Sejarah Perkembangan Pesantren Di Indonesia-DeSTI

23
A. Sejarah Perkembangan Pesantren di Indonesia 1. Asal-usul Pondok Pesantren dan Sejarah Perkembangannya Pesantren yang merupakan “bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan jaman. Hal ini bisa dilihat dari perjalanan sejarah, bila dirunut kembali sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam sekaligus mencetak kader-kader ulama atau da’i. 1 Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah “tempat belajar para santri”, sedangkan pondok berarti “rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu”. Di samping itu, “pondok” mungkin juga berasal dari bahasa Arab “fanduk” yang berarti “hotel atau asrama”. 2 Sejarah pondok pesantren merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah pertumbuhan masyarakat Indonesia. Hal itu dapat dibuktikan bahwa sejak kurun kerajaan Islam pertama di Aceh dalam abad-abad pertama Hijriyah, kemudian di kurun Wali Songo sampai permulaan abad 20 banyak para wali dan ulama yang menjadi cikal-bakal desa 1 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan LKIS, 1999), hal. 138. 2 Ibid. Hlm. 138

Transcript of Sejarah Perkembangan Pesantren Di Indonesia-DeSTI

Page 1: Sejarah Perkembangan Pesantren Di Indonesia-DeSTI

A. Sejarah Perkembangan Pesantren di Indonesia

1. Asal-usul Pondok Pesantren dan Sejarah Perkembangannya

Pesantren yang merupakan “bapak” dari pendidikan Islam di

Indonesia didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan jaman. Hal ini

bisa dilihat dari perjalanan sejarah, bila dirunut kembali sesungguhnya

pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah, yakni

menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam sekaligus mencetak

kader-kader ulama atau da’i.1

Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah “tempat belajar

para santri”, sedangkan pondok berarti “rumah atau tempat tinggal

sederhana yang terbuat dari bambu”. Di samping itu, “pondok” mungkin

juga berasal dari bahasa Arab “fanduk” yang berarti “hotel atau asrama”.2

Sejarah pondok pesantren merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari sejarah pertumbuhan masyarakat Indonesia. Hal itu dapat

dibuktikan bahwa sejak kurun kerajaan Islam pertama di Aceh dalam

abad-abad pertama Hijriyah, kemudian di kurun Wali Songo sampai

permulaan abad 20 banyak para wali dan ulama yang menjadi cikal-bakal

desa baru.3 Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di

Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang khususnya di Jawa

selama berabad-abad. Maulana Malik Ibrahim (meninggal 1419 di Gresik

Jawa Timur), Spiritual father Walisongo, dalam masyarakat santri Jawa

dipandang sebagai gurunya guru tradisi pesantren di tanah Jawa.4

Alwi Syihab menegaskan bahwa Syaikh Maulana Malik Ibrahim

atau Sunan Gresik merupakan orang pertama yang membangun pesantren

sebagai tempat mendidik dan menggembleng santri. Tujuannya agar para

1 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan LKIS, 1999), hal. 138.

2 Ibid. Hlm. 1383 Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bhakti,

1982), hal. 7.4 K.H. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia

(Bandung: al-Ma’arif Bandung, 1979), hal. 263.

Page 2: Sejarah Perkembangan Pesantren Di Indonesia-DeSTI

santri menjadi juru dakwah yang mahir sebelum mereka diterjunkan

langsung dimasyarakat luas.5

Dalam sejarah perjuangan mengusir penjajahan di Indonesia,

pondok pesantren banyak memberi andil dalam bidang pendidikan untuk

memajukan dan mencerdaskan rakyat Indonesia. Perjuangan ini dimulai

oleh Pangeran Sabrang Lor (Patih Unus), Trenggono, Fatahillah (jaman

kerajaan Demak) yang berjuang mengusir Portugis (abad ke 15), diteruskan

masa Cik Ditiro, Imam Bonjol, Hasanuddin, Pangeran Antasari, Pangeran

Diponegoro, dan lain-lain sampai pada masa revolusi fisik tahun 1945.6

Pesantren di Indonesia memang tumbuh dan berkembang sangat

pesat. Berdasarkan laporan pemerintah kolonial belanda, pada abad ke-19

untuk di jawa saja terdapat tidak kurang dari 1.853 buah, dengan jumlah

santri tidak kurang 16.500 orang. Dari jumlah tersebut belum termasuk

pesantren-pesantren yang berkembang di luar Jawa terutama Sumatra dan

Kalimantan yang suasana keagamaannya terkenal sangat kuat.7

2. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam

a. Unsur-unsur Pesantren

Sementara itu yang menjadi ciri khas pesantren dan sekaligus

menunjukkan unsur-unsur pokoknya, yang membedakannya dengan

lembaga pendidikan lainnya, yaitu:8

1) Pondok

Merupakan tempat tinggal Kiai bersama para santrinya.

Adanya pondok sebagai tempat tinggal bersama kiai dengan para

santrinya dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari, merupakan pembeda dengan lembaga pendidikan yang

berlangsung di masjid atau langgar. Pesantren juga menampung para

santri yang berasal dari daerah yang jauh untuk bermukim.

2) Masjid

5 Amin Haedari, dkk. Masa Depan Pesantren : Dalam Tantangan Modernitas Dan Tantangan Kompleksitas Global. (Jakarta: IRD Press, 2004), hlm. 6-7

6 Marwan Saridjo, Sejarah, hlm. 7.7 Hasbullah. Ibid. Hlm. 1398 Hasbullah. Ibid. Hlm. 142-144

Page 3: Sejarah Perkembangan Pesantren Di Indonesia-DeSTI

Sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid

yang merupakan unsur pokok kedua dari pesantren, disamping

berfungsi sebagai tempat melakukan shalat berjamaah setiap waktu

shalat, juga berfungsi sebagai tempat belajar mengajar. Biasanya

waktu belajar mengajar dalam pesantren berkaitan dengan waktu

shalat berjamaah, baik sebelum dan sesudahnya.

3) Santri

Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, biasanya

terdiri dari dua kelompok, yaitu santri mukim dan santri kalong.

Santri mukim ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan

menetap dalam pondok pesantren. Sedangkan santri kalong adalah

santri yang berasal dari daerah sekitar pesantren.

4) Kiai

Merupakan tokoh sentral yang memberikan pengajaran.

Karena itu, kiai adalah salah satu unsur yang paling dominan dalam

kehidupan suatu pesantren. Kemasyhuran, perkembangan dan

kelangsungan kehidupan suatu pesantren banyak bergantung pada

keahlian dan kedalaman ilmu, kharismatik dan wibawa, serta

ketrampilan Kiai yang bersangkutan dalam mengelola pesantrennya.

5) Kitab-kitab Islam Klasik

Unsur pokok lain yang cukup membedakan pesantren dengan

lembaga pendidikan lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan

kitab-kitab klasik yang dikarang para ulama terdahulu, mengenai

berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab.

b. Sistem Pendidikan dan Pengajaran Pesantren

Sebagai lembaga pendidikan, Pondok Pesantren walaupun

dikategorikan sebagai lembaga pendidikan tradisional mempunyai

sistem pengajaran tersendiri, dan itu menjadi ciri khas sistem

pengajaran/metodik-didaktik yang lain dari sistem-sistem pengajaran

yang dilakukan di lembaga pendidikan formal. Pengembangan KBM di

Pondok Pesantren dalam bidang pendidikan pada dasarnya terdiri atas

Page 4: Sejarah Perkembangan Pesantren Di Indonesia-DeSTI

dua poros, yaitu pengembangan ke dalam (internal) dan keluar

(external). Pengembangan internal terpusat pada upaya-upaya

menjadikan kegiatan belajar mengajar lebih efektif, terutama dengan

mengembangkan metode-metode pembelajaran.

Ada beberapa metode pengajaran yang diberlakukan di

pesantren-pesantren, diantaranya: Sorogan, weton/bandongan, halaqah,

hafalan, Hiwar, Bahtsul Masa’il, fathul kutub, dan muqoronah.

Metode-metode pembelajaran tersebut tentunya belum mewakili

keseluruhan dari metode-metode pembelajaran yang ada di pondok

pesantren, tetapi setidaknya paling banyak diterapkan di lembaga

pendidikan tersebut. Berikut ini adalah gambaran singkat bagaimana

penerapan metode dimaksud dalam sistem pembelajaran santri : 9

1) Sorogan

Sorogan, berasal dari kata sorog (bahasa Jawa), yang berarti

menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan

Kiai atau pembantunya asisten Kiai. Sistem sorogan ini termasuk

belajar secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan

seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal di antara

keduanya. Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf

pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim.

Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan

membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid dalam

menguasai bahasa Arab.

2) Wetonan/ Bedongan

Weton / bandongan, istilah weton ini berasal dari kata wektu

(bhs. Jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan

pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah

melakukan shalat fardlu. Metode weton ini merupakan metode kuliah,

dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling

kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak

9 Hasbullah. Ibid. Hlm. 142-144

Page 5: Sejarah Perkembangan Pesantren Di Indonesia-DeSTI

kitab masing-masing dan membuat catatan padanya. Istilah weton ini,

di Jawa Barat disebut dengan bandungan, merupakan adalah cara

penyampaian kitab kuning di mana seorang guru, kiai, atau ustadz

membacakan dan menjelaskan isi kitab kuning, sementara santri,

murid, atau siswa mendengarkan, memberi makna, dan menerima.

Dalam metode ini, guru berperan aktif sementara murid bersifat pasif.

Metode bandongan atau wetonan dapat bermanfaat ketika jumlah

murid cukup besar dan waktu yang tersedia relatif sedikit, sementara

materi yang harus disampaikan cukup banyak.

3) Metode Halaqah

Halaqah, sistem ini merupakan kelompok kelas dari sistem

bandongan. Halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid, atau

sekelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru atau

belajar bersama dalam satu tempat. Halaqah ini juga merupakan

diskusi untuk memahami isi kitab, bukan untuk mempertanyakan

kemungkinan benar salahnya apa-apa yang diajarkan oleh kitab, tetapi

untuk memahami apa maksud yang diajarkan oleh kitab. Bila

dipandang dari sudut pengembangan intelektual, menurut Mahmud

Yunus sistem ini hanya bermanfaat bagi santri yang cerdas, rajin dan

mampu serta bersedia mengorbankan waktu yang besar untuk studi

ini, sistem ini juga hanya dapat menghasilkan 1 persen murid yang

pandai dan yang lainnya hanya sebatas partisipan.

4) Metode Hafalan (Tahfidz)

Sebagai sebuah metodologi pengajaran, hafalan pada

umumnya diterapkan pada mata pelajaran yang bersifat nadham

(syair), bukan natsar (prosa); dan itupun pada umumnya terbatas

pada ilmu kaidah bahasa arab, seperti Nadhmal Al-imrithi, Afiyyah

Ibn Malik, Nadhm Al-Maqsud, Nadhm Jawahir Al-Maknun, dan lain

sebagainya. Namun demikian, ada juga beberapa kitab prosa (natsar)

yang dijelaskan sebagai bahan hafalan melalui sistem pengajaran

hafalan. Dalam metodologi ini, biasanya santri diberi tugas untuk

Page 6: Sejarah Perkembangan Pesantren Di Indonesia-DeSTI

menghafal beberapa bait atau baris kalimat dari sebuah kitab, untuk

kemudian membacakannya di depan sang Kiai/ Ustadz.

5) Metode Hiwar

Berbeda dengan hiwar dalam dunia pesantren yang

mengedapankan penguasaan bahasa sebagai alat komunikasi, hiwar

dalam pesantren salafiyah identik dengan musyawarah. Dalam

pemahamannya yang seperti itu, metode ini hampir sama dengan

metode-metode diskusi yang umum kita kenal. Sebagai sebuah

metode, hiwar merupakan aspek dari proses belajar dan mengajar di

pesanren salafiyah yang telah menjadi tradisi, khususnya bagi santri-

santri yang mengikuti sistem klasikal.

6) Metode Bahtsul Masa’il (Mudzakaroh)

Mudzakarah atau bahtsul matsail merupakan pertemuan

ilmiah untuk membahas masalah diniyah, seperti ibadah, aqidah, dan

permasalahan-permasalahan agama lainnya. Metode ini

sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan metode musyawarah.

Bedanya sebagai sebuah metodologi mudzakarah pada umumnya

diikuti oleh para kiai atau para santri tingkat tinggi. Dalam kaitan ini,

mudzakarah (diskusi) dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu

mudzakarah yang diadakan antar sesama kiai atau ustadz dan

mudzakarah yang diadakan antar sesama santri.

7) Fathul Kutub

Fathul kutub merupakan kegiatan latihan membaca kitab

(terutama kitab klasik) yang pada umumnya ditugaskan kepada

santri senior di pondok pesantren. Sebagai suatu metode, fathul

kutub bertujuan menguji kemampuan mereka dalam membaca kitab

kuning, khususnya setelah mereka berhasil menyelesaikan mata

pelajaran kaidah bahasa arab.

8) Muqoronah

Muqoronah adalah sebuah metode yang terfokus pada

kegiatan perbandingan, baik perbandingan materi, paham (madzhab),

Page 7: Sejarah Perkembangan Pesantren Di Indonesia-DeSTI

metode, maupun perbandingan kitab. Oleh karena sifatnya yang

membandingkan, pada umumnya metode ini juga hanya diterapkan

pada kelas-kelas santri senior saja.

9) Muhawarah atau Muhadatsah

Musyawarah merupakan latihan bercakap-cakap dengan

menggunakan bahasa arab. Metode inilah yang kemudian dalam

pesantren “modern” dikenal sebagai metode hiwar. Dalam

aplikasinya, metode ini diterapkan dengan mewajibkan para santri

untuk berbicara, baik dengan sesama santri maupun dengan para

ustadz dan kiai, dengan menggunakan bahasa arab. Adakalanya hal

demikian diterapkan bagi santri selama mereka berada di pesantren

dan adakalanya hanya pada jam-jam tertentu saja.

B. Pesantren Dan Tantangan Modernitas

Modernisasi yang dalam bentuk umum di Indonesia dalam dasawarsa

terakhir lebih dikenal dengan istilah pembangunan (development) adalah

proses multi-dimensional yang kompleks. Dalam dunia kependidikan,

Azyumardi Azra melihat bahwa modernisasi umumnya dilihat dari dua segi.

Pada satu segi, pendidikan dipandang sebagi suatu variabel modernisasi.

Tanpa pendidikan yang memadai akan sulit bagi masyarakat mana pun untuk

mencapai tujuan. Pada segi lain, pendidikan dipandang sebagai objek

modernisasi.10 Dalam konteks ini, pendidikan pada umumnya dipandang

masih terbelakang dalam berbagai hal, karena itulah pendidikan harus

diperbarui, dibangun kembali sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi

yang dipikulkan kepadanya. Sementara itu, pendidikan agama Islam yang

sebenarnya telah ada sejak lama, dimodernisasi. Sistem pendidikan pesantren

yang secara tradisional merupakan lembaga pendidikan Islam indigenous juga

dimodernisasi.

Modernisasi paling awal dari sistem pendidikan di Indonesia, harus

diakui tidak bersumber dari kalangan kaum muslim sendiri. Kemunculan

10 Azyumardi Azra, “Pembaharuan Pendidikan Islam: Sebuah Pengantar”, dalam Marwan Saridjo, Bunga rampai Pendidikan Agama Islam (Jakarta: CV Amissco, 1996), hal. 2.

Page 8: Sejarah Perkembangan Pesantren Di Indonesia-DeSTI

modernisasi pendidikan di Indonesia, berkaitan erat dengan pertumbuhan

gagasan modernisme Islam di kawasan ini. Dalam lapangan pendidikan,

modernisasi ini setidaknya dapat dilihat dengan direalisasikannya

pembentukan lembaga-lembaga pendidikan modern yang mengadopsi dari

sistem dan kelembagaan kolonial Belanda, bukan dari sistem dan lembaga

pendidikan Islam tradisional.

Sistem pendidikan modern pertama kali, yang pada gilirannya

mempengaruhi sistem pendidikan Islam, justru diperkenalkan oleh

pemerintah kolonial Belanda. Namun pada perkembangannya, tantangan yang

lebih merangsang pesantren untuk memberikan responnya terhadap

modernisasi ini, justru datang dari kaum modernis muslim.11 Gerakan

reformis muslim yang menemukan momentumnya sejak awal abad ke-20

berpendapat bahwa untuk menjawab tantangan dan kolonialisme diperlukan

refomasi sistem pendidikan Islam. Oleh karena itu, pesantren melakukan

“penyesuaian” yang mereka anggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas

pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti sistem

penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas dan sistem klasikal.12

Deskripsi di atas sedikitnya menjelaskan bagaimana respon pesantren

dalam menghadapi berbagai perubahan di sekelilingnya. Dalam menghadapi

berbagai perubahan itu, para eksponen pesantren terlihat tidak tergesa-gesa

mentransformasikan kelembagaan pesantren menjadi lembaga pendidikan

modern Islam sepenuhnya, tetapi sebaliknya cenderung mempertahankan

kebijaksanaan sehari-hari, mereka menerima pembaruan (modernisasi)

pendidikan Islam hanya dalam skala yang sangat terbatas, sebatas mampu

menjamin pesantren bisa tetap survive.

Sedikitnya terdapat dua cara yang dilakukan pesantren dalam

merespon perubahan ini, pertama, merevisi kurikulumnya dengan

memasukkan sebagian matapelajaran dan keterampilan umum; kedua,

membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan

11 Azyumardi Azra, “Pesantren Kontinuitas dan Perubahan”, dalam Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. xii-xiv.

12 Ibid., hal. xv-xxvi.

Page 9: Sejarah Perkembangan Pesantren Di Indonesia-DeSTI

pendidikan umum. Kalau kita cermati lebih dalam, kemunculan modernisasi

pendidikan bukan tanpa dampak. Untuk itu, pesantren yang menerima

modernisasi harus benar-benar selektif dalam menerima dan mengadopsi

pola-pola dari luar, karena bisa jadi, pesantren yang tidak selektif dalam

mengikuti perkembangan modernisasi ini akan kehilangan ruh dan

identitasnya sebagai lembaga pendidikan pesantren. Dalam hal ini, kita setuju

dengan pendapat Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa untuk

memainkan peranan yang besar dalam ruang lingkup nasional, pesantren-

pesantren tidak perlu kehilangan kepribadiannya sendiri sebagai tempat

pendidikan keagamaan. Bahkan, tradisi-tradisi positif yang dimiliki pesantren

sebenarnya merupakan ciri khusus yang harus dipertahankan karena di sinilah

letak kelebihannya.13

Namun demikian, pesantren tidak harus menutup diri, ia terbuka dalam

mengikuti tuntutan perkembangan jaman. Materi pendidikan pesantren,

metode yang dikembangkan, serta manajemen yang diterapkan harus

senantiasa mengacu pada relevansi kemasyarakatan dan perubahan.

Sepanjang keyakinan dan ajaran Islam berani dikaji oleh watak jaman yang

senantiasa mengalami perubahan, maka program pendidikan pesantren tidak

perlu ragu berhadapan dengan tuntutan hidup kemasyarakatan.

Dalam konteks ini, secara garis besar permasalahan pesantren bisa

dikelompokkan ke dalam 4 hal, yaitu:14

1. Kurikulum pendidikan yang mencakup literatur, model pembelajaran, dan

pengembangannya.

2. Sarana dan prasarana seperti perpustakaan, laboratorium, internet,

lapangan olah raga, dan yang lainnya.

3. Wahana pengembangan diri seperti organisasi, majalah, seminar, dan lain

sebagainya.

13 Ciri khusus yang dimaksud misalnya pada fungsi pendidikan pesantren telah diakui oleh berbagai kalangan bahwa ia mampu mencetak santri menjadi seseorang yang mempunyai moral yang baik dan sekaligus mempunyai wawasan keagamaan yang matang. Sebagai lembaga yang mempunyai komitmen terhadap pembentukan moral yang baik, pada era sekarang tampaknya sangat dibutuhkan. Lihat lebih lanjut tulisan Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik, hal. 5.

14 Amin Haedari, dkk. Masa Depan Pesantren : Dalam Tantangan Modernitas Dan Tantangan Kompleksitas Global. (Jakarta: IRD Press, 2004), hlm. 197

Page 10: Sejarah Perkembangan Pesantren Di Indonesia-DeSTI

4. Wahana aktualisasi diri di tengah-tengah masyarakat, seperti tabligh,

khatib dan lainnya.

C. Rekonstruksi Pendidikan Pesantren dan Madrasah di masa depan

Dunia pesantren yang nyaris dipahami oleh masyarakat sebagai

dimensi yang tidak berubah, yang selama ini dianggap simbol kejumudan

(kebekuan) dan kemandegan (stagnasi), pada kenyataannya memiliki

dinamika perkembangan yang dinamis, bisa berubah, mempunyai dasar-dasar

yang kuat untuk ikut mengarahkan dan menggerakkan perubahan yang

diinginkan., mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Kebebasan membentuk sistem pendidikan baru merupakan

keniscayaan, asalkan tidak lepas dari bingkai ashlah (lebih baik). Begitu pula,

ketika dunia pesantren diharuskan mengadakan rekonstruksi sebagai

konsekuensi dari kemajuan dunia modern, maka aspek ashlah merupakan

aspek kunci yang harus dipegang. Pesantren modern berarti pesantren yang

selalu tanggap terhadap perubahan dan tuntuan zaman.

Rekonstruksi sistem pendidikan pesantren bukan berarti merombak

seluruh sistem yang ada yang berakibat hilangnya jati diri pesantren. Sistem

pendidikan pesantren tidak seluruhnya baik dan tidak seluruhnya jelek, untuk

itu pimpinan pesantren dituntut untuk dapat memilih dan memilah mana yang

harus diperbaharui dan mana yang harus dipertahankan.

Rekonstruksi sistem pendidikan pesantren tidak harus merubah

orientasi atau mereduksi orientasi dan idealisme pesantren sebagai lembaga

tafaqquh fiddiin dalam pengertian luas. Pelajaran agama tidak hanya diartikan

ilmu-ilmu keagamaan dan apriori terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi,

sehingga diharapkan pesantren mampu melahirkan ulama-ulama intelek yang

mampu menjawab tantangan zaman.

Adapun rekonstruksi yang dapat dilakukan adalah dalam hal:15

1. Dimensi Sumber Daya Manusia

Berangkat dari permasalahan di atas, untuk pengembangan

pesantren dalam berbagai segi baik pendanaan, pengelolaan maupun 15

Page 11: Sejarah Perkembangan Pesantren Di Indonesia-DeSTI

manajemen serta permasalahan lainnya, yang harus ditempuh adalah

pengembangan sumber daya manusia, pernyataan ini tidak berarti bahwa

SDM pesantren dewasa ini lemah, yang dimaksud di sini adalah

pengembangan terus-menerus serta kaderisasi. Jangan sampai suatu

pesantren "terhenti" hanya karena meninggalnya kyai yang biasanya

menjadi komandan sekaligus tumpuan kepercayaan ummat maupun santri,

sehingga ketika kyai tersebut (figur) wafat maka pesantrennya ikut mati

juga.

Bersamaan dengan kaderisasi juga pengayaan SDM yang ada

dengan berbagai kemahiran baik manajerial maupun kemahiran lain yang

sesuai dengan tuntutan zaman. Cara mudah dalam hal ini adalah

mengembangkan budaya baca dan budaya dengar di pesantren, karena

kepiawaian dalam berpidato maupun berdebat (biasanya sudah dimiliki

para santri) harus didukung dengan informasi (pengetahuan) yang luas

supaya tidak tertinggal, tehnik penyampaian gagasan (presentasi) dan

tehnik pembuatan proposal bisa juga dijadikan kemahiran tambahan.

Pengembangan seperti ini dapat dilakukan pesantren dengan mudah karena

sekarang sudah banyak sarjana-sarjana IAIN misalnya yang ada

disekitar /mengelola pesantren. Tehnik pembuatan surat resmi serta

kemahiran administratif lainnya juga layak untuk diajarkan terutama bagi

santri senior yang biasanya dilibatkan membantu kyai mengelola

pesantren.

Mungkin kegiatan sebagaimana di atas bagi beberapa pesantren

bukan hal yang asing, bila demikian adanya, maka bentuk pengembangan

lain bisa dilakukan misalnya dengan menambah kemahiran teulis menulis

baik tulis halus (kaligrafi) maupun penulisan karangan atau artikel serta

kegiatan lain yang bisa membantu pengembangan diri santri di masa

datang baik untuk dirinya maupun untuk pesantrennya.

Di masa depan nampaknya sumberdaya yang handal sangat

membantu pengembangan pesantren untuk senantiasa bisa eksis di era

global tanpa harus meninggalkan nilai-nilai tradisi baik yang telah

Page 12: Sejarah Perkembangan Pesantren Di Indonesia-DeSTI

dimiliki, coba bayangkan alangkah indahnya jika ilmuwan kita nanti, para

pemimpin negara kita serta pengarah kebijakan kita adalah orang-orang

yang memiliki dasar pengamalan dan pengetahuan agama yang baik

sementara pengamalan keagamaan di pesantren telah menjadi tradisi.

Pengembangan ke arah ini tidak berarti mengesampingkan peran

pesantren sebagai pencetak ulama dan tempat mengaji agama, tapi justru

akan lebih mendukung semangat peran tadi dengan melahirkan ulama

yang mumpuni. Dalam kesejarahannya ulama itu dituntut serba bisa mulai

dari memimpin sholat sampai memimpin perang sebagaimana yang

dicontohkan Rasul SAW. Mulai dari mengajarkan agama sampai mengajar

berniaga dan memimpin negara.

2. Dimensi Fisik/ Sarana Prasarana

Selanjutnya sebagai jawaban atas pencitraan buruk pesantren yang

sering dikesankan kumuh, kedepan pesantren dituntut untuk menata

bangunan fisiknya sehingga indah menawan, ini juga termasuk kegiatan

dakwah, dakwah harus berpenampilan simpatik dan memiliki daya tarik,

apalagi zaman sekarang, sebelum membawa anaknya ke pesantren wali

santri biasanya melakukan survei terlebih dahulu. Artinya jangan sampai

niatan baik masyarakat untuk mempercayakan pendidikan anaknya di

pesantren terhalang karena kurangnya daya tarik penampilan fisik

pesantren.

Idealnya bangunan pesantren sebagaimana tempat pendidikan

lainnya memiliki ruang belajar sesuai standard, baik pencahayaan maupun

luas ruangannya. Selain itu harus memiliki halaman dan tempat gerak /

bermain yang memadai baik halaman asrama maupun ruang belajar.

Dalam daftar isian akreditasi diknas misalnya mencantumkan pertanyaan

sekitar; ruang kantor, perpustakaan, laboratorium, ruang makan, dapur,

asrama dan ruang belajar serta sarana olahraga.

3. Dimensi Materi dan Dimensi Metodologi

Untuk materi sebagaimana telah dibahas dalam Bab II tentang

metodologi dan upaya pembaruan, tergantung haluan yang mau dijadikan

Page 13: Sejarah Perkembangan Pesantren Di Indonesia-DeSTI

pijakan apakah tepe salafiyah plus madrasah atau salafiyah murni, tepe

KMI Gontor atau pesantren modern sesuai konsep dan pilihan yang

dianggap tepat bagi para pengelolanya. Cuma barangkali tipe manapun

yang diambil pengembangan materi maupun metodologi bisa senantiasa

dilakukan sejalan dengan pola-pola pengajaran yang lebih banyak dipakai

atau secara variasi. Bisa saja misalkan materi "fathul kutub" dipakai

sebagai cara pengenalan kitab-kitab kontemporer kepada para santri

senior, bisa juga pengajaran kitab-kitab klasik dengan metode diskusi atau

dengan metode pengajaran modern yakni dengan langkah-langkah

misalkan penyampaian materi, pencarian kosa kata yang sulit, pembacaan

tek bahan ajar serta tanya jawab sebagai variasi dari metode sorogan atau

wetonan.Begitu juga sebaliknya bagi pesantren modern bisa mengenalkan

kitab-kitab klasik lewat acara fathulkutub dst.

Mengenai materi umum di pesantren salafiyah apakah harus

dimasukkan atau tidak, yang pasti para santri nantinya akan hidup di

masyarakat yang demikian kompleks, sudah barang tentu mereka harus

mengenal cara-cara bermasyarakat dengan baik, hidup sehat, serta bisa

menghitung. Walaupun tidak diajarkan secara rutin ilmu-ilmu

kemasyarakatan tersebut bisa disajikan dalam bentuk studium general atau

penataran. Sejalan dengan kemajuan zaman dan perkembangan tehnologi,

nampaknya bisa juga diajukan gagasan pesantren kejuruan, artinya

kegiatan pesantren tetap sebagaimana adanya baik materi maupun

metodologi, tapi ada tambahan kemahiran khusus bagi santri misalkan

pertanian, dakwah, atau pendidikan, semacam jurusan di perguruan tinggi.

Kalau kejuruan yang diambil pertanian, maka materi tambahannya selain

mengaji adalah bertani dengan cara yang benar sesuai perkembangan ilmu

pertanian, jika yag diambil adalah kejuruan dakwah, maka materi

tambahannya adalah metodologi dakwah, ilmu jiwa dan sosiologi.

Demikian juga jika yang diambil jurusan pendidikan maka ada

penambahan materi khusus berkenaan dengan pendidikan. Misalkan yang

dirintis Drs Didin Sirajuddin M.Ag, ia mengembangkan pesantren dengan

Page 14: Sejarah Perkembangan Pesantren Di Indonesia-DeSTI

kaligrafi sebagai kejuruannya, tidak mustahil nanti ada pesantren dengan

kejuruan perfilman, penyiaran, jurnalistik, tata boga, akuntansi, perikanan,

peternakan dll.

4. Dimensi Teknologi

Bagi pesantren, pengembangan masalah tekhnologi ini tidak berarti

pada dataran pembuat, tapi lebih berupa pengenalan tekhnologi dan

penggunaannya. Bagaiamana cara menggunakan (mengoperasikan)

komputer, atau alat-alat bantu pembelajaran lainnya (tehnologi

pendidikan) karena biasanya para santri selepas pesantren lebih akrab

dengan dunia pembelajaran dan presentasi (ceramah dan pidato). Dewasa

ini berkenaan dengan teknologi nampaknya pesantren sudah tidak asing,

bahkan kreatifitas para santri relatif lebih "nakal" dalam merekayasa

teknologi kecil-kecilan seperti merangkai elektronik (tape player,

pembuatan pemancar gelap FM, penyambungan lampu dan merakit sound

system bahkan menyediakan jasa penyewaan sound sitem) menyediakan

jasa cetak undangan (sablon) serta setting komputer.