Selamat tinggal gajah duduk

6
Selamat Tinggal Gajah Duduk Kita dilahirkan tanpa meminta, kita terlahir atas keputusan-Nya. Lantas, apa tujuan hidup kita yang sebenarnya? Apa yang Dia inginkan dari kita? Iqra, hanya sepenggal dari kata itu aku tau bahwa Tuhan yang ku percaya menyuruh para hambanya untuk belajar. Science adalah pelajaran yang sifatnya mutlak, aku lebih suka yang pasti tetapi bukan berarti membenci social. Banyak yang membenci fisika, tapi tidak dengan aku, mencintai fisika adalah suatu hal yang tepat. Kejadian dan fakta yang fisika utarakan akan sama dengan pernyataan dari Al-qur’an. Menekuni karena mencintainya sungguh menyenangkan. Menjalani tanpa paksaan .adalah anugerah. Sungguh tak ada pengkhianatan yang ingin aku lakukan. Aku yakin bahwa suatu saat nanti usuha untuk membanggakan kedua orang tua melalui kecintaan ku terhadap fisika akan tercapai. Di SMA ini sudah ku berikan beberapa penghargaan dan sebagaian besar dari fisika. Beberapa kali aku mengikuti olimpiade fisika dan pulang tanpa tangan kosong, minimal tingkat nasional pernah aku kantongi. Siapa yang tak bangga dengan diriku? Kebanggaan dari orang tua sudah kudapatkan, sekolah sangat bangga atas prestasi ku, dan sekarang universitas mana yang tak tahu diriku? Semua telah mengenal aku, aku sang ahli fisika dengan umur yang masih muda, ya sangat muda bahkan jika dibandigkan dengan teman seangkatan. Saat aku masih duduk dibangku 2 SMA sudah banyak yang menawari untuk kuliah di universitas, baik swasta maupun negeri. Berbagai beasiswa pun selalu mengalir di depan, aku telah memiliki masa depan yang jelas dan tujuan yang pasti. Saat aku duduk di kelas 3, semua universitas mengetahui bahwa aku akan lulus. Mereka berlomba-lomba mengirimi ku surat berisi ajakan untuk berabung di kampusnya. Aku senang, karena ini adalah modal utama aku kuliah dengan gratis dan di kampus yang terkenal. Jaman ku adalah jaman dimana belum ada ukt, semua masih serba mahal apalagi untuk ukuran keluarga ku. Ayah dan ibu tak pernah menyuruh aku untuk ini atau untuk itu, mereka membebaskan aku untuk memilih masa depan apa yang ingin aku jalani. “Apa ada biayanya untuk semuanya?” pertanyaan yang sering aku lontarkan ke ayah. “Allah kan yang ngasih, gak usah dipikirin biaya. Bilang aja totalnya berapa nanti diusahakan” jawab ayah yang entah dari mana pasti menenangkan. Memang betul jika aku gak perlu khawatir karena

Transcript of Selamat tinggal gajah duduk

Page 1: Selamat tinggal gajah duduk

Selamat Tinggal Gajah Duduk

Kita dilahirkan tanpa meminta, kita terlahir atas keputusan-Nya. Lantas, apa

tujuan hidup kita yang sebenarnya? Apa yang Dia inginkan dari kita? Iqra, hanya

sepenggal dari kata itu aku tau bahwa Tuhan yang ku percaya menyuruh para

hambanya untuk belajar. Science adalah pelajaran yang sifatnya mutlak, aku lebih

suka yang pasti tetapi bukan berarti membenci social. Banyak yang membenci fisika,

tapi tidak dengan aku, mencintai fisika adalah suatu hal yang tepat. Kejadian dan

fakta yang fisika utarakan akan sama dengan pernyataan dari Al-qur’an.

Menekuni karena mencintainya sungguh menyenangkan. Menjalani tanpa

paksaan .adalah anugerah. Sungguh tak ada pengkhianatan yang ingin aku lakukan.

Aku yakin bahwa suatu saat nanti usuha untuk membanggakan kedua orang tua

melalui kecintaan ku terhadap fisika akan tercapai.

Di SMA ini sudah ku berikan beberapa penghargaan dan sebagaian besar dari

fisika. Beberapa kali aku mengikuti olimpiade fisika dan pulang tanpa tangan kosong,

minimal tingkat nasional pernah aku kantongi. Siapa yang tak bangga dengan diriku?

Kebanggaan dari orang tua sudah kudapatkan, sekolah sangat bangga atas prestasi ku,

dan sekarang universitas mana yang tak tahu diriku? Semua telah mengenal aku, aku

sang ahli fisika dengan umur yang masih muda, ya sangat muda bahkan jika

dibandigkan dengan teman seangkatan. Saat aku masih duduk dibangku 2 SMA

sudah banyak yang menawari untuk kuliah di universitas, baik swasta maupun negeri.

Berbagai beasiswa pun selalu mengalir di depan, aku telah memiliki masa depan

yang jelas dan tujuan yang pasti.

Saat aku duduk di kelas 3, semua universitas mengetahui bahwa aku akan lulus.

Mereka berlomba-lomba mengirimi ku surat berisi ajakan untuk berabung di

kampusnya. Aku senang, karena ini adalah modal utama aku kuliah dengan gratis dan

di kampus yang terkenal. Jaman ku adalah jaman dimana belum ada ukt, semua

masih serba mahal apalagi untuk ukuran keluarga ku. Ayah dan ibu tak pernah

menyuruh aku untuk ini atau untuk itu, mereka membebaskan aku untuk memilih

masa depan apa yang ingin aku jalani. “Apa ada biayanya untuk semuanya?”

pertanyaan yang sering aku lontarkan ke ayah. “Allah kan yang ngasih, gak usah

dipikirin biaya. Bilang aja totalnya berapa nanti diusahakan” jawab ayah yang entah

dari mana pasti menenangkan. Memang betul jika aku gak perlu khawatir karena

Page 2: Selamat tinggal gajah duduk

masih ada beasiswa, tapi apa hanya aku siswa yang tak mampu? Aku rasa siswa tak

mampu di Indonesia itu jumlahnya banyak dan aku harus bersaing dengan mereka.

Setiap seperempat malam aku memohon agar aku diberi kejelasan atas apa yang

harus aku jalani. Salah satu surat sampaidi rumah, isinya adalah penawaran beasiswa

Rp 100 juta dari ITB. Siapa yang bisa nolak penawaran itu? Semua sudah

ditanggung, yang aku jalani hanya belajar. Urusan makan, laundry, perlengkapan

kuliah sudah ada yang mengatur. Dapat bangku kuliah gratis, urusan secara finansial

gak ada masalah, kuliah di ITB pula. Allah gak pernah tidur itu benar, sekarang

terbukti.

Di dunia ini tak ada yang gratis kecuali bernapas. Untuk mendapatkan beasiswa

itu pun aku harus di training selama tiga bulan, walaupun secara status masih anak

SMA kelas 3, belum UN apalagi lulus. Menjalani bulan pertama aku kaget, karena

suasana dan atmosphere di ITB itu jauh berbeda dengan sekolah. Setiap pagi selalu

sarapan dengan soal olimpiade bertaraf nasional. Disambung dengan soal olimpiade

dari negara lain. Setiap hari seperti itu, tapi ajaibnya aku dan teman-teman gak ada

yang mengalami turun berat badan justru sebaliknya. Kita juga disuapi dengan

makanan yang berlimpah, gak ada yang namanya makanan gak sehat di sana.

Maka nikmat mana Ku lah yang kau dustai, salah satu kalimat Al-qur’an yang

benar maknanya. Lulusan ITB jelas arahnya kemana, penerima beasiswa

mendapatkan layanan yang memuaskan, dan yang aku tahu hanya belajar tanpa

memikirkan apapun. Kurang apalagi? Harusnya aku senang, tapi kenapa hati ini

gundah? Aku tahu bahwa ibu di rumah sedang sakit keras, tapi aku melakukan ini

untuknya. Aku yakin dengan aku bersekolah disini bisa ia ditangani dengan tepat.

Hanya butuh satu bulan lagi aku bisa lulus, tapi hati aku gak kuat. Aku putuskan

untuk berhenti.

Peraturan beasiswa itu tak berat, hanya harus mengikuti training selama tiga

bulan full. Tapi apa daya aku hanya bisa menjalani selama dua bulan dan sudah

dipastikan aku tidak diterima beasiswa itu. Rasa kecewa dan menyesal selalu

menyelimutiku. Aku tahu bahwa keputusan ini aku ambil tanpa campur orang luar,

ini murni aku yang membuatnya. Semua menyayangkan keputusan ku, apakah salah

jika aku memilih merawat ibu ku? Apakah salah jika aku memilih memutuskan

pendidikan hanya untuk orang yang sudah berjuang selama ini? Tak ada yang

mengerti maksud dan tujuan aku, mereka tidak lagi ada diposisi ku berada. Tutup

Page 3: Selamat tinggal gajah duduk

kuping, tutup mata fokuskan semuanya pada satu titik, ibu.

Berniat satu tahun untuk fokus ke ibu, tetapi Allah selalu saja menguji ku.

Tawaran beasiswa tetap mengalir bahkan masa perkuliahaan telah dimulai. Akhirnya

aku memutuskan kuliah di salah satu universitas swasta. Hanya bertahan beberapa

bulan, setelah itu aku keluar. Lagi-lagi karena ibu, aku tidak bisa membagi waktu

dengan baik. Tak ada yang bisa membujuk ku untuk tetap kuliah, bahkan ayah

sendiri. Mengulang tahun depan dengan diselingi les adalah keputusan ku.

Siapa yang tak kecewa dengan keputusan ku? Ayah ku merasa gagal membawa

anaknya sekolah ke jenjang yang lebih tinggi darinya. Aku pun terpuruk dengan

keputusan sendiri, tapi aku sudah bertekad inilah jalan yang Allah kasih untuk aku.

Tahun pengulangan ini aku fokuskan untuk ibu dan pendidikan. Pagi mengurus ibu,

siang les, dan malam waktunya belajar ditemani ibu. Ibu hanya bisa tidur, semua

dilakukan di satu tempat. Bukan saatnya untuk menyerah dan surut semangat, ini

saatnya untuk tunjukkan ke semuanya kalau aku bisa dari yang mereka bayangkan.

Tak ada yang mengetahui keberadaan aku sekarang, teman-teman tak bisa

melihat keadaan aku tetapi aku bisa melihat mereka semua. Handphone rusak, sosial

media di hack, rumah pindah, tak ada maksud untuk memutuskan silahturahmi tapi

ini adalah jalan yang Allah kasih, Allah memang baik. Di tahun ini aku tetap mencari

beasiswa untuk meringankan ayah. Aku yakin tahun ini ibu bisa sembuh dan aku bisa

kuliah dengan baik.

Delapan terakhir di bulan Ramadan adalah malam yang sangat baik untuk

berdo’a. Benar saja, ibu yang selama delapan bulan ini di katakan koma akhirnya

sadar, makan yang banyak, dan cuma tinggal jalan yang harus di lancarkan. “Kamu

kuliah dimana saja sama. Jangan jadi pemilih, ambil jurusan yang kamu suka. Ibu

sudah cape, kamu belajar yang benar ya” perkataan ibu yang tiba-tiba di tengah

keributan adik-adik ku membuat aku kaget. Gimana tidak, selama ini ia tidak

sadarkan diri, bahkan dokter pun sudah menyatakan dirinya koma, tetapi kenapa ia

tahu? Apa ini yang namanya ikatan batin antara ibu dan anak?

Tanggal pengumuman sudah keluar beberapa hari kemarin, tapi tak ada satupun

yang aku ambil. Semua terletak di biaya, memang aku mendapat beasiswa tapi apa

daya jika jurusan yang aku dapatkan adalah paralel? Sedikit rasa penyesalan

menyelimuti. Presiden BEM UI, orang yang sangat berpengaruh di ITB, UGM, dan

beberapa universitas lainnya karena kekritisannya mendatangi ku untuk membujuk

Page 4: Selamat tinggal gajah duduk

mengambil penerimaan itu. Ia pun tak bisa berkata apa-apa ketika masalahnya

terletak di biaya, sempat menawari di biaya BEM tapi kami tidak bisa menjamin bisa

membayarnya tepat waktu.

Tak hanya UI, Presiden BEM UNJ juga mendatangi ku. Melakukan hal yang

sama dengan UI, hanya saja penawaran yang ditawarkan UNJ jauh lebih baik

daripada UI.

Beberapa hari kedatangan para presiden dari masing-masing universitas, kami

dikejutkan dengan kesehatan ibu yang tiba-tiba drop. Gak ada yang tahu penyebab

pastinya, tanggal 2 hari jumat pukul 03.00 pagi ibu meninggalkan kami semua. Siapa

yang menyangka kalau saat malamnya tak terjadi apa-apa? Beliau sehat, hanya

tinggal jalan yang harus di lancarkan tapi kenyataan dan keputusan Allah adalah

mutlak. Teringat dengan perkataannya beberapa hari lalu, merasa bodoh sekali karena

tidak menyadari kalimat yang penuh arti itu.

Ayah menyanggupi pembiayaan dari UNJ, dan akhirnya aku mengambil UNJ.

Pendidikan Fisika gelar yang aku terima. Empat tahun kuliah disana tak terasa,

sekarang aku sudah mendapat gelar dan mengajar di beberapa sekolah dan bimbel.

Keinginan ibu untuk aku kuliah sudah tercapai, menenangkan hati ayah bahwa

dirinya tak gagal pun sudah tercapai.

Setiap kejadian ada hikmahnya, cerita, dan ada maksudnya itu benar. Seandainya

aku ambil ITB mungkin aku akan menyesal seumur hidup karena tak bisa

merawatnya setahun ini, jika aku mengambil beasiswa kedokteran mungkin aku akan

menangis terus karena teringat mendiang ibu. UNJ bukan universitas terkenal seperti

UI tapi jika aku tetap di UI mungkin aku tidak akan bisa berkumpul dengan orang-

orang hebat yang ada di ITB, UI, UGM dalam perkumpulan yang diadakan UNJ. Jadi

guru tidak sehebat ilmuan yang bisa S2 di luar negeri seperti halnya teman-teman

seperjuangan beasiswa ITB tapi dengan jadi guru aku bisa mencetak anak-anak hebat

penerus bangsa seperti teman-teman ku dan dengan jadi guru aku bisa tertawa

melihat tingkah mereka.

Semua pendidikan pada dasarnya baik, semua universitas pada dasarnya

mengajarkan kebaikan dan pengabdian kepada bangsa. Semua tergantung gimana niat

dan cara kita untuk meraih semua itu. Tidak perlu berkumpul di tempat hebat untuk

bisa berdiskusi dengan orang hebat. Cukup tingkatkan potensi, maka dimana pun kita

berada potensi kita tetap terlihat dan bukan kita yang mencari orang hebat tetapi

Page 5: Selamat tinggal gajah duduk

orang hebat itu lah yang mencari kita.

Page 6: Selamat tinggal gajah duduk

orang hebat itu lah yang mencari kita.