SEKAPUR SIRIH KEPALA BADAN PLANOLOGI …storage.jak-stik.ac.id/ProdukHukum/kehutanan/Sep_05.pdf ·...

24
G P L A N L O BULETIN ISSN : 1858-3261 Nomor 1, September 2005 SEKAPUR SIRIH KEPALA BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN Sejarah menunjukkan bahwa walaupun secara umum semua fihak sama berpendapat betapa pentingnya keberadaan sumberdaya hutan bagi kehidupan, namun dalam kenyataannya pembangunan sumberdaya hutan secara berkelanjutan selalu saja dibenturkan dengan kepentingan sumber-sumber pembangunan bersifat kepentingan jangka pendek. Kondisi tersebut yang akhirnya berujung pada degradasi kuantitas dan kualitas hutan, karena konversi kawasan secara otomatis menghilangkan potensi modal pembangunan sosial budaya, ekonomi dan lingkungan sumberdaya hutan yang melekat dan ada karena keberadaannya Dalam era globalisasi tekanan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan bagi kepentingan sekarang dan masa depan makin menggema, bahkan kewajiban pengelolaan sumberdaya hutan secara bertanggung jawab dikaitkan dengan berbagai prasyarat berjalannya negosiasi dan komitmen-komitmen internasional yang sangat strategis bagi kepentingan nasional. Peran kompetensi dan komitmen sumberdaya manusia pengelola dan para fihak yang terkait dengan sumberdaya hutan layak dianggap menjadi kunci solusi lingkaran permasalahan pengelolaan sumberdaya hutan sekarang dan kedepan. Upaya peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia harus menjadi upaya yang tidak terpisahkan dengan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, jalur fungsional menjadi alternatif pilihan upaya percepatan peningkatan kapabilitas aparat secara berkesinambungan. Penetapan fungsional perencana (planolog) adalah salah satu upaya strategis yang diharapkan dapat menjadi jawaban peningkatan profesionalisme pengelolaan sumberdaya hutan, paling tidak dalam mendukung penyusunan kebijakan perencanaan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana. Dalam rangka dukungan nyata atas upaya peningkatan kapabilitas aparat fungsional perencana, kami menilai perlu untuk menerbitkan suatu media sebagai ajang penyampaian, pertukaran dan pemutakhiran informasi yang menyangkut keplanologian kepada publik., berdasarkan argumen itulah Buletin ”PLANOLOG” ini diterbitkan. Akhirnya dengan tulus kami menyampaikan penghargaan atas kerja keras dan sumbangan pemikiran semua fihak yang memungkinkan terbitnya buletin triwulanan ini. Mudah-mudahan semangat tersebut dapat menjadi modal utama agar media ini dapat berkesinambungan dan bermanfaat bagi semua fihak sesuai dengan tujuannya. Demikian dan Sukses Bersama Kita Bisa ... Berbagai hal baik teknis maupun non teknis telah merintangi penerbitan edisi perdana buletin PLANOLOG ini, namun atas kerja keras tim redaksi dan lindungan Yang Maha Kuasa, akhirnya buletin perdana ini terbit juga ke depan pembaca. Berbagai informasi dan wacana yang berharga dalam persoalan kehutanan khususnya keplanologian dapat anda cermati di dalamnya. Selanjutnya pembaca bisa menilai isi edisi perdana ini, kami sangat berharap tanggapan dan masukan dari pembaca demi memajukan buletin ini untuk lebih baik kedepannya. Kami juga sangat membuka diri bagi yang ingin menyumbangkan artikel maupun buah pikiran yang berhubungan dengan keplanologian. Harapan kami semoga kehadiran buletin ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kehutanan khususnya yang terkait dengan keplanologian. Selamat membaca. - Redaksi - DARI REDAKSI

Transcript of SEKAPUR SIRIH KEPALA BADAN PLANOLOGI …storage.jak-stik.ac.id/ProdukHukum/kehutanan/Sep_05.pdf ·...

GPLAN LOBULETIN

ISSN : 1858-3261

Nomor 1, September 2005

SEKAPUR SIRIHKEPALA BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN

Sejarah menunjukkan bahwa walaupun secara umum semua fihak sama berpendapat betapa pentingnya keberadaan

sumberdaya hutan bagi kehidupan, namun dalam kenyataannya pembangunan sumberdaya hutan secara berkelanjutan selalu

saja dibenturkan dengan kepentingan sumber-sumber pembangunan bersifat kepentingan jangka pendek. Kondisi tersebut

yang akhirnya berujung pada degradasi kuantitas dan kualitas hutan, karena konversi kawasan secara otomatis menghilangkan

potensi modal pembangunan sosial budaya, ekonomi dan lingkungan sumberdaya hutan yang melekat dan ada karena

keberadaannya

Dalam era globalisasi tekanan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan bagi kepentingan sekarang dan masa depan

makin menggema, bahkan kewajiban pengelolaan sumberdaya hutan secara bertanggung jawab dikaitkan dengan berbagai

prasyarat berjalannya negosiasi dan komitmen-komitmen internasional yang sangat strategis bagi kepentingan nasional.

Peran kompetensi dan komitmen sumberdaya manusia pengelola dan para fihak yang terkait dengan sumberdaya hutan

layak dianggap menjadi kunci solusi lingkaran permasalahan pengelolaan sumberdaya hutan sekarang dan kedepan. Upaya

peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia harus menjadi upaya yang tidak terpisahkan dengan upaya

peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya.

Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, jalur fungsional menjadi alternatif pilihan upaya percepatan peningkatan

kapabilitas aparat secara berkesinambungan. Penetapan fungsional perencana (planolog) adalah salah satu upaya strategis

yang diharapkan dapat menjadi jawaban peningkatan profesionalisme pengelolaan sumberdaya hutan, paling tidak dalam

mendukung penyusunan kebijakan perencanaan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana.

Dalam rangka dukungan nyata atas upaya peningkatan kapabilitas aparat fungsional perencana, kami menilai perlu untuk

menerbitkan suatu media sebagai ajang penyampaian, pertukaran dan pemutakhiran informasi yang menyangkut

keplanologian kepada publik., berdasarkan argumen itulah Buletin ”PLANOLOG” ini diterbitkan.

Akhirnya dengan tulus kami menyampaikan penghargaan atas kerja keras dan sumbangan pemikiran semua fihak yang

memungkinkan terbitnya buletin triwulanan ini. Mudah-mudahan semangat tersebut dapat menjadi modal utama agar media

ini dapat berkesinambungan dan bermanfaat bagi semua fihak sesuai dengan tujuannya.

Demikian dan Sukses Bersama Kita Bisa ...

Berbagai hal baik teknis maupun non teknis telah merintangi penerbitan edisi perdana buletin PLANOLOG ini, namun

atas kerja keras tim redaksi dan lindungan Yang Maha Kuasa, akhirnya buletin perdana ini terbit juga ke depan pembaca.

Berbagai informasi dan wacana yang berharga dalam persoalan kehutanan khususnya keplanologian dapat anda

cermati di dalamnya. Selanjutnya pembaca bisa menilai isi edisi perdana ini, kami sangat berharap tanggapan dan masukan dari

pembaca demi memajukan buletin ini untuk lebih baik kedepannya. Kami juga sangat membuka diri bagi yang ingin

menyumbangkan artikel maupun buah pikiran yang berhubungan dengan keplanologian.

Harapan kami semoga kehadiran buletin ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kehutanan khususnya yang

terkait dengan keplanologian.

Selamat membaca.

- Redaksi -

DARI REDAKSI

Halaman

2

Latar Belakang

Identifikasi Permasalahan

Seakan berbarengan dengan reformasi, frekuensi

konflik lahan hutanpun di berbagai daerah mencuat

kepermukaan. Berbagai klaim dan tuntutan kepemilikan

kelompok-kelompok komunitas tertentu, atas kawasan hutan

yang secara hukum telah ditunjuk dan ditetapkan sebagai

kawasan hutan Negara. Klaimpun berkembang sedemikian

rupa atas lahan hutan, baik yang bebas maupun telah

dibebani hak guna usaha, hak pengusahaan hutan. Dalih

penyerobotan lahan milik komunitas menjadi lahan hutan

negara, merupakan argumen klaim yang paling umum dengan

modus disertai ancaman dan tindak anarkis apabila klaim

mendapat respon atau mendapat respon tetapi tidak sesuai

dengan isi tuntutan. Keberhasilan demi keberhasilan klaim

seakan menjadi preseden bagi modus klaim serupa di

berbagai tempat lainnya.

Kembali seakan belum cukup kepelikan masalah lahan

yang ada, tekanan klaim dalam bentuk lain muncul terhadap

lahan hutan dalam bentuk ” ” yang

berdalih kepentingan umum dan kepentingan peningkatan

penerimaan negara dari sektor-sektor strategis seperti

pertambangan, perkebunan, transmigrasi sampai dengan

pembukaan jaringan jalan.. Klaim dalam bentuk yang terakhir

ini kerap membenturkan penafsiran antar peraturan dan

perundangan yang mendasari masing-masing sektor.

Penitikberatan permasalahan pada terminologi

sumberdaya lahan/kawasan semata , telah menafikan

pengertian kawasan hutan adalah merupakan suatu kesatuan

yang tidak terpisahkan dari sumberdaya lahan dan tegakan

hutan/rencana penghutanan kembali di atasnya. Pergeseran

tersebut telah mengaburkan manfaat sumberdaya hutan yang

bukan saja menghasilkan outputnya sendiri berupa hasil

hutan, namun yang tak kalah penting, sumberdaya hutan juga

berperan strategis dalam menunjang eksistensi

pembangunan sektor-sektor lain

Terlepas dari pengaburan makna hakiki dari

sumberdaya hutan di atas, pertanyaan yang timbul, ”Begitu

Lemahnyakah Peraturan PerUndangan yang mendasari

penetapan Kawasan Hutan Negara, sehingga upaya konversi

lahan hutan bisa mencabik-cabik kawasan dan fungsinya

yang strategis hanya dengan dalih kepentingan-kepentingan

jangka pendek ?”

Dasar hukum penetapan kawasan hutan Negara

dimulai dari penafsiran pasal 33 Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia yang pada intinya menetapkan, bahwa

hutan termasuk komoditi strategis bagi hajat hidup

trade off interest & comodity

Dari Sisi Internal Kehutanan

Tinjauan Persepsi Peraturan Per-Undang-Undang-an

masyarakat (public goods), sehingga dikuasai oleh negara

d a n d i k e l o l a u n t u k s e b e s a r - b e s a r

kemakmuran/kesejahteraan rakyat. Berangkat dari

penafsiran atau persepsi dikuasai dan dikelola oleh negara,

maka lahirlah perUUan sebagai deivasi pasal 33 tersebut

berupa UU Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967 yang masih

mengakomodasi berberapa ordonansi yang diterbitkan

jaman Hindia Belanda.yang menyangkut perlindungan alam,

penunjukkan register hutan dlsb. Sampai akhirnya dengan

berbagai pertimbangan UU No.5 tahun 1967 dirubah menjadi

UU No.41 tahun 1999 dengan judul yang sama.

Dalam perkembangannya kawasan hutan dari

penunjukkan secara parsial kemudian meningkat menjadi

Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang bersifat makro

indikatif dan telah ditanda tangani berbagai fihak lintas sektor

yang kemudian ditata batas secara bertahap (mikro definitif)

dan disahkan Berita Acaran Tata Batasnya oleh para Bupati

setempat.

Persepsi internal kehutanan yang ditanamkan dalam

proses penetapan kawasan hutan negara ini adalah : Secara

hukum penetapan kawasan hutan dengan SK Menhut sama

kuatnya secara hukum dengan Sertifikat tanah yang

dikeluarkan oleh Agraria/BPN. Oleh karena itu adalah suatu

pelanggaran hak, apabila ada penggunaan kawasan hutan

yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan tanpa seijin

Pemerintah cq Departemen Kehutanan. Padahal klausul

tersurat tentang persepsi tersebut tidak terdapat baik dalam

UU No 41/1999 tentang Kehutanan, PP No. 34 tahun 2003

tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan

Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan

Hutan maupun PP No.44 tahun 2004 tentang Perencanaan

Kehutanan, bahkan pengertian tentang pemantapan

kawasan hutan pun belum disepakati !.

Menanggapi realitas perkembangan kebutuhan

pembangunan yang membuka peluang kemungkinan

terjadinya kebutuhan lahan oleh fihak lain (non kehutanan),

maka telah dibuat pelbagai peraturan yang mengatur kriteria,

mekanisme/tata cara penggunaan lahan kawasan hutan

antara lain melalui cara pelepasan, tukar menukar dan pinjam

pakai. Namun pada prakteknya tidak terselenggara secara

harmonis, kerap sekali penggunaan lahan hutan telah

dilaksanakan kendati perijinannya belum atau sedang

berproses.

Mengacu pada perjalanan proses di atas, dimana

persepsi internal yang beranggapan seolah tidak ada yang

salah dengan peraturan perundangan kehutanan dan

penerapannya sangat berbeda nyata dengan kondisi

senyatanya di lapangan, berdampak pada semua kegiatan

yang berkaitan dengan kawasan hutan direncanakan dan

dilaksanakan dalam konteks ”business as usual” atau dengan

kata lain seperti tidak ada konflik di lahan hutan.. Hal tersebut

jelas merugikan performance kinerja kehutanan secara

keseluruhan dan berdampak pada rendahnya share

kehutanan pada pembangunan nasional.

MERETAS UNIVERSALITAS ENTITAS PEMBANGUNAN

MENUJU SOLUSI

PROBLEM LAND TENURE, DEGRADASI HUTAN DAN KAWASAN HUTAN(Suatu Pencerahan Pemahaman)

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Oleh: Ir. Syaiful Ramadhan, M.M.Agr.

Nomor 1, September 2005

Dari Sisi Peraturan PerUUan Sektor Terkait

Terkait dengan aspek lahan, maka Agragria/BPN

sebagai organ Pemerintah yang diberi otoritas untuk

mengurus masalah pertanahan Nasional jelas berperan

strategis dalam status aspek legal kawasan/lahan hutan. UU

Agraria/Pertanahan mengatur otoritas BPN untuk

menerbitkan pengakuan legalitas alas hak atas tanah dalam

berbagai tingkatnya mulai dari hak milik, hak guna usaha, hak

garap yang didasarkan atas permohonan pengguna dan

sebab musabab yang mendasari timbulnya hak, seperti jual

beli, waris, hibah, ijin usaha dsb. Dalam hal ini termasuk aset

milik negara seperti tanah untuk kantor, gudang, rumah dinas

menjadi wajib bersertifikat hak milik demi terjaminnya

keamanan kekayaan negara. Kenyataan menunjukkan

bahwa, sampai dengan saat ini belum ada satupun unit

kawasan hutan negara yang disertifikasi oleh BPN, malah

sebaliknya di beberapa bagian kawasan hutan yang telah

ditunjuk dan ditetapkan dengan SK. Menhut, BPN

mengeluarkan sertifikat hak kepemilikan atas tanah, sehingga

b i s a d i s i m p u l k a n , b a h w a B P N t i d a k / b e l u m

m e n g e t a h u i / m e n g a k u i S K M e n h u t t e n t a n g

penunjukkan/penetapan kawasan hutan tersebut.

UU Pertambangan yang lahir lebih dahulu daripada UU

Pokok Kehutanan sering sekali menjadi argumen sektor

pertambangan untuk memprioritaskan pemanfaatan lahan

untuk tambang bahkan di kawasan hutan lindung dan

konservasi sekalipun. Hal ini menunjukkan, pengabaian atas

SK. Menhut tentang penunjukkan dan penetapan hutan.,

dimana secara hukum positif, pengabaian tersebut didukung

oleh hasil-hasil vonis pengadilan yang memenangkan

pertambangan atas sengketa pemanfaatan tambang di atas

lahan hutan.

UU Transmigrasi mengatur, bahwa pelaksanaan

pemukiman transmigrasi di kawasan hutan, baru boleh

dilakukan setelah ijin pelepasan kawasan dari Menhut terbit.

Namun dalam prakteknya tidak ada pembatalan terhadap

penggunaan lahan kawasan hutan yang terlanjur di gunakan

untuk pemukiman transmigrasi sebelum terbit/ada ijin

pelepasannya dari Menhut. Kenyataan lapangan

menunjukkan penyelesaian status kawasan hutan yang

digunakan oleh transmigrasi menjadi status quo, bahkan telah

ada yang diterbitkan hak kepemilikannya oleh BPN setempat.

Dari tinjauan UU-UU dan implikasinya dari Sektor

terkait tersebut, didapatkan kecenderungan keseragaman

pandangan, yaitu ; belum/tidak diakuinya kekuatan SK

Menhut sebagai alas hukum penetapan kawasan hutan

negara. Hal ini diperkuat dari hasil-hasil putusan Pengadilan

yang mengadili konflik penyerobotan lahan kawasan hutan

oleh fihak pengguna secara tidak sah, hampir selalu

dimenangkan oleh ”penyerobot” baik masyarakat maupun

antar sektor di dalam tubuh pemerintahan sama

(pertambangan, perkebunan, transmigrasi dsb.).

Dari tinjauan sisi internal dan eksternal kehutanan

/sektor terkait di atas, maka dapat dirumuskan masalah

mendasar dari adanya konflik lahan adalah :

Perumusan Masalah

”Ketidak pastian status yang menderivasi ketidak

pastian sanksi yang mengikat telah mengakibatkan

rendahnya pengakuan properti lahan kawasan sekaligus

fungsi strategis hutan Negara”

penyebab strategis rendahnya pengakuan

atas eksistensi/keberadaan kawasan hutan yang bermuara

pada tingginya laju degradasi lahan hutan dan hutan,

sedangkan tujuan dan manfaat nya adalah untuk

mendapatkan alternatif upaya peningkatan peningkatan

pengakuan kawasan hutan, sehingga laju degradasi hutan

dan lahan hutan dapat diminimalisasi.

Maksud dan Tujuan

Analisis/Pembahasan

Maksud penulisan kajian umum ini adalah untuk

mendapatkan

Lebih dari 30 tahun upaya Pemerintah cq Departemen

Kehutanan secara terpadu dengan Pemerintah Kabupaten

dan Propinsi yang telah menghabiskan begitu banyak biaya

dan tenaga untuk mengukuhkan kawasan hutan negara,

namun terhadap penunjukkan hutan negara seluas ±

13.805.509 ha sampai dengan tahun 2004 tercatat dari ±

217.163,25 km batas luar baru terealisasi ± 165.990,69 km,

sedangkan dari ± 81.380 km tata batas fungsi-fungsi dalam

kawasan hutan negara baru terealisasi ± 51.172,56 km,

dengan catatan, bahwa masih dipertanyakan/ditelusuri

seberapa jauh kesesuaian dan kelengkapan dokumentasi

hasil pengukuran (Peta, Buku Ukur, Berita Acara Tata Batas,

Hasil Padu serasi Rencana Tata Ruang) dan kondisi pal

sebagai batas fisik di lapangan serta kondisi fisik kawasan

hutan senyatanya. Sebagai catatan, seharusnya

program/kegiatan penelusuran alas hukum kawasan hutan ini

menjadi prioritas utama program pra-kondisi hutan.

Kenyataan kondisi yang ditinjau dari aspek hukum

cukup rawan di atas menjadi makin rumit, karena dilain fihak

fenomena konflik lahan kawasan hutan adalah kenyataan

yang tidak bisa dihindari atau ditutup-tutupi, karena

eksternalitas negatifnya terhadap degradasi luas dan fungsi

hutan sangat jelas terlihat dan terasa, baik dalam bentuk

bencana alam maupun kerugian negara, kerugian finansil

para pengusaha yang secara sah telah mendapatkan ijin

pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan dan

bermuara terancamnya kelestarian hutan dan hilangnya

potensi sumberdaya untuk peningkatan kesejahteraan

rakyat.

Dari tinjauan singkat aspek hukum, jelas bahwa status

legal kawasan hutan ternyata hanya diakui secara ekslusif

oleh lingkup Departemen Kehutanan secara internal saja,

sedangkan sebagian fihak-fihak lain yang berkepentingan

dengan lahan cenderung memandangnya sebagai lahan

bebas/bera'. Apabila hal ini tidak segera diluruskan, akan

timbul lemahnya posisi tawar Departemen Kehutanan

mewakili Pemerintah dalam legalitas kawasan hutan sebagai

aset negara, timbulnya kerancuan pada para pengguna lahan

kawasan hutan yang tertib hukum (baca: mengakui eksistensi

SK. Menhut) antara lain seperti timbulnya kekhawatiran atas

jaminan kepastian status hukum lahan usahanya.

Halaman

3

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Nomor 1, September 2005

Halaman

4

Upaya pelurusan yang dilakukan jelas harus canggih

dan berdampak jangka pendek dan yang pasti akan

tidakpopuler, karena menyangkut friksi kepentingan lintas

sektor, namun demikian boleh diyakini kepastian status

hukum kawasan hutan sebagai aset negara mestilah menjadi

prioritas, karena kepentingannya yang menyangkut sosial

politik dan ekologi serta ekonomi bukan saja strategis di

internal negara tetapi telah menjadi isu global .

Mengingat dimensi permasalahan lahan hutan paling

tidak meliputi dimensi ekonomi, sosial dan ekologi, maka

dimensi hukum haruslah diletakkan sebijak mungkin agar

tidak memperumit permasalahan yang sudah ada. Hukum

selayaknya menjad i pengawal yang menjamin

terselenggaranya optimalisasi manfaat aspek sosial, ekonomi

dan ekologi dari lahan hutan dan hutan secara proporsional,

kontradiksi antar UU seharusnya tidak menciptakan trade off

antar fungsi manfaat aspek melainkan mensinerjikannya.

Ketika aspek sosial, ekonomi dan ekologi disepakati

sebagai entitas pembangunan, maka sudah seharusnya

aspek-aspek tersebut mutlak menjadi dasar pertimbangan

setiap kegiatan pembangunan yang menggunakan lahan

hutan yang berkonsekuensi konversi hutan yang tumbuh di

atasnya. Berangkat dari kesamaan entitas/karakteristik

tersebutlah solusi minimalisasi ekternalitas negatif

pembangunan terhadap aspek-aspek tersebut dibangun.

Integrasi domein sumberdaya hutan sebagai sumber

output barang dan jasa hasil hutan dan jasa lingkungan

dengan domein sumberdaya hutan sebagai input penunjang

terselenggaranya keberadaan pembangunan sektor terkait

yang seringkali terdikhotomi karena rigiditas perhitungan

PDRB secara langsung maupun tidak langsung

mengkondisikan inferioritas sampai peniadaan domein

sumberdaya hutan sebagai input penunjang sektor lain,

padahal keberhasilan pembangunan Nasional merupakan

integrasi dari pembangunan parsial masing-masing sektor

Pengintegrasian kedua domein akan menjadi penghubung

ketergantungan pembangunan lintas sektor sekaligus menjadi

forum pensinerjian antar sektor kehutanan dengan sektor

terkait, sebagai contoh ; ketergantungan pembangunan

pangan sangat tergantung pada pengairan yang notabene

merupakan salah satu benefit keberadaan sumberdaya hutan,

sediaan alur sungai yang reperesentatif sebagai alternatif

moda transportasi, kedalaman pantai yang layak untuk

pelabuhan dan sediaan air sebagai penggerak turbin PLTA

akan menjadi effektif dan effisien (minimalisasi biaya

pengerukan yang mahal dan minimalisasi ekternalitas

kekeringan) dengan keberadaan sumberdaya hutan yang

meminimalisasi endapan akibat erosi dan abrasi serta belum

lagi kaitan sumberdaya hutan yang mampu menyerap polutan

dan mentransmisikan oksigen sangat strategis bagi sektor

kesehatan, serta pengaruh keberadaan sumberdaya hutan

terhadap iklim dlsb.

Dari penempatan amanat hukum secara proporsional,

kesamaan entitas yang berlaku universal dan tinjauan domein

sumberdaya kehutanan tidak sekedar output namun

terintegrasi secara utuh dengan domein sumberdaya hutan

sebagai input tersebut, paling tidak ada 3 (tiga) alternatif

pendekatan dalam tinjauan masalah land tenure lahan hutan

dari sisi pandangan pembangunan nasional dan berdampak

positif terhadap pengakuan kawasan hutan, yaitu :

1. Penegasan status lahan kawasan hutan sebagai

Inventaris Kekayaan Milik Negara (IKMN), sehingga,

kewajiban pengamanannya mulai dari aspek alas hukum

lahan (ser t i f ikat ) , reg is t ras i ( reg is ter hutan)

pengamanan(patroli) dan pemeliharaan (rekontruksi)

serta pemanfaatannya(sewa guna). Pengamanan IKMN

mewajib- kan sertifikasi sah atas tanah-tanah hutan

sebagai milik sah Negara dan dibuat registernya serta

dokumen berkaitan pemilikan termasuk patok batas di

lapangan harus teradministrasi dengan rapih dan aman,

setiap penggunaannya (peminjaman, penambahan dan

pengurangan) harus tercatat dan didasari oleh ijin sah

yang berlaku. Pola penggunaan/pemanfaatan dalam

bentuk apapun tidak menghilangkan kepemilikan negara

atas lahan hutan tersebut (tidak mengurangi luas hutan

negara ), kecuali dilakukan suatu ruijslaag yang

memenuhi ketentuan. Dengan berlakunya status IKMN,

maka baik hukum administrasi tata laksana, hukum

perdata dan hukum pidana berlaku atas properti negara

tersebut. Pendekatan ini merupakan upaya minimalisasi

potensi kerugian negara sekaligus meningkatkan posisi

tawar Pemerintah cq Departemen Kehutanan dalam

penge lo laan hutan yang secara ekonomis

menguntungkan, namun tetap ramah lingkungan dan

berfihak pada local specific entity dalam memelihara

k e s e i m b a n g a n d i s t r u b u s i m a n f a a t h u t a n .

2. Penetapan/Pengukuhan lahan kawasan hutan cukup

sampai SK Menhut RI seperti saat ini, namun dalam

pengalokasian pemanfaatan dalam kerangka

pengelolaannya menitik beratkan pada Fungsi

Utama/Dominan dari bagian kawasan hutan yang

bersangku tan . Maks ima l i sas i peman faa tan

multiguna/multi produk (barang dan jasa) dengan

menjaga fungsi tersebut pada ambang yang aman

secara teknis dalam arti minimalisasi transmisi potensi

ekternalitas negatif yang mungkin terjadi akibat

pemanfaatan.

3. Pengayaan SK Menhut RI tentang Penetapan Kawasan

hutan dengan SKB Menteri tentang Integrasi penetapan

kawasan hutan dalam konteks sumberdaya hutan

sebagai input strategis penunjang pembangunan sektor

terkait Terwujudnya SKB ini boleh diyakini akan

memperkuat pengakuan kawasan hutan terutama dari

sektor terkait, sehingga potensi friksi/konflik bisa digiring

menjadi proses pensinerjian pembangunan lintas sektor.

Bahwa hutan secara umum sesuai pasal 33 UUD 1945

dikategorikan sebagai ”public goods” bukanlah berarti

kawasan yang bersifat status quo, sehingga dapat digunakan

secara ”bebas nilai”, namun dikuasai oleh negara seharusnya

ditafsirkan bukan sebagai penghilangan property right

Negara atas kawasan hutan tersebut. Dengan kata lain

ditinjau dari sisi pandang Hukum Nasional kawasan Hutan

adalah juga ”private goods” yang wajib dilindungi dengan

properti right yang jelas dan sah menurut hukum demi

keamanan keberadaannya. Pemahaman ini berimplikasi

UU keagrarian sebagai sentral otoritas kepemilikan wajib

memberikan alas hukum yang sah terhadap kawasan hutan

sebagai salah satu aset nasional yang dimandatkan

pengurusan dan pengelolaannya opada Departemen

Kehutanan. Bahwa pasal 33 UUD 1945 menetapkan ”hutan,

tanah dan air ................ untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat, wajib ditafsirkan dalam konteks maksimalisasi fungsi

dan manfaat serta minimalisasi dampak/eksternalitas

pengelolaannya, sehingga perlu dilindungi keberadaannya

dan diatur pengelolaannya sebijaksana mungkin sesuai

karakter sumberdaya-sumberdaya dimaksud, sehingga

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Nomor 1, September 2005

Halaman

5

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

ketika tata ruang/tata guna lahan yang mencerminkan land

capability dan land suitability telah disepakati didasari oleh

karakteristik sumberdaya, maka konteks untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat haruslah berbasis pada konsistensi

kesepakatan yang telah dibuat tersebut .

Penetapan suatu kawasan hutan negara, didasarkan

atas terpenuhinya karakteristik dimensi fungsi hutan,

sedangkan fungsi kawasan hutan dengan luasan lahan di

bawahnya diklasifikasikan berdasarkan bentangan Daerah

Aliran Sungai (DAS), karena DAS mewakili topografi yang

mencerminkan klasifikasi karakteristik tingkat resiko

ekternalitas negatif dari pengelolaannya terhadap

kepentingan umum kehidupan secara menyeluruh(sebesar-

besar kemakmuran rakyat), yaitu semakin besar kemiringan

lahan dan semakin tinggi lahan dari atas permukaan laut serta

semakin dekat dekat dengan sumber-sumber air (sungai,

danau dan laut) semakin besar potensi ekternalitas negatif

pengelolaannya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan

pengelolaan adalah yang bertendensi pada konversi yang

berakibat pada pengurangan tegakan hutan di atas lahan

hutan, sehingga fungsi ekologinya terganggu dalam

mendukung kepentingan pembangunan ekonomi dan sosial

di sekitar wilayah dampak.

Berangkat dari proses penetapan kawasan hutan di

atas, maka sangatlah tepat pendekatan entitas pembangunan

trilogi sosial, ekologi dan ekonomi sebagai wujud fungsi

manfaat sumberdaya hutan dan pencuatan domein

sumberdaya hutan sebagai input serta pendekatan hukum

yang dipandang sebagai faktor pengikat/penjamin

terselenggaranya entitas pembangunan secara proporsional

digunakan sebagai dasar solusi terjaminnya pengelolaan

kawasan hutan secara harmonis dengan sektor-sektor terkait

dalam dimensi pembangunan Nasional.

Te r b u k t i b a h w a , r e n d a h n y a p e n g a k u a n

eksistensi/keberadaan kawasan hutan dengan pembenaran

aspek legalitas masing-masing sektor .salah satu penyebab

utama dari tingginya laju degradasi hutan dan lahan hutan

Perbedaan pandangan internal kehutanan yang ”over value”

atas status hukum kawasan hutan satu sisi dan pandangan

eksternal kehutanan yang ”under value” atas fungsi dan

benefit sumberdaya hutan di sisi lain mengakibatkan konflik-

konflik lahan hutan berkembang seolah ”unsoluable” .

Dari analisis pembahasan masalah penyebab

degradasi terutama terkait dengan rendahnya pengakuan

atas keberadaan/eksistensi kawasan hutan yang bermuara

pada degradasi lahan hutan dan hutan, maka sebagai

alternatif upaya meningkatkan pengakuan kawasan hutan,

disimpulkan dan direkomendasikan hal-hal sebagai berikut :

1. Peningkatan pengakuan atas kawasan hutan dapat

dilakukan melalui penegasan statusnya sebagai

Inventaris Kekayaan Milik Negara (IKMN) dalam bentuk

peningkatan status hukumnya dari SK Menhut RI menjadi

Sertifikat Hak Milik Lahan Hutan Negara cq Dep.

Kehutanan. Alternatif ini selain menjamin keamanan dan

meningkatkan akurasi neraca sumberdaya hutan, namun

j u g a b e r k o n s e k u e n s i b e r l a k u n y a a t u r a n

penyelenggaraan IKMN atas kawasan hutan sesuai

ketentuan yang berlaku.

Kesimpulan dan Rekomendasi

2. Peningkatan pengakuan atas kawasan hutan dapat

dilakukan melalui, Penempatan aspek hukum secara

proporsional lebih sebagai pengikat ent i tas

pembangunan , sosial, ekologi dan ekonomi seluruh

sektor, dar ipada sebagai a l ib i pembenaran

penyelenggaraan pembangunan sektor masing-masing,

seh ingga s iner j i s i tas maks imal isas i fungs i ,

benefit/manfaat serta minimalisasi potensi ekternalitas

negatiflah yang menjadi pertimbangan prioritas

pembangunan seluruh sektor. Alternatif mendukung

pengamanan kawasan hutan dari sisi luas dan fungsi

secara partisipatif oleh seluruh pengguna/pemanfaat

kawasan hutan.

3. Peningkatan pengakuan atas kawasan hutan dapat

dilakukan melalui pemanfaatan domein sumberdaya

hutan sebagai input penunjang pembangunan berbagai

sektor terkait yang mendasari SKB antar Menteri Sektor

terkait. Alternatif ini mengedepankan harmonisasi share

forward linkage sub-sistem on farm sumberdaya hutan

dengan backward linkage sector lain yang tergantung

kepada keberadaan hutan dalam luas yang cukup.

Semoga dengan reformasi kebijakan lahan khususnya di

kawasan hutan dapat mendukung paradigma

ke masa depan. (SR/AD)

Sustained

Development

Nomor 1, September 2005

Halaman

6

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Dalam rangka menindak lanjuti rangkaian Internasional

workshop desentralisasi kehutanan yang dilaksanakan di

Interlaken Swiss pada tanggal 27-30 April 2004. Departemen

Kehutanan dengan dukungan FLBEU,MFP-DFID,World

Bank, serta JICA menyelenggarakan workshop penguatan

desentralisasi sektor kehutanan di Indonesia.

Workshop penguatan desentralisasi sektor kehutanan

di Indonesia dilaksanakan di hotel Intercontinental Mid Plaza

Jakarta pada tanggal 26 27 Agustus 2004. Workshop ini

dihadiri oleh para pengambil keputusan dari pemerintah

kabupaten dan propinsi, Perguruan Tinggi, LSM, BUMN,

Organisasi Profesi Kehutanan, Lembaga Donor, Departemen

Kehutanan, Departemen Luar Negeri, Bapennas,

Departemen Dalam Negeri dan Swasta, dihadiri oleh 132

peserta. Workshop ini bertujuan untuk memperkenalkan

prinsipprinsip umum pelaksanaan desentralisasi,pertukaran

pengalaman pengelolaan sumber daya hutan oleh

pemerintah daerah serta mencari wacana (model) baru

pengembangan desentralisasi Kehutanan. Tulisan ini

mencoba menginformasikan hasil identifikasi beberapa

permasalahan desentralisasi sektor Kehutanan dari hasil

workshop tersebut.

Berdasarkan pandangan umum yang disampaikan

Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan, Mr. Christian

Kuchli (Pemerintah Swiss), Mr. Ronan Mac-Aongusa (Komisi

Eropa) dan presentasi yang disampaikan oleh Dr. I Made

Suwandi (Depdagri), Dr. Dedi M. Masykur Riyadi (Bappenas),

Bupati Rokan Hilir, Bupati Kutai Barat, Djauhari Oratmangun

(Deplu) serta hasil Diskusi Kelompok dan Diskusi Plena, di

identifikasi permasalahan-permasalahan yang mengemuka

dan perlu mendapat tindak lanjut, yaitu :

Permasalahan pada Pengatur Peran dan

Tanggungjawab Lintas Tataran dan Sektor dalam Kaitannya

dengan Sektor Kehutanan adalah perumusan kebijakan dan

perencanaan kehutanan belum sisternat is dan

terintegrasi,kewenangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah belum dirumuskan dengan mantap,belum

mantapnya kebijakan penetapan dan pengelolaan kawasan

hutan serta pemanfaatannya,masih lemahnya upaya

penegakan hukum dan koordinasi antar sektor dan

stakeholder terkait,proses perijinan tidak konsisten dan

cenderung panjang untuk pengelolaan hutan,belum

optimalnya fasilitasi dan dialog yang dilakukan oleh

Pemerintah Pusat kepada Pemerintah dan stakeholders

terkait di daerah serta kurangnya dukungan pendanaan dari

pemerintah pusat kepada daerah serta belum optimalnya

pelayanan publik di bidang kehutanan.

tuntutan masyarakat terhadap kepastian

kawasan (terutama hutan milik/adat/ulayat) semakin

meningkat,ketidakpastian terhadap status kawasan

berdampak negatif terhadap hutan,di banyak kabupaten

terdapat kebutuhan lahan hutan untuk membangun

perkebunan. Hal ini menuntut peninjauan kembali peraturan

Permasalahan pada Kerangka Kebijakan dan

Pengaturan Penganggaran serta Pengembangan

Investasi adalah

perundangan mengenai pelepasan kawasan hutan

konversi.Masalah tenurial masih lebih terkait dengan

pemanfaatan kayu dan belum mengedepankan jasa

lingkungan yang disediakan sumber daya hutan.Masyarakat

merasakan terbatasnya akses untuk memanfaatkan hasil

hutan serta kewenangan bupati memberikan ijin

pemanfaatan kayu seluas 100 hektar merupakan instrumen

pengendali terhadap pencurian kayu/penebangan ilegal.

Permasalahan pada Proses Multipihak dan

Peningkatan Kapasitas adalah keterwakilan dalam proses

partisipasi multi-pihak yang masih kurang memuaskan,

proses komunikasi yang tidak berjalan dengan baik, proses

m u l t i p i h a k t e r k e n d a l a o l e h w a k t u d a n

angga ran , ke t i dak je l asan kewenangan D ishu t ,

ketidaksesuaian antara UU 41/99 dengan peraturan

perundangan yang terkait lainnya, kelembagaan kehutanan

di daerah belum optimal, kurangnya komitmen dalam

penyediaan sumberdaya dan keuangan dari para pihak yang

terlibat serta keterbatasan sumberdaya keuangan dari

Pemerintah dalam peningkatan kapasitas daerah di bidang

k e h u t a n a n . A d a p u n o p s i p e n y e l e s a i a n y a n g

direkomendasikan untuk mengatasi permasalahan-

permasalahan tersebut di atas adalah sebagai berikut:

a. Melakukan sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan dan

peraturan perundangan dibidang Kehutanan.

b. Perlu keseimbangan dan

c. Pelaksanaan desentralisasi kehutanan perlu mengacu

kepada proses pembelajaran ( ) dari

beberapa. negara yang memiliki tingkat keberhasilan

yang nyata dan aspirasi daerah sebagai basis

kelembagaan.

d. Memantapkan konsistensi dalam implementasi konsep

tata ruang dengan memperhatikan kepentingan dan

untuk kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.

e. Perlu strategi pengembangan dan restrukturisasi industri

perkayuan.

f. Meningkatkan koordinasi dan komunikasi antara pusat

dan daerah serta stakeholder terkait lainnya.

g. Mengembangkan pola pengelolaan kawasan konservasi

Taman Nasional secara kolaborasi (

).

h. Segera dilakukan penyesuaian Peraturan Perundangan

yang saling bertentangan.

i. Perlu ada agenda konkri t untuk penguatan

desentralisasi.

j. Pelaksanaan desentralisasi perlu dilakukan melalui

pentahapan yang mencakup mobilisasi dana,

penyusunan struktur pelaksana dan kultur, serta

peningkatan interaksi antara pemerintah dan pemda.

k. Perlunya payung hukum ( ) untuk

memecahkan konflik antara Undang-Undang.

l. Peningkatan profesionalisme dan kapasitas SDM.

1. Desentralisasi sebagai suatu proses yang kompleks dan

dinamis perlu dilaksanakan secara gradual serta

intangible tangible benefit

lesson learned

collaborative

management

political will

.

Ada 2 pandangan umum tentang desentralisasi dari

hasil workshop yaitu :

IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DESENTRALISASI

SEKTOR KEHUTANAN DI INDONESIA( Disarikan dari workshop penguatan desentralisasi sektor kehutanan

di Jakarta,26-27 Agustus 2004)

Oleh: Popi Susan, S.Hut.

Nomor 1, September 2005

Halaman

7

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

membangun konsensus secara terbuka, transparan dan

proses yang inklusive, penentuan kebijakan secara

partisipatif, pengembangan kapasitas SDM, teknis dan

institusi, provisi sumberdaya finansial dan insentif bagi

investasi, sejalan dengan tujuan pada konteks lokal dan

fleksibilitas untuk mengantisipasi terhadap perbedaan

dan perubahan situasi. Prioritas perlu ditetapkan untuk

memberdayakan dan meningkatkan kapasitas penduduk

setempat untuk mengelola sumber daya alam secara

efisien dan efektif. Pelaksanaan desentralisasi harus

mempunyai manfaat yang positif kepada masyarakat

setempat.

2. Suksesnya pelaksanaan desentralisasi memerlukan

beberapa persyaratan antara lain perumusan yang jelas,

kondisi yang kondusif untuk pengembangan aspek legal

dan kerangka kebijakan serta penyebaran informasi

yang luas yang memakan wak tu , mampu

mengintegrasikan proses desentralisasi ke dalam

, tujuan yang dapat dicapai,

aturan dan tanggung jawab yang jelas.Adanya

sumberdaya dan akuntabilitas serta adanya mekanisme

resolusi konflik. Suksesnya hasil pelaksanaan

desentralisasi berpengaruh kuat terhadap pengamanan

lahan dan aspek keuangan, penerimaan negara dan

perpajakan. (PS/AD)

National Forest Program

Nomor 1, September 2005

Salah satu indikator implikasi dari good governance

adalah suatu kebijakan publik yang dihasilkannya.

Rumus umum dalam kebijakan publik adalah keputusan

pemrintah untuk berbuat ( ) atau tidak berbuat ( )

khususnya, terkait intervensi terhadap segala sesuatu yang

berkaitan dengan kepentingan publik ( Dunn, 1980).

Suatu kebijakan dapat dikategorikan sebagai kebijakan

publik apabila di dalam proses perumusan , penetapan,

implementasi, sosialisasi, evaluasi dan monitoring

melibatkan publik atau dengan kata lain menganut asas

transparansi. Nilai-nilai kebersamaan, keterwakilan dan

berkeadilan akan mempresentasikan aapakah suatu

kebijakan publik layak secara teknis, administratif,

lingkungan, sosial budaya, legal dan politis.

Paradigma pemilihan Presiden/Wakil Presiden, dan

legislatif secara langsung menghasilkan lingkungan

kebijakan yang kondusif, yaitu dalam bentuk mensyaratkan

diskusi publik dalam setiap tahap proses penetapannya.

Rencana sektor kehutanan merupakan salah satu

kebijakan publik yang strategis dari Departemen Kehutanan

didalam proses perumusan sampai dengan implementasinya

tidak terlepas dari keharusan diskusi publik dimaksud di atas.

Apapun rencana yang disusun Departemen kehutanan

harus berorientasi pada fokus kesejahteraan masyarakat dan

kelestarian keberadaan, fungsi dan manfaat hutan. Hal ini

sangat relevan dengan persyaratan proses dihasilkannya

perencanaan hutan dan kehutanan sebagai kebijakan publik.

do do no thing

Sehubungan dengan pemenuhan persyaratan perencanaan

sebagai kebijakan publik perlu diperhatikan hal-hal sebagai

berikut :

1. Didasarkan oleh perumusan hasil identifikasi

permasalahan yang tepat dan fokus dan

memperhatikan heterogenitas sektor maupun wilayah

(spasial). Hindarkan generalisasi permasalahan !

2. Alternatif solusi merupakan hasil kajian dan komparasi

empiris yang direpresentasikan sebagai skenario-

skenario dan asumsinya.

3. Terhadap setiap alternatif dilengkapi kajian dampak

positif dan negatifnya.

4. Terhadap alternatif terpilih dilengkapi dengan strategi

sosialisasi dan implementasi (endorsement mulai dari

diskusi publik secara dini).

5. Pengendalian pelaksanaan melalui monitoring dan

evaluasi, dilaksanakan secara konsisten dengan

indikator yang jelas.

6. Adanya penilaian obyektif terhadap pelaksanaan

sekaligus umpan balik untuk penyempurnaan rencana.

(SR/SR)

POSISI RENCANA SEBAGAI SUATU KEBIJAKAN PUBLIKOleh: Ir. Syaiful Ramadhan, M.M.Agr.

Halaman

8

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Pengantar

Apa itu Perencana?

Dalam struktur organisasi Departemen Kehutanan terdapat

suatu kelompok jabatan fungsional yang biasanya berada

langsung di bawah kendali Eselon II. Sampai saat ini di

Departemen Kehutanan terdapat beberapa jenis jabatan

fungsional, antara lain: Pengendali Ekosistem Hutan,

Penyuluh Kehutanan, Auditor, Widyaiswara, Arsiparis, Penata

Komputer, Surveyor & Pemetaan, Peneliti, Perencana.

Masing-masing jabatan fungsional tersebut berada di

beberapa Eselon I lingkup Departemen Kehutanan sesuai

dengan bidangnya, dengan gambaran sebagai berikut:

1. Pengendali Ekosistem hutan berada di Eselon I sesuai

dengan bidangnya.

2. Auditor berada di Inspektorat Jenderal dan dalam

pembinaan Badan Pemeriksa Kehutanan (BPK).

3. Widyaiswara berada di Sekretariat Jenderal (Pusdiklat

Kehutanan) dan dalam pembinaan LAN.

4. Penyuluh Kehutanan berada di Sekretariat Jenderal

(Pusbinluh Kehutanan).

5. Arsiparis berada di Sekretariat jenderal.

6. Surveyor dan Pemetaan berada di Badan Planologi

Kehutanan dan dalam pembinaan BAKOSURTANAL.

7. Peneliti berada di Badan Litbang Kehutanan dan dalam

pembinaan LIPI.

8. Perencana berada sebagian besar di Badan Planologi

Kehutanan dan dalam pembinaan BAPPENAS.

Tulisan di bawah ini mencoba menginformasikan kepada

pembaca sekilas tentang Fungsional Perencana, dengan

harapan ada beberapa dari pembaca yang tertarik dan

berkeinginan menyumbangkan pikiran dan karyanya untuk

kemajuan pembangunan kehutanan dari aspek perencanaan

dengan menjadi Fungsional Perencana.

Keberadaan fungsional perencana dilandasi dan diatur dalam

Keputusan Menteri Penertiban Aparatur Negara (PAN) No.

16/Kep/M.PAN/3/2001. Fungsional Perencana dibentuk

dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan hasil

guna SDM pada Aparatur Negara yang bertugas melakukan

kegiatan perencanaan pembangunan.

Fungsional perencana selanjutnya disebut Perencana adalah

PNS yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak

secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk

melaksanakan kegiatan perencanaan pada unit perencanaan

tertentu.

Seperti lazimnya pengaturan jabatan fungsional, terdapat

unsur dan sub unsur kegiatan yang menjadi semacam

“spesifikasi” dari aspek-aspek yang menjadi ciri khas dari

jabatan fungsional tersebut. Bagi perencana, unsur dan sub

unsur kegiatannya diuraikan sebagai berikut:

1. Pendidikan, yang meliputi:

a. Mengikuti pendidikan sekolah dan memperoleh

gelar/ijasah

b. Mengikuti pendidikan dan pelatihan kedinasan di

bidang perencanaan dan mendapatkan sertifikat

dan/atau STTPL

2. Kegiatan perencanaan, yang meliputi:

a. Identifikasi permasalahan

b. Perumusan alternatif kebijakan perencanaan

c. Pengkajian alternatif

d. Penentuan alternatif dan rencana pelaksanaan

e. Pengendalian

f. Penilaian hasil pelaksanaan

3. Pengembangan profesi yang meliputi:

a. Membuat karya tulis/karya ilmiah di bidang

perencanaan

b. Menter jemahkan/menyadur buku di bidang

perencanaan

c. Berpartisipasi secara aktif dalam penertiban buku di

bidang perencanaan

d. Berpartisipasi secara aktif dalam pemaparan (ekspose)

draft/pedoman/modul di bidang perencanaan

e. Melakukan studi banding di bidang perencanaan

f. Melakukan kegiatan pengembangan di bidang

perencanaan

4. Penunjang kegiatan perencanaan yang meliputi:

a. Mengajar/malatih/melakukan bimbingan di bidang

perencanaan pembangunan

b. Mengikuti seminar/lokakarya di bidang perencanaan

pembangunan

c. Menjadi pengurus organisasi profesi

d. Menjadi anggota delegasi dalam pertemuan

internasional

e. Menjadi anggota Tim Penilai Jabatan Perencanana

f. Memperoleh gelar kesarjanaan lainnya

g. Memperoleh penghargaan/tanda jasa di bidang

perencanaan

Adapun jenjang jabatan perencana terdiri atas: Perencana

pertama, Perencana muda, Perencana Madya, Perencana

Utama, dengan pangkat dan golongan ruang jabatan

digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 1. Matrik penggolongan jenjang jabatan perencana,pangkat dan golongan ruang

FUNGSIONAL PERENCANA, TERTARIKKAH ANDA?

Oleh: Ir. Ali Djajono, M.Sc.

Nomor 1, September 2005

JENJANG JABATAN PANGKAT DAN GOLONGAN/RUANG

Perencana pertama - Penata Muda, Gol III/a- Penata Muda Tk I, Gol III/b

Pererencana muda - Penata, Gol III/c- Penata Tk I, Gol III/d

Perencana madya - Pembina, Gol IV/a- Pembina Tk I, Gol IV/b- Pembina utama muda, Gol IV/c

Perencana utama - Pembina utama madya, Gol IV/d- Pembina utama, Gol IV/e

Halaman

9

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

fungsional lainnya (misal: Widyaiswara, Auditor, Pengendali

Ekosistem dll).

Persyaratan untuk menjadi perencana pada masing-masing

mekanisme digambarkan dalam tabel di bawah ini

Tabel 2. Uraian persyaratan pengangkatan menjadiPerencana

Berminat ke Perencana ?

Berminat menjadi perencana?, menurut pendapat penulis

ada beberapa alasan yang menjadikan perencana menarik

untuk dijadikan alternatif peningkatan potensi dan karir diluar

jabatan struktural.

Alasan-alasan tersebut antara lain:

1. Adanya beberapa tantangan dan peluang kegiatan di

bidang perencanaan yang masih memerlukan dukungan

tenaga-tenaga spesialis (profesional) perencanaan yang

lebih punya banyak waktu dibandingkan tenaga-tenaga

struktural. Untuk lingkungan Departemen Kehutanan,

kegiatan-kegiatan tersebut antara lain: penyusunan

rencana-rencana kehutanan (misal: Rencana jangka

panjang, Renstra, Renja, Rencana Kinerja), National

Forest Programme (NFP), penyusunan rencana-rencana

kegiatan lingkup Instansi, Analisis kebijakan kehutanan,

perumusan kebijakan kehutanan, evaluasi dan

pengendalian rencana.

2. Lawas/lingkup kegiatan perencanaan sangat luas

meliputi dimensi Nasional, internal sektor, lintas sektor,

regional/wilayah, daerah dan antar daerah.

3. Untuk lingkungan Departemen Kehutanan, jumlah

perencana masih terbatas dan kebanyakan telah

ditugaskan kembali ke struktural.

4. Penetapan sebagai perencana menggunakan sistem

“levelering”, artinya bahwa pengangkatan pertama kali

sebagai perencana penetapan angka kreditnya

tergantung pada pangkat dan golongan ruang terakhir

yang dimiliki, tidak ditentukan oleh masa kerja, jenjang

pendidikan, serta pengalaman kerja dan pelatihan

lainnya. Disamping itu persyaratan untuk menjadi

perencana tidak begitu “rumit” seperti apabila ingin

menjadi misalnya widyaiswara atau auditor serta

memperoleh tunjangan yang relatif memadai.

Apa Mekanisme dan persyaratan untuk menjadi Perencana?.

Ada 3 (tiga) tipe cara pengangkatan untuk menjadi

Perencana, masing-masing melalui: a) Mekanisme

“Impassing”, b) Mekanisme pengangkatan pertama kali; c)

Mekanisme pengangkatan dari jabatan lainnya, dengan

persyaratan pada masing-masing mekanisme berbeda.

Pengangkatan melalui mekanisme “inpassing” diberlakukan

saat pertama kali jabatan fungsional perencana

diperkenalkan dan diimplementasikan serta mekanisme ini

hanya berlaku s/d 2003. Sehingga pengangkatan melalui

mekanisme ini sudah tidak ada lagi.

Pengangkatan menjadi perencana melalui mekanisme

pengangkatan pertama kali diperlakukan bagi PNS yang

berminat menjadi perencana dan yang sebelumnya

tidak/belum memangku jabatan struktural/fungsional lainnya.

Ini artinya bahwa PNS yang bersangkutan sebelumnya

adalah staf biasa atau belum pernah menjadi fungsional

lainnya (misal: Widyaiswara, Auditor, Pengendali Ekosistem

dll).

Sedangkan Pengangkatan menjadi perencana melalui

mekanisme pengangkatan dari jabatan lainnya diperlakukan

bagi PNS yang berminat menjadi perencana dan yang

sebelumnya memangku jabatan struktural/fungsional

lainnya. Ini artinya bahwa PNS yang bersangkutan

sebelumnya adalah pejabat struktural atau menjadi

Dalam petunjuk teknis yang diatur dengan Keputusan Menteri

Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala

BAPPENAS No. 234/M.PPN/04/2002, terdapat contoh

pejabat struktural yang berkeinginan menjadi perencana.

Contoh tersebut digambarkan sebagai berikut: Dra Diah

Anggraeni, MA, adalah PNS dengan pangkat/golongan ruang

Pembina IV/a. Dra. Diah Anggraeni, MA berkeinginan menjadi

pejabat perencana. Untuk menjadi perencana harus ikut

Diklat perencana dan ujian kompetensi perencana. Dalam

ujian ini, Dra. Diah Anggraeni, MA dinyatakan lulus untuk

jenjang jabatan perencana madya. Kepada Dra. Diah

Anggraeni diberikan angka kredit sebesar 400 dan dapat

diangkat menjadi perencana madya.

Untuk sekadar memberikan gambaran, tabel dibawah ini

memperlihatkan jumlah angka kredit kumulatif minimal untuk

pengangkatan perencana.

Tabel 3. Jumlah angka kredit kumulatif minimal

Nomor 1, September 2005

Halaman

10

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Perencana di Departemen Kehutanan

Seperti telah disampaikan di atas bahwa untuk lingkungan

Departemen Kehutanan, tenaga perencana sebagaian besar

berada di Badan Planologi Kehutanan yang sekaligus

merupakan unit pembinaan tenaga perencana di lingkup

Departemen Kehutanan.

Berdasarkan informasi yang ada, semua perencana yang ada

di Departemen Kehutanan pengangkatannya melalui

mekanisme “impassing”, dengan gambaran kondisi

perencana seperti pada tabel berikut.

Tabel 4. Jumlah perencana lingkup Departemen Kehutanan

diperinci per Unit Instansi

menyampaikan sumbangsih pikiran dan karyanya

pada kegiatan perencanaan pembangunan dan kebijakan

sektor kehutanan, namun dalam kenyataan 3 tahun

perjalanan para perencana tersebut belum banyak

“berkiprah”. Dalam realitanya produk-produk rencana

pembangunan sektor kehutanan dan beberapa kebijakan

kehutanan yang dihasilkan bukan merupakan sumbangan

nyata dari para perencana. Dapatlah dikatakan bahwa

perencana di Departemen Kehutanan tersebut belum

“berfungsi”.

Dilain sisi banyaknya peluang kegiatan perencanaan

pembangunan dan perumusan kebijakan kehutanan,

s e b e n a r n y a s e k a l i g u s j u g a m e m b u k a

kemungkinan/kesempatan keberadaan perencana pada unit

perencanaan Eselon I lingkup Departemen Kehutanan diluar

Badan Planologi Kehutanan.

Hal ini bisa dimengerti mengingat bahwa keberadaan

perencana sebenarnya sangat potensial untuk mendukung

dan membantu penyusunan rencana-rencana

pembangunan dan rumusan kebijakan di lingkup Eselon I

masing-masing. Lalu mungkinkah Unit-unit Eselon I lingkup

Departemen Kehutanan selain Badan Planologi Kehutanan

mempunyai “hasrat” untuk memacu staf atau pejabat di

lingkungannya mau menekuni jabatan lain di luar jabatan

struktural untuk menjadi perencana ?.

Kesempatan ada, peluang ada. Memang lalu menjadi “PR”

bagi perencana itu sendiri mengapa “kiprah”nya belum

nampak. Eksistensi perencana akan sangat tergantung pada

inisiatif, kreatifitas dan produktifitas dari para perencananya

sendiri dalam mendukung dan menyumbang pemikiran untuk

lebih memperkaya rencana-rencana pembangunan yang

akan disusun maupun rumusan kebijakan yang akan

ditetapkan. Selama perencana belum bisa menunjukkan

eksistensinya, maka sangat wajar apabila dalam realita

institusi jarang memberikan kesempatan dan kepercayaan

kepada perencana untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan

perencanaan.

Lalu pertanyaanya adalah, apakah para pembaca (baca

PNS) tulisan ini berminat menjadi Perencana dengan segala

konsekwensinya?. Terserah untuk mempertimbangkannya

dengan sisi pandang masing-masing. (AD/AD)

Gambaran distribusi tenaga perencana termasuk yang telah

kembali ke struktural bisa mengindikasikan adanya

“kegamangan” institusi atau keraguan dari perencananya

sendiri dalam kedudukannya sebagai tenaga fungsional.

Mungkin akan ada banyak alasan yang mendasari mengapa

hal itu terjadi. Tapi dalam konteks tulisan ini informasi tersebut

bisa menjadi gambaran senyatanya kepada pembaca (baca

PNS) dalam rangka mempertimbangkan dirinya untuk

menjadi Perencana.

Walaupun perencana di lingkungan Departemen Kehutanan

telah disebutkan mempunyai peluang banyak untuk

Nomor 1, September 2005

Halaman

11

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

A. PENGANTAR

B. LATAR BELAKANG

Tulisan ini diambil dari Rencana Strategis

Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) Departemen

Kehutanan Tahun 20052009 yang ditetapkan oleh Menhut

melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.04/Menhut-

II/2005 tanggal 14 Pebruari 2005. Penekanan pokok

tulisan ini mengenai visi, misi, identifikasi masalah,

kebijakan, program dan kegiatan pokok dalam Renstra-KL

tanpa mengurangi substansi dan isi lengkap dari Buku

Renstra-KLDepartemen Kehutanan tersebut.

Renstra-KL ini disusun melalui proses komunikasi

dan konsultasi dengan stakeholders di berbagai daerah

seperti Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi dan Jawa,

serta secara rutin dilakukan di Jakarta termasuk dengan

para donor sektor kehutanan, pada akhirnya Renstra-KL

ini dikonsultasikan dengan DPR-RI.

Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar

merupakan kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia

setelah Brasil dan Zaire, mempunyai fungsi utama sebagai

paru-paru dunia serta penyeimbang iklim global, sehingga

keberadaannya perlu dipertahankan.

Selama tiga dekade terakhir, sumberdaya hutan

telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi

nasional, yang memberi dampak positif antara lain

terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja

dan mendorong pengembangan wi layah dan

pertumbuhan ekonomi. Namun demikian pemanfaatan

hasil hutan kayu secara berlebihan dan besarnya

perubahan kawasan hutan untuk kepentingan non

kehutanan menyebabkan t imbulnya berbagai

permasalahan lingkungan, ekonomi, dan sosial.

Pemer in tah te lah berupaya menangan i

permasalahan di bidang kehutanan antara lain dengan

menetapkan kebijakan pemberantasan pencurian dan

perdagangan kayu illegal, penanggulangan kebakaran

hutan, restrukturisasi sektor kehutanan, rehabilitasi dan

konservasi sumber daya hutan, serta desentralisasi sektor

kehutanan. Kebijakan tersebut dituangkan dalam rencana

- rencana kehutanan.

Dengan mengacu pada Undang-Undang (UU)

Nomor 41 tahun 1999, UU No. 25 tahun 2004, UU Nomor

32 tahun 2004, Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 tahun

2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah, PP No. 44 tahun

2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan peraturan lain

yang terkait, disusunlah Rencana Strategis Kementerian

Negara/Lembaga (Renstra-KL) Departemen Kehutanan

Tahun 2005-2009. Renstra-KL Departemen Kehutanan

akan digunakan sebagai arahan kebijakan dan strategi

pembangunan kehutanan dalam menyusun program dan

kegiatan tahun 2005-2009.

C. VISI dan MISI

D. IDE

Sesuai dengan UU No. 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan pasal 3 serta persetujuan DPR-RI periode

2004-2009, ditetapkanlah visi pembangunan kehutanan

Indonesia kedepan yaitu:

Berdasarkan visi tersebut, Departemen Kehutanan

menyelenggarakan pengurusan hutan untuk memperoleh

manfaat yang optimal dan lestari serta untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan

berkelanjutan.

Berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 dan UU No. 5

tahun 1990 serta persetujuan DPR-RI periode 2004-2009,

disusunlah misi pembangunan kehutanan Indonesia

yaitu:

1. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang

cukup dan sebaran yang proporsional;

2. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan dan ekosistem

perairan yang meliputi fungsi konservasi, lindung dan

produksi kayu, non kayu dan jasa lingkungan untuk

mencapai manfaat lingkungan sosial, budaya dan

ekonomi yang seimbang dan lestari;

3. Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai

(DAS);

4. Mendorong peran serta masyarakat;

5. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan

berkelanjutan;

6. Memantapkan koordinasi antara pusat dan daerah.

Untuk melakukan analisa selanjutnya perlu dilihat

kondisi kehutanan saat ini dan menetapkan kondisi

kehutanan yang diinginkan kedepan dilihat dari aspek

ekologi, sosial dan ekonomi yang selanjutnya dilakukan

identifikasi permasalahan untuk menetapkan kebijakan,

program dan kegiatan pokok.

Berdasarkan hasil analisa terhadap kondisi

kehutanan saat ini serta kondisi kehutanan yang

diinginkan kedepan dapat di identif ikasi akar

permasalahan di bidang kehutanan yaitu:

A. Pengelolaan aneka fungsi hutan belum optimal

1. Kawasan hutan belum mantap disebabkan antara

lain oleh: proses penataan ruang belum

terkoordinasi dengan baik; unit Pengelolaan pada

semua fungsi kawasan hutan belum seluruhnya

terbentuk dan pemanfaatan hutan belum berpihak

kepada masyarakat.

2. Sumberdaya hutan menurun disebabkan antara

lain oleh: pemanfaatan sumberdaya hutan masih

bertumpu pada hasil hutan kayu; pengawasan

terhadap pengelolaan sumberdaya hutan masih

“Terwujudnya Penyelenggaraan Kehutanan untuk

Menjamin Kelestarian Hutan dan Peningkatan

Kemakmuran Rakyat”

NTIFIKASI MASALAH

RENCANA STRATEGISKEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA (RENSTRA-KL)

DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2005-2009Disarikan/Dirangkum Oleh: Jonh Piter Lubis, S.Hut

Nomor 1, September 2005

Halaman

12

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

lemah; penegakan hukum terhadap pelanggaran

dalam pengelolaan hutan belum maksimal serta

laju rehabilitasi hutan dan lahan masih lebih

rendah dibandingkan dengan laju kerusakan

hutan dan lahan.

B. Peran dan distribusi manfaat belum adil

1. Industri kehutanan tidak efisien disebabkan

antara lain oleh: tidak ada arah yang jelas, dan

d u k u n g a n s e r i u s p e m e r i n t a h d a l a m

mengembangkan industri kehutanan yang

kompetitif serta tidak ada keadilan dalam

distribusi manfaat industri kehutanan.

2. Kegiatan perekonomian masyarakat yang terkait

dengan sumberdaya hutan belum optimal

disebabkan antara lain oleh: peraturan

perundangan yang mengatur akses masyarakat

terhadap hutan belum tersedia secara memadai;

belum berkembangnya industri pengolahan hasil

hutan skala kecil dan menengah serta belum

tersedianya mekanisme pendanaan UKM bidang

kehutanan.

Untuk mencapai sasaran pembangunan jangka

menengah, Departemen Kehutanan menetapkan 5 (lima)

kebijakan prioritas periode 2005-2009 (Keputusan

Menteri Kehutanan No. SK.456/Menhut-VII/2004),

sebagai berikut:

1. Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan

perdagangan kayu illegal;

2. Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri

kehutanan;

3. Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan;

4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan

sekitar kawasan hutan;

5. Pemantapan kawasan hutan.

Berdasarkan visi, misi, tujuan, sasaran dan

kebijakan, Departemen Kehutanan menetapkan

program pembangunan kehutanan periode 2005-2009

yang telah diintegrasikan kedalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

2004-2009.

Program-program tersebut adalah: Pemantapan

keamanan dalam negeri; Pemantapan pemanfaatan

potensi sumberdaya hutan; Perlindungan dan

konservasi sumberdaya alam; Rehabilitasi dan

p e m u l i h a n c a d a n g a n s u m b e r d a y a a l a m ;

Pengembangan kapasitas pengelolaan sumberdaya

alam dan lingkungan hidup; Peningkatan akses informasi

sumberdaya alam dan lingkungan hidup; Pendidikan

kedinasan; Penyelenggaraan pimpinan kenegaraan dan

kepemerintahan; Penelitian pengembangan dan ilmu

pengetahuan teknologi; serta Peningkatan pengawasan

dan akuntabilitas aparatur negara.

U n t u k m e n d u k u n g k e b i j a k a n p r i o r i t a s

pembangunan kehutanan yang telah dibuat,

E. KEBIJAKAN

F. PROGRAM

G. KEGIATAN POKOK

Departemen Kehutanan juga menetapkan kegiatan

pokok pembangunan kehutanan sebagai berikut:

1. Pemberantasan pencurian kayu (illegal logging) dan

perdagangan kayu illegal, dengan kegiatan pokok

antara lain :

a. Menyediakan informasi lokasi-lokasi rawan

pencurian kayu;

b. Menggalang masyarakat peduli pemberantasan

pencurian kayu.

c. Menurunkan ganguan terhadap hutan;

d. Mengintensifkan langkah-langkah koordinasi

dengan POLRI-TNI, Kejaksaan Agung dan sektor

terkait lain dalam penanganan illegal logging untuk

operasi dan penyelesaian tindak pidana

kehutanan;

e. Melakukan upaya-upaya operasi-operasi

pemberantasan illegal logging dan illegal trade.

2. Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri

kehutanan, dengan kegiatan pokok antara lain :

a. Melakukan fasilitasi peningkatan performance

industri kehutanan;

b. Mengupayakan pelaksanaan pengelolaan hutan

lestari pada 200 unit IUPHHK hutan alam dan

IUPHHK Hutan tanaman;

c. Mengupayakan peningkatan produk bukan kayu

(non timber forest product);

d. Mengoptimalkan PNBP dan Dana Reboisasi (DR);

e. Menfasilitasi pembangunan HTI seluas minimal 5

juta Ha;

f. Menfasilitasi pembangunan hutan rakyat seluas 2

juta Ha.

3. Rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan,

dengan kegiatan pokok antara lain :

a. Mendorong efektivitas pelaksanaan RHL pada

areal seluas 5 juta Ha termasuk rehabilitasi hutan

mangrove dan hutan pantai (60 % dalam kawasan

hutan, 40 % luar kawasan hutan);

b. Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan

konservasi di 200 unit KSA/KPA;

c. Membentuk 20 unit model Taman Nasional dan

dapat beroperasi;

d. Penanggulangan kebakaran hutan;

e. Mengupayakan berfungsinya 282 DAS prioritas

secara optimal, termasuk berfungsinya daerah

tangkapan air dalam melindungi obyek vital (al:

waduk, pembangkit listrik tenaga air);

f. Mendorong peningkatan pengelolaan jasa

lingkungan melalui pengelolaan hutan wisata.

4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan

sekitar kawasan hutan, dengan kegiatan pokok antara

lain :

a. Mendorong pengembangan ekonomi masyarakat

di dalam dan sekitar hutan;

b. Peningkatan iklim usaha kecil dan menengah serta

akses masyarakat kepada hutan;

c. Memberikan jaminan akan ketersediaan bahan

baku untuk UKM kehutanan;

d. M e l a n j u t k a n u p a y a p e n g e m b a n g a n

pemberdayaan ekonomi masyarakat (community

economic empowerment). (JL/AD)

Nomor 1, September 2005

Halaman

13

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

5. Pemantapan kawasan hutan, dengan kegiatan pokok

antara lain :

a. Menfasilitasi terbentuknya unit pengelolaan hutan

KPHP, KPHLdan KPHK;

b. Mengupayakan penyelesaian penunjukan

kawasan hutan;

c. Mendorong penyelesaian penetapan kawasan

hutan pada 30 % luas kawasan hutan yang telah

ditata batas;

d. Melakukan koordinasi, sinkronisasi dengan sektor

lain dalam proses penatagunaan kawasan hutan;

e. Mempertahankan keberadaan kawasan hutan

yang ada;

f. Menyediakan kelengkapan informasi SDHA,

meliputi al: potensi penutupan lahan, kayu

komersiil dan non komersiil, potensi non kayu,

hidupan liar, jasa lingkungan dan wisata;

g. Menyediakan data/informasi spatial dan non

spatial kehutanan. (JP/AD)

Mungkin kalau dahulu kala istilah kata yang kerap

berkait dengan hutan adalah ”hukum rimba” dan mungkin

juga ”main kayu”, namun jelas kalau sekarang kata yang

paling sering dan akrab terdengar berkaitan dengan hutan

adalah , sedangkan dua istilah terdahulu telah

menjadi kosa kata Nasional yang lebih berkait dengan tindak

kekerasan dan kriminal.

Hutan rimba yang indah, ijo royo-royo tempat orang

berwisata, memandangi fauna dan tempat penyair berkelana

mencari inspirasi alam raya bagi karya-karyanya, mungkin

tinggal di dalam lagu dan puisi, karena manusia

memanfaatkan kayu namun menafikan sampai dengan

mengingkari kegunaan-kegunaan lain dari keberadaan

hutan. Bahkan lahan tempat tumbuh flora dan berdiam fauna

hutan pun didis-integrasikan keberadaannya dengan hutan,

sehingga sang benih hutan dan satwa-satwa tiada lagi

mempunyai kesempatan untuk merekontruksi diri dan

kediamannya, ironis memang tapi itulah kenyataannya.

Mungkin sekali lagi mungkin manusia lupa, melupakan

atau dilupakan, bahwa keberadaannya yang berdampingan

dengan hutan diikat oleh hukum alam dari Sang Maha

Pencipta, hukum tanpa kompromi yang tidak mengenal kolusi

atau suap dan semacamnya. Ada ubi ada talas, ada rakyat

ada raja, ada budi ada balas dan ada jahat pasti ada murka,

hukum alam yang mengikat telah membuktikan kedurjanaan

manusia pada rimba membawa bencana malapetaka yang

melanda. Jelas bukan sajen yang diminta, tapi upaya nyata

rekontruksi dan revitalisasi ”alas” jua yang harus menjadi

imbal jasa.

Ketika ”ada apa dengan cinta” booming sebagai idola

remaja, tak ada salahnya gita ”ada apa dengan rimba” pun

menggema, sangatlah dan kalau ada yang

menganggap cukup dengan syair ”mungkin alam mulai bosan

dengan tingkah kita” segalanya bisa sirna, karena korban

bencana sudah menjadi fakta. Elegi ada apa dengan rimba

akan terus berkonotasi negatif, apabila Rimbawan sebagai

yang mengaku manusia rimba masih sibuk mencari nama

daripada berkarya, padahal nama menjadi mulia hanya

k e t i k a b e r m a n f a a t p a d a s e s a m a c i p t a .

Tiap detik kesadaran terus bermakna, hanya insanyang ”tak bernyawa” bak raga berkelana nan kian terbenamdalam samsara. Ketika sang saat tetap merenda mimpibukan tak mungkin hari akhir telah tiba, masalahnyamasihkah sang primadona ada apa dengan rimba berjaya ?

Maaf sekali lagi maaf ini crita numpang lewat saja. Kulonuwuun. (SR/AD)

illegal logging

culun gatek

ADA APADENGAN RIMBA (AADR) ?

Oleh: Ir. Syaiful Ramadhan, M.M.Agr.

Nomor 1, September 2005

Syahdan suatu ketika seorang sarjana lulusan universitas

terkemuka sedang mengamati perilaku seorang petani muda

yang setiap hari pulang ke rumah dari ladang lebih kurang jam

10.00 pagi. Dalam suatu kesempatan berdialog, sang sarjana

menawarkan nasehat untuk masa depan yang lebih baik bagi

petani, dialog selengkapnya sebagai berikut :

Sarjana(S)

: Kalau anda menambah jam kerja di ladang,tentu produksi akan lebih besar.

Petani(P)

: Tentu, tapi kalau produksi saya menjadi lebihbesar terus bagaimana.

(S) : Penghasilan anda kan naik, sehingga modalmemperluas ladang ada, sehingga produksidan penghasilan akan berlipat.

(P) : Kalau sudah begitu terus bagaimana ?

(S) : Anda tentu mampu menjadi pengusaha danmempunyai karyawan yang banyak,sehingga cukup mengatur saja, tidak perlubekerja langsung.

(P) : Terus bagaimana ? (dengan berbinar -binar)

(S) : Anda punya waktu luang dengan kelaurga.

(P) : Berapa lama waktu yang dibutuhkan untukmecapai itu ?

(S) : Hmmm….. lebih kurang 15-20 tahun.

(P) : Jadi……jadi saya harus menunggu selamaitu untuk mewujudkan apa yang sudah dapatsaya wujudkan hari ini !?!

(S) : ??????

ANEKDOT VISIONER

Halaman

14

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan

(RPPK) merupakan strategi umum untuk meningkatkan

kesejahteraan petani, nelayan, dan petani hutan,

meningkatkan daya saing produk pertanian, perikanan, dan

kehutanan, serta menjaga kelestarian sumberdaya pertanian,

perikanan, dan kehutanan. PPK mempunyai peran

multifungsi yang perlu mendapat apresiasi yang memadai dari

masyarakat. PPK merupakan way of life dan sumber

kehidupan sebagian besar masyarakat kita.

Revitalisasi Kehutanan khususnya ditujukan untuk

meningkatkan produktivitas sumber daya hutan melalui

peningkatan peran serta para pihak, baik dunia usaha,

masyarakat maupun pemerintah. Peningkatan produktivitas

sumber daya hutan berarti peningkatan output (luaran) baik

dalam bentuk hasil hutan kayu maupun non-kayu (termasuk

jasa lingkungan). Dengan demikian peningkatan

produktivitas sumber daya hutan tersebut akan membuka

lapangan pekerjaan dan peluang usaha yang lebih luas bagi

masyarakat maupun dunia usaha. Dengan demikian

revitalisasi kehutanan tidak keluar dari atau merupakan

penda laman dan pena jaman program-program

pembangunan kehutanan yang telah dituangkan dalam RPJP,

RPJM maupun Renstra Departemen Kehutanan.

Beberapa alasan kenapa revitalisasi kehutanan perlu

dilakukan antara lain : a). Menurunnya peran dan fungsi

kehutanan dalam pembangunan nasional akibat

meningkatnya degradasi sumberdaya hutan b) Sektor

kehutanan mempunyai keunggulan komparatif, dimana

Indonesia masih memiliki kawasan hutan cukup luas dan

berfungsi sebagai paru-paru hijau dunia (120,35 juta ha) serta

kaya dengan keanekaragaman hayati yang tinggi; c) Dalam

jangka panjang sektor kehutanan dapat menjadi salah satu

penggerak perekonomian nasional (devisa, lapangan kerja,

dll); d) Permintaan pasar atas produk kehutanan secara

nasional maupun global cenderung meningkat terus; d)

Industri kehutanan dalam arti luas (pengelolaan hutan lestari:

IUPHHK/HPH, IUPHHT/HTI; industi pengolahan dan jasa

lingkungan) dapat bersaing secara global dan mempunyai

daya saing yang tinggi; e) Untuk meningkatkan taraf

perekonomian masyarakat di dalam dan sekitar kawasan

hutan yang bergantung terhadap SDH sebanyak 48,8 juta

orang, dan 10,2 juta diantaranya tergolong miskin. f).

Resiliensi Industri-industri sektor kehutanan yang rendah,

rata-rata hanya berbasiskan terhadap keunggulan bahan

baku.

Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan ini

dilakukan karena apabila permasalahan yang dihadapi PPK

dapat diselesaikan, dan potensi PPK dapat didaya-gunakan

maka lebih dari separuh permasalahan mendasar bangsa ini,

seperti kemiskinan, pengangguran, daya saing, dan

kelestarian sumberdaya alam akan dapat diselesaikan.

Paradigma penyelenggaraan pembangunan kehutanan

ke depan berubah dari orientasii timber forest management

menjadi forest resources management, yang diharapkan

dapat menjamin terhadap pengelolan hutan yang lestari untuk

ARAH REVITALISASI KEHUTANAN

DALAM KERANGKA RPPK 2005-2009

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal tersebut telah

diterjemahkan dalam visi pembangunan kehutanan, yakni

Terwujudnya Penyelenggaraan Kehutanan untuk Menjamin

Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kemakmuran Rakyat.

Pembangunan kehutanan ke depan ditujukan untuk

mewujudkan pengelolaan hutan lestari yang dapat

memberikan kesejahteraan masyarakat yang secara umum

tercermin pada kondisi ekologi, sosial, ekonomi dan

kelembagaan. Dengan demikian revitalisasi industri

kehutanan, dilakukan melalui peningkatan produktivitas

SDH, peningkatan kapasitas masyarakat, penguatan

kelembagaan dan memberikan akses yang lebih luas

terhadap SDH.

Kebijakan dan strategi PPK harus bersifat integratif, baik

kebijakan di-pertanian, perikanan, dan kehutanan (policy on

agriculture), maupun kebijakan untuk pertanian, perikanan,

dan kehutanan (di sektor atau bidang lain) atau policy for

agriculture; harus memadukan kebijakan yang bersifat

jangka panjang dan kegiatan operasional jangka pendek;

serta harus memadukan kebijakan yang mempengaruhi

pasar (harga, perdagangan) dan kebijakan yang melakukan

peningkatan kondisi struktural (infrastruktur, teknologi);

serta kebijakan-kebijakan yang terkait dengan aspek

kelembagaan.

Kebijakan dan strategi umum Revitalisasi Pertanian

Perikanan dan Kehutanan adalah sebagai berikut

:1)Pengurangan kemiskinan dan kegureman PPK,

2)Peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah, dan

kemandirian produksi dan distribusi PPK, 3)Pelestarian dan

pemanfaatan lingkungan hidup dan sumberdaya alam

secara berkelanjutan. Kebijakan dan strategi operasional

PPK mencakup 12 prioritas kebijakan integratif yang

difokuskan pada 4 kategori produk, yaitu : Produk-produk

yang mendukung ketahanan pangan, produk-produk yang

kegiatan produksi dan distribusinya mendukung

pengembangan kesempatan usaha dan pertumbuhan,

produk-produk yang diandalkan sebagai produk ekspor,

ser ta produk-produk yang termasuk kategor i

pengembangan produk baru. Untuk mewujudkan

masyarakat yang sejahtera dan makmur dengan

mempertimbangkan kondisii SDH dan permasalahan yang

dihadapi,maka telah ditetapkan kebijakan prioritas

p e m b a n g u n a n k e h u t a n a n s e b a g a i b e r i k u t :

1)Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan

perdagangan kayu illegal, 2)Revitalisasi sektor kehutanan

khususnya industri kehutanan, 3)Rehabilitasi dan

konservasi sumberdaya hutan, 4)Pemberdayaan ekonomi

masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan,

5)Pemantapan kawasan hutan. Sesuai rencana strategis

yang ditetapkan, sasaran revitalisasi kehutanan mencakup

beberapa kegiatan dengan indikator pencapaian sebagai

berikut:

a. Pengembangan komunikasi yang efektif untuk

mewujudkan komitment bersama para pihak dalam

penyelenggaraan pembangunan kehutanan yang lebih

terarah dan sistematis, termasuk juga dalam

merevitalisasi sektor kehutanan ke depan.

b. Pengembangan prakondisi pembangunan kehutanan.

Disarikan/Dirangkum Oleh: Efsa Caesariantika

Nomor 1, September 2005

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

15

c. Pemantapan kawasan hutan untuk menjamin kepastian

pengelolaan hutan dan pengusahaan hasil hutan.

d. Melakukan fasilitasi dalam pengelolaan hutan lestari pada

IUPHHK hutan alam dan IUPHHK hutan tanaman, serta

pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

e. Melakukan revitalisasi dan merestrukturisasi industri

kehutanan yang lebih obyektif dan terbuka terhadap pasar

domestik dan global.

f. Pembangunan dan pengembangan hutan tanaman dan

hutan rakyat untuk mendukung penyediaan bahan baku

kayu untuk memenuhi kebutuhan konsumsii masyarakat

domestik dan global.

g. Pengembangan rehabilitasi hutan dan lahan dan

peningkatan Pengelolaan DAS, untuk meningkatkan daya

dukung DAS.

h. Pengembangan WisataAlam dan Jasa Lingkungan.

i. Mengupayakan peningkatan produk bukan kayu (

)

j. Mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)

dan Dana Reboisasi (DR).

Semangat yang dikandung didalam Revitalisasi

Pertanian Perikanan dan Kehutanan khususnya bidang

kehutanan itu sendiri diharapkan dapat menjadi milik

petani/nelayan/petani-hutan, pemerintah, parlemen, dunia

usaha, akademisi, masyarakat-warga, dan seluruh rakyat

Indonesia. Revitalisasi bukan dimaksudkan membangun

PPK at all cost dengan cara-cara yang top-down sentralistik;

bukan pula orientasi proyek untuk menggalang dana; tetapi

revitalisasi adalah menggalang komitmen dan kerjasama

seluruh stakeholder dan mengubah paradigma pola pikir

masyarakat melihat PPK tidak hanya urusan bercocok

tanam, pemeliharaan ternak atau penebangan pohon yang

sekedar hanya menghasilkan komoditas untuk dikonsumsi.

PPK mempunyai peran multifungsi yang perlu mendapat

apresiasi yang memadai dari masyarakat. Produk dan bisnis

PPK diharapkan akan mampu mengatasi berbagai

permasalahan tersebut dan memiliki kemampuan untuk

menyandarkan keunggulan produksi dan distribusinya pada

kekuatan dan kehandalan kegiatan luar usaha tani,

khususnya agroindustri dan agro service dalam satu sistem

yang integratif. (EC/AD)

non

timber forest product .

Nomor 1, September 2005

1. Bahwa pada PERENCANAAN DAN STATISTIK

KEHUTANAN saat ini sedang disusun ?

a. Sistem Perencanaan Kehutanan sebagai derivasi UU

No. 41/1999 dan PP 44/2004 serta UU No. 25/2004 dan

PP No. 20/2004.

b. Rencana pembangunan jangka panjang 2005-2025

sebagai acuan kearah mana kehutanan akan berjalan

c. Penyempurnaan Statistik Kehutanan 2003

d. Analisis Sektor Kehutanan bertujuan

2. Bahwa Komitmen dan Integrasi Perencanaan dapat

menjadi sumber penghemantan pengeluaran negara,

karena :

a. Kalau rencana disusun mengacu pada Renstra akan

menutup peluang duplikasi kegiatan anggaran.

b. Kalau rencana disusun mengacu pada Renstra akan

konsisten dengan kebijakan prioritas Departemen

Kehutanan, sehingga hambatan-hambatan vital

pembangunan akan segera terpecahkan , dengan

demikian energi, waktu dan biaya tidak terserap pada

penanganana permasalahan secara parsial.

c. Kalau rencana disusun mengacu pada Renstra, fokus

orientasi pemberdayaan kesejahteraan masyarakat

dan pelestarian sumber daya hutan akan terjamin/tidak

bias dalam pencapaiannya.

d. Kalau rencana disusun mengacu pada Renstra, maka

keberhasilan kebijakan pembangunan Departemen

Kehutanan lebih sinergis dan efisien pada sasaran dan

tujuan Departemen Kehutanan secara menyeluruh.

(SR/SR)

untuk

merumuskan rekomendasi terhadap isu dan

permasalahan kehutanan dan yang terkait dengan

sektor lainnya. Kajian ini meliputi:

-

-

-

-

-

Urgensi Implementasi PDRB Hijau di Sektor

Kehutanan, dikaji oleh Dr. M. Soeparmoko dan

Dr. Dodik Ridho Nurochmat

Kajian Prospek Pembangunan Hutan Tanaman

Industri Rakyat, dikaji oleh Prof. Dr. Dudung

Darusman dan Dr. Hardjanto

Kajian Prospek Pengembangan Produk Hasil Hutan

Non Kayu, dikaji oleh Bramasto Nugroho dan

Ir. Pantun Nainggolan, M.Sc.

Kajian Dampak Pertambangan dalam Kawasan

Hutan, dikaji oleh Dr. Syaiful Anwar dan Dr. Kukuh

Murtilaksono.

Kajian Pengembangan Kabupaten Konservasi,

dikaji oleh Dr. Rinekso Soekmadi, Ir. Tutut

Sunarminto, M.Si. dan Dr. Soehartini Sekartjakrarini.

TAHUKAH ANDA ?

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

16

Hutan memegang peranan yang penting dalam

kehidupan manusia yaitu sebagai sistem penyangga

kehidupan. Hutan memiliki beragam manfaat baik manfaat

ekologis, manfaat ekonomis dan manfaat sosial. Manfaat

ekonomis hutan dalam perekonomian negara tidak dapat

dipandang remeh. Selama lebih dari 3 dekade, sumber daya

hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi

nasional dan berkontribusi dalam bentuk peningkatan devisa,

penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan

wilayah. Salah satu bentuk pemanfaatan hutan dari sisi

ekonomis adalah dengan berdirinya industri pengolahan kayu.

Industri pengolahan kayu di Indonesia dikembangkan

secara intensif sejak tahun 1980-an. Diawali dengan

d ike lua rkannya SKB t iga Men te r i (Pe r tan ian ,

Perdagangan/Koperasi, dan Perindustrian) pada bulan Mei

1980 tentang penyediaan kayu dalam negeri dikaitkan dengan

ekspor kayu bulat. SKB tersebut ditindaklanjuti dengan SKB

empat Dirjen (Kehutanan, Aneka Industri, Perdagangan

dalam Negeri, Perdagangan Luar Negeri) pada bulan April

1981 tentang peningkatan industri pengolahan kayu terpadu

yang berintikan industri kayu lapis.

Perkembangan industri ini meningkat pesat ketika

pemerintah melarang ekspor kayu bulat pada tahun 1985.

Dalam perkembangan selanjutnya, industri pengolahan kayu

terutama kayu lapis menjadi salah satu penyumbang devisa

terbesar di sektor non migas bersama dengan industri tekstil.

Dewasa ini industri kayu lapis Indonesia menghadapi

berbagai kendala yang menghambat perkembangannya,

diantaranya adalah kesulitan pasokan bahan baku; beralihnya

konsumen ke produk substitusi kayu lapis hardwood seperti

kayu lapis softwood, MDF, OSB; maraknya illegal logging

dimana kayunya digunakan oleh negara kompetitor untuk

memproduksi kayu lapis dengan harga yang lebih murah; non

tarrif barrier dalam bentuk isu lingkungan yang diterapkan

negara konsumen dan sebagainya. Pertanyaan yang muncul

kemudian adalah bagaimana prospek ekspor industri kayu

lapis Indonesia di masa yang akan datang ? Untuk dapat

menjawab pertanyaan tersebut, penulis mencoba

menganalisa dengan melihat daya saing industri kayu lapis

Indonesia dan melihat potensi pasar kayu lapis dimasa depan.

Untuk mengetahui daya saing industri kayu lapis

Indonesia, dapat diketahui salah satunya dengan melihat nilai

dari (RCA), dan Indeks

Spesialisasi Perdagangan. Metode RCA adalah salah satu

alat pengukuran daya saing yang didasarkan pada prestasi

ekspor komoditi i dalam ekspor sektor tertentu negara j

dibandingkan dengan kontribusi ekspor komoditi i dalam

ekspor sektor tertentu dunia. Penyimpangan ke atas (ke

bawah) dari nilai satu menunjukkan ada (tidak adanya)

keunggulan komparatif suatu negara dalam memproduksi

komoditi tertentu.

Sedangkan ISP adalah suatu pengukuran untuk

mengetahui daya saing komoditi tertentu di pasar dunia

dengan cara melihat tahapan industrialisasi dan

Daya Saing Industri Kayu Lapis Indonesia

Revealed Comparative Advantage

perkembangan pola perdagangan komoditi tersebut. Nilai ISP

berkisar dari - 1 hingga + 1 . Tahap permulaan industri

berkisar antara 1 sampai - 0.5 . Tahap substitusi impor 0.5

sampai 0. Tahap perluasan ekspor 0 sampai 0.8 dan tahap

p e m a t a n g a n d i s e k i t a r n i l a i 1 .

Dengan menggunakan data timeseries dari tahun

1995 2003, pola dari RCA dan ISP industri kayu lapis

Indonesia disajikan dibawah ini.

PROSPEK KAYU LAPIS INDONESIAOleh: Uus Danu Kusumah, S.Hut

Perkembangan Nilai RCA industri Kayu lapis Ina

0

2

4

6

8

10

12

14

95 96 97 98 99 00 01 02 03

Tahun

RC

A

Berdasarkan grafik diatas, terlihat bahwa industri kayu

lapis Indonesia memiliki keunggulan komparatif (nilai RCA

diatas 1), walaupun terjadi kecenderungan penurunan nilai

RCA. Keunggulan komparatif industri kayu lapis Indonesia

tidak terlepas dari berbagai kebijakan yang dijalankan

pemerintah. Beberapa kebijakan tersebut diantaranya adalah

larangan ekspor log tahun 1985, pajak ekspor yang tinggi

untuk kayu gergajian tahun 1989, dukungan penuh

pemerintah terhadapApkindo (berdirinya BPB dan TSH).

Akibat dari kebijakan ini, jumlah industri kayu lapis

meningkat pesat dari 29 perusahaan pada tahun 1980

menjadi 101 pada tahun 1985 dengan jumlah produksi

mencapai 4,581,000 m dimana 82,6 % diantaranya diekspor.

Jumlah industri kayu lapis semakin meningkat dan pada

tahun 1996 berjumlah 122 perusahaan dengan produksi

mencapai 9,797,000 m (87.41% diekspor). Setelah

terjadinya krisis ekonomi, jumlah perusahaan kayu lapis

cenderung berkurang dan pada tahun 2002 hanya berjumlah

107 perusahaan (Dephut & ITTO, 2004).

Dilain pihak, untuk menghindari tuntutan internasional

yang menganggap kebijakan larangan ekspor kayu bulat

sebagai , pemerintah mencabut kebijakan

tersebut pada tanggal 27 Mei 1992 dan menggantinya

dengan menerapkan pajak ekspor yang tinggi (

), yaitu sebesar USD 500 USD 4800 per m kayu bulat

dan berlaku mulai Juni 1992.

Terintegrasinya industri kayu lapis dengan perusahaan

HPH dalam satu grup perusahaan membuat industri kayu

lapis mendapatkan pasokan bahan baku yang lebih terjamin

dengan harga yang lebih murahdibandingkan dengan harga

kayu bulat di negara kompetitor (Malaysia). Pada tahun 2003,

harga domestik kayu bulat (Meranti) di Indonesia sebesar 65

- 80 USD/m lebih murah dibandingkan dengan harga kayu

bulat Meranti di Malaysia yang mencapai 175 180 USD/m .

3

3

3

3

3

non tariff barrier

prohibitive

tariff

Nomor 1, September 2005

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

17

Hal ini mengakibatkan harga jual kayu lapis Indonesia relatif

lebih murah dibandingkan harga jual kayu lapis Malaysia

(Dephut & ITTO, 2004).

Selain hal-hal tersebut diatas, peranan Apkindo

dengan Badan Pemasaran Bersamanya (BPB) sangat besar

dalam membantu pemasaran kayu lapis Indonesia di pasar

internasional. Apkindo dengan difasilitasi pemerintah mampu

menjadikan kayu lapis Indonesia mendominasi pasar

internasional.Setelah terjadinya krisis ekonomi, nilai RCA

industri kayu lapis cenderung menurun dan pada tahun 2003

nilai RCAsebesar 7,34. Hal tersebut disebabkan oleh adanya

perubahan kebijakan yang dijalankan pemerintah terkait

dengan reformasi. Sesuai dengan kesepakatan antara

pemerintah dengan IMF, Badan Pemasaran Bersama dan Tim

Stabilisasi Harga dibubarkan pada tahun 1998. selain itu,

pajak ekspor untuk kayu gergajian diturunkan sehingga

ekspor kayu gergajian Indonesia meningkat. Hal terberat yang

dihadapi oleh industri kayu lapis Indonesia adalah dibukanya

peluang ekspor kayu bulat dan maraknya illegal logging,

dimana kayu-kayu illegal asal Indonesia disinyalir digunakan

oleh industri kayu Malaysia dan China sehingga pangsa pasar

kedua negara tersebut meningkat.

Dari hasil perhitungan ISP (Indeks Spesialisasi

Perdagangan) didapat data bahwa nilai ISP industri kayu lapis

Indonesia mendekati 1 (satu). Hal tersebut menunjukan

bahwa industri kayu lapis Indonesia berada dalam tahap

pematangan. Selama ini sekitar 80 % produksi kayu lapis

Indonesia diekspor sedangkan sisanya untuk memenuhi

kebutuhan domestik. Impor kayu lapis Indonesia juga sangat

kecil . pada tahun 2003, impor kayu lapis hanya sekitar 1,744

m (sekitar 0,03 % dari produksi kayu lapis nasional).

Permintaan lokal kayu lapis semakin meningkat

didorong oleh faktor faktor seperti meluasnya pemakaian kayu

lapis unuk bahan bangunan misalnya daun pintu, jendela,

langit-langit, furniture dan sebagainya.

Peredaran kayu lapis domestik terus meningkat

walaupun konsumsi dalam negeri tidak begitu besar.

Perkembangan pemasaran kayu lapis dalam negeri

menghadapi berbagai masalah diantaranya adalah

rendahnya daya beli, pola permintaan kayu yang tidak teratur

dan perkembangan ekspornya yang semakin membaik.

Menurut FAO, pada saat ini Indonesia memproduksi

kayu lapis sekitar 6,5 juta m , 80 % diantaranya di

ekspor ke manca negara dan sisanya (20 %) digunakan untuk

memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jumlah penduduk

Indonesia yang berjumlah sekitar 220 juta jiwa, menjadikan

Indonesia sebagai pasar potensial bagi industri kayu lapis.

Konsumsi kayu lapis Indonesia masih relatif rendah

dibandingkan negara lain. Alokasi penggunaan kayu lapis

Indonesia terbesar adalah untuk sektor perumahan dan

bangunan (65 %) dan sisanya (35 %) digunakan oleh industri

meubel dan keperluan lainnya. Sedangkan dari segi wilayah,

alokasi penggunaan terbesar berada di pulau Jawa dan

diperkirakan menyerap sebanyak 73 % dari total konsumsi

kayu lapis Indonesia.

Dari sisi permintaan (impor), impor kayu lapis dunia

cenderung meningkat pada periode 1992-2002 meskipun ada

3

3

Peluang Pasar Kayu lapis

hardwood

sedikit penurunan pada tahun 1998 dan tahun 2001. Pasar

terbesar untuk kayu lapis selama periode 1998 2002 adalah

Jepang, China, USA, Taiwan dan Korea Selatan. Impor

Jepang untuk kayu lapis mencapai 33 % dari total impor dunia

pada tahun 1998 dan meningkat menjadi 43 % pada tahun

2002. Importir kayu lapis terbesar lainnya adalah China dan

USAmeskipun China secara bertahap mengurangi impor dari

2,084 juta m pada tahun 1998 menjadi hanya 570.000 m3

pada tahun 2002 (Dephut & ITTO, 2004).

Berdasarkan penelitian FAO, total produksi panel

berbasis kayu dunia (termasuk kayu lapis) pada tahun 1990

adalah 126,3 juta m , sedangkan konsumsi dunia pada tahun

yang sama adalah 125,1 juta m . Ramalan FAO pada tahun

2010 memperkirakan bahwa kebutuhan konsumsi kayu

berbasis panel dunia termasuk kayu lapis mencapai sekitar

320,4 juta m atau naik 256 % dari tahun 1990, suatu kenaikan

yang luar biasa dan merupakan peluang bagi industri kayu

lapis Indonesia. Kayu lapis mempunyai posisi yang kuat

sebagai karena menguasai lebih dari 2 kali lipat

pangsa pasar kompetitor, bahkan menguasai hampir 50%

pangsa pasar kayu lapis dunia. Posisi kuat yang dicapai oleh

produk kayu lapis nasional di pasar dunia, tidak terlepas dari

peranan Badan Pemasaran Bersama (BPB)Apkindo (dengan

segala kelebihan dan kekurangannya) yang mampu

mengkatrol harga, memperluas pasar, membangun jaringan

distribusi, serta mengatur dengan kuota. Posisi

sebagai sekaligus produk kayu lapis

ini tentunya merupakan aset berharga yang harus

dipertahankan. Kelemahan dan kesalahan di dalam

kebijakan dapat berdampak serius pada merosotnya posisi

tawar industri kayu lapis Indonesia.

Secara rata-rata ada perbedaan yang nyata antara

harga kayu lapis di pasaran dalam negeri dan pasaran

ekspor, dimana harga ekspor lebih besar 27% (Nurrochmat,

2005). Sebelum dibentuknya (JMB)

oleh APKINDO tahun 1984, harga kayu lapis sangat

berfluktuasi. Sementara setelah dibentuknya JMB, harga

ekspor kayu lapis cukup stabil dengan pertumbuhan 7%

pertahun. Sedangkan harga kayu lapis dalam negeri cukup

stabil dengan pertumbuhan harga 7,5% pertahun

(Anonimous, 1997). jangka pendek, dari sisi produksi

diperkirakan tidak terjadi ekses permintaan maupun

penawaran. Kondisi "keseimbangan" yang terjadi saat ini

sebenarnya merupakan keseimbangan semu akibat lesunya

harga kayu lapis Indonesia di pasar internasional. Ada

beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Pertama,

merosotnya posisi tawar Indonesia akibat terjadinya krisis

ekonomi berkepanjangan dan terutama menyusul

dibubarkannya Badan Pemasaran Bersama (BPB) kayu

lapis. Kedua, bangkitnya industri kayu lapis kompetitor

terutama Jepang dan Malaysia. Industri kayu lapis Jepang

bangkit kembali memanfaatkan momentum terjepitnya posisi

industri kayu lapis Indonesia yang selama ini memegang

posisi eksportir kayu lapis dunia. Bangkitnya

industri kayu lapis Jepang (menurut beberapa sumber) juga

didukung oleh mengalirnya kayu bulat Rusia dan eks Uni

Soviet (kemungkinan besar dari hutan Siberia) ke industri

kayu lapis Jepang dengan harga sangat rendah (dibawah

US$ 60/m3). Sementara itu, fenomena menguatnya

kompetitor kayu lapis utama yakni Malaysia diduga didukung

oleh mengalirnya kayu bulat ilegal Indonesia ke negeri jiran

tersebut, terutama melalui perbatasan Serawak dan Sabah.

Meskipun informasi ini kurang didukung oleh data kuantitatif,

namun banyak kalangan meyakini adanya aliran kayu ilegal

3

3

3

3

cash cow

supply

market leader cash cow

Joint Marketing Bodies

market leader

Nomor 1, September 2005

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

18

Meskipun pemasaran kayu lapis Indonesia di pasar

internasional sedang lesu, namun distribusi kayu lapis

sebagian besar tetap ditujukan untuk kepentingan ekspor.

Walaupun terjadi penurunan persentase ekspor dari 91% (dari

total produksi) pada tahun 1996 menjadi hanya 71% pada

tahun 1997, namun di sini dapat dilihat bahwa alokasi kayu

lapis untuk keperluan ekspor masih tetap dominan.

Sementara itu, dengan dibubarkannya Badan Pemasaran

Bersama maka promosi pemasaran dilakukan masing-masing

perusahaan secara langsung. Sebagian perusahaan

barangkali masih memanfaatkan agen-agen pemasaran

APKINDO yang ada di luar negeri, dan perusahaan lain

melakukan upaya pemasaran dengan caranya sendiri-sendiri.

Dalam jangka panjang kemungkinan besar akan terjadi ekses

permintaan karena menurunnya volume produksi kayu lapis di

hampir semua negara produsen utama kayu lapis dan dengan

sendirinya harga kayu lapis terangkat kembali. Distribusi kayu

lapis untuk kepentingan ekspor diperkirakan masih lebih tinggi

dari alokasi domestik, meskipun dalam jangka panjang selisih

alokasi ekspor dan domestik cenderung semakin mengecil.

Beberapa rekomendasi terkait dalam penentuan

strategi umum pemasaran produk perkayuan Indonesia

sebagai alternatif produk perkayuan Indonesia

antara lain adalah:

Masalah keterbatasan bahan baku mengharuskan adanya

efisiensi yang tinggi dalam industri kayu lapis. Jenis industri

pengolahan kayu yang mempunyai peluang bertahan di

masa mendatang adalah industri-industri dengan efisiensi

tinggi dan berbasis pada bahan baku kayu kecil, limbah

pembalakan, atau produk daur ulang. Oleh karena itu mulai

dari sekarang sudah harus dipikirkan struktur industri dan

strategi investasi yang tepat sesuai dengan prediksi

keadaan masa depan.

Pembebasan (kembali) ekspor kayu bulat dan kayu

gergajian diperkirakan tidak akan mengubah alokasi

pemasaran kayu bulat. Sebagian besar alokasi kayu bulat

dan kayu gergajian tetap diserap untuk konsumsi industri

pengolahan kayu domestik. Kayu bulat dan kayu gergajian

tetap harus didukung pemasarannya dengan regulasi yang

dalam rangka pemenuhan bahan baku industri

pengolahan kayu dalam negeri yang bernilai tambah tinggi

dan kompetitif. Dengan demikian selisih harga kayu bulat

dan kayu gergajian domestik dan internasional harus

diminimalkan.

Perlu dikaji strategi pemenuhan bahan baku kayu bulat

secara tepat untuk mengatasi ketimpangan penawaran-

permintaan kayu bulat yang semakin membesar. Selain

meningkatkan efisiensi pemanenan, peningkatan

produktivitas sumberdaya hutan, dan penertiban kayu

illegal, kiranya perlu alternatif lain pasok kayu bulat untuk

mendukung industri pengolahan kayu nasional. Impor kayu

bulat barangkali adalah alternatif yang kelihatannya paling

mudah. Alternatif kedua yang perlu dijajaki adalah relokasi

HPH ke luar negeri, terutama ke negara-negara Indochina

dan PNG. Penertiban kayu ilegal dan pengaturan

instrumen tarif merupakan cara alami untuk memangkas

industri-industri kayu yang tidak efisien.

Mengingat sifat fleksibilitas searah di dalam ekonomi

produksi kayu, dimana pasar sulit untuk mengarahkan jenis

kayu yang harus dihasilkan sebaliknya jenis kayu yang

repositioning

fair

·

·

·

·

dihasilkan dapat diupayakan meng-"create" pasar. Di

dalam ekonomi produksi kayu, akan lebih efektif jika

produksi (budidaya kayu) disesuaikan dengan kesesuaian

tempat tumbuh dan perkembangan teknologi, sehingga

strategi untuk masa mendatang kiranya tidak perlu terlalu

berkonsentrasi pada produksi atau pemasaran jenis per

jenis pohon.

Perlu dipertimbangkan secara serius dibentuknya kembali

sistem pemasaran global dengan negara-negara

penghasil kayu tropis lainnya untuk mendukung strategi

pemasaran internasional. Hal ini penting untuk efektifitas

pelaksanaan strategi pemasaran. Indonesia sebagai

eksportir kayu lapis dunia juga harus

merancang strategi yang tepat untuk mempertahankan

pangsa pasar dan menciptakan segmen-segmen pasar

yang spesifik dan produk yang berkarakter kuat (

) khususnya untuk .

Strategi ini sebaiknya diterapkan terutama

oleh perusahaan yang tidak bergabung dalam sistem

pemasaran bersama.

(UD/AD)

·

market leader

market

nicher secondary processed plywood

market nicher

Nomor 1, September 2005

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

19

Perkembangan Ekowisata

Pariwisata telah menjadi sektor sosial-ekonomi utama

di dunia dan menjadi salah satu komponen utama dalam

perdagangan internasional. Menurut catatan

(WTO), pada tahun 2001, terdapat 693 juta

kedatangan wisatawan internasional dan menghasilkan

devisa sebesar US$ 462 juta di seluruh dunia (WTO, 2002).

Industri pariwisata tidak hanya sebagai industri terbesar di

dunia, melainkan juga industri dengan pertumbuhan tercepat

dan multidimensi karena industri ini membutuhkan koordinasi

dan kerjasama dari berbagai pihak, baik dalam skala besar

maupun skala kecil (Tisdell & Roy, 1998).

Ekowisata merupakan sebuah industri yang menarik

dan relatif baru berkembang, mengkombinasikan antara

kepuasan berpengalaman dan pemahaman yang spektakuler

akan flora, fauna, serta warisan alam dan budaya, tentunya

dengan kesempatan untuk mengembangkan peluang usaha

yang menguntungkan dan mendukung upaya konservasi

alam (Kerr, 1991). Ekowisata menjadi sangat populer karena

manusia memiliki inisiatif yang sangat kuat dan menjadi

“penasaran” untuk melihat tempat-tempat yang memiliki

perbedaan karakteristik alam, suku, budaya, flora, fauna, dan

berbagai hal lainnya yang sulit ditemukan dalam

kehidupannya sehari-hari. Semakin tingginya tingkat

pendidikan dan pengaruh televisi dan media komunikasi

lainnya telah meningkatkan rasa keingintahuan manusia

terhadap sisi kehidupan di seluruh dunia (McIntosh

1995). Dengan demikian, memperhatikan industri pariwisata

secara umum dilihat dari sudut pandang internasional dan

berfokus pada faktor-faktor yang mampu menarik wisatawan,

maka jelas bahwa Indonesia memiliki peluang yang sangat

luas untuk menawarkan ekowisata kepada para calon

wisatawan. Kepariwisataan di Indonesia di masa datang akan

selalu sama dengan modal utama seperti pada saat ini, yaitu

kekayaan alam Indonesia.

Indonesia dengan pesona alamnya yang luar biasa

tentunya menjadi modal utama bagi Indonesia untuk

mengembangkan industri ekowisata. Permasalahannya

sekarang adalah bagaimana cara memasarkan pesona alam

tersebut dengan menawarkannya kepada para calon

wisatawan? Memasarkan daya tarik ekowisata Indonesia

bukanlah pekerjaan yang mudah mengingat ekowisata

merupakan sesuatu yang dan tidak dapat dicoba

terlebih dahulu baru kemudian membelinya (

), sehingga pemasaran

ekowisata membutuhkan sebuah rencana pemasaran yang

matang dan akurat. Perlu diketahui bahwa pemasaran tidak

hanya diartikan dengan “menjual”, melainkan pemasaran

adalah proses perencanaan produk, pembuatan produk dan

penyampaian produk hingga ke tangan konsumen atau

wisatawan. Jadi berkaitan dengan upaya pemasaran

ekowisata, maka hal-hal yang perlu dibahas adalah

merencanakan aktivitas ekowisata, mengemas aktivitas

ekowisata kedalam sebuah produk atau paket ekowisata dan

proses penjualan produk ekowisata kepada calon wisatawan.

World Tourism

Organization

et al.,

intangible

seperti halnya

dalam membeli produk barang

KAJIAN PEMASARAN EKOWISATA INDONESIA

KEPADA WISATAWAN JERMAN

Oleh: Ristianto Pribadi, S.Hut, M.Tourism

Wisatawan Jerman

Rencana Pemasaran Ekowisata Indonesia

Wisatawan Jerman memiliki peranan yang penting

dalam memberikan sumbangan kunjungan wisata bagi

Indonesia. Berdasarkan data Departemen Pariwisata, Seni

dan Budaya, pada tahun 1999, wisatawan Jerman

menduduki peringkat keenam jumlah kunjungan wisatawan

mancanegara ke Indonesia. Tercatat sejumlah 181.777

wisatawan Jerman datang ke Indonesia pada tahun 1999.

Dengan jumlah kunjungan wisatawan Jerman yang cukup

besar tersebut, adalah sangat penting bagi Indonesia untuk

memberikan perhatian khusus dalam mengkaji dan

merumuskan langkah-langkah untuk memasarkan ekowisata

Indonesia dalamrangka menarik dan meningkatkan jumlah

kunjungan wisatawan Jerman.

Berkaitan dengan rencana pemasaran ekowisata

Indonesia kepada wisatawan Jerman, langkah pertama yang

harus ditempuh yaitu mengetahui karakteristik wisatawan

Jerman. Upaya ini dapat dilakukan dengan berbagai cara,

salah satunya melalui data sekunder yang diterbitkan oleh

World Tourism Organization (WTO) pada tahun 2001. Data

sekunder WTO tersebut berupa

yang terfokus pada ekowisata saja dan

tersebut mengkaji pemasaran ekowisata di 6 (enam) negara

yang salah satunya adalah negara Jerman. Data-data

tersebut diperoleh melalui kegiatan pengumpulan data

( ) terhadap pelaku pariwisata, analisa katalog dan

brosur wisata, dan lain sebagainya, dimana dalam

pelaksanaan seluruh kegiatan tersebut, WTO menunjuk

tenaga ahli di masing-masing negara dan sesuai dengan

bidang keahliannya masing-masing. Berikut disampaikan

beberapa informasi mengenai karakteristik wisatawan

ekowisata Jerman sesuai dengan yang

diterbitkan oleh WTO pada tahun 2001:

30% Pria dan 70% Wanita

40 59 tahun ( )

Guru/Pengajar ( )

US$ 18,039 - US$ 39,057 ( )

1- 2 minggu ( )

Trekking/Hiking ( )

Wisata Safari ( )

US$ 2,000 US$ 4,000

dan Katalog/Internet

Rencana pemasaran ekowisata Indonesia ditentukan dan

dirumuskan berdasarkan data karakteristik wisatawan

Ecotourism Market

Reports

Marketing Channel

reports

survei

market reports

42.00% responden

32.40% responden

59.44% responden

41.94% responden

28.40% responden

17.05% responden

Word of Mouth

§

§

§

§

§

§

§

§

Jenis Kelamin :

Sebaran Umur :

Pekerjaan :

Pendapatan Tahunan :

Rata-rata lama tinggal :

Aktivitas Wisata yang dipilih :

Pengeluaran per Trip :

:

Nomor 1, September 2005

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

20

yang tepat kepada para pelaku ekowisata, maka

informasi yang akan disampaikan pun tidak akan sampai

dan tepat sasaran. Waktu penyampaian informasi

kepada para pelaku ekowisata dapat dibagi menjadi tiga,

yaitu kepada , a

wisatawan. Vellas (1995) menyarankannya sebagai

berikut:

(a) Tour Operator; bahan promosi sebaiknya

disampaikan paling tidak 6 (enam) bulan sebelum

tour operator mempublikasikan brosur/katalog yang

direncanakan;

(b) Agen Wisata; bahan promosi dapat disampaikan 8 -

12 bulan sebelum dimulainya musim liburan

panjang (liburan musim panas) dan

(c) Calon Wisatawan; bahan promosi disampaikan

(misal melalui Internet) 6 - 8 bulan sebelum tanggal

keberangkatan para calon wisatawan.

Indonesia dengan kekayaan alamnya yang

mempesona merupakan modal utama bagi Indonesia dalam

meningkatkan devisa negara melalui sektor pariwisata.

Kekayaan alam Indonesia harus benar-benar terjaga dan

terpelihara dalam mendukung perkembangan kemajuan

industri pariwisata di Indonesia. Ekowisata adalah bagian dari

industri pariwisata diharapkan mampu sebagai solusi dan

jawaban akan kebutuhan industri yang berwawasan dan

ramah lingkungan. Kemajuan industri ekowisata Indonesia

sangat mutlak membutuhkan dukungan sebuah rencana

pemasaran yang tepat dan akurat. Dengan porsi jumlah

wisatawan Jerman ke Indonesia, maka tidak dapat dipungkiri

bahwa Jerman adalah salah satu key customer Indonesia

yang sangat menentukan perkembangan industri pariwisata

Indonesia. Dengan demikian, penting bagi Indonesia untuk

merancang sebuah konsep pemasaran ekowisata kepada

wisatawan Jerman dengan dasar merumuskan tiga aspek

pendukung pemasaran ekowisata yaitu objek ekowisata,

media pemasaran ekowisata dan waktu promosi ekowisata.

Sebuah rencana pemasaran ekowisata akan semakin

tepat dan akurat apabila didukung oleh data dan informasi

tentang calon wisatawan yang memadai. Dengan demikian,

disarankan agar Indonesia dapat mengembangkan

penyediaan data dan informasi wisatawan dan calon

wisatawan yang terkini melalui kegiatan analisa dan survei

yang professional dan berkelanjutan, sehingga rencana

pemasaran di masa datang akan lebih tajam lagi dan tepat

sasaran. (RP/AD)

tour operator agen wisata, dan c lon

Kesimpulan & Saran

Jerman yang telah diperoleh. Rencana pemasaran tersebut

dibagi kedalam 3 (tiga) aspek pendukung sebagai berikut:

Daerah tujuan ekowisata di Indonesia pada umumnya

berpotensi untuk dipasarkan kepada wisatawan Jerman,

namun daerah tujuan wisata tersebut harus sebisa

mungkin dapat mengakomodir keterbatasan-

keterbatasan para wisatawan Jerman, seperti

keterbatasan waktu dan keterbatasan biaya. Selanjutnya

paket ekowisata yang disusun diharapkan mampu

menawarkan aktivitas wisata yang cenderung lebih

disukai dan tentunya paket ekowisata ini dapat dinikmati

dengan waktu dan dana mampu disediakan oleh para

wisatawan Jerman.

Dengan demikian daerah tujuan dan paket wisata yang

akan direncanakan memiliki karakteristik umum sebagai

berikut: lokasi ekowisata memiliki tingkat aksesibilitas

yang tinggi, lokasi ekowisata mampu menawarkan nilai

ilmiah yang tinggi (sebagian besar wisatawan Jerman

berprofesi sebagai guru/pengajar), aktivitas yang akan

dilakukan berkisar trekking/hiking (ideal untuk dilakukan

oleh wisatawan Jerman yang sebagian besar adalah

wanita) yang didukung dengan sarana interpretasi

yangmenunjang, serta seluruh kegiatan dapat dilakukan

dalam kisaran waktu 1-2 minggu dan dengan biaya paket

ekowisata maksimum (termasuk tiket pesawat dan

souvenir) sebesar US$ 2.000 - US$ 4.000.

· Objek Ekowisata

·

·

Media Pemasaran Ekowisata

Waktu Promosi Ekowisata

Media pemasaran berfungsi sebagai jembatan informasi

yang menghubungkan antara objek dan paket ekowisata

dengan calon wisatawan. Media pemasaran yang

disusun harus tepat arah dan tepat sasaran, sehingga

informasi yang ingin disampaikan benar-benar sampai

kepada calon wisatawan. Dalam tulisan ini media

pemasaran yang memiliki peluang terbesar untuk

digunakan sebagai media pemasaran kepada wisatawan

Jerman adalah , Katalog dan Internet.

Dengan demikian ketiga media pemasaran tersebut

sebaiknya dimanfaatkan secara maksimal. Media

dimaksimalkan melalui pemberian pelayanan

secara maksimal kepada wisatawan Jerman yang datang

ke Indonesia sehingga diharapkan mereka akan

menceritakan dan mempromosikan Indonesia sebagai

daerah tujuan ekowisata yang sangat layak untuk

dikunjungi oleh rekan dan kerabatnya. Kemudia, media

Katalog dan Internet diharapkan sebagai media informasi

terpercaya untuk memasarkan ekowisata Indonesia,

sehingga seluruh informasi ekowisata Indonesia dapat

disampaikan dalam kedua media pemasaran ini. Lebih

lanjut lagi, Indonesia diharapkan dapat melakukan

sebuah survei berkaitan dengan media pemasaran

khususnya dalam mendukung penyampaian informasi

ekowisata melaluli media katalog dan internet, sehingga

diketahui komposisi adio dan visual yang paling ideal bagi

wisatawan Jerman, komposisi tersebut misalnya warna,

jenis dan ukuran gambar maupun tulisan.

Waktu promosi sangat penting dipertimbangkan oleh

Indonesia untuk menyampaikan informasi ekowisata

yang telah dipersiapkan secara matang sebelumnya.

Sangat diyakini tanpa mengetahui waktu penyampaian

Word of Mouth

Word

of Mouth

Nomor 1, September 2005

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

21

Indonesia dikaruniai sumberdaya hutan yang sangat

melimpah dan lebih dari tiga dekade terakhir telah

memberikan kontribusi yang nyata sebagai salah satu

penggerak utama roda perekonomian nasional yang

memberikan dampak positif terhadap perolehan devisa,

penyediaan lapangan kerja, mendorong pengembangan

wilayah dan pertumbuhan ekonomi. Namun disisi lain

pemanfaatan hutan yang tidak terkendali ternyata telah

menyisakan banyak permasalahan baik ekonomi, sosial

maupun lingkungan. Hal ini tercermin dengan meningkatnya

laju deforestasi dari 1,6 juta ha per tahun pada periode 1989-

1997 menjadi 2,8 juta ha per tahun pada periode 1998-2003.

Komitmen Bangsa Indonesia terhadap pengelolaan

hutan lestari telah tercermin dalam berbagai peraturan

perundangan dan komitmen pada kesepakatan global. Tujuan

penyelenggaraan kehutanan sendiri tertera pada Pasal 3 UU

41 tahun 1999 yakni untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat

yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Memperhatikan permasalahan dan mengacu pada

tujuan penyelenggaraan kehutanan tersebut di atas,

pembangunan kehutanan ke depan memerlukan adanya

perubahan orientasi pembangunan. Pembangunan

kehutanan ke depan perlu diarahkan untuk tujuan pemulihan

sistem penyangga kehidupan guna perbaikan dan

mendukung kegiatan ekonomi nasional jangka panjang

sekaligus mampu mengartikulasikan jati diri kehutanan dan

dukungan kuat parapihak. Berkenaan dengan hal tersebut,

perlu penanganan yang sistematis, terstruktur, berkelanjutan

dan lintas sektor serta melibatkan para pihak. Pada tahap

awal, perlu disepakati dan dirumuskan bersama tentang arah

pembangunan kehutanan dalam jangka panjang (20 tahun)

sebagai komitmen para pihak dalam mewujudkan tujuan

penyelenggaraan kehutanan.

Dalam kerangka mewujudkan arah pembangunan

kehutanan tersebut, pada tanggal 17 Pebruari 2005, telah

diselenggarakan Diskusi Arah Pembangunan Sektor

Kehutanan dengan menitikberatkan pada 5 topik utama yakni:

,

, ,

serta

. Diskusi dihadiri oleh

yang melibatkan berbagai pihak yang berasal dari akademisi,

praktisi, aparat pemerintah pusat dan daerah lingkup

kehutanan serta sektor terkait, lembaga swadaya masyarakat

dan pemerhati kehutanan. Hasil diskusi diharapkan menjadi

masukan utama dalam penyusunan Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Kehutanan 20 tahun ke depan.

Memperhatikan arahan Menteri Kehutanan dan pemaparan

Kepala Badan Planologi Kehutanan, serta hasil rangkuman

diskusi dengan topik-topik Pemantapan Kawasan Hutan,

Konservasi SDH, Pemanfaatan SDH, Rehabilitasi Hutan dan

Lahan dan Pemberdayaan Masyarakat di Dalam dan Sekitar

Hutan diperoleh rangkuman sebagai berikut :

Arah dan Skenario Pengembangan mengenai

Pemantapan Kawasan Hutan Rehabilitasi Hutan dan

Lahan Konservasi Sumberdaya Hutan Pemanfaatan

Sumberdaya Hutan Pemberdayaan Masyarakat

dalam dan sekitar Hutan 199 peserta

RANGKUMANDISKUSI ARAH PEMBANGUNAN SEKTOR KEHUTANAN

Dirangkum Oleh: Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan

I. SITUASI DAN KONDISI SAAT INI

II. ISU-ISU STRATEGIS

1. Luas hutan Indonesia yang terdeforestasi dan

terdegradasi meningkat dari tahun ke tahun, berdampak

secara nyata terhadap menurun dan melemahnya

produktifitas hutan dan lahan.

2. Penyelenggaraan pembangunan kehutanan (RHL,

pemanfataan, konservasi dan pendukungnya ) diakui

oleh banyak pihak belum memberikan hasilguna dan

dayaguna yang memadai sebagimana yang diharapkan

bersama, bahkan di beberapa tempat mengalami

kegagalan.

3. Pergeseran paradigma pengelolaan sumberdaya hutan

baik pelaksanaan RHL, pemanfataan, konservasi dan

pendukungnya masih selalu berubah-ubah sehingga

mempengaruhi kebijakan dan implementasi kebijakan

secara operasional.

4. Adanya perlakuan yang bersifat bukan ekonomis

( ) di bidang kehutanan yang dicerminkan

oleh rendahnya harga komoditas hasil hutan.

5. Hubungan pusat, daerah, dan antar sektor dalam

penyelenggaraan pembangunan kehutanan dalam

kerangka desentralisasi/otonomi daerah belum optimal

dan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.

6. Kegiatan pembangunan kehutanan pada dasarnya

merupakan kegiatan yang memerlukan biaya tinggi,

sehingga memerlukan dana yang memadai dan

kebijakan yang mantap.

7. Implementasi kebijakan pemerintah dan peraturan

perundangan dalam pengelolaan sumberdaya hutan

belum dapat berjalan secara efektif dan efisien.

8. SDH belum dihargai sebagaimana mestinya terutama

penghargaan terhadap fungsi hutan sebagai penyangga

kehidupan, hal tersebut tercermin dalam pola

pemanfaatan yang masih terbatas terhadap hal-hal yang

bersifat langsung dan jangka pendek.

9. Pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap

penyelenggaraan pengelolaan hutan masih belum

memadai, terutama pemahaman dan kepedulian

terhadap konservasi.

10. Hak dan akses penduduk lokal untuk memanfaatkan

SDH masih terbatas.

11. Penyelenggaraan komponen-komponen pengelolaan

sumberdaya hutan masih belum berjalan secara

integratif.

12. SDM kehutanan dalam pengelolaan hutan belum

profesional, masih bersifat sebagai administratur

kegiatan.

13. Masyarakat yang tergantung terhadap hutan, terutama

masyarakat di dalam dan sekitar hutan masih miskin.

1. Meningkatnya laju deforestasi dan degradasi hutan

termasuk sebagai akibat dari meningkatnya kebutuhan

dan kepentingan pembangunan oleh berbagai sektor

maupun masyarakat.

2. Kapasitas kelembagaan pengelolaan hutan masih lemah

yang ditandai dengan lemahnya sistem data dan

informasi, penanganan sumberdaya hutan dan produk-

produk yang dihasilkannya belum kompeten serta

diseconomics

Nomor 1, September 2005

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

22

sekitar hutan.

16. Kawasan hutan masih dipandang sebagai “Bank lahan”

dan penatagunaan hutan yang ada belum dapat

mendorong terhadap adanya kepastian alokasi hutan

dan lahan untuk dunia usaha kehutanan.

17. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang ada

belum dapat berfungsi secara nyata dalam mendukung

dan mengakselerasi pencapaian efektifitas pengelolaan

hutan dan hasil hutan .

18. Kelembagaan pengelolaan hutan yang ada belum

mendorong terhadap perwujudan sistem tata

pemerintahan yang baik di bidang kehutanan (

), sistem tata usaha yang sehat oleh

swasta maupun masyarakat.

19. Kebijakan yang menyangkut fiskal, investasi,

keberpihakan kepada masyarakat luas ( ),

dan penegakan kebijakan dan hukum ( )

dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDH, belum

terimplementasi dengan baik.

20. Pengembangan kemitraan ( ) di bidang

pengelolaan sumberdaya hutan belum berjalan sesuai

dengan yang diharapkan dalam mempercepat

pemerataan kesempatan kerja dan berusaha yang

berkeadilan.

21. Kebijakan dan implementasi pemanfaatan hutan

mendorong transformasi usaha kehutanan, khususnya

industri primer kehutanan, industri jasa lingkungan

kehutanan, industri non kayu, sehingga ekspor hasil

industri kehutanan mencapai sebesar US$ 15

milyar/tahun.

1. Peningkatan profesionalisme SDM dan penguatan

kemampuan ( ) kelembagaan dalam

penyelenggaraan pengelolaan SDH.

2. Dukungan dan komitmen antar sektor untuk

mempercepat tercapainya kemantapan berusaha di

bidang pemanfaatan SDH yang berkelanjutan.

3. Menurunnya produktifitas sumberdaya hutan dan

meningkatnya kebutuhan terhadap produk-produk

sumberdaya hutan untuk konsumsi industri maupun

masyarakat.

4. Konversi penggunaan hutan dan lahan menjadi

penggunaan lain akibat perkembangan penduduk,

pembangunan ekonomi, permintaan pasar yang

mengakibatkan laju deforestasi dan degradasi yang

semakin tinggi.

5. Adanya kecenderungan perubahan oleh birokrasi yang

mengarah kepada desentralisasi pengelolaan

pemanfaatan sumberdaya hutan lebih luas kepada

masyarakat.

6. Adanya kecenderungan desentral isasi dalam

pengelolaan konservasi sumber daya alam kepada

daerah yang diimbangi dengan adanya insentif kepada

daerah yang melaksanakan;

7. Kegagalan dalam penegakan hukum dalam menangani

perambahan hutan, pencurian kayu ( ),

pelanggaran tata ruang, dan korupsi, cenderung akan

melemahkan terwujudnya pengelolan hutan yang

berkelanjutan.

8. Meningkatnya perhatian dan kebutuhan masyarakat

global terhadap peran dan produk-produk alami hutan

tropis dalam tataran global.

9. Meningkatnya kebutuhan terhadap lingkungan yang

berkualitas termasuk terhadap produk-produk kehutanan

good

forestry governance

pro community

law enforcement

partnership

capacity building

illegal logging

III. TANTANGAN DANANCAMAN KE DEPAN

program dan kebijakan yang masih belum sepenuhnya

mencerminkan keadilan.

3. Penyelenggaraan pembangunan kehutanan dirasakan

masih kurang terbuka kepada publik. Proses

pengambilan keputusan yang masih lemah dan peluang

partisipasi publik dalam pembangunan masih terbatas

serta akuntabilitas pemanfaatan dana konservasi belum

sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan.

4. Program dan skema-skema penyelenggaraan

pengelolaan hutan yang ada cenderung sering

digeneralisir, sehingga seringkali menemui kegagalan

karena mengabaikan muatan spesifik sumberdaya lokal

yang ada.

5. Manfaat hutan secara luas belum banyak dirasakan oleh

masyarakat, serta penurunan kontribusi sumberdaya

hutan terhadap perekonomian, akibat menurunnya

produktifitas sumberdaya hutan (kayu, satwa dan flora

lainnya).

6. Partisipasi Indonesia dalam konservasi global telah

ditunjukkan dengan keikutsertaan meratifikasi berbagai

konvensi internasional, tetapi belum menunjukkan peran

yang signifikan khususnya dalam penyelenggaraan

pengelolaan hutan tropis.

7. Kemiskinan yang terjadi di masyarakat semakin luas dan

cenderung adanya upaya-upaya pemiskinan terhadap

masyarakat akibat keserakahan, sikap oportunistik yang

berlebihan serta korupsi.

8. Penyelenggaraan pembangunan kehutanan menjadi

perhatian semua pihak termasuk sektor-sektor diluar

kehutanan, sehingga dampak pengelolaan hutan akan

semakin mudah dirasakan oleh berbagai pihak.

9. Sistem insentif dan disinsentif dalam penyelenggaraan

pengelolaan hutan belum jelas bagi setiap pihak yang

terkait.

10. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah berkurang

karena keberhasilan penyelenggaraan pengelolaan

hutan selama ini dianggap rendah dan tidak secara

langsung meningkatkan kesejahteraan

11. Administrasi penyelenggaraan kegiatan pengelolaan

hutan melalui sistem keproyekan yang ada terlalu

dominan dan berorientasi jangka pendek sehingga

seringkali mengalami hambatan dan kegagalan di

lapangan.

12. Kerusakan sumberdaya hutan dan lingkungan berskala

global umumnya terjadi di negara-negara berkembang

yang memerlukan dana dan pasokan bahan baku untuk

pembangunan dengan melakukan ekploitasi hutan alam

secara besar-besaran dengan paradigma pengelolaan

hutan primitif “ ”.

13. Implementasi pengelolaan hutan paradigma “

” di Indonesia dengan ciri asas kelestarian

dan membangun hutan tanaman ( )

belum memuaskan karena membutuhkan biaya yang

besar, teknologi maju, dan adanya resiko gangguan

keamanan akibat tekanan penduduk di sekitar hutan

masih tinggi.

14. Penyelenggaraan pengelolaan hutan melalui

perusahaan-perusahaan besar belum menunjukkan

efektifitas pengelolaan hutan yang lestari terutama dalam

penyerapan tenaga kerja, pencerdasan masyarakat dan

cenderung memarjinalisasikan masyarakat lokal yang

ada.

15. Implementasi paradigma pengelolaan hutan “

” (SF) belum dapat mengurangi laju kerusakan

hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat

timber extraction

timber

management

man-made forest

social

forestry

Nomor 1, September 2005

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

23

yang ramah lingkungan dan sehat.

10. Meningkatnya peran dan keragaman pelaku pengelola

sumberdaya hutan.

1.

a. Kawasan hutan dipertahankan kecukupannya dalam

setiap DAS/Pulau yang optimal, minimal 30 % dengan

sebaran yang proporsinal, bersifat permanen dan

tidak mudah diubah (stabil) serta diperkuat oleh

adanya kelembagaan perencanaan kehutanan dan

pengelola unit manajemen.

b. Pengembangan pemantapan kawasan hutan harus

didasarkan pada definisi hutan itu sendiri yaitu

sebagai komponen ekosistem meliputi aspek ekologi,

ekonomi dan sosial budaya masyarakat, yang

dicirikan oleh adanya penataan ruang berbasis

ekologis yang rasional, pemanfaatan optimal, adanya

komitmen yang kuat dari para pihak dan

diimplementasikan dalam wujud kebersamaan

kebijakan pengurusan hutan.

c. Pemantapan kawasan hutan harus dilandasi oleh

pembangunan budaya seluruh pemangku

kepentingan baik masyarakat, daerah, pusat yang

dimulai dari sektor pemerintah dan diwujudkan dalam

unit-unit pengelolaan hutan (KPHP, KPHL dan KPHK)

serta dapat dikelola oleh BUMN, Pemda daerah atau

kolaborasi manajemen antara Pemerintah Pusat-

Provinsi-Kabupaten dan BUMD untuk meningkatkan

fungsi pelayanan kepada masyarakat di lapangan

yang berkaitan dengan kehutanan.

2.

a. Penyelenggaraan konservasi sumber daya alam

berlaku bagi seluruh kawasan dan fungsi hutan, yang

penyelenggaraannya diperlukan adanya komitmen/

kemauan politik dan peningkatan kesadaran semua

pihak.

b. Penguatan pengelolaan kawasan konservasi

ekosistem, jenis dan genetik melalui kolaborasi

pengelolaan, profesionalisme sumber daya manusia,

serta pengembangan

sistem insentif konservasi yang kondusif.

c. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

konservasi dan data base konservasi bagi kegiatan

konservasi serta peningkatan peran dalam forum

global dan pelaksanaan konvensi internasional yang

telah diratifikasi;

d. Konservas i ha rus mampu men ingka tkan

kesejahteraan masyarakat, khususnya sekitar hutan,

dan dilaksanakan bersama-sama antara pemerintah,

masyarakat dan dunia usaha.

3.

a. RHL harus ditujukan pada rehabilitasi untuk

optimalisasi fungsi kawasan hutan yang meliputi

peningkatan produktivitas lahan, konservasi sistem

hidro-orologi dan keragaman hayati, serta

kesejahteraan masyarakat.

b. Penyelenggaraan RHL dilaksanakan dengan pola

yang tepat, terencana dan terintegrasi dengan yang

lainnya, berbasis DAS dengan mempertimbangkan

secara cermat kondisi bio-fisik, sosial, ekonomi dan

budaya setempat, melibatkan partisipasi masyarakat,

termasuk perempuan dan multidisiplenr/multisektor.

IV. ARAH DAN SKENARIO PENGEMBANGAN

Arah Pemantapan Kawasan Hutan

Arah Konservasi Sumberdaya Hutan

Arah Rehabilitasi Hutan dan Lahan

good forestry governance

c. Inovasi sistem keuangan negara untuk keperluan

penyelenggaraan pengelolaan hutan yang dapat

memberikan keluwesan dalam pelaksanaan guna

meningkatkan keberhasilan.

4.

a. Dari luas hutan alam produksi (HP) seluas 57 juta ha,

seluas 20 juta ha HP alam (34 %) diusahakan dengan

sistem IUPHHK untuk menghasilkan kayu sebanyak

15 juta m3/tahun; seluas 10 juta ha HP alam (17 %)

dialokasikan dalam bentuk social forestry dan

dikelola oleh BUMN dalam bentuk usaha hutan

tanaman dan hutan alam; seluas 27 juta ha (49 %)

diupayakan pulih kondisinya.

b. Percepatan hutan tanaman industri yang didukung

oleh sistem insentif, pola usaha yang tepat,

kepastian alokasi lahan serta usaha kehutanan

terkait, SDM yang profesional, dan IPTEK yang

tepat;

c. Penguatan pengelolaan hutan lestari yang

mendorong terhadap penyediaan dan pemanfaatn

sumberdaya hutan yang optimal baik kayu maupun

non kayu dan didukung oleh profesionalisme SDM,

per l i ndungan hukum yang berkead i lan ,

kelembagaan yang kuat serta kompetensi teknis dan

IPTEK yang tepat;

d. Restrukturisasi industri yang mendorong terhadap

pemenuhan kebutuhan konsumsi papan domestik

dan luar negeri, bersaing dan ramah lingkungan.

e. Restrukturisasi Institusi untuk mendorong

terwujudnya SDM yang profesional, tata laksana

pemerintahan yang baik dan benar (

) serta pembentukan kelembagaan unit-

unit pengelolaan hutan produksi.

f. Peningkatan pemanfaatan hasil hutan non kayu (

), produksi air, ekowisata dan

jasa lingkungan lain yang lebih nyata agar dapat

dirasakan langsung oleh masyarakat pengguna,

termasuk pembenahan tarif jasa lingkungan yang

berasal dari kawasan hutan seperti air, ekowisata, dll.

g. Pengembangan kemitraan ( ) untuk

mempercepat pemerataan kesempatan kerja dan

berusaha dibidang pemanfaatan SDH.

5.

a. Pengembangan paradigma pengelolaan hutan

“Social Forestry” (SF) atau “Kehutanan Sosial” yang

berbasis pemberdayaan masyarakat, peningkatan

kesejahteraan dan kelestarian hutan, melalui

rekayasa teknik kehutanan ( )

dan rekayasa social-ekonomi

) secara bersama-sama.

b. Untuk kondisi di luar Pulau Jawa pengelolaannya

dalam bentuk (FRM)

dan (FEM) secara

komplementer; sedangkan di Pulau Jawa dalam

bentuk (TFM). Pada level

distrik/KPH pengelolaannya dalam bentuk

management regimes untuk meningkatkan

produktivitas lahan.

c. Pendekatan pengembangan pemberdayaan

masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan

“Social Forestry” dilaksanakan berdasarkan

regionalisasi karakteristik wilayah di Indonesia,

Arah Pemanfaatan Sumberdaya Hutan

Arah Pemberdayaan Masyarakat di dalam dan sekitar

Hutan

good forestry

governance

non

timber forest product

partnership

forestry engineering

(socio-economic

engineering

forest resoures management

forest ecosystem management

tree farming system

Nomor 1, September 2005

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

24

typology kawasan hutan, dan sejalan dengan

pengembangan wilayah ekonomi di daerah, meliputi

sebagai berikut: Regional Pulau Jawa: sharing lahan

dan manfaat hutan antar kehutanan dan

masyarakat., Regional Pulau Sumatera: gabungan

pengusahaan hutan dengan komoditas perkebunan,

baik di lahan milik maupun di hutan negara, Regional

Pulau Kalimantan: pengusahaan hutan manjadi inti

bentuk pengelolaan hutan dengan paradigma Social

Forestry, Regional Pulau Sulawesi: pengelolaan

hutan kemasyarakatan dengan kombinasi komoditas

perkebunan, Regional Sunda Kecil: Bali-Lombok;

pengembangan agroforestry kombinasi dengan

hutan rakyat dan pertanian, Sumbawa-Sumba-

Flores; pengembangan hutan rakyat dikombinasikan

dengan peternakan, Reg iona l Maluku :

pengembangan hutan rakyat dan hutan

kemasyarakatan, Regional Irian Jaya: pengusahaan

hutan dan pengembangan agroforestry

d. Pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar

hutan adalah membangun manusia dan hubungan

manusia dengan hutan untuk memakmurkan

masyarakat dalam dan sekitar hutan.

e. Pengembangan peran serta/pemberdayaan

masyarakat dalam dan sekitar hutan ditujukan untuk

mewujudkan masyarakat mandiri berbasis

pembangunan kehutanan sesuai dengan potensi

SDH dan karakteristik wilayah.

f. Strategi utama pengembangan pemberdayaan

masyarakat di dalam dan sekitar hutan melalui: a)

penguatan kepastian hak MDH untuk memperoleh

manfaat SDH, dan b) peningkatan kapasitas MDH

beradaptasi terhadap perubahan sosial-ekonomi di

lingkungannya. Hal ini dapat dilakukan secara

bersamaan dan atau secara bertahap.

g. Untuk mendukung pemberdayaan masyarakat di

dalam dan sekitar hutan, diperlukan hierarki

perencanaan dan kebijakan pengelolaan hutan yang

pada dasarnya terdiri atas: a) tingkat makro

(nasional): kebijakan umum/nasional paradigma

pengelolaan hutan, b) tingkat regional (maeso):

kebijakan pengelolaan skope/level wilayah/regional

dan c) tingkat mikro (distrik/unit pelaksana

pengelolaan). Pengembangan hierarki perencanaan

dilaksanakan secara sinergis dengan kreativitas,

karakterisasi, potensi, serta kebijakan dan program

pembangunan pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten/kota.

Nomor 1, September 2005

Pelindung

Pengarah :

Pemimpin Redaksi :

Ketua :

Sekretaris :

Redaksi Pelaksana :

Editor :

Ketua :

Anggota :

Desain Grafis :

Kontributor :

:

Kepala Badan Planologi Kehutanan

Kepala Pusat Rencana Dan Statistik Kehutanan

Sekretaris Badan Planologi Kehutanan

Kepala Pusat Puskuh Dan Penatagunaan Kawasan Hutan

Kepala Pusat Wilayah Pengelolaan Hutan

Kepala Pusat Inventarisasi Dan Perpetaan Hutan

Kepala Bidang Rencana Umum Kehutanan

Kepala Bidang Evaluasi Pelaksanaan Rencana Kehutanan

Ir. Syaiful Ramadhan, M.M.Agr.

Ir. Thomas Nifinluri, Msc.

Ir. Agus Nurhayat, MM.Agr

Ir. Herman Kustaryo

Ristianto Pribadi, S.Hut, M.Tourism

Ade Wahyu, S.Hut.

Efsa Caesariantika, A.Md.

Seluruh Staf Badan Planologi Kehutanan

dan Mitra Badan Planologi Kehutanan

Ir. Yana Juhana, Msc.Forst.

Ir. Ali Djajono, M.Sc.

Ir. Drs. Sudjoko Prayitno, MM.

Dewi Febrianti,S.Hut, MP

Tedi Setiadi, S.Hut.

Ir. Joko Kuncoro

Uus Danu Kusumah, S.Hut.

Dr. Ir. Dwi Sudharto, M.Si.

Dr. Silver Hutabarat, Msc..

Ir. Lilit Siswanty

Julijanti, SE, MT

John Piter G. Lubis, S.Hut

Popi Susan ,S.Hut

DEWAN REDAKSI

��

���

Meretas Universalitas Entitas Pembangunan

Menuju Solusi Problem Land Tenure, Degradasi

Hutan dan Kawasan Hutan

Fungsional Perencana, Tertarikkah Anda?

Identifikasi Permasalahan Desentralisasi Sektor

Kehutanan di Indonesia

Renstra-KL Departemen Kehutanan Tahun 2005-

2009

Arah Revitalisasi Kehutanan Dalam Kerangka

RPPK 2005-2009

Ada Apa Dengan Rimba (AADR)?

Prospek Kayu Lapis Indonesia

Kajian Pemasaran Ekowisata Indonesia Kepada

Wisatawan Jerman

Rangkuman Diskusi Arah Pembangunan Sektor

Kehutanan

MENU BULETIN