Sejarah AR-02_template KD 3(1)
Transcript of Sejarah AR-02_template KD 3(1)
PRODI ARSITEKTUR UNS | SEJARAH ARSITEKTUR II | SEMESTER AGUSTUS-DESEMBER 2012
MASJID AL AKBAR SURABAYA:SEBAGAI APLIKASI BANGUNAN SEMIOTIKA ARSITEKTUR POST MODERN
DI INDONESIA
PENGANTAR
Di Indonesia telah banyak ditemukan bangunan sebagai bentuk aplikasi dari Semiotika
Arsitektur Post Modern. Semiotika Arsitektur merupakan suatu bentuk yang membantu
pengamat untuk lebih mudah memahami tentang bangunan yang ada di hadapannya, dari
segi bentuk fisik, ukuran, proporsi, jarak antar bagian, material, dan warna. Selain itu
semiotika merupakan wadah bagi perancang untuk menkomunikasikan karyanya kepada
masyarakat awam. Suatu bangunan yang mudah diketahui dari segi bentuk maupun fungsinya
yaitu tempat peribadatan, karena tempat ibadah merupakan salah satu bangunan yang dekat
dengan kita sebagai manusia yang beragama. Seperti halnya Masjid Al Akbar Surabaya yang
merupakan salah satu bangunan yang telah menerapkan Semiotika Arsitektur Post Modern
sebagai bangunan peribadatan umat muslim.
SEMIOTIKA ARSITEKTUR POST MODERN
Arsitektur Post Modern juga memiliki prinsip yang bersifat simbolik, dalam hal ini berbicara
mengenai semiotika. Dalam semiotika, ada beberapa ahli yang saling mengeluarkan teorinya
masing-masing. Contohnya seperti, teori dari seorang ahli linguistik, Ferdinand de Saussure.
Saussure lebih memperhatikan pada tanda itu sendiri. Bagi Saussure, tanda merupakan obyek
fisik dengan sebuah makna; atau, untuk menggunakan istilahnya, sebuah tanda terdiri dari
penanda (tanda bagi Pierce) dan petanda (interpretan bagi Pierce). Penanda adalah citra tanda
seperti yang kita persepsi; petanda adalah konsep mental yang diacukan penanda. Konsep
mental ini secara luas sama pada semua anggota kebudayaan yang sama yang menggunakan
bahasa yang sama. Saussure menjelaskan bahwa tanda sebagai kesatuan yang tak terpisahkan
dari penanda dan petanda. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda (Fiske,
1990 : 62-66). Saussure juga mengartikan dasar linguistik yang bertolak dari dikotomi, seperti
parole dan langue. Parole adalah penggunaan secara individual yang memilih unsur-unsur
tertentu yang disenangi dalam kamus yang dimiliki oleh seseorang. Langue adalah suatu
sistem kode yang diketahui dan disepakati oleh semua pihak. Roland Barthes
mengimplikasikan lebih lanjut tinjauan teori Saussure yang dibedakan atas dua makna, yaitu
denotasi dan konotasi. Denotasi mengarah kepada anggapan umum mengenai kejelasan tanda
tersebut. Barthes menjelaskan bahwa ada relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda.
PRODI ARSITEKTUR UNS | SEJARAH ARSITEKTUR II | SEMESTER AGUSTUS-DESEMBER 2012
Contohnya seperti, rumah yang mengandung makna denotasi sebagai tempat berteduh.
Konotasi menjadi sebuah interpretan yang dipengaruhi oleh subyektif dari penafsir dan obyek.
Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung ketika tanda bertemu dengan perasaan
atau emosi penggunanya dalam nilai-nilai kultural. Rumah mengandung konotasi sebagai
sebuah bangunan, gaya hidup, alamat, identitas, kepribadian, struktur, dan sejarah.
Semiotika dalam arsitektur membentuk hubungan dekat antara keadaan geografis, sejarah,
dan budaya lokalnya, serta komunitas sosial yang melingkupinya dari penggunaan warna,
bentuk, ruang, isi/volume, bahkan permukaan bangunan, karena wujud arsitektur, seperti
halnya wujud bidang lain, secara umum dapat dikatakan mempunyai makna denotasi terlebih
dahulu kemudian menyusul makna konotasi. Selain rumah, jendela juga memiliki makna
denotasi dan konotasi. Makna denotasi sudah jelas, sedangkan konotasinya, misalnya
menggambarkan keagungan bangunan yang dapat dilihat dari proporsi atau bentuk.
Oleh karena itu, seorang Charles Jencks mengistilahkan postmodern dengan semboyan ‘Form
Follow Meaning’ sebagai resistensi dari modern dalam metoda semiotika.
Dalam perkembangan arsitektur, semiotika mulai banyak digunakan sejak era postmodern,
yaitu era dimana para arsitek mulai menyadari adanya kesenjangan antara kaum elite
pembuat lingkungan, dalam hal ini arsitek, dengan orang awam yang menghuni lingkungan.
Saat itu semiotika digunakan dalam pembentukkan kembali makna arsitektur atas peran fungsi
bangunan (Forms Follow Function) yang berlebihan tanpa memperhatikan kondisi sosial-
budaya yang melingkupi bangunan tersebut. Jencks mempergunakan semiotika sebagai
pondasi mengkomunikasikan makna. Bagi Jencks, konsep ruang, nilai sosial, fungsi, ide
arsitektural, dan aktivitas, masuk dalam kategori petanda, sedangkan bentuk, ruang, isi,
warna, irama, dan tekstur, Jencks mengkategorikan dalam lingkup penanda.
Semua benda akan selalu merupakan wahan tanda yang memberikan informasi konvensioanl
yaitu mengenai fungsi dari benda tersebut. Begitu pula dengan benda-benda arsitektural,
secara umum dapat dikatakan bahwa bangunan mempunyai informasi pertama ( denotasi )
sebagai tempat hunian. Namun ini bukanlah berarti tidak mengandung arti lain ( konotasi ).
Misalnya jendela-jendela pada fasad bangunan, fungsi utamanya ( denotasi ) sudah jelas
sebagai bukaan. Namun terdapat fungsi lain ( konotasi ) yaitu terdapat unsur ritme yang
secara estetika membawa nilai-nilai tertentu. Hal tersebut disebabkan karena ritme, proporsi,
dan sebagainya secara langsung memberikan konotasi dengan merujuk nilai-nilai seperti
“anggun”. Jadi jendela-jendela tersebut selain memiliki unsur fungsional, juga memiliki unsur
symbol.
PRODI ARSITEKTUR UNS | SEJARAH ARSITEKTUR II | SEMESTER AGUSTUS-DESEMBER 2012
Ogden Richard mengilustrasikan hubungan tersebut sebagai segitiga semiotika. Menurut
Richard, dalam arsitektur pesan yang terkandung dalam objek terbentuk dari hubungan
antara tanda dan fungsi nyata atau sifat beda.
Sebenarnya tidak ada tanda yang benar-benar tunggal, karena semua merupakan gabungan
dari unsur-unsur yang dikodekan. Oleh karena itu dalam pengertian luas semuanya dapat
disebut tanda-tanda simbolik.
Semiotik (semiotic) merupakan teori tentang pemberian ‘tanda’. Secara garis besar semiotik
digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik pragmatik (semiotic pragmatic),
semiotik sintatik (semiotic syntactic), dan semiotik semantik (semiotic semantic)
(Wikipedia,2007).
- Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic)
Semiotik Pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang
menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas perilaku
subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan tentang pengaruh
arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan bangunan.
Semiotik Prakmatik Arsitektur berpengaruh terhadap indera manusia dan perasaan pribadi
(kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai
sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat
mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur.
Dengan kata lain, hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi
pemakainya.
- Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic)
Semiotik Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan ‘makna’nya
ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik Sintaktik ini mengabaikan
PRODI ARSITEKTUR UNS | SEJARAH ARSITEKTUR II | SEMESTER AGUSTUS-DESEMBER 2012
pengaruh akibat bagi subyek yang menginterpretasikan. Dalam arsitektur, semiotik sintaktik
merupakan tinjauan tentang perwujudan arsitektur sebagai paduan dan kombinasi dari
berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur akan dapat diuraikan secara komposisional dan
ke dalam bagian-bagiannya, hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan
secara jelas.
- Semiotik Semantik (semiotic semantic)
Semiotik Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan ‘arti’ yang
disampaikan. Dalam arsitektur semiotik semantik merupakan tinjauan tentang sistem tanda
yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan. Hasil karya arsitektur merupakan
perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh perancangnya yang disampaikan melalui
ekspresi wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh
pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau
‘arti’ yang ingin disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan
diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya
sama dengan persepsi pengamatnya.
Menurut Aart van Zoest (1993:5-7), semiotika dapat dibadakan paling sedikit menjadi tiga
aliran yaitu aliran semiotika komunikasi, semiotika konotatif, semiotika ekspansif.
- Semiotika komunikasi, yang menekuni tanda sebagai bagian bagian dari proses komunikasi.
Artinya, di sini tanda hanya dianggap tanda sebagaimana yang dimaksudkan pengirim dan
sebagaimana yang diterima oleh penerima. Dengan kata lain, semiotika komunikasi
memperhatikan denotasi suatu tanda.
Pengikut aliran ini adalah Buyssens, Prieto, dan Mounin.
- Semiotika konotasi, yaitu yang mempelajari makna konotasi dari tanda. Dalam hubungan
antarmanusia, sering terjadi tanda yang diberikan seseorang dipahami secara berbeda oleh
penerimanya. Semiotika konotatif sangat berkembang dalam pengkajian karya sastra.
Tokoh utamanya adalah Roland Barthes, yang menekuni makna kedua di balik bentuk
tertentu.
- Semiotika ekspansif, dengan tokohnya yang paling terkenal Julia Kristeva. Dalam semiotika
jenis ini, pengertian tanda kehilangan tempat sentralnya karena digantikan oleh pengertian
produksi arti. Tujuan semiotika ekspansif adalah mengejar ilmu total dan bermimpi
menggantikan filsafat.
Berdasarkan hubungan antara tanda dan acuannya (denotasi), Pierce membedakannya
menjadi 3 (tiga) jenis tanda, yaitu :
PRODI ARSITEKTUR UNS | SEJARAH ARSITEKTUR II | SEMESTER AGUSTUS-DESEMBER 2012
(1) Ikon, merupakan hubungan antara tanda dan acuannya dapat berupa hubungan kemiripan.
Sifat dari ikon :
Sesuatu yang pasti (contoh: segi tiga, segi empat)
Persis dengan yang diwakilinya (contoh: lukisan, foto)
Berhubungan dengan realitas (contoh: huruf, angka)
Memperlihatkan atau menggambarkan sesuatu (contoh: peta, foto)
Misalnya kesamaan sebuah peta dengan wilayah geografis yang digambarkannya, foto dan
lain-lain. Benda-benda tersebut mendapatkan sifat tanda dengan adanya relasi persamaan
di antara tanda dan denotasinya, maka ikon seperti qualisign merupakan suatu firstness.
Kemudian, Contoh lain penggunaan ikon dalam disain arsitektur adalah sebuah toko yang
menjual rokok yang dirancang persis sama dengan bungkus rokok yang dijual.
(2) Indeks, tanda yang sifat tandanya tergantung dari keberadaannya suatu denotasi, sehingga
dalam terminologi Pierce merupakan suatu Secondness. Indeks dengan demikian adalah
suatu tanda yang mempunyai kaitan atau kedekatan dengan apa yang diwakilinya.
Misalnya tanda asap dengan api, tiang penunjuk jalan, tanda penunjuk angin dan
sebagainya. Dalam arsitektur setiap tanda mempunyai komponen yang indikatif (bersifat
menyatakan). Misal :
o Panah, menunjukan arah atau sirkulasi
o Pintu Kaca, menyatakan dirinya sendiri dan apa yang ada di belakangnya.
o Jendela, menunjukan hubungan dalam dan luar
Semua unsur ini merupakan tanda-tanda yang berhubungan dengan suatu keadaan yang
nyata. Dengan melihatnya akhirnya timbul suatu kesimpulan dari si pengamat bahwa
gedung ini dimaksudkan untuk sekolah, dan rumah sakit.
(3) Simbol, hubungan yang dapat berbentuk secara konvensional. Simbol merupakan suatu
tanda, di mana hubungan tanda dan denotasinya ditentukan oleh suatu peraturan yang
berlaku umum atau ditentukan oleh suatu kesepakatan bersama (konvensi). Misalnya
tanda-tanda kebahasaan adalah simbol.
Dalam arsitektur, pintu dapat digolongkan sebagai indeks maupun simbol. Sebagai indeks
pintu berfungsi member tanda bahwa itu adalah jalan untuk masuk atau untuk keluar
ruangan. Walaupun tidak ada yang masuk atau yang kelua, itu tetap merupakan sebuah
pintu. Pintu sebagai simbol apabila diberi tambahan atau variasi bentuk. Misalnya pintu
PRODI ARSITEKTUR UNS | SEJARAH ARSITEKTUR II | SEMESTER AGUSTUS-DESEMBER 2012
dirubah menjadi bentuk lancip (simbol gotik) atau menjadi lengkung (simbol masjid).
Selain itu, perbedaan dimensi pintu atau ornament juga akan member simbol tingkat
keutamaan sebuah ruang.
PEMBAHASAN: KASUS BANGUNAN/ARSITEKTUR TERTENTUMasjid merupakan bangunan ibadah dengan unsur dekoratif yang cukup banyak karena
menyimbolkan makna-makna di dalamnya. Seperti halnya Masjid Nasional Al Akbar atau
masyarakat Surabaya lebih akrab menyebutnya Masjid Agung ialah masjid terbesar di Asia
Tenggara ini mempunyai arsitektur yang indah, unik. Masjid ini seakan menjadi simbol Islam
pada masyarakat Jawa Timur yang terkenal dan kental sekali dengan sejarah Islamnya. Selain
itu Masjid ini juga simbol dari umat Islam Seluruh Indonesia pada khususnya.
Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya (MAS) dibangun sejak tanggal 4 Agustus 1995, atas gagasan
Walikota Surabaya saat itu, H. Soenarto Soemoprawiro. Pembangunan Masjid ini ditandai
dengan peletakan batu pertama oleh Wakil Presiden RI H. Tri Sutrisno. Namun karena krisis
moneter pembangunannya dihentikan sementara waktu. Tahun 1999, masjid ini dibangun lagi
dan selesai tahun 2001. Pada 10 November 2000, Masjid ini diresmikan oleh Presiden RI KH.
Abdurrahman Wahid.
Sebagai bangunan yang mengaplikasikan semiotika arsitektur, Masjid Al Akbar kota Surabaya
ini sangat jelas terlihat sebagai sebuah masjid untuk tempat ibadah umat muslim. Pada bentuk
Gambar 1. Masjid Al Akbar Kota Surabaya
Gambar 2. Masjid Al Akbar yang telah mencerminkan sebagai sebuah masjid
PRODI ARSITEKTUR UNS | SEJARAH ARSITEKTUR II | SEMESTER AGUSTUS-DESEMBER 2012
bangunan yang mencerminkan sebuah masjid, terdapat beberapa sisi dari masjid yang dapat
digolongkan sebagai semiotika arsitektur Post Modern.
Masjid Al Akbar yang tidak hanya difungsikan sebagai tempat beribadah tapi juga difungsikan
sebagai dua gedung pertemuan. Yakni, ruang as-Shofa dan al-Marwah. Kedua gedung ini bisa
digunakan untuk resepsi pernikahan, seminar, pameran dan sebagainya. Hal yang begitu
terlihat dari MAS sebagai bangunan yang mengaplikasikan bentuk Semiotika Arsitektur adalah
bentuknya. Bangunan yang megah dengan bentuk atap MAS terdiri dari 1 kubah besar yang
didukung 4 kubah kecil berbentuk limasan serta 1 menara. Keunikan bentuk kubah MAS ini
terletak pada bentuk kubah yang hampir menyerupai setengah telur dengan 1,5 layer yang
memiliki tinggi sekitar 27 meter.
Bentuk modern bangunan seperti ini memang sudah tidak asing untuk bangunan seperti
masjid, hal ini dikarenakan bentuk bangunan yang megah dan akrab dijumpai umat muslim
Internasional pada Masjid Nabawi di Arab. Bentuk yang begitu menggambarkan keagungan
Tuhan sebagai pencipta alam semesta dan memberikan kesan damai di setiap ornamen ukiran
kaligrafi pada setiap umatnya telah tersampaikan pada bentuk bangunan Masjid Nabawi.
Pusat atau kiblatnya umat Islam yang berada di Kakbah dan terletak dalam Masjid Nabawi,
oleh karena itu bentuk bangunan arsitektur pada Masjid Nabawi yang menjadi pusat dari
percontohan dari masjid-masjid di seluruh penjuru dunia.
Pada semiotika arsitektur dalam konteks makna denotasi masjid ini, terlihat pada bentuk
kubahnya yang diadopsi dari bentuk bawang dan kemudian diserupakan bentuk telur menjadi
suatu komunikasi bagi seluruh masyarakat behwa bangunan tersebut berfungsi utama sebagai
masjid. Pada makna konotasi, terdapat banyak hal yang disampaikan, Masjid adalah simbol
keislaman. Ia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat Islam, karena masjid merupakan
bentuk ketundukan umat kepada Allah swt. Kata masjid terulang dua puluh delapan kali dalam
Alquran. Secara bahasa masjid berasal dari kata sajada-sujud artinya patuh; taat; tunduk
Gambar 2. Kemegahan Masjid Nabawi
PRODI ARSITEKTUR UNS | SEJARAH ARSITEKTUR II | SEMESTER AGUSTUS-DESEMBER 2012
dengan penuh hormat. Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, atau
bersujud ini adalah bentuk lahiriyah yang paling nyata dari makna-makna tersebut. Itulah
sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk shalat dinamai masjid, “tempat
bersujud”. Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat kaum
Muslim. Tapi karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, hakikat masjid
menjadi tempat melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan kepada Allah swt.
Selain itu pada makna konotasi lainnya khususnya pada MAS ini, pada betuk kakbah, bentuk
atap pada kubah, monumental, dan ornamen atau ukiran interior masjid.
Makna konotasi pertama tersampaikan pada Kubah Masjid Al-Akbar yang berjumlah lima,
yakni 1 kubah besar dan 4 kubah kecil berbentuk limasan. Angka lima, selain bermakna rukun
islam juga sering diartikan Pancasila sabagai landasan dasar bangsa Indonesia. Selain itu pada
atap yang berbentuk limasan merupakan adopsi dari bentuk atap rumah jawa dan
menggambarkan letak masjid yang berada di lingkup masyarakat jawa.
Gambar 3. Kubah Masjid Al Akbar
Kubah yang biasanya
diadopsi dari bentuk bawang diolah unik yang
menyerupai bentuk telur
Gambar 4. Kubah Masjid Al Akbar, 1 kubah besar dan 4 kubah kecil
5 kubah yang diartikan sebagai rukun Islam dan jumlah sila dalam Pancasila
Pintu masuk yang berjumlah 45 menggambarkan spirit masyarakat Surabaya, khususnya umat muslim dalam beribadah
PRODI ARSITEKTUR UNS | SEJARAH ARSITEKTUR II | SEMESTER AGUSTUS-DESEMBER 2012
Makna konotasi lain yang terdapat pada masjid ini yaitu pada pintu Masjid Al-Akbar berjumlah
45 buah. Pintu yang berjumlah 45 memiliki arti untuk menjadi spirit perjuangan masyarakat
Indonesia khususnya umat muslim.
Masjid Al-Akbar memiliki menara pada halaman masjid dengan ketinggian 99 meter. Dengan
makna pada angka 99 yang menjadi simbol keagungan Asma Allah. Menara yang juga dijadikan
tempat ibadah sekaligus untuk menikmati pemandangan Kota Surabaya sebagai wujud
mensyukuri dan melihat kebesaran Allah dalam menciptakan alam semesta.
Gambar 6. Menara Masjid Al Akbar Surabaya
Menara dengan tinggi 99 meter simbol 99 keagungan Asma Allah
Gambar 5. Pintu masuk Masjid Al Akbar
PRODI ARSITEKTUR UNS | SEJARAH ARSITEKTUR II | SEMESTER AGUSTUS-DESEMBER 2012
Hal lain yang memiliki pada masjid yang mencerminkan aplikasi Semiotika Arsitektur MAS
yaitu pada Aula MAS ini. Aula dibangun dengan konsep kesatuan antara estetika lingkungan
dan fungsi plaza sebagai lapangan ibadah, memiliki makna konotasi untuk ibadah tertentu
seperti sholat Ied dan lain-lain. Luas plaza kurang lebih 520 m2, dengan bahan lantai paving
stone, yang didesain khusus untuk Masjid Nasional Al Akbar Surabaya, motif desain dibuat
sesuai dengan ornamen arsitektur masjid, garis motif dibuat sejajar dengan garis shaf di
halaman masjid.
Memasuki Masjid, pengunjung disuguhi monumental atau skala yang besar dari Masjid Al
Akbar ini. Bentuk monumental pada masjid yang mengaplikasikan Semiotika Arsitektur dalam
makna konotasi yaitu dimaksudkan tidak hanya berfungsi sebagai penampung orang banyak,
namun juga sebagai pengingat kepada manusia untuk tidak sombong dan merasa rendah diri
serta rendah hati ketika berada di dalam. Jadi ketika kita masuk ke dalam bangunan maka kita
akan merasa kecil dan tidak sepatutnya untuk sombong.
Hal terakhir yang dapat diungkapkan pada interior masjid sebagi bentuk aplikasi semiotik
arsitektur Post Modern yaitu pada bagian ornamen ukir dan kaligrafi yang sangat dominan
menghiasi dinding-dinding masjid. Selain itu pula terdapat pada mihrab, relung imam dan
dinding utama, ditempatkan rak Al-Qur’an yang tersebar di seluruh penjuru masjid. Ornamen
atas terdapat kaligrafi sepanjang 180m dengan lebar 1m. Semua ornamen dan kaligrafi yang
Gambar 8. Skala monumental interior Masjid Al Akbar Surabaya
Gambar 7. Kebesaran ciptaan Allah dilihat dari menara Masjid Al Akbar
Skala manusia
Skala masjid
PRODI ARSITEKTUR UNS | SEJARAH ARSITEKTUR II | SEMESTER AGUSTUS-DESEMBER 2012
ada adalah sebagian dari ekspresi terhadap keagungan Allah SWT dan ungkapan-ungkapan
kata-kata yang indah dan telah ada dalam surat-surat Al Quran. Pada makna denotasi kaca
patri dengan tulisan arab difungsikan sebagai peredam suara dari luar masjid dan sebagai
pencahayaan alami pada interior masjid.
KESIMPULANSebagai bangunan yang menggambarkan semiotika arsitektur post modern, Masjid Al Akbar Surabaya ini memiliki beberapa unsur yang memiliki tanda sebagai bangunan tempat ibadah yaitu masjid. Unsur-unsur tersebut pun memiliki makna tersendiri yang dilihat dari perspektif pengamatnya, terdapat tanda sebagai fungsi utama (denotasi) serta tanda fungsi lain (konotasi) yang sangat banyak terdapat pada bangunan masjid Al Akbar. Hal ini dikarenakan masjid yang mempunyai makna tersendiri pada bentuk bangunannya dan ornament atau ukiran yang mendukung kemegahan dari masjid. Tampak dari keseluruhan bangunan masjid ini telah mengaplikasikan Semiotika Arsitektur Post Modern pada sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat beribadah umat muslim.
Gambar 9. Dinding kanan dan kiri mihrab. Motif geometris tampak pada kaca patri
Gambar 10. Kaligrafi sebagai ornamentasi terlihat pada lengkung mihrab
Gambar 11. Ornamentasi pada dinding masjid Al Akbar Surabaya