Sejarah Perjuangan Keluarga Imra1

4
SEJARAH PERJUANGAN KELUARGA IMRAN Sfesifikasi keluarga Imran sebagai keluarga mulia pilihan Allah sama dengan keluarga Ibrahim. Tetapi Alqur’an menonjolkan kisahnya dalam membangun generasi mulia pilihan Allah (Dzuriyyah Thoyyibah wa Robbun Ghafur). Kisah keluarga Mulia , keluarga Imran dimulai dengan Nadzar istri Imran.: (Ingatlah), ketika istri Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang shaleh dan berkhidmat (di Baitulmakdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS 3/35) Bernadzar tanpa embel-embel duniawi itu adalah nadzar yang paling baik. Biasanya manusia bernadzar karena ingin lulus, ingin diselamatkan dari bahaya dan lain lain, ini adalah nadzar semata mata ingin diridhoi Allah. Isi Nadzarnya adalah hendak mendermakan anaknya yang kelak lahir kepada Baitul Maqdis. Baitul Maqdis saat itu adalah pusat perjuangan Islam dibawah pimpinan Nabiyullah Zakariya. Bernadzar agar anaknya kelak berkhidmat kepada Islam di baitul maqdis. Sejak awal keluarga Imran RA mengharapkan lahirnya generasi yang mau membaktikan dirinya demi perjuangan Islam. Dan ingin anaknya mengikuti program pendidikan kader yang digalang Nabiyullah Zakaria. Walau dengan demikian ia harus berpisah sejak awal dengan anaknya tersebut Mengabdi dengan Sepenuh Hati Alkisah, dalam surat Ali Imran ayat 35-37, Imran dan istrinya sudah berusia lanjut. Anak yang selalu diharapkan kehadirannya dalam keluargan tak kunjung terwujud. Allah rupanya belum memberikan karunia kepadanya. Suatu ketika, istri Imran bernadzar, seandainya ia dikaruniai Allah seorang anak ia akan serahkan anaknya itu untuk menjadi pelayan rumah Allah, Baitul Maqdis.

description

sejarah keluarga imran

Transcript of Sejarah Perjuangan Keluarga Imra1

Page 1: Sejarah Perjuangan Keluarga Imra1

SEJARAH PERJUANGAN KELUARGA IMRAN

Sfesifikasi keluarga Imran sebagai keluarga mulia pilihan Allah sama dengan keluarga Ibrahim. Tetapi Alqur’an menonjolkan kisahnya dalam membangun generasi mulia pilihan Allah (Dzuriyyah Thoyyibah wa Robbun Ghafur).

Kisah keluarga Mulia , keluarga Imran dimulai dengan Nadzar istri Imran.: (Ingatlah), ketika istri Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang shaleh dan berkhidmat (di Baitulmakdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS 3/35)

Bernadzar tanpa embel-embel duniawi itu adalah nadzar yang paling baik. Biasanya manusia bernadzar karena ingin lulus, ingin diselamatkan dari bahaya dan lain lain, ini adalah nadzar semata mata ingin diridhoi Allah.

Isi Nadzarnya adalah hendak mendermakan anaknya yang kelak lahir kepada Baitul Maqdis. Baitul Maqdis saat itu adalah pusat perjuangan Islam dibawah pimpinan Nabiyullah Zakariya. Bernadzar agar anaknya kelak berkhidmat kepada Islam di baitul maqdis.

Sejak awal keluarga Imran RA mengharapkan lahirnya generasi yang mau membaktikan dirinya demi perjuangan Islam. Dan ingin anaknya mengikuti program pendidikan kader yang digalang Nabiyullah Zakaria. Walau dengan demikian ia harus berpisah sejak awal dengan anaknya tersebut

Mengabdi dengan Sepenuh Hati

Alkisah, dalam surat Ali Imran ayat 35-37, Imran dan istrinya sudah berusia lanjut. Anak yang selalu diharapkan kehadirannya dalam keluargan tak kunjung terwujud. Allah rupanya belum memberikan karunia kepadanya. Suatu ketika, istri Imran bernadzar, seandainya ia dikaruniai Allah seorang anak ia akan serahkan anaknya itu untuk menjadi pelayan rumah Allah, Baitul Maqdis.

Atas dorongan yang begitu kuat, nadzar itu akhirnya diikrarkan. Ia sangat berharap, anak yang akan dikaruniakan Allah itu adalah laki-laki. Dengan doa dan segala upaya, akhirnya Allah memberinya seorang anak perempuan. Meski perempuan, Isteri Imran tak urung menepati janji. Allah swt. telah menakdirkan anaknya adalah perempuan dan ia tetap wajib melaksanakan nazarnya. Ia tidak tahu bahwa anak perempuan yang dilahirkannya itu bukanlah anak biasa. Ia kelak menjadi ibu dari seorang nabi dan rasul pilihan Allah.

Perempuan itu adalah Maryam, ibu Nabi Isa as. Pada masa perkembangannya, Maryam diserahkan keluarganya kepada Nabi Zakariya untuk diasuh dan dididik dengan berbagai ilmu pengetahuan. Ini membuktikan bahwa Imran tidak sembarangan dalam mengasuh dan mendidik Maryam. Nabi Zakariyah adalah kerabat dekat Imran yang dikenal dengan kemahiran dan kedalaman ilmu. Dengan begitu, pendidikan Maryam akan terjamin dengan baik.

Keluarga Imran ini tak hanya disebutkan dalam al-Quran, tapi lebih dari itu, menjadi nama surat dalam al-Quran. Surat Ali Imran, artinya keluarga Imran.  Tentunya bukan sebuah kebetulan

Page 2: Sejarah Perjuangan Keluarga Imra1

nama keluarga ini dipilih menjadi salah satu nama surat terpanjang dalam Al-Quran. Di samping untuk menekankan pentingnya pembinaan keluarga, pemilihan nama ini juga mengandung banyak pelajaran yang dapat dipetik dari potret keluarga Imran.

Ketika membaca surat Ali Imran, kita mungkin bertanya, mengapa sosok atau profil Imran tidak dijelaskan? Hanya namanya saja yang disebut. Justru yang banyak menjadi pembahasan adalah istri Imran (imra'atu Imran) dan puterinya, Maryam. Hal ini seolah mengajarkan kita bahwa keberhasilan seorang kepala rumah tangga dalam membawa anggota keluarganya menjadi individu-individu yang saleh dan salehah tidak serta merta akan menjadikan profilnya dikenal luas dan kesohor.

Boleh jadi dirinya tidak dikenal orang, kecuali hanya sekedar nama, tetapi rumah tangga yang dipimpinnya telah menjadi sebuah rumah tangga yang sukses dan teladan banyak orang. Hikmah ini juga mengingatkan kita pentingnya mensucikan niat dalam setiap amal perbuatan untuk semata-mata mengharap ridha Allah swt., bukan ingin dikenal sebagai seorang kepala tangga yang sukses, ingin dipuji dan sebagainya.

Niat sangat menentukan kualitas dan kontinuitas amal yang dilakukan. Orang yang niatnya dalam beramal hanya untuk memperoleh sesuatu, baik berupa pujian, penghargaan, materi dan sebagainya, maka amalnya akan berhenti setelah ia merasa telah memperoleh apa yang ia angankan. Berbeda dengan orang yang beramal karena mengharap ridha Allah. Ia akan senantiasa beramal tanpa kenal lelah atau putus asa karena tidak tahu apakah ridha Allah yang diharapkan itu sudah tergapai atau belum. Dengan menyimak potret keluarga Ali Imran ini setidaknya dapat dipetik beberapa pelajaran.

Pertama, keinginan besar isteri Imran adalah menjadikan anaknya sebagai abdi Allah seutuhnya. Sebab, keberadaan anak tidak lain adalah titipan atau amanah Allah yang harus dijaga. Ketika anak sudah dewasa, sudah sepatutnya ia dengan penuh ketaatan dapat menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Ini adalah bagian dari pengabdian seorang hamba. Apa yang kita miliki di dunia ini adalah hanya sebatas titipan, hakikat pemilik sesungguhnya adalah Allah.

Dengan orientasi pendidikan dalam lingkungan keluarga seperti ini tidak mengherankan bila putrinya Maryam tumbuh menjadi seorang wanita yang paling suci di muka bumi. Lebih dari itu, ia dimuliakan oleh Allah dengan menjadi ibu dari seorang Nabi dan Rasul yang mulia; Isa bin Maryam melalui sebuah mukjizat yang luar biasa yaitu melahirkan anak tanpa seorang suami. Orientasi orang tua tehadap anaknya adalah sesuatu yang sangat penting sebagaimana pentingnya membekali mereka dengan nilai-nilai keimanan sejak kecil.

Kedua, perbedaan jenis kelamin laki-laki ataupun perempuan sejatinya adalah sama saja. Perbedaan jenis kelamin bukan berarti harus dibeda-bedakan, tapi sama-sama punya hak dan kewajiban yang sama sebagai makhluk Allah di muka bumi. Meski isteri Imran sangat menginginkan anak laki-laki, tapi ternyata ia dapat menerima dengan sepenuh hati kelahiran anak perempuan. Berbekal pada kesabaran dan sikap tawakkal atas keputusan Allah ini ternyata menyimpan rahasia yang agung, kelak anak perempuan tersebut akan menjadi ibu seorang Nabi dan Rasul.

Sikap ini perlu diteladani oleh setiap keluarga muslim, terutama yang akan dikaruniai seorang anak. Boleh jadi apa yang Allah takdirkan berbeda dengan apa yang diharapkan. Namun yang

Page 3: Sejarah Perjuangan Keluarga Imra1

akan berlaku tetaplah takdir Allah, suka atau tidak suka. Maka, kewajiban seorang muslim saat itu adalah menerima segala takdir Allah itu dengan lapang dada dan suka cita, karena Allah tidak akan menakdirkan sesuatu kecuali itulah yang terbaik bagi hamba-Nya.

Ketiga, pendidikan adalah bagian yang sangat penting dan mendapat perhatian lebih dalam keluarga Imran. Karena itu, pertimbangan akan diasuh dan dididik siapakah Maryam menjadi hal utama. Maryam kecil akhirnya dipercayakan dan diasuh oleh Zakaria yang masih famili dekat dengan Imran. Tentu saja asuhan dan didikan Zakaria, yang juga seorang Nabi dan Rasul ini, sangat berdampak positif bagi pertumbuhan diri dan karakter Maryam, sehingga ia tumbuh menjadi seorang gadis yang suci dan terjaga harga dirinya.

Dikisahkan, ketika malaikat Jibril menemui Maryam dalam rupa seorang lelaki untuk memberi kabar gembira kepadanya tentang akan dikaruniainya seorang putra, Maryam sangat ketakutan melihat sosok lelaki asing yang tiba-tiba hadir di hadapannya. Hal itu tak lain karena ia memang tidak pernah bergaul dengan laki-laki manapun yang bukan mahramnya. Inilah sifat iffah (menjaga diri) yang didapat Maryam dari hasil didikan Zakaria.

Untuk itu, setiap orang tua muslim selayaknya memilih lingkungan dan para pendidik yang baik bagi anak-anaknya, apalagi di usia-usia sekolah yang akan sangat menentukan pembentukan karakter dan pribadinya di masa-masa akan datang. Seandainya orang tua keliru dalam memilih lingkungan dan sarana pendidikan bagi anak-anaknya, maka kelak akan timbul penyesalan ketika melihat anak-anaknya jauh dari tuntunan etika dan akhlak yang mulia.