Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

55
SEJARAH GEREJA PROTESTAN di INDONESIA bagian BARAT (GPIB) 1948 -1990 oleh: Pdt. H. Ongirwalu, M.Th. GPIB yang bertumbuh dan berkembang Keputusan Sidang Sinode Am ke tiga GPI (1948) mengenai pembentukan gereja yang keempat di wilayah GPI yang tidak terjangkau oleh GMIM, GPM dan GMIT, diproses dalam jangka waktu yang singkat, yaitu 3 bulan lamanya, dan pada tanggal 31 Oktober 1948 terwujudlah GPIB. Jumlah warga sekitar 10% dari jumlah anggota GPI tahun 1937 (720.000 warga GPI), sekalipun Pdt. B.A.Supit dalam kotbah ibadah peresmian GPIB tanggal 31 Oktober 1948 menyebutkan bahwa warga GPIB berjumlah 200.000 orang Tahun 1970 diperkirakan oleh Persidangan Sinode X, warga GPIB 250.000 orang, tetapi tahun 1990 berdasarkan hasil sensus yang dilaporkan ke Persidangan Sinode XV, warga Jemaat tercatat 196.921 orang. GPIB pada saat berdirinya segera diperhadapkan dengan berbagai masalah: 1. GPIB terbentuk dalam rangka GPI Rapat besar GPI 1933 menetapkan berdirinya 3 (tiga) Gereja Bagian Mandiri di lingkungan GPI yaitu di Minahasa (1934), Maluku (1935) dan Timor (1947). Sedangkan sisa wilayah GPI di luar 3 Gereja tersebut diputuskan untuk dilayani GPIB pada Sidang Sinode Am GPI di Bogor 30 Mei - 10 Juni 1948. Organisasi dan 1

Transcript of Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

Page 1: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

SEJARAH GEREJA PROTESTAN di INDONESIA bagian BARAT (GPIB)1948 -1990

oleh: Pdt. H. Ongirwalu, M.Th.

GPIB yang bertumbuh dan berkembang

Keputusan Sidang Sinode Am ke tiga GPI (1948) mengenai pembentukan gereja yang keempat di wilayah GPI yang tidak terjangkau oleh GMIM, GPM dan GMIT, diproses dalam jangka waktu yang singkat, yaitu 3 bulan lamanya, dan pada tanggal 31 Oktober 1948 terwujudlah GPIB. Jumlah warga sekitar 10% dari jumlah anggota GPI tahun 1937 (720.000 warga GPI), sekalipun Pdt. B.A.Supit dalam kotbah ibadah peresmian GPIB tanggal 31 Oktober 1948 menyebutkan bahwa warga GPIB berjumlah 200.000 orang Tahun 1970 diperkirakan oleh Persidangan Sinode X, warga GPIB 250.000 orang, tetapi tahun 1990 berdasarkan hasil sensus yang dilaporkan ke Persidangan Sinode XV, warga Jemaat tercatat 196.921 orang.

GPIB pada saat berdirinya segera diperhadapkan dengan berbagai masalah:

1. GPIB terbentuk dalam rangka GPIRapat besar GPI 1933 menetapkan berdirinya 3 (tiga) Gereja Bagian

Mandiri di lingkungan GPI yaitu di Minahasa (1934), Maluku (1935) dan Timor (1947). Sedangkan sisa wilayah GPI di luar 3 Gereja tersebut diputuskan untuk dilayani GPIB pada Sidang Sinode Am GPI di Bogor 30 Mei - 10 Juni 1948. Organisasi dan pelayanan GPIB dipikirkan dan dilaksanakan dalam rangka GPI. Konsep Tata Gereja Presbiterial Sinodal hasil Tim GPI yang diketuai Prof. Dr. A. J. Rasker diterapkan menjadi Tata Gereja GPIB. Hal ini disebabkan GPI dengan Gereja-gereja bagiannya memasuki babak baru. GPI muncul dengan struktur yang baru dan 3 (tiga) Gereja bagian lainnya telah memiliki Tata Gereja masing-masing. Dalam masa yang lama GPI berkepentingan untuk mengasuh GPIB, baik kepemimpinan, harta milik maupun kegiatan-kegiatan oikoumenis regional dan internasional.

2. Jemaat-jemaat yang dialihkan oleh GPI kepada GPIB terlantarJemaat-jemaat ini terbatas di kota-kota dengan pola parokial. Anggota-

anggotanya sangat menderita akibat Perang Dunia II dan revolusi bangsa Indonesia. Di dalam Sidang Sinode Am ke tiga GPI (1948) telah dilaporkan, bahwa selain tidak banyak tenaga yang tersedia karena pendeta-pendeta Belanda

1

Page 2: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

ditawan selama perang, juga anggota-anggota Jemaat dicurigai bukan saja sebagai kaki tangan Belanda, tetapi juga musuh Islam. Beberapa Jemaat kota besar, karena pelayanan di dalam dua bahasa (Indonesia dan Belanda), menghadapi persoalan dan ancaman perpecahan. Tugas dan panggilan Jemaat dipahami sebagai tugas pemeliharaan iman warga dan belum menjawab pergumulan sekitarnya.

3. Para pejabat yang dialihkan dari GPI ke GPIB belum dipersiapkan untuk memimpin

Para pejabat yang dialihkan dari GPI ini belum siap untuk memimpin GPIB. Mereka umumnya adalah tamatan STOVIL di Ambon, Tomohon dan SoE. Latar belakang pendidikan dan kedaerahan yang berbeda telah membawa masalah tersendiri dalam membangun kebersamaan di GPIB. Wilayah GPIB berbeda dengan Maluku, Minahasa atau Timor. Di daerah-daerah itu GPI telah membentuk STOVIL dan kemudian menempatkan Pendeta-pendeta Ketua yang berperanan untuk membina wawasan bergereja, kolegialitas pejabat dan organisasi, kepemimpinan serta administrasi gereja masing-masing. GPIB tidak mengalami persiapan seperti itu. Tidak mengherankan bila kepemimpinan GPIB pada 10 tahun pertama dijabat oleh tenaga-tenaga dari GMIM dan GPM (Pdt. W. J. Rumambi dan Pdt. C. Ch. Kainama). Mereka adalah tamatan STT Jakarta angkatan pertama dengan wawasan oikumenis berperanan memimpin GPI dan GPIB.

4. Jemaat-jemaat GPIB tidak menyatu dengan lingkunganJemaat-jemaat GPI yang diserahkan kepada GPIB adalah jemaat-jemaat

yang asing dengan lingkungannya. Jemaat-jemaat ini tidak berakar di daerah tersebut dan pelayanannya terbatas pada para pendatang orang-orang Belanda dan orang-orang Minahasa, Ambon dan Timor yang berpindah-pindah karena pekerjaan mereka sebagai pegawai dan tentara. Akibatnya pada tahun 1950-an, beberapa gedung gereja tidak terpakai untuk pelayanan GPIB karena tidak ada anggotanya. Gedung-gedung itu kemudian dialihkan kepada gereja-gereja setempat (seperti di Sukabumi dan Cirebon atau Bukittinggi). Ada juga yang karena tidak terawat dipakai oleh pemerintah atau masyarakat setempat.Tantangan muncul pula ketika Gereja-gereja daerah dan suku dilembagakan oleh badan-badan Zending yang melayani daerah itu.

5. Kesulitan di bidang keuangan dan pengelolaan harta milik

2

Page 3: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

GPIB pada mulanya mengalami kesulitan mendasar dalam bidang keuangan. GPIB harus menjelaskan kepada anggota-anggota Jemaatnya bahwa para pendeta tidak lagi dibiayai oleh pemerintah.GPIB harus menetapkan iuran anggota Jemaat, suatu hal yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Juga harus membina Jemaat agar memberi bagi pelayanan gereja. Begitu pula harus mengelola badan-badan diakonia yang diwariskan oleh yayasan-yayasan yang dialihkan karena pengelolanya telah kembali ke Negeri Belanda. Di satu pihak badan-badan diakonia itu secara resmi menjadi milik GPIB tetapi telah dikelola secara pribadi oleh warga Jemaat GPIB atau oleh yayasan-yayasan baru yang anggota-anggotanya adalah warga Jemaat GPIB.

Kelima masalah ini menjadi pergumulan utama GPIB pada masa 22 tahun pertama. Itulah sebabnya dalam menetapkan periodisasi sejarah GPIB, perlu ditempatkan masa 22 tahun pertama (1948 -1970) sebagai konsolidasi. Sedangkan periode kedua (1970-1982) disebut: masa pembangunan yang didukung oleh konsep Jemaat Missioner, dan periode ketiga (1982-1990) adalah kemandirian GPIB dalam arti bahwa GPIB bukan hanya mandiri dalam daya dan dana tetapi juga merumuskan visi dan misinya mengenai hakekat hidup dan pelayanannya sebagai gereja. Masa antara tahun 1990 - kini, belum dapat digarap sebagai peristiwa sejarah, karena masa ini penuh dengan gejolak yang membutuhkan penelitian khusus.

Masa Konsolidasi (1948 - 1970)

1. Penataan PelayananPersoalan pertama yang segera dihadapi GPIB setelah pelembagaannya,

ialah pelayanan dua bahasa di sebagian besar Jemaat-Jemaat bekas GPI, khusus di kota-kota besar. Pelayanan berbahasa Belanda di satu Jemaat diatur oleh satu Majelis Jemaat tersendiri dan pelayanan berbahasa Indonesia yang diatur juga oleh Majelis Jemaat yang berbeda. Sehingga di dalam satu Jemaat terdapat dua Majelis Jemaat yang melayani dengan dua bahasa dan juga dengan dua kas Jemaat. Pelayanan dua bahasa ini sebenarnya sudah ada sejak zaman VOC tahun 1621 di Jakarta dengan satu Majelis Gereja dan tetap dilanjutkan pada zaman Hindia Belanda. Ternyata pelayanan dua bahasa ini telah menimbulkan pengkotakan di dalam persekutuan Warga Jemaat.

Bukan hanya Majelis Jemaat dan Kas Jemaat terbagi dua, tetapi juga warga Jemaat. Warga Jemaat berbahasa Belanda berorientasi ke Eropa,

3

Page 4: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

sedangkan mereka yang berbahasa Indonesia lebih nasionalis. Pelayanan Pemuda juga terpecah dua, yaitu dalam PJC (Protestantse Jeugd Club) yang kemudiaun menjadi AMP (Angkatan Muda Protestan) untuk semua anggota yang berbahasa Belanda, sedangkan di Jemaat-jemaat yang berbahasa Indonesia tumbuh organisasi pemuda GPIB yang mewakili Jemaatnya dengan bermacam nama, Pelayanan Sekolah Minggu juga demikian, terbagi atas yang berbahasa Indonesia dan yang berbahasa Belanda.

Dualisme ini diperuncing lagi oleh keadaan politik saat itu yang kemudian memuncak pada persoalan terputusnya hubungan Belanda dan Indonesia karena masalah Irian Barat (berubah menjadi Irian Jaya dan sekarang: Papua) tahun 1958.

Di dalam Sidang Sinode III tanggal 13-17 April 1953 di Jakarta, dualisme ini telah diperdebatkan dan Klasis Jawa Barat membawa usul untuk segera memecahkan persoalan ini. Yaitu agar segera disusun satu Peraturan Jemaat mengenai bentuk Jemaat-jemaat GPIB dan satu Majelis Jemaat saja yang mengatur pelayanan tersebut, serta memelihara keesaan Jemaat setempat. Maka disusunlah satu konsep peraturan yang ditetapkan di dalam Sidang Sinode IV yang dilaksanakan di Jakarta tanggal 1-7 Mei 1955. Namun peraturan ini tidak pernah diterapkan di seluruh Jemaat GPIB. Sidang Sinode V tahun 1958 di Jakarta mengambil keputusan yang sama sekali lain karena situasi politik waktu itu, yaitu menghapuskan pelayanan berbahasa Belanda di semua Jemaat GPIB. Rumusan yang dipergunakan oleh Sidang Sinode V itu ialah "GPIB hanya mengenal satu Jemaat, satu Majelis Jemaat dan satu Kas Jemaat." Rumusan ini tegas tetapi juga bersifat politis dan di dalam pelaksanaannya seluruh kegiatan pelayanan yang berbahasa Belanda bagi orang-orang Indonesia dihapuskan di dalam seluruh jajaran GPIB. Sedangkan bagi orang-orang asing akan diusahakan pelayanan tersendiri dengan pengaturan yang baru.

Ketetapan Sidang Sinode V tersebut sempat mengundang ketidakpuasan dan bahkan konflik setempat, di beberapa Jemaat, misalnya Bandung dan Jakarta. Dan kemudian masalah ini baru terselesaikan seluruhnya dengan Surat Keputusan Majelis Sinode pada tanggal 27 September tahun 1960 No.199 yang isinya, menghentikan seluruh kegiatan berbahasa Belanda bagi orang-orang Indonesia. Ketegangan tersebut berakhir dan telah mendorong GPIB untuk menata dirinya dengan memperhatikan kebutuhan Warga Jemaat dan masyarakat di mana GPIB berada.

4

Page 5: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

2. Bidang Pelayanan KhususSejak awal di Jemaat-jemaat GPIB telah berdiri organisasi-organisasi

yang melayani anak-anak, pemuda dan wanita. Organisasi-organisasi ini melayani di jemaat tetapi tidak diatur di bawah koordinasi Majelis Jemaat setempat. Munculnya organisasi-organisasi ini terutama diilhami oleh semangat oikumenis melalui kegiatan-kegiatan Sekolah Minggu (Sunday School) abad ke-18, Asosiasi Pemuda-pemudi Kristen Sedunia (YMCA, YWCA) dan Federasi Mahasiswa Kristen Sedunia (WCSF) di Eropa pada abad ke-19.

Kehadiran mereka membawa pengaruh besar bagi Jemaat, dan turut mengembangkan pelayanan Jemaat GPIB secara keseluruhan. Namun bidang-bidang pelayanan ini tidak tertata di dalam pelayanan dan organisasi GPIB. Bahkan di berbagai Jemaat, hubungannya dengan Majelis Jemaat setempat tidak terjalin dengan baik.

Tata Gereja 1948 juga tidak mengatur fungsi organisasi-organisasi ini dalam pelayanan GPIB sehingga tidak ada pegangan bagi Jemaat-jemaat untuk mengintegrasikannya di dalam pelayanan Jemaat. Sebaliknya bidang-bidang ini mempunyai sejarah tersendiri dan berdasarkan imamat am warga Gereja, melaksanakan pelayanan tanpa perlu terikat dengan struktur yang ada. Bidang-bidang ini tidak hanya melayani dalam arti sempit di dalam peribadahan Jemaat tetapi juga menjadi wadah pendidikan kader pelayanan diakonia dan partisipasi Gereja di tengah masyarakat serta memberikan sumbangan yang cukup besar bagi usaha-usaha oikumenis.

Menyadari peranan yang cukup penting dari bidang-bidang ini maka sejak awal, Majelis Sinode sudah menjadikannya sebagai mitra kerja dalam pelayanan. Langkah pertama adalah mengadakan Konferensi Organisasi Pemuda Kristen Protestan yang dilaksanakan tanggal 13-15 Juli 1950 di Surabaya. Konferensi yang dihadiri oleh berbagai Organisasi Pemuda di Jemaat-jemaat, diakhiri dengan terbentuknya Gerakan Pemuda GPIB tanggal 15 Juli 1950, yang dipimpin oleh Dewan Pemuda dan bekerja sama dengan Majelis Sinode untuk membina kegiatan pemuda GPIB, dalam Gereja maupun masyarakat. Organisasi pemuda ini dijadikan sebagai wadah pembinaan kader dari sejak awal berdirinya sampai tahun 1966 dipimpin pendeta-pendeta seperti J. W. Porajouw, D. R. Maitimoe, J. J. Matulessy dan P. H. Rompas.

Dewan Pemuda dipercayakan untuk mengkoordinir pelayanan Sekolah Minggu di Jemaat-jemaat. Ketika Pdt. D. R. Maitimoe menjadi Ketua Dewan Pemuda tahun 1957, Gerakan Pemuda mempersiapkan satu Konperensi Guru-

5

Page 6: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

guru Sekolah Minggu, yang diadakan awal bulan September 1959 di Sukabumi. Konferensi ini melahirkan organisasi Sekolah Minggu/Kebaktian Remaja (SM/KR) tanggal 6 September 1959, yang dipimpin oleh Dewan SM/KR dengan Ketua dirangkap oleh Pdt. D. R. Maitimoe, yang banyak menaruh minat terhadap pembinaan Sekolah Minggu.

Usaha untuk mempersatukan organisasi-organisasi ibu-ibu di jemaat-jemaat, dilakukan melalui Konsultasi Kaum Ibu GPIB 21-22 April 1960 di Gadog dan terbentuklah Dewan Sementara yang dipimpin oleh Ny. The Bek Siang-Pelenkahu (Ketua) dan Ny. Nendissa-Sahetapi (Sekretaris). Koordinasi terhadap pelayanan ibu-ibu menjadi pendorong terbentuk Persatuan Wanita melalui Konperensi Organisasi Ibu-ibu yang diselenggarakan bulan Pebruari 1965 di Sukabumi. Lahirlah Persatuan Wanita GPIB tangga1 18 Februari 1965 yang dipimpin oleh Dewan Wanita yang diketuai oleh Pdt. Ny. Margaretha Lie-Angkuw.

Sekalipun telah terbentuk badan-badan ini di dalam jajaran GPIB tetapi koordinasi terhadap badan-badan ini belum terintegrasi. Tahun 1960 fungsionaris Majelis Sinode ditempatkan sebagai Konsulen dalam setiap badan tersebut di tingkat nasional. Kemudian tahun 1962 wakil-wakil dari badan-badan ini menjadi konsulen di Majelis Sinode dan Majelis Jemaat tanpa jabatan gerejawi. Lalu dalam Sidang Sinode ke-9 tahun 1966 di Jakarta, badan-badan ini diintegrasikan sepenuhnya di dalam pelayanan GPIB dengan nama Bidang Pelayanan Chusus (BPC).

Kongres BPC (tahun 1970 nama BPC diganti dengan BPK= Bidang Pelayanan Khusus) menjadi seksi di dalam Persidangan Sinode dan kemudian wakil-wakil BPK di Majelis Jemaat dan Majelis Sinode diberikan jabatan sebagai Diaken.

BPK menjadi badan pembantu di dalam organisasi GPIB dan diberikan fungsi khusus untuk melaksanakan pembinaan terhadap kategori anak-anak, pemuda dan wanita.

3. Mobilisasi Warga GerejaSalah satu tantangan yang dihadapi GPIB ialah bagaimana mengubah

tradisi yang telah tertanam sebagai gereja pejabat atau gereja pendeta. Pada masa-masa awal, Gereja ini sulit menggerakkan warganya untuk ikut serta di dalam pelayanan. Karena itu pada masa konsolidasi ini program mendesak yang harus dilaksanakan GPIB adalah membuka wawasan berpikir warga Jemaat dan pejabat-pejabatnya.

6

Page 7: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

Pada Sidang Sinode VI di Gadog 1960, Pdt. D. R. Maitinoe, mendorong peserta dengan ceramahnya yang berjudul "Hukum Gereja" yang merupakan perangsang bagi GPIB untuk datang pada tugas pembaharuan Jemaat secara baru.

Pembahasannya ini sekaligus menyangkut dua hal, yaitia "pemahaman ekklesiologis GPIB dan kehadiran yang Missioner". Melalui pembahasannya ini ia hendak menekankan bahwa Gereja itu ada karena panggilanNya dan sebab itu Gereja harus hidup sedemikian rupa sehingga Injil diberitakan dan diterjemahkan dalam berbagai bentuk untuk membaharui masyarakat, baik secara struktural (parokial) maupun secara fungsional. Warga masyarakat adalah sesama dengan siapa Gereja membangun masa depan bersama. Maka Sidang Sinode Gadog 1960 memproklamirkan bahwa GPIB adalah Gereja yang Missioner dan seluruh wilayah pelayanan GPIB adalah sasaran pekabaran Injil. Gema dari Sidang Raya Dewan Gereja-gereja se-Dunia II - 1954 di Evanston tentang Penginjilan mewarnai GPIB. Gong telah dibunyikan dan pernyataan Konsep Jemaat Missioner inilah yang menjadi kunci penting dalam upaya konsolidasi pelayanan dan organisasi GPIB serta memberikan arah baru bagi Tata Gereja GPIB. Tata Gereja segera dirombak secara keseluruhan tanpa meninggalkan sistem presbiterial-sinodal. Tata Gereja yang baru ini dibahas di dalam Sidang Sinode VII di Surabaya tahun 1962 dan bersama lampiran peraturan-peraturannya ditetapkan di dalam Sidang Sinode VIII di Bandung 1964.

Dalam rangka pelaksanaan ide Jemaat Missioner itu, Pdt. D.R. Maitimoe pada Sidang Sinode VIII tersebut memberikan ceramah yang berjudul "Mendapatkan pola-pola baru guna mencapai struktur Jemaat Missioner". Pokok-pokok pemikiran ini (disini ada pengaruh Sidang Raya DGD III, 1961 di New Delhi) mendorong terjadinya arah baru dalam membarui struktur pelayanan GPIB.

Pemahaman tentang Jemaat Missioner itu dilaksanakan melalui pembinaan Jemaat dan para pejabat, dan berbagai proyek pekabaran Injil di desa-desa, daerah industri, konsentrasi buruh, mahasiswa dan ABRI.

Daerah-daerah pekabaran Injil baru dibuka di Banten Selatan, Subang, Comal, Kerinci, Lampung, Riau, Bangka, Kalimantan Barat, Timur dan Selatan serta Banyuwangi. Untuk maksud itulah GPIB mengadakan kerja sama dengan

7

Page 8: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

badan-badan pelayanan seperti OMF tahun 1963, YPPII Batu Malang tahun 1964 dan ZNHK tahun 1968.

Masa antara tahun 1960-1970 adalah masa ketika seluruh Jemaat dan jajaran GPIB 'demam' Jemaat Missioner, yang membawa dampak yang cukup besar terutama dalam rangka mengarahkan warga Jemaat untuk melayani masyarakat dan lingkungan sekitarnya sebagai sasaran berita Injil. Pengaruh itu dapat dilihat di dalam pertumbuhan Jemaat-Jemaat. Pertumbuhan jumlah itu disebabkan pemekaran Jemaat-jemaat kota dan hasil pekabaran Injil. Di Jakarta misalnya, dari 3 Jemaat di tahun 1948 dimekarkan menjadi 24 Jemaat di tahun 1970, di Surabaya dari 1 Jemaat menjadi 7 Jemaat dan di Makassar dari 1 Jemaat menjadi 4 Jemaat. Jemaat-jemaat baru hasil pekabaran Injil seperti Subang, Tanjung Karang, Sungai Penuh, Kerinci, Katapang, Tarempa dan Jambi berdiri sebelum tahun 1970.

Untuk menunjang usaha mobilisasi warga Jemaat ini, maka Lembaga Pembinaan Jemaat (LPJ) didirikan. Badan ini bekerja dengan cara menyebarkan bahan-bahan pembinaan yang dipersiapkan bagi semua jajaran pelayanan GPIB, menyelenggarakan latihan, baik secara terpusat maupun di wilayah-wilayah.

Sekalipun mobilisasi warga Jemaat ini berhasil - dalam arti GPIB memahami secara baru missinya dibanding tahun 1948, tetapi juga menimbulkan berbagai gejolak. Antara lain ada Jemaat-jemaat baru yang terbentuk karena perpecahan (terutama di kota-kota). Munculnya Jemaat-jemaat GMIM misalnya di Makassar tahun 1960 dan di Jakarta tahun 1970 membuktikan bahwa warga Jemaat kurang memahami atau sengaja menggugat sejarah dan kesepakatan GPI. Juga warga Jemaat mulai mempersoalkan teologi GPIB di tengah pengaruh aliran-aliran baru (= Injili, Kharismatik dsb.) dan dikritik kekurang-siapan para pendeta GPIB untuk menjawab kebutuhan warga Jemaat. Kekurang-siapan para pendeta inilah yang kelak menjadi sebab dilaksanakan pembinaan secara khusus terhadap pendeta-pendeta dan penginjil GPIB yang dimulai tahun 1976.

Gejolak-gejolak ini dapat diatasi karena kepemimpinan GPIB sejak pertengahan 1960-an lebih berorientasi kepada pelayanan Jemaat dibanding dengan sebelumnya yang lebih berorientasi kepada (hirarki) jabatan.

4. Keuangan

8

Page 9: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

Pada tanggal 1 Pebruari 1950 Pemerintah RI meneruskan bantuan/modal dari Pemerintah Belanda kepada GPI sesuai keputusan Ratu Belanda tahun 1935, sebesar 31 juta gulden. Dari GPI, GPIB menerima uang sejumlah 10 juta rupiah dalam bentuk obligasi. Itulah modal kerja GPIB. Persoalannya sekarang ialah bagaimana memanfaatkan uang tersebut dan bagaimana menjelaskan kepada warga Jemaat bahwa dengan bantuan itu pemerintah telah mengakhiri tanggungjawabnya kepada gereja, khususnya dalam hal memberikan gaji kepada para pendeta GPIB.

Ternyata pada masa-masa awal, GPIB mengalami kesulitan keuangan sehingga modal kerja yang diberikan oleh pemerintah itu habis terpakai untuk membayar gaji-gaji pendeta dan pegawai. Sementara itu Majelis Sinode tetap mengusahakan agar Jemaat-jemaat ikut serta memikul biaya-biaya pelayanan. Tahun 1960 diadakan konsultasi para Bendahara Jemaat dan kemudian dihasilkan keputusan bahwa setiap Jemaat menyetor 50 % dari seluruh pemasukan masing-masing ke Majelis Sinode, dengan perincian 20% untuk iuran, 5% untuk dana pensiun, 5% untuk dana pendidikan, 10% untuk dana pekabaran Injil dan 10 % untuk dana pembangunan. Kesepakatan ini kemudian dikukuhkan di dalam Peraturan Perbendaharaan yang ditetapkan oleh Sidang Sinode VIII di Bandung tahun 1964. Di dalam pelaksanaannya hanya 35% dari Jemaat-jemaat yang sanggup memenuhinya dan berdasarkan kenyataan ini Sidang Sinode IX tahun 1966 di Jakarta menetapkan jumlah 50% itu menjadi 30%. Kebijakan mengenai setoran berdasarkan prosentasi penghasilan Jemaat ini ditempuh karena pembinaan di bidang keuangan belum berjalan dengan baik di samping belum adanya data mengenai jumlah warga sidi Jemaat. Jemaat-jemaat baru memang bertumbuh dari 53 Jemaat di tahun 1948 menjadi 124 di tahun 1970, tetapi tidak semua dapat diharapkan untuk menyetor kewajibannya. Menurut data Departemen Financial, Ekonomi dan Pembangunan, hanya 83 Jemaat di tahun 1970 dikategorikan sebagai Jemaat yang mampu dan dari jumlah itu hanya 30% yang menyetor kewajibannya.

Berdasarkan perkiraan yang dilakukan Majelis Sinode menjelang Sidang Sinode X tahun 1970, maka warga GPIB diperkirakan berjumlah 250.000 orang, di antaranya 100.000 warga sidi Jemaat. Dan dalam rangka memasuki masa pembangunan maka dianggap saatnya warga sidi Jemaal bertanggung-jawab terhadap pelayanan dan pembiayaan gereja. Untuk itu ditetapkan bahwa setiap warga sidi Jemaat menyetor iuran setiap bulan sebesar 15 rupiah ke kas Jemaat untuk diteruskan kepada Majelis Sinode.

9

Page 10: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

Sementara itu sejak Sidang Sinode IX tahun 1966 di Jakarta, gaji-gaji pendeta telah dibayar oleh Jemaat masing-masing; kecuali Jemaat-jemaat pekabaran Injil.

Sekalipun kesadaran memberi dari warga Jemaat yang diukur dari setoran iuran Jemaat ke Majelis Sinode barulah sekitar 30-35%, namun secara keseluruhan perkembangan keuangan GPIB menanjak cepat pada tahun 1960-an dibandingkan dengan keadaan tahun 1950-an, sehingga GPIB memasuki tahun 1970-an dengan kemandirian dana terutama di Jemaat-jemaat. Walau keuangan Majelis Sinode sering mengalami defisit tetapi secara keseluruhan GPIB tidak bergantung kepada pihak lain di dalam maupun di luar negeri. Pengalaman ketergantungan masa GPI dan masa-masa awal GPIB menjadi cambuk untuk menyadarkan warga Jemaat agar berdiri sendiri di bidang keuangan.

5. KepemimpinanKetika berdirinya GPIB, boleh dikatakan, tidak tersedia tenaga yang

mampu memimpin gereja ini secara sinodal. Memang ada pendeta-pendeta tamatan STOVIL Ambon, Tomohon dan SoE, tetapi mereka terutama mengambil alih pelayanan di Jemaat-jemaat setelah para pendeta Belanda ditawan selama Perang Dunia II atau meninggalkan Indonesia setelah perang itu. Sesudah Perang Dunia II pendeta-pendeta GPI asal Belanda kembali memimpin GPI dan GPIB yang baru didirikan itu. GMIM, GPM dan GMIT telah dipimpin olch pendeta-pendeta Indonesia. Agaknya penyerahan kepemimpinan GPI dan GPIB kepada orang-orang Indonesia belum dipersiapkan. Ada orang-orang Indonesa seperti Pdt. J. J. Ayal dan Pdt. B. Supit yang memimpin Kerkbestuur GPI pada masa pendudukan Jepang, atau Pdt. Nic Sahulata yang memimpin Jemaat GPI di Jakarta sejak sebelum Perang Dunia II, tetapi kepada mereka belum diberikan peranan di dalam jabatan utama sesuai hirarki jabatan GPI.

Pada masa 10 tahun pertama GPIB, mereka yang berperanan memimpin Gereja ini sesudah orang Belanda seperti Pdt. J. A. de Klerk, ialah tamatan STT Jakarta yang mempunyai tingkat pendidikan akademis perguruan tinggi. Mereka ini umumnya mendapat tugas belajar dari GMIM dan GPM dan muncul melalui GPI. Misalnya Pdt. W.J. Rumambi, Sekretaris Umum GPI, yang kemudian menjadi Ketua Majelis Sinode GPIB yang ke-2, Pdt. C. Kainama, Bendahara GPI, yang memimpin GPIB selaku Ketua Majelis Sinode tahun 1953 sampai tahun 1964, Pdt. P. H. Rompas, Sekretaris Umum GPI, yang menjabat Sekretaris

10

Page 11: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

dan beberapa kali menjadi Wakil Ketua Majelis Sinode GPIB, Pdt. R. M. Luntungan, Ketua Umum GPI, yang juga mengambil bagian di dalam kepemimpinan Jemaat GPIB di Jakarta. Kepemimpinan mereka ini menonjol di dalam masa konsolidasi sepuluh tahun pertama, namun masih diwarnai oleh hirarki jabatan warisan GPI. Hirarki seperti ini pernah diperjuangkan untuk dihilangkan dengan cara memberikan gelar Dominee (Ds) untuk semua pendeta GPIB pada akhir tahun 1950-an. Tetapi usaha ini tidak mampu meniadakan Batas-Batas psikologis di antara para pendeta itu sendiri.

Pada tahun 1950-an GPIB agak sulit mengeluarkan diri dari keterikatan hirarki jabatan itu. Kepemimpinan GPIB tahun 1960-an banyak diwarnai oleh peran Pdt. D. R. Maitimoe, Pdt. P. H. Rompas dan Pdt. A. J. Sahetapy Engel, yang mengantar GPIB memasuki masa pembangunannya.

Hampir sepuluh tahun sejak ditetapkan Tata Gereja baru 1962/1964 kepemimpinan yang semula berorientasi pada hirarki jabatan (dan pendidikan) warisan GPI, berubah menjadi kepemimpinan bersama yang berorientasi pada pelayanan Jemaat.

Boleh dikatakan bahwa Pdt. D. R. Maitimoe yang menjabat Ketua Majelis Sinode tahun 1964-1974 dengan ciri khas kepemimpinan gembala telah mengantar GP1B memasuki saat-saat penting yaitu masa pembangunan. Pada masa itu GPIB melaksanakan program pembinaan warga gereja dalam rangka pembangunan Jemaat Missioner. Terjadi perubahan-perubahan penting di mana GPIB menjadi gereja yang tidak hanya melayani diri sendiri tetapi mendorong pekabaran Injil oleh Jemaat-jemaat. Suasana ini memungkinkan sehingga kepemimpinan GPIB bertumbuh dari Jemaat-jemaat pada tahun 1970-an. Kepemimpinan pada masa ini diwakili oleh Pdt. B. Simauw yang mengandalkan pembinaan dan memberdayakan warga Jemaat dalam memasuki masa pembangunan. Sekalipun demikian ada juga tantangan yang dihadapi di dalam pembentukan kepemimpinan GPIB. Kesulitan utama ialah GPIB tidak mempunyai lembaga pendidikan teologi yang sejak awal membantu membentuk wawasan teologis GPIB, dan hanya mengandalkan STT INTIM Makassar dan STT Jakarta sebagai lembaga-lembaga oikumenis yang membina calon-calon pelayan di GPIB.

Kesulitan kedua adalah pemanfaatan tenaga penginjil dan mahasiswa-mahasiswa I3 / YPPII Batu Malang tahun 1964 telah menimbulkan sikap pro

11

Page 12: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

dan kontra yang pada gilirannya menyebabkan pergolakan di berbagai Jemaat GPIB sehingga tahun 1981 GPIB memutuskan hubungan secara sepihak dengan YPPII.

Dan akhirnya kesulitan ketiga ialah pembinaan terhadap pendeta-pendeta di masa konsolidasi ini tidak ditangani secara terencana sedangkan di lain pihak mobilisasi warga berjalan terus sehingga pendeta-pendeta kurang mampu mengatasi masalah-masalah di dalam Jemaat. Akibatnya banyak konflik terjadi antara Majelis Jemaat dengan pendeta-pendeta dan Majelis Sinode disibukkan dengan perselisihan-perselisihan antara pendeta dan Jemaat. Hal mana menjadi salah satu sebab mengapa pembinaan terhadap para pendeta GPIB dilaksanakan secara terencana pada tahun 1970-an, di samping pembinaan pada masa vikariat ditingkatkan.

6. OrganisasiSejak tahun 1948 GPIB telah memberlakukan Tata Gereja presbiterial

sinodal. Namun, banyak sekali persoalan yang muncul dari Jemaat-jemaat yang tidak dapat dijawab oleh Tata Gereja ini. Persoalan-persoalan itu antara lain mengenai pengaturan Jemaat-jemaat yang berada di dalam dualisme pelayanan, kegiatan-kegiatan bidang pelayanan: Sekolah Minggu, Pemuda dan Wanita yang terlepas dari kepemimpinan Majelis Jemaat, keuangan yang tidak dibantu lagi oleh pemerintah, harta milik yang dipakai oleh GPIB dan GPI, kepemimpinan yang kurang bertumbuh dari Jemaat dan organisasi yang masih meneruskan model GPI. Semua masalah ini sebenarnya bersumber pada pertanyaan: Bagaimana wujud GPIB yang sebenarnya dan bagaimana hubungan GPIB dan GPI? Pertanyaan seperti ini telah dilontarkan di dalam Sidang Sinode III tahun 1953 dan IV tahun 1955 bahkan lebih hangat lagi pada Sidang Sinode VI tahun 1960. Tata Gereja 1948 tidak memberikan uraian tentang bagaimana wujud Jemaat-jemaat itu dan bagaimana pengelolaannya. Belum ada peraturan tentang Jemaat sebagai penjabaran dari Tata Gereja 1948. Sebab itu sangat terasa kebutuhan mendesak untuk menyusun Tata Gereja yang baru.

Sidang Sinode VII tahun 1962 di Surabaya, membahas Tata Gereja baru dengan mencantumkan secara jelas mengenai wujud GPIB yang berhubungan dengan panggilan dan bukan dalam rangka GPI. Tata Gereja 1962 ini dilengkapi pula dengan peraturan tentang Jemaat, yang disahkan di dalam Sidang Sinode VIII 1964 di Bandung. Peraturan Jemaat yang terdiri dari 44 pasal itu memberikan pedoman yang cukup rinci dan jelas mengenai bentuk Jemaat, apa

12

Page 13: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

saja yang dilakukan dan bagaimana mengelolanya. Karena penatua dan diaken berperanan penting mendampingi pendeta-pendeta di dalam memimpin dan melayani, maka disusun pula Tata Cara pemilihan penatua dan diaken sebagai lampiran Peraturan Jemaat tersebut.

Tata Gereja 1962/1964, sama seperti Tata Gereja 1948 menganut sistem presbiterial-sinodal, yaitu antara lain mengelola pelayanan melalui permusyawaratan bersama yang dilembagakan lewat Sidang Jemaat, Majelis Jemaat, Sidang Klasis, Sidang Sinode dan Majelis Sinode.

Dengan rumusan ini GPIB hendak menerapkan sistem Presbiterial Sinodal yang berakar dan bertumbuh dari Jemaat-jemaat ke Klasis dan Sinode. Memperhatikan kebutuhan pelayanan maka Sidang Sinode VIII tahun 1964 membahas pola-pola baru dalam struktur GPIB untuk menunjang pembangunan Jemaat Missioner.

Tetapi sistem presbiterial sinodal mulai ditinggalkan, antara lain dengan penghapusan Klasis untuk memperlancar hubungan timbal balik Majelis Sinode dengan Majelis Jemaat dalam melaksanakan misi Gereja.

Selanjutnya dengan penghapusan Klasis, dirasakan bahwa kebersamaan Jemaat-jemaat di satu wilayah tidak terbina untuk mendukung mobilisasi warga Jemaat. Karena itu sebagai ganti Klasis ditetapkan bahwa Jemaat-jemaat yang berdekatan dapat membentuk Konven sebagai wadah pertemuan yang menggiatkan kebersamaan di dalam satu wilayah pelayanan. Supaya semua kegiatan warga Jemaat itu berlangsung tertib dan berhasil guna, maka peran mereka disalurkan melalui badan-badan pembantu GPIB yaitu Bidang Pelayanan Khusus: Sekolah Minggu/Kebaktian Remaja, Gerakan Pemuda dan Persatuan Wanita. Dalam rangka itulah badan-badan pembantu itu diintegrasikan di bawah kepemimpinan Majelis Jemaat pada aras Jemaat dan Majelis Sinode di aras Sinodal. Keputusan integrasi ini dilakukan oleh Sidang Sinode IX tahun 1966 di Jakarta. Caranya ialah setiap badan pembantu tersebut mengutus wakilnya untuk menjadi anggota Majelis Jemaat pada aras Jemaat dan menjadi anggota Majelis Sinode pada aras Sinodal dalam jabatan Diaken.

Dengan demikian konsolidasi organisasi GPIB dalam jangka waktu yang relatif singkat, memberikan jalan bagi Majelis Sinode untuk lebih berperan utama dalam mengatur jemaat-jemaat.

13

Page 14: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

Masa Pembangunan (1970-1982)

Masa konsolidasi - terutama antara tahun 1960-1970 - telah mempersiapkan kondisi agar pembangunan GPIB dilangsungkan seirama dengan pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Kondisi itu meliputi: Wawasan bergereja dengan konsep Jemaat Missioner; upaya mobilisasi warga untuk pekabaran Injil; kemandirian di bidang dana; dan Tata Gereja yang menonjolkan peranan penting dari Majelis Sinode sebagai pimpinan dan penentu kebijakan GPIB.

Dengan kondisi ini GPIB melaksanakan pembangunannya yang meliputi:

1. Pendidikan dan PembinaanMobilisasi warga yang diupayakan pada masa konsolidasi antara tahun

1960-1970 menciptakan kesenjangan antara kaum awam dan para pejabat. Cara berpikir warga Jemaat makin terbuka dan cepat berkembang bila dibanding dengan para pejabat, khususnya para pendeta. Sering Jemaat menyerap Cara dan metode baru dari aliran-aliran Kristen yang baru seperti gerakan kharismatik, persekutuan-persekutuan doa dan yayasan-yayasan pekabaran Injil yang bebas, untuk menjawab masalah-masalah di dalam masyarakat dan sering pula mempraktikkannya di dalam hidup berjemaat. Kenyataan ini memberikan tanda kepada GPIB bahwa warganya makin berkembang dan kebutuhan mereka untuk berpartisipasi di dalam pelayanan Gereja makin meningkat. Namun kelihatannya tanpa arah.

Karena itulah di dalam masa pembangunan GPIB ini pendidikan dan pembinaan mendapat perhatian yang diprioritaskan.

a. PendidikanMengingat peranan Lembaga-lembaga Pendidikan makin penting di

dalam pembangunan bangsa, maka sejak tahun 1971 GPIB mengadakan koordinasi terhadap semua lembaga pendidikan yang dimiliki Jemaat. Untuk itu Badan Koordinasi Pendidikan (BAKORDIK) GPIB didirikan tahun 1971 atas rekomendasi Persidangan Sinode X tahun 1970 di Bandungan, Ambarawa.

14

Page 15: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

Badan ini selain berfungsi untuk mengkoordinir sekolah-sekolah di Jemaat-Jemaat GPIB juga membantu mengembangkan mutu pendidikan sekolah-sekolah tersebut serta mengusahakan pengakuan dari pemerintah.

Sekolah-sekolah GPIB ini pada umumnya terdapat di daerah-daerah Pekabaran Injil misalnya di Riau, Lampung, Kalimantan Barat dan Timur dan di beberapa Jemaat di kota-kota besar seperti Jakarta. Untuk meningkatkan pelayanannya maka BAKORDIK GPIB membentuk Yayasan Pendidikan Petra tahun 1974, kemudian diganti lagi dengan Yayasan Pendidikan Kristen (YAPENDIK) GPIB tahun 1981 yang berfungsi membina dan melayani sekolah-sekolah GPIB sampai sekarang. Upaya-upaya di bidang pendidikan ini tidak mencapai hasil yang memuaskan di banding rencana-rencana yang ditetapkan. Pada tahun 1970 ketika upaya ini dimulai, hanya sekitar 10% dari 124 Jemaat GPIB yang mempunyai sekolah dan bervariasi dari Kelompok Bermain sampai Sekolah Lanjutan Atas. Pertumbuhannya lamban bahkan dalam Persidangan Sinode XV tahun 1990 dilaporkan bahwa di antara 200 Jemaat GPIB, hanya 30 Jemaat yang mempunyai sekolah. Hal ini membuktikan bahwa pembangunan di bidang pendidikan tidak mencapai sasaran yang diharapkan. Kesulitan utama yang dihadapi ialah pembangunan sekolah-sekolah INPRES (Pemerintah) di seluruh pelosok Indonesia. Oleh karena itu Jemaat-jemaat tidak mampu bersaing untuk mendirikan sekolah-sekolah. Di lain pihak pengelolaan yang kurang profesional membuat sekolah-sekolah tersebut merana dan akhirnya berfungsi melayani warga Jemaat saja. Sekalipun demikian, upaya ini dirasakan ada manfaatnya terutama bagi daerah-daerah pedalaman yang baru dijangkau pelayanan, misalnya Kalimantan Barat, Timur dan Riau.

b. PembinaanAkibat mobilisasi warga yang dikampanyekan pada sepuluh tahun terakhir

masa konsolidasi, maka telah terjadi kesenjangan antara kaum awam dan para pejabat. Hal ini menyebabkan pembinaan yang dilakukan Lembaga Pembinaan Jemaat GPIB beralih dari warga Jemaat ke para pejabat.

Pembinaan terhadap warga Jemaat dipercayakan kepada Bidang Pelayanan Khusus (BPK), yang berfungsi membina warga Jemaat sesuai kategori masing-masing. Dalam rangka itu BPK diperluas dan diubah menjadi Bidang Pelayanan Kategorial. Selain Sekolah Minggu/Kebaktian Remaja (yang sejak tahun 1966 diganti menjadi Kebaktian Anak/Kebaktian Remaja), Gerakan Pemuda, Persatuan Wanita, sejak tahun 1974 di Jemaat-jemaat mulai terbentuk

15

Page 16: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

Persekutuan Kaum Bapak (kemudian ditetapkan dalam Tata Gereja 1982). Dengan demikian barisan BPK diperluas untuk melaksanakan pembinaan bagi warga Jemaat sesuai kategori usia masing-masing. Selanjutnya Lembaga Pembinaan Jemaat (LPJ) GPIB mengarahkan perhatiannya kepada para Penatua, Diaken, Pendeta dan Penginjil. Kurikulumnya diarahkan untuk membina wawasan bergereja dan melatih untuk mampu mengenal dan menganalisis lingkungan dan menyusun program pembangunan Jemaat. Sekitar tahun 1970-1974, kegiatan ini cukup menggairahkan dan diikuti oleh berbagai Jemaat, terutama di kota-kola besar dimulai dari Jakarta. Beberapa di antara peserta kursus LPJ ini sempat ditahbiskan sebagai pendeta GPIB. Pada ujian gerejawi tahun 1976, tercatat 8 orang yang ditahbiskan sebagai Pendeta. Tetapi akhirnya program yang dimotori oleh Pdt. D. R. Maitimoe, Pdt. Sam Manuputty dan tenaga bantuan dari Overseas Missionary Fellowship (OMF), M. Dainton, M.A. ini hanya berlangsung kurang lebih 7 tahun. Kesulitan yang dihadapi ialah tidak tersedianya tenaga-tenaga pembina yang cukup terampil untuk bekerja sama sebagai staf penulis bahan-bahan, tenaga-tenaga pengajar dan koordinator di wilayah-wilayah.

Untuk mengatasi kesulitan itu Majelis Sinode menjalin kerjasama dengan STT INTIM Makassar dan STT Jakarta untuk menyelenggarakan program semacam ini bagi pejabat-pejabat Gereja (sejenis Pendidikan Teologi Ekstensi) dan GPIB bersedia mensponsori dana untuk program ini. Usaha ini tidak sempat disambut oleh kedua lembaga pendidikan teologi tersebut karena Pdt.D.R.Maitimoe telah dialihkan ke DGI (sekarang PGI) tahun 1972. Gagasan-gagasan LPJ ini kemudian diterapkan oleh Pdt. D. R. Maitimoe ketika menjabat Direktur Institut Oikumene Indonesia DGI dan dilanjutkan di STT Jakarta yang terkenal dengan program Pendidikan Teologi Jemaat. LPJ GPIB kemudian hanya menyelesaikan sisa program yang telah disusun sebelumnya dan bergerak membina pendeta-pendeta GPIB. Direktur LPJ dijabat oleh Pdt. B. Simauw. Maka lahirlah apa yang dikenal dengan Kursus Dasar Pendeta dan Penginjil GPIB (KDPP), dengan Kepala Proyek dijabat oleh Pdt. H. Ongirwalu. KDPP ini dilaksanakan dalam kerjasama dengan Pusat Pembinaan Anggota Gereja (PPAG) PGIW Jatimbalom (Jawa Timur, Bali dan Lombok) di Malang dan Lembaga Pendidikan Kader (LPK) GKJ dan GKI Jateng di Yogyakarta serta Bina Warga GKI Jabar di Cipayung.

Selama tahun 1976 dan 1977 dilaksanakan 4 angkatan, 2 dilaksanakan di Malang, l di Yogyakarta dan 1 di Cipayung, dengan peserta setiap angkatan 20-

16

Page 17: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

25 orang. Materi KDPP ini terutama menekankan pada peningkatan kemampuan dan keterampilan peserta untuk menganalisa, mengambil keputusan di tengah berbagai masalah serta merencanakan program untuk mengatasi masalah-masalah itu bersama Majelis Jemaat dan Warga Jemaat. Upaya KDPP ini sempat terhenti karena sesudah Sidang Sinode XII, tahun 1978 LPJ tidak difungsikan lagi. Kegiatan ini dilanjutkan kembali oleh Majelis Sinode pada tahun 1988 dalam kerjasama dengan Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta. Peserta KDPP sangat bervariasi latar belakang pendidikannya. Dari data tahun 1976 tercatat 126 pendeta GPIB terdiri dari 27 orang dari Sekolah Teologi (menengah), 31 orang Sarjana Muda, 12 orang dari STOVIL, 21 orang Sarjana, 22 orang tamatan III Batu, 5 orang Master dan 8 orang Ujian Gerejawi. Jumlah ini belum termasuk para penginjil yang diangkat secara lokal dan dikukuhkan oleh Majelis Sinode. Dari 126 pendeta tersebut baru sekitar 75% yang mengikuti 3 angkatan KDPP tahun 1976 dan 1977. Jumlah pendeta GPIB kemudian meningkat pada tahun 1979 menjadi 154 orang, di antaranya 18 orang wanita. Jabatan pendeta wanita sejak awal berdirinya GPIB telah diterima dan difungsikan untuk pelayanan umum. Baru pada tahun 1970-an para pendeta Wanita ditugaskan untuk memimpin Jemaat.

2. PMKI dan PMDAPada tahun 1960-an GPIB memperkenalkan istilah apostolat untuk

pekabaran Injil atau misi. Tata Gereja tahun 1972 mempergunakan istilah diakonia dalam arti yang seluas-luasnya, suatu upaya yang juga mencakup pekabaran Injil atau misi. Perkembangan penggunaan istilah-istilah ini menunjukkan bahwa GPIB berusaha menggumuli tugas panggilannya di tengah masyarakat. Masyarakat cenderung mencurigai gereja dengan segala kegiatannya yang dianggap Kristenisasi, sehingga GPIB berusaha merumuskan tugas-tugasnya dengan memperhatikan keadaan itu.

Dalam rangka melaksanakan pelayanan di tengah masyarakat maka GPIB menerima dan memberlakukan dua pola kehadirannya: Pola pertama diadopsi dari upaya DGI yaitu Pelayanan Masyarakat Kota dan Industri (PMKI) dan yang kedua adalah Pelayanan Masyarakat Desa Agraris (PMDA).

a. Pelayanan Masyarakat Kota dan Industri (PMKI)Bentuk pelayanan ini semula disponsori oleh DGI dalam rangka

pemanusiaan terhadap masyarakat modern yang ditandai dengan kehidupan kota yang penuh persaingan, dan industri yang membuat manusia hidup secara mekanis. Pelayanan seperti ini tidak menjadikan usaha menjaring jiwa sebagai

17

Page 18: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

tujuan pokoknya. Usaha memperbanyak anggota Gereja menjadi tujuan sekunder di dalam PMKI. Tujuan utamanya adalah membentuk kelompok-kelompok penggerak di dalam masyarakat untuk menyebarkan ide dan program serta kegiatan dalam rangka memahami lingkungannya dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, keadilan dan cinta kasih di tengah lingkungan itu.

Pelayanan seperti ini dilakukan di kantor-kantor Pemerintah, kawasan Industri, perumahan karyawan/buruh, Asrama Mahasiswa dan kampus Perguruan Tinggi, Pelabuhan, daerah Pariwisata dan sebagainya. Sejak tahun 1970 GPIB mencanangkan untuk melaksanakan pelayanan seperti ini langsung didukung oleh Jemaat-jemaat. Banyak pendeta muda yang telah dilatih selama studi, berminat terhadap pola ini dan mereka didukung oleh para motivator yang dilatih oleh DGI di Cikembar, Sukabumi.

Sekalipun model pelayanan ini telah diperkenalkan bahkan ditunjang oleh berbagai Jemaat GPIB di kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Makassar, Pematang Siantar dan Medan, tetapi sangat sulit diukur keberhasilannya sesuai tujuan utama program PMKI. Metode yang dipakai di dalam pelayanan, yaitu tatap muka, temu wicara secara rutin untuk mendiskusikan problema-problema yang dihadapi oleh peserta dan mendorong mereka untuk menentukan sikap terhadap masalah-masalah itu serta aksi penyelesaiannya, merupakan hal yang baru baik bagi Jemaat-jemaat maupun para peserta kelompok aksi program ini.

Pada tahun 1980-an boleh dikatakan model pelayanan ini kurang dikembangkan lagi dan hanya terbatas kepada warga Gereja yang berada di pusat-pusat kegiatan PMKI, dengan harapan mereka akan mewujudkan ide-ide Gereja di dalam perjumpaan mereka dengan sesama di tempat mereka bekerja dan belajar. Pelayanan seperti ini akhirnya bersifat perawatan rohani bagi warga Gereja di tempat pekerjaan atau kampus mahasiswa. Berbarengan dengan ini persekutuan-persekutan doa yang tumbuh menjamur di kota-kota besar muncul dengan pola pelayanan yang cenderung membangun rohani secara individual - dan itulah yang agaknya disukai warga Gereja di kota-kota - dan kurang menekankan tanggungjawab bermasyarakat sehingga pamor PMKI akhirnya makin memudar dan hilang dilanda gelombang gerakan kerohanian baru ini.

b. Pelayanan Masyarakat Desa Agraris (PMDA)

18

Page 19: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

Persidangan Sinode X tahun 1970 melihat bahwa pekabaran Injil yang dilaksanakan pada masa 1960-an perlu diberikan bentuk dan isi yang baru. Karena GPIB menghadapi masyarakat pedesaan yang perlu dikembangkan secara terpadu, muncullah istilah PMDA ini. Idenya muncul dari lapangan, pertama-tama dari Kalimantan Timur dan dipelopori oleh Pdt. C. Wairata. Pelayanan terhadap suku terasing menuntut gereja untuk memikirkan suatu pola pendekatan yang baru. Tambahan pula kebijakan pemerintah agar suku-suku terasing itu dimukimkan di sepanjang perbatasan Kalimantan dan Malaysia Timur, sekaligus mengamankan tapal batas kedua negara. Ditentukanlah Long Nawang menjadi terminal untuk membangun wilayah sekitarnya, dengan upaya pembangunan desa yang layak sesuai ketentuan pemerintah, pendidikan non formal dan formal, jaringan komunikasi, pertanian secara tetap, Puskesmas, dan kegiatan lainnya untuk menerobos isolasi.

Ide-ide ini kemudian berkembang di tempat lain seperti Kalimantan Barat di bidang pendidikan, wilayah Lampung selain membangun kehidupan bersama transmigrasi juga mengusahakan penyaluran hasil-hasil produksi, dan wilayah Riau dengan suku lautnya.

Kebutuhan dan upaya dari jemaat-jemaat diolah oleh Majelis Sinode GPIB masa bakti 1970-1974 dan 1974-1978. Lahirlah istilah ’adopsi’ , yaitu Jemaat-jemaat kota diarahkan untuk mengadopsi Jemaat-jemaat di desa-desa. Jemaat-jemaat kota bersama mitra kerja di desa berkumpul secara rutin untuk merencanakan pembangunan desa itu, mengusahakan dana bersama, membiayai tenaga yang dibutuhkan serta secara berkala mengevaluasi perkembangan desa tersebut. Tenaga-tenaga yang ditetapkan untuk proyek desa diperlengkapi dengan kemampuan sesuai kebutuhan masyarakat setempat. Sejak itu dikenal Penginjil Lokal yang diangkat oleh jemaat-jemaat yang diadopsi dengan fungsi antara lain sebagai Guru, petugas kesehatan, penyuluh pertanian dan motivator. Untuk memenuhi tenaga penginjil wilayah Kalimantan Timur, sejak tahun 1970 didirikan Sekolah Tenaga Pengerja Gereja (STPG) di Samarinda. STPG ini khusus mendidik para penatua, diaken dan pemuda-pemuda untuk melayani berbagai proyek PMDA di wilayah Kalimantan Timur. Pendidikan yang sama kemudian dibuka di Pontianak untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di Kalimantan Barat. STPG seperti ini kini tidak difungsikan lagi.

Proyek-proyek adopsi ini misalnya dalam tahun 1975 dilaksanakan oleh: Jemaat Paulus DKI bersama Ebenhaezer Surabaya terhadap Long Nawang di Apou Kayan Kalimantan Timur; Jemaat Bandung beserta Penabur DKI,

19

Page 20: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

Immanuel DKI dan Effatha DKI terhadap Lampung; Jemaat Petra DKI beserta Pniel DKI dan Koinonia DKI terhadap Kalimantan Barat. Proyek-proyek adopsi seperti ini telah diperluas di antara jemaat-jemaat dan berkembang sebagai suatu tradisi dalam pelayanan GPIB.

3. Pembangunan Material

Konsolidasi di bidang keuangan tidak sepenuhnya berhasil, tetapi Jemaat telah dibimbing untuk menyadari bahwa kemandirian di bidang keuangan merupakan hal yang penting untuk memasuki masa pembangunan GPIB. Langkah awal yang dilaksanakan di masa pembangunan ini adalah perubahan sistem Iuran Jemaat. Warga Jemaat memikul beban keuangan dengan partisipasi setiap warga sidi minimal Rp.15.- setiap bulan. Sistem ini dianggap kurang tepat. karena tidak didukung oleh data-data yang akurat, khususnya jumlah warga Jemaat GPIB. Lagi pula realisasi penyetoran iuran tersebut tidak sesuai dengan yang direncanakan, yaitu sekitar 30-35% dan seluruh Jemaat yang memenuhinya.

Karena itu tahun 1978 ditetapkan sistem baru dengan kategorisasi Jemaat-jemaat dalam tiga kelompok, yaitu yang mampu, yang sedang dan yang minus. Sistem ini yang berlaku sampai sekarang. Secara sinodal, pembangunan material ini diarahkan juga kepada pemanfaatan harta milik GPIB. Terutama yang tidak bergerak, berupa lokasi tanah dan bangunan atas nama bekas Jemaat-jemaat GPI atau Yayasan/Badan-badan Kristen masa pemerintahan Belanda. Terdiri dari Gedung-gedung Gereja yang sedang dipergunakan dengan lokasi tanah yang menyekitarinya, misalnya Gereja Sion, Immanuel, Tugu, Pniel DKI Jakarta; lokasi-lokasi yang tidak dimanfaatkan GPIB sehingga ditempati masyarakat atau pemerintah, misalnya Taman Hiburan Rakyat Yogyakarta, Tanah Pejambon Jakarta, Tanah Tugu Jakarta, Tanah ex Protestantsche Weeshuis Jalan Pemuda Semarang, Tanah Megamendung dan Tanah Lawang.

Dalam rangka pemanfaatan harta milik ini Majelis Sinode mengurus semua dokumen yang berhubungan dengan status tanah dan bangunan tersebut dan melalui keputusan pemerintah, harta milik itu dikonversikan atas nama GPIB. Keputusan Pemerintah Nomor SK. 22/DDA/1969, tangga1 14 Maret 1969 yang disempurnakan lagi tahun 1975 dan 1978 dan didukung oleh Surat Keputusan Dirjen Bimas (Kristen) Protestan Departemen Agama tanggal 28 Oktober 1974 dan 6 Pebruari 1988, yang menegaskan bahwa harta milik bekas

20

Page 21: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

Jemaat-Jemaat GPI itu dialihkan menjadi atas nama GPIB. Di antara lokasi-lokasi itu, ada yang dipindah lokasi, artinya dijual dan dari hasilnya dibeli lokasi baru untuk kepentingan pelayanan, tetapi ada pula yang disewakan misalnya untuk jangka waktu 25 tahun, antara lain sebagian tanah perumahan orang tua Jemaat Pniel di Jakarta dan Panti Werda Dorkas di Semarang, yang menjadi lokasi pertokoan.

Selanjutnya di dalam masa pembangunan GPIB ini, telah direncanakan sembilan proyek sebagai upaya memasyarakatkan partisipasi GPIB di dalam pembangunan bangsa mulai dari pembangunan perkantoran untuk disewakan (leasing), pertokoan, terminal container/ gudang, hotel, industri kecil, peternakan sampai kepada Christian Centre dan Pusat Pendidikan. 16 Proyek-proyek yang telah dicanangkan ini tidak berjalan dengan lancar dan sering menimbulkan persoalan karena kesulitan dana, tetapi juga karena proses pengelolaan secara bisnis belum dikembangkan sesuai tuntutan misi Gereja. Bahkan belakangan menimbulkan persoalan yang mengancam keutuhan GPIB.

Sekalipun demikian, pembangunan GPIB ini telah mendorong Jemaat menggali potensi GPIB sendiri sebagai Gereja yang mandiri. Hasilnya antara lain terciptanya sistem pengelolaan keuangan dan anggaran Jemaat dan Sinode, proyek-proyek di desa-desa yang ditangani secara terpadu, pembangunan kesejahteraan pendeta dan pegawai serta penginjil atau pendayagunaan Yayasan Dana Pensiun dan Tunjangan Hari Tua dan Perumahan. Selain itu mendorong calon Jemaat baru untuk lebih mempersiapkan dengan kemampuan berswadaya dalam bidang dana dan daya sebelum dilembagakan.

4. Pengembangan Pranata GPIB

Pelaksanaan pembangunan GPIB ditunjang oleh penataan diri yaitu organisasi dan perangkat pelayanan.

a. Tata Gereja

Sehubungan dengan pelaksanaan pembangunan Jemaat Missioner GPIB, maka ditetapkanlah Tata Gereja baru dalam Sidang Sinode Istimewa di Jakarta, tahun 1972. Tata Gereja 1972 ini diusahakan untuk tetap mencerminkan sistem presbiterial sinodal, dan dilengkapi dengan empat ordinansi, yaitu tentang Persidangan Sinode, Majelis Sinode, Bidang Pelayanan Khusus/ Kategorial

21

Page 22: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

(BPK) dan Jemaat. Tata Gereja tersebut kemudian disempurnakan pada tahun 1974 dalam Persidangan Sinode XI di Surabaya dan tahun 1978 dalam Persidangan Sinode XII di Jakarta dan dilengkapi pula dengan tiga peraturan baru (sebagai tambahan terhadap ordinansi-ordinansi yang telah ada) yaitu, masing-masing tentang Personal dan Penggajian, Perbendaharaan, dan Badan Pemeriksa Perbendaharaan Gereja. Tata Gereja ini menempatkan Majelis Jemaat dan Majelis Sinode dalam dataran yang sama, dan bertanggungjawab memimpin organisasi GPIB" dengan lebih mengedepankan fungsi-fungsi manajerial.

b. Garis-garis Besar Kebijakan Umum Pelayanan GPIB (GBKUPG)

Mulai tahun 1974 telah dirasakan perlunya satu program pembangunan menyeluruh yang ditetapkan Persidangan Sinode untuk kemudian dijabarkan di semua jajaran pelayanan GPIB. Karena itu Persidangan Sinode XII tahun 1978 menetapkan Garis-garis Besar Kebijakan Umum Pelayanan Gereja (GBKUPG) jangka panjang 4 tahun dan jangka pendek 1 tahun. Kemudian Persidangan Sinode XIII tahun 1982 menyempurnakannya menjadi Garis-garis Besar Kebijakan Umum Panggilan Gereja (GBKUPG) jangka panjang 25 tahun dan jangka pendek 4 tahun dan 1 tahun.

Dalam rangka itu Musyawarah Pelayanan (MUPEL) ditingkatkan peranannya sebagai badan pembantu Majelis Sinode dan penghubung antara Jemaat-jemaat setempat. Pada tahun 1978, wilayah pelayanan GPIB dibagi atas empat belas Mupel yang setiap tahun berkumpul bersama Majelis Sinode untuk menguraikan program tahunan dan anggaran Majelis Sinode. GBKUPG ini disusun sedemikian rupa sehingga setiap komponen yang melayani di GPIB dapat menjabarkan program masing-masing di dalam koordinasi Mupel masing-masing. Disini terjadi upaya keseragaman semua program dalam pelayanan GPIB dan Jemaat kurang berperan untuk mengembangkan pelayanannya sesuai kebutuhan setempat.

c. Tata Ibadah

Sejak tahun 1970 Tata Ibadah ditinjau dan diperbarui, terutama supaya warga Jemaat lebih banyak berperanan dalam artian tidak hanya mendengar Firman tetapi juga menjawab dan mewujudkan ibadah dalam hidup sehari-hari. Melalui satu kelompok kerja dimana Prof. Dr. J.L. Ch. Abineno sangat berperanan, tahun 1978 dibakukan Tata Ibadah GPIB dengan rumpun-rumpun

22

Page 23: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

yang dapat dijadikan sebagai patokan untuk setiap Ibadah Jemaat. Kemudian tahun 1982 ditetapkan Tata Ibadah kedua yang lebih memperhatikan tradisi Gereja mula-mula dan lebih bersifat oikumenis di mana Pdt. H. A. van Dop dan Pdt. B. Simauw lebih banyak berperanan. Sementara itu sejak tahun 1974 GPIB menetapkan untuk memperbarui lagu-lagu Gereja. Hal itu tidak hanya disebabkan kebutuhan Jemaat untuk mengembangkan musik gerejawi secara lebih bervariasi tetapi juga karena Jemaat-jemaat dilanda oleh arus kerohanian baru dengan nyanyian-nyanyian yang dirasakan tidak cocok dengan ciri khas GPIB. Lahirlah Tim Musik Gerejawi yang memulai kegiatannya dengan disponsori Jemaat Paulus Jakarta, di mana Pdt. H. A. van Dop memberikan peranan yang sangat penting. Hasil karya Tim ini diuji-coba melalui Pesta Paduan Suara GPIB, Jambore Vokal Group Gerakan Pemuda GPIB dan Paduan Suara Anak-anak di Jemaat-jemaat GPIB. Terbitan pertama diberikan judul "Pujilah Tuhan" dan beredar secara luas dalam bentuk stensilan di kalangan GPIB. Pekerjaan ini kemudian dialihkan kepada Yamuger dengan terbitan kedua berjudul "Sekarang Bri Syukur". Lalu yang terakhir berjudul "Kidung Jemaat" yang secara resmi dijadikan sebagai nyanyian yang dipergunakan dalam jajaran Gereja-gereja di Indonesia, termasuk GPIB.

5. Partisipasi Oikumenis

Bila di dalam masa konsolidasi, kehadiran GPIB dalam kegiatan oikumenis hampir selalu dikaitkan dengan GPI, nyatanya pada masa pembangunan GPIB ini telah terjadi perkembangan baru. Sidang Sinode IX di Jakarta tahun 1966 pernah menghimbau agar keesaan GPI tetap dipertahankan dan agar GPI mewakili gereja-gereja bagiannya di dalam forum-forum oikumenis. Sikap ini ternyata tidak dapat diperkembangkan secara konsekuen. GPIB sendiri oleh kebutuhan mengembangkan dirinya dan peranannya, pada tahun 1964 telah menjadi anggota EACC/CCA dan tahun 1969 menjadi anggota WARC , serta berusaha menjadi anggota WCC sesuai keputusan Sidang Sinode XII tahun 1978. Secara resmi GPIB mengajukan permohonan untuk menjadi anggota WCC tahun 1986, dan baru diterima tahun 1991.

Terhadap GPI, selanjutnya GPIB berpendirian lain. Sidang Sinode X tahun 1970 menegaskan sikap GPIB bahwa pengaturan di dalam GPI tidak boleh menghalangi tetapi harus menguntungkan otonomi atau kedaulatan Gereja-gereja yang berada di dalam lingkungan GPI. GPI hanya dipertahankan keberadaannya dalam rangka tujuan DGI yaitu perwujudan Gereja Kristen yang

23

Page 24: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

esa di Indonesia. Karena itu, GPIB mendesak untuk mengadakan Sidang Gereja Am GPI yang diperluas dengan Gereja-gereja lain yang seazas (seperti GKJW, GKP, GKI dsb.) untuk mereorganisir GPI dalam rangka mewujudkan Konsep Sinode Oikumene (Sinogi) yang dicetuskan DGI sebelum Sidang Raya tahun 1971 di Pematang Siantar. Usul GPIB ini baru terwujud melalui Sidang Gereja Am Luar Biasa GPI yang diselenggarakan tahun 1978 di Sonder tanpa kehadiran Gereja-gereja seasas, yang antara lain membahas eksistensi GPI sebagai Gereja dan sebagai badan hukum. Hasilnya ialah ditetapkan Tata Gereja baru GPI dengan tujuan bahwa GPI nantinya menjadi model keesaan di Indonesia. Dalam rangka itu ditetapkan penyeragaman nama bagi semua Gereja yang berada di dalam lingkungan GPI serta program kerja GPI antara lain pembinaan komunikasi dan pemanfaatan harta milik Gereja-gereja (dalam lingkungan GPI). Ketetapan ini tidak pernah dapat direalisir sampai sekarang dan harapan GPIB untuk menjadikan GPI sebagai model keesaan itu tetap tidak terjangkau.

Terhadap DGI (sekarang PGI), GPIB mempunyai sikap yang jelas terutama tercermin di dalam keputusan sinodal. GPIB turut mendirikan DGI tahun 1950 dan mengejar secara konsekuen tujuan DGI. Sebagai Gereja yang multi kultural, GPIB menyadari posisinya sebagai katalisator di dalam usaha-usaha oikumenis di Indonesia. Karena itu GPIB tidak hanya menyetujui Sinode Oikumene (Sinogi) yang dicetuskan tahun 1970, tetapi juga menyarankan perubahan di dalam struktur dan gaya kerja DGI. Dalam rangka Sinode Oikumene itu maka diusulkan agar kegiatan DGI tidak bertumpuk di jalan Salemba Raya 10 Jakarta. Kegiatan-kegiatan di lapangan tidak perlu langsung ditangani oleh DGI tetapi seharusnya lebih banyak oleh Jemaat-jemaat/Gereja-gereja dan dilaksanakan bersama Gereja-gereja di wilayah-wilayah. Sehubungan dengan itulah maka GPIB selalu menekankan kehadirannya di wilayah-wilayah (DGW atau DGS), sehingga Jemaat-jemaat GPIB berperan-serta bahkan menjadi pelopor dalam kegiatan-kegiatan DGW dan DGS. Namun harapan-harapan Sidang Sinode ini akhirnya tetap menjadi mimpi, sementara itu konsep Sinode Oikumenis dan konsep model GPI dianggap ketinggalan dan DGI kemudian berubah menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pada tahun 1984. Di lain pihak GPIB sendiri tidak mempersiapkan kader yang dapat disumbangkan untuk kegiatan-kegiatan oikumenis.

Masa Kemandirian (1982 - 1990)

24

Page 25: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

Kemandirian yang dimaksud di dalam bahasan ini adalah sesuai dengan pokok pikiran Sidang Raya PGI XI di Surabaya tahun 1989. Sidang Raya menegaskan bahwa kemandirian itu meliputi visi yang jelas mengenai hakekat hidup dan pelayanan gereja, memiliki nilai-nilai tertentu untuk bertumbuh berkembang seperti percaya diri sendiri, jeli dalam mengamati masa depan, berpandangan ke depan, gigih dalam berusaha dan mampu bekerja sama. Upaya pembangunan Jemaat Missioner telah dimulai pada akhir masa konsolidasi (1966-1970) dan ditingkatkan pada masa pembangunan GPIB (1970-1982) telah mengantar GPIB untuk mandiri dalam artian memiliki kedewasaan. Kedewasaan yang dimaksud adalah mampu menata dirinya dengan potensi-potensi yang tersedia, hadir di tengah masyarakat dan mampu merumuskan imannya di dalam masyarakat, serta berinisiatip menentukan peranannya di tengah sejarah perjalanan bangsa dan gereja-gereja di Indonesia. Kemandirian inilah yang dimantapkan dan ditingkatkan mulai tahun 1982, yang ditandai dengan:

1. Perumusan Pemahaman Iman GPIB

Pemahaman Iman GPIB sesungguhnya telah lama digumuli terutama melalui diskusi-diskusi teologi sejak tahun 1970 dan diilhami pula oleh kebutuhan masyarakat dan pergaulan oikumenis. Dalam kurun waktu 1970-1982, warga Jemaat maupun para pejabat mempersoalkan teologi GPIB dan apa ciri khas gereja ini. Dalam rangka menyusun Tata Gereja 1982 makin gencar dipersoalkan apa pemahaman iman GPIB sebagai landasan teologis bagi penyusunan pranata GPIB (Tata Gereja, liturgi dan ketetapan-ketetapan lainnya) bagi pembinaan, pendidikan dan pelayanan serta kesaksian GPIB. Sebab itu sejak Sidang Sinode XIII di Pandaan tahun 1982, GPIB mulai membicarakan "Iman, Ajaran dan Ibadah" GPIB secara menyeluruh dalam kaitan dengan perumusan suatu Pemahaman Iman. Tahun 1983 dibentuklah Bidang Pengkajian Theologia, yang dipimpin oleh Pdt. V. I. Tanya, Ph.D., dan digiatkan kembali Bidang Penelitian dan Pengembangan/Pembinaanyang dipimpin oleh Pdt. O. E. Ch. Wuwungan, D.Th. Bersama dua lembaga ini Majelis Sinode membentuk Tim Kerja 19 yang menyusun satu konsep pemahaman iman GPIB.

Melalui diskusi dan penyempurnaan di Jemaat jemaat dan Mupel-Mupel GPIB maka naskah Pemahaman Iman ini ditetapkan di dalam Sidang Sinode XIV Denpasar, Bali, tahun 1986. Pemahaman Iman ini dipikirkan dalam semangat Reformatoris dan di dalam konteks Indonesia. Keadaan dan kebutuhan masyarakat Indonesia yang sedang membangun serta pertemuan dengan agama

25

Page 26: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

lain di Indonesia menuntut GPIB untuk tidak menonjolkan ketritunggalan Allah sebagaimana halnya dengan ketiga simbol gereja purba yang diterima gereja-gereja sekarang. Pemahaman Iman ini memakai pendekatan soteriologis, yang dianggap amat penting bagi masyarakat yang sedang berusaha meraih kesejahteraan bersama. Karena pembangunan seyogianya diupayakan di dalam rangka tindakan Allah yang menyelamatkan manusia dan dunia ini melalui Yesus Kristus.

Pendekatan seperti ini diyakini sebagai pembuka jalan bagi dialog dan kerja bersama sehingga tidak perlu menjadikan ke-Tritunggalan itu sebagai batu sandungan di dalam pergaulan dengan agama-agama lain di tengah masyarakat.

Isi pemahaman iman ini secara garis besar dapat kami rumuskan sebagai berikut.

Pasal pertama pemahaman iman ini berbicara tentang keselamatan. Seluruh tindakan Allah mulai dari penciptaan sampai parousia adalah berporos pada Keselamatan di dalam Kristus. Tindakan Allah itu tidak pernah selesai, berproses terus menerus menciptakan peluang, tantangan dan harpan bagi manusia untuk mengalami dan memberlakukannya.

Tindakan Keselamatan itulah yang telah disambut dan diberitakan oleh persekutuan orang-orang percaya yang disebut Gereja (pasal 2). Karena itu Gereja merupakan buah sulung Kerajaan Allah, yang pertama-tama terbentuk oleh karya Roh Kudus di dalam Kristus.

Dalam hubungan inilah Gereja merupakan Tubuh Kristus dengan Kristus pula sebagai Dasar dan Kepalanya, menjadi persekutuan mondial dan benar karena memberitakan Firman serta digerakkan oleh Roh Kudus untuk menyatakan Kasih Allah melalui persekutuan, pelayanan dan kesaksian.

Gereja itu sendiri sebagai buah sulung memperkenalkan 'Citra Manusia Baru' (pasal 3) di dalam tokoh Kristus. Sebab itu kehidupan manusia baru itu hanya bisa dijalani di dalam hubungan dengan tindakan Allah yang menyelamatkan itu dan di dalam persekutuan orang percaya, yaitu Gereja. Selanjutnya manusia yang telah menemukan citranya itu hidup bertanggungjawab dan mengelola alam ini.

Alam dan sumber dayanya (pasal 4) adalah kemungkinan-kemungkinan yang disediakan Allah agar manusia di dalam citranya itu mengelola dan melestarikannya untuk kepentingan bersama. Dan dalam rangka membina kebersamaan itu maka keberadaan Negara dan Bangsa (pasal 5) mutlak perlu

26

Page 27: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

untuk memanfaatkan dan mengendalikan kuasa manusia mencapai tujuan bersama dengan tertib dan teratur. Kebersamaan itu dirangsang oleh masa depan bersama (pasal 6) yang sekaligus pula berfungsi dan mendorong manusia untuk menilai dan membarui diri serta membuka wawasan-wawasan baru agar bertumbuh dan berkembang di dalam alur Keselamatan yang ditentukan Allah.

Supaya Gereja maupun masyarakat dan dunia tetap berada di alur Keselamatan itu maka Firman Allah (pasal 7) diberikan untuk terus menerus menerangi (= mengkritik) kehidupan Gereja dan dunia. Firman Allah yang hidup, mencipta, memelihara dan memberi arah itu telah mewujudkan diri di dalam Kristus. Itulah yang disaksikan di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan dengan kuasa Roh Kudus diberitakan terus menerus sepanjang zaman dan di semua tempat.

Jelas, bahwa Pemahaman Iman ini merupakan pertanggungjawaban iman GPIB di tengah masyarakat yang terdiri dari berbagai agama, dan berusaha menjelaskan Allah itu dari segi karyaNya yang dialami oleh manusia dan dunia ini. Di samping itu Pemahaman Iman ini sekaligus merupakan penjabaran Pengakuan Iman gereja purba di tengah pelayanan dan kesaksian GPIB.

Di dalam praktik, pokok-pokok Pemahaman Iman ini dipakai sebagai pedoman dalam menyusun kurikulum pelajaran bagi Pelayanan Anak, Persekutuan Teruna, katekisasi, penelaahan Alkitab (Sabda Guna Krida), kotbah Ibadah Minggu (Sabda Guna Darma) bacaan harian warga (Sabda Bina Umat). Di dalam ibadah-ibadah Jemaat, bagian-bagian tertentu dan Pemahaman Iman ini dikutip sesuai tema-tema pelayanan GPIB untuk diikrarkan Jemaat sebagai pengganti Pengakuan Iman yang telah ada.

2 Peningkatan Proyek-proyek Pelkes

Istilah Pelkes (Pelayanan dan Kesaksian) muncul dalam konteks Pembangunan Jemaat Missioner yang telah dilaksanakan tahun 1970. Istilah ini muncul untuk merangkum semua kegiatan pekabaran Injil dalam arti yang tradisional, PMKI, PMDA dan pembangunan material. Isi Pelkes dirumuskan di dalam Konsultasi Sinodal Majelis Sinode dan Mupel-mupel di Ujung Pandang tahun 1981 dan yang dibakukan oleh Konsultasi Pelkes di Lampung tahun yang sama.

Jemaat-jemaat yang berhubungan langsung dengan proyek-proyek Pelkes diarahkan untuk membangun masyarakat sekitarnya dan dalam batas-batas

27

Page 28: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

tertentu melibatkan masyarakat antara lain perusahaan-perusahaan swasta yang membantu proyek pendidikan di Kalimantan Barat.

Proyek-proyek ini yang dimulai awal tahun 1970-an dan dikenal dengan proyek adopsi, telah berkembang pesat sehingga tahun 1990 berjumlah 229 pos pelayanan dengan 44 Jemaat pembina. Permasalahan yang dihadapi ialah terbatasnya tenaga yang terampil yang berpendidikan teologi sekaligus berketerampilan khusus mengorganisir masyarakat setempat, misalnya dalam hal mengembangkan pendidikan non formal, menjadi guru di sekolah-sekolah, mengelola poliklinik, Posyandu (Pos pelayanan terpadu sesuai program pemerintah) dan merintis komunikasi dengan suku-suku terasing. Untuk mengatasi kekurangan tenaga yang dibutuhkan proyek-proyek Pelkes ini, maka pada tanggal 14 Oktober 1990 STPG yang didirikan sejak 1970 di Samarinda ditingkatkan menjadi Akademi Pelayanan dan Kesaksian GPIB (APK GPIB). Dengan demikian, pembangunan GPIB kini bertumpu pada program Pelkes, yang melibatkan pihak-pihak lainnya untuk mewujudkan misi GPIB di tengah masyarakat. Pihak-pihak itu antara lain pemerintah setempat, usaha swasta, petugas kesehatan, pengerja sosial, para pendidik dan penyuluh pertanian.

Selanjutnya program Pelkes ini dievaluasikan dan dikaji perkembangannya terus menerus, misalnya mengenal pola pembangunan desa yang berdampak lingkungan dan sebagainya. Setiap tahun GPIB menyelenggarakan Bulan Pelkes untuk menilai kegiatan ini, selain untuk memasyarakatkan ide Pelkes, juga untuk menggalang dana.

Tahun 1984 Bulan Pelkes dipusatkan di Batam, 1985 di Balikpapan, 1986 di Denpasar, 1987 di Surabaya, 1988 di Bandung, 1989 di Jakarta dan 1990 di Cilacap. Ternyata minat terhadap kegiatan Bulan Pelkes ini cukup besar, diisi dengan kegiatan-kegiatan ibadah syukur, pembinaan, seminar, pekan keluarga, penelaahan Alkitab, perkunjungan ke pos Pelkes terdekat dan penggalangan dana.

Selain Bulan Pelkes, sejak tahun 1986, pada waktu Sidang Sinode GPIB diadakan juga pertemuan Raya Pelkes yang dihadiri oleh utusan-utusan khusus dari seluruh jemaat GPIB (mereka bukan peserta Sidang Sinode dan dapat berasal dari warga jemaat biasa). Pertemuan Raya seperti ini dibuka bersama-sama dengan pembukaan Sidang Sinode dan ditutup secara bersama pula.

28

Page 29: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

Kegiatan Pelkes ini oleh GPIB telah dijadikan sebagai program strategis dalam bergereja di tengah bangsa dan negara yang sedang membangun, dengan penekanan pada pembangunan manusia dan masyarakat seutuhnya.

3. Pemberdayaan Organisasi sebagai alat pelayanan

Kebutuhan untuk hidup di dalam konteks masyarakat telah mendorong GPIB untuk memberdayakan organisasinya terus menerus sejak 1962. Setiap Persidangan Sinode selalu mengevaluasikan organisasi dan merelevansikan Tata Gereja yang berlaku.

Faktor wilayah yang begitu luas meliputi 24 propensi di Indonesia, jemaat-jemaat yang menyebar serta komunikasi lalu lintas yang belum lancar di daerah-daerah pedalaman dan pulau-pulau (khusus Kalimatan dan Sumatera), telah mendorong GPIB untuk menata organisasinya dari waktu ke waktu.

Tata Gereja 1982 disusun dalam bentuk yang lengkap dan mencakup semua peraturan-peraturan untuk memberdayakan organisasi GPIB. Tata Gereja tersebut terdiri dari Tata Dasar, 3 Peraturan Pokok (Jemaat, Persidangan Sinode, Majelis Sinode) dan 10 Peraturan (Pemilihan Penatua dan Diaken, Tata Tertib Persidangan Sinode, Pemilihan Anggota Majelis Sinode, Pejabat, Pegawai dan Penggajian, Perbendaharaan, Bidang Pelayanan Kategorial, Badan Pemeriksa Perbendaharaan Gereja, Badan Pembantu, Pendewasaan dan Pelembagaan Jemaat).

Sistim Presbiterial Sinodal tetap mewarnai Tata Gereja ini dengan memperhatikan kebutuhan untuk memberdayakan organisasi GPIB. Kemandirian GPIB ingin diterjemahkan dalam sebanyak mungkin unsur yang berperan melaksanakan pelayanan. Sehingga sebanyak mungkin peraturan ditampung dalam Tata Gereja ini.

Sekalipun demikian, pemberdayaan organisasi GPIB di masa kemandirian ini ditandai dengan 4 hal.

a. Peranan Majelis Sinode dalam memimpin GPIB

b. Kepejabatan

c. Musyawarah Pelayanan

d. Akta Gereja

29

Page 30: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

a. Peranan Majelis Sinode dalam memimpin GPIB

Kebutuahan untuk melaksanakan pembangunan Jemaat Misioner menyebabkan GPIB mengadakan peningkatan dan pemantapan di bidang organisasi.

Struktur GPIB sesuai Tata Gereja tahun 1972 yang menempatkan Majelis Sinode dan Majelis Jemaat dalam jajaran yang sama dalam memimpin gereja, tetapi Tata Gereja 1982, lebih memberikan peran pada aras Sinodal.

Secara Sinodal, Majelis Sinode, yang mewakili kebersamaan memimpin GPIB dalam keseluruhan. Wewenangnya tidak hanya terbatas pada melaksanakan keputusan-keputusan persidangan sinode, tetapi juga mengatur personil dan mengelola semua harta milik GPIB serta dapat menetapkan kebijakan-kebijakan bagi GPIB.

Dalam rangka itu organisasi Majelis Sinode diperluas untuk melaksanakan langsung maupun tidak langsung seluruh program GPIB. Secara lokal, Majelis Jemaat memimpin Jemaat setempat dengan meneruskan kebijakan-kebijakan dari Majelis Sinode. Selanjutnya Bidang Pelayanan Kategorial tetap diberikan fungsi sebagai alat pembinaan warga. Untuk itu bidang ini ditata kembali dari 3 menjadi 5, yaitu: Pelayanan Anak, Persekutuan Teruna, Gerakan Pemuda, Persatuan Wanita dan Persekutuan Kaum Bapak.

b. Kepejabatan

Untuk menghapus hirarki jabatan yang sudah lama dirasakan menghambat pelayanan, maka dirumuskan kembali tugas masing-masing jabatan yang ada dan ditegaskan bahwa semua jabatan itu ada bukan untuk diri sendiri tetapi untuk melayani.

Jabatan-jabatan itu diarahkan untuk secara bersama berfungsi menjaga kemurnian pemberitaan Firman dan ajaran gereja. Semuanya diberikan fungsi liturgis dan menjaga ajaran gereja. Karena itu mereka berada dalam satu ikatan korps pelayan yang loyal terhadap gereja. Korps itu diwujudkan melalui istilah presbiter untuk semua jabatan yang ada. Sekalipun disadari istilah ini semula untuk penatua tetapi Tata Gereja 1982 menggunakannya untuk menjelaskan bahwa jabatan-jabatan itu ada untuk menjaga kemurnian pemberitaan Firman dan ajaran gereja, salah satu fungsi penting dari para penatua.

30

Page 31: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

Dalam rangka menjaga kemurnian ajaran gereja itu maka para pelayan itu harus loyal kepada gereja, hal mana dinyatakan melalui formulir yang disampaikan sebelum diteguhkan sebagai palayan gereja. Mereka harus setia kepada iman, ajaran dan ibadah GPIB, sesuai keputusan Sidang Sinode ke XIV di Denpasar tahun 1986. Untuk itulah pembinaan terhadap mereka ini diintensifkan, misalnya masa vikariat bagi calon pendeta dan pengmlll atau KDPP sejak tahun 1988 dihidupkan lagi, sangsi yang ketat ditetapkan bagi para pejabat yang tidak menaati peraturan Gereja dan pembinaan bagi para calon penatua dan diaken ditingkatkan. selanjutnya tahun 1990 dibentuk Kursus Lanjutan Pendeta dan Penginjil (KLPP) bagi para pendeta dan penginjil yang memasuki kategori senior dalam rangka proyeksi kepemimpinan GPIB.

c. Musyawarah Pelayanan (MUPEL)

Tata Gereja 1972 telah memberikan peranan bagi Mupel dalam memelihara kebersamaan Jemaat-jemaat di satu wilayah GPIB. Kemudian dalam Tata Gereja 1982, lembaga Mupel ini disebut sebagai jembatan dinamis yang selain berfungsi untuk memelihara kebersamaan Jemaat-jemaat di satu wilayah, juga untuk menyebarkan kebijakan-kebijakan sinodal kepada Jemaat-jemaat di wilayah tersebut. Khususnya dalam penyelenggaraan program Pelkes, Mupel ini sangat berperanan.

Sampai tahun 1990, telah terbentuk 17 Mupel GPIB yang setiap tahun berkumpul bersama Majelis Sinode dalam Konsultasi Sinodal untuk menjabarkan program tahunan GPIB.

Lama kelamaan fungsi dan peranan Mupel lebih merupakan alat untuk mewujudkan kepentingan Majelis Sinode dari pada Jemaat.

d. Akta Gereja

Akta adalah sejenis fatwa (di dalam Islam) di mana Gereja menetapkan pedoman untuk membantu Warga Jemaat menentukan sikap terhadap berbagai masalah di tengah masyarakat. Masalah-masalah itu seperti:

Pernikahan campuran (antar dua orang yang bcrbeda keyakinan, khusus Islam dan Kristen), sunat, bayi tabung, operasi kelamin, pembaruan pengakuan iman bagi warga Jemaat yang kembali setelah pernah beralih agama dan meninggalkan Gereja, sumpah jabatan pegawai negeri, gerakan kharismatik,

31

Page 32: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

pembentukan Gereja baru, jabatan penginjil, pendeta wanita, Persekutuan Oikumene Umat Kristen, euthanasia, perceraian dan pokok-pokok lainnya yang muncul di dalam perjalanan Gereja.

Akta Gereja ditetapkan oleh Persidangan Sinode XIV - 1986 sebagai salah satu tanggungjawab untuk menggembalakan warga Jemaat dan sekaligus pernyataan sikap GPIB untuk menjadi masukan bagi masyarakat dan negara.

Rangkuman

Kita telah mengikuti kisah perjalanan GPIB sejak berdirinya tahun 1948 sampai 1990. Gereja ini telah bertumbuh dan berkembang dalam artian is telah berjuang keras untuk keluar dari keadaannya yang lama dan memasuki suatu keadaan yang baru. Keadaan yang lama itu terutama berhubungan dengan keterikatan warisan-warisan GPI. Sedangkan keadaan yang baru adalah menemukan diri sebagai satu Gereja mandiri di tengah pergumulan masyarakat.

Keberadaannya yang baru sebagai Gereja itu ditandai dengan pelaksanaan tugas missioner (kemudian dengan istilah Pelkes), pembinaan warga (melalui BPK-BPK) dan para pelayan (melalui LPJ/Majelis Sinode), pembangunan material (terutama menggali potensi Jemaat-jemaat untuk kemandirian daya dan dana) serta penataan perangkat-perangkat teologis (Pemahaman Iman, Tata Gereja, GBKUPG, Akta Gereja dan Tata Ibadah).

Dalam pelaksanaan tugas missioner (=Pelkes) GPIB telah berhasil mendorong Jemaat-jemaat untuk memasuki kehidupan dan pergumulan masyarakat yang dilayaninya. Namun tidak nampak perjumpaan dengan masalah-masalah sosial, budaya dan agama-agama dalam rangka upaya berteologi secara kontekstual dan aksi pastoral. Masalah-masalah sosial budaya dan agama yang muncul dalam masyarakat hanya ditanggapi melalui wacana. Begitu pula hubungan dengan pemerintah tidak mewujudkiin secara langsung fungsi-fungsi kenabian tetapi disalurkan melalui lembaga oikumenis seperti PGI.

Mengenai pembinaan, kita mendapat kesan bahwa pembinaan pejabat atau pelayan-pelayan lebih menonjol, khususnya dalam hal kesetiaan mereka terhadap lembaga GPIB. Sedangkan pembinaan warga sendiri yang dipercayakan kepada BPK-BPK cenderung mengalami kemunduran di tengah maraknya kegiatan aliran-aliran baru (kharismatik), terutama sejak akhir tahun 1980-an.

32

Page 33: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

Di bidang pembangunan, kita melihat bahwa pemanfaatan harta milik menjadi daya tarik tersendiri sehingga GPIB segera mengurus status-status tanah yang diterima sebagai warisan dari GPI. Lalu dengan dukungan perangkat hukum GPIB mulai mengelola tanah-tanah tersebut, walaupun ada banyak masalah yang muncul karena belum dipersiapkan dengan baik, misalnya hubungannya dengan GPI dan perencanaan yang lebih matang secara gerejawi.

Akhirnya boleh dikatakan penataan perangkat-perangkat teologis cukup berhasil untuk menempatkan GPIB sebagai Gereja yang menggumuli dirinya sebagai persekutuan orang percaya. Hal ini ditandai dengan pembaruan Tata Ibadah yang terus menerus dilaksanakan. Juga Pemahaman Iman yang diterapkan dalam materi-materi pembinaan warga dan pelayan. Begitu pula GBKUPG dan Akta Gereja sebagai usaha untuk menjawab kebutuhan warga dan masyarakat yang diterangi oleh Firman ALLAH. Sedangkan Tata Gereja yang mengalami pembaruan setiap 10 tahun belum digarap sebagai upaya berteologi. Perubahan Tata Gereja lebih banyak didorong oleh kebutuhan organisasi dan manajemen yang diandalkan masyarakat modern. Sehingga peraturan-peratuan yang dirangkum dalam Tata Gereja lebih bersifat kekuasaan untuk mengatur, menertibkan dan menghukum. Seyogianya Tata Gereja dibaca dan diberlakukan sebagai Injil. Tata Gereja adalah berita sukacita dalam pelayanan.

33

Page 34: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

.

34

Page 35: Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

35