PEMAHAMAN JEMAAT GEREJA KRISTEN PROTESTAN DI BALI...
-
Upload
duongnguyet -
Category
Documents
-
view
252 -
download
0
Transcript of PEMAHAMAN JEMAAT GEREJA KRISTEN PROTESTAN DI BALI...
i
PEMAHAMAN JEMAAT GEREJA KRISTEN PROTESTAN DI BALI
TERHADAP KONSEP GEDUNG GEREJA BALE BENGONG DI DESA
BONTIHING, BALI UTARA
Oleh,
Karenda Yucha
NIM : 712012071
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi : Teologi, Fakultas : Teologi
Guna memenuhi sebagaian dari persyaratan untuk mencapai gelar sarjana
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2016
ii
iii
iv
PEMAHAMAN JEMAAT GEREJA KRISTEN PROTESTAN DI BALI
TERHADAP KONSEP GEDUNG GEREJA BALE BENGONG DI DESA
BONTIHING, BALI UTARA
Oleh,
Karenda Yucha
NIM : 712012071
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi : Teologi, Fakultas : Teologi
Guna memenuhi sebagaian dari persyaratan untuk mencapai gelar sarjana
dalam bidang Teologi (S.Si Teol)
Disetujui oleh,
Pembimbing Utama, Pembimbing Pendamping
Dr. David Samiyono Pdt. Simon Julianto, M.Si
Diketahui oleh, Disahkan oleh,
Kaprogdi Dekan
Pdt Izak lattu Ph.D Pdt. Dr. Retnowati
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2016
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Karenda Yucha
NIM : 712012071
Program Studi : Teologi
Fakultas : Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, Judul :
Pemahaman Jemaat Kristen Protestan di Bali terhadap
Konsep Gedung Gereja Bale Bengong di Desa Bontihing, Bali Utara
Yang dibimbing oleh :
1. Dr. David Samiyono
2. Pdt. Simon Julianto, M.Si
adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian
tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau
meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya
akui seolah-olah sebagai karya saya sendiri tanpa memberikan pengakuan
pada penulis atau sumber aslinya.
Salatiga,.................................
Yang memberi pernyataan,
Karenda Yucha
vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya
yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Karenda Yucha
NIM : 712012071
Program Studi : Teologi
Fakultas : Teologi
Jenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan
kepada UKSW Hak bebas royalty non-eksklusif (non-exclusive royalty free
right) atas karya ilmiah saya berjudul :
Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali terhadap
Konsep Gedung Gereja Bale Bengong, di Desa Bontihing, Bali Utara
beserta perangkat yang ada.
Dengan hak bebas royaltiy non eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan,
mengalihmedia/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan
data, merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga
Pada tanggal :
Yang menyatakan,
...............................................
Mengetahui,
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Dr. David Samiyono Pdt. Simon Julianto, M.Si
vii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa, kiranya pantaslah kami
memanjatkan puji syukur atas segala nikmat yang telah diberikan kepada penulis,
baik kesempatan maupun kesehatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan jurnal
ini dengan baik. Penulisan jurnal ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu
syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Teologi.
Jurnal yang telah kami buat berjudul “Pemahaman Jemaat Gereja Kristen
Protestan di Bali terhadap Konsep Gedung Gereja Bale Bengong, Bali Utara”.
Jurnal ini dapat hadir seperti sekarang ini tak lepas dari bantuan banyak pihak.
Untuk itu sudah sepantasnyalah kami mengucapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besar buat mereka yang telah berjasa membantu penulis selama proses
pembuatan jurnal ini dari awal hingga akhir.
Namun, kami menyadari bahwa jurnal ini masih ada hal-hal yang belum
sempurna dan luput dari perhatian penulis. Baik itu dari bahasa yang digunakan
maupun dari teknik penyajiannya. Oleh karena itu, dengan segala kekurangan dan
kerendahan hati, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca
sekalian demi perbaikan jurnal ini kedepannya.
Akhirnya, besar harapan penulis agar kehadiran jurnal ini dapat
memberikan manfaat yang berarti untuk para pembaca. Dan yang terpenting
adalah semoga dapat turut serta memajukan ilmu pengetahuan.
Salatiga, Juli 2016
Penulis
viii
Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali terhadap
Konsep Gedung Gereja Bale Bengong di Desa Bontihing, Bali Utara
Karenda Yucha (712012071)
Dosen pembimbing:
Dr. David Samiyono
Pdt. Simon Julianto, M.Si
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa alasan
yang melatarbelakangi jemaat BPI (Balai Pembinaan Iman) di Desa Bontihing
menggunakan konsep gedung gereja bale bengong sebagai tempat ibadah.
Penelitian ini dimotivasi oleh fakta bahwa ada sekelompok orang Kristen Bali
masih tetap berusaha untuk mempertahankan komponen-komponen ruang ibadah
dengan cara yang berbeda dari segi penghayatan umat di BPI Bontihing melalui
teologi bangunan gereja bale bengong sebagai tempat peribadatan mereka.
Penelitian ini menerapkan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yang
diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi gereja mengenai
pemahaman konsep gedung gereja bale bengong dengan tujuan mendeskripsikan
alasan-alasan yang melatarbelakangi jemaat BPI di Desa Bontihing menggunakan
konsep gedung gereja bale bengong sebagai tempat ibadah. Melalui penelitian ini
akan dihasilkan karya ilmiah yang menjadi sumber pustaka bermanfaat bagi
kalangan intelektual dan warga gereja. Hasil dari penelitian ini adalah Jemaat BPI
Bontihing sampai sekarang tetap mempertahankan Bale Bengong sebagai tempat
untuk beribadah karena bale bengong tersebut merupakan sebuah bangunan
tradisional yang tercipta dari masyarakat pertanian yang sudah tentu itu datang
dari latar belakang jemaatnya. Sesuatu yang timbul kontekstual akan lebih mudah
diterima dan dekat sehingga sangat membantu jemaat BPI Bontihing dalam setiap
penghayatan imannya. Bale bengong masih menjadi jawaban sebagai media
utama dalam berdiskusi untuk membahas hal yang ringan ataupun yang berat
yang terkandung nilai-nilai kebersamaan yang menjadi hal utama dasar hidup
masyarakat pertanian.
Keywords: Arsitektur, Bale, Bengong, Bangunan, Gereja, Ibadah.
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
Metode Penelitian.......................................................................................................... 5
BAB II LANDASAN TEORI ....................................................................................... 6
A. Arsitektur Gereja............................................................................................. 6
1. Pengertian Arsitektur Gereja .................................................................. 6
2. Ibadah – ibadah Jemaat .......................................................................... 6
3. Bentuk – bentuk Arsitektur Gereja......................................................... 7
4. Bagian – bagian Gedung Gereja dan Karakteristiknya ......................... 8
5. Filosofi Bangunan Gereja ...................................................................... 8
6. Fungsi dan Tujuan Bangunan Gereja ..................................................... 9
B. Arsitektur Tradisional Bali ............................................................................. 9
1. Sumber Ajaran dan Konsep Dasar ......................................................... 9
2. Ciri Khas Bangunan Arsitektur Bali .................................................... 10
3. Bale Bengong ....................................................................................... 10
BAB III HASIL PENELITIAN .................................................................................. 12
A. Sejarah Awal Jemaat BPI Bontihing ............................................................ 12
B. Letak Geografis ............................................................................................. 13
C. Balai Pembinaan Iman (BPI) Bontihing ....................................................... 14
D. Tempat Ibadah Umat Kristen Bernuansa Hindu Bali ................................... 16
E. Tanggapan Masyarakat Sekitar ..................................................................... 18
x
BAB IV BALE BENGONG SEBAGAI SARANA IBADAH JEMAAT
BPI BONTIHING, BALI UTARA .................................................................... 20
A. Jenis Ibadah................................................................................................... 20
B. Bentuk Bangunan Bale Bengong sebagai Tempat Ibadah ............................ 22
C. Kekurangan dan Kelebihan Bale Bengong sebagai Tempat Ibadah ............. 25
BAB V PENUTUP ...................................................................................................... 28
A. Kesimpulan ................................................................................................... 28
B. Saran.............................................................................................................. 29
xi
Ucapan Terima Kasih
Puji Syukur Kepada Tuhan Yesus Kristus. Jurnal ini terselesaikan berkat
limpahan rahmat, berkat, serta nafas hidup yang diberikan oleh Tuhan Yesus
Kristus, sehingga jurnal ini berhasil diselesaikan tanpa kurang suatu apapun, yang
mana segala sesuatu telah diberikan oleh Tuhan Yesus sehingga semuanya dapat
terselesaikan dengan baik adanya, dan tidak lupa Penulis juga harus berterimkasih
yang setinggi-tingginya dan sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
Pertama, Ibu Pdt. Retnowati selaku Dekan Fakultas Teologi Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga, ditambah seluruh keluarga besar Civitas
akademika Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, kepada
semua dosen yang telah memberi ilmu kepada Penulis dan Staff TU yang telah
memberikan pelayanan selama proses perkuliahan.
Kedua, Special Thanks, kepada bapak DR. David Samiyono dan Pdt.
Simon Julianto, M.Si, selaku dosen pembimbing atas waktu dan perhatiannya
yang telah diluangkan dalam membimbing Penulis dalam proses penulisan dari
awal hingga akhir jurnal ini.
Ketiga, untuk Pdt. DR. Victor Hamel dan Istrinya Pdt. Tutin Okto Lisa
Djami yang sudah menjadi sumber inspirasi Penulis dalam mengangkat topik
jurnal ini dalam bukunya “Gereja Bale Bengong” dan sudah bersedia menjadi
penasehat dan membimbing Penulis selama proses penulisan jurnal.
Keempat, Ayah dan Ibu Penulis, Ayah; Alm. Kismo Waluyo dan Ibu Luh
Pt. Swastini atas seluruh curahan cinta kasih, keringat, seluruh hasil kerja keras
yang diberikan kepada Penulis, dalam bentuk dukungan materi maupun non-
xii
materi guna membantu dalam menyelesaikan Pendidikan Penulis selama ini, dan
juga yang telah bersabar dan selalu setia menghadapi setiap tingkah laku Penulis
yang telah diperbuat selama ini perbuatan yang positif maupun negatif.
Kelima, kepada saudari Penulis, Thalia Viranda yang selalu memberi
motivasi dan semangat walaupun jarak dibatasi oleh benua, dikala Penulis dalam
keadaan suntuk maupun lelah, yang selalu memberikan saran, canda tawa dengan
sikap-sikap yang menghibur.
Keenam, kepada Binsar Soritua Panjaitan, selaku pasangan yang selalu
setia mendukung dikala suka dan duka, memberikan motivasi yang tiada henti
agar Penulis dapat bertanggung jawab di dalam setiap proses perkuliahan serta
menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu.
Ketujuh, sahabat-sahabat Penulis; Ananda Letare Situmorang dan Sifra
Paramma yang selalu setia dan tidak lelah untuk bersabar dalam menjalani
persahabatan dengan Penulis serta motivasi-motivasi yang diberikan dalam proses
penulisan skripsi ini.
Kedelapan, seluruh mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga, Khususnya teman-teman angkatan 2012 yang telah banyak
membagi suka duka selama Penulis berkuliah.
Tuhan Memberkati Kita Semua. Amin.
Salatiga, Juli 2016
Karenda Yucha
1
BAB I
PENDAHULUAN
Orang-orang Israel yang masuk ke tanah Kanaan membiasakan diri
beribadat di kuil-kuil kuno yang sudah ada sejak zaman kuno.1 Ibadat pada zaman
para Patriarkh berlangsung di kuil-kuil Kanaan. Tradisi suasana ibadat tercermin
dalam tradisi kitab Kejadian dengan unsur pertemuan bukan tempat keramat atau
nama ilah yang mereka pakai.2 Menurut keterangan mazhab Imamat, Kemah Suci
atau tempat peribadatan selalu terletak di bagian pertengahan barisan Israel ketika
bertolak dan berjalan yaitu tempat Allah bersekutu dengan Musa serta
menyatakan kehendakNya.
Dalam dokumen E, Kemah Pertemuan bentuknya jauh lebih sederhana
digunakan oleh sembarang orang untuk mencari Tuhan.3 Mezbah yang didirikan
pun boleh berada di tiap-tiap tempat yang ditentukan Allah untuk menjadi tempat
peringatan bagi namaNya.4 Keadaan tempat ibadah sama seperti waktu rasul-rasul
pada abad ke-dua adalah jemaat berkumpul di rumah-rumah anggotanya.
Peribadatan ini nampak sangat berbeda dengan peribadatan di zaman kuno. Pada
abad ketiga keadaan itu berubah. Ibadah jemaat yang dahulu terbuka untuk “dunia
luar” makin lama makin tertutup dan introvert. Bentuk gedung-gedung masih
sederhana dan tidak banyak berbeda dengan bentuk rumah biasa.5
Gedung gereja bukan sekadar tempat berkumpul melainkan “tempat”
kehadiran Tuhan. Beberapa gereja mempertahankan kiblat ke timur (tempat surya
terbit gambaran kebangkitan Tuhan) untuk membantu penghayatan umat akan
Kristus yang telah bangkit. Kiblat sendiri telah dikenal sebelum abad ke – 6 SM
bahwa Bait Allah menghadap ke Timur.6 Tata ruang liturgi dirancang sedemikian
rupa sehingga terdapat “wilayah kehadiran Allah” atau “mandala kehadiran
1 H.H. Rowley, Ibadat Israel Kuna (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 17.
2 Rowley, Ibadat Israel Kuna, 29.
3 Rowley, Ibadat Israel Kuna, 38.
4 Rowley, Ibadat Israel Kuna, 39.
5 J. L. Ch. Abineno, Ibadah Jemaat dalam Abad – abad Pertama (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1960),67.
6 Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi : Sejarah dan Pesan Pastoral Gereja (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2009), 158.
2
Allah”. Sesuai namanya : temple atau templum yakni ruang kudus tempat
persemayaman Ilahi maka ruang ibadah berfungsi ganda. Pertama ia berfungsi
sebagai tempat keberadaan Ilah dan kedua berfungsi sebagai tempat berkumpul.
Perkumpulan umat adalah hal terpenting dalam ruang litrugi gereja, itulah
sebabnya ada ruang “mahasuci” yang tidak kasat mata di dalam ruang ibadah
yang kasat mata.7 Gereja bukan hanya gedungnya tetapi jemaat atau orang-orang
beriman. Tata ruang dan segala peralatan liturgi haruslah dipertimbangkan agar
tumbuh kesadaran untuk berhimpun. Kesadaran itulah yang membuat sebagian
besar ibadah Kristen membutuhkan komponen-komponen ruang untuk beribadah.
Sekelompok orang Kristen Bali masih tetap berusaha untuk mempertahankan
komponen-komponen ruang ibadah dengan cara yang berbeda. Hal ini dapat
dilihat dari segi penghayatan umat di Bontihing melalui teologi bangunan gereja
bale bengong serta model-model ibadah yang dilakukan, seperti perjamuan kudus
yang menggunakan air kelapa dan ubi sebagai medianya. Tidak terlihat sekat
ruang dalam beribadah dan semuanya membaur menjadi satu. 8
Bale bengong adalah bangunan tradisional Bali yang merupakan bangunan
yang diambil dari corak pedesaan di Bali yang berusaha untuk menjadi selaras
dengan lingkungan. Bale bengong biasanya dibangun hampir seluruhnya dari
bahan organik. Bahan alami seperti jerami atap, tiang bambu, anyaman bambu,
kayu kelapa, kayu jati, dan batu menjadi bahan dasarnya. Atap jerami biasanya
menggunakan ijuk (serat aren hitam), daun kelapa kering atau daun rumbia, atau
atap sirap (shingles kayu keras diatur seperti ubin). Batu dan batu bata merah
digunakan sebagai dasar dan dinding, sementara batu pasir dan batu andesit
biasanya diukir sebagai ornamen.9 Bale bengong yang berbentuk rumah panggung
ini memiliki fungsi sebagai tempat peristirahatan serta bersantai untuk menikmati
suasana sekitar seperti persawahan dan sebagainya yang diletakkan di tempat
7 Rachman, Hari Raya Liturgi, 168.
8 Budi Kasmanto, “Gereja Bale Bengong”, September 26, 2014. Accessed November 12,
2015. Budikasmanto.wordpress.com/tag/bale-bengong/. 9 “Wikipedia”, Balinese Architecture, May 18, 2016, Accessed November 12, 2015.
https://en.wikipedia.org/wiki/Balinese_architecture.
3
yang tinggi untuk memperluas areal penglihatan.10
Jemaat dari Balai Pembinaan
Iman (BPI) Bontihing masih tetap mempertahankan tradisinya dengan
menggunakan tempat bersantai atau Bale Bengong sebagai tempat untuk
beribadah. Jemaat hadir dalam ruang ibadah bukan hanya untuk saling
mengatakan sesuatu atau apa arti dari sesuatu dalam persekutuan, tetapi melalui
semua komponen ruang ibadah tersebut mereka belajar memahami pesan yang
ditimbulkan oleh bentuk ruang ibadah bagi pertumbuhan spiritualitas mereka.11
Gedung gereja atau ruang ibadah bukan sekedar tempat ibadah, tetapi juga
mengandung kesan kehadiran Allah dan sebagai tempat berkumpul. Hal pokok
yang menjadi perhatian adalah sejauh mana tempat atau ruang yang dipergunakan
mendukung perjumpaan umat dengan Tuhan dan dengan sesamanya. Dewasa ini
sudah menjadi kebiasaan bagi orang Kristen untuk beribadah di gedung gereja
atau gedung-gedung yang besar. Penulis ingin mengetahui apa saja yang
melatarbelakangi alasan jemaat BPI di Desa Bontihing ini untuk mempertahankan
tradisi peribadatan mereka setiap minggunya di bale bengong serta menggunakan
konsep gedung gereja dalam bentuk bale bengong.
Maka masalah pokok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Apa alasan yang melatarbelakangi Jemaat BPI di Desa Bontihing
menggunakan Konsep Gedung Gereja Bale Bengong sebagai tempat
ibadah?
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi Gereja
tentang pemahaman mengenai konsep gedung gereja Bale Bengong. Sehingga
tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
Mendeskripsikan alasan - alasan yang melatarbelakangi GKPB di Desa
Bontihing ini menggunakan Konsep Gedung Gereja Bale Bengong sebagai
tempat ibadah.
10
Bali Dwipa Jaya, “Anjungan Bali” September 2016, Accessed November 13,2015.
http://anjungantmii.com/bali/index.php?option=com_content&view=article&id=1&Itemid=1. 11
Victor Hamel, Gereja Bale Bengong (Bali : Samaritan, 2009), 1
4
Melalui penelitian ini akan dihasilkan karya ilmiah yang diharapkan dapat
menjadi sumber pustaka yang bermanfaat bagi kalangan intelektual dan warga
Gereja. Manfaat dari penelitian ini adalah:
Memahami makna bergereja dalam konteks umat kristiani di Gereja
Kristen Protestan di Bali pada masa kini melalui Gereja Bale Bengong.
Mengajak umat Kristiani di Gereja Kristen Protestan di Bali untuk
memahami nilai-nilai kontekstual yang sangat kaya makna dan simbol,
khususnya dalam konteks membangun relasi gereja dan masyarakat di
Bali.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengangkat judul :
“Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali terhadap
Konsep Gedung Gereja Bale Bengong di Desa Bontihing, Bali Utara.”
Metode Penelitian.
Pendekatan kualitatif yang digunakan berdasarkan pada rumusan-rumusan
yang muncul untuk melakukan eksplorasi dalam memahami dan menjelaskan
masalah-masalah yang menjadi fokus penelitian. Pengumpulan data melalui
wawancara terhadap Pendeta, majelis dan beberapa anggota jemaat. Orang-orang
di sekitar lingkungan penelitian dipercaya dapat membantu lebih dalam untuk
menggali informasi. Sebelum melakukan wawancara di lapangan, penulis
mempersiapkan daftar pertanyaan. Peneliti melakukan penelitian di Desa
Bontihing, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali Utara. Informan
kunci dalam penelitian ini adalah pendeta jemaat BPI Desa Bontihing. Unit
amatan dalam penelitian ini ialah BPI Bontihing, Bali Utara sedangkan unit
analisa ialah pendeta jemaat BPI Bontihing, Bali Utara. Sumber data utama adalah
informasi verbal yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan pendeta
jemaat BPI Bontihing, Bali Utara. Sumber ini dilengkapi dengan data fisik berupa
data yang didokumentasikan. Data sekunder seperti dokumen-dokumen akan
diperoleh melalui dokumen-dokumen gereja, wawancara beberapa dari warga
jemaat di BPI Bontihing Bali Utara serta tulisan-tulisan tentang topik yang diteliti.
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Arsitektur Gereja
1. Pengertian Arsitektur Gereja
Gereja adalah rumah Allah. Dalam rumah itu Allah berkenan hadir
diantara umatNya yang sedang berkumpul untuk memuji dan bersyukur
kepadaNya. Pengertian gereja disini adalah „gedung gereja‟. Arsitektur
gereja adalah seni pertukangan yang menampilkan gaya tertentu dari
bangunan gedung gereja, dimana pertimbangan pertama ditinjau dari
tujuan dibangunnya gedung itu, yaitu untuk ibadah.12
Sebuah rancangan
yang matang sangat diperlukan agar gereja memperhitungkan aspek-
aspeknya; teologis, filosofis dan fisiknya. Ada beberapa gaya arsitektur
gereja yaitu Gothic, Romawi, Renaissance, dan macam-macam gaya
setempat.13
2. Ibadah - ibadah Jemaat
Jemaat berkumpul untuk beribadah di rumah anggota jemaat, tetapi
ketika jemaat makin bertambah besar tidak mungkin lagi berkumpul
secara informal.14
Orang-orang Kristen kuno sering bertemu dalam rumah-
rumah pribadi anggota persekutuan yang kaya. Perasaan kekeluargaan dan
kedekatan pada abad pertengahan telah hilang ketika ibadah kristen sudah
tidak di rumah dan menjadi ibadah publik.15
Pada abad ini memperlihatkan
perkembangan tipe-tipe gereja seperti gereja peziarah, gereja yang
dipimpin dewan pejabat gereja, katedral, gereja pemberita dan gereja
jemaat.16
Kekristenan pada abad ke-empat beribadah di gedung-gedung
12
“Buku Ensiklopedia Dunia”, Arsitektur Gereja, Accessed November 20, 2015.
http://alumnus-alumni.indonesia-info.info/id3/dunia-jurnal-152/ArsitekturGereja_70186_alumnus-
alumni-indonesia-info.html. 13
Imarsana Windhu, Mengenal Ruangan, Perlengkapan, dan Petugas Liturgi (Yogyakarta
: Kanisius, 1997), 11.
14
John Drane, Memahami Perjanjian Baru (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2005), 450.
15
James F.White, Pengantar Ibadah Kristen (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009), 87.
16
White, Pengantar Ibadah Kristen, 90.
6
baru yang menandingi semua kemewahan gedung pengadilan kekaisaran.
Semakin disadari makna pentingnya ruang berkumpul (gathering space)
sebagai suatu ruang liturgis utama yang menentukan. Ruang menandakan
pemisahan sementara persekutuan dari dunia menjadi suatu persekutuan
yang layak memperoleh perhatian saksama.17
3. Bentuk - bentuk Arsitektur Gereja
Pertama adalah Bentuk Basilika yaitu bangunan Romawi untuk
kegiatan seperti pengadilan, perdagangan, dll. Ruang ibadah menyerupai
bahtera yang disebut naos yang menghadap ke timur sebagai pengharapan
kedatangan Mesias.18
Kedua yaitu Romanesque, Romanesque adalah
arsitektur yang berkembang pada tahun 1050 hingga 1200. Gaya
Romanesque lebih menekankan aspek teologis di bagian eksterior. Ciri
yang paling menonjol adalah bangunan yang dilengkapi dengan menara
yang tingginya mencapai 100 meter beratap batu, ruang dalam besar dan
panjangnya mencapai 190 meter. Lalu yang ketiga adalah
Arsitektur Gotik. Cirinya adalah atap dengan apsis setengah lingkaran,
apsis bertudung di jendela dan pintu dibentuk sehingga mempunyai
kuncup seperti bawang. Keempat adalah arsitektur Katedral yaitu karya
seni gereja terbaik dari arsitektur Gotik pada abad ke-12 dengan ciri-ciri
menara tinggi, dinding kaca besar, kubah bergaris dan ditopang oleh
sayap.19
Arsitektur gereja zaman modern yang semakin berkembang
memiliki pertimbangan-pertimbangan: kegunaan, kesederhanaan,
keluwesan, kedekatan dan keindahan. Aspek teologis dikonsep secara
kreatif, konsep teologis filosofis dikembangkan secara baru pula, salah
satunya adalah keterbukaan gereja terhadap dunia luar dan persoalan
sosial.20
17 White, Pengantar Ibadah Kristen, 84.
18
“Center of Encyclopedia”, Arsitektur Gereja, Accessed November 20, 2015. http://stie-
prabumulih.you.web.id/ensiklopedia.php?_i=all&id=70186&_en=ENGLISH.
19
Masao Takenaka, The Place where God Dwells – An Introduction to Church
Architecture in Asia, Christian Conference of Asia 1995, Accessed November 20, 2015. 20
Zahnd. Markus, Pendekatan dalam Seni Arsitektur, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 5.
7
4. Bagian - bagian Gedung Gereja dan Karakteristiknya
Gereja dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian untuk imam dan
para klerus yang biasa disebut panti imam atau ruang altar (sanctuarium).
Bagian tersebut dianggap bagian yang paling suci sehingga penampilannya
dibedakan dari bagian lain dalam gereja baik dari segi letak maupun
interior dan ornamentasinya. Jemaat dari situ mengikuti perayaan liturgis
dan biasanya tersedia kursi atau bangku untuk mereka.21
Karakteristik
bangunan arsitektural gereja masa Kristen awal antara lain: Denah bentuk
segi empat “simetris”; Bangunan luas menampung jumlah umat yang
besar; Bagian tengah “nave” yang seperti lorong panjang memberikan
pandangan bagi umat ke bagian depan yang berupa portico atau narthex;
Pintu masuk selalu berada di sebelah barat; Orang yang tidak boleh masuk
gereja (karena dosa-dosanya) harus mendengarkan kotbah di bagian
portico; Altar diletakkan di podium bagian timur yang disebut “bema” dan
di belakang ada ruang setengah lingkaran yang disebut “apse” ; Interior
utama yaitu ruang besar di tengah “nave” yang di samping kiri-kanannya
terdapat gang “aisle” yang dibatasi oleh deretan kolom.22
5. Filosofi Bangunan Gereja
Bangunan gereja secara kualitas fisik memengaruhi persepsi
pengguna bangunan gereja tersebut. Sebuah tanda yang memiliki arti yang
sudah dikenal masyarakat secara luas dan telah menjadi tanda dalam
sebuah tradisi yang seolah sudah menjadi simbol khusus. Simbol tersebut
memberikan sinyal untuk “berkomunikasi” dengan individu yang berada
di sekelilingnya. Gereja sebagai simbol umat Allah. Jadi melalui gereja,
Allah dapat berkomunikasi dengan umatnya.23
Gereja dari segi filosofinya
21 “Archdiocese of Medan”, Tata Liturgi di Gereja, Accessed November 21, 2015.
http://archdioceseofmedan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=331%3Atata-
ruang&catid=70%3Akomisi&Itemid=66.
22
“DocSlide”, Makalah Sejarah Early Christian 07, Accessed November 21, 2015.
http://dokumen.tips/documents/makalah-sejarah-early-christian-07.html. 23
Norberg-Schulz, Christian. InJotentions in Architecture. (Cambridge: MIT Press,
1965), 38.
8
dibangun dengan sangat memerhatikan ruang atau tempat. Ruang liturgis
baik selama perayaan maupun di luar waktu perayaan dipandang secara
simbolik sebagai tempat penyelenggaraan karya keselamatan manusia
sehingga harus dibangun indah dan selaras (Rom 8:19-21).
6. Fungsi dan Tujuan Bangunan Gereja
Gereja dapat menjadi sarana pembangunan rohani yaitu untuk
membangun kerohanian bagi masyarakat di sekitarnya dan menjangkau
jiwa-jiwa bagi kemuliaan nama Tuhan. Bangunan gereja sangat
memengaruhi arsitekturnya untuk menjalankan segala aktivitas keagamaan
maupun ritual atau liturgi yang dijalankan. Setiap umatnya dapat
beribadah karena ruang dan tempat yang membantu jemaat memusatkan
dirinya kepada yang Ilah. Bangunan gereja membantu menetapkan makna
ibadah bagi orang yang berkumpul di dalamnya serta dapat mendiktekan
kemungkinan-kemungkinan terbuka bagi kita dalam bentuk-bentuk dan
gaya-gaya ibadah.24
B. Arsitektur Tradisional Bali
1. Sumber Ajaran dan Konsep Dasar
Arsitektur Tradisional Bali memiliki konsep-konsep dasar dalam
menyusun dan memengaruhi tata ruangnya, diantaranya adalah orientasi
kosmologi atau dikenal dengan Sanga Mandala, keseimbangan kosmologi,
Manik Ring Cecupu, dan hirarki ruang, terdiri atas Tri Loka dan Tri
Angga. Dimensi tradisional Bali yang didasarkan pada proporsi dan skala
manusia. Dalam membangun suatu bangunan ada suatu konsep dasar yang
digunakan sebagai pedoman dalam menentukan hirarki ruang dalam
bangunan yaitu konsep Tri Angga.25
Konsep dasar dari Arsitektur
Tradisonal Bali (ATB) yang selalu dipakai pada pembangunan bangunan
24
James F.White, Pengantar Ibadah Kristen, (Jakarta :BPK Gunung Mulia, 2009), 78. 25
“Academia”, Angga Iswara, “Konsep Tri Angga dan Tri Loka”, Accessed November
22, 2015. https://www.academia.edu/9985141/Konsepsi_Tri_Angga_dan_Tri_Loka.
9
Bali26
adalah Tri Loka atau Tri Angga (umum-semiprivate-private) pada
bangunan rumah tradisional Bali dan Nawa Sanga untuk rumah tradisional
Bali (Puri). Pandangan tradisi adat Bali, bangunan adalah wadah dari
manusia dan merupakan penghubung antara manusia dan alam semesta.
Arsitektur tradisional Bali berusaha mendekati alam dengan cara
mengikuti bentuk alam lingkungannya.27
2. Ciri Khas Bangunan Arsitektur Bali
Hampir semua bangunan bernuansa Bali memperlihatkan material
yang kental dengan nuansa alami. Ciri khas arsitektur Bali adalah harmoni
dengan alam. Arsitektur harmoni ini merupakan karakter dan inheren
sebagai watak dasar arsitektur Bali. Kedatangan Majapahit meninggalkan
kebudayaan di Bali berupa teknik pahatan di batu dan digunakan sebagai
pura atau tempat ibadah orang Hindu. Gaya arsitektur Bali dibuat dengan
konsep Tri Angga yang merupakan konsep keseimbangan yang
memperlihatkan tiga tingkatan yaitu: Utama atau kepala, diwujudkan
dalam bentuk atap, yaitu, genteng, Madya atau badan, diwujudkan dalam
bentuk bangunan dinding, jendela dan pintu, dan nista atau kaki,
diwujudkan dengan pondasi rumah sebagai penyangga.28
3. Bale Bengong
Bale bengong adalah salah satu rumah tradisional Bali. Nama ini
berasal dari kata “bale” yang berarti tempat atau ruang dan “bengong”
yang berarti melamun atau bersantai. Fungsi bale bengong adalah tempat
26
Ngeblog belogan, Konsep Arsitektur Tradisional Bali, November 18, 2011. Accessed
November 22, 2015. http://ngeblogbelogan.blogspot.co.id/. 27
R. Irawan Surasetja, Drs., Teori-teori Arsitektur Dunia Timur Bahan Ajar: ARS 546 -
Teori Perencanaan dan Perancangan II – ARS 546 – 2000/2001, Oleh: Program Studi Arsitektur
Jurusan Pendidikan Teknik Bangunan – FPTK – UPI, Accessed November 23, 2015. 27
“Lamudi”, Tiga Ciri Khas Arsitektur di Bali, July 28, 2014. Accessed November 22,
2015. http://www.lamudi.co.id/journal/3-ciri-khas-arsitektur-di-bali/.
10
untuk bersantai. Bangunan ini juga bisa jadi tempat pertemuan keluarga.
Orang luar bali biasanya menyebut bale bengong dengan sebutan “gazebo”
atau “saung” yang biasanya dimiliki dari kalangan mampu dan
mempunyai rumah dengan halaman cukup luas. Banyak rumah makan
yang menempatkan bale bengong sebagai elemen eksterior utama.29
Bale bengong ini menjadi bagian dari gaya arsitektur Bali.
Tentunya bale bengong bersifat permanen yang juga berfungsi sebagai
ruang informal, tempat bersantai, dan beristirahat sambil menghirup udara
segar serta melihat taman disekeliling. Dari dulu hingga saat ini, bale
bengong digunakan sebagai tempat untuk mengeringkan atau meletakkan
hasil panen seperti padi sebelum masuk ke lumbung padi saat musim
panen tiba. Bentuk utama dari bale bengong sebenarnya adalah rumah
kecil terbuka dan dibangun di area yang juga terbuka atau dalam hal ini di
halaman rumah. Letaknya yang terpisah dari bangunan rumah induk,
menjadikan bale bengong tampak kian indah. Struktur utamanya juga
terletak pada kolom yang mendukung bagian atapnya. Jumlah tiang yang
terbuat dari kayu umumnya berjumlah empat, namun ada pula yang lebih
(hal ini tergantung dari ukuran bangunan). Alang-alang dan sirap
merupakan bahan yang biasa dijadikan atapnya.30
29 “JeparaGazebo”, harison1975, “Bale Bengong”, February 23, 2014. Accessed
November 22, 2015. http://www.jeparagazebo.com/bale-bengong/. 30
“Rumahku.com”, Weni Kusuma, “Inspirasi Bale Bengong, Gazebo Ala Bali”, March
22, 2013. Accessed November 23, 2015. http://www.rumahku.com/berita/read/inspirasi-bale-
bengong-gazebo-ala-bali-39455#.V3nkANJ97IU.
11
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Sejarah Awal Jemaat BPI Bontihing
Konsep bale bengong sebagai tempat ibadah dimulai dari Pdt.
Victor Hamel yang menyoroti faktor internal di dalam tubuh GKPB, ia
mengungkapkan gagasan melalui konsep model gereja bale bengong dapat
direfleksikan untuk pengembangan dan pematangan gereja di GKPB
sehingga gereja sinodal menyadari kembali nilai kontekstual di GKPB.31
Sejak awal berdiri hingga sekarang, jemaat BPI Bontihing masih menjadi
bagian gereja induk GKPB Bungkulan di Singaraja dengan pendeta
pertama Bapak Pdt. Alit yang terdiri dari satu KK (kepala keluarga) yaitu
Bapak Budiada, Istri, dan ketiga anaknya. Pendeta kedua adalah Pdt.
Saljuni dan digantikan oleh Pdt. Victor Hamel.
Pdt. Victor Hamel mengusulkan bale bengong menjadi tempat
beribadah dimana jemaatnya dapat berbincang-bincang secara santai
sambil minum kopi dan makan kue serta bertukar pikiran tentang hal
rohani. Selain dari usul Pdt.Victor Hamel yang saat itu menjadi gembala
jemaat, BPI Bontihing dimulai dari keluarga Bapak Budiada dan istrinya
Ibu Sukranada. Beliau memulai untuk beribadah di bale bengong karena
saat itu infrastruktur menuju gereja induk yaitu GKPB Bungkulan sungguh
memakan waktu yang cukup lama di setiap ibadahnya. Agar tetap dapat
beribadah, beliau dan sang istri setiap minggunya dilayani oleh gembala
jemaat di bale bengong tersebut. Bale bengong tempat dimana Jemaat BPI
Bontihing beribadah, didirikan diatas tanah warisan kepemilikan Bapak
Budiada. Warga sekitar masuk menjadi umat Kristen dan Jemaat BPI
Bontihing bertumbuh menjadi tiga belas Kepala Keluarga (KK). Kepala
Keluarga ini terdiri dari Bapak Budiada, tiga orang anaknya yang sudah
mempunyai anak dan istri, dan sisanya yaitu warga sekitar yang baru
masuk menjadi Kristen. Adat dan istiadat di desa Bontihing sangatlah
31
Victor Hamel, Gereja Bale bengong, vii.
12
kental, tidak memerlukan waktu lama beberapa jemaat mulai berpindah
gereja di Kemah Injil, Gereja Karismatik dan bahkan pindah ke kembali ke
agama asal mereka yaitu Hindu. Mereka berpindah dari jemaat BPI
Bontihing ini karena beberapa alasan, yaitu lebih tertarik akan gereja-
gereja Karismatik yang notabene sarana dan prasarana lebih memadai dan
ada juga karena adat dan istiadatnya yang sangat kental akan Hindu,
seorang yang berpindah agama dari Hindu ke Kristen tidak akan mendapat
warisan dan bahkan dapat diusir dari keluarga.
Bapak Budiada mengatakan, “Kalau disini adat istiadatnya
sangatlah kuat. Warga yang berpindah agama misalnya dari Hindu ke
Kristen ataupun ke agama lain akan diusir dari rumah bahkan dikeluarkan
dari keanggotaan keluarga dan tidak mendapatkan warisan. Persoalan
ekonomi membuat jemaat kembali kepada kepercayaan awal dan
meninggalkan gereja.”32
Ibu Sukranada menambahkan bahwa “Memang awalnya jemaat
disini sejumlah tiga belas KK namun dengan berpindahnya beberapa KK
ke gereja lain ataupun balik lagi ke Hindu, tersisalah empat KK yaitu, saya
dan suami saya, serta ketiga anak saya yang sekarang sudah
berkeluarga”.33
B. Letak Geografis
Jemaat BPI Bontihing terletak di desa Bontihing, Kecamatan
Kubutambahan, Kabupaten daerah tingkat II Buleleng. Desa Bontihing
yang merupakan salah satu desa di kabupaten Buleleng memiliki wilayah
yang mencapai ketinggian 500 meter dari atas permukaan laut yang terdiri
dari persawahan, tegalan dan pekarangan. Sebagian besar penduduk desa
bermata pencaharian sebagai buruh, petani, pedagang, dan sebagian
kecilnya sebagai pegawai negeri. Letak dan batas desa adalah di sebelah
utara Desa Tamblang / Tukad Aya, timur yaitu Desa Mengening / Tukad
32
Hasil Wawancara dengan Gede Budiada, tanggal 15 Desember 2015. 33
Hasil Wawancara dengan Sukranada, tanggal 16 Desember 2015.
13
Aya, di sebelah selatan Desa Pakisan, dan barat yaitu Desa Bebetin,
Kecamatan Sawang. Desa dengan mayoritas Hindu ini memiliki tempat
suci yang diberi nama Pura Balai Timbang (Balai Peparuman Agung) yang
dimanfaatkan sebagai Balai Desa Pakraman Bontihing.34
Gambar 4. Peta Desa Bontihing, Kec.Kubutambahan, Kab. Buleleng
Sumber : http://baliwunderbar.agenproperti.com/390052
C. Balai Pembinaan Iman (BPI) Bontihing
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan
Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB)35
dan Pendirian Rumah Ibadah menyatakan bahwa jumlah
dukungan masyarakat setempat sedikitnya 60 orang yang disahkan oleh
lurah/kepala desa. Jemaat BPI Bontihing ternyata belum dapat memenuhi
syarat dari pemerintah, maka dari itu didirikanlah Balai Pembinaan Iman
yang sudah diizinkan oleh kepala Desa Bontihing. Ibadah dilaksanakan
setiap hari Minggu dari pukul 12.00 WITA sampai selesai yang dipimpin
oleh Pendeta dari GKPB Bungkulan, Pdt. Gede Victor yang dihadiri hanya
tiga sampai lima orang saja pada hari biasa yaitu Bapak/Ibu Budiada, dan
dua orang majelis. Tata Ibadah mengikuti liturgi seperti ibadah di gedung
34 “Website Resmi Pemerintah Kab.Buleleng Kecamatan Kubutambahan”, Accessed
Desember 24, 2015. http://kubutambahan.bulelengkab.go.id/index.php/page/208/Desa-Bontihing. 35
Paulus Masarrang Tangke, “Pendirian Rumah Ibadah”, Accessed Desember 24, 2015.
https://paulusmtangke.wordpress.com/pendirian-rumah-ibadah/.
14
gereja. Altarnya hanya berupa meja yang berisikan pot bunga dan lilin.
Tempat Alkitabnya pun terbilang unik karena tergantung seperti
pelangkiran atau tempat sembahyang umat Hindu.
Gambar 5. Suasana Ibadah di BPI Bontihing
Sumber : Dokumen Pribadi
Ibadah akan lebih ramai ketika ketiga anak Bapak Budiada dan
keluarganya pulang dari Denpasar. Mereka pulang untuk bergabung dan
beribadah bersama di bale bengong pada hari raya seperti Natal dan
Pentakosta. Ibadah perayaan Natal diadakan selama dua hari. Hari
pertama khusus mengundang warga setempat sekitar BPI Bontihing dan
hari kedua mengundang seluruh jemaat GKPB Bungkulan dan GKPB
Sabda Bayu Singaraja. Jemaat yang hadir akan bertambah banyak saat itu,
maka diperlukan penambahan beberapa kursi di sekitar bale bengong.
Warga sekitar ataupun jemaat lain datang memenuhi bale bengong ini dan
rombongan Sinode GKPBpun biasanya ikut serta dalam ibadah tersebut.
Gambar 6. Tempat Alkitab
Sumber : Dokumen Pribadi
15
D. Tempat Ibadah Umat Kristen bernuansa Hindu Bali
Arsitektur Tradisional Bali telah ada sejak zaman dahulu yang
diwariskan sebagai landasan dalam membangun sebuah hunian yang
berfilosofi tinggi.36
Filosofi arsitektur Bali dapat terpancar karena bale
bengong merupakan simbol raja yang sedang berkuasa. Raja memanggil
rakyat untuk bertanya situasi dan kondisi wilayah tempat tinggalnya
maupun peristiwa temporer yang dijumpainya di perjalanan melalui bale
bengong.37
BPI Bontihing menggunakan bale bengong mencoba untuk
mengungkapkan sisi tempat bersantai menjadi tempat untuk beribadah dan
merenungi firman Tuhan yang lekat dengan alam. Beribadah di bale
bengong dengan suasana yang terbuka tanpa sekat dan batas membuat
interaksi antar jemaat semakin hangat.
Dalam Hindu, khususnya di Bali ada yang disebut pelangkiran.
Pelangkiran berasal dari kata “langkir” artinya tempat memuja.
Pelangkiran letaknya di atas tempat tidur untuk menstanakan
Bhatara/Dewa yang ingin dipuja.38
Jemaat BPI Bontihing menggunakan
pelangkiran sebagai tempat menaruh Alkitab yang letaknya juga diatas
kepala. Prabu/kepala dianggap suci oleh umat Hindu Bali. Alkitab berada
diatas kepala itu berarti Alkitab tersebut disucikan sebagai pedoman
menjalani kehidupan.
Salah satu kelengkapan sarana ibadah Jemaat BPI Bontihing juga
adalah gebogan, yaitu sebuah tatakan beralas datar sebagai tempat untuk
mempersembahkan hasil bumi. Gebogan digunakan sebagai simbol ucapan
terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jemaat BPI Bontihing
menggunakan gebogan sebagai tempat lilin.39
Makna atau filosofi banten
36
“Academia”, Olin Blegur, “Rumah Tradisional Bali”, Accessed Desember 27, 2015.
https://www.academia.edu/15357928/Rumah_Tradisional_Bali. 37
Olin Blegur, “Rumah Tradisional Bali”, 38
“InputBali”, Mengetahui Makna dan Fungsi Pelangkiran, May 15, 2015. Accesed
Desember 29, 2015. http://inputbali.com/budaya-bali/mengetahui-makna-dan-fungsi-fungsi-
pelangkiran. 39
Wayan Tarna, “Makna Gebokan Bagi Umat Hindu”, October 9, 2014. Accessed
Februari 14, 2015. http://wayantarne.blogspot.co.id/2014/10/makna-gebokan-bagi-umat-
hindu.html.
16
gebogan terlihat dari bentuknya yang menjulang lancip dan di atasnya
diletakkan canang dan sampiyan sebagai wujud persembahan dan bhakti
ke hadapan Tuhan.40
Gambar 7. Suasana Perayaan Natal di BPI Bontihing
Sumber : https://www.facebook.com/groups/768474919950260/?fref=ts
BPI Bontihing menggunakan gebogan sebagai tempat lilin dengan
makna bahwa lilin yang menyala membuat kita memahami rasa syukur
kita karena telah dipilih Allah sebagai terang dunia. Lilin sebagai penerang
melambangkan doa yang kita persembahkan kepada Tuhan melalui iman.
Kita memohon kepada Tuhan dalam doa dengan terang iman atau kita
mohon bantuan Roh Kudus agar berdoa bersama kita kepada Tuhan. Tata
musiknya juga berbeda, tidak seperti di gedung gereja terdapat beberapa
perangkat alat musik. Alat musik bukan saja menjadi kesaksian tetapi
menjadi sarana untuk menyampaikan kesaksian dalam pertumbuhan
rohani. BPI Bontihing tidak menggunakan piano, gitar, maupun drum,
tetapi serulinglah yang menjadi alat musik pengiring jalannya ibadah. Bagi
umat Hindu seruling adalah salah satu alat yang dimainkan oleh Dewa
Krisna yaitu sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling.41
40
“InputBali”, Makna Adanya Gebogan dalam Tradisi Hindu di Bali, January 20, 2016.
Accessed February 20, 2016. http://inputbali.com/budaya-bali/makna-adanya-gebogan-dalam-
tradisi-hindu-di-bali. 41
Aksamala, “Krishna Sebagai Avatara Wisnu (Sebuah Sejarah Singkat) April 22, 2014.
Accessed March 4, 2016. https://aksamala.wordpress.com/2014/04/22/krishna-sebagai-avatara-
wisnu-sebuah-sejarah-singkat/.
17
BPI Bontihing ini terbilang sangat unik karena walaupun sudah
“meninggalkan” agama lamanya namun bukan berarti telah
“meninggalkan” budayanya. Mereka masih tetap mempertahankan
identitas budaya Bali, misalnya liturgi dalam ibadahnya, arsitektur
bangunannya, pakaian ataupun sarana yang digunakan dalam ibadah. Hal
ini dipertahankan karena mereka terbilang masih nyaman dengan
kebiasaan tersebut. Sehingga keKristenan yang mereka kenal adalah
keKristenan yang dekat dengan mereka bukan keKristenan yang jauh yang
datang dari budaya barat.
E. Tanggapan Masyarakat Sekitar
Desa adat Bontihing sangat menjunjung tinggi adat istiadatnya.
Bahasa utama yang digunakan adalah bahasa Bali dan bahasa kedua
adalah bahasa Indonesia. Sebagian besar warga desa Bontihing memeluk
agama Hindu. Bangunan-bangunan yang ada di desa tersebut sudah
menunjukkan mayoritas warganya adalah seorang Hindu dimana setiap
rumah terdapat sanggah atau tempat ibadah dan beberapa Pura. Tanggapan
dan respon warga sekitar terbilang cukup baik. Letak rumah Bapak
Budiada bersebelahan dengan saudara-saudaranya yang beragama Hindu.
Acap kali ketika Bapak Budiada dan keluarga merayakan hari raya
ataupun ada ibadah di bale bengong, maka keponakan, cucu ataupun anak-
anak sekitaran tempat ibadah ikut serta dan mengambil bagian dalam
jalannya perayaan ataupun ibadah.
Respon yang baik dapat dilihat dari warga desa Bontihing membuat
Jemaat BPI Bontihing mengadakan ibadah perayaan natal khusus untuk
warga sekitar. Antusias warga dapat tercermin dari warga sekitar yang
bergotong-royong memasak untuk acara perayaan Natal ataupun Paskah
dan Pentakosta, membantu membuat pohon Natal dan masih banyak lagi.
Ibadah dan makan bersama diadakan di bale bengong, terkadang orang
yang datang melebihi perkiraan sehingga memerlukan kursi tambahan.
Warga desa Bontihing cukup heran terhadap adanya BPI Bontihing yang
18
beribadah di bale bengong. Bale bengong hanyalah sebatas tempat
bersantai yang di dalamnya orang bisa bercerita, bercengkerama dalam
kesederajatan terkadang menjadi tempat berkumpul untuk minum tuak,
tetapi orang Kristen malah menjadikannya sebagai tempat ibadah.
Warga sekitar cukup heran namun dapat menerimanya dengan
baik. Secara sosiologis dapat dikatakan bahwa warga Desa Bontihing
dapat menerima jemaat BPI Bontihing karena budaya. Budaya Bali yang
sangat lekat dengan Hindu Bali di desa Bontihing ditampilkan oleh BPI
Bontihing dalam setiap ibadahnya. Segala aksesoris yang digunakan dan
arsitektur yang ditampilkan dalam kekristenan BPI Bontihing membuat
warga sekitar merasa tidak asing serta bukan menjadi suatu ancaman.
Maka dari itu BPI Bontihing dapat diterima dengan baik karena
mencerminkan keKristenan kontekstual Bali sesuai dengan konteks
budaya setempat.
19
BAB IV
BALE BENGONG SEBAGAI SARANA IBADAH
JEMAAT BPI BONTIHING, BALI UTARA
Data dari hasil penelitian pada penelitian ini didapatkan melalui
wawancara mendalam yang dilakukan oleh Peneliti pada bulan Desember
2015. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber atau informan,
maka peneliti dapat menganalisis tentang pemahaman jemaat Kristen
Protestan di Bali terhadap konsep gedung gereja bale bengong di desa
Bontihing, Bali Utara yang meliputi :
A. Jenis Ibadah
Kekristenan pada abad ke-empat tidak hanya beribadah di dalam
Yerusalem, Betlehem, dan Konstantinopel saja akan tetapi mereka
beribadah dalam gedung-gedung baru yang megah. Atap ditutup dengan
konstruksi kayu yang sederhana, dimana hal ini merupakan tipikal dari
arsitektur Kristen Lama. 42
Bentuk keseluruhan secara skyline adalah
horisontal dan sederhana. Pemakaian metode konstruksi dari Romawi
yaitu beton/batu. Dari konstruksi ruang tempat ibadah jemaat Kristen
awal, jenis ibadah yang digunakan menggunakan liturgi yang sangat
teratur dan tertata rapi memberi kesan eksklusif dan tertutup. Sangat
berbeda halnya dengan Jemaat BPI Bontihing. Pengaruh arsitektur
Romawi tidak terlihat pada tempat ibadah yaitu di bale bengong. Ibadah
yang terlaksana sangatlah santai, terbuka dengan alam, memberi ruang
untuk siapa saja dapat melihat dan mengikuti ibadah. Dalam hal ini,
sumber ajaran dan konsep dasar arsitektur Bali sangat berpengaruh
terhadap konsep gedung gereja di bale bengong sebagai tempat untuk
beribadah bagi jemaat BPI Bontihing.
Pandangan tradisi adat Bali yaitu bangunan adalah wadah dari
manusia dan merupakan penghubung antara manusia dengan alam
42
White, Pengantar Ibadah Kristen, 87.
20
merupakan dasar pemikiran dari jemaat BPI Bontihing dalam
menggunakan bale bengong sebagai tempat ibadah. Dalam setiap unsur
dari pembangunan bale bengong terbuat dari alam, atapnya terbuat dari
bahan sirap atau dapat juga dari alang-alang, alas lantainya terbuat dari
susunan bata atau beton, pada lapisan permukaan di atasnya diberi bahan
penutup lantai dari keramik atau batu alam. Peredaran dan struktur alam
pada bangunan ini memberi perencanaan bionik ekologik yang merupakan
contoh bangunan manusiawi sekaligus bermanfaat ekologik. Ibadah yang
tercipta di BPI Bontihing terasa sangat santai namun tetap khusyuk.
Sejarah perkembangan pembuatan gedung gereja dari zaman
mazhab imamat, abad mula-mula, pertengahan, jemaat kristen mula-mula,
hingga sekarang, pembuatan gedung gereja semakin hari semakin
terbuka.43
Gereja awalnya adalah tempat yang sangat suci hingga dibagi
menjadi beberapa bagian ruangan hingga BPI Bontihing ini mencoba
untuk mengkontekstualisasikannya melalui bale bengong sebagai tempat
ibadah. Bale bengong tidak ada sekatnya jadi tidak ada terbagi ruangan
sama sekali. Hal yang didiskusikan BPI Bontihing di bale bengong
bukanlah mengenai hal teologi tingkat tinggi, tetapi jemaatnya hidup
tenang di dalam keheningan merenungi Firman serta karya keselamatan
Allah. Berbicara teologi, bangunan bukan saja mengkaji dan memahami
tradisi-tradisi bangunan lokal saja tetapi juga konvesi-konvesi teologi
sebagai sebuah pencerahan baru.44
Orang Kristen awal mula suka untuk menghiasi tempat ibadah
mereka dengan gambar mengenai Yesus, orang-orang kudus, kejadian dari
Alkitab, dan perlambang-perlambang yang lain. Simbol-simbol yang lain
meliputi burung merpati (simbol Roh Kudus), anak domba (simbol
pengorbanan Yesus), pohon anggur beserta ranting-rantingnya (simbol
bahwa orang Kristen harus memiliki hubungan secara pribadi dengan
Yesus) dan masih banyak lagi. Semua ini diambil dari ayat-ayat Alkitab
43
H.H. Rowley, Ibadat Israel Kuna, 17. 44
Victor Hamel, Gereja Bale Bengong, 4.
21
Perjanjian Baru.45
Simbol memengaruhi setiap orang yang beribadah di
dalamnya. Simbol tersebut memberikan sinyal untuk “berkomunikasi”
dengan individu yang berada di sekelilingnya. Melalui simbol-simbol
tersebut orang Kristen awal dapat menghayati setiap ibadah.
Jemaat BPI Bontihing masih menggunakan simbol-simbol dalam
peribadatannya, namun simbol yang digunakan tersebut adalah simbol-
simbol yang cenderung bercorak Hindu Bali. Seperti yang telah penulis
paparkan pada bab ketiga, jemaat BPI Bontihing menggunakan simbol-
simbol yang dekat dengan budaya mereka sehingga mempermudah dalam
penghayatan setiap ibadahnya. Ibadah yang terbuka dengan alam, santai
dan tidak terlalu formal adalah salah satu usaha Jemaat BPI Bontihing
dalam mengupayakan jemaat yang tidak bersifat individualistik dan
eksklusif. Sehingga melalui jenis ibadah yang sangat terlihat berbeda
antara jemaat BPI Bontihing dan keKristenan awal, jemaat ini mencoba
untuk menyadarkan kembali nilai-nilai kekontekstualannya yang menjadi
kekuatan utama bergereja, bukan menjadi keKristenan dengan budaya
barat.
B. Bentuk Bangunan Bale Bengong sebagai Tempat Ibadah
Bentuk dasar Arsitektur gereja Kristen Lama mengacu dari bentuk
arsitektur Romawi, seperti pemakaian altar, yang digunakan sebagai
tempat untuk persembahan pada para dewa Romawi dan pada masa
Kristen lama juga dipakai untuk persembahan suci.46
Tata ruang dan
segala peralatan liturgi dipertimbangkan untuk menumbuhkan kesadaran
yang membuat sebagian besar ibadah Kristen membutuhkan komponen-
komponen ruang untuk beribadah. Jemaat BPI Bontihing masih tetap
berusaha untuk mempertahankan komponen-komponen ruang ibadah
dengan cara yang berbeda. Jemaat Kristen awal membagi ruang ibadah
45
Prof.Dr. Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso
Batak:Manusia, Agama dan Budaya (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), 122. 46
Roby, “Arsitektur Gereja Kristen Lama”, April 14, 2009, Accessed Juni 19, 2016,
http://architecturoby.blogspot.co.id/2009/04/arsitektur-gereja-kristen-lama.html.
22
seperti ruang altar, ruang kudus dan mahakudus, namun jemaat BPI
Bontihing dengan menggunakan bale bengong sebagai tempat ibadah tidak
membagi ruang dalam tempat ibadah. Tempat Pendeta berkhotbah yang
biasanya dilakukan di mimbar oleh orang Kristen biasanya, bagi jemaat
BPI Bontihing Pendeta dan jemaat duduk di tempat yang sama. Tidak
adanya pembagian ruang dalam tempat ibadah jemaat BPI Bontihing
dalam hal ini ingin mengungkapkan adanya kesetaraan bagi setiap
manusia.
Melalui gereja bale bengong dapat mengindikasikan gereja yang
terbuka, tidak ada batas kaya-miskin, pintar-bodoh, orang yang suci dan
yang maha suci, inklusif tanpa kehilangan identitas, dan tidak ada tinggi-
rendahnya martabat seseorang jika sudah menghadap dan beribadah
kepada Tuhan, sederhana namun penuh dengan misi yang sangat
berpotensi.47
Bale bengong yang digunakan sebagai tempat ibadah bagi
jemaat BPI Bontihing adalah bangunan tradisional Bali dengan corak
pedesaan untuk menjadi selaras dengan lingkungan. Bangunan ini hampir
seluruhnya dari bahan organik. Sangat terlihat berbeda dengan bentuk
bangunan gereja pada biasanya dan gereja orang Kristen awal yang
dimana bahan dasarnya banyak seperti batu dan beton, serta tiang-tiang
yang menjulang tinggi. Dilihat dari bahan-bahan dan bentuk bangunannya,
jemaat BPI Bontihing mencoba untuk mengungkapkan konsep gedung
gereja yang terbuka. Mereka membandingkannya dengan konsep gereja
yang hanya dibuka pada hari-hari tertentu di saat ada kebaktian. Gereja
hanya dibuka pada hari-hari tertentu namun bale bengong mencoba untuk
membantu setiap jemaatnya untuk memahami bahwa bersekutu ataupun
berhimpun di tempat ibadah ini tidak mengenal waktu. Jika ada waktu dan
kesempatan jemaat dapat berkumpul disini untuk saling bertukar pikiran,
berbincang dan beribadah.
Bale bengong mengambil konsep Tri Angga dalam filosofi Hindu
Bali. Pada arsitektur konsep Tri Angga menampakan dirinya dengan jelas,
47
Victor Hamel, Gereja Bale Bengong, 4
23
yakni rab/atap bangunan adalah kepalanya; pengawak atau badan
bangunan selaku madya angga; serta bebataran merupakan kaki sebagai
nista angga. Konsep Tri Angga digunakan pada bangunan memiliki fungsi
untuk menentukan konsep hierarki ruang yang menghubungkan antara
proporsi sang pemilik bangunan dengan proporsi suatu bangunan agar
terjadi keseimbangan antar proporsi pemilik bangunan dengan bangunan.48
Bentuk bale bengong didasarkan pada alam orang-orang Bali yang terdiri
dari tiga elemen, atap yang menggambarkan alam Tuhan, tiang yang
menggambarkan alam manusia dan dasar menggambarkan dunia bawah.
Melalui konsep ini jemaat BPI Bontihing ingin menyelaraskan
pribadi setiap orang yang datang ke bale bengong dengan bangunannya.
Rap atau atap bangunan sebagai bagian kepala (paling disucikan), maka
pada bagian ini diletakkan tempat Alkitab, dengan keyakinan bahwa
Alkitab dalam hal ini disucikan jadi letaknya pun harus ditempat yang
paling disucikan. Bagian madya angga berupa pengawak atau badan
bangunan yang terletak di bagian tengah, bagian ini adalah tempat dimana
jemaat dapat duduk bersama-sama dengan pendeta. Jika biasanya kita
melihat pendeta mendapat bagian tempat yang lebih tinggi bahkan berdiri
diatas mimbar dan jaraknya terlampau jauh dengan jemaat, di BPI
Bontihing semuanya sama rata. Duduk bersila bersama antara pendeta dan
jemaat. Bagian terakhir yaitu nista angga berupa bebataran yang
merupakan kaki bagi bangunan yang terletak pada bagian bawah. Pada
bagian ini adalah letak alas kaki bagi para jemaat yang duduk diatas bale
bengong untuk beribadah. Tidak menutup kemungkinan pada bagian ini
dapat ditambahkan beberapa kursi ketika jemaat yang hadir dalam ibadah
bertambah banyak, namun bukan berarti jemaat yang duduk diatas bale
bengong berbeda derajatnya dengan jemaat yang hanya duduk di kursi
tambahan.
48
“Academia”, Angga Iswara, “Konsep Tri Angga dan Tri Loka”, Accessed March 18,
2016. https://www.academia.edu/9985141/Konsepsi_Tri_Angga_dan_Tri_Loka
24
Gedung gereja bukan sekedar tempat berkumpul melainkan
“tempat” kehadiran Tuhan. Beberapa gereja mempertahankan kiblat ke
timur (tempat surya terbit gambaran kebangkitan Tuhan) untuk membantu
penghayatan umat akan Kristus. 49
Bale bengong bagi jemaat BPI
Bontihing sudah tidak memerlukan kiblat lagi dalam penghayatannya akan
Kristus. Mereka mencoba menghayatinya melalui budaya. Selain dari
arsitektur bangunan yang mereka pilih yaitu bale bengong sebagai tempat
ibadah, mereka juga menggunakan beberapa media dalam peribadatan
yang sangat kontekstual dengan budaya mereka dalam menghayati Kristus
dari segi budaya mereka sendiri.
C. Kekurangan dan Kelebihan Bale Bengong sebagai Tempat Ibadah
Gereja adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang percaya
kepada Allah maka gereja memiliki tata cara ibadah dan aturan yang harus
diikuti dan ditaati oleh setiap anggota gereja. Orang-orang percaya
biasanya beribadah di gedung gereja dengan tembok dan tiang yang tinggi
menjulang sedangkan jemaat BPI Bontihing beribadah di bale bengong
yaitu bangunan terbuka pada zaman dulu dimana hanya digunakan dalam
wilayah privat raja dan orang-orang kepercayaannya yakni istana dan
taman kerajaan untuk bersantai menikmati keindahan taman.50
Beribadah
di tempat yang tertutup dan terbuka tentu sangat berbeda. Beribadah di
bale bengong tentu memberikan suasana yang berbeda dengan beribadah
di dalam gedung gereja. Ketika seseorang beribadah di bale bengong akan
mendapatkan pemandangan mata yang berbeda. Bale bengong tersebut
dikelilingi tanaman dan gemericik air untuk menambah keheningan
suasana dalam ibadah. Berbeda dengan beribadah dalam gedung gereja
dimana seseorang disungguhi dengan pemandangan altar dan mimbar yang
memberi kesan komunikasi satu arah dan sangat formal.
49
Abineno, Ibadah Jemaat dalam Abad – abad Pertengahan, 58. 50
Victor Hamel, Gereja Bale Bengong, viii.
25
Gedung gereja secara umum dibuat dengan gedung yang tinggi dan
tertutup. Hal itu memberi kesan gereja yang eksklusif dan tertutup untuk
umum sehingga tidak semua orang dapat masuk ke dalam gedung gereja
walaupun hanya sekadar melihat arsitektur dan tata ruang gereja.51
Bale
bengong sebagai tempat ibadah menyediakan ruang cukup terbuka untuk
melihat proses jalannya ibadah bahkan ikut serta di dalamnya. Hal ini
memberi kesan bahwa pelayanan gereja yang holistik lebih merakyat
dimana tidak ada kasta diantaranya, tidak ada perbedaan jemaat yang kaya
dan yang miskin, semua dapat duduk bersama dengan sama derajatnya di
bale bengong tersebut.52
Gedung gereja dapat memuat puluhan hingga
ratusan orang dalam waktu sekali ibadah sedangkan bale bengong hanya
dapat memuat beberapa orang saja karena keterbatasan ruang. Ibadah di
BPI Bontihing menyediakan beberapa kursi tambahan yang diletakkan di
sekitaran bale bengong jika orang yang mengikuti ibadah cukup ramai,
seperti halnya ibadah dan perayaan Natal. Tempat yang cukup lapang
dapat mendukung adanya beberapa alat musik sehingga membantu
penghayatan setiap jemaat mengikuti ibadah dalam hal puji-pujian.
Beribadah di bale bengong tidak ada alat musik lengkap yang digunakan,
hanya diiringi tiupan seruling. Ketika hal itu terjadi maka ada ketakutan
jika pada akhirnya gereja akan berada dalam situasi kurang mengenal akan
keberadaan budayanya sendiri. Hal ini terlihat ketika ada usaha untuk
menggunakan alat musik tradisional untuk mengiringi jalannya
peribadatan. Banyak dari anggota jemaat yang pada akhirnya kurang bisa
menikmati atau menghayati ibadah hanya karena tidak terbiasa dengan
musik tradisional yang digunakan.
Cuaca juga sangat mendukung jalannya proses ibadah. Faktor
cuaca seperti hujan, berangin, dan lain-lain juga sangat memengaruhi
kualitas ibadah. Gedung gereja dengan atapnya dapat melindungi dari
hujan dan sebagainya namun di bale bengong hal ini masih mengurangi
51
Abineno, Ibadah Jemaat dalam Abad – abad Pertengahan, 58 52
Victor Hamel, Gereja Bale Bengong, 3.
26
kenyamanan dalam beribadah, terlihat dari atap bale bengong terbuat dari
alang-alang dan ruangnya sangat kecil hanya berukuran minimal 2x2
meter. Selain cuaca, nyamuk atau serangga dapat menjadi gangguan dalam
beribadah. Bale bengong dengan tempat yang terbuka tersebut memberi
peluang bagi nyamuk dan serangga untuk berkeliaran mengganggu jemaat
dalam beribadah. Beribadah di gereja biasanya menggunakan tata ibadah
atau liturgi yang memudahkan dalam memahami jalannya ibadah. Prosesi
pada awal ibadah seperti pemberian Alkitab pada Pendeta oleh majelis
tidak terjadi ketika beribadah di bale bengong. Dalam hal ini prosesi
tersebut biasanya mendukung jemaat dalam memulai kekhusyukkannya
pada saat ibadah. Jemaat BPI Bontihing tersebut tidak melakukannya
karena jemaat yang beribadah hanya keluarganya saja dan majelis yang
bertugas. Ruang di bale bengong juga tidak memungkinkan terjadinya
prosesi tersebut.
Tanggapan masyarakat akan bale bengong sebagai tempat ibadah
ini memang ada yang pro dan kontra. Seperti beribadah di bale bengong
akan mengurangi kesakralan dalam ibadah, melihat bahwa bale bengong
hanyalah tempat bersantai dan bahkan tak jarang orang-orang desa
menggunakan bale bengong sebagai tempat untuk berkumpul dan minum
tuak.53
Gedung gereja seperti orang Kristen awal dipenuhi dengan patung-
patung dan ornamen-ornamen gerejawi, jemaat BPI Bontihing
menggunakan ornamen-ornamen budaya Bali sebagai media dalam
penghayatan ibadah, hal ini merupakan salah satu upaya kontekstualisasi,
bukan berarti ingin menjadi Kristen yang tidak mau mencintai asal mula
keKristenan (Kristen buadaya barat).
53
Hasil Wawancara Ibu Luh Sukranadi, tanggal 17 Desember 2015.
27
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mengadakan penelitian di BPI Bontihing, Kubu Tambahan
Bali Utara dan menganalisa data maka penulis dapat mengetahui alasan
yang melatarbelakangi Jemaat BPI di Desa Bontihing menggunakan
Konsep Gedung Gereja Bale Bengong sebagai tempat ibadah. Berdasarkan
hasil penelitian yang peneliti lakukan maka kesimpulan secara keseluruhan
sebagai berikut;
Orang Kristen membutuhkan ruang atau tempat untuk berjumpa
(beribadah) dengan Allah. Jemaat BPI Bontihing tetap mempertahankan
bale bengong sebagai tempat ibadah dengan pemahaman bahwa ibadah
dapat dilaksanakan di mana saja, namun harus merupakan tempat yang
direncanakan sedemikian rupa, sehingga jemaat dapat mengetahui tempat
untuk bersekutu. Dari bangunan ala katedral sampai bangunan kandang
ternak dapat menjadi gedung gereja selama ditandai dengan salib. Bale
bengong yang digunakan jemaat BPI Bontihing sebagai sarana peribadatan
tidak mengurangi kesakralan dalam beribadah. Hal yang membuat sakral
bukanlah bangunannya, tetapi kehadiran Tuhan dengan Roh Kudus. Lahan
gereja yang luas dengan lingkungan gereja yang berupa taman. Bukankah
tempat perjumpaan Tuhan dengan manusia pertama kali di taman? Taman
Eden, Getsemani, Arimatea, dsb.
Jemaat BPI Bontihing sampai sekarang tetap mempertahankan bale
bengong sebagai tempat untuk beribadah karena bale bengong tersebut
merupakan sebuah bangunan kreasi lokal dari sebuah komunitas
masyarakat pertanian yang sudah tentu itu datang dari latar belakang
jemaatnya. Sesuatu yang timbul kontekstual akan lebih mudah diterima
dan dekat sehingga sangat membantu jemaat BPI Bontihing dalam setiap
penghayatan imannya. Ketika jemaat BPI Bontihing ini masih dijiwai
kecintaan akan budayanya bale bengong masih menjadi jawaban sebagai
28
media utama dalam bercakap-cakap untuk membahas hal yang ringan
ataupun yang berat. Di dalam bale bengong tersebut juga terkandung nilai-
nilai kebersamaan yang menjadi hal utama dimana dasar hidup masyarakat
pertanian adalah kebersamaan.
Dalam konteks Indonesia, bangunan terbuka di tengah taman
memberi suasana mistik bersama dengan alam. Zaman ini penuh dengan
rumah dan gedung, tapi apakah bisa beribadah di pinggiran kota bahkan di
bukit dan gunung? Mengingat bahwa gunung juga simbol hebat sebagai
perjumpaan dengan Tuhan, seperti Gunung Sinai dan Bukit Golgota, dan
sebagainya. Gedung tertutup, simbol menara runcing ala barat sangat tidak
cocok dengan budaya Indonesia dan juga bukan ciri khas Indonesia. Bagi
Gereja Kristen Protestan di Bali terdapat banyak alternatif. Salah satunya
adalah Bale bengong.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan
pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali terhadap konsep
gedung gereja Bale bengong di desa Bontihing, maka penulis memberikan
saran sebagai berikut:
Dalam mempertimbangkan arsitektur ruang dalam membuat tempat
ibadah, rancangan harus tumbuh dari kesadaran bahwa ibadah adalah
kegiatan jemaat yang berhimpun dan bersekutu. Beberapa komponen
ruang liturgis yang semestinya ada di dalam sebuah gedung gereja,
hendaknya memerhatikan aspek keserasian maupun keramahan. Sebab
ruang yang ramah akan mengantar dan memupuk, bukan menghambat
kegiatan manusia. Dengan demikian ruangan dirancang agar
memungkinkan anggota jemaat dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan
ibadah dan merasakan bahwa masing-masing individu (termasuk pelayan)
merupakan bagian dari persekutuan dalam Tubuh Kristus. Gedung gereja
manapun sebaiknya memanfaatkan arsitektur pribumi. Itulah bangunan
yang paling nyaman dalam sejarah hidup suatu komunitas/suku.
29
Jemaat BPI Bontihing diharapkan dapat terus berkembang melalui
misi yang sangat kontekstual ini. Dari segi ruang bale bengong sebagai
tempat ibadah, dapat diperluas lagi area tempat peribadatannya dengan
tidak mengurangi sedikitpun suasana bale bengongnya. Keadaan seperti
cuaca yang buruk dapat ditanggulangi dengan misalnya menanam pohon
rindang, atau ketika hari raya dapat dipasang tenda tambahan. Gereja
sudah seharusnya menghormati kebiasaan dan budaya yang berbeda-beda.
Sudah seharusnya gereja mampu memilah-milah mana tradisi atau budaya
yang baik dan mana yang tidak untuk diserap ke dalam agama Kristen.
Sehingga melalui budaya penghayatan akan iman seseorang akan dapat
tercapai.
30
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Christian, Norberg-Schulz. InJotentions in Architecture. Cambridge: MIT Press.
1965.
Forrester, Duncan. B. Encounter With God- An Introduction to Christian Worship
and Practice. Edinburgh: T&T Clark. 1996.
Perencanaan dan Perancangan II – ARS 546 – 2000/2001. Program Studi
Arsitektur Jurusan Pendidikan Teknik Bangunan – FPTK – UPI.
November 23, 2015.
Simanjuntak, Prof.Dr. Bungaran Antonius. Konsepku Membangun Bangso
Batak:Manusia, Agama dan Budaya. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2012.
Surasetja, R. Irawan Drs. Teori-teori Arsitektur Dunia Timur Bahan Ajar: ARS
546 - Teori
Takenaka, Masao. The Place where God Dwells – An Introduction to Church
Architecture in Asia. Christian Conference of Asia, 1995. November 20,
2015.
Buku
Abineno, J.L.Ch. Ibadah Jemaat dalam Perjanjian Baru. Jakarta : Gunung Mulia,
1960.
______________. Ibadah Jemaat dalam Abad – abad Pertama. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1960.
______________. Ibadah Jemaat dalam Abad – abad Pertengahan. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1965
31
Drane, John. Memahami Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
Hamel, Victor. Gereja Bale Bengong. Bali : Samaritan, 2009.
Huck, Gabe. Liturgi yang Anggun dan Menawan. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Markus, Zahnd. Pendekatan dalam Seni Arsitektur. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Niebuhr, Helmut Richard. Christ and Culture. Harper and Row, 1951
Rachman,Rasid. Hari Raya Liturgi: Sejarah dan Pesan Pastoral Gereja. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009.
Raco, J.R. Metode Penelitian Kualitatif : Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya.
Jakarta: GRASINDO, 2006.
Riemer, G. Cermin Injil, Ilmu Liturgi. Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina
Kasih/OMF, 1995.
Rowley, H.H. Ibadat Israel Kuna. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981.
Schreiter, Robert J. Rancang Bangunan Teologi Lokal. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2006.
Singgih, E. G. Dari Israel ke Asi : Masalah Hubungan Antara Kontekstualisasi
Teologi dengan Interpretasi Alkitabiah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012
Sitompul, A.A. Bimbingan Tata Kebaktian Gereja, Suatu Studi Perbandingan.
Pematangsiantar: t.p, 1993.
Soethama, Gde Aryantha. Bali Tikam Bali. The University of Michigan: Arti
Foundation, 2004.
White, James F. Pengantar Ibadah Kristen. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009.
Windhu, Imarsana. Mengenal Ruangan, Perlengkapan, dan Petugas Liturgi.
Yogyakarta: Kanisius, 1997.
32
Internet
Aksamala. “Krishna Sebagai Avatara Wisnu (Sebuah Sejarah Singkat)”. April 22,
2014. March 4, 2016.
https://aksamala.wordpress.com/2014/04/22/krishna-sebagai-avatara-
wisnu-sebuah-sejarah-singkat/.
Archdiocese of Medan. “Tata Liturgi di Gereja”. November 21, 2015.
http://archdioceseofmedan.or.id/index.php?option=com_content&view=art
icle&id=331%3Atata-ruang&catid=70%3Akomisi&Itemid=66.
Anjungan Bali. 2016. Last Modified November 13, 2015.
http://anjungantmii.com/bali/index.php?option=com_content&view=articl
e&id=1&Itemid=1.
Belogan, Ngeblog. “Konsep Arsitektur Tradisional Bali‟. November 18, 2011.
November 22, 2015. http://ngeblogbelogan.blogspot.co.id/.
Blegur, Olin. “Rumah Tradisional Bali”, Desember 27, 2015.
https://www.academia.edu/15357928/Rumah_Tradisional_Bali.
Budi Kasmanto. “Gereja Bale Bengong”. September 26, 2014. November 12,
2015. https://budikasmanto.wordpress.com/tag/bale-bengong/
Buku Ensiklopedia Dunia. “Arsitektur Gereja”. November 20, 2015.
http://alumnus-alumni.indonesia-info.info/id3/dunia
jurnal152/ArsitekturGereja_70186_alumnus-alumni-indonesia-info.html.
Center of Encyclopedia. “Arsitektur Gereja”. November 20, 2015.
http://stieprabumulih.you.web.id/ensiklopedia.php?_i=all&id=70186&_en
ENGLISH.
DocSlide. “Makalah Sejarah Early Christian”. November 21, 2015.
http://dokumen.tips/documents/makalah-sejarah-early-christian-07.html.
33
Gazebo, Jepara. “Bale Bengong”. February 23, 2014. November 22, 2015.
http://www.jeparagazebo.com/bale-bengong/.
InputBali. “Mengetahui Makna dan Fungsi Pelangkiran”. May 15, 2015.
Desember 29, 2015. http://inputbali.com/budaya-bali/mengetahui-makna-
dan-fungsi-fungsi-pelangkiran.
Iswara, Angga. “Konsep Tri Angga dan Tri Loka”. November 22, 2015.
https://www.academia.edu/9985141/Konsepsi_Tri_Angga_dan_Tri_Loka.
Kusuma, Weni. “Inspirasi Bale Bengong, Gazebo Ala Bali”, March 22, 2013.
November 23, 2015. http://www.rumahku.com/berita/read/inspirasi-bale-
bengong-gazebo-ala-bali-39455#.V3nkANJ97IU
Lamudi. “3 Ciri Khas Arsitektur di Bali”. July 28, 2014. November 22, 2015.
http://www.lamudi.co.id/journal/3-ciri-khas-arsitektur-di-bali/.
Roby, “Arsitektur Gereja Kristen Lama”. April 14, 2009. Juni 19, 2016,
http://architecturoby.blogspot.co.id/2009/04/arsitektur-gereja-kristen-
lama.html.
Tangke, Paulus Masarrang. “Pendirian Rumah Ibadah”. Desember 24, 2015.
https://paulusmtangke.wordpress.com/pendirian-rumah-ibadah/.
Tarna, Wayan. “Makna Gebokan Bagi Umat Hindu”. October 9, 2014. Februari
14, 2015. http://wayantarne.blogspot.co.id/2014/10/makna-gebokan-bagi-
umat-hindu.html.
“Website Resmi Pemerintah Kab.Buleleng Kecamatan Kubutambahan”.
Desember 24, 2015.
http://kubutambahan.bulelengkab.go.id/index.php/page/208/Desa-
Bontihing
34