Seminar Kawasan Terpadu

29
1 Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia PERAN R E I DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN KAWASAN PERKOTAAN 1 (Best Practice) O l e h : Johannes Tulung 2 Bab I Pendahuluan Pembangunan fisik oleh manusia sebagai upaya pemenuhan akan kebutuhannya baik kebutuhan shelter (perumahan, dsb) maupun kebutuhan ekonomi (industri, pertanian, perkebunan dsb) seringkali menjadi ‘kambing hitam’ terjadinya kerusakan lingkungan. Pertumbuhan penduduk yang pesat mengakibatkan peningkatan kebutuhan akan rumah maupun berbagai sumber daya lainnya Dari hal-hal tersebut kemudian timbul konsep-konsep “eco- development” atau pembangunan berwawasan lingkungan yang secara positif mengargumentasikan bahwa pembangunan tidak perlu merusak lingkungan. Pembangunan sebagai proses perubahan dan pembaharuan yang merupakan suatu upaya yang secara sadar ingin mencapai perbaikan kehidupan dan kualitas hidup seharusnyalah merupakan suatu proses yang selalu dapat ditopang oleh lingkungan yang ikut berkembang daya dukungnya. Dari sinilah maka “eco-development” dikonsepsikan pula sebagai “sustainable development”. 3 1 Makalah dibawakan pada Seminar “Penataan Kawasan Terpadu Untuk Mewujudkan Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan” yang diselenggarakan Ditjen.Penataan Ruang Dep.PU di Jakarta 9 Desember 2008 2 Penulis adalah Ketua Kompartemen Lingkungan Hidup DPP Realestat Indonesia periode 2007 - 2010 3 Hasan Poerbo, Prof., “Lingkungan Binaan Untuk Rakyat”, Bandung 1999, hal.3-4. Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Transcript of Seminar Kawasan Terpadu

Page 1: Seminar Kawasan Terpadu

1

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

PERAN R E I DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN KAWASAN PERKOTAAN1

(Best Practice)

O l e h : Johannes Tulung2

Bab I Pendahuluan

Pembangunan fisik oleh manusia sebagai upaya pemenuhan akan kebutuhannya baik kebutuhan shelter (perumahan, dsb) maupun kebutuhan ekonomi (industri, pertanian, perkebunan dsb) seringkali menjadi ‘kambing hitam’ terjadinya kerusakan lingkungan. Pertumbuhan penduduk yang pesat mengakibatkan peningkatan kebutuhan akan rumah maupun berbagai sumber daya lainnya

Dari hal-hal tersebut kemudian timbul konsep-konsep “eco-development” atau pembangunan berwawasan lingkungan yang secara positif mengargumentasikan bahwa pembangunan tidak perlu merusak lingkungan. Pembangunan sebagai proses perubahan dan pembaharuan yang merupakan suatu upaya yang secara sadar ingin mencapai perbaikan kehidupan dan kualitas hidup seharusnyalah merupakan suatu proses yang selalu dapat ditopang oleh lingkungan yang ikut berkembang daya dukungnya. Dari sinilah maka “eco-development” dikonsepsikan pula sebagai “sustainable development”.3

Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.4

Makalah ini membahas mengenai peran anggota REI dalam memenuhi kebutuhan perumahan dan permukiman dengan upaya-upaya yang

1 Makalah dibawakan pada Seminar “Penataan Kawasan Terpadu Untuk Mewujudkan Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan” yang diselenggarakan Ditjen.Penataan Ruang Dep.PU di Jakarta 9 Desember 20082 Penulis adalah Ketua Kompartemen Lingkungan Hidup DPP Realestat Indonesia periode 2007 - 20103 Hasan Poerbo, Prof., “Lingkungan Binaan Untuk Rakyat”, Bandung 1999, hal.3-4.4 UU23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1.

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 2: Seminar Kawasan Terpadu

2

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

mengikuti kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, serta berbagai persoalan dan masalah yang dihadapi dalam rangka perwujudannya.

Bab IIPembangunan Perumahan dan Permukiman

2.1 Rumah Sebagai Kebutuhan Dasar

Rumah merupakan kebutuhan yang sangat penting tidak hanya bagi fisik tapi juga bagi pembentukan seseorang sebagai manusia seutuhnya. Sebagaimana dikatakan (mantan) Presiden Soeharto5:

“Pembangunan perumahan dan permukiman sangat penting bagi kehidupan rakyat. Bersama sandang dan pangan, papan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi setiap manusia. Rumah bukan sekedar tempat tinggal, namun merupakan tempat pembentukan watak dan jiwa melalui kehidupan keluarga”.

Sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Perumahan dan Permukiman maka penataan perumahan dan permukiman dilandaskan pada azas manfaat, adil, merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan dan keserasian lingkungan hidup, sedangkan tujuan penataan perumahan dan permukiman adalah6 :

1. memenuhi kebutuhan rumah sebagai salahsatu kebutuhan dasar manusia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

2. mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur

3. memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional

4. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bidang bidang lainnya

2.2. Pergeseran Penduduk

5 Pidato Kenegaraan Presiden RI, pengantar RUU APBN 1995/966 UU no. 4 / 1992, pasal 4

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 3: Seminar Kawasan Terpadu

3

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

Kehidupan dilingkungan perkotaan menjadi semakin bermakna dan menarik bagi umat manusia sekarang ini dan dimasa depan. Bila pada tahun 1850 hanya 2% penduduk dunia tinggal di wilayah perkotaan dengan jumlah penduduk diatas 100.000 orang, maka menjelang akhir abad XX diperkirakan lebih dari 40% penduduk dunia tinggal diwilayah perkotaan seperti diatas. World Development Report (1987) menyatakan bahwa pada tahun 1800 hanya ada 7 wilayah metropolitan didunia dengan penduduk > 500.000 orang, tahun 1900 hanya ada 42 buah, sedangkan tahun 2000 mencapai 500 buah kota. Secara pasti dalam 25 tahun mendatang akan banyak muncul wilayah-wilayah “megacities” dengan penduduk belasan juta orang.7

Di Indonesia, pergeseran penduduk dari pedesaan ke perkotaan terus meningkat. Dalam kurun waktu 1980 – 1990, laju pertumbuhan penduduk total adalah 1,97% per tahun dengan laju pertumbuhan penduduk perkotaan sebesar 5,5% sedangkan pedesaan 0,8% per tahun. Dalam angka terlihat peningkatan jumlah penduduk yang tinggi terutama di perkotaan, seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.8

Memasuki fase baru ditahun 2008 ini, lebih dari 3,3 milyar jiwa manusia atau separuh penduduk dunia, hidup di daerah perkotaan (UNFPA, 2007). Bahkan menurut prediksi World Urbanization Prospect (2003), ibu kota Jakarta kini tercatat sebagai megapolitan ke-10 dunia dengan total 12,3 juta penduduk, yang akan melonjak ke urutan ke-8 pada tahun 2015 dengan penduduk 17,5 juta jiwa9

Tabel 1Perbandingan Penduduk Perkotaan dan Pedesaan

Wilayah1 9 8 0 1 9 9 0 1 9 9 3 2 0 0 1

Juta % Juta % Juta % Juta %

Perkotaan 30.6 22 55.4 33 64 35 87.3 40

Pedesaan 114.5 78 123.9 67 124.8 65 130.9 60

TOTAL 145.1 100 179.3 100 188.0 100 218.2 100

Sumber : Budhy Tjahjati, Prof.Dr,MCP, Keberlanjutan Kota Baru , 1997 dan Kompas, April 2001

7 Tono Setiadi, artikel dalam jurnal pengembangan wilayah dan kota Real Estat , vol.1 No.1 Januari 2000

8 Budhy Tjahjati, Keberlanjutan Kota Baru , Seminar Manajemen Kota Baru Menuju Abad 21, Bandung 15 Maret 1997

9 Agoes Noegraha, Urbanisasi dan Masalah Perkotaan, Harian Seputar Indonesia, 8 Oktober 2008.

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 4: Seminar Kawasan Terpadu

4

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

Dengan demikian pertambahan kebutuhan akan rumah juga akan meningkat berkali-kali lipat, terutama di wilayah perkotaan dimana pembangunan perumahan secara formal paling banyak berlangsung.

2.3. Skala Perumahan

Melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 3 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah Untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan, Pemerintah mengatur mengenai Ijin Lokasi dan kewenangan penetapannya10. Permendagri 3/87 tersebut selanjutnya menjadi salahsatu dasar penetapan angka kategori luasan perumahan yaitu :

Perumahan Skala Kecil adalah perumahan dengan luas areal < 15 Hektar

Perumahan Skala Menengah adalah perumahan dengan luas areal antara 15 sampai 200 Hektar

Perumahan Skala Besar adalah perumahan dengan luas areal > 200 Ha

2.4. Pelaku Pembangunan Perumahan

Kebutuhan perumahan bagi penduduk perkotaan di Indonesia saat ini pada umumnya dilaksanakan secara informal yang mencapai 85 % dari total pembangunan rumah, sisanya sebesar 15 % dilaksanakan secara formal baik oleh Pemerintah melalui Perum Perumnas, oleh swasta terutama melalui Persatuan Perusahaan RealEstat Indonesia (REI) dan oleh Koperasi11.

10 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.3 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah Untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan, Pasal 2 tentang Penetapan Lokasi dan Luas Tanah menetapkan sebagai berikut :

Ijin Lokasi untuk perusahaan yang luasnya tidak lebih dari 15 Hektar bagi Daerah Tingkat (DT) II yang telah mempunyai Rencana Induk Kota / Rencana Kota, ditetapkan oleh Bupati/ Walikotamadya Daerah Tingkat II

Ijin Lokasi yang luasnya tidak lebih dari 200 Hektar ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tk.I

Ijin Lokasi yang luasnya lebih dari 200 hektar ditetapkan oleh Gubernur KDh.Tk.I setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri.

11 Aca Sugandhy, Dukungan Pemerintah Daerah Dalam Rangka Gerakan Nasional Pengembangan Satu Juta Rumah , makalah Rakernas REI 2003, 14 Oktober 2003

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 5: Seminar Kawasan Terpadu

5

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

Evaluasi terhadap pembangunan perumahan dan permukiman selama periode Orde Baru menunjukan bahwa diantara ke 3 pelaku pembangunan perumahan yaitu Swasta (diwakili oleh para pengembang anggota REI), Pemerintah (diwakili oleh Perumnas) dan Masyarakat (diwakili oleh Koperasi) maka pihak swasta (REI) secara konsisten selalu berhasil memenuhi target pembangunan rumah (RS/RSS), bahkan melebihi target dan sekaligus menjadi pemeran utama pembangunan perumahan di Indonesia.

Dari Pelita ke Pelita REI telah menunjukkan peningkatan peran-sertanya hingga akhirnya menjadi pemeran utama dalam pembangunan perumahan dan permukiman. Bila pada Pelita II peran REI hanya mencapai 5 % dari total pembangunan rumah maka selanjutnya mulai Pelita III sampai dengan Pelita VI REI menjadi pemeran utama, dengan rata-rata 70 % dari total pembangunan rumah setiap Pelita.

Tabel 2 Pembangunan Rumah dari Pelita ke Pelita

PERIODE PERUMNAS % R E I %KOPERAS

I% TOTAL

Pelita I - - - - - - -Pelita II 50.672 95 2.682 5 - - 53.354Pelita III 80.536 27 216.15

873 - - 296.694

Pelita IV 70.795 25 217.643

75 - - 288.438

Pelita V 85.280 23 271.056

72 19.496 5 375.832

Pelita VI12 170.242 26 430.921

66 52.832 8 653.995

Sumber : Kantor Menpera, Perumahan Rakyat Untuk Kesejahteraan & Pemerataan, 1997

2.5. Kebutuhan dan Realisasi Pembangunan Rumah

Besarnya kebutuhan rumah di Indonesia adalah13: Karena pertumbuhan penduduk : 800.000 unit per tahun Karena backlog (kekurangan penyediaan) secara akumulatif sampai

dengan tahun 2003 mencapai : 5,93 juta unit Karena sudah tidak layak huni : 14,5 juta unit

12 Sampai dengan 31 Agustus 199713 Aca Sugandhy, idem

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 6: Seminar Kawasan Terpadu

6

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

Dengan kekurangan penyediaan sebesar 5,93 juta unit dan kebutuhan tahunan rata-rata 800.000 unit maka jika dihitung mulai tahun 2003 sampai tahun 2020 (17 tahun), akan ada kebutuhan rumah sebesar 1.148.824 unit per tahun.

Dalam hal realisasi pembangunan rumah, yang terjadi justru jauh dibawah target/rencana Pemerintah. Sejak terjadinya krisis perekonomian, pembangunan RsH justru turun drastis. Tabel 4 menunjukkan realisasi pembangunan RsH yang terjadi sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2004.

Tabel 3Realisasi Pembangunan RsH 2000 - 2007

(dalam Unit)

TAHUN 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

JUMLAH

97.000

39.600

25.900

32.500

40.000

60.000

75.000

102.000

Sumber : Diolah dari Kompas, 14 Oktober 2003 dan 11 Oktober 2008

Secara total dalam 7 tahun (tahun 2000 sampai dengan 2007) hanya berhasil dibangun 472.000 unit rumah, atau rata-rata 59.000 unit per tahun. Bila dibandingkan dengan prestasi pembangunan rumah yang berhasil dicapai pada REPELITA VI (lihat Tabel 2), terlihat ketimpangan yang sangat jauh. Pada masa tersebut berhasil dibangun 653.995 unit rumah, atau rata-rata 130.779 unit rumah per tahun.

Kini bahkan peran swasta (dengan REI sebagai pemeran utama) dalam pembangunan perumahan dan permukiman semakin besar dimana rata-rata mencapai 95% dari total pembangunan rumah formal setiap tahun.

2.6. Pelaksanaan Pengembangan Kota-kota Baru dan Permukiman Skala Besar di Indonesia

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 7: Seminar Kawasan Terpadu

7

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

Selama ini banyak sekali tudingan atau anggapan bernada negatif seolah-olah pengembangan perumahan skala besar serta kota-kota baru yang direncanakan dan dilaksanakan para pengembang merupakan keinginan pengembang-pengembang tersebut dan lebih didasarkan pada motif semata-mata mencari keuntungan sebesar-besarnya. Padahal pembangunan skala besar tersebut memang telah sejak lama dicetuskan oleh Pemerintah bahkan tercantum secara eksplisit dalam Undang-undang dan dijabarkan dalam Repelita.

2.6.1. Instruksi Presiden RI No. 13 Th.1976

Pertumbuhan DKI Jakarta yang sangat pesat di awal era Orde Baru tidak diimbangi dengan kepesatan pertumbuhan yang sama bagi daerah-daerah disekitar Jakarta, sehingga dirasakan perlunya dilaksanakan penyerasian perencanaan pengembangan wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek). Pada tahun 1976 dikeluarkan Instruksi Presiden RI (Inpres) no.13 tahun 1976 tentang Pengembangan Wilayah Jabotabek, yang antara lain berisi mengenai :

mengarahkan pengembangan Bogor, Tangerang, Bekasi dan Depok menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru sebagai tempat kediaman dan berusaha.

mengarahkan agar Pemerintah menciptakan iklim yang dapat mendorong kegiatan investasi di pusat-pusat tersebut melalui pembinaan prasarana perhubungan, pengaturan penggunaan tanah, penciptaan lingkungan hidup yang sehat dan pengadaan berbagai sarana sosial, ekonomi dan budaya.

Ternyata perkembangan pesat yang berkembang kemudian cenderung berbentuk perkembangan terpencar (urban sprawl) di wilayah Bogor, Tangerang dan Bekasi, yaitu pembangunan kompleks-kompleks perumahan berskala kecil yang tersebar diwilayah Botabek tetapi tidak terintegrasi. Hal ini mengakibatkan kesulitan dalam pengendalian kualitas lingkungan hidup (terjadinya banjir, kemacetan lalulintas, dsb) serta kesulitan dalam pengadaan berbagai prasarana, sarana dan utilitas (jalan, saluran, listrik, air, telepon dsb).

2.6.2. Arahan Dalam Repelita IV, V dan VI

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) IV 1983 - 1988, secara eksplisit menyebutkan mengenai perlunya peningkatan peranserta swasta dalam pembangunan perumahan dan permukiman melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif dan perlunya dilaksanakan pembangunan perumahan /

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 8: Seminar Kawasan Terpadu

8

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

permukiman dalam skala besar14. Demikian juga diarahkan dilaksanakannya pembangunan kota-kota baru yang mandiri terutama didaerah-daerah yang mengalami pertumbuhan pesat15.

Arahan yang sama ditegaskan kembali dalam Repelita V (1988 - 1993), yaitu perlunya pelaksanaan pembangunan perumahan dan kota-kota baru secara terpadu. Dalam Repelita VI (1993 - 1998) Pemerintah mengarahkan dilaksanakannya pengembangan permukiman skala besar dalam bentuk Kasiba dan Lisiba di wilayah kota yang sudah terbangun atau berupa pembangunan kota baru. Demikian juga perlunya peningkatan kerjasama Pemerintah dengan dunia usaha dalam pengembangan permukiman skala besar. Peran serta swasta diharapkan meningkat dari 46% (pada PJP I) menjadi 73% pada PJP II.

2.6.3. Undang-undang no. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan & Permukiman

Secara eksplisit undang-undang mengenai perumahan dan permukiman mengarahkan dilaksanakannya pembangunan kawasan perumahan dalam skala besar, sebagaimana tercantum pada UU4/92 Bab IV Pasal 18 ayat 1 : Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan kawasan permukiman skala besar yang terencana secara menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan yang bertahap.

Bab IIIPembangunan Perumahan Skala Besar

3.1. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Pada awal dimulainya pengembangan permukiman skala besar oleh pengembang, landasan pembuatan rencana tata ruang adalah SKB Mendagri dan Menteri Pekerjaan Umum tahun 1985 tentang tugas dan tanggung jawab perencanaan kota. Selanjutnya tahun 1987 ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) no.2 tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota yang mengatur mengenai jenis-jenis Rencana Kota dan kewenangan penyusunannya16 :

1. Rencana Umum Tata Ruang Perkotaan (RTRP), disusun oleh Pemerintah Pusat dan merupakan rencana struktur ruang kota yang disusun untuk menjaga konsistensi perkembangan pembangunan

14 Buku II Repelita IV Tahun 1983 - 1988 , Bab 18 hal.43315 ibid, hal.44116 Peraturan Menteri Dalam Negeri no. 2/1987 , Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1.

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 9: Seminar Kawasan Terpadu

9

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

wilayah suatu kota pada sebagian atau lebih dari satu daerah otonomi, dengan strategi perkotaan nasional.

2. Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRP), disusun oleh Pemerintah Daerah Kota/kabupaten dan merupakan rencana pemanfaatan ruang kota

3. Rencana Detail Tata Ruang Kota, disusun oleh Pemda Kota/kabupaten, merupakan rencana pemanfaatan ruang kota secara terinci untuk penyiapan perwujudan ruang dalam rangka pelaksanaan program pembangunan kota.

4. Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK), disusun Pemda Kota/kabupaten dan merupakan rencana geometris pemanfaatan ruang kota

Dalam UU 24/1992 maupun UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, rencana-rencana kota tersebut disebut sebagai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan dimulai dari makro (RTRW Nasional) sampai dengan yang lebih mikro (RTRW Propinsi dan Kota/Kabupaten, dst). Sampai dengan pertengahan era tahun ‘90-an, bahkan hingga kini ternyata mayoritas Daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia justru belum memiliki RTRW yang memadai (dalam bentuk Peraturan Daerah). Padahal RUTRK-lah yang seharusnya menjadi acuan perencanaan dan pengembangan perumahan dan permukiman, termasuk kota-kota baru17.

Selain itu, berdasarkan Kepmen.PU No.640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, tiap Kota/Kabupaten haruslah memiliki RDTRK (Rencana Detil Tata Ruang Kota) yang berisi tata guna lahan serta tahapan pelaksanaan pembangunan, yang dilampiri peta rencana ukuran 1 : 5000. Sekurang-kurangnya sebuah kota/kabupaten harus memiliki RUTRK (Rencana Umum Tata Ruang Kota) yang dilengkapi peruntukan ruang kota dengan lampiran peta minimal skala 1 : 20.000. Namun kenyataannya banyak daerah menerbitkan perijinan lokasi berdasarkan hanya Pola Dasar Pembangunan (poldas) yang seringkali hanya berdasarkan peta skala 1 : 100.000. Atau berdasarkan RDTRK tetapi dengan peta peruntukan skala 1 : 50.000. Akibatnya, deviasi sangat mudah terjadi sehingga menimbulkan ketidaksesuaian pelaksanaan pembangunan. Tidak sinkronnya pembangunan infrastruktur antara Pemerintah dan pengembang juga menjadi masalah. Misalnya, perumahan telah mulai dibangun tapi jaringan jalan akses, jaringan drainase, listrik, telekomunikasi dsb belum ada. Pembuangan air terpaksa disalurkan ke jaringan yang ada, sehingga pengembang terpaksa membuat jalur akses atau infrastruktur/utilitas

17 Penelitian yang dilakukan Hinca I.P.Panjaitan, SH - dosen FH Unika Atmajaya – membuktikan bahwa dari 297 Kota/Kabupaten diseluruh Indonesia hanya 8,1% atau 24 Kota/Kabupaten yang memiliki RTRW yang telah di-Perda-kan (J.Tulung, Peranserta Masyarakat & Pengembang Terhadap Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan , makalah pada Diskusi Panel RTH Bid.Pertanian & Kehutanan Pemda DKI, 9 Oktober 2003)

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 10: Seminar Kawasan Terpadu

10

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

sendiri, yang secara otomatis akan meningkatkan development cost serta mempengaruhi harga jual.

Undang-Undang no. 26/2007 tentang Penataan Ruang (pasal 26) menyebutkan bahwa RTRW Kota / Kabupaten menjadi pedoman untuk :

perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang diwilayah Daerah Tk.II

mewujudkan keterpaduan, keterkaitan & keseimbangan perkembangan antar daerah dan antar sektor

penetapan lokasi investasi penyusunan rencana rinci tata ruang

pelaksanaan pembangunan dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan

3.2. Investasi Besar dan Jangka Panjang

Pembangunan Kota Baru dan permukiman Skala Besar bukanlah jenis investasi yang bersifat Quick Yielding (keuntungan dalam jangka pendek). Sebaliknya proyek-proyek seperti ini justru (terutama untuk kondisi di Indonesia) memiliki risiko tinggi dan bersifat jangka panjang. Investasi yang sangat besar terutama Investasi Awal (initial investment) antara lain disebabkan karena tidak siapnya Pemerintah dalam penyediaan berbagai infrastruktur dan utilitas yang sebenarnya menjadi kewajiban Pemerintah. Demi kelangsungan dan keberlanjutan proyek selanjutnya infrastruktur/ utilitas primer dan sekunder tersebut akhirnya menjadi beban pihak swasta.

Demikian juga masih sangat banyak peraturan/perundangan yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada. Antara lain UU no.4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman serta PP 80/1999 tentang Kasiba dan Lisiba BS, yang menentukan bahwa pengelolaan Kasiba hanya dimungkinkan oleh Pemerintah dan dilaksanakan oleh Badan Pengelola (BUMN/BUMD). Padahal tidak ada satupun BUMN/BUMD yang pernah berhasil mengelola Kasiba. Sebaliknya, banyak pengembang swasta sukses membangun dan mengelola kota baru. Disebut berisiko cukup tinggi karena komitmen Pemerintah yang tidak pasti dan peraturan-peraturan yang sering berubah/tidak konsisten.

3.3. Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba)

Undang-Undang no.4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman Bab IV Pasal 18 ayat 1 menyebutkan : Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan kawasan permukiman skala besar yang

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 11: Seminar Kawasan Terpadu

11

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

terencana secara menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan yang bertahap. UU ini dilanjutkan dengan Peraturan Pemerintah no.80 tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri (Lisiba BS).

3.3.1. Definisi Kasiba dan Lisiba/Lisiba BS sesuai PP80/99

Kasiba adalah sebidang tanah yang fisiknya telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dan permukiman skala besar yang terbagi dalam satu lingkungan siap bangun atau lebih yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan lebih dahulu dilengkapi dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan sesuai rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dan memenuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasarana dan sarana lingkungan

Lisiba adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan selain itu juga sesuai dengan persyaratan pembakuan tata lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan pelayanan lingkungan untuk membangun kaveling tanah matang.

Lisiba BS adalah Lisiba yang bukan merupakan bagian dari Kasiba, yang dikelilingi oleh lingkungan perumahan yang sudah terbangun atau dikelilingi oleh kawasan dengan fungsi-fungsi lain.

3.3.2. Kasiba/Lisiba Percontohan

Saat ini Pemerintah sedang menyiapkan 4 lokasi kasiba diberbagai wilayah Indonesia sebagai Kasiba Percontohan yang diharapkan bisa segera dikembangkan baik oleh Pemerintah maupun melalui kerjasama dengan swasta, yaitu :

Kasiba Talang Kelapa di Palembang-Sumatera Selatan Kasiba Marisso di Makassar-Sulawesi Selatan Kasiba Alalak di Banjarmasin-Kalimantan Selatan Kasiba Bumi Penataran di Blitar-Jawa Timur

Bab IVKegagalan dan Keberhasilan Dalam Pembangunan Skala

Besar

Mayoritas para pengembang melaksanakan pembangunan dalam skala kecil hingga menengah. Hal ini terutama disebabkan karena tingkat

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 12: Seminar Kawasan Terpadu

12

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

kesulitan dan risiko yang jauh lebih kecil serta tingkat kepastian perolehan gain lebih tinggi dibandingkan dengan pembangunan skala besar. Bagi Pemerintah Daerah pembangunan perumahan skala kecil dan menengah (terutama skala kecil), perlu diawasi secara lebih teliti mengingat sifatnya yang jangka pendek dan setelah selesai maka sesuai peraturan yang berlaku, berbagai prasarana dan sarana umum diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Pengawasan yang dimaksud terutama menyangkut aspek perijinan & implementasinya. Sedangkan pembangunan perumahan skala besar serta kota-kota baru pada dasarnya harus merupakan suatu pembangunan berkelanjutan baik bagi kesejahteraan masyarakat kota tersebut secara keseluruhan maupun bagi masyarakat kota generasi mendatang. Pelaksanaannya haruslah melibatkan para pihak yang terkait mulai dari tahap awal (Perencanaan) sampai dengan tahap akhir (Pengelolaan). Semakin besar skala proyek perumahan yang dibangun, investasi yang ditanamkan akan semakin besar pula. Investasi yang sangat besar terutama dibutuhkan untuk pengembangan berbagai sarana dan prasarana yang akan mendukung pengembangan dan perkembangan kawasan tersebut, seperti18 :

Investasi untuk pengadaan lahan yang meliputi biaya pembebasan lahan, pembangunan (pematangan) lahan dan pengadministrasian lahan

Investasi dalam pengadaan sarana/fasilitas kota seperti perbelanjaan, hiburan & rekreasi, terminal, pendidikan, kesehatan, peribadatan, balai pertemuan, olahraga, taman kota, jalur pengamanan, jalur pemeliharaan kota dan pekuburan

Investasi dalam prasarana kota seperti berbagai jenis jalan, air bersih, drainase, sanitasi lingkungan, persampahan, listrik, telepon dan gas

Investasi dalam pembangunan perumahan Investasi untuk pemeliharaan guna menjaga eksistensi dan kelanggengan

berbagai komponen kota yang merupakan aset kota/kawasan tersebut

4.1. Proyek Skala Besar yang Gagal

4.1.1.Kasiba Driyorejo

Salah satu proyek pembangunan skala besar dengan konsep kasiba dan merupakan kasiba pertama yang dikembangkan adalah Driyorejo di kabupaten Gresik Jawa Timur, 15 Km disebelah Barat Surabaya dengan luas total kawasan direncanakan sebesar 1.200 Ha. Proyek ini dimotori oleh Perum Perumnas, yang memiliki tanah di kawasan tersebut seluas 203 Ha. Badan Pengelola kasiba Driyorejo dibentuk Perumnas bersama 5 BUMN lainnya dibawah Dep.Pekerjaan Umum. Sejak dikembangkan pada awal era 90’an proyek ini tidak berkembang sebagaimana rancangan awal. Bahkan 18 Djoko Sujarto, Aspek Kepranataan Dalam Pembangunan Kota Baru , Jurusan PW&K FTSP-ITB, 1995

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 13: Seminar Kawasan Terpadu

13

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

masalah pertama yang muncul saat pembangunan adalah bahwa 60% rumah yang telah dibangun tidak bisa terjual kemudian tidak terpelihara hingga rusak dan bahkan dijarah. Hal ini terjadi terutama karena managemen yang tidak kompeten serta strategi marketing yang tidak profesional 19 .

4.1.2.Kota Kekerabatan Maja Pengembangan kota Maja dirancang sejak pertengahan dekade 90an untuk mengantisipasi perkembangan kawasan industri di bagian Barat Jakarta yang pesat dan dinamis. Proyek ini kemudian ditetapkan melalui Kepmenpera no.02/KPTS/M/1998 tanggal 28 Februari 1998 tentang Pembentukan Tim Pembangunan Perumahan dan permukiman Skala Besar Kawasan Maja, Kota Maja.

Rencana luas total adalah + 10.900 Ha yang mencakup bagian dari 3 kabupaten yaitu Kabupaten Lebak (kecamatan Maja), Kabupaten Bogor (kecamatan Tenjo) dan Kabupaten Tangerang (kecamatan Cisoka). Direncanakan akan menampung 2,18 juta jiwa (2025) dengan 545.000 unit rumah yang dikembangkan oleh 24 pengembang.

Krisis perekonomian di tahun 1998 mengakibatkan proyek ini terhenti samasekali, rumah-rumah yang telah terbangun dan sebagian terjual habis dijarah bahkan hingga ke fondasi bangunan sehingga rata dengan tanah.

4.2. Proyek Skala Besar yang Sukses

4.2.1.BSD City (d/h Kota Mandiri Bumi Serpong Damai)

Proyek ini dikembangkan oleh pengembang anggota REI yaitu PT Bumi Serpong Damai, yang merupakan konsorsium 11 perusahaan masing-masing sebagai anak usaha dari 4 kelompok pengembang ternama yaitu Sinar Mas Group, Jaya Group, Salim Group dan Metropolitan Development Group.

BSD merupakan pionir pembangunan skala besar dengan pendekatan kota baru oleh swasta. Pengembangan BSD melalui tahapan panjang yang cukup sulit dan lama. Kawasan kota baru ini mencakup areal seluas 6.000 Hektar yang ketika itu (1984) meliputi bagian dari 2 kecamatan yaitu Serpong dan Legok kabupaten Tangerang. Dirancang sebagai kota terpadu dengan total 135.000 unit hunian dan perkiraan 600.000 penduduk dari berbagai strata masyarakat.

19 Bob Eko Kurniawan M.Irsan, “Kasiba Driyorejo, a Solution to Urban Development-Large Scale Land Management of Urban Areas in East Java” , Dep.Pekerjaan Umum RI.

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 14: Seminar Kawasan Terpadu

14

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

Meskipun perusahaan ini didirikan pada tahun 1984 serta mendapatkan Ijin Prinsip dan Ijin Lokasi pada tahun tersebut, tetapi realisasi pembangunan fisik kota baru tersebut baru bisa dimulai pada tahun 1988/1989. Hal ini terjadi karena ketika dicetuskan, belum ada pranata apapun yang mengatur mengenai pembangunan perumahan skala besar oleh swasta demikian juga RTRW belum ada, sehingga semua ini harus dibuat terlebih dahulu oleh Pemerintah (Pusat, Propinsi & Kabupaten) dan mengakibatkan tertundanya pemberian Ijin Siteplan. Beberapa kegiatan yang menunjang perwujudan pembangunan berwawasan lingkungan yang telah dilaksanakan antara lain :

Konsep Pembangunan Kota Baru yang Mandiri, yang menyediakan kebutuhan warga mulai dari lahir hingga meninggal, sesuai komponen permukiman kota yaitu Wisma, Karya, Marga, Suka dan Penyempurna Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK) baik berupa taman-taman lingkungan sampai dengan pembangunan Hutan Kota. Selain berfungsi sebagai areal penghijauan untuk meningkatkan keteduhan dan menunjang iklim mikro, juga berfungsi untuk meningkatkan peresapan air. Pembuatan Danau Resapan dengan mengubah bekas galian pasir jadi danau : Areal bekas galian pasir yang telah merusak lingkungan, diubah menjadi danau besar di areal padang golf yang sekaligus berfungsi sebagai danau resapan. Pengelolaan Air Bersih dengan system terpusat : adanya jaringan air ke tiap rumah membantu mengurangi pemanfaatan air tanah oleh masyarakat Pengelolaan Sampah dengan cara Daur Ulang maupun Incinerator : sampah dari seluruh kawasan perkotaan dibagi atas sampah organic dan sampah anorganik. Sampah organic didaur-ulang sedangkan sampah anorganik dibakar di insinerator. Kepedulian Sosial dengan menampung pedagang-pedagang kecil melalui Pasar Tradisional dengan konsep modern dan Taman Jajan Konsep hunian berimbang : BSD merupakan pelopor penerapan konsep hunian berimbang dengan perimbangan antara hunian besar : menengah : kecil sesuai ratio 1 : 3 : 6. Saat ini pembangunan kelompok 6 (rumah kecil/murah) sudah tidak dimungkinkan lagi mengingat harga tanah yang sudah terlalu tinggi. dsb

Sesuai Peraturan Daerah no.4/1989 tentang RUTRK Serpong maka Serpong dirancang menjadi sebuah kota yang mandiri sehingga akses ke Jakarta dirancang terutama akan mengandalkan jalan tol serta kereta api. BSD ketika itu merupakan investor swasta pertama di Indonesia di bidang jalan tol, tetapi perijinan yang berkepanjangan sejak tahun 1988 dan hampir

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 15: Seminar Kawasan Terpadu

15

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

sepuluh tahun kemudian bisa diperoleh dan dimulai dilaksan. Demikian pula dalam hal peningkatan kualitas dan kuantitas kereta api ke Jakarta.

Dengan berbagai kendala dan permasalahan yang dihadapi, pengembang tersebut berhasil mengembangkan proyek kota baru BSD hingga terwujud sebagaimana sekarang.

4.2.2.Kota Lippo Karawaci

Selain sukses dalam pembangunan fisik, salah satu keunggulan proyek Lippo Karawaci adalah dalam hal pengelolaan kota tersebut. Seharusnya pengelolaan perumahan skala besar/kota dilaksanakan oleh sebuah “Badan Pengelola Kota” yang profesional dan punya kewenangan yang memadai untuk mengelola kota baru tersebut. Pada kenyataannya swasta sering mengalami masalah karena hal ini tidak di-antisipasi secara baik oleh pemerintahan yang berwenang (mulai dari Pemerintah Pusat sampai dengan Kota/Kabupaten).

Saat berbagai proyek skala besar telah menyerahkan pengelolaan kota tersebut (sebagian atau seluruhnya) kepada Pemerintah Kota/kabupaten, di Lippo Karawaci pengelolaan kota justru sepenuhnya dilaksanakan oleh swasta. Organisasi pengelola kota (town management) yang sepenuhnya masih dilaksanakan oleh pengembang proyek kota baru Lippo Karawaci adalah seperti yang tampak pada Diagram 1.

Diagram 1 :Town Management Division Lippo Karawaci (th.2000)20

TOWN MANAGER

Head of Division

Protective Services

EnvironmentCity

EngineerMunicipal

AffairsFinance

- security - landscape - road/drains - building control/ - budget

- fire - street cleaning - electricity/str.lights guidelines - preparation/control

20 Benton, Gordon G., Concept of Town Management at Lippo Karawaci, makalah pada pertemuan Forum Komunikasi Kota Baru, Jakarta 28 Juli 2000

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 16: Seminar Kawasan Terpadu

16

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

- ambulance - rubbish collection/ - telephone/TV - GIS / database - rates appraisal/- traffic control recycling - water/sewerage/ - publications / PR billing control- communications - pest control recycling - government relations

- complaints desk

Departemen-departemen yang ada ini dapat terus dikembangkan seiring dengan perkembangan kota tersebut dan kebutuhan yang ada, sedangkan bidang-bidang lain masih berada pada induk perusahaan.

4.2.3.Prinsip-prinsip Dalam Usaha Real-estat

Ada banyak sekali proyek-proyek pengembangan perumahan dan permukiman dalam skala besar yang dilaksanakan para pengembang anggota REI dan sukses dalam pengembangannya.

Mengingat investasi yang besar tersebut, diperlukan pertimbangan ekonomi dan berbagai pertimbangan lainnya yang menyangkut pembangunan proyek properti tersebut. Pembangunan perumahan dan permukiman oleh swasta didahului oleh suatu studi kelayakan yang didasarkan pada berbagai asumsi, kondisi maupun rencana-rencana Pemerintah yang ada dan sudah disahkan. Rencana pembangunan oleh para pengembang tersebut juga menjadi dasar pembuatan Cash flow perusahaan, baik penerimaan (dari ekuiti, pinjaman, hasil penjualan dll) maupun pengeluaran (biaya pembangunan, OHC, pajak, bunga dsb). Bila terjadi distorsi terhadap rencana Pemerintah, otomatis akan mempengaruhi cash-flow tersebut.

Pembangunan yang dilaksanakan oleh perusahaan pengembang - baik swasta, Pemerintah maupun koperasi/ masyarakat - sebagai sebuah bidang usaha haruslah memenuhi prinsip-prinsip dalam usaha real estat yaitu antara lain 21 :

1. Prinsip “Highest and Best Used”

Orientasi pengembangan usaha pembangunan perumahan tersebut secara keseluruhan bertujuan menghasilkan nilai guna tertinggi dan terbaik yang menghasilkan nilai tambah. Agar bisa menghasilkan keuntungan dari hasil pengembangan tersebut perlu diperhatikan berbagai hal antara lain :

pemilihan jenis investasi yang tepat penggunaan optimasi lahan penggunaan dana yang efektif dan wajar pengelolaan yang efisien sistem kontrol yang menerus

21 J.S.Andidjaja,SH,MH, Aspek Hukum Dalam Proses Pembangunan Real Estat, Jurnal Real Estat, Vol.1 No.1, Januari 2000

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 17: Seminar Kawasan Terpadu

17

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

2. Prinsip “Economic of Scale”

Usaha pembangunan perumahan pada dasarnya melibatkan berbagai disiplin ilmu serta bidang terkait, mulai dari kegiatan yang terkait dengan pertanahan, perencanaan, pembangunan/konstruksi, pemasaran, pengelolaan, keuangan dsb. Agar bisa menekan harga satuan produk (unit cost) serendah mungkin tanpa mengurangi kualitas dan kuantitas, maka skala pengembangan harus ditingkatkan untuk mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dari segi : waktu, biaya dan tenaga.

3. Prinsip “Cost and Benefit”

Prinsip biaya dan manfaat berarti bahwa setiap pengeluaran biaya tertentu haruslah menghasilkan manfaat yang lebih besar dari biaya yang dikeluarkan tersebut. Orientasi kegiatannya adalah dengan secara terus menerus mengupayakan inovasi-inovasi dalam seluruh kegiatan, baik perencanaan, pemasaran, pengelolaan dsb.

4. Prinsip Biaya Tinggi dan Penggunaan Hutang

Pembangunan perumahan dan permukiman, terutama dalam skala besar membutuhkan biaya investasi yang besar pula. Untuk membiayai investasi yang besar tersebut digunakan tidak hanya dana yang tersedia (availlable funds), tetapi juga dana yang memungkinkan (possible funds).

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 18: Seminar Kawasan Terpadu

18

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

Bab IVKENDALA DAN PERMASALAHAN

4.1. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Sesuai UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, dibutuhkan adanya RTRW bagi setiap wilayah terutama yang akan dikembangkan. RTRW menjadi acuan untuk pembuatan rencana-rencana yang lebih mikro disuatu wilayah termasuk rencana pembuatan jaringan jalan, jaringan air bersih, jaringan air limbah, jaringan drainase dll. Yang menjadi masalah adalah bahwa banyak daerah kota atau kabupaten yang belum memiliki RTRW yang cukup rinci dan sah, sehingga menyulitkan bagi para pengembang untuk mensinkronkan rencana pengembangan PSU. Seyogyanya Pemerintah Daerah memberikan perhatian khusus dan prioritas pada pembuatan RTRW yang sekaligus dapat menjadi acuan rencana investasi bagi para investor yang diharapkan masuk ke daerah.

4.1.1. Ketiadaan RTRW yang Rinci dan Sah

Mayoritas daerah kota/kabupaten di Indonesia ternyata belum memiliki RTRW yang cukup rinci serta telah sah secara hukum dalam bentuk Perda sehingga memiliki kekuatan hukum 22.

4.1.2. Program dalam RTRW Yang Tidak Dilaksanakan

Selain ketiadaan RTRW yang sah, dalam berbagai kasus ternyata kesulitan pengembangan proyek oleh para pengembang juga disebabkan karena tidak dilaksanakannya pengembangan berbagai prasarana dan utilitas sesuai program yang tercantum dala RTRW baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnua.

4.2. Kurangnya Investasi Pemerintah untuk Pengadaan PSU

Pemerintah Pusat maupun Daerah perlu lebih meningkatkan investasinya dalam pengadaan PSU baik di perkotaan maupun di pedesaan. PSU termasuk

22 Penelitian yang dilakukan Hinca I.P.Panjaitan, SH - dosen FH Unika Atmajaya – membuktikan bahwa dari 297 Kota/Kabupaten diseluruh Indonesia hanya 8,1% atau 24 Kota/Kabupaten yang memiliki RTRW yang telah di-Perda-kan (J.Tulung, Peranserta Masyarakat & Pengembang Terhadap Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan , makalah pada Diskusi Panel RTH Bid.Pertanian & Kehutanan Pemda DKI, 9 Oktober 2003)

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 19: Seminar Kawasan Terpadu

19

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

juga jalan merupakan hal-hal yang dikeluhkan oleh para pebisnis baik dari Indonesia maupun asing. Sesuai perundangan yang berlaku maka sebenarnya penyediaan PSU merupakan kewajiban Pemerintah. Dalam kenyataannya, berbagai infrastruktur dan utilitas dasar terpaksa harus diadakan dan dikelola oleh pengembang. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap development costs yang pada akhirnya mempengaruhi harga jual tanah. Selain itu keberadaan berbagai infrastruktur wilayah juga terus mengalami penurunan baik secara kualitas maupun kuantitas, terutama dimusim hujan. Survai yang dilakukan Asian Intelegence terhadap expatriate yang bekerja di 12 negara, yang dikeluarkan oleh Political and Economic Risk Consultancy Ltd. memberikan rating kualitas infrastruktur terrendah pada Indonesia, padahal kualitas infrastruktur suatu negara berbanding lurus dengan tingkat perekonomian negara itu23

Tabel 4Peringkat Daya Saing Infrastruktur

NEGARAPERINGKAT DAYA SAING INFRASTRUKTUR

2002 2001 2000 1999 1998USA 1 1 1 1 1

FINLANDIA 2 2 2 2 3SWEDIA 3 3 7 7 11SWISS 5 9 6 5 6

SINGAPURA 7 5 3 3 2JEPANG 16 19 15 14 17

MALAYSIA 26 38 32 28 24KOREA 28 34 28 39 38CINA 35 39 34 35 30

THAILAND 38 40 37 38 41FILIPINA 44 41 41 33 35

INDIA 47 45 43 44 43POLANDIA 48 48 40 42 45INDONESIA 49 49 47 47 44

Sumber : Kodoatie, Robert J. Ph.D, Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur, Jakarta Agustus 2003.

Pembangunan perumahan dan permukiman amat sangat tergantung dari keberadaan prasarana wilayah, sementara pembiayaan infrastruktur oleh pemerintah justru setiap tahun cenderung menurun. Sebagaimana diakui oleh Pusat Kajian Strategis Departemen Pekerjaan Umum24 : “Pembiayaan infrastruktur cenderung terus turun. Tahun 1993/94 mencapai 5,34% dari PDB, untuk 2002 hanya 2,33% padahal kebutuhannya adalah sebesar 5%”

23 Kodoatie, Robert J. Ph.D, Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur, Jakarta Agustus 2003.24 Harian “Seputar Indonesia” , 17 Maret 2006

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 20: Seminar Kawasan Terpadu

20

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

Tabel 5Kebutuhan Investasi Prasarana Perkotaan Dalam REPELITA VI

NOPRASARANA PERKOTAAN

AKHIR REPELITA VI (Rp.triliun)KEBUTUHA

NKEMAMPUA

NBEDA

1 AIR BERSIH 11,00 8,00 (72%) 3,002 PERSAMPAHAN 2,11 1,03 (48%) 1,083 AIR LIMBAH 2,53 1,20 (47%) 1,334 DRAINASE 2,65 1,70 (64%) 0,955 KIP/MIIP 2,44 1,13 (46%) 1,316 JALAN KOTA 9,37 8,08 (86%) 1,29

J U M L A H 30,10 21,14 8,96% 100 70,2 29,8

Sumber : Ditjen.Cipta Karya-Dep.Pekerjaan Umum RI, 1993

4.3. Teknologi Sebagai Solusi, tetapi kurang ditanggapi

Pada dasarnya berbagai permasalahan lingkungan dapat diatasi dengan teknologi. Sayangnya, seringkali para pelaku pembangunan menemui kesulitan untuk mendapatkan persetujuan/perijinan bila memperkenalkan teknologi atau kiat yang baru, sehingga sulit mengubah standar lama yang telah tertinggal. Beberapa kasus misalnya seperti kasus perijinan pembangunan skycraper (gedung pencakar langit), kasus pembangunan Rusunami yang terlambat, utilitas underground, dsb.

4.4. Perubahan Peraturan

Perubahan peraturan yang kadang-kadang belum sempat diterapkan telah diubah kembali, sangat menyulitkan untuk membuat perencanaan jangka panjang. Padahal usaha pembangunan perumahan – terutama yang berskala besar – adalah jenis usaha jangka panjang yang sangat membutuhkan konsistensi peraturan sehingga bisa dibuat perencanaan dan perhitungan jangka panjang. Atau sebaliknya, perubahan yang diharapkan terhadap sebuah peraturan, tidak kunjung dilaksanakan sehingga justru menjadi kontra-produktif. Perubahan peraturan sebaiknya memperhatikan kepentingan stake holder, termasuk para pelaku usaha.

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 21: Seminar Kawasan Terpadu

21

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

4.5. Koordinasi dan Sinkronisasi

Salah satu kelemahan dalam pembangunan yang terjadi di Indonesia adalah masalah koordinasi dan sinkronisasi. Akibat kelemahan tersebut terjadi kesia-siaan yang tidak perlu, seperti jalan yang telah dibangun kemudian digali ulang, demikian juga sinkronisasi antar rencana pembangunan yang sering tidak terjadi sehingga menyulitkan dikemudian hari.

4.6. Keamanan, Ketertiban dan Penegakan Hukum

Reformasi yang ‘kebablasan’ telah mengakibatkan terjadinya ekses-ekses yang sangat merugikan. Pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan, penyerobotan tanah, perusakan milik orang lain, pencurian, perampokan, kini terjadi dimana-mana seolah-olah hukum sudah tidak berlaku. Tidak adanya penegakan hukum dan tindakan segera saat terjadinya pelanggaran, menyebabkan para pelanggar hukum semakin tidak peduli.

4.7. Pajak , Retribusi dan Pungutan

Diberlakukannya UU 22/99 tentang Otonomi Daerah diberbagai daerah diinterpretasikan secara salah bahkan dianggap memberi kekuasaan kepada daerah untuk memungut pajak setinggi-tingginya dan menetapkan obyek pajak sebanyak-banyaknya. Sejak pemberlakuan UU tersebut pada tanggal 1 Januari 2001, berbagai pajak dan retribusi bermunculan. Dalam jangka pendek hal ini mungkin dapat membantu Pemda dalam perolehan PAD, tetapi bisa dipastikan bila ini terus berlanjut maka para investor akan lari dari daerah tersebut dan menanamkan modalnya di daerah lain yang memiliki aturan dan kemudahan yang lebih baik.

Pengamat ekonomi Agus Widarjono25 mengungkapkan bahwa relokasi investor asing keluar Indonesia merupakan akumulasi kekecewaan mereka atas kondisi investasi di Indonesia seperti perburuhan, birokrasi pemerintah, aneka pungutan, perpajakan dsb. Mulai dari Prapembangunan, masa pembangunan hingga Pasca Pembangunan, berbagai pungutan harus dikeluarkan seperti Ijin Prinsip, Ijin Lokasi, IMB, uang partisipasi pembangunan, Iuran Anggaran Penerimaan & Pengeluaran Desa, sumbangan keamanan Koramil maupun Polsek, sumbangan Hari Raya dsb.

25 Harian Jurnal Nasional, 23 Januari 2007

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 22: Seminar Kawasan Terpadu

22

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

Mantan Menaker Bomer Pasaribu pernah mengemukakan bahwa pungutan tak resmi ini bisa mencapai 40% total biaya produksi26

Masalah perpajakan menjadi salah satu keluhan sebagai penyebab kurang kondusifnya iklim usaha di Indonesia, apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara pesaing. Sebagaimana diungkapkan oleh Tadashi Okamura27 - Presiden Direktur Toshiba dari Jepang : “Berbagai masalah yang berkaitan dengan investasi harus segera dibenahi Indonesia, misalnya keamanan, hukum, pajak, tenaga kerja, infrastruktur, listrik dll yang berkaitan dengan usaha serta bisnis investor asing”.

Berkaitan dengan hak/kepemilikan atas tanah, di Indonesia dikenakan berbagai jenis pajak yang sangat memberatkan dan merupakan sebuah masalah lain yang mengurangi daya saing Indonesia di banding negara-negara lain. Akibatnya pembelian properti oleh orang asing di Indonesia sangat sedikit, sebaliknya justru sangat banyak warga Negara Indonesia yang membeli properti di negara lain seperti Singapura, Malaysia, Australia, dsb. Pembelian properti di Indonesia dikenakan berbagai pajak a.l. : PPN, BPHTB, PPh, PPN BM, PBB, dll. Sementara sebagai pembanding di Malaysia dan Singapura tidak ada capital gain untuk tanah. Yang ada adalah Stamp Duty (semacam biaya meterai) yang besarnya dihitung secara progresif tergantung nilai transaksi, mulai dari 1%.

4.8. Dana Murah Untuk Swasta

Pada umumnya para pengembang membangun dan mengembangkan proyeknya dengan pinjaman dari bank yang dikenakan bunga komersil. Untuk menekan cost of money dan development cost tersebut, seyogyanya para pengembang juga diberi akses kepada dana murah untuk infrastruktur/utilitas seperti yang diperoleh Pemerintah untuk pengembangan kegiatan yang sama.

4.9. Standardisasi

Hingga saat ini tidak ada standard ukuran baku yang dijadikan acuan dalam pembuatan komponen bangunan tertentu seperti kusen dsb. Standardisasi bisa sangat menghemat pemborosan pemanfaatan sumber daya alam yang semakin langka dan mahal. Dalam pembangunan skala besar terutama untuk rumah-rumah kecil (RsH) seharusnya diberlakukan sistem Modular pada beberapa komponen rumah seperti kusen pintu,

26 ibid27 Kompas, 9 April 2003

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 23: Seminar Kawasan Terpadu

23

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

jendela dsb sehingga bisa diproduksi secara massal dengan biaya yang lebih murah.

4.10. Insentif dan Disinsentif

Pemberian insentif bagi pelaku pembangunan yang melaksanakan berbagai peraturan dan kebijakan dengan baik sedangkan disinsentif dapat mengurangi terjadinya pelanggaran.

4.11. Kemudahan Perijinan dan Ekonomi Biaya Tinggi

Banyaknya jenis perijinan serta lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengurus perijinan tersebut menjadi keluhan para pelaku pembangunan, terutama pihak swasta.

Tabel 6Jumlah Hari Mendapatkan Ijin

Ijin Lingkungan Hidup 43

IMB 35

Ijin Lokasi 34

Ijin Prinsip 27

Ijin Gangguan 25

Ijin Keselamatan Kerja

16

Sumber : Studi LPEM-FEUI, 2005

‘High Cost Economy’ juga masih menjadi salah satu kendala utama dalam pembangunan perumahan dan permukiman, yang selanjutnya berdampak pada harga jual rumah. Salah satu daya tarik utama yang bisa ‘dijual’ oleh Pemda dalam rangka menarik investor adalah mudah dan ‘murah’ nya pengurusan dan biaya perijinan.

Tabel 7INDIKATOR KEMUDAHAN MELAKUKAN BISNIS

NEGARA JML.PROSEDU

JUMLAHHARI

BIAYA* MODALMINIMUM*

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008

Page 24: Seminar Kawasan Terpadu

24

Ditjen.Penataan Ruang-Dep.PU DPP-RealEstat Indonesia

RBANGLADES 8 35 91.0 0.0KAMBOJA 11 94 480.1 394.0CHINA 12 41 14.5 1104.2HONGKONG 5 11 3.4 0.0INDIA 11 89 49.5 0.0INDONESIA 12 151 130.7 125.6KOREA SELATAN 12 22 17.7 332.0LAOS 9 198 18.5 28.5MALAYSIA 9 30 25.1 0.0FILIPINA 11 50 19.5 2.2SINGAPORE 7 8 1.2 0.0SRILANGKA 8 50 10.7 0.0TAIWAN 8 48 6.3 224.7THAILAND 8 33 6.7 0.0VIETNAM 11 56 28.8 0.0

Sumber : Laporan Bank Dunia, 2005 * % dari pendapatan/kapita

---------- RealEstat Indonesia ----------

Seminar “Penataan Kawasan Terpadu”, Four Season Hotel Jakarta – 9 Desember 2008