SEKOLAH GERSANG di Tanah Kersang · dalam Bumi. Gundukan yang pucuknya meruncing itu terus naik,...

1
H ari itu tak tersiar kabar duka di Desa Lerek, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata. Tak juga berita tentang hilangnya ternak ayam atau babi. Hari yang lazim. Syukur kepada Ilahi. Namun, pada pagi dalam rangkaian hari nan cerah itu, hanya dua dari sepuluh murid kelas 2 yang hadir di Sekolah Dasar Katolik (SDK) Lerek, Kecamatan Atadei. Keduanya laki-laki. Wali kelas berdiri menatap bangku- bangku kecokelatan di depannya. Tak kunjung marah. Hanya menelan ludah. Pada sela-sela tatapan maklum yang biasa diperlihatkan, ia berkata, “Mari, kalian berdua, angkat kursi masing-masing dan duduk di hadapan ibu.” Kedua murid kecil menurut. Mengangkat bangku, menaruh di satu sisi meja ibu guru. Duduk berimpitan. Bagi orang-orang yang hidup di perkotaan, seperti saya, perihal dua murid saja yang hadir dalam kelas—ditambah lagi duduk bertiga melingkari meja ibu guru—bukanlah sesuatu yang lumrah. Maka, ketika menceritakan kembali peristiwa itu ke teman-teman misalnya, bisa jadi saya akan memulai, justru dengan konjungsi pertentangan “namun”. Seperti pembukaan pada beberapa paragraf sebelumnya. “Namun, pada pagi dalam rangkaian hari nan cerah itu ...”. Lain soal bila saya mempertanyakan kejadian di SDK Lerek itu, langsung kepada seseorang yang asli seputaran Kecamatan Atadei. Barangkali ia akan menyahut, “Ah, biasa itu.” Lantas, kenapa bisa “biasa”? Ada dua, tiga hal. Namun, lagi, marilah kita lebih dulu berangkat ke Lerek. Menum- pang angkutan umum saja. Banyak belokan dan ruas jalan yang rusak. Cukup berisiko kalau tak betul-betul paham jalurnya. Desa Lerek berada sekitar 33 kilometer dari Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Waktu tempuh menggunakan kendaraan umum sekitar dua jam perjalanan. Dalam sehari, tercatat cuma satu kendaraan umum yang melayani rute Lewoleba-Lerek dan sebaliknya. Kendaraan berupa bus yang tak seberapa besar itu mampu memuat hanya 30 orang. Ditambah kambing, berkarung- karung hasil bumi serta pelbagai perkakas rumah tangga di atapnya. Nyaris semua pelanggan bus menyim- pan nomor telepon pengemudi bus. Untuk berjaga-jaga bila ingin dijemput. Terlebih jika bawaan terlalu berat dipanggul sendirian hingga tepi jalan utama. Tak seperti desa-desa sekitar, sinyal telekomunikasi di Desa Lerek cenderung “kembang kempis”. Bahkan, lebih banyak kempisnya. Jadi, mau seberat apa pun bawaan, tetap harus diangkut sendiri ke jalan utama desa, atau pemberhentian terakhir bus. Di Desa Lerek, pasokan air bersih begitu tipis. Mata air terdekat, yang berada sekitar satu kilometer dari desa, pelan- pelan mengering. Keadaan semakin parah saat hujan tak kunjung turun. Di rumah Celestina Roma, seorang warga Desa Lerek, selalu saja ada tumpukan pakaian kotor. Bisa sampai seminggu tak dicuci. Termasuk seragam sekolah kedua anaknya. Seragam mereka gampang kotor lantaran sering dipakai memanjat pohon di kebun-kebun seusai jam bersekolah. Kadang-kadang kalau seragam masih tampak kotor karena belum dicuci, anak-anak jadi enggan bersekolah. Entah memang itu alasannya, atau sesungguhnya ingin bermain di kebun seharian. Celestina tak punya kendaraan pribadi. Jika ingin - bukan harus - mencuci, ia akan meminta seorang anaknya mengemasi pakaian kotor, lalu menumpang sepeda motor tetangga hingga mata air yang debitnya masih memungkinkan. Berhubung menumpang, waktu-waktu mencuci, ya mengikuti kurun tetangga. Bisa akhir pekan, atau pagi saat hari-hari bersekolah. Jadilah anak-anaknya membolos. Demi mencuci, menjemur, menunggui pakaian, hingga mengemas kembali untuk kemudian pulang. Lalu malam datang. Para tetangga mulai berdatangan ke rumah Celestina. Sebagian besar seumuran pelajar sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Mereka mengatur tempat duduk sedemikian rupa, hingga mirip bangku- bangku dalam bioskop. Semua mata lekas berfokus pada televisi. Bersama-sama menyambut acara yang ditunggu-tunggu: sinetron. Di hadapan layar televisi, duduk pula anak- anak Celestina. Anak yang bungsu masih berusia 10 tahun. Seperti para tetangga, ia pun tertawa menyaksikan percakapan antara dua aktor dewasa di layar. Entah sudah atau belum saatnya mengetahui. Entah sudah atau belum mengerjakan tugas-tugas sekolah. Cahaya layar televisi sudah lenyap. Mari kita pulang. Menumpang satu-satunya bus itu. Saya duduk di bangku paling belakang. Hendak melamunkan anak-anak Desa Lerek. Mereka yang kadang-kadang tak mandi sebelum berangkat ke sekolah. Yang seragamnya kotor hingga berhari-hari. Yang putus sekolah karena tak punya biaya, lalu memungkas hari lewat mimpi- mimpi seperti dalam tayangan sinetron. Yang terakhir, semoga tidak terjadi. 27 TRAVEL JUMAT 24 MARET 2017 Membilang Babad Tengah Kawah HUJAN sudah berbulan-bulan tak mengguyur Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur. Tanah kering. Langit terang. LEREK merupakan desa terakhir sebelum jalur pendakian Ile Mauraja, satu dari rangkaian kerucut api Gunung Ile Werung. Layaknya kampung-kampung lain di kawasan Lembata, Desa Lerek pun menyimpan cerita-cerita lampau tentang pembentukan tempatnya. Di Lerek, cerita didominasi seorang raja yang suka marah- marah terhadap ibunya. Jahitan baju belum selesai, marah. Dinasihati, marah. Dalam beberapa hal, sang raja juga sering pendek akal. Ia akhirnya dihukum oleh seorang petapa sakti. Diperintah untuk tinggal di desa terpencil, bukan dalam kompleks istana. Bencana terjadi kala orang-orang mulai mengetahui keberadaan sang raja. Tanah retak. Sebuah gundukan besar mencuat dari dalam Bumi. Gundukan yang pucuknya meruncing itu terus naik, sampai membentuk sebuah gunung berapi. Kini, gunung itu dikenal sebagai Ile Werung. Dalam bahasa setem- pat, ile berarti “gunung.” Jika Ile Werung berada di tengah-tengah desa, maka “Lerek berada dalam kawahnya,” kata seorang tetua pada suatu malam yang dingin. Legenda pembentukan Desa Lerek terus diyakini secara turun-temurun. Namun, tak seperti para sesepuh, anak- anak generasi sekarang di Desa Lerek hanya mengetahui inti ceritanya. Andreas Roma, putra ketiga Celestina, sempat saya tanya soal legenda si raja. Ia menjawab singkat. Katanya, “Pokoknya raja itu tidak mau menurut ibunya. Lalu dihukum.” Begitu saja. Dalam keseharian beberapa keluarga di Desa Lerek, cerita tentang raja yang suka marah-marah kerap jadi “senjata” orang tua. Apalagi kalau anaknya mulai tak menurut. “Nanti ko (kau; kamu, dalam bahasa setempat) jadi seperti raja. Kena hukuman,” kata Celestina menirukan sendiri ucapannya terhadap Andreas. Tapi itu dulu. Semakin besar, Andreas dan adik perempuannya, Genewat, kian mandiri dan disiplin. Mereka juga peduli terhadap orang lain dan binatang. Saya sempat mendaki Ile Mauraja. Hari itu Minggu. Warga Desa Lerek, yang mayoritas menganut ajaran Katolik, tengah bersiap-siap misa pagi. Celestina meminta Andreas menemani. “Paling tidak temani Tante sampai batas kebun,” kata sang ibu. Andreas menolak. “Saya bertugas sebagai misdinar, Tante,” jawab anak lelaki yang kini menempuh pendidikan kelas 1 sekolah menengah pertama. Misdinar adalah sebutan bagi sekelompok anak-anak yang melayani pastor sepanjang misa. Entah bagaimana Celestina membujuk, Andreas akhirnya mau menemani. Pada suatu titik istirahat sembari melihat-lihat desa yang tampak nun di bawah, saya bertanya. “Kalau sudah besar, Andreas ingin bekerja sebagai apa?” “Seperti bapak dan kakak,” jawabnya. Kakek, bapak serta kakak laki-laki Andreas secara turun-te- murun bekerja sebagai pengamat aktivitas vulkanis Ile Werung. Gaji mereka kecil, namun, kata Andres, ketiganya senang karena setiap hari bisa melihat gunung. Kalau aktivitas vulkanis meningkat, malah mesti langsung mengambil sampel bebatuan di dekat kawah. Sesudah pensiun, ayah Andreas bekerja serabutan sebagai buruh bangunan. Kadang-kadang bisa sampai dua pekan bekerja di kecamatan lain di Lembata. “Ia tak mau bekerja seperti bapak sekarang,” papar sang anak ketiga dari empat bersaudara. Esoknya saat menjauh dari Desa Lerek menuju Lewoleba, bus yang saya tumpangi kembali melewati jalanan serbarusak. Sungguh medan yang berat jika dilalui dengan berjalan kaki. Apalagi untuk anak-anak seusia Andreas dan Genewat. Mereka, yang menanggung ransel dan botol minum di pundak, serta meringis menentang panas akibat sepatu telah menganga. SEKOLAH GERSANG di Tanah Kersang Penulis Lepas ANASTASIA IKA FOTO-FOTO:DOK.ANASTASIA IKA 27 travel 3/23/17 6:36 PM Page 1

Transcript of SEKOLAH GERSANG di Tanah Kersang · dalam Bumi. Gundukan yang pucuknya meruncing itu terus naik,...

Page 1: SEKOLAH GERSANG di Tanah Kersang · dalam Bumi. Gundukan yang pucuknya meruncing itu terus naik, sampai membentuk sebuah gunung berapi. Kini, gunung itu dikenal sebagai Ile Werung.

Hari itu tak tersiar kabar duka diDesa Lerek, Kecamatan Atadei,Kabupaten Lembata. Tak jugaberita tentang hilangnya ternakayam atau babi. Hari yang lazim.

Syukur kepada Ilahi. Namun, pada pagi dalam rangkaian

hari nan cerah itu, hanya dua dari sepuluhmurid kelas 2 yang hadir di Sekolah DasarKatolik (SDK) Lerek, Kecamatan Atadei.Keduanya laki-laki.

Wali kelas berdiri menatap bangku-bangku kecokelatan di depannya. Takkunjung marah. Hanya menelan ludah.Pada sela-sela tatapan maklum yang biasadiperlihatkan, ia berkata, “Mari, kalianberdua, angkat kursi masing-masing danduduk di hadapan ibu.”

Kedua murid kecil menurut.Mengangkat bangku, menaruh di satu sisimeja ibu guru. Duduk berimpitan.

Bagi orang-orang yang hidup di

perkotaan, seperti saya, perihal dua muridsaja yang hadir dalam kelas—ditambahlagi duduk bertiga melingkari meja ibuguru—bukanlah sesuatu yang lumrah.Maka, ketika menceritakan kembaliperistiwa itu ke teman-teman misalnya,bisa jadi saya akan memulai, justru dengankonjungsi pertentangan “namun”.

Seperti pembukaan pada beberapaparagraf sebelumnya. “Namun, pada pagidalam rangkaian hari nan cerah itu ...”.

Lain soal bila saya mempertanyakankejadian di SDK Lerek itu, langsung kepadaseseorang yang asli seputaran KecamatanAtadei. Barangkali ia akan menyahut, “Ah,biasa itu.” Lantas, kenapa bisa “biasa”?

Ada dua, tiga hal. Namun, lagi, marilahkita lebih dulu berangkat ke Lerek. Menum-pang angkutan umum saja. Banyak belokandan ruas jalan yang rusak. Cukup berisikokalau tak betul-betul paham jalurnya.

Desa Lerek berada sekitar 33 kilometerdari Lewoleba, ibu kota KabupatenLembata. Waktu tempuh menggunakankendaraan umum sekitar dua jamperjalanan. Dalam sehari, tercatat cumasatu kendaraan umum yang melayani ruteLewoleba-Lerek dan sebaliknya.

Kendaraan berupa bus yang tak

seberapa besar itu mampu memuat hanya30 orang. Ditambah kambing, berkarung-karung hasil bumi serta pelbagai perkakasrumah tangga di atapnya.

Nyaris semua pelanggan bus menyim-pan nomor telepon pengemudi bus. Untukberjaga-jaga bila ingin dijemput. Terlebihjika bawaan terlalu berat dipanggulsendirian hingga tepi jalan utama.

Tak seperti desa-desa sekitar, sinyaltelekomunikasi di Desa Lerek cenderung“kembang kempis”. Bahkan, lebih banyakkempisnya. Jadi, mau seberat apa punbawaan, tetap harus diangkut sendiri kejalan utama desa, atau pemberhentianterakhir bus.

Di Desa Lerek, pasokan air bersih begitutipis. Mata air terdekat, yang beradasekitar satu kilometer dari desa, pelan-

pelan mengering. Keadaan semakin parahsaat hujan tak kunjung turun.

Di rumah Celestina Roma, seorangwarga Desa Lerek, selalu saja adatumpukan pakaian kotor. Bisa sampaiseminggu tak dicuci. Termasuk seragamsekolah kedua anaknya. Seragam merekagampang kotor lantaran sering dipakaimemanjat pohon di kebun-kebun seusaijam bersekolah. Kadang-kadang kalauseragam masih tampak kotor karenabelum dicuci, anak-anak jadi engganbersekolah. Entah memang itu alasannya,atau sesungguhnya ingin bermain di kebunseharian.

Celestina tak punya kendaraan pribadi.Jika ingin - bukan harus - mencuci, ia akanmeminta seorang anaknya mengemasipakaian kotor, lalu menumpang sepedamotor tetangga hingga mata air yangdebitnya masih memungkinkan.

Berhubung menumpang, waktu-waktumencuci, ya mengikuti kurun tetangga.Bisa akhir pekan, atau pagi saat hari-haribersekolah. Jadilah anak-anaknyamembolos. Demi mencuci, menjemur,menunggui pakaian, hingga mengemaskembali untuk kemudian pulang.

Lalu malam datang. Para tetangga

mulai berdatangan ke rumah Celestina.Sebagian besar seumuran pelajar sekolahmenengah pertama dan sekolah menengahatas. Mereka mengatur tempat duduksedemikian rupa, hingga mirip bangku-bangku dalam bioskop.

Semua mata lekas berfokus padatelevisi. Bersama-sama menyambut acarayang ditunggu-tunggu: sinetron. Dihadapan layar televisi, duduk pula anak-anak Celestina. Anak yang bungsu masihberusia 10 tahun. Seperti para tetangga, iapun tertawa menyaksikan percakapanantara dua aktor dewasa di layar. Entahsudah atau belum saatnya mengetahui.Entah sudah atau belum mengerjakantugas-tugas sekolah.

Cahaya layar televisi sudah lenyap. Marikita pulang. Menumpang satu-satunya busitu. Saya duduk di bangku paling belakang.Hendak melamunkan anak-anak DesaLerek. Mereka yang kadang-kadang takmandi sebelum berangkat ke sekolah. Yangseragamnya kotor hingga berhari-hari.Yang putus sekolah karena tak punyabiaya, lalu memungkas hari lewat mimpi-mimpi seperti dalam tayangan sinetron.Yang terakhir, semoga tidak terjadi. �

27TRAVELJUMAT 24 MARET 2017

Membilang BabadTengah Kawah

HUJAN sudah berbulan-bulan takmengguyur Pulau Lembata, NusaTenggara Timur. Tanah kering.Langit terang.

LEREKmerupakan desa terakhir sebelumjalur pendakian Ile Mauraja, satu darirangkaian kerucut api Gunung Ile Werung.Layaknya kampung-kampung lain dikawasan Lembata, Desa Lerek punmenyimpan cerita-cerita lampau tentangpembentukan tempatnya. Di Lerek, ceritadidominasi seorang raja yang suka marah-marah terhadap ibunya. Jahitan bajubelum selesai, marah. Dinasihati, marah.

Dalam beberapa hal, sang raja jugasering pendek akal. Ia akhirnya dihukumoleh seorang petapa sakti. Diperintahuntuk tinggal di desa terpencil, bukandalam kompleks istana. Bencana terjadikala orang-orang mulai mengetahuikeberadaan sang raja. Tanah retak.Sebuah gundukan besar mencuat daridalam Bumi.

Gundukan yang pucuknya meruncingitu terus naik, sampai membentuk sebuahgunung berapi. Kini, gunung itu dikenalsebagai Ile Werung. Dalam bahasa setem-pat, ile berarti “gunung.” Jika Ile Werungberada di tengah-tengah desa, maka “Lerekberada dalam kawahnya,” kata seorangtetua pada suatu malam yang dingin.

Legenda pembentukan Desa Lerekterus diyakini secara turun-temurun.Namun, tak seperti para sesepuh, anak-anak generasi sekarang di Desa Lerekhanya mengetahui inti ceritanya.Andreas Roma, putra ketiga Celestina,sempat saya tanya soal legenda si raja. Iamenjawab singkat. Katanya, “Pokoknyaraja itu tidak mau menurut ibunya. Laludihukum.” Begitu saja.

Dalam keseharian beberapa keluargadi Desa Lerek, cerita tentang raja yangsuka marah-marah kerap jadi “senjata”orang tua. Apalagi kalau anaknya mulaitak menurut. “Nanti ko (kau; kamu,dalam bahasa setempat) jadi seperti raja.Kena hukuman,” kata Celestinamenirukan sendiri ucapannya terhadapAndreas. Tapi itu dulu. Semakin besar,Andreas dan adik perempuannya,Genewat, kian mandiri dan disiplin.

Mereka juga peduli terhadap orang laindan binatang.

Saya sempat mendaki Ile Mauraja. Hariitu Minggu. Warga Desa Lerek, yangmayoritas menganut ajaran Katolik,tengah bersiap-siap misa pagi. Celestinameminta Andreas menemani. “Palingtidak temani Tante sampai batas kebun,”kata sang ibu.

Andreas menolak. “Saya bertugassebagai misdinar, Tante,” jawab anaklelaki yang kini menempuh pendidikankelas 1 sekolah menengah pertama.Misdinar adalah sebutan bagisekelompok anak-anak yang melayanipastor sepanjang misa.

Entah bagaimana Celestina membujuk,Andreas akhirnya mau menemani. Padasuatu titik istirahat sembari melihat-lihatdesa yang tampak nun di bawah, sayabertanya. “Kalau sudah besar, Andreasingin bekerja sebagai apa?” “Seperti bapakdan kakak,” jawabnya. Kakek, bapak sertakakak laki-laki Andreas secara turun-te-murun bekerja sebagai pengamat aktivitasvulkanis Ile Werung. Gaji mereka kecil,namun, kata Andres, ketiganya senangkarena setiap hari bisa melihat gunung.Kalau aktivitas vulkanis meningkat, malahmesti langsung mengambil sampelbebatuan di dekat kawah.

Sesudah pensiun, ayah Andreasbekerja serabutan sebagai buruhbangunan. Kadang-kadang bisa sampaidua pekan bekerja di kecamatan lain diLembata. “Ia tak mau bekerja sepertibapak sekarang,” papar sang anak ketigadari empat bersaudara.

Esoknya saat menjauh dari Desa Lerekmenuju Lewoleba, bus yang sayatumpangi kembali melewati jalananserbarusak. Sungguh medan yang beratjika dilalui dengan berjalan kaki. Apalagiuntuk anak-anak seusia Andreas danGenewat. Mereka, yang menanggungransel dan botol minum di pundak, sertameringis menentang panas akibat sepatutelah menganga. �

SEKOLAH GERSANGdi Tanah Kersang

Penulis Lepas

ANASTASIAIKA

FO

TO-F

OTO

:DO

K.A

NA

STA

SIA

IKA

27 travel 3/23/17 6:36 PM Page 1