SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS
Transcript of SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS
SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI
DALAM ILMU HADIS
Tesis
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Agama (MA) dalam Bidang Ilmu Hadis
Oleh:
Ali Moh Al Hudhaibi
(NIM: 211410468)
KONSENTRASI ULUMUL QUR’AN DAN ULUMUL HADIS
PROGRAM PASCASARJANA STUDI ILMU AGAMA ISLAM
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA
1442 H/2021 M
SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI
DALAM ILMU HADIS
Tesis
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Agama (MA) dalam Bidang Ilmu Hadis
Oleh:
Ali Moh Al Hudhaibi
(NIM: 211410468)
Pembimbing:
Dr. KH. Sahabuddin, MA
Dr. KH. Ahmad Fudhaili, M. Ag
KONSENTRASI ULUMUL QUR’AN DAN ULUMUL HADIS
PROGRAM PASCASARJANA STUDI ILMU AGAMA ISLAM
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA
1442 H/2021 M
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah swt., karena atas
taufik-Nya, tesis ini dapat disusun dan diselesaikan dengan baik. Berbagai
kendala tentu mengiringi proses penelitian tesis ini. Namun semua itu
hakikatnya adalah pembelajaran dan pengalaman berharga bagi penulis
sendiri. Selawat dan salam semoga selalu tercurah limpah keharibaan
Baginda Nabi Besar Muhammad saw., keluarganya, para sahabatnya, dan
seluruh umatnya yang senantiasa berusaha mengikuti ajaran-ajarannya.
Dalam proses penyelesaian tesis ini, tentu tidak lepas dari dukungan,
keterlibatan, dan sumbangsih berbagai pihak, baik perorangan maupun
lembaga, baik yang langsung maupun tidak langsung, mulai perencanaan,
penelitian, dan penyusunannya hingga rampung. Oleh karena itu, dalam
kesempatan yang baik ini, dan dengan segala hormat, penulis haturkan
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada mereka semua, terutama
kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA. selaku Rektor
Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Muhammad Azizan Fitriana MA., selaku Direktur
Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta.
3. Bapak Dr. KH. Sahabuddin, MA. dan Bapak Dr. KH. Ahmad
Fudhaili, M.Ag. selaku pembimbing I dan II, yang telah membimbing
penulis, memberi masukan, arahan dan pencerahannya yang
bermanfaat hingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tesis
ini dengan baik.
ii
4. Seluruh guru besar dan dosen Studi Ulumul Qur‟an dan Ulumul
Hadis beserta seluruh staf dan karyawan Program Pascasarjana
Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta.
5. Syaikhî wa Murabbi rûhî, al-Muqrî, al-Hâfizh, Hâmil Al-Qur’ân,
Bapak KH. Mufid Mas‟ud, rahmatullâh ‘alaih; (Pendiri dan
Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Ngaglik, Sleman,
Yogjakarta); yang berjasa besar dalam proses thalab al-‘ilm penulis.
Kepada beliau penulis berkesempatan langsung menimba ilmu dan
menghafal Alquran hingga rampung. Juga mengenal arti pentingnya
berkhidmat kepada Allah swt. dan Rasul-Nya.
6. Syaikhî wa Murabbi rûhî, Khâdim as-Sunnah, Bapak Prof. Dr. KH.
Ali Mustafa Yaqub, MA. rahmatullâh ‘alaih; (Pendiri dan Pengasuh
Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Ciputat,
Indonesia); yang berjasa besar mengenalkan penulis pada pustaka-
pustaka hadis dan ilmu hadis, thuruq fahm al-hadîts, tentang arti
pentingnya dirâsah, munazhzhamah, nasyr al-‘ilm, baik melalui ta’lîf
al-kitâb, qudwah, maupun binâ’ al-ma’had.
7. Kedua orang tua penulis; Ayahanda, Drs. KHR. Deden Abdul
Hakiem; orang pertama yang mengarahkan pendidikan penulis; dan
Ibunda, Dra. Hj. Een Juhairiah, M.Pd.I; orang pertama yang
mengajari penulis huruf-huruf hijaiah dan huruf-huruf abjad.
“Semoga Allah swt. selalu menyayangi keduanya, memanjangkan
umurnya, memberkahi dan menjaganya dunia dan akhirat.” Āmîn.
8. Saudari-saudari terkasih penulis; Elva Alvia Fauziyah, S.Pd., M.Pd.,
Dina Nailul Muna, S.Pd., Ummul Khair Salma, S.Farm., dan Wafa
Ghaida Aulia.
iii
9. Istri tercinta, Siti Mu‟awanah, S.Sos., Lc., M.Sos. yang tak bosan-
bosannya memotivasi dan mendoakan penulis. Juga ketiga anak
penulis; Fawwaz Fajrurrahman Hakiem, Mumtaz Hakiem Mubarak,
dan Sahnaz Sayeda Auliya Hakiem, yang penulis harap ketiganya
kelak menjadi sahabat kehidupan yang baik dan bermanfaat. Āmîn.
10. Seluruh sahabat Studi Ulumul Qur‟an dan Ulumul Hadis
Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta 2011.
Semoga Allah swt. membalas semua kebaikan mereka dengan
balasan terbaik. Peribahasa tak ada gading yang tak retak adalah benar
adanya. Karena itu, tebar sapa, kritik dan saran dari pembaca sangatlah
diharapkan guna perbaikan tesis ini ke depan.
Jakarta, 25 Februari 2021 M
13 Rajab 1442 H
Penulis
iv
v
vi
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi adalah penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad satu ke
abjad lain. Dalam penulisan di Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta, transliterasi
Aran-Latin mengacu pada berikut ini:
1. Konsonan
th = ط a = أ
zh = ظ b = ب
„ = ع t = ت
gh = غ ts = ث
f = ف j = ج
q = ق h = ح
k = ك kh = خ
l = ل d = د
m = م dz = ذ
n = ن r = ر
w = و z = ز
h = هـ s = س
‟ = ء sy = ش
y = ي sh = ص
dh = ض
2. Vokal
Vokal tunggal vokal panjang vokal rangkap
Fathah : a أ : â ي : ai
Kasrah : i ي : î و : au Dhammah :
u و : û
3. Kata Sandang
a. Katas sandang yang diikuti al-qamariyah
Kata sandang yang diikuti al-qamariyah ditransliterasikan sesuai
bunyinya, yaitu hurul l (el) diganti huruf yang sama dengan huruf
yang langsung mengikuti kata sandang itu. Contoh: ةرقبلا : al-
Baqarah; la : نة مدي Madînah-ال
b. Kata sandang yang diikuti al-syamsiyah
Kata sandang yang diikuti al-syamsiyah ditransliterasikan sesuai
aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan bunyinya. Contoh:
-adh : انضحان ;asy-syams : سمشلا ;as-sayyid : ديسلا ;ar-rajul : انشجم
Dhahhâk.
viii
ABSTRAK
Penelitian ini bermula dari pernyataan seorang peneliti hadis yang
menyatakan bahwa ada sebagian penggiat ilmu hadis yang memberikan kesimpulan
bahwa term-term dalam ilmu hadis yang dimaksudkan dan dicetuskan oleh para
pakar hadis mutaqaddimîn tidak sebagaimana yang dimaksudkan dan dicetuskan
oleh para pakar hadis muta’akhkhirîn. Kesimpulan ini tentu akan berimplikasi
signifikan pada kasus-kasus lain yang cakupannya lebih luas dalam ilmu ini. Seperti
hukum hadis, dimana darinya dipertanyakan apakah hadis itu dapat dijadikan hujjah
atau tidak; dapat diamalkan atau tidak, dan seterusnya. Persoalan lain, adanya
penerimaan secara instan dari pustaka-pustaka hadis, dimana darinya sebagian
penggiat hadis tidak dapat melihat keterkaitan historis antara pernyataan pakar hadis
tersebut dan dalam prosesnya yang seolah-olah berbeda itu. Dari sini, penulis
mencoba menggalinya lebih jauh, bagaimana sebenarnya term-term itu berproses
hingga mewujud menjadi mapan dan dijadikan basis oleh ahlinya.
Penelitian ini dipetakan ke dalam tiga fase; 1) Fase kelahiran dan
pertumbuhan; 2) Fase perkembangan; dan 3) Fase penyempurnaan. Dua fase yang
pertama penulis kelompokan ke dalam fase ahli hadis mutaqaddimîn, dan satu fase-
yaitu fase yang ketiga-ke dalam fase ahli hadis muta’akhkhirîn. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sejarah (historical approach),
semantik „(ilm ad-dilâlah), dan ilmu hadis sendiri. Pendekatan sejarah bertujuan
untuk memahami serangkaian peristiwa sejarah dari data yang ada dan menemukan
periodisasi munculnya term-term yang penulis teliti. Pendekatan semantik bertujuan
mempelajari makna suatu bahasa. Dan pendekatan ilmu hadis bertujuan menjaga
konsistensi tulisan agar tetap berbicara seputar ilmu ini. Penelitian ini murni
penelitian pustaka yang objek materinya karya-karya yang membahas ilmu hadis
dari klasik hingga modern. Jenis penelitiannya kualitatif yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata yang tertulis dari objek yang diamati.
Hasil penelitian ini menyimpulkan, ada sebagian term yang ungkapannya
sama, namun maksudnya berbeda. Begitu sebaliknya, ada sebagian term yang
ungkapannya berbeda, namun maksudnya sama. Perbedaan itu ada yang
berimplikasi pada keabsahan hadis, seperti term munkar dan term sahih perspektif
Imam al-Hâkim (w. 405 h) serta term munqathi’ perspektif Imam al-Bardîjî (w. 301
h); ada juga yang tidak, seperti term munqathi’ dan mu’dhal. Perbedaan itu tidak
memengaruhi posisi hadis bersangkutan sebagai hadis daif sebab gugurnya sanad
(saqth fî al-isnâd), tetapi lebih kepada upaya memosisikan hadis sesuai dengan
temanya. Metodologi yang diformulasikan oleh ahli hadis muta’akhkhirîn lebih
selamat diikuti, karena mereka telah mengkaji, memetakan, menertibkan, dan
menyimpulkan maksud-maksud ahli hadis mutaqaddimîn dengan cermat dan
seksama. Meskipun dalam beberapa sisi perbedaan itu akan tetap ada dan tidak
dapat diabaikan.
Kata kunci: Term-term dalam ilmu hadis, sejarah, perdebatan.
ix
ABSTRACT
This study begins from the statement of hadith researcher who was stating
that some people concluded: there are differences between the terms of hadith
which have created and arranged by classical hadith scholars and modern hadith
scholars. This conclusion gives a profound impact on hadith science generally.
Such as the verdict of hadith, where this point can be questioned: is the hadith
possible to be counted as the evidence or not; is it legal to be practiced or not, and
many more. On the other hand, the acceptance to literature of hadith freely, where
some people who study hadith could not see the history correlation between the
statement of hadith scholars and its process which seem different. Therefore, an
endeavor will be made to analyze further, how the terms actually process time by
time, until it becomes established and becomes the basis for the scholars.
This study divided into three phases; 1) Nascence and emersion’s phase, 2)
Accretion’s phase; and 3) Completion’s phase. The author categorized for the first
two phases as classic hadith scholar’s phase, and for the last phase–that is the third
phase–as modern hadith scholars. This study used historical approach, semantic,
and hadith science itself. The historical approach aimed to understand a chain of
history from data which has been founded and collected, as well as to determine the
periodization of the terms that will be studied. The semantic approach aimed to
study the meaning of a language. And the hadith science approach aimed to
maintain consistency in the content of this study, in order to guide the discussion
through hadith science. This study is counted as library research where it will be
focused on discussing the works of hadith science, from classical to modern. This
type of study is qualitative which delivers the descriptive data from the object that
has been studied.
The result of this study concluded there are several terms with the same
form but have different meanings, and there are some terms with different forms but
have the same meaning. The differences that exist has implications for the validity
of hadith. Such as the term of munkar and sahih belongs to Imam al-Hâkim (d. 405
h), and the term of munqathi’ belongs to Imam al-Bardîjî (d. 301 h); but there are
also several terms which is not affected, such as munqathi’ and mu’dhal. The
differences does not give an impact on the position of hadith which caused by the
interruption in chain of transmission (saqth fî al-isnâd), but rather than an effort to
place hadith based on its theme. The methodology which formulated by the modern
hadith scholars is more credible to be followed, because they have analyzed,
mapped, arranged, and concluded on the terms of classical hadith scholars
accurately. Even for some parts, its will always exist and impossible to avoid.
Keywords: the terms of hadith science, history, debate.
x
البحث ملخص
أل يثذأ ف زا انثحس كا أحذ انثاحص ف ػهو انحذس ركش أ
انصطهحاخ ف ػهو انحذس انر لذيا انؼهاء انرمذي نسد كا لصذا انؼهاء
انرجح تانرأكذ سرأشش كصشا تم الأسغ ػه انشكلاخ الأخش ف انرأخش، ز
.م ؼم ت ،زا انف. ػه سثم انصال، كحكى انحذس م ك حجح أو لا
انشكهح الأخش انمثل انفس ي انكرة انحذصح انر لا سرطغ تؼض طلاب
حذش انؼهح انر ذثذ الاخرلاف. ي انحذس سؤح انؼلالح انراسخح ت ألال ان
ا، حال انثاحس أ ؼك كصشا ف كفح ذك ز انصطهحاخ ذايا ذصثح
أساسا نهحذش.
شاا ،لسى انثاحس زا انثحس ئن شلاز انشاحم، ألا يشحهح انظس ان
ضى فا انثاحس ف ناانشحهرا الأشانصا يشحهح الإذاو الإكال. ،يشحهح انرطس
ف انشحهح انصانصح ضى فا انحذش انرأخش. اسرخذو ،يشحهح انحذش انرمذي
ذف ئن انثاحس انماستح انراسخح ػهى انذلانح ػهو انحذس. فانماستح انراسخح ذ
س فى سهسهح الأحذاز انراسخح ي انثااخ انجدج انؼصس ػه فرشج ظ
ذف ػهى انذلانح ئن فى انؼا انهغح. ذف .انثاحسانصطهحاخ انر دسسا
انف. زا انثحس ػ زا انحاسانحفاظ ػه اذساق انكراتح ناصهح ػهو انحذس ئن
تحس يكرث ك يإنفاخ انؼهاء ف زا انثحس يضػا. زا انثحس تحس ػ
شكم انكهاخ انكرتح ي انضع انز ذى يلاحظر. رج ف تااخ صفح ف
ي ،ي رائج انثحس أ تؼض انصطهحاخ اذفك نفظا اخرهف ذؼشفا
ان اخرلافاخ نا آشاس انؼكس أ تؼض انصطهحاخ اخرهف نفظا اذفك ذؼشفا.
ـ( 504كصطهح انكش انصحح ػذ الإياو انحاكى )خ ػه صحح انحذس
ان اخرلافاخ .ـ( 103)خ انثشدػج صطهح انمطغ ػذ الإياو انثشدك
زا انرفشك لا أشش ػه دسجح انحذس ،كصطهح انمطغ انؼضمنا آشاس دنس
تم يحانح نضغ انحذس حسة ف الإساد ك انحذس ضؼفا ت نسثة انسمظلا
لذ دسسا خطا سذثا ءذثاػ لأ إلااف . يج انرأخش أسهىانضع
ػه انشغى ي أ ز الاخرلافاخ نخصا ألال انحذش انرمذي تذلك ػاح.
.سرثم لا ك ذجاها ف تؼض اناح
xi
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ......................................................................... i
Pernyataan Penulis ................................................................. iv
Persetujuan Pembimbing ........................................................ v
Lembar Pengesahan ................................................................ vi
Pedoman Transliterasi ........................................................... vii
Abstrak ................................................................................... viii
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar belakang Masalah ................................................. 1
B. Permasalahan ............................................................... 17
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ............................. 19
D. Tujuan Penelitian ......................................................... 23
E. Siginifikansi Penelitian ................................................ 23
F. Metodologi Penelitian .................................................. 23
G. Sistematika Logika Penulisan ...................................... 30
BAB II
PARADIGMA KONSEPTUAL ILMU HADIS .................. 32
A. Basis Epistemologi Ilmu Hadis ..................................... 32
B. Formulasi Nalar Ilmu Hadis .......................................... 35
1. Definisi Ilmu Hadis ................................................... 41
2. Kapan Istilah Hadis Muncul? .................................... 49
3. Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah .......... 53
a. Ilmu Hadis Riwayah .............................................. 53
1). Definisi Ilmu Hadis Riwayah ........................... 54
2). Tema Pembahasan Ilmu Hadis Riwayah .......... 55
3). Peletak Ilmu Hadis Riwayah ............................ 55
b. Ilmu Hadis Dirayah ............................................... 60
1). Peletak Ilmu Hadis Dirayah .............................. 62
2). Perkembangan Ilmu Hadis Dirayah .................. 65
3). Cabang-cabang Ilmu Hadis Dirayah ................. 69
BAB III
xii
GENEALOGI ILMU MUSTHALAH HADIS DALAM KONTESTASI
SEJARAH ............................................................................... 74
A. Fase Kelahiran dan Pertumbuhan .................................. 77
1. Masa Nabi saw. dan Sahabat ..................................... 77
a. Ungkapan Shadaqta dan Kadzabta ...................... 79
b. Ungkapan Rajul Shâlih, Ni’ma ar-Rajul, dan Bi’sa 87
c. Ungkapan Rajul, Imra’ah, dan A’rabiy ................ 88
d. Upaya Pemeriksaan Berita .................................... 89
e. Praktik Pemberitaan Terputus .............................. 90
2. Masa al-Khulafâ’ ar-Râsyidûn .................................. 90
a. Upaya Penghadiran Saksi, Bukti, dan Sumpah ..... 90
b. Upaya Pelurusan dan Perbandingan Riwayat ....... 94
B. Fase Perkembangan ....................................................... 96
1. Masa Tabiin ............................................................... 96
a. Munculnya Term Mursal dan Teori Sanad .......... 97
b. Riwayat Ahli Bidah ............................................ 101
2. Masa Atbâ’ Tabiin ................................................... 102
a. Term Sahih, Hasan, dan Daif ............................. 103
b. Term Tadlîs atau Mudallas, Munqathi‟, Munkar, Syâdz,
Mu’all, dan Mudhtharib ..................................... 104
c. Term Maqbûl al-Khabar dan Mardûd al-Khabar 106
3. Pasca Atbâ Tabiin (200 H – 300 H) ........................ 107
4. Masa Penertiban Ilmu Hadis (300 H – 400 H) ........ 110
5. Masa Pra Penyempurnaan (400 H – 600 H) ............ 113
6. Fase Penyempurnaan (600 H – 1000 H) ................. 116
BAB 1V
PROGRESIVITAS TERM-TERM DALAM ILMU HADIS 119
A. Term Sahih dan Perdebatannya ................................... 119
1. Definisi Sahih .......................................................... 119
2. Term Shahîh li Ghairihî .......................................... 131
3. Hukum Hadis Sahih ................................................ 133
4. Buah Karya Pergulatan Term Sahih ....................... 138
B. Term Hasan dan Perdebatannya .................................. 140
1. Definisi Hasan ........................................................ 140
2. Menyatunya Term Hasan, Sahih, dan lainnya ........ 157
3. Term-term yang Mencakup Sahih dan Hasan ......... 161
xiii
a. Jayyid .................................................................. 161
b. Qawiyy ................................................................. 161
c. Shâlih ................................................................... 162
d. Ma’rûf dan Mahfûzh ........................................... 163
e. Mujawwad dan Tsâbit ......................................... 163
f. Maqbûl ................................................................. 163
g. Musyabbah .......................................................... 163
4. Hukum Menghukumi Hasan Terhadap Sanad ....... 164
5. Buah Karya Pergulatan Term Hasan ....................... 165
C. Term Daif, Pembagian dan Perdebatannya ................. 166
1. Definisi Daif ............................................................ 168
2. Daif Sanad Tidak Mesti Daif Matan ....................... 172
3. Hukum Hadis Daif .................................................. 174
4. Sumber-sumber Hadis Daif ..................................... 181
5. Pembagian Khusus Term Daif dan
Diskusinya ............................................................... 183
a. Mu’allaq ............................................................... 183
b. Mursal ................................................................. 190
c. Mu’dhal ............................................................... 217
d. Munqathi‟ ............................................................ 223
e. Mudallas .............................................................. 229
f. Mursal Khafiy ...................................................... 240
a. Maudhû‟ ............................................................... 242
b. Matrûk ................................................................. 250
c. Munkar ................................................................ 252
d. Mu’allal ............................................................... 256
e. Mudraj ................................................................. 262
f. Mudhtharib .......................................................... 266
g. Maqlûb ................................................................. 270
h. Mushahhaf ........................................................... 274
i. Al-Mazîd fî Muattashil al-Asânîd ........................ 277
j. Syâdz .................................................................... 279
k. Al-Jahâlah bi ar-Râwî ......................................... 284
l. Al-Bid’ah .............................................................. 287
m. Sû’ al-Hifzh ........................................................ 292
xiv
BAB V
PENUTUP ............................................................................. 294
A. Kesimpulan .................................................................. 294
B. Saran-Saran ................................................................. 299
DAFTAR PUSTAKA ........................................................... 301
DAFTAR INDEKS................................................................ 314
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................... 320
BIODATA PENULIS .......................................................... 331
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam hierarki sumber ajaran Islam, posisi hadis atau
sunah1 menempati urutan kedua setelah Alquran, bahkan tidak
jarang dianggap sejajar.2 Urgensi hadis tidak hanya karena
1 Istilah hadis dan sunah merupakan dua istilah yang populer dalam
disiplin ilmu hadis. Namun kedua istilah tersebut terkadang masih dinilai
kurang definitif, sehingga perlu dipertegas kembali menjadi hadis Nabi atau
hadis Nabawi dan sunah Nabi atau sunah Rasul. Di luar itu, terdapat istilah
lain, yakni khabar (berita) dan atsar (peninggalan). Namun keduanya tidak
berkembang sebagaimana kedua istilah di atas. Lihat Ali Mustafa Yaqub,
Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), cet. 4, hal. 32. Bagi para ahli
hadis, istilah hadis dan sunah adalah dua istilah yang tidak berbeda, begitu
pula atsar dan khabar, yaitu hal-hal yang berasal dari Nabi saw., baik berupa
perkataan, perbuatan, penetapan, maupun sifat-sifatnya, dan sifat-sifat itu baik
berupa sifat fisik, moral, maupun perilaku, dan hal itu baik sebelum beliau
menjadi nabi maupun setelahnya. Berbeda dengan para pakar ilmu usul fikih
yang membedakan definisi sunah dan hadis. Bagi mereka, sunah adalah hal-hal
yang diambil dari Nabi saw., baik perkataan, perbuatan dan penetapannya.
Sedangkan hadis adalah perkataan, perbuatan, penetapan, dan sifat-sifat Nabi
saw. Mereka tidak memasukkan sifat-sifat Nabi saw. sebagai sunah. Perbedaan
ini berangkat dari perbedaan mereka dalam memandang hadis sebagai sumber
hukum dan moral di dalam Islam. Para pakar ilmu usul fikih, karena aktifitas
mereka menggali hukum Islam dari Alquran dan hadis, maka hal-hal yang
berasal dari Nabi saw. yang dapat dijadikan sumber ajaran Islam hanyalah
perkataan, perbuatan, dan penetapan saja. Terlepas dari perbedaan tersebut,
istilah sunah sepertinya lebih mendominasi peristilahan kalangan pakar ilmu
usul fikih, sementara istilah hadis lebih banyak digunakan oleh kalangan ahli
hadis. Adapun istilah atsar, para pakar fikih Khurasan memandang istilah
tersebut khusus untuk hadis mauqûf saja, sementara khabar khusus untuk hadis
marfû’. Namun yang dianut para ahli hadis, semua istilah itu disebut dengan
atsar sebagaimana ungkapan, “Atsartu al-hadîtsa” (aku meriwayatkan hadis).
Hal ini diperkuat oleh pernyataan Imam Zain ad-Dîn al-‘Irâqî (w. 806 h) yang
menjuluki dirinya dengan al-Atsarî. Beliau mengatakan dalam permulaan
Alfiah-nya: “Yaqûlu râjî Rabbihî al-Muqtadir ‘Abd ar-Rahîm bin al-Husain al-
Atsarî.” Selain itu, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalânî (w. 852 h) juga menamakan
karyanya dalam disiplin ilmu musthalah hadis dengan, Nukhbat al-Fikar fî
Mushthalah Ahl al-Atsar. Selengkapnya lihat Nûr al-Dîn ‘Itr, Manhaj an-Naqd
fî Ulûm al-Hadîts, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1418 H), hal. 27. 2 Misalnya menurut Imam asy-Syâfi’î (w. 204 h), sunah tidak dapat
dipisahkan dari Alquran karena merupakan penjelas terhadap Alquran itu
sendiri. Lihat Muhammad bin Idrîs asy-Syâfi’î, ar-Risâlah, Editor: Ahmad
Muhammad Syâkir, (tp. t.th), hal. 21-34. Oleh karena itu, sunah tidak dapat
dipisahkan dari yang dijelaskan. Dari sini, mazhab Syafii menetapkan salah
satu kaidahnya bahwa dalil dalam agama Islam itu adalah Alquran dan sunah,
2
berfungsi sebagai penguat dan penjelas terhadap statement-
statement Alquran yang bersifat umum, tetapi juga dapat secara
independen menjadi pijakan dalam menentukan suatu ketetapan
hukum terhadap suatu kasus yang tidak disebutkan oleh Alquran.3
bukan Alquran kemudian sunah. Lihat Muhammad al-Hasan al-Fâsî, al-Fikr
as-Sâmî fî Târîkh al-Fiqh al-Islâmî, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995
M), hal. 468. Argumen lain yang digunakan oleh Imam asy-Syâfi’î untuk
menunjukkan bahwa sunah setara dengan Alquran dan keduanya tidak dapat
dipisahkan adalah beberapa ayat dari Alquran, antara lain: (QS. Āli ‘Imrân [3]:
164. QS. an-Nisâ’ [4]: 113, QS. al-Ahzâb [33]: 34, QS. al-Jumu’ah [62]: 2.
Dalam ayat-ayat tersebut terdapat kata al-hikmah yang bersanding dengan
Alquran. Beliau menafsirkan al-hikmah dalam ayat-ayat tersebut dengan sunah
sebagaimana yang beliau dengar dan pelajari langsung dari seorang pakar
Alquran pada masanya. Lihat Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan
Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2006), hal. 68-69. Misalnya lagi menurut Syaikh ‘Abd al-Ghaniy ‘Abd al-
Khâliq (w. 1403 h) yang berpandangan sama dengan Imam asy-Syâfi’î; beliau
berargumen dengan sabda Rasulullah saw.: “Ketahuilah bahwa aku diberikan
Alquran dan yang semisal dengannya.” Maksud “Yang semisal dengannya”
dalam hadis tersebut adalah sunah. Hal itu sangat jelas menunjukkan bahwa
keduanya setara dalam posisi menentukan suatu ketetapan hukum. Lihat Mâjid
ad-Darwîsy, al-Fawâ’id al-Mustamaddah min Tahqîqât al-‘Allâmah ‘Abd al-
Fattâh Abû Ghuddah fî ‘Ulûm al-Hadîts, (Beirût: Dâr al-Imâm Abî Hanîfah,
1426 H/2005 M), cet. 1, hal. 13. Sebagian yang lain tetap menempatkan sunah
diurutan kedua setelah Alquran. Lihat Muhammad al-Amîn asy-Syinqithî, al-
Mashâlih al-Mursalah, (Madînah: al-Jâmi’ah al-Islâmiyah al-Madînah al-
Munawwarah, 1410 H), juz 1, hal. 3. Namun demikian keduanya merupakan
wahyu yang menjadi sumber ajaran Islam. Hanya saja, para ulama menyebut
Alquran dengan al-wahy al-matlû (wahyu yang dibaca atau membacanya
bernilai ibadah atau disampaikan melalui malaikat Jibrîl as.), sementara sunah
disebut dengan al-wahy ghair matlû (wahyu yang tidak dibaca sebagaimana
Alquran atau tidak disampaikan melalui malaikat Jibrîl as. atau semua yang
datang dari Nabi saw. selain Alquran). Hal ini berdasarkan isyarat dari firman
Allah swt.: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS. an-Najm
(53): 3-4). Selengkapnya lihat Ibnu Hazm al-Andalusî, al-Ihkâm fî Ushûl al-
Ahkâm, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1404 H), juz 2, hal. 215. 3 Muhammad Muhammad Abû Zahwû, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn,
(Beirût: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1984 M), hal. 37-39. Lebih dari itu, Imâm al-
Auzâ’î (w. 157 h) berkata: “Alquran lebih membutuhkan sunah daripada
sebaliknya.” Lihat Mâjid ad-Darwîsy, al-Fawâ’id al-Mustamaddah, hal. 13.
Imam Abû Hanîfah (w. 150 h) juga mengatakan: “Sekiranya bukan karena
sunah, maka di antara kami tidak ada seorang pun yang bisa memahami
Alquran.” Lihat Jamâl ad-Dîn al-Qâsimî, Qawâ’id at-Tahdîts min Funûn
Mushthalah al-Hadîts, (Kairo: Dâr al-‘Aqîdah, 1425 H/2004 M), cet. 1, hal.
52. Lihat juga Ismâ’îl asy-Syarbînî, Kitâbât A’dâ’ al-Islâm wa Munâqasyatihâ,
(Mesir: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah, 1422 H/2002 M), juz 1, hal. 611.
3
Melihat posisi hadis yang begitu penting itu, maka
dapatlah dikatakan, urgensi mempelajari hadis sesungguhnya
sama dengan mempelajari Alquran. Oleh karena itu, para ahli
hadis baik generasi salaf maupun khalaf berupaya begitu besar
mengawal eksistensinya. Sehingga hadis-hadis itu memperoleh
pemeliharaan khusus yang belum pernah terjadi pada hadis-hadis
nabi yang lainnya. Hasilnya, tidak ada yang terjadi pada diri dan
kehidupan Nabi saw. yang luput dari liputan dan pemberitaan.
Ketika hadis berposisi sebagai atau menjadi media liputan
dan pemberitaan, maka para ahli hadis selain mengawal
eksistensi hadis-hadis tersebut, juga menjaga otentisitasnya agar
terpelihara dengan baik. Di antara upaya awal yang mereka
lakukan adalah meneliti keadaan para perawinya, apakah mereka
memiliki kredibilitas atau tidak? Lalu meneliti keadaan orang-
orang yang mengambil hadis dari mereka, apakah juga memiliki
kredibilitas atau tidak? Begitu hingga perawi terakhir yang
memberitakan hadis tersebut. Selain itu, mereka juga meneliti
apakah perawi-perawi itu menerimanya secara langsung, melalui
perantara, atau tidak sama sekali? Apakah mereka juga menulis,
menghafal, dan memahami hadis-hadisnya dengan baik? Apakah
terdapat perawi lain yang melakukan kritik terhadap rawi-rawi
tersebut hingga yakin apa yang diberitakannya sesuai sumbernya?
Upaya-upaya itulah yang kemudian mewujud menjadi
kaidah-kaidah ilmu yang mapan dan kaya metodologi. Berikutnya
dikembangkan dan diakomodir dalam suatu wadah disiplin ilmu
agama yang mapan yang disebut dengan ilmu ushûl al-hadîts,
atau ilmu mushthalah al-hadîts, atau ilmu dirâyah al-hadîts, dan
atau ‘ulûm al-hadîts. Dalam disiplin ilmu hadis, istilah-istilah
4
tersebut memiliki makna yang sama sebagaimana dijelaskan oleh
Imam al-‘Irâqî (w. 806 h) dalam karyanya, “Alfiyah al-Hadîts.”4
Dilihat dari kajiannya, ilmu hadis terpetakan ke dalam dua
kajian besar, yaitu kajian ilmu hadis riwayah dan kajian Ilmu
hadis dirayah. Secara historis, kajian ilmu hadis riwayah
merupakan yang pertama dalam kajian disiplin ilmu hadis.
Embrionya terlihat dari reportase Ummu al-Mu’minîn Khadîjah
ra. (w. 3 sh.) yang mendengar langsung sabda suami tercintanya
mengenai permulaan wahyu (bad’u al-wahy) dan kisah datangnya
malaikat Jibrîl as. ketika menyampaikan ayat pertama (QS. al-
‘Alaq [96]: 1-5) di Gua Hira.5 Adapun kajian ilmu hadis dirayah
mulai mengemuka pasca peristiwa fitnah yang berlangsung pada
masa pemerintahan Khalifah ‘Alî bin Abî Thâlib ra. (memerintah
35-40 h) sebab kasus terbunuhnya Khalifah ‘Utsmân bin ‘Affân
ra. (w. 35 h). Demikianlah pendapat para pakar pada umumnya.6
4 Syams ad-Dîn as-Sakhâwî, Fath al-Mughîts bi Syarh Alfiyah al-
Hadîts li al-Hâfizh al-‘Irâqî, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1995/1416), cet. 1, hal. 4.
Lihat juga Muhammad bin Ismâ’îl ash-Shan’ânî, Taudhîh al-Afkâr li Ma’ânî
Tanqîh al-Anzhâr, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1417 H/1997 M), juz 1,
hal. 11. Lihat juga Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts Ulûmuhû
wa Mushthalahuhû, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1427 H/2006 M), cet. 1, hal. 7. 5 Lihat Hâtim bin ‘Ārif al-‘Aunî, al-Manhaj al-Muqtarah li Fahm al-
Mushthalah, (tp. t.th), hal. 131. Kisah tersebut didokumentasikan oleh Imam
al-Bukhârî (w. 256 h) dalam permulaan karyanya. Lihat Muhammad bin
Ismâ’îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Bab Bad’u al-Wahy, no. 2, Tahqîq: M.
Dîeb al-Bighâ, (Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H/1987 M), juz 1, hal. 3. 6 Menurut Musthafâ as-Sibâ’î (w. 1964 m), tahun 40 hijriah adalah
batas pemisah antara kemurnian sunah dan kebebasannya dari kebohongan dan
pemalsuan hadis. Menurut beliau, sunah pada saat itu sudah mulai digunakan
sebagai alat untuk melayani berbagai kepentingan politik dan perpecahan
internal umat Islam. Sasaran pertama yang dituju oleh para pemalsu hadis
adalah sifat-sifat utama para tokoh. Lihat Musthafâ as-Sibâ’î, as-Sunnah wa
Makânatuhâ fî at-Tasyrî’, (tt: Dâr al-Wariq al-Maktab al-Islâmî, 2000 M) hal.
92. Contoh hadis palsu pada masa ini: “Siapa yang tidak mengatakan ‘Alî
orang baik, maka dia telah kafir.” Lihat Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad
asy-Syaukânî, al-Fawâ’id al-Majmû’ah fî al-Ahâdîts al-Maudhû’ah, (Beirût:
al-Maktab al-Islâmî, 1407 H), hal. 347. Jadi, praktik pemalsuan hadis mulai
muncul pada masa ini, sehingga dapat dikatakan bahwa kajian ilmu hadis
dirayah mulai mengemuka dan serius dilakukan. Demikian karena belum ada
5
Di antara pengaruh terbesar dari peristiwa ini, selain
untuk kepentingan ekonomi dan “menyenangkan hati” pejabat,
adalah munculnya konflik yang mengakibatkan terpecahnya umat
ke dalam beberapa sekte. Sekte-sekte tersebut kemudian bergerak
menuju ranah perpolitikan dan bahkan menyentuh ranah teologi.
Akibatnya muncul konflik politik dengan ragam kepentingannya
yang juga berakibat munculnya konflik teologi di dalamnya.7
Dari fenomena ini, muncullah tradisi buruk dan fatal,
yaitu menjadikan Rasulullah saw. sebagai objek legalitas
terhadap “proyek-proyek” mereka. Akibatnya muncul hadis-hadis
palsu yang dinisbahkan kepada beliau guna memuluskan proyek-
proyek tersebut. Namun dari fenomena ini juga, para sahabat
mulai ekstra hati-hati dalam menerima suatu hadis.8 Dari sinilah
pertama kalinya kajian ilmu hadis dirayah mengemuka yang
kemudian melahirkan ilmu dan teori baru dalam disiplin ilmu
data historis yang bisa dipertanggungjawabkan bahwa pada masa Rasulullah
saw. telah terjadi pemalsuan hadis. Lihat Syuhudi Isma’il, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1428 H/2007 M), cet. 2, hal.
12. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada masa itu tidaklah memerlukan
kegiatan pengecekan atau penelitian yang mendalam terhadap sanad. 7 Abû Bakar asy-Syahrastânî, al-Milal wa an-Nihal, (Beirût: Dâr al-
Ma’rifah, 1404 H), juz 1, hal. 27-33 dan 114-198. Lihat juga al-Ghurabî,
Târîkh al-Firaq al-Islâmiyah, (Mesir: Muhammad ‘Alî Shâbih, 1959 M), hal.
18-36, 73-74, 204, 304. Lihat juga Hasan Ibrâhîm Hasan, Târîkh al-Islâm,
(Kairo: Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyyah, 1964 M), juz 1, hal. 3–6. 8 Sahabat mulia ‘Abdullâh Ibnu ‘Abbâs ra. (w. 68 h) menggambarkan:
“Kami (para sahabat), apabila mendengar seseorang mengatakan, ‘Telah
berkata Rasulullah saw.’, terfokuslah mata dan pendengaran kami kepadanya.
Namun ketika orang-orang mengalami fase kegelisahan dan kesulitan (fase
hilangnya kesadaran akan kritik hadis atau naqd al-hadîts), maka kami tidak
mengambil suatu riwayat atau hadis kecuali yang kami ketahui saja.” Lihat
Muslim bin al-Hajjâj, Shahîh Muslim, no. 8, (tp. t.th), juz 1, hal. 27. Maksud
kata “seseorang” dalam perkataan tersebut adalah bukan mereka dari kalangan
sahabat, tetapi mereka dari kalangan tabiin. Sehingga darinya diperlukan
penelitian lebih lanjut dari siapa mereka mengambil dan mendengar suatu
riwayat atau hadis. Lihat Hâtim al-‘Aunî, al-Manhaj al-Muqtarah, hal. 22.
6
hadis yang disebut dengan sanad.9 Suatu ilmu dalam transmisi
hadis itu sendiri.10
Dari ilmu sanad kemudian lahir ilmu kritik
rijâl hadis atau dikenal kemudian dengan ilmu jarh dan ta’dîl;
suatu ilmu yang merupakan saka guru dari ilmu ushûl al-hadîts
itu sendiri. Namun jika dilihat dari objeknya, maka kajian matan
(materi hadis) yang juga bagian dari kajian disiplin ilmu hadis
dirayah telah muncul lebih dahulu dibanding kajian sanad, yaitu
sebelum peristiwa fitnah, yakni masa antara Nabi saw. hingga
akhir masa pemerintahan ‘Umar ra. (w. 23 h). Namun karena
9 Muncul pertanyaan, kapan sebenarnya sistem sanad (transmisi
hadis) mulai dipakai oleh manusia. Menurut Syaikh Muhammad Mustafa
Azami (w. 2017 m), sebelum Islam datang tampaknya sudah ada suatu metode
yang mirip dengan pemakaian sanad dalam menyusun buku, namun tidak ada
kejelasan sejauh mana sistem itu diperlukan. Hal itu misalnya terdapat dalam
kitab Yahudi, Mishna. Begitu pula dalam penukilan-penukilan syair jahiliah.
Namun urgensi sanad baru tampak pada periwayatan hadis saja. Dan begitulah
metode itu berkembang hingga Imam Ibnu al-Mubârak (w. 181 h) mengatakan:
“Metode sanad itu adalah bagian dari agama Islam.” Lihat Azami, Hadis
Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, hal. 530. 10
Sanad merupakan ilmu yang tidak dapat dipisahkan dari agama
Islam, karena tanpa sanad, setiap orang akan dengan mudah mengatakan apa
saja demi kepentingannya. Imam al-Auzâ’î (w. 157 h) berkata: “Tidaklah ilmu
itu hilang melainkan sanadnya hilang.” Lihat Ibnu ‘Abd al-Barr, at-Tamhîd
Limâ fî al-Muwaththa’ min al-Ma’ânî wa al-Asânîd, (Kairo: Mu’assasah al-
Qurthubah, t.th), juz 1, hal. 57. Imam Sufyân ats-Tsaurî (w. 161 h) berkata:
“Sanad itu senjatanya orang yang beriman. Jika orang yang beriman tidak
memiliki senjata, maka hendak menggunakan apa untuk berperang?”. Lihat al-
Khathîb al-Baghdâdî, Syaraf Ashshâb al-Hadîts, (tp. t.th), juz 1, hal. 92. Imam
Ibnu al-Mubârak (w. 181 h) berkata: “Sistem sanad itu merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari agama Islam. Sebab tanpa sistem sanad, setiap orang akan
dapat mengatakan apa saja yang dikehendakinya. Lihat Muslim bin al-Hajjâj,
Shahîh Muslim, Bab Bayân al-Isnâd min ad-Dîn, juz 1, hal. 38. Dalam
kesempatan lain beliau juga mengatakan: “Perumpamaan seorang yang
mencari agamanya tanpa sanad, seperti menaiki atap tanpa tangga.” Imam
Yazîd bin Zurai’ al-‘Aisyî (w. 182 h) berkata: “Setiap agama mempunyai
pasukan penjaga, dan pasukan penjaga umat Islam adalah ashhâb al-asânîd.”
Imam Muhammad bin Idrîs asy-Syâfi’î (w. 204 h) berkata: “Perumpamaan
seorang yang mencari hadis tanpa sanad, seperti seseorang yang mencari kayu
di malam gelap gulita.” Lihat al-Khathîb al-Baghdâdî, Syaraf Ashshâb al-
Hadîts, juz 1, hal. 111. Imam Abû Hâtim ar-Râzî (w. 277 h) berkata: “Tidak
ada satu umat pun di dunia ini semenjak Allah swt. menciptakan Nabi Ādam
as. yang terpercaya menjaga atsar-atsar (peninggalan-peninggalan) para rasul-
Nya, melainkan umat Rasulullah saw.” (karena di dalamnya terdapat ilmu
sanad). Selengkapnya lihat Mullâ ‘Alî al-Qârî, Syarh Musnad Abî Hanîfah,
(Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), juz 1, hal. 8.
7
masa itu dipandang masa yang relatif aman atau steril dari upaya-
upaya perpolitikan, maka kajian sanad saat itu dianggap tidak
begitu diperlukan.11
Namun setelah peristiwa fitnah, para ulama
mulai ekstra hati-hati dan selalu mempertanyakan urgensi sanad
hadis; dari siapa hadis itu diperoleh, bagaimana latar belakang
orang-orang yang meriwayatkan hadis tersebut, dan seterusnya.
Berawal dari sanad dan matan inilah kemudian lahir ilmu-
ilmu dan teori-teori baru dalam kajian atau disiplin ilmu hadis
yang selanjutnya dirumuskan dan dipetakan oleh para pakarnya
11
Misalnya suatu kisah pengecekan yang dilakukan oleh sahabat
mulia Amîr al-Mu’minîn ‘Umar bin al-Khaththâb ra. (w. 23 h) terhadap berita
yang datang dari seorang Anshâr (tetangganya sendiri). Suatu malam ketika
‘Umar ra. sedang berbincang-bincang tentang adanya kabar bahwa Ratu
Ghassân sedang mempersiapkan pasukannya untuk menyerbu kaum muslimin,
tiba-tiba pintu rumah beliau diketuk keras oleh seorang yang belum diketahui
identitasnya. “Apakah ‘Umar ra. sudah tidur?” begitu terdengar suara lantang
dari luar pintu. Maka dengan penuh tanda tanya, ‘Umar ra. berjalan
membukakan pintu tersebut. Begitu dibuka, beliau terkejut ternyata yang
mengetuk pintu keras-keras tadi adalah tetangganya sendiri, seorang Anshâr
dari keluarga Bani ‘Umayyah bin Zaid. Ia baru saja pulang mengikuti
pengajian bersama Rasulullah saw. “Ada apa? Apakah pasukan Ghassân sudah
datang?” Tanya ‘Umar ra. memburu. “Tidak,” jawabnya. “Ada peristiwa yang
lebih gawat dari itu, tambahnya.” “Apa itu?” Tanya ‘Umar ra. penasaran.
“Rasulullah saw. telah menceraikan istri-istrinya.” Tercenganglah ‘Umar ra.
mendengar jawabannya itu. Bukan lantaran salah satu istri Rasulullah saw.
adalah putri ‘Umar ra. sendiri yang bernama Hafshah ra., tetapi benarkah
Rasulullah saw. melakukan hal itu. Maka untuk meyakinkan kebenaran berita
itu, esok harinya ‘Umar ra. menghadap Rasulullah saw. dan setelah diizinkan
masuk, ‘Umar ra. bertanya, “Apakah Anda telah menceraikan istri-istri Anda?”
Sambil menegakkan kepalanya dan memandangi ‘Umar ra., Rasulullah saw.
kemudian menjawab, “Tidak.” Begitulah, akhirnya ‘Umar ra. mengetahui
bahwasanya Rasulullah saw. hanya bersumpah untuk tidak mengumpuli istri-
istrinya selama satu bulan. Lihat al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, 2288, juz 8,
hal. 357. Apa yang dilakukan sahabat mulia ‘Umar ra. di atas bukan berarti ia
curiga terhadap pembawa berita atau rawi bahwa ia berdusta, tetapi semata-
mata untuk meyakinkan bahwa berita atau hadis yang berasal dari Rasulullah
saw. itu benar-benar ada. Oleh karena itu, menurut pakar hadis Muhammad
Mustafa Azami (w. 2017 m), pengecekan semacam itu jumlahnya sangat
sedikit dan terbatas. Lihat Muhammad Mustafa Azami, Manhaj an-Naqd ‘Inda
al-Muhadditsîn, (Riyâdh: Syirkah ath-Thibâ’ah al-‘Arabiyyah, 1402 H/1982
M), hal. 10. Dalam kisah tersebut, ‘Umar ra. tidak mengecek identitas
pembawa berita atau rawi, karena sebagai tetangga, ‘Umar ra. tentu sudah
mengetahui karakter orang tersebut. Apa yang dilakukan ‘Umar ra. adalah
bentuk kritik materi hadis atau naqd matn al-hadîts, bukan kritik rawi hadis
atau naqd rijâl al-hadîts. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, cet. 1, hal. 2.
8
melalui terminologi-terminologi (istilah-istilah) guna mengikat
hal-hal yang dimaksud.
Munculnya term-term dalam ilmu hadis tidaklah kosong
tanpa sebab, tetapi beriringan dengan kebutuhan dimana hadis itu
berkembang. Oleh karena itu, suatu term tidaklah muncul kecuali
setelah adanya kasus, baik yang berkaitan dengan sanad maupun
matan. Dari pemahaman akan proses ini, muncullah anggapan
dari sebagian peneliti dan penggiat hadis, bahwa term-term yang
dicetuskan dan dimaksudkan oleh para ahli hadis mutaqaddimîn
tidaklah sejalan atau sama dengan maksud yang dicetuskan dan
dimaksudkan oleh para ahli hadis muta’akhkhirîn12
terutama
12
Lihat Hâtim al-‘Aunî, al-Manhaj al-Muqtarah, juz 1, hal. 7. Para
ulama hadis berbeda pendapat dalam menentukan batas pemisah antara ulama
hadis mutaqaddimîn dan ulama hadis muta’akhkhirîn. Menurut Imam Ibnu
Hajar al-‘Asqalânî (w. 852 h), muta’akhkhirîn adalah mereka yang hidup di
penghujung abad kelima hijriah dan seterusnya. Lihat Ibnu Hajar al-‘Asqalânî,
an-Nukat ‘alâ Kitâb Ibn ash-Shalâh, (Madînah: ‘Imâdah al-Bahts, 1404
H/1984 M), juz 2, hal. 586. Adapun menurut Imam adz-Dzahabî (w. 748 h)
sebagaimana dinukil Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalânî dalam karyanya Lisân al-
Mîzân mengatakan: “Batas pemisah antara mutaqaddimîn dan muta’akhkhirîn
adalah penghujung abad ketiga hijriah.” Lihat Ibnu Hajar al-Asqalânî, Lisân
al-Mîzân, (Beirût: Mu’assasah al-A’lamî, 1406 H/1986 M), juz 1, hal. 8.
Namun yang rancu dari pendapat Imam adz-Dzahabî sebagaimana dikatakan
Hamzah al-Malîbârî adalah, Imam adz-Dzahabî memasukkan Imam al-Ismâ’îlî
(w. 371 h) yang notabene ulama hadis penghujung abad keempat hijriah
sebagai bagian dari ulama hadis mutaqaddimîn, padahal beliau mengatakan
batasnya penghujung abad ketiga hijriah. Lihat Hamzah al-Malîbârî, al-
Muwâzanah Baina al-Mutaqaddimîn wa al-Muta’akhkhirîn fî Tashhîh al-
Ahâdîts wa Ta’lîlihâ, (Penerbit: Multaqâ’ Ahl al-Hadîts, 1422 H/2001 M), juz
1, hal. 10. Syaikh Nûr ad-Dîn ‘Itr (w. 1442h/2020 m), ketika menjelaskan
definisi munqathi’ menurut ulama hadis mutaqaddimîn dan muta’akhkhirin
dalam karyanya Manhaj an-Naqd berkata: “Definisi munqathi’ dari ulama
hadis mutaqaddimîn yang paling baik adalah definisi yang dikemukakan oleh
al-Hâfizh Ibnu ‘Abd al-Barr al-Qurthubî (w. 463 h).” Lihat Nûr ad-Dîn ‘Itr,
Manhaj an-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, hal. 367. Padahal diketahui bahwa Imam
Ibnu ‘Abd al-Barr merupakan ulama hadis abad kelima hijriah. Imam Ibnu
ash-Shalah (w. 643 h) dalam Muqaddimah-nya ketika menjelaskan term hasan
mengatakan: “Telah berkata sebagian ulama hadis muta’akhkhirîn, bahwa
hadis hasan adalah hadis yang kedaifannya tidak terlalu.” Beliau merujuk
pendapat ini dari Imam Ibnu al-Jauzî (w. 597 h) dalam kitabnya al-‘Ilal al-
Mutanâhiyah fî al-Ahadîts al-Wâhiyah. Lihat Ibnu ash-Shalâh, Muqaddimah
Ibnu ash-Shalâh, hal. 50. Apabila melihat pendapat-pendapat di atas, maka
9
kaitannya dengan definisi. Anggapan itu tidaklah begitu keliru,
karena memang terdapat beberapa term yang memiliki dua, tiga,
atau bahkan lebih definisi yang apabila dikaitkan dengan
pemahaman definisi para ahli hadis muta’akhkhirîn tidaklah
memiliki keterkaitan sama sekali. Konsekwensi dari perbedaan
itu, tentu akan melahirkan penelitian dan hasil yang berbeda pula.
Sebagai gambaran misalnya dalam kasus term munkar,
dimana para pakar hadis muta’akhkhirîn semisal Imam Ibnu
pendapat Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalânî sepertinya lebih banyak mendapat
dukungan. Meski demikian, pendapat yang menyatakan bahwa batasannya di
penghujung abad ketiga hijriah tentu memiliki alasan tersendiri. Begitu
sebaliknya, mereka yang berpendapat bahwa batasannya di penghujung abad
kelima juga memiliki alasan tersendiri. Perbedaan ini menurut Khalaf Salamah
dikarenakan faktor tema, konteks, atau yang lainnya. Namun dari sisi jumlah,
mutaqqadimîn adalah mereka yang meninggal sebelum akhir abad keempat
hijriah, dan muta’akhkhirîn adalah mereka yang meninggal setelah abad
kelima hijriah. Begitu karena batasan antara keduanya merupakan term yang
saling berdekatan, dan itu konteknya lebih banyak dari batasan itu sendiri,
tidak bisa digambarkan apakah di sana ada hari tertentu, tahun tertentu, waktu
berakhirnya mutaqaddimîn dan mulainya muta’akhkhirîn, sebab di sana juga
harus ada perubahan secara bertahap dan kedua masa tersebut masuk atau di
sana harus ada masa perpindahan yang bersamaan. Bisa jadi hal tersebut
adalah abad kelima hijriah bila kita berbicara pendekatan bolehnya dan itu
mendekati kebenaran. Lihat Khalaf Salâmah, Lisân al-Muhadditsîn, juz 5, hal.
14. Syaikh Hamzah al-Malîbârî kembali menjelaskan bahwa perbedaan yang
mencolok dari kedua masa tersebut sebenarnya bukan karena faktor masanya,
tetapi lebih kepada metodologi (manhaj) yang digunakan dan dikembangkan
oleh para ulama di dalamnya. Tema awal dalam ilmu hadis yang membedakan
metodologi antara dua masa tersebut adalah mengenai tema term sahih yang
dikemukakan oleh Imam Ibnu ash-Shalâh (w. 643 h), yaitu hadis yang
sanadnya bersambung yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhâbith dari
rawi yang adil dan dhâbith (juga) hingga akhir sanad dan hadis itu tidak rancu
(syâdz) serta tidak mengandung cacat (‘illat). Dari definisi ini beliau memberi
isyarat atas manhaj atau metodologi para ulama hadis ketika berkata; “Inilah
hadis yang dihukumi kesahihannya dan para ulama tidak ada yang berselisih
atasnya.” Hal ini kemudian diikuti oleh setiap ulama hadis setelahnya yang
menulis tentang ilmu ini secara umum dan mereka bersepakat bahwa definisi
tersebut merupakan definisi yang dimiliki oleh para ulama hadis dan menjadi
manhaj mereka bukan manhaj yang lainnya baik dari kalangan ulama fikih
maupun kalangan ulama usul fikih. Hal ini karena para ulama fikih dan ulama
usul fikih tidak menyaratkan di dalam manhaj sahih mereka terhindar dari
kerancuan atau kejanggalan (syâdz) dan hilangnya cacat (‘illat) sebagaimana
disepakati oleh para ulama hadis. Selengkapnya lihat Hamzah al-Malîbârî, al-
Muwâzanah Baina al-Mutaqaddimîn wa al-Muta’akhkhirîn, juz 1, hal. 10.
10
Hajar al-‘Asqalânî (w. 852 h) menetapkan definisinya dengan
suatu hadis yang diriwayatkan oleh rawi daif yang menyalahi
riwayat orang tsiqah.13
Definisi tersebut sebenarnya dinukil dari
pakar hadis mutaqaddimîn, yakni Imam Muslim bin al-Hajjâj an-
Naisâbûrî (w. 261 h), hanya kemudian ditetapkan definisinya oleh
para pakar hadis muta’akhkhirîn.14
Berbeda dengan Imam Ahmad
bin Hanbal (w. 241 h) yang juga termasuk kelompok pakar hadis
mutaqaddimîn; beliau mendefinisikan munkar dengan suatu hadis
yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi, baik rawi itu tsiqah
maupun tidak.15
Dalam definisi yang lain munkar adalah suatu
hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi, baik menyalahi
riwayat orang lain maupun tidak, dan meskipun rawi itu tsiqah.16
Dengan berbedanya definisi di atas, maka para pengkaji
perlu melihatnya lebih jeli, apabila yang dimaksud munkar itu
menurut pakar hadis mutaqaddimîn semisal Imam Ahmad bin
Hanbal (w. 241 h), maka munkar tersebut dapat mencakup hadis
fard dan hadis syâdz, dan hukumnya sama dengan hadis gharîb
matnan wa isnâdan dan hadis fard muthlaq.17
Bila demikian,
13
Ibnu Hajar al-‘Asqalânî , Nukhbat al-Fikar, juz 1, hal. 1. 14
Mâjid ad-Darwîsy, al-Fawâ’id al-Mustamaddah, hal. 68. 15
Mâjid ad-Darwîsy, al-Fawâ’id al-Mustamaddah, hal. 65. Misalnya
ketika Imam Ibnu ‘Adî (w. 365 h) menjelaskan biografi ‘Abd ar-Rahmân bin
Abî al-Mawwâl yang sanadnya sampai kepada Abû Thâlib (murid Imam
Ahmad). Abû Thalib bertanya kepada Imam Ahmad tentang Ibnu Abî al-
Mawwâl. Imam Ahmad menjawab: “Ia tidak apa-apa (lâ ba’sa bihî). Ia pernah
dipenjara karena mendebat kaum Muktazilah yang menyakini Alquran sebagai
makhluk. Ia meriwayatkan hadis dari Ibnu al-Munkadir, dari Jâbir ra., dari
Nabi saw. tentang salat Istikharah. Hadis itu tidak ada yang meriwayatkan
selainnya. Dia munkar.” Aku berkata (Abû Thâlib): “Dia munkar?” Imam
Ahmad menjawab, “Benar, karena tidak ada yang meriwayatkan hadis itu
selainnya dan ia tidak apa-apa.” Ibnu ‘Adî al-Jurjânî, al-Kâmil fî Dhu’afâ’ ar-
Rijâl, Bab Man Ismuhû ‘Abd ar-Rahmân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1409 H/1988
M), juz 4, hal. 307. Imam adz-Dzahabî berkata: “Dia tsiqah masyhûr.” Lihat
adz-Dzahabî, Mîzân al-I’tidâl, (Beirût: Dâr al-Ma’rifah, t.th), juz 2, hal. 592. 16
Nûr ad-Dîn ‘Itr, Manhaj an-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, hal. 462. 17
Hadis fard adalah hadis yang rawinya menyendiri dengannya dari
segi apapun. Hadis fard lebih umum daripada hadis gharîb dan mencakup
11
maka hukum munkar adakalanya sahih, hasan, dan juga daif.
Namun apabila yang dimaksud menurut atau yang ditetapkan
para pakar hadis muta’akhkhirîn, maka hasilnya akan sangat daif,
karena rawinya daif, dan kedaifannya semakin bertambah karena
riwayatnya menyalahi atau menyelisihi orang-orang yang tsiqah.
Kemudian lagi misalnya dalam kasus term daif, yang
apabila kasus ini tidak dilihat proses sejarahnya, memungkinkan
munculnya kesimpangsiuran. Menurut Imam Ibnu Taimiyyah al-
Harrânî (w. 728 h), term daif dalam atau menurut peristilahan
ulama hadis mutaqaddimîn tidak sebagaimana term daif dalam
atau menurut peristilahan ulama hadis muta’akhkhirîn. Hal itu
beliau nilai dari salah satu pandangan Imam Ahmad (w. 241 h)
dan para ulama sebelumnya yang membagi hadis ke dalam dua
bagian, yaitu sahih dan daif. Hadis daif menurut mereka terbagi
ke dalam dua bagian, yaitu daif matrûk (yang tidak dapat
dijadikan hujjah) dan daif hasan (yang dapat dijadikan hujjah).18
Pada masa Imam at-Tirmidzî (w. 279 h), hadis terbagi ke
dalam tiga bagian, yaitu sahih, hasan, dan daif. Dan beliau dinilai
oleh Imam Ibnu Taimiyyah sebagai pelopor pembagian hadis
tersebut.19
Hadis hasan menurut Imam at-Tirmidzî adalah suatu
beberapa macam hadis yang tidak tercakup dalam hadis gharîb. Hadis fard ini
terdiri dari dua macam, yaitu fard muthlaq dan fard nisbî. Hadis fard muthlaq
adalah hadis yang rawinya menyendiri dengannya tidak seorang rawi lain pun
yang meriwayatkannya. Hadis fard muthlaq identik dengan hadis gharîb
matnan wa isnâdan, yaitu hadis yang tidak diriwayatkan kecuali dengan satu
jalur sanad, dan mencakup juga di dalamnya hadis syâdz dan juga hadis
munkar. Lihat Nûr ad-Dîn ‘Itr, Manhaj an-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, hal. 424. 18
Mâjid ad-Darwîsy, al-Fawâ’id al-Mustamaddah, cet. 1, hal. 139. 19
Pendapat tersebut dinukil oleh Syaikh Muhammad Jamâl ad-Dîn al-
Qâsimî (w. 1332 h) dalam beberapa fatwa yang berasal dari Imam Ibnu
Taimiyyah. Lihat Muhammad Jamâl ad-Dîn al-Qâsimî, Qawâ’id at-Tahdîts
min Funûn Mushthalah al-Hadîts, hal. 56. Dalam pendapat lain, Imam al-
‘Irâqî (w. 806 h) mengatakan bahwa yang pertama kali membagi hadis ke
dalam tiga bagian adalah Imam al-Khaththâbî (w. 388 h), dimana beliau
12
hadis yang mempunyai jalur banyak dan tidak ditemukan di
dalamnya rawi yang diduga berbohong dan tidak rancu.”20
Istilah
hasan inilah yang disebut daif oleh Imam Ahmad sebagaimana
dipahami oleh Imam Ibnu Taimiyyah. Jadi, bukan daif matrûk,
tetapi daif hasan yang dapat dijadikan sebagai hujjah. Oleh
karena itu, Imam Ibnu Taimiyyah berkesimpulan bahwa istilah
hasan belum dikenal sebelum masa Imam at-Tirmidzî.21
Hanya
saja pendapat ini dinilai kurang tepat, karena istilah hasan
sebenarnya telah menjadi diskusi hangat pada masa Imam Ahmad
dan ulama-ulama hadis sebelum Imam at-Tirmidzî dan bahkan
telah digunakan oleh mereka dalam menilai suatu hadis.
Di antara ulama tersebut adalah: Imam Mâlik bin Anas
(w. 179 h),22
Imam Muhammad bin Idrîs asy-Syâfi’î (w. 204 h),23
Imam Abû Zur’ah ar-Râzî (w. 264 h),24
Imam ‘Alî bin al-Madînî
mengatakan; “Saya tidak menemukan ada seorang ulama yang membagi hadis
ke dalam tiga bagian (tersebut) sebelum Imam al-Khaththâbî.” Lihat Zain ad-
Dîn al-‘Irâqî, at-Taqyîd wa al-Îdhâh Syarh Muqaddimah Ibn ash-Shalâh,
(Madînah: al-Maktabah as-Salafiyyah, 1389 H/1969 M), juz 1, hal 19. 20
Ibnu ash-Shalâh, Muqaddimah Ibnu ash-Shalâh, cet. 2, hal. 50. 21
Ibnu Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ, juz 1, hal. 252. 22
Imam Ibnu Abî Hâtim ar-Râzî (w. 327 h) mengutip perkataan Imam
Mâlik (w. 179 h) mengenai kualitas hadis yang bersumber dari sahabat mulia
al-Mastûrad bin Saddâd ra. tentang menyela-nyela jari kaki dalam berwudu.
Imam Mâlik lalu berkata: “Sungguh hadis ini hasan” (inna hadzâ al-hadîts
hasan). Hadis ini juga diriwayatkan ashshâb as-sunan al-arba’ah. Lihat Ibnu
Abî Hâtim ar-Râzî, Muqaddimah al-Jarh wa at-Ta’dîl, (tp. t.th), juz 1, hal. 27. 23
Imam Zain ad-Dîn al-‘Irâqî (w. 806 h) mengatakan: “Saya tidak
menemukan ada seorang ulama yang membagi hadis ke dalam tiga bagian
(sahih, hasan, dan daif) sebelum Imam al-Khaththâbî (w. 388 h). Meskipun
dalam perbincangan ulama mutaqqadimîn telah disebutkan istilah hasan dan
itu terdapat dalam pendapat Imam asy-Syâfi’î, Imam al-Bukhârî, dan para
imam lainnya.” Zain ad-Dîn al-‘Irâqî, at-Taqyîd wa al-Îdhâh, juz 1, hal 19. 24
Imam Abû Zur’ah ar-Râzî adalah guru dari Imam Abû Hâtim ar-
Râzî, Imam Muslim bin al-Hajjâj an-Naisâbûrî, Imam at-Tirmidzî, Imam an-
Nasâ’î, Imam Ibnu Mâjah al-Qazwînî. Imam Ibnu Abî Hâtim ar-Râzî ketika
menjelaskan biografi ‘Abdullâh bin Shâlih (sekertaris Imam al-Laits) bertanya
kepada Imam Abû Zur’ah, ia berkata: “Saya tidak mempunyai pendapat dari
orang yang menilainya berdusta, ia adalah orang yang hadisnya bagus (wa
kana hasan al-hadîts). Ibnu Abî Hâtim, al-Jarh wa at-Ta’dîl, juz 5, hal. 87.
13
(w. 234 h),25
Imam Abû Dâwûd at-Thayâlisî (w. 204 h),26
Imam
Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî (w. 256 h),27
Imam Abû al-
Hasan al-‘Ijlî (w. 261 h),28
Imam Muhammad bin ‘Abdullâh bin
Numair (w. 234 h),29
Imam Abû Hâtim ar-Râzî (w. 277 h),30
dan
bahkan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 h) sendiri telah
mengenal dan menggunakan istilah hasan.31
Kemudian lagi misalnya dalam kasus istilah maqthû’.
Istilah tersebut dalam prosesnya mengalami pergeseran makna.
25
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalânî (w. 852 h) mengatakan: “Imam ‘Alî
bin al-Madînî (w. 234 h) adalah orang yang paling banyak menyifati hadis-
hadis dengan istilah sahih dan hasan dalam Musnad dan ‘Illal-nya.” Lihat Ibnu
Hajar al-‘Asqalânî, an-Nukat ‘alâ Kitâb Ibn ash-Shalâh, juz 1, hal. 144. 26
Al-Hâfizh Shafiyy ad-Dîn al-Khazrajî al-Anshârî (w. 923 h) ketika
menjelaskan biografi Qais bin ar-Rabî’ mengutip pendapat Imam Abû Dâwûd
ath-Thayâlisî (w. 204 h) yang mengatakan bahwa Qaîs bin ar-Rabî’ adalah
orang yang terpercaya (kredibel) dan hadisnya bagus (tsiqatun hasan al-
hadîts). Lihat Shafiyy ad-Dîn Ahmad bin ‘Abdullâh al-Khazrajî al-Anshârî,
Khulâshah Tahdzîb Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ ar-Rijâl, Editor: ‘Abd al-Fattâh
Abû Ghuddah, (Beirût: Dâr al-Basyâ’ir, 1416 H), juz 1, hal. 317. 27
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalânî (w. 852 h) mengutip pendapat Imam
Abû ‘Îsâ at-Tirmidzî (w. 279 h) yang bertanya tentang keadaan hadis dari
Shafwân bin ‘Assâl dan Abû Bakrah kepada gurunya, yakni Imam al-Bukhârî
(w. 256 h). Kemudian Imam al-Bukhârî menjawab: “Hadis dari Shafwân bin
‘Assâl kualitasnya sahih, dan hadis dari Abû Bakrah kualitasnya hasan.” Lihat
Ibnu Hajar al-‘Asqalânî , an-Nukat ‘alâ Kitâb Ibn ash-Shalâh, juz 1, hal. 427. 28
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalânî (w. 852 h) dalam karyanya Tahdzîb
at-Tahdzîb mengutip pendapat Imam Abû al-Hasan al-‘Ijlî (w. 261 h) tentang
al-Aswad bin Qais al-‘Abdî yang mengatakan: “Ia seorang yang terpercaya
dan hadisnya bagus (tsiqatun hasan al-hadîts). Lihat Ibnu Hajar al-‘Asqalânî,
Tahdzîb at-Tahdzîb, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1404 H) cet. 1, juz 1, hal. 146. 29
Imam Muhammad bin ‘Abdullâh an-Numair (w. 234 h) adalah guru
dari guru-guru Imam Abû Îsâ at-Tirmidzî (w. 279 h). Imam Ibnu Sayyid an-
Nâs (w. 734 h) ketika menjelaskan sosok Ibnu Ishâq mengutip Imam an-
Numair yang mengatakan: “Ibnu Ishâq hadisnya baik, ia orang jujur (hasan al-
hadîts shadûq).” Lihat Ibnu Sayyid an-Nâs, ‘Uyûn al-Atsâr fî Funûn al-
Maghâzî wa as-Siyar, (Beirût: Mu’assasah ‘Izz ad-Dîn, 1406 H), juz 1, hal. 19. 30
Imam Ibnu Abî Hatim (w. 327 h) ketika menjelaskan sosok Ibrâhîm
bin Yûsuf asy-Sya’bî mengatakan: “Aku mendengar ayahku berkata: “Ibrâhîm
bin Yûsuf hadisnya ditulis dan hadisnya bagus (yuktabu hadîtsuhû wa huwa
hasan al-hadîts).” Lihat Ibnu Abî Hâtim, al-Jarh wa at-Ta’dîl, juz 2, hal. 148. 31
Dalam suatu kesempatan, Imam Abû Bakar Ahmad bin Muhammad
al-Atsram (w. 273 h) murid daripada Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 h)
bertanya tentang sosok Muhammad bin Ishâq, kemudian Imam Ahmad
menjawab: “Dia hadisnya bagus (huwa hasan al-hadîts).” Lihat Ibnu Sayyid
an-Nâs, ‘Uyûn al-Atsâr fî Funûn al-Maghâzî wa as-Siyar, juz 1, hal. 18.
14
Istilah maqthû’ yang dikenal sekarang dalam pengertiannya yang
telah baku adalah suatu hadis yang sampai kepada tabiin baik
ucapan maupun perbuatannya, ternyata dalam pandangan Imam
Muhammad bin Idrîs asy-Syâfi’î (w. 204 h) dan Imam Abû al-
Qâsim ath-Thabarânî (w. 360 h) adalah munqathi’,32
yang dikenal
sekarang sebagai hadis yang terputus atau gugur salah seorang
perawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat
dengan catatan perawi yang gugur di setiap tempat itu tidak lebih
dari satu orang dan tidak terjadi di awal sanad.33
Di pihak lain,
Imam Ibnu ‘Abd al-Barr (w. 463 h) memaknai munqathi’ dengan
hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik hadis itu yang
disandarkan kepada Rasulullah saw. maupun kepada selainnya.34
Definisi yang dikemukakan oleh Imam Ibnu ‘Abd al-Barr
ini cenderung umum karena mencakup semua hadis yang terputus
jalur sanadnya. Dari itu, maka tidak ada bedanya dengan istilah-
istilah lain yang sama-sama gugur atau terputus jalur sanadnya.
Adapun definisi yang pertama jelas menjadikan istilah munqathi’
berbeda dengan definisi istilah-istilah yang lain yang sama-sama
terputus jalur sanadnya. Dengan pencantuman kata-kata, “salah
seorang perawinya” definisi ini berarti tidak mencakup hadis
mu’dhal; dengan kata-kata, “sebelum sahabat” definisi ini berarti
tidak mencakup hadis mursal; dan dengan kata-kata, “tidak pada
awal sanad” definisi ini berarti tidak mencakup hadis mu’allaq.35
Di sisi lain, ada seorang ulama yang bernama Imam Abû
Bakar Ahmad bin Hârûn al-Bardîjî al-Barda’î (w. 301 h) yang
justru menjadikan istilah munqathi’ sebagai perkataan seorang
32
Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl Ibnu Katsîr ad-Dimasyqî, al-Bâ’its al-Hatsîts
Syarh Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadîts, (tp. t.th), juz 1, hal. 6. 33
Nûr ad-Dîn ‘Itr, Manhaj an-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, hal. 424. 34
Ibnu ‘Abd al-Barr, Muqaddimah at-Tamhîd, juz 1, hal. 21. 35
Nûr ad-Dîn ‘Itr, Manhaj an-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, hal. 424.
15
tabiin.36
Hal ini bila dipahami secara sepihak, boleh jadi akan
menimbulkan kerancuan. Meski demikian, Imam Jalâl ad-Dîn as-
Suyûthî (w. 911 h) dalam Tadrîb-nya mengonfirmasi bahwa
penggunaan istilah maqthû’ yang dalam pandangan kedua imam
tersebut merupakan munqathi’ dikarenakan belum adanya istilah
baku pada masa tersebut yang menjelaskan keduanya secara
independen (mustaqill).37
Proses-proses inilah yang menurut
hemat penulis perlu diteliti dan dikaji asal-asulnya dalam tesis ini.
Berikutnya, selain keterkaitan masing-masing definisi,
juga keterkaitan masing-masing istilah, dimana misalnya para
ahli hadis mutaqaddimîn menemukan bahwa di antara unsur yang
membuat suatu hadis itu daif adalah as-saqth fî ar-râwî (gugur
atau terputusnya rawi). Sementara para ahli hadis muta’akhkhirîn
meneliti lebih lanjut fakta di lapangan dan lantas mereka
menemukan ternyata saqth itu beragam wajah; ada yang saqth-
nya satu rawi, dua rawi berturut-turut, atau tidak berturut-turut,
dan bahkan ada yang saqth rawinya disamarkan. Oleh karena
banyaknya model saqth ini, maka para ahli hadis muta’akhkhirîn
secara kreatif membagi kasus-kasus tersebut ke dalam term-term
tersendiri. Pembagian term-term ini sangatlah penting, selain
menentukan kehujjahan masing-masing hadis yang diistilahkan
berdasarkan ketersambungan sanad, juga semakin mematangkan
kajian ilmu hadis itu sendiri dalam lingkupnya yang lebih luas.
Dalam pada itu, apabila merunut pada teori sejarah yang
menuntut adanya strukturisasi sebuah asal-asul, maka suatu
peristiwa tidak bisa terlepas dari kaitannya dengan kejadian di
awal, dimana ilmu hadis dalam pengertiannya yang belum luas
36
As-Sakhâwî, Fath al-Mughîts, cet. 1, hal. 55. 37
As-Suyûthî, Tadrîb ar-Râwî, juz 1, hal. 158.
16
telah muncul pada abad pertama hijriah. Dan baru pada abad
kedua hijriah muncul beberapa kajian dari para pakar mushthalah
sebagai respon terhadap suatu kasus yang terjadi dan berkembang
pada masa tersebut, yang hasilnya melahirkan beberapa istilah
dan teori baru dalam disiplin ilmu hadis sebagaimana dijelaskan
di atas, meskipun masih sebatas oral atau dari mulut ke mulut.38
Berbeda dengan Nûr ad-Dîn ‘Itr (w. 1442 h/2020 m) yang
berpendapat bahwa istilah-istilah dalam ilmu hadis sebenarnya
telah muncul sebelum penghujung abad pertama hijriah. Ia
berkata bahwa di antara istilah-istilah yang telah muncul sebelum
penghujung abad pertama tersebut adalah: marfû’, mauqûf,
maqthû’, muttashil, mursal, munqathi’, dan mudallas. 39
Pendapat
ini bagi penulis masih menyisakan tanda tanya, sebab ia tidak
memunculkan data kasus yang mengarah pada lahirnya istilah-
istilah tersebut, siapa saja aktor-aktornya, bagaimana kondisi
ketika istilah-istilah itu muncul, apakah terjadi silang pendapat?
Dengan munculnya perbedaan tersebut dan dengan
adanya dugaan akan maksud istilah-istilah yang digunakan para
pakar mushthalah awal tidak sebagaimana maksud para pakar
mushthalah akhir, menjadikan penulis memandang perlu meneliti
dan mengkaji persoalan ini dalam perspektif sejarah; mulai asal-
usul istilah itu muncul, perbedaan istilah yang digunakan para
ulama, beragamnya pemahaman mereka dalam mendefinisikan
suatu istilah hingga tahapan penghalusan istilah-istilah tersebut;
tahapan dimana telah menjadi disiplin ilmu yang mapan dan
matang. Dengan harapan menemukan strukturisasi pemahaman
antara para pakar hadis mutaqaddimîn yang karena kebutuhannya
38
Mâjid ad-Darwîsy, al-Fawâ’id al-Mustamaddah, cet. 1, hal. 59. 39
Nûr ad-Dîn ‘Itr, Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, hal. 25-62.
17
saat itu belum mampu mengakomodir kasus-kasus yang
ditemukan kemudian oleh para pakar hadis muta’akhkhirîn,
sehingga bila dibandingkan dan tanpa diteliti lebih lanjut seolah-
olah maksud dan definisi yang dimunculkan oleh para pakar
hadis mutaqaddimîn tidak terlihat jâmi’ mâni’,40
bahkan seolah-
olah berlawanan dengan definisi para pakar hadis muta’akhkhirîn.
Namun bila disadari kebutuhannya saat itu dapat dikategorikan
jâmi’ mâni’, karena selaras atau sejalan dengan kasus yang
terjadi. Baru kemudian kasus-kasus itu meluas bersamaan dengan
munculnya kasus-kasus baru, maka dikembangkanlah oleh para
pakar hadis muta’akhkhirîn yang memang di tangan merekalah
definisi-definisi dan term-term dalam ilmu hadis itu mapan dan
matang. Maka dari uraian di atas, penulis berkesimpulan untuk
meneliti kasus-kasus berikutnya dan menetapkan kajian ini
dengan tema: “Sejarah Terminologi-terminologi dalam Ilmu Hadis.”
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah sebagaimana telah
dipaparkan di atas, muncullah beberapa pertanyaan khusus dan
mendasar yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1- Apa terminologi-terminologi dalam ilmu hadis itu?
2- Bagaimana sesungguhnya sejarah terminologi-terminologi
dalam ilmu hadis itu?
40
Istilah jâmi’ mâni’ adalah suatu istilah untuk sebuah batasan (al-
had), dimana di dalamnya terangkum suatu jenis (macam) dan fashl (pemisah).
Dari jenis (macam) tersebut terangkum suatu keumuman dan penghimpunan.
Dan dari fashl (pemisah) terangkum suatu kekhususan dan pencegahan
(masuknya persoalan lain ke dalamnya). Selengkapnya lihat Muhammad bin
al-Hasan ash-Shâyigh, al-Lamhah fî Syarh al-Milhah, Editor: Ibrâhîm bin
Sâlim Shâ’idiy, (al-Madînah al-Munawwarah: tp. 1424 H/2004 M), hal. 22.
18
3- Bagaimana progresivitas, perdebatan, dan argumentasi
para pakar mushthalah terkait terminologi-terminologi
dalam ilmu hadis yang menjadi penelitian dalam tesis ini?
2. Pembatasan Masalah
Mengingat term-term atau istilah-istilah dalam ilmu hadis
sangatlah banyak, maka dari persoalan-persoalan yang muncul,
penulis membatasi pembahasannya hanya dalam istilah-istilah
yang digunakan oleh para pakar mushthalah dalam menentukan
kualitas hadis, yaitu istilah sahih, hasan, daif, dan termasuk
istilah-istilah yang dikategorikan daif baik dari sisi terputusnya
sanad (saqth fî ar-râwi) maupun cacatnya rawi (tha’n fî ar-râwî).
Istilah dalam kategori terputusnya sanad terbagi ke dalam
dua macam, yaitu istilah-istilah yang terputus secara nyata atau
jelas (saqth zhâhîr) dan istilah-istilah yang terputus secara samar
(saqth khafiy). Istilah-istilah yang terputus secara nyata (saqth
zhâhîr) terbagi ke dalam empat macam, yaitu mu’allaq, mu’dhal,
munqathi’, mursal, ditambah di dalamnya istilah mursal shahâbî.
Adapun istilah-istilah yang terputus secara samar (saqth khafiy)
terbagi ke dalam dua macam, yaitu mudallas dan mursal khafiy.
Untuk istilah-istilah dalam kategori cacatnya perawi adalah
maudhû’, matrûk, munkar, mu’all, perselisihan riwayat dengan
rawi tsiqah; mudraj, mudhtharib, maqlûb, mushahhaf, al-mazîd fî
muttashil al-asânîd, syâdz, al-jahâlah, al-bid’ah, dan sû’ al-hifzh.
Pembatasan istilah-istilah tersebut dimaksudkan untuk
mempertajam kembali pemahaman disiplin keilmuan hadis dari
sisi kehujjahan hadis itu sendiri, apakah diterima atau tidak, dan
apakah dapat diamalkan atau tidak. Hal ini dirasa penting, karena
perhatian sebagian penggiat hadis baik formal maupun non
formal, selain tertuju pada aspek kualitas hadis, juga penerimaan
19
secara instan dari pustaka-pustaka hadis yang ada lebih menonjol.
Akibatnya sebagian mereka tidak dapat membedakan keterkaitan
pemahaman antara ulama hadis mutaqqaddimîn dan ulama hadis
muta’akhkhirîn seperti telah dipaparkan di atas dalam beberapa
sisi muncul beberapa perbedaan baik dalam soal istilah itu sendiri
maupun dalam soal pendefinisian. Perbedaan-perbedaan itu tentu
akan berimplikasi signifikan pada kualitas hadis yang dinilai.
Ketika kondisi ini diabaikan, maka tidak menutup kemungkinan
akan terjadinya kesalahpahaman dalam membaca dan memahami
pustaka-pustaka hadis atau teks-teks hadis yang ada itu. Maka
penelitian dari sisi sejarah akan dapat membantu memberi solusi
terhadap persoalan-persolan tersebut tanpa mengabaikan istilah-
istilah lain dalam ilmu hadis yang memang banyak dan beragam.
3. Rumusan Masalah
Dengan beberapa pertimbangan dari beberapa pertanyaan
di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan
menjadi pokok penelitian tesis ini dengan dua pertanyaan berikut:
1. Bagaimana sejarah term-term dalam ilmu hadis itu?
2. Bagaimana progresivitas, perdebatan, dan argumentasi
yang dikemukakan para pakar mushthalah di dalamnya?
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Sejauh penelitian penulis mengenai kajian ini, belum
ditemukan suatu kajian yang secara khusus mengkaji sejarah
munculnya terminologi-terminologi dalam ilmu hadis secara
menyeluruh terutama dalam bentuk tesis atau disertasi. Hanya
saja penulis menemukan beberapa kutipan singkat dalam karya-
karya ulama kontemporer seperti karya Syaikh Nûr ad-Dîn ‘Itr
(w. 1442 h/2020 m) yaitu, “Manhaj an-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts.”
20
Dalam karya tersebut sebagaimana disinggung secara singkat di
awal, bahwa Nûr ad-Dîn ‘Itr berpendapat: “Sebenarnya term-term
dalam ilmu hadis itu telah muncul sebelum penghujung abad
pertama hijriah. Term-term itu adalah, marfû’, mauqûf, maqthû’,
muttashil, mursal, munqathi’, mudallas. Dan masing-masing dari
jenis term tersebut terbagi ke dalam dua bagian; Pertama,
maqbûl, yaitu hadis yang pada perkembangan berikutnya disebut
dengan hadis sahih dan hadis hasan. Kedua, mardûd, yaitu hadis
yang pada perkembangan berikutnya disebut dengan hadis daif
berikut tingkatan-tingkatan di dalamnya.”41
Bagi penulis sendiri,
munculnya istilah-istilah yang dikemukakan oleh Nûr ad-Dîn ‘Itr
tersebut masihlah menyisakan tanda tanya, mengingat ia tidak
memunculkan data kasus yang mengarah pada lahirnya istilah-
istilah tersebut; siapa saja aktor-aktornya, bagaimana kondisi
historis saat istilah-istilah itu muncul, apakah terjadi silang
pendapat di kalangan ulama, dan seterusnya. Dalam hal ini,
penulis mencoba menganalisis kebenaran pendapat tersebut, bisa
dalam bentuk memperkuat, menambah, atau juga mengkritiknya.
Kemudian penulis menemukan karya Syaikh ‘Abd al-
Fattâh Abû Ghuddah (w. 1417 h/1997 m) yang sebelumnya
merupakan tulisan rampai yang disusun kembali oleh Syaikh
Majîd Ahmad ad-Darwisy, lalu ia memberi judul karya tersebut
dengan, “al-Fawâid al-Mustamaddah min Tahqîqât al-‘Allâmah
asy-Syaikh ‘Abd al-Fattâh Abû Ghuddah fî ‘Ulûm al-Hadîts.”
Dalam kaitannya dengan pembahasan istilah-istilah dalam ilmu
hadis, kitab ini pun terlihat umum. Namun secara apik terbahas di
dalamnya tiga istilah dalam ilmu hadis yang dilihat dari sisi
kualitasnya, yaitu istilah sahih, hasan, dan daif. Sayang kajian
41
Nûr ad-Dîn ‘Itr, Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, hal. 25-62.
21
tersebut tidak berlanjut hingga pada tingkatan-tingkatan daifnya.
Namun demikian, kitab ini telah menyuguhkan perdebatan yang
lumayan dinamis terkait tiga istilah tersebut, meski tidak secara
detail menyinggung aspek historitasnya. Juga sedikit banyak
memberikan gambaran kepada penulis untuk mengkaji lebih
lanjut istilah-istilah berikutnya atau dalam hal ini istilah-istilah
dalam tingkatan daif yang belum terbahas di dalamnya dengan
metode yang berbeda dan menambah sisi-sisi kekurangannya.
Kemudian kitab “al-Manhaj al-Muqtarah li Fahm al-
Mushthalah” karya Syaikh Hâtim bin ‘Ārif al-‘Aunî asy-Syarîf.
Karya ini menjelaskan sedikit tentang proses perkembangan
istilah dari masa ke masa, tetapi pembahasannya berhenti pada
penghujung abad ketiga hijriah. Hal itu boleh jadi karena
penulisnya memahami puncak kesempurnaan ilmu hadis terjadi
pada abad itu, sehingga ia memahami batas pemisah antara ulama
hadis mutaqaddimîn dan ulama hadis muta’akhkhirîn adalah
penghujung abad ketiga hijriah. Adapun ulama setelahnya yang
berarti ulama hadis muta’akhkhirîn bagi sebagian yang
memahaminya demikian hanya mengikuti apa yang telah
dirumuskan para ulama abad tersebut. Persoalan batas pemisah
antara kedua kurun tersebut juga menjadi perdebatan panjang dan
muncul beragam versi sebagaimana dijelaskan di awal. Namun,
dalam hal ini penulis mengikuti pendapat Imam Ibnu Hajar al-
‘Asqalânî (w. 852 h), dimana menurutnya batas pemisah antara
ulama hadis mutaqaddimîn dan ulama hadis muta’akhkhirîn
adalah penghujung abad kelima hijriah. Dalam catatan kaki yang
telah dijelaskan di awal, Syaikh Hamzah al-Malîbârî menjelaskan
bahwa perbedaan mencolok dari kedua masa tersebut sebenarnya
bukan semata-mata karena faktor masanya, tetapi lebih kepada
22
metodologi (manhaj) yang dikembangkan. Dan pembahasan awal
dalam ilmu hadis yang membedakan metodologi antara kedua
masa tersebut adalah pembahasan tantang istilah sahih yang
dikemukakan oleh Imam Ibnu ash-Shalâh (w. 643 h), yaitu hadis
yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang
adil dan dhâbith, dari rawi yang adil dan dhâbith (juga), hingga
akhir sanad, dan hadis itu tidak rancu (syâdz) serta tidak
mengandung cacat (‘illat). Dari definisi ini, Imam Ibnu ash-
Shalâh memberi isyarat atas manhaj atau metodologi ulama hadis
ketika ia mengatakan; “Inilah hadis yang dihukumi kesahihannya,
dan tidak ada ulama yang berselisih atasnya (disepakati).” Hal ini
kemudian diikuti oleh setiap ulama setelahnya yang menulis
tentang ilmu hadis secara umum dan mereka bersepakat bahwa
definisi tersebut merupakan definisi yang dimiliki oleh ulama
hadis dan menjadi manhaj mereka bukan manhaj yang lainnya,
baik dari ulama fikih maupun ulama usul fikih. Hal ini karena
para ulama fikih dan ulama usul fikih tidak menyaratkan dalam
pandangan term sahih mereka terhindar dari kerancuan (syâdz)
ataupun (‘illat) sebagaimana disepakati oleh para ulama hadis.
Dari sini penulis memahami bahwa kesempurnaan ilmu
hadis terjadi di tangan para ulama hadis muta’akhkhirîn yang
diawali oleh Imam Ibnu ash-Shalâh dengan manhaj sahih-nya
tersebut. Batasannya adalah dari penghujung abad kelima hijriah
(awal abad keenam hijriah) hingga awal abad kesepuluh hijriah
sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalânî
(w. 852 h) di awal, dimana abad setelahnya dinilai oleh para
ulama sebagai masa kebekuan dan kejumudan (‘ashr ar-rukûd wa
al-jumûd). Jadi, pendapat yang menyatakan bahwa abad ketiga
hijriah ilmu hadis telah mencapai kesempurnaan kuranglah tepat.
23
D. Tujuan Penelitian
Ada dua tujuan dalam tesis ini, tujuan umum dan khusus.
Tujuan umumnya adalah mengetahui dan memahami bagaimana
sebenarnya asal-usul term-term dalam ilmu hadis itu dilihat dari
sejarahnya, lalu bagaimana perdebatan dan argumentasi para
ulama di dalamnya hingga menjadi disiplin ilmu yang mapan dan
dijadikan rujukan. Adapun tujuan khususnya adalah berupaya
mencari jawaban dari pertanyaan sebagaimana rumusan masalah.
E. Signifikansi Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang dijelaskan di atas,
maka penelitian ini secara teoritis mampu berkontribusi dalam
memetakan aspek historitas, asal-asul, dan perkembangan term-
term dalam ilmu hadis dari awal munculnya hingga menjadi
disiplin ilmu yang mapan dan kaya metodologi. Selain itu,
penelitian ini dapat memberikan gambaran epistemologi ilmu
hadis secara komperhensif dan holistik bagi para akademisi,
khususnya bagi komunitas pengkaji hadis dan ilmu hadis, baik
formal maupun non formal. Selain itu, secara praktis penelitian
ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih ilmiah dan
inspirasi positif bagi kalangan intelektual muslim yang
signifikansinya besar terhadap penggiat hadis dan ilmu hadis,
khususnya yang terfokus pada studi sejarah term-term ilmu hadis.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini murni studi kepustakaan (library research).
Objek material penelitiannya adalah karya-karya yang membahas
tentang ilmu hadis dari masa klasik hingga modern. Adapun
objek formalnya berhubungan dengan term-term dalam ilmu
hadis dan sejarah yang mengiringi perkembangan term-term
24
tersebut. Ditinjau dari jenis penelitiannya, maka penelitian ini
termasuk penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata yang tertulis dari objek yang diamati. Adapun
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sejarah (historical
approach), semantik (‘ilm ad-dilâlah), dan ilmu hadis itu sendiri.
Pendekatan sejarah bertujuan untuk mengetahui dan atau
memahami serangkaian peristiwa sejarah dari data yang ada dan
menemukan periodisasi asal-usul munculnya term-term tersebut.
Penulis membaginya menjadi tiga fase. Pertama, fase kelahiran
dan pertumbuhan; kedua, fase perkembangan; dan ketiga, fase
penyempurnaan. Fase kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan
penulis kelompokan ke dalam fase ahli hadis mutaqaddimîn dan
fase penyempurnaan ke dalam fase ahli hadis muta’akhkhirîn.
Pendekatan sejarah yang digunakan oleh para pakar hadis
dalam kaitannya dengan sejarah ilmu ini sangatlah beragam.
Misalnya pendekatan yang dikemukakan oleh Syaikh Nûr ad-Dîn
‘Itr (w. 1442 h), dimana ia membaginya menjadi tujuh tahapan,
yaitu: (1) Tahap kelahiran ilmu hadis; tahap ini berlangsung pada
masa sahabat hingga penghujung abad pertama hijriah. (2) Tahap
penyempurnaan ilmu hadis; berlangsung dari awal abad kedua
hijriah hingga awal abad ketiga hijriah. (3) Tahap pembukuan
ilmu hadis secara terpisah; berlangsung sejak abad ketiga hijriah
hingga pertengahan abad keempat hijriah. (4) Tahap penyusunan
kitab-kitab induk ilmu hadis dan penyebarannya; tahap ini
bermula pada pertengahan abad keempat hijriah dan berakhir
abad ketujuh hijriah. (5) Tahap kematangan dan kesempurnaan
pembukuan ilmu hadis; tahap ini bermula pada abad ketujuh
hijriah dan berakhir pada abad kesepuluh hijriah. (6) Masa
kejumudan; berlangsung dari abad kesepuluh hijriah sampai awal
25
abad keempat belas hijriah. (7) Tahap kebangkitan kedua; tahap
ini bermula dari abad keempat belas hijriah hingga sekarang.42
Namun tahapan-tahapan tersebut tidak memisahkan antara
ahli hadis mutaqaddimîn dan ahli hadis muta’akhkhirîn, dimana
hal itu sangatlah penting dalam kaitannya dengan perkembangan
disiplin ilmu ini. Selain itu, apabila dikaitkan dengan penelitian
penulis akan banyak pembahasan terulang, karena pembagian
tahapan tersebut lebih banyak menyoroti karya-karya para ulama.
Berikutnya pendekatan sejarah yang digunakan Yûsuf al-
‘Isy (w. 1967 m) sebagaimana dikutip Shubhî ash-Shâlih yang
membaginya dengan periode khusus yang diperkirakan sesuai
dengan perkembangan sosial politik Islam. Ia membagi periode
tersebut menjadi empat periode dan masing masing periode ia
batasi 40 tahun. Keempat periode tersebut adalah: (1) Masa Nabi
saw. dan sahabat-sahabat pertama; berakhir sekitar tahun 40
hijriah dengan berakhirnya masa khalifah yang empat. (2) Masa
pertama sahabat yang belakangan dan tabiin pertama berakhir
sekitar tahun 80 hijriah; pada tahun-tahun terakhir pemerintahan
‘Abd al-Malik bin Marwân (w. 86 h). (3) Masa tabiin yang
belakangan dan berakhir sekitar tahun 120 hijriah pada akhir
pemerintahan Hisyâm bin ‘Abd al-Malik bin Marwân (w. 125 h).
(4) Masa berikutnya sampai tahun 160 hijriah dan seterusnya.
Hanya saja pembagian periode ini mendapatkan kritikan
dari para pakar, dimana pembatasan yang hanya melingkupi
periodisasi sedikit banyak terkadang tidak sesuai dengan tahun
wafat sebagian perawinya, dimana hal ini penting dalam kajian
sejarah. Dengan demikian, pendapat ini kurang dapat diterima.43
42
Nûr ad-Dîn ‘Itr, Manhaj an-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 36-72. 43
Lihat Shubhî Shâlih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka
Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013 M), hal. 51.
26
Di sisi lain ada yang membaginya melalui pendekatan
tadwîn (kodifikasi) dengan tiga periode, yaitu: (1) Periode
sebelum kodifikasi (qabla at-tadwîn) yang dihitung sejak masa
Nabi saw. hingga tahun 100 hijriah. (2) Periode saat berlangsung
kodifikasi (‘inda at-tadwîn) sejak tahun 101 hijriah hingga akhir
abad ketiga hijriah. (3) Periode pasca kodifikasi (ba’da at-
tadwîn) yaitu sejak abad keempat hijriah hingga masa
terkoleksinya hadis dalam kitab-kitab hadis. Ada juga yang
merumuskannya dengan lima periode sebagaimana berikut: (1)
Periode keterpeliharaan hadis dalam hafalan pada abad pertama
hijriah. (2) Periode kodifikasi hadis dengan fatwa sahabat dan
tabiin berlangsung selama abad kedua hijriah. (3) Periode pen-
tadwîn-an dengan memisahkan hadis dari fatwa sahabat dan
tabiin. Hal ini berlangsung sejak awal abad ketiga hijriah. (4)
Periode seleksi kesahihan hadis. (5) Periode kodifikasi hadis
dengan tahdzîb atau sistematika penggabungan dan penyarahan.
Di mulai abad keempat hijriah. Hasbi ash-Shiddiqi (w. 1987 m)
menyimpulkannya melalui tujuh masa atau periode, dan saat ini
telah memasuki periode keenam. (1) Periode pertama, yaitu saat
wahyu turun dan pembentukan hukum dan dasar-dasarnya dari
permulaan kenabian hingga beliau wafat pada tahun 11 hijriah.
(2) Periode kedua, masa khalifah yang empat yang dikenal
dengan masa pembatasan riwayat. (3) Periode ketiga, masa
perkembangan riwayat yaitu masa sahabat kecil dan tabiin besar.
(4) Periode keempat, masa pembukuan hadis pada permulaan
abad kedua hijriah. (5) Periode kelima, masa pen-tashhîh-an dan
penyaringan pada awal abad ketiga. (6) Periode keenam, masa
memilah kitab-kitab hadis dan menyusun kitab-kitab jâmi’ yang
khusus; awal abad keenam sampai tahun 656 hijriah. (7) Periode
27
ketujuh, masa membuat syarah, kitab-kitab takhrij, pengumpulan
hadis-hadis hukum, dan membuat kitab-kitab jâmi’ yang umum.44
Namun, setelah penulis perhatikan dari semua pendekatan
sejarah yang dikemukakan ternyata berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Oleh karena itu, penulis dapat mengambil benang
merah dengan mengklasifikasikan pendekatan sejarah dalam
penelitian ini menjadi tiga periode, yaitu; (1) Periode kelahiran
dan pertumbuhan, dimulai dari masa Nabi saw., sahabat, dan
khalifah yang empat. (2) Masa perkembangan, dimulai dari masa
tabiin hingga penghujung abad kelima hijriah, dan (3) Masa
penyempurnaan, dimulai dari awal abad keenam hijriah hingga
abad kesepuluh hijriah. Dari masa kelahiran, pertumbuhan, serta
perkembangan, penulis mengelompokkannya ke dalam masa
ulama hadis mutaqaddimîn, sementara masa penyempurnaan
penulis mengelompokkannya ke dalam masa ulama hadis
muta’akhkhirîn. Penulis menilai, perpindahan antara kurun ulama
hadis mutaqaddimîn dan muta’akhkhirîn ini lebih kepada aspek
metodologi (manhaj) yang digunakan para ulama kedua kurun
tersebut, dimana batasan mutaqaddimîn adalah penghujung abad
kelima hijriah, dan setelah itu hingga abad kesepuluh hijriah
adalah kurun waktu ulama hadis muta’akhkhirîn. Sedangkan
setelah abad kesepuluh hijriah, penulis menilainya sebagai kurun
ulama hadis kontemporer. Dimana mereka hanya mengikuti dan
mengembangkan apa yang telah dirumuskan ulama sebelumnya.
Selanjutnya pendekatan semantik bertujuan mempelajari
makna suatu bahasa, baik dalam tataran mufradât (kosakata),
maupun tarâkib (struktur) terminologi-terminologi yang nanti
44
Selengkapnya lihat Muhammad Hasbi ash-Shiddiqi, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999 M), hal. 26.
28
akan dibahas. Semantik merupakan bagian dari ilmu linguistik
atau ‘ilm ad-dilâlah. Ruang lingkup kajian semantik berkisar
pada: (1) Ad-dâl (penunjuk, pemakna, lafaz,) dan al-madlûl (yang
ditunjuk, dimaknai, atau makna), serta hubungan simbolik di
antara keduanya, seperti refleksi sosial, psikologis, dan pemikiran
(significant, signifie, reference). (2) Perkembangan makna, sebab,
dan kaidahnya, dan hubungan kontekstual, dan situasional dalam
kehidupan, ilmu, dan seni. (3) Majâz (kiasan) berikut aplikasi
semantik dan stilistiknya. Ad-dâl adalah nilai bunyi atau bentuk
akustik, sedangkan al-madlûl adalah ide, isi pikiran dan gagasan.
Dalam linguistik di antara keduanya dikehendaki adanya tiga
syarat, yaitu: (1) Hubungan linguistik itu harus menunjukkan
makna. (2) Hubungan itu harus dipakai dalam masyarakat
linguistik yang memahaminya. (3) Hubungan itu menunjukkan
kepada sebuah sistem tanda (simbol) linguistik. Makna bahasa
terkait dengan lafaz (bentuk kata), struktur (tarkîb), dan konteks
(siyâq) situasi dan kondisi. Makna kata suatu bahasa tidak dapat
terpisah dari akar kata, penunjukan, dan konteks penggunaannya.
Oleh karena itu, dalam ilmu ini dijumpai setidaknya sembilan
teori tentang makna, yaitu: (1) An-Nazhariyah al-Isyâriyah,
adalah yang merujuk pada segitiga makna, yaitu ide-isi pikiran
(makna), simbol kata, alam nyata-dunia luar-rujukan. (2) An-
Nazhariyah at-Tashwwuriyah (teori konsepsional), yaitu teori
semantik yang memfokuskan kajian makna pada prinsip konsepsi
yang ada dalam pikiran manusia. (3) An-Nazhariyah as-Sulûkiyah
(teori behaviorisme); adalah teori semantik yang memfokuskan
kajian makna bahasa sebagai bagian dari perilaku manusia yang
merupakan manifestasi dari adanya stimulus dan respon. (4) An-
Nazhariyah as-Siyâqiyah (teori kontekstual); teori semantik yang
29
berasumsi bahwa sistem bahasa itu saling berkaitan satu sama
lain di antara unit-unitnya, dan selalu mengalami perubahan dan
perkembangan. (5) An-Nazhariyah at-Tahlîliyah (teori analitik)
adalah teori yang menitikberatkan pada analisis kata ke dalam
komponen-komponen. (6) An-Nazhariyah at-Taulîdiyah adalah
teori yang didasarkan pada asumsi bahwa otomatisasi generasi
atau pelahiran kalimat-kalimat yang benar itu dapat dilakukan
berdasarkan kompetensi pembicara atau penulis, dalam arti
kaidah bahasa yang benar yang ada dalam pikiran seseorang
dapat memproduksi berbagai kalimat yang tidak terbatas. (7) An-
Nazhariyah al-Wadh’iyah al-Manthîqiyah fî al-Ma’nâ (teori
situasional logis); teori ini didasarkan pada berbagai pandangan
filosofis, baik dari kalangan ahli bahasa, maupun kalangan ahli
logika; (8) An-Nazhariyah al-Brajmatiyah (teori pragmatisme),
yaitu sebuah teori atas dasar pengamatan langsung dan
kesesuaian makna dengan realitas empiris; (9) An-Nazhariyah
Moore-Quine, teori ini dipelopori oleh George Moorr dan M.V.
Quine, yang menitikberatkan pada tiga kriteria; kesepadanan,
tarjamah, dan sinonim.45
Berikutnya pendekatan ilmu hadis bertujuan menjaga
konsistensi tulisan agar tetap berbicara seputar ilmu ini. Adapun
sumber primer penelitiannya adalah kitab-kitab ilmu hadis yang
telah dibukukan dari abad keempat hijriah hingga abad ketujuh
hijriah, di antara kitab tersebut adalah: kitab “Ma’rifah Ulûm al-
Hadîts” karya Imam al-Hâkim an-Naisâbûrî (w. 405 h); kitab
“Ulûm al-Hadîts” karya Imam Ibnu ash-Shalâh (w. 643 h); kitab
“Tadrîb ar-Rawi” karya Imam as-Suyûthî (w. 911 h), kitab
45
Selengkapnya lihat Mohammad Matsna H.S. Orientasi Semantik
az-Zamaksyari, (Jakarta: Anglo Media, 1427 H/2006 M), hal. 3 – 26.
30
“Muqaddimah al-Jarh wa at-Ta’dîl” karya Imam Ibnu Hâtim ar-
Râzî (w. 327 h), dan sebagainya. Adapun sumber sekunder yang
menjadi rujukan di antaranya: kitab “Bulûgh al-Āmâl” karya
Mahmûd Ahmad Bakkâr; kitab “Lisân al-Muhadditsîn” karya
Khalâf Salâmah. Metode penulisan yang digunakan mengikuti
pedoman akademik Program Pascasarjana IIQ Jakarta 2011-2015.
G. Sistematika Logika Penulisan
Penelitian ini dirancang menjadi empat bab; bab pertama
mencakup penelitian tesis ini, permasalahan; (identifikasi,
pembatasan, dan perumusan masalah), dilanjutkan pemaparan
penelitian terdahulu yang relevan, tujuan penelitian, siginifikansi
penelitian, metodologi, dan sistematika logika penelitian. Bab
kedua berisi tentang kerangka konseptual, basis epistemologi
ilmu hadis, formulasi nalar ilmu hadis. Bab ketiga berbicara
tentang genealogi ilmu terminologi hadis dalam kontestasi
sejarahnya yang terangkum dalam tiga fase; fase pertama, fase
kelahiran dan pertumbuhan ilmu terminologi hadis, fase kedua
perkembangan ilmu terminologi hadis, ketiga penyempurnaan
ilmu terminologi hadis. Bab keempat menjelaskan progresivitas
terminologi-terminologi dalam ilmu hadis yang mencakup; term
sahih, hukum sahih, diskusi dan perdebatannya; term hasan dan
perdebatannya; diskursus term daif, pembagian khusus daif yang
terangkum dalam mardûd sebab gugurnya sanad dan cacatnya
rawi. Dan bab kelima tentang kesimpulan penelitian dan penutup.
Sistematika ini penulis rancang untuk memudahkan para
pembaca melihat dan memahami sejarah asal-usul munculnya
tem-term dalam ilmu hadis dari masa ke masa secara terstruktur
juga keterkaitan paham antara ulama hadis mutaqaddimîn dengan
31
ulama hadis muta’akhkhirîn terkait term-term tersebut hingga
menjadi mapan dan dijadikan rujukan umum di kalangan mereka.
294
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis jelaskan
sebelumnya, maka penulis berkesimpulan:
1. Secara historis, term-term yang dijelaskan merupakan
dengan praktik-praktik yang perpanjangan dari praktik-
praktik yang pernah dilakukan Rasulullah saw. dan para
sahabatnya dalam menyikapi suatu berita atau hadis
dengan segala problematikanya. Inilah yang penulis sebut
dengan kesinambungan paham antara mereka dalam
merumuskan term-term tersebut pernah dilakukan
Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Di antaranya: (1)
Ungkapan tashdîq dan takdzîb; kedua ungkapan tersebut
merupakan ungkapan dari praktik awal dalam menyikapi
suatu berita. Jika berita itu benar, maka dikatakan
shadaqta (engkau benar). Namun jika tidak benar, maka
dikatakan kadzabta (engkau dusta). Ungkapan tashdîq
kemudian menjadi basis dalam merumuskan term-term
dalam kategori hadis yang diterima dengan membawahi
term shahîh, hasan, shahîh li ghairihî, hasan li ghairihî;
atau dalam ungkapan Imam asy-Syâfi’î (w. 204 h) disebut
dengan maqbûl al-khabar. Dan ungkapan takdzîb
kemudian menjadi basis dirumuskannya term-term yang
masuk dalam kategori hadis yang tidak dapat diterima
dengan membawahi term daif beserta bagian-bagiannya;
atau dalam ungkapan Imam asy-Syâfi’î disebut dengan
mardûd al-khabar. (2) Ungkapan seperti rajul shâlih
(orang yang saleh), ni’ma ar-rajul (sebaik-baik orang),
295
dan bi’sa ar-rajul (seburuk-buruk orang); merupakan
ungkapan yang ditujukan untuk menilai keadaan
seseorang. Penilaian seperti ini kemudian memunculkan
term-term dalam ilmu hadis yang berkaitan dengan
penilaian baik (ini masuk kategori sahih atau hasan) dan
penilaian buruk (cacat) terhadap rawi (tha’n fî ar-râwî),
seperti term munkar, matrûk, mudhtharib. (3) Ungkapan
rajul (seorang laki-laki), imra’ah (seorang perempuan),
a’rabiy” (seorang Badui), atau sejenisnya, merupakan
ungkapan-ungkapan yang kemudian hari melahirkan term
dalam ilmu hadis yang disebut dengan al-jahâlah bi ar-
râwî (tidak diketahuinya sosok atau identitas seorang
perawi hadis). (4) Upaya pemeriksaan berita sebagaimana
dilakukan ‘Umar ra (w. 23 h) terhadap berita yang datang
dari tetangganya terkait rencana penyerangan pasukan
Gassan. Praktik ini kemudian memunculkan ilmu kritik
materi hadis (naqd matn al-hadîts), apakah berita itu
selamat dari cacat (‘illat) atau terdapat cacatnya; yang
selanjutnya melahirkan term mu’all. (5) Praktik
pemberitaan terputus sebagaimana dilakukan para sahabat
muda; praktik seperti ini kemudian memunculkan term-
term dalam ilmu hadis kategori hadis-hadis yang ditolak
sebab gugurnya sanad, seperti term munqathi’, mu’dhal,
mursal, mu’allaq, mudallas. (6) Praktik penghadiran
saksi, pemberian bukti, dan sumpah sebagaimana
dilakukan khalifah yang empat; upaya-upaya mereka
kemudian melahirkan term dalam ilmu hadis yang disebut
syâwâhid dan tawâbi’; dan darinya kemudian lahir term
shahîh li ghairihî dan hasan li ghaîrihî. (7) Upaya
296
pelurusan dan perbandingan riwayat sebagaimana yang
dilakukan sahabat ‘Umar ra. (w. 23 h) terhadap berita
yang datang dari Fâthimah binti Qais ra. terkait talak
suaminya. Kemudian yang dilakukan ‘Ā’isyah (w. 58 h)
terhadap berita yang datang dari ‘Umar ra. terkait
disiksanya mayit sebab tangisan seseorang. Setelah
dibandingkan dan diluruskan, ternyata berita-berita
tersebut tidaklah benar. Upaya ini kemudian melahirkan
term mukhâlafâh ats-tsiqât yang terbahas di dalamnya
term syâdz, mudhtharib, mudraj, maqlûb, dan sebagainya.
2. Perdebatan mengenai term-term dalam ilmu hadis lebih
dominan disebabkan perbedaan mereka tentang batasan
makna (definisi) suatu term, apakah jâmi’ mâni’ atau
tidak. Seperti term sahih; perdebatan mengenai term ini
sebenarnya lebih kepada menentukan apakah batasan term
yang dikemukakan para ahli hadis mutaqaddimîn, yakni
bersambungnya sanad (ittishâl as-sanad), adil dan dhâbith
itu dapat mengakomodir hadis-hadis yang banyak namun
masih satu tema (ahadîts al-bâb) atau tidak. Ketika para
ahli hadis muta’akhkhirîn menemukan bahwa batasan itu
kurang sempurna, maka mereka menambahkannya dengan
tidak adanya syâdz dan ‘illat. Namun mereka sepakat
dengan ketiga syarat sebelumnya. Kemudian beberapa
ahli hadis ada yang menyamakan maksud term tertentu
dengan term yang lainnya. Seperti term mursal; di antara
ahli hadis mutaqaddimîn ada yang menyamakannya
dengan dengan term munqathi’, yaitu Imam Abû Zur’ah
ar-Râzî (w. 264 H), Imam Abû Hâtim ar-Râzî (w. 277 H),
dan Imam ad-Dâruquthnî (w. 385 h), dan dari ahli hadis
297
muta’akhkhirîn yang menyamakannya adalah Imam al-
Baihaqî (w. 458 h). Ibnu Hajar al-‘Aqalânî (w. 852 h)
kemudian menjelaskan bahwa kata irsâl yang digunakan
ahli hadis mutaqaddimîn memang mencakup munqathi’
dan mursal. Mungkin ini yang membuat banyak ahli hadis
muta’akhkhirîn menyamakan munqathi’ dengan mursal.
Namun jika dilihat dari persamaannya, mereka sama-sama
memahami bahwa term itu masuk dalam kategori hadis
daif sebab gugurnya rawi. Di sisi lain, terdapat term yang
penggunaannya tidak seperti penggunaan umumnya ahli
hadis muta’akhkhirîn, seperti term maqthû’; yang dalam
pandangan Imam asy-Syâfi’î (w. 204 h) dan Imam ath-
Thabarânî (w. 360 h) adalah munqathi’. Penggunaan
maqthû’ dengan maksud munqathi’ tersebut dikarenakan
belum adanya istilah paten atau baku pada masa itu yang
menjelaskan keduanya secara independen. Karena itu, jika
menemukan istilah-istilah yang berbeda dengan definisi
atau maksud umumnya ahli hadis seperti ini, maka harus
dikembalikan kepada pencetusnya. Selain itu, menentukan
posisi hadis juga dominan dengan sebutan term di
dalamnya, seperti term hasan; kesimpulan penulis
mengenai perdebatan term ini lebih kepada menentukan
apakah hadis itu dikelompokkan ke dalam term hasan
murni (li dzâtihî), atau dikelompokkan ke dalam hasan
sebab dukungan faktor lain (eksternal) yang sama
kualitasnya atau yang lebih kuat (li ghairihî). Term-term
yang telah dijelaskan dan diformulasikan oleh para ahli
hadis itu sebenarnya untuk mendudukkan posisi hadis itu
sendiri. Oleh karena itu, term-term tersebut tidaklah
298
muncul sebelum adanya suatu kasus, baik yang berkaitan
dengan sanad maupun matan. Di sisi lain, term-term yang
penulis jelaskan jelas tidak luput dari perbedaan, baik
perbedaan itu dari sisi definisi maupun penggunaannya.
Namun hasil penelitian ini menemukan bahwa perbedaan-
perbedaan itu ada yang mempengaruhi posisi atau hukum
hadis itu sendiri dan ada juga yang tidak. Perbedaan
definisi yang berpengaruh pada hukum dan posisi hadis di
antaranya definisi munkar yang digunakan oleh ahli hadis
mutaqaddimîn dan definisi munkar yang digunakan oleh
ahli hadis muta’akhkhirîn dan munqathi’ yang dipahami
oleh Imam Abû Bakar al-Bardîjî (w. 301 h) dan yang
sepaham dengannya; dimana ia menggunakan term
tersebut untuk term maqthû’. Adapun perbedaan yang
tidak berpengaruh pada hukum dan posisi hadis, di
antaranya; term munqathi’ (selain yang dipahami Imam
al-Bardîjî), mu’dhal, dan lainnya yang dipahami berbeda
oleh ahli hadis mutaqaddimîn dan muta’akhkhirîn, hanya
perbedaan itu tidak mempengaruhi posisi hadis itu sebagai
yang dinilai daif sebab gugurnya sanad (saqth fî al-isnâd).
Perbedaan itu lebih kepada persoalan untuk membedakan
posisi term-term yang sama-sama terputus sanadnya.
Perlu diakui bahwa ada beberapa term yang dikategorikan
daif asalnya, tetapi jika term-term itu memiliki perangkat-
perangkat yang dapat memperkuatnya, maka hukumnya
dapat berubah menjadi sahih, seperti mursal, mu’allaq,
dan semua term yang tidak berkaitan dengan cacatnya
perawi, baik disebabkan karena dusta, tertuduh dusta,
fasik, dan berselisih dengan riwayat lain yang lebih
299
tsiqah. Metodologi yang diformulasikan oleh kalangan
ahli hadis muta’akhkhirîn lebih selamat diikuti, karena
mereka telah mengkaji, memetakan, menertibkan, dan
menyimpulkan maksud-maksud ahli hadis mutaqaddimîn
dengan cermat dan seksama. Meskipun dalam beberapa
sisi perbedaan itu tetap ada dan tidak dapat diabaikan.
B. Saran-saran
Perlunya pengkajian lebih lanjut mengenai term-term
yang penulis bahas dan juga term-term lainnya dalam ilmu hadis
terutama dalam kaitannya dengan sejarah. Bagaimanapun term-
term dalam ilmu hadis tidak pernah akan lepas dari sisi kajian
tersebut, bahkan ia sendiri selalu berbicara tentangnya. Sehingga
keagungan dan keluasan ilmu hadis dapat dirasakan langsung
oleh para pengkajinya yang memang dibangun oleh para ahlinya
dengan kecermatan dan kejelian yang luar biasa. Selanjutnya,
diskusi ilmiah, pembuatan karya, dan kajian-kajian terkait term-
term dalam ilmu hadis dari sisi tersebut harus lebih disemarakan
lagi baik secara offline maupun online. Penulis melihat sepertinya
masih kurang bahkan belum ada yang secara fokus membuat
karya atau mengkaji term-term dalam ilmu hadis dari sisi
tersebut. Penerimaan terhadap term-term dalam ilmu hadis secara
instan seringkali membuat para pengkaji kebingungan karena
banyaknya perbedaan ulama dalam memahami term-term yang
ada. Karena itu, kajian sejarah dalam ilmu ini menjadi penting
dan akan membantu para pengkaji mengetahui asal-usul mengapa
term-term tersebut muncul, siapa yang mencetuskannya, dalam
kondisi apa ia muncul, mengapa terjadi perbedaan dalam soal
definisi, dan mengapa antara ahli hadis satu dengan ahli hadis
300
lain berbeda dalam menghukumi suatu hadis. Di sinilah penulis
kira urgennya kajian ini dari sisi sejarahnya. Semoga bermanfaat.
301
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ashbahî, Mâlik bin Anas bin Mâlik bin Abî ‘Āmir Abû
‘Abdillâh al-Madanî, al-Muwathta’, Editor: Muhammad
Mushthafâ al-A’zhamî, Penerbit: Mu’assasah Zâyib bin
Sulthân Ālu Nahyân, 1425 H/2004 M.
Azami, Muhammad Mustafa, Hadis Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2006 M.
___________, Manhaj an-Naqd ‘Inda al-Muhadditsîn, ar-
Riyâdh: Syirkah ath-Thibâ’ah al-‘Arabiyyah al-
Mahdûdah, 1402 H/1982 M.
Abû Zahwû, Muhammad Muhammad, al-Hadîts wa al-
Muhadditsûn, Beirût: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1984 M.
Anîs Ibrâhîm, dkk., al-Fihris al-Maûdhû’î li Majallat al-Majma’
al-Lughah al- ‘Arabiyyah, tp. t.th.
Al-Abnâsî, Abu Ishâq, asy-Syadzdza al-Fiyâh min ‘Ulûm Ibn
ash-Shalâh, tp. t.th.
Al-Anshârî, Ismâ’îl bin Muhammad bin Mâhî as-Sa’dî, at-Tuhfah
ar-Rabbâniyyah fî Syarh al-Arba’îna Hadîtsan an-
Nawâwiyyah, tp. t.th.
Abû Syuhbah, Muhammad bin Muhammad bin Suwailim, al-
Wasîth fi ‘Ulûm wa Mushthalah al-Hadîts, Penebit: Dâr
al-Fikr al-‘Arabî, tp. t.th.
Al-Baiqûnî, ‘Umar bin Muhammad, al-Manzhûmah al-
Baiqûniyyah, tp. t.th.
Al-Burnisî, Ahmad bin Ahmad al-Burnisî al-Maghribî, Qawâ’id
at-Tashawwuf ‘ala Wajh Yajma’ Baîna asy-Syarî’ah wa
al-Haqîqah, Suria: Dâr al-Bairûtî,1424 H/2004 M.
Al-Bukhârî, Muhammad bin Ismâ’îl, Shahîh al-Bukhârî, Tahqîq:
Musthafa Dîeb al-Bighâ, Beîrût: Dâr Ibn Katsîr al-
Yamâmah, 1407 H/1987 M.
Al-Baihaqî, Abû Bakar Ahmad bin al-Husain bin ‘Alî, Sunan al-
Baihaqî al-Kubra’, Editor: Muhammad ‘Abd al-Qâdir
‘Atha’, Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dâr al-Bâz,
1414 H/1994 M.
___________, Syu’b al-Imân, Editor: Muhammad as-Sa’îd
Zaghlûl, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1410 H.
302
Al-Baghdâdî, Abû Bakar al-Khathîb, al-Jâmi’ li Akhlâq ar-Râwî,
Editor: Mahmûd ath-Thahhân, ar-Riyâdh: Maktabah al-
Ma’arif, 1403 H.
___________, Syaraf Ashshâb al-Hadîts, tp. t.th.
___________, al-Kifâyah fî ‘Ilm ar-Riwâyah, Tahqîq: Abû
‘Abdillâh as-Suraqî dan Ibrâhîm Hamdî al-Madanî, al-
Madînah al-Munawwarah, tp. t.th.
Bakkâr, Muhammad Mahmûd Ahmad, Bulûgh al-Āmâl min
Mushthalah al-Hadîts wa ar-Rijâl, Kairo: Dâr as-Salâm,
1433 H/2012.
Bûkhâtim, Maulâya ‘Alî, Musthalahât an-Naqd al-‘Arabî as-
Sîmiya’î al-Isykâliyat wa al-Ushûl wa al-Imtidâd,
Damaskus: Mansyûrât Ittihâd al-Kitâb al-‘Arab, 2005 M.
Ad-Darwîsy, Mâjid, al-Fawâ’id al-Mustamaddah min Tahqîqât
al-‘Allâmah ‘Abd al-Fattâh Abû Ghuddah fî ‘Ulûm al-
Hadîts, Beirût: Dâr al-Imâm Abî Hanîfah Syirkah Dâr al-
Basyâ’ir al-Islâmiyah, 1426 H/2005 M.
Ad-Dâruquthnî, ‘Alî bin ‘Umar, Sunan ad-Dâruquthnî, Tahqîq;
Abdullâh Hâsyim, Beirût: Dâr al-Ma’rifah, 1386 H.
Ad-Dimyâthî, Abû Bakar Ibnu as-Sayyid Muhammad Syathâ’,
Hâsyiah I’ânah ath-Thâlibîn ‘alâ Hill Alfâzh Fath al-
Mu’în, tp. 1418 H/1997 M.
Adz-Dzahabî, Muhammad bin Ahmad bin Utsmân, Tadzkirah al-
Huffâdz, Tahqîq: Zakariyyâ ‘Amîrât, Beirût: Dâr al-
Kutub al-‘Ilmiyah, 1419 H/1998 M.
___________, Mîzân al-I’tidâl fî Naqd ar-Rijâl, Editor: ‘Alî
Muhammad al- Bajawî, Beirût: Dâr al-Ma’rifah, tp. t.th.
___________, Siyar A’lâm an-Nubalâ’, Beirût: Mu’assasah ar-
Risâlah, 1413 H/1993 M.
Al-Fayyûmî, Abû al’Abbâs Ahmad bin Muhammad bin ‘Alî, al-
Mishbâh al-Munîr fî Gharîb asy-Syarh al-Kabîr, tp. t.th.
Al-Farâhidî, Abû ‘Abd ar-Rahmân Khalîl bin Ahmad, Kitâb al-
‘Ain, Editor: Mahdî al-Makhzûmî dan Ibrâhîm as-
Sâmirâ’î, Penerbit: Dâr wa Maktabah al-Hilâl, t.th.
Al-Fâsî, Muhammad al-Hasan, al-Fikr as-Sâmî fi Târîkh al-Fiqh
al-Islâmî, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995 M.
303
Al-Ghurâbî, Târîkh al-Firaq al-Islâmiyah, Mesir: Muhammad
‘Alî Shâbih, 1959.
Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia versi 1,1 2010 M.
Hasan, Ibrâhîm Hasan, Târîkh al-Islâm, Kairo: Maktabah an-
Nahdhah al-Mishriyyah, 1964 M.
Humaid, Sa’ad bin ‘Abdullâh, Manâhij al-Muhadditsîn, Penerbit:
Dâr ‘Ulûm as-Sunnah, t.th.
‘Izz ad-Dîn, ‘Abd al-Hamîd bin Hibatullâh bin Muhammad bin
al-Husain bin Abî al-Hadîd, Abû Hâmid, Syarh Nahj al-
Balâghah, Tahqîq: Muhammad Abû al-Fadhl Ibrâhîm,
Mesir: Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah ‘Isâ al-Bâbî al-
Halabî, 1378 H/1959 M.
Isma’il, Muhammad Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,
Jakarta: Bulan Bintang, 1428 H/2007 M.
‘Itr, Nûr al-Dîn, Manhaj an-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, Damaskus:
Dâr al-Fikr, 1418 H.
Ibnu Sayyid an-Nâs, Muhammad bin ‘Abdullâh bin Yahyâ,
‘Uyûn al-Atsâr fî Funûn al-Maghâzî wa as-Siyar, Beirût:
Mu’assasah ‘Izz ad-Dîn, 1406 H/1986 M.
Ibnu Katsîr, Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin Katsîr al-Qurasyî ad-
Dimasyqî, al-Bâ’îts al-Hatsîts fî Ikhtishâr ‘Ulûm al-
Hadîts, tp, t.th.
Ibnu ash-Shalâh, Abû ‘Amr ‘Utsmân bin ‘Abd ar-Rahmân asy-
Syahruzûrî, Muqaddimah Ibnu ash-Shalâh fî ‘Ulûm al-
Hadîts, Tahqîq: Shalâh Muhammad ‘Uwaidhah, Beirût:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2006 M.
___________, Shiyânah Shahîh Muslim min al-Ikhlâl wa al-
Ghalath wa Himâyatuhû min al-Isqâth wa as-Saqth,
Editor: Muwaffaq ‘Abdullâh ‘Abd al-Qâdir, Beirût: Dâr
al-Garb al-Islâmî, 1408 H.
Ibnu Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ, tp. t.th.
Ibnu Duraid, Jamharah al-Lughah, tp. t.th.
Ibnu ‘Abd al-Barr, Abû ‘Umar Yûsuf bin ‘Abdillâh an-Namirî
al-Qurthubî, Jâmi’ Bayân al-‘Ilm wa Fadhlihî, Tahqîq:
Abû ‘Abd ar-Rahmân Fawwâz Ahmad Zamralî, Penerbit:
Mu’assasah ar-Rayyân Dâr Ibnu Hazm, 1424 H/2003 M.
___________, al-Istî’âb fî Ma’rifah al-Ashhâb, tp. t.th.
304
___________, at-Tamhîd Limâ fî al-Muwaththâ’ min al-
Ma’ânî wa al-Asânîd, Kairo: Mu’assasah al-
Qurthubah, t.th.
__________, al-Istidzkâr al-Jâmi’ li Madzâhib Fuqahâ’ al-
Amshâr, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2000 M.
Ibnu Baththtâl, ‘Alî bin Khalaf bin ‘Abd al-Mâlik bin Baththâl al-
Bakrî al-Qurthubî, Syarh Shahîh al-Bukhârî li Ibn
Baththâl, Riyâdh: Maktabah ar-Rusyd, 1423 H.
Ibnu al-Atsîr, ‘Izz ad-Dîn Abû al-Hasan ‘Alî bin Muhammad bin
‘Abd al-Karîm, Usud al-Ghâbah fî Ma’rifah as-
Shahâbah, tp. t.th.
___________, Jâmi’ al- Ushûl fi Ahadîts ar-Rasûl, Tahqîq:
Basyîr ‘Uyûn, Beirût: Dar al-Fikr, tp. t.th.
___________, an-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar,
Tahqîq: Thâhir Ahmad az-Zâwî dan Mahmûd
Muhammad ath-Thanâhî, Beirût: al-Maktabah al-
‘Ilmiyah, 1399 H/1979 M.
Ibnu Abî Hâtim, Abû Muhammad bin Abî Hâtim Muhammad bin
Idrîs ar-Râzî, Muqaddimah al-Jarh wa at-Ta’dîl, tp. t.th.
___________al-Marâsîl, Beirût: Mu’assasah ar-Risâlah, 1397 H.
Ibnu Qudâmah, Abû Muhammad ‘Abdullâh bin Ahmad bin
Qudâmah al-Maqdisî, Raudhah an-Nâzhir wa Jannah al-
Manâzhir, ar-Riyâdh: Jâmi’ah al-Imâm Muhammad bin
Sa’ûd, 1399 H.
Ibnu Fâris, Ahmad bin Fâris bin Zakariyyâ’, Mu’jam Maqâyis al-
Lughah, Tahqîq: ‘Abd as-Salâm Muhammad Hârûn,
Beirût: Dâr al-Fikr, 1399 H/1979 M.
Ibrâhîm Musthafâ, dkk., al-Mu’jam al-Wasîth, Tahqîq: Majma’
al-Lughah al- ‘Arabiyyah, Penerbit: Dâr ad-Da’wah, t.th.
Ibnu Hibbân, Muhammad bin Hibbân bin Ahmad Abû Hâtim at-
Tamîmî al-Bustî, al-Majrûhîn min al-Muhadditsîn wa
adh-Dhu’afâ’ wa al-Matrûkîn, Tahqîq: Mahmûd Ibrâhîm
Zâyid, tp. t.th.
Ibnu Katsîr, Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin ‘Umar, Tafsîr al-Qur’ân al-
‘Azhîm, Editor: Sâmî bin Muhammad Salamah, Makkah:
Dâr ath-Thayyibah, 1420 H/1999 M.
305
Ibnu al-Jauzî, Jamâl ad-Dîn bin ‘Abd ar-Rahmân bin ‘Alî, al-
Maûdhû’ât, Tahqîq: ‘Abd ar-Rahmân bin Muhammad
‘Utsmân, tp. 1386 H/1966 M.
Ibnu Jamâ’ah, Badr ad-Dîn Muhammad bin Ibrâhîm bin Sa’d
Allâh bin Jamâ’ah al-Mishrî, al-Minhal ar-Râwî fî
Mukhtashar ‘Ulûm al-Hadîts an-Nabawî, Tahqîq: Muhyî
ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân Ramadhân, Damaskus: Dâr al-
Fikr, 1406 H/1986 M.
Ibnu Qutaibah, ad-Dînawarî, Ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts, Editor:
Muhammad Zuhrî an -Najjâr, Beirût: Dâr al -Jail, 1393 H
/1972 M.
Ibnu Rajab, Abû al-Faraj ‘Abd ar-Rahmân bin Ahmad bin Rajab
al-Hanbalî, Syarh ‘Ilal at-Tirmidzî, Editor: Nûr ad-Dîn
‘Itr, dkk., tp. t.th.
Ibnu Daqîq al-‘Îd, al-Iqtirâh fî Fann al-Ishthilâh, tp. t.th.
Ibnu ‘Asâkir, Abû al-Qâsim bin ‘Alî al-Hasan Ibnu Hibatullâh
bin ‘Abdillâh asy-Syâfi’î, Târîkh Madînah Dimasyq,
Beirût: Dâr al-Fikr, 1419 H/1998 M.
Ibnu Mandah, Muhammad bin Ishâq bin Muhammad bin
Mandah, Fadhl al-Akhbâr wa Syarh Madzâhib Ahl al-
Atsar wa Haqîqah as-Sunan, ar-Riyâdh: Dâr al-Muslim,
1414 H.
Ibnu Hazm, al-Andalusi, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Kairo: Dâr
al-Hadîts, 1404 H.
Khalîfah, Hâjî, Kasyf azh-Zhunûn ‘an Asmâ’ al-Kutub wa al-
Funûn, tp. t.th.
Khudhair, ‘Abd al-Karîm, Tahqîq ar-Raghbah fî Taudhîh an-
Nukhbah, tp. t.th.
Al-Mubârakfûrî, Muhammad bin ‘Abd ar-Rahmân bin ‘Abd ar-
Rahîm, Tuhfah al-Ahwadzî bi Syarh Jâmi’ at-Tirmidzî,
Beirût: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.
Matsna, Mohammad HS. Orientasi Semantik az-Zamaksyari,
Jakarta: Anglo Media, 1427 H/2006 M.
Mahmûd, Abû Rayyah, Adhwâ ‘alâ as-Sunnah al-
Muhammadiyyah, Mesir: Dâr al-Mâ’arif, t.th.
Mahmûd, Ahmad Thahhân, dkk, Mu’jam al-Musththalahât al-
Hadîtsiyah, tp. t.th.
306
Mahmûd, ‘Aidân Ahmad ad-Dailamî, Jarh ar-Ruwâh wa
Ta’dîlihim - al-Usus wa adh-Dhawâbith, Irak: Jâmi’ah
Baghdâd, tp. t.th.
An-Naisâbûrî, Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj, Shahîh
Muslim, tp, t.th.
___________, Kitab at-Tamyiz, tp. t.th.
An-Nasâ’î, Abû ‘Abd ar-Rahmân Ahmad bin Syu’aib, Sunan an-
nasâ’î, tp. t.th.
Al-Qâdhî, Abû Thâlib, Tartîb ‘Ilal at-Tirmidzî al-Kabîr, tp. t.th.
Salâmah, Muhammad Khalaf, Lisân al-Muhadditsîn Mu’jam
Yu’nâ bi Syarh Mushthalahât al-Muhadditsîn al-
Qadîmah wa al-Hadîtsah wa Rumûzihim wa Isyârâtihim
wa Syarh Jumlah min Musykili ‘Ibârâtihim wa Gharîbî
Tarâkîbihim wa Nâdiri Asâlîbihim, tp. t.th.
Shâlih, Shubhî, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka
Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013 M.
Ash-Shan’ânî, Muhammad bin Ismâ’îl al-Amîr ash-Shan’ânî,
Subul as-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm, Mesir:
Mushthafâ al-Bâbî al-Halabî, 1379 H/1960 M.
As-Sijistânî, Abû Dâwûd Sulaimân bin al-Asy’ats, Sunan Abî
Dâwûd, Beirût: Dâr al-Kitâb al-‘Arabiy, tp. t.th.
___________, Risâlah Abî Dâwûd Ilâ Ahl Makkah wa Ghairihim
fî Washf Sunanihî, Tahqîq: Muhammad ash-Shabbâgh,
Beirût: Dâr al-‘Arabiyyah, tp. t.th.
Asy-Syâfi’î, Muhammad bin Idrîs, al-Umm, Beirût: Dâr al-
Ma’rifah, 1393 H.
___________, ar-Risâlah, Editor: Ahmad Syâkir, tp. t.th.
Asy-Syaibânî, Ahmad bin Hanbal Abû ‘Abdillâh, al-Musnad,
Kairo: Mu’assasah Qurthubah, t.th.
Asy-Syarbînî, ‘Imâd as-Sayyid, Kitâbât A’dâ’ al-Islâm wa
Munâqasyatihâ, Mesir: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah,
1422 H.
Asy-Syahrastânî, Abû Bakar, al-Milal wa an-Nihal, Beirût: Dâr
al-Ma’rifah 1404.
Asy-Syinqithî, Muhammad al-Amîn, al-Mashâlih al-Mursalah,
Madînah: al-Jâmi’ah al-Islâmiyah al-Madînah al-
Munawwarah, 1410 H.
307
Asy-Syaûkânî, Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad, al-Fawâ’id
al-Majmû’ah fî al-Ahâdîts al-Maûdhû’ah, Tahqîq: ‘Abd
ar-Rahmân bin Yahyâ al-Mu’allimî, Beirût: al-Maktab
al-Islâmî, 1407 H.
___________, Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min
‘Ilm al-Ushûl, Editor: Ahmad ‘Azwîn ‘Inâyah, Damaskus: Dâr
al-Kitâb al-‘Arabî, 1419 H/1999 M.
___________, Nail al-Athâr min Ahâdîts Sayyid al-Akhyâr,
Penerbit: Irâdah ath- Thibâ’ah al-Munîrah, t.th.
At-Tirmidzî, Muhammad bin ‘Îsâ bin Sûrah bin Mûsâ bin adh-
Dhahhâk, Sunan at-Tirmidzî, tp. t.th.
___________, al-‘Ilal ash-Shaghîr, Editor: Ahmad Muhammad
Syâkir, dkk., Beirût: Dâr Ihya’ at-Turâts al-‘Arabî, t.th.
Ath-Thabarânî, Abû al-Qâsim Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb,
al-Mu’jam al-Kabîr, Editor: Hamdî bin ‘Abd al-Majîd,
Penerbit: Maktabah al-’Ulûm wa al-Hikam, 1404 H.
Al-Qâsimî, Jamâl ad-Dîn, Qawâ’id at-Tahdîts min Funûn
Mushthalah al-Hadîts, Kairo: Dâr al-‘Aqîdah, 1425
H/2004 M.
Ash-Shan’ânî, Abû Ibrâhîm Muhammad bin Ismâ’îl, Taudhîh al-
Afkâr li Ma’ânî Tanqîh al-Andzâr, Beirût: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1417 H/1997 M.
Al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj, Ushûl al-Hadîts Ulûmuhû wa
Mushthalahuhû, Beirût: Dâr al-Fikr, 1427 H/2006 M.
___________, as-Sunnah Qabla at-Tadwîn, Beirût: Dâr al-Fikr,
1980 M.
Ath-Thahhân, Mahmûd, Taîsîr Mushthalah al-Hadîts Beirût: Dâr
al-Fikr, t.th.
Al-Qârî, Mullâ ‘Alî al-Qârî Nûr ad-Dîn Abû al-Hasan bin Sulthân
Muhammad, Syarhu Syarh Nukhbat al-Fikar fî
Musthalah Ahl al-Atsar, Tahqîq: ‘Abd al-Fattâh Abû
Ghuddah, dkk, Beîrût: Dâr al-Arqâm, t.th.
___________, Syarh Musnad Abî Hanîfah, Beirût: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyah, t.th.
___________, Mirqâh al-Mafâtîh Syarh Misykâh al-Mashâbîh,
tp. t.th.
308
Al-Jurjânî, ‘Alî bin Muhammad bin ‘Alî, at-Ta’rîfât, Tahqîq:
Ibrâhîm al-Abyârî, Beîrût: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1405
H.
Al-‘Asqalânî, Ahmad bin ‘Alî bin Muhammad bin Ahmad bin
Hajar, Nukhbat al-Fikar fî Musthalah Ahl al-Atsar,
Beirût: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arab, t.th.
___________, an-Nukat ‘alâ Kitâb Ibn ash-Shalâh, Madînah:
‘Imâdah al-Bahts bi al-Jâmi’ah al-Islâmiyah, 1404
H/1984 M.
___________, Lisân al-Mîzân, Beirût: Mu’assasah al-A’lamî,
1406 H/1986 M.
___________, Tahdzîb at-Tahdzîb, Beirût: Dâr al-Fikr, 1404
H/1984 M.
___________, Nuzhah an-Nazhar fî Taudhîh Nukhbat al-Fikar fî
Muhthalah Ahl al-Atsar, Editor: ‘Abdullâh bin
Dhaîfullah ar-Rahîlî, Riyâdh: Mathba’ah Sâfir al-
Madînah ar-Raqmiyyah, 1422 H.
___________, Ithrâf al-Musnid al-Mu’talî bi Athrâf al-Musnad
al-Hanbalî, Beirût: Dâr Ibnu Katsîr, Dâr al-Kalim ath-
Thayyib, t.th.
___________, Taghlîq at-Ta’lîq ‘ala Shahîh al-Bukhârî, Editor:
Sa’îd ‘Abd ar-Rahmân Mûsâ al-Qazafî, Beirût: Dâr
‘Ammâr al-Maktab al-Islâmî, 1405 H.
Al-Malîbârî, Hamzah ‘Abdullâh, al-Muwâzanah Baina al-
Mutaqaddimîn wa al-Muta’akhkhirîn fî Tashîh al-
Ahâdîts wa Ta’lîlihâ, Penerbit: Multaqâ’ Ahl al-Hadîts,
1422 H/2001 M.
___________,‘Ulûm al-Hadîts fî Dhau’ Tahthbîqât al-
Muhadditsîn an-Nuqqâd, tp. t.th.
___________, al-Hadîts al-Ma’lûl Qawâ’id wa Dhawâbith, tp.
t.th.
___________, Ziyâdah ats-Tsiqah fî Kutub Mushthalah al-
Hadîts, tp. t.th.
Al-Halabî, Radhiya ad-Dîn Muhammad bin Ibrâhîm, Qafw al-
Atsar fî Shafwah ‘Ulûm al-‘Atsar, tp. t.th.
Al-Jurjânî, ‘Abdullâh bin ‘Adî bin ‘Abdullâh bin Muhammad
Abû Ahmad, al-Kâmil fî Dhu’afâ’ ar-Rijâl, Editor:
309
Yahyâ Mukhtâr Ghazâwî, Beirût: Dâr al-Fikr, 1409
H/1988 M.
Al-‘Irâqî, Zaîn ad-Dîn ‘Abd ar-Rahîm bin al-Husain, at-Taqyîd
wa al-Îdhâh Syarh Muqaddimah Ibn ash-Shalâh, al-
Madînah al-Munawwarah: al-Maktabah as-Salafiyyah,
1389 H/1969 M.
___________, Syarh at-Tabshirah wa at-Tadzkirah, Editor:
Mâhir Yâsîn al-Fahl al-Maulâ, tp. t.th.
As-Suyûthî, ‘Abd ar-Rahmân bin Abû Bakar, Tadrîb ar-Râwî bi
Syarh Taqrîb an-Nawâwî, Riyâdh: Maktabah ar-Riyâdh,
t.th.
Al-‘Alâ’î, Shalâh ad-Dîn Abû Sa’îd bin Khalîl, Jâmi’ at-Tahshîl
fî Ahkâm al-Marâsîl, Tahqîq: Hamdî ‘Abd al-Majîd,
Beirût: ‘Alam al-Kitâb, 1407 H/1986 M.
___________, al-Mukhtalithîn, Editor: Rif’at Fauzî ‘Abd al-
Muththallib dan ‘Alî ‘Abd al-Basîth Mazîd, Kairo:
Maktabah al-Khânijî, 1996 M.
An-Naisâbûrî, Abu ‘Abdillâh al-Hâkim, al-Madkhal Ilâ Kitâb al-
Iklîl, Tahqîq: Fu’âd ‘Abd al-Mun’im Ahmad, Iskandaria:
Dâr ad-Da’wah, tp. t.th.
Ash-Shan’ânî, Abû Bakar ‘Abd ar-Razzâq bin Hammâm,
Mushannaf ‘Abd ar- Razzâq, Editor: Habîb ar-Rahmân
al-A’zhamî, Beirût: al-Maktab al-Islâmî, 1403 H.
Ash-Shâyigh, Muhammad bin al-Hasan, al-Lamhah fî Syarh al-
Milhah, Editor: Ibrâhîm bin Sâlim ash-Shâ’idî, al-
Madînah al-Munawwarah, 1424 H/2004 M.
An-Nawâwî, Abû Zakariyyâ Yahyâ bin Syaraf, al-Majmû’ Syarh
al-Muhadzdzab, Beirût: Dâr al-Fikr, t.th.
___________, al-Adzkâr an-Nawawiyyah, Beirût: Dar al-Fikr,
1414 H/1994 M.
___________, at-Taqrîb wa at-Taîsîr li Ma’rifah Sunan al-Basyîr
an-Nadzîr fî Ushûl al-Hadîts, tp. t.th.
Al-Khazrajî, Shafiy ad-Dîn Ahmad bin ‘Abdullâh al-Anshârî al-
Yamanî, Khulâshah Tahdzîb Tahdzîb al-Kamâl fi Asmâ’
ar-Rijâl, Editor: ‘Abd al-Fattâh Abû Ghuddah, Beirût:
Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyah, 1416 H.
Al-Muhammadî, ‘Abd al-Qâdir, Mushthalah Hasan ‘Inda at-
Tirmidzî, tp. t.th.
310
Ash-Shiddieqi, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999 M.
Al-Jauharî, Ismâ’îl bin Hammâd, ash-Shahhâh Tâj al-Lughah wa
Shahhâh al-‘Arabiyyah, Tahqîq: ‘Abd al-Qâdir ‘Athâr,
Beirût: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1407 H/1987 M.
Al-Ifrîqî, Ibnu Manzhûr al-Mishrî, Lisân al-‘Arab, Beirût: Dâr
Shâdir, t.th.
Al-Ja’barî, Burhân ad-Dîn Abû Ishâq Ibrâhîm bin ‘Umar, Rusûm
at-Tahdîts fî ‘Ulûm al-Hadîts, Tahqîq: Ibrâhîm bin Syarîf
al-Mîlî, Beirût: Dâr Ibn Hazm, 1421 H/2000 M.
Az-Zarqânî, Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm, Manâhil al-‘Urfân fî
‘Ulûm Al-Qur’ân, Kairo: Mathba’ah ‘Îsâ al-Bâbî al-
Halabî, t.th.
Al-Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad, Ihyâ’
‘Ulûm ad-Dîn, Beirût: Dâr al-Ma’rifah, t.th.
Asy-Sya’râwî, Muhammad Mutawallî al-Mishrî, Tafsîr asy-
Sya’râwî tp. t.th.
Al-Faîrûz Ābâdî, Muhammad bin Ya’qûb, al-Qâmûs al-Muhîth,
tp. t.th.
Al-‘Ainî, Badr ad-Dîn al-Hanafî, ‘Umdah al-Qârî Syarh Shahîh
al-Bukhârî, Penerbit: Multaqâ’ Ahl al-Hadîts, 1427 H.
Abû Ya’lâ al-Qazwînî, al-Irsyâd fî Ma’rifah ‘Ulamâ’ al-Hadîts,
Editor: Muhammad Sa’îd ‘Umar Idrîs, Riyâdh: Maktabah
ar-Rusyd, 1409 H.
Abdul Majid Khan, Pemikiran Modern Dalam Sunnah
Pendekatan Ilmu Hadis, Jakarta: Kencana Prenda Media
Group, 2011 M.
As-Sakhâwî, Abû Bakar bin ‘Utsmân bin Muhammad, at-
Taûdhîh al-Abhar li Tadzkirah Ibn al-Mulqin fî ‘Ilm al-
Atsar, Penerbit: Maktabah Adhwa’ as-Salaf, 1418 H.
Al-‘Askarî, Abû Hilâl, Mu’jam al-Furûq al-Lughawiyyah,
Penerbit: Mu’assasah an-Nasyr al-Islâmî, 2000 M.
Az-Zabîdî, Abû al-Faidh Murtadhâ, Tâj al-‘Arûs min Jawâhir al-
Qâmûs, Penerbit: Dâr al-Hidâyah, t.th.
Al-Kafawî, Abû al-Biqâ’ Ayyûb bin Mûsâ al-Qarîmî al-Husainî,
al-Kulliyyât Mu’jam al-Mushthalahât wa al-Furûq al-
311
Lughawiyyah, Editor: ‘Adnân Darwîsy Muhammad al-
Mishrî, Beirût: Mu’assasah ar-Risâlah, 1419 H/1998 M.
An-Naîsâbûrî, Abû ‘Abdillâh al-Hâkim, Ma’rifah ‘Ulûm al-
Hadîts, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1397 H.
Al-Kattânî, Muhammad bin Ja’far, ar-Risâlah al-Mustathrafah li
Bayân Masyhûr Kutub as-Sunnah al-Mushannafah,
Beirût: Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyah, 1406 H/1986 M.
Ar-Râzî, Fakhr ad-Dîn Abû ‘Abdillâh Muhammad bin ‘Umar bin
al-Hasan at-Taimî, at-Tafsîr al-Kabîr au Mafâtîh al-
Ghaib, tp. t.th.
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim Muhammad bin Abû Bakar Ayyûb,
I’lâm al-Muwaqi’în ‘an Rabb al-‘Alamin, Editor: Thâhâ
‘Abd ar-Rauf Sa’ad, Beirût: Dâr al-Jail, 1973 M.
Al-Jashshâsh, Ahmad bin ‘Alî ar-Râzî, al-Fushûl fî al-Ushûl,
Kuwait: Wazârah al-Auqâf wa asy-Syu’ûn al-Islâmiyah,
1985 M.
Al-‘Aunî, Hâtim bin ‘Ārif asy-Syarîf, Mabâhits fi Tahrîr Ishtilâh
al-Hadîts al-Mursal wa Hujjiyatihî ‘inda as-Sâdât al-
Muhadditsîn, tp. t.th.
___________, at-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânîd, tp. t.th.
___________, Nadwah ‘Ulum al-Hadîts, tp. t.th.
___________, al-Manhaj al-Muqtarah li Fahm al-Mushthalah,
tp. t.th.
Al-Halabî, Radhiya ad-Dîn Muhammad bin Ibrâhîm, Qafw al-
Atsar fî Shafwah ‘Ulûm al-‘Atsar, Editor: ‘Abd al-Fattâh
Abû Ghuddah, Penerbit: Maktabah al-Mathbû’ah al-
Islâmiyah, 1408 H.
Al-Hakamî, Hâfidz bin Ahmad, Dalîl Arbâb al-Falâh li Tahqîq
Fann al-Mushthalah, tp. t.th.
Ābâdî, Muhammad Syams al-Haqq al-‘Azhîm, ‘Aun al-Ma’bûd
Syarh Sunan Abî Dâwûd, Beirût: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 1415 H.
Al-Luwaîhiq, ‘Abd ar-Rahmân bin Mu’allâ, al-Irhâb wa al-
Ghuluw, tp. t.th.
Az-Zamakhsarî, Abû al-Qâsim Mahmûd bin ‘Amr bin Ahmad,
Asâs al-Balâghah, tp. t.th.
312
Al-Minâwî, Zain ad-Dîn Muhammad ‘Abd ar-Ra’ûf, al-Yawâqît
wa ad-Durar fî Syarh Nukhbat Ibn Hajar, Editor: al-
Murtadhâ az-Zain Ahmad, ar-Riyâdh: Maktabah ar-
Rusyd, 1999 M.
Al-Mursî, ‘Alî bin Ismâ’îl bin Sayyidah, al-Muhkam wa al-
Muhîth al-A’zham, Editor: ‘Abd al-Hamîd Hindâwi,
Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2000 M.
Al-Haitsamî, ‘Alî bin Abî Bakar bin Sulaimân, Ghâyah al-
Maqshad fî Zawâ’id al-Musnad, tp., t.th.
Al-Kattânî, Abû Ja’far, Nazhm al-Mutanâtsir min al-Hadîts al-
Mutawâtir, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1400
H/1980 M.
Al-Mubârakfûrî, Abû al-Hasan ‘Ubadillâh bin Muhammad ‘Abd
as-Salâm bin Khân, Mir’âh al-Mafâtîh Syarh Misykâh al-
Mashâbîh, India: Idârah al-Buhûts al-‘Ilmiyah wa al-
Ifta’, 1404 H/1984 M.
Al-Bâjî, Abû al-Walîd Sulaimân bin khalaf bin Sa’ad Ibnu Ayyûb
al-Bâjî al-Mâlikî, at-Ta’dîl wa at-Tajrîh Liman Kharaja
‘anhu al-Bukhârî fî al-Jâmi’ ash-Shahîh, Editor: Ahmad
Bazzar, tp. t.th.
Al-Fayyâdh, Ahmad Ayyûb Muhammad ‘Abdullâh, Mabâhits fî
al-Hadîts al-Musalsal, tp. t.th.
Al-Jazâ’irî, Thâhir ad-Dimasyqî, Taujîh an-Nazhar Ilâ Ushûl al-
Atsar, Editor: ‘Abd al-Fattâh Abû Ghuddah, Halb:
Makatabah al-Mathbû’ah al-Islâmî, 1419 H/1995 M.
Al-Isybilî, Abû Muhammad ‘Abd al-Haqq, al-Ahkâm asy-
Syar’iyyah al-Kubrâ’, Tahqîq: Abû ‘Abdillâh Husain bin
‘Ukâsyah, Riyad: Makatabah ar-Rusyd, 1422 H/2001 M.
Al-Ghassânî, Abû ‘Alî al-Husain bin Muhammad Ahmad al-
Jayânî, Taqyîd al-Muhmil wa Tamyîz al-Musykil, Editor:
Muhammad Abû al-Fadhl, Maroko: al-Mamlakah al-
Maghribiyyah, 1418 H/1987 M.
Ad-Daqr ‘Abd al-Ghânî, Mu’jam al-Qawâ’id al-‘Arabiyyah,
Penerbit: Maktabah Misykah al-Islâmiyah, t.th.
As-Sakhâwî, Syams ad-Dîn Muhammad bin ‘Abd ar-Rahmân,
Fath al-Mughîts Syarh Alfiyah al-Hadîts, Beirût: Dâr al-
Kutub al-‘Ilmiyah, 1403 H.
313
__________, al-Ghâyah fî Syarh al-Hidâyah fî ‘Ilm al-Atsar,
Editor: Abû ‘A’isy ‘Abd al-Mun’im Ibrâhîm, Penerbit:
Maktabah Aulâd asy-Syaikh li at-Turâts, 2001 M.
As-Sayyid, Jamâl bin Muhammad, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah wa
Juhûduhû fî Khidmah as-Sunnah an-Nabawiyyah wa
‘Ulûmihâ, al-Madînah al-Munawwarah: al-Jâmi’ah al-
Islâmiyah, 1424 H/2004 M.
As-Sibâ’î, Musthafâ, as-Sunnah wa Makânatuhâ fî at-Tasyrî’, tt:
Dâr al-Wariq al-Maktab al-Islâmî, 2000 M.
Al-Harbî, Sulaimân bin Khâlid, al-Kawâkib ad-Durriyyah ‘alâ
al-Manzhûmah al-Baiqûniyyah, tp. t.th.
Al-Azharî, Tahdzîb al-Lughah, tp. t.th.
Al-Anshârî, ‘Abdullâh bin ‘Amr Sirâj ad-Dîn ‘Umar, al-Muqni’ fî
‘Ulûm al-Hadîts, Makkah: Dâr Fawwâz, 1413 H.
Al-Maûlâ, Mâhir Yâsîn Fahl, Atsar ‘Ilal al-Hadîts fî Ikhtilâf al-
Fuqahâ’, Penerbit: Jâmi’ah Shadâm li al-‘Ulûm al-
Islâmiyah, 1420 H/1999 M.
Al-Qurthubî, Abû ‘Abdillâh Syams ad-Dîn, al-Jâmi’ li Ahkâm Al-
Qur’ân, Editor: Hisyâm Samîr al-Bukhârî, Riyâdh: Dâr
‘Ālam al-Kutub 1423 H/2003 M.
Ath-Thabarî, Muhammad bin Jarîr, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl Al-
Qur’ân, Editor Ahmad Muhammad Syâkir, Beirût:
Mu’assasah ar-Risâlah 1420 H/2000 M.
Thahhân, Mahmûd Ahmad, dkk., Mu’jam al-Mushthalahât al-
Hadîtsiah, Kuwaît: Jâmi’ah al-Kuwaît, t.th.
Ummu al-Laits, al-As’ilah as-Saniyyah, tp. t.th.
‘Umar Ridhâ Kahâlah, Mu’jam al-Mu’allifîn, Beirût: Dâr Ihyâ’
at-Turâts al‘Arabî, tp. t.th.
Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004
M.
Az-Ziriklî, Khair ad-Dîn bin Mahmûd, al-A’lâm, t.t. tp. t.th.
331
BIODATA PENULIS
Ali Moh Al Hudhaibi lahir di Garut, Jawa Barat. Ia putra pertama
pasangan Bapak KHR. Deden Abdul Hakiem dan Ibu Dra. Hj.
Een Juhairiah, M.Pd.I. Memiliki seorang istri bernama, Siti
Mu’awanah, S.Sos., Lc., M.Sos., dan tiga orang anak bernama,
Fawwaz Fajrurrahman Hakiem, Mumtaz Hakiem Mubarak,
Sahnaz Sayeda Auliya Hakiem. Kini ia tinggal di Perumahan
Dosen Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences,
Ciputat, Tanggerang Selatan; sebuah institusi berbasis hadis yang
didirikan oleh (alm) Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.
Pendidikan dasarnya dimulai dari MI. al-Khairiyah Garut.
Selain sekolah formal di sekolah tersebut, ia juga mulai
diperkenalkan sejak dini oleh orang tuanya tentang ilmu-ilmu
kepesantrenan, seperti ilmu Nahu, Saraf, fikih, dan lainnya, di
pesantren yang diasuh dan dikelola sendiri oleh orang tuanya.
Setamatnya dari sekolah dasar, ia melanjutkan pendidikan
menengah pertamanya di MTs. Sunan Pandanaran Yogyakarta,
hingga menengah atasnya, yaitu Madrasah Aliyah Keagamaan
(MAK) Sunan Pandanaran; almamater yang sama. Selain itu, ia
juga berkesempatan langsung mulâzamah dan menimba ilmu dari
Pendiri dan Pengasuh Pesantren tersebut, yakni Hadhratussyaikh
KH. M. Mufid Mas’ud al-Hâfizh, khususnya tahfizh Alquran.
Kepada beliau ia merampungkan seluruh hafalan Alqurannya.
Setamatnya dari sana, ia melanjutkan pendidikan Strata
Satu (S1) di Universitas Negeri Islam (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, mengambil Fakultas Dirasat Islamiyah. Pada saat yang
sama, ia juga menimba ilmu di Darus-Sunnah International
Institute for Hadith Sciences Ciputat, asuhan (alm) Prof. Dr. KH.
Ali Mustafa Yaqub, MA. Kepada ahli hadis tersebut, ia belajar
langsung kutub as-sittah, tadrîb ar-Râwî, thuruq fahm al-hadîts,
takhrîj wa dirâsat al-asânîd, dan pustaka-putaka ilmu keagamaan
lainnya, khususnya hadis dan ilmu hadis. Ia lulus dari Darus-
Sunnah dengan predikat, al-fâiz al-awwâl; terbaik pertama.
Selain itu, ia juga banyak mendapat ijazah kitab dan hadis
dari para ulama, di antaranya kitab al-Muwaththâ’ karya Imam
Mâlik bin Anas (w. 179 h) dari Syaikh Dr. Muhammad bin ‘Abd
ar-Razzâq Aswad (Damam, Saudi Arabia), kemudian al-Arba’în
Hadîtsan al-Nawawiyyah karya Imam an-Nawawî (w. 676 h), al-
Hadîts al-Musalsal bi al-Mahabbah, al-Hadîts al-Musalsal bi al-
Awwaliyyah dari Syaikh Dr. Hisyâm Kâmil Mûsâ asy-Syâfi’î al-
Azharî (Mesir), kemudian Bulûgh al-Marâm min Adillah al-
Ahkâm karya Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalânî (w. 852 h) dari
Maulânâ asy-Syarîf Dr. dr. Yusrî Rusydî al-Sayyid Jabr al-Hasanî
332
(Mesir) dan Syaikh KH. Ahmad Marwazie al-Batawie; murid
langsung Syaikh Yâsîn bin ‘Îsâ al-Fâdânî al-Makkî (w. 1410 h);
dari beliau juga penulis banyak mendapat sanad hadis musalsal,
kemudian al-Arba’în al-Ghumâriyyah fî Syukr an-Ni’am dari al-
Muhaddits Syaikh Dr. ‘Abd al-Mun’im bin ‘Abd al-‘Azîz al-
Ghumârî (Maroko), kemudian asy-Syamâ’il al-Muhammadiyyah
karya Imam al-Tirmidzî (w. 279 h) dari Syaikh Dr. Amîn Sâlim
al-Kurdî (Amîn al-Fatwâ Libanon). Juga beberapa ijazah wirid
dan selawat, di antaranya Dalâ’il al-Khairât wa Syawâriq al-
Anwâr fî ash-Shalât ‘alâ an-Nabiy al-Mukhtâr karya Imam
Muhammad bin Sulaimân al-Jazûlî (w. 870 h), Hizb an-Nashar
(Hizb al-Saif) karya Imam Abû al-Hasan al-Syâdzilî (w. 656 h),
dan beberapa ijazah selawat, seperti Tunjîna, Kâmilah, Thibb al-
Qulûb, Ilqa’ al-Ru’b, Ibrâhîmiyyah, Qamar al-Wujûd, al-Fâtih
dari KH. Muhammad Mufid Mas’ud al-Hâfizh (Yogyakarta);
kemudian Râtib al-Haddâd karya al-Habîb ‘Abdullâh bin ‘Alwî
al-Haddâd (w. 1132 h) dan wirid al-Asmâ’ al-Husnâ dari Dr. KH.
Mu’tashim Billah (Yogyakarta); kemudian Hizb al-Bukhârî karya
Imam al-Bukhârî (w. 256 h) dari Syaikh KH. Achmad Chalwani
Nawawi (Mursyid TQN dari Purworejo, Jawa Tengah); Aurâd al-
istighfâr wa ash-shalawât wa at-tahlîl dari Syaikh Prof. Dr.
Wahbah Musthafâ az-Zuhailî (Syiria) dan Maulânâ asy-Syaikh
asy-Syarîf Dr. dr. Yusrî Rusydî al-Sayyid Jabr al-Hasanî (Mesir).
Semenjak menimba ilmu di Sunan Pandanaran, ia telah
banyak menorehkan prestasi, khususnya di bidang khithâbah dan
musâbaqah hifzh al-Qur’ân (mulai dari 1 juz tilawah, 5 juz
tilawah, 10 juz, 20 juz, 30 juz, hingga tafsir Indonesia 30 juz).
Hal itu telah ia ikuti mulai dari tingkat kabupaten, provinsi,
nasional, hingga internasional, dan tak jarang mendapat peringkat
pertama. Adapun semenjak menimba ilmu di Darus-Sunnah, ia
pernah mendapat kepercayaan dari (alm) Prof. Dr. KH. Ali
Mustafa Yaqub, MA. untuk berdakwah di Papua dan Malaysia.
Safari dakwah di Papua sudah dilakukannya sebanyak lima kali.
Ia juga tiga kali berturut-turut mendapat undangan safari dakwah
dan imam selama Ramadan di Toronto, Kanada, Amerika Utara.
Undangan tersebut datang dari Canadian Centre for Deen Studies
dan Sayeda KHADIJA Centre pimpinan Prof. Dr. Hamid Slimi.
Saat ini, selain aktif sebagai dosen ‘ulûm al-hadîts, ‘ulûm
al-Qur’ân, ilmu tafsir, ilmu tajwid, tahfizh Alquran, dan Akidah
di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences,
Ciputat, ia juga mengajar tafsir ayat ahkam dan tahfizh Alquran
di Madaris Darus Sunnah Ciputat, ia juga mengajar tahfizh
Alquran, ilmu tajwid, hadis dan ilmu hadis di Yayasan Pesantren
Raudhatul Makfufin Pamulang, juga tercatat sebagai Pembina
333
Yayasan Pesantren Sukaraja Garut, dan Ketua Komite Sekolah
Menengah Kejuruan Plus Sukaraja Garut, ia juga menjadi imam
tetap di Masjid Al-Jami’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan
imam serta khathib di beberapa masjid sekitar Jabodetabek, juga
mengajar hadis beberapa majelis taklim sekitar Jabodetabek, ia
juga mendirikan majelis khusus para penghafal Alquran yang
diberi nama, Majelis Alif Lam Mim li Tahfidzil Qur’anil Karim.
Karya tulisnya yang sudah terpublikasi: Catatan Dakwah
di Kanada (2017), Lembaga Penghapus Dosa (2017), Mutiara
Cinta dari Sang Mustafa (2018). Ia dapat dihubungi melalui
email [email protected], twitter @ali_hudaibi, FB Ali
Hudaibi, instagram @alihudaibi, blog alihudaibi.wordpress.com.