obyek yaitu: mangrove dan non mangrove. Untuk obyek non mangrove meliputi: laut,
sawah, tambak, dan pemukiman. Setelah didapatkan tutupan lahan, kemudian dilakukan pemisahan
untuk obyek mangrove. Pemisahan obyek mangrove dengan tutupan lahan yang lain bertujuan untuk
mendapatkan sebaran mangrove saja.
Penentuan Kerapatan Mangrove
Penentuan vegetasi yang terdapat pada pesisir pantai dan sekitar muara sungai menggunakan metode
NDVI. Dalam hal ini adalah vegetasi mangrove, dimana vegetasi mangrove ini dipakai untuk
menganalisis hubungan antara kerapatan mangrove. Data yang digunakan adalah Citra Landsat tahun
1999, 2005, dan 2015. Algoritma yang digunakan tertera pada persamaan 1. Jumlah klasifikasi
kerapatan mengacu pada buku yang diterbitkan oleh Departemen Kehutanan (2006) dengan klasifikasi
nilai NDVI sebagai berikut: Kerapatan rendah (nilai NDVI 0-0.32), kerapatan sedang (nilai NDVI 0.33
– 0.42), kerapatan tinggi (nilai NDVI > 0.43). Berikut adalah persamaan NDVI (Huete, 2002):
NDVI = 𝜌𝑁𝐼𝑅−𝜌𝑅𝐸𝐷
𝜌𝑁𝐼𝑅+𝜌𝑅𝐸𝐷 (1)
Keterangan: 𝜌NIR = Band 4/ Band 5
𝜌Red = Band 3/ Band 4
3. Hasil
Sebaran Kerapatan Mangrove
Sebaran kerapatan mangrove didapatkan dengan melakukan overlay antara tutupan mangrove dengan
kerapatan vegetasi hasil analisis NDVI. Hasil overlay ini kemudian dilakukan klasifikasi untuk
mendapatkan kerapatan mangrove sesuai dengan kelasnya. Ketentuan klasifikasi yang dibuat
berpedoman pada ketentuan yang dibuat oleh Departemen Kehutanan (2005). Klasifikasi ini terbagi
atas: mangrove dengan kelas jarang, sedang dan rapat/lebat. Hasil kerapatan mangrove di sekitar Muara
Sungai Ciasem (Kecamatan Blanakan) setiap perekaman tersaji pada Gambar 1 hingga 3.
Geodesi | 4
Gambar 1 Hasil kerapatan mangrove tahun 1999
Hasil klasifikasi pemetaan kerapatan mangrove yang dilakukan melalui analisis citra, didapatkan total
luas di lokasi penelitian pada tahun 1999, yaitu 1180,89 Ha yang terbagi atas: mangrove dengan kategori
jarang sebanyak 100,35 ha (8,49%), dengan kategori sedang sebanyak 772,83 ha (65,44 %) dan dengan
kategori lebat sebanyak 307,71 ha (26,06%).
Gambar 2. Hasil kerapatan mangrove tahun 2005
Pada tahun 2005 total luas mangrove sebesar 1046,68 ha yang terbagi atas: mangrove dengan kategori
jarang sebanyak 542,52 ha (51,83%), dengan kategori sedang sebanyak 430,45 ha (41,13%) dan
mangrove dengan kategori lebat sebanyak 73,71 ha (6,97%). Secara keseluruhan dapat disimpulkan
bahwa pada tahun ini telah terjadi peningkatan vegetasi mangrove dengan kerapatan kategori jarang.
Dan untuk kerapatan tahun 2015 dapat dilihat pada Gambar 3.
Geodesi | 5
Gambar 3. Hasil kerapatan mangrove tahun 2015
Sedangkan pada tahun 2015 terjadi penurunan drastis dimana total keseluruhan luas mangrove hanya
bersisa 344 ha (Gambar 3) yang terbagi atas: mangrove dengan kategori jarang sebanyak 259,16 ha
(75,27%), dengan kategori sedang sebanyak 77,14 ha (22,40%) dan mangrove dengan kategori lebat
sebanyak 8,12 ha (2,32%).
Geodesi | 6
Gambar 4. Plotting foto hasil cek lapangan
Tabel 2. Perubahan Luas Kerapatan Mangrove.
Tahun Luas Mangrove (ha) Persentase
1995-2005 -134,21 95,64%
2005-2015 -702,38 59,50%
1995-2015 -836,59 66,75%
Perbandingan luas mangrove tahun 2015 dengan luas mangrove pada tahun 2005, terjadi penurunan
luasan sebesar 702,38 ha. Rendahnya kerapatan vegetasi mangrove di Kecamatan Blanakan,
disebabkan karena terjadinya perluasan areal tambak dengan cara penebangan vegetasi mangrove.
Selain itu juga rendahnya kesadaran masyarakat, serta kurangnya pengawasan dari aparat Pemerintah
Desa maupun pihak Perhutani menjadi penyebab berkurangnya luasan mangrove di wilayah tersebut
(Indrayanti, 2015).
4. Kesimpulan
Kerapatan mangrove hasil dari pengolahan NDVI menunjukan penurunan secara kontinu dari tahun
1999 hingga tahun 2005. Pada periode tahun 1999, 2005, dan 2015 terjadi penurunan luasan area hutan
mangrove sebesar 702,38 ha. Rendahnya kerapatan vegetasi mangrove di Kecamatan Blanakan,
disebabkan karena terjadinya perluasan areal tambak dengan cara penebangan vegetasi mangrove.
Penurunan kerapatan mangrove tersebut dapat berpengaruh besar, salah satunya terhadap pertambahan
sedimentasi.
Geodesi | 7
Daftar Pustaka
[1] Danoedoro, P. 2012. Pemanfaatan Pengindraan Jauh Digital. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.
[2] Departemen Kehutanan. 2005. Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove.
Jakarta.
[3] Faizal, A., dan Amran, M.A. 2005. Model Transformasi Indeks Vegetasi yang Efektif untuk Prediksi
Kerapatan Mangrove Rhizophora Mucronata. Prosiding. PIT MAPIN XIV ITS Surabaya, 14-15
September 2005.
[4] Indrayanti, Fahrudin, Setiobudiandi. 2015. Penilaian Jasa Ekosistem Mangrove di Teluk Blanakan
Kabupaten Subang. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI). Volume 2, No.2 Agustus 2015.
[5] Huete, A., Didan, K., Miura, T., Rodriguez, E.P., Gao, X., Ferreira, L.G. 2002. Overview of The
Radiometric and Biophysical Performance of The MODIS Vegetation Indices. Remote Sensing of
Environment, 83, 195-213.
[6] Purwanto, D.P., Asriningrum, W., Winarso, G., Parwati, E. 2014. Analisis Sebaran dan Kerapatan
Mangrove Menggunakan Citra Landsat 8 di Segara Anakan, Cilacap. Seminar Nasional
Pengindraan Jauh 2014.
[7] Suwargana, Nana. 2008. Analisis Perubahan Hutan Mangrove Menggunakan Data Pengindraan
Jauh di Pantai Bahagia Muara Gembong, Bekasi. Jurnal Pengindraan Jauh Vol.5, 64-74.
Geodesi | 8
Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5/PRT/M/2008
Studi Kasus: Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon
Indrianawati dan Sumarno
Jurusan Teknik Geodesi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Nasional
Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Kecamatan Sumber mempunyai fungsi utama sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon yang
memiliki kecenderungan pertumbuhan pembangunan yang lebih pesat dibanding dengan daerah lain
yang ada di Kabupaten Cirebon. Hal ini dapat mendorong adanya peningkatan kebutuhan ruang untuk
mewadahi pembangunan yang terjadi, sedangkan ketersediaan lahannya terbatas. Guna mewujudkan
pembangunan yang tetap memperhatikan kelestarian lingkungan, diperlukan suatu perencanaan dan
pengelolaan RTH yang dapat mengimbangi laju pembangunan yang cenderung meningkat. Untuk
memudahkan analisis dalam perencanaan dan pengelolaan RTH, maka diperlukan suatu geodatabase
RTH. Tujuan dari pembangunan geodatabase RTH ini adalah merancang dan membangun sebuah
geodatabase Ruang Terbuka Hijau yang dapat dimanfaatkan oleh Bappeda Kabupaten Cirebon dalam
proses pengambilan keputusan terkait perencanaan dan pembangunan wilayah. Geodatabase RTH ini
dibangun dengan menggunakan pendekatan metode top-down, dimana perancangan geodatabase RTH
dilakukan dengan menganalisis Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 Tentang
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Hasil yang
diperoleh adalah berupa geodatabase dan visualisasi geodatabase yang menggambarkan
data/informasi RTH di Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon.
Kata kunci: geodatabase, ruang terbuka hijau, geodatabase RTH
1. Pendahuluan
Peningkatan jumlah penduduk yang diiringi oleh laju pembangunan yang cenderung meningkat dapat
memberikan konsekuensi terjadinya peningkatan kebutuhan ruang atau lahan untuk mewadahinya.
Sedangkan di sisi lain ketersediaan lahan tersebut sifatnya terbatas. Hal ini tentu saja berpotensi
menyebabkan terjadinya konflik kepentingan antara kebutuhan lahan untuk penduduk, kegiatan
pembangunan, dan juga kebutuhan terhadap pelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Permasalahan
konflik kebutuhan lahan dan pelestarian lingkungan akan menjadi permasalahan yang kompleks
terutama pada kawasan perkotaan karena keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang mempunyai
fungsi ekologis pada kawasan perkotaan seringkali dikorbankan untuk kepentingan pembangunan suatu
kota. Simonds (1983 dalam [1]) mengungkapkan bahwa peran RTH dapat memberikan kenyamanan
dan kesejahteraan bagi warga perkotaan antara lain sebagai penyumbang ruang bernafas yang segar,
sebagai paru-paru kota, sumber air dalam tanah, mencegah erosi, keindahan dan kehidupan satwa,
menciptakan iklim, serta sebagai sumber pendidikan. Oleh karena itu, agar dapat mewujudkan
pembangunan yang memperhatikan kelestarian lingkungan, maka suatu kawasan perkotaan harus dapat
mempertahankan bahkan meningkatkan ketersediaan RTH sehingga dapat tercipta kelestarian
lingkungan hidup.
Geodesi | 9
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008, dijelaskan bahwa RTH
merupakan area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka,
tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam [2].
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 12/PRT/M/2009, ditegaskan lagi bahwa jika ada ruang
terbuka tidak ditumbuhi tanaman, maka tidak dapat digolongkan sebagai RTH [3]. Dalam Undang-
Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa perencanaan tata ruang
wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang
luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota [4]. Dijelaskan kembali dalam Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008, bahwa proporsi RTH 30% ini merupakan ukuran minimal untuk
menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan
mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang
diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota [2].
Kecamatan Sumber merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon. Berdasarkan data BPS tahun
2016, luas Kecamatan Sumber adalah 25,65 km2 atau sekitar 2,59% dari luas wilayah Kabupaten
Cirebon. Jika membandingkan Kecamatan Sumber dengan kecamatan yang ada di sekitarnya, maka
terlihat bahwa jumlah penduduk di Kecamatan Sumber ada di urutan yang pertama dengan jumlah
penduduk sebesar 87.881 jiwa [5]. Sebagai kawasan yang padat penduduknya, kecamatan ini memiliki
kecenderungan pertumbuhan pembangunan yang lebih pesat dibandingkan dengan daerah lain yang ada
di sekitarnya, baik pembangunan fisik maupun non fisik. Hal ini dapat mendorong adanya peningkatan
kebutuhan lahan untuk mewadahi pembangunan yang terjadi, sedangkan ketersediaan lahan di
Kecamatan Sumber terbatas. Untuk mengimbangi kegiatan pembangunan yang terus meningkat di
kawasan ini, maka diperlukan perencanaan dan pengelolaan RTH sehingga kelestarian lingkungan akan
tetap terjaga.
Untuk membantu memudahkan analisis dalam hal perencanaan, pengaturan, pengelolaan, maupun
pengembangan RTH, maka dalam penelitian ini akan dibangun geodatabase RTH. Geodatabase RTH
ini merupakan sebuah konsep manajemen data relasional yang terdiri dari data spasial dan data atribut
RTH yang dapat digunakan sebagai sumber data dan dapat diakses oleh berbagai aplikasi untuk
kebutuhan informasi dan analisis RTH. Selain itu, diharapkan geodatabase RTH ini juga dapat
digunakan untuk membantu Bappeda Kabupaten Cirebon dalam proses pengambilan keputusan terkait
perencanaan dan pembangunan wilayah.
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah perancangan geodatabase dilakukan dengan menganalisis
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Data yang digunakan dalam pembangunan
geodatabase RTH adalah data sekunder. Perancangan dan pembangunan geodatabase RTH dilakukan
dengan menggunakan perangkat lunak dari ESRI.
2. Metodologi
Metodologi penelitian yang digunakan dalam pembangunan geodatabase RTH ini adalah menggunakan
pendekatan metode top-down, dimana perancangan geodatabase RTH dilakukan dengan menganalisis
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008. Secara garis besar metodologi pembangunan
geodatabase RTH dapat dilihat pada Gambar 1.
Geodesi | 10
Perancangan Model Geodatabase RTH
dengan metode top-down
Rumusan Struktur Layer Geodatabase RTH
· Geodatabase
· UU No 26 Tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang
· Permen PU No. 5/PRT/M/2008
Tentang Pedoman Penyediaan
dan Pemanfaatan Ruang Terbuka
Hijau di Kawasan Perkotaan
Kajian Teoritis
· Data Batas Administrasi Kab. Cirebon
(Bappeda)
· Data Jaringan Jalan & Sungai (Bappeda)
· Data RTH Kecamatan Sumber,
Kabupaten Cirebon (DCKTR)
· Toponimi RTH dan Dokumentasi (foto
dan video) RTH Kecamatan Sumber
(EFORT)
A
Implementasi
1. Input Data : menginputkan data spasial dan data atribut (tekstual) yang terintegrasi dalam suatu geodatabase ke
dalam menu-menu sistem aplikasi sesuai format dan struktur yang telah ditentukan.
2. Ujicoba Aplikasi : menguji sistem yang telah dikembangkan.
Analisis Pembangunan Geodatabase RTH
A
Gambar 1. Metodologi Pembangunan Geodatabase RTH
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Perancangan Model Geodatabase RTH
Berdasarkan pendekatan metode yang telah dipilih, tahapan yang dilakukan dalam merancang model
geodatabase RTH ini adalah:
a) Menentukan struktur layer geodatabase RTH
b) Membangun data (inventarisasi data RTH)
3.2. Struktur Layer Geodatabase RTH
Struktur layer geodatabase RTH yang dibangun adalah sebagai berikut:
a) Data Tematik (Data RTH), berisi informasi yang berhubungan dengan Ruang Terbuka Hijau.
b) Data Dasar, berisi informasi dasar yang berhubungan dengan Ruang Terbuka Hijau, seperti batas
administrasi, jaringan jalan, jaringan sungai.
Sesuai dengan pendekatan metode top-down, struktur data RTH diturunkan dari peraturan perundangan
yaitu Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.5/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, dimana data RTH yang dibangun terdiri dari:
- RTH Pekarangan (pekarangan rumah tinggal, halaman perkantoran/ pertokoan/tempat usaha,
taman atap bangunan)
- RTH Taman dan Hutan Kota (taman RT/RW, taman kelurahan, taman kecamatan, taman/hutan
kota, sabuk hijau)
- RTH Jalur Hijau Jalan (pulau jalan & median jalan, jalur pejalan kaki, ruang di bawah
jembatan layang)
Geodesi | 11
- RTH Fungsi Tertentu (seperti pemakaman, sempadan sungai, sempadan rel kereta api, jalur
hijau jaringan listrik tegangan tinggi, dan lain-lain)
Sedangkan pembagian jenis-jenis RTH yang ada disesuaikan dengan tipologi RTH, yang didefinisikan
dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.5/PRT/M/2008.
3.3. Inventarisasi Data RTH
Sebelum dilakukan pembangunan geodatabase, terlebih dahulu dipersiapkan seluruh data, baik itu data
spasial (peta) maupun data non-spasial (atribut/tabular). Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam tahap inventarisasi data ini, yaitu mengenai tingkat kedalaman data (klasifikasi), tahun
pengambilan/pengadaan data, sumber atau instansi pembuat data, skala, sistem proyeksi, dan sistem
koordinat. Langkah awal yang dilakukan dalam tahap inventarisasi data adalah melakukan evaluasi
terhadap kondisi data eksisting yang telah berhasil dihimpun. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi
overlap data yang dapat menimbulkan kebingungan dari pengguna (user) dan tidak efektifnya
data/informasi yang telah terhimpun. Evaluasi kondisi data ini dilakukan dengan melakukan survei di
lingkungan Pemerintah Kabupaten Cirebon, seperti Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
(Bappeda) Kabupaten Cirebon, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kab. Cirebon, serta instansi terkait
lainnya. Adapun data RTH yang dapat diperoleh adalah data taman; data pemakaman; serta data
pekarangan warga, sekolah, dan kelurahan Kecamatan Sumber.
Tahap berikutnya adalah kompilasi dan verifikasi data, yaitu kegiatan pencarian, pengambilan, dan
pengumpulan data RTH termasuk informasi di lapangan seperti informasi RTH, toponimi, dan
informasi terkait lainnya yang diperlukan dalam pembangunan geodatabase. Kegiatan verifikasi
lapangan ini perlu dilakukan karena untuk memperjelas detail RTH pada peta/citra dengan cara
melakukan pengecekan obyek RTH tersebut di lapangan. Selain itu, verifikasi lapangan juga dilakukan
untuk mendapatkan gambaran visual mengenai kondisi atau situasi terkini dari kawasan RTH tersebut
melalui foto dan video kondisi RTH di beberapa lokasi. Dalam penelitian ini tidak dilakukan verifikasi
data lapangan secara langsung, namun menggunakan data sekunder dari PT EFORT Digital
Multisolutions yang telah menjadi pelaksana kegiatan pendataan RTH dari Bappeda Kab. Cirebon.
Setelah melakukan kompilasi dan verifikasi data, tahap selanjutnya adalah digitasi RTH Kecamatan
Sumber. Proses digitasi RTH ini dilakukan berdasarkan data toponimi RTH yang di-overlay-kan dengan
data analog yaitu data citra Quickbird, sehingga dapat mempermudah proses digitasi. Adapun untuk
proses digitasi dapat dilihat pada Gambar 2. Untuk membangun geodatabase RTH yang lengkap, maka
dilakukan proses integrasi data (join attributes) antara data spasial RTH (hasil digitasi) dengan
informasi RTH yang telah disimpan dalam bentuk tabel. Informasi RTH yang dimaksud adalah berupa
informasi pengelompokkan RTH berdasarkan tipologi RTH secara fisik, dilihat dari segi fungsi, dan
sifat kepemilikan RTH, serta kondisi RTH terkini. Adapun informasi RTH yang disimpan dalam bentuk
tabel tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 2 Digitasi Stadion Ranggajati
Geodesi | 12
Gambar 3 Informasi RTH
3.4. Pembangunan Geodatabase RTH
Dari kegiatan inventarisasi data, diperoleh data yang diperlukan dalam pembangunan geodatabase RTH,
yaitu meliputi data batas administrasi; jaringan jalan; jaringan sungai; data taman; data pemakaman;
data pekarangan warga, sekolah, dan kelurahan; data survei lapangan secara tidak langsung; serta data
digitasi RTH. Sebelum membangun geodatabase, terlebih dahulu dibuat kodefikasi basis data, seperti
yang dapat dilihat dalam Gambar 4.
DATA DASAR DATA TEMATIK
BATAS
ADMINISTRASI
DATA JARINGAN
JALAN
DATA JARINGAN
SUNGAI DATA RTH
KODE_PROV KODE_JLN KODE_SUNG KODE_PROV
NAMA_PROV NAMA_JLN NAMA_SUNG NAMA_PROV
KODE_KAB JENIS_JLN ORDE_SUNG KODE_KAB
NAMA_KAB PJG_JLN PJG_SUNG NAMA_KAB
KODE_KEC KODE_KEC
NAMA_KEC NAMA_KEC
KODE_DESA KODE_DESA
NAMA_DESA NAMA_DESA
LUAS_DESA NAMA_RTH
JENIS_RTH
RTH_FISIK
RTH_FUNGSI
RTH_STKTUR
RTH_MILIK
KNDISI_RTH
LUAS_RTH
Gambar 4 Kodefikasi Geodatabase RTH
Setelah melakukan proses perancangan model geodatabase RTH, maka langkah selanjutnya adalah
memasukkan data dan struktur yang dibuat ke dalam model geodatabase RTH. Geodatabase RTH
dibangun dengan menggunakan software dari ESRI yaitu ArcCatalog (ArcGIS). Langkah-langkah yang
dilakukan dalam membangun geodatabase RTH adalah:
a. Membuat file geodatabase
b. Membuat feature dataset
c. Membuat feature class
d. Memasukkan data
3.5. Pembangunan Aplikasi SIG RTH
Aplikasi SIG RTH merupakan aplikasi yang dibangun untuk menampilkan atau memvisualisasikan
geodatabase RTH Kecamatan Sumber. Berikut struktur layer yang dibangun pada aplikasi SIG RTH
dapat dilihat pada Gambar 5.
Geodesi | 13
Gambar 5 Kodefikasi Geodatabase RTH
Adapun contoh visualisasi dari hasil pembangunan geodatabase RTH Kecamatan Sumber dapat dilihat
pada Gambar 6 sampai dengan Gambar 8.
Gambar 6 Visualisasi RTH Pemakaman
Gambar 7 Visualisasi RTH Median Jalan
Geodesi | 14
Gambar 8 Visualisasi Geodatabase RTH
Dari hasil pembangunan geodatabase RTH Kecamatan Sumber dapat dianalisis bahwa jenis RTH yang
tersebar di Kecamatan Sumber adalah lahan pekarangan, median jalan, pemakaman, sarana olahraga,
taman hutan kota, taman kota, taman margasatwa, dan taman situs.
4. Kesimpulan
Geodatabase RTH merupakan geodatabase ruang terbuka hijau yang dirancang dan dibangun
berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Penyediaan
dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Perancangan geodatabase RTH
dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak dari ESRI. Dengan adanya perancangan geodatabase
RTH ini, maka terbentuklah struktur layer geodatabase RTH. Sedangkan implementasi rancangan
geodatabase RTH dilakukan dengan menggunakan data eksisting yang tersedia di Bappeda Kabupaten
Cirebon dan instansi yang terkait, serta dengan menggunakan data sekunder berupa toponimi RTH dan
foto/video RTH dari PT EFORT Digital Multisolutions yang telah menjadi pelaksana kegiatan
pendataan RTH dari Bappeda Kab. Cirebon. Proses implementasi rancangan geodatabase RTH ini
memerlukan waktu yang cukup lama terutama dalam melakukan klasifikasi RTH, digitasi RTH
(konversi data), dan integrasi data. Hal ini terkait dengan banyaknya data, ketidakseragaman data, dan
data tersebut belum standar/tersusun secara sistematis.
Daftar Pustaka
[1] Putri, P. dan Zain, Alinda FM. 2010. Analisis Spasial dan Temporal Perubahan Luas Ruang
Terbuka Hijau di Kota Bandung. Jurnal Landskap Indonesia Volume 2 Nomor 2 Tahun 2010.
Departemen Arsitektur Landskap, Fakultas Pertanian IPB. Diakses dari
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jli/article/view/5734/4349 pada tanggal 2 Oktober 2017.
[2] Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan.
[3] Departemen Pekerjaan Umum. 2009. Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Non
Hijau di Wilayah Kota/Kawasan Perkotaan – Permen PU No.12/PRT/M/2009. Direktorat
Penataan Ruang Nasional, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Dept. Pekerjaan Umum. Jakarta..
Diakses dari http://birohukum.pu.go.id/pustaka/arsip_makalah/20.pdf, pada tanggal 2 Oktober
2017.
Geodesi | 15
[4] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
[5] BPS Kabupaten Cirebon. 2016. Statistik Daerah Kecamatan Sumber. Diakses dari
https://cirebonkab.bps.go.id/new/website/pdf_publikasi/Statistik-Daerah-Kecamatan-Sumber-
2016.pdf pada tanggal 2 Oktober 2017.
Geodesi | 16
Kajian Spasial Perubahan Garis Pantai, Penyebab, dan Dampaknya
Terhadap Sosial-Ekonomi Masyarakat di Pesisir Subang
Dian N. Handiani, S. Darmawan, Y.D. Aditya, M. F. Suryahadi, dan R. Hernawati
Jurusan Teknik Geodesi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Nasional
Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124
Email: [email protected]
ABSTRACT
The present research aims to estimate coastline changes, to identify causes and the social-economic
impacts of the changes in coastal community of Subang Regency. Estimation calculates based on
overlay of Landsat satellite image during 1988, 1996, 2003, dan 2016. Literatures collected for
identifying the causes, while questioners technique has been used to find out the social and economic
impacts of the changes. Results show that since year of 1988 to 2016 coastline has been changed around
8,17 km. These changes are dominantly caused by coastline sedimentation in Pusakanagara (869,9 ha)
and Blanakan (725,4) subdistricts, while highest abrasion in Legonkulon (885,8 ha) subdistrict.
Coastline changes in Subang are not only caused by oceanographic processes, but an antropogenic
activities are also causing the changes. Most respondent opined that coastlines are in poor condition
and this condition reduces their salary more than 30% from the usual income. Although the condition
happens, the coastal community does not looking for new job or even changing their livelihood.
Keywords: coastline changes, spatial analysis, Subang Regency, Landsat, Remote Sensing
1. Pendahuluan
Data Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2014 menunjukkan bahwa Pantai utara Jawa
mengalami abrasi pantai sepanjang 745 km atau sekitar 44% dari total garis pantai utara yang ada
[Kompas, 2017]. Data Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) – Jawa Barat
menyebutkan pembabatan mangrove di delta Sungai Cimanuk-Indramayu, dimulai sejak tahun 1950.
Kemudian di tahun 1980-an, di pesisir utara Jawa lainnya (termasuk Subang) terjadi pembukaan hutan
mangrove besar-besaran untuk pemukiman, industri, dan pembuatan kolam-kolam tambak. Kondisi ini
mengakibatkan perubahan garis pantai (proses abrasi dan sedimentasi) dan penurunan kualitas
lingkungan pesisir yang cukup tinggi [Bappeda-Jabar, 2007].
Potensi sumberdaya pesisir Subang sangat besar, akan tetapi dalam perkembangannya mengalami
degradasi akibat tekanan penduduk sekitarnya [Saridewi, 2003]. Degradasi sumberdaya dan kualitas
lingkungan ini juga tercatat dalam beberapa penelitian lainnya. Di antara tahun 1996-2010 diperkirakan
terjadi perubahan garis pantai maksimum sejauh 1 km [Taofiqurohman dan Ismail, 2012] dan antara
kurun waktu 2005 – 2015 di salah satu kecamatan pesisir Subang (Blanakan) mengalami penurunan
lahan mangrove sebesar 5% pertahun. Penurunan ini mengakibatkan kerugian sebesar Rp.
3.815.790.110,97 pertahunnya [Indrayanti dkk., 2015]. Selain itu, perubahan garis pantai juga
diperkirakan menyebabkan intrusi air laut ±10 km dari garis pantai [Salim dkk., 2016].
Geodesi | 17
Salah satu tujuan pengelolaan wilayah pesisir adalah meminimalisir degradasi lingkungan dan
memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir secara berkelanjutan [Dahuri dkk., 2001]. Penelitian ini
bertujuan membantu pemerintah daerah Subang dalam perencanaan awal pengelolaan wilayah pesisir.
Khususnya terkait identifikasi dan pemahaman isu kondisi lingkungan dan ekosistem, serta kondisi
masyarakat pesisirnya. Fokus penelitian mengestimasi perubahan garis pantai (luas sedimentasi dan
abrasi), mengidentifikasi penyebab perubahannya dan dampak sosial-ekonomi masyarakat pesisir
Subang.
2. Metodologi
Alur penelitian ini digambarkan pada diagram alir di Gambar 1. Berdasarkan RTRW (Rencana Tata
Ruang Wilayah) Kabupatan Subang memiliki empat kecamatan yang berada di pesisir yaitu Cipunagara,
Legonkulon, Sukasari, dan Blanakan. Hampir di setiap kecamatan terdapat sungai yang bermuara ke
pesisir (Gambar 2 dan 3). Perubahan garis pantai, luas sedimentasi dan abrasi dalam penelitian ini
diestimasi dengan memanfaatkan citra Landsat 5 TM tahun 1988, 1996, 2003 dan citra Landsat 8 OLI
tahun 2016 [USGS, 2017]. Data citra tersebut diinterpretasi melalui beberapa proses yaitu cropping
area, koreksi radiometrik dan geometrik, aplikasi algoritma ekstraksi batas darat dan laut, serta proses
delineasi garis pantai. Algoritma ekstraksi menggunakan metode BILKO [UNESCO, 1999] dan
delineasi garis pantai dengan metode on screen digitizing. Hasil interpretasi citra kemudian diverifikasi
terhadap data hasil tracking garis pantai di lapangan (pengamatan Bulan Agustus, 2017 di Kecamatan
Pusakanagara dan Legonkulon, Gambar 2 dan 3). Asumsi maju dan mundurnya garis pantai diakibatkan
oleh proses sedimentasi dan abrasi di pantai tersebut. Luas sedimentasi dan abrasi diestimasi dengan
analisis tumpang tindih hasil pengolahan citra di setiap tahun pengamatan. Kajian hidro-oseanografi
dan lingkungan pesisir bertujuan mengidentifikasi penyebab terjadinya sedimentasi dan abrasi, dan
berdasarkan hasil studi pustaka. Selain itu, data kuesioner yang diperoleh bersamaan tracking di
lapangan, digunakan untuk analisis dampak perubahan garis pantai terhadap kondisi sosial-ekonomi
masyarakat.
Gambar 1. Diagram alir dari alur penelitian
Geodesi | 18
3. Hasil dan Diskusi
Estimasi Luas Sedimentasi dan Abrasi
Hasil verifikasi antara pengolahan data citra dan tracking lapangan memiliki nilai penyimpangan
sebesar 10,9 m dan berkesesuian dengan ketentuan dari Badan Informasi Geospasial (BIG) No. 15 tahun
2014. Ketentuannya terkait informasi ketelitian garis pantai dan ketelitian geometri peta rupa bumi
(RBI) sebagai rujukan pembuatan skala bagi peta yang memuat garis pantai hasil delineasi tersebut.
Hasil estimasi perubahan garis pantai Subang dari tahun 1988-2016 sebesar 8,17 km, dimana panjang
garis pantai tahun 1988 sebesar 64,23 km dan tahun 2016 menjadi 72,40 km. Sedangkan, estimasi luas
sedimentasi (Gambar 2) dan abrasi (Gambar 3) total dalam rentang tahun yang sama bernilai relatif
seimbang yaitu 1723 ha (sedimentasi) dan 1496,5 ha (abrasi). Perbandingan pada seluruh kecamatan di
pesisir Subang, luas sedimentasi di Kecamatan Pusakanagara (869,9 ha) dan Blanakan (725,4 ha)
memiliki nilai tertinggi. Adapun luas abrasi tertinggi di Kecamatan Legonkulon sebesar 885,8 ha.
Gambar 2. Estimasi luas sedimentasi, lokasi tracking (garis biru) dan pengamatan lapangan
(lingkaran merah) atas proses sedimentasi di (a) Pusakanagara, (b) Blanakan.
Gambar 3. Estimasi luas abrasi, lokasi tracking (garis biru) dan pengamatan lapangan
(lingkaran merah) atas proses abrasi di Legonkulon
Geodesi | 19
Tinjauan Penyebab Sedimentasi dan Abrasi
Proses pengendapan dan penggerusan sedimen di pesisir bersumber dari interaksi lingkungan pesisir
yang dipengaruhi oleh faktor hidro-oseanografi, seperti gelombang, arus, pasang surut, topografi,
meteorologi dan kondisi geomorfologi. Selain itu, faktor antropogenik (aktivitas manusia), contohnya:
aliran sedimen di muara sungai dan reklamasi pantai juga mempengaruhi perubahan morfologi pantai
[Suhana, 2015]. Berdasarkan model prediksi MetOceanView (6.2ºS 108ºE) dan penelitian Dinas
Kelautan dan Perikanan (DKP) Kab. Subang [DKP, 2003] arah angin di pesisir Subang dipengaruhi
oleh musim barat dan timur (Tabel 1). Perbedaan kecepatan angin dari kedua data tersebut disebabkan
perbedaan lokasi pengamatan. Stasiun MetOceanView di arah laut lepas, sedangkan DKP di sekitar
pesisir Mayangan (Legonkulon). Selanjutnya, kondisi arus permukaan di pesisir Subang didominasi
oleh pengaruh angin musiman [PPGL, 2010 dan DKP, 2003]. Selain itu, pasang surut juga
mempengaruhi arus permukaan hanya kecepatannya relatif rendah dibandingkan yang dipengaruhi oleh
angin. Pola gelombang di pesisir Subang pertahunnya memiliki ketinggian rata-rata sebesar 0 – 0,5 m
dan arah gelombang ke timur laut [MetOceanView, 2017]. Kondisi ini mempengaruhi transfer sedimen
yang dipengaruhi oleh gelombang, umumnya sedimen terbawa gelombang (sedimentasi) cenderung ke
arah timur (Kec. Pusakanagara). Berdasarkan kecepatannya kondisi gelombang di pesisir Subang
termasuk calm (< 1 knot), sesuai skala Beaufort [US. Army, 1984]. Adapun, kondisi pasut di pesisir
Subang bervariasi, di bagian timur Subang bertipe campuran condong ke harian ganda dan di bagian
barat bertipe campuran condong harian tunggal. Di pesisir Ciasem pasut memiliki rentang pasang
terendah sampai tertinggi antara 1,4 m – 6,1 m dan pasut masuk sekitar 1 km dari muara sungai,
sedangkan di Sungai Cipunagara masuk sekitar 0,5 km. Hasil tinjauan hidro-oseanografi menunjukkan
kondisi pesisir Subang yang relatif calm. Hasil ini memperlihatkan bahwa faktor hidro-oseanografi
bukanlah satu-satunya yang mempengaruhi perubahan garis pantai serta proses sedimentasi dan abrasi.
Tabel 1. Kompilasi studi pustaka dan data sekunder Hidro-Oseanografi pesisir Subang
No.
Parameter
Hidro-
Oseanografi
Sumber Referensi Lokasi
Pengamatan Hasil-Hasil
1. Angin MetOceanView
[2017]
Kab. Subang
- Musim Barat (Desember-Februari) angin
berasal dari Barat
- Musim Timur (Juni-Agustus) angin berasal
dari Timur
- Kecepatan kedua musim maks. 5-10 knot
DKP Kab. Subang,
[2003]
Dipengaruhi musim Barat dan Timur kecepatan
rata-rata 0,05-0,1 knot
2. Arus PPGL [2010] Kec. Pusakanagara Arus permukaan berdasarkan pengukuran
musiman, kecepatan kurang dari 0,16 knot
dengan arah antara Tenggara – Barat Laut
DKP Kab. Subang,
[2003]
Kab. Subang Pola arus mengikuti pola arus Laut Jawa, arus
musiman:
- Musim Timur (Mei dan September) arus
bergerak ke arah Barat, kecepatan maks.
sekitar 0.5 knot
- Musim Barat (November-Maret) arus berge-
rak kearah Timur, kecepatan maks. 0.6 knot
Pantai Ciasem
Kec. Legonkulon
- Arus pasang antara 0,03–0,6 knot, dominan
ke arah Barat
- Arus surut antara 0,04–0,65 knot, dominan ke
arah Barat
3. Gelombang MetOceanView
[2017]
Kab. Subang Tinggi gelombang rata-rata 0-0,5 m dan arah
rambat dominan Timur Laut
Geodesi | 20
No.
Parameter
Hidro-
Oseanografi
Sumber Referensi Lokasi
Pengamatan Hasil-Hasil
PPGL [2010] Kab. Subang Tinggi gelombang rata-rata 0,53 m, tinggi
gelombang maks. 0,77 m, dan arah rambat rata-
rata Timur Laut
DKP Kab. Subang,
[2003]
Kab. Subang - Tinggi gelombang umum 0,5-0,8 m,
gelombang kondisi laut tenang 0,3 m, arah
rambat dominan dari Utara dan Timur Laut
Pantai Ciasem
Kec. Legonkulon
- Tinggi gelombang antara 0,02-0,5 m, musim
Barat dan Timur tinggi maks. > 1,7 m
4. Pasang
Surut
Jade [2017] Kab. Pusakanagara Tipe pasut campuran condong ke harian ganda,
dua kali pasang dan surut dalam sehari, dan
pasang pertama lebih rendah dibandingkan
pasang kedua
DKP Kab. Subang,
[2003]
Ciasem Kec.
Legonkulon
Tipe pasut campuran condong harian tunggal,
rentang pasut terendah dan tertinggi yaitu
1,4 m- 6,1 m
Sungai Ciasem
Kec. Legonkulon
Pasut masuk kearah sungai sampai 1,0 km
Sungai Cipunegara
Kec. Cipunegara
Pasut masuk kearah sungai sampai 0,5 km
Tinjauan Dampak Sosial-Ekonomi Akibat Sedimentasi dan Abrasi
Kuesioner dibagikan pada 60 orang responden, 25 orang di Kecamatan Legonkulon dan 35 orang di
Kecamatan Pusakanagara. Hasil kuesioner dikelompokkan menjadi tiga jenis informasi: data diri,
perekonomian, dan lingkungan masyarakat. Analisis citra menunjukkan sedimentasi dominan terjadi di
Pusakanagara (Gambar 2) dan abrasi di Legonkulon (Gambar 3). Analisis hasil kuesioner mendukung
analisis citra tersebut. Lebih dari 50% responden berpendapat keadaan lingkungan sekitar mereka
semakin rusak dan terjadi sedimentasi atau abrasi, 25% responden berpendapat tidak terjadi perubahan
lingkungan, dan < 25% responden berpendapat lingkungan mereka semakin baik. Akan tetapi > 50%
responden berpendapat kerusakan lingkungan tersebut belum mencapai tahap dimana mereka harus
berpindah tempat tinggal dan hanya 15% responden saja berpendapat harus pindah tempat tinggal akibat
kerusakan lingkungan (Gambar 4a). Umumnya responden adalah nelayan, petani tambak, dan buruh
atau wiraswasta. Pendapatan nelayan dan petani tambak rata-rata mencapai 2-3 juta/bulan, akan tetapi
ada juga yang mencapai 3-4 juta/bulan. Terdapat 8 responden yang tidak mengalami pengurangan
penghasilan akibat dari kerusakan lingkungan, 7 responden mengalami pengurangan pendapatan
sebesar 10-30%, 24 responden mengalami pengurangan pendapatan sebesar 30-50% dan 21 responden
mengalami pengurangan pendapatan sebesar >50% (Gambar 4b).
Geodesi | 21
Gambar 4. Hasil responden terkait kondisi (a) lingkungan dan dampaknya terhadap masyarakat,
(b) data diri dan ekonomi masyarakat pesisir Subang.
Keterkaitan antara perubahan garis pantai terhadap kondisi sosial masyarakat ditunjukkan dengan
adanya korelasi antara proses sedimentasi dan abrasi dengan pendapat responden terhadap kerusakan
lingkungan di pesisir Subang. Tingginya sedimentasi dan abrasi berkorelasi linier dengan tingginya
pendapat responden terhadap adanya kerusakan lingkungan di pesisir Subang. Akan tetapi meski
berbagai kerusakan dan kerugian telah terjadi, masyarakat masih mempertahankan lahan dan rumah
tinggal mereka (>50% responden). Sedangkan, keterkaitan kondisi ekonomi ditunjukkan dengan
pengurangan income penduduk yang melebihi rata-rata 30% dan lapangan pekerjaan pun semakin
banyak berkurang bersamaan dengan tingginya sedimentasi atau abrasi. Berbagai permasalahan ini
perlu segera diatasi, salah satunya melalui pengelolaan wilayah pesisir yang sesuai dan tepat sasaran.
4. Kesimpulan
Hasil estimasi perubahan garis pantai mengidentifikasi perubahan dari tahun 1988-2016 sebesar 8,17
km. Perubahan tersebut didominasi oleh proses sedimentasi (seluas 869,9 ha) di Kecamatan
Pusakanagara dan seluas 725,4 ha di Blanakan, sedangkan abrasi tertinggi terjadi di Kecamatan
Legonkulon (885,8 ha). Tinjauan kondisi hidro-oseanografi memperlihatkan faktor ini bukanlah satu-
satunya yang mempengaruhi proses sedimentasi dan abrasi. Analisis kuesioner mencatat masyarakat
berpendapat lingkungan pesisir Subang telah mengalami kerusakan relatif tinggi dan kondisi ini
menyebabkan masyarakat mengalami pengurangan pendapat hingga > 30%. Akan tetapi meskipun
kerusakan dan kerugian telah terjadi, masyarakat belum berpindah tempat tinggal ataupun mengganti
pekerjaan mereka. Penelitian ini memperlihatkan pengelolaan pesisir yang tepat dan sesuai sasaran
sangat diperlukan bagi wilayah pesisir Kabupaten Subang.
Daftar Pustaka
[1] BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Provinsi Jawa Barat. 2007. Laporan Akhir
Atlas Pesisir dan Laut Utara Jawa Barat. Bandung.
[2] Dahuri R, J. Rais, S.P. Ginting, M. J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
(a) (b)
Geodesi | 22
[3] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. 2003. Pemetaan Potensi Kelautan dan
Perikanan (ATLAS) Kabupaten Subang. Kerjasama Pemerintah Kabupaten Subang dengan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
[4] Indrayanti, M.D., Fahrudin, A., Setiobudiandi, I. 2015. Penilaian Jasa Ekosistem Mangrove di
Teluk Blanakan Kabupaten Subang. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI). Volume 2, No.2.
[5] Jade, R.M.R, Perbani, N.M.R.R.C., Handiani, D.N. 2016. Analisis Efektivitas Bangunan Pelindung
Pelabuhan Patimban dan Pantai Sekitar Melalui Tinjauan Hidro-Oseanografi. Reka Geomatika
Vol. 2016, Jurusan Teknik Geodesi, Institut Teknologi Nasional, Bandung.
[6] Kompas. 2017. 10.644 Desa Pesisir Rentan: Indeks Risiko Kebencanaan Belum Diturunkan.
Kolom IPTEK. Hlm. 14 (https://jakselkota.bps.go.id/backend/file Menu/Kliping_berita_cetak_
media_nasional_edisi_rabu_25_januari_2017.pdf).
[7] MetOceanView. 2017. Available at: https://app.metoceanview.com/hindcast/. Data diakses pada
30 Maret 2017.
[8] PPPGL. 2010. Penelitian Geodinamika Sepanjang Pantai Utara Jawa (Studi Kasus Di Perairan
Pamanukan dan Sekitarnya, Jawa Barat). PUSLITBANG Geologi Kelautan.
[9] Salim, A.G., Siringoringo, H.H., Narendra, B.H. 2016. Pengaruh Penutupan Mangrove Terhadap
Perubahan Garis Pantai dan Intrusi Air Laut di Hilir DAS Ciasem dan DAS Cipunagara,
Kabupaten Subang. Jurnal Manusia dan Lingkungan, vol. 23 No. 3, 319-326.
[10] Saridewi, T.R. 2003. Studi Pembangunan Ekonomi Wilayah Pesisir di Kabupaten Subang [tesis].
Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
[11] Suhana, M.P. 2015. Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai
(Abrasi dan Sedimentasi). Jurnal Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
[12] UNESCO. 1999. Applications of Satellite and Airborne Image Date to Coastal Management.
Coastal region and small island papers 4, UNESCO, Paris, vi + 185 pp.
[13] US. Army Coastal Engineering Research Center. 1984. Shore Protection Manual. US. Government
Printing Office, Washington. DC.
[14] USGS official website. 2017. Availaible at: http://earthexplorer.usgs.gov. Data diakses pada 30
Maret 2017.
Geodesi | 23
Aplikasi Metode Geostatistika untuk Pemetaan
Wilayah Prospek Mineral
Hary Nugroho
Jurusan Teknik Geodesi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Nasional
Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penentuan wilayah prospek mineral adalah hal yang sangat penting. Hal ini dikarenakan kegiatan
pemetaan ini dapat memberikan gambaran kekayaan sumberdaya alam mineral sekaligus sebagai
upaya awal dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang akan menjadikan mineral
sebagai tambahan pendapatan negara. Kegiatan pemetaan wilayah prospek mineral pada umumnya
akan meliputi wilayah yang luas, sehingga untuk melakukan pemetaan ini diperlukan teknologi yang
tepat yang dapat meliput wilayah luas dalam waktu yang singkat. Teknologi yang dapat menjawab
tantangan ini di antaranya adalah teknologi geofisika udara. Data yang diperoleh selanjutnya dapat
dimodelkan dan diinterpretasikan untuk dapat mengidentifikasi keberadaan mineral.
Dalam survei geofisika udara terdapat beberapa data yang dapat diakuisisi, di antaranya adalah data
magnetik, elektromagnetik, dan radiometrik. Data-data tersebut apabila diintegrasikan akan
memberikan gambaran terjadinya proses mineralisasi pada suatu wilayah. Proses integrasi dilakukan
menggunakan Sistem Informasi Geografik, dimana data-data hasil survei ini diolah terlebih dahulu
untuk diubah menjadi data dalam bentuk model permukaan digital. Proses pemodelan permukaan
digital dapat dilakukan menggunakan metode geostatistika.
Dalam metode geostatistika terdapat beberapa teknik yang dapat diterapkan di antaranya adalah teknik
Kriging. Model permukaan digital yang diperoleh selanjutnya diuji dengan kriteria yang telah
ditetapkan yang meliputi pengujian ketergantungan secara spasial, stasioneritas, dan pembuktian
bahwa data terdistribusi secara normal. Makalah ini menyajikan kajian awal proses pengembangan
model permukaan digital dengan menggunakan metode geostatistika dengan teknik Kriging.
Kata kunci: Survei geofisika udara, magnetik, geostatistika, kriging