Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

70
Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat : Idealisme Pendidikan Oleh : Drs. Rum Rosyid, MM KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA

Transcript of Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

Page 1: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat : Idealisme Pendidikan

Oleh : Drs. Rum Rosyid, MM

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2010

Page 2: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

Daftar Isi 2

Pengantar 3

Pendahuluan 4

Agenda Reformasi Sistem Pendidikan Nasional 6

Visi Pendidikan Multikultur 14

Menumbuh Kembangkan Eksistensi Manusia 16

Pendidikan Terpadu: Sebuah harapan 19

Kebijakan Pendidikan : intervensi pemerintah dalam pendidikan 25

Kualitas Pembelajaran : Inti reformasi pendidikan 26

Cara Pandang Interaktif terhadap Kualitas Output 32

Guru sebagai Agen Perubahan 36

Mentalitas Wiraswasta : Sebagai Tantangan 38

Kepustakaan 40

2

Page 3: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

Pengantar

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan karya

tulis sebagai upaya untuk memahami fenomena pendidikan ditanah air Indonesia.

Fenomena pendidikan yang terjadi merupakan produk kebijakan pendidikan yang

berlangsung sepanjang usia suatu bangsa. Disadari atau tidak seluruh kebijakan

pendidikan akan menghasilkan suatu bentuk peradaban baik yang carut-marut maupun

sistematis. Dengan demikian kesinambungan suatu kebijakan adalah suatu kemestian

agar proses perubahan selalu taat asas.

Menyaksikan seluruh fenomena pendidikan nampak bahwa dunia pendidikan masih

dalam keadaan carut-marut. Karena tidak dilandaskan pada ideology yang jelas. Hal ini

bukan semata kesalahan pemegang rezim pemerintahan, karena semanjak awal RI

menjadi ajang perebutan antar bangsa-bangsa di dunia baik dari belahan barat Portugis,

Belanda, Inggris, Perancis dan kini AS maupun timur seperti Jepang. Kesemuanya

membawa misi masing-masing, untuk melangsungkan eksistensi kebangsaan mereka. Hal

ini ikut serta membuat carut-marut kependidikan di Indonesia.

Kesadaran kesejarahan ini diperlukan agar kita dapat melihat kedepan, dan memberikan

solusi terbaik bagi pembangunan kemanusiaan dan kebangsaan yang terindah.

Akhirnya, semoga karya yang sederhana ini dapat membantu memberikan penyegaran

pemahaman atas dunia pendidikan di Indonesia.

Tiada gading yang tidak retak

Akhirul kalam

Pontianak, 23 Mei 2010

Penulis

3

Page 4: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

Pendahuluan

Meminjam seruan Bung Karno yang terkenal, sekarang ini kita perlu “membangun dunia

baru.” Tetapi upaya untuk membangun dunia yang baru itu kiranya harus dimulai dengan

terlebih dahulu “membangun Indonesia baru.” Dan upaya membangun Indonesia baru itu

mungkin harus dimulai dengan membangun elite politik yang benar-benar lahir dari

kalangan rakyat dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam Indonesia yang baru itu

diharapkan tiada lagi kalaupun ada kecil peranannya-kelompok elite yang hanya sibuk

berebut kekuasaan dan pengaruh.

Hal ini bisa terjadi jika para aktivis muda reformasi sekarang ini tidak enggan untuk

belajar dari para aktivis pergerakan generasi tahun 1920-an. Di satu pihak meneruskan

sikap militan generasi itu dalam memperjuangkan cita-cita bersama dan rela berkurban

demi cita-cita itu. Di lain pihak menolak kecenderungan untuk mewarisi sistem

pemerintahan sebelumnya, yakni kecenderungan untuk mengganti elite lama dengan elite

yang baru tetapi yang pola dan orientasi politiknya tetap sama. Dengan demikian akan

bisa diharapkan lahirnya elite politik yang benar-benar berorientasi pada semakin

terwujudnya demokrasi.

“Kaki kami telah berada di jalan menuju demokrasi,” lanjut Presiden Soekarno dalam

pidatonya di depan Kongres AS itu. “Tetapi kami tidak ingin menipu diri sendiri dengan

mengatakan bahwa kami telah menempuh seluruh jalan menuju demokrasi,”

sambungnya. Ia sadar bahwa meskipun selama bertahun-tahun bangsa Indonesia telah

beperang melawan kolonialisme, imperialisme dan elitisme, jalan menuju demokrasi

masih tetap panjang. Tetapi Bung Karno juga sadar bahwa betapapun panjangnya sebuah

perjalanan, ia harus dimulai dengan langkah-langkah pertama.

Reformasi pendidikan diibaratkan sebagai pohon yang terdiri dari empat bagian yaitu

akar, batang, cabang dan daunnya. Akar reformasi yang merupakan landasan filosofis

yang tak lain bersumber dari cara hidup (way of life) masyarakatnya. Sebagai akarnya

reformasi pendidikan adalah masalah sentralisasi-desentralisasi, masalah pemerataan-

4

Page 5: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

mutu dan siklus politik pemerintahan setempat. Setelah melihat keprihatinan mengenai

pendidikan Indonesia serta penyebabnya, yang harus dilakukan adalah kembali ke filosofi

dasar pendidikan. Pendidikan adalah sebuah tindakan fundamental, yaitu perbuatan yang

menyentuh akar-akar hidup kita sehingga mengubah dan menentukan hidup manusia.

Jadi, mendidik adalah suatu perbuatan yang fundamental karena mendidik itu mengubah

dan menentukan hidup manusia. Kesejahteraan suatu bangsa amat bergantung pada

tingkat pendidikannya, apalagi pada zaman sekarang. Kesimpulannya, pendidikan itu me-

manusia-kan manusia muda. Pendidikan adalah suatu bentuk hidup bersama yang

membawa manusia muda ke tingkat manusia purnawan. (Driyarkara, 1991).

Sebagai batangnya adalah berupa mandat dari pemerintah dan standar-standarnya tentang

struktur dan tujuannya. Dalam hal ini isu-isu yang muncul adalah masalah akuntabilitas

dan prestasi sebagai prioritas utama. Cabang-cabang reformasi pendidikan adalah

manajemen lokal (on-site management), pemberdayaan guru, perhatian pada daerah

setempat. Sedangkan daun-daun reformasi pendidikan adalah keterlibatan orang tua

peserta didik dan keterlibatan masyarakat untuk menentukan misi sekolah yang dapat

diterima dan bernilai bagi masyarakat setempat. Terdapat tiga kondisi untuk terjadinya

reformasi pendidikan yaitu adanya perubahan struktur organisasi, adanya mekanisme

monitoring dari hasil yang diharapkan secara mudah yang biasa disebut akuntabilitas dan

terciptanya kekuatan untuk terjadinya reformasi.

Pembaruan pendidikan merupakan suatu proses multi dimensonal yang kompleks, dan

tidak hanya bertujuan untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang dirasakan,

tetapi terutama merupakan suatu usaha penelaahan kembali atas aspek-aspek sistem

pendidikan yang berorientasi pada rumusan tujuan yang baru [Jusuf Amir Faisal, 1995],

dan senantiasa berorientasi pada kebutuhan dan perubahan masyarakat. Oleh karena itu,

upaya pembaruan pendidikan tidak akan memiliki ujung akhir sampai kapanpun. Karena

persoalan pendidikan selalu saja ada selama peradaban dan kehidupan manusia itu sendiri

masih ada. Pembaruan pendidikan tidak akan pernah dapat diakhiri, apalagi dalam abad

informasi seperti saat ini, tingkat obselescence dari program pendidikan menjadi sangat

tinggi. Hal ini dapat terjadi karena perkembangan teknologi yang digunakan oleh

masyarakat dalam sistem produksi dapat mengembangkan teknologi dengan kecepatan

5

Page 6: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

yang amat tinggi kerana ia harus bersaing dengan pasar ekonomi secara global, sehingga

perhitungan efektivitas dan efesiensi harus menjadi pilihan utamanya [Suyanto dan

Hisyam, 2000:17]. Tetapi sebaliknya disisi lain, "dunia pendidikan tidak dapat dengan

mudah mengikuti perkembangan teknologi yang terjadi di masyarakat sebagai akibat sulit

diterapkannya perhitungan-perhitungan ekonomi yang mendasarkan pada prinsip

efesiensi dan efektivitas terhadap semua unsurnya. Tidak semua pembaruan pendidikan

dapat dihitung atas dasar efisiensi dan untung rugi karena pendidikan memiliki misi

penting yang sulit dinilai secara ekonomi, yaitu misi kemanusiaan" [Suyanto dan Hisyam,

2000:17].

Agenda Reformasi Sistem Pendidikan Nasional

Pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap manusia, negara, maupun

pemerintah. Karena penting, maka pendidikan harus selalu ditumbuhkembangkan secara

sistimatis oleh para pengambil kebijakan yang berwenang di Republik ini [Suyanto dan

Hisyam, 2000:17]. Upaya pendidikan yang dilakukan suatu bangsa selalu memiliki

hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang.

Pendidikan selalu dihadapkan pada perubahan, baik perubahan zaman maupun perubahan

masyarakat. Maka, mau tidak mau pendidikan harus didisain mengikuti irama perubahan

tersebut, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan. Oleh karena itu, tuntutan perubahan

pendidikan selalu relevan dengan kebutuhan masyarakat, baik pada konsep, kurikulum,

proses, fungsi, tujuan, manajemen lembaga-lembaga pendidikan, dan sumber daya

pengelolah pendidikan.

Milenium ketiga baru saja kita masuki. Tentu saja bekal hidup pada milenium tersebut

harus berbeda dengan bekal hidup kita pada milenium kedua, khususnya pada abad ke-

19-20. Kehidupan pada milenium ketiga benar-benar berada pada tingkat persaingan

global yang sangat ketat. Artinya, siapa saja yang tidak memenuhi persyaratan kualitas

global, akan tersingkir secara alami dengan sendirinya (Suyanto dan Hisyam, 2000:2).

Salah satu paradigma yang berbeda adalah paradigma di dalam aspek stabilitas dan

predikbilitas, bila pada milenium kedua orang selalu berfikir bahwa segala sesuatu itu

stabil dan bisa diprediksi, pada milenium ketiga semakin sulit untuk melihat adanya

stabilitas (Djamaluddin Ancok, 1998:2).

6

Page 7: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

Ketika dunia menghadapi gerakan globalisasi, Amerika Serikat, dalam dokumen America

2000: An Education Strategy, terdapat enam tujuan pendidikan nasional Amerika Serikat.

Salah satunya bahwa Amerika Serikat menginginkan memiliki pengaruh secara global.

Maka untuk mencapai cita-cita itu, pendidikan nasional diformulasikan sebagai : US

students will be first in the world in science and mathematics achievement [Suyanto dan

Hisyam, 2000:22]. Dengan demikian, Amerika Serikat dalam salah satu strategi

pendidikannya menginginkan mahasiswa dan para pelajarnya memiliki prestasi yang

unggul di dunia dalam hal menguasai ilmu pengetahuan dan matematika.

Suatu usaha pembaruan pendidikan karena adanya tantangan kebutuhan dan perubahan

masyarakat pada saat itu, dan pendidikan juga diharapkan dapat menyiapkan produk

manusia yang mampu mengatasi kebutuhan dan perubahan masyarakat tersebut. Dengan

demikian, pendidikan sebenarnya lebih bersifat konservatif, karena selalu mengikuti

kebutuhan dan perubahan masyarakat. Sebagai contoh : misalnya, pada masyarakat

agraris, konsep pendidikan didisain agar relevan dengan perkembangan dan kebutuhan

masyarakat pada era tersebut, begitu juga apabila perubahan masyarakat menjadi

masyarakat industrial dan era informasi, maka pendidikan juga didisain mengikuti irama

perkembangan masyarakat industri dan masayarakat era informasi, dan seterusnya.

Demikian siklus perkembangan perubahan pendidikan, kalau tidak pendidikan akan

ketinggalan dari perubahan zaman yang begitu cepat.

Untuk menghadapi kondisi milineum ketiga yang semakin tidak bisa diprediksi tersebut,

diperlukan kesiapan sikap mental manusia untuk menghadapi perubahan yang sangat

cepat. Orang tidak bisa lagi bersifat reaktif, hanya menunggu dan menghindari setiap

persoalan atau resiko demi resiko, dengan mempertahankan status-quo. Tetapi pada era

milineum ketiga, orang lebih bersifat proaktif dengan memiliki toleransi atas

ketidakjelasan yang terjadi akibat perubahan dengan tingkat dinamika yang tinggi.

Keran demokrasi dan demokratisasi begitu terbuka dan membahana pada masa reformasi

sekarang ini. Maka dari itu pula, reformasi pendidikan mutlak bagi bangsa ini dan dapat

segera diwujudkan menyusul semakin pentingnya sektor pendidikan dijadikan prioritas

7

Page 8: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

utama pembangunan, dimana pembiayaan dan kewenangan menjadi fokus utama dalam

reformasi pendidikan tekait dengan desentralisasi pendidikan di era otonomi daerah saat

ini(Maman Suratman, 2007). Diantara berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah

pasca orde baru (orde reformasi), adalah kebijakan di bidang pendidikan yang

menentukan kiprah bangsa ini di masa depan. Niscaya, sumber daya manusia yang

unggul akan dibentuk melalui sistem pendidikan yang merupakan kapital sosial bagi

pembentuk generasi masa depan. Diharapkan, tidak hanya pemerintah yang

“memikirkan” konsep dan sistem pendidikan yang ideal, tetapi merupakan tanggung

jawab bersama.

Dalam konsepsi perikehidupan berbangsa dan bernegara yang menuju kearah civil

society sekarang ini, era reformasi dan otonomi daerah seakan angin segar sekaligus

kesempatan besar dalam reformasi di segala bidang untuk kemajuan bangsa. Sekali lagi,

pendidikan merupakan kunci bangsa untuk eksis dan bersaing di kancah global di masa

depan. Pengalaman negara-negara barat yang bermasyarakat dengan tingkat pendidikan

dan penguasaan teknologi yang tinggi membawa bangsanya pada kedudukan yang tinggi

pula pada percaturan internasional. Kedaulatan dan keunggulan yang kompetitif di masa

depan bukan milik suatu bangsa atau negara, melainkan hak semua bangsa di dunia dan

mampu diraih bangsa manapun, termasuk kita jika berbenah diri dari sekarang. Upaya

memperbaiki Pendidikan Nasional tidak hanya menyangkut masalah fisik dan dana saja.

Tapi, harus lebih mendasar dan strategis.

Sistem Pendidikan Nasional perlu direformasi dengan memadukan wahyu Tuhan dan

ilmu pengetahuan sebagai arena utama aktivitas pendidikan. Sekolah bukan hanya

menjadi tempat pembekalan pengetahuan kepada anak bangsa, tapi juga lembaga

penanaman nilai dan pembentuk sikap dan karakter. Anak-anak bangsa dikembangkan

bakatnya, dilatih kemampuan dan keterampilannya. Sekolah tempat menumbuh

kembangkan potensi akal, jasmani, dan rohani secara maksimal, seimbang, dan sesuai

tuntutan zaman. Output keseluruhan proses pendidikan adalah menyiapkan peserta didik

untuk bisa merealisasikan fungsi penciptaannya sebagai hamba Tuhan dan kemampuan

8

Page 9: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

mengemban amanah mengelola bumi untuk dihuni secara aman, nyaman, damai, dan

sejahtera.

Sebagai ilustrasi, pada saat Amerika mengejar kemajuan teknologi ruang angkasa Rusia,

maka pada saat itu pendidikannya ditekankan pada Iptek. Demikian juga pada saat

Amerika mengejar kemajuan ekonomi Jepang dan Jerman, maka pada saat itu

pendidikannya ditekankan pada ekonomi. Dan akhir-akhir ini, ketika dirasakan lemahnya

integrasi bangsa Amerika, maka pendidikan ditekankan untuk membangun integrasi

bangsa (Sizer, 1992). Dengan indikator tersebut, akan menjadi lebih mudah meng-

identifikasikan krisis pendidikan yang terjadi, dengan didasarkan pada indikator yang

diukur dari tidak tercapainya tujuan tekanan pendidikan itu [Anas Syahrul dan Zaidie,

1999:29).

Beberapa usulan langkah-langkah reformasi pendidikan nasional untuk menyongsong

milenium ketiga adalah sebagai berikut :

Pertama, merumuskan visi dan misi pendidikan nasional kita yaitu :

(1) Pendidikan hendaknya memiliki visi yang berorientasi pada demokrasi bangsa

sehingga memungkinkan terjadinya proses pemberdayaan seluruh komponen masyarakat

secara demokratis. Menjadikan sekolah sebagai tempat kaderisasi kepemimpinan

nasional dan memasukkan program wajib militer untuk menumbuhkan rasa nasionalisme.

Memastikan terlaksananya proses pendidikan yang menanamkan jiwa kebebasan,

kemandirian, kewirausahaan, dan meningkatkan keterampilan hidup dan daya juang

kepada anak-anak bangsa yang menjadi peserta didik.

(2) Terselenggaranya pendidikan yang murah, bermutu, dan berwawasan global yang

memiliki daya saing nasional di percaturan global. Pendidikan hendaknya memiliki misi

agar tercapai partisipasi masyarakat secara menyeluruh sehingga secara mayoritas

seluruh komponen bangsa yang ada dalam masyarakat menjadi terdidik" (Suyanto dan

Hisyam, 2000:8).

Kedua, isi dan substansi pendidikan nasional yaitu :

9

Page 10: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

(1) Substansi pendidikan dasar hendaknya mengacu pada pengembangan potensi dan

kreativitas siswa dalam totalitasnya. Meningkatkan wajib belajar dari Sembilan tahun

menjadi dua belas tahun. Oleh karena itu, tolok ukur keberhasilan pendidikan dasar tidak

semata-mata hanya mengacu pada NEM. Persoalan-persoalan yang terkait dengan

paradigma baru menegnai keberhasilan seseorang perlu mendapatkan perhatian secara

emplementatif.

(2) Substansi pendidikan di jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi

hendaknya membuka kemungkinan untuk terjadinya pengembangan individu secara

vertikal dan horizontal. Pengembangan vertikal mengacu pada struktur keilmuan,

sedangkan pengembangan horizontal mengacu pada keterkaitan dan relevansi antar

bidang keilmuan.

(3) Melakukan pembangunan Sistem Pendidikan Nasional yang konprehensif, integratif,

dan aplikatif. Makna konprehensif adalah menjamin perbaikan yang berkelanjutan,

integratif tak memisahkan aspek moral dan nilai-nilai luhur dari pembelajaran dan

pengajaran, dan aplikatif menunjuk pada mutu dan meningkatnya daya saing bangsa.

Pendidikan tinggi hendaknya jangan semata-mata hanya berorientasi pada penyiapan

tenaga kerja. Tetapi lebih jauh dari itu harus memperkuat kemampuan dasar mahasiswa

yang memungkinkan untuk berkembang lebih jauh, baik sebagai individu, anggota

masyarakat, maupun sebagai warga negara dalam konteks kehidupan yang global.

(4) Memberi perhatian serius pada pendidikan khusus bagi anak bangsa yang disebabkan

oleh cacat atau kecerdasan luar biasa peserta didik. Pendidikan nasional perlu

mengembangkan sistem pembelajaran yang egaliter dan demokratis agar tidak terjadi

pengelompokan dalam kelas belajar atas dasar kemampuan akademik.

(5) Menerapkan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dan meningkatkan partisipasi

masyarakat baik dalam penyelenggaraan pendidikan formal, nonformal, dan informal.

Pengembangan sekolah perlu menggunakan pendekatan community based education.

Dalam model in, sekolah dikembangkan dengan memperhatikan budaya dan potensi yang

ada di dalam masyarakat itu sendiri. Meningkatkan kualitas pengelolaan manajemen

sekolah dan metode pembelajaran serta menjadikan sekolah tidak lagi sebagai menara

10

Page 11: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

gading yang steril dari analisis kebutuhan lingkungan sekitarnya. Sekolah bukan hanya

tempat penyelenggaraan pendidikan, tapi juga bisa menjadi pusat latihan, seminar,

workshop, dan studi banding. Sekolah adalah pusat belajar masyarakat di wilayahnya

berada.

(6) Melakukan monitoring dan evaluasi sistematis terhadap berbagai aspek konsep dan

operasional Sistem Pendidikan Nasional di semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan.

Untuk menjaga relevansi outcame pendidikan, perlu diimplemantasikan filsafat

rekonstruksionisme dalam berbagai tingkat kebijakan dan praksis pendidikan. Dengan

berorientasi pada filsafat ini, pendidikan akan mampu merekonstruksi berbagai bentuk

penyakit sosial, mental dan moral yang ada dalam masyarakat, sehingga pada akhirnya

akan dapat ditanamkan sikap-sikap toleransi etnis, rasial, agama, dan budaya dalam

konteks kehidupan yang kosmopolis dan plural [Suyanto dan Hisyam, 2000:11-12].

Ketiga, manajemen dan anggaran yaitu :

(1) Perguruan tinggi perlu dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip otonomi dan

accountability quality assurance. Dengan prinsip ini pada akhirnya perguruan tinggai

harus mempertanggungjawabkan kinerja kepada masyarakat, orang tua, mahasiswa,

maupun pemerintah.

(2) Manajemen pendidikan sekolah dasar hendaknya berada dalam satu sistem agar

terjadi efisienei administrasi dan efisiensi pembinaan akademik para guru.

(3) Pendidikan tinggi hendaknya diselenggarakan dengan menggunakan prinsip-prinsip

menajemen yang fleksibel dan dinamis agar memungkinkan setiap perguruan tinggi

untuk berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing dan tuntutan eksternal yang

dihadapinya.

(4) Pengembangan akademik di perguruan tinggi perlu fleksibilitas yang tinggi agar

tercipta kondisi persaingan akademik yang sehat. Memanfaatkan teknologi informasi dan

komunikasi untuk meningkatkan mutu pendidikan.

11

Page 12: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

(5) Guru dan dosen harus diberdayakan secara sistematik dengan melihat aspek-aspek,

antara lain : kesejahteraan, rekruitmen dan penempatan, pembinaan dan pengembangan

karier, dan perlindungan profesi. Meningkatknya kompetensi, kesejahteraan,

penghargaan, dan perlindungan terhadap profesi guru tanpa membeda-bedakan status

kepegawaian, PNS atau swasta.

(6) School based management perlu dikembangkan dalam kerangka desentralisasi atau

devolusi pendidikan, agar lembaga-lembaga pendidikan dapat mempertahankan

akuntabilitasnya terhadap stake holder pendidikan nasional. Menumbuhkan kepedulian

masyarakat terhadap pendidikan. Kesadaran masyarakat untuk ambil bagian dalam

pendidikan adalah bentuk dari ketahanan sosial atas perubahan tantangan lingkungan

yang terjadi. Pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tua secara individu per

individu, tetapi itu tanggung jawab komunitas secara bersama.

(7) Mengawal realisasi anggaran pendidikan yang besarnya 20% dari total APBN

(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sebagaimana amanah Pasal 31 ayat 4

Amandemen IV UUD 1945. Pendidikan hendaknya mendapatkan proporsi alokasi dana

yang cukup memadai agar dapat mengembangkan program-program yang berorientasi

pada peningkatan mutu, relevansi, efisiensi dan pemerataan. Untuk itu, perlu ada

peningkatan anggaran secara signifikan sehingga mencapai 20% dari APBN yang sedang

berjalan. Karena anggaran pendidikan di Indonesia sangat rendah sehingga tidak mempu

untuk mendukung berbagai inovasi di bidang pendidikan (Suyanto dan Hisyam, 2000:11-

13).

Pelaksanaan proses pendidikan harus efektif untuk menanamkan jiwa kebebasan,

kemandirian, dan kewirausahaan. Dengan begitu anak-anak bangsa yang menjadi peserta

didik bisa eksis dalam persaingan di masa datang berbekal keterampilan hidup (life skill)

dan daya juang (adversity quotient) yang mumpuni. Kurikulum diarahkan untuk memberi

pengalaman belajar yang seimbang yang meliputi aspek intektual (IQ), emosional (EQ),

dan spiritual (SQ). Dan titik tekannya adalah membentuk karakter pembelajar agar anak

bangsa yang menjadi peserta didik memiliki keinginan untuk belajar di sepanjang

12

Page 13: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

hayatnya. Tipe bangsa pembelajarlah yang bisa survive menghadapi persaingan global

yang rivalitasnya bukan lagi di tataran negara vs negara atau kota vs kota. Tetapi, sudah

di level individu vs individu. Karena itu, menjadi hajat kita bersama untuk

memperjuangkan perbaikan dan pembangunan dunia pendidikan di negeri ini.

Pada tingkat implementasinya di lapangan banyak hambatan yang menghadang. Di

tingkat implementasi perundang-undangan tersebut menghadapi manusia-manusia yang

belum berubah. Memang, perundang-undangan tersebut diyakini dalam jangka waktu

tertentu jika pelaksanaannya konsisten akan mengubah manusia-manusia Indonesia;

tetapi masalahnya dalam pelaksanaannya reformasi itu melibatkan manusia-manusia yang

belum mengerti reformasi dan tidak ingin mengerti reformasi karena akan merugikan

dirinya jika reformasi dilakukan secara total dan konsisten.

Apabila kita berbicara kemampuan dan kesiapan sebagai anak bangsa, tampaknya kita

belum siap benar menghadapi persaingan global pada milenium ketiga. Tenaga ahli kita

belum cukup memadai untuk siap bersaing di tingkat global. Apabila "dilihat dari

pendidikannya, angkatan kerja kita saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Sebagian

besar angkatan kerja (53%) tidak berpendidikan, yang berpendidikan dasar sebanyak

34%, berpindidikan menengah 11%, dan berpendidikan tinggi hanya 2%. Padahal

tuntutan dari dunia kerja pada akhir pembangunan jangka panjang II nanti mengharuskan

angkatan kerja kita berpendidikan" [Boediono, 1997:82]. Sebenarnya sektor pendidikan

menjadi tumpuan harapan dan memiliki peran strategis dan fungsional dalam upaya

membangun dan meningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Pendidikan

sebenarnya selalu didesain untuk senantiasa berusaha menjawab kebutuhan dan tantangan

yang muncul di kalangan masyarakat sebagai konsekuensi dari suatu perubahan. Tetapi

pada kenyataannya, kondisi "pendidikan kita masih melahirkan mismatch yang luar biasa

dengan tuntutan dunia kerja. Kondisi seperti ini juga berarti bahwa daya saing kita secara

global amat rendah [Suyanto dan Hisyam, 2000:3].

Demikianlah, keberhasilan reformasi seperti ditunjukkan di atas telah dihadang oleh

masalah manusia yang merupakan subjek dan objek reformasi. Ironisnya program

reformasi kita tampaknya tidak memiliki isu yang kuat dan fundamental untuk mengatasi

13

Page 14: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

masalah manusia dalam reformasi ini. Isu yang menyangkut manusia ini sering

diungkapkan dalam bentuk kritik-kritik budayawan kita terhadap pembangunan pada

masa Orde Baru yang mengabaikan manusia, namun sekarang tetap terlupakan.

Visi Pendidikan Multikultur

Tanpa menutup mata akan adanya kemungkinan isu-isu kritis lain yang menyertai

reformasi ini, namun tekad untuk tetap berkontribusi terhadap pembangunan kehidupan

bangsa melalui pencerdasannya adalah suatu niat yang bersumber dari refleksi yang

mendalam dari kekuatan religius bangsa dalam kehidupan bertakwa kepada Allah SWT

dan berawal dari suatu intellectual mindshift. Kalau titik awalnya (TA, Point of

Depature : POD) sudah jelas, yaitu kita menyadari (mindshift) bahwa kita belum terlepas

dari krisis multi dimensional, maka ke mana anak kita akan kita bawa; ke mana titik

tibanya atau Point of Arrival (POA).

Perspektif masa depan kita dilukiskan sebagai masyarakat madani yang beragama,

ditandai oleh kebersamaan dalam kebhinekaan yang dilandasi oleh keadilan dan

kesejahteraan yang berkesinambungan serta dalam keserasian dengan kecendrungan

global. Dengan memahami visi tentang perjalanan yang harus di tempuh akan mencapai

POA bangsa ini, maka kemudian perlu difahami bagaimana caranya mencapai cita-cita

tersebut.

Dalam kaitan dengan reformasi pendidikan, maka apa yang menjadi landasan filsafat

pendidikan adalah UUD 1945 pasal 31 ayat 1, yang menyebutkan bahwa setiap anak

Indonesia berhak untuk belajar. Dengan demikian, maka berdasarkan landasan bahwa

setiap anak itu adalah individu yang berbeda satu dengan lainnya dengan beragam bakat

dan watak, pengalaman belajar harus menjadi pengaruh yang bersifat personal, bermakna

dan beragam. Konsekunsinya adalah bahwa paradigma pendidikan menuju sistem

desentralisasi dalam otonom daerah mengacu pada keharusan pendidikan multikultur.

Paradigma pendidikan multi kultur mengisyaratkan bahwa individu siswa individual

belajar bersama dengan individulain dalam suasana saling menghormati, saling toleransi

dan saling memahami.

Cara pandang dan interpretasi orang dalam satu budaya etnis tertentu terhadap makna

lambang budaya tertentu, demikianpun perilakunya pada umumnya kurang lebih sama

14

Page 15: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

dan merupakan microculture tertentu dalam keseluruhan culture yang dominan, atau yang

di sebut macroculture (mainstream). Namun, sebagaimana cara orang belajar juga

memiliki perbedaan, demikian juga kelompok individu tertentu berbeda perkembangan,

ara pandang dan orientasinya sesuai microculture tertentu dan sedikit banyak terbentuk

oleh culture tersebut karena society lives through them, harus beradaptasi terhadap

mainstream culture yang ada. Mereka adalah peserta didik yang apabila kurang mampu

beradaptasi, disebut field dependent atau field sensitive, yaitu mereka mengalami

kesulitan menyesuaikan diri dalam lingkungan belajar mereka. Apabila anak tidak dapat

menyesuaikan dirinya, maka ada kebutuhan tertentu yang tidak terpenuhi. Apabila

kebutuhannya tidak terpenuhi, ia akan mengalami stres atau frustasi, dan apabila

seseorang mengalami stres atau frustasi, maka berbagai prilaku yang menyimpang

(seperti mudah menipu dan sikap bermusuhan (hostile attitude) akan mungkin bisa

menjadi akibatnya. Semua kecenderungan itu merupakan potensi untuk korupsi, tawuran,

dsb.

Guru harus belajar agar mampu menerapkan strategi pembelajaran kooperatif

(cooperative teaching strategies) dalam pergaulan sosial dengan para sisiwa yang

memiliki berbagai sifat yang beragam itu dalam suasana belajar yang sangat

menyenangkan, sehingga mereka akan saling belajar segi-segi positif dari temannya.

Salah satu tujuan utama multicultural education adalah mengubah (transformasi) berbagai

pendekatan belajar mengajar, mengubah kunseptualisasi dan organisasinya sehingga

setiap individu dari berbagai culture memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar

dalam lembaga pendidikan. Yang disebut kesempatan yang sama itu bukan semata-mata

memperoleh bangku sekolah, melainkan yang lebih penting adalah selain kebersamaan

dalam satu kelas, perhatian dan pelayanan penuh juga harus ada terhadap kebutuhan

khusus pendidikan (special education needs) setiap individu.

Setiap peserta didik menjadi bagian dari kelompok tertentu, kelas sosial,

bangsa,etnis,agama, gender, kekhususan tertentu, dan ia bisa menjadi bagian atau

menjadi anggota dari berbagai kelompok itu. Bagi pendidik penting untuk menyadari

tingkat identifikasi pesertra didik dengan kelompok mana dan sampai seberapa jauh

15

Page 16: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

terjadi sosialisasi, untuk bisa memahami, menjelaskan dan meramalkan perilakunya agar

ia terlayani dengan baik di kelasnya.

Apabila kurikulum sekolah-sekolah kita menggunakan kurikulum berbasis kompetensi

yang menunjuk pada kemampuan yang terkait dengan kriteria tertentu (criterion

referenced), maka mengintegrasikan pendidikan multikultur dalam mewujudkannya,

memerlukan patokan minimal (threshold), dengan rentangan sampai dengan superior.

Sekolah yang mengembangkan orientasi “managemen berbasis sekolah” perlu paling

sedikit mencapai ambang minimal kompetensi, sedangkan sekolah yang mutunya baik

yang mencapai rentangan superior dalam pengelolaan (manajemen)nya, dapat bersaing

dengan sekolah-sekolah dari negara lain. Namun apabila Indonesia yang memiliki kurang

lebih 210 juta penduduk serta lebih dari 300 suku bangsa dan kurang lebih 17.500

kepulauan, ingin berkompetisi dalam persaingan global, maka primodialisme yang

berlatar belakang kesukuan, ras, agama, kelompok, partai, fraksi, golongan, bahkan juga

asal pendidikan tidak harus menjadi stereotype dalam kehidupan bernegara, melainkan

penghargaan prestasi terhadap prestasi dan integritas pribadi harus lebih dikedepankan.

Menumbuh Kembangkan Eksistensi Manusia

Pendidikan harus mulai berbenah diri dengan menyusun strategi untuk dapat

menyongsong dan menjawab tantangan perubahan masyarakat yang kian cepat. Apabila

tidak maka pendidikan akan tertinggal dalam persaingan global. Maka dalam menyusun

strategi untuk menjawab tantangan perubahan tersebut, paling tidak harus memperhatikan

beberapa ciri, sebagai berikut:

Pendidikan Indonesia diupayakan lebih diorientasikan atau "lebih menekankan pada

upaya proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching)".

Pendidikan dapat "diorganisir dalam suatu struktur yang lebih bersifat fleksibel".

Pendidikan dapat "memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki

karakteristik khusus dan mandiri", dan

Pendidikan, "merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi

dengan lingkungan" (Zamroni,2000).

Keempat ciri ini, dapat disebut dengan paradigma pendidikan sistematik-organik yang

16

Page 17: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

"menuntut pendidikan bersifat double tracks, artinya pendidikan sebagai suatu proses

yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakat".

Dua hal yang terkait dengan rumusan operasional mengenai hakikat pendidikan ialah

proses pendidikan yang berarti menumbuhkembangkan eksistensi manusia. Artinya,

bahwa keberadaan manusia ialah keberadaan interaktif, sebagai makhluk individu

sekaligus makhluk sosial. Sebagai ‘abdullah sekaligus khalifatullah. Antara tujuan dan

fungsi manusia ini sendiri yang kemudian menuntut eksistensi manusia untuk terus dicari

pemahaman aplikatifnya seperti apa. Dalam hal ini, benar bahwa prosesi pemaknaan atas

eksistensi manusia itu sendiri harus senantiasa berjalan sepanjang waktu. Sepanjang

tujuan dan fungsi manusia yakni sebagai ‘abdi dan khalifah belum mampu dipahami,

terkonsepsikan, dan teraplikasikan dengan baik maka sejatinya arahan hakikat pendidikan

secara menyeluruh belum mampu terwujudkan. Karena salah satu dari keberwujudan

eksistensi manusialah yang sampai pada konsekuensi progresifitas pendidikan, yang tak

hanya sekedar berdimensi lokalitas tetapi juga global. Tak hanya berdimensi sosial

manusia tetapi juga berdimensi Illahiyah.

Selanjutnya, merupakan eksistensi manusia yang memasyarakat. Apakah sama hal ini

dengan tuntutan peran dari adanya proses pendikan itu sendiri? Bisa dikatakan hampir

sama, namun yang lebih signifikan dalam hal ini bahwa eksistensi manusia yang

memasyarakat ialah ketika pemahaman unsure pendidikan terdapat lembaga pendidikan

dan non lembaga pendidikan, maka sejatinya bukan mencoba mendikotomikan antara

lembaga dan non lembaga tersebut. Kenapa demikian? Menjadi kurang tepat jika

mengasumsikan bahwa prosesi pendidikan bukan berada di masyarakat karena berada di

lembaga pendidikan. Karena sejatinya, antara lembaga dan non lembaga atau masyarakat

merupakan peran yang sama, bukan dua hal yang berbeda dalam ruang yang berbeda.

Sehingga menjadi kurang tepat lagi, jika kemudian keinginan dari eksistensi manusia—

dalam hal ini peran pendidikan mencoba menyiapkan konsepsi sebagai inisiasi

memasyarakat tadi, karena pendidikan itu sendiri ada dalam masyarakat. Benar bahwa,

tujuan pendidikan bukan diluar proses pendidikan yang mengasumsikan masyarakat, tapi

berada dalam pendidikan sendiri.

17

Page 18: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

Kebijakan peningkatan mutu selama ini senantiasa cepat direspons sepenuhnya oleh

sekolah yang masuk pada kualifikasi “menuju kualitas unggul”. Sekolah pada klasifikasi

“memantapkan posisi” juga cepat merespons tetapi banyak mengalami kesulitan. Oleh

karena itu, kebijakan peningkatan mutu yang ada akan meningkatkan sekolah-sekolah

yang ada pada kualifikasi “menuju kualitas unggul” lebih cepat dibandingkan dengan

kualifikasi “memantapkan posisi”, apalagi kualifikasi “hidup tidak mati segan” dan “pas-

pasan”. Dengan peningkatan mutu secara konvensional sebagaimana yang ada selama ini

kesenjangan mutu diantara sekolah akan semakin tajam.

Dengan pandangan sudut yang berbeda, peningkatan mutu pendidikan konvensional

meneguhkan apa yang disebut Self-Fulfilling Prophecies: The Vicious Cycle, sekolah

yang kurang bermutu terjebak pada kelemahan sistem sehingga tidak bisa memiliki

harapan yang lepas dari “rendahnya mutu”. Sekolah bermutu rendah menjadikan sekolah

bermutu rendah. apa yang dicapai juga rendah Apabila kompetensi tidak hanya

ditekankan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan semata, melainkan juga

ditekankan pada pengembangan karakter dan soft skill seperti kemampuan

berkomunikasi, kemampuan berkolaborasi dan berpartisipasi, secara relatif semua

sekolah akan dapat merespons, tanpa melihat kualifikasi kelas sekolah yang ada.

Dalam kondisi sekolah semacam ini dalam rangka meningkatkan mutu, kebijakan

pertama yang diperlukan adalah perubahan cara pandang (mind setting), baik bagi kepala

sekolah, guru, siswa dan juga orang tua siswa.

Kepala sekolah harus memiliki cara pandang baru berkaitan dengan sekolah. Yakni,

Sekolah bukan pabrik melainkan masyarakat kecil dan a learning community, siswa

bukan bahan mentah melainkan individu yang masing-masing memiliki karakteristik

berbeda; Guru bukan satu-satunya sumber ilmu, melainkan memberikan arah dan

mengantarkan peserta didik untuk menguasai ilmu, dan sekaligus a learning person.

Dengan demikian kepala sekolah harus memperlakukan guru sebagai pekerja

professional yang mandiri yang tidak perlu senantiasa diperintah atau didikte dan tidak

mencari kambing hitam “kualitas masukan” sebagai penyebab rendahnya mutu sekolah.

18

Page 19: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

Guru harus memiliki cara pandang baru, bahwa, PBM tidak sederhana, melainkan proses

yang penuh ketidak pastian karena melibatkan pikiran, emosi, imaginasi, sikap siswa dan

sumber lain yang diperolehnya bukan dari guru; guru bukan pengecer ilmu melainkan

Guru adalah a cave (Consistent added value everywhere) worker.

Pendidikan Terpadu: Sebuah harapan

Pendidikan nasional selama ini tidak memiliki visi yang jelas tentang pemberdayaan

manusia Indonesia sendiri. Memang hal ini tergantung pada sistem politik dan kebijakan

pendidikan pemerintah, selama pemerintah lebih menitikberatkan pada pemanfaatan dan

pengagung-agungan produksi impor maka produksi dalam negeri akan terus mengalami

kemerosotan atau bahkan mati sama sekali. Politik ekonomi pemerintah selama ini tidak

sejalan dengan politik pendidikannya, politik pendidikannya juga tidak sesuai dengan

politik budayanya, demikian juga politik budayanya tidak sesuai dengan politik

ideologinya. Atau dengan kata lain antara politik yang satu dengan politik yang lain tidak

ada yang sejalan, seirama, dan senafas.

Dari segi ideologi, nasionalisme adalah ideologi yang paling dominan, namun ketika

berada dalam politik ekonomi dan politik militer berbeda karena lebih mementingkan

kepentingan luar negeri dalam arti menggunakan teori-teori Barat dan persenjataan

impor. Ini jelas menunjukkan tidak adanya keselarasan dan kesesusaian antara politik

ideologi dan politik ekonomi maupun militer. Demikian juga yang terjadi dengan politik

pendidikan dan politik lainnya tidak ada yang selaras. Pendidikan di Indonesia sampai

saat ini masih berjalan secara parsial dan terpisah-pisah tanpa adanya kordinasi yang jelas

dari pemerintah. Parsialisasi ini dapat dilihat dari banyaknya lembaga pendidikan yang

berlindung atau didirikan oleh beberapa departemen, misalnya Departemen Pertahanan

memiliki Akabri, Akpol dan sebagainya; Departemen Agama memiliki lembaga

pendidikan agama, Departemen Keuangan memiliki lembaga pendidikan STAN,

Departemen Dalam Negeri memiliki lembaga pendidikan STPDN dan sebagainya. Dasar

pemikiran pendirian tersebut di satu sisi adalah untuk pemberdayaan sumber daya

manusia masing-masing departemen, namun ada analisis lain yaitu sebagai lahan untuk

mendapat anggaran lebih besar. Karena lembaga-lembaga pendidikan di masing-masing

departemen merupakan sumber proposal proyek yang sangat strategis.

19

Page 20: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

Implikasi dari parsialisasi dan terkesan miskordinasi sistem pendidikan nasional tersebut

menyebabkan munculnya bibit-bibit egoisme masing-masing departemen. Kordinasi yang

seharusnya menjadi salah satu strategi yang sangat penting menjadi terpental dengan

parsialisasi tersebut. Oleh karena itu, barangkali layak dikemukakan di sini dilontarkan

adanya ide Pendidikan Nasional Terpadu. Modus operandinya adalah dihilangkannya

masing-masing lembaga pendidikan di departemen yang berbeda kemudian dijadikan

menjadi satu payung. Namun sebelumnya harus dilakukan kesepakatan bersama secara

mantap bahwa payung tersebut harus tetap mengakomodasi kepentingan dan aspirasi

masing-masing departemen.

Untuk menyelaraskan perlu kiranya digagas politik pendidikan nasional terpadu yang

mencakup dan sejalan dengan politik ideologi, politik pemerintahan, politik budaya,

politik ekonomi, politik hukum, dan politik-politik lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk

memperjelas visi pendidikan nasioanl terpadu sebagai upaya untuk keluar dari

keterpurukan multidimensional bangsa Indonesia ini.

Dengan konsep pendidikan nasional terpadu visi pendidikan nasional adalah jelas

pemberdayaan manusia Indonesia dalam seluruh aspek kehidupan, seluruh sector

kehidupan, seluruh disiplin keilmuan, seluruh lapisan masyarakat, seluruh strata sosial,

seluruh kerangka ajaran agama, seluruh etnis bangsa, seluruh budaya bangsa, seluruh

tradisi local masyarakat, dan seluruh harapana manusia Indonesia. Pendidikan nasional

terpadu artinya memberikan kesempatan kepada masyarakat Indonesia seluruhnya untuk

mengembangkan minat, bakat, potensi, kreativitas, dan keterampilannya yang kemudian

didukung sepenuhnya dan diakui sepenuhnya oleh dunia industri serta pemerintah dengan

aturan hukum yang jelas dan tegas. Pemberdayaan lewat pendidikan tentunya perlu

dilakukan perombakan sistem pendidikan secara menyeluruh dimana tindakan-tindakan

dan praktik-praktik penyelewengan sebagaiman dikemukakan di sub sebelumnya telah

terbabat habis dalam proses pendidikan nasional. Kualitas alumni bukan hanya dinilai

dari keberhasilan menduduki jabatan akan tetapi dinilai sejauh mana alumni tersebut

20

Page 21: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

telah memberikan sumbangan bagi pemberdayaan masyarakat. Inilah yang barangkali

menjadi idaman manusia Indonesia seutuhnya dan para founding father negara Indonesia.

Pendidikan nasional selama ini tidak pernah bersahabat dengan dunia industri. Dunia

industri seakan-akan berada di luar dunia pendidikan nasional. Padahal dunia industri dan

pendidikan adalah dua pihak yang saling membutuhkan. Industri di sini mencakup

seluruh jenis industri misalnya industri pertanian, industri kehutanan, industri kesehatan,

industri olah raga, industri pendidikan, industri kelautan, industri komunikasi, industri

transportasi, industri informasi, industri militer dan intelijen, industri budaya, industri

arsitektur, industri keuangan, industri entertainment, industri hukum, industri media

massa dan sebagainya. Simbiosis mutalisme di atas merupakan satu-satunya sarana yang

paling strategis bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional. Dengan adanya simbiosis

mutualisme inilah yang kemudian memunculkkan konsep pendidikan nasional terpadu.

Artinya segala kebutuhan kehidupan manusia Indonesia diupayakan dipenuhi dengan

membuat penelitian yang kemudian memproduksinya. Semua ini dilakukan oleh putera-

puteri Indonesia betapapun buruknya kualitas bila hal itu adalah produk dalam negeri

harus dihormati dan harus dikembangkan oleh pendidikan yang ada dengan penelitian

yang intensif. Atau dengan kata lain bahwa hasil penelitian yang dilakukan dan

ditemukan oleh ilmuwan Indonesia harus direspons dan didukung sepenuhnya oleh dunia

industri. Bukan hanya menerima jadi dari luar negeri, karena betatapun bagusnya produk

luar negeri lambat laun akan menyengsarakan dan memiskinkan masyarakat Indonesia

sendiri.

Adanya penyatuan payung pendidikan nasional dalam satu departemen. Departemen ini

benar-benar bertanggung jawab secara nasional baik dalam hal kualitas, standar minimal

lulusan, dan standar kesuksesan seorang alumni. Sebagai payung pendidikan secara

nasional berarti dia memiliki kewenangan dalam menentukan berbagai komponen

pendidikan. Departemen ini memiliki jaringan yang sangat kuat dengan berbagai

departemen. Jaringan tersebut didasarkan pada hubungan saling mengisi dan bertanggung

jawab. Artinya bahwa departemen pendidikan nasional terpadu ini harus memiliki ikatan

structural, fungsional, emosional, dan intelektyal dengan departemen lain. Misalnya

21

Page 22: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

dengan Departemen Pertahanan, maka departemen pendidikan nasional terpadu ini

bekerja sama secara intensif dalam hal penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan

pengembangan teknologi persenjataan militer. Kerja sama bentuk ini dimaksudkan untuk

mnegurangi ketergantungan tekonologi militer kepada lura negeri. Penelitian yang

intensif dengan dukungan dana yang cukup serta langsung dipraktikkan dalam

departemen yang bersangkutan merupakan bentuk kerja sama yang saling

menguntungkan dan memberdayakan.

Departemen pendidikan nasional yang terpadu dalam penelitian persenjataan tersebut

bukan hanya berkaitan dengan persenjataan dengan teknologi tingkat menengah, akan

tetaoi juga teknologi tingkat tinggi yang tentunya memerlukan para ahli militer,

arsitektur, nuklir, fisika, elektro dan keahlian lain yang mendukung pengembangan

persenjataan canggih. Demikian juga kerja sama dengan departemen lain misalnya

departemen pertanian, keuangan, kesehatan dan sebagainya. Dengan demikian,

departemen pendidikan nasional terpadu ini bukan berarti berada di atas departemen

lainnya, akan tetapi merupakan satu-satunya departemen yang memiliki otoritas di bidang

pendidikan, penelitian, dan pengembangan sebagai upaya untuk memberdayakan

masyarakat Indonesia seluruhnya.

Kepercayaan tersebut merupkan modal yang sangat luar biasa ampuhnya bagi pencurahan

perhatian kemajuan dan peningkatan kualitas pendidikan nasional. Kepercayaan yang

saat ini menguap dari masing-masing pihak merupakan akibat secara tidak langsung dari

terpecahnya konsentrasi pengelola pendidikan nasional. Di satu sisi departemen ini

mengurusi dan bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan nasional, namun di sisi

lain tidak mampu mengakses dan memberikan regulasi yang tegas terhadap lembaga

yang ada di bawah naungannya. Kepercayaan tersebut bisa dimunculkan kembali jika

pemerintah memilki political will yang kuat dan konsisten terhadap kualitas pendidikan

nasional, karena pada dasarnya pemerintah Indonesia hanya ada satu dan berada di bawah

kekuasaan satu presiden dan satu wakil presiden dengan bekerja sama dengan DPR.

Apalagi menghadapi sistem pemerintahan Indonesai hasil pemilihan umum 2004 ini yang

22

Page 23: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

lebih menganut sistem presidensil, maka peemrintah mnemiliki kekuasaan yang luar

biasa dalam menentukan hitam putih, merah biru, hijau kuningnya pendidikan nasional.

Pendidikan nasional pada dasarnya adalah otak dari sebuah badan besar yakni negara

Indonesia. Jika otak tersebut dipisah-pisah baik energi, potensi maupun kekuatannya,

maka kinerja otak tersebut tidak akan bisa maksimal. Demikian juga dengan pendidikan

nasional bila kekuatan, energi, dan potensinya dipisah-pisahkan ke masing-masing

departemen, maka performancenya juga tidak akan bisa mencapai maksimal. Sebagai

kekuatan utama dalam pendidikan nasional, maka pendidikan nasional terpadu ini

mencakup seluruh disiplin keilmuan yang berkembang saat ini. Kinerjanya dapat

ditentukan dengan target jangk apendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Namun

semua itu tidak boleh melupakan aspek moralitas yang menjadi kendali utama sistem

pendidikan nasional terpadu ini. Sebab tanp adanya kendali moralitas yang tinggi, maka

pemusatan kekuatan, potensi dan energi akan menjadi sasarn empuk bagi para "tikus-

tikus intelektual" yang tidak mengenal tempat dan waktu itu. Dengan demikian,

pemanfaatan departemen pendidikan sebagai muara satu-satunya seluruh proses

pendidikan nasional menjadi mudah dimonitor. Tentunya semua ini didasarkan pada

legislasi dan hukum yang jelasa dan mantap tidak interpretable dan multi tafsir.

Pendidikan nasional terpadu secara politik merupakan strategi nasional pemerintah yang

sedang berkuasa dalam rangka meningkatkan kualitas manusia Indonesia untuk

melepaskan diri dari ketergantungan dalam bentuk apapun dari negara lain. Berdiri di

atas kekuatan, kemampuan, kekayaan, sumber daya alam, dan keterampilan sendiri

adalah visi politik pendidikan nasional terpadu. Dengan visi ini dimungkinkan adanya

kebanggaan bagi para pengelola pendidikan karena benar-benar diperhatikan oleh dunia

industri lainnya. Politik pembangunan infrastruktur, suprastruktur, dan superstruktur

harus memberdayakan seluurh lapisan masyarakat baik secara sosial, politik, ekonomi,

budaya, maupun ideologi melalui pendidikan.

Dengan menjadikan pendidikan nasional terpadu sebagai strategi nasional pemerintah,

maka sebagai konsekuensi logis, konsekuensi, administrative, konsekuensi responsibiltas,

23

Page 24: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

dan konsekuensi politik pemerintah harus menyediakan dana anggaran sesuai dengan

tuntutan konstitusi hadir amandemen yang mengamanatkan 20 persen dari total APBN.

Komitmen pengucuran dana sedemikian besar tentunya dibarengi dengan ketatnya nilai

moralitas bangsa sedemikian rupa sehingga para pengelola tidak lupa diri dengan

bergelimangnya dana anggaran pendidikan nasional terpadu. Hal ini harus mulai dirintis

dari proses pendidikan tingkat dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Moralitas bangsa

adalah satu-satunya tolok ukur keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan nasional

terpadu. Karena dengan moralitas tinggi, maka kemungkinan bocornya anggaran dana

akan dapat diminimalisir. Harapan ini bukan merupakan ilusi dan obsesi intelektual dan

bersifat teoritik belaka, akan tetapi bila semua pihak memiliki komitmen bahwa siapa

yang salah harus dipecat dan siapa yang jujur harus terus didukung, maka moralitas

bangsa akan menjadi baik dan itu harus dimulai dari sekarang dan melalui jalur politik

pendidikan nasional terpadu.

Politik pendidikan dalam rangka pemberdayaan seluruh masyarakat Indonesia dan

penanaman moralitas merupakan sasaran dan tujuan utama pendidikan nasional terpadu.

Moralitas bangsa merupakan landasan spiritual yang tidak mampu dibangun dalam waktu

singkat. Penanaman moralitas bangsa harus dipupuk dan tidak pernah lengah sebentarpun

dalam proses pendidikan. Oleh karena itu, pelakasanaan proses pendidikandari sejak

tingkat dasar, menengah sampai perguruan tinggi harus senantiasa dikawal moralitas

peserta didik. Peserta didik yang secara moral tidak lolos dan memiliki standar moral

rendah tidak berhak mengenyam pendidikan lebih tinggi. Karena semua itu akan sangat

merugikan masyarakat lainnya. Di saat yang sama pemberdayaan seluruh potensi, minat,

bakat, kreativitas, dan keterampilan baik di bidang teknologi, budaya, tradisi, seni,

intelektual, sastra dan sebagaianya haru smendapatkan prioritas utama dalam pendidikan.

Sebagaimana diungkap di atas semua itu mendapat dukungan penuh dari politik

pemerintah yang sedang berkuasa dan dunia industri yang terkait. Pemerintah terus

mengawal kerja sama dan jaringan kerja antara lembaga pendidikan dengan dunia

industri sebagai langkah untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap negara lain.

Sebagaimana juga diungkap di atas industri di sini mencakup industri dalam seluruh

aspek kehidupan masyarakat dan bangsa.

24

Page 25: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

Kebijakan Pendidikan : intervensi pemerintah dalam pendidikan

Dalam perjalanan sejarah, sistem pendidikan di Indonesia berulang kali berganti. Mulai

dari rentetan kurikulum di era Orde Baru, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan

Kurikulum Terpadu Satuan Pendidikan (KTSP). Berubahnya kurikulum yang cepat

dalam rentang waktu yang pendek mengakibatkan kegagapan sistem di kalangan

pendidik serta pelajar.

Guru yang seharusnya mengawal proses pendidikan tidak menguasai sepenuhnya konsep

pendidikan yang digulirkan oleh pemerintah. Pendidikan bangsa pun tak jelas arahnya,

karena sistem yang dijalankan hanya merupakan adopsi sistem pendidikan dari luar

negeri yang sudah basi. Sistem pendidikan comotan dari luar negeri yang dipuja-puja

ternyata telah menjadi sampah di negeri asalnya. Institusi pendidikan semestinya berada

di garda terdepan dalam memproduk manusia beradab agar bisa membangun peradaban

yang bermartabat. Namun, masalahnya sistem dan paradigma pendidikan Indonesia yang

bercorak materialis saat ini cenderung menghasilkan cendekiawan yang pragmatis.

Peningkatan mutu sekolah tidak bisa melepaskan diri dari intervensi politik. Memang

pendidikan khususnya sekolah bukan lembaga atau organ politik, namun kebijakan

pemerintah yang harus dilaksanakan adalah merupakan kebijakan politik. Dalam banyak

hal sekolah tidak bisa menghindari dari politik ini. Artinya, sekolah mau tidak mau harus

tunduk dan patuh pada intervensi politik pemerintah. Betapapun sekolah, kepala sekolah

dan guru, meyakini bahwa kebijakan tersebut tidak baik dan tidak pas untuk sekolahnya,

tetap saja sekolah harus menerima dan melaksanakan. Sebutlah sebagai contoh, kebijakan

Ujian Nasional, KTSP, sertifikasi guru dengan porto folio, SBI, sekolah gratis dengan

membebankan pada sekolah. Sudah barang tentu intervensi politik dari pemerintah ini

tidak jarang menjadikan upaya peningkatan mutu sekolah semakin berat.

Peningkatan mutu sekolah, dapat disebut sebagai suatu perpaduan antara knowledge-

skill, art, dan entrepreneurship (Zamroni, 2009). Suatu perpaduan yang diperlukan untuk

membangun keseimbangan antara berbagai tekanan, tuntutan, keinginan, gagasan-

gagasan, pendekatan dan praktik. Perpaduan tersebut di atas berujung pada bagaimana

25

Page 26: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

proses pembelajaran dilaksanakan sehingga terwujud proses pembelajaran yang

berkualitas. Semua upaya peningkatan mutu sekolah harus melewati variabel ini. Proses

pembelajaran merupakan faktor yang langsung menentukan kualitas sekolah.

Pembelajaran adalah proses yang kompleks rumit dimana berbagai variable saling

berinteraksi. Banyak variable dalam proses interaksi antara guru dan siswa berkaitan

dengan suatu materi tertentu yang tidak dapat dikendalikan secara pasti. Terdapat

keterkaitan berbagai yang sulit untuk diindentifikasi mana yang mempengaruhi dan mana

yang dipengaruhi. Hasil pembelajaran tidak bisa diestimasi secara matematis, pasti. Anak

yang kecapekan atau kurang gizi atau memiliki persoalan pribadi jelas akan

mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran. Demikian pula kemiskinan dan kondisi

keluarga akan berpengaruh. Siswa yang memiliki motivasi dan yang tidaki memiliki akan

berbeda dalam kaitan dengan proses dan hasil pembelajaran. Dengan singkat, apa

pengaruh eksternal dan internal dalam diri siswa yang akan mempengaruhi proses dan

hasil pembelajaran. Dan sekali lagi, tidak semua pengaruh tersebut dapat dikendalikan

oleh kepala sekolah dan guru.

Sebagai suatu proses interaksi antara siswa dan guru berkaitan dengan materi tertentu,

maka tidak hanya kondisi siswa yang berpengaruh, tetapi juga kondisi guru tidak kalah

pentingnya mempengaruhi kualitas pembelajaran. Pepatah mengatakan, “kalau ingin

melihat prestasi siswa lihatlah kualitas gurunya”. Kondisi guru yang bervariasi berarti

kualitas dan hasil pembelajaran juga akan bervariasi. Semakin tinggi kesenjangan

kualitas guru, semakin tinggi kesenjangan prestasi siswa. Kualitas interaksi juga

dipengaruhi oleh keberadaan dan kualitas fasilitas, termasuk kurikulum yang

dipergunakan.

Kualitas Pembelajaran : Inti reformasi pendidikan

Peningkatan mutu atau kualitas pembelajaran merupakan inti dari reformasi pendidikan

di negara manapun. Hal ini disebabkan oleh asumsi bahwa, peningkatan mutu sekolah

yang memiliki peran penting dalam peningkatan mutu pendidikan nasional, tergantung

pada kualitas pembelajaran. Namun, peningkatan kualitas pembelajaran sangat bersifat

26

Page 27: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

kontekstual, sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan kultural sekolah dan

lingkungannya. Berbagai penelitian menunjukan bagaimana bagaimana pentingnya

kondisi dan lingkungan sekolah mempengaruhi kualitas pembelajaran, seperti, dalam

penelitian tentang sekolah efektif (Purkey & Smith, 1983), kerja guru dan pembelajaran

(McLaughlin Talbert, 1993), retrukturisasi sekolah dan kinerja organisasi (Darling-

Hammond, 1996), yang semuanya ini bermuara pada suatu pernyataan “apabila ingin

meningkatkan kualitas pembelajaran, kualitas sekolah sebagai satu kesatuan dimana

pembelajaran berlangsung harus ditingkatkan”.

Sebagai lembaga internasional yang bergerak di bidang budaya dan pendidikan,

UNESCO banyak memberikan perhatian dan berupaya mendorong peningkatan mutu

sekolah di banyak negara, khususnya negara-negara sedang berkembang. Setiap tahun

UNESCO kantor Asia & Pasifik bekerjasama pemerintah China dan Thailand secara

bergantian menyelenggarakan seminar innovasi pendidikan yang difokuskan pada

peningkatan mutu sekolah. UNESCO memiliki resep bahwa untuk meningkatkan kualitas

sekolah diperlukan berbagai kebijakan, yang mencakup antara lain (UNESCO, 2001

dalam Zamroni, 2009):

1. Sekolah harus siap dan terbuka dengan mengembangkan a reactive mindset,

menanggalkan “problem solving” yang menekankan pada orientasi masa lalu, berubah

menuju “change anticipating” yang berorientasi pada “how can we do things differently”.

2. Pilar kualitas sekolah adalah Learning how to learn, learning to do, learning to be, dan

learning to live together.

3. Menetapkan standard pendidikan dengan indikator yang jelas.

4. Memperbaharui dan kurikulum sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat dan

peserta didik.

5. Meningkatkan pemanfaatan ICT dalam pembelajaran dan pengeloaan sekolah.

6. Menekankan pada pengembangan sistem peningkatan kemampuan professional guru.

7. Mengembangkan kultur sekolah yang kondusif pada peningkatan mutu.

8. Meningkatkan partisipasi orang tua masyakat dan kolaborasi sekolah dan fihak-fihak

lain.

9. Melaksanakan Quality Assurance.

27

Page 28: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

Definisi tunggal kualitas sekolah yang diterima banyak fihak sulit untuk dirumuskan.

Apalagi, rumus definisi mutu sekolah amat terkait dengan tujuan dan strategi pendidikan

yang ada. Begitu pula kualitas sekolah dipersepsikan berbeda-beda menurut kepala

sekolah, guru, siswa dan orang tua siswa.

Kualitas sekolah memiliki berbagai makna. Seperti, a)bisa berupa suatu konsensus tidak

tertulis atas kondisi-kondisi sekolah, yang kemudian menjurus sekolah favorit di satu

ujung dan dan sekolah “terlihat” di ujung lain; b)kualitas input yang ada; c)kualitas

proses yang terjadi; d)kualitas kurikulum yang tercermin dalam kegiatan sekolah sehari-

hari; e)kualitas output, baik dalam bentuk pencapaian ataupun dalam bentuk “gain score”;

f)value added, dalam, arti sejauh mana sekolah secara totalitas mengalami peningkatan;

dan, g)jumlah lulusan yang diterima Perguruan Tinggi ternama. (Prof. Zamroni, 2009).

Dalam kaitan dengan mutu sekolah, UNICEF mendeskripsikan sebagai suatu kondisi

dimana: a)siswa sehat, bergizi, dan siap mengikuti proses pembelajaran dan dapat

dukungan dari orang tua siswa dan masyarakat; b)lingkungan sekolah sehat, aman, tidak

bias gender dan fasilitas belajar tercukupi; c)kurikulum sekolah menjamin siswa

mendapatkan pelajaran yang memadai, khususnya pengetahuan dan ketrampilan untuk

hidup; d)proses dilaksanakan oleh guru yang terlatih dengan menekankan pada

pendekatan “learner-centered teaching”, manajemen kelas yang berkualitas, evaluasi dan

penilaian yang tepat, dan bisa mengurangi disparitas hasil dari berbagai latar belakang

yang ada; dan, e)outcome sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan aktif

berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.

Namun, selama ini pembicaraan mutu sekolah cenderung dititik beratkan pada

pengetahuan dan ketrampilan yang dikuasai oleh siswa. Memang, sangat sering

dibicarakan secara filosofis dan teoritis siswa harus memiliki cipta, karsa, rasa atau siswa

memiliki otak, hati dan budi, tetapi pada akhirnya tetap saja mutu kembali pada seberapa

jauh siswa sudah menguasai pengetahuan dan ketrampilan yang telah diajarkan di

sekolah. Lebih ironis lagi, pengetahuan yang dikuasai siswapun diestimasi dengan

pendekatan yang dangkal: kemampuan menghafal.

28

Page 29: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

Makna mutu hanya diartikan sebagai kemampuan penguasaan pengetahuan merupakan

suatu realitas. Secara sadar dan terencana kondisi ini harus diubah. Perubahan dalam

kaitan dengan mutu ini merupakan keharusan, khususnya apabila dikaitkan dengan masa

depan, era baru abad 21. Mereka yang tidak mau berubah akan menjadi terasing dan

tertinggal zaman. Dengan puitis, Eric Hoffer (1971) pemikir berkebangsaan Amerika

Serikat menyatakan: “In times of change, learners inherit the Earth, while the learned find

themselves beautifully equipped to deal with a world that no longer.” Seorang ahli

pendidikan, lebih spesifik tokoh manajemen dan kebijakan pendidikan, Michael Fullan

(1994), menegaskan bahwa perubahan tidak dapat dihindarkan. Banyak pendidik terbawa

arus perubahan masa depan, dengan berbagai euphoria, tetapi tidak menyadari masa

depan itu sendiri, dengan lebih senang mempertahankan status quo. Fullan mengingatkan

dengan keras bahwa “yesterday’s scores will not win tomorrow’s ball games.” Oleh

karena itu, “if you are not part of the future, you’re history!”. Berkaitan dengan

perubahan di dunia pendidikan, futurist Alvin Toffler (1999) menegaskan bahwa: “The

illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who

cannot learn, unlearn, and relearn.”

Pendidikan berfungsi untuk mempersiapkan generasi baru mampu hidup dan sukses

menjalani kehidupan di masa depan, maka sekolah harus memahami dan

mengidentifikasi kompetensi apa yang diperlukan untuk masa depan itu. Jose J. Soto

(2005) mengidentifikasi kompetensi yang diperlukan di abad 21 bagi kehidupan

masyarakat yang mulkultural, antara lain: a)memiliki integritas pribadi yang kokoh

dengan memegang teguh etika bertanggung jawab bagi kemajuan masyarakatnya dan

memegang teguh etika dalam perilaku pribadi dan profesionalnya; b)menjadi a learning

person, senantiasa memperluas dan memperdalam pengetahuan dan skills yang dimiliki;

c)memiliki kemampuan berkerjasama dengan segala perbedaan yang dimiliki;

d)menguasai dan memanfaatkan ITC; dan, e)mampu mengambil keputusan yang

senantiasa berlandaskan kepentingan masyarakat luas.

Lembaga lain, UNESCO menekankan pada empat pilar sebagai kemampuan dasar yang

29

Page 30: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

harus dihasilkan oleh dunia pendidikan. Keempat pilar tersebut adalah: a)learning to do

(solve daily problems); b)learning to know (keep learning); c)learning to be (ethically

responsible) and d)learning to live together (the ability to respect and work with others).

Dalam suatu seminar berkaitan dengan reformasi pendidikan untuk meningkatkan

pendidikan yang bermutu, Kay (2008) menganalisis perkembangan yang akan terjadi di

abad 21 dan mengidentifikasi kompetensi apa yang diperlukan dan menjadi tugas

pendidikan untuk mempersiapkan warga negara dengan kompetensi tersebut.

Terdapat 5 kondisi atau konteks baru dalam kehidupan berbangsa, yang masing-masing

memerlukan kompetensi tertentu. Yakni, a)kondisi kompetisi global (perlu kesadaran

global dan kemandirian), b)kondisi kerjasama global (perlu kesadaran global,

kemampuan bekerjasama, penguasaan ITC), c)pertumbuhan informasi (perlu melek

teknologi, critiacal thinking & pemecahan masalah), d)perkembangan kerja dan karier

(perlu Critical Thinking & pemecahan masalah, innovasi & penyempurnaan, dan,

fleksibel & adaptable), e)perkembangan ekonomi berbasis pelayanan jasa, knowledge

economy (perlu Melek informasi, Critical Thinking dan pemecahan masalah).

Jadi menurut Kay diatas sekolah harus mempersiapkan siswa dengan kemampuan:

a)kesadaran global, b)watak kemandirian, c)kemampuan bekerjasama secara global,

d)kemampuan menguasai ITC, e)kemampuan melek teknologi, f)kemampuan intelektual

yang ditekankan pada critical thinking dan kemampuan memecahkan masalah,

g)kemampuan untuk melakukan innovasi & menyempurnakan, dan, h) memiliki

pengetahuan dan ketrampilan yang bersifat fleksibel & adaptabel.

Menurut Kay (2008) ini, mutu sekolah ditentukan bagaimana jawaban atas pertanyaan:

a)apakah siswa mampu berpikir kritis dan memecahkan masalah. b)apakah siswa

memiliki kesadaran global. c)apakah siswa memiliki kemandirian. d)apakah siswa

mampu bekerjasama dengan baik. e)apakah siswa melek teknologi. f)apakah siswa

memiliki watak pembaharu. g)apakah siswa mampu berkomunikasi secara efektif. Kalau

jawaban “ya”, maka sekolah itu bermutu. Semakin tinggi skore dekat dengan ya, semakin

bermutu sekolah itu. Selanjutnya, berdasarkan kemampuan tersebut diatas, Kay (2008)

30

Page 31: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

mengidentifikasi 5 kemampuan yang amat penting dalam kehidupan, yakni, a)etika kerja,

b)kemampuan berkolaborasi, c)kemampuan berkomunikasi, d)tanggung jawab sosial,

dan, e)berpikir kritis dan memecahkan masalah.

Sejalan dengan kajian Kay ini, Departemen Pendidikan New Zealand melakukan

reformasi kurikulum dengan menekankan bahwa para siswa harus menguasai lima

kemampuan dasar. Yakni, a)kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah

(critical thinking dan problem solving)), b)kemampuan mempergunakan bahasa, symbol-

simbol dan teks, c)kemampuan mengendalikan diri sendiri (mampu memotivasi diri

sendiri, memiliki sikap “bisa mengerjakan” “a can-do attitude”, mampu merencanakan

masa depan), d)kemampuan berhubungan dan bekerjasama (kemampuan untuk

mendengarkan, kemampuan mengenali perbedaan pendapat, kemampuan bernegosiasi,

kemampuan berpikir bersama) dan, e)kemampuan berpartisipasi dan berkontribusi bagi

kesejahteraan masyarakatnya (kemampuan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan,

kemampuan berkontribusi, kemampuan menciptakan peluang). Kemampuan dasar ini

dikembangkan-diaplikasikan pada setiap mata pelajaran yang ada.

Barangkali akan muncul pertanyaan apakah perkembangan abad 21 diatas relevan bagi

bangsa Indonesia yang masih berstatus sebagai negara sedang berkembang.

Perkembangan dan perubahan kehidupan masyarakat mengarah pada satu trend besar dan

universal, yakni perubahan dan kemajuan. Sebagai negara terbuka, bangsa Indonesia

akan masuk arus besar tersebut. Pengalaman perkembangan teknologi selama ini

menunjukan tingkat perkembangan yang terjadi amat cepat dan dampaknya juga cepat

menyebar dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam aspek kultur. Oleh karena itu,

bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri dengan baik dan masuk arus perubahan

dengan cerdas agar bisa memanfaatkan peluang yang ada, tidak sekedar memperoleh

dampak negatif belaka.

Kompetensi abad ke 21 harus pula dijadikan acuan dalam pendidikan Indonesia. Sekolah,

khususnya kepala sekolah dan guru harus mulai mengubah mind set nya. Mengajar tidak

sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, teknologi dan ketrampilan, melainkan mengajar

31

Page 32: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

juga mentransfer kehidupan. Implikasi yang paling dekat adalah semua guru, tidak

pandang mata pelajaran yang diampu, memiliki tanggung jawab membangun moral dan

karakter siswa. Dengan kata lain membangun karakter atau watak merupakan tujuan

utama dalam proses pembelajaran. Tapi sayangnya pengembangan karakter tidak bisa

diajarkan, melainkan dikembangkan lewat proses pembiasaan. Oleh karena itu, perilaku

guru harus bisa dijadikan tauladan bagi para siswanya. Sekolah, sendiri harus merupakan

kancah kehidupan tempat pembangunan karakter berlangsung.

Cara Pandang Interaktif terhadap Kualitas Output

Paradigma pendidikan sistemik-organik menekankan bahwa proses pendidikan formal,

sistem persekolahan, harus memiliki ciri-ciri: (1) pendidikan lebih menekankan pada

proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching); (2) pendidikan diorganisir

dalam struktur yang fleksibel; (3) pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai

individu yang memiliki karakter khusus dan mandiri; dan (4) pendidikan merupakan

proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan (Zamroni,

2000). Paradigma pendidikan sistemik-organik menuntut pendidikan bersifat double-

tracks, yaitu pendidikan sebagai proses yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan

dan dinamika masyarakatnya.

Karena makin rumit dan kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh dunia pendidikan,

dibutuhkan paradigma pendidikan masa depan yang dinilai lebih mampu menjawab

tantangan zaman, yaitu paradigma pendidikan sistemik-organik yang menekankan bahwa

segala objek, peristiwa, dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak

terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Dunia pendidikan senantiasa mengaitkan

proses pendidikan dengan masyarakat pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya.

Dengan system semacam ini, dunia pendidikan kita diharapkan mampu menghasilkan

lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas tinggi untuk menyesuaikan dengan

tuntutan zaman yang senantiasa berubah dengan cepat.

Proses pendidikan berlangsung di sekolah mencakup tiga komponen utama, proses

pembelajaran, manajemen sekolah dan kultur sekolah. Ketiga komponen ini saling

32

Page 33: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

berinteraksi dan saling pengaruh mempengrahi, memiliki hubungan sebab akibat secara

timbal balik. Sekolah sebagai suatu entitas mandiri mendapatkan masukan berupa siswa

dan masukan instrumental seperti kurikulum, guru, buku, peralatan laboratorium.

Keberadaan dan kualitas masukan instrumental bisa mempengaruhi pula kualitas proses

yang ada di sekolah. Namun, bagaimana pengaruh kualitas masukan instrumental

terhadap proses yang berlangsung di sekolah akan sangat tergantung pada kepemimpinan

kepala sekolah. Artinya, pengaruh tidak bersifat linier dan pasti, melainkan dinamis

interaktif. Oleh karena itu, kondisi masukan yang sama diantara berberapa sekolah

dampaknya bisa berbeda bagi proses dan kualitas lulusan sekolah. Hal ini meneguhkan

bagaimana pentingnya peran posisi kepala sekolah dalam peningkatan mutu.

Cara pandang input prosesoutput yang bersifat linier harus ditinggalkan dan diganti

cara pandang yang dinamis interakti.(Zamroni, 2009). Sekolah bisa dilihat sebagai

institusi yang memiliki 3 level: level kelas, level mediator, dan level manajemen. Input

yang ada bisa langsung ke salah satu diantara level ini. Output sekolah, bermutu atau

tidak, sangat ditentukan oleh proses yang terjadi pada level kelas, dimana berlangsung

pembelajaran. Namun proses pembelajaran yang ada akan ditentukan oleh level mediator,

yakni keberadaan dan kualitas guru. Demikian pula, kinerja guru sangat ditentukan oleh

level manajemen. Dalam level manajemen inilah kultur sekolah memiliki pengaruh yang

amat besar.

Pencapaian kompetensi yang dihasilkan berkaitan erat dengan bagaimana pembelajaran

dilaksanakan, oleh karena itu kebijakan ke tiga adalah meningkatkan kemampuan guru

dalam mengelola proses pembelajaran. Sebagaimana dikemukakan diatas membangun

karakter menjadi tujuan penting bagi mata pelajaran apapun juga. Karakter yang perlu

ditanamkembangkan pada diri siswa adalah karakter yang diperlukan untuk abad 21,

sebagaimana dirumuskan Kay (2008). Yakni, a)etika kerja, b)kemampuan berkolaborasi,

c)kemampuan berkomunikasi, d)tanggung jawab sosial, dan, e)berpikir kritis dan

memecahkan masalah. Tujuan mewujudkan kompetensi ini menuntut proses

pembelajaran menekankan keseimbangan dari empat dasar: menghafal, analitis, kreatif,

dan praktis. Evaluasi pembelajaran harus pula bertumpu pada empat dasar ini.

33

Page 34: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

Setelah sekolah memiliki kesadaran diri sebagai entitas utuh mandiri dan memiliki cara

pandang baru, termasuk tujuan sekolah tidak semata-mata menekankan pada kemampuan

ilmu dan teknologi, tetapi juga menekankan pada pengembangan moral siswa, dan telah

ada perubahan dalam penekanan pembelajaran, maka kebijakan keempat yang diperlukan

adalah meningkatkan kemampuan kepala sekolah untuk melakukan capacity building. Di

sekolah memiliki banyak dan berbagai macam kegiatan yang dilakukan oleh warga

sekolah. Guru memiliki tujuan, demikian pula siswa memiliki rencana yang akan dicapai.

Masing-masing kelas memiliki rencana dan tujuan kegiatan. Guru BP juga memiliki

kegiatan untuk mencapai tujun tertentu. Semua kegiatan tersebut diatas harus diatur,

ditata dan disinkronkan sehingga menuju satu tujuan terciptanya proses pembelajaran

yang berkualitas untuk mewujudkan prestasi yang berkualitas pula. Penyatuan dan

sinkronisasi menyatukan semua potensi inilah yang disebut dengan Capacity Building

(Zamroni, 2000).

Kebijakan ke lima dalam peningkatan mutu adalah menekankan peningkatan kemampuan

profesional guru yang berkesinambungan (Countinues professional development bagi

guru) berlangsung di sekolah. Untuk itu, budaya kolaborasi perlu dikembangkan di

kalangan sekolah. Kultur, watak dan semangat berkolaborasi perlu dikembangkan

diantara warga sekolah khususnya diantara para guru sangat penting karena merupakan

fondasi untuk berlangsungnya peningkatan kemampuan professional guru. Upaya

peningkatan kemampuan professional guru yang paling efektif adalah guru yang dikenal

lebih memiliki kemampuan melakukan observasi guru lain yang tengah melaksanakan

pembelajaran, kemudian observer memberikan masukan kepada yang bersangkutan.

Semangat berkolaborasi juga diperlukan diantara sekolah yang ada, khususnya yang

lokasinya berdekatan. Sebab, peningkatan kemampuan professional guru yang paling

efektif lagi efisien adalah apabila berlangsung di sekolah atau antar sekolah yang

berdekatan. Untuk itu, situasi dan semangat kompetisi yang berlebih-lebihan perlu untuk

dikendalikan, dan diganti dengan semangat berkolaborasi.

Kebijakan keenam dalam peningkatan mutu adalah mengembangkan sistem data dan

34

Page 35: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

informasi yang baik yang dapat dipergunakan dalam pengelolaan sekolah termasuk dalam

proses pembelajaran. Semua kegiatan di sekolah dicatat, disusun dan ditransfer sebagai

data kuantitatif, sehingga netral, objektif dan memiliki mana yang sama bagi siapapun

juga. Proses peningkatan mutu dari waktu ke waktu mempergunakan dan mencermati

data ini. Perubahan dari waktu ke waktu merefleksikan perubahan yang terjadi di sekolah.

Dengan demikian proses peningkatan mutu berlangsung hari demi hari, terencana dan

secara faktual dapat diikuti dengan seksama.

Kebijakan sebagaimana dikemukakan diatas didasarkan pada satu asumsi bahwa sekolah

telah memiliki dan merumuskan secara singkat dan jelas visi dan missi sekolah. Warga

sekolah khususnya guru dan siswa memahami visi dan missi sehingga mereka memiliki

arah yang jelas kemana mereka menuju dan apa yang harus dilakukan agar tujuan dapat

dicapai. Tanpa pemahaman akan visi dan missi, kegiatan sekolah dalam peningkatan

mutu tidak memiliki arah. Akibatnya, kegiatan tidak akan efektif dan efisien.

Secara mendasar sekolah memang harus ditekankan untuk membangun karakter siswa,

sebagai basis membangun karakter bangsa. Sungguh, bangsa ini memerlukan karakter

yang kuat. Karakterlah yang memberikan arah kemana bangsa harus menuju, apa-apa

yang harus dikejar dan dicapai, dan sebaliknya apa-apa yang harus dihindari,

ditinggalkan dan dibuang jauh-jauh. Keroposnya karakter bangsa menyebabkan, bangsa

ini kehilangan arah, dan warga bangsa tidak memiliki lagi pegangan yang jelas apa yang

harus dikejar dan diraih, dan apa yang harus ditinggalkan. Oleh karena itulah visi

pendidikan nasional Indonesia menekankan keberadaan manusia berkualitas dalam

kecendekiawanan, kecerdasan spiritual, emosional, sosial, serta kinestetis (gerak tubuh)

dan kepiawaian, serta mampu menghadapi perkembangan dan persaingan global. Untuk

ini, sekolah harus mulai mengembangkan kompetensi abad 21yang menekankan pada

pengembangan karakter.

Guru sebagai Agen Perubahan

Dalam upaya mengimplementasikan paradigma pendidikan masa depan, peran guru

sebagai pilar utama peningkatan mutu pendidikan jelas tidak boleh dipandang sebelah

35

Page 36: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

mata. Sudah saatnya guru diberi kebebasan dan keleluasaan untuk mengelola proses

pembelajaran secara kreatif, “liar”, dan mencerdaskan, sehingga pembelajaran

berlangsung efektif, menarik, dan menyenangkan. Sudah bukan saatnya lagi guru

dipajang dalam “rumah kaca” yang selalu diawasi gerak-geriknya, sehingga guru yang

dianggap “tampil beda” dalam mengelola proses pembelajaran “kena semprit” dan

dihambat kariernya.

Profesi guru bukan sembarangan, melainkan penting dan menentukan masa depan

bangsa. Dengan demikian guru harus menjadi orang yang memiliki jati diri kuat,

senantiasa menjadi tauladan dan merencanakan, melaksanakan pembelajaran dengan

serius sepenuh hati. Siswa juga harus memiliki cara pandang baru, yakni, sekolah bukan

merupakan keharusan melainkan kebutuhan; siswa bukan peserta pasif, melainkan

peserta aktif, siswa bukan tidak berdaya, melainkan memiliki kekuatan untuk merealisir

apa yang dinginkan; apa saya bisa mengerjakan ?, YES saya bisa kerjakan; dan, tidak

sekedar senang bisa lulus, melainkan Why not the best?. Dengan demikian siswa menjadi

individu yang memiliki cita-cita yang tinggi, semangat belajar keras dan yakin bahwa

yang bersangkutan mampu.

Dalam Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas (pasal 40 ayat 2) jelas

dinyatakan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban: (1) menciptakan

suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; (2)

mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan (3)

memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan

kepercayaan yang diberikan kepadanya. Ini artinya, guru tidak lagi berperan sebagai

“piranti negara” yang semata-mata mengabdi untuk kepentingan penguasa, tetapi sebagai

“hamba kemanusiaan” yang mengabdikan diri untuk “memanusiakan” generasi bangsa

secara “utuh” dan “paripurna” (cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual) sesuai

dengan tuntutan zaman.

Dalam konteks demikian, guru harus benar-benar menjadi “agen perubahan” dan menjadi

sosok profesional yang senantiasa bersikap responsif dan kritis terhadap berbagai

36

Page 37: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

perkembangan dan dinamika peradaban yang terus berlangsung di sekitarnya. Guru -

bersama stakeholder pendidikan yang lain - harus selalu menjadikan sekolah bagaikan

“magnet” yang mampu mengundang daya pikat anak-anak bangsa untuk berinteraksi,

berdialog, dan bercurah pikir dalam suasana lingkungan pembelajaran yang menarik dan

menyenangkan. Dengan cara demikian, tidak akan terjadi proses deschooling society di

mana sekolah mulai dijauhi oleh masyarakat akibat ketidakberdayaan pengelola sekolah

dalam menciptakan institusi pembelajaran yang “murah-meriah” di tengah merebaknya

gaya hidup hedonistik, konsumtif, materialistik, dan kapitalistik.

Demikian pula, orang tua siswa harus memiliki cara pandang baru. Yaitu, tanggung

jawab ortu tidak selesai dengan membayar uang ke sekolah; yang terikat dengan

perjanjian dan kewajiban sekolah tidak hanya anaknya, melainkan juga dirinya;

sepenuhnya percaya pada sekolah dan bekerjasama dengan sekolah; perlu

mengembangkan keserasian apa yang di sekolah dan apa yang di rumah; tidak ada

sekolah murah, sekolah itu mahal; dan, angka nilai penting, tetapi bukan segala-

segalanya. Dengan demikian orang tua akan patuh pada aturan sekolah dan berpartisipasi

dalam membantu terlaksananya kegiatan sekolah.

Kebijakan kedua dalam peningkatan mutu adalah memperkuat penekanan sekolah

sebagai suatu entitas mandiri, sebagai implikasi dari kebijakan SBM dan KTSP. Oleh

karena itu, semua intervensi dalam rangkaian peningkatan mutu senantiasa melewati

sekolah. Kondisi memerlukan kesadaran diri secara serius dari kalangan sekolah sendiri.

Sekolah telah memiliki memiliki kemandirian dan kemerdekaan sebagai basis munculnya

watak kreatif innovative dan berani mengambil resiko.

Mentalitas Wiraswasta : Sebagai Tantangan

DEMAM wirausaha di dunia perguruan tinggi sebenarnya berasal dari keinginan

Indonesia meniru silicon valley-nya Amerika Serikat. Seorang tokoh bernama Iskandar

Alisjahbana menjadi peletak ide ini. Pada 10 Mei 1963, seorang mahasiswa berbicara di

depan ratusan mahasiswa lainnya. Dalam orasinya, ia menyinggung soal mahasiswa Cina

37

Page 38: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

di kampus tempatnya belajar. Kata-kata yang diucapkannya menyinggung kelebihan

mahasiswa Cina.

Yang dibicarakannya bukan ajakan untuk meniru prestasi mahasiswa Cina. Sang

mahasiswa tersebut malah menyulut kebencian pribumi dan non-pribumi. "Bakar motor-

motor mereka," kata orator bernama Siswono. Kejadian ini terjadi di Institut Teknologi

Bandung. Untung kejadian itu tidak berlangsung lama. Seorang dosen datang dan

menempeleng balik mahasiswa yang berkoar tersebut. Lalu ia berkata, "Sis, menampar

orang secara fisik di kampus, itu haram hukumnya. Di kampus orang harus menampar

dengan otak, berdebat!"

Sang dosen, Iskandar Alisjahbana lantas membawa mahasiswanya itu ke tempat lain dan

diajak berbicara. Tentu saja, Iskandar tidak ingin ITB yang disebut menyulut konflik

rasial di Indonesia sehingga ia perlu mengamankan mahasiswanya tersebut. "Sis lalu

membuat buku dan meminta maaf pada seluruh sivitas akademika. Itu dua bulan setelah

kejadian itu," kata Iskandar pada suata sesi wawancara dengan Kampus dan budayawan

Hawe Setiawan, 15 November 2008. Kenapa mahasiswa bisa bertingkah rasis seperti itu?

Iskandar mengatakan mahasiswa-mahasiswa ITB yang berdarah pribumi cemburu dengan

prestasi non-pribumi. Cemburu berawal dari sedikitnya mahasiswa pribumi naik kelas

ketimbang non-pribumi. "Pada zaman saya masih mahasiswa, hanya ada dua pribumi

yang lulus ujian lisan. Sampai zaman saya jadi dosen pun kejadiannya tidak beda jauh,"

ujarnya terkekeh.

Kelemahan akademis seperti itu tidak dibiarkan lama oleh Iskandar. Ia menilai

mahasiswa pribumi tidak 'bodoh' apa yang dibicarakan oleh kolonial sebagai inlander

pemalas. Ia mengatakan, adanya sikap rendah diri karena perlakukan koloniallah yang

membuat banyak generasi muda saat itu seperti lemah. Ditambah lagi karut-marut

politik membuat runyam perhatian ke dunia pendidikan.

38

Page 39: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

Iskandar melepaskan beban politik pada dunia pendidikan dan mengalihkan perbaikan

mutu mahasiswa pada program-program seperti need of achievement (NAch) training.

Pelatihan ini bertujuan mendongkrak motivasi dan kreativitas mahasiswa di zaman itu.

Maksudnya, agar mahasiswa Indonesia bisa mandiri dan tidak melulu disebut malas.

"Ada orang yang need of achievement-nya tinggi. Ada juga orang yang punya need of

affiliation yang tinggi, dan ada orang yang need of power-nya tinggi. Setiap manusia

punya tiga need ini. Indonesia adalah masyarakat gotong royong. Saya datangkan seorang

dosen dari Amerika," jelasnya.

Pelatihan Need of Achievement sebenarnya landasan dari pelatihan wirausahawan.

Iskandar membawa wacana ini pertama kali ke ITB dimana saat itu perguruan tinggi

hanya menghasilkan mahasiswa berkemampuan teknis dan calon pekerja belaka.

Di berbagai perguruan tinggi pelatihan, training, dan beasiswa menjadi wirausahawan

dibuka. Misal, Institut Pertanian Bogor (IPB). Mengutip situs lembaga tersebut, sekitar

2.000 mahasiswa IPB mendaftar pada program pengembangan kewirausahawan pada

Maret 2009. Konon, dana permodalan yang tersedia Rp 1,4 miliar.

Sama halnya dengan IPB, pihak kemahasiswaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

Bandung pun membagikan dana kewirausahaan kepada mahasiswanya. Sebanyak Rp 1

miliar akan diberikan kepada 108 mahasiswa. Besaran dana itu berasal dari bantuan

Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Selain kampus yang

membuka lebar-lebar pintu bagi mahasiswa yang ingin mengubah nasib melalui pelatihan

wirausaha, banyak pula komunitas ekstrakampus yang membuka layanan pelatihan

seperti ini. Meski pandangan wirausaha dalam pendidikan kadang

dicibir sebagai praktik pragmatisme pendidikan, tapi di sisi lain ilmu wirausaha dianggap

jalan keluar dari "musibah" menumpuknya pengangguran intelek di negeri ini.

Banyaknya pelatihan seperti ini tentu bukan fenomena tanpa sebab. Terbersit nama

seorang tokoh pendidikan dan disebut tokoh pendobrak menara gading perguruan tinggi,

Iskandar Alisjahbana sebagai pelopor gerakan wirausaha di dalam perguruan tinggi di

39

Page 40: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

Indonesia. Tokoh yang meninggal dunia pada 16 Desember 2008 itu meninggalkan

wacana berharga bagi dunia pendidikan Indonesia. Pada periode Iskandar menjadi Rektor

ITB (1976-1978), Iskandar membangun inkubator bisnis di ITB. Ia datangkan pula ahli

wirausaha dari Amerika Serikat, membuat kerjasama dengan dengan universitas luar

negeri dan menyinergikan akademik teknis dengan ilmu perusahaan. Iskandar berhenti

dengan aktivitasnya sebagai rektor setelah rumahnya diberondong peluru tentara kala ITB

diduduki tentara 1979.

Meski kini Iskandar telah tiada, tapi catatan sejarah dan pemikirannya bergeming di ITB.

Karena Pak Is, begitu ia akrab dipanggil, tidak ada lagi pertarungan rasial karena

cemburu nilai. Siswono Yudohusodo sudah menjadi pejabat di negeri ini dan pengusaha

pula. Anak didiknya yang lain seperti Arifin Panigoro pun sudah menjadi pembesar

Grup Medco. Yang ada saat ini adalah ITB dan berbagai perguruan tinggi berlomba-

lomba mencetak sarjana yang wirausahawan dan menyambungkan perguruan tinggi

dengan industri. Cita-cita menjadikan Indonesia seperti silicon valley.

Kepustakaan

Annaz ,   Menuntut Pendidikan Haus Gratis, Berkualitas, Ilmiah, Modern dan Demokratis

, www.kprm-prd.org Copyrighted 2009.

Aronowitz, Stanley and Henry A .Giroux, 1990. Post-Modern Education: Politics,

Culture dan Social Criticism. Oxford: University of Minessota Press. 

Aronowitz, Stanley & Henry Giroux, 1987. Education Under Siege: The Consevative,

Liberal, and Radical Debate Over Schooling. London & Hanley: Routledge &

Kegan Paul.

Akhmadi et al. 2003.Pengamatan Cepat Smeru Tentang Permasalahn Pendidikan dan

Program JPS, Beasiswa, dan DBO di Empat Propinsi. Jakarta: SMERU.

.............2004. Laporan Penelitian: Penyelenggaraan Guru Bantu. Jakarta: Departemen

Pendidikan Nasional.

Alisjahbana, Armida S. “Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan”, Bandung : FE

Universitas Padjadjaran, 2000

40

Page 41: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

AMIR SYARIF SIREGAR, Pembatalan UU BHP menuai berbagai tanggapan,

WASPADA ONLINE, Saturday, 03 April 2010 08:57   

AMUBA , Refleksi Hari Pendidikan Nasional, on Wed, 04/29/2009 - 20:23

Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional

Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta : Gema Insani

Press), 1997

Anjrah Lelono Broto, Guru Dalam Arus Pragmatisme, Sebuah Renungan Hari

Kebangkitan Nasional, google 2010.

Andreo F Rajagukguk, Lentera Pendidikan Hilangnya Pendidikan Nasional, google 2010.

Asril Ridwan , Ancaman Keras dan Pragmatisme Dingin , 18.02.2010 Adrienne

WoltersdorfBildunterschrift: Großansicht des Bildes mit der Bildunterschrift:  Adrienne

Woltersdorf.

Atmadi, A. & Setiyaningsih (eds.), Transformasi Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius,

2001)

Audi, Robert, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, (Yogyakarta : UII

Press), 2002

ave in Pojok, Kebijakan Privatisasi BUMN: Relasi State, Market dan Civil Society,

Posted on 19. Jan, 2010

Browne. R.K. & Lamb.A. 2000. Linking Theory to Practice in the Workplace.AERC

Proceeding.

B.J. Habibie, Detik-Detik Yang Menentukan, Jalan panjang Indonesia Menuju

Demokrasi, THC Mandiri, 2006.

Caldwell, B.J. 2000. A Theory Of Learning In The Self-Managing School. EPM,

Department Manager, Faculty of Education, (Online),

(http://www.edfac.unimelb.edu.au diakses 30 Agustus 2003).

Cromwell,S.2000.Site-Based Managament:Boon or Boondogle?.School

Administrator Articie.Education World,(Online),(http://www.education world.com

diakses 25 September 2003).

Conny Semiawan, Prof Dr (2003) Memelihara Integrasi Sosial dan Menegakkan HAM

Melalui Pendidikan Multikultural , 14 September 2003, Pendidikan, Ditjen

HAM

41

Page 42: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

Chadd .J.& Anderson.M.A.2005. Illinois Work-Based Learning Programs: Worksite

Mentor Knowledge and Training, Jurnal Career and Technical Education

Research, Volume 30 nomor 1 Tahun 2005.

Cholisin.(2004a). Konsolidasi Demokrasi Melalui Pengembangan Karakter

Kewarganegaraan, dalam Jurnal Civics : Media Kajian Kewarganegaraan,

Volume 1, Nomor 1, Juni 2004. Yogyakarta : Jurusan PPKn FIS UNY.

Cholisin.(2000b).Pendidikan di Indonesia dalam Perspektif Demokrasi. Makalah

disampaikan dalam Seminar Sehari “demokrasi di Indonesia : Dulu, Kini, dan

Esok”, Penyelenggara Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta

bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 28

Agustus 2004.

Cholisin, Kebijakan Pendidikan Dan Pendidikan Demokrasi , google 2010

Choirul Mahfud(2009), Quo Vadis Politik Pendidikan Islam, at 11 November, 2009,

google Maret 2010.

Darmaningtyas, Berbagai Problematik Ujian Nasional, Sumber: Kompas, Selasa, 1

Desember 2009

Dini Kinanthi, Pemikiran Gus Dur Tentang Kebangsaan Harus Dilanjutkan, Email:

[email protected]

Dewantara, Ki Hadjar, 1945 [1963]. Karja Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pertama:

Pendidikan. Yogjakarta: Taman Siswa.

Dewey's, John , my pedagogic creed, famous declaration concerning education. First

published in The School Journal, Volume LIV, Number 3 (January 16,

1897).

Doni Koesoema , Desain Besar Pendidikan & Berbagai Problematik Ujian Nasional,

Driyarkara, Driyarkara: tentang Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 1991)

Kompas, Selasa, 1 Desember 2009

Ebenstein, Willam & Fogelman, Edwin, Isme-Isme Dewasa Ini (Todays Isms),

Penerjemah Alex Jemadu, (Jakarta : Penerbit Erlangga), 1984

Eko Pujiati, S.H., M.Pd, Realisasi Kebijakan Otoda Di Bidang Pendidikan Melalui

Manajemen Berbasis Sekolah Di Kota Malang, Saturday, 12 April 2008

Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Jakarta : CV Rajawali, 1986. 

42

Page 43: Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat :

Eyre, Richard & Linda, Mengajarkan Nilai-Nilai kepada Anak (Jakarta: Gramedia, 1997)

Falah, Maslahul(2003), Islam Ala Soekarno Jejak Langkah Pemikiran

Islam Liberal Indonesia, Kreasi Wacana , Yogyakarta.

43