Sekolah Sebagai Alat Politik

26

Click here to load reader

Transcript of Sekolah Sebagai Alat Politik

Page 1: Sekolah Sebagai Alat Politik

SEKOLAH SEBAGAI ALAT POLITIK : Kegagalan Membangun kebudayaan Oleh Rum RosyidOrang Miskin Dilarang Sekolah, Emoh Sekolah, dan judul buku semacamnya merupakan potret kegelisahan public melihat realitas sekolah yang semrawut, mahal, bersifat seperti bank, dan menjadi alat kapitalisme global. Neokolonialisme telah hadir begitu dekat dengan lembaga publik yang selama ini diagungkan. Pendidikan telah mengalami proses formalisasi sekolah, dan hanya sekolah yang mendapatkan legitimasi negara membuat semua warga “salah baca” terhadap pendidikan. Pendidikan dimaknai sekolah dengan batasan yang amat sempit. Tugas pendidik, ujian nasional, pembangunan fisik, dan program pendidikan lainnya selalu dilekatkan pada lembaga formal yang bernama “sekolah”. Nasib orang ditulis dalam secarik kerta keramat yang kemudian dimaknai oleh pejabat yang berwenang yang didukung oleh data dan sekaligus “data pendukung”. Data pendukung ini dibutuhkan karena ijazah dianggap belum cukup, karenanya harus ada lembaran-lembaran kecil lain yang bisa mendukung ijazah ini laku atau tidak.Sekolah dengan desain politik seperti ini telah merebut kebebasan dan kemanusiaan. Sekolah bukan lagi mengemban misi pendidikan tetapi lebih cenderung pada penyediaan lapangan kerja, perdagangan ilmu, dan praktik kapitalisme dan kolonialisme baru. Tanpa membedakan antara sekolah dan pendidikan secara global ada dua hal yang perlu direnungkan:1. Mengapa sekolah mahal, mengapa harus membeli buku setumpuk. Apa tujuan dan bagaimana proses dan strategi pembelajarannya telah direncanakan sehingga anak paham terhadap tujuan membeli dan membaca buku-buku tersebut. Pertanyaan ini selalu saja tidak terjawab, yang membuat jiwa tertekan dan merasa harga buku yang harus mereka beli menjadi lebih mahal dan menyesakkan dada. Belum lagi kondisi pekerjaan, beban hidup, kondisi lingkungan yang rusak, informasi yang terus mengalir bahwa ada orang-orang yang memanfaatkan proyek pengadaan buku ajar dengan cara yang kurang ngajar. Apalagi dengan melihat kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada pendidikan bangsanya.2. Secara institusional, sekolah kita belum mampu membuat visi dan orientasi yang berpihak kepada rakyat, akan tetapi berpihak pada kepentingan investasi modal. Di sisi lain sekolah juga belum mampu mengaplikasikan strategi pembelajaran dan pendidikan yang menyentuh wilayah “dalam” manusia agar peserta didik memiliki kompetensi unggulan sehingga ia dapat berpartisipasi untuk memajukan peradaban yang berkeadaban.

Politik Keterpaksaan Sekolah : ilusi pendidikan murah dan berkualitasPendidikan di zaman seperti ini seperti menjadi barang yang mahal. Mau sekolah, harus bayar setinggi langit. Mencekik urat leher rasanya. Kalau tidak jangan harap bisa bersekolah seperti yang lain. Dalam kasus seperti ini, uang lah yang berbicara. Kejadian seperti itu, tidak hanya terjadi di tingkat SD, SMP, SMA atau perguruan tinggi. Bahkan di tingkat taman kanak-kanak (TK) saja, di usia dini untuk masuk sekolah, uang sekolah tidak kalah dengan anak yang ingin masuk SD, SMP, SMA atau perguruan tinggi. BAGI bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama dengan kebutuhan perumahan, sandang, dan pangan. Bahkan, ada bangsa atau yang terkecil adalah keluarga, pendidikan merupakan kebutuhan utama. Artinya, mereka mau

Page 2: Sekolah Sebagai Alat Politik

mengurangi kualitas perumahan, pakaian, bahkan makanan, demi melaksanakan pendidikan anak-anaknya.Seharusnya negara juga demikian. Apabila suatu negara ingin cepat maju dan berhasil dalam pembangunan, prioritas pembangunan negara itu adalah pendidikan. Jika perlu, sektor-sektor yang tidak penting ditunda dulu dan dana dipusatkan pada pembangunan pendidikan.Negeri ini telah lebih dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun dan telah 10 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib belajar adalah memberikan pelayanan kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau oleh kemampuan masyarakat banyak. Apabila perlu, pendidikan dasar enam tahun seharusnya dapat diberikan pelayanan secara gratis karena dalam pendidikan dasar enam tahun atau sekolah dasar kebutuhan mendasar bagi warga negara mulai diberikan. Di sekolah dasar inilah anak bangsa diberikan tiga kemampuan dasar, yaitu baca, tulis, dan hitung, serta dasar berbagai pengetahuan lain. Setiap wajib belajar pasti akan dimulai dari jenjang yang terendah, yaitu sekolah dasar.Seperti diketahui, sebagian besar keadaan sosial ekonomi masyarakat kita tergolong tidak mampu. Dengan kata lain, mereka masih dililit predikat miskin. Mulai Inpres Nomor 10 Tahun 1971 tentang Pembangunan Sekolah Dasar dan inpres- inpres selanjutnya, negeri ini telah berusaha memberikan pendidikan murah untuk anak bangsanya. Puluhan ribu gedung sekolah dasar telah dibangun dan puluhan ribu guru sekolah dasar diangkat agar pemerataan kesempatan belajar untuk jenjang sekolah dasar dapat dilaksanakan dengan murah, dari kota sampai ke desa-desa. Semua warga negara, kaya atau miskin, diberi kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan dasar enam tahun yang biayanya dapat dijangkau golongan miskin.Kejadian itu dapat dinikmati dalam jangka waktu cukup lama, yaitu sejak dicetuskannya Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun tahun 1984. Sayang, gema wajib belajar itu makin hari makin melemah karena komitmen bangsa ini pada wajib belajar tidak seperti saat dicanangkan. Jika selama ini kita melihat pendidikan tinggi itu mahal, sekolah menengah juga mahal, SMP juga mahal, sekarang kita saksikan memasuki sekolah dasar pun sudah mahal.Kini kita melihat, hampir semua jenjang sekolah negeri sudah menjadi lembaga komersialisasi karena yang berbicara tidak lagi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh kurikuler, tetapi justru besarnya biaya masuk untuk sekolah dasar. Jika untuk masuk sekolah dasar ditentukan oleh umur, maka seorang anak yang sudah berumur tujuh tahun atau lebih wajib diterima sebagai murid sekolah dasar. Ini adalah ketentuan yang tidak boleh ditawar karena ketentuan untuk masuk sekolah dasar adalah berdasarkan umur.Agaknya pelaksanaan wajib belajar negeri ini adalah slogan yang selalu didengung-dengungkan. Padahal, dalam kenyataannya, pelaksanaan wajib belajar dihalang-halangi, karena untuk masuk sekolah dasar pun kini harus membayar mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat membayarnya. Maka terjadilah hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi apabila semua pihak, terutama guru dan kepala-kepala sekolah, menghayati tujuan wajib belajar itu. Bagi masyarakat dan orangtua yang kaya, anaknya akan dapat bersekolah di sekolah negeri, sedangkan yang miskin akan gagal dan tidak bersekolah.Untuk masuk ke sekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin mampu membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan memperoleh kesempatan

Page 3: Sekolah Sebagai Alat Politik

memperoleh pendidikan. Sungguh satu hal yang ironis. Sebab, pada negara yang hampir 60 tahun usianya ini, banyak anak bangsanya akan menjadi buta huruf karena dililit kemiskinan dan negeri ini akan terpuruk karena kualitas sumber daya manusianya tidak mampu bersaing dengan negara –negara yang lain.

Dari awal tampaknya sekolah dijadikan tempat mencari keuntungan. Lembaga profit. Tidak hanya di swasta di sekolah negeri pun juga demikian. Sama saja alias tidak ada bedanya sama sekali. Bahkan kalau dihitung-hitung, bayar uang sekolah di swasta jauh lebih murah di bandingkan negeri. Indonesia adalah negeri yang unik. Tidak terkecuali di bidang pendidikannya. Perguruan tinggi negeri saja menerapkan standar ganda untuk masuk ke sana. Anda bisa kuliah di sana kalau otaknya encer atau bisa kuliah di sana jika punya uang banyak.Mereka terpaksa putus sekolah karena berbagai alasan, terutama karena keterbatasan kemampuan ekonomi keluarga. Keterbatasan ini bukan hanya berakibat pada persoalan keberlangsungan sekolah pada anak-anak itu, tetapi lebih jauh kemiskinan telah mengakibatkan tekanan pada gizi yang buruk dan kesehatan. Mereka yang berada dalam strata seperti ini tidak memiliki kepastian dan keleluasaan. Tekanan ekonomi dan kemiskinan yang melanda sejumlah besar penduduk telah mengakibatkan munculnya berbagai persoalan yang sepertinya tak pernah selesai. Kemiskinan bukan hanya berpengaruh langsung terhadap rendahnya kualitas kesehatan dan rendahnya angka harapan hidup, tetapi juga terhadap rendahnya tingkat pendidikan. Padahal, seperti diketahui rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan akan berpengaruh langsung terhadap kualitas sumber daya yang pada akhirnya bermuara pada rendahnya produktivitas. Semakin miskin, semakin tidak berdaya. Maka semakin banyak orang miskin, bangsa ini semakin tidak berdaya. Pada akhirnya kekukuhan negara juga diragukan.Jika kenyataannya semakin banyak anak-anak tidak memiliki kesempatan untuk sekolah dengan semestinya, maka mudah diduga ada yang salah pada negara dan pemerintahnya. Dalam realitas seringkali dinyatakan adanya pendidikan gratis. Tetapi, mana ada sekolah yang gratis ? Karena kenyataan, buku, seragam, sepatu, biaya-biaya non-SPP tetap saja harus ada. Jika jarak tempuh antara rumah dengan sekolah cukup jauh, maka harus ada biaya transportasi. Karena biaya sekolah bukan hanya persoalan SPP yang digratiskan, maka mereka yang berada dalam kemiskinan tetap tak mampu menjangkau. Artinya, sumber dari tingginya angka putus sekolah tetap pada kemiskinan.

Pendidikan murah dan gratis adalah pandangan yang bertentangan dengan kenyataan. Bahkan seperti dikatakan Presiden Megawati Soekarnoputri dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional di SMU 13, Tanjung Priok, Jakarta Utara, "pandangan itu sangat menyesatkan". Menurut Megawati, pendidikan membutuhkan biaya sangat besar. Saat ini saja, negara mengalokasikan seperlima dari anggaran belanja negara untuk pendidikan, tapi tetap dirasa belum memadai. "Saya kira, tidak ada di antara kita yang akan berpikir dua kali untuk mengalokasikan dana lebih besar untuk kepentingan generasi masa depan," kata Megawati. Untuk meningkatkan dana pendidikan, kata Megawati, masih terbatas kondisi perekonomian. "Sungguh tidak mudah membagi kue anggaran yang sedemikian kecil untuk mendanai banyak kebutuhan. Memperbesar alokasi untuk satu bidang, akan mengurangi alokasi untuk bidang lainnya," kata Megawati. Untuk itu, salah

Page 4: Sekolah Sebagai Alat Politik

satu cara yang bisa dilakukan adalah memperbesar kue anggaran dan menggalakkan kampanye anti korups, kolusi dan nepotisme (KKN). "Dunia pendidikan dapat memberi andil dengan membina kehidupan kerohanian di sekolah dan di rumah tangga. Dalam tiap rumah tangga harus ditanamkan, KKN itu adalah jahat," kata Megawati. Walau demikian, tetap tidak jelas apa yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendidikan.

Dalam dua tahun terakhir memang pendidikan maju sedikit. Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) di setiap jenjang pendidikan dalam tiga tahun belakang, yang menunjukan peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan yang sangat signifikan. Pada tingkat SD/MI/Paket A, Sumatra Barat mengalami peningkatan nilai APK, rata-rata sebesar 2 persen per tahun, dimana tahun 2005, APK Sumbar sebesar 112,46 persen, tahun 2006, 113,37 persen dan tahun 2007 telah mencapai 114,87 persen.Di tingkat SMP/MTS/Paket B, APK Sumatra Barat mencapai 89,78 persen. Sedangkan untuk tingkat SMU/Paket C, APK sebesar 66,21 persen. Peningkatan nilai APK, juga diiringi dengan peningkatan nilai APM, dengan nilai peningkatan lebih dari 2 persen per tahun. Pada tingkat SD sederajat, APM Sumbar tahun 2005 (96,81 persen), tahun 2006 (97,61 persen) dan tahun 2007 mampu mencapai 99,12 persen. Tingkat SMP sederajat, tahun 2005 (69,44 persen), tahun 2006 (70,62 persen) dan tahun 2007 (72,63 persen). Sedangkan untuk APM sekolah menengah, mencapai 50,63 persen.Ibu Negara Ani Yudhoyono saat menjadi narasumber pada Konferensi Regional UNESCO mengenai Upaya Pemberantasan Buta Huruf Sedunia (”UNESCO Regional Conferences in Support of Global Literacy”), di Beijing, China, memaparkan upaya dan keberhasilan Indonesia mempercepat pemberantasan buta aksara di Indonesia. Ia mengatakan, Indonesia sebagai negara besar memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan jumlah penduduk sekitar 245 juta jiwa, yang sebagian besar atau 43 juta diantaranya anak usia 4-15 tahun. Pemberantasan buta aksara di Indonesia berlangsung sejak tahun 1945, yang ketika itu tingkat buta aksara mencapai 97 persen dari jumlah penduduk. Menurut dia, salah satu pendorong berhasilnya menurunkan angka buta aksara adalah Program Wajib Belajar 9 Tahun yang merupakan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2006, dan juga menjadi “Tahun Mengatasi Buta Aksara” di tanah air. Yang perlu difikirkan sekarang, bagaimana meningkatkan taraf hidup masyarakat untuk kemajuan dunia pendidikan. Pendidikan sangat penting. Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini yang sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah.  Unuk diketahui, jumlah penduduk miskin di Sumbar sekitar 12 persen dari 4,45 juta

Jika sekolah masih diposisikan sebagai alat politik, maka pendidikan politik bagi generasi muda di negeri ini akan mengalami penurununan kualitas dan bahkan lebih drastis lagi. Untuk mengantisipasi agar unsur keterpaksaan sekolah bisa dinetralisasikan dari pengaruh politik jahat, maka harus ada program pembebasan rakyat dari keterpaksaan dalam menempuh pendidikan. Kebebasan memilih pendidikan yang berkualitas tanpa dibebani biaya yang tidak terjangkau adalah salah satu solusi di samping peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan itu sendiri.

Page 5: Sekolah Sebagai Alat Politik

Mengatakan bahwa pendidikan bermutu tidak mungkin dicapai dengan biaya yang murah. Dengan kata lain, murah dan mutu memang bukan pilihan hitam putih karena bisa saja murah tapi bermutu atau tak murah tapi tak bermutu. Mempertanyakan fasilitas pendidikan memang menjadi sangat relevan ketika dunia pendidikan saat ini sedang dihadapkan pada pilihan tetap masuk General Agreement on Trade in Services) GATS atau memilih mundur dari perundingan internasional itu. Globalisasi pendidikan sebenarnya bukan baru berlangsung atau baru akan terjadi di Indonesia. Masuknya lembaga pendidikan internasional di Indonesia banyak dilihat sejak beberapa tahun terakhir. Kalau saat ini menjadi polemik, karena GATS memberi batas waktu sampai Mei 2005 untuk melakukan globalisasi pendidikan. Pendidikan yang berkualitas harus tersebar di seluruh sudut kehidupan bangsa sehingga mudah diakses. Dengan teknologi informasi, upaya ini menjadi lebih mudah untuk direalisasikan. Terlepas dari perundingan GATS, siap atau tidak pendidikan Indonesia memang harus memenuhi syarat minimal pendidikan yang baik. Pendidikan harus memiliki penjamin mutu minimal (minimum quality assurance) dalam satu kerangka yang jelas agar setiap siswa mempunyai kesempatan belajar secara optimal untuk ditantang dengan persoalan keilmuan dengan tradisi berpikir secara ilmiah. ”Minimal pendidikan membutuhkan kualitas pengajar baik guru dan dosen, peralatan sekolah, buku referensi, laboratorium, kurikulum yang berkualitas,” demikian Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia Soedijarto kepada SH.Guru besar ilmu pendidikan Universitas Negeri Jakarta ini menjelaskan menghadapi globalisasi pendidikan, kuncinya ada di anggaran pendidikan. Tidak mungkin menghadapi globalisasi pendidikan dengan mengandalkan partisipasi subsidi silang dari masyarakat. Tidak semua rakyat kaya dan mampu membayar pendidikan global yang mahal ongkosnya. Negara barat seperti Amerika Serikat dapat mengandalkan partisipasi masyarakat karena pendapatan perkapitanya tinggi US$ 30.000 per tahun sedangkan Indonesia, hanya US$ 600. Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Tinggi dan Menengah DKI Jakarta Margani Muhammad Mustar, Msc menjelaskan bahwa prinsipnya bukan pendidikan murah tapi pendidikan bermutu. Pendidikan bermutu membutuhkan biaya yang tidak murah. Pendidikan dalam UU adalah tanggung jawab masyarakat, pemerintah, dan orang tua. ”Kita harus cari modal untuk menanggulangi ketidakmampuan pemerintah untuk mendukung pendidikan. Salah satu sumbernya adalah masyarakat. Kita mengalami dilema. Di satu sisi kita harus memberi kesempatan semua belajar, di sisi lain harus meningkatkan kualitas untuk bersaing. Ini harus dilakukan secara bersamaan dan simultan. Tidak mungkin kita memeratakan pendidikan tanpa mengejar globaliasi yang mahal. Oleh karena itu ada kelas reguler, kelas akselerasi, dan kelas internasional. Inilah demokrasi pendidikan,” jelasnya.Soedijarto menegaskan lagi bahwa semua ilmu pengetahuan—matematika, fisika, biologi, kimia tehnik, sosiologi, filsafat—bersifat internasional. Harga standar setiap pendidikan juga menggunakan harga standar internasional, tidak bisa ditawar-tawar. Tetapi ada perbedaaan pada upah tenaga pengajar. Guru dan dosen kita dibayar murah sedangkan di luar negeri punya standar yang jauh lebih tinggi. ”Persoalan ini tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada partisipasi masyarakat. Harus ada upaya keras dari pemerintah mencari sumber dana pendidikan selain peningkatan anggaran lewat APBN. Sejauh ini belum ada upaya yang serius walaupun amanat UU Pendidikan sudah jelas

Page 6: Sekolah Sebagai Alat Politik

bahwa pemerintah memikul anggaran pendidikan sebesar 20%,” kata pakar pendidikan ini.

Pengelolaan Anggaran Rawan BocorNamun di balik gugatan publik tentang pentingnya pengalokasian 20 persen anggaran APBN untuk sektor pendidikan, ada beberapa hal yang harus dibenahi terlebih dahulu, yang terkait dengan manajemen pengelolaan anggaran dan reformasi kultur birokrasi pendidikan. Sudah rahasia umum, pengelolaan anggaran pendidikan banyak atau rawan kebocoran.

Banyak proyek pendidikan yang tidak kena sasaran dan justru sumber korupsi pejabat birokrasi sektor pendidikan. Melihat banyaknya bangunan gedung sekolah yang rubuh, padahal baru didirikan pada periode 80-an dan 90-an merupakan bukti nyata bahwa praktek korupsi dan penggelembungan dalam proyek-proyek pendidikan telah melembaga dalam birokrasi pendidikan. Belum lagi praktik pungli, korupsi sekolah yang juga telah menjadikan mahalnya biaya pendidikan.

Untuk itulah saat ini diperlukan reformasi manajemen pengelolaan anggaran pendidikan berdasarkan prinsip akuntabilitas, profesionalisme, dan bertanggung-gugat. Perlu sebuah skenario politik untuk menyelamatkan efesiensi dan efektivitas penggunaan anggaran pendidikan apabila benar-benar oleh pemerintah direalisasikan menjadi 20 persen dari total belanja APBN. Skenario politis tersebut antara lain: Pertama, pemerintah dan DPR membentuk komisi pengawasan anggaran pendidikan yang anggotanya terdiri dari berbagai komponen masyarakat yang peduli terhadap dunia pendidikan dan memiliki integritas moral dan kompetensi profesi. Komisi pengawas anggaran pendidikan dibentuk dari tingkat pusat sampai daerah yang bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden.

Kedua, pelibatan partisipasi organisasi masyarakat sipil dalam proses pemantauan dan evaluasi implementasi anggaran pendidikan. Partisipasi tersebut diorientasikan dalam konsepsi program education for all, yakni mendorong pemenuhan hak sosial-ekonomi-budaya seluruh anggota masyarakat dalam memperoleh pelayanan di bidang pendidikan.

Ketiga, desain implementasi alokasi anggaran pendidikan sampai 20 persen dari total anggaran APBN sepenuhnya harus difokuskan kepada penciptaan sarana pendidikan murah dan berkualitas bagi masyarakat. Untuk itulah, DPR dan pemerintah bersama masyarakat membuat grand design pendidikan murah bagi seluruh masyarakat.

Demikianlah, saat ini diperlukan rumusan konsep nyata tentang fasilitasi pelayanan pendidikan murah dan berkualitas bagi seluruh masyarakat. Anggaran pendidikan apabila telah mencapai 20 persen dari APBN-sekitar Rp 115 triliun-harus diabdikan untuk memenuhi program pelayanan pendidikan murah dan

Page 7: Sekolah Sebagai Alat Politik

berkualitas bagi seluruh anak didik dan generasi muda bangsa. Anggaran sebesar tersebut bahkan dalam logika akal sehat cukup untuk menggratiskan biaya SPP siswa SD sampai SMA seluruh Indonesia, memeratakan pendidikan sampai pelosok desa terpencil.

Anggaran sebesar itu juga cukup untuk membiayai program peningkatan kompetensi profesi guru dan berbagai orientasi peningkatan pendidikan yang akuntabel. Jangan sampai anggaran pendidikan diperuntukkan untuk kepentingan proyek-proyek pendidikan yang rawan korupsi dan justru mendorong praktik komersialisasi pendidikan.

Kompetisi secara TransparanKalau mau meningkatkan kualitas sumber daya manusia, salah satu upaya yang paling logis adalah kompetisi. Kompetisi harus diciptakan secara transparan dan profesional agar terpacu untuk meningkatkan kualitas. Dalam kerangka ini, Soedijarto menilai kedatangan lembaga pendidikan asing akan memicu kualitas perguruan tinggi. Kita harus cari solusi untuk mampu bersaing, jangan menghindar dari persaingan karena dunia bersaing dalam globalisasi, katanya.Soedijarto menilai kalau UU tidak diterjemahkan akan terjadi seperti sekarang, mutu pendidikan rendah akibat guru dibayar murah, sekolah dan kampus seadanya sehingga hasil pendidikan masyarakat pasif, konsumtif, etos kerja rendah, dan mudah terjajah. ”Inilah krisis manusia Indonesia. Guru tidak bisa disalahkan karena hanya sebagai motivator. Keadaan seperti ini tidak memungkinkan untuk kompetisi walaupun di dalam negeri sendiri. Kalau tidak ada kompetisi, tidak akan fair,” katanya. Margani Muhammad Mustar menjelaskan sebanyak 20% perguruan tinggi ada di Jakarta. Semuanya sedang konsolidasi untuk menghadap globalisasi pendidikan. ”Globalisasi pasti datang dan ini kesempatan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Dulu kita harus belajar keluar negeri untuk meningkatkan kualitas. Sekarang terbuka bagi perguruan tinggi asing untuk berdiri di Indonesia. Dengan demikian orang Indonesia bisa mendapatkan pendidikan dengan kualitas internasional tapi dengan biaya lebih murah karena di dalam negeri dan tidak ada peningkatan living cost ,” jelasnya.Soedijarto memiliki pemahaman berbeda soal globalisasi pendidikan. Ia menjelaskan tidak perlu lembaga pendidikan asing membuka sekolah di Indonesia. Ia mengungkapkan yang lebih penting adalah bagaimana tenaga pendidik Indonesia memiliki taraf internasional dan tidak perlu memakai guru asing di Indonesia atau membuka sekolah di Indonesia. Membuka sekolah di Indonesia, menurutnya, jelas akan menimbulkan persoalan baru. Akan ada jarak gaji guru asing dan domestik, akan ada gap antara PT asing dan domestik, dan seterusnya, ujar Soedijarto. ”Kita sebenarnya bangsa yang pintar. Pada masa menjelang kemerdekaan para pendiri bangsa menuntut ilmu di sekolah yang bertaraf internasional. Walaupun belajar di Indonesia tapi metode Belanda ternyata lebih baik dari sekarang, sehingga kita punya Soekarno, M. Yamin, M. Hatta, Amir Syariffudin, Sjahrir, Ratulangi dan lainnya yang mampu menghantarkan kita ke gerbang kemerdekaan. Hasil pendidikan saat ini menghasilkan koruptor, manipulator, penjual aset negara, dan pengkhianat,” ujarnya lagi.Sementara itu, dosen dan Ketua Jurusan Ilmu Politik Fisip Universitas Tirtayasa, Banten, Maruli Hendra Utama mengingatkan agar jangan mengukur Indonesia dari kacamata Jakarta saja. Kondisi dunia pendidikan di Banten, provinsi tetangga DKI Jakarta, saja

Page 8: Sekolah Sebagai Alat Politik

sudah bisa menjadi ukuran betapa tidak adilnya pendidikan di Indonesia. ”Bagaimana mungkin kita bicara globalisasi jika semakin banyak SD ambruk, anak sekolah mencoba bunuh diri karena tidak mampu bayar uang sekolah, perguruan tinggi tidak punya perpustakaan, laboratorium, dan komputer seadanya. Kecuali jika globalisasi pendidikan hanya dilakukan di Jakarta saja, sedangkan di daerah full support dari pemerintah pusat,” kata Sekretaris Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Banten ini.

Alternative solusi agar sekolah bisa murah sehingga bisa terjangkau oleh semua lapisan masyarakat di antaranya dengan :1. Pengalokasian dana APBN/APBD 20 persen untuk pendidikan, sehingga tidak hanya menjadi wacana atau dengan menggunakan politik anggaran. 2. Memotong gaji pejabat tinggi yang dialokasikan untuk pendidikan berdasarkan komitmen yang dipaksakan pemerintah.3. Menarik pajak pendidikan melalui perusahaan-perusahaan besar.4. Menginvestigasi dan menjatuhkan sanksi kepada semua pihak yang melakukan korupsi atas anggaran pendidikan.5. Mendorong sektor usaha yang terkait dengan lembaga pendidikan untuk mengalokasikan anggaran yang bisa memanfaatkan secara maksimal oleh institusi pendidikan.6. Melibatkan media massa terutama untuk memberi liputan yang berani dan tajam mengenai komitmen sejumlah kalangan untuk pendidikan.7. Membuat standar baru tentang kualitas pendidikan yang tidak saja menyentuh kemampuan dan kreativitas siswa melainkan juga ongkos sekolah.8. Mendorong manajemen lembaga pendidikan secara terbuka dengan melibatkan sejumlah wali murid dan jika perguruan tinggi adalah mahasiswa untuk mendesain kebutuhan lembaga pendidikan.9. Mendorong kalangan parlemen untuk terlibat aktif dalam penentuan pejabat pendidikan. Pejabat pendidikan bukan urusan internal sekolah melainkan urusan publik.10. Melakukan penarikan dana langsung ke kalangan masyarakat

Kegagalan Membangun kebudayaan Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kebudayaannya. Kebudayaan adalah konsep,gagasan, fikiran dan keyakinan yang dianut oleh suatu masyarakat dalam waktu lama sehingga menuntun mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbeda konsep, berakibat berbeda pula perilaku, salah konsep berakibat menjadi salah perilaku. Kebudayaan tidak jadi dengan sendirinya, tetapi dibangun oleh para pemimpin bangsa.

Konsep kebangsaan Indonesia misalnya tercermin dalam konstitusi (Panca Sila,UUD 45 dst) yang dirumuskan oleh founding father RI dan dikembangkan oleh generasi-generasi berikutnya. Membangun kebudayaan dilakukan terutama melalui pendidikan. Oleh karena itu sangat mengherankan ketika dalam kabinet kita, kebudayaan hanya ditempel pada pariwisata sehingga kebudayaan terdistorsi menjadi benda-benda kebudayaan yang dijadikan obyek pariwisata, sementara ruhnya justeru tidak ada yang mengerjakan.

Sesungguhnya jika tidak menjadi departemen sendiri, kebudayaan lebih tepat berada di

Page 9: Sekolah Sebagai Alat Politik

departemen pendidikan (depdikbud), karena pendidikanlah yang membangun konsep budaya Indonesia pada generasi sejak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, sementara pendidikan anak usia dini (PAUD) dan Taman kanak-kanak bisa diserahkan kepada masyarakat local sebagai wujud pembentukan budaya local, kearifan local.

Demokrasi dan ekonomi pasar adalah dua prinsip pengaturan masyarakat yang memiliki kemiripan. Keduanya menghormati arti penting kebebasan individu, pluralisme dan tegaknya rule of law. Namun sejarah ekonomi politik Indonesia modern adalah sejarah kegagalan hidup bersama demokrasi dan ekonomi pasar. Kenyataan ini disebabkan oleh rentetan kegagalan para pemimpin politik dalam membangun dan menegakan rule of law. Aturan permainan dalam transaksi ekonomi , politik, dan kebudayaan dibangun oleh kekuasaan politik yang sangat sentralistis. Sejarah kegagalan ekonomi politik Indonesia sesungguhnya adalah sejarah kegagalan institusi negara membangun dan menegakkan prinsip rule of law. Kita tidak perlu jauh menengok ke belakang menelusuri dan menganalisis proses kegagalan ini. Kita tidak perlu menganalisis kegagalan 'politik benteng' sebagai reaksi Indonesia menanggapi penetrasi ekonomi pasar pada dasawarsa 50-an. Kita cukup menengok krisis ekonomi dan politik baru-baru ini yang daya pukulnya bagi masyarakat Indonesia digambarkan pers Barat sebagai pasien yang menjalani operasi besar tanpa pembiusan. Sumber utama dari krisis ini adalah runtuhnya penghormatan institusi negara atas prinsip rule of law sebagai kerangka pengaturan kehidupan masyarakat modern. Akibatnya, kroniisme sebagai perwujudan bekerjanya ersatz capitalism (kapitalisme palsu) berkembang dan merusak tubuh ekonomi, politik dan hukum masyarakat Indonesia. Kapitalisme semacam ini pulalah yang membentuk negara Orde Baru menjadi negara predator. Suatu sifat dari negara yang memiliki mekanisme menelan seluruh dasar-dasar kepercayaan yang dimiliki oleh setiap perkumpulan kemasyarakatan

Jika kita sering mendengar sesama kita memperolok-olok manusia Indonesia, sesungguhnya kualitas manusia ditentukan oleh dua hal:

Pertama, oleh faktor hereditas, faktor keturunan. Manusia Indonesia dewasa ini adalah keturunan langsung manusia Indonesia generasi 45 dan cucu dari generasi 1928, cicit dari generasi 1912. Menurut bapak sosiologi Ibn Khaldun, jatuh bangunnya suatu bangsa ditandai oleh lahirnya tiga generasi. Pertama generasi Pendobrak, kedua generasi Pembangun dan ketiga generasi penikmat. Jika pada bangsa itu sudah banyak kelompok generasi penikmat, yakni generasi yang hanya asyik menikmati hasil pembangunan tanpa berfikir harus membangun, maka itu satu tanda bahwa bangsa itu akan mengalami kemunduran. Proses datang perginya tiga generasi itu menurut Ibnu Khaldun berlangsung dalam kurun satu abad. Yang menyedihkan pada bangsa kita dewasa ini ialah bahwa baru setengah abad lebih, ketika generasi pendobrak masih ada satu dua yang hidup, ketika generasi pembangun masih belum selesai bongkar pasang dalam membangun, sudah muncul sangat banyak generasi penikmat, dan mereka bukan hanya kelompok yang kurang terpelajar, tetapi justeru kebanyakan dari kelompok yang terpelajar. What wrong?

Kedua, dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Pendidikanlah yang bisa membangun jiwa bangsa Indonesia. Lalu apa yang salah pada pendidikan generasi ini? Kekeliruan

Page 10: Sekolah Sebagai Alat Politik

pendidikan nasional kita selama ini (masa orde Baru), meliputi: Pengelolaan pendidikan di masa lampau terlalu berlebihan penekanannya pada aspek kognitip, mengabaikan dimensi-dimensi lainnya sehingga buahnya melahirkan generasi yang mengidap split personality, kepribadian yang pecah. Pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang hanya bisa memandang Jakarta (ibu kota) sebagai satu-satunya tumpuan harapan tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar yang tersedia di daerah masing-masing.

Inkeles menjelaskan bahwa pendidikan merupakan faktor terpenting yang meniscayakan ciri manusia moderen (Suwarno & Alvin 2000:31). Sedangkan kondisi modern itu sendiri bermakna perubahan struktur sosial dalam masyarakat yang membawa perubahan nilai-nilai, norma-norma dan perilaku sosial (Inkeles 1966:152). Modernisasi mengakibatkan perubahan kepribadian dalam masyarakat modern, semisal perubahan dalam prilaku, pandangan dan cara hidup serta cara berpikir mengenai nilai norma dan agama, sebagaimana pendapat Shipman (1971;20) “ modernisation does not just replace the technology, scales and tempo of live and work, but changes the expectations that govern behaviours itself “. Oleh karena itu dapat dikatakan pendidikan merupakan agent of modernisation yang memikul beban berat dalam menciptakan perubahan masyarakat demi kebaikan dan kemajuan masa depan.

Pendidikan memainkan peranan yang sangat penting dalam membentuk generasi penerus sesuatu bangsa. Dengan demikian, sudah selayaknya apabila kita merenung pemahaman tentang paradigma pendidikan jangan hanya dikurung dalam pengertian yang sangat sempit yakni hanya pendidikan sekolah (sekolah formal). Namun lebih dari itu nalar kita hendaknya merambah kesemua aspek kehidupan sebagai kegiatan pendidikan. Dimana aspek kehidupan tersebut dapat menjadi sarana dan media pembelajaran (Sidi 2001:4). Dari sini lahirlah satu ide menciptakan masyarakat belajar (learning society ), maknanya aktor belajar bukanlah mutlak sebagai atribut yan menempel pada peserta didik dan mahasiswa, akan tetapi aktor belajar adalah semua komponen masyarakat. Sehingga tanggung jawab kualitas dan keberlangsungan kegiatan belajar bukanlah beban total yang dipikul sekolah, namun pendidikan merupakan tanggung jawab kita bersama (individu, sekolah, masyarakat, tempat kerja, dan Negara). Diharapkan ketika learning society terbentuk, maka akan muncul budaya belajar (cultural learning) yang mewarnai pola hidup masyarakat belajar. Menurut Green dalam bukunya prolegomena to Ethics, ia menggambarkan “ individuals can develop a good manner or character, and hence realise themselves only within society (Bousfield 1999:106). Sedangkan menurut Al-Kaylani seharusnya pendidikan mampu membawa seseorang peserta didik untuk berperan bagi dirinya, masyarakat setempat, dan masyarakat luas.

Pendidikan kita gagal meletakkan sendi-sendi dasar pembangunan masyarakat yang berdisiplin. Gagal melahirkan lulusan (SDM) yang siap berkompetisi di dunia global Pengelolaan pendidikan selama ini mengabaikan demokratisasi dan hak-hak azasi manusia. Sebagai contoh, pada masa orde Baru, Guru negeri di sekolah lingkungan Dikbud mencapai 1 guru untuk 14 siswa, tetapi di madrasah (Depag) hanya 1 guru negeri untuk 2000 siswa. Anggaran pendidikan dari Pemerintah misalnya di SMU negeri mencapai Rp. 400.000,-/siswa/ tahun, sementara untuk Madrasah Aliah hanya Rp.

Page 11: Sekolah Sebagai Alat Politik

4.000,-/anak/ tahun. Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan SDM dikalahkan oleh uniformitas yang sangat sentralistik. Kreatifitas masyarakat dalam pengembangan pendidikan menjadi tidak tumbuh; Sentralisasi pendidikan nasional mengakibatkan tumpulnya gagasan-gagasan otonomi daerah. Pendidikan nasional kurang menghargai kemajemukan budaya, bertentangan dengan semangat bhinneka Tunggal Ika. Muatan indoktrinasi nasionalisme dan patriotisme yang dipaksakan, yakni melalui P4 dan PMP, terlalu kering sehingga kontraproduktif.

Sembilan kesalahan dalam pengelolaan pendidikan nasional ini sekarang telah melahirkan buahnya yang pahit, yakni:

Generasi muda yang langitnya rendah, tidak memiliki kemampuan imajinasi idealistic;

Angkatan kerja yang tidak bisa berkompetisi dalam lapangan kerja pasar global; Birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatif; Pelaku ekonomi yang tidak siap bermain fair ; Masyarakat luas yang mudah bertindak anarkis; Sumberdaya alam (terutama hutan) yang rusak parah; Cendekiawan yang hipokrit; Hutang Luar Negeri yang tak tertanggungkan; Merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya; Pemimpin-pemimpin daerah yang kebingungan. Bupati daerah minus tetap

mengharap kucuran dari pusat, bupati daerah plus, menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak strategis.

Keterkejutan Budaya Era reformasi melahirkan keterkejutan budaya, bagaikan orang yang terkurung dalam penjara selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara runtuh. Mereka semua keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Suasana psikologis euforia itu membuat masyarakat tidak bisa berfikir jernih, menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi tidak mampu menawarkan solusi. Kejutan kebudayaan akan merusak dasar unit kebudayaan sosial, yaitu keluarga. La Farge mengingatkan, kebudayaan yang utuh adalah kebudayaan yang mengikuti serangkaian penyesuaian yang sudah berjalan dan dapat memberikan kepuasan. Sedangkan ciri khas kebudayaan yang rusak, tidak lagi membuat kehidupan pantas dijalani.

Masyarakat pendidikan tersadar bahwa SDM produk dari system pendidikan nasional kita tidak bisa bersaing dalam persaingan global sehingga kita hanya mampu mengekspor tenaga kerja PRT, sebaliknya tenaga skill pun di dalam negeri harus bersaing dengan tenaga skill dari luar. Problemnya, output pendidikan yang bermutu itu baru dapat dinikmati 20-25 tahun kemudian. SDM kita yang tidak kompetetip hari ini adalah juga produk dari sistem pendidikan sejak 20-30 tahun yang lalu. Untuk mengubah system pendidikan secara radikal juga punya problem, yaitu tenaga guru yang kita miliki adalah produk dari system pendidikan yang tidak tidak tepat. Dalam konsep IKIP, guru adalah instrument pendidikan, bukan tokoh yang bisa mentransfer kebudayaan kepada anak didiknya. Lingkaran setan inilah yang sulit diputus.

Page 12: Sekolah Sebagai Alat Politik

Dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk mengubah system pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa. Sayang ahli-ahli pendidikan kita lebih berorientasi kepada teksbook dibanding melakukan ujicoba system di lapangan. Guru-guru SD tetap saja hanya tenaga pengajar, bukan guru yang digugu dan ditiru seperti dalam filsafat pendidikan nasional kita sejak dulu. Mestinya doctor dan professor bidang pendidikan tetap mengajar di SD-SLP sehingga mampu melahirkan system pendidikan berbasis budaya, menemukan realita-realita yang bisa dikembangkan menjadi teori, bukan kemudian berkumpul di birokrasi untuk kemudian mengatur pendidikan dari balik meja berpedoman kepada teori-teori Barat. Selagi pendidikan di SD dilaksanakan oleh tukang pengajar, maka sulit mengembangkan mereka pada jenjang pendidikan berikutnya. Pendidikan bermutu memang mahal, tetapi kenaikan anggaran pendidikan di APBN menjadi 20 % pun tidak banyak membantu jika kreatifitas depdiknas, hanya pada proyek-proyek pendidikan bukan pada pengembangan pendidikan.

Swasta mempunyai peluang untuk melakukan inovasi pendidikan tanpa terikat aturan birokrasi yang jelimet, tetapi menjadi sangat menyedihkan ketika dijumpai banyak lembaga pendidikan swasta yang orientasinya pada bisnis pendidikan. Sekolah international diperlukan sebagai respond terhadap globalisasi, tetapi pembukaan sekolah international oleh asing sangat riskan dari segi budaya bangsa karena filsafat pendidikannya berbeda. Oliver La Varge dalam “Telaah-telaah orang Meksiko dalam kebudayaan kemiskinan”. Dikemukakannya, akibat serbuan kebudayaan negara-negara maju, bangsa Meksiko dipisahkan dari pemerkayaan sumber-sumber sendiri dan menggantinya dengan barang-barang yang membuat setiap orang menjadi konsumtif. Menurut La Farge, serbuan budaya asing itu akan menjadikan kita sebagai bangsa “tong kosong yang nyaring bunyinya”. Manusia tanpa kasih sayang, tanpa kesetiaan. Untuk mempercepat dan memperluas budaya belajar sebaiknya anggaran pendidikan Negara bukan hanya diperuntukkan bagi sekolah formal, tetapi juga untuk sekolah informal dan sekolah non formal. Pada satu titik nanti pasar tenaga kerja tidak lagi melihat ijazah sekolah formal tetapi melihat skill tenaga kerja, dan ini bisa dikermbangkan di sekolah informal dan non formal. Pada satu titiknanti, gelar-gelar akademik juga tidak lagi relefan. (Wallahu’alam Bishawab).

KepustakaanCahyana, Ade, Indonesia 2010: Merubah Mitos menjadi Realitas Pembangunan, From:

http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/indonesia 2010 Ade Cahyana.htm, sabtu, 16/9/ 2006, jam. 13.10.

Freire, Paulo, 1995, Pendidikan Kaum Tertindas, Terjemahan, Utomo Dananjaya, LP3ES, Jakarta.  

Kelompok Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman Filosofi, Kebijaksanaan dan Strategi Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1999, Jakarta.

Mastuhu, 2003, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Safiria Insania Press dan MSI, Yogyakarta. 

Musa, Ibrahim,  Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah, From: http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm, Akses, 5 Juni 2002 

Page 13: Sekolah Sebagai Alat Politik

Nomida Musnir, Diana, 2000, Arah Pendidikan Nasional dalam Perspektif Historis, dalam Buku: Sindhunata [editor], 2000, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Kanisius, Yogyakarta.  

Purbo, Onno W., Pergeseran Drastis Paradigma Dunia Pendidikan, From: http://bebas.vlsm.org/v09/onno-ind-1/application/education/pergeseran-drastis-paradigma-dunia-pendidikan-1998.rtf, 7/11/2003. 

Sanaky, Hujair AH., 2003, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Safiria Insania dan MSI, Yogyakarta. 

--------, 2005, Sertifikasi dan Profesionalisme Guru di Era Reformasi Pendidikan, Jurnal Pendidikan Islam [JPI], Volume XII TH VIII Juni 2005, ISSN: 0853-7437, Jurusan Tarbiyah Fakultas Ilmu Agama UII, Yogyakarta. 

----------, Paradigma Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi Antara Mitos dan Realitas.

Suryadi, Ace, Pengelolaan Pendidikan Perlu Paradigma Baru, From:http://www. Kompas.com/kompas-cetak/0010/16/DIKBUD/peng09.htm.,akses, Sabtu, 23/8/ 2003. 

Suyanto & Djihad Hisyam, 2000, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta. 

Suyanto, 2006, Dinamika Pendidikan Nasional [Dalam Percaturan Dunia Global], PSAP Muhammadiyah, Jakarta. 

Soedjiarto, 1999. "Memahami Arahan Kebijakan GBHN 1999-2004 tentang Pendidikan Sebagai Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara bangsa Indonesia", Makalah, Primagama-IPSI-PGRI, Yogyakarta.

Tilaar, H.A.R., 1998, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang.

Yacub, Muhammad, From: http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/27/suatu opini mengenai reformasi_s.htm, akses, Rabu,20/9/2006, jam.13.35. 

Zamroni, 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Adipura, Yogyakarta.Insentif bagi Industri yang Lakukan Pelatihan, Kompas, Kamis, 26 Juni 1997

Tempo, 7 Januari 2001Lewat Persentase Anggaran, Belajar dari Negara Lain, Kompas, Sabtu, 2 Mei 1998Kabupaten dan Kota Menjadi Basis Pengelolaan Pendidikan Dasar, Kompas, Rabu, 24

Februari 1999Sekolah Plus, Menghitung Dengan Dollar, Suplemen, Tempo, 18 Maret 2001Kasrai, Reza, Corporate University, CFS-Quebec Education Action, edisi musim gugur

2001. http://www.newyouth.com/archives/campaigns/mexico/UNAM.aspRUU BHP, Skenario Neoliberalisme, SUARA PEMBARUAN DAILY, September 5,

2007 BHMN, Neoliberalisme Pendidikan, Suara Pembaruan March 15, 2007Muhammad Roqib, M.Ag , Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik Sebagai Upaya

Memajukan Bangsa, Jumat, 2008 Agustus 08Pan Mohamad Faiz (New Delhi) , Polemik Inkonstitusionalitas Anggaran Pendidikan,

Dimuat pada H.U. Seputar Indonesia (05/05/07)Pan Mohamad Faiz , Menanti Political Will Pemerintah di Sektor Pendidikan, Pikiran

Rakyat Bandung , October 05, 2006

Page 14: Sekolah Sebagai Alat Politik

Abu Khaulah Zainal Abidin , “Ideologi Pendidikan Kita” Maret 22, 2008, Posted by rumahbelajaribnuabbas in Pendidikan.

Greg Russell, Bentuk Pemerintahan Berdasarkan Konstitusi (terj.), Demokrasi, Office of International Information Programs, US. Dept. of States., tanpa tahun.

Richard C.Schroeder, Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat (terj.), Office of International Information Programs – United States Dept. of States, 2000.

The center on Education Policy, Washington D.C., The Federal Role in US Education, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.

Tiffany Danitz, The Standards Revolution In U.S. Schools, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.

Anonim, The Federal Role in Education - Overview , US Department of Education in http://www.ed.gov

Anonim, College Rankings, America’s "Top" Schools, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

Judith S. Eaton, An Overview of U.S. Accreditation, publication of Council for Higher Education Accreditation, tanpa tahun .

Robert H. Bruininks, Public Universities In The United States, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

James W. Wagner, What Is A Large, Private Research University?, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

Anonim, The Cost Of College In The United States, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

Martina Schulze, Possible Sources Of Financial Aid, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

Margaret S. Branson, At The Core Of U.S. Education, A Passion For Learning, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.

Hizbut Tahrir, How the Khilafah was Destroyed, Khilafah Publication, London 2000Ideologi Pendidikan Sebuah Pengantar , Tuesday, March 18, 2008

http://www.fppm.org/Info%20Anda/pendidikan%20yang%20membebaskan.htm.Mansour Faqih dan Toto Rahardjo. Pendidikan yang membebaskan, 09 Agustus 2002

http://www.pikiran-rakyat.com/Artikel/0802.htm. Ahmad Dahidi & Miftachul Amri. Potret Pendidikan di Jepang, Sebuah Refleksi. 22 Mei

2003.Agus Syafii <agussyafii@yaho...>, Problem Pendidikan di Era Reformasi, February 18,

2008 Kepentingan Politik Masih Terlihat Lebih Menonjol, http://www.kompas.co.id/kompas-

cetak/0708/08/humaniora/3750060.htmPendidikan Indonesia Alami Proses Involusi, Harian Kompas, 4 September 2004Agung Pramanto (JIP'98)/Redaksi AP, Dilema Otonomi Pendidikan: Catatan Dari

Seminar Otonomi Pendidikan Nasional 2001 SMFSUI Otonomi Pendidikan Masih Hadapi Banyak Kendala, Jakarta, Sinar Harapan, 2003

Page 15: Sekolah Sebagai Alat Politik

St Kartono , Memahami Otonomi Pendidikan beserta Implikasinya, SUARA PEMBARUAN DAILY , 2002

Uni Eropa: Perdamaian Aceh Bukti Kekuatan Soft Power, TEMPO Interaktif, Jakarta, Rabu, 13 Desember 2006 | 21:15 WIB

"Soft Power" dan Jejak Bush , Kompas, 21 Nopember 2006Muhammad Roqib, M.Ag, Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik Sebagai Upaya

memajukan Bangsa, http://roqibstain.blogspot.com/2008/08/politik-pendidikan-dan-pendidikan.html

Marsudi Budi Utomo, 50 Tahun RI-Jepang, December 24, 2007Novian Widiadharma, UIN Yogyakarta , Art, Soft Power, dan Tata Dunia Baru,

Wednesday, 13 August 2008 07:15 Nurani Soyomukti (Esai Politik): "Soft Power", Strategi Gerakan Anti Teror(Isme),

Sabtu, 2007 Agustus 25Dino Patti Djalal Juru Bicara Kepresidenan, SBY dan "Soft Power" , URL Source:

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/13/opini/1806887.htmMegawati: Pandangan Tentang Pendidikan Murah dan Gratis, Menyesatkan, Rabu, 05

Mei 2004Khoirul Anwar , Membangun Moral di abad Global , 15 Juni 2008 - 17:05  Iskandar Alisjahbana , Cyberspace dari Peradaban Gelombang-Ketiga "Sifat dan Hakekat

Manusia & Masyarakat di Dalam Era-Informasi" , Edisi ke Tujuh, April 1997Baridul Islam Pr, “Abuse of Power” Kaum Intelektual, Purwokerto, 16 Maret 2003Anonym, Masalah Pendidikan Di Indonesia, August 29, 2007 Yusufhadi Miarso, Pengembangan Terkini Sistem Pendidikan dan Pembelajaran di

Perguruan Tinggi, Disampaikan dalam Semiloka Pengajaran dan Program Magang, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP-UI, 2 Mei 2008

Banathy, Bela H. (1991). Systems Design of Education. A journey to create the future. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications

Dabbagh, Nada & Brenda Bannan-Ritland. Online Learning. Concept, strategies and application. Columbus,OH : Pearson. 2005

Miarso, Yusufhadi. (2005). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Pustekkom-Kencana

Reigeluth, Charles M. and Robert J. Garfinkle. (eds.)(1994). Systemic Change in Education. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications

Toffler, Alvin. The Third Wave. London : Pan Books Ltd.UNSCTD. Knowledge Society. Published for and on behalf of The Unted Nations.

Oxford,NY : Oxford University Press. 1998 Tim MWA Wakil Mahasiswa KM ITB dan Kastrat Kabinet KM ITB, Positioning Paper.

Pernyataan Sikap KM ITB terhadap RUU BHP BHP: Gaya Baru Otokrasi Pendidikan Indonesia

NIM. Sistem Pendidikan Yang Berkarakter dan Berbudaya, February 28, 2007Benedict Richard O'Gorman Anderson. Imagined Communities: Reflections on the

Origin and Spread of Nationalism. Edition: 2, revised. Verso, 1991Bertrand Russell. Power: A New Social Analysis. Edition: 2. W.W.Norton & company,

1938Chantal Mouffe . Gramsci and Marxist Theory: essays. Routledge, 1979

Page 16: Sekolah Sebagai Alat Politik

Dewey, John, 1974, The Child and The Curriculum,and The School and Society, Chicago and London, The University of Chicago Press.

Giddens, Anthony, The Nation States and Violence: Volume Two of a ContemporaryImmanuel Maurice Wallerstein, Immanuel Wallerstein. The Modern World-system II. Edition: 2. Academic Press, 1980

Masinambow, EKM (ed), 1997, Koentjaraningrat dan Antropologi Indonesia, Jakarta, AAI dan Yayasan Obor Indonesia.

McQuail, Denis, 2000, Mass Communication Theories, Fourth edition, Sage Publication, London

Michael Wallerstein : The Political Economy of Inequality, Unions, amd Social Democracy. New York: Cambridge University Press, 2008

Renate Holub. Antonio Gramsci: Beyond Marxism and Postmodernism. Routledge, 1992Rudolf Ekstein, Robert S. Wallerstein. The Teaching and Learning of Psychotherapy.

Edition: 2. Basic Books, 1958Siswanta, Relasi kekuasaan: telaah pemikiran Antonio Gramsci dalam konteks politik

Indonesia kontemporer.  Media Wacana, 2006Sutaarga, Moh. Amir. 1997/1998. Pedoman Penyelenggaraan dan Pengelolaan Museum.

Jakarta: Proyek Pembangunan Permuseuman JakartaVedi R. Hadiz, Benedict Richard O'Gorman Anderson. Politik, budaya, dan perubahan

sosial: Ben Anderson dalam studi politik Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan Yayasan SPES, 1992

FX Sugiyanto, Ilusi Kurikulum Pendidikan dalam Kuasa Neoliberalisme , Saturday, 02 August 2008